Ceritasilat Novel Online

Pedang Pengacau Asmara 2

Pedang Pengacau Asmara Karya Okt Bagian 2


tertahankan menumbuk kepalanya sendiri. Ia menjadi pusing terhuyung ke belakang dan
hampir saja terpelanting.
Ketika Jin-hong memperhatikan kedua lengannya ternyata sudah bengkak dan
merah. Sampai di sini Jin-hong baru sadar sedang berhadapan dengan orang berilmu.
Cepat ia mengajak Siau-hong berlutut dan meminta maaf pada paderi itu dan mengakui
dirinya sebagai orang yang tak dapat melihat gunung di depan mata.Kembali nikouw itu tertawa, tapi sekali ini nyaring sekali suara tawanya sampai
terdengar kumandangnya dari segala penjuru bukit.
"Mengapa kau berobah sikap, siauw-sicu?" Kata paderi itu kemudian. "Tadi kalian
begitu garang dan sekarang berlaku hormat sekali. Silahkan bangun saja."
Ia pegang tangan keduanya dan mengangkatnya bangun. Tapi kedua saudara itu
tetap tidak mau angkat badannya.
"Kami berdua baru mau bangun kalau suhu sudah meluluskan permintaan kami
mengangkat kami berdua menjadi murid ..." kata Jin-hong dengan suara pelahan. Nikouw
itu kembali tertawa.
"Aku hanya pandai curi daun teh orang, apa sekarang kau mau berguru dengan
seorang pencuri?"
Keduanya masih mendekam saja di tanah. Diam-diam paderi itu memperhatikan
keduanya sambil menganguk-anggukkan kepala. Dilihatnya mereka kalau tadi sampai
berlaku kasar adalah pantas sebagai pemilik kebun teh, selain itu ia dapat melihat juga di
kedua dahi mereka suatu kemuraman. Ia dapat menduga tentu ada suatu beban pikiran
mereka sehingga mereka jadi cepat naik darah.
"Hm, baiklah, permintaan kalian dapat ku terima. Sekarang coba antarkan aku ke
rumah kalian." Kata paderi itu kemudian sambil berjalan keluar perkebunan. Keduanya
jadi girang sekali. Di tengah jalan atas permintaan nikouw itu mereka secara bergantian
menceritakan kesukaran mereka.
Mendengar disebutnya Li-kam-hoat, paderi itu mengerutkan dahinya. Tokoh
Siauw-lim itu memang terkenal keanehannya. Sepak terjangnya tak pernah dapat diduga.
Pantas saja Jin-hong juga telah menuruni sedikit keburukannya. Main pukul pada seorang
paderi perempuan. Ia berpikir akan merobah pengaruh sifat buruk itu.
Keduanya belum berani menanyakan siapa nama paderi lihai itu. Baru setelah
mempertemukannya dengan ibunya mereka mengetahui siapa paderi yang berilmu itu.
Ternyata ia adalah salah seorang dari Kanglam Citkiam Tujuh Pendekar Dari Kanglam
bergelar Liauw-liauw Siansu, dan nama sebenarnya Cu soat-nio.
Keluarga Cin menjadi gembira sekali karena paderi itu bersedia menetap di
rumahnya. Karena telah menjadi peraturannya tidak menerima murid pria, jadi yang
menjadi murid resmi hanya Siau-hong, sedangkan Jin-hong biarpun bukan murid resmi
tapi diperkenankan mengikuti setiap latihan seperti seorang murid biasa saja. Tapi ia tidak
terikat dengan peraturan sebagai guru dan murid. Namun dalam hal kecerdasan Jin hong
menang dari adiknya. Jika Siau hong pada setiap latihan baru membutuhkan waktu
seminggu, baginya cukup sehari dua hari saja sudah mahir.
Bagus juga bagi Jin-hong karena tidak terikat hubungan murid dengan guru ia jadi
bebas dapat mengikuti Kam-hoat kalau dijemput. Namun semenjak menetapnya Liauwliauw Siansu di situ Li-kam-hoat tidak pernah rnuncu! lagi. Setengah tahun lamanya di
luar kebiasaan ia tidak memperlihatkan diri dan juga tanpa sesuatu berita. Jin-hong juga
menjadi bimbang dengan "teman tuanya" ini, ia berniat menyusul ke Siauw-lim-si tapidicegah oleh Liauw-liauw Siansu. Ia menghibur Jin-hong dengan mengatakan mungkin
tak lama lagi ia akan mendapat berita dari Kam-hoat.
Benar saja setelah hampir lepas setahun semenjak paderi itu menetap di sana,
datang sepucuk surat yang diantar oleh orang yang belum dikenal oleh keluarga Cin.
Dalam isi suratnya si kakek aneh itu mengatakan ia sudah mengetahui mengenai
menetapnya Liauw-liauw Siansu di rumah keluarga Cin. Ia tidak dapat datang berkunjung
selama si nikouw masih berada di tempat "teman mudanya". Ia juga menyatakan turut
berduka atas wafatnya Pek-ek, dan sayang sekali ia mengetahuinya setelah terlambat. Ia
menganjurkan pada Jin-hong supaya lebih rajin mencangkok ilmunya Cu-soat-nio yang
memang ia tahu sangat tinggi kepandaiannya pada sebelum ia jadi seorang paderi suci. Ia
baru mau datang setelah si paderi meninggalkan tempat itu, dan dipesankan juga supaya
Jin-hong jangan menyusulnya.
Jin-hong jadi merasa heran dan menyerahkan surat, yang isinya seperti juga telah
kenal lama dengan si paderi, dan Cu-soat-nio menerima surat tersebut dengan wajah
merah. Selesai membaca isi surat itu terlihat sedikit genangan air mata di pelupuk paderi
itu. Siau-hong coba meminta penjelasan tapi paderi itu hanya menjawab sambil tertawa.
"Ah, hanya persoalan dimaua kami masih remaja saja," tapi Liauw-liauw Siansu
tidak berhasil menyembunyikan perasaan hatinya. "Hayo Siau-hong kenapa kita jadi
omong pepesan kosong saja. Bagusnya kau memang sudah mempunyai dasar silat.
Barangkali cukup dalam waktu tiga tahun kau telah selesai menguras semua
kepandaianku. Nah, masih ingat gerakan yang kuajarkan kemarin?"
Untuk menyembunyikan atau menghilangkan kesan seakan-akan paderi ini
dahulunya tentu ada sesuatu rahasia dengan Kam-hoat, Liauw-liauw Siansu mengalihkan
pembicaraan mengenai pelajaran dan latihan silat.
Selang tiga tahun kemudian, sampailah saatnya bagi Liauw-liauw Siansu
meninggalkan mereka. Jika Jin-hong boleh dikatakan telah dapat mencangkok semua
kepandaian paderi itu, tidak demikian dengan Siau-hong yang masih harus banyak
berlatih.
Cin-jin-hong dan adiknya tak dapat memaksa lagi pada guru resmi dan tidak resmi
ini. Tapi Jin-hong dapat meraba maksud keberangkatan paderi ini tentunya untuk
memberi kesempatan bagi Kam-hoat mengunjungi mereka.
Begitulah Liauw-liauw Siansu berangkat setelah berjanji pada sesuatu masa akan
kembali lagi untuk menilik terutama pada Siau-hong.
Dugaan Jin-hong si tampang tolol tapi berotak cerdas tidak keliru, karena selang
sebulan kemudian si kakek sahabatnya telah muncul. Keduanya gembira sekali dapat
bertemu kembali setelah lama berpisah.
"Aku sampai rindu sekali pada kau, bocah tolol. Ah, rupanya kau mendapatkan
kemajuan pesat. Aku sengaja tidak muncul-muncul supaya kau banyak mendapatkan
bimbingannya......."Kam-hoat tidak meneruskan katanya karena wajahnya berobah kosong pada saat
mengucapkan kata paling belakang. Jin-hong berlaku cerdik dan tidak bertanya apa-apa
perihal itu, juga Kam-hoat cepat merobah haluan pembicaraannya.
"Sekarang hayo kita berangkat! Ada undangan dari salah seorang sobatku, Himthian-lok di Cee-lam."
"Ah secepat itu kau hendak mengajakku pergi? Baiknya kau bermalam dulu di sini
barang dua atau tiga hari......" jawab Jin-hong sambil memegang lengan sahabat tuanya
yang hendak dibimbingnya masuk.
Tapi Kam-hoat mengelak dipegang oleh Jin-hong, ia bahkan melototkan matanya
dengan wajah marah.
"Belum terlalu lama kau berkumpul dengan paderi yang sok alim itu, sudah begini
macam berobahnya sifat kau seperti lagaknya seorang wanita saja!"
Kam-hoat sengaja sambil mengelak juga menarik lengan Jin-hong hendak menjajal
tenaga orang. Ia jadi terkejut mendapatkan pemuda ini sedikitpun tak bergeming dari
tempatnya berdiri biarpun ia telah mengeluarkan setengah takaran tenaga dalamnya.
Melihat Kam-hoat mengagumi dirinya, Jin-hong yang tahu sifat orang yang tak
mau mengalah ia sengaja mengendurkan pertahanan nya. Akibatnya ia sendiri ikut
tertawa badan Kam-boat terbalik-balik keluar pintu depan, karena Kam-hoat telah
menambah tenaga tarikannya. Lacurnya keduanya jadi menabrak sebuah jambangan
bunga. Jambangan porselin itu jatuh ke lantai menimbulkan suara berisik terdengar ke
dalam.
Cin-hujin dan Siau-hong keluar hendak melihat apa yang terjadi. Melihat Jin-hong
saling tindih dengan Kam-hoat, keduanya jadi antara mau marah dan tertawa, sebab
jambangan antik itu telah hancur terbelah jadi puluhan keping. Si kakek yang berangasan
ini melihat ke luarnya Cin-hujin menjadi malu, ia mendorong badan sahabatnya, tanpa
mengatakan apa-apa, lagi ia melompat dengan pesat hendak berlalu
Untuk kedua kalinya Li-kam-hoat merasa kagum pada Jin-hong yang tahu-tahu
telah melewati kepalanya dan menghadang di hadapannya. Pemuda ini berusaha
membujuk pada Kam-hoat untuk memberi ia kesempatan membicarakannya lebih dulu
mengenai maksud kepergiannya dengan ibunya mengingat di rumah sekarang tak ada
orang pria.
"Yah, kalau kau kuatir ibu dan adik kau disatroni penjahat buat apa gunanya Siauhong angkat guru pada si paderi itu?" Kam-hoat masih mengambek. "Aku tahu perangai
kau sekarang sudah jadi pengecut setelah kau bergaul dengan perempuan sok alim itu!"
Akhirnya Jin-hong kewalahan juga, ia mengalah dan bersedia turut pergi setelah
ia minta ijin pada ibunya. Kalau mengingat Siau-hong sudah cukup tangguh menghadapi
segala kemungkinan ia tidak usah kuatir lagi pada keselamatan ibunya. Dengan
kepandaian adiknya di bawah bimbingan Liauw-liauw Siansu ia boleh membanggakan
adiknya biarpun seorang gadis akan sukar mendapatkan tandingan.Begitulah seperti kita ketahui Jin-hong telah mendapatkan jodohnya dengan Himkun-eng. Suatu jodoh yang terjadi karena suatu pibu di atas lui-tay.
Bila jodoh itu telah terangkap menjadi pasangan suami istri itu namanya memang
telah ditakdirkan oleh Thian. Tapi kita dapat mengatakan suatu perkawinan haruslah
ditentukan oleh perasaan jatuh cinta dari kedua mempelai. Bisa saja perkawinan terjadi
tanpa saling mengenal lebih dulu. Ini sering terjadi atau dapat dikatakan pada umumnya
telah diatur lebih dulu oleh orang tua masing-masing pasangan pada jamannya Cin-jinhong.
Bila Him-kun-eng menghendaki perjodohannya harus ditentukan perasaan
cintanya saja mungkin ia belum tentu menjadi calon pasangannya nona Kun-eng. Jelas
berdirinya sebuah lui-tay adalah juga penyebab ia bertaut hati pada Him-kun-eng.
Akhirnya pemuda ini berkeputusan persoalan cintanya kelak tentunya akan
bersemi sendiri, setelah mereka menjadi pasangan suami istri. Ia pasrahkan nasibnya pada
roda kehidupan.
Roda kehidupan yang kini sedang dijalankannya menemani "sahabat tuanya" Likam-hoat ke tempat kediaman Ciu-beng-too di Ci-ciu di desa Ciu-kee-cee.
Satu hal yang tak dinyana olehnya justru ikut sertanya dengan Kam-hoat membuat
roda kehidupan yang ditempuhnya semakin kacau. Padahal menurut semestinya kalau
setelah ia mendapatkan jodohnya ia harus mengabarkan pada ibunya. Tapi ia malu kalau
sampai kawannya mengatakan ia begitu kegirangan mau kabur pulang tanpa ingat kawan
seperjalanan.
Mula pertama ia masuk ke rumah Beng-too yang diatur secara alami dengan penuh
ditimbuni pepohonan merambat, ia terkejut ketika tiba-tiba sesosok bayangan sangat gesit
dari arah dalam melayang keluar serta merta menubruk Beng-too. Orang tua ini tertawa
kegirangan, dan mengangkat bayangan yang ternyata berupa seorang gadis lincah
berpakaian serba hitam.
"Ah, masih saja kau berlaku seperti anak kecil, Ceng-ci!......Apa kau tidak malu
pada kedua tamu kita ini?" Kata Beng-too selesai kakak ketawanya, seraya meletakkan
tubuh langsing anak gadis itu pada sebatang pohon yang bercagak mirip seperti sebuah
kursi.
Ceng-ci adalah puteri Beng-too yang telah ditinggal mati oleh istrinya ketika anak
ini baru saja berusia setahun. Jadilah ia selain seorang ayah merangkap juga sebagai ibu.
Ia sayang sekali pada puteri tunggalnya ini. Ia tidak bermaksud kawin lagi kuatir anaknya
akan disia-siakan oleh ibu tiri. Dicarikan seorang wanita dari keluarga melarat untuk
mengurus Ceng-ci sampai dewasa.
Mungkin karena tidak diurus oleh ibu kandungnya sendiri atau karena memang
sudah pembawaan anak gadis ini bertubuh pendek kecil menyebabkan ia dapat bergerak
dengan gesit. Ketambahan lagi ia mendapatkan juga pendidikan silat dari ajahnya sendiri.
Setelah berusia 16 tahun gadis remaja ini tak mungkin dapat berkembang lagi,
badannya tetap saja seperti badan kanak-kanak di bawah usianya. Tapi jangan dikira
tenaga dalam dan juga ginkangnya.Hidup berdua dengan ayahnya yang seakan merangkap menjadi ibunya biarpun
telah ada pengasuhnya, membikin ia manja sekali pada Beng-too. Ia tak pernah
menganggap dirinya telah dewasa. Sikapnya yang kekanak-kanakan siapapun takkan
mengira bahwa ia sudah menginjak usia remaja puteri.
Pakaiannya selalu warna hitam paling digemari. Namun serasi dengan kulitnya
yang putih bersih. Pakaiannya yang ringkas membuat ia kelihatan semakin seperti kanakkanak. Biarpun begitu Ceng-cie memiliki wajah yang manis dan ramai dengan seri tawa
terbayang di mukanya yang bulat telur. Apalagi kalau ia sedang tertawa kelihatan jelas
sepasang sujen di pipinya yang merah jambu.
Seperti sekarang ini, ditegur oleh ayahnya supaya jangan berlaku seperti anak kecil
di depan tamu, ia malah mengenjotkan pantatnya di batang pohon. Pohon yang tidak
terlalu besar jadi terayun-ayun karena ayunan badannya. Dengan gerak gerik liucu ia
memandang pada Kam-hoat dan Jin-hong, berani sekali ia menunjuk pada kedua tamu
ayahnya.
"Oh, ini tamu-tamu ayah?" Katanya sambil tertawa. "Kalau yang tua bangka itu
rasanya pernah juga aku bertemu . . . ya . . . ya kalau tak salah....."
Ceng-ci kelihatan seperti orang sedang berpikir dengan telunjuk tangan di
keningnya. Jin-hong tak tahan untuk tidak tertawa. Dari tadi ia telah merasa suka pada
gadis lincah yang lucu ini.
Begitu juga Kam-hoat sambil tersenyum ia hendak memegang lengan Ceng-ci yang
cepat dielakkan olehnya, "E-eh kurang ajar ya sama anak gadis orang! Kau tidak dengar
tadi ayah mengatakan aku bukan anak kecil lagi, jadi jangan dikira aku seperti pernah
bertemu dengan kau lalu kau hendak berlaku kurang ajar padaku!...."
Kam-hoat tidak menjadi marah pada Ceng-ci yang ia sudah kenal memang
perangainya suka berguyon tidak pandang pada siapapun. Ia bahkan semakin sengaja
seperti hendak memeluk badan Ceng-ci yang sedang lincah sekali lalu naik ke atas pohon
yang kebetulan sekali sedang berbuah lebat.
Jin-hong baru memperhatikan pohon yang tadi kena ayunan badan gadis itu
membikin buahnya berserakan ketanah.
Dari atas pohon ia bertengger di sebatang dahan tanpa berpegangan dan menuding
pada Kam-hoat, "Ya, ya aku baru ingat sekarang. Kau si tua bangka ceriwis pernah datang
kemari dua tahun yang lalu. Tapi siapa bocah yang sama kurang ajarnya seperti kau berani
menertawakanku, hai tua bangka? Apa anak kau?" Sekarang ia balik menuding pada Jinhong.
Beng-too jadi jengah pada kenakalan anak perempuannya. Untuk bertindak kasar
pada puteri satu-satunya ia tidak mau sampai melukai hati anaknya.
"Jangan kau ambil di hati pada kenakalan puteriku si Ceng-ci itu, hiantit," katanya
pada Jin-hong sambil menepuk bahu pemuda ini, lalu ia menarik lengan Kam-hoat dan
Jin-hong, "Mari kita masuk ke dalam saja.""Tamu-tamu agung memang mesti disuguhi sesuatu!" Dari atas pohon Ceng-ci
kembali berteriak meminta perhatian. "Nah, terima jangan malu-malu lagi!"
Segera saja buah jambu yang merah-merah segar dan besar-besar meluruk ke arah
Kam-hoat dan Jin hong. Sambil tertawa Kam-hoat mengambil sebatang ranting
menyambuti buah jambu itu. Seperti bentuk sebatang sate besar belasan buah berentet di
ranting itu.
Jin-hong mengambil cara lain menyambuti suguhan luar biasa ini. Ia menarik leher
bajunya membuat semacam kantong darurat di depan dadanya. "Suguhan buah jambu"
jadi seperti semakin membuncitkan bagian perutnya.
"Ha-ha-ha ... . hi-hi......"
Ceng-ci tertawa geli sampai badannya terayun-ayun di atas dahan, "Baru sekali ini
aku melihat seorang laki-laki bisa juga hamil! Ah, tak kusangka kau pandai main
sandiwara juga, bocah!"
Beng-too mendelikkan matanya pada Ceng-ci, "Awas kau Ceng-ci! Hayo turun!
Bukannya sediakan makanan, tahu ayahnya sudah pulang." Tapi Beng-too tidak dapat
meneruskan sikap galaknya pada Ceng-ci yang kelihatan jadi cembetut. Beng-too merobah
sikapnya menjadi lunak kembali. "Tamu-tamu ayah ini bukan orang biasa, Ceng-ci! Apa
kau sudah lupa pada Li-susiok jago Siauw-lim-si ini? Bagusnya susiok kau dapat menyabarkan diri, coba kalau tidak ke ujung langitpun kau akan dikejarnya untuk dibayar.
Sedangkan anak muda ini adalah temannya yang berkepandaian luar biasa."
Tapi Ceng-ci seakan tidak mendengarkan kata-kata ayahnya. Sekarang ia duduk di
atas dahan sambil membuang muka.
"Biarkanlah dia, sobatku. Aku tahu Ceng-ci tidak boleh dikasari." Kata Kam-hoat
kemudian, "Ia ingin meminta perhatian kita saja jadi bersikap demikian."
"Hai Ceng-ci, lihat, suguhanmu akan kucoba!" Seru Kam-hoat seraya menggigit
buah jambu di ujung ranting. Jin-hong juga merogoh dalam bajunya mengambil buah
jambu yang segera dimakannya. Ia merasakan buah jambu itu manis dan banyak airnya
menghilangkan rasa dahaganya.
"Cuih!" Tiba-tiba Kam-hoat menyemburkan lumatan buah jambu, "Ah, kau
kelewatan Ceng-ci, buah yang masih mentah kau berikan padaku. Nah, kalau kau benar
punya kepandaian coba kau ambil yang paling masak kukira di puncak cabang itu!"
Ceng-ci keheranan buah jambu yang begitu masak-masak masih dikatakan
mentah. Tapi ia mengikuti petunjuk tangan Kam-hoat.
Di ranting paling tinggi memang kelihatan dua buah jambu yang sangat besar. Kini
kembali kegembiraan Ceng-ci.
"Berapa kau berani bayar kalau aku berhasil memetik kedua buah itu, hai susiok
tua bangka?" Tanya Ceng-ci seraya siap akan naik lebih tinggi."Aku bersedia membayarnya dengan uang satu tail perak!" Jawab Kam-hoat.
Suatu harga yang luar biasa mahalnya hanya untuk dua buah jambu membuat Ceng-ci
membelalakkan mata dan semakin bernapsu untuk segera memetiknya.
"Kau tidak berdusta ya!"
Ceng-ci telah merambat naik dengan cepat bagaikan seekor bajing saja. Tapi ia
kurang memperhitungkan ranting yang sangat kecil tidak kuat menahan berat tubuhnya
biarpun ia telah mengentengkan tubuhnya. Karena napsunya pada uang setail perak ia
berlaku ceroboh.
Ketika tangannya meraih untuk memetik kedua buah jambu itu, bobot badannya
tidak rata lagi. Sebagian keseimbangan badannya terbagi ke bagian tangannya, membuat
ia jadi limbung. Biarpun ia berhasil memetik buah jambu itu tak urung kakinya terperosok
terbawa ayunan ranting yang mendoyong badannya melayang jatuh dengan keras.
Jin-hong berseru kaget, melihat Ceng-ci seperti batang pohon yang tumbang. Ia
menengok pada Beng-too dan Kam-hoat yang sedikit pun tidak bergerak atau
memperlihatkan rasa terkejut. Bahkan Kam-hoat semakin keras tertawanya berjingkrak


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperolokkan Ceng-ci.
Ceng-ci dapat dipastikan akan terbanting di tanah karena ia kukuh memegangi
buah jambu yang berhasil dipetiknya menyebabkan ia tidak meraih cabang atau ranting
pohon supaya ia dapat menahan kejatuhan badannya.
Terdorong oleh rasa kaget dan kasihan kalau sampai gadis nakal ini ambruk di
tanah, Jin-hong cepat bergerak siapa menanggapi tubuh Ceng-ci.
"Prakk!... Crasss!..."
Ceng-ci jatuh dalam sanggahan Jin-hong, lebih tepat dalam pelukan pemuda itu.
Wajah gadis itu menjadi merah mengetahui dirinya terjatuh di dalam pelukan pemuda
tamu ayahnya. Namun ia seperti orang yang terkesima membiarkan saja dirinya dalam
keadaan demikian, kemudian ia rasakan basah-basah di sisi iganya yang menempel pada
bagian perut Jin-hong.
Ternyata buah jambu di bawah baju Jin-hong telah hancur tertimpa badannya,
pecahannyja yang banyak air menembus bajunya sendiri menular ke baju gadis itu.
"Hai, apa ini basah-basah?" Seru gadis itu sambil melepaskan diri dari pelukan
pemuda penolongnya. Bukannya ia berterima kasih pada Jin-hong bahkan ia menuding
dan memarahi pemuda itu yang selanjutnya dikatakan telah sengaja mempermainkannya.
"Tentu kau pura-pura menolongku padahal kau hendak menghina aku mengotori
pakaianku dengan pecahan buah jambu dalam bajumu! Dasar bocah tidak tahu diri
berteman dengan tua bangka genit, jadi ikut ceriwis ya?!"
Sambil memaki Ceng-ci mengeluarkan lidahnya mengejek Jin-hong, siapa jadinya
hanya menggelengkan kepala saja mendapatkan tabiat puterinya Beng-too yang aneh ini.
Ceng-ci kemudian menghampiri Kam-hoat sambil memberikan kedua buah jambu
dan tangannya yang lain disodorkan meminta pembayaran yang telah dijanjikan."Kau benar telah dapat memetik buah ini, tapi secara tidak sah!" Kata Kam-hoat
menggelengkan kepala. "Seharusnya kau dapat memetik dan turun secara wajar....."
Ceng-ci jadi gusar, apalagi Kam-hoat sambil bicara mengayunkan langkahnya
masuk ke dalam bersama ayahnya. Jin-hong juga ikut masuk melewati tubuhnya, ia
berpaling sambil tersenyum, yang dianggap oleh Ceng-ci seperti menghina dirinya.
"Kalian berdua memang tamu-tamu tidak sopan!" Teriak Ceng-ci, "Nih, terima
kelicikan kalian!...."
Kedua jambu melayang deras ke arah Kam-hoat dan Jin-hong. Tapi Ceng-ci jadi
memandang kagum pada kedua laki-laki yang berhasil menangkap lemparannya yang ia
tahu tidak sembarang orang dapat melakukannya, apalagi ia melempar buah itu dengan
kekuatan tenaga Iwee-kang. Masing-masing telah membuka mulutnya lebar-lebar
menerima buah jambu itu.
"Nah, baru buah yang lezat," Kam-hoat memuji sambil terus mengunyah buah itu.
"Terima kasih, Ceng-ci.................. Kruas-krass-krasss............"
Jin-hong juga berbuat sama, tapi ia tidak mengatakan apa-apa keasyikan
menikmati buah yang begitu manis dan banyak sekali airnya. Ia hanya meng-anggukanggukkan kepalanya saja.
Ceng-ci jadi kebogehan, ia menggedrukkan kakinya, lalu berlari masuk ke dalam
kamarnya untuk mengganti pakaiannya yang kotor dan basah.
Begitu sudah 3 hari lamanya Jin-hong dan Kam-hoat tinggal bersama di rumah
Beng-too. Selama itu kedua jago silat dari golongan tua tersebut asyik bertukar pikiran
mengenai perkembangan ilmu silat. Lama-lama Jin-hong yang turut mendengarkan jadi
jemu juga. Sahabat tuanya kalau kena mengobrol dengan sobat lawasnya jadi lupa diri.
Selama itu pula Ceng-ci seperti menghindarkan diri. Ia lebih banyak mengeram
dalam kamarnya. Atau pagi-pagi sekali ia pergi seorang diri untuk berburu di hutan.
Kembalinya kalau hari sudah mulai gelap menenteng hasil buruannya berupa kelinci atau
burung.
Pada hari keempat, Jin-hong diam-diam pergi sendirian hendak melihat-lihat
pemandangan alam sekitar desa Ciu-kee-cee. Sahabat tuanya pagi-pagi sudah duduk
berhadap-hadapan dengan tuan rumah untuk kembali membuka acara mengobrol sampai
petang. Percakapan keduanya tidak akan menjemukan karena berguci-guci arak lelah
disediakan dengan daging binatang buruan Ceng-ci.
Jin-hong sudah berada di tepi sebuah telaga yang bagus sekali pemandangannya.
Matahari pagi yang baru saja muncul memantulkan sinar merah keemasan ketika
menebar cahayanya di permukaan air. Binatang-binatang hutan saling memekik
bersahutan menyambut hari yang cerah permai itu.
Pemuda ini duduk di tepian telaga sambil bersandar pada sebatang pohon rindang
mengagumi pemandangan alam. Kalau ia terus memandangi ke depan, pada garis diujung telaga terlihat bentangan kaki gunung yang kelihatan kehijau-hijauan. Di tengah
alam begini ia merasa dirinya kecil sekali.
Tiba-tiba ia merasa terkejut karena kedua matanya menjadi gelap. Ia merasakan
kehangatan yang menjalar di pelupuk matanya. Pikirannya bekerja dengan cepat pada
saat ia berseru kaget. "Oh!..... Siapa?!...."
Ia tidak menjadi gugup, karena ia telah dapat menduga tangan siapa lagi kalau
bukan si gadis nakal Ceng-ci yang mendekap matanya dari belakang. Dengan tenang ia
tetap duduk, telinganya dapat mendengar degup napas hangat yang menyapu belakang
lehernya.
"Coba terka, siapa aku?......" Tanya pendekapnya yang suaranya seperti seorang
laki-laki. Tapi Jin-hong jadi geli dalam hati, jelas Ceng-ci telah berusaha membesarkan
suaranya.
"Boleh aku bertanya-tanya dulu sebelum aku menerka siapa engkau?" Balas tanya
Jin-hong. Yang ditanya tidak menjawab.
"Kalau kau tidak bersuara kuanggap "Ya"!! ......" Pendekapnya masih juga tidak
bersuara.
"Kau ini laki-laki?" "Wanita?" "Manusia?" "Hewan?" "Memedi?"
Semua pertanyaan Jin-hong tak dijawab. Namun pemuda ini merasakan telapak
tangan pendekapnya semakin lama jadi berkeringat dan agak gemetar. Jelas ia merasa
ragu memberikan jawabannya. Jika ia bersuara, tentunya ia tidak dapat terus menerus
mempertahankan suara palsu itu.
"Kalau begitu kau ini hanya sebuah mahluk tak berbentuk!...." Seru Jin-hong
sambil lompat melepaskan diri dari dekapan orang. Ia berbalik setelah menjejakkan kaki
di tanah. Dugaannya tidak salah. Pendekapnya memang Ceng-ci si gadis lincah yang
nakal itu.
"Kau!... kau..!" Hanya ini saja suara yang dapat dikeluarkan olehnya sambil
menunjuk pada Jin-hong yang kembali berhasil memperolokkannya. Wajahnya jadi
kelihatan lucu dengan bibir terbuka lebar.
"Hai, aneh juga mahluk tak berbentuk ini kalau begitu bisa bicara juga? Ah, angin
juga terkadang dapat berkesiur... Eh, kalau begitu kau ini angin berwujud seorang gadis
bernama Ceng-ci." kata Jin-hong lagi, tapi ia tak sampai hati untuk menggoda terus. Ia
sengaja membungkukkan badan memberi hormat. "Maafkan aku nona Ceng-ci, aku telah
menggodamu..."
"Tidak. Permintaan maafmu tidak dapat kuterima." Kata Ceng-ci sambil lompat
menyerbu pada Jin-hong. "Kau terlalu menghina diriku yang kau anggap hanya sebagai
angin lalu. Mari kubuktikan bahwa aku bukan angin lalu!"
Jin-hong hanya melihat berkelebatnya bayangan hitam dari Ceng-ci yang bagaikan
burung walet menyambar bagian kepalanya.Ringan saja Ceng-ci dengan kedua tangan terjulur di depan hendak menjambak
rambut orang. Tentu saja Jin-hong tidak bersedia rambutnya kena terjambak si gadis besar
adatnya ini. Ia menekuk kedua lututnya dan seperti orang yang pok-say berjumpalitan ke
depan.
Akibatnya tak tertahankan lagi Ceng-ci pasti akan menumbuk batang pohon dari
arus melayang tubuhnya yang deras itu. Si gadis menekuk pinggangnya berbalik kakinya
yang akan menjejak batang pohon.
"Crak-crak!..."
Biarpun badan Ceng-ci kecil tapi nyatanya pohon itu tergoyang keras terkena
jejakan kaki si gadis. Banyak daunnya yang berguguran meluruk ke bawah.
Diam-diam Jin-hong mengagumi kegesitan dan keampuhan Iwee-kang gadis itu.
Sekarang "si burung walet" kembali akan menyerbunya. Bukan lagi mengincar
rambutnya, tapi kesepuluh jarinya terbuka akan menggaruk dadanya.
Jin-hong seperti orang kelabakan, tapi Ceng-ci juga seperti menyesal membuka
kesepuluh kukunya yang runcing-runcing. Ia tidak keburu menutup jari-jarinya, dan
"Brett!" lengan baju Jin-hong tersobek panjang.
Kelihatannya Jin-hong seperti tidak sempat untuk menghindarkan diri dari
cakaran itu. Tetapi sebenarnya kalau ia mau bisa saja ia berkelit atau menangkis serangan
ini. Ia merasa cukup mempermainkan anak gadis orang yang berangasan ini. Supaya
Ceng-ci tidak menjadi jengah padanya, ia sengaja membiarkan pundak kirinya yang jadi
korban cakaran orang hingga bajunya sebatas pundak sampai ke pangkal tangan terobek.
Tetapi Ceng-ci juga merasa heran apa sebabnya kuku-kukunya seperti menggaruk
sebuah batu saja, ketika ia hanya berhasil memecahkan baju pemuda itu. Mengertilah ia
Jin-hong tentunya memiliki kepandaian yang sangat tinggi sampaikan kulitnya lecetpun
tidak tergaruk olehnya. Malah kuku-kuku jarinya yang terasa ngilu.
Bukannya ia meminta maaf karena akibat tindakannya baju orang sampai robek,
Ceng-ci bahkan membalikkan badan sambil menangis serta menekap mukanya dengan
kedua telapak tangan.
"Oh.....huuuuuu, kau kejam bisanya mempermainkan orang terus," diantara
selingan isak tangisnya ia menggerutu seakan memarahi Jin-hong, "Kalau kau benarbenar memiliki kepandaian mengapa kau diamkan saja aku sampai memecahkan bajumu!
Apa itu bukan berarti kau menghinaku?...."
Siapa yang tidak menjadi geli mendengar ucapan ini, Jin-hong tertawa terpingkalpingkal sampai menekan perutnya.
"Kau benar-benar lucu, adik Ceng-ci! Dengan merobekkan bajuku bukankah
berarti kau telah berhasil membuktikan bahwa kau memang bukan angin lalu? Kalau
hanya angin mana mungkin dapat merobekkan bajuku begitu saja?" Dengan suara jenaka
Jin-hong seakan mau mengatakan Ceng-ci kini telah dianggapnya sebagai wujud manusia."Tapi kau memang sengaja supaya ayah memarahiku lagi tidak menaruh rasa
hormat pada tamu . . . ." kembali Ceng-ci bersuara tanpa mau membalikkan badan. Ia
masih menangis sedih.
"Tapi siapa yang dapat melihat kejadian ini? Mungkin kalau di hadapan orang
banyak belum tentu aku rela bajuku kena disobek oleh kuku-kuku kau yang runcing itu!"
Dengan mengatakan begitu jelas Jin-hong bukan merasa terkalahkan, tapi ia hanya
mengalah saja pada Ceng-ci.
Mendengar ini Ceng-ci cepat membalikkan badan. Tadi kelihatannya ia seperti
menangis, tapi anehnya sekarang setelah ia memperlihatkan wajahnya sedikitpun bekas
air mata tidak terlihat di matanya. Bahkan dengan mata mendelik ia menuding pada Jinhong.
"Siapa bilang tidak ada yang melihat kekalahan kau?!"
Sambil berkata, tudingannya beralih ke atas pohon di belakang Jin-hong. Jin-hong
cepat berbalik juga dan memandang ke atas pohon. Sebuah bayangan putih sedang
melesat pesat di antara cabang-cabang pepohonan. Bayangan putih itu bagaikan seekor
kera besar dengan lincah sekali berpindah dari satu cabang ke lain cabang menjauhi
mereka.
Pada saat Ceng-ci menundukkan kepala, sedangkan ia berdiri dekat tepian telaga
yang airnya jernih, diantara sela-sela jarinya matanya dapat melihat di permukaan air
sebuah bayangan putih diantara bayang-bayang pohon. Jin-hong sendiri yang tengah
memperhatikan punggung Ceng-ci yang dikiranya benar-benar sedang menangis itu
sampai bergeletaran, tidak dapat melihat ke permukaan air. Ia berada agak jauh dari Cengci. "Siapa kau?!...." Seru Jin-hong dan tubuhnya telah melayang ke atas pohon
mengejar bayangan putih itu. Ceng-ci juga tidak mau kalah ikut mengejar dan naik ke atas
pohon.
Segera terjadi saling mengejar diantara tiga bayangan itu yang mengejutkan
penghuni pohon berupa kera dan burung-burung yang jadi mengeluarkan pekik ramai dan
berhamburan menjauhkan diri dari ketiga mahluk yang dapat bertingkah seperti mereka
di atas pohon.
Jin hong mengerahkan semua kepandaian ilmu ringan tubuhnya. Ternyata ia
masih menang gesit dari yang dikejarnya. Setelah hampir dekat ia seperti mengenali siapa
bayangan putih yang ternyata seperti seorang gadis yang bertubuh jangkung.
"Berhenti!" Kembali Jin-hong berseru keras sambil mengayunkan badannya pesat
sekali yang ia yakin pasti akan dapat menangkap tangan orang itu
Si gadis baju putih tengah dalam keadaan melayang akan menjambret cabang
pohon lainnya, jadi tertahan kena terpegang lengannya oleh Jin-hong. Ia jadi hilang
keseimbangan badannya.
"Kau....... Kun-eng?.........."Jin-hong berseru kaget mengenai siapa yang ditangkapnya.
Selama Jin-hong menginap di tempat calon mertuanya, kedua anak muda ini mulai
bergaul saling mengenal diri. Kun-eng ternyata gadis polos biarpun ia kelihatannya
pendiam. Setelah mulai bergaul dengan tunangannya, keduanya setuju saling memanggil
nama saja, sebab usia mereka juga tidak terlalu berjauhan.
Gadis si baju putih itu memang Him-kun-eng!
Setelah tunangannya berangkat mengikuti Li-kam-hoat ke tempat kediamannya
Ciu-beng-too, Him-kun-eng kelihatannya seperti orang yang kehilangan. Ia mengeram diri
saja dalam kamarnya selama 2 hari dan tidak mau makan.
Kedua orang manya menjadi kuatir, takut kalau sampai anak gadis satu-satunya
jatuh sakit. Thian-lok menyesal juga tidak memesankan pada calon menantunya supaya
segera pulang mengabarkan pada ibunya atas pertunangan ini. Ia juga tahu kalau Kamhoat berkelana tentu akan lupa diri, mana mungkin sahabat mudanya diperbolehkan
begitu saja pulang lagi?
Dapat memastikan Kam-hoat akan terdiam lama di tempatnya Beng-too, ia
berunding dengan istrinya bagaimana baiknya mengatur persoalanPEDANG PENGACAU ASMARA
(Jilid 3)
Karya : OKT A
"BYURRR!.....Oh! ...."
Air telaga muncrat tinggi ketika kedua tubuh itu jatuh serentak ke dalamnya,
disertai seruan kaget yang terlompat keluar dari mulut Ceng-ci yang juga sudah tiba di
atas pohon itu. Ia tidak sempat lagi untuk coba menarik keduanya supaya tidak terjatuh
ke dalam air. Ia tahu air telaga itu biarpun kelihatannya bening dan tenang, tapi
sesungguhnya cukup dalam.
Ceng-ci tidak tahu apakah keduanya dapat berenang atau tidak. Ia biasa bermain
di air telaga itu, karenanya tanpa ragu-ragu lagi iapun menerjunkan diri ke bawah.
Pada saat Jin-hong menyerukan nama Him-kun-eng, ia sendiri sudah melihat jelas
siapa adanya si gadis berbaju putih. Hanya ia herankan mengapa kedatangannya
sembunyi-sembunyi, sedangkan mereka sudah saling mengenal. Tapi ia tak sempat
berpikir panjang.
Ketika tubuh Ceng-ci diterima oleh air, Jin-hong baru saja muncul sambil
mengebaskan kepalanya dan menghirup udara. Ia kebingungan tidak mendapatkan Kuneng di permukaan air. Jelas gadis itu tidak pandai berenang.
Pada saat Jin hong dan Kun-eng masih di udara, Kun-eng berusaha terus
melepaskan lengannya dari pegangan si pemuda. Biarpun Jin-hong mempertahankan
terus pegangannya, tapi setibanya di dalam air, akhirnya Kun-eng terlepas juga.
Cepat ia menyelam. Namun akibat terjatuhnya 3 tubuh, matanya yang dibuka di
dalam air masih belum dapat melihat jelas diantara gelembung-gelembung air yang masih
berbuih-buih. Ia menunggu sejenak sambil terus masuk lebih ke dasar telaga.
Setelah gelembung air menghilang, ia mulai men-cari-cari. Sampai lama ia di
dalam air tak berhasil mendapatkan Kun-eng. Hatinya menjadi gelisah.
Akhirnya Jin-hong kehabisan napas juga, ia mesti naik ke permukaan air sambil
melihat keadaan. Ternyata ia telah berada jauh dari tepian. Baru saja ia hendak menyelam
lagi, ketika terdengar seruan memanggil namanya serta lambaian tangan di tepi telaga
dekat pohon dimana mereka terjatuh tadi. Ia mengenali baju hitamnya Ceng-ci dan dekat
kakinya terkapar sesosok tubuh berpakaian putih.
Tepat baru saja Jin-hong naik ke daratan Kam-hoat dan Beng-too muncul sambil
berlari-lari dari dalam hutan.
"Hai, ada apa ini?" Tanya Kam-hoat memperhatikan ketiganya. "Main-main di
air kenapa tidak membuka pakaian?........"Ceng-ci tidak menjawab, hanya mengangkat dagunya ke arah Kun-eng. Kam-hoat
dan Beng-too yang belum mengerti duduk persoalannya menjadi heran, jelas Kun-eng
pingsan kebanyakan kemasukan air.
"Cepat kau tolong nona Kun-eng, mengapa kau diamkan saja?" Ucapan ini seperti
ditujukan kepada puterinya tapi juga seperti kepada Jin-hong.
Melihat Ceng-ci diam saja, Jin-hong segera bertindak untuk menolong
tunangannya. Pikirannya juga jadi kalang kabut apa sebabnya Kun-eng muncul secara
tiba-tiba. Dari paras muka Kam-hoat maupun Beng-too ia tahu keduanya tentu telah
bertemu sebelumnya dengan Kun-eng Tapi ia belum berani bertanya. Terpenting
menolong Kun-eng mengeluarkan air dari dalam perutnya.
Dalam keadaan demikian ia harus menekan perasaan malunya mengangkat
pinggul tunangannya tinggi setelah lebih dulu tubuh Ku-eng ditelungkapkan. Beng-too
bantu mengurut punggung Kun-eng beberapa kali. Setelah pinggul gadis itu diturun
naikkan, tiba-tiba "Oakkk-byuuuuuuurrrrr......Oh-oh!...."
Kun-eng mulai mengeluh setelah air terkuras semua dari dalam perut yang
dimuntahkannya.
Sambil bekerja Beng-too sambil tersenyum menceritakan maksud kedatangan
Kun-eng yang diutus oleh ayahnya membawa surat. Dijelaskan juga bagaimana isi surat
itu. Jin-hong tidak berkata apa-apa hanya mengawasi pada Kam-hoat yang berlagak tidak
melihat ke arahnya. Mukanya menunjukkan seperti orang yang sedang kesal.
Lain lagi sikap Ceng-ci yang juga turut mendengarkan keterangan ayahnya.
Semakin lama wajahnya jadi semakin pucat, sedikitpun ia tak mengerti kalau Jin-hong
telah bertunangan dengan Kun-eng. Pantas saja kalau Kun-eng jadi mencemburuinya.
Diam-diam hati puteri Beng-too ini bergelora. Sebenarnya ia merasa suka pada Jinhong yang kelihatannya dapat diajak bergaul olehnya.
Sejak ia terjatuh dalam pelukan Jin-hong dalam peristiwa di bawah pohon jambu
itu, ia selalu membayangkan Jin-hong sebagai seorang teman yang baik. Ia merasa begitu
dekat dengan si pemuda. Mau rasanya ia berduaan saja dengan pemuda itu. Tapi kalau
kebetulan berpapasan pandang dengan Jin-hong entah mengapa jantungnya berdebar . Ia


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti hendak menjauhi pemuda yang menjadi tamu ayahnya itu.
Biarpun di luar ia kelihatannya seperti hendak menjauhi Jin-hong, padahal ia
selalu mencari-cari kesempatan supaya dapat mengobrol berduaan.
Begitulah kesempatan itu ia peroleh, tapi sayang Jin-hong sudah ada yang
"memiliki". Ia juga tidak mengerti apa sebabnya setelah ia mengetahui Jin-hong adalah
tunangannya Kun-eng, tiba-tiba perasaan membenci pada Jin-hong bangkit keras. Ia
menyesal tadi hanya berhasil merobekkan baju orang tapi tidak dapat mencakar sampai
terluka.
Tapi ia tidak menyesal telah menolong Kun-eng, sebab ia kenal baik dengan gadis
ini biarpun jarang bertemu kalau tidak kebetulan ayahnya mengajaknya ke tempat Him-thian-lok atau orangtua itu sendiri yang datang mengajak puterinya berkunjung ke
tempatnya.
"Mengapa bajumu sobek, Hong-hian-tit?" Tanya Beng-too yang baru
memperhatikan pecahan di baju Jin-hong, "Sebetulnya apa yang terjadi sampai kalian
bertiga masuk ke dalam air?"
"Ah, tidak terjadi apa-apa. Kami bertiga saling berkejar-kejaran di atas pohon,"
Jin-hong berkata sambil menundukkan kepala. Ia tidak biasa berdusta, tapi ia hendak
melindungi Ceng-ci dari rasa malu atau jangan sampai terkena marah ayahnya kalau ia
berkata sebenarnya. "Bajuku dicakar seekor kera yang jadi marah terganggu
tidurnya......."
Jin-hong tidak meneruskan kata-katanya, sebab ia melihat Ceng-ci mendelikkan
mata kepadanya saat ia melirik. Tentu saja Ceng-ci mendelu dalam hati dirinya
dipersamakan dengan seekor kera! Saking gemasnya ia menggedrukkan kakinya ke tanah.
Tapi Beng-too dapat melihat tingkah puterinya, ia telah dapat meraba tentu ada sesuatu
yang disembunyikan di balik kata-kata Jin-hong. Namun ia tidak berkata apa-apa,
membantu Kun-eng yang sudah bergerak hendak duduk.
Him-kun-eng yang sudah sadar memandang pada kesemuanya. Terakhir matanya
bentrok dengan sinar mata Jin-hong, mendadak ia menggigit bibir bawahnya menahan
rasa ingin menangisnya.
"Kau salah terka, Kun-eng.........." hanya kata-kata ini yang dapat dikeluarkan oleh
Jin-hong yang mengerti perasaan apa yang sedang berkecamuk dalam hati tunangannya.
Tapi Kun-eng tidak meladeninya.
"Aku hanya ingin menguji kepandaianmu berlari di atas pohon, Ceng-ci........"
kata Kun-eng kemudian dengan suara lemah dan senyum yang dipaksakan kepada Cengci, "Eh, gara-gara dia ikut mengejar aku sampai kehilangan keseimbangan badan dan
terjatuh ke dalam air. Bagusnya kau yang tolongi, Ceng-ci, sebab kau tentunya masih ingat
aku paling takut dengan air."
Sebagai seorang yang dididik silat dari masih kecil, Kun-eng memiliki tubuh kuat,
segera saja ia telah dapat memulihkan badan dari rasa lemasnya kebanyakan minum air.
Ia bangun sendiri dan menghampiri Ceng-ci yang juga mendekatinya. Keduanya saling
berpelukan. Jin-hong jadi kemekmek dan tidak mengira kedua gadis itu sudah saling
mengenal dengan baik.
"Hai, mengapa kau jadi bengong saja. Dasar anak goblok!" Tiba-tiba Kam-hoat
membentak pada Jin-hong. "Sudah tahu mertuamu tidak sabaran mau mempercepat pesta
pernikahanmu, kenapa tidak segera lekas pulang beritahukan ibumu?"
"Dari semula juga aku sudah mau mengatakan padamu, tua bangka yang biasanya
suka mengambek kalau kemauannya minta ditemani jalan-jalan tidak diladeni!" Jin-hong
balas memaki Kam-hoat, yang bukannya jadi marah malah tertawa terbahak-bahak.
"Dasar kau anak masih ingusan! Siapa yang suruh kau ikut aku kemari? Apa kau
belum tahu kalau aku sudah bertemu dengan sahabat yang cocok seperti dengan si tua
bangka Beng-too ini sebulan juga bisa jadi aku menetap di sini!" Sambil berkata-kata takhentinya Kam-hoat tertawa sampai mengeluarkan air mata, "Ah, dasar peruntunganmu
bagus, bocah! Tapi tololnya minta ampun! Dapat istri cantik ditambah lagi hadiah
sepasang pedang mustika yang jarang terdapat di dunia persilatan. Mau apa lagi? .. . haha-ha .. . e eh . . . malah lebih mau mengekor padaku . . . ha-ha-ha . . . Apa itu bukannya
goblok! Kalau aku jadi kau, siang-siang hari aku sudah kabur mempersiapkan perbekalan
menikah....."
Ceng-ci terkesiap hatinya mendengar perihal pedang mustika yang tak ternilai
harganya itu. Ia juga sudah mendengar dari ayahnya tentang pedang-bunga-Toh yang luar
biasa. Sedangkan Kun-eng menjadi merah malang wajahnya biarpun Kam-hoat mengejek
Jin-hong tapi sama juga menyindir kepadanya.
"Kalau aku tahu apa isi surat tia-tia tentu aku tidak kesudian kemari. ..." Kun-eng
berkata seperti menggumam, tapi ia menurut ketika Ceng-ci menuntunnya berlalu dari
tempat itu.
Jin-hong jadi serba salah, apakah ia harus mengikuti Kun-eng untuk menerangkan
salah paham itu yang tentu saja tidak mungkin diucapkannya di depan Ceng-ci. Berlalu
begitu saja dan tentu saja ia harus kembali dulu ke rumah Beng-too untuk mengambil
pauwhoknya, berarti ia harus berpisah dengan Kam-hoat. Padahal ia belum lama
berkumpul dengan sahabat tuanya ini. Ia sendiri belum dapat meraba apakah Kam-hoat
berkata dengan sebenarnya ataukah tengah mengambek saja dengannya.
Beng-too hanya tersenyum saja melihat kawannya sedang uring-uringan pada
"murid tidak sah" tapi juga temannya itu.
Pada saat Kam-hoat mulai naik pitam dan lompat niat menghajar bahunya dengan
sepasang tangannya yang terkepal, mengertilah Jin-hong bahwa sahabat tuanya tidak
berkata dusta. Ia memang dianjurkan segera pulang dulu mengabarkan perihal rencana
pernikahan dibulan ketiga itu.
Ia cepat lompat juga menghindari pukulan berbahaya kalau ia main terima saja,
langsung ke dalam hutan dan berlari cepat ke arah rumah Beng-too.
Lewat di muka kamar Ceng-ci ia mendengar suara bercekikikan dua wanita yang
tak salah lagi suaranya Kun-eng dan Ceng-ci, ia sengaja berdehem, suara tawa tiba-tiba
berhenti sendiri. Agak ragu-ragu ia mengetuk pintu tanpa mendapatkan jawaban dari
dalam. Sekali lagi ia mengetuk sambil memanggil nama Kun-eng.
"Mau apa lagi? Tahu di dalam ada wanita sedang tukar pakaian pakai memanggil!"
Terdengar suara Ceng-ci ketus.
"Dasar lelaki mata keranjang. Tahu sudah ada tali pengikatnya, tapi kalau lepas
saja jadi binal!"
Suara Kun-eng yang kiranya bisa jadi kasar juga membikin hati Jin-hong serba
salah, padahal ia ingin berpamitan.
"Kau baik-baik saja, Kun-eng?......"Jin-hong hendak meneruskan kata-katanya untuk minta bertemu sebentar, ketika
terdengar suara Kun-eng seperti marah.
"Aku juga tahu kau mau pergi. Pergi yah pergi, mau tunggu apa lagi?!"
Kemudian terdengar suara tawa dan saling memukul diantara kedua gadis itu.
Mengertilah Jin-hong, kalau dua wanita sudah bertemu akan sukarlah baginya
mengetengahkan dirinya biarpun ia sebagai tunangannya Kun Eng mungkin juga
tunangannya masih belum hilang rasa kecurigaan dan cemburu kepadanya. Tapi mengapa
keduanya seperti tidak ada persoalan apa-apa?
Jin-hong tidak mengetahui, kalau 2 wanita sudah berkumpul dalam satu kamar,
akan lebih ramai keadaannya bila dibandingkan ada 10 pria dalam satu kamar.
Jin-hong hanya dapat mengangkat pundak, lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri
untuk mengambil pauwhoknya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi ia kemudian segera
berlalu dari tempat itu.
Ibu dan adik Jin-hong menerima kabar gembira ini dengan penuh perasaan suka
dan duka. Suka karena Jin-hong mengabarkan bagaimana cantik dan juga pandai silat dari
sang calon istrinya. Duka karena mengingat terjadinya perjodohan ini tanpa dapat
dihadiri oleh ayahnya Jin-hong.
Kalau semula ibunya penuh tertawa, kini ia mengucurkan air mata teringat pada
mendiang suaminya. Kedua anak itu turut menjadi berduka.
Disaat ketiganya sedang berdiam diri, seorang pelayan memberitahu
kedatangannya seorang tamu utusan seorang pembesar dari Liok-an yang ingin bertemu
dengan tuan rumah. Keluarga Cin memang mempunyai hubungan baik dengan pembesar
itu. Pergaulan ayahnya dulu cukup luas.
Jin-hong cepat keluar menemui utusan itu. Pembicaraan keduanya cukup lama.
Setelah tamu itu pergi, ibunya bertanya apa maksud kedatangan utusan itu.
"Pembesar itu meminta bantuanku, ibu," Jin-hong menjelaskan lebih lanjut bahwa
Coa Tikoan meminta ia mengantarkan barang-barang sumbangannya untuk Lauw Sunbu
di Kang-sou di minggu depan yaitu sebagai hadiah shejitnya Sunbu itu. Coa Tikoan
beranggapan tak ada orang lain yang dapat diserahkan tugas ini, lagi pula pembesar itu
mempercayai anaknya keluarga Cin.
"Lalu kau terima pekerjaan itu?" Tanya ibunya kurang senang, sedangkan anaknya
baru saja tiba dari perjalanan.
"Aku tak dapat menolaknya, sebab ia menyebut nama ayah sebagai kenalan baik
pembesar itu." Jawab Jin-hong lebih lanjut.
"Tapi apa kau tidak ingat akan rencana pernikahanmu, koko?" Siau-hong
menyela."Ah, masih jauh hari." Jin-hong tahu ia seperti digoda oleh adiknya, ia mencubit
lengan adiknya yang berlagak kesakitan dan berlari ke dalam pelukan ibunya.
"Dua bulan bukan waktu yang singkat, anakku," kata ibunya sambil mengusap
rambut Siau-hong yang panjang terurai di pundaknya. "Kau tidak memegang pekerjaan
po-piauw (usaha mengawal sebagai expedisi). Mengapa kau terima saja pekerjaan
berbahaya itu. Tanggunganmu berat yang berarti kau mempertaruhkan nyawa juga. Aku
merasa tidak tenteram anakku."
Jie-hong menyesal tadi ia tidak merundingkan dulu dengan ibunya sebelum
memutuskan menerima pekerjaan itu. Ia jadi terdiam. Dalam keadaan begini tampang
Jin-hong kelihatan jelas kedunguannya. Mulutnya terbuka lebar dan mata mendelong
entah memandang apa.
"Karena koko sudah menerima pekerjaan Coa Tikoan, tentunya kita sebagai
keluarga terpandang tidak dapat menelan ludah yang sudah terlanjur jatuh ke tanah."
Siau-hong turut bicara, ia merasa kasihan melihat sikap kokonya. Di samping itu ada
maksud lainnya ia berpihak pada Jin-hong, "Bukan ibu saja yang merasa kurang enak
hati, aku juga merasa demikian kalau koko sampai berangkat seorang diri. Biarlah aku
juga turut mengantar, jadi koko mempunyai pembantu."
Ibunya tidak segera menyahut. Ucapan Siau-hong menurut pikiran orangtua ini
benar juga.
"Tapi bagaimana dengan ibu seorang diri?" Tanya Jin-hong yang kurang
menyetujui adiknya ikut serta.
"Kalau pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang tidak terlalu lama, aku tidak
usah dikuatirkan. Baiklah kalau Siau-hong mau ikut sekalian tambah pengalaman."
Akhirnya nyonya Cin memberikan kata keputusannya.
Coa Tikoan merasa girang melihat bersaudara Cin telah datang siap akan
berangkat mengantarkan barang-barang antarannya.
Pembesar ini tahu masa kanak-kanaknya Jin-hong yang sekarang telah menjadi
seorang pemuda berbadan sedang dan bangun tubuh kekar, tapi sayangnya berparas
seperti orang dungu.
Berbeda dengan Siau-hong, kalau dilihat sepintas hanya sebagai seorang dara yang
berparas cantik dan tubuh ramping. Siapapun tidak mengira kalau gadis ini pandai silat.
Ia jadi agak sangsi pada kemampuan kedua saudara yang akan dipercayakan
mengawal barang-barang antarannya yang amat berharga. Sebab ia sendiri baru
mendengar kabar saja bahwa kedua saudara Cin itu mendapat pendidikan silat-silat dari
jago-jago silat kenamaan.
Pembesar ini barulah agak hilang kesangsiannya ketika melihat sendiri bagaimana
Jin-hong dapat bekerja cepat dan rajin tidak sungkan-sungkan turun tangan bantu angkat
barang-barang yang terdiri dari peti besar dan 3 buntalan barang lainnya.Salah satu peti besar biarpun 5 kuli coba mengangkatnya tidak berhasil
menggeserkannya. Tapi Jin-hong seorang diri bagaikan mengangkat sebungkus kapuk saja
meletakkan di atas kereta gerobak.
Barang-barang antaran yang dimuatkan dalam 2 kereta kuda memang cukup
berharga untuk dikawal oleh orang yang berkepandaian silat tinggi. Terdiri dari 10 butir
mutiara besar, 4 potong baju bulu binatang tiauw, 8 buntal uang emas. Sedangkan peti
paling besar isinya adalah patung gambaran Lauw Sunbu setengah badan yang terbuat
dari batu pualam diukir oleh pemahat yang terkenal di Liok-an. Buat ongkos saudara Cin
itu menerima 300 tail perak. Ketika akan berangkat lebih dulu keduanya di jamu, hingga
untuk pekerjaan itu mereka mendapat penghargaan yang pantas.
Hari itu juga mereka melakukan perjalanan. Mereka cuma disertai dengan 4 orang
pembantu yang mengendalikan 2 kereta. Kereta jalan di muka sedangkan Siau-hong dan
Jin hong dengan berkuda mengiringinya di belakang. Mereka hanya mengaso diwaktu
malam dan di siang hari saja. Seterusnya perjalanan dilanjutkan tanpa mengenal lelah.
Suatu senja iring-iringan kereta yang berisi barang-barang berharga itu tiba di Ceng
liong tin masih termasuk wilajah Hoo-ciu. Seperti biasa mereka mencari hotel untuk
bermalam.
Malam itu mereka berdua duduk mengobrol setelah habis dahar di beranda depan
kamar mereka. Kebetulan hotel sedang kurang tetamunya, mereka dapat memilih kamar
yang baik serta kedua kereta dapat terawasi di depan jendela kamar. Keempat pembantu
yang mengendalikan kereta selalu tidur di dalam tenda kereta.
Tiba-tiba dari luar masuk seorang gadis tanggung menenteng Khim (semacam alat
tetabuhan berbentuk seperti guitar). Badannya kurus kering dan wajahnya pucat. Di
belakangnya mengiringi seorang perempuan bermata besar dan beralis tebal. Berbeda
dengan anak gadis yang berkulit halus, perempuan ini kelihatan berbadan kasar seperti
badan lelaki saja. Jika si gadis berpakaian kumal dan kotor adalah perempuan itu
berpakaian reboh serta berpupur perok.
Gadis itu menjura dengan hormat sambil bersenyum manis seraya mengatakan
akan menghibur kedua tamu hotel dengan nyanyiannya sebagai tanda kehormatan. Jinhong menggelengkan kepala.
Anak gadis itu kelihatan bersedih dan hilang harapan. Siau-hong menjadi iba
hatinya.
"Kau boleh nyanyikan satu lagu," Siau-hong memperkenankannya. Mendengar
ini gadis tanggung itu jadi girang. Cepat ia mainkan alat musiknya dengan lincah. Bibirnya
menyuarakan lagu "Ong-ciauw-kun penasaran."
Lagu itu dibawakan dengan nada sedih.
Siau-hong mengambil uang receh kira-kira sebanyak setail setelah anak itu selesai
membawakan lagunya. Melihat uang itu yang dirasa oleh si gadis terlalu banyak ia jadi
berdiri menjublak, dan tidak berani menerimanya."Jangan begitu banyak, siocia. Cukup kalau aku diberi tiga puluh chi saja."
Katanya kemudian sambil menggelengkan kepala.
Namun belum habis ia merapatkan bibirnya disaat ia bicara, telapak tangan
perempuan di belakangnya telah mampir di pipinya.
"Anak tak kenal budi! Berapa banyak orang mau berikan, terima saja, goblok!"
Maki perempuan itu juga dengan suara keras. Di sudut bibir anak gadis itu akibat
tamparan tadi mulai mengucurkan darah dengan meninggalkan bekas tapak tangan
memerah di pipinya yang putih.
Siau-hong menjadi tidak senang. Ia mengawasi dengan tajatn pada perempuan itu.
"Tindakanmu terlalu bengis!" Bentak Siau-hong mengawasi dengan tajam pada
perempuan pengiring tersebut. Sebaliknya perempuan itu cepat meminta maaf dengan
wajah cengar cengir.
Siau-hong kembali mengambil uang dua tail dan menyerahkan pada perempuan
bengis itu, sambil memerintahkannya keluar sedangkan anak gadis itu ia tahan.
Perempuan itu tidak membantah, tapi ketika ia bertindak keluar ia mengerdipkan
mata pada gadis itu sambil berpesan, "Kau baik-baik di sini! Jangan bicara ngaco dan
jangan bikin tamu hotel tidak senang. Awas kau!"
"Ya," sahut anak gadis itu dengan badan gemetar. Perempuan itu masih menengok
ke belakang ketika ia keluar pintu pekarangan hotel.
Siau-hong memegang pergelangan penyanyi cilik itu dan menariknya mendekat.
Ia melihat tangan yang kurus biarpun kulitnya halus tapi kelihatan tak terawat penuh
bintik-bintik merah dan kudisan. Ia merasa sangat kasihan.
"Ibumukah tadi?" Ia bertanya dengan suara lemah lembut. Si gadis cilik
mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah luar dengan sinar mata ketakutan.
Baru setelah tidak kelihatan perempuan tadi, ia berani memandang Siau-hong
dengan berlinang air mata. Ia hanya mengawasi saja dengan sorot mata mengenaskan.
Kelihatannya waswas dan mulutnya tinggal terkatup rapat. Siau-hong coba
menghiburnya dan membujuknya agar mau menceritakan perihal dirinya.
"Ibuku sudah menutup mata. Begitu juga ayahku." Akhirnya ia mau juga bicara
dengan suara sesenggukan. "Aku anak tunggal kemudian menumpang hidup pada paman
yang ternyata gila judi. Perempuan yang tadi ialah yang membeliku dari tangan paman
dengan harga lima puluh tail perak. Dia yang mengajarku bernyanyi. Sesudah mulai
pandai aku diajaknya berkeliling kota menuntut penghidupan seperti ini. Semua hasil
pendapatan diambil perempuan itu. Tidak kurang galak juga suaminya sering memaksaku
menemani tetamu pria yang merasa penuju padaku semalaman untuk tidur. Pada mula
pertama aku tidak mau dan suaminya yang telah menerima uang seratus tail sebagai
pembayar sewa badanku menghajar aku habis-habisan dan mengancam akan
membunuhku. Aku menyerah. .... dan aku dijadikan sapi perahan terus.....
oh.....huuuu......"Bercerita sampai di sini anak gadis yang malang itu menangis keras. Siau-hong
menjadi terharu berbareng juga gusar. Ia merasa gemas juga pada kokonya yang ikut
mendengarkan seperti angin lalu saja. Jin-hong tenang-tenang berdiam diri tanpa bersuara
dari tadi.
"Kau dengar. Kau lihat, koko!" Kata si nona pada kandanya. "Anak ini belum
berusia lima belas tahun, bagaimana ia telah disiksa sedemikian rupa oleh orang-orang
kejam yang menggantungkan hidupnya dalam diri anak ini. Terlalu! Ia boleh rusak kalau
didiamkan terus."
Jin-hong menghela napas.
"Didunia ini bukan sedikit orang semacam dia. Kita tidak mungkin sanggup
mengurusinya semua." Katanya kemudian dengan tenang, "Kau berikan saja uang lebih
banyak dan suruh dia pulang, habis perkara."
Siau-hong termangu mendengar ucapan kokonya yang dingin dan seperti orang tak
acuh.
"Ah, begitu saja tanggapanmu, koko?"
"Bagaimana dan apa yang hendak kau buat, adikku?" Jin-hong balik bertanya


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat adiknya seperti orang kurang senang.
"Kau lihat saja. Aku akan bertindak sendiri." Lalu ia memerintahkan anak gadis
itu memanggil ibu angkatnya.
Tak lama kemudian perempuan bengis itu telah berada di hadapan mereka.
"Aku bermaksud mengambil anak ini. Di sini ada uang sejumlah lima puluh tail
perak. Kau mau terima atau tidak?"
Siau-hong berkata sambil memandang dengan tajam pada perempuan tersebut.
Perempuan ini kelihatannya keheranan.
"Kau menginginkan anak ini, nona?" Ia sampai menegasi bertanya. "Tapi aku
tidak bermaksud menjualnya."
"Oh, kalau begitu kau menginginkan keuntungannya? Baik, kutambah dua puluh
tail lagi, bagaimana?"
Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak Tidak! Biarpun delapan ratus tail ia tidak sedia kujual!"
Lalu ia tarik tangan anak itu buat diajak keluar. Tapi Siau-hong telah menjambak
baju orang. Dengan suara keras ia membentak. "Kau beli anak ini dengan harga lima
puluh tail perak. Masih bagus kalau ia kau peras dengan disuruh bernyanyi saja. Tapi
dalam usia begini muda sudah kau paksa menemani lelaki di ranjang?! Bagus betul
perbuatanmu! Kau telah berlaku lewat batas perikemanusiaan, mari ikut aku menghadap
pembesar negeri!"Air muka perempuan itu berobah. Ia keder mendengar perkataan Siau hong yang
sangat berpengaruh. Ia kelihatan sedang berpikir.
"Kalau nona suka pada anak ini, biarlah, apa boleh buat," katanya kemudian.
"Tapi nona mesti pikirkan juga bagaimana penghidupan kami berdua suami istri
dikemudian hari. Mana cukup dengan hanya tujuh puluh tail......"
"Baik. Ini kutambah lagi jadi seratus tail." Kata Siau-hong sambil mengeluarkan
sekantong uang sebanyak yang disebutkannya yang dilemparkan ke atas meja. "Sudah
pergi...........!"
"Eh......... tunggu dulu!"
Siau-hong sudah hendak mendupak pantat orang sesudahnya perempuan itu
memindahkan kantong uang dari atas meja ke dalam bajunya, tapi ia batalkan karena
ingat sesuatu.
"Kau harus menulis sedikit keterangan mengenai penyerahan anak ini. Siapa nama
kau dan siapa pula nama anak ini."
Jin-hong tanpa diminta oleh adiknya telah persiapkan alat tulis, diam-diam ia
kagum juga pada kekerasan hati adiknya untuk menolong orang. Ia sendiri sudah terbiasa
melihat banyak kesengsaraan rakyat akibat penindasan bangsa penjajah. Dalam
pengelanaannya bersama Kam-hoat, si kakek banyak menunjukkan kepadanya betapa
kemelaratan merajalela di mana-mana. Kalau tidak keterlaluan sekali Kam-hoat jarang
mau turun tangan menolong orang dalam kesusahan. Tentu saja manusia wajib saling
tolong menolong pada yang sedang dalam penderitaan, tapi sanggupkah mereka berdua
saja turun tangan menolong mereka? Penderitaan yang dialami oleh anak gadis itu
semestinya adalah urusan pemerintah.
Sangat banyak yang senasib seperti gadis tanggung itu. Kalau perempuan bengis
itu sedia menjual anak gadis itu, ia bisa saja kemudian membeli lain anak gadis. Baginya
bukan persoalan sulit. Tapi Jin-hong tidak mau mencegah maksud baik Siau-hong.
"Tanyakan juga nama suaminya," bahkan ia membantu adiknya.
"Suamiku bernama Phoa-ji. Aku sendiri she Cio, dan anak ini bernama Pui-engcia." Jawab perempuan itu.
Dengan cepat Jin-hong telah selesai menulis surat tanda penyerahan anak itu
kepada Siau-hong. Ia minta perempuan itu menandatanganinya. Tapi ia tak pandai
menulis, jadi ia hanya membubuhi cap jempolnya saja. Setelah mana Cio si tanpa
menoleh atau menegur anak angkatnya lalu pergi meninggalkan mereka.
"Kita jadi berabe kalau membawa anak ini," kata Jin-hong sambil mengerutkan
sepasang alisnya.
"Benar juga. Baik, akan kuatur......"
Siau-hong kemudian pergi mencari pemilik hotel.Pada memilik hotel ia minta supaya merawat dan menyediakan kamar khusus bagi
Eng-cia. Semua biaya penginapan dan makannya ia bayar lebih dulu dengan janji anak
itu kelak akan diambil kembali dalam waktu paling lama setengah bulan.
Ia pesan wanti-wanti tidak boleh menyerahkan anak itu kepada siapapun, biarpun
kepada Phoa-ji atau istrinya. Diperlihatkannya pula surat tanda penyerahan anak itu
dengan harga tebusan seratus tail perak, Siau-hong juga mengancam kalau sampai terjadi
apa pada diri anak itu pemilik hotel yang bertanggung jawab.
Mula-mula pemilik hotel keberatan, apabila mengingat ayah angkat Eng-cia atau
Phoa-ji terkenal bertabiat tidak baik. Tapi melihat 3 potong uang emas di hadapannya,
akhirnya ia mau menerima juga, dengan perjanjian selewat setengah bulan ia tidak mau
menanggung risiko jika Siau-hong tidak datang untuk menjemput Eng-cia.
Keesokan paginya Jin-hong telah bersiap akan berangkat, begitu juga kedua kereta
sudah semenjak subuh berada di depan pekarangan. Tinggal Siau-hong yang sedang
memberi beberapa petunjuk pada Eng-cia si adik angkat yang pada mulanya memaksa
akan ikut pada mereka. Tapi Siau-hong dapat memberikan pengertian bahwa perjalanan
mereka berbahaya karena mengawal barang-barang berharga. Barulah setelah Siau-hong
menjanjikan pasti akan menjemputnya dalam waktu paling lambat setengah bulan,
akhirnya Eng-cia mau mengerti juga.
Kira-kira baru berjalan 4 li dari Ceng-liong-tin, rombongan mulai memasuki
daerah pegunungan yang sepi. Angin bertiup dengan keras. Pohon-pohon berdaun lebat
disampok angin menimbulkan suara menderu. Daun-daun yang sudah kering berjatuhan
menerpa wajah mereka. Keadaan ini menyebabkan kuda, mereka tak dapat berjalan cepat.
Diantara kesiur angin Siau-hong yang kurang sabar dan berjalan di muka ia
mendengar suara tangis lirih. Ia lebih mempercepat angkah kudanya melawan arus angin.
Tidak lama kemudian Siau-hong melihat di depannya duduk di tepi jalan di bawah
sebatang pohon seorang wanita berpakaian dari bahan kasar penuh tambalan sedang
merunduk menangis sedih sekali. Kelihatannya ia sampai tidak mengetahui di depannya
telah berdiri seorang nona berkuda.
"Apa yang kau tangisi, nyonya?" Siau-hong bertanya. Wanita sekira berusia tiga
puluh tahun itu tampaknya terkejut dan angkat kepala memperlihatkan mukanya yang
penuh air mata.
"Aku kehilangan anak, siocia," ia menyahut dengan suara serak. "Aku sedang
dalam perjalanan ke Ceng-liong-tin bersama anakku lelaki berusia tujuh tahun. Ketika aku
pergi sebentar ke tepi sungai anakku menantikan di sini. Waktu kukembali ternyata
anakku telah menghilang. Aku berteriak-teriak memanggil namanya sampai serak
kehabisan suara, tanpa hasil. Begitu juga aku sudah berkeliling di sekitar sini........
oh.....huuuhuuh.......anakku telah diculik orang ....Bun-eng... oh....Bun-eng..."
Setelah selesai bercerita wanita malang itu menangis lagi lebih sedih dari tadi.
"Mengapa kau tidak mencarinya agak ke dalam hutan. Mungkin ia bermain-main
di sana dekat pohon karet," Siau-hong menjadi kasihan pada nyonya ini, dan ia turun dari
atas pelananya."Aku takut, siocia," nyonya itu menyahut sambil memandang ke dalam hutan
yang lebat.
"Di sini terkenal banyak binatang liarnya.......oh Bun-eng........celaka benar
nasibmu. Mungkin kita tidak bertemu lagi kalau kau dimakan binatang buas.......uhhuuu,
oh Bun-eng, Bun-eng....."
Sementara itu Jin-hong sudah tiba dengan iringan keretanya. Dengan ringkas
diulanginya cerita wanita itu kepada Jin-hong.
"Kau tunggu di sini, koko. Aku mau mencarinya ke sebelah dalam," kata Siauhong lebih lanjut.
Jin-hong tidak dapat mencegah, tapi juga semakin menghargai adiknya yang selalu
terbuka tangannya menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan.
Belum jauh berjalan sambil terus menerus berteriak memanggil nama Bun-eng,
Siau-hong mulai memasuki deretan pohon-pohon yang rimbun dan penuh dikelilingi
semak-semak belukar. Suaranya bergema di dalam rimba itu.
Siau-hong melihat banyak bekas tapak kaki di tanah, namun bukan tapak kaki anak
kecil. la mulai berasa tidak enak hati dan curiga. Perasaannya yang tajam seperti
memberitahukan bahwa dirinya sedang diintai orang.
Katanya banyak binatang liar, mengapa banyak bekas tapak kaki? Apakah
mungkin bekas kaki-kaki pemburu, atau gerombolan yang menculik Bun-eng? Tapi baik
binatang liar ataupun gerombolan, Siau-hong tidak menjadi gentar. Ia berjalan terus
dengan mata mengawasi ke sekitarnya barangkali saja anak yang bernama Bun-eng
sedang asyik bermain-main dengan daun kering di sekitar situ.
Mendadak seutas tambang menjerat kakinya, Siau-hong terperanjat. Bagusnya ia
dapat mengimbangi tubuhnya agar tidak sampai terjatuh. Ia bergulingan beberapa kali
untuk berdiri lagi di atas kedua kakinya.
Sebatang toya menyamnar pundaknya, ia merasakan kesiur anginnya. Tanpa
berpaling lagi ia menyabetkan lengannya ke belakang.
"Trak! ... Ha?!"
Penyerangnya keheranan karena toya kayunya yang besar itu telah patah menjadi
2 potong ditangkis oleh tangan halus seorang gadis. Ia jadi memandang kesima pada Siauhong. Bahkan tak dapat menggerakan tubuhnya yang telah gemetaran mendapatkan Siauhong sedang mendekatinya dengan sinar mata tajam bersinar bagaikan hendak menusuk
sampai ke dalam jatungnya.
"Siapa kau?" Tanya Siau-hong mambentak. Orang itu tidak menjawab tapi
matanya jadi berjelalatan ke sekelilingnya. Kawan-kawannya yang lain telah keluar dari
tempat sembunyinya dan lantas mengurung gadis itu. Siau-hong mengikuti pandangan
mata orang itu dan ia menghitung pengurungnya yang ternyata ada lima orang yang
berparas rata-rata kejam siap dengan senjata di tangan mengancam pada Siau-hong.Seorang yang berkepala botak mendahului menyerang dengan senjata goloknya ke
arah pinggang Siau-hong. Dari cara menyerangnya Siau-hong melihat orang ini hanya
bertenaga besar tanpa memiliki kepandaian silat yang berarti. Dengan tenang ia
menunggu sampai golok hampir mencapai tubuhnya untuk disentil dengan ujung jarinya.
"Tring!"
Golok itu terlepas dari genggaman si botak dan tubuhnya telah terpelanting
menimpa tubuh kawannya sendiri yang masih saja berdiri kesima tidak yakin berhadapan
dengan manusia biasa yang dapat mematahkan toyanya sekali tebas saja hanya dengan
tangan kosong.
"Ma piauw-ji, Biauw-hay-cu, Cu-kat-siang tunggu apa lagi?!" Si botak dalam
keadaan rebah memberi semangat pada ketiga kawannya yang belum mau menyerang
gadis itu.
Dengan serentak ketiganya menyerang dari tiga jurusan sambil mengeluarkan
seruan, "Ciat-caaaaat!..... Ha-yaaaa....."
Seorang yang bertubuh pendek bergenggaman sepotong sam-ciat-kun menyerang
sambil melompat tinggi. Senjatanya belum sampai menyentuh kulit Siau-hong dirinya
telah terpental kena tersodok perutnya oleh kaki Siau-hong yang telah bekerja. Menyusul
pula yang bertubuh jangkung terpental goloknya dengan pesat dan jatuhnya kebetulan
sekali menimpa kepala si botak yang lantas saja belah dan putus nyawa setelah sekali ia
berteriak kesakitan.
Si jangkung menjadi ngeri melihat kawannya sendiri yang termakan senjatanya. Ia
membalikkan badan dan kabur diikuti oleh si kate. Tinggal kini seorang lagi yang matanya
picak sebelah bekas terbacok sampai ke dahinya. Kelihatannya ia sendiri yang paling lihai
diantara kawan-kawannya. Ia menggunakan senjata tombak yang panjang bercagak tiga
yang amat tajam. la mencari-cari kesempatan kelengahan Siau-hong dengan gigih sekali.
Siau-hong tidak dapat begitu saja meremehkannya, apalagi ia hanya bertangan kosong.
Tombak itu terbuat dari baja tebal dimainkan cukup lincah oleh si picak.
10 jurus telah lewat. Kini Siau-hong telah dapat meraba dimana letak kekosongan
orang.
Ketika kepalanya diserang Siau-hong cepat merebahkan badannya, tapi kakinya
telah menyapu betis lawannya. Tak ampun lagi si picak tersapu roboh sambil melepaskan
tombaknya. Bagusnya Siau-hong tidak mengeluarkan seluruh tenaganya karena menyapu
dengan kakinya dalam keadaan tubuhnya melayang. Si picak hanya terkilir kakinya. Tapi
rasa sakitnya luar biasa, ia merintih-rintih memegangi kakinya.
Kawannya yang pertama tadi sampai menangis keras ketika ia ditarik telinganya
oleh Siau-hong dan dilemparkan ia terhuyung jatuh ke dekat si Picak. Dengan gemas Siauhong mengerahkan tenaga dikedua kakinya berdiri di atas tubuh mereka.
"Ampuni aku, nona," ratap si picak merasakan bagaimana kerasnya injakan kaki
si nona itu. "Ampun . . . Aku hanya orang tolol yang terpedaya oleh kawanku . . ."Apalagi kawannya sudah mengap-mengap kehabisan napas. Ia coba membalikkan
badannya percuma saja, kaki Siau-hong bagaikan sebuah kaki gajah beratnya.
Siau-hong menduga tentunya ada sesuatu jebakan yang telah diatur lebih dulu oleh
kawanan itu. la mengendorkan tekanan di kakinya.
"Cepat katakan siapa kalian, dan siapa yang jadi pentolannya! Kalau kau berdusta
aku tak mau memberi ampun lagi," bentaknya.
"Aku Biauw-hay-cu, nona," jawab si picak, "dia Tio-touw-cu. Yang lain........"
"Aku tidak butuh nama-nama kalian. Yang kumaksud siapa biang keladi kalian!"
Potong Siau-hong cepat. Ia kuatirkan juga Jin-hong yang menantikan di tepi jalan. Jelas
kawanan ini memang sengaja mengatur siasat niat membegal.
"Ya.... baik, nona..... suami istri Phoa-ji yang jadi biang keladinya. Keduanya
mengumpulkan kami dengan maksud balas sakit hati perihal Eng-cia......."
"Bagus kau mau mengaku dengan sejujurnya! Nonamu mengampuni kalian
berdua. Tapi awas kalau sampai saudaraku celaka, kalian akan menerima ganjaran yang
setimpal. Sekarang kalian harus ikut aku melihat ke sana!"
"Baik, nona!" Keduanya menyahut hampir serempak lalu bangkit mengikuti Siauhong. Mereka tidak berani melarikan diri, sebab mereka tahu kalau Siau-hong maui jiwa
mereka dengan mudah saja dapat dilakukannya. Biauw-hay-cu jalan terseok-seok,
kakinya masih terasa sakit. Begitu pula Tio-touw-cu berjalan dengan lunglai dan celana
basah oleh air seninya sendiri.
Siau-hong tidak menunggu mereka, ia berjalan lebih mirip berlari, sebentar saja ia
sudah tidak terlihat lagi oleh kedua bajingan itu. Sadarlah mereka tengah berhadapan
dengan seorang pendekar wanita yang lihai. Mereka semakin jeri.
Keluar dari rimba hutan itu di tempat tadi ia mendapatkan Jin-hong tidak kurang
suatu apa. Tapi kelihatannya ia gelisah dengan mata memandang ke dalam rimba dimana
tadi Siau-hong masuk.
Kemudian keduanya saling memandang rasa girang karena sama-sama sudah
selamat. Di pohon di mana tadi perempuan yang menangisi "anak yang hilang" telah
tertambat 4 orang termasuk perempuan itu.
Jin-hong memberi tanda pada adiknya ke arah keempat tawanannya. Siau-hong
jadi gegetun. Diantara tawanan-tawanan itu terdapat. Cio-si "ibu angkatnya" Eng-cia.
Salah seorang diantara kedua lelaki itu, tentu adalah Phoa-ji yaitu suami Cio-si.
"Hm, siasat busuk dari bajingan-bajingan rendah!" Maki Siau-hong, kemudian ia
menuturkan pada kakak kandungnya perihal kawanan Biauw-hay-cu yang telah
mengepungnya.
Baru saja Siau-hong selesai dengan penuturannya, Hay-cu dan Touw-cu
mendatangi dengan wajah semakin pias melihat kawan-kawannya yang lain dalam
keadaan terikat. Keduanya cepat berlutut di hadapan Siau-hong dan Jin-hong."Kalau mereka begini jahat, kita jangan beri ampun lagi!" Kata Jin-hong siap
dengan pedangnya.
"Ampun, tay-hiap .... Oh, jangan kami dibunuh! Tobat. . . .saya bertobat, tidak
berani berbuat jahat lagi....." Cio si meratap, sedangkan yang lainnya menundukkan
kepala tidak berani memandang kepada kedua pendekar itu.
"Menurut pendapatku, biarlah sekali ini kita beri ampun pada mereka. Kalau nanti
kita mendengar kebusukan mereka barulah kita cabut nyawa mereka." Kata Siau-hong
sambil menghampiri tawanan itu. Sekali renggut saja tambang pengikat mereka telah
terlepas. "Nah, sekarang kalian boleh berlalu, dan ingat kata-kataku! Dan cepat pergi dan
sana urus kawan kalian yang terbunuh oleh temannya sendiri!"
Semuanya berlutut sambil mengucapkan terima kasih dan memberikan janji akan
menuruti kata-kata Siau-hong. Mereka masih juga dalam keadaan berlutut biarpun Jinhong dan iringan keretanya telah berbelok di ujung jalan.
Siau-hong tidak menanyakan lagi perihal bagaimana kakaknya telah menawan
Cio-si dan lain-lainnya, sebab ia sudah menduga dari semenjak menghajar bajinganbajingan di dalam rimba itu, tentunya Phoa-ji dan kawan-kawannya akan mengepung
kereta.
Rombongan telah memasuki propinsi An-hui terus melewati propinsi Kang-sou.
Suatu hari tibalah mereka di kota Kim-leng. Di sana mereka mencari keterangan dimana
letak gedungnya Lauw Sunbu. Ternyata pembesar itu berumah tinggal di Souw-ciu. Kimleng hanya tempat berkantornya. Untuk sebulan lamanya pembesar itu cuti sekalian untuk
merayakan shejitnya.
Jin-hong tidak memperlambat perjalanan lagi langsung menuju kota Souw-ciu
yang lebih dikenal sebagai kota peristirahatan.
Jin hong dan Siau-hong gembira dapat menyelesaikan tugas dengan baik, sebab
selama di perjalanan tak ada gangguan kecuali sedikit kerepotan yang ditimbulkan oleh
Phoa-ji yang tak berarti itu. Juga dapat tiba lebih cepat dari waktunya, masih 2 hari lagi
tiba ke hari pestanya.
Kedatangan mereka disambut dengan baik begitu Jin-hong menyerahkan suratnya
Coa Tikoan. Lauw Sunbu masih termasuk sanak dengan Coa Tikoan. Membaca surat
yang menjelaskan juga siapa pengantar barang antaran yang sangat berharga itu,
keduanya dipersilahkan masuk tanpa memakai banyak tata cara lagi.
Jin-hong menampik dengan sangat ketika Lauw Sunbu meminta bermalam di
rumahnya sampai pesta selesai. Dengan beberapa alasan ia tetap berkeras pamitan setelah
menerima sedikit balasan surat untuk Coa Tikoan. Tetapi entah mengapa pembesar itu
tidak segera membuatkan surat balasannya. Bahkan ia masuk ke dalam dan keluar lagi
dengan membawa uang 50 tail emas! Jin-hong sampai terperanjat melihat uang sebanyak
itu yang segera diangsurkan kepadanya.
"Terimalah sedikit uang ini, Cin-busu, sebagai tanda terima kasihku atas cape lelah
kalian berdua mengawal barang antaran ini," kata pembesar itu kemudian.Mula-mula Jin-hong menolak pemberian itu, tetapi karena pembesar itu terus
memaksa ia terpaksa menerimanya juga. Yang diherankan pula olehnya, Lauw Sunbu
menghadapi pestanya kelihatan tidak begitu gembira. Wajahnya penuh kegelisahan dan
tertawanya selalu seperti dipaksakan.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari jauh datang mengapa membuang kesempatan untuk tidak menikmati
pemandangan alam yang indah di sini? Baiklah, kalau Cin busu menolak bermalam di
sini, di kota ini banyak penginapan yang baik. Sekarang aku belum sempat menulis
balasan surat, baiklah kalian pesiar saja beberapa hari di kota ini."
Jin-hong tak dapat memaksa orang yang enggan membuat surat balasan. Tapi ia
harus mendapatkan surat itu sebagai bukti barang-barang telah selamat diantarkannya.
Keduanya tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, mereka habiskan waktu yang 2
hari itu dengan pesiar kesana kemari menikmati pemandangan alam yang benar-benar
indah dan hawa pegunungan yang sejuk. Sedangkan keempat pembantunya telah pulang
dengan kereta kudanya.
Tibalah pada tanggal yaitu hari pesta ulang tahun pembesar Lauw itu. Tapi
anehnya mendadak saja diumumkan pada tamu-tamu yang sudah banyak berdatangan
bahwa pesta dibatalkan dan semua tamu ditolak kedatangannya untuk memberi selamat.
Diberitahukan juga Lauw Sunbu mendadak saja jatuh sakit.
Kedua saudara Cin tidak memperdulikan perihal itu, yang terpenting surat balasan
harus dimintanya. Pagi itu juga mereka sudah berada di depan gedung pembesar tersebut.
Ketika keduanya masuk, hampir saja Jin-hong bertabrakan dengan seorang
penjaga gedung yang berlarian dari jalan tergesa-gesa.
Penjaga itu mengawasi Jin hong dan ia mengenalinya. "Tuan tentunya Cin-busu
dari Liok-an", ia menegasi.
Jin-hong menganggukkan kepala. Dengan hampir berbisik ia mengatakan justeru
ia diperintahkan oleh Lauw Sunbu untuk mencarinya karena ada suatu urusan penting. Ia
merasa heran atas undangan itu tapi berbareng juga girang yang berarti ia dapat segera
bertemu dengan Lauw Sunbu.
Sambil berjalan masuk dengan diantar penjaga itu Jin-hong bertanya ada hal
apakah hingga kelihatannya sibuk sekali dan juga mengapa pesta sampai dibatalkan.
"Jiwi akan ketahui sendiri setelah bertemu dengan Lauw Sunbu. Saya tak dapat
bercerita banyak," jawab penjaga itu dengan suara agak sedih.
Tidak seperti semula kedatangannya diterima di ruang tamu, sekarang mereka
masuk terus jauh ke dalam ruangan tengah.
Ketika mereka tiba disatu pintu model seperti bulan sabit yang disebut Goat-tongmui, mereka berada di satu ruangan yang menghadap pada sebuah kamar yang indah
sekali panjangnya. Di mukanya dijaga oleh 2 pengawal dengan senjata terhunus. Kedua
pengawal pintu dihampiri oleh penjaga rumah dan ia menerangkan siapa Jin-hong dan
Siau-hong."Silahkan masuk, Cin-busu, sedangkan nona tunggu saja di sini. Tayjin sedang
menunggu tuan di kamar Yangpek-sanpong," salah seorang pengawal itu berkata. Siauhong sendiri enggan masuk ke dalam kamar yang mengeluarkan bau wewangian itu, ia
menurut dan mengambil tempat duduk di ruang tunggu.
Yangpek-sanpong adalah sebuah kamar dengan ruangan luas yang besar dihias
tetanaman pot seperti pohon cu dan bwee. Begitu Jin-hong melangkahkan kakinya masuk
ke dalam kamar ia merasakan hawa hangat yang datangnya dari tempat perapian di
bawah dinding di sampingnya.
Duduk dekat perapian Lauw Sunbu memakai mantel yang indah berdiri dengan
tangan memegang sebuah sapit yang dipakai untuk mengorek borah menyingkirkan
abunya. Jin-hong mendekat sambil memberi hormat dan kata-kata selamat.
Sunbu tersenyum dan lekas menghampirinya serta memegang lengannya yang
ditarik ke arah sebuah kursi, seraya berkata, "Jangan banyak pakai peradatan, Cin-busu.
Mari duduk."
Wajah pembesar itu tampak sangat berduka, tapi menerima kedatangannya,
sedikit warna cerah terbayang di dahinya.
"Tayjin. Ada urusan apakah tayjin mengundangku?" Jin-hong mendahului
bertanya melihat Lauw Sunbu masih terdiam diri saja setelah ia menempatkan pantatnya
di kursi.
Lauw Sunbu memasukkan tangannya ke dalam saku baju mantelnya dan
mengeluarkan sebentuk boneka anak-anakan yang kecil sekali.
"Busu sebagai orang Kang-ouw tentunya pasti mengenali siapa orangnya yang
mempunyai tanda pengenal ini," katanya dan menyerahkan boneka itu pada Jin-hong.
Jin-hong memeriksa boneka anak lelaki yang bagus dan rambutnya sebelah kiri
ditempeli hiasan kupu-kupu dari kain kuning. Ia menganggukkan kepalanya.
"Aku dapat mengenali pemiliknya......"
Jin-hong menerima boneka kecil itu yang diperhatikan dengan seksama, "Apa
tayjin kehilangan barang?"
Wajah Lauw Sunbu mendadak berobah merah, ia memaksakan suaranya sambil
menundukkan kepala, "Aku tidak memikirkan jika yang hilang hanya sebuah barang
biasa. Justru yang hilang ialah Souw-si, gundikku....." kemudian Lauw Sunbu angkat
kepala, "Biarlah aku berkata terus terang padamu, busu. Gundikku itu paling kusayang
dan tak pernah berpisah dari sampingku. Sekarang ia dibawa lari orang yang
meninggalkan tanda ini. Bagaimana aku tidak jadi bersusah hati! Ia dibawa kabur sudah
seminggu lamanya, jadi ketika kau datang kejadian itu sudah lewat. Aku sudah berusaha
sendiri tapi orang-orangku tak berhasil mencari jejaknya........"
Jin-hong kelihatan terperanjat karena tidak menyangka yang hilang adalah seorang
manusia. Sementara itu Lauw Sunbu tengah mengawasinya dengan penuh perasaan
mengharap minta bantuan."Itulah sebabnya aku sengaja mencari alasan menahanmu dengan tidak atau
belum membuatkan surat balasan untuk Coa Tikoan. Percayalah, besar sekali jasa busu
jika kau dapat menolongku dalam hal ini. Bagiku cukup asalkan Souw-si dapat
dikembalikan padaku dan aku sedia tidak menuntut pada penculiknya. Dapatkah busu
menolong?"
Kalau pada mulanya Jin-hong mengira akan mendapat tugas berat, kini ia menjadi
lega hati mendengar kata-kata kelanjutan pembesar itu.
"Aku tidak berani menjanjikan pasti berhasil atau tidaknya, sebab aku belum dapat
meraba dalam hal ini apakah ada hubungan gelap . . .Oh maaf tayjin, ya, seberapa bisa
aku akan berdaya . . . ."
Jin-hong terlepas bicara dengan jalan pikirannya yang menduga jangan-jangan
Sauw-si memang mempunyai hubunpan gelap dengan "penculiknya". Ia harus
menyelidiki, sebab jika urusan cinta ia tak dapat turut campur tangan.
"Tidak! Aku yakin Souw-si telah diculik dengan paksa. Ia menyayangiku, aku tahu
sendiri. Kuharap busu dapat menyimpan rahasia kejadian peristiwa ini......"
Sinar kegirangan terbayang di wajah Sunbu dan ia mengambil uang sebanyak 200
tail perak dari dalam lemari diserahkan pada Jin-hong untuk ongkos perjalanan
menyelidiki penculikan itu. Jin-hong dan Siau-hong diantarnya sampai pintu depan.
Sambil jalan Sunbu mengatakan perihal surat balasan untuk Coa Tikoan akan disuruh
orang lain menyampaikannya.
Di tengah jalan menuju ke hotelnya Siau-hong menanyakan ada urusan apa Jinhong sampai lama sekali bercakap dengan pembesar itu. Dengan ringkas Siau-hong
menerima penjelasan dari kokonya.
"Kau akan kuantar pulang dulu," kata Jin-hong lebih lanjut. "Sudah cukup lama
kita meninggalkan ibu. Juga kasihan pada Eng-cia adik pungutmu itu."
"Jauh-jauh kita pergi bersama," kata Siau-hong sambil mesem, "Mengapa
sekarang kita harus membuang waktu untuk pulang dulu?"
Mereka telah tiba di hotel dan cepat masuk kamar membenahi perbekalan mereka.
"Apakah koko sudah tahu siapa penculiknya?" Tanya lagi Siau-hong sambil
mengikat pauwhoknya.
"Kalau aku tidak tahu mustahil aku berani menerima tugas ini," sahut Jin-hong
sambil tertawa dan akhirnya ia tidak berkeberatan adiknya ikut serta mencari penculik
itu." Ia adalah orang yang telah terkalahkan oleh Kun-eng waktu , . . gakhu ... eh di pesta
shejit ayahnya . . ."
Jin-hong menjadi malu di hadapan adiknya menyebut Thian-lok atau calon
mertuanya dengan gakhu (ayah mertua), bagusnya Siau-hong berdiam diri saja.
The-pek bergelar Hunbian Longkun, setahu bagaimana ia bisa datang kemari
untuk menculik gundiknya Lauw Sunbu. Ia memang terkenal buaya . . apalagi kalau yang
cantik!" Kata Jin-hong."Lalu bagaimana caranya koko hendak perbuat setelah dapat mencarinya?" Tanya
Siau-hong lagi.
"Pertama-tama aku akan bicara baik-baik. Bila ia berkepala batu barulah aku
menggunakan cara kekerasan."
"Kalau ia sebagai pecundang enso, aku tidak merasa kuatir. Sekarang dimana kita
mesti mencarinya?"
Jin-hong berlaga seperti hendak memukul adiknya yang mengucapkan panggilan
enso pada Kun-eng tunangannya dengan mata mengerling menggodanya. Siau-hong
lompat menjauh sambil tertawa.
"The-pek tinggal di Sam-bun-tauw di Engkang, Ciatkang. Kita harus menyusulnya
kesana."
Ketika itu juga mereka berangkat setelah menyelesaikan pembayaran hotel.
Nama The-pek cukup terkenal di Engkang, tidak begitu sulit mencarinya.
Pekarangan rumahnya luas ditanami pohon besar. Kedua bersaudara Cin datang sebagai
tamu yang baik. Jin-hong mengetuk pintu gerbang yang terkunci. Seorang penjaga pintu
keluar menyambut. Dari dalam terdengar ramai gonggong anjing mengiringi atau
menyambut ketukan di pintu.
"Apa ini rumahnya The-koan-ji The-pek?" Tanya Jin-hong ramah.
Penjaga itu membenarkan dan mempersilahkan kedua tetamu untuk masuk.
Tak lama kemudian The-pek muncul. Ia menyambut kedua tamunya dengan
kikuk. Apalagi pada Jin-hong yang sudah dikenalnya sebagai saingannya memperebutkan
Kun-eng. Namun kepada Siau-hong ia mengawasi dengan sinar mata jalang. Jin-hong
cepat memperkenalkan adiknya. Mereka masuk ke dalam ruang duduk.
The-pek masih terbayang peristiwa pibu di tempatnya Thian-lok. Ia gagal
mempersunting Kun-eng yang cantik dan lihai sekali kepandaian silatnya yang ternyata
berhasil merobohkannya. Ia juga tahu Jin-hong diakui sebagai pemenangnya, kini
sikapnya pada Jin-hong jadi dingin. Tapi kepada Siau-hong sebentar ia melirik dengan
sinar mata nakal. Siau-hong membalasnya dengan mendelikkan mata. ia tak mau
memberi hati.
Jin-hong juga merasakan sambutan yang tidak menggembirakan ini, tapi ia
paksakan diri tertawa sambil bicara urusan Kang-ouw. Barulah kemudian ia menuju ke
persoalan sebenarnya menyebabkan mereka berdua datang ke situ.
"Toako benar-benar keterlaluan!" Tiba-tiba The pek menjadi marah dan ia
menuding pada Jin hong. "Toako begitu berani sembarang menuduhku. Apa itu bukan
pertanda kau tidak memandang sebelah mata padaku?......"
Jin-hong sudah dapat membade memang The-pek orangnya yang jadi penculik
Souw-si. Tapi ia masih ingin tahu apakah Souw-st ikut pada The-pek secara sukarela atau
tidak."Hiantee benar-benar keterlaluan!" Jin-hong balas menuding pada The-pe.k. Ia
dipanggil sebagai "toako" yang mungkin dianggap sebagai lebih tua, ia terpaksa
memanggil "hiantee" pada The-pek. "Kau begitu berani mengambil seekor kutu dari atas
kepalanya harimau."
"Aku tidak mengerti kemana tujuan kata-katamu itu saudara Cin!"
Kemudian The-pek yang mulai tidak mengindahkan Jin-hong berubah panggilan,
serta berbangkit dan memperlihatkan wajah marah, Jin-hong tidak banyak cakap lagi. Ia
mengeluarkan boneka kecil dari dalam sakunya. Melihat boneka itu The-pek tidak
menjadi kaget, ia bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha-ha.....untuk urusan ini kalian jadi budak pembesar anjing penjajah itu?!"
The-pek tidak jeri pada Jin-hong biarpun ia tahu Jin-hong adalah pemenang pada pi-bu
dengan Kun-eng. Ia mau percaya Kun-eng memang sengaja mengalahkan dirinya saja,
sebab gadis itu rupanya sudah tertarik pada Jin-hong yang bertampang kedungu-dunguan
ini. "Jangan kau pengaruhi aku dengan menyebut nama pembesar itu. Aku tidak takut!
Sebaiknya kau jangan campur tangan dalam hal yang tak ada sangkutannya denganmu,
orang she Cin!"
Sikap The-pek menantang sekali, tapi Jin-hong tenang-tenang saja di kursinya.
Siau-hong sendiri sudah berdiri juga bersiap siaga.
The-pek jadi serba salah menghadapi kedua tamu yang semestinya dihormati ini.
Sesungguhnya tak ada alasan baginya untuk bersikap kasar pada Jin-hong. Tapi hatinya
panas, karena Jin-hong adalah saingannya dalam memperebutkan Kun-eng yang sudah
lama diincarnya.
Ia mencari jalan untuk memanaskan hati orang, "Berapa kau terima dari Sunbu itu
kalau kau berhasil mendapatkan kembali Souw-si, orang she Cin?........"
"Bagiku bukan persoalan uang datang kemari, hiantee Kalau benar kau yang
menculiknya mengapa harus putar lidah segala?" Balas kata Jin-hong tetap dengan suara
halus. "Apakah kau mengambil gundik orang untuk kau jadikan istri sendiri ataukah
hanya datang dari rasa keisenganmu saja? Cepatlah panggil keluar Souw-si, aku ingin
menanyakan apakah ia ikut denganmu secara paksa atau cara kekerasan! Lebih baik
kau........."
Belum habis ucapan Jin-hong, The-pek telah menendang meja di hadapannya
dengan harapan meja itu akan menimpa badan Jin-hong. Herannya ia melihat Jin-hong
sedikitpun tidak bergeming biarpun meja itu akan menghajar kepalanya.
"Prakkkk!......"
Bukan Jin-hong yang roboh terhajar, tapi meja yang terbuat dari kayu keras itu
yang jadi terbelah dua persis di bagian tengahnya. Mengertilah The-pek bahwa Jin-hong
memang lihai dan termasuk seorang ahli Iwee-kang yang tinggi."Kuharap janganlah kau turunkan tangan lagi, hiantee," kata Jin-hong sambil
tersenyum manis. "Sedikitpun aku tidak memandang enteng padamu biarpun kau telah
terkalahkan oleh nona Him......."
The-pek jadi semakin gusar merasa dirinya disindir. Tapi ia mulai merasa jeri pada
Jin-hong.
"Sebaiknya kau kembalikan Souw-si. Urusan tidak ditarik panjang lagi, begitu
pesan Lauw Sunbu padaku yang minta ditolong disampaikan padamu, hiantee," Jin-hong
melanjutkan kata-katanya.
"Kau benar juga, Cin-toako," suara The-pek berobah lunak, tapi diam-diam ia
mencari akal untuk mencelakai lawan."Aku minta maaf...... baiklah sebentar aku akan
memanggilnya!........"
Siau-hong mengira The-pek akan memanggil Souw-si, ia jadi senang, mengetahui
The-pek telah mengalah.
Namun The-pek undur ke belakang sedangkan kedua jarinya dimasukkan ke
dalam mulutnya. Siul panjang terdengar. Dari arah dalam terdengar suara gerubukan.
Kemudian The-pek berlari ke dalam.
Keduanya jadi heran, dan belum mengerti apa yang akan terjadi setelah The-pek
berbuat demikian. Keduanya cepat mempersiapkan pedangnya, dan Jin-hong juga berdiri
melihat ke arah dalam.
Dalam waktu singkat dari arah dalam keluar sambil berlompatan delapan ekor
anjing besar yang kelihatannya ganas sekali dan bagaikan singa lapar mereka menerkam
pada kedua tamu yang ditunjuk oleh The-pek.
Kedelapan anjing itu menerjang serentak sambil memperlihatkan gigi-gigi
taringnya yang besar dan runcing.
"Hati-hati adikku!" Seru Jin-hong seraya memainkan pedangnya. Siau-hong
sendiri telah lompat ke atas genteng. Seekor anjing coba lompat mengejarnya. Tapi anjing
itu telah tersabet pedang Siau-hong jatuh bergulingan ke tanah terkaing-kaing. Kawannya
coba melompat juga dan ia kembali roboh menyusul arwah anjing yang pertama.
Tetapi anjing-anjing itu rupanya bandel juga. Dengan cara menunggu di tepi
genteng Siau-hong sendiri berhasil membereskan ekor, sedangkan sisanya yang 3 telah
terbabat putus badannya oleh Jin-hong.
Ketika mereka mencari The-pek ternyata tidak berada di tempatnya tadi.
"Mari kita masuk," Jin-hong mengajak adiknya buat mencarinya ke dalam gedung
yang besar itu.
Di pertengahan rumah keduanya berpapasan dengan seorang wanita tua yang
rambutnya telah memutih semua. Sedangkan jalannya dipimpin oleh 2 perempuan muda.
Rupanya mata orang tua itu masih awas. Ia menyambut kedua anak muda itu dengan
memberi hormat."Cucuku memang kurang ajar. Ia telah berbuat kesalahan tentunya pada jiwi.....
Dengan ini aku minta jiwi sudi memaafkannya," kata orang tua itu kemudian. Kedua
saudara itu menduga tentu orang tua adalah neneknya The-pek, yang kemudian
menangis. Jin-hong lantas menerangkan apa sebabnya mereka mencari The-pek, dan juga
bagaimana mereka telah disambut dengan kedelapan anjing-anjing galak itu.
"Anak celaka! Semakin lama ia semakin gila!" Orang tua itu memaki panjang
pendek, seakan cucunya ada di hadapannya, "Ah, benar-benar anak edan berani bawa lari
gundiknya Sunbu Tayjin! Lekas panggil dia kemari!"
Kedua pembantu itu bergegas masuk ke dalam setelah mendudukkan "asuhannya"
itu. "Bagus perbuatanmu, binatang!" Orang tua itu memaki dengan sengit kepada Thepek yang telah datang lantas berlutut di hadapannya. The-pek bahkan tidak berani berkelit
atau berkisar ketika nenek itu memukulkan tongkatnya di tubuh cucunya ini. "Kau mau
bikin aku mati berdiri kejengkelan ya? Lekas katakan dimana kau sembunyikan gundiknya
Lauw Sunbu itu. Kalau masih kau sembunyikan lekas serahkan pada Cin Kongcu!"
"Benar Pek yang menculiknya . . .ta . . .pi sekarang ia tidak ada padaku lagi......"
jawab The-pek dengan suara agak gemetar. Kelihatannya ia menakuti wibawa neneknya
dan ia sangat menghormat sekali. Lebih lanjut The-pek menceritakan perihal penculikan
itu. Ternyata The-pek menculik Souw-si bukan untuk kesenangannya sendiri. Ia
melakukan pekerjaan itu atas suruhan orang. Untuk itu ia memperoleh hadiah 5.000 tail
perak.
Souw-si bukan berasal dari keluarga baik-baik. Nama sebenarnya Souw-keng-hong
dan adalah seorang bunga raya (hampir sejenis hostess jaman kini atau geisha di Jepang!).
Tapi sayang sekali ia bukan sekedar pelipur lara para tamu-tamu di sebuah kapal pesiar di
sungai Cin-hoay yang terkenal itu.
Ia memang sangat dikenal sebagai "kembang" yang pandai sekali melayani setiap
pemujanya. Selain pandai bernyanyi dan memainkan macam-macam alat tetabuhan ini
juga dapat memasak makanan yang lezat-lezat. Dengan bayaran cukup tinggi ia bersedia


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan pelayanan memuaskan semalam suntuk.
Seorang siu-cay (mahasiswa) yang telah melakukan pelanggaran hukum bernama
Kee-koan-khoan dalam pelariannya mengembara dengan membawa banyak uang dari
hasil penipuannya suatu saat tiba di kapal pesiar itu dan mendapatkan pelipurnya si
"kembang" itu. Mendapatkan Keng-hong yang begitu luwes dan pandai memikat hati
laki-laki timbul pikirannya yang bagus. Dengan tebusan harga yang amat mahal pada si
germo, Keng-hong diajaknya menghadap Lauw Sunbu. Pembesar itu disogoknya dengan
wanita cantik itu. Demikian ia berhasil terhindar dari ancaman hukuman berat, bahkan
dibebaskan berkat kepandaian Lauw Sunbu yang membelanya dengan memutar balikkan
perkara penipuan itu.
Dilain pihak berita tentang kecantikan dan kepandaian melayani dari Souw-kenghong itu telah sampai juga ke telinganya Keng-eng, seorang pemimpin bala tentara di
Hang-ciu. Keng-eng termasuk jenderal hidung belang yang tertarik pada berita itu. Laluia memerintahkan bawahannya membawa sejumlah uang untuk menebus Keng-hong.
Tapi suruhannya kembali dengan tangan kosong, ia terlambat sehari dari Koan-khoan.
Bukan main mendongkolnya jenderal itu, tapi ia tidak putus harapan walaupun
gadis itu berada dalam gedungnya Lauw Sunbu di Kang-sou. Ia memikirkan daya untuk
merebutnya.
Di bawah perintah Keng-eng bekerja seorang she The yang masih pamannya Thepek. Ketika The-pek kebetulan mengunjungi si paman ini menceritakan perihal tergilagilanya Keng-eng pada Keng-hong.
"Kalau ciangkun itu menghendakinya, aku sanggup menculik Keng-hong!" Kata
The-pek menyombongkan diri.
Si paman menjadi girang dan ia lantas mengajak The-pek menghadap
pemimpinnya. Keng-eng menyatakan persetujuannya dan menjanjikan pada pemuda itu
hadiah sebesar 5.000 tail perak bila berhasil.
Sebenarnya The-pek bicara tidak bersungguh-sungguh, namun disebutkannya
jumlah hadiah sedemikian besar ia terangsang juga. Ia dijamu makan oleh Keng-eng yang
hatinya sudah tak sabar lagi. Ia sampai lupa jumlah uang hadiah yang harus disediakan
The-pek jika berhasil menculik Keng-hong bukanlah sejumlah uang sedikit, tentu saja ia
sebagai pembesar ia harus membuktikan janjinya. Tapi baginya mendapatkan sejumlah
uang itu bukan soal sukar, asalkan buah hatinya yang sudah lama dirindukan biarpun baru
mendengar dari mulut orang saja dapat menjadi miliknya.
The-pek dapat bekerja dengan berhasil tanpa rintangan sedikitpun. la berhasil
masuk ke kamar Souw-si, kemudian di hidungnya diciumkan semacam obat pemulas.
Setelah Souw-si tak sadarkan diri lagi dimasukkan ke dalam karung yang telah
disediakannya. Malam itu juga ia berangkat langsung ke Hangciu dengan menggunakan
perahu yang disewanya.
Di dalam perahu Souw-si dibuatnya sadar, dan diancam oleh The-pek yang
kemudian menjelaskan perihal nasib dirinya yang dirindui seorang jenderal Boan yang
berkuasa di Hangciu.
Sebenarnya bagi Souw-keng-hong yang memang telah dididik khusus untuk
menyenangkan setiap pria yang menyukainya, tidak ambil perduli pada siapa saja ia
dikuasai asalkan hidupnya dapat terjamin Semakin laki-laki dapat menimbuninya dengan
perhiasan emas mutu manikam ia bergairah membuat setiap laki-laki merasa berada di
dalam sorga.
Ia bahkan tersenyum ketika The-pek menjelaskan jenderal Boan itu orangnya
masih muda dan gagah tidak seperti Lauw Sunbu yang sudah berusia lanjut. The-pek lupa
dengan wanita macam apa ia berhadapan. Keng-hong tidak ambil pusing apakah laki yang
menginginkan tubuhnya muda entah tua keriput entah jelek atau cakap, hatinya tak
mengenal arti cinta. Ia cinta hanya pada laki-laki yang beruang.
Bahkan ia telah membuat The-pek tergiur juga melihat ketenangan Keng-hong
yang memandangnya sambil tersenyum manis. Keng-hong memang seorang wanita
cantik."Jangan kuatir kongcu, aku tidak akan berteriak atau meronta sepanjang
perjalanan kita ke Hangciu. Bagiku tak ada bedanya dalam kekuasaan siapa saja asalkan
hidupku dapat terjamin dan tidak sampai disia-siakan. Hanya syaratku, jika setiap pria
telah bosan padaku tolonglah aku dikembalikan pada asalku di sungai Cin-hoay........."
Perkataannya teratur dan lembut serta enak didengar telinga. The-pek menghela
napas, setelah membukakan ikatan Keng-hong ia sendiri kemudian merebahkan diri.
Kelelahannya dapat juga mengatasi gejolak hatinya. Ia sendiri termasuk lelaki senang
tubuh molek wanita macam mana saja, tapi ia takut kalau ia berbuat menuruti hatinya,
kuatir Keng-hong nanti akan mengadukannya pada jenderal Boan itu. Jangankan hadiah
yang diperolehnya mungkin hukuman berat yang akan menimpanya.
Ia memejamkan matanya untuk membukanya kembali ketika ia merasakan tangan
lembut halus meraba pundaknya. la merasakan kenikmatan luar biasa dipijat dalam
keadaan letih, apalagi oleh sepasang tangan yang telah terlatih seperti Keng-hong yang
berparas jelita itu. Tubuh keduanya terlalu berhimpitan dan wangi harum tercium
olehnya, tak terasa ia berbalik dan memeluk badan Keng-hong.
"Hai, nakal ya.....nanti kuadukan kau pada Keng-eng Ciangkun!" Keng-hong
membentak perlahan menggodanya, sambil memainkan mata dengan genit. The-pek jadi
terkejut.
"Ih, gila, jadi berbalik aku yang dikuasainya....." begitu pikir The-pek.
"Mengapa kau iseng? Ya sudahlah kesana menjauh. Kau boleh sambung tidur lagi.
Aku juga jadi mengantuk lagi....." katanya pula sambil mendorong badan Keng-hong
perlahan. Tapi Keng-hong bahkan memegang lengannya dan mengusapnya dengan
lembut.
"Jangan marah penculikku yang gagah .....Tidak! Aku hanya main-main saja. Hm,
mari kubuka bajumu, kongcu. Sebentar lagi kau akan nikmat tertidur setelah kupijat. Mau
bukan?"
Setelah berkata begitu Keng-hong tertawa kecil sambil memainkan tangan dan
menggerakkan kepalanya dengan gaya menari. The-pek terkesiap hatinya, ah, Keng-hong
benar-benar gadis yang pandai menggelitik hati pria.
The-pek berdiam diri saja ketika bajunya dibuka. Ia sampai merem melek dan
hampir saja terlena tidur, bila tidak tangan Keng-hong mulai turun ke bawah niat
membuka celananya pula........
"Ah, kau.....tanya siapa diriku saja tidak, tapi kok lantas ada main nih?"
"Aku tidak perduli siapa kau, kongcu! aku hanya tahu kau pesuruhnya jenderal
Boan itu. Semisal aku tahu namamu, besok juga mungkin aku sudah lupa lagi. Begitu
banyak nama pria yang kukenal tapi tak seorangpun yang kuingat wajahnya......."
"Aku percaya."
"Ya, tapi Lauw Sunbu si tua itu bisa kuingat namanya, sebab ia yang terakhir
menebusku dari seorang pelajar yang kulupa namanya. Si tua itu kulayani sebagaimanakewajibanku yang mengabdi pada tuannya. Tetapi mau tak mau ia telah menyia-nyiakan
kemudaanku. Ia hanya menikmati pelayanananku saja dan jarang sekali.....ah, kau
mengerti sendiri bukan?"
"Dari sejak kau memegang bahuku juga aku sudah mengerti, Keng-hong, tapi
bagaimana kalau kau ada niat jahat mengadukannya pada jenderal itu?"
"Jangan kuatir untuk itu dan jangan kuatir pula soal pembayaran tak usah kau
pikirkan, sebab bukankah aku akan pindah tuan majikan.......Hupp, ah, nah....hi-hi....nah
tuh naik pitamnya...."
Keng-hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia telah dipeluk dan
disumbat mulutnya oleh bibir The-pek yang tak dapat menahan diri lagi.
"Hai, mengapa perahu ini olengnya tidak wajar? . . ." Tukang perahu menggerutu
sendiri, dan juga suara aneh dalam gubuk perahunya menarik perhatiannya.
"Huh........cuih!......" Tukang perahu membuang ludah dan kembali ke ujung
perahunya untuk mendayung lagi setelah sebentar mengintip pada bilik gubuk. "Ah, edan.
Kukira bawa barang apa di dalam kamar, e-eh, kagak tahunya perempuan! Pantas saja dia
berani sewa mahal perahuku. Masa bodoh dia boleh menculik dari mana perempuan itu.
Tapi kalau dilihat sama-sama patpatgulipat barangkali juga pasangan yang kawin lari.. .
Tapi yang benar saja dalam perahuku mainnya . . . Bikin sial saja . . ."
Tukang perahu menggerutu seorang diri, tapi tak urung ia mempercepat
dayungannya mengatasi keolengan yang tak wajar itu, atau juga untuk melupakan hatinya
yang turut geringsangan setelah mengintip tadi.
Namun kalau kita perhatikan, tukang perahu itu sedang tersenyum, sebab ia telah
membayangkan di samping akan menerima sewa perahu yang 2 kali lipat dari biasa, ia
akan minta tambahan lagi. Ia yakin kalau pasangan yang sedang asyik masyuk tidak akan
sayang pada uangnya, dan besok ia boleh makan besar sekeluarga serta membelikan
pakaian baru untuk anak bininya yang sudah tambalan sana sini. Itulah pikiran seorang
nelayan yang sederhana!
Dengan demikian Souw-si telah menjadi gundik yang ketujuh dari Keng-eng yang
benar-benar mengagumi Keng-hong sekaligus membuktikan berita tentang diri wanita itu
tidak salah. Dengan rasa gembira ia menyerahkan hadiah yang dijanjikan pada The-pek,
setelah semalaman ia menguji dulu, hatinya puas dan bangun tidur setelah matahari terbit
tinggi.
Demikian penuturan The-pek. yang tentu saja tentang kisah yang tak dapat
dilupakan bersama Keng-hong dalam perahu itu tidaklah dituturkannya di hadapan nenek
dan kedua saudara she Cin itu.
Jin-hong dan adiknya mempercayai keterangan The-pek. Dengan demikian
keduanya juga tidak sampai hati mendesak terus pada tuan rumah, apa lagi keduanya juga
menghargai si nenek yang ternyata orangtua baik-baik, hanya cucunya saja yang nakal.
Setibanya di penginapan Siau-hong mengutarakan isi hatinya yang mulai merasa
muak pada pembesar-besar Boanciu."Semakin lama semakin terbukti keedanan orang-orang bangsa Boan," kata nona
itu, "Coba saja seorang ciangkun dan sunbu yang berkedudukan cukup tinggi sampai
berebutan seorang pelacur. Terlalu! Menurut pendapatku sebaiknya kita pulang saja dan
jangan mencampuri urusan ini!"
"Kau benar adikku. Aku juga sependapat denganmu, tapi biar bagaimana kita telah
menerima pekerjaan menyelidiki perkara penculikan dan telah menyanggupi akan
membawa pulang Souw-si. Kalau The-pek telah berhasil mengambilnya dari gedung
seorang sunbu, mengapa kita tidak sanggup membawa larinya pula dari gedung seorang
panglima? Jangan-jangan The-pek nanti akan menertawakan kita!"
Siau-hong jadi terdiam.
"Kalau begitu aku turut kau juga. Jadinya kita jalan-jalan ke Hangciu, bukan?"
Darah muda Siau-hong yang haus pada pengalaman lebih memenangkan rasa
kejemuannya pada bangsa penjajah itu.
Karena mengambil jalan darat, Jin-hong dan adiknya memerlukan waktu 2 hari
untuk tiba di Hangciu.
Setelah mencari hotel, kemudian seorang diri Jin-hong jalan menyelidiki gedung
Keng-eng yang megah dan kelihatannya terjaga rapi. Tapi pada bagian belakang gedung
kelihatannya tidak dijaga.
Malam hari Jin-hong dan Siau-hong telah melompati tembok belakang dan
langsung berada dalam pekarangan gedung Ciangkun-hu. Keduanya memakai pakaian
ringkas warna hitam.
Untuk masuk ke dalam taman mereka harus mendongkel pintu kayu yang
terpalang dari dalam.
Sekarang mereka telah berada dalam taman yang berhubungan langsung dengan
gedung induk.
Ketika keduanya jalan perlahan-lahan berindap-indap tiba-tiba terdengar tindakan
kaki dari dalam gang yang terdapat cahaya penerangan. Mereka cepat menyingkir ke
tempat gelap di samping lorak.
Terlihat 2 orang penjaga yang biasa dipanggil ko-sip-ji (ronda malam), yang
seorang memegang golok dan yang lain tombak. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap.
"Kenapa si Ong belum juga datang, sekarang kan sudah waktunya ganti giliran."
"Ah, dia memang jadi kebiasaan kalau tidak disiram air tidak ingat tugasnya.
Tentu ia sekarang sedang mengeros..... Aiya!........"
Kedua ko-sip-ji itu hanya dapat melihat berkelebatannya 2 bayangan atau senjata
mereka telah terlempar. Sedangkan tengloleng yang dipegangnya terjatuh jadi padam.
Keadaan sekitar tempat itu jadi gelap gulita. Keduanya tak berkutik di tanah di bawah
injakan kaki tamu-tamu malam itu."Kalau kalian masih ingin hidup, cepat beri tahu dimana letak kamar Cit-ienaynay!" Bentak Jin-hong ke dekat telinga mereka.
Dalam keadaan ketakutan mereka seakan berlomba-lomba bicara
memberitahukan letak kamar yang ditanyakan. Kedua ronda malam itu kemudian ditotok
supaya pingsan beberapa jam lamanya, lalu diseret ke tempat tersembunyi.
Souw-si di tempatkan di sebuah kamar terpisah. Dari dalam kamar masih terlihat
cahaya yang menembus kertas jendela. Ketika Jin-hong mengintip melalui lobang yang
dibuatnya di kertas jendela ternyata di kaki pembaringan kelihatan 2 pasang sepatu lelaki
dan wanita, Jin-hong lompat kembali ke atas genteng dimana adiknya menunggu.
"Ciangkun bangpak sedang rnengeloni gundik barunya. Bagaimana kita mesti
turun tangan?" Katanya berbisik di telinga adiknya.
"Ciiiiiiiiisssss...... pakai diceritakan segala begituan! Ciangkun macam dia ada
punya kemampun apa untuk ditakuti?" Siau-hong menggerutu perlahan." Kita masuk saja
dan bekuk keduanya. Pada Souw-si kita jelaskan maksud kedatangan kita untuk
membawanya kembali pada Sunbu. Suka tidak suka kita boleh bawa kabur saja!"
"Ah, kau bicara enak saja. The-pek telah berhasil bekerja menculiknya dengan
rapih. Kalau kita bertindak kasar tentu akan jadi bahan tertawaannya saja. Lagi yang kita
hadapi bukan sembarang orang. Sebagai ciangkun setidak-tidaknya ia mengerti silat
juga........."
Kedua kakak beradik itu bertengkar dengan suara bisik-bisik di atas genteng.
"Apa kebisaannya seorang ciangkun paling-paling juga mengatur barisan perang
dan memperbanyak bini piaraan!" Siau-hong jadi sebal pada Jin-hong yang selalu
bertindak hati-hati atau juga tidak mau kalah saingan dengan pemuda The-pek bekas
saingannya memperebutkan Kun-eng.
Selagi kedua saudara itu berunding mereka tidak tahu bahwa kedua kosip-ji yang
kena ditotoknya telah ditemukan oleh kawannya yaitu si Ong yang datang ke tempat
tersembunyinya kedua penjaga itu. Ong kebetulan lebih giat dari biasa bermaksud
menggantikan jaga malam. Suatu kebetulan juga ia lewat dimana kedua tubuh ko-sip-ji
itu terbaring, la hampir saja jatuh terguling-guling kena tersandung tubuh keduanya.
Melihat keadaan kedua kawannya Ong menjadi panik dan segera memukul
gembrengnya beberapa kali dengan kode adanya bahaya, pertanda adanya tamu malam
yang tak diundang. Sebentar saja keadaan sekitar halaman gedung itu menjadi ribut dan
lampu-lampu teng dinyalakan di mana-mana bagian sehingga sekeliling gedung itu
menjadi terang benderang.PEDANG PENGACAU ASMARA
(Jilid 4)
Karya : OKT A
JIN-HONG dan Siau-hong mengetahui adanya bahaya ini, sebelum mereka
berkumpul semua, keduanya mendahului menyingkir dari atas genteng dan lompat ke atas
tembok yang lebih tinggi. Di sini keduanya bersembunyi sambil mendekamkan badan
dengan mata terus mengawasi keadaan di bawah.
Mereka dapat melihat kesibukan kawanan ceng-peng yang semuanya
menurijukkan sikap garang dengan senjata terhunus.
"Buat menyerang mereka itu bukanlah tindakan yang bagus," begitulah pikiran
Jin-hong. Tiba-tiba ia mendapat akal bagus. Ia mengisiki adiknya. Lalu keduanya lompat
turun ke bagian yang gelap di sebelah tembok yang lain. Gerakan keduanya gesit sekali
menuju ke kamarnya Souw si.
Kesebatan keduanya ternyata lebih cepat daripada rombongan ceng-peng (serdadu
penjaga ) yang sedang menuju ke tempat itu.
Akan tetapi di mulut pintu Jin-hong yang berpapasan dengan seorang ronda segera
bertindak dengan menotok jalan darah ronda itu. Ronda itu baru saja mau berteriak
mulutnya jadi tetap terbuka lebar tanpa dapat mengeluarkan suara, sebab syaraf
kesadarannya telah beku akibat totokan itu. Ia jatuh rebah tanpa dapat berkutik lagi.
Jin-hong menyeret tubuh ronda itu ke pojokan untuk dilepaskan pakaiannya, yang
langsung dikenakan ke badannya sendiri. Disaat ia muncul dari tempat gelap kini ia telah
menjadi seorang ko-sip-ji!
Jin-hong lari ke belakang untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mudah
termakan api. Bahan itu kemudian dibakar dan dilemparkan ke tempat gudang. Sebentar
saja api berkecamuk hebat. Ia sendiri berteriak-teriak meminta lolong memberitahukan
adanya kebakaran.
Orang-orang jadi hiruk pikuk menuju ke tempat kebakaran untuk menolong
tempat yang termakan api itu. Mereka berlari-larian mencari air guna mencegah bencana
semakin meluas.
Dalam keadaan kalut begitu Jin-hong lari ke kamarnya Souw-si. Keadaan sekitar
kamar itu sunyi sekali.
Keng-eng telah mendusin dari tidurnya yang memeluki tubuh molek gundik
barunya. Ia terbangun karena mendengar suara riuh di luar kamar yang kemudian tibatiba sirap. Hanya lapat-lapat saja ia mendengar di bagian belakang orang-orang sedang
sibuk berlari-larian. Ia sendiri tidak berani keluar kamar dan diam saja di alas
pembaringan dengan badan gemetaran.Sebaliknya Souw si lebih berani, wanita cantik ini turun dari pembaringan sambil
memperbaiki letak pakaian tidurnya yang serabutan.
Ketika itu di luar kamar telah bersiap Toa-thay-thay (isteri tua yang bertindak
sebagai kepala rumah tangga) dengan 30 orang ceng-peng pelindung yang datang ke sana
buat menjaga keamanan sang jenderal.
Toa-thay-thay adalah seorang bangsa Boan yang lain dari kebanyakan nyonya
pembesar, ia mempunyai pengaruh luas dan besar kekuasaannya. Di dalam rumah 7 dari
10 bagian wewenang rumah tangga diatur olehnya, tapi ia sendiri tidak keberatan seperti
kebanyakan pembesar, suaminya mengambil lagi beberapa gundik asalkan ia sendiri yang
mengatur giliran ditiduri! Dengan begitu bahkan Keng-eng sangat menghargai istri tuanya
ini dan menaruh rasa takut kepadanya
Atas perintah Toa-thay-thay, Souw-si segera membuka pintu kamar.
"Bagaimana dengan Ciangkun?" Nyonya itu bertanya.
"Oh, tidak kurang apa-apa, cuma sedikit kaget" jawab gundik baru ini sambil
memberi hormat, "Thay-thay boleh tenteramkan hati."
Dengan ditemani oleh Souw-si, Keng-eng lalu berpakaian kebesarannya. Setelah
itu ia keluar kamar buat pindah ke tempatnya Toa thay-thay dengan diikuti oleh barisan


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelindung. Dengan demikian Souw si ditinggalkan di kamarnya seorang diri.
Souw si duduk menopang dagu sambil berpikir peristiwa apa yang sedang terjadi
di luar itu. Barulah ia sadar dengan hati terkejut karena tiba-tiba saja muncul seorang gadis
berpakaian ringkas di hadapannya. Ia lompat dari luar jendela tanpa diketahui olehnya
bagaimana caranya gadis itu membuka jendela tahu-tahu telah masuk.
Ia tentu saja akan menjerit kalau Siau-hong tidak segera memberi tanda dengan
jarinya diletakkan di muka bibir.
"Jangan takut!" Kata pula Siau-hong dengan suara perlahan. "Aku orang
suruhannya Sunbu!"
". . . . Tapi apa yang hendak kau kerjakan di tempat yang berbahaya ini?" Souw-si
bertanya dengan perasaan heran dan kuatir akan keselamatan gadis tersebut yang begitu
berani masuk ke dalam sarang macan.
"Buat singkirkan kau dari tempat ini."
"Wah, ini susah. . . ." dan Souw-si mengerutkan sepasang alisnya yang lentik.
"Penjagaan di sini luar biasa kuatnya. Bagaimana kita bisa berlalu dengan tidak
ketahuan.....?"
"Jangan kau sibuk berpikir pada soal itu!" Siau-hong jadi tidak sabaran dan segera
memegang lengan Souw-si yang hendak diajaknya lompat keluar jendela. Ia bermaksud
menggendong tubuh Souw-si, atau Siau-hong terkejut dengan munculnya seorang ko-sipji yang lompat masuk dari jendela juga. Dalam kagetnya Siau-hong bergerak mendahului
menyerang."Hian-moay!" Ko-sip-ji itu berseru seraya berkelit.
Siau hong jadi terjengkang, karena ia mengenali saudaranya yang sedang
menyamar. Lalu ia tertawa kecil melihat pakaian engkonya yang jadi persis seperti
seorang penjaga malam.
"Ini saudaraku," Siau-hong memperkenalkan Jin-hong kepada Souw-si. Jin-hong
sendiri mengakui kecantikan Souw-si yang luar biasa tapi sayang tertalu reboh
dandanannya dan bau wewangian sangat menusuk hidungnya.
Souw-si hanya menganggukkan kepala, dan kembali ia bertanya bagaimana
caranya mereka meloloskan diri dari tempat yang dijaga kuat itu.
"Jangan takut," jawab Jin-hong. "Aku telah menyamar sebagai seorang ko-sip-ji.
Aku boleh antar Nay-nay keluar secara terus terang."
"Tapi bagaimana dengan nona Cin?" Souw-si bertanya lagi.
"Kau ikut saja, aku sendiri dapat melihat gelagat," Siau-hong berkata sambil
tersenyum karena Souw-si termasuk wanita bawel juga, "Kau sendiri yang perlu tabahkan
hati agar orang tidak bercuriga."
Disaat itu terdengar suara bicara keras di luar kamar, yaitu suara-suara yang
memanggil kawan-kawannya.
"Kita harus lekas dan jangan membuang waktu lagi!" Jin-hong memerintah
dengan suara berpengaruh. Souw-si tidak bisa banyak bicara lagi segera mengikuti Jinhong keluar kamar.
Belum jauh mereka keluar bertemu dengan segerombolan penjaga yang sedang
melakukan penggeledahan. Melihat kedatangan mereka, kesemuanya siap dengan senjata
di muka dada.
"Buka jalan!" Jin-hong mendahului bersuara dengan keras. "Ini adalah Cip-ie-naynay! Apa perlunya menghadang di situ?!"
Kawanan penjaga itu melihat Souw-si yang berdandanan reboh sebagaimana
seorang gundik, dan sebagai penunjuk jalan seorang ko-sip-ji. Di belakang Nay-nay
beriring seorang pelayan.
Mereka lekas membuka jalan tanpa berani mengajukan pertanyaan.
Ternyata Siau-hong juga melakukan penyamaran, sebab dengan berpakaian
ringkas ia kentara sekali seorang yang mengerti silat. Disambarnya selembar jubah yang
dikerebongi pada badannya, barulah ia keluar mengikuti di belakang Souw-si.
Cara begini beberapa kali Jin-hong dihadang oleh penjaga-penjaga yang
melakukan pemeriksaan, setiap kalinya ia berhasil mengibuli mereka.
Pekerjaan memadamkan api masih berlangsung terus, itulah sebabnya juga
perhatian kepada Souw-si serta kedua pengiringnya kurang begitu seksama, hingga
dengan leluasa mereka telah tiba di pintu gerbang.Penjagaan di sini lebih keras. Namun Jin-hong tidak kekurangan akal. Ia maju ke
depan dengan lebih cepat. Sambil berdiri tegak ia berkala dengan suara keras dan
berpengaruh, "Ciangkun perintahkan kalian semua menjaga baik-baik di sini supaya
penjahat tidak bisa lolos. Penjahat itu belum tertangkap, tetapi belum juga lari keluar.
Karenanya kalian harus berhati-hati?!"
Kawanan penjaga itu percaya pada keterangan Jin-hong, dan mereka menyatakan
akan mematuhi pesan Ciangkun yang disampaikan lewat ko-sip-ji ini. Mereka membuka
pintu juga karena Jin-hong menyatakan akan mengantarkan Nay-nay keluar sebentar
untuk sesuatu keperluan.
"Mari, jalan kemari!" Kata Jin-hong setibanya mereka di luar. Jin-hong memimpin
jalan kejurusan timur dan sekejap kemudian mereka telah lenyap dari pandangan penjagapenjaga tadi. Kalau saja penjaga-penjaga itu menaruh curiga sekalipun, mereka tak
mungkin mengejarnya lagi.
Mereka meneruskan perjalanan, dan saat fajar mereka telah berada di luar
perbatasan kota. Dengan menggunakan perahu perjalanan diteruskan sampai ke Souwcu. Betapa girangnya Lauw Sunbu mendapatkan kembali Souw si itu. Pembesar ini
perlakukan dua saudara Cin dengan segala kehormatan untuk menyanjungnya sebagai
ucapan terima kasihnya yang besar. Kenudian ia menjuruh pada kasirnya untuk
mengeluarkan uang sebanyak 3.000 tail sebagai hadiah untuk kedua bersaudara itu.
Pada mulanya Jin-hong menampik hadiah besar tersebut sambil mengucapkan
terima kasihnya. Tetapi Lauw Sunbu terus juga memaksanya, akhirnya Siau-hong sambil
tertawa berkata kepada pembesar itu, "Terus terang saja Tayjin, kami menjadi berabe
sekali dengan membawa uang sebanyak itu. Aku harap Tayjin suka terima kembali uang
ini."
"Kalau begitu, baiklah akan kuatur lain kali saja buat menyampaikan uang ini.
Pendekar Super Sakti 15 Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 39

Cari Blog Ini