Ratu Ayu 03 Pendekar Wanita Menuntut Balas Bagian 1
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
TOPENG PANJI
DAN CAMBUK IBLIS
SERI RATU AYU III
PENDEKAR WANITA MENUNTUT BALAS
PRAKATA
Dahulu pernah kuketengahkan,
Ceritera yang sama,
Bersumber dari bumi sendiri, Indonesia,
Kuutarakan tentang sifat manusia
Dengki, serakah, iri nafsu dan kesombongan,
Tetapi juga,
Tentang keperkasaan dan keteguhan
Yang melahirkan sikap,
Jalan hidup dan harga diri
Penulis
BAGIAN I.
"MENJELANG anggara kasih, Pandansari belum juga kita temukan." Kata salah
seorang diantara mereka.
"Sial. Kemana sebaiknya kita menanyakan."
"Tanyakan kepada orang tuanya."
"Gila. Tidak mungkin demikian."
"Sebab."
"Pandansari diculik saat pergi ke ladang Kalau kita bertanya pada orang tuanya,
maka orang tua itu menyelidiki kita."
"Kalian semua tolol. Bukankah Ki Pudak Kuning sudah mati terjerumus ke dalam
lembah." Kata seseorang diantara lima orang yang masing-masing mengenakan topeng
panji.
"Kalian berotak kayu." Yang lain berkata hampir berteriak.
"Bangsat! Berani berkata demikian."
"Kakang Samberpati pernah berkata demikian."
"Ya, tetapi bukan kau."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kalau aku mau apa?" Suara itu bernada menantang
"Busyet, senasib masih berotak tolol. Mau mengadu otot segala. Apa yang kau
peroleh dari perbuatanmu itu?"
Tiba-tiba saja sesosok bayangan lewat perbatuan menemui mereka dengan
memberikan tanda lecutan cimbuk yang menggeletarkan anak telinga.
Semuanya memandang kedatangan bayangan yang tidak lain kakak seperguruan
mereka yang disebut Lurah Samber pati. Bayangan itu tertawa keras sampai tubuhnya
bergoyangan.
"Berhenti mencari gadis itu! Sebab diantara kalian tidak ada yang becus." Kata
Lurah itu dengan memandang mereka.
"Benar kakang."
"Kita ke pondok mereka, mungkin gadis itu di sana mengadukan hal ihwalnya
kepada kakaknya Karang Seta." Kata Lurah itu.
Semuanya tanpa memberikan tanggapan mengikuti langkah kakak
seperguruannya menuju sebuah bukit padas yang menghubungkan antara hutan Alas
Purwa dengan daerah Gunung Pandan dimana Ki Pudak Kuning bermukim.
Dalam perjalanan itu mereka membawa benaknya sendiri-sendiri.
Lurah itupun tidak sepatahpun berkata.
Dari kejauhan mereka melihat api unggun menyala di dekat pondok itu. Mereka
sudah hampir setiap waktu mengunjungi gubuk Ki Pudak Kuning pada saat kekurangan
bahan makanan. Demikian pula malam itu ia berniat akan meminta jagung panenan, di
samping itu ingin pula melihat kalau-kalau Pandansari pulang ke gubuknya yang
barangkali belum mengetahuinya kalau orang tuanya terjerumus ke dalam lembah. Lurah
itu ingin menjajagi hati gadis itu, kalau-kalau dengan jalan demikian akan mendapatkan
hati.
Memang untuk mmcintai seseorang banyak jalan yang dapat ditempuh, demikian
pulalah Lurah brandal topeng panji ini. Hanya saja ia tidak menyadari kalau seorang gadis
mendengar namanya dilamar, maka pingsanlah gadis itu karena membayangkan akan
melayani beberapa orang serupa yang tidak dikenalnya. Ia menggambarkan kehidupan
brandal yang saling merasa, siapa yang berada di tengah-tengahnya adalah milik bersama
yang harus dipelihara bersama pula. Dan kalau yang menamakan Lurah itu telah jemu,
maka diserahkan gadis itu kepada anak buahnya yang setia sebagai hadiah.
Betapa bisa seorang gadis menerima pikiran demikian, betapa dapat seorang gadis
menerima cintanya untuk sekian banyak orang bertopeng yang setiap saat datang harushttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
dilayaninya sebagai suami. Dan gadis-gadis lebih baik memilih, jalan yang terdekat
menusukkan patremnya, dari pada harus berlutut kepada brandal Topeng Panji.
Waktu rombongan Topeng Panji itu telah tinggal beberapa langkah dari gubuk Ki
Pudak Kuning, ia berteriak memanggil. Tetapi tidak seorangpun menyahut. Lurah itu
memerintahkan tiga orang anak buahnya untuk meneliti sekitar tempat itu, dan dua orang
lainnya memasuki gubuk itu.
Tiada sesuatu didapatinya dalam gwbuk itu, mereka hanya menemukan ontong
jagung yang bertumpuk, dan beberapa ontong yang sudah masak terletak pada batu
tempat duduk.
"Kosong." Teriak salah seorang yang memeriksa. Lurah brandal itu meloncat, ia
meneliti. Dipegangnya jagung yang terletak di atas tempat duduk itu. Jagung itu ternyata
sudah dingin. Lurah itu melangkah masuk gubuk, tidak dilihatnya sesuatu yang
mencurigakan.
"Kau melihat Karang Seta?" Tanya Lurah itu.
"Tidak kakang."
"Tahu?"Tanyanya pula kepada yang lain. Yang ditanya menggelengkan kepala.
Tiba-tiba saja lurah itu melihat rontal terletak di atas meja usang di pojok gubuk
reot. Cepat Lurah itu mengambilnya.
"Kasihan. Karang Seta pergi untuk beberapa saat memberitakan ke desa asalnya
bahwa orang tuanya mati." Lurah itu diam.
"Dan ia minta ijin mencari adiknya yang hilang." Lurah itu menyambung dengan
suara dalam
Suasana menjadi hening. Hanya suara jangkrik semakin mendendangkan malam.
Bulan cerah, sebentar-sebentar tertutup mendung tipis malam menjadi samar-samar,
brandal Topeng Panji itu seakan-akan bersorak sorai, tetapi setelah cerah bulan kembali,
mereka seakan-akan bersedih dan memandang kecut kepada bulan yang semakin bundar.
Betapa tidak karena sampai malam itu guru mereka belum juga keluar dari sanggar
pamujan. Mereka mengharapkan bahwa janji gurunya pada malam anggara kasih itu
benar-benar dapat terlaksana sebab hari itu sebenarnya hari yang menentukan. Mereka
berebut siapa diantara mereka yang mempunyai kesempurnaan jasmani dan ukuran
ilmunya.
Tiba-tiba kakak seperguruannya tertua, berkata dengan tenang, "Ambil jagung
yang disediakan untuk kita. Bakar gubuk ini."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Dengan tidak memberikan jawaban segera mereka menyalakan obor yang tersedia
dan dibakarnya gubuk Ki Pudak Kuning. Gubuk itu terdiri dari bambu dan beratap
ilalang, sedang di sekitarnya banyak tertumpuk pohon jagung kering, maka dengan
mudah api menjalar. Api semakin besar, keenam orang bertopeng itu memandang dengan
sikapnya sendiri-sendiri.
Tengah mereka dalam angan-angan masing-masing, terdengarlah tembang indah
yang memuji keindahan alam mengagungkan kebesaran Yang Maha Kuasa, dan
mengutuk perbuatan jahat. Mereka memang sering mendengar tembang itu. Tetapi tak
pernah diketahuinya siapa yang menembangnya dengan suara indah itu. Bahkan ia selalu
mendengar suara itu saat-saat mereka menghadapi masalah penting. Dan gurunya apabila
mendengar tembang itu menjadi blingsatan. Inilah sikap guru mereka yang belum
diketahuinya hubungan antara tembang itu dan gurunya. Dan gurunya belum
memberitahukan hal itu.
Belum lagi habis suara tembang itu, terdengar tawa yang memanjang dari arah
lain. Mereka mengenal bahwa suara itu adalah guru mereka. Serentak mereka menghadap
suara itu dan membungkuk hormat, dengan berkata, "Selamat datang guru. Kami semua
menghaturkan sembah."
Guru itu membalas hormat mereka. "Kalian mendengar tembang indah itu?"
Semuanya mengangguk.
"Bagus. Tembang itu suatu tanda bahwa kita dalam waktu yang dekat harus
menentukan sikap."
"Tentang apa itu guru?"
"Segalanya. Untuk kelanjutan Perguruan kalian dan tentang Majapahit." Gurunya
memberi penjelasan.
Semuanya diam. Gurunya mengetahui apa yang sedang dipikirkan muridmuridnya. Orang tua itu juga tanggap mengenai sikap murid-muridnya mendengarkan
tembang yang baru saja menghiasi malam itu.
Sebentar guru itu menunduk, ia seperti memandang kepada bulan. Sewaktu bulan
melewati mendung, tipis dan malam menjadi samar-samar, guru itu berkata, "Anakanakku, dengan tulus aku belum mengenal siapa yang selalu menembang itu. Tetapi aku
menghormat kepadanya, dengan tidak mengetahui sebab-musababnya. Aku begitu saja
membungkukkan tubuhku." Guru itu diam sejenak, ia tertawa lirih kemudian
melanjutkan, katanya, "Jika aku menghormatinya bukan berarti aku kalah kepadanya.
Aku adalah guru kalian, Menghormatinya adalah suatu tata krama, dengan tembangnya
ia memberi suatu isyarat kepada kita. Inilah yang kuhormati." Tampak guru itu meneguk
liurnya, dengan berdehem ia berkata lagi, "Suatu saat aku ingin berkenalan dengan caraku
sendiri."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Tiba-tiba saja terdengar kembali tembang indah itu.
"Bangsat!" Tiba-tiba guru itu menggerutu. Tetapi sama sekali tidak bergerak dari
tempatnya. Semuanya mencari asal suara itu tetapi seperti juga gurunya mereka tidak berani bergerak dari tempatnya karena tidak mendapatkan perintah.
"Jangan kau kira suara itu dekat anak-anakku."
"Mengapa guru."
"Suara itu jauh dari kita."
"Tetapi demikian nyaring menusuk telinga."
"Itulah ukuran ilmu, seperti juga cambuk kalian." Diam-diam mereka
memandangi gurunya, sebab selama ini gurunya belum pernah memuji ilmu orang lain,
tetapi malam ini mereka mendengar langsung gurunya memuji suara seorang yang
menembang. Mereka masih bertanya-tanya apa pengaruh suara tembang itu terhadap
gurunya, sebab bagi mereka tembang itu sama sekali tidak mengganggu dirinya. Tidak
ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya, kecuali mendengar pemujaan terhadap
keindahan alam tumpah darah, mengagungkan penciptanya, dan mengutuk kejahatan
yang merusak kedamaian hati.
Sebenarnya guru itu mempunyai ceritera tersendiri, ceritera masa kecil dimana
mereka, penembang yang selalu mengikutinya dengan dia pada saat keduanya masih
muda belia berguru di Padepokan Paluhamba.
Kembali kenangan masa muda itu mengiang di benak guru itu..........
"tolong,........... tolong." Teriak seorang gadis dari balik sebuah batu di tepi sungai.
Mendengar teriakan itu seorang pemuda meloncat dengan cepat. Apa yang
dilihatnya di balik batu benar-benar tidaklah patut dilakukan oleh seorang yang sedang
berguru.
Seorang gadis duduk bersimpuh karena kainnya robek sampai membuka seluruh
tubuhnya. Di dekatnya berdiri dengan tersenyum seorang pemuda yang cukup tampan
penuh nafsu. Waktu ia meraih dan menelentangkan gadis itu pada sebuah tempat. Gadis
itu sadar dan meronta-ronta lalu berteriak sekeras-kerasnya. Pemuda itu terus memaksa
dengan merobek kain gadis itu dan membungkam mulutnya.
Dan waktu mendengar nama pemuda itu dipanggil dari belakangnya waktu ia
membalikkan diri, kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya, namun tiada dapat berbuat
lain tubuhnya terbuka sepenuhnya dan gadis itu lalu bersimpuh dengan menutup sedapat
dapatnya.
"Kakang." Gadis itu berkata serak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Cepat pemuda yang baru datang itu melemparkan kainnya memberikan kepada
gadis itu.
"Kau mencampuri urusanku." Kata pemuda itu.
"Perbuatanmu adalah tidak sepatutnya." Sahut pemuda lainnya
"Apa urusanmu!"
"Perbuatanmu terkutuk."
"Hem." Habis berkata demikian dengan gesit pemuda itu menyerang pemuda
pendatang itu dengan pedang terhunus. Dengan cepat pemuda pendatang itu meloncat
melenting di dekat gadis dan melindunginya dari kemungkinan perbuatan yang lebih
terkutuk lagi. Betapa marahnya pemuda itu melihat pemuda pendatang yang dapat
melindungi gadis itu dan menggagalkan kemauannya.
"Jagalah dirimu adikku" Kata pemuda pendatang itu.
"Aku sudah berjaga kakang."
Pemuja pendatang itu terpaksa melayani saudara seperguruannya yang berbuat
melanggar wewaler perguruannya. Pertarungan dua orang yang saling mempertahankan
kemauan masing rnasing.
Gadis itu menyelinap di balik batu, ia hendak meninggalkan tempat arena
pertarungan. Belum bagi ia bergerak, tiba-tiba sebuah belati meluncur cepat. Untunglah
pemuda pendatang itu gesit melontarkan ujung pedangnya dengan melenting tinggi.
Terdengar dencing beradunja kedua senjata itu dengan menimbulkan bunga api, sehingga
belati itu tidak mengenai sasarannya. Bertambah marahlah pemuda itu, ia semakin kalap
dan menyerang dengan penuh nafsu. Ia ingin segera mengakhiri pertarungan itu dengan
mengerahkan segenap kekuatannya untuk membunuh lawannya. Sebaliknya pemuda
pendatang itu cukup tangguh melayaninya dengan kewaspadaan penuh, di samping ia
harus melindungi adik seperguruannya.
"Teruskan anak-anakku." Tiba-tiba saja suara lembut dari belakang.
Pemuda pendatang mendengar suara itu cepat menghentikan perkelahiannya dan
membungkuk hormat.
Ia menyangka bahwa lawannya yang tidak lain saudara seperguruannya sendiri
akan berpikiran seperti dia. Ternyata tidak saat itu justru diambilnya sebagai kesempatan.
Pedangnya mematuk. Untunglah pemuda pendatang itu cepat bergerak dengan
sendirinya. Tetapi ia sudah tidak lagi dapat menghindari sepenuhnya, pangkal lengannya
tergores pedang lawannya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Dengan tersenyum pemuda pendatang meloncat dan berdiri di samping gurunya
dengan memegang lengannya.
Guru itu mengawasi mereka yang tengah bertempur.
Tiba-tiba saja pemuda yang memperkosa itu meloncat mundur beberapa langkah
dengan berkata keras, "Guru, aku sudah tidak berharga menjadi muridmu tetapi
bagaimanapun aku berjanji akan selalu melanjutkan perbuatanku seperti yang kuperbuat
sekarang."
Habis berkata demikian pemuda itu meloncat meninggalkan tempat itu. Di
kejauhan terdengar suara menantang, "Kakang suatu saat kita bertemu kalau kau pembela
yang lemah."
Pemuda pendatang itu menoleh kepada gurunya. Guru itu mengangguk. Sebagai
seorang ksatria ia harus menyatakan diri sebagai kesanggupan, "kulayani kau sewaktuwaktu."
"Kita telah menempuh jalan sendiri sendiri untuk memuaskan diri masingmasing." Teriak pemuda pemerkosa itu.
"Baik. Kita sudah berpisah." Pemuda pendatang yang berdiri di samping gurunya
dengan memandang gadis adik seperguruannya.
Guru itu menghela nafas panjang.
"Maafkan aku guru."
Mereka kemudian menceriterakan semuanya itu kepada gurunya.
"Bagaimana kau anakku?" Tanya guru kepada gadis itu.
"Untung kakang Rangga datang, kalau tidak aku tidak mengerti bagaimana
jadinya." Sahut gadis itu dengan malu-malu. Tetapi di depan gurunya ia tidak mungkin
berdusta.
Guru itu mengangguk berkali-kali. Ia merasa terharu dan semakin merasa kecil
karena belum dapat memberikan budhi wajar kepada muridnya, ia merasa malu kepada
dirinya sendiri sebab merasa gagal membentuk manusia yang berbudhi. Tetapi di samping
itu guru itu merasa bersyukur, bahwa disamping keburukan yang dilihatnya, ia masih
menemukan seorang murid yang makin dapat mendekatkan dirinya pada kekuasaan Yang
Maha Kuasa ......
Demikianlah, kejadian masa muda puluhan tahun yang lampau, mereka saling
memilih jalan hidup sendiri-sendiri. Pemuda yang pergi dengan dendam itu, sekarang
adalah guru dari perguruan Topeng Panji yang bermukim di Alas purwa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Dan guru perguruan Atas Purwa berpendapat bahwa yang selalu membuntutinya
dengan menembang itu, saudara seperguruannya.
Mereka saling bertekad dalam hati untuk saling bertemu setelah puluhan tahun
berpisah dan mengembangkan ilmu mereka masing masing. Perguruan Alas Purwa yang
berpandangan hidup melaksanakan kemauan hati dan perasaannya adalah pengabdian
Ratu Ayu 03 Pendekar Wanita Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tidak menghiraukan, apakah perbuatannya itu merugikan orang lain. Sebaliknya
yang masih tinggal di Padepokan Paluhamba mereka menginginkan kebenaran di atas
segalanya, menegakkan rasa kemanusiaan, mendengarkan segala penderitaan penduduk
sekitarnya dan semuanya itu di atas landasan kekuasaan Yang Maha Kuasa.
Guru Alas Purwa itu tertegun, angan-angan itu samar-samar menguasai dirinya,
di balik topengnya ia tersenyum kecut, dirasanya bahwa pertemuan itu akan tiba. Ia telah
menantangnya dahulu, sebagai seorang yang telah menjauhkan diri, ia ingin menepati
segala ucapannya. Dan kalau benar-benar suara tembang itu berasal dari saudara
seperguruannya, ia bertekad pada malam anggara kasih setelah ia menurunkan segala
ilmunya, ia akan melayani orang penembang dengan suara indah yang menyayat hatinya
itu. Api yang membakar gubuk Ki Pudak Kuning tinggal bara yang masih menyala.
"Apinya telah padam, tetapi baranya masih menyala. Demikian dendamku, walau
kejadian itu telah tiada, tetapi masih membekas pada hatiku." Guru itu tak sadar seperti
berkata sendiri.
Semua muridnya melongo tak mengerti.
" Penembang indah itu harus dihancurkan untuk tidak lagi menembang di tlatah
Alas Purwa sini." Sambung guru itu.
Tak seorangpun yang menyahut.
"Tinggalkan tempat ini." Perintah gurunya.
Baru saja mereka akan meninggalkan tempat itu, didengarnya pula tembang itu
dari atas gundukan padas tidak berapa jauh dari pategalan jagung. Tampak dari balik
topeng mereka sesosok bayangan berdiri tegak di atas gundukan padas itu dengan
memegang suling. Bersamaan dengan berakhirnya suara tembang, ditempelkannya suling
itu pada bibirnya, dan terdengarlah irama suling yang menggetarkan hati. Irama suling itu
mula mula memuja keindahan danau yang tenang, kemudian sebuah perahu yang
berlayar dengan tiupan angin pagi dan kecerahan matahari. Tetapi tiada lama datang
badai dan menghancurkan perahu itu. Salah seorang awak perahu itu melarikan diri
meninggalkan tanggung jawab.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Murid-murid perguruan Alas Purwa menganggap irama suling itu adalah indah
yang dibawakan seorang yang mahir. Tiada lain. Tetapi bagi gurunya suatu peringatan
yang mencekat hatinya.
"Gila. Kejar bayangan itu!" Tiba tiba guru itu memerintah. Semuanya berlari
menuju tempat sesosok bayangan itu.
Tetapi gurunya masih tertegun pada tempatnya, getar jantungnya laju berdetak.
Bayangan gadis molek yang mandi di sungai pada masa muda itu menjadi bayang bayang
pada masa tuanya. Ia tidak dapat mempersunting gadis itu. Ia semakin terharu karena
mendengar bahwa gadis itu kemudian meninggal dunia setelah melahirkan seorang putri,
dan kemudian suaminya pergi tanpa bekas dengan membawa anak gadisnya.
Teringat akan kejadian itu, hatinya menjadi terharu, guru topeng panji itu
menundukkan kepala. Bahkan kemudian ia berjalan dengan pandangan kosong, tubahnya
menjuntai, ia duduk di atas rerumputan dengan bersandar sebuah batu. Dengan sikapnya
yang tiada arah ia melihat murid-muridnya yang mengejar bayangan itu.
Guru itu memegang dadanya, dirabanya belati yang menghiasi pinggangnya,
dibukanya topeng yang menutupi wajahnya kemudian ia melihat cerah bulan yang hampir
bulat itu.
"Betapa indahnya kewajaran pandangan dengan tidak mengenakan topeng ini."
Hati guru itu bergumam. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam untuk melonggarkan
sesak di dadanya.
Guru itu berfikir terus. Kalau saja benar orang yang membayanginya, dengan
selalu menembang dan membunyikan suling itu kakak seperguruannya, betapa setianya
orang itu kepada ucapannya, yang baginya hampir terlupakan.
Sekarang di depan matanya ia melihat kenyataan, bahwa bayangan itu benar benar
seorang yang tangguh dan perkasa. Seorang dikerubut enam orang dengan senjata di
tangan masing-masing, bayangan itu dengan enaknya melayang kian kemari sambil
mengayunkan tangannya menghajar mereka yang di dekatnya. Diam-diam guru itu mulai
tertarik dengan gerak-gerak yang dimiliki bayangan yang sedang mempertahankan diri
dalam kerubutan murid muridnya. Sama sekali ia tidak mengenal gerak-gerak itu, bahkan
dimatanya gerak-gerak itu masih sangat asing.
Perkelahian itu tak ubahnya bayang-bayang yang berebutan, senjata di tangan
sama sekali tiada gunanya. Setiap diayunkan hanya mengenai angin yang mengakibatkan
desir angin semakin banyak mengitari gelanggang pertarungan itu. Dan bayangan itu
semakin tak ubahnya burung sikatan yang dengan riangnya beterbangan di alam lepas
dengan udara bertiupan sepoi basah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Lurah topeng panji itu melenting ke belakang, berdiri tegak di atas gundukan,
kemudian melecutkan cambuknya. Suaranya berkumandang memecah malam.
Perkelahian ita semakin seru.
"Anakku sebaiknya cambukmu jangan membisingkan telinga." Kata bayangan itu,
dengan sekali loncat, cambuk di tangan lurah topeng panji itu sudah berpindah tangan.
Tak dapat lagi lurah itu menahan marah mendapat penghinaan di depan saudarasaudaranya.
"Anakku sebaiknya kau tak usah berpayah-payah melatih diri, sebab seorang yang
melatihmu saja sedang mengumbar angan-angan mengenangkan masa mudanya yang
pahit." Kata bayangan itu
Mereka masih saja mengerebut dengan serangan-serangan berbahaya, namun
bayangan itu melayani tak ubahnya seorang yang bermain loncatan.
Sebaliknya guru brandal topeng Panji telinganya seperti disengat lebah, ia mulai
menggeser tubuhnya dan meraih belatinya.
"Belati itu masih berguna untuk jarak-jarak tertentu. Jangan menuruti
kedongkolan hatimu." Berkata demikian bayangan itu dengan menunjuk ke arah guru
topeng Panji yang bersandar batu.
Dalam hati guru itu kagum akan ketajaman mata bayangan, sebab jarak antara
daerah perkelahian dengan di mana ia sedang menganyam angan-angannya bukanlah
jarak yang dekat. Apalagi malam sudah mulai dingin dan sinar bulan samar-samar yang
kadang-kadang tertutup daun-daun pohon sekitar hutan itu.
"Kau lihat itu, gurumu meraih belatinya. Barangkali akan melunasi nyawaku yang
usang ini." Habis berkata demikian bayangan itu tertawa lirih.
Demikian ketika ucapan itu berhenti, guru mereka dengan diam-diam menunduk
memandangi tangannya yang masih melekat pada hulu belatinya. Ia merasa malu
perbuatannya diketahui lawan, bahkan merasa direndahkan di depan anak-anaknya
mendapat perlakuan demikian
Terdengarlah geram guru topeng Panji. Cepat ia berdiri.
Semua muridnya berhenti mengerebut dan terhenyak, mereka menoleh bersama.
Kesempatan ini digunakan oleh bayangan itu, ia meliukkan diri, menarik napas panjang,
tangannya diangkat ke atas, kemudian merentang dan mengibaskan ke arah mereka yang
sedang lengah. Hebat akibatnya, keenam orang bertopeng itu sempoyongan mencari
pegangan karena hembusan angin tak ubahnya air bah yang dahsyat. Mereka terpelanting
sampai di dekat gurunya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Demikian mereka sadar dari perlakuan itu, bayangan yang menghinanya telah
hilang di balik malam.
Mereka tertegun berpandangan satu sama lain. Tetapi diantara mereka tidak ada
yang dapat menerka hati gurunya. Guru itu justru menundukkan kepala, waktu ia
mengangkat kepalanya berkata dengan suara serak.
"Satukan kekuatan untuk menghadapi si gila itu."
"Siapa dia guru?"
"Orang Majapahit."
Mereka semua terhentak dan bungkam.
"Malam anggara kasih sudah dekat, aku masih merasa mempunyai kewajiban
pada kalian." Kata guru itu.
Guru itu meneguk liurnya, kemudian melanjutkan, kata-katanya.
"Jika saja aku melayaninya, belum tentu aku kalah, sebaliknya kalau aku menemui
cedera dalam pertarungan itu, kalian yang rugi. Pertemuan malam anggara kasih itu akan
tertunda."
Murid-muridnya membungkuk hormat.
"Guru apa gunanya kita melayaninya."
"Hmm," Gurunya hanya mendehem.
"Dia telah pergi.."
"Setan itu sewaktu-waktu akan muncul."
Tiba-tiba saja terdengar tembang indah itu sayup sayup memecah sunyi malam
yang semakin pekat. Dingin semakin terasa, bulan sudah condong ke barat bersembunyi
di balik pohon.
Guru itu memandang bulan pudar. Hatinya terasa kecut.
"Kita kembali anak-anakku. Persiapkan keperluan kita!" Tembang itu berakhir,
kemudian disusul irama suling yang mengalun pecah-pecah, irama itu seakan-akan
mengetahui apa yang sedang diderita oleh guru topeng Panji itu.
Sebenarnyalah guru itu sedang menahan perasaannya, hatinya terhimpit oleh
kewajibannya sebagai seorang guru yang sudah berjanji kepada murid-muridnya. Di
samping itu hatinya tidak yakin kalau ia dapat melayani, selebihnya malam itu hatinyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
sedang terguncang kejadian masa-masa muda yang menekan dan ia masih menyayangi
hidupnya."
Tetapi di depan murid-murid tidak mungkin ia menunjukkan apa yang terkandung
dalam hatinya. Guru itu berjalan dengan langkah tegap menuju hutan Alas Purwa. Muridmuridnya mengikuti di belakangnya.
Baru beberapa langkah mereka meninggalkan tempat itu, terdengar seseorang
memanggil namanya.
"Wukirpati, perbuatanmu benar-benar menjijikkan. Apa salahnya Ki Pudak
Kuning kau rampas jagungnya dan kau bakar rumahnya."
Suara itu diam sejenak, kemudian melanjutkan, "Satria sejati selalu pula berbuat
kesatria, tetapi kau sebaliknya. Adakah anak perawan itu masih di sarangmu?" Habis berkata demikian disusul tawa lirih yang terkekeh-kekeh.
Bagaimanapun sabarnya, guru itu seorang brangasan dan penaik darah, sejak tadi
ia menekan diri untuk bersabar. Tetapi sekarang kesabarannya telah lenyap. Dengan tidak
membalikkan diri guru itu melenting tinggi, kemudian berputaran meloncat melampaui
kepala murid-muridnya langsung berhadapan beberapa langkah dengan bayangan yang
memanggilnya.
"Jangan main gila, apa maksudmu?"Tanya guru itu.
Bayangan itu membungkuk hormat dengan takzimnya.
"Aku ingin berhadapan dengan kau untuk menyatakan hormatku, karena kau
dapat mendidik murid-murid yang baik."
"Busyet. Apa perlumu mencampuri urusanku."
"Mencampuri?" Bayangan itu diam sejenak, kemudian melanjutkan katanya,
"Aku sama sekali tidak mencampuri urusan orang lain. Tetapi aku merasa berkewajiban
menyampaikan hormat ini."
"Darimana kau kenal namaku yang tabu disebut itu."
"Aku? Barangkali kau lupa bahwa kau pernah menyebutnya di depan seorang
gadis pada malam seperti ini di sebuah desa."
Di balik topengnya guru itu kelihatan berfikir.
"Adakah kau akan menghajar aku?" tanya bayangan itu.
"Tak usah banyak bicara."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Oh. Maaf, malam anggara kasih sudah dekat. Malam itu demikian memikat
hati." bayangan itu seperti berkata sendiri.
Guru itu menahan marahnya, dengan gigi gemertak ia meloncat dan menyerang
dada. Bayangan itu menggeser tubuhnya dan mengadakan balasan dengan menetak
lengan lawannya. Cepat guru itu menarik serangannya. Namun ia tercekat juga karena
desis angin tajam terasa nyeri menggores lengannya dalam jarak sejari dari kulitnya. Guru
itu memandang lawannya dengan tajam.
Waktu guru itu untuk kedua kalinya merangsang lambung, bayangan itu meloncat
mundur beberapa kali, waktu berdiri tegak ia membungkuk hormat.
"Selamat malam tuan. Sampai berjumpa lain waktu." Habis berkata demikian
bayangan itu melenting ke belakang dan menghilang di balik malam. Dan terdengarlah
tembang yang indah mengalun memecah kesunyian malam di pinggiran hutan Alas
Purwa.
"Gila, mengapa ia pergi?" Kata guru itu. Tetapi hatinya masih bergetar keras
karena tercekat hantaman bayangan itu. Diam-diam guru itu memperhitungkan ilmu yang
dimiliki penembang aneh itu.
Suara tembang itu makin jauh, bersamaan dengan habisnya suara indah itu, tibatiba sesosok bayangan meloncat disertai geram yang menggidikkan bulu tengkuk. Dengan
cepat guru yang berjalan di depan itu mengelak. Sesosok bayangan itu menerkam angin,
disertai geram dahsyat membalik, teupi guru itu dengan cekatan meloncat dan
menghantam tengkuk lawannya. Seketika lawan yang dahsyat itu menggeram tinggi,
waktu suaranya tercekat habis, robohlah dan tidak bernyawa lagi. Ternyata seekor
harimau yang cukup besar. Sesungguhnya brandal-brandal Alas Purwa biasa bertemu
dengan harimau dan saling menghindari. Tetapi kali ini barangkali harimau itu terkejut
sedang guru yang hatinya sedang ricuh ingin pula mencoba kekuatanya yang tersimpan
dalam dirinya.
"Bagus! Sekedar latihan." Kata guru itu sambil mengamati tangannya, kemudian
disapunya dengan menghela napas panjang
Semua muridnya memandang dengan terlongoh-longoh.
"Adakah diantara kalian yang akan mcncoba memecah kepala harimau itu?"
Tanya gurunya.
"Kau Samberpati?" Sambung guru itu bertanya pada muridnya.
Semua tak ada yang berani memulai.
Guru itu memberi isyarat kepada Samberpati agar ia memberi contoh kepada adikadiknya. Samberpati berdiri tegak di sisi kepala harimau itu dan dengan sebuah gerakanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
yang cepat dipukulnya kepala harimau itu. Hebat, terdengar bunyi gemertak dan nyaring
harimau itu menjadi menyeringai karena tarikan kulit kepalanya.
"Bagus." Kata guru itu dengan memanggut. "Kepalanya retak." sambung
gurunya. Guru itu kemudian memerintahkan yang lainnya.
Seorang lagi berdiri dengan sikap seperti Samberpati dan memukulkan tangannya
dengan segenap kekuatan yang tersimpan.
"Praaaak.!!" Pecahlah kepala harimau itu
"Nah, kalian lihat. Ternyata tenaga berdua dapat menghancurkan kepala itu.
Samberpati sekali pukul tulang kepala itu retak. Dan Gagak Bangah memberi bantuan
memecahnya. Demikianlah hendaknya kalian. Jangan tenaga dihambur berbareng. Satu
dengan lainnya saling bergantian untuk mencari kelemahan lawanmu."
"Terima kasih guru," Sahut kedua muridnya dengan membungkuk.
"Nah, bawalah harimau ini. Kita pesta malam ini. Harimau itu cukup untuk
memanaskan badan untuk persiapan latihan malam anggara kasih." Guru itu
memerintahkan.
Beberapa muridnya yang lain mengikat kaki harimau itu, dicarinya pohon muda
untuk memikul harimau dibawa pulang.
Malam semakin malam, bulan sudah dekat pada batas gundukan di seberang
hutan, malam itu menjadi samar-samar dan hutan hampir menjadi gelap. Cepat-cepat
mereka pulang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
BAGIAN II
MALAM ANGGARA KASIH. Bulan purnama sudah muncul dengan cerah di
balik hutan. Mereka yang akan mendapatkan latihan sudah bersiaga. Berkali-kali mereka
menarik napas dalam, latihan terakhir ini latihan yang menentukan, siapa sehenarnya
diantara mereka yang dapat menerima ilmu itu dengan seutuhnya untuk yang terakhir.
Di sebuah gundukan tanah, di tengah hutan, tempat itu tersembunyi dan sukar
ditemui oleh seseorang kalau tidak memang ada kesengajaan untuk membuntuti. Di
tempat itulah mereka saudara seperguruan dan calon-calon murid melatih dan
membentuk dirinya, menjadi manusia perguruan Alas Purwa yang patuh.
Enam orang murid di sampingnya beberapa orang lainnya duduk di bawah sebagai
penonton. Enam orang itu duduk pada batu-batu yang berjajar, mereka menantikan
gurunya dengan wajah terbuka.
"Adik-adikku malam ini kita semua diperkenankan untuk masing-masing melihat
wajah saudara seperguruan. Perkenan guru ini menandakan kepercayaan guru berikan
kepada kami."
"Demikian kakang."
"Kepercayaan guru adalah yang tertinggi di atas segalanya karena itu harus
mendapat imbalan dari kita semua."
"Tentu kakang."
Bagus!" Orang tertua dalam perguruan itu adalah yang mendapat panggilan ki
Lurah oleh penduduk dan anak buahnya, ia seorang yang bernama Samberpati, adik Ki
Lurah Sambernyawa.
Sebenarnya mereka adalah pemuda-pemuda tampan. Kalau saja terdapat cacat
pada tubuh mereka, adalah karena latihan tergores belati, atau kadang-kadang karena
perlawanan kecil-kecilan dari orang-orang yang mereka rampok atau mereka minta anak
gadisnya.
Di bawah sinar bulan cerah itu mereka memperhatikan wajah saudara
seperguruannya, mereka tersenyum karena melihat kelucuan pada dirinya, tetapi semua
itu hanya tersimpan dalam hati masing-masing. Mana mungkin mereka berani
Ratu Ayu 03 Pendekar Wanita Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantah perintah gurunya, topeng adalah syarat perguruannya. Yang berani
melepaskan topengnya pada saat saat terlarang, mereka akan mendapat hukuman dan
tidak jarang gurunya tidak segan-segan menghabisi nyawanya.
Di dalam melakukan tugas, tabu bagi mereka membuka topeng. Kalau berani
melanggar, maka ia akan kembali dalam keadaan cedera atau dibunuh temannya sendiri.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Membuka topeng pada saat saat demikian dianggap pernyataan keluar dari
perguruannya.
"Wajah kalian sebenarnya tampan-tampan, tubuh kalian serasi dan menarik."
Kata kakaknya dengan memandang adik-adiknya satu persatu, ia menyambung, "Baik,
setelah latihan kalian akan mendapatkan hadiah dari perguruan."
"Apa hadiah itu kakang?"
"Kalian tidak boleh mengetahui sekarang." Serentak mereka tertawa berbareng.
Tawa itu menjadi hening, setelah mereka melihat sesosok tubuh dengan langkah
tegap menyelinap dari balik gerumbul yang menuju tempat latihan. Mereka mengetahui
bayangan itu adalah gurunya yang dengan berpakaian lengkap sebagai seorang guru yang
akan menurunkan ilmunya yang terakhir.
Demikian gurunya sampai pada jalan yang menuju ke atas gundukan, mereka
berdiri bersama-sama dan membungkuk hormat. Guru itu membalas dengan senyum.
Sekarang mereka melihat wajah gurunya. Mereka semua tercengang sebab apa
yang diduganya sama sekali meleset. Mereka menyangka bahwa gurunya seorang yang
bermata satu, berwajah bengis penuh tatu-ase dan menakutkan. Tidak guru mereka
seorang yang berwajah ganteng tiada setitikpun goresan luka pada wajahnya, hidungnya
mancung, matanya bersinar dan berwibawa, kumisnya menghias bibirnya benar-benar
meyakinkan murid-muridnya bahwa gurunya seorang yang gemar bercumbu. Tubuhnya
serasi, kekurusan karena umurnya adalah hal yang wajar pada pertumbuhan manusia,
namun kejantanannya masih tampak membekas.
"Anak-anakku kalian mengerti, malam ini latihan yang terakhir. Aku telah
memberikan semua yang kupunyai kepada kalian. Tinggal kalian menggunakannya untuk
tujuan yang sama-sama kita kehendaki."
Semua muridnya tunduk menghormat.
"Majapahit, dan membalas kematian dua orang saudara seperguruanmu." Kata
guru itu dengan terbata bata, ia menyambung dengan suara dalam, "Mengertikah kalian."
Kembali mereka mengangguk.
"Kalian mendapat adik-adik baru, setelah mereka melakukan percobaan
percobaan kepatuhan perguruan, mereka adalah Gemak Paron. Arya Sulung, Cere Putih
dan Kuning. Terimalah topengmu dan pergunakan sebagai kalian menggunakan hatimu!"
Kata guru itu.
Keempat orang yang disebut namanya bersujud kemudian menerima topeng panji
mereka.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kau berempat, mulai saat ini mempunyai kesejajaran dalam perguruan Alas
Purwa dengan kakang-kakangmu yang duduk di sana. Perbedaannya adalah dalam
ilmumu dan tataran kedudukan panggilan. Mereka lebih tua daripada kalian." Kata guru
itu. Mereka kemudian membungkuk dan mundur pada tempatnya semula.
"Anak-anakku pakailah topengmu." Perintah gurunya. Mereka semua yang
sekarang berjumlah sepuluh orang, sebelas dengan gurunya adalah jumlah yang cukup
berat untuk penembang suara indah itu. Semuanya mengenakan topengnya.
"Bersumpahlah kalian. Hidup mati kalian untuk perguruan, untuk cita-cita, untuk
guru dan untuk semuanya."
Semua muridnya mengucapkannya satu persatu. Gurunya mengangguk bangga,
hatinya lega.
"Bukalah topeng kalian."
Wajah mereka kembali tampak di bawah sinar bulan purnama yang semakin
menjuntai dimalam hari.
"Anak-anakku, kau lihat wajah gurumu ini. Tak setitikpun ada cedera, luka karena
belati atau goresan pedang, akupun tetap memelihara mukaku sebaik-baiknya. Perhatikan
anak anakku mengapa aku berbuat demikian?" Guru itu berhenti berkata, diluruskannya
rambutnya yang bergelombang teratur itu, kemudian melanjutkan, katanya, "Sengaja
mukaku kupelihara, agar mereka selalu ingat bahwa aku adalah keturunan yang syah dari
kerajaan Majapahit. Aku, menurut ibu yang melahirkan, adalah anak tertua dalam
hubungan cumbu antara baginda dan ibuku. Karena itu anak anakku, bagaimanapun aku
tak akan gentar mengangkat murid-muridku menjadi adipati di suatu daerah, seperti adipati muda yang perkasa di Sadeng." Kembali guru itu berhenti ia mengingat-ingat masa
lampau, kemudian senyum indah menghias bibirnya, ia menyambung, "Dalam tata lahir
Ratu Ayu adalah pemegang takhta yang syah, tetapi sebenarnya akulah, karena aku lahir
sebelum mereka itu. Aku lahir karena cinta kasih manusia laki-laki dan perempuan, bukan
kemahkotaan."
Kalau saja ada orang yang percaya ucapan guru ini adalah murid-murid mereka.
Memang demikianlah seorang murid selalu menurut apa yang diucapkan gurunya, baik
ucapan itu salah atau benar. Dan kelak setelah selesai dengan ilmu yang diberikan barulah
mereka berani membantah ucapan guru itu. Demikian pula, walaupun dalam hati muridmurid itu meragukan ucapan gurunya, mereka tidak akan membantah.
"Karena itu Majapahit harus kembali ke pangkuan orang yang syah dan kalian
yang memegang kekuasaan di daerah jajahan. Aku percayakan karena ikatan perguruan.
Kau mengerti!!" Semuanya mengangguk patuh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Anak-anakku mengapa aku berkata ini dengan membuka topeng kesetiaanku.
Sebab aku berkata antara bapak dan anak-anakku dengan tidak resmi, bukan antara guru
dan murid. Jadi kalian boleh percaya boleh juga tidak. Kalian boleh mengikuti jejakku
dalam merebut Majapahit, boleh pula memilih jalanmu sendiri. Tetapi membalas dendam
atas kematian kedua kakakmu adalah kewajiban."
"Guru janganlah demikian, guru adalah guru, walaupun berkata dengan tiada
topeng kesetiaan." Kata salah seorang muridnya.
"Pembelaan terhadapku sebagai manusia, kuserahkan kepada kalian, aku tidak
dapat memaksakan demikian." Kata guru itu dengan menghela napas panjang.
Keadaan menjadi hening. Bulan semakin tinggi, sekarang sudah sepenggalah di
atas bukit yang melindungi hutan mereka.
"Nah, anak-anakku mumpung bulan bundar dan cerah, latihan kita mulai."
Perintah guru itu.
Mendengar perintah gurunya, mereka berdiri dan berloncatan naik ke atas
gundukan tanah tempat latihan itu. Mereka mulai menghirup udara segar, menahannya
di dada, kenudian melontarkannya dengan pelahan.
Sebentar mereka berputaran kemudian, kesepuluh orang itu saling berhadapan dan
saling bersiaga.
"Yak!! Mulai latihanmu."
Mereka saling berebutan menyerang, menghantam dan menghindar tak ubahnya
ayam-ayam jantan yang sedang berebut unggul. Bagi mereka latihan semacam itu adalah
makan pagi yang memanaskan badan. Mereka sudah terlatih. Pukulan-pukulan yang
dilontarkan bukanlah sekedar latihan, tetapi benar benar lontaran dahsyat, sehingga
apabila tanpa kesiagaan tidak jarang mereka yang kena hajar menjadi pingsan.
"Selesai dengan pemanasan badan." Kata gurunya.
Serentak mereka berhenti dan saling menghormat, kemudian bersama-sama
menghormat kepada gurunya.
"Angkat batu ini ke tengah-tengah tempat itu." Mereka berempat mengangkat batu
besar itu. Keempatnya sama sekali belum mampu, ditambah dua orang lainnya hanya
mampu menggulingkan, dan didorong sampai ke tempat yang ditunjuk gurunya.
"Pukullah batu itu."
Mereka saling menghantam berkali-kali.
"Adakah yang dapat rnemecahkan?" Tanya gurunya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kami belum mampu guru."
"Hem. Karena kau belum mengetahui hakekatnya."
Guru itu maju mendekati batu itu. Ia merenggangkan kakinya dengan sikap siaga,
mengatur napasnya disertai keyakinan, kemudian meliukkan tubuhnya, mengangkat
tangannya tinggi.
Guru itu meloncat maju, dan kedua tangannya yang terangkat itu dihantamkan
pada batu sebesar gajah itu, bersamaan waktunya ia meloncat mundur beberapa langkah.
Blaang!!! Batu itu pecah berantakan. Dalam kesiagaan penuh guru itu meloncat
maju menghantam dalam gerak yang cepat sekali, sehingga tonggak-tonggak yang berdiri
di gelanggang beterbangan roboh terangkat dan lepas dari tempatnya semula. Tidak
kurang dari dua puluh tonggak dapat dirobohkan dalam waktu yang sekejap. Guru itu
kembali melenting dan berdiri tegak di atas kakinya yang kokoh itu pada suatu sudut siaga.
"Demikianlah anak-anakku." Kata guru itu sambil membungkuk.
Muridnya masih terlongoh-longoh kagum.
"Anak-anakku, andaikata semuanya tadi manusia, tentu mereka dapat lari,
menghindari, atau beradu tenaga. Mengapa aku meloncat mundur setelah memukul batu
itu, karena aku khawatir pecahan batu itu mengenai diriku, Andaikan manusia maka
kutunggui bahkan kau gunakan sebagai perisai kalau-kalau teman-temannya menyerang
aku. Atau kutinggalkan seperti tak ubahnya aku menghajar tonggak-tonggak dalam sekali
hantam."
Murid-muridnya masih belum bergerak dari tempatnya, mereka memandang
heran kepada gurunya. Mereka tidak dapat membayangkan, sepasar yang lampau
gurunya menghajar tengkuk harimau dalam sekali gebrak harimau itu tidak bernyawa
lagi, tetapi kepala harimau itu belum pecah. Sekarang dalam latihan yang tidak memakan
waktu lama, batu sebesar gajah itu telah hancur berkeping-keping dengan tangan gurunya.
Mereka belum dapat membayangkan pula kecekatan gurunya yang dalam waktu hampir
bersamaan, tak ubahnya putaran angin telah menggulingkan dan menerbangkan tonggaktonggak yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan menarik napas panjang, ia membayangkan
bagaimana kalau yang dikenai pukulan gurunya itu kepala manusia, bukankah
tengkuknya akan terbang terlepas dan benaknya berlelehan. Diam-diam mereka menjadi
ngeri.
Mereka memandang gurunya, tidak menj^ngka dibajik wajah yang lunak dan
penuh senyum itu, tersimpan keperkasaan yang luar biasa, dan gurunya akan dapat
berbuat diluar kemampuan perbuatan manusia, akan sekejam srigala terhadap
mangsanya.
Guru itu mengerti apa yang sedang dirasakan oleh murid-muridnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Anak-anakku kalian jangan mudah heran. Di kolong langit ini masih banyak
orang sakti di atas kemampuanku."
"Tetapi ......" Muridnya berkata tak meneruskan.
"Sudahlah. Marilah aku mulai dengan ilmu itu." Sebagian besar muridnya masih
melongok.
"Kalian adalah murid-muridku, tak wajar heran akan kesaktian seseorang, sebab
kalian akan dapat melakukannya."
Mereka menjadi berbangga atas ucapan gurunya itu.
"Samberpati kepadamu kuserahkan kesempatan yang pertama."
Gurunya mulai menggerakkan tubuhnya dengan diikuti Samberpati, mulai dari
permulaannya sampai kepada bagaimana menghentakkan tangannya pada sebuah benda.
"Nah, demikian gerakan itu. Kau mundur selangkah suatu gerakan tipuan agar
lawanmu menyangka kau dalam sikap lemah. Tetapi bersamaan itu, satukan segenap
panca-indramu, kumpulkan segenap kekuatanmu dalam perut, salurkan sedikit demi
sedikit melalui tanganmu dan coba menahannya sampai telapak tanganmu, dan kemudian
lepaskan dengan dibarengi keyakinanmu akan kekuatan yang tersimpan."
Samberpati memperhatikan setiap kata gurunya.
"Kemudian usahakan seperti tak ubahnya pintu bendungan yang membuka airnya,
bendungan yang dadal karena santernya air."
Guru itu memperhatikan muridnya satu persatu.
"Lihatlah sekali lagi." Habis berkata demikian guru itu dengan perlahan
memperlihatkan gerak dan sikap yang harus dilakukan.
"Dasar pengolahan napas kalian sudah terlatih, hanya saja cobalah
mengetrapkannya dengan benar." Guru itu menerangkan.
Setelah itu ia menyuruh Samberpati untuk memulai.
Demikianlah, Samberpati memulai, ia meliukkan tubuhnya menarik napasnya,
menyalurkan segenap kekuatan yang tersimpan, kemudian dengan mengangkat kedua
tangannya tinggi, ia meloncat maju menghantam sebuah tanah padas.
"Braass!! Tanah padas itu terbelah.
"Bagus itulah latihan yang pertama. Kau harus berlatih terus sampai menemukan
intinya."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Setelah Samberpati disusul yang lain lain. Sampai jauh malam barulah mereka
selesai dengan pemberian ilmu yang terakhir itu.
"Kalian tak kuperkenankan ragu-ragu. Ada bahayanya kalau kalian ragu-ragu
maka kekuatan yang tersimpan itu akan memukul dirimu sendiri, dan kau akan
melontakkan darah segar."
Benar juga apa yang diucapkan guru itu, tidak berapa lama Caranglampit yang
bertubuh kurus itu batuk-batuk dan terduduk kemudian melontakkan darah segar. Guru
itu memperhatikan.
"Kalian lihat Caranglampit sewaktu akan menghentakkan kekuatan berlawanan
dengan pengaturan napasnya, sehingga kekuatan yang terbendung menghantam balik.
Sadarilah hal ini." Habis berkata demikian guru itu mengeluarkan sebungkus ramuan obat
memberikan kepada Caranglampit.
Caranglampit sudah dapat berdiri, mukanya seputih kertas.
"Guru maafkan aku." Kata Caranglampit dengan membungkuk.
"Oh, itu adalah latihan anak-anakku." Jawab gurunya. Samberpati yang masih
belum puas dengan latihan itu, ia masih saja menggerak-gerakkan tubuhnya. Gurunya
mengerti hal itu. Cepat guru itu menegurnya, "Anakku Samberpati, aku mengetahui apa
yang bergolak dalam dadamu, tetapi kau harus mengerti berbahaya berlatih dalam
keadaan lelah." Guru itu diam sejenak, ia memperhatikan tanggapan Samberpati. Ruparupanya Samberpati masih juga ingin berlatih.
"Guru, aku mohon ijin sekali lagi."
"Mereka telah selesai seluruhnya guru. Dan betapa kecewanya tidak dapat
mempertontonkan kemahirannya di depan kakang Samberpati." Kata Gagak Bangah.
"Kau katakan Samberpati pingsan dalam latihan?"
"Tidak mungkin guru, hal itu tidak ada perlunya mereka mengetahui," Jawab
Gagak Bangah mencari hati.
"Bagus kau seorang yang perkasa tubuh dan perkasa pendirian. Gurunya memuji,
Gagak Bangah merasa bangga.
Menjelang matahari terbit, kelihatan Samberpati menggeliat tubuhnya kena panas
pagi yang cerah itu. Di balik gundukan itu matahari dengan sombong menampakkan diri
tanpa penutup.
Matanya belum membuka, tetapi ia menelentangkan diri, tangannya memegang
kepala kemudian menolong membuka matanya. Dadanya turun naik. ia melihat
sekitarnya seperti seorang baru datang di dunia.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Guru itu mendekati muridnya, menempelkan telapak tangannya pada telapak
tangan Samberpati. Disalurkan kekuatannya untuk membantu agar muridnya cepat
kembali pulih, tubuh Samberpati yang lemah itu berangsur-angsur pulih, wajahnya yang
tertutup itu dijenguk gurunya. Guru itu manggut-manggut, kemudian memandang muridmurid lainnya. Matanya di balik topeng itu tampak bertanya-tanya
"Bagaimana guru?" Tanya Gagak Bangah.
"Dia perlu beristirahat."
Semuanya diam dengan benaknya sendiri sendiri.
"Guru maafkan aku." Suara dalam terucapkan. Gurunya mengangguk.
"Aku telah melakukan kesalahan karena menuruti hatiku."
"Sudahlah, kau segera sembuh." Kata guru itu dengan masih melekatkan
tangannya.
Samberpati duduk, ia dapat merasakan kesegaran pagi yang cerah itu. Matahari
bersinar penuh. Samberpati mencoba berdiri dengan payah, adik-adik akan menolongnya.
"Sudahlah, aku masih dapat berdiri." Katanya dengan mencoba sekali lagi berdiri,
ia seorang yang tinggi hati, tidak mungkin diperlakukan seperti anak kecil dibimbing
baginya adalah satu penghinaan.
Pernah dahulu ia luka parah, darahnya menyembur dari beberapa lukanya.
Beberapa anak buahnya akan menolong, ditolaknya bahkan seorang anak buahnya
ditusuk dengan belati dan mati seketika itu. Masih mengiang di telinga adik-adiknya
makian Samberpati pada waktu itu, "Bangsat!! Aku bukan anak kemarin sore, tertusuk
belati atau tergores pedang adalah permainan Samberpati. Pergi atau belatiku tertunjam
di tubuhmu." Dan malang bagi seorang yang terlambat pergi, dengan satu loncatan belati
Samberpati sudah tertanam di pinggang orang itu. Disertai jerit yang mengerikan orang
itu terkulai kemudian jatuh tidak berkutik lagi.
Kejadian waktu itu adalah pengalaman bagi adik adik seperguruannya, mereka
selalu membiarkan apapun yang dikehendaki Samberpati itu.
Dan pada pagi itu di depan gurunya ia terluka dalam, iapun tidak akan mau
ditolong adik-adiknya. Gurunya memandang dengan terharu.
Benar-benar diluar dugaan mereka, gurunya kemudian membantu Samberpati
dengan diam diam. Ia mengetahui muridnya seorang ini adalah bengal dan tinggi hati.
Guru itu mendekapkan kedua tangannya pada dada dengan memandang Samberpati.
Demikian sebenarnya Samberpati mendapat bantuan tenaga gurunya dari jarak jauh, ia
dapat berdiri tegak kemudian berjalan keluar gelanggang dengan muka tunduk.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ratu Ayu 03 Pendekar Wanita Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mukhdan
"Benar-benar gila." Bisik Gagak Bangah.
Guru itu tidak mungkin melayani apa yang didengarnya dari Gagak Bangah, sebab
dengan memperhatikan ke tempat lain, maka akan terpecah-pecahlah ia menyatukan
segala kekuatannya untuk menolong muridnya tertua. Murid-murid yang lain hanya
memandang Gagak Bangah dengan perasaan aneh.
Salah seorang adiknya bertanya, "Apanya yang gila kakang?"
"Kakang Samberpati dalam keadaan demikian masih juga bersombong tidak mau
ditolong." Jawab Gagak Bangah.
"Memang keterlaluan."
"Apa sih pentingnya merasa terhina dalam satu perguruan."
"Benar ucapan kakang itu." Lembu Panatas membenarkan sikap Gagak Bangah.
"Kau belum lelah?"
"Belum guru."
"Besok malam masih bisa kita lanjutkan."
Semua adik adiknya memandang kepada Samberpati. Sesungguhnya mereka
mengajak kakaknya beristirahat, tetapi mana mereka berani mencegah kehendak
Samberpati yang berhati keras dan berangasan itu. Mereka mengerti watak kakaknya yang
mau menang sendiri, dan menjatuhkan hukuman seenaknya. Semut Sargula kadangkadang dipakainya sebagai hukuman teringan untuk satu kesalahan membantah
kehendaknya.
"Kakang bukankah kita akan menghibur diri?"
"Hem. Rupa-rupanya kau Gagak Bangah hanya berangan-angan ledek-ledek yang
montok sekedar dapat bersentuhan diri, dari pada melatih diri dalam kesiagaan. Heh,
adakah patut kau menjadi adik seperguruanku dan penghuni Alas Purwa ini?"
"Tidak kakang, maksudku hanya mengingatkan."
Kepada Gagak Bangah, sebenarnya Samberpati agak ragu-ragu mengukur diri,
karenanya ia menjawab, "Hem, ya aku lupa tadi aku sudah berjanji pada kalian. Tetapi
baiklah hiburan itu akan mengisi malam ini menjelang pagi."
Gagak Bangah membungkuk hormat.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Tiba-tiba saja Samberpati meloncat ke tengah gelanggang Ia berulang kali
menghantam padas yang menghiasi arena latihan itu. Tetapi lambat laun terlihat bahwa
Samberpati benar benar letih.
Kokok ayam hutan sudah terdengar berkali-kali, sedang bulan bundar sudah
condong ke barat.
Bersamaan dengan makin cemerlangnya bintang panjer rahina mereka melihat
kejadian yang mencekam hati. Samberpati terlontar balik seperti dibandil, dan jatuh
terlentang. Ia sempoyongan berdiri, kemudian tersungkur. Sebentar tidak bergerak. Adikadiknya berlarian mendekat. Tetapi tinggal beberapa langkah dari tempat Samberpati
terjatuh gurunya mencegah mereka memberi pertolongan,
Semuanya menjadi ragu tercengang.
"Jangan kalian tolong."
"Mengapa guru?"
"Tubuhnya akan hancur. Biarkan ia sadar dengan sendirinya Itulah bahayanya."
Kata guru itu
Sekarang semuanya mengerti dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa
kakak seperguruannya yang berkeras hati menjadi korban.
"Untung Samberpati bukan semlarangan orang. Ia mempunyai tekad yang bulat
dan keberanian. Pada dirinya benar-benar tersimpan bekal dan bukat yang cukup. Kalau
tidak dia tidak akan bernapas lagi bahkan tubuhnya kemungkinan terlepas-lepas."
Semuanya menghela napas panjang dan tertunduk.
Kembali terdengar kokok ayam hutan semakin ramai.
Di sebelah timur cahaya kekuningan mulai tampak. Sudah menjelang pagi Bintang
panjer rahina semakin pudar kalah dengan sinar matahari yang cerah.
"Gagak Bangah, kau perintahkan hiburan diundur besok malam." Perintah
gurunya. Gagak Bangah segera berangkat.
"Suruh mereka beristirahat." Ulang gurunya memerintah.
Dengan langkah tegap murid kedua dari perguruan Alas Purwa itu menyelinap di
balik gerumbul kecil yang mengantarai jalan menuju gelanggang latihan itu.
Gagak Bangah sebenarnya seorang yang perkasa, ia mempunyai tubuh yang lebih
besar dari pada Samberpati cukup tenang dalam latihan. Ia juga seorang yang keras hati
dan mudah tersinggung. Kalau saja pada malam itu ia tidak mau berbantah denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Samberpati adalah karena ia masih ingin menghormati kedudukan gurunya. Dalam hati
ia mendongkol atas perlakuan kakak seperguruannya yang dianggapnya mau menang
sendiri.
Karenanya melihat Samberpati dalam keadaan pingsan, ia berharap-harap
Samberpati mendapat cedera, sehingga dialah yang menjadi orang terkuat dalam
peguruan Alas Purwa. Ia mengharapkan gurunya melimpahkan segala ilmu kepadanya.
Diam-diam Gagak Bangah tersenyum gembira. Walaupun wajahnya tertutup
topeng, tetapi sikap dan geraknya menandakan bahwa hatinya dalam keriangan.
"Coba kalian pikir, bermain-main dengan perempuan bersama kita tidak ada yang
merasa terhina. Dihadiahi seorang istri daripadanya kitapun tidak merasa terhina. Masa
dalam keadaan payah hampir tidak dapat berdiri, ditolong oleh adik sendiri, justru malah
merasa terhina sampai ke ujung rambut. Aku heran pikiran demikian." Gagak Bangah
walaupun seorang yang mudah tersinggung, tetapi dalam menolong sesamanya ia
bersikap jujur dan apa adanya.
Diam diam gurunya mendengar segala ucapan itu. Tetapi ia mencoba untuk tetap
membantu Samberpati. Sebenarnya Samberpati benar-benar luka dalam tiada terhingga.
Untunglah ia segera mendapat pertolongan gurunya. Kalau tidak barangkali ia akan
lumpuh, atau sama sekali tidak terdapat lagi namanya dalam percaturan pendekarpendekar hitam di daerah Alas Purwa dan sekitarnya.
Waktu Samberpati berpegangan batu, guru itu mempunyai kesempatan
beristirahat, disekanya keringat yang bercucuran membasahi mukanya. ia menarik napas.
Guru itu menoleh kepada Gagak Bangah. Lembu Panatas yang berjalan di belakang
Gurunya memberi isyarat agar kedua muridnya itu berjalan di sampingnya.
Matahari sudah sepenggalah di atas bukit, mereka hilang di balik belukar menuju
ke sarangnya.
"Dia orang kuat," Guru itu bergumam.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
BAGIAN I
DI TEMPAT LAIN mereka yang menyampaikan rontal Ki Pudak Kuning yang
tidak lain seorang wiratamtama sandi kerajaan Majapahit, mereka dengan senopatisenopati dan tamtama pilihan sedang menuju Alas Purwa. Mereka sengaja di kirimkan
dari Sadeng, karena mengetahui bahwa kewajiban yang dibebankan belum seluruhnya
selesai, mereka masih harus mengembalikan kewibawaan kerajaan dikalangan penduduk
yang telah lama hidup ditekan oleh brandal-brandal Alas Purwa. Mertka hidup dan tangan
brandal yang satu kebrandal yang lain, sehingga mereka tidak mengetahui siapa
sebenarnya yang sekarang berada di daerahnya itu. Namun para tamtama tidak akan
jemu memberikan penerangan bahwa Majapahit adalah pusat pemerintahan daerah di
mana mereka bertempat tinggal sekarang.
Senapati Majapahit menyadari penduduk Alas Purwa yang bertani adalah
penduduk yang berbudi yang keadaannya sangat menyedihkan karena setiap saat mereka
terpaksa memberikan sebagian hasil panennya kepada brandal-brandal Alas Purwa yang
bengis dan merasa bahwa merekalah yang lebih berhak atas singgasana kerajaan
Majapahit.
Mengingat kenyataan yang demikian inilah maka Senapati Sadeng mengirimkan
beberapa tamtama pilihan, mereka bertugas menangkap ikannya tetapi jangan sampai
keruh airnya. Jangan lagi penduduk yang menjadi sasaran kecemasan atas pergolakan
yang menimpa daerah pertaniannya.
Para tamtama yakin bahwa panji gula kelapa yang menandai persada tanah airnya
harus ditegakkan, mereka rela berkorban bekerja untuk sabda Sapta Prabu yang
kehendaknya mencerminkan jeritan seluruh penduduk dalam pengabdiannya kepada
keagungan Yang Maha Kuasa. Keyakinan para tamtama ini merupakan jaminan kesatuan
nama tamtama, di laut, di darat ataupun Bhayangkara yang menjamin ketenteraman
seluruh daerah.
Siang itu perjalanan mereka yang merupakan kelompok-kelompok pedagang, atau
berupa petani yang mencari daerah pengembaraan menuju Alas Purwa, di pasar-pasar,
sehingga daerah sekitar Alas Purwa itu menjadi ramai.
"Kalian darimana?" tanya salah seorang yang berkewajiban mencegat setiap
pendatang.
"Kami mendengar di dekat tempat ini terdapat kabupaten baru yang dipimpin
seorang yang perkasa?"
"Darimana kalian mengetahui?" Tanya penjaga itu.
"Sudah menjadi buah bibir seluruh daerah tuan." Penjaga itu bangga, kemudian
tertawa keras. Beberapa temannya bermunculan, mereka satu persatu mendatangi
perantau-perantau itu meminta sebagian barang-barang mereka.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Tuan, barang dagangan ini sebaiknya jangan tuan ambil terlampau banyak
rugiku." Kata pedagang yang membawa barang barang ukiran.
"Ha, kau mencoba membantah?"
"Tidak tuan, tuan boleh mengambil yang lain."
"Apa yang kumaui, kuambil."
Pedagang itu tidak menjawab. Penjaga itu memandang dengan pandangan aneh,
lalu berkata, "Kau melawan, ya?"
"Tidak tuan, sama sekali tidak. Ampuni aku tuan." Kata pedagang itu.
Selagi penjaga itu memperhatikan barang dagangan dan mencoba mengambil
beberapa barang ukiran, tiba-tiba dari arah belakang ia mendengar namanya dipanggil
orang. Penjaga itu tidak segera berpaling, ia mengerti siapa yang memanggilnya.
"Tandagembrik." Ulang yang memanggilnya.
Dengan tunduk penjaga itu menoleh. Setelah berhadapan ia membungkuk hormat
dengan berkata, "Selamat pagi tuan."
Pendatang itu ternyata seorang yang memakai topeng panji dengan belati di
pinggang dan cambuk besar menghiasi tangannya.
"Rupa-rupanya jalan ini menjadi ramai?" Tanyanya.
"Benar tuan, mereka mendengar berdirinya kabupaten baru."
"Hem." Jawab orang bertopeng itu dengan berfikir. Orang bertopeng itu meloncat
turun, disertai beberapa yang lain yang juga mengenakan topeng panji. Mereka sebanyak
empat orang dengan seragam yang sama. Ikat kepala merah soga, celana soga dengan
timang yang besar, sedang cambuknya menghiasi dada seakan akan perisai. Seorang diantara mereka mendatangi Tandagembrik lalu menamparnya. Sudah barang tentu
Tandagembrik yang sama sekali tidak menyangka perlakuan itu menjadi sempoyongan
dengan cairan darah keluar dari mulutnya.
"Kurangajar. Bertindak sendiri." Seru orang bertopeng itu.
Keempat orang itu berdiri tegak, tubuhnya yang kokoh menandakan
keperkasaannya itu diperlihatkan kepada pedagang pedagang yang sedang beristirahat.
Satu demi satu pedagang pedagang itu seperti berguguran keberaniannya. Keempat orang
itu tertawa keras, mereka adalah Arya Sulung, Gemak Paron dan kedua Cere kakak
beradik.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Di sana pasar yang baru kudirikan. Kalian datang tepat pada waktunya." Kata
Gemak Paron yang pagi itu mengepalai mereka.
Dengan membungkuk hormat, pedagang-pedagang itu menuruti perintah.
"Hai mengapa kalian berpindah kemari?" Tanya Gemak Paron.
"Karena dimana-mana dagangan tidak laku tuan. Karena itu kami berombongan
mencari pasar baru." Jawab salah seorang pedagang, yang bertubuh kurus.
"Bagus. Daganganmu macam-macam banyaknya."
"Terima kasih atas pujian itu tuan."
Gemak Paron bangga, dengan membusungkan dadanya ia mengangguk berkali
kali. Tubuhnya yang bundal itu sampai perutnya berkembang-kempis. Dengan tersenyum
ia memandang pedagang-pedagang yang menuju pasarnya.
-"Di belakang masih ada serombongan lagi Tuan."
"Baik Aku akan menantikan di sini."
Matahari sudah sepenggalah di atas bukit, pasar baru itu semakin ramai dengan
pendatang-pendatang. Daerah Alas Purwa seperti mendapat pasar tiban.
Keempat orang itu kemudian pergi melaporkan datangnya pedagang-pedagang ke
daerahnya.
Waktu matahari sudah sampai di tengah bulatan bumi, pasar tiban itu menjadi
ramai orang berjual beli. Bahkan petani asli dari daerah itu sendiri banyak mengunjungi
karena mendengar berita adanya pasar tiban di Alas Purwa.
Lain halnya kelima saudara seperguruan yang tua-tua, mereka mempunyai
perhitungan-perhitungan lain. Mereka juga mengunjungi keramaian pasar itu bersama
dengan keempat orang lainnya, mereka berjumlah sembilan orang. Sedang guru dan
Samberpati tidak tampak di tengah-tengah mereka. Samberpati dalam keadaan luka,
gurunya tidak mungkin meninggalkan. Guru itu mengharapkan malam nanti Samberpati
sudah dapat menyaksikan hiburan yang dijanjikannya.
"Adi Gemak Paron darimana mereka itu?" Tanya Gagak Bangah.
"Dari daerah lain. Mereka kemari karena mendengar adanya pasar di kabupaten
baru, kabupaten Alas Purwa."
"Siapa yang memberitakan hal itu?" Gemak Paron tidak dapat menjawab, ia
memandang teman-teman lainnya, tetapi semuanya bungkam.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Barangkali dari mulut kemulut kakang."
"Ya, aku mengerti. Tetapi mulut siapa? Adakah mulutmu?"
"Tidak kakang." Mereka menjadi diam.
"Barangkali Karang Seta yang meninggalkan pategalannya beberapa hari yang
lalu."
"Hem. Mungkin juga." Kata Gagak Bangah. Mereka kemudian memeriksa
pedagang pedagang itu satu persatu, apa yang mereka jual. Di depan seorang pedagang
yang kekurusan itu mereka berhenti dan memandang tajam.
Dengan ramahnya pedagang itu membungkuk hormat, kemudian berkata,
"Maafkan tuan, jika tuan tidak berkeberatan menerima pasungsung, aku ada
membawakan sekedar oleh-oleh untuk tuan."
Sebenarnya Gagak Bangah kepingin terhadap pemberian itu, tetapi setelah melihat
kepada adik-adiknya ia merasa kikuk, lalu berkata dengan lantang. "Jangan menyuap
aku."
"Bukan tuan, maksudku untuk tuan petinggi di sini."
"Untuk kabupaten baru maksudmu?" Tanya Gagak Bangah.
"Ya, demikianlah kumaksudkan."
Gagak bangah memandang dan minta pertimbangan adik-adiknya.
"Baiklah, kalau bukan untuk perorangan, kuterima."
"Terima kasih tuan. Satu penghormatan untukku, tuan mau menerima barang
yang tidak seberapa ini." Habis berkata demikian pedagang itu memberikan sebuah ukiran
burung yang sedang terbang.
"Bagus. Burung terbang."
"Bukankah tuan mempunyai cita-cita tinggi?"
"Darimana kau tahu?" Gagak Bangah kembali bertanya .
"Dari sikap dan ucapan tuan menandakan bahwa tuan seorang yang bercita-cita
tinggi."
"Aah. Kau memuji dan mengenakkan aku."
"Tidak tuan, dimataku tuan benar-benar berwibawa." Gagak Bangah mendapat
sanjungan demikian berbesar hati.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kalian boleh sampai malam berjualan di sini. Atau menginap di sini. Adik-adikku
akan menjaga keamanan kalian dari gangguan siapapun." Belum lagi ucapan Gagak
Bangah itu mendapat tanggapan dari pedagang-pedagang, cepat-cepat adiknya berkata,
"Kakang Gagak Bangah bukankah malam ini kita berpesta."
"Di sini, tidak akan mengganggu bukan?"
"Maksudku, apakah guru berkenan,"
"Siang ini, aku yang menentukan." Tentu saja di depan pedagang itu Gagak
Bangah memperlihatkan kekuasaannya,
"Terima kasih atas ijin tuan itu."
Serta merta semua pedagang yang di tempat itu berdiri dan membungkuk
kemudian masing masing memberikan pasungsung sebagai tanda atas perkenan mereka.
Bagi pedagang-pedagang yang sebenarnya adalah tamtama-tamtama pilihan itu
ucapan demikian itulah yang ditunggunya. Dengan begitu tiada lagi sesuatu yang
mencurigakan.
Mereka berkerubutan menerima pemberian itu dengan merasakan mendapat
penghargaan.
Menjelang sore mereka meninggalkan tempat itu dengan membawa barang
barang. Sedang penjaga itu memandang terlongoh-longoh.
Dalam hati penjaga itu mengumpat, kemudian memegang mulutnya yang kena
hantam dan memijit-mijitnya. Tiada lagi darah yang keluar. Ia memandang tetapi tidak
dapat berbuat sesuatu, penjaga itu menarik napas panjang dan menoleh kepada pedagangpedagang yang di dekatnya. Pedagang-pedagang itu menghormat dan mempersilahkan
penjaga mendekatinya.
"Silahkan tuan mumpung lurah tuan pergi."
"Kalian suka melihat aku kena hajar?"
"Tidak tuan."
Ratu Ayu 03 Pendekar Wanita Menuntut Balas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau tidak mengapa kalian menghina aku?"
"Aku tidak bermaksud demikian tuan."
"Bohong!!!" Habis berkata demikian penjaga itu lalu memukuli pedagang itu.
Sudah barang tentu pedagang itu mencoba menghindar, dan penjaga semakin marah
setelah berkali-kali ia menghantam angin, bahkan apabila saling bersentuhan penjaga itu
terpelanting balik.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kurangajar kau melawan ya?" Bentak penjaga itu. Pedagang itu diam. Terlintas
dalam benaknya jangan sampai penjaga itu menduga sesuatu sebelum malam tiba.
"Maafkan aku tuan."
"Kalau kau berani berbuat demikian, akan kuhajar sekali lagi sampai reot." Kata
penjaga itu dengan blingsatan. Sebenarnya ia merasa heran kalau ia menyentuh tubuh
pedagang itu tak ubahnya menyentuh batu. Sebodoh manusia-pun ia lalu berfikir.
"Pedagang dari mana sebenarnya kalian ini?" Pedagang-pedagang itu saling
berpandangan.
"Kami dari Sadeng tuan. Di sana kami mendapat perlakuan tidak sewajarnya. Dan
kami mendengar di sini ada pasar baru yang subur, itulah mendorong kami semua berombongan pergi ke sini dengan maksud ingin meramaikannya."
"Hem." Tampak pada wajahnya masih menduga-duga.
"Pedagang-pedagang itu tidak ingin persoalannya berkepanjangan, mereka ingin
apa yang terlintas dibenak penjaga itu hilang tidak berbekas. Pedagang pedagang itu
mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh temannya yang kurus tinggi itu.
"Tidakkah sebaiknya kita makan?" Tanyanya.
"Tentu sudah terlambat, perutku keroncongan."
"Kita mempunyai tamu, tuan-tuan yang menjaga keselamatan kita."
Mereka mengeluarkan bekal yang dibawa. Bermacam-macam, makan dengan
lauk-lauknya yang menimbulkan selera. Dan mereka kemudian makan bersama dengan
akrabnya.
"Tuan, sudah berapa tahun tuan tinggal di sini?"
"Aku sudah hampir sepuluh tahun, kalau teman-temanku ini sejak pengungsian
dari Sadeng."
"Mengapa mengungsi tuan?" Tanya salah seorang pedagang.
Rajawali Hitam 9 Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu The Beginning 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama