Tiga Naga Dari Angkasa Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
sebagai isterimu, aku akan merasa bahagia dan rela, suheng. Akan tetapi, kalau kau membiarkan dia
merendahkan diri dan menjadi jodoh pemuda itu, biar bagaimanapun juga, aku akan menghalanginya."
"Sute, tak kusangka bahwa setelah berada di kotaraja, kau menjadi gila. Cintamu terhadap sumoi itu
bukan cinta murni, cinta yang diliputi nafsu semata. Kau hendak membunuh pemuda pelajar yang tak
berdosa itu? Baik, ada aku yang akan membelanya!"
"Kau...?' Kedua mata Bun Hong yang sudah merah karena marahnya itu tiba-tiba mengeluarkan dua titik
airmata. "Kau hendak melawanku, suheng? Kau...?"
"Apa boleh buat, lebih baik melihat saudaraku yang kukasihi mati daripada melihat ia hidup
menjalankan kejahatan!" Bun Hong berteriak keras dan melompat sambil menusuk dengan pedangnya.
Beng Han menangkis dan keduanya lalu bertempur hebat lebih seru dan mati-matian daripada ketika
Bun Hong bertempur melawan Kui Eng tadi! Bun Hong memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan
pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi Beng Han yang waspada dan
tenang dapat menghadapinya dengan baik dan mengembalikan semua serangan Bun Hong.
Kalau tadi, ketika Kui Eng dan Bun Hong bertempur, mereka dapat diumpamakan sepasang naga
berebut mustika, adalah kini mereka merupakan sepasang naga berebut sarang. Bun Hong gesit dan
gerakan pedangnya ganas dan cepat, sedangkan Beng Han tenang dan gerakan pedangnya kuat.
Betapapun juga, ilmu pedang mereka bersumber dari satu dasar pelajaran, yakni Swi-hoa Kiam-hwat,
maka tentu saja mereka dapat mengetahui gaya masing-masing dan dapat mengembalikan setiap
serangan dengan baik. Mereka hanya mengandalkan keulatan dan kegapahan tangan kaki belaka.:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 140
:: CerSil KhoPingHoo : :: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 141
:: CerSil KhoPingHoo :
Pantangan bagi orang yang sedang bertempur ialah rasa takut, bimbang dan terutama sekali nafsu
marah. Biarpun Bun Hong tidak merasa takut, akan tetapi menghadapi Beng Han ia merasa bimbang,
dan hatinya masih diliputi rasa marah hingga gerakannya tidak setepat Beng Han.
Oleh karena itu, beberapa kali hampir saja ia menjadi kurban pedang Beng Han, baiknya Beng Han
terganggu oleh rasa tidak tega dan kasihan hingga tiap kali ujung pedangnya sudah dekat dengan
sasaran, ia segera menarik kembali serangannya. Beng Han amat mengasihi adik seperguruannya ini,
maka tentu saja ia tidak tega untuk melukainya. Pada suatu saat, Beng Han menyerang dengan gerak
tipu Angin Taufan Menyambar Pohon. Gerakannya hebat dan kuat sekali hingga ketika Bun Hong
menangkis, ujung pedang Beng Han masih mendesak dan berhasil melukai lengan tangan Bun Hong yang
segera mengalirkan darah. Beng Han terkejut dan melompat mundur, sedangkan Bun Hong dengan
tersenyum pahit lalu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus darah dilengan tangannya.
"Suheng, kau hebat sekali!," katanya, sedangkan Beng Han lalu berkata dengan sedih,
"Sute, janganlah kita bertempur lagi! Insyaflah, tak baik ilmu pedang yang kita pelajari ini kita gunakan
untuk saling gempur!" Akan tetapi Bun Hong tertawa menyeramkan dan berkata,
"...Suheng, ketahuilah! Untuk berbulan-bulan hatiku gelisah dan menderita karena memikirkan sumoi.
Aku telah banyak menderita, bahkan nasibku yang sial membawaku terbelenggu dan untuk menolong
keluarga pangeran Song aku terpaksa menikah dengan puterinya, sementara itu hatiku masih tetap
merindukan sumoi. Aku menghibur kesedihanku dengan pikiran bahwa sumoi sudah sesuai menjadi
jodohmu dan karena kalian adalah orang yang kukasihi, maka aku merasa rela dan ikhlas! Tidak tahunya,
kalian tidak bertunangan dan bahkan sumoi mendekati seorang pemuda pelajar yang lemah! Bagaimana
hatiku bisa senang? Luka sedikit ini tidak ada artinya, ajoh kita teruskan, suheng, dan jangan kepalang
tanggung kau mengerjakan pedangmu!"
Setelah berkata demikian, Bun Hong melompat maju dan menyerang pula hingga Beng Han merasa
bingung dan sedih sekali. Terpaksa ia mengangkat pedangnya menangkis. Pada saat itu, terdengar suara
tertawa keras bergelak dan tiga bayangan orang berkelebat dan berdiri disitu. Ternyata mereka ini
adalah Tek Po Tosu, Bong Kak Im, dan Bong Kak Liong, tiga orang jagoan kelas satu dari Thio-Thaikam!
Mereka ini semenyak dulu telah menaruh hati curiga terhadap Bun Hong, akan tetapi oleh karena Bun
Hong dapat mengendalikan diri dan tak pernah memperlihatkan kepandaiannya,
Mereka tidak mempunyai bukti dan tak berdaya mencelakakannya. Akan tetapi, penyelidik mereka
memberitahu bahwa belakangan ini seringkali menantu pangeran Song itu berkuda keluar kota dan
entah melakukan pekerjaan apa, Timbul kembali kecurigaan ketiga orang jagoan itu dan setelah mereka
memberi laporan kepada Thio-Thaikam, mereka lalu diutus untuk menyelidik. Demikianlah, mereka lalu
mengintai dan kebetulan sekali mereka melihat Bun Hong bertempur dengan Kui Eng dan kemudian
setelah melihat kedatangan Beng Han dan mendengar percakapan mereka, tahulah ketiga orang itu
bahwa Bun Hong benar adalah pemuda berkedok yang dulu menyerang Thio-Thaikam! Segera mereka
muncul keluar dan terdengar suara Tek Po Tosu yang berkata,
"Aha, tidak tahunya menantu pangeran Song benar adalah pemberontak yang kami cari?!" Bun Hong
dan Beng Han terkejut sekali mendengar ini dan mereka segera menghentikan pertempuran dan berdiri
berendeng, menghadapi tiga orang pahlawan Thio-Thaikam itu. Melihat Beng Han, Tek Po Tosu tertawa
lagi mengejek,:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 142
:: CerSil KhoPingHoo :
"Eh, eh, tidak tahunya menantu pangeran Song adalah sute dari pemberontak yang telah kujatuhkan!
Masih belum matikah kau? Baik, baik! Kalau begitu sekarang akan kubinasakan kalian pemberontak
rendah!" Sambil berkata demikian, Tek Po Tosu lalu mencabut keluar pedangnya yang sepasang itu,
sedangkan Bong Kak Im juga mencabut keluar senjatanya sepasang kapak yang dahsyat itu, diikuti oleh
Bong Kak Liong yang menarik keluar sebatang goloknya yang lihai!
"Sute, marilah kita basmi anjing-anjing penjilat ini!," kata Beng Han dengan penuh geram. Bun Hong
tersenyum,
"Baik, suheng, memang telah lama sekali aku merasa rindu untuk membunuh cacing-cacing rendah ini!"
"Pemberontak hina, bersedialah menerima kebinasaan!" Bong Kak Im berseru dan mulai menyerang
dengan sepasang kapaknya. Serangannya disambut oleh Bun Hong yang membentak,
"Pengapak kaju kampungan, jangan kau menjual lagak disini!" Bong Kak Liong lalu menggerakkan
goloknya membantu kakaknya itu hingga Bun Hong segera dikeroyok dua, akan tetapi orang muda itu
dengan gagahnya memutar pedang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai. Beng Han
menghadapi Tek Po Tosu.
"Pendeta keparat, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu kepandaian tanpa mengandalkan
keroyokan. Majulah dan kau boleh pergunakan semua jarum-jarum jahatmu yang hanya menunjukkan
sifatmu yang pengecut itu!"
"Bangsat sombong!," Tek Po Tosu berteriak dan segera melompat dan menerjang Beng Han dengan
siangkiamnya. Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Beng Han lalu membuat gerakan dengan
pedangnya hingga sekaligus ia dapat menangkis sepasang pedang lawannya yang menyerang.
Pertempuran itu terjadi dengan amat hebat dan serunya, terjadi ditempat yang sunyi, tidak disaksikan
oleh orang lain kecuali mereka yang bertempur sendiri, dibawah terik panas matahari yang membakar.
yang terdengar hanyalah senjata-senjata mereka yang beradu dan seruan-seruan mereka, terutama
sekali sepasang kapak Bong Kak Im yang tiap kali bertemu dengan pedang lawan mengeluarkan suara
nyaring.
Mereka bertempur dengan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Bun Hong
pernah menghadapi Bong Kak Liong, akan tetapi pada waktu itu ia dikeroyok oleh banyak sekali perwira
hingga ia tidak dapat mengukur tenaga lawannya ini yang benar-benar lihai. Bong Kak Liong dan
terutama Bong Kak Im adalah jago2 nomor satu dari Thio-Thaikam, dan jika dibandingkan dengan
panglima besar diistana Kaisar mereka ini sedikitnya mempunyai tingkat kepandaian kelas tiga, hingga
kelihaian mereka dapat dibayangkan. Apalagi kini mereka maju berdua mengeroyok Bun Hong, senjata
mereka berkelebatan menyilaukan dan setiap gerakan merupakan serangan maut. Akan tetapi, dengan
bernafsu dan gembira, Bun Hong menyambut semua serangan dan membalas dengan serangan yang tak
kalah hebatnya.
Setelah menghadapi musuh besar ini, permainan pedang Bun Hong makin lincah, karena ia tidak merasa
bimbang lagi dan seluruh kebencian serta kemarahan kini ia timpakan keatas kepala kedua orang lawan
yang tangguh ini! Juga Beng Han menghadapi Tek Po Tosu dengan hati-hati sekali karena pemuda ini
telah tahu akan kelihaian lawannya. Menghadapi gempuran pendeta ini tanpa dikeroyok, Beng Han
dapat melayaninya dengan baik, bahkan melancarkan serangan balasan yang cukup mengejutkan hati
Tek Po Tosu, Tosu ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi setingkat daripada kepandaian kedua:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 143
:: CerSil KhoPingHoo :
orang perwira she Bong itu, maka biarpun hanya seorang diri, ia dapat mengimbangi kepandaian Beng
Han. Sepasang pedangnya bergerak luar biasa sekali dan gerakan pedang ditangan kanan ganas dan
cepat, akan tetapi sebagian besar hanya merupakan gertakan untuk membingungkan lawan saja.
Sebenarnya yang berbahaya adalah pedang ditangan kirinya, karena walaupun pedang ditangan kiri ini
hanya bergerak lambat dan digunakan untuk menangkis belaka, akan tetapi pada saat yang tepat
pedang itu melakukan tusukan atau sabetan yang membawa maut! Beng Han maklum akan hal ini, maka
ia bersilat dengan tenang dan waspada, sama sekali tidak mau dikacau oleh gerakan pedang ditangan
kanan lawan. Demikianlah kedua orang muda, seperguruan yang tadi saling bertempur dengan hebat,
kini bersatu dan menghadapi tiga orang lawannya yang tangguh! Diam-diam kegembiraan timbul dihati
kedua orang muda itu, karena dengan adanya pertempuran ini agaknya segala kesalah-fahaman
diantara mereka tersapu bersih dan perasaan mereka kembali seperti dulu ketika mereka masih
bersama belajar silat dipuncak Swi-hoa-san.
Sambil bersilat menghadapi Tek Po Tosu, kadang Beng Han melirik kearah Bun Hong untuk melihat
keadaan sutenya itu. Ia merasa gelisah juga menyaksikan betapa tangguh kedua orang perwira yang
mengeroyok sutenya itu. Ia sendiri maklum bahwa tak mudah menjatuhkan Tek Po Tosu yang lihai dan
apabila pertempuran ini diteruskan, fihaknyalah yang akan menderita rugi. Ia melihat betapa wajah Bun
Hong pucat tanda bahwa pemuda itu kurang tidur dan menderita tekanan batin yang berat. Ia belum
tahu dengan jelas keadaan sutenya itu karena belum mendapat kesempatan bicara dengan leluasa. Tibatiba Beng Han mendapat akal. Diantara ketiga orang lawannya, yang paling tangguh adalah si tosu,
sedangkan kedua orang perwira itu kalau melawan Bun Hong seorang demi seorang tentu akan mudah
dirobohkan.
Maka ia segera berseru keras dan menggerakkan pedangnya dengan lebih cepat, melancarkan serangan
maut kearah seluruh bagian tubuh Tek Po Tosu yang lemah. Tosu itu terkejut dan segera menjauhkan
diri, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Beng Han untuk melakukan gerakan dan lompatan kilat. Ia
melompat kearah Bun Hong dan dari samping mengirim serangan kilat kepada Bong Kak Liong yang
bersenjata golok. Bong Kak Liong terkejut sekali, karena pada saat itu, ia sedang mengangkat goloknya
untuk membacok kepala Bun Hong dengan gerak tipu Harimau Kuning Menerkam Kambing. Melihat
berkelebatnya pedang Beng Han yang menyerangnya dengan tiba-tiba, ia segera menarik kembali
goloknya dan membabat kearah pedang yang menusuk dadanya itu, akan tetapi Bun Hong yang melihat
kesempatan baik lalu mengerjakan kakinya dan
"buk!!" lambung kiri Bong Kak Liong berkenalan dengan ujung kaki Bun Hong yang keras! Bong Kak Liong
menjerit ngeri dan roboh sambil muntah-darah. Ternyata tendangan yang diisi tenaga lweekang itu telah
melukai jantungnya dan perwira itu meninggal dunia tak lama kemudian, Bukan main marahnya Tek Po
Tosu melihat ini. Ia mengeluarkan saputangannya dan mengebut beberapa kali hingga belasan jarum
melayang kearah Beng Han dan Bun Hong. Beng Han yang pernah merasai kelihaian jarum-jarum itu,
segera berseru,
"Awas, sute, jarum-jarum beracun!" Bun Hong yang merasa girang karena berhasil menjatuhkan Bong
Kak Liong, segera menjatuhkan diri dan bergulingan hingga terluput dari sambaran jarum,
Sedangkan Beng Han yang sudah siap-sedia, lalu memutar pedangnya hingga semua jarum dapat
diruntunkan. Bun Hong menjadi marah sekali, dengan berseru keras ia lalu menerkam dan menyerang
Tek Po Tosu hingga pendeta itu tidak sempat mempergunakan saputangannya yang lihai, dan terpaksa
menyambut serangan Bun Hong dengan siangkiamnya. Kini Beng Han yang menghadapi Bong Kak Im,:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 144
:: CerSil KhoPingHoo :
musuh lamanya. Perwira she Bong ini yang melihat betapa adiknya telah tewas, menjadi marah sekali
dan juga gentar, hingga permainan kapaknya menjadi kacau dan agak lambat. Kesempatan ini tidak disiakan oleh Beng Han dan karena ia maklum bahwa kepandaian perwira itu belum begitu kuat, maka ia
lalu mengeluarkan serangan yang paling hebat dari Swi-hoa Kiam-hoat hingga sebentar saja Bong Kak Im
terdesak hebat sekali.
Ketika Beng Han mengeluarkan serangan dengan gerak tipu Hui-Pau Liu-Kwan atau Air terjun
Bertebaran, Bong Kak Im tak dapat mempertahankan diri lebih lama lagi. Pedang Beng Han menyambar
dan ia memekik ngeri karena sebelah tangannya telah terbabat putus dan kapaknya melayang jauh
keatas. Sebuah tusukan pedang Beng Han menamatkan riwayatnya dan tubuhnya roboh
bergelimpangan didekat mayat adiknya! Tek Po Tosu terkejut sekali hingga gerakan siangkiamnya
menjadi kacau, akan tetapi oleh karena ilmu kepandaiannya memang tinggi, ketika Bun Hong mendesak,
ia masih sempat menyelamatkan diri dan melompat kebelakang dengan gerakan Lo-Wan Teng-Ki atau
Monjet Tua Lompati Cabang. Bun Hong hendak mengejar, akan tetapi Beng Han segera memberi
peringatan,
"Jangan, sute awas jarumnya!" Benar saja, ketika melihat Bun Hong mengejar, tosu itu telah bersiap
dengan saputangannya dan kini ia menjebar belasan jarum kearah Bun Hong. Baiknya Beng Han telah
memberi peringatan hingga Bun Hong cepat memutar-mutar pedangnya, akan tetapi hampir saja
sebatang jarum menghantam kakinya kalau tidak Beng Han dengan cepat melempar pedang
ditangannya menangkis jarum itu hingga pedangnya. menancap diatas tanah depan kaki Bun Hong! Bun
Hong mengeluarkan keringat dingin dan berkata,
"Lihai sekali jarum-jarum kakek itu!" Sementara itu, Tek Po Tosu telah lari jauh meninggalkan mereka
dan mayat kedua orang kawannya. Beng Han lalu maju dan memeluk tubuh Bun Hong.
"Sute, kau hebat sekali!" Ketika merasa betapa tubuhnya dipeluk oleh suhengnya yang telah lama
dirindukannya itu, mengalirkan airmata dari kedua mata Bun Hong. Ia balas memeluk dan keduanya lalu
berangkul-rangkulan sambil mencucurkan airmata.
"Suheng maafkanlah aku..."
"Sute, bicara tentang patah-hati, akulah yang sebenarnya lebih menderita daripadamu. Aku telah
ditolaknya, akan tetapi, aku tetap mencinta dan ingin melihat dia hidup bahagia, biarpun aku sendiri
menderita..."
"Suheng, kau memang berhati mulia, tidak seperti aku..." Tiba-tiba Bun Hong berseru,
"Celaka...!," dan ia memandang kepada Beng Han dengan wajah pucat dan mata terbelalak
"...Ada apakah, sute?," tanya Beng Han dengan heran.
"...Celaka, tosu itu tentu membuka rahasiaku dan celakalah keluargaku...!"
"Apa maksudmu?," tanya Beng Han. Bun Hong memegang tangan suhengnya, ditariknya cepat sambil
berkata,
"Mari kita cepat mengejar tosu itu dan kembali ke kotaraja! Urusan ini hebat sekali, suheng, biarlah:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 145
:: CerSil KhoPingHoo :
kuceritakan sambil berlari pulang!" Beng Han tak banyak membantah dan mereka berdua lalu berlari
cepat menuju ke kotaraja. Disepanjang jalan, Bun Hong lalu menuturkan pengalamannya, betapa ia
melukai Thio-Thaikam dalam usahanya membalas sakit hati para petani dan betapa ia gagal lalu
bersembunyi didalam gedung Pangeran Song hingga untuk menjaga keluarga pangeran itu dari
kehancuran, terpaksa ia menikah dengan Kim Bwee, puteri sulung pangeran itu. Semua ini
diceritakannya dengan jelas sambil berlari hingga Ben Han juga merasa sedih mendengar riwayat adik
seperguruannya yang amat dikasihinya itu.
"Betapapun juga, Bun Hong. Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan,
kau harus berlaku sebagai seorang suami yang baik. Kau sudah mempunyai putera, maka sudah
selayaknya kalau kau membuang pikiran sesat dan memikirkan jalan untuk membahagiakan rumahtanggamu!" Bun Hong merasa terharu dan insyaflah ia akan kesesatannya. Ia telah menikah, telah
mempunyai putera, sedangkan Kim Bwee begitu baik, begitu mencintainya, juga mertuanya adalah
seorang yang bijaksana. Ah, ia telah berdosa, berdosa terhadap isterinya, terhadap mertuanya, juga
terhadap Kui Eng!
"Aku harus membela mereka, suheng. Membela dengan nyawaku! Celakalah kalau sampai Thio-Thaikam
melaporkan halku kepada Kaisar. Bagiku tidak ada artinya menjadi buruan Kaisar, akan tetapi keluarga
mertuaku..."
"Ayoh kita percepat lari kita, sute. Kita harus bela mereka! Jangan kau kuatir, aku suhengmu akan
mempertaruhkan nyawa untuk membela kau dan anak-isterimu!" Bun Hong menahan isaknya
mendengar ucapan ini dan mereka berdua lalu mengerahkan seluruh kepandaian ilmu berlari cepat
hingga sebentar saja mereka telah tiba di kotaraja dan langsung menuju kegedung Pangeran Song.
Pangeran Song Hai Ling menyambut kedatangan putera menantunya dengan heran sekali dan juga
cemas melihat betapa putera menantunya itu pucat dan nampak kuatir. Bun Hong ketika berhadapan
dengan mertuanya, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Gakhu (ayah mertua), celaka, gakhu. Kita harus cepat lari dari sini."
"Eh, kau kenapakah, Hiansai?," tanya Pangeran Song sambil mengangkat bangun menantunya.
"...Aku telah bertempur dan bahkan telah membinasakan kedua perwira Bong, sedangkan Tek Po Tosu
telah dapat melarikan diri. Mereka telah mengetahui rahasiaku. Celaka, keluarga kita terancam bahaya!
Kita harus lekas pergi!" Pucatlah wajah Pangeran Song mendengar ini akan tetapi dengan suara tenang
yang membuat Beng Han merasa kagum sekali, ia berkata,
"Tenanglah, anakku dan ceritakan semua dengan jelas. Dan Kongcu ini siapakah?," ia menunjuk kepada
Beng Han yang segera menjura memberi hormat. Bun Hong dengan cepat lalu memperkenalkan Beng
Han sebagai suhengnya, kemudian ia menceritakan betapa ketika ia dan Beng Han sedang bercakapcakap, ketiga orang panglima Thio-Thaikam itu telah mendengar percakapan mereka dan mengetahui
rahasianya lalu menyerang, dan betapa dalam pertempuran itu, ia dan suhengnya telah berhasil
membunuh mati kedua perwira Bong hingga Tek Po Tosu melarikan diri.
"...Pendeta keparat itu tentu akan melaporkan hal itu kepada Thio-Thaikam dan celakalah kita kalau
terlambat. Aku tidak kuatir menghadapi mereka, akan tetapi, gakhu, isteriku, dan anakku..." Tiba-Tiba
Pangeran Song yang berwajah pucat karena ia benar-benar terkejut mendengar peristiwa itu
menggelengkan kepala sambil tersenyum.:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 146
:: CerSil KhoPingHoo : :: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 147
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hiansai, betapapun juga, aku merasa bangga bahwa kau dan suhengmu telah dapat membunuh dua
orang perwira keparat yang telah banyak menghinaku itu. Akan tetapi, menyuruh aku melarikan diri
sama dengan menyuruh matahari bergerak dari barat ketimur! Kau bawalah anak-isterimu lari dari sini,
akan tetapi aku tidak dapat meninggalkan gedungku." Bukan main terkejutnya hati Bun Hong
mendengar bahwa mertuanya tidak mau lari.
"Akan tetapi, gakhu, kalau mereka datang, kau pasti akan ditangkap dan dijatuhi hukuman beserta
seluruh keluarga! Marilah kita lari sebelum terlambat," katanya dengan cemas.
"Bun Hong, kau tidak ingat aku ini siapakah? Aku adalah seorang pangeran keluarga Kaisar, bahkan
Kaisar Hian Cong dulu adalah saudara misanku! Tak mungkin aku melarikan diri dan memberontak
terhadap Raja! Biar aku dijatuhi hukuman yang bagaimana beratpun, aku tak sudi memberontak!"
Sementara itu, mendengar ribut, keluarga pangeran Song itu pada memburu keluar, termasuk Kim Bwee
yang menggendong puteranya dan Kim Hwa. Setelah mereka mendengar akan peristiwa yang terjadi,
mereka menangis dengan sedih. Kim Hwa memeluki kaki ayahnya sainbil menangis sedangkan Kim Bwee
memandang kepada suaminya dengan wajah penuh airmata membasahi kedua pipinya. Bahkan anaknya
yang baru berusia sebulan itupun menangis keras. Melihat semua ini, Beng Han merasa terharu sekali
dan Bun Hong lalu memeluk isterinya dan berkata,
"Kim Bwee, aku adalah suami yang buruk dan jahat Aku mendatangkan malapetaka yang menimpa
keluargamu ini. Kim Bwee, sekarang terserah kepadamu, kalau kau suka, marilah kita lari bersama
putera kita." Dengan menahan isaknya, Kim Bwee berkata,
"Kita lari dan meninggalkan ayah beserta semua keluarga menjalani hukuman? Tidak, tidak! Kalau
memang sudah seharusnya semua keluarga binasa, biarlah aku ikut serta pula!" Nyonya yang cantik ini
lalu menangis sambil peluki tubuh puteranya.
"Akan tetapi anak kita...," kata Bun Hong dengan suara hampir tidak terdengar karena dadanya sesak.
Kim Bwee lalu memberikan puteranya kepada Bun Hong dan berkata sambil menangis,
Tiga Naga Dari Angkasa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suamiku, kau larilah dan bawalah anak kita ini, biarkan aku membuktikan baktiku kepada ayah
sekeluarga..." Bun Hong menerima puteranya dan berdiri bagaikan patung. Ia memandang wajah
anaknya yang hampir serupa dengan isterinya itu, dan pada saat itu tiba-tiba dari luar terdengar suara
ramai.
"Celaka, mereka telah datang menyerbu kesini!'' kata Beng Han yang melihat berkelebatnya golok dan
tombak serta gemerlapnya pakaian para perwira kerajaan.
"Kalau begitu, aku akan mendahului mereka dan membunuh anjing she Thio itu!," teriak Bun Hong dan
cepat ia memberikan puteranya kepada Beng Han yang sebelum tahu harus berbuat apa, putera sutenya
itu telah berada dalam pondongannya. Bun Hong mencabut pedang dan berlari keluar. Beberapa orang
perwira yang melihatnya lalu berseru menahannya, akan tetapi beberapa kali menggerakkan pedangnya
saja, beberapa orang perajurit dan perwira telah roboh terguling mandi darah dan Bun Hong cepat
melompat dan berlari menuju keistana Thio-Thaikam! Sementara itu, isteri Bun Hong yang tahu bahwa
Beng Han adalah suheng dari suaminya karena dulu suaminya seringkali menyebut-nyebut nama
pemuda ini, lalu berlutut didepan Beng Han sambil berkata,
"Twako, tolonglah jiwa anakku, selamatkanlah dia... tolonglah... dari alam baka aku akan menghaturkan:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 148
:: CerSil KhoPingHoo :
terimakasih atas budi pertolonganmu ini..." Pada saat Beng Han masih berdiri tertegun, rombongan
perwira dan perajurit itu menyerbu masuk dan membentak keras,
"...Pangeran Song Hai Ling! Atas nama Kaisar, kami datang menangkap kau sekeluarga!" Song Hai Ling
melangkah maju dengan wajah angkuh dan langkah tegak.
"Mana Leng-ki?," tanyanya. Leng-ki adalah semacam bendera yang selalu dibawa oleh orang yang
menjadi utusan Kaisar. Seorang perwira tua dengan senyum mengejek memperlihatkan surat
perintahnya dan berkata,
"Pangeran pemberontak! Kau masih hendak memperlihatkan kekuasaan dan berlagak? Jangan kau
melawan kalau kau sayangi dirimu sendiri dan keluargamu!" Sementara itu, melihat datangnya para
perwira yang hendak menangkap keluarga Song, Beng Han lalu melompat sambil memondong putera
Bun Hong yang masih kecil.
"He, kau hendak lari kemana? Semua penghuni rumah ini tidak boleh pergi meninggalkan tempat ini!,"
seorang perwira lain yang segera mengejar.
"Aku seorang tamu dan bukan penghuni rumah ini!" jawab Beng Han yang berlari terus,
"...Tahan, tunggu!," teriak perwira itu dan ketika melihat Beng Han tidak menurut perintahnya, ia
berseru, "Tangkap orang itu!" Beng Han maklum bahwa ia harus membuka jalan dengan pertempuran,
maka sambil pondong anak itu dengan tangan kiri, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang
dengan cepat kearah para pengejarnya. Melihat gerakan pedang itu, para perajurit mundur kembali dan
Beng Han lalu melompat naik keatas genteng.
"Kejar! Tangkap!," teriak perwira yang memimpin penyerbuan itu, dan ia sendiri diikuti oleh beberapa
orang perwira lalu melompat pula keatas genteng melakukan pengejaran. Beng Han yang tahu bahwa
untuk bertempur sambil memondong anak itu adalah kurang leluasa dan berbahaya baginya, maka ia
tidak mau melayani mereka, bahkan berlari makin cepat. Tidak jauh dari situ ia melihat betapa Bun Hong
sedang dikepung oleh beberapa orang perwira kerajaan dan sutenya itu sedang mengamuk hebat. Ia lalu
melompat mendekati dan berseru,
"Sute, mari kita lari, jangan layani mereka!" Melihat Beng Han muncul sambil memondong anaknya, Bun
Hong lalu menjawab sambil merobohkan seorang pengeroyok dengan pedangnya,
"Suheng, larilah kau, biarkan aku membasmi anjing rendah ini!"
"Sute, kita selamatkan dulu puteramu, nanti kita berdua membasmi mereka. Jangan kuatir, aku akan
membantumu. Ajohlah!" Bun Hong yang sedang merasa marah dan bingung itu, kini taat akan perintah
suhengnya, maka setelah memutar pedangnya dengan hebat, ia lalu melompat dan berlari cepat
bersama suhengnya, dikejar oleh beberapa orang perwira yang berkepandaian tinggi.
Akan tetapi, kedua orang muda yang gagah itu berlari cepat sekali hingga sebentar saja mereka telah
meninggalkan pengejar-pengejar mereka dan lari keluar dari kotaraja, memasuki hutan! Setelah tiba
ditengah hutan, anak dipondongan Beng Han itu menangis keras, agaknya merasa kaget dan ingin
minum air-susu bundanya. Beng Han dengan canggung mengayun-ayun anak itu dipelukannya, dan Bun
Hong lalu memintanya dan pondong puteranya dengan hati penuh kesedihan. Anak itu diayun ayahnya:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 149
:: CerSil KhoPingHoo :
lalu berhenti menangis, bahkan lalu meramkan mata, tidur. Bun Hong tak dapat menahan keharuan
hatinya lagi, dipeluknya anaknya dan menangis keras, hingga Beng Han lalu minta anak itu karena kuatir
anak itu akan menjadi kaget.
"Suheng...," Bun Hong meratap, "aku adalah seorang berdosa besar... aku sia-siakan cinta isteriku, aku
bahkan mencelakakan seluruh keluarganya... ah, suheng... memang benar ucapanmu dulu itu, aku... aku
telah gila..." Kemudian ia mengepal tinju dengan muka beringas. "Semua ini gara anjing kebiri she Thio
itu! Aku harus membunuhnya!"
"Tenanglah, sute," jawab Beng Han menahan keharuan hatinya, "kita sedang menghadapi peristiwa
hebat dan besar, maka kita harus mempergunakan ketenangan, Jangan berlaku sembrono menurutkan
nafsu hati. Sekarang keluarga Pangeran Song telah ditawan semua, dan tindakan pertama yang kita
harus lakukan ialah menolong dan melepaskan isterimu dari tawanan."
"Akan tetapi... dia tidak mau, suheng...," kata Bun Hong dengan suara sedih.
"Kita harus paksa dia keluar dari penyara dan membebaskan dia demi kepentingan anak ini! Pangeran
Song boleh mempunyai pendirian lain karena ia memang seorang bangsawan keluarga Raja yang
memegang teguh keharuman namanya, akan tetapi Kim Bwee adalah isterimu dan ibu anakmu! Ia harus
tunduk dan menurut keputusanmu." Bun Hong menundukkan kepalanya.
"Terserah kepadamu, suheng. Aku bingung sekali..."
"Sebelum pergi membebaskan isterimu, ada hal yang lebih penting lagi, yakni anakmu ini. Kita harus
mencari seorang wanita yang boleh dipercaya untuk memeliharanya sewaktu kita pergi." Bun Hong
memandang kearah puteranya dalam pondongan Beng Han dan ia teringat akan sesuatu.
"Didusun sebelah timur kota tinggal seorang janda dengan anak perempuannya yang masih gadis. Aku
pernah menolong mereka ketika anak perempuan itu hendak dilarikan oleh seorang penjahat. Kita
titipkan Sian Lun kepada mereka, tentu mereka suka menolongku." Beng Han merasa girang mendengar
ini, maka keduanya lalu langsung menuju kedusun itu, Janda tua dan anak gadisnya yang berhutang budi
kepada Bun Hong itu menerima permintaan tolong mereka dengan girang dan Bun Hong memesan
mereka dengan keras agar supaja mereka tidak menceritakan kepada orang lain siapa sebenarnya anak
itu. "Kalau ada yang bertanya, katakan saja bahwa ini adalah anak seorang keluargamu didusun lain yang
dititipkan disini." kata Beng Han. Kedua orang muda itu mendapat sambutan baik sekali dan mereka
bermalam dirumah janda itu.
"Kita harus berlaku hati-hati, sute. Karena mereka tahu bahwa kita tentu akan kembali, maka tentu
kotaraja terjaga keras sekali. Kita tidak boleh sembrono dan sebelum bertindak, harus kita selidiki dulu
dengan baik dimana keluargamu ditahan agar serbuan kita tidak akan sia-sia."
Bun Hong yang berduka dan bingung serta gelisah sekali itu tidak kuasa menggunakan pikirannya, maka
ia menyerahkan segala keputusan dan pimpinan kepada suhengnya, Janda tua itu membantu mereka
dan masuk ke kotaraja untuk menyelidiki dimana adanya keluarga Pangeran Song ditahan. Dua hari
kemudian, barulah janda tua itu kembali dan mengabarkan dengan muka kuatir bahwa keluarga Song itu
ditahan ditempat tahanan besar yang khusus dibangun untuk menahan penjahat besar dan:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 150
:: CerSil KhoPingHoo :
pemberontak sebelum mereka dijatuhi hukuman mati! Dan menurut kabar, tempat itu terjaga keras
sekali. Mendengar ini, sambil mengerutkan kening, Bun Hong berkata,
"Mari kita serbu mereka ketempat itu, suheng."
"Tentu, sute. Akan tetapi, tidak pada siang hari. Biarlah malam nanti kita bekerja. Mudah-mudahan
Thian yang Maha Kuasa memberi berkah sehingga kita berhasil menolong isterimu." Bun Hong
memegang tangan Beng Han.
"Suheng, dengan adanya kau disampingku, tenagaku dan keberanianku menjadi berlipat ganda. Dengan
kau, aku akan sanggup melakukan apa saja. Kita pasti berhasil."
"Mudah-mudahan, sute, dan aku berjanji akan mengurbankan nyawaku demi kepentingan dan
kebahagiaanmu." Bun Hong memeluk suhengnya dengan terharu dan berbisik,
"Kau mulia sekali, suheng... ampunkan kesalahanku yang sudah-sudah..." Beng Han menepuk-nepuk
pundak sutenya dan setelah berkemas, mereka lalu berangkat menuju ke kotaraja. Untuk keperluan ini,
keduanya mengenakan pakaian hitam dan membawa pedang mereka. Bahkan mereka mencari
beberapa potong batu karang kecil yang tajam dan keras yang mereka masukkan dalam sebuah kantong
dan digantung dipinggang, untuk digunakan sebagai senjata rahasia! Demikianlah, pada malam hari yang
gelap gulita itu, pada waktu angin malam menghembus keras membangunkan bulu-roma karena
dinginnya, dua bayangan hitam berkelebat cepat bagaikan hantu malam, menuju ke kotaraja!
Kita mengikuti perjalanan Kui Eng yang dengan hati marah dan perasaan amat malu menbalapkan
kudanya, disusul oleh Min Tek yang merasa amat menyesal karena dia merasa telah menjadi gara-gara
dan biang-keladi terjadi percekcokan antara ketiga orang bersaudara itu.
"Kui-Siocia...," serunya memanggil dan menendang, kudanya agar dapat menyusul kuda Kui Eng.
"Kui-Siocia, alangkah menyesal dan kecewa hatiku bahwa aku telah mendatangkan perkara yang tidak
enak itu."
"Sudahlah, Ang-Kongcu. Kau tidak bersalah apa-apa dan jangan kau ulangi atau membicarakan peristiwa
yang hanya membuat aku merasa malu itu."
"Kui-Siocia! Aku telah berdosa besar hingga karena aku, kau telah bermusuhan dengan suhengmu
sendiri! Aku.. aku... sudahlah kau lebih baik tinggalkan saja aku, Siocia. Biar aku pulang seorang diri,
daripada terjadi keributan itu." Tiba-tiba Kui Eng menahan kudanya.
"Apa? Kau tidak suka melakukan perjalanan dengan aku?" Ang Min Tek terkejut.
"Bukan, bukan demikian, Siocia. Aku merasa suka sekali dan berterimakasih bahwa kau sudi melakukan
perjalanan bersama aku yang rendah ini, sudi melindungi aku dari segala bahaya diperjalanan. Akan
tetapi, kalau hal ini hanya menimbulkan pertikaian antara kau dan suhengmu, ah... aku merasa tidak
enak sekali, Siocia."
"Ang-Kongcu, harap kau jangan sebut lagi hal itu. Seorang gagah tak pernah merobah keputusan yang
telah diambilnya. Aku telah mengambil keputusan untuk mengantarmu sampai dikotamu dan apapun:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 151
:: CerSil KhoPingHoo :
juga takkan dapat merobah keputusanku, kecuali... kecuali kalau kau menyatakan tidak suka melakukan
perjalanan denganku."
Melihat kekerasan hati gadis itu, Min Tek menarik napas panjang. Ia tidak mengerti akan sikap orang
kang-ouw, dan tentu saja ia tidak berani mengatakan bahwa ia tidak suka melakukan perjalanan dengan
pendekar wanita yang selain gagah perkasa, juga cantik jelita ini. Mereka melanjutkan perjalanan
dengan cepat dan tak banyak berkata-kata. Dan oleh karena kini mereka melakukan perjalanan dengan
naik kuda yang dibalapkan cepat, maka pada malam harinya sampailah mereka di Kiciu, tempat tinggal
Ang Min Tek. Kedatangan mereka disambut dengan girang sekali oleh ibu Min Tek, seorang janda yang
kaya. Ketika mendengar bahwa puteranya telah lulus ujian, ibu yang girang ini memeluk putera
tunggalnya dan berkata,
"Anakku, alangkah besar dan girang rasa hatiku mendengar bahwa kau telah menjadi siucai. Hanya dua
hal yang menjadi mimpi setiap malam bagiku, pertama melihat kau lulus ujian, dan kedua melihat kau
melangsungkan perkawinanmu dengan Bu-Siocia! Mereka tentu akan girang sekali mendengar bahwa
kau telah lulus. Min Tek, besok pagi kita pergi kerumah keluarga Bu dan menetapkan hari pernikahanmu
dengan tunanganmu."
"Sst ibu, hal ini mudah dibicarakan nanti. Sekarang perkenalkanlah dulu dengan seorang pendekar
wanita yang telah menolong nyawaku dan yang telah melindungiku selama dalam perjalanan. Kalau
tidak ada dia, mungkin kita takkan dapat saling bertemu lagi." Terkejutlah nyonya itu mendengar ucapan
ini. "Siapa, nak?!
"Inilah dia... Kui-Siocia...," kata Min Tek sambil menengok kebelakang, akan tetapi alangkah heran dan
terkejutnya ketika melihat bahwa dibelakangnya tidak ada siapa-siapa, dan Kui Eng yang tadi ikut masuk
dibelakangnya telah pergi tak meninggalkan bekas! Sebetulnya Kui Eng tadi juga masuk kerumah itu dan
merasa terharu menyaksikan pertemuan antara itu dan anak itu, Akan tetapi ketika ia mendengar
ucapan nyonya Ang terhadap anaknya, tiba-tiba ia menjadi pucat sekali dan tanpa pamit lagi ia
melompat keluar dan berlari pergi dari situ! Ia tidak perdulikan kudanya lagi dan berlari terus dimalam
gelap.
Setelah tiba ditempat sunyi, ia berhenti dan terdengarlah isak-tangisnya. Ia menjatuhkan diri dibawah
sebatang pohon dan menangis dengan sedihnya. Min Tek hendak menikah? Sudah bertunangan dengan
Bu-Siocia? Ah, nasib! Mengapa pemuda itu tak pernah membicarakan hal ini dan mengapa ia tidak
pernah memikirkan bahwa seorang pemuda seperti Min Tek itu belum tentu masih, bebas? Celaka dan
ia sudah membela pemuda itu hingga ia bermusuhan dengan Bun Hong! Dan pemuda itu sudah
mendengar tuduhan Bun Hong bahwa ia mencintainya. Alangkah malunya, dan alangkah rendahnya ia
dalam pandangan Min Tek. Ia telah mencintai seorang pemuda yang telah ditunangkan dengan gadis
lain dan yang pada besok hari akan ditetapkan hari kawinnya! tiba-tiba timbul kekerasan hatinya. Ah, ia
seorang gadis gagah yang memiliki kepandaian!
Kalahkah ia oleh tunangan Min Tek? Ia harus melihat dulu siapakah sebetulnya tunangan pemuda itu,
Sampai dimana kecantikannya dan sampai dimana kepandaiannya. Ia penasaran, dan harus
menyaksikan dengan mata sendiri. Dan apakah Min Tek mencintai tunangannya itu? Ia harus yakin akan
hal ini! Demikianlah, dengan hati sengsara dan pikiran tidak keruan, Kui Eng duduk dibawah pohon itu
semalam-suntuk, memikirkan nasibnya. Ketika teringat akan ibunya, teringat akan pinangan Beng Han:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 152
:: CerSil KhoPingHoo : :: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 153
:: CerSil KhoPingHoo :
yang mencintainya, dan teringat akan pertempurannya melawan Bun Hong yang dulu menjadi suheng
yang amat dikasihaninya itu, ia menangis lagi dengan hati hancur. Pada keesokan harinya, ketika Min
Tek yang merasa heran karena kepergian Kui Eng tanpa pamit itu, pergi bersama ibunya mengunjungi
rumah tunangannya, dengan sembunyi-sembunyi Kui Eng mengintai.
Dengan kepandaiannya, mudah saja ia melakukan pengintaian tanpa diketahui oleh mereka. Ia melihat
betapa Min Tek dan ibunya disambut oleh sepasang suami-isteri dan mereka lalu masuk kedalam rumah.
Kui Eng lalu mengambil jalan memutar dari belakang rumah dan segera melompat keatas genteng. Ia
membuka genteng dan mengintai kedalam. Ia melihat Min Tek dan ibunya diantar keruang dalam dan
dari dalam kamar keluarlah seorang gadis yang masih amat muda dan cantik Min Tek menjura dan
pandang mata pemuda itu membuat hati Ku tertusuk dan perih karena tak salah lagi, pandang mata ini
adalah pandangan penuh cinta-kasih dan mesra. Bahkan pemuda itu lalu mengeluarkan sebuah
bungkusan dan berkata kepada gadis itu,
"Lan-moi, aku membawa sutera halus dan merah kesukaanmu." Gadis itu memandang dengan girang
dan menyambut bungkusan itu sambil menjawab,
"Terimakasih, koko." Kui Eng memperhatikan wajah gadis itu dan tertegunlah dia hingga ia terduduk
diatas genteng dengan bengong. Memandang muka gadis itu, ia seakan-akan melihat mukanya sendiri!
Ia menjadi penasaran dan mengintai lagi melalui lubang itu,
Gadis itu duduk didekat ibunya dan ketika memperhatikan wajah nyonya yang menjadi ibu gadis itu,
kembali dada Kui Eng berdebar. Dimanakah ia pernah melihat nyonya tua ini? ayah gadis itu bertubuh
pendek gemuk dan wajahnya riang, akan tetapi ia merasa asing dan tak pernah melihat wajah itu, akan
tetapi nyonya itu mempunyai wajah yang telah dikenalnya baik, hanya ia telah lupa dimana ia pernah
bertemu dengannya. Sedangkan gadis muda yang menjadi tunangan Min Tek itu, mengapa demikian
mirip dengan dia sendiri? Ia teringat bahwa dulu pernah Min Tek berkata bahwa ia mengingatkan
pemuda itu akan seorang yang menjadi kenangannya, maka tahulah ia kini siapa yang dimaksudkan oleh
pemuda itu! Hatinya makin panas mengingat ini, sungguhpun ia merasa malu kepada diri sendiri
mengapa ia merasa panas dan cemburu!
Setelah Min Tek dan ibunya puiang, Kui Eng masih saja duduk diatas genteng, bersembunyi dibelakang
wuwungan yang tinggi, tidak memperdulikan matahari yang membakar kepala dan punggungnya. Tibatiba ia melihat gadis itu menuju ketaman bunga dibelakang rumah itu sambil membawa bungkusan
pemberian Min Tek Kui Eng lalu melompat turun dan mengintai dari balik pohon. Ia melihat gadis itu
membuka bungkusan dengan tangan gementar dan setelah bungkusan terbuka, maka didalamnya
terdapat segulung sutera merah yang indah dan halus. Dengan girang gadis itu mendekap gulungan
sutera didadanya sambil tersenyum dan matanya memandang keatas dengan mesra, lalu dibukanya
gulungan itu dan sutera merah itu ditempelkan pada tubuhnya sambil melihatnya. Dengan hati panas
Kui Eng lalu mengambil sepotong batu dan mengajun tangannya.
"Brett!" Batu itu menembus sutera yang masih dipegang oleh gadis tadi hingga menjadi robek dan
berlubang. Gadis itu terkejut sekali dan melihat kain suteranya dengan heran, menyesal dan kecewa.
Hampir ia menangis dan memandang ke kanan-kiri karena tidak tahu mengapa kain itu tiba-tiba bisa
berlubang. Ketika ia berpaling kebelakang, tiba-tiba ia melihat Kui Eng berdiri sambil tolak pinggang dan
tersenyum mengejek.
"Demikianlah! Tanpa kau sadari kaupun mengoyak hatiku, seperti kain suteramu itu!," kata Kui Eng:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 154
:: CerSil KhoPingHoo :
hingga gadis itu menjadi terheran sekali, terutama ketika ia melihat bahwa gadis baju hijau itu
mempunyai wajah yang mirip sekali dengan wajahnya sendiri. Kalau hal ini terjadi diwaktu malam, tentu
gadis itu akan berteriak ketakutan dan menyangka melihat setan, akan tetapi oleh karena hari itu masih
siang dan terang sekali, maka ia lalu melangkah maju dengan mata terbelalak lebar.
"Cici... kau... kau siapakah...? Bagaimana kau bisa masuk kesini dan... dan apakah arti kata mu tadi...?"
Gadis itu memandang kembali kepada kain suteranya yang berlubang.
"Dengarlah, namaku Kui Eng dan kau boleh katakan kepada tunanganmu itu bahwa aku takkan dapat
mengampuni diriku sendiri karena ketololanku!" Sambil berkata demikian. Kui Eng membalikkan tubuh
dan hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu menjerit dan berseru,
"Enci Kui Eng... benarkah...? Kaukah ini...?" Kui Eng memandang heran ketika ia membalikkan tubuhnya
dan ternyata bahwa gadis itu menjadi pucat sekali, kemudian gadis itu berseru keras,
"Ibu... ibu... enci Kui Eng telah datang...!" Karena teriakannya nyaring sekali, maka terdengar dari dalam
rumah dan tak lama kemudian, keluarlah nyonya yang menjadi ibu gadis itu bersama suaminya yang
gemuk. Kui Eng masih berdiri terheran-heran dan kembali dadanya berdebar keras melihat nyonya yang
wajahnya amat dikenalnya itu. Sementara itu, ketika nyonya itu melihat Kui Eng. ia berhenti berlari dan
berdiri bagaikan patung, menatap wajah Kui Eng dengan mata dipentang lebar.
"Betul... tak mungkin salah lagi... Kui Eng... Eng-ji, kau betul-betul Eng-ji, anakku..." bibir nyonya tua itu
bergerak-gerak mengeluarkan bisikan ini, akan tetapi cukup keras terdengar oleh Kui Eng yang menjadi
pucat sekali. Ia merasa betapa kepalanya seakan-akan disiram air dingin yang menyadarkan ingatannya
bahwa nyonya ini bukan lain ialah ibunya sendiri yang telah lama dicar-carinya!
"Ibu...?," bisiknya ragu-ragu, seakan-akan tak percaya kepada ingatan ini, Nyonya itu lari maju sambil
membuka kedua lengan tangannya.
"Eng-ji... Eng-ji, anakku..."
"Ibu...!" Kini Kui Eng tidak ragu-ragu lagi dan ia menjerit sambil menubruk ibunya, memeluk kaki ibunya
sambil menangis! Ibunya yang kini telah menjadi nyonya Bu Pok Seng itu lalu berlutut pula dan ibu ini
memeluk dan menciumi anaknya diantara tawa dan tangis.
"Eng-ji... Eng-ji... tak kusangka kita akan dapat bertemu lagi..."
"Ibu, siapakah adik ini...?," tanya Kui Eng sambil menunjuk kearah gadis yang serupa, benar wajahnya
dengan dia sendiri itu. Ibunya menariknya bangun dan menggandeng tangannya menghampiri gadis
yang kini telah berdiri didekat ayahnya sambil mendekap kain sutera merah yang tadi disambit Kui Eng.
"Eng-ji, ini adalah ayah tirimu dan gadis ini adalah Swi Lan, adik tirimu sendiri..." Kui Eng memandang
kepada Swi Lan dengan melongo, kemudian sambil terisak ia memeluk ibunya.
"Ibu... aku berdosa padamu, aku... aku anakmu yang jahat" Swi Lan yang kini tidak merasa ragu-ragu lagi
bahwa gadis inilah cicinya yang sering disebut oleh ibunya, lalu lari menghampiri dan memeluk Kui Eng.
"Enci Eng... aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Ketahuilah, sudah sering aku bertemu dengan:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 155
:: CerSil KhoPingHoo :
Tiga Naga Dari Angkasa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau, ciciku yang manis!" Kui Eng memandang heran dan melihat betapa wajah adik tirinya yang manis
itu tersenyum, akan tetapi dari kedua matanya mengalir airmata.
"Apa... apa maksudmu...?," tanyanya gagap.
"Betul, aku seringkali bertemu dengan kau dalam... mimpi!" Tertusuk rasa hati Kui Eng dan ia merangkul
Swi Lan dengan terharu,
"Adikku... kau maafkanlah aku kalau aku tadi berlaku kurang patut padamu." Ibu kedua gadis itu
bertanya heran.
"Apakah tadi kalian sudah bertemu dan berkenalan?" Swi Lan memandang kepada ibunya dan Kui Eng
merasa kuatir kalau adik tirinya itu akan memberitahukan tentang perbuatannya merusak kain sutera
adiknya itu. Akan tetapi Swi Lan hanya berkata,
"Tadi cici Eng tiba-tiba muncul hingga aku menjadi terkejut sekali. Akan tetapi, melihat wajahnya, aku
dapat menduga bahwa dia tentu ciciku yang baik..." Bukan main malunya hati Kui Eng mengenangkan
semua peristiwa yang terjadi, Ia telah jatuh hati kepada tunangan adiknya sendiri. Ini masih tidak
mengapa karena ia tidak tahu bahwa Min Tek adalah pemuda yang sudah bertunangan dan bahwa
tunangannya itu adalah adiknya sendiri. yang paling hebat ialah perbuatannya yang menyakiti hati tadi,
yang melukai perasaan adiknya dengan merusak kain sutera pemberian Min Tek, bahkan tadinya ia
mempunyai niat untuk melukai atau membunuh gadis yang merebut pemuda pujaan hatinya itu! Ketika
diperkenalkan kepada ayah tirinya, Kui Eng memberi hormat dengan perasaan kecewa.
Entah bagaimana, ia tidak suka kepada ayah tirinya itu, sungguhpun ia merasa suka sekali kepada Swi
Lan yang manis dan peramah. Ia merasa kecewa sekali melihat ibunya telah kawin lagi, bahkan hatinya
terasa sakit. Tadinya ia mengharapkan untuk bertemu dengan ibunya dan hidup berdua dengan penuh
kebahagiaan, akan tetapi kini, setelah ibunya mempunyai rumah-tangga dan keluarga baru, ia merasa
diri sendiri sebagai pendatang asing yang hanya mengganggu dan mengacaukan kebahagiaan rumahtangga ibunya! Ia merasa dirinya sebagai orang yang tak berhak tinggal disitu, yang merusak dan
menghalangi ketenteraman dan kebahagiaan rumah tangga ibunya itu. Perasaan inilah yang membuat ia
pada keesokan harinya segera pergi lagi meninggalkan rumah ibunya! Ibunya mencegah dan
menghalangi maksudnya sambil menangis, akan tetapi Kui Eng yang keras-hati memaksa dan berkata,
"Ibu malam tadi telah kuceritakan semua pengalamanku, dan sekarang, kedua suhengku itu mungkin
akan mencari ku, Pula, aku sudah berjanji kepada suhu untuk kembali ke Swi-hoa-san dua tahun setelah
pergi merantau."
"Kalau begitu, jangan kau lupakan ibumu, Eng-ji dan datanglah segera kembali kesini. Anggaplah ini
sebagai rumahmu sendiri."
"Benar, anakku, kau tinggallah disini dan anggap aku sebagai ayahmu sendiri," kata Bu Pok Seng pula
dengan ramah-tamah, Kui Eng menghaturkan terimakasih.
"Enci Eng, aku akan merasa berbahagia sekali kalau kau suka tinggal menjadi satu disini," kata Swi Lan
pula dan Kui Eng lalu memeluk dan mencium kening adiknya ini.
"Swi Lan, semoga kau hidup berbahagia. Orang seperti kau sudah pantas mendapat kebahagiaan hidup.":: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 156
:: CerSil KhoPingHoo :
Sebenarnya, hati Kui Eng berkata bahwa orang seperti adiknya itu sudah pantas menjadi isteri Min Tek!
Ia berjanji untuk datang kembali, padahal dalam hatinya ia merasa ragu-ragu apakah ia akan ada muka
untuk kembali ketempat itu, untuk bertemu dengan adiknya yang hampir saja diserangnya itu, untuk
bertemu-muka dengan Min Tek! Ah, ia malu, malu sekali...!
Maka pergilah ia dari tempat itu, keluar dari kota Kiciu yang tadinya merupakan kota harapan baginya
akan tetapi ternyata merupakan kota yang menghancurkan pengharapannya, yang mempertemukan ia
dengan ibunya, akan tetapi yang juga memisahkan ia dari Min Tek untuk selamanya! Ia melakukan
perjalanan cepat menuju ke kotaraja kembali, dan apabila ia teringat kepada Bun Hong, ia merasa sedih
sekali. Betapapun juga, suhengnya itu benar. Kalau saja ia tidak melakukan perjalanan dengan Min Tek,
tak mungkin ia akan mendapat malu, akan menderita tekanan batin sehebat ini. Akan tetapi, sebaliknya,
belum tentu pula ia akan dapat bertemu dengan ibunya! Ah, dasar nasib. Nasibnya yang amat buruk!
Seperti juga diwaktu pergi ke Kiciu, kembalinya ke kotaraja juga berjalan cepat sekali hingga seharisemalam ia telah tiba-tiba di kotaraja.
Bun Hong dan Beng Han berhasil memasuki kotaraja. Dengan pertolongan seorang petani yang
mengantarkan segerobak padi ke kotaraja, mereka dapat bersembunyi dibawan tumpukan padi itu!
Ketika gerobak itu tiba-tiba dipintu gerbang, tukang gerobak dihentikan oleh penjaga yang
memeriksanya, akan tetapi penjaga itu tidak memeriksa kedalam tumpukan padi. Siapakah orangnya
yang dapat bersembunyi didalam tumpukan padi? Selain berat, juga tentu takkan dapat bernapas. Ia
tidak menyangka bahwa dua orang muda yang kuat dan dapat menahan napas karena latihan lweekang
mereka yang sudah tinggi, bersembunyi didalam tumpukan dengan tangan memegang pedang!
Bersamaan dengan gerobak itu, beberapa orang masuk pula kedalam pintu gerbang yang hampir ditutup
itu, diantaranya seorang gadis baju hijau yang dapat masuk dengan mudah karena tidak dicurigai.
Perintah dari atasan hanya mengharuskan penjaga itu berhati-hati terhadap dua orang laki muda yang
menjadi pemberontak yang dicari-cari. Gadis ini adalah Kui Eng yang sudah tiba disitu pula, akan tetapi
ia sama sekali tidak tahu bahwa didalam tumpukan padi itu bersembunyi dua suhengnya yang sedang dicari nya! Juga Bun Hong dan Beng Han tidak tahu bahwa pada saat itu Kui Eng berada didekat gerobak!
Mereka semua masuk ke kotaraja dengan selamat dan Kui Eng lalu mengambil jalan lain. Sementara itu,
ketika gerobak itu tiba dijalan yang agak sunyi, Bun Hong dan Beng Han lalu melompat turun dari
gerobak dan mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari cepat dan menuju ketempat
tahanan yang telah mereka ketahui letaknya dari hasil penyelidikan nyonya janda itu.
Tempat tahanan itu benar saja terjaga keras sekali, dan boleh dibilang hampir sekelilingnya terdapat
perajurit yang menjaga dengan tombak ditangan. Bun Hong dan Beng Han mencari siasat karena mereka
maklum bahwa biarpun tidak sukar bagi mereka untuk menyerbu secara langsung dengan jalan
merobohkan para penjaga, namun hal itu kurang sempurna karena mereka tentu akan dikeroyok dan
tak mungkin menolong Kim Bwee. Akhirnya mereka mendapatkan sebuah siasat yang berani sekali. Para
penjaga itu telah mendapat perintah keras dari atasannya untuk melakukan penjagaan keras dan
waspada, serta melarang siapa saja mendekati tempat itu. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor
burung yang terbang lewat diatas tempat tahanan itupun akan terlihat oleh para penjaga agaknya!
Tiba-tiba para penjaga disebelah timur mendengar suara orang merintih kesakitan ditempat gelap yang
agak jauh dari tembok rumah tahanan, ditempat gerombolan tetumbuhan. Dua orang penjaga
membawa senjata masing-masing mendatangi tempat itu, akan tetapi ketika tiba ditempat gelap, tibatiba berkelebat bayangan hitam yang menggerakkan kedua tangannya dan penjaga itu tertangkap dan
tertotok tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Tubuh mereka lemas dan lumpuh sedangkan mulut tak:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 157
:: CerSil KhoPingHoo :
kuasa mengeluarkan suara! Dan pada saat yang bersamaan, dibagian barat juga terjadi hal yang sama.
Para penjaga lain yang menanti kembalinya kedua penjaga itu, merasa heran karena tidak melihat
mereka kembali dan juga tidak mendengar suara mereka, sedangkan suara rintihan orang itu masih
terdengar saja.
Dua orang penjaga lain pergi pula menyusul, akan tetapi kembali mereka tertotok dan tertangkap. Hal
ini pun terjadi dibagian timur dan barat. Kini para penjaga mulai curiga dan sekelompok penjaga ditimur
dan barat menghampiri ketempat gelap itu untuk memeriksa. Mereka merasa terkejut dan heran hingga
mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat betapa diantara empat penjaga yang tadi memeriksa
tempat itu, hanya tiga orang nampak menggeletak tak berkutik seperti orang tidur, sedangkan yang
seorang lagi entah kemana perginya! Mereka segera ramai menolong tiga orang kawan itu, akan tetapi
mereka ini telah lumpuh dan tak dapat bicara, hanya mata mereka saja yang bergerak-gerak dengan
ketakutan! Ributlah keadaan disitu dan banyak sekali penjaga yang berpakaian seragam itu berlari
kesana-kemari membuat penjagaan dan memberi laporan.
Dan diantara simpang-siur para penjaga ini, terdapat dua orang penjaga yang mengenakan pakaian yang
sama, akan tetapi yang selalu berusaha menyembunjikan muka mereka. Kedua orang ini adalah Bun
Hong dan Beng Han. Mereka telah berhasil memancing datang para penjaga dan menotok mereka didua
tempat, lalu menjeret seorang diantara mereka, menanggalkan pakaian seragam dan memakainya, lalu
mempergunakan kepanikan itu untuk menjelundup kedalam benteng, menyamar sebagai seorang
penjaga. Didalam keributan itu, mereka berhasil masuk tanpa mendapat banyak perhatian. Inilah siasat
mereka yang mereka jalankan dengan baik sekali. Dengan mudah Bun Hong dan Beng Han masuk
kebagian dalam. Mereka bertemu dengan dua orang penjaga lain yang memandang mereka dengan
heran dan kuatir,
"Kawan, ada apakah ribut-ribut diluar?," tanya penjaga dalam ini.
"Ada musuh menyerbu, ayoh lekas kita memperkuat penjagaan para tawanan!," kata Beng Han dengan
suara gagap. Kedua penjaga dalam itu menjadi terkejut dan segera lari masuk, diikuti oleh Bun Hong dan
Beng Han menuju keruang tempat tahanan sambil memberitahukan kepada setiap penjaga yang mereka
jumpai hingga penjaga itu berserabutan keluar dengan senjata ditangan!
Setelah tiba-tiba diruang tempat tahanan, kedua orang muda itu melihat betapa seluruh keluarga
Pangeran Song berkerumun dan sedang menangis sedih, merubung sesuatu seakan-akan terjadi hal
yang hebat. Bun Hong dan Beng Han segera menotok roboh kedua penjaga yang mengantar mereka tadi
dan Bun Hong menanggalkan jubah penjaga yang dipakainya lalu lari kearah mertuanya. Ketika ia tiba
ditempat dimana para tawanan mengerumuni sesuatu, ia melihat pemandangan yang membuatnya
menjadi pucat sekali. Ditengah ruangan itu, nampak tubuh isterinya dengan muka dan kepala mandidarah, menggeletak ditangisi oleh semua orang!
"Kim Bwee...!," Bun Hong melompat dan menubruk tubuh isterinya, Ternyata bahwa karena putus asa
dan tidak tahan menderita malu dan hinaan, isteri Bun Hong telah membenturkan kepalanya pada
dinding, akan tetapi karena tenaganya kurang kuat, maka ia tidak tewas seketika itu juga sungguhpun
jidatnya pecah dan darah membasahi mukanya! Mendengar suara suaminya, Kim Bwee membuka
matanya dan memandang dengan sinar mata sayu yang makin menghancurkan hati Bun Hong. Ia
berlutut, mengangkat dan memangku tubuh isterinya sambil menangis dan merintih-rintih,
"Kim Bwee, isteriku... aku datang hendak membawamu pergi... Kim Bwee... isteriku yang tercinta...":: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 158
:: CerSil KhoPingHoo :
"Suamiku, mengapa kau datang...? Larilah, selamatkan Sian Lun, putera kita..."
"Kim Bwee, apa artinya hidupku tanpa kau...? Mengapa kau mengambil keputusan nekad begini...? Ah,
Kim Bwee... Kim Bwee..."
"Koko...," suara nyonya muda itu lemah sekali, "Biarlah... aku sengaja melakukan ini, biar kau bebas...
kau boleh kawin lagi... asal kau jangan melupakan anak kita..." Bun Hong mendekap kepala isterinya
pada dadanya sambil menangis dengan airmata bercucuran.
"Tidak, tidak! Kim Bwee... aku mencintaimu... aku... aku...," tiba-tiba ia tak dapat melanjutkan katakatanya karena merasa betapa tubuh isterinya meronta dalam pelukannya. Ia memandang dengan mata
terbelalak dan melihat betapa isterinya telah menggunakan seluruh tenaga untuk melawan maut yang
hendak merenggut nyawanya. Nyonya muda itu dengan muka berlumur darah hingga mengerikan sekali
kini memandangnya dengan mesra.
"Betulkah... betulkah kau... kau mencinta...?" bisiknya dengan lemah.
"Kim Bwee... aku bersumpah, demi kehormatanku sebagai seorang gagah, aku cinta kepadamu..." Kim
Bwee menatap wajah suaminya, mengangkat kedua tangannya yang menggigil dan lemas, membelai
wajah Bun Hong, dan bibirnya tersenyum lalu bergerak,
"...Terimakasih... terimakasih, aku... aku puas..." dan lemaslah tubuhnya tak berdaya lagi karena
nyawanya telah melayang.
"Kim Bwee... Kim Bwee...!." Bun Hong berteriak seperti orang gila, memeluk tubuh isterinya dan
menyambak-jambak rambutnya sendiri, Pangeran Song dan semua keluarganya juga menangisi
kematian Kim Bwee ini hingga ruang tempat tahanan itu menjadi riuh oleh suara tangisan yang
memilukan.
"Sute! Mereka datang!," kata Beng Han dengan keras. Bun Hong melompat berdiri dengan wajah
beringas.
"Mana mereka? Biarkan mereka datang! Hendak kubunuh seorang demi seorang! Hendak kucabut isi
perut mereka didepan isteriku!" Dengan wajah yang mengerikan hingga Beng Han sendiri menjadi
terkejut melihatnya, Bun Hong melompat dengan pedang ditangan, menyambut datangnya tiga orang
perwira yang diikuti oleh para penjaga.
"Pemberontak!" seru perwiraperwira itu ketika melihat Bun Hong dan Beng Han.
"Anjing-anjing rendah! Kalian harus menjadi pengawal isteriku!," teriak Bun Hong sambil menyergap
maju Pedangnya bergerak buas dan seorang perwira roboh binasa dengan leher hampir putus! Bun
Hong yang telah menjadi marah bagaikan gila itu mengamuk hebat dan tak seorangpun dapat menahan
amukannya, sedangkan Beng Han juga membuka jalan keluar dengan memainkan pedangnya
secepatnya.
Melihat sepak-terjang sutenya, hati Beng Han menjadi ngeri karena maklum bahwa sutenya telah
dikuasai oleh nafsu membunuh yang buas. Sebagai ahli silat tinggi, mereka berdua dapat mengatur:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 159
:: CerSil KhoPingHoo : :: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 160
:: CerSil KhoPingHoo :
gerakan dan serangan mereka untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, dan apabila tidak perlu,
keduanya sebetulnya menjauhi pembunuhan akan tetapi kali ini Bun Hong tidak mau berlaku lunak
terhadap para lawannya. Setiap kali pedangnya berkelebat, maka senjata itu merupakan cengkeraman
tangan maut yang mencari kurban! Beberapa orang penjaga telah bergelimpangan dan tewas diujung
senjata Bun Hong, sedangkan Beng Han hanya melukai dan membuat tak berdaya beberapa penjaga.
Pemuda yang masih sadar ini berpantang membunuh secara sembarangan, sesuai dengan pesan
suhunya.
"Sute ayoh kita pergi!," katanya.
"Tidak, akan kubunuh dulu semua anjing ini!," teriak Bun Hong sambil mengamuk hebat, sementara itu
para penjaga kini telah mengurung tempat itu hingga penuh sesak, Beng Han menjadi kuatir sekali, oleh
karena ia maklum bahwa kerajaan memiliki banyak perwira yang tangguh.
"Kita harus cari dulu Thio-Thaikam!," katanya memperingatkan sutenya. Tiba-Tiba ucapan ini
menyadarkan Bun Hong. Benar pikirnya, ia tak boleh tewas dikeroyok ditempat ini sebelum membunuh
orang kebiri yang dianggap musuh besarnya itu.
"Kau benar, kita binasakan dulu anjing kebiri itu!," jawabnya dan dengan hebat kedua orang muda itu
membuka jalan dengan memutar-mutar pedang mereka. Akhirnya, berkat kerja-sama kedua pedang
mereka yang lihai, para pengepung mundur dengan gentar dan kepungan menjadi pecah. Bun Hong dan
Beng Han lalu melompat keluar, dikejar oleh para perwira dan penjaga. Akan tetapi, sambil berlari kedua
orang muda ini mengayun tangan kiri, mempergunakan batu kecil yang mereka sengaja bawa hingga
beberapa orang pengejar berseru kesakitan dan roboh pula!
Tempat itu menjadi penuh dengan orang yang terluka atau terbinasa, dan suara rintihan mereka yang
terluka bercampur dengan suara tangisan keluarga Song yang menangisi kematian Kim Bwee. Akan
tetapi, para perwira dari luar benteng yang telah mendapat laporan dan datang membantu, segera
memegat jalan keluar kedua orang muda itu hingga dipintu gerbang itu terjadi pertempuran hebat
antara kedua pengamuk itu melawan keroyokan belasan orang perwira yang memiliki ilmu silat tinggi.
Betapapun gagah adanya Beng Han dan Bun Hong, namun menghadapi keroyokan hebat ini, lambatlaun mereka terdesak juga. tiba-tiba seorang perwira menjerit dan roboh, disusul bentakan nyaring
seorang wanita,
"Anjinga penjilat, jangan kalian berani mengganggu kedua suhengku!"
"Sumoi...!!" Beng Han dan Bun Hong berseru hampir berbareng dengan suara girang dan semangat
mereka bernyala hebat hingga kembali dua orang perwira pengeroyok dapat dirobahkan! Benar saja,
yang datang itu adalah Kui Eng, gadis pendekar yang tadi memasuki kotaraja dan segera ia mendengar
tentang huru-hara yang terjadi digedung Pangeran Song. Mendengar bahwa Bun Hong adalah anak
menantu pangeran Song, Kui Eng lalu mengambil keputusan untuk mencari dan menolong isteri Bun
Hong yang juga ikut tertangkap. Dan ketika ia tiba dibenteng tempat tahanan itu, ia melihat betapa
kedua suhengnya dikeroyok hebat oleh belasan orang perwira didekat pintu benteng, maka ia segera
membantu. Kini ketiga orang saudara seperguruan itu mengamuk hebat bagaikan tiga naga sakti turun
dari angkasa sedang mengamuk. Banyak perwira telah tewas diujung pedang mereka.
"Sute, sumoi, mari kita menyerbu ke istana Thio-Thaikam!" seru Beng Han tiba-tiba.:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 161
:: CerSil KhoPingHoo :
"Baik, aku yang menjadi penunjuk jalan!" kata Bun Hong. Kui Eng yang tidak tahu akan duduknya
perkara, hanya menurut saja dan mereka bertiga lalu melompat dan menghilang dalam gelap. Para
perwira ribut mengejar dan mencari mereka,
Tak lama kemudian, keributan beralih tempat dan kini diatas genteng istana Thio-Thaikam yang
mengalami serbuan. Akan tetapi, semenyak siang tadi, Tek Po Tosu yang sudah menguatirkan datangnya
serbuan ini telah berjaga-jaga, mengumpulkan perwira yang tangguh untuk melakukan penjagaan yang
kuat hingga ketika tiga orang pendekar muda dari Swi-hoa-san itu menyerbu, mereka mendapat
sambutan yang hangat! Kembali ketiga orang muda itu mengamuk. Bun Hong memainkan pedangnya
bagaikan gila hingga mengerikan sekali, setiap pedangnya berkelebat tentu jatuh kurban! Ia memang
lincah dan cepat, dan kali ini rasa dendam dan duka karena kematian isterinya membuat ia makin ganas
lagi hingga jangankan para perwira pengeroyoknya,
Bahkan Beng Han dan Kui Eng sendiri merasa ngeri melihatnya, Pakaian Bun Hong yang tadinya telah
bernoda darah isterinya pada bagian dada, kini bertambah dengan darah para lawannya yang memercik
dan menodai seluruh pakaiannya. Wajahnya beringas dan sepasang matanya seakan-akan berapi. Kui
Eng juga terpengaruh oleh keadaan suhengnya ini hingga gadis itupun mengamuk hebat. Gerakannya
yang disertai ginkang yang luar biasa itu membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi segulung sinar
pedang yang menyambar-nyambar. Tiap kali terdengar seruannya yang nyaring, pasti senjata lawan
terpental jauh atau tubuh seorang pengeroyok roboh diatas genteng terus menggelundung turun
kebawah! Hanya Beng Han yang masih tenang. Akan tetapi gerakan pedangnya yang kuat dan tepat itu
tak kurang berbahayanya daripada gerakan kedua adik seperguruannya.
Tek Po Tosu yang maklum akan kelihaian pemuda ini, segera membawa beberapa orang perwira
mengurungnya, akan tetapi Beng Han tidak menjadi gentar. Ia maklum bahwa kali ini pertempuran
dilakukan dengan mati-matian dan tak kenal ampun, maka iapun tidak mau berlaku "seji" (sungkan) lagi.
Ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang terlihai hingga sudah banyak fihak lawan yang roboh karena
ujung pedang atau tendangan kakinya. Bukan main seru dan ramainya pertempuran yang terjadi diatas
genteng istana Thio-Thaikam, lebih seru dan ramai daripada pertempuran dibenteng tempat tahanan
tadi oleh karena kini para perwira yang mengeroyok mereka adalah jago-jago pilihan yang sengaja
didatangkan oleh Thio-Thaikam dan Tek Po Tosu untuk menjaga keselamatan pembesar berpengaruh
itu. "Suheng, aku akan menyerbu kedalam!," kata Bun Hong tiba-tiba dan dengan nekad orang muda yang
gagah ini melayang turun dan membabat setiap penghalang dengan pedangnya! Beberapa orang
penjaga menyerbunya dengan golok ditangan, akan tetapi apakah daya para penjaga yang hanya
berkepandaian biasa itu? Dengan mudah dan enak Bun Hong mengerjakan pedangnya dan
bergelimpanganlah tubuh para penjaga itu memenuhi lantai! Bun Hong terus berlari kedalam, menuju
keruang tengah dimana dulu ia pernah melihat Thio-Thaikam mengadakan perundingan dengan para
perwira. Ketika ia tiba-tiba ditempat itu, ternyata bahwa Thio-Thaikam, seperti dulu pula, sedang duduk
menghadapi dua orang Turki dan beberapa orang perwira lain, sama sekali tidak memperdulikan adanya
keributan diluar.
Memang tadinya ThioThaikam memandang rendah sekali kepada kedua orang pengacau muda yang
dikabarkan orang memberontak itu. Thio-Thaikam percaya penuh bahwa penjagaan yang kuat diluar
istananya akan mencegah masuknya setiap pengacau, maka ia tidak mau pusingkan diri mengurus hal
yang dianggapnya remeh itu, karena ada hal lebih penting untuk dibicarakan pula. Ia mengumpulkan
orang-orangnya dan merundingkan tentang sikapnya terhadap Pangeran Song. Ia mengambil keputusan:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 162
:: CerSil KhoPingHoo :
untuk menggunakan pengaruhnya kepada Kaisar agar supaja seluruh keluarga itu dapat dihukum mati!
Maka alangkah kagetnya ketika melihat seorang pemuda yang pakaiannya penuh darah dan dengan
pedang ditangan, masuk dengan wajah yang menyeramkan sekali.
"Anjing she Thio, sampailah ajalmu sekarang!," teriak Bun Hong yang segera menyerbu dengan
pedangnya. Akan tetapi, empat orang perwira dan dua orang Turki itu mencabut pedang dan
Tiga Naga Dari Angkasa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawannya.
Ternyata bahwa kepandaian para perwira itu cukup tinggi, bahkan dua orang perwira Turki yang berada
disitu memiliki ilmu pedang yang aneh dan berbahaya. Terpaksa Bun Hong menghadapi enam orang
pengeroyoknya dengan nekad dan mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Biarpun dikeroyok
enam dan sibuk melayani mereka, namun Bun Hong tak melepaskan bayangan Thio Thaikam dari
pandangan matanya, maka ketika pembesar itu mencoba untuk melarikan diri melalui sebuah pintu, Bun
Hong meninggalkan lawan-lawannya dengan sebuah lompatan cepat. Karena amat bernafsu untuk
mengerjar Thio-Thaikam, maka ia kurang waspada dan tusukan pedang seorang perwira menjerempet
dipundaknya, menembus baju dan melukai kulit pundaknya. Akan tetapi, Bun Hong seakan-akan tidak
merasa sedikitpun juga, dan sambil mengajunkan tangan kirinya, ia membentak,
"Pembesar jahat hendak lari kemana?" Batu karang yang menyambar dari tangan kirinya tepat memukul
belakang kepala Thio-Thaikam hingga pembesar kebiri itu berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung
kedepan. Bun Hong menyusul dengan sebuah tusukan dari belakang hingga pedangnya menembus
punggung pembesar itu. Ketika ia mencabut kembali pedangnya, tubuh Thio-Thaikam roboh telentang
Bun Hong tertawa bergelak dan memandang kearah muka pembesar yang telah sekarat itu dengan
puas, akan tetap suara ketawanya berhenti tiba-tiba dan kedua matanya terbelalak memandang
kebawah.
Ternyata bahwa orang yang dibunuhnya itu, biarpun perawakannya sama dan sebentuk dengan ThioThaikam, bukanlah orang kebiri yang hendak dibunuhnya. Orang itu bukan Thio-Thaikam!! Dan ketika ia
memandang sekelilingnya, makin terkejutlah ia karena tempat itu telah penuh dengan perwira yang
mengurungnya dari setiap penjuru! Ia telah terjebak! Ia memandang Thio-Thaikam terlampau rendah!
Ternyata bahwa pembesar yang licin dan cerdik itu telah membuat persiapan lebih dulu dan menyuruh
seorang pembesar palsu menggantikan tempatnya! Bun Hong berseru gemas dan mengamuk lagi,
dikeroyok oleh belasan orang perwira yang berkepandaian tinggi! Berkat kecepatan gerakannya dan
kenekadannya, ia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun ia telah terdesak sekali.
Diputarnya pedangnya sedemikian rupa hingga seluruh tubuhnya terlindung oleh sinar pedang yang
merupakan dinding baja yang teguh. Akan tetapi, karena para pengeroyoknya bukan orang
sembarangan, beberapa buah ujung senjata telah berhasil menembus pertahanannya dan ia telah
mendapat beberapa luka ringan, akan tetapi yang cukup membuat darahnya banyak mengucur keluar
dari tubuh! Ketika keadaan Bun Hong sudah amat terdesak dan berbahaya sekali, tubuhnya mulai lemas
dan gerakannya lambat. tiba-tiba dari luar melayang masuk dua bayangan yang mengamuk hebat.
Mereka ini adalah Beng Han dan Kui Eng yang berhasil membuka jalan dan meninggalkan para
pengeroyok mereka untuk membantu Bun Hong. Beng Han segera memecahkan kepungan yang
mengancam keselamatan sutenya, kemudian ia menarik tangan sutenya itu sambil berseru kepada Kui
Eng, "Sumoi, ikutlah padaku! Aku membuka jalan dan kau bersama sute menahan serangan dari belakang!":: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 163
:: CerSil KhoPingHoo : :: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 164
:: CerSil KhoPingHoo :
Beng Han lalu maju mendesak kearah pintu depan sambil memainkan pedangnya melawan orang yang
menghadang didepan, sedangkan Kui Eng dan Bun Hong sambil mundur menahan desakan para
pengejar dari belakang. Beng Han bertempur sambil mengajunkan tangan kiri membagi-bagi "hadiah"
berupa batu karang yang dibawahnya hingga terdengar pekik kesakitan berkali-kali pada saat
"hadiahnya" diterima oleh lawan. Fihak lawan tidak berani menggunakan senjata rahasia dalam
keroyokan itu, karena kuatir kalau-kalau mengenai kawan sendiri dan ini merupakan satu keuntungan
bagi fihak Beng Han. Juga Bun Hong menyerang pengejar dengan pedang dan batu karangnya. Perlahan
akan tetapi tentu ketiga pendekar muda yang mengamuk bagaikan tiga naga sakti itu dapat keluar dari
istana dan menyerbu kepintu gerbang.
Dalam keroyokan hebat itu, Beng Han telah mendapat luka pada dada kanannya, akan tetapi karena
luka itu hanya menggores pada kulit saja, walaupun terasa perih dan linu, akan tetapi tidak mengurangi
tenaganya. Kui Eng yang memiliki ginkang tinggi tidak terluka, hanya lelah sekali bertempur sekian
lamanya itu, yang paling hebat adalah keadaan Bun Hong. Orang muda ini telah mendapat beberapa
tusukan senjata musuh dan telah mengeluarkan banyak darah hingga gerakannya makin lambat dan
tubuhnya makin lemas saja, Beng Han dalam kesibukannya tidak tahu akan keadaan sutenya ini dan
ketika mereka telah berhasil mendesak keluar dari pintu-gerbang dan bertempur menghadapi para
perwira itu diluar pintu, Beng Han lalu memberi aba-aba kepada kedua adik seperguruannya,
"Mari kita pergi cepat!" Ia mendahului melompat keatas genteng sebuah rumah yang berada didekat
dinding istana, diikuti oleh Kui Eng. Akan tetapi ketika Bun Hong hendak ikut melompat pula, gerakannya
terlalu lambat dan hampir saja ia tak dapat mencapai genteng.
Untungnya ia masih berlaku cepat dan tangannya memegang ujung tiang dibawah genteng hingga
tubuhnya bergantung disitu. Beng Han dan Kui Eng cepat memburu, akan tetapi pada saat itu, Bun Hong
berseru keras dan pegangannya terlepas hingga tubuhnya jatuh kebawah! Beng Han dan Kui Eng
menjerit cemas dan cepat melompat turun lagi. Mereka masih dapat menyelamatkan jiwa Bun Hong
yang sudah hampir dijatuhi hujan senjata oleh para pengeroyoknya dengan mengamuk hebat. Beng Han
lalu memondong tubuh sutenya dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa dua batang piauw telah
menancap ditubuh sutenya itu, sebuah didada dan sebuah lagi dilehernya! Ternyata bahwa ketika tubuh
Bun Hong masih menggantung pada tiang tadi, seorang perwira melepas piauw yang menancap dengan
jitu pada sasarannya.
"Sumoi, lari!," kata Beng Han sambil menghujani para pengeroyok dengan batu yang masih ada didalam
kantongnya. Ia tak sanggup melawan lagi karena kini ia harus mempergunakan tangan kanannya untuk
memanggul tubuh sutenya yang telah pingsan dan lemas itu. Kui Eng mengerahkan tenaga dan
kepandaiannya untuk menjaga para pengejar dan sengaja berlari dibelakang Beng Han untuk melindungi
pemuda ini yang memanggul tubuh Ji-Suhengnya.
Tentu saja para perwira tidak mau melepaskan mereka dan mengejar sambil berteriak-teriak. Jumlah
pengejar makin lama makin berkurang, karena yang dapat menyusul ilmu lari cepat Kui Eng dan Beng
Han hanya ada tujuh orang perwira saja, Beng Han mengerahkan sisa tenaganya yang mulai berkurang,
sedangkan Kui Eng juga sudah merasa lelah sekali hingga mereka maklum bahwa apabila kali ini mereka
tersusul dan terpaksa bertempur lagi, mereka pasti takkan dapat menahan lagi! Mereka percepat larinya
menuju kepintu gerbang kota dan alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa pintu gerbang itu
tertutup rapat dan dibawah dinding berbaris seregu penjaga yang siap menanti kedatangan mereka.
"Sumoi, terpaksa kita harus mengadu jiwa disini. Selamat tinggal, sumoi," berkata Beng Han sambil:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 165
:: CerSil KhoPingHoo :
memindahkan tubuh Bun Hong dipundak kiri, memegangnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya memegang pedang, bersiap untuk bertempur sampai saat terakhir! Mendengar ucapan dan
melihat sikap pemuda itu, tak terasa pula mata Kui Eng menjadi basah. Alangkah mulia dan gagahnya
suhengnya ini. Membela Bun Hong sampai tenaga terakhir! Padahal kalau hendak menyelamatkan diri
tanpa memperdulikan keadaan Bun Hong, pemuda itu masih dapat!
"...Suheng, jangan kuatir. Sampai matipun aku takkan terpisah darimu!" Rombongan penjaga itu sambil
berteriak-teriak telah maju mengurung mereka dan segera terjadi pertempuran kembali dengan
hebatnya. Walaupun para penjaga itu merupakan lawan yang lunak bagi Kui Eng dan Beng Han, namun
jumlah mereka lebih dari seratus orang. sedangkan dari belakang telah mendatangi tujuh orang perwira,
diantaranya Tek Po Tosu, yang mengejar mereka! Karena benar-benar telah lelah sekali, kembali Beng
Han dan Kui Eng menerima desakan hebat dan kini Kui Eng tak dapat mempertahankan diri sebaik tadi
Sebuah tusukan tombak telah melukai pahanya, dan Beng Han juga telah menerima sebuah bacokan
pedang pada bahu kanannya.
Hanya karena keteguhan hati dan kekuatan semangatnya saja maka ia masih kuat memegang dan
memainkan pedangnya, merobohkan beberapa orang penjaga lagi. Kui Eng terpincang-pincang, akan
tetapi pedangnya masih lihai dan banyak penjaga masih belum mampu mendekatinya, bahkan ada
beberapa orang lagi yang roboh sebagai akibat pembalasan Kui Eng yang marah karena luka itu.
Betapapun gagahnya kedua pendekar muda itu, nasib mereka sudah dapat ditentukan. Takkan lama lagi
kiranya bahwa mereka pasti akan roboh dan tewas dibawah hujan senjata. Akan tetapi, pada saat itu,
dari atas dinding kota yang tinggi sehelai tali besar diturunkan orang dan seperti monjet-monyet yang
pandai, nampak beberapa orang meluncur turun dari tali itu, bahkan sesosok bayangan putih yang gesit
sekali gerakannya tidak meluncur dari tali,
https://www.facebook.com/groups/KhoPingHoo
Akan tetapi melayang turun dari atas tembok yang tinggi itu! yang datang itu bukan lain ialah Beng Lian,
Yu Tek, dan dua orang guru mereka, jaitu Pek I Nikou dan Tiongsan Lokai! Mereka berempat ini datang
pada saat yang tepat sekali dan setelah Beng Lian dan Yu Tek menyerbu, maka para pengeroyok Kui Eng
dan Beng Han menjadi kacau-balau dan terpecah-belah! Tujuh orang perwira pengejar yang tangguh itu
datang pula akan tetapi mereka segera menghadapi Pek I Nikou dan Tiongsan Lokai yang lihai dan sakti!
Sebentar saja, seorang diantara mereka telah terkena jarum yang dilepas oleh Pek I Nikou, sedangkan
dua orang perwira roboh terkena pukulan tongkat Tiongsan Lokai! Tek Po Tosu marah sekali dan
mengeluarkan saputangannya yang dikebutkan kearah Pek I Nikou hingga belasan batang jarum hitam
menyambar.
Akan tetapi, sambil tersenyum Pek I Nikou mengebut dengan ujung lengan bajunya dan runtuhlah
semua jarum itu, Tek Po Tosu terkejut sekali melihat kepandaian ini dan hatinga menjadi gentar. Ia tidak
tahu bahwa ia berhadapan dengan Pek I Nikou yang terkenal sebagai ahli pelepas senjata rahasia segala
macam jarum. Selagi Tek Po Tosu masih tertegun. Pek I Nikou menggerakkan lengan baju sebelah kiri
dan tujuh batang jarum yang putih dan mengeluarkan cahaja menyerbu kearah Tek Po Tosu! Pendeta itu
terkejut sekali dan cepat menggunakan siangkiamnya untuk menangkis. akan tetapi ternyata bahwa
jarum-jarum itu dilepas dengan tenaga luar biasa hingga ketika ditangkis, bukannya runtuh kebawah,
akan tetapi melejit kesamping hingga melukai beberapa orang kawannya!
Terdengar seruan kesakitan dan tiba-tiba sebatang jarum yang luar biasa cepatnya menyambar kearah
leher Tek Po Tosu. Pendeta ini masih mencoba memiringkan tubuh, akan tetapi jarum itu tetap saja
mengenai pundaknya hingga ia menjerit roboh tak sadarkan diri karena jarum itu menancap pada urat
dipundaknya. Menyaksikan kehebatan nikou itu dan kehebatan Tiongsan Lokai yang menggerakkan:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 166
:: CerSil KhoPingHoo : :: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 167
:: CerSil KhoPingHoo :
tongkat bambunya secara sembarangan akan tetapi tiap kali tongkat itu bergerak, tentu sebatang
senjata lawan dapat dilemparkan, semua pengeroyok menjadi gentar. Juga sepak-terjang Beng Lian dan
Yu Tek mengagumkan sekali dan cukup membuat para penjaga kacau-balau dan simpang-siur. Tiongsan
Lokai lalu menangkap dua orang penjaga dan menjeret mereka kearah pintu gerbang, memaksa mereka
untuk membukanya. Setelah pintu gerbang terbuka, ia berseru keras,
"Lari keluar!!" Yu Tek yang masih segar tenaganya, lalu minta kepada Beng Han untuk menyerahkan
tubuh Bun Hong kepadanya, sedangkan Beng Lian tanpa banyak cakap lagi lalu memondong tubuh Kui
Eng yang telah terluka pahanya dan tak dapat lari cepat. Demikianlah dibawah lindungan Pek I Nikou
yang menyebar jarumnya, mereka keluar dari pintu gerbang itu dan berlari kedalam hutan yang gelap!
Para perwira dan penjaga tidak berani mengejar dan terpaksa kembali untuk merawat kawan mereka.
Tiongsan Lokai membawa mereka kesebuah kelenteng rusak didalam hutan itu, dan Pek I Nikou lalu
merawat luka yang diderita oleh Kui Eng dan Beng Han.
Adapun keadaan Bun Hong pajah sekali hingga ketika siuman dari pingsannya, pemuda ini hanya dapat
merintih-rintih dan menangis. Ia merintih bukan karena sakit, akan tetapi karena teringat kepada
isterinya. Dalam keadaan panas dan mengigau, ia memanggil nama isterinya, meminta ampun kepada
Kim Bwee, bahkan meminta ampun kepada Kui Eng dan Beng Han! Pek I Nikou yang mengerti juga
tentang ilmu pengobatan, hanya menggelengkan kepalanya saja, sedangkan Beng Han memegang
tangan sutenya dengan airmata mengalir turun. Juga Kui Eng menangis sambil menggunakan
saputangannya yang telah dibasahi untuk mengusap kening Bun Hong yang panas sekali. Beng Lian dan
Yu Tek memandang dengan penuh keharuan sambil menjaga agar api unggun dikelenteng itu tidak
padam.
"Suheng... suheng...," kata Bun Hong sambil gerakkan kepala kekanan kiri dengan gelisahnya. Beng Han
menekan pergelangan tangan sutenya.
"Aku berada disini, sute...," katanya menahan isak.
"Agaknya saputangan basah yang dingin dan yang digosok-gosokkan pada keningnya oleh Kui Eng itu
agak menyadarkan pikirannya yang kacau karena panas maka Bun Hong lalu memandang kepada Beng
Han dengan mata sayu. "Suheng, kau... kau maafkan aku...?"
"Sute, tidak ada sesuatu yang harus dimaafkan. Kau suteku yang baik!," jawab Beng Han.
"Suheng... sampaikan permohonan ampunku kepada suhu..." Beng Han hanya mengangguk dan
menahan jatuhnya airmata yang mulai mengalir keluar lagi.
"Sumoi, kau ampunkan aku, ya...?" Bun Hong memandang sumoinya yang masih mengelus-elus
keningnya sambil bercucuran airmata.
"Kau tidak bersalah, Ji-Suheng. Kuatkanlah badanmu, tenangkan pikiranmu."
"Kau selalu menasehati aku..." Bun Hong mencoba tersenyum akan tetapi bibirnya mengeluarkan
keluhan lagi,
"sumoi... kau... kau terlalu mulia... hanya suheng yang pantas... kalian harus berjanji... rawatlah baik
anakku Sian Lun... suheng, sumoi..." Tiba-tiba Kui Eng menjerit keras karena melihat betapa tiba-tiba:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 168
:: CerSil KhoPingHoo :
leher Bun Hong menjadi lemas dan napasnya berhenti! Kui Eng menangis dengan hati hancur. Semenjak
kecil, ia merasa bahwa Bun Hong dan Beng Han sajalah orang yang paling dekat dengannya, yang selalu
membela dan menolongnya.
Mereka menjadi besar disatu tempat senasib-sependeritaan, dan ia menganggap mereka itu sebagai
orang yang paling terkasih. Juga Beng Han meruntuhkan airmata sambil memeluk tubuh sutenya hingga
semua orang menjadi terharu, Beng Lian memeluk kakaknya dan menghibur sambil mengucurkan
airmata pula. Pemandangan yang nampak dibawan sinar api unggun yang suram-muram itu sungguh
menjedihkan. Seekor diantara tiga naga sakti yang mengamuk di kotaraja dan menggemparkan seluruh
penduduk bahkan membuat Kaisar menggigil karena kuatir itu, akhirnya menemui ajalnya, dalam
keadaan yang amat menjedihkan. Lui Sian Lojin ketika mendengar penuturan kedua muridnya, Beng Han
dan Kui Eng, tentang kematian Bun Hong, hanya menarik napas panjang dan berkata,
"Bun Hong tewas dalam keadaan gagah dan sudah insyaf akan kesesatannya, maka hal itu tidak sangat
mengecewakan, Kalian telah cukup menderita semenyak kecil dan sekarang karena kalian telah dapat
bertemu dengan orangtuamu sudah sewajibnya kalian hidup bersama mereka dan membalas budi
mereka dengan perawatan-perawatan yang layak sebagaimana anak berbakti. Kalian berdua telah
dewasa dan sudah sepatutnya pula mendirikan rumah-tangga. Tentang perjodohan, aku sebagai guru
hanya ikut berdoa saja, segala keputusannya terserah kepada ibu kalian dan kepada kalian sendiri."
Demikianlah setelah mendapat banyak petua dari suhu mereka, Beng Han dan Kui Eng kembali kerumah
ibu masing-masing. Beng Han tinggal didekat Kuil Kwan-Im-Bio sedangkan Kui Eng tinggal bersama
ibunya di Kiciu. Beng Han terpaksa harus mengalah dan membiarkan Kui Eng merawat Sian Lun, putera
Bun Hong yang sudah yatim-piatu itu.
Akan tetapi, sering sekali Beng Han datang mengunjungi sumoinya dan kasih-sayangnya terhadap Sian
Lun membuat anak itu suka sekali kepadanya dan tiap kali ia datang, anak itu tentu segera
dipondongnya dan diajak bermain-main." Waktu berjalan dengan pesat dan dua tahun kemudian, pada
suatu hari, serombongan orang menuju ke Kiciu. Mereka ini adalah Pek I Nikou, Siok Thian Nikou ibu
Beng Han, Beng Han sendiri, Beng Lian dan Yu Tek. Mereka hendak mengunjungi Kui Eng dan Sian Lun.
Ketika rombongan ini tiba-tiba didepan rumah Bu Pok Seng ayah tiri Kui Eng, kebetulan sekali Kui Eng
dan ibunya sedang duduk diruang depan bersama Sian Lun yang bermain-main dibawah. Ketika anak ini
melihat Beng Han datang, ia segera berdiri dan berlari-lari menyambut dengan kedua lengan dibuka
sambil berseru girang,
"Ayah... ayah datang..." Tersenyumlah semua orang melihat betapa ayah ini memeluk dan memondong
anak itu. Memang, semenyak dapat berkata-kata, Sian Lun menyebut "ayah" kepada Beng Han dan
"ibu" kepada Kui Eng! Hal ini terjadi dengan sewajarnya, bukan karena disuruh orang, karena anak ini
menganggap mereka sebagai orang yang paling baik dan manis terhadapnya. Sedangkan Kui Eng dan
Beng Han juga tidak mau membiarkan anak itu mengerti bahwa ia telah yatim-piatu dan tak berayah-ibu
lagi. Siok Thian Nikou bercakap-cakap dengan Pek I Nikou dan Nyonya Bu.
"Sungguh sukar mengurus Beng Han itu," kata Siok Thian Nikou kepada Nyonya Bu, karena disitu tidak
terdapat Beng Han dan orang-orang muda lainnya yang bercakap-cakap ditempat lain. "Telah pinni
bujuk agar supaja ia suka mencari jodoh, akan tetapi ia selalu menolaknya. Padahal, adiknya Beng Lian
itu tidak mau melangsungkan pernikahannya sebelum melihat kakaknya menikah terlebih dulu. Coba
saja pikir, Beng Lian sudah bertunangan lebih dari tiga tahun, dan masih saja ia harus menunggu. Pinni
benar-benar bingung...," Nikou itu menarik napas panjang.:: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 169
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hal itu sama benar dengan pengalaman kami disini. Akupun merasa bingung karena Kui Eng tidak mau
dikawinkan sungguhpun sudah banyak datang lamaran. Seperti halnya Beng Lian, juga anakku Swi Lan
yang sudah bertunangan itu tidak mau dilangsungkan pernikahannya sebelum encinya menikah!"
Mendengar ini, Pek I Nikou tersenyum dan berkata dengan suaranya yang halus dan tenang,
"Kalau begitu, mengapa tidak menjodohkan saja kedua anak muda yang keras kepala itu?" Siok Thian
Nikou dan Nyonya Bu Pok Seng saling pandang dengan mata berseri dan mulut tersenyum, penuh arti.
"Mengapa tidak...?," kata mereka hampir berbareng hingga Pek I Nikou bertepuk tangan kegirangan.
"Omitohud... Buddha sungguh mulia dan pengasih! Sudah setua ini pinni masih mendapat kehormatan
untuk menjadi comblang! Serahkan saja hal ini kepada pinni dan kalau usaha pinni ini berhasil, biarlah
pinni melanggar pantangan dan melakukan dosa besar untuk menunjukkan kegirangan pinni dengan
membasahi bibirku dengan arak pengantin!" Semua orang tersenyum gembira melihat kejenakaan nikou
tua itu. Sementara itu, didalam taman, Beng Han dan Kui Eng bermain-main dengan Sian Lun. Tadinya
Beng Lian dan Yu Tek juga duduk disitu bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi kemudian sepasang
pemuda yang bertunangan ini meninggalkan mereka bertiga dan berjalan-jalan melihat pemandangan
kota Kiciu.
"Suheng, Sian Lun suka sekali padamu," kata Kui Eng dengan wajah berseri melihat Beng Han sambil
memondong Sian Lun berusaha menangkap kupu-kupu yang terbang diatas kembang. Beng Han hanya
balas memandang sambil tersenyum dan berkata kepada Sian Lun,
"Kupu-kupunya tak dapat ditangkap, terlalu gesit." Padahal ia tidak mau menangkap kupu-kupu itu
karena kasihan, Sian Lun merengek.
"Tangkaplah, ayah tangkaplah kupu-kupu itu untukku!"
"Jangan, Sian Lun, nanti dia mati, kasihan..." Beng Han. Sian Lun lalu meronta minta turun dan berlari
kepada Kui Eng.
"Ibu... ayah nakal, ibu. Kau harus pukul padanya!," katanya dengan sikap manya sambil menuding
kearah Beng Han.
"Hush, jangan nakal, Sian Lun," kata Kui Eng tetapi anak itu menangis dan mendesak agar supaya ibunya
memukul ayahnya yang nakal itu! Kui Eng dan Beng Han saling pandang, teringat kepada Bun Hong yang
keras kepala dan nakal, Anak ini benar-benar seperti Bun Hong!
"Baiklah kupukul dia, akan tetapi kalau kau yang nakal, kaupun akan kupukul!," akhirnya Kui Eng
mengalah dan menghampiri Beng Han, mengangkat tangan dan pura-pura memukul bahu pemuda itu,
Kata Beng Han yang hendak menggoda Sian Lun, pura-pura mengaduh dan menutupi muka dengan
kedua tangan dan membuat suara seperti orang menangis. Terbelalak muka Sian Lun memandang
ayahnya dan ia lalu berlari menghampiri Beng Han yang duduk diatas rumput, memeluk ayahnya dan
berkata,
"Ajah... kau sakit dipukul ibu, ayah..." Kemudian, anak itu memandang kepada ibunya dan berkata, "Ibu,
kau nakal, mengapa kau pukul ayah sampai sakit?":: Tiga Naga Dari Angkasa/Sam Liong Shia Thian (Cerita Lepas) 170
:: CerSil KhoPingHoo :
"Eh, bukankah kau yang menyuruhku tadi?," kata Kui Eng sambil tersenyum.
"Ya, akan tetapi jangan keras memukulnya!" Beng Han tak dapat menahan gelak-tawanya, dan juga Kui
Eng tertawa geli hingga Sian Lun memandang heran sekali. Bukan main senang dan bahagianya rasa hati
Kui Eng dan Beng Han pada saat itu dan ketika mereka saling memandang tiba-tiba suara ketawa mereka
terhenti dan dua pasang mata itu bertemu dan saling pandang bagaikan kena pesona. Hati mereka
Tiga Naga Dari Angkasa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masing-masing berbisik dalam lagu yang sama dan suara yang sama pula,
"Alangkah bahagianya kalau kita bertiga dapat berkumpul merupakan satu rumah-tangga yang
bahagia..." Hati kedua orang muda ini telah terbuka, dan keduanya telah siap-sedia mengangguk dan
menyatakan setuju, hanya menanti datangnya sebuah tangan yang akan diulurkan dan akan
mempertemukan kedua hati itu. Dan tangan inipun telah mendekat tanpa mereka ketahui, yakni tangan
Pek I Nikou yang hendak mengangkat diri menjadi comblang! Kebahagiaan telah berada diambang pintu
bagi mereka tanpa mereka ketahui. Ketika terdengar suara tertawa dan tepuk-tangan Pek I Nikou yang
bergirang itu dari dalam rumah, barulah mereka sadar bahwa semenyak tadi mereka telah saling
pandang bagaikan terkena pesona hingga keduanya menundukkan muka dengan malu-malu dan dada
berdebar.
"Sumoi," kata Beng Han tanpa mengangkat muka sambil membelai kepala Sian Lun, "Anak ini seperti
anakku sendiri..."
"Demikianpun perasaan hatiku, suheng..." Keduanya tak dapat berkata-kata lagi sampai datangnya Pek I
Nikou yang dengan wajah berseri mengulurkan tali pengikat hati mereka berdua.
Mendengar pinangan ini, Kui Eng lalu berlari masuk dan membanting tubuhnya diatas pembaringan
sambil menangis karena... girang! Semenyak gagalnya penyerangan Bun Hong, Beng Han dan Kui Eng
yang merupakan tiga naga sakti mengamuk, Thio-Thaikam bukannya merasa jerih dan kapok, bahkan
lalu memperlihatkan keganasannya makin hebat pula. Petani yang merasa tertekan dan tercekik,
akhirnya tak kuat menahan penderitaan itu dan mulai tahun 874, memberontaklah para petani itu
dengan hebatnya! Dimana-mana rakyat bangkit dan memberontak hingga akhirnya Thio-Thaikam
dibunuh mati oleh rakyat, bahkan Kaisar Tang sendiri sampai terusir dan lari dari istananya yang
diduduki oleh barisan petani! Pembesar tinggi yang jahat mendapat bagaiannya dan banyak yang
dibinasakan.
Sungguhpun lima tahun kemudian, barisan petani ini dapat dipukul mundur oleh tentara kerajaan yang
mendapat bantuan dari barisan Turki barat, namun pemberontakan itu telah membuat gentar hati para
pembesar dan Kaisar hingga mereka tidak berani berlaku sewenang-wenang lagi. Dan sementara itu,
pada suatu hari, bertemulah tiga pasang pengantin dengan penuh bahagia, mereka ini ialah Beng Han
dengan Kui Eng, Beng Lian dengan Yu Tek, dan Swi Lan dengan Min Tek!
TAMAT
Tembang Tantangan 1 Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Gajah Kencana 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama