Ceritasilat Novel Online

Topeng Panji Cambuk Iblis 2

Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis Bagian 2


seorang gadis berwajah cantik, tubuhnya berisi padat, rambutnya panjang digulung
menjejak bahu. Rambut itu sebentar-sebentar menari menggapai wajahnya yang halus
cantik itu.
"Tantri, adakah kau membutuhkan kakang?"
Gadis itu melayangkan pandang, pada beberapa orang yang masih di tempat itu,
beberapa kuda pilihan yang terpancang pada tambatan di depan gandok.
"Kau menanyakan tentang itu?"
Gadis itu mengangguk. Wajahnya bersungut.
"Kau seperti semut sargula yang akan memangsa aku Tantri."
Gadis itu masih belum berkata. Pedangnya yang tipis bergantung di pinggang
disentuh tangannya.
Pemuda itu memandanginya dengan senyum yang dalam. Gadis itu membalas
dengan pandang tajam.
"Hai, jangan seperti itu memandang aku?"
"Aku adalah tawananmu, tidak perlu kau memperlakukan sesopan itu
terhadapku." Kata gadis itu berbata-bata.
"Kepada siapapun aku berbuat demikian. Apalagi terhadapmu. Di sini kau
mendapat kebebasan sesuka hatimu bukan?"
"Huh." Katanya dengan mendengus.
"Barang kali kau ingin mencoba salah satu diantara selirku untuk berlomba dengan
pedangmu itu. Mereka masih pandai memainkan pedang. Dahulu aku mendapatkannya
dengan menaklukkan terlebih dahulu, malah diantaranya ada yang dapat melukaiku."
Gadis itu tidak menjawab.
Tiba-tiba terdengar bunyi genderang, cahaya obor menuju halaman rumah itu. Di
belakang jauh pasukan berkuda jalan pelahan.
"Semua ini untuk mempertahankan martabat keluargaku Tantri."
"Karena seorang penjaga gapura?"Betapa terkejutnya pemuda itu, seorang pemuda yang bernama Sambernyawa dari
alas tua, kali ini benar-benar terkejut sampai tubuhnya serasa kejang. Dari mana gadis itu
mengetahui kejadiannya. Padahal selama ini berada dalam pengawasannya. Dan tak
seorangpun yang mengetahui mengapa dan untuk apa pasukan itu disiapkan. Dia sendiri
belum menyampaikan keinginannya kepada siapapun. Untuk tidak tersebar luas
Sambernyawa pura-pura tidak mendengar ucapan gadis itu. Namun herannya belum juga
terpecahkan. Ia menarik napas panjang.
"Dimanapun kau dikubur setelah kematianmu hadir, kau tak akan dapat memilih.
Kau mati di ujung pedang, di ujung tombak, atau mati dalam liang semut sargula, mana
kau tahu." Seru gadis itu.
"Tetapi aku merencanakannya." Sahut Sambernyawa.
"Seorang penjaga gapura yang baik budi, akan lebih berharga daripada seorang
putra adipati yang serakah dan sewenang-wenang."
Kembali Sambernyawa alas tua tercekat hatinya. Untuk kedua kalinya seperti
disengat lebah benaknya. Kembali ia berpura-pura tak mendengar ucapan itu.
Tengah ia merenungi siapa yang memberitakan berita itu kepada gadis
tawanannya, beberapa orang datang menghadap memberitahukan lasykarnya telah siap.
Sambernyawa alas tuwa dengan menghunus pedangnya ia berkata lantang.
"Demi mempertahankan nama dan martabat, juga untuk hidup yang lebih baik."
Gegap gempita sorak mereka yang menyambut ucapan itu.
Genderang berbunyi sebagai tanda berangkat, semua mengangkat tombaknya.
Tetapi satupun diantara mereka tidak mengetahui kemana tujuan mereka itu.
Beberapa orang andelan menyusul. Mereka baru mengetahui setelah pasukan
bergerak meninggalkan halaman.
"Matikan obor kalian." Perintah Sambernyawa. Obor obor segera padam, tetapi
tak mengurangi kecepatan mereka berjalan. Memang bagi orang-orang penghuni alas
melatih berjalan di tempat gelap dilakukannya sejak kecil. Hal itu pulalah yang
menguntungkan, sehingga tanpa oborpun tiada halangan bagi mereka.
"Pasukan berkuda bersiap menjelang tengah malam." Mereka semua seperti
kumbang saling memberitahukan teman-temannya.
"Duduklah di pendapa, tambatkan kuda kuda kalian." Mereka yang diperintah
segera melakukannya."Akan kuperkenalkan pada kalian, seorang bakal selirku." Sambernyawa berhenti
berkata, tampak mencari-cari, kemudian tersenyum dan menyambung "Dia, itulah
namanya Dyah Tantri."
Mendadak pecahlah tawa yang menggeletar dari mereka yang duduk di pendapa,
demikian pula Sambernyawa alas tuwa ia tertawa sampai tubuhnya bergoyangan.
Gadis itu meloncat dengan menusukkan pedang tipisnya. Sambernyawa bukanlah
orang sembarangan. Ia mengetahui datangnya bahaya, cepat menggeser tubuhnya dengan
sekaligus melontarkan pukulan mengarah dada. Ia memang tidak ingin melukai gadis itu.
Pukulannya mengandung desis angin sampai baju gadis itu tersibak.
Keripuhanlah gadis itu menutup tubuhnya.
Sekali lagi Sambernyawa melontarkan pukulan mengarah sisih betis gadis itu.
Krak. celananya robek sampai ke lutut.
Gadis itu bertambah malu. Tetapi di pendapa lantas saja meledak tawa yang tidak
keruan. Maklumlah terdiri dari pemuda-pemuda.
"Kau lihat tontonan yang indah bukan?"
"Teruskan Ki Lurah, biar ia bersimpuh di depan kami. Meledaklah kembali tawa
liar memenuhi pendapa.
Bunyi margasatwa malam dalam hutan itu semakin berkurang, di kejauhan
terdengar lolong serigala, dan bunyi orang hutan yang melolong memecah sunyi malam.
Bunyi gangsir terdengar jarang-jarang. Embun mulai turun. Dari randu alas di depan
halaman muka yang membatu itu, terdengar burung hantu mengoceh.
Mereka yang di pendapa teralih pandangannya pada bunyi burung hantu yang
bersautan, seolah-olah sedang menceriterakan tentang maut di daerah lereng pegunungan.
Tengah mereka didambakan suasana yang pekat malam itu. Terdengar sebuah jerit
tinggi. Mereka terkejut, serentak berdiri. Dilihatnya gadis itu ditarik-tarik seseorang.
Gadis itu sebenarnya pernah juga mendapat pelajaran temang bagaimana menggunakan
pedang, tetapi waktu itu ia tidak dapat berbuat lain. Pedangnya tergantung pada
pinggangnya, tetapi, kedua tangannya memegang bajunya yang robek untuk menutup
dada dan celananya yang robek sampai di atas lutut.
Gadis itu mengumpat setengah mati.
Tak disangka-sangka, umpatan gadis itu disusul dengan jerit tinggi yang tercekat,
kemudian seseorang dengan sempoyongan memaki-maki tak keruan, dengan tangannya
meraih punggung.
Dari pendapa terdengar Sambernyawa alas tuwa tertawa lega.Sebaliknya gadis itu lari menuju tempatnya sendiri.
Beberapa orang berlari menuju tempat kejadian. Mereka membawa benak masingmasing, siapa yang menyerang gadis itu?
Seorang pemuda tertelungkup. Sebuah belati bergagang gading tertunjam pada
punggungnya menembus dada. Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga lempar orang
itu. Tengah mereka merenungi keadaan, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
"Binatang itu rupa-rupanya tak kuat menahan nafsunya."
Mereka semua mengetahui bahwa suara itu adalah suara lurahnya.
"Sehabis penyerangan dia boleh memperolehnya sepuluh kali lebih banyak.
Binatang tolol."
Semuanya mengerti bahwa lurahnya sedang mengucap perkataan.
"Baru melihat dada terbuka dan betis mengintip, tak bisa menahan kepala.
Sekarang ia kehilangan semuanya."
Sambernyawa alas tuwa menyibakkan anak buahnya, dengan tangannya sendiri
dicabutnya belati yang terhunjam itu.
"Siapa yang mempunyainya?" Tanya Sambernyawa dengan tersenyum.
Tak ada seorangpun yang mengakuinya. Beberapa orang memandang sarung pisau
yang tergantung di pinggang lurahnya kosong.
"Kalau tak ada yang mengakuinya, kusarungkan pada kerangka belatiku yang
kosong." Habis berkata demikian diusapnya darah yang melekat pada belati itu kemudian
disarungkannya.
Sekarang mengertilah mereka siapa yang melemparkan belati. Pada pikiran
mereka terlintas keperkasaan lurahnya. Dalam jarak lebih dari sepuluh depa, belati itu
terhunjam seluruh matanya.
Semuanya memandang lurahnya yang mulai melangkah meninggalkan tempat itu.
Beberapa diantaranya menghela napas panjang.
"Kubur dia. Serahkan kepada yang tinggal!" Perintah Sambernyawa.
Demikianlah pemuda itu terkenal dengan sebutan Sambernyawa alas tuwa.
Karena seperti keperkasaannya, setiap orang yang tersambar tangannya tidak mungkin
kembali seperti sedia kala. Masih untung kalau orang itu menjadi cedera. Mematah lengan
seseorang adalah hukuman yang paling ringan. Menyambar hati seorang gadis dengan
paksapun belum pula ada tandingnya di daerah alas tuwa.Sebenarnya pemuda itu berwajah tampan, kalau saja hatinya setampan wajahnya,
untuk memikat seorang gadis tidaklah sukar. Karena sitatnya yang mau menang sendiri,
tinggi hati dan serakah bercampur licik dalam perbuatannya. Maka wajahnya yang
tampan itu di sana sini penuh dengan cacat. Cacat yang didapatnya karena latihan-latihan
kanuragan sejak masih kanak-kanak, di samping didapatnya dalam pertempuranpertempuran kecil waktu memperluas pengaruhnya dikalangan berandal.
"Kita akah segera berangkat!" Teriak sambernyawa.
Penduduk daerah alas tuwa hanya mengerti julukan lurahnya. Siapa nama
pemberian orang tuanya tak seorangpun mengetahui.
Baru saja beberapa orang meninggalkan tempat dimana seorang pemuda
tertelungkup tidak bernyawa lagi itu.
"Kita minum bersama. Kalian belum makan juga bukan?
"Belum ki lurah."
"Baik, mari kita makan bersama." Kemudian ia memerintahkan beberapa orang
pergi ke gandok belakang untuk membawa minuman dan makan yang sudah tersedia di
pendapa.
Beberapa pemuda tampak membawa makan yang dituang pada penampi-penampi
besar dengan lauknya.
"Nah, makanlah dahulu."
Mereka sudah melupakan kejadian-kejadian yang baru saja dialaminya, sekarang
di hadapannya tersedia makanan dan bengkah-bengkah ikan panggang yang harum
baunya menusuk hidung. Beberapa orang sudah menyambar paha ayam, lainnya sedang
mematah paha anak kambing.
Seorang mengantarkan nasi dan ayam pangang kepada Lurahnya.
"Makanlah, aku senang melihat kalian."
"Mengapa Ki Lurah tidak makan?" Tanya seseorang.
"Aku akan makan yang lain." Habis bekata demikian ia tersenyum kemudian
menuju gandok dimana gadis yang bernama Dyah Tantri menginap.
Baru saja melangkah meninggalkan tempat duduknya, terdengar burung hantu
melagukan dendang kematian. Bulu tengkuknya mengeridik. Teringat kejadian yang
menimpa anak buahnya yang mati karena belatinya, didahului dendang burung hantu itu.
Diam-diam hatinya menjadi kecut juga.Ia duduk kembali, dengan termenung-menung. Mukanya merah membara, biji
lehernya naik turun. Sebentar-sebentar meneguk liurnya.
Diambilnya paha ikan panggang. Dilampiaskannya nafsunya lewat panggang
ayam yang di hadapannya. Hampir seekor ayam habis. Memang demikian kebiasaanja.
Seluruh anak buah mengerti bahwa lurahnya sedang kalap oleh perasaan yang tidak
tersalurkan.
"Kita berangkat sekarang." Mereka menyahut bersama.
Dengan kesiapan masing-masing mereka berbaris, dengan mengangkat tombaknya
sebagai tanda keberangkatan.
Pemuda-pemuda itu ada beberapa yang masih sempoyongan karena kepalanya
pening, mulutnya berbau tuak, bahkan ada diantaranya yang masih menuangkan
bumbung tuaknya di atas pelana kudanya. Karena kudanya bergoyangan dan mereka
sendiri setengah sadar, kadang-kadang bumbung tuaknya tidak melekat pada mulutnya,
dan airnya membasahi kuda.
Sambernyawa alas tuwa dengan belati berhulu gading sebagai tanda kebesarannya,
melangkah keluar pendapa.
Sambernyawa berkuda perkasa diapit dua orang pemuda, ketiganya bertubuh besar
dan kokoh, di belakangnya empat orang lainnya.
"Kakang Sambernyawa, kemana tujuan kita?" Tanya pemuda itu.
"Kita mengikuti jalan besar."
Menjelang tengah malam, Sambernyawa menggebrak kudanya, dan larilah barisan
berkuda itu seperti anak panah beruntun yang lepas dari busurnya. Kekang kudanya
ditarik kencang, sehingga lari kuda itu ajeg. Dalam hal bermain di atas pelana kuda bagi
Sambernyawa adalah pengembaraannya sejak kecil.
"Hei, kemana pasukan yang berjalan kaki?" Tanyanya.
"Bukankah sudah Ki Lurah beritahukan tujuannya."
"Seharusnya mereka sudah mengerti" Sambernyawa memberi aba-aba berhenti, ia
melayangkan pandang.
"Hei, kenapa itu? Bukankah itu kadipaten kakangku?"
"Benar Ki Lurah. Agaknya ada sesuatu yang tidak beres.
"Mari kita periksa."Kembali pasukan berkuda itu menggebrak kudanya menuju kadipaten,
Waktu tinggal setonggak jauhnya sudah terdengar sorak mereka yang mendapat
kemenangan. Di sana-sini masih terdengar bunyi dencing senjata dan rintih mereka yang
terluka.
Dencing senjata bagi Sambernyawa alas tuwa adalah lagu indah yang
dirindukannya setiap waktu, baginya adalah lagu pengantar kematian.
Dengan berteriak keras, pasukannya diberi aba-aba melabrak mereka yang sedang
berlawanan. Pasukan berkuda itu terkenal sebagai pasukan yang selalu menyambar dan
mengantarkan kematian orang lain. Pedang mereka menghantam ke kiri dan ke kanan
membersihkan lawannya.
"Anakmas Sambernyawa. Ini kakangmu." Teriak seseorang.
Samberriawa menuju ke tempat panggilan itu. Sementara itu pasukannya mulai
meredakan serangannya. Sedang pasukan yang berjalan kaki sedang beristirahat.
Beberapa orang mengobati yang terluka.
"Mengapa kakang?" Tanya Sambernyawa dengan meloncat dari atas pelana
kudanya.
"Kau datang tepat pada waktunya adiku."
Sambernyawa menjinakkan beberapa orang akan menemui kakaknya. Tetapi
kakaknya mencegahnya. Beberapa orang memandangnya. Sambernyawa menanggapi
pandang itu dengan mata berapi-api.
"Mengapa kalian seperti tak pernah melihat aku?"
"Berbahagialah kau Sambernyawa?!" Ucapan itu setengah-setengah.
"Mengapa kakang. Aku datang akan menjengukmu. Tetapi waktu aku memasuki
tonggak batas desa, kulihat kau diserang. Sebagai seorang adik, tanpa mengetahui sebab
musababnya aku menerjang mereka."
Sambernyawa alas tuwa berkata dengan serak.
"Tetapi kau salah alamat."
"Maksudmu?"
"Bertanyalah pada hatimu sendiri Sambernyawa."
"Oh, aku tidak mengerti."
"Anakmas menyerang kami.""Oh, maafkan. Gelap ini yang menyebabkannya."
"Itu pulalah yang menyebabkan kakang, anakmas kena tombak."
"Dalam pertempuran kejadian demikian adalah sewajarnya paman. Seharusnya
paman lebih mengerti dari pada aku."
Orang tua yang tidak lain Ki Gede mengangguk pelan. "Puaskah hatimu dengan
kejadian ini."
Sambernyawa tercekat. Untunglah gelap malam membantunya sehingga
perubahan wajahnya tidak begitu tampak. Hatinya bergetar.
"Gantikanlah kedudukanku." Kata adipati muda.
"Aku tidak membutuhkannya."
"Akupun karena dukunganmu tanpa persetujuan siapa-siapa. Secara kasar dapat
pula dikatakan baiiwa aku memberontak kepada raja."
Adipati muda itu memandangnya"Atas doronganmu aku mengerjakannya.
Sekarang kau akan lari."la berkata ber-bata-bata. Darah terus mengalir liwat punggung
dan dadanya Sekarang ia tampak lemas.
"Sudahlah gusti."Mereka akan mengangkatnya. Tetapi adipati muda itu menolak.
"Tak........ tak usah kakang."Habis berkata demikian nap-.snja sudah tinggal
pelahan, akh;rnya pemuda yang menamakan dirinya adipati muda itu gugur
mempertahankan daerahnya yang memberi hidup.
Semuanya tunduk termasuk Sambernyawa alas tuwa. Beberapa orang mengangkat
jenazah adipati muda ke-ruang tengah.
"Sekarang giliranku anakmas."Kata Ki Gede.
"Apa maksud paman?"Tanya Sambernyawa.
"Tak ada artinya aku tanpa angger adipati."
"Kau terlampau bertingkah paman. Adakah kau menginginkan diangkat seperti
penjaga gapura itu?"
Orang tua itu tidak menjawab. Tetapi langsung menyerang dengan pedangnya. Ia
adalah seorang yang cukup berpengalaman. Tetapi Sambernyawa bukan pula orang
sembarangan yang dapat diremehkan.
"Hai, rupa-rupanya kau pandai pula bermain pedang?""Suruh anak-anakmu mengerubut aku." Kata Ki Gede.
"Paman yang berbudi, sudah sewajarnya paman mengajari aku. Apa perlunya aku
mengeroyok. Paman tidak akan mendapat perlakuan demikian. Kalau hal itu kulakukan
akan cepatlah paman berjongkok di bawah telapak kakiku."
"Bohong. Kau terlampau biasa berbuat licik."
"Kali ini tidak perlu. Kepada paman yang suka membakar dan meracun seseorang
dengan caramu itu, aku ingin melihat paman berlega hati karena permainan sekarang ini."
Sahut Sambernyawa.


Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik. Marilah kita teruskan anakmas."
Berdesirlah setiap dada yang mendengar ucapan orang tua itu. Mereka mengerti
sampai di mana ilmu Ki Gede yang telah lama hidup dengan caranya mengikuti keluarga
Sambernyawa, sebab orang tua ini mempunyai tujuannya sendiri, tak seorangpun berani
mengganggu pertarungan itu. Bahkan beberapa anak buah Sambernyawa timbul kurang
ajarnya, mereka memasang obor dan membuat lingkaran menjadi penonton.
"Bagus! Cukup terang." Kata Sambernyawa.
"Kami kepingin melihat si tua itu menyeringai Ki Lurah."
Pertempuran itu sudah berjalan agak lama, keduanya saling bertahan dan
menyerang. Sekali sekali anak muda itu menggertak dengan suara keras. Orang tua itu
terperanjat juga. Ia merasa dihina. Karena itu pulalah maka ia menjadi lebih bernafsu
untuk membinasakan anak muda yang bermulut usilan.
Sebaliknya Sambernyawa sudah terlampau muak melihat muka orang tua yang
menghancurkan seluruh hidupnya. Ia merasa pula bahwa orang tuanya memilih kakaknya
sebagai pewaris adalah pokal Ki Gede yang sekarang mempertaruhkan diri.
Sambernyawa yang biasa berbuat kasar dalam setiap perkelahian melawan Ki
Gede, agak keripuhan juga. Benar-benar ia seorang yang tidak dapat direndahkan.
Mendapat pikiran demikian, Sambernyawa merubah siasat perkelahian. Ia meloncat ke
kiri dan ke kanan, menyerang, kemudian meloncat lagi, sambil membakar hati orang tua
itu. Demikian maka napas Ki Gede tersengal.
"Kakek, buatlah upacara-upacaramu yang memuakkan itu."
"Kau lebih kotor daripada aku.""Aku tidak tahu masa mudamu kakek. Tetapi kalau saja dimasa umur hampir
habis, kau masih saja dapat berbuat yang tidak sepantasnya kau lakukan. Sukar aku
membayangkan bagaimana kelakuanmu masa muda."
"Binatang kau! Akan sekarat masih mengomel."
"Anak anak perawan di seberang sana. Kau masih ingat kakek?"
Tersirap juga orang tua itu. Dadanya bergetar keras. Dari mana Sambernyawa
mengetahui perbuatannya itu.
Sebentar orang tua itu dikuasai perasaannya. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Sambernyawa dengan sebaik-baiknya. Ujung pedangnya dirasa menyentuh sesuatu. Dan
terdengarlah jerit keras meninggi, orang tua itu jatuh terkulai.
"Maafkan aku paman. Terlampau cepat mengakhiri permainan yang kau senangi."
Kata Sambernyawa dengan berjongkok.
"Kau sudah puas?"
"Kita sama-sama puas paman. Biarlah anak-anak gadis itu kusuruh mengawini
beberapa orang. Barang kali kau keberatan?"
"Jahanam kau."
"Ya, jahanam yang membongkar rahasia seorang kakek." Karena gejolak hatinya,
darah yang tersembur semakin banyak, akhirnya ia diam untuk selama lamanya.
Beberapa anak buah Sambernyawa dari laskar berkuda cepat menemui lurahnya.
Lurah itu diangkat bersama dengan bersorak kemenangan. Mereka kemudian menarinari.
"Aku mengangkat diriku sebagai adipati Sadeng." Semua bersorak gemuruh.
Disela-sela gemuruh yang membelah itu, terdengar rintih mereka yang luka.
"Angkat yang terluka ke gandok."S ambernyawa melayangkan pandang,
kemudian berkata menyambung, "Dan rukti yang gugur."
Sambernyawa sekali lagi memandangi bekas bekas pertempuran itu.
Diperintahkan untuk menyalakan obor. Ia naik ke pendapa. Dengan pedang terhunus ia
berkata keras.
"Aku yang dianugerahi julukan Sambernyawa Alas tua, mulai detik ini
mengangkat diri sebagai adipati muda tanah Sadeng. Tujuan yang panjang ialah
Majapahit harus ditundukkan."Semuanya menyambut dengan mengangkat senjata. Adipati itu mencari sesuatu.
Halaman itu mulai terang oleh nyala obor. Dua orang yang datang dari daerah lain
dengan mata kepala sendiri melihat semena menanya Sambernyawa dan kakaknya
terhadap penduduk.
Di samping itu melakukan penarikan upeti yang bukan haknya mengangkat
dirinya menjadi adipati. Dan selebihnya akan melakukan penyerangan terhadap
Majapahit.
"Selama kita berpisah, kau tidak apa-apa bukan Tantri?"
Gadis itu memandang kemudian menggelengkan kepala.
"Tantri, aku bersedia berbuat apapun untukmu." Kata si pemuda dengan
memegang tangan gadis itu. Gadis itu tersenyum lalu berkata dengan menempelkan
bibirnya pada daun telinga pemuda itu, katanya. "Cepat kakang, kita belum lagi terhindar
dari bahaya."
Pemuda itu teringat bahwa mereka masih di daerah lawan, dan dalam hal ini
Tantri lebih mengerti dari padanya. Keduanya tanpa berkata menyelinap di daerah yang
dipandang aman. Mereka menebarkan pandang, tampak di sudut-sudut desa dijaga oleh
pasukan berkuda dari Alas tua.
Malam semakin pekat, kedua orang itu meloncat tembok pagar, kemudian
menyelinap diantara semak semak dengan tidak bersuara, seolah-olah tidak menginjak
tanah, keduanya kembali ke daerah pengembaraannya.BAGIAN III
PERTEMPURAN masih berkecamuk. Pasukan Sadeng tetap mempertahankan
daerah itu, karena mereka selalu mendengar lecutan cambuk lurahnya yang menamakan
diri adipati. Selama lecutan iblis itu menyanyikan irama kematian, mereka yang mengadu
nyawa dibayangi perasaan takut mendapatkan hukuman dimasukkan dalam liang semut
sargula. Mereka tidak ada pilihan lain, mengadu nyawa untuk Sadeng dipimpin tujuh
orang menutup mukanya dengan topeng panji.
Akhirnya Sadeng yang lahir di atas nilai-nilai kedengkian dan keserakahan dalam
mempertahankan kamukten segelintir manusia itu dapat terhindar dari bahaya yang lebih
besar.
Pertempuran tampak sudah tidak seimbang, pasukan Sadeng hanya dapat
mempertahankan diri, pasukan berkuda yang dibanggakan hampir seluruhnya lumpuh.
Namun masih saja mereka berusaha bertahan karena mendengar lecutan dari seseorang
yang berdiri di atas sebuah batu sebesar gajah jauh di belakang pertempuran. Itulah
pimpinan dari tujuh orang bertopeng itu.
Empu Mada mengetahui bahwa dari sanalah aba-aba itu. Korban tiban tidak boleh
terlampau banyak. Ia berusaha untuk mendekati orang yang melecutkan cambuknya itu.
Baru saja diberinya aba-aba beberapa anak buahnya, tiba-tiba dilihatnya pelecut cambuk
itu telah diserang oleh seseorang.
Agak tercekat hati Empu Mada, sebab ia baru saja memberikan perintah. Ia
mencoba memperhatikan siapa penyerang itu, ia belum mengenalnya. Dicobanya
bertanya kepada Sang Adityawarman, tiada juga mengetahui.
Penyerang itu seorang pemuda, hampir sebaya dengan si pelecut cambuk.
Keduanya berkelahi tak ubahnya dua orang yang sedang menari berkejaran, pemegang
cambuk itu terampil memainkan cambuknya dengan menyambar kian kemari tak
ubahnya burung sikatan, sedang pemuda penyerang itu tangguh seperti seekor rajawali
yang telah masak dalam perkelahian.
Pelecut cambuk itu tak lagi dapat memberikan aba-aba, pasukannya berantakan,
dan banyak yang menyerah.
Melihat kejadian itu si pelecut cambuk berteriak nyaring disertai loncatan.
Serangannya semakin cekatan. Perkelahian dua orang pemuda sebaya itu sukar
dibayangkan, berlingkaran dan meloncat sehingga perkelahian itu tak ubahnya sebuah
gumpalan angin putaran yang saling berkejaran.
Mereka yang melihat menahan napas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang bersamaan, keduanya bergulingan saling
menjauhkan diri, kemudian lenyap di balik embun pagi.Terdengar sayup-sayup suara. "Lain kali kita berjumpa kembali." Disambung tawa
yang memuakkan.
Demikian, kelahiran yang ditandai dengan napsu iri hati dan haus akan kekuasaan
tanpa menyadari dukungan segenap penduduk, akan hancurlah kekuasaan itu oleh
pengabdian yang dibarai kesetiaan akan tanggung jawab mengangkat martabat hidup
seluruh penduduk.
Pemberontakan telah dipadamkan. Ditancapkan panji gula kelapa sebagai tanda
kesatuan, mereka para tamtama mulai membangun kembali daerah itu. Mereka
membangun bersama-sama penduduk mulai dari alasnya yang paling bawah, desa.
Di daerah-daerah yang dibangun para tamtama mendapat sambutan penduduk
dengan rasa terima kasihnya Pembangunan itu baru setengah jalan, Senapati Muda yang
bernama Mada dan Adityawarman yang selalu di tengah-tengah mereka sedang
mengelilingi daerah pembangunan, tidak disangkanya datang utusan yang
menyampaikan perintah bahwa Sang Senapati harus segera pulang.
"Baiklah, aku segera menghadap Mahapatih." Kata Mada dengan bermacam
pertanyaan tersimpan dalam benaknya. Utusan itu membungkuk hormat kemudian
mendahului pergi. Empu Mada semakin tercengang. Ia menarik napas panjang.
"Adakah aku melakukan kesalahan kakang?" Tanya Mada.
Adityawarman menggelengkan kepala.
Empu Mada seorang yang ingin setiap persoalan diselesaikan dengan segera.
Panggilan inipun akan segera diselesaikannya. Ia menyerahkan pimpinan kepada Sang
Adityawarman untuk segera pulang ke Majapahit.
Pusat pemerintahan Majapahit masih jauh. Empu Mada mulai menghitung-hitung
apa yang menyebabkan ia dipanggil pulang terlebih dahulu. Belum dapat
diketemukannya.
Dengan masih memegang kendali kudanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian
masa lampau.
Teringat pula Empu Mada pemuda yang diangkat oleh baginda dari kalangan
penduduk biasa, pemuda yang tidak dapat menunjukkan siapa yang menurunkannya.
Karena itulah pada masa-masa dewasa ini dalam dadanya bersemayam tekad
pengabdiannya untuk agama kepercayaannya dan Negara di mana ia mengabdikan diri.
Untuk seluruh penduduk yang membutuhkan perlindungan.
Tidaklah mengherankan kalau pengangkatannya sebagai seorang bayangkara,
dicemooh oleh beberapa putera-putera bangsawan sebayanya. Pemuda-pemuda puterabangsawan dan kalangan kesatria memandang rendah kepadanya seorang yang diangkat
dari lumpur.
Kembali ia berfikir, adakah persoalan-persoalan ini yang menyebabkan ia
dipanggil pulang. Karena permintaan para bangsawan yang tidak menyenanginya?
Benaknya belum juga dapat memutuskan.
"Hmm," Gumamnya. "Adakah aku terlampau dungu dan tumpul otak menjadi
seorang senapati?" Pikirnya.
Kudanya terus dilarikan. Otaknya memang tidak sebodoh persangkaan para
bangsawan yang tidak menyukainya.
Kembali terbayang pada matanya......
Perlakuan-perlakuan para putera bangsawan. Tetapi ia tidak pernah menaruh sakit
hati. Juga tidak pernah menaruh dendam. Cemooh itu baginya adalah cambuk, belajar
dan bekarja.
Lebih-lebih Ra. Kembar dan Ra. Banyak, dua orang putra bangsawan yang sejak
pengangkatannya sebagai seorang bayangkara selalu dijadikan selingan ucapan memakan
sirih. Maksudnya Empu Mada mendapat pukulan dari sekian banyak kalangan kerajaan.
Tetapi Empu Mada seorang pemuda yang tidak memperdulikan semua itu.
Sebab bagi Empu Mada tidak mempunyai persoalan kepada mereka.
Dan memang masalah keturunan tidaklah perlu menjadi persoalan dalam hidup
ini. Pemuda Mada terus bekerja. Ia mohon kepada Yang Maha Kuasa, agar diberi
kelapangan dada menerima segalanya. Nama Mada semakin cemerlang. Beberapa orang
menaruh iri hati.
Dalam olah senjata, Empu Mada yang dibesarkan di tengah-tengah penderitaan
selalu melatih diri tanpa mengenal lelah. Ia mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ia
tidak pernah berlatih dengan kemukten yang dipunyainya. Kalau terlampau payah
berlatih, ia pergi melihat keindahan alam tanah airnya, dengan suling menempel pada
bibinya ia pergi bersama gembala-gembala kerbau. Tidaklah mengherankan pada usia
dewasa, segenap perasaannya ditumpahkan dalam pengabdian tanah air yang dicintainya.
Kenyataan di kesatrian, dalam latihan-latihan pemuda Mada lebih mempunyai
ketahanan diri daripada teman-temannya. Beberapa bayangkara yang bersamanya selalu
mendapatkan pengalaman-pengalaman. Di samping itu ia tak pernah merasa lebih
daripada yang lain. Karena itu pulalah lambat laun, apa yang dibakarkan oleh beberapa
orang yang tidak menyenanginya menjadi hambar.Meloncat pikiran Empu Mada pada kenyataan bahwa ia sedang mengendarai
kudanya. Sampai sekian ia meneliti diri mencoba mencari kesalahan-kesalahan yang
dilakukannya, belum juga diketemukan dalam usia muda waktu di kesatrian Bayangkara.
Sekarang ini mendapat panggilan dari Mahapatih Arya Tadah.
Kembali ia meneliti hidup selanjutnya ......
Akhirnya pergaulan yang dibatasi perbedaan derajat itu menjadi pudar, mereka
bergaul biasa. Bahkan pemuda Mada menjadi buah bibir dikalangan kcsatrian. Anggota
Bayangkara yang baru berusia mencapai 20 tahun itu, diangkat menjadi patih daerah
Kahuripan.
Sebagai seorang patih dan bekas bayangkara pengawal baginda, ia selalu menjaga
kepercayaan yang diberikan. Selalu berusaha agar penduduk hidup dalam bergairah
bekerja. Untuk dapat bekerja dengan baik, patih ini selalu memperhatikan keamanan
penduduk jangan sampai dikejar-kejar oleh bayangan kekhawatiran dirampas hak
miliknya diperkosa azasi kemanusiaannya. Benar-benar Empu Mada memperhatikan hal
ini, dengan demikian penduduk Kahuripan dapat bekerja dengan hati lega.
Empu Mada teringat pula. Pada saat penduduk mulai mendapatkan ketentraman.
Tidaklah demikian dikalangan kerajaan, mereka saling berselisih, iri hati dan saling
menuduh. Sampai kepada puncak tuduhan bahwa baginda Jayanegara akan memperistri
adiknya Jiwana dan Rajadewi Maharajasa.
Daerah Kahuripan selalu aman. Hubungan kedua saudara perempuan ini sangat
baik dan rukun.
Dua tahun lamanya Empu Mada memegang jabatan patih Kahuripan, ia diangkat
menjadi patih Daha. Pengangkatan yang berat baginya. Tetapi seperti juga lainnya,
pengangkatan adalah kepercayaan. Ia berusaha tidak mengecewakan yang memikulkan
kepercayaan itu. Jabatan itu dipangkunya tanpa banyak bicara tetapi bekerja.
Perselisihan pendapat dikalangan kerajaan di pusat pemerintahan Majapahit
dianggapnya suatu bahaya. Ia menyelidiki. Terjadi pembunuhan atas diri baginda
Jayanegara oleh seorang yang bernama Panca yang dipercayakan memelihara kesehatan
baginda sewaktu baginda gering.
Belum lama Empu Mada menjabat patih Daha. Terjadi pemberontakan Sadeng.
Sadeng berontak.
Prabu Kenya Bhra Kahuripan menghendaki ketentraman dalam negerinya. Ia
mencintai tanah airnya. tetapi lebih mencintai seluruh rakyatnya melebihi dirinya sendiri.
Ia seorang prabu kenya yang tidak lagi merasa bahwa kerajaan Majapahit adalah warisan
orang tuanya. Baginya Majapahit adalah milik seluruh penduduk yang bernaung di bawah
panji gula kelapa. Karenanya pula siapapun dan dari kalangan apapun yang berjasaterhadap kemajuan negara, diberinya kesempatan untuk melakukan kewajiban. Ia selalu
ingat kepada pesan Prabu Ramawijaya kepada Gunawan Wibisana sewaktu akan
diangkat menjadi raja di Alengka. Prabu Kenya ingin selalu melindungi rakyatnya
dimanapun mereka bertempat tinggal.
Tak terasa kuda Empu Mada melalui sebuah desa. Seperti di lain tempat penduduk
menjemputnya. Matanya yang tajam melihat seorang berkuda dengan sikap
mencurigakan. Orang itu tidak turun dari kudanya yang berdiri di pinggir jalan. Setelah
memandang Senapati Sadeng yang membalas sorak penduduk, orang berkuda itu
menghilang menyelinap di balik penduduk yang tengah terpesona melihat Empu Mada
yang berkuda seorang diri. Orang itu segera pergi.
Empu Mada tidak mungkin meninggalkan penduduk sekedar hanya untuk seorang
yang dicurigainya. Sekali lagi ia tidak mau mengecewakan menghadapi penduduk.
Karenanya ia menahan diri, sebab sebenarnya penduduk tidak mengetahui kecurigaan itu.
Beberapa orang menahannya. Mereka menyuguhkan kelapa nuda yang masih
tertutup. Dipersilahkan Empu Mada turun lari pelana kudanya. Setelah melihat gelagat,
bahwa benar-benar senduduk hanya akan mencurahkan segenap cintanya, dengan
tersenyum Empu Mada turun dari punggung kudanya langsung menemui mereka yang
sibuk dengan kelapa muda.
Bagi Empu Mada penduduk adalah hati dan jiwanya.
Ia menghela napas panjang. Dengan memenuhi permintaan penduduk ia
kehilangan jejak seorang yang dicurigainya.
Ia mempertimbangkan mengecewakan penduduk dan kehilangan jejak seseorang.
Sekali ia mengecewakan tak mungkin lagi ia berani menampakkan dirinya di depan
mereka, penunggang kuda yang mencurigakan itu belum diketahui maksud yang
sebenarnya.
Dengan cepat kuda itu digebraknya, larilah kuda itu tak ubahnya panah yang lepas
dari busurnya.
Namun sebagai manusia biasa, ia belum juga dapat menghilangkan yang selama
ini mengiang dalam benaknya sebelum ia pergi menumpas pemberontakan Sadeng. Ia
mencoba menghubungkan kejadian-kejadian itu.
Sewaktu Arya Tadah dengan beberapa mentri diantara Empu Mada sedang
mengatur bagaimana sebaiknya penyelesaian Sadeng. Ra. Kembar seorang bangsawan
yang berpangkat mentri tanpa persetujuan, atas tanggung jawab sendiri memberangkatkan
pasukannya menumpas pemberontakan dengan tidak memperdulikan peringatanperingatan pejabat kerajaan yang lain.Arya Tadah merasa tersinggung. Sebagai seorang Mahapatih Mangkubumi ia
tidak dimintai persetujuan. Perbuatan Ra. Kembar melanggar perintahnya yang dapat
mengakibatkan keadaan akan lebih parah.
Sebenarnya waktu itu Arya Tadah sedang sakit. Ia memaksa diri untuk berunding
dengan mentri-mentri lainnya demi nama kerajaan dan penduduk. Sebaliknya Ra.
Kembar mengambil keuntungan dari suasana itu. Arya Tadah dianggap tidak melakukan
kewajiban. ia memerintahkan atas resiko sendiri, dan menganggap bahwa dirinya adalah
kerabat raja yang disegani.
Ra. Kembar ingin pula menunjukkan bahwa ia memperhatikan keadaan kerajaan


Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Prabu Kenya. Ingin pula menunjukkan bahwa ia seorang bangsawan yang
mempunyai kemampuan.
Semua ini dilakukannya, karena ia mendengar dari beberapa orang bahwa Arya
Tadah segera akan meletakkan jabatan karena usianya dan tidak dapat sepenuhnya
memenuhi kewajibannya.
Ra. Kembar berharap baginda mengangkatnya sebagai pengganti kedudukan
Mahapatih Mangkubumi.
Arya Tadah bertindak cepat dengan pertimbangan para mentri mengambil
keputusan mencegah perbuatan Ra. Kembar yang dibantu oleh Ra Banyak. Arya Tadah
mengirimkan 500 orang tamtama untuk menggagalkan perbuatan Ra Kembar yang tidak
pada tempatnya. Ra Kembar harus mengurungkan niatnya. Kalau saja bangsawan itu
membangkang harus dipaksa. Kalau toh masih bersitegang, pasukan Ra Kembar harus
dihancurkan, demi menghindari korban yang lebih banyak.
Malam itu pasukan Ra Kembar mulai merayap mengepung Sadeng.
"Aku akan membuktikan dimata si tua bangka itu, bahwa memadamkan
pemberontakan Sadeng tidak diperlukan bantuan Mada yang diangkat dari lumpur itu."
"Tetapi ...."
"Mengapa?"
"Bukankah Arya Tadah masih berkuasa?"
"Ia sedang sakit ."
"Orang itu masih bisa berunding dengan mentri-mentri yang lain."
"Persetan itu semua. Aku tidak memperdulikannya." Kedua bangsawan yang
bercakap-cakap itu tidak lain Ra Kembar dan Ra Banyak. Dua orang yang sudah saling
bersepakat tidak menyetujui pendapat Arya Tadah yang akan mengikut sertakan
penduduk yang berjasa dalam kedudukan tinggi dikalangan kerajaan. Kedua orang itumerencanakan menjelang pagi Sadeng akan dihancurkannya, dan pada saat munculnya
matahari menjadi pertarungan terbuka.
Keduanya telah mengangankan kalau Sadeng dapat dikalahkannya, ia pulang
dengan pamer diri. Kalau kebetulan Arya Tadah meletakkan jabatannya saat mereka
kembali, maka Ra Kembar akan mencalonkan diri. Keduanya meletakkan jasanya pada
penumpasan Sadeng. Angan-angannya semakin melambung. Kalau saja ia mendapat
nasib baik, ia dapat menguasai seluruh kekuasaan di Majapahit dan dapat dikendalikan
menurut kemauannya. Mereka akan mengulangi pakarti Mahapati.
"Masakan Prabu Kenya berani melarangku ." Kata Ra Kembar.
"Tentu Kembar. Kau memegang kekuasaan tertinggi." Keduanya kemudian
tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya bergoyangan. Sampai mereka tidak
memperdulikan pasukannya, sehingga barisan yang sudah merayap mengepung Sadeng
itu, berjalan tanpa pengendalian pimpinan. Pimpinan mereka sedang mabuk
penganganan.
Beberapa pimpinan kelompok menjadi tidak mengerti mengapa pimpinannya tidak
memberikan aba-aba, bahkan terdengar tawanya yang berkepanjangan tanpa berhenti.
Tengah berangan-angan tanpa ujung pangkal itu. Keduanya seperti disambar petir
dikejutkan datangnya seorang senopati yang langsung menemuinya, tanpa mendapat
rintangan dari pasukannya.
"Siapa kau?" Tanya Ra Kembar.
"Bukan demikian cara memimpin pasukan tuan."
"Oh, apa urusanmu dengan caraku?"
"Tuan mereka mempunyai banyak tanggungan anak dan istri. Tidak sepatutnya
tuan memberi pimpinan sesukamu."
Ra Kembar dan Ra Banyak tidak bisa berbuat lain. Ia harus menelan ucapan pahit.
"Hentikan cara yang tidak teratur ini."
"Apa maksudmu?"
"Sabda prabu Kenya, aku diminta menyampaikan kepada tuan.""Apa sabda baginda?"
"Tuan diperintahkan kembali."
"Kau utusan baginda?" Tanya Ra Kembar merasa kepentingannya disinggung."Aku melaksanakan perintah baginda dan para mentri."
"Katakan aku tidak akan kembali."
"Tuan, aku adalah duta yang harus menyelesaikan."
"Kau telah menyelesaikan pekerjaanmu. Menyampaikan perintah baginda, telah
kuterima. Sekarang beritahukan kepada baginda bahwa aku tidak mau kembali."
"Urusanku jauh daripada itu Tuan Ra Kembar."
"Huh." Desahnya meremehkan.
Utusan baginda itu memanahkan sebuah panah api. Pasukan yang dibawanya
mulai bergerak. Mereka terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang banyak mempunyai
pengalaman dalam pertempuran.
Ra Kembar dan Ra Banyak melayangkan pandang. Obor-obor bergerak makin
mendekat, pasukan berkuda mulai memasang panahnya.
"Kembali dengan rela atau aku harus memaksa tuan."
"Setan!!" Kata Ra Kembar dengan menahan marah "Terserah tuan, kalau tuan
tidak menyayangi kamukten yang tuan tinggalkan, teruskan kehendak tuan itu. Namanama tuan akan dihapus dari deretan nama-nama bangsawan kerajaan Majapahit."
Ra Kembar dan Ra Banyak menghela napas panjang. Mereka adalah bangsawan
yang gila hormat. Kehilangan nama baginya sama halnya dengan kehilangan martabat.
Jelas kebangsawanan baginya adalah kebanggaan dalam hidupnya. Dan sengaja
digunakan untuk mendapatkan pengaruh yang tanpa juntrung.
"Kau benar-benar setan. Mana anak kerbau itu?"
"Siapa yang tuan maksudkan?" Tanya utusan itu kembali.
"Si Mada yang menyamai dewa api."
"Baginda yang lebih mengetahuinya."
"Jahanam. Katanya setengah teriak.
"Terserah apa yang tuan katakan. Aku hanya menjalankan perintah Baginda dan
menyelesaikannya."
"Aku tidak kembali."
"Baik! Aku akan memaksa tuan." Utusan itu melayangkan pandang. Pasukannya
mulai mengepung pasukan Ra Kembar. Jumlahnya memang tidak sebanyak pasukan RaKembar. Tetapi bagi utusan itu sudah cukup untuk melayani pasukan yang dibawa Ra
Kembar, apa lagi pasukan Ra Kembar tidak lebih dari orang-orang bertamasya.
"Tuan berhak memiliki." Sambung utusan itu.
Setelah melihat pasukan berkuda yang mulai mendekat kedua pemuda bangsawan
itu berfikir. Sebenarnya mereka terdiri orang-orang pengecut yang licik. Mereka tidak
segan-segan melakukan perbuatan yang tercela dalam pergaulan umum. Ia meminjam
orang lain untuk melaksanakan kepentingannya Keduanya kembali melayangkan
pandang pada pasukan berkuda yang telah siaga penuh. Sebaliknya melihat anak buahnya
yang terpencar berkelompok-kelompok.
"Silahkan tuan memilih. Cukup lama aku menunggu." Ra Kembar merasa
tersinggung. Dipandangnya utusan itu! Tetapi utusan itu tertawa keras.
Kedua bangsawan itu sebenarnya mempunyai ketrampilan berolah senjata.
Keduanya termasuk mentri yang disegani oleh bangsawan lainnya karena
ketrampilannya. Tetapi terselip ketakutan kehilangan nama dalam deretan bangsawan
Majapahit, hatinya menjadi ciut.
"Aneh! Sekarang ini kekuasaan tertinggi di tangan tuan. Mengapa tuan ragu-ragu
mengambil keputusan. Tuan membiarkan anak buah terlampau lama tegang," Utusan itu
setengah memaksa.
"Itu urusanku!" Bentak Ra Kembar.
"Aku bukan bawahan Tuan. Tak perlu tuan membentak!" Utusan itu memandang,
kemudian menyambung. "Cepat atau kuperintahkan mereka menghancurkan!"
Kembali Ra Kembar merasa tersinggung. Ia meloncat dengan keris terhunus, dan
menantang utusan itu. Dengan tersenyum tenang utusan itu meloncat turun.
Didorongnya kudanya dengan memukul punggung.
"Majulah!" Tantang Ra Kembar.
"Belatiku masih cukup tajam untuk menyamai kerismu."
Ra Kembar meloncat maju dengan menusukkan kerisnya pada lambung lawannya.
Utusan itu menggeser tubuhnya dan mundur selangkah memukul pergelangan tangan Ra
Kembar. Kembar terlampau mengandalkan dirinya dan meremehkan lawan. Ia kurang
menjaga diri. Kena hantaman pergelangan tangannya ia tidak dapat menghindari.
Ra Kembar terkejut, ia berteriak tinggi. Hampir saja kerisnya terlepas. Utusan itu
tersenyum. Wajahnya tenang. Matanya bersinar. Setapakpun ia tidak bergeser dari
tempatnya.
"Maafkan aku tuan yang terhormat." Kata utusan itu.Ra Kembar memaki-maki tak keruan dalam hati. Sekarang ia berfikir keras. Kalau
diteruskan niatnya belum tentu ia dapat melaksanakan, malah mendapat hukuman.
Kalau ia mengurungkan niatnya, namanya masih terpancang, kalau nasibnya baik
barangkali ia dianggap mematuhi seruan baginda. Mendapat pikiran demikian, ia berhenti
menyerang, meloncat mundur beberapa langkah seraya berkata, "Kisanak, sebenarnya
aku hanya bergurau sebagai pernyataan selamat datang. Kalau aku berbuat demikian
hanyalah untuk memberikan perangsang kepada baginda agar segera menumpas Sadeng."
Ia membungkuk hormat.
"Bagus. Kalau ucapan tuan itu benar-benar."
"Tentu saja aku tidak berterus terang kepada siapa-pun akan niatku ini. Sekarang
lewat kisanak sampaikanlah kepada Mahapatih Mangkubumi Arya Tadah."
Utusan ini telah mengenal sifat Ra Kembar dan Ra Banyak dari banyak pencaturan
dikalangan para tamtama. Karenanya utusan itu selalu bersikap hati-hati.
"Lakukanlah apa yang tuan ucapkan."
Ra Kembar agak ragu-ragu. Utusan itu tersenyum. Dadanya yang bidang memang
dapat menerima segalanya. Tetapi terhadap ucapan Ra Kembar, ia masih minta
pembuktiannya.
"Kesatria sejati tak pernah mengingkari janji," Kata utusan itu. Ia masih siaga
apabila Kembar menyerang dengan tiba-tiba.
Kali ini Ra Kembar merasa mati kutu. Ia kalah siasat dengan utusan itu. Bagi
utusan itu, kalau benar ucapan Ra Kembar maka selesailah kewajibannya.
Dengan setengah dipaksa, malam itu pasukan Ra Kembar digiring kembali ke
Majapahit, dengan dikawal oleh pasukan berkuda.
Di tengah jalan, kedua bangsawan itu tak habis-habisnya mengomel, sampai ia
sendiri tidak sadar kepada siapa omelan itu dialamatkan.
"Banyak, mengapa kau tak mengeluarkan pendapatmu?"
"Kakang tak pernah memberi kesempatan."
"Pasukan kitapun malas untuk menyerang malam hari."
"Padahal mereka cukup terlatih kakang."
"Barangkali mereka terlampau manja?"
"Kalau tidak mereka lapar.""Mungkin juga, karena aku tidak memerintahkan beristirahat." Berkata demikian
disusul tawanya yang meledak, kemudian menyambung dengan acuh tak acuh. "Biarlah
mereka latihan berlapar."
Ra Banyak tidak pernah menemukan suatu pendapat, memang dia sendiri sudah
menyadari otaknya tumpul. Apalagi terhadap Ra Kembar ia agak segan karena tidak
mendapat kesempatan mengemukakan usulnya. Ra Kembar terlampau banyak berbicara.
Demikian itulah kejadian yang terlukis dalam benak Empu Mada yang dipanggil
pulang. Ia tak merasa berbuat kesalahan, bahkan sampai kepada penumpasan
pemberontakan Sadeng ini ia selalu berpegang kepada pesan Mahapatih Arya Tadah.
"Kasihani mereka seperti kau mengasihi dirimu. Jangan sampai banyak korban."BAGIAN IV.
TIDAK TERASA Empu Mada yang memacu kudanya dengan bermacam
persoalan di benaknya telah menempuh jalan yang memanjang membujur
menghubungkan desa satu dengan lainnya melalui sebuah gundukan, menyeberangi
sungai dan hutan kecil.
Gundukan itu sudah tinggal beberapa tonggak di depannya.
Tiba-tiba sebuah tombak dengan lontaran yang disertai desis angin melayang lima
jari di atas matanya. Untunglah Empu Mada seorang yang tajam pengamatannya, dengan
cepat ia membungkuk, dan tombak itu lewat di atas kepalanya.
Sebagai seorang pemuda ia masih belum bisa menahan marahnya terhadap
kelicikan-kelicikan. Ia berpendapat bahwa yang berbuat demikian pengikut Ra Kembar.
Kekang kudanya cepat dihentakkan. Kuda itu lari dengan kencangnya. Ia menarik napas,
kebesaran jiwa yang berkembang memberikan kepadanya. Tak ada gunanya menghukum
seseorang yang tidak menyadari perbuatannya.
Empu Mada menggepak kudanya, kuda itu cepat membelok melingkari gundukan
dan bersembunyi pada hutan kecil di pinggir jalan seberang jembatan. Disembunyikannya
kudanya, dan dari tempat itu dengan mengendap-endap, melindungkan dirinya di antara
batu-batu menuju tempat persembunyian orang-orang yang melemparnya dengan
tombak.
Diambilnya sebuah batu yang cukup besar. Dilemparkan pada gerumbul. Hampir
bersamaan waktunya ia lari ke tempat yang dilemparnya.
Di tempat itu terdapat sebuah batu sebesar gajah yang dapat dipergunakan untuk
berlindung. Dari tempat itu ia mengintai dan mendengarkan bunyi kaki berlarian dengan
napas kembang kempis tak teratur.
Ia tersenyum, dari suara napasnya dapatlah diketahui bahwa orang-orang itu
bukanlah orang-orang yang berbahaya. Dari peredaran napasnya dapat diraba sampai
dimana ilmu seseorang.
Empu Mada meloncat lebih mendekati suara yang didengarnya. Ia mendengar
percakapan.
"Adakah ia melanjutkan?" Tanya seseorang suara serak.
"Aku tak tahu. Tiba-tiba ia menghilang."
"Kita periksa sekitar gunduk itu!"
"Apa perlunya?" tanya yang lain."Untuk mengetahui apakah ia masih di sini."
Benar-benar mereka memeriksa semak itu. Empu Mada tidak mau mengganggu
pekerjaan mereka. Ia hanya meloncat tanpa suara menghindari tempat-tempat yang
mereka periksa.
Dari balik batu itu ia mengetahui beberapa orang yang mencarinya. Satu diantara
seorang yang pernah diketahuinya. Pelan-pelan batu itu didorongnya.
Empu Mada seorang pemuda yang bertubuh kokoh, cerdas dan selalu
menggunakan kebijaksanaan dalam menyelesaikan persoalan. Konon kabarnya, atau
karena sangat melebihkan, ia memiliki aji Lembu Sekilan, ilmu yang dapat
menyelamatkan diri dari pukulan seseorang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sisi
tangannya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kalau dikehendakinya batu sebesar
gajah itu akan terbelah hanya dengan menggunakan sisi telapak tangannya. Demikian
siapa yang kena hantam akan hancur berkepingan.
Untunglah bahwa ia dianugerahi kebesaran jiwa, dapat memilih antara pekerjaan
untuk seluruh penduduk atau untuk kepentingan segelintir manusia.
Tidaklah mengherankan batu yang didorongnya itu bergulung tak ubahnya bola
angin yang kena tendang melanda gerumbul dan kayu-kayu.
Bersamaan waktunya Empu Mada menyelinap ke tempat kudanya. Tengah
mereka sedang terlongoh-longoh keheranan melihat bergulungnya sebuah batu dari atas
gundukan itu. Empu Mada meloncat ke atas kudanya. Kakinya menggebrak perut kuda,
meloncatlah kuda itu meninggalkan tempat persembunyiannya.
Dari jarak agak jauh, Empu Mada memutar kudanya, kemudian berteriak keras
"Adakah sesuatu terjadi?"
Mereka terkejut mendengar teriakan keras yang tiba-tiba itu.
Di atas pelana kuda tunggang yang kuat itu, duduk seorang pemuda perkasa
memandang mereka dengan mata bersinar. Pemuda itu menyambung "Aku mendengar
bunyi yang mengejutkan."
Orang-orang itu menyadari bahwa seseorang yang datang dengan tiba-tiba
menanyakan sesuatu. Mereka berpandangan penuh tanda tanya. Seseorang berkata
dengan membungkuk hormat "Kami sedang menggulingkan batu yang sebesar kerbau itu
kisanak."
Empu Mada tersenyum, ia geli dalam hati, ada seorang yang terlalu lembut
kelihatannya untuk dapat berbohong. Ia dapat memaafkan orang yang mengaku-aku,
sebab bagaimanapun tak ada sangkut paut yang penting dalam perjalanannya tentang
tergulingnya batu sebesar gajah itu."Betapa hebatnya kalian. Adakah sedang berlatih?" Empu Mada meneguk liur
karena menahan geli, ia menyambung "Atau kalian sedang terhalang dalam perjalanan
karena batu itu.?"
"Kami sedang akan meratakan gundukan itu kisanak. Adakah kisanak akan
membantu?" Sahut seseorang
"Apakah kalian tidak berkeberatan?" tanya Empu Mada.
"Kalau kisanak akan mencoba menggulingkan batu-batu besar itu seperti yang
kami kerjakan. Aku akan memberi upahnya sekali. Atau barangkali kau akan menginap
di desa kami?"
"Baiklah aku akan menolong kalian." Habis berkata demikian Empu Mada
meloncat turun. Ditambatkan kudanya. Diangkatnya sebuah batu dengan mudahnya dan
dilemparkan pada tanah rendah. Sebuah lagi dipukulnya dengan sisi telapak tangannya.
Batu itu terbelah dua. Sebenarnya Empu Madi tidak akan memamerkan ilmunya. Ia
hanya ingin meyakinkan orang-orang itu.
Sebaliknya orang-orang itu matanya terbelalak keheranan. Mulutnya menganga
dan menjadi gagu.
"Aaa ............ aa........." Berkata demikian dengan menunjuk-nunjuk.
"Sudahlah, aku tidak mengganggu pekerjaan kalian."
"Aaaa ......... anu tuan." Berkata demikian dengan menunjuk ke lain tempat yang
tidak berapa jauh.
"Baik, baik." Sahut Empu Mada.
Ia tidak mungkin menunggu terlampau lama di tempat itu. Seorang yang
berpengalaman dan mempunyai kecerdasan, ia segera dapat mengerti apa yang
sesungguhnya mereka kerjakan.
Ia memutar kudanya meninggalkan tempat itu. Tetapi baru beberapa tonggak
meninggalkan tempat itu dengan cepat ia berbalik. Dilihatnya orang-orang itu masih
ternganga-nganga, beberapa lainnya belum juga memutar tubuhnya. Mereka memandang
dengan wajah yang bermacam-macam, wajah yang berubah seputih kertas. Melihat
kejadian itu Empu Mada menjadi terharu.


Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan pelahan ditariknya kekang kudanya menuju ke tempat orang-orang itu. Ia
belum lagi puas sebenarnya dengan keterangan yang didapatnya. Kalau saja tadi tergesagesa meninggalkan tempat itu, sebenarnya ia ingin memberi kesempatan barang sekejap
kepada mereka, agar jangan terlampau lama mengagumi seseorang.Sekarang Empu Mada berkesimpulan lain. Kalau saja mereka orang-orang jahat
yang sudah kebiasaan berbuat demikian, waktu ia meninggalkannya orang-orang itu
dengan segera meninggalkan tempat itu, atau sebaliknya berpura-pura minta ampun.
Tetapi tidak demikian dengan orang-orang ini. Mereka masih berdiri tercengang tak
ubahnya tugu-tugu batu pada saat dibersihkan seseorang.
Sedemikian kosong dan sederhananya hati mereka itu. Itu pulalah yang
menyebabkan Empu Mada kembali meloncat turun dari pelana kudanya dan mendekati
mereka.
Betapa terkejutnya, waktu ia menambatkan kudanya, tanpa mengandung suara
seekor kuda membelok dengan tenang Seorang pemuda berdada bidang, berwajah bening,
di atas seekor kuda perkasa berwarna abu-abu. Empu Mada terkesiap, tetapi pemuda itu
membungkuk hormat dengan takzimnya.
Keduanya berkesan aneh. Mereka saling berpandangan. Tampak mengingat-ingat
sesuatu yang jauh dialaminya. Masa kanak-kanak. Pemuda itu menggosok pipinya berkali
kali untuk menenangkan jantungnya yang bergetar laju. Empu Mada sendiri masih saja
mengingat-ingat. Kemudian ia menggelengkan kepala.
"Adakah yang membujur ini jalan ke Singasari kisanak?" Tanya pemuda itu
dengan menghormat.
Empu Mada mengangguk. Kemudian memandang orang-orang yang di dekatnya.
Rupa-rupanya tak ada hubungannya dengan orang-orang itu. Cepat Empu Mada
menghilangkan kesan yang kurang baik.
"Aku seperti pernah bertemu di suatu tempat." tanya Mada.
"Barang kali demikian. Tetapi tak teringatkan lagi."
"Kisanak menuju Singasari?" Tanya Empu Mada.
"Nanti, agaknya aku teringat."
"Mengapa?"
"Masa kanak-kanak belasan tahun yang lampau. Di suatu tempat yang tak
diketahui namanya. Tiga orang anak belasan tahun kehilangan kerbau. Mereka berkelahi
sebab saling menuduh." Kata pemuda itu dengan dahi berkerut.
Agaknya Empu Mada teringat pernah berbuat demikian masa kanak-kanak sebab
ia termasuk anak yang suka mengembala kerbau atau kambing, sehabis lelah berlatih.
Tiba-tiba keduanya saling berpelukan.
"Tubuhmu demikian besar." Kata Empu Mada."Kau melebihi aku." sahut pemuda itu.
"Ya, inilah suatu anugerah."
Keduanya teringat persahabatan masa kanak kanak sewaktu masih berumur
belasan tahun. Sekarang mereka telah dewasa.
"Apa pekerjaanmu sekarang?"Tanya Empu Mada.
"Biasa, mengelana."
"Kapan kau hinggap pada suatu daerah?"
"Belum kudapatkan tempat yang menarik hatiku"
"Membiasakanlah, kelak kau akan tertarik dengan sendirinya."
"Mungkin?! Tetapi sampai sekarang, mengembara adalah yang paling
menyenangkan." Kata pemuda itu.
Sejenak mereka berdiam diri.
"Teman-temanmu?" Tanya pemuda pengelana itu.
"Bukan."
"Lalu?"
"Aku dari perjalanan jauh. Lewat di sini menemukan orang-orang ini sedang
mengerjakan jalan." Sahut Mada.
Tiba-tiba pemuda itu melihat sebuah tombak yang tertancap di tanah ia
memandang heran. Diambilnya tombak itu.
"Kau yang mempunyainya?" Tanya pemuda itu. "Lama kita berpisah, apa
pekerjaanmu sekarang?" Empu Mada seperti juga dia karena kesibukannya sendiri tidak
pernah mengetahui berita sahabat-sahabatnya dimasa kanak kanak. Pemuda itupun
barang kali demikian. Karenanya Mada tidak berterus terang.
"Seperti juga kau?" Mada mengalihkan persoalan.
"Rupa-rupanya kebengalanmu belum juga berkurang." Keduanya tertawa
terbahak-bahak. Tawanya mengandung getaran suara.
Sangat mengherankan, tidak terasa burung-burung yang masih bertengger pada
pagi hari itu berjatuhan. Bahkan di-antaranya ada yang terjerembab sampai ke tanah."Hai, apa salahnya burung-burung berjatuhan." Berkata demikian pemuda
pengelana itu dengan memutar-mutar tubuhnya melihat sekitar.
Empu Mada diam-diam dapat mengukur ilmu yang dimiliki pemuda itu.
"Kau masih tak punya nama?" Tanya pemuda pengelana.
Empu Mada menganguk.
"Memang. Seperti juga aku, apa pula gunanya nama itu."
Habis berkata demikian pemuda itu mengantarkan sebuah pukulan mengarah dada
sambil berkata "Nah, selamat tinggal."
Empu Mada terkcjut bukan kepalang, cepat ia meloncat mundur dengan
mempersiapkan diri, sebab Mada mengerti bahwa pukulan pemuda itu mengandung
tenaga yang luar biasa.
"Bagus. Ucapan selama tinggalmu benar-benar mengesankan." Pemuda itu tidak
menghiraukan, ia meloncat ke atas kudanya dengan tombak masih di tangan. Ia menoleh
kepada Mada dan orang-orang di sekitarnya. Mada bersiap kalau-kalau pemuda bengal
itu berbuat sesuatu yang membahayakan.
"Ambil. Ini punyamu bukan?" Berkata demikian dengan melontarkan tombak
yang dipegangnya ke arah sebuah batu hitam.
Hebat. Benturan itu menimbulkan bunga api. Tombaknya patah. Diam-diam
Empu Mada mengukur ilmu pemuda pengelana itu. Sedang orang orang di sekitarnya
terlongoh-longoh sampat mulutnya menganga.
Pemuda itu memutar kudanya.
Mada terkejut melihat punggung pemuda itu luka seperti kena cambuk beracun. Ia
teringat akan kejadian waktu perang Sadeng beberapa saat yang lampau. Adakah ia
pemuda yang menyerang yang menamakan diri adipati itu?
"Hai, tidakkah sakit punggungmu?" Tanya Mada.
"Tak mengapa, hanya sedikit." Sahutnya sambil menoleh
Kembali yang mendengar ucapan itu terbelalak. Luka yang hampir sepanjang
punggung itu dianggapnya sedikit.
Keris pemuda itu terhias indah melekat pada pinggangnya, keris bersarung emas.
Mereka yang melihat hampir tak berkedip.
"Namaku Danang Seta." Serunya, kemudian melarikan kudanya."Danang Seta.." Mereka bersamaan mengulang. Kuda pemuda pengelana itu telah
jauh, Mada bersukur karena tak terjadi sesuatu dengan dia.
"Jangan kalian heran, banyak pemuda seperti sahabatku itu." Kata Mada
menjelaskan.
Orang-orang itu mengangguk. Udara pagi melegakan mereka.
Empu Mada melanjutkan perjalanannya. la ingin mengejar waktunya yang hilang.
Karena itu dilarikannya kudanya secepat mungkin.
Udara pagi yang menemani tubuhnya merupakan pendorong. Di depannya
terbentang alam luas yang indah. Itulah Majapahit yang dicintai sepenuh hatinya.
Waktu itu kira kira pada tahun 1331. Prabu Kenya Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani, seorang raja putri yang mencita-citakan pemerintahan yang adil,
tentram untuk mencapai kemakmuran bagi seluruh penduduk. Ia selalu mendengarkan
setiap suara penduduknya, membicarakannya dengan sepakat dan melaksanakan
kehendak itu bersama-sama dalam lingkungan pemerintahan. Ia memerintahkan setiap
perselisihan yang terjadi harus segera diselesaikan.
Seperti juga neneknda dan ayahandanya mengalir dalam tubuh prabu Kenya ini
darah selalu mendahulukan kepentingan penduduk, pemuka pemuka agama, dan
mengatur segalanya selalu mendahulukan yang lebih penting. Kepada para bangsawan,
ia selalu menganjurkan agar selalu menjadi contoh yang baik dalam pergaulan masyarakat
kalau mereka masih mau mendapatkan penghargaan yang sebenarnya, bukan karena rasa
takut.
Naluri yang dijalankan dalam pemerintahan neneknda dan ayahndanya sejak
jaman Singasari selalu menjadi pengalamannya. Orang-orang dari kalangan penduduk
biasa yang cakap dan mampu memegang suatu jabatan, sama sekali Prabu Kenya tidak
berkeberatan memberinya kesempatan dan mengangkatnya.
Waktu Sadeng berontak, Prabu Kenya bersama Sapta Prabu dan Kakyau
Mahapatih, mengambil keputusan, menumpas Sadeng tidak diperkenankan hanya
didorong oleh nafsu yang dapat mengakibatkan keparahan bagi seluruh penduduk dan
tanah air, dan orang lain mengambil keuntungannya.
Bagi Prabu Kenya penduduk adalah anak kandungnya, sifat keibuan ingin
menyematkan pada dada anak kandungnya bintang keselamatan, tanah air dan
penduduknya adalah tanggung jawabnya.
Dan saat itu Arya Tadah yang sudah lanjut usia. Ia selalu mawas diri, bahwa ia
sudah tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Sedang banyak
persoalan yang harus segera diselesaikan. Tidak boleh ditunda tunda terlampau lama.
Akibatnya tidak baik.Karena itu walaupun dalam keadaan sakit, ia memaksa diri menghadap Prabu
Kenya mengemukakan pendapatnya dan mohon mengundurkan diri dari jabatannya dan
mengadakan calon penggantinya.
Gajah Mada yang mengisi hatinya.
Prabu Kenya minta waktu untuk berfikir.
Keputusannya adalah keputusan Sapta Prabu, tujuh kerabat raja yang pendapatnya
haruslah mencerminkan pendapat seluruh penduduk yang berlindung di Majapahit. Ia
harus berhati-hati.
Memang sebelum penumpasan terhadap pemberontakan Sadeng, Empu Mada
yang menjabat patih Daha pernah dipanggil menghadap. Tetapi waktu itu Empu Mada
belum bersedia memangku jabatan tertinggi itu sebelum Sadeng dapat dipadamkan. Bagi
Empu Mada jabatan yang dipikulkan di atas pundaknya bukanlah sekedar tempat untuk
menancapkan namanya, tetapi jabatan adalah kepercayaan Baginda dan seluruh
penduduk.
Dan sekarang Sadeng telah kembali aman.
Arya Tadah menganggap sebagian besar tugas mereka telah selesai. Itulah
sebabnya pasukan Mada dipanggil pulang. Sedang untuk membangun daerah Sadeng
dapat diserahkan kepada penduduk.
Mahapatih Mangkubumi yang sudah lanjut usianya itu, sejak meletusnya
pemberontakan Sadeng dalam keadaan sakit. Tidaklah mengherankan waktu
memberikan perintah kurang jelas sehingga utusan yang dikirimnya keliru melaksanakan
perintahnya. Bukan Empu Mada seorang yang dipanggil pulang, tetapi seluruh pasukan
yang memadamkan pemberontakan Nadeng.
Di tempat kerjanya Mahapatih Mangkubumi ini dengan sisa tenaga yang masih
ada menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin juga melihat kedatangan senapati-senapati
yang kembali membawa kemenangan, membawa kebesaran panji Gula Kelapa sebagai
panji persatuan seluruh Majapahit.
Tengah ia mengangankan kejadian itu, tiba-tiba dua orang datang menghadap
dengan melalui pintu butulan. Arya Tadah yang berpengalaman dalam berperang, sudah
dapat mengetahui siapa-siapa yang mengetahui jalan itu. Ia menoleh. Kedua pemuda itu
bersujud. Arya Tadah menerima mereka dengan pandang berlinang.
"Anak-anakku." Kata orang tua itu dengan memegang bahu kedua pemuda yang
keduanya kemudian dipersilahkan mengambil tempat duduk.
"Kau luka?" Tanya orang tua itu waktu melihat punggung pemuda yang datang
bersembah.Pemuda itu tersenyum dengan mengangguk.
"Terima kasih Baginda atas pekerjaan kalian dalam membantu menyelesaikan
Sadeng." Sambung orang tua itu dengan mengambil tempat duduk.
"Semua itu tugas kami paman. Empu Madalah yang telah menaruhkan segenap
kebijaksanaannya dalam penyelesaian ini."
Kemudian kedua pemuda itu melaporkan segala pekerjaan dan pengalamannya.
"Kau masih mempunyai tugas baru anak-anakku."
"Mereka yang lolos maksud paman?"
Arya Tadah diam sejenak, tampak keningnya berkerut. Ia menggelengkan kepala,
kemudian menyambung, "Tujuh orang bertopeng panji."
"Ya, mereka lolos. Tetapi yang menamakan dirinya adipati Sadeng telah
menghabisi nyawanya dengan bunuh diri." Pemuda itu memberikan keterangan.
Arya Tadah mengangguk mengiyakan.
"Mereka adalah tujuh orang seperguruan, salah satu diantaranya adalah gurunya.
Topeng yang mereka kenakan semacam topeng topeng panji. Di tangannya tergenggam
cambuk iblis. Hampir ketujuh orang itu tak dapat dibedakan satu sama lain."
Kedua pemuda itu kelihatan berfikir keras.
"Timang emas bergambar dua ekor semut yang menganga adalah gurunya, sedang
yang lain bertimang perak." Arya Tadah memberi keterangan terperinci.
Kedua pemuda itu menggelengkan kepalanya dengan tersenyum heran.
"Anak-anakku pada masa tuaku ini aku ingin melihat kalian berdua berbahagia
sebagai suami-isteri." Tiba-tiba saja orang tua itu mengalihkan persoalannya.
"Tugas kami belum selesai paman."
Arya Tadah tersenyum. Ia mengangguk dengan memandang kedua pemuda itu,
seperti memandang dua anak kandungnya.
Ruangan itu semakin terang. Bintang-bintang di langit memancarkan sinarnya,
sinar indah menandakan kebesaran Yang Menciptanya, sinar itu memancari persada
tanah air tercinta, mulai sekarang sampai masa-masa yang akan datang.
Mereka menghela napas panjang, menghirup udara, bintang di malam hari,
matahari di siang hari adalah menandakan keagungan yang menciptakannya.TAMAT
Dalam pengembaraannya yang baru
apakah kedua pemuda yang diharapkan
menjadi suami istri yang berbahagia itu dapat selalu berkumpul?
Mereka akan bergumul dengan nafsu,
kekejaman, perkosaan.
Tetapi juga melahirkan kejantanan.
Bacalah ceritera lanjutannya dengan judul "DENDAM SEORANG JANTAN
Jejak Di Balik Kabut 19 Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Telapak Setan 10

Cari Blog Ini