Bintang Bintang Menjadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
BINTANG-BINTANG MENJADI SAKSI
KARYA : KHO PING HOO
Penerbit/ Pencetak : C.V. GEMA
Mertokusuman 761
Blok 17/VI
SOLO Cerita ini hanya rekaan, bila ada nama atau karakter yang sama ataupun mirip dengan kenyataan, itu hanya kebetulan semata.
Pengarang.
BINTANG-BINTANG MENJADI SAKSI
Karya : Kho Ping Hoo
?Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Aku ngenteni tekamu.
Marang mega ing angkasa, ni-mas,
Sun takokke pawartamu.
Janji-janji aku eling, cah ayu,
Sumedot rasaning ati.
Lintang-lintang ngiwi-iwi, ni-mas,
Tresnaku sundul wiyati.
Dek semana janjimu disekseni,
Mega kartika, yen ta kowe tresna marang aku.
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Rungokna tangising ati,
Binarung swaraning ratri, ni-mas,
Ngenteni bulan ndadari?.
(Jika di langit ada bintang, cah ayu,
Aku menanti hadirmu,
Kepada awan di langit, ni mas,
Aku menanyakan kabarmu.
Semua janji aku ingat, cah ayu,
Terputus rasanya hati.
Bintang-bintang menggodaku, ni-mas,
Cintaku tak berbatas, setinggi langit.
Semenjak janjimu disaksikan awan dan bintang,
Kalau kamu memang mencintai aku.
Jika di langit ada bintang, cah ayu,
Dengarkan tangisan hati,
Resapi suara di malam hari, ni-mas,
Menanti bulan purnama)
Sungguh empuk suara yang menyanyikan lagu ?Yen ing tawang? tadi. Empuk juga merdu. Apalagi diiringi suara gitar yang dimainkan dengan irama yang enak, petikan yang lembut, suara melodi yang stabil, jelas dan menyentuh kalbu. Harlan memang jago bernyanyi dan handal bermain gitar.
?Wah, yang lagi sakit hati nih..., aku jadi terbawa sedih mendengarnya, mas Har. Siapa gerangan yang orang kamu tunggu-tunggu tapi tak kunjung datang itu??
Harlan yang sedang melamun kontan kaget, menoleh ke arah seorang gadis yang sedang berdiri di depan pagar rumah kost-annya. Kalau tadi jantungnya hanya sedikit berdebar karena kaget, sekarang, setelah melihat dan mengetahui siapa sosok gadis itu, jantungnya benar-benar berdebar dahsyat. Padahal sudah tiga bulan dia kenal dengan Sunarti, nama gadis itu, namun hingga sekarang, tiap kali berpapasan atau bertemu dengannya, entah kenapa jantungnya selalu saja berdebar.
?Siapa lagi kalau bukan cewek yang sekarang sedang berdiri di depanku terhalang pagar, Ti....?
?Aih, mas Har gitu deh. Aku gak suka...!? gadis itu langsung memalingkan wajahnya sambil pura-pura marah.
Jantung di dada Harlan bertambah berdebar. Sungguh membuatnya tambah gemas saat melihat sikap si gadis yang memalingkan wajah sambil menggigit bibir bawahnya seperti itu. Saking gemasnya, ingin rasanya dia mencubit sepuasnya. Gemas seperti halnya seseorang yang mengasuh anak kecil yang cantik menggemaskan. Ingin mencubitnya, dan ingin pula menggigit sayang. Nih cewek kok manisnya minta ampun. Cantik, manis, hingga bikin hati gemas. Entah apa yang membuat Sunarti kelihatan cantik sekali. Entah matanya yang kadang bisa sendu mendayu, kadang pula bisa menatap tajam namun mempesona, membius siapa saja yang bertatapan dengannya, mata yang dinaungi alis melengkung indah bagai hasil pulasan seorang ahli. Entah hidungnya yang mancung, atau bibirnya yang selalu memerah basah tanpa pulasan, ataupun kedua pipi yang kemerahan bagai pipi seorang bayi. Entah bentuk tubuhnya yang semampai dan padat berisi. Entah penggambaran apa lagi yang bisa mewakili sosok sempurnanya di mata Harlan hingga membuatnya jatuh cinta pada gadis yang sudah dia kenal selama tiga bulan ini.
Harlan adalah seorang pemuda yang baru saja lulus kuliah hingga mengantongi ijazah dan bergelar Sarjana Pertanian. Baru tiga bulan dia mempraktekkan segala ilmu yang dia peroleh selama bertahun-tahun, menggunakan dan mengamalkannya untuk kemajuan negara dan bangsa. Harlan diperbantukan di Jawatan Petanian, mempraktekkan semua teori bertani modern yang dia punya, menunjukkan cara menanggulangi musuh para petani yang berupa hama dan lain-lainnya. Pendeknya, segala ilmu yang telah dia peroleh di bangku kuliah, dia praktekkan semuanya demi memajukan hasil pertanian sejalan dengan politik BERDIKARI.
Baru tiga bulan pula Harlan menempati rumah kost-nya yang berada tepat di sebelah kanan rumah Sunarti. Sang pemilik rumah kost-nya bernama Pak Sutardyo, seorang pensiunan kondektur D.K.A. Harlan baru saja mencoba bekerja, mencoba mandiri, lepas dari tanggungan finansial orang tuanya. Dia benar-benar berusaha dari nol. Barang-barang bawaannya saat keluar dari rumah orang tuanya pun hanya beberapa setel pakaian dan buku-buku tebal berupa buku-buku pelajaran hasil dari kuliahnya, serta membawa gitar dan suling. Gitar dan suling merupakan teman setia yang tak pernah terpisah darinya, merupakan teman setia dan pelipur lara saat hatinya sedang merasa kesepian.
Sikap Narti masih seperti tadi, melengos sambil menggigit bibir bawahnya dan menyunggingkan senyum yang menawan hati.
?Maafin aku ya, dik Narti. Aku cuma bercanda kok...?. ucap Harlan sambil meletakkan gitarnya dan mendekati pagar yang memisahkan pekarangan rumah Pak Sutardyo dan pekarangan rumah Sunarti hingga kini dia dan Sunarti berdiri berhadapan hanya terhalang pagar tersebut.
Sunarti merengut dan menjebirkan bibirnya yang justru membuat Harlan tambah melongo kagum hingga hatinya berkata, Ini bibir kok bisa begini indah ya... tersenyum manis, menjebir pun manis juga, merengut lebih-lebih manis. Benarkah ada yang seperti ini?
?Oo..., jadi tadi mas Har tidak suka aku datang ya? Berarti aku mengganggu dong... Kalau tadi aku tahu Mas Har cuma akan bicara bohong, tak mau aku ke sini....? sambil bicara begitu, dia melengos dan berlari hendak meninggalkan pagar dan masuk ke rumahnya.
?Lho...lho...dik Narti, jangan marah dong. Aku benar-benar minta maaf. Aku...aku memang mengharapkan kamu datang kok, dik?.
Demi mendengar perkataan Harlan, seketika Sunarti berhenti berlari dan berbalik berjalan sambil tersipu mendekati pagar kembali. ?Benarkah??. Namun sebelum Harlan menjawab, dia segera membelokkan pembicaraan, ?Wah, baru kali ini aku mendengar suara nyanyi mas Har.?
Wajah pemuda ini agak memerah karena malu, tapi masih bisa tersenyum dan bertanya, ?Bagaimana dik, suaraku tidak jelek-jelek banget kan?
?Enggak... Suara mas Harlan empuk kok...?
?Empuk...?? Senang Harlan mendengarnya.
?Iya, empuk....dan teduh!? ujar Narti sambil tertawa dengan jemari lentik dan kuku-kuku yang terawat baik menutupi mulutnya.
Harlan pun ikut tertawa sampai tergelak. ?Ha-ha-ha... Bisa aja kamu, dik...Masa suara kok empuk dan teduh, kayak becak aja!? Kedua muda-mudi itupun kembali tertawa bersama, terlihat riang gembira.
?Kamu ini sebenarnya mau menghina. Suaraku jelek, kayak kaleng dipukul. Iya kan??
?Beneran kok mas Har. Aku memuji bukan karena orangnya ada di depanku. Ibuku saja tadi senang mendengarnya, sampai-sampai beliau nanyain ?siapa sih yang nyanyi itu, suaranya merdu banget?. Kalau aku dengarkan, suara Mas mirip suaranya Bing Slamet.?
Senangnya hati Harlan mendengar pujian itu. Bayangkan, siapa orangnya yang tidak senang kalau suaranya disamakan dengan suara Bing Slamet yang sudah terkenal merdunya itu? Tapi dia pura-pura tidak senang, sambil menukas, ?Aah.. jangan mengina dong, dik... Suaraku ini tidak seberapa. Justru kamu...?
?Aku? Kenapa dengan aku, mas??
?Ehm...jangan marah ya??
?Enggak akan. Ada apa sih?? tanya Narti sambil meneliti dan menoleh kanan-kiri melihat dirinya dan sekitar tempatnya berdiri, barangkali ada yang salah ataupun terlihat jelek.
?Kamu itu ke mana-mana kok selalu membawa gula sih??
Narti kaget, tidak tahu apa yang dimaksud Harlan. ?Siapa yang membawa gula, Mas? Maksud Mas apa sih? Aku gak ngerti deh...??
?Nah itu sih...sampai-sampai kamu manis banget...?
?Aih, jangan gitu ah... Mas itu gitu deh..sebel aku! Itu pelem apa pace (buah mangga atau buah pace)??
?Pelem apa pace..., maksudnya, dik?
?Ngalem apa Ngece (memuji apa menghina)...!?
?Wah, tadi pantun ya? Cerdas banget!?
?Udah..udah... lebih baik sekarang mas maen gitar lagi, aku yang dengerin.?
Harlan pun segera duduk di bangku, memetik kembali senar-senar gitarnya sambil bernyanyi pelan. Merdu sekali. Langit yang tadi bersih dan terang tanpa awan menaungi, tak terasa sudah ditinggalkan sang surya menuju peraduannya. Bintang gemintang berwarna putih kebiruan di langit sore mulai menggantikan. Di luar rumah suasana sudah mulai gelap, di dalam rumah lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Maghrib pun menjelang.
Dua muda-mudi itu saling berpisah, kembali masuk ke rumah masing-masing.
**OZ**
Baru saja Harlan menghadap meja tulisnya, berniat untuk menyelesaikan pekerjaan tadi siang yang belum sempat diselesaikan berupa surat laporan kepada atasan mengenai masalah hama tikus yang masuk ke desa-desa, tiba-tiba tersentak kaget mendengar suara orang menjerit-jerit:
?Tolong...! Tolong.....!?
Harlan langsung meloncat dari tempat duduknya dan berlari keluar. Suara minta tolong yang tadinya hanya suara satu orang, sekarang bertambah banyak. Yang membuat hati Harlan bertambah kaget adalah suara orang yang pertama menjerit tadi. Tidak salah lagi, itu suara Sunarti. Bagai burung srikatan dikejar orang, Harlan tergesa-gesa keluar lalu meloncati pagar pembatas kost-annya dengan rumah Sunarti. Sesampainya di situ, sudah banyak orang berkerumun di depan rumah Sunarti. Tahulah dia penyebab ribut-ribut tadi. Ternyata rumah Sunarti kebakaran! Api sudah menjalar ke mana-mana tanpa tahu penyebabnya sudah berkobar hebat. Orang-orang berusaha menolong dengan mengambil air untuk memadamkan api.
Dengan cekatan Harlan meloncat mendekati Sunarti yang masih menjerit-jerit di halaman, dipegangi tiga orang. Sunarti meronta-ronta minta dilepaskan, ?Ibuku....ibuku....Oh...tolonglah ibuku....? jeritnya.
?Dik Narti, bagaimana? Mana ibumu?? tanya Harlan sambil memegangi kedua pundak Sunarti.
Begitu melihat Harlan, tangis Sunarti bertambah keras. ?Ibu... ada di dapur, mas... oh..bagaimana ini...tolong, mas...?
Harlan langsung berlari mendekati rumah, baru saja sampai di depan pintu disambut oleh api yang berkobar membesar sehingga dia terpaksa mundur lagi. Orang banyak sama mengingatkan.
?Sudah tidak bisa, dik. Kobaran apinya besar sekali!? demikian orang-orang mengingatkannya.
Ada lagi yang bicara: ?Jangan-jangan yang mau ditolong tidak bisa tertolong, malah nanti si penolong yang celaka.?
Namun Harlan tidak peduli dengan peringatan orang-orang itu. Tekad hatinya Cuma satu: ?Ada orang yang tertimpa bahaya, kalau tidak ditolong pasti mati.? Melihat ada seseorang membawa ember berisi penuh air, langsung direbutnya ember tersebut dan airnya disiramkan ke sekujur tubuhnya hingga dari rambut sampai kaki basah semua. Cekatan bagai bajing loncat, Harlan memburu maju dan meloncat masuk ke rumah, menyerbu api yang berkobar-kobar. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak kelihatan sampai orang-orang yang melihat sama tertegun. Kejadiannya begitu cepat, tidak disangka-sangka sama sekali bakal ada seorang pemuda yang nekat berbuat demikian.
?Mas Harlan.....!? Sunarti menjerit seketika melihat temannya nekat menerjang api yang begitu besar dan menakutkan. Saking kagetnya dan tak menyangka, Sunarti pun pingsan, lalu digotong orang-orang untuk dibaringkan.
?Ayo siram terus, jangan bengong saja!? Pak R.T. yang ikut membantu memadamkan api, berteriak memberi perintah. Orang-orang langsung sadar dari tertegunnya dan kembali berusaha memadamkan api dengan air. Semuanya berdebar melihat rumah yang dilalap api. Tidak ada satupun yang tidak berharap dalam hati mereka, semoga pemuda tadi berhasil menolong ibunya Sunarti; Bu Wirya yang seorang janda.
Kira-kira berselang sepuluh menit dari saat Harlan menghilang di dalam rumah yang terbakar. Orang-orang yang masih sibuk menolong menyiram api, tiba-tiba mereka serentak berhenti menyiramkan air saat melihat pemuda yang bersikap gagah tadi muncul dan berloncatan dari dalam rumah lewat pintu samping yang juga sudah dilalap api sambil memondong ibunya Narti. Tubuh keduanya, yang memondong dan yang dipondong, gosong menghitam semua hingga membuat ngeri hati orang-orang yang melihat.
Saat itu Narti sudah siuman dari pingsannya. Seketika dia menjerit, ?Ibu....!? sambil berlari menyongsong.
Di sisi lain, sesampainya Harlan di depan rumah, dia baru merasakan sekujur tubuhnya sakit semua, panas dan kehabisan tenaga. Bersamaan saat ibu Sunarti dia pasrahkan ke para tetangga, diapun langsung jatuh pingsan.
Sunarti menangisi ibunya yang telah dibawa ke Rumah Sakit, Harlan yang pingsan pun ikut dibawa untuk diperiksa, namun mereka ditempatkan di ruangan yang berbeda. Kondisi ibu Narti amat mengkhawatirkan. Kulit di sekujur tubuhnya mengelupas, bahkan rambutnya pun ikut habis terbakar sehingga seluruh badannya dibalut perban membuat yang melihat merasa kasihan dan iba hati. Suara yang keluar dari bibir ibunya hanya erangan kesakitan. Dokter yang merawat hanya bisa menggelengkan kepala saat dimintai keterangan tentang kondisi ibunya. Para juru rawat yang tahu bahwa kondisi ibu Sunarti sudah tidak bisa tertolong lagi, membiarkan Sunarti menjaga di samping ibunya. Sunarti menangis sesenggukan sambil meratap pilu, mencoba berbicara dengan ibunya yang dia tahu tidak akan dapat menjawab, ?Ibu.... ibu.... bangun bu... ini Narti bu... Narti anak ibu... Bu... jangan tinggalkan Narti sendirian bu.... nanti Narti hidup sama siapa bu... Narti takut... takut.....? dalam sedu-sedannya dia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena untuk bernafas pun seakan sulit.
Tangan ibu Wirya yang keduanya diperban dan menekuk di atas tubuhnya, bergerak-gerak. Segera Narti mendekatkan tubuhnya dan melihat dengan seksama. Saat melihat bibir sang ibu bergerak-gerak seakan mau bicara, Narti segera bertanya pelan, ?Minum, bu... Ibu mau minum...? kepala ibunya bergerak sedikit seperti gerakan mengangguk. Di ruangan kecil tempat ibunya dirawat tersebut tidak terdapat air minum karena para juru rawat sudah memperingatkan bahwa ibunya tidak boleh diberi minum. Namun siapakah anaknya yang tega menolak permintaan dari sang ibu yang dalam kondisi demikian? Segera Narti berlari keluar ruangan menuju tempat para juru rawat.
?Saya minta sedikit air untuk ibu saya...?
Seorang juru rawat yang paling tua diantara lainnya segera menggelengkan kepala sambil berucap, ?Kata Dokter tidak boleh, mbak...?
?Sedikit saja, suster... Aih...kasihanilah ibu saya...tolong berikan air minum sedikit saja...? ratap Sunarti sambil menangis. Para juru rawat hanya bisa saling berpandangan tanpa mampu menjawab karena takut melanggar pesan dokter. Saat itu kebetulan ada seorang dokter yang sedang giliran bertugas lewat di depan mereka, Sunarti langsung segera berlari membuntuti.
?Dokter... tolonglah saya dok... ibu saya... kasihan banget, beliau minta minum sedikit...? pinta Narti dengan wajah pucat, rambut yang awut-awutan dan keringat yang bercucuran.
Dokter yang melihatnya merasa kasihan. Segera dia menuju ke kamar tempat ibu Narti dirawat. Diperiksanya sebentar denyut nadi si pasien, lalu menarik nafas sambil memberi tanda kepada perawat yang tadi juga sempat mengikuti dibelakangnya, ?Boleh diberi minum, tapi jangan terlalu banyak.?
Alangkah leganya hati Sunarti mendengar perkataan sang dokter, segera dia berlari-lari ke kantor para juru rawat untuk mengambil air teh setengah gelas yang memang telah tersedia di sana, lalu berlari kembali menuju kamar sang ibu. Dengan pelan dan hati-hati, punggung ibunya dia tegakkan sedikit lalu diberinya minum, namun air yang diminumkan lebih banyak yang mengalir keluar dari mulut ibunya dibanding air yang masuk terminum.
Nafas sang ibu tersengal dan memberi tanda bahwa sudah cukup dia minum. Lalu oleh Narti dibaringkannya kembali tubuh ibunya. Bibir sang ibu bergerak bersuara lirih, Narti mendekatkan telinganya ke arah mulut ibunya dengan hati berdebar sambil bertanya, ?Ada apa, bu?? hatinya pilu melihat kondisi ibunya yang demikian mengenaskan.
?Nar.... ti......? susah payah sang ibu berusaha berkata.
?Ya, bu... saya Narti, bu...? Sunarti menimpali tersedu dan keringat bercucuran sambil mengusap pelan kepala sang ibu yang terbalut perban.
?Narti... Harlan kah.... yang.... menolong.... ibu...?? suaranya amat pelan dan terputus-putus.
?Betul, bu. Memang mas Harlan yang menolong ibu?. Saat menjawab demikian, Narti baru teringat bahwa Harlan pun juga sedang dirawat di Rumah Sakit yang sama, dan dia belum sempat menjenguknya karena tidak tega meninggalkan sang ibu yang sedang dalam kondisi seperti itu.
?Pe.... pemuda.... itu,.... bisa untuk kamu ikuti selamanya.... uuuhh...? bagai lampu yang kehabisan minyak, ibunya semakin lemah dan lemas, tak mampu berbicara lagi.
Sunarti kaget, ?Ibu...!?
Ibunya menggerak-gerakkan bibirnya namun tak ada suara yang keluar.
?Ibu....!?
Sebuah tangan menyentuh pelan pundak Sunarti, ?Sabar, besarkan hatimu, nak...?
?Pakde....! Ibu kenapa, pakde....! ratap Sunarti lalu menangis.
?Sudahlah sudah, semuanya sudah ditakdirkan Tuhan. Kita semua hanya bisa menjalankan dan mencoba mengikhlaskan segala kehendak-Nya. Kuatkan hatimu, nak. Pakde baru dengar berita ini tadi pagi dan langsung ke sini.?
Kembali Narti memeluk ibunya yang sudah terkulai, hampir kehabisan cahaya hidup. ?Ibu... ini pakde, bu....?
Namun sang ibu tak merespon, matanya meredup, bibirnya sedikit bergerak, ?Sudah... sudah...? lalu terdiam selamanya, arwahnya telah meninggalkan jasadnya.
?Ibu.....!? Sunarti menjerit menubruk tubuh sang ibu, lalu terkulai pingsan, tidak ingat apa-apa lagi.
**OZ**
?Mas Har, terima kasih banyak ya, mas... mas sudah mau menolong ibu. Ibuku sekarang sudah meninggal, mas. Tubuhnya tidak kuat menanggung luka bakar yang begitu banyak... Itu semua sudah menjadi kehendak Allah. Tapi mas sampai mengorbankan diri sendiri seperti ini... aih, mas Har, bagaimana caraku untuk bisa membalas budi luhurmu ini??
Seluruh tubuh Harlan masih diselubungi perban, termasuk wajah. Hanya mata, hidung, dan mulutnya saja yang tidak tertutup perban. Pemuda ini tersenyum lalu tangan yang berbalut perban dari pergelangan ke atas itu meraih tangan Sunarti.
?Dik Narti, aku turut berduka cita atas ibumu yang terpaksa tak bisa tertolong lagi. Apa yang aku lakukan saat mencoba menolong ibumu, tidak usahlah kamu pikirkan, semua memang sudah seharusnya demikian. Manusia hidup memang harus saling tolong-menolong kan, dik??
Penuh iba, Narti memandang Harlan, ?Tapi sebegitu banyaknya orang, tidak ada satupun yang berani menerobos api yang begitu besar, mas. Tekad mas menolong ibu mengakibatkan pengorbanan yang begini besar....?
?Sudahlah, dik. Aku menolong ibumu karena berarti aku menolongmu juga, dik. Dan untuk menolongmu, jangankan masuk ke kobaran api, kamu suruh aku menyeberangi laut selatan ataupun kamu suruh aku terjun ke kawah Candradimuka, aku tak akan menolak, tak akan mundur setapakpun...?
Air mata Sunarti mengalir di kanan-kiri pipi lembutnya, ?Mas Harlan....? ucapnya lirih sambil mencoba mengusap mutiara bening yang semakin banyak menghiasi pipinya, hatinya tersentuh.
?Jeng Narti.... sebaiknya sekalian saja aku ungkapkan apa yang sudah lama mengendap tersimpan rapi di hatiku... aku kira kamu pun sudah sama merasakannya...bahwa aku...aku sangat mencintaimu. Mencintaimu dengan segenap jiwa-ragaku, jeng...?
Tangan Sunarti sedikit gemetar namun tetap tak bergerak dalam rengkuhan tangan Harlan. Dua anak manusia tiada yang saling berbicara, hanya saling memandang. Apa yang menjadi isi hati masing-masing telah ?terucapkan? lewat sorot mata dan getaran jari-jari tangan mereka yang saling terkait. Adegan itu berlangsung selama beberapa menit.
?Bagaimana, jeng.... aku minta keputusanmu sekarang juga...?
Sunarti menunduk malu sambil mengusap air matanya. Hatinya berdebar bahagia. Dengan leher yang serasa tercekik oleh binar kebahagiaan, dia menguatkan diri untuk menjawab, suara yang keluar dari mulutnya begitu pelan namun jelas, ?Aku pasrahkan seluruh jiwa dan ragaku kepadamu, mas.....?
Sungguh sulit diungkapkan kebahagiaan yang menyusup di hati Harlan, bagai orang yang menang lotere, bahkan lebih. Laksana orang kelaparan yang tiba-tiba menemukan sebungkus makanan! Matanya merebak seperti mau menangis, pegangan tangannya begitu erat. Andai tak ingat tata susila dan tak mempunyai rasa hormat yang begitu besar terhadap gadis pujaannya, ingin rasanya dia menarik Sunarti untuk dirangkul dan didekap erat ke dadanya. Namun Harlan tidak mau seperti itu. Biarpun dia sudah berpikiran modern, namun dia bisa menata pribadinya sendiri, bisa memilah hal mana yang wajib ditiru dan hal mana yang tidak boleh dan tidak pantas dia lakukan menurut adat kepribadian bangsanya. Yang dia tiru hanya sebatas alam pemikiran modern yang bermanfaat, gagasan-gagasan yang menuju ke arah kemajuan manusia dan bangsa. Dia tidak mau meniru tata susila bangsa lain karena dia yakin negara Indonesia ini justru mempunyai tata susila dan kepribadian yang bahkan lebih baik dan lebih luhur dibanding seluruh bangsa yang ada di dunia. Sehingga diapun mampu mengendalikan nafsu yang sempat menggodanya, dia hanya berucap dengan mata yang berkaca-kaca, ?Terima kasih, jeng. Demi Allah, aku bersumpah tidak akan menyia-nyiakan kepasrahanmu terhadapku, tujuan hidupku selamanya hanya untuk membahagiakan dirimu, menjagamu, dan melindungimu, jeng...?
Baru sekarang Sunarti berani memandang Harlan, sorot matanya mengandung penuh harap, permohonan, dan doa semoga semua yang Harlan janjikan akan terwujud.
Selang beberapa saat, Sunarti lantas berkata, ?Mas, aku datang sekarang ini, disamping ingin menjengukmu, juga aku mau minta izin pergi, mas...?
Terlihat roman kaget di muka Harlan, ?Pergi? Pergi ke mana, jeng??
?Begini, mas... aku diajak pakde Kartika ke Surabaya, diajak pindah ke sana. Karena di Solo ini sudah tidak ada seorangpun yang bisa aku ikuti sehingga pakde dan bude memaksaku untuk pindah ke sana. Kalau tidak dengan mereka berdua, dengan siapa lagi aku akan pasrahkan hidupku sekarang ini, mas??
Harlan mengambil nafas dalam-dalam. Kalau dipikirkan secara masak, memang tidak pantaslah seorang gadis hidup sendirian tanpa ada orang lain yang menemaninya. Apalagi dia sudah punya rencana, kalau dia sudah sembuh total dan diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit, dia akan langsung meminta orang tuanya untuk mengajukan pinangan terhadap Sunarti. Kalau Sunarti masih tetap di Solo sendirian, siapakah nanti yang akan menjadi walinya? Kalau Sunarti sudah menetap di rumah pakdenya di Surabaya, bukankah lebih mudah dan lebih pantas untuk melamarnya, karena nanti pasti pakdenya lah yang akan menjadi walinya.
Setelah berpikir demikian, Harlan lantas berkata, ?Ya sudah kalau begitu, jeng. Memang seharusnyalah sekarang kamu harus mengikuti dan menuruti apa yang dikehendaki Pakdemu sebagai pengganti orang tuamu. Kalau Pakdemu memintamu untuk berangkat sekarang juga ke Surabaya, kamu harus mau. Akupun sudah hampir sembuh, tunggulah di sana karena tidak akan lama lagi orang tuaku akan datang ke rumah pakdemu untuk melamarmu?.
Sunarti hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala tanpa mampu berucap sepatah katapun, dia terlalu malu untuk diajak berbicara permasalahan pertunangan ini.
Sejenak kemudian Sunarti berkata, ?Sudah ya mas, aku harus segera pulang karena rencananya aku akan naik kereta jam sepuluh nanti. Semoga mas Har cepat sembuh. Dari jauh aku doakan semoga mas lekas diberi kesembuhan dan semoga apa yang......kita rencanakan semuanya bisa terlaksana.....?
?Ee, nanti dulu, jeng?. Harlan melirik jam yang ada di atas meja samping ranjang. ?Baru jam setengah sembilan, kamu kok buru-buru banget. Jangan lupa tinggalkan alamat rumah Pakdemu di Surabaya. Kalau tidak tahu alamatnya, bagaimana nanti kalau orang tuaku datang ke sana?
?Oh iya mas, aku lupa...? Sunarti lantas mengambil secarik kertas dari dalam tasnya dan menuliskan alamat rumah pakdenya di atas kertas tersebut. Harlan hanya bisa memandang segala gerak laku kekasihnya dengan perasaan bahagia. Dia membayangkan bagaimana rasa bahagianya andai saat sekarang ini dia bersama Narti berada di kamarnya sendiri, tinggal serumah dan Narti sebagai pasangan hidupnya.
?Ini alamatnya, mas. Sudah ya.? Ucap Narti sambil menyodorkan kertas yang berisi alamat tersebut. Otomatis tanpa disengaja, kedua jemari muda-mudi ini bertemu dan bertautan erat disertai getaran rasa, saling memandang lama.
?Aku cinta kamu, jeng....selamanya....? bisik Harlan.
?Aku juga, mas....? jawab Narti lirih sambil melepaskan pegangan tangannya, mengambil tas yang tadi ditaruh di atas meja, lalu berjalan meninggakan kamar sambil sesekali menoleh ke arah Harlan yang senantiasa memandanginya hingga akhirnya hilang bayangan tubuhnya karena terhalang tembok.
Rasa bahagia yang Harlan rasakan menjadi obat yang mujarab bagi kesembuhannya. Luka-luka yang dia derita sudah mengering cepat. Dokter yang menanganinya pun takjub akan cepatnya peroses kesembuhan Harlan. Dia perkirakan bahwa Harlan akan sembuh dalam jangka satu bulan, namun kini baru duapuluh hari, Harlan telah sembuh total.
Namun betapa kagetnya hati Harlan saat perban-perban yang menutupi sekujur tubuhnya mulai dibuka. Berbeda dengan sang dokter yang terlihat senang dan lega mengetahui pasiennya sudah sembuh, Harlan justru amat pucat wajahnya ketika mengetahui kondisi badannya. Tidak hanya dada dan pahanya yang kulitnya menjadi rusak, belang-belang tak beraturan, bahkan kedua pipi, leher, dan kedua lengannya rusak kulitnya, belang-belang dan berkeriput semua. Saat melihat tubuhnya sendiri seperti itu, tak tertahankan lagi Harlan segera menangkupkan kedua tangan menutupi wajahnya sendiri.
?Duh Gusti.....!? ratapnya setengah menangis. Sekali lagi dia melihat tubuhnya sendiri. Ah, kenapa tubuhku jadi begini? Celaka aku ini... duh Gusti, kenapa Engkau siksa aku seperti ini... Tubuh Harlan ambruk kembali ke ranjang, lama terdiam, matanya berkaca-kaca. Aduh, Narti.... Narti....., bagaimana kalau nanti kamu melihat tubuhku seperti ini? Sekarang aku jadi manusia yang menakutkan seperti iblis, tidak pantas untuk mendekati kamu karena hanya akan membikin malu kamu.... kalaupun kamu menerimaku, orang lain pasti akan mencibir dan menghinaku. Aduh, Narti.....
Memang tak bisa disalahkan kalau Harlan merasa iba dan sengsara hatinya saat mengetahui kondisi tubuhnya sekarang yang demikian. Tadinya Harlan adalah seorang pemuda yang tergolong tampan, tak setampan Arjuna namun cukup untuk membuat mata gadis-gadis meliriknya saat dia berjalan di jalanan. Dan sekarang? Kedua pipinya merah-hitam dan berkeriput tidak rata, leher dan kedua tangannya belang-belang semua. Dilihat dari depan menjijikkan, dilihat dari samping menakutkan.
Demikianlah perasaan hati Harlan saat melihat bentuk tubuhnya sendiri lewat cermin. Bersamaan dengan dokter datang dan Harlan terdengar sedang meratapi tubuhnya yang cacat, sang dokter hanya bisa mengangkat bahu sambil berbicara, ?Di sini belum ada operasi untuk menghilangkan cacat itu, mungkin yang terdekat di Jepang.?
Dari keterangan para perawat Harlan tahu yang dokter maksudkan, yaitu operasi plastik yang sudah terkenal di Jepang. Bagaimana mungkin bisa terlaksana? Ongkos perjalanan dari Indonesia ke Jepang saja tidak sedikit, belum lagi biaya perawatan operasinya nanti. Ah, dasar nasib...!
Ketika kemudian Harlan diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit, saat berada di bagian administrasi guna mengurusi biaya perawatannya selama ini, dia disodori sebuah amplop besar oleh seorang staf Pengurus Rumah Sakit tersebut sambil berucap, ?Semua biaya perawatan bapak selama berada di sini sudah dibayar lunas semua oleh Tuan Kartika dari Surabaya. Bahkan beliau meninggalkan amplop ini dan berpesan supaya diserahkan pada bapak saat bapak sudah sembuh dan bermaksud keluar dari sini.?
Harlan mengucapkan terima kasih, sambil menerima amplop tersebut kemudian pulang dari Rumah Sakit dengan menumpang becak menuju ke rumah kost milik Pak Sutardyo yang dia tempati. Saat becak melaju lewat di depan rumah Sunarti, hati Harlan terharu. Rumah itu masih kosong, belum ada orang lain yang menempati.
Pak Sutardyo menyongsong kepulangannya dengan bahagia hati karena Harlan sudah sembuh kembali. Seluruh penghuni rumah merasa ikut bangga karena rumah mereka ditempati seorang pemuda yang berjiwa gagah perkasa hingga menjadi buah-bibir para tetangga di sana. Namun Harlan tidak kelihatan gembira karena kini dia telah menjadi manusia yang cacat fisiknya. Dia cuma berbasa-basi sebentar dan bicara seperlunya saja lalu kemudian langsung masuk menuju kamarnya. Sesampainya di kamarnya sendiri lekas dia membuka amplop titipan dari Pakdenya Sunarti. Saat sampul amplop dirobek salah satu ujungnya dengan maksud untuk mengeluarkan isinya, yang terlihat keluar pertama kali dari dalam amplop tersebut adalah segepok uang! Uang kertas lima rupiahan yang jumlahnya ada duaratus lembar, seribu rupiah baru, kalau dijumlah semuanya ada satu juta! Apa sebenarnya maksud pakdenya Narti memberinya uang sebegitu banyak kepadanya? Lantas segera dia membuka dan membaca surat yang terdapat di dalam amplop tersebut, isi kurang lebih demikian:
Kepada Saudara Harlan,
Saya sampaikan terima kasih atas pertolongan saudara terhadap saudara saya, yaitu ibunya Sunarti. Biaya perawatan Rumah Sakit sudah saya bayarkan semua dan ini saya serahkan uang untuk biaya perawatan selanjutnya.
Semoga saudara segera sembuh dan semoga Tuhan membalas budi luhur yang telah saudara tanamkan pada kami.
Wassalam
Kartika Wijaya.
Membaca isi surat tersebut harlan tertegun, berbagai macam rasa berkecamuk di hati Harlan. Ada rasa haru, ada rasa senang, juga ada rasa malu. Dia menerobos api untuk menolong ibunya Sunarti, sama sekali tiada keinginan supaya mendapat balasan, hanya satu harapannya saat itu, yaitu mendapatkan cinta dari Sunarti. Sama sekali tidak mengharapkan uang.
?Uang ini harus aku kembalikan,? begitu bisik suara hatinya. ?Kalau tidak, aku kelihatan seorang yang amat rendah, betapa malunya aku sama Narti.? Baru saja berpikir sampai di situ, lalu dia teringat akan kondisi tubuhnya sekarang. Seketika tangannya gemetar, surat dan uang yang dia pegang dilemparkannya ke atas meja lalu segera menuju ke depan cermin. Sekali lagi wajahnya terlihat pucat pasi saat dirinya bertatapan dengan bayangan tubuhnya sendiri yang terlihat di cermin, melihat pipi dan leher yang berbelang-belang dan berkeriput.
?Aku harus pulang.... aku harus pulang... aku harus bicara pada bapak....? dengan pikiran kacau dan ruwet dia ingin selekasnya pulang ke rumah sendiri, menuju desanya, desa Ketandan yang dekat dengan kota Purwodadi. Di desanya, sang bapak menjabat sebagai Kepala Desa.
Keesokan harinya Harlan masuk kantor, mengucapkan terima kasih pada rekan sekantornya yang telah sudi menjenguknya saat dia berada di Rumah Sakit, sekaligus memberi kabar bahwa dia meminta izin untuk pulang ke desanya, desa Ketandan selama seminggu.
**OZ**
?Ya Allah, nak, kenapa kamu ini? Kenapa kulit tubuhmu jadi rusak semua seperti ini?? ibunya merangkul sambil menangis saat melihat keadaan puteranya seperti itu.
?Sepertinya luka habis terbakar ya, nak?? bapaknya juga ikut bertanya dengan sangat prihatin.
?Memang ini luka akibat terbakar, pak.?
Ibunya menjerit, ?Aduuuh, bagaimana ini kok jadi seperti ini?? sambil mengusap pipi dan leher Harlan.
Bapaknya mengerutkan alis sambil berkata, ?Kena musibah seperti ini kok kamu tidak memberi kabar pada kami, nak? Bagaimana awal kejadiannya hingga jadi sedemikian ini??
Lalu Harlan menceritakan seluruh kejadian saat dia berusaha menolong seorang janda bernama ibu Wirya yang rumahnya kebakaran.
?Sayangnya, nyawa Bu Wirya tidak tertolong. Dia meninggal di Rumah Sakit karena luka-lukanya yang tak mampu dia tanggung.? Demikian Harlan mengakhiri ceritanya.
Sang bapak mengangguk-anggukkan kepala, batinnya merasa bangga terhadap puteranya sendiri yang mempunyai watak kesatria dan berbudi luhur. Namun di sisi lain ibunya masih menangis sesenggukan sambil berkata, ?Ya Allah, nak..... bagaimana ini kok sampai tubuhmu jadi rusak seperti ini. Sudah tahu apinya besar kok malah diterobos saja sih, nak. Apa kamu tidak sayang pada diri kamu sendiri. Orang yang kamu tolong toh akhirnya meninggal juga dan kamu jadi cacat seperti ini. Bu Wirya itu apamu kah, hingga kamu nekat berbuat seperti itu, Harlan?
?Bu, jangan begitu... Sikap Harlan seperti itu tidak usahlah disalahkan, bahkan harus didukung karena itu suatu wujud perbuatan seorang kesatria utama. Ayah sendiri tidak menyalahkanmu, nak. Ayah justru sangat bangga mendengar kamu sudah mau berkorban untuk orang lain.?
?Ah, bapak ini bagaimana sih! Harlan anak kita satu-satunya jadi cacat seperti ini, siapa orang tuanya yang tidak susah hati? Harlan, agaknya kamu sudah kenal baik dengan orang yang kamu tolong itu.?
?Bu, jangan terlalu mendesak yang tidak-tidak. Mau bagaimana lagi, toh orang yang ditolong sudah mati. Dan lagi, bahagia-sengsara itu kan tergantung pada kita sendiri dalam menyikapi sebuah kejadian dengan tetap pasrah terhadap kehendak Gusti Allah. Perbuatan Harlan tidak melenceng dari pedoman budi pekerti, namun dirinya terkena akibat berupa cacat seperti ini. Tidak mengapalah, bu. Memang dasarnya sikap seorang lelaki ya harus seperti itu. Dan pastinya Tuhan memberikan anak kita berupa tubuh cacat ini supaya menjadi tanda bukti sebuah perilaku kemanusiaan.?
Mendengar perbincangan bapak-ibunya, hati Harlan sungguh terharu. Hingga lantas akhirnya dia berbicara terus terang, ?Ya sebenarnya memang ada sesuatu yang lain hingga saya nekat menolong Bu Wirya, karena sebenarnya Bu Wirya itu adalah...... ibunya..... kekasih saya.?
?Oalah....apa ku bilang tadi, pak!?
Pak Lurah Jayawiguna, ayah Harlan, hanya mengangguk-anggukkan kepala.
?Anaknya cantik tidak, nak? Ah, pasti cantik. Kalau tidak cantik kamu mana mau sama dia. Kasihan sekali. Terus sekarang bagaimana keadaan anak itu? jadi yatim-piatu kan??
?Begitulah, bu. Sekarang Sunarti ikut pakdenya pindah ke Surabaya. Tadinya saya sudah membulatkan tekad, kalau sudah keluar dari rumah sakit, saya akan meminta ayah dan ibu untuk datang melamar Sunarti ke Surabaya. Tapi......? seakan tercekik, Harlan tak mampu melanjutkan bicara.
?Hemm, begitu itu juga baik kok, nak.? Bapaknya menyambung.
?Benar apa kata bapakmu, nak. Kalau kamu memang sudah suka, ya segera dilamar saja.? Ibunya ikut berpendapat.
?Ya itulah pak..... bu..... saya.....? sambil melihat ke arah lengan tangannya sendiri, meraba pipi dan lehernya, ?....... Sunarti belum tahu kalau saya...... seperti ini...... saya tidak tega, bagaimana nanti perasaan hati Sunarti saat tahu......? hanya sampai di situ Harlan mampu bicara, lantas berdiri dari duduknya dan lari ke dalam rumah, masuk kamarnya.
Ibunya bermaksud segera membuntuti, ?Harlan.... eeee anak ini....? Namun tangannya segera dipegang oleh suaminya.
?Sudah biarkan saja dulu, bu. Biar hatinya tenang dulu. Anak muda kalau lagi terkena panah asmara memang susah buat mengobatinya.?
Tidak bosan-bosannya ayah-ibunya menghibur hati Harlan. ?Jangan bersusah hati, nak. Keadaan yang sekarang menimpamu ini malah justru bisa sebagai penguji tebal tipisnya rasa cinta Sunarti terhadapmu.? Demikian antara lain nasihat bapaknya.
?Kalau memang kenyataannya rasa cinta yang Sunarti miliki terhadapmu itu benar-benar suci dan tulus, cacat yang kamu derita tidaklah akan dapat melunturkan rasa cintanya, bahkan justru akan bertambahlah kasih sayangnya terhadapmu dan terciptalah sebuah kasih yang murni. Sebaliknya, kalau misal sikapnya menjadi berbeda dan rasa cintanya meluntur, justru malah kebetulan sebelum kalian menjadi pasangan hidup, karena rasa cinta yang demikian itu adalah palsu. Rasa cinta yang timbul semata karena melihat fisik yang sempurna tanpa cacat, itu bukanlah rasa cinta yang sejati, melainkan cinta yang timbul dari nafsu birahi semata. Kalau sampai terlanjur mendapatkan pasangan hidup yang mempunyai rasa cinta hanya terhadap fisik saja, pastilah tidak akan bertahan lama, sebentar saja akan meluntur dan hidupmu dalam mengarungi rumah tangga bersamanya tidak akan bisa langgeng sampai menjadi kakek-nenek?.
Harlan dapat menerima semua nasihat ayah-ibunya yang kalau dipikirkan dan direnungkan memang benar semata. Namun bagaimanapun juga, dasarnya memang masih berdarah-muda, hatinya sudah terpaut dalam. Bayangan sosok Sunarti tak bisa hilang dari pelupuk matanya. Hampir tiap malam dia memainkan gitar atau sulingnya, atau menyanyikan lagu ?Yen ing tawang? dengan suara yang membuat terharu bagi yang mendengarkannya.
Kalau sudah mendengar puteranya bernyanyi atau bersuling dengan suara yang demikian membuat haru, sang ibu hanya bisa geleng-geleng kepala dengan rasa iba. Sedang bapaknya masuk ke kamar, tidak lama terdengarlah suara Pak Lurah Jayawiguna mendendangkan tembang macapat. Sungguh mahir Pak Lurah menyanyi dan suaranya pun sangat enak didengarkan. Jika sudah mendengar suara bapaknya, Harlan langsung teringat, bahkan dahulu dia sangat menyukai suara sang ayah saat menyanyikan tembang Kinanti dari Kitab Wedatama. Permainan gitarnya dia hentikan, telinganya mendengarkan bait-bait berupa nasehat yang berasal dari kitab Wedatama tersebut.
Mangka kantining tumuwuh
Salami mung awas eling
Eling lukitaning alam
Dadi wiryaning dumadi
Supadi nir ? ing sangsaya
Jeku pangreksaning urip.
Marma den taberi kulup
Angulah lantiping ati
Rina wengi den anedya
Pandak panduking pambudi
Mbengkas kahardaning driya
Supaya dadya utami.
Harlan seketika terlonjak bangun. Kepala rasanya bagai diguyur air seember. Sungguh bodoh. Seperti bukan laki-laki saja. Aku harus berani menghadapi kenyataan hidup. Harus berani mencoba sebesar mana rasa cinta Sunarti kepadanya. Besok aku harus ke Surabaya!
Kota Surabaya memang kota besar dan sangat ramai. Namun tidak sulit bagi Harlan saat mencari rumah Pak Kartika Wijaya, sebab dia sudah pernah bolak-balik ke kota itu hingga nama-nama jalan pun dia hapal. Lebih-lebih rumah pakdenya Sunarti terletak di depan jalan besar, yaitu jalan Kusumabangsa. Turun dari stasiun Semut, Harlan langsung naik becak menuju jalan Kusumabangsa, tukang becak tadi pun sudah diberi tahu nomer rumah tujuannya, namun saat becak yang ditumpanginya sampai di depan rumah yang nomornya cocok, dia malah berkata kepada si tukang becak.
?Terus saja, pak, terus saja.....!? Harlan berucap demikian setelah melihat rumah yang bernomor sama dengan yang dia tuju, ternyata sebuah rumah gedung yang besar dan megah, jelaslah bahwa itu adalah rumah seorang yang ?besar? pangkat maupun hartanya. Kebetulan sekali saat becak yang dia tumpangi melewati depan rumah tersebut, terlihat sebuah sedan warna hitam masuk di halaman rumah gedung itu.
?Sudah, pak, di sini saja? ucap Harlan pada si tukang becak sembari mengangsurkan ongkos kemudian turun dan berjalan pelan kembali menuju rumah itu. Dari kejauhan dilihatnya seorang pemuda tampan membuka pintu mobil. Dari dalam mobil bagian belakang keluar seorang laki-laki dan seorang perempuan setengah tua sambil tertawa-tawa. Tak lama kemudian si pemuda lalu membuka pintu bagian depan mobil. Harlan memandang terus...tergetarlah hatinya manakala melihat Sunarti keluar dari mobil itu sambil tersenyum, bahkan si pemuda mengulurkan sebelah lengannya yang kemudian dipegang Sunarti saat tadi hendak turun.
Harlan mengucek matanya barangkali dia salah melihat. Benarkah itu Sunarti? Bukan gadis lain yang wajahnya mirip? Ah, tidak mungkin. Itu benar Sunarti. Jelaslah, karena ada tahi lalat kecil dekat dagunya. Tapi kenapa sekarang sangat berbeda. Tatanan rambutnya, roknya, sepatunya, kerudungnya berbahan sutera, semua serba indah dan serba mahal.
Harlan merasa terlalu jauh perbedaan antara dirinya dengan mereka. Datangnya saja hanya dengan menumpang becak, pakaian yang dikenakan bukanlah pakaian baru seperti yang mereka pakai. Tubuhnya pun cacat. Sudah pasti tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan pemuda yang menggandeng tangan Sunarti! Perlahan dia berjalan dengan menundukkan kepalanya, melewati depan halaman rumah itu. Tanpa menoleh, dia mendengar suara Sunarti yang berbicara dengan jelas,
?Pakde, Bude, Narti mau ikut mas Tono ke kebun binatang, boleh ya?? suaranya masih seperti Sunarti yang dulu, bening renyah dan agak manja, begitu bisik hati Harlan. Jawaban dari kedua orang tua tersebut tidak dapat terdengar lagi olehnya karena dia sudah berjalan cukup jauh. Namun ketika mendengar suara mesin mobil, dia menengok dan.... betapa hati tak akan sakit saat melihat mobil itu keluar pekarangan, dikendarai oleh si pemuda dan Sunarti duduk di sampingnya pemuda itu. Keduanya terlihat sedang tertawa dengan gembira.
Harlan berdiri di tepi jalan. Pakde dan Budenya Sunarti sudah tidak kelihatan, agaknya mereka sudah masuk ke dalam rumah besar itu.
Harlan mengepalkan tangannya kencang-kencang. Mau menyusul ke kebun binatang di Wonokromo? Mau apa menyusul ke sana? Jangan-jangan nanti malah dihina orang seperti kera yang dikurung di sana! Apa lebih baik pulang lagi saja ke Solo? Ah, seperti bukan laki-laki saja! Sambil menggertakkan gigi, menabahkan hati, dia mantap melangkahkan kakinya masuk ke halaman rumah besar tersebut.
Tangannya sedikitpun tak ragu-rugu saat diangkat untuk menekan bel yang terpasang di samping pintu. ?Kriiiing!? suara bel di dalam rumah lamat-lamat terdengar sampai di luar pintu.
Tak terdengar suara langkah, tiba-tiba ada seseorang membuka pintu. Yang membukakan pintu seorang perempuan, pembantu rumah tangga di situ.
?Kamu siapa? Ada perlu apa ya?? tanya perempuan itu.
?Saya ingin bertemu dengan Bapak Kartika Wijaya.?
?Oh ya, sebentar nanti saya sampaikan.? Sembari berkata demikian, perempuan tersebut memandangi leher Harlan, lalu dengan agak keras pintu pun ditutup kembali!
Harlan menghirup nafas. Dia sudah merasa tidak enak saat lehernya dipandangi. Tidak berapa lama, terdengar suara sandal diseret, ?Srek-srek-srek...!? Pintu terbuka kembali. Yang muncul sekarang adalah laki-laki tua yang tadi turun dari mobil. ?Pasti ini pakdenya Sunarti yang bernama Kartika Wijaya,? batin Harlan. Lantas Harlan membungkuk hormat sambil berucap, ?Permisi.....!?
Ada kurang lebih sepuluh detik orang tua itu memandangi Harlan dari mulai rambut, berhenti sebentar memandangi pipi dan lehernya, terus merayap turun sampai sepatu yang penuh debu.
?O silahkan, silahkan duduk.? Orang tua itu mempersilahkan Harlan sambil membuka pintu lebar-lebar.
Setelah tamunya duduk dan diapun duduk pula di depan si tamu, orang tua tersebut lantas bertanya,
?Anak ini siapa ya?? sambil matanya sekali lagi melihat leher dan pipi Harlan.
Karuan saja tidak kenal karena memang belum pernah bertemu, pikir Harlan. Tapi kalau aku sebutkan nama, dia pasti kenal.
?Saya Harlan....? ucapnya dengan tubuh membungkuk-bungkuk sambil melihat reaksi dari si tuan rumah, pasti kaget dan senang, begitulah perkiraannya.
Namun perkiraannya meleset jauh saat orang tua itu terlihat berpikir dengan alis berkerut lalu menukas, ?Harlan siapa ya? Dari mana dan ada perlu apa??
Harlan jadi bingung. Aneh sekali, masak orang tua ini tidak mengenal namanya. Apa dia bukan Pak Kartika Wijaya?
?Mohon maaf, bukankah Bapak ini Bapak Kartika Wijaya??
?Oh iya, iya betul.?
Jawaban tersebut bagaikan ujung keris yang menempel di hati Harlan. Jelas sudah kalau dirinya telah dilupakan. Sedikitpun dia tidak mengharap dipuji dan disembah-sembah atas pertolongannya terhadap ibunya Sunarti dulu. Namun sama sekali dia tidak menduga akan disepelekan seperti ini. Selagi si tuan rumah masih menatapnya bingung, Harlan lantas melanjutkan,
?Saya harlan dari Solo..... saya.... saya... eh, temannya Sunarti...?
?Aaahh, sampai lupa aku!? sambung Pak Kartika Wijaya sambil menepuk-nepuk dahinya dan tertawa. ?Maafkan bapak ya, nak. Ah, jadi kamu yang namanya Harlan to?! Sehat-sehatkah, nak??
?Berkat doa bapak, saya sehat-sehat saja.?
?Sudah lama nak Sunarti mengharap-harap kedatanganmu, kok tidak ada kabarnya sama sekali ini gimana? Sudah sembuh betul kan sekarang?? berucap demikian sambil matanya kembali menatap, yang ditatap adalah leher dan pipi Harlan lagi. Hingga Harlan merasa risih terus-terusan ditatap, kalau saja bisa ingin rasanya dia menutup luka-luka yang ada di leher dan pipinya.
?Sudah sembuh, pak. Keluar dari rumah sakit, saya langsung pulang ke kampung sendiri. Jeng Narti juga sehat-sehat saja kan, pak??
Alis pak Kartika semakin berkerut dalam dan hatinya kaget saat mendengar Harlan menyebut kata ?Jeng? terhadap Sunarti. Saat ditunggu orang tua itu tak juga menjawab pertanyaannya, Harlan lantas menyambung ucapannya, ?Saya tadi melihat Jeng Narti pergi naik mobil.?
Pak Kartika tersentak kaget dengan pandangan mata seperti orang yang baru mendapat wahyu.
?Oh ya, ya tadi Narti ee.... mau pergi jalan-jalan dengan...ehm.... ya maklumlah anak muda, dengan.... kekasihnya!?
Mata Harlan serasa berputar-putar, pelipisnya berdenyut-denyut, tenggorokannya serasa kering, tubuhnya lemas, kakinya pun gemetar. Dia hanya mampu melihat Pak Kartika dengan pandangan yang didalamnya mengandung banyak pertanyaan.
Pak Kartika agaknya tahu apa yang sedang dirasakan hati Harlan hingga diapun lantas berkata, ?Ya mau bilang apa lagi, nak Harlan. Lebih baik kepada saya saja. Saya tahu semua keadaan saat di Solo, dan juga dapat mengetahui isi hati Sunarti mengenai hubungan asmaranya denganmu. Saya pun tahu kalau kamu mencintai Narti.? Pak Kartika berhenti sebentar. Harlan segera berucap, ?Diapun mencintai saya, pak....?
Pak Kartika menggeleng pelan. ?Sudah tentu dia tidak dapat menolak perasaan cintamu yang sudah menolong ibunya. Tapi..... nak Harlan, terus terang saja, apakah rasa cintamu terhadap keponakanku itu terlahir dari batin yang terdalam??
Harlan menegakkan tubuh dengan sorot mata yang tajam berucap, ?Tentu saja, pak.?
?Baguslah kalau begitu. Nak Harlan yang cukup terpelajar tentunya tahu belaka tentang masalah kasih asmara yang sejati. Tiada namanya cinta sejati tanpa dibuktikan dengan pengorbanan, jikapun ada cinta sejati itu mengharapkan pamrih, tak lain pamrih tersebut hanya berupa keinginan agar orang yang dicintainya hidup mulia dan bahagia. Bukankah demikian, nak Harlan??
Biarpun Harlan sudah bertitel Sarjana, atau sekalipun dia bersekolah sampai setinggi-tingginya, namun mengenai masalah hubungan kasih asmara, dia masihlah hijau dan mentah dibanding pengertian yang terkandung dalam ucapan Pak Kartika tadi. Maka Harlan hanya dapat mengangguk membenarkan saja apa yang orang tua itu katakan. Tak menyangka sama sekali bahwa justru dia sedang dituntun menuju jurang perangkap.
?Lha, kalau memang benar begitu, nak Harlan. Sekarang, terkait dengan persoalan perasaan cintamu terhadap Sunarti. Sebelumnya saya meminta maaf bila ucapan saya nanti tidak enak didengar, hanya satu tujuan saya yaitu berusaha membela keponakan juga anak saya, Sunarti. Kamu bisa lihat sendiri, nak. Sekarang kamu sudah menjadi orang cacat. Kalaupun Narti mengaku masih mencintaimu, itu semata hanya pengakuan yang dilandasi karena merasa berhutang budi. Tapi kalau memang nanti terjadi kalian hidup bersama, sudah pasti kelak Sunarti akan selalu dihina, ditertawakan, menjadi gunjingan rekan-rekannya dan dibilang cantik-cantik kok hanya dapat seorang yang cacat.... maaf lho, nak....?
Harlan tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan kata-kata yang diucapkan. Kepalanya bagai terpukul sesuatu, perih, dadanya seperti akan amblas melesak ke dalam, mukanya pucat laksana orang mati. Bibirnya hanya mampu mengeluarkan ucapan yang lirih bergetar, ?Ya..... ya.......? tak terasa lagi air matanya bercucuran menetes menggenangi pipinya yang belang berkeriput. Dia masih sadar dan mengerti, kalau tidak berusaha menguatkan hatinya, dia sudah pasti akan pingsan. Maka dia mencoba kuatkan hati, tangannya yang menggigil terjulur untuk mengambil cangkir minuman yang tadi dikeluarkan oleh pembantu rumah itu. Gemetaran mengambil cangkir, namun tangannya seakan terlalu lemas hingga minumannya tumpah separuh.
?Silahkan, silahkan diminum, nak Harlan.....? ucap Pak Kartika merasa agak iba
Ceguk-ceguk air diminum. Cangkir diletakkan di meja, lupa tidak diletakkan di atas tatakannya. Air mata yang bercucuran di pipi diusapnya dengan lengan yang juga berbelang-belang.
?Saya..... saya mohon diri......? ucapnya sambil berdiri dari duduknya.
?Oh ya, silahkan. Emm, nak Harlan. Ini ada tambahan sedikit untuk.... ee...., untuk keperluan apa saja....? orang tua itu bicara sambil menyodorkan amplop.
Harlan terlonjak kaget. Semangat yang tadinya sempat melemah bangkit kembali. Amplop diterimanya, dibuka dan uang segepok dari dalam amplop dia keluarkan. Matanya sekarang memandang dengan melotot dan menakutkan ke arah Pak Kartika. Tangan kiri merogoh kantong celananya, mengeluarkan gepokan uang ribuan yang dulu diterimanya dari rumah sakit yang juga uang dari Pak Kartika.
?Bapak Kartika Wijaya! Janganlah terlalu menghina orang yang tidak punya. Bagi bapak anggapnya semua bisa dibeli dengan uang! Orang seperti bapak ini tahunya hanya uang saja. Cinta saya tidak bisa diukur seperti uang bapak yang kotor ini. Cinta saya tidak dapat dibeli, kalaupun seandainya bapak menyerahkan semua harta yang bapak punya kepada saya, saya sama sekali tidak akan tergiur, tidak mau menerimanya. Rasa cinta saya terhadap Sunarti hanya bisa ditebus dengan kebahagiaan hidup Sunarti. Saya menerima mundur, saya menerima kalah, tapi saya peringatkan, pak, siapa saja orangnya yang membuat hidup Narti celaka, siapapun orangnya yang kelak membikin sengsara Narti, saya yang akan menghajar orang tersebut! Silahkan terima kembali uang kotor bapak ini!? Harlan mengakhiri ucapannya sambil menaburkan dua gepok uang yang berada di tangannya hingga tersebar disekeliling ruang tamu.
Pak Kartika hanya mampu berdiri tertegun. Setelah melihat Harlan sudah tidak ada lagi di situ, dia tersenyum-senyum sambil mengumpulkan uang yang berserakan di lantai.
Sungguh panas hati Harlan. Panas juga pedih. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Pak Kartika tadi memang sengaja membikin panas hati Harlan dengan memberinya uang. Pak Kartika yang sudah tua, sudah banyak sekali pengalaman hidupnya, sudah hafal akan gelora perubahan hati muda, memang sudah tahu bahwa salah satu obat untuk membangkitkan semangat seorang pemuda yang dilanda putus cinta adalah dengan cara membangkitkan keangkuhannya, menggelitik sifat kesatrianya. Memang kenyataannya demikian. Andai saja Harlan tidak dibakar hatinya saat akan meninggalkan rumah gedung milik Pak Kartika hingga dadanya seakan mau meledak, hatinya menjadi sangat panas dan kemungkinan bisa pingsan karena sakitnya hati diputuskan tali cintanya. Kemungkinan juga lalu ambruk, lalu akan merasa bosan hidup, atau juga bisa kemudian menjadi gila. Namun sekarang, hatinya terasa sangat panas. Akan dia buktikan kepada Sunarti, kepada pak Kartika, kepada calon suami Sunarti, kepada seluruh dunia bahwa Harlan, orang yang cacat, orang yang bermuka buruk, tidak akan kalah dengan pemuda-pemuda yang berparas tampan, yang gagah bagai Arjuna. Yang ke dua, dia ingin memperlihatkan seberapa besar rasa cintanya terhadap Sunarti dan memastikan sang pujaan benar-benar hidup senang dan bahagia. Siapa saja orangnya yang membikin Narti hidup susah dan sengsara, dialah yang akan menjadi musuhnya! Panasnya hati yang demikianlah yang justru membangkitkan semangat hidup Harlan.
Harlan tidak kembali pulang ke Ketandan, tapi langsung menuju Solo, kembali bekerja lagi seperti biasanya. Di masa itu, Dwikora sedang hebat-hebatnya dilaksanakan oleh rakyat. Tanpa pikir panjang, Harlan masuk menjadi suakrelawan yang sangat aktif, hingga tak lama kemudian dia dikirim dan ditempatkan di garis depan! Dari Solo, Harlan langsung berangkat tanpa terlebih dahulu singgah di rumahnya. Dia hanya mengirimkan sepucuk surat untuk orang tuanya, meminta maaf dan memohon izin. Masalah Sunarti tidak disinggung sama sekali dalam suratnya itu. Bapaknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah membaca surat dari anaknya tersebut, setengah bisa menebak apa yang menyebabkan puteranya bersikap demikian. Sedang ibunya hanya bisa menangis, menangisi anak satu-satunya. Namun tangisnya bukan karena kepergian Harlan menuju medan perjuangan, karena sang Ibu Lurah ini tahu belaka akan kewajiban rakyat terhadap bangsa dan negaranya. Yang membuat sengsara hatinya adalah karena sebab perginya Harlan itu tanpa tatap muka dan berpamitan, dan juga tanpa dia tahu bagaimana hasil akhir dari permasalahan antara Harlan dan Sunarti.
**OZ**
Deru mesin sepeda motor Honda keluaran baru berhenti di depan sebuah rumah kecil berdinding pagar. Seorang pemuda tampan berpakaian rapi turun dari atas motor Honda tersebut lalu berjalan menuju pintu rumah kecil tadi.
?Permisi.....!? Tiada sahutan. Setelah ucapan ?permisi? diulang tiga kali, barulah terdengar sahutan dari dalam rumah.
?Ya, silahkan denmas Burham, silahkan masuk saja?. Pemuda itu lantas memasuki rumah.
Tetangga kanan-kiri rumah Pak Dukun Dullah tidak lagi merasa aneh mengetahui tamu-tamu kaya masuk ke rumah sang dukun tersebut. Memangnya sudah sering terlihat mobil-mobil bagus berhenti di depan rumah Pak Dukun Dullah. Bagi orang Gresik, nama Pak Dukun Dullah sudah terkenal sekali.
Bintang Bintang Menjadi Saksi Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda tadi telah duduk bersila di lantai beralas tikar. Pak Dukun Dullah juga bersila di situ, menghadapi sesaji dan kemenyan yang berluruhan karena dibakar.
?Sudah saya kerjakan, denmas Burham. Jangan khawatir, tidak akan meleset.? Sang Dukun berkata sambil mengeluarkan botol kecil berisi air yang diambil dari belakang tubuhnya. ?Air ini bukan air sembarangan, ini adalah air ?tirta asmara? (Air Asmara) yang ampuh dan mengandung daya kekuatan pemikat. Saputangan denmas harus dibasahi tirta asmara ini jika denmas ingin bisa dekat dengan dia?.
Raden mas Burham mengangguk-angguk, terlihat sangat senang menerima botol kecil berisi air tersebut. ?Lalu selanjutnya bagaimana, eyang??
Pak Dukun Dullah berdehem sambil tangan kirinya memelintir-melintir jenggotnya yang cuma ada tiga helai. Lalu menjawab pelan,
?Anak yang denmas harapkan itu masih perawan murni, bagai bunga yang penuh madu manis, tidak gampang dan jangan sampai diremehkan. Saya rasa, kalau hanya memakai tirta asmara saja kiranya masih kurang kuat.?
?Lha, terus bagaimana baiknya ini, eyang?? si pemuda terlihat kecewa.
Pak Dukun tertawa. ?Jangan khawatir, nak. Selama masih ada Eyang Dulah, urusan itu pasti gampang. Alatnya harus menggunakan mantera. Mari saya bisikkan manteranya, tapi.... denmas harus sanggup memenuhi apa yang menjadi syarat-syaratnya.?
?Apa syaratnya, eyang?? Coba eyang terangkan, saya sanggup melaksanakannya?.
?Syarat pertama, denmas harus puasa mutih selama tujuh hari tujuh malam. Bagaimana, sanggup??
Anak muda tadi berpikir. Mutih itu artinya hanya makan nasi putih saja selama tujuh hari tujuh malam. Wah, ya berat dikerjakannya. Tapi mau bagaimana lagi, pengorbanan seperti itu pantas-pantas saja, memang berat kalau ingin mendapatkan bidadari!
?Ya siap. Saya sanggup!?
?Yang ke dua, sudah menjadi syarat umum kalau rapalan atau mantera tersebut harus ditebus dengan uang, banyaknya duaratus rejal, pas tidak boleh kurang?.
?Duaratus rejal itu berapa sih, eyang?? hati pemuda itu agak mencelos mendengar kata ?duaratus? tadi.
?Rejal itu hitungan mata uang jaman dulu, kalau sekarang ya rupiah?.
?Deg? rasa hati Raden mas Burham saat mendengar bahwa uang tebusannya sebesar duaratus rupiah. Tidak main-main! Duaratus rupiah itu sama dengan duaratus ribu jaman nanti. Wah, agak berat juga.
?Jangan ragu-ragu, nak. Uang duaratus rupiah itu untuk tebusan mantera yang amat sangat ampuh dan bisa dipakai selamanya. Karena ini adalah mantera milik Begawan Abiyasa dulu.?
?Ya sudah, saya sanggup.?
?Syukurlah kalau begitu. Saya persilahkan denmas keluarkan uang tebusan itu supaya bisa segera saya bisikkan manteranya.?
Agak gemetar tangan si pemuda saat mengeluarkan uang kertas lima rupiah dari saku dan menghitungnya hingga berjumlah empatpuluh lembar, diangsurkan ke Pak Dukun. Pak Dukun menerima uang tersebut dan diletakkannya di tempat sesajen, lalu menambahi kemenyan di atas tempat pedupaan. Asap kemenyan bertambah banyak melingkupi seluruh ruangan hingga suasana ruangan yang gelap karena asap itu seakan bertambah menyeramkan.
?Mari saya persilahkan denmas untuk mendengarkan dengan cermat.? Demikian ucap pak Dukun.
Suara Pak Dukun Dullah bertambah dalam dan menyeramkan saat merapalkan mantera yang bunyinya demikian:
?Hong wilaheng sun mateg aji pangasihan. Siya-siya waliya, sihe gustiku dak tepungake pucuke idepku, dak tepungake pucuke alisku, dak tepungake pucuke rambutku, sumurupa marang guwagarbane .... den roro Sunarti, manut mituruta apa saciptaku, manut mituruta apa sasedyaku, manut mituruta apa sakarepku, manut mituruta apa sakandaku, teka welas, teka asih, asih marang badan sariraku.?
?Saya persilahkan untuk menghapalnya sampai benar-benar hapal, denmas Burham. Kalau denmas memakai mantera ini setelah puasa mutih tujuh hari tujuh malam, lalu memakai tirta asmara, ooo.. saya tanggung pasti den roro Sunarti bakalan cinta sama denmas.?
Tak terkira senangnya hati Burham. Lalu menghapal mantera sampai benar-benar hapal, mengucapkan terima kasih dan juga meninggalkan uang duapuluh lima rupiah untuk Pak dukun. Botol air dimasukkannya ke dalam kantong celana, sepeda motor Hondanya segera dinaiki dan kemudian dijalankan kencang menuju jurusan Surabaya. Anak muda ini merasa amat senang dan besar hati, sama sekali dia tidak tahu kalau sepeninggalnya dia Pak Dukun Dullah tersenyum-senyum sambil menghitung uang sebanyak duaratus duapuluh lima. Juga sama sekali tidak Burham duga bahwa tiga hari setelah dia pergi dari Gresik, dari rumah dukun tersebut, si dukun Dullah ditahan polisi dengan tuduhan penipuan terhadap orang banyak dan membuka praktek ilmu-klenik yang dilarang oleh Pemerintah!
Siapakah sebenarnya pemuda yang bernama Raden mas Burham itu? Tidak lain adalah seorang pemuda Surabaya, pemuda putera dari seorang saudagar yang kaya-raya, yang tergila-gila pada pesona Sunarti, si gadis Solo yang menawan hati. Anak laki-laki inilah yang menjadi pilihan Pak Kartika Wijaya, akan dijodohkan dengan Sunarti. Menurut pengamatan Pak kartika, Raden mas Burham inilah yang cocok untuk menjadi pendamping hidup keponakannya. Kurang apa lagi? putera dari saudagar kaya-raya, juga masih keturunan priyayi (bangsawan tinggi jaman dulu) agung di Madura yang kabarnya masih keturunan dari Pangeran Cakraningrat. Anaknya tampan sekolahnya tinggi sudah tamat S.M.A. sekarang Sunarti sudah menjadi yatim-piatu, dialah yang menjadi pengganti orang tuanya, maka dialah yang berhak memilihkan jodoh untuk keponakannya tersebut. Bagi Pak Kartika, kalau dia bisa berbesanan dengan orang tua Raden mas Burham, itu berarti sebuah kenaikan derajat sosial baginya!
Burham sendiri memanglah sangat mencintai Sunarti bahkan bisa dibilang tergila-gila. Hingga sudah tidak punya rasa malu dan sungkan, tiap hari selalu saja kesibukannya hanya disekitar tempat kediaman Sunarti. Walaupun ditilik dari sikap lakunya, Sunarti sendiri tidak suka dengan Burham. Tidak suka dengan adatnya yang kasar, kurang punya tata krama, bahkan sampai pernah terucap kata-kata kotor dari mulutnya, kata-kata yang biasanya hanya diucapkan oleh para pemuda berandalan.
Memangnya Sunarti tidak menyukai Burham. Jangankan hanya seorang anak seperti Burham, jika pun ada pemuda yang mempunyai kelebihan berlipat-lipat dari Burham, pun hatinya tak akan terpikat, tidak akan terpesona sebab hatinya sudah penuh bayangan sosok Harlan! Narti tidak pernah bisa melupakan Harlan, laki-laki tambatan hati, pujaan jiwa.
Narti memang sudah merasa betah tinggal di rumah pakdenya. Siapakah orangnya yang tidak akan betah? Rumahnya gedung besar dan megah, mau ke mana-mana naik mobil dengan sopir pribadi yang selalu siap sedia. Dan kebetulan si sopir tersebut masih kerabat sendiri, namanya Martono, keponakan dari budenya. Martono juga masih bujangan, pemuda yang berwajah tampan, tubuhnya tegap gagah. Yang membuat hati Sunarti sangat senang terhadap Martono karena tingkah laku dan sikapnya yang rendah hati juga sopan dan simpatik. Memang seorang pemuda pilihan. Belum lama Sunarti menetap di Surabaya, Martono lah satu-satunya teman yang sangat dia percaya, malahan sering diajak bertukar pikiran, diajak berdiskusi seperti layaknya dengan kakak sendiri.
Jadi, dulu Pak Kartika hanya berbohong saat mengatakan pada Harlan bahwa Martono itu adalah kekasihnya Sunarti. Harlan pun juga pantas percaya dengan kata-kata orang tua itu karena memang terlihat Narti begitu akrab, begitu bergaul dekat dengan Martono. Namun sudah pasti dari pihak Pak Kartika tidak akan setuju andai Martono benar-benar menjadi kekasih Sunarti sebab Martono juga anak orang miskin, anak seorang janda yang masih kerabat jauh Bu kartika, merupakan keponakan jauh. Dengan maksud menolong kehidupan Martono dan ibunya, maka Pak Kartika memberi Martono pekerjaan sebagai sopir.
Sudah hampir satu tahun Sunarti menetap di Surabaya. Walapun di luarnya terlihat hidup senang dan kecukupan, namun sebenarnya batin Sunarti selalu dirundung kecewa dan susah hati karena selama ini tiada kabar apapun dari Harlan. Sudah banyak dia berkirim surat ke Solo, namun tiada satupun balasan dari Harlan. Hingga rasa hati Sunarti makin tidak karuan. Sebab apakah hingga Harlan seakan mendiamkannya. Jangankan menengoknya di Surabaya, sedang suratpun tak kunjung dia balas. Ada apakah? Agaknya sangatlah tidak mungkin kalau Harlan telah melupakan dirinya ataupun rasa cintanya telah mulai memudar. Dalam hati Narti mendapat sebuah firasat yang tidak enak.
Rasa susah hati dan nelangsa Sunarti semakin bertambah manakala suatu malam dia dipanggil pakde dan budenya, dia diberi tahu bahwa pakde dan budenya sudah terikat kesepakatan dengan orang tua Burham yang mengajak berbesanan! Seberapa besar kaget dan nelangsanya hati Sunarti, hanya dia sendiri yang tahu dan merasakan. Dia yang sudah merasa berhutang kebaikan terhadap pakdenya, tidak mampu menolak ataupun memprotes. Baru setelah pamit mundur, dia berani menumpahkan segala kesusahan hatinya lewat tangis tersedu-sedu di kamarnya. Disebabkan tiada orang lain lagi yang bisa dia ajak tukar pikiran, yang bisa dipercaya untuk mengetahui isi hatinya, maka saat Sunarti bertemu dengan Martono, tak tertahankan lagi mengucurlah air matanya.
Martono begitu kagetnya. ?Lho, ada apa ini, dik Narti?? tanyanya dengan termangu bingung. Tak pernah dia melihat anak gadis yang biasanya terlihat selalu senang gembira ini tiba-tiba menangis dan merintih seperti itu.
Mendapatkan pertanyaan dari orang yang dipercaya, tangis Sunarti malah makin menjadi-jadi. Dengan tersedu-sedu, Sunarti menceritakan hal perjodohannya dengan Burham seperti yang disampaikan oleh pakde dan budenya semalam. Sama sekali Sunarti tidak tahu betapa Martono seketika berwajah kuyu dan pucat manakala mendengar ceritanya. Sunarti terlalu sibuk menangisi nasibnya sendiri. Namun hanya sebentar Martono bersikap demikian, lalu dengan menarik nafas, dia berkata menghibur,
?Begitu saja kok nangis sih, dik? Urusan seperti itu kan tergantung kamunya sendiri. Tinggal kamu pertimbangkan, kamu mau ataukah tidak, kalau mau ya tidak perlu ditangisi, kalau tidak mau ya tinggal bilang terus terang saja.?
?Mas Tono..... bagaimana aku bisa menolak? Kalau menuruti keinginanku sendiri sudah tentu aku tidak mau jadi...... pendamping hidupnya, tapi.... pembicaraan mengenai hal tersebut sudah disepakati sama pakde dan bude. Aku sudah banyak berhutang budi, selain pakde dan bude aku sudah tidak punya siapa-siapa sebagai pengganti orang tuaku...? Sunarti terisak. ?...... aku memang tidak suka, tapi aku tidak bisa menolak, mas Tono..... ah, bagaimana ini....?
?Wah, aku juga ikut bingung, dik. Menerima dan menjalani tidak suka, mau menolak pun tidak berani dan tidak tega. Ah, susahnya. Sebentar, dik Narti, sejujurnya apa sebab kamu tidak senang dijodohkan dengan Burham? Apa karena belum mau berrumah tangga? Apa ada sebab..... eh, barangkali kamu sudah punya pilihan hati sendiri?? meski di luaran terlihat tenang dan disertai senyuman, namun dalam hati Martono berdebaran saat mengajukan pertanyaan seperti itu. Sudah lama dia bergaul dengan Sunarti dan hatinya pun juga sudah terpikat, sudah jatuh hati terhadap si gadis. Hanya saja ini memang dia rahasiakan. Memang sangat sulit untuk mengetahui isi hati Sunarti. Gadis ini ramah dan sangat akrab dengan dirinya, tapi apakah sikap seperti itu bisa jadi pertanda kalau Sunarti pun juga sudah menerima cinta kasihnya? Apa hanya karena masih ada pertalian saudara? Maka sekarang mumpung ada kesempatan, diapun bertanya demikian sekalian untuk menjajagi hati Sunarti.
Sunarti mengusap air matanya dengan saputangannya sendiri yang sudah basah kuyup., lalu menarik napas dan memandang ke arah Martono dengan mata yang kemerahan sebab semalam terlalu banyak menangis. ?Ya mau bilang apa, mas Tono. Tidak ada lagi orang yang bisa aku percaya kecuali mas Tono. Sejujurnya saja, memang sebelum aku ke Surabaya ini, aku sudah mengikat janji dengan...... ah, mas tahu juga kan orang yang dulu menolong almarhumah ibuku?? ucap Sunarti sambil menundukkan kepala agak malu, hingga dia tidak melihat kalau Martono memejamkan mata dengan alis yang berkerut, hatinya berantakan saat mendengar ucapan Sunarti. Pengakuan Sunarti bagai ujung keris tajam menghujam di palung hatinya. Jadi selama ini sikap baik Sunarti terhadapnya hanya semata karena menganggapnya sebagai seorang kerabat, cintanya bagai terjatuh di tanah tandus, tak mampu tumbuh bersemi. Namun Martono termasuk pemuda yang berbudi luhur, juga sudah sering dan terbiasa menyandang kesengsaraan menjadi anak orang miskin, hingga diapun mampu bertahan menghadapi pergolakan batin bagaimanapun beratnya. Hanya sebentar dia meringis pedih, lantas segera berkata, ?Ooo... jadi dia itu orangnya, yang namanya..... hemmm, kalau tidak salah, Harlan, benar kan, dik?? Sunarti hanya mengangguk, tanpa menjawab.
?Tapi apa sebabnya sampai sekarang Harlan tidak pernah berkunjung ke sini? Dan lagi, kalau memang dia mencintai kamu dan kamupun menerima cintanya, kenapa dia tidak segera mengirimkan seseorang untuk melamarmu kepada pakde??
Sunarti terlihat sangat bingung dan susah hati mendengar pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang juga sama persis dengan suara hatinya. ?Justru itulah yang menjadi ganjalan hatiku selama ini, mas. Makanya aku ingin minta tolong sama mas, karena siapa lagi yang bisa menolongku kecuali mas Tono.?
Hati Martono tersentuh. O Allah dik, sebegitu percayanya kamu kepadaku, untuk menolongmu, andai nyawaku ini kamu minta, pasti akan aku berikan, dik! Namun kata-kata ini tidak mampu terucapkan melalui bibirnya, yang keluar hanya kesanggupannya untuk menolong, ?Minta tolong apa, dik? Coba bilang saja terus terang, aku pasti mau membantumu.?
?Begini, mas. Aku minta tolong mas Tono untuk pergi ke Solo, cari mas Harlan. Kalau sudah ketemu, berikan suratku dan ceritakan semua keadaanku di sini. Bagaimana mas? Mau atau tidak??
Martono mengangguk-angguk. Hatinya serasa ditusuki jarum. Siapa orangnya tidak sakit hati mendapat tugas seperti itu. Dirinya sendiri mencintai Sunarti, namun justru sekarang dirinya disuruh mencari pemuda yang Sunarti cintai. Tidakkah itu membuat sakit hatinya?
?Sudah pasti aku mau, dik. Aku akan minta izin libur satu minggu sama pakde. Entah nanti apa yang aku buat sebagai alasan, itu perkara mudah. Tapi untuk sekarang aku minta alamatnya mas Har dulu.?
Sunarti meraih tangan Martono, dicekalnya kencang-kencang sambil matanya berkaca-kaca.
?Mas Tono, mas memberikan terang hatiku yang sedang dilanda kegelapan ini. Aku ucapkan terima kasih sebelumnya, mas.?
Keesokan paginya, Martono jadi berangkat ke Solo dengan menaiki kereta Express Gayabaru. Sedang Sunarti senantiasa berdebar, mengharapkan kepulangannya dengan membawa sebuah kabar yang dia harapkan.
**OZ**
Namun setelah kemudian Martono pulang kembali, kabar yang dia bawa justru menghancurkan segala pengharapan Sunarti. Hati Sunarti hancur berkeping-keping bagai gelas kaca yang dibanting, ratapannya amat mengharukan. Martono mengabarkan bahwa Harlan sudah tidak ada lagi di Solo. Sudah beberapa bulan pergi berjuang menjadi sukarelawan di garis depan melawan Malaysia. Hal ini tidaklah membuat hati Sunarti terharu. Yang membuat terharu dan hancur hatinya adalah ketika mendengar bahwa Harlan sekarang telah menjadi orang yang cacat, wajahnya menjadi amat buruk akibat luka-luka yang dia derita saat terbakar dulu. Penyelidikan yang dilakukan Martono terhadap keadaan Harlan memang amat teliti. Dia menanyakan informasi tentang keadaan Harlan kepada siapa saja yang mengenal atau pernah bertemu dengannya sehingga kabar yang dia bawa dan sampaikan sangatlah jelas.
Seminggu lamanya Sunarti tak juga berhenti menangis, menangisi Harlan. Dia bisa meraba apa yang menjadi sebab Harlan sampai nekat masuk menjadi sukarelawan dan berjuang dengan tanpa meminta izin atau memberi kabar pada dirinya. Bisa menjajagi hati Harlan yang agaknya memang sengaja memutuskan tali asmara disebabkan dirinya sekarang telah menjadi orang yang buruk rupa karena cacat tersebut.
Sunarti sampai menderita sakit. Setelah sembuh, dia tak mampu lagi untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Pengharapannya terhadap Harlan sudah mati. Berulang kali mengeluh pada Tuhan kenapa Harlan kurang percaya akan rasa cintanya. Apakah Harlan menganggapnya sebagai seorang yang mempunyai watak tidak tidak setia? Apakah rasa cinta yang dia ungkapkan terhadap Harlan dianggap hanya sebagai pemanis bibir saja, hanya berdasar terpikat pada wujud yang sempurna? Oo.. Harlan.... Harlan.... begitu luhur budimu. Menerima untuk mengalah, menjauh dengan pengorbanan yang begitu besar, menyangka bahwa aku tidak akan suka dan cinta lagi saat memandangmu. Harlan.... Harlan.....!
Meski seandainya ditangisi dengan tangis darah sekalipun, Harlan telah jauh, entah di mana dia berada. Di sisi lain, pakdenya selalu membujuk agar dia mau untuk berrumah tangga, dijodohkan dengan Burham. Narti beralasan untuk meminta waktu hingga kini dua tahun sudah terlewati. Itu semua hanya sebagai alasan, mengulur waktu dengan harapan barangkali Harlan akan datang ke Surabaya ini. Tapi setelah dua tahun tiada kabar apapun dari Harlan, Narti tak berani lagi beralasan meminta waktu. Pakdenya sudah marah-marah karena menganggap Narti sudah mempermainkannya. Hingga akhirnya dia pasrahkan nasibnya pada Gusti Allah ta?ala.
Pesta perkawinan dirayakan secara besar-besaran. Banyak sekali tamu yang datang. Mobil-mobil sampai berderet panjang di pelataran rumah Pak Kartika. Pesta itu dimeriahkan dengan rombongan gamelan dari Solo. Sayangnya, si pengantin perempuan terlihat selalu menundukkan kepala dan berwajah kuyu. Lain halnya dengan si pengantin laki-laki yang selalu tersenyum-senyum senang dan berbahagia hatinya. Inilah hasil dari mantera dan tirta asmara, begitu pikir Burham. Semestinya hal perjodohan bukanlah hal yang remeh, bukan suatu peristiwa yang cukup hanya dimeriahkan dengan pesta saja, atau diucapkan dengan kata selamat berbahagia saja. Syarat utama untuk mengayuh biduk rumah tangga yang harmonis adalah rasa rukun dan menerima diantara keduanya, seperti halnya kisah Mimi lan Mintuna, selain harus saling mencintai diantara keduanya, juga harus bisa saling membimbing, saling ajur-ajer, saling bisa menjaga dan menyamakan persepsi dan kepribadian keduanya. Itu semua bisa terwujud dengan mudah dan lancar jika keduanya memiliki dasar rasa cinta yang suci murni, yang bersih dan sejati.
Akan halnya Sunarti, perjodohannya dengan Burham tidak dengan didasari rasa cinta, hanya terpaksa karena takut terhadap pakde dan budenya, terpaksa karena tiada pilihan lain lagi. Dan juga, dia merasa sudah banyak berhutang budi pada pakde dan budenya hingga dia patuh dengan apa yang dikehendaki kedua orang tua itu, sebagai balasannya.
Sebaliknya, Burham senang dan merasa sangat lega. Merasa bahwa keinginannya telah tercapai, terlaksana apa yang menjadi impian hatinya. Namun sesungguhnya keinginan Burham memperisteri Sunarti tidaklah berdasar cinta murni. Hanya karena tertarik akan kecantikan dan keindahan Sunarti saja. Rasa cinta yang dipaksakan hingga melalui pertolongan dukun dan sebagainya, jelas bukan cinta kasih yang agung, melainkan cinta yang berdasarkan nafsu hewani semata, yang berpamrih hanya untuk menyenangkan diri sendiri, menuruti kehendak hatinya sendiri.
Perjodohan yang berdasar demikian pastilah mudah untuk diramalkan masa depannya, tak akan langgeng atau berlangsung lama.
Malam itu Burham seakan kejatuhan bintang, begitu senang berbunga-bunga hatinya karena cintanya yang begitu besar terhadap Sunarti dapat terwujud dalam sebuah pernikahan. Sebaliknya, si isteri merasa hatinya sakit bagai diiris-iris. Keduanya sama sekali tidak menyangka kalau tidak jauh dari rumah baru hadiah bapaknya Burham untuk ditempati kedua pengantin, di bawah sebuah pohon asem, berdiri seorang laki-laki sambil sesenggukan. Malam itu hujan agak lebat, suasana amat gelap. Tapi laki-laki yang berdiri di bawah pohon asem itu tidak memperdulikan air hujan yang seakan ditumpahkan ke tubuh dan mukanya. Kedua matanya yang basah karena hujan bercampur air mata selalu ditujukan ke arah rumah baru. Dalam hujan, terdengar lirih suara yang mengandung jeritan hatinya,
?Duh Gusti, semoga Narti selalu mendapatkan keselamatan, kenyamanan, kemuliaan dan kebahagiaan....? begitulah isi doa yang diulang-ulang keluar dari bibirnya. Entah air hujan atau juga air mata yang semakin banyak bercucuran di atas pipi yang berkeriput dan belang-belang itu.
Saat tengah malam tiba, hujan pun berhenti, langit terlihat bersih bertabur bintang- gemintang. Terlihat asri jika dilihat dari bumi. Langitnya berwarna biru kehitaman dan bersih tanpa awan, bertabur bintang-bintang berkerlip bagai intan berlian yang ditempelkan di atas beludru biru kehitaman. Siapa saja yang kebetulan keluar rumah di saat itu, pastilah akan melihat sebuah keadaan dan panorama yang indah menawan yang bisa menimbulkan perasaan tenang, senang, dan tenteram hati. Namun sebaliknya yang terjadi dengan laki-laki yang masih berdiri di bawah poho asem tadi. Manakala dia mendongak ke atas, melihat keindahan alam malam itu hingga tertegun lama, seakan diingatkan akan kejadian masa lalu. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri tengkurap dengan kedua tangan menutupi wajahnya, di atas tanah basah dan menangis. Di kejauhan terdengar suara nyanyian laki-laki, suara anak muda yang serak. Sepertinya suara nyanyian itulah yang membuat hancurnya hati laki-laki tadi, suara nyanyian ?Yen ing tawang....?
?Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Aku ngenteni tekamu.
Marang mega ing angkasa, ni-mas,
Sun takokke pawartamu.
Janji-janji aku eling, cah ayu,
Sumedot rasaning ati.
Lintang-lintang ngiwi-iwi, ni-mas,
Tresnaku sundul wijati.
Dek semana janjimu disekseni,
Mega kartika, yen ta kowe tresna marang aku.
Yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Rungokna tangising ati,
Binarung swaraning ratri, ni-mas,
Ngenteni bulan ndadari?.
Sampai lama setelah suara nyanyian itu hilang, laki-laki itu masih tengkurap di atas tanah basah. Bahunya yang bergerak-gerak menandakan kalau dia sedang menangis sesenggukan tanpa suara.
?Ahh, Harlan....., Harlan..... laki-laki kok begini! Memalukan! Demikian ucap laki-laki itu lirih lalu kemudian berdiri dan mengambil nafas dalam-dalam. Sekali lagi dia memandang rumah baru yang sekarang terlihat telah sepi itu. ?Jeng Narti sudah terlaksana berumah tangga, laki-lakinya tampan dan kaya, pastinya dia hidup senang dan enak. Kalau aku menuruti hati yang trenyuh dan sengsara seperti ini, berarti aku akan menjadi orang yang ingin merusak kebahagiaan hati jeng Narti? Duh Gusti, hamba mohon ampun..... jeng Narti tetaplah selamat, jeng..... aku akan selalu melihatmu dari jauh, semoga hidupmu senantiasa mulia....?
Laki-laki tadi lantas berjalan dengan kaki diseret tersaruk-saruk, berhenti-tertegun sambil menoleh ke arah rumah baru itu. Tak berapa lama tubuhnya menghilang ditelan bayangan rumah-rumah dan pepohonan di pinggir jalan.
Sebuah benda yang palsu, lama-kelamaan pasti akan terlihat ke-tidak aslian-nya. Bagaimanapun mengkilapnya tembaga yang disepuh emas, tidak akan lama lagi pasti akan terlihat wujud asli tembaganya yang berwarna kecoklatan dan berkarat. Begitu pula sikap dan perilaku Burham terhadap Sunarti. Di awal-awal pernikahan, sikapnya terlihat amat mencinta, begitu besar rasa cintanya hingga seakan bintangpun niscaya akan ia petik dan dipersembahkan hanya untuk menyenangkan hati Sunarti. Sebulan, dua bulan setelah pernikahan cintanya masih terlihat bergelora. Namun setelah menginjak bulan ke tiga, semakin lama terlihatlah rasa cinta itu mulai memudar, bagai sebuah kain murah yang luntur warnanya ditelan waktu. Rasa cintanya terhadap Sunarti hanya berdasar nafsu ingin memiliki, kalau keinginan itu telah terwujud maka akan melunturlah rasa cinta itu, bahkan akan menghilang. Itulah keadaan dan perjalanan dari sebuah rasa cinta yang tidak suci. Sangat disayangkan sekali, karena kenyataannya tidak sedikit laki-laki yang bersikap sama seperti Burham. Mereka menilai sebuah ikatan perjodohan hanya sebatas seperti orang yang senang dengan pakaian baru, dirawat-dibanggakan saat masih baru, namun setelah lama akan bosan dan ingin mencari yang baru lagi.
Semakin lama semakin jarang Burham terlihat berada di rumah. Pergaulannya di luar kembali seperti dulu, seperti saat belum menikah. Bergabung kembali dengan geng mobilnya dulu, kebut-kebutan bersama teman-teman berandalannya. Awalnya hanya dia lakukan saat siang hari saja, namun lama kelamaan sampai malam dan malam berikutnya hingga pagi lagi dia baru pulang!
Semakin rusak-sengsara hati Sunarti melihat kelakuan suaminya seperti itu. Mulanya Sunarti tidak memiliki rasa cinta terhadap Burham. Namun setelah Burham menjadi suaminya dan melihat begitu besar rasa cinta Burham terhadapnya, kesedihan pun sedikit terobati. Timbul harapannya terhadap suami yang begitu mencinta dapatlah kiranya sebagai pengobat hatinya. Sedikit demi sedikit dia mulai mencoba menata hatinya supaya bisa pasrah dan menerima, mengimbangi rasa cinta Burham lumrahnya wanita yang telah menjadi seorang isteri. Dia berusaha memupuskan harapan hatinya untuk menjadi jodoh Harlan dengan memupuk keyakinan bahwa inilah kiranya jalan hidup yang memang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun kenyataan yang terjadi, baru saja menginjak tiga bulan usia perkawinan mereka, semua harapan yang berusaha dipupuk kandaslah sudah disebabkan tingkah laku Burham, suaminya sendiri.
Dalam kesengsaraan hatinya, dia sudah berusaha mengingatkan secara halus, karena merasa itulah kewajiban seorang isteri terhadap suaminya. Bahkan peringatan yang agak keras pun pernah dia sampaikan perihal tingkah suami yang semakin menjadi tersebut.
?Mas, mas, sadarlah, mas. Kamu kan sudah berkeluarga, sudah menjadi orang tua. Janganlah berlaku seperti itu lagi, mondar-mandir bersama teman-teman gengmu. Masakan kamu mau mengulang kelakuan masa mudamu yang seperti itu??
Tapi penerimaan Burham terhadap ucapan Sunarti yang disampaikan dengan nada sedikit bercanda itu justru amat buruk. Ucapnya kasar, ?Kenapa kamu melarangku melakukan sesuatu yang aku senangi? Kamu kira kakiku ini bisa kamu belenggu, setelah aku mengawinimu, begitu kah? Aku tidak mau! Aku ini laki-laki, bebas keluar rumah sekehendak hatiku, dan wanita harus tetap berada di dalam rumah!?
Tersinggung rasa hati Sunarti hingga air mata tak tertahankan lagi menetes keluar. Kalau tadinya ada punya keinginan untuk berusaha mengimbangi rasa cinta sang suami, sekarang keinginan tersebut telah sirna pergi entah ke mana. ?O, jadi begitu ya, mas? Ya sudah, mulai detik ini, aku tidak akan perduli lagi dengan apa yang kamu lakukan. Mau mberandal lagi, mau berjungkir-balik sekalipun, aku tidak perduli. Jangan ge-er dulu, sama sekali aku tidak ada keinginan membelenggu kakimu. Kamu tidak pulang selamanya pun aku tidak akan susah hati!? Demikian ucap Sunarti seraya menelungkupkan kepalanya di atas meja.
Burham meringis menyeringai, ?Eh, eh, kamu nantang ya?! Aku tahu, dari dulu kamu itu sebenarnya sudah benci sama aku, tapi kenapa kamu mau aku jadikan isteri?!?
Semakin lama ucapan Burham semakin kasar, memerahkan telinga yang mendengarkannya. Tidak kuat mendengar kelanjutan ucapan Burham, Sunarti seketika berdiri dan berlari masuk ke kamar, menangis dan berkeluh kesah meratapi nasibnya. Dalam hati dia meratapi Harlan, merasa menyesal sekali kenapa dia tidak berani melawan keinginan pakde dan budenya saat akan dijodohkan dengan Burham. Martono, sahabat baik satu-satunya yang bisa diajak tukar pikiran dan dimintai pertolongan sekarang telah pergi dari Surabaya karena merasa sudah tidak suka dengan sikap Pak Kartika. Perginya Martono dari Surabaya bertepatan waktunya dengan saat Sunarti selesai melangsungkan pesta pernikahan. Sunarti juga menduga bahwa kepergian Martono disebabkan sakit hati karena Sunarti sudah bersanding dengan orang lain.
?Oo, hidupku dipenuhi dosa. Merusak hati mas Martono, seorang laki-laki yang begitu baik, berpisah dengan mas Harlan hanya untuk menjadi isteri dari seorang yang buruk budi seperti mas Burham....? begitulah ratapan Sunarti. Namun harus bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Dia hanya bisa menangis, hari-harinya dilalui dengan kesedihan hingga badannya menjadi kurus. Tingkah Burham semakin menjadi, jarang pulang, kerjanya hanya menuruti keinginan dan kesenangan nafsunya sendiri, membahayakan nyawanya dengan kebut-kebutan mobil, berfoya-foya, berjudi, dan keluar-masuk gang kotor tempat pelacuran.
Bukan hanya Sunarti yang merasakan penyesalan, Pak Kartika dan isterinya pun juga merasakannya. Kedua orang tua itu merasa telah tertipu. Sudah tidak sedikit uang mereka yang dihabiskan oleh Burham, bahkan berani membawa berkodi-kodi baju batik, barang dagangan pak Kartika, dengan janji akan dia jual di Semarang namun kenyataannya semua habis ludes di atas meja judi! Begitu juga harta orang tuanya sendiri sudah banyak dia habiskan hingga akhirnya diusir dari rumah orang tuanya sendiri dan tidak diakui lagi sebagai anak mereka. Setelah kehabisan modal untuk berjudi dan kesenangan lainnya, dia mulai berani mengusik Sunarti, perhiasan kepunyaan isterinya dia ambil secara paksa untuk modal berjudi lagi, saat judinya kalah kekesalan hatinya dia tumpahkan semua kepada sang isteri. Sulit digambarkan bagaimana sengsaranya kehidupan yang dijalani Sunarti. Kehidupan rumah tangganya bagai neraka dunia. Surga-nerakanya sebuah kehidupan berumah tangga memang bergantung dengan rukun-tidaknya pasangan suami isteri. Kalau sudah sampai batas seperti yang dialami oleh Sunarti, hidup wanita bagaikan di neraka.
Hingga Sunarti menderita sakit demam karena menyandang beban sakit hati yang demikian, Burham tetap saja tidak perduli. Pakde dan budenya merasa sangat kasihan melihat kondisi Sunarti sehingga diajaknya pulang ke rumah kedua orang tua itu untuk beberapa hari, beristirahat sampai sakitnya sembuh. Burham tidak keberatan dengan dibawanya Sunarti oleh pakde dan budenya, bahkan dia sangat senang karena merasa akan lebih bebas berbuat sesuka hati di rumahnya sendiri. Baru saja sehari Sunarti tetirah di rumah pakdenya, Burham mengundang teman-temannya datang ke rumahnya untuk berjudi di sana selama sehari semalam!
Hujan tangis mengguyur rumah Pak kartika. Rasa sangat berdosa menjalari batin pak Kartika saat melihat keadaan Sunarti hingga akhirnya dia berbicara terus terang tentang halnya Harlan yang pernah datang ke Surabaya, ke rumahnya.
?Semua itu salah pakdemu ini, nak......? demikian ucap Pak Kartika dengan perasaan sedih dan sesal yang dalam, ?tapi itu bukan pakde sengaja. Siapakah sangka kejadiannya bakal seperti ini. Nak Harlan yang sekarang sudah menjadi seorang yang buruk rupa karena akibat terbakar dulu, sudah merasa dan mengerti bahwa dirinya tidak lagi pantas mendampingimu. Hingga akhirnya dia menjauhimu. Kalau saja nak Harlan tidak menjadi cacat seperti itu, tidak bakalan pakdemu ini memaksamu menjadi isteri orang lain.... Sekarang kejadiannya sudah menjadi seperti ini.... Narti, betapa besar kesalahan pakdemu ini, pakde hanya bisa memohon maaf kepadamu, nak....?
Sunarti sesenggukan mendengarkan semua perkataan pakdenya. Diapun memang sudah tahu kondisi Harlan dari Martono yang dulu dimintanya untuk mencari tahu. ?Sudahlah, pakde..... mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi.... memang ini sudah menjadi nasib saya... pakde tidak salah, begitu juga mas... mas Harlan pun tidak... hanya saya yang memang bernasib sial.... biar saya jalani sendiri sebagai penebus dosa saya....?
Pak Kartika tidak berani dan tidak tega menceritakan sejujurnya kalau sebenarnya dialah yang menjadi penyebab Harlan pergi dari rumahnya, menjauh dari kehidupan Sunarti. Dia benar-benar tidak berani, takut untuk memikul tanggung jawab. Namun dalam hatinya dia benar-benar merasa sangat bersalah atas segala yang terjadi dalam kehidupan Sunarti. Batinnya hancur dan menjadi lemah sengsara, sudah tua masih juga menanam dosa....
**OZ**
Malam gelap gulita dihias hujan rintik-rintik. Pintu dan jendela rumah-rumah telah pula menutup, sangat sepi. Tidak terlihat lalu-lalang orang di jalanan, hanya sesekali terlihat mobil lewat dengan sorot lampunya yang terhalang hujan lembut.
Di dalam rumah Burham masih terdengar suara berbisik-bisik pelan. Tidaklah aneh karena hampir setiap malam rumah itu dijadikan tempat perjudian hingga sampai jauh malam dari rumah itu masih terdengar berisik dan sesekali ditimpali suara celepak kartu dijatuhkan ke atas meja. Kadang juga terdengar tawa senang yang dibalas suara umpatan dan cekikikan suara wanita rendah susila.
Di luar rumah cuaca sangat dingin menggigit, di dalam rumah yang dibuat ?perang-tanding? terasa sangat panas. Panas luar-dalam. Asap rokok bergumpal-gumpal menutup-temaramkan lampu neon yang menerangi muka-muka pucat berkeringat. Empat laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja. Orang yang di depannya teronggok tumpukan uang, tertawa-tawa dengan wajah terlihat cerah, sedang yang lainnya terlihat kusut merengut, kalaupun tertawa tampak seperti meringis bagai sedang mengulum buah asem. Burham pun demikian, mukanya terlihat merengut dengan badan lemas punggungnya bersandar di sandaran kursi. Di belakang Burham, bergelayut manja dengan tangan merangkul pundaknya, seorang perempuan muda cantik genit yang kelihatannya sedang terkantuk-kantuk.
?Kriiiiinggggg!!? suara bel pintu mengejutkan mereka semua. Serentak mereka bangkit dari duduknya, bahkan ada yang terlihat bersiap untuk lari. Salah satunya ada yang berbisik-bisik dengan muka pucat, ?Jangan-jangan polisi.....?
Tapi Burham yang tadinya juga kaget, sekarang sudah bisa menenangkan hatinya sambil berkata, ?Tidak ada polisi mau mengerebek kok memencet bel pintu dulu. Tapi coba singkirkan dulu kartu-kartu dan uang yang ada di atas meja. Elsy, coba kamu buka pintu depan...?
Perempuan muda yang dipanggil Elsy segera berdiri lalu berjalan hendak keluar ruangan namun kemudian ragu-ragu dan berhenti serta kembali lagi menuju ruangan semula. ?Kalau yang datang isterimu, gimana dong, mas....? celetuknya agak takut.
?Wah, sial benar kalau dia berani datang. Akan aku bereskan sekalian....! ucap Burham sambil berjalan cepat menuju pintu depan yang jaraknya lumayan jauh dari ruangan tadi.
?Siapa di luar?!? tanya Burham dengan kasar.
?Aku....!? terdengar suara jawaban yang dalam dan tegas.
?Aku... siapa?!? tanya Burham lagi dengan heran.
?Aku Harlan, ingin bertemu Burham!?
Burham mengingat-ingat. Sepertinya dia pernah mendengar nama Harlan tapi lupa lagi. Maka lantas pintu dia buka. Di luar gelap, yang terlihat hanya samar-samar tubuh seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depan pintu.
Keduanya saling berpandangan, terlihat ragu-ragu. ?Apa kamu yang bernama Burham?? laki-laki tinggi besar itu bertanya.
?Ya, benar, aku Burham. Kamu siapa dan apa tujuanmu ingin bertemu aku??
Laki-laki itu tidak menjawab bahkan tiba-tiba tangannya sudah meraih tangan Burham dan dicekalnya erat-erat, lalu berkata, suaranya mengandung ancaman menakutkan, ?Hei, laki-laki rendah, dengarkan! Aku Harlan dan aku sudah bersumpah akan menghajar siapa saja yang membuat sengsara hidupnya Sunarti!?
Burham terkejut sekali tapi kemarahannya pun juga meluap, ?Orang gila keparat! Kamu mau apa? Sunarti itu isteriku. Kamu kok ikut campur, apamu kah dia??
?Hemm, Burham laki-laki khianat, laki-laki tidak bertanggung jawab, kamu tidak memperhatikan isterimu malahan main perempuan, menyia-nyiakannya. Aku hanya teman Sunarti, bukan siapa-siapanya dia, tapi aku yang akan menghajarmu...?
?Bajingan....!? dengan menggunakan tangan kanannya yang tidak dipegang, Burham melayangkan pukulan ke arah muka Harlan. Karena cuaca gelap dan Harlan pun tidak menyangka dirinya akan dipukul, dia cuma bisa menghindar dengan memiringkan wajahnya tapi tetap saja pukulan tersebut mengenai dagunya.
?Plak!? cekalan Harlan pada tangan kiri Burham terlepas, tubuhnya terhuyung mudur sampai tiga langkah. Burhan menyerbu terus dengan pukulan-pukulan yang cepat dan kuat. Tapi sekarang Harlan sudah siap. Saat sambaran tangan Burham yang ke tiga dapat ditangkis, secara bersamaan Harlan membalas memukulkan telapak tangan dari arah samping mengenai leher Burham dengan telak, seketika Burham ambruk. Tidak kuat menahan pukulan telapak tangan Harlan yang keras dan sangat cepat datangnya. Baru saja Burham merayap hendak bangun, Harlan kembali memukulkan telapak tangannya sambil berkata, ?Rasakan sekarang!? Burham mengaduh saat pelipisnya kembali terkena pukulan dan jatuh terkapar tanpa bisa bangun. ?Kamu harus menyusul Sunarti, minta maaf dan sejak dari sekarang kamu harus menjadi suami yang mencintai dan setia!?
Tiba-tiba dari arah dalam teman-teman Burham berlarian keluar. Saat melihat Burham dipukuli seseorang, mereka menyangka Harlan sebagai orang jahat yang bermaksud jahat pula. Maka merekapun lantas menyerbu dan mengeroyok Harlan.
?Kalian semua tidak usah ikut campur. Saya hanya punya urusan dengan Burham.? Harlan mencoba menyabarkan ketiga orang itu. Tapi kemudian Burham berteriak-teriak,
?Keroyok dia...! dia bajingan kurang ajar...!?
Dengan datangnya ketiga temannya, Burham mendapatkan semangat baru lalu segera bangun dan memimpin teman-temannya mengeroyok Harlan.
Terpaksa Harlan melawan. Dia memang kuat dan trengginas. Kiranya tidaklah aneh sebab dia sudah memproleh teori sekaligus praktek membela diri saat dirinya berjuang di garis depan. Dikeroyok empat orang dia tidak kewalahan, bahkan dengan enaknya dia membagi-bagikan pukulan keras hingga musuh-musuhnya jatuh terjengkang semua.
Tiba-tiba terdengar jerit Elsy yang telah berdiri di depan rumah, tertegun kaku melihat perkelahian di depannya.
?Mati kamu....! Burham yang sudah benar-benar marah mengeluarkan pisau dari balik baju dan menusukkannya ke arah Harlan. Andai mengenai perut Harlan, maka akan terburailah isi dalamnya! Untungnya Harlan mengetahui melayangnya tusukan pisau menuju tubuhnya itu dari sorot lampu di dalam rumah yang mengenai badan pisau hingga menimbulkan kilauan. Seketika dia menghindar ke arah kiri hingga Burham terdorong maju karena tusukannya tidak mengenai sasaran.
?Crepp...!? tahu-tahu pisau belati Burham telah menancap di perut Dirun, salah satu teman Burham yang ikut mengeroyok Harlan. Dirun terhuyung mudur lalu jatuh sambil menjerit dan mengaduh-aduh. Burham berdiri tertegun. Teman-temannya pun juga kaget dan melongo. Elsy menjerit-jerit keras. Pintu-pintu rumah di kanan-kiri terbuka dan penghuninya berhamburan keluar. Tak berapa lama polisi datang. Harlan, Burham, Elsy dan teman-temannya semuanya di angkut menuju kantor polisi, hanya Dirun saja yang diangkut menuju rumah sakit.
?Saya yang menusuk orang tadi, Pak. Saya dikeroyok, maka terpaksa saya menggunakan pisau, saya tusuk orang itu.?. Harlan mendahului menjawab pertanyaan polisi dan mengaku bahwa dialah yang menusuk Dirun. ?Matinya orang itu, saya yang akan bertanggung jawab, Pak?. Demikian ucap Harlan berulang-ulang kepada komandan polisi.
Burham dan teman-temannya melongo terkejut mendengar pengakuan Harlan demikian. Teman-teman Burham tidak tahu sama sekali apa sebab Harlan mengaku seperti itu, hanya Burham yang tahu dan dapat menyelami kehendak hati Harlan. Dia kagum akan besarnya rasa cinta pemuda yang cacat leher dan pipinya itu terhadap Sunarti, isterinya. Dia tahu kalau Harlan memang benar-benar hanya ingin melihat Sunarti hidup senang dan bahagia, hingga sampai-sampai menghajar dan memaksanya untuk bersikap baik terhadap Sunarti. Dan sekarang, pemuda itu mau berkorban menggantikan Burham, memberikan pengakuan palsu bahwa dirinya lah yang bertanggung jawab atas tertusuknya Dirun. Itu semua tidak lain karena besarnya cinta, rasa cinta yang suci, yang rela berkorban hati atau apa saja hanya supaya orang yang dicintai hidup mulia dan bahagia. Hati Burham sangat tersentuh. Melihat cinta kasih yang demikian besarnya, membukakan mata hatinya bahwa sebenarnya dia tidak pantas menjadi pendamping hidup Sunarti. Namun, karena jiwanya telah banyak dikotori nafsu-nafsu hewani hingga dia masih lebih sayang terhadap dirinya sendiri daripada mengikuti kata hati. Mendengar Harlan mengakui menusuk Dirun dan mengiranya bakal mati, Burham hanya diam. Saat melalui proses pemeriksaan verbal, Harlan tidak menyebut nama Sunarti, dia hanya mengatakan bahwa sebenarnya telah lama dia tidak suka terhadam Burham. Dan malam itu dia sengaja mencari Burham untuk ditantang berkelahi hingga kemudian terjadilah pengeroyokan yang puncaknya terjadilah penusukan itu.
Pengakuan Burham pun kurang lebih sama, dia tidak menyebut nama Sunarti, isterinya. Dia hanya mengatakan bahwa malam itu Harlan datang mencarinya untuk menantangnnya berkelahi, teman-temannya yang melihat perkelahian tersebut langsung ikut membantunya mengeroyok Harlan.
Elsy dan teman-teman Burham yang dijadikan saksi, karena memang mereka tidak tahu sama sekali awal mula dan penyebab terjadinya perkelahian itu, hanya mengatakan bahwa saat itu mereka sedang ?bertamu? di rumah Burham dan saat ada orang mengetuk pintu lalu Burham membukanya terjadilah cekcok mulut yang selanjutnya terjadilah perkelahian.
Berpijak dari keterangan terdakwa dan para saksi maka polisi memutuskan bahwa Harlan lah yang bersalah hingga kemudian dia ditahan di kantor polisi. Sedangkan Burham dan teman-temannya dipersilahkan pulang dan dipesan supaya mereka mau datang untuk menjadi saksi saat sidang pengadilan digelar nanti.
Kasus tersebut tersebar luas dan diketahui banyak orang saat masuk dalam surat kabar-surat kabar.
Sunarti dan pakdenya juga sudah mendengar. Betapa kaget hatinya manakala tahu bahwa yang terlibat pertengkaran dengan Burham adalah... Harlan! Lebih kaget lagi saat mendengar Harlan ditahan di kantor polisi gara-gara membunuh teman Burham yang ikut mengeroyoknya.
?Aduh, mas Harlan.... bagaimana kok sampai terjadi seperti ini....?? dalam hatinya, Sunarti menyangka kalau Harlan marah dengan Burham lantas mendatangi rumah Burham dan menantang, itu semua berpangkal pada dirinya. Hati Sunarti tidak karuan rasanya mendengar Harlan ditahan di kantor polisi karena didakwa membunuh. Ingin rasanya dia menengok, tapi bagaimana? Bukankah akan terlihat ganjil dan tidak pantas? Secara dia adalah isteri dari seseorang yang bertengkar dengan Harlan. Betapa susah hatinya, namun tiada orang yang bisa diajak bertukar pikiran.
Tiba-tiba muncul Martono! Yang membuat kaget Sunarti, juga pakde dan budenya, adalah kedatangan Martono yang memakai seragam tentara! Memang kepergian Martono sudah lama, entah ke mana perginya hingga tahu-tahu dia datang kembali dan sudah menjadi seorang tentara. Dan maksud kedatangannya tersebut ada hubungannya dengan kabar tentang ditahannya Harlan karena terlibat perkelahian dengan Burham Harlan.
?Dik Narti, aku sudah tahu semua keadaan rumah tanggamu dengan Burham?, demikian ucap Martono saat mempunyai kesempatan berbicara berdua saja dengan Sunarti. ?Burham memang sangat keterlaluan, dan aku juga heran sekali kenapa Harlan sampai berbuat seperti itu....?
?Mas Tono, aku... aku masih tidak percaya kalau mas Harlan berbuat demikian dengan sengaja. Ini pasti ada apa-apanya. Mas, hanya kamu yang bisa aku mintai tolong. Sekali lagi tolonglah aku, mas... Tengoklah mas Harlan... dan selidiki dengan sangat teliti kasus ini....kasihan mas Harlan...?
Martono mengambil napas dan menatap Sunarti tajam-tajam, ?Dik Narti, apakah sampai sekarang kamu.... tidak bisa melupakan Harlan?
Sunarti menunduk, air matanya jatuh bercucuran. Mau langsung menjawab tapi belum juga mampu. Setelah berulang-ulang menelan ludah, akhirnya dia mampu mengangguk dan bersuara pelan, ?Tadinya sudah coba aku paksa untuk melupakan dia, mas, karena aku toh sudah menjadi isteri orang lain.... Tapi mau bagaimana lagi..., justru karena kelakuan mas Burham lah yang memaksaku teringat kembali kepada mas Harlan...?
?Aku tahu, dik.... aku tahu. Sudahlah jangan disedihkan lagi. Selagi masih ada Martono, untuk kamu, tidak ada suatu urusan gelap pun yang tidak akan bisa menjadi terang.? Demikian ucap Martono seraya pergi meninggalkan Sunarti yang masih duduk memperhatikan kepergiannya dari belakang dengan mata yang berkaca-kaca.
?Ah, mas Tono....? bibir Sunarti berbisik-bisik, ?sungguh besar rasa cintamu terhadapku...semoga Gusti Allah yang akan membalas semua budi muliamu...?
Surabaya geger saat surat-surat kabar memuat berita tentang pengakuan Dirun bahwa orang yang menusuknya bukanlah Harlan, tetapi Burham sendiri! Dirun tidak jadi mati, dia masih bisa tertolong dan bahkan mengungkapkan sebuah pengakuan yang amat menggegerkan itu. Maka saat persidangan digelar, saat Harlan, Burham, Dirun, Elsy dan teman-temannya dihadapankan semuanya dalam sidang tersebut, amat banyak orang-orang yang ikut menghadirinya, ingin menyaksikan dengan kepala mereka sendiri jalannya persidangan.
Diantara para pengunjung, terlihat Martono duduk di kursi terdepan. Sunarti tidak hadir di persidangan itu, hatinya merasa sangat malu karena suaminya menjadi tontonan utama.
Menurut keputusan pengadilan setelah mendengarkan semua pengakuan para saksi dan terdakwa, Harlan dibebaskan dengan alasan dirinya yang pertama kali dipukul hingga kemudian dia membela diri menghadapi pengeroyokan. Burham disalahkan karena dia yang pertama kali melakukan kekerasan, lebih-lebih karena menggunakan senjata tajam. Untungnya dia tidak sengaja menusuk Dirun, karenanya dia hanya dijatuhi hukuman tiga bulan masa tahanan. Sedangkan teman-temannya, kecuali Elsy yang tidak ikut mengeroyok, semua dijatuhi hukuman berupa denda.
Sunarti hanya mampu menangis mendengar berita tersebut disampaikan oleh Martono. Di satu sisi dia bersedih karena suaminya dijatuhi hukuman, di sisi lain hatinya merasa lega karena Harlan akhirnya dibebaskan sebab ternyata tidak terbukti bersalah. Hatinya bertambah nelangsa saat Martono menutup ceritanya dengan kata-katanya,
?Sekarang aku tidak bisa menyalahkanmu kalau sampai sekarang kamu tidak bisa melupakan Harlan, dik. Harlan memang sosok manusia utama. Biarpun wujud fisiknya sudah cacat, tapi menurutku jiwanya tidak cacat, bahkan tambah sempurna. Aku sempat berbincang dengan Burham tentang masalah itu. Ternyata hingga kemudian terjadi perkelahian, itu disebabkan Harlan mendatangi Burham untuk menasehatinya supaya meminta maaf dan bersikap baik terhadapmu.?
Sunarti menangis tersedu. ?Aku.... aku masih belum mengerti, mas, kenapa.... kenapa dia mengaku kalau dirinya lah yang menusuk orang itu...padahal kenyataannya yang menusuk justru.... mas Burham...?
Martono menarik nafas lalu berkata, ?Itulah sebabnya yang membuat aku sangat mengagumi Harlan. Cinta kasihnya terhadapmu... tidak bisa disangsikan lagi. Menurutku, tidak ada yang bisa menyamainya..., dia sengaja mengaku menusuk orang itu karena kamu, dik?.
?Lho, kok gitu... apa...apa maksudnya, mas....?? Lupa kalau dirinya sedang menangis, matanya terbelalak lebar. Mata yang indah, hingga sekali lagi Martono hanya bisa menarik nafas sambil menatap keindahan tersebut dan membatin, duuh.., ini mata kenapa begitu indah bagai bintang kejora...
?Begini, dik. Melihat orang yang ditusuk Burham itu jatuh dengan bersimbah darah, Harlan merasa yakin kalau orang itu tidak mungkin bisa bertahan, pasti akan mati. Menurut dugaanku, saat melihat kejadian tersebut Harlan lantas berpikir, kalau dia tidak mengaku maka Burham pasti akan dijatuhi hukuman penjara selama bertahun-tahun dan pastinya kamu bakal menderita. Maka dirinya ikhlas berkorban, mengaku sebagai pelaku penusukan, supaya kamu tidak akan merasa bersedih hati...?
?Aduh, mas Harlan......!? Semakin hebat tangis Sunarti hingga sesenggukan. Martono berdiri perlahan, menggigit bibirnya sendiri seraya berujar, ?Dik Narti, urusan pernikahanmu dengan Burham, aku sudah berbicara dengan pakde dan budemu. Kita semua sepakat untuk berusaha menceraikanmu dari Burham. Makanya jangan bersedih lagi, dik. Ingatlah kalau di sisimu masih ada Martono yang akan selalu memberi terang hatimu dari segala kekacauan dan kegelapan yang mengganggu hidupmu. Sekarang aku pamit dulu, dik. Tunggulah barang sebulan, aku pasti akan datang lagi membawa kabar baik untukmu.?
**OZ**
Urusan perceraian antara Sunarti dan Burham sudah terselesaikan dengan lancar. Burham menyetujuinya karena dirinya memang merasa tidak lagi pantas menjadi pendamping hidup Sunarti.
Martono pergi tanpa meninggalkan alamat. Hanya dia sendiri yang tahu ke mana arah tujuan kepergiannya. Ternyata dia pergi ke Solo mencari Harlan yang sudah kembali ke sana, bahkan sekarang menjabat menjadi Kepala Jawatan Pertanian.
Teramat kaget hati Harlan manakala pada suatu sore kedatangan seorang tamu, tamu laki-laki yang dia kenal sebagai kekasih Sunarti menurut penuturan Pak Kartika dulu. Maka saat mempersilahkan duduk, sikapnya terlihat sedikit tegang.
?Perkenalkan, saya Martono dari Surabaya. Saya kira anda pasti belum kenal dengan saya...?
Harlan mengangguk mantap. ?Saya sudah tahu. Anda dulu kekasih Sunarti, bukan? Celetuknya keras.
Martono kaget dan bingung sambil berfikir, hingga lama dia tidak bisa menjawab. Setelahnya lalu dia berkata dengan raut muka yang ramah, ?Sepertinya ada sesuatu hal yang patut dibikin jelas, mas Harlan. Baiknya tidak usah pakai acara basa-basi lagi supaya semua menjadi jelas dan terang, bukan begitu, mas?
?Setuju sekali. Memangnya apa yang patut dibicarakan, dik Martono?
Hati Martono senang sekali. Ternyata berbincang dengan Harlan sangat menyenangkan. Tepat dugaannya bahwa Harlan memang seorang yang berhati bersih dan juga jujur.
?Tiada lain yang ingin aku bicarakan dengan mas Harlan, kecuali mengenai dik Sunarti.?
Muka Harlan terlihat sedikit kelam lalu tersenyum kecut sambil menimpali, ?Kebetulan sekali kamu datang ke sini. Karena kalau kamu tidak ke sini, pasti aku yang akan mencarimu. Aku ingin sekali mendengar dari mulutmu sendiri, apa sebab kamu meninggalkan Sunarti hingga dia menjadi isteri orang lain yang berbudi rendah macam Burhan itu? Dulu kamu kan yang jadi kekasihnya Sunarti? Aku ingin sekali tahu, sebab apakah yang bikin kamu begitu tidak setia??
Semakin lama mendengar Harlan berkata-kata, Martono menjadi semakin bingung, lalu menimpali, ?Eh-eh, bagaimana ini? Nanti dulu, mas. Saya kok sampai dituduh yang bukan-bukan ini gimana awal ceritanya? Saya sama sekali tidak pernah pacaran dengan Sunarti. Saya sama dia masih ada ikatan saudara. Malah justru seharusnya saya lah yang berhak menuntut penjelasan dari mas Harlan. Kenapa mas sampai hati meninggalkan Sunarti tanpa pamit, tanpa sebab yang jelas hingga Sunarti jatuh sakit. Justru karena kepergian mas yang tanpa pamit itulah yang menyebabkan Sunarti lantas menuruti keinginan pakdenya, yaitu dinikahkan dengan Burham?.
Sampai lama Harlan memandang Martono. Terlihat mempercayai semua yang dikatakan tamunya itu, hingga kemudian dia menunduk nampak bersusah hati. ?Aku minta maaf kepadamu, dik Martono. Persangkaanku terhadapmu tadi karena mendapat keterangan dari pakdemu. Aku meninggalkan Sunarti... karena... kamu bisa melihat sendiri keadaanku sekarang ini. Aku mencintainya, tidak tega rasa hati ini untuk menemui Narti dengan keadaanku yang seperti ini. Aku tidak lagi pantas mendekatinya, maka aku tinggalkan dia dengan harapan supaya dia mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup, mendapatkan jodoh yang pantas...?
Martono terlihat sedikit emosi, ?Cinta kasihmu terhadap dik Narti memang besar dan suci murni, mas Harlan. Tapi terus terang saja, cinta kasihmu ternodai oleh pemikiran yang sempit dan bodoh. Sangat disayangkan sekali kalau cinta kasih yang sedemikian besarnya tidak diimbangi dengan kepercayaan. Kamu kurang mempercayai dik Narti, kamu menganggap lemah dan tipis cinta kasih dik Narti terhadapmu. Aku tidak akan mungkin menyalahkanmu jika tindakanmu itu karena didasari cinta sepihak, semisal kamu mencintainya tapi dia tidak membalas cintamu. Namun, kenyataannya kamu pastinya tahu dan menyadari kalau dik Narti itu sangat mencintaimu, dan dia akan bisa hidup bahagia hanya kalau dia menjadi kekasih hidupmu?. Martono diam dan memandang kepada orang yang diajak bicara.
Harlan terlihat bingung dan gugup. ?Tapi.... tapi.... kalau keadaanku sudah seperti ini... bagaimana mungkin jeng Narti masih mencintaiku? Agaknya mustahil kalau.....?
?Itulah kesalahan terbesarmu, mas Harlan! Kamu kira cinta sejati itu hanya milikmu saja? Apa dikiranya orang lain tidak ada yang mempunyai cinta sejati, cinta yang tidak dipengaruhi akan keindahan bentuk dan warna? Maka sekarang, kalau kamu tidak mau kembali kepada dik Narti, itu berarti rasa cinta kasihmu cuma sebatas pemanis bibir saja, memamerkan keluhuran budi yang sebenarnya kosong melompong. Kalau kamu tidak bisa menata kehidupan dik Narti, ooo... kamu akan berhadapan denganku sebagai musuh, matilah taruhannya!? Martono berkata demikian sambil berdiri dan berkacak pinggang.
Harlan masih duduk tertegun. ?Kamu sudah tidak waras ya? Jeng Narti kan sudah punya suami...?
?Sekarang sudah bercerai dengan Burham?.
Harlan bertambah bingung. ?Tapi wajahku... dan bagaimana nanti tanggapan orang Surabaya kalau aku datang ke sana... bukannya nanti akan menjadi cibiran dan merusak nama baik jeng Narti...? Ah, aku tidak sanggup merusak nama baiknya...!?
?Kalau umpama dik Narti yang ke sini???
?.... ah, mustahil.... dia mau ke sini... mustahil... wajahku sudah seperti ini...?
?Aku yang akan mendatangkan dik Narti ke sini. Tapi awas kamu, mas Harlan. Kalau sekali lagi kamu menjauhi dik Narti, merusak hatinya dik Narti, Martono jadi musuhmu!? berkata demikian Martono lalu melompat ke luar, pergi tanpa permisi.
Harlan berdiri mematung. ?Ah, ada kejadian sampai seperti ini. Laki-laki itu sangat mencintai jeng Narti, sama seperti aku, rela mengorbankan kebahagiaan hatinya sendiri asal jeng Narti hidup senang dan berbahagia...?
Namun Harlan masih saja belum percaya dengan ucapan Martono. Dalam hatinya masih berkata, Mustahil Narti mau datang ke sini. Dan bagaimana nanti kalau Narti melihat keadaanya? Ah, mustahil...!
Malam itu, meskipun bulan tidak nampak, namun angkasa raya dihiasi jutaan bintang. Harlan duduk di sebuah bangku di samping kiri rumah yang terdapat taman kecil sambil memegang gitar. Seperti tak sengaja gitarnya ia mainkan melodi lagu ?Yen ing tawang?. Memanglah tidak disengaja, karena jari-jemarinya seakan otomatis menari di atas senar gitar, mengikuti gerak hati yang saat itu sedang teringat akan sosok Sunarti, sang wanita pujaan. Lirih dia menyanyi menuruti melodi petikan gitarnya, namun yang dinyanyikannya hanya bait-bait bagian belakang dari lagu itu:
?yen ing tawang ana lintang, cah ayu,
Rungokna tangising ati,
Binarung swaraning ratri, ni mas,
Ngenteni bulan ndadari....?
Suara nyanyian terhenti, begitu pula petikan gitarnya. Sepi melingkupi suasana di taman kecil itu, hanya terdengar suara katak dan jangkrik yang kadang ditimpali oleh helaan napas berulang-ulang dari Harlan. Begitu asyiknya pikiran Harlan melayang-layang terbang, melamunkan semua keadaan diri dan perjalanan hidupnya hingga tidak mendengar langkah seseorang pelan-pelan mendekatinya dari arah belakang. Dilihat dari bayangan tubuhnya yang ramping, dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah seorang perempuan. Saat langkah bayangan tubuh itu sampai pada tempat yang tersinari bintang-bintang, terlihatlah seraut wajah yang berurai air mata.
?Mas... mas Harlan.....!?
Harlan terlonjak kaget hingga gitarnya terjatuh dari pangkuannya. Dia menoleh, seketika terlonjak bangun dan langsung berdiri berhadapan dengan sosok perempuan tersebut.
?Jeng Narti...., jeng Narti.....?
?Mas Harlan..., aku... aku datang, mas... aku minta maaf... mas, dosaku terlalu besar... terhadap mas? Sunarti menangis mengguguk, menutupi wajahnya dengan sehelai saputangan.
?.... aduh jeng Narti.... jangan berkata begitu jeng... justru aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu.... kamu... kamu ke sini... ada apakah, jeng??
Hanya sedu-sedan yang menjadi jawaban Sunarti. Lama sekali Sunarti tak menjawab, bahkan malah ganti bertanya, ?... apakah mas.... tidak suka... aku datang...??
Kedua mata Harlan banjir air mata. Dari rongga dadanya dan melewati tenggorokannya terdengar suara mirip suara gerengan harimau tertahan-tahan, seketika dia melesat maju, meraih tangan Sunarti dan dengan halus membimbingnya memasuki rumah. Sunarti terkejut dan khawatir, namun saat sampai di bawah sorot lampu, tangannya dilepaskan Harlan.
?Jeng Narti, lihat aku baik-baik. Lihat dengan seksama. Lihatlah leherku, pipiku, tanganku. Lihatlah belang-belang berkeriput seperti setan ini. Apa kamu tidak takut? Tidak merasa jijik? Aku bukan Harlan yang dulu lagi. Wujudku sudah seperti setan... lihatlah, jeng, lihatlah....! ucap Harlan sambil menggigit bibirnya, sekuat tenaga berusaha agar tidak berteriak-teriak menuruti jeritan hatinya.
Sunarti menatap Harlan dengan tatapan yang berbinar-binar, meskipun matanya masih meneteskan butiran mutiara bening indahnya, namun bibirnya merekahkan senyum indah merekah seraya maju merangkul Harlan dan berbisik lirih, ?Mas Harlan... kamu memang beda dengan yang dulu, di mataku sekarang kamu terlihat lebih sempurna... selain itu, tidak ada yang berbeda lagi, kamu tetap mas Harlan, mas Harlanku...? Sunarti tak sedikitpun merasa jijik, tidak takut melihat cacat-cacat yang terdapat di tubuh Harlan, bahkan jemari tangannya dengan lembut mengelus cacat yang ada di leher dan pipi Harlan, seraya matanya berkaca-kaca, ?... aduh mas, kasihan sekali kamu...kepedulianmu terhadap ibu... terhadapku...hingga berakibat seperti ini...?
Sekarang Harlan mampu menjerit, jeritan yang lirih. Bukan jeritan yang mengandung kesakitan hati, namun jeritan yang keluar dari rasa lega, senang, serta suka cita yang sulit digambarkan besar dan dalamnya. Kepala Sunarti didekapnya erat ke atas dadanya, seakan ingin membungkusnya dan dimasukkan ke dalam dada supaya dapat bersatu dengan hatinya, dengan dirinya. Bibirnya hanya mampu berbisik-bisik, ?Jeng Narti... jeng Narti... jeng Narti...?
Hingga lama keduanya terdiam seperti telah menjadi patung, meresapi segala keharuan, kerinduan, kemesraan yang melingkupi pelukan kasih mereka. Namun lantas kemudian Sunarti tersadar lebih dahulu seraya berkata, ?Mas..., tadi saya diantar mas Martono...?
Harlan melonggarkan dekapannya. ?Sekarang dia ada di mana?? Ayo suruh dia masuk?. Digandengnya tangan Sunarti dan ditariknya keluar rumah, namun sesampainya di luar, bayangan tubuh Martono tidak tampak lagi. Keduanya lantas mendongak memandang ke atas, ke arah bintang-bintang yang bertaburan memenuhi angkasa.
?Mas Harlan...?
?Hemm... Ada apa, jeng...??
?Lihatlah, bintang-bintang menjadi saksi, mas...?
?Iya jeng. Aku bersumpah tidak akan pernah lagi meninggalkanmu, jeng. Bintang-bintang itulah saksinya, semoga kita tidak akan pernah berpisah lagi seumur hidup?.
?Hingga ajal menjemput, aku akan selalu setia mengabdi kepadamu, mas...?
Saat itu, Harlan maupun Sunarti tidak yahu bahwa ada sesosok laki-laki yang berjalan pelan menjauh dari tempat keduanya berdiri, berjalan sembunyi-sembunyi dan menyelusup di tempat-tempat gelap supaya tidak ketahuan mereka berdua. Laki-laki itu adalah Martono. Tidak terlihat bagaimana keadaan hatinya, namun saat dia mendongak ke langit, terlihatlah sinar bintang menghias matanya yang berkaca-kaca, senyuman lebar disertai rasa syukur menghiasi bibirnya. Tangan kanannya dikepal lalu dibuat mengusap matanya, mengusir pergi dua tetes air bening yang sempat bergelantungan di atas bulu matanya.
** TAMAT **
Kota Banjir, Maret 1966.
Bukit Pemakan Manusia 9 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Terbang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama