Ceritasilat Novel Online

Istriku Adalah Ibuku 1

Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S Bagian 1


Kolektor E-Book
Awie Dermawan
DJVU Ozan
PDF D.A.S 3
Freddy S.
ISTRIKU ADALAH IBUKU 4
SATU KERESAHAN itu terasa kian menjepit. Seperti
segumpal duri yang mengganjal di lekuk hatinya. Itu
yang dirasakan oleh Yeti sejak dari kemarin. Dia
menunggu suaminya belum pulang jua. Padahal dia
sering mengalami keadaan seperti itu, tapi untuk
kali ini, entah kenapa keresahan datang menggeluti
hatinya.
Mungkin lantaran ada kemurungan di wajah
suaminya? Atau karena di hari belakangan ini
kerapkali dilihatnya Fendy sering melamun? Bisa
jadi begitu. Sejak suaminya pulang dari Surabaya
banyak sekali mengalami perubahan. Jadi
pemurung dan sering melamun. Suka duduk
menyendiri dan jarang bersenda gurau dengan
kedua anaknya.
Tentunya sebagai seorang istri punya
prasangka. Punya rasa atas segala perubahan
suaminya. Di samping dia harus menerima
kenyataan, bahwa menjadi seorang istri bintang 5
film yang sedang populer harus penuh pengertian.
Harus mampu mengendalikan, rasa egois dan rasa
cemburu. Tapi sebenarnya bukan itu tumbuhnya ke
resahan di hatinya. Melainkan dari perubahan sikap
yang dialami suaminya.
Adakah masalah yang dihadapi suaminya
selama shooting film di Surabaya? Kalau memang
tidak ada masalah, tak mungkin sikapnya berubah
begitu. Dan selama ini Fendy senantiasa berterus
terang kepadaku, apabila menjumpai suatu
masalah. Baik itu masalah yang dianggapnya kecil
ataupun besar. Dia seorang suami yang baik
menurutku. Seorang suami yang setia menghadapi
kenyataan yang kualami. Senantiasa menjaga
keutuhan rumah tangga kami, walau kemelut selalu
mengintai. Mengancam biduk rumah tangga kami di
ambang kehancuran.
Suara beli rumah berbunyi. Pembicaraan
dalam diri Yeti terhenti. Dia bersejingkat bangun
dari tempat duduknya. Lalu berjalan ke ruang tamu.
Berdebar-debar juga jantungnya. Suara Dino dan
Ria terdengar gembira menyambut kedatangan
tamu itu. Lantas kedua anak kecil itu menarik
lengan Nita memasuki ruang tamu. Nampaknya 6
kedua anak kecil itu sudah begitu akrab dengan
tamunya itu.
"0, Nita."
"Selamat siang, mbak Yeti."
"Siang."
"Mana permennya. Tante." Dino merengek
sambil menggelendot di lengan Nita.
"Iya, kemarin tante janji mau bawakan
permen. Ayo mana sekarang!" kata Ria ikut
merengek.
"Dino sama Ria tidak boleh begitu ya?" tegur
Yeti. "Masak kalau tante Nita datang selalu dimintai
permen. Itu kan tidak baik."
"Ah, tidak apa-apa, Mbak. Kemarin saya yang
menjanjikan mau bawakan permen untuk mereka."
Lalu Nita mengambil dua bungkus permen dari
dalam tasnya. Kedua anak itu kemudian berlari
setelah menerima permen pemberian Nita.
Nita dan Yeti duduk di kursi tamu.
"Mas Fendy pergi ya. Mbak?" tanya Nita. 7
Yeti menarik napas panjang disertai
anggukan kepala.
"Ke mana?"
"Tidak tahu. Dari kemarin belum pulang."
"Dari kemarin belum pulang?" dahi Nita
berkerut. "Padahal kemarin siang mas Fendy pergi
sama saya lho, Mbak."
"Apakah mas Fendy pernah bercerita
kepadamu tentang apa saja, setelah dia pulang dari
Surabaya?"
"Memangnya mas Fendy kenapa?"
"Sejak dia pulang dari Surabaya nampak
banyak berubah. Sering termenung dan melamun."
Nita senyum-senyum. Membuat Yeti jadi
curiga. Karena senyum Nita seperti menyembunyikan sesuatu.
"Selama ini kau akrab sekali dengan mas
Fendy. Tolonglah beri tahu padaku, Nita. Tidak usah
sungkan-sungkan." pinta Yeti.
"Ah, aku tidak enak untuk mengatakannya,
Mbak." desah Nita. 8
"Tidak apa-apa. Ayo katakan, Nita. Jangan
biarkan mas Fendy jadi pemurung sepanjang hari.
Dengan kau mau berterus terang padaku, itu berarti
kau mau membantu kelangsungan hidup rumah
tangga kami."
"Sebenarnya berat juga hati Nita untuk
mengatakan.
"Sebenarnya kenapa?" desak Yeti.
"Ah, bagaimana ya?"
"Jangan ragu-ragu, Nita. Katakan terus
terang."
"Kemarin siang saya diajak mas Fendy
mencari rumah temannya."
"Siapa?"
"Dia bilang namanya Dewi. Gadis itu asalnya
dari Surabaya dan belum lama tinggal di Utan
Kayu."
"Mas Fendy ketemu dengan gadis, itu?"
"Tidak. Tapi mas Fendy bilang pada saya
kalau sorenya akan datang lagi. Malah mas Fendy
sempat membuat surat untuk gadis itu." 9
Yeti menarik napas sembari tersenyum. Tak
nampak adanya rasa cemburu atau marah di raut
wajahnya. Tetap biasa-biasa saja, seperti kerap kali
suaminya menghadapi penggemarnya. Dia selalu
penuh pengertian dan percaya pada suaminya.
"Cuma itu?"
"Ya, cuma itu. Tapi nampaknya mas Fendy
menaruh hati pada gadis itu."
"Dia bilang begitu?"
"Ya. Mas Fendy cerita pada saya dari awal
perkenalan dengan gadis itu ketika shooting di
Surabaya. Dan gadis itu datang ke Jakarta dengan
maksud mencari mas Fendy."
"Mas Fendy bercerita begitu kepadamu?"
"Ya. Sungguh, Mbak. Saya tidak berbohong.
Kayaknya mas Fendy dengan gadis itu sudah
membuat kencan sewaktu mereka bertemu di
Surabaya."
"Darimana kau tahu begitu?"
"Mas Fendy cerita padaku. Gadis itu dulunya
bekerja di coffee shop dan ikut shooting sebagai
figuran. Entah karena apa gadis itu jadi keluar dari 10
pekerjaannya setelah ikut shooting film itu. Mas
Fendy tidak menceritakan secara mendetail. Cuma
lantaran ikut shooting, gadis itu berhenti dari
pekerjaannya dan kabur ke Jakarta. Dan mas Fendy
merasa bersalah padanya."
Yeti termenung memandangi lantai.
Bersalah? Mas Fendy merasa bersalah kepada gadis
itu? Apa yang telah diperbuatnya sampai dia
merasa bersalah? Pertanyaan itu berkecamuk di
dalam benaknya.
"Aku rasa mas Fendy sejak kemarin sore pergi
bersama gadis itu," ujar Nita membakar rasa
cemburu Yeti. Lantas dia mengambil sebatang
rokok dan disulutnya. Dengan santai dia mengisap
rokoknya.
"Kau tahu tempat tinggal Dewi?"
"Tahu. Mbak mau mencarinya ke sana, mari
aku antar."
"Tapi bagaimana ya? Selama ini aku tidak
pernah mencari atau menyusul kepergian suamiku.
Ah, biarkanlah saja, Nita. Nanti dia kan pulang
sendiri," ujar Yeti jadi ragu-ragu. 11
"Mbak Yeti jangan sampai membiarkan mas
Fendy bermain api di luar rumah. Ini bisa
membahayakan keutuhan rumah tangga mbak Yeti.
Ya kalau gadis itu baik-baik. Kalau ternyata gadis itu
cuma mau morotin atau merusak rumah tangga
mbak Yeti, bagaimana?"
Yeti jadi bimbang. Keresahan makin
menghimpit, hingga dadanya terasa sesak untuk
bernapas. Mungkinkah mas Fendy tidak bisa menilai
macam apa gadis yang disenanginya itu? Dan
haruskah aku hilang rasa kepercayaan dan rasa
pengertian yang selama ini ada dalam diriku? Cuma
untuk seorang gadis yang bernama Dewi?
"Ayo, Mbak. Kita cari mas Fendy di sana."
Yeti menimbang-nimbang ajakan Nita. Masih
nampak ragu-ragu. Namun ketika dia ingat sewaktu
Fendy pergi dalam kondisi badan yang kurang sehat,
maka tergerak hatinya untuk mencarinya. Bukan
lantaran cemburu atau jengkel. Bukan. Bukan itu.
Dia khawatir kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Itu saja.
"Baiklah, antarkan aku ke sana." Yeti
bergegas bangun dari tempat duduknya. Lalu dia 12
berjalan masuk ke kamar. Menyisir rambutnya
sambil memperhatikan pakaiannya. Pantaskah aku
mencari mas Fendy dengan mengenakan pakaian
begini? Kenapa tidak? Bukankah kesederhanaan
adalah cermin kepribadian yang baik?
Maka Yeti berjalan meninggalkan kamar itu.
Rambutnya yang tergerai sebatas bahu telah rapi
disisir. Tanpa dipoles dengan bedak, wajahnya
sudah memancarkan pesona. Cantik dan anggun.
Tanpa memakai lipstik, bibirnya sudah merah
delima. Senantiasa basah dan manis kalau
tersenyum.
"Mbok Naaah!" panggil Yeti.
Seorang pembantu rumah setengah baya terbungkuk-bungkuk menghampirinya.
"Ya, Nyonya."
"Aku pergi dulu ya. Mbok. Jaga Dino dan Ria
baik-baik."
Ginah mengangguk.
Yeti dan Nita segera meninggalkan ruang
tamu. Dino dan Ria berlari menghampiri mamanya
yang hendak pergi. 13
"Mama mau ke mana?" tanya Ria.
"Mau pergi sama tante Nita. Dino dan Ria di
rumah saja ya?"
"Ikut. Ikut." rengek kedua anak itu.
"Mama pergi cuma sebentar kok. Di rumah
ya?" bujuk Yeti sambil mengusap-usap rambut
kedua anaknya itu.
"Sungguh lho, mama pergi tidak lama," kata
Dino.
"Sungguh. Sana main lagi."
Kedua anak itu berlari ke taman seraya
bercanda. Yeti dan Nita meneruskan langkahnya ke
luar dari halaman rumah. Matahari yang bersinar
terik terasa menyengat kulit. Di trotoar pinggir jalan
mereka berdiri menunggu taxi. Angin yang
berhembus mengurai rambut Yeti.
"Kalau memang mas Fendy ada di sana, apa
yang akan mbak Yeti lakukan?" tanya Nita kepingin
tahu reaksi Yeti.
"Aku cuma ingin tahu apakah mas Fendy
benar ada di sana. Kalau memang ada ya sudah. Aku
khawatir, sebab sewaktu mas Fendy pergi dalam 14
keadaan sakit. Dia berpamitan cuma mau membeli
obat ke apotik."
Nita manggut-manggut. Sementara di dalam
hatinya berkata lain. Seandainya aku yang jadi
kamu, tidak akan memberi kesempatan pada suami
untuk bisa berbuat sebebas itu. Apalagi sampai
bermain serong dengan perempuan lain. Ah, mbak
Yeti memang seorang istri yang sabar dan penuh
pengertian. Tak mungkin aku bisa seperti dia.
Taxi yang meluncur berhenti di depan
mereka. Yeti dan Nita bergegas naik dan duduk di
jok belakang. Angin yang berhembus menerpa
wajah Yeti ketika mobil itu bergerak meluncur dari
jendela yang terbuka kacanya.
"Utan Kayu, Bang." Nita menyuruh sopir taxi
itu. Sopir itu mengangguk sambil melirik di kaca
spion. Yang duduk di jok belakang itu mempunyai
paras cantik-cantik. Dan yang satu sering dilihatnya
ikut main film. Memang, Nita sering ikut main film
sebagai figuran.
Taxi itu terus meluncur di Jalan Pramuka.
Kendaraan yang ada di jalan raya macet. Yeti dan 15
Nita merasakan seperti di dalam oven. Keringat
mengucur membasahi mukanya. Rupanya rambu
lalu lintas mati, sehingga menyebabkan lalu-lintas


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi macet.
Kemudian Yeti menghela napas lega ketika
taxi yang ditumpangi sudah meluncur di jalan Utan
Kayu.
"Kau tidak lupa rumahnya?" tanya Yeti.
"Tidak. Rumahnya tidak jauh dari apotik.
Stop. Stop, Bang." Nita menyuruh sopir taxi itu
menghentikan mobilnya di dekat apotik. Sopir itu
menginjak rem dan mobil berhenti.
"Mana rumahnya?"
"Itu yang pagar besinya berwarna hitam,"
kata Nita sambil menunjuk ke sebuah rumah yang
cukup mentereng.
"Tapi mobil mas Fendy tidak kelihatan ada di
situ. Berarti mas Fendy tidak ada." Yeti
memperhatikan keadaan rumah itu. Tenang dan
sepi. Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau
suaminya ada di situ. Sebab tak ada mobil
suaminya. 16
"Sebaiknya kita turun dan bertanya kepada
penghuni rumah itu, Mbak. Siapa tahu mas Fendy
sedang pergi dengan Dewi."
"Ah, tidak usah. Aku tidak biasa melakukan
begitu."
"Jadi bagaimana, Mbak?"
"Kita pulang saja."
"Yaaah, sia-sia dong. Mbak."
"Tak apa-apa. Aku yakin mas Fendy tidak ada
di situ."
"Tapi Mbak kan perlu informasi, apakah
benar mas Fendy kemarin sore datang ke situ."
"Aku rasa jangan sekarang. Biar aku tunggu
sampai nanti malam, kalau memang mas Fendy
belum pulang, apa boleh buat. Kita bisa datang lagi
kemari."
"Terserah kalau Mbak maunya begitu."
"Ayo, Bang. Antarkan kami kembali ke
Cempaka Putih."
Sopir taxi itu meluncurkan mobilnya lagi.
Sementara Yeti menghela napas berat. Selama 17
menjalani hidup berumah tangga dengan Fendy,
baru kali ini dia mencari suaminya. Padahal sudah
sembilan tahun mereka hidup berumah tangga
dengan dasar saling mempercayai. Saling
pengertian. Baginya tak ada keresahan dan
prasangka selama suaminya seringkali tidur di luar
rumah. Tidur di mana saja. Yang penting saling
menjaga keutuhan rumah tangga dan tetap saling
menyayangi.
Tapi untuk kali ini, apakah harus dimulai
dengan prasangka? Rasa kepercayaan terhadap
suaminya mulai berangsur kurang? Ah, tidak. Aku
tidak boleh berubah secuilpun. Aku harus tetap
seperti sediakala dengan adanya kekurangan dalam
diriku.
Pembicaraan dalam diri Yeti terhenti. Taxi
yang mereka tumpangi juga berhenti. Berhenti di
depan rumahnya. Dan Yeti bergegas melangkah
turun.
"Mbak Yeti, aku ada keperluan lain. Nanti
malam aku kemari lagi," kata Nita yang masih ada di
dalam mobil.
"Tidak turun dulu, Nita?" 18
"Tidak. Keperluanku penting sekali. Mbak."
"Okey deh. Nanti malam aku tunggu ya?"
Nita mengangguk. Yeti menghempaskan
pintu mobil. Lalu dia melambaikan tangan pada saat
taxi itu meluncur pergi. Dino dan Ria berhambur ke
arahnya sambil berjingkrak-jingkrak.
"Mama pulang. Mama pulang." teriak kedua
anak itu. Keduanya bergayut di lengan Yeti.
Mengikuti langkah mamanya masuk ke dalam
rumah.
Di kursi panjang Yeti menghenyakkan
pantatnya. Kedua anaknya duduk di sisi kiri dan
kanan. Perempuan itu nampak termenung.
"Kok papa belum pulang ya, Ma?" kata Dino.
"Ke mana sih?"
"Papamu sedang ada urusan ke luar kota,"
kata Yeti dengan perasaan resah.
"Baru dua hari papa pulang dari Surabaya
sudah pergi ke luar kota," keluh Dino kesal. Anak itu
seperti tahu apa yang sedang dirasakan oleh
mamanya. Dino memang cerdik. Seringkah
memprotes papanya kalau tidak pulang. 19
Yeti berusaha tersenyum. Padahal hatinya
perih.
"Papa banyak urusan, sayang." Yeti
membelai rambut Dino penuh kasih sayang. "Yuk,
sekarang kita tidur."
Yeti berdiri dan menggandeng kedua
anaknya masuk ke dalam kamar. Dino dan Ria selalu
menurut perintah mamanya. Kebiasaan yang
diajarkan oleh Yeti setiap siang kedua anaknya
harus tidur. Dan apa pun yang dilakukan ayahnya di
luar rumah, kedua anaknya itu tidak boleh tahu.
Angin yang berhembus semilir menerobos
masuk ke kamar. Melalui jendela yang terpentang.
Yeti membelai rambut kedua anaknya silih
bergantian. Hembusan angin dan belaian itu dapat
menidurkan Dino dan Ria. Setelah kedua anaknya
tertidur nyenyak, Yeti melangkah turun perlahan
dari tempat tidur.
Apakah wajahku sudah tidak menarik lagi?
Pertanyaan itu tercetus dalam hatinya ketika
memperhatikan di pantulan cermin. Dan benarkah
apa yang dikatakan Nita, bahwa mas Fendy
menaruh hati pada Dewi? Kalau memang benar, 20
pastilah gadis yang bernama Dewi itu
kecantikannya melebihi diriku. Atau lantaran dalam
dua tahun terakhir ini mas Fendy merasa
terombang-ambing oleh kenyataan yang kualami?
Mungkin bisa juga begitu. Jadi patutkah aku
menyalahkan mas Fendy? Tidak. Aku tidak boleh
menyalahkannya. Semua itu lantaran diriku yang
menjadi penyebabnya.
Perih hatinya. Sembilan tahun waktu yang
tidak sedikit membina biduk rumah tangganya.
Dalam cinta dan kasih sayang telah melahirkan dua
orang anak. Dino yang kini berusia delapan tahun
dan Ria genap enam tahun sebulan yang lewat.
Mereka adalah bentuk titisan cinta dan kasih sayang
dari buah perkawinan.
Tapi kenapa? Kenapa di tengah-tengah
perjalanan hidup rumah tangga kami diancam
kehancuran? Aku tak lagi mampu memberikan
kebahagiaan terhadap suamiku? Kenapa? Kenapa?
Oh, Tuhan. Berikanlah ketabahan pada diriku.
Betapa akan datangnya nestapa dan kepahitan
sekalipun, jadikanlah hambamu ini sebagai seorang
istri yang bijaksana. Rela menerima kenyataan yang
memerihkan itu. 21
Setetes air mata jatuh membasahi pipi. Lalu
segera diusapnya. Untuk apa menangis? Air mata
tak akan bisa merubah kenyataan. Lebih baik
pasrah. Apa pun yang akan terjadi harus
diterimanya dengan hati rela.
*** Senja perlahan digeser datangnya malam.
Namun Yeti yang sejak sore tadi tidak bergeser dari
tempat duduknya, selesai mandi dan berdandan dia
duduk di kursi tamu. Menunggu Nita datang.
Sementara kedua anaknya sedang bermain di
lantai. Dino bermain mobil-mobilan, Ria bermain
boneka yang bisa berjalan sambil menyanyi.
Mereka nampak gembira. Tidak seperti hati
mamanya yang sedang rusuh, menunggu suaminya
yang belum jua pulang.
"Dino, Ria, kemarilah nak."
Kedua anak itu menghentikan permainannya,
lalu menghampiri mamanya.
"Ada apa, Ma?"
"Dino dan Ria ikut mama yuk," ajak Yeti.
"Ke mana, Ma?" 22
"Ke rumah teman papa."
"Ya, Ma. Kalau nanti Dino ketemu papa, akan
Dino seret papa supaya cepat pulang," ancam Dino.
"Jangan begitu. Itu tidak baik," kata Yeti
sembari mengelus-elus rambut Dino.
"Habisnya papa kalau main ke rumah
temannya tidak mau pulang," gerutu Dino yang
nampak kesal.
"Biar nanti Ria mau cubit papa!" celetuk Ria
ikut-ikutan kesal.
"Kalian tidak boleh begitu ya? Harus yang
sopan terhadap papa."
"Biarin!"
"Kalau begitu mama tidak mau mengajak
kalian."
"Ya deh."
Di luar ada sebuah taxi yang berhenti. Yeti
melongok melalui pintu dan ternyata yang da tang
adalah Nita.
"Tante Nita datang, Dino." Dino dan Ria
berlari menyongsong kedatangan Nita. Taxi itu 23
berhenti menunggu di luar pagar halaman rumah.
Lalu Nita bersama Dino dan Ria berjalan menuju ke
teras.
"Mama ada di rumah?" tanya Nita.
"Ada. Ayo masuk tante."
Di ruang tamu Yeti menyambutnya.
"Jadi kita pergi, Mbak?"
Yeti mengangguk.
"Aku ajak Dino dan Ria. Kasihan kalau
ditinggal di rumah," kata Yeti. Lantas dia memanggil
pembantu rumahnya.
Ginah menghampiri dengan terbungkukbungkuk.
"Aku dan anak-anak mau pergi. Mbok. Jaga
rumah baik-baik ya?"
"Ya, nyonya."
Dengan taxi mereka menuju ke Utan Kayu.
Dari bergeraknya taxi yang meluncur, rasa bimbang
dan ragu di hati Yeti meroyak lagi. Sebab baru
pertama kali ini dia mencari suaminya yang tidak
pulang semalaman. Ya, baru pertama kalinya 24
dilakukan hal itu. Padahal dia sering ditinggal pergi
oleh suaminya berbulan-bulan lamanya, tapi tetap
tenang dan biasa-biasa saja. Bergaul intim dengan
artis-artis cantik tak pernah punya prasangka apaapa. Karena dia tahu memang itu dunianya. Namun
yang kali ini, wah, perasaan Yeti digeluti keresahan.
Atau mungkin lantaran dorongan Nita hingga
menyebabkan perasaannya jadi tumbuh
prasangka? Dan sekaligus ingin membuktikan
kebenaran ucapan Nita.
"Kalau sudah sampai di sana apa yang musti
aku lakukan, Nita?"
"Ya tentunya Mbak tanya pada penghuni
rumah itu."
"Apa aku musti bilang istrinya?"
"Sebaiknya jangan. Bilang saja kalau Mbak ini
adiknya mas Fendy. Jadi dengan gampang Mbak
bisa memancing pembicaraannya."
Yeti menarik napas berat. Seberat rasanya
untuk melakukan hal itu.
"Pertama Mbak cari dulu gadis yang berasal
dari Surabaya. Jangan sebut dulu nama Dewi. Sebab
nanti gadis yang Mbak cari bisa saja ganti nama. 25
Apalagi kalau dia sudah punya dugaan pada mbak
Yeti sebagai istrinya mas Fendy. Wah, bisa berabe
usaha kita."
Yeti menganggukkan kepala berat. Taxi yang
mereka tumpangi berhenti tidak jauh dari rumah
yang dituju. Dengan diliputi perasaan ragu dan
gundah, Yeti turun dari taxi itu.
"Dino dan Ria ikut mama yuk," ajak Yeti.
"Aku rasa tidak usah mengajak Dino dan Ria.
Nanti Mbak bisa ketahuan istri mas Fendy."
"Ah," desah Yeti.
"Biar Dino dan Ria menunggu di mobil
bersamaku."
Yeti menghempaskan pintu mobil. Dia
mengayunkan langkah dengan gejolak perasaan tak
menentu. Antara rasa ragu-ragu dan takut. Antara
rasa malu dan bingung. Lantaran apa yang akan
dilakukan ini untuk yang pertama kalinya. Dan
selama menjadi istri Fendy, selalu menjaga agar
suaminya tidak sampai malu di hadapan teman
temannya. Sampai dicari istrinya lantaran tidak
pulang, walau sebenarnya dia punya hak untuk 26
mencari suaminya. Namun di hati kecilnya merasa
begitu berat.
Sepasang kaki Yeti jadi gemetar ketika sampai
di depan pintu rumah itu. Kalau saja bukan karena
rasa khawatir akan keselamatan suaminya, tak
mungkin dia mau datang ke rumah itu. Mencari
suaminya. Suaminya yang sewaktu berangkat dari
rumah dalam keadaan sakit. Darah tingginya sedang
kumat.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Permisi," suara Yeti gemetar. Dia mengetuk
rumah yang terbuka lebar. Lalu diamatinya kamarkamar yang berderet menyerupai losmen saling
berhadapan.
Seorang perempuan muda melongok ke luar
dari kamarnya.
"Selamat malam," sapa Yeti.
"Malam," sahut perempuan itu yang
kemudian menghampiri tamunya.
"Saya ingin ketemu dengan adik yang dari
Surabaya," kata Yeti dengan suara gemetar.
Sepasang kakinya juga gemetar.
"Sayalah orangnya. Anda siapa?" 27
"Sa... saya adiknya mas Fendy," ucap Yeti
tergagap.
Perempuan muda itu berubah ramah sekali.
Lalu memegangi lengan Yeti dan mengajaknya
duduk di kursi tamu.
"Duduklah dulu. Kenalkan namaku Dewi."
kata Dewi mengajak tamunya saling berkenalan.
"Yeti." Mereka bersalaman.
Yeti sesaat memperhatikan perempuan yang
duduk di depannya. O, ini yang namanya Dewi.
Orangnya memang cantik dan ramah. Punya mata
sayu dengan bulu mata yang lentik. Hidungnya
mancung seperti hidung yang dimiliki bintang film
Olivia Husay. Lebih mancung bila dibandingkan
dengan hidung Yeti. Bibirnya bagian atas sedikit
tipis dan yang bagian bawah sedikit Tebal. Tapi
serasi dengan bentuk dagunya yang lonjong. Kalau
diperhatikan mirip sekali dengan perempuan barat.
Sepintas mirip dengan Meriam Bellina. Pokoknya
perempuan itu penuh daya pikat, meskipun pada
malam itu dia tidak berdandan. Rambutnya yang
berombak dikuncir pakai gelang karet. Pakaian yang 28
dikenakan warnanya sudah agak buram. Kelihatan
lelah sekali.
"Maaf kalau saya mengganggu Dewi," kata
Yeti dengan suara tetap gemetar. Seolah-olah dia
sedang menghadapi monster yang menakutkan.
Sedangkan yang dihadapi selalu tersenyum ramah.
Mengajak bersahabat.
"Ah tidak. Saya sedang tidak ada kesibukan
apa-apa kok."
"Begini," suara Yeti serak. "Apakah Dewi
kenal dengan mas Fendy?"
"Kenal. Saya kenal dengan mas Fendy ketika
shooting film di rumah saya. Memangnya kenapa?"
"Sejak kemarin sore mas Fendy belum
pulang. Sewaktu berangkat dia dalam keadaan
sakit. Apakah mas Fendy kemarin sempat main ke
mari?"
"Kemarin sore mas Fendy memang datang
kemari. Tapi cuma sebentar kok. Dia malah mau
mengajak Dewi ke Puncak, tapi Dewi tak bisa ikut
karena ada urusan lain." 29
Yeti menarik napas panjang. Dari kamar
seberang yang ditempati Dewi bermunculan dua
orang perempuan. Dandanannya begitu menyolok.
Kedua perempuan itu melempar senyum sapa dan
Yeti membalasnya. Lalu kedua perempuan itu saling
berbisik. Kemudian kembali masuk ke kamarnya.
"Cuma itu yang ingin saya tanyakan. Tak lain
karena merasa khawatir kalau sampai terjadi apaapa pada diri mas Fendy."
"Saya tahu. Sewaktu mas Fendy shooting film
di rumah saya juga sering kumat penyakitnya.
Malah kedua orang tua saya ikut membantu
membuatkan ramuan daun seledri untuk diminum
nya. Kalau kumat kasihan sekali melihatnya."
"Ah, jadi ikut merepotkan orang tua Dewi."
"Biasa kan? Dalam hidup ini saling tolong
menolong."
"Kalau begitu saya permisi Dewi."
"Kok buru-buru, kita ngobrol dulu. Lusa Dewi
akan pulang ke Surabaya, jadi kapan lagi kita punya
kesempatan untuk ngobrol?"
"Ayo, main saja ke rumah," ajak Yeti. 30
"Lain waktu saja Dewi main ke sana. Mas
Fendy sudah memberi alamatnya kok. Lagi pula mas
Fendy 'kan tidak ada di rumah."
"Sungguh ya, lain waktu main ke sana." Yeti
bangun dari tempat duduknya. Dewi juga demikian.
Lalu keduanya berjalan ke pintu rumah.
"Apa benar mas Fendy sudah punya anak
dua?" tanya Dewi.
"Benar. Dia orangnya jujur dan terus terang."
"Tadi ke mari naik apa?"
"Taxi."
Mereka berjalan sampai di pintu pagar
halaman.
"Sendirian?"
"Tidak. Sama teman. Itu taxinya menunggu di
sana. Yuk, Dewi."
"Mari, mari. Salam ya sama istrinya mas
Fendy."
Yeti mengayunkan langkahnya menghampiri
taxi yang sejak tadi menunggu. Perasaannya jadi
lega karena apa yang diduga semula, ternyata 31
meleset. Dewi tidak menampakkan adanya tandatanda menaruh hati kepada mas Fendy. Apalagi
sampai pergi berdua dengan suaminya. Bahkan
ajakan suaminya ditolak. Kalau memang Dewi
sehati dengan suaminya, tentu ajakan ke Puncak tak
akan ditolaknya. Jadi sangat tak patut kalau Yeti
menaruh perasaan cemburu pada perempuan itu.
Yeti membuka pintu mobil dan duduk di
sebelah Nita. Lalu dihempaskan pintu mobil itu. Taxi
itu meluncur.
"Ketemu dengan Dewi?" tanya Nita.
Yeti mengangguk.
"Bagaimana orangnya?"
"Cantik sekali. Ramah lagi."
"Pantas saja kalau mas Fendy jatuh cinta."
"Dia tadi bilang selama mas Fendy shooting di
Surabaya sering kumat penyakitnya. Dan orang
tuanya membantu membuatkan ramuan daun
seledri untuk diminum mas Fendy."
"Itu memang satu cara untuk mengambil hati
mas Fendy." 32
"Ah, biarkan saja. Nampaknya Dewi orang
baik-baik kok."
"Papa mana, Ma?" tanya Dino.
"Papa tidak ada. Menurut tante Dewi,
papamu pergi ke Puncak."
Kedua anak itu jadi kecewa. Namun rasa
kecewa itu segera sirna ketika melihat di depan
rumah nampak ada mobil ayahnya.
"Itu mobil papa, Ma."
"Ya. Berarti papamu sudah pulang."
Taxi itu berhenti di depan pagar halaman
rumah. Bergegas Yeti turun. Disusul kedua anaknya
yang sudah tak sabar lagi ingin bertemu de ngan
ayahnya. Kedua anak kecil itu terlebih dulu berlari
masuk ke dalam rumah. Yeti mem bayar ongkos
taxi. Nita ikut turun dari taxi itu. Lalu keduanya
berjalan masuk ke dalam rumah.
"Duduklah dulu, Nita." Yeti meneruskan
langkahnya menuju ke kamar tidur.
Fendy nampak sedang bergurau dengan Dino
dan Ria di atas tempat tidur. Yeti menghampiri 33
suaminya dan duduk di pinggir tempat tidur
sembari senyum-senyum.
"Ada tamu dari Surabaya mencarimu. Mas."
Fendy jadi terperangah mendengar ucapan
Yeti. Senda gurau dengan kedua anaknya langsung
terhenti.
"Siapa? Siapa tamu itu?" tanya Fendy dengan
gugup. Dia bergegas bangun dari tempat tidur.
"Lihatlah sendiri di ruang tamu." Yeti
senyum-senyum menggoda.
Dengan tergesa Fendy menuju ke ruang
tamu. Diikuti Yeti dan kedua anaknya. Jantungnya
berdebar-debar lantaran punya dugaan yang
datang adalah Dewi. Namun begitu dilihatnya yang
duduk di kursi tamu adalah Nita, debaran
jantungnya jadi reda. Malah dia kelihatan lesu.
Tumbuh perasaan curiga terhadap Nita. Fendy lalu
duduk di kursi. Yeti ikut duduk di sebelahnya.
"Kalian barusan dari mana heh?" tanya Fendy
dengan nada curiga.
"Mencari mas Fendy," sahut Yeti. Nita
mengisap rokoknya dengan tenang. 34
"Mencariku ke mana?"
"Ya tentunya ke rumah kenalan mas Fendy."
"Siapa? Siapa?" desak Fendy dengan mata
blingsatan. Kalau sampai Yeti mencarinya ke rumah
Dewi, celaka! Bakal ketahuan.
"Orangnya cantik sekali. Mas Fendy merasa
punya kenalan seorang perempuan yang wajahnya
mirip Meriam Bellina tidak?"
"Iya, tapi siapa namanya?"
Yeti tersenyum. Nita dan Yeti saling bertukar
senyum menggoda Fendy. Menyebabkan Fendy jadi
tambah curiga dan penasaran.
"Tinggalnya di Utan Kayu. Dia belum lama
datang dari Surabaya."
Fendy termangu. Tak salah lagi yang
dimaksud Yeti adalah Dewi. Sialan! Pasti Nita yang
memberi tahu tempat tinggalnya Dewi. Dan darimana Yeti bisa tahu kalau bukan Nita yang memberi
tahu.
"Kau barusan menemui Dewi?" tanya Fendy
dengan raut wajah tak senang. 35
"Ya."
"Apa katanya?"
"Dia bilang mas Fendy kemarin sore datang
menjenguknya sebentar. Lalu pergi ke Puncak
bersama temannya. Dia tak bisa menuruti ajakan
mas Fendy ke Puncak karena ada keperluan lain.
Cuma itu yang dikatakan."
Fendy menghela napas lega. Untung dia
sudah keburu pulang setelah mengantar Dewi
sampai di rumahnya. Kalau tidak pasti akan
ketahuan belangnya. Dan ternyata Dewi pintar
memberi alasan yang tepat.
"Untuk apa kau ke sana?"
"Mencari mas Fendy. Aku khawatir karena
sewaktu kau pergi dalam keadaan tubuh yang
kurang sehat. Takut kalau sampai terjadi apa-apa
pada dirimu."
"Ah!" desah Fendy merasa tak senang. Lalu
dia meninggalkan tempat duduknya dengan
perasaan kesal. Yeti jadi bingung.
"Sebaiknya aku pulang saja, Mbak." 36
"Tunggu sebentar Nita. Biar nanti mas Fendy
yang mengantarmu pulang."
"Tidak usah merepotkan mas Fendy, Mbak."
"Tak apa-apa, tenang saja. Tunggu sebentar
ya?" Yeti berjalan masuk ke kamar. Dijumpai
suaminya yang berbaring di atas tempat tidur.
"Pa, papa marah ya sama mama?" tanya Yeti
lunak.
Fendy melirik istrinya yang duduk di sisinya.
Sorot matanya menyimpan rasa kesal.
"Sejak mulai kapan mama berani kelayapan
mencari papa?" sahut Fendy yang nadanya
mencemooh. Tak senang dengan apa yang
dilakukan istrinya.
"Mama sampai mencari papa karena resah
dan cemas. Kemarin sore papa pergi dalam keadaan
sakit. Mama khawatir kalau sampai terjadi apa-apa
pada diri papa," kata Yeti lembut sembari
mengusap-usap lengan suaminya.
"Apa bukan karena dipengaruhi Nita?" 37
Yeti menggeleng. Sepasang matanya yang
bening merupakan pancaran beningnya hati
perempuan itu. Kelembutannya adalah belaian
kasih sayang seorang istri yang berhati mulia dan
sabar.
"Pa, antarkan dulu Nita pulang. Mau kan?"
"Suruh saja dia pulang sendiri. Kenapa musti
diantar?"
"Jangan begitu, Pa. Tolonglah antarkan dia
pulang."
Fendy mendesah kesal. Namun dengan rasa
berat hati dan bermalas-malasan, terpaksa Fendy
menuruti permintaan istrinya. Dia beranjak turun
dari tempat tidur. Lalu mengambil kunci kontak
mobil di atas meja.
"Papa pergi dulu," pamit Fendy dengan muka
cemberut.
"Hati-hati ya, Pa."
Fendy berjalan ke luar dari kamar dan diikuri
istrinya. Di ruang tengah Dino dan Ria sedang
menyaksikan acara televisi.
"Papa mau ke mana lagi?" tegur Dino. 38
"Mau mengantar tante Nita pulang," sahut Yeti.
"Lama nggak?"
"Sebentar."


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di ruang tamu Nita sudah bersiap-siap untuk
pulang. Begitu Fendy muncul, dia langsung
berpamitan dengan Yeti. Yeti mengantar Nita
sampai naik ke dalam mobil. Lalu Fendy menghidup
kan mesin mobil itu dan meluncurkannya pergi.
"Apa maksudmu memberi tahu tempat
tinggal Dewi?" tanya Fendy dingin.
"Karena mbak Yeti mengkhawatirkan
kepergian mas Fendy. Aku kasihan melihat mbak
Yeti yang senantiasa gelisah dan cemas."
"Tapi aku benar-benar tidak suka dengan
caramu yang mau ikut campur urusan rumah
tanggaku."
Fendy meluncurkan mobilnya dengan
kencang. Di setiap tikungan ban mobilnya
berdenyit. Tubuh Nita jadi terombang-ambing,
seperti naik kapal laut yang diterjang ombak besar.
Dia berpegangan kuat-kuat agar tubuhnya tidak 39
terombang-ambing. Dia tahu kalau Fendy sedang
melampiaskan kemarahannya.
"Mas Fendy marah ya sama Nita?"
Laki-laki itu tidak menyahut. Malah semakin
menancap gas. Membuat Nita jadi ketakutan.
"Mas Fendy! Mas Fendy!" teriak gadis itu.
"Biarlah Nita turun di sini saja. Mas Fendy tidak usah
mengantar Nita sampai di rumah."
Fendy tetap bungkam. Nita jadi tambah ngeri
naik di dalam mobil yang kecepatannya luar biasa
itu. "Mas Fendy membenci Nita sekarang ya?"
suara gadis itu gemetar. Wajahnya nampak pucat.
"Seharusnya kau bisa mengerti kehidupan
yang kualami. Dan aku paling benci dengan caramu
itu!" kata Fendy sengit.
"Maafkanlah Nita, Mas. Nita tak ingin di
dalam hubungan kita akan hadir wanita lain. Wanita
yang merupakan saingan buat Nita."
"Jadi kau bermaksud memonopoli aku?" 40
"Bukankah selama ini di antara kita telah
terjalin hubungan cinta kasih. Mas?"
"Jalinan hubungan kita hanya saling
membutuhkan. Kau jangan salah mengerti, Nita.
Begitu juga hubunganku dengan gadis-gadis
lainnya."
Mobil itu membelok di bilangan Kebayoran.
Lalu berhenti di depan sebuah rumah yang cukup
mewah. Sesaat Nita menatap lelaki yang duduk di
belakang stir itu. Tak ada senyum. Tak ada
keramahan. Yang ada sikap dingin lelaki itu. Tak
acuh. Nita hanya bisa menarik napas berat.
"Kapan mas Fendy punya waktu mengajak
Nita lagi?" tanya Nita dengan suara lunak. Sambil
membuka pintu mobil.
"Kapan-kapan," sahut Fendy tak bersemangat. Malas untuk bersitatap dengan gadis itu.
"Terima kasih ya. Mas. Jangan marah lho,"
Nita melangkah turun dan menghempaskan pintu
mobil.
Brengsek! Rutuk Fendy dalam hati. Dia
langsung tancap gas. Mobilnya meluncur bagai anak
panah lepas dari busurnya. Sungguh tak diduga 41
kalau gadis itu sampai mengadu kepada istrinya.
Sampai bisa mempengaruhi Yeti yang selama
menjadi istrinya tak pernah mencari ke manapun
dia pergi.
Kalau akan terjadi begini, untuk apa
mengajaknya pergi mencari tempat tinggal Dewi.
Nita yang dianggap seorang sahabat, seorang
teman yang setia, ternyata mengkhianatinya. Fendy
jadi timbul rasa tidak menyukai gadis itu.
Mendongkol hatinya.
Dan rasa mendongkol itu masih dibawa
sampai di rumah. Semacam gumpalan duri yang
mengganjal di lekuk hatinya. Sehingga tatapan
matanya begitu dingin. Namun Yeti menyambutnya
dengan senyuman. Perempuan itu mengikuti
suaminya masuk ke dalam kamar.
Fendy melempar kunci kontak mobil ke meja.
Lalu dia merebahkan diri di atas tempat tidur. Yeti
duduk di pinggir tempat tidur sambil mengamati
wajah suaminya. Yang diamati menatap langitlangit kamar. Tak acuh. Kendati perempuan itu
tetap nampak tenang. Sabar. Setia menunggu
senyuman dari suaminya. 42
"Mama minta papa jangan salah mengerti.
Mama tidak punya maksud membikin malu papa di
hadapan Dewi," kata Yeti lunak. Hati-hati sekali agar
jangan sampai suaminya tersinggung.
"Aaah, kau pasti sudah ngomong yang tidaktidak sama Dewi. Karena kau sudah kena pengaruh
omongan Nita." Fendy nampak emosi.
"Mama tidak ngomong yang tidak-tidak sama
Dewi. Dan mama tidak mengaku sebagai istri papa.
Percayalah, Pa. Yang mama tanyakan, apakah papa
kemarin datang menemui Dewi. Dewi bilang,
memang kemarin papa ke sana cuma sebentar. Lalu
papa pergi ke Puncak bersama teman."
"Mama belum tahu siapa sebenarnya Dewi.
Hidupnya terombang-ambing tidak menentu. Aku
kasihan padanya," ujar Fendy sembari menarik
napas panjang. "Maka untuk itu, janganlah mama
menambah beban penderitaannya dengan
menaruh prasangka yang tidak-tidak."
"Pernahkah mama melarang papa bergaul
intim dengan perempuan manapun? Tidak pernah
kan, Pa? Itu berarti mama tidak punya prasangka
yang tidak-tidak terhadap papa ataupun 43
perempuan lainnya. Apalagi terhadap Dewi yang
mama terkesan akan sikapnya. Ramah dan
mengajak persaudaraan. Padahal mama baru
ketemu sekali itu."
Wajah Fendy yang dingin dan tak acuh
berubah cerah. Lalu dia memandang wajah istrinya.
Sungguh tak patut memperlakukan istrinya dengan
sikap dingin dan tak acuh. Kemudian dia bangun
dan merengkuh bahu Yeti. Yeti menyandarkan
kepalanya di dada suaminya.
"Maafkan papa, Ma. Papa mudah terpancing
emosi." kata Fendy sembari membelai rambut
istrinya. Ucapan dan belaian tangannya membuat
perempuan itu terenyuh. Setetes air mata jatuh
perlahan di pipi perempuan itu.
"Kalau memang papa menaruh hati pada
Dewi, mama ikhlas. Nampaknya dia bisa diajak
persaudaraan dengan mama."
"Ma, jangan berkata begitu dulu. Papa
menemui Dewi karena orang tuanya minta tolong
agar papa menjenguknya. Apa benar Dewi ada di
situ dan bagaimana keadaannya. Ternyata dia baik- 44
baik. Cuma itu, Ma." Sebenarnya perasaan Fendy
berontak. Berontak lantaran dia berdusta.
Suara sandal menepak. Ria muncul di pintu
kamar sembari merengek.
"Mama.... Ria mau tidur," kata anak itu
mendekati ibunya. Mengusap-usap matanya.
"Sini, sini mama kelonin," ujar Yeti. Lalu
ditudurkannya anak itu di atas tempat tidur.
Yeti tidur di samping anaknya. Sedang Fendy
beranjak pergi dari kamar itu.
Di ruang tengah yang hening dan sepi, Fendy
menghenyakkan pantatnya di kursi. Dia
mengedarkan pandang, tak nampak Dino. Anak itu
pasti sudah tidur di kamarnya. Pandangan Fendy
singgah di gordyn jendela. Belum ditutup.
Maka dia bangkit dan menghampiri jendela
itu. Semua gordyn ditutupnya. Pintu rumah
dikuncinya rapat-rapat. Lalu dia kembali duduk di
tempatnya semula. Mulai mengenang lembaran
baru yang dialami bersama Dewi. Dari sejak
pertama kenal sampai pertemuannya kemarin
dengan perempuan itu. 45
Terlalu indah untuk dilukiskan dengan katakata. Terlalu manis untuk dirasakan. Itulah kesan
yang diperoleh Fendy sejak berjumpa dengan Dewi.
Padahal selama dia shooting film di Surabaya cuma
dua kali bertemu dengan perempuan itu. Pertama
kenalan biasa. Keduanya Fendy memberanikan diri
untuk mengajak pergi. Dan perempuan itu tidak
menolaknya.
Cuma terbatas. Ya, cuma terbatas karena
pada sore harinya Fendy harus shooting film.
Namun pada kesempatan yang terbatas itu telah
dimanfaatkan oleh Fendy untuk bermesraan
dengan Dewi. Yah, sekalipun cuma berpegangan
tangan, saling meremas jemari tangan, sudah
terlalu berkesan buatnya.
Tapi di hari berikutnya perempuan itu pergi
tanpa pesan. Kepergian Dewi menyebabkan Fendy
jadi gampang murung. Sering melamun. Dan dia jadi
bingung sendiri. Apakah ini yang namanya jatuh
cinta? Cinta? Cinta? Ah, mulai kapan perasaan
semacam ini tumbuh? Alangkah lucu. Menggelikan.
Bukan apa-apa, terasa aneh agaknya. Selama dia
bergaul intim dengan perempuan manapun tak
pernah merasakan begitu. Tapi dengan Dewi 46
tumbuh intuisi. Tumbuh perasaan yang senantiasa
ingin selalu berdampingan. Takut kehilangan
perempuan itu.
Padahal perempuan itu sudah janda. Punya
anak perempuan satu. Sewaktu Fendy shooting di
rumahnya sering bercanda dengan anak kecil itu.
Usianya akan menginjak tujuh tahun, dua bulan lagi.
Namanya Rita. Wajahnya mirip sekali dengan Dewi.
Cantik dan ramah sekali. Tapi kasihan karena sering
ditinggal pergi ibunya. Dia diasuh oleh kakek dan
neneknya.
Rupanya dari hasil pendekatan Fendy pada
anak itu, dia bisa mengetahui ke mana perginya
Dewi.
"Kemarin mama kirim surat sama kakek,"
kata Rita.
"Mama Rita kirim surat? Sekarang mana
surat itu."
"Disimpan sama kakek."
"Rita tahu di mana kakek menyimpan surat
itu?"
"Ya di kamar kakek." 47
"Rita mau mengambilkan?"
Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Takut.
"Kata kakek, mama Rita ada di Jakarta
Bekerja di sana cari duit. Kalau pulang Rita mau
dibelikan boneka yang bagus bagus."
Di Jakarta? Fendy jadi termenung. Bekerja
mencari uang di Jakarta? Wah, bisa terjerumus
kalau salah jalan. Pikir Fendy jadi gelisah.
"Tante Tuty tidak kelihatan ke mana?"
"Pergi sama Nenek. Nah, nah itu tante Tuty
sudah kembali," kata Rita sambil menunjuk ke arah
colt minicab yang dikemudikan oleh Tuty. Mobil itu
berhenti di halaman rumah.
Fendy tersenyum ramah dan sopan menyam
but Tuty yang baru turun bersama ibunya dari
mobil.
"Selamat siang. Bu. Selamat siang Tuty."
An. mas Fendy. Sudah lama?" "Setengah jam
yang lalu." "Ayo masuk. Mas. Masak ngobrol sama
Rita di teras." ajak Tuty. 48
Fendy malangkah masuk ke ruang tamu.
Duduk di kursi bersebelahan dengan Rita. Gadis
kecil itu nampak sudah sehati dengan Fendy. Akrab
sekali dan manja. Fendy menyadari karena Rita
selama ini hampa kasih sayang dari seorang ayah.
Kendati Fendy belum mengetahui secara pasti
apakah Dewi sudah bercerai dengan suaminya.
Karena perempuan itu tak pernah mencerita kan
apa-apa padanya. Selalu tertutup. Atau lantaran
perkenalan mereka belum mendalam? Bisa juga
begitu. Baru dua kali bertemu mana mungkin
seorang perempuan akan menceritakan persoalan
rumah tangganya. Itu terlalu bodoh.
"Mas Fendy tidak shooting hari ini?" tanya
Tuty yang duduk berhadapan dengan Fendy.
"Lagi break."
"Di mana lokasi shootingnya sekarang?"
"Setelah dari sini pindah ke Tretes. Tinggal
beberapa hari lagi shootingnya selesai. O ya, apa
benar Dewi tinggal di Jakarta?"
"Ya. Darimana mas Fendy tahu?"
"Rita yang memberi tahu. Tuty tahu alamat
nya Dewi tinggal di Jakarta." 49
"Di Utan Kayu nomor empat puluh delapan."
Fendy manggut-manggut. Alamat itu terus
diingatnya jangan sampai lupa. Dan sejak itu, Fendy
rasanya ingin cepat selesai shootingnya. Agar dia
bisa cepat kembali ke Jakarta dan mencari Dewi.
Selama itu dia cuma bisa membayangkan
pertemuan dengan Dewi. Membayangkan segala
kemesraan yang teramat indah dan berkesan.
Bahkan seolah-olah apa yang dibayangkan selama
beberapa hari ini benar-benar dialami. Walau


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya itu berupa lamunan.
Kerinduan itu bagai beliung yang menusuknusuk hatinya. Padahal cuma tinggal sehari
shootingnya selesai. Tapi rasanya dia sudah
kepingin cepat-cepat kabur ke Jakarta. Dan begitu
selesai, langsung saja Fendy naik pesawat kembali
ke Jakarta. Tak perduli dengan yang lainnya.
Setibanya di rumah, dia melepaskan
kerinduan dengan istri dan kedua anaknya. Tapi
kerinduan pada Dewi terasa memonopoli
perasaannya. Maka tak lama kemudian dia pergi ke
kantor film untuk menyelesaikan urusannya. Di
sana dia bertemu dengan Nita. Lalu bersama Nita
mencari alamat rumah Dewi. Dengan rasa kecewa 50
Fendy tidak bertemu dengan Dewi karena
perempuan yang dicarinya sedang ke luar rumah.
Sore harinya Fendy datang seorang diri ke
rumah kost Dewi. Dan sore itu adalah puncak dari
segala letupan kerinduannya. Dewi menyambut
kedatangan Fendy dengan pelukan erat. Se-jutra
rasa bahagia menggebu dalam dada lelaki itu.
"Kau baik-baik saja, Dewi?" tanya Fendy.
"Seperti apa yang mas Fendy lihat. Dewi baik-baik."
Keduanya duduk berhadapan. Dewi menarik
kursinya lebih dekat dengan Fendy. Supaya bisa
memegangi jemari tangan lelaki itu. "Fendy yang
biasanya romantis kalau sedang beraction di depan
camera, apalagi jika adegannya bertemu dengan
kekasih hatinya, namun kali ini dia malah seperti
patung. Termangu menatap Dewi yang duduk di
depannya. Tingkahnya jadi kaku. Kendati hasrat di
hatinya ingin menumpahkan kemesraan. Ingin
melampiaskan kerinduannya dengan mengecup
pipi perempuan itu. Atau meremas remas jemari
tangan Dewi sembari mengucapkan : Aku rindu
sekali padamu.
"Darimana mas Fendy tahu Dewi tinggal di sini?" 51
"Tuty yang memberi tahu."
"Mas Fendy tinggal di Jakarta bersama
siapa?"
"De... dengan keluarga." suara Fendy agak
berat.
"Dengan keluarga?"
Fendy mengangguk.
"Dengan istri dan anak?"
Lelaki itu mengangguk lagi. Dewi yang semula
begitu bahagia jadi nampak kecewa. Tubuhnya
bergerak mundur dan menyandar di kursi. Mas
Fendy sudah mempunyai istri dan anak? Ah, kenapa
jalan hidupku senantiasa tak pernah mulus?
Padahal, padahal selama ini aku merindukan
pertemuan dengan lelaki ini. Senantiasa berkhayal
bisa menjalin cinta dan kasih sayang dengannya.
Bahkan apa yang kubayangkan selama ini terlalu
indah bersamanya. Mustikah segala khayal dan
impianku hancur karena kenyataan? Dosakah aku
mencintai mas Fendy yang sudah mempunyai istri
dan anak?
Dosakah? 52
"Dewi kecewa karena mas Fendy sudah ber
keluarga?"
"Ah, tidak," sahutnya dalam desah.
Dua perempuan ke luar dari kamar yang
berhadapan dengan kamar Dewi.
"Tika, Resti, kenalkan dulu nih sama teman
Dewi," kata Dewi.
Kedua perempuan yang sudah berpakaian
rapi dan bermake up tebal itu melangkah ke ruang
tamu.
"Enggak usah kenalan juga sudah tahu
namanya," sahut Tika tersenyum-senyum. "Siapa
sih yang tidak kenal dengan aktor yang sedang top
namanya."
Fendy tersenyum.
"Tapi lebih resminya jabatan tangan dulu
dong." Dewi menarik lengan Tika dan Resti.
Tika dan Resti bergantian berjabatan tangan
dengan Fendy. Setelah itu kedua perempuan itu
kembali masuk ke kamarnya. Di ruang tamu hanya
tingaai mereka berdua. Fendy dan Dewi. 53
"Kamu kerja di mana?" tanya Fendy
memecah kebisuan.
"Night club."
"Oh Tuhan," keluh Fendy sembari tertunduk.
"Memangnya kenapa?"
Fendy mengangkat kepalanya perlahan.
Lantas ditatapnya wajah Dewi dalam-dalam.
Tatapannya bentrok dengan pandangan mata
perempuan itu. Saling berpandangan. Oh, mata itu
terlalu sayu dan indah. Ingin rasanya Fendy
mengecup mata itu. Tapi keinginan itu bisa
dikendalikannya.
"Pekerjaan itu tidak baik untukmu, Dewi."
"Semua itu tergantung orang yang menjalani
nya, Mas. Dewi bisa membatasi diri."
"Tapi lama-lama kau bisa terpengaruh
dengan kehidupan lingkunganmu. Aku sanggup
mencarikan pekerjaan yang lebih baik untukmu."
"Mau mengajakku jadi bintang film?" 54
"Kalau kau mau. Dan kau tidak kalah
cantiknya bila dibandingkan dengan Meriam Bellina
misalnya."
Dewi tertawa renyah.
"Mas Fendy malam ini tidak punya acara kah?"
Fendy menggeleng sambil tersenyum.
"Pergi yuk sama Dewi. Mau?"
"Tentu."
"Tunggu sebentar ya, Dewi tukar pakaian."
Dewi beranjak masuk ke dalam kamarnya.
Rasanya Fendy ingin berjingkrak-jingkrak
saking girangnya. Pucuk dicinta ulam tiba.
Bagaimana tidak? Sejak dari rumah memang tujuan
Fendy ingin mengajak Dewi pergi. Sampai tak
menghiraukan kalau penyakit darah tingginya
sedang kumat. Dia paksakan juga pergi menemui
Dewi dengan kondisi tubuh lesu. Berpamitan
dengan istrinya mau membeli obat, tapi yang dituju
bukannya apotik atau toko obat, melainkan tempat
kost Dewi. Dan ternyata dia mendapatkan obat
yang lain dari yang lain. Lebih mujarab. Rasa
rindunya lenyap, ditambah lagi dengan ajakan 55
perempuan itu pergi. Wah, perasaan Fendy senang
banget. Penyakit darah tingginya langsung
menurun seketika.
Sekalian mengantar Tika dan Resti ke hotel
Gajah Mada, mereka berempat pergi. Ternyata Tika
dan Resti juga bekerja di night club bersama dengan
Dewi. Tapi malam itu Dewi sengaja tidak masuk
bekerja karena ingin pergi bersama Fendy.
Setelah mengantar Tika dan Resti di depan
hotel, Fendy membawa Dewi ke Ancol. Di sanalah
tempat satu-satunya buat Fendy untuk memadu
kasih. Dulu semasa di Surabaya belum tuntas
kemesraan yang dirasakan olehnya. Terhalang oleh
kesibukan shooting film. Dan sekaranglah waktunya
untuk melampiaskan segala kerinduan dan kasih
sayangnya.
Mobil Fendy berhenti di pinggir pantai. Di
bawah pepohonan nyiur yang bergoyang-goyang
ditiup angin malam. Kemudian Fendy meng ajak
Dewi turun dari mobil. Udara dingin menerpa kulit
mereka. Fendy merangkul bahu perempuan itu dan
mengajaknya duduk di bawah payung rettauran.
Mereka duduk berdampingan sambil memandang 56
permukaan laut yang kelam. Suara debur ombak tak
pernah berhenti.
"Kau mau pesan makanan dan minuman
apa?" tanya Fendy. Ditatapnya wajah Dewi yang
cantik kena cahaya lampu dari restauran.
Rambutnya yang sebatas leher terurai disapu angin.
"Mas Fendy suka nasi goreng?"
"Apa yang kau suka, mas Fendy juga suka.
Asalkan jangan daging kambing."
Pelayan restauran menghampiri. Dewi
menyerahkan nota pesanannya. Lalu pelayan itu
pergi dan menyerahkan nota itu kebagian dapur.
Fendy memegang jemari tangan Dewi yang ada di
atas meja. Lembut sekali dielus-elusnya.
"Apa yang menyebabkan keinginanmu pergi
ke Jakarta dan bekerja di night club?"
"Setiap manusia mempunyai problem hidup
masing-masing. Dan punya cara hidup masingmasing pula. Dan tentunya aku punya alasan
kenapa pergi ke Jakarta, kemudian bekerja di night
club."
"Boleh aku tahu problem apa yang kau alami?" 57
Dewi menarik napas berat sambil
memandang lampu-lampu kapal yang di kejauhan
berkedip-kedip. Seperti bintang di langit.
"Aku rasa tak ada gunanya mas Fendy tahu,"
desah Dewi.
"O, sangat berguna sekali bagiku. Siapa tahu
di dalam air yang keruh bisa kita dapatkan sebutir
mutiara. Itu misalnya. Jadi tidak ada jeleknya kalau
problem yang kau hadapi bisa kita pecahkan
bersama."
Dewi menggeleng.
"Sulit."
"Apanya yang sulit?"
"Ah, lebih baik mas Fendy tidak usah
mengerti. Biarlah problem hidupku akan kuatasi
sendiri."
Fendy cuma mengangkat kedua bahunya.
Apa boleh buat kalau memang dia berat untuk
mengatakannya. Dan mungkin belum saatnya dia
mau mengatakannya. Itu bisa jadi. Memang
kebanyakan perempuan paling bisa menyimpan
rahasia dalam hidupnya. Paling lebih berhati-hati 58
untuk mau menceritakan kehidupannya kepada
orang lain.
Pelayan datang mengantarkan hidangan dan
dua botol teh Sosro. Lalu mereka berdua
menyantap nasi goreng yang masih hangat itu.
Sebentar-sebentar mereka saling bertukar
pandang. Bertukar senyum. Mesra sekali.
"Shootingnya di Surabaya sudah selesai. Mas?"
Fendy mengangguk.
"Kapan shooting film barunya?"
"Mungkin bulan depan. Kau mau ya ikut main?"
"Mau dijadikan apa aku ini? Pelayan sexy?"
"Jelas tidak dong. Paling tidak bisa kuajukan
sebagai peran pembantu. Pembantu yang dimaksud
bukannya pembantu rumah tangga, melainkan
sebagai lain mainnya tokoh dalam cerita. Kalau
mainmu bagus langsung bisa ngetop."
Dewi tertawa renyah.
"Tapi Dewi sejak kecil tidak punya keinginan
jadi bintang film. Kepinginnya jadi ibu rumah tangga
yang baik." 59
"0, itu bagus sekali cita-citamu."
"Cuma sayangnya sampai kini belum terlaksana."
"Dengan mas Fendy pasti bisa terlaksana."
"Ah!" desah Dewi.
"Kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa."
Selera makan Dewi jadi hilang. Perutnya
mendadak jadi kenyang. Lantas dia menyudahi
makannya. Beralih menyedot teh botol dengan
pipet. Fendy jadi ikut-ikutan.
"Sudah pernah ke Theatre Mobil?"
Dewi menggeleng.
"Mau nonton di sana?"
Dewi mengangguk sambil berkata:
"Sepulangnya nonton sekalian jemput Tika
dan Resti ya?"
Lelaki itu yang kini giliran mengangguk.
Arena theatre mobil memang sangat luas.
Sebuah layar bioskop yang berukuran besar berdiri
tegar. Barangkali ukuran layar itu dua kali atau tiga 60
kali bila dibandingkan dengan layar dt gedung
bioskop. Fendy cuma mengira-ngira lantaran tak
tahu pasti. Sedang bagi Dewi merupakan
pemandangan yang baru. Sebab baru pertama
kalinya menginjak dan tahu keadaan di theatre
mobil itu.
Rembulan bergayut di langit. Cahayanya yang
perak menerangi arena theatre itu. Maka dia bisa
melihat berpuluh-puluh mobil berjejer menghadap
ke arah layar bioskop. Pertunjukan sudah dimulai.
Dia duduk di sebelah Fendy yang memeluk
bahunya.
"Selama kita berpisah, pernahkah ada
kerinduan di hatimu?" tanya Fendy. Jemari
tangannya membelai rambut Dewi.
"Kalau di hati mas Fendy bagaimana?" Dewi
balik bertanya.
"Aku rindu sama kamu."
"Dewi juga demikian. Tapi Dewi tak pernah
terpikirkan kalau kita akan jumpa lagi di Jakarta."
Pelukan Fendy makin erat pada tubuh


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan itu. Perhatiannya tidak lagi tertuju ke
layar bioskop. Namun ke wajah Dewi yang ada 61
dalam pelukannya. Getaran jiwanya berkeinginan
mencium bibir perempuan itu. Lalu dia
menempelkan pipinya ke pipi yang berkulit halus
itu. Digesek-gesekkan perlahan. Dan perempuan itu
nampak diam. Pasrah apabila bibir lelaki itu akan
mendarat di bibirnya.
"Aku ingin menciummu," kata Fendy lirih.
Dewi memejamkan matanya. Itu berarti dia
tak menolaknya. Maka Fendy menggeser bibir-nya
mendekati bibir perempuan itu. Napas lelaki itu
terasa hangat meniup pipi Dewi. Menyebabkan
bulu romanya meremang. Dan darahnya mengalir
menyentak-nyentak di jantung.
Dan kebahagiaan bibir lelaki itu menempel di
bibirnya. Kemudian melumat dengan lembut. Pijarpijar dalam dirinya bagai disulut. Keter-ombangambingan menjalani nasib menyebabkan dirinya
berusaha mencari pegangan. Dan ibarat terbawa
arus air yang deras, dia berhasil menggapai sebuah
tonggak. Tonggak itu kemudian dipegangnya agar
tetap bisa bertahan memerangi arus kehidupan.
Tonggak itu adalah Fendy. Lelaki itu diharapkan bisa
menjadi pelindung dirinya. 62
Yang semula Dewi ragu-ragu, tapi kemudian
membalas ciuman lelaki itu. Memeluknya erat-erat.
Selama ini dia cuma membayangkan bercumbu
kasih dengan idaman hatinya itu, kini menjadi
kenyataan. Bahkan seolah-olah dia merasakan
jalinan cinta kasih mereka sudah terbina lama.
Begitu pula seperti apa yang dirasakan Fendy.
Padahal mereka berjumpa baru tiga kali.
Tak tahu bagaimana jalan ceritanya film yang
mereka tonton. Akan tetapi kalau ditanya
bagaimana perasaan mereka, jawabnya pasti
bahagia.
Belaian dan paduan kasih sayang telah
mereka resapi. Beberapa kali mereka berciuman
sudah lupa untuk dihitung.
Udara pantai makin terasa lain. Dingin sekali.
Waktu sudah berganti dini hari. Pertunjukan di
theatre mobil sudah selesai. Fendy dan Dewi
meninggalkan Ancol. Mereka menjemput Tika dan
Resti di samping hotel Gajah Mada. Tak lama
mereka menunggu, Tika dan Resti muncul. Lantas
Fendy memanggil kedua perempuan itu. Tika dan
Resti segera menghampiri dan naik ke dalam mobil. 63
Setelah mengantar Tika dan Resti sampai di
depan tempat kost, lalu Fendy mengajak Dewi
untuk bermalam di Puncak. Dan ternyata
perempuan itu tidak menolak ajakannya.
Di sebuah kamar hotel yang cukup mewah
mereka menginap. Di satu tempat tidur mereka
berbaring berdua. Kalau sudah demikian setan
menggelitik gairah napsu mereka. Hawa Puncak
yang dingin menyebabkan pijar-pijar dalam darah
mereka mendidih. Menyentak-nyentak. Apalagi
Fendy tak mau melepaskan dekapannya pada tubuh
Dewi. Tubuh yang padat itu menyimpan sesuatu
kenikmatan. Ditambah dengan ciuman Fendy yang
bertubi-tubi. Beban derita yang selama ini
dipendam dalam jiwa perempuan itu bagai lenyap.
Saat-saat yang dilalui detik itu berubah indah.
Mengesankan.
"Dewi, aku tak ingin berpisah lagi
denganmu," ujar Fendy. "Aku mencintaimu."
"Tapi hidupmu tidak sendiri, Mas. Bagaimana
dengan istrimu?" 64
"Dia dia" ucapan Fendy terhenti. Lelaki itu
menarik napas berat. Memandang langit-langit
kamar dengan pancaran mata murung.
"Istrimu kenapa?"
"Dia menderita penyakit kanker rahim."
Dewi terperangah. Lalu diperhatikan
sepasang mata Fendy yang murung. Dia ingin
melihat kejujuran dari sorot mata lelaki itu. "Mas
Fendy tidak berbohong?"
"Demi Tuhan, apa yang kukatakan adalah
benar."
"Kasihan," gumam Dewi. "Lantas dengan
penyakit yang diderita istrimu, apakah mengurangi
kebahagiaan rumah tangga?"
"Aku tidak mau memburukkan keadaan
istriku di hadapanmu. Karena pada kebiasaannya
apabila seorang laki-laki ada maunya dengan
perempuan lain, dia akan menjelek-jelekkan
istrinya. Semuanya itu hanya bertujuan agar
perempuan itu mau membalas cinta dan kasih
sayangnya. Tapi aku tidak mempunyai tujuan
begitu. Pada kenyataannya, istriku tak bisa lagi
melayani pelampiasan nafkah batinku." 65
"Sudah berapa lama istrimu menderita
penyakit itu?"
"Dua tahun berselang."
"Sudah diperiksakan ke dokter secara rutin?"
"Sebulan dua kali periksa ke dokter spesialis.
Sebelum dia menjalani operasi, dokter tidak
mengizinkan untuk melakukan persetubuhan.
Sedangkan kanker itu lambat laun akan menjalar ke
kandungan."
"Kenapa tidak operasi saja?"
"Istriku takut menjalani operasi. Dia takut
mati," keluh Fendy dalam kesedihannya.
"Kematian manusia adalah milik Tuhan. Kalau
memang Tuhan masih memberi umur panjang,
sekalipun beratnya menjalani operasi akan tetap
selamat."
"Tapi sifat istriku memang agak lain. Sejak
dulu dia paling takut disuntik dokter kalau sedang
sakit. Apalagi harus menjalani operasi rahim dan
kandungan. Aku sudah seringkali membujuknya
supaya mau menjalani operasi, namun dia selalu
menolaknya." 66
"Jadi selama ini mas Fendy bisa menahan diri?"
Fendy menarik napas panjang. Masih tetap
memandang langit-langit kamar. Masih nampak
murung dalam kesedihannya.
"Aku lelaki normal, Dewi. Salahkah aku bila
kadang-kadang melampiaskan diri kepada gadisgadis panggilan? Dua tahun aku menjalani hidup
yang begitu."
Dewi menank tangannya di dada lelaki yang
berbaring di sisinya. Dia kemudian tidur terlentang
memandang langit-langit kamar. Sedangkan Fendy
memutar tubuhnya dan memeluk dada perempuan
itu. "Kau jijik setelah mendengar penjelasanku?"
tanya Fendy lunak. Diusapnya pipi perempuan itu
dengan lembut.
"Aku cuma merasa seperti gadis-gadis yang
pernah kau ajak tidur. Gadis panggilan," gumam
Dewi yang diliputi perasaan kecewa.
"Kau jangan salah mengerti. Dewi. Sejak aku
tinggal di Surabaya, lalu kita pergi bersama, sejak
saat itulah aku punya keinginan untuk hidup
bersamamu. Entah apa penyebabnya sampai timbul 67
keinginanku yang begitu. Tapi yang jelas,
kemungkinannya kau bisa menerimaku."
"Apa alasanmu?"
"Karena bagiku terlampau sulit untuk
mendapatkan seorang gadis. Aku lebih optimis bisa
mendapatkan seorang janda. Menurutku dia lebih
matang cara berpikirnya."
"Jangan terlalu cepat menjatuhkan pilihan
Mas. Kau belum tahu jelas siapa aku sebenarnya."
"Maka ceritakanlah."
"Belum saatnya untuk kuceritakan."
"Kenapa? Bukankah aku sudah secara terus
terang menceritakan kehidupanku? Rumah tangga
ku?"
Dewi menoleh. Dipandangnya wajah Fendy
yang menghadap ke arahnya. Lalu mereka saling
berpandangan. Di bibir Dewi tersungging senyum
manis. Dan senyum itu seperti minta pengertian
agar Fendy tidak mendesaknya. Mendesak untuk
mengatakan kehidupannya. Kemudian bibir
perempuan itu kian mendekat ke bibir Fendy.
Hingga akhirnya bibir mereka saling melumat. 68
Kabut yang bercampur dengan embun
bertebaran di luar. Embun membasahi seisi alam
yang terbuka. Sedang kabut terbang berarak
dibawa angin. Dingin sekali udara di pagi buta itu.
Namun di kamar hotel yang ditempati Fendy dah
Dewi tidaklah sedingin di luar.
Kehangatan yang pertama diperoleh Dewi.
Ya, kehangatan itu datang lagi setelah dua tahun
menghilang. Rasa dahaga yang selama itu pula
menggerogoti usianya telah diteguknya air madu
yang teramat manis sekarang. Sekalipun dalam
status janda tak segampang apa yang diduga orang
lain. Mudah diajak berkencan dan pada akhirnya
bermuara di ranjang. Kesepian seorang janda akan
dilampiaskan dalam pelukan lelaki. Inilah
sementara anggapan masyarakat yang menilai
seorang janda bila ketemu jejaka cuma lantaran
kesepian. Ketemu dengan orang yang sudah beristri
mau dijadikan istri simpanan. Atau istri kedua.
Terlalu getir, memang.
Namun selama ini Dewi bukanlah type janda
semacam itu. Malam ini dia melayani Fendy karena
rasa cinta. Rasa iba terhadap lelaki itu. Apa salahnya
bila aku dapat membahagiakan hidup lelaki ini? 69
Bukankah dia juga mencintaiku dan aku
mencintainya? Barangkali dengan mengukir
kenangan di malam ini akan punya arti lain. Dua hati
yang sama-sama kesepian ternyata bisa
mendapatkan sepercik kebahagiaan.
Entah berapa kali jiwa Dewi terbang
melayang-layang di awan. Entah berapa dia terlena
dalam sentakan-sentakan kenikmatan. Yang
sebentar dirasakan, yang sebentar hilang dan
seterusnya. Seterusnya. Seterusnya sampai
menjelang senja mereka baru meninggalkan hotel.
Yang tersisa hanya keletihan. Namun selama
diperjalanan pulang, seringkali mereka bertukar
senyum. Bahagia sekali.
Setibanya di tempat kost Dewi, cuma
sebentar Fendy singgah di situ. Kemudian dia
pulang ke rumah dengan keadaan tubuh yang
teramat letih. Kendati sejuta rasa bahagia
bergemuruh dalam dadanya.
Seandainya dia lebih lama ngobrol dengan
Dewi, itu seandainya, pasti dia akan bertemu
dengan istrinya. Karena tak lama Fendy pulang dari
tempat kost Dewi sudah keburu istrinya datang.
Untung saja tidak sampai bentrok. Lantaran tidak 70
bentrok itulah, Fendy bisa membohongi istrinya.
Maka yang tersisa di perasaan lelaki itu hanyalah
rasa berdosa.
"Kau belum tidur, Pa?" suara itu terdengar
lunak.
Fendy tersentak dari lamunannya. Dipandang
istrinya yang sudah berdiri di depannya sembari
tersenyum. Senyum perempuan itu terasa damai
dan sejuk di hati Fendy.
"Belum ngantuk, Ma."
"Papa barusan melamun ya?" tanya Yeti
seraya menghampiri suaminya.
"Ah, tidak." Fendy tersenyum agar tidak
kelihatan sehabis melamun.
"Tidurlah, Pa. Nanti kau jatuh sakit," kata
Yeti. Kemudian direngkuhnya lengan Fendy per
lahan. Sikapnya yang senantiasa lemah lembut
seperti menghadapi seorang anak yang paling
dicintai. Lalu dibimbingnya Fendy masuk ke dalam
kamar.
Yeti mengambilkan pakaian tidur untuk
suaminya. Dengan penuh kesetiaan kancing- 71
kancing kemeja Fendy dibukanya satu-satu.
Kemudian dikenakan pakaian tidur itu ke tubuh
suaminya. Tubuh yang kelihatan sudah letih sekali
itu. Kesetiaan mana lagi yang bisa menandingi
perempuan itu. Tapi kenapa Tuhan menjadikan
perempuan itu menderita penyakit kanker rahim?
Kenapa? Sejuta barangkali cuma satu perempuan
yang memiliki kesabaran dan kesetiaan seperti
perempuan itu.
Maka Fendy mendekap istrinya. Ingin
menjerit rasanya. Kesetiaan itu, kesabaran itu, dan
sifat perempuan itu seperti kasih sayang seorang
ibu yang tulus kepada anaknya.
"Maafkanlah papa, Ma. Tadi papa terlaku
kasar dan menyakiti mama," kata Fendy dengan
suara parau. Sementara hatinya bagai ditusuk-tusuk
duri. Pedih. Dia merasa telah mendustai
perempuan itu. Perempuan yang sebagai istrinya
itu tak pernah sekalipun menyakiti perasaannya.
"Mama telah melupakannya, Pa. Tidurlah."


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fendy mengecup kening istrinya sesaat. Lalu
dia merebahkan diri di atas tempat tidur. Yeti 72
berada dalam dekapannya yang erat. Tak ingin
rasanya dia melepaskan dekapan itu sampai dirinya
tertidur lelap.
*** Sore itu, Tika dan Resti masuk ke kamar yang
dihuni Dewi. Nampaknya kedua perempuan itu
punya maksud lain. Mungkin bisa juga merasa iri
hati atau memang hanya mau mencemooh.
"Dewi, kau yakin yang datang semalam itu
adiknya Fendy?" tanya Tika sambil bersandar di
tembok kamar, merokok. Sedangkan Resti senyumsenyum mengejek.
"Aku juga belum yakin." sahut Dewi. Dia
pindah duduk di depan toilet. Menyisir rambutnya
yang kusut.
"Mungkin juga bisa istrinya atau pacarnya. Di
Jakarta ini kamu jangan main-main sembarang-an
pacaran sama orang. Apalagi sama Fendy yang jadi
bintang film top. Untung saja kemarin kau tidak
ngomong terus terang. Bisa bisa kau di maki-maki.
atau mungkin saja bisa disilet muka mu."
Bulu roma Dewi jadi merinding. Ngeri juga
kalau memang terjadi begitu. Apalagi Dewi tahu 73
kalau Fendy sudah punya istri. Dia bisa dituduh mau
menghancurkan rumah tangga orang.
"Sebaiknya kau jauhi saja lelaki itu. Di Jakarta
ini masih banyak lelaki yang bujangan. Yang tampan
pun segudang. Dan tujuan kita ke Jakarta ini cuma
cari uang. Bukan cari cinta, Dewi." Tika mencoba
mempengaruhi Dewi.
"Ah, sudahlah. Aku jadi bingung." keluh Dewi.
"Jangan bingung. Kau harus punya prinsip
seperti aku. Semua lelaki itu kalau sedang ada
maunya, wah, wah, rayuan dan janjinya selangit.
Apalagi dia tahu kita ini hostes paling-paling hanya
buat sekedar iseng. Kalau sudah puas ditinggal kan.
Dasar semua lelaki itu gombal!" kata Tika sambil
berlalu.
Gombal? Benarkah mas Fendy lelaki gombal?
Ah, tidak. Lelaki itu punya hati dan perasaan yang
polos. Dia jujur. Dan lelaki itu kukenal bukannya di
night club. Kukenal dia sejak aku belum terjun
menjadi hostes. Dewi menarik napas pan jang.
Melirik Resti yang masih duduk di pinggir tempat
tidur. 74
"Bagaimana menurut pendapatmu mengenai
mas Fendy?" tanya Dewi pada Resti.
"Mana aku tahu?"
"Yaah, paling tidak menurut penilaianmu."
"Dia orangnya tampan. Kalem dan sopan. Itu
menurut penilaianku secara lahiriah."
"Mas Fendy memang nampaknya polos dan jujur."
"Kau mencintainya?"
"Aku tak tahu bagaimana musti menjawab nya."
"Apakah dia benar sudah mempunyai istri?"
Dewi mengangguk.
"Sudah punya anak?"
"Dua anaknya."
"Dewi, kita pergi ke Jakarta karena senasib.
Aku tahu persis bagaimana kehidupanmu. Aku
bukan melarangmu menjalin hubungan dengan
Fendy. Aku cuma mengingatkan betapa getirnya
hidup yang kau alami. Apakah kau akan menambah
kegetiran itu?"
Dewi diam termenung. 75
"Problemmu belum dapat kau selesaikan,
tapi akan kau tambah lagi dengan problem yang
lain. Jalinan- hubunganmu dengan Fendy akan
menimbulkan problem baru buatmu. Percayalah."
lanjut Resti.
"Aku tahu." desah Dewi. "Kalau kau tahu itu,
kenapa ingin kau teruskan?"
Dewi menarik napas dalam-dalam. Lalu
dihembuskan keras. Seolah-olah dia tak bisa
mengambil keputusan. Fendy telah begitu lekat di
hatinya. Sedangkan dia tahu, apa yang akan terjadi
di hari kemudian. Dua orang lelaki masih ada di
dalam hidupnya. Siapa? Siapa yang nantinya akan
jatuh pada pilihannya? Dewi tak tahu. Dia cuma bisa
menghela napas berat.
Lalu dia memutuskan. Lebih baik menjauhi
Fendy. Tapi dengan cara bagaimana? Mampukah
aku melupakan lelaki itu? Barangkali jika
dibandingkan dengan kedua lelaki yang masih ada
di dalam hidupnya, terasa mudah melupakannya.
Tapi dengan Fendy, oooh terlalu sulit. Lelaki itu
memiliki segala apa yang diidamkan.
Ketampanannya, sifatnya yang kalem dan sopan,
kejujurannya dan masih banyak yang lainnya lagi. 76
Pokoknya yang ada pada diri lelaki itu menjadi
dambaannya.
Tapi bagaimanapun sukarnya, aku harus bisa
menjauhi lelaki itu. Harus. Daripada kelak aku
menyakitinya, meninggalkannya, lebih baik
sekarang saja kuputuskan.
Maka Dewi mengambil buku dan menulis
sepucuk surat yang ditujukan kepada Fendy.
Dengan cara itulah dia bisa menjauhkan diri.
Kendati dia menul.s surat itu tak kuasa menahan
tetesan air mata. Hatinya bagaikan diiris-iris
sembilu.
"Kau menulis surat untuk siapa?" tanya Resti.
"Mas Fendy. Tolong nanti berikan surat ini
kepada mas Fendy. Malam ini dia berjanji mau
datang," kata Dewi dengan suara parau.
"Terus kau mau pergi?"
"Tidak. Aku sengaja tidak mau menemui dia.
Katakan saja aku tidak ada di rumah." Dewi
menyobek selembar kertas yang ditulisnya itu. Lalu
dimasukkan ke dalam amplop. 77
Resti ke luar dari kamar itu setelah menerima
surat Dewi. Dewi mengunci kamarnya rapat-rapat
dari dalam. Lantas perempuan itu menjatuhkan diri
di atas tempat tidur. Wajahnya dibenamkan ke
permukaan bantal. Pecahlah tangisnya.
Oh, Tuhan. Kenapa baru sekejap kuperoleh
kebahagiaan bersama mas Fendy akan hancur?
Kenapa setelah kutemukan seorang lelaki yang
menjadi idamanku, ternyata dia sudah beristri?
Kenapa? Kenapa? Di manakah dapat kuperoleh
kebahagiaan yang tanpa perintang? Sepanjang
perjalanan hidupku senantiasa kutemui duri-duri.
Apakah ini karma? Karma yang diturunkan dari
ayahku lantaran doyan kawin? Istrinya empat
namun hidup rumah tangganya tak pernah
tenteram. Tuhan, jangan jatuhkan karma itu pada
diriku lagi. Untuk kali ini jangan takdirkan aku gagal
lagi membina rumah tangga. Ratap Dewi di dalam
hati.
Selepas senja sebuah mobil sedan Honda
Accord berhenti di pinggir jalan. Di depan pagar
halaman tempat kost Dewi. Dan ternyata Fendy
yang bergegas turun dari dalam mobil itu. Tetangga
yang ada di sekitar rumah itu memperhatikan aktor 78
populer yang berjalan menuju ke pintu rumah. Lalu
Resti buru-buru menyambut kedatangan Fendy.
"Selamat malam, Resti. Dewi ada di rumah?"
tanya Fendy sesampainya di ambang pintu.
"Dewi sejak tadi siang pergi belum pulang.
Tapi dia meninggalkan surat untuk mas Fendy,"
sahut Resti sambil menyerahkan surat itu kepada
Fendy.
Fendy menerimanya dan termangu seperti
patung. Lalu buru-buru amplop itu dibukanya dan
isi surat itu dibacanya sambil berdiri.
Yang tercinta : Mas Fendy.
Mas Fendy, aku mohon kepadamu untuk
menjauhiku. Aku akan pergi ke mana saja yang
kusukai. Mas Fendy tak perlu mencari. Ternyata
baru sekejap aku merasakan kebahagiaan di
sampingmu, terpaksa harus pergi dari sisi mas
Fendy.
Mas Fendy, bila Tuhan memang akan
mempertemukan kita, suatu ketika kita akan bisa
bersama lagi.
Dari temanmu : Dewi Rosinta 79
Seperti ada sembilu yang mengiris hatinya.
Seperti menelan empedu yang paling amis. Itu
dirasakan oleh Fendy ketika selesai membaca surat
itu. Dan kedua tangannya yang memegangi surat itu
jadi gemetar. Lalu tanpa bicara.sepatah katapun dia
memutar tubuhnya. Terus mengayunkan langkah
nya yang gontai meninggalkan Resti yang berdiri
seperti patung. Perempuan itu menjadi iba
memandang kepergian Fendy yang menghampiri
mobilnya.
Bergegas Resti masuk ke kamar Dewi.
Ditemuinya Dewi nampak gelisah dan salah tingkah.
"Sudah kau berikan suratku tadi?" tanya Dewi.
"Sudah."
"Apa katanya?"
"Ah, aku tak sampai hati melihatnya. Setelah
membaca suratmu, dia nampak sedih dan kecewa
sekali. Lalu dia melangkah pergi tanpa bicara
sepatah katapun."
Dewi tambah kacau dan bingung. Rasa
menyesal timbul dalam hatinya. Kenapa aku
menulis surat begitu? Kenapa? Padahal aku sangat
membutuhkannya. Aku mencintainya. 80
"Mas Fendy sudah pulang?" Resti melongok
ke luar. Tika ikut-ikutan melongok ke luar.
"Belum. Mobilnya masih berhenti di luar."
"Akan kutemui dia. Akan kutemui dia," kata
Dewi tak sabar. Ingin rasanya dia berhambur ke luar
kamar, tapi Resti menahannya.
"Kau ini bagaimana sih? Tadi suruh bilang
tidak ada di rumah, tapi sekarang mau
menemuinya. Kau mau bikin aku malu ya?" sergah
Resti.
"Aku.... aku menyesal membuat surat
untuknya," keluh Dewi hampir menangis.
"Itu sudah terlanjur. Bagaimanapun juga
malam ini jangan kau temui dia," kata Resti tegas.
"Jangan bikin aku malu, Dewi."
"Iya, kau ini bagaimana sih? Sudah menyuruh
Resti bilang tidak ada di rumah, tapi sekarang mau
menemuinya." Tika mencemooh dengan sengit.
"Tolong Resti, tolong temui mas Fendy.
Katakan besok dia suruh datang ke mari lagi. Cepat
Resti. Cepat. Nanti keburu mas Fendy pergi," pinta
Dewi dengan perasaan tak sabar. 81
Resti langsung saja berlari ke luar. Fendy
sudah menghidupkan mesin mobilnya tinggal
tancap gas saja.
"Mas Fendy, tunggu!" teriak Resti.
Fendy mengoper persneling kembali prai. Tak
jadi tancap gas kabur dari tempat itu. Resti
mengetuk kaca jendela mobil minta supaya Fendy
membukakan pintunya. Fendy buru-buru membuka
pintu mobil. Resti duduk di jok sebelahnya.
"Cobalah besok siang mas Fendy datang ke
mari. Mungkin Dewi sudah kembali," kata Resti.
"Kau tahu pergi ke mana?"
"Dia bilang mau menginap di rumah tantenya
yang ada di Krawang. Tapi besok dia pasti pulang."
"Ah, untuk apa aku datang ke mari kalau Dewi
tidak mau menemuiku?"
Dia pasti mau menemui mas Fendy.
Percayalah." kata Resti meyakinkan.
"Kau yakin?" 82
Resti mengangguk. Dia berusaha menahan
tawanya. Bagaimana tidak kepingin tertawa, sebab
dia cuma bersandiwara.
"Tolong katakan kepadanya, bahwa aku
bersungguh-sungguh. Tidak ingin mempermainkannya," kata Fendy setulus hatinya.
Resti mengangguk lagi.
"Besok siang mas Fendy benar-benar mau
datang kan?"
"Mudah-mudahan tidak ada halangan."
Resti kemudian turun dari mobil sambil
menghempaskan pintunya. Fendy baru
meluncurkan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Segumpal rasa hampa mengganjal di lekuk hatinya.
Lalu di tempat yang sepi dia menghentikan
mobilnya Dia baca kembali isi surat dari Dewi. Rasa
kehilangan makin meroyak perasaannya. Remuk
redam harapannya. Dengan perasaan kesal dirobek-robeknya surat itu. Kemudian robekan surat
itu dibuangnya ke jalan.
Kembali dia meluncurkan mobilnya. Sungguh
tak disangka akan terjadi begitu. Dewi memutuskan
tali cintanya. Dan Fendy mencari-cari penye 83
babnya. Barangkali karena kedatangan Yeti
kemarin?. Sebab itukah Dewi memutuskan
hubungannya? Mungkin. Mungkin lantaran itu.
Maka setibanya di rumah, Fendy jadi murung.
Malas untuk bertegur sapa dengan istrinya. Terus


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja nyelonong masuk ke dalam kamar. Tentu saja
perubahan sikapnya menimbulkan tanda tanya bagi
Yeti. Apalagi Fendy langsung masuk ke kamar. Tidak
seperti biasanya bersenda gurau dengan kedua
anaknya.
Yeti membuntuti suaminya masuk ke kamar.
Fendy menghenyakkan pantat di kursi. Meremasremas rambutnya. Kelihatan nampak pusing
menghadapi persoalan yang begitu rumit.
"Papa kenapa?" tegur Yeti mendekati
suaminya. Kemudian bahu lelaki itu dipijit-pijitnya.
"Penyakit papa kumat lagi ya?"
"Tidak."
"Ada persoalan yang sedang papa hadapi?"
"Tidak."
"Tapi nampaknya papa begitu murung dan
kecewa. Terus teranglah pada mama. Ada apa 84
sebenarnya, Pa?" tanya Yeti penuh perhatian.
Membelai rambut suaminya yang kusut.
"Mama tidak berbohong pada papa?"
"Berbohong? Berbohong aoa, Pa?"
"Mama tidak marah-marah sama Dewi?"
"Demi Tuhan tidak, Pa. Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Papa habis menemui Dewi?"
Fendy menggeleng.
"Papa kok tidak percaya sama mama?"
Fendy menarik napas dalam-dalam.
Dipandang wajah istrinya. Wajah itu mencerminkan
ketulusan. Seperti wajah seorang bayi yang belum
men-ngenal dosa. Wajah yang bukan munafik. Lalu
Fendy merengkuh bahu perempuan itu. Didekapnya
erat.
"Papa sangat percaya padamu, sayang.
Namun di hari-hari belakangan ini perasaan papa
sedang kacau. Gampang sekali murung dan maunya
marah terus," keluh Fendy. 85
"Mama tahu perasaan papa. Papa terlalu
memikirkan Dewi."
Fendy tidak menyahut. Dia membelai rambut
istrinya dengan rasa haru.
"Dewi bilang besok dia mau pulang ke
Surabaya, temuilah dia dan antarkan ke stasiun
kereta api. Kalau masih bisa dicegah, mama ingin
bertemu dengannya. Mama ingin berbicara
dengannya dari hati ke hati," kata Yeti lunak.
"Apa yang mama ingini?"
"Yang mama ingini agar dia mencintai papa.
Menyayangi papa. Mama sudah merasa tak mampu
lagi membahagiakan hidup papa," suara Yeti
terdengar serak dan parau.
"Jangan berkata begitu mama." Fendy
mendekap erat tubuh istrinya.
Di mata perempuan itu merembes air bening.
Sebening hatinya.
"Habis mama harus berkata apa, Pa? Mama
benar-benar ingin melihat hidup papa bahagia. Bagi
mama asalkan papa bisa hidup bahagia, mama turut
bahagia juga. Jangan terlalu memikirkan keadaan 86
mama yang begini. Karena mama sendiri tak
bersedia menjalani operasi. Mama takut, Pa."
Meledaklah tangis perempuan itu. Fendy membelai
rambutnya.
"Papa tahu. Papa tak mau memaksa mama
untuk menjalani operasi. Tapi papa juga tidak mau
meninggalkan mama walau dalam keadaan apa
pun. Tiada yang dapat memisahkan kita selain
Tuhan. Hentikanlah tangismu, sayang."
Cahaya matahari menerangi kamar tidur
yang dihuni Dewi dan Resti. Pagi itu, tidak seperti
biasanya Dewi sudah bangun. Semalam pikirannya
sangat kalut. Dia tak masuk kerja. Namun di dalam
kamar, dia tak dapat tidur sampai Resti dan Tika
pulang dari night club.
Di luar kamar, penghuni tempat kost itu mulai
ramai. Ada yang bercanda. Ada yang berjalan
mondar-mandir. Tempat kost itu dihuni ber bagai
ragam manusia. Ada karyawati perusahaan,
perawat, capster sampai hostes night club. Tapi
semua penghuni di tempat kost itu perempuan.
Jumlah seluruhnya ada dua puluh orang. Wah kalau
semuanya sedang kumpul, ramainya seperti pasar.
Apalagi kalau ada tamu lelaki senantiasa jadi pusat 87
perhatian. Dan untunglah mereka selama ini belum
pernah melihat Fendy datang ke situ. Kalau saja
mereka tahu, pasti jadi tontonan dan pergunjingan.
Dewi memperhatikan Resti yang masih
tertidur nyenyak. Tak sampai hati dia
membangunkan perempuan itu. Meskipun
semalam Resti bersedia mengantar Dewi pergi ke
Krawang pagi ini.
Resti menarik napas panjang. Tubuhnya
mengeliat. Maka Dewi segera membangunkan
perempuan itu.
"Resti, Resti, bangun."
"Aaaah," perempuan itu mendesah sambil
melikukkan pinggangnya. Kelopak matanya
terbuka, ia berkata;
"Jam berapa sekarang?"
"Jam delapan. Kau jadi mengantarkan aku tidak?"
Resti mengusap-usap matanya.
"Ya, ya, ya."
"Yuk, kita cepat-cepat mandi. Nanti kita bisa
kesiangan sampai di sana." 88
Dengan bermalas-malasan Resti bangun.
Tubuhnya nampak letih dan lesu lantaran semalam
pulang dari bekerja dini hari. Dewi terlebih dulu
pergi ke kamar mandi, sedangkan Resti masih
duduk bermalas-malasan di pinggir tempat tidur.
Matanya masih kelihatan mengantuk. Waktu
menunggu giliran Dewi selesai mandi, dia kembali
berbaring.
"Ayo cepat mandi," kata Dewi ketika masuk
ke kamar itu.
Resti bangun. Lalu dia ke luar dari kamar dan
menuju ke kamar mandi. Dewi mengenakan celana
jeans dan kaos merah. Di depan cermin dia menyisir
rambutnya yang kusut.
Aku harus bisa mendapatkan kepastian pada
hari ini juga, tekad Dewi. Aku tak ingin terus
terombang-ambing begini. Kalau memang statusku
janda harus secara resmi diselesaikan. Perempuan
manapun tak akan mau mengalami nasib seperti
aku. Resti masuk ke kamar dengan tubuh menggigil.
"Aku tak berani mandi, takut masuk angin,"
ujar perempuan itu. 89
"Jadi?"
"Ya cuma cuci muka saja."
"Kalau misalnya nanti aku tidak ketemu David
di rumahnya, kita temui dia di kantornya ya?"
"Boleh saja. Lalu kita ke sana mau naik apa?"
"Kan ada mobil Dedy. Kita sewa mobilnya hari ini."
"Kamu yang mau nyetir?" tanya Resti sambil
mengenakan pakaian.
"Sewa sekalian dengan sopirnya."
"Wah borongan."
"Tika sering begitu kok sama Dedy."
"Ya, sudah."
Dewi bangkit karena sudah selesai
berdandan. Giliran Resti yang berdandan di depan
kaca. Dewi ke luar kamar memanggil Minah yang
sehari-harinya membantu penghuni tempat kost
itu. Minah ke luar dari dapur dan menghampiri
Dewi.
"Ada apa, non?" 90
"Nanti siang kalau ada tamu yang bernama
Fendy mencari saya, tolong beri tahu suruh
menunggu. Bilang sama dia, saya pergi ke rumah
tante ya?"
"Baik, Non."
Minah kembali ke dapur. Resti yang sudah
selesai berdandan telah siap untuk pergi. Lalu
mereka berdua menemui Dedy yang tinggal di
sebelah tempat kost itu. Kebetulan pagi itu Dedy
juga sudah siap untuk mengoperasikan mobilnya
jadi taxi gelap.
"Dedy, antarkan kita yuk?" kata Dewi.
"Ke mana?" "Ke Krawang."
"Boleh, boleh. Nampaknya ada bisnis ya?"
"Ah, cuma ke rumah tante."
"Silakan." Dedy membukakan pintu mobil.
Dewi dan Resti duduk di jok belakang. Lalu Dedy
duduk di belakang stir. Dia menghidupkan mesin
mobil.
"Untung saja aku belum berangkat." lanjut
Dedy sambil meluncurkan mobilnya. 91
"Semalam aku lupa memberi tahu kamu
kalau pagi ini aku ada urusan penting." sahut Dewi.
Mobil itu meluncur cepat di jalan Bypas. Sinar
matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit Dewi.
Pada pagi seperti ini, kendaraan memadati jalan
raya. Namun Dedy yang begitu lincah mengendarai
mobilnya paling pintar mengambil jalan pintas yang
tidak macet.
Cuma satu jam perjalanan itu ditempuh.Di
kota Krawang sudah dihafal betul oleh Dewi jalan
menuju ke rumah David. Sebab hampir se tahun dia
pernah tinggal di kota itu. Menjalani hidup yang
serba kesulitan hprsama David. Malah dia pernah
menjadi buruh di sebuah pabrik tekstil di
perbatasan kota Krawang. Untuk membantu David
yang pada saat itu masih nganggur. Pahit sekali
keadaannya kala itu. Pekerjaan David sebagai
seniman pembuat patung dan relief sukar sekali
dipastikan memperoleh order. Memang, sekali
dapat order lumayan penghasilannya, tapi hanya
bisa untuk membiayai hidup selama tiga bulan.
Itupun harus irit. Menjalani hidup dengan
penghasilan yang tidak menentu. 92
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di
sebuah rumah kontrakan. Rumah yang sederhana
itu pernah ditempati Dewi bersama David dulu. Dan
rumah itu sudah ditinggalkannya enam bulan yang
lalu. Dia merasa tak tahan hidup bersama lelaki itu.
Sudah hidup serba kekurangan, lelaki itu adatnya
keras sekali. Sering menampar Dewi bila punya
kesalahan. Padahal dia sudah bersusah payah ikut
membantu mencari nafkah bekerja di pabrik tekstil.
Dewi bersama Resti turun dari mobil.
Seorang laki-laki berambut gondrong melongok ke
luar dari pintu rumah. Lantas lelaki itu tanpa
keramahan menyambut kedatangan Dewi dan
Resti.
"Mas David, apa kabar?" tegur Dewi.
"Baik. Duduklah," sahut lelaki itu tak acuh.
Dewi dan Resti duduk di kursi rotan. Keadaan
rumah itu masih seperti dulu. Banyak patungpatung yang beraneka macam. Tempatnya berantakan. Kanvas dan cat berserakan di ruang tamu itu.
Ada sebuah lukisan foto perempuan yang nampaknya belum selesai dilukis. 93
David menyulut sebatang rokok. Lelaki itu
nampaknya enggan bersitatap dengan Dewi. Lebih
senang mengamati lukisannya yang belum selesai.
"Mas David tidak senang aku datang ke mari
ya?" tanya Dewi sambil memperhatikan lelaki itu
Wajahnya memang ganteng. Karena kegantengan
itulah Dewi tertarik pada lelaki itu. Lalu menikah.
"Mau apa kau ke mari? Mau menyakiti perasa
anku lagi?"
"Jangan berkata begitu, Mas. Tentunya kau
tahu aku ini siapa?"
"Ya aku tahu kau itu siapa. Perempuan yang
gila kemewahan dan hanya suka menuruti kemauan
hatimu sendiri." kata lelaki itu seperti menyimpan
dendam. Sorot matanya berkilat-kilat.
"Bukan itu yang kumaksudkan. Aku kan
masih berstatus istrimu," balas Dewi lunak. Sebab
dia tahu kalau ucapan lelaki itu dibalas dengan
keras, maka pertengkaran akan timbul.
"Sejak kau tinggalkan rumah ini, aku sudah
tidak menganggapmu sebagai istriku lagi." 94
Seperti ditampar muka Dewi dengan ucapan
lelaki itu. Sedari pertama dia lunak, tapi sekarang
jadi berubah sengit. Emosi kemarahannya meluap.
"Kalau kau tidak lagi menganggapku sebagai
istri, ceraikan aku secara resmi!" kata Dewi lantang.
"Aku datang ke mari memang sengaja berniat minta
keputusan perceraian. Aku mau menikah dengan
laki-laki lain. Laki-laki yang hidupnya serba
kecukupan, tahu?!"
David tersenyum sinis.
"Aku percaya. Percaya kalau kau bisa
mendapatkan lelaki yang melebihi hidupku.
Melebihi segala-galanya dariku. Tapi ingat, selama
kau belum bisa membuang kebiasaan burukmu,
hidup cuma bersenang-senang, membandingbandingkan lelaki satu dengan lelaki lainnya,
hidupmu tidak akan bisa tentram dan bahagia.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena kau terlalu membanggakan kecantikanmu."
"Sudah, sudah! Jangan ungkit-ungkit masa
lalu. Sekarang buatkan surat pernyataan, bahwa
kau mau menceraikan aku. Biar nanti urusan
perceraiannya di pengadilan agama Surabaya bisa
kuselesaikan sendiri. Karena aku tahu, kau tak 95
mungkin mau pulang ke Surabaya cuma karena
urusan begini !"
Resti diam seperti patung. Tak berani ikut
campur membuka suara.
"Okey, okey. Kau boleh datang lagi ke mari
seminggu lagi untuk mengambil surat pernyataan
itu," kata David sembari berdiri dari tempat
duduknya.
"Kenapa tidak sekarang saja?"
"Sekarang aku mau pergi."
"Ke mana?"
"Ke Jakarta." David menyambar ranselnya
yang sudah dipersiapkan di atas meja. Lalu tali
ransel itu digayutkan ke pundaknya. Dewi dan Resti
berdiri bersama.
"Dewi juga tinggal di Jakarta sekarang," kata
Dewi memberi tahu.
"Aku tidak mau tahu kau tinggal di mana
sekarang." David melangkah ke pintu. Nampaknya
tak ingin lebih lama ngobrol dengan perempuan itu.
Cepat pergi, itu lebih baik. Dari pada rasa sakit
meroyak dalam hatinya lagi. 96
Dewi bergegas melangkah ke luar. Betapa
kesal dalam hatinya menghadapi sikap David yang
begitu. Sikap yang bagai menghadapi anjing
kurapan. Tanpa permisi lagi, Dewi melangkah ke
mobil diikuti Resti. David buru-buru mengunci pintu
rumahnya.
Lelaki itu melangkah pergi tanpa menoleh ke
arah Dewi yang duduk di dalam mobil. Mobil itu
meluncur meninggalkan tempat itu. Seonggok rasa
kesal dan jengkel menguasai perasaan Dewi. Belum
jua mau hilang ketika sampai di tempat kostnya.
Dan belum lama dia melepaskan lelah di atas
tempat tidur sudah kedatangan tamu. Minah
memberi tahu kalau Fendy datang. Maka dia
menemui lelaki itu di ruang tamu.
Fendy mengamati wajah Dewi yang murung.
Tidak nampak ceria seperti hari-hari yang lalu.
"Kemarin malam aku sudah menerima
suratmu," kata Fendy.
Dewi tak bereaksi.
"Apa benar kalau hari ini kau mau pulang ke
Surabaya?" 97
"Darimana kau tahu?"
"Yeti yang bilang."
"Dia istrimu bukan?"
Fendy mengangguk.
"Semula aku sudah menduga dia adalah istrimu. Tapi dia mengatakan adikmu. Bagaimana dia
bisa datang ke mari mencarimu?" kata Dewi memperlihatkan rasa tak senang.
"Waktu pertama aku mencari alamat tempat
ini bersama Nita. Rupanya Nita memberi tahu pada
istriku."
"Siapa Nita itu?"
"Teman dekatku."
"Teman dekat atau pacarmu?"
"Teman dekat."
"Lantas bagaimana tanggapan istrimu
terhadapku?"
"Biasa-biasa saja. Dia bilang kau orangnya
ramah dan baik."
Dewi tersenyum hambar. 98
"Dia tidak menaruh prasangka buruk
padaku?"
"Tidak. Malah dia ingin ketemu kau."
"Untuk apa?"
"Bicara dari hati ke hati."
"Apa yang mau dibicarakan?"
"Mengenai hubungan kita."
Dahi perempuan itu berkerut. Matanya
tersorot penuh tanda tanya.
"Hubungan kita? Mas Fendy sudah
menceritakan pada mbak Yeti?"
"Tidak. Aku tidak menceritakan apa-apa
padanya. Tapi naluri wanitanya sudah dapat merasakan sesuatu dalam diriku. Aku menaruh hati
padamu."
Perempuan itu menarik napas panjang.
Binar-binar di matanya tersimpan kebimbangan.
Namun terlihat juga keangkuhannya.
"Jangan. Jangan ceritakan apa-apa padanya.
Aku tak mau dia tahu hubungan kita selama ini. Dan
mungkin untuk seterusnya tak usah diberi tahu." 99
"Tapi dia menaruh respek terhadap
hubungan kita. Dia merelakan aku hidup
bersamamu."
Merelakan? Ah, agaknya terlalu aneh kalau
seorang istri merelakan suaminya menikah lagi.
Perempuan mana yang bisa begitu? Secuil rasa
berat pasti ada. Suami adalah belahan jiwa.
Mungkinkah serela itu diserahkan pada perempuan
lain? pikir Dewi sembari tersenyum hambar.
"Aku tidak sepenuhnya percaya kalau mbak
Yeti merelakan mas Fendy hidup bersama
denganku," kata Dewi.
"Itu terserah tanggapanmu. Barangkali kalau
kau sudah semakin intim bergaul dengan Yeti akan
tahu isi hatinya. Dia seorang istri yang jujur. Apa
yang dikatakan setulus hatinya."
"Aku tidak ingin menghancurkan perasaan
mbak Yeti. Karena aku pernah merasakan betapa
sakitnya hati ini, ketika mengetahui suamiku berpacaran dengan perempuan lain. Apalagi sampai
mau nikah lagi. Makanya aku kemarin bilang, bahwa
hari ini aku akan pulang ke Surabaya. Supaya dia
tidak selalu mencurigai aku menjalin hubungan 100
dengan mas Fendy. Aku khawatir setiap kali mas
Fendy pergi, dugaan mbak Yeti selalu pergi
bersamaku. Aku tidak mau begitu."
Fendy merenungi ucapan perempuan itu.
Benar juga. Tapi Yeti selama membina rumah
tangga dengannya, perempuan itu memang lain
dibandingkan dengan perempuan manapun. Entah
itu lantaran dia tak mampu lagi membahagiakan
hidupku atau terlalu percaya padaku? Memang,
rasa saling percaya adalah kunci ketentraman hidup
berumah tangga. Namun kalau orang yang
dipercayai seperti aku dan ternyata mengkhianatinya, mendustainya, apakah hal ini tidak terlalu
kejam?
Kejam? Benarkah aku kejam? Dan lelaki
manakah yang hidupnya selalu jujur dan polos
terhadap istrinya? Aku rasa di mana pun lelaki itu
sama saja. Mungkin termasuk diriku. Seringkah
mendustai istri hanya sekedar mencari kepuasan
diri di luar rumah. Itulah yang dinamakan liku-liku
laki-laki. Jadi bagaimana dengan pendapat Dewi?
Kurasa itu ada baiknya agar Yeti tidak menilainya
sebagai perusak rumah tangga orang lain. Perusak
kebahagiaan. 101
"Kalau hal itu memang kau anggap baik. aku
setuju saja."
"Kurasa itu memang baik. Jika ingin men
dapatkan ikan di kolam, jangan dibikin keruh dulu
airnya," ujar Dewi sembari tersenyum.
"Aiii, tepat betul istilah itu."
"Setuju?"
"Setuju."
"Nah, sekarang mas Fendy pulanglah ke
rumah."
Fendy terbengong. "Mengusirku ya?"
"Bukan. Aku khawatir mbak Yeti akan
menyusulmu ke mari."
"Ah, itu tidak mungkin."
"Mungkin saja, karena mbak Yeti tahu mas
Fendy ada di sini sekarang. Setulus apa yang
diucapkan dengan bibir, hati seorang wanita
sangatlah peka. Jadi aku belum mempercayai
sepenuhnya kerelaan mbak Yeti mengizinkan mas
Fendy menempuh hidup bersama denganku.
Karena aku juga seorang perempuan. Pernah 102
membina hidup berumah tangga. Pernah
mengalami hal seperti Ini."
Fendy jadi bimbang. Ketegangan dalam diri
membuat mukanya berkeringat dingin. Lelaki itu
kalau tegang dan terlalu banyak berpikir pasti
berkeringat. Apalagi kalau sedang dilanda gelisah.
"Dan aku harapkan mas Fendy juga harus bisa
menjaga agar mbak Yeti jangan sampai datang lagi
ke mari. Aku malu dengan teman-teman yang
tinggal di sini. Apa kata mereka? Pasti akan
mengejek dan mencemooh. Seperti waktu mbak
Yeti pulang dari sini, aku jadi malu dan korban
perasaan."
"Aku tahu, aku tahu."
"Nah, mas Fendy sekarang pulanglah dulu ya?"
Dengan berat hati lelaki itu mengangguk.
"Kapan mas Fendy mau datang ke mari lagi?"
"Besok malam."
Dewi tersenyum. Matanya berseri-seri.
"Jangan bohong ya? Besok malam Dewi
mbolos kerja dan kita pergi. Okey?" 103
Fendy mengangguk. Keduanya lalu berdiri.
Sebelum Fendy berlalu, Dewi sempat mencium
kedua pipi lelaki itu. Perasaan Fendy jadi berbunga.
Maka dia meninggalkan tempat itu dengan
merekuh lagi harapan. Harapan yang diduga akan
hancur, ternyata tetap kembali utuh dan berseri.
Dewi masuk ke kamarnya. Resti yang sedang
membaca novel sambil berbaring di atas tempat
tidur menatapnya.
"Mas Fendy sudah pulang?" tanya Resti.
"Ya."
"Kenapa buru-buru."
"Aku yang menyuruhnya pulang. Soalnya
sore ini pak Narto mau datang menjemputku. Aku
takut kalau bentrok dengan mas Fendy," kata Dewi
sambil tertawa renyah.
"Memangnya ada janji sama pak Narto mau
ke mana?"
"Dia mau menjemputku ke tempat les dansa."
"Nanti malam kamu tidak masuk kerja?" 104
"Masuk dong. Masak mau mbolos terus,"
kata Dewi sambil berbaring di sisi Resti.
"Kamu sih enak karena banyak tamu yang
menyukaimu di night club. Sampai-sampai seorang
bintang film populer mengejarmu. Jatuh cinta
padamu."
"Barangkali inilah saatnya aku bisa membalas
sakit hatiku kepada lelaki. Selagi aku dapat
kesempatan akan kukuras habis kantong-kantong
mereka," ujar Dewi sambil tertawa.
"Tapi kalau dapat jangan lupa bagi-bagi aku ya?"
Keduanya tertawa gembira.
*** Matahari pagi bersinar kemerahan. Pagi itu
seperti pagi yang kemarin. Cerah tanpa tanda-tanda
mendung. Sinarnya yang hangat menyentuh kulit
Fendy yang sedang berjemur di pinggir kolam
renang. Sedang senam pagi. Lalu dia berlari-lari
mengelilingi kolam itu. Kesegaran jasmani tak
pernah dilupakan apabila sedang tidak ada
kesibukan shooting film. 105
Kalau ingin mengambil ikan, jangan dibikin
keruh dulu airnya. Ucapan Dewi yang demikian tak
bisa dilupakan Fendy. Bahkan kalimat itu selalu
berputaran di benaknya manakala dia sedang
dalam keadaan sendiri. Ya, kalau memang mau
mengambil ikan jangan dibikin keruh dulu airnya.
Istilah itu sangat tepat sekali.
Maka Fendy terjun ke kolam renang. Bukan
kolam ikan yang senantiasa dipikirkan. Lalu dia
berenang kian ke mari. Segar nian.
Yeti muncul dari dalam rumah sambil
membawa dua buah telur setengah matang. Dua
potong roti yang sudah diberi mentega dan gula.
Segelas kopi susu. Semua itu merupakan kebiasaan
yang disenangi suaminya kala pagi. Di meja yang
ter-naung tenda hidangan pagi itu di taruhnya. Lalu
dia duduk di kursi malas. Memperhatikan suaminya
yang sedang berenang di tengah kolam.
"Anak-anak sudah berangkat ke sekolah,
Ma?" tanya Fendy setelah berada di tepi kolam.
"Sudah, Pa."
"Mama yang mengantar?" Fendy naik tangga
ke luar dari kolom renang. 106
"Ginah yang mengantarnya."
"Kok tidak minta cium papanya dulu?" Fendy
menghenyakkan pantatnya di kursi malas.
Bersebelahan dengan istrinya.
Yeti mengambil handuk dan menyeka air
yang membasahi tubuh suaminya.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi mereka bangunnya kesiangan jadi buru
buru berangkat setelah berpakaian."
Fendy mengangguk-angguk. Dia membiarkan
istrinya menyeka tubuhnya sampai kering.
"Papa kemarin sudah mengantarkan Dewi ke
stasiun kereta api?" tanya Yeti.
"Dia tidak mau kuantar. Dia lebih senang naik
taxi," jawab Fendy berdusta.
"Kenapa begitu?"
"Nampaknya dia orangnya susah-susah
gampang. Kalau nampak dikejar malah lari. Aku jadi
sangsi, apakah dia mau membalas rasa simpatiku."
"Papa musti sabar. Perempuan manapun
kalau dikejar jadi lari atau jadi malah jual mahal.
Apalagi papa bukan lagi seorang jejaka. Bisa saja dia 107
bersikap begitu karena tidak mau merusak
kehidupan rumah tangga kita."
Fendy tersenyum. Padahal perasaannya
serasa tertusuk. Munafik!
"Makan dulu roti dan telurnya, Pa." Yeti
menyodorkan hidangan itu kepada suaminya.
Fendy menerimanya lalu memecah kulit telur
setengah matang itu. Ke dalam gelas telur setengah
matang itu ditaungnya. Kemudian diteguknya
setelah dicampur dengan garam dan merica.
"Makanya mama kepingin sekali ketemu
dengan Dewi. Mama ingin menyampaikan isi hati
mama kepadanya, supaya dia tidak ragu-ragu
mencintai papa," tutur Yeti.
"Ah. sudah terlambat, Ma." Fendy
mengambil sepotong roti dan mengunyahnya.
"Kapan dia bilang mau kembali ke Jakarta lagi?"
"Mana papa tahu? Dia tidak bilang mau
kembali ke Jakarta."
"Papa tahu alamat rumahnya di Surabaya?"
Fendy terdiam. Dia pura-pura mengingat-ingat.
Padahal dia tahu alamat rumah Dewi. 108
"Sayang papa lupa," desah Fendy. "Kalau
papa tahu alamat rumahnya, Mama mau apa?"
"Kirim surat."
Jangan, tak usah." Fendy nampak jadi gusar.
"Daripada nanti papa berubah jadi
pemurung, mama ikut sedih."
"Ah, tidak. Masak papa sampai begitu. Malu
dong, Ma."
Mereka bertukar senyum. Pamo pengurus
taman terbungkuk-bungkuk.
"Ada tamu, tuan."
"Siapa?"
"Tuan Bahrun."
"Ooo, suruh tunggu sebentar."
"Baik."
Parno melangkah pergi terburu-buru. Fendy
bersama istrinya segera masuk ke dalam rumah.
Fendy masuk ke kamar mandi, sedangkan Yeti
menemui Bahrun di ruang tamu.
"Selamat pagi, Bu." 109
"Pagi."
Yeti duduk di kursi tamu. Berhadapan dengan
Bahrun dan temannya. Yeti kenal mereka sebagai
unit manager disetiap produksi film yang dibintangi
suaminya.
"Mau mengantar surat calling. Bu. Besok
bapak sudah mulai dubbing."
"Sebentar ya, mas Fendy sedang bertukar
pakaian."
"Baik, Bu."
Tak lama kemudian Fendy muncul. Dia sudah
berpakaian rapi.
"Ada surat calling, boss." Bahrun berkata
sambil tersenyum.
"Calling pengisian suara ya?"
"Benar boss. Dan Produser kita memanggil
boss untuk menghadapnya siang nanti. Bisa kan
boss?"
"Tentu."
Bahrun dan temannya segera bangkit. 110
"Begitu aja ya, boss. Kami buru-buru mohon
diri karena masih banyak surat calling yang musti
diantarkan."
"Okey dah."
"Permisi, Bu."
"Mari, mari," balas Yeti dengan senyumarr
ramah.
Setelah kedua tamunya itu berlalu, Fendy dan
Yeti duduk berdua di kursi panjang.
"Ada urusan penting dengan produser, Pa?"
"Paling-paling suruh teken kontrak film yang
baru."
"Papa sudah mempelajari cerita yang akan
difilmkan?"
"Belum,"
"Papa harus selektif ya? Jangan asal tekan
kontrak saja. Mama khawatir kalau tema ceritanya
tidak menarik dan baik, bisa menghancurkan
kepopuleran papa."
Fendy tersenyum membelai rambut istrinya.
Sebagai seorang suami tentunya sangat senang 111
kalau dalam banyak hal diperhatikan istrinya. Dan
Yeti senantiasa mengingatkan, apabila suaminya
akan membintangi film yang baru. Semua itu
Kedele Maut 16 Adat Muda Menanggung Rindu Karya Bagindo Saleh Peperangan Raja Raja 15

Cari Blog Ini