Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 4
sih dilakukan guna mendapatkan warna-warna baru maupun jenis
yang tahan lama setelah dipotong. Secara perorangan maupun
industri, persilangan dan penyelidikan terus dilaksanakan.
Kontak pertama dengan mereka yang kami jumpai berlangsung
baik. Mereka tahu bahwa kami adalah mahasiswa tamu. Ke mana
pun kami pergi, pengantar menjelaskan siapa kami. Sehingga meskipun kami bukan orang yang patut diistimewakan sebagai tamu
kenegaraan, kedudukan kami cukup mempunyai arti di pandangan mereka.
Setelah masa kunjungan ke pelosok negeri itu lewat, masingmasing dari kami memilih bidang yang ditekuni, institusi pen199 didikan yang diamati, maupun perpustakaan yang ingin kami jadikan sumber. Kami juga memilih pondokan buat menetap.
Di waktu mulai terjun ke jantung masyarakat bangsa itu,
aku baru merasa tidak akan sanggup tinggal lama di sana. Kegiatan mengikuti kuliah dan penelitian, maupun observasi di perpustakaan-perpustakaan dan sekolah-sekolah di mana anak-anak
belajar bahasa asing secara dini tidak merupakan masalah. Pondokan pun kuterima tanpa praduga, karena aku dibantu Ganik.
Ketika kami baru tiba dan dibawa ke KBRI, pejabat konsul
memberikan surat sahabatku. Ganik memberiku sejumlah uang
dengan pesan agar aku menyewa kamar yang cukup santai, karena dia akan datang ke Negeri Belanda selama aku berada di
sana. Temannya di KBRI sudah mencarikan pondokan tersebut.
Tapi jika ternyata aku tidak menyukainya, diharap supaya cepat
memberitahu.
Kamar yang ditawarkan cukup banyak. Jadi aku tidak perlu
khawatir untuk memilih, katanya. Karena sudah diberi jadwalnya, sehari sebelum berangkat keliling, aku menelepon sahabatku. Benar-benar aku terharu mendengar suaranya begitu dekat. Kuceritakan seperlunya keadaan keluarga yang kutinggal
di Tanah Air. Kusebutkan pula bahwa aku menyukai pondokan
yang dicarikan temannya. Temanku bercerita mengenai dirinya,
pekerjaannya. Ayahnya akan menghadiri kongres keahlian yang
dilangsungkan di Jerman. Bersama ibunya, pastilah mereka akan
singgah ke Negeri Belanda.
Kamar yang kami sewa cukup mahal, terletak di sebuah at
kepunyaan seorang janda. Nyonya ini juga tinggal di situ, di bagian yang berlawanan dengan kamar, ruang duduk serta balkon
yang menjadi tanggunganku. Apartemen itu merupakan lantai
atas rumah lain. Pintu keluar kami tersendiri, masing-masing
200 menuju ke tangga turun di bagian belakang bangunan, di mana
ada lantai dasar dengan garasi dan taman. Tidak ada lantai lain
di atas tempat tinggalku. Begitulah kebanyakan rumah di negeri
tersebut. Jarang ada yang berdiri sendiri, dengan halaman atau
kebunnya sendiri. Kebanyakan bergandengan dua, empat, enam
atau lebih, masing-masing memiliki halaman sempit. Sedangkan
bagian atas diberi balkon yang dijadikan kebun kecil. Petak perumahan demikian, yang lurus atau melekuk, kebanyakan terdiri
dari dua atau tiga tingkat. Semakin sedikit jumlah apartemennya,
semakin mahal sewa atau harga jualnya.
Memasuki rumah orang Belanda, aku tidak pernah tidak menemukan tanaman hias yang sehat dan terpelihara. Kembang potong
juga seringkali menghiasi tempat tinggal mereka. Di dapur atau di
atas sebuah meja di ruang duduk hampir selalu ada kompor yang
terus-menerus menyala. Di situ berkepulan ceret kopi. Sepanjang
hari, orang-orang Belanda yang kukenal tidak hentinya minum
minuman tersebut.
Selain aku mendapat kamar tidur, ruang tamu dan sebagian
balkon, aku juga boleh mempergunakan dapur serta kamar mandi. Dengan demikian aku leluasa menyiapkan makananku sendiri maupun mandi dan mencuci-cuci. Jadwal kegiatanku kuatur
sendiri. Kuliah hanya kuikuti empat kali sepekan; ada dua yang
diberikan satu hari, pagi dan sore. Waktu-waktu lain kuhabiskan
di perpustakaan, di kelas-kelas sekolah yang telah sepakat menerimaku sebagai pengamat.
Pada hari-hari tertentu, aku mengunjungi yayasan-yayasan sosial. Di situ aku melihat dan mendengarkan bagaimana orang
mengajarkan bahasa Inggris. Pemerintah Belanda terkenal berperhatian besar terhadap warganya yang cacat sejak lahir maupun
yang cacat karena kecelakaan atau kelanjutan dari penyakit.
201 Anak-anak yang ketahuan mempunyai kelainan segera mendapat
penanganan semestinya. Di jalanan dan tempat-tempat umum
kelihatan nyata, bahwa orang cacat mempunyai hak sebagaimana
warga negara lain yang tumbuh dengan kelengkapan anggota
badan mereka. Tempat parkir yang tidak jauh dari pintu keluarmasuk kantor atau toko selalu diberi tanda bahwa itu disediakan
buat para penyandang cacat. Buat mereka juga dibikinkan jalan
masuk yang berbeda agar kursi roda lebih mudah menaiki ataupun
menuruninya. Bahkan tempat-tempat tontonan, ruang bioskop,
teater, dan lain-lain juga memberi kemudahan.
Pada umumnya orang-orang itu mandiri. Tampak tidak waswas. Di mana pun mereka berada, orang selalu sedia membantu.
Mereka tidak menolak jika memang bantuan diperlukan. Para
tunanetra yang hendak menyeberang dan tidak mengetahui warna lampu yang sedang menyala, biasanya sangat peka. Mereka
mendengar dan merasakan arah atau jurusan lalu lintas. Tetapi jika
diperlukan, orang di jalan yang mana pun selalu ada yang tidak
ragu-ragu segera menggandeng dan membawanya menyeberang.
Di saat lain dan pada kesempatan yang berbeda, tidak jarang
penyandang cacat yang menolak pertolongan. Hal itu disebabkan
karena mereka tidak ingin menjadi manja sehingga mempunyai
kebiasaan menggantungkan diri.
Hampir di semua bidang yang kutekuni, aku merasa puas. Tetapi keluar dari lingkungan studi, kunyatakan ada tekanan yang
sangat sukar kutahan. Toko-toko swalayan di sana amat menyenangkan. Hampir semua kebutuhan sehari-hari tersedia di dalamnya. Namun aku lebih suka pergi ke pasar. Setiap daerah kecamatan atau kelurahan mempunyai hari dan tempat tertentu
sebagai waktu pasaran. Tempat parkir, lapangan atau halaman
gereja, persimpangan jalan-jalan yang cukup strategis, pada hari202 hari tertentu diubah menjadi pasar yang amat menarik. Kotapraja
menyediakan tenda-tenda yang secara berkala dipasang untuk kemudian ditarik dibenahi kembali sebegitu pasar selesai. Pada waktu ada pasar semacam itu, mobil dan kendaraan bermotor lainnya
dilarang masuk ke sana.
Karena aku juga diperbolehkan mempergunakan lemari es pemilik rumah, aku berencana membeli keperluan makananku satu
kali sepekan seperti yang dinasihatkan Ganik. Sejak kunjunganku
pertama kalinya ke pasar, aku sudah dibentak oleh seorang penjual buah dan sayuran. Tidak pernah temanku atau siapa pun
memberitahuku bahwa di pasar luar negeri, seorang pembeli tidak
diharapkan menyentuh barang yang dijajakan. Tanpa perhatian,
aku memilihi buah yang akan kubeli. Rupa-rupanya perbuatanku
itu merupakan kelancangan yang tidak bisa dimaafkan. Langsung
saja wanita Belanda yang berpakaian kerja celemek panjang dan
lusuh itu menyemprotkan kata-kata kasar yang diucapkan keras.
Aku kaget sekali menerima perlakuannya; secepatnya aku berlalu meninggalkan tempat itu. Dia semakin marah karena aku
tidak jadi membeli dagangannya, suaranya mengikutiku berisi
gerutu serta penyesalan. Setelah jauh, barulah aku sadar, sungguhlah aku amat tolol membiarkan kesempatan dihina orang Belanda seperti itu. Mengapa aku tidak langsung pula menangkis
kata-katanya bahwa aku tidak mengetahui kebiasaan negeri ini?
Caraku menyentuh dagangannya tidak kasar. Aku baru mengambil
buah pir satu dan menciumnya perlahan. Sebenarnya si penjual
bisa berbicara dengan sikap biasa saja untuk menegurku. Dalam
hal itu, aku pasti akan meminta maaf. Sejak hari itu, aku jarang
sekali berbelanja di pasar. Di toko swalayan, para pembeli bisa
memilih dan menyentuh semaunya semua barang dagangan yang
203 dijajakan. Harganya pun tidak banyak berbeda. Lagi pula aku
tidak pernah memerlukan banyak.
Ketika pengalaman itu kuceritakan kepada Ganik, dia mengajarku supaya berbuat lebih agresif terhadap orang Barat. Kalau
kamu diam, mengalah, kamu akan terus-menerus dihina dan
direndahkan. Tunjukkan sikap keras tanpa meninggalkan kesopanan, katanya. Tunjukkan bahwa kau punya kepribadian, itu
perlu. Nasihat Ganik selalu kuperhatikan. Pelayan di toko-toko
tertentu juga jelas memperlihatkan sikap yang kurang menyenangkan. Pada umumnya mereka itu termasuk golongan tua.
Yang lebih muda lebih santai dan terbuka.
Kata sahabatku, Negeri Belanda menganut politik tangan
terbuka. Selalu siap menampung penduduk bekas-bekas tanah jajahannya. Hingga saat aku berada di negeri itu, tidak jarang terjadi
keonaran yang disebabkan oleh anak-anak bekas serdadu KNIL,
ialah tentara bayaran Belanda yang terdiri dari orang-orang suku
Ambon, Maluku, Manado, atau lainnya di waktu Perang Dunia
Kedua. Keturunan golongan yang dulu membentuk negara bagian
sendiri di Maluku seperti RMS, yang telah mapan di negeri itu
pun sering terlibat dalam kerusuhan-kerusuhan kaum muda; ditambah anak-anak dari bangsa Indo yang turut mengungsi karena di tahun lima puluhan, RI di bawah Presiden Sukarno
menjalankan politik nasionalisasi perkebunan serta perusahaanperusahaan asing di seluruh Tanah Air.
Pemerintah Belanda yang mengatur negara. Tetapi tidak semua
warganya menyetujui tindakannya. Belanda negeri yang kecil.
Meskipun peluasan permukaan tanah yang telah dikeringkan di
bagian utara sudah bisa dianggap menambah tempat pertanian
maupun pemukiman, namun jika terus-menerus para pendatang
selalu diterima menetap hidup di sana, orang-orang Belanda asli
204 pada suatu ketika takut terdesak. Pemasukan penduduk gelap juga
terus terjadi. Biasanya mereka terdiri dari para buruh yang datang
dari Italia dan negeri-negeri Afrika Utara. Semua ini dijelaskan
Ganik ketika dia memanfaatkan dua hari libur disambung Sabtu
dan Minggu untuk datang menjengukku.
Aku terkejut sekali melihat temanku yang pucat dan jauh
lebih kurus dari kali akhir aku bertemu dia di Tanah Air. Ganik
mengatakan baru saja sembuh dari sakit yang agak beruntun.
Katanya, tugasnya di Kedutaan Besar RI di Kopenhagen tampak
tenang, tetapi sebenarnya melelahkan. Sebab itu, selama berlibur
bersamaku, dia ingin bersantai-santai. Sambil benostalgia, dia
ingin mengantarku ke tempat-tempat yang dia kenal dulu bersama
orangtuanya.
Tiba di pelabuhan udara, temanku menyewa mobil tanpa sopir.
Mulai hari itu juga dia membawaku ke museum-museum, tempattempat bersejarah, dan tempat-tempat di mana diselenggarakan
pameran. Dia juga menunjukkan cara-cara berbelanja yang menguntungkan. Ganik mengetahui toko-toko dan pabrik pembuat pakaian jadi. Di sana dia tahu caranya membeli baju lebih murah,
karena sebelum dipasarkan, semua barang yang mempunyai cacat
atau kekurangan disisihkan. Barang-barang seperti itu dijual di
toko-toko tertentu yang hanya diketahui oleh langganan tertentu
pula.
Sepanjang jalan selama kami bersama, setiap kali melewati
desa atau bagian negeri yang rapi, dengan deretan gedung indah,
dengan suara kelakar setengah sedih, temanku mengatakan, "Ini
semua hasil penjualan rempah-rempah yang dirampas dari keringat bangsa kita. Inilah hasil rodi dan pajak yang dibayar rakyat
se-Indonesia."
Dalam perjalanan menuju ke sebuah museum patung dan
205 lukisan yang dia sukai, tiba-tiba dia mengganti arah kendaraan.
Katanya dia ingin menunjukkan kepadaku sebuah kincir angin
kuno yang sangat megah. Benarlah seperti kata temanku. Apa
yang pernah kulihat bersama rombonganku dulu tidak memiliki daya tarik seperti yang disukai Ganik. Lingkungannya sendiri sudah merupakan latar belakang alamiah. Dimulai dari
luar hingga aku masuk ke dalam kincir, terasa kekunoan dan
keanggunannya. Kincir itu sudah tidak digunakan sebagai penggiling gandum, tetapi masih dipelihara baik. Bangunannya kuat
dan bersih, dijadikan daya pikat bagi para pelancong dalam
dan luar negeri. Bersama sahabatku, aku menikmati kegagahan
sayapnya yang megah sekaligus mengerikan. Berdua kami lena
membicarakan pengarang Miguel de Cervantes, bagaimana dia
memaparkan pahlawan ciptaannya Don Quixote de La Mancha
yang memerangi kincir sejenis itu.
Sudah lama aku tidak merasakan kesejahteraan yang menembus
ke rasa kedamaian dan bahagia semacam hari-hari bersama Ganik
di negeri orang itu. Yang terakhir aku berlibur dengan rasa puas
ialah ketika bersama anak-anakku ke Purworejo, Klaten, dan
sendirian ke Sala. Kali itu di luar negeri, suasananya berlainan,
namun akrab berkat kehadiran Ganik. Temanku kelihatan lesu,
sedikit-sedikit nyata kelelahan. Tetapi semangatnya tetap terasa
dengan ketegaran jiwanya, dengan sifatnya yang periang, sama
seperti ketika kami berada di Tanah Air.
Bergantian kami berbincang serius, lalu beralih saling menceritakan kelucuan yang tolol konyol maupun yang spiritual. Seperti
Sri, temanku ini juga tidak pernah merasa terikat oleh kebutuhan
akan uang. Gajinya sangat mencukupi untuk hidup santai. Kalau
ditanya tidakkah dia ingin kawin, membeli rumah, membangun
206 keluarga, dan lain lain lagi; sebagai jawaban, dia hanya tertawa.
Buat apa kawin? dia ganti bertanya.
Bagi Ganik, perkawinan hanya menghambat kelajuan langkah wanita. Kami keempat sahabatnya tahu bahwa dia tidak berpretensi hidup saleh, menutup diri dari berbagai kemungkinan
untuk bersenang-senang. Memang bekerja sebagai diplomat RI
sangat terikat. Lebih terikat daripada pejabat kedutaan-kedutaan
lain. Tapi temanku bisa menjaga kebersihan namanya. Sudah
lama pula kami tahu bahwa Ganik bebas keluar dengan siapa
pun. Namun sampai di mana kebebasan itu, kami tidak pernah
menyelidiki maupun mendesak ingin mengetahuinya.
Seperti dengan Sri, aku tidak tega menghunjaminya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terlalu pribadi jika dia tidak
mendahului membicarakannya. Hingga waktu itu, kuketahui
bahwa laki-laki yang selalu dia ceritakan berasal dari Kanada. Dalam foto-foto, pria itu tampak berpenampilan menarik. Badannya
kekar, tetapi wajahnya lembut dan rambutnya bagus lebat. Pada
suatu kali, temanku mengatakan bahwa mereka berkencan akan
ketemu di Singapura sebelum dia sendiri pulang ke Tanah Air.
Lalu di waktu lain, dari Indonesia sebelum kembali ke Eropa, mereka berjanji akan bertemu di Tokyo. Pendek kata, dekor kisah
cinta mereka sangat internasional.
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejak tiga tahun belakangan itu, Ganik tidak menyebut nama-nama lain seperti dulu lagi. Katanya, hubungannya dengan pacarnya orang Kanada itu bisa berlangsung sebegitu lama, karena
mereka mendapatkan keserasian luar biasa. Di waktu bersamasama, mereka hanya memikirkan saat itu. Tidak pernah membicarakan waktu-waktu mendatang. Tidak sekalipun berbicara tentang perkawinan.
Bertemu kembali dengan Ganik dan berjalan bersamanya se207 lama tiga hari, kami berdua meneliti dan membicarakan rumah
tangga kenalan atau kawan. Yang mana tetap kukuh dan kompak,
dan mana yang jelas pincang sehingga anak-anak terbagi menjadi
pemihak ibu atau ayah, meskipun mereka tinggal serumah. Kata
Ganik, diakui atau tidak oleh masyarakat, dalam rumah tangga,
selalu pihak wanita yang dijadikan kalahan. Umpamanya telah
diadakan persetujuan sebelum pernikahan, bahwa suami-istri akan
bersama-sama menyangga kewajiban serta tanggung jawab. Tapi
pada akhirnya selalu wanita yang lebih banyak bekerja mengurus
rumah tangga daripada lelaki.
Di dunia Barat sudah lumayan, meskipun perjanjian itu juga
sering tidak berlaku. Sejak kedatanganku di negeri itu, aku sudah
melihat sendiri bahwa suami-suami yang belanja makanan, yang
membawa cucian dan mengerjakannya sendiri di tempat-tempat
cuci umum amat menyenangkan pandang perempuan seperti
aku. Kenalanku orang-orang Belanda juga jelas saling membantu.
Kalau yang memasak si istri, setelah selesai makan, si suami yang
ganti membenahi pecah-belah dan membersihkan meja makan.
Sebaliknya, jika yang memasak sang suami, istrilah yang membersihkan meja dan dapur. Aku belum pernah menyaksikan hal yang
sama di Indonesia. Barangkali karena di Tanah Air masih bisa
ditemukan tenaga pembantu rumah tangga.
Pandangan Ganik terhadap lelaki bangsa sendiri hanya terbatas berukurkan rekanan. Sebagai manusia, temanku tidak bisa
memberi nilai. Aku hanya mengenal bapakku, katanya. Dia lain
daripada yang lain, karena dia dibesarkan oleh seorang pastur.
Semua jenis pekerjaan dia kerjakan tanpa rasa praduga. Aku
bahkan melihat dia mengepel ruang prakteknya karena tidak sabar menunggu pembantu, cerita Ganik. Aku juga senang cara
hidup Siswi dan Winar, karena keduanya selalu saling terlibat
208 dalam rumah tangga. Keduanya juga pernah hidup "ikut orang",
sehingga kerja keras dalam bentuk apa pun tidak membuat mereka
jijik atau mundur. Di luar kekecualian-kekecualian semacam
itu, perkawinan di Tanah Air bagi Ganik hanya menekan kaum
wanita. Katanya, disumbarkan bahwa kebanyakan istri dimanja
oleh suami. Yang sebenarnya, istri-istri itu barangkali diberi uang,
diberi perhiasan, diberi makan dan pakaian, pendek kata dicukupi
kebutuhan hidupnya. Tapi dalam sikap di rumah dan perbuatan
di tempat tidur, istri-istri itu menjadi budak. Hanya kesenangan
dan kepuasan lelaki atau suami yang dipentingkan. Jarang suamisuami yang menaruh perhatian apakah istri atau pasangan mereka
benar-benar bahagia dalam cumbuan asmara. Di Indonesia, di dunia Timur umumnya, kata Ganik, bagi kebanyakan orang, tidur
bersama hanya dipikirkan sebagai kepuasan kaum lelaki. Bukan
kepuasan atau kesenangan berdua.
Aku agak heran mendengarkan temanku berbicara demikian.
Kucurigai dia pernah menjalin hubungan dengan kekasih bangsa sendiri, tetapi mendapatkan kekecewaan. Karena tidak sampai hati menanyakan hal itu, kecurigaan itu tetap kupendam.
Tapi aku mengakui bahwa yang dia katakan benar. Ketika dia
bertanya kepadaku bagaimana pergaulanku dengan Mas Wid,
aku rela menjawab dengan pengakuan tersebut. Salahnya ialah
Mas Wid tidak pernah memanjakan aku dalam hal pakaian
maupun perhiasan. Hidup sehari-hari pun tidak berlimpahan.
Walaupun demikian, di tempat tidur aku diperbudak oleh dia.
Dan selama itu aku mau saja, dengan rasa mengalah yang pasrah
karena berpikir bahwa itulah kewajiban seorang istri. Disuruh
mengelus dan membelai sementara dia bermalas-malasan tiduran,
sampai tanganku pegal dan linu pun aku menurut saja hingga
dia mencapai puncak kepuasannya. Disuruh apa pun, karena dia
209 menginginkan pelayanan paling nikmat sesuai dengan fantasinya,
aku patuh dengan pengertian, lebih baik dia berada di rumah daripada mencari perempuan lain. Kenyataannya dan akhirnya, sebagai hasil kesabaran serta kepatuhanku, suamiku tidak mencari
perempuan lain. Tapi dia mengabdikan diri kepada partainya. Kesimpulan, selama itu aku membudakkan diri pada lelaki yang menjadi suamiku tanpa kemanjaan sesuatu pun. Tanpa guna. Memang
Ganik benar. Lebih baik tidak kawin. Sahabatku kelihatan bahagia dan puas dengan cara hidup yang dipilihnya.
Hari yang kukira terakhir bagi kami berdua, aku tidak mau
pergi terlalu jauh dari pondokan. Minggu adalah hari libur bagi orang Belanda dan sedikit sekali rumah makan yang buka.
Toko-toko tutup. Langit musim gugur yang semakin kelabu dan
menyimpan hujan, tiba-tiba pagi itu tersingkap. Sedari dini,
udara cerah dan hangat. Dari jendela balkon kelihatan burungburung mencucuki biji-bijian atau serangga di rumput taman di
belakang gedung. Suara mereka ribut renyah naik ke tempat kami. Sambil makan di depan jendela itu, kukatakan hahwa aku
ingin bersantai-santai hari itu. Kami sepakat akan duduk-duduk
menghadang sinar matahari di luar. Bila waktu makan siang tiba,
kami akan masuk ke rumah makan terdekat. Setelah itu, kami
pulang perlahan-lahan. Kalau berjalan melewati gedung bioskop
dan ilmnya tidak terlalu jelek, kami akan masuk. Kalau tidak,
kami akan langsung pulang, atau duduk-duduk di halaman gereja
yang tidak jauh dari tempat kami. Tetapi aku khawatir temanku
akan kembali ke Denmark dalam keadaan terlalu capek. Sebab
itu, usulku kuganti. Lebih baik kami duduk-duduk saja santai di
balkon. Matahari juga menyinari tempat kami dan cukup memberi kehangatan.
"Barangkali itu lebih baik buat kamu. Jangan sampai kau mulai
210 bekerja lagi dengan badan yang terlalu lelah. Selama tiga hari ini
kamu sama sekali tidak beristirahat," kataku.
Ganik tidak langsung menyahut maupun menyanggah.
Aku meneruskan, "Siang ini kita makan apa yang ada di lemari es. Aku masih punya sisa macam-macam. Ini kesempatan untuk
menghabiskannya. Kalau kau ingin turun juga, kita ke taman saja
sebentar."
"Tidak usah," kata temanku. "Kita di balkon saja kalau begitu.
Bangku di taman biar diduduki orang-orang tua. Mereka lebih memerlukan sinar matahari daripada kita."
"Ya, kamu benar," aku setuju.
Aku menyapu balkon, mengelap tiga kursi dan satu meja yang
selalu terletak di sana. Kudengar temanku membenahi bekasbekas sarapan kami di dapur. Kukembalikan alat-alat kerja di tempatnya, kemudian aku mencuci tangan. Aku sudah duduk santai
di balkon ketika temanku menggabung. Dia tidak langsung duduk
di sampingku, melainkan berdiri rapat pada pagar yang meminggiri tempat itu.
"Aku tidak kembali ke Kopenhagen besok pagi," katanya perlahan.
Aku agak terkejut. Belum sempat aku bertanya mengapa, temanku meneruskan.
"Aku ke Amsterdam."
"Lalu kapan ke Denmark?"
"Aku cuti sakit. Akan opname di Amsterdam."
Kali itu aku berdiri, melangkah memegang lengan sahabatku.
Sebelum aku mengucapkan sesuatu pun, Ganik meneruskan berbicara tanpa menoleh maupun memandang ke arahku.
"Mur," dia berhenti. Lalu meneruskan perlahan dengan suara
biasa, "Sudah setahun ini aku menjalani perawatan anti kanker.
211 Usaha-usaha penyuntikan dan penyinaran untuk menghilangkan
benjolan di payudaraku sudah berhasil. Tapi sejak sebulan yang
lalu, ada sesuatu dalam rahimku. Aku akan dioperasi."
Lenganku kurangkulkan di bahunya. Hatiku mendadak terasa penuh, tetapi kepalaku kosong. Tak satu kata pun bisa kutemukan untuk maju ke mulut dan kubentuk dalam suara. Apa
saja. Entah bujukan, entah jeritan, sesalan. Asal suara untuk
menunjukkan keterlibatan perasaanku. Kurasakan kesenyapan
yang tiba-tiba mengawang di sekeliling kami. Tekanan yang berat
serasa menghimpit dadaku. Dengan kesukaran yang luar biasa,
aku berhasil membisikkan, "Kapan operasinya?"
"Hari Kamis. Ayah dan Ibu akan datang Selasa ini."
"Aku berangkat bersamamu ke Amsterdam," kataku penuh
tekad.
Tangan Ganik merangkul pinggangku. Yang satu menggapai
dan memegang tanganku di atas pundaknya. Matanya memandang
ke kejauhan. Sedangkan pandangku terpaku ke wajahnya.
"Kurasa tidak perlu. Kau harus meneruskan programmu. Kau
tinggal di sini hanya tiga bulan. Harus sepenuhnya kaumanfaatkan."
Ganik benar. Dia sudah kuberitahu, aku tidak akan betah tinggal lebih dari tiga bulan di negeri itu.
"Tapi kau akan dioperasi, sedangkan aku di sini. Kalau kita
berjauhan, rasanya aneh," dengan keras kepala aku mencari bantahan untuk membenarkan sikapku.
"Tidak apa-apa. Kehidupan ini memang penuh dengan hal
yang aneh-aneh dan tidak masuk akal," sambil mengatakan itu
temanku menoleh, tersenyum perlahan. "Kau jangan bersikap
seperti orang-orang lain. Kanker memang penyakit ganas. Tapi
212 itu sama seperti TBC, seperti cholera, atau typhus. Sudah bisa
ditanggulangi. Setelah operasi, aku akan sembuh."
Kami berdua duduk menghadap ke taman. Aku tidak kuasa
menahan keinginan mengamati sahabat di sampingku. Demikian
tenang pengucapan di wajahnya. Demikian teratur dan rapi kalimat-kalimat yang dia ungkapkan mengenai dirinya yang digerogoti penyakit asing. Tahun-tahun belakangan itu aku mendengar kabar yang tidak pernah disebutkan dengan langsung "Si A
menderita kanker" melainkan "Si A terkena CA".
Itulah barangkali yang dimaksudkan Ganik ketika melarangku
berbuat seperti orang-orang lain. Mengapa sesuatu benda yang
sudah pasti tidak disebut dengan namanya yang sesungguhnya?
Seolah-olah dengan kata "CA" keganasannya menjadi kurang.
Dan sekarang, temanku, sahabatku yang dalam surat maupun kehidupan, juga selama tiga hari itu selalu riang dan gesit, berkata
tanpa tedheng aling-aling, tanpa sembunyi-sembunyi: Aku menderita kanker.
"Mengapa kau memandangiku?" terkikih Ganik melirikku.
"Aku belum akan mati besok Kamis! Percayalah!"
Aku diam. Terasa ada sedikit kebingungan dalam diriku. Aku
mengira mengenal Ganik. Sungguhkah dia setenang dan sebiasa
ini menghadapi penyakitnya? Tapi, kenyataannya dia mengetahui
bahwa akan dioperasi dan selama tiga hari tidak hentinya kami
bercanda, berdebat, dan bergaul tak ubahnya seperti dalam keadaan hati tanpa kecemasan.
"Kau tak pernah bercerita mengenai hal ini. Dalam surat,
di telepon, bahkan ketika kau pulang ke Indonesia yang paling
akhir," aku menyesalinya. Benar-benar penyesalan dari lubuk
hati.
"Untuk apa? Semuanya sudah berlalu dan aku baik-baik.
213 Kanker payudara sudah dianggap sebagai penyakit biasa saja.
Tidak perlu dikhawatirkan benar. Bermacam kanker begitu pula.
Kalau kita mendeteksinya pada taraf awal, pasti segera bisa ditanggulangi. Hanya jenis yang rumit-rumit seperti kanker darah atau
kanker sumsum, misalnya, yang sampai sekarang belum dapat dijinakkan."
Suara Ganik tenang. Seperti sediakala sewaktu dia menjelaskan: ini bangunan apa dan didirikan oleh siapa dan pada tahun
berapa.
"Sebetulnya kanker juga seperti penyakit-penyakit lain. Diabetes atau tekanan darah tinggi, umpamanya. Kalau kita sudah
diberitahu dan harus hidup bersamanya, kita juga pasti harus bisa
hidup bersama penyakit itu. Dengan diet ketat dan pengendalian
diri, dibarengi penanganan medis yang tepat guna, kita bisa berumur panjang."
Aku diam. Di taman bawah tampak penduduk sekitar berdatangan. Anak-anak kecil membawa ember, cetok atau sekop
dan cetakan serba kecil pula. Mereka langsung menuju bak pasir
yang tersedia sebagai tempat bermain di dalam pagar. Ibu atau
pengantar mereka mencari tempat duduk. Ada yang membawa
kursi lipat sendiri, memilih sudut yang terkena cahaya matahari.
Lalu mengeluarkan bawaan mereka. Beberapa orang membaca,
yang lain merajut, ada pula yang menganggur sambil memejamkan
mata menikmati kehangatan. Tanah berumput sudah dibaringi
beberapa pasangan muda. Di hari-hari lain, orang menghormati
larangan berjalan di atasnya. Tapi di hari-hari istimewa yang
bermatahari, biasanya larangan atau peraturan menjadi kendur.
Mereka memang tidak menginjak-injak rumput. Mereka hanya
memilih tempat buat membaringkan diri. Suara jerit anak-anak,
214 siul dan panggilan burung bercampur dengan percakapan di hari
yang cerah mengambang mencapai balkon kami.
"Kita tidak akan menghabiskan waktu bersama yang tinggal
semalam ini untuk berdebat mengenai penyakitku, bukan?" tibatiba Ganik memegang lenganku.
Aku menoleh, sebentar meneliti matanya yang menatapku.
"Tidak," sahutku perlahan. "Aku hanya merasa kau tidak jujur
terhadap kami teman-temanmu," dan sambil mengatakan itu,
aku teringat kepada Sri. Kalimat itu sudah kutujukan kepadanya
karena menyembunyikan masalah Mas Tom yang berkhianat.
"Mengapa? Apa salahku?"
"Karena selama ini kau menyembunyikan sesuatu dari kami.
Padahal...."
"Padahal kita telah sepakat membangun persahabatan yang
unik di antara kita," Ganik meneruskan kalimatku. Lalu tambahnya, "Aku tidak pernah bermaksud menyembunyikan apa-apa
dari kalian. Setia kawan kita tetap kukuh. Jangan mengira yang
tidak-tidak."
"Seumpama kau tidak mengabarkan peristiwa yang gembira,
barangkali aku tidak akan tersinggung."
"Misalnya aku kawin, tidak memberitahu kalian pun pasti kau
sakit hati. Ya apa enggak?" Ganik tersenyum menggoda.
Aku bersungut membuang pandang.
"Nah kan? Apa pun yang kukerjakan, serba salah. Yang benar,
aku tidak bermaksud menyakiti hati kalian. Kebetulan saja aku
tinggal di luar negeri. Aku diberitahu harus dirawat untuk menghi
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkan benjolan. Ya, aku menurut. Semua berjalan baik. Ketika
bertemu kalian dulu, aku tidak ingat lagi untuk memberitahukan
kejadian itu. Untuk operasi ini, aku sudah menulis kepada Mur.
Dia dokter. Kuanggap dia perlu mengetahui lebih dulu. Sri juga
215 tahu. Siswi biar dikabari kalau sudah selesai. Seandainya kau di
Tanah Air, tentu aku juga menulis kepadamu. Atau Sri yang
memberitahu."
Ganik berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Mur sudah tahu sedari perawatanku paling awal. Kau pernah kuberitahu, bahwa aku
sering mengirim majalah dan guntingan-guntingan yang menurut
tafsiranku akan menarik bagi dia. Pada halaman benda cetak
yang kukirim itu kutuliskan beberapa kalimat. Sekadar kabar.
Untuk melestarikan hubungan. Aku jarang mengirim surat betulbetul kepadanya. Hanya dengan kau aku bersurat-suratan, karena
kau paling rajin membalas. Dan karena anakmu mengumpulkan
prangko."
Semua itu benar. Widowati memang mengumpulkan prangko.
Sewaktu kami jalan-jalan kemarin pun, tiba-tiba Ganik masuk ke
kantor pos. Di luar dia melihat etalase, lalu teringat kepada anakku. Dia keluar lagi membawa kumpulan prangko yang baru dijual
beberapa hari itu.
"Sekarang kau sudah tahu hal yang sebenarnya. Jangan terusmenerus memarahiku. Kalian akan turut menguatkan doa kami
agar Tuhan memberi kelancaran dan kesembuhan padaku."
Itulah keputusan Ganik. Bagaimana aku akan bisa marah kepadanya? Rasa tersinggungku bukan didasari harga diriku, tetapi
disebabkan oleh kasih sayangku kepadanya. Di dunia yang digaulinya, orang menganggap kanker payudara sebagai penyakit yang
sudah membiasa. Namun bagiku, penyakit apa pun, jika itu menyentuh orang-orang yang kucintai, tidak lagi menyandang predikat "biasa". Dan orang yang kucintai tidak terdiri dari ratusan,
bahkan tidak puluhan jumlahnya. Mereka itu adalah ibuku,
anak-anakku, dan keempat sahabatku. Kehilangan seorang dari
216 mereka akan meninggalkan satu tempat menganga yang tidak
akan terisikan lagi.
*** Sedari masa mudaku, aku bukan orang yang gampang tidur. Jika
perasaanku terusik sedikit saja, malamnya aku tidak dapat tertidur cepat. Di waktu-waktu aku harus berangkat pagi-pagi buta, demikian pula, semalaman aku justru gelisah karena takut
kesiangan.
Mulai dari saat aku mengetahui Ganik akan dioperasi, tidurku tidak nyenyak. Temanku berangkat ke Amsterdam sebagaimana telah dia rencanakan. Sedemikian mapan di klinik, dia
meneleponku. Aku merasa lebih tenang ketika dia katakan bahwa rekan dan teman-teman ayahnya sangat memperhatikan dia,
dan bahwa aku tidak perlu khawatir. Suaranya sama saja, lancar,
jelas. Tak terbayang selintas pun gangguan maupun kesendatan.
Dia menyampaikan pesan Sri, katanya Ibu dan anak-anak akan
menelepon. Dia sebutkan hari dan jamnya. Waktu itu adalah
pertama kalinya aku berbicara langsung dengan mereka sejak
kepergianku. Cukup lama dan puas aku mendengar suara mereka.
Ibu menceritakan bahwa Sri meminjamkan kendaraan sewaktuwaktu diperlukan. Katanya lagi, Irawan baru saja pulang ke Makassar. Selama lima hari adik iparku itu di kota kami, berurusan
dengan rekan-rekannya di rumah sakit. Dua kali Ibu dan anakanak dibawa keluar untuk makan. Satu kali Sri bahkan turut
pula. Aku gembira sekali mendengar berita keakraban tersebut.
Terutama aku senang mengetahui bahwa Eko berkesempatan ketemu dengan pamannya itu.
Untuk menghindari kehilangan waktu karena bermenung217 menung memikirkan Ganik, aku memperbanyak kegiatanku.
Pertemuan diskusi yang kurencanakan akan kulaksanakan pada
akhir masa tinggalku, segera kuberikan mulai pekan pertama
Ganik di rumah sakit. Dalam kelompok mahasiswa, perpustakaan,
yayasan dan sekolah-sekolah praktek kubicarakan pengalaman
beserta kesimpulanku yang berupa patokan atau pegangan yang
mungkin bisa dipergunakan pendidik lain. Kesemuanya itu kubagi
dalam jangka waktu dua pekan. Tidak selalu dua hari berturutturut, sehingga aku tetap memiliki kesantaian meneruskan riset
di perpustakaan. Dalam dua pekan itu aku berpindah-pindah
tempat, menghadapi hadirin yang berbeda-beda, menuruti giliran
kelompok. Pemaparan kertas dan wawancara memakan waktu
dua setengah jam, kadangkala sampai tiga jam. Setiap hari aku
berjalan ke stasiun atau ke perhentian bis, ganti kereta satu atau
dua kali, kemudian naik bis lagi, dan setelah turun berjalan lagi.
Ulang-alik demikian, tiba di rumah di waktu sore, badan serta pikiranku sudah capek. Malamnya aku lebih mudah tertidur.
Pada salah satu acara yang kuatur sendiri itu, ketika pertemuan
sudah berlangsung agak lama, kulihat di antara hadirin ada yang
berkulit cokelat. Penampilan mereka seperti orang Indonesia.
Aku tidak kenal mereka. Bertemu dengan orang berkulit sawo matang bukan merupakan hal yang aneh di Negeri Belanda. Banyak
orang-orang Afrika Utara atau Italia yang mirip bangsa Indonesia.
Sebab itu, selama berbicara dan tanya-jawab, aku tidak begitu
memperhatikan mereka. Pemuda-pemuda itu kuanggap sebagai
bagian dari hadirin.
Ketika acara tanya-jawab selesai, beberapa orang datang mendekat dan menyalamiku. Ada yang memberi komentar atas jawaban ataupun pertanyaan yang baru lewat. Kulihat orang-orang
218 yang sewarna denganku itu juga mendekat. Yang paling depan
langsung mengulurkan tangan memanggil namaku.
"Mbak Mur, saya Handoko." Dan dia langsung memperkenalkan teman-temannya kepadaku.
Aku bersalaman dengan mereka. Entah mengapa, aku tidak
merasa heran maupun kaget melihat adik iparku berada di hadapanku. Sikapnya yang biasa dan sederhana membikinku seolaholah telah lama mengenalnya. Dia mengatakan, pagi tadi singgah
di KBRI Den Haag dan diberitahu bahwa ada rombongan baru
yang akan tinggal tiga bulan. Di antaranya aku yang selama dua
minggu ini memaparkan pengalaman dan teori pendidikan pengajaran bahasa asing kepada anak-anak di Indonesia. Aku memang
memberitahu tentang hal itu kepada rekan dan teman Ganik.
Kupandangi adik Mas Wid yang menjelaskan sebab-sehab
kehadiran mereka yang tiba-tiba berada di depanku, dan selagi
dia menerangkan bidang temannya seorang demi seorang. Kecuali tubuhnya yang sedang dan kurus, Handoko memiliki wajah berbeda dari suamiku maupun Irawan. Raut mukanya lebih persegi.
"Mbak Mur akan ke mana sekarang?" tanya Handoko menyadarkan pengamatanku terhadap dirinya.
"Pulang. Dari sini ada bis yang langsung ke Amersfoort!"
"Ya, saya dengar dari KBRI bahwa anda menyewa kamar di
Amersfoort."
"Kami antar saja," kata seorang teman Handoko.
"Anda bawa mobil?" tanyaku.
"Ya. Kami naik mobil dari Jerman. Selain lebih murah, di sini
juga selalu berguna untuk berputar-putar."
Dalam perjalanan, Handoko bertanya mengapa aku tidak menyurati memberi kabar tentang kedatanganku di Eropa.
Aku menjawab semudah mungkin. Alasan kesibukan, alasan
219 kerepotan pikiran karena meninggalkan rumah. Lalu kuceritakan
sedikit apa yang terjadi dengan Eko. Ganti kutanya mereka dalam
rangka apa berada di Negeri Belanda. Seorang dari pemudapemuda itu harus menemui kakaknya yang singgah dan akan
terus ke Amerika.
"Ketika diberitahu bahwa Mbak Mur ceramah di tempat yang
ternyata tidak jauh dari tempat menginap kakak saya, Handoko
mengatakan ingin mampir sebentar menyalami anda."
"Ya, semula kami hanya ingin duduk sebentar. Tapi terjerat penyuguhan yang anda susun, Mbak Mur. Menarik sekali. Biasanya,
kalau menghadiri ceramah, saya selalu mengantuk," kata kawan
lainnya.
"Mbak Mur memang hebat," Handoko menyambung. "Anda
berbicara lancar dan tidak menjemukan."
"Ah, sebenarnya biasa saja. Masalahnya, kalau kita biasa menghadapi murid, tentunya harus tahu bagaimana supaya orang di
hadapan kita tidak bosan mendengarkan kita," sahutku, agak kebingungan menerima pujian yang tidak terduga-duga itu.
Utrecht-Amersfoort tidak begitu jauh. Tiba di blok dekat pondokanku, aku minta supaya mobil berhenti agar aku bisa belanja
sebentar. Di sana ada toko yang menjual bahan-bahan makanan
Asia, terutama Indonesia. Di lemari es aku masih mempunyai rendang jeroan sapi yang dibekukan dan sisa sup kubis. Di toko aku
membeli tahu dan kecambah sebagai tambahan lauk untuk makan petang itu. Untuk buahnya, teman Handoko membeli satu
kaleng buah kelengkeng.
Sore itu kami berempat sibuk di dapur. Sementara aku mencuci beras dan menanak nasi, Handoko dan teman-temannya memotongi tahu serta membersihkan kecambah. Dapur itu cukup
lebar. Sebuah meja dan empat kursi lipat mengisi sudut di dekat
220 pintu yang menuju ke ruang duduk. Tamuku menceritakan bidang
dan kesibukan masing-masing. Teman-teman Handoko keturunan
Tionghoa. Seorang sudah menjadi dokter di Indonesia, ke Jerman
atas biaya sendiri. Seorang lagi di bidang teknik bangunan, tapi
kini tertarik pada mesin. Kebalikan dari Handoko yang menekuni
bidang mesin, tapi juga memperhatikan bangunan berat seperti
misalnya jembatan. Mereka bertiga menyewa apartemen. Sudah
lima tahun ini bersama-sama. Untuk hidup, mereka mengerjakan
apa saja. Yang paling sering ialah sopir dan kuli pengangkut di
pusat jual-beli buah dan sayur, di mana para tengkulak dan grosir
bertemu. Kerjanya berat, karena harus mulai jam dua malam. Tapi
jam enam sudah selesai. Lalu mereka kuliah atau kerja lapangan.
Aku menemukan kembali suasana masak-memasak bersama yang dulu sering kualami di masa remaja. Anak-anak lelaki yang membantu menyiapkan makanan tidak pernah kulihat selain dalam masa kepanduan dan di rumah ibuku. Dari
ketiga adikku lelaki, hanya yang terkecil yang mempunyai keinginan menyambal sendiri, membikin nasi goreng sendiri. Ini
kuceritakan kepada tamuku sore itu. Mereka kelihatan senang.
Katanya, mereka biasa sekali memasak dan mengerjakan semua
tugas rumah. Selain sebagai sopir para tengkulak, diwaktu-waktu
terdesak, mereka juga menjadi pembersih kaca jendela-jendela
bangunan bertingkat hingga lima puluh atau enam puluh lantai.
Meskipun bayarannya besar, jarang ada penyewa tenaga yang
menyertakan jaminan asuransi. Oleh karenanya, kalau memang
masih ada pekerjaan lain, Handoko dan teman-temannya lebih
suka menghindar. Tetapi untuk membersihkan jendela kaca apartemen sendiri, secara bergilir mereka selalu siap.
"Yang bayarannya agak murahan ya mencuci piring di kafe
221 atau rumah makan. Tapi di sana biasa juga diberi makan," kata
Handoko.
"Katanya, untuk menjaga anak atau bayi juga diberi makan,"
kataku.
"Tidak selalu. Kalau yang punya anak baik, memang disediakan makanan. Atau disuruh ambil sendiri. Umpamanya roti
dan olesannya atau irisan daging," sahut teman Handoko.
"Yang senang saya, sering di rumah sakit. Di sana selalu ada
makanan. Tidak diberi pun, kalau sudah kenal orang dapur, tentu
bisa minta makanan atau minuman yang mengenyangkan."
Perbincangan lalu menyentuh masalah bayaran setiap pekerjaan sampingan itu. Kemudian berpindah ke suasana di Tanah Air, mengenai kenakalan remaja yang mulai merajalela di
Jakarta, mengenai musim gugur yang terlalu cepat berlalu. Sebelum kembali ke Den Haag malam itu, masing-masing tamuku
berterima kasih dengan caranya. Barangkali karena sudah lama
di luar negeri, mereka mengetahui cara-cara membujuk yang menyenangkan. Yang seorang mengatakan telah lama tidak makan
makanan sesedap masakanku. Yang seorang memuji nasiku yang
pas, tidak terlalu lembek dan tidak terlalu keras. Handoko sendiri
yang menyukai tahu, mengatakan baru kali itu dia melahap sebanyak yang dia telan petang itu. Bumbunya enak sekali, katanya. Dia berharap akan bisa mengantarku menengok Ganik di
Amsterdam.
Aku tidur cepat malam itu, tanpa mempunyai kesempatan mencerna kejadian seharian dari pagi hingga petang. Keesokannya,
sambil membenahi ruang tamu dan makan pagi seorang diri di
depan jendela yang menghadap ke balkon, aku mengambil waktu
bermenung-menung. Hari itu aku santai. Tidak kuliah, tidak
mempunyai kencan di perpustakaan. Tinggal satu pertemuan lagi
222 yang harus kulunasi. Siang nanti aku hanya akan keluar sebentar
membeli roti dan beberapa keperluan kamar mandi. Udara sudah
lebih dingin dari hari-hari yang lalu. Dengan kecepatan seperti
ini, musim gugur akan segera diusir oleh musim dingin. Kalau
aku bisa krasan tinggal di negeri ini, masa tinggalku dapat diperpanjang dua bulan. Dengan demikian, selain bahan-bahan
tambahan catatanku akan lebih berisi, mudah-mudahan aku juga
akan berkesempatan melihat salju. Ganik telah membawakan mantel yang dipinjamkan kepadaku. Tetapi jika aku tidak mau tinggal
sampai musim dingin, bajunya dapat disimpankan oleh temannya
di KBRI. Dia memberi nasihat supaya aku membeli sepatu yang
kuat dan teba1. Pondokan dan telepon sudah dibayar temanku.
Aku tinggal memikirkan pengeluaran makanan, bis atau kereta
api, dan beberapa keperluan kecil lainnya. Sebab itu, aku harus
mau membeli sepatu yang agak mahal sedikit, asal awet, karena
aku sering jalan kaki. Mengenai pakaian, sahabatku juga sudah
memberiku blus-blus dari kain panas dan pullover, cukup jumlahnya untuk selama masa tinggalku. Di negeri Barat, orang tidak
berganti pakaian terus-terusan seperti di Indonesia. Kata Ganik,
sepanjang musim, biasanya orang hanya mempunyai paling banyak
tiga pasang pakaian. Atau bagian bawah sedikit, baju atas yang
lebih banyak. Kulihat dalam kopor yang dia berikan kepadaku
terdapat rok-rok bawah dan celana panjang yang selalu bernada
warna gelap. Di sekelilingku, setelah memperhatikan dengan
saksama, aku melihat warna yang sama lebih dipergunakan rekan
dan kenalan-kenalanku bangsa Belanda. Orang-orang yang sering
kutemui juga jarang berganti baju dalam sepekan.
Di pagi yang santai itu aku baru sempat merenungkan kejadian hari kemarin. Pertemuanku dengan Handoko dan kedua
kawannya amat mengesankan. Tidak ada kekakuan atau keeng223 ganan yang terasa di pihakku. Kuperhatikan bahwa mereka pun
seperti menganggap aku sebagai kenalan lama. Aku belum per
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nah bertemu Handoko sejak Mas Wid masuk dalam kebiasaan
hidup keluarga asalku, diteruskan hingga perkawinanku. Menurut
pengertian yang kudapatkan dari ayah mertuaku, Handoko dan
Irawan mempunyai persamaan, ialah mandiri sedari masa muda
mereka. Baru pagi itulah aku menyadari kebenarannya. Tidak
saja dalam hal kemandirian, tetapi juga dalam cara berbicara.
Barangkali juga cara mereka memandang persoalan. Hanya saja,
Irawan lebih matang karena umur dan pengalaman. Dan dalam
membandingkan kedua bersaudara itu, aku teringat bahwa ada
satu lagi orang di lingkunganku yang memiliki cara berbicara
sama. Tapi seketika itu aku tidak tahu siapa.
Jum?at adalah hari terakhir aku mengadakan pertemuan diskusi. Petangnya, Handoko menelepon untuk menetapkan janji
kami keesokannya. Dia akan mengantar aku ke Amsterdam. Dia
berangkat malam itu juga dari Jerman. Sebelum subuh, dia tiba
di pondokan. Setelah kubiarkan beristirahat sebentar di kursi
panjang di ruang tamu, kami sarapan. Lalu segera berangkat ke
Amsterdam, menuju ke apartemen tempat tinggal Ganik dan
orangtuanya. Handoko hanya sebentar bertemu mereka. Dia mempunyai kencan dengan bekas gurunya yang juga tinggal di kota
itu. Sebelum pergi, dia mengingatkan aku bahwa esok paginya
kami akan bertamasya berdua.
Ganik kelihatan lebih berseri dari waktu kedatangannya
di Amersfoort. Sudah dua pekan dia dioperasi. Kandungannya
diangkat. Berarti sahabatku tidak akan bisa mempunyai anak.
Tetapi tampaknya hal ini tidak menyentuh jiwa teman yang amat
kucintai itu. Ibunya bahkan berkata bahwa di dunia ini sudah
terlalu banyak anak yang terlantar. Kalau Ganik memang berniat
224 membangun keluarga kelak, dia bisa mengangkat anak dari yayasan atau anak teman sendiri. Dan Nak Mur tahu, tambah ibu
itu, Ganik sukar disuruh kawin. Sambil mengatakan kalimat tersebut, ibu itu mengejapkan matanya kepadaku.
Aku mengagumi keringanan kesan yang terpancar dari wajahnya. Bagiku, itulah orangtua ideal di zaman modern ini. Tidak
mempunyai anak bukan merupakan masalah baginya karena dunia sudah terlalu berjubelan dan banyak anak menderita tanpa
orangtua. Apakah aku akan bisa menjadi orangtua demikian?
Kalau anak-anakku kawin, dapatkah aku menganggap ringan
peristiwa yang menjadikan aku seorang nenek tanpa cucu?
Orangtua Ganik keduanya yatim piatu. Dokter Liantoro berhasil meneruskan sekolah karena kedekatannya dengan gereja.
Mereka memiliki pandangan terbuka dan luas mengenai arti
keluarga. Aku mengucapkan kata keluarga berarti sesepuh Purworejo, Pati, ibuku, adik-adikku dan anak-anakku. Ganik dan
orangtuanya mengatakan keluarga adalah yayasan-yayasan yang
pernah menumbuhkan Dokter Liantoro dan istrinya. Ganik anak
tunggal. Dengan operasinya, seakan-akan tamatlah riwayat mereka bertiga. Namun itu bukan kesedihan bagi mereka. Selama
itu mereka dikaruniai hidup bahagia dan sehat. Di lingkungan mereka banyak orang menderita. Banyak yang mati tanpa keturunan.
Dan menurut Dokter Liantoro, orang mati setiap hari. Kalau seseorang mati, berarti Tuhan memutuskan bahwa tugas orang itu
sudah selesai. Siapa tahu akan ada tugas lain yang telah siap.
Sehari semalam bersama Ganik dan orangtuanya, bagiku serasa kembali ke Tanah Air dan bertemu dengan ibuku. Tak hentinya kami berbincang dan berkelakar. Aku menceritakan pengalamanku berdiskusi dua pekan terakhir itu. Dengan bangga aku
memberitahukan tawaran wawancara dari salah satu pemancar
225 televisi Negeri Belanda. Dokter Liantoro memberi tambahan gagasan. Inilah keuntunganku di segi lain yang kudapatkan dari
keluarga Ganik. Mereka golongan intelek yang tidak menyembunyikan pengetahuannya. Keamalannya menyeluruh. Karena
banyak membaca dan menjelajahi negeri asing, mereka mengenal
dan mengetahui apa yang kebanyakan orang Indonesia tidak
tahu. Hal baru di berbagai bidang, mereka baca atau dengar lewat
para pakar dengan siapa mereka berhubungan. Bacaan mereka
tidak terbatas di bidang yang menyangkut langsung profesinya
sendiri. Keterlibatannya dalam segala hal menyebabkan tampak
jelas jalan pikirannya yang universal. Dokter Liantoro pernah
mengatakan bahwa dirinya sudah tidak menganggap lagi hanya
sebagai warga negara Indonesia. Kami ini warga dunia, katanya.
Saya kadang-kadang terkejut karena melihat paspor saya. Baru
ingat: Oh ya! Saya ini orang Indonesia!
Ini pulalah yang sangat baru bagiku. Ganik dan keluarganya
membukakan mataku terhadap pemikiran bahwa semua masalah
yang terdapat di belahan dunia mana pun adalah masalah manusia.
Sejak kecil, sejak masa yang menumbuhkan daya ingatku, ialah
zaman revolusi, aku hanya mendengar perkataan "demi bangsa
dan negara". Dengan Ganik lain halnya. Hingga masa dewasa, tak
pernah aku melihat sikap sahabatku yang menonjol-nonjolkan
kalimat sakti "berbakti kepada negara" atau sejenisnya. Sejak
menjadi pejabat KBRI pun, tak sekali aku melihat dia berlebihlebihan bersikap patriotik. Mengapa mesti ribut-ribut, katanya.
Kepatriotan yang berlebihan malah menyebabkan salah tingkah.
Lalu temanku menyindir bagaimana kebanyakan rekannya yang
keterlaluan memampangkan kebangsaannya itu pada suatu diskusi tidak mengetahui jenis kesusastraan kuno apa yang ada di
Indonesia. Mereka juga tidak mengetahui nama-nama, empat
226 atau lima saja, bagian gamelan Jawa atau Bali. Tapi mereka bisa
menyebut piano, biola, organ, celo dan bas. Apakah itu yang dinamakan "demi bangsa dan negara"? Dalam beberapa hal, Ganik
seperti Siswi. Keduanya keras dan judes. Tapi wawasannya luas
dan jauh, karena mereka juga mampu menerima wawasan orang
lain. Bergaul dan menjadi orang dekat mereka, aku mendengarkan serta menyerap. Tapi aku juga bisa menyaring mana yang
patut kuterapkan serta sesuai dengan jalan maupun panggilan
hidupku. Dalam hal pendidikan, kuteliti benar mana yang bisa kuambil. Kemudian kubaurkan menjadi metode yang kuanut.
Selama tinggal bersama keluarga Dokter Liantoro di negeri orang itu, tiba-tiba aku menyadari bahwa inilah dia yang
kucari dalam ingatanku. Dia mempunyai cara bicara dan cara
memandang masalah apa pun juga, sama seperti Irawan dan Handoko. Karena tidak mampu menemukan sendiri sebab-sebab kesamaan tersebut, aku mengatakannya kepada ayah Ganik. Janganjangan dalam masa kehidupan yang lampau, mereka bertiga
adalah saudara kandung. Inilah teoriku. Ayah Ganik tertawa
mendengar aku sampai pada renungan kelahiran kembali sesudah
kematian. Dengan mudah dia mengajukan teori lain. Katanya,
Irawan, Handoko, dan dirinya terlalu biasa menggunakan bahasa
asing di samping bergaul dengan bangsa sedunia. Tekanan-tekanan bahasa Jawa yang mendasari pertumbuhan mereka samasama tidak lama mereka hayati. Pada waktu itu, orangtua Ganik
sudah menghabiskan waktu enam bulan di Tanah Air. Dalam
setahun, mereka mempergunakan waktunya setengah-setengah
untuk mengajar atau berceramah di luar negeri atau di negara
sendiri. Undangan-undangan yayasan atau universitas luar
negeri selalu digabung dengan pertukaran pengetahuan. Itu sangat menguntungkan bagi ilmuwan seperti ayah Ganik. Kalau
227 sudah biasa menyelami kehidupan orang Barat, cara memandang
persoalan tentu berbeda. Teori bapaknya Ganik tidak begitu kupercaya, tetapi aku juga tidak membantahnya.
Hari Minggu pagi aku pamit. Handoko menjemputku. Kami
langsung menuju ke pangkalan kapal pesiar. Ganik sudah memberitahu garis besar urutan perjalanan kapal melalui terusanterusan air di kota Amsterdam. Pelancongan jenis itu dihentikan
pada musim dingin. Di akhir musim gugur seperti waktu itu pun
tidak semua jurusan dapat dilewati kapal wisata. Walaupun demikian, aku senang sekali bisa menarik kesimpulan keindahan
gedung-gedung dipandang dari jalan air. Menurut keterangan
ayah Ganik, konon dulu terusan-terusan di kota Batavia alias
Jakarta juga bisa dilewati kapal. Karena memang maksud Belanda
ingin membangun kota jajahan tersebut dengan mengambil
Amsterdam dan kota-kota Belanda sebagai model. Di seluruh
Eropa, Belanda-lah negeri yang paling banyak mempergunakan
kanal dan Sungai Rijn sebagai jalan angkutan di air.
Di samping kebaruan pemandangan yang kusaksikan itu merupakan tambahan pengalaman yang unik, hari itu juga aku
menghayati perasaan lain yang telah kulupakan: aku merasa
nyaman bersama seorang laki-laki. Tingkah laku Handoko selalu tepat. Sikap dan kata-katanya dalam menanggapi semua pertanyaan atau kelakuanku sendiri selalu sederhana, namun pas.
Sudah kami sepakati berdua bahwa kami akan berbagi semua
pengeluaran.
Aku sendiri sadar akan tidak adanya keengganan di antara kami berdua. Handoko mengetahui banyak tentang perkembangan
perindustrian dan pertanian di Eropa. Bidangnya mesin dan lebihlebih lagi perkapalan tidak menghalanginya untuk mengetahui
hal-hal lain secara umum.
228 Dia bahkan hampir mengejutkanku ketika bercerita sering
menonton konser dan pertunjukan balet. Teater modern dan klasik
juga dia kenal dengan baik. Dia menabung ketat karena ingin
mengikuti perkembangan dunia pertunjukan secara rutin. Setiap
musim dia berusaha menonton pertunjukan yang berbobot. Kami
berdua banyak membicarakan orang-orang bergelar kesarjanaan
di Indonesia yang tidak tahu-menahu mengenai kebudayaan ataupun pengetahuan lain di luar bidang mereka.
Tanpa ragu ataupun malu aku mengatakan apa yang kupikirkan. Biasanya, aku tidak suka berbincang terlalu mendalam
dengan orang yang baru kukenal. Kepada Handoko, aku bahkan
dapat mengkritik tingkah pejabat dan orang-orang yang sudah
berkehidupan mapan yang sama sekali tidak berusaha memperkaya
kepekaan jiwanya dengan bacaan atau pertunjukan berkualitas.
Handoko mengakui bahwa dirinya berubah karena pergaulannya
dengan lingkungan yang tahu menghargai kesenian. Profesornya
pada suatu ketika menyebut sebuah pertunjukan opera berdasarkan
karya sastra yang ditulis oleh William Shakespeare. Setelah menyaksikan opera itu, Handoko menjadi pengagum pengarang dunia berkebangsaan Inggris itu.
Lalu, demikianlah dia mulai menjadi seorang pembaca karya
sastra internasional yang tekun. Tadinya dia tidak sabar membaca.
Katanya dia tidak telaten, karena selalu ingin mengetahui bagaimana akhir cerita sebuah buku. Kini dia masih membaca cepatcepat. Tetapi kemudian setelah selesai, dia membaca ulang buku
yang sama. Enak mencerna kembali kalimat-kalimat yang ditulis
oleh orang-orang yang mengamati kehidupan dan manusia dengan cara mereka masing-masing, kata Handoko. Dia merasa lebih kaya jika merenungkan kembali setiap karangan. Kepuasan
yang dia dapatkan sama seperti setelah dia berhasil memecahkan
229 sesuatu rangkaian matematika, sesudah dia memasang mesin kapal di tempatnya dan berfungsi sebagaimana layaknya.
Dalam paket pariwisata yang kami ambil itu termasuk pula kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap unik. Kami dibawa ke
ruang bawah tanah beberapa restoran kuno. Di situ disimpan bertong-tong dan berbotol-botol minuman anggur dan bir. Koleksi
gelas untuk minum bir juga merupakan atraksi yang istimewa bagi
kami orang dari negeri panas. Handoko menceritakan bahwa di
Jerman, koleksi seperti itu juga sangat dihargai. Aku bertanya apakah dia juga suka minuman beralkohol itu. Saya hanya minum kadang-kadang, kalau disuguhi, jawabnya. Di musim dingin, rasanya
seolah-olah badan membutuhkan sesuatu yang panas. Sambil tertawa, dia menambahkan, di musim lain, kalau sedang tidak bisa
tidur, dia juga minum bir. Itu obat tidur yang manjur baginya.
Kami memisahkan diri dari rombongan di sebuah tepian, lalu
duduk minum teh di kafe terdekat. Sambil makan kue, agak lama
kami berdebat kecil untuk menentukan ke mana selanjutnya kami akan pergi. Ketika masih berada di Tanah Air, aku sering
mendengar adanya daerah pelesiran yang lebih dikhususkan buat
kesenangan kaum pria di dekat pelabuhan Rotterdam. Tamutamu yang pernah kukenal dengan perantaraan Dokter Liantoro
menceritakan tentang jalan-jalan yang dipinggiri dengan etalase.
Di dalamnya bukannya berisi baju atau sepatu, melainkan wanita-wanita yang duduk memampangkan diri sebagai contoh dagangan.
Aku ingin sekali melihat daerah itu dari dekat. Setidaktidaknya selayang pandanglah. Rasa santai yang kualami selama
bersama Handoko mendorongku untuk mengatakan keinginan
tersebut. Kepadanya kukatakan, dengan siapa lagi aku akan ke
sana jika tidak dengan seseorang yang kukenal baik. Terus terang
230 memang aku tidak akan mungkin minta diantar orang lain.
Barangkali aku bisa ke sana bersama Ganik. Tetapi rasanya lebih
tepat jika aku mengunjungi tempat semacam itu bersama seorang
lelaki.
Perbantahan kecil kami bukan menyinggung soal keengganan
ataupun rasa keberatannya membawaku ke tempat pelacuran itu,
melainkan disebabkan oleh hal kepraktisan. Aku tidak ingin dia
terlalu capek dan menyetir langsung pulang ke Amersfoort malam
itu juga. Meskipun dengan jalan-jalan besar yang nyaman, jarak
yang harus ditempuh dapat cepat terlaksanakan; tetapi maksudku
berakhir pekan itu adalah buat bersantai, bersenang-senang
tanpa terburu-buru. Kuusulkan agar kami menginap semalam
di perjalanan. Baru hari Senin pagi, dengan santai kembali ke
Amersfoort.
Akhirnya kami capai kesepakatan. Kami lihat jalur jalan-jalan
yang akan kami lewati. Handoko menemukan tempat-tempat
yang patut dilihat. Dari peta itu pula kami mendapatkan daftar hotel. Kami catat beberapa yang sesuai dengan saku kami.
Handoko menelepon menanyakan apakah masih ada kamar buat
malam itu. Kami menemukan tempatnya beberapa waktu kemudian, tepat di pinggiran kota Rotterdam.
Petang itu aku menyaksikan pemandangan yang lain dari yang
telah kulihat hingga saat itu. Mobil kami tinggalkan di sebuah
tempat parkir, kemudian kami memasuki lorong terdekat. Baru
setelah berada di daerah tersebut, kelihatanlah betapa rapi dan
menariknya jalan-jalan kecil itu. Memang benar etalase-etalase
yang disinari lampu temaram di sana berisikan wanita. Mereka
berpakaian aneka jenis model, berkisar antara anggun, mencolok,
hingga urakan menurut seleraku. Tetapi, pada umumnya para wanita itu berwajah menarik, bersolek seperti akan beraksi di atas
231 panggung. Cara duduk mereka selalu diatur untuk menyuguhkan
bagian-bagian badan yang dirasanya paling menggairahkan. Menghadap ke depan maupun miring, menyuguhkan proil mereka supaya mengait mata calon langganan. Bahkan ada seorang yang
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersikap seolah-olah sedang berjemur di panas matahari di pantai
atau di kolam renang.
Pada umumnya penghuni etalase itu memegang sesuatu. Ada
yang merajut, membaca buku atau majalah. Di samping etalase
ada pintu. Jika seorang atau beberapa langganan tertarik, dia memberi isyarat. Mereka berbicara lewat pintu tersebut. Pada waktu
ada kesepakatan, rundingan segera berhenti. Langganan menghilang, masuk dari pintu, etalase tertutup oleh korden. Begitulah
kurang lebih terlaksananya perdagangan di sana.
Handoko mengajakku berdiri di sudut sebuah persimpangan
kecil untuk mengamati beberapa etalase sekaligus. Empat lelaki
berkerumun di depan jendela kaca, dua dari mereka melihat ke
kaca lain, kembali lagi. Kelakuan mereka tepat seperti seseorang
yang sedang memilih barang yang akan dibeli. Dari tempat kami,
terdengar komentar manis dan urakan silih berganti mereka ucapkan dengan sikap yang mencolok, seolah-olah itu adalah hal yang
amat biasa.
Setelah menyaksikan contoh itu, kami berjalan menelusuri lorong-lorong lain sambil mencari restoran. Tampak beberapa toko
tas, sepatu, dan pakaian, dan toko swalayan mini. Yang paling
banyak ialah toko benda-benda pornograi, buku dan koleksi foto
penggugah nafsu yang sesuai dengan daerah tersebut. Tempattempat pertunjukan tari telanjang dan yang disebut pertunjukan
pribadi atau private show juga terselip di antara etalase-etalase.
Poster dan papan bergambar dipampangkan dengan keterangan
selengkap mungkin. Masing-masing menggunakan gambar dan
232 kalimat yang saling hendak mengatasi supaya bisa mengundang
lebih banyak langganan dan penonton.
Kata Handoko, tidak semua penghuni etalase itu betul-betul
wanita. Sebenarnya ada jalan yang khusus merupakan tempat para waria beroperasi. Tetapi seorang atau dua bisa juga terselip di
lorong-lorong lain. Etalase-etalase itu ada yang mempunyai stempel atau kode. Hanya langganan yang mengenal betul kebiasaankebiasaan di sana yang mengerti arti tanda-tanda semacam itu.
Di waktu duduk menikmati makan malam, kami berbincang
mengenai daerah istimewa yang baru kami kunjungi. Handoko
tidak menyembunyikan keheranannya karena aku sudah banyak
mengetahui perihal tempat itu. Kuceritakan lagi bahwa aku sering
bergaul dengan tamu-tamu Dokter Liantoro. Selain mengajar,
melalui kepanduan dan Palang Merah aku sering berhubungan
dengan yayasan-yayasan sosial. Aku juga pernah menjadi pengajar
sukarela di tempat yang mengurus para pelacur. Wanita-wanita
itu dididik dengan keterampilan aneka ragam supaya bisa mencari
pekerjaan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Tamu-tamu
ayah Ganik adalah golongan cerdik cendekia, para lelaki matang
yang merundingkan masalah pelacuran dengan ketenangan dan
kedalaman pengertian. Biasanya mereka juga mencari informasi
bagaimana dan apa yang terjadi dalam hal perdagangan semacam
itu di Indonesia; karena itu memang merupakan sebuah bisnis di
Negeri Belanda.
Sedari dulu aku tidak menyembunyikan rasa tertarikku terhadap cara dunia Barat menangani "perdagangan" tersebut. Di
satu pihak, sebenarnya susila harus diselamatkan. Namun di sisi
lain, penjajaan dengan cara unik itu sungguhlah menertibkan dan
menjaga kesehatan semua pihak. Dipandang dari segi keuntungan,
konon devisa yang masuk dari daerah pelabuhan Rotterdam sangat
233 berarti guna kelancaran roda ekonomi negara. Kata Handoko sambil tertawa, hasilnya hampir menyamai pemasukan uang dari ekspor bunga potong. Kami berdua menyimpulkan bahwa kalau mau,
memang wanita dan bunga bisa disamakan.
Menurut ajaran moral, dan secara formal, tidak ada negara
yang membenarkan pelacuran. Tetapi masalah ekonomi, lain halnya. Memang bagi wisatawan yang berpretensi bermoral, menamakan daerah itu tempat mesum. Yang kulihat dari luar, itu adalah tempat yang menyenangkan karena bersih dan menarik. Juga
memiliki perdagangan lain dari yang dikhususkan di situ. Filmilm yang dipertunjukkan tidak semua berbau pornograi. Jadi, ada
pilihan bagi para pengunjung. Suasana di kafe dan restoran juga
sopan, dengan harga suguhan yang tidak lebih mahal dari di tempat lain.
Pendek kata aku puas bisa menyaksikan tempat tersebut. Daerah pelacuran di Tanah Air selalu gelap. Benar-benar mengesankan
kemesuman. Seringkali juga kurang aman. Perkataan mesum pun
mempunyai arti ganda. Karena selain arti kiasannya, selokan dan
sampah berbaur menjadi uap yang tidak sehat. Liburanku akhir
pekan yang panjang kuanggap lengkap. Aku sudah bertemu dengan Ganik sekeluarga. Melalui terusan-terusan di Amsterdam
aku menikmati pemandangan indah yang mengandung unsur sejarah. Dan akhirnya aku mengenal Rotterdam dengan dunianya
tersendiri.
Kusampaikan terima kasihku yang tak terhingga kepada adik
iparku. Aku semakin menghargainya sebagai teman, sebagai manusia dengan siapa aku bisa bergaul bebas dan serius. Dia menanggapi apa pun yang kumaksudkan. Dan nyata dia mengerti,
bahwa rasa ingin tahuku tidak berdasarkan atas kemanjaan perempuan yang merengek supaya dipenuhi kehendaknya, melain234 kan berpokok dari pandanganku sebagai manusia yang sadar
serta bertanggung jawab atas masyarakat di mana dia hidup. Aku
menyukai penjelasan-penjelasan Handoko yang lancar, tidak
berpura-pura mengerti. Dia selalu berterus terang tidak tahu
jika memang dia tidak mengetahui masalah yang kutanyakan.
Membahas soal seks bersama Handoko bagiku seperti berhadapan
dengan Winar maupun Mas Gun. Kami berbicara seobyektif mungkin, sebagai orang intelek. Perbincangan kami tanpa pretensi
hendak memperbaiki maupun mengkritik kebejatan susila atau
mengagungkan kesalehan diri sendiri. Kami sama-sama menyadari
bahwa perdagangan kesantaian sejenak jenis pelacuran itu sudah
sama tuanya dengan usia dunia itu sendiri.
Mau atau tidak, seringkali aku membandingkan Handoko dengan kakaknya, suami yang kuakui semakin tidak kuanggap sebagai suami lagi. Bersama Handoko aku mendapat kesan, seolaholah hidup ini bisa disederhanakan meskipun penuh masalah dan
tantangannya. Handoko mempunyai pembawaan mampu mengarahkan segala jenis kesukaran ke kesantaian dan humor. Dia
mengingatkan aku kepada ayahku. Aku mengagumi bagaimana
dia sabar menunggu orang mengutarakan pendapatnya sampai
selesai. Di masa aku masih berumahtangga dengan kakaknya,
semua perbincangan selalu dimonopoli olehnya. Lebih-lebih
setelah aku memutuskan untuk bersikap pasif sebagai cara agar
tidak mendapat sebutan istri yang membantah suami. Tampaknya
aku adalah istri yang selalu membuntuti dan membenarkan katakata suami, istri tanpa pribadi. Barangkali begitulah kelakuan
para istri yang maunya dikatakan baik serta penurut. Walaupun
yang sesungguhnya, aku seribu kali tertekan. Karena aku terpaksa
mengabaikan rasa harga diriku, demi pandangan lahiriah, kesan
orang terhadap diriku.
235 Sesudah makan, kami meninggalkan daerah pelesiran tersebut,
menuju ke penginapan. Keesokannya kami santai berangkat ke
Amersfoort, berhenti di mana pun Handoko mau berhenti, atau
singgah di tempat-tempat penjual tanaman yang memperagakan
bermacam-macam perdu serta bunga amat indah. Di Negeri Belanda, setiap kota ditata penuh dengan cita rasa. Tidak ada kota
yang tidak memiliki petak tanah berhias. Setiap musim, bunga di
dalamnya diganti.
Tiba kembali di pondokanku, kami masih sempat membenahi
apartemen yang telah kutinggal selama tiga hari. Handoko menolong membersihkan balkon dan ruang tamu. Aku mencuci
sayur serta mengemasi belanjaan. Kamar tidur bahkan kusapu.
Setelah mandi, dengan santai kami makan di depan televisi di
ruang tamu. Malam itu Handoko tidur di situ. Kursi panjang
di sana cukup lebar dan sangat empuk seperti dipan. Aku juga
tidak jarang tertidur di atasnya. Hari Selasa sebelum jam tiga
dinihari, kami sudah bangun. Sementara Handoko bersiap-siap,
aku membuatkan roti untuk bekal. Dia berjanji akan menjemput
teman-temannya di Utrecht, lalu pulang bersama ke Hamburg.
Di waktu berpamitan, tanpa ragu-ragu maupun basa-basi, dia mencium kedua pipiku.
"Saya akan segera menelepon," katanya. Tangan kirinya masih
memegang lenganku.
Kami berpandangan sejenak. Aku menggumamkan jawaban
sambil melepaskan diri, membuka pintu yang mengarah ke belakang gedung tempat parkir.
"Hati-hati," kataku ketika dia menuruni tangga. "Kalau mengantuk, berhenti dulu."
Tanpa menoleh, Handoko mengatakan "ya". Aku menunggu
di atas tangga. Tiga kali dia mencoba menstarter barulah mesin
236 mobil mendengkur, lalu keluar dari deretan garis-garis parkir di
taman. Sebelum menghilang di lindungan gerbang, Handoko mengeluarkan lengan dan melambai.
*** Hujan semakin sering datang. Suhu udara selalu berada di bawah angka lima derajat Celcius. Kulitku menjadi semakin kering. Dengan warna cokelat yang kumiliki, bagian kaki serta
tangan selalu tampak bergurat putih-putih dan berkeriput. Itu
mengesankan ketuaan dan kotor. Setiap hari setelah mandi aku
menghabiskan waktu untuk memoleskan krim serta memijatmijat kulitku. Kata Ganik, lebih baik aku membeli krim pelembap
yang paling umum, tidak terlalu mahal untuk memelihara kulit.
Ternyata dia benar. Karena seandainya aku membeli krim lain,
anggaranku hanya buat pemeliharaan kulit saja tentulah menjadi
besar.
Alur kesibukanku tetap meskipun musim dingin sudah mengetuk pintu. Waktuku masih terbagi antara perpustakaan, kuliah,
dan pengamatan di lapangan. Pada hari-hari tanpa keharusan keluar, aku hampir-hampir merasa bahagia karena tidak perlu berada di jalanan menunggu bis atau trem. Terpaan angin dan udara
beku sangat menyengat. Kesempatan-kesempatan semacam itu
kupergunakan untuk memilihi barang-barang serta kertas-kertasku.
Dua bulan bersekolah di sana, aku menyatakan bahwa kekayaanku bertambah. Terus terang, kerinduan terhadap anakanakku mulai mengganggu. Sri termasuk sering menelepon menyampaikan berita mereka. Tetapi surat ibukulah yang paling
berarti bagiku. Tiba-tiba aku menemukan ibuku sebagai seorang
237 pencerita yang hebat. Tulisannya rapi, panjang-panjang miring
ke kanan. Dia menulis di kertas bloknot bergaris. Katanya, sekarang dia menjual bloknot seperti itu beserta alat-alat tulis
dan gambar lainnya. Sudah dicapai kesepakatan dengan Sri mengenai pinjaman uang yang cukup besar. Sri mengusulkan agar
Ibu mengembangkan warungnya menjadi toko kecil yang lebih
semarak, dengan penerangan yang cukup. Di daerah pemukiman
itu sekarang ada lebih dari dua rumah yang meniru membuka
warung. Telah tiba waktunya ibuku mengubah cara berdagangnya.
Kemudian Sri membuat anggaran. Ketika adikku pulang dari
Bandung, dia membuatkan rancangan desain sederhana buat toko
ibu kami. Toko itu melonjok di halaman depan, mencapai pagar
yang membatasi rumah dengan jalan. Bagian belakang warung
tetap menjadi tempat penyimpanan dan kamar pembantu. Tambah ibuku dalam suratnya, kini ada lemari kaca memanjangi dinding. Setengah untuk gantungan pakaian sewaan dan yang dijual, setengahnya guna dagangan lain yang terlipat. Di bagian
depan, ada lemari kaca buat menyimpan alat tulis-menulis. Di
samping itu, Ibu tetap menjual bahan pokok beras, tepung, dan
sebagainya. Tetapi semua lebih rapi, disimpan di dalam rak menuruti bungkusan kiloan, seperti yang dijajakan di toko-toko swalayan yang mulai bertumbuhan di kota kami.
Aku gembira sekali mendengar perkembangan tersebut. Kepindahan sahabatku tidak saja baik buat dirinya sendiri. Keluargaku
pun turut mendapatkan manfaatnya. Dia mengarahkan ibuku,
mengawasi anak-anakku. Hal ini mengurangi kegelisahan yang disebabkan oleh rasa rindu serta kekhawatiranku. Di telepon, Ganik
tetap mengusulkan agar aku mau tinggal lebih lama di Eropa. Dua
profesor demikian pula. Kalau memang keadaan rumah cukup
mantap, mengapa aku ragu-ragu. Sementara itu aku berusaha
238 sebaik mungkin, mengumpulkan dan menyerap apa yang bisa kuambil.
Kepada dosen yang menjadi waliku, telah kusampaikan batasan waktuku. Seandainya aku tinggal lebih lama, tentu tidak
akan melewati Februari. Jadi tidak akan lebih dari enam bulan.
Dan supaya tidak meninggalkan kesan kehampaan, sebegitu ada
waktu terluang, aku menyaring catatanku. Sebelum meninggalkan
negeri ini, aku ingin membuat rangkuman, kertas yang kutulis dengan bentuk laporan yang setidak-tidaknya mempunyai bobot.
Menurut kenalanku para pengajar bangsa Belanda, orang-orang
Indonesia yang diberi kesempatan belajar lagi di negeri ini tidak
selalu memanfaatkan waktunya untuk menambah ilmu. Bahkan
ada seorang profesor yang tanpa sembunyi-sembunyi mengibaratkan mahasiswa Indonesia seperti botol-botol kosong yang dijejerkan, lalu orang Belanda mencurahkan benda cair ke lubang
botol-botol itu dengan gerakan cepat ke sana kemari. Mana yang
bisa mendapatkan isi banyak, ya syukurlah. Mana yang hanya bisa kemasukan sedikit, nasibnyalah.
Mendengar seorang profesor berbicara seperti itu, aku tidak yakin apakah dia bermaksud menghina ataukah menyatakan bahwa
justru para pengajar yang kurang sigap memasukkan "benda cair
itu ke dalam setiap botol yang kosong". Bagaimanapun juga, kuakui bahwa memang ada orang yang tidak memanfaatkan waktunya untuk menambah ilmu, melainkan untuk berbelanja, untuk
bersenang-senang. Dan konon setiap kali ada rombongan baru,
di dalamnya selalu ada orang semacam itu. Kulihat sendiri di antara yang seangkatan denganku, ada dua orang yang demikian.
Dan konon kebanyakan dari mereka biasanya lelaki. Kesibukan
mereka setiap saat ialah membaca iklan untuk mendahului yang
lain-lain supaya mengetahui di mana ada obralan barang. Pertun239 jukan yang panas sampai yang erotik dan urakan biasanya juga
menjadi sasaran masa tinggal mereka di negeri orang. Ayah Ganik
menyampaikan pendapat rekan-rekannya para profesor asing, katanya siswa-siswa itu seperti kuda yang terlepas dari kendali sebegitu tiba di negeri mereka.
Aku berusaha tidak berbuat seperti mereka. Kegemaranku
menonton ilm memang kumanfaatkan benar. Hampir semua
ilm yang terkenal menerima hadiah dan kritik bagus, kutonton
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan senang hati. Aku bisa menganggap masa tinggalku
di negeri asing sebagai waktu "sambil menyelam minum air".
Pengendalian diri yang diajarkan orangtuaku ternyata juga dapat
kuterapkan selama hidup di dunia yang serba modern itu. Tantangan dan godaan memang tidak sedikit. Berbagai suguhan barang yang bisa dibeli berlimpah-limpah. Dengan bantuan Ganik
dan keluarganya, aku mempunyai saku yang dapat dikatakan
selalu berisi. Membeli ini dan itu selalu dibisikkan oleh nafsu
yang serakah. Untunglah aku dapat mengatasinya, karena dengan
memikirkan anak-anak, ibuku dan sahabat-sahabatku, aku dapat
mengutamakan membelanjakan uang buat keperluan yang benarbenar berguna bagi mereka. Ibunya Ganik menasihatiku agar
membelikan oleh-oleh satu tetapi bagus dan berguna, daripada
yang kecil-kecil berjumlah banyak, sedangkan kegunaannya
belum dapat dipastikan.
Dan ketika musim dingin menjenguk pertama kalinya, aku betul-betul menyaksikan jatuhnya salju yang melayang-layang turun
ke jalanan. Setelah beberapa hari berselang, udara dingin yang
menyengat kering tanpa kepingan es maupun salju yang datang.
Baru lama kemudian, aku kembali mengalami berjalan di bawah
hujan salju. Karena udara kurang dari nol derajat, air beku yang
putih itu bertahan tetap beku meskipun melekat di baju mantel
240 dan topiku. Begitulah jalan-jalan pun memutih berlapiskan timpaan serpih-serpih yang langsung melekat bersatu.
Untuk seterusnya, salju yang kulihat bukanlah hanya mewakili
warna putih yang murni. Aku bahkan melihat dan menghayati kehidupan negara bermusim dingin yang amat sukar. Di waktu salju
turun terus-menerus dua atau tiga hari dan udara berada jauh di
bawah garis minimum, jalanan tertutup oleh lapisan tebal melebihi tiga puluh sentimeter. Truk penyapu dari kotapraja harus
dikerahkan untuk mengeruk dan menyisihkannya ke samping
jalan. Di mana-mana timbunan itu bisa mencapai hingga satu
meter tingginya. Sedangkan trotoar tempat pejalan kaki pun tidak terhindarkan. Setiap toko dan kantor, bangunan apa pun,
bertanggung jawab untuk membersihkan trotoar di depan masing-masing. Setiap hari pada musim itu aku melihat penjaga
atau karyawan yang bertugas menyebarkan abu atau garam di
atas trotoar sepanjang batas milik mereka guna melelehkan es.
Tidak hanya itu. Es yang telah meleleh oleh bubukan garam atau
abu juga bisa membeku kembali. Lalu tempat berjalan itu menjadi semakin licin. Para pekerja wajib menjaga supaya depan bangunan yang merupakan tanggungan mereka tetap aman untuk
dilewati. Seandainya ada pejalan kaki yang tergelincir di sana,
pemilik gedung bertanggung jawab sepenuhnya. Jika orang yang
lewat di depan mereka terluka, pemilik gedung harus mengganti
biaya pengobatan atau perawatan. Di surat kabar tidak jarang tersiar berita mengenai proses pengadilan berhubungan dengan kecelakaan jatuh di trotoar di musim dingin seperti itu. Adakalanya
orang yang mendapat kecelakaan menjadi cacat seumur hidupnya.
Tanggung jawab ganti rugi benar-benar diperhatikan dan dilaksanakan di dunia Barat. Maka tidak mengherankan jika para
penjaga gedung mempunyai kerja yang semakin sulit di musim
241 dingin. Mereka harus terus-terusan memperhatikan, agar bagian
depan bangunannya dapat dilalui orang dengan baik.
Sebelum menyaksikan sendiri betapa keadaan musim dingin
yang sesungguhnya itu, aku tidak pernah membayangkan bagaimana sukarnya pengalaman berada di tengah-tengah kehidupan
negeri itu. Di Tanah Air, kebanyakan orang berpikir, bahwa musim dingin berarti salju yang putih dan lembut seperti kapas. Selalu
menjadi tanda pesta akhir tahun. Di Indonesia, musim dingin juga
biasa kami, adik-adik dan ibuku, kaitkan dengan nyanyian Bing
Crosby yang terkenal The White Christmas, dengan lagu Jingle Bells.
Bayangan kami juga terdiri dari anak-anak atau orang dewasa
yang berlempar-lemparan bola salju atau membuat arca manusia
salju yang gendut lucu. Kenyataan yang kuhidupi di luar negeri
sangat berlainan. Semua yang bagus-bagus dan menggembirakan
itu barangkali memang terlihat di tempat-tempat pariwisata, di
kota-kota di mana para pelancong menghabiskan liburan mereka.
Kata kenalan-kenalanku bangsa Belanda, salju yang telah melekat
di jalanan kota besar selalu tampak kotor karena pencemaran
udara. Sedangkan di kota-kota berketinggian tertentu, tempattempat liburan misalnya, salju yang turun dan tetap beku di atas
trotoar atau jalanan berwarna lebih putih sehingga masih ada kesan keindahan dan kebersihannya.
Kehidupan yang kualami di Negeri Belanda di musim dingin ternyata lebih sukar. Salju yang berwarna putih hanya berlangsung sebentar. Memang yang terkait dan tertumpuk di atap
gedung kelihatan beberapa waktu berkilau hampir kebiruan karena kemurniannya. Itu lebih awet daripada yang tertimbun di
atas jalanan maupun trotoar. Setelah dilindas dan dilalui roda
kendaraan atau kaki orang, warnanya berubah menjadi kelabu
kotor. Jika suhu udara menurun sedikit, malahan becek seperti
242 lumpur di jalan-jalan daerah kumuh di Indonesia. Orang yang
mengenakan sepatu bersol kulit dengan bentuk biasa, tidak akan
dapat lewat di situ dengan mudah. Konon tahun itu merupakan
musim dingin terkeras sejak sepuluh tahun belakangan. Barangkali aku bisa menganggap diri beruntung menyaksikannya. Namun untuk keluar meneruskan kegiatanku seperti biasanya,
aku semakin mendapatkan kesulitan. Untuk mencapai tempat
perhentian bis, ada bagian-bagian trotoar yang selalu lebih licin
dari lainnya. Walaupun sudah ditaburi garam atau abu, aku selalu
merasa sulit menjaga keseimbangan badan bila berjalan di situ.
Sepatu hangat yang naik hingga ke lutut cukup melindungiku
dari sengatan udara beku. Tetapi solnya dari karet tetap kurang
aman. Atau barangkali karena memang aku tidak biasa berjalan
di atas es, sehingga aku tidak pernah yakin akan keselamatanku.
Lalu seorang kenalanku bangsa Belanda memberiku akal. Aku
disuruh mencari, jika perlu membeli, kaus kaki dari wol yang jauh
lebih besar dari ukuran kakiku. Kaus itu aku pakai di luar sepatu.
Ternyata cara itu sangat membantu sehingga aku dapat berjalan
lebih cepat. Bagaimanapun juga, aku masih harus selalu waspada
di mana menapakkan kaki.
Pengalaman itu membikinku melayangkan pikiran ke Tanah
Air. Semula kehidupan di Indonesia kuanggap yang paling sukar
bagi sebagian rakyatnya. Aku dan keluargaku sendiri tidak jarang
mengeluh. Rupa-rupanya kesukaran yang kami alami itu masih
bisa dipandang ringan jika dibandingkan dengan yang kulihat di
negeri bermusim dingin. Luar negeri bagi orang-orang Indonesia
selalu menimbulkan kesan hidup sejahtera. Masing-masing penduduk memiliki rumah gedung dan mobil. Memang itu ada kebenarannya. Tetapi hidup enak yang didapatkan oleh masingmasing penduduk di dunia Barat ternyata merupakan hasil dari
243 kerja keras dan usaha yang tidak pernah berhenti. Mereka berani
menantang berbagai kesulitan, gigih dan tak gentar menghadapi
ancaman serta kesukaran. Satu dari kesukaran itu ialah bertahan
hidup mengatasi musim dingin. Meskipun musim-musim lain juga
mempunyai cacat atau kekurangannya. Umpamanya musim gugur
dan musim semi yang membawa hujan besar, banjir atau topan.
Semua itu bisa membobolkan bendungan dan tanggul jembatan,
serta melahap hasil pertanian dan perikanan. Tidak jarang pula
terjadi bencana alam yang menghancurkan daerah pemukiman
serta membunuh penduduk. Pada akhirnya, semua jenis kehidupan,
di mana pun sama saja. Masing-masing tempat memiliki tantangan
maupun kemudahan atau keenakannya. Semua tergantung pada
ulah, sikap, dan sifat manusia dalam menanggapinya; di samping,
tentu saja, pengetahuan dan pemanfaatan hasil kecerdasan otak
manusia yang berupa kemajuan teknologi. Ditunjang pula oleh
keterampilan pemutaran ekonomi negara masing-masmg.
Memikirkan orang sebangsa yang memandang luar negeri sebagai tempat yang selalu bisa memberi kebahagiaan, aku teringat
kepada penduduk pedesaan di Tanah Air. Semakin banyak dari
mereka yang meninggalkan tempat asalnya, menuju ke kotakota besar terdekat atau di lain provinsi pun. Kota bagi mereka
merupakan sumber lapangan kerja dan hidup enak. Desa bagi
mereka berarti kerja berat tapi yang hanya menghasilkan uang
sedikit. Oleh perubahan zaman terlalu cepat serta kurang tepat
penerapan cara-cara modern tertentu di tempat-tempat tertentu,
kaum muda pada umumnya tidak lagi dididik untuk memiliki
sifat hemat, tekun, serta waspada. Tiga jalan hidup yang dalam
kesatuan di Jawa disebut gemi, setiti, ngati-ati. Kcbanyakan
anak menjadi remaja yang berkeinginan cepat kaya, supaya bisa hidup seenak mungkin. Kebahagiaan dan kesejahteraan hi244 dup melulu didasari oleh adanya uang di saku mereka. Itulah
kepercayaan mereka. Dunia kebendaan adalah yang utama, lebih
dimenangkan daripada kejiwaan. Ini merupakan ciri-ciri sifat
masyarakat modern. Dipandang dari luar, tampaknya keimanan
orang Indonesia kuat, sehingga seharusnya mampu mengatasi keserakahan yang menggerogoti jiwa dan kesederhanaan hati mereka.
Ketika akan berangkat ke luar negeri, aku singgah beberapa
hari di Jakarta menuruti undangan seorang bekas teman sekelas.
Sekarang dia menjadi istri pejabat Bea dan Cukai. Temanku
itu berhasil mengumpulkan tujuh bekas teman sekolah lain,
dan kami bertemu untuk makan siang. Pada waktu itulah aku
menyatakan rasa keasinganku berada di antara mereka. Suamisuami mereka adalah direktur bank, pejabat di dua kementerian,
dokter terkemuka di rumah sakit swasta termahal di Ibukota, pejabat humas sebuah perusahaan penerbangan. Teman itu mengundangku barangkali memang atas dasar kekawanan. Tetapi hatiku
yang usil menemukan alasan lain, ialah karena aku istri tahanan
politik yang berhasil diundang ke luar negeri berkat prestasiku
sendiri. Jika mereka pergi ke luar negeri tentulah karena uang
atau jabatan suami mereka. Dari tujuh bekas teman sekolah itu,
tentu saja ada yang memandangku dengan rasa iri, di samping
ada pula yang terang-terangan mengutarakan kekagumannya,
"Kamu kok hebat! Bisa diundang sekolah ke luar negeri!" Entah
bagaimanapun tekanan suara yang diberikan, aku berusaha untuk
tidak mentafsirkannya secara negatif.
Sebenarnya, bagi orang-orang seperti mereka, pergi ke luar
negeri bukan lagi merupakan sebuah kejadian. Untuk membikinkan gigi baru, ada yang pergi ke Filipina. Untuk melahirkan,
menginap di rumah sakit terbesar di Singapura. Untuk meme245 riksakan badan karena kecurigaan barangkali dirinya mengidap penyakit, pergi ke Tokyo. Terus terang aku tidak iri mendengar cerita
masing-masing. Aku hanya kecewa ketika mereka mulai bercerita
mengenai anak-anak mereka. Tanpa kekecualian, ketujuh ibu itu
masing-masing dengan caranya mengatakan tidak pernah bisa
menolak permintaan anak mereka. Bagaimanapun dan apa pun
permintaan itu. Pendapat mereka ialah, kalau dulu mereka sebagai
anak-anak hidupnya kurang berkecukupan, sehingga di waktu
menyembelih ayam seekor pun harus dibagi buat dua belas anggota
keluarga, jika kini mereka mempunyai semuanya, mengapa tidak
memberikan ayam goreng sekenyang-kenyangnya hingga si anak
muntah sekalipun. Mempunyai anak tiga yang duduk di SMA
harus berarti satu mobil seorang. Selain sekolah mereka jauh dan
tidak semuanya masuk bersamaan pagi atau siang, dengan adanya
mobil buat masing-masing anak, mereka sebagai orangtua juga
tenang, karena bisa mempergunakan kendaraan dengan sopirnya
semau mereka. Di waktu ada keperluan rapat atau kumpul-kumpul
seperti hari itu, tidak enak jika teringat harus menjemput anak
pada jam tertentu. Itu benar-benar sangat mengganggu pikiran, serempak kata ibu-ibu itu. Tambahnya lagi, biar pada hari Minggu
atau liburan, anak-anak bisa bersama kawan mereka ke gunung.
Kasihan, karena Jakarta begini panas!
Sungguhlah mereka beruntung menjalani kehidupan yang serba mulus itu. Dan siang itu ketika aku bersendirian di dalam
kamar untuk beristirahat, aku pun mengucap syukur pula karena
turut merasakan kenyamanan tiduran di atas kasur berbau wangi, di kamar yang disejuki alat pendingin. Meskipun masih memikirkan kelemahan para orangtua yang kaya, yang semuanya
mengeluhkan pembelotan anak mereka, yang mengaku bahwa semuanya memiliki kesukaran berkomunikasi secara akrab dengan
246 anak-anak mereka itu, aku tetap berterima kasih, karena teman
itu tidak menjauhiku sebagai istri tahanan politik. Aku agak heran mengapa dia tidak khawatir kalau-kalau kedudukan suaminya terganggu oleh kehadiranku di rumahnya. Ini besar artinya
bagiku. Aku juga memaafkan sikapnya yang amat bangga mengatakan, bahwa anak-anaknya semua mendapat SIM dengan cara mengelabui mata polisi karena mengaku berumur lebih dari yang
sebenarnya. Dalam hati aku hanya berdoa, supaya anak-anak itu,
lebih-Iebih yang termuda, cukup sadar, bahwa menyetir mobil
tidak hanya berarti bertanggung jawab terhadap keselamatan diri
serta orang-orang yang ada di dalam kendaraannya, melainkan
juga terhadap orang lain yang ada di jalanan. Termasuk pejalan
kaki, sopir, dan penumpang mobil lainnya.
* * *
Hari itu aku mengurus bermacam-macam surat penting di Den
Haag. Sudah kukabarkan kepada Ibu dan anak-anak bahwa aku
akan tinggal sampai akhir bulan Februari. Musim dingin di Negeri Belanda memang tidak menyenangkan, tetapi kegiatan riset
dan ceramah tetap berlangsung di tempat-tempat yang tidak
terlalu jauh dari pondokanku. Ganik malahan menyarankan agar
aku mempergunakan liburan akhir tahun untuk pergi ke Paris.
Selain akan mengambil izin tinggal yang diperpanjang yang telah
diuruskan KBRI, aku juga menyalami teman serta rekan Ganik
di bagian konsulat. Sebegitu aku masuk kantornya, dia langsung
berkata bahwa adik iparku baru saja keluar dari ruangannya.
"Dia menelepon anda dari sini tadi. Tapi anda tidak ada."
"Sejak pagi sekali saya sudah berangkat," kataku menjelaskan.
"Dia baru saja keluar," dan sambil berkata, teman itu mene247 lepon ke pintu gerbang. Jawaban mengatakan bahwa Handoko
sudah keluar. Katanya lagi meneruskan, "Dia akan ke Paris mengikuti pertemuan Pelajar Indonesia."
"Biasanya musim semi diadakan pertemuan, bukan?" tanyaku
karena pernah mendapat keterangan demikian dari Ganik.
"Benar. Kali ini katanya untuk membicarakan rencana pertandingan catur di Cannes, bersamaan dengan festival ilm nanti."
"Kapan dia ke Paris?"
"Saya tidak tahu tepatnya. Bagian visa mungkin bisa memberi
informasi kepada anda. Kalau dia naik mobil, kalau berangkat
dari sini, anda bisa ikut."
Aku sendiri belum tahu kapan berangkat. Tetapi aku diam
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, langsung ke bagian visa. Pasporku sendiri kuambil karena
telah selesai diurus. Tetapi petugas di sana tidak mengetahui apaapa mengenai rencana Handoko dan kawan-kawannya.
Keluar dari KBRI, tiba-tiba aku merasa lesu. Berjalan ke perhentian bis cukup mudah. Beberapa hari itu udara yang dingin
lumayan cerah. Matahari bersinar kuning. Sisa-sisa onggokan salju yang disisihkan ke tepi jalan serta meminggiri trotoar, rapi
dan sama sekali tidak mengganggu. Setelah naik bis, sampai di
stasiun, naik dan turun tangga, lalu duduk menunggu datangnya
kereta api. Semuanya kukerjakan dengan lamban. Meskipun itu
adalah gerakan yang telah biasa kulakukan, tapi aku sadar bahwa
ada beban berat di dalam diriku. Sebentar-sebentar aku melihat
sekeliling dan belakangku dengan harapan akan menemukan
Handoko. Di perhentian dan dari dalam bis aku mengamati semua mobil berwarna biru tua yang biasa disetir Handoko dan
teman-temannya.
Untuk menghindari keramaian jalan di waktu pegawai berpulangan, aku biasa meneguhi prinsipku, ialah sudah berada di jalan
248 menuju ke pondokan sebelum setengah empat. Hari itu pun, jam
tiga kurang seperempat aku telah turun dari bis, beberapa blok
jauhnya dari tempat tinggalku. Ketika berangkat pagi tadi aku
mempunyai rencana akan belanja. Siang itu niatku kubatalkan.
Aku khawatir Handoko akan menelepon lagi. Jadi aku buru-buru
pulang. Sampai di apartemen, di meja dapur kulihat kertas berisi
pesan yang mengatakan bahwa Dokter Liantoro menelepon dari
Jerman, bahwa Handoko menelepon dari Kedutaan.
Hingga saat siaran televisi berakhir dan aku masuk ke kamar,
tidak ada panggilan telepon lagi. Sebelum tidur, aku biasa membaca buku atau majalah. Ayah Ganik telah mengirimiku satu
sampul besar berisi guntingan teka-teki silang bahasa Inggris. Setiap malam aku berusaha mengisi kotak-kotak pengasah otak itu.
Selain untuk menguji keterampilan bahasaku, juga untuk membuatku semakin lelah sehingga mudah tertidur. Namun malam itu,
setelah seharian bepergian dengan berjalan kaki, amat sukar aku
terlena. Berbagai pikiran mengganggu. Aku bahkan mencurigai si
pemilik rumah yang memang terlalu rewel mengenai hal telepon.
Dia tidak senang aku menerima panggilan alat modern itu. Barangkali karena ini menyebabkan dia bekerja, mondar-mandir memanggilku. Sebab itu, menurut pengalaman selama empat bulan
di sana, kalau dia merasa malas, dia hanya menjawab bahwa aku
tidak ada atau bahwa dia akan menyampaikan pesan. Padahal
sewa yang dibayarkan juga termasuk pemakaian telepon yang datang dari luar. Karena pada waktu aku memerlukan menelepon,
aku pergi ke telepon umum di pojok jalan.
Malam itu, tidurku tidak nyenyak. Sebentar-sebentar seperti
ada dering telepon di kejauhan. Jam empat pagi aku mendengar
lonceng gereja. Kali itu aku bangkit, memutuskan untuk benarbenar bangun. Barang-barang yang akan kukirim mendahuluiku
249 ke Indonesia sudah kukumpulkan di lemari di ruang tamu. Pagipagi buta itu aku mulai mengangsur mengepaknya di dalam kardus-kardus. Hari itu aku tidak mempunyai rencana. Kalau udara
nyaman, aku ingin melihat-lihat toko buku dan tempat perbelanjaan untuk mencari tambahan benda-benda kecil yang bisa
kubawa sebagai oleh-oleh di Tanah Air. Kira-kira setengah enam,
ketika aku baru keluar dari kamar mandi, kudengar bel pintu berbunyi. Sebelum membukanya, kuintip melalui lubang kecil yang
ada di tentangan kepalaku.
"Oh, sebentar," kataku dengan gugup, dan cepat membuka rantai pengaman serta kunci.
Belum melangkah masuk, Handoko langsung menciumku. Tangan yang mencengkeram lenganku masih bersarung kulit kasar,
tetapi wajahnya dingin menyentuh pipiku.
"Sudah bangun, Mbak? Maafkan saya, pagi-pagi sudah menyerbu. Saya khawatir kalau menelepon terlalu pagi akan mengganggu
yang punya rumah. Sedangkan kalau kesiangan, Mbak Mur sudah
pergi."
Aku menjawab apa saja untuk menenangkannya sambil mendahului menuju ke dapur. Handoko mengikutiku dan meneruskan,
"Kemarin sebegitu sampai dari Hamburg, saya mencoba menghubungi anda. Tapi anda sudah berangkat. Masalahnya, kali ini
saya tidak bebas karena tidak bawa mobil sendiri. Ini tadi saya menyerobot kendaraan orang tempat saya menginap. Dia bilang, saya
bisa memakainya sampai jam setengah dua belas. Saya mengurus
surat penting. Kami akan ke Paris minggu depan."
Aku mendengarkan penjelasannya. Panci berisi air sudah di
atas api, lalu aku membalikkan badan. Kulihat Handoko menaruh
bubukan kopi ke dalam cangkirnya dan mengangkat muka. Kami
berpandangan sejenak tanpa mengatakan sesuatu pun.
250 "Satu sendok?" tanyanya kemudian tanpa melepaskan pandangku.
Aku mengangguk. Sebentar kuamati dia mengisi cangkirku.
Air sudah panas. Kucurahkan ke dalam cangkir kami. Handoko
bangkit mengambil roti di dekat jendela, memasukannya ke dalam alat pemanggang.
"Saya tahu anda ke KBRI kemarin," kataku.
Aku duduk. Ganti Handoko yang sibuk, membuka lemari es
mencari mentega dan keju. Mengambil botol-botol selai dan meletakkan semuanya di atas meja. Dia kembali ke dekat jendela.
Kuperhatikan saudara iparku baik-baik. Aku merasa dia tidak
setenang waktu-waktu yang lalu. Ataukah ini hanya perasaanku
sendiri? Karena aku pun demikian. Sejak mengetahui bahwa
dia ada di Negeri Belanda, sejak kemarin malam menunggu teleponnya, sejak melihat dia berdiri di depan pintu; bahkan kini
melihatnya setengah bersandar di tempat cucian piring pun aku
kebingungan karena detak jantungku yang terlalu cepat.
"Saya juga akan ke Paris," akhirnya berita itu kusampaikan.
"Oh ya? Betul? Kapan?" Kata-kata itu bersambungan dengan
lajunya. Sinar cerah yang terpancar di mukanya tidak menutupi
kegembiraannya.
"Ya," kataku. "Barangkali hari Rabu atau Kamis pekan depan
ini. Sambil menunggu pertemuan bersama dengan para dosen
saya, Ganik menyuruh saya ke Paris. Atase Kebudayaan di sana
teman baik keluarga Dokter Liantoro."
"Di mana dia tinggal?"
"Di Rue Raynouard. Kata Ganik, tidak jauh dari Kedutaan."
"Bagus," kata Handoko, wajahnya semakin bersinar oleh pandangnya yang nyata puas.
251 Tiba-tiba aku merasa, seolah-olah ketegangan yang sedari semula menguasainya, kini te1ah meninggalkannya.
Lalu dia meneruskan, "Saya akan sibuk kira-kira dua hari. Paling lama tiga. Sesudah itu, bebas. Kita bisa membuat rencana
bersama. Saya antar Mbak Mur ke mana-mana. Ke mana yang
anda sukai?"
Kami makan sambil berunding, mencari serta mempertimbangkan bagaimana sebaiknya. Sebenarnya Handoko bersama temantemannya akan berangkat hari Sabtu sore. Setelah mengetahui
bahwa aku belum membeli karcis, dia berkata ingin menemaniku
naik kereta api.
"Bagaimana dengan teman-teman anda?"
"Itu tidak menjadi soal. Kalau saya naik kereta, meskipun anggaran bertambah, di mobil ada tempat satu lagi untuk kawan
lain. Saya ingin lebih banyak bersama Mbak Mur. Kita tidak sering mempunyai kesempatan untuk bertemu. Apalagi bepergian
berdua."
Mungkin dia tidak bermaksud untuk menyenangkan hatiku dengan mengucapkan kalimat tersebut. Tetapi hatiku bergetar. Aku
menunduk untuk menyembunyikan pengucapan wajahku yang
barangkali akan mengkhianatiku.
Hari itu jam sepuluh, ketika kami meninggalkan kantor pariwisata dinas kereta api di stasiun, karcis sudah kami bawa. Handoko akan naik dari Rotterdam, aku di Rosendaal. Tempat duduk kami sudah diberi nomor yang berdampingan. Pada waktu
kereta berhenti di Rosendaal, dia akan turun ke peron menolong
mengangkat koporku. Janji pertemuan dan kebersamaan selama
beberapa hari itu memberiku rasa kehangatan. Perasaan nyaman
di waktu Handoko berada di dekatku sama seperti jika aku ber252 sama dengan Ganik dan keluarganya. Dia tahu semuanya dan
bisa cepat mengambil keputusan.
Bepergian di tempat asing tidak pernah memberiku ketenangan.
Yang tidak kukenal selalu mengkhawatirkanku. Berpesiar ke Paris memang enak. Dan aku sadar bahwa aku beruntung karena
dibantu oleh Ganik beserta lingkungan dekatnya. Tapi meskipun
begitu, aku yakin tidak akan keluar berjalan-jalan sendirian. Bahasa Prancis tidak kukenal sedikit pun. Sebagai turis aku bisa
mempergunakan bahasa Inggris. Tapi kudengar orang-orang Prancis di jalanan amat tinggi hati. Pada umumnya mereka tidak mau
mempelajari bahasa-bahasa lain. Sikap mereka dalam banyak hal
juga tertutup. Aku yakin, selama sepuluh hari berada di Paris tidak akan pergi jauh jika tidak ditemani Yu Kartini, kenalan baik
Ganik. Aku dapat pula memastikan bahwa seandainya berada di
luar negeri bersama Winar atau Mas Gun, perasaan kenyamanan
yang kualami tentulah berbeda. Teman-temanku itu memang memberiku perasaan tenang. Winar pernah diundang ke Amerika dan
bermukim tiga bulan di sana. Tetapi ketenangan yang kudapatkan
jika aku bersama Handoko sudah dapat kupastikan tidak sama
seperti yang kualami pada saat aku bersama lelaki lain. Bagaimana menerangkannya? Aku sendiri pun tidak mengetahui rasa
apa sebenarnya yang menyeluruhi diriku. Ada sedikit tantangan.
Barangkali harapan? Dia iparku. Menurut tradisi dan ajaran yang
patut, seharusnya segala rasa tertarik antara perempuan dan lelaki
terhapus dari hatiku.
Dan memang telah lama sekali aku tidak merasakan tantangan
ataupun harapan semacam itu. Handoko cukup tampan. Tidak
mirip seorang pun dari saudara-saudaranya. Lahir dari bapakibu yang masing-masing mempunyai warna kulit cokelat dan
kuning, semua anak yang kukenal menuruti hanya satu pihak.
253 Yang sulung jelas seperti ibunya dan berkulit terang. Irawan mirip
bapaknya, kulitnya pun cokelat. Handoko lain. Wajahnya campuran dari kedua orangtuanya, dengan bentuk lebih lebar memanjang. Hampir persegi. Kulitnya cokelat. Rambutnya adalah
yang paling kusenangi. Hampir tujuh tahun hidup di Eropa tentulah mempengaruhi pancaran yang tersimpan di wajahnya.
Dia kelihatan lebih tua dari umurnya yang sembilan tahun di
bawahku.
Semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa tertarik kepadanya. Dia tanggap bahwa aku tidak suka membicarakan kakaknya. Seakan-akan dia mengerti bahwa aku ingin menggariskan
batas antara hidupku yang lampau dengan masa kesendirianku.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama sekali, aku sangat bingung menentukan pakaian yang akan kubawa. Di telepon, Ganik
menasihatiku agar membawa lebih banyak celana panjang. Bawa
payung, tambahnya pula. Yu Kartini sudah diberitahu supaya meminjamiku baju tidur. Dengan demikian aku tidak perlu terlalu
banyak membawa pakaian. Tetapi aku ingin Handoko melihatku
sepantas dan serapi mungkin.
Dua hari sebelum tanggal yang ditentukan, aku berangkat ke
Arnhem untuk tinggal bersama kenalan baikku sejak aku datang
di negeri ini. Dia wanita Belanda yang tidak kawin, pekerja sosial di sebuah yayasan buat anak-anak bisu-tuli. Orangtuanya
adalah pencinta Indonesia yang pernah tinggal puluhan tahun
di sebuah perkebunan dekat Pasuruan. Anneke, teman baruku
itu lahir di kota Jawa Timur tersebut. Sudah beberapa kali aku
diundang makan bersama keluarganya. Kawanku itu menyewa
at di dalam kota, sementara menunggu giliran mendapat rumah
angsuran tidak jauh dari tempat tinggal orangtuanya. Pada waktu
bersama mereka, percakapan lebih berkisar mengenai Indonesia
254 di zaman dahulu. Kemudian aku menjawabi pertanyaan mereka,
karena ingin membandingkan keadaan yang dikenalnya di masa
pemerintahan Hindia Belanda. Dengan senang hati aku melayani pembicaraan. Mereka bertiga memimpikan kunjungan ke
Indonesia untuk bernostalgia.
Tiba hari kencanku, aku diantar ke stasiun.
Kereta api pagi yang menuju ke mana pun selalu sarat oleh penumpang yang akan bekerja maupun bersekolah. Kereta yang ke
Rosendaal begitu pula. Aku beruntung mendapat tempat duduk
di gerbong di mana orang tidak merokok. Inilah lagi salah satu
kenyamanan berada di Eropa: ada tempat-tempat aman terhadap
polusi asap rokok. Bersiap-siaplah jika kereta sudah berhenti di
stasiun Breda, begitu kata Anneke kepadaku ketika menciumku
sebelum kereta berangkat. Kota Rosendaal adalah perhentian
sesudah Breda. Karena kereta tidak berhenti lama di setiap stasiun,
aku harus siaga dengan bawaanku sebegitu kereta meninggalkan
Breda. Koporku cukup berat. Agar tidak tergesa-gesa, aku harus
menariknya di dekat pintu sebelum kereta berhenti lagi. Di stasiun itu aku harus berganti peron untuk kereta yang menuju ke
Paris, Gare du Nord.
Ya, aku sedang dalam perjalanan ke Paris, kota keindahan,
kota yang sejak masa mudaku disebut sebagai pusat mode dan
kebudayaan oleh ayah-ibu kami. Aku sudah minta tolong kepada
Ganik supaya menelepon Sri. Kuminta agar ibuku diberitahu
bahwa aku dibayari liburan ke Paris oleh Ganik. Aku ingin ibuku mengetahui, bahwa anak sulungnya mengenal kota Paris
yang selalu disanjung dan diutamakannya dalam pembicaraan
teladannya. Kuingat, ketika perang telah selesai dan kami kembali
ke kota, sebegitu ada waktu terluang, Ibu membongkar rak buku.
Dia membersihkan majalah-majalahnya berbahasa Belanda. Isi255 nya contoh-contoh desain renda, rajutan, potongan gaun, dan resep masakan. Seni memasak Prancis disebut ayahku sebagai satu
dari tiga masakan utama yang ada di dunia. Bagi ayah kami,
hanya ada makanan Jawa, Tionghoa, dan Prancis. Ayahku menganggap bahwa makanan bangsa-bangsa lain hanya mirip-mirip
saja dengan ketiga jenis masakan utama tersebut.
Sambil memandangi kawasan perindustrian yang dilewati kereta, aku menikmati menit-menit renunganku. Dan mau atau
tidak pikiranku terisi oleh nama Handoko. Dia tidak meneleponku
sejak perpisahan kami di depan stasiun pekan lalu. Tidak ada berita berarti rencana berlaku sebagaimana telah kami sepakati. Seandainya dia tidak muncul di Rosendaal pun, aku tetap berangkat
ke Paris. Tiba-tiba kemungkinan ini menyelinapkan kegugupan
yang menyesakkan napasku. Tapi mengapa aku mengkhawatirkan
hal itu?
Untuk ke sekian kalinya aku ingin mengingkari bahwa rencana
Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertemuan dan bepergian bersama Handoko, hari-hari terakhir
itu, memenuhi segenap perhatian dan pemusatan pikiranku. Pemilihan pakaian yang kubawa, tujuan-tujuan wisata yang kubaca
di buku petunjuk. Bahkan kubikin kering tempe yang kubawa ke
Paris. Semua itu berhubungan dengan Handoko. Dia menyukai
aku memakai pakaian berwarna kuning kecokelatan. Maka dua
baju yang berwarna demikian masuk ke dalam koporku. Kuingat
dia sering membicarakan seniman-seniman terkenal. Di kota Paris
terdapat banyak rumah yang pernah menjadi tempat kediaman
para pencipta lagu, pelukis, dan pujangga besar. Aku sudah mencatat semua alamat itu. Hari terakhir sebelum berangkat ke
Arnhem, aku masih berbelanja dan memasak kering tempe manis
tanpa kacang, karena katanya dia suka sekali tahu dimasak apa
256 pun, sedangkan tempe, hanya jika dimasak sebagai kering manis
tetapi tanpa kacang.
Aku belum bisa menekan kegelisahanku ketika kereta sampai
di Rosendaal. Sambil menenteng kopor, menuruni tangga, aku
mencari tanda di mana kereta yang akan masuk dan menuju ke
Paris ditempatkan. Dari jauh tampak tulisan besar: Paris Gare du
Nord, peron tujuh. Koporku terasa berat dibawa naik-turun tangga. Beberapa stasiun sudah dilengkapi dengan eskalator, tangga
listrik yang memudahkan para penumpang. Tetapi di Rosendaal
semuanya masih serba jalan kaki. Tiba di peron jaringan internasional, tempatnya lebih lebar. Aku mencari kereta dorong untuk bagasi. Karena udara dingin, aku masuk ke kamar tunggu.
Waktu yang lebih dari tiga perempat jam harus kuisi sedapat
mungkin. Aku mulai dengan membaca buku pinjaman Anneke,
novel H.G. Wells, The Story of Mr. Polly. Setelah mataku mulai
capek, aku berdiri. Kereta dengan bagasi kutinggal, aku keluar ke
hall tempat penumpang masuk dan membeli karcis. Berbagai mesin otomatik berderet di sepanjang dinding. Pintu-pintu kacanya
menunjukkan aneka benda dan makanan yang bisa dibeli dengan
memasukkan mata uang dan menekan tombol. Gula-gula, biskuit,
makanan basah manis atau asin, termasuk kroket, lemper, atau
bolu kukus pun dapat diambil dari mesin di sana. Bermacammacam air wangi penyegar, dimulai dari merek biasa yang murah
sampai yang terkenal seperti Dior atau Chanel. Minuman yang
dingin atau panas juga disediakan di dalam mesin tersendiri. Bahkan berkas-berkas bunga segar pun bisa diambil. Aku melihat
foto bunga yang dipancangkan di pintu mesin, masing-masing
jenis tertempel di tombol yang berbeda. Tergelitik hatiku ingin
mencoba membelinya. Namun delapan gulden Belanda meru257 pakan jumlah yang tidak sedikit bagi sakuku. Apalagi aku khawatir setiba di Paris, bunga itu tidak akan segar lagi.
Dari hall aku keluar ke arah jalan di depan stasiun. Petak taman berbentuk segitiga membagi arah jalan. Pagi itu matahari
yang kuning memberi sinar kemilau pada kumpulan bunga dan
perdu yang tahan terpaan udara maupun salju. Seperti biasanya
pemandangan di lain kota, rapi dan menarik. Aku menelusuri
trotoar di sepanjang bangunan stasiun, lalu masuk kembali ke
hall melewati pintu lain. Setiba di kamar tunggu, aku mengisi
teka-teki silang. Beberapa menit kemudian aku mengira bahwa
saatnya sudah cukup dekat dengan kedatangan kereta dari
Rotterdam. Kereta dorong kuambil dan aku keluar. Kucari tandatanda yang menentukan perhentian setiap nomor gerbong.
Di ujung peron tampak petugas mengatur barang-barang yang
akan dikirim. Aku mencari tempat duduk di dekat sana, karena
kuperkirakan gerbongku akan berhenti di situ. Kalaupun meleset,
setidak-tidaknya aku hanya harus berjalan sedikit. Di seberang,
petak-petak tanah di sana-sini juga diatur rapi terisi tanaman dan
bunga. Tak satu mawar pun kelihatan. Rosendaal berarti ?lembah
bunga mawar?. Barangkali di musim semi atau permulaan musim
gugurlah petak-petak itu diisi dengan mawar liar. Sekurangkurangnya sebagai bukti bahwa di zaman dulu, di sana banyak
jenis bunga itu. Di zaman sekarang, bunga mawar bisa tumbuh
dan berkembang pada musim apa pun, sama dengan jenis lain
yang dipelihara di rumah-rumah kaca.
Pengeras suara mengumumkan kedatangan kereta internasional di peron tujuh, dan akan berangkat ke Paris Gare du Nord
dalam waktu sepuluh menit. Penumpang-penumpang lain keluar
dari kamar tunggu. Kutinggalkan bangku tempat dudukku. Kereta
bagasi kusorong ke bagian tengah supaya bisa melihat nomor258 nomor gerbong yang mendatang. Kepala kereta muncul di
kejauhan, dan segera lewat di depanku. Walaupun kecepatan telah dikurangi, angin yang disebabkannya cukup keras dan dingin.
Agak sukar aku mengikuti dan membaca nomor-nomor gerbong
yang berlaluan. Ternyata yang harus kutempati berada di depan.
Aku berjalan menuruti kepanjangan kereta.
Aku belum mencapai pintu gerbong, kereta sudah berhenti.
Kulihat Handoko turun dan cepat menuju ke arahku. Dia langsung mengambil pegangan kereta bagasiku lalu selintas mencium
pipiku sebelah. Katanya sambil berjalan mendahuluiku, "Gerbong
kita ada di depan. Bagus, karena mudah jika kita ingin makan di
restoran. Juga di Gare du Nord, karena dekat dengan pintu keluar."
Aku tidak menanggapinya, tergesa-gesa mengikuti langkahnya. Dia naik ke gerbong dengan membawa koporku. Tanpa
mengindahkan aku menuju ke tempat duduknya. Sebentar aku
melihatnya menaikkan kopor ke atas rak bagasi. Kemudian aku
sibuk sendiri, meletakkan tas di bangku. Lalu perlahan membuka
mantelku. Kulipat rapi memanjang, bagian dalam di luar. Ketika
mengangkat muka, barulah aku sadar bahwa Handoko memperhatikanku. Dia tersenyum. Jas dia ambil dari tanganku, dia
buka kembali dan digantung pada kaitan di dekat jendela tempat
duduk depan.
"Tidak ada yang duduk di situ?" tanyaku.
"Sampai sekarang tidak. Nanti jika perlu, dipindah," sahutnya,
lalu dia menunggu. Aku juga. Kami sama-sama masih berdiri.
"Mau duduk di sebelah mana? Dekat jendela atau di sini?"
akhirnya dia bertanya.
"Yang mana sajalah," jawabku. Tetapi aku memperhatikan
umur. Karena dia lebih muda, aku memilih duduk di sebelah
259 kanan Handoko. Jadi di sisi jendela. Begitu aku memapankan
diri, menarik pullover di pinggang, di bagian belakang, samping
dan depan, Handoko mengambil sesuatu dari rak bagasi. Sebuah
kotak panjang bertalikan pita merah.
"Apa ini?" tanyaku keheranan sambil melihatkan ulurannya.
"Bukan apa-apa," sahutnya. "Hanya sebagai tanda bahwa kita
sudah berkencan bersama di Lembah Bunga Mawar."
Lalu dia duduk di sisiku. Kotak yang telah kusambut kuletakkan
di pangkuan. Dari kertas kaca di atasnya terlihat beberapa tangkai
kembang mawar. Dan sebegitu tutup kubuka, kuntum yang merah
setengah merekah itu berkilauan menangkap kuningnya cahaya
musim dingin. Aku tidak suka warna merah. Tetapi untuk bunga,
warna apa pun selalu meluluhkan hati sekaligus menggairahkan
jiwa. Yang ada di pangkuanku itu malahan mendebarkan jantungku. Tergagap aku berterima kasih, menoleh memandanginya. Dia
menundukkan kepala karena mengira akan kucium. Selintas
kutempelkan pipiku ke wajahnya. Sejak beberapa menit itu sudah
dua kali kami bersentuhan muka. Hal yang mungkin sulit diterima
oleh lingkungan Indonesia, di luar keluargaku. Orangtua mendidik
kami dengan cara amat terbuka. Kami dibiasakan mengutarakan
maksud, pendapat, dan perasaan sesederhana namun selangsung
mungkin tanpa meninggalkan kesusilaan. Kami bersaudara sering berselisih paham, bertengkar adu kalimat. Bahkan kami
diberi hak mengatakan tidak menyetujui pengarahan orangtua
kami, tetapi kami harus mengajukan alasan kuat mengapa demikian. Setelah dibicarakan bersama, kami diberitahu pula dasardasar pemikiran bapak-ibu kami. Biasanya selalu mereka yang
menang karena memang kami anak-anak belum mengetahui
pahit getirnya kehidupan. Dalam suasana gembira, kami juga
260 dibiasakan bersikap akrab di antara saudara. Hingga kami berumur belasan tahun dan kemudian Bapak meninggal dunia, kami
sekeluarga merupakan kekompakan baik dipandang dari luar
maupun menurut perasaanku dan tafsiran sahabat-sahabatku.
Ciuman, rangkulan, belaian kesayangan menjadi unsur penting
yang diteguhkan oleh pujian dan kata-kata manis yang paling
Sarang Perjudian 3 Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan Si Kangkung Pendekar Lugu 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama