Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 6

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 6


jelas: Eko ada di rumah sakit umum, karena mobilnya terbalik di
Pudakpayung. Kami berjanji akan bertemu di rumah sakit. Handoko mengantarkan aku ke sana.
Kami temui Eko belum dirawat, masih menunggu. Katanya,
sudah satu setengah jam dia berada di ruangan tersebut. Dalam
memandangi anakku yang menceritakan apa yang terjadi, aku
merasa tenang. Aku teringat kegugupanku ketika dia terkena tusukan di perut beberapa tahun yang silam. Kali itu anakku tampak
utuh. Di betis tergores luka kecil. Tetapi dia mengatakan bahwa
kakinya sakit sekali. Dia mengira ada tulangnya yang retak atau
patah. Dia sampai ke ruang itu karena didorong dengan kursi roda. Untuk berdiri pun dia tidak sanggup.
Rupa-rupanya sejak siang dia tidak pulang. Dia singgah di rumah temannya. Lalu kakak teman itu mengajak mereka ke Ungaran mengambil obat buat ayah mereka. Eko mau, karena pikirnya,
daripada menganggur di rumah. Ngobrol ini dan itu, mereka
baru sadar harus kembali ke kota ketika hujan sudah turun jam
setengah tujuh petang. Lalu lintas mulai pukul lima sore selalu
padat di antara Ambarawa atau Salatiga dan kota Semarang.
Truk dan bis saling mengejar dan hendak saling mendahului. Di
Pudakpayung, karena membanting setir keterlaluan untuk menghindari tabrakan, mobil anak-anak muda itu terguling, meluncur
ke sawah. Untunglah tidak menghantam jembatan yang terkenal
gawat di daerah itu.
Baru ketika Mas Gun campur tangan, Eko mendapat perawatan semestinya. Lalu kusadari betapa aku tidak merasa was-was
sedikit pun. Barangkali karena aku sudah lebih tua. Atau karena
Handoko ada di sisiku. Mungkin juga karena aku merasa sudah
326 terlalu banyak mengalami kejutan-kejutan yang mengagetkan
dan membikin kesakitan hatiku. Maka setelah kaki Eko difoto
dan digips, aku semakin tenang tanpa rasa ketidakpastian yang
mana pun. Kami mengantar Eko masuk ke bangsal bersama lima
pasien lain. Kata dokter jaga, Eko akan boleh pulang beberapa
hari lagi. Perawatan bisa diteruskan dengan kunjungan teratur ke
rumah sakit.
Sejak bersama dengan Handoko, secara perlahan tetapi pasti,
aku berusaha mempengaruhinya supaya menengok orangtuanya
ke Klaten. Dia berdalih, katanya menunggu aku cuti. Lalu kami
berdua sowan ke sana. Terus terang, aku enggan pergi berdua ke
Klaten. Ya, aku bodoh seperti kata Sri, seperti kata Siswi, karena
aku masih terlalu memikirkan "apa kata orang". Aku baru cerai
dari Widodo. Sekarang bersama dengan adiknya! Sejak pulang
dari luar negeri, aku belum mempunyai kesempatan ke luar kota.
Memang sesungguhnya ada alasan buat ke Klaten. Kini, dengan
kejadian yang menimpa Eko, aku merasa berkewajiban menghubungi Irawan. Dia belum tahu bahwa. Handoko ada di Indonesia,
di rumah Ganik, yang juga menjadi milikku.
Malam itu aku menelepon Irawan dan memberitahu seperlunya. Tepat keesokan harinya dia harus ke Surabaya. Di sana ada
lokakarya selama sepuluh hari. Setibanya di sana dia akan melihat
jadwal dan suasana. Dia akan ke Semarang secepat mungkin.
Lalu telepon kuberikan kepada Handoko. Sesudah lewat kalimatkalimat keterkejutan, agak lama mereka mengobrol.
Mulai keesokan harinya, Ganik minta supaya Eko dipindah ke
rumah sakit yang sama dengan dia. Aku ragu karena memikirkan
biaya. Tapi Mur dan Sri bertindak tanpa menunggu pendapatku.
Ketika Irawan datang dua hari sesudahnya, kami bertemu di kamar Ganik. Kemudian dia menghilang bersama Handoko untuk
327 menengok Eko. Tidak lama mereka meninggalkan kami, Handoko
kembali memanggilku. Katanya, Irawan sedang mengantar Eko
ke ruangan darurat. Gips harus dibuka karena Irawan mencurigai
sesuatu. Kali itu aku kehilangan akal. Langsung bergegas mencari
anakku. Gugup dan tidak sabar mendesak-desak di dadaku. Rasa
takut, rasa bersalah karena kemarinnya bersikap tenang dan tidak cukup berdoa buat keselamatan keluargaku membikin aku
gemetar.
Yang selanjutnya dialami anakku adalah di luar bayangan
siapa pun di antara kami orang lingkungan dekatnya. Apalagi
aku ibunya. Meskipun kakinya sudah mendapat perawatan dan
digips, setiap hari dia memang terus mengeluh karena rasa sakit
yang amat ngilu dan pedih. Padahal Eko bukan anak yang suka
mengeluh. Aku sudah mengatakan hal itu kepada dokternya. Dia
menjawab itu normal. Akan ditunggu lagi perkembangannya.
Ternyata kaki Eko membusuk karena gangren sudah menguasai
bagian bawah hingga ke lutut. Kaki harus diamputasi untuk menyelamatkan pasien.
Aku tidak pernah tahu-menahu masalah medis. Nama-nama
obat yang diberikan di waktu aku sendiri sakit pun selalu lupa.
Handoko menjelaskan secara singkat bahwa disebabkan oleh
tidak adanya oksigen di dalam jaringan otot, kuman anaerobe tumbuh pesat. Kuman itu bisa saja masuk ke luka yang tampaknya
hanya goresan. Lorong rumah sakit atau bahkan ruangan perawatan darurat tidak selalu bebas kuman. Aku hampir pingsan
mendengar kabar tersebut. Kami keluarganya harus memutuskan
apa yang akan dikerjakan, paling tidak sebelum dua puluh empat
jam mendatang. Karena jika kaki tidak dipotong, kuman akan
naik ke paha dan meracuni seluruh tubuh.
Pertama-tama yang kupikir ialah Tuhan menghukumku. Sebe328 gitu lepas dari kekangan perkawinan yang hanya tinggal nama,
aku telah memuaskan diri semau-mauku bersama Handoko.
Tuhan tidak berkenan. Dia menghukumku lewat anakku yang
tidak bersalah. Aku harus menjauhi Handoko. Dia merupakan
tantangan iblis yang harus kutaklukkan. Sambil hendak berpikir
lebih terang dan tenang, aku tinggal di rumah sakit semalaman. Irawan dan Handoko pulang ke Jalan Bandungan. Sahabatsahabatku jelas menasihatkan amputasi. Ibuku juga. Eko masih
dalam koma, belum bisa diberitahu. Aku tidak berani bertanggung
jawab, menyerahkan segalanya kepada Irawan.
Aku takut menghadapi seorang diri. Irawan kuminta berada di
sampingku ketika Eko mulai sadar. Kutahan airmataku sebisanya.
Kubiarkan Irawan berbicara dengan kemenakannya. Setelah dua
hari keadaan anakku agak stabil, Irawan berangkat ke Surabaya
dan berjanji akan kembali lagi. Handoko bisa dipengaruhinya,
turut pergi bersamanya. Dia hendak memperkenalkan adiknya
dengan relasinya di Surabaya. Banyak bidang usaha besar dan
bangunan, mungkin Handoko bisa menemukan sesuatu yang cocok. Mengeluarkan isi hatiku kepada sahabat-sahabatku agak meringankan tekanan yang menghimpit perasaanku. Kata Siswi,
Eko bersalah karena kecelakaan itu menimpanya ketika dia pergi
tanpa pamit. Apalagi ke luar kota. Kepada Eko, temanku itu berkata bahwa orang tua itu malati, bisa menimbulkan kuwalat jika
tidak dihormati. Selagi masih hidup dalam tanggungan ibumu
atau eyangmu, kamu harus taat dan menghormati mereka, kata
Siswi kepada anakku. Kamu sudah besar dalam arti umur, tapi kamu masih berada di rumah orangtua yang membiayai hidup dan
studimu. Jadi bukan merupakan hal yang aneh jika Tuhan mengingatkan kamu bahwa orangtua itu perlu dituruti ajarannya.
329 Di luar prakiraanku, Eko menerima nasibnya berkaki buntung
dengan ketenangan. Setidak-tidaknya begitulah yang kelihatan.
Dia bahkan bisa berkelakar bersama adik-adiknya mengenai
kakinya yang sekarang cacat itu. Katanya, jika pada suatu saat
kelak dia terjepit dan sukar melepaskan diri, dia hanya harus
mengendorkan ikatan di pinggulnya dan kaki palsunya akan
ditinggal saja tertindih terus. Sementara dia sudah membebaskan
diri. Aku tidak tahan mendengarkan pembicaraan seperti itu.
*** Tanpa sepengetahuanku, rupa-rupanya Handoko sudah mencari
keterangan bagaimana perkawinan di Pencatatan Sipil dilaksanakan. Sri menanyakan mengapa Handoko ingin tahu. Katanya
dia ingin kawin dengan aku sebelum berangkat lagi ke Eropa.
Apa yang dikatakan Sri ini menjadi pikiran bagiku. Mengapa
Handoko begitu cepat mengambil keputusan? Aku takut dia akan
menyesal kelak. Lain dari hal-hal yang telah lewat, kali itu Sri
dan Ganik sependapat dengan aku. Mur dan Siswi netral, terserah
kepada yang menjalani, berarti kepada aku dan Handoko. Ganik
mengira, barangkali dia berbuat begitu karena hendak melindungi
aku. Sudah tinggal serumah dan nyata bepergian bersama ke
mana-mana, tetapi belum resmi kawin.
Padahal yang sesungguhnya, hal itu sama sekali tidak merupakan masalah bagiku. Handoko akan segera pergi lagi. Dia memang ingin balik menetap di Indonesia jika ternyata bisa ditemukan kontrak yang menarik. Sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu pendek, sebagai permulaan sebelum mapan betul-betul.
Menurut pendapatku, di waktu dia kembali lagi itulah kami baru
akan mengambil keputusan mengenai pergaulan kami. Karena
330 jika dia sekarang pergi lagi ke Eropa sebagai suamiku, dia akan
merasa terikat. Akan ada rasa "harus kembali karena istriku menunggu". Siapa tahu di sana dia mendapat kontrak yang lebih
menarik, bertemu dengan perempuan lain yang lebih muda dan
cocok? Debat yang terjadi dalam diriku kukatakan kepadanya
ketika dia menelepon dari Surabaya.
Di telepon, mula-mula dia mengatakan bahwa Irawan tahu
mengenai hubungan kami. Kutanyakan apa pendapat kakaknya.
Handoko tidak peduli, katanya. Yang penting, kami berdua tidak
berbuat kesalahan. Lalu dia berbicara mengenai perkawinan.
"Apa menurut Mbak Mur tidak lebih baik jika kita kawin
sebelum aku kembali ke Eropa?"
Dia melamarku.
"Mbak Mur," panggilnya, karena aku terdiam.
Lalu, "Bagaimana kemauanmu sebenarnya? Tinggal di Indonesia atau di Eropa?"
"Di Indonesia."
"Baru dua pekan kamu di sini. Untuk keputusan apa pun,
sebaiknya kau tunggu dua pekan lagi. Tiketmu berlaku sampai
Januari, bukan?"
"Ya. Tapi aku sudah mantap, ingin kawin dulu dengan Mbak
Mur."
Aku diam lagi.
"Apa yang Mbak Mur tunggu lagi? Aku ingin kita bisa bebas, kelihatan bersama-sama. Kalau tidak, kita akan sembunyisembunyi terus karena Mbak Mur malu kelihatan selalu bersama
aku, bukan?"
Dia tahu betul sifatku.
"Kuminta pikirkan lagi baik-baik. Aku khawatir kau menyesal
kelak. Perbedaan kita besar. Aku sudah hampir punya cucu
331 sebegitu Eko kawin," hatiku pedih karena terpaksa mengatakan
itu. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Mbak Mur mestinya kan tahu
bahwa aku bukan orang serampangan. Kalau aku mempunyai
pendapat, kelak pun akan tetap sama. Mbak Mur tidak mempercayaiku."
Bagaimana aku akan mudah percaya? Perkawinanku yang terdahulu membikinku hampir dua puluh tahun terombang-ambing.
"Mestinya sekarang Mbak Mur sudah tahu bagaimana aku ini
yang sesungguhnya."
"Justru itulah! Aku masih ragu mengerti, bagaimana kamu yang
sebenarnya. Dan apakah tidak akan berbalik bertolak belakang
dalam waktu-waktu mendatang. Semua orang berubah. Aku tahu, karena itu memang perkembangan jiwa yang dipengaruhi
pengalaman serta lingkungan. Tetapi apakah perubahan itu layak
menuruti ukuran normal ataukah keterlaluan, itulah yang aku
khawatirkan. Aku minta maaf, tapi benar-benar sukar percaya
sekarang." Dan hampir kutambahkan bahwa dulu kakaknya juga
berubah. Padahal orangtuaku mengira mengenal sifatnya. Tapi
mereka pun terkecoh.
Aku menyarankan agar pembicaraan itu diteruskan jika kami
bertemu lagi. Lalu Irawan ingin berbicara denganku. Seketika
aku menjadi gugup, karena mengetahui bahwa selama kami berunding mengenai perkawinan itu, Irawan berada tidak jauh dari Handoko. Kukira kakak itu akan mengatakan pendapat atau
usulnya mengenai hubungan kami berdua. Tetapi tidak. Dia
menanyakan kabar Eko. Kemudian dia mengatakan bahwa setelah dipikir-pikir, dia bermaksud membawa anak sulungku hidup
bersamanya di Ujung Pandang. Dia sudah berbicara dengan istrinya mengenai hal itu.
332 "Anak saya empat, perempuan semua," katanya. "Biar dia yang
menjadi Arjuna di tengah putri-putri itu. Kalau Mbak Mur sudah
pasti tidak berkeberatan, tolong katakan kepada Eko mau atau
tidak turut saya ke Ujung Pandang. Barangkali ada baiknya saya
mengawasi dari dekat perkembangannya setelah diamputasi. Saya
khawatir, pada suatu ketika, kecacatannya itu akan membikin dia
stress atau minder."
Argumentasi itu memang nalar. Kujawab bahwa aku berterima
kasih atas perhatiannya, dan menurutku, tidak merupakan masalah. Aku akan menanyakannya kepada anak itu sendiri.
"Eko sudah tahu, ingin masuk ke bidang kedokteran dan riset.
Melihat gelagatnya, anak-anak saya yang besar tidak akan ada
yang bisa mencapai kesarjanaan. Istri saya orang yang sangat biasa saja. Kurang bisa memacu kemampuan anak. Saya sudah berusaha, tapi anda tahu, saya lebih sering tidak di rumah. Kalau
Eko tinggal bersama kami, siapa tahu dia bisa menolong menjadi
teladan bagi adik-adiknya."
Itu juga logis.
Ketika tawaran Irawan kusampaikan kepada Eko, dia tampak
gembira. Tetapi dengan sopan dia ganti bertanya bagaimana pendapatku. Kukatakan bahwa aku sedih kalau dia pergi. Selama
itu dia menjadi anak sulungku yang selalu tahu mendukung dan
mengobarkan semangatku. Tetapi barangkali demi kekuatan perkembangan mental untuk selanjutnya, dia memang harus dekat
dengan pamannya. Selain sebagai wakil orangtua, dia juga dokter.
Dia pasti akan bisa mengarahkan jalan yang dicita-citakan Eko.
Kutambahkan bahwa dia harus pula tahu membangkitkan gairah
belajar sepupunya di sana.
Ibuku mempunyai reaksi lain. Dia khawatir kalau-kalau anak333 anak dan istri Irawan menjadi iri dan cemburu. Dia takut kalaukalau Eko mengalami nasib seperti anak tiri.
"Kita tidak pernah bisa tahu pasti apa yang tersimpan dalam
lubuk hati manusia. Kelihatannya baik, tapi siapa tahu..."
Kukira ibuku hanya bersikap terlalu melindungi terhadap cucunya. Untuk menenangkan hatinya, kami harus menyiapkan Eko


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya bisa berhadapan dan tahu melayani bibi serta saudarasaudaranya di Ujung Pandang.
Eko pergi bersama pamannya.
Sudah dua hari aku tidak mengajar. Aku jadi mengambil cuti
supaya bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Ganik.
Kertas-kertas hak milik telah selesai dan diserahkan kepada kami
masing-masing. Hakku adalah rumah di Jalan Bandungan dan tanah yang bersambung, hampir seribu lima ratus persegi luasnya.
Jika aku kawin, suamiku tidak mempunyai hak sesuatu pun atas
rumah dan tanah tersebut. Kalau terjadi sesuatu padaku dan pada
anak-anakku, rumah dan tanah akan kembali kepada Notaris bersama kantornya, digabungkan dengan harta yayasan yatim piatu
yang didirikan oleh Dokter Liantoro bersama istrinya.
Sebelum singgah menjemput Eko, Irawan berhasil mengajak
Handoko sowan ke Klaten. Sudah beberapa hari dia di sana. Meskipun merasa sangat rindu, aku bermaksud untuk tidak memperlihatkannya jika dia kembali.
Sore itu aku siap akan ke rumah sakit, membawakan pakaian
Ganik yang bersih. Kutunggu-tunggu kendaraan Sri yang harus
menjemput tidak juga datang, akhirnya aku naik bis. Sebelum
melangkah memasuki gerbang rumah sakit, aku kibaskan seribu
pikiran yang mungkin membayangi pandangku. Ganik mempunyai
kepekaan luar biasa untuk menduga isi hati seseorang.
Ketika aku sampai di kamar, temanku baru selesai diman334 dikan. Melalui pandangnya, Mur memberi isyarat bahwa Ganik
sedang rewel. Aku bersikap seolah-olah tidak menanggapinya,
menyilakan Mur segera pulang beristirahat. Malam itu adalah giliranku tidur menemani sahabat kami.
Perawatan penyinaran diberikan lebih sering dalam seminggu.
Satu kali dengan kepadatan radiasi yang tinggi. Sisa-sisa rambut
sudah dicukur. Kepala yang gundul semakin menonjolkan kekurusan muka Ganik. Tapi bagiku justru menampilkan kemurnian garis-garis lembut sekaligus matang. Sedari dulu, Ganik merupakan anak dan orang dewasa. Gerak-gerik, sifat lahiriah dan
wataknya dapat berubah dengan cara-cara yang mengejutkan.
Kami berempat adalah teman dekatnya yang bisa berbangga mengatakan paling mengenalnya. Dan di antara kami, karena aku
yang paling sering berhubungan baik secara bersuratan ataupun
bersama hidup sehari-hari, aku merasa paling mengerti bagaimana
manusia Ganik sampai ke lubuk hatinya.
Sedari awal kebersamaan kami di satu kelas, aku tahu bahwa Ganik bersifat keras dalam hal-hal tertentu. Tapi dalam
menghadapi sesuatu yang lain, hatinya amatlah lunak. Dari
matanyalah aku bisa melihat mengalirnya rasa haru. Perasaan
kelembutan itu seringkali dianggap orang lain sebagai sifat kekanak-kanakan. Ganik memang bisa brandalan, mendekati
urakan di kala lepas di alam terbuka. Padahal itu menyimpan
kesigapan dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan sesaat.
Umpamanya, bagaimana mendapatkan air di tempat yang paling
kering pun. Atau menggotong kawan yang terjatuh dan luka di
sungai yang bertebing amat curam serta sukar dipanjat maupun
dituruni. Pendek kata, pada Ganik terkumpul segala cara dan sifat
manusia hidup yang paling lengkap yang pernah kami kenal. Dia
langka. Itulah kesimpulan kami empat sahabatnya pada saat-saat
335 keakhiran Ganik. Tubuhnya yang digerogoti kanker telah dapat
dipulihkan selama setahun lebih. Ternyata tahun terakhir ini harus menyerah. Kami tidak dapat melestarikan teman kami yang
langka. Tetapi kami akan melestarikan kenangan kedekatannya
yang luar biasa yang telah menyertai kami berpuluh tahun.
Karena mengetahui bahwa keakhiran tidak jauh lagi, para
dokter yang kebanyakan pernah menjadi rekan dan teman baik
ayah Ganik, memberi kemudahan-kemudahan yang mengabaikan
peraturan. Dalam keadaannya selama dua bulan ini, segala sesuatunya sangat tergantung pada obat. Kalau pengaruh obat masih
kuat, Ganik kelihatan giat dan bergairah. Apalagi ditambah dengan sifatnya yang pantang mundur.
Ganik menolak ketika aku akan memasangkan kain penutup
kepala.
"Aku bosan dikira haji," katanya menjawab keheranan yang
terkandung dalam pandangku.
Belum pernah dia bersikap demikian. Sejak dia mondok di rumah sakit kota kami, sebelum waktu kunjungan tiba, Ganik selalu
ingin kelihatan rapi. Dia bahkan mengambil waktu memolesi sendiri mukanya dengan seminimum ramuan kosmetika supaya tidak
tampak muram. Tanpa melupakan goresan warna cokelat merah
jambu di bibir buat memberi sinar di wajah yang telah alum itu.
"Atau ganti pakai wig?"
Ganik tidak menyahut. Kukeluarkan benda itu dari laci. Kuatur
kerapian rambut demi rambut yang berbentuk topi. Inilah yang dibelikan Sri ketika mereka masih berada di Negeri Belanda.
Ketika akan kukenakan di kepala, Ganik menghindar perlahan. "Mengapa?" aku tidak bisa menahan, bertanya lagi.
"Panas," sahutnya.
336 Aku yakin bahwa dia asal saja berbicara. Kamar itu dilengkapi
alat pendingin yang berfungsi baik.
"Ayolah!" kataku. Kuteruskan, "Ada apa? Biasanya kau ingin
kelihatan cantik sebelum tamu-tamu datang. Kau sudah bersolek.
Tinggal pakai ini," sambil sekali lagi aku akan memasangkan rambut palsunya. Tangannya menolakku. Aku duduk di samping ranjang. Tangannya kugenggam.
"Ada apa?" tanyaku lagi.
Ganik tidak menjawab. Kami berpandangan. Matanya sayu,
perlahan terisi, lalu diluapi air yang tidak terbendungkan. Kalaupun tidak menjawab, aku mengerti pastilah ada kebaruan. Sejak
berlima kami bersama, dalam kediaman pun kami merasakan selalu berkomunikasi secara batiniah.
"Katakan apa yang kau ingini. Apa? Makan? Mau makan apa?
Ingin dijenguk siapa? Nanti kutelepon orangnya supaya datang."
Alangkah bohongnya semua itu. Kami semua tahu bahwa
akhir-akhir itu Ganik sudah tidak dapat membedakan rasa mana
yang manis dan mana yang asin. Kunjungan? Dia memang sopan
dan tenang menerima tamu. Kebanyakan dari mereka adalah bekas rekan-rekan atau teman orangtuanya. Tapi yang sebenarnya,
Ganik lebih suka hanya bertemu kami sahabat-sahabatnya.
Tangannya dingin dan kering. Dia menekankan jari-jarinya.
Kurasakan sisa-sisa semangatnya meresapi kedekatan kami. Katanya perlahan, "Mulai pagi ini aku tidak makan obat apa pun."
Kami tetap berpandangan. Aku akan menanyakan sesuatu ketika
dia menambahkan, "Dokter mengetahuinya. Mur tidak setuju."
Aku menunduk, melarikan pandang ke tangan dalam genggamanku. Temanku meneruskan, suaranya tetap perlahan.
"Sedari dulu, aku mau minum obat karena aku takut merasa
sakit. Karena dulu aku tidak betah menahan sakit. Tidak sabar
337 menunggu sampai rasa sakit itu reda. Tapi sekarang aku bosan.
Fungsi obat sekarang hanya menunda, memperpanjang hidup
tanpa harapan sembuh. Umurku bisa mencapai sekarang, itu sudah bagus sekali. Sedari kecil hingga dua tahun yang lalu aku
dikaruniai hidup sehat. Tuhan sungguhlah Maha Pemurah."
Dalam suasana apa pun Ganik tidak pernah melupakan Dia.
Aku akan mengatakan persetujuanku ketika dia meneruskan lagi,
"Aku hanya merepotkan orang lain akhir-akhir ini."
"Hush," protesku yang segera dipotong oleh Ganik.
"Bukan kau. Bukan kalian. Kita dulu sudah bersumpah, bahwa
meskipun kemudian berkeluarga dan masing-masing punya tanggung jawab, hubungan kita berlima harus tetap sama eratnya.
Yang repot ialah orang-orang itu. Mereka ingin membesarkan
hatiku dengan cara datang menengok. Tetapi sebetulnya mereka
malahan menjadi beban bagiku."
Dan memang benarlah demikian. Seandainya aku mengatakan bujukan berupa sanggahan yang lain pun, kami berdua tahu
bahwa itu pun hanya omong kosong. Kami sahabatnya bergilir
menemani dan menengoknya dengan rasa ikhlas. Orang-orang
lain menjenguk dengan teratur. Tetapi nyata bahwa masingmasing mempunyai tanggung jawab lain. Sengaja atau tidak,
selalu ada yang memperlihatkan ketidaksabaran karena harus melunasi tanggung jawab mereka yang lain dulu sebelum datang ke
rumah sakit. Semua dari kami mengerti bahwa mereka harus menyisihkan waktu spesial. Demi kemanusiaan, atau sebutlah demi
persaudaraan maupun kekawanan. Bagiku dan bagi kami lima
bersahabat, itu adalah hal yang biasa. Tidak perlu ditunjukkan dengan cara berlebihan, tidak ada gunanya dibesar-besarkan. Itulah
artinya teman dan saudara, bersama dalam duka serta kegembiraan.
338 Sepengetahuanku, Ganik tidak pernah mengabaikan kerabat
dan lingkungannya. Dia adalah orang yang paling memperhatikan
kepentingan orang lain. Terhadap rekan dan teman orangtuanya,
Ganik juga selalu bersikap terlibat. Ulang tahun nyonya ini atau
dokter itu, Ganik tahu semuanya. Dia adalah orang yang berprinsip sama seperti alrnarhum ayahku. Baginya, pemberian atau
hadiah yang sekecil apa pun selalu baik asal disertai kerelaan dan
ketulusan. Karena hadiah kecil-kecil itu merupakan ikatan supaya
saling mengenang. Tetapi di samping itu semua, Ganik juga bersifat sangat mandiri. Dia tidak suka menggantungkan diri kepada
orang lain. Sekarang dia terkapar tidak berdaya. Perasaannya tertekan oleh kesadaran bahwa dirinya tidak berguna bagi siapa pun.
Bahkan tidak bagi dirinya sendiri.
Mur sebagai dokter tidak menyetujui ulah Ganik menolak semua obat dan perawatan. Tetapi Siswi, Sri, dan aku mengertinya.
Dia lebih menderita karena ketidakgunaannya. Maka dia merasa
lebih rela cepat mati jika Tuhan mengizinkannya.
Tanpa obat tanpa infus, Ganik masih bersedia disuapi makanan halus. Perutnya menerima hanya lima sampai enam sendok
sekaligus. Itu sudah bagus menurut dokter. Handoko menyusulku
ke rumah sakit dengan naik bis. Kami berdua menjaga Ganik
bersama-sama pada malam pertama tanpa perawatan itu. Secara
singkat dia menceritakan rengkuhan orangtuanya di Klaten. Dia
membenarkan gagasanku untuk menengok mereka. Ternyata
dia memang tidak menyesal. Dia juga mengatakan rasa kagum
orangtuanya terhadapku. Sebenarnya apa pun perasaan mereka
terhadapku, aku tidak begitu mempedulikan. Tetapi mendengar
cerita Handoko, aku senang juga. Setidak-tidaknya mereka tidak
menyembunyikan penghargaannya kepadaku, bekas menantunya.
Ketika kutanya mengapa Handoko tidak tinggal lebih lama
339 di Klaten, dia menjawab, "Sedari dulu sudah kukatakan, bahwa
kalau aku pulang, aku ke Semarang, menengok Mbak Mur. Bapak
dan Ibu juga menahanku, mereka suruh tinggal lagi beberapa hari.
Tapi aku katakan bahwa aku kangen Mbak Mur."
"Mengapa kaukatakan begitu kepada mereka? Itu bisa menyinggung perasaan mereka."
"Aku tidak sengaja. Jawaban itu keluar begitu saja. Spontan."
"Jadi mereka tahu bahwa kau ingin bersamaku? Bapak atau
Ibu?"
"Waktu itu mereka berdua ada. Jadi keduanya mendengar."
"Apa komentar mereka?"
"Tidak ada."
"Mungkin karena begitu kaget sehingga tidak bisa cepat menanggapi."
"Mungkin. Kalaupun mereka menanggapi, aku akan menjelaskan sikapku. Aku tidak ingin punya istri gadis yang masih
kemayu dan tidak berotak. Waktuku singkat, ingin kunikmati dengan Mbak Mur saja," katanya sambil memandangiku, bibirnya
mengulum senyum yang panas.
Tetapi dia sabar dan sopan. Dia tahu menghormati Ganik. Kami menunggu hingga keesokannya ketika Mur datang mengambil
gilirannya menunggui Ganik, untuk pulang dan berkangenan di
Jalan Bandungan. Siangnya, kukatakan kepada Handoko bahwa
aku akan ke rumah sakit lagi. Hatiku tidak enak. Aku merasa
bahwa hari-hari itu adalah puncak dari krisis yang akan dihadapi
sahabat kami. Aku ingin selalu berada di sisinya. Handoko mengerti. Dia akan mengantarkan aku. Tapi Sri menelepon pukul
sebelas.
"Sopir akan ke situ membawa Suzuki minibus. Biar mobil di
situ saja kalian pakai. Aku harap kau tidak lupa bahwa Ganik
340 semakin parah. Kalau Handoko ada, jangan-jangan kau lupa semuanya!"
"Aku akan ke situ siang ini. Semula akan naik bis saja. Tapi
kalau kau kirim kendaraan, aku tunggu. Sopirnya disuruh pulang
naik apa? Bisa diantar Handoko sekalian?"
"Biar naik Daihatsu. Sudah kusuruh ambil colt satu lagi."
Ketika tiba waktunya kunjungan siang itu, Ganik tampak lesu
melayani tamu. Dia lebih banyak memejamkan mata, meskipun
pendengarannya tetap tajam. Winar juga datang. Dia kami beritahu keadaan yang sebenarnya. Sri juga sudah menelepon Mas
Gun. Tapi yang terakhir ini baru bisa datang setelah pukul dua
siang. Dia berbicara dengan kami di luar kamar. Katanya, lebih
baik Ganik tidak menerima tamu mulai sore itu. Jika perlu, minta kamar lain. Biar tenang, hanya dilingkungi kami sahabatsahabatnya. Itu memang gagasan yang bagus. Mas Gun dan Sri
pergi ke bagian administrasi, mengurus usulan tersebut. Sementara
aku dan Mur mulai mengemasi barang dan pakaian Ganik.
Siang itu juga sahabat kami dipindah ke ujung lorong. Kamarnya lebih kecil, tetapi mempunyai serambi. Pengunjung
bisa duduk menunggu di situ. Atau kalau memang ingin melihat Ganik, dapat melongokkan kepala di pintu. Dari sore sampai larut malam kami berkumpul. Yang mendampingi Ganik
bergantian. Karena Siswi belum pernah bisa menjenguk sampai
lebih dari setengah jam, sore hari kedua itu dia terus duduk di
samping Ganik. Sahabat kami juga tidak menolak didoakan. Mur
dan Siswi bergantian menunggu dan mengaji dalam suara rendah. Orang-orang yayasan beragama Katolik mempunyai cara
lain. Ganik sendiri percaya kepada Tuhan, ketika kecil dibaptis
secara agama Katolik seperti bapak dan ibunya. Tetapi dia lebih
universal. Menurut katanya sendiri, dia percaya bahwa Tuhan
341 pernah mengirim banyak utusan. Jadi dia percaya kepada semua
utusan Tuhan tersebut tanpa memilih.
Pada saat-saat Ganik merasa ringan, kami tetap berbincangbincang. Ganik senang sekali mengingati masa-masa pengembaraan kami, masa perkemahan kami di lereng pegunungan. Dia
tidak pernah jemu mendengar ulangan cerita kami tentang pesta
sekolah tahun sekian, atau perayaan kesenian tahun yang itu.
Dalam bernostalgia, tidak jarang tiba-tiba suara kami terhenti


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena kami melihat bahwa mata sahabat itu terpejam kembali.
Dia sedang menahan rasa sakit. Keningnya berkerut. Urat-urat
di pelipis menonjol tegang. Dari ujung kedua matanya keluar
tetesan air yang mengalir ke telinga atau langsung ke leher, membasahi kerah baju atau bantal. Lima puluh detik, satu menit. Saat demikian itu berlalu dengan kelambatan yang menguras seluruh kemampuan kami. Yang duduk paling dekat mengusapkan
handuk lembap ke dahi serta lehernya untuk sekadar memberikan
rasa kenyamanan. Seorang lain memijit-mijit kakinya di bawah
selimut. Sebegitu Ganik membuka matanya kembali, dialah pula
yang memulai berbicara. Tak terdengar keluhan. Tak sekalipun
dia mengaduh.
Di salah satu akhir landaan krisis semacam itu, kukatakan rasa
kagumku, "Kau hebat, Ganik. Kau tidak merintih. Sama sekali tidak mengeluh menyesali nasibmu."
Siswi tetap memijit-mijit kakinya, meneruskan, "Pada saat sakit seperti itu, apa yang kaupikirkan sehingga kau bisa tahan?
Tidak berteriak maupun mengaduh?"
"Aku memusatkan perhatian pada ucapan terima kasihku kepada Tuhan."
"Kau tidak meminta maaf kepadaNya?" Mur bertanya.
"Aku meminta maaf kepadaNya memang. Tapi aku tidak
342 merasa perlu mengulanginya terus-menerus. Yang kuulangi dan
kujadikan bahan konsentrasi ialah ucapan terima kasihku kepadaNya. Karena aku merasa telah banyak, sangat banyak menerima pemberianNya. Berpuluh tahun aku hidup sehat, mempunyai kawan-kawan seperti kalian. Tanpa membesar-besarkan
arti katanya, selama itu Dia memberiku hidup yang penuh dan
bahagia."
Lalu pembicaraan berkisar mengenai Tuhan. Apa Tuhan itu
menurut kami seorang demi seorang.
"Kalau menurut kamu, Ganik, bagaimana Tuhan itu?" tanya
Siswi.
"Sedari kecil, orangtuaku mengajarkan, bahwa Tuhan adalah sahabat terdekat. Kita seharusnya memikirkan Dia dengan
perasaan kasih dan cinta. Bukan dengan ketakutan atau kekhawatiran. Apabila ibuku menyebut Dia dalam percakapan, nadanya
selalu disertai hormat, kemesraan yang khusyuk. Ayahku, jika
dengan sepenuh tenaga keahliannya sebagai dokter tidak bisa lagi
menyelamatkan pasiennya, dia tidak pernah lupa menyerahkan
kelanjutannya kepada Tuhan. Kemudian, aku menjadi dewasa,
aku menyatakan sendiri betapa Dia adalah Yang Maha Pemurah
dan Yang Maha Pengasih. Semua keputusanNya kami terima
sebagai sesuatu yang baik dan adil. Meskipun adakalanya kami kehilangan kebijaksanaan sehingga menafsirkan sesuatu keputusanNya dengan meleset. Tapi bukankah itu salah satu kekurangan kita manusia ini?"
Menerima atau tidak pendapat Ganik tersebut, kami berempat
merasa lebih baik diam. Kami biarkan teman kami. Kami turuti
apa kehendaknya. Dia minta supaya anak-anak Siswi masuk seorang demi seorang. Lalu anak-anak Sri, kemudian anak-anakku. Kepada masing-masing, dia masih sempat menemukan dua
343 atau tiga patah kata yang cocok. Ingatannya masih mampu mempertemukan kalimat dengan si anak yang semestinya. Lalu Ibu
juga datang mencium dahinya. Mas Gun dan Winar yang paling
akhir. Kami di luar terkejut mendengar suara Ganik yang terkikih
perlahan.
Handoko duduk bersamaku di samping Ganik.
Berangsur-angsur, detik-detik kediamannya memanjang
menjadi menit, menjadi bertambah lama lagi. Reaksi tubuhnya melemah. Air mata tidak lagi membasahi pipinya atau lehernya. Walaupun pada saat-saat sadar suaranya tetap jelas dan
mengandung sisa-sisa kejernihan pikirannya, kurasakan bahwa
gairahnya untuk tinggal bersama kami telah lenyap. Dia bosan
hidup. Dari saat kejernihan semacam itu, dia masih berdaya untuk
mengingatkan Siswi dan Ibu agar cepat pulang, karena anak-anak
akan sekolah besok pagi.
"Semua keputusanNya baik dan adil," kata Ganik.
Setelah dua hari tanpa perawatan, hidup mengambang tanpa
satu kali pun menyesali penderitaannya, sahabat kami tidak berbicara lagi. Hingga tiba waktu kepergiannya pun tak terdengar
suara apa pun yang tersekat-sekat di tenggorokannya. Pada suatu
saat, dia masih kuat menyembulkan cahaya senyum yang redup
di wajahnya kepada kami, lalu menutup mata, tertidur buat seterusnya.
Ganik menyambut kematiannya dengan rasa hormat. Sungguh Tuhan Maha Pengasih. Bahkan pada saat keakhirannya pun
Ganik masih diberi kesempatan untuk berpamitan kepada sahabat-sahabatnya dengan cara yang tepat, sebagai manusia yang bermartabat.
Kehilangan Ganik merupakan lubang menganga yang tidak
mungkin akan dapat terisi kembali. Benar bahwa kematiannya
344 memberi akibat yang berbeda dari kepergian ayahku ketika aku
masih remaja. Tapi masing-masing dengan cara dan kebesaran
kegunaannya, mereka adalah orang-orang penting dalam hidupku.
Kehadiran Ganik yang sudah rapuh tidak bisa dia nikmati lagi.
Dan kami sahabat-sahabatnya tidak mempunyai pilihan, terpojok
dan terpaksa mendoakan sembuh atau mati secepat mungkin.
Seperti katanya sendiri yang sering dia ulangi di waktu-waktu
kami bertemu, kematian harus dianggap sebagai hal yang lumrah
seperti halnya kelahiran. Kalau pada suatu ketika dia mati, jangan
dilihat sebab-sebab kepergiannya. Karena sebab itu hanya berupa
alasan, atau jalan. Apakah itu kecelakaan mobil, jatuh di kamar
mandi, kebakaran atau sakit dan segera mati, atau sakit lama
baru kemudian meninggal. Itu semua hendaklah tidak dijadikan
masalah, kata Ganik. Seseorang yang mati karena kebakaran selalu
lebih dibicarakan dengan berkepanjangan. Dicari-cari kesalahan
sebagai penyebab kematian yang dianggap keluar dari kebiasaan
itu. Kata orang, alangkah tersiksanya. Si pembicara tidak tahu
bahwa dalam suatu kebakaran, korban kebanyakan kali pingsan
lebih dahulu karena kekurangan udara buat bernapas, sehingga
mereka tidak merasakan badannya dimakan api. Tidak sedikit
pula korban yang terjatuh atau terbentur lalu tidak sadarkan diri
sampai saat ajalnya tiba.
*** Aku tidak kuasa menahan desakan Handoko untuk menikah
dengan dia. Tindakanku lebih didorong oleh ketakutanku menghadapi masyarakat: "Sesudah cerai, sekarang dia menjadi gundik
adik iparnya." Padahal yang sebenarnya, omongan orang tetap
345 juga ada jika didengarkan. Misalnya kata tetangga ibuku, konon
diteruskan oleh pembantunya: "Kawin lagi saja kok dengan bekas
iparnya. Seperti tidak ada lelaki lain!"
Kupasrahkan nasibku di tangan Tuhan yang selama itu telah
memberiku gemblengan aneka percobaan serta tekanan batin,
dan yang telah mengimbangi percobaanNya dengan kehadiran
orang-orang yang amat merengkuh dan mencintaiku. Kini Dokter
Liantoro dan istrinya sudah meninggal, Ganik begitu pula, aku
tegak di atas kakiku sendiri meneruskan karier dan napas seharihari sebagai manusia yang sadar mempunyai tugas.
Ibuku tetap hadir. Dia tampak semakin tua. Barangkali karena capek turut mengurusi Ganik. Mungkin pula karena dia
kaget menyatakan kenekatanku kawin lagi dan dengan Handoko. Kami berdua menyediakan waktu istimewa untuk sowan
dan menjelaskan perbuatan kami. Handoko mengajukan alasanalasan mengapa dia lebih suka hidup bersama dengan aku daripada dengan wanita lain, baik yang gadis atau wanita lebih
muda dariku. Dikatakan bahwa sejak mengenalku, dia merasa
aku cocok tidak hanya sebagai istri, tetapi juga untuk menjadi
teman. Dia selalu kangen dan ingin berdekatan dengan aku,
berbincang-bincang dengan aku. Seandainya pun ada perempuan
lain, kalau pun dia menyukainya, dia tidak akan bisa menikah
jika wanita itu hanya pantas menjadi boneka karena tidak ada
isi di kepalanya.
Ibu memang tidak bisa melarang kami untuk meresmikan
hubungan kami. Dia akhirnya melihat sendiri bahwa Handoko bukan jenis lelaki muda yang sembarangan dan berbuat asal
saja. Ketika kami pamit akan pulang ke Jalan Bandungan, dua
hari sebelum hari pendaftaran di Pencatatan Sipil, ibuku hanya
mengatakan bahwa mudah-mudahan Handoko tidak seperti ka346 kaknya yang cepat sekali berubah sikap terhadap istri maupun
keluarga mertuanya.
Handoko sangat tersinggung dicurigai "akan sama" dengan
kakaknya. Dia bahkan menantang aku untuk bersumpah tidak
akan berubah. Dan bahwa untuk menekankan kesungguhannya,
dia mau menandatangani kontrak perkawinan di depan notaris.
Aku hanya tersenyum menanggapi rajukannya itu. Kukatakan
bahwa Tuhan sudah mendengar perkataannya, dan itu sudah sangat mencukupi bagiku.
Kepada ibuku sudah kupaparkan sebab-sebab kepraktisan yang
mendasari perkawinanku dengan Handoko. Soal perasaan tersendiri, perkawinan kembali itu memberiku rasa keamanan yang
sangat kuperlukan dalam meneruskan karierku. Kedudukan janda
dalam masyarakat hampir sama rapuhnya dengan kedudukan
sebagai istri tahanan Pulau Buru. Hanya jenis tantangannya
yang berlainan. Wanita matang yang bersendiri lebih gampang
menimbulkan kejahilan ulah laki-laki maupun keisengan lidah;
baik omongan lelaki maupun lidah perempuan. Selalu ada
yang merasa lebih pintar omong dari lainnya guna mengatakan
ketidaksenonohan terhadap janda di lingkungan mereka. Kecurigaan akan lebih mudah membayangi setiap kerjasamaku
dengan laki-laki bujangan maupun yang telah berkeluarga.
Aku tidak kuat menghadapi pandangan umum yang biasanya
gegabah, menganggap semua janda adalah obyek pergunjingan.
Kalau orang membicarakan janda, langsung saja si pembicara
sampai pada soal biologis, masalah penyampaian nafsu atau pelampiasan kepuasan sementara. Kalau laki-laki tergoda, yang disalahkan kebanyakan kali pihak wanita. Apalagi jika dia janda.
Aku kawin lagi tidak seperti kebanyakan janda yang nubruknubruk dan kawin dengan siapa saja. Asal kawin, mempunyai
347 kedudukan yang dianggap lebih terpandang daripada sebagai
janda. Pertemuanku dengan Handoko pun tanpa aku mencarinya. Kuingatkan ibuku bagaimana aku menolak usulnya supaya
menulis surat kepada adik ipar itu sebelum keberangkatanku ke
Negeri Belanda. Handoko memang benar adik bekas suamiku.
Itu hanya merupakan satu kebetulan. Tetapi seandainya dia orang
lain, pertemuan di luar negeri, siapa tahu tetap terlaksana jika
Tuhan memang menghendakinya demikian. Sekarang aku kawin
lagi, dan dengan Handoko, karena aku menganggap meneruskan
tindakan yang ditunjukkan Tuhan kepadaku.
Widowati dan Seto kelihatan lebih santai dari ibuku. Anakanakku segera bisa cocok dengan Handoko, berangkat dan pulang
sekolah dikawal oleh pamannya ini. Hingga kemudian Widowati
menerima kendaraan roda dua dari Sri, karena mengganti Eko
mengawasi anak-anak yang berekreasi berolahraga di halaman
rumah temanku. Seto sebagai si bungsu mempunyai sifat yang
masih sangat mudah dipengaruhi. Dan karena Handoko pandai
menarik hati, Seto terpikat, tampaknya tidak menyimpan ganjalan terhadap perkawinanku dengan Handoko. Anakku yang perempuan memang pernah mengajukan masalah, bagaimana harus
menjawab jika temannya bertanya dengan siapa ibunya kawin
lagi. Jawablah dengan insinyur lulusan luar negeri, kataku kepada Widowati. Biasanya, dengan menyebutkan gelar, apalagi yang
didapatkan di negeri asing, orang akan terkagum-kagum sehingga
terbungkam mulutnya, segan akan menanyakan hal lain-lainnya
lagi.
Aku meneruskan mengajar pagi dan sore. Sebelum Handoko
pergi lagi ke Eropa, dia sempat mengajarku menyetir mobil. Kini
aku sudah mendapat SIM, memegang Suzuki minibus yang dipinjamkan Sri sementara menunggu kesempatan adanya tawaran
348 kendaraan lain. Keadaan ekonomiku sangat baik berkat tunjangan
dari Ganik yang kuterima setiap tahun untuk keperluan rumah
dan tanah yang diberikannya kepadaku. Urusan keuangan kuserahkan kepada Sri. Temanku ini menasihatkan agar aku melepaskan sekolah pagi, tapi meneruskan mengajar bahasa Inggris
di sekolah percobaan. Menurut dia, itulah yang lebih sesuai
dengan karierku. Gajiku ditambah berbagai tunjangan dan jatah beras di sekolah pagi tidak mencapai jumlah enam puluh
ribu rupiah. Padahal aku dengan tekun masih terus membikin
persiapan mengajar sebagaimana guru-guru kuno lain. Sri tidak
menyetujui aku meneguhi profesi yang tidak mendatangkan gaji
yang sesuai itu.
Terus terang, aku tidak tega keluar dari sekolah pagi. Sekarang keadaanku telah lebih mapan dan baik, aku meninggalkan
mereka. Seolah-olah tidak ada rasa kesetiakawanan. Bukannya
aku menghina dan menyombongkan diri sebagai lulusan guru
di zaman terdahulu, tetapi aku bisa menyatakan, betapa muda
dan tampak kurang matangnya guru-guru Sekolah Dasar yang
baru menyelesaikan pendidikan di masa sekarang. Ditunjang oleh
fakta, bahwa empat dari sepuluh guru yang lulus, tidak bercitacita mengabdikan diri di dunia pengajaran.
Kalau aku keluar dari SD yang dulu telah sudi menampungku
di masa kesukaranku, benarlah aku merasa sebagai pengkhianat.
Mereka tentulah akan dengan mudah mendapatkan guru baru.
Tetapi bagaimana mutunya? Apakah pengganti itu juga seperti
aku, yang memilih mengajar sebagai profesiku yang sejati? Di
samping itu, aku juga tidak dapat menyalahkan guru yang merangkap mengajar di mana-mana supaya mendapatkan jumlah uang
yang mencukupi untuk menutup kebutuhan bulanannya. Tetapi
apakah dia sadar dan melaksanakan kerjanya seperti aku?
349 Barangkali aku terlalu menganggap diri paling baik. Namun
kekhawatiran yang timbul karena melihat fakta, membikin aku
merasa bahwa profesi guru memang sedang merosot citranya. Tidak
sedikit rekanku yang mengerjakan sambilan sebagai penjahit,
menitipkan makanan di toko atau warung, atau mempunyai warung sendiri karena gaji mereka tidak cukup untuk makan, berpakaian, apalagi berekreasi sekeluarga. Pengetahuan guru juga
mandek berhubung tidak adanya anggaran guna meningkatkan
atau mengembangkan pengetahuan, baik dengan bacaan ataupun
dengan mengikuti kursus tambahan. Diskusi mengenai nasib guru
yang sering timbul di antara kami tidak pernah membuahkan satu
kesepakatan.
Kami semua tahu bahwa sejak dulu profesi guru sangat di

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hormati. Tapi di Indonesia, sejak kemerdekaan, imbalan yang
diterima guru terengah-engah hanya mencapai sepertiga panjangnya bulan. Ibu Siswi sering benostalgia. Katanya gajinya dulu
juga tidak banyak, tetapi sangat mencukupi. Dia masih menerima
tunjangan untuk dapat membeli buku sebagai bahan tambahan pengetahuannya. Kegiatan tambahan yang diadakan bersama murid
juga disetujui serta dibayar oleh pihak sekolah. Winar sendiri
mengakui, bahwa persatuan guru tidak mendapat cukup tunjangan
untuk memperbaiki keadaan. Semua datang dari pokok mulanya,
karena anggaran pemerintah yang dimasukkan di bidang pendidikan dan kebudayaan jauh lebih kecil dari bidang lainnya. Misalnya, bukan merupakan rahasia bahwa anggaran terbesar negara
ditelan oleh Kementerian Pertahanan. Dia katakan, barangkali
hal itu akan berubah jika kelak Indonesia sudah mapan betul, tidak mengkhawatirkan serangan dari luar lagi.
Nasib guru yang bergaji rendah sering kali dikaitkan dengan
mutu pendidikan dan kenakalan remaja. Jika yang satu diting350 katkan, dua yang lain dapat dipastikan akan terpengaruh. Guru
yang tidak dapat hidup berkecukupan hanya dari gajinya terpaksa
mengerjakan aneka sambilan lain, yang kadang-kadang dianggap
rendah oleh para murid. Hal ini mengakibatkan turunnya wibawa
guru. Mutu guru dan mutu pendidikan, ditambah topangan cara
mendidik anak dalam keluarga, masing-masing merupakan mata
rantai yang harus saling berkaitan. Selama ini aku selalu dibantu
ibuku hingga bisa menumbuhkan tiga anak. Kami juga tidak
menyewa rumah. Berangsur-angsur, sejak Sri pindah di kota kami,
dia merupakan tiang penyangga perekonomian kami. Aku merasa
menjadi guru yang tidak bernasib terlalu buruk berkat ibuku dan
sahabatku itu.
Sejak Handoko telah berangkat lagi ke Eropa, kebanyakan kali
aku tinggal sendirian di Jalan Bandungan. Widowati mempunyai
kamar di rumah baru kami, tetapi dia hanya kadang kala tidur di
sana. Seto tetap bersama neneknya, kurang senang untuk pindah.
Sedikit demi sedikit kakaknya berusaha mempengaruhinya. Dia
diajar mengatur kamarnya dengan cara modern. Poster-poster dan
tulisan apa saja dijadikan dekorasi menarik di dinding atau pintu
bagian dalam. Sri sedang memacu anak bungsuku ini agar menjadi pemuda yang bergerak gesit. Janjinya, kalau dalam waktu dua
bulan itu Seto bisa berenang dengan baik, Sri akan membelikan
alat pemotret setengah amatir setengah profesional. Dan kalau
memang anakku berminat, alat itu akan berangsur diperlengkapi.
Seandainya pelajaran di sekolah memungkinkan, Seto akan dibayari masuk kursus atau magang di toko foto kepunyaan kenalan
sahabatku itu.
Hidup bersendiri lagi setelah selama lebih dari sebulan didampingi seorang laki-laki seperti Handoko, aku merasakan selintas-selintas singgahan kesepianku. Sesungguhnya bukan ra351 sa sepi, juga bukan rasa kangen. Berjauhan demikian itu, aku
sedikit demi sedikit belajar mengerti bagaimana mencintainya
seperti dia mencintaiku. Kuakui, bahwa semula aku memang tertarik terhadapnya. Tetapi perasaan cinta, tetap tertahan oleh ketidakpastianku apakah aku percaya kepadanya atau tidak. Apakah
dia benar-benar mencintaiku seperti apa yang seringkali dia
katakan dan dia ulang-ulangi. Rasa-rasanya tidak mungkin ada
seorang laki-laki muda, apalagi dia, Handoko, yang mencintai
perempuan seperti diriku. Dia mempunyai keleluasaan luar biasa
untuk mendapatkan perempuan yang mana pun di luar diriku.
Mana mungkin tiba-tiba aku yang dia pilih?
Perpisahan itu kuanggap sebagai waktu yang amat baik bagiku.
Aku berkesempatan merenungkan kembali semua yang telah kami
kerjakan bersama, yang telah kami bicarakan berdua. Kalimat demi kalimat kembali terdengar dalam hatiku, berdengung menggemakan suaranya yang rendah. Kadang setengah mengejek,
kadang benar-benar jengkel menghadapi keraguanku, atau lebih
sering tegas tetapi merayu. Dan bisikannya di kala mencumbuku,
ah, kenangan itulah yang membikin bulu romaku bangkit menyeluruh, menggugah limpahan kebakaran dalam diriku. Kartuposnya
datang secara tidak teratur. Selalu berisi kata-kata aneh, lucu,
tetapi tidak pernah jauh dari pengutaraan perasaan cintanya
atau ingatannya kepadaku. Dia memang tidak suka menulis surat panjang. Diakuinya, bahwa dia lebih suka berbicara di telepon. Oleh karenanya, setelah tiga kartupos, biasanya lalu dia
meneleponku. Kuingatkan agar uangnya dihemat-hemat, jangan
terlalu sering meneleponku. Dia sedang mendapat kontrak di
Italia, dan akan selesai di bulan Juni. Pertengahan bulan itu dia
berencana pulang ke Indonesia buat seterusnya.
Sementara menunggu kedatangannya, berbagai kegiatan di luar
352 mengajar tetap aku lakukan seperti dahulu. Untuk melestarikan
hubungan erat, Sri dan Siswi bergantian mengadakan piknik bersama. Kadang-kadang keluarga Mas Gun menggabung. Di lain
waktu kami menjelajah tanah bekas perkebunan di Boja yang
diwariskan Ganik kepada kami berempat. Kemudian Mas Gun
ganti mengundang kami ke daerahnya, di mana dia juga telah
berhasil menabung hak milik, seluasan sawah di Purworejo. Ibuku
selalu turut bersama kami. Apalagi jika tujuan ke arah tempat
leluhurnya.
Empat bulan berlalu lambat atau cepat, sesuai dengan keadaan
pikiran dan hatiku. Semakin lama berpisah dengan Handoko,
aku semakin merindukan dan mencintainya. Mulai timbul pula
benih-benih kecemburuan yang semula tidak kukenal terselinap
di dadaku. Di mana pun ada gadis atau wanita cantik. Italia lebihlebih lagi, memiliki laki-laki dan perempuan berpenampilan Latin
yang sangat menarik. Sabtu malam hingga Senin pagi apakah kesibukan suamiku untuk membunuh waktu? Di salah satu kartupos
tidakkah dia menyebutkan terlalu panjangnya malam dan siang di
setiap akhir pekan? Dapatkah aku mempercayai nasib baikku, bahwa suamiku yang muda bisa bertahan terhadap godaan menjamah
dan membelai tubuh perempuan lain selama empat bulan? Karena
tidak kuasa mengendalikan kecemburuan yang tersimpan itu,
aku katakan kepadanya di telepon apakah dia sudah berkencan
dengan wanita Italia.
Dia tertawa.
"Ini benar-benar aku bertanya. Mengapa kau tertawa?" kataku
dengan kesal.
"Mbak Mur cemburu?"
"Ya, tentu saja aku cemburu!" cepat dan tegas aku menjawab.
"Begitu dong. Aku senang kalau Mbak Mur cemburu dan
353 memperlihatkannya dengan jelas. Berarti Mbak Mur tidak ingin
kehilangan aku."
Sakit sekali dadaku mendengar kata-kata yang diucapkan dengan perlahan tetapi pasti itu.
"Tentu saja aku takut kehilangan kau, Yang," sahutku lagi.
"Sebab itu aku dulu takut kawin, karena takut kehilangan kau
sehagai milikku yang sah."
"Jangan diungkit-ungkit lagi hal itu. Kamu juga milikku,
sama seperti aku milikmu. Kita tidak akan saling kehilangan.
Mbak Mur jangan memikirkan yang enggak-enggak. Aku banyak
membaca, banyak menonton ilm. Memang aku kesepian karena
kita berjauhan. Tinggal kali ini kita berjauhan lama. Aku minta
Mbak Mur percayalah kepadaku. Aku juga percaya kepadamu,
bukan? Di situ Mbak Mur selalu dikelilingi rekan-rekan lelaki
juga. Apalagi Mas Gun. Kadang-kadang aku curiga ada perasaan
lain di antara kalian berdua."
Aku kaget mendengar Handoko menyebutkan hal itu.
Aku memang tidak pernah mengingati kejadian yang dulu, karena kuanggap tidak penting. Pernah Mas Gun berkata kepada
ayahku bahwa dia tidak menyukai Mas Wid. Waktu itu pertunanganku sedang dalam keadaan agak guncang. Bapak kami
lalu mengatakan kepada Ibu, barangkali Mas Gun yang waktu
itu adalah salah satu anak buah ayah kami, juga menaruh hati
kepadaku. Untuk selanjutnya, hal itu tidak pernah timbul kembali dalam percakapan-percakapan kami. Aku sendiri selalu
menganggap Mas Gun sebagai kakakku. Rupa-rupanya Handoko
melihat pandang mata Mas Gun yang tidak hanya berisi rasa persaudaraan.
Dalam surat berikutnya yang kutujukan kepada Handoko, aku
menulis panjang mengenai perasaanku terhadapnya. Dia langsung
354 meneleponku sebegitu menerima surat tersebut. Katanya, dia
bahagia sekali. Belum pernah dia menerima surat sebagus itu.
Dia sangat terharu. Katanya dia baca berulang kali. Hatiku luluh
mendengar suaranya memuji dan mengatakan cintanya kepadaku.
Dan mulai dari saat itu, hari ke pekan hingga ke bulan berlalu
bagaikan merangkak amatlah perlahan. Mengerti bahwa Handoko
mencintaiku juga disebabkan oleh kemampuan kecerdasanku, aku
semakin rajin membaca. Isi rak di kamar buku yang termasuk ke
dalam warisan Ganik untukku aku kupas deretan demi deretan.
Kupelajari dan kuingat sejarah arsitektur, musik, dan bentuk
kebudayaan Eropa lain supaya aku dapat melayani perbincangan
dengan suamiku sebaik-baiknya. Demikianlah empat bulan tibatiba mencapai ujungnya. Mula-mula datang barang pindahan
yang dijatuhkan atas nama perusahaan rekanan temanku Sri.
Lalu aku ke Jakarta menjemput suamiku. Setelah berkangenan
selama beberapa hari di rumah Sri di Jatiwaringin, kami pulang
ke Jawa Tengah untuk memulai hidup sebagai suami-istri di Jalan
Bandungan.
*****
Bagian Empat
356 357 4 oleh siapa pun, melainkan oleh godaan perasaan kami sen- elama lima tahun kami kawin, hidup kami tidak terganggu
diri. Kami tidak mempunyai anak. Sedari awal pergaulan intim
kami, Handoko sudah mengatakan bahwa jika kami menikah,
dia minta agar aku tidak mengharapkan anak dari dia. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, semasa kuliah di
Jerman dia sudah menjalani vasektomi. Aku mengerti dan aku
menerimanya. Dia telah berterus-terang kepadaku dan aku pun
sudah mempunyai anak tiga yang menjelang dewasa. Kami berdua sepakat untuk hidup bersama dan berkarier. Rasa-rasanya
tidak ada ganjalan yang membikin hidup kami menderita. Dapat
dikatakan segalanya berjalan seperti di atas rel yang tersedia.
Roda-roda yang membawa kami lancar berputar. Kadang kala diminyaki oleh kesalahpahaman atau kecemburuan, baik dari pihak Handoko maupun dariku sendiri. Setiap rajukan, setiap kesalahmengertian, setiap kelalaian maupun pertikaian kata pedih
yang sebetulnya diucapkan dengan rasa yang menusuk hati, kemudiannya membawa kami pada kedekatan kembali yang tetap
erat. Seolah-olah pada pertemuan badaniah yang menyusul setiap
bentrokan kecil itu, kami hendak saling melumatkan diri satu
pada lainnya agar tidak ada lagi keduaan kami. Supaya yang ada
ialah kami sebagai satu kehendak dan satu napas.
358 Semakin lama kami berjalan bersama, kuperhatikan bukanlah aku yang lebih berumur yang merasa semakin khawatir
ditinggalkan Handoko. Kebalikannya, justru suamiku yang mudalah yang selalu tampak kurang mempercayaiku. Aku tidak
mengerti atau melihat alasan mengapa dia demikian. Handoko
cukup kuat dan percaya diri di bidangnya. Disebabkan oleh ketulusanku, seringkali aku lupa bahwa dia terlalu peka dalam hal
dengan siapa aku bergaul. Terang-terangan aku memuji kegagahan
atau kemampuan kerja seorang rekan laki-laki. Kejadian yang
kuanggap biasa itu tidak dilupakan suamiku. Nama laki-laki itu
tertempel di ingatannya, hingga pada suatu ketika dia keluarkan
untuk menjegalku. Umpamanya, pada suatu petang dia pulang
dari luar kota, aku tidak di rumah. Sebegitu aku tiba, dia langsung menyerang, "Mengapa sampai begini malam? Kuliah atau
berkencan dengan si Itu?" Semula, sikapnya itu tidak kuperhatikan
benar. Tetapi lama-kelamaan, perasaanku tersinggung juga. Karena akhirnya kuperhatikan bahwa dia tidak bergurau. Dia sungguh-sungguh dikuasai oleh praduga, bahwa kalau aku memuji
atau mengatakan nilai seorang lelaki, walau selintas atau sedikit
pun, dia pastikan aku menaruh minat untuk bercintaan dengan
laki-laki itu. Perbuatanku kuhati-hati benar. Sikapku tidak genit
maupun mencoba menarik perhatian. Mengapa suamiku selalu
mencurigaiku? Pertanyaan itu memang dia jawab. Tetapi aku tetap
tidak puas, karena bagiku itu bukan jawaban yang sesuai dengan
tindakanku sehari-hari. Karena kecurigaannya itu didasarkan atas
pengalamannya pribadi yang tidak kuberikan kepada siapa pun.
Juga tidak kepada bapaknya anak-anakku, suamiku terdahulu.
Handoko berpendapat bahwa aku bersifat panas di tempat tidur.
Tidak mungkin perempuan seperti aku melihat laki-laki hanya
sebagai rekan atau kawan. Paling tidak, di sudut kepalaku selalu
359 tersimpan tafsiran atau rabaan perkiraan yang lain. Inilah yang
dia tidak suka, katanya. Dia ingin membongkar isi kepalaku, membersihkan dari semua rencana untuk menggoda lelaki lain.
Suamiku yang muda rupa-rupanya juga amat egois. Tetapi aku
mengerti dan mencintainya demikian. Berapa kali saja aku mencoba meyakinkan perasaanku yang dalam terhadapnya. Bahwa
tidak pernah terpikirkan olehku bercumbuan dengan orang lain
sejak aku merasakan belaian dan bisikannya. Di dalam hatiku
hanya ada nama dan kenangan yang selalu tumbuh berdaun dan
bercabang, semuanya mcngandung namanya Handoko. Dalam
kungkungan kecemburuan itu, dia hanya berhasil mempercayaiku
setengah-setengah. Maka hidupku yang sebenarnya bisa tenang,
masih mendapatkan sebaran godaan yang terdapat di luar dan di
dalam hati kami masing-masing. Handoko sebagai suamiku amat
bertanggung jawab. Dia menyerahkan setengah dari gajinya yang
cukup besar kepadaku. Tidak lama setelah dia pulang, langsung
mendapat kontrakan, bekerja pada perusahaan patungan JepangIndonesia yang mengurus galangan kapal dan konstruksi bangunan
besi. Tugasnya sering membawanya ke luar kota. Pada saat-saat
demikian, setiap keberangkatan merupakan perpisahan yang sangat menekan bagiku. Siapakah yang dia temui di tempat lain?
Perempuan-perempuan muda di daerah ataupun di kota pasti ada
yang mahir memikat lelaki. Di saat-saat istirahat, apakah yang
dikerjakan suamiku? Kepiluan kecemburuanku juga kuperlihatkan
kepadanya. Tampaknya dia mengertiku. Setiap kali kami berpisah,
selalu ada janji kepulangan yang berarti pertemuan kembali,
disertai kobaran api kerinduan yang tidak kunjung padam dari
kedua belah pihak.
Kini ada berita bahwa bekas suamiku akan keluar dari tahanan
yang telah menyekapnya selama empat belas tahun. Sementara
360 menunggu kedatangan Handoko, aku meneliti kembali apa yang


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi di lingkungan dekatku sejak aku kawin lagi.
Setahun setelah Handoko kembali lagi dari Eropa, ibu kami
yang tercinta meninggal dunia. Dia sempat dibawa adikku yang
menjadi dokter dan menetap di Sulawesi Utara untuk menengok
cucunya di sana. Pada waktu Lebaran berikutnya, adikku yang
bekerja di Kalimantan Barat juga berkunjung ke Jawa bersama
keluarganya. Rumah ibuku penuh waktu itu, karena adikku yang
bungsu, yang lahir ketika kami mengungsi di zaman revolusi, juga datang membawa keluarganya. Dia sudah pindah dari Batu
ke Malang dan tetap menjabat kepala Sekolah Dasar. Meskipun
aku amat sedih ditinggal Ibu, aku juga merasa lega, karena lebih
dari setahun dia menyaksikan sendiri betapa aku hidup bahagia
bersama Handoko. Semula memang dia tidak begitu senang dengan keputusanku untuk kawin dengan laki-laki yang juga menjadi paman dari anak-anakku.
Anakku sulung sudah di tingkat lima di Fakultas Kedokteran,
tetap ikut pamannya di Ujung Pandang. Setiap akan ujian, tidak
lupa menelepon kepadaku dan minta supaya didoakan segalanya
berjalan lancar. Meneruskan tradisi yang telah diajarkan ayahibuku, aku berpuasa serta mengurangi tidur untuk mengirim kekuatan kepada anakku Eko. Widowati sudah menjadi pramugari.
Karena pekerjaannya, dia tinggal di Jakarta. Tetapi sebegitu
ada kesempatan, dia menelepon, lalu kami berbincang-bincang
dengan asyik. Aku cukup dekat dengan dia. Barangkali karena
dia anak perempuan, perasaannya lebih banyak menanggapi keadaan sekelilingnya dengan caraku pula. Tidak jarang jadwal
penerbangannya membikin dia menginap di kota kami. Seto,
anakku yang bungsu, tinggal bersama kami di Jalan Bandungan.
Hingga waktu ini, kelihatan bahwa dia tidak memiliki kecerdasan
361 maupun ketekunan seperti kedua kakaknya. Sekarang kelas dua
di sekolah teknik. Angka-angka rapornya hanya cukup untuk menariknya ke tingkat yang biasa saja.
Sri juga tahu bahwa tahanan Pulau Buru akan dikeluarkan.
Tentulah Siswi yang mengabarinya. Dua tahun terakhir itu aku
sibuk memajukan tesis, lalu ujian akhir. Kembali kuliah untuk
melengkapi kesarjanaanku sebenarnya hanyalah merupakan
formalitas bagiku. Sejak Dokter Liantoro meninggal, aku tetap
berhubungan dengan Kedutaan Belanda melalui kenalan baik
ayah sahabatku itu. Kesempatan untuk meneruskan belajar di
luar negeri tetap terbuka bagiku. Setelah melengkapi gelarku,
aku menambah pengalaman mengajar di Sekolah Lanjutan
Atas swasta. Sekolah laboratorium dan SD pagi telah lama kutinggalkan. Sri sendiri juga berhasil mengembangkan usahanya.
Kini dua anaknya yang besar duduk di universitas di kota kami.
Ibu Sri yang seumur dengan ibuku diboyong dari Sala, tinggal di
rumahnya di Jalan Puspowarno. Sahabatku semakin sering berada
di Jakarta. Kukira dia menjalin hubungan intim dengan seorang
direktur bank. Tetapi selama dia tidak mendahului berbicara mengenai hal itu, aku tidak hendak mendesak atau mengorek isi
hatinya. Seperti Winar, Sri sangat prihatin dengan datangnya
kabar mengenai keputusan pemerintah akan mengeluarkan para
tahanan politik. Kamu harus tahu bertindak dengan tepat, nasihatnya.
*** Kuatur sedemikian rupa sehingga sejak sore aku sudah berada di
rumah supaya dapat menyambut Handoko ketika pulang. Suatu
kebetulan yang luar biasa tersuguh, karena Seto bermalam di
362 tempat temannya untuk menggarap gambar secara kelompok. Setelah makan, seperti biasa kami berdua berjalan-jalan di halaman
depan rumah selama sepuluh atau lima belas menit. Lalu acara
kami ialah duduk-duduk di serambi sambil menunggu siaran yang
menarik di televisi. Kami menikmati udara sejuk yang dibawa
oleh kerindangan pohon-pohon besar di kompleks rumah sakit
serta dari atas bukit kuburan kota. Kadang kala tersilir bau wangi
bunga melati dan kenanga yang telah rimbun, termasuk peninggalan ibunya Ganik. Sebegitu duduk, aku berkata langsung
ke pokok pembicaraan.
"Winar mendapat kabar bahwa tahanan Pulau Buru akan dikeluarkan semua. Widowati tentu akan menelepon jika dia menerima surat dari bapaknya."
Sejak anakku perempuan bekerja, dialah yang mengurus suratmenyurat dan kiriman kepada bapaknya. Eko terlalu sibuk dan
tekun sehingga merasa kewalahan. Katanya, dia jarang sekali berhubungan dengan ayahnya.
Handoko tidak segera menanggapi bicaraku. Aku menoleh,
memandanginya dari samping.
"Kira-kira kapan?" suaranya biasa.
Kuraba tangannya.
"Kata Winar, dalam waktu sebulan, mungkin semua sudah keluar. Kecuali mereka yang sukarela memilih tinggal di sana." Aku
berhenti sebentar, lalu kusambung, "?Tolong katakan bagaimana
sebaiknya."
"Apa maksud Mbak Mur?"
Kami masih meneruskan kebiasaan menggunakan panggilan
yang dulu. Kecuali kadang-kadang aku menambahkan perkataan
Mas di depan namanya. Dalam hal itu, kumaksudkan Mas sebagai singkatan dari Dimas yang berarti adik lelaki. Di antara
363 kami berdua kurasakan kedekatan yang mencinta namun saling
menghormati. Panggilan Mbak dan Mas merupakan kelumrahan
yang sekaligus intim bagi kami. Dalam percakapan di mana nama bapaknya anak-anakku terpaksa disebut, Handoko tetap
memakai pula perkataan Mas. Sebaliknya dengan diriku. Untuk
menandakan jarak, juga disebabkan oleh tuntutan perasaan, aku
selalu berusaha menghindari sebutan itu.
"Tentu Widodo akan kemari buat menengok Seto. Kita harus
siap. Cepat atau lambat, dia pasti muncul."
"Menurut Mbak Mur, bagaimana sebaiknya?"
Irawan sudah lebih banyak memberiku penerangan mengenai
apa yang dulu terjadi dalam keluarga mertuaku. Widodo mempunyai sifat suka meneror adik-adiknya. Karena Handoko adalah anak termuda, dialah yang paling tertekan oleh kelakuan
Widodo yang maunya selalu menang. Ditambah pula karena
orangtua mereka mempunyai kecenderungan memihak kepada
anak sulung. Kepergian Handoko dari rumah di masa remaja dan
berani hidup sendirian bekerja sambil bersekolah di Surabaya, merupakan akibat dari puncak bentrokannya dengan kakak pertama
itu. Pada suatu hari, sehabis berkelahi dengan Widodo, dengan
muka bengkak dan kaki pincang, Handoko mencari perlindungan
di rumah kepala desa. Secara sembunyi-sembunyi, Irawan mengambilkan pakaian seperlunya; lalu adik bungsu itu mengikuti
keluarga kepala desa untuk menetap di Surabaya. Kejadian itu
mendasari kekakuan hubungan antara Handoko dengan orangtuanya maupun dengan Widodo. Aku mengerti perasaan serta sikap suamiku. Sore itu, kusampaikan rundinganku bersama Winar
dan Siswi. Kujelaskan pendirianku.
"Syukur kalau dia langsung ke Klaten. Biar Seto yang ke
sana. Aku tidak ingin Widodo tinggal di Jalan Bandungan sini.
364 Di samping hal-hal yang lain, rumah ini kuterima dari Ganik.
Semasa hidupnya, sahabatku itu tidak menyukai Widodo. Aku
tidak ingin mencemarkan kenangan Ganik. Yang tinggal di rumah ini hanyalah orang-orang yang aku sukai dan disukai oleh
sahabatku."
Dengan perasaan lega, malam itu aku menyatakan tidak terlihatnya kesalahmengertian di antara Handoko dan aku. Tetapi
meskipun demikian, jauh di dalam lubuk hatiku kurasakan ketidakamanan. Semacam adanya ancaman yang tidak jelas dalam
bentuk apa.
Benarlah Widowati meneleponku pada suatu malam untuk
mengatakan bahwa bapaknya memberitahukan berita tersebut.
Berdua bersama ayahnya, mereka membuat rencana. Wido akan
mengambil cuti tahunan. Lalu mereka ke Jawa Tengah. Kutanyakan apakah ke Klaten? Anakku menjawab, bahwa mereka
akan ke Semarang karena bapaknya ingin ketemu Seto. Menunggu
sampai hari Sabtu, kemudian bertiga bersama-sama ke Klaten menengok Mbah Kakung. Mertuaku perempuan meninggal dua tahun
setelah aku menikah dengan Handoko. Kami sepakat untuk tidak
terlalu sering berkunjung ke sana. Kebetulan kesibukan kami sedemikian padat, sehingga waktu-waktu bersantai berduaan lebih
terasa nikmat jika kami habiskan sendirian di rumah kami di Jalan Bandungan.
Ternyata aku terpaksa menjelaskan lebih dari satu kali bagaimana pendirianku, karena anakku perempuan yang kukira
mengertiku selama ini, tidak bisa menerima mengapa aku menolak dia mengajak ayahnya ke rumahku. Ketika aku bertanya
di mana bapaknya akan menginap selama tinggal di Semarang,
dengan suara pasti dia menjawab: di rumah kita. Seolah-olah
sudah sepatutnya Widodo bermalam di Jalan Bandungan. Tanpa
365 bermaksud menyinggung perasaannya, aku katakan bahwa ayahnya dan aku sudah tidak mempunyai hubungan sesuatu pun.
Bahwa dengan adanya suamiku yang lain, meskipun dia saudara
ayahnya, bukan kewajibanku untuk memberi tempat bermalam
kepada bapaknya. Untuk menambah kekukuhan argumentasiku,
Ganik juga kusebut-sebut. Lalu kukatakan bahwa keluarga Winar
bersedia menampung Widodo jika hanya untuk dua atau tiga hari
saja.
Pada kesempatan itu, kuberitahukan pula perihal hubungan
Handoko dengan ayahnya. Selama itu anak-anakku mempunyai
tanggapan yang normal terhadap pamannya yang telah menjadi
suamiku. Handoko tahu kedudukannya. Sejak semula dia sudah
mengatakan tidak akan campur tangan dalam hal pendidikan Seto
atau dalam keputusan apa pun mengenai anak-anakku. Kerapuhan
posisinya sebagai ayah tiri dia kenal dengan baik. Katanya, biarlah Sri dan Winar meneruskan peranannya sebagai pengarah
dan sahabat keluarga mengenai anak-anak. Setelah kuceritakan
sedikit apa yang kudengar dari Irawan, Widowati agak terbuka
pikirannya. Barangkali dia terlalu mabuk oleh kegembiraan akan
bertemu lagi dengan ayahnya. Sebab itu, anakku menjadi kurang
tenggang rasa tentang pendirianku terhadap bapaknya.
Widowati mengantarkan bapaknya langsung ke rumah Winar sewaktu mereka sampai di kota kami. Selama tiga hari aku
bisa bertahan terhadap bujukan anak-anakku. Mereka ingin aku
menemui bapak mereka di rumah Siswi, atau memperbolehkan
mereka membawa ayah mereka ke Jalan Bandungan. Di depan
Handoko, Wido bahkan mengatakan bahwa bapaknya baik sekali,
ramah, dan selalu penuh cerita. Mengapa Paman dan Ibu tidak
mau turut kami ke rumah Bu Siswi? Handoko tidak menjawab
tegas bahwa dia tidak hendak bertemu dengan kakaknya. Tapi
366 aku mengatakan kepada anak-anakku tidak ada perlunya aku
berbaik-baik lagi dengan Widodo.
Memang ada waktu-waktu di mana rasa kemanusiaanku ingin
mengalah. Suamiku mengatakan, jika aku merasa sebaiknya menemui Widodo, dia mau menemaniku. Tapi hatiku masih mendendam. Dan ternyata dendam itu lebih tebal dari rasa lain. Meskipun dengan dasar pikiran "demi anak-anak" pun, aku tidak bisa
berhadapan dan berbicara dengan Widodo seramah di kala aku
berhadapan dengan orang lain. Sampai saatnya tiba mereka berangkat ke Klaten, kami tetap tidak bertemu dengan bapaknya
anak-anak.
Semua berjalan dengan cukup baik. Winar dan Siswi sepakat mengatakan bahwa memang Widodo sangat berlainan sikapnya. Dia banyak sekali tersenyum dan tertawa. Bicaranya lanear,
penuh kehangatan dalam suaranya. Tidak sedikit pun tampak sisasisa kekakuan yang dulu mereka kenali merupakan ciri khas di
masa dia masih menjadi pendampingku. Tapi Winar juga berkata
bahwa itu bisa saja merupakan tameng bagi Widodo. Seperti
almarhum ibuku, sahabatku suami-istri itu tidak menaruh kepercayaan sedikit pun kepada orang yang pernah menjadi anggota
partai terlarang. Widodo sekarang beragama Kristen Protestan.
Kau tahu, kata Winar, dia kelihatan begitu saleh, jenis orang
yang menaruh Kitab Suci di samping tempat tidur. Tetapi kita
tidak pernah bisa tahu bagaimana isi hatinya yang sesungguhnya,
sambung temanku.
Selama beberapa waktu aku berusaha untuk tidak memikirkan keberadaan Widodo. Widowati kembali bekerja seperti sediakala. Seto juga tidak memperlihatkan perubahan sifat maupun
kelakuan. Kendaraan yang dulu dipakai kakaknya, diberikan Sri
kepada anak bungsuku dengan janji, bahwa dia harus selalu men367 taati semua pengarahan Winar serta aku sendiri. Masing-masing
dari kami kembali menjalankan tugas sehari-hari. Namun rasa
kesejahteraanku tetap belum pasti seperti dulu. Rasa kekhawatiran
tetap hadir. Aku merasa seolah-olah ada jala yang terentang di
atas sana, yang pada suatu ketika, entah kapan, akan dilemparkan
dengan mendadak buat menjebak kami berdua, Handoko dan
aku. Kemudian tibalah hari Sabtu yang lain, kira-kira sebulan setelah anak-anakku kembali dari menemani bapak mereka. Seto
minta izin untuk ke Klaten akan menjenguk ayahnya. Pada saat
itulah aku sadar bahwa bagaimanapun aku menghindar, aku
masih akan terus mendengar apa dan bagaimana jadinya bekas
suamiku yang pernah menjadi musuh besar pemerintah itu. Aku
harus menerima hal itu sebagai suatu kebiasaan, kelumrahan yang
serba umum. Yang sama sekali tidak mengancam ataupun merusak
kehidupanku bersama Handoko.
Demikian berlangsung dua bulan, menyusul tiga bulan. Dan
suatu siang, di waktu makan, Seto mengatakan bahwa ayahnya
ada di kota kami.
"Bagaimana kau tahu? Apakah kau menerima suratnya? Atau
pesan?"
"Tadi Bapak ke sekolahku. Nanti setelah makan, aku akan ke
rumahnya," sahut anakku.
"Ke rumahnya?"
"Ya. Bapak bekerja sebagai penjaga gereja, mendapat kamar di
belakangnya. Aku ingin lihat," kata Seto.
Nyata hatinya ringan. Kurasakan ada kepuasan dalam nada
suaranya.
Dia meneruskan, "Senang aku! Bisa bertemu Bapak sewaktuwaktu. Aku tidak usah ke Klaten lagi."
368 Kebalikannya dengan aku! Aku lebih suka jika Widodo tidak menetap sekota dengan kami! Tetapi bagaimana aku akan
melarang Seto mengunjungi bapaknya? Aku hanya bisa mengingatkan, "Tugas sekolah jangan diabaikan!"
Mulai dari waktu itulah peristiwa-peristiwa yang tampak biasa,


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi batu di perjalanan hidup kami sehari-hari. Batu itu jika
tersandung bisa saja menggelinding dengan sendirinya meminggir.
Namun jika kami kurang waspada, adakalanya hampir membikin
kami terjatuh.
Aku berusaha untuk tidak terlalu mempedulikan kehadiran
Widodo. Tapi berangsur-angsur, kuperhatikan perubahan anak
bungsuku. Dia kurang meneguhi, kemudian sama sekali tidak mengindahkan peraturan yang telah kami sepakati bersama. Handoko
tidak atau jarang sekali makan siang di rumah. Kebalikannya,
aku selalu berusaha untuk berada di rumah supaya bisa makan
bersama Seto. Seandainya meleset hari ini, keesokannya harus
diusahakan agar kami bertemu selama paling sedikit lima belas
menit di meja makan. Seperti dulu juga dengan Eko dan Wido,
aku ingin menerapkan disiplin itu sebaik mungkin, demi rasa
keterlibatan timbal-balik antara anak-anak dan aku sendiri. Kalau memang pertemuan makan itu tidak dapat dilaksanakan
disebabkan oleh kepadatan kegiatan sekolah atau kursus, aku tidak merasa keberatan. Yang membikin sakit hatiku ialah karena
aku tahu dengan pasti, bahwa Seto melalaikan peraturan bersama
itu karena dia lebih mementingkan ayahnya. Aku sadar memang
ada rasa iri yang menguasaiku. Di samping itu aku tetap ingat
bahwa Seto bukan anak berkemampuan kecerdasan yang sama
seperti kakak-kakaknya. Dia memerlukan kekangan kendali
dan pengarahan yang lebih ketat dalam hal belajar. Dengan
369 ketidakpulangannya di waktu siang yang semakin sering, aku
khawatir Seto akan nunggak kelas. Dipandang sepintas lalu, ini
pun bukan hal yang patut dianggap sebagai sebuah tragedi. Tidak
naik kelas bukan berarti tamat riwayat. Yang menyedihkan bagiku
ialah pengetahuan bahwa anakku berada di bawah pengaruh buruk
bapaknya. Berkali-kali, dengan perlahan serta penuh kecintaan
aku mengingatkan kewajibannya belajar. Jika memang dia ingin
lebih sering bersama ayahnya, makan siang berdua denganku dapat kukorbankan. Namun lama-kelamaan, petang pun aku jarang
melihat anakku. Kebaruan lain dari dia, ialah dia menjawab
kata-kata lembutku dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah
terbayang akan dia ucapkan. Katanya dia sudah besar sekarang.
Mengapa aku hendak terus menyekapnya? Dia tidak akan bisa
berkembang kalau aku tidak memberinya kebebasan.
Sakit hatiku berubah menjadi kesedihan. Aku sebegitu terkejut menyatakan betapa Seto bisa membantah dengan katakata semacam itu sehingga kepalaku kosong, tidak mempunyai
tangkisan kalimat yang tepat namun tidak menyinggung jiwa
remajanya. Aku hanya bisa mengadukan halku kepada Winar,
Siswi, serta Sri. Entah karena mereka adalah sahabatku, pendapat
mereka sama: Widodo sedang mengacau kehidupanku. Hati manusiaku yang wajar tidak dapat menerima pemikiran semacam
itu. Tidak mungkin orang yang telah mengalami percobaan empat belas tahun di penjara mempunyai kelicikan sedemikian
keji. Apalagi terhadap anaknya, terhadap bekas istrinya. Apakah
sebenarnya yang dia kehendaki? Winar tetap mengharap aku
waspada. Dia sendiri sekali-sekali singgah ke tempat kediaman
Widodo dan berbicara mengenai ini atau itu. Sekadar untuk mengetahui apa yang dikerjakan bapak anak-anakku itu. Winar juga
berbicara dengan pendeta yang memberi tanggung jawab dan ka370 mar kepada Widodo. Kesimpulan temanku tetap, ialah kami harus tidak hanya mempercayai apa yang kelihatan.
Pada suatu siang ketika aku pulang, seperti biasa pintu pagar
sudah terbuka. Mobil kubawa langsung ke sisi rumah. Sekilas aku
melihat seseorang duduk di beranda depan. Turun dari kendaraan,
pembantu yang menolong membawakan tas dan mapku berkata
bahwa ada tamu yang menunggu Seto. Tanpa memperhatikan
siapa tamu itu, aku berganti baju santai, lalu masuk ke kamar
buku. Sambil menunggu anakku, aku melihat-lihat isi map di
atas meja kerjaku. Beberapa waktu kemudian kudengar Seto datang serta membawa tamunya ke kamarnya. Kubiarkan anakku
menyelesaikan urusannya beberapa saat. Lalu kupanggil untuk
makan bersamaku.
Di kala dia datang ke meja makan, barulah aku melihat
siapa tamu itu. Hampir aku tidak bisa menahan rasa terkejutku.
Untunglah aku masih kuasa menarik kekangan dalam diriku, dan
tanpa mengulurkan tangan aku menyalami dengan sikap dan
suara sebiasa mungkin. Widodo mengatakan mempunyai kencan
dengan anaknya. Dan karena siang itu kebetulan dia mempunyai
keperluan di daerah rumah sakit, daripada Seto yang ke rumahnya,
dialah yang singgah ke Jalan Bandungan. Aku tidak menanggapi
omongannya. Namun bagaimanapun juga, tatacara kesopanan tidak bisa kuhilangkan. Aku terpaksa bertanya apakah dia sudah
makan. Aku tidak mau melayaninya. Maka kusuruh Seto mengambilkan keperluan untuk makan buat bapaknya. Sambil makan, Widodo menanyakan berita Handoko, aku sendiri, dan adik-adikku.
Semua kujawab secara sederhana, tanpa berkepanjangan. Dalam
kebingungan karena tiba-tiba berhadapan dengan Widodo di rumahku sendiri itu, aku masih memiliki kejernihan pikiran: aku
tidak ingin berbaik-baik dengan dia.
371 Mulai dari hari itu, seolah-olah Widodo mendapat penerimaan baik dariku, dia sering sekali datang ke Jalan Bandungan.
Alasannya selalu sama, ialah mencari Seto. Yang sebenamya,
dia menjadi pengganggu bagiku dan bagi suamiku. Kuperhatikan
ketika Handoko bertemu dengan kakaknya untuk pertama kalinya
juga dingin saja. Seperti aku, dia tidak mengulurkan tangan maupun memberinya sambutan akrab. Perkataan "Eh, Mas Wid" itu
pun sudah amat mencukupi bagi pendengaranku.
Gangguan kedatangannya benar-benar kuanggap merajalela.
Pagi di waktu masing-masing dari kami sibuk bersiap untuk bekerja, Widodo muncul. Langsung dia duduk di meja makan tanpa kami silakan. Selalu Seto yang serta-merta melayaninya, atau
berteriak menyampaikan perintah kepada pembantu. Hal yang
sangat bertentangan dengan prinsipku. Bagiku, pembantu hanyalah untuk mengerjakan tugas yang berat, yang tidak mungkin
kami laksanakan sendiri berhubung kekurangan waktu. Aku meneruskan mempergunakan tenaga orang-orang yang dulu dipakai
oleh Ganik serta orangtuanya. Mereka sudah mengenal rumah itu
dengan baik. Kebiasaan cara kerja mereka sedapat mungkin tidak
kuubah. Keluarga Ganik memang dilayani. Tetapi untuk hal-hal
yang ringan, mereka amat mandiri. Maka dengan kebiasaan baru
yang berupa kedatangan Widodo pagi, siang, dan petang tanpa
mengikuti tatacara bertamu yang sopan, pembantu-pembantu kami bertambah pekerjaan.
Hatiku tertekan. Kulihat muka Handoko tidak cerah. Waktu
petang adalah saat ketenangan kami berdua. Tapi sejak Widodo
semena-mena menjadi pendatang yang tidak dikehendaki, keduaanku bersama Handoko tercemar oleh kehadirannya. Dia pintar
berbicara. Bagaimanapun kami tidak menanggapi omongannya
yang panjang lebar, dia mempunyai keterampilan bermonolog.
372 Seakan-akan sengaja dia menguji kesabaran kami. Beberapa kali
aku pulang siang, kutemui Widodo seenaknya duduk di kamar
buku. Seolah-olah dia sudah mapan di sana, santai setengah berbaring di dipan yang pernah menjadi tempat tidur sahabatku
terkasih Ganik. Hal itu menimbulkan kegusaran yang tidak
bisa kutahan lagi. Aku bicarakan dengan Handoko, bagaimana
caranya mengusir atau mengingatkan Widodo pada tempatnya.
Suamiku mengatakan bahwa itu adalah kewajibanku, karena
rumah ini adalah rumahku. Hanya aku yang berhak berbuat itu.
Mbak Mur harus tegas, katanya. Dan lama-kelamaan, karena aku
tidak sampai hati mengatakan sesuatu pun kepada bapaknya anakanak, juga tidak ingin menimbulkan kesalahmengertian dengan
Handoko, pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku mengingatkan
pembantu agar mengunci semua kamar setelah dibersihkan. Lemari di ruang tamu pun begitu pula. Meskipun Widodo datang
dan turut makan pagi, kamar-kamar aku kunci sendiri sebelum
pergi. Siangnya, baru dibersihkan ketika aku pulang.
Seperti yang telah kukhawatirkan, lima bulan setelah kedatangan Widodo, anakku tidak naik kelas. Kalau ini dianggap
sebagai akibat, ya itulah akibat yang ditanggung Seto. Dia kelihatan biasa saja. Ketidaksadarannya semakin menyedihkan hatiku. Dengan lembut aku mencoba membukakan pengertiannya
bahwa selama itu dia kurang menekuni studinya. Di luar persangkaanku, dia membantah. Katanya, dia tidak naik kelas karena
ada dua guru yang sentimen terhadapnya. Dan ayahnya setuju
dengan dia, tambahnya. Aku tidak mengerti mengapa bapaknya
turut menyetujuinya. Apakah dia kenal dengan guru itu? Anakku
mengatakan semua ulangan dia garap dengan baik. Bapaknya
menolong mengerjakan PR. Kalau dia tidak naik kelas, tentulah
dua guru itu yang memberinya angka paling buruk.
373 Karena merasa tidak akan mendapatkan dukungan dari Handoko, pada kesempatan pertama, aku menelepon Irawan. Anak
sulungku Eko belum bertemu dengan Widodo sejak keluar dari tahanan. Kuadukan kepada Irawan keadaan yang kualami sejak kakaknya tinggal di kota kami hingga Seto nunggak kelas.
Kusampaikan teori Winar dan Sri, bahwa Widodo sengaja mengacau kehidupan keluargaku. Seperti aku, reaksi pertama Irawan
ialah apakah dia sejahat itu benar?
"Saya juga tidak percaya dia demikian. Apalagi setelah empat
belas tahun berprihatin, tentunya dia lebih luwes dalam pergaulan
dan dalam mengerti orang lain," kataku.
Irawan sebentar tidak bersuara. Lalu, "Tapi Mbak Mur harus
tetap hati-hati. Winar ada benarnya. Orang-orang seperti Mas
Wid bisa hanya kelihatan baik dari luar. Tapi kalau Seto, dia kan
anaknya sendiri? Meskipun begitu, bisa juga terjadi! Semua dikorbankan asal tujuan sampai."
"Kalau begitu, lalu apa tujuannya?"
"Itulah yang kurang jelas. Harus diadakan pembicaraan terbuka dengan Mas Wid, apa yang dia kehendaki. Apakah dia ingin
Seto turut dia?"
"Kalau hanya itu, tentu akan saya berikan Seto kepadanya."
"Mbak Mur rela?"
"Mengapa tidak? Kalau anaknya mau, malahan lebih lega saya!
Tapi ya harus dididik yang benar, jangan dijadikan komunis. Dan
harus dicukupi kebutuhannya. Saya tidak mau bertanggungjawab
mengenai pengeluaran Seto kalau dia turut bapaknya."
"Handoko bagaimana? Dia berbicara dengan Mas Wid?"
"Ya, berbicara biasa-biasa saja. Anda kenal dia, dalam hal
anak-anak, dia tidak mau turut campur. Memang kami sudah
374 sepakat dulu. Katanya, saya harus tegas. Tapi saya tidak sampai
hati, bagaimana mengatakannya kepada Seto, kepada bapaknya."
"Kalau ribut-ribut begitu di situ, Seto saya ambil saja sekalian.
Biar sekolah di Makassar. Mas Wid tidak akan berani kepada saya.
Memang kalau Handoko lain. Sedari dulu, dia pikir, Handoko
paling muda. Bisa diteror semaunya."
Tiba-tiba aku melihat keadaan lebih terang. Benar. Usul
Irawan adalah jalan keluar yang baik. Tapi apakah Seto mau?
"Eko sudah mencapai setengah jalan studinya. Saya berhasil
mempengaruhinya agar tidak tergesa-gesa ketemu dengan ayahnya. Biar tahun depan saja dia ke Jawa, bersama rombongan studi,
naik kapal dan kereta api."
Itu juga merupakan kelegaan. Bagaimanapun, Eko lebih
kuat imannya. Selain karena umurnya, jiwanya juga matang. Jalan yang menuju ke cita-citanya sudah tergaris. Agamanya juga mantap. Dia Islam, dengan meneguhi tradisi kejawen. Ini
yang kusukai padanya. Tidak seperti Widowati. Anakku yang
perempuan condong menjadi fanatik. Aku selalu terganggu jika berbincang dengan dia mengenai tradisi yang tidak terlalu
merugikan kemajuan pikiran maupun gerak dalam kehidupan
praktis. Berbicara dengan Widowati, kalau menyinggung agama
Islam, kurasakan semua menjadi tegang. Kemudian, kekakuan
bertambah lagi sejak bapaknya tinggal sekota dengan kami. Apa
pun yang menyentuh ayahnya, dia bela mati-matian. Ada satu
hal yang belum dia sadari, ialah perubahan Seto dalam beribadah.
Sajadah yang dibelikan Widowati ketika dinas dalam penerbangan
haji, sejak lebih dari tiga bulan tidak berguna lagi. Seperti juga
mengenai peraturan bertemu satu kali dalam sehari di meja makan, beberapa kali aku mengingatkan Seto pada kewajibannya
375 bersembahyang. Anakku yang bungsu hanya menggumamkan
suara sebagai jawabannya.
Dalam percakapan telepon dengan Irawan, dia juga menyarankan agar aku menghubungi Mas Gun. Sudah lama aku tidak
bertemu dengan bekas anak buah ayahku itu. Mengenal watak
Handoko, serta mengetahui bahwa suamiku yang muda itu telah
memiliki bibit kecemburuan terhadap Mas Gun, aku memang
sengaja tidak terlalu mencari waktu buat menelepon maupun
mengunjungi keluarganya. Ditambah pula dengan kegiatanku
kuliah kembali, sikapku itu kuanggap semakin beralasan. Dan
semua kenalan dekat atau jauh pun memahami hal tersebut. Kata
Irawan, Mas Gun seharusnya lebih bisa mengarahkan bagaimana
tindakanku jika untuk seterusnya bapak anak-anakku tetap merupakan gangguan. Irawan menyebutkan soal pengawasan yang
dilakukan pihak berwajib kepada bekas tahanan seperti Widodo.
Dalam hal kesukaran apa pun, Mas Gun adalah orang yang tepat
yang akan bisa membantuku.
Sebelum menemui Mas Gun, aku mencari kesempatan untuk
berbicara dari hati ke hati dengan anak bungsuku. Kesempatan itu
tanpa kusangka-sangka tersuguh dengan mudahnya. Sore setelah
aku berbicara dengan Irawan, Seto masuk ke kamar buku untuk
minta uang. Dia harus membeli kertas gambar buat menggarap
tugas sekolahnya. Aku berdiri, mengambil dompet dari tas,
lalu menghampirinya. Kupeluk dia sebentar, lalu kucium kedua
pipinya.
"Ayo kita berbicara sebentar," kataku sambil menarik lengannya. Kami duduk berdampingan di atas dipan, serta kuteruskan,
"Begini, Yang. Ibu ingin tahu, apa sebenarnya yang mengganggu
hubungan kita. Kamu dan aku."
Seto tidak menjawab.
376 Kukira aku belum menjelaskan dengan baik. Setelah berhenti
sebentar, kataku lagi, "Ada apa? Kamu membenci Ibu? Setiap
kali aku mengatakan sesuatu, kamu selalu sudah siap untuk
membantahku. Sampai-sampai persetujuan bersama yang selama
bertahun-tahun menjadi kesepakatan kita, juga kamu abaikan.
Tidak naik kelas, bagiku bukan hal yang paling menyedihkan.
Kamu tentu akan bisa memperbaiki prestasimu tahun ajaran ini.
Hanya, aku minta, tenangkan sedikit hatimu. Ibu sedih melihat
kamu tidak pernah di rumah. Aku tahu, kalau kamu tidak di sini,
selalu di tempat bapakmu. Apa yang kamu inginkan? Apakah


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamu lebih suka tinggal bersama dia? Katamu kamu sudah besar
sekarang. Sebetulnya, kamu baru ?mulai besar?. Pikiranmu belum
terbuka seperti seharusnya orang dewasa. Kurasa kamu belum bisa
menyaring secara tepat mana yang baik dan mana yang kurang
baik."
"Mengapa Ibu berkata begitu? Apakah Bapak itu kurang baik?"
suaranya tiba-tiba keluar dengan tekanan pembelaan yang keras.
"Aku tidak tahu bagaimana dia sekarang," kataku cepat dan
tulus. Dan seketika itu juga aku memutuskan untuk lebih jauh
berterus-terang, "Dulu, dengan dia sebagai suami, aku memang
tidak bahagia bersama bapakmu. Dia pelit, sifatnya mau menang
sendiri, melarang aku bergaul dengan lingkungan. Sebagai bapak,
karena pelit, tidak memanjakan anak-anaknya. Saudara-saudara
kandungnya sendiri mengatakan bahwa dia orang yang suka meneror. Hubungan dengan orangtuanya sendiri pun tidak baik.
Barangkali kamu tidak ingat, bahwa baru setelah bapakmu masuk
tahananlah kita mempunyai keakraban yang normal dengan
Embah di Klaten. Itu disebabkan karena aku yang mendahului
sowan ke sana setelah bekerja kembali untuk menghidupi kalian.
Sekarang, setelah empat belas tahun masuk penjara, apakah
377 sifatnya berubah atau tidak, aku tidak tahu. Tetapi aku tidak
ingin anak bungsuku yang belum cukup berpendidikan ataupun
jiwanya masih mencari keteguhan, terpengaruh oleh jalan pikiran bekas suami dan bekas musuh pemerintah itu."
"Pemerintah sih memusuhi semua orang yang tidak menyetujui
politiknya," bentak Seto lagi.
Aku sekali lagi terkejut mendengar suaranya.
"Ssst! Mengapa kamu berteriak begitu? Ini juga baru, bukan?
Dulu sebelum bapakmu datang, sebelum dia menetap di kota kita,
kamu selalu berbicara biasa-biasa saja. Dan lagi, politik pemerintah
yang bagaimanapun, selama ini kita hidup dengan baik. Dilindungi
Tuhan, diatur oleh pemerintah yang kelihatannya tetap dibenci
oleh ayahmu. Terbukti bahwa kamu sudah terpengaruh berpikir
seperti dia. Tentu saja banyak kekurangan pemerintah. Banyak
pejabatnya yang korupsi. Tapi apakah kamu pernah berpikir bahwa tidak gampang mengatur negara yang sebegini besar, dengan
suku bangsa serta kepulauan yang tersebar luas, masing-masing
memiliki adatnya sendiri-sendiri? Coba kamu bandingkan dengan Vietnam, dengan Irlandia! Kamu seharusnya bersyukur
setiap hari hidup tanpa khawatir kejatuhan mesiu atau terkena
jebakan, dapat makan dan bersekolah dengan normal. Bayangkan
orang-orang di negara yang kusebutkan tadi. Makan pun belum
tentu mereka dapatkan setiap hari. Di negeri ini, dibandingkan
dengan keluarga-keluarga lain, apakah kamu tidak merasa lebih
beruntung? Kita mempunyai rumah. Dulu karena turut Eyang, dibantu segalanya oleh dia. Teman-teman Ibu juga sangat menolong
kita. Apakah kamu tidak senang mendapat kendaraan dan uang
saku dari Bu Sri? Dalam negeri yang mempunyai politik lain, belum tentu diperbolehkan setiap orang memiliki barang-barang
seperti itu."
378 Aku hampir melampiaskan kekesalan hatiku hingga berlanjutlanjut. Segera kutekan luapan perasaanku. Kuambil tangan Seto,
kugenggam serta kuteruskan berbicara, "Sekarang, coba katakan
apa sebenarnya yang kauinginkan!"
Kupegang mukanya supaya menoleh dan melihat ke arahku.
"Kau ingin turut bapakmu? Daripada turut aku tapi tidak mau
mengikuti pengarahanku lagi?"
Kuterka ada sinar di wajahnya.
"Kamu dan bapakmu pernah berbicara mengenai hal ini?"
sambungku lagi untuk memberinya keberanian berterus-terang.
"Ya. Bapak sudah berbicara kepada Ibu?" dia bertanya.
"Tidak perlu bapakmu memberitahuku, aku sudah bisa mengira
bahwa itulah gagasannya," kataku dengan menyembunyikan
kesedihanku sedapat mungkin. Jadi benarlah bahwa mereka telah
berkomplot untuk menyisihkanku.
"Mengapa kamu tidak mau berbicara langsung saja kepadaku
tanpa aku bertanya, tanpa kamu begitu sering tidak berada di
rumah? Kamu pasti tahu bahwa aku sangat menyayangimu, Seto.
Semua masalah bisa kita bicarakan dengan terus terang. Apakah aku pernah marah dengan membentak dan memukulmu?
Aku selalu menginginkan supaya anak-anakku senang, bahagia.
Kalau memang kamu tidak senang turut aku, apa boleh buat.
Sekarang aku punya tandingan ialah bapakmu. Boleh! Tapi dengan sendirinya, kalau kamu hidup bersama ayahmu, dialah yang
bertanggung jawab untuk semuanya. Dia harus membiayai semua
kebutuhanmu. Apakah ada tempat di rumahnya?"
"Aku tidak perlu pindah ke tempat Bapak. Biar dia saja yang
kemari," sahut anakku.
"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Ibu kawin lagi dengan Bapak."
379 Aku begitu terkejut sehingga untuk beberapa saat tidak sanggup mengucapkan sesuatu pun. Dan jawaban anakku itu melecut
keluar dari mulutnya, seolah-olah telah lama tersedia, siap untuk
dikatakannya.
"Seto," kataku keras, kemudian cepat suaraku kuturunkan. Lebih lembut aku meneruskan, "Dari mana kamu punya pikiran
semacam itu? Katamu kamu sudah besar! Mengapa kamu masih
berpikir seperti anak-anak? Kamu melihat sendiri bahwa aku
punya suami. Kamu juga tahu bagaimana hubunganku dengan
Paman Handoko. Apa kamu pernah menyaksikan ketidakserasian
di antara kami berdua sehingga kamu menyimpulkan bahwa kami
akan bercerai? Seandainya pun Ibu berpisah dengan Paman, mengapa aku mesti kawin lagi dengan bapakmu?"
"Karena demi kami anak-anak Ibu. Demi aku. Kata Ibu tadi
menyayangi Seto," sahutnya dengan suara pasti. Dia sungguhsungguh yakin bahwa dia benar. Bahwa gagasannya patut didukung.
Kali itu aku tidak bisa lagi menahan emosiku. Tapi di samping
itu aku menyadari bahwa Seto hanyalah korban dari suntikansuntikan gagasan orang lain. Aku berdiri untuk menyentakkan
kekesalan dari hatiku. Kubuka dompetku sambil menuju ke meja
kerja. Kuambil uang lima ribuan. Ketika akan memberikannya
kepada anakku, aku berkata, "Kesayanganku kepada anak-anak
ada batasnya, karena Ibu tetap ingat bahwa selama lebih dari
sepuluh tahun sudah mengorbankan banyak sekali. Sekarang aku
tidak akan terlalu bertele-tele lagi. Kamu saja, pikirkan baikbaik, ikut Ibu atau pindah turut bapakmu. Turut bapakmu berarti
belum tentu Bu Sri akan membiarkanmu membawa kendaraan
yang sekarang kaupakai. Atau ada kemungkinan lain," aku tibatiba ingat harus menyampaikan tawaran Irawan, "Paman Irawan
380 ingin supaya kamu turut dia ke Ujung Pandang. Di sana ada Eko.
Kehidupanmu di tempat Paman Irawan akan sama seperti di sini.
Ada uang saku, sekolah dibayari. Mungkin diberi kendaraan juga.
Besok malam Paman akan menelepon. Jangan pergi supaya kamu
bisa berbicara sendiri untuk menjawab mau atau tidak."
Sesungguhnya masih banyak lagi yang ingin kukatakan kepada
Seto. Tapi aku takut dia akan jenuh mendengarnya. Semua yang
kukatakan bisa dia anggap sebagai nasihat yang memuakkan. Aku
tahu bahwa kebanyakan remaja tidak menyukai nasihat. Apalagi
jika itu datang dari orang yang hidup serumah, namun kedekatan
rasa di antaranya sangat rapuh.
Malam itu dan keesokan harinya aku tidak tenang. Aku menyadari telah terlalu banyak berbicara dengan keterusterangan yang
mungkin menyinggung jiwa muda anakku. Seto sedang mabuk oleh
kehadiran bapaknya. Dengan mengatakan fakta yang kuketahui
mengenai bapaknya, tidakkah aku menjelekkan citra ayah di depan si anak? Aku juga telah menyebutkan keadaan ekonomi sang
ayah yang meragukan apakah akan bisa menyangga keperluan
Seto jika mereka hidup bersama. Tanpa menyembunyikan rasa
egoisku, memang aku mempunyai harapan terpendam. Meskipun
gajiku amat sedikit ketika anak-anakku masih kedl, ibuku dan
sahabat-sahabatku membantuku menumbuhkan Seto dan kakakkakaknya dalam kehidupan yang nyaman. Segalanya dilingkupi
rasa keprihatinan, namun makanan dan pakaian tidak pernah
kami batasi. Bahkan hiburan yang berupa tontonan maupun pergi
ke luar kota bukan merupakan hal yang terlalu mewah bagi kami.
Jadi Seto biasa hidup serba ada meskipun dengan batasan tertentu.
Apakah kini tiba-tiba dia akan berani meninggalkan semuanya
untuk turut bapaknya? Apakah ayahnya sungguh-sungguh mau
mengambil-alih beban menyokong seorang remaja seperti Seto?
381 Dan seandainya keduanya setuju, lalu tinggal bersama, apakah
akan berlangsung lama tanpa ada bentrokan?
Kuakui, bahwa dalam hatiku terselip rasa ingin tahu tersebut,
sehingga harapan agar Seto mau pergi ke Ujung Pandang sama
besarnya dengan kehendak agar anak bungsuku benar-benar
jadi turut ayahnya. Biarlah dia mengalami bagaimana hidup
bersama laki-laki yang menjadi idolanya itu. Biar dia rasakan
sendiri bedanya dari kenyamanan dan kesejahteraan dulu selama
hidup bersama ibuku dan kini bersama aku dan Handoko. Orang
selalu mengidamkan apa yang tidak dimilikinya. Dalam pepatah
bahasa Inggris dikatakan bahwa rumput di kebun tetangga selalu
kelihatan lebih hijau daripada di kebun sendiri. Kukira, Seto
mempunyai kecenderungan senang hidup enak, namun dia sadar
tidak yakin apakah bapaknya mampu memberikannya kepadanya.
Sebab itulah tanpa berpikir panjang dia menerima gagasan persatuan kembali antara aku dan Widodo. Aku mempunyai uang
cukup, punya rumah dan pekerjaan tetap dengan gaji yang dapat
menutup biaya hidup sederhana. Dua yang pertama adalah berkat
kecintaan sahabatku Ganik terhadapku. Anak-anak tidak tahu
bahwa hak milik atas rumah dan tanah di Jalan Bandungan bisa
diubah hanya jika Sri, Siswi, dan Mur memberikan suara terbanyak untuk setuju. Ganik mengenalku dengan baik. Kawanku
itu khawatir kalau-kalau di masa mendatang aku tertipu oleh
suami, anak atau saudara yang berhasil mendekatiku. Seperti kebanyakan orang lain. Seto hanya melihat kemapanan hidupku.
Dia ingin menarik ayahnya, turut memanfaatkan kesenangan,
tinggal bersama kami di Jalan Bandungan.
Aku teringat harus menghubungi Mas Gun. Karena kurang
mantap berbicara di telepon, aku pergi ke kantornya setelah
menentukan janji. Dia tampak senang bertemu dengan aku.
382 Sedangkan aku sendiri pun merasakan ketenteraman sebegitu
memaparkan kesulitanku.
"Widodo masih berkewajiban melapor secara teratur ke pihak
yang berwajib. Dik Mur harus tahu ini. Kalau dia bertingkah, bisa
saja dia diperingatkan. Kemudian, jika dia tetap pada sikapnya,
tekanan bisa diperketat," kata bekas anak buah ayahku itu.
"Saya malu kalau hal itu dilaksanakan. Seolah-olah saya tidak memiliki rasa perikemanusiaan. Tega terhadap bekas suami
sendiri, bapak anak-anak saya sendiri. Mentang-mentang punya
teman di pihak yang berwajib!"
"Ah, Dik Mur selalu begitu: tidak sampai hati. Dia mengganggu, bukan? Winar memang benar. Orang seperti Widodo tidak
mungkin berbuat sesuatu tanpa mempunyai rencana tertentu. Ya
mengacau itu maunya! Seto tidak naik kelas! Itulah hasilnya.
Karena dengan kenyataan ini, Dik Mur menjadi gelisah. Ini satu
bentuk dari peneroran."
Tiba-tiba aku teringat bahwa sedari masa muda, Handokolah
yang paling diteror Widodo. Apakah benar ini yang dikehendaki?
Mengacau hidupku bersama Handoko? Sementara ini dia menunggu hasil ulahnya dengan keramahan dan kemunculannya
yang melekat seperti lintah. Perlahan dan pasti, dia menghisap
kesabaran dan keteguhan cinta kami berdua. Dia yakin akan menang.
"Apa yang harus saya lakukan?" tanyaku hampir putus asa.
"Yang paling penting, jangan diperlihatkan bahwa Dik Mur
cemas maupun takut kepadanya. Saya sudah melihat bahwa anda bisa menunjukkan kewibaan terhadap anakanak. Sekarang harus lebih lagi dalam hal ini. Seto harus setengah dipaksa turut
Dokter Irawan. Di sana ada Eko. Jadikan itu alasan kuat. Kalau
dibiarkan Widodo mengambil Seto, selain dia pasti tidak mampu
383 menghidupi anaknya, didikannya pun tidak bisa diandalkan. Jangan. Saya ikut tidak rela kalau Seto turut bapaknya."
Apakah aku akan dapat memaksa Seto supaya berangkat ke
Ujung Pandang? Bagaimana caraku?
"Pada kesempatan pertama Widodo datang lagi, langsung anda
berbicara dengan tegas. Katakan bahwa anda tidak mau lagi dia
mengganggu, baik di Jalan Bandungan maupun memikat Seto.
Beritahu dia bahwa rumah anda diawasi. Tunjukkan bahwa anda
tahu mengenai kewajiban melapor paling tidak sebulan sekali.
Kapan Dokter Irawan menelepon?"
"Nanti malam."
"Dia pasti bisa memberikan pengertian yang lebih jelas kepada
Seto. Suruh Eko juga berbicara langsung kepada adiknya."
"Saya juga berpendapat begitu."
"Jangan lupa bahwa bagaimanapun juga, Dik Mur berada di
pihak yang menang segalanya. Semua hak ada pada anda, di mata
hukum maupun masyarakat atau keluarga. Widodo belum bersih.
Sedangkan anak-anak, andalah yang membesarkan mereka, memenuhi kebutuhan cinta kasih, pendidikan, dan makanan mereka. Dik Mur harus ingat ini."
Ya, aku ingat. Oh, betapa aku akan melupakan hal itu! Belum
lagi disebutkan oleh Mas Gun tekanan batinku dalam menghadapi
sikap lingkungan karena nasibku sebagai istri tahanan Pulau
Buru.
"Nanti, kalau anda sudah berbicara secara terbuka kepadanya,
tetapi tetap saja dia mengganggu dan datang ke Jalan Bandungan,
beritahu saya!"
Belum terjadi saja aku sudah merasa ragu. Alangkah nistanya
membawa-bawa polisi dan pihak yang berwajib dalam urusan keluargaku! Mentang-mentang punya teman yang berkedudukan!
384 Terngiang suara ejekan itu di kupingku. Anehnya, suara Widodolah yang terdengar.
Seolah-olah mengerti kata hatiku itu, Mas Gun menyambung,
"Betul-betul Dik Mur harus berbicara tegas! Ataukah perlu anda
menelepon saya sebegitu dia datang? Jadi saya saja yang berbicara
kepadanya?"
"Tidak, ah, jangan!" kataku cepat. "Biar saya saja."
Akan semakin kelihatan betapa aku meminta temanku yang
berkedudukan untuk mendampingiku dalam menghadapi bekas
suami pengganggu itu. Tidak. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku takut kepadanya. Lebih-lebih lagi, kalau Handoko mengetahui bahwa akhirnya Mas Gun sedemikian banyak campur


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan dalam urusan keluargaku, dia tidak akan bersenang hati.
Meskipun sesungguhnya, kesimpulanku ialah Handoko dan Mas
Gun mempunyai pendapat sama: aku harus bersikap tegas. Sedari permulaan perkenalan kami pun, Handoko mempunyai kalimat kesenangan, "Mbak Mur harus tegas menghadapi sesuatu.
Mengapa selalu ragu-ragu?" Lima tahun bersama dia, aku merasa
memiliki sifat lebih kokoh, lebih berani, lebih tegas. Tetapi sekarang, aku menjadi goyah kembali. Apakah Widodo masih
begitu berpengaruh sehingga membikinku surut? Tidak. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan kenyamanan dan kedamaian hidupku lagi.
*** Ketika Irawan menelepon, dia langsung berkata akan datang pekan depan. Tetapi dia minta agar Seto tidak diberitahu. Katanya,
biar anak itu tiba-tiba saja melihat pamannya datang. Lalu tambahnya, "Mbak Mur biasa pulang jam berapa?"
385 "Jam satu atau satu seperempat."
"Baik. Saya akan menelepon dari Jakarta. Mungkin sorenya
saya datang. Kalau tidak, hari Selasa pagi, tapi langsung ke rumah
sakit. Mana Seto?"
"Eko bagaimana?"
"Baik-baik. Ini!" kudengar dia memanggil anak sulungku.
Kami berdua berbicara sebentar. Kukatakan pendapatku agar
dia membujuk adiknya untuk berangkat ke Ujung Pandang. Eko
sudah tahu, karena Irawan sudah berunding dengan dia.
Lama sekali anak bungsuku berbicara dengan paman serta kakaknya. Malam itu aku tidak langsung bertanya mereka berbicara
mengenai apa saja. Sudah kuketahui bahwa Seto tidak suka didesak. Irawan mengatakan agar Seto memutuskan sebanyak
mungkin seorang diri. Dia harus mengerahkan kepercayaan
dirinya semaksimum yang bisa dia capai. Akan saya minta dia
supaya tidak memberitahu bapaknya mengenai tawaran pindah
ke Sulawesi bersama kami, kata iparku. Saya tidak ingin Mas Wid
mempengaruhinya. Coba kita lihat, apakah Seto bisa menahan
berita ini dan menyembunyikannya dari ayahnya, tambah
Irawan.
Aku tidak begitu percaya anak bungsuku akan sanggup mengerjakan hal itu. Sama seperti kami meminta dia menimbang besarnya cintanya terhadap paman dan kakak serta ibunya dengan
cintanya kepada bapak yang baru saja dia kenal. Bagiku, pastilah
bapaknya yang akan dimenangkan. Tetapi hal ini tidak terlalu
menggangguku. Sejak pembicaraanku bersama Mas Gun, aku
merasa lebih kuat. Dia membuka pengertianku mengenai orangorang bekas tahanan yang mempunyai kewajiban tertentu. Kuakui
bahwa keraguan yang telah mengakar menguasai diriku masih
bisa saja muncul dan mengkhianatiku dalam hal ini. Meskipun
386 demikian, aku sadar memiliki hak yang dibenarkan oleh Mas
Gun dan lingkunganku untuk menentukan Seto akan turut siapa.
Kini semuanya tinggal tergantung kepada anakku. Dan seperti
kata Mas Gun, dia harus setengah dipaksa menuruti pengarahan
orangtua yang berhak.
Handoko baru akan pulang dari Juana pekan depan. Aku
masih memiliki waktu luang untuk meluruskan suasana dengan
cara sendirian. Ketika dia meneleponku beberapa hari yang lalu,
aku tidak membicarakan masalah tersebut. Kupikir, dia selalu
menyerahkan semua urusan anak-anak kepadaku. Jika segalanya
telah beres, baru akan kuberitahukan kepadanya.
Seolah-olah Tuhan hendak memberikan kemudahan kepadaku,
keesokan hari setelah Irawan dan Eko berbicara dengan Seto,
siang ketika kami sedang makan, Widodo muncul. Aku baru menelan suapan paling akhir. Dengan demikian kehadiran bapak
anak-anakku itu sama sekali tidak mengganggu nafsu makanku.
Pembantu yang telah mengetahui kebiasaan, segera menyediakan
piring dan peralatannya, serta menaruhnya di hadapan Widodo.
Selagi dia mengambil nasi dan lauk, aku mulai berbicara, "Ini
adalah yang terakhir kalinya anda makan di sini, karena saya
mengharapkan inilah yang terakhir kalinya anda datang kemari."
Kuperhatikan wajah Widodo setengah menunduk melihat ke
makanan di piringnya. Aku tidak melihat bayangan rasa terkejut.
Kuteruskan, "Sudah saatnya saya beritahukan bahwa kedatangan
anda yang tidak mengenal waktu, pagi-siang-petang ini sangat
mengganggu Handoko dan aku. Anda juga merebut waktu Seto,
mondar-mandir ke tempat anda sehingga pelajarannya terganggu.
Buktinya dia tidak naik kelas tahun ini."
"Lho! Anak tidak naik kelas kok aku yang disalahkan!" suara
Widodo cepat dan gesit menangkisku.
387 "Saya tidak merasa perlu berdebat dengan anda. Hanya, anda
harus tahu bahwa saya tidak buta selama ini. Kalau anda ingin
Seto turut anda, mengapa tidak berterus-terang? Malah kebetulan
bagi saya. Biar kita gantian. Selama anda ditahan, Ibu, saya,
dan sahabat-sahabat sayalah yang membesarkan dan membiayai
anak?anak. Sekarang anda sudah keluar, kalau anda memang
mampu, silakan anda ambil Seto. Asal ya itu! Jangan sampai dia
dijadikan komunis, memusuhi pemerintah."
Widodo tertawa sendirian. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Apakah untuk menggoyahkan kenekatanku, ataukah untuk menutupi kegugupannya sendiri. Suaranya mengakhiri ketawanya yang perlahan itu, "Ibumu ada-ada saja!" diarahkannya
pandangnya kepada Seto. "Sedari dulu dia selalu begitu, berpikir
yang aneh-aneh!"
Tenang sekali dia berbicara. Aku hampir menjadi penasaran
karena dia mengatakan "sedari dulu" dengan cara akrab. Aku tidak
suka dia menunjukkan bahwa kami pernah hidup serta bergaul
dekat. Diam-diam aku menghela napas sebelum melanjutkan apa
yang harus kubereskan.
"Tidak perlu membicarakan yang dulu-dulu. Anda sudah
menghancurkan hidup saya, baik ketika kita serumah maupun
sewaktu anda berada dalam tahanan. Sekarang anda tidak akan
mudah mengacau. Anda tidak meninggalkan harta secuil pun
untuk menghidupi anak-anak hingga empat belas tahun lamanya.
Dengan mengerahkan semua hak saya, dengan bantuan beberapa
teman, saya bisa mempertahankan supaya Seto tetap turut saya.
Tapi ini tidak saya anggap benar, karena jika Seto dipaksa, dia
tidak akan bahagia. Hatinya akan tertekan. Sebab itu, sebagai manusia dewasa dan berpendidikan, lebih baik kita berunding. Seto
388 tetap mengikuti pengarahan saya, atau dia keluar dari rumah ini
untuk turut anda, hidup berdesakan di belakang gereja."
Widodo tetap makan. Aku heran melihat dia mengunyah dan
memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya dengan
ketenangan yang nyata. Tentulah dia telah merasa mapan di
rumahku ini, sehingga omongan yang tidak mengenakkan pendengarannya pun bukan merupakan halangan untuk menikmati
hidangan siang itu.
"Saya harus mendapat jawaban secepatnya mengenai hal ini.
Karena jika Seto tetap menuruti pengarahan saya, dia akan diambil pamannya ke Ujung Pandang."
Kali itu kepalanya tertegak. Mulutnya tetap mengunyah, pandangnya terpancang ke depannya, pengucapan di wajah tidak
berubah. Tetapi nyata bahwa kata-kataku yang paling akhir
menjadi perhatiannya. Ini membuktikan bahwa Seto tidak memberitahukan tawaran pamannya. Hatiku bersorak dua kali. Pertama karena anakku ternyata bisa menahan diri dan menuruti
nasihat Irawan. Kedua, kejutan itu pastilah tidak diperhitungkan
oleh Widodo. Tuhan Maha Bisa. Kumohon agar Dia bikin Seto
terpikat untuk berangkat ke Sulawesi mengikuti Irawan. Agar
Dia selipkan dalam hati anak bungsuku rasa ingin tahu yang sebesar-besarnya buat mengenal tanah lain, lingkungan lain. Pada
saat itu juga, tak terpikirkan olehku hal apa pun selain keinginan
agar Widodo mendapat pelajaran yang setimpal. Karena aku tidak bisa, dan tidak mungkin akan sanggup menyakiti ataupun
merugikannya, kuminta kepada Tuhan untuk membukakan matanya bahwa yang sesungguhnya sudah selesai urusannya dengan
aku. Selama bertahun-tahun aku telah memberikan apa yang bisa
kuberikan kepadanya. Mengapa sekarang dia tidak mau menerima
ketenangan hidup yang kumiliki?
389 "Rupa-rupanya ada komplotan dalam keluargaku sendiri," kata
Widodo dengan suara biasa.
Sejenak aku tidak mengerti arti kalimatnya. Selintas dia melihat ke arahku, lalu ganti kepada anakku. Mungkin dia membaca
apa yang tersirat di mukaku, karena dia melanjutkan, "Adikku
sendiri mengkhianatiku."
Ah, itulah! Dia "merasa" dikecoh oleh Irawan karena tanpa
memberitahukan kepadanya, bersepakat dengan aku untuk mengambil Seto.
"Ini bukan masalah komplotan atau pengkhianatan," kataku.
Dan kurasakan suaraku agak memanas. Sekali lagi aku mengatur
napas untuk mengendalikan perasaanku yang tersinggung oleh
tuduhannya.
"Kalau anda memang hendak memakai sebutan pengkhianatan, lalu apa yang bisa dikatakan mengenai ulah anda menjadi
anggota PKI dan mengabaikan kesejahteraan serta keselamatan
istri dan anak-anak sendiri? Apakah itu bukan pengkhianatan?"
Aku berhenti berbicara karena ingin melihat akibat kata-kataku
terhadapnya.
Dia diam tanpa memandang kepadaku maupun kepada anakku. Aku meneruskan, "Dalam hal Seto, tidak perlu pengkhianatan
disebut-sebut. Anda yang memulai mengacau. Kami mempertahankan diri. Saudara-saudara anda memang berada di pihak saya.
Bahkan kalau sedari sekarang anda masih tetap mengganggu, teman-teman saya yang berwenang akan terpaksa bertindak untuk
melindungi saya. Bukankah sebagai bekas tahanan politik anda
harus melapor setiap bulan?"
Itu kuanggap sebagai akhir dari apa yang perlu kusampaikan
kepada Widodo. Aku bersiap-siap akan berdiri, sambil melihat
390 ke arah Seto, melanjutkan, "Seto tidak perlu mengantarkan bapakmu. Bu Sri akan datang. Dia ingin mendapat kepastian, apakah kendaraan akan tetap kaupergunakan atau dikembalikan
kepadanya. Dia sudah berpesan mau berbicara sendiri dengan kamu. Lebih baik kamu juga mulai membenahi barang-barangmu.
Mana yang akan kaubawa dan mana yang harus dikirim jika
kamu ikut pamanmu ke Ujung Pandang. Tapi kalau kamu turut bapakmu, hanya pakaian serta buku pelajaran yang bisa kaubawa."
Aku masuk ke kamarku dengan perasaan lega. Akhirnya semua yang dianjurkan oleh Mas Gun harus kukerjakan, telah kulaksanakan dengan kelancaran yang kuakui kuherani sendiri. Biasanya aku tersendat-sendat, apalagi dengan kehadiran Seto. Kali
itu aku kurang memikirkan perasaan anakku. Dia sudah besar,
kata Mas Gun. Dia pasti sudah melihat sendiri bagaimana kehidupan kami selama ini. Dia tidak akan merasa terluka atau tersinggung jika kami orang dewasa mengatakan apa yang sebenarnya
mengenai sifat bapaknya. Dan ketika kuketahui bahwa Seto
mengikuti nasihat Irawan tidak memberitahu bapaknya mengenai
kemungkinan keberangkatannya ke Ujung Pandang, semakin
yakinlah aku. Ternyata anak bungsuku bisa diandalkan. Dia bisa
kupercayai memiliki kasih sayang yang sama besarnya antara pa Breaking Dawn 6 Saksi Mata Super Thriller Karya Francine Pascal Memanah Burung Rajawali 36

Cari Blog Ini