Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 7

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 7


mannya Irawan, aku, dan kakaknya Eko. Ataukah dia memang
tidak tahu bagaimana membicarakan hal itu kepada ayahnya?
Karena dia khawatir ayahnya akan terkejut dan kecewa? Syok
semacam itu barangkali akan bisa menyebabkan dia jatuh sakit
dengan mendadak. Ya, mungkin inilah yang benar. Bagaimanapun
juga, aku menarik keuntungan dari sikap Seto tersebut.
Seperti kataku, Sri datang tidak lama setelah aku masuk ke
kamar. Kudengar bunyi mobilnya, kemudian dia sendiri masuk
391 dari pintu samping, langsung mencari anakku. Suaranya "eh Mas
Wid" sampai di kamarku dengan kedataran yang tidak berbentuk
salam maupun berisi kekagetan.
"Aku ingin berbicara dengan kamu, Yang," terdengar temanku menegur Seto. "Ayo kita duduk di depan! Sudah selesai urusanmu dengan Bapak, bukan? Mas Wid pulang saja. Ada hal-hal
penting yang harus dirundingkan berduaan antara Seto dan saya.
Barangkali lama kami berbicara."
Sri selalu bisa menguasai suasana dengan tepat. Kubiarkan setengah jam berlalu. Kemudian aku keluar dari kamarku, masuk ke
kamar buku. Sambil melihat kertas-kertasku, kupasang kaset musik klasik. Beberapa waktu sesudah itu, Sri masuk dan langsung
berkata, "Seto kuberitahu bahwa kalau dia berangkat ke Ujung
Pandang, aku akan mengirim uang buat membeli kendaraan baru
di sana."
"Sebenarnya kau tidak usah repot-repot begitu. Aku juga sudah memikirkannya dengan Irawan."
"Biar. Setidak-tidaknya itu urunanku untuk menarik dia menjauhi ayahnya."
Mengenal Sri dengan baik, aku bertanya, "Apa lagi yang kaujanjikan kepadanya?"
Temanku tertawa perlahan.
"Mengapa kau bertanya demikian?"
"Aku tahu caramu. Kau mengharapkan orang berbuat sesuatu
dengan menjanjikan imbalan seketika itu juga."
"Mengapa? Kau tidak setuju?"
Aku tidak segera menjawab. Aku tidak terlalu suka membiasakan orang, lebih-lebih anak-anakku, kepada kebendaan, kepada
uang. Kalau aku menuntut mereka berbuat sesuatu, kusadarkan
bahwa itu memang kewajiban mereka. Tetapi di samping itu,
392 zaman telah begini berubah. Semua hanya bisa dicapai jika orang
memiliki kemampuan otak, keterampilan, serta uang. Aku merasa
tidak perlu menjawab Sri.
"Kau tidak bisa mengingkari bahwa sampai sekarang caraku itu
hampir selalu berhasil. Apalagi terhadap anak-anakmu, apakah
aku tidak boleh memanjakan mereka sedikit?"
"Tentu saja boleh. Kalau bukan karena pertolonganmu dan
dukungan Ibu, mana mungkin aku membesarkan mereka selama
ini!"
Sri tersenyum puas. Sinar yang menggoda terpancar di matanya. "Menurut kau, apa lagi yang kujanjikan kepada Seto?"
"Tentu sejumlah uang saku yang menggiurkan," sahutku.
"Nah, kan! Kita mempunyai pendapat yang sama," senyum
penuh kepuasan tetap tersungging di bibirnya. "Kukatakan bahwa
kusediakan pula uang saku yang akan terus bertambah sesuai dengan prestasinya di sekolah atau dalam pergaulan. Bagiku, banyak
anak-anak yang tidak mampu mencapai angka terbaik di kelas,
tetapi berolahraga dengan baik, atau melaksanakan kegiatan
sampingannya dengan lancar. Kalau berita yang sampai pada kita
mengatakan bahwa Seto mengikuti pengarahan Irawan atau Eko,
berarti dia patut mendapat imbalan. Dia pasti memerlukan uang
untuk membeli kaset dan buku. Atau membayar kursus maupun
kegiatan lain. Itu harus kita dorong."
"Kalau kau dan Irawan sudah memenuhi kebutuhannya, lalu
apa yang harus kuberikan kepadanya?"
"Kau berdoa saja. Doa ibu adalah yang paling kena. Itu langsung memesat ke arah tujuan."
Seolah-olah hendak mengakhiri pembicaraan mengenai anakku sampai di situ, Sri segera berpindah ke hal lain. Dia beritahu
393 aku perkembangan urusan dagangnya dengan Australia, dengan
Belanda, dan Swiss. Ada gagasan baru untuk berhubungan juga
dengan Spanyol. Sepintas lalu dia bertanya apakah Handoko
masih memikirkan tawaran paling akhir yang datang dari negeri
itu. Aku bahkan sudah melupakannya. Memang suamiku tampak
tertarik ketika membicarakan surat temannya yang masih tinggal
di Eropa. Kontrak dengan perusahaan yang sekarang berupa perjanjian yang selalu bisa diperbarui setiap tahun. Pada tahuntahun pertama tidak kudengar keluhannya mengenai sesuatu pun
yang bersangkutan dengan kerjanya. Tetapi akhir-akhir itu dia
mengatakan bahwa bendahara dipegang orang baru yang sangat
aneh kelakuannya. Untuk pengeluaran yang paling remeh pun
petugas tersebut selalu membikin kesukaran. Meskipun pegawai
yang meminta uang sudah membawa surat tanda setuju dari dua
direktur, orang itu tetap masih menanyakan mengapa jumlah itu
yang harus dikeluarkan, baru saja diambil uang untuk keperluan
yang sama dan seterusnya. Seolah-olah dia memegang uang milik dia sendiri. Handoko belum pernah langsung memerlukan
pengeluaran uang. Tetapi pegawai dan sekretarisnya yang selalu
mengeluh serta membicarakan keributan atau omelan orang
itu membikin suamiku merasa kurang tenang lagi bekerja di
perusahaan tersebut. Katanya dia sudah beberapa kali menyampaikan, meneruskan keluhan itu kepada direktur utama perusahaannya. Namun sampai saat dia berbicara denganku, belum kelihatan tanda-tanda perubahan. Aku sendiri tidak terlalu khawatir
mengenai masa depanku. Ke mana pun Handoko mendapatkan
kontrak pekerjaan, bagiku, di sisinyalah tempatku yang paling
tepat.
Seperti kata Sri, aku melipatgandakan doaku agar Seto berangkat bersama pamannya ke Ujung Pandang. Dari Jakarta,
394 Irawan menengok ayahnya ke Klaten. Baru kemudian ke kota
kami, menginap di Jalan Bandungan. Sebegitu bertemu dengan
anak bungsuku, dia tidak bertanya sesuatu pun, melainkan langsung memberitahu bahwa ada waktu dua hari untuk berkemas. Dia
juga pergi sendiri ke sekolah Seto dan meminta surat keterangan
pindah. Dia bahkan menemui Widodo di pondoknya.
"Saya tidak minta pendapatnya, Mbak Mur," Irawan bercerita
kepadaku. "Saya hanya mengatakan bahwa Seto saya bawa ke
Ujung Pandang supaya menjadi orang."
Aku percaya bahwa Irawan seperti sahabat-sahabatku. Dia
berbuat dengan kemantapan rencana yang telah diperhitungkan
pasti akan berhasil. Dalam hal ini, walaupun aku merasa berkepentingan, kubiarkan dia menanganinya sesuai dengan kemauannya.
Handoko sempat bertemu dengan kakaknya. Secara singkat,
kami menjelaskan suasana. Dengan kepasifannya seperti biasa
dalam menanggapi apa yang kuperbuat terhadap Seto, suamiku
mengatakan turut gembira karena Irawan datang dan membereskan keadaan.
*** Semua menjadi teratur kembali.
Tak hentinya aku berterima kasih kepada Tuhan di saat mana pun aku berkesempatan tenang buat berbicara kepadaNya.
Kejadian yang baru lewat merupakan cobaan yang paling mengguncangkan yang kualami sejak aku bisa mengatasi hinaan sebagai istri tahanan Pulau Buru. Setelah Seto berangkat dibawa
pamannya, dipandang dari luar, barangkali aku kelihatan seperti
seorang ibu yang tidak mau menyelesaikan tugas membesarkan
395 anak bungsunya. Benar tidak ada desas-desus omongan orang
yang sampai ke telingaku mengenai hal itu. Tetapi dengan sifatku
yang serba khawatir, ditambah dengan pengalaman yang pernah
kuderita, aku merasa segan sendiri. Tidak jarang teman-teman dekatku menyindir dengan kalimat-kalimat seperti: "?Wah, kalian
berdua ini berbulan madu terus tampaknya!"; atau: "Kamu dengan
Handoko kok seperti pengantin baru saja!"
Aku bahagia dan bangga mendengarnya. Tetapi jika itu diucapkan oleh orang lain yang bukan lingkungan akrabku, artinya
menjadi berbeda. Hatiku menjadi tersinggung, karena aku menafsirkannya sebagai tuduhan: "Enak saja kamu! Anakmu kautitipkan kepada orang lain, kamu bersenang-senang dengan suami
mudamu!" Hingga akhirnya, menuruti nasihat sahabat-sahabatku,
aku mengambil sikap lebih pasif. Jika tidak ditanya, aku tidak bercerita bahwa anak bungsuku hidup bersama pamannya di pulau
lain. Kalau hal itu terpaksa kuberitahukan kepada orang lain,
selalu segi kejiwaan anakkulah yang kutekankan sebagai alasan
kepergiannya dari kota kami. Dan memang demikianlah yang sebenarnya.
Tawaran pekerjaan kepada Handoko di luar negeri bertambah lagi. Bekas rekannya di Finlandia dua kali menelepon. Kemudian suratnya datang, berisi keterangan yang lebih lengkap.
Meskipun suamiku tampak tidak bersemangat, tetapi aku tahu
bahwa dia membaca informasi dari teman tersebut berkali-kali.
Kalau kutanya, dia berterus-terang, itu adalah tawaran yang
amat bagus. Dan menjawab pertanyaanku apakah dia tertarik,
dia menyahut akan berpikir-pikir dulu. Dipandang dari sudut
keuangan memang amat menguntungkan. Apalagi disertai janji atau kemungkinan, bahwa setelah menyelesaikan kontrak itu,
mereka akan dipakai lagi ke Venezuela, Amerika Selatan. Dia
396 menanyakan pendapatku, tetapi aku tidak bisa memberi pandangan sesuatu pun. Bagiku sudah pasti bahwa di mana pun dia
berada, di situlah tempatku yang paling tepat. Bagiku tidak peduli
apakah aku akan aktif bekerja atau tidak. Aku bahkan tergoda
oleh kemungkinan kembali menjalankan peranan sebagai istri
yang hanya menyelenggarakan keberesan rumah tangga.
Bulan-bulan sejak keberangkatan Seto, Handoko lebih sering berada di rumah. Sekali-sekali dia ke daerah Pemalang,
Comal, atau Juana, tetapi pulang di waktu petang, hari itu juga. Sementara keputusan mengenai kariernya kuserahkan sepenuhnya di tangan suamiku sendiri, alur kehidupan kami berlangsung seperti sediakala. Atau setidak-tidaknya kelihatan demikian. Seperti tidak ada perubahan. Namun kepekaan rasaku
menerima adanya sesuatu yang kabur. Gangguan itu hadir; tetapi
tidak jelas. Ini menyangkut hubungan intimku dengan Handoko. Sebenarnya kami tetap bergaul hangat, berdiskusi dan
berbincang-bincang mengenai apa saja yang menjadi kesibukan
kami masing-masing. Lingkupannya luas. Dari bidang kami berdua hingga ke segi budaya dan kemanusiaan. Tidak terasa kekakuan sikap ataupun kekurangan kalimat yang ditujukannya
kepadaku. Dipandang dari luar, semua sama seperti dulu. Petang
hari, kami masih rukun berduaan di ruang buku, menyempatkan
diri membaca. Piringan hitam telah lama diganti dengan kaset.
Gamelan dan musik klasik bergantian kami dengarkan. Dalam
hal ini, tradisi yang dilaksanakan orangtua Ganik di kamar buku,
tetap kami teruskan. Handoko mengakui bahwa simpanan di sana
serasa tidak habis-habisnya. Selagi duduk bersama suamiku begitu
itu, tidak jarang pikiranku melayang kepada Dokter Liantoro dan
istrinya. Dalam hati tersembunyi keinginan, bahkan doa, agar
397 perkawinanku dengan Handoko sama seperti orangtua sahabatku.
Mati pun mereka bersama-sama.
Tetapi benar, aku memang mendeteksi adanya perubahan di
pihak Handoko terhadapku dalam bercintaan. Menjelang tahun
ketujuh perkawinan kami, aku sadar tentulah ada sedikit gerakan
rutin yang tidak dapat dihindarkan. Masing-masing dari kami
tahu menerka apa tindak lanjut yang mengikuti sesuatu gerak
yang telah dimulai. Tidak ada lagi kejutan atau kebaruan yang mengagetkan, baik secara menyenangkan maupun sebaliknya. Alur
terlalu dikenal yang telah menjadi rutin inilah yang aku yakin
bisa mengantarkan pasangan-pasangan pada kebosanan. Dan
memang pikiran ini pula yang timbul padaku. Jika memang itulah
yang sedang terjadi pada kami, aku mengerti Handoko yang
bersikap agak dingin. Barangkali aku terlalu berlebihan, karena
sesungguhnya bukanlah kedinginan yang kudapatkan. Melainkan
perubahan. Mungkinkah Handoko mulai jenuh? Kegairahannya
masih membikin dia memulai permainan cinta itu. Dia tetap
bersemangat dan panas. Hanya berubah. Suami mudaku tidak
lagi mengulur waktu langkah-langkah pertama kebersamaan kami. Dia lebih langsung. Lebih segera menyerang secara jantan.
Hingga setelah berbulan-bulan kami menghabiskan waktu bersama yang berlainan dari waktu dahulu itu, aku merindukan belaian dan kehangatan napas yang mengelus seluruh tubuhku, dan
yang menjadi ciri kekhasannya. Ya, benar, itulah. Dia telah kehilangan kesabarannya dalam memulai permainan cinta-bersama
kami. Padahal kesabarannya dalam mengulur waktu itulah yang
membuatku tergila-gila kepadanya. Dia seharusnya mengetahui
hal itu. Karena dahulu, dia selalu bertanya, apa dan mana dari gerakannya yang aku sukai, mana yang tidak berkenan di hatiku. Dia
tidak mengabaikan apa yang seolah-olah telah menjadi perjanjian
398 kami bersama. Aku tidak melupakan apa dan mana dariku yang
dia sukai. Jadi aku merasa tetap mempedulikan perasaannya.
Dalam memikirkan perubahan tersebut, kadangkala aku merasa
sedih. Mungkinkah dia berpikir, bahwa aku bukan merupakan
pasangan yang patut lagi dia rayu atau dia cumbu sebelum diajak
menjelajah bersama dalam kenikmatan sejenak? Memang itu juga
bisa terjadi. Karena kini dia terlalu yakin, bahwa aku selalu sudah
siap menerimanya. Di samping itu, bagaimanapun dekat dan menyatunya kami selama tujuh tahun ini, aku tetap tidak dapat
menyampaikan isi hatiku tentang perubahan itu kepadanya. Aku
ingin bertanya, mengapa demikian. Namun suaraku tidak dapat
keluar membentuk kata-kata.
Kebersamaan kami tidak semata-mata hanya terdiri dari saatsaat bercintaan. Kami juga memiliki waktu keasyikan lain yang
tidak kalah membawakan kepuasan tersendiri. Dengan pemikiran
yang kucoba sedekat mungkin dengan nalar, aku mengerti bahwa
umurku pun bertambah. Siapa tahu aku kurang bereaksi dalam
beberapa hal. Barangkali ada gerakanku yang salah, sehingga
membikin suami mudaku pun berubah? Hubungan jasmaniah
mempunyai arti lain bagi laki-laki dan perempuan. Sedari masa remaja, aku mengetahuinya. Ketika aku turut terbawa arus keingintahuan teman-teman di sekolah, meneliti serta membaca gambar
dan penjelasan buku-buku "terlarang", aku mulai mengetahui rahasia pergaulan dalam antara dua jenis manusia. Pertemuanku
kembali dengan Ganik lebih-lebih lagi memberiku penyuluhan
nyata dalam hal tersebut. Laki-laki bersanggama didorong oleh


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebutuhan jasmaniah. Yang disebut Ganik kemudian dengan perkataan biologis. Kalau sudah selesai, dia puas, dia tidak mempedulikan kita lagi. Begitu kata sahabatku. Tetapi kalau kita, perempuan, maunya ya manja terus. Karena kita bercintaan dengan
399 perasaan, tambah temanku itu pula. Semakin aku dewasa, dan
kemudian kawin lagi setelah "menjanda" lebih dari sepuluh tahun, aku menyatakan sendiri kebenaran kata-kata setengah kasar
itu. Oleh kesadaran itu pulalah maka aku akhirnya berdiam diri
menerima perubahan Handoko. Sudah terlalu lama aku berbulan
madu bersama suami mudaku. Mungkin sekarang tiba saatnya
aku harus menerima keadaan yang berlainan. Aku harus bersyukur melewati masa enam tahun penuh kemanjaan sebagaimana
kukehendaki. Apa pun ulah dan sikap Handoko, asal dia masih
mempedulikan aku sebagai istrinya, dengan cara apa pun, aku
tetap mencintainya.
Pergaulan yang demikian itu berlangsung. Dan tidak akan lebih
kusesali lagi seandainya tidak ada perubahan lain. Di masa-masa
lampau, kami tidak jarang mengundang makan rekan-rekan kerja
suamiku, yang juga kadang-kadang kami gabung dengan beberapa
teman yang bisa berbahasa Inggris. Jika tamu asing datang untuk
perusahaan, tidak pernah Handoko melewatkan kesempatan
"memamerkan masakan istriku, yang meskipun wanita berkarier,
tetapi bisa memasak dan enak". Itulah kata-kata suamiku. Kini
jamuan semacam itu tidak pernah ada lagi di Jalan Bandungan.
Handoko berkata bahwa dia mengundang tamu-tamunya ke restoran. Pembicaraan mengenai pekerjaan, antara lelaki saja. Hal
itu amatlah mengejutkanku. Pertama kali itu terjadi, kukira
memang suamiku menginginkan pergantian suasana. Kupikir,
sekali-sekali barangkali tidak mengapa. Namun hal itu kini telah
menjadi kebiasaan pula. Pernah sekali aku mengusulkan, supaya
jamuan diseling-seling. Beberapa kali ke restoran, lalu pada kali
lainnya diadakan di Jalan Bandungan seperti dulu lagi.
Handoko menolak. Dia tahu saja mengatakan alasan yang
entah bagaimana, kuakui memang berdasarkan kebenaran. Dia
400 ganti usul, supaya aku mengundang teman-temanku sendiri kalau
aku mau. Rasanya tidak nyaman jika suamiku sedang di luar karena
bertugas menemani tamunya, sedangkan aku, di pihakku, sendirian
pula menemui tamu-tamuku makan di rumah. Maka begitulah.
Dalam hal jamuan pun aku tidak berbuat banyak, menerima apa
adanya saja. Hingga soal itu pun telah menjadi kebiasaan. Disusul
kemudian oleh waktu pulangnya yang tidak keruan. Dulu, dia
selalu meninggalkan pesan pada petugas di kantornya jika akan
pulang terlambat. Ada sekretaris yang menelepon, atau sopir
singgah untuk memberitahukan hal tersebut. Apalagi kalau tibatiba dia ke luar kota. Handoko mengerti benar trauma yang pernah
kuderita, karena dia mengetahui cerita bagaimana bapaknya anakanak yang mendadak menghilang dan kemudian kutemukan di
penjara. Sedangkan yang kedua kalinya ialah keterlambatan anak
sulungku Eko yang mendapat kecelakaan, lalu berakibat gangren
dan kakinya diamputasi. Jadi, seharusnya Handoko tidak lupa
akan perasaanku, akan kecemasanku di waktu dia tidak pulang
hingga jam tujuh malam. Apa pun yang dikerjakannya, jika dia
terlambat pulang, aku ingin diberitahu.
Kebiasaan terlambat pulang tanpa berita itu mempunyai segi yang menyenangkan. Di siang hari, ketika aku memasuki halaman depan, sambil membawa kendaraan ke samping rumah,
aku selintas melihat suamiku telah duduk santai di serambi. Dia
pulang sebelum aku. Di waktu-waktu demikian, aku selalu memperlihatkan kegembiraanku. Bagiku, itu adalah kejutan yang
berupa hadiah untuk menyenangkan hatiku. Sesungguhnyalah,
aku tidak seharusnya mengeluhkan keadaanku. Menjelang tujuh
tahun berdampingan dengan Handoko, tak satu detik pun aku
merasakan kebosanan.
Lalu pada suatu acara piknik berkala dengan keluarga Wi401 nar dan keluarga Sri ke Boja untuk mencari durian, keluarga
Mas Gun juga diundang. Itu bukanlah pertama kalinya mereka
menyertai kami. Yang pertama kali adalah Handoko kebetulan
bisa turut bersama kami. Di waktu-waktu terdahulu, di mana
keluarga Mas Gun bergabung dengan kami, Handoko mempunyai
tugas lain. Yang kuingat, ialah sekali dia harus mendampingi tamu perusahaan ke luar kota. Kali lainnya, dia harus ke Jakarta
mengurus izin pengeluaran barang dari pelabuhan. Bagaimanapun
juga, hari itu adalah hari besar bagi sahabat-sahabatku, karena
keluarga Mas Gun bisa datang bersantai bersama kami, dan Handoko tepat dapat berada di sisiku pula.
Tempat itu merupakan bagian dari tanah yang ditinggalkan
sahabat kami Ganik untuk kami. Di situ sudah diatur Winar; lengkap dengan pondok dari gedek sederhana yang cukup besar. Meja
panjang dengan bangku-bangkunya terdapat di serambi depan
yang dibangun seperti warung, setengah terbuka. Di dalamnya
tertumpuk amben dan perlengkapan lain. Sebegitu kami datang,
masing-masing meletakkan makanan yang dibawa di atas meja
panjang di serambi. Balai-balai dari bambu dikeluarkan, ditaruh
di bawah pohon-pohon yang lindung. Lalu kami leluasa berbuat
apa saja, asal berkumpul lagi untuk makan bersama. Mengerti
perasaan Handoko, aku berhati-hati untuk tidak terlalu bersendirian dengan Mas Gun. Secara biasa, aku melayani perbincangan,
tanpa menunjukkan perhatian yang istimewa kepada bekas anak
buah ayahku itu.
Entah bagaimana, pada suatu ketika, karena menuruti panggilan Winar, aku berada di belakang pondok. Di sana sudah ada
Mas Gun. Mereka berdua berdiri di dekat onggokan durian yang
telah terkumpul.
402 "Ini dia Mur, Mas Gun. Situ, katakan kepadanya sekarang!"
kata Winar dengan suara rendah.
Agak heran, aku memandangi kedua temanku silih berganti.
"Ada apa?" tanyaku ringan.
Mas Gun tidak segera berbicara, hanya memandangiku.
Dia berjongkok. Aku menurutinya berjongkok. Demikian pula
Winar.
"Tidak ada gangguan-gangguan lagi, Dik Mur?" suara Mas Gun
seolah-olah setengah ditelan.
"Gangguan apa?"
"?Dari Widodo, maksudnya," Winar menyela. Kedengaran dia
tidak sabar dan menyambung, "Cepat, Mas Gun! Sebelum suaminya kemari dan turut mendengar."
Semakin tidak mengerti, aku menoleh ke arah Winar. Lalu
ganti kepada Mas Gun, kukatakan, "Ada apa, Mas Gun?" kecurigaan mulai timbul padaku.
Winar mendekatkan kepalanya, berbisik kepadaku, "Dua kali
Widodo ketahuan ke kantor Handoko. Apakah suamimu tidak
memberitahu?"
Aku tidak menjawab. Seandainya aku berdusta dengan maksud
menutupi Handoko, dari sikap dan air mukaku jelas teman-temanku itu mengetahui hal yang sebenarnya.
"Dik Mur tahu, bahwa Widodo masih selalu diawasi. Dalam
laporan, dua kali dia dicatat pergi ke kantor Handoko. Yang kedua
kalinya bisa dikatakan lama. Lebih dari setengah jam. Ketika keluar, suami anda malahan menemaninya hingga di pintu."
"Benar kan, Mas Gun! Seperti yang kukirakan, Mur tidak mengetahui kunjungan tersebut," suara Winar nyata berisi kekesalan.
Dia berdiri, meneruskan, "Ayo kita tanyakan bersama kepada suamimu. Apa yang mereka rundingkan!"
403 "Tidak! Jangan!" kataku cepat, turut berdiri. Kemudian, baru
sadar bahwa aku telah bersikap terburu-buru sehingga suaraku penuh ketakutan. Apa sebenarnya yang kukhawatirkan?
"Mengapa?" temanku menghadapiku. "Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dari kami?"
"Tidak! Bukan begitu," cepat aku menyahut. "Tapi kan sekarang banyak orang lain!" kataku asal saja.
"Tidak ada orang lain. Kita semua ini teman!" Winar sudah
berbicara dengan suara yang biasa. Dia tampak semakin kehilangan kesabarannya. Katanya meneruskan, "Kalau memang
ada apa-apa, ya kita harus tahu sekarang. Handoko tidak pernah
berbaik-baik dengan kakaknya. Mengapa tiba-tiba mereka berhubungan! Ya kalau kamu tidak dirugikan? Kalau ini menyangkut
ketenanganmu, mana aku bisa berdiam diri!"
"Winar," Mas Gun memanggil dengan suara tenang, dengan
nada tanpa berubah, "Dik Mur benar. Jangan membicarakan hal
itu kepada lain-lainnya sekarang. Hari ini hari bersantai. Jangan
sampai suasananya jadi rusak."
Winar kembali diam, mengikuti Mas Gun yang memilihi
durian, membikin onggokan baru.
"Kapan itu terjadi, Mas Gun?" tanyaku sambil mengendalikan
suaraku sebiasa mungkin.
"?Tidak lama setelah Seto berangkat bersama Dokter Irawan."
"Yang kedua kalinya?"
"Ya berdekatan dengan itu."
"Aku berani bertaruh pasti Widodo mau mengacau lagi. Barangkali malahan sudah terlaksana apa yang dikehendakinya!"
"Sssst, Winar! Seorang guru tidak bertaruh!" kata Mas Gun.
Lalu bertanya lagi kepadaku, "Betul tidak ada perubahan apa-apa,
Dik Mur?"
404 "?Tidak. Semuanya biasa saja. Kami tenang-tenang. Handoko
malah jarang keluar kota," jawabku. Dan segera kutambahkan,
"Buktinya, hari ini pun dia untuk pertama kalinya piknik bersama
kita."
"Ya, benar," Winar menyetujui. "Tapi aku tetap curiga. Janganjangan ada hal-hal lain yang tidak kauperhatikan!" pandangnya
kepadaku penuh selidik.
Aku tidak menjawab. Sekuat tenagaku kutantang mata temanku itu. "Winar," kataku setengah mengeluh, "kau tahu bagaimana aku, bukan? Kalau ada apa-apa, kepadamulah aku mengadu. Sedari dulu, selalu kamu yang menolongku. Kalau tidak ada
kamu, mana mungkin aku masih berdiri utuh!"
Sebentar tidak seorang pun yang berbicara.
Winar sahabatku. Dia seorang laki-laki. Bisakah nalurinya mendeteksi sesuatu yang tidak nyata, yang mengaburkan hubungan
Handoko dan aku?
"Kalau terjadi sesuatu, Dik Mur harus memberitahu kami,"
kata Mas Gun.
"Tentu saja, Mas Gun."
Dari jauh tampak Sri datang bersama penjaga tanah kami yang
menyorong gerobak.
"Ini durian dari bagian kebun yang sebelah sana," kata Sri terengah-engah. Lalu menunjuk ke onggokan di tanah dekat kami,
"Sudah ada yang akan dibuka sekarang?"
"Yang ini," sahut Winar. "Nanti kami bawakan ke depan."
Sri meninggalkan kami, membuntuti penyorong gerobak.
"Saya ingin mendapatkan informasi yang lebih jelas, Mas
Gun," kataku perlahan. "Di kantor saja. Kapan?" Cepat aku berpikir, mengingati jadwalku pekan yang mendatang. Kukatakan
suatu hari tertentu. Mas Gun setuju.
405 Kesantaian hari itu sudah gagal bagiku. Kelanjutan kesibukanku hanya diatur oleh gerakan terpaksa supaya tidak mengecewakan sahabat-sahabatku dan keluarganya. Pada kesempatan
yang tersuguh, kupandangi suamiku baik-baik. Pemuda matang
yang kutemukan di Negeri Belanda bertahun-tahun yang silam, kini telah menjadi laki-laki mantap. Kelihatan lebih gemuk, tetapi badannya seimbang. Pemuda-pemuda zaman tanpa
perang biasanya langsung menjadi lelaki berperut gendut sebegitu memiliki pekerjaan tetap. Walau belum berumahtangga
sekalipun. Handoko tidak demikian. Kuamati selagi dia berbicara.
Kuteliti mata yang kebanyakan kali menyimpan pandang yang
tidak bisa diterka. Memang benar. Mata suamiku selalu tampak
dingin. Seluruh masa perkenalanku dengan dia, jarang sekali
aku menemukan ekspresi yang lain daripada perasaan biasa-biasa
saja. Pada Handoko, yang mengandung pengucapan isi hatinya
ialah garis bibirnya. Tarikan-tarikan di sanalah yang nyata dapat
langsung ditangkap, dalam keadaan bagaimana hati suamiku.
Dua kali aku termenung mengamati wajah laki-laki yang telah
mengajakku menyertai hidupnya selama hampir tujuh tahun. Dua
kali itu dia tertegun, sejenak menghentikan bicaranya karena sadar kupandangi. Sedetik dua detik kami berpandangan, aku segera
tersenyum untuk menutupi keterkejutanku. Bagaimanapun,
suami-istri berhak untuk saling memandang. Bagi pasangan resmi tidak ada perkataan "mencuri pandang" atau "diam-diam
memperhatikan". Ketika matahari mulai terlindung oleh pucukpucuk pohon di bagian kebun sebelah barat, teman-teman mulai
berpamitan. Yang kami pakai hari itu adalah kendaraanku. Aku
masuk untuk duduk di sebelah lain, membiarkan Handoko membawa mobil. Sebegitu kendaraan meninggalkan jalan tanah, laju
meluncur di jalan besar, kurapatkan diriku ke arah Handoko.
406 Kukaitkan lenganku pada lengannya. Sebentar kepalaku kusandarkan di sana.
"Hari ini Mbak Mur istimewa benar," kata suamiku tanpa
mengalihkan pandang dari jalan.
"Mengapa?"
"Aku dilihati terus-terusan."
"Apa tidak boleh?"
Dia tidak menyahut.
"Aku tidak suka melihati orang lain. Yang aku sukai hanya
melihati suamiku, karena suami itu aku cintai. Betul-betul aku
cintai," sambil mengucapkan kalimat terakhir kutekankan lagi
kepalaku ke lengannya. Di tenggorokan terasa ada sesuatu yang
tersekat. Kerisauan hatiku menggumpal memberati dada.
Sampai di rumah, setelah mandi, tiba-tiba dia memeluk dan
langsung mencium bibirku. Dalam seluruh waktu menanggapinya, pikiranku tidak bisa lepas dari berita yang kudengar hari
itu. Seperti siang ketika aku meneliti pandangnya dan bicaranya,
petang itu kuhitung dan kurinci setiap gerakannya. Masihkah
dia mencintaiku? Dia bercintaan denganku, apakah semata-mata
karena aku berada di sisinya bertepatan dengan timbulnya rasa
kegairahannya? Karena aku adalah istrinya, sehingga dia merasa
berhak memilikiku? Ah, mengapa begini berjubelan pertanyaan
yang semakin menggelisahkan? Mengapa aku tidak menuruti
saja gerakannya, manut dan setia tanpa banyak pikiran? Hingga
sampai di ujung perjalanan, di puncak kepuasannya, dia tidak
lagi menyebutkan nama kesayangan yang dulu begitu sering dia
panggilkan. Pada waktu itulah aku hampir tidak kuasa menahan
jeritan yang telah siap terlepas dari hatiku, "Kekasihku! Sayangku!
Apa sebenarnya yang menjadi dinding di antara kita?"


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertemuanku dengan Mas Gun tidak membikinku lebih banyak
407 tahu mengenai apa yang sedang terjadi. Dari Mas Gun aku hanya
menerima tanggal-tanggal kepastian kapan Widodo mengunjungi
adiknya. Informasi lain-lain tidak menyangkut kepentinganku.
Tetapi Mas Gun menambahkan, bahwa bertemu dua kali tidak
berarti tidak ada kelanjutannya. Kurasakan ketegangan yang amat
melelahkan selama duduk berhadapan dengan bekas anak buah
bapakku itu. Aku tidak tahu pasti mengapa demikian. Aku marah.
Tetapi aku juga malu. Marah, karena rasa egoisku menyalahkan
Mas Gun, sebagai orang lain bahkan mengetahui lebih banyak
mengenai kelakuan Handoko bersama kakaknya. Pertemuanpertemuan di belakang punggungku itu apakah berisi sekongkol,
perserikatan yang akan mencelakakan aku? Akan menjebakku?
Ataukah menjebak serta mencelakakan banyak orang, seperti
halnya yang dilakukan Widodo dahulu? Aku juga marah kepada
Winar. Mengapa dia tidak langsung memberitahuku? Dengan
kemarahan tersebut, rasa malu karena suamiku berbuat sesuatu di
luar persetujuan maupun pengetahuanku yang malahan diketahui
orang lain membikinku tidak berani menentang mata Mas Gun.
Alangkah nistanya Handoko jika benar dia telah mengkhianatiku.
Sama tepat seperti tindakan kakaknya bertahun-tahun yang
silam.
Dua hari dua malam aku mencari jalan, bagaimana membuka
pembicaraan dengan suamiku mengenai hal itu. Setiap ulah dan
bicaranya kuselidik. Aku malu kepada diriku sendiri. Seolaholah aku bersiap-siap untuk menjebaknya pula, menangkap basah apakah dia berkata dengan jujur ataukah hanya penuh kebohongan. Badanku menyekap rasa demam karena kekurangan tidur.
Ditambah ketegangan yang semakin mapan dalam diriku, semua
itu membikinku gugup. Cobaan apa lagikah yang ditimpakan
Tuhan kepadaku? Aku mengerti bahwa hidup ini selalu bergerak,
408 terdiri dari perubahan-perubahan. Karena dari pergerakan dan
perubahan itu bisa muncul kebaruan. Tetapi apakah benar Tuhan
tidak berkenan memberiku jenis kehidupan yang tenang untuk
jangka waktu yang lebih panjang dari enam tahun? Mengurangkah gairah Handoko terhadapku?
Meskipun badan terasa tidak sehat, pagi itu aku berangkat seperti biasa dengan maksud akan mencoba mengajar. Tetapi oleh
rasa mual yang sangat mengganggu, di tengah jalan aku berbalik.
Pada waktu seperti itu, obat yang paling mujarab bagiku ialah
dikerik, diseka dengan air panas, lalu berbaring mencoba tidur.
Dan memang itulah yang aku lakukan. Setelah dikerik pembantu,
digosok dengan minyak kayu putih, kemudian minum madu
yang kuberi beberapa tetes air jeruk nipis, aku menyelubungi diri
dengan selimut di tempat tidurku.
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Tiba-tiba saja aku
terkejut mendengar pintu mobil yang ditutup. Suara Handoko
berbicara dengan pembantu lelaki, disusul oleh langkahnya memasuki rumah. Sakit kepalaku sudah mengurang. Hanya perasaan
demam yang masih memberati keningku. Kuraih jam tangan
yang terletak di meja kecil. Dua kali aku mengulang melihat
jarum jam. Baru pukul setengah sebelas. Suamiku benar-benar
pulang pagi hari itu. Dia tidak langsung masuk ke kamar,
melainkan ke ruang buku. Tentulah untuk meletakkan tas dan
map-mapnya. Kutunggu sampai sepuluh ataukah lima belas menit? Bagaimanapun juga, terasa lama bagiku. Namun dia tidak
menengokku. Kuputuskan untuk keluar menemuinya. Ketika sampai di pintu ruang buku, kulihat Handoko duduk menghadapi
meja kerjanya. Dia tidak membaca ataupun menulis. Badannya
disandarkan santai, mukanya menengadah. Matanya terpejam.
409 Tas beserta bendelan berisi catatan dan map masih tertutup rapi,
terletak di kursi sebelah.
"Kok sudah pulang, Yang," tegurku perlahan.
Matanya terbuka. Tetapi dia tidak menegakkan kepala buat
melihat kepadaku.
"Atau akan berangkat ke luar kota? Pulang untuk mengambil
pakaian? Ayo kubantu."
Letak badan diluruskan. Barulah wajahnya dihadapkan ke arahku. Bibirnya bergerak, seperti akan berbicara, tetapi tidak jadi.
Matanya tiba-tiba menyorotkan pandang yang tidak kukenal.
Bahkan seluruh wajah itu kelihatan asing oleh kepucatannya.
"Kau tampak capek sekali," aku mendekat. Kuulurkan tangan
dengan maksud akan memijit tengkuknya. Seketika itu juga dia
mengelak, menghindari sentuhanku. Gerakan ini bagaikan tamparan bagiku. Handoko amat suka jika dipijit-pijit pangkal leher
serta bahunya. Tapi hari itu dia menolak.
"Mengapa kau?" tanpa kukehendaki, pertanyaan itu meluncur
dari mulutku. Tegang dan kaku. Secepatnya kulembutkan dengan
kalimat lain, "Kalau masuk angin, mau dikerik juga? Aku tidak
ke sekolah akhirnya tadi. Setelah dikerik, bisa tidur sebentar.
Sekarang agak ringan rasanya. Ayo kukerik!"
Sama sekali aku tidak akan menyentuhnya, tetapi Handoko
bersiap-siap akan menjauhkan lengan yang terletak di sebelah
tempatku berdiri.
"?Tidak usah," katanya pendek. Suaranya setengah menghilang
di tenggorokan.
Dia tidak mau dikerik. Dia tidak mau kusentuh. Inikah kebaruan lain yang juga kemudian akan menjadi kebiasaan di
hari-hari mendatang? Jadi perubahan telah bertambah satu lagi!
Ini keterlaluan. Ketika kulihat badannya beringsut ke depan
410 seolah-olah dia akan berdiri, aku mendahului pergi dari sisinya.
Mendadak kepalaku dihantam oleh rasa pening. Mual kembali
menusuk-nusuk bawah jantungku. Perlahan aku menuju ke dipan,
lalu membaringkan diri di sana. Antara sadar dan tiada kudengar
suaraku, "Kukira kita harus bicara. Tidak bisa terus-menerus begini. Kita hidup bersama, suami-istri, tetapi akhir-akhir ini aku
merasakan perubahan kelakuanmu terhadapku. Perubahan itu
terus beruntunan, selalu bertambah. Aku tidak mengingkari
bahwa kau tetap menjalankan kewajibanmu sebagai suami. Aku
tetap kauberi nafkah. Lahir dan batin. Namun ada perubahan.
Apa salahku? Apa perbuatanku yang tida kausukai sehingga kau
berubah, Yang? Katakan apa salahku! Kita tidur bersama, tetapi
aku tidak merasakan kelembutanmu lagi. Aku bahkan merasa seolah-olah kau hanya memperalat aku. Ada kalanya aku merasa,
seakan-akan kau benci kepadaku. Kau kasar sekali. Kau seperti
mau menghukumku."
Aku berhenti berbicara. Semua itu keluar dengan kelancaran yang tiba-tiba mencemaskan diriku sendiri. Kulemparkan pandangku sejenak ke arah Handoko. Dia masih duduk, matanya
tertancap ke meja. Lunglai dan letih membikinku sukar bernapas.
Tapi aku kini sadar telah memulai pembicaraan yang sesungguhnya
harus dilaksanakan sedari dulu. Aku harus meneruskan.
"Apa yang terjadi, Handoko?" Nama itu jarang sekali kupergunakan selagi berbicara dengan suamiku. "Kau tidak mencintaiku
lagi?"
"Atau Mbak Mur yang tidak mencintaiku lagi?" cepat dia menyahut. Suaranya perlahan, tetapi tekanannya keras dan pasti.
Aku terkejut mendengar tuduhannya itu. "Aku tidak salah
dengar, bukan? Kau menuduhku tidak mencintaimu? Atas dasar
apa?"
411 Dia tidak menyahut. Kulihat dia menghela napas. Mukanya
ditengadahkan, matanya dipejamkan sebentar, lalu dibuka kembali. Kelakuan itu kuteliti, kusimpulkan sebagai gerakan orang
yang bingung, tidak mengetahui bagaimana mengutarakan pendapatnya.
"Yang," panggilku dengan penuh kecintaan, kecintaanku yang
hanya kutujukan kepadanya, "tolong jelaskan. Bicaralah tenangtenang, tetapi jelaskan! Kita dua manusia dewasa yang sama-sama
mengerti apa itu pendidikan dan apa itu kehidupan. Kita sudah
bersama selama enam tahun. Kau pasti mengerti bagaimana aku.
Semula kukira aku juga mengerti bagaimana kamu. Tapi empat
bulan, bahkan lebih, belakangan ini aku merasa kehilangan kamu.
Ada apa? Kalau ada yang mengganjal di hatimu, kita selesaikan
masalahnya dengan berbicara tenang, dengan nalar yang sehat."
"Baru saja Mbak Mur menunjukkan bukti betapa senangnya
jika kutinggal pergi ke luar kota. Kamu bisa berkencan mestinya."
Sebentar aku tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. Apa
yang tadi telah kukatakan? Ah, ya. Tadi kukira dia akan ke luar
kota, pulang hanya untuk mengambil pakaian. Jadi Handoko
menafsirkan kata-kataku sebagai usiran. Sebagai pengucapan
harapan agar dia pergi dari rumah. Untuk berkencan? Dengan
siapa? Kalau Handoko yang mengatakan itu, berarti dia mengira
aku mempunyai pacar, mempunyai simpanan lelaki! Alangkah
tololnya dia! Waktu itulah aku betul-betul yakin bahwa suamiku
telah seratus persen berubah. Dan kecurigaan yang tersekap, rabaan-rabaan bawah-sadar yang sering mengganggu saat kantukku,
tiba-tiba menyeruak, meledak dalam sinar yang gamblang: Widodo! Seperti wahyu jawaban itu tertera dalam benakku. Handoko
telah mendapat pengaruh dari kakak yang dulu dia benci. Kini
412 harus kutambahkan perkataan "pernah dia benci". Karena siapa
tahu, sekarang suamiku telah terkena kata-kata getahnya yang melekat dan sukar dielakkan. Tidak mungkin tidak. Handoko biasa
mempunyai nalar yang jernih. Enam tahun di sampingnya, aku
mendapat ajaran cara-cara berpikir secara praktis dan langsung.
Perubahan yang sedemikian besar, hampir bertolak belakang, hanya bisa terjadi kalau ada yang menggosoknya. Ditambah sifat
kecemburuan yang telah mendasarinya, gampang saja semua menyala dan menjalar.
"Kau berubah karena aku yakin bahwa kau bergaul dengan
Widodo," akulah kini yang menuduhnya. Keras dan pasti, segera
kulanjutkan, "Ya, aku tahu dia telah mengunjungimu beberapa
kali."
Nyata dia terkejut. Aku cepat menyambung lagi, "Mas Gun
memberitahu Winar. Lalu aku melihat sendiri catatan resmi tanggal-tanggal pertemuan kalian. Apa saja yang dia katakan sehingga kau begitu membenciku? Sampai-sampai tadi tidak mau kusentuh?"
Handoko tidak menjawab. Aku terdiam. Perasaan capek dan
letih semakin menguasaiku. Kutengadahkan mukaku. Mata kubiarkan melayang, mengedar ke langit-langit ruang itu. Di beberapa tempat tampak bekas rembesan air. Sebegitu musim hujan usai, catnya harus diperbarui. Kualihkan pandangku ke arah
Handoko. Dia masih bersandar. Pengucapan di wajah itu membikinku iba. Aku ingin bangkit dan memeluknya. Aku ingin
merengkuh kepala itu ke dadaku sambil membisikkan bujukan
apa saja yang mampu menenangkan hatinya. Kegelisahan yang
berbaur dengan kebingungan jelas terpajang di muka itu. Tapi
aku takut bergerak, karena aku tidak yakin lagi akan bisa men413 dekatinya. Suamiku kelihatan seperti hewan yang terluka. Tampaknya diam, namun mengandung reaksi yang meragukan.
"Yang, tolonglah katakan ada apa?" kataku perlahan, hampir
berbisik. Aku semakin merasa tidak berdaya.
Beberapa detik lewat. Kemudian dia berkata, "Aku serba kalah
di sini. Aku tidak punya apa-apa. Ini rumah Mbak Mur. Anakanak juga anak-anak Mbak Mur. Demi anak-anak itu, Mbak Mur
hampir kembali kepada Mas Wid. Aku hanya suami sambungan.
Mengapa Mbak Mur tidak berterus-terang kepadaku bahwa ingin
berbalik dengan Mas Wid?"
Aku tertegun sejenak. Napasku serasa terhenti oleh keterkejutanku. "Apa?" secepat itu pula aku terduduk. "Aku mau kembali
kepada Widodo? Siapa yang bilang?"
"Dia sendiri," suara Handoko lebih jelas. Dia tampak lebih
menghadapkan kursinya ke arah tempatku.
"Dan kaupercaya? Kau mempercayai orang yang sudah bertahun-tahun, sedari masa remajamu kaukatakan menerormu?"
Aku berdiri. Aku menginginkan posisi tegak agar bisa bernapas
lebih leluasa. Lalu aku duduk di kursi tepat di depan suamiku. Kami berpandangan.
"Widodo menyuntikkan gagasan kawin kembali itu kepada
Seto. Aku tidak pernah, demi Tuhan, tidak sekali pun pernah
mempunyai niat akan kembali kepadanya," kataku setengah gugup. Kemudian, kuatur jalan pikiranku, kurinci peristiwa beberapa
bulan yang lalu ketika anak bungsuku menyampaikan ide yang
dikatakan "demi anak" aku harus kawin lagi dengan bapaknya.
Kusampaikan semuanya kepada Handoko.
"Aku benar-benar heran, mengapa kau percaya begitu saja kepadanya. Omongannya seakan-akan lebih bisa kaupegang
daripada kenyataan yang tersuguh. Apakah pernah aku menun414 jukkan rasa tidak cintaku kepadamu? Satu kali saja! Katakan
kapan!"
Handoko menggelengkan kepalanya. Menghela napas. Menghindari pandangku. Tangannya terangkat, jari-jarinya menelusup
ke celah-celah rambut, diusapkan ke belakang. Terdengar helaan
napasnya lagi.
"Ada apa? Katakan? Apa lagi yang masih mengganjal? Berkalikali dulu kamu selalu mengajariku untuk tegas. Untuk berbuat
menuruti nalar yang praktis. Yang logis. Mengapa sekarang kau
begini tidak masuk akal? Ada apa dengan kamu, Yang?"
"?Tidak tahu. Aku tidak tahu!" dikibaskannya kepalanya ke
kiri dan ke kanan. Seolah-olah dia hendak mengusir suatu kekangan yang tidak tampak olehku.
"Mas Gun! Selalu Mas Gun! Tidak adakah orang lain? Kau selalu menyebut dia. Kau bahkan mengunjungi kantornya kemarin!
Siapa tahu kau selalu berkencan selagi aku tidak di kota?" Lalu
dia menghadap betul-betul ke arahku, menambahkan, "Benar, bukan? Mbak Mur bertemu dengan dia kemarin," suaranya bukannya
berisi kekesalan atau kemarahan.
Aku terdiam. Reaksi pertama justru aku ingin tertawa. Menertawakan kekonyolan kejadian itu. Mas Gun mengatakan, bahwa
Widodo selalu diawasi gerak-geriknya. Dari pengawasan itu pula dapat dicatat hampir semua kegiatannya di luar. Sekarang
Handoko memberitahuku bahwa perbuatanku pun, dia bisa
mencatatnya. Apakah itu berarti bahwa dia membayar orang
untuk menguntitku? Ataukah Widodo yang mempunyai kaki tangan, kemudian mengusulkannya kepada adiknya?
Sekilas kegelian akan kekonyolan tersebut musnah oleh suguhan kenyataan yang kuhadapi. Kupandangi wajah suamiku.
Dia menderita. Bayangan yang tertera di muka itu belum per415 nah kudapatkan di sana. Ialah kelelahan karena tekanan kecemburannya. Ya Tuhan. Suami mudaku menderita tekanan rasa


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecurigaannya yang bertumpu-tumpu terhadapku. Dia meragukan
kesetiaanku kepadanya. Selama ini aku tahu, bahwa dia memang
selalu mencemburuiku. Tapi sedemikian besar dan seperti sekarang
yang tampak di depanku, benarlah aku tidak menyangka. Semua
itu karena setulus hatiku aku setia kepadanya. Karena sungguhlah
aku mencintainya. Apakah Widodo akan berhasil merenggut kepercayaan Handoko terhadapku? Lalu bagaimana cintaku jika
tidak lagi ditanggapi? Widodo rupa-rupanya bertekad hendak
menghancurkan hidupku, hidup Handoko. Barangkali sekarang
dia sedang berpuas diri menyaksikan kebingungan adiknya. Apakah aku akan kalah? Ya, Tuhan; apakah aku akan dikalahkan
orang seperti Widodo setelah pernah Kau beri kebangkitan yang
sedemikian membanggakan dan membahagiakan?
Barulah aku sadar bahwa tusukan-tusukan di perut menghilang.
Kepalaku jernih. Bisa kugerakkan tanpa menimbulkan gaungan
ngilu yang terpantul-pantul di dalam tengkorakku. Kujangkau tangan kiri suamiku yang tergeletak di meja. Kugenggam erat.
"Lihatlah aku, Yang. Tataplah dalam-dalam mataku! Tidakkah
kau melihat betapa besar cintaku kepadamu? Kaulah dulu yang
mengajariku bagaimana mencintai, betul-betul mencintai itu.
Tidak ada orang lain yang kucintai. Hanya kau. Apa yang harus
kukerjakan supaya kau mempercayaiku? Aku harus bagaimana?
Mas Gun sudah seperti anak sulung orangtuaku. Kau menyaksikan
sendiri bagaimana eratnya hubungannya dengan Ibu ketika dia
masih hidup. Dia kakak kami. Mengapa yang kaucurigai hanya
dia? Padahal Winar juga selalu bekerjasama dengan aku. Katakanlah aku harus bagaimana?"
Kami berpandangan lagi. Matanya merah, lembap. Tangannya
416 panas. Pastilah dia juga menyekap demam, sama seperti aku
kemarin, tadi pagi, beberapa menit yang lewat. Kata orang, nasib
manusia ditentukan oleh Tuhan. Tapi apakah Tuhan menyediakan
hanya satu nasib? Aku telah belajar dari hidup yang kujalani
selama ini, bahwa sesungguhnya dihidangkan pilihan-pilihan,
lalu kutentukan sendiri mana yang kuambil. Jadi ternyata Tuhan
menyuruh manusia memilih, kemudian mengolah nasibnya sendiri. Seandainya dulu aku memilih tidak meneruskan sekolah,
"demi anak-anak" dengan pasif menunggu kembalinya Widodo,
penuh empat belas tahun, bagaimanakah nasibku? Mungkin kaku
tergilas oleh kemasabodohan, kepasrahan tanpa gerak maupun
usaha. Barangkali pula aku sudah menjadi gila, tertekan oleh
trauma atau stress yang mengeram di alam bawah sadarku. Sekarang, dengan pilihan nasib yang mempertermukanku dengan
Handoko, sekali lagi muncul pilihan tingkat lain. Kalau aku
diam, apakah aku akan bisa mempertahankan Handoko sebagai
teman hidup, sekaligus sebagai tambatan cintaku? Aku tidak mau
tergantung kepadanya. Sama seperti aku tidak menghendaki dia
tergantung kepadaku. Sejak semula kami sudah sepakat, bahwa
perkawinan kami harus didasari kesejajaran. Tidak harus ada yang
berkorban. Karena dalam pengorbanan selalu ada yang kalah dan
yang menang. Dalam berkarier, kami sejajar. Dalam perasaan,
kami juga harus mengimbangkan diri.
Apalagi dalam keadaan kami sekarang ini! Tidak harus ada
pihak yang menang maupun yang kalah dalam permainan yang
didalangi oleh Widodo. Karena menang atau kalah, sebenamya
Widodo-lah yang mendapatkan keuntungannya. Ya Tuhan. Kembalikanlah kepercayaan suamiku kepadaku.
"Aku tahu bahwa persoalan ini adalah persoalan kita berdua.
Sangat pribadi. Hanya kita yang bisa menyelesaikannya. Tetapi
417 aku minta tolong kepadamu, cobalah tanyakan ke teman-teman
kita. Lingkungan dekat kita. Apakah aku mempunyai sifat mata
keranjang, suka berganti lelaki, sehingga patut kau hukum dengan kelakuanmu itu? Seolah-olah kau bersekutu dengan Widodo untuk menjebakku. Ya, itulah sebabnya mengapa aku mengunjungi Mas Gun di kantornya. Ya, dia lagi! Tetapi dialah pula yang telah menolongku dulu, sehingga aku berani membuka
kedok Widodo yang mempengaruhi Seto. Untunglah pula Irawan keras, mau membawa Seto ke Ujung Pandang. Irawan juga
bisa kau tanyai mengenai aku. Dia kenal aku lebih dulu dari
kamu. Kita harus kuat, Yang. Kalau kau lemah sedikit saja dalam menghadapi Widodo, kita berdua yang hancur. Kau ingat,
dulu kau juga yang mengajari aku harus tegas terhadapnya ketika
dia mengganggu ketenangan kita, sampai berakibat Seto tidak
naik kelas. Sekarang dia sedang berhasil mengacau kerukunan
kita berdua. Sifat kecemburuanmu dijadikan alat. Kita berdua
harus kuat, karena hanya kita sendiri yang bisa menolong diri
kita. Kalau kita hancur, Widodo-lah yang puas. Inilah, Yang. Kau
harus sadar, bahwa dia sedang mempermainkan kita."
Bunyi telepon berdering. Setelah dua kali suaranya menggema, pembantu menerimanya. Aku masih memegangi tangan
Handoko. Pandang di matanya tidak jelas apakah mengandung
kebencian ataukah kecintaan. Tetapi bibirnya yang semula terkatup menggariskan lengkung kekakuan, merekah seolah-olah
menanggapi bicaraku dengan pengertian.
"Pak Irawan di telepon," pembantu berdiri di tepi pigura
pintu.
"Mencari siapa? Saya atau Bapak?" tanyaku.
"Katanya siapa saja."
Aku akan berdiri, tetapi Handoko mendahului.
418 "Biar aku saja," katanya, langsung keluar dari ruang buku.
Baru saja kusebut namanya. Kini dia menelepon. Betapapun
aku tahu bahwa kebetulan-kebetulan seringkali memenuhi kejadian di dunia ini, namun aku lebih percaya bahwa Tuhan-lah
yang menyodorkan garis kehidupan itu kepada manusia. Dia masihkah mendengar jeritanku? Masihkah mempedulikan aku sebagai umat-Nya yang selalu mengingatNya?
Ketika kembali Handoko langsung mengambil kunci kendaraan. Katanya tanpa melihat kepadaku, "Mas Ir minta dijemput."
"Di lapangan udara?"
"Di rumah sakit."
Begitu dekat!
"Akan tinggal lama? Tidur di sini?" kusadari bahwa suaraku
penuh kegembiraan.
"Beberapa hari katanya."
"Ini tadi telepon dari bagian mana? Kamu tahu di mana menjemput?"
"Di apotek. Mas Ir agak u katanya. Dia cari obat di sana."
Kutunggu sampai deru mobilnya menjauh. Kemudian aku menelepon ke rumah sakit. Secara singkat Irawan kuberitahu apa
yang terjadi.
"Mbak Mur harus sabar," katanya tenang. "Kita harus mengerti Handoko yang tumbuh sendirian. Dapat dikatakan
tanpa menerima perhatian dari orang-orang yang seharusnya
merengkuhnya. Bisa saja dia selalu dibayangi ketakutan akan
kehilangan Mbak Mur. Menurut saya, kecemburuannya lebih
didasari oleh ketidakpercayaannya kepada dirinya daripada oleh
sikap atau kelakuan Mbak Mur."
"Anda pasti tahu bahwa saya bukan perempuan gampangan.
419 Kalau saya baik kepada laki-laki lain, tidak berarti bahwa saya
mau ?main? dengan orang itu!"
"Tentu saja saya tahu bagaimana Mbak Mur!" suara Irawan
amat meyakinkan. Lalu meneruskan, "Sudah, jangan dirisaukan.
Nanti saya atur."
"Tapi anda harus hati-hati. Saya khawatir Handoko akan
marah jika tiba-tiba anda menyinggung hal ini. Jangan-jangan
dia salah mengerti lagi! Tentu dia akan mengatakan bahwa saya
mengadu! Meskipun memang begitu yang sebenarnya."
"Kita cari jalan nanti. Mbak Mur bisa mengulangi percakapan
kita ini di depan Handoko. Misalnya, perlahan-lahan, sambil berkabar. Saya yang akan banyak bertanya."
Sedari dulu aku tahu bahwa Irawan sama seperti Sri. Keduanya
selalu bisa mengatasi suasana dengan ketepatan yang kukagumi.
Tapi kali itu aku agak ragu.
"Anda harus hati-hati kali ini. Kelihatannya kakak anda sudah
berhasil membalikkan pikiran Handoko. Nalarnya menyempit."
"Saya masih percaya bahwa Handoko tidak selemah itu benar.
Seandainya Mas Wid memakai guna-guna yang ampuh pun, mudah-mudahan cinta saya kepada adik saya yang satu itu akan
mampu membukakan mata hatinya."
Kalimatnya yang akhir diucapkan dengan nada tanpa berubah, namun hatiku mendadak seperti diremas rasanya. Irawan
tinggal di Ujung Pandang dan biasa menceritakan kasus-kasus
penderitaan pasien yang macam-macam. Sebagai dokter dan ahli
bedah dia mengikuti cara berpikir eksakta, yang berdasarkan fakta.
Namun dia juga mengakui sendiri bahwa masih begitu banyak hal
di alam ini yang belum terungkapkan menurut kemampuan akal
manusia.
Sedari Irawan masuk rumah di Jalan Bandungan hingga pe420 tang di saat kami duduk di meja makan, dengan susah payah
aku berusaha mengendalikan kegugupanku. Untuk mengurangi
salah tingkah, aku membatasi bicaraku. Irawan menceritakan kesibukannya siang tadi, tetapi dia menyempatkan diri menelepon
kenalan-kenalan dekatnya. Di antaranya dia menyebutkan nama
Mas Gun. Menyusul pula nama Winar. Katanya, dia akan singgah besok atau lusa sore ke rumah temanku itu. Sementara itu
dia menanyakan beritanya kepadaku. Aku memberitahukan apa
adanya. Kuceritakan juga piknik bersama yang paling akhir. Kutambahkan, bahwa pada hari itu, Handoko bisa turut dengan
kami.
"Kau harus menyisihkan waktu lebih sering untuk bersantai
bersama-sama seperti itu," kata Irawan kepada adiknya. "Setidaktidaknya itulah caramu menunjukkan kepada mereka rasa terima
kasihmu. Merekalah yang selalu mendampingi Mbak Mur dulu di
masa-masa sukar."
Kata-kata Irawan kuterima sebagai bentangan jalan yang disediakannya untukku. Aku segera mengambil kesempatan baik
tersebut.
"Anda menelepon semua kenalan baik, menanyakan berita
teman-teman, apakah anda tidak ingin mengetahui kabar kakak
anda sendiri?"
"Mas Wid? Oh, saya tahu dia pasti baik-baik," suara Irawan tetap biasa. "Orang seperti dia bisa manjing ajur-ajer."
Itu adalah ungkapan dalam bahasa Jawa. Artinya, bisa membaur
dengan siapa pun dan dalam keadaan yang bagaimanapun tanpa
ketahuan bentuk aslinya.
"Kalau anda sudah berbicara dengan Mas Gun, tentunya juga
sudah diberitahu apa yang terjadi," kataku lagi dengan hati-hati.
Kusadari suaraku agak lirih.
421 Irawan tidak menunjukkan perubahan sesuatu pun, menengok
ke arahku sambil bertanya, "Tentang apa?"
Aku tidak menjawab, memandang kepada suamiku.
Irawan meneruskan, "Di telepon, kami berbicara mengenai
tenis, mengenai penataran," dia berhenti sebentar. Lalu, "Ada
apa?"
Aku tetap memandangi suamiku. Perlahan dan selembut
mungkin, aku berbicara kepadanya, "Mas Han. Kita ceritakan apa
tidak?"
"Seharusnya memang aku mengetahui apa yang terjadi. Mas
Wid keluarga kita. Kalau dia berbuat yang aneh-aneh, apalagi
yang mencurigakan, lebih baik kamu sendiri yang memberitahuku.
Aku tidak percaya lagi kepadanya. Ada apa?" Kata-kata terakhir
diucapkan dengan suara mendesak. Dia berhenti makan, memandangi Handoko.
Aku menahan napas. Bagiku, kata-kata Irawan bagaikan gertakan. Tapi tidak. Rupanya suamiku menerimanya dengan baik.
Setelah sebentar membiarkan kami menunggu, suaranya perlahan
tetapi jelas menceritakan kunjungan Widodo ke kantornya.
Dengan mahir, Irawan menyela, bertanya, menoleh ke arahku
untuk menyampaikan pertanyaan lain yang ditujukan kepadaku.
Rincian pertemuan yang pertama disusul oleh kunjungan berikutnya. Lalu diteruskan tandangan Handoko ke tempat kakaknya
di belakang gereja. Jadi benarlah seperti yang dikirakan Mas
Gun maupun Winar: Mereka berdua bertemu berkali-kali dan
tidak hanya di kantor Handoko. Alangkah hebat perubahan itu!
Tindakan Handoko didorong oleh rasa ingin-tahunya mengenai
diriku, katanya. Bagaimana aku, apa saja ulahku yang mencurigakan dan telah diselidiki oleh Widodo. Begitulah cerita suamiku.
Selama waktu-waktu dinas Handoko ke luar kota, memang dua
422 kali aku harus tinggal di hotel untuk keperluan loka karya dan seminar. Kegiatan itu sudah kuberitahukan kepada suamiku. Tetapi
kejadian tersebut rupa-rupanya dibumbui Widodo dengan aneka
ramuan yang pedas sehingga berhasil membangkitkan nyala kemarahan dalam diri Handoko.
Mendengarkan suara suamiku yang datar, kadang lancar, di lain
saat terbata-bata, diselingi oleh ketegasan di pihak Irawan, hatiku
merana. Air mata tidak dapat kutahan lagi. Aku tidak sanggup
mengucapkan satu kata pun untuk membela diri. Irawan-lah yang
menjadi pengacaraku. Dalam keporak-porandaan perasaanku, kudengar Irawan bahkan mengusulkan konfrontasi: harus diundang
tiga lelaki yang disebut Widodo sebagai pacarku, ditambah Mas
Gun. Lalu Irawan menambahkan bahwa kalau konfrontasi itu
terjadi, justru pandangan orang terhadap Handoko akan turun. Sebabnya ialah karena itu membuktikan ketidakpercayaan Handoko
kepadaku sendiri, di samping meremehkan dan menghina para
teman laki-laki yang dicurigai itu. Irawan berbicara biasa saja.
Seolah-olah dia sedang membahas sesuatu masalah di depan hadirin yang netral. Penyesalannya terhadap kelakuan adiknya dia
perlihatkan dengan sikap yang tidak berlebih-lebihan. Di luar
dugaan, Irawan bahkan menyinggung-nyinggung masa lalu dengan memaparkan perlakuan kakak mereka ketika aku masih
menjadi istrinya. Dia ceritakan bagaimana aku harus selalu tunduk, manut dan terpisah dari pergaulan. Aku tidak pernah menceritakan hal itu kepada Irawan. Tentulah dia mengetahuinya
dari sahabat-sahabatku. Terutama pastilah dari ayah-ibu Ganik
yang dikenalnya dengan baik.
Melalui kedatangan Irawan, seolah-olah Tuhan mengelus dan
merapikan keadaan rumah tanggaku.
"Ambillah cuti bersamaan, hidup bersantai di gunung selama
423 beberapa waktu!" Itulah nasihat Irawan mengakhiri diskusi kami
malam itu.
Memang telah bertahun-tahun kami berdua tidak pergi secara
santai berlibur. Aku merasakan kebutuhan untuk pergi dari kota
buat menjauhi Widodo. Dengan demikian, kalau memang Mas


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wid mempergunakan kekuatan hitam untuk mempengaruhimu,
dayanya akan mengabur dengan bertambahnya jarak antara kamu
dan dia. Dengan hidup santai, mudah-mudahan jiwamu menjadi
kuat kembali. Begitu kata Irawan kepada adiknya.
Kami langsung mengambil cuti.
Tujuan kami ialah desa-desa pegunungan di selatan kota tempat tinggal kami yang dilengkapi dengan penginapan-penginapan
sederhana namun nyaman. Liburan yang dimaksudkan sebagai
masa bersantai itu, pada hari pertama telah dimulai dengan ketegangan. Di tengah perjalanan, Handoko yang pegang stir, menghentikan mobil ketika melihat penjual durian. Agak lama kami
tawar-menawar serta memilih buah yang sesuai dengan selera kami. Setelah dicapai kesepakatan, kuusulkan agar durian ditaruh
di dalam mobil saja. Dengan demikian, tempat bagasi tidak perlu
dibuka. Tetapi Handoko tidak mengindahkan gagasanku itu. Dia
membuka tempat bagasi dan menolong penjual memasukkan
buah-buah ke sana. Aku tidak berkata sesuatu pun, kembali duduk di tempatku. Sebentar kemudian Handoko menyusulku. Kulihat dia memasukkan tangan ke saku celananya, yang kanan, yang
kiri, lalu melongok ke samping kemudi.
"Kuncinya di mana?"
"Tadi kamu yang bawa," sahutku.
Handoko pergi ke belakang mobil. Kedengaran beberapa
penjual membantu mencari kunci di bawah kendaraan, bahkan
ada yang datang melihat-lihat di samping tempat dudukku. Aku
424 berdiri, turut mencari kunci itu. Waktu berlalu, tak seorang pun berhasil menemukannya. Akhirnya kukatakan kesimpulanku, bahwa
tentulah kunci itu berada di dalam tempat bagasi. Secara tidak
sadar, Handoko meletakkannya di sana, lalu lupa mengambilnya
ketika akan menutup dan mengunci pintu kembali. Semula sukar
sekali Handoko menerima perkiraan tersebut. Dia mencurigai
salah seorang penjual itulah yang mengambil kunci mobil. Aku
tidak mengerti mengapa dia mempunyai pikiran semacam itu.
Akhirnya dia tidak berkata apa-apa, mengeluarkan lipatan benda
dari kulit yang mirip sebuah dompet dari tasnya. Di situ tersimpan
cadangan kunci mobilnya.
"Bagaimanapun juga, kita harus mencari kunci lain untuk
membuka tempat barang. Pakaian kita ada di situ semuanya, dan
aku tidak punya kunci kedua."
Aku diam saja.
"Kita cari bengkel. Atau agen penjual mobil. Barangkali ada
mobil bermerek sama. Siapa tahu kunci mobil yang sama bisa
dipergunakan buat membuka tempat bagasi kita."
Meskipun gagasan itu agak masuk di akal, aku menyimpan
keraguan. Kalau mobil-mobil bermerek sama mempunyai kunci
yang sama, tentu terjadi banyak pencurian! Tapi aku tetap diam.
Kami turnn dari daerah yang sudah mencapai punggung gunung
itu untuk menuju ke Salatiga. Beberapa bengkel kami singgahi.
Demikian pula satu-satunya agen penjual mobil yang ada di kota
kecil itu. Tak satu pun dari mereka yang berhasil membuka tempat bagasi mobil Handoko. Kepalaku pusing. Kota kecil yang dulu
terkenal kecantikan dan kesejukannya itu, sekarang tampak lusuh
dan gersang. Untuk mengurangi ketegangan, aku tidak berkutik,
tidak bertanya. Setelah lima bengkel dikunjungi tanpa ada yang
dapat menolong, aku baru bersuara, "Lebih baik kita pulang saja.
425 Setidak-tidaknya, kita sudah jalan-jalan menghirup udara luar
kota Semarang bersama-sama hari ini."
Sebentar Handoko tidak menyahut. Lalu, "Kita masih bisa
meneruskan berlibur. Kita beli pakaian dan apa-apa yang kita perlukan buat beberapa hari di gunung. Masalahnya ialah, sesudah
beberapa hari itu, apakah durian yang disekap di tempat bagasi
akan tetap baik? Membeli durian enak hanya untuk dibiarkan busuk, kan bodoh sekali!" Sambil mengatakan kalimat itu, Handoko
menoleh, tersenyum kepadaku. Entah mengapa, aku tidak menerima senyuman itu sebagai tanda keramahan. Kulemparkan pandang biasa saja ke arahnya.
"Mengapa, Mbak Mur? Sedari tadi kok diam saja?"
"Pusing," sahutku singkat. Dan memang itulah jawaban yang
paling tepat dan sungguh-sungguh.
Suamiku melihat ke jam di tangannya. "Kita cari restoran saja
sekarang."
Meskipun aku menyambut baik usul tersebut, aku tidak menyahutinya. Aku juga tetap tidak berkata sesuatu pun ketika
tangannya terulur untuk menyentuh, lalu menggenggam tanganku sejenak. Itu adalah gerakan kelembutan pertama yang pernah dia lakukan terhadapku sejak berbulan-bulan. Sekali lagi
anehnya, aku tidak bergerak ataupun mengatakan sesuatu buat
menanggapinya. Pekan sebelumnya, pembicaraan bersama
Irawan disusul oleh keesokan hari yang memang lebih mesra
di antara kami suami-istri. Walaupun tidak diiringi gerakangerakan yang dulu menyihirku dan yang kemudian membikinku
terikat erat kepadanya. Barangkali Handoko menyertakan niat
kelembutannya ketika membelai dan mengelusku pagi itu. Tetapi
aku menerimanya sebagai pendahuluan, pemanasan supaya aku
mencapai taraf ketinggian nafsu yang sesuai dengan nafsunya
426 pula. Aku menafsirkan gerakannya pagi itu sebagai jalan buat memuaskan dirinya. Berlainan dari sentuhannya siang ketika kami
dalam perjalanan ke gunung. Untuk selanjutnya, selagi kami makan di restoran, dia memperlihatkan perhatian yang telah lama
tidak kuterima darinya.
Di rumah makan itu aku mengambil prakarsa bertanya kalaukalau ada tukang kunci yang bisa diandalkan di dekat-dekat sana.
Pemilik rumah makan memberikan sebuah alamat. Handoko kurang bersemangat menuruti usulku agar mencoba tukang kunci
tersebut. Apalagi setelah melihat bahwa tukang kunci itu adalah
seorang pemuda yang nyata belum melewati umur dua puluh tahun. Suamiku semakin tidak percaya akan kemampuannya. Dia
membiarkan aku merundingkan upah yang akan diberikan jika
tempat bagasi bisa dibuka. Sebegitu selesai berunding, tukang kunci itu mengambil kotak bekas tempat biskuit di mana tersimpan
berbagai alat kerjanya. Dia duduk di bangku kecil, di tentangan
lubang kunci tempat bagasi. Aku kembali ke dalam mobil. Pintu
kubiarkan terbuka. Tidak lama kemudian, Handoko mendekat.
Tangannya berpegang pada pintu kendaraan, katanya, "Lima ribu
terlalu mahal."
Karena terkejut menghadapi reaksi yang sama sekali di luar
dugaan itu, aku tidak segera menyahut. Kami berpandangan sebentar. Untuk menghibur kekecewaanku, kuhindari tatapan
matanya. Aku kembali melihat foto-foto di majalah yang terletak di pangkuanku. Kataku perlahan, "Lima ribu tidak cukup
banyak sebagai imbalan membuka tempat bagasi tanpa kunci.
Keahlian itu patut dihargai." Dan untuk kesekian kali, anehnya, aku tertekan oleh keinginan yang mendesak-desak buat
menambahkan: yang bodoh ialah meninggalkan kunci di dalam
tempat bagasi itu! Hatiku kesal oleh panjangnya hari yang habis
427 tanpa guna itu. Aku jengkel oleh sikap Handoko yang mungkin
"bukan apa-apa", tetapi yang mendadak bagiku amat mencolok
bagaikan sesuatu yang menentukan hidup-matiku: dia tidak mengikuti kataku supaya memuatkan durian ke dalam mobil, bukan
di tempat bagasi; dia memandang rendah tukang kunci yang
amat muda. Bahkan di waktu memesan makanan di restoran
pun, terjadi perbantahan kecil, karena dia hendak memaksaku
memilih sesuatu yang tidak kusukai. Tapi kelelahan menolongku
untuk tidak mengucapkan tambahan kalimat tersebut.
Handoko meninggalkanku. Kucoba membaca majalah. Beberapa saat berlalu, suamiku datang kembali. "Kelihatannya dia
tidak bisa. Alatnya ganti-ganti terus. Sudah sepuluh menit lebih."
Kali itu aku hampir berteriak menyuruhnya diam. Kalau dari
semula dia mendengarkan aku, waktu itu kami tentu sudah enak
duduk-duduk di serambi hotel yang dituju! Usahanya di beberapa
bengkel gagal, sekarang dia ingin tukang kunci berhasil dengan
cepat. Alangkah semena-menanya dia! Benarkah ini suamiku?
"Kita tunggu berapa menit lagi?"
"Sampai seluruhnya setengah jam," sahutku tanpa semangat.
"Sudah dibuka, Pak," terdengar suara dari belakang mobil.
Cepat aku mengikuti Handoko ke tempat bagasi. Waktunya tepat untuk melihat dia mengambil kunci di antara tas-tas
dan kopor. Kemudian dia menutup pintu kembali, mengambil
dompet. Dia keluarkan selembar lima ribuan. Kuperhatikan dia
sebentar ragu-ragu. Kuharapkan dia menambahkan seribu rupiah,
atau bahkan lebih. Tapi tidak. Dia ulurkan uang lima ribu rupiah
kepada pemuda tukang kunci.
"Terima kasih, Dik," katanya. Dia masih sopan! Namun aku
kecewa. Mungkin aku yang keterlaluan, karena aku berharap agar
428 suamiku menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara lain.
Apalah arti seribu rupiah baginya. Jika itu diberikan kepada tukang kunci, barangkali lebih banyak gunanya. Sesungguhnya aku
bisa memberikan jumlah tersebut, kuambil dari sakuku sendiri.
Entah mengapa, aku begitu terbelenggu, tidak bertindak cepat.
Mungkin karena aku ragu terhadap reaksinya pula. Karena siapa
tahu, tindakanku itu akan menimbulkan sengketa kecil lagi antara Handoko dan aku.
Untuk selanjutnya, kami tidak saling berbicara. Dalam meneruskan perjalanan ke tujuan semula, aku tenggelam dalam perbantahan batin yang berbelit-belit. Kutemukan diriku bertanyatanya, apakah sebenarnya yang sedang kukerjakan pada waktu
itu. Duduk di samping suami, dikatakan akan berlibur santai
berduaan, tetapi yang nyata telah gagal sedari permulaan. Apa
yang terjadi dapat dianggap sebagai godaan. Tetapi benarkah godaan itu terus-menerus hanya tertuju kepadaku? Apa pun yang
dikerjakan Handoko seolah-olah disengaja berbalikan dengan
yang kusukai, bertolak belakang dari kebiasaan kami dulu. Yang
kukatakan dulu bukanlah jauh di masa lalu. Paling lama empat
setengah bulan yang lewat, sejak kepergian Seto dari rumah kami
di Jalan Bandungan. Kepedihan hati telah kutanggung sendirian
karena memikirkan perubahan-perubahan Handoko yang ternyata merupakan akibat hasutan kakaknya. Mengapa harus selalu
aku yang mengatasi suasana? Apakah kepekaan Handoko telah
mengurang sehingga hatinya tidak sejalan lagi denganku? Sehingga dia tidak lagi tanggap bahwa semua yang kami alami itu
berupa godaan pula terhadap dirinya, dan seharusnya ia berusaha
bertahan diri demi kebersamaan kami? Kini tiba-tiba aku merasa
heran, karena aku telah sedemikian merana ketika Irawan dan
Handoko bertanya-jawab mengungkapkan kebenaran mengenai
429 kecurigaannya yang keterlaluan. Perasaan takut akan kehilangan
cinta Handoko itu sekarang tak setitik pun meninggalkan bekasnya, mendadak terdesak oleh melambungnya harga diriku.
Kesejajaran dalam segala hal yang telah kami sepakati bersama
dalam perkawinan, tidak lagi nyata kehadirannya. Bagiku, jelas
Handoko menghendaki jalannya sendiri. Secara kebetulan, Widodo muncul pada waktunya sehingga mempercepat proses perubahan-perubahan yang memang telah siap akan terjadi. Dalam
hati aku tersenyum seorang diri. Santet, guna-guna atau ilmu hitam maupun putih tidak perlu bercampur tangan. Karena sumber
semuanya adalah diri kami sendiri. Selama kami berdua kuat,
tetap mendasari kebersamaan kami dengan kesejajaran dan
keseimbangan dalam prinsip pergaulan lahir maupun batin, apa
pun yang terjadi di luar diri kami tidak mungkin mampu merenggangkan kedekatan kami.
Ganjalan dalam hati itu membuntutiku selama hari-hari berikutnya. Alur hidup keduaan kami kumasabodohkan. Walaupun
aku masih mempertahankan keluwesan dengan memasrahkan
prakarsa pengisian waktu kepada suamiku. Bermain tenis, berjalan
kaki, lebih-lebih bercumbuan. Tak satu kali pun aku mendahului
langkah. Yang sepenuhnya menjadi milikku adalah bangun pagipagi, pergi ke ujung jalan untuk membeli jajan pasar, karena
makanan kecil asin dan manis kurasakan tepat sebagai sarapan
bersama kopi panas. Seusai makan pagi, kubenahi pakaian dan
tempat tidur. Lalu aku mencari tempat yang nyaman, di mana
aku bisa duduk sambil merajut atau membaca. Tak satu kesibukan
pun yang kulaksanakan dengan rasa gairah. Bahkan bercintaan
bersama Handoko pun tidak lagi kuanggap sebagai milikku. Memang aku menanggapinya. Tapi aku sadar sepenuhnya bahwa
aku hanya mengikutinya. Padaku tidak terasa lagi kehendak kuat
430 yang menggebu-gebu. Aku menjadi pasif, bergerak seperti sebuah
alat yang ditekan tombolnya, berfungsi dalam keterbatasan. Gelombang panas yang dulu biasa melandaku sebegitu Handoko menyentuhku, kini tidak kualami lagi. Dalam kesadaran itu, aku
juga menyatakan tanpa rasa heran, betapa aku tidak lagi mengharapkan dia akan mencumbu dan membelaiku dengan cara yang
dulu, yang telah menyihir serta membikinku terlekat kepadanya.
Badanku tidak bereaksi sebagaimana beberapa bulan yang lalu,
yang sedemikian langsung siap dan dibakar gairah begitu Handoko menyentuhku.
Aku mengerti apa yang terjadi. Dan aku tidak berusaha sedikit pun untuk menolak, menyanggah, maupun memberontak.
Gejolak dalam diriku kubiarkan merembet dan mengembang,
mengakahi pikiran, perasaan hingga seluruh nalarku. Anehnya,
aku bahkan merasa lega dengan penguasaan perubahan dalam
diriku itu. Kemudahan Handoko terpikat oleh pengaruh Widodo
menunjukkan kelemahannya. Harga dirinya turun di mataku.
Sekaligus aku merasa sangat direndahkan. Sedari dulu telah kumengerti bahwa di antara kami tidak pernah ada kepercayaan
yang sesungguhnya. Namun hubungan jasmaniah dari pihakku
kurasakan mampu menghapus berbagai kekhilafan. Selama terasa
pemberian kelembutan suamiku tidak berubah, apa pun yang dia
kerjakan bisa menyelubungi harga diriku. Bagiku, hubungan yang
paling jelek pun masih bisa diselamatkan selama sepasang manusia
dapat saling memuaskan. Jalan bersama antara kami masih bisa
diteruskan seandainya masalah karier dan persahabatan mendasari
keduaan kami. Sedangkan dalam hal kami, rasa-rasanya amat meragukan. Kuteliti dengan tekun, selama dua tahun itu, akulah
yang lebih menuruti alur suami. Baik di bidang pekerjaan ataupun
dalam soal perasaan. Kesempatan untuk mengadakan riset ini atau
431 itu di bidangku seringkali kutolak karena mengharuskan aku pergi
dari samping suamiku terlalu lama. Orang berkata bahwa istrilah
yang patut mengalah demi karier suaminya. Hal itu pastilah tidak
akan kumasalahkan seandainya Handoko tidak menyisihkan aku
dari hakku terhadap kelembutannya.
Pulang dari berlibur di gunung memberiku ilham dalam hubungan baruku dengan Handoko. Entah dia merasa atau tidak,


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukanlah menjadi kekhawatiranku. Kuteruskan sikapku yang
pasif di tempat tidur. Tetapi sebaliknya, karierku kurintis ke
arah pelaksanaan idamanku di masa Dokter Liantoro masih
hidup. Di Ibukota, para pendidik wanita sudah lama menerima
kanak-kanak di rumah mereka untuk bermain sambil belajar.
Usaha itu dinamakan dalam bahasa Inggris "Children Group".
Aku ingin membikin kumpul-kumpul yang sama, tetapi dengan
memasukkan bahasa Inggris secara aktif. Tanah kosong di samping
rumah Jalan Bandungan hendak kumanfaatkan untuk keperluan
tersebut. Diam-diam, aku berunding dengan Sri bagaimana caranya memperoleh pinjaman dari bank. Jika permintaan kredit
ditolak, bagian tanahku di Boja akan dapat dijual, kata temanku
itu. Bersamaan waktunya, kuperhatikan suamiku gencar bersuratsuratan dengan hubungannya di luar negeri. Berkali-kali dia
menelepon atau ditelepon. Hingga pada suatu hari dia berkata
bahwa bulan berikutnya dia akan mulai bekerja di Eropa Utara.
Aku menerima berita dengan perasaan yang tenang sekali.
Seolah-olah telah lama aku mengetahui bahwa dia akan segera
pergi jauh. Bahwa kami memang akan berpisah.
"Kontraknya hanya sampai musim dingin. Hanya empat bulan.
Sesudah itu, aku langsung ke Venezuela. Sebaiknya aku berangkat
sendirian dulu. Setelah mapan, mendapat apartemen, Mbak Mur
menyusul."
432 Dari kata-katanya itu dia mengungkapkan bahwa aku masih
dilibatkan dalam hidupnya. Tetapi tidak dalam kariernya. Tak
satu kali pun dia memperbincangkan tawaran atau keputusan
penerimaannya denganku. Dia juga tidak mempertanyakan
bagaimana kesibukanku di kemudian hari. Apakah aku akan
sepenuhnya berada di sisinya sebagai seorang istri yang mengabdikan seluruh waktu untuk rumah tangga? Ataukah aku akan
mengikuti sesuatu kursus, atau mencari pekerjaan sambilan di
sana guna kelangsungan kemampuan intelekku? Anehnya lagi,
aku pun tidak bertanya. Alangkah berubahku! Dulu aku pernah
mempunyai cita-cita di sudut hatiku untuk melulu menjadi istrinya, hanya sibuk mengurusi rumah serta memuaskan hatinya.
Bulan-bulan berlaluan, tidak sampai mencapai satu tahun, kini
aku berganti pikiran dan perasaan. Kurasakan ada kekerasan dan
kepahitan dalam hatiku. Meskipun demikian, aku tidak merasa
sedih. Kuterima kejadian dan perubahan yang kualami sebagaimana adanya. Aku bahkan tidak lagi mengaitkan semuanya ini
sebagai cobaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dengan sadar aku
mengikuti aliran kehidupan. Aku sudah membuat pilihan. Kalau
Tuhan menyodorkan lagi jenis kehidupan yang lain, mengapa aku
tidak meraihnya dengan kepastian serta keyakinan bahwa itulah
yang paling tepat untukku?
Aku mengantar Handoko ke Jakarta. Beberapa hari kami bersama, kami saling banyak mengeluarkan isi hati. Lebih banyak
daripada bulan-bulan yang telah kami lewati, sejak kepergian
Seto. Karena mendekati perpisahan, barangkali kami merasakan
kebutuhan untuk mengosongkan kepenuhan yang berdesakan
dalam diri masing-masing. Sekaligus kurang peduli, atau tidak
mengkhawatirkan lagi penerimaan kata-kata yang berisi kebenaran bagi masing-masing pihak. Pada waktu itulah aku baru me433 ngetahui betapa Handoko merasa sangat terluka oleh sesuatu tindakanku yang kuanggap sebagai biasa sekali, yang pada hari itu
pun tetap kupandang tidak berarti. Sedangkan sikap Handoko
yang meremehkan aku ketika dia dengan mudah melahap aduan
kakaknya mengenai aku berpacaran dengan beberapa lelaki lain,
yang kupandang sebagai tusukan berbisa terhadap harga diriku,
dia anggap sebagai hal yang lumrah. Alasannya ialah dia berhak
mencurigai istrinya. Pendek kata, jelas bagiku, bahwa kami tidak
mempunyai arah jalan yang sama lagi.
Handoko berangkat.
Kami berpisah sebagai dua orang sahabat. Hubungan kami sudah sampai pada taraf yang berbeda. Aku tidak tahu apakah aku
akan menyusul ke tempatnya bekerja. Perpisahan ini pastilah ada
baiknya bagi kami berdua.
Kali ini suamiku tidak menghilang, melainkan kuketahui
dengan jelas pergi ke mana dan untuk keperluan apa. Aku melepasnya tidak dengan kesedihan, tetapi juga tidak dengan kelegaan. Setelah berbulan-bulan kami tidak pernah menyepakati
sesuatu pun secara bersama, pada saat keberangkatan itu kami
saling setuju, bahwa kami akan membiarkan waktu mengalir
menuruti alurnya. Kami berpisah, namun kami tidak bercerai.
Terlalu banyak kejadian dan pengalaman yang telah kami jalani
bersama-sama. Masa kebersamaan yang padat itu tidak akan mudah menguap begitu saja dari kenangan.
SELESAI
435 TENTANG PENGARANG
Nurhayati Sri Hardini atau lebih dikenal dengan nama Nh. Dini adalah salah satu pengarang wanita Indonesia yang sangat produktif. Ia
mulai menulis sejak tahun 1951, ketika masih
duduk di bangku kelas II SMP. Pendurhaka adalah tulisannya yang pertama dimuat di majalah
Kisah dan mendapat sorotan dari H.B. Jassin; sedangkan kumpulan cerita pendeknya Dua Dunia diterbitkan pada
tahun 1956 ketika dia masih SMA.
Nh. Dini pernah menjadi pramugari Garuda Indonesia Airways,
lalu menikah dengan Yves Cofin, seorang diplomat Prancis, dan
dikaruniai sepasang anak, Marie Claire Lintang dan Pierre Louis
Padang.
Setelah lebih dari 20 tahun melanglang buana, di antaranya
tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda,
dan Prancis, pada tahun 1980 Dini kembali ke Indonesia. Sejak
itu, pengarang yang mendapat "Hadiah Seni untuk Sastra, 1989"
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini aktif dalam Wahana Lingkungan Hidup dan Forum Komunikasi Generasi Muda
Keluarga Berencana.
Enam tahun kemudian (1986), Dini mendirikan Pondok Baca
Nh. Dini, sebuah taman bacaan untuk anak-anak yang sampai
sekarang terus berkembang dan bercabang-cabang.
436 Sejumlah novelnya diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka
Utama, antara lain seri Cerita Kenangan: Sebuah Lorong di Kotaku
(1986), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi
Sahabat Kami (1988), Sekayu (1988), Kuncup Berseri (1996), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Parangakik ke
Kampuchea (2003), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), serta La
Grande Borne (2007); dan novel-novel lain yaitu Pada Sebuah Kapal (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Namaku Hiroko (1986),
Keberangkatan (1987), dan Tirai Menurun (1993).
Novel-novelnya yang diterbitkan penerbit lain adalah La Barka
(Grasindo, 1975) dan Tanah Baru, Tanah Air Kedua (Grasindo,
1983).
Nh. Dini juga menulis novelet yang berjudul Hati yang Damai
(1961); kumpulan cerita pendek, antara lain Tuileries (1982), Segi
dan Garis (1983), Monumen (2002), Istri Konsul (2002), Pencakar
Langit (2003), Janda Muda (2003); serta biograi Amir Hamzah berjudul Pangeran dari Seberang (1981). Dia juga menerjemahkan La
Peste karya Albert Camus (Sampar, 1985) dan Vingt Mille Lieues sous
le Mers karya Jules Verne (20.000 Mil di Bawah Lautan, 2004).
Tahun 1988, Nh. Dini memenangkan hadiah pertama lomba
penulisan cerpen dalam bahasa Prancis se-Indonesia yang diselenggarakan oleh surat kabar Le Monde, bekerja sama dengan
Kedutaan Prancis di Jakarta dan Radio Franche Internationale,
dengan cerpen berjudul Le Nid de Poison dans le Baie de Jakarta.
Tahun 1991 dia menerima penghargaan "Bhakti Upapradana"
(Bidang Sastra) dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah. Dia juga
berkeliling Australia untuk memberikan ceramah di berbagai universitas atas biaya Australia-Indonesia Institute.
Tahun 1998, Nh. Dini diundang Pemerintah Kota Toronto,
Kanada, untuk membaca karya sastra bersama pengarang-penyair437 dramawan dari Jepang, Korea, Filipina, dan Thailand, di yayasan
kebudayaan kota tersebut. Tahun 1999, selama tiga bulan Nh.
Dini tinggal di Prancis atas biaya pemerintah Prancis, untuk melakukan riset penulisan lanjutan Seri Cerita Kenangan.
Tahun 2000, Nh. Dini menerima "Hadiah Seni" dari Dewan
Kesenian Jawa Tengah dan tahun 2003 menerima "SouthEast Asia
Writers? Award" di Bangkok, Thailand.
Sejak tahun 2002, sampai empat tahun kemudian, Nh. Dini
tinggal di Graha Wredha Mulya, Sendowo, Yogyakarta, dan mengisi hari-harinya dengan menulis, mengurusi Pondok Baca, merawat
tanaman, dan melukis.
Menjelang akhir tahun 2006, Nh. Dini bergabung ke Wisma
Lansia Langen Werdhasih di Lerep, sebuah desa yang tenang di
lereng Gunung Ungaran, kira-kira 30 km di selatan kota Semarang.
Di awal bulan November 2007, Dini diundang mewakili
Indonesia untuk mengikuti "Jeonju 2007 Asia-Africa Literature
Festival", di Korea Selatan, yang dihadiri oleh kurang-lebih 100
perngarang dari Asia-Afrika, termasuk dari Timur Tengah (a.l.
dari Mesir, Jordania, dan Arab Saudi). Di Seoul, sebagai bagian
dari acara festival tersebut, Dini berceramah di depan gabungan
mahasiswa dan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Hankuk dan Universitas Pusan.
Tahun 2008, Dini menerima Hadiah Francophonie dari
negara-negara yang mempergunakan bahasa Prancis sebagai
bahasa resmi dan bahasa kedua. Pada bulan Oktober 2009, Dini
diundang menghadiri Ubud Writers and Readers Festival di Ubud,
Bali. Kesempatan berada di Bali juga ia gunakan untuk menerima
undangan berceramah di Universitas Udayana dan IKIP PGRI,
Denpasar.
"Ah manusia! Selalu tergiur oleh 'seandainya'. Seolah-olah dengan
perkataan itu kita bisa membentuk dunia baru atau kehidupan lain yang
sesuai dengan idaman masing-masing." Demikian kata hati Muryati ketika
menerima berita bahwa tawanan Pulau Buru akan dibebaskan. Berita ini dia
terima dari Winar, sahabatnya.
Muryati adalah seorang dari ribuan wanita yang tidak pernah tahu ke
mana pasangan hidupnya pergi sesudah waktu kantor selesai. Kalau suami
berkata "akan rapat," atau "menengok rekan yang sakit," atau "ke Pak RT
merundingkan soal warga kampung," istri tentu percaya saja. Lelaki begitu
leluasa meninggalkan rumah jika kesal mendengar rengekan anak, kalau
pusing memikirkan serba tanggung jawab keuangan rumahtangga, bahkan
pergi ke tempat tertentu bertemu dengan orang-orang tertentu guna
membicarakan hal yang berlawanan dengan politik Pemerintah. Sedangkan
para istri 24 jam terikat di rumah bersama kerepotan kehidupannya yang ituitu melulu.
Lalu pada suatu hari, Muryati diberitahu bahwa suaminya terlibat. Mulai
saat itu, perkataan "terlibat" akan menyertainya dalam seluruh kelanjutan
hidupnya yang tiba-tiba menjadi jungkir balik. Bagaikan dijangkiti penyakit
menular, tetangga dan lingkungannya mengucilkan dia. Bahkan saudara
kandung dan kerabat dekatnya sekalipun. Dalam usahanya untuk meraih
kembali pekerjaan yang telah dia tinggalkan lebih dari sepuluh tahun, di
mana-mana pintu tertutup. Muka masam, kalimat sindiran atau mentahmentah tolakan: khawatir dicurigai, takut terlibat!
Namun dalam kegelapan masa depan itu, lengan ibunya terbuka lebar
merengkuhnya: Muryati kembali ke rumah orangtua bersama anakanaknya. Dan ketegaran Ibu, si pedagang kecil inilah yang mengilhami
kegigihan perjuangan Muryati untuk berjuang, mencari selinapan peluang di
sana-sini, demi harga diri sebagai perempuan dan kemampuan orangtua
tunggal yang membesarkan anak. Beruntun akan dia alami berbagai
"bumbu" kehidupan. Malahan dia terpilih di antara sedikit orang yang di masa
itu berkesempatan belajar ke luar negeri. Bahkan kebahagiaan yang sangat
mewah: pengalaman mencintai dan dicintai laki-laki yang dia kira akan
merupakan puncak jalan kehidupannya .
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I Lantai 4-5
Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
Kisah Si Pedang Kilat 8 Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 34

Cari Blog Ini