Ceritasilat Novel Online

Ketika Kaki Keke Kaku 1

Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas Bagian 1


BUNG SMAS
LADY MAE: KETIKA KAKI KEKE KAKU
DJVU : syauqy arr
PENERBIT METRO POS lakatta, 1987
Serial Petualangan Lady Mae KETIKA KAKI KEKE KAKU Oleh Bung Smu:
87/RM/5 Hak Cipta dilindungi Undang undang All Rights Reserved
Penerbit Metro Pos Jakarta Cetakan Pertama, 1987
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT. Metro Pos
KAKU LAGI, KE?
KEKE punya kaki. Kaki itu sering kaku. Ini perkara kecil. Tapi ada rentetan peristiwa yang bermula dari kakunya kaki Keke. Pada Suatu ketika, Keke sedang berenang di Stadion Bekasi bersama Lady Mae.
"Kamu harus melakukan pemanasan lebih dulu," kata Lady Mae mengingatkan. "Lari-lari berkeliling kolam, lalu senam. Tuh, kaki kamu dikasih gerakan yang sifatnya mengulur otot!"
Keke cuma mencibir.
"Sok tahu kamu! Mentang-mentang suka senam, dikit-dikit ngomong senam!"
"Siapa yang sok tahu? Kamu ke sini sama aku. Kalau ada apa apa, aku yang repot, dong! Ayo lari lari!"
"Kan malu, Mae] uh! Banyak cowok ngeliatin kita! Kalau aku lari-lari mereka pasti nyorakin!"
Betul juga. Banyak cowok tengil manyun di bangku bangku kayu. Nggak tahu mereka mau apa datang ke stadion ini. Nyatanya mereka tidak segera lepas celana dan baju lalu nyemplung ke kolam. Mungkin mereka hanya mau cuci mata. Kolam renang memang tempat yang cocok untuk cuci mata. bukan cuci kaki.
"Terserah, deh. Nyempiung saja kalau mau teler di situ!"
Keke langsung nyemplung ke kolam. Dingin sekali pada pukul sembilan pagi
"Ih! Bekasi itu di mana sih, Mae?" serunya seraya menggigil.
"Di sini, Ke. Bukan di Afrika!"
"Di pegunungan apa di dekat pantai?"
"Maunya di mana?"
"Kok dingin, ya? Kolam renang ini dikasih es, 'kali!"
Lady Mae melakukan senam pemanasan. Cowok-cowok itu menyorakinya.
"Senam ni, ye!"
"Salah, tuh! Aturan lari-lari dulu lewat sini! Ntar ogut bisa nyolek dikit!"
"Enak banget! Mendingan dl'situ aja! Tapi ngadepnya ke sini! Gue mau lihat apa dia punya puser apa nggak!"
Sinting betul mereka. Lady Mae terbakar juga. Dia berhenti bersenam. Dipandanginya seorang demi seorang cowok itu. Kelihatannya mereka anak sekolahan. SMA, STM, atau macam itulah. Tapi mulut mereka nggak berbudaya. Harus ditatar, tuh!
Sorakanmakin menggila, makin jorok, konyol, brengsek dan katavkata "indah" lainnya. Lady Mae tak bisa diam. Ia mengeloyor kontan nyamperin cowok-cowok itu. '
"Mae! Jangan sinting kamu!" teriak Keke dari kolam renang.
Lady Mae, yang merasa punya Bekasi, tetap bersemangat bata. Anggap saja mengusir tikus
tikus yang nyolong kaus kakinya.
"Selamat pagi, tuan-tuan," sapa Lady Mae.
Cowok-cowok itu berhenti bernapas beberapa detik lamanya. Mulut mereka melongo. Grogi juga digebrak begitu oleh cewek yang berani nyatroni sendirian.
"Eh, dianya manggil kita tuan!" seru seorang cowok yang tampangnya mirip musang. Tirus, bermata sipit, dan dagunya terlalu panjang untuk wajahnya yang sempit.
"Hebat juga cewek ini!" sahut yang lain. Wajah lain dengan si Musang. Tapi songong dan baunya sama.
"Kamu nggak tahu? Yang begini ideal buat emaknya bocah!" Nah, yang ini pasti pribumi Blekasi. Kentara ngomongnya lebih mateng daripada yang lain.
Masih banyak lagi kalimat mentah yang dilontarkan cowok-cowok itu. Lady Mae berdiri menunggu. Hebat juga mentalnya. Dia berani mejeng di depan sekelompok cowok songong begitu. Soalnya kalau dia menyahut, kalimatkalimat mentah bakal lebih ramai disemburkan. Enakan menunggu saja. Kreatifitas cowokcowok itu pasti terbatas. Buktinya, sekarang pun mereka diam. Kehabisan kata-kata.
"Oh, cuman segitu?" tantang Lady Mae. "Bunyi lagi. dong! Accunya sowak, apa?"
"lh! macan juga ni cewek! " seru si Musang.
"Hebat, Ji! Anak siapa dia?"
"Jendral, 'kali!"
"Kalau bukan anak jendral, mana berani dia
muncul") di situ?"
"Jangan-jangan babenya lagi ngintai! Awas, lu! Tahu tahu ada granat meledak!"
Diam lagi. Kehabisan kata-kata lagi.
"Mana lagi?" tentang Lady Mae pula. "Mulut kalian rakus amat? Sampai kata-kata juga kalian telan! Habis, deh! Nggak bisa bunyi lagi!"
"Eh! Anak siapa sih lu?" Bunyi lagi. salah seorang dari komplitan cowok nggak mutu itu.
"Asal tahu aja, bo ap ogut suka makan kepala orang!" sahut Lady Mae.
"Hiii! Raksasa, dong?"
"Dia lagi nginte bae di sono! Ntar ge dateng sinian! Jangan pada kedagar-dagar, luh!" seru Lady Mae dengan bahasa pribumi Bekasi. Maksudnya, ayahnya lagi mengawasinya. Sebentar lagi datang. Jangan pada ngibrit kamu!
Cowok cowok tertawa. Yang pribumi Bekasi melongo.
"Khet, deh lu!" serunya. Artinya tidak ada, cuma seruan tanda kaget, heran, dan semacamnya. "Bocah bisa emen ngomong cara kita! Lu anak mana, Neng?"
"Kalau lu tau siapa gua, nyesel lu ngguntengin gua mulu!"
Gila juga Lady Mae. Bahasa pribumi Bekasinya fasih sekali. Logatnya yang berat dengan nada menyentak nyentak tapi kadang melodius itu bisa luCU didengar orang yang tak paham bahasa Bekasi. Ada seorang cowok yang merasa iba kontan. Gadis remaja semanis itu, dengan penampilan anak gedongan kelas satu, sayang anak Bekasi ora. Tahu Bekasi ora? Itu
sebutan untuk orang Bekasi pinggiran yang menggunakan kata 'ora' untuk bilang tidak, tidak ada, habis, hilang, sudah pulang, dan masih banyak lagi makna yang bisa dirangkum oleh satu kata itu.
Cowok itu diam-diam menyesal sedatamdalamnya. Dia tak akan begitu kalau misalnya Lady Mae menggunakan bahasa Jakarta tengahan yang penuh huruf 'e' untuk menggan ti setiap huruf 'a' pada akhir kata. Bisa diharapkan itu anak Menteng, Kebayoran, atau setidak tidaknya Utan Kayu. Lumayan, kotaan dikit. Daripada Bekasi ora. Perasaan semacam ini sama dengan rasa kehilangan gengsi bila naik kendaraan bertanda hurui T. Paling bergengsi kalau punya kendaraan bertanda huruf B. Jakarta. mek! _
Dan cowok yang iba kontan itu memandangi Lady Mae habishabisan. Agaknya Lady Mae juga merasa sedang dipandangi begitu. Dia men iadi risi. Saat itulah naluri normalnya sebagai cewek muncul. Dia malu menyadari dirinya mejeng di hadapan serombongan cowok. Bagaimana cara hengkang dari neraka ini? Dia selalu tidak memikirkan akibat setiap gerakan nya. Jika dia ingin bergerak. saat itu juga dia melaksanakan niatnya. Akibat yang tidak diperhitungkan selalu dijumpainya belakangan. Seperti yang terjadi sekarang ini.
"Aaaaaaal " Tiba-tiba terdengar jeritan Keke.
Lady Mae berbalik seketika. Keke di sana, di tengah kolam. Kepalanya timbul tenggelam.
"Kekeeeeee!" jerit Lady Mae seraya memburu.
Dia terjun ke kolam dan berenang selagi orang-orang di sekitarnya bengong saja. Tapi kelompok cowok itu juga sigap. Mereka berlarian ke tepi kolam dan segera meloncat. Lalu berenang bagai memburu sesuatu yang paling berharga, tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri. Entah oleh dorongan kemanusiaan, entah hanya-gerak refleks yang tercipta karena Suasana, mereka rela berbasah-basah tanpa sepotong pun pakaian yang dilepaskan. Keke lalu menjadi pusat perhatian semua orang di tengah kolam itu. Lady Mae sendiri tersibak karena ombak yang bergulung oleh tubuh-tubuh yang meluncur ke dekat Keke. Seorang cowok berhasil menangkap tangan Keke. Tapi Keke bagaikan telah kehilangan akal. Dia menyentakkan tangan itu, sedang tangan lainnya menjambak rambut cowok itu dan menenggelamkan kepalanya. Datang cocok yang lain. Dia kebagian kaki kiri Keke yang menghajar wajahnya. Sungguh gila. Keke menjadi monster yang mengamuk sejadi-iadinya. Cowok ketiga diterkam kedua telinganya. Lalu dibenamkannya pula hingga dia gelagepan dan nyaris pingsan. Tampak Keke berusaha agar kepalanya tetap berada di atas permukaan air. Untuk itu dia menangkap apa saja dan menenggelamkannya menjadi pijakan.
Begitukah seseorang dalam kepanikan di tengah hamparan air? Lady Mae sangat mengenal air, terutama di kolam renang Tahu banyak masalah di tempat semacam ini. Tapi seingatnya, orang tenggelam tidak seganas itu.
"Keke! Sadar, Ke! Mereka akan menolongmu!" serunya.
Dia terus berseru-seru untuk menyadarkan Keke yang kalap. Dan cowok cowok itu tak berdaya. Mereka menjauh sambil menghentakhentakkan kaki di dalam air sehingga kepala mereka tetap berada di atas permukaan. Sedangkan kepala Keke tetap timbul tenggelam.
Lady Mae bergerak! Kalau perlu ia akan memukul tengkuk Keke sekuat tenaganya agar anak itu pingsan. Nanti mudah menyeretnya ke tepian. Tapi ketika ia mendekat, Keke tidak be ringas lagi. Agaknya kekalapan Keke telah reda. Lady Mae menjulurkan tangannya. Keke menangkap tangan itu.
"Kakiku! Kakiku!" seru Keke. "Kaku! Kaku! Kakiku kaku!"
"Ikut aku!" seru Lady Mae. Ia berenang seraya menyeret tangan Keke. "Jangan bergerak! Lemas saja, nanti tubuhmu mengambang! Aku akan menyeretmu!"
Keke juga tahu bagaimana cara menolong orang tenggelam. Tahu juga bagaimana sebaiknya orang tenggelam bersikap ketika datang sang penolong. Ia diam, membiarkan tubuhnya mengambang secara alami. Lalu pelan-pelan tubuh itu terseret ke tepian oleh gerakan Lady Mae. Pemandangan itu membuat cowok-cowok terkesima. Ada rasa malu juga karena mereka gagal menjadi pahlawan. Padahal jika tidak begitu, ada kesempatan untuk memperbaiki'ketengilan yang sudah terlanjur dipamerkan di hadapan Lady Mae.
Daripada tidak berbuat apa apa lagi, cowokcowok itu segera menolong Keke ke daratan. Orang-orang pun berkerumun. Mereka ribut, masing-masing mendahului yang lain untuk mengangkat tubuh Keke. Ada yang bertanya kenapa, dan kenapa kenapa berloncatan dari semua mulut di situ.
"Diam semua!" teriak Lady Mae seraya menepiskan tangan cowok yang bermaksud menolongnya naik. "Kolam renang begini besar nya nggak ada life guard-nya? Gila!"
Dia protes. Stadion itu cukup besar dan modern. Tapi kenapa tidak ada petugas penyelamat yang berjaga-jaga setiap saat? Tapi percuma protes. Dua orang petugas stadion memang berdatangan. Mereka membawa kotak PPPK. .
Keke rebah ke lantai beton di tepi kolam.
"Kakiku! Kakiku!" Lagi, dia berteriak begitu.
Kaki kanannya kejang.
"Kasih balsem! Nanti kejangnya hilang!" Seorang cowok yang kuyup berseru.
"Tengkurap, Dik. Tengkurap saia, " kata salah seorang petugas stadion.
Temannya menolong Keke menelungkup di atas lantai beton. Petugas pertama berlutut. Telapak kaki kanan Keke dipaksa menapak lutut sang petugas. Keke menjerit-jerit. Petugas itu tidak peduli. Temannya mengoleskan obat gosok yang hangat di betis Keke. Lalu memukul mukul betis itu dengan kibasan jari-jarinya untuk merangsang otot Keke.
"Nggak apaapa. Hanya kram biasa," katanya. ,
"Nggak apa-apa bagaimana? Masa nggak ada life guard-nya? Tuh. cocok-cowok yang cuma petantang petenteng juga bisa dilatar jadi life guard khusus untuk nolong cewek-cewek tenggelam!"
Orang-orang tertawa. Tapi petugas-petugas itu menggerutu. Dan cowok-cowok nyengir kuda. Basah kuyup mereka, sampai ke bagian bagian tubuhnya yang paling tersembunyi. Juga isi saku dan isi perut, karena mereka sempat minum air kolam ketika berlomba dengan sesamanya untuk menjadi pahlawan.
"Tadi Adik tidak melakukan pemanasan lebih dulu, dan langsung terjun ke kolam, sih! Jadinya begini," kata petugas yang memaksa kaki Keke menjejak lututnya. "Lain kali pemanasan dulu ya, Dik?"
"Habis dia mau pemanasan disoraki cowokcowok brengsek ini!" seru Lady Mae gemas.
Kedua petugas itu menoleh ke arah cowokcowok. Begitu juga beberapa orang penonton sekaligus.
"Habis dianya nengil!" kata salah seorang cowok di antara kelompok lima itu.
"Kalian memang brengsek!" dengus salah seorang petugas. "Saya sering lihat kalian nongkrong nongkrong di situ gangguin orang sajal"
"E, sembarangan!" seru si Musang. "Kita kan masuknya bayar! Kita bebas dong di sini!"
"Bebas tapi harus tahu aturan!" kata petugas yang seorang lagi.
"Memang kita nggak tahu aturan? Kita sam
pai basah begini kan karena mau nolong dia!"
"Ngomong saia kalian nggak bisa!" potong Lady Mae. "Kita itu bukan saya. dan bukan pula kami! Kamu mau pilih mana, sih?"
Cowok itu bingung ditanya begitu.
"lni saya!" kata Lady Mae seraya menepuk dadanya sendiri. "Kami itu begini!" katanya seraya menepuk punggung Keke dan menepuk dadanya sendiri lagi. "Kalau kita, saya dan kamu! Tahu, nggak?"
"Sok banget kamu!"
"Siapa yang sok? Orang yang ngasih tahu sama orang yang bego bukan sok! Namanya beramal! Ilmu itu harus diamalkan. Belaiar agama nggak lu?"
Orang-orang tertawa lagi. Lebih riuh. Lady Mae di atas angin. Ini memang kesempatan paling bagus untuk menyemburkan kedongkolannya. Dendam berat dia kepada cowok-cowok nggak mutu itu.
Keke sudah bisa duduk. Dipandanglnya cowok-cowok itu. Dendam juga dia. Nyata pandangan matanya seolah-olah akan mencabik waiah cowok yang tirus mirip tampang musang.
"Tadi saya akan lari-lari untuk pemanasan." katanya. "Tapi cowok-cowok itu menyoraki saya. Ada yang bilang mau nyolek segala Bayangin aja! Nggak bermoral itu!"
Cowok-cowok gelagepan. Ada yang langsung mengundurkan diri. Lalu orang bersorak riuh.
"Kayak tikus nyemplung di got!" kata seseorang, lelaki tinggi besar. Ketika cowok yang mengeloyor itu menoleh, si tinggi besar
melotot. Cowok itu mengeloyor lagi. Si tinggi besar tertawa. "Tikus begitu, tuh! Kalau nggak ada orang berani cericitan! Kalau dipelototin, ngibrit, deh!"
Riuh lagi. Seorang cowok lagi pergi. Tiga orang sisanya segera hengkang pula. Sorakan makin riuh. Lady Mae menang!
"Terima kasih, bapak-bapak," katanya tulus. "Mereka memang harus dibudayakan!"
"Dibudayakan atau dibudidayakan?" tanya Pak Tinggi Besar.
'Jangan dibudidayakan! Kebanyakan yang bed'ituanI Indonesia bisa runtuh!"
"Bisa saja kamu! Eh,kamu tinggal di mana, Dik?"
"Di rumah Papa."
Pak Tinggi Besar tertawa, tanpa merasa diejek.
"Rumah papamu di mana?"
"Dekat kok dari sini."
"Iya, deh. Saya cuma mau ngantar kalau Adik takut. Cowokvcowok itu bisa dendam, lho!"
Keke bergidik juga. Tapi Lady Mae tenang dan cuwek. Kelihatannya begitu, padahal dag-dig_ dug berat. |
"Saya nggak takut!" katanya tegas. "Mereka | boleh nyegat saya di ialan." |
"Anak anak macam itu suka nekat, Dik!" |
"Biarin! Tapi sih terima kasih juga dikasih ' tahu!" |
Keke ingin segera keluar dari siksa kerumunan ! orang.
"Terima kasih, Pak," katanya kepada petugasM
petugas yang menolongnya. "Kaki saya iadi anget, deh!"
"Jangan nyemplung dulu, Dik. istirahat saja di kantin!" kata petugas.
"Iya, deh. Boleh ngopi biar hangat. ya Pak?"
"Boleh. Boleh!"
Lady Mae paham maksud Keke. Ke kantin atau ke kakus sama saja. Yang penting me nyingkir dari kerumunan orang. Okelah!
Di kantin mereka tidak bisa tenang. Kopi hangat itu tidak bisa dinikmati selagi sport jantung berlangsung.
"Bagaimana ini'? Mereka pasti nunggu kita di luar!" bisik Keke.
"Cari akal dulu. Dingin, ya? Bagaimana kalau kita pakai rok dulu?"
"Mikir dulu! Kita pinjam telepon untuk menghubungi papamu. Minta dijemput saia. Kan aman!"
"Jangan! Papa lagi ngebut! Malaekat saja kalau berani nongol, didampratl"
Keke tahu apa maksud Lady Mae. Ngebut itu istilah untuk menyatakan papa Lady Mae sedang keria keras di studionya. Bukan studio radio. Melainkan ruang kerja arsitek di rumahnya. Belakangan ini papa Lady Mae memang sedang merencanakan proyek bangunan besar yang dipercayakan kepadanya. Tak boleh diganggu. Apalagi hanya untuk njemput anaknya. Bisa marah besar dia, sebesar gajah bengkak disengat tawon.
"Kita hanya bisa manggil kompanyon kita," kata Lady Mae ketika Keke termangu-mangu
karena otaknya buntu. "Kasih tahu saja kita sedang gawat! Masa mereka tega!"
"Kompanyon kita? Siapa maksudmu?"
Oh, Lady Mae lupa, Keke ini tidak termasuk anggota komplotan yang biasa kiayang-kloyong ke mana mana. Keke akrab dengan Lady Mae karena dia adik sepupu Jipi, dan Jipi itu anggota kompanyon. Di rumah Keke itu Jipi tinggal.
"Jipi. Kita hubungi Jipi. Masa dia tega sama kau?" kata Lady Mae.
"Tapi Jipi bisa apa lawan anak-anak sebanyak itu?"
"Kasih tahu saja kita gawat! Jipi pasti akan tahu bagaimana mengerahkan satu batalion untuk nyerbu ke sini!"
"Tapi aku sedang musuhan sama Jipi, Mae! Dia suka ngacak-acak. Hendukku dipakai, jaketku, sandalku! Lama-lama dia bisa pakai kepalaku, dong!"
"Jangan sampai begitu! Soalnya kepala Jipi lebih berharga daripada kepalamu. Di kepala Jipi ada rumus-rumus elektronika yang maut. Sewaktu-waktu isi kepalanya bisa kita gunakan untuk menghadapi perang bintang! Padahal isi kepalamu cuma combro!"
Keke cemberut. Ngadat benar dia. Dasar anak manja nggak ketulungan. Maunya semua orang memaniakannya, memperhatikannya, dan seterusnya. Musuhan melulu dengan Jipi juga karena kemaniaannya yang sering menyebalkan. Jipi sering meladeni, hingga perang terus terusan pecah di rumah mereka.
"Kalau begitu, aku saia yang menghubungi
Jipi," kata Lady Mae arit. Dla bangkit. "Berani sendirian di sini?"
Keke memikir-mikir dulu sebelum menjawab.
"Berani, deh. Tapi ]angan lama-lama."
"NggakPas kamu selesai bayar minuman, aku juga selesai nelepon lel!"
"Jadi aku yang harus bayar?"
"Aku juga boleh. Tapi kamu yang nelepon Jipi. Kita bagi-bagi tugas, dong. Kan ini untuk kepentingan kita juga!"
"Kamu suka meres!"
"Ini suka-rela, Ke. Kalau isi kepalamu bukan combro, pasti kamu anggap ini adil!"
Lady Mae pergi saia. Biarin Keke menggerutu dengan mulut manyun. Keke itu sebenarnya manis. Gadis remaja yang ramping dan lincah. Jika dia tak suka cemberut, angin pun bakal berhenti untuk menjenguk wajahnya sejenak.
Telepon umum tidak ada. Lady Mae terpaksa meminjam telepon di kantor stadion itu. Dia segera mendapat hubungan dengan Jipi.
"Wah! Gawat, Jip! Kalian harus segera datang ke kolam renang Bekasi!"
"Ada apa?"
"Ada kue lapis! Jangan menghina, dl Bekas! ada macam-macam!"
Jipi mendengus kesal.
"Kamu ngganggu aku saja! Tahu nggak, aku sedang bikin eksperimen!"
"Aduh, sori, Prof! Ogut nggak tahu Profesor sedang sibuk. Tapi kami gawat, nih! Ada anakanak begalulan mengganggu Lady! Tega kamu?"
"Wah! Mana bisa begitu? Aku saia nggak berani ganggu kamul'PadahaI sih ingin iuga!"
"Jangan hanya bisa ngomong! Keria. dong! Kumpulkan semua tentara dan segera cabut ke Bekasi! Nanti makan siang di rumahku! Aku iuga akan ngebel ke rumah! Mama supaya slap potong kepinding!"
"Kamu gawat sungguhan apa ngarang aja, sih?"
"Tentara budek! Kenapa banyak tanya? Kamu kurang tanggap terhadap situasi! Untung kamu bukan pemimpin negara. Kalau pemimpin negara macam kamu, Monas dicolong musuh juga nggak tahu!"
"Biarin ala! Kita negeri kaya. Gampang bikin lagi! Yang nyolong pasti orang miskin, tuh!"
"Gila! Kalau Monas saia sampai dicolong, berarti yang lain sudah habis, dong? Aduh, Jipi! Aku gawat sungguhan, lho!"
"Oke. Aku ingin menghubungi anggota kom panyon lainnya!"
"Gitu, dong! Kamu cakep Jip, kalau nggak bego!"
Sesudah itu, Lady Mae menghubungi rumahnya dengan telepon itu pula. Mama pasti senang kalau teman-teman anaknya bertandang ke rumah pada hari Minggu.
Keke sedang panik karena agak lama Lady Mae baru kembali.
"Masih melek, Mae?" tegurnya sengak.
"Sudah bangun, kok," sahut Lady Mae. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Keke yang lagi dcngkol. "Tadi ketiduran ]uga di tempat telepon.
Kalau nggak dibangunin, bisa sampai besok di situ. Sori, deh. Yuk kita berpakaian! Jemputan akan segera datang!"
."Jadl Jipi akan ke sini?"
"Ya."
"Berapa jam dia baru bisa sampai ke sini?"
"Biar sepuluh jam, kan lebih baik daripada kita pulang berdua saja? Di jalan dicegat musang baru tahu kamu!"
Enak tidak enak, Keke terpaksa menurut. Tapi betapa sangat lamanya menunggu Jipi. Rawamangun Bekasi memang cukup jauh. Apalagi Jipi tidak mungkin segera berangkat. Ia harus menunggu Maestro. Mungkin juga sekalian Kak Hafiz yang punya mobil Jimmy Katana warna merah menyala.
Dua setengah jam menunggu, uh! Keke sudah lebih dari sepuluh kali mengutuki Jipi. Padahal Jipi ltu kakak sepupunya. Bisa kuwalat dia. Untunglah Jipi cuwak saja kalau dikutuk. Kalau dia membalas mengutuk Keke jadi sapi, makan rumput, lu!
Mobil merah itu tiba di pelataran parkir stadion. Anggota pasukan lengkap sekali. Sheila, adik perempuan Hafiz, juga ikut. Seperti tentara saja, mereka langsung menyebar begitu memasuki stadion. Hatiz tidak ikut masuk. Ngirit ongkos, karena dia yang beli karcis masuk. Tapi kepada Jipi dia tidak bilang begitu. Katanya :egini, "Aku jaga di sini. Kalau ada musuh xeluar, aku bisa langsung menembak!"
J ipi paham-paham saja. Tak banyak cincong, 1ia langsung mencari Keke dan Lady Mae. Itu dia
mereka. Tapi tak ada apa-apa yang perlu ditakutkan. Jipi menduga dia hanya dikerjain saja oleh Lady Mae.
Mau ngundang makan siang bukan begini caranya!" semburnya segera.
"Jangan marah dulu! Tadi memang ada perang!" kata Lady Mae. "Nanti kita akan dicegat di jalan."
" Lawan siapa??
"Lima orang begajulan! Berani?"
lei menoleh ke arah Maestro. Si Katro inl kedungu dunguan. Jipi sepanik itu, dia tampak seperti sedang menikmati mimpinya. Jipi sampai menyepak sepatu Maestro.
"Dasar Katro! Apa komentarmu?"
Maestro kaget seperti orang bangun tidur karena petasan sundut.
"Kamu tidur kok sambil berdiri!" dengus Jipi.
"Nggak usah diladeni. Kita kabur saja dengan mobil. Tapi ceritanya bagaimana sih, kok sampai ada perang?"
"Ayo kita ke mobil dulu. Nanti kuceritakan sambil jalan!" ajak Lady Mae.
Mereka berbondong-bondong keluar. Jipl dagdig-dug juga kalau harus berhadapan dengan lima orang begaiulan.
"Kamu pucat amat, Jip?" ejek Lady Mae yang mengetahui perasaan Jipi. "Kalau aku iadi cowok, aku nggak kayak kamu! Lawan lima saja takut! Gatutkaca lawan orang satu kompi sambil ketawa-ketawa!"
"Aku bukannya takut," kata Jipi serius, berlagak saia. "Aku kan punya masa depan.
Indonesia ini butuh orang macam aku. Percaya, deh! Kalau aku mati muda, Indonesia berkabung. dong? Lagian nggak terpuji deh, mbelain Mae saja sampai taruhan nyawa!"
" Kamu benar, Jip. Aku juga lagi mikir begitu. Ngapain kita berantem-berantem? Kayak jagoan lenong aja! Mendingan kita cari jalan yang kira kira nggak papasan sama anak begajulan Itu. Indonesia kan cinta damai!"
"Oke! Oke!" seru Lady Mae. "Aku juga ogah main lenong di jalan! Kita cari selamat. Aku tahu harus lewat mana. Tapi aku nggak salah dong manggil kalian buat ngawal?"
"Tentu, Lady!" sahut Jipi. "Kau hanya salah karena suka bikin perkara!"
Mereka segera mencapai mobll. Segala cerita pun diburaikan Lady Mae sepanjang perjalanan. Sengaja memilih jalan yang tak terduga. Lewat jalan tol hingga menembus perempatan Bulak Kapal, terus menyeberang ke Jalan Pahlawan". Di sanalah rumah Lady Mae, di gedung besar setengah jadi. Setiap orang yang berkunjung ke situ pada waktu waktu tertentu bakal melihat perubahan-perubahan kecil pada gedung Itu. Menandakan pembangunannya tidak berhenti benar, tapi lancar pun tidak. Merayap pelahan, namun terus ada gerakan.
Mama membuka pintu ketika mobil merah itu berhenti.
"Halo, anak-anak! Apa kabar kalian?" seru Mama gembira.
"Baik-baik saja, Tante! Makan siangnya jam
berapa, dong?" seru Sheila.
Keke bergidik mendengar seruan itu.
"Kere, kamu! Makan siang diteriakin di jalan!" gerutunya
" Kamu belum tahu adat, Ke!"
"Siapa yang nggak tahu adat? Kamu yang teriak-teriak begitu?"
"Kamu yang nggak tahu adat kami!"
"Sudah! Sudah! Yang teriak atau yang tidak, semuanya dapat makan!" potong Lady Mae.
Mereka berloncatan turun. Mama seperti sudah paham adat anak anak itu. Ia segera berdiri di teras dan berseru, " Baris dulu satu-satu! Berhitung!"
Semua baris. Tidak peduli orang-orang menonton mereka. Hanya Keke yang manyun dan tak mau ikut aksi gombal-gombalan begitu.
Satu! Dua! Tiga! Empat!
"Lho! Kok kurang satu?" seru Mama.
"Naomi nggak ikut, Ma. Lagi mejen, 'kali!"
"Tuh! Di dalam ada teman kamu, Mae!"
"Siapa, Ma?"
"Namanya ham siapa, ya? Lihat sendiri, deh! Tadi waktu dia nyebutin namanya, Mama agak kurang dengar!"
Lady Mae segera menyuruk seperti mau mengintip 'Iewat pintu. Lho! Ada cowok kurus duduk di kursi ruang tamu. Pakaiannya rapi, meskipun dari bahan murahan. Sepatunya terletak di bawah teras. Tinggal kaus kaki yang dipakainya. Tampak dekil. Mungkin juga berbau.
"Lho! Kamu berani-beranian ke sini? Mana teman temanmu?" tanya Lady Mae.
'Tidak. Saya saya sendirian," jawab cowok
nu gugup. Ia merasa dirinya begitu kerdil di tengah ruangan yang untuk ukurannya sangat mewah ini. Seperangkat kursi berukir gaya Romawi, sebuah lemari antik dengan enam pucuk senapan angin bersusun. Oh! Jendralkah pemilik rumah ini! Dan cowok itu berkeringat di ketiaknya.
"Kamu mau ngapain?"
"Mae. Sopan sedikit. dong!" Mama mengingatkan.
Lady Mae berseru ke depan, 'He, Anak-anak! Musuh kita ada di sini!"
Anak-anak segera menyerbu masuk. Jipi menontoni si Kurus dengan terkagum'kagum. Maestro heran bagaimana makhluk itu tiba-tiba nongol di sini.
"Saya, saya mau minta maal," kata si Kurus gelagepan.
Lady Mae menggeleng-geleng kepalanya tan da takjub.
"Hebat kamu! Berani-beranlan ke sini sen dirian. Atau lengan-jangan kamu sedang menyelidiki tempat ini untuk nyerbu?"
"Mae!" Mama mengingatkan lagi.
"Saya saya maksud saya anu. Tadi saya brengsek sama situ. Saya mau minta maaf."
"Oke, deh. Salut buat kamu!"
Lady Mae mengulurkan tangannya. Ketika ia berjabat tangan, terasa olehnya jari-jari cowok itu gemetar.
"Aku Lady Mae. Situ siapa?"
"Pong.
"Tahu pong? Kamu bikinan Semarang. va?"
"Pong saja. Pong."
"Panjangnya masa nggak ada? Pong Panjang, begitu?"
"lpong."
"Panjangnya pendek juga. Tuh, kenalin temantemanku. Mereka datang untuk ngawal aku. Gara gara kamu brengsek, aku ngeri pulang tan pa dikawal! "
"Maaf, deh. Teman teman saya memang brengsek. Habis bagaimana?"
"Ya nggak tahu! Kamu kok ikut-ikutan brengsek?"
"Mereka yang ngajak saya ke kolam renang. Saya dibayarin."
"Karena dibayarin, kamu lalu brengsek, begitu? Kayak anak kecil saja kamu! Rumahmu di mana?"
"Cerewet."
"He! Ditanya malah ngatain! Dasar anak brengsek!"
Pong tampak kaget dihardik begitu. Dia terlongoh longoh.
"Saya tidak ngatain situ. Saya memang tinggal di Kampung Cerewet. Dekat dari sini!"
"Ooo di mana sih Kampung Cerewet itu?"
"Dari jalan di depan terus ke utara, lalu belok kiri. Dekat sekali, kok."
Mereka berkenalan. Si Musang bisa juga akrab dengan kompanyon Lady Mae, sekalipun dia tampak minder. ia bisa berhaha hihi, dan bicarablcara tentang dirinya jika ditanya.
Saat makan siang tiba. lpong bergabung pula. Ade rasa penghargaan Lady Mae terhadap
pemuda kurus berwajah musang itu. Dia yang brengsek itu ternyata punya nyali untuk datang sendirian melakukan pengakuan dosa. Semangat macam apa yang dimiliki pemuda itu?
"Aduh!" Tiba-tiba Keke menjerit ketika dia menyendok nasi. Piringnya jatuh dan pecah. Nasinya berantakan. Tubuhnya terguling ke atas lantai.


Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakimu kaku lagi, Ke?" tanya Lady Mae.
Yang lain kebingungan menyaksikan Keke tiba-tiba seperti orang kesurupan.
"Kaku lagi apa! Baru sekarang ini kakiku kaku!"
"Tadi di kolam renang?"
"Tadi aku cuma pura-pura! Supaya kamu nggak digangguin cowok-cowok brengsek itu!"
"Oh. Hebat juga akalmu! Ayo kutolongl Ambiikan obat gosok!"
Lady Mae menolong Keke seperti yang dilakukan petugas kolam renang tadi.
Keke bisa segera baik setelah lima menit. Saat itu lpong merasakan nilai-nilai persahabatan yang hangat. Sama seperti yang ada di antara dia dan teman-temannya. Tapi di sini gaya gedongan. Ipong tidak tahu bahwa di antara anggota kompanyon itu banyak yang tidak seindah warna aslinya. Bahkan pernah ada kisah sedih yang pernah terjadi di antara mereka')
* . '
KECELAKAAN KEDUA
Km itu tetap sering kaku. Tapi Keke sudah tahu bagaimana cara mengatasi kesulitan itu. Kalau dia sedang sendirian, cukup menelungkup dan menjejak sesuatu agar telapak kakinya dalam posisi seperti orang berdiri. Ototnya yang kaku berangsur-angsur akan kembali melemas. Lady Mae yang mengajarkannya cara itu.
Belakangan ini Keke tambah akrab dengan lady kita. Padahal Lady Mae tidak bisa memanjakannya. Pembawaan Lady Mae memang begitu. Tidak mau memanjakan, tidak juga mau dimanjakan. Pada Minggu pagi ini ada acara lari pagi. _Semalam Keke menginap di rumah Lady Mae. Pagi dingin dan langit cerah sekali. Enak berolahraga pagi di udara terbuka. Orang pun banyak menikmati pagi cerah itu dengan berolahraga.
Kawasan itu termasuk wilayah kota Bekasi bagian timur. Merupakan daerah pemukiman baru. Masih banyak tanah lapang terbuka dengan cengkerik dan belalang bebas melanjutkan fitrah hidup mereka. Jalan jalan beraspal atau berlapis susun batu semen membujur ke
segala arah. Di jalan-jalan itulah Keke dan-Lady Mae berlari-lari kecil.
Soal olahraga Lady Mae paling hobi. Tanpa Keke pun dia biasa meluncur sendirian pada pagi buta begini. Keke kempes. Napasnya tersendat-sendat dan ia ketinggalan jauh di belakang. Lady Mae cuek saja. Tak peduli Keke berseru memanggil-manggil.
"Aku sudah janji nggak mau nunggu kamu!" seru Lady Mae jauh di depan.
Keke kepayahan. Mau berhenti, khawatir akan ketinggalan dan tidak bisa menyusul Lady Mae. Bisa hilang dia di kawasan yang belum dikenalnya ini. Orang-orang terus hilinmudik. Ada yang lari, berjalan kaki, bersenam, ada juga yang melakukan gerakan-gerakan silat.
"Mae! Tunggu, Mae!"
Lady Mae terus meluncur.
"Mae! Kakiku hampir kaku!"
Lady Mae tetap culek. Malah agak senang juga dia bisa menyiksa Keke. Salah siapa? Sudah dibilang jangan nantang Lady Mae berolahraga dianya bandel juga. Rasain!
"Aduh!" jerit Keke.
Lady Mae tidak mendengar jeritan itu. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa dicapai suara Keke. Sekalipunmisalnyadiamendengar,dia pun tak akan berhentiKeke toh bisa menolong dirinya sendiri jika dia menderita kaku di kakinya. Lady Mae sudah memberinya kursus mengenai hal itu. Kalau tldak bisa juga, salah sendiri. Dasarnya Lady Mae kurang suka pada kemanjaan Keke. Anak itu harus ditatar. kata
Jipi. Supaya dia tidak terlalu kolokan. Mentang. mentang anak tunggal, maunya dimanjakan oleh seisi dunia. Sampai-sampai terhadap kakak sepupunya dia tak sudi menaruh hormat. Itu sering menyinggung perasaan Jipi. Maka cukup alasan buat Lady Mae untuk ngerjain Keke. Sakitnya Jipi toh bisa juga berarti sakitnya Lady Mae.
Tapi makin lama, Lady Mae mulai memikirkan Keke juga. Jaraknya semakin jauh dengan tempat Keke mulai mengeluh kakinya kaku. Lady Mae sudah berada di kawasan Perumnas Bekasi Ill. Ia mulai berhenti berlari. Dicobanya menunggu Keke dengan berjalan kaki ke arah yang berlawanan dengan larinya. Pagi semakin naik. Ada semburat warna merah yang makin nyata di ufuk timur. Kenapa gerangan Keke?
Di sana tadi banyak orang sedang berolahraga juga. Jika Keke dalam bahaya, pasti ada orang yang menolongnya. Ada rasa kebersamaan pada orang-orang yang berolahraga terhadap sesamanya. Itu pasti. Persamaan kepentingan sering membuat orang merasa menjadi satu.
Dalam seperempat jam, Lady Mae tiba kembali di tempat ia mulai meninggalkan Keke. Tapi Keke tak ada. Hanya satu dua orang yang masih berolahraga. Ke mana dia?
"Oom! Lihat teman saya, nggak?" tanya Lady Mae kepada sembarangan orang yang berpakaian olahraga di situ.
"Nggak! Siapa sih temanmu?"
"Namanya Keke. Anaknya sebaya saya. Dia pakai celana pendek merah, kausnya kuning
gading. Rambutnya ekor kuda. Pitanya kuning."
"Nggak."
Untuk keterangan sepanjang itu, dapatnya cuma nggak. Kepada yang lain Lady Mae bertanya lagi. ia hanya dapat nggakjuga, meskipun keterangannya lebih panjang. Dan ia hanya menjumpai nggak sampai pun lima orang lagi yang ditanyainya.
ia memutuskan untuk pulang saja. Mungkin Keke langsung ke rumah karena kesal. Dia tidak sungguh sungguh kram. Di kolam renang itu katanya dia hanya pura-pura untuk membebas kan Lady Mae dari teror cowok-cowok brengsek. Kali ini pasti begitu. Keke yang kolokan itu banyak lagunya buat menarik perhatian orang.
Karena yakin begitu, Lady Mae berjalan santai saja. Pagi ini rencananya Maestro dan Jipi akan datang. Maestro akan latihan menembak bersama Papa di belakang rumah. Maestro anak murid menembak Papa yang paling jempolan. Lainnya pernah juga diajari menembak. Tapi minatnya kurang, dan Papa tidak melanjutkan pelajaran untuk murid yang ayal-ayalan. Jipi itu paling dungu. Jangankan bisa membidik tepat. Mendengar bunyi senapan yang ditembakkan sendiri saja dia berjingkat. Dan Jipi akan datang hanya untuk menjemput si kolokan yang menyebalkan. Padahal sebenarnya Keke berani pulang sendiri. Berangkatnya pun sendiri. Dasar kolokan!
Ketika Lady Mae tiba di rumah, matahari telah terbit. Mama sedang menyapu teras. Di rumah besar setengah jadi itu tidak ada pembantu.
Semua urusan rumah tangga dikerjakan sendiri orang penghuninya, termasuk Lady Mae. Itu disengaja oleh Papa. Supaya semua orang menjadi dinamis. kata Papa. Supaya Mae tahu pekerjaan, rumah, tak hanya bisa main dan nyuruhnyuruh pembantu.
"Lho, kok sedirian?" tegur Mama.
Lady Mae berhenti melangkah
"Jadi Keke belum pulang, Ma?"
"Lho! Kamu bagaimana, sih? Kan perginya sama-sama kamu?"
"Tapi tadi Mae meninggalkannya."
"Ngaco, kamu! Lha kalau dia hilang, bagaimana?"
"Masa anak segede itu hilang? Anak kutu saja nggak hilang!"
"Tapi Keke kan bukan anak sini! Dia belum tahu daerah sini!"
"Yang begitu sih nggak usah diajarin, Ma!"
'Jangan membantah saja! Cari dia!"
Lady Mae pergi ke garasi. Lebih baik naik sepeda saja. Sepeda mini itu ada di garasi. Lady Mae segera meluncur dengan sepeda mininya. Jalan beraspal hotmix di depan rumahnya marltap juga.
Tapi di mana Keke? Seluruh jalan yang membujur di kawasan perumahan BTN sampai Perumnas sudah dijelajahi. Keringat sudah beribu-ribu tetes yang dijatuhkan lewat dahi, ketiak, pusar. Keke tetap saja tidak ditemukan. Terkutuklah setan yang menyembunyikannya.
Perut pun mulai terasa lapar. Mau pulang untuk sarapan dulu. khawatir Keke belum sam
pal ke rumah. Ah, sial benar Ini. Tadi lupa mem bawa uang. Dalam kesusahan, orang Sering mencari-cari akal un tuk mengatasinya. Ide yang terlintas di benak Lady Mae, adalah mendatangi rumah lpong. Kam pung Cerewet dekat dari perumahan BTN yang kini dilintasi Lady Mae di atas sadel sepeda mininya. Ancar ancar rumah itu pun jelas. Di dekat bengkel tae, kata lpong. Tanya saja di situ. Semua orang kenal nama lpong. Boleh juga.
Semuanya benar. Fiumah lpong mudah dicari. Anaknya sedang menyapu halaman rumahnya yang tak bertanaman apa pun juga kecuali rumput di sudut-sudutnya.
"Pong!"
Anak itu bengong berat. Memandangi Lady Mae seperti perilaku orang takjub menyaksikan sesuatu yang langka..
"Ajaib!" katanya. "Bagaimana Kamu bisa nyampe sini?"
"Naik sepeda, don 9! Masa menggelundung! Kamu sehat, Pong?"
lpong sudah berkeringat. Ia menyeka dahinya dengan lengan kausr'lya.
"Sehat, Mae. Tapi miskin melulu!"
Lady Mae turun dari sadel sepedanya karena ada ibu lpong yang nongol sebentar di ambang pintu. Lady Mae se mpat mengangguk, tapi perempuan tua itu hanya melongo d an masuk lagi. Mungkin dia belum kenal ke budayaan angguk-mengangguk.
"Aku lagi susah, Pong,"
"Susah? Orang kay a kok merana!" '
"Temanku hilang!"
"Hilang? Kok aneh! Yang mana?"
"Keke. Yang kakinya suka kaku!"
"Oh. itu? Hilangnya bagaimana? Ngebul?"
"Aku nggak main main, Pong."
Ipong juga tidak main main rupanya. Ia hanya belum yakin bagaimana Keke bisa hilang. Makanya Lady Mae segera menceritakan peristiwa itu. Ipong mendengarkannya dengan sungguh sungguh.
"Ayo kita cari!" aiaknya segera. "Nalk sepedamu saja!"
"Kita boncengan, Pong?"
"Iya, dong! Kenapa? Tapi badanku bau. Aku mandi dulu."
"Bukan soal bau, Pong. itu sih aku sudah tahu. Aku cuma kuatir kita disangka pacaran. dongl Kamu kan bekas musuhkul"
Itu main-main. Ipong pun tahu. Dia segera mandi dalam tempo sesingkat-singkatnya. Lalu ngebut dengan sepeda mini itu. Mantap juga memboncengkan cewek cakep. Apalagi kalau berpapasan dengan teman-teman. Bisa gaya memboncengkan anak gedangan.
Ke mana-mana, sama seperti yang dilakukan Lady Mae tadi. Tapi Ipong bisa bertanya-tanya kepada siapa saja karena itu kampungnya dan semua orang kenal dia. Salah seorang yang ditanya Ipong baru saja selesai main tenis di lapangan kawasan perumahan Wisma Jaya.
"Cewek yang pakai kaus kuning itu, kalau nggak salah rambutnya dikuncir, ya?" tanya orang muda itu sebagai jawaban atas per
tanyaan Ipong.
"Ya. Namanya Keke. Kamu tahu?"
"Namanya sih aku nggak tahu "
."Maksudku, kamu tahu di mana anak itu?"
"Kayaknya tadi aku lihat dia dibawa orang.'
Duk! Jantung Lady Mae berdetak keras bukan main.
"Dibawa orang? Ke mana?"
"Nggak tahu: Dia digotong. Tapi aku nggak begitu memperhatikan. Habis buru-buru, sih."
"Ada lagi yang lihat selain kamu?" tanya Ipong.
"Ada. Si Unang."
"Di mana dia sekarang?"
"Di lapangan. Masih mungutin bola."
Kepala Lady Mae sudah puyeng mendengar keterangan tak lengkap itu. Dibawa orang? Kemana? Jawaban itu barangkali bisa diberikan oleh Unang. Lapangan tenis segera dicapai dengan kayuhan kencang sepeda mini itu. Unang seperti lebih banyak tahu daripada orangorang lain yang ditanyai.
"Dia dibawa ke rumah sakit," katanya yakin.
"Ha? Ke rumah sakit?" pekik Lady Mae. "Kenapa dibawa ke sana?"
"Saya nggak tahu. Tadi digotong dua orang. Malah yang dipakai membawa ke sana mobil abang saya. Kebetulan kalau jam-jam segitu abang saya berangkat narik-"
"Bagaimana. Mae?" tanya Ipong. "Kita susul saja ke sama?"
"Yang membawa ke sana siapa?" tanya Lady Mae kepada Unang.
"Saya nggak tahu. Kayaknya sih orang yang lagi lari pagi."
"Kamu kenal orangnya?"
"Nggak Kalau orang sekitar perumahan Wisma Jaya, Duren Jaya, atau Perumnas sih saya biasa melihat. Kayaknya bukan orang sekitar sini. Nggak tahu juga, deh. Mungkin juga orang sini tapi baru kulihat."
Keterangan berbelit-belit. Tapi lumayan bisa digunakan sebagai patokan.
"Rumah sakit itu di mana, Pong?"
"Dekat dari sini. Ayo kuantar!"
"Apa nggak lebih baik ke rumahku dulu? Atau pinjam telepon untuk menghubungi Papa. Aku kuatir ada apa apa."
"Jangan dulu! Lebih baik kita lihat keadaannya. Siapa tahu hanya kram biasa?"
Lady Mae setuju. la membonceng lagi seperti orang pacaran. Disoraki anak-anak muda saja. Abang becak pun ikut berseru-seru. Cuwek saja. Kalau tidak sedang gawat, mau rasanya Lady Mae turun dan mendamprat habis seakar akarnya.
Rumah sakit itu memang tak seberapa jauh. Lumayan _dicapai dengan sepeda mini melalui jalan beraspal yang sempit dan selalu sibuk. lpong tampaknya sudah hafal seluk-beluk rumah sakit itu. Bahkan beberapa orang pegawai menegurnya. Tapi Lady Mae tak sempat memperhatikan soal itu. Ketegangan yang terasa menghentak-hentak di dadanya membuat tidak aktif seperti biasanya.
Dan Keke. di manakah dia? Seorang perawat
memberitahukan, "Di ruang operasi "
"Ya, Allah!" jerit Lady Mae. Tubuhnya lemas, "0 pe ra si?"
."Ya. Ruangannya di sana. Adik tunggu saja di Sini."
"Tapi kenapa sampai operasi?"
"Nanti dokter yang menjelaskan."
"Tunggu dulu! Kenapa operasi dilakukan tan pa izin keluarganya? Maksud saya orang tuanya!"
"Dokter akan menjelasan. Saya sedang tugas, Dik. Tunggu saja."
Wanita perawat itu pergi. Lady Mae seperti tak kuat lagi menahan tubuhnya. Kaki Kakinya terasa lemas. Rasa lapar yang tadi melilit-lilit isi perutnya kini hilang ke mana-mana. Tapi guncangan rasa cemas dan ketegangan makin menggila. Dadanya terasa hampir meledak. Tapi kepalanya ringan sekali. seperti telah mengecil atau tidak berisi apa-apa kecuali udara.
Bagaimana dokter bisa melakukan operasi begitu saia, itu yang membuatnya tidak paham. Ia tidak tahu persis bagaimana prosedur operasi.
Tapi kata orang dan kata koran, operasi baru bisa dilakukan jika keluarga pasien me ngizinkannya.
lpong memahami ketakmengertian Lady Mae.
"Tunggu di sini. Aku cari keterangan lagi," katanya. "Tenang saia. Berdoa lebih baik Blsa?"
Lady Mae mengangguk untuk beberapa keperluan. Setuju dengan tindakan Ipong, juga mengiyakan bahwa dia bisa berdoa Mulutnya komat-kamit. Doa panjang dipanjatkan selama
lpong pergi. Doa yang tak akan selesai jika lpong tidak kembali setelah melakukan perjalanan lewat lorong-lorong, memasuki ruangan demi ruangan. Dia kembali bersama seorang pemuda yang tampak letih sekali. Pemuda itu masih mengenakan pakaian olahraga yang basah keringat. '
"Ini Oom Sar," kata lpong. Sikapnya malumalu. Ia seperti baru mengenal pemuda itu. "Oom Ini yang ikut membawa Keke ke sini."
Lady Mae mengakhiri doanya. Lalu mengangkat wajahnya. Ia tetap duduk di bangku kayu berwarna putih. Seolah kedua kakinya tidak mau lagi menahan berat badannya. Bahkan lehernya pun terlalu lunglai untuk menyangga kepalanya.
"Kenapa Keke dibawa ke sini, Oom?" Lemah sekali suara Lady Mae.
"Saya tidak tahu persis kejadiannya. Ketika saya lewat di tempat itu, saya lihat temanmu sudah pingsan. Ada orang yang berusaha menolongnya, tapi dia tidak bisa apa apa."
"Oom kenal orang itu?"
"Tidak. Saya biasa lari pagi di sana. Tapi saya baru melihat orang itu. Perawakannya gemuk, agak botak. Dia bawa mobil. Hm .. kalau tidak salah mobilnya C.! 7. Saya hanya sempat melihat mobil itu sebentar. Saya terus menolong temanmu. Siapa namanya? Keke?"
"Ya."
"Bagaimana keadaannya. Oom?" "Mudah mudahan tidak apa-apa." "Kenapa dia dibawa ke ruang operasi, Oom"
"Luka di kepalanya harus dijahit Jangan tegang. Nggak apa-apa. Nanti dia juga boleh pulang, kok."
"Jadi kepalanya luka?"
"Ya. Ada sayatan panjang di puncak kepalanya. Tapi tidak membahayakan."
"Kakinya bagaimana, Oom?"
"Oh, ya. Semula kakinya kaku. Tapi nggak apa-apa. Sudah baik."
"Oom siapa?"
"Saya seperti kamu. Biasa berolahraga pagi. Kamu anak Jalan Pahlawan, kan? Yang rumahnya belum jadi?"
"Ya, Oomf"
"Saya sering lihat kamu. Tapi temanmu itu baru sekali ini saya lihat."
"Kenapa kepalanya terluka, Oom? Kena batu?"
"Saya kurang tahu. Nanti dokter akan memberi keterangan resmi."
"Oom tinggal di mana?"
"Saya kan tetanggamu."
"Oh, ya? Rumah Oom di mana?"
"Di belakang rumahmu."
"Masa? Waktu ada selamatan di rumah saya, Oom datang, nggak?"
"Datang juga. Tapi karena ketinggalan, duduknya di teras."
Ada sosok yang bergerak di balik sebuah pin tu tertutup. Klni pintu itu terbuka, dan sosok itu menyelinap. Lady Mae terlonjak. Kekuatannya bagai telah pulih seperti sediakala. Dia meloncat dan memburu.
"Keke!" serunya.
Orang-orang menoleh dan menggerutu karena terkejut. Ketenangan rumah sakit itu tercabik untuk sesaat. Lady Mae menangkap bahu Keke. Kepala Keke masih utuh. Tanda tanda luka hanya lipatan pembalut dengan sedikit bercak merah dan plester.
"Sial, Mae! Kepalaku dibotakin dokter! " kata anak itu. Tidak tampak sedang menderita.
"Dibotakin bagaimana."
" Lukanya kan akan dijahit. Makanya rambutnya dicukur dulu. Nanti kalau sudah sembuh, aku kan jadi botak, Mae!"
"Nggak apa-apa. deh. Tapi bagaimana kau bisa terluka begitu?"
"Nggak tahu. Tadi kan kakiku kaku. Aku menjerit. Ada bapak-bapak gendut lewat. Dan menolongku. Tapi tibatiba aku kejatuhan benda dari langit. Aku pura-pura pingsan saja, biar digendong!"
Lady Mae menghembuskan napasnya kuatkuat, tapi hanya sekali. Itu letusan rasa dongkol, lega, syukur, dan sebagainya yang sulit disebutkan dengan kata kata.
"Kamu bikin kaget saja! Pakai pura-pura pingsan!"
"Habis aku keki sama kamu! Kenapa kamu tinggal saja? Padahal aku kan sudah manggilmanggil!"
"Kamu terlalu manja! Sori ya, aku nggak bisa memanjakan kamu seperti Jipi!"
Keke tertawa. Tapi nyengir juga karena luka itu terasa sakit ketika dia tertawa. ..
"Masih bagus ini kejadiannya di sini!" katanya,"Kalau kata di rumah, huuu! Aku nangis sampai sebulan, deh! Biar Papa sama Mama bingung!"
Dokter yang juga keluar dari ruangan itu sedang bicara dengan Oom Sar. Entah apa yang mereka bicarakan. Lady Mae tak mau dengar, dan buatnya itu tidak penting sekali. Keke sudah tampak sehat, seperti tidak mengalami apa pun juga. Itu sudah meruntuhkan nilai keterangan dokter yang semula berada di ranking pertama.
Rupanya Oom Sar menolong sampai tuntas. Dia pula yang menyelesaikan urusan administrasi. Sesudah semua beres, dia kembali ke 'tempat Lady Mae.
"Kita sudah boleh pulang," katanya.
Lady Mae tersadar bahwa Oom Sar telah melakukan begitu banyak perbuatan.
"Terima kasih banyak, Oom. Terima kasih," katanya.
"Sama-sama. Dokter tadi bilang, luka sayatan itu berupa selokan kecil dengan lebar lima milimeter."
"Luka kenapa. Oom?"
"Terus terang, saya penasaran sekali. Waktu itu Keke berada di tempat yang lapang. Tidak ada pohon, tidak ada apa-apa. Memang di sebelah kanannya ada sungai kecil dan semak; Satu-satunya kemungkinan, adalah adanya benda yang meluncur dari arah semak-semak itu ke kepala Keke."
"Benda apa itu, Oom?"
"Semacam peluru."
"Hah? Peluru?"
"Ya. Ampun!" seru Keke "Jadi aku ditembak orang? Oh, ya! Aku mendengar bunyi letusan
seperti hm seperti bunyi petasan kecil! Ya! Seperti itu!"
"Ayo kita ke kantin! Di sana agak sepi. Kita bisa bicara-bicara lebih bebas," ajak Oom Sar.
Mereka ke kantin. Ipong berjalan di belakang dengan kepala terus-menerus menunduk. Dia seperti begitu sedih, entah kenapa.
Di kantin, percakapan tentang kecelakaan itu makin serius.
"Kalau luka itu disebabkan karena peluru, peluru apa sekecil itu?" gumam Oom Sar.
"Peluru untuk burung!" cetus Lady Mae. "Di rumah saya banyak senapan angin! Pelurunya kecil!"
"Tapi bunyi senapan angin nggak seperti bunyi petasan! " bantah Keke. "Papa pernah pinjam senapan angin temannya untuk nembak tikus. Bunyinya pelan. Seperti bunyi batu beradu. Batunya juga kecil. Kerikil!"
"Senapan angin itu macam macam jenisnya. Ada juga yang bunyinya keras," bantah Lady Mae," Oh, ya! Papa punya senapan yang menggunakan zat asam arang untuk menembakkan pelurunya. Bunyinya seperti letusan senjata api, hanya lebih pelan!"
"Mungkin senapan itu yang digunakan. Tapi sepagi itu orang mau nembak apa?" sahut Oom Sar.
"Pong! Kamu ikut mikir. don g!" seru Lady Mae seraya menyodokkan sikunya ke lambung
Ipong:
"Aku aku, oh. Aku tidak tahu apa apa soal mainan orang gedongan," jawab lpong gugup.
"Kamu ngelamun melulu! Ada apaan, sih?"
zAh, enggak. "
"Nanti aku mencurigaimu. lho! Sejak tadi kau gelisah! Kenapa?"
"Aku aku sedang ingat bapak."
"Ayahmu kenapa?"
"Dia di sini. Sudah seminggu lebih."
"Maksudmu dirawat di sini?"
Ipong mengangguk. Matanya menerawang, bagai sedang membayangkan sesuatu entah apa.
"Pantas kau seperti sudah mengenal para perawat. Ayo kita ienguk! Sakit apa ayahmu?"
lpong mendesah. Ada yang terasa berat sekali di dadanya. Itu adalah gumpalan duka yang tak bisa lepas sekalipun dia berusaha untuk tabah dan tawakal.
"Kecelakaan," katanya pelan.
"Oh. Di mana?"
"Di Kali Malang."
"Ayo kita tengok!"
Hanya sebagian minuman dalam botol yang dihabiskan Lady Mae.-Rencana akan menyikat nasi goreng dibatalkan. Perut tetap saja terasa melilit-lilit. Ia bahkan merasa sudah masuk angin. Tapi tak apa.
"Ini bukan jam bezoek." ipong mencoba mencegah.
"Tapi kamu kan kenal perawat-perawat di sini. Masa minta izin nggak boleh?" l
"Kita sudah berada di dalam. Nggak apa menyelundup ke sana," kata Oom Sar.
Memang harus bergerilya sampai bisa menjenguk ayah Ipong. itu pun hanya Lady Mae dan Ipong yang bisa memasuki zaal tempat ayah Ipong dirawat.
Sesosok tubuh kurus terbaring diam. Selang infus dan pernapasan menjulur dari lengan dan lubang hidungnya. Ia tidak tidur, tapi ia hanya diam di ranjang yang sempit. Kedatangan anaknya tidak membuatnya terusik.
"Ini ayahmu?" tanya Lady Mae.
Ipong hanya mengangguk.
"Waktu kita ketemu di kolam renang apa kecelakaan itu sudah terjadi?"
"Belum. Besok malamnya."
"Penabraknya siapa?"
Ipong menggeleng.
"Yang membawa ke rumah sakit saja bukan yang nabrak. Mula-mula dibawa ke rumah Karena bapak tidak sadar juga, tetangga menyarankan supaya dibawa ke sini."
"Yang nabrak lari?"
"Ya."
"Biadab!"
Ipong menjamah tangan ayahnya Lalu meng guncangnya pelan sekali. Mata orang tua itu terbuka. Sayu dan nanar. Ia seperti tidak melihat
apa-apa. Sikapnya apatis sekali.
"Hanya bisa begitu," desah Ipong. "Aku tidak tahu sampai kapan bapak bisa bertahan."
"Apa dia gegar otak?"
"Pendarahan otak." .
"Oh Apa kata dokter tentang itu?"
"Dokter sedang mengusahakan agar bapak bisa sadar. Operasi baru bisa dilakukan kalau bapak sudah sadar. Tapi keadaannya terusmenerus begini."
"Biaya perawatan siapa yang nanggung?"
"Keluargaku. Tapi sudah habis habisan."
Ini soal kemanusiaan. Dan Lady Mae paling peka untuk soal-soal semacam ini. ia meradang. Kebiadaban macam apa yang bersemayam dalam hati si penabrak jika ia membiarkan korban itu dalam keadaan yang tidak jelas: hidup tidak, mati pun tidak?
"Apa sudah lapor polisi, Pong?"
lpong menggeleng.
"Kukira percuma saja. Kami sudah menerima musibah ini sebagai takdir. Urusan dengan polisi sering memusingkan, Mae. Apalagi kami orang kecil. Serba susah." '
"Ada yang melihat peristiwa itu?"
"Ada. Katanya, bapak sedang berdiri di ping gir jalan untuk menunggu mikrolet. Bapak akan pulang. Tahu-tahu ada mobil mengebut berpapasan dengan truk pengangkut tanah. Mobil itu menyambar bapak. Tapi terus ngebut saja."
"Mobil apa?"
"Sedan. Tapi tidak jelas sedan apa. Ada yang bilang Corolla DX, ada yang bilang Datsun."
"Ciri-ciri mobil lainnya?"
"Warnanya hijau. Nomornya tidak jelas. Hanya sempat diketahui B-74. Selanjutnya tidak."
"Kalau kau lapor polisi. mobil itu akan
diketahui "
"Tidak. Kami takut."
"Kenapa takut?"
'Ya kata orang, urusan dengan polisi makin menyulitkan diri sendiri Kami tidak punya uang."
"Nggak pakai uang! Orang sedang kena musibah minta pertolongan polisi kok harus keluar uang!"
"Teori begitu. Tapi bagaimana, ya? Banyak yang bilang, kalau nggak pakai uang urusannya nggak jalan. Jadi kami takut. Lebih baik mengurus bapak saia, daripada keluar uang nggak keruan. Apalagi uangnya juga nggak ada."
"Itu oknum, Pong! Jangan anggap semua polisi begitu!"
"Tapi membedakan yang oknum dan yang bukan bagaimana, Mae?"
"lya, ya."
Perdebatan itu tak perlu. Kebenaran tak usah dikaii dengan debat yang tak perlu. Sedangkan ayah Ipong tidak akan tertolong hanya dengan perdebatan. Dia memerlukan penanganan yang serius. Untuk itu diperlukan biaya.
Lady Mae berialan pelan. Tak tahan berada lebih lama lagi di tempat itu. Menyaksikan sesosok tubuh kurus tanpa daya, alangkah iba tadinya. Musibah bisa saja menimpa siapa pun. Tapi yang ini agaknya terlalu berat buat Ipong.
"Kau harus tabah," kata Lady Mae ketika ber jalan bersisian dengan Ipong meninggalkan ,
ruangan itu. "Aku akan mencoba mengetuk hati teman-teman."
"Untuk apa?"
"Sekedar meringankan bebanmu. Jangan menolak. Ini soal kerelaan."
Ipong tak bisa berkata-kata. Lady Mae itu belum lama dikenalnya. Bahkan baru dua kali ia bertemu muka. Tapi rasanya dia sudah dekat sekali, sangat dekatnya. Lady Mae bahkan telah masuk ke dalam lingkaran keperihannya, dukanya. 0, Siapa gerangan sosok ramping yang berjalan di sisinya itu? Makhluk pilihan yang dikirim Tuhan untuk menemaninya dalam dukakah? Kehadiran Lady Mae, sikapnya yang penuh simpati terhadap penderitaannya. itu saja sudah meringankan beban batin yang terasa menghimpit. Apalagi jika dia benar-benar bisa berbuat seperti apa yang dikatakannya.
Ipong termangu mangu selama ia menyusuri lorong rumah sakit itu. Sebenarnya ia tidak ingin apa-apa lagi. Ia hanya ingin penyelesaian yang diciptakan oleh Tuhan. Bapak bisa diselamatkan atau tidak, buatnya tidak merisaukan. Rasa pasrah yang kukuh bisa membuat manusia menjadi tabah. Tapi kini ketika Lady Mae menyatakan sikapnya, tak urung Ipong merasa terbakar juga. Ada percikan bara di dadanya. Ada rasa sakit yang kemudian mem bakar jiwanya. Penabrak itu sungguh biadab dan Ipong mendendam padanya!
Proses batin yang terjadi pada diri Ipong it tidak diketahui Lady Mae. Hatinya tulus, bahw ia memang akan berbuat untuk sekada"
meringankan beban Ipong. Teman temannya pasti akan terketuk juga.
"Musibah yang menimpamu hanya kecil saja, Ke," kata Lady Mae ketika ia bertemu dengan Keke di ujung lorong. "Begitu saja ada orang yang menolongmu. Padahal kau anak orang mampu. Ayah Ipong dalam keadaan koma. Hidup tidak, mati pun belum. Tidak ada yang menolongnya. Kecuali kalau kita rela mengulurkan tangan. Kau punya tabanas kan, Ke? Ambil dong sedikit tabanasmu. Tapi ini soal kerelaan. Kalau kau nggak ngasih juga nggak apa-apa. Masih banyak yang mau ngasih."


Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau ngomel apa minta sumbangan?"
"Minta sumbangan. Tapi ngomel juga kalau kau nggak nyumbang!"
Oom Sar tersenyum. Dengan gaya seenaknya
itu Lady Mae bisa menyentuh perasaan siapa pun. Tak terkecuali Keke yang tampaknya mania dan bebal. ' "Saya bukan orang berada," kata Oom Sar. "Saya juga bukan dermawan. Tapi menyisihkan sekedar bantuan, insya Allah. Kapan dompet sumbangan mulai dibuka?"
Lady Mae berpaling ke arah Oom Sar.
"Saya belum kenal benar sama Oom Sar. Tapi Anda sudah memberi contoh yang baik kepada saya. Dalam sehari ini Anda sudah mengajarkan dua macam pelajaran. Terima kasih, Oom. Saya yakin Anda orang baik."
Oom Sar menepuk pundak Lady Mae. Ujung kumlsnya bergerak-gerak. Ia tidak tersenyum. tidak pula menangis. Entah apa namanya. Yang __
pasti hatinya terharu. Ulung ujung kumis yang bergerak itu menyatakan perasaannya. Dia menepuk pundak Lady Mae.
"Saya simpati padamu. Kau memang seorang lady, cewek pilihan!"
'"Oom sadar bahwa nama Oom artinya regu penolong?"
"Masa?"
"Sar itu singkatan dari Search dan Rescue! Regu penolong juga, kan? Mudah mudahan Tuhan memberkahi Oom karena sesuai nama dengan tindakan!"
"Saya bingung, harus terharu atau gembira! Tapi kenal kamu memang menyenangkan. Ayo kita pulang! Masa berolahraga pagi sampai hampir jan'l sebelas belum pulang?"
Naik becak bisa juga sampai ke rumah Lady Mae. Tapi Lady Mae lebih suka naik sepeda mini bersama Ipong. Nggak apa disoraki orang.
SUNGGUH MATI AKU PENASARAN!
ORANG rumah sudah tegang berat. Maka mereka berhamburan ketika Lady Mae tiba bersama Ipong dan Oom Sar. Mama mendengus. Kesal dan gembira campurjadi satu Seperti es cendol. Papa segera cuek, lalu kembali bertapa di studionya.
"Kopi Papa habis, Mae!" serunya. Kayaknya Papa bangga benar kalau Lady Mae yang bikin kopi untuknya. Sungguh dia nggak pernah min ta kopi sama Mama.
"Urusan kopi beres, Pa! Tapi dengar dulu Mae mau bicara!"
Pintu studio sudah tertutup. Tanpa segelas kopi, Lady Mae dilarang mengetuk pintu itu.
"Kamu apa-apaan, sih?" dengus Jipi yang tiba di rumah itu sejak tadi. "Sama Ipong lagi, sama Ipong lagi!"
"Cemburu kamu? Percaya, deh! Cintaku nggak ke mana mana, kok!"
"Aduh, Mak! Kecil kecil genit kamu!" seru Maestro ngiri.
"Otak kotor! Memang kamu pikir cintaku buat siapa?" sentak Lady Mae.
"Memang buat siapa? Aku?"
"Indonesia, bego! Lihat Jipi sama juga lihat nyamuk, tahu? Ingin ngeprak saja! Nggak berbudaya dia! Memang di rumah siapa ini? Yang punya rumah datang, main damprat saia! Papa iuga cuma minta kopi. E, kamu minta dikemplang!"
"Aduh, sewot amat kamu!" seru Jipi. "Lho! Lho! Kepalamu kenapa, Ke?"
"Kejatuhan pecahan bom dari Lebanon!" sahut Lady Mae. "Kamu tahu? Kami baru saia kena musibah! Keke didor orang!"
"Masya Allah!" seru Mama. "Didor bagaimana? Jangan sembarang omong, ah!"
"Itu Oom Sar. Tanya dia kalau Mama nggak percaya!"
Semua orang berpaling ke arah Oom Sar. Pemuda itu mengangguk dengan khidmadnya.
"Betul, Bu. Eh, maksud saya, saya menduga Keke kena tembak senapan angin."
Jipi memeriksa kepala Keke. Ditekankannya pundak anak itu sehingga kakinya menekuk. Dengan begitu Jipi bisa memandangi plester dan pembalut itu dari atas.
"Lukanya dalam, Ke?"
"Dalam banget! Seperti sumur bor!" dengus Keke. Ia juga ikut dongkol karena datang-datang diSembur.
"Masya Allah!" jerit Jipi. "Kok kamu nggak teler, Ke?"
"Bego! Kalau dalemnya kaya sumur bor, bolongnya sampai ke ujung kaki, dang! Pokoknya nggak usah ribut! Aku juga nggak kasih tahu Mama. Tau nggak, aku sudah ber-m,
budaya gara gara diplonco Mae! Dulu kan dikit dikit ngadu, dikit-dikit ngadu! Dijitak kamu saja aku ngadu sama Mama! Sekarang lain!"
Jipi menghela napas lega. Hebat kalau ke jatuhan pecahan bom Keke tak ngadu sama orang tuanya Biasanya kejatuhan tai cecak saja ribut, kalau itu terjadi dl pavilyun tempat tinggal Jipi. Dia ngadu dan memanas-manasi Mama. Lalu Mama bilang, Jipi jorok karena memelihara cecak dikamarnya. Jipi kampungan, tidak bisa menjaga kebersihan. Dasar anak udik. biasanya tidur sama sapi! Dan sebagainya. Lalu Keke kesenangan lihat Jipi kempes didamprat Mama. Senang lagi kalau Jipi langsung member sihkan pavilyunnya, teras, dan gerakan keber alpan itu berakhir di kamar Keke. Asyik!
"Siapa yang pagi pagi begitu main senapan angin?" guman Mama. "Setahu saya, orang nembak itu kalau matahari sudah terbit. Kecuali kalau orang sengaja mau nembak burung tidur. Tapi mereka pasti bawa lampu senter. Apa ada yang nyenter waktu ada bunyi tembakan?"
"Tidak. Tempat itu lapang sekali. Kalau ada lampu senter dinyalakan, saya pasti lihat."
Percakapan tentang peristiwa itu terus berlanjut. Lady Mae tidak ingin terlibat lagi. Ia mengeloyor masuk.
"Masa bodo! Mae mau bikin kopi buat Papa, lalu makan!"
Orang pun bermasa bodoh dengan Lady Mae. Mereka sibuk bicara tentang kecelakaan itu. Dom Sar menjadi pembicara. Sesekali Keke menambahi. atau menjelaskan sesuatu yang
perlu digarisbawahi, terutama bagian yang bisa mendramatisasi peristiwa itu. Kadang-kadang kecelakaan itu juga bisa bikin orang bangga, lho!
Maestro penuh perhatian. Terutama soal luka berbentuk selokan itu. Lebarnya lima milimeter. Dia berdiri di depan lemari senapan Papa. Peluru-peluru berbagai merk dan jenis terletak juga di situ. Semuanya kaliber 4% mm atau 177. Kaliber itu ukuran garis tengah peluru atau laras senapan.
"Tante! Apa boleh saya pinjam senapan Oom?" seru Maestro segera.
"O, Tante nggak punya kuasa untuk soal serta jata. Tadi kenapa nggak bilang sama Oom? Dia keburu masuk lagi, dong!"
Maestro melihat Lady Mae membawa segelas besar kopi.
"Mae! Titip pesan, Mae!"
"Mau pinjam senjata, kan? Kalau nggak ada hubungannya dengan kecelakaan Keke, nggak boleh!"
"Sungguh mati aku penasaran! Ini soal kehormatan kita, Mae!"
"omonganmu berantakan nggak keruan!"
"Apa kehormatanmu nggak tercemar kalau Keke didor orang? Kita harus tahu siapa orang yang main dor itu!"
" Kalau sudah ketahuan, lalu kamu mau apa?"
"Ngajarin dia bagaimana pegang senjata supaya orang lain nggak celaka!"
Lady Mae mengetuk pintu studio Papa. Dalam tiga menit ia berada di ruangan itu. Maestro
menunggu dengan tak sabar.
"Oke, Tro! Tuan Besar berkenan meminjamkan senjatanya!" seru Lady Mae begitu membuka pintu studio untuk keluar.
"Yang mana, Mae?"
Pintu studio sudah tertutup.
"Tunggu empat jam lagi untuk jawabannya. Empat jam lagi Papa baru keluar untuk berolahraga."
" Kamu bego apa pintar, Mae? Kenapa nggak tanya sekalian senapan mana yang boleh dipinjam?"
"Dasar katro! Sendirinya yang bego, orang dibawa-bawa! Sebodo amat! Ogut mau makan! Lapar, nih! Siapa yang lapar juga, boleh ikuti."
Lady Mae makan dengan lahapnya. Entah makan pagi entah siang namanya. Pokoknya perut harus dikenyangkan supaya tidak masuk angin, supaya tetap Sehat dan otak pun jernih karena cacing-cacing nggak protes.
Orang-orang lainnya sudah berada di ruang tamu. Rencana membuka dompet sumbangan disepakati bersama. Mama juga berjanji akan bilang Papa tentang itu. Pembicaraan lalu sampai pada "sungguh mati aku penasaran". Bagaimana seseorang ngedor kepala Keke, itu masalahnya. Oom Sar menambahi lagi: bagaimana Pak Gendut segera terbirit-birit ke mobilnya setelah Oom Sar tiba, juga bikin sungguh mati penasaran.
"Penembakan itu dilakukan dengan sengaja! " seru Maestro tibavtiba. Sambil mengamati sepucuk senapan yang dipegangnya, dia
mengikuti pembicaraan di ruang tamu. "Pak Gendut ketakutan karena dia melihat orang menembak. Dikiranya dia yang akan ditembak! "
"Salah!" seru Lady Mae yang lagi asyik makan. Suaranya tak begitu jelas karena mulutnya penuh. "Pak Gendut itu yang jadi sasaran penembakan! Dia ngibrit ketakutan!"
"Masuk akal!" sahut Jipi. "Kalau Keke yang ditembak, untuk apa? Orang mendingan nembak cecak daripada dia, kan?"
"Saya permisi dulu,"sela Oom Sar."Saya tinggal di belakang rumah ini. Kalau ada perlu, saya bisa dipanggil. Terima kasih."
"Kami yang terima kasih, Oom! Ya, ampun! Mama nggak berbudaya! Masa Oom Sar nggak dikasih minuman! Mana dia sudah nolong kita!"
"Oalah! Maaf! Maaf! Samp_ai lupa! Sebentar saya bikinkan! " seru Mama seraya bangun dari kursinya.
"Tidak usah, Bu. Terima kasih. Saya sudah minum di kantin tadi. Saya pulang dulu. Nanti disangka ada apa-apa. Saya berangkat dari rumah kan untuk lari pagi!"
Pulanglah dia, yang telah keluar ongkos untuk segala macam. Semoga Tuhan memberkahinya.
Maestro tak mau ikut dalam pembicaraan itu lagi. Dia ke halaman belakang rumah. Di sana ada tanah lumayan luas untuk latihan menem bak. Memang di situ Papa berolahraga menem bak. Kadang juga memanah. Maestro sering ikut. Dia pintar mengambil hati Papa. Makanya Papa suka padanya, rela meminjamkan senapan-___
senapannya, kecuali dua pucuk yang menjadi milik pribadinya.
Sekarang Maestro mengisikan sebutir peluru ke dalam pangkal laras senapan Webley Vulcan. Dia membidik ke bawah dan menembak. Japl Bunyinya hanya merupakan hentakan klep dan pangkal laras. Bukan letusan seperti bunyi seniata api.
"Tuh! Bunyinya senapan angin kan begitu!" seru Keke yang ikut ke belakang bersama Lady Mae. "Tapi rasanya tadi aku mendengar mirip bunyi petasan cabai rawit!"
Tapi Maestro tidak mempersoalkan bunyi itu. Ia berlari merunduk ke arah bidikannya. Ah, ia hanya menembak tanah lembek di dekat tembok. Kini ia mengamati bekas peluru di tanah itu. Ada alur memanjang di situ. Tapi bentuknya tak beraturan. Bukan merupakan selokan kecil yang garis tengahnya bisa diukur.
"Kulit kepala Keke dan tanah lembek ini keras mana?" tanyanya, entah kepada siapa. Mungkin iuga hanya mencetuskan perasaannya saja. Bergumam untuk dirinya sendiri.
"Keras kulit kepala, dong!" Ada yang menyahuti pertanyaan itu, Lady Mae. "Kalau nggak percaya, coba kepalamu kutembak!"
Maestro memungut peluru yang tadi ditem bakkannya. Menancap di gundukan pasir di sudut halaman. Dengan mengorek lubang di pasir itu, peluru pun bisa diambil. Bentuk peluru itu sudah tidak karuan. Penyok kesana kemari.
"Lihat ini!" katanya. "Peluru ini terbuat dari timah yang lunak sekali. Dipijit saja penyok.
Apalagi menghantam kulit kepala. Kalau benar Keke ditembak dengan senapan angin, lukanya tidak berbentuk parit yang bisa diukur garis tenggahnya. Kira-kira seperti bekas peluru di tanah itu."
"Kesimpulanmu, Keke kejatuhan pecahan bom dari Lebanon, kan?" sahut Lady Mae. la penuh perhatian, karena ia mulai memahami maksud Maestro.
"Dia ditembak bukan dengan senapan angin! "
Lady Mae bergegas ke dalam. Tak lama kemudian dia kembali. Dibawanya sepucuk senapan mungil. Itu salah satu senapan kesayangan Papa. Malaikat pun dilarang menjamahnya. Kini Lady Mae berani-beranian mengambilnya.
"Aduh, Mae! Nanti aku yang didamprat Oom, deh!" seru Maestro yang tahu betapa sayang Papa pada senapan pribadinya itu.
Tapi Lady Mae tenang tenang saja.
"Didamprat Papa juga nggak apa-apa. Demi kehormatan kita. Aku juga sama dengan kamu, penasaran asli!"
Lady Mae membawa lima butir peluru timah. Berbeda dengan peluru yang digunakan Maestro, peluru di tangan Lady Mae termasuk jenis jet. Termasuk peluru Yang mahal. Papa membelinya khusus untuk senapan Howa 55 G mungil itu. Senapan buatan Amerika itu juga termasuk jenis yang langka di lndonesia. Jarang orang punya. Harganya selangit. Di kampung halaman Jipi, uang seharga senapan itu sudah bisa digunakan untuk bikin rumah Konon satu juta tiga ratus rupiah lebih, belum termasuk
telescope, tali sandang, dan segala peralatannya yang serba mahal lainnya. Dalam soal hobi Papa memang keranjingan. Tapi dalam soal kerja, dia pun jagoan.
Salah satu keistimewaan senapan itu, bisa diisi dengan lima butir peluru sekaligus. Daya dorong pelurunya bukan hentakan per seperti senapan angin kebanyakan. Melainkan meng gunakan semburan 002. Tabung 002 nya terletak di bawah laras. lni senapan maut. Jarak tembaknya 220 meter. Batako bisa bolong dihajar pelurunya pada jarak lima meter.
Kini Lady Mae mengisikan peluru. Gayanya luwes Sekali, karena Papa sudah mengajarkan pengetahuannya tentang senjata kepada putri tunggalnya. Senapan dikokang. Cara mengokangnya sama dengan mengekang senjata api Lee Enfield: besi mirip permen kojak ditarik. Lady Mae menembak tanah. Dor!
Keke terlonjak karena kaget mendengar bunyi letusan.
"Nah! Begitu! Begitu bunyinya!" serunya riuh. "Persis sekali!"
l'Liha't bekas pelurunya, Tro!"
Maestro membungkuk untuk mengamati bekas peluru Howa 55 G.
"Gila! Peluru itu amblas ke dalam tanah!" serunya.
"Jadi Keke didor dengan senapan macam ini, kan?"
" Rasanya begitu. Kita bisa menyelidiki siapa penembak itu! Kau kenal importir senapan itu! Ayo telepon dia sekarang!"
"Jangan terlalu bernafsu. Keluarkan isi kantungmu dulu. Ipong kan harus segera pulang. Kasih uang seadanya dulu!"
Maestro menggerutu. Tapi bukan karena dia tak rela menyisihkan uang sakunya.
"Kenapa ngedumel aja? Nggak rela?
"Caramu minta sumbangan seperti orang nodongi itu yang bikin aku enek!"
"Nggak apa apa. Yang penting ikhlas. Supaya amalmu diterima Tuhan. Masuk sorga, lu! Mau sekarang apa?"
Maestro merogoh saku celana panjangnya. Ada tiga ribu rupiah yang bisa disisihkannya untuk Ipong. Besok mungkin dia bisa mengutip sebagian tabungannya. Cerita sedih tentang Ipong cukup mengiris perasaannya. Dia simpai: pada Ipong karena anak muda itu tabah. Tida melolong-Iolong minta tolong. Tidak meraung menyesali nasib buruknya. Jika Maestro sendiri yang mengalami bencana itu, belum tentu dia tabah seperti lpong.
setelah Maestro menyerahkan uang kepada Ipong, yang lain pun ikutan. Lady Mae sendiri menguras seluruh isi dompetnya. Ketika Papa keluar untuk makan siang (ternyata dia keluar dari studio sebelum empat jam), Lady Mae mengisahkan secara singkat duka Ipong. Dugaan-dugaan dan analisa Maestro juga disampaikan.
"Urusan sumbangan itu sama Mama saja. Kalau ada yang beginian nggak usah kompromi dulu dengan Papa juga nggak apa-apa," kata Papa. Sejak dia bicara, matanya terus-menerus
memandangi Maestro. Padahal dia bicara dengan Lady Mae. Papa seperti sedang mengagumi Maestro. Entah bagian mana dari anak itu yang pantas dikagumi. "Kau cepat tanggap. Caramu melakukan penyelidikan sudah benar," katanya pula. Ternyata dia sedang mengagumi kecepatan Maestro menanggapi kecelakaan yang menimpa Keke.
"Mae ingin menghubungi importir senjata, Oom," kata Maestro sambil tersipu sipu. Ge-er juga dipuji papa Mae begitu. "Dia akan tanya siapa-siapa yang memiliki Howa 55 G."
"Boleh. Boleh. Mae kan sudah kenal Oom Flon. Tapi sesudah tahu siapa penembak Keke, Mae mau apa?"
"Lapor polisi dong, Pa!"
"Oke. Boleh itu."
Tentu saja boleh. Papa hampir tidak pernah bilang nggak boleh untuk hal hal semacam ini. Papa bahkan senang kalau Mae punya kegiatan di luar jam jam sekolahnya.
Oom Ron itu importir senjata. Tidak hanya senapan angin berbagai jenis, juga senjata api yang penjualannya melalui izin pihak yang ber wajib. Lady Mae sudah mengenal Oom Ron karena Papa sering mengajaknya ke toko Oom Ron untuk membeli peluru dan keperluan senapan lainnya. Selain bertindak sebagai importir, Oom Flon juga punya toko senjata di Pusat Pertokoan Duta Merlin. Nomor telepon toko itu ada di buku catatan nomor telepon.
Lady Mae langsung menelepon ke sana. Ia hanya melambaikan tangannya ketika Ipong
berpamitan.
"Diana Guns Shop. Selamat siang!" Ada
suara lembut terdengar di pesawat telepon itu.
"Selamat siang. Saya mau bicara dengan Oom Ron. Penting sekali!"
"Dari mana?"
"Lady Mae."
Peduli amat gadis bersuara lembut di sana kenal nama itu atau tidak. Nama yang aneh sering membuat orang grogi. Buktinya gadis bersuara lembut itu segera menghubungkan pesawat Lady Mae dengan pesawat Oom Ron.
"Halo, Oom Ron! Mae di sini!"
"Mae? Mae siapa?"
"Anak Papa, dong!"
"Papa siapa?"
"Papa Arsitek! Itu lho, yang punya Howa! Yang dulu tinggal di Klender!"
"Ooo ya, ya! Oom ingat! Apa kabar, Mae?"
"Baik, Oom. Semuanya juga baik. Mae ingin nyatat alamat orang-orang yang punya Howa, Oom. Syukur ada nomor teleponnya sekalian. Soalnya Papa ingin bikin Howa Club! Keren nggak, tuh!"
"Papamu ada-ada saja! Yang punya Howa kan nggak banyak. Klub apa yang anggotanya cuma empat orang?"
"Nggak apa-apa, deh. Empat orang kan di Jakarta saja. Di kota lainnya kan banyak!"
"Tapi saya tidak tahu semua alamat mereka."
'Yang tahu saja, deh Oom. Kata Papa, Howa itu senapan maut. Satu satunya importirnya Oom Ron. Masa ngapalin alamat lima orang
saja nggak bisa?"
"Tapi tidak semua pembeli senapan meninggalkan alamat jelasnya."
"Orang yang beli Howa itu hanya pencinta senapan angin kelas satu. Sebelum orang iadi pencinta kelas satu, tentu sudah lama jadi peng. gemar senapan angin. Oom kenal semua penggemar senapan angin di Jakarta. Apalagi yang kelas satu! Ayo dong, Oom! Jangan bohong sama Mae!"
Oom Ron tertawa.
"Kamu seperti papamu saja. Kepala batu!"
"Cocok, Oom. Arsitek itu pantas kalau kepala batu. Daripada kepala martil! Payah dong, diiedotin melulu!"
Oom Ron tidak bisa mengelak. Dia memerintah sekretarisnya, yang tadi bersuara lembut itu, untuk mencari alamat para pelanggan yang memiliki Howa 55 G. Lady Mae menang. Alamat yang dikehendakinya segera didapatnya.
Dia mengamati alamat yang secara cepat dicatatnya itu. Nomor satu. Mayor Polisi Ngatman, Jalan Pelabuhan Lorong 31 Taniungpriok. Ah, mustahil dia ngayap ke Duren Jaya untuk nembak kepala Keke. Kaya kurang kerjaan saja!
Nomor dua, Andreas Patoman, Pondok Indah Jakarta. Nomor tiga, Papa. Tidak usah dicurigai. Nomor empat dan lima perlu dipelototi.
"Yang ini dekat rumahmu, Tro," kata Lad Mae seraya menunjuk ke alamat orang keempat. "Kamu kenal, nggak?"
"Nggak usah tanya begitu. Ngomong saia kau nyuruh aku menyelidiki dia!"
"Syukur kalau kau tahu sendiri!"
"Yang kelima orang Cipinang. Dalam peta, Cipinang itu dekat dengan Rawamangun."
"Cipinang mana?" seru Jipi. Ia sudah merasa, Lady Mae akan menyuruhnya menyelidiki. Dia tinggal di Rawamangun. "Cipinang itu banyak! Cipinang Kebembem, Cipinang Lontar, Cipinang Muara, Cipinang Penjara, Cipinang Asem, Cipinang sialan!"
"Jangan marah dulu. Say! Kalau kamu nggak mau, Naomi juga pasti mau. Sejak kemarin dia nggak ada kerjanya. Nongol juga enggak!"
"Oke! Oke! Cipinang itu dekat dengan Rawamangun! Masih jauhan Lebanon, Mae!"
"Syukur kalau kamu ambil tugas itu."
Apa apaan ini? Kok jadi seperti main detektifrletektlfan! Tapi memang begitu jadthya, kalau hati sungguh mati penasaran.
KEJUTAN NAOMI
YANG satu ini nggak ada gawenya. Nongol pu tidak. Naomi seperti mau tenggelam dalam kesibukan dirinya sendiri. Cuek saja ketik anggota kompanyonnya melakukan kampanye kemanusiaan. Prek saia Lady Mae cuap cuap tentang duka pekat, duka Ipong, duka sesama anak Indonesia. Uh! Lady Mae seperti pahlawan kemanusiaan saja. Semua orang dihimbau untuk nyumbang. Tak peduli mereka kenal lpon atau tidak.
"Ipong itu temanku!" katanya kalau ada yang tanya Ipong itu anak tuyul apa anak cecak "Kalau dia sedih. aku ikut sedih. Kalau kam temanku. kamu harus ikut sedih juga!"
Kadang Lady Mae ngaco juga. Herannya teman-teman mau saja merogoh kantung untuk menyisihkan uang jajan. Ada yang ngasih seribu, tapi kebanyakan hanya gocap. Mungkin mereka mainnmain. Soalnya Lady Mae juga seperti mainmain saja dalam aksi kampanye kemanusiaannya.
Pada jam istirahat sekolah, Lady Ma mencegat Naomi di depan kantin sekolah yang populer dijuluki Green House Palace, saking hi
launya oleh lumut dan tanamanttanaman kelas murahan.
"Kamu masih hidup, Na?"
"Alhamdulillah, Mae. Sehari aku masih makan tiga kali."
"Aku nggak lihat tanda-tanda kamu hidup sepenuhnya."
Naomi tertawa. Perkara bermain kata-kata, Lady Mae memang jagonya. Bakatnya istimewa untuk soal itu. Caranya menegur dengan penuh semburan rasa dongkol juga bukan cara biasa yang ditempuh anak kebanyakan.
"Hidup sepenuhnya itu bagaimana, Mae? Ngebakso, mejeng, nyontek, gitu?"
"Tanggap terhadap setiap gerak hidup di sekelilingnya!"
"Mak, Selangit kamu! Aku nggak nyampe, dong! Ada apa sih ribut-ribut? Ayam mau bertelur saja nggak gentayangan kayak kamu!"
"Kamu mau nyumbang apa kujitak?"
"Ada bencana alam, Mae?"
"Ya ampun! Jadi selama ini mata hatimu, ku pingmu, hidungmu, dengkulmqu, semuanya budek?"
"Wah! Ini komunikasi yang nggak lancar! Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya?" '
"Masa kamu nggak dengar cerita tentang Ipong?"
"Sheila sudah cerita, kok."
"Lalu apa yang akan kaubikin?"
"Kejutan!"
"Kejutan apa? Kamu diam saja! 'Tega kamu ngebakso sedang rekan sebangsa dan setanah
airmu yang belum kaukenal itu dalam kesusahan?"
"Aku bukan orang berada kayak yang lain, Mae. Masa sih kamu nggak tahu?"
fBiar miskin masa nggak punya barang gocap saja?"
"Punya! Tapi apa artinya gocap buat penderitaan saudaraku sebangsa dan setanah air yang belum kukenal itu?"
"Gocap mendingan daripada kamu budek!"
"Aku ingin memberi lebih dari itu. Percayalah, Anak Mama!"
"Mau ngapain kamu?"
Naomi mempermainkan ujung ujung rambutnya. ln, gayanya kemayu sekali. Dia memang ayu, kok. Tampak lebih dewasa daripada umur. nya sendiri. Pernah tampil dengan pakaian seronok yang lebih pantas dipakai tantenya
daripada dirinya. Tiba-tiba Lady Mae bergidik. Begitukah gaya Naomi ketika dia terjerumus ke dalam duka lara kehidupan malam tempo hari? Ketika dia harus bekerja dan teman-teman berjuang untuk mengambilnya dari kemungkinan yang lebih nista? *)
"Kenapa, Mae? Kok seperti orang keder?"
Lady Mae tak bisa menyembunyikan perasaannya.
"Aku ngeri lihat gayamu sekarang! Kau genit banget!"
Naomi tertawa.
"Ngadepin kamu lebih sulit daripada ngadepin duit, tahu? Kalau aku bengong saja, kamu protes! Aku ceria, kamu katain genit! Aku harus bagaimana, dong?"
Akhirnya Lady Mae sadar, Naomi memang berpembawaan ceria, seperti juga yang lain lainnya. Dulu dia sendu karena duka-duka yang bertebaran di sekitarnya.
"Oh ya. Aku lupa,Na. Habis sudah kelamaan kau nggak senyum, sih. Kukira onderdilmu sudah rusak. Syukur deh, kalau enggak. Tapi tangan kelewat genit, ah! Ditaksir Papa baru tahu kamu!"
Naomi tertawa meledak-ledak. Geli juga kalau ingat kejadian-kejadian kemarin ketika antara dia dan Lady Mae ada perang besar-. Tapi itu sudah lewat. Sudah jadi kenangan yang bisa manis bila diingat kembali.
"Jadi kamu tega nggak nyumbang?"
"Ditega-tegain! "
Lady Mae tidak tahu apa yang tersimpan di benak Naomi, si ayu ramping berambut sebahu itu. Lady Mae hanya heran seberat-beratnya bagaimana perasaan kemanusiaan Naomi bisa tumpul begitu. Padahal Naomi juga heran seberat beratnya bagaimana Lady Mae mempromosikan orang lain yang sama sekali tidak dikenal di sekolah ini.
Heran dan heran terus berkutat sampai berhari-hari kemudian. Pada suatu hari ada surat untuk Naomi dengan alamat sekolah. Naomi mengambilnya pada jam istirahat kedua. Dia
lertawa tawa seperti orang senewen menimang surat itu.
"Surat dari mana, Na?" tanya Lady Mae. Karena gaya Naomi terlalu genit, lagi-lagi Lady Mae bergidik.
"Dari si pengirim!"
"Pacar, ya?"
"Otakmu ngeres, Mae!"
"Jenius memang begitu!"
Naomi tidak berminat untuk ngomong lagi soal surat itu. ia ngumpet entah di mana untuk membacanya. Lalu ketika ia muncul kembali di hadapan Lady Mae, mulutnya cengar-cengir.
"Semoga Tuhan memberkahimu, Na. Kau sudah harus dibawa ke rumah sakit jiwa!" sambut Lady Mae saking dongkolnya.
"Alhamdulillah kalau kau juga memperhatikan aku. Kukira otakmu cuma buat mikiran lpong! "
"Semua orang lagi mikirin Ipong, kecuali yang nggak berbudaya kayak kamu!"
"Sampai di mana gerakan kemanusiaanmu, Mae?"
"Sampai ke mana-mana. Hanya nggak bisa sampai ke iidatmu!"
"Aduh, sewot amat kamu! Aku lagi asyik, nih!"
Lady Mae tidak meladeni Naomi lagi. Makhluk misterius yang baru bangkit dari liang kubur! Tingkahnya aneh. Tidak sama dengan orang kebanyakan. Tapi lumayan daripada seperti kemarin kemarin ketika dia tidak hidup sepenuhnya, ketika dia terbenam dalam dukanya yang penuh misteri.
Sheila juga memperhatikan tingkah aneh Naomi.
"Dia sedang jatuh cinta, 'kali!" katanya.
"Jatuh cinta apa begitu caranya? Otak bebal! Hatinya tumpul! Nggak mutu!" sengat Lady Mae.
"Aku juga dongkol sama dia. Kayaknya dia sengaja gaya-gaya biar kita selalu memperhatikannya. Nggak tahu diri! Waktu diasusah kita payah ngurusin dia. Sekarang sudah senang, majenun!"
"Kita ganti saja namanya, She! Jangan Naomi."
"Ganti apa?"
"Ndelul!"
"He? Ndelul itu apaan, sih?"
"Nggak tahu! Pokoknya kalau Mama ngatain orang yang brengsek itu ndelul."
"Iya, deh. Cocok buat dia. Yang lain perlu dikasih tahu, nggak?"
"Harus! Umumkan saja sekarang! Kalau ada yang manggil dia Naomi, kita pecat dari keang gotaan kompanyon kita! "
"Kamu juga lucu, Mae. Pecat, peCat! Memangnya siapa yang ngangkat kamu jadi direktur? Jangan jangan kamu yang ndelul!"
Nggak tahu siapa yang ndelul. Nyatanya Jipi dan Maestro juga kaki dengan kebudayaan Naomi. Cuwek terhadap semua gerakan temantemannya, itu saja sudah ndelul. Apalagi ber tingkah aneh dan tidak sesuai dengan undangundang!
"Kita harus bikin peraturan!" kata Maestro. Si
Katro ini jarang ngomong, tapi kadang kadang suka nyeplos begitu. Jalan pikirannya juga sering aneh. Tapi sejauh itu dia masih dianggap berbudaya, belum ndelul.
"Cocok!" sahut Lady Mae. "Salah satu peraturan itu berisi larangan terhadap orang yang ngomong tanpa ujung pangkal!"
"Setuju! Orang ngomong tanpa ujung pangkal itu misalnya bagaimana, Mae?"
"Persis kamu tadi! Datang datang teriak harus bikin peraturan! Peraturan apa? Untuk ngatur siapa? Bambu saja ada ujungnya ada pangkalnya! "
"Oke, Lady! Kita harus bikin peraturan supaya kita tetap kompak, gitu. Naomi selalu ngaco. Dia nggak memenuhi syarat iadi kompanyon kita!"
"Memang, ini perusahaan apa?" cetus Jipi. "PT yang ngurusin orang-orang yang kena musibah?"
"Oh, ndelul! Ndelul! Ternyata kamu ada di mana-mana! Di otak cecere-cecere murahan begini!"
Lady Mae puieng banget. Daripada ngomong soal Naomi, mendingan soal lainnya saia.
"Bagaimana kerjaan kalian?" tanyanya seraya memandangi Jipi sedetik, dan dua detik ke walah Maestro.
"Nah! Ini lagi! Kamu belum iadi direktur, Mae!" sela Sheila.
"Ogut lagi senewen, She! Kamu jangan ikutikutan celelekan!"
"Apa? Gue nggak belekan!"
"Celeiekan, She. Tahu artinya! Mbahnva
ndelul!"
Sheila bungkam. Ngeri lihat wajah Lady Mae sudah ditekuk begitu. Tandanya dia marah besar. Bisa gawat kalau diledek terus-menerus.
"Terus terang, saja, aku nggak bisa jadi detektif, Mae," keluh Jipi. "Kamu mau ngatain aku ndelul atau celelekan, terserah. Pokoknya aku sudah sampai ke depan rumah orang yang punya Howa 55 G, tapi aku nggak bisa ngapangapain di sana. Cuma mondar-mandir. Malah dipelototin hansip. Disangka pancaiongok!"
"Pancalongok itu apa?" tanya Lady Mae.
"Maling! Kerjanya Iangak-longok, lalu nyabet jemuran!"
"Jadi kamu nggak kerja apa-apa?"
"Kerja sih sudah!"
"Tapi hasilnya nol!"
"Ada."
"Apa, dong? Ngomong jangan sepotongsepotong!"
"Mendingan begitu daripada dikatain tanpa ujung pangkal! Ntar kalah sama bambu!"
"Ya, ampun! Kalian ketularan ndelul juga!"
Jipi nggak tega juga ngerjain Lady Mae. Dia bilang begini, "Orang itu pernah ribut sama Oom Hono."


Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah! Itu bagus! Terus?"
"Keke pernah ngomong Oom Hono pinjam senapan angin milik temannya, kan? Ceritanya Oom Hono sedang nembak tikus. Tikusnya lari ke halaman. Dia tembak juga. Pelornya nyeplos ke luar pagar lalu mampir di kuping anak orang yang punya Howa itu. Namanya Pak Mukim.
Waktu itu Pak Mukim sedang jalan jalan sama anaknya. Lalu ribut. Oom Hono dikata-katain. Oom Hono ngotot. Hampir duel kalau nggak dipisahin tetangga."
lni menarik. Oom Hono itu papanya Keke, paman Jipi. Ada dendam rupanya!
"Terus analisamu bagaimana?" tanya Lady Mae, memacing pendapat Jipi.
"Dendam! Apa lagi?"
"Cocok!"
"Tapi Oom Hono menganggap persoalan didornya Keke itu selesai. Pokoknya Keke nggak celaka benar, dianggap impas."
"Oom Hono itu belum kenal senapan. Masa nembak tikus sampai kena kuping!" cetus Maestro yang merasa kenal senapan.
"Jangan kasih komentar yang tidak ada hubungannya dengan kasus Keke! ".potong Lady Mae.
"ini juga ada hubungannya dengan Keke!" sambar Maestro tak mau kalah.
"Bagaimana soal tikus bisa ada hubungannya dengan Keke?"
"Orang yang punya Howa 55 G itu bukan penembak sembarangan. Sebelum dia punya Howe pasti lebih dulu punya senapan merk lainnya. Singkatnya, nggak ada pemula yang langsung pegang Howa 55 G. Pak Mukim itu pasti orang yang kenal betul senapan. Orang macam dia nggak mungkin balas dendam dengan senapannya! Nah, perkara tikus itu ada hubungannya dengan kasus Keke, kan? Laporan selesai!"
"Tapi orang dendam bisa saja melakukan pembalasan begitu!" bantah Jipi.
"Bisa! Tapi caranya nggak kampungan begitu!"
"Jangan mendebat saja, Tro! Kamu sendiri sudah ngapain aja?"
"Nggak ngapa ngapain. Cuma mau ngasih tahu, orang keempat itu nggak usah dicurigai."
"Kok begitu? Sudah kena sogok, lu?"
"Orangnya sudah dut! Howa-nya nganggur, karatan, budak!"
"Wah! Enak dong kamu!"
"Lumayan. Nggak usah bikin analisa, langsung kesimpulan!"
Cuma begitu saja. Semangat boleh menggebu ketika hati sungguh mati penasaran. Tapi setelah gerakan dimulai, kempeslah sudah. Mereka tidak bisa apa-apa lagi. Kecurigaan terhadap Pak Mukim tinggal kecurigaan.
Rupanya masing-masing menyadari bahwa gerakan mereka sudah mentok. Tidak ada kelan jutannya lagi. Tapi masing-masing merasa malu untuk mengakui hal itu. Makanya semuanya diam.
"Kok macet?" Sheila yang bicara duluan. "Kaiian sudah mentok, ya? Makanya jangan sok detektif! Kalau punya kegiatan itu yang terarah, dong! Kalian sih, nafsu besar tenaga kagak!"
"Jangan nyalahin orang aja!" dengus Lady Mae. "Kamu sendiri ora ada gawenya' "
"Sekarang lagi enggak. Nanti nanti aku bikin kejutan!"
"Keiutan! Keiutan! Kayak Naomi saia kamu!
Nyundut petasan aia biar semua orang terkejut!"
Tapi sebenarnya Sheila juga tidak hanya diam. Ia sudah melakukan gerakan bersama Hafiz. Cuma hasilnya belum ada. Mau diceritakan lebih dulu, nggak lucu. Kalau nggak berhasil malah ditertawakan.
Dan sang Naomi terus bertingkah aneh. Suatu sore, dia muncul di rumah Lady Mae.
"Ngapain ke sini?" sambut Lady Mae yang sudah dongkol berat sama Naomi.
"Nggak. Cuma mau lihat kamu!"
"Aku lagi enek lihat orang yang cuma bisa nampang!"
"Nggak apa-apa, deh. Aku masuk, ya?"
"Masuk, kek! Keluar, kek!"
"Uhl Galak'nya! Kamu bisa bikin es sirop susu?"
"Nggak!"
"Kalau begitu, aku mau bikin sendiri!"
Naomi nyelonong ke dapur. Membuka kulkas, dan katak kotek sebentar. Lalu ke ruang tamu membawa segelas es sirop susu. Lady Mae menontoni tingkah Naomi dengan kedongkolan segunung. Naomi-nya sih cuwek saia. Menikmati es siropnya seperti di rumah sendiri.
Net! Net! Net! Ada bunyi begitu dari pesawat telepon di ruang tamu. Naomi langsung meloncat dan menyambar gagang telepon.
"Kamu di rumah orang ngglatak!" sembur Lady Mae.
"lni telepon buat aku, Mae! Kamu jangan ribut!" sahut Naomi.
"Gila! Telepon itu bukan punya nenek-,
moyangmu! Papa membelinya buat bisnis!"
Naomi mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat agar Lady Mae diam. Ia sendiri segera bertelepon-ria.
"Halo. Selamat sore." katanya. Lalu diam sesaat. "Saya sendiri, Oom Oh, ya? Sori, deh. Habis manggilnya bagaimana?"
Lady Mae makin enek saja. Tapi ia diam. ingin tahu juga apa yang dilakukan Naomi ndelul itu.
"Kak? Memangnya Anda masih muda? Berapa tahun sih umurnya?" Naomi bunyi lagi. "Ooo ya, deh. Sori berat, deh."
Lady Mae tertarik oleh percakapan itu, Meskipun ia hanya bisa mendengarkannya sepotong-potong.
"Saya harus ke situ? lh! Nggak mau, ah! Kan malu! Situ dong yang ke rumah saya!" Begitu kedengaran ielas oleh Lady Mae. Naomi menunggu, lalu ngomong lagi dengan gaya genit, "Nggak apa apa, deh. Bapak saya nggak galak. kok. Lagian ada urusan apa? Datang saja. Kapan?" _
Lady Mae mendekat, seolah kalau tidak begitu ia tidak mendengar jelas kata-kata si Ndelul.
"Saya cinta damai, kok. Makanya saya ngirim surat dan ngomong baik-baik sama situ. Tapi saya kira situ sudah oom-oom! Eee nggak tahunya masih mudaan ...."
"Edan!" cetus Lady Mae, tak tahan hanya diam menyaksikan segala kemdelul-an itu.
"Catat dong alamat saya Lho, kenapa?"
"Ndelul kumat!" seru Lady Mae. !
"0, itu. Bukan orang, kok. Yang bunyi tadi boneka saya yang sudah rusak. Bunyinya suka ngaco. Cuwek aja Namanya? Lady Mae. Cakep, ya? Tapi orangnya ielek, kok. Nggak usah naksir, den! Masih cakepan Naomi, dong!"
Lady Mae merebut gagang telepon dari tangan Naomi. Lalu berteriak keraekeras, "He, kamu! Ini pesawat telepon saya! Naomi cuma numpang! Kamu jangan mau dikibulin dia!"
Naomi tertawa saja. Brak! Lady Mae membanting gagang telepon ke tempatnya. Pembicaraan terputus.
"Enak saja kamu! Kalau mau kencan tangan pakek telepon orang!" semburnya.
"Nggak. deh. Aku nggak mau pakek telepon sini lagi. Aku sudah tahu nomor telepon dia. Nelepon di telepon umum iuga bisa. Paling gooap!"
Sesudah ngomong begitu, Naomi mengeloyor pergi.
"Tuh, gelasnya nanti dicuciin, ya!" serunya sambil bergegas ke jalan.
Gila betul. Lady Mae sampai kehabisan katakata untuk menyemburkan kedongkolannya. Dia memandangi Naomi dengan takiub bukan main sampai ndelul itu naik koasi, kendaraan umum antar-Bekasi Pulogadung.
"Ada apa sih, kok marah-marah?" tegur Mama.
Lady Mae tidak tahu sejak kapan Mama ber diri di belakangnya.
"Ndelul itu senewen! Enak saja pakek telepon orang!"
"sama Naomi kok sewot meiulu? Masih curiga dia mau minta Papa, ya?"
"Mama kok mbela dia melulu?"
"Dia anak baik, kok. Mama tahu itu."
"Iya, tapi rasa kemanusiaannya bebal!"
'Betum tentu. Dia tidak ikut nyumbang mungkin karena dia tidak punya. Kau kan tahu keadaannya."
"Tapi tingkahnya itu bikin perut mules, Ma!"
"Minum Entrostrop kalau perutmu mules."
Jadinya Lady Mae makin dongkol saia. Tapi ia diam. Nggak ada gunanya nielekmielekin Naomi di depan Mama. Lebih baik ngomongin dia di depan anggota kom panyon yang juga keki sama Naomi.
Besok siangnya, omongan itu digelar di hadapan anggota kompanyon. Semuanya geleng kepala.
"Aku ngeri tingkah dia ini ada hubungannya dengan keiadian kemarin kemarin," kata Sheila. "Amit amit, dia kan bekas waitress billiard centre! Jangan-tangan yang nelepon dia itu orang yang Oh, Tuhan! Masa begitu?"
"Ngomongnya terusin! Jangan oh Tuhan dulu!" sahut Lady Mae.
"Nggak. Aku nggak bisa. Nggak tega ngomong begitu. Biar bagaimana Naomi kan orang kita sendiri."
Sheila benar-benar tidak sanggup mengatakan dugaannya.
"Arab bego!" sembur Lady Mae. "Orang Arab hanya kamu yang bego! Kalau mau ngomong, terusin sampai tamat! Kalau enggak ya eng
gak sekalian!"
"Jangan tegang, Say!" cegah lei. "Terusterang, aku ngeri membayangkan kelakuan Naomi. Harus dicegah, dong! Kita kan nggak suka se-es kita terterumus ke sumur!"
"Ke lembah duka, Jip!" sela Maestro.
"Lembah duka sih mending! Kalau lembah nista?" sahut Lady Mae.
Sheila bergidik sampai mengerdikkan bahunya.
"Aku menduga begitu. Tapi apa yang kamu ceritakan tentang omongan dia di telepon itu memang persis dengan kejadian sungguhannya?" tanya Sheila.
"Di kepalaku ini ada tape recorder. She! Aku bisa niruin omongan orang dengan persis! Nggak usah ragu, deh! Lagian buat apa aku memfitnah dia?"
Dianya yang lagi diomongin tahu-tahu datang.
"Naaaa! Su'udhon, tuh! Dosa, lho!" katanya.
"Ngomong apa kamu?" tanya Jipi. Dag-digdug juga dia kalau Lady Mae meradang.
"Kalian su'udhon. Nggak bagus, tuh! Orang harus khusnudhon!"
"Apaan, sih?" tanya Maestro. "Asli! Dia senewen asli!"
"Kalian nggak tahu, ya? Tanya tuh sama anak Arab!" kata Naomi. "Su'udhon itu apaan. She?"
"Menduga buruk. Kebalikannya khusnudhon."
"Pinter kamu! Kalian kan sudah menduga buruk sama aku. Biarin! Tuhan kan nggak per. nah tidur! Tuhan ngawasin kita melulu! Makanya
Dia tahu apa yang kulakukan! Nih! Sumbangan buat Ipong!"
Naomi memberikan amplop tebal yang diambilnya dari saku rok seragamnya. Lady Mae memandangi amplop itu dan wajah Naomi berganti ganti.
"Jangan takut! Isinya duit, bukan bom! " kata Naomi.
"Duit dari mana?"
"Dari seorang dermawan untuk Ipong. Kuserahkan kepada panitia untuk disampaikan kepada yang berhak tanpa potongan itu-ini. Nggak halal, tuh!"
"Apa duit ini sendiri halal?" tanya Lady Mae.
"Halal seratus persen! Bahwa dulunya duit ini hastl korupsi atau nyolong, itu bukan urusan kita. Pokoknya aku mendapatkan dengan halal."
"Dengan cara apa?" tanya Lady Mae kurang puas.
"Cara yang baik."
"Cara baik itu apa ada hubungannya dengan telepon di rumahku?"
"itu permulaannya. Aku nggak mau pakek telepon kamu lagi! Gocap di telepon umum saia beres. Hitung-himng nyumbang kepada negara! Nelepon di rumah kamu rugi, tahu? Ongkosnya ke Bekasi nggak cukup lima ratus bolak-balik! Mana di sana diomelin melulu! Aku pakai telepon kamu karena aku sudah ngasih nomor telepon rumahmu sama dia supaya dianya bisa menghubungi aku."
"Dianva itu siapa?"
"Cowok! Mana ganteng, lagi! Kamu kuielekjelekin biar dia nggak naksir kamu! Tahu, nggak? Aku bilang yang namanya Lady Mae itu galak. Buktinya dia marah-marah sama orang yang belum dikenalnya. Apalagi kalau sudah kenal!"
"Jahat kamu!"
"Siapa yang iahat? Dia mau baik-baik, kamunya marah marah!"
Uang dalam amplop itu masih berada di tangan Naomi.
"Aku nggak mau terima uang itu sebelum aku tahu dari mana asalnya."
"Dari Kak Vid! Dia ngasih buat Ipong!"
"Kak Vid itu siapa?"
"Orang yang kemarin nelepon aku! Dia mau datang ke rumahku takut. Terpaksa aku yang semalam ke rumahnya, diantar oleh bapakku."
"Rumahnya di mana?"
"Sementara dirahasiakan dulu. Kalau kamu ada perlu sama dia, lewat aku saia. Terima, nih!"
"Nggak. Aku nggak mau terima!"
"Lho! Kamu kan sudah tahu asal uang ini dari mana!"
"Tapi aku nggak tahu bagaimana kamu bisa mendapatkan uang itu!"
"Minta, dong! Bego kamu! Memangnya nyolong!"
"Bagaimana Kak Vid itu bisa ngasih uang sama kamu, itu aneh!"
"Karena dia punya uang dan merasa perlu ngasih! Apanya yang aneh?"
"Jip! Kamu ngomong, Jip! Aku sudah budak!"
"Aku juga sudah budek."
"Kamu, Tro!"
"Terima saja. Kita kan panitia amal. Kita wajib menyampaikan sumbangan itu kepada yang berhak!"
"Tapi aku nggak mau terima uang yang belum kuketahui halal atau enggak!"
"Kalau begitu kamu yang bego!"
Lady Mae heran, si Katro berani membegobegokan dia.
"Bego kenapa?" tanyanya.
"Yang nyumbang ikhlas, yang menyampaikan sama kamu ikhlas, kenapa kamu nggak mau? Ipong membutuhkan uang itu. Dia nggak akan tanya uang itu dari mana, hasil korupsi atau bukan. Dia hanya akan menerima dan meng gunakannya untuk nolong biaya perawatan ayahnya!"
"Aku nggak tahu lagi siapa yang benar siapa yang salah. Pokoknya aku nggak bisa menerima uang itu. Terserah kalau Naomi mau ngantar sendiri ke rumah lpong."
Keputusannya begitu. Inikah yang dibilang keiutan oleh Naomi tempo hari? Yang lain bisa menerima sumbangan itu. Nyatanya 'lpong memang membutuhkannya. Tapi Lady Mae tetap penasaran.
KEPUTUSAN TUHAN
Ksnmen bermanik-manik di dahi Ipong. Dia tidak kelelahan, tapi keringat yang membasahi tubuhnya begitu banyak, begitu deras terus mengalir. Lady Mae mengerti sepenuhnya apa yang disandang anak itu. Keluarganya sudah berkumpul. Juga para tetangganya. Mereka mengadakan rapat kilat. Keputusannya, seluruh usaha pengobatan akan dihentikan. Ipong harus menyampaikan keputusan itu kepada dokter yang bertanggung jawab terhadap pengobatan dan perawatan ayahnya.
"Aku tidak sanggup," desah Ipong. "Itu berarti keputusan mati buat ayahku!"
Lady Mae menyentuh telapak tangan ipOng.
"Tabahkan hatimu," bisiknya tulus. "Kita jalan jalan dulu. Supaya hatimu tenang."
Ipong menurut. Ia berjalan asal saja. Arah tidak dipikirkannya lagi. Kakinya menghadap ke barat, maka dia pun melangkah ke sana. Lady Mae mengikutinya.
"Mau ke mana, Pong?"
"Katamu jalan jalan?"
"Tapi lorong itu menuju ke mana?"
"Ke mana mana boleh."
Langkah Lady Mae terhenti. Ada papan petun juk yang" bisa dibaca jelas: Kamar Mayat!
"Pong!"
lpong berhenti.
"Lorong ini menuju ke kamar mayat!"
"Oh." Keringat semakin deras mengalir di dahi lpong. "Jangan-jangan ini firasat buruk, Mae?"
"Jangan percaya begituan. Ayo ambil jalan lain!"
Lady Mae yang membimbing harus mengam bil jalan mana. lpong seperti makhluk dungu yang tidak tahu apa-apa kecuali menggerakkan kedua kaki dan tangannya. Tubuhnya pun bagai tak punya tenaga lagi.
Mereka tibadi taman kecil yang agak lengang. Di sekitar taman itu berdiri deretan ruanganruangan kantor danllaboratonumiangit bermen-dung. Udara pengap dan makin melelehkan ker ingat lpong.
"Aku tidak sanggup mengambil keputusan," keluh Ipong seraya duduk di atas bangku kayu. "Bagaimana aku bisa menentukan hidup dan mati ayahku sendiri?"
"Kau tidak usah mengambil keputusan. Sebab keputusannya sudah ada. Kau tinggal menyampaikannya kepada dokter, karena kau yang menjadi kepala keluargamu sekarang."
"Tidak. Aku tidak akan menyampaikan keputusan itu. Aku tidak bisa menyampaikan keputusan kematian ayahku sendiri!"
"Jangan berpikir sejauh itu, dong. Kau kan sudah berusaha. Semua orang sudah berusaha.
ibumu, adik-adikmu, keluarga besarmu, para dokter dan perawat, semuanya sudah berusaha sehabis daya mereka. Tapi ada kekuasaan yang paling tinggi di atas sana. Kekuasaan yang tidak bisa ditandingi oleh siapa siapa."
lpong memandangi Lady Mae dengan takjub. Cewek yang biasanya serampangan dan bicara sebagaimana remaja lainnya bicara itu kini bisa berkata-kata dengan begitu indahnya. Lady Mae seolah bukan lagi si tomboy menyaiak dan bicara biasa sama nadanya. sama tekanan. tekanannya. Dia telah menjadi makhluk serius. yang berkata-kata pun dengan kalimat indah dan rapi tatanan setiap katanya.
Lembah Nirmala 3 Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan Ikro 1

Cari Blog Ini