Ceritasilat Novel Online

Mahligai Di Atas Pasir 4

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W Bagian 4


dengan berani. Tatapan matanya begitu nyalang. Begitu
kurang ajar. Membuat Rima tersinggung. Sedih. Sekaligus
sakit hati.
"Jangan mentang-mentang sedang sedih kamu kira
boleh berlaku tidak sopan pada Ibu!"
"Biar!" Tika membanting tubuhnya di tempat tidur.
Menelungkup menutupi kepalanya dengan bantal. "Tika
benci Ibu! Benci!"
*** Tidak ada sakit hati yang lebih menoreh sukma selain
dibenci oleh anak kandung sendiri. Tetapi bagaimanapun
bencinya anaknya kepadanya, Rima tidak dapat memusuhi
Tika. Tidak dapat membenci anaknya sendiri!
Walaupun kesedihannya akibat ulah Tika lebih dalam
daripada kesedihan akibat kehilangan suaminya, Rima
masih mampu bertahan.
Dia tidak membalas kebencian Tika dengan
kemarahan. Dia tetap tegar melindungi anak-anaknya dari
shock yang lebih hebat lagi.
Melindungi mereka dari kehancuran akibat kesedihan
yang berlarut-larut.
Di depan anak-anaknya dia berusaha meredam
kesedihannya. Dia selalu berusaha menghibur mereka.
Cuma Soni yang tahu betapa berat beban yang harus
ditanggung Rima, ketika semua orang seolah-olah249
menyalahkannya atas kepergian Ian. Cuma Soni yang
mampu merasakan kesedihan Rima yang sebenarnya.
Cuma Soni yang tahu sebenarnya Rima tidak setabah apa
yang selalu diperlihatkannya pada orang lain
Sebenarnya Rima sama rapuhnya dengan perempuan
lain. Bedanya, dia tidak mau menangis meratapi nasibnya.
Dia tidak mau memamerkan kesedihannya. Tidak mau
memperlihatkan kelemahannya. Dan tidak sudi dikasihani.
Satu-satunya tempatnya berkeluh kesah cuma Soni.
Pada saat kesedihan datang seperti tidak mengenal kasihan,
ternyata playboy itu dapat menjadi sahabat yang benarbenar ada pada saat dibutuhkan.
Soni selalu siap membantu. Dan dia selalu berada di
sisi Rima pada saat diperlukan.
Saat itu Rima benar-benar bersyukur mempunyai
seorang teman seperti Soni. Dan saat itu Rima baru
menyadari artinya "seorang diri". Tidak punya siapa pun
untuk diajak bicara.
Seandainya tidak ada Soni, barangkali dia sudah
memboyong anak-anaknya pulang ke kampung. Supaya
dia punya seseorang tempat berkeluh kesah. Tempat
mengadu. Tempat bertanya.
"Mengapa Pak Ian harus menghukumku dengan cara
begini?" keluh Rima antara sedih, bingung, dan penasaran.
"Kalau dia benar-benar menyayangi anak-anak, mengalah
dengan cara begini bukan cara pemecahan yang terbaik
untuk mereka! Pengorbanannya untukku dan anak-anak
malah semakin menjauhkan mereka dariku! Anak-anak
menuduhku menjadi penyebab kepergian ayah mereka!"250
"Dia hanya ingin memberimu kesempatan untuk
mengambil kembali milikmu yang hampir hilang, Rima,"
sahut Soni, sabar dan penuh pengertian seperti biasa.
"Kamulah yang harus berusaha keras agar kesempatan yang
diberikannya kepadamu itu tidak sia-sia!"
"Apa yang harus kulakukan? Bulan pasti bisa kumiliki
kembali. Tapi Tika? Dia benar-benar membenciku.
Bagaimana meyakinkan seorang anak perempuan berumur
sembilan tahun bahwa ayah-ibunya tak mungkin lagi
tinggal seatap?"
"Dia memang anak ayahnya. Shock-nya atas
kehilangan bapaknya pasti lebih berat. Tapi aku tidak
percaya kamu tidak bisa mengatasinya. Dia baru berumur
sembilan tahun. Anak seusia itu pasti masih membutuhkan
seseorang. Kalau tidak ada ayahnya, lama-lama dia pasti
mencari ibu."
"Bagaimana kamu yakin akulah ibu yang dicarinya?"
"Kamu punya calon lain?"
"Dia sangat dekat dengan Bu Lies, wali kelasnya."
"Tapi gurunya tidak dapat menjadi ibunya! Kamulah
yang harus merebut tempat kosong di hatinya itu!"
Tetapi bagaimana caranya? Rima sudah hampir putus
asa. Berbulan-bulan dia berusaha mendekati Kartika. Dia
malah terasa semakin menjauh!251
23 Jakarta, 1991
KARTIKA memanifestasikan kebenciannya pada ibunya
dengan membenci semua yang disukai ibunya. Sebaliknya,
jika ibunya tidak menyukai sesuatu, Tika malah
melakukannya.
Rima benar-benar pusing dibuatnya. Enam bulan
pertama sesudah lan pergi, dia betul-betul kewalahan oleh
ulah Tika.
Setiap kali Soni datang ke rumah mereka, pasti Tika
sengaja membuat Rima marah. Dia sengaja memecahkan
jambangan kristal kesayangan Rima. Menjatuhkan piringpiring porselennya. Atau mendorong guci antiknya sampai
jatuh dan pecah berderai.
Pokoknya, Tika belum puas kalau Rima belum merasa
kesal. Dia belum senang kalau Ibu belum marah-marah.
Lebih-lebih kalau ada Oom Soni...
Firasatnya mengatakan, Ibu sangat menyukai lelaki
ini... karena itu dia harus menyingkirkan Oom Soni! Tika
takut kalau-kalau Oom Soni bakal menggantikan tempat
Bapak di rumah....252
"Jangan pegang-pegang!" bentak Tika judes ketika
Soni menyentuh bonekanya.
"Tika!" hardik Rima tajam. "Bicara yang sopan!"
"Oom cuma mau lihat bonekamu," kata Soni sabar.
"Nggak boleh?"
"Nggak!" sahut Tika dingin. Direnggutnya boneka itu
dan dibawanya berlari.
"Maafkan dia," kata Rima dengan perasaan tidak enak.
"Oh, nggak apa-apa. Aku mengerti kok. Dia tidak
menyukaiku."
"Dia tidak menyukai semua orang. Bukan cuma
kamu."
"Bagaimanapun, kita harus berusaha mendekatinya.
Supaya dia tidak semakin jauh."
Soni melaksanakan kata-katanya dengan berusaha
mendekati Tika. Dia selalu datang membawa buah tangan
yang dapat menyenangkan Tika. Tetapi Tika tidak pernah
memperlihatkan kegembiraannya. Apalagi perasaan
bersahabat. Dia cuma melirik benda-benda itu. Dan
meninggalkannya begitu saja.
"Tika nggak suka?" tanya Soni sabar. Sambil
tersenyum, dia menoleh ke arah Bulan yang sedang
mengawasi benda-benda pemberian Soni itu. "Ulan juga
nggak suka?"
"Ulan suka!" sahut Bulan segera. Dengan gembira dia
menghambur mendapatkan benda-benda itu. Tetapi sesaat
sebelum dia menyentuhnya, dia menoleh lebih dulu ke
arah Soni. "Boleh, Oom? Boleh buat Ulan?"
"Tentu saja, Manis! Tapi cium Oom dulu dong!"253
Ketika Bulan berjingkat untuk mengecup pipi Soni
yang sudah membungkuk di hadapannya, Tika menerjang
ke depan. Menyambar oleh-oleh yang masih terletak di
atas meja itu. Dan membawanya berlari.
Bulan meraung marah dan mengejar kakaknya.
"Sabar," bisik Soni kepada Rima yang sudah hampir
meledak lagi. "Tika memang sengaja memhuatmu marah."
"Kali ini dia sudah keterlaluan!" geram Rima gemas
ketika mendengar jerit tangis putri bungsunya dari bagian
belakang rumah.
Ketika Rima dan Soni sampai di sana, mereka melihat
semua benda pemberian Soni sudah mengapung di kolam
renang.
Tika sedang berkacak pinggang. Menatap adiknya
yang sedang menangis dengan perasaan puas.
*** "Jangan nangis, Ulan," bujuk Soni sambil
menggendong Bulan. "Besok Oom bawakan yang dua kali
lebih besar daripada itu. Ulan mau boneka beruang? Gome
watchl Atau sepeda? Sekarang jangan nangis, ya? Jangan
bikin Ibu kesal."
Tetapi Rima memang sedang kesal, biarpun Bulan
sudah berhenti menangis.
"Bukan begitu caranya menyambut pemberian
seseorang," gerutunya jengkel setelah menghukum Tika di
dalam kamar. "Jahat sekali tingkahnya terhadap adiknya!"254
"Dia memang sengaja berbuat begitu untuk
membuatmu jengkel."
"Jika dia sendiri tidak menginginkan hadiah itu,
mengapa adiknya juga tidak boleh memilikinya?"
"Sudahlah. Jangan marah-marah terus. Memang itu
yang diinginkan Tika. Membuat ibunya marah."
"Aku memang harus memarahinya. Kalau bukan aku,
ibunya, yang mengajarnya sopan santun, siapa lagi?"
"Lupakan dulu sejenak pendidikan moral. Yang harus
kita lakukan sekarang adalah mengenyahkan rasa
permusuhannya kepadamu dan kepada orang-orang yang
dekat denganmu karena kehilangan ayahnya."
"Tapi bagaimana caranya? Aku sudah hampir putus
asa!"
Rima memang pantas putus asa. Rasanya semua jalan
telah dicobanya untuk sampai ke hati Tika. Tetapi Tika
tetap menutup pintu hatinya rapat-rapat.
Tika selalu menolak semua usaha pendekatan ibunya.
Padahal Rima sudah berusaha keras mendekati anaknya.
Mengajaknya makan di luar. Berenang. Belanja. Atau
sekadar berekreasi. Lebih-lebih kalau ada Soni.
Lain dengan Bulan. Dia memang masih sering sedih
kalau teringat ayahnya. Tetapi dia tidak memusuhi ibunya.
Tidak mau membuat Ibu marah. Dan tidak menolak
pendekatan Oom Soni. Bulan malah cenderung menyukai
lelaki itu. Cuma Tika yang masih memperlihatkan sikap
bermusuhan.
Kadang-kadang sikap itu diperlihatkannya dengan
berlebihan. Seperti menumpahkan kecap ke baju Soni
kalau mereka sedang makan bersama. Sengaja menyenggol255
gelasnya. Atau sengaja menggores badan mobil Soni
dengan benda tajam.
Pokoknya suasana di rumahnya dibuatnya tidak
nyaman. Kacau. Menjengkelkan. Semua orang di rumah
itu menjadi sasaran kejailannya. Supaya Ibu kesal dan
marah-marah terus.
Kalau tidak memecahkan barang-barang, Tika akan
mengganggu Bulan sampai menangis. Atau menyetel
musik sekeras-kerasnya sampai Rima terpaksa datang
memarahinya.
"Aku benar-benar kewalahan dibuatnya," keluh Rima
sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. "Tidak tahu
lagi bagaimana harus mengatasinya."
"Barangkali sudah saatnya kamu bawa Tika ke seorang
psikolog."
Saat itu terdengar lengking Bulan dari
kamarnya di tingkat dua. Terkejut dan cemas Rima
bergegas naik ke atas. Memburu ke kamar Bulan. Dan
tertegun di ambang pintu.
Desah kengerian terlepas dari celah-celah bibir Rima
ketika melihat Bulan tegak di luar jendela kamarnya.
Jendela kaca itu terkunci dari dalam. Dan Bulan sedang
menangis sambil menggedor-gedor kaca jendela dengan
ketaku-tan.
Bergegas Rima memburu ke jendela. Hendak
membuka jendela itu. Tetapi Soni yang sudah tiba di
belakangnya, langsung mencegahnya.
"Kalau kamu dorong jendela itu, Ulan bisa jatuh,"
katanya sambil mengekang kecemasann-ya. "Sekarang
tenangkan dirimu. Jangan panik. Aku akan ke kamar256
sebelah. Mencapai tempat Ulan. Dan menariknya sedikit.
Saat itu baru jendela kamu buka. Oke?"
Soni berlari-lari ke ruang sebelah. Membuka jendela
yang searah dengan jendela kamar Bulan. Memanjat ke
luar. Dan merayap di dinding untuk mencapai tempat
Bulan. Begitu melihat Soni, sambil menangis Bulan
langsung bergerak hendak menghampiri.
"Jangan bergerak, Ulan!" seru Soni dengan jantung
berdegup keras. "Diam-diam saja di situ! Jangan takut.
Oom akan ke sana memegangmu!"
Soni mengulurkan sebelah tangannya. Tangan yang
lain mencengkeram erat-erat bingkai jendela. Kedua
kakinya menjejak tembok setebal sepuluh sentimeter yang
menjadi tumpuan satu-satunya kakinya dan kaki Bulan.
Sambil masih menangis ketakutan Bulan mengulurkan
tangannya. Mencoba menggapai tangan Soni.
Hati-hati sekali Soni melepaskan tangannya yang
mencengkeram jendela. Dengan mencodongkan tubuhnya
ke depan, dia merapat ke dinding. Dan melangkah
setindak... sedikit lagi... sedikit lagi... sampai tangannya
yang satu berhasil meraih tangan Bulan dan
menggenggamnya.
"Tenang, Ulan. Oom sudah berhasil memegang
tanganmu. Jangan bergerak, ya? Diam-diam saja dulu di
situ. Ibu akan membuka jendela... dan membawa Ulan
masuk...."
Soni menggenggam tangan Bulan erat-erat.
Ditempelkannya tubuhnya ke dinding lebih rapat lagi. Jika
Bulan melompat ke arahnya... mereka berdua pasti akan
jatuh ke bawah....257
Soni tidak mempunyai pegangan lagi. Hanya dinding
licin di hadapannya. Tembok sempit di bawah kakinya.
Dan rumput luas terbentang di bawah sana....
Hati-hati dengan menahan perasaannya, Rima
membuka daun jendela. Dan mengulurkan tangannya


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencengkeram tangan Bulan.
"Tenang saja, Ulan. Jangan buru-buru!" kata Soni
mantap. "Kamu sudah selamat. Jangan takut! Pegang saja
tangan lbu kuat-kuat."
Untung Rima berhasil meredam kegugupannya. Dia
mampu dengan mantap tapi hati-hati mengangkat tubuh
Bulan melewati bingkai jendela.
*** "Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Tika?" geram Rima
sambil memukul pantat anak sulungnya dengan gemas.
"Mencelakakan adikmu? Untuk membalas dendam pada
lbu?!"
Bulan sudah menceritakan bagaimana Tika
membujuknya untuk memanjat jendela. Mengangkatnya
melewati bingkai jendela itu. Dan menurunkannya ke
tembok di luar jendela. Tika memaksa adiknya meniti
tembok sempit di bawah kakinya. Dan buru-buru
menutup jendela serta menguncinya.
Benar-benar jahat! Amarah Rima meluap tak
tertahankan lagi.
Lebih-lebih melihat sikap Kartika. Jangankan
menangis. Menyesal pun tidak. Dia mengunci mulutnya
rapat-rapat.258
Ditentangnya mata ibunya dengan berani.
Tatapannya memendam dendam dan kebencian. Tidak ada
rasa takut. Apalagi sesal.
"Tukar bajumu! Ikut lbu," perintah Rima dingin tapi
tegas sesaat sebelum memutar tubuh meninggalkan kamar
anaknya.
Tika membuang muka sambil mendengus marah.
"Jika lima belas menit kamu belum ada di dalam
mobil, Ibu akan menyeretmu!"
"Tika nggak mau pergi ke mana-mana!" teriak Kartika
sengit.
"Siapa yang menanyakan pendapatmu?" balas Rima
sama sengitnya.'Tukar bajumu! Ibu tunggu di luar!"
"Ke mana?"
"Ke dokter! Kamu sakit!"
"Nggak mau!"
"Soni!" seru Rima tidak sabar lagi.
Begitu Soni muncul di ambang pintu, Tika langsung
menghambur lari hendak melewatinya. Tetapi belum
sempat dia meloloskan diri, Soni telah menangkapnya. Dan
menggendongnya ke mobil.
Sia-sia Tika meronta. Soni baru melepaskannya setelah
mengempaskan tubuhnya ke bangku belakang mobil.
"Kamu yang minta diperlakukan seperti ini," kata Soni
sabar.
Dibalasnya tatapan Tika yang penuh kebencian itu
dengan tenang. "Kamu merusak kebahagiaanmu sendiri."
"Awas kalau Bapak pulang nanti!" ancam Tika berang.259
"Kalau Bapak tahu apa yang telah kamu lakukan pada
adikmu, hukumanmu pasti bertambah!"
Kartika tetap membisu. Sepatah pun dia tidak
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya. Ketika psikolog itu sedang berbicara dengan
ibunya, sengaja dia menyenggol foto keluarga yang
terpampang di atas meja tulis. Foto itu terguling. Dan
jatuh ke lantai.
Rima menoleh dengan marah. Sudah siap menegur
anaknya dan menyuruhnya memungut foto itu. Tetapi
psikolog itu mencegahnya.
"Biar saja," katanya sabar. "Kalau hal itu dapat
melampiaskan kejengkelannya, biarkan saja."
Kartika memandang psikolog wanita itu dengan
tatapan penuh tantangan. Kalau dapat bicara, barangkali
matanya akan berkata, Mau apa? Aku tidak takut padamu!
Tetapi Bu Nuke membalas tatapannya dengan sabar.
Sama sekali tidak terbersit kemarahan dalam tatapan
maupun suaranya.
"Bagaimana kalau besok kita ngobrol di sini, Tika?
Berdua saja. Tentang apa saja yang kamu suka." Bukan
menjawab, Tika malah membuang pandangannya ke
tempat lain.
"Jawab yang sopan kalau ditanya, Tika!" suara Rima
kaku menahan kemarahan.
Tetapi Tika malah mengentakkan kakinya dengan
jengkel. Wajahnya cemberut.
"Biarkan saja dulu," cegah Bu Nuke ketika Rima
hendak menegurnya lagi. "Tika sedang berada dalam masa
yang paling sulit dalam hidupnya. Dia sendiri menderita.260
Dan dia ingin membagi penderitaannya kepada orang lain.
Terlebih lagi kepada orang yang dianggapnya telah
menyebabkan penderitaannya."
"Dan dia ingin membalaskan sakit hatinya kepada
saya," keluh Rima antara kesal dan sedih. "Dia menganggap karena kesalahan sayalah ayahnya meninggalkannya."261
24 Jakarta, 1992
SEJAK saat itu Rima dengan teratur membawa Kartika
berobat ke psikolog. Tetapi setahun telah berlalu,
jangankan berubah, sikap Tika makin lama malah makin
tak terkendali.
Segala upaya telah dicoba untuk mengubahnya. Tetapi
semua jerih payah mereka sia-sia belaka. Tika semakin liar.
Semakin jahat. Dan semakin membenci ibunya. Padahal
Rima telah berusaha dengan segala cara untuk mendekati
anaknya kembali. Dari cara yang paling halus sampai yang
paling keras, semuanya tidak mempan meraih simpati Tika.
Rima malah pernah mengajak anaknya berdua saja
berlibur ke Bali. Supaya ada kedekatan di antara mereka
berdua. Susah payah Rima membujuk Bulan agar mau
tinggal di rumah hanya bersama pembantu. Demi Tika.
Tetapi semuanya sia-sia belaka. Belum habis liburan
mereka, Rima terpaksa buru-buru pulang kembali ke
Jakarta.
Tiba-tiba saja Tika lenyap seharian. Kalang kabut
Rima mencarinya ke mana-mana. Rima malah sudah
mengira anaknya tenggelam di laut.262
Tika memang gemar sekali berenang. Dan meskipun
sudah berulang-ulang dinasihati agar jangan berenang ke
laut, Pantai Sanur yang indah menantang memang sangat
menggoda untuk dicicipi.
Seharian Rima menggelandang ke sana kemari seperti
orang gila. Tidak ingat makan. Tidak ingat mandi. Lupa
segala-galanya. Ingatannya hanya pada Tika. Mengapa
Tika meninggalkan kamarnya tanpa pamit?
Menjelang malam, Rima sudah benar-benar panik.
Dia sudah menghubungi pihak keamanan hotel.
Menelepon Soni di Jakarta. Bahkan hampir menghubungi
polisi ketika tiba-tiba Kartika muncul.
Diantar oleh seorang pemuda berkulit putih berambut
jagung yang mengendarai motor sewaan.
Motor itu berhenti di depan lobi hotel. Dan Tika
turun dengan tenang. Melambai dengan santai kepada
pemuda yang mengantarkannya. Dan tanpa rasa bersalah
sedikit pun, melenggang masuk ke hotel. Melewati ibunya
yang sudah seperti ikan asin yang sudah seharian dijemur.
Rima sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata
pun saking marahnya.
"Tika, ke kamar!" perintahnya tegas memendam
kegusaran. Diberikannya kunci kamar dengan kasar.
Tanpa membantah, tanpa menjawab, bahkan tanpa
menoleh, Tika meraih kunci itu sambil lalu.
Melenggang santai tanpa mengacuhkan kemarahan
ibunya dan tatapan ganjil orang-orang di sekitarnya, dia
melangkah ke lift.263
"Tolong beritahu Pak Jaya, anak saya sudah ketemu,"
kata Rima kepada petugas hotel yang mendampinginya.
"Saya harus menelepon ke Jakarta untuk memberi kabar."
*** Lama Rima mengetuk pintu kamarnya. Rupanya Tika
sedang mandi. Atau dia sengaja pura-pura tidak
mendengar ketukan di pintu kamarnya.
Ketika Rima masuk, dia melihat kamar mandi yang
basah berantakan seperti kapal karam. Tetapi karena dia
tahu Tika memang sengaja ingin membuatnya marah,
Rima menekan kegusarannya. Dia duduk di kursi. Dan
menunggu sampai Tika selesai menyisir rambutnya yang
basah.
"Sini, Tika," perintah Rima dingin. "Ibu mau bicara."
Acuh tak aeuh Tika duduk di tepi tempat tidur.
Tangannya sudah meraih tombol radio untuk
menyalakannya ketika Rima membentaknya, "Matikan!"
Kartika memang membatalkan niatnya. Tetapi tidak
mengubah sikapnya. Dengan perasaan jemu dia menunggu
kata-kata ibunya.
"Ke mana kamu seharian ini?"
"Ke Pantai," Tika menjawab datar. Seolah-olah bukan
ibunya yang bertanya.
"Tidak perlu pamit sama Ibu?"
Tika tidak menjawab. Tapi baik paras maupun
sikapnya sama sekali tidak menampakkan penyesalan.264
"Ibu tidak perlu tahu ke mana kamu pergi?" ulang
Rima tajam. "Kamu merasa sudah cukup besar hingga tidak
perlu memberitahu ibumu ke mana kamu pergi?"
Tika tidak menjawab. Mukanya tetap sedingin dan
sedatar semula. Matanya menatap permadani seolah-olah
lantai lebih menarik daripada wajah ibunya.
"Lihat ke sini, Tika!" bentak Rima ketika ambang
kesabarannya telah terlewati.
Psikolog itu memang berpesan agar tidak mengasari
Tika. Tidak memarahinya. Karena justru itulah yang
diinginkan Tika. Kemarahan ibunya. Tetapi bagaimana
Rima dapat menahan diri lagi dalam keadaan seperti ini?
Seharian dia didera stres. Panik. Takut. Ke mana dia harus
menyalurkan kemarahan ini?
Tika mengangkat wajahnya. Dan menatap ibunya
dengan dingin.
"Tahukah kamu Ibu mencarimu seharian? Ibu kuatir
kamu celaka! Kenapa kamu berbuat seperti ini, Tika?
Kenapa kamu lakukan ini pada Ibu?!"
Sepi. Tidak ada jawaban. Kartika hanya diam
mengawasi ibunya dengan tatapan tawar. Seakan-akan dia
sedang mengawasi sebuah patung.
Rima tanpa sadar melayangkan tangannya menampar
pipi anaknya. Meskipun dia tahu, itu tindakan terakhir
yang seharusnya boleh dilakukannya.
"Jawab Tika! Mengapa kamu lakukan ini pada ibumu?!
Mengapa?!"
"Tika cuma mau jalan-jalan!" geram Tika marah
menahan tangis. Dia tahu, dia tidak boleh menangis di265
depan ibunya. Walaupun sebenarnya dia sering menangis
sendiri. "Tika bosan di sini!"
"Kenapa tidak pamit sama Ibu?!"
"Karena Ibu pasti melarang!"
"Tahu kenapa Ibu melarangmu pergi dengan orang
asing yang tidak dikenal seperti itu?"
Tika membuang mukanya dengan sengit. Nanya
melulu, gerutunya dalam hati. Jawab saja sendiri!
"Karena dia bisa berbahaya!"
"Dia baik!" bantah Tika keras.
"Kelihatannya baik! Belum tentu!"
"Dia beliin Tika air kelapa! Baju kaos..."
"Dan dia minta apa padamu?" potong Rima antara
kesal dan kuatir.
"Nggak minta apa-apa!"
"Kamu tidak boleh pergi lagi!"
"Besok dia mau jemput Tika lagi. Dan Tika mau
pergi!"
"Besok kita pulang ke Jakarta!"
*** "Aku benar-benar kewalahan," keluh Rima pada Soni.
Satu-satunya tempat pelarian kalau kepengapan di rumah
dan di tempat kerja menyesakkan dadanya.
"Waktu kecil aku juga nakal seperti Tika," sahut Soni
sambil tersenyum sabar. "Aku benci ayahku. Aku
melakukan apa saja yang dapat membuat Ayah marah."266
"Apa sebenarnya yang kalian kehendaki?"
"Tidak tahu. Keinginan itu timbul begitu saja."
"Barangkali Tika baru puas kalau aku mati."
"Aku tidak mengharapkan ayahku mati. Sebenarnya
aku juga sayang padanya. Aku cuma ingin membuatnya
marah."
"Menarik perhatiannya?"
"Tidak juga. Aku anak tunggal. Seluruh perhatiannya
tercurah padaku."
"Jadi apa yang harus kulalukan?"
"Terus terang, sampai sekarang aku sendiri tidak tahu.
Kenakalan itu terus berlanjut sampai aku menginjak masa
remaja. Bahkan sesudah menjelang dewasa pun aku masih
menentang setiap keinginan ayahku."
"Aku tidak mau Tika menjadi gadis berandal! Seorang
plavboy macam kamu masih bisa dimaafkan bila bertobat.
Tapi seorang gadis brengsek? Masih adakah maaf
baginya?"
*** "Tidak masuk sekolah?" Rima menatap Kepala Sekolah
dengan tatapan tidak percaya.
"Hampir satu minggu."
"Tapi setiap hari sopir saya mengantarkannya ke
sekolah. Dan menjemputnya lagi di sini."
"Kenyataannya Tika sudah seminggu tidak masuk
kelas. Justru pada minggu ini, banyak sekali tes. Minggu
depan ada EHB. Kalau dia tidak naik kelas tahun ini,267
terpaksa kami mengeluarkannya. Sekolah ini tidak dapat
menerima murid yang tiga tahun berturut-turut duduk di
kelas yang sama."
Rima kembali ke kantor dengan perasaan gundah.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak Ian menghilang, Tika memang seperti kehilangan
semangat belajar. Jangankan belajar. Melihat buku pun
rasanya malas. Tapi tidak masuk sekolah?
Tahun lalu Rima masih dapat memahami kalau Tika
tidak naik kelas. Dia sangat terpukul karena kehilangan
bapaknya. Karena itu dia enggan belajar. Tetapi tahun ini?
Haruskah dia tinggal kelas lagi?
Rima benar-benar bingung. Rasanya semua
pekerjaannya di kantor tiba-tiba terasa menjengkelkan.
Kamar kerjanya yang nyaman terasa pengap. Dia tidak
ingin melakukan transaksi apa pun hari ini. Tidak ingin
mengadakan pertemuan dengan relasirelasi bisnisnya. Dia
cuma ingin menyendiri. Merenung. Berpikir. Dan justru
pada saat yang paling tidak tepat, orang yang paling tidak
ingin ditemuinya muncul di kamar kerjanya.268
25 PRANATA masih tetap menarik meskipun usianya telah
merambah ke usia pertengahan. Wajahnya memang tidak
setampan Soni. Penampilannya pun tidak pernah rapi.
Tetapi dia masih tetap sedinamik dan seenergik dulu.
Masih tetap menyimpan pesona terpendam seorang
seniman. Dan masih tetap sulit ditolak.
"Apa kabar, Rima?" sapanya begitu duduk di sofa
ruang kerja Rima.
"Kurang baik," sahut Rima apa adanya.
"Ya, saya dengar tentang musibah yang menimpamu.
Sudah ada kabar dari suamimu?"
Rima menggeleng tawar. Tanpa menyembunyikan
rasa segannya dia duduk di depan Pra-nata.
"Bagaimana Rano?"
"Sedang menyelesaikan skripsinya."
"Syukurlah."
"Bagaimana bisnismu?"
"Begini-begini saja. Agak sulit. Tapi tidak macet."
"Semua usaha sedang mengalami kesulitan dewasa ini.
Tapi saya yakin kamu mampu mengatasinya."
"Apa yang dapat saya bantu, Pak Pranata?" tanya Rima
tanpa berusaha menyembunyikan perasaan jemunya.269
"Oh, saya cuma ingin menemuimu. Sejak suamimu
menghilang, saya belum sempat ke sini. Saya mencari
pengalaman baru di Amerika. Baru kemarin kembali ke
tanah air."
"Ya, saya baca di koran Pak Pran tinggal di New
York."
"Hampir dua tahun."
"Pasti banyak menimba ilmu di sana."
"Mudah-mudahan ada gunanya untuk diterapkan di
sini."
"Perlu kostum baru untuk pementasan berikutnya?"
"Sementara ini belum. Saya cuma datang ke sini
khusus untuk menengokmu."
"Terima kasih atas perhatiannya."
"Anak-anak baik?"
"Agak sulit diatasi."
"Mereka pasti sangat kehilangan ayahnya."
"Yang bungsu sudah bisa menerima. Tapi yang
suiung tidak dapat menerima kepergian ayahnya dengan
cara begini. Mereka memang sangat dekat."
"Kalau ada yang dapat saya bantu..."
"Sementara ini belum. Terima kasih."
"Jika ada yang kamu perlukan, Rima, jangan segansegan untuk mengatakannya pada saya."
Suatu waktu dulu aku sangat memerlukan katakata
semacam ini, pikir Rima kesal. Tetapi saat itu, kamu tidak
pernah mengucapkannya!270
*** "Saya tidak mengerti," kata Bu Lies dengan perasaan
gundah. "Dulu Tika sangat dekat dengan saya. Semua
problemnya diceritakannya kepada saya. Sekarang
tampaknya dia lebih suka menyimpannya untuk dirinya
sendiri."
"Dia tidak pernah menceritakan apa keinginannya
pada Ibu?"
"Satu-satunya yang ditanyakan pada saya cuma, ke
mana ayahnya? Dan itu pula satu-satunya pertanyaan yang
tidak dapat saya jawab!"
"Padahal saya tahu, Tika sangat menyukai Ibu. IbuIah
harapan saya satu-satunya untuk menyembuhkan Tika.
Kata psikolog yang merawatnya, harus ada seseorang yang
dekat dengannya. Tempat dia menumpahkan semua unekuneknya. Melalui orang yang paling dekat dengannya
itulah kesadaran atas kepergian ayahnya perlahan-lahan
ditanamkan."
"Saya sudah berusaha untuk mendekatinya, Bu Rima.
Tapi Tika seperti sengaja menutup diri. Kalau saya
perhatikan, sikap menutup dirinya itu bukan hanya kepada
saya saja. Tetapi juga kepada guru-guru yang lain. Kami
memperoleh kesan, Tika tidak menyukai guru-gurunya
karena guru selalu mengingatkannya pada ayahnya."
"Menurut pendapat saya, Tika malah tidak menyukai
semua orang, Bu. Dia mengurung dirinya dalam perasaan
bermusuhan terhadap sekelilingnya."
"Dan dia memanifestasikan kebenciannya pada
lingkungan dengan mencelakakan orang lain. Supaya271
orang lain ikut merasakan penderitaannya. Kami benarbenar hampir kewalahan menghukumnya, Bu. Sehari
sebelum dia bolos sekolah, dia menyulut gaun teman
sebangkunya dengan korek api. Tiga hari sebelumnya, dia
membuang buku temannya ke dalam WC."
"Saya juga sudah hampir putus asa, Bu Lies. Saya kira,
Tika hanya dapat pulih bila ayahnya kembali."
*** Soni membukakan pintu mobil untuk Rima. Dia
mengulurkan tangannya. Dan Rima meraih tangan lakilaki itu. Membiarkan Soni membantunya turun dari mobil.
Sesaat tubuh mereka terasa demikian dekat. Sampai
Soni dapat mencium aroma parfum yang dipakai Rima.
Sesaat keduanya sama-sama tertegun. Menyadari
rangsangan yang tiba-tiba menyergap.
Sesaat Rima melupakan siapa laki-laki ini. Dan di
mana mereka berada. Ketika kesadaran menyentakkannya
kembali, tubuhnya telah berada dalam pelukan Son i.
Sejenak Rima terpukau. Terkejut sendiri oleh reaksi
yang diberikannya. Mengapa dia membiarkan Soni
melakukannya? Di depan rumahnya pula! Pcmbantupembantu bisa melihatnya! Anak-anak bisa melihatnya!
Dari kamar mereka di atas sana... secepat kilat Rima
melirik ke jendela kamar anak-anaknya... tepat ketika
sebuah jambangan bunga yang cukup besar sedang
melayang turun ke atas kepala mereka....272
Rima memekik kaget sambil menghela tubuh Soni.
Bersama-sama mereka jatuh tumpang tindih. Hanya
sedetik sebelum jambangan itu hancur lebur di tanah....
"Kamu tidak apa-apa, Rima?" tanya Soni sambil
membantu Rima berdiri.
Ketika melihat jambangan bunga itu, Soni sudah tahu
apa yang telah terjadi. Jambangan itu memang terletak di
atas balkon di depan jendela ruang keluarga, tepat di
samping kamar Tika. Tetapi jambangan itu tidak akan
jatuh sendiri kalau tidak didorong... Dan Soni tahu sekali
siapa yang mendorongnya!
*** "Sekarang kamu bukan hanya kurang ajar pada
ibumu," geram Rima sambil menampar pipi putri
sulungnya. "Kamu malah ingin mencelakakan Ibu!"
"Bukan Tika!" bantah Kartika sama marahnya.
"Kenapa Ibu selalu nyalahin Tika? Ibu nggak sayang sama
Tika!"
"Kalau begini terus perbuatanmu, siapa yang sayang
sama kamu?!"
"Siapa bilang itu perbuatan Tika?!"
"Jangan bohong, Tika!" bentak Rima gemas. "Sudah
berbuat salah, berdusta pula!"
"Tika nggak bohong! Bukan Tika..."
"Oke, Tika," potong Soni tak sabar. "Bukan Tika
yang melakukannya. Di mana Tika ketika jambangan itu
jatuh tadi?"273
"Di dapur!" sahut Tika tegas. Cepat. Tanpa ragu
sedikit pun. Matanya menatap Soni dengan penuh
tantangan. Mau apa ikut campur, kata mata itu sengit.
Siapa sih kamu?
"Tapi Bi Romlah bilang kamu ada di atas."
"Di dapur!"
"Sedang apa kamu di sana malam-malam begini?
Membersihkan kompor?"
Kartika sudah membuka mulutnya untuk menjawab.
Tetapi Bulan yang tiba-tiba muncul di belakangnya, lebih
cepat lagi menyambar.
"Kak Tika di sini sama Ulan!"
"Bohong!" Tika sudah berbalik hendak memukul
adiknya. Tetapi Rima keburu menangkap lengannya.
Merasa aman, Bulan mencibir mengejek ke arah
kakaknya.
"Kak Tika ngintip Ibu di jendela itu!" katanya berani,
sesaat sebelum menghambur lari setelah menjulurkan
lidahnya ke arah Tika.
Kartika meronta hendak lari mengejar adiknya. Tetapi
Rima mengetatkan cengkeramannya.
"Kamu sudah keterlaluan, Tika! Ibu tidak tahu lagi
bagaimana harus menghadapimu. Guru-gurumu di sekolah
pun sudah kewalahan."
"Bukankah psikolog itu menganjurkan agar Tika
dimasukkan ke asrama yang ketat peraturannya?" sela Soni
tenang. "Di sana tidak ada yang memanjakannya. Dia
harus taat pada peraturan. Harus belajar sambil bekerja
mengurus dirinya sendiri. Bagaimana kalau kita kirim Tika274
ke sana? Barangkali di sana mereka mampu mengatasi
kenakalannya. Dan rumah ini menjadi tenteram kembali."
"Nggak mau!" cetus Tika marah. Dilepaskannya
tangannya dari cengkeraman ibunya. Ditatapnya Soni
dengan penuh kebencian.
"Waktu kecil dulu Oom juga pernah dimasukkan
asrama," Soni tersenyum tipis. "Asyik juga lho! Di sana
banyak teman yang sealiran. Tika pasti senang. Di sana
kalau tidak jadi jagoan, kamu pasti dikerjain sama anak
yang lebih nakai daripada kamu!"
"Nggak mau!" protes Tika sengit. Matanya menatap
Soni dengan buas. Apa hakmu ikut campur, kata mata itu
dengan penuh kemarahan. Sok ngatur!
"Tolong bawa dia ke mobil, Soni," pinta Rima letih.
Dia memang melihat kemarahan Tika. Tetapi dia juga
merasakan ketakutan putrinya. Kalau benar dia takut
dimasukkan asrama... akan jerakah dia?
Tetapi kali ini, Tika lebih gesit. Sebelum Soni sempat
bergerak, Tika telah meloloskan diri. Dan berlari secepatcepatnya ke bawah. Langsung menghambur ke pintu
keluar.
"Tika!" teriak Rima antara marah dan cemas.
"Mau ke mana?!"
Soni segera memburu Tika. Sementara Rima
mengejar dari belakang. Ketika mereka sampai di
pertengahan tangga, Tika telah sampai di depan pintu. Dia
membuka pintu dan menghambur keluar. Menubruk
seseorang yang tegak di ambang pintu.
"Hup!" Orang itu menangkap tubuh Tika dengan
terperanjat. "Mau ke mana, Non? Kok buru-buru amat?"275
Tika sudah meronta sekuat tenaga untuk meloloskan
diri ketika dia mendengar suara ibunya, dingin dan
tertekan.
"Pak Pranata." Suara Ibu seperti keluhan.
Mendengar suara itu, Tika yakin, Ibu sangat tidak
menyukai lelaki yang sedang memeganginya ini. Lelaki
berpenampilan semrawut... berpakaian semau gue...
berambut gondrong... wah, Ibu paling tidak suka
ketidakrapian semacam ini! Ibu pasti tidak menyukainya...
pasti! Dan Tika berhenti meronta dengan sendirinya.
"Ada apa?" tanya Pranata heran. Dia menatap Rima
sesaat sebelum tatapannya beralih pada Tika kembali.
"Halo, Manis! Ada yang ingin dikejar? Ayo, Paman bantu!"
Suaranya begitu ramah. Begitu menarik. Entah ada
apanya suara itu. Ibu tidak menyukai kedatangan orang ini.
Itu berarti dia bukan teman baik Ibu!
"Apa kabar, Bung Pranata?" sapa Soni tanpa
mengulurkan tangannya.
"Baik," sahut Pranata wajar. Tidak dingin. Tidak juga
hangat.
Sambil berpaling kembali kepada Rima, tanyanya
lunak, "Boleh saya masuk?"
"Maaf, Pak," sahut Rima tanpa menyembunyikan nada
tidak senang dalam suaranya. Mengapa makhluk ini selalu
muncul pada saat yang tidak tepat? "Ada persoalan yang
harus saya selesaikan dengan Tika."
Rima langsung menyambar tangan anaknya. Tetapi
Tika malah merapat pada Pranata seperti minta
perlindungan. Merasa ada seorang bocah yang minta276
perlindungannya, refleks Pranata bergerak seperti hendak
melindunginya.
Sekejap Rima tertegun. Tidak menyangka Pranata
akan bersikap demikian. Dan Tika menggunakan
kesempatan itu untuk menyelusup makin erat ke tubuh
Pranata.
"Tika nggak mau dikirim ke asrama!" rengeknya kesal.
"Ke asrama? Anak semanis kamu?" Pranata
menggendong Tika sambil tersenyum ramah. "Tentu saja
tidak!"
"Tolong turunkan dia, Pak Pranata," kata Rima
menahan marah. "Tika harus dihukum."
Mendengar nada suara Rima yang demikian serius,
Pranata sudah bergerak menurunkan Tika dari
gendongannya. Tetapi Tika malah merangkul leher lelaki


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu erat-erat. Seakan-akan minta pertolongan.
"Tika nggak mau ke asrama!"
"Dia sangat ketakutan, Rima." Pranata tidak jadi
menurunkan Tika dari gendongannya. "Tidak baik
menakut-nakuti anak kecil seperti itu."
"Saya tahu bagaimana harus mendidik anak, Pak,"
sahut Rima kesal.
"Kenyataan yang saya lihat tadi tidak demikian."
"Tolong jangan campuri urusan keluarga saya."
Pranata melirik Soni sekejap sebelum menjawab
dengan tegas, "Tika sangat ketakutan. Apa yang kalian
lakukan terhadapnya?"
Soni menghela napas jengkel. Dia mengangkat bahu
dan menjatuhkan dirinya di sofa.277
"Tanyalah apa yang dilakukannya terhadap kami!"
geram Rima jengkel.
Pranata menoleh kepada anak perempuan dalam
gendongannya. Ditatapnya Kartika dengan lembut.
"Apa yang telah kamu lakukan?" tanyanya tanpa nada
marah.
Seperti menemukan seorang pelindung, Tika
langsung merangkul leher Pranata kembali.
"Tika nggak mau masuk asrama!"
"Oke. Tika nggak masuk asrama. Apa yang tadi Tika
lakukan? Ayo, bilang sama Paman Prana. Jangan takut!"
Sialan, maki Rima dalam hati. Lagaknya seolah-olah
dia bapak yang baik!
"Ibu bilang Tika bohong!"
"Padahal tidak?"
"Jangan memanjakannya, Pak Pranata," geram Rima
sengit. "Jangan lebih merusaknya lagi!"
"Sekarang masuk ke kamarmu ya, Manis? Paman mau
bicara dengan ibumu." Pranata menurunkan Tika dari
gendongannya setelah mengecup pipinya dengan hangat.
"Percayalah, kamu tidak usah masuk asrama."
"Besok Paman ke sini lagi?" tanya Tika ragu-ragu.
Ditatapnya penolongnya dengan penuh harap seperti
menatap dokter yang akan menyelamatkan nyawanya.
"Tentu." Pranata tersenyum lebar. "Masuklah."
Dengan patuh Tika mengikuti perintah Pranata.
Ketika melewati sofa tempat Soni duduk, dia melirik
dengan penuh kebencian ke arah laki-laki itu. Dan
menjulurkan lidahnya dengan sengit.278
"Nah, sekarang mari kita bicara," kata Pranata kepada
Rima, seolah-olah dialah yang punya rumah.
Tidak ada yang perlu dibicarakan, geram Rima dalam
hati. Tika memang anakmu, tapi jangan berlagak jadi bapak di
sini! Kamu tidak berhak bertindak sebagai ayahnya!
"Saya sedang tidak ingin bicara," sahut Rima tegas.
"Tidakkah kamu merasa ada yang perlu dibicarakan
tentang anakmu?"
"Tentu. Tapi bukan dengan Bapak!"
"Saya datang pada saat yang tepat. Ketika Tika sedang
membutuhkan seseorang untuk melindunginya. Saya tidak
dapat menolak permintaan seorang anak perempuan
seumur dia! Anak yang tertekan dan menderita!"
Tapi dulu kamu pernah menolaknya! Justru ketika dia
masih dalam kandungan dan membutuhkan seorang ayah! Buat
apa kamu berlagak jadi pahlawan sekarang?
"Kalau saya memerlukan pertolongan Pak Pranata,
saya akan mengatakannya."
"Yang membutuhkan pertolongan adalah anakmu,
Rima. Bukan kamu."
"Saya berhak menolak orang lain ikut campur tangan
dalam urusan keluarga saya."
"Saya memang orang lain. Tapi saya ingin menolongnya. Ingin menolongmu. Saya dengar kamu mengalami
kesulitan dalam menghadapi anak-anakmu setelah ayah
mereka pergi. Nah, kalau ada orang yang dapat
menolongmu, mengapa harus ditolak?"
"Bung Pranata," Soni bangkit dari kursinya dengan
sikap jemu. Sudah cukup lama dia berdiam diri.
Menunggu. Tetapi pelawak ini belum mau pergi juga.279
Masih mengulang-ulang permohonannya yang telah
ditolak. Dasar kulit badak!
"Rima sudah mengemukakan keinginannya. Tidak
ingin dibantu dalam mendidik anaknya. Bukankah sudah
saatnya untuk mengundurkan diri? Carilah orang lain yang
barangkali memerlukan pertolongan Bung."
Sekarang Pranata memalingkan wajahnya. Dan
menatap Soni dengan tajam. "Terus terang, saya heran
menemukan Bung Soni di lahan yang tidak biasanya
digarap." Suaranya terdengar sinis.
Soni tersenyum tipis. Sama sekali tidak tersinggung
mendengar sindiran Pranata.
"Terus terang, saya juga heran mengapa seorang
seniman besar seperti Bung Pranata tidak peka terhadap
tanggapan orang yang ingin sekali Bung bantu."
"Saya ingin membantu Kartika. Dia membutuhkan
perlindungan."
"Dari ibunya. Bukan dari orang lain. Bukan juga dari
Bung Pran."
"Dia takut terhadap ibunya. Karena itu dia lari
mencari pertolongan orang lain."
"Tapi orang itu bukan Bung Pran. Rima sudah
mempunyai seorang psikolog untuk Tika."
"Jika seorang psikolog gagal, bukan berarti saya pasti
tidak berhasil." Pranata menoleh kembali kepada Rima.
Katanya sungguh-sungguh, "Biarkan saya menolong
anakmu, Rima. Tidak ada ruginya mencoba, bukan?"280
26 KARTIKA masih tetap bandel. Masih tetap melawan
semua kehendak ibunya. Tetapi paling tidak, dia telah
menemukan seseorang tempat dia menumpahkan unekuneknya.
Pranata jadi sering datang ke rumah. Bahkan sering
membawa Tika pergi. Meskipun Rima tidak menyukainya.
Mula-mula Rima mengira karena pelajaran Tika.
Karena dia takut pelajaran Tika terganggu. Takut pelajaran
Tika semakin tertinggal kalau dia sering bepergian.
Belakangan Rima merasa, alasannya bukan cuma itu. Ada
alasan lain. Dia takut Tika semakin dekat dengan
Pranata....
Hubungan mereka memang sangat cepat menjadi erat.
Apakah Pranata datang pada saat yang tepat sebagai
bintang penolong? Atau karena Rima tidak menyukainya
sehingga Tika justru lekat kepadanya? Atau... ada benang
merah yang menghubungkan batin ayah dan anak yang
sedarah itu? Rima benar-benar tidak rela kalau mereka
sampai mengetahuinya!
"Jangan sering-sering mengajaknya keluar sampai
malam begini," gerutu Rima pada Pranata ketika malam itu
dia mengantarkan Tika pulang pada pukul sepuluh malam.281
"Kapan dia mau belajar? Pelajarannya sudah tertinggal.
Kepala Sekolah sudah mengancam, tidak naik kelas lagi,
keluar!"
"Tika sangat menyukai karya-karya saya," sahut
Pranata gembira. "Dia suka sekali berada di sanggar."
"Dia suka berada di mana saja kecuali di rumah!"
"Mengapa kamu selalu memusuhinya, Rima?"
"Tika yang selalu memusuhi saya sejak kepergian
ayahnya!"
"Dia bilang, kamu yang menyebabkan Bapak pergi."
"Dia mengatakannya kepada setiap orang!"
"Semakin kamu benci dia, semakin jauh juga dia
darimu."
"Siapa bilang saya benci padanya? Dia anak saya! Saya
hanya sudah kewalahan menghadapinya! Dia membahayakan semua orang di rumah ini. Menjatuhkan
jambangan ke kepala saya. Menaruh Bulan di luar jendela
kamarnya di tingkat dua. Mengunci Bi Romlah di gudang.
Menyiram si Belang dengan air panas. Bagaimana saya bisa
bermanis-manis lagi padanya?"
"Tidak kamu cari alasannya mengapa dia berbuat
demikian? Di sanggar dia sama sekali tidak nakal!"
"Kalau tidak saya cari, saya tidak pergi ke psikolog!"
"Kamu yang harus mencarinya, bukan
psikolog."
"Saya sudah tidak mampu!"
"Karena kamu tidak betul-betul berusaha!"
"Saya tidak perlu membuktikan pada siapa pun saya
sudah berusaha setengah mati."282
"Termasuk menjauhi Soni?"
Rima tidak jadi membuka mulutnya. Ditatapnya
Pranata dengan tajam.
"Apa hubungannya dengan Soni?" tanyanya dingin.
"Tika sangat membenci Soni. Dia tidak suka kamu
berhubungan dengan pria itu."
"Dia tidak menyukai setiap orang yang saya sukai."
"Soni bukan figur bapak yang baik untuk anakanakmu."
Sekarang Rima tersenyum sinis. "Tolong tunjukkan
figur bapak yang baik untuk anak-anak saya."
"Soni mungkin cocok untukmu. Tapi tidak berarti
sesuai dengan anak-anakmu."
"Bagaimana kalau sebaliknya? Sesuai dengan anakanak tapi tidak cocok untuk saya?"
"Anak-anakmu sudah besar, Rima. Sudah saatnya
kamu menghargai pendapat mereka. Soni bukan tipe ayah
idaman mereka."
"Kata siapa Soni akan menjadi ayah mereka?"
"Kamu tidak bermaksud menikah dengan dia? Rela
menjadi teman kencan saja?"
"Bagaimana saya dapat menikah? Saya belum
bercerai."
"Kamu masih mengharapkan suamimu kembali?"
"Supaya saya dapat mengajukan permohonan cerai."
"Tidak bermaksud rujuk kembali? Mencoba memperbaiki rumah tanggamu demi anak-anak?"283
Rima menggeleng mantap. "Rumah tangga kami tidak
mungkin diperbaiki lagi. Karena itu Pak Ian pergi. Dia
tidak ingin anak-anak menderita."
"Tapi Tika sangat mengharapkan ayahnya kembali."
"Dia harus belajar melihat kenyataan. Betapapun
pahitnya."
"Jangan musuhi dia, Rima. Dia sangat menderita."
"Saya hanya tidak tahu bagaimana harus menghadapinya."
"Beri saya kesempatan untuk menjadi pengganti
ayahnya, Rima. Dia sangat kehilangan figur bapak."
Rima tertegun. Tidak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. Seandainya Pranata tahu... ya, seandainya dia
tahu!
*** "Mungkin saya bukan figur lelaki idolamu,
Rima," terngiang lagi kata-kata Pranata tadi.
Belum pernah Rima melihatnya berbicara dengan
gaya demikian sugestif. Belum pernah. "Tapi saya yakin,
sayalah satu-satunya lelaki yang dapat menggantikan figur
bapak di hati anak-anakmu. Saya sudah berhasil merebut
hati Tika. Sesuatu yang tidak seorang pun mampu
melakukannya setelah ayahnya pergi. Tidak kamu. Tidak
Soni. Tidak juga psikolog. Apakah itu bukan suatu
prestasi?"
"Jika Pak Pranata mau menggantikan tempat ayahnya
di hati Tika, silakan saja. Saya sangat bersyukur. Asal tidak284
mengganggu pelajarannya. Tapi mengharapkan lebih dari
itu, tidak mungkin."
"Maksudmu, mengharapkan menggantikan juga
tempat suamimu?"
"Saya belum ingin memikirkan lagi seorang laki-laki
untuk diri saya sendiri. Jika saya membangun mahligai
lagi, saya tidak ingin membangunnya di atas pasir. Saya
perlu landasan yang kokoh untuk membangun kembali
rumah tangga saya."
Dan lelaki yang akan membangun mahligai bersamaku
pasti bukan kamu, sambung Rima dalam hati. Kamu pernah
memperkosaku. Pernah menggoreskan trauma yang amat dalam
ketika usiaku masih teramat muda! Bagaimana aku mampu
merasakan kenikmatan seks bersamamu? Kamu telah menodai
kesucian hubungan antara pria dan wanita dengan nafsu
kebinatanganmu! Dan sampai sekarang, aku belum dapat
memaatkannya!
"Kalau begitu saya akan menunggu. Sampai kamu
menemukan lelaki yang cocok untuk anak-anakmu.
Sekaligus untuk dirimu sendiri"
Tapi di mana lelaki itu, pikir Rima gundah. Tika
memang kelihatannya menyukai Pranata. Tapi apakah itu
bukan karena Tika mengira ibunya membenci lelaki ini?
Cuma semacam pelampiasan kebencian? Sengaja menjengkelkan Ibu? Lagi pula... sampai kapan pun, Rima tidak
dapat melupakan kejalangan Pranata dulu. Bagaimana dia
dapat menghargainya lagi? Bagaimana dia dapat menerima
lelaki yang pernah memperkosanya sebagai suami yang
harus dicintainya? Bagaimana dia sanggup menyerahkan
dirinya di tempat tidur kepada pria yang pernah merampas285
kehormatannya? Seorang laki-laki yang pernah menghina
dirinya!
Lain dengan Soni. Dia belum pernah memaksakan
kehendaknya. Dia memang sering merayu Rima. Tetapi
belum pernah memaksa!
Tika memang tidak menyukai Soni. Lain dengan
adiknya. Bulan betul-betul menyukainya. Soni memang
pintar memikat wanita. Anak-anak sekalipun. Sebentar
saja, Bulan sudah akrab dengannya.
"Oom Soni lucu, baik, hebat, ya, Bu?" komentar
Bulan suatu hari, ketika baru sembuh dari sakit panas.
Selama sakit, Soni dengan telaten mengunjungi dan
menemani Bulan.
Lucu karena memang dia punya segudang cerita


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

humor. Yang pas buat anak-anak seumur Bulan. Kadangkadang juga yang agak menyerempet-nyerempet sesuatu
yang belum diketahui Bulan, tetapi yang memang sangat
ingin diketahuinya.
Baik karena dia selalu membawakan oleh-oleh yang
Bulan sukai. Permainan yang belum pernah dimilikinya.
Kadang-kadang khusus dibawakan Soni dari luar negeri.
Hebat karena dia sering membawa Bulan dengan
mobilnya yang hebat itu ke tempat-tempat yang hebat dan
bertemu dengan orang-orang yang hebat pula. Tentu saja
sebelum Bulan sakit.
Dan sesudah sekian lama bergaul erat, bukan cuma
Bulan yang enggan berpisah. Soni pun seperti dihinggapi
perasaan takut berpisah. Takut kehilangan. Sungguh
perasaan yang aneh buat seorang pria berpengalaman286
seperti Soni. Takut kehilangan anak perempuan yang
bukan apa-apa-nya!
"Kapan aku boleh menjadi ayahnya, Rima?" tanyanya
suatu hari. "Kapan aku boleh merasa yakin, tidak ada lelaki
lain yang dapat merebut tempatku di hati Ulan?"
Rima benar-benar bingung. Kedua anaknya telah
memilih dua pria yang berbeda sebagai pengganti ayah
mereka. Sementara Rima masih tetap terombang-ambing
dalam kebimbangannya sendiri.
Di mana Pak Ian? Benarkah dia tidak akan pernah
kembali lagi? Bagaimana kalau sesudah Rima menganggap
suaminya meninggal, tiba-tiba dia muncul kembali?
Bagaimana kalau saat itu dia sudah menikah lagi?
"Tika lagi?" tanya Soni begitu melihat murungnya
paras Rima.
Mereka sedang duduk di sebuah restoran eksklusif di
lantai delapan. Menikmati santap malam berdua. Makanan
yang disajikan tidak terlampau lezat. Tetapi Rima
menyukai tempat ini karena suasana yang dihidangkannya.
Penerangan yang tidak terlampau terang kalau tak
dapat dikatakan redup. Ketenangan yang hanya
dipecahkan oleh denting alat-alat makan dan suara
penyanyi di atas panggung sana. Baik suara penyanyi itu
maupun piano yang mengikuti alunan suaranya tidak
terlalu keras memekakkan telinga.
Jika sudah letih dipusingkan oleh urusan pekerjaan
dan jemu di rumah, Rima suka duduk-duduk di tempat ini.
Dan karena dia enggan duduk sendirian di sini, dia
mengajak Soni.287
Soni memang coeok untuk dibawa ke tempat
semacam ini. Dia tidak memalukan seperti Pak Ian.
Penampilan maupun gayanya tidak pernah
mengecewakan.
Dalam segala hal, dia memang cocok dengan selera
Rima... mengapa pasangan yang demikian cocok seperti
mereka tidak dapat membangun mahligai yang harmonis?
Sekarang Soni sudah banyak berubah. Dia tidak
pernah berfoya-foya lagi. Menghamburkan uang ayahnya
di luar negeri. Dia berusaha untuk mengimbangi Rima.
Meniti kariernya di perusahaan ayahnya. Meskipun belum
dapat membuang sama sekali kebiasaan lamanya. Minum.
Perempuan. Musik.
Soni masih sering pergi minum di pub. Masih sering
ke disko. Dan menurut pendapat Rima, masih gemar
mengincar wanita. Terutama yang menarik.
Pernah Rima mencoba menasihatinya. Tetapi Soni
cuma menjawab sambil tersenyum,
"Jika kamu melarangku jajan di luar, kamu harus
menyiapkan santapan lezat di rumah. Dan karena kamu
belum dapat menghidangkannya, jangan larang aku untuk
mencarinya sendiri di tempat lain."
Bukan baru sekali-dua memang Soni melamarnya.
Tetapi Rima belum dapat menerima lamaran lelaki itu.
Meskipun sebagai wanita muda yang sehat, sudah lama dia
merindukan kehadiran seorang laki-laki dalam hidupnya.
Tetapi bagaimana dia dapat menikah lagi kalau belum
bercerai? Dan bagaimana dia dapat bercerai kalau suaminya
belum diketahui juga nasibnya?288
"Sampai kapan kamu harus menunggu? Sampai
rambutmu beruban dan tidak ada lagi pria yang mau
melamarmu?" gerutu Soni berulang-ulang. "Tak seorang
pun menyalahkanmu kalau kamu menikah lagi. Seandainya
suamimu masih hidup, dan dia masih ingin melanggengkan perkawinan kalian, dia pasti sudah kembali!"
"Tika tidak menyukaimu. Kalau kita menikah, dia
tambah depresi. Dan makin membenci ibunya."
"Jika kita tidak menikah pun, Tika tetap tidak
menyukaiku. Yang menyebabkan kebenciannya padaku
bukan karena aku akan menikah dengan ibunya. Tetapi
karena ayahnya meninggalkannya. Dan dia tidak tahu ke
mana harus melampiaskan kemarahannya."
"Tika menganggap gara-gara akulah ayahnya pergi.
Gara-gara aku tidak mau berkumpul lagi bersama mereka.
Kalau aku menikah denganmu dan kita tinggal bersamasama, dia akan menganggapmu merebut tempat ayahnya."
"Katamu dia harus diajar melihat kenyataan,
betapapun pahitnya. Kalau pernikahan kita membuatnya
tambah tidak menyukai kita, jangan salahkan perkawinan
itu sendiri."
"Aku belum dapat menerimamu sekarang, Soni."
"Jangan kira aku akan menunggumu terus sampai tua,
Rima. Aku bukan lelaki tipe itu. Kalau aku keburu
menemukan perempuan lain..."
"Itu hakmu. Aku tidak dapat mencegahmu.
Seandainya kamu sudah menjadi suamiku sekalipun, dan
ada perempuan lain yang lebih menarik hatimu, bagaimana
aku dapat meyakinkan diriku aku masih dapat
memilikimu?"289
Soni tersenyum lebar.
"Aku kenal dirimu. Kamu perempuan yang tidak
gampang menyerah. Kamu akan mempertahankan
milikmu mati-matian, bukan?"
*** "Sudahlah, jangan pikirkan Tika lagi," bujuk Soni dalam
mobil yang membawa mereka pulang. "Malam begini
indah. Mengapa harus diisi dengan kemurungan terus?"
Soni mengulurkan tangannya. Meraih tangan Rima.
Dan meremasnya dengan lembut.
Rima membalasnya sambil menghela napas.
"Terimakasih, Soni."
"Untuk apa? Meremas tanganmu? Kamu memang
istimewa. Belum pernah ada wanita yang berterima kasih
waktu kugenggam tangannya."
"Membantuku selama ini."
"Aku belum merasa memberikan bantuan apa-apa."
"Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu harus bicara
dengan siapa."
"Jadi aku cuma teman bicara?" Soni tersenyum tipis.
"Kamu sahabat sejati."
"Aku mau lebih dari itu." Soni melingkarkan lengan
kirinya di bahu Rima. Dan meraihnya dengan lembut
sampai Rima merapat ke tubuhnya.
"Sudah dua tahun suamimu hilang. Kupikir sudah
saatnya kamu mengurus perceraianmu. Supaya kita dapat
menikah. Sebelum aku bosan menunggumu."290
Tentu saja Rima juga sudah ingin menikah lagi. Dia
tahu dia sudah jatuh cinta pada Soni. Dia menginginkan
laki-laki itu. Ingin menghangatkan ranjangnya yang telah
sekian lama membeku. Ingin punya seseorang yang bisa
dilayaninya sebagai suami. Ingin bangun pagi dengan
seseorang di sampingnya.
Tetapi... bagaimana kalau Pak Ian masih hidup?
Bagaimana jika suatu hari dia kembali? Dan... bagaimana
dengan Tika?
Akhir-akhir ini Tika memang tidak terlalu merepotkan lagi. Walau masih memperlihatkan sikap
permusuhannya, Tika sudah tidak seperti dulu. Percaya
atau tidak, Pranata telah berhasil menjinakkannya. Padahal
psikolog yang paling pandai pun telah kewalahan
mengatasi Tika. Dan tampaknya dari hari ke hari,
hubungan Tika dan Pranata semakin dekat.
Rima tidak heran melihat mobil Pranata masih
diparkir di depan rumahnya ketika dia pulang dengan Soni
malam itu. Padahal malam sudah cukup larut. Pranata
sendiri yang membukakan pintu depan ketika Rima baru
hendak memasukkan kunci ke lubangnya.
"Belum pulang?" tanya Rima, sama sekali tidak
mencoba ramah.
"Tika baru saja tidur," sahut Pranata tanpa rasa
tersinggung sedikit pun.
"Mudah-mudahan dia sudah membuat PR," sindir
Rima sambil melewati tempat Pranata.
"Selamat malam," sapa Soni yang melangkah di
belakang Rima.291
"Malam," sahut Pranata tanpa mengacuhkannya
sedikit pun. Dia langsung mengikuti Rima ke ruang
tengah.
"Saya ingin minta izin menjemput Tika pulang
sekolah besok, Rima."
Rima meletakkan tasnya di atas meja dengan jengkel.
Dan berbalik menatap Pranata. Tanpa menyembunyikan
perasaan kesalnya.
"Lusa bukan hari libur. Tika harus belajar. Sekali lagi
tidak naik kelas..."
"Saya tahu. Dia harus keluar. Kamu sudah tiga kali
mengatakannya."
"Saya tidak harus mengatakannya sampai empat kali,
kan?"
"Tika ingin melihat geladi resik pementasan saya
besok malam."
"Mengapa dia harus pergi sejak pulang sekolah?"
"Dia ingin melihat kesibukan-kesibukan di sanggar
dan latihan-latihan sebelumnya. Tika sangat menyukainya."
"Tapi dia harus belajar dan membuat PR."
"Hanya sekali besok, Rima," pinta Pranata sungguhsungguh. "Saya sudah janji pada Tika. Saya akan
menjemputnya pulang sekolah. Dan dia begitu gembira.
Terus terang, belum pernah saya ikut merasa bahagia
melihat kegembiraan orang iain. Dan kebahagiaan itu saya
rasakan ketika melihat kegembiraan Tika."
Sesaat Rima tercenung. Sudah lahirkah naluri seorang
bapak di hati Pranata? Kelihatannya semakin hari dia
semakin lekat juga dengan Tika.292
"Izinkanlah saya menjemput Tika, Rima," suara
Pranata begitu memohon. Membuat Rima tidak mungkin
menolak. Bagaimana menolak permintaan seorang lelaki
yang demikian memohon?
"Terakhir kali saya menjemput anak sekolah, ketika
Rano berumur enam tahun. Sekarang saya baru menyesal.
Begitu banyak tahun-tahun yang hilang yang tidak dapat
saya lewati lagi bersama anak saya."
Dasar seniman, keluh Rima dalam hati. Dia pintar
mengajuk perasaan orang! Terutama emosi seorang
wanita, seorang ibu!
"Tika mengingatkan kembali saat-saat bahagia
bersama Rano. Tiba-tiba saja saya baru menyadari, betapa
bodohnya kehilangan wak-tu yang demikian manis
bersama seorang anak. Kali ini saya benar-benar ingin
menjemput Tika pulang sekolah, Rima. Bukan hanya
karena Tika menginginkannya. Tetapi sekaligus karena
saya mendambakannya. Tika telah menyadarkan saya, ada
sesuatu yang hilang dalam hidup saya selama ini."
*** Rima membawakan segelas susu hangat ke kamar Bulan.
Gadis kecil itu masih asyik bermain catur bersama Soni.
"Permainan selesai," kata Rima sambil meletakkan susu
itu di atas meja kecil di samping tempat tidur. "Ulan mesti
bobok, ya? Besok sekolah, kan? Jangan sampai Ibu mesti
mengguncang-guncang badan Ulan baru Ulan bangun!"
"Ah Ibu! Lagi seru nih!" protes Bulan kecewa.293
"Dua menit lagi," pinta Soni sambil tersenyum ke arah
Rima. "Oke, Bu?"
"Oke." Rima duduk di tepi tempat tidur. Menyaksikan
Bulan dan Soni saling memindahkan buah catur mereka.
Raja milik Bulan sudah dikejar sampai ke tengah-tengah
papan catur. Rasanya sebentar lagi Bulan pasti menyerah.
Tetapi dia memang keras kepala. Pantang menyerah.
Barangkali mewarisi sifat ibunya.
Dan ketika sedang menonton ulah mereka, tak sadar
pikiran itu menyelinap ke sanubari Rima... Seandainya
Soni dapat menjadi ayah Bulan... Seandainya dia tidak usah
pamit setiap kali menggendong Huian ke tempat tidur,
menyelimutinya dan mengecup pipinya... Seandainya
Bulan tidak usah bertanya lagi, datang lagi besok, Oom?
"Tika belum pulang?" tanya Soni membuyarkan
lamunan Rima.
Rima menggeleng sedikit. Dan baru sadar, permainan
telah selesai. Bulan sudah menghabiskan susunya. Dan
telah berbaring di tempat tidur. Menunggu kecupan
selamat malam ibunya.
"Bobok yang lelap ya, Sayang," bisik Rima sambil
membungkuk mengecup pipi Bulan. Dia mengambil gelas
kosong bekas susu. Dan membawanya ke luar.
Soni memadamkan lampu. Dan menutup pintu.
Kemudian dengan tak terduga, dia meraih Rima ke dalam
pelukannya.
Ruangan di luar kamar Bulan sepi. Tidak ada orang
lain di sana. Penerangan redup yang dipan-carkan oleh
sebuah lampu dinding di sudut sana menerbitkan suasana
temaram yang romantis.294
Tidak seperti biasa, Soni langsung mengecup bibir
Rima. Dan tidak seperti biasa, Rima langsung memberi
respons. Suasana hatinya yang sedang galau meredam
kerinduan akan kehadiran seorang pria di rumahnya seperti


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan tempat pelampiasan.
Gelas meluncur lepas begitu saja dari tangannya. Jatuh
tanpa menerbitkan suara di atas permadani di bawah kaki
mereka.
Lengan Rima naik merengkuh leher Soni ketika lakilaki itu mendekapnya. Dan suara klakson mobil
membuyarkan kumparan emosi yang tengah mengurung
mereka.
"Tika," bisik Rima seperti sebuah keluhan. Dia
melepaskan peiukan Soni. Dan bergeser ke jendela.
Menyibakkan tirai untuk molongok ke bawah.
Pranata membukakan pintu mobil untuk Tika.
Berjongkok. Dan mengecup pipinya dengan lembut.
"Terus terang aku iri padanya," bisik Soni dari
belakang tubuh Rima.
"Pada siapa?"
"Pranata."
"Mengapa?"
"Dia berhasil mengambil hati Tika pada saat aku gagal
mendekatinya."
"Bukan salahmu." Rima hampir kelepasan bicara.
Untung dia sadar pada saat yang tepat. Dan lidahnya
keburu ditahan. Tidak sampai mengucapkan kata-kata
yang telah berada di ujung lidahnya itu. Kalau saja Soni
tahu, siapa Pranata! Apa hubungannya dengan Tika...295
"Pranata memang menarik," suara Soni seperti
keluhan. "Dia punya kharisma seorang seniman."
"Tika hanya menyukainya karena merasa aku tidak
menyukai Pranata."
"Dulu mungkin begitu. Tapi kini aku merasa, Tika
benar-benar menyukainya. Pranata telah berhasil menggantikan figur ayahnya."
Dia tidak menggantikan, pikir Rima dengan bulu roma
meremang. Dia memang ayah Tika!296
27 "BAGAMANA?" tanya Pranata ketika mengantarkan Tika
pulang sehabis menonton malam perdana pementasannya.
"Tika suka?"
Kartika mengangguk.
"Pakaian mereka bagus-bagus sekali, Paman."
"Tika suka? Nanti Paman bawakan satu buat Tika."
"Betul?" Mata Tika membulat dibakar gairah yang
meluap.
"Masa Paman bohong? Apa pernah Paman bohong
sama Tika?"
"Nggak sih," Tika tersenyum manis.
"Nanti kalau ada pementasan lagi Tika boleh memakai
baju itu."
"Ah, Tika malu dong, Paman!"
"Lho, kenapa malu? Tika cantik kok!"
"Tika kan bukan penari. Masa pakai baju kayak
begitu!"
"Tika mau belajar menari? Nanti Paman ajari."
Wajah Tika yang jarang disentuh kegembiraan sejak
ayahnya pergi, tiba-tiba sumringah tersaput kebahagiaan.
Matanya yang bersinar-sinar menatap Pranata dengan297
penuh terima kasih. Alangkah baiknya lelaki ini! Dia
begitu mirip Bapak! Baik. Lembut. Penuh perhatian....
Pranata membalas tatapan Tika sambil tersenyum.
Entah mengapa akhir-akhir ini dia merasa ketagihan
melihat senyum Tika. Melihat kegembiraan terpancar dari
matanya. Rasanya Pranata ingin membuat Tika selalu
tersenyum. Ingin membuat dia selalu gembira.
Sejak bertemu Tika, rasanya Pranata memiliki
kepuasan lain selain berkreasi. Ah, seandainya dia punya
seorang anak perempuan seperti Kartika... pasti hidupnya
tidak akan terasa hampa lagi!
Heran. Mengapa baru sekarang dia punya perasaan
seperti ini? Mengapa dia tidak mendambakannya pada dua
puluh tahun yang lalu?
Ketika Rano masih kecil, Pranata malah tidak
berambisi untuk mengajak Rano melihat pementasannya.
Apalagi mengajaknya ikut dalam salah satu pergelaran itu.
Rano sendiri pun kelihatannya tidak berminat pada dunia
seni. Dia lebih suka main layangan daripada menonton
tari-tarian.
Lain dengan Tika. Dia sangat suka berada di sanggar.
Apa pun yang dilihatnya di sana, sangat menarik
perhatiannya.
"Dia suka berada di mana saja kecuali di rumah."
Pranata teringat kembali kata-kata Rima. Diucapkan
dengan dingin. Tanpa nada.
Mengapa Rima begitu memusuhi Kartika? Apakah
karena Tika tidak menyukai Soni?
Tampaknya Rima sudah akrab sekali dengan laki-laki
itu. Tidak heran kalau suatu hari nanti mereka menikah.298
Soni juga tampaknya sudah bosan bertualang. Dia seperti
sudah menemukan pelabuhan terakhir. Tempat berlabuh
bahtera hidupnya.
Satu-satunya yang menjadi penghambat mungkin
cuma Tika. Karena Tika tidak menyukai Soni!
"Nggak tahu," sahut Tika ketus setiap kali Pranata
coba mengorek isi hatinya. "Pokoknya Tika benci Oom
Soni! Nggak tahu kenapa!"
"Kan Oom Soni baik? Suka membawakan Tika
mainan, buku, boneka, makanan?"
"Tempo-tempo sih emang baik. Tapi tempo-tempo
konyol. Sok tahu. Sok ngatur! Tika paling benci kalau dia
lagi nyuruh Ibu masukin Tika ke asrama! Katanya Tika
sama bandelnya dengan dia waktu kecil dulu!"
"Bukan karena Oom Soni terlalu dekat dengan Ibu?
Karena Ibu menyukainya? Karena itu Tika membencinya.
Takut dia menggantikan tempat Bapak di rumah?"
Tika tidak menyahut. Tetapi air mukanya selalu
menjadi suram setiap kali Pranata menanyakan hal itu.
"Tika masih menunggu Bapak?"
"Paman pikir Bapak bakal kembali?"
"Mengapa Tika pikir tidak?"
"Orang-orang bilang Bapak sudah mati."
"Tika punya pikiran begitu juga?"
"Nggak tahu deh, Paman. Sudah lama sekali sih Bapak
pergi." Mata Tika selalu tergenang air mata setiap kali dia
teringat ayahnya.
"Kalau Bapak masih hidup, kenapa nggak kirim kabar,
Paman?"299
"Paman juga tidak tahu, Tika. Tapi Tika nggak boleh
sedih terus, ya? Di mana pun Bapak berada, Bapak sedih
kalau merasa Tika tidak bahagia."
"Bapak kan tahu Tika sedih kalau Bapak nggak ada.
Tapi kenapa Bapak pergi juga, Paman?"
"Mungkin Bapak terpaksa pergi, Tika."
"Padahal Bapak tahu cuma Bapak yang sayang Tika!"
"Siapa bilang? Masa Ibu nggak sayang Tika?"
Tika menggeleng dengan paras murung.
"Ibu cuma sayang Ulan."
"Jangan bilang begitu dong. Paman rasa, Ibu juga
sayang sama Tika. Hanya cara Ibu memperlihatkan kasih
sayangnya berbeda dengan Bapak!"
"Ah, nggak ada yang sayang sama Tika!"
"Lho, Paman sayang Tika kok! Kalau tidak, buat apa
Paman capek-capek jemput Tika, ajak Tika ke manamana, membelikan Tika baju, makan sama-sama? Iya,
kan?"
Kartika menatap Pranata dengan sungguh-sungguh.
Seolah-olah hendak menilai kebenaran kata-katanya.
Benarkah Paman Pranata menyayanginya? Seperti Bapak?
Ah, dia memang mirip Bapak. Baik. Sabar. Penuh perhatian. Tapi... tetap bukan Bapak! Bukan!
"Paman punya anak?" cetus Tika tiba-tiba.
Pranata menoleh sekilas sambil tersenyum.
"Mengapa Tika tanya begitu?"
"Pingin tahu aja."
"Paman punya anak lelaki. Tapi sudah besar."
"Di mana? Kok Tika nggak pernah lihat?"300
"Di Bandung. Lagi kuliah. Namanya Rano."
"Rano nakal kayak Tika?"
"Nggak juga."
"Paman sayang dia?"
"Sayang dong."
"Kenapa Paman sayang Tika? Kan Tika nakal."
Pranata meraih anak itu ke dalam pelukannya.
"Sebenarnya Tika nggak nakal," sahutnya sabar. "Tika
cuma sedang kesal karena ditinggal Bapak! Jadi Tika
ngambek. Iya, kan? Salahnya, Tika ngambek dengan
menyusahkan orang lain. Bikin Ibu kesal. Bikin Ulan
nangis. Bikin temen-temen marah. Padahal sebenarnya
Tika jengkel kepada Bapak! Cuma karena Bapak tidak ada,
Tika menumpahkan kekesalan itu kepada orang lain."
"Bapak janji mau tinggal sama-sama lagi. Sama Tika.
Sama Ibu. Kenapa Bapak pergi begitu aja? Nggak bilang
apa-apa sama Tika!"
"Mungkin Bapak ingin kembali. Tapi tidak bisa. Tak
seorang pun tahu Bapak masih hidup atau sudah
meninggal. Tika jangan marah pada Bapak dong. Dan
jangan menumpahkan kekesalan Tika pada orang lain.
Teristimewa pada Ibu. Kasihan Ibu, kan? Ibu nggak salah
apa-apa. Men-gapa Tika selalu membuat Ibu kesal?"
Tika tidak menjawab. Kelihatannya dia sedang
memikirkan kata-kata Pranata. Dia sudah sering mendengar uraian semacam itu. Dari guru. Dari psikolog. Tapi
belum pernah dari seseorang yang disukainya seperti
Paman Pranata. Seseorang yang tidak dicurigainya sebagai
antek ibunya.301
"Ini rumah Paman," kata Pranata sambil membelokkan
mobilnya memasuki halaman rumahnya. "Tika belum
pernah ke sini. Mau lihat rumah Paman, kan?"
*** Kartika melongo heran melihat rumah Pranata.
Rumah itu lebih mirip sanggar daripada rumah tinggal.
Berantakan dan semrawut seperti baru habis ada
pementasan. Kaleng kosong bekas minuman, kertas
naskah, dan baju berserakan ke mana pun mata
memandang.
Waduh, belum pernah Tika melihat rumah yang
begini kalang kabut!
"Bagaimana?" Pranata tersenyum lebar. Mengerti
keheranan Tika. "Asyik, kan? Di sini tidak ada aturan apaapa. Tika nggak usah beres-beres. Nggak usah rapi. Nggak
usah teratur! Semua serba bebas! Tidak terikat oleh
peraturan!'"
"Wah, asyik banget nih!" cetus Tika kagum
bercampur gembira. "Siapa yang beresin rumah Paman
dong?"
"Nggak ada."
"Nggak ada bibi?"
"Nggak ada."
"Nggak ada ibu?"
"Nggak ada."
"Istri Paman?"
"Nggak ada."302
"Nggak ada yang marah?"
"Nggak ada."
"Berantakan begini tenis?"
"Seminggu sekali anak-anak sanggar ke sini memberskannya. Tapi keesokan harinya sudah berantakan lagi!"
Pranata menyeringai bangga, seakan-akan dia telah
melakukan mukjizat.
"Aduh, hidup Paman pasti asyik sekali dong!"
"Mau nginap di sini?"
"Mau banget!"
"Malam Minggu depan kita minta izin Ibu!"
"Ibu kasih izin?"
"Tentu dong. Asal Tika janji nggak nakal lagi. Tika
tahu ngapain kita nanti di sini?"
"Ngapain?" Mata Tika membulat penuh keingintahuan.
"Kita nonton semalam suntuk sambil makan kacang
goreng!"
"Di mana?"
Tanpa menjawab Pranata menarik tangan Tika ke
sebuah ruangan di tingkat dua. Cuma ada satu pintu di
ruangan tanpa jendela itu.
Ruangan itu nyaris kosong melompong. Di lantai,
terhampar sebuah kasur bulat yang Lebar.
"Paman tidur di sini?" Tika tertegun bengong di
depan kasur itu.
"Paman tidur di mana saja. Tika mau coba tidur di
situ?"303
Tanpa disuruh lagi, Kartika melemparkan tubuhnya
ke atas kasur itu. Dan dia memekik kaget. Kasur itu bukan
cuma empuk. Dia bisa menggelinjang seolah-olah Tika
menceburkan dirinya ke kolam!
"Isinya air," Pranata tertawa geli. "Asyik, kan? Nah,
diam-diam di situ! Paman punya atraksi yang lebih
menarik!"
Pranata menghampiri satu-satunya lemari di ruangan
itu. Membuka pintunya dan masuk ke ruang sebelah. Tika
membelalak takjub melihat pintu kamar yang dikiranya
pintu lemari itu. Wah, Paman Pranata punya kamar
rahasia! Seperti di film saja!
Belum hilang rasa kagumnya, dia sudah dikejutkan
oleh atraksi lain. Begitu lampu padam, terdengar suara
gemuruh yang memekakkan telinga. Dan berbareng
dengan itu, terpampang muka Paman Pranata di langitlangit kamar!
Tika bersorak gembira. Lebih-lebih ketika sesudahnya
dia melihat film ditayangkan di langit-langit kamar itu...
bukan main! Asyik benar tidur di sini! Tidak usah ganti
baju. Tidak usah cuci kaki. Tidak usah sikat gigi. Dan bisa
nonton film semalaman! Sambil makan kacang pula! Dan


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulitnya boleh dibuang di mana saja!
Wah, benar-benar bebas! Kapan lagi menikmati
kebebasan seperti ini? Kalau punya rumah sesudah besar
nanti, Tika mau punya rumah kayak begini!
"Kalau bukan di rumah sendiri kita boleh berbuat
sesuka hati, semau-maunya menikmati kebebasan, di mana
lagi?" kata Pranata sambil tertawa bebas. Di rumah, Ibu
pasti ngomel kaiau Tika tertawa sebebas itu! "Kalau di
rumah sendiri kita masih diikat oleh aturan, direpotkan304
oleh mana yang boleh, mana yang tidak, itu namanya
bodoh! Tidak menikmati hidup!"
*** "Dia tergila-gila padamu," Rima mengaku terus terang di
depan Pranata. "Sebentar lagi Tika pasti akan menjadi salah
satu fans beratmu."
Pranata tertawa gembira.
"Yang penting, terhadap anak-anak kita tidak boleh
munafik! Kita harus berpikir dan merasa seperti mereka!
Baru mereka dapat menerima kita."
"Termasuk membuang kulit kacang di kamar tidur?"
sindir Rima sinis.
"Apa salahnya sekali-sekali makan kacang di tempat
tidur?"
"Tidak ada salahnya, kalau kulitnya tidak dibuang
begitu saja ke lantai! Ternyata dia mempelajari ilmu itu di
rumah Paman Pranata!''
"Kamu tidak marah, kan? Jangan terlalu mengekang
anak-anak!"
"Tentu saja saya menegurnya. Kalau dia masih makan
kacang di kamar tidur dan membuang kulitnya ke lantai,
saya pasti akan memarahinya. Di rumah Pak Pranata dia
boleh jadi monyet. Tapi di rumah saya, dia harus jadi
manusia yang berbudaya!"
Bukannya marah, Pranata malah tertawa geli.305
"Tapi monyet juga yang menyembuhkan anakmu,
kan? Bukan psikolog! Bukan juga manusia yang mengaku
berbudaya!"
"Terima kasih karena telah memberikan kegembiraan
lagi pada Tika," kata Rima tulus. "Sejak ayahnya pergi,
belum pernah saya melihatnya segembira sekarang. Tapi
tolong, jangan ajari dia kebebasan yang menyesatkan. Dia
masih anak-anak. Gampang meniru sesuatu yang keliru."
"Kita ini sebenarnya pasangan yang cocok, Rima.
Coba kamu pikir. Kamu cocok dengan Rano. Saya cocok
dengan Tika. Nah, mengapa minggu depan kita tidak
mengadakan reuni saja dengan Rano?"
"Mengundang Rano kemari? Mengajaknya sama-sama
makan kacang di kamar tidur?"
"Tika ingin sekali ke Bandung untuk menemui Rano.
Kamu juga sudah kangen padanya, kan? Kebetulan
minggu depan anak-anak libur beberapa hari. Tidak ada
pementasan pula. Bagaimana kalau kita ke Bandung? Bajubajumu bisa ditinggal sebentar? Atau... ada yang tidak bisa
ditinggal?"306
28 SATU-SATUNYA alasan Rima menerima ajakan Pranata
hanyalah Tika. Karena dia ingin mendekati anaknya
kembali. Ingin memberikan kebahagiaan yang telah lama
sima dari hati Tika.
Barangkali ini jalan terakhir yang harus ditempuhnya
untuk sampai ke hati anak sulungnya.
Meskipun sebenarnya Rima enggan bepergian dengan
Pranata. Entah mengapa, dia selalu merasa gelisah bila
berada di dekat lelaki itu. Hatinya selalu merasa tak
tenteram. Inikah akibat terlambat dari sindroma perkosaan?
Peristiwa itu sendiri telah belasan tahun lewat. Tetapi
dampaknya masih tetap terasa sampai sekarang.
"Pergilah jika memang kamu ingin pergi," kata Soni
ketika Rima menyampaikan keinginannya. "Jangan kuatir.
Aku pasti tidak kesepian. Jika Jakarta sudah kehabisan
penggantimu, aku bisa ke Bangkok untuk mencarinya."
"Jangan bergurau, Soni! Aku serius!"
"Aku tidak bisa mencegahmu, kan? Kamu bukan
istriku. Dan kamu wanita karier yang sudah biasa
menentukan sendiri pilihanmu. Apa dayaku melarangmu?"
"Paling tidak kamu bisa memberikan pandangan."307
"Semacam nasihat? Apakah masih cukup obyektif
kalau kukatakan aku cemburu pada Pranata, karena itu
kularang kamu pergi?"
"Tidak pantas mencemburuinya! Antara kami tidak
ada hubungan apa-apa!"
"Sekarang ada! Tika ada di antara kalian!"
Tapi Tika memang sudah sejak dulu berada di antara
kami! Karena dialah yang menitiskan Tika dalam
kandunganku!
"Kenapa Oom Soni nggak ikut?" protes Bulan
penasaran. Sejak mendengar mereka akan pergi ke
Bandung bersama, dia sudah ribut. Apalagi tampaknya ada
orang yang memanas-manasinya dari belakang. Kalau Kak
Tika boleh membawa Paman Prana, mengapa dia tidak
bisa mengajak Oom Soni?
"Karena Ibu nggak ngajak Oom Soni," sahut Soni
sambil tersenyum.
"Oom mau ikut?"
"Kalau diajak, kenapa tidak? Gunung Tangkuban
Perahu tidak akan terbalik kalau Oom ikut ke Bandung,
kan?"
"Kalau begitu Oom ikut saja!" sorak Bulan gembira.
"Kenapa tidak?" sergah Soni seperti mengejek Rima
yang sudah pusing delapan keliling. "Kita bisa bikin kemah
di halaman kalau kamar tidak cukup! Ulan bisa bawa tenda
yang pernah Oom berikan dulu!"
"Tika nggak mau pergi kalau Oom Soni ikut!" protes
Kartika jengkel. Heran, kenapa sih dia selalu mau ikutikutan saja?!308
"Ulan nggak mau ikut kalau Oom Soni nggak pergi!"
bantah Bulan sama ngototnya.
"Nggak mau ikut ya sudah!" Kartika membelalak
kesal. "Siapa sih yang ngajak kamu?"
"Ibu!" Bulan berkacak pinggang dengan sama
galaknya. "Ibu nggak mau pergi kalau Ulan nggak ikut!"
"Sudah! Sudah!" potong Rima kewalahan. "Kita tidak
jadi pergi kalau kalian tidak ada yang ngalah!"
*** "Benar kamu ingin aku pergi?" tanya Soni sambil
mengulum senyum ketika Rima datang ke rumahnya sore
itu. "Kalau tidak, buat apa aku datang kemari? Ulan tidak
mau pergi kalau kamu tidak ikut."
"Jadi cuma Ulan yang ingin aku pergi!" Soni
menyeringai sinis. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku
pergi berdua saja dengan Ulan ke Bangkok?"
"Sudahlah, Soni. Jangan bikin kepalaku jadi tambah
pusing!"
"Aku tidak mau pergi kalau kamu tidak menginginkannya."
"Baiklah. Aku ingin kamu pergi. Puas?"
"Bukan begitu caranya mengajak seorang lelaki
pergi!"
"Soni..."
Rima tidak sempat melanjutkan gerutuannya. Soni
telah mcraih tubuhnya ke dalam pelukannya. Dan309
memaksanya menengadah. Menatap langsung ke dalam
matanya.
"Coba katakan dengan matamu, kamu ingin aku
pergi?"
Rima menatap laki-laki itu tepat di tengah-tengah
bola matanya. Mula-mula dengan tatapan kesal yang lamalama berubah lembut. Akhirnya mesra.
"Nah, begitu," bisik Soni hangat. "Matamu telah
mengatakan keinginan hatimu."
"Aku ingin kamu ikut," balas Rima lembut. Amat
lembut.
Akhirnya mereka pergi berlima. Pranata
mengemudikan mobil. Tika duduk di sampingnya. Rima,
Bulan, dan Soni duduk di belakang. Dan mereka menjadi
pasangan yang sangat menarik. Karena selama Tika
berenang dengan Pranata, Bulan main catur dengan Soni.
Mereka singgah di vila Soni di Puncak. Dan meskipun
Rima kadang-kadang bingung membagi waktunya, tak
dapat dipungkiri, dia merasa bahagia melihat anak-anaknya
demikian gembira.
Udara yang sejuk, suasana yang temaram, makanan
yang lezat, vila yang mewah dengan fasilitas yang lebih
dari cukup, membuat bukan hanya Rima yang tidak ingin
semua ini cepat-cepat berakhir.
Sudah lama Rima tidak memiliki lagi suasana seperti
ini dalam hidupnya. Sudah lama dia tidak menikmati
kebahagiaan seperti ini. Berada bersama anak-anaknya
dalam suasana yang damai. Di kehijauan rumput dan
kerimbunan dedaunan. Dilatarbelakangi oleh birunya310
gunung dan kelabunya langit yang menudungi kepala
mereka.
Lama Rima tepekur di kursinya. Dengan buku di
pangkuannya yang nyaris belum dibaca satu halaman pun.
Mengawasi anak-anaknya bermain sambil tertawa
gembira. Di dekat anak-anak itu tegak dua lelaki yang
berbeda. Pranata yang masih mengenakan celana renang.
Dan Soni yang mengenakan T-shirt santai.
Meskipun kedua pria itu selalu berusaha mendekati
Rima di sela-sela kesibukan mereka dengan anak-anak,
baik Soni maupun Pranata tidak menampakkan sikap
bermusuhan. Mereka dapat mengobrol dengan santai,
terutama di depan anak-anak. Cuma Rima yang dapat
merasakan semangat persaingan yang menyala di hati
mereka masing-masing.
Kalau Soni menyatakannya dengan memberi Rima
daging panggang yang dibakarnya sendiri dari tusukan
yang sama, Pranata menyatakannya dengan mengajak
Rima menyanyi bersama sementara dia memetik gitar.
Dan lambat tapi pasti, anak-anak ikut larut dalam
suasana itu. Bulan tidak mau jauh dari Soni yang sedang
asyik memanggang daging di halaman. Sementara Tika
selalu berada di dekat Pranata yang sedang memetik gitar
di bawah pohon.
"Bu, ke sini!" teriak Bulan gembira. "Lihat, dagingnya
hangus!"
"Lho, ini bukan hangus!" protes Soni sambil tertawa.
"Daging ini memang hitam kok! Sengaja supaya matang
sekali. Ulan nggak mau yang masih ada darahnya, kan?"311
Rima menghampiri tempat pemanggangan. Dan Soni
mengambil tusukan yang terletak paling di tengah.
"Lihat, ini yang paling enak!" katanya sambil
menyodorkan daging itu ke dekat mulut Rima. "Baunya
sedap, kan?"
"Yang paling pahit," komentar Rima sambil
tersenyum. "Di mana kamu belajar memanggang daging
sampai sehitam ini? Di Afrika?"
"Jangan mencela dulu! Coba dulu rasanya, baru
komentar!"
Soni meniup asap yang masih keluar dari daging
panggang itu. Setelah dirasanya tidak terlalu panas lagi,
digigitnya ujungnya. Matanya berkejap-kejap jenaka.
"Oi, lezatnya!" katanya sambil melirik Bulan. "Mau
coba?"
Bulan menggeleng geli.
"Enak kok! Nggak percaya? Nah, coba tanya Ibu!"
Soni mendekati Rima. Dengan gaya separo bercanda,
dia menyodorkan daging panggang itu ke mulut Rima.
"Nggak mau Ulan kelaparan, kan?" bisiknya mantap.
"Nah, makanlah! Jangan banyak komentar!"
Rima menggigit daging itu dan mengunyahnya
sebentar.
"Enak," katanya kepada Bulan yang masih
mengawasinya sambil tersenyum.
"Nah, apa kata Oom!" sorak Soni gembira. "Ini Oom
pilihkan yang paling besar buat Ulan!"
"Yang paling kecil aja deh!" Bulan mencoba menawar.312
"Lho, anak yang paling kecil mesti dapat daging yang
paling besar! lya, kan, Bu?" Soni melirik Rima sambil
menyeringai jenaka. Diambilnya tusukan yang paling
besar untuk Bulan. "Ini yang lebih kecil sedikit untuk
Tika. Yang paling kecil buat Ibu!"
"Kenapa Ibu dapat yang paling kecil?" protes Bulan
penasaran. "Kan Ibu bukan yang paling besar? Oom Soni
lebih besar!"
"Karena Ibu lagi diet!"
"Kenapa diet?"
"Supaya nggak gemuk!"
"Ulan juga nggak mau gemuk!"
"Tapi orang kurus juga mesti makan!"
"Ibu juga mesti makan!"
"Kalau begitu Ibu kita kasih yang nomor tiga besar ini
saja, ya? Setuju?"
"Setuju!" sorak Bulan gembira.
Terpaksa Rima menerima jatahnya dan menghabiskannya. Hanya supaya Bulan mau mengha-biskan
daging panggang itu dan tidak mengeluh lapar nanti
malam.
Soni menyuruh Bulan mengantarkan dua tusuk
daging panggang untuk Pranata dan Tika. Mula-mula
Tika memang enggan memakannya. Dia tidak suka
daging panggang. Apalagi kalau Oom Soni yang
membakarnya. Melihatnya makan daging dari tusukan
yang sama dengan Ibu saja Tika sudah merasa kenyang!
Tetapi Paman Pranata menyuruhnya makan.313
"Calon artis mesti bisa makan seadanya," katanya
sambil menggigit daging panggangnya. "Paman pernah
makan daging yang lebih keras dari ini ketika menggelar
pementasan di Moskow. Di Paris, Paman malah pernah


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan daging yang masih berdarah! Tapi Paman makan
juga. Supaya tetap dapat berkreasi. Tanpa makanan, kita
tidak bisa melakukan pekerjaan apa-apa."
Terpaksa Tika menggigit daging panggang itu sambil
mengawasi ibunya yang sedang berada di dekat Oom Soni
dengan paras murung.
"Kenapa?" bisik Pranata, memahami perasaan Tika.
"Kalau Tika mau Ibu kemari, panggil dong! Ajak Ibu
nyanyi."
Dan untuk pertama kalinya, Tika memanggil ibunya.
Rima menghampiri anak sulungnya dengan heran.
"Tika?" tanyanya bingung bercampur cemas. Kuatir
Tika sakit. Atau mengajak pulang malam-malam begini.
"Nggak apa-apa," sela Pranata sambil tetap memetik
gitarnya. "Tika cuma mau mengajakmu nyanyi bersama."
Tentu saja Rima tidak mau nyanyi. Apalagi di depan
kedua pria itu. Tetapi kalau Tika yang memintanya,
semuanya jadi lain. Seperti apa pun suaranya, dia akan
menyanyi juga. Dan ketika sedang mengalunkan My
Bonnie bertiga, Rima merengkuh Tika ke dalam
pelukannya.
***314
Vila Soni mempunyai tiga kamar tidur. Rima diberi kamar
tidur utama bersama kedua anaknya. Sementara Soni dan
Pranata menempati kedua kamar yang lain.
Tetapi karena malam itu Bulan berkeras ingin tidur
dengan Soni, terpaksa Rima akhirnya tidur sendiri. Karena
begitu melihat adiknya diizinkan tidur dengan Soni, Tika
juga ngotot hendak tidur dengan Pranata.
Mereka makan kacang di kamar tidur sambil
mengobrol. Dan kulit kacang itu bertebaran men-gotori
lantai. Sementara di kamar sebelah, Bulan sedang asyik
main catur dengan Soni. Tinggallah Rima seorang diri di
kamar sebelah. Ditemani sebuah majalah.
*** Rima sudah mengantuk sekali. Tetapi dia masih
memaksakan diri mengontrol ke kamar anak-anaknya.
Tika sudah tidur. Pranata tergolek di ranjang yang lain di
kamar itu. Seperti biasa, tidak menukar baju. "Sebenarnya
Rima ingin merapikan selimut Tika. Tetapi dia merasa
rikuh masuk ke kamar itu. Apalagi melihat cara tidur
Pranata yang seenaknya.
Ketika dia membalikkan tubuhnya hendak ke kamar
Bulan, Soni merangkulnya.
"Ngintip apa?" bisik Soni separo bergurau.
"Kenapa memata-matai aku terus?"
"Wajar saja kalau ada dua pria dalam satu rumah, kan?"
"Tolong rapikan selimut Tika."
"Mengapa bukan kamu saja?"315
"Tidak enak masuk ke kamar Pranata."
"Kita bisa masuk berdua."
Tanpa melepaskan rangkulannya, Soni membawa
Rima masuk. Rima membungkuk membetulkan letak
selimut Tika. Dan mengecup pipinya. Begitu hati-hati
agar Tika tidak terjaga.
"Ketika merangkulnya di kebun tadi, aku merasa
sangat terharu," bisik Rima sambil menutup pintu kamar
Tika. "Aku seperti menemukan kembali mutiaraku yang
telah lama hilang."
"Ingin melihat mutiaramu yang satu lagi? Tapi kamu
tidak usah merapikan selimutnya. Aku yang telah
melakukannya."
Soni membawa Rima ke kamar Bulan. Dari ambang
pintu, sambil saling berangkulan, mereka mengawasi
Bulan yang sedang tidur lelap.
"Tuhan telah memberiku anak-anak yang manis,"
bisik Rima terharu.
"Dan lelaki-lelaki yang-baik," sambung Soni sambil
mendekap kekasihnya. "Kamu tidak bingung memilih,
kan?"
"Apakah tidak sebaiknya pintu kamar ditutup?" tegur
Pranata dari ambang pintu kamar Tika. Dia bersandar ke
bingkai pintu sambil melipat lengannya di dada. Tatapan
matanya setawar suaranya. "Tidak baik dilihat anak-anak."
Rima langsung melepaskan pelukannya. Wajahnya
memerah. Tetapi Soni malah mengetatkan rangkulannya.
Sambil merangkul Rima, sahutnya tenang dan santai
seperti biasa,316
"Anak-anak harus dibiasakan untuk melihat kemesraan
orangtuanya, bukan? Supaya mereka mendalami artinya
kasih sayang."
"Bung Soni tahu efeknya terhadap Tika? Dia tidak
suka melihat ibunya pacaran dengan pria yang bukan
ayahnya."
"Bung Pranata tahu apa yang dikatakan Bulan pada
saya tadi? 'Alangkah enaknya kalau Oom Soni tiap malam
nggak usah pulang! Bisa tidur sama-sama Ulan!'"
"Sudahlah, jangan berdebat di sini," potong Rima
rikuh. "Sudah malam. Bagaimana kalau kita tidur saja? Kita
sama-sama letih."
"Akan kuantarkan kamu ke kamarmu," kata Soni
tegas. Semantap langkahnya ketika mengantarkan Rima ke
kamarnya. Dan mengecup dahinya. "Selamat malam. Tidur
yang lelap, Sayang."
*** Ketika sedang membuat kopi untuk kedua pria yang masih
tidur itu, Rima merasa aneh sendiri. Dia seperti memiliki
dua orang suami dengan dua orang anak. Sungguh sensasi
yang ganjil!
Dia meletakkan kedua cangkir kopi itu di masingmasing ujung meja. Untuk kedua anaknya, Rima membuat
cokelat susu.
Pagi amat cerah. Matahari sudah mulai menampilkan
sinarnya dari balik pepohonan. Tetapi keempat orang itu
belum ada yang bangun. Rima benar-benar merasa317
kesepian. Minum kopi seorang diri sambil menyiapkan
sarapan pagi.
Akan begini teruskah hidupnya tanpa Ian? Semakin
dekat anak-anaknya kepada kedua pria itu, dia semakin
bingung. Bagaimana dia tega mengecewakan salah satu
dari mereka?
Bulan begitu lengket pada Soni. Sebaliknya, Tika
demikian lekat pada Pranata. Jika dia tidak mengambil
keputusan sekarang, tidakkah mereka akan terjerumus
makin jauh ke dalam kumparan yang semakin rumit?
Tentu saja Rima tahu siapa yang harus dipilihnya jika
dia memutuskan untuk menikah lagi. Dia mencintai Soni.
Dan dia tidak meragukan lagi cinta lelaki itu walaupun
dulu dia playboy.
Bulan pasti dapat menerimanya. Tapi... Tika?
Akhir-akhir ini kenakalannya sudah dapat diatasi.
Pemberontakannya dapat dikekang. Dia sudah tidak begitu
sering membuat keonaran lagi. Dan semua itu pasti karena
jasa Pranata!
Tika pasti dapat menerima laki-laki itu sebagai
pengganti ayahnya. Rima yang tidak bisa!
Dia belum dapat melupakan apa yang telah dilakukan
pria itu terhadapnya dua belas tahun yang lalu! Dan Rima
tidak pernah bisa mencintainya! Sampai kapan pun!318
29 Bandung, 1992
RANO sangat gembira menerima kedatangan Rima yang
demikian tiba-tiba. Satu-satunya yang mengurangi
kegembiraannya hanyalah karena Rima tidak menyukai
cara hidupnya.
Rano sudah tinggal di rumah sendiri. Tentu saja
Pranata yang membelikannya. Sebuah rumah kecil
berkamar dua, sehingga Soni terpaksa menyingkir ke hotel.
Tentu saja setelah menenangkan Bulan yang sebelumnya
ribut mau ikut.
Rima sangat menyukai rumah itu. Meskipun kecil,
rumah itu terawat rapi. Bersih. Menyenangkan. Kecuali
bahwa yang mengurus rumah itu adalah teman kuliah
Rano, seorang gadis manis sebaya dengannya. Dan mereka
belum menikah.
Rima tidak dapat menyetujui kehidupan macam
begitu. Bagaimanapun, dia masih menghormati lembaga
perkawinan. Hidup bersama tanpa diikat oleh suatu
pernikahan, tidak dapat diterima. Dan Rima terangterangan menyatakan pendapatnya.319
Dia bukan hanya menegur Rano. Dia juga mengkritik
Pranata. Pria itu tahu tapi tidak mencegah. Tidak
melarang. Dia malah seakan-akan menyetujui saja tindakan
anaknya.
"Habis harus bagaimana lagi?" bantah Pranata ketika
Rima menegurnya "Rano sudah dewasa. Sudah dapat
menentukan jalan hidupnya sendiri. Daripada tidak ada
yang mengurus, hidup sendirian, kesepian mencari hiburan
di luar, bukankah lebih baik dia punya seseorang seperti
Emilia?"
"Tentu saja dia boleh punya seseorang seperti Emilia.
Tapi mengapa tidak menikah saja?"
"Anak-anak sekarang lain, Rima. Menurut pendapat
mereka, apa sih artinya sehelai surat nikah? Kalau ingin
berpisah kan mereka pisah juga? Malah lebih repot karena
harus mengurus perceraian!"
*** "Tentu saja saya ingin menikah dengan Emilia,
Mbak," kata Rano ketika mendapat kesempatan mengobrol
berdua saja dengan Rima. "Tapi tidak sekarang. Kami
belum lulus. Dan belum ingin terikat. Anggap saja hidup
bersama ini sebagai semacam tes. Jika kami merasa sesuai,
pasti akan kami lanjutkan dengan pernikahan kelak."
"Jika tidak?"
"Kami bisa berpisah. Dan mencari jalan masingmasing."
"Untukmu mungkin tidak ada masalah. Tapi untuk
Emilia? Dia seorang wanita, Rano. Jika dia pernah hidup320
bersamamu tanpa menikah, dia bukan gadis terhormat
lagi!"
"Saya tidak memaksanya, Mbak."
"Oke, kamu tidak memaksa! Tapi apa kamu
memberikan kesempatan kepadanya untuk memilih? Apa
kamu berikan pilihan lain?"
"Maksud Mbak?"
"Mbak tidak percaya Emilia tidak mau menikah!"
"Tentu saja dia mau. Tapi tidak sekarang. Dia belum
mau punya anak. Ingin lulus dulu. Ingin kerja. Meniti
karier. Tidak mau cuma jadi ibu rumah tangga. Ikut
suami!"
"Orangtuanya setuju?"
"Mereka tidak tahu."
"Bagaimana kalau mereka tahu?"
"Ayahnya sudah menikah lagi dengan perempuan lain
ketika Emilia berumur enam tahun. Sampai sekarang dia
tidak tahu di mana ayahnya berada."
"Ibunya?"
"Ikut kakaknya di Banjarmasin."
"Besok Mbak pulang ke Jakarta."
"Lho, kok begitu, Mbak? Rano tahu Mbak terkejut.
Kecewa. Kesal. Tapi ini keinginan Rano dan Emilia
sendiri, Mbak. Ini jalan hidup kami."
"Mbak tidak berhak melarangmu. Kamu sudah
dewasa. Tapi Mbak tidak mau anak-anak Mbak melihat
cara hidupmu. Mereka anak-anak perempuan, Rano.
Mbak tidak mau mereka mengikuti jejak Emilia!"321
*** "Ah, jangan sok suci!" bisik Pranata malam itu, ketika Rima
mengemukakan niatnya untuk pulang esok pagi.
Rima sempat memarahi Tika yang berkeras tidak mau
pulang. Akhirnya Tika ngambek. Terpaksa Pranata turun
tangan. Membujuknya. Bahkan menemaninya tidur di
kamar.
Tika akhirnya tidur juga setelah Pranata menjanjikan
akan membawanya ikut serta dalam lawatan pementasannya di Malaysia bulan depan. Kebetulan bertepatan dengan
hari libur sekolah.
Pranata masih berada di dalam kamar ketika Rima
masuk menggendong Bulan yang sudah tertidur pulas.
Melihat Rima agak keberatan menggendong anaknya,
Pranata langsung mengulurkan tangan untuk membantu.
Tetapi Rima menolak. Agak terlalu kasar sehingga
Pranata merasa tersinggung. Memang sejak Rima
mengajak anak-anaknya pulang esok pagi waktu makan
malam tadi, Pranata sudah jengkel. Baru juga sampai,
mengapa sudah mau pulang? Padahal anak-anak gembira
sekali tinggal di sana.
Tika juga tidak merepotkan. Dia cuma mengajak
Pranata jalan-jalan ke Braga dan Cibaduyut.
Apa salahnya?
Mengapa tiba-tiba perempuan aneh ini mengajak
pulang? Takut anak-anak perempuannya yang manismanis itu mengikuti jejak Emilia? Hidup bersama tanpa
menikah? Nonsens! Munafik!322
"Ala, jangan sok suci!" bisik Pranata, takut
membangunkan anak-anak. "Kamu juga sudah tidak bersih
lagi ketika menikah!"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu sebenarnya
Pranata menyesal. Dia sudah kelepasan bicara. Hanya
terdorong oleh rasa kesalnya. Ah, lidahnya benar-benar
harus dipotong!
Tetapi Pranata tidak sempat meminta maaf. Ibarat
ditikam tepat di titik lemahnya, di tempat yang paling
peka, Rima langsung meletup.
Dia seperti kehilangan kontrol yang selama ini
menguasai dirinya. Ditamparnya wajah Pranata sekuatkuatnya. Seolah-olah dengan tamparan itu dia membayar
utang yang telah ditunggak selama dua belas tahun.
Tamparan itu seperti melampiaskan sakit hati yang
mengganjal hubungan mereka selama ini. Perasaan terhina


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akibat perkosaan seperti terulang kembali dalam bentuk
kata-kata yang diucapkan Pranata. Bedanya, kali ini Rima
mampu membalas dengan menampar lelaki itu.
Pengap didesak perasaan bersalah, Pranata merenggut
wanita itu ke dalam pelukannya.
"Maafkan saya, Rima," bisiknya tulus.
Barangkali bukan permintaan maaf cuma untuk katakatanya saja. Sekaligus untuk perbuatannya dulu. Dia
sudah pernah milita maaf. Tetapi bukan dengan cara ini.
Dan merasakan tubuh lembut dalam dekapannya itu,
tiba-tiba saja Pranata sadar, betapa dia menginginkan
wanita ini. Mengaguminya. Mungkin pula mcncintainya.
"Lepaskan!" bentak Rima dengan berbisik pula.
Dadanya pengap didesak perasaan marah dan terhina. Dia323
mencoba meronta walaupun sia-sia. Dia tidak ingin
menerbitkan kegaduhan yang dapat membangunkan anakanaknya.
Dan Pranata menggunakan kesempatan itu untuk
mendekapnya makin erat. Dia memang ibarat binatang
buas dalam sebuah sirkus. Jika mendapat kesempatan,
binatang buas itu akan memperlihatkan sifat aslinya.
Dalam kamus Pranata, tidak ada larangan yang tidak
boleh dilanggar. Tidak ada hambatan yang tidak bisa
disingkirkan.
"Jangan bangunkan anak-anak," bisiknya sambil
memaksa Rima merebahkan diri di lantai. "Dan jangan
membuat Rano tahu, saya ada di kamarmu!"
*** Sudah lama Rima merindukannya. Kehangatan seorang
laki-laki. Pelukannya. Kasih sayangnya.
Kenikmatan yang dapat diberikannya.
Sudah lama dia tidak memperolehnya dari suaminya
sendiri. Bahkan lama sebelum Ian menghilang. Sekarang
seorang pria yang tidak diharapkannya memberikan apa
yang selama ini didambakannya. Tetapi tentu saja tidak
dengan cara seperti ini! Bukan cara paksaan seperti ini yang
diinginkan Rima!
Kalau dulu dia merasa terhina karena diperkosa, kini
dia merasa lebih tersiksa lagi karena digauli secara paksa.
Untuk kedua kalinya. Oleh orang yang sama.
Ibarat luka yang pertama belum sembuh, dia telah
dilukai untuk kedua kalinya. Sakitnya terasa sampai ke
setiap titik saraf di tubuhnya.324
"Kamu menikmatinya, Rima?" bisik Pranata lembut,
seperti belum cukup pedih sembilu yang ditikamkannya.
"Maafkan terpaksa memintamu dengan cara demikian.
Barangkali saya memang sakit. Tapi saya selalu merasa puas
bila melakukannya dengan sedikit paksaan."
Pranata menggulingkan tubuhnya mendekat. Dan
menelungkup di samping Rima. Ditatapnya wajah wanita
yang sedang berbaring tertelentang itu. Diam tepekur
menatap lurus ke langit-langit kamar.
Dalam kegelapan Pranata tidak dapat melihat tegas
wajah Rima. Tetapi dia dapat merasakan desah napasnya.
Kepengapannya. Kemarahannya.
"Jangan marah. Rima," bisiknya sungguhsungguh. "Saya benar-benar menginginkanmu. Maukah
kamu menjadi istri saya? Cuma kamu yang bisa memahami
diri saya. Kejalangan saya. Kebejatan saya. Kebebasan
hidup saya."
"Keluar!" bisik Rima dengan suara pahit tertekan.
"Saya tidak ingin anak-anak bangun dan melihatmu di
sini!"
"Begitu kamu menjawab lamaran seorang pria?"
"Kamu tidak melamar! Kamu merampas!"
"Saya mengerti. Harga dirimu pasti terlukai. Tapi
kadang-kadang wanita memang ingin ditaklukkan, bukan?
Terutama oleh pria yang dicintainya..."
"Tapi pria itu bukan kamu!" bisik Rima pedas. Dasar
bajingan! Sudah merampas, masih menuduh aku yang
menginginkannya!
"Soni? Dia cuma seorang petualang!"325
"Paling tidak, dia belum pernah memaksakan
kehendaknya! Dia memang playboy. Tapi dia menghormati wanita. Dia menawarkan. Bukan memaksa.
Merayu. Tidak merampas. Dia lebih tahu aturan daripadamu!"
"Mengapa kamu begitu benci pada saya, Rima?"
"Masih perlu tanya Iagi? Kamu munafik! Di luar kamu
seniman besar! Di dalam kamu sampah! Binatang saja lebih
tahu aturan!"
"Apa bedanya dengan kamu?" bisik Pranata sengit.
Dia bangkit dengan marah. Duduk menghadap Rima.
"Kamu juga sampah! Kiramu saya tidak tahu mengapa
suamimu lari?!"
"Kalau kamu tahu sesuatu yang saya sendiri tidak tahu,
telanlah sendiri! Saya tidak ingin diberitahu!"
"Suamimu pergi gara-gara Soni, bukan?"
"Kalau dia punya pikiran yang sejelek pikiran di
kepalamu, itu salahnya sendiri!"
"Kamu ingin mengatakan tidak pernah tidur dengan
playboy itu?"
"Dengar, seniman busuk!" bisik Rima sengit. Dia
bangkit dan duduk di hadapan Pranata sambil memegangi
bagian dada bajunya yang koyak. "Meski dia sangat ingin
tidur dengan perempuan yang dicintainya, dia tidak
pernah memaksa! Karena dia bukan binatang! Dan tidak
ingin memperlakukan saya sebagai binatang pula!
Sekarang, keluarlah sebelum anak-anak saya bangun!"
Lama sesudah Pranata meninggalkan kamarnya. Rima
masih belum dapat tidur. Dia tergolek di lantai dingin
dengan kepala panas.326
Hatinya sakit. Harga dirinya terlukai. Dia merasa
terhina. Ternodai.
Dua belas tahun telah berlalu. Dan malam ini,
peristiwa menjijikkan itu terulang kembali. Dengan orang
yang sama pula!
Tetapi kali ini Rima tidak buru-buru melepaskan
bajunya. Tidak menyirami tubuhnya dengan air. Tidak
menangisi nasibnya.
Dia bukan lagi gadis belasan tahun yang marah dan
kcbingungan. Perkosaan Pranata pun tidak seperti dulu.
Tidak sekasar ketika dia mabuk dua belas tahun yang lalu.
Kalau dulu Pranata bahkan tidak tahu siapa yang
digaulinya ketika mabuk, kini dia menginginkan Rima
dengan sadar. Dia bahkan berani melamar Rima setelah
memperkosanya!
Ketika sedang diamuk amarah dan perasaan terhina,
Rima memang telah bertekad untuk mengadukan
perbuatan Pranata kepada yang berwajib. Tetapi... siapa
yang percaya pada ceritanya? Mereka pergi bersama-sama.
Rima tinggal bersama di rumah anak laki-laki pria itu. Dia
mengizinkan pria itu masuk ke kamarnya. Dan dia tidak
memperlihatkan tanda-tanda perlawanan. Siapa yang
percaya hubungan mereka bukan hubungan atas dasar
saling menyukai?
Rima juga ingat anak-anaknya. Ingat Tika.
Bagaimana reaksi Tika kalau tahu pria yang sangat
dikaguminya itu memperkosa ibunya? Akhirnya Rima
hanya dapat menitikkan air mata. Menyesali nasibnya. Dia
merasa bersalah kepada Ian. Kepada Soni. Tetapi apa yang
harus dilakukannya?327
*** "Jadi pulang, Mbak?" tanya Rano dengan suara murung.
Dia tegak di ambang pintu kamar. Mengawasi Rima yang
sedang memberesi baju anak-anaknya dan memasukkannya ke dalam koper.
Pranata sedang membawa Tika dan Bulan makan
bubur di Cihampelas. Katanya kepada Rano, dia akan
membawa mereka ke Cibaduyut. Pulang dari sana baru
mereka berangkat ke Jakarta.
"Ya," sahut Rima tanpa menoleh.
"Boleh Rano bicara sebentar, Mbak?"
"Soal apa?"
Rano menghela napas panjang sebelum melangkah
masuk.
"Rano menyesal mengecewakan Mbak Rima."
Rima tidak menjawab. Dia memang kecewa. Tetapi
lebih dari itu, dia sedang tidak ingin banyak bicara.
"Semalaman Rano tidak bisa tidur," sambung Rano
lirih. "Akhirnya Rano bicara dengan Emilia. Mbak betul.
Sebenarnya dia juga sudah lama ingin menikah. Cuma dia
tidak mau menyusahkan Rano. Katanya, dia tidak mau
kalau sampai perkawinan kami menggagalkan studi Rano."
Rima berhenti memasukkan baju anak-anaknya ke
dalam koper. Dia berbalik. Menatap Rano yang sudah
duduk di atas tempat tidur. Seolah-olah menunggu
kelanjutan kata-katanya.
"Kami telah setahun hidup bersama, Mbak," kata Rano
sambil membalas tatapan Rima dengan sungguh-sungguh.328
"Rasanya kami sudah cukup saling mengenal. Kami sudah
memutuskan untuk menikah saja. Tentu saja sambil tetap
melanjutkan studi."
Sesaat Rima tidak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Ketika dia sudah mampu bergerak lagi, dia menghambur memeluk pemuda itu. Rano langsung bangkit dan
menerima Rima dalam rangkulannya.
"Terima kasih, Mbak," bisiknya terharu. "Mbak tidak
tahu arti diri Mbak bagi Rano."
"Kamu juga tidak tahu betapa besar arti keputusanmu
ini buat Mbak," sahut Rima lirih. "Lebih-lebih pada saat
ini."
Ketika aku sedang mempertimbangkan untuk
menuntut ayahmu, sambung Rima dalam hati. Demi
kamu, Rano, demi Tika pula, akan kupendam saja sakit
hati ini seorang diri!
Rano merenggangkan pelukannya. Dan menatap
wanita itu dengan sungguh-sungguh. Seakan-akan hendak
mencari dengan cermat tanda-tanda yang telah diduganya.
"Mbak juga akan menikah lagi?"
Rima tersenyum getir. Rano tidak suka melihat
Tokoh Besar 3 Gento Guyon 19 Dewa Sinting Misteri Penyamar Ulung 1

Cari Blog Ini