Ceritasilat Novel Online

Mahligai Di Atas Pasir 5

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W Bagian 5


senyum itu.
"Mbak belum bercerai. Bagaimana bisa menikah lagi?"
"Tapi ini tidak adil, Mbak! Suami Mbak pergi entah ke
mana. Mungkin sudah meninggal. Mungkin sudah
menikah lagi. Mengapa Mbak harus menunggu terus
suami yang pergi tanpa kabar berita selama dua tahun?
Rano pikir, Mbak Rima berhak untuk menikah lagi! Tidak
seorang pun akan menyalahkan Mbak. Dan kalau Mbak329
Rima menikah lagi, Rano harap lelaki yang beruntung itu
adalah Ayah."
Sekali lagi Rano mengamat-amati wajah Rima dengan
cermat. Ketika dia melihat perubahan air muka Rima, dan
perubahan itu tidak menggembirakan, dia segera
melanjutkan.
"Jangan karena Rano Mbak. Jika Mbak sudah punya
pilihan lain, Rano tidak akan mencegah. Rano cuma ingin
tahu orangnya. Supaya Rano dapat menjotosnya kalau dia
meninggalkan Mbak lagi. Apakah... lelaki yang datang
kemarin itu, Mbak? Ganteng sih ganteng, Mbak. Tapi kelihatannya terlalu berpengalaman, ya?"
Rima cuma tersenyum sambil melepaskan pelukannya. Hatinya terasa pedih kalau ingat Soni. Kalau dia
tahu... alangkah sakit hatinya!
"Pulang?" Soni mengerutkan dahinya. Dia datang
dengan membawa sekantong besar makanan untuk sarapan
pagi. Dan merasa kecewa karena anak-anak telah pergi.
"Kan baru semalam di sini? Kok mau pulang? Nggak
betah? Banyak nyamuk iseng?"
Tentu saja Soni cuma bergurau. Tetapi reaksi Rima
sungguh di luar dugaan. Tampaknya dia sedang tidak ada
gairah untuk bercanda. Bukan itu saja. Kelihatannya, dia
malah enggan membalas tatapan Soni.
"Ada apa?" tanya Soni heran. "Tika lagi?"
"Aku cuma ingin pulang," sahut Rima murung, tanpa
menoleh. "Dan tolong, jangan tanya apa-apa lagi."
"Pasti karena Pranata!" Soni tersenyum pahit. "Dia
menggodamu? Ya, begitulah risikonya wanita kalau
terlampau menarik!"330
Lebih dari itu, geram Rima dalam hati sambil berbalik
meninggalkan Soni. Dia menodaiku.
"Rima!" panggil Soni heran. "Kok ngambek?"
Bergegas dikejarnya wanita itu. Diraihnya bahunya.
Dipaksanya berpaling. Tetapi Rima malah membuang
tatapannya ke tempat lain.
"Katakan padaku, ada apa?" desak Soni penasaran.
Ditatapnya wanita itu dengan cermat.
"Sudahlah, jangan mendesakku seperti ini," sahut
Rima sambil menghela napas panjang. Dan tetap tidak mau
membalas tatapan Soni. "Aku kan bukan anak kecil lagi!"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Rima baru
menyesal. Mengapa berkata sekasar itu pada Soni? Dia kan
tidak tahu apa-apa! Dia cuma ingin tahu mengapa Rima
semurung ini. Dan dia bermaksud baik.
"Maafkan aku," cetusnya lirih.
"Tidak akan kumaafkan, kalau tidak kamu katakan ada
apa!"
"Tidak ada apa-apa. Aku cuma letih."
"Melayani dua orang pria dan dua orang anak
perempuan?" Soni tersenyum tipis. "Kamu sudah butuh
cuti, Rima. Bagaimana kalau kita berlibur ke Eropa?"
Rima tidak menjawab. Hatinya bertambah sakit
merasakan cinta Soni kepadanya....
***331
Pranata pulang bersama anak-anak dengan membawa
beberapa pasang sepatu, ransel, dan T-shirt yang corak
maupun warnanya meriah mencolok.
"Hai!" sapa Soni kepada Bulan yang menjinjing
kantong plastik yang cukup besar. "Memborong nih?"
"Oom Soni Ulan beliin kaos," kata Bulan sambil
menyodorkan sehelai T-shirt putih bergambar monster
berkepala sembilan yang sedang bertarung dengan
dinosaurus, entah di abad ke berapa.
"Terima kasih." Soni menerima T-shirt itu seraya
tertawa lebar.
Kemudian Bulan menyodorkan sebuah kantong
plastik berisi sehelai celana jins kepada ibunya.
"Dari Paman Prana," katanya polos. "Buat Ibu."
"Terima kasih," sahut Rima acuh tak acuh.
Ditaruhnya kantong plastik itu di dekat tasnya tanpa
dibuka. "Sekarang bawa barang-barang kalian ke mobil.
Kita pulang."
"Pulang juga Mbak?" tanya Rano kecewa.
"Bukan karena kamu, Rano," sahut Rima terpaksa.
"Minggu depan Mbak akan kemari lagi dengan anakanak."
"Tanpa Ayah?" Rano menyeringai pahit. Tetapi dia
cukup bijaksana untuk tidak menanyakan alasannya.
Rima hanya berharap tadi malam Rano tidak keluar
kamar. Dan tidak menemukan ayahnya tidur di sofa ruang
tengah.332
30 RIMA mengawasi surat hasil pemeriksaan laboratoriumnya
itu dengan kesal. Tes kehamilannya positif. Itu berarti dia
hamil lagi!
Sperma Pranata memang tidak pernah gagal
melakukan tugasnya. Dia berhasil lagi membuahi sel telur
Rima. Dan menitiskan lagi seorang anak di rahimnya!
Padahal seluruh dunia tahu suaminya telah dua tahun
lebih menghilang. Bagaimana dia dapat hamil lagi kalau
suaminya tidak ada?
Barangkali mereka dapat memaafkannya. Dapat
memahami keadaannya. Dia seorang wanita muda. Dua
tahun lebih ditinggal suami tanpa kabar berita. Pasti dia
kesepian.
Tetapi... dapatkah Soni memahaminya? Dapatkah
Tika memahaminya? Dapatkah Rano memahaminya?
Rano. Ah, pedih hati Rima bila teringat padanya.
Selama ini Rima sudah begitu keras mendidiknya. Sudah
demikian konservatif menanamkan prinsipnya. Jangan
hidup bersama sebelum menikah.
Sekarang? Dia malah hamil di luar nikah! Munafik!
Rano pasti sangat kecewa.
Dia begitu memuja Rima. Ketika Rima mencela gaya
hidup bersamanya dengan Emilia, Rano langsung333
mengambil keputusan untuk menikahi gadis itu. Dan
sekarang, Rima yang begitu dihormatinya, yang demikian
mengagungkan kesucian lembaga perkawinan, justru
memiliki seorang anak gelap!
Ya Tuhan. Seluruh dunia boleh mencelanya. Semua
orang boleh mencercanya. Tapi Rano? Rima benar-benar
tak mampu menghadapinya!
Haruskah dia menceritakan apa yang terjadi? Dan
merusak nama Pranata di depan anaknya sendiri?
Apa kata Tika kalau tahu Paman Prana yang demikian
dikaguminya menodai ibunya sendiri? Trauma psikis
akibat kehilangan ayahnya belum hilang sama sekali. Kini
sudah timbul luka baru!
Tetapi jika Rima tidak menceritakan ulah Pranata,
tidak berterus terang kepadanya, tidakkah Tika akan
semakin membenci ibunya? Semakin tidak menaruh respek
padanya?
Dan Soni! Ah, Rima tak sampai hati melihat
kekecewaannya!
Kekasihnya diperkosa lelaki lain! Hatinya pasti terluka.
Dan luka itu pasti tidak kurang sakitnya daripada luka di
hati Rima sendiri....
"Ada apa?" tanya Soni heran. Dia sering melihat Rima
murung. Tetapi belum pernah melihatnya mengurung diri
di rumah. Pada hari Rabu. Tidak masuk kerja. Wah, benarbenar bukan kebiasaan Rima!
Akhir-akhir ini sejak pulang dari Bandung, sikapnya
memang banyak berubah. Dia lebih pendiam. Lebih
murung. Lebih jarang mau diajak ke luar. Dan tidak
pernah mengajak Soni menemaninya ke mana pun.334
Sikapnya menjadi aneh. Kalau tidak dapat dikatakan
dingin.
Padahal Soni yakin, dia tidak punya salah apa-apa.
Tidak ada yang salah dalam hubungan mereka. Mengapa
Rima berubah? Apakah karena Pranata? Karena dia begitu
akrab dengan Tika? Karena dia berhasil menjinakkan gadis
kecil yang liar itu?
Mungkinkah Pranata melamarnya dan Rima menjadi
bingung? Ah, rasanya bukan hanya karena itu saja. Pasti
ada yang lain. Kalau tidak, Rima tidak mungkin bersikap
seperti ini. Seolah-olah ingin menjauhinya....
"Tidak masuk kantor?" Soni langsung duduk di
samping Rima, di ruang perpustakaannya yang penuh
buku.
Rima memang senang membaca. Sejak kecil. Buku
apa pun dilahapnya. Ketika dia sudah memiliki cukup
uang, dipuaskannya hobinya mernbaca. Dan Soni tahu, di
mana harus mencari Rima kalau dia tidak ingin pergi ke
mana-mana.
"Buku apa sih yang membuatmu begini asyik
mernbaca sampai lupa kerja?" gurau Soni sambil
mengambil buku yang sedang dibaca Rima.
Rima menghela napas berat. "Lagi malas."
"Dra. Rima Permatasari malas kerja?" Soni tersenyum
lcbar. "Pantas masuk koran!"
"Aku sedang tidak ingin bergurau. Tidak ingin
berbuat apa-apa."
"Apa lagi? Tika?"
Rima menggeleng. Ya, kali ini memang bukan Tika.
Ayahnya!335
Soni meletakkan buku itu meraih tangan Rima.
"Katakanlah, ada apa? Mengapa mukamu murung
seperti patung Ken Dedes di atas rak itu? Kreditmu
ditolak? Tidak kebagian kuota? Ekspor celana olahragamu
ditolak karena tidak memenuhi standar mutu?"
"Aku ingin pergi ke suatu tempat dan merenung."
"Aku tahu tempat yang cocok."
"Aku ingin sendirian."
"Sekarang sudah tidak zamannya lagi orang bertapa.
Kecuali kalau kamu ingin bersemadi untuk menebak
nomor buntut."
"Aku serius."
"Aku justru kuatir karena hari ini kamu terlalu serius!"
Soni mengambil kembali buku yang tadi diletakkannya.
Dibacanya judul buku itu sambil tersenyum. "Apakah tepat
membaca Shikasta pada saat seperti ini? Kepalamu tidak
tambah tujuh keliling?"
Tentu saja Soni tidak tahu, Rima bukan sedang
membaca. Dia sedang melamun. Ketika Soni masuk, dia
mengambil buku itu dan menyembunyikan kertas hasil
pemeriksaan laboratorium yang sedang dipandanginya
sejak tadi.
Kertas itu baru saja dibawanya ke dokter langganannya. Setelah melihat kertas itu dan melakukan pemeriksaan
fisik, Dr. Elsie menatapnya dengan penuh pengertian.
Bukan dengan rasa iba. Tapi dengan perasaan simpati.
"Belum ada kabar dari suamimu?"
Rima menggeleng murung. Dia dan Elsie sering main
tenis bersama. Hubungan mereka bukan seperti hubungan336
dokter dengan pasien lagi. Elsie sudah tahu semua yang
dialaminya. Kecuali tentu saja, perkosaan itu.
Tetapi di sanalah justru letak kesulitannya. Elsie
memahami mengapa dia melakukannya. Padahal dia tidak
melakukan apa-apa!
"Kamu ingin mempertahankannya?"
Ya Tuhan! Pertanyaan yang berbahaya itu! Haruskah
dia menyingkirkan anaknya sendiri? Dengan cara apa pun
anak itu hadir di dalam tubuhnya, anak itu tetap darah
dagingnya sendiri! Dan Rima terlambat mencegah petaka
itu. Soni sedang mengukur tebal buku itu dengan
jarijarinya. Dan membiarkan lembaran-lembaran buku
setebal 448 halaman itu meluncur helai demi helai dari
ujung ibu jarinya. Dan... selembar kertas meluncur ke atas
pangkuannya.
Rima tidak keburu mengambilnya. Soni sudah
mendahului meraihnya. Dan membaca isinya.
*** Pranata bertepuk tangan dengan bersemangat. Dia
sungguh merasa bangga. Kagum. Dia memang sudah
melihat bakat Tika. Tetapi tidak menyangka anak itu
mampu mengadaptasi instruksi-intruksinya dengan begitu
cepat.
Tika benar-benar hebat. Benar-benar berbakat.
Usianya baru sebelas tahun. Tapi bakatnya sudah demikian
cemerlang. Demikian menonjol.337
"Wah, dia pantas jadi anak Bapak!" puji salah seorang
krunya. "Penampilan perdananya malam ini benar-benar
luar biasa!"
"Fantastis!" cetus pemain yang malam itu ikut menari
bersama Tika. "Bung Pran boleh bangga kalau punya anak
seperti Tika! Dia benar-benar mewarisi bakat seni Bung
Pranata!"
Pranata tersenyum bangga. Ya, seandainya Tika
benar-benar anaknya! Kepada setiap orang dia memang
mengatakan Tika anak angkatnya. Tetapi anak angkat
tentu tidak sama dengan anak kandung!
Tidak sadar ingatannya kembali ke malam itu. Malam
dia memaksa Rima... ah, seandainya... seandainya...
"Bagaimana Paman?" tanya Tika yang sudah sampai
ke hadapannya.
Pranata memandang anak itu sambil tersenyum lebar.
Ya Tuhan. Seandainya Tika benar-benar anak
kandungnya... betapa sempurnanya kebanggaan ini!
"Kamu hebat, Tika!" pujinya antara bangga dan haru.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu sampai Ibu melihat atraksimu nanti!"
Mendengar ibunya disebut, paras Tika langsung
berubah.
"Kenapa?" tanya Pranata, meski dia sudah tahu apa
jawaban pertanyaannya.
"Ibu nggak suka. Ibu pasti nggak mau nonton,"
gumam Tika lirih.
"Belum tentu. Kalau Ibu tahu bagaimana hebatnya
Tika, Ibu pasti ikut bangga!"
"Ibu pasti marah kalau tahu Tika sering bolos sekolah
untuk latihan di sini, Paman."338
"Tapi sampai sekarang Ibu nggak tahu, kan? Ayo,
jangan takut! Seniman nggak boleh gentar menghadapi
kesulitan yang bagaimanapun beratnya!
*** Sedikit demi sedikit Tika mulai mampu mengatasi
kehilangan ayahnya. Dia memang belum sepenuhnya
dapat melupakan Bapak. Tetapi setelah Paman Prana hadir
dalam hidupnya, kekosongan hidupnya akibat kehilangan
Bapak mulai dapat teratasi. Lebih-lebih setelah Paman
Prana mengajaknya ke sanggar.
Paman Prana begitu baik. Begitu sabar. Begitu penuh
pengertian. Heran, mengapa Ibu tidak pernah menyukainya? Sekembalinya dari Bandung, Ibu malah seperti tidak
mau lagi bertemu dengan Paman Prana. Ibu seperti sengaja
menghindar.
"Oh, ibumu cuma tidak menyukai Paman." Pranata
tersenyum pahit setiap kali Tika menanyakannya. "Dulu
ibumu yang merawat Rano karena Paman tidak sempat
merawatnya. Ibumu marah karena Paman menyia-nyiakan
Rano. Tidak pernah memperhatikan anak. Paman terlalu
sibuk manggung ke sana kemari. Karena itu dari dulu
ibumu tidak menyukai Paman."
"Ibu sendiri juga jarang di rumah. Makanya Bapak
pergi!"
"Tapi Ibu tidak pernah menyia-nyiakan kalian, kan?"
"Kayaknya Ibu cuma sayang Ulan. Ibu benci Tika."339
"Ah, itu cuma perasaanmu saja, Tika. Ibu sayang
padamu. Cuma karena kamu nakal, Ibu sering marahmarah."
"Tika cuma ingin tinggal sama-sama lagi. Sama Ibu.
Sama Bapak. Nggak salah, kan? Kenapa Ibu nggak mau,
Paman?"
"Karena ibu-bapakmu sudah tidak cocok satu sama
lain, Tika. Orang yang tidak cocok, tidak mungkin lagi
tinggal serumah, kan?"
"Mengapa dulu mereka tinggal serumah?"
"Karena dulu mereka merasa cocok."
"Sekarang tidak lagi?"
"Orang bisa berubah, Tika. Kalau dulu mereka cocok,
bukan berarti untuk selamanya mereka sepaham."
"Cuma orang-orang yang merasa cocok boleh tinggal
serumah?"
"Tika mau tinggal dengan teman yang tidak Tika
sukai? Yang tiap hari mengajak bertengkar? Yang sudah
tidak cocok lagi dengan Tika?"
Tika menggeleng dengan paras muram.
"Nah, jangan paksa lagi Ibu untuk tinggal serumah
dengan Bapak, ya?"
"Ibu cocok dengan Paman Pranata?"
"Kenapa Tika tanya begitu?"
"Tika mau Paman tinggal serumah dengan Tika."
Pranata meraih gadis kecil itu ke dalam
gendongannya. Diciumnya pipinya dengan penuh kasih
sayang. Ah, mengapa selalu terasa ada yang bergetar di
hatinya kalau dia mengecup pipi Tika?340
"Paman juga mau tinggal sama Tika," katanya sambil
menurunkan Tika dari gendongannya. "Barangkali kalau
Tika nggak nakal lagi, Ibu mau mengabulkan permintaan
Tika!"
"Kalau Bapak datang nanti, Paman masih tetap tinggal
di rumah Tika?"
"Wah, itu pertanyaan yang sulit, Tika! Paman sih mau
saja. Tapi apa ayahmu mengizinkan?"
"Kenapa nggak sih, Paman? Rumah Tika besar kok!
Banyak kamar kosong."
"Karena kalau Paman pindah ke rumah Tika, itu
berarti Paman yang menjadi Bapak."
"Tika nggak ngerti. Bagaimana Paman bisa jadi
Bapak?"
"Paman yang menggantikan Bapak di rumah."
"Tidur sama Ibu?"
"Antara lain begitu."
"Tapi sudah lama Bapak nggak pernah tidur lagi di
kamar Ibu!"341
31 RIMA tidak dapat melupakan air muka Soni saat itu.
Rasanya dia ingin membuang tatapannya ke tempat lain.
Tidak ingin melihat wajah Soni. Tidak ingin menyaksikan
rasa sakit yang tergores di wajah itu.
"Soni..."
Rima meraih tangan laki-laki itu. Ingin meminta
maaf. Ingin menjelaskan segalanya walaupun dia tidak mau
mengungkapkan apa yang telah terjadi. Dia hanya ingin
mengurangi rasa sakit yang diderita Soni. Tetapi dia tidak
mampu membuka mulutnya. Dan tidak keburu.
Soni sudah mengempaskan tangannya dengan kasar.
Dan bangkit dengan marah dari kursinya.
"Munafik!" geramnya menahan marah dan sakit.
Pedih hati Rima mendengar umpatan orang yang
dicintainya. Tetapi lebih sakit lagi mendengar nada suara
laki-laki itu. Suara Soni memendam rasa sakit yang teramat
sangat.
Tak tahan Rima mendengarnya. Dia bangkit
menyusul Soni yang telah bergerak ke pintu.
Dirangkulnya laki-laki itu dari belakang. Tetapi Soni
malah berbalik dan menamparnya sekuat tenaga.342
Rima merasakan pukulan yang amat keras di pipinya.
Dia terjajar ke belakang. Dan jatuh terduduk di kursi.
Wajahnya terasa sakit. Tapi lebih sakit lagi hatinya.
Soni masih merasa dikhianati. Masih merasa sakit.
Masih merasa gusar. Tetapi melihat darah yang membasahi
jari-jemari Rima yang sedang menyusut wajahnya, dia
merasa marah kepada dirinya sendiri. Dan dia
melampiaskan kemarahannya dengan meninju patung Ken
Dedes yang tegak di atas rak di dekatnya. Patung itu jatuh
ke lantai. Kepalanya terpisah dari tubuhnya.
"Kuperlakukan kamu seperti wanita terhormat,"
geram Soni jijik. "Ternyata kamu tidak ada bedanya
dengan pelacur!"
Soni merenggut tangan Rima yang menutupi
wajahnya. Ingin melihat seperti apa luka yang
ditimbulkannya. Tapi karena Rima membuang wajahnya
ke tempat lain untuk menghindari tatapan Soni, terpaksa
Soni mengasarinya.
Dia memaksa wanita itu menghadap ke arahnya.
Setelah tidak mampu mengelak lagi, Rima hanya mampu
memejamkan matanya dan menggigit bibirnya menahan
tangis.
Rima tidak mau menangis di depan Soni. Sudah cukup
penderitaan yang ditimpakannya pada laki-laki itu. Jangan
ada air mata lagi!
Soni marah sekali melihat luka di wajah Rima. Dia
marah pada dirinya sendiri. Marah kepada tangannya yang
telah melukai perempuan yang dicintainya. Tapi dia juga
marah kepada Rima. Karena perbuatannya membuat Soni
terpaksa bertindak demudan kasar....343
"Kujauhi kencan dengan perempuan lain," geramnya
marah. Entah kepada siapa. Kepada dirinya. Kepada Rima.
Atau kepada mereka berdua. "Karena aku tidak mau kamu
menjadi seperti Ira kalau sudah menjadi istriku nanti! Kuperiksa diriku habis-habisan. Supaya tidak ada penyakit
yang dapat kutularkan padamu! Karena kuanggap diriku
kotor! Dan kuanggap kamu bersih tanpa noda!"
Dengan sengit Soni mengempaskan tubuh Rima ke
kursi. Dan meninggalkan mangan itu tanpa menoleh lagi.
*** Rima menelungkup ke kursi. Dan menangis. Dia tahu
bagaimana keras tekad Soni untuk mengubah dirinya.
Mengubah kebiasaan-kebiasaannya. Bahkan hidupnya.
Hanya untuk Rima.
"Aku ingin beristirahat," katanya dulu. "Sudah terlalu
lama aku bertualang."
"Bukan karena takut bertemu perempuan seperti Ira?"
goda Rima saat itu. "Karena itu kamu alih profesi? Takut
dapat teman kencan yang punya bank penyakit?"
Sekarang Rima baru tahu, Soni tidak berkencan lagi
dengan perempuan sembarangan. Karena dia takut
menularkan penyakitnya! Dan buat lelaki seperti Soni,
yang sudah biasa hidup dari pelukan seorang perempuan
ke perempuan lain, pengorbanan seperti itu bukan main
beratnya!
"Kuperlakukan kamu seperti wanita terhormat!"
terngiang lagi kata-kata Soni di telinganya. "Ternyata
kamu tidak ada bedanya dengan pelacur!"344
Soni memang tidak pernah memaksakan
kehendaknya. Bukan cuma sekali-dua dia ingin tidur
bersama. Tetapi setiap kali Rima menolak, setiap kali itu
pula Soni menghormati keinginannya.
Padahal jika dia sedikit saja memaksa, mampukah
Rima menolak? Bukankah dia sendiri pun sebenarnya
menginginkannya?
"Kita akan melakukannya di Wina," bisik Rima
lembut. "Pada malam pertama aku menjadi istrimu."
"Semoga tidak ada orang gila yang akan menuklir
kota itu." Soni tersenyum pahit. "Supaya aku tidak usah
menunggu sampai kota itu selesai dipugar kembali!"
Meleleh makin deras air mata Rima, setiap kali ia
terkenang masa-masa indah yang telah dilaluinya bersama
Soni. Kini dia bukan hanya kehilangan seorang kekasih.
Dia kehilangan seorang teman. Seorang sahabat yang selalu
siap mendengarkan keluhannya.
Dan Bulan muncul begitu saja di dekatnya.
Memegang rambut Rima. Dan membelainya dengan ragu.
"Ibu?" Suaranya yang lucu itu bernada kuatir.
"Ibu sakit?"
Rima mengangkat wajahnya dengan kaget. Lupa
menutupi wajahnya. Dan melihat Bulan mundur dengan
ketakutan.
"Ibu!" sergahnya kaget. "Ibu kenapa?"
"Nggak apa-apa, Sayang," Rima melambaikan
tangannya memanggil Bulan supaya mendekat. "Ibu
jatuh."
"Tapi muka Ibu berdarah!" jerit Bulan separo
menangis.345
"Ah, luka kecil. Nggak sakit kok!"
Rima bangkit dan meraih anaknya ke dalam
gendongannya.
"Patung itu pecah gara-gara Ibu jatuh?"
"Ya. Pipi Ibu kena kursi. Makanya lecet sedikit."
"Ibu lari-lari?"
Ah, nggak. Cuma terpeleset. Bagaimana tadi di
sekolah? Diajari apa saja hari ini?"
"Berbaris dan nyanyi."
"Nyanyi apa?"
"Bu, Ibu tahu nggak, hari ini Kak Tika nggak ada di
sekolah?"
*** Sebenarnya sudah sejak peristiwa naas di Bandung itu,
Rima tidak mau lagi bicara dengan Pranata. Dia selalu
sengaja mengurung diri di kamar setiap kali Pranata datang
ke rumahnya untuk menjemput maupun mengantar Tika.
Tetapi malam ini, dia terpaksa menemuinya.
"Bagaimana keadaanmu, Rima?" tanya Pranata, agak
cemas melihat keadaan wanita itu. Wajahnya pucat.
Pipinya diplester. Matanya sembap.
"Saya ingin bicara," sahut Rima sengit.
"Kebetulan. Sudah lama saya juga ingin bicara
denganmu. Kamu sakit, Rima?"
"Bukan tentang saya," potong Rima ketus. "Tentang
Tika."346
"Oh, kamu harus melihatnya, Rima! Tika benar-benar
hebat! Dia..."
"Dia tidak boleh bolos sckolah! Apa pun alasannya!"
"Tika udah bosan sekolah!" sela Tika tegas.
"Tika mau ikut Paman Prana saja! Tinggal di
sanggar!"
"Jangan begitu, Tika," pinta Pranata bingung. "Kamu
masuk dulu ke kamarmu, ya? Paman mau bicara dengan
Ibu."
"Biarkan Tika di sini," sergah Rima tegas. "Dia sudah
cukup besar untuk mendengar!"
"Dia masih anak-anak, Rima..."
"Justru karena dia masih anak-anak, saya tidak ingin
masa depannya dirusak oleh orang yang tidak bertanggung
jawab!"
"Paman Prana cuma mengajak Tika ke sanggar..."
"Diam kamu, Tika!" bentak Rima tajam. "Kalau Ibu
sedang bicara, kamu harus diam!"
Tika membanting kakinya dengan kesal. Tapi dia
tidak berani lagi membuka mulut.
"Sebenarnya kalau bukan karena Tika, saya sudah
tidak mau melihat muka Pak Pranata lagi," kata Rima
dingin. "Karena itu mari kita buat perjanjian malam ini.
Hanya hari Sabtu Pak Prana boleh membawa Tika pergi.
Itu pun sesudah dia pulang sekolah! Dan kamu, Tika, kalau
Ibu mendapat laporan kamu bolos lagi, kamu tidak boleh
ke sanggar lagi. Cukup jelas? Sekarang masuk ke
kamarmu!"347


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tika masih menoleh ke arah Pranata. Ketika laki-laki
itu mengangguk, baru dia melangkah ke kamarnya dengan
wajah cemberut.
"Selamat malam, Pak Pranata," kata Rima sambil
memutar tubuhnya. "Bi Romlah, tolong antar Pak Pranata
ke pintu depan."
"Masih ada yang ingin saya bicarakan, Rima!"
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Tika menginginkan saya tinggal di sini menggantikan bapaknya."
Sesaat Rima tertegun. Tapi hanya sedetik. Karena di
detik kedua, dia telah melangkah menjauhi Pranata.
"Kamu tidak memberi tanggapan?"
"Tidak perlu."
"Jangan sepelekan keinginan anakmu!"
"Saya sudah terlalu letih untuk mendengarkan segala
omong kosong begitu."
"Omong kosong katamu? Anakmu menginginkan
saya menjadi ayahnya!"
"Banyak anak kecil yang menginginkan punya ayah
Superman! Biar saja mereka bermimpi. Fantasi tidak akan
merusak jiwa anak-anak."
"Begitu gampangnya kamu menanggapi problem
Tika? Pantas saja dia tidak menaruh respek padamu!"
"Oh, jadi dia menaruh respek padamu? Tunggu
sampai dia tahu apa yang telah dilakukan oleh calon bapak
yang terhormat itu pada ibunya!"
"Justru karena ingin membahagiakanmulah saya ingin
melamarmu, Rima!" Pranata memburu dan meraih lengan348
Rima. Memaksanya berhenti melangkah. "Saya ingin
mengawinimu. Memberikan apa yang selama ini tidak
kamu peroleh!"
"Memaksa saya menerimanya walaupun saya tidak
mau?" Dengan kasar Rima melepaskan tangannya. "Terima
kasih atas lamaranmu! Saya masih istri orang lain!"
"Sesudah suamimu menghilang selama dua tahun
lebih? Sesudah dia tidak tidur bersamamu entah berapa
lama?"
Rima berpaling dengan marah. Ditatapnya Pranata
dengan tajam.
"Saya tahu kalian sudah tidak sekamar lagi," sambung
Pranata tenang. "Karena itu Ian pergi meninggalkanmu.
Dia tidak tahan hidup bersamamu. Tapi tidak tega
membawa anak-anaknya pergi bersamanya. Apakah saya
keliru lagi?"349
32 "KANDUNGANMU sehat, Rima," kata Dokter Elsie
selesai memeriksa. "Satu-dua bulan lagi sulit bagimu untuk
menyembunyikan kandunganmu. Kaiau kamu ingin
melahirkan anak ini, mengapa tidak segera mengambil
tindakan? Urus perceraianmu. Kawin dengan laki-laki itu."
"Tidak semudah itu, Elsie."
"Suamimu sudah dua tahun lebih menghilang. Kamu
berhak untuk menikah lagi."
Tapi aku tidak mau menikah dengan Pranata, pikir Rima
gundah. Meskipun kalau aku menikah dengannya, aku
membahagiakan Rano dan Tika! Aku tidak bisa menjual
kebahagiaanku sendiri, berapa pun harga yang ditawarkan!
Aku telah pernah menjual kebahagiaanku demi anakku.
Aku menikah dengan Pak Ian supaya Tika punya seorang
ayah. Apa yang kuperoleh sebagai hasilnya kini? Haruskah
kuulangi lagi kesalahan yang pertama? Menikah dengan
Pranata demi anak ini, demi Tika, demi Rano?
Dan ingatan Rima kembali kepada Soni. Dia sudah
tidak pernah muncul lagi. Tapi Rima tetap teringat
padanya. Tidak ada hari yang lewat tanpa Soni dalam
pikirannya. Dia merindukan laki-laki itu....
Bagaimana dia dapat menikah dengan Pranata kalau
dia selalu merindukan lelaki lain? Rima belum pernah jatuh350
cinta seperti yang dialaminya dengan Soni. Dia memang
pernah punya suami. Tetapi tidak pernah mencintainya.
Dia pernah tidur dengan Pranata. Walaupun terpaksa.
Dia punya anak dari lelaki itu. Tetapi tidak pernah
mencintainya.
Dengan Soni, segalanya berbeda. Rima mencintainya,
walaupun tidak pernah menjadi istrinya. Tidak pernah
tidur bersama. Dan tidak pernah mempunyai anak dari
laki-laki itu.
Dengan Soni, Rima merasa menjadi wanita. Membutuhkan seorang laki-laki. Membutuhkan cinta dan
kehangatannya. Membutuhkan perhatian dan pengertiannya. Padahal sebelum bertemu dengan Soni, dia merasa
tidak membutuhkan siapa pun. Dia merasa dapat mencapai
segalanya seorang diri saja.
Rasionya memang mengatakan dia tidak mungkin
dapat mengecap kebahagiaan yang langgeng bersama
seorang pria hidung belang seperti Soni. Tidak mungkin
dia membangun mahligai yang abadi dengan seorang
playboy yang sudah demikian berpengalaman dengan
wanita.
Tetapi entah mengapa, ketika cinta datang, rasio pun
menghilang. Emosi telah menjungkirbalikkan rasio yang
selama ini menguasai hidupnya. Untuk pertama kalinya,
Rima tidak lagi mengandalkan akal sehatnya. Dia
menginginkan Soni, seperti apa pun lelaki itu.
***351
Minggu pertama perpisahannya dengan Rima memang
terasa menyakitkan. Terus terang, berpisah dengan wanita
bukan hal baru lagi bagi Soni. Tetapi entah mengapa,
dengan Rima segalanya terasa berbeda.
Rima-lah wanita pertama yang membangkitkan
keinginannya untuk menikah. Punya istri. Punya anak.
Punya keluarga. Padahal wanita itu tidak terlalu cantik.
Sudah tidak terlalu muda lagi. Dan masih mempunyai
suami.
Inikah cinta? Perasaan yang tidak dapat dijabarkan
dengan kata-kata, tidak dapat diterjemahkan dengan rasio?
Soni juga tidak dapat melupakan Bulan. Setiap kali dia
berbaring dalam kesepian, suara anak itu terngiang terus di
telinganya. Dia merasa pedih menahan rindu yang
menggigit sukma.
Bulan juga pasti merasa kehilangan. Pasti. Kasihan.
Dia baru saja kehilangan ayahnya. Kini dia harus
kehilangan lagi.
Tetapi Soni tidak dapat menjumpainya tanpa menjumpai Rima. Dan menjumpai Rima selalu menerbitkan
sakit hati. Marah. Kecewa.
Soni belum dapat melupakan pengkhianatan Rima.
Belum dapat melupakan kekalahannya dari Pranata. Belum
dapat memaafkan ketololannya sendiri.
Beberapa kali dia memperoleh kesempatan yang baik
itu. Mengapa tidak dimanfaatkannya saja?
Beberapa kali mereka mengalami saat-saat yang indah
bersama-sama. Terlibat dalam gulungan emosi yang dalam.
Biasanya dalam saat-saat seperti itu, Soni selalu berhasil
membawa teman kencannya ke tempat tidur. Tetapi Rima352
selalu menolak. Padahal Soni tahu dia juga sebenarnya
menginginkannya.
Dan Soni tidak pernah memaksa. Dia menghormati
keinginan wanita itu. Dia malah bertambah respek pada
Rima. Kalau dia tahu sejak dulu betapa munafiknya Rima...
akan dipaksanya wanita itu mengikuti kemauannya!
Tetapi... benarkah Rima sebejat itu? Mau saja
menyerahkan kehormatannya kepada lelaki yang bukan
suaminya? Ah, rasanya Soni tidak percaya! Kalau dia tidak
melihat sendiri hasil tes kehamilan itu....
Rima demikian teguh memegang prinsipnya.
Demikian gigih mempertahankan kehormatannya.
Biarpun dia seorang wanita karier yang sukses dan
berpikiran maju, dia tidak menerapkan kebebasan dalam
arti yang salah. Tetapi... mengapa akhirnya Rima terjebak
juga oleh bujuk rayu seorang laki-laki?
Siapa lelaki yang lebih hebat darinya itu? Lebih
mampu menaklukkan wanita seteguh Rima? Benarkah...
Pranata?
Seniman memang punya potensi kuat yang kadangkadang tidak dimiliki orang awam. Mereka punya
kharisma. Punya daya tarik tersembunyi yang sulit ditolak.
Itukah kelebihan Pranata sehingga Rima takluk padanya?
Ego Soni sebagai seorang penakluk wanita benarbenar terlukai. Telah datang penakluk lain. Yang lebih
hebat. Yang mampu menundukkan wanita yang justru
Soni dambakan!
Amarah membakar semangat Soni. Membangunkannya kembali dari puing kesedihan. Dia tidak mau
mengurung diri di rumah merenungi nasibnya. Dia tidak353
mau menenggelamkan diri dalam busa alkohol, bermabukmabukan membayangkan seorang wanita!
Bah! Dia bukan tipe lelaki yang cengeng seperti itu!
Yang patah hati cuma gara-gara putus dengan seorang
wanita!
Minggu kedua, Soni sudah mulai keluar malam lagi.
Berburu wanita di rimba raya Jakarta. Dan minggu ketiga,
dia sudah berhasil menggaet seorang wanita cantik. Wanita
yang bukan hanya menarik, tapi sekaligus populer.
*** Lidia seorang penyanyi terkenal yang sedang naik daun.
Ke mana pun dia pergi, pasti ada wartawan yang
menguntitnya. Tidak heran kalau dalam beberapa minggu
saja, foto Soni sedang mengawal pacar barunya telah
terpampang di majalah-majalah. Dan Rima menyesal
membeli majalah itu. Meskipun kalau dia tidak membelinya, dia ingin melihatnya juga.
Alangkah tampannya dia, pikir Rima ketika
jarijemarinya menelusuri dengan lembut dan pedih foto
pria itu.
Dipejamkannya matanya. Dirasakannya nyeri yang
menikam dada kirinya. Ditutupnya majalah itu.
Dilemparkannya ke lantai. Seolah-olah dia tidak ingin lagi
melihat gambar yang menyakitkan itu.
Tetapi ketika dia membuka matanya kembali,
dipungutnya majalah itu. Dibukanya halaman yang sama.
Ditatapnya foto Soni dengan kerinduan yang getir.354
Betapa gagahnya dia! Mengenakan pakaian yang
sportif dan trendy, berkacamata hitam legam, duduk
bersanding dengan pacar barunya di atas kap mesin mobil
sportnya.
Foto yang lain, lebih menyakitkan mata lagi. Lengan
Soni melingkar mesra di bahu Lidia yang mengenakan
gaun pesta semarak yang seksi. Yang lebih menonjolkan
lagi lekak-lekuk tubuhnya yang begitu menggoda...
Alangkah cantiknya dia! Alangkah dekatnya wajah
mereka... Dan alangkah sakitnya hati ini!
Untuk pertama kalinya Rima menyadari dirinya sudah
tidak muda lagi. Untuk pertama kalinya Rima yang tak
pernah takut kalah bersaing, merasa dirinya kecil tak
berarti. Untuk pertama kalinya pula dia menyesal tidak
memiliki wajah yang cantik memesona!
Kalau masih ada kesempatan... masih mampukah dia
meraih Soni kembali ke dalam pelukan kasihnya? Gadis itu
begitu cantik. Begitu seksi. Begitu populer.
Ah, mengapa dia punya pikiran seperti ini?
Bagaimanapun menariknya Rima, Soni pasti tidak mau
kembali kepada wanita yang sudah mengandung anak
lelaki lain!
*** Lama Bulan memperhatikan ibunya. Memandangi gambar
dalam majalah yang halamannya tidak pernah dibalik itu.
Sebentar-sebentar Ibu mendesah seperti sedang mengeluh.
Sebentar-sebentar dia menyeka matanya. Sebentarsebentar dia memegangi dadanya seperti merasa sakit.355
Lalu Ibu akan tepekur diam merenungi gambar di
hadapannya seperti orang sedang melamun. Dan jarijemarinya mengusap gambar itu....
Perlahan-lahan Bulan menghampiri ibunya. Dan ikut
melihat gambar yang sedang dipandangi Rima. Sekali lihat
saja, dia sudah tahu siapa lelaki tampan itu. Oom Soni.
Siapa lagi. Dia memang ganteng kok. Pantas saja Ibu
menyukainya.
"Ulan..." Rima baru sadar dia sudah tidak seorang diri
lagi ketika putrinya menggelesot manja di pangkuannya.
Dia mencoba menutup majalah itu. Tetapi Bulan mencegahnya.
"Biar aja," katanya polos. "Ibu lagi ngeliatin Oom
Soni, kan? Ibu kangen?"
Rima mengangguk sambil tersenyum sedih. "Ulan
juga?"
"Kangen," sahut Bulan terus terang. Ditatapnya foto
itu dengan sungguh-sungguh. Kepalanya dimiringkan
sedikit. "Oom Soni cakep ya, Bu?"
"He-eh," sahut Rima sambil memeluk putrinya.
"Siapa perempuan ini, Bu?"
"Temannya."
"Kenapa Oom Soni nggak pernah kemari lagi?"
"Kami bertengkar sedikit."
"Karena perempuan ini?"
"Oh, bukan! Ada soal lain."
"Soal cinta?"
Rima menatap putrinya antara bingung dan geli. Apa
yang diketahui seorang anak perempuan berumur tujuh356
tahun tentang cinta? Ada-ada saja! Bulan memang lucu.
Menggemaskan. Kadang-kadang Rima terpaksa tertawa
meskipun sedang sedih. Seperti sekarang.
"Ulan tahu apa tentang cinta?"
"Tahu dong!" sahut Bulan, agak tersinggung karena
ibunya meremehkan pengetahuannya.
"Ibu cinta Oom Soni, kan?'"
"Ulan juga sayang sama Oom Soni?"
"Sayang dong. Oom Soni kan baik."
"Oom Soni juga sayang sama Ulan." Rima mengecup


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pipi anaknya dengan lembut.
"Bu," cetus Bulan tiba-tiba. Matanya tetap menelusuri
majalah di pangkuan Rima. "Apa sih artinya p-1-a-i-b-oi?"
"Artinya lelaki yang suka menggoda wanita, tahu?!"
sela Tika yang tahu-tahu berada di ruangan itu. "Hah,
norak! Playboy aja nggak tahu!"
"Salah," koreksi Rima sewajar mungkin. "Arti
yang sebenarnya, lelaki yang senang berfoya-foya,
kerjanya cuma bersenang-senang.
"Oom Soni kayak begitu?"
"Baru tahu?" potong Tika pedas. Sengaja dia melirik
ibunya untuk melihat reaksinya. Tetapi Rima tetap
setenang tadi.
"Dulu," katanya sabar. "Sekarang tidak lagi."
"Tapi majalah bilang begitu!"
"Majalah selalu menulis apa saja supaya laku."
"Oom Soni nggak lulus sekolahnya, kan?" Tika
menikam lagi.357
"Karena belajarnya tidak serius. Sering bolos sekolah."
"Kok Ibu menyukainya? Kalau Tika bolos, Ibu marahmarah!"
"Karena Oom Soni bukan anak Ibu. Bukan Ibu yang
menyekolahkannya."
"Kalau Paman Prana?" potong Bulan penasaran.
"Paman Prana juga nggak sekolah, kan?"
"Paman Prana seniman! Lain!" bela Tika segera.
Dengan penuh semangat. "Dia penata tari yang terkenal
sampai ke luar negeri!"
"Paman Prana dan Oom Soni dua-duanya baik.
Kenapa kita nggak ajak mereka tinggal sama-sama saja di
sini?"
"Karena cuma satu orang yang bisa tinggal di sini,
goblok!"
"Tika!" Rima memperingatkan anaknya dengan tajam.
"Jangan kasar begitu pada adikmu!"
"abis dia bodoh sih!"
"Kenapa cuma satu orang yang boleh tinggal di sini?"
desak Bulan penasaran.
"Karena cuma satu orang yang bisa jadi bapak kita!"
"Kenapa cuma satu orang yang bisa jadi bapak kita?"
"Karena cuma satu orang yang boleh tidur dengan
Ibu!"
"Jadi cuma Paman Prana yang boleh jadi bapak kita?
Waktu di Bandung dulu, Ulan lihat Paman Prana tidur
sama Ibu di lantai kamar kita!"
***358
"Aku ingin menggugurkan kandunganku, Elsie," kata
Rima muram begitu duduk di depan meja tulis di kamar
kerja Dokter Elsie.
Sesaat Dokter Elsie tertegun. Tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Ditatapnya Rima dengan
nanar.
"Mengapa baru sekarang, Rima? Setelah kandunganmu berumur sepuluh minggu?"
"Aku sudah memikirkannya masak-masak, Elsie. Aku
tidak mau anak yang tidak kukehendaki menghancurkan
lagi masa depanku."
"Mengapa tidak menikah saja dengan lelaki itu?"
"Dan mengulangi lagi kesalahanku dua belas tahun
yang lalu? Tidak, Elsie. Aku sudah jera. Kupikir aku berhak
meraih kebahagiaanku sendiri."
"Dengan membunuh anakmu?"
"Kamu tidak mengerti."
"Tentu saja tidak! Kandunganmu sehat. Mengapa tibatiba kamu ingin menggugurkannya? Cari laki-laki itu.
Bicarakan persoalan ini dengannya."
"Aku tidak dapat menikah dengannya."
"Mengapa? Dia sudah punya istri?"
"Mereka sudah bercerai."
"Lantas? Mengapa kalian tidak menikah saja?"
"Aku membencinya."
Membulat mata Elsie. Diawasinya Rima dengan jijik.
"Dan kamu tidur dengan orang yang kamu benci?"
"Aku tidak punya pilihan lain. Dia memaksaku." Mata
Elsie tambah melebar.359
"Maksudmu..." gumamnya dengan suara ganjil. "Dia...
dia mem...?"
Rima mengangguk sebelum Elsie mampu
menyelesaikan kalimatnya.
"Sekarang kamu mau menolongku, Elsie?" Ditatapnya
temannya dengan penuh harap. "Sebelum aku kehilangan
keberanianku dan kehilangan masa depanku? Aku seorang
janda. Apa yang dialami anakku nanti seandainya dia lahir?
Kalau dia boieh memilih, barangkali dia juga akan memilih
tidak lahir daripada harus menanggung cemoohan seumur
hidupnya, Elsie!"
"Dan kamu harus kehilangan nama baikmu." Elsie
menghela napas panjang. "Bagaimanapun berhasilnya
kariermu, masyarakat masih belum dapat mentolerir wanita
yang mempunyai anak haram."
"Sekarang kamu mau menolongku?"
"Aku benci harus melakukannya, Rima. Lebih-lebih
terhadap anakmu. Tapi aku tahu upacara pemberian
penghargaan kepadamu sebagai satu di antara sepuluh
pengusaha wanita Indonesia yang paling sukses akan berlangsung bulan depan. Saat itu, sulit untuk
menyembunyikan lagi kandunganmu."
*** Tapi bukan karena alasan itu Rima nekat hendak
melenyapkan anaknya. Bukan. Alasan utamanya cuma satu.
Pranata. Dia tidak dapat menikah dengan lelaki itu.
Rima tidak mencintainya. Semakin dirasakan, dia
malah semakin membencinya. Pranata bukan saja360
merampas kehormatannya. Menghina dirinya. Dia juga
memisahkannya dengan Soni.
Pranata juga memberi malu dirinya di depan anakanak. Bulan melihat ibunya tidur di lantai kamar bersama
Pranata. Rima tidak tahu sampai sejauh mana Bulan
melihat peristiwa itu. Dia tidak berani menanyakannya.
Tetapi bagaimana menghapus pengalaman itu dari
memori seorang anak kecil? Rima juga tidak dapat
melupakan bagaimana cara Tika menatapnya ketika
mendengar kata-kata adiknya. Dan Rima tidak dapat
membayangkan bagaimana wajah Soni kalau sampai
mendengar cerita Bulan suatu hari nanti....
Bagaimana perasaan Soni kalau dia tahu Rima
mengandung anak Pranata? Bagaimana pandangan Tika
terhadap ibunya kalau dia punya adik dari Paman Prana?
Dan bagaimana tanggapan Pranata jika dia tahu Rima
melahirkan anaknya?
Ah, rasanya Rima tidak akan mampu menghadapinya!
Lebih baik dia melenyapkan anaknya sebelum terlambat.
Bukankah anaknya pun tidak akan bahagia terlahir sebagai
anak gelap? Mengapa seorang wanita tidak boleh menggugurkan kandungannya jika dia tidak menghendakinya?
Jika kehamilannya menghancurkan hidupnya?361
33 Wina, 1992
SONI membuka tirai jendela kamarnya di Wina dengan
perasaan jemu. Sudah dua malam dia bermalam di sini
bersama Lidia. Tinggal di hotel yang sama di
Karntnerstrasse. Makan di restoran yang sama yang sangat
disukai Rima. Restoran dengan arsitektur dan suasana
tradisional Austria.
Menikmati saat-saat yang teduh di Stadtpark sambil
menikmati alunan musik klasik ciptaan Johann Strauss.
Dan menghabiskan waktu menjelajahi Wina yang indah.
Soni bahkan membawa Lidia ke Budapest. Menempuh
rute nostalgianya bersama Rima. Tentu saja Lidia tidak
tahu. Dia tidak mengerti mengapa Soni harus menukar
kesenangannya shopping dengan melihat-lihat bangunanbangunan tua yang membosankan di Budapest.
Tetapi... bukan cuma Lidia yang heran. Soni juga
tidak mengerti. Dia tidak mengerti mengapa perasaan itu
tidak bangkit juga di hatinya? Mengapa dia tidak memiliki
perasaan yang sama seperti ketika dia membawa Rima ke
sini?362
Setelah dua malam menikmati kebersamaan dengan
Lidia, dia malah mulai merasa bosan. Padahal Lidia
menyambuti semua tawarannya. Tidak menolak segala
keinginannya.
Dia dapat mengimbangi semua permainan yang
ditawarkan Soni. Dan dia sama menariknya di luar maupun
di dalam kamar.
Hhh, Soni benar-benar bingung. Rasanya dia ingin
buru-buru pulang saja ke Jakarta. Tetapi Lidia belum ingin
pulang. Dia masih ingin shopping.
Karntnerstrasse menyajikan toko-toko paling eksklusif
di dunia. Tetapi Lidia belum puas kalau cuma belanja di
sana. Dia ingin mampir di Paris dalam perjalanan pulang.
Dan ketika dia sedang asyik memborong di toko-toko
paling terkenal di sepanjang Champs Elysees, Soni telah
menemukan seorang teman kencan baru.
*** Jakarta, 1992
Rima tersentak mundur dengan terperanjat. Kepala
ayam yang baru dipotongnya itu tiba-tiba berubah. Makin
lama makin besar. Makin besar... makin besar... Dan
berubah bentuknya menjadi kepala bayi....
Rima meletakkan pisaunya dengan jijik di atas meja
dapur. Kedua belah tangannya berlumuran darah... Dan dia
terjaga. Terbangun dari tidurnya yang gelisah.
Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Jantungnya
berdebar tidak beraturan. Tangannya gemetar. Telapaknya
basah berkeringat.363
Rima duduk dengan kepala pusing di tempat tidurnya.
Mencoba menenangkan detak jantungnya. Menyusut
peluhnya. Dan menarik napas dalam-dalam. Percuma.
Dadanya tetap terasa sesak. Dia terengah-engah seperti
kehabisan napas.
Lambat-lambat Rima turun dari tempat tidurnya.
Membukajendeia kamarnya. Menghirup udara sebanyakbanyaknya. Ketika debar jantungnya mulai mereda dan
kepengapan dadanya berkurang, dia kembali ke tempat
tidur. Mengambil segelas air yang memang selalu tersedia
di samping tempat tidurnya. Dan meneguknya.
Dalam semalaman ini saja dia telah dua kali diganggu
mimpi buruk. Yang pertama tadi, dia seperti masih berada
di rumahnya yang dulu. Rumah Pak Ian.
Dia sedang mencuci baju Tika. Mencelupkannya ke
dalam ember. Ketika dia menarik baju itu keluar dari dalam
ember, baju itu berubah menjadi tubuh seorang bayi... bayi
yang telah meninggal... penuh berlumuran darah.... Dan
air sabun di dalam ember itu pun berubah warna...
memerah darah....
Rima terkulai lemas di tempat tidur. Tak sadar
tangannya meraba perutnya. Dan dia merasa dingin.
Dingin sekali....
Aku tidak boleh melakukannya, pikirnya resah. Aku
tidak bisa menyingkirkan anakku... membunuhnya! Apa pun
alasanku untuk menggugurkan kandunganku, aku tidak dapat
melawan hati nuraniku sendiri!
Sepanjang hari ini Rima memang gelisah terus. Semua
pekerjaannya tidak ada yang beres. Tidurnya tak lelap.
Terus-menerus diganggu mimpi buruk. Makan pun tidak
berselera.364
Esok pagi akan kubatalkan janji aborsiku dengan Elsie,
pikir Rima mantap. Apa pun yang terjadi....
Dan jeritan Bulan dari kamar sebelah menyentakkannya.
Rima langsung melompat dari tempat tidurnya. Tanpa
sempat mencari sandainya lagi, diam menghambur ke
kamar sebelah. Membuka pintu dengan sekali sentak. Dan
menyambar tombol lampu.
Seluruh kamar menjadi terang benderang dalam
sekejap mata. Bulan masih berbaring di tempat tidurnya.
Matanya terpejam. Tapi wajahnya mengerut ketakutan.
Pucat berkeringat.
"Ulan!"
Rima duduk di samping tempat tidur anaknya.
Menyentuh dahinya dengan hati-hati agar tidak
mengagetkannya. Tidak panas. Mengapa Bulan memekik?
Bermimpi buruk jugakah dia?
Mata Bulan masih terpejam seperti tadi. Tetapi kini
dia merintih. Seperti meregang sakit.
Rima langsung merangkulnya. Dan memeluknya eraterat.
"Bangun, Ulan," bisiknya cemas. "Ini Ibu."
Bulan membuka matanya. Dan menatap ibunya
dengan tatapan kosong. Seolah-olah dia baru dibangunkan
dari tidur yang amat lama. Dan baru dibebaskan dari
keadaan yang sangat tidak menyenangkan.
"Mimpi?" bisik Rima sambil membelai-belai rambut
anaknya.
Bulan mengedip-ngedipkan matanya. Dan menatap
ibunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.365
"'Sekarang bobok lagi, ya? Tadi Ulan cuma mimpi."
Rima sudah bergerak menidurkan kembali anaknya.
Tapi Bulan malah merangkul ibunya erat-erat.
"Ulan takut..." rintihnya sambil membenamkan
wajahnya dalam pelukan ibunya. "Ulan mau bobok sama
Ibu!"
Terpaksa malam itu Rima tidur seranjang dengan
Bulan. Karena anaknya tidak mau ditinggalkan sekejap
pun. Bulan baru terlelap kembali setelah Rima berbaring di
sampingnya dan dia dapat memegangi tangan ibunya.
Lama sesudah Bulan terlelap, Rima masih
memandangi wajah putrinya. Wajah itu begitu manis.
Begitu lembut. Begitu lucu.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, seperti itu jugakah wajah bayi dalam
kandungannya? Seperti itu jugakah paras anaknya jika lahir
nanti?
Bagaimana aku tega mengnyahkan wajah semanis ini,
pikir Rima dengan perasaan bersalah ketika ujung jarinya
menyentuh pipi Bulan dengan hati-hati. Tetapi... benarkah
anak ini ingin dilahirkan? Tanpa kehadiran seorang ayah...
nista seberat apa yang harus ditanggungnya?
*** "Mimpi apa Ulan tadi malam?" tanya Rima dengan kepala
agak berat ketika sedang melayani anakanaknya sarapan
pagi.
"Nggak tahu," Bulan menggelengkan kepalanya
sambil menggigit rotinya. "Lupa."366
"Nanti malam kalau mau tidur, nggak boleh baca
komik yang seram-seram, ya! Nanti mimpi buruk lagi."
Rima meletakkan sebutir vitamin di atas piring Tika.
Tetapi putri sulungnya sudah keburu berdiri.
"Pergi dulu, Bu!" katanya tergesa-gesa. "Lho, kok
buru-buru amat, Tika? Ayo, minum dulu vitaminnya!"
"Nanti terlambat lagi, Bu," kata Tika sambil buruburu menyambar vitaminnya dan meneguknya dengan
segelas air.
"Ah, masa baru setengah tujuh sudah terlambat?
Tunggu Ulan dong. Dia belum selesai!"
"Ulan nggak mau sekolah, Bu," rengek Bulan dengan
suara yang benar-benar seperti orang sakit. "Pusing!"
"Ala, dasar malas!" damprat Tika tidak sabar. Lekas,
mau ikut nggak?!"
"Jangan begitu pada adikmu, Tika! Mengapa terburuburu betul sih?"
"Macet! Nanti Tika telat lagi!"
"Ke sekolah dengan mobil paling lama lima belas
menit."
"Kemarin setengah jam!"
"Tentu aja," potong Bulan separo mengejek.
"Kemarin kan Kak Tika nggak ke sekolah!"
Tika berbalik dengan marah. "Diam kamu, bawel!"
bentaknya sambil memelototi adiknya.
Dia sudah bergegas hendak meninggalkan ruang
makan ketika Rima memanggilnya.
"Ada apa lagi sih, Bu? Tika lagi buru-buru nih!"
"Ke sini sebentar. Ibu mau tanya."367
"Aduh! Kenapa nggak bisa nanti saja sih, Bu? Telat
nih!"
"Terlambat ke mana?" desak Rima tajam. "Ke sekolah?
Atau ke tempat lain?"
"Ah, Ibu!" Tika membanting-banting kakinya dengan
kesal. "Selalu nggak percaya!"
"Betul kata adikmu kemarin kamu tidak sekolah?"
"Ala, jangan percaya dia, Bu! Tukang ngadu!"
"Tapi bukan tukang ngibul!" sambar Bulan berani.
"Diam, Ulan! Ibu mau bicara dengan kakakmu."
"Nanti saja deh, Bu! Sekarang Tika lagi buru-buru
nih!"
"Duduk di sini, Tika!" desis Rima dingin.
Sambil menggerutu, dengan jengkel Tika menjatuhkan dirinya ke kursi. Matanya membeliak gusar ke
arah adiknya. Tetapi Bulan membalas tatapannya dengan
perasaan puas.
Rasain, siapa suruh kemarin pergi nggak ngajak-ngajak!
Enak aja pergi sendiri! Emangnya cuma kamu yang kepingin
jalan-jalan?!
"Ke mana kamu kemarin?"
"Nggak ke mana-mana!"
"Jangan bohong, Tika!"
"Betul!"
"Dengar, Tika. Ibu akan menanyakan langsung
kepada gurumu. Jika benar kamu kemarin tidak masuk..."
"Tika bosan sekolah!" dengan sengit Tika membanting tasnya ke lantai. Kemudian sambil menangis dia
berlari ke kamarnya.368
*** "Tangis tidak akan membebaskan kamu dari hukuman,
Tika," geram Rima pedas. "Sekarang, katakan pada Ibu, ke
mana kamu pergi kemarin? Dengan siapa?"
"Tika nggak mau sekolah lagi! Bosan!"
"Oke! Jika itu yang kamu inginkan. Kamu tidak mau
sekolah lagi? Baik. Itu pilihanmu, kan? Percuma Ibu bayar
uang sekolah mahal-mahal jika kamu bolos terus. Sekarang
Ibu tanya, apa yang mau Tika kerjakan? Berjualan koran?
Atau berdagang kue?"
"Tika nggak mau ngapa-ngapain!" tangis Tika
jengkel.
"Tidak ada orang yang tidak melakukan apa-apa! Jika
kamu tidak mau sekolah lagi, kamu harus bekerja! Pilih
saja. Terserah kamu."
"Tika mau ikut Paman Prana saja!"
"Dengan dia kamu pergi kemarin?" Rima mengatupkan rahangnya menahan marah.
"Paman Prana baik! Nggak pernah marah-marah!
Nggak kayak Ibu!"
"Dan tidak marah kalau kamu bolos sekolah? Tentu
saja! Dia tidak membayar uang sekolahmu!"
*** "Saya bersedia membayar uang sekolah Tika jika itu yang
kamu ributkan terus!" cetus Pranata dengan muka merah
padam. "Ibu model apa kamu ini! Menyekolahkan anak369
kamu anggap tabungan hari tua? Kalau anakmu tidak mau
sekolah, kamu paksa dia berdagang? Supaya menghasilkan
uang dan modalmu kembali?"
Begitu mendengar pengaduan Tika, Pranata langsung
datang ke tempat kerja Rima. Dan memaksa masuk
walaupun sekretaris Rima berusaha mencegahnya.
"Tinggalkan saja, Ris," perintah Rima pada sekretarisnya. Ketika Rista menutup pintu kamar kerjanya, Rima
berpaling pada Pranata. Dan mengawasinya dengan
dingin.
"Saya cuma akan berbicara singkat saja, Pak Pranata,"
desis Rima dengan suara datar. "Mulai sekarang, enyahlah
dari kehidupan keluarga saya. Jangan ganggu anak-anak
saya lagi. Saya bisa mengurus mereka sendiri!"
"Dan menyuruh anak sulungmu yang baru berumur
sebelas tahun berdagang kue? Jualan koran?"
"Kalau dia tidak mau sekolah lagi, lebih baik dia
berdagang kue atau berjualan koran, daripada keluyuran
jadi seniman kaget!"
"Seniman kaget katamu?" Pranata menatap Rima
dengan berang. "Keluyuran? Itu karena kamu tidak mau
melihat apa yang telah dicapai oleh anakmu!'
"Saya telah melihatnya. Rapornya merah semua."
"Hidup ini bukan semata-mata harus diisi dengan
belajar di sekolah! Kamu terlalu sibuk mencari uang dan
kesenanganmu sendiri sampai kamu mengabaikan apa
yang diinginkan anak-anakmu!"
"Saya tidak suka kantor saya dipakai untuk seminar
cara mendidik anak!"370
"Kesuksesan sudah membutakan matamu, Rima!
Kamu sombong bukan hanya kepada orang lain saja. Tapi
kepada anakmu juga! Kamu ingin membentuk anakmu
sesuai dengan cetakan dirimu! Tika manusia juga. Bukan
tanah yang dapat kamu bentuk semaumu!"
"Saya bukan pemahat. Yang saya inginkan cuma
menyekolahkan anak, bukan membuat patung! Saya kira
semua ibu akan bertindak seperti saya juga kalau anaknya
bolos terus!"
"Tika ingin belajar menari."
"Tapi dia tidak boleh meninggalkan sekolahnya!"
"Dia sudah bosan sekolah."
"Karena ada pilihan lain yang lebih menyenangkan.
Keluyuran di sanggar! Tidak usah belajar. Tidak usah
bekerja."
'Kamu menyalahkan saya?"
"Ada orang lain yang dapat disalahkan?"
"Kamu akan menyesal!"
"Sekarang pun saya sudah menyesal membiarkan Pak
Pranata mengacaukan pelajaran Tika!"
"Menyesal sekali saya tidak lebih sering membawa
Tika ke sanggar!"
"Menyesal sekali saya harus memanggil satpam untuk
membawa Pak Pranata meninggalkan kamar kerja saya."
"Kamu bisa mengusir saya dari kantormu, Rima,"
geram Pranata sengit ketika melihat dua orang satpam
bertubuh kekar memasuki kamar kerja Rima. Dia benarbenar merasa terhina. "Tapi kamu tidak bisa mengusir saya
dari hidup Tika!"371
"Saya bisa," sahut Rima tegas. "Muiai hari ini, jika Pak
Pranata masih menjemput Tika tanpa seizin saya, akan saya
laporkan pada yang berwajib!"
"Kamu akan menyesal, Rima!" geram Pranata sebelum
digiring keluar. "Anak itu akan menjadi tambah liar tanpa
saya!"
*** Seharian itu Rima marah-marah terus. Pulang dari kantor,
rumah berantakan. Tika mengamuk. Memecah-mecahkan
barang. Tidak mau belajar. Tidak mau mandi. Tidak mau
makan. Bi Romlah sudah kewalahan membujuknya.
Terpaksa Rima menghukumnya di kamar. Memaksanya makan dan membuat PR.
"Jika sampai Ibu datang kembali nanti PR-mu belum
selesai, mulai besok kamu tidak usah sekolah. Dan jangan
harap Ibu beri izin untuk menemui Paman Prana lagi."
Tika membalas tatapan ibunya dengan sorot
menantang. Tetapi dia tidak berani membantah. Diamdiam Rima menghela napas berat. Sakit rasanya melihat
sikap anaknya. Tetapi kalau dia tidak mendidik Tika
dengan keras, mau jadi apa anak itu nanti?
Keluar dari kamar Tika, Rima masuk ke kamar Bulan.
Dan kemarahannya tambah berkobar melihat komik yang
dibaca Bulan. Direnggutnya komik itu. Dilemparkannya
ke tempat sampah.
"Sudah Ibu bilang jangan baca komik seperti ini!
Nanti kamu mimpi buruk lagi! Sudah belajar?"372
Bulan menggeleng dengan ketakutan. Matanya
menatap Rima seperti hendak menangis.
"Hari ini sudah tidak sekolah! Tidak mau belajar pula!
Besok tidak mau sekolah lagi?"
"Kepala Ulan pusing!"
"Badanmu tidak panas. Cuma hangat dan pusing
sedikit, minum obat juga sembuh. Jangan malas, Ulan.
Besok kamu mesti sekolah!"
Dengan kesal Rima meninggalkan kamar Bulan.
Anak-anak. Benar-benar merepotkan! Sanggupkah dia
punya seorang anak lagi? Anak Pranata! Sungguh
menyebalkan!
Dengan sengit Rima meraih tangkai telepon. Dan
menghubungi Dokter Elsie. Tekadnya sudah bulat. Dia
tidak mau punya anak lagi. Apalagi anak Pranata!
"Pikirkanlah baik-baik, Rima," desah Elsie sabar. "Tadi
pagi kamu meneleponku untuk membatalkan janji.
Sekarang kamu menelepon lagi minta dikerjakan besok.
Kalau belum mantap..."
"Aku sudah mantap, Elsie," potong Rima tegas. "Pukul
berapa aku harus datang ke rumahmu besok?"
*** "Tidak jadi lagi?" Elsie mengerutkan dahinya antara kesal
dan bingung. "Kamu ini bagaimana sih, Rima? Katamu
sudah mantap. Sudah dua kali kamu membuang-buang
waktuku!"373
"Aku tidak bisa, Elsie! Menggugurkan kandungan
bukan seperti mencabut gigi!" Dengan gelisah Rima
melepaskan ban karet yang mengikat pergelangan
tangannya. Dan mencabut jarum suntik yang sudah
menghunjam di lengannya.
Tergesa-gesa Rima turun dari tempat tidur
ginekologis di kamar operasi kecil di tingkat dua rumah
Dokter Elsie. Di ruangan inilah Elsie biasa melakukan
tindakan operatif kecil terhadap pasien-pasiennya.
Ruangan itu tidak terlalu besar. Hampir sama besarnya
dengan ruang praktek yang terletak di lantai dasar. Tapi
lebih steril. Dan cukup lengkap peralatannya.
"Apa maksudmu tidak bisa?" Elsie membanting jarum
suntiknya dengan gemas. Obat bius dalam jarum suntik itu
belum seluruhnya masuk ke pembuluh darah di lengan
Rima. Tetapi sudah cukup membuat Rima merasa dia
sedang melayang. Tidak menginjak lantai.
"Aku tidak bisa membiarkanmu membunuh anakku!"
Tergesa-gesa Rima membuka pintu. Dan menghambur keluar. Seolah-olah dia takut setan-setan di dalam
ruang operasi itu akan menyeretnya kembali ke neraka.
Sesaat sesudah tetes obat bius yang pertama memasuki
darahnya, tiba-tiba saja Rima merasa panik. Sesaat sebelum
dia kehilangan sama sekali kesadarannya, sekonyongkonyong dia merasa takut. Dia takut tidak dapat
melindungi bayinya... Dia takut Elsie keburu berhasil
mengeluarkan anaknya sebelum dia sadar dan dapat
mencegahnya....
Rima tidak rela kehilangan bayinya. Dia panik ketika
merasa kesadaran hampir meninggalkan dirinya. Dia kalut
tatkala harus menyerahkan nyawa anaknya dalam tangan374
Elsie.... Dia harus mencegahnya! Sebelum terlambat!
Sebelum anestesi membuatnya tidak berdaya menolong
anaknya.... Menyelamatkannya dari kematian!
"Tapi kamu sendiri yang memintanya!" geram Elsie
kesal. "Sudahlah, kembali saja kemari. Jika kamu tidak mau,
masa kupaksa?!" Tetapi belum habis Elsie menggerutu,
terdengar bunyi berdebum dari luar.
"Rima!" teriaknya antara kaget dan panik. Bergegas
dia memburu ke luar. "Jangan pergi! Kamu harus menukar


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bajumu dulu!"
Tidak ada sahutan. Ketika Elsie tiba di ujung tangga,
dia melihat tubuh Rima terkapar di bawah tangga.375
34 Para, 1992
BELUM pernah Soni merasakan pengalaman seks yang
demikian memabukkan. Bahkan selama kariernya sebagai
seorang petualang asmara.
Countess Duvall, kalau benar dia punya darah
bangsawan, bukan pelacur, benar-benar teman kencan
yang menakjubkan. Di tempat tidur. Maupun di kamar
mandi. Di atas pasir. Maupun di dalam air.
Kadang-kadang Soni menduga perempuan ini punya
insang juga. Dia begitu tahan bermain cinta di bawah
permukaan air. Padahal Soni sudah tersengal-sengal
kehabisan napas.
Si ikan duyung ini memang menguasai sekali teknikteknik bercinta. Dari yang paling konservatif sampai yang
paling canggih. Mukanya memang mirip sekali dengan
salah seorang artis "Swedish Erotica" yang pernah Soni
lihat. Jangan-jangan countess ini salah seorang di antara
mereka!
Nah, siapa bilang bangsawan itu tidak bisa bertingkah
yang aneh-aneh? Buat perempuan ini, motivasinya
memang bukan uang. Tapi kepuasan. Kadang-kadang
kepuasan sukar dicari oleh orang yang telah memiliki376
banyak uang. Sehingga mereka terpaksa berbuat yang
aneh-aneh... Seperti Rima.
Tiba-tiba saja ingatan Soni kembali lagi pada wanita
itu. Apa yang kurang padanya? Uang berlimpah. Anak
sehat-sehat. Karier cukup membanggakan. Mengapa dia
mesti mengotori dirinya seperti itu?
Dia bisa menikah lagi kalau mau. Tak seorang pun
akan menyalahkannya. Tetapi mengapa Rima malah
memilih tidur dengan seorang pria daripada menikah
secara baik-baik? Padahal Soni sudah telanjur
mengaguminya!
Dia mencintai Rima karena perempuan itu tampak
berbeda. Dari hari ke hari Soni belajar mencintainya
dengan cinta yang tulus. Cinta yang belum pernah tumbuh
di hatinya. Ternyata perempuan itu sama saja dengan
pelacur!
Tetapi... mengapa biarpun Soni sudah berusaha
menyingkirkan perempuan itu dari kepalanya dia masih
gagal juga? Bayangan Rima masih sering mampir di
benaknya. Dan Soni masih tetap penasaran.
Siapa lelaki itu? Siapa lelaki yang lebih mampu merayu
Rima? Yang lebih ulung daripadanya? Pranatakah? Atau...
salah seorang staf di kantornya?
Ada seorang memang yang cukup ganteng. Masih
muda. Kreatif. Punya masa depan yang cerah. Sudah lama
Rima mengaguminya. Tapi hanya dalam hal pekerjaan.
Rima sering memujinya di depan Soni. Stafnya yang
berbakat itu menyukai tantangan. Berani mencoba hal-hal
yang baru. Dan pantang menyerah. Rima seperti melihat
bayangannya sendiri ketika mulai meniti karier dulu.377
Dia sudah memiliki gelar MBA. Sangat berbakat. Dan
belum menikah. Tetapi... membawa seorang wanita ke
tempat tidur, apalagi yang sekualitas Rima, tentu saja tidak
sama dengan membawa pulang setumpuk ijazah!
Satu-satunya orang yang punya peluang rasanya cuma
Pranata. Karena lelaki itu punya hubungan yang cukup
akrab dengan Tika.
Tetapi jangankan Soni, Tika saja tahu ibunya sangat
tidak menyukai Pranata! Bagaimana laki-laki yang sangat
tidak disukainya mampu membawanya ke tempat tidur?
Apakah justru karena itu, karena Rima berusaha
menutupi perasaan hatinya yang sebenarnya? Dia purapura tidak menyukai Pranata, padahal...
Soni punya pengalaman dengan seorang gadis di
SMA. Gadis itu terkenal paling alim. Dan tentu saja gadis
alim tidak suka bergaul dengan pemuda hidung belang
macam Soni.
Dia selalu berusaha menjauhi Soni. Dan berusaha
memberitahukan pada setiap temannya dia tidak tertarik
pada pemuda itu, meskipun semua teman gadisnya
mengejar-ngejar Soni.
Tentu saja Soni tidak peduli seandainya gadis itu tidak
cantik. Dan tidak terlalu demonstratif memamerkan
ketidaksukaannya. Akhirnya Soni bertaruh dengan temanteman prianya. Dia sesumbar mampu menaklukkan gadis
itu hanya dalam dua minggu.
"Dua minggu?" Anto tertawa paling keras. "Kamu
gila, Soni! Kalau kamu berhasil menaklukkan Nuri dalam
dua minggu, kuberikan motorku kepadamu!"378
Dua minggu pertama, Soni memang gagal. Jangankan
menaklukkan. Mengajak gadis itu nonton saja dia tidak
mampu. Nuri benar-be-nar luar biasa. Gigih. Sulit
ditaklukkan. Dan tak mempan dirayu.
Soni kalah taruhan. Dan jadi olok-olok teman-teman
sekelasnya. Soni bersumpah tidak akan berkencan dengan
gadis lain sebelum berhasil menundukkan Nuri.
Sejak itu, tersiar luas berita mengejutkan di antara
gadis-gadis itu. Soni patah hati. Dan jadi alim karena kali
ini benar-benar jatuh cinta pada Nuri. Padahal Soni cuma
sakit hati karena gagal! Dan penasaran ingin mencoba lagi!
"Dia bisa bunuh diri menelan jambu klutuk kalau
cintanya kamu tolak lagi, Nuri" goda Ully, temannya yang
paling gemuk dan merasa tidak punya peluang untuk ikut
perlombaan merayu playboy yang sedang patah hati itu.
Nuri memang tidak memberi tanggapan di depan
teman-temannya. Tetapi diam-diam dia mulai
memperhatikan Soni. Pemuda itu memang berubah. Jadi
lebih alim. Tidak mempermainkan gadis-gadis lagi.
Bahkan tidak pernah pergi lagi dengan salah seorang di
antara mereka. Malam minggu saja dia mengurung diri di
rumah. Apalagi malam lain!
Dan Nuri yang sebenarnya sudah lama tertarik pada
Soni, mulai menyadari kekeliruannya. Ternyata pemuda
itu bisa berubah. Dan sudah berubah.
Mengapa harus menghukumnya terus? Mengapa tidak
memberikan peluang padanya untuk memperbaiki diri?
Mungkin kali ini dia benar-benar jatuh cinta seperti kata
teman-temannya....379
Tidak sulit bagi Soni untuk masuk ke dalam hati Nuri
sesudah gadis itu membuka pintu hatinya. Sebentar saja
mereka sudah menjadi pasangan yang sangat lengket.
Ternyata gadis alim seperti Nuri kalau diberi kesempatan
malah lebih panas menggelora dibandingkan dengan
teman-temannya. Begitu menggebu-gebunya mereka
mengumbar cinta sampai kehilangan kontrol dan lupa
batasan.
Setelah merasa mampu memiliki Soni seorang diri.
Nuri rela menyerahkan segala-galanya. Menyerahkan
dirinya secara mutlak kepada lelaki yang dicintainya.
"Sayang terlambat, Son!" goda Anto ketika mereka
sedang minum-minum bersama teman-teman. "Baru
sekarang lu bisa ngegaet si Nuri! Coba sebulan yang lalu!
Raib deh motor gue!"
"Biarin! Gue nggak butuh motor lu! Motor bekas aja
digembar-gemborin! Pokoknya gue udah dapet yang siip!
Tangan pertama! Semuanya masih baru! Belum ada yang
karatan!"
"Dari mana lu tahu tangan pertama? Kata lu si Nuri
diam-diam hot banget? Dia cuma pura-pura alim kali! Buat
ngejebak playboy kue pancong kayak lu!"
"Sini kuping lu gue setrum!"
Soni mengangkat dada dengan bangga. Dijewernya
telinga Anto. Dihelanya ke dekat mulutnya. Meskipun
mukanya menyeringai menahan sakit, mata Anto langsung
membulat begitu mendengar apa yang dibisikkan Soni.
"Betul, Son?" Mulutnya pun ikut membulat. "Lu
nggak asal bunyi doang?"
"Awas lu, To! Berani buka mulut, gue ratain muka lu!"380
Anto memang tidak berani buka mulut. Tapi tanpa
membuka mulut lebar-lebar pun ternyata kabar itu cepat
meluas. Dan akhirnya sungguh fatal.
Nuri ditemukan bunuh diri. Peristiwa itu menjadi
pelajaran pahit bagi Soni. Sejak saat itu dia tidak mau
terlalu akrab dengan seorang gadis saja.
Cinta itu menjadi menyakitkan kalau terlalu banyak
perasaan diikutsertakan. Kata-kata itu menjadi motto
hidupnya sampai kini. Sampai dia bertemu dengan Rima.
Dan ketika perasaannya sudah diikutsertakan kembali
setelah diskors selama bertahun-tahun, dia kembali
terlempar dalam kesakitan.
Pertanyaan itu datang lagi dan datang lagi
mengganggu pikirannya. Benarkah Rima diam-diam
mencintai Pranata? Benarkah dia bertingkah seperti Nuri,
pura-pura membencinya untuk menutupi perasaannya
yang sebenarnya? Kalau tidak, mengapa begitu mudah
Pranata memilikinya setelah berhasil membuka pintu
hatinya?381
35 Jakarta, 1992
"IBU ke dokter?" Pranata mengerutkan dahinya dengan
heran. "Sakit apa?"
"Nggak sakit apa-apa," sahut Tika tanpa berpikir lagi.
"Ibu sehat. Tapi sudah janji sama Dokter Elsie."
"Kapan perginya?"
"Tadi siang."
"Dan belum pulang sampai sekarang?"
"Barangkali langsung ke kantor."
"Ibu tidak menelepon?"
Tika menggeleng.
Pranata mengepalkan tinjunya dengan geram. Selalu
menelantarkan anak! Mengutamakan pekerjaan. Masa
sampai malam begini belum pulang? Tidak ada kabar
berita pula. Keterlaluan! Ibu seperti ini yang katanya
mampu mendidik anak ianpa membutuhkan bantuan
orang lain? Hm, sombong!
"Coba Tika telepon Ibu di kantor! Suruh cepat pulang.
Bilang Bulan sakit!"382
Tika baru menyambar gagang telepon ketika Bi
Romlah berlari-lari datang dengan panik.
"Pak! Tolong! Ulan kejang-kejang!
*** Tergopoh-gopoh Pranata menggendong Bulan ke
mobilnya dan membawanya ke rumah sakit. Kejang Bulan
cukup lama. Dan keadaannya cukup menguatirkan.
Padahal demamnya tidak terlalu tinggi.
"Sebaiknya dirawat dulu untuk observasi malam ini,
Pak," kata dokter yang menangani Bulan di Unit Gawat
Darurat. "Karena walaupun demamnya tidak terlalu tinggi,
kejangnya cukup lama. Dan dia sudah berumur tujuh
tahun lebih. Sudah melampaui batas umur yang lumrah
untuk kejang demam."
"Telepon ibumu!" perintah Pranata pada Tika sesaat
sebelum meninggalkan rumah tadi. Dia benar-benar
jengkel. Perempuan itu benar-benar keterlaluan. Tidak
tahu diri. Ke mana dia? Tidak tahukah dia anaknya sakit?
Harus masuk rumah sakit pula! Padahal malam ini Pranata
ada geladi resik. Dia justru datang ke rumah Rima untuk
minta izin menjemput Tika!
Tetapi sampai Bulan selesai diperiksa dan dipindahkan
ke kamar untuk rawat inap, Rima belum muncul juga. Ke
mana dia?
"Ibu tidak ada di kantor?" geram Pranata marah ketika
dia menelepon Tika. "Ke mana?"
"Nggak ada yang tahu! Katanya Ibu hari ini nggak
masuk kantor. Ulan nggak apa-apa kan, Paman?"383
"Harus dirawat," sahut Pranata kesal. "Kamu punya
nomor telepon Dokter Elsie?"
"Barangkali ada di buku catatan telepon Ibu, Paman..."
"Cari!"
*** Dokter Elsie? Saya ingin minta keterangan tentang
pasien bernama Rima Permatasari."
Sunyi sesaat sebelum terdengar lagi suara dokter
wanita itu. Dalam. Perlahan. Ragu-ragu. "Ya?"
"Apakah benar dia datang ke sana tadi siang?"
"Ya."
"Dokter tahu ke mana dia pergi? Anaknya kejangkejang. Harus dirawat di rumah sakit!"
Sesaat tak terdengar suara apa-apa. Pranata mengira
hubungan terputus.
"Halo?" serunya berulang-ulang. "Halo?"
"Ibu Rima masih di sini," kata Dokter Elsie perlahan
setelah lama terdiam. "Belum boleh bangun dari tempat
tidur."
"Dia sakit apa?" cetus Pranata antara kaget dan cemas.
Kemarahannya hilang seketika. Begitu parahkah penyakit
Rima?
"Bapak siapa?"
"Temannya. Saya yang membawa anaknya ke rumah
sakit. Rima sakit apa, Dokter? Parahkah sakitnya?"
"Saya tidak dapat mengatakannya."384
"Tapi Dokter harus mengatakannya pada saya!
Saya temannya yang terdekat!"
"Ini rahasia jabatan antara dokter dan pasien."
"Kalau begitu, tolong katakan saja pada Rima, anak
bungsunya kejang-kejang. Harus dirawat di rumah sakit!"
*** Lambat-Iambat Rima membuka matanya. Dia merasa
pusing. Mual. Tidak keruan. Ada yang terasa pedih di
bagian bawah perutnya....
Sesaat dia mencoba menganalisa di mana dia berada.
Ruangan ini terasa asing. Tempat berbaringnya pun terasa
asing. Bahkan aroma di tempat ini pun terasa asing. Di
mana dia? Apa yang terjadi?


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Syukur kamu sudah sadar kembali, Rima."
Ada helaan napas lega di dekatnya. Ketika Rima
menoleh sedikit, dia melihat Elsie tegak di sampingnya.
Sekarang Rima tahu di mana dia berada. Di kamar
praktek Elsie. Dia sering berada di sini. Lebih-lebih pada
akhir-akhir ini... dia sering kemari memeriksakan
kandungannya... dan sekarang Rima juga tahu apa yang
telah terjadi!
"Elsie!" Ditangkapnya tangan dokter wanita itu
dengan panik. Digenggamnya erat-erat. Matanya menatap
Elsie antara panik, sedih, dan putus asa.
Sekarang dia tahu mengapa kepalanya terasa pusing.
Mengapa ada rasa sakit di bagian bawah perutnya!385
Mengapa ada darah... ya Tuhan! Darah anaknyakah yang
tertumpah di sana?
"Aku terpaksa melakukannya, Rima," desah Elsie lirih.
"Kamu jatuh dari tangga..."
"Anakku...?!" pekik Rima tertahan. Dia hendak
bangkit dari tempat tidur dengan histeris. Tetapi Elsie
keburu menahannya. Rasa sakit itu menahannya. Rasa
pusing menahannya pula....
"Tenang, Rima. Tenang. Jangan menyakiti dirimu
sendiri!"
"Apa yang terjadi, Elsie?" desah Rima gemetar.
"Kamu keguguran, Rima."
"Ya Tuhan!" Rima menjatuhkan dirinya kembali
dengan sedih.
Pada saat terakhir dia berusaha menyelamatkan
anaknya. Tetapi anak itu pergi juga! Dan semua itu karena
kesalahannya! Karena kesalahannya!
"Jangan salahkan dirimu, Rima," bujuk Elsie lunak.
"Kandunganmu tak dapat dipertahankan lagi. Darah terlalu
banyak keluar. Aku tidak mampu menghentikan
perdarahan itu kalau tidak menguret rahimmu."
Rima memejamkan matanya dengan getir. Dia tahu
Elsie tidak berdusta. Dia belum kehilangan seluruh
kesadarannya ketika terhantar di bawah tangga. Dia masih
ingat bagaimana Elsie memapahnya dengan susah payah ke
sini, karena tak mampu membawanya ke tingkat dua. Dia
masih ingat bagaimana banyaknya darah yang keluar. Dia
masih ingat bagaimana dia memohon pada Elsie sebelum
kesadarannya hilang,
"Selamatkan anakku, Elsie! Tolong, selamatkan dia!'"386
"Maafkan aku, Rima. Aku tidak mampu
menyelamatkan anakmu. Sudah terlalu banyak darah yang
keluar...."
Dan tampaknya, Elsie memang tidak punya pilihan
lain. Dia harus menyelamatkan nyawa Rima. Dan menghentikan perdarahan itu.
"Dia tahu aku tidak menginginkannya, Elsie..." rintih
Rima sedih. "Dia tahu, dia harus pergi kembali ke tempat
dari mana dia datang! Dia berkorban untuk ibunya!"
"Sudahlah, Rima. Untuk apa menambah sedih lagi
hatimu? Yang penting, kamu sekarang sudah selamat.
Hanya masih perlu istirahat. Tabahkanlah hatimu."
Terpaksa Rima berbaring selama beberapa jam di
kamar praktek Elsie. Untung sore itu Elsie tidak membuka
praktek. Dia bisa menemani Rima. Dan tidak perlu
memindahkannya ke kamar lain.
Keadaan umum Rima memang masih lemah sekali.
Dia masih sebentar-sebentar jatuh tertidur. Tetapi tidak
pernah benar-benar terlelap. Mimpi buruk silih berganti
mengganggunya. Dia begitu gelisah. Dia langsung
tersentak bangun ketika Elsie memasuki kamar prakteknya.
"Mau ke mana?" sergah Elsie sambil buru-buru
mencegah Rima bangun. "Kamu masih lemah. Belum
boleh meninggalkan tempat tidur. Nanti darahmu keluar
lagi!"
"Aku harus pulang, Elsie! Anak-anakku di rumah..."
"Tenang dulu, Rima. Sekarang dengarkan baik-baik.
Aku sudah menelepon perawatku. Dalam beberapa menit
lagi, dia sudah berada di sini. Dia akan menjagamu selama
aku pergi. Kamu harus patuh kepadanya..."387
"Kamu mau ke mana?"
"Ke rumah sakit. Ada telepon dari sana. Aku harus
melihat seorang pasien...."
Tentu saja Elsie tidak mau mengatakan siapa pasien
itu. Rima bisa panik. Dan memaksa menengok anaknya di
rumah sakit. Padahal dia belum boleh meninggalkan
tempat tidur....
"Tolong telepon ke rumahku, Elsie. Katakan pada
anak-anakku, aku akan pulang terlambat malam ini..."
Saat itu pintu kamar praktek terbuka. Elsie dan Rima
sama-sama menoleh ke pintu.
Perawat Elsie tegak di sana. Di belakangnya muncul
seorang laki-laki. Tertegun bingung menatap Rima.
"Maaf, Dok," kata perawat itu agak kesal. "Orang ini
memaksa ikut masuk. Katanya bawa kabar dari rumah
sakit. Anak Bu Rima sakit keras...."
*** Pikiran itu tidak mau hilang juga dari kepala Pranata. Rima
keguguran? Atau... dia melakukan abortus? Anak siapa
yang digugurkannya? Anak... Pranata? Hasil hubungan
gelap mereka ketika bermalam di rumah Rano di
Bandung...?
Rima berusaha bangun dari tempat tidurnya ketika
mendengar Bulan masuk rumah sakit. Tetapi begitu
bergerak bangun, dia sudah roboh kembali. Tubuhnya
lemah sekali. Wajahnya pucat. Dan darah merembes
membasahi tempat tidur....388
Sakit apa dia? Kata Tika, Ibu tidak sakit apa-apa. Ibu
hanya janji akan ke Dokter Elsie. Apa yang dilakukannya
di sini?
Dokter Elsie memang tidak mengatakan apa-apa
ketika Pranata mengantarkannya ke rumah sakit untuk
melihat Bulan. Rima belum dapat meninggalkan tempat
tidur. Elsie-lah yang menggantikannya menengok Bulan.
Tetapi meskipun Elsie tidak mengatakan apa-apa,
Pranata dapat menerka apa kira-kira yang menyebabkan
Rima demikian lemah. Demikian kesakitan. Sampai tidak
dapat meninggalkan tempat tidur.
Dia hamil... Itu sebabnya Elsie tidak mau mengatakan
apa penyakit Rima....
Anak siapa yang digugurkannya? Anak Pranata?
Padahal Pranata begitu mendambakan anak itu! Anak
Rima. Anak yang mirip Tika....
O, kalau saja dia tahu! Dia akan minta pada Rima agar
mempertahankan kandungannya! Mereka dapat menikah
sesudah Rima bercerai. Dan anak mereka selamat... tidak
perlu dibunuh!
Makin lama merenung, makin berang juga Pranata
pada Rima. Seharusnya dia berterus terang! Jangan
menyimpan sendiri problemnya! Dia kan bukan gadis
belasan tahun lagi. Yang kebingungan merahasiakan
kehamilannya!
Mengapa Rima sekejam itu? Seharusnya dia tidak
menyingkirkan anak itu... anak mereka!
Rima tidak mau punya anak lagi... lebih-lebih anak
gelap! Anak Pranata. Manusia yang dibencinya! Karena itu389
dia tega membunuh anaknya sendiri! Sungguh
menjijikkan!
*** "Bulan sudah tidak apa-apa." Elsie menenangkan Rima
sepulangnya dari rumah sakit. "Keadaan umumnya baik.
Sudah tidak kejang lagi. Dia dirawat untuk observasi saja."
"Dia pasti menangis mencariku!"
"Sudah kukatakan padanya, Ibu sakit. Besok baru bisa
menengoknya."
"Siapa yang menungguinya di sana, Elsie? Aku
kuatir..."
"Temanmu ada di sana. Jangan kuatir."
"Temanku?" Rima mengerutkan dahi. "Maksudmu...
Pranata?"
"Yang tadi kemari."
Rima menghela napas berat. Mengapa justru Pranata
yang menolongnya? Dia sudah tidak ingin melihat lelaki
itu lagi! Sudah mengusirnya keluar dari kantornya. Dari
kehidupannya. Sekarang justru dia yang menolongnya!
"Kapan aku boleh pulang, Elsie? Tika sendirian di
rumah."
"Aku sudah meneleponnya. Mengabarkan malam ini
kamu harus bermalam di rumahku karena sakit. Tika bisa
mengerti. Dia sudah cukup besar."
"Dia pasti kesal."
"Sudahlah. Jangan pikirkan apa-apa lagi. Yang
penting, kamu harus istirahat. Kamu kan bukan anak kecil390
lagi, Rima. Kamu tahu kalau kamu paksakan dirimu
pulang, kamu mungkin malah tidak dapat lagi melihat
anak-anakmu!"
"Aku tidak bisa tidur memikirkan mereka..."
"Akan kuberi kamu obat. Cobalah tidur."
"Mengapa Bulan harus masuk rumah sakit, Elsie?
Katamu dia sudah tidak kejang lagi, kan?"
"Hanya untuk observasi. Esok akan dilakukan punksi
lumbal."
"Pemeriksaan apa itu?"
"Pengambilan cairan otak dari sumsum tulang
belakang. Untuk mencari penyebab kejangnya."
"Aduh! Ulan pasti ketakutan! Dia membutuhkan
kehadiranku!"
"Karena itu sebaiknya malam ini kamu cukup istirahat.
Supaya esok cukup kuat untuk menemani Bulan."
Tetapi bagaimana Rima dapat beristirahat? Meskipun
Elsie telah memberikan obat tidur, dia masih tetap belum
dapat memicingkan matanya!
Dia baru saja kehilangan bayinya dengan cara yang
amat tragis. Kini dia harus menerima kenyataan yang tak
kalah pahitnya. Anaknya yang lain sakit. Entah sakit apa!
Yang jelas, esok cairan otaknya harus diambil untuk
diperiksa! O, Tuhan, beratkah penyakit Bulan?
Mengapa demikian serius? Anak-anak sering
mengalami kejang-kejang, bukan? Tetapi mengapa justru
Bulan yang harus diambil cairan otaknya? Begitu beratkah
penyakitnya?391
*** "Ada apa, Tika?" Pranata menghampiri Kartika yang
sedang berjongkok seorang diri sambil menangis di bawah
pohon. "Kenapa menangis?"
Kartika menggelengkan kepalanya sambil menyeka air
matanya.
"Ibu lagi?" desak Pranata sambil ikut berjong-kok di
sampingnya.
Sekali lagi Tika menggeleng.
"Ingat Bapak?"
Kali ini Tika diam saja. Tidak menyahut. Tidak
mengangguk, Tidak menggeleng.
Pranata meraih anak itu ke dalam pelukannya. Dan
Tika menangis dalam dekapan laki-laki itu. "Kangen sama
Bapak?" bisik Pranata lembut.
"Bapak nggak pernah lupa sama Tika," isak Tika
pahit.
"Paman Prana juga nggak pernah lupa sama Tika.
Paman selalu datang ke sini menemani Tika, kan?"
"Tika jengkel!"
"Karena sendirian terus di rumah?"
"Ibu cuma sayang sama Ulan!"
"Karena Ibu terus-terusan di rumah sakit?" Pranata
melepaskan pelukannya sambil tersenyum. "Itu karena
Ulan sedang sakit. Ibumu juga tidak sehat. Mungkin
karena itu Ibu kurang memperhatikanmu."392
"Ah, Ibu emang nggak sayang sama Tika! Dari dulu,
cuma Ulan yang disayang! Tika kepingin ke tempat Bapak
saja!"
"Tapi kita tidak tahu di mana Bapak."
"Paman," Tika menatap Pranata dengan sedih. "Betul
nggak sih kata orang-orang Bapak sudah mati?"
Pranata tertegun. Sejenak dia tidak tahu harus
menjawab apa.
"Paman tidak tahu, Tika," katanya akhirnya setelah
berpikir sesaat dan tetap tidak dapat menemukan jawaban
yang dirasanya tepat.
"Kita pergi aja yuk, Paman."
"Pergi ke mana?" cetus Pranata terkejut.
"Cari Bapak."
"Ke mana?"
"Ke mana aja. Asal jangan di sini. Tika bosan!"
"Tapi, Tika..."
"Kalau Paman nggak mau nemenin Tika, biar Tika
pergi sendiri!" Dengan kesal Tika membanting-banting
kakinya ke tanah.
"Lho, jangan begitu, Tika..."
"Biar!" Tika mulai menangis lagi. "Tika jengkel!
Sebel!"
"Tapi Tika tidak boleh meninggalkan rumah!"
"Pokoknya kalau Paman ke sini lagi, Tika pasti sudah
nggak ada!"
Pranata terdiam. Tampaknya... percuma menasihati
Tika dalam keadaan seperti ini.393
"Paman ada undangan nonton pembacaan puisi nanti
malam. Tika mau ikut?"
"Ke mana juga Tika mau! Asal jangan di rumah!"
"Paman jemput nanti malam jam tujuh."
"Tika ikut Paman sekarang aja."
"Jangan! Nanti dicari Ibu."
"Ah, Ibu pasti nggak pulang lagi. Kayak kemarin!"
"Kemarin Ibu nggak pulang?"
Kartika menggelengkan kepalanya dengan kesal.
"Ke rumah sakit?"
"Tau ke mana."
"Kalau Tika ikut Paman sekarang, Ibu pasti marah


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Dikira Tika bolos sekolah gara-gara ikut Paman
lagi."
"Biar aja," sahut Tika acuh tak acuh sambil membuang
muka.
Pranata menghela napas panjang. Tampaknya dia
memang tidak punya pilihan lain. Tidak membawa Tika
sekarang, sama saja artinya dengan membiarkan dia
kesepian seorang diri. Mungkin dia malah akan pergi entah
ke mana... mencari ayahnya....
"Cepat tukar bajumu, Tika," katanya akhirnya.
"Paman tunggu di depan."
Tidak ada sepuluh menit Tika menukar pakaiannya
dan menemui Pranata yang telah menanti di ruang depan.
Tetapi begitu Pranata membuka pintu, Rima tegak di
hadapan mereka. Sesaat mereka sama-sama tertegun.
'"Mau ke mana?" Tidak jelas kepada siapa pertanyaan
itu diajukan Rima. Kepada Pranata atau kepada Tika.394
"Tika mau ikut saya," Pranata sudah menjawab
sebelum kemarahan Rima meledak. Tak sadar dia bergerak
ke depan Tika, seolah-olah ingin melindunginya dari
kemarahan ibunya.
"Bagus," geram Rima menahan marah. Tatapannya
menyapu wajah anaknya dengan gusar. "Kamu bolos lagi?"
"Ada sesuatu yang harus saya bicarakan, Rima,"
potong Pranata muram, mencoba melerai kemarahan
wanita itu. "Ada sesuatu yang harus kamu ketahui tentang
Tika..."
"Saya sudah tahu!" sahut Rima ketus. "Dia sudah bosan
sekolah, kan? Dan Pak Pranata membantunya mengisi
waktu luang? Ada pekerjaan untuknya di sanggar?"
Dengan kasar Rima menyingkirkan Kartika yang
menghalangi jalannya. Dilemparkannya tasnya ke atas
meja.
"Mulai sekarang Ibu tidak mau memaksamu lagi,
Tika," katanya tanpa menoleh. Suaranya kosong tanpa
nada. "Jika kamu lebih suka bekerja di sanggar daripada
belajar di sekolah, besok kamu tidak usah sekolah lagi. Ibu
tidak peduli."
"Dari dulu juga Ibu nggak pernah peduli!" Tangis
Tika pecah di sela-sela kemarahannya. "Cuma Ulan yang
Ibu pikirin!"
Tanpa menunggu reaksi ibunya lagi, Kartika berlari
secepat-cepatnya keluar dari rumah.
"Tika!" seru Pranata antara cemas dan bingung. Dia
segera mengejar Kartika.395
Tetapi Tika bukan berhenti malah lari makin cepat
melintasi halaman. Dengan kasar dia membuka pintu pagar
dan menghambur ke luar.
"Tika!" jerit Pranata histeris dari tengah-tengah
halaman ketika dia melihat sebuah mobil melaju dengan
cepatnya ke arah Tika.396
36 "KAMU bunuh anak dalam kandunganmu! Sekarang
kamu bunuh pula anakmu yang lain!" teriak Pranata kalap
ketika dia memeluk tubuh Tika yang terhantar berlumuran
darah di tengah jalan.
Tetapi saat itu Rima sudah tidak mendengar apa-apa
kecuali jeritannya sendiri memanggil nama anaknya. Dia
mencoba meraih tubuh Tika dari rangkulan Pranata. Tapi
Pranata mendorongnya dengan kasar.
"Kamu tidak peduli lagi, kan?!" geramnya sengit.
"Tidak usah kamu pegang lagi dia! Biarkan dia pergi
menyusul ayahnya seperti yang tadi dikatakannya!"
*** "Kamu tidak akan luput dari hukuman, Rima!" geram
Pranata dengan bibir terkatup menahan marah. Mereka
sedang menunggu di luar ruang operasi. "Saya akan
mewakili anak-anakmu menuntutmu!"
Rima menatap Pranata dengan tatapan kosong. Seperti
tidak memahami apa yang dikatakannya. Otaknya hanya
dipenuhi oleh bayangan Tika. Putri sulungnya yang
terkapar berlumuran darah di tengah jalan....397
"Kamu mungkin tidak dapat dihukum karena
mencelakakan Tika! Tapi kamu harus dituntut karena
menggugurkan kandunganmu!"
Rima tidak menjawab. Tidak bergerak. Bahkan tidak
memperlihatkan tanda-tanda mendengar apa yang
diucapkan Pranata. Dia hanya tertegun bengong seperti
orang linglung. Menatap dengan tatapan hampa.
Memandang tanpa melihat. Wajahnya pucat. Matanya
berair. Tubuhnya lunglai seperti seonggok daging tak
bernyawa.
Dia sudah kehilangan gairah hidupnya. Semuanya
terjadi begitu cepat. Dia hanya ingat mendengar derit
panjang rem mobil dan jeritan orang-orang. Lalu dia
melihat anaknya terkapar di tengah jalan bersimbah
darah....
Satu per satu Tuhan mengambil miliknya. Mula-mula
suaminya. Lalu Soni. Janin di dalam kandungannya. Kini
Tika. Akan pergi jugakah dia?
Tika masih berjuang melawan maut di dalam kamar
operasi. Dokter-dokter masih berusaha keras menyelamatkannya.
"Keadaannya sangat kritis," kata dokter yang membedahnya selesai melakukan operasi. "Seandainya dia dapat
melewati masa kritisnya sekali pun, saya kuatir dia bakal
cacat."
Rima ingin memekik. Tapi jeritan yang didengaraya
tidak keluar dari mulutnya. Pranatalah yang memekik.
***398
"Dia begitu berbakat!" Pranata menghancurkan barangbarang di sanggarnya dengan kalap. "Sekarang dia cacat!
Cacat!"
Tidak seorang pun berniat mencegahnya. Tidak
seorang pun berani mendekat. Mereka membiarkan
Pranata melampiaskan emosinya. Mereka tahu bagaimana
dekatnya hubungan Pranata dengan Kartika. Anak itu
sudah dianggapnya anak angkat. Setelah mendengar
musibah yang menimpa Tika, semua orang dapat
memahami perasaan Pranata.
Gadis kecil yang berbakat itu akan cacat! Seandainya
dia hidup sekalipun, dia tidak akan mampu lagi menjadi
seorang penari.... Padahal Pranata demikian mengharapkannya....
Dan Pranata menumpahkan kesedihannya dengan
menghancurleburkan barang-barang yang membangkitkan kenangannya kepada Kartika. Bukan hanya di
sanggarnya saja. Di rumah pun dia mengamuk.
Bungkusan-bungkusan kacang yang sudah dibelinya
tapi belum sempat dimakannya bersama Tika, dilemparlemparkannya ke segenap penjuru rumah. Kacangkacang
bergulir dan bertebaran mengotori lantai. Bercampur baur
dengan pecahan-pecahan kaca dan serpihan-serpihan
barang-barang lain.
"Aku akan membalaskan dendam anak-anakmu,
Rima!" teriaknya di tengah-tengah rumah. "Akan kutuntut
kamu ke pengadilan! Akan kupaparkan apa yang telah
kamu lakukan! Supaya semua orang tahu apa yang telah
dilakukan oleh salah seorang dari sepuluh wanita
pengusaha paling sukses tahun ini!"399
*** Melalui operasi akhirnya memang jiwa Tika berhasil
diselamatkan. Tetapi tidak kakinya. Kaki kiri yang pernah
patah ketika Tika mengalami kecelakaan jatuh dari bus itu
kini tidak dapat dipertahankan lagi. Pada operasi yang
kedua, kaki kirinya terpaksa diamputasi sebatas lutut.
Rima jatuh terduduk ketika mendengar keterangan
dokter yang mengamputasi kaki Tika. Sesaat dia tidak
mampu mengucapkan sepatah kata pun. Walaupun
sebenarnya dia ingin menangis. Ingin menjerit. Ingin
meraung.
Anak perempuannya yang baru berumur sebelas tahun
itu harus kehilangan sebelah kakinya! Tika akan menjadi
seorang penyandang cacat! Invalid! Buntung!
"Dia begitu berbakat!" samar-samar dia mendengar
suara Pranata, parau meredam tangis. "Kamu menghancurkan cita-citanya, hidupnya, masa depannya! Kamu! Ibunya
sendiri!"
"Dari dulu juga Ibu nggak pernah peduli!" terngiang
lagi isak Tika di telinganya. Sesaat sebelum dia
menghambur lari menyongsong petaka yang akan
membuatnya cacat seumur hidup. Benarkah aku tidak
memedulikannya?
"Ibu cuma sayang Ulan!" Benarkah aku tidak sayang
padanya? Anak sulungku. Darah dagingku. Kalau tidak karena
dia, untuk apa aku berkorban, menikah dengan pria yang tidak
kucintai?
"Dia ingin mencari ayahnya!" kata-kata Pranata tak
mau hilang juga dari telinga Rima. Berdentam terus400
sepanjang hari. "Dia kesepian seorang diri. Dia ingin
mencari orang yang memperhatikannya! Dia, merasa
dikucilkan oleh ibunya sendiri!"
Tapi... apa sebenarnya yang kulakukan? Apa salahku?
Aku hanya ingin dia sekolah! Keinginan yang wajar dari
seorang ibu. Aku tidak mau anakku luntang-lantung ke sana
kemari dengan seorang seniman yang kuketahui bejat
moralnya! Aku tidak mau pelajarannya terganggu oleh kegiatan yang tidak keruan di sanggar tari! Salahkah aku?
"Aku akan membalaskan dendam anak-anakmu,
Rima!" geram Pranata sengit. "Akan kutuntut kamu ke
pengadilan! Kamu menggugurkan kandunganmu!
Membunuh anakku!"
Dari mana Pranata tahu? Dari mana dia tahu Rima
mengandung anaknya dan keguguran?
Tetapi Rima tidak peduli. Dia tidak peduli lagi
kehilangan nama baiknya. Bahkan dihukum penjara
sekalipun.
Kesedihannya akibat cacatnya Tika sudah menyita
habis semua penderitaannya. Tidak ada lagi penderitaan
yang lebih berat, penjara sekalipun! Dia sudah terhukum
oleh kesengsaraan anaknya sendiri.
Tidak ada lagi sengsara yang lebih berat. Tidak ada
hukuman yang lebih mengerikan. Tidak ada!
Mendengar Tika meraung meratapi kakinya yang
hilang ketika pertama kali dia sadar kaki kirinya sudah
tidak ada lagi di tempatnya, sudah cukup membuat Rima
serasa dicabik-cabik sejuta cemeti. Daging tubuhnya serasa
disayat sembilu menjadi serpihan-serpihan kecil yang nyeri
menyakitkan.401
Rasanya Rima lebih baik memotong kakinya sendiri
dan memberikannya kepada Tika jika dapat. Kalau boleh
memilih, dia bersedia menukar dengan apa pun yang
dimilikinya asal Tika dapat memperoleh kaki kirinya
kembali....
Ya Tuhan! Kalau saja dia dapat memutar kembali
jarum jam! Tak akan ditinggalkannya putri sulungnya.
Tak akan dibiarkannya dia sendirian. Tak akan
dibiarkannya dia berlari menyongsong musibah yang
mengerikan itu!
Tetapi yang dapat dilakukannya saat itu hanyalah
merangkul Tika erat-erat sambil mencoba menahan
tangisnya. Menggigit bibirnya sampai berdarah agar air
matanya tidak mengalir deras dan menambah kesedihan
Tika.
Di tengah-tengah penderitaan yang tidak kalah
hebatnya dari penderitaan Tika sendiri, Rima masih
berusaha bersikap tegar. Menabahkan Tika dari shock yang
mengguncangkannya. Menderanya sampai lumat dalam
kesedihan dan keputusasaan.
Cuma Rima yang saat itu berada di sana. Pranata
sudah melarikan diri. Menghilang begitu mendengar vonis
dokter.
Dia tidak sanggup menemui Tika. Tidak tahan
melihatnya dalam keadaan seperti itu. Tidak tega
menyaksikan Tika tanpa kaki kirinya.
Pranata lari ke sanggarnya. Mereguk minuman keras.
Dan menghancurkan baju itu. Baju yang sudah
dipersiapkannya sebagai kejutan. Baju yang akan dipakai
Tika pada pementasan terbaiknya minggu depan....402
Sekarang Pranata tidak mau melihatnya lagi.
Dihancurkannya baju itu. Lalu dia memekik sekuatkuatnya menumpahkan kesedihannya.
*** Sebenarnya Rima tidak mau meninggalkan Tika sekejap
pun. Anak itu dalam keadaan shock berat. Dia tidak mau
bicara sama sekali. Yang dilakukannya sepanjang hari
cuma menangis. Melamun. Dan menangis lagi.
Jika perawat menyuntiknya, dia tidur sebentar. Tetapi
begitu bangun, dan menyadari kakinya tinggal satu, Tika
mulai menangis lagi.
"Mengapa dunia begini tidak adil pada anak-anakku?"
keluh Rima sambil menangis di kamar mandi. Satu-satunya
tempat dia dapat menumpahkan perasaannya sepuaspuasnya. Karena di depan Tika, dia tidak pernah menangis
meskipun air matanya terus meleleh. "Mereka baru saja
kehilangan bapak! Mengapa sekarang mesti menderita
lagi?"
Tika kehilangan kaki. Bulan tidak henti-hentinya
menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Ketika akhirnya
Rima dipanggil menghadap dokter yang merawat Bulan,
dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi
kenyataan yang paling buruk. Dia terpaksa meninggalkan
Tika. Dan menemui dokter yang memanggilnya.
"Mula-mula kami mengira Bulan mengidap meningitis
tuberculosa," kata dokter itu ketika Rima telah duduk
dengan pasrah di depan meja tulisnya. "Radang selaput
otak akibat penyebaran kuman-kuman TBC."403
Ya Tuhan, keluh Rima dalam hati. TBC! Anakku
mengidap TBC?!
Bulan hanya beberapa bulan saja ikut ayahnya tinggal


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di gang sempit yang kumuh itu... di sanakah dia terjangkit
penyakit TBC? Atau... dia tertular dari salah seorang
pembantunya?
Bi Romlah memang sudah lama batuk. Tapi batuknya
tidak menguatirkan. Cuma sedik-it-sedikit... Itukah justru
tanda-tanda penyakit TBC? Penyakit yang kadang-kadang
demikian tersembunyi sehingga penderitanya baru pergi
ke dokter kalau dahaknya sudah bercampur darah?
Bulan memang dekat dengan Bi Romlah. Secara jujur,
kalau dihitung-hitung, dia lebih banyak berada bersama
pembantu daripada dengan ibunya sendiri.
Tapi... TBC! Astaga! Bagaimana mungkin?!
Gizinya cukup. Lingkungan baik. Bersih. Sehat.
Ventilasi cukup. Vitamin tidak pernah kurang.
Bulan jarang sakit. Kecuali ketika masuk rumah sakit
karena demam berdarah. Tentu saja dia sering pilek. Panas.
Kadang-kadang batuk. Tapi itu penyakit lumrah pada
anak-anak, bukan?
Radang tenggorok, kata dokter yang memeriksanya.
Lima hari minum obat, dia sudah sembuh. Tidak ada
indikasi ke arah TBC!
"Penyakitnya tidak terlalu akut. Demamnya tidak
tinggi. Tapi kejangnya cukup lama. Dari hari ke hari
keadaannya justru makin memburuk. Sehingga harus
dibantu dengan terapi intensif," sambung dokter itu pula.
"Jadi Bulan mengidap TBC?" gumam Rima tidak
percaya.404
"Tidak kami temukan kuman TBC dalam cairan
otaknya. Walaupun ada tanda-tanda peradangan selaput
otak yang mengarah ke sana. Pemeriksaan paruparunya
tidak menyokong ke arah TBC. Walaupun tes
tuberkulinnya positif lemah, diagnosa pasti masih
meragukan."
"Jadi pemeriksaan apa lagi yang harus dijalani Bulan,
Dokter? Kasihan dia. Sudah kesakitan dan ketakutan
sekali."
"Untuk sementara pemeriksaannya sudah selesai.
Keadaannya sudah membaik. Esok Bulan sudah boleh
pulang. Obat-obatnya masih harus diminum terus. Dan
tiga minggu lagi harus kembali kemari untuk kontrol."
"Terima kasih, Dokter. Bulan memang sudah ingin
sekali pulang."
"Saya minta semua orang yang serumah dengan Bulan
di-checkup. Untuk menghindari kontak person."
*** Bulan memang kelihatan lega setelah diperbolehkan
pulang. Tetapi kegembiraannya tidak seperti yang
diharapkan Rima. Dia tampak lesu. Tidak ada nafsu makan.
Dan masih sering mengeluh sakit kepala. Sehingga baru
dua hari di rumah, Rima sudah membawanya kembali ke
dokter.
"Semua baik," kata dokter itu selesai memeriksa.
"Mungkin Bulan hanya membutuhkan perhatian Ibu. Dia
baru pulang dari rumah sakit.405
Tidak ada siapa-siapa di rumah kecuali pembantu,
menimbulkan perasaan tidak diperhatikan."
Rima menghela napas panjang. Bagaimana dia dapat
berada lebih lama di rumah kalau dia harus selalu
menemani Tika di rumah sakit?
Bulan memang sudah beberapa kali merengek minta
diajak menjenguk kakaknya. Tetapi Rima merasa belum
saatnya.
Kejutan itu cukup memukul untuk Bulan. Sekaligus
untuk Tika. Lebih baik mereka tidak bertemu dulu. Tetapi
bagaimana Rima dapat memberi pengertian kepada Bulan
kalau dia tidak berterus terang?
Dan pada saat yang paling sulit dalam hidupnya itu,
sebuah gugatan mampir ke alamatnya. Dia secara resmi
dituduh menggugurkan kandungannya secara ilegal.
Dokter Elsie juga dituntut karena melakukan abortus
kriminalis.
"Apa-apaan ini?" geram Elsie gusar ketika sore itu dia
datang menemui Rima di rumah sakit. "Siapa yang
memfitnah kita sekejam ini?"
"Pranata," sahut Rima terus terang. Dia merasa
bersalah karena membawa-bawa sahabatnya dalam
kesulitan. Kalau menyangkut dirinya sendiri, dia malah
tidak peduli lagi. "Dia mengira aku menggugurkan
kandunganku."
"Apa haknya ikut campur?" dengus Elsie penasaran.
"Dia cuma seorang teman, bukan suamimu."
"Dia merasa, dialah ayah anak itu."
Sesaat Elsic terdiam. Ditatapnya temannya dengan
nanar.406
"Ketika kudengar kamu tidur dengan orang yang
kamu benci, aku cuma mengiramu aneh. Sekarang, aku
malah yakin, kamu sakit!"
"Bukan aku yang menyuruhnya menuntutmu."
"Teman macam apa yang menggugat teman sendiri
pada saat dia sedang mengalami kesulitan seperti ini?
Orang itu tidak pantas menjadi teman!"
"Aku tidak memilihnya. Dia ditakdirkan untuk
mengacaukan hidupku."
"Tidak kamu jelaskan padanya apa yang terjadi? Kalau
keguguran. Bukan menggugurkan kandungan!"
"Dia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan."
"Dan aku tidak merasa perlu menjelaskan padanya
karena kupikir dia bukan suamimu! Pada malam dia
membawaku ke rumah sakit menengok Bulan, sebenarnya
dia sudah bertanya, apa yang terjadi padamu. Kamu sakit
apa. Salahnya, aku tidak tahu siapa dia!"
"Kamu tidak salah. Dia memang bukan siapa-siapa."
"Dia ayah anak dalam kandunganmu! Karena itu dia
marah ketika mengira kamu menggugurkannya!"
"Dia tidak berhak untuk marah! Tidak ada hukum
yang mengesahkan anak itu sebagai anaknya!"
"Dia cuma ingin mencorengkan arang di keningmu.
Seandainya kamu tidak dihukum sekalipun, namamu telah
rusak!"
"Apa yang harus kulakukan untuk membersihkan
namamu, Elsie?"407
"Kesaksianmu tidak akan dipercaya. Karena kamu juga
menjadi salah seorang tertuduh dalam kasus ini. Kukira, dia
tidak punya bukti. Sama seperti kita."
"Pranata dapat meminta anak-anakku untuk bersaksi.
Bulan melihat kami tidur berdua di lantai kamar ketika dia
meniduriku. Tika mendengar ketika aku membuat janji
denganmu melalui telepon. Orang keguguran tidak sempat
membuat janji terlebih dulu, kan? Rasanya kita sedang
menghadapi kesulitan besar, Elsie."
"Padahal kita tidak bersalah! Mengapa lelaki itu begitu
benci padamu, Rima? Karena kamu menolak lamarannya?"
"Dia sangat sayang pada Tika. Dan dia menganggap
gara-gara akulah Tika mendapat kecelakaan. Dia ingin
mewakili anak-anakku menghukumku."408
37 SONI membaca berita yang mengejutkan itu di surat
kabar ketika dia kembali ke Indonesia.
"Wanita pengusaha yang sukses dituntut karena
menggugurkan kandungan."
Meskipun surat kabar itu hanya memakai inisial Dra.
RP dan koreografer terkenal PR sebagai penggugat, Soni
telah dapat menerka siapa mereka. Segera dia mencari dan
membaca semua surat kabar dan majalah yang memuat
berita itu.
Tampaknya Pranata benar-benar memanfaatkan
ketenarannya untuk mendapat tempat di media massa. Dan
usahanya untuk menjatuhkan citra Rima benar-benar tidak
kepalang tanggung. Semua aspek negatif dari seorang
wanita karier dikupas habis-habisan secara sepihak.
Lebih tidak adil lagi karena Rima sama sekali tidak
memberi tanggapan. Apalagi sanggahan. Dia menolak
setiap wawancara. Dan memilih menghindar daripada
berkonfrontasi.
Entah mengapa sesudah membaca tulisan-tulisan yang
menghantam Rima itu, Soni merasa iba. Rasa marahnya
hilang seketika. Berganti dengan perasaan kasihan.409
Mengapa Rima tidak melawan? Tidak membantah.
Benarkah semua yang dituduhkan kepadanya itu?
Merasakan ketidakberdayaan perempuan yang dicintainya, tiba-tiba saja hati Soni tergerak untuk
menolongnya. Membelanya. Melindunginya. Lebih-lcbih
ketika dari salah satu majalah wanita yang dibacanya, dia
mengetahui musibah yang menimpa Kartika. Soni
langsung memutuskan untuk menemui Rima.
Tetapi yang ditemuinya di rumah cuma Bulan. Dan
melihat betapa kurusnya anak itu sekarang, Soni menyesal
telah meninggalkannya begitu lama.
Bulan pasti sering ditinggal seorang diri di rumah. Dia
bukan hanya tampak kesepian. Dia kelihatannya tidak
sehat.
"Dirawat di rumah sakit?" ulang Soni tidak percaya
ketika Bulan menceritakan pengalamannya. "Sakit apa?"
Bulan menggelengkan kepalanya. Tetapi mulutnya
tidak henti-hentinya bergerak menceritakan semua
penderitaan yang telah dialaminya.
"Kenapa Oom baru datang sekarang?" gugat Bulan di
akhir ceritanya. "Betul Oom bertengkar sama Ibu?"
"Sedikit," sahut Soni dengan perasaan bersalah.
"Gara-gara Paman Prana?"
Soni menatap Bulan dengan heran. Apa yang
diketahui anak kecil ini tentang hubungan ibunya dengan
Pranata? Dan keheranannya mencapai puncaknya ketika
Bulan mendesak lagi denganpenasaran.
"Gara-gara Paman tidur sama Ibu di lantai kamar Ulan
di Bandung?"
Berdebar jantung Soni mendengarnya.410
"Ibu... tidur dengan Paman Prana...?" ulangnya
You Are My Dream World 1 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Tamu Dari Gurun Pasir 25

Cari Blog Ini