Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 12

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 12


bergerak dan heran kenapa pemuda itu meluncur di balik gunung. Thai Liong memang melewati puncak
Naga Merah untuk turun di seberang yang sana, bergerak dan tiba-tiba tampaklah sesosok bayangan putih
meluncur di depan. Dan ketika Thai Liong berseru bahwa itulah Sian-su, Soat Eng dan Shintala terbelalak
karena bayangan itu bergerak seperti asap, melayang alias ngambang di permukaan tanah maka gadis itu
berseru tertahan dan merasa pucat.
"Itu Sian-su, mari percepat gerakan kita!"
Soat Eng terbang mengerahkan segenap tenaganya. Wanita itu berseru girang sementara Shintala
masih ragu-ragu dan ngeri. Itu Bu-beng Sian-su yang kesohor di seluruh jagad? Itu kakek dewa yang
namanya menggetarkan dan ditakuti iblis-iblis macam Poan-jin-poan-kwi? Ah, mengerikan. Kedua kakinya
tak menginjak tanah dan melayang seperti peri! Tapi ketika Soat Eng bergerak dan memanggil namanya,
temannya itu tampak girang bukan main maka gadis ini memberanikan hatinya dan menjejakkan kakinya
mengerahkan semua ilmunya. meringankan tubuh, Thai Liong sendiri sudah melesat dan terbang di depan,
jauh meninggalkan mereka!
"Shintala, cepat. Kita tak boleh kehilangan kakek itu!"281 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Baik, tapi tunggu aku, Eng-cici. Tempat ini demikian terjal dan banyak jurang-jurangnya!"
"Jangan khawatir, kau dapat melewati semuanya itu. Mari, cepatlah. Kakakku jauh di sana dan lihat
hampir menempel Sian-su!"
Shintala kagum. Thai Liong, pemuda tampan itu, tiba-tiba benar saja mengejar dan berhasil menempel
bayangan putih yang melayang-layang itu. Terdengar tawa lembut dan Shintala tiba-tiba berdesir dan merasa
sejuk mendengar itu. Ah, itu tawa Bu-beng Sian-su. Bukan main lembut dan menyenangkannya! Dan ketika
ia berkelebat dan mengerahkan semua ilmu lari cepatnya maka dia sudah berendeng dan berjajar dengan Soat
Eng, temannya ini.
"Hebat sekali kakakmu. Kita tetap tak dapat mengejar!"
"Hi-hik, kakakku memang luar biasa, Shintala. Ayahku sendiripun mengakui keunggulannya. Lihat,
dua orang itu memperlambat larinya dan kita menyusul!"
Shintala tertegun. Mendengar kata-kata "ayahku sendiripun mengakui keunggulannya" mendadak
gadis ini sadar dan teringat sesuatu. Ingat bahwa dia belum bertanya siapa teman-teman barunya ini dan dari
mana mereka. Ketegangan demi ketegangan yang mereka alami telah membuat dia lupa akan semuanya itu.
Dan ketika dua orang di sana memperlambat larinya dan angin meniup kencang, tutup kepala Thai Liong
tiba-tiba terangkat dan terlempar mendadak gadis ini mengeluarkan seruan tertahan melihat Thai Liong
terurai berambut panjang, rambut berwarna keemasan yang selama ini memang tertutup oleh kopiah atau
tutup kepala merah.
"Kim-mou-eng!"
"Bukan," Soat Eng berseru menghentikan larinya, mereka sudah dekat dengan Sian-su dan Thai
Liong, tertawa. "Kim-mou-eng adalah ayah kami, Shintala. Itu kakakku Thai Liong. Kim Thai Liong!"
"Apa? Jadi... jadi kau..."
"Benar," Soat Eng berseri-seri, tak menduga jelek, langsung saja menerangkan. "Ayahku Kim-moueng adalah ayah kakakku itu juga. Kau rupanya mengenal ayahku dan pernah bertemu. Ah, itu Sian-su,
Shintala. Ayo mendekat dan memberi hormat!"
Namun gadis ini membelalakkan matanya lebar-lebar. Shintala terkejut ketika tiba-tiba melihat rambut
Thai Liong. Selama ini rambut itu tersembunyi di balik tutup kepala dan itupun juga tak diperhatikan gadis
ini karena kejadian demi kejadian selalu menimpanya. Tapi begitu tutup kepala itu lepas dan rambut
keemasan Thai Liong terurai, memang pemuda ini seperti ayahnya maka Shintala tiba-tiba terkejut dan
teringat permusuhannya dengan pendekar itu, terutama isterinya, Kim-hujin! Dan begitu ia melotot dan
berobah merah, Soat Eng terkejut, mendadak gadis itu memutar tubuhnya dan lari meninggalkan mereka,
terbang ke arah lain!
"Soat Eng, menyesal sekali kita tak dapat bersama lagi. Maaf, aku harus pergi dan biar kita tak usah
bertemu!"
"Heii..!" Soat Eng terkejut, berubah mukanya. "Apa maksudmu ini, Shintala. Kenapa kau berobah
kasar!"
"Hm, tak usah tahu. Tanya saja ayah ibumu itu!" dan begitu gadis itu meluncur dan meninggalkan
temannya, Thai Liong terkejut sementara Soat Eng tertegun maka Shintala sudah jauh di bawah gunung
untuk sebentar kemudian lenyap di sana. Soat Eng terbelalak dan penasaran, kaget. Cucu Drestawala itu tibatiba bersikap kasar dan menyebutnya begitu saja, padahal sebelumnya memanggil enci! Dan gusar atau
tersinggung oleh ini tiba-tiba Soat Eng berkelebat mengejar dan melemparkan Beng An kepada kakaknya.
"Shintala, kau gadis siluman. Daripada menanya ayah ibuku lebih baik aku menanya dirimu. Berhenti,
atau aku tak mau sudah!"
Dua gadis itu berkejar-kejaran. Soat Eng mengerahkan Jing-sian-engnya dan tiba-tiba sudah meluncur
pula bawah gunung. Jing-sian-eng adalah ilmu meringankan tubuh yang hebat namun Shintala juga memiliki282 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
kepandaian kakeknya yang luar biasa. Dulu gadis itu pernah berkejar-kejaran dengan Kim-hujin dan
merekapun imbang. Maka begitu dikejar dan Soat Eng marah memaki-maki, Shintala menoleh dan
mendengus maka gadis itu berseru agar Soat Eng tak usah mengejar.
"Kau tak perlu mengejar aku. Aku masih menghargai sisa persahabatan kita!"
"Keparat!" Soat Eng melengking. "Kau memusuhi ayah ibuku, Shintala, berarti kaupun menghina aku.
Jangan lari, dan tak usah mengingat sisa-sisa persahabatan!"
"Hm, aku menghormati budi kakakmu. Jangan kejar atau aku bisa melupakan segala-galanya!"
"Lupakanlah, tak usah perduli. Aku akan menghentikanmu dan kau atau aku yang mampus.... haittt!"
dan Soat Eng yang berjungkir balik melewati lawan mempergunakan kesempatan selagi lawan tertegun
mendadak melepas Khi-bal-sin-kang dan memukul kepala lawannya itu. Shintala marah dan tentu saja
menangkis. Tapi ketika dia terpental dan berseru tertahan, Soat Eng sudah melayang turun dan tegak
menghadang maka gadis itu marah dan balas membentak, jari-jari bergetar siap oleh tenaga sakti!
"Soat Eng, tak usah memancing-mancing kemarahanku. Kalau kau ingin bertanding bilang saja sejak
tadi. Aku dapat membalaskan sakit hatiku kepadamu.... haiittt!" dan gadis ini yang balas menerjang dan
melepas pukulan tiba-tiba dikelit dan dielak Soat Eng. Shintala membalik dan menyerang lagi. Dan karena
tujuh pukulan berturut-turut menyambar silih berganti, Soat Eng tak dapat mengelak lagi maka nyonya muda
inipun menangkis dan Khi-bal-sin-kang bertemu kepretan jari-jari sakti dari cucu si Drestawala itu.
"Plak-plak-plakk!"
Shintala terpelanting namun Soat Eng terhuyung mundur. Tamparan atau kepretan amatlah kuatnya
dan kuda-kuda Siang-hujin (nyonya Siang) ini geser.
Namun begitu Shintala melengking da, menubruk lagi, mencabut tongkat maka gadis itu sudah
menyerang lawan dan bertandinglah dua wanita ini bagai dua harimau betina yang sama-sama kelaparan.
Yang satu teringat lawan lamanya sementara yang lain terhina karena orang tuanya diejek dan direndahkan!
Jilid XX
"HAIITTT... ciat-ciaatttt!"
Dua wanita itu bertanding seru. Mereka sama-sama berkelebatan dan baik Soat Eng maupun Shintala
sama-sama mengeluarkan semua kepandaiannya. Masing-masing sama maklum bahwa lawan adalah orangorang lihai, apalagi setelah sekarang Shintala mengetahui bahwa Soat Eng kiranya puteri Pendekar Rambut
Emas. Pantas demikian lihai, juga Thai Liong pemuda yang dikaguminya itu! Namun karena rasa marah
mengalahkan segala-galanya dan perasaannya terhadap Thai Liong ditindas dalam-dalam, getaran atau api
cinta mulai membakar di hatinya maka cucu Drestawala ini menumpahkannya kepada Soat Eng.
Gadis ini marah karena Soat Eng mulai dulu menyerangnya, mengejarnya tak membiarkan dia pergi,
padahal semua itu sebenarnya adalah untuk kebaikan bersama. Dia tak dapat memusuhi putera-puteri
Pendekar Rambut Emas ini setelah Thai Liong menyelamatkannya. Si buntung Togur amatlah
mengerikannya dan kalau tak ada pemuda itu entahlah apa yang terjadi. Dia mengkirik membayangkan itu.
Tapi begitu Soat Eng menyerang dan memaki-makinya, ia marah dan tentu saja membalas maka mereka
segera bertanding dan Shintala tiba-tiba mengeluarkan Sing-thian-sin-hoatnya dan diputarlah tongkat
melindungi diri dari serangan-serangan Khi-bal-sin-kang.
"Plak-des-dess!"
Soat Eng tertegun ketika pukulan-pukulannya tertahan. Putaran tongkat yang demikian cepat sungguh
membuat gadis itu tertutup rapat, akibatnya ia tak dapat menyerang dengan tepat. Dan ketika Sing-thian-sinhoat membuat ribuan bayang- bayang di mana lawan tak dapat dilihat lagi maka Soat Eng bingung karena
tak dapat menentukan arah serangan.283 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Licik, pengecut!" wanita itu memaki-maki. "Kau hanya bersembunyi di balik tongkatmu, Shintala.
Hayo keluar dan rasakan pukulanku!"
"Hm, tak dapat memukul lalu bercecowetan," Shintala membalas tak kalah pedas. "Kalau mampu
merobohkan aku maka lakukan itu, Soat Eng. Atau kalau kau lelah lebih baik berhenti dan menyerah!"
"Menyerah? Ah, omongan busuk... des-dess!" dan Khi-bal-sin-kang yang kembali menyambar namun
membentur bayang-bayang tongkat, yang sudah mengurung dan bergerak rapat akhirnya gagal mengenai
sasaran karena cucu Drestawala itu sudah melindungi diri dengan baik. Shintala tak berani menerima karena
Khi-bal-sin-kang akan membuatnya terlempar. Satu-satunya jalan ialah membiarkan lawan terus menyerang
dan lelah kehabisan tenaga, dia telah memiliki pengalaman ketika dulu bertanding dengan Kim-hujin. Dan
ketika hal itu dipraktekkan di sini dan Soat Eng mencak-mencak, semua serangannya tak membawa hasil
maka dia memekik dan menyuruh gadis itu membalas.
"Hayo, jangan bersembunyi saja. Pengecut! Serang aku dan coba pula robohkan aku!"
"Hm, tak usah disuruh. Kalau kau sudah tidak bercecowetan lagi tentu aku melancarkan pukulanku,
Soat Eng. Awas dan hati-hati.... plak!" Shintala muncul dari balik bayang-bayang tongkatnya, melepas
pukulan tapi tertolak oleh Khi-bal-sin-kang. Pukulannya masuk dan mengenai pundak Soat Eng namun ia
terpental sendiri. Dan ketika Soat Eng tertawa mengejek sementara lawan cepat-cepat masuk kembali ke
dalam gulungan tongkatnya, takut, maka Soat Eng berseru agar memukulnya lagi berulang-ulang.
"Ayo, ayo tunjukkan kepandaianmu. Jangan seperti tikus yang selalu bersembunyi di liangnya!"
Shintala gusar. Ia mencoba lagi ketika Soat Eng gagal membalas serangannya keluar dan menghantam
lagi dan berturut-turut tengkuk atau punggung wanita itu dipukulnya. Tapi ketika serangannya membalik dan
Soat Eng terkekeh, mengejeknya, maka gadis ini malu tapi juga menyemprot lawan.
"Jangan terkekeh saja. Ayo robohkan aku dan coba kau tembus Sing-thian-sin-hoatku. Kaupun tak
dapat mengalahkan aku!"
"Hm, kau seperti tikus bersembunyi di pecomberan. Kalau kau minta dihajar keluar dan buyarkan
tongkatmu, Shintala. Nanti tentu kau tahu bahwa aku dapat merobohkanmu!"
"Licik, tak tahu malu. Beginikah watak puteri Pendekar Rambut Emas yang tak dapat merobohkan
lawannya? Kalau kau pandai boleh cari dan hancurkan aku, Soat Eng. Jangan minta cuma-cuma seperti
seorang bocah!"
"Keparat, mulutmu tajam!" dan ketika Soat Eng marah dan terbakar, menerjang lagi maka keduanya
bertanding sengit namun harus diakui bahwa masing-masing tak ada yang kalah atau menang. Soat Eng tak
mampu menerobos gulungan Sing-Thian-sin-hoat itu padahal untuk mendaratkan pukulannya haruslah
mampu mendobrak pertahanan musuh. Dan karena Shintala sendiri juga bingung karena setiap memukul
tentu terpental, ilmu sakti Khi-bal-sin-kang memang hebat luar biasa maka akibatnya kedua-duanya tak
dapat merobohkan lawan karena masing-masing memiliki kelebihannya sendiri! Soat Eng memaki-maki
sementara Shintala juga mengejek dan membalasnya. Dua wanita itu bertanding menguras tenaga, tak terasa
masing-masing akhirnya menjadi lelah dan mandi keringat. Dan ketika mereka mulai terhuyung-huyung
sementara pertandingan tetap berjalan seri, tak ada yang kalah atau menang maka berkesiurlah bayangan
putih dan terdengar tawa lembut disusul kibasan angin kuat.
"Sudahlah, sudah. jangan menarik urat anak-anak. Berhenti dan kalian jangan bertanding lagi!"
Soat Eng maupun Shintala tiba-tiba terlempar. Mereka diangkat sebuah tenaga raksasa dan tahu-tahu
seorang kakek berwajah halimun mengibas di tengah, perlahan saja namun buktinya dua orang itu mencelat!
Dan ketika Soat Eng maupun Shintala berteriak kaget, terpekik namun bergulingan meloncat bangun maka
kakek itu tertawa dan tawanya sungguh menyejukkan hati. Kemarahan dan segala rasa benci lenyap!
"Sian-su...!"
"Bu-beng Sian-su!"284 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm," Sian-su, kakek dewa itu, tertawa lembut. "Tiada hujan tiada angin kalian bertanding seru, anakanak. Hanya untuk sebuah persoalan remeh. Ah, betapa mudahnya mengadu jiwa hanya untuk sebuah
persoalan semata!"
"Dia menghinaku!" Soat Eng melengking, tiba-tiba menuding lawannya itu. "Dia menghina dan
merendahkan aku, Sian-su. Aku tak terima dan tentu saja membalas!"
"Hm, semua bermula dari sebuah kesalahpahaman. Aku lebih tahu dari siapapun. Sudahlah, tak perlu
diperpanjang dan nona boleh bersama kami, kalau suka," kakek itu memandang Shintala, lembut dan
memancarkan pandangan penuh kasih dan Shintala tiba-tiba terisak. Berhadapan dan beradu pandang dengan
mata selembut itu tiba-tiba gadis ini merasa seolah berhadapan dengan kong-kongnya (kakek) sendiri. Maka
begitu dia menangis dan teringat kakeknya mendadak gadis ini menubruk dan berseru tersedu-sedu.
"Kong-kong...!"
Soat Eng terkejut. Shintala tahu-tahu memeluk dan menubruk Bu-beng Sian-su. Kakek dewa itu
dianggap kakeknya sendiri dan lebih terkejut lagi ketika Bu-beng Sian-su tiba-tiba menerima, mengelus dan
menepuk-nepuk pundak gadis itu. Dan ketika bayangan merah berkelebat dan kakaknya juga di situ, tertegun
dan membelalakkan mata melihat ini maka Bu-beng Sian-su tersenyum berkata lirih.
"Kong-kongmu telah meninggal. Sadar dan jangan mengingat-ingat lagi orang yang telah pergi, anak
baik. Tak baik bagi arwahnya yang sedang melakukan perjalanan pulang. Kau tak perlu marah-marah kepada
keluarga Pendekar Rambut Emas dan lihatlah aku."
Shintala kaget. Tiba-tiba dia sadar bahwa yang ditubruk dan dipeluk adalah orang lain, bukan
kakeknya. Tapi begitu pandang mata itu beradu lagi dan ia tak kuat oleh pancaran kelembutan yang demikian
dalam, sejuk dan teduh di hati tiba-tiba gadis ini menangis dan bahkan menyusupkan kepalanya di dada
kakek itu persis kepada kakeknya sendiri!
"Ooh, aku tak dapat, Sian-su. Aku tak sanggup. Semua orang membenciku. Aku marah dan ingin
membenci mereka pula!"
"Hm, keturunan yang baik tak boleh berpikiran seperti itu. Kakekmu Drestawala adalah seorang gagah
berwatak mulia. Bangkit dan sadarlah bahwa tak ada orang membencimu. Lihat keluarga Pendekar Rambut
Emas ini memandangmu dengan aneh. Mereka bukan musuh!"
Shintala tertegun. Dia diusap dan ditepuk kakek itu. Bu-beng Sian-su memandang Soat Eng dan Thai
Liong dan tiba-tiba dua orang ini merasakan kesejukan yang dalam pada pandang mata kakek itu. Ada
senyum dan tawa hangat di situ. Ada kegembiraan dan keceriaan merangsang. Dan ketika Soat Eng tiba-tiba
tersenyum dan terpengaruh oleh pandang mata ini, tak tahan, tiba-tiba ia tersenyum dan terkekeh!
"Lihat," kakek itu menuding. "Siang-hujin ini tertawa kepadamu, Shintala, Tak ada permusuhan atau
rasa benci kepadamu."
"Siang-hujin (nyonya Siang)?" Shintala terkejut dan memandang Soat Eng, yang seketika
menghentikan ketawanya karena juga terkejut sendiri. "Dia... dia ini seorang nyonya?"
"Hm, banyak persoalan yang dialami setiap manusia, anak baik, bukan hanya kau seorang. Tak perlu
sedih dan beriba diri. Setiap orang memiliki persoalan dan setiap orang membutuhkan pemecahannya. Dia
memang Siang-hujin tapi suaminya diculik atau dibawa Poan-jin-poan-kwi itu!"
"Tapi katanya Poan-jin-poan-kwi membawa adiknya!"
"Itu satu dari yang dibawa. Apakah kita mau bercakap-cakap?"
"Nanti dulu," Soat Eng tiba-tiba mencoba bersikap garang dan menyembunyikan rasa malunya kenapa
tadi dia tertawa. Gila! "Aku ingin bertanya kenapa dia memusuhi ayah ibuku, Sian-su. Tanpa jawaban jelas
aku tak mau berbicara!"285 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, diapun memiliki persoalan," kakek itu mengangguk-angguk, menarik napas dalam-dalam. "Ada
akibat tentu ada sebab, Siang-hujin. Tapi pertama yang ingin kuminta adalah lenyapkan kemarahanmu dan
hilangkan benci atau gusar. Kalian semua korban Poan-jin-poan-kwi."
Soat Eng tertegun. Dia coba bersikap keras dan menatap sepasang mata lembut kakek ini. Mula-mula
berhasil namun tiba-tiba dia terkejut. Mata yang dalam dan lembut itu menusuk jauh ke ujung hatinya,
tembus sampai membuat dia merinding. Dan ketika mata lembut itu membius dan menerangi hatinya, yang
sedang gelap, mendadak ia tak tahan dan menunduk. Wanita itu kalah!
"Maaf, Sian-su," Soat Eng coba membela diri. "Kalau tak ada penjelasannya mungkin sukar hati ini
dibersihkan dari kemarahan dan benci. Aku mohon petunjuk."
"Tentu, aku akan memberimu petunjuk," kakek ini tertawa, lembut. "Tapi percayakah kau kepadaku?"
Soat Eng terkejut.
"Orang yang tak percaya tak mungkin diberi petunjuk, siauw-hujin (nyonya muda). Karena di dasar
hatinya masih ada kesombongan dan rasa aku yang besar. Nah, kalau kau benar-benar percaya maka aku
dapat menjelaskannya."
"Aku percaya..." Soat Eng tak dapat mengelak lagi, merah dan semburat. "Silahkan kau bicara, Siansu. Dan aku dapat menerimamu!"
"Hm, semuanya bersumber dari Poan-jin-poan-kwi," kakek itu mulai menerangkan. "Tapi semuanya
bisa juga bersumber dari diri sendiri. Aku hendak menjelaskan yang pertama dan bukan yang kedua. Gadis
ini marah-marah karena salah paham dengan ayah ibumu..."
"Maksud Sian-su?"
"Kakeknya terbunuh ketika bertanding dengan Poan-kwi. Dan karena ayah ibumu ada di situ dan
kebetulan bertanding dengan dua kakek ini maka kakeknya yang menyelamatkan adikmu Beng An menjadi
korban."
"Beng An? Kakeknya menyelamatkan Beng An?"
"Hm, waktu itu Drestawala berhadapan dengan Poan-jin-poan-kwi, siauw-hujin. Dan tentu saja
masalah Beng An ini merupakan peristiwa susulan. Drestawala terdesak hebat dan waktu itulah ayah ibumu
datang. Ayah ibumu membantu dan kakek ini merasa berhutang budi, berhasil diselamatkan. Tapi karena
mereka mengejar Poan-jin-poan-kwi dan dua kakek itu ganti terdesak, tak sanggup menghadapi Drestawala
dan ayahmu yang bergabung maka Poan-jin-poan-kwi mempergunakan adikmu Beng An untuk mengacau.."
"Tapi bukan hanya Beng An saja yang dibawa Poan-jin-poan-kwi!" Soat Eng memotong. "Ada pula
Siang Le di situ. Kenapa hanya Beng An saja!"
"Suamimu itu akhirnya sudah kembali ke ayah ibumu. Dia sudah berhasil diselamatkan."
"Apa? Siang Le-koko sudah dirampas ayah ibu?"
"Benar, dan tinggal adikmu ini, siauw-hujin. Dan Drestawala ingin membalas budi pertolongan
ayahmu dengan mengorbankan dirinya, meskipun gagal...."
"Oohh!" dan Soat Eng yang terlonjak dan tidak menghiraukan kata-kata yang terakhir lalu menyambar
dan memeluk kakaknya, girang bukan main. "Ooh, Siang Le-koko sudah selamat, Liong-ko. Mari kita
pulang. Kita lihat!"
"Hm," Thai Liong mendorong dan melepaskan dirinya. "Kata-kata Sian-su belum selesai, Eng-moi.
Jangan bergirang dulu sementara orang lain masih menanggung duka!"
Soat Eng terkejut. Dia merah dan malu karena tanpa sadar ia sudah menunjukkan kegembiraannya
yang meluap-luap, tak menghiraukan atau perduli akan nasib Drestawala, kakek Shintala itu. Dan ketika dia286 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
menunduk dan meminta maaf, lirih, maka Bu-beng Sian-su tersenyum menggenggam Shintala karena gadis
itu tertusuk oleh kegembiraan Soat Eng, teringat kematian kakeknya yang sama sekali tak dihiraukan!
"Orang hidup memang begini," kakek itu tertawa, datar. "Suka dan duka selalu mendahulukan emosi.
Sudahlah, tak perlu minta maaf, siauw-hujin. Siapapun pasti melakukan yang sama kalau sedang gembira
atau berduka. Aku sekarang hendak memberi tahu bahwa Shintalapun tak perlu marah kepada keluarga
Pendekar Rambut Emas. Kematian kakekmu bukan atas kehendak Pendekar Rambut Emas melainkan oleh
kesengajaannya sendiri. Dan sebelum Pendekar Rambut Emas datang tentu kakekmu sudah lebih dulu binasa
di laut Lam-hai. Jadi kau masih beruntung bahwa kakekmu masih mendapat tambahan umur untuk beberapa
waktu!"
"Sian-su tahu semuanya ini?" gadis itu tertegun.
"Aku tahu dari jauh, nona. Dan jangan menyalahkan aku dengan mengatakan kenapa aku tidak


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolong kakekmu!"
"Ooh..!" Shintala menutupi mukanya. "Aku sedih, Sian-su. Aku menyesal!"
"Tak ada yang perlu disesali. Semua itu sudah takdir. Nah, kau masih mau memusuhi keluarga
Pendekar Rambut Emas?"
Gadis ini menangis. Tiba-tiba ia mengguguk dan menubruk kakek itu, tersedu-sedu dan berguncangguncang di dada kakek dewa ini. Dan ketika Bu-beng Sian-su mengusap dan kembali mengelus-elus
rambutnya, gadis itu merasa terharu maka Thai Liong menelan ludah dan matapun tiba-tiba menjadi basah!
"Eh, kau menangis!"
Thai Liong terkejut. Adiknya, yang melihat dan memperhatikan gerak-geriknya tiba-tiba berseru tanpa
perduli kepada orang lain lagi. Shintala terkejut dan menoleh. Dan ketika benar saja ia melihat pemuda itu
menangis, tak tahan karena ia menangis maka Bu-beng Sian-su tertawa dan berseru.
"Thai Liong, kau perasa amat. Sebenarnya kaulah yang harus menghibur cucu Drestawala ini!"
"Ah," Thai Liong berobah, wajah semburat merah. "Aku tak dapat menghiburnya, Sian-su. Gadis itu
sedang marah dan tak suka kepada kami!"
"Hm, orang hidup pasti mati, Ada atau tidak ayahmu itu pasti Drestawala akan meninggalkan dunia
juga, kalau sudah waktunya. Apakah Shintala tak dapat melihat ini karena sempit pandangannya? Tidak,
kukira gadis ini dapat melihat itu, Thai Liong. Dan aku percaya bahwa ayahmu tak akan dituduh sebagai
penyebab kematian kakeknya. Tanpa kehadiran ayahmupun Drestawala pasti akan tewas di tangan Poan-kwi.
Kakek itu sudah menerima takdir!"
Shintala tertegun. Untuk kesekian kalinya lagi dia dibuat sadar oleh kata-kata ini. Benar, tanpa
kehadiran Kim-mou-engpun pasti kakeknya akan binasa. Poan-jin-Poan-kwi terlalu hebat dan dia maupun
kakeknya bukan tandingan. Dan teringat bahwa Pendekar Rambut Emas bermaksud menolong kakeknya,
gagal dan kakeknya tewas maka gadis ini menahan isak dan kemarahan atau kebenciannya terhadap
Pendekar Rambut Emas atau isterinya lenyap. Kakeknya memang harus tewas, sudah takdir!
"Bagaimana?" gadis itu terkejut, Bu-beng Sian-su tiba-tiba menanyainya. "Apakah kau menerimanya,
Shintala? Atau masih mau marah-marah lagi?"
Gadis ini merah. "Aku menerimanya........"
"Hm, begini saja?"
Shintala terkejut, membelalakkan mata.."Maksud Sian-su?"
"Kalau kau menerimanya berarti menghapus permusuhanmu kepada Pendekar Rambut Emas,
Shintala. Jadi kau harus meminta maaf kepada keluarganya ini, orang yang tak tahu apa-apa tentang
persoalanmu semula."287 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ah, aku minta maaf!" dan Shintala yang terkejut dan sadar akan itu tiba-tiba membalik dan
menghadapi Soat Eng, berseru dan mencucurkan air mata karena ia malu dan juga sedih. Soat Eng terkejut
dan cepat-cepat menyambar bekas lawannya ini. Dan ketika ia berbisik bahwa iapun minta maaf, memeluk
dan Shintala menubruknya tiba-tiba dua wanita itu telah saling bertangisan dan menghujani cium.
"Enci Eng, aku minta maaf...!"
"Akupun juga," Soat Eng tak tahan, bercucuran air mata pula. "Aku juga bersalah kepadamu, Shintala,
telah menyakiti hatimu."
"Ah, tidak... tidak. Aku yang mulai dulu!"
"Tapi aku memaki-makimu, mengejarmu!"
"Tidak, aku yang salah, enci Eng. Aku yang picik dan kurang berpikiran jauh. Sudahlah, aku tak mau
mengingat-ingat itu lagi dan bagaimana sekarang dengan adikmu Beng An!"
Soat Eng teringat. Tiba-tiba ia tertegun dan melepaskan diri, menoleh dan memandang Beng An yang
masih dipondong kakaknya. Adiknya itu masih pingsan dan kakaknyapun tiba-tiba terkejut dan sadar. Semua
pandangan tiba-tiba tertuju ke sini dan Thai Liong menarik napas dalam-dalam. Dan ketika dua wanita itu
saling melepaskan diri dan bertanya tentang Beng An, masing-masing menghapus air mata maka Thai Liong
memandang kakek dewa itu dan berlutut.
"Teecu tak tahu apa yang terjadi, agaknya tak mampu mengobati. Harap Sian-su memberi petunjuk
dan kenapa adikku ini tak sadarkan diri sejak tadi!"
"Serahkan kepada ibumu," Bu-beng Sian-su tiba-tiba berkata, suaranya berobah agak keren. "Darah
seorang ksatria suci yang akan menyelamatkan adikmu ini, Thai Liong. Dan ibumu yang akan menjadi
sebab!"
"Ibu? Ibu dapat menyembuhkan Beng An?
"Ibumu tak dapat menyembuhkan Beng An. Tapi dialah nanti yang akan menjadi sebab adikmu
sembuh!"
"Teecu bingung..."
"Tak perlu bingung, Thai Liong. Serahkan dan kembali saja kepada ibumu itu. Katakan bahwa darah
seorang ksatria suci yang akan menyembuhkan adikmu. Ibumu harap waspada!"
Thai Liong tertegun. Kakek dewa ini tiba-tiba bersikap keren dan agak dingin. Aneh! Dan ketika ia
terbelalak sementara adiknya dan Shintala juga tertegun maka Bu-beng Sian-su menyambar sehelai lontar
dan mencorat-coret di situ, menyerahkannya kepada Thai Liong, yang tentu saja kian tertegun.
"Serahkan ini kepada ibumu dan suruh dia menemukan inti jawabannya. Kalau jawabannya belum
ketemu juga maka ksatria berdarah suci itu yang akan membuka matanya!"
Thai Liong terbelalak. Ia menerima dan gemetar membaca daun lontar itu. Ada dua bait syair yang
membuat ia merinding karena berbau darah dan maut. Bu-beng Sian-su seakan menyuruh dia waspada
karena sesuatu yang hebat akan terjadi. Dan ketika pemuda ini tertegun dan menjublak bengong, ia bingung
dan tak mengerti maka kakek dewa itu memandang Soat Eng, kata-katanya membuat wanita muda ini
mengkirik!
"Siauw-hujin, kau akan mengalami sesuatu yang memedihkan. Tapi semua ini obat untuk keluargamu,
terutama ibumu itu. Garis nasib tak dapat dirobah dan apapun yang terjadi terimalah dengan dada lapang.
Kau cari suamimu dan dekat-dekatlah selalu dengannya. Jangan ditinggal sendirian!"
Soat Eng menggigil. "Apa yang akan aku alami?"
"Nanti kau tahu sendiri, hujin. Takdir atau garis nasib tak dapat dirobah. Waspada dan jangan berpisah
lagi dengan sumimu!"288 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Sian-su...!" namun Bu-beng Sian-su yang berkelebat dan lenyap melambaikan tangan mendadak
tertawa dan menghilang di bawah gunung. Kakek itu tak berkata apa-apa lagi dan tahu-tahu lenyap begitu
saja, setelah menyerahkan lontar dan pesan kepada putera-puteri Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika
Thai Liong maupun Soat Eng tertegun, mengejar namun kakek itu menghilang maka wanita ini menggigil
menghadapi kakaknya.
"Liong-ko, aku merasa seram. Kakek itu menakut-nakuti aku!"
"Hm, Sian-su tak pernah menakut-nakuti siapapun. Apa yang dikata berguna bagi orang lain, Engmoi. Begitupun nasihatnya kepadamu tadi. Kita diminta waspada untuk sesuatu yang akan terjadi!"
"Ya, dan itu rasanya menyeramkan. Bulu kudukku merinding!"
"Hm, akupun juga begitu, Eng-moi. Lihat daun lontar ini!"
"Apa yang dia berikan?"
"Kau lihat saja, baca!" dan ketika Soat Eng menerima dan membaca itu, Bu-beng Sian-su
menggoreskan huruf-huruf indah di daun lontar ini maka nyonya muda itu tertegun:
Menghunjam dalam sepotong pedang
menusuk bumi luka berdarah
melepas dendam marah dan berang
tak perduli lagi iblis berulah!
Petir dan guntur sambar-menyambar
pekak telinga dengar gelegar
nyaris maut datang menggetar
sering terlambat di waktu sadar!
"Ini... ini... apa artinya itu?" Soat Eng terbelalak, gentar. "Aku merasa ngeri, Liong-ko. Seolah-olah
maut dan darah!"
"Hm, akupun juga tak tahu. Tapi ibu barangkali mengerti."
"Ibu?"
"Ya, bukankah kita disuruh menghadap ibu, Eng-moi? Dan ini disuruh menyerahkan kepada ibu pula,
termasuk adik kita Beng An."
"Kalau begitu ada hubungannya dengan ibu!"
"Jelas."
"Kalau begitu ibu tahu!"
"Belum tentu," sang kakak menggeleng. "Sian-su amat misterius dan aneh, Eng-moi. Apa yang
diberikan kepada orang lain belum tentu langsung dapat di tangkap dan diterima. Syair-syairnya aneh dan tak
mudah dicerna!"
"Tapi selalu membawa manfaat!"
"Ya, tapi selalu di akhir kejadian. Kita tak dapat mengikuti gerak-geriknya kalau belum ada peristiwa
itu."
"Ah, kalau begitu bagaimana, Liong-ko? Apakah kita selalu dihantui perasaan tidak karuan selama
menanti peristiwa itu? Aku tegang!"
"Akupun juga, tapi tak guna dihantui perasaan yang tidak-tidak. Sebaiknya kita biasa-biasa saja dan
bersikap wajar."289 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Apa yang kalian bicarakan," Shintala tiba-tiba ingin tahu, dua temannya lupa tak menghiraukan
dirinya. "Kenapa kalian gelisah dan demikian tak tenang, Eng-cici. Bolehkah aku tahu dan dapatkah
membantu!"
Soat Eng sadar, menoleh. "Sian-su meninggalkan ini kepada kita. Dan ini selalu berharga!"
"Apa itu?"
"Dua bait syair yang membuat bulu kudukku meremang. Lihatlah!" dan ketika Soat Eng menyerahkan
daun lontar itu dan Shintala membaca maka gadis inipun mengerutkan kening dengan wajah berobah.
"Rasanya seram, berbau darah dan maut!"
"Aku juga merasakannya begitu," Soat Eng mengangguk. "Dan aku ngeri, Shintala. Sian-su
menyuruhku waspada dan hati-hati. Aku harus menemui suamiku!" lalu menoleh pada Thai Liong wanita ini
berseru, "Liong-ko, kita harus kembali. Ibu harus diberi tahu dan aku ingin bertemu ayah!
"Hm, memang sebaiknya begitu. Beng An dan suamimu sudah kembali, Eng-moi. Dan kita sudah
lama meninggalkan orang tua. Mari kembali dan kita pulang!"
"Dan kita bawa Shintala!"
"Ah," gadis itu terkejut, berjengit. "Aku tak mau mengganggu, enci Eng. Kalian sedang menghadapi
persoalan serius dan silahkan pergi berdua. Aku dapat pergi sendiri!"
"Tidak," Soat Eng menyambar dan menggenggam lengan temannya ini. "Aku mungkin butuh
pertolonganmu, Shintala, Kau ikutlah aku dan jangan ditolak. Aku tak ada teman wanita yang dapat diajak
bercakap-cakap di jalan!"
"Tapi ada ibumu di sana," Shintala tak enak, kecut membayangkan pertandingannya dulu dengan
Kim-hujin itu, isteri Pendekar Rambut Emas yang ternyata galak dan juga keras seperti puterinya ini. "Aku
tak ingin mengganggu, enci Eng. Sebaiknya kau pergi saja berdua dan aku masih akan mencari Poan-kwi."
"Kau gila?" Soat Eng melotot, menggelengkan kepala keras-keras. "Kau tak boleh sendirian, Shintala.
"Bantu aku dan jangan ditolak permintaan ini. Aku butuh teman sebaya untuk bersahabat. Aku butuh dirimu
di dalam perjalanan!"
"Tapi ada kakakmu...."
"Ah, dia laki-laki, Shintala. Aku butuh yang perempuan!"
"Tapi ada pula bibimu Cao Cun."
"Dia seusia ibuku. Aku mau yang muda! Ah, kau tak mau memenuhi permintaanku ini, Shintala? Kau
keberatan?"
"Tidak, bukan begitu. Tapi kakakmu..."
"Liong-ko tak akan menolak. Dia pasti mau. Lihat kutanya dia!" dan ketika Soat Eng membalik dan
menanya kakaknya, apakah kakaknya keberatan maka Thai Liong tersipu merah menjawab adiknya, hati
tiba-tiba bergetar dan berguncang. Dia akan bersama gadis cantik itu berdua!
"Aku tentu saja tak keberatan kalau adik Shintala mau. Tapi kalau dia tak mau tentu saja aku tak
berani memaksa."
"Dan kau senang tidak kalau Shintala di sini?"
"Ah, tentu saja senang, Eng-moi. Siapa tak senang kalau dia di sini!"
"Nah, dengar!" Soat Eng berseri-seri, membalik dan menghadapi cucu Drestawala itu lagi. "Kakakku
senang kau di sini, Shintala. Dan mungkin justeru tak akan senang kalau kau pergi. Lihat dia tersenyum dan
tampak bahagia!" lalu ketika kakaknya terkejut karena kata-katanya disimpang-artikan, Soat Eng tertawa dan290 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
menyentak tangan temannya maka wanita itu berkelebat dan terbang ke utara. "Shintala, ikut aku. Kita
pulang dan temui ayah ibuku!"
"Nanti dulu," gadis itu terkejut, merah semburat karena Soat Eng nakal menggodanya. "Bagaimana
kalau ayah ibumu marah, enci Eng. Aku tentu tak enak dan lebih baik pergi!"
"Ah, ibu tak akan marah. Kalau dia marah maka aku yang akan menghadapinya. Sudahlah, ikut aku
dan ayah tentu gembira melihatmu!" dan Soat Eng yang tertawa menarik temannya lalu mendahului dan
meninggalkan kakaknya. Tak perduli wajah kakaknya yang merah padam dan Thai Liong diam-diam
memaki. Adiknya tadi memberikan kerling nakal dan tentu saja dia tahu godaan adiknya ini. Tapi begitu
adiknya meluncur dan teringat Beng An, adiknya yang belum sadarkan diri tiba-tiba pemuda ini berkelebat
dan menyusul.
"Eng-moi, tunggu!" dan begitu pemuda ini bergerak dan mengejar adiknya maka Thai Liong sudah
berendeng dan mendesis di telinga adiknya itu. "Apa maksudmu dengan kerling mata itu. Kenapa kau
menggoda aku!"
"Eh, siapa menggoda? Aku tak menggoda siapa-siapa, Liong-ko. Aku bicara apa adanya saja. Hei, kau
laki-laki harus di depan, jangan bersama wanita. Atau aku mundur dan kau berendeng dengan Shintala!" dan
ketika benar saja Soat Eng mundur dan membiarkan kakaknya berendeng di depan, dengan Shintala, maka
Thai Liong terkejut dan mengurangi tenaganya, menyambar dan mencubit lengan adiknya itu.
"Kau jangan main-main, masa aku harus bersama Shintala. Ayo, kau di depan dan aku mengiring di
belakang!"
"Hi-hik.... aduh!" Soat Eng berteriak, cubitan kakaknya cukup keras. "Kulaporkan kau, Liong-ko.
Awas kubuat Shintala tak berani berdekatan denganmu kalau suka mencubit!"
"Ah, kau memang nakal. Awas di rumah!" dan ketika Thai Liong menjauh dan memaki adiknya,
Shintala juga memperlambat lari dan berendeng dengan Soat Eng maka gadis itupun merah padam digoda
temannya ini.
"Enci, kau jangan membuat aku malu, Atau nanti aku pergi!"
"Ah, jangan. Maaf, Shintala. Aku tak menggodamu melainkan menggoda kakakku itu. Baiklah, mari
kita berlomba dan biar kakakku di belakang!" dan ketika wanita itu berseru dan mempercepat larinya, Thai
Liong lega dan membuntuti di belakang maka pemuda itupun berkata bahwa bukan waktunya bermain-main.
Adik mereka Beng An terluka dan mereka harus cepat-cepat menolong. Dan ketika Soat Eng teringat dan tak
menggoda lagi, kening berkerut, maka tiga orang itu melesat dan mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Soat
Eng khawatir dan diam-diam bertanya kenapa adiknya bisa begitu. Apa yang terjadi. Dan karena pertanyaan
ini memang mengganggu sepanjang jalan maka wanita itu tak bercakap-cakap lagi dan Thai Liong maupun
Shintala sama-sama memikirkan apa yang telah terjadi pada anak laki-laki ini. Bagaimana Poan-jin sampai
bisa tewas dan kepalanya terpenggal!
-0- Mari kita ikuti apa yang menimpa putera Pendekar Rambut Emas ini, sebelum Thai Liong menemui
ayah ibunya. Apakah yang terjadi pada Beng An? Bagaimana anak itu tiba-tiba membunuh Poan-jin? Ini
dimulai atau diakibatkan unsur ketidaksengajaan.
Seperti kita ketahui, Beng An ditangkap atau dibawa Poan-jin-poan-kwi, diserahkan kepada Poan-jin
karena kakek itulah yang akhirnya lebih berkepentingan dengan anak ini daripada Poan-kwi. Beng An telah
memusnahkan ilmu gaib Bu-siang-sin-kang (Ilmu Sakti Tak Berwujud), mengakibatkan Poan-jin tak dapat
lagi membentuk badan halusnya karena kolor jimatnya, benda gaib satu-satunya ditarik putus anak laki-laki
itu. Dan karena Beng An pula yang akan dapat memulihkan kesaktiannya, dengan menyedot habis sumsum
atau otaknya maka anak itu pula yang paling dekat dengan Poan-jin.291 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Bu-siang-sin-kang, seperti yang dimiliki kakek ini, adalah ilmu iblis yang amat jahat. Ilmu hitam ini
mengharuskan pemiliknya melahap seratus otak anak kecil dan sumsum tulang belakangnya. Tak gampang
bagi Poan-jin maupun Poan-kwi memiliki ilmu hitam ini, karena ilmu itu mengharuskan mencari bayi-bayi
lelaki yang umurnya empatpuluh hari, tidak boleh lebih maupun kurang. Dan setelah bersusah payah
bertahun-tahun, tak gampang mencari bayi-bayi lelaki yang usianya tepat empatpuluh hari maka dua kakek
itu berhasil memiliki ilmu ini dan dari kulit bayi-bayi lelaki yang dibunuh itu diciptalah sebuah tali kolor
yang sudah penuh pengaruh hitam. Roh atau arwah dari seratus bayi yang dibunuh itu dijadikan satu,
"diikat" dan berkumpul di tali kolor itu. Maka begitu kolor ini putus, Poan-jin lengah oleh perbuatan Beng
An maka kakek itu terhuyung dan lemah dan tentu saja ia terkejut karena roh seratus bayi yang sudah
dihimpun sekonyong-konyong kabur dan lepas. Ia tak dapat mempergunakan badan halusnya lagi!
Kakek ini marah. Ia terkejut dan kaget sekali oleh kejadian itu. Untunglah kakaknya yang ada di situ
lalu menolong dan menggantikan dirinya menghajar keluarga Pendekar Rambut Emas itu di Sam-liong-to.
Soat Eng dan suaminya heran dan kaget karena lawan yang tadi lenyap sekonyong-konyong muncul lagi.
Poan-jin memang telah melarikan diri tapi kakaknyalah kini yang maju membantu. Dan ketika mereka
dihajar dan Beng An dirampas, disusul kemudian oleh Siang Le sendiri maka Poan-kwi menyerahkan anak
laki-laki itu kepada adiknya.
"Kau bodoh, tolol. Kenapa lengah tak hati-hati? Anak ini memutuskan kolormu, sute. Tapi anak ini
pula yang akan memulihkan ilmumu. Hisap dan sedot sumsumnya!"
Poan-jin terbelalak merah. Beng An diserahkan kepadanya dan kakek itu melotot. Ingin ia
mengeremus dan seketika itu juga melahap otak anak ini. Namun karena ia harus bertapa dulu dan
menangkap kembali seratus roh bayi-bayi lelaki itu, yang kabur ke segala penjuru maka kakek ini tak dapat
membunuh Beng An dan harus bersabar.
Ia harus minta bantuan kakaknya untuk menangkap seratus roh anak laki-laki itu. Tapi karena
kakaknya juga sibuk dan menghadapi lawan-lawan berat, seperti kakek Drestawala yang akhirnya dibantu
Pendekar Rambut Emas itu maka seratus bayi lelaki yang kabur di alam halus baru seperempatnya saja yang
dapat ditangkap. Yang lain masih berseliweran dan kakek ini jengkel. Roh bayi-bayi lelaki itu berhamburan
ke segala penjuru. Mereka dikhawatirkan berbaur atau bersembunyi di balik mahluk-mahluk lain. Dan
karena melakukan pekerjaan ini membutuhkan perhatian serius, konsentrasi besar maka Poan-jin minta
kepada kakaknya untuk bertapa di Himalaya. Di situ amat tenang dan jauh dari dunia ramai. Banyak puncakpuncak gunung dan dia dapat memilih. Dan akhirnya ketika puncak Naga Merah menjadi perhatiannya,
memilih dan tinggal di sini maka bersama kakaknya ia "menangkap" atau mengumpulkan lagi roh seratus
bayi lelaki itu, lengkap tapi celaka sekali Beng An membeku tubuhnya. Anak ini tiba-tiba duduk diam tak
mau makan tak mau minum. Akibatnya tubuhnya menjadi dingin dan tentu saja otak atau sumsumnya tak
dapat dihisap, beku! Dan ketika Poan-jin tertegun kenapa anak itu tiba-tiba berobah begitu, duduk seperti
arca maka dia membelalakkan mata dan menggeram.
"Heh, ke sini kau, bocah. Jangan mematung dan kembalikan ilmuku Bu-siang-sin-kang!"
Beng An disambar dan dicengkeram. Anak ini diam saja dan Poan-jin terkejut karena tubuh anak itu
seperti es, dingin dan seolah tak bernyawa! Dan karena tak mungkin baginya menghisap sumsum dari tubuh
yang tak bernyawa, harus segar dan masih hidup maka hampir saja Poan-jin memekik oleh kecewa. Beng An
disangka mati tapi tiba-tiba saja anak itu berkejap. Heii! Dan ketika kakek ini terkejut tapi tentu saja girang,
Beng An masih hidup maka anak itu dicengkeram dan Beng An menutup matanya lagi.
"Ha-ha, anak siluman. Kau sedang apa, bocah. Hayo bangun dan lihat aku!"
Namun Beng An menutup matanya rapat-rapat. Anak ini berkejap dan setelah itu tak mau membuka
matanya lagi-lagi, Poan-jin tak tahu bahwa anak ini sedang membekukan tubuhnya dengan ilmu yang pernah
diterimanya dari mendiang kakeknya Hu Beng Kui, ilmu yang disebut Ping-im-kang (Tenaga Inti Es). Dan


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena ilmu itu lama tak dilatih karena tak mendapat tempat yang tepat, ilmu itu harus dilatih di daerah
pegunungan atau sumber-sumber air dingin maka tiba-tiba saja Beng An teringat dan kini melatihnya.
"Ilmu ini baru kumiliki, jangan beri tahu ayah atau ibumu. Baru saja kuciptakan. Kelak kalau kau
sempat melatihnya maka tempat yang cocok adalah di daerah kutub atau puncak-puncak gunung yang amat292 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
dingin, Beng An. Di padang rumput atau tempat-tempat panas begini kurang berhasil. Kau dapat
membekukan tubuhmu seperti es dan mematikan semua jalan darah seperti mayat!"
"Untuk apa ilmu ini?" anak itu pernah bertanya, kakeknya waktu itu baru saja memiliki ilmu ini,
belum mahir benar.
"Wah, banyak gunanya!" sang kakek berseru, tertawa bergelak. "Dengan ilmu ini kau dapat mengecoh
musuh, Beng An. Disangka mati padahal hidup. Aku menemukan bahwa ilmu ini dapat memperpanjang
umur!"
"Memperpanjang umur? Berarti tak dapat mati?"
"Ha-ha, orang hidup bakal mati, Beng An. Memperpanjang umur bukan berarti tak bakalan mati. Aku
belum tahu apa saja yang dapat diambil manfaatnya dari ilmu ini. Tapi melatih tubuh menjadi dingin berarti
mengawetkan tubuh dan memperlama usianya!"
"Hm, anak itu mengangguk-angguk, heran tapi juga tertarik, sebagai bocah tentu saja dia suka kepada
hal-hal baru. "Kalau dapat panjang umur tentunya lebih menyenangkan, kong-kong. Aku dapat menikmati
makan enak dan seumur hidup bersenang-senang!"
"Ha-ha, makan dan senang-senang melulu yang kau pikirkan ini. Dasar bocah. Eh, Ping-im-kang juga
dapat dipergunakan menghajar musuh, Beng An. Kau dapat membuat orang-orang lain atau mahluk hidup
menjadi es, kalau kau sudah mahir!"
"Menjadikan mereka sebagai es?"
"Ya, lihat ini. Aku sendiri belum begitu mahir tapi cukup membuat burung itu beku dan tak dapat
terbang!" Hu Beng Kui menggerakkan lengan bajunya, menyambar atau menangkap seekor burung dan tibatiba burung itu berkelepak jatuh disambar tenaga sakti kakek ini. Dan ketika burung itu beku dan benar saja
tak dapat bergerak-gerak, dingin seperti es maka Beng An terkejut karena burung itu disangka mati.
"Dia mati!"
"Tidak, belum mati. Aku hanya menghentikan sejenak detik jantungnya dan masih hidup. Lihat,
pukulanku masih tak berpengaruh lama!" dan ketika benar saja burung itu bergerak dan terbang, lepas
meninggalkan kakek ini maka Beng An terbelalak dan kagum.
"Benar, ia masih hidup. Belum mati!"
"Hm, itu karena tingkat kepandaianku yang belum sempurna, Beng An. Kalau sudah sempurna maka
mati atau hidup tergantung kita."
"Maksud kong-kong?"
"Ping-im-kangku masih lemah, burung itu tak dapat kukuasai penuh. Sebab kalau Ping-im-kangku
kuat tentu burung itu dapat kubekukan sebulan atau setahun, kalau aku mau!"
"Ah, jadi dapat berbuat sekehendak hati?"
"Ya, kalau sudah mahir, Beng An. Tapi karena aku belum mahir maka Ping-im-kangku tadi bekerja
sebentar saja dan setelah itu denyut jantung burung itu bekerja lagi. Aku belum dapat membuatnya beku
selama aku suka!"
"Kalau begitu burung itu pasti mati!"
"Tidak, kalau kita tidak menghendaki. Ping-im-kang hanya bersifat membuat mati semu, Beng An.
Kalau kita mau membunuhnya maka tentu saja tenaga yang dikerahkan harus untuk membunuh!"
"Wah, hebat sekali. Kalau begitu aku kelak dapat membuat manusia sebeku es!"293 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ya, dan apa saja. Tapi ilmu ini tak dapat dilatih di gurun karena harus dilatih di daerah kutub atau
puncak-puncak pegunungan yang dingin!"
Begitulah, Beng An pernah bercakap-cakap dengan mendiang kakeknya. Ilmu itu amat dirahasiakan
dan tak seorangpun tahu akan Tenaga Inti Es ini. Pendekar Rambut Emas dan isterinyapun tidak, maklumlah,
Hu Beng Kui amat menutup rapat karena pendekar itu kelak ingin mengalahkan mantunya sendiri, Kimmou-eng atau Si Pendekar Rambut Emas. Penasaran oleh kekalahannya dulu dan tetap bersakit hati untuk
"membalas dendam". Ah, jago pedang ini memang aneh. Tapi sebelum ia menguasai ilmunya itu tiba-tiba ia
harus tewas di tangan musuh, sayang. Tapi cucunya yang kini ditawan Poan-jin-poan-kwi tiba-tiba melatih
ilmunya itu dan kebetulan sekali puncak Himalaya yang amat dingin cocok untuk melatih Ping-im-kang!
Poan-jin, yang tentu saja tak tahu akan ini juga sama sekali tidak menduga akan rahasia si bocah. Semua
ilmu-ilmu keluarga Pendekar Rambut Emas diketahui dan kakek itu tak gentar, atau takut. Dia sama sekali
tak tahu akan ilmu baru Ping-im-kang ini, ilmu peninggalan si jago pedang Hu Beng Kui. Maka ketika
berbulan-bulan dia bertapa dan satu demi satu roh bayi-bayi lelaki itu dikumpulkan kembali, Beng An akan
disedot atau dihisap sumsumnya untuk penutup atau simpul ikat-pinggang yang baru maka kakek itu tak tahu
gerak-gerik atau pekerjaan anak lelaki ini.
Beng An ditawan, atau diikat di dekat kakek itu. Berbulan-bulan mengalami perlakuan tak
menyenangkan berupa hinaan atau ejekan. Anak ini mula-mula marah tapi semakin dia marah semakin kakek
itu senang. Poan-jin terkekeh-kekeh kalau anak itu dapat mencak-mencak atau melotot tanpa daya, diludahi
atau ditempeleng dan Beng An akhirnya menyerah, kehabisan suara. Dan ketika anak itu merasa sia-sia dan
suatu hari berjengit diselomot api, si kakek terpingkal-pingkal maka Poan-jin meraba tengkoraknya dan
mencecap ubun-ubunnya itu.
"Heh-heh, kau hebat dan luar biasa sekali. Darahmu bersih dan tulang-tulangmu kuat, Beng An.
Sungguh tak rugi menanti berbulan-bulan. Hm, aku akan mengisap otakmu dan mencecap sumsum
belakangmu!"
"Kau mau apa? Mau membunuh? Bunuhlah, aku tak takut, Poan-jin. Sudah kubilang berkali-kali
bahwa sekarang juga kau boleh membunuh aku. Bunuhlah, isap atau sedot sumsum belakangku!"
"Heh-heh, kau luar biasa. Tapi tidak, tidak sekarang aku menyedot otak dan sumsummu. Masih
beberapa roh bayi harus kutemukan, bocah. Setelah genap seratus barulah aku akan menyedot dan
menghisap sumsummu. Ih, tentu segar. Heh-heh...!"
Beng An marah. Dia sekarang sudah tidak ngeri lagi setelah berulang-ulang kakek itu meraba atau
mengelus-elus batok kepalanya. Sudah puluhan kali Poan-jin melakukan itu. Tapi ketika si kakek mengambil
api dan menyelomot kakinya, Beng An berjengit maka anak itu melotot dan gusar.
"Poan-jin, kau kakek tua bangka. Tak berani menghadapi ayah ibuku lalu menganggu anaknya. Cih,
kau iblis pengecut!"
"Ha-ha, ayah ibumu tak akan kutakuti lagi setelah Bu-siang-sin-kangku kembali. Kau telah
menghancurkannya, dan kau pula yang harus mengembalikannya!"
"Apa yang hendak kau lakukan? Kenapa tidak segera melakukannya?"
"Hm, roh, seratus bayi lelaki yang tersimpan di kolor wasiatku kabur gara-gara kau, bocah. Dan
sekarang aku mati-matian mencari dan mengumpulkan mereka. Kau harus menunggu setelah itu kudapatkan,
lalu giliranmu menjadi penutup dan kulit punggungmu kukerat untuk tali kolor yang baru!"
"Apa? Kau mau menguliti aku dan membuat kolor dari kulit tubuhku?"
"Ha-ha, kau takut? Kau pucat?"
"Tidak, aku tidak takut mati, Poan-jin. Tapi apa hubungannya dengan roh bayi-bayi lelaki yang seratus
jumlahnya itu!"
"Ha-ha, itu syarat melatih Bu-siang-sin-kang. Tanpa bantuan roh-roh itu aku tak dapat merubah
ujudku dalam badan halus. Mereka andalanku, kusimpan susah payah selama bertahun-tahun. Tapi setelah294 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
kau mencerai-beraikannya dan mereka kabur maka kau akan menjadi pintunya dan menjaga simpul kolorku
yang baru untuk mengembalikan Bu-siang-sin-kangku. Ha-ha!"
"Kau akan mengumpulkan aku dengan mereka?"
"Ha-ha, setelah mati kaupun akan berbadan halus, Beng An. Dan karena kau yang paling besar dan
gagah maka kau akan menjadi pemimpin mereka dan hidup di kolor wasiatku yang baru, kolor yang kubuat
dari kulit punggungmu nanti!"
"Tidak!" Beng An tiba-tiba ngeri. "Aku tak mau bercampur dengan roh-roh bayi lelaki itu, Poan-jin.
Lepaskan aku dan keparat jahanam kau!"
"Ha-ha, kau mulai takut?"
"Aku tidak takut, tapi, ah... aku ngeri!" Beng An berteriak-teriak, memaki dan mengutuk kakek itu
habis-habisan namun Poan-jin justeru terpingkal-pingkal. Sekarang anak ini berhasil dibuat takut dan Beng
An memang ngeri kalau harus "ngumpul" dengan roh seratus bayi itu. Poan-jin sungguh biadab! Tapi ketika
si kakek terkekeh-kekeh dan bangkit menari-nari, menyambar dan menggeragoti sesuatu tiba-tiba Beng An
tertegun dan berhenti memandang benda itu, sesosok tubuh mungil yang menggeliat-geliat.
"Apa itu? Apa... apa yang kau makan itu?"
"Ha-ha, kau suka? Bayi ke seratus satu, Beng An, masih hidup dan segar. Lihat tempurung kepalanya
demikian lunak dan masih haius... kriusss!" dan si kakek melahap dan menggerogoti makanan itu, kepala
seorang bayi maka Beng An muntah-muntah dan tiba-tiba muak!
"Augh, keparat kau, Poan-jin. Terkutuk dan biadab. Kau binatang!"
"Ha - ha, boleh memaki kalau tak suka. Tapi yang jelas ini hanya pengenyang perut karena usianya
sudah lebih empatpuluh hari. Nikmatilah dan cicipilah kalau suka... bluk!" dan kepala bayi itu yang jatuh dan
dilempar si kakek akhirnya membuat anak ini tak tahan, pusing dan pingsan dan Poan-jin terkekeh-kekeh
menyambar makanannya kembali. Sebenarnya itu bukan kepala manusia melainkan kepala bayi seekor kera,
masih orok dan kakek ini menyambarnya karena sudah tak sabar untuk "menggegares" batok kepala Beng
An. Roh seratus bayi belum dikumpulkan semua dan karena itu tak boleh ia membunuh Beng An, jadi
sebagai pelampiasannya ia lalu mencari dan membunuh seekor bayi kera. Sepintas memang mirip bayi
manusia dan Beng An dibuat muntah-muntah. Bayi manusia atau kera sama saja karena kakek itu
menggerogotinya mentah-mentah. Tak ada manusia biadab dan sebinatang kakek ini. Poan-jin memang iblis!
Dan ketika kakek itu berhasil menakuti Beng An dan selanjutnya anak ini tak mau makan atau minum, mual
oleh pemandangan tadi maka Poan-ji mengerutkan kening ketika hari-hari berikut Beng An menjadi kurus!
"Eh, kau harus makan. Tak boleh mati karena lapar!"
Beng An tersenyum mengejek. "Makan atau tidak makan urusanku, Poan-jin. Makan atau tidak makan
tetap juga kau membunuh aku. Nah, kau makan sendiri dan jangan menyuruh aku!"
"Wah, kau benar-benar tak mau makan?"
"Tak mau."
"Kalau begitu aku paksa!"
"Silahkan, kau tak akan berhasil!" dan ketika kakek itu marah dan benar saja membuka rahang anak
ini, menjejalkan makanan maka Beng An memuntahkannya kembali setiap tertelan. Anak ini mengerahkan
Khi-bal-sin-kang dan makanan itu tertahan, naik dan turun berkali-kali setiap dijejalkan. Dan ketika kakek
itu terbelalak dan marah sekali, seluruh makanan akhirnya terbuang dimuntahkan maka Poan-jin pucat
mengutuk anak itu.
"Bedebah, aku tak dapat menyedot otakmu kalau sudah mampus. Kau harus tetap bertahan hidup!"295 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, menyerah?" Beng An tertawa, mengejek. "Kau boleh cari akal lain, Poan-jin. Hayo siapa
menang siapa kalah!"
"Terkutuk, keparat. Aku akan secepatnya mengumpulkan seratus roh bayi itu!" dan ketika kakek ini
mencak-mencak dan bertapa lagi, mengirim getaran agar kakaknya membantu menemukan sisanya maka
Beng An yang mengerutkan kening dan merasa ngeri lalu menutup mata dan melatih Ping-im-kang. Diamdiam ia sudah mulai itu dan dua bulan ini ia dapat membekukan tubuh. Mula-mula jari tangannya dan
akhirnya naik sampai pergelangan, siku dan akhirnya pundak dan hari itu ia sudah berhasil membekukan
tubuhnya separoh. Dulu kakeknya dapat membuat tubuh sedingin es, dari kepala sampai ke kaki. Dan karena
kini ia ditunjang hawa pegunungan yang amat dingin, setiap malam tentu butir-butir es menimpa anak ini
maka Poan-jin yang bermaksud menyiksanya malah secara tidak sengaja membuat Beng An cepat sekali
berhasil melatih ilmu Tenaga Inti Es itu. Dua bulan ini Beng An dibekukan hawa pegunungan, bukan
sembarang pegunungan melainkan pegunungan Himalaya, yang setiap saat tentu menurunkan hujan salju.
Dan ketika semuanya itu justeru penopang yang amat baik bagi melatih Ping-im-kang, ilmu ini memang
harus dilatih di tempat dingin maka Beng An yang tekun dan kuat berlatih tiba-tiba telah menguasai ilmu itu
seperti dulu kakeknya menguasai Tenaga Inti Es. Beng An telah mampu membekukan seluruh tubuhnya dan
tiba-tiba saja anak ini telah berobah menjadi patung es. Seluruh tubuhnya beku dan kejadian cepat yang
berlangsung ini tak dilihat Poan-jin. Kakek itu juga sedang bersamadhi menarik atau mencari seratus roh
bayi lelaki yang tinggal beberapa lagi. Kurang empat dan hari itupun kakek ini bekerja keras mengumpulkan
sisanya. Dan ketika bayi ke seratus sudah didapat tapi berbareng dengan itu Beng An juga berhasil
menguasai Ping-im-kang, dua orang ini seakan berlomba mencapai tujuan masing-masing maka ketika
membuka mata tiba-tiba kakek itu tertegun melihat tubuh anak laki-laki ini sudah tak bergeming dan
berkilau-kilauan penuh butir-butir es yang dingin!
"Astaga, korbanku menjadi beku!" kakek ini mencelat dan kaget melihat kea daan Beng An. Anak itu
berobah menjadi manusia es dan tentu saja dia kaget keti ka menyentuhkan tangannya, meraba sosok tubuh
yang dingin dan Poan-jin terperanjat karena Beng An sudah seperti arca, kaku kedinginan! Tapi ketika ia
terbelalak dan kecewa serta gusar, otak dan sumsum Beng An tak dapat disedotnya tiba-tiba Beng An
membuka mata dan sekejap itu anak ini memandangnya, sekejap saja tapi sudah cukup bagi Poan-jin bahwa
si anak masih hidup, meskipun jantung atau detak jantungnya berhenti!
"Ha-ha, bocah siluman. Anak yang luar biasa! Ah, kau masih hidup, Beng An. Bagus, tadi kukira
mati. Ah, kau sedang berlatih apa dan apa yang kau lakukan ini!"
Beng An menutup matanya lagi. Ia terkejut dan tergetar oleh sentuhan kakek itu tadi, yang memeriksa
dan menepuk-nepuk batok kepalanya. Tapi begitu ia terkejut dan sadar, Ping-im-kang dikerahkan kuat-kuat
tiba-tiba ia memejamkan matanya kembali dan ingin memberi "pelajaran" kakek itu kalau berani menguyah
batok kepalanya, yang sudah beku dan sekeras batu gunung. Batu es yang dingin luar biasa!
"Ha-ha-ha!" kakek itu terbahak-bahak. "Kau menipu aku dengan caramu yang licik, bocah. Kusangka
mati tetapi masih hidup. Wuah, sekarang aku telah berhasil mengumpulkan seratus roh bayi lelaki itu. Kau
akan kukeremus dan kusedot otakmu!"
Beng An tergetar. Salju tebal tiba-tiba turun deras dan puncak Naga Merah berderak bergoyanggoyang. Ada teriakan dan pekikan di bawah gunung dan Poan-jin mengerutkan kening karena mendengar
suara pertempuran. Ledakan atau kilat di bawah disusul dentaman-dentaman kuat. Dan ketika ia tertegun dan
ragu-ragu, suara kakaknya memanggil-manggil maka kakek ini bimbang sejenak memandang Beng An.
"Hm, apa yang harus kulakukan?" kakek itu berpikir. "Turun atau melahap bocah ini dulu? Kalau
turun tentu sayang, ini kesempatanku terakhir. Tapi tidak turun rupanya suheng menghadapi sesuatu bahaya?
Ah, siapa gerangan? Apa yang harus kulakukan?"
Kakek ini bingung dan ragu. Ia marah oleh teriakan atau panggilan suhengnya, juga gelegar atau suara
benturan dahsyat dari dua orang yang sedang bertanding hebat. Tapi karena kesempatan itu adalah
kesempatan yang paling akhir, ia harus cepat menyedot otak dan sumsum anak laki-laki ini untuk
mengembalikan Bu-siang-sin-kangnya tiba-tiba kakek itu mengeretukkan gigi dan gerahamnya berderit oleh
keputusan yang bulat.296 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Aku harus mengembalikan Bu-siang sin-kangku dulu, baru setelah itu menolong suheng. Keparat
siapa musuh pengganggu itu!"
Kakek ini bergerak dan menyambar Beng An. Ia harus cepat-cepat menyedot sumsum dan otak anak
itu, baru kemudian turun gunung dan memenuhi panggilan suhengnya. Tapi ketika jari tangannya
mencengkeram kepala Beng An, dingin dan serasa mencengkeram es maka kakek ini tertegun.
"Darahmu tak mengalir. Apa yang sedang kau lakukan!"
"Hm!" Beng An tertawa dingin, mengerahkan Ping-im-kangnya sekuat tenaga. Kau membiarkan aku
kedinginan dan beku ditimpa hujan salju, Poan-jin. Aku tak dapat berbuat apa-apa dan tinggal menunggu
kematian. Kau..sedotlah sumsumku kalau bisa!"
"Keparat, aku tak dapat menyedotmu kalau dingin. Otak dan sumsummu tak dapat mengalir!"
"Kalau begitu lepaskan aku, biarkan aku bebas."
"Apa, bebas? Hidungmu itu! Aku dapat memanaskan aliran darahmu dengan sinkangku atau
dipanggang hidup-hidup. Tapi aku akan memanggangmu di api unggun. Aku akan menyiksamu!" dan ketika
kakek ini memanggang Beng An di api unggun, api yang menyala merah maka kakek itu akan mencairkan
tubuh beku ini seperti semula. Tapi alangkah herannya kakek ini melihat kebekuan luar biasa dari tubuh si
bocah. Api itu menjilat-jilat namun tubuh si anak tidak leleh. Jangankan leleh, panas saja tidak! Dan ketika
kakek itu menjublak karena api tak mampu mencairkan tubuh Beng An, maka Beng An tertawa dan butiranbutiran es tiba-tiba jatuh dan memadamkan api unggun itu!
"Ha-ha, coba sekali lagi, Poan-jin. Barangkali kurang panas..... ces-cess!" api itu padam, satu demi
satu ditimpa butiran-butiran es karena Beng An mengerahkan segenap Ping-im-kangnya. Tubuhnya
mengeluarkan keringat tapi bukan keringat panas melainkan keringat-keringat es. Tentu saja kakek itu
tertegun! Dan ketika api padam dan Beng An tetap beku seperti semula, kaku dan mem bujur seperti sebalok
es maka kakek itu menggeram dan menyambar anak ini.
"Kalau begitu kukeremus batok kepalamu!" Beng An terkesiap, kepala melekat di mulut kakek ini dan
tahu-tahu Poan-jin menggigit. Beng An terkejut dan tentu saja mati-matian mengerahkan Tenaga Inti Es.
Dan ketika gigi kakek itu berkelethuk seperti anjing menggigit tulang, keras dan alot maka kakek ini
menyumpah-nyumpah karena gagal.
"Bedebah, anak haram!" Poan-jin mengulang lagi, menggigit namun tiba-tiba menjerit. Saking kuat
dan gemasnya mengulang gigitannya tiba-tiba giginya itu merasa linu dan ngilu bertemu batok kepala yang
dingin luar biasa. Tenaganya boleh kuat tapi giginya yang tak tahan. Poan-jin menyumpah serapah. Dan
ketika kakek itu menggigit yang lain namun sama saja, anak itu benar-benar sedingin es maka Poan-jin
membanting dan melempar anak ini, kaget dan penasaran!
"Jahanam, kau berlatih ilmu apa! Bagaimana tubuhmu sedingin dan sebeku ini!"
"Ha-ha!" Beng An tertawa bergelak, usahanya berhasil. "Kau seperti anjing menggigit tulang baja,
Poan-jin. Ayo bunuh aku lagi dan gigit!"
"Tentu, aku akan menggigitmu, membunuhmu. Tapi jalan darahmu harus lancar kembali dan tak boleh
beku. Aku akan memanaskan tubuhmu dengan sinkangku!" dan ketika kakek itu menyambar dan
mencengkeram anak ini, gemeratak, maka Beng An gelisah karena tiba-tiba hawa panas meluncur dari
tangan kakek itu menghangatkan tubuh dinginnya.
"Tidak, kau tak akan berhasil!" Beng An tak mau bicara lagi dan tiba-tiba mengempos semangat. Ia
telah girang dan besar hati bahwa Ping-im-kangnya mampu membuat si kakek kelabakan. Gigi kakek itu
bertemu tubuh esnya yang dingin dan Poan-jin berteriak-teriak. Sungguh ia ingin terpingkal kalau saja kakek
ini tak berusaha mengulangi kegagalannya. Tapi begitu si kakek mengerahkan sinkang panas dan Beng An
mengerahkan sinkang dingin, panas dan dingin bertemu tiba-tiba anak itu terkejut karena perlahan-lahan
tubuh esnya mencair. Kalah kuat!297 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ha-ha, mampus kau, bocah. Sinkangku dapat mencairkan dirimu dan sebentar lagi aku akan
menikmati otak dan sumsum segar!"
Beng An pucat. Ia baru saja dua bulan melatih Tenaga Inti Es, itupun sudah luar biasa karena ia telah
mampu menyamai mendiang kakeknya, ketika dulu Hu Beng Kui mendemonstrasikan kepandaiannya. Dan
ketika benar saja perlahan-lahan tubuh luarnya menghangat, sedikit demi sedikit kulit tubuh anak laki-laki ini
melemas maka Poan-jin berseri-seri namun saat itu tiba-tiba terdengar bentakan suhengnya yang
melengking.
Sute, cepat bantu aku. Atau aku akan membunuhmu kalau tak mau turun!"
Kakek ini terkejut. Ia sedang melancarkan sinkang mencairkan tubuh beku anak ini. Sebentar lagi
Beng An mengalir jalan darahnya dan ia akan mampu menyedot, darah anak itu tak akan lagi beku. Dan
ketika bentakan atau seruan suhengnya itu menggelegar menggetarkan gunung, suhengnya benar-benar
berada dalam keadaan yang sulit maka kakek ini pucat dan bingung, seruan terakhir suhengnya itu
membuatnya gugup.
"Awas, sekali kau pura-pura tuli aku akan menghancurkan Bu-siang-sin-kangmu itu. Aku akan
menggebah seratus roh lelaki itu!"
Kakek ini gentar. Suhengnya sendiri tiba-tiba sudah mengancamnya sedemikian rupa. Keadaan tentu
benar-benar gawat dan ia pucat siapakah kiranya musuh yang amat lihai itu. Apakah Pendekar Rambut Emas
dan isterinya tapi kenapa suara pukulan terdengar lain. Juga bentakan-bentakan di bawah selain suhengnya


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar suara atau bentakan seorang anak muda. Dan karena kakek ini gugup sementara suhengnya sudah
seperti kambing kebakaran jenggot, sungguh ia kacau maka saat itu di puncak terdengar suara-suara gemuruh
seperti barang yang akan meletus. Kakek ini menjadi bingung dan Beng An tiba-tiba berhasil menguasai
keadaan, tubuh yang cair membeku kembali dan berteriaklah kakek itu oleh bingung dan kecewa. Dan ketika
Beng An tiba-tiba melihat sebuah kantung kulit di leher kakek ini, bergoyang dan melembung serta
mengempis tiba-tiba anak itu bergerak dan disambar atau diraihlah kantung kulit itu.
"Heiii.... brettt!"
Beng An ditepis. Anak ini sudah berhasil menyambar atau mencengkeram kantung kulit itu, pecah dan
isinya tiba-tiba berhamburan keluar. Dan ketika Beng An tertegun karena seratus cahaya tiba-tiba
beterbangan dan mengelilingi kakek itu, ada suara-suara aneh seperti tawon atau lebah maka Poan-jin
menjerit ketika seratus sinar warna-warni ini menggigitnya, semua di leher.
Aughh!
Beng An dibanting. Poan-jin berteriak ketika tiba-tiba diserang atau dikeroyok seratus cahaya warnawarni ini. Bentuknya aneh-aneh seperti balon atau gelembung busa, mencicit dan mengeluarkan suara riuh
dan itulah seratus roh bayi lelaki yang lepas dari kantung kulit. Beng An tak tahu bahwa ia telah
memecahkan barang keramat yang dimiliki kakek ini. Poan-jin mengumpulkan seratus roh bayi itu di
kantung kulit. Dan karena mereka dapat mendendam dan marah kepada kakek ini, seratus roh itu menerjang
dan menghambur ke depan maka seperti lintah mereka itu sudah hinggap dan menggigit leher kakek ini, dari
segala penjuru! Poan-jin berteriak-teriak dan menampari roh-roh itu, yang terpental tapi kembali hinggap dan
menggigiti lehernya lagi. Dan ketika kakek itu meraung karena gusar, kulit lehernya sudah mulai luka-luka
maka Beng An tiba-tiba terkekeh dan tertawa-tawa geli, mengira itu adalah kunang-kunang atau tawon
warna-warni yang lepas dan menyerang tuannya sendiri.
"Hi-hi, kau diserang hewan piaraanmu sendiri, Poan-jin. Makanya jangan jahat-jahat agar tidak
kuwalat!"
"Bedebah, ke sini kau!" kakek itu memekik, marah melihat Beng An dan tiba-tiba ia sudah
menyambar atau menangkap anak ini. Dan ketika Beng An terkejut karena sudah diangkat, kakek itu
mendelik maka anak ini sudah diputar dan dikebut-kebutkan ke arah seratus roh-roh bayi itu, cepat dan luar
biasa namun roh-roh bayi itu mengelak dan beterbangan menghindari anak ini. Rupanya mereka tahu bahwa
justeru berkat pertolongan Beng Anlah mereka dapat lolos, keluar dari kantung kulit. Dan ketika suara298 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
seperti tawon itu semakin nyaring dan melengking, puncak Naga Merah tiba-tiba berderak oleh gemuruh di
perut bumi maka terdengar letusan pertama dari bergolaknya gunung berapi.
"Blarr!"
Asap merah membubung tinggi. Beng An dan Poan-jin sama-sama terkejut karena bumi yang mereka
injak bergetar kuat. Dan ketika seratus roh itu juga berhamburan dan cerai-berai, gelegar pertama disusul
oleh gelegar kedua maka Poan-jin meletup karena seratus roh yang susah payah dikumpulkannya itu
menghilang ke segala penjuru.
"Kau bocah tengik. Bedebah keparat!" kakek ini tak dapat menahan marah, membentak dan menggigit
Beng An dan sekonyong-konyong ia menjadi buas. Beng An terkejut dan untung Tenaga Inti Esnya masih
ada, bereaksi dan berteriaklah kakek itu menggigit sesuatu yang dingin. Dan ketika puncak bergemuruh dan
Beng An pucat serta ngeri, juga marah oleh kekejaman kakek ini tiba-tiba ia menyambar leher kakek ini dan
ikut menggigit seperti "kunang warna-warni" yang tadi melakukan hal yang sama.
"Augh-argghhhh!"
Beng An dilempar. Ia pucat dan seram oleh teriakan Poan-jin yang panjang. Namun karena ia
menggigit kuat-kuat dan aneh serta mengherankan bahwa kulit leher kakek ini amat lunak, sekali di gigit
tiba-tiba mengucurkan darah maka Beng An yang tetap melekat mendadak saja menjadi beringas dan...
menyedot darah di leher kakek itu. Teringat akan maksud atau niat kakek ini yang juga akan menghisap atau
menyedot otak dan sumsumnya!
Jilid XXI
"AUGH-ARGHHH.....!"
Teriakan atau pekik panjang itu sungguh menggetarkan hati. Beng An yang menggigit dan terus
menggigit tiba-tiba tak dapat dilepaskan. Anak ini telah ditarik dan dilempar namun tetap saja melekat di
leher kakek itu. Poan-jin disedot dan dihisap darahnya dan kekebalan kakek itu tiba-tiba saja punah. Beng
An tak tahu bahwa kantung kulit yang dipecahkannya tadi telah membuat kesaktian kakek ini juga ikut
pecah, hancur dan gigitan seratus roh bayi lelaki itu juga ikut menghancurkan kekebalan Poan-jin. Kakek ini
menerima akibat fatal dari robek atau pecahnya kantung kulit tadi. Ilmunya baru akan dikumpulkan ketika
tiba tiba saja sudah didahului Beng An. Dan karena pusat kekuatan kantung kulit itu hancur, tentu saja kakek
ini pucat maka hancur pula kesaktian atau ilmu-ilmunya, Beng An secara tepat menggigit pula urat besar di
leher kakek itu, tempat di mana aliran darah paling deras mengalir. Dan karena sebelumnya Poan-jin sudah
dibuat gugup oleh panggilan suhengnya yang berkali-kali, juga ancamannya untuk membunuh atau
membuang seratus roh bayi-bayi lelaki itu maka kakek ini benar-benar terkejut ketika tiba-tiba pusat
kekuatannya di kantung kulit itu disambar anak ini. Dia sedang gugup dan panik oleh semuanya ini.
Bentakan atau teriakan suhengnya sungguh membuat ia bingung. Dan karena saat itu puncak Naga Merah
juga menggelegar dan membuatnya panik, gunung berapi itu mulai meletus maka kakek ini benar-benar
gugup dan kacau oleh kejadian yang susul-menyusul. Ia tak dapat mengkonsentrasikan pikirannya lagi dan
perhatiannya pecah ke mana-mana. Yang paling membuat ia terkejut adalah pecahnya kantung kulit itu,
pusat kesaktian di mana susah payah ia mengumpulkannya. Maka begitu kantung kulit ini pecah, roh seratus
bayi lelaki itu berhamburan ke mana-mana, menyerang dan menggigit lehernya tiba-tiba kakek itu marah dan
gusar bukan main, menggebah mereka namun puncak Naga Merah menyemburkan apinya. Dentum atau
letusan gunung berapi itu mengguncangkan puncak, bumi berderak dan roh seratus bayi lelaki itu tiba-tiba
cerai-berai, lari meninggalkannya. Dan ketika ia menumpahkan kemarahannya kepada Beng An namun anak
laki-laki ini juga balas menumpahkan kemarahannya dengan menggigit lehernya, Beng An merasa darah
yang amis namun segar tiba-tiba kakek itu memekik dan bumi dibuat tergetar oleh pekik atau bentakannya
yang dahsyat ini. Beng An melekat bagai lintah dan anak itu telah menyedot hampir seperempat dari semua
darah di tubuh kakek ini. Sehebat-hebatnya Poan-jin tentu saja ia lemas, ngeri dan pucat karena Beng An tak
mau melepas gigitannya. Anak itu tak perduli kepada dentuman gunung berapi dan ia terus saja menggigit
dan menggigit. Beng An ingin melampiaskan kemarahannya dengan balas menyedot darah kakek itu, karena
si kakek juga ingin menyedot dan menghisap sumsum atau otaknya. Dan karena kebencian Beng An juga299 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
sampai di ubun-ubun dan betapapun kakek itu melempar atau menariknya kuat tentu ia kembali, Beng An
benar-benar seperti lintah yang lekat tak dapat dipisah maka ketika tiba-tiba Poan-jin membetotnya sekuat
tenaga mendadak leher kakek itu cuwil dan seperenam dari leher si kakek terkuak! Poan-jin menjerit dan
Beng An dibanting. Kakek itu mendelik dan terhuyung-huyung. Tapi ketika Beng An tertawa-tawa dan
bangun berdiri, Ping-im-kangnya melindungi maka kakek itu tergetar karena anak kecil ini sudah berobah
seperti iblis cilik yang mulutnya berlepotan darah.
"Kubunuh kau, jahanam!" Poan-jin mencelat dan menubruk anak ini. Kakek ini marah besar karena ia
benar-benar dilukai. Tapi ketika Beng An tertangkap ia tak dapat mengerahkan tenaganya, kakek itu habis
maka Beng An terbahak dan secepat kilat menancapkan giginya di leher kakek itu lagi, menggigit dan
menyedot.
"Ha-ha, mari mati bersama, Poan-jin. Ayo sedot dan hisap sumsumku!"
Poan-jin mengeluh. Ia menunduk dan menggigit batok kepala anak itu, ajakan Beng An
mengingatkannya akan tujuannya semula. Tapi begitu giginya bertemu dengan Ping-im-kang, linu dan ngilu
tiba-tiba kakek ini mengerang dan terhuyung-huyung. Sekarang Beng An yang mendekap tubuhnya kuatkuat dan semakin banyak darah disedot semakin banyak tenaga kakek ini yang hilang. Poan-jin sudah tidak
berdaya lagi ketika anak laki-laki itu menyerbunya. Dan ketika kakek ini limbung sementara gigitan demi
gigitan merobek lehernya, Beng An bagai binatang buas yang menggeragoti korbannya tiba-tiba Poan-jin
sudah roboh dengan leher putus. Kakek itu sudah tidak ingat diri lagi begitu Beng An menyedot darahnya.
Kakek ini benar-benar kehilangan kesaktian atau kekuatannya begitu kantung kulit pecah. Beng An yang
hendak dipakai sebagai tumbal terakhir tiba-tiba saja malah menjadi petaka baginya. Dan ketika kakek itu
roboh dengan kepala putus, Beng An merasa gelembung-gelembung aneh bergolak di tubuhnya, tak tahu
bahwa darah si kakek penuh dengan hawa hitam, hawa beracun maka anak itu pusing dan tiba-tiba berdiri
dengan marah, tepat ketika letusan Naga Merah berada di puncaknya. Ia terlempar dan terbanting namun
Beng An tiba-tiba memiliki semacam kekuatan gaib, berdiri dan tertawa terbahak-bahak sambil menyambar
kepala Poan-jin. Dan ketika ia berdiri dengan gagah di puncak Naga Merah, menenteng kepala kakek itu
maka Soat Eng dan Shintala terkejut melihatnya, bukan terkejut oleh semburan api merah di belakang anak
ini melainkan terkejut bagaimana Poan-jin tiba-tiba terbunuh, oleh seorang bocah! Tapi ketika gelegar
gunung berapi itu mengguncang puncak, Shintala dan soat Eng terlempar oleh suara dahsyat ini maka Beng
An sendiri terpelanting dan terguling-guling di puncak. Anak itu tiba-tiba merasa pusing dan gelap. Ia tibatiba marah kepada sekelilingnya. Tapi karena letusan demi letusan terdengar lagi, Beng An terhuyung dan
jatuh bangun akhirnya anak ini terlempar oleh sebuah getaran dahsyat yang membuat bukit itu tiba-tiba
ambrol. Batu dan pasir menimpanya, bukan batu dan pasir biasa melainkan batu dan pasir yang panas
membara! Beng An terkejut tapi tak dapat berbuat apa-apa, puncak Naga Merah sedang murka dan
muntahlah lahar panas menutupi tempat itu. Dan ketika seluruh permukaan tanah disapu atau dihujani
muntahan lahar panas ini, juga batu-batu besar yang merah membara maka Beng An akhirnya tak ingat apaapa lagi tapi Ping-im-kang di tubuhnya telah menjadi penyelamat dan melindungi dirinya. Anak itu terkubur
longsoran batu dan pasir-pasir berapi, panas menyala-nyala dan Soat Eng maupun Thai Liong harus
menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi ini, Naga Merah yang sedang murka. Dan ketika Poan-kwi
juga menghilang dan melarikan diri, keadaan sungguh berbahaya maka Thai Liong akhirnya menemukan
adiknya itu, heran dan kaget serta kagum bahwa adiknya masih hidup. Thai Liong tentu saja tak tahu akan
Ping-im-kang yang dimiliki adiknya itu, tak tahu rahansia mendiang kakeknya yang menciptakan Ping-imkang, Tenaga Inti Es. Dan ketikap Beng An dibawa karena luka-luka anehnya, tubuh dingin seperti es maka
Thai Liong maupun Soat Eng serta Shintala pergi meninggalkan gunung setelah Bu-beng Sian-su memberi
tahu bahwa "obat" bagi adiknya itu adalah darah seorang ksatria, darah yang katanya ada di tempat ibunya
dan untuk itu mereka diharuskan pulkang!
* * * "Demikianlah," Thai Liong mengakhiri ceritanya setelah hari itu mereka bertemu dengan ayah ibunya.
Tiga muda-mudi ini telah tiba di utara dan Pendekar Rambut Emas maupun isterinya datang menyambut dan
tentu saja mereka girang tapi terkejut melihat keadaan Beng An, juga adanya Shintala di situ. Maklum, gadis
ini pernah bermusuhan dengan Swat Lian dan dua wanita itu saling pandang. Swat Lian dengan pandangan300 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
sengit sementara Shintala menunduk dan mengerling kepada Thai Liong, berdebar. Keadaan bisa berubah
kalau Thai Liong maupun Soat Eng tidak membantu! Tapi ketika Thai Liong maju ke depan dan berkata
bahwa gadis itu datang atas ajakan mereka, Soat Eng juga berkata bahwa tidak memusuhi ibunya lagi maka
Swat Lian tertegun mendengar kata-kata dua putera-puterinya ini.
"Kami datang atas perintah Sian-su. Adik Shintala ini juga telah membantu kami dalam
menyelamatkan Beng An. Maaf, jangan memusuhi dia lagi, ibu. Adik Shintala telah insyaf akan
kekeliruannya dan kami telah tahu akan semua yang telah terjadi. Adik Beng An membutuhkan pertolongan
dan katanya dari ibulah pertolongan itu datang."
"Benar," Soat Eng menyambung, berseru menguatkan kata-kata kakaknya. "Sian-su berkata bahwa
semuanya ini kaulah yang akan menyelesaikan, ibu. Dan sembuh tidaknya Beng An ada hubungannya
denganmu!"
"Sian-su? Kakek dewa itu? Kalian bertemu pula dengannya?"
"Ya, kami bertemu dengannya, ibu. Dan ada titipan untukmu!"
"Ah, titipan apa!" Swat Lian terkejut, pandang matanya membelalak. "Apa lagi yang dibawa kakek itu
untukku!"
"Sebuah daun lontar, dua bait syair. Ibu diminta menemukan inti jawabannya tapi mana suamiku yang
katanya sudah kalian selamatkan!"
"Ah-ah, kita bicara di dalam," Pendekar Rambut Emas berseru dan mengebutkan lengan bajunya.
"Jangan keras-keras bicara di luar, Eng-ji. Dan mari semua masuk dan kita lihat dulu keadaan Beng An. Apa
yang terjadi dan bagaimana bisa begini!"
"Benar," Thai Liong lega, ibunya sudah tidak mengurusi Shintala lagi, gadis itu selamat. "Sebaiknya
kita urus dulu adik Beng An, ayah. Dan mari kita lihat di dalam!"
Semuanya masuk. Kegembiraan yang semula ada tiba-tiba berobah menjadi kegelisahan dan
kecemasan. Swat Lian cemas melihat puteranya kebiru-biruan dan suaminya juga mengerutkan kening
melihat keadaan putera bungsunya ini. Beng An katanya sudah tidak pernah sadarkan diri lagi sejak pingsan
di Himalaya. Anak itu tak bergerak-gerak dan seperti mati. Ping-im-kang di tubuh anak ini bekerja dan tak
satupun tahu bahwa ada sesuatu yang sedang bergolak di tubuh yang kaku dingin itu. Dan ketika Pendekar
Rambut Emas tertegun menyentuh tubuh puteranya yang dingin, detak jantung itu berdenyut lemah dan ada
tanda-tanda akan berhenti maka pendekar ini terkejut dan berubah mukanya.
"Ada sesuatu yang aneh yang tidak kumengerti. Tubuhnya dingin namun di bagian dalamnya penuh
hawa panas, seperti api!"
"Benar, aku juga memeriksanya begitu ayah. Dan ada tanda-tanda bahwa adik Beng An keracunan!"
"Tapi racun itu tidak mematikan. Aku mendengar gelembung-gelembung hawa di perutnya!"
"Begitulah, dan aku heran menyelidiki penyebabnya, ayah. Adik Beng An rupanya mengalami sesuatu
yang kita tidak mengerti. La tak dapat diobati dengan ramu-ramuan atau obat biasa, juga bantuan sinkang!"
"Hm, penyakit apa ini? Berapa hari ia pingsan?"
"Tiga hari ini, dan tiga hari itu pula tubuhnya beku seperti es!"
"Tapi ia tidak mati, ia masih hidup!" Swat Lian berseru, tak mau anaknya mati dan tiba-tiba ibu ini
menangis bercucuran air mata. Ia telah mendengar kematian Poan-jin namun tetap saja ia mengepal tinju dan
memaki-maki kakek itu. Dan karena Poan-kwi masih hidup dan kini kakek itulah yang menjadi sasarannya
maka ia beringas membanting kakinya, nyonya inipun sudah memeriksa keadaan puteranya. Beng An seolah
dalam keadaan "koma", hidup tidak matipun belum!301 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Jahanam keparat kakek-kakek iblis itu. Kubunuh Poan-kwi kalau ia di sini, atau aku menukar
nyawaku dengan nyawa Beng An!"
"Hm, tak guna memaki-maki," sang suami berkata menyabarkan. "Aku dan Thai Liong akan coba
mengalirkan sinkang, isteriku. Dan kita lihat bagaimana reaksinya."
Namun sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat. Pendekar Rambut. Emas menghentikan kata-katanya
karena di situ masuk pula seorang lain, pemuda gagah yang matanya tajam bersinar-sinar. Dan ketika
pemuda itu tertegun melihat Thai Liong dan Soat Eng, juga Shintala yang ada di situ maka Soat Eng
berteriak dan menubruk pemuda ini.
"Le-ko, ah benar kau masih hidup!"
Pemuda ini ternyata adalah Siang Le. Dia mendengar ribut-ribut di situ dan cepat datang ketika orangorang Tar-tar memberi tahu bahwa isteri dan kakak iparnya datang. Dan karena ia sedang mengurusi
pekerjaan di luar dan tentu saja gembira mendengar kabar itu, isterinya datang, maka pemuda ini masuk
namun heran melihat gadis asing di situ, Shintala yang berhidung mancung dan berbibir mungil. Tapi begitu
ditubruk dan dipanggil isterinya, Siang Le sadar maka pemuda inipun cepat menyambut dan balas memeluk
isterinya itu, kencang.
"Eng-moi, kau datang mengejutkan aku. Ah, betapa rinduku kepadamu. Namun apa yang terjadi dan
kenapa dengan adik Beng An. Siapa pula gadis asing itu!"
"Ah, hu-huuk... adik Beng An menderita luka aneh, Le-ko. Kami menyelamatkannya dari tangan
Poan-kwi namun ia tak sadar seperti itu. Dan itu adalah Shintala cucu kakek Drestawala!" Soat Eng
menangis, antara girang dan haru namun suaminya tiba-tiba melepaskan diri. Siang Le terkejut dan
mengerutkan kening melihat tubuh Beng An yang kebiru-biruan, tak memandang lagi kepada Shintala dan
iapun tak membalas anggukan gadis itu sebagai salam hormat. Dan ketika Siang Le membungkuk dan
memeriksa Beng An, berkerut kening tiba-tiba ia berseru bahwa pengaruh jahat memasuki tubuh adiknya itu,
pengaruh atau hawa dari Bu-siang-sin-kang.
"Adik Beng An kemasukan ilmu keji ini. Seluruh urat dan darahnya dicemari Bu-siang-sin-kang!"
"Kau tahu itu?" Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening, terkejut. "Kau merasa yakin?"
"Ya, aku tahu tanda-tanda penyakit ini, gak-hu (ayah mertua), tapi bagaimana An-te bisa seperti itu.
Apakah dia menyedot darah!"
"Maksudmu?"
"Hanya orang yang menerima atau menyedot darah dari seorang pemilik Bu-siang-sin-kang yang
dapat keracunan seperti ini. Tak ada obat penyembuh kecuali dengan cuci darah!"
"Cuci darah? Maksudmu darah adikmu ini harus dikuras dan diganti darah orang lain?"
"Begitulah, gak-hu. Atau seumur hidup adik Beng An menjadi seperti Poan-jin atau Poan-kwi!"
"Bedebah! Aku tak mau anakku menjadi iblis hanya karena warisan Bu-siang-sin-kang. Darah Beng
An boleh dicuci dan diganti darahku!"
"Hm, tak semua darah cocok sebagai pengganti, gak-bo (ibu mertua)," Siang Le menggeleng
memandang ibu mertuanya itu. "Darah pengganti tak boleh darah sembarangan karena kalau tidak cocok
justeru bakal membunuh!"
"Kalau begitu bagaimana? Apakah aku harus membiarkan anakku berobah jahat hanya karena Busiang-sin-kang?"
"Nanti dulu," Kim-mou-eng menyela di tengah-tengah. "Apakah ada yang melihat Beng An menerima
darah kakek iblis itu. Bagaimana darah Bu-siang-sin-kang bisa masuk!"302 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tentu kakek itu yang mencekokkannya," Swat Lian berseru marah. "Poan-jin benar-benar keji dan
ingin merusak keluarga kita, suamiku. Beng An berbulan-bulan di tangannya!"
"Tapi darah yang masuk harus minimal separoh dari seluruh darah pemilik," Siang Le memberi
keterangan. "Kurang dari itu tak akan terpengaruh, gak-bo. Dan kupikir tak mungkin Poan-jin melakukan itu
karena berarti bunuh diri!"
"Jadi kau pikir bagaimana? Apakah secara kebetulan saja darah sekian banyak itu tiba-tiba memasuki
adikmu?"
"Aku tak tahu," Siang Le tertegun. "Tapi barangkali dapat kutebak kalau aku tahu bagaimana mulamula kejadiannya. Apa yang diketahui Eng-moi atau kakak ipar!"
"Hm, kami melihat Beng An tiba-tiba menenteng kepala Poan-jin di puncak Naga Merah. Anak itu
tertawa-tawa membawa kepala kakek itu yang berlumuran darah!"
"Kalau begitu Beng An meminum darah Poan-jin. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi!" Siang Le
kaget, heran dan tercengang dan tiba-tiba semua bingung karena bagaimana Beng An tiba-tiba bisa
melakukan itu. Tapi ketika Thai Liong maupun Soat Eng juga berkata bahwa merekapun bingung bagaimana
Poan-jin bisa dibunuh Beng An, tak mengetahui apa yang terjadi di puncak maka dua orang itu berkata
seraya menggeleng kepala.
"Aku tak tahu bagaimana Beng An tiba-tiba bisa membunuh Poan-jin. Tapi jelas ada sesuatu yang kita
tidak mengerti yang telah membantunya!"
"Benar, dan barangkali saja setan-setan di perut Naga Merah. Mereka itu murka dan Naga Merah
meletus!"
"Hm," Siang Le tak menerima atau menyanggah kata-kata dua orang ini. "Mungkin saja semuanya itu
bisa terjadi, Eng-moi. Tapi sekarang kita usahakan penyembuhan adik Beng An ini. Kupikir kita harus
mencari orang yang cocok untuk mengganti darahnya nanti!"
"Bagaimana caranya," Soat Eng berseru. "Biar kucoba dan aku mulai dulu!"
"Hm, kita lukai sedikit ibu jari kita, teteskan ke mulutnya. Kalau ada pengaruh positip maka adik Beng
An akan segera sadar!"
"Baik, aku akan mencoba!" dan Soat Eng yang langsung mengiris dan melukai ibu jarinya lalu
meneteskan darahnya ke mulut adiknya itu. Tiga tetes cukup dan reaksinyapun ditunggu. Tapi ketika Beng
An tetap tak sadar atau membuka matanya maka wanita ini mengeluh dan membanting kaki.
"Sial, darahku tak cocok!" Soat Eng hampir menangis, marah dan kecewa. Tapi ketika yang lain
tertegun dan ikut kecewa, anak itu masih membujur dingin maka Shintala tiba-tiba melompat maju sudah
melukai ibu jarinya pula.
"Biar aku yang coba. Siapa tahu cocok!"


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swat Lian dan Pendekar Rambut Emas tertegun. Mereka kaget tapi juga kagum ketika tiba-tiba gadis
ini sudah memberikan pertolongan. Tanpa diminta lagi cucu Drestawala itu sudah memberikan darahnya
kepada Beng An, juga tiga tetes. Tapi ketika Beng An tak bergeming dan tetap seperti keadaannya semula,
tak bergerak maka gadis inipun mengeluh dan kecewa.
"Akupun tak cocok, sial!"
Pendekar Rambut Emas melangkah maju. Pendekar ini menyatakan terima kasih dan menepuk-nepuk
pundak gadis itu. Shintala yang muram dihiburnya dengan kata-kata halus. Dan ketika pendekar itu berkata
biarlah dia yang mencobanya sekarang, memberikan darahnya kepada Beng An maka pendekar ini sudah
mencoba tetapi ternyata gagal, disusul isterinya tetapi gagal lagi dan akhirnya tinggallah Siang Le dan Thai
Liong. Pemuda itu sudah akan melangkah maju ketika Thai Liong tiba-tiba menahannya, berseru biarlah
Siang Le belakangan dan terpusatlah semua perhatian orang kepada pemuda berjubah merah ini. Thai Liong303 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
menjentik dan melukai ibu jarinya sendiri. Tapi ketika darah sudah menetes dan Beng An tetap tak bergerak,
Thai Liong mengerutkan kening maka pemuda itu mundur dan benar-benar kecewa.
"Darahkupun tak cocok. Barangkali Siang Le yang dapat menyembuhkan!"
Siang Le mengerutkan kening. Semua orang sekarang berdebar memandangnya. Tinggal dialah satusatunya yang menjadi tumpuan, kalau tidak cocok entah bagaimanalah nasib Beng An nanti! Dan ketika
pemuda itu mengangguk dan melangkah maju, Siang Le menggores ibu jari kanannya maka tenang namun
menegangkan semua orang menunggu bangkitnya Beng An.
"Mudah-mudahan darahku cocok, tapi kalau tidak barangkali darah semua bangsa Tar-tar harus
dicoba!"
Soat Eng pucat. Ia melihat ibunya menggigil namun ibunya itu tiba-tiba bercahaya ketika mendengar
kata-kata Siang Le tadi. Kalau tak ada yang cocok maka biarlah semua orang di padang rumput itu dicacah
darahnya. Ribuan orang Tar-tar tak mungkin tak ada yang tak cocok! Dan ketika harapan ini menjanjikan
kelegaan tapi mereka menunggu hasil terakhir Siang Le ternyata pemuda itupun sama saja dengan yang lain.
Gagal!
"Kita semua tak ada yang cocok. Adik Beng An masih tak sadarkan diri!"
"Kalau begitu panggil semua orang ke sini!" Swat Lian berkelebat, tak sabar. "Ribuan bangsa Tar-tar
akan kuminta darahnya, Siang Le. Tunggu dan biar kupanggil mereka!"
"Kami sudah di sini!" seruan banyak orang tiba-tiba mengejutkan nyonya itu. "Kami akan menolong
Kim-kongcu, hujin. Kami siap memberikan darah demi kongcu!"
Swat Lian tertegun. Ternyata puluhan orang sudah ada di situ dan laki-laki tegap dan muda berdiri di
luar rumah. Mereka adalah pemuda-pemuda Tar-tar yang telah mendengar musibah putera sang pemimpin,
luka anehnya Beng An. Dan ketika Swat Lian tertegun tapi tentu saja girang, terisak, maka nyonya ini
terharu menyambar mereka.
"Bagus, terima kasih, Mogul. Mari.... mari kalian semua masuk!"
Puluhan pemuda itu masuk. Mereka sudah mempersiapkan diri dan akhirnya satu demi satu dicocok
darahnya, diteteskan ke mulut Beng An. Tapi ketika semuanya tak ada yang berhasil, gagal, maka Swat Lian
hampir menjerit kecewa karena puteranya tak sadarkan diri juga.
"Kami masih ada, hujin. Kami juga di sini menunggu giliran!"
Pendekar Rambut Emas dan lain-lain tertegun. Mereka melihat tiba-tiba saja ratusan orang sudah ada
di luar, menyusul rombongan puluhan pemuda tegap-tegap ini. Dan ketika Thai Liong maupun yang lain
menjadi sibuk mempersilahkan mereka, ratusan orang itu sudah dicoba maka penyembuhan bagi Beng An
sudah dilakukan tapi satu demi satu pula tak ada yang cocok. Ratusan bahkan ribuan orang sudah
memberikan darahnya dan Siang Le diam-diam khawatir. Sudah ribuan tetes darah memasuki mulut anak
laki-laki itu dan pemuda ini cemas. Siang Le mengeluarkan keringat dingin karena ia khawatir akan adanya
sesuatu, komplikasi dari demikian banyaknya darah yang berbeda-beda. Dan ketika tiga hari kemudian
ribuan orang sudah menjadi donor, Beng An tetap juga tak bergerak maka sang ibu berteriak dan menjadi
histeris.
"Keparat, anakku akan mati. Tidak, tidak.... ia tak boleh mati!" dan mengguguk serta menubruk
puteranya nyonya ini lalu mengguncang-guncang Beng An dan memanggil-manggil nama anak laki-lakinya
itu. Orang-orang sudah mundur dan mereka banyak yang gelisah di rumah. Kim-kongcu tak juga berhasil
mereka sadarkan. Dan ketika nyonya itu mengguguk dan memanggil-manggil puteranya, Beng An
diguncang-guncang maka tiba-tiba Pendekar Rambut Emas berkelebat dan menyambar atau mencengkeram
pundak isterinya ini.
"Niocu, sadarlah. Anak kita tak mungkin mati!"304 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tidak, tidak. Detak jantungnya telah berhenti, suamiku. Lihat anakku tak bergerak-gerak. Ia mau
meninggalkan kita!"
"Dari kemarin detak jantungnya memang tak berdenyut lagi, tapi Beng An masih hidup. Ia mengalami
mati semu. Jangan berteriak-teriak dan membuat gaduh begini!"
Namun Swat Lian meronta dan menjerit-jerit. Nyonya ini tak mau melepaskan anaknya dan justeru
kata-kata suaminya itu membuatnya marah. Sudah berkali-kali ia dibujuk namun berkali-kali itu pula
anaknya tetap begitu. Maka ketika sang suami terkejut karena Swat Lian meronta dan menjerit panjang,
Beng An yang diletakkan di pembaringan tiba-tiba disambar mendadak nyonya ini meloncat dan.... terbang
membawa puteranya yang dingin dan kaku itu, Beng An yang sudah seperti mayat.
"Aku akan mencari Poan-kwi. Aku akan menyuruh kakek itu menyembuhkan puteraku atau aku akan
mengadu jiwa dengannya!"
"Niocu...!" Pendekar Rambut Emas terkejut, sang isteri sudah terbang dan keluar dari lembah. Dan
ketika isterinya meluncur dan cepat sekali sudah meninggalkan tempat mereka, Kim-mou-eng terkejut dan
tentu saja berkelebat mengejar maka Thai Liong dan Shintala tiba-tiba juga bergerak dan melesat mengejar
nyonya itu, Thai Liong bahkan sudah melewati ayahnya dan tahu-tahu bayangan merah menyambar di
depan.
"Ibu, jangan bawa Beng An. Kita cari saja Sian-su!"
"Benar, kita cari saja Sian-su, locianpwe. Jangan anak itu dibawa ke mana-mana!" Shintala juga
berseru, kaget dan kagum oleh gerakan Thai Liong yang luar biasa karena tahu-tahu pemuda itu sudah
meluncur di depan, tepat menghadang di depan ibunya itu. Tapi ketika ibunya membentak dan mengayun
lengannya, Thai Liong malah diserang maka pemuda itu terhuyung ketika menangkis.
"Minggir kau, plak...!"
Thai Liong tertegun dan membelalakkan matanya. Sang ibu sudah meluncur lagi dan matanya yang
tajam tiba-tiba melihat gerakan di pelupuk mata adiknya itu. Sang ibu tak tahu dan sudah memaki-maki lagi
si kakek iblis Poan-kwi, terbang dan menangis dengan air mata bercucuran. Dan ketika pemuda itu tertegun
karena Beng An rupanya mulai sadar, ayahnya berkelebat dan lewat di sampingnya maka ayahnya itu
membentak dan menyuruh ibunya berhenti.
"Niocu, jangan bawa-bawa anak kita. Betul kata Thai Liong, kita cari Sian-su. Berhenti dan jangan
pergi!"
Namun Swat Lian sudah tidak menggubris. Ia juga sudah terlalu sering dihibur akan datangnya Siansu. Suaminya sudah mengerahkan getaran batin namun kakek dewa yang dihubungi itu tak datang juga. Dan
ketika suaminya berkelebat dan mampu menyusulnya pula, nyonya ini membalik dan marah tiba-tiba ia
menghantam dan melepas pukulan menyerang suaminya itu.
"Minggir, atau kau mampus pula.... plak!" Kim-mou-eng tersentak dan kaget menangkis isterinya. Ia
melihat isterinya kalap dan Swat Lian benar-benar seperti orang kesetanan, tak perduli kepada anak atau
suami lagi dan wanita itu melepas Khi-bal-sin-kang. Tapi karena Pendekar Rambut Emas menangkis dan
mengerahkan ilmunya pula, tidak seperti Thai Liong yang ragu menghadapi ibunya ini maka begitu ditangkis
tiba-tiba wanita inilah yang terbanting, bukan Pendekar Rambut Emas!
"Aduh, keparat!" Swat Lian melempar tubuh bergulingan. Nyonya ini marah dan gusar bukan main
karena dihalang-halangi. Tadi Thai Liong dan sekarang suaminya! Tapi ketika ia meloncat bangun dan
menerjang lagi, suaminya berkelebat dan menghadangnya di depan tiba-tiba nyonya ini mendengar keluhan
anaknya dan Beng kn sadar. Swat Lian tertegun dan tentu saja menghentikan amukannya. Wajah yang merah
membara itu tiba-tiba berseri, lenyap seluruh kemarahan. Dan ketika Pendekar Rambut Emas juga tertegun
dan siap menandingi isterinya, yang tentu mengamuk dan harus ditundukkan maka berturut-turut bayangan
Siang Le dan Soat Eng serta Shintala sudah tiba di situ, karena merekapun mengejar dan memburu wanita
ini.305 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Anakku sadar! Ooh, anakku masih hidup...!"
Siang Le dan lain-lain terkejut. Mereka girang setelah tadi dibuat tegang oleh amukan Swat Lian
kepada suaminya maupun Thai Liong. Naga-naganya, wanita itu akan menyerang siapa saja yang berani
menghalanginya. Tapi begitu Beng An membuka mata dan benar saja anak itu sadar, setelah berhari-hari
pingsan maka Pendekar Rambut Emas maupun yang lain-lain girang dan melihat Swat Lian sudah menciumi
anaknya, bertubi-tubi.
"Ooh, jangan tinggalkan ibumu, Beng An. Jangan kau mati! Ayo... ayo bangun, nak. Kau rupanya
sembuh!"
Thai Liong dan lain-lain terharu. Beng An rupanya benar-benar sadar karena anak itu menggeliat dan
bangun. Swat
Lian melepaskannya dan anak itu bangkit duduk. Dan ketika matanya berputar-putar dan sang ibu tak
melihat adanya keganjilan aneh, mata yang bergerak-gerak dengan amat cepat maka Swat Lian sudah
memeluk dan kembali menciumi puteranya itu.
"Kau sudah sembuh, ah... kau rupanya benar-benar sudah sembuh!"
Namun tiba-tiba terdengar kekeh yang aneh. Beng An, yang dipeluk dan diciumi ibunya mendadak
menerkam dan menggigit leher ibunya ini. Dan ketika Swat Lian menjerit dan tentu saja mendorong
otomatis, hampir saja melepas tamparan maka anak itu sudah berdiri dan terhuyung memperlihatkan giginya
yang berdarah, darah dari kulit leher ibunya.
"Heh-heh, siapa kau. Dan siapa yang lain-lain ini!"
"Beng An..!" sang ibu terkejut, membentak kaget. "Kau tidak kenal ibumu sendiri? Kau menggigit dan
melukai leher ibumu?"
"Heh-heh, aku ingin minum. Aku haus, ah... siapa mau memberi minum karena tenggorokanku
kering!"
Pendekar Rambut Emas dan Thai Liong serta yang lain tertegun. Mereka mendengar suara yang aneh
dan Beng An mengecap-ngecapkan bibirnya, menjilat-jilat sedikit darah yang ada di mulutnya itu dan Siang
Le merasa seram karena adik iparnya ini seolah bukan seorang bocah lagi, melainkan iblis cilik yang haus
darah, bukan air minum! Dan ketika Swat Lian juga tertegun tapi mengambilkan air minum untuk puteranya,
karena Beng An katanya haus maka ibu yang tidak waspada setelah dilukai lehernya tadi memeluk dan
memberikan air minum puteranya, menganggap Beng An tadi mungkin dalam keadaan setengah mimpi.
"Kau terlalu, haus saja harus menggigit leher ibumu. Nih, minum dan puaskan hausmu!"
Beng An tertawa ganjil. Ia membelalakkan matanya bukan kepada air minum yang diberikan ibunya
melainkan kepada setitik darah di leher ibunya itu, luka yang tadi sudah diusap. Dan ketika sang ibu
mendekat dan memeluknya kembali, memeluk pundak maka anak ini tiba-tiba menerkam dan menggigit
leher ibunya itu lagi, seperti iblis haus darah!
"Heh-heh, aku ingin minum itu!"
Swat Lian terkejut. Ia berteriak dan tentu saja kaget bukan main karena puteranya ini tahu-tahu
melekat dan menggigit lehernya. Namun karena sinkang di tubuhnya bergerak otomatis dan kali ini nyonya
itu mendengar bentakan suaminya maka begitu digigit begitu pula gigi Beng An bertemu kulit leher ibunya
yang keras. Dan ketika anak itu terkejut karena leher itu tak dapat dilukai, Pendekar Rambut Emas
berkelebat dan menyambar puteranya maka anak itu sudah dilempar dan dibanting.
"Awas!"
Swat Lian pucat pasi. Nyonya ini tertegun karena bentakan dan sambaran suaminya itu
menyelamatkannya. Ia mampu menggerakkan sinkang dan Beng An terguling-guling di sana. Tapi ketika306 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
anak itu meloncat bangun dan tertawa aneh, bantingan atau sambaran ayahnya tadi memang tidak
melukainya maka anak ini berkelebat dan menyerang ibunya itu lagi, yang masih tertegun kaget.
"Ha-ha, aku ingin minum darah. Heh-heh, darahmu segar!"
Swat Lian membentak. Akhirnya dia menjadi marah dan ngeri melihat kelakuan puteranya itu. Beng
An seperti orang tidak waras dan tentu saja ia mengelak. Dan ketika terkaman luput sementara kakinya
bergerak memutar, Beng An menerima sebuah tendangan maka anak itu mencelat tapi melompat bangun
lagi, tak apa-apa.
"Gila, anak ini tidak waras. Ia tidak mengenal siapa aku!"
"Benar," Soat Eng juga berseru cemas "Beng An juga tak mengenal kita semua, ibu. Awas ia
membalik dan menerkam dirimu lagi!"
Beng An sudah tertawa-tawa dan menyerang atau menubruk ibunya lagi. Darah di leher ibunya itu
merangsang ia untuk menerkam dan incaran pandang mata ini sekarang membuat sang nyonya sadar, seram
tapi Soat Eng sudah membentak dan menyambar adiknya itu pula. Dan ketika Beng An diangkat dan
dilempar tinggi, Soat Eng juga marah dan geram kepada adiknya itu maka wanita ini membentak dan Beng
An dibanting, untuk kesekian kalinya lagi.
"Beng An, jangan kurang ajar. Sadar dan berhenti kau!" Namun Beng An bangkit lagi. Seperti tidak
merasa atau apa anak ini terkekeh-kekeh dan melompat bangun. Pandang matanya kini ditujukan kepada
Soat Eng, merah berputar-putar. Dan ketika anak itu melengking dan menyerang encinya, tangan diulur
maka Soat Eng menangkis dan wanita ini terkejut karena sebuah lengan dingin yang penuh hawa dingin
bertemu lengannya.
"Dukk!"
Soat Eng berteriak. Lengannya tiba-tiba menjadi kaku dingin dan putih seperti es, beku! Dan ketika ia
tak dapat menggerakkan tangannya itu karena kaget dan heran, tertegun, maka adiknya sudah menerkam dan
tahu-tahu melilit atau menerkam leher encinya itu, menggigit kulit leher.
"Awas!"
Kali ini Siang Le berkelebat dan menolong isterinya. Soat Eng kaget dan heran oleh tenaga dingin
yang dipunyai adiknya itu. Ia tak tahu akan Ping-im-kang dan tiba-tiba yang lainpun terkejut karena
lengannya sudah putih dan beku, persis seperti balok es yang melonjor kaku. Tapi begitu Siang Le bergerak
dan menyelamatkan isterinya, menghantam Beng An maka lilitan lepas dan Beng An roboh lagi terbanting.
"Dess!"
Soat Eng mengeluh dan terhuyung disambar sang suami. Ia kaget dan ngeri oleh ilmu aneh yang
dimiliki adiknya ini. Tadi ia menangkis tapi tiba-tiba beku oleh Ping-im-kang, wanita ini kaget. Dan ketika
Beng An berdiri lagi dan sudah meloncat bangun, tertawa-tawa maka anak itu marah dan menyerang Siang
Le. Ia tak mengenal siapa pun dan agaknya setiap orang dianggap musuh. Dan ketika Siang Le mengelak dan
menjadi marah maka pemuda itu sudah berkelebatan dan Beng An yang bak-bik-buk menerima pukulan
ternyata maju lagi dan seperti tidak merasakan semua pukulan-pukulan itu, seperti badak!
"Ia kuat sekali, dan tubuhnya amat dingin. Soat Eng dan Swat Lian mengangguk. Dua wanita inilah
yang sudah merasakan keadaan Beng An, yakni ketika Beng An menubruk dan menerkam ibunya sementara
Soat Eng yang sudah beku lengannya menangkis Ping-im-kang. Thai Liong berkelebat dan menolong adik
perempuannya itu, mengurut atau menyalurkan hawa hangat hingga lengan Soat Eng pulih kembali. Dan
ketika Beng An dihajar Siang Le namun anak laki-laki itu terhuyung dan tertawa-tawa saja, Siang Le
akhirnya berteriak karena tangannya yang tak kuat bertemu tubuh Beng An yang dingin maka pemuda itu
mundur-mundur dan mulai menjauh, ngeri!
"Aku tak dapat merobohkannya. Tubuh An- te seperti gunung es!"307 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Pendekar Rambut Emas dan Thai Liong sama-sama mengerutkan kening. Mereka sudah melihat itu
dan benar saja tangan Siang Le sudah menggigil kedinginan. Percikan-percikan es memuncrat dari tubuh
Beng An dan setiap dipukul tentu membuat Siang Le berteriak tertahan. Pemuda itu kedinginan! Dan ketika
Siang Le menjauhkan diri dan menjadi bingung, Beng An memiliki semacam kekuatan aneh yang amat
mujijat maka Beng An tiba-tiba menubruk dan ganti tertawa-tawa membalas lawannya.
"Ha-ha, kau akan kurobohkan. Kuhirup darahmu!"
Thai Liong berpandangan dengan ayahnya. Sang ibu sendiri sudah pucat dan ngeri melihat sepak
terjang puteranya itu. Beng An tak mempan dipukul. Dan ketika Siang Le terdesak dan sebentar kemudian
pemuda ini sudah menahan serangan-serangan Beng An, mengeluh dan semakin kedinginan maka Shintala
berkelebat bersamaan dengan Soat Eng.
"Biar Le-twako mundur, aku yang merobohkannya!"
"Benar, kau mundur saja, Le-ko. Beng An tidak beres dan aku akan coba penasaranku tadi!"
Beng An terkejut. Ia tiba-tiba sudah diserang dan dipukul Shintala, juga Soat Eng yang heran dan
kaget oleh kehebatan adiknya tadi. Dan ketika dua wanita itu bergerak-gerak dan berkelebatan mengelilingi
Beng An, anak ini dihujani pukulan dari segala penjuru maka aneh dan luar biasa tiba-tiba Beng An
menangkis dan bergerak-gerak pula menghalau semua serangan-serangan itu, sepasang lengannya tiba-tiba
mengeluarkan uap dingin yang membuat kedua lawannya berketrukan menggigil!
"Keparat, anak ini memiliki ilmu siluman. Beng An memiliki pukulan-pukulan Im-kang (Dingin)!"
"Benar, aku berketrukan bertemu sepasang lengannya, Eng-cici. Bukankah itu tak ada pada keluarga
kalian!"
"Kami tak mempunyai Im-kang. Beng An rupanya digembleng Poan-jin si kakek busuk, disesatkan!"
"Hm, kalian tangkap saja anak itu, totok semua jalan darahnya agar roboh!" sang ayah, Pendekar
Rambut Emas, berseru dari luar. Pendekar ini juga terkejut dan kaget bahwa puteranya tiba-tiba memiliki
Kilas Balik Merah Salju 5 Pengemis Binal 13 Dendam Ratu Air Hianat Empat Datuk 1

Cari Blog Ini