Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 2

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 2


Tapi ketika Liang-ciangkun menghardik dan melayani pemuda itu, mencabut goloknya maka golok yang
besar dan lebar sudah menyambar ke muka Buma.
"Crangg!"
Buma terpelanting. Ternyata tenaga Liang-ciangkun demikian dahsyat dan pemuda itu tergulingguling, cepat menggerakkan tombaknya ke kiri kanan ketika para pengawal atau pembantu Liang-ciangkun
itu coba menyerangnya. Dan ketika pemuda itu melompat bangun sementara ayahnya berteriak tertahan,
membentak si anak maka sang ayah sudah menahan tetapi justeru diserang Liang-ciangkun.
"Bret!"
Si kakek kalah sigap mengelak. Golok menyambar dan robeklah bajunya terkena babatan, untung
tidak melukai daging karena puteranya sudah menarik ayahnya itu. Dan ketika sang kakek menjadi marah
sementara lawan membentak-bentak maka Liang-ciangkun menerjang dan ingin menghajar ayah dan anak
itu. "Mundur.... mundur semua. Biarkan kalian menjaga agar dua ekor anjing ini tidak lolos dan lihat aku
akan membabat kepalanya!"
Golok sudah bergerak naik turun. Hulai kakek gagah itu apa boleh buat terpaksa menyambar
tombaknya, berseru agar Liang-ciangkun jangan mata gelap dan bicara baik-baik. Tapi ketika makian dan
bentakan menjawab seruan kakek itu dan Liang-ciangkun mengata-ngatai kakek ini dengan ucapan-ucapan
kotor maka Buma tak tahan dan membalas sambaran-sambaran golok lawan. Akibatnya mereka bertanding
tapi berkali-kali gempuran tenaga Liang-ciangkun membuat pemuda ini terhuyung. Si kakek mundur dan
sesekali menangkis serangan lawan kalau Liang-ciangkun menyerangnya, membalas dan membantu
puteranya kalau Buma terdesak. Tapi karena mereka memang bukan orang-orang persilatan dan komandan
Liang itu rupanya mahir bermain golok maka sebuah bacokan akhirnya melukai pundak Buma.
"Crat!"
Sang ayah tak tahan lagi. Komandan itu terbahak-bahak dan kakek ini maju menerjang, melihat
puteranya terdesak dan empat kali tombak di tangan puteranya itu terpental, tanda betapa puteranya kalah
kuat dan kakek ini harus mengakui bahwa bertarung secara sendiri-sendiri pihaknya kalah pandai, karena
Liang-ciangkun atau orang-orang Han memang terkenal dengan silatnya itu. Dan ketika kakek menusuk
namun golok menangkis maka kakek inipun terpental tapi ayah dan anak sudah maju lagi.
"Liang-ciangkun, kau sewenang-wenang. Kau tak berperikemanusiaan. Lihatlah, kami akan mati
secara gagah di sini tapi tunggu pembalasan bangsa Uighur yang tak akan mau sudah!"
"Ha-ha, kau akan kubunuh, dan suku bangsamu itu akan kubasmi. Jangan banyak cingcong, orang tua.
Kusuruh baik-baik menyerahkan seratus anak buahmu kau tak mau dan kini rupanya mau mengorbankan
diri!"29 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Sang kakek berkeringat. Meskipun gemuk pendek namun Liang-ciangkun rupanya perwira terlatih,
terbukti berkali-kali tombaknya itu terpental sementara tombak puteranya juga bernasib sama. Tapi ketika
mereka terdesak dan bahu kembali terbabat tiba-tiba Buma mencabut sumpit dan meniup lawannya itu.
"Srut!"
Sang komandan tak menyangka. Dua panah kecil menyambar dadanya dan menancap, membuat
komandan itu terhuyung dan berteriak kesakitan, pucat karena tiba-tiba seluruh tubuhnya panas dan kejangkejang. Dada seketika menjadi hitam dan kagetlah komandan itu karena itulah panah yang amat beracun
yang biasanya dipakai oleh bangsa-bangsa liar untuk merobohkan binatang buruan. Harimau bahkan gajah
sekalipun akan terguling oleh bisa atau racun yang amat ganas dari panah hitam itu, yang dilepas melalui
sumpit. Dan ketika benar saja Liang-ciangkun terhuyung dan roboh terduduk, gemetar, maka komandan itu
sudah terguling dan tewas dengan muka kehitaman!
"Terkutuk! Pemuda ini membunuh komandan Liang!"
Gegerlah orang-orang di situ. Hulai sang ayah, terkejut melihat puterannya menurunkan tangan keras.
Dia sendiri juga memiliki sumpit namun tak mau mempergunakannya. Maklum, kakek ini siap berkorban
asal urusan tak diperpanjang. Tapi begitu puteranya merobohkan Liang-ciangkun dan persoalan tak dapat
ditarik lagi maka kakek ini juga bergerak dan apa boleh buat menyumpit para pengawal ketika mereka
bergerak dan menyerang. Dan begitu pengawal roboh dan menjerit maka kakek ini cepat-cepat menyambar
puteranya untuk diajak kabur!
"Cepat, terlanjur basah. Kita lari...!"
Keadaan menjadi gaduh. Roboh dan tewasnya Liang-ciangkun menjadi berita menggegerkan dari
mulut ke mulut. Kakek dan puteranya itu segera diserang tapi panah-panah kecil menyembur berulang-ulang
dari mulut dua orang itu, merobohkan lawan dan tentu saja tak ada pengawal berani mendekat. Tapi ketika
kakek itu sudah mendekati kudanya dan lawan teringat panah tiba-tiba saja kakek itu dihujani panah yang
berhamburan dari segala penjuru.
Si kakek menggerakkan tombak dan anak-anak panah terpental, sekali dua memang berhasil tapi
akhirnya kakek itu menjerit ketika sebatang anak panah menancap di punggungnya. Kakek ini sedang
memutar kudanya dan siap mencongklang ketika tiba-tiba anak panah itu menancap. Dan ketika dia
mengaduh dan puteranya terkejut maka Buma yang siap mencengklak kudanya tiba-tiba menahan dan kaget
melihat keadaan ayahnya itu.
"Ayah...!"
Sang kakek menoleh. Hulai hampir tertelungkup tapi tiba-tiba memutar tombaknya lagi, menghalau
dan menepis hujan-hujan panah dan menyeringai memandang puteranya itu, tertawa dan menyuruh
puteranya lari dan berkata bahwa dia tak apa-apa, padahal panah jelas menancap dipunggung. Dan ketika
Buma tentu saja tak mau pergi dan mengeprak kudanya maka pemuda itu menyambar dan mencambuk
pantat kuda ayahnya.
"Tarr!"
Kuda meringkik keras. Sang kakek terlonjak tapi puteranya itu sudah menahan, menyuruh ayahnya
duduk kuat-kuat dan kaburlah kuda itu ditendang Buma. Dan ketika mereka menerjang dan sumpit ditiup
lagi maka pasukan Liang-ciangkun kaget karena pemuda dan ayahnya itu lolos.
"Kejar! Tangkap mereka! jangan biarkan lolos... !"
Pasukan menyambar kuda masing-masing. Buma dan ayahnya dikejar tapi tiba-tiba terdengar derap
dan sorak-sorai di depan. Karum, pembantu kakek gagah itu muncul, bersama seratus kawannya. Dan ketika
pasukan terkejut dan anak buah Liang-ciangkun itu tentu saja merandek, tertegun, maka lembing dan anakanak panah balas menyambar mereka.
"Buma, ke mari. Cepat! Kami melindungi dirimu!" Pemuda ini girang. Kiranya dia disusul dan tentu
saja mencambuk kudanya agar terbang mendekati. Lawan di belakang terhenyak kaget tapi tiba-tiba30 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
merekapun membentak dan mengejar lagi. Dan ketika seratus laki-laki Uighur itu berteriak dan menyambut
lawan maka di belakang terdengar derap-derap lain dan seribu lebih bangsa Uighur mendatangi dengan
cepat, siap menyerang dan mengadakan perang besar-besaran. Pasukan kerajaan terkejut dan tentu saja
mereka berhenti, otomatis menahan diri karena itu berarti menyabung nyawa. Mereka yang tadi siap
mengeroyok tiba-tiba berbalik akan dikeroyok. Betapapun bangsa Uighur adalah bangsa yang nekat dan
gagah, mereka itu pemberani tapi di saat seperti itu muncullah seekor kuda berbulu coklat yang
penunggangnya mengeluarkan teriakan mengguntur, menyuruh berhenti semua orang dan bangsa Uighur
terkejut karena itulah Hok-ciangkun yang menjadi panglima utama di situ, atasan sekaligus pucuk pimpinan
tertinggi bagi Liang-ciangkun dan anak buahnya. Dan ketika panglima itu berderap dan berhenti
mengibaskan bendera kuning, tanda untuk berbicara maka Buma yang juga terkejut melihat panglima itu
sudah cepat menyerahkan ayahnya yang terguling dari atas kuda.
"Buma, kau dan ayahmu melakukan pelanggaran berat. Hentikan orang-orangmu dan katakan apa
yang menjadi sebab semuanya ini!"
Buma, pemuda itu mengerutkan keningnya. Dia tergetar dan jerih menghadapi panglima ini. Hokciangkun adalah panglima yang jauh lebih hebat daripada Liang-ciangkun. Kepandaian panglima itu tinggi
dan konon katanya dia kebal. Maka ketika pemuda itu tertegun dan mau tak mau berdebar keras, bukan takut
melainkan waspada akan adanya bahaya yang besar tiba-tiba Karum dan seratus teman-temannya itu maju
mengeprak kuda, melindunginya.
"Buma, majulah bersama kami. Kalau Hok-ciangkun ingin membunuhmu biarlah kita semua mati
bersama!"
Buma bangkit semangatnya. Sernula dia ragu untuk menghadapi Hok-ciangkun itu sendirian,
maklumlah, dia tahu kepandaian si panglima padahal dengan Liang-ciangkun sendiri saja dia tak menang,
karena memang pemuda itu hanya memiliki kepandaian biasa saja berdasar keuletan dan perjuangan hidup
sehari-hari, seperti laki-laki lain di suku bangsanya. Maka begitu Karum mengajak berderap dan seratus
teman-temannya itu siap melindungi tiba-tiba keberanian pemuda ini bangkit dan dengan gagah dia
mendekati lawannya itu.
Hok-ciangkun bersinar-sinar. Dia terkejut ketika tiba-tiba mendengar kerusuhan itu, mendengar
bawahannya dibunuh dan Buma serta ayahnya bertengkar dengan Liang-ciangkun. Tapi karena dia tak
mendengar secara lengkap karena semua pasukannya tiba-tiba mengejar dan bertemu orang-orang Uighur
maka panglima itu bergerak dan kini ingin mendengar sendiri dari mulut Buma, sumber dari semua
keributan.
"Kau..." katanya. "Katakan apa yang menjadi sebab dari semuanya ini dan kenapa kau membunuh
Liang-ciangkun!"
"Hm, maaf," Buma nyaris tak kuat beradu pandang, kalah wibawa. ''Aku membunuh karena terpaksa,
tai-ciangkun (panglima besar). Liang-ciangkun menghina ayahku dan tak dapat diajak bicara baik-baik.
Aku... aku terpaksa membunuhnya karena ia hendak membunuhku!"
"Hm, katakan apa yang menjadi sebab. Aku tak bertanya yang lain-lain. Kau tentu tak suka
kulaporkan ke kota raja sebagai pemberontak!"
"Aku tak takut!" pemuda tiba-tiba berkata gagah. "Aku tak merasa bersalah, tai-ciangkun. Kami
berdua datang secara baik-baik untuk melaporkan sepak terjang anak buahmu ketika tiba-tiba Liangciangkun marah-marah dan menghina kami!"
"Hm, ceritakan itu!"
"Liang-ciangkun menghendaki empatpuluh wanita-wanita cantik untuk dijadikan pemuas berahinya.
Dia menghina kami dengan menginjak-injak harga diri kami!"
"Hm, itukah?" panglima ini tertawa mengejek. "Ingatlah ketika dulu suku bangsamu menginjak-injak
dan menghina kaum wanita kami, Buma. Ingatlah ketika dulu bangsa Uighur dan bangsa-bangsa lain
menyerang kota raja. Apakah yang mereka lakukan terhadap bangsa Han? Apakah yang mereka lakukan31 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
terhadap wanita dan anak-anak bangsa Han? Jauh lebih keji daripada yang dilakukan Liang-ciangkun! Aku
dapat mengerti perasaanmu, anak muda. Tapi semua itu belum sebanding dengan apa yang dulu pernah
diperbuat bangsa Uighur!"
"Ciangkun, kau tak layak bicara seperti ini. Itu sudah lewat! Yang melakukan itu juga sebagian besar
sudah terbunuh dan kami bukan mereka! Kenapa kau mengungkit-ungkit masalah ini padahal selama ini
kami tak melakukan seperti itu? Kau tak adil, Hok-ciangkun. Kau hanya membangkitkan semangat
kebencian dan permusuhan!"
"Hm, kau anak kecil bicara seperti orang dewasa. Ingatan itu masih menggores dalam di hati bangsa
Han, anak muda. Kenangan itu tak dapat dilupakan seumur hidup! Siapa bilang aku tak layak
mengemukakan ini? Liang-ciangkun melakukan itu karena sekedar ingin membalas kekejaman kalian dulu,
tapi sepak terjangnya masih dapat ditolerir. Dan kau orang-orang taklukan ini sekarang banyak tingkah! Hm,
kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Buma. Kau harus ikut aku ke kota raja!"
Buma tiba-tiba merah padam. "Hok-ciangkun, aku barangkali mau ke kota raja, tapi teman-temanku
ini entah bagaimana. Coba kau tanya dulu mereka itu apakah boleh!" pemuda ini jelas mengejek, tombak
bergetar di tangan dan Karum serta kawan-kawannya tiba-tiba berteriak bahwa pemuda itu tak boleh dibawa.
Mati hidup mereka harus tetap di situ, urusan tak perlu dibawa ke kota raja. Dan ketika mereka berteriakteriak bahwa perwira kerajaan menghina dan menginjak-injak harga diri mereka maka Buma tersenyum dan
memandang panglima itu, yang tertegun dan membesi mukanya.
"Nah, lihat," pemuda itu berkata. "Aku tak boleh jauh-jauh ke sana, Hok-ciangkun. Kawan-kawanku
tak menghendaki aku dibawa ke kota raja. Kalau kau ingin menyelesaikan masalah marilah kita selesaikan di
sini. Aku sudah memberi tahu semuanya dan sekarang tinggal keputusanmu bagaimana!"
Hok-ciangkun bergetar. Akhirnya muka panglima ini merah padam dan jelas kemarahan besar
terbayang di mukanya itu. Dia ingin menerkam tapi Buma dilindungi teman-temannya. Seratus orang
menggelilingi pemuda ini dan tak mungkin baginya melakukan itu. Tapi ketika dia menggeram dan berpikir
bagaimana caranya membekuk pemuda itu, tanpa membuat diri sendiri malu tiba-tiba seseorang bergerak
dan mendekati panglima ini, berbisik-bisik dan Hok-ciangkun tiba-tiba bersinar matanya, tersenyum dan
mengangguk dan akhirnya tertawa. Dan ketika Buma dan kawan-kawannya mengerutkan kening maka
panglima itu menghadapi kembali pemuda ini.
Jilid III
"BAIK!" panglima itu tiba-tiba berkata. "Kau benar, Buma. Dan agaknya peristiwa ini dapat menjadi
pelajaran berharga bagi kita semua. Hm, tak apalah. Aku tak akan membawa persoalan ini ke kota raja, tapi
kuminta diselesaikan secara gagah. Bagaimana kalau kita yang sama-sama menjadi pemimpin melakukan
tanding-banteng seperti kebiasaan di suku bangsamu dalam menyelesaikan persoalan secara laki-laki? Kita
tak usah membawa orang-orang kita, Buma, tapi kau dan aku saja. Kita melakukan tanding-banteng dan aku
siap melayanimu meskipun tak pernah berlatih!"
Buma terkejut. Hok-ciangkun tiba-tiba mengajak bertanding secara adu banteng, yakni saling tumbuk
kepala seperti kebiasaan laki-laki di bangsa Uighur untuk memutuskan benar salah, atau juga kalah menang
di mana biasanya yang kalah harus tidak banyak cakap lagi dan menarik semua persoalan. Hal ini
diselesaikan laki-laki suku bangsanya kalau mereka tak mendapatkan jalan keluar, bertanding secara ksatria
dan tentu saja ditonton banyak orang, sebagai saksi. Dan karena tanding-banteng adalah adu kekuatan yang
menarik dan biasanya pemuda-pemuda sudah melatih batok kepalanya untuk bersiap-siap menghadapi lawan
maka Buma juga sudah melakukan itu dan pemuda ini memiliki dahi atau batok kepala yang keras, seperti
terbukti ketika tadi kemplangan senjata-senjata lawan ada yang mental bertemu kepalanya. Tapi karena Hokciangkun adalah panglima yang berkepandaian tinggi dan panglima itu bukan orang sembarangan maka
pemuda ini menjadi ragu juga tapi kawan-kawannya segera bersorak.
"Betul, terima saja, Buma. Ajak Hok-ciangkun itu tanding-banteng!"32 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Dan kami akan puas melihat hasilnya. Kita dapat mencegah pertumpahan darah!"
Buma merah mukanya. Tiba-tiba dia ingat bahwa dengan melakukan tanding-banteng itu maka
pertumpahan darah memang dapat dihindari, dan diapun sebenarnya tak ingin mengorbankan jiwa temantemannya. Maka mengangguk dan menetapkan hati maka pemuda itu menyeruak teman-temannya untuk
menerima tantangan, apalagi dari orang yang tak pernah berlatih adu kepala seperti Hok-ciangkun itu.
"Baiklah," pemuda ini bersinar-sinar. "Aku menerima tantanganmu, tai-ciangkun. Tapi kali ini ada
syarat!"
"Syarat apa?"
"Kalau kau atau aku kalah maka yang lain tak boleh dibawa-bawa. Tegasnya, jangan membawa-bawa
pasukan untuk tunjuk atau turut perintah pada yang menang!"
"Ha-ha, kau penakut! Urusan ini sebenarnya menyangkut kita semua, Buma, bukan kau atau aku
seorang. Kenapa begitu? Kau melanggar kebiasaan, tak adil!"
"Hm, aku ingin menyelamatkan pasukanku, urusan ini anggap saja urusan pribadi. Kalau kau tak mau
terpaksa aku menolak. Kita selesaikan secara massal!"
Hok-ciangkun berkilat matanya. Tiba-tiba dia menjadi marah karena kata-kata itu mengajak perang
besar. Seribu orang di situ akan berhadapan dengan seribu lebih pasukan Uighur, itupun mungkin masih akan
bertambah lagi karena siapa tahu orang-orang Uighur yang lain bersembunyi di padang rumput. Tapi ketika
seseorang kembali berbisik dan berkata-kata di telinga panglima ini maka Hok-ciangkun mengangguk dan
menerima.
"Baiklah," panglima itu melayang turun dari atas kudanya. "Kuterima syaratmu, Buma. Dan mari kita
bertanding!"
Buma berseri mukanya. Diapun meloncat turun dan kawan-kawannya segera bergerak mengelilingi,
disusul oleh pasukan Hok-ciangkun yang juga siap mengelilingi dan melindungi sang pemimpin. Dua
pasukan yang semula mau berperang tiba-tiba saling beradu pandang, melotot. Tapi karena mereka samasama akan menonton dan Hok-ciangkun maupun Buma sudah mencegah mereka untuk tidak angkat senjata
maka dua musuh itupun hanya saling pandang saja dan beberapa geraman pendek dikeluarkan untuk
pelampias marah.
"Nah," panglima itu siap. "Aku di sini, Buma. Kau boleh memilih tempat dan katakan apakah siap
memulai!"
"Hm, akupun siap," pemuda itu melepas baju, mengencangkan ikat kepala. "Di sini atau di mana saja
sama, tai-ciangkun. Mari kita mulai tapi sebaiknya kau lepas topi kepalamu itu!"
"Benda ini tak akan mengganggu," Hok-ciangkun tertawa mengejek. "Bukankah kepala dan dahi kita
yang akan saling adu kekuatan? Kalau kau ingin punya boleh pakai topi perwiraku yang lain, Buma. Atau
kita mulai saja dan tak perlu banyak bicara!"
Buma melotot marah. Dia sebenarnya bukan takut tapi semata menjaga agar lawan tidak curang. Siapa
tahu topi besi itu banyak membantu kepala Hok-ciangkun dan dia kalah, bukan semata oleh kekuatan lawan
tapi oleh topi besi itu. Tapi karena lawan sudah mempersilahkan dia memakai topi yang sama kalau dia suka
maka pemuda ini menolak dan lebih baik tidak mengenakan sama sekali, tak tahu bahwa Hok-ciangkun
enggan melepas topi besinya itu karena botak!
"Siap?" panglima itu menantang. "Mari mulai, bocah. Dan lihat siapa yang menang!"
Buma menunduk. Hok-ciangkun sudah merenggangkan kaki dan berdiri setengah membungkuk,
kepala disorongkan ke depan dan inilah tanda bahwa lawan siap ditantang. Buma menyambut dan segera
menempelkan kepala di kepala panglima itu. Dan ketika kedua kaki menancap kokoh dan aba-aba mulai
tiba-tiba Buma membentak dan mendorong panglima itu, kepala dengan kepala!33 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Haiittt...!"
Lucu melihat itu. Dua kepala tiba-tiba berkeratak, Buma menghentak dan lalu menumbuk kepala Hokciangkun. Suaranya keras beradu. Tapi ketika Hok-ciangkun tertawa bertahan dan mengerahkan tenaganya
maka serangan anak muda itu tak mampu menggeser kedudukannya dan Buma membentak marah,
menumbuk dan mengadu kepalanya lagi tapi lawan ternyata tangguh. Hok-ciangkun mengerahkan
sinkangnya dan dengan sinkang inilah panglima itu bertahan. Buma menggeram dan menumbuk lagi,
berulang-ulang, kaget karena kepala lawan demikian keras dan kokoh, mungkin karena topi besinya itu! Dan
ketika Buma melotot dan lawan terbahak tiba-tiba tangan Hok-ciangkun nyelonong dan mencengkeram
pinggangnya. Lalu sekali panglima itu memuntir tiba-tiba Buma terpeleset dan roboh terbanting.
"Ha-ha!" panglima itu tertawa bergelak. "Kau kalah, Buma. Aku menang!"
"Tidak!" teriakan itu disusul bentakan dan seruan di sana-sini. "Kau curang mempergunakan tangan,
ciangkun. Tanding-banteng ini hanya mempergunakan kepala!"
"Ah, begitukah? Mari... mari mulai lagi. Aku tak takut!" dan sang panglima yang siap dan menunduk
lagi lalu merenggangkan kaki menantang lawan. Buma sudah meloncat bangun dan pemuda itu merah
padam. Tak dapat disangkal bahwa Buma mulai kecut, perasaannya was-was dan dia takut kalah. Kepala
panglima itu demikian keras dan tak tergoyahkan. Rasanya itu berkat topi yang dikenakan di atas kepalanya.
Maka membentak bahwa lawan curang, mempergunakan alat bantu tiba-tiba pemuda ini berseru agar
panglima itu melepas topinya.
"Aku tak mau bertanding kalau kau melindungi kepalamu dengan topi besi itu. Ini tidak jantan. Aku
minta kau melepasnya!"
"Hm, sudah kubilang agar kau mempergunakan pula topi besi seorang perwiraku. Kenapa cari alasan
kalau sudah kalah? Memakai atau tidak tetap saja kau tak dapat merobohkan aku, Buma. Pakailah topi
perwiraku dan tumbuk lagi!"
"Aku tak biasa mempergunakan topi. Lagi pula adat pertandingan ini adalah kepala tanpa dilindungi
apapun. Kau licik, Hok-ciangkun. Tak kusangka bahwa sebagai panglima tinggi kau pengecut dan tidak
berani bertanding secara ksatria!"
"Bedebah!" panglima itu membentak. "Siapa licik dan tidak berani memenuhi permintaanmu? Baik,
lihat topi ini kulepas, Buma. Dan awas kuhajar kau nanti sampai mampus!" sang panglima melepas topinya,


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melempar pada seorang pembantunya dan hampir semua orang tertawa ketika tiba-tiba melihat botak di atas
kepala panglima itu. Kiranya Hok-ciangkun gundul kelimis di tengah-tengah kepalanya, mengkilap dan licin
dan tentu saja itu membuat orang-orang geli. Sekarang tahulah mereka kenapa panglima itu enggan melepas
tutup kepalanya, kiranya karena botaknya itu. Tapi ketika si panglima menggeram dan melotot memandang
mereka, penuh kilatan marah tiba-tiba semuanya terdiam dan tak jadi tertawa, melihat panglima itu sudah
merenggangkan tangan dan membungkuk di depan Buma. Buma sendiri tertegun dan geli melihat botak yang
begitu mengkilap, sungguh kontras dengan sewaktu panglima itu memakai topinya, gagah dan garang tapi
tiba-tiba berobah lucu ketika sekarang tak menggunakan topinya lagi itu. Dan karena lawan sudah siap di
depan dengan muka merah, mata berapi siap mengancam maka Buma tak jadi tertawa dan bergerak
menyambut panglima itu, menempelkan kepalanya di atas kepala lawan yang botak dan licin.
"Mulailah, kau akan kubanting roboh!"
Seruan atau geraman ini tak terdengar oleh yang lain-lain. Panglima itu mendelik dan mengancam
dengan kata-kata mendesis, Buma mengerutkan kening karena panglima itu seperti ingin menelannya bulatbulat, tergetar hati pemuda ini. Tapi karena mereka sudah bersiap dan keduanya sudah saling tempel maka
Buma membentak dan mengulangi lagi serangannya tadi.
"Haiittt...!"
Pemuda itu mengerahkan segenap tenaga. Buma segera mengetahui bahwa lawan yang dihadapi
adalah adalah seorang tangguh, dia tak boleh ragu-ragu atau main-main lagi. Tapi ketika dia membentak dan
mendorong panglima itu tiba-tiba hawa panas keluar dari kepala panglima itu dan Buma kaget, berteriak tapi34 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
kepalanya lekat dan tak dapat ditarik lagi. Buma meronta namun lawan tertawa bergelak. Dan ketika pemuda
itu terkejut dan tak dapat menarik kepalanya lagi maka tiba-tiba saja lawan telah mempermainkannya dan
kepala Hok-ciangkun digerak-gerakkan sementara kepala lawannya ikut bergoyang ke sana ke mari
mengikuti gerakan kepala panglima itu, sementara hawa panas kian membakar di kepala Buma!
"Ha-ha!" semua orang terbelalak. "Lihat siapa yang kalah dan menang, Buma. Lihat meskipun aku tak
mempergunakan topi besiku tapi kau tak dapat mengalahkan aku, justeru akulah yang akan merobohkanmu!"
Bangsa Uighur terkesiap kaget. Mereka tak tahu apa yang terjadi kecuali teriakan atau jerit kesakitan
Buma. Jago mereka itu pucat hebat dan seluruh tubuh Buma berkeringat. Pemuda itu mandi peluh dan
kepalanya merah menyala. Mereka tak tahu bahwa Hok-ciangkun mempergunakan sinkangnya untuk
membakar pemuda ini, mengerahkan hawa panas dan Buma yang tak pandai silat dipermainkan sesuka hati,
karena pemuda itu hanya mengandalkan gwa-kang atau tenaga otot saja, tenaga kasar. Dan ketika pemuda itu
berteriak-teriak dan Buma tak sanggup menahan panas yang membakar tiba-tiba pemuda ini menggerakkan
tangannya menghantam pinggang lawan.
"Bukk!"
Bangsa Uighur terkejut. Jago mereka tiba-tiba bersikap curang karena itu adalah pelanggaran. Adu
kepala sudah menjadi adu gebuk karena Buma selanjutnya bak-bik-buk menghantami lawan. Pemuda ini
berteriak-teriak karena kepalanya ditempel Hok-ciangkun, bahkan "disedot" hingga Buma kesakitan.
Pemuda itu mata gelap. Tapi ketika Hok-ciangkun malah terbahak dan membiarkan saja pukulan-pukulan
pemuda itu, membuat tangan Buma bengkak-bengkak karena panglima itu melindungi dirinya dengan
sinkang akhirnya satu suara berkeratak disusul robohnya tubuh pemuda ini membuat pertandingan berakhir.
"Bluk!"
Buma tewas dengan kepala retak. Bangsa Uighur tiba-tiba geger karena Hok-ciangkun telah
membunuh jago mereka. Pertandingan selesai dan satu nyawa melayang. Dan ketika mereka terkejut dan
terbelalak marah, kaget karena panglima itu menewaskan lawannya maka Hok-ciangkun berseru mengguntur
agar mereka mundur.
"Aku telah mengalahkan lawanku, dan pertandingan berlaku secara jantan. Nah, siapa mau coba-coba
dan mencari permusuhan!"
Semua orang tertegun. Hok-ciangkun akhirnya berkata bahwa itulah yang terpaksa dilakukannya.
Buma telah melakukan kecurangan dengan memukul dirinya, padahal tadi dia memuntir dan membanting
roboh pemuda itu saja sudah diprotes. Dan ketika bangsa Uighur dapat menerima ini dan mereka menyesali
kematian Buma maka panglima itu berseru bahwa mereka harus tunduk kepada yang menang.
"Ini adalah adat kalian sendiri. Siapa melanggar berarti dia pengkhianat. Nah, kembalilah ke tempat
masing-masing dan mayat pemuda itu!"
"Tapi..." seseorang tiba-tiba melompat maju. "Apakah ini juga berarti berakhirnya penghinaan
terhadap wanita-wanita kami, ciangkun? Apakah pihakmu juga akan meminta wanita-wanita cantik lagi?"
"Hm, kau Karum?" Hok-ciangkun memandang bersinar-sinar. "Apa maksudmu dengan pertanyaan
ini?"
"Maaf," Karum, laki-laki itu, mengedikkan kepala tak takut memandang panglima ini. "Kalau
selesainya persoalan ini tak dibarengi dengan berhentinya permintaan perwira-perwiramu akan wanita cantik
maka percuma semuanya ini. Karena dari pihak kami pasti akan muncul Buma-Buma yang lain untuk
menghalang perbuatan tak terpuji itu. Rekan kami Buma telah tewas, kami tak akan menuntut balas. Tapi
kalau pihakmu masih juga mengganggu dan mempermainkan wanita-wanita kami kukira perlawanan itu
akan tetap ada karena tak mungkin bangsa Uighur dihina serendah itu!"
"Benar!" yang lain tiba-tiba berteriak. "Kami bangsa Uighur boleh dibunuh atau disakiti, Hokciangkun. Tapi jangan dihina atau direndahkan seperti itu. Kami pasti akan menuntut balas kalau wanitawanita kami dipermainkan!"35 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm!" Hok-ciangkun berkilat matanya. "Sebenarnya urusan itu adalah urusan pribadi anak-anak
buahku, Karum. Sebenarnya pembantu-pembantuku tak bermaksud mempermainkan wanita-wanita kalian
tetapi justeru sedang memilih yang cocok untuk diperisteri. Kenapa kalian menafsir yang bukan-bukan?
Kalau wanita-wanita kalian ada yang cocok di hati anak buahku tentu mereka akan dijadikan keluarga, bukan
seperti yang kalian sangka..."
"Bohong!" Karum berseru. "Kalau begitu maksud anak-anak buahmu maka tak mungkin seorang
wanita dijadikan permainan sepuluh sampai duapuluh orang pria, tai-ciangkun. Mereka tak akan mengawini
wanita-wanita suku bangsa kami karena suku bangsa kami dianggap suku bangsa liar. Kau tahu itu!"
"Hm, sudahlah," Hok-ciangkun merah mukanya. "Kalau kalian marah oleh itu maka kalian juga dapat
minta gantinya, Karum. Kami juga akan menyediakan wanita-wanita kami kalau kalian ingin!"
"Benarkah?"
"Tentu saja, aku menepati janjiku. Boleh kalian buktikan!" dan ketika terdengar bisik-bisik dan ribut
sejenak di pihak laki-laki Uighur itu lalu Hok-ciangkun minta agar mereka bubar. Urusan sudah selesai dan
bangsa Uighur secara jantan menerima kekalahan Buma. Mereka tak boleh sakit hati karena pertandingan
berjalan secara jujur. Hok-ciangkun telah menjanjikan mereka wanita-wanita bangsa Han kalau mereka mau,
hal yang agak mengherankan tapi tentu saja segera disambut kegembiraan dipendam. Mereka akan ganti
mempermainkan wanita-wanita Han itu. Mereka akan membalas hinaan kaum wanita mereka ketika dulu
dipermainkan para perwira Hok-ciangkun itu. Tapi ketika janji itu dibuktikan dan mereka mendapat pelacurpelacur rendahan, wanita-wanita pengemis yang "disulap" Hok-ciangkun ini untuk berdandan menor-menor
maka Karum dan beberapa tokoh Uighur gusar.
Hok-ciangkun mengirim limaratus wanita berparas boneka kepada mereka. Laki-laki Uighur mulamula menerima dengan riang dan suka cita. Kaum pemudanya sudah menubruk dan menyambar wanitawanita berdandan gemerlapan ini, tak perduli pupur yang terlampau tebal atau gincu yang nyaris berlepotan
di sekitar pipi, mempermainkan dan memperlakukan wanita-wanita itu sebagaimana dulu wanita-wanita
mereka dipermainkan atau dipermalukan para perwira Hok-ciangkun. Tapi ketika mereka menyadari bahwa
itu adalah pelacur-pelacur murahan, bahkan yang membawa penyakit di mana puluhan laki-laki bangsa
mereka kena penyakit kotor maka marahlah bangsa Uighur dan Hulai, kakek gagah yang dapat menerima
kematian anaknya dengan hati dingin tiba-tiba dibuat terbakar dan marah besar.
Kakek itu mendatangi panglima she Hok, memaki-maki dan melepaskan semua gusarnya. Puluhan
laki-laki yang kena penyakit kelamin dibawa, ditunjukkan tapi Hok-ciangkun malah tertawa bergelak, geli
dan terkekeh-kekeh melihat kemarahan kakek itu. Tapi ketika sepuluh pemuda menerkamnya dan mereka
itulah pemuda-pemuda yang kena penyakit kotor maka Hok-ciangkun mencak-mencak dan ganti marah
besar. Panglima ini mengibas dan sepuluh pemuda itu terlempar, empat di antaranya terbanting tewas, kepala
mereka pecah. Dan ketika keadaan menjadi ribut kembali dan bangsa Uighur naik darah maka sumpit dan
tombak atau lembing berhamburan ke arah panglima itu dan anak buahnya.
Bangsa Uighur menyerang besar-besaran, Tiga ribu orang yang berdiri di belakang kakek Hulai
menerjang, masing-masing berteriak dan terkejutlah panglima she Hok oleh keberanian mereka. Dan ketika
seribu pasukannya diserbu dan terpak sa angkat senjata, melawan dan menandingi orang-orang Uighur ini
maka Hok-ciangkun dikeroyok dan diserbu oleh seratus lebih orang-orang Uighur yang tidak
menghormatinya lagi sebagai wakil kaisar yang ditaruh di perbatasan. Perang dahsyat terjadi di sini, perajurit
lawan perajurit dan Hok-ciangkun yang berkepandaian tinggi itu terdesak, mula-mula dapat merobohkan
puluhan lawannya namun lawan-lawan baru yang ada di belakang terus maju mendesak. Hok-ciangkun
mandi keringat dan di situlah panglima ini menyadari kekuatan sendiri. Juga sadar bahwa dia terlampau
menindas lawan. Dan ketika ratusan anak buahnya luka-luka dan ratusan lagi lainnya tewas maka Hokciangkun terpaksa menarik mundur pasukannya dan menutup pintu gerbang. Peperangan hari itu terjadi
dengan cara yang brutal. Laki-laki Uighur yang dapat merobohkan lawannya lalu langsung memenggal atau
memotong-motong tubuh perajurit panglima she Hok itu, bahkan mereka tak segan-segan menghirup darah
lawan seperti orang mereguk arak lezat. Sungguh mengerikan. Dan ketika hari itu Hok-ciangkun mundur
menutup pintu gerbang sementara lawan berteiak-teriak di luar maka Hok-ciangkun pucat mukanya dan
merasa bahwa dia telah melanggar sebuah larangan kaisar.36 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Kaisar telah memesan padanya agar sungguh-sungguh menjaga keamanan tapal batas. Kaisar telah
memerintahkan panglima ini agar tidak memulai dulu membuat keributan. Tapi begitu bangsa Uighur
menyerang dan semua itu karena ulahnya yang terlalu menghina lawan maka Hok-ciangkun gelisah dan
pucat mukanya. Tapi seseorang lagi-lagi mendekatinya. Orang itu berbisik-bisik di telinganya agar peristiwa
itu dapat diputar balik. Hok-ciangkun diminta mengarang cerita bahwa orang-orang Uighur itulah yang
mula-mula membuat keributan, bukan pihaknya. Dan ketika panglima ini mengirim orangnva ke kota raja
untuk memberi laporan maka di saat itulah Ituchi dan Mei Hoa datang, persoalan yang bakal melibatkan dua
muda-mudi ini pada kejadian-kejadian tidak enak yang membuat mereka tertunda lagi perjalanannya!
-0- Siang itu, setelah tiga hari meninggalkan dusun He pemuda ini mendekati tembok perbatasan. Ituchi
berkuda dengan isterinya ketika tiba-tiba Mei Hoa berhenti dan melirik ke kiri, disusul oleh suaminya yang
juga melihat gerakan mencurigakan di sebelah kiri. Dan ketika dua muda-mudi itu menoleh dan
menghentikan kudanya maka belasan perajurit tiba-tiba muncul dari semak-semak belukar membentak
mereka.
"Berhenti, mau ke mana!"
Ituchi mengerutkan kening. Empatbelas orang bersenjata tiba-tiba mengepungnya dengan sikap tidak
bersahabat. Mereka memandangnya penuh kebencian, juga heran karena Ituchi tak tahu bahwa dia disangka
pemuda bangsa Uighur. Pemuda ini memang berkulit hitam dan persamaan kulitnya dengan suku-suku
bangsa liar di luar perbatasan mudah membangkitkan kecurigaan bahwa dia adalah orang Uighur, karena
belasan perajurit itu bukan lain adalah bawahan-bawahan Hok-ciangkun yang semalam dilabrak bangsa
Uighur habis-habisan. Mereka curiga dan kaget serta tercengang bahwa tiba-tiba saja seorang pemuda kulit
hitam muncul di situ, bersama seorang wanita cantik yang jelas bangsa Han, bangsa mereka sendiri. Maka
ketika mereka membentak dan dua muda-mudi itu berhenti tiba-tiba mereka sudah mengepung dan Ituchi
disuruh turun.
"Kalian akan kami periksa, terutama kau! Turunlah dan sebutkan siapa dirimu!"
Ituchi mengerutkan kening. Sebenarnya dia tak senang dengan sikap perajurit-perajurit ini. Dia amat
dihormati di istana dan kaisar sendiri tak pernah kasar kepadanya. Tapi ketika dia mau turun dan mengalah,
maklum bahwa perajurit-perajurit itu tak mengenalnya mendadak Mei Hoa melengking gusar dan menahan
dirinya.
"Jangan turun, biarkan aku menghadapi mereka!" dan menggerakkan kudanya mendekati perajurit di
depan tiba-tiba Mei Hoa bertanya, "Siapa namamu hingga tak tahu hormat kepada kami. Apakah kalian anak
buah Hok-ciangkun!"
Perajurit itu terkejut. Mei Hoa tiba-tiba bersikap galak dan mengenal Hok-ciangkun, agaknya bukan
gadis sembarangan dan tentu saja perajurit itu terkesiap. Dia adalah pimpinan di situ dan gertakan atau
wibawa gadis ini membuat ciut nyalinya. Tapi teringat bahwa orang-orang biasa juga dapat berlagak seperti
itu dan menakut-nakuti, hal yang kadang dialami laki-laki ini tiba-tiba laki-laki itu mundur dan menurunkan
tombaknya, merobah sikap namun tetap sombong dan angker.
"Aku adalah benar anak buah Hok-ciangkun. Siapakah nona dan teman nona ini? Panglima kami
memang dikenal banyak orang, tak usah menyebut-nyebut namanya kalau nona orang biasa!"
"Hm, perajurit tengik! Pernahkah kalian mendengar nama Ituchi dan Mei Hoa? Pernahkah kalian
mendengar kabar bahwa kaisar telah menikahkan dua orang itu di istana? Inilah kami, Mei Hoa dan Ituchi.
Panggil Hok-ciangkun kalau ingin bukti!"
Belasan perajurit itu tiba-tiba pucat. Mereka tentu saja mendengar nama-nama yang disebutkan ini,
bahkan Ituchi! Ah, siapa tidak tahu putera Raja Hu itu? Siapa tidak tahu atau dengar namanya? Maka begitu
Mei Hoa membentak dan menyebut-nyebut dua nama ini mendadak laki-laki itu pucat dan gemetar, menatap
sejenak tapi tiba-tiba sudah menjatuhkan diri berlutut. Tahu dan sadarlah dia sekarang bahwa inilah orangorang yang disebutkan itu. Inilah suami isteri muda yang dengan gagah telah membela dan bertanding untuk37 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
istana. Dan karena Mei Hoa telah menggertak nyalinya dan pimpinan perajurit itu tentu saja gentar dan pucat
maka tombak segera dilemparkan dan laki-laki itu bersama belasan temannya sudah menggigil menjatuhkan
diri berlutut, kalah wibawa!
"Ah, maaf.... ampun, siocia (nona). Kami.... kami tidak tahu!"
"Hm, aku adalah isteri Hu-ongya (pangeran Hu). Ituchi adalah suamiku. Aku bukan siocia lagi!"
"Ma.... maaf. Kami.... kami lupa, siauw-hujin (nyonya muda). Kami keliru. Maaf, marilah kami antar
ke tempat Hok-ciangkun dan kebetulan ji-wi (anda berdua) ke sini!" pimpinan perajurit itu tak dapat
menyembunyikan gugupnya, cepat-cepat memerintahkan temannya untuk mengiring dan membawa Mei Hoa
tapi wanita atau nyonya muda itu menarik tali kekang kudanya, membuat sang kuda meringkik dan laki-laki
itu terkejut kenapa dia bilang kebetulan, hal yang membuat nyonya muda ini curiga dan mengerutkan
keningnya. Dan ketika laki-laki itu tertegun dan Ituchi tersenyum di sana, geli melihat tingkah isterinya maka
pimpinan perajurit itu berkata bahwa Hok-ciangkun baru saja mendapat kesulitan besar.
"Kami diserang bangsa Uighur. Mereka memberontak dan membunuh Liang-ciangkun!"
"Apa?" Mei Hoa terkejut. "Bangsa Uighur? Menyerang dan memberontak?"
"Benar, bukan hanya memberontak, hujin, melainkan juga hendak membunuh kami semua dan Hokciangkun. Mereka tiba-tiba seperti setan-setan haus darah dan meluruk seperti orang-orang gila!"
"Hm, apa yang terjadi?" Mei Hoa tertegun. "Dan kenapa mereka menyerang!"
"Kami... kami tidak tahu. Sebaiknya kalian bertemu Hok-ciangkun dan bertanya sendiri!"
Mei Hoa mengangguk. Akhirnya dia bertemu pandang dengan suaminya dan Ituchi yang tadi
tersenyum-senyum mendadak mengerutkan alisnya. Alis tebal pemuda itu terangkat naik dan Ituchi terkejut.
Memang pemuda ini tak dapat menyembunyikan kagetnya lagi ketika tiba-tiba mendengar kabar itu,
serangan atau pemberontakan bangsa Uighur, padahal mereka baru saja diampuni dan dibebaskan kaisar.
Tapi ketika dia menganggap bahwa bertemu Hok-ciangkun adalah cara terbaik maka dia setuju dengan
pendapat isterinya untuk berjumpa dengan panglima itu.
"Baiklah, kita ke sana. Bukankah sekalian bertemu juga tak salah? Kita hendak keluar tembok
perbatasan, Hoa-moi. Bertemu dengan Hok-ciangkun pun tak apa."
Belasan perajurit itu bergerak. Mereka akhirnya mengantar dua muda-mudi ini tapi di tengah jalan
belasan orang itu berbisik-bisik. Sang komandan diberi tahu apakah benar dua muda-mudi ini adalah Ituchi
dan Mei Hoa. Jangan-jangan mereka itu mengaku-aku dan Hok-ciangkun bisa marah besar kalau sang
komandan salah membawa orang. Dan ketika komandannya tertegun dan merasa benar maka dia balas
berbisik bagaimana selanjutnya.
"Kita mendengar kabar bahwa orang-orang muda yang disebutkan itu adalah orang-orang lihai,
terutama putera Raja Hu itu. Dan kita sama sekali belum mencoba dua orang ini. Masa Gu-twako kalah
gertak? Perempuan itu tampaknya galak, twako. Tapi siapa tahu hanya di luar saja untuk menutupi
kelemahannya. Kau sembrono dengan membawa mereka ini tanpa mengetahui kepandaiannya!"
"Hm, jadi apakah harus diserang? Bagaimana kalau kita dihajar?"
"Lebih baik begitu daripada dipecat Hok-ciangkun, twako. Bayangkan kalau mereka ini orang-orang
Uighur yang diselundupkan!"
"Ah, tak mungkin begitu. Mereka datang dari pedalaman!"
"Baiklah, tapi siapa tahu mereka ini adalah simpatisan-simpatisan Uighur? Pemuda itu jelas bukan
orang Han, twako. Dan mereka juga hanya berdua. Siapa tahu mereka ini adalah musuh-musuh tersembunyi
yang mencelakakan kita di depan Hok-ciangkun. Lebih baik dicoba dulu dan kalau mereka bohong maka
yang wanita itu dapat kita kerjai!"38 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm-hm...!" bisik-bisik itu berhenti. "Bolehlah, kawan-kawan. Tapi tak enak rasanya bagiku untuk
tiba-tiba menyerang. Sebaiknya beberapa di antara kalian membokong si pemuda dan aku di depan pura-pura
tak tahu. Kalau pemuda itu mampus biarlah kita hadapi yang wanita ini dan selanjutnya tak usah dibawa
menghadap tai-ciangkun!"
Semua mengangguk. Belasan orang itu tiba-tiba saling memberi isyarat dan yang tadi lurus ke depan
mendadak berbelok ke kiri. Di sana ada hutan dan sang komandan, laki-laki berkumis tipis itu melangkah ke
depan. Mereka tadi mengiring di belakang dan komandan ini menuding ke kiri bahwa ke situlah mereka
berjalan, tak diketahui Mei Hoa bahwa isyarat itu sudah merupakan aba-aba bagi yang lain untuk menyerang
Ituchi. Karena begitu telunjuk itu menuding tiba-tiba empat batang tombak menyambar Ituchi!
"Wut-wutt!"
Ituchi seolah tak tahu. Empat tombak itu menyambar cepat namun ketika ujungnya sudah mendekati
punggung mendadak Ituchi menggerakkan lengan ke belakang. Gerakan pemuda itu seperti orang
melemaskan punggung atau mengulet, yakni gerakan untuk membuat tulang-tulang berkeratak. Tapi persis
lengan pemuda itu bergerak ke belakang tiba-tiba bersamaan dengan itu juga angin yang kuat balik
menyambar tombak yang seketika terpukul dan patah-patah, menghajar empat orang pelempar yang tiba-tiba
menjerit.
"Aduh...!"
Perjalanan seketika terhenti. Gu-twako menoleh dan pimpinan perajurit itu terkejut melihat anak
buahnya roboh terjengkang. Di pundak mereka menancap patahan tombak yang cukup dalam, tentu saja
membuat empat perajuritnya itu kesakitan. Dan ketika yang lain tersentak dan kaget serta terbelalak maka
Ituchi tersenyum menegur komandan pengawal itu.
"Maaf, barangkali ini cukup untuk kalian. Siapa masih ragu tentu saja boleh maju dan kita mainmain."
"Keparat!" laki-laki itu tiba-tiba marah, merasa mendapat kesempatan. "Kalau kau bukan musuh
tentunya tak perlu melukai anak-anak buahku, orang muda. Sekarang aku jadi ragu bahwa kau adalah
pemuda seperti yang dikatakan sebagai putera Raja Hu itu!" dan membentak serta memberi aba-aba anak
buahnya untuk menyerang tiba-tiba pimpinan perajurit itu menusuk dan tombaknya bergerak menyambar,
langsung ke ulu hati Ituchi tapi Mei Hoa yang ada di samping mendadak berteriak gusar. Nyonya muda ini
sebenarnya sudah mendengar semua bisik-ibisik di belakang dan hanya karena Ituchi menahannya sajalah
maka dia tidak mengumpat perajurit-perajurit itu. Kini mereka main bokong dan serangan curang yang
dipentalkan balik oleh Ituchi tentu saja tak membuat nyonya ini bersabar lebih lama, berseru dan menangkis
tombak yang ditusukkan pimpinan itu. Dan ketika tombak patah namun Mei Hoa tak berhenti sampai di situ
karena nyonya muda ini sudah meloncat turun dan berkelebatan mengeliling perajurit-perajurit itu maka
belasan orang ini roboh hanya dalam waktu sekejap saja.
"Plak-plak-plak!"
Semua orang berteriak pucat. Mereka tak tahu apa yang terjadi namun tiba-ti-ba mereka sudah roboh
malang-melintang. Gerakan si nyonya yang cepat luar biasa bak burung srikatan tiba-tiba saja membuat
kepala mereka pening, tak tahu adanya tamparan atau pukulan di mana mereka tak dapat menangkis lagi.
Jangankan menangkis, mengelak saja juga tak bisa. Maka begitu mereka tumpang tindih dan Mei Hoa sudah
berdiri tegak tak bergerak-gerak lagi, berdiri di tengah-tengah mereka maka wanita atau nyonya muda itu


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghardik, bengis.
"Nah, siapa mau coba-coba menghina, kami berdua. Siapa yang mau minta kubunuh dan tak kapok
mendapat hajaran ini!"
"Am.... ampun!" si pimpinan tiba-tiba merintih. "Kami.... kami tahu kesalahan kami, siauw-hujin.
Sekarang kami yakin bahwa kau adalah isteri Hu-ongya yang tulen. Kami mengaku salah...!"
"Hm, dan siapa yang mau mengerjai aku? Siapa yang coba-coba ingin kurang ajar seperti kata-kata
kalian tadi?"39 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Sang pimpinan pucat. Mei Hoa akhirnya berkata bahwa bisik-bisik mereka tadi didengar, bahwa
wanita itu tahu kasak-kusuk mereka ini yang ingin mengerjai dirinya kalau Ituchi roboh, kata-kata yang
membuat sang pimpinan gemetar dan yang lain tentu saja pucat pasi. Mereka sekarang menyadari bahwa
nyonya muda ini kiranya telah mendengar percakapan mereka, betapa tajam telinganya! Dan ketika semua
menggigil namun Ituchi mengebutkan lengan dari atas kudanya maka pemuda itu minta agar isterinya tidak
marah-marah lagi.
"Mereka ini memang orang-orang rendahan. Biasa bagi tikus-tikus seperti ini untuk bersikap sombong
kalau menghadapi yang lemah. Sudahlah, jangan dilayani lagi, Hoa-moi. Kita pergi menghadap Hokciangkun saja dan laporkan kekurangajaran anak buahnya ini!"
Mei Hoa mendengus. Dia menggaplok semua orang dengan satu tamparan miring di mana masingmasing tiba-tiba menjerit dan roboh terpelanting. Pipi mereka bengap dan Mei Hoa sudah meloncat di atas
punggung kudanya. Dan ketika wanita itu membentak dan menendang perut kudanya maka Mei Hoa sudah
mendahului suaminya untuk keluar hutan, jalan yang lurus tadi. Sang pimpinan terbelalak gentar namun tak
berani berbuat apa-apa lagi. Ituchi telah menunjukkan kepandaiannya dan sang isteri yang galak pun juga
menghajar mereka. Maka ketika dua orang itu membalik dan melarikan kudanya maka belasan orang ini
tertatih berdiri dan satu per satu memandang pucat teman-temannya, tak berani bercuit atau bersombong
sementara Mei Hoa dan Ituchi sudah memasuki jalan yang lurus tadi. Dan ketika dua muda-mudi itu
mengeprak kudanya dan berlari kencang akhirnya markas Hok-ciangkun ditemukan.
Memang mula-mula Ituchi maupun Mei Hoa harus bertemu dulu dengan pengawal-pengawal
panglima she Hok itu. Dua kali mereka dihentikan namun kegalakan dan sikap ketus Mei Hoa membuat
perajurit-perajurit itu mundur. Mereka mula-mula berseri-seri memandang wanita cantik ini, mata mereka
lahap memandang dan hadirnya Mei Hoa seolah ikan segar yang demikian gemuk. Tapi ketika mereka diberi
tahu bahwa itu adalah Mei Hoa dan suaminya, Ituchi atau yang juga dikenal sebagai Hu-ongya maka para
perajurit menyibak dan mempertemukan dua orang itu dengan Hok-ciangkun, yang masih tampak letih dan
kuyu. Maklumlah, panglima ini habis tenaganya dikeroyok ratusan orang, meskipun dia berkepandaian tinggi
dan mampu membunuh puluhan lawannya yang rata-rata tak berkepandaian silat. Dan begitu Mei Hoa
bertemu panglima ini maka Hok-ciangkun tentu saja mengenal tapi datang-datang Mei Hoa langsung
menyemprot panglima itu akan anak-anak buahnya yang kurang ajar.
"Maaf, apa... apa katamu, Mei Hoa? Anak-anak buahku kurang ajar? Kurang ajar bagaimana? Apa
yang mereka lakukan?
"Mereka itu tak tahu malu, paman. Aku diganggunya karena dikiranya aku wanita murahan. Melihat
gelagatnya barangkali anak-anak buahmu itu sudah biasa mengganggu wanita!"
"Ah, ha-ha...!" panglima she Hok tertawa bergelak. "Kiranya itu, Mei Hoa. Kiranya masalah kecil ini.
Ah, bukankah kau sebagai puteri seorang panglima tentu tahu bahwa perajurit-perajurit yang di perbatasan
begini selalu haus dan akan menggoda wanita yang lewat? Mereka sudah lama tak bertemu anak isteri
mereka, Mei Hoa. Kau tentu tahu itu. Sudahlah, aku akan menegur mereka dan kenapa kau tiba-tiba datang
begini. Dan bersama suamimu! Eh, bukankah ini adalah Hu-ongya putera mendiang Raja Hu itu? Bukankah
kalian sudah dinikahkan di kota raja oleh sri baginda? Huwaduh, maaf. Dulu aku tak sempat menghadiri
pernikahan kalian, Mei Hoa. Aku ditugaskan di sini. Ah, mari duduk dan ceritakan bagaimana tiba-tiba
kalian menjengukku!"
Mei Hoa uring-uringan. Hok-ciangkun adalah teman ayahnya dan dulu sebelum ayahnya tiada mereka
berdua adalah sahabat. Itulah sebabnya dia memanggil paman karena Hok-ciangkun ini dan mendiang
ayahnya dulu akrab. Tapi ketika tuan rumah mempersilahkan duduk dan kemarahannya tadi tak ditanggapi,
hal yang sebenarnya membuat Mei Hoa agak jengkel maka adalah Ituchi yang diam-diam mengerutkan
kening melihat panglima she Hok itu jelalatan memandang isterinya!
Ituchi merasa tak enak. Sebagai sesama lelaki tentu saja pemuda itu dapat merasakan sinar mata aneh
dari panglima she Hok itu. Dia merasa tuan rumah agak berlebihan menyambut isterinya sementara dia
hanya dinomorduakan. Mei Hoa tak menyadari ini namun Ituchi dapat merasa. Maka ketika tuan rumah
nyuruh duduk dan beberapa pengawal hilir-mudik diperintah panglima itu untuk mengambil ini-itu, hidangan
atau minuman penyegar tiba-tiba Ituchi berbisik agar isterinya waspada.40 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ada sesuatu yang tidak beres pada mata panglima itu. Benarkah dia sahabat mendiang ayahmu yang
tergolong baik-baik, Hoa-moi? Atau kau keliru menilai orang?"
"Maksudmu?" Mei Hoa tertegun. "Apa yang kau lihat?"
"Ah, aku hanya merasa sesuatu yang tidak sehat pada pandang mata panglima ini. Dia terlalu, hm...
terlalu jelalatan memandangmu!"
Mei Hoa tiba-tiba semburat. "Jelalatan?"
"Sst, sudahlah. Dia datang ke sini dan nanti kita, bicara lagi!" Ituchi menyenggol kaki isterinya,
melihat sang panglima datang dengan sebotol arak harum dan beberapa perwira tiba-tiba muncul. Mereka itu
adalah pembantu panglima ini dan Hok-ciangkun lalu memperkenalkan, beberapa di antaranya sudah pernah
dikenal Mei Hoa. Dan ketika berturut-turut mereka membungkuk dan memberi hormat di depan suami isteri
muda ini maka Ituchi lagi-lagi dapat melihat sinar-sinar mata yang lahap dari para perwira pembantupembantu Hok-ciangkun itu.
"Mari minum. Ha-ha, kita rayakan dulu pertemuan ini!" Hok-ciangkun membawa botol minumannya,
menuangi cawan-cawan yang sudah siap di atas meja dan beberapa pembantunya itu tersenyum-senyum
gembira. Mereka mengangguk dan mendapat arak di tangan panglima itu. Dan ketika semua minum dan
Ituchi maupun Mei Hoa juga terpaksa menenggak arak maka tuan rumah bertanya ini-itu sejak Mei Hoa
meninggalkan kota raja. Pertanyaan-pertanyaan ringan yang sifatnya basa-basi dan Ituchi tiba-tiba batuk
memperingatkan bagaimana dengan serangan suku bangsa Uighur itu, hal yang membuat Mei Hoa tertegun
dan mengerti dan segera bertanya kepada panglima itu. Dan ketika tuan rumah tampak tersedak dan sedikit
terganggu maka Hok-ciangkun menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Kalian mungkin tahu dari beberapa anak buahku. Hm, tak salah. Kami sedang menghadapi peristiwa
besar, Mei Hoa, yakni dengan memberontaknya orang-orang Uighur itu. Mereka menyerang dan
menghantam kami!"
"Apa sebabnya?" Mei Hoa mengerutkan alis. "Bukankah mereka adalah bangsa taklukan? Bukankah
bangsa Uighur sudah tunduk dan berjanji tak akan menyerang lagi?"
"Hm, agaknya sifat sombong mereka muncul kembali, Mei Hoa. Mereka tak mau di bawah orang lain
dan ingin berdiri sendiri. Mereka itu, ah....!" panglima ini tiba-tiba mengepal tinju, gigi berkeratak. "Mereka
itu mulai mengganggu dan mempermainkan wanita-wanita di sekitar perbatasan, Mei Hoa, kutegur tapi
agaknya ini yang membuat mereka marah dan bangkit menyerang kami!"
"Begitukah?" Mei Hoa terkejut. "Terkutuk sekali orang-orang Uighur itu, paman. Kalau begitu mereka
patut dihajar!"
"Hm, maaf. Adakah bukti-bukti tentang ini, ciangkun?" Ituchi tiba-tiba bertanya, menyela. "Adakah
kau mendengar ini dari laporan saja atau sungguh-sungguh melihatnya dengan mata kepala sendiri?"
"Ah, kongcu tak percaya? Kongcu meragukan keteranganku? Baik, kupanggil mereka-mereka itu,
kongcu. Lihat dan buktikan sendiri apa yang dilakukan bangsa Uighur itu kepada wanita-wanita ini!" sang
panglima tiba-tiba bangkit berdiri, penuh semangat dan bertepuk tangan memanggil beberapa pengawalnya.
Mereka itu disuruh membawa wanita-wanita bekas korban "kebiadaban" bangsa Uighur, yakni pelacurpelacur yang diberikan Hok-ciangkun itu dan dipermainkan orang-orang Uighur, dalam usaha membalas
sakit hati mereka karena wanita-wanita Uighur dipermainkan perwira-perwira panglima ini. Dan ketika
Ituchi tertegun karena sang panglima tiba-tiba tampak geram namun bersemangat maka berturut-turut
muncullah di situ belasan wanita-wanita muda yang memar dan pakaiannya koyak-koyak.
"Lihatlah," Hok-ciangkun menuding. "Dan kau tanyalah mereka ini apa yang diperlakukan orangorang Uighur, kongcu. Tanya dan suruh mereka menceritakan bagaimana biadabnya laki-laki Uighur itu!"
Belasan wanita itu tiba-tiba menangis. Ituchi tertegun karena wanita-wanita ini jelas adalah wanitawanita yang baru saja mengalami penderitaan besar. Wajah mereka tampak begitu kuyu dan menyedihkan,
rata-rata lumayan meskipun Ituchi mengerutkan kening melihat beberapa di antaranya memiliki mata yang41 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
nakal, seperti biasanya wanita-wanita penghibur alias pelacur-pelacur jalanan. Dan ketika Mei Hoa juga
tertegun dan tentu saja penderitaan kaumnya ini lebih terasa daripada Ituchi maka Mei Hoa bangkit berdiri
dan menyambar seorang di antara wanita-wanita itu yang mukanya bengap-bengap.
"Kau, apa yang dilakukan orang-orang itu kepadamu? Apa yang terjadi?"
Wanita ini menangis. "Hamba.... hamba diperkosanya, hujin. Sepuluh laki-laki ganti berganti
mempermainkan hamba!"
"Terkutuk! Dan yang lain-lain ini?"
"Hm, sama saja," Hok-ciangkun tiba-tiba bicara, maju memotong. "Yang lain-lain ini juga mengalami
nasib tak berbeda, Mei Hoa. Mereka digarap dan dipermainkan bangsa Uighur itu. Dan banyak contoh di
sini. Kau boleh tanya satu persatu kalau ingin jelas!"
Mei Hoa merah padam. Tiba-tiba saja dia terbakar ketika wanita-wanita yang lain itu menangis dan
mengguguk. Mereka segera menceritakan betapa masing-masing diganggu dan digauli laki-laki Uighur
secara paksa. Betapa mereka diminta melayani tiga sampai sepuluh orang Uighur yang rata-rata bersikap
kejam itu. Dan ketika semua menangis dan Mei Hoa tak tahan maka nyonya muda ini setengah berteriak
bahwa dia akan menghukum orang-orang biadab itu.
"Sudahlah, sudah. Kalian kembali dan nanti akan kuhajar orang-orang itu!"
"Tenang..." Hok-ciangkun tiba-tiba berseri, menyembunyikan kegembiraannya. "Janjimu ini sudah
cukup melegakan mereka, Mei Hoa. Tapi duduk dan marilah bicara lagi tentang ini." dan menyuruh wanitawanita itu keluar panglima she Hok ini sudah menghadapi tamunya lagi, sekarang memandang Ituchi. "Kau
lihat," panglima itu berkata penuh kemenangan, orang sudah mulai percaya kepadanya. "Bangsa Uighur itu
adalah bangsa yang tak tahu diri, Hu-kongcu. Sudah mendapat ampunan tapi masih juga kurang ajar.
Bagaimana sikapmu kalau mereka bertindak seperti itu? Dapatkah kau memaafkannya? Kalau aku, tidak!
Tak mungkin memaafkan mereka-mereka itu!"
Ituchi merah padam. Sama seperti isterinya maka pemuda inipun juga terbakar dan marah. Ituchi tibatiba merasa gusar karena bangsa Uighur itu tiba-tiba demikian biadab dan rendah, padahal dulu seingatnya
mereka itu adalah orang-orang yang jantan dan pemberani, rata-rata berwatak ksatria dan boleh dipercaya.
Tapi begitu hari ini bukti-bukti itu ditunjukkan Hok-ciangkun tiba-tiba saja Ituchi geram dan lupa pada
pengamatannya tadi akan pandang mata kotor sang panglima she Hok.
Selanjutnya Hok-ciangkun menceritakan lagi bahwa tidak itu saja perbuatan orang-orang Uighur ini.
Ada berita yang didengar bahwa orang-orang Uighur akan membujuk suku-suku lain untuk bersatu dan
memberontak lagi, menyerang seperti dulu. Dan ketika bangsa U-min disebut-sebut dan Ituchi kaget maka
pemuda itu bangkit berdiri ketika Hok-ciangkun menutup.
"Kami mendengar kabar angin yang entah benar atau tidak bahwa Cucigawa akan bersekutu atas
bujukan suku-suku bangsa yang lain, satu di antaranya itu ialah bangsa Uighur ini. Tapi karena kami belum
dapat membuktikan dan masih samar-samar maka kami tak dapat bertindak seperti halnya bangsa Uighur ini.
Begitulah, harap kau tahu saja, Hu-kongcu. Dan amat kebetulan sekali bahwa hari ini kalian berdua datang.
Kami tak perlu meminta bala bantuan dari kota raja!"
"Hm!" Ituchi berkerot-kerot giginya. "Cucigawa hendak membawa suku bangsaku pada
pemberontakan lagi, ciangkun? Dia akan mengulang dosa yang lama? Keparat, sungguh harus kuhajar. Aku
datang ke sini karena juga akan ke sana!"
"Ah, kongcu akan ke Cucigawa?"
"Benar."
"Kalau begitu kebetulan, kongcu. Selidiki gerak-gerik Cucigawa itu dan apakah benar dia akan
memberontak atau tidak!"42 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tapi ke sana berarti melewati bangsa Uighur ini," Mei Hoa tiba-tiba berseru. "Dan persoalan ini tentu
saja tak akan kami biarkan, paman. Kalau bangsa Uighur sudah membuat gara-gara maka sebaiknya mereka
ini dihukum dulu!"
"Ah, benar," sang panglima berseri-seri. "Tapi sekarang jumlah mereka ribuan, Mei Hoa. Tak kurang
dari tiga ribu orang ada di sana. Aku dan pasukanku terpukul gara-gara kalah banyak. Dan mereka itu
berperang seperti kesetanan. Aku ingin bantuan kalian bagaimana agar tidak banyak jatuh korban!"
"Aku akan mendatangi orang-orang itu!" Mei Hoa berkata gagah, bangkit berdiri. "Dan akan kutemui
pemimpinnya, paman. Kubekuk dan kutangkap dia agar yang lain menyerah!"
"Hm, tak begitu gampang," panglima ini menggeleng. "Menangkap pemimpinnya bukan berarti lalu
dapat menundukkan orang-orang itu. Mei Hoa. Harus dicari akal agar dapat berdiplomasi dulu. Aku pikir tak
cocok kalau kau yang datang ke sana!"
"Jadi maksud paman?"
"Hm, duduklah," Hok-ciangkun tersenyum, bersinar-sinar memandang wanita muda ini, Mei Hoa
yang cantik dan gagah. "Kalau kau yang ke sana maka tak ada harapan untuk menundukkan bangsa itu, Mei
Hoa. Kecuali suamimu ini, Hu-kongcu yang serumpun dengan bangsa Uighur!"
Mei Hoa tertegun. Hok-ciangkun segera berkata bahwa dirinya adalah wanita Han, sedang Ituchi
tidak. Dan karena bangsa Han sedang dibenci bangsa Uighur maka tak baik rasanya kalau wanita itu yang
pergi. Ituchilah yang cocok dan pemuda itulah yang diharap untuk dapat menundukkan orang-orang ini,
karena Ituchi serumpun dengan bangsa Uighur itu, sama-sama berkulit hitam, bukan orang Han yang kuning
langsap. Dan ketika Hok-ciangkun berkata lagi bahwa kepandaian pemuda itu tentunya lebih tinggi darinya
maka panglima ini menutup.
"Bukan aku meremehkan, tapi orang-orang Uighur suka mengeroyok dan berbuat curang, apalagi
kalau yang datang adalah wanita. Bagaimana suamimu tak akan gelisah kalau kau dipisahkan dari suamimu
ini, Mei Hoa? Kalian berdua dapat saja berangkat berbareng, tapi di sana tentu akan dikeroyok dan tak
mungkin suamimu dapat melindungimu. Karena itu biarkan suamimu yang pergi, kau menunggu di sini dan
kita lihat bagaimana hasilnya. Dan suamimu tentu tak akan keberatan karena dulu dia juga membantu
kerajaan! Bukankah begitu, Hu-kongcu?"
Ituchi tertegun. Sejak tadi dia bersinar-sinar mendengarkan pembicaraan panglima ini. Giginya
gemeretuk kalau teringat akan Cucigawa, saudara sekaligus musuhnya itu. Tapi ketika Hok-ciangkun
bertanya dan dia mengangguk maka Ituchi tak menolak ketika diminta untuk menemui bangsa Uighur itu.
"Baiklah, aku dapat menerima. Tapi siapa pemimpin bangsa Uighur itu hingga tak becus dia
memimpin rakyatnya!"
"Ah, dia Hulai, kongcu. Kakek yang tak tahu diri itu. Sebenarnya kakek ini tak berkepandaian apa-apa
kecuali sumpitnya yang berbahaya itu, juga perlindungan anak buahnya yang terlampau setia!"
"Hulai?" Ituchi terkejut. "Kakek gagah itu?"
"Ah, nyatanya dia pengecut, kongcu. Liang-ciangkun dibunuhnya dengan sumpit beracun. Kakek itu
tidak gagah!"
"Hm, baiklah. Aku sudah mengenal kakek ini, ciangkun. Dan aku akan menemuinya. Aku akan
menegurnya kenapa dia membawa rakyatnya kepada pemberontakan ini!" Ituchi sudah bangkit berdiri,
merah dan gelap mukanya karena tiba-tiba dia menjadi tak senang kepada kakek ini. Hok-ciangkun
menggosok bahwa kakek itu bisa jadi membujuk Cucigawa untuk mengajak bangsa U-min mengadakan
pemberontakan, tahu bahwa Ituchi diam-diam tak senang kepada saudaranya itu, orang yang telah
mempermainkan ibunya. Dan ketika Ituchi mengangguk dan mencengkeram pinggir meja, yang seketika
hancur dan remuk maka pemuda itu meminta agar isterinya di situ dulu.43 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hok-ciangkun benar, akulah yang lebih tepat menghadapi bangsa Uighur itu. Aku sudah mengenal
adat-istiadatnya, karena aku sewarna. Kau tinggallah di sini dulu, Hoa-moi. Aku akan kembali petang nanti
juga!"
"Tapi maaf!" Hok-ciangkun tiba-tiba berseru sambil bangkit menyusul. "Di luar pintu gerbang banyak
bahaya, Hu-kongcu. Meskipun kau berkepandaian tinggi tapi kupikir tak ada jeleknya untuk
memperingatkan dirimu dari serangan-serangan gelap lawan. Kudengar bahwa banyak di antaranya
bersembunyi di semak-semak belukar, menjaga di luar sana. Karena itu kalau bisa sebaiknya malam saja kau
ke sana dan malam itu juga kembali!"
"Tidak, aku tak perlu menunda waktu lagi, ciangkun. Dan orang-orang Uighur tentu tak akan
menyerang orang-orang yang bukan orang Han. Mereka tentu mengenal aku dan tak perlu aku takut!"
"Hm, baiklah. Kalau begitu tak perlu aku mengecilkan hatimu, kongcu. Maaf kalau tadi aku
menyinggung perasaanmu."
"Tidak, kau tak salah, ciangkun. Betapapun maksudmu baik. Sudahlah, aku pergi dan titip isteriku di
sini!" Ituchi menggerakkan kakinya, berkelebat dan lenyap di luar sana sementara isterinya bangkit berdiri
untuk menyusul, ragu-ragu karena tadi sudah dipesan untuk tidak ikut. Memang kehadirannya bisa
mengganggu suaminya itu kalau bangsa Uighur melihatnya. Dan karena alasan itu dinilai masuk akal dan
Hok-ciangkun juga bukanlah orang lain karena panglima itu adalah sahabat mendiang ayahnya sendiri maka
Mei Hoa membuang cemas di kamar yang akhirnya disediakan oleh Hok-ciangkun itu.
* * * Tak sukar bagi Ituchi untuk keluar dari pintu gerbang. Semua perajurit akhirnya mengenalnya dan
tentu saja mereka itu membungkuk hormat ketika si pemuda berkelebat keluar, menyambar kudanya dan
mencongklang dan ketika pintu gerbang dibuka tiba-tiba Ituchi sudah kabur bagai terbang. Pemuda itu tak
menoleh kiri kanan lagi karena secepatnya dia ingin menemui orang-orang Uighur itu. Tapi begitu dia
menginjak daerah padang ilalang tiba-tiba saja puluhan lembing dan anak panah menyambarnya.
"Sing-sing-singgg..!"
Ituchi mengelak sigap. Anak-anak panah dan lembing dikebutnya runtuh. Tapi ketika kudanya
meringkik dan terjungkal roboh, terkena panah yang menyambar ke bawah maka pemuda itu kaget
berjungkir balik, melayang turun.
"Berhenti, aku bukan musuh!"
Bayangan-bayangan berkelebatan dari semak-semak ilalang itu. Ituchi tiba-tiba sudah dikepung oleh
ratusan orang yang menghentikan perjalanannya. Itulah orang-orang Uighur yang masih menjaga di situ,
melihat pintu gerbang dibuka tapi segera ditutup lagi dan seorang pemuda berpacu cepat. Dan ketika pemuda
itu menuju padang ilalang dan mereka tentu saja terkejut, karena itu tanda bahwa si pemuda hendak
memasuki pusat kekuatan mereka maka orang-orang Uighur itu muncul dan kudanya dirobohkan agar tidak
dapat melanjutkan perjalanan lagi, diam-diam tersentak karena kaget melihat Ituchi mementalkan atau
mematahkan panah dan lembing-lembing mereka.
"Kau siapa!" Ituchi sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi kekar. "Kami tak mengijinkan
orang-orang asing berkeliaran di sini, anak muda. Dan beritahukan namamu dan apa maksudmu keluar dari
pintu gerbang itu!"
"Hm, aku ingin memperkenalkan diri kalau sudah bertemu dengan pemimpin kalian. Antarkan aku ke
kakek Hulai dan di sana saja kalian boleh tahu siapa aku!"
"Sombong, kau tak mau memperkenalkan diri? Kalau begitu kau pasti antek Hok-ciangkun.
Serang...!" dan laki-laki itu yang marah dan membentak maju tiba-tiba sudah menyerang menyuruh temantemannya bergerak. Ituchi mengelak tapi orang-orang Uighur yang lain sudah menyerangnya pula dari muka44 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
dan belakang. Mereka semua sudah melihat kelihaian Ituchi tadi ketika mengelak dan menangkis lembing
atau panah. Maka begitu mereka bergerak dan orang-orang ini sudah mulai biasa untuk berhadapan dengan
musuh-musuh yang pandai silat maka Ituchi kewalahan juga ketika dari segala penjuru menyambar hujan
senjata itu.
"Plak-plak-cringg!"
Lawan terkejut. Ituchi tiba-tiba mengeluarkan kepandaiannya dan secepat kilat pemuda itu
memberosot dari hujan senjata lawan, lenyap tapi kaki dan tangannya tidak tinggal diam untuk mengibas
atau menyampok. Dan ketika orang-orang itu berteriak karena mereka saling pukul, sementara lawan


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghilang maka yang ada di belakang tiba-tiba berseru kaget melihat pemuda itu sudah ada di situ, seperti
siluman.
"Hei, dia ada di sini. Di belakang!"
Orang-orang itu membalik. Ituchi sudah mendengus dan mengejek mereka karena dia menjadi gemas
dan marah juga karena orang-orang ini tiba-tiba saja menyerangnya. Mereka berkesan ganas dan tidak
ramah, kasar. Maka ketika mereka bergerak dan menyerangnya lagi, dari segala penjuru tiba-tiba Ituchi tidak
mengelak dan kali ini ingin menghajar lawan-lawannya agar kapok.
"Des-des-dess!"
Orang-orang itupun terpelanting bergulingan. Mereka menjerit dan berteriak ketika tiba-tiba senjata di
tangan patah-patah bertemu tubuh pemuda itu. Ituchi memang mengerahkan sinkangnya dan begitu sinkang
itu melindungi dirinya tiba-tiba saja dia kebal, tentu saja membuat lawan terkejut karena tak ada senjata yang
mampu melukai pemuda itu. Dan ketika mereka berteriak dan kaget serta pucat maka saat itulah tangan
Ituchi bergerak dan semuanya berdebum dengan tangan atau kaki patah-patah, paling sial retak!
"Aduh....!"
"Tobat...!"
Ituchi sudah berhenti. Yang lain yang ada di belakang tiba-tiba mundur dan gentar melihat kelihaian
pemuda ini. Orang-orang itu tiba-tiba ribut sendiri. Namun ketika mereka memaki atau merintih maka saat
itu berderap seekor kuda dan Karum, pembantu kakek Hulai muncul.
"Berhenti, siapa pemuda ini!"
Ituchi bersinar. Dia samar-samar mengenal laki-laki di atas kuda itu tapi tentu saja tak menjawab.
Orang-orang Uigur itulah yang hiruk-pikuk menerangkan pemuda ini, bahwa Ituchi adalah pemuda tak
dikenal tapi pemuda itu baru saja keluar dari pintu gerbang Hok-ciangkun, berarti musuh. Dan ketika Karum
meloncat turun dan kaget serta terbelalak melihat teman-temannya yang terluka maka laki-laki ini
menggeram mendekati Ituchi, sinar matanya menunjukkan kemarahan besar.
"Kau!" bentaknya. "Siapakah, anak muda? Benarkah kau antek Hok-ciangkun? Kau datang untuk
menunjukkan kesombonganmu?"
"Hm," Ituchi bersikap tenang, tersenyum pahit. "Aku datang bukan untuk menunjukkan
kesombongan, saudara. Melainkan teman-temanmu itulah yang memaksa aku hingga begini. Aku datang
secara baik-baik ingin menemui yang gagah kakek Hulai, tapi mereka mencegat dan merobohkan kudaku.
Siapakah yang salah kalau begini?"
"Kau siapa, sebutkan namamu. Kakek Hulai tak dapat ditemui oleh sembarang orang saja. Aku
wakilnya!"
"Hm, siapakah kau? Aku serasa mengenalmu, tetapi lupa. Aku adalah Ituchi, dari bangsa U-min..."
"Ituchi?" Karum tersentak. "Maksudmu kau adalah putera mendiang Raja Hu? Kau adalah keturunan
Wang Cao Cun?"45 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, itulah ibuku. Kau siapa, sobat? Aku serasa mengenalmu..."
"Tentu saja, aku adalah Karum! Kalau begitu kita bukan orang lain!" dan Karum yang meloncat dan
mencengkeram pundak Ituchi tiba-tiba tertawa bergelak tapi mendadak berhenti ketika melihat temantemannya yang kesakitan dan merintih di sekitar mereka, berkerut kening dan mundur seolah disengat lebah
dan tiba-tiba laki-laki yang tadi gembira ini mendadak muram. Karum teringat bahwa Ituchi katanya dari
tempat Hok-ciangkun, dan karena Ituchi juga pembantu kaisar yang gigih tiba-tiba saja muka lelaki itu
menjadi gelap. "Hm, maaf.... maaf. Kiranya kau, Ituchi. Dan datang sebagai utusan Hok-ciangkun! Ada
apakah? Kau ingin kami menyerah?"
"Hm...!" Ituchi menarik napas dalam. "Aku datang bukan sekedar itu, Karum, melainkan ingin
bertanya yang lebih jauh lagi. Aku ingin menghadap kakek Hulai!"
"Pemimpin kami sedang tak enak ba-dan, kau dapat bicara saja dengan aku!"
Ituchi mengerutkan kening. Dia tadi merasa girang bahwa ini kiranya Karum, laki-laki yang segera
diingatnya sebagai pembantu kakek Hulai. Tapi begitu Karum bersikap dingin dan tidak lagi bersahabat, hal
yang mengecewakan hati pemuda ini tiba-tiba saja Ituchi jadi semakin tak senang ketika orang bersikap
begitu kasar, tak menyebutnya pangeran karena sesungguhnya orang seperti Karum ini masih jauh di bawah
derajatnya. Tapi karena dia tak begitu menghiraukan adat-istiadat karena Ituchi sudah terbiasa berkecimpung
di dunia kang-ouw maka sikap dan kata-kata lawannya itu diredamnya sebisa mungkin.
"Kakek Hulai sakit?" Ituchi bertanya. "Kalau begitu kebetulan, aku ingin menjenguknya sebagai
sesama sahabat!"
"Hm, kau bukan lagi sahabat, Ituchi. Kedatanganmu sebagai utusan Hok-ciangkun jelas menunjukkan
ini. Tak usah basa-basi, katakan saja apa perintah majikanmu itu dan segeralah pergi kalau tak ingin
membuat ribut-ribut!"
Ituchi merah padam. Tiba-tiba saja dia menjadi marah setelah Karum bersikap demikian kasar. Dia
dipersamakan sebagai bawahan Hok-ciangkun dan panglima she Hok itu dikatakan Karum sebagai
majikannya. Bukan main menghinanya! Dan karena Ituchi juga seorang pemuda yang gampang terbakar atau
mendidih maka tiba-tiba saja diapun tak mau bersikap halus atau sopan lagi.
"Karum!" pemuda ini sudah mulai mengeluarkan bentakan. " jaga dan tutup mulutmu kalau tak ingin
mencari permusuhan. Aku bukan utusan Hok-ciangkun, melainkan sebagai penengah atas keributan antara
kalian dengan kerajaan. Aku datang untuk bertanya kenapa kalian tiba-tiba menjadi begitu hina dan tak tahu
malu menyerang Hok-ciangkun. Kenapa kalian tiba-tiba menjadi begitu biadab dan jalang dengan
memperkosa wanita-wanita Han. Apa maksud kalian dengan semuanya ini dan tidak takutkah kalian akan
hukuman dari kaisar!"
"Ha-ha!" Karum tiba-tiba tertawa bergelak. "Pandai tapi busuk mulutmu memutar lidah, Ituchi. Pandai
tapi bodoh sekali caramu menelan segala kata-kata Hok-ciangkun itu. Ah, rupanya sudah demikian mendarah
daging sikapmu menjilat kaisar, dan rupanya sudah merasuk pula segenap omongan Hok-ciangkun itu
kepadamu hingga kau menghina kami semena-mena. Hm, dulu kau memusuhi kami dengan jalan membantu
kaisar, Ituchi. Dan sekarang kau memusuhi kami pula dengan membantu panglima she Hok itu. Keparat, kau
selamanya antek bangsa Han. Tak mau aku bicara lagi dan pergilah sebelum aku lupa bahwa jelek-jelek kau
adalah serumpun!"
Ituchi terbelalak. Karum, lawannya ini tiba-tiba menyambar tombak dan menodongkannya ke
dadanya. Dia diusir dan disuruh pergi begitu rendah. Dan ketika yang lain juga bergerak dan siap-siap
menyerangnya, hal yang membuat Ituchi terbakar tiba-tiba pemuda ini menyambar tombak itu dan
menekuknya dengan dua jari ke bawah.
"Pletak!"
Karum terkejut. Tombak di tangannya tiba-tiba patah dan Ituchi tahu-tahu sudah menyambar lehernya.
Dan ketika pemuda itu membentak dan mengangkat lawannya maka Karum sudah berteriak keras karena
tahu-tahu lehernya sudah dijepit dan meronta-ronta seperti kelinci di tangan seorang raksasa.46 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Karum!" bentakan itu menggelegar. "Sungguh tak tahu hormat dan pedas kali mulutmu. Beginikah
sekarang sikap bangsa Uighur kepada orang yang baik-baik ingin bicara? Beginikah caramu menyambut
tamu yang datang secara bersahabat? Aku tak dapat membiarkanmu seperti ini, Karum. Dan maaf kalau aku
memberimu sedikit pelajaran.... plak!" dan Ituchi yang menggerakkan tangan menampar tiba-tiba sudah
melepas dan menendang laki-laki itu yang menjerit dan terbanting roboh. Karum mengaduh-aduh karena
empat giginya rontok berdarah, tentu saja gusar dan marah dan bergeraklah teman-temannya melihat itu. Dan
ketika laki-laki ini menyambar tombak yang lain dan memberi aba-aba tiba-tiba dia sudah menerjang dan
puluhan laki-laki Uighur ikut di belakangnya untuk menyerang.
Jilid IV
"BUNUH antek Hok-ciangkun ini. Bunuh pemuda ini..!"
Ituchi berkelebat. Tiba-tiba pemuda itu bergerak karena puluhan lawan tiba-tiba sudah mengikuti
gerakan si Karum itu, menerjang dan menyerang dirinya dan Ituchi marah. Dia disebut sebagai antek Hokciangkun, sebutan yang membuat pemuda ini gusar karena tentu saja itu penghinaan baginya. Maka begitu
lawan bergerak dan Karum menusuk paling depan, tak takut meskipun giginya sudah rontok tiba-tiba Ituchi
ingin menghajar lebih keras lagi kepada laki-laki yang dianggap tak tahu diri ini.
"Dess!"
Karum mencelat. Laki-laki itu langsung menjerit dan terlempar roboh ketika ujung baju Ituchi
mengenai pelipisnya. Tombak di tangan laki-laki itu patah karena Ituchi sudah mendorong dan mengibas
senjata panjang itu. Lawan seketika roboh dan pingsan, Ituchi menambah tenaganya meskipun lawan tidak
sampai tewas, karena betapapun Ituchi tak mau melakukan pembunuhan. Tapi begitu yang lain bergerak
menyusul dan lembing atau tombak digerakkan tangan-tangan yang kuat maka Ituchi harus berkelebatan dan
menangkis atau mengelak hujan serangan itu, tak melihat lawan jerih atau gentar setelah Karum dirobohkan.
Orang-orang Uighur itu justeru merasa marah dan gusar melihat pemimpin mereka mencelat. Dan karena
Ituchi dianggap antek Hok-ciangkun sementara panglima itu sudah terlanjur dibenci dan tak disukai orangorang Uighur ini maka selanjutnya orang-orang itu berteriak bagai kesetanan ketika menyerang pemuda ini.
Ituchi menampar atau menendang lawan-lawannya tapi roboh satu maju dua, roboh dua maju empat. Dan
ketika pekik gegap-gempita membahana di padang rumput itu sementara Ituchi harus berkelebatan dan kian
cepat saja bergerak tiba-tiba dari dalam muncul pasukan berkuda yang berderap dengan jumlah ribuan.
Pasukan Uighur!
"Berhenti! Mundur kalian, berhenti...!"
Orang-orang Uighur itu terlanjur kesetanan. Mereka memang telah meniup terompet kerang ketika tadi
Ituchi melempar-lempar mereka. Puluhan orang yang terpaksa dirobohkan pemuda ini akhirnya jerih
meskipun tak bermaksud mundur. Mereka akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Orang-orang
Uighur memang dikenal gagah dalam peperangan. Maka begitu lawan dirasa tangguh dan mereka
memanggil bala bantuan maka pasukan Uighur yang ada di dalam segera bergerak dan keluar. Mereka itu
mendengar pekik dan teriakan teman-teman mereka yang roboh dilempar Ituchi, mengira Hok-ciangkun
datang bersama pasukannya. Maka begitu melihat bahwa yang dihadapi hanyalah seorang pemuda tinggi
besar yang gagah tapi tak dikenal tiba-tiba mereka tertegun tapi teman-teman mereka segera berteriak bahwa
ini adalah antek Hok-ciangkun.
"Dia datang atas suruhan Hok-ciangkun, meroboh-robohkan dan menyakiti teman-teman kita. Serang
dan bunuh pemuda ini, kawan-kawan. Lalu penggal kepalanya dan kirim ke Hok-ciangkun!"
Pasukan Uighur tercengang. Mereka berhenti di atas kuda masing-masing dan seorang kakek gagah,
yang bukan lain Hulai, mengamati pemuda itu dari atas sampai ke bawah. Kakek ini tertegun bahwa Hokciangkun rupanya sudah mulai mempergunakan seorang suku nomad, yakni orang-orang yang bukan orang
Han untuk memusuhi bangsanya. Mata yang semula kagum bersinar-sinar itu mendadak sudah berobah
beringas. Kakek ini lupa kepada Ituchi karena mereka jarang bertemu, coba mengingat-ingat namun
bayangan Hok-ciangkun tiba-tiba menutup semua rasa kagumnya menjadi rasa benci. Dan ketika seorang47 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
anak buahnya dibanting roboh dan menjerit dengan tulang patah, satu sikap keras yang mulai ditunjukkan
Ituchi tiba-tiba kakek itu membentak dan melempar sebuah lembing ke arah pemuda itu.
"Plak!"
Ituchi menampar patah. Kakek itu terkejut ketika tiba-tiba dengan gerakan ringan tetapi cepat pemuda
itu mampu mendengar suara lembingnya, membalik dan sudah menangkis serangannya tadi. Dan ketika
pemuda itu melihatnya dan berteriak memanggil namanya tiba-tiba kakek ini tertegun karena jelas pemuda
itu tahu siapa dirinya.
"Paman Hulai, hentikan serangan anak-anak buahmu ini. Aku Ituchi, datang ingin bercakap-cakap
denganmu!"
Kakek itu terbelalak. "Ituchi? Putera Raja Hu?"
"Benar, itulah aku, paman. Hentikan anak-anak buahmu ini dan kita bicara!"
"Hm, apakah kau datang atas suruhan Hok-ciangkun?"
"Benar."
"Kalau begitu tak ada harganya untuk bicara denganku. Heh, kaupun musuh, Ituchi. Dan sayang
bahwa kegagahan atau kejantanan ayahmu tak menurun padamu. Kau penjilat!" dan mengambil busur serta
menjepret pemuda itu dengan anak panah besar tiba-tiba si kakek sudah menyerang dan memberi aba-aba
pada pasukannya untuk maju membantu. Pemuda itu sudah meroboh-robohkan tak kurang dari seratus lakilaki Uighur di mana rata-rata mereka itu merintih atau mengerang-erang kesakitan di tanah. Ituchi mematahmatahkan bukan hanya tombak atau golok mereka melainkan juga tubuh orang-orang Uighur ini, jadi tentu
saja kakek itu marah dan semakin marah lagi setelah tahu bahwa Ituchi membantu Hok-ciangkun, padahal
panglima she Hok itu telah membunuh puteranya. Maka begitu panah menjepret tapi lagi-lagi ditangkis
patah, Ituchi sudah bergerak menyambut lawan yang datang berderap maka ribuan orang itu sudah
mengeroyok pemuda ini.
Ituchi mengeluh. Sekarang, dia sudah berhadapan dengan kakek Hulai namun sayang kakek itu tak
mau mendengar kata-katanya. Bahkan kakek itu sudah menyerangnya dan menyuruh pasukannya maju,
padahal mereka itu ribuan jumlahnya sementara dia seorang diri. Dan ketika apa boleh buat Ituchi
membentak dan berkelebatan menangkis senjata-senjata lawan maka tombak atau lembing patah-patah
bertemu tangan pemuda ini.
"Serang dengan anak panah. Hujani dia dengan anak panah!"
Ituchi terkejut. Kakek Hulai yang berderap mengelilinginya tiba-tiba menyuruh yang lain menyerang
dengan anak panah. Hal itu dilakukan karena kakek itu melihat bahwa betapapun hebatnya pasukannya
menyerang pemuda itu namun mereka selalu terlempar dan menjerit bertemu angin pukulan pemuda ini.
Ituchi merobah ujung lengan bajunya seperti toya dan tangan kiri pemuda itupun juga masih bergerak
menyambar-nyambar dengan angin pukulannya yang dahsyat. Akhirnya orang-orang Uighur tak dapat
mendekati pemuda itu dan ketika Ituchi beterbangan dan membentak membalas mereka tiba-tiba saja
puluhan orang lagi-lagi roboh. Mereka menjerit dan patah-patah tulangnya karena Ituchi bertangan besi.
Kakek Hulai masih menyambar dengan sebatang dua batang anak panahnya namun itupun runtuh ke tanah.
Bahkan, ketika ada yang mengenai tubuh pemuda itu tiba-tiba saja panahnya patah. Ituchi kebal! Namun
begitu kakek ini menyuruh pasukannya menyerang dengan panah, menjauh dan menghujani pemuda itu
dengan anak-anak panah yang ratusan jumlahnya maka pandangan Ituchi terhalang dan sebatang panah
hampir saja menancap di matanya.
"Keparat!" Ituchi membentak. "Kau tak dapat diajak bicara baik-baik, orang tua. Kalau begitu jangan
salahkan aku kalau pasukanmu ini terpaksa kuobrak-abrik.... wherr!" Ituchi tiba-tiba melepas bajunya,
mengibaskan ke depan dan bajunya itu menjadi semacam bendera ajaib yang diputar melindungi dirinya.
Angin kebutan bendera itu menghalau ratusan batang panah dan tiba-tiba beberapa perajurit berteriak. Ituchi
tidak sekedar menghalau melainkan juga mementalkan anak-anak panah itu, yang membalik dan menyambar48 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tuannya masing-masing. Dan ketika perajurit-perajurit itu berteriak dan roboh terguling-guling, ada yang
tewas karena senjata makan tuan maka kakek Hulai terbelalak dan berseru keras agar pasukannya mundur.
"Bedebah, mundur semua. Mundur. Bawa pemuda ini ke Lembah Hijau!"
Ituchi tak mengerti. Lawan tiba-tiba mundur namun masih mengepungnya dari segala penjuru. Mereka
menghujaninya dengan senjata-senjata apa saja dan tiba-tiba seekor kuda meringkik di dekatnya. Ituchi
menyambar dan naik di atas punggung kuda karena lawanpun mengelilinginya dengan ratusan kuda yang
meringkik dan bersuara gaduh. Dan begitu dia membentak di atas kudanya maka Ituchi sudah bergerak ke
sana ke mari untuk mendekati atau menangkap kakek Hulai itu. Namun kakek ini dilindungi pasukannya
yang besar. Kakek itu berteriak-teriak dari atas kudanya dan mendadak kabur ke dalam. Di sana ada hutan
bambu dan pasukanpun bergerak mengikuti. Ituchi terbawa. Dan ketika mereka kembali menghujaninya
dengan panah-panah atau tombak maka Ituchi tak melihat adanya sebuah perangkap di depan, juga tak
menduga. Dia baru kaget ketika kuda yang ditungganginya sekonyong-konyong meringkik keras, jatuh dan
terjelungup di sebuah lubang dalam yang permukaannya ditutupi rumput-rumput kering. Itulah jebakan yang
dipasang orang-orang Uighur ini. Dan ketika Ituchi terbawa dan terpelanting ke bawah, kaget berjungkir
balik maka pasukan Uighur bersorak-sorai melihat dia kecebur di situ.
"Aihhh...!"
Ituchi gagal menyelamatkan diri. Lubang atau sumur itu ternyata dalam bukan main, kudanya sendiri
berdebuk dan seketika tewas, leher tertekuk patah. Dan ketika Ituchi berjungkir balik namun meluncur ke
bawah, menimpa di atas kudanya itu maka lawan bersorak-sorai di atas sumur dan panah atau tombak
menghujaninya gencar.
"Jangan bunuh... jangan bunuh pemuda itu. Lempari saja batu-batu atau sampah!"
Ituchi kelabakan. Pemuda itu memekik di dalam sumur ketika batu-batu atau sampah berhamburan
menimpanya. Kakek Hulai mencegah orang-orangnya membunuh pemuda itu karena Ituchi ingin
ditangkapnya hidup-hidup. Suatu rencana baru rupanya berkelebat di kepala kakek itu dan repotlah Ituchi
menghindari semuanya itu. Tapi karena dia di bawah sumur sementara sumur atau lubang itu sempit maka
tak lama kemudian pemuda ini sesak napas ketika udara di dalam sumur tiba-tiba sudah tak ada lagi. Kaget
dan marahnya Ituchi tak dapat dikatakan lagi karena dia persis seeekor singa yang terjebak. Bangsa Uighur
menjebloskannya ke lubang itu dan dia tak berdaya. Sehebat-hebatnya dia kalau dikurung seperti itu tentu
saja bakal pengap. Dan ketika Ituchi mulai tertimbun segala macam benda-benda dari atas dan pemuda itu
mengeluh kehabisan udara segar tiba-tiba Ituchi roboh dan pingsan.
"Stop, jangan serang lagi. Angkat dan naikkan pemuda itu ke atas!"
Orang-orang Uighur menaikkannya ke atas. Sekarang Ituchi tak berbahaya karena pemuda itu tak
sadarkan diri. Orang-orang kagum karena betapapun tak ada luka-luka di tubuh pemuda itu. Ituchi kiranya
masih mampu melindungi dirinya dengan sinkang hingga tubuhnya tetap kebal, biarpun lawan membacok
atau menusuknya dengan senjata tajam. Tapi ketika pemuda itu diangkat dan tentu saja langsung diikat,
nyaris seekor babi yang dikerumuni pemburu-pemburunya maka Karum, pembantu kakek Hulai yang sudah
sadarkan diri dan tertatih-tatih pincang menggeram di depan pimpinannya.
"Pemimpin, untuk apa dia diangkat lagi? Bukankah sebaiknya dibunuh dan dihabisi saja? Pemuda ini
telah melukai banyak orang kita, tak layak diampuni!"
"Hm, semula akupun berpikir begitu. Tapi kendalikan nafsu amarahmu, Karum. Ingat bahwa pemuda
ini masih berguna bagi kita. Permusuhan kita dengan panglima she Hok sudah terbuka, dan musuh pasti akan
mendatangkan bala bantuan dari kota raja. Kalau itu sampai terjadi dan kita dikeroyok tentu habislah kita.
Apakah tidak terpikir olehmu bahwa pemuda ini dapat mendatangkan bantuan yang besar?"
"Pemimpin hendak mempergunakannya untuk melawan Hok-ciangkun? Ituchi hendak diminta untuk
membela kita?"49 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, bukan begitu. Tapi maksudku adalah bangsa U-min! Eh, tidak tahukah engkau bahwa Cucigawa
amat membenci pemuda ini, Karum? Tidak tahukah engkau bahwa hidup atau mati diam-diam raja itu
menghendaki Ituchi?"
"Ah, jadi maksud pemimpin....?"
"Benar!" kakek itu tersenyum, tertawa berseri. "Aku hendak membawa tawanan kita ini kepada
Cucigawa, Karum. Dan sebagai imbalannya maka bangsa U-min harus membantu kita. Nah, siapkan kereta
dan utus orang-orang kita menghadap Cucigawa!"
Karum tiba-tiba terbelalak. Sekonyong-konyong dia tertawa bergelak dan rasa sakit dihajar Ituchi
mendadak tiba-tiba serasa lenyap. Seketika laki-laki itu berseri dan orang-orang lain yang mendengar itu
tiba-tiba juga bersorak. Seketika mereka mengerti apa kiranya yang dimaksud pimpinannya ini. Dan begitu
mereka mengangguk dan berteriak setuju, Ituchi dimasukkan kerangkeng dan siap dibawa maka pemuda
itupun akan menjadi mangsa Cucigawa, seekor harimau lain yang tak kalah buas dengan orang-orang Uighur
ini. "Serahkan pemuda itu kepada Cucigawa, bawa surat pengantarku ini. Kalau dia setuju maka Cucigawa
boleh menerimanya. Tapi kalau tidak bawa kembali pemuda itu dan kita bunuh di sini!"
Ituchi memasuki bahaya baru. Pemuda itu masih tak sadarkan diri dan hari itu juga dilepas orangorang Uighur ini. Hulai kakek gagah itu telah memutuskan bahwa pemuda ini akan "ditukar" dengan
perjanjian bangsa U-min untuk membantu bangsa Uighur, dalam usaha menghadapi balasan atau serbuan
Hok-ciangkun. Dan ketika pemuda itu dibawa dan seratus perajurit mengawal di tengah maka Ituchi akan
bertemu dengan saudaranya yang kejam itu tanpa kehendaknya sendiri. Mautkah yang akan ditemui pemuda
ini? Tampaknya begitu, tapi mari kita lihat suasana lain di tempat Hok-ciangkun!
* * * Malam itu Mei Hoa hampir tak dapat tidur pulas. Selama perjalanannya bersama suami baru kali itulah
dia berpisah, tak enak nyonya muda ini. Tapi karena dia sudah berjanji dan satu-satunya jalan hanyalah


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu maka itulah yang dilakukan wanita ini.
Dan tiba-tiba pintu kamar diketuk. Mei Hoa bertanya siapa itu dan dijawab bahwa itulah Hokciangkun, cepat wanita ini bangkit berdiri dan membuka pintu kamarnya. Dan ketika Hok-ciangkun ada di
situ dan tersenyum minta maaf maka Mei Hoa bertanya apa keperluan panglima itu.
"Maaf, sekedar melihat keadaanmu, Mei Hoa. Apakah anak buahku telah memberikan pelayanan yang
baik kepadamu. Tidurlah, aku akan kembali lagi. Tak ada yang kurang, bukan?"
"Tidak, terima kasih, paman. Aku cukup senang di sini. Tapi, hmm... apakah tak ada kabar suamiku?"
"Ah, perajurit di pintu gerbang hanya melihat suamimu memasuki hutan, Mei Hoa. Selebihnya tak
tahu apa-apa."
"Apakah tak terdengar suara-suara pertempuran atau suara-suara mencurigakan?"
"Hm, suamimu adalah pemuda yang lihai, Mei Hoa. Dan bangsa Uighur bukanlah orang-orang yang
pandai silat. Tak ada apa-apa.... tak ada apa-apa.... tidurlah, dan tutup pintu kamarmu baik-baik."
Mei Hoa mengangguk. Hok-ciangkun itu telah kembali meminta dia menutup pintu kamar dan
malampun semakin larut. Mei Hoa kembali lagi ke tempat tidurnya dan hati yang gelisah menanti suami
rupanya tak mau diajak kompromi. Wanita ini membuka jendela dan ditengoknya bulan di atas sana. Waktu
kira-kira menunjukkan tengah malam. Hm, suaminya itu seharusnya datang. Kenapa belum muncul juga?
Dan ketika Mei Hoa semakin gelisah dan tak dapat tidur tiba-tiba entah mengapa wanita ini berkelebat keluar
jendela dan tak mau di kamarnya itu lagi. Tempat tinggalnya itu serasa gerah dan dia ingin mencari hawa
segar di luar. Wanita ini berjungkir balik dan hinggap di tembok menara, samar-samar beberapa petugas jaga
tampak hilir-mudik di bawah, terlihat dari tempatnya itu berdiri. Dan ketika Mei Hoa melihat sekeliling dan50 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tertarik melihat puncak tembok besar di sana tiba-tiba wanita ini menggerakkan kaki dan berkelebat ke
tempat itu. Beberapa menara dilaluinya bagai seekor kucing hitam dan akhirnya Mei Hoa sudah tiba di
tempat yang paling tinggi. Dia ingin ke sini karena dari situlah dia dapat melihat jauh ke depan, hutan gelap
di luar pintu gerbang sana di mana kabarnya bangsa Uighur berada. Tapi ketika dia tiba di sini dan melongok
ke bawah, maju mundur untuk melakukan loncatan ke bawah atau tidak tiba-tiba terdengar jeritan tertahan
dan suara seorang wanita kedengarannya seperti tercekik sesuatu.
"Ti.... tidak.... jangan!"
Mei Hoa terkejut. Dari arah kiri tiba-tiba terdengar tawa sengau seorang laki-laki, disusul tawa-tawa
yang lain dan Mei Hoa merasa ada beberapa orang laki-laki di situ, paling tidak tujuh orang. Dan ketika
suara wanita itu tertutup dan hilang entah ke mana maka Mei Hoa melihat enam tujuh orang berjongkok di
sudut, tertawa dan mengeluarkan suara-suara tak jelas dan Mei Hoa tentu saja tertarik, melayang dan
meluncur ke bawah untuk melihat apa yang dilakukan enam tujuh orang itu. Sebuah lilin kecil akhirnya
terlihat di bawah semak-semak gerumbul. Orang-orang itu tampaknya asyik melakukan sesuatu, Mei Hoa tak
tahan untuk mengetahui. Tapi begitu dia berkelebat dan berdiri di belakang orang-orang ini, ringan dan
enteng tak diketahui lawan-lawannya tiba-tiba Mei Hoa terkejut dan marah karena dia melihat itulah tujuh
laki-laki yang sedang memegangi seorang wanita, yang menjerit dan meronta-ronta namun mulutnya ditutup
rapat seorang laki-laki kekar, perajurit-perajurit atau anak buah Hok-ciangkun!
"Hei, apa yang kalian lakukan di sini!"
Orang-orang itu terperanjat. Mei Hoa telah berada di belakang mereka dan si kekar yang menutupi
mulut wanita itu tiba-tiba mencelat oleh sebuah tendangan gusar. Mei Hoa berkelebat dan kontan menyerang
orang-orang itu. Si kekar mendapat tendangan pertama sementara enam temannya yang lain ditampar dan
dipukul terguling-guling. Tentu saja semuanya berteriak dan menjerit kaget. Dan ketika mereka bergulingan
meloncat bangun dan tersentak melihat Mei Hoa, nyonya atau wanita yang mereka kenal itu tiba-tiba
semuanya berobah pucat dan berseru tertahan.
"Anjing-anjing terkutuk, iblis-iblis jahanam! Apa yang kalian lakukan ini, tikus-tikus busuk? Kalian...
kalian hendak memperkosa wanita ini?"
"Tit... tidak!" seorang di antaranya menjauh dengan kaki menggigil. "Ka... kami hanya main-main,
hujin. Kami... kami.... des-dess!" orang itu tiba-tiba mencelat, Mei Hoa berkelebat dan menendangnya sekali
lagi. Dan ketika orang itu berteriak dan roboh terlempar, pingsan seketika maka Mei Hoa marah kepada yang
lain-lain dan membentak menggerakkan kaki tangannya. Enam orang itu berusaha menangkis atau berkelit
namun mereka tentu saja bukanlah lawan wanita ini. Mei Hoa memaki mereka yang dikatakan sebagai lakilaki biadab. Mereka itu menjerit dan roboh satu per satu, semuanya pingsan tak ada satupun yang selamat.
Dan ketika Mei Hoa menendangi tubuh-tubuh itu dan wanita di sana tertegun dan menonton membelalakkan
matanya maka tiba-tiba dia mengeluh dan menjatuhkan diri di depan wanita ini.
"Ah, hu-huuk.... aku... aku percuma ditolong, lihiap (pendekar wanita). Mereka itu.... mereka itu telah
mengeramku tiga hari di sini dan mempermainkan tiada ubahnya anjing. Aku... aku... hanya darah mereka
yang patut untuk penebus dosa!" dan meloncat meraih golok si kekar mengejutkan Mei Hoa tiba-tiba wanita
itu membacok kepala orang.
"Crak!"
Kepala itu putus. Mei Hoa tersentak ketika tiba-tiba sambil menjerit histeris wanita ini sudah berlari ke
tubuh-tubuh yang lain, siap membacok atau membunuh lagi. Namun ketika Mei Hoa bergerak dan sadar
mencegah tiba-tiba wanita ini telah memukul pergelangan tangan orang.
"Berhenti!" Wanita itu terpelanting. Mei Hoa terlanjur membiarkan satu nyawa melayang sementara
wanita itu menangis menggerung-gerung. Golok di tangannya mencelat dan kini wanita itu mengguguk
menutupi mukanya. Rambut dan pakai annya awut-awutan dan tergetarlah Mei Hoa melihat itu. Wanita ini
teringat peristiwa setahun yang lalu di mana adik perempuannya satu-satunya juga mengalami nasib sama
dengan wanita ini. Perkosaan. Hal yang akhirnya membuat adiknya itu tewas bunuh diri dengan menanggung
malu dan dendam yang hebat. Maka ketika kejadian serupa terulang di depan mata dan wanita yang telah51 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
membunuh seorang perajurit ini mengguguk berguncang-guncang tiba-tiba Mei Hoa bergerak dan telah
mencengkeram pundak orang.
"Bangunlah," katanya. "Dan ceritakan apa yang selama ini kau alami!"
"Aku... aku..." wanita itu tersedu-sedu. "Tujuh perajurit ini memperkosaku, lihiap. Mereka... mereka
itu binatang!"
"Hm, aku tahu. Mereka memang binatang. Tapi ceritakan padaku bagaimana kau bisa ada di sini,
dipermainkan mereka. Kau tentu wanita Uighur!"
"Benar, aku... aku diculik mereka ini, lihiap. Mereka datang dan membawa pergi aku. Waktu itu aku
sedang mencari kayu bakar dan tiba-tiba muncul mereka.."
"Lalu?"
"Lalu aku berteriak-teriak, terdengar suamiku. Tapi ketika suamiku datang dan menolong ternyata
suamiku itu malah dibunuh dan dibantai dengan kejam. Mereka ini membunuh juga suamiku!"
"Hm, kau mempunyai anak?"
"Belum.... belum, lihiap. Aku masih pengantin baru!"
"Pengantin baru? Dan kau sudah diperlakukan seperti ini?"
"Benar, lihiap. Dan orang-orang Hok-ciangkun ini memang kejam. Gara-gara mereka memaksa dan
mempermainkan wanita-wanita inilah maka bangsa kami memberontak. Mereka itu biadab, juga para
perwiranya terlebih lagi Hok-ciangkun!"
"Apa?"
"Benar. Hok-ciangkun itu terlebih-lebih lagi gilanya, lihiap. Panglima itu sering menyuruh anak
buahnya untuk mencarikan gadis-gadis yang masih perawan dan diperkosa di kamarnya. Lalu, kalau sudah
maka gadis-gadis yang malang itu diberikan kepada pembantunya dan esok, atau lusa sudah disuruh mencari
lagi gadis-gadis di tempat kami!"
Mei Hoa pucat. Tiba-tiba tanpa diminta lagi wanita Uighur itu sudah tersedu-sedu menceritakan sepak
terjang Hok-ciangkun. Gara-gara panglima inilah maka anak buahnya ikut-ikutan dan suka merampas atau
memaksa wanita-wanita cantik. Ada semacam undang-undang tak tertulis bahwa semua perawan-perawan
bangsa Uighur harus dikumpulkan dan dipersembahkan kepada panglima itu. Hok-ciangkun
mempermainkan mereka ini lalu selebihnya diberikan kepada para pembantunya. Tentu saja perbuatan
panglima itu cepat dicontoh anak-anak buahnya. Pasukan perbatasan itu menjadi buas dan sewenang-wenang
karena bangsa Uighur memang sudah ditaklukkan. Tapi ketika mereka mulai membunuh laki-laki Uighur
yang merupakan suami atau ayah dari wanita-wanita itu dan bangsa Uighur mulai bangkit maka
pembangkangan tak dapat dicegah lagi dan terakhir putera pimpinan bangsa Uighur tewas di tangan Hokciangkun.
"Buma dibunuh oleh Hok-ciangkun ini, dalam sebuah pertandingan adu-kepala. Tapi karena itu adalah
pertandingan ksatria dan sudah menjadi adat bangsa kami untuk menyelesaikan masalah maka kematian
pemuda itu dibiarkan ayahnya tapi satu penghinaan Hok-ciangkun tak dapat diterima lagi!"
"Hinaan apa?"
"Bangsa Uighur menuntut tukar kejadian, lihiap. Yakni wanita-wanita Han untuk dinikmati laki-laki
Uighur. Hok-ciangkun berdalih bahwa kalau pasukannya membawa wanita-wanita Uighur maka itu
bukanlah suatu bentuk pemaksaan melainkan suatu bentuk perkenalan di mana siapa tahu dari wanita-wanita
yang dibawa itu ada yang cocok bagi pasukan Hok-ciangkun dan diambil isteri. Tapi siapa percaya
omongannya? Maka berdalih yang sama bangsa Uighurpun lalu menuntut untuk dikenalkan dengan wanitawanita Han itu dan mereka lalu mempermainkannya sesuka hati. Kami wanita-wanita Uighur tentu saja tak
setuju dengan sikap ini, karena pada dasarnya laki-laki kami hanya ingin membalas dan mempermainkan52 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
wanita-wanita itu. Tak mungkin mereka mau mengambil isteri karena bangsa Han sudah dianggap musuh
oleh kami. Tapi ketika ratusan orang kami tiba-tiba jatuh sakit dan banyak di antaranya yang menemui ajal
maka memuncaklah kemarahan ini karena Hok-ciangkun ternyata memberikan pelacur-pelacur rendahan
yang sudah mengidap penyakit kotor!"
"Apa?"
"Benar, lihiap. Hok-ciangkun itu dengan keji memberikan pelacur-pelacur kotor untuk dipermainkan
laki-laki bangsa kami, bukan wanita baik-baik seperti halnya mereka itu menerima dan mempermainkan
bangsa kami. Dan karena laki-laki di mana-mana rakus dan pemuda-pemuda kami mempermainkan pelacurpelacur itu maka merekapun tiga hari kemudian sudah sakit dan duaratus lebih akhirnya menemui ajal garagara penyakit kelamin!"
Mei Hoa menggigil. "Jadi begitukah kiranya? Kau dapat dipercaya?"
"Percaya atau tidak tak jadi soal bagiku, lihiap. Karena aku sekarang sudah kotor dan tak memiliki
keluarga lagi. Suamiku sudah dibunuh, dan aku sebatangkara. Kalau lihiap tidak percaya boleh saja selidiki
hal ini dan tanya saja Hok-ciangkun itu!"
"Bohong!" sebuah bentakan tiba-tiba terdengar. "Kau memutar balik peristiwa, wanita busuk.
Sungguh amat beracun dan berbahaya mulutmu.... crep!" wanita itu tiba-tiba menjerit, roboh oleh sebuah
pisau yang menyambar dan muncullah di situ Hok-ciangkun yang merah padam, Mei Hoa terkejut karena dia
sedang tenggelam oleh cerita wanita ini, tak mendengar kehadiran Hok-ciangkun dan tiba-tiba saja dari
mana-mana muncul bayangan-bayangan berkelebatan. Hari tak terasa sudah terganti pagi dan Mei Hoa
terkejut melihat wanita itu roboh, menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi karena pisau yang dilempar Hokciangkun tepat sekali menancap di dada kirinya. Wanita itu roboh dan seketika tewas! Dan ketika Mei Hoa
membalik dan sudah berhadapan dengan Hok-ciangkun itu, juga belasan perwira atau perajurit yang tiba-tiba
sudah mengepung tempat itu tiba-tiba panglima she Hok membungkuk dan berkata padanya, merah padam.
"Maaf, racun yang amat berbahaya dilontarkan wanita ini, Mei Hoa. Aku terpaksa membunuhnya
karena dia menghina dan membuat aku marah. Ada berita penting untukmu, Ituchi tertangkap. Kita harus
segera menolongnya dan terserah bagaimana kau!"
"Apa?" Mei Hoa berubah. "Dia... dia tertangkap?"
"Benar, dan beberapa perajuritku melapor, Mei Hoa. Mereka telah melihat itu. Aku mencari-carimu
tapi baru di sini aku menemukanmu. Nah, bantu kami menghantam orang-orang itu dan mari berangkat
sekarang juga!"
Mei Hoa memekik. Tiba-tiba saja dia melupakan wanita Uighur itu dan sudah berkelebat ke depan.
Dia memang sudah di luar pintu gerbang dan dengan cepat terbang menuju ke bangsa Uighur itu. Tapi ketika
Hok-ciangkun bergerak dan menyambar lengannya, menyuruh berhenti maka panglima itu menangkap
lengannya dan berseru,
"Mei Hoa, nanti dulu. Jangan gegabah. Jangan pergi sendiri dan dengarkan kata-kataku!" tapi ketika
Mei Hoa membentak dan balas mengipatkan lengan, mendorong dan menggerakkan kakinya lagi akhirnya
wanita atau nyonya muda itu melengking-lengking.
"Paman Hok, jangan halangi aku. Aku akan membunuh dan membebaskan Ituchi!"
Hok-ciangkun tertegun. Matahari telah mulai terang dan perbukitan di seberang perbatasan itu tampak
jelas. Mei Hoa telah berkelebat dan terbang ke situ, mulutnya melengking-lengking. Tapi ketika panglima ini
tersenyum aneh dan mengibaskan lengan ke belakang, menyuruh pembantu atau perajurit-perajuritnya
bergerak tiba-tiba panglima ini telah meloncat dan mengejar Mei Hoa. Hok-ciangkun mengeluarkan ilmu lari
cepatnya dan tiba-tiba saja panglima ini ingin menguji. Mei Hoa yang ada di depan tiba-tiba disusul dan
kagumlah panglima ini karena tak begitu mudah dia mengejar lawan. Mulut berseru berulang-ulang agar Mei
Hoa berhenti, tak tahunya malah tancap gas dan Hok-ciangkunpun terpaksa mengerahkan segenap kekuatan.
Dan ketika mereka akhirnya berendeng dan Hok-ciangkun membentak mencengkeram lengan wanita ini
tiba-tiba Mei Hoa menangkisnya dengan marah.53 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Jangan aku diganggu.... duk!" dua lengan beradu amat keras, Mei Hoa mengerahkan sinkangnya
namun Hok-ciangkun juga melakukan hal yang sama. Panglima itu terpental sementara Mei Hoa juga
terjelungup, hampir saja mencium tanah. Tapi ketika Mei Hoa berseru keras dan berjungkir balik,
menyelamatkan dirinya maka Mei Hoa sudah berdiri lagi dengan muka terbakar memandang lawan, yang
juga sudah berjungkir balik dan diam-diam kaget bahwa wanita itu memiliki sinkang yang kuat hingga
sanggup menghadapi sinkangnya.
"Paman Hok, apa yang kau lakukan ini? Kau berani menyerangku? Kau hendak menghalang-halangi
aku?"
"Maaf.... maaf...!" sang panglima buru-buru membungkuk, mengebut-ngebutkan ujung bajunya. "Aku
tak bermaksud menyerangmu, Mei Hoa, melainkan mencegah agar kau tidak seorang diri ke bangsa Uighur.
Mereka itu berbahaya, dan lagi jumlahnya ribuan. Kau hanya seorang diri dan tak mungkin menghadapi
mereka itu!"
"Aku tidak takut, aku tidak gentar! Aku datang ke sana untuk menyelamatkan suamiku!"
"Hm, benar. Tapi, ah.... maaf, jangan ke sana sendirian, Mei Hoa. Mari kuantar dan bersama
pasukanku tentu kau dapat lebih banyak berhasil. Aku dapat mendampingimu menghadapi orang-orang
Uighur itu...."
"Tidak! Aku tak mau bersamamu atau siapapun, paman. Kalau kau mau ke sana silahkan, kita sendiri Anak Kos Dodol 2 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Misteri Rumah Mengkerut 2

Cari Blog Ini