Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 4

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 4


mengeroyok dan mencaplok tubuh pemuda ini maka begitu seekor hiu lain datang mendekat mendadak
pemuda ini menggerakkan tangan dan menangkap siripnya. Gerakan ini cepat dan tak terduga. Hiu itu kaget
dan melejit. Namun karena kaki Togur digigit hiu pertama sementara pemuda itu mencengkeram dan78 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
menjepit kuat-kuat sirip hiu kedua maka begitu hiu itu melejit dan kaget menarik tubuhnya maka hiu pertama
terseret dan tiba-tiba tertarik terbawa temannya ini. Selanjutnya dua ekor hiu itu berkutat melawan pemuda
ini. Yang satu tetap menggigit dan tak mau melepaskan kaki korbannya sedang yang lain kaget dan marah
dicengkeram siripnya. Cengkeraman itu membuat hiu itu kesakitan dan akibatnya berenanglah hiu itu dengan
cepat ke atas. Dia melecut-lecutkan ekornya namun Togur berada di tengah, terus mencengkeram dan tak
mau melepaskan lawannya. Sudah menjadi tekad pemuda ini bahwa dia harus melepaskan diri dari gigitan
hiu pertama itu. Dan ketika hiu-hiu lain berenang mengikuti dan Togur pucat melihat dirinya akan menjadi
korban maka mendadak saking marah dan paniknya pemuda ini tiba-tiba mengerahkan semua kekuatan
untuk membuat hiu kedua kesakitan. Dia mencengkeram sedemikian rupa sirip hiu itu hingga berkeratak,
patah di dalam. Tapi begitu Togur mengerahkan segenap kekuatan di tangan, membuat hiu itu berontak dan
melejit ke atas, luar biasa kuatnya, maka saat itulah tenaga di kaki hilang. Sinkang yang sepenuhnya ditarik
ke atas untuk membuat hiu kedua kesakitan dan berenang kuat, kaget oleh tenaga pemuda ini tiba-tiba telah
membuat kaki yang dilindungi sinkang menjadi kaki yang biasa lagi, lemah dan kosong dan tiba-tiba saat itu
juga Togur merasakan kakinya lepas. Pemuda ini mengira terbebas dari gigitan lawan dan hiu pertama itu
melepaskan dirinya. Dia tak tahu bahwa saat itulah kakinya putus ditelan hiu yang ganas, hiu yang tak kenal
menyerah dan terus menggigit kakinya ke manapun dia ditarik hiu kedua. Maka begitu kaki itu putus karena
Togur menarik semua sinkangnya ke atas, ke tangan yang mencengkeram sirip hiu kedua maka saat itulah
dia menjadi buntung dan laut di bawah segera menjadi merah oleh darah yang membanjir keluar. Togur
sendiri masih tidak sadar dan secepat kilat dia bergerak memiting hiu kedua itu, menusukkan kedua jarinya
ke tubuh ikan dan menggeliatlah hiu ini oleh tusukan jari baja yang membuatnya perutnya bolong. Dan
ketika hiu itu meronta dan semakin kesakitan maka Togur telah menghunjam-hunjamkan kelima jarinya ke
punggung dan perut ikan ini. Pemuda itu dibawa berenang luar biasa cepatnya hingga hiu-hiu yang lain
tertinggal. Togur tak tahu bahwa hiu-hiu yang lain mengejar dirinya, atau lebih tepat, mengejar kakinya yang
buntung karena dari kaki itulah darah mengucur membuat hiu-hiu itu beringas. Bau darah memang akan
membuat binatang-binatang buas itu semakin menggila dan buas saja. Dan ketika Togur terus dibawa dan
terbang bersama hiu kedua ini maka muncullah hiu itu di atas permukaan air dan nyosor ke pantai daratan
berbatu. Dalam panik dan sakitnya akhirnya hiu itu juga tak sadar membawa diri, tak perduli lagi ke mana
dia berenang pokoknya dirinya bisa dibebaskan dari pitingan lawannya itu, yang terus menyakiti dan
menusuk-nusuk tubuhnya dengan jari-jari yang sekuat baja. Maka ketika dia muncul dan berenang seperti
kesetanan, penuh luka-luka di tubuh maka binatang itu nyeruduk dan nyosor ke pantai, tak dapat menahan
diri lagi dan terhempaslah mereka kedua ke daratan yang berbatu. Togur megap-megap dan nyaris pingsan.
Kalau bukan dia tentu sudah tewas dan kehabisan tenaga sejak tadi. Hebat pemuda ini. Tapi begitu dia
dibawa keluar dan menghirup udara segar, lolos dari maut maka hiu yang dipitingnya itu roboh dan tewas tak
lama kemudian. Togur berkunang-kunang dan geram memandang lawannya ini, menggerakkan tangan untuk
menghancurkan kepala lawannya itu tapi tiba-tiba iapun roboh, ambruk dan pingsan. Dan ketika dua mahluk
berlainan dunia itu jatuh dan sama-sama tak sadarkan diri lagi maka barulah keesokannya pemuda ini siuman
dan tahu bahwa kakinya lenyap sebuah.
Togur terbelalak dan melotot. Pemuda ini seakan tak percaya pada apa yang dilihat. Tapi ketika dia
mengeluh dan sejenak terkejut mendadak, aneh sekali, pemuda ini tertawa bergelak.
Murid Enam Iblis Dunia itu terguncang hebat namun dalam kekagetannya itu dia coba
melampiaskannya dengan tawa yang menggetarkan seluruh pantai. Togur terbahak-bahak sampai akhirnya
dia roboh lagi, bangun dan tertawa lagi sampai akhirnya seluruh mukanya menjadi merah kehitaman. Air
mata membanjir namun mata itu sendiri menjadi buas dan menyala-nyala. Dan ketika dia menghantam dan
meremukkan kepala ikan, yang sebenarnya sudah binasa maka pemuda ini merobek perut ikan dan
menyambar segala isinya, jantung dan paru-paru dan bahkan usus!
"Ha-ha, bedebah jahanam kau, hiu keparat. Terkutuk dan binatang kau. Ah, kurobek-robek perutmu,
kuganyang jantungmu... krius-kriuss!" dan Togur yang merobek serta mengodal-adul perut ikan lalu
mengganyang mentah-mentah semua isi perut binatang itu. Tak perduli mulut berlepotan darah dan amis.
Tak perduli bahwa lawan sudah mati dan bukan hiu itulah yang menggigit putus kakinya. Dan ketika dia
terpincang dan roboh terduduk, masih mengganyang perut ikan maka saat itulah nyeri di kaki terasa hebat.
Togur tiba-tiba mengeluh dan menghentikan makannya. Pemuda ini bukan mirip manusia berada lagi
melainkan seperti hewan buas sendiri, merintih dan mengejang dan barulah dia ingat bahwa kakinya harus
diobati. Darah yang mengucur kiranya sudah berhenti sendiri oleh asinnya air laut, selamat tapi tentu saja79 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
rasanya pedih dan senut-senut. Luka yang seakan disiram garam ini bukan main pedihnya. Lagi-lagi kalau
bukan pemuda ini tentu akan pingsan dan roboh. Tapi karena Togur adalah pemuda yang keras hati dan
sebagai murid Enam Iblis Dunia pemuda ini memang mengagumkan maka sambil merintih dan menahan
sakit akhirnya pemuda itu membalut luka di pangkal kaki dengan bajunya sendiri yang sudah diperas dan
dilepas. Selanjutnya pemuda itu terhuyung mencari obat-obatan di hutan, menahan sakit dan menggigit bibir
dan rseminggu lebih pemuda ini merawat diri. Akar-akar tanaman dan daun obat-obatan ternyata banyak
terdapat di situ. Pemuda ini mengurus dan merawat dirinya sendiri. Dan ketika sebulan kemudian dia sembuh
namun pangkal pahanya buntung, tak dapat dipakai berjalan maka dia mempergunakan tongkat untuk
penyangga kakinya itu.
Diam-diam pemuda ini menyesal. Sekarang dia menjadi cacad namun tiba-tiba dadanya bergemuruh.
Itulah akibat Kim-hujin. Dia harus bersyukur bahwa masih hidup dan untuk itu dia akan menuntut balas.
Akan dibuntunginya kedua kaki lawannya itu dan akan disiksanya lawannya itu sekejam-kejamnya. Sudah
terbayang di benaknya bahwa dia akan mempermainkan wanita itu dengan keji. Mula-mula, hmm.... dia akan
memperkosa lawannya itu, menelanjanginya dan mengikatnya di batang pohon. Lalu menusuk-nusuk seluruh
tubuhnya untuk kemudian ditaburi garam. Kemudian, hmm.... ketika lawan menjerit-jerit maka dia akan
mengutungi satu per satu jari-jari kaki wanita itu, sebelum menabas dan membuntungi kakinya seperti dia.
Dan ketika puncak siksaan sudah sampai maka dia akan membeset muka lawannya untuk kemudian dibakar!
"Pendekar Rambut Emas, aku tak mau sudah sebelum membeset dan mempermainkan isterimu.
Sumpah demi segala iblis aku akan membalas kejadian ini seribu kali lebih kejam!"
Namun, pemuda itu tiba-tiba tertunduk. Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas itu bukanlah wanita
lemah. Wanita itu amat sakti dan kosen. Ilmu-ilmunya tinggi dan masih lebih tinggi darinya. Kelebihan
lawan adalah Cui-sian Gin-kang dan Lui-ciang-hoatnya itu. Selebihnya adalah sama. Tapi ketika dia bersinar
dan teringat bahwa wanita itu memiliki seorang anak laki-laki, Beng An namanya, tiba-tiba dia tersenyum
dan menyeringai.
Hm, dia akan melakukan sesuatu yang tak diduga lawan-lawannya itu. Dia akan mencari dan menculik
anak ini dulu, mempermainkan perasaan orang tuanya sebelum diaduk-aduk lebih jauh. Dan ketika ingatan
itu membuat Togur menyeringai dan bangkit berdiri maka tak lama kemudian pemuda itu meninggalkan
pulau setelah luka-luka di kakinya sembuh. Dia tak berani langsung ke daratan melainkan berputar mencari
tempat-tempat sepi. Seringkali pemuda ini harus menghindari manusia lain kalau bertemu di tengah jalan.
Bukan apa-apa, semata hanya menjaga agar dia jangan dikenal dulu. Maka ketika dia menyusur dan akhirnya
bergerak ke utara, masuk dan membelok ke barat akhirnya pemuda ini berada di wilayah bangsa-bangsa liar,
yang tak begitu mengenalnya seperti halnya orang-orang kang-ouw di pedalaman. Dan ketika hari itu dia tiba
di wilayah bangsa U-min dan melihat sepasukan berkuda melarikan dua anak gadis cantik, hal yang
membuatnya bersinar maka. selanjutnya dia menghadang dan ingin main-main dengan orang-orang itu, yang
tak disangkanya malah mempertemukannya dengan Cucigawa, raja bangsa U-min yang dulu ditundukkannya
dan tentu saja segera mengenalnya karena mereka dahulu memang pernah dekat. Dan ketika Cucigawa
mengenalnya dan pasukanpun segera terkejut maka pemuda ini terlibat urusan pribadi dan kini ingin
menghadapi Ituchi.
Demikianlah, itulah sekelumit kisah tentang pemuda ini. Dan karena Ituchi akan menghadapi seorang
lawan tangguh, lawan yang berbahaya maka marilah kita ikuti lanjutannya dan lihat apa yang terjadi.
-0- Waktu itu, seperti diterangkan di depan, Ituchi akhirnya berkelebat meninggalkan ibunya. Dia marah
dan geram mendengar adiknya diculik. Cucigawa dan perajuritnya memang curang, tak tahu malu. Dan
ketika dia berkelebat dan Sudi, panglima gagah itu mengikuti dengan pasukannya yang mengejar di belakang
maka Ituchi sudah menuju hutan di mana Cucigawa atau pasukannya itu diperkirakan melarikan diri.
Ituchi mulai bergerak dan bekerja sendirian. Dia cukup mengenal daerah itu karena dia cukup lama
tinggal di sini, ketika dulu mengunjungi ibunya. Tapi ketika pasukannya menyusul dan bersorak-sorai,
membuat ribut maka dia mengerutkan kening dan terpaksa berhenti.80 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Kalian tak usah membuat gaduh. Aku ingin semuanya terjadi secara diam-diam agar kedua adikku
tidak celaka. Berpencarlah, dan jangan bersorak-sorai!"
Panglima Sudi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dialah yang meneruskan perintah pemuda itu
kepada pasukannya. Derap pasukan berkuda yang seribu lebih ini memang cukup membuat gaduh isi hutan,
belum ditambah dengan teriakan-teriakan mereka, yang menantang-nantang atau memanggil-manggil
Cucigawa. Maka begitu Ituchi melarang berteriak-teriak dan semua diam maka Ituchi minta agar pasukan
dipecah menjadi tiga.
"Barisan tengah menerobos isi hutan, yang lain bergerak di kiri dan kanan. Kalau musuh bertemu kita
sebaiknya beri tanda kepada yang lain agar cepat-cepat membantu!"
"Baik, dan paduka sendiri, pangeran. Apakah akan memasuki tengah hutan?"
"Ya, aku akan bergerak di sini. Paman pimpin yang lain dan biar yang ini mengikutiku dari belakang."
Tapi belum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba terdengar suara tawa aneh yang bergema
menggetarkan isi hutan. Suaranya tak kalah dahsyat dengan gemuruh derap seribu kuda dan Ituchi serta yang
lain-lain terkejut. Suara itu terdengar dari depan namun pemilik suaranya tak tampak. Dan ketika suara itu
bertambah dahsyat dan pasukan di depan mengeluh tiba-tiba mereka terguling dan roboh dari atas kudanya,
mendekap dada.
"Sumpal telinga kalian. Awas, seseorang menyerang dengan tenaga sakti!"
Namun terlambat. Seratus orang di depan tiba-tiba roboh dan terguling dari atas kudanya lagi. Bahkan
yang ini lebih hebat, muntah darah dan batuk-batuk! Dan ketika Sudi panglima yang gagah itu juga
terhuyung dan batuk-batuk, menekan dada kirinya maka secepat kilat Ituchi menotok dan menyumpal telinga
panglima ini.
"Mundur.... semua mundur!"
Bentakan atau seruan menggeledek Ituchi menggetarkan hutan. Pemuda ini mengerahkan khikangnya
juga dan dengan tenaga suara itu dia coba menindih tawa yang bergulung-gulung. Tawa itu kian hebat
hingga ratusan orang tiba-tiba tak tahan lagi, jatuh dan merintih-rintih di tanah. Mulut dan hidung mereka
mulai mengeluarkan darah, juga telinga! Dan ketika Ituchi kaget karena bentakan suaranya masih tertindih
oleh tawa yang menggetarkan itu maka diapun tiba-tiba terhuyung dan jatuh terduduk!
"Keparat!" Ituchi kaget sekali. "Siapa gerangan yang bersikap pengecut ini? Kenapa menyerang tanpa
berani memperlihatkan diri? Heh, keluarlah, manusia kunyuk. Perlihatkan dirimu dan jangan main
sembunyi!"
Tawa itu tiba-tiba berhenti. Seperempat pasukan sudah roboh terguling pingsan. Waktu yang hanya
sekejap itu sudah membuat ratusan orang jatuh di tanah, rata-rata terguncang dadanya oleh tawa yang amat
dahsyat itu, tawa yang mengandung khikang dan sanggup menggetarkan gunung seberapapun kokohnya dia.
Dan ketika tawa itu berhenti disusul berkelebatnya sesosok bayangan maka samar-samar di mulut hutan
berdiri seorang laki-laki buntung yang mengetruk-ngetrukkan tongkat.
"Heh-heh, sebegitu saja daya tahanmu, Ituchi. Sayang sekali, kau akan mati!"
Ituchi terbelalak. Pemuda tinggi besar ini melihat seseorang yang tinggi besar pula, berdiri setengah
membungkuk karena satu kaki yang lain ditopang tongkat, tak tegak namun cukup memberitahukan bahwa
seorang lawan yang amat berbahaya berdiri di situ. Lawan yang jelas kejam dan berwatak buruk, karena tak
segan-segan menyerang perajurit yang merupakan orang-orang biasa, bukan ahli-ahli silat. Dan ketika Ituchi
tertegun karena tak mengenal bayangan itu, yang berdiri di tempat setengah gelap maka dia menjadi heran di
samping terkejut, bangun berdiri.
"Kau siapa?"81 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Bayangan itu tertawa. Sekarang lawan tak mengeluarkan tenaga saktinya lagi dan tawa itu terdengar
biasa. Namun karena keluar dari orang yang aneh dan juga di tempat yang menyeramkan, hutan yang gelap
maka Ituchi merinding dan seakan-akan mengenal tawa itu, tawa yang lupa-lupa ingat.
"Ha-ha, kau sudah pikun, Ituchi. Kau rupanya sudah pelupa. Mendekatlah, dan lihat siapa aku!"
Ituchi berdetak. Memang tanpa disuruh lagi dia pasti akan mendekat dan melihat orang itu. Bukan
apa-apa melainkan sekedar ingin tahu dan memaki. Maka begitu orang menantang dan dia disuruh mendekat,
hal yang tentu saja tak takut dilakukannya maka Ituchi berkelebat dan membentak.
"Iblis busuk, aku memang akan melihat dan mendekati tampangmu!" berkata begini Ituchi
menyiapkan kedua lengannya yang bergetar penuh tenaga sinkang. Dia harus waspada karena siapa tahu
lawan akan menyerang, dengan tongkatnya itu umpamanya. Tapi ketika lawan tenang-tenang saja dan
tertawa, menunggu dia dekat maka Ituchi sudah berhadapan dan berhenti di depan lawannya ini.
"Lihatlah, lihat baik-baik. Kau tentu tak lupa kepadaku!"
Ituchi melebarkan mata. Dia sekarang sudah dekat dan tempat remang-remang itu bukan menjadi
halangan. Seorang pemuda sebayanya yang tinggi besar dan berkulit hitam dilihatnya. Ituchi tertegun, bagai
disambar geledek. Dan ketika dia mengamati lagi dan tentu saja mengenal wajah itu, wajah yang tampan
namun kejam tiba-tiba pemuda ini tersentak kaget dan mundur selangkah.
"Togur!"
Lawan terbahak menyeramkan. Isi hutan tiba-tiba kembali diguncang tawa yang dahsyat ini. Togur
mengeluarkan khikangnya dan berderaklah sebatang pohon di sebelah Ituchi, miring dan roboh! Dan ketika
pemuda itu terkejut dan kaget bukan main, tak menyangka bahwa lawan adalah murid Enam Iblis Dunia itu
maka Ituchi yang tertegun dan terbelalak melihat kaki orang yang buntung tiba-tiba disambar tongkat.
"Benar, aku, Ituchi. Dan kau tentu kenal ini... wherr!" dan Ituchi yang menangkis tapi terpelanting,
roboh dan terguling-guling segera berteriak kaget karena itulah Khi-bal-sin-kang.
"Keparat, benar kau kiranya!" Ituchi bergulingan melompat bangun, sekarang yakin bahwa ini benarbenar lawannya dan keheranannya akan kaki lawannya yang buntung sudah tidak dipikirnya panjang lagi.
Dia berhadapan dengan lawan yang amat berbahaya dan begitu meloncat bangun tiba-tiba pemuda ini
melengking, bergerak dan sudah membalas lawannya dengan satu pukulan jarak jauh. Tapi ketika lawan
menangkis dan menggerakkan tongkatnya maka pemuda itu kembali terbanting dan gegerlah pasukan di
belakangnya.
"Dess!"
Ituchi jatuh bangun. Togur tertawa lagi dan pasukan berkuda yang mau maju tiba-tiba terpelanting
lagi. Mereka menjerit dan mengeluh oleh tawa yang menggetarkan isi dada itu. Ituchi sendiri harus
mengerahkan sinkangnya untuk melindungi dada. Dan ketika dia meloncat bangun dan menyuruh
pasukannya mundur, hal yang segera dilaksanakan maka pemuda itu menyambar tombak seorang perajurit
dan dengan senjata ini Ituchi lalu menerjang.
"Mundur.... semua mundur. Jangan dekat-dekat!"
Lawan terbahak lagi. Togur mengelak dan tombak menderu di samping tubuhnya, menghajar dan
menusuk roboh sebuah pohon di belakang. Dan ketika Ituchi membentak dan menyerang lagi, berkelebatan
dengan marah maka di saat itulah terdengar derap pasukan Cucigawa dan muncullah raja tinggi besar itu
tertawa menyeramkan.
"Ha-ha, mampus kau, Ituchi. Dan sekarang aku akan mengobrak-abrik pengikutmu. Hayo, maju.
Serbu dan bunuh panglima Sudi!"
Panglima itu dan anak buahnya terkejut. Mereka tak menyangka bahwa tiba-tiba muncul si buntung
yang amat lihai itu. Mula-mula panglima Sudi lupa-lupa ingat. Dia mendengar Ituchi menyebut-nyebut nama
lawan namun karena Togur sudah dianggap tewas maka dia bingung mengenal siapa lawan tuannya itu. Tapi82 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
begitu Khi-bal-sin-kang menyambar dan pukulan Bola Sakti itu selalu mementalkan pukulan Ituchi maka
kagetlah dia mengenal pemuda ini. Dan kekagetannya bertambah lagi dengan munculnya pasukan Cucigawa.
Pasukannya sendiri sudah roboh ratusan orang oleh tawa dahsyat yang dikeluarkan Togur. Dia baru ingat dan
kaget akan pemuda ini, juga heran bagaimana tiba-tiba muncul di situ dengan kaki yang buntung pula. Tapi
karena Cucigawa sudah menyerang dan raja itu menjepretkan panah membidik anak buahnya maka panglima
ini melengking dan memberi aba-aba maju. Tadi pasukannya mundur karena tak berani menghadapi Togur,
lain kalau sekarang disuruh menghadapi pasukan Cucigawa, yang sebenarnya adalah rekan sendiri tapi
berbeda pendapat. Maka begitu Cucigawa membidik panah dan tiga orang teman mereka roboh oleh panah
yang besar ini segera mereka mengeprak kuda dan menyambut pasukan Cucigawa itu, sebelum mereka
digilas.
"Serbu, bunuh Cucigawa!"
Cucigawa tertawa bergelak. Akhirnya pertandingan antara dirinya dengan panglima Sudi tak
terelakkan lagi. Panah-panahnya sudah ditangkis panah panglima itu dan runtuh ke tanah. Sudi memang
panglima yang hebat. Tapi karena Ituchi tak akan melindungi panglima itu sementara dia sudah siap
membunuh lawan maka raja ini melarikan kudanya membabatkan gendewa.
"Ha-ha, mari maju, Sudi. Lihat kepalamu akan kuhancurkan.... wherr!"
Gendewa raja dielak cepat. Sang panglima tak berani menyambut dan tombaknya dicabut, bergerak
dan sudah menghadapi gendewa lawan yang menderu-deru di atas kepala. Tapi ketika muncul panglima
Horok dan panglima itu minta agar rajanya mundur ternyata Cucigawa menolak.
"Tidak, aku ingin membunuh pengkhianat ini dengan tanganku sendiri, Horok. Maju dan pimpinlah
pasukan merobohkan pemberontak. Bunuh mereka kalau tidak mau menyerah!"
Horok akhirnya mengangguk. Panglima itu bergerak menerjang pasukan lawan dan berkali-kali
membentak agar pengikut Sudi menyerah. Ramba juga mau mewakili rajanya namun Cucigawa menolak,
menyuruh pembantunya itu mengobrak-abrik pasukan lawan dan membunuh mereka kalau tidak mau
menyerah. Ituchi dan pemimpin-pemimpin yang lain akan mati terbunuh, siapa membangkang akan mati
terbunuh pula. Dan ketika Ramba juga mengangguk dan menggerakkan trisulanya membabat pasukan lawan
maka anak buah panglima itu panik dan gentar, apalagi setelah mengenal bahwa si buntung itu adalah Siauwong, pemuda lihai yang dulu menguasai bangsa-bangsa liar dan menyerbu Tiongkok, melihat Ituchi
kehilangan lawannya yang mulai berkelebatan cepat bagai siluman menari-nari.
"Dia.... dia Siauw-ong. Murid Enam Iblis Dunia!"
"Benar, ha-ha!" Cucigawa tertawa bergelak, mematahkan nyali lawan. "Karena itu menyerahlah,
tikus-tikus busuk. Kalian masih akan kuampuni kalau segera membuang senjata. Tapi kalau tidak maka
kalian semua kubunuh!"
Panglima Sudi mengeluarkan bentakan marah. Pasukannya yang menjadi ciut tiba-tiba diperintahkan
untuk bertempur dengan gagah berani. Mereka melawan iblis-iblis kejam yang manis di mulut tapi keji di
hati. Panglima itu menusukkan tombaknya memaki lawan, maksudnya mau membangkitkan semangat anak
buahnya agar tidak kena gertak. Tapi ketika tombaknya terpental dan dia sendiri terhuyung, kalah tenaga,
maka maksud panglima itu malah berakibat sebaliknya. Pasukan pengikutnya menjadi panik karena di sana
Ituchi juga terbanting oleh gebukan tongkat. Si buntung tertawa menggetarkan hutan dan lenyap merupakan
bayang-bayang hitam, mendesak dan bahkan menekan Ituchi yang tadinya menjadi andalan pasukannya. Dan
ketika pemuda itu kembali bergulingan sementara sang panglima juga berteriak dan terjatuh dari atas
kudanya, menangkis hantaman gendewa maka pasukan Cucigawa yang dua kali lipat dibanding pasukan itu
membuat anak buah panglima ini kalang-kabut. Horok dan Ramba membabat siapa saja yang tak mau segera
membuang senjatanya. Sepak terjang atau tandang dua pembantu Cucigawa itu benar-benar ganas sekali.
Mereka benar-benar merasa sombong setelah hadirnya si buntung itu, e. yang mampu menghadapi Ituchi,
pemuda yang semula paling ditakuti. Dan ketika Sudi dan pasukannya bingung dan tawa yang bergetar-getar
dari mulut si buntung terus ditujukan kepada pasukan ini maka Sudi dan anak buahnya terdesak hebat dan
beberapa di antaranya mulai melarikan diri.83 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hei, jangan melarikan diri. Buang senjata kalau ingin menyerah!"
Horok melempar empat lembing ke arah lawan yang melarikan diri. Mereka itu menjerit dan roboh
tersungkur, membuat yang lain pucat dan akhirnya paniklah pasukan itu. Kalau saja panglima Sudi mampu


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi Cucigawa atau kalau saja si buntung itu bukan Siauw-ong yang sudah mereka kenal
kehebatannya barangkali pasukan ini akan bertempur dengan gagah berani. Namun celaka, lawan dibantu
Siauw-ong, pemuda yang dulu memimpin dan menundukkan bangsa-bangsa liar. Tak akan ada yang kuat
menandingi pemuda itu dan Ituchipun tidak. Dulu mereka sudah melihat bahwa putera Raja Hu itu memang
bukan tandingan lawan. Yang dapat menghadapi pemuda itu hanyalah Pendekar Rambut Emas atau
keluarganya, yang lain-lain tak akan mampu dan sejarah pasti berulang. Dan ketika benar saja di sana Ituchi
mulai mengeluh dan terhuyung-huyung, terdesak hebat, tombak di tangannya selalu terpental oleh tongkat di
tangan lawan maka perlahan tetapi pasti pemuda itu mundur-mundur dan semakin terjepit. Dan tombaknya
akhirnya patah! Ituchi pucat ketika tombak di tangannya itu ditangkis tongkat, patah dan menjadi dua
potong. Dan ketika lawan tertawa bergelak dan melanjutkan gerakan tongkat maka bahu pemuda itu
terhantam dan Ituchi terjengkang.
"Dess!"
Pasukannya pucat. Kalau sudah begitu maka tak ada harapan lagi. Sudi yang jatuh dari atas kudanya
juga dikejar dan terus dikejar lawannya. Cucigawa terbahak-bahak melihat panglima itu basah kuyup, pucat
kehilangan senjata dan menyambar lagi tombak yang lain namun gendewa di tangan raja terlalu hebat.
Panglima itu kalah tenaga karena Cucigawa memang tinggi besar dan gagah. Dan ketika panglima itu
dihantam gendewa dan meloncat ke kiri, terpeleset, maka Cucigawa tiba-tiba mencabut sebatang anak panah
dengan tangan kirinya dan secepat kilat menimpukkannya ke dada lawannya itu.
"Ha-ha, mampus kau, pemberontak. Pergilah ke neraka!"
Panglima Sudi terbelalak. Tak ada kesempatan lagi untuk mengelak dan apa boleh buat dia
menggerakkan tangannya menangkis. Tapi karena kurang cepat dan masih saja panah meluncur maka tangan
panglima itu terluka sementara dada kirinya tertancap, roboh dan saat itu lawan melepas lagi panah kedua.
Sang panglima tak mampu menangkis lagi dan tembuslah panah itu di perutnya. Dan ketika panglima itu
roboh dan mengeluh, benar-benar tak berdaya lagi maka lawan membungkuk dan gendewapun diayun ke
atas kepalanya.
"Prakk!"
Cucigawa tertawa bergelak. Sudi terjengkang dengan kepala pecah, isi dan otaknya berhamburan. Dan
ketika panglima itu ambruk dan binasa, tewas seketika, maka pasukannya bersorak sementara pasukan lawan
terkejut bukan main. Mereka sudah didesak dan diserang habis-habisan. Robohnya panglima Sudi membuat
mereka ngeri dan pucat, tak lama lagi tentu mereka juga roboh dan binasa. Dan ketika mereka ada yang
membuang senjata dan berteriak menyerah, patah oleh kejadian ini maka di sana Ituchi juga terpelanting dan
berteriak tertahan. Putera Raja Hu ini sudah patah tombaknya dan terdesak hebat. Pukulan-pukulan
sinkangnya selalu membalik oleh Khi-bal-sin-kang yang dipunyai lawannya itu. Ituchi marah dan gusar
sekali karena Togur mempergunakan ilmu curian. Khi-bal-sin-kang adalah milik Pendekar Rambut Emas dan
keluarganya tapi dengan kelicikannya yang tak tahu malu kini pemuda itu mempergunakannya. Dulu ilmu itu
adalah milik Hu-taihiap dan gara-gara pemuda ini Hu-taihiap sampai tewas dan dicuri ilmunya (baca: Istana
Hantu). Maka didesak dan harus mengakui bahwa Khi-bal-sin-kang memang luar biasa, karena pukulan
Bola Sakti itu akan selalu menolak dan mementalkan pukulan-pukulannya akhirnya Ituchi berteriak
menghantam lawan dengan kedua tangan, membuang sisa tombak tapi pada saat itu lawan berkelebat
menghilang. Dengan Jing-sian-engnya yang luar biasa, Ginkang Seribu Dewa, memang Togur dapat lenyap
seperti siluman. Ituchi kalah cepat dan tak mampu mengimbangi lawan. Maka ketika dia kehilangan sasaran
dan saat itu pukulannya mengenai angin kosong, menghantam dan meledakkan pohon di depan maka saat
itulah lawan muncul di belakangnya berseru tertawa.
"Ituchi, cukup. Kau harus menyerah dan menyatakan takluk atau aku terpaksa membunuhmu!"
Ituchi terbanting. Tepukan lawan perlahan saja namun karena dipenuhi Khi-bal-sin-kang maka
hebatnya bukan alang kepalang. Dia seakan digebuk lempengan besi seribu ton ketika telapak pemuda itu84 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
mendarat. Dan ketika Ituchi mengaduh dan bergulingan menahan sakit maka lawan memintanya untuk
menyerah.
"Aku tak sudi menyerah, lebih baik mampus!"
Hm, kalau begitu baiklah," si buntung tertawa dingin. "Sudah kuduga bahwa kau keras kepala, Ituchi,
sombong dan tak tahu diri. Baiklah, kita akhiri main-main ini dan menghadaplah mendiang ayahmu!"
Ituchi membentak. Saat itu dia sudah melompat bangun dan menubruk lagi, nekat. Dia memang marah
dan sadar bukan tandingan lawan. Namun karena lari atau menyerah adalah pantangan baginya maka begitu
lawan mengejek tiba-tiba dia menerkam sebuas harimau luka. Namun sesosok bayangan panjang tiba-tiba
menyambut. Ituchi terkejut ketika sesuatu menyambar dadanya, tongkat lawan. Kiranya, dalam jengkel dan
gemasnya tiba-tiba lawannya itu melepaskan tongkat. Senjata di tangan itu memapak ketika justeru dia
sedang melompat ke depan. Dan karena Ituchi tak mungkin mengelak dan satu-satunya jalan ialah
menangkis maka pemuda itu sudah melakukannya namun alangkah kagetnya ketika tongkat itu licin dan
terus meluncur, lewat di sisi tangannya dan tentu saja pemuda itu kaget bukan main. Tongkat itu seperti ular,
atau belut yang terus menyambar tanpa dapat dicegah lagi. Dan ketika Ituchi berteriak dan pucat serta pasi
maka saat itulah tongkat itu menancap dan tembus sampai punggungnya.
"Cep!" Ituchi bergetar tertahan. Pemuda ini terpantek di tengah jalan dan mendelik, darah memuncrat
dari luka-lukanya. Tapi ketika dia mengeluh dan roboh terjerembab, tak mampu bertahan lagi maka putera
Raja Hu ini tewas dan seketika itu juga melayang jiwanya!
"Ha-ha!" si buntung terbahak-bahak. "Terkabul keinginanmu, Ituchi. Menghadaplah ayahmu dan
jangan salahkan aku!"
Pasukan gempar. Pengikut panglima Sudi menjadi kaget dan pucat. Mereka yang tidak membuang
senjata tiba-tiba membalik dan melarikan diri, berteriak-teriak. Dan ketika lawan mengejar dan Cucigawa
tertawa bergelak maka raja itu mementang gendewanya dan satu per satu dipanah seperti pemburu yang
kegirangan mendapat buruan. Akibatnya terjungkallah orang-orang itu namun yang lain masih mampu
menyelamatkan diri. Mereka inilah yarig terus memacu kudanya memasuki kota, pasukan Cucigawa
berderap di belakang tapi mereka yang lebih cepat tak sempat dikejar. Dan ketika mereka berteriak-teriak
bahwa pangeran tewas, langsung ke perkemahan Cao Cun maka ibu yang sedang menunggu puteranya itu
terpekik.
"Apa? Anakku tewas? Ituchi.... Ituchi....."
"Benar, seorang pemuda lihai membantu Cucigawa, ibu suri. Dan dia itu bukan lain adalah Siauw-ong,
pemuda iblis yang dulu menjadi murid Enam Iblis Dunia itu. Kini dia muncul, dan membunuh pangeran.
Mari melarikan diri dan ikut bersama kami!"
"Tidak!" Cao Cun tiba-tiba berteriak. "Kau bohong, perajurit. Kau penipu. Pemuda iblis itu sudah tak
ada lagi. Dia terbunuh di Sam-liong-to!"
"Ah, kami tak dapat menerangkan, ibu suri. Pemuda itu hidup lagi dan sekarang kakinya hanya
sebelah. Kami juga tadinya tak percaya tapi sekarang harus percaya. Panglima Sudi juga binasa. Mari cepat
bersama kami karena musuh mengejar di belakang!"
Cao Cun roboh. Wanita ini tiba-tiba menjerit dan pingsan begitu disambar si perajurit. Dia tak kuat
lagi menahan berita itu karena si perajurit bicara begitu sungguh-sungguh, juga teringat mimpinya semalam
bahwa puteranya itu dijemput sang ayah, padahal mendiang Raja Hu sudah lama tiada dan itu berarti tanda
tak baik, terbukti sekarang dan panglima Sudipun dikabarkan binasa. Maka begitu si perajurit
menyambarnya dan tepat bersamaan itu wanita ini roboh maka Cao Cun sudah dibawa ke atas kuda dan
dilarikan sekencang-kencangnya.
Dari belakang memang terdengar gemuruh dan sorak-sorai pasukan Cucigawa. Mereka itu datang
dengan membawa kemenangan dan pasukan yang ada di depan membawa sebuah kepala yang berlumuran
darah, ditancapkan di sebatang tombak dan diacung-acungkan kepada rakyat. Itulah kepala Ituchi yang
dipenggal oleh Cucigawa, setelah pemuda itu dirobohkan oleh Togur. Dan ketika semua berteriak-teriak85 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
gembira sementara rakyat dibuat menggigil dan pucat, ngeri oleh kepala yang dibuat permainan oleh pasukan
Cucigawa itu maka raja dan semua pembantunya masuk bagai hewan-hewan buas yang mencapai
kemenangan dengan brutal.
Cucigawa segera menduduki kemahnya lagi dan mengumumkan bahwa para pemberontak telah
dihancurkan. Siapa yang coba-coba melawan lagi akan dibunuh dan tentu saja tak ada seorangpun yang
berani. Togur, si buntung yang lihai itu telah membantu kemenangan Cucigawa tapi tak mau
memperlihatkan diri kepada rakyat. Pemuda ini berkata biarlah Cucigawa menduduki singgasananya lagi, dia
akan berdiri di belakang layar dan raja itu hanya sebagai boneka yang melaksanakan perintah-perintahnya.
Dan ketika hari itu bangsa U-min diguncang oleh kejadian-kejadian yang menggemparkan maka selanjutnya
Cucigawa memerintah dengan tangan besi dan rakyat dibuat takut oleh kebengisan raja yang tiba-tiba
melebihi sikap-sikapnya yang lalu. Rakyat tak diberi tahu akan munculnya si buntung ini karena Togur tak
mau banyak orang tahu akan dirinya. Dia ingin menyembunyikan dirinya dan biarlah tetap dianggap tewas,
seperti apa yang disangka orang dengan kematiannya di Sam-liong-to itu. Dan karena pasukan yang tahu
kehadiran pemuda ini diancam untuk tutup mulut, tak boleh memberi tahu siapapun maka Togur menjadi
bayangan di balik berdirinya Cucigawa. Pemuda ini tetap mendudukkan raja itu sebagai pemimpin bangsa Umin, meskipun tentu saja dialah yang berkuasa dan menguasai rakyat seperti dulu. Tapi ketika peperangan
selesai dan Ituchi dibunuh ternyata dua adik perempuannya yang ditangkap pasukan Cucigawa lenyap
melarikan diri. Dua perajurit yang menjaga mereka tewas, ditikam dari belakang. Dan ketika Togur diberi
tahu tentang ini tiba-tiba pemuda itu berkerut kening.
"Tak ada? Hilang? Hm, bodoh sekali perajuritmu itu, Cucigawa. Tapi kalau mereka sudah melarikan
diri biarlah mati diterkam binatang buas. Sudahlah, aku tak butuh mereka tapi di mana ibu suri Cao Cun!"
"Wanita inipun tak ada, juga melarikan diri. Tentu dibawa oleh sisa-sisa perajurit Sudi!"
"Apa, tak ada? Celaka, bodoh sekali, Cucigawa. Kejar dan tangkap wanita itu. Dia bisa berbahaya!"
"Berbahaya?" sang raja terkejut, tertegun. "Wanita itu lemah, Siauw-ong. Kalau Ituchi saja dapat kau
bunuh apalagi wanita itu! Bagaimana bisa dikatakan berbahaya?"
"Bodoh dan tolol!" tongkat tiba-tiba bergerak, mengibas raja itu hingga mencelat terguling-guling.
"Wanita itu erat hubungannya dengan Pendekar Rambut Emas, Cucigawa. Kalau dia sampai lolos dan
memberitahukan ini tentu aku celaka. Cari dan dapatkan wanita itu, bunuh di tempat!"
Cucigawa kaget. Sekarang dia mengerti dan tiba-tiba melompat bangun. Pinggangnya digebuk dan
raja itu tertatih-tatih, kesakitan. Tapi ketika dia meringis dan mengangguk maka dia cepat memanggil
pembantunya untuk mengejar dan mencari Cao Cun. Dan begitu puluhan orang bergerak maka nasib wanita
itu dibayang-bayangi maut sementara dua puterinya pun entah pergi ke mana.
* * * "Lepaskan aku... aku bisa menunggang kuda sendiri!" begitu Cao Cun berontak ketika sadar. Wanita
ini memang dilarikan cepat dan tubuh yang berguncang-guncang akhirnya sadar setelah kuda pengawal
menaiki bukit berbatu yang terjal. Seratus lebih mengiring di belakang dan semua orang rata-rata mandi
keringat, juga bermuka murung karena orang-orang yang menjadi pimpinan binasa semua. Ituchi, pangeran
yang diharap dan berkepandaian tinggi itu ternyata tewas di tangan si buntung, Siauw-ong yang dulu bekas
penakluk suku-suku bangsa liar. Dan ketika semua bersedih dan bercucuran air mata maka perajurit yang
membawa ibu suri tiba-tiba terkejut ketika ibu suri bergerak dan meronta ingin menunggang kuda sendiri.
"Berikan kudamu, kau ikut di belakang!" seorang pemuda tiba-tiba tampil ke depan, menghentikan
kuda si perajurit dan pemuda ini mengangkat tangannya menghentikan rombongannya pula. Dia sendiri
sudah cepat meloncat turun dan menolong Cao Cun menaiki kuda si pengawal, ketika si pengawal atau
perajurit itu meloncat turun dari atas kudanya untuk memberikan kuda tunggangannya kepada Cao Cun. Dan
ketika Cao Cun tertegun dan melihat pemuda itu maka si pemuda membungkuk dan memberi hormat.
"Silahkan, paduka tetap kami kawal, ibu suri. Dan berjalanlah di tengah tapi bukit bebatuan ini terjal."86 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Kau Lisan? Putera panglima Sudi?"
"Benar," pemuda itu menggigit bibir. "Kita sama-sama kehilangan orang yang kita cintai, ibu suri.
Silahkan paduka berjalan dan kami mengawal."
Cao Cun tersedu. Tiba-tiba wanita itu meloncat turun dan menubruk pemuda ini, memeluk. Dan ketika
dia menangis dan mengguguk mendekap pemuda itu, teringat puteranya maka Lisan, pemuda gagah putera
panglima Sudi ini bercucuran air mata dan tak dapat menahan kesedihannya pula.
"Ooh, kau.... ah, kita sama-sama kehilangan orang yang kita cintai, Lisan. Tapi kau laki-laki sedang
aku wanita! Apa yang dapat kulakukan setelah puteraku terbunuh? Siapa yang melindungi dan membela aku
kalau aku ditimpa bahaya? Keparat, sungguh keji musuh yang mencelakakan kita itu, Lisan. Dan rupanya
sudah nasib bagiku untuk selalu tertimpa nasib buruk!"
"Sudahlah," pemuda ini menghibur. "Meskipun aku laki-laki tapi aku juga sama tak berdayanya
seperti paduka, ibu suri. Aku juga tak mungkin membalas pembunuh ayahku. Mereka terlalu lihai, dan aku
bukan lawannya!"
"Dan kalian bilang bahwa Togur masih hidup! Setan jahanam mana yang menghidupkan pemuda itu,
Lisan? Bukankah dia sudah mampus di Sam-liong-to?"
"Kami tak dapat menjawab ini..." si pemuda menunduk sedih, gentar dan sedih. "Kami juga tak tahu
bagaimana dia hidup, ibu suri. Tapi yang jelas kita menghadapi musuh yang tak terkalahkan. Aku putus asa
dan tak tahu apa yang harus kulakukan!"
"Tidak!" Cao Cun tiba-tiba bangkit semangatnya. "Aku tahu apa yang harus kalian lakukan, Lisan.
Pergi dan antarkan aku ke Pendekar Rambut Emas. Di sana kita dapat melakukan banyak dan kalian akan
dapat membalas dendam!"
Lisan, pemuda gagah ini tertegun. Dia seakan disentak ke alam pemikiran baru dan tiba-tiba seratus
orang di belakangnya bersorak. Mereka tadi membawa lari ibu suri tanpa ingat akan nama yang besar itu, lari
dan hanya lari tanpa tujuan. Maka begitu ibu suri menyebut nama ini dan Pendekar Rambut Emas adalah
nama yang dapat diandalkan tiba-tiba saja mereka bersorak dan kegirangan oleh permintaan Cao Cun. Kalau
begitu mereka telah salah jalan. Tadi Lisan tak mengarahkan mereka karena hanya mengikuti si perajurit
yang membawa Cao Cun. Tapi begitu Cao Cun menyuruh mereka mencari Pendekar Rambut Emas,
pendekar yang tinggal di sebelah barat di utara tembok besar maka mereka bergegas dan Lisan pemuda
gagah itu memerintahkan untuk kembali turun.
Tapi orang-orang ini terkejut. Baru saja mereka kembali dan turun tiba-tiba dari jauh tampak barisan
berkuda Cucigawa. Itulah orang-orang yang diperintahkan raja untuk mengejar dan menangkap Cao Cun.
Cucigawa memerintahkan agar semua jalan ke barat ditutup. Togur telah memberi tahu pemimpin bangsa Umin itu bahwa Cao Cun pasti akan minta perlindungan di barat. Dan karena Pendekar Rambut Emas memang
tinggal di sebelah barat sementara bangsa U-min di sebelah timur maka begitu Cao Cun dan pengiringnya
kembali ke sana maka tempat itu sudah ditutup atau dicegat pengikut-pengikut Cucigawa, yang memang
mencari dan mengejarnya.
"Itu dia, tangkap...!"
Lisan dan anak buahnya terkejut. Mereka sudah dilihat pasukan lawan dan tinggal dua pililian bagi
mereka, menyambut atau memutar tubuh melarikan diri. Tapi melihat bahwa lawan seimbang jumlahnya
maka pemuda gagah itu sudah menyuruh pasukannya menyambut.
"Terjang, dan bunuh mereka!"
Pemuda itu sendiri sudah melarikan kudanya dan menggerakkan pedang. Lawan yang ada di depan
segera dibabat dan robohlah seorang perajurit disambar pedang pemuda ini. Dan ketika yang lain berteriak
dan ikut menerjang maka pasukan musuh sudah dihadapi dan terjadilah perang tanding yang amat hebat.
Lisan yang memimpin rombongannya berkali-kali menggerakkan pedang dan merobohkan musuh-87 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
musuhnya. Mereka kalang-kabut dan sebentar saja terjatuh dari atas kudanya. Tapi ketika lawan meniup
terompet kerang dan dari kanan muncul barisan yang lain maka Lisan terkejut dan membelalakkan matanya.
Ternyata musuh tidak hanya itu. Cucigawa telah membagi-bagi pasukannya untuk mencari dan
mengejar rornbongan ini, memecahnya menjadi seratus orang tiap-tiap kelompok dan masing-masing
berpatroli menemukan musuh. Siapa yang dapat dia akan lebih dulu menangkap, kalau gagal dapat meniup
terompet untuk meminta bantuan. Maka begitu mereka terdesak karena Lisan pemuda yang gagah itu
mengamuk dan menggerakkan pedangnya ke sana ke mari maka pasukan itu kocar-kacir dan muncullah
pasukan lain untuk datang membantu.
Lisan membelalakkan mata. Dia telah merobohkan tak kurang dari tigapuluh orang dan bergirang
bahwa sebentar lagi hutan di depan itu diterobos. Kalau dia sudah menerobos maka tentu dia dan
rombongannya akan selamat. Setelah itu mereka akan melarikan kuda sekencang-kencangnya dan di luar
sana mereka dapat bersembunyi di balik bukit-bukit hijau. Tak tahunya musuh yang lain datang menyergap
dan tentu saja pemuda itu marah. Dan ketika dia berseru pada pasukannya untuk bertanding mati-matian
maka pasukannya diminta untuk menghujani dengan anak-anak panah.
"Robohkan mereka, bunuh semua!"
Cao Cun ngeri. Wanita ini duduk di atas kudanya dan terbelalak memandang semuanya itu. Darah
yang muncrat dan tubuh yang terguling roboh dari atas kudanya membuat wanita ini seram. Bantaimembantai yang ada di situ sungguh membuat hatinya diaduk-aduk. Ingin dia muntah setiap melihat darah
segar menyemprot dari lukanya. Tapi ketika dia terbelalak dan terpaku di atas kudanya tiba-tiba sebatang
tombak terbang menyambar.
"Awas!"
Cao Cun terpekik. Dia baru tahu itu setelah Lisan berteriak memperingatkan. Seorang perajurit
melempar tombaknya itu tapi untung Lisan menjepret panah, yang tepat dan meruntuhkan tombak si
perajurit. Dan ketika Lisan menggeram marah dan melepas lagi sebatang anak panah, menyimpan
pedangnya, maka perajurit itu roboh dan Lisan bergerak mendekati wanita ini.
"Paduka menerobos ke depan. Hamba akan membuka jalan!"
Cao Cun menggigil. Tali kekang kudanya sudah ditarik dan disambar pemuda ini, Lisan membedal
dan pedangpun dicabut lagi untuk menikam musuh yang berani menghalang. Dan ketika pasukannya juga
bergerak dan melindungi di kiri kanan, gagah membela Cao Cun maka musuh dibuat miris oleh sepak terjang
pemuda ini. Lisan tak memberi ampun setiap musuh yang mendekat. Pasukannya di kiri kanan disuruh
melepas anak panah setiap mereka datang. Dan ketika dua kelompok pasukan itu cerai-berai dan kacau
berteriak-teriak maka kepungan dapat dibobol dan pemuda itupun sudah melarikan kudanya mendekati
hutan.
"Cepat, kita semua lari. Lindungi ibu suri!"
Cao Cun kagum. Akhirnya dengan gerak luar biasa putera panglima Sudi itu menghalau musuh.
Pedang di tangannya yang bergerak-gerak selalu menjatuhkan korban kalau ada musuh berani mendekat.
Pasukannya melindungi dengan melepas anak-anak panah pula. Mereka menghalau dan kini berpacu
mendekati hutan. Itulah .jalan keluar satu-satunya yang akan membawa mereka ke tempat Pendekar Rambut
Emas. Tapi ketika terdengar bentakan dan derap kuda tiba-tiba di mulut hutan muncul seratus pasukan lain
yang dipimpin Ramba. Dan ketika Lisan terkejut dan menghentikan kudanya, karena Ramba dikenalnya baik
maka dari tempat yang lain muncul pula seratus pasukan lain dan Horok, pembantu utama Cucigawa muncul,
berseru dengan bentakannya yang nyaring.
"Lisan, menyerahlah. Serahkan ibu suri dan buang senjatamu!"
Pemuda itu tertegun. Dari depan juga terdengar geraman Ramba dan pembantu nomor dua Cucigawa
itu mengejek agar dia menyerahkan diri. Ayahnya saja tak sanggup menghadapi apalagi dia. Dan ketika
pemuda ini menjublak dan bingung, pucat serta gelisah maka dua rombongan itu sudah maju mendekat dan
mengepung. Jalan benar-benar buntu!88 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Menyerahlah baik-baik, dan buang senjatamu. Atau kau mati seperti ayahmu dan kalian semua
kubunuh!"
Pemuda ini tak dapat menjawab. Ibu suri yang ada di sampingnya dicekal erat-erat. Pemuda itu
bingung karena musuh tak mungkin dilawan lagi. Dia tak akan menang menghadapi pembantu-pembantu
utama Cucigawa di situ, apalagi mereka dua orang sekaligus. Tapi ketika pemuda ini tak dapat menjawab
dan tekadnya biarlah dia mati asal ibu suri selamat tiba-tiba dari dalam hutan, di belakang pasukan Ramba
terdengar tawa seseorang dan muncullah di situ seorang laki-laki bertopeng kertas.
"Horok, kau panglima yang tak tahu malu. Masa menghadapi pemuda macam itu kau main ancam dan
keroyok? Dan temanmu si Ramba itu juga. Ah, kalian orang-orang pengecut yang beraninya mengandalkan
jumlah banyak. Lihat aku, seorang diri berani menghadapimu... wut!" dan orang ini yang bergerak dengan
luar biasa cepat tiba-tiba melampaui semua pasukan Ramba dan sudah berdiri di depan pembantu nomor dua
Cucigawa itu, seperti siluman, terbang dan hinggap dengan cara yang amat mengejutkan!
"Siapa kau?" Ramba berseru, membentak tertahan. "Siluman atau manusia pengecut? Kalau bukan


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengecut maka buka tutup wajahmu itu, jangan memaki kami pengecut!"
"Ha-ha, anjing menggonggong tanda takut. Aku siluman utusan Pendekar Rambut Emas, Ramba.
Minggirlah baik-baik dan biarkan pemuda itu dan rombongannya bebas. Atau kau kubuat jungkir balik dan
semua teman-temanmu kulempar!"
Jilid VII
RAMBA dan pasukannya terkejut. Laki-laki itu telah memperkenalkan diri sebagai utusan Pendekar
Rambut Emas dan gerak-geriknya yang tangkas serta cepat sungguh boleh dipercaya. Tapi karena laki-laki
itu memakai topeng dan Ramba kurang yakin maka pembantu Cucigawa itu memberi aba-aba dan
pasukannya tiba-tiba melepas anak panah ke arah laki-laki ini.
"Plak-plak-plak!"
Pasukan terkejut. Laki-laki itu tertawa dan kedua tangannya bergerak maju mundur, semua anak panah
runtuh dan Ramba serta panglima Horok tersentak. Benar, laki-laki itu lihai! Tapi karena mereka tak mau
didahului dan Horok sudah memberi isyarat dengan matanya maka Ramba tiba-tiba bergerak dan kudanya
dipacu untuk menerjang orang itu.
"Serang, bunuh laki-laki ini!"
Pasukan berderap. Ramba sudah menjepit trisulanya di ketiak, ujungnya mengarah lawan dan Horok
bergerak pula dari samping kanan. Dua pembantu Cucigawa itu sudah menerjang dan mengeroyok laki-laki
ini, pasukanpun maju serentak hingga laki-laki yang sebelumnya sudah berada di tengah kepungan itu
mendapat hujan serangan dari mana-mana. Tapi ketika semua bergerak dan tombak atau pedang mendesing
ke arah laki-laki ini mendadak dia tertawa dan bergerak lenyap. Gerakan itu luar biasa sekali dan semua yang
menerjang tersentak. Mereka terlanjur menggerakkan senjata masing-masing dan Ramba sudah menusuk
dengan trisulanya itu. Horok yang ada di samping juga menggerakkan tombak menikam dari samping. Maka
begitu lawan lenyap dan mereka hanya melihat laki-laki itu meloncat ke atas dan entah kini ke mana maka
dua senjata mereka bertemu sementara tombak dan pedang pasukanpun berbentura satu sama lain.
"Cranggg!"
Semua orang terkejut. Ramba terhuyung di atas kudanya sementara Horok terdorong ke belakang,
masing-masing sama berseru tertahan. Tapi ketika mereka mendesis dan pasukan berteriak satu sama lain
tiba-tiba lawan yang tadi lenyap entah ke mana mendadak muncul seolah garuda menyambar.
"Ha-ha, ini hadiah kalian satu per satu...... des-des-dess!" Horok dan Ramba terlempar dari atas
kudanya, tak sempat mengelak lagi karena mereka baru saja beradu senjata. Dua-duanya terpekik dan orang
itupun sudah berkelebatan ke sana ke mari, menampar dan menendang pasukan di situ dan ratusan orang ini89 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tiba-tiba menjerit. Mereka tak tahu apa yang menyambar itu karena tahu-tahu tubuh sudah terangkat atau
terlempar ke bawah. Laki-laki itu kiranya meloncat begitu tinggi dan kini menukik turun bagai seekor
burung besar, tentu saja lawan-lawannya terkejut dan Horok serta rekannya mengeluh membelalakkan mata.
Dan ketika mereka terhuyung bangun dan melihat laki-laki itu bergerak ke sana ke mari mengobrak-abrik
pasukan mereka maka keduanya menggigil dan gemetar.
"Celaka, kita bertemu siluman!"
Ramba juga berpikir begitu. Mereka tak mungkin lagi harus menyerang kalau belum apa-apa sudah
didahului dan dirobohkan lawan. Dan ketika mereka pucat tapi teringat ibu suri yang masih di situ, di dekat
Lisan yang terbelalak memandang kejadian itu maka keduanya tiba-tiba mengangguk dan tersenyum ke arah
si pemuda, bergerak cepat.
"Kita tangkap ibu suri, dan bunuh pemuda itu!"
Namun Lisan tiba-tiba menoleh. Pemuda itu terkagum-kagum melihat gerak bayangan ini yang sudah
tidak dapat dilihat rupanya lagi. Dia dan sisa pasukannya terbengong-bengong. Tapi begitu Ramba dan
Horok bergerak mengancam sementara bayangan itu berkelebatan jauh di tengah maka pemuda ini sadar dan
cepat berteriak, "Awas...!" dan menangkis serta mendorong ibu suri untuk menjauh tiba-tiba pemuda itu
sudah menyambut serangan dua orang ini. Tombak dan trisula di tangan Horok dan Ramba ditangkis dengan
pedangnya, tentu saja mencelat! Dan ketika Lisan membanting tubuh dari atas kudanya dan berteriak keras
maka kudanya melejit dan kaget meringkik panjang, mendepak dua orang itu.
"Plak-plak!"
Horok dan Ramba memaki. Mereka disambut kaki kuda dan tentu saja menangkis, kuda itu meringkik
dan kesakitan. Dan ketika Horok menggerakkan tombaknya dan tepat menusuk jantung maka kuda itu roboh
sementara Ramba mengejar lawannya yang bergulingan menjauh.
Namun anak buah Lisan bergerak. Mereka kini juga sadar dan bangkit semangatnya melihat sepak
terjang si laki-laki bertopeng. Jelas mereka dibantu orang lihai dan itu membuat mereka berbesar hati. Dan
karena pasukan di sana diobrak-abrik sementara Horok dan Ramba hanya berdua saja maka bekas pemimpin
itu dilabrak dan Horok serta Ramba menggeram marah. Mereka menusuk dan menikam dengan senjata
mereka tapi belasan orang itu menangkis. Lisan datang membantu dan kini dua orang itu malah dikeroyok.
Ramba memaki-maki dan sadarlah keduanya bahwa kalau sendirian saja mereka berdua tak mungkin
menang. Maka ketika tombak atau trisula mereka terpental menghadapi terlalu banyak musuh maka dua
orang ini berteriak agar pengawal atau pasukan mereka maju membantu.
"Heii, ke sini. Bunuh dan robohkan mereka ini. Bantu kami!"
Namun pasukannya menjerit. Ketika seorang dua mau datang membantu sekonyong-konyong sebutir
batu hitam menyambar punggung, menotok dan merobohkan mereka ini. Dan ketika yang lain-lain juga mau
bergerak tapi selalu roboh di tengah jalan, kiranya diserang bayangan lihai yang berkelebatan di sana maka
Ramba maupun Horok menjadi gentar. Mereka terus mundur dan mundur dan apa boleh buat harus
menyelamatkan diri. Bayangan itu tertawa-tawa dan kiranya memperhatikan gerak-gerik dua pembantu
Cucigawa ini, tentu saja membuat dua orang itu mendongkol tapi Ramba dan Horok benar-benar mengetahui
kelihaian lawan. Dan karena mereka didesak dan dikeroyok belasan orang yang membuat mereka kerepotan
akhirnya dua orang itu meloncat ke belakang dan melarikan diri menyambar kuda yang berkeliaran
kehilangan tuannya, yang roboh atau diroboh-robohkan laki-laki bertopeng itu.
"Mundur.... semua mundur!"
Lisan dan pasukannya lega. Pemuda itu tak mengejar karena betapapun tahu kepandaian dua lawannya
itu. Satu lawan satu jelas dia bukanlah tandingannya. Dan karena mereka mundur dan melarikan diri menarik
pasukan maka laki-laki bertopeng yang memang sengaja mencegah ratusan pengawal membantu
pimpinannya sudah berhenti dan tertawa-tawa, juga tidak mengejar.
"Nah, kalian selamat. Ayo masuk hutan dan lindungi ibu suri!"90 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Pemuda itu sadar. Melihat musuh diobrak-abrik laki-laki ini dan mereka dapat mengusir Ramba
berdua maka Lisan girang dan berseri-seri. Semula dia sudah tak menaruh harapan karena di samping musuh
yang banyak juga karena adanya dua pembantu utama Cucigawa itu. Kalau ayahnya saja tak dapat melawan
apalagi dia. Maka begitu selamat dan laki-laki ini mengajak mereka lari ke hutan maka Lisan sendiri sudah
melindungi Cao Cun dan cepat dibawanya wanita itu memasuki hutan. Sisa pasukannya mengiring
sementara laki-laki itu di belakang. Dia menjaga dan melindungi pasukan itu dari serangan gelap, kalau ada.
Tapi ketika tak ada serangan dan semuanya selamat di hutan maka laki-laki itu tertawa dan mengajak mereka
berpacu ke utara.
"Mari, cepat. Sekarang kita bebas!"
"Nanti dulu!" Lisan berteriak, mengeprak kudanya karena laki-laki itu sudah berkelebat dan terbang
mendahului. "Tunggu, in-kong (tuan penolong). Aku masih ingin bicara!" dan ketika laki-laki itu berhenti
dan menoleh, topeng tetap menutupi mukanya maka pemuda ini meloncat turun dan berseru, menjatuhkan
diri berlutut, "Kami ingin menghaturkan terima kasih dan mengenal lebih jauh siapakah in-kong sebenarnya.
Bolehkah kami tahu dan in-kong tidak keberatan?"
"Ha-ha, untuk apa kau tahu?" laki-laki itu tertawa, setelah sejenak terkejut. "Yang penting aku akan
membawa kalian ke Kim-taihiap (pendekar besar Kim), anak muda. Dan bangkitlah serta mari kita pergi!"
"Hm, in-kong keberatan?"
"Bukan begitu, tapi... ah, nanti kalian tahu juga!"
"Maaf," sebuah suara tiba-tiba menyeruak. "Apakah kau Ji-siauw-heng (saudara muda Ji)?"
Laki-laki itu menoleh. Cao Cun atau ibu suri sudah memajukan kudanya dan menyusul Lisan. Wanita
itu mengamati orang sedemikian rupa dan menyelediki bentuk tubuhnya, akhirnya mengenal, bertanya. Dan
ketika laki-laki itu terkejut dan tertawa, cepat-cepat membuka topengnya maka dia berseru, merangkapkan
kedua tangan di depan dada. "Ah, hujin benar-benar awas pandangan. Baiklah, benar aku adanya, hujin.
Maaf bahwa aku telah main-main dan tidak segera membuka pengku."
Lisan tertegun. Ternyata seorang laki-laki gagah berumur sekitar tigapuluh delapan tahun muncul di
situ, alis matanya, tebal dan jelas raut muka seperti ini menunjukkan seorang jantan. Dan ketika laki-laki itu
tertawa dan menjura di depan ibu suri, yang berseri tapi terisak menahan tangis maka Cao Cun mau meloncat
turun namun dicegah laki-laki itu, yang ternyata Ji Pin!
Bagi pembaca Istana Hantu tentu mengenal laki-laki ini. Inilah laki-laki yang dulu bertemu Soat Eng
dan Thai Liong di Sam-liong-to, sewaktu mereka menyelidiki peta dan harta karun, atas suruhan ayahnya.
Dan karena Ji Pin akhirnya menjadi pembantu gadis itu atau keluarga Pendekar Rambut Emas maka Cao
Cun yang dua tiga kali berkunjung tentu saja mengenal. Memang mula-mula wanita ini tak segera
mengetahui. Diamatinya dan dikernyitkannya dahi untuk melihat siapa sesungguhnya laki-laki ini, musuh
yang berpura-pura ataukah kawan. Dan ketika dia mengingat-ingat bahwa di tempat Pendekar Rambut Emas
memang terdapat pembantunya ini, yang lihai dan cukup dapat diandalkan karena dididik majikannya sendiri
maka Cao Cun girang dan gembira.
Mula-mula dia menyangka Thai Liong. Tapi putera Pendekar Rambut Emas itu tak seperti Ji Pin. Thai
Liong, pemuda sakti itu, tak suka main-main, pendiam. Lagi pula pemuda itu berambut keemasan seperti
ayahnya. Maka begitu dia tahu bahwa itulah Ji Pin, pembantu Kim-mou-eng yang lihai maka Cao Cun
menebak tepat dan laki-laki ini segera membuka topengnya.
"Hm, benar kau," ibu suri atau Cao Cun menarik napas, menghapus dua titik air mata yang menetes.
"Ada apa kau ke sini, Ji-siauw-heng? Bagaimana jauh-jauh kau berkeliaran hingga dekat tempat Cucigawa?"
"Maaf," Ji Pin membungkuk, tak main-main lagi. "Aku disuruh Kim-taihiap menengok keadaanmu,
hujin. Kim-taihiap mendapat getaran keras akan sesuatu yang mengguncang hidupmu. Aku disuruh
menengok dan melihat, dan ternyata aku melihat kau dikejar-kejar orang-orang keparat tadi. Untung, kau tak
apa-apa dan selamat. Kim-taihiap rupanya benar!"91 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ap... apa?" Cao Cun menggigil. "Dia.... dia telah mengetahui keadaanku? Majikanmu itu mendapat
firasat akan kemalangan ini?"
"Rupanya begitu, hujin. Dan aku juga tercengang. Tapi, eh... mana anak-anakmu?"
Cao Cun mengeluh. Tiba-tiba dia roboh dan Ji Pin berseru kaget menahan wanita itu. Pasukan di
belakang tiba-tiba berduka dan muram. Wajah mereka gelap. Dan ketika Ji Pin sadar bahwa dia telah
melancarkan pertanyaan yang menusuk, yang amat menghunjam tiba-tiba laki-laki itu tak berani banyak
bicara lagi dan pucat menolong wanita ini. Cao Cun hampir pingsan mendengar pertanyaan Ji Pin. Hal itu
mengingatkan kemalangannya dan kematian Ituchi. Ah, hampir saja wanita itu pingsan! Tapi ketika Ji Pin
menotok dan minta maaf, berulang-ulang minta maaf maka Cao Cun menahan tangis dan tersedak minta
segera diantarkan ke Pendekar Rambut Emas.
"Tak apa.... tapi... tapi cepat antarkan aku ke majikanmu. Jangan bertanya-tanya lagi dan mari
berangkat!"
Akhirnya rombongan itu berangkat lagi. Ji Pin pucat dan merasa salah, cepat menyambar dan
memberikan tali kuda kepada Cao Cun. Dan ketika dia mengeprak dan membuat kuda melonjak maka lakilaki itu sudah bergerak dan dengan ringan serta enteng dia lari di samping kuda, berendeng.
"Cepat.... hayo cepat!"
Pasukan kagum. Kuda yang sudah berlari kencang tiba-tiba disuruh bertambah kencang saja. Kuda
kemudian terbang tapi laki-laki itupun juga terbang mengikuti ringan. Orang-orang akhirnya terbelalak
karena Ji Pin seolah tak menginjak tanah lagi, begitu cepatnya dia mengiringi kuda yang sedang berlari
kencang. Dan ketika tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah lembah di mana tenda atau kemahkemah besar kecil berserakan di tempat itu maka bangsa Tar-tar atau suku bangsa Pendekar Rambut Emas
sudah menyambut mereka.
Rombongan berkuda itu tentu saja menjadi perhatian mereka. Mula-mula mereka terkejut, tapi ketika
melihat Ji Pin ada di situ, bersama seorang wanita yang rambutnya terurai namun berwajah pucat, letih, maka
mereka segera tahu bahwa serombongan tamu yang sedang berduka datang di tempat mereka. Dan Ji Pin
memberi isyarat agar bangsa Tar-tar tidak bersuara ribut. Ji Pin langsung ke lembah di mana terdapat sebuah
gubuk sederhana, terletak di tepi sungai yang airnya gemericik mengalir perlahan. Tempat itu tenang dan
penuh kedamaian. Sepintas saja orang tahu bahwa tempat ini tempat yang cocok untuk menenangkan diri.
Gemericik air dan semilir angin lembah yang lembut tampaknya sudah cukup membelai mereka. Dan ketika
sesosok tubuh tampak bersila di tepi sungai, tak jauh dari gubuk sederhana itu maka Cao Cun sudah menjerit
dan langsung berteriak,
"Kim-twako...!" dan menghambur serta sudah meloncat turun dari kudanya wanita ini berlari dan
menubruk laki-laki yang bersila itu. Siapapun dapat menduga bahwa laki-laki yang bersila membelakangi
punggungnya itu adalah Pendekar Rambut Emas. Rambutnya yang keemasan dan berkilauan indah yang
tetap dibiarkan terurai di belakang punggung memang menjadi ciri-ciri pendekar ini. Kim-mou-eng atau
Pendekar Rambut Emas memang tak pernah memangkas rambutnya itu. Jadi mudah dikenal meskipun dari
jauh. Dan ketika Cao Cun juga sudah melihat itu dan memanggil serta menjerit, kedukaannya tak dapat
dihibur oleh semilir dan gemericiknya air yang lembut maka wanita itu sudah mengguguk dan roboh di
pundak pendekar ini. Kim-mou-eng membuka mata dan jerit atau teriakan itu menggugah samadhinya.
Pendekar ini terkejut tapi segera berseri melihat siapa yang ada, Cao Cun, wanita yang dulu pernah mencinta
dan ditolongnya dari berbagai kesulitan hidup. Tapi ketika wanita itu mengguguk dan memanggil-manggil
namanya, begitu sedih dan penuh duka maka pendekar inipun tergetar dan bangkit berdiri, menahan
sepasang lengan yang mencengkeram pundaknya itu.
"Hm, kau, Cun-moi (adik Cun). Selamat datang dan bertemu lagi. Tapi kenapa kau menangis begini
sedih? Apa yang menimpa dirimu?"
"Aduh, aku... aku tak kuat menahannya, twako. Aku ingin mati. Ah, aku ingin menyusul puteraku!"
dan ketika wanita itu menjerit dan roboh, pingsan, maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan cepat memberi
tanda agar Ji Pin dan orang orang yang ada di situ keluar.92 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Pergilah, biarkan kami berdua. Sambut dan atur tamu-tamu kita itu, Ji Pin. Berikan mereka tempat
yang baik untuk istirahat."
Ji Pin mengangguk. Dia baru tahu sekarang bahwa sesuatu yang hebat kiranya betul-betul telah terjadi.
Cao Cun menjerit minta mati, mau menyusul anaknya! jadi agaknya, ah...! Ji Pin yang merinding dan
mengkirik tak berani melanjutkan lalu membawa rombongan itu ke perkemahan di luar lembah. Di situ baru
laki-laki ini tahu bahwa Ituchi telah tewas. Sebelum ini Lisan dan rombongannya tak mau bicara,
maklumlah, ibu suri sedang berada di situ. Tapi begitu mereka sudah sendiri dan Ji Pin bertanya secara
berbisik maka Lisan memberi tahu tiadanya Ituchi itu.
"Jagad Dewa. Batara...!" Ji Pin tertegun dan pucat. "Jadi.... jadi Hu-kongcu..."
"Benar," Lisan mengangguk. "Hu-ongya (pangeran Hu) tewas, Ji-inkong (tuan penolong Ji). Dia tewas
melawan musuh yang tangguh..."
"Keparat, kalau begitu kenapa kalian tidak memberi tahu tadi-tadi? Kalau tahu begitu tentu Ramba dan
teman-temannya itu kubasmi tanpa ampun, tak akan kulepaskan!"
"Kami tak dapat banyak bicara karena ibu suri sedang ada di antara kita. Maafkan, inkong.."
"Ah, jangan panggil aku lagi dengan sebutan itu, saudara Lisan. Panggil saja aku dengan Ji-lo-heng
(saudara tua Ji)!" Ji Pin cepat-cepat menolak, tak enak dan merah mukanya karena dia telah melepaskan
orang-orang yang membunuh Ituchi. Kalau tahu begitu tentu dia tak akan melepaskan. Orang-orang itu patut
dibunuh! Tapi ketika Lisan berkata bahwa biarlah yang sudah dianggap tak ada maka Ji Pin sadar dan diamdiam memuji anak muda ini, yang tenang dan gagah serta dapat melihat keadaan. Akhirnya dia tak bertanya
lagi siapa pembunuh Ituchi. Barangkali, kalau dia tahu bahwa pembunuhnya adalah Togur, pemuda yang
dulu sudah "dibunuh" nyonya majikannya mungkin laki-laki ini akan terlonjak saking kagetnya, tak percaya.
Barangkali, itu akan dianggapnya sebagai roh si pemuda! Dan ketika Ji Pin membawa tamunya ke
perkemahan di situ dan mengira Ituchi tewas oleh keroyokan pasukan Cucigawa maka di sana Cao Cun
mengguguk dan sudah disadarkan Pendekar Rambut Emas.
"Apa yang terjadi, ceritakan padaku."
Namun Cao Cun masih tak dapat bicara. Wanita ini masih terpukul dan tersedu-sedu. Kematian
puteranya memang terlalu hebat sekali. Maklumlah, Ituchi ibarat tiang penyangga hidupnya. Puteranya itulah
yang kelak diharapkan menjadi tumpuan kalau dia sudah nenek-nenek. Tak ada ibu yang tak mengharap
anaknya laki-laki sebagai masa depannya, masa di kala sudah menua. Dan ketika wanita itu masih
mengguguk-guguk namun Pendekar Rambut Emas menekan dan memijat jalan darah di belakang tengkuk,
yang menekan atau menghilangkan rasa sedih maka Cao Cun menghentikan tangisnya dan mulai dapat
bicara.
"Ituchi... anakku, dia... dia tewas terbunuh....!"
"Hm!" Pendekar Rambut Emas tak seberapa kaget, tadi sudah menduga. "Bagaimana itu terjadinya,
Cun-moi? Siapa yang membunuhnya?"
"Dia... dia... ah, di mana isteri dan anakmu? Kenapa aku tak melihat mereka?" Cao Cun tiba-tiba
mengalihkan pertanyaannya, memang tak melihat Kim-hujin atau nyonya Kim bersama Beng An, putera
bungsu Pendekar Rambut Emas. Tapi ketika dengan tersenyum pendekar itu menjawab bahwa ibu dan anak
pergi ke Sam-liong-to, mengunjungi mantu maka Cao Cun memejamkan mata dan gemetar.
"Kau beruntung, Kim-twako. Anak-anakmu hebat dan lihai-lihai. Ah, kau beruntung memiliki dua
anak laki-laki!"
"Hm, membandingkan kelebihan orang lain dengan kekurangan diri sendiri adalah kurang bijaksana,
Cun-moi. Kalau aku memiliki kelebihan tentunya aku juga memiliki kekurangan. Kalau kau iri aku
mempunyai dua anak laki-laki maka barangkali aku juga iri melihat kau mempunyai dua anak perempuan.
Anak laki-laki selalu nakal, jarang di rumah. Aku sebenarnya ingin punya anak-anak perempuan yang93 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
penurut dan selalu tinggal di rumah. Nah, jangan bicarakan ini dan mari kembali ke persoalan kita. Irimengiri tak akan ada habis-habisnya!"
Cao Cun tertegun. "Kau tak suka punya anak laki-laki?"
"Bukan begitu, siapa bilang?" Pendekar Rambut Emas tersenyum. "Aku hanya mengatakan bahwa
janganlah kelebihan orang lain dilihat dari satu sudut. Kitapun tentu memiliki kelebihan juga yang tak
dipunyai orang lain. Sudahlah, ceritakan padaku bagaimana puteramu tewas."
"Dia dibunuh...."
"Ya, aku sudah tahu. Sekarang, siapa pembunuhnya."
"Togur..."
"Apa?" Pendekar Rambut Emas hampir terlonjak, tersentak dan kaget. "Togur? Maksudmu pemuda
yang dulu sudah dibunuh isteriku itu?"
"Tidak," Cao Cun tiba-tiba menangis lagi. "Pemuda itu belum mati, twako. Pemuda itu masih hidup.
Dialah yang membunuh Ituchi. Togur masih hidup dan kini buntung sebelah kakinya. Dia ada di tempat
Cucigawa dan membunuh puteraku!" dan ketika Cao Cun menceritakan sambil tersedu-sedu, sesekali
berteriak dan histeris maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan pucat serta merah berganti-ganti. Pendekar
itu seperti mendengar dongeng orang mati hidup kembali. Nyaris tak percaya. Tapi ketika Cao Cun berkata
bahwa dulu pemuda itu melempar diri ke laut, mayatnya tak ada maka wanita itu berkata bahwa bisa jadi
kematian Togur belum tiba.
"Meskipun isterimu membunuhnya tapi kalau jatuh dan terlempar ke laut tak dapat dipastikan pemuda
itu mati, twako. Bisa saja dia masih hidup dan pura-pura menyelam di bawah, menunggu sampai kalian pergi
dan baru kemudian muncul lagi."
"Hm, tak mungkin," Kim-mou-eng menggeleng. "Sebelum jatuh ke laut Togur telah menerima
pukulan berat isteriku, Cun-moi. Tak dapat dia berpura-pura dan menyelam ke bawah. Hanya satu yang
mungkin terjadi, dia ditolong atau tertolong secara kebetulan oleh hiu!"
"Hiu?"
"Ya, di Sam-liong-to banyak hiu. Pemuda itu pasti digigit dan disambar hiu. Tapi karena dia hebat dan
fisiknyapun luar biasa maka hanya kakinya itu saja yang buntung sementara dia dapat menyelamatkan diri!"
Cao Cun bengong. Memang dia harus mengakui bahwa putera mendiang Gurba itu amat luar biasa.
Tubuhnya tinggi besar dan kekuatannya mengagumkan. Puteranya sendiri, Ituchi, kalah jauh dibanding


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu. Maka menunduk dan menangis lagi, penuh duka, wanita ini berkata apa yang dapat dia lakukan
sekarang.
"Kau tinggal saja di sini. Kalau benar Togur masih hidup maka tentu saja dia amat berbahaya
bagimu."
"Kau tidak menolongku?" Cao Cun membelalakkan mata, mengangkat mukanya. "Apakah twako
hendak berkata bahwa aku tinggal di sini bersamamu?"
"Hm, benar."
"Jadi... jadi kau tak mau membalaskan sakit hatiku, twako? Kau membiarkan saja puteraku terbunuh?"
"Hm!" Kim-mou-eng menarik napas dalam-dalam. "Segala permusuhan dan pertikaian sudah tak
menarik hatiku, Cun-moi. Begitupun isteriku. Kami sekarang merasa sudah tua, tak ingin mencari
permusuhan. Tapi kalau kau bilang aku mendiamkan saja kematian puteramu maka itupun salah."
"Aku tak mengerti!" Cao Cun membanting kaki, kesal. Sudah mengetahui gerak-gerik dan sikap atau
kata-kata Pendekar Rambut Emas ini. "Aku bingung dengan kata-katamu, twako. Kau tak membiarkan saja
kematian puteraku tapi kau tetap di sini! Mana bisa pemuda itu kau bunuh? Mana mungkin dia datang sendiri94 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
seperti kelinci menuju mulut harimau? Kau jelaskan kepadaku, twako. Kenapa kau bicara begitu padahal kau
sama sekali tak berbuat apa-apa!"
"Marilah duduk," Kim-mou-eng tersenyum menarik tangan wanita itu. "Jangan emosi dan terburuburu marah, Cun-moi. Meskipun aku tetap di sini tapi pikiran dan hatiku tentu saja bisa ke mana-mana. Nah,
dengarlah," lalu ketika lawan bicaranya duduk dan terbelalak, heran, pendekar ini segera berkata bahwa dia
mempunyai anak-anak. "Kau tentu ingat Thai Liong dan Soat Eng, juga Siang Le, menantuku. Merekalah
nanti yang kuharap menyelesaikan masalah ini karena aku tak tertarik lagi dengan segala macam keributan,
apalagi yang ditimbulkan oleh anak-anak muda. Aku merasa sudah terlalu tua untuk melakukan semuanya
itu, Cun-moi. Tapi karena hal ini bukan berarti aku lalu tinggal diam maka anak-anakku itulah yang akan
kusuruh untuk mencari dan menangkap Togur...."
"Aku tidak ingin pemuda itu ditangkap, melainkan dibunuh!"
"Hm, baiklah. Itu terserah mereka. Aku pribadi tak senang membunuh..."
"Tapi puteraku telah dibunuh, Kim-twako. Tak dapat sakit hati ini dibiarkan begitu saja. Hutang darah
bayar darah!"
"Baiklah, baiklah..." Kim-mou-eng melihat wanita itu meradang, seluruh mukanya merah terbakar.
"Hutang darah memang bayar darah, Cun-moi. Tapi ada akibat pasti ada sebab. Aku tidak menolak
pendapatmu, hanya bersabarlah sampai anak isteriku datang."
"Kapan mereka pulang?"
"Beberapa hari lagi."
"Baik, aku akan menunggu, twako. Dan aku tidak yakin bahwa isterimupun kehilangan semangat
seperti kau!"
Kim-mou-eng terkejut. Cao Cun, yang dulu lemah lembut dan selalu halus mendadak saja hari ini
seperti harimau betina yang kelaparan. Sikap dan kata-katanya begitu keras namun pendekar ini dapat
memaklumi. Yach, wanita mana yang tak akan marah kalau putera satu-satunya dibunuh? Ibu mana yang
dapat menahan semuanya itu? Dan ketika dia teringat bahwa Cao Cun masih mempunyai dua anak
perempuan dari hasil perkawinannya dengan Cimochu maka dia bertanya bagaimana dengan anak-anak
perempuan itu.
"Aku tak tahu," Cao Cun menangis, namun tak sesedih kalau kehilangan anak laki-lakinya. "Mereka
diculik dan dibawa anak buah Cucigawa, twako. Aku tak dapat menolong atau berbuat apa-apa..."
"Hm, nasibmu selalu buruk!" pendekar ini mengenang berkerut. "Dari dulu sampai sekarang kau tak
mengalami kebahagiaan, Cun-moi. Ah, kau benar-benar malang!"
Cao Cun mengguguk. Pendekar Rambut Emas sudah mengusap pundaknya dan menangislah wanita
itu teringat masa lalu. Dia berbisik bahwa kalau seandainya dia tidak menjadi isteri orang lain, melainkan
isteri pendekar itu maka tentu nasibnya tak semalang dan seburuk ini. Pendekar Rambut Emas tersenyum
pahit mendengar itu, tak menjawab. Dan ketika Cao Cun tersedu lagi namun sudah disuruh masuk, pendekar
itu hendak melanjutkan samadhinya maka Cao Cun bangkit berdiri dan menurut. Cao Cun memang boleh
merasa tenang di tempat itu. Pendekar Rambut Emas akan melindunginya dan tak akan ada musuh yang
dapat mengusik. Namun teringat betapa pendekar ini kehilangan semangat dan rupanya "melempem", tak
mau maju sendiri maka diam-diam Cao Cun ingin menunggu dan bercakap-cakap sendiri dengan Kim-hujin.
Wanita itu terkenal keras dan tegas. Kim-hujin adalah puteri mendiang Hu-taihiap dan sekali dibangkitkan
semangatnya tentu akan berkobar dan menyala-nyala seperti api sebesar gunung. Dia akan membakar dan
mengibaratkan wanita itu bagaimana kalau Kim-hujin kehilangan anak, apalagi laki-laki, seperti dirinya. Dan
ketika Cao Cun bersiap dan mengepal tinju, menunggu, maka Pendekar Rambut Emas duduk bersamadhi
dan seolah acuh terhadap sekitar, setelah tadi sejenak dikejutkan oleh hidupnya Togur!
* * *95 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Sam-liong-to. Sudah lama kita tak mengunjungi tempat ini. Marilah kita lihat dan tengok sejenak.
Seperti diketahui, di pulau ini, Pulau Tiga Naga, berdiam sepasang suami isteri muda yang gagah
perkasa. Mereka Siang Le dan Soat Eng, menantu dan anak perempuan Kim-mou-eng (Pendekar Rambut
Emas). Dan karena mereka merupakan sepasang pengantin baru, maka kebahagiaan melanda mereka.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Soat Eng, yang malam-malam pertamanya dilalui dengan nikmat
dan bahagia akhirnya seminggu dua minggu melihat kemurungan sang suami. Ada sesuatu yang
mengganggu suaminya itu dan rupanya dipendam. Soat Eng bertanya apa yang menjadi sebab namun
dijawab tak ada apa-apa. Suaminya tiba-tiba tertawa terpaksa dan berusaha menghilangkan kemurungannya
itu. Soat Eng penasaran. Dia tahu persis gerak-gerik suaminya ini. Maka ketika suatu hari suaminya itu
duduk di taman dan menyendiri dengan dahi berkerut, bertopang dagu maka wanita muda ini berkelebat dan
tahu-tahu berjungkir balik di depan suaminya itu.
"Hayo, kau menyembunyikan sesuatu! Apa lagi yang kau renungkan, Le-koko (kanda Le)? Kenapa
tidak berlatih silat dan tepekur sendirian? Kau akhir-akhir ini aneh, tidak berterus terang dan
menyembunyikan rahasia!"
"Hm," Siang Le terkejut, melihat isterinya itu sudah berkacak pinggang. Soat Eng bersinar-sinar dan
pipi yang bersemu dadu itu tampak kemerah-merahan. Pagi yang hening dengan sinar matahari yang cerah
sungguh membuat isterinya yang baru duapuluhan tahun itu tampak begitu anggun dan cantiknya. Isterinya
itu berdiri tegak dengan rambut dibiarkan terurai, ah, betapa manisnya. Dan ketika dia terkejut dan bangkit
berdiri, sadar, tiba-tiba tawa itu lepas lagi dan Soat Eng mendengarkan nada yang agak dipaksakan dalam
kegembiraan semu ini, dipeluk dan diraih suami.
"Hm, apalagi yang kupikirkan? Ah, tak ada apa-apa, Eng-moi. Aku tak merenung atau memikirkan
apa-apa. Aku tak menyembunyikan sesuatu."
"Bohong!" sang isteri meronta, menghindar ciuman sang suami. "Sinar matamu tak bicara jujur, Leko. Kau tak usah berpura-pura atau malam nanti aku tak mau tidur bersamamu!"
Siang Le terkejut. Pemuda ini mundur namun akhirnya menunduk, menarik napas dalam-dalam.
Memang dia tahu bahwa isterinya lama-lama curiga. Kedukaan itu serasa begitu menghimpitnya. Satu
kedukaan yang memang dirahasiakan! Tapi ketika dia dipaksa dan apa boleh buat harus bicara maka dia
menggenggam lengan isterinya itu dan berkata,
"Jangan... jangan biarkan aku tidur sendiri. Aku, hmm... aku hanya rindu terhadap suhuku, Eng-moi.
Ingin mengetahui apakah dia masih hidup dan sehat-sehat saja. Aku khawatir akan dia, tak tahu di mana ia
berada!"
Soat Eng menatap tajam. Kali ini ia tak melepaskan diri dan merasa genggaman suami yang gemetar.
Siang Le memejamkan matanya dan tiba-tiba dari pelupuk mata itu mengalir butir-butir air mata yang
bening. Soat Eng tertegun. Tapi ketika ia sadar dan dapat menerima itu, meraih dan merangkul leher
suaminya maka ia berbisik agar suaminya itu tak usah memikirkan gurunya.
"Suhumu orang sesat, sudah sepantasnya menerima hukuman. Kalau ia datang dan menemui dirimu
justeru aku yang tak suka, Le-ko. Kau tahu bahwa betapa jahat gurumu itu!"
Siang Le merapatkan mata. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi air matanya membanjir. Apa yang
dikata sesungguhnya bukanlah yang benar tapi kata-kata Soat Eng tadi bahkan menambah luka yang sudah
ada. Soat Eng tak tahu bahwa suaminya berbohong. Tidak, bukan itu yang membuat kedukaan Siang Le
berlarut-larut. Tapi karena Soat Eng percaya dan sudah meraih serta mencium lehernya, penuh perasagan,
maka Siang Le tak dapat menahan dirinya lagi dan mengguguk!
"Hush!" Soat Eng terkejut. "Kenapa kau ini, Le-ko. Masa hanya persoalan rindu saja sampai membuat
kau menangis tersedu-sedu. Hayo, hentikan dan malulah terhadap diri sendiri. Kau menantu Pendekar
Rambut Emas!"96 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Namun Siang Le tak dapat mengendalikan perasaannya. Justeru sang isteri bicara seperti itu justeru dia
merasa tersayat-sayat. Sesungguhnya, dia malu bahwa dia telah berbohong. Isterinya itu mendapat dusta!
Maka ketika dia dipeluk dan dicium hangat, Soat Eng tampak kaget maka pemuda yang baru saja menikah
ini membalas dan memeluk isterinya itu.
"Maaf.... maaf, Eng-moi. Aku memang lemah. Aku sebenarnya tak patut menjadi menantu ayahmu
yang gagah perkasa!"
"Hush, omongan apalagi ini? Kau sinting? Eh, kalau kau bicara seperti itu lagi maka aku tak mau
mengurus makan minummu, Le-ko. Biar kau masak sendiri dan menjerang air sendiri!"
Siang Le membuka mata. Dia melihat isterinya yang melotot dan mata bening itu marah kepadanya.
Ah, Siang Le sadar. Maka ketika dia menunduk dan minta maaf, isterinya tersenyum mengangguk maka
Siang Le sudah mencium dan Soat Eng pun menyambut. Selanjutnya Soat Eng menyeka air mata suaminya
itu dan si pemuda terharu. Beginilah memang cinta isterinya itu. Tak pernah surut dan amat besar kepadanya.
Bahkan, untuk mempertahankan cintanya itu Soat Eng siap mati di tangan ibunya, karena dulunya sang ibu
tak setuju puterinya itu berjodoh dengan Siang Le, pemuda yang menjadi murid seorang tokoh iblis yang
amat kejam dan ganas. Tapi karena Siang Le ibarat ikan di laut, atau mutiara di lumpur yang pekat, tak kotor
oleh kehidupan dan sepak terjang gurunya maka pemuda itu dapat diterima dan Soat Eng sendiri mati-matian
membela kekasihnya.
Bagi pembaca yang telah mengikuti cerita "Istana Hantu" tentu tahu siapa pemuda ini. Murid Seeong si iblis yang kejam dan ganas tapi ilmu kesaktiannya tinggi. See-ong memiliki ilmu hitam Hek-kwi-sut
(Lebur Bersama Iblis) di mana kakek itu dapat menghilang dan menyerang lawan di balik Hek-kwi-sutnya.
Kakek itu memang amat luar biasa dan Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas sendiri kewalahan kalau
sudah menghadapi kakek itu. Bukan karena kepandaiannya kalah tinggi melainkan karena kakek itu
berlindung di balik ilmu hitamnya, tak dapat diserang dan akhirnya hanya menghadapi Pendekar Rambut
Emas sajalah kakek itu kalah. Kim-mou-eng ternyata memiliki Pek-sian-sut (Lebur Bersama Dewa) yang
merupakan tandingan Hek-kwi-sut. Dan karena Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas juga dapat
menghilang di balik ilmunya dan tentu saja di balik ilmunya itu pendekar ini dapat mengejar dan menyerang
lawan, mereka sudah menjadi roh-roh halus yang tidak hidup di badan kasar lagi maka See-ong terbirit-birit
dan akhirnya lintang-pukang menghadapi Pendekar Rambut Emas ini. Di Sam-liong-to akhirnya kakek itu
roboh, ditangkap dan dijebloskan di dalam kurungan emas. See-ong sendiri, yang lenyap dan musnah Hekkwi-sutnya lalu berobah menjadi manusia mini. Kakek tinggi besar itu tiba-tiba saja tinggal sebesar jari
telunjuk. Itulah akibat pengaruh ilmu hitamnya sendiri, yang menghancurkan dirinya sendiri. Dan ketika
kakek itu ditangkap dan dijebloskan kurungan emas, yang juga mini dan kecil tapi merupakan kurungan
ajaib di mana See-ong tak dapat melarikan diri maka Siang Le, muridnya itu, menjaganya sambil menangis
setiap malam.
See-ong berteriak-teriak minta lepas namun kunci ada di tangan Kim-mou-eng. Berkali-kali dia
membujuk muridnya itu tetapi sang murid tak mau. Seandainya mau, Siang Le pun tak mungkln sanggup
membuka kurungan itu. Hanya Pendekar Rambut Emaslah yang mampu. Dan ketika peristiwa demi
peristiwa berjalan terus dan See-ong yang mengumpat serta menghajar muridnya memaki-maki muridnya itu
maka suatu hari kakek iblis itu lolos.
Kerangkeng emas, yang terbuka pintunya tiba-tiba membuat kakek itu melarikan diri. See-ong lolos
dan selanjutnya meninggalkan Sam-liong-to, tinggal muridnya sendiri yang termangu-mangu dan pucat.
Siang Le telah mendapat tugas sekaligus kepercayaan dari Pendekar Rambut Emas untuk menjaga gurunya.
Kim-mou-eng sengaja memasang batu ujian untuk pemuda ini, apakah Siang Le layak dipercaya atau tidak,
karena pemuda itu diketahui sudah menjalin hubungan cinta dengan puterinya. Dan karena Siang Le
bertanggung jawab dan ternyata teguh memegang kepercayaan, karena tetap di Sam-liong-to meskipun
gurunya lolos maka pemuda itu menghadapi Pendekar Rambut Emas ketika pendekar itu bersama isterinya
datang, juga Soat Eng.
Di situ pemuda ini ditanya bagaimana kerangkeng emas dapat terbuka. Bagaimana gurunya lolos
sementara dia ada di situ. Dan ketika Siang Le siap mendapat tuduhan melepaskan gurunya, karena pemuda
itulah satu-satunya yang berada di pulau maka Soat Eng yang marah dan tak percaya pemuda ini melanggar97 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
janji berhasil mengancam kekasihnya untuk berterus terang. Dan Siang Le akhirnya mengaku, bahwa yang
melepas bukan lain adalah Thai Liong, kakak gadis itu atau putera Pendekar Rambut Emas dengan mendiang
sumoinya sendiri, Salima gadis Tar-tar yang gagah dan cantik. Dan ketika semua mendengar dan tertegun,
Soat Eng membelalakkan mata maka gadis itu dan ibunya roboh pingsan.
Keadaan di Sam-liong-to waktu itu penuh tangis. Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas atau ibu
Soat Eng yang aekhirnya disadarkan suaminya menangis mengguguk-guguk, bukan apa-apa melainkan ngeri
dan menyesal telah melepas sumpahnya. Tadi Kim-hujin atau isteri Pendekar Rambut Emas itu bersumpah
bahwa dia akan membuntungi orang yang melepas See-ong, karena dianggapnya Siang Le itulah yang
melepas gurunya. Tapi begitu tahu bahwa Thai Liong yang membuka kerangkeng emas, demi
menyelamatkan dan meneruskan perjodohan adiknya dengan Siang Le maka nyonya itu tersedu-sedu ngeri
akan sumpahnya sendiri. Pek-kong-kiam (Pedang Sinar Perak) telah menjadi saksi sumpah. Juga di langit
terdengar ledakan serta dentuman, Semua itu merupakan tanda dari para dewa bahwa mereka telah menjadi
saksi, Sang nyonya menggigil dan pucat. Maka ketika dia tahu bahwa dugaannya keliru, puteranya telah
diancam sumpah maka Kim-hujin atau nyonya Kim itu lalu membuang pedangnya ke laut. Pedang itu
akhirnya disambar seekor hiu putih yang mulutnya tepat terbuka, menangkap atau menggigit pedang ini
untuk akhirnya menyelam ke bawah. Dan ketika semua berakhir dan sang nyonya tenang, pedang itu tak
mungkin membawa celaka maka Siang Le akhirnya diterima sebagai menantu dan suami Soat Eng.
Namun sang nyonya diam-diam masih membenci dan meragukan watak baik pemuda ini. Dia
menganggap bahwa buah tak jauh dari pohonnya, bahwa anak tak akan jauh sepak terjangnya dengan orang
tua. Dan ketika Siang Le diterima dan menjadi menantunya, suaminya bahkan menurunkan empat ilmu sakti
kepada pemuda itu, hal yang sebenarnya tak disetujui nyonya ini maka Swat Lian atau wanita itu mengikat
Siang Le dengan sebuah perjanjian, atau permintaan yang didorong oleh kebencian dan dendamnya terhadap
See-ong, guru pemuda itu.
"Kau sekarang sudah menjadi menantuku, bahkan suamikupun sudah menurunkan ilmu-ilmu keluarga
yang paling dahsyat kepadamu. Apakah kau sanggup membalas semua kebaikan ini dengan sesuatu, Siang
Le? Apakah kau sanggup mengerjakan perintahku?"
Demikian suatu hari nyonya itu bicara kepada menantunya. Siang Le sedang sendirian dan ibu
mertuanya itu muncul tiba-tiba. Tapi ketika dia berdiri dan memberi hormat, terkejut dan berdebar oleh
kedatangan ibu mertuanya yang mendadak ini maka Swat Lian mengibas dan tak mau pemuda itu banyak
adat.
"Aku tak mengerti," Siang Le menjawab. "Gak-bo (ibu mertua) ada perintah apakah yang harus
kujalankan."
"Hm, tidak banyak, Siang Le. Melainkan menyuruh kau membunuh dan membawa kepala gurumu.
Sanggupkah kau?"
Pemuda ini terbelalak, wajah tiba-tiba berobah. "Maksud gak-bo..."
"Ya, jelas, Siang Le. Gurumu telah membunuh ayahmu dan itu adalah hutang darah yang tak dapat
ditawar-tawar lagi. Kau sudah menjadi menantu Pendekar Rambut Emas dan See-ong sekarang adalah
musuhmu!"
"Ooh...!" pemuda itu mengeluh, terhuyung dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, pucat. "Ini... ini tak
sanggup aku melaksanakannya, gak-bo. Betapapun jahat guruku itu dia telah memberi hidup kepadaku.
Tanpa dia tak mungkin aku ada. Lagi pula, aku bukan tandingannya!"
"Hm, suamiku telah menurunkan ilmu-ilmu sakti Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, Siang Le. Juga
Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang. Kau akan dapat mengatasi gurumu kalau kau mau!"
"Aku tak sangup.... aku tak dapat...!" pemuda itu tiba-tiba menangis. "Lebih baik bunuhlah aku, gakbo. Biarlah kubayar hutang jiwanya itu dengan jiwaku. Kau bunuhlah aku, aku tak dapat membunuh atau
membawa kepalanya!"98 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm!" mata sang nyonya berkilat marah, meletup bagai api. "Kau tak tahu diri, Siang Le. Kau
berpura-pura. Kalau kau mengatakan bukan tandingan gurumu maka itu bohong. Kau sudah melatih Jingsian-eng dan Khi-bal-sin-kang. Dan kau mewarisi pula Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang. Iblis mana
yang dapat melawanmu lagi kalau sudah begini? Kau sudah mendapat kepercayaan penuh suamiku, Siang
Le. Kau sudah berhutang banyak budi kepada keluarga ini. Kau harus tahu diri. Atau barangkali kau yang
kelak akan memberontak dan melawan kami, menjadi bumerang!"
Siang Le mengguguk. "Gak-bo, kenapa kata-kata setajam ini dapat kau lancarkan kepadaku? Kenapa
kau menusuk dan merendahkan aku seperti itu? Aku memang murid seorang sesat, gak-bo. Aku memang
murid See-ong yag, jahat. Tapi aku dan guruku lain. Aku bukan See-ong dan aku sendiri sudah berkali-kali
memusuhi guruku itu, memusuhi sepak terjangnya. Kalau gak-bo merasa tidak senang kepadaku baiklah gakbo bunuh aku karena siapa tahu aku benar-benar akan menjadi bumerang bagi keluarga ini, keluarga
Pendekar Rambut Emas yang gagah dan terhormat!"
"Hm, kau mau menghina aku? Kau mau mengajari aku?"
"Tidak, tapi... ah, aku tak sanggup melaksanakan perintahmu, gak-bo. See-ong betapapun adalah orang
yang telah melepas banyak budi kepadaku. Tanpa dia tak mungkin aku masih hidup. Tanpa dia tak mungkin
aku ada di sini. Daripada subo memerintahkan aku membunuh guruku itu biarlah sekarang juga subo
membunuhku. Kurelakan nyawa yang hanya selembar ini!"
Swat Lian merah padam. Kalau saja dia tidak ingat bahwa puterinya amat mencintai pemuda itu,
pemuda yang membuatnya marah ini tentu dia sudah bergerak dan barangkali benar-benar menurunkan
tangan maut. Tapi Soat Eng ada di belakang pemuda itu. Sekali dia membunuh Siang Le tentu Soat Eng akan
memusuhinya habis-habisan. Dan ngeri dia membayangkan itu. Teringat nyonya ini akan wataknya sendiri.
Puterinya itu tak jauh beda. Dulu, ketika dia masih remaja dan dihalangi ayahnya untuk berhubungan dengan
Pendekar Rambut Emas maka darahpun siap dikorbankan demi membela kekasih. Dan puterinya itu juga
seperti dia. Soat Eng akan mengamuk dan siap mati kalau dia membunuh pemuda ini. Tidak, sang nyonya
ngeri. Maka ketika dia menahan marah dan melotot gusar, sang pemuda bercucuran air mata di depan
kakinya tiba-tiba nyonya ini bertanya apakah Siang Le mau menangkap dan membawa gurunya saja ke situ.
"Kau menjengkelkan, omonganmu menyakitkan. Baiklah, kalau kau tak sanggup membunuh dan
membawa kepala gurumu ke mari apakah kau juga tidak sanggup untuk menangkap dan membawanya saja,
Siang Le? Atau apakah perintah seperti inipun juga tak dapat kau laksanakan?
Siang Le menggigil. Sebenarnya, dia dapat memaklumi kebencian dan sakit hati subo (ibu guru) atau
gak-bonya ini. Hu-taihiap, ayah wanita itu dibunuh gurunya. Gurunya memang kejam dan ganas. See-ong
tindak-tanduknya seperti iblis dan berapa kali sudah dia bertengkar dan bermusuhan dengan gurunya sendiri
itu. Bahkan, ketika gurunya memerintahkan dia untuk berlatih Hek-kwi-sut, ilmu keji yang berbau hitam itu
dia menolak, dihajar dan nyaris dibunuh kalau dia bukan murid satu-satunya. Gurunya itu memang kejam
dan tidak berperasaan. Tapi karena dia berhutang budi dan justeru karena gurunya itulah dia hidup, maka
Siang Le tak sanggup kalau disuruh membalaskan sakit hati nyonya ini kepada gurunya. Daripada begitu
lebih baik dia menyerahkan diri saja, selembar nyawanya. Dan ketika dia menolak tapi kini permintaan yang
agak lunak dimintakan kepadanya, hanya menangkap dan membawa saja gurunya itu ke mari maka Siang Le
tertegun dan ragu-ragu.
Sebenarnya, sama saja baginya. Kalau dia dapat menangkap dan membawa gurunya tentu gurunya itu
akan dibunuh oleh gak-bonya ini. Jadi, kematian gurunya atas perbuatannya juga, secara tidak langsung.
Tapi karena menolak itu juga dirasanya berat, karena dia telah menerima budi dan banyak kebaikan dari
keluarga ini, keluarga Pendekar Rambut Emas maka Siang Le berada di persimpangan jalan dan bingung.
Dia telah mempelajari ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Rambut Emas. Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian

Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

eng, ilmu yang dulu diwarisi mendiang Hu Beng Kui atau ayah dari wanita yang sekarang berdiri di
depannya ini adalah hebat dan luar biasa sekali. Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa) akan mampu
membuat orang berkelebatan seolah terbang. Dan Khi-bal-sin-kang, hmm... siapapun mengakui bahwa ilmu
sakti Bola Karet itu tak punya tandingan. Khi-bal-sin-kang membuat pemiliknya kebal dari semua pukulan
karena pukulan yang mendarat akan ditolak balik seperti halnya sebuah karet yang membal. Semakin hebat
lawan memukul maka semakin hebat pula daya tolaknya. Gurunya sendiri sampai kewalahan menghadapi99 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
ilmu ini, terbukti ketika Togur, pemuda murid Enam Iblis Dunia itu mencuri ilmu ini dan menandingi
gurunya. Hanya karena memiliki Hek-kwi-sut itulah gurunya dapat bertempur imbang, karena dengan Hekkwi-sut akhirnya lawan kehilangan gurunya yang sudah berobah bentuk. Dan karena Khi-bal-sin-kang
memang ilmu yang hebat luar biasa, yang saat ini belum ada tandingannya maka Siang Le yang mendapat
kepercayaan untuk memiliki ilmu itu diam-diam merasa bangga tapi juga sadar bahwa kepercayaan yang
demikian besar telah dilimpahkan kepadanya. Dan itu masih ditambahi lagi dengan dua ilmu pendamping
yang menjadikannya maha hebat, yakni ilmu-ilmu Lui-ciang-hoat (Silat Guntur) dan Cui-sian Gin kang
(Ginkang Pengejar Dewa), ilmu yang kalau sudah digabung dengan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng akan
menjadikan pemiliknya pilih tanding. Hanya orang-orang dalam atau dekat sajalah yang dapat mewarisi
ilmu-ilmu Pendekar Rambut Emas ini. Dan karena dia sudah menjadi menantu sekaligus murid Pendekar
Rambut Emas maka pendekar yang amat sakti itu menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Kalau tidak, jangan
harap! Siang Le sendiri mengakui bahwa dia menerima budi dan kebaikan yang besar sekali. Budi ini tak
kalah dengan budi gurunya yang jahat, See-ong. Dan karena dua budi itu sama-sama berat dan Siang Le
terhimpit dari dua arah, maka ketika dia ditanya dan diminta kesanggupannya untuk membawa dan
menangkap gurunya tiba-tiba pemuda yang bingung dan resah ini mengangguk.
"Baiklah," akhirnya pemuda itu berkata. "Aku akan mengusahakan perintahmu, gak-bo. Kalau aku
dapat melakukannya tentu aku akan melakukannya. Kalau tidak dapat...."
"Jangan omong kosong!" bentakan itu menyergap kata-kata ini. "Dengan Lui-ciang-hoat dan Cui-sian
Gin-kang kau akan dapat mengalahkan gurumu, Siang Le. Apalagi ditambah Khi-bal-sin-kang dan Jing-sianeng. Tak usah kau berpura-pura dan banyak alasan!"
"Baiklah," pemuda ini menunduk, sedih. "Aku akan melaksanakannya, gak-bo. Aku akan coba
menjalankan perintahmu."
Dan dengus sang gak-bo yang berkelebat pergi akhirnya mengikat pemuda itu dengan sebuah
perjanjian diam-diam, Swat Lian sendiri memang tidak memberitahukannya kepada siapapun, apalagi
suaminya, Pendekar Rambut Emas, yang tentu akan tidak setuju dan menentang kehendaknya. Siang Le
sudah dikenal sebagai pemuda yang tahu budi dan tak mungkin pemuda itu murtad. Dan ketika hari itu
pemuda ini sudah diikat dan diambil janjinya, Siang Le duduk tepekur maka sesungguhnya masalah itulah
yang membuatnya menderita.
Pemuda ini sendiri akhirnya tak mau tinggal di utara, bersama mertua. Karena tak lama kemudian dia
minta pindah ke Sam-liong-to dan hidup berdua bersama Soat Eng di situ. Dan karena dia dianggap dapat
melaksanakan perintah karena mewarisi ilmu-ilmu Pendekar Rambut Emas, Khi-bal-sin-kang dan lainlainnya itu maka Siang Le justeru akhirnya ogah dan enggan meneruskan latihannva.
"Kau tak boleh selisih jauh dengan isterimu. Suami isteri tak boleh banyak berbeda. Karena itu
kuturunkan ilmu-ilmu ini kepadamu, Siang Le. Agar kau tak tergantung dengan isterimu itu. Nah,
pelajarilah, latihlah. Aku percaya padamu karena tak mungkin kau mempergunakan ilmu-ilmu ini untuk
perbuatan sesat!"
Begitu Pendekar Rambut Emas berkata. Lain Pendekar Rambut Emas memang lain pula isterinya.
Siang Le merasa terharu sekaligus bangga mendapat kepercayaan itu. Bayangkan, ilmu-ilmu simpanan
Pendekar Rambut Emas, empat ilmu sakti itu diberikan kepadanya. Kalau tidak karena kepercayaan yang
demikian besar mana mungkin dia mendapatkan itu? Tapi karena kini gak-bonya menuntut dan mengikat dia
dengan syarat menangkap atau membawa gurunya itu, See-ong, tiba-tiba Siang Le menjadi hambar dan ogah
melatih ilmu-ilmu itu. Memang dia dapat menangkap dan mengalahkan gurunya kalau ilmu-ilmu sakti itu
telah diwarisi. Gurunya bakal terkejut kalau dia sudah memiliki Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu. Tapi
karena Siang Le pemuda yang baik dan budi selalu dijunjungnya tinggi, tak akan dilupa meskipun disiksa
derita dan duka maka pemuda itu mengambil putusan biarlah dia menghentikan pelajaran ilmu silatnya dan
tetap dengan ilmu-ilmu silat yang lama, yang dulu diwarisi dari gurunya See-ong!
Siapapun tentu tak menyangka keputusan yang diambil pemuda ini. Pendekar Rambut Emas dan Swat
Lian pun tentu tidak. Apalagi nyonya itu. Swat Lian tak menduga bahwa anugerah begitu luar biasa, ilmuilmu yang diberikan suaminya kepada pemuda itu akhirnya dihentikan dan dilupakan Siang Le. Pemuda lain
yang tentu akan mengilar dan mau membayar dengan nyawanya sekalipun untuk mendapatkan Khi-bal-sin-100 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
kang dan lain-lainnya itu ternyata begitu saja dilepaskan pemuda ini. Siang Le tak melatih dan meneruskan
pelajarannya. Dan ketika dia tiba di Sam-liong-to dan tidak meneruskan pelajarannya, hal yang membuat
isterinya tertegun maka dengan tenang pemuda itu menjawab bahwa dia belum bersemangat.
"Aku rasa tak ada musuh-musuh lagi yang mengganggu. Lagi pula ada kau di sini. Untuk apa matimatian berlatih? Ah tidak. Aku ingin hidup tenang dan damai, Eng-moi. Aku rasa cukup dengan kepandaian
yang sudah kumiliki ini. Tak perlu membuang-buang keringat percuma."
"Tapi kau disuruh ayah! Ayah telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepadamu. Bagaimana kau ini, Le-ko?
Ayah tentu bisa marah, kecewa. Menganggap kau tak menghargai pemberiannya!"
"Hm, jangan bilang kepada gak-hu (ayah mertua)," Siang Le mengerutkan kening, sedikit terkejut.
"Bukan aku tidak menghargai pemberian ayahmu, Eng-moi. Melainkan semata menganggap tak ada musuh
lagi yang datang mengganggu. Bukankah Togur dan Enam Iblis Dunia sudah tak ada lagi? Mereka itu telah
tewas, kita dapat hidup tenang."
Soat Eng menarik napas dalam-dalam. Aneh suaminya ini, begitu dia berpikir. Orang lain mengilar
dan menginginkan ilmu-ilmu Pendekar Rambut Emas eh... tiba-tiba saja suaminya ini tak begitu tertarik.
Soat Eng tentu saja tak tahu bahwa keengganan suaminya itu adalah dikarenakan ibunya. Kalau saja ibunya
tidak memaksa dan menyuruh pemuda itu menangkap gurunya, dengan ilmu-ilmu yang diturunkan Pendekar
Rambut Emas tentu Siang Le akan dengan senang hati mempelajari ilmu-ilmu itu. Pemuda ini bahkan akan
merasa girang dan bangga melatih ilmu-ilmu ayah mertuanya. Dia dapat menjadi hebat, amat hebat. Seperti
isterinya itu atau Thai Liong, kakak iparnya. Tapi karena dengan ilmu itu dia disuruh menangkap dan
membawa gurunya, hal yang berat dilakukan pemuda ini maka Siang Le memilih meletakkan kesaktian itu
dan tidak mempelajarinya!
Orang akan geleng-geleng kepala kalau mengetahui perbuatan ini. Bayangkan, kepandaian yang begitu
hebat ternyata dibuang begitu saja oleh Siang Le, seperti orang membuang sebongkah emas dengan sikap tak
acuh. Tapi karena Siang Le memang pemuda luar biasa dan pemuda ini mendapat pujian tinggi dari Bu-beng
Sian-su, kakek dewa yang mengibaratkan pemuda itu seperti ikan di laut (baca: Istana Hantu) maka orang
tak akan heran melihat tindak-tanduknya.
Siang Le memang pemuda amat baik. Pemuda itu berwatak mulia dan agung. Dan karena See-ong
sendiri sudah berulang kali jengkel tapi juga kagum kepada muridnya itu, yang tak mau menuruni jahatnya
maka diam-diam sang gurupun menaruh hormat. Kalau bukan karena ini mungkin kakek yang kejam itu
telah membunuh muridnya. Berapa kali sudah See-ong dibuat tertegun-tegun atau terperangah oleh
muridnya. Berapa kali sudah kakek itu harus mengalah dan mundur kalau muridnya sudah memberi
"wejangan". Siang Le memang sering menasihati gurunya untuk berbuat baik, membuang semua kejahatankejahatannya tapi See-ong tentu saja tak mau. Guru itu merasa digurui! Tapi karena Siang Le berani mati dan
kegagahan serta keberanian pemuda itu membangkitkan kekaguman besar di hati See-ong maka kalau dia
sudah tidak dapat menahan marah terhadap muridnya yang aneh ini See-ong lalu melempar atau mendorong
muridnya, ditinggal pergi. Selanjutnya kakek itu menyumpah-nyumpah dan diam-diam heran serta kaget,
Dia, tokoh sesat, mempunyai murid seperti itu. Sepantasnya Siang Le bukan muridnya tapi murid seorang
pendekar gagah, Ganjil dan aneh sekali kalau murid seorang tokoh sesat justeru adalah pemuda baik-baik
yang berwatak mulia dan agung. Kakek itu menjadi malu hati di samping penasaran. Tapi karena Siang Le
tetap tak berobah dan kegigihan serta keteguhan pemuda itu dalam membela kebenaran benar-benar
mencengangkan hatinya maka See-ong lama-lama membiarkan muridnya begitu dan dia melampiaskan
jengkelnya dengan perbuatan-perbuatan yang lebih jahat lagi. Kakek ini kecewa tapi juga kagum. Iblis
manakah yang membuat muridnya seperti itu? Bagaimana dia bisa mempunyai pewaris model pemuda ini?
Dan membayangkan bahwa Siang Le hanya mempelajari Sin-re-ciang, Silat Tangan Karet dan tak mau
mempelajari Hek kwi-sut maka kakek itu diam-diam mengeluh dan mengutuk.
Siang Le memang pemuda yang ganjil bahkan, barangkali, termasuk "tidak normal", karena pemuda
itu tak terpengaruh oleh sepak terjang gurunya. Kejahatan dan kekejaman See-ong justeru selalu dilawannya
dengan petuah-petuah bijak agar gurunya itu tidak melanjutkan kejahatannya. Berapa kali pemuda ini harus
bertengkar dengan gurunya dan bahkan menantang untuk dibunuh. See-ong kewalahan dan kakek itu sering
kali mundur, bukan karena takut melainkan karena jengkel dan geram kepada muridnya itu. Dia sering101 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
menahan tangan kalau sudah bergerak mau menurunkan pukulan maut, terbentur dengan sinar mata
muridnya yang redup jernih, mata yang begitu hidup dan penuh keberanian dan kakek itu kagum. Ada
sesuatu yang aneh yang terasa, di mata muridnya itu ada cinta kasih. Kasih terhadap guru dan juga kasih
terhadap kebenaran. Kakek ini tertegun. Dan karena See-ong tak kuat beradu pandang karena dia selalu
tergetar maka kakek itu memilih menyingkir dan melampiaskan kemarahannya di lain tempat. Itulah Siang
Le. Dan kini, setelah beberapa bulan hidup di Sam-liong-to mula-mula pemuda ini dapat hidup tenang.
Artinya, dia tak usah setiap hari bertemu gak-bonya itu. Sekarang hanya dia dan isterinya itu dan mula-mula
pemuda ini merasa bebas. Tapi ketika setengah tahun dia tinggal di situ dan suatu malam dia bermimpi
ditanya gak-bonya, apakah dia sudah melaksanakan perintah atau belum maka pemuda ini mulai pucat.
Siang Le bermimpi gak-bonya itu datang kepadanya, bertanya apakah dia sudah mencari gurunya atau
belum. Dan ketika Siang Le tertegun tak dapat menjawab, karena perintah itu memang belum
dilaksanakannya maka mendadak keesokannya dia merasa muram dan itulah yang dilihat sang isteri. Harihari berikut Siang Le merasa tak tenang. Tinggal di Sam-liong-to ternyata masih juga dibayang-bayangi gakbonya itu. Ah, tak nyaman! Dan ketika berkali-kali dia tepekur dan berkali-kali isterinya memergoki maka
hari itu dia terpaksa berbohong dengan mengaku bahwa dia rindu gurunya. Padahal, sebenarnya adalah
karena bayang-bayang perintah itu, perjanjian dengan gak-bonya!
"Hm, mari masuk!" Siang Le meraih dan menyambar pinggang isterinya, setelah pagi itu dia ditegur
dan dipergoki isterinya. "Aku sudah tak apa-apa lagi, Eng moi. Mari ke dalam dan ingin kunikmati sarapan
pagimu!"
"Aku belum membuat sarapan!" Soat Eng cemberut, tak senang bahwa suaminya bicara tentang
gurunya yang jahat. "Aku sama sekali belum membuat apa-apa, Le-ko. Aku jengkel dan mencarimu ke
mana-mana. Justeru pagi ini aku ingin mengajakmu membuat sarapan bersama!"
Siang Le tertegun. "Mengajakku masak bubur?"
"Bukan, melainkan mencari ikan dan membuatnya panggang saos tomat!"
"Hm!" pemuda itu tiba-tiba berseri. "Sudah lama kita tidak membuat itu, Eng-moi. Mari, aku tiba-tiba
mengilar. Kita cari ikan dan sarapan seperti itu!"
Anna Karenina Jilid 2 7 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Ciuman Selamat Malam 1

Cari Blog Ini