Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 5

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 5


"Ya, tapi kau tidak boleh menyendiri lagi. Aku akan membuat masakan kesukaanmu dan kau harus
berjanji untuk selalu gembira. Aku tak suka melihat suamiku murung. Kau bukan laki-laki cengeng!"
"Baik-baik," dan Siang Le yang tertawa menyendal isterinya lalu berkelebat dan pergi ke laut. Mereka
sendiri tinggal di Istana Hantu yang berada di tengah pulau. Jadi kalau isterinya mengajak mencari ikan
berarti mereka harus ke pantai. Tapi ketika pemuda itu bergerak dan tertawa menyendal isterinya tiba-tiba
terdengar teriakan panjang dan dua binatang besar berbulu hitam berlarian cepat mendahului Siang Le. Siang
Le tertegun dan berhenti, terkejut karena itulah dua piaraan mereka yang berupa dua ekor gorila jantan dan
betina. Sebenarnya itu adalah milik Soat Eng karena gadis itulah yang dulu menundukkannya. Itulah Gotin
dan Gosar, sepasang gorila penghuni Sam-liong-to sebelum Soat Eng maupun Siang Le ada di situ. Dan
ketika Soat Eng juga terkejut dan berhenti, dua binatang itu berlarian menguik-nguik maka terlihatlah di
kejauhan sana sebuah perahu sedang melaju dengan amat cepatnya, mendatangi pulau.
"Ah, ada tamu datang!" Soat Eng berseru.
"Atau musuh...!" Siang Le menyambung, pucat. Tapi ketika isterinya tertawa dan berkata bukan, itu
adalah ibunya sendiri karena Soat Eng yang jauh lebih awas dari suaminya berkat kepandaiannya yang
memang lebih tinggi lalu bergerak dan terbang menyambut.
"Ibu...!"
Siang Le berdetak. Akhirnya dia melihat bahwa itu adalah ibu mertuanya. Perahu yang meluncur dan
seakan didorong tangan raksasa itu sebentar saja sudah tiba di pantai. Sepasang gorila jantan dan betina yang
rupanya lebih dulu tahu berkat daya indera mereka yang lebih tajam juga menguik-nguik gembira di pantai,102 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
bukan menyambut wanita itu yang sudah berjungkir balik dan melayang turun ke tanah melainkan terhadap
seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh delapan tahun, tadi duduk di belakang ibunya hingga
tersembunyi dari jauh. Anak itu sudah melengking gembira dan tertawa berjungkir balik, menyusul ibunya
pula, maksudnya mau menyambut Soat Eng tapi dua gorila jantan dan betina itu mendahuluinya,
menghadang dan langsung menubruk serta mengajak bergulingan. Itulah Beng An, putera bungsu Pendekar
Rambut Emas atau adik dari Soat Eng, yang terkenal bengal dan pemberani. Dan ketika anak itu tertawa dan
apa boleh buat menyambut sepasang gorila ini, berguling dan mendengus-dengus maka Swat Lian, nyonya
itu, sudah ditubruk dan dicium puterinya, yang girang bukan main.
"Ah, kau datang, ibu. Kebetulan sekali. Aku sudah rindu dan kangen sekali!"
"Hm, mana suamimu? Kau sendirian?"
"Aku di sini.." Siang Le muncul, membungkuk dan memberi hormat. "Selamat datang, gak-bo.
Sungguh kami tak mengira dan bahagia sekali."
Swat Lian menoleh. Siang Le telah berdiri di belakangnya dan pemuda itu menunduk. Tampak betapa
pemuda itu menekan debaran jantungnya, maklumlah, Siang Le teringat perjanjiannya. Dia merasa bahwa
pembicaraan dulu akan berlanjut lagi. Sang ibu mertua rupanya datang untuk menagih, bukan uang
melainkan janji. Janji yang sebenarnya ditakuti pemuda ini! Dan ketika Swat Lian tersenyum dan Siang Le
mengangkat mukanya, melihat senyum itu maka si pemuda berdesir mendengar pertanyaan lembut.
"Siang Le, kau baik-baik saja, bukan? Kau tak lupa kepada kami?"
"Ah, tidak, tentu tidak. Aku tak lupa kepadamu maupun kepada gak-hu, gak-bo. Kami sehat-sehat dan
bagaimana dengan gak-hu di sana. Tak ada apa-apa, bukan?"
"Hm, tak ada apa-apa. Aku datang hanya karena rindu dan ingin tahu keadaan kalian. Kenapa kalian
tak pernah datang!"
"Maaf, kami sibuk, gak-bo. Aku dan Eng-moi selama ini belum pernah meninggalkan Sam-liong-to."
"Bagus, dan kau tentu tak lupa kepada semua nasihat gak-hu atau gak-bomu. Atau ada yang kau
lupakan, Siang Le?"
"Tidak, aku selalu ingat!" dan Siang Le yang lagi-lagi tergetar dan terguncang oleh senyum mengejek
gak-bonya yang begitu dingin dan kaku maka Soat Eng yang tak menyangka apa-apa sudah tertawa ditubruk
Beng An.
"Heii, kau semakin cantik dan gagah, enci Eng. Dan pagi ini kau tampak segar sekali. Ah, tentu Letwako semakin cinta padamu!"
"Hush!" sang enci mencubit, merah bersemu dadu. "Kau jangan kurang ajar Beng An. Kujewer nanti.
Kau tetap nakal dan suka mengganggu orang!"
Jilid VIII
"HA-HA, enci tak mungkin berani mencubitku. Kalau kau mencubitku akan kubawa Le-twako ke
utara, biar kau sendirian di sini. Hayo, pilih mana, enci? Kubawa Le-twako atau kau tinggal bersamanya?"
"Ihh!" Soat Eng gemas dan semburat. "Kau benar-benar nakal, Beng An. Biar kucubit kau dan lihat
apakah Le-twako ikut denganmu atau tidak!" tapi ketika Beng An berteriak dan lari ke belakang Siang Le
maka Beng An berseru agar kakak iparnya itu menghadapi sang enci. Soat Eng bergerak tapi Beng An lari
berputaran, baju Siang Le ditarik ke sana ke mari. Dan ketika pemuda itu terbawa dan otomatis ikut terputarputar maka Beng An tertawa bergelak dan Siang Le pun mau tak mau tertawa lebar, lupa kepada gak-bonya
yang mengancam di situ.
"Ah, sudah... sudah. Jangan aku dipermainkan begini, An-te (adik An). Bisa seperti gasing aku nanti!"103 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ha-ha, cegah dulu enci Eng yang mau menerkam aku. Tangkap dan cekal dia!"
"Hm, kau berani melindungi si bengal ini?" Soat Eng malah menggertak. "Aku tak mau menyiapkan
sarapan pagimu, Le-koko. Hayo serahkan dia kepadaku atau kau membuat sarapan sendiri!"
"Wah, jangan khawatir!" Beng An berteriak. "Aku dapat menggantikannya, Le-twako. Sarapan pagiku
lebih lezat daripada enci Eng. Hayo, tangkap dia atau bokongmu kutepuk.... plak!" Beng An benar-benar
menepuk pantat Siang Le, tertawa bergelak dan kabur ke arah ibunya ketika tiba-tiba Siang Le bergerak, mau
menangkapnya. Dan ketika Soat Eng berhenti dan terbelalak memandang adiknya maka si bengal sudah
meloncat ke punggung Gosar dan menyuruh beruang jantan itu meloncat ke pulau.
"Hayo, lari, sahabat. Kita ke Istana Hantu dan kucing-kucingan dengannya!"
Gosar menguik panjang. Dia kabur dan lari secepat terbang ke tengah pulau, betinanya diberi tanda
dan beruang pasangannya itupun menguik dan lari mengikuti. Siang Le tertawa dan hampir terpingkalpingkal melihat itu. Beng An di punggung beruang yang lari dengan lucu hingga tak dapat dia menahan geli.
Siapapun pasti terbahak-bahak. Dan ketika Soat Eng pun terkekeh dan berkelebat mengejar adiknya, lupa
kepada sang ibu maka Siang Le terkejut karena dia berduaan dengan sang ibu mertua!
"Hm!" suara itu terdengar lagi, dingin dan mendebarkan jantung. "Biarkan mereka bercanda, Siang
Le, tak usah kau mengejar. Aku memang ingin berbicara denganmu!" dan ketika Siang Le tertegun dan
membalikkan tubuh, menghadapi gak-bonya maka sang ibu mertua bertanya melanjutkan, "Sudah berapa
lama kau di sini?"
"Hampir sembilan bulan...."
"Bagus, cukup lama. Sudah cukup berbulan madu! Hm, kau sudah melaksanakan perintahku dulu,
Siang Le?"
"Ini... ini..." Siang Le gugup, terkejut. "Aku belum sempat, gak-bo. Aku masih repot menemani Engmoi di sini!"
"Hm, itu bukan alasan. Kau dapat membawanya serta. Kenapa kau tak segera berangkat, Siang Le?
Kau sengaja mengulur-ulur waktu dan melupakannya?"
"Tidak!" pemuda ini mengeraskan dagu, marah. "Aku tak melupakannya, gak-bo. Aku tetap
memegang janjiku. Aku memang belum dapat pergi karena belum menemukan alasan untuk Eng-moi!"
"Hm, tak perlu mencari alasan, langsung saja beri tahu bahwa kau ingin mencari gurumu. Bukankah
jelas? Soat Eng tak akan menahanmu, Siang Le. Kecuali kalau kau sengaja mengulur-ulur waktu dan
membiarkan aku lupa!"
Siang Le semburat. Dia merah dan tersinggung tapi tentu saja tak berani banyak cakap dengan gakbonya ini. Wanita itu adalah ibu isterinya. Dia bukan takut melainkan sekedar rasa hormat saja. Dia tentu tak
mau kalau harus bermusuhan dengan ibu mertua. Ah, biasanya perempuan dengan perempuanlah yang
bermusuhan. Jarang ada menantu laki-laki harus cekcok dengan sang ibu mertua! Tapi karena Kim-hujin ini
adalah lain dan dia ibarat ratu yang tak boleh dibantah maka Siang Le yang ingin menunjukkan diri sebagai
menantu yang baik tak mau banyak debat dengan ibu mertuanya itu. Tapi ini malah dianggap sang nyonya
sebagai kesengajaan pemuda itu untuk tidak melaksanakan perintah!
"Bagaimana, Siang Le?" pertanyaan itu meluncur lagi, semakin berat dan dingin. "Kapan kau
melaksanakannya?"
Siang Le merah padam. Sekarang dia terdesak dan waktu bulan madu yang sudah dianggap cukup
agaknya harus segera dilaluinya. Sebenarnya bukan karena itulah dia tak mau meninggalkan pulau. Dia
enggan dan segan semata karena rasa hormatnya kepada gurunya. See-ong adalah kakek yang telah memberi
banyak budi dan kini dia harus menangkap. Ah, mau rasanya dia mati saja saat itu. Biarlah dia berikan
kepalanya itu sebagai ganti gurunya! Tapi karena hal itu tak mungkin dan gak-bonya juga jelas tak mau
maka pemuda ini menekan kemarahan hatinya dan berkata,104 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Baiklah, akan secepatnya kulaksanakan, gak-bo. Aku akan meninggalkan pulau dan barangkali juga
bersama Eng-moi!
"Bagus, kapan?"
Siang Le terkejut. Sang gak-bo mendesak dan agaknya dia harus memastikan, Siang Le menjadi gusar
namun lagi-lagi menahan perasaannya. Dan ketika setelah sejenak berpikir dan mengira-ngira maka diapun
memberikan kepastian.
"Seminggu lagi. Aku akan berangkat dan gak-bo boleh legakan hati!"
"Terima kasih," sinar mata itu kini berkedip gembira. "Tapi kepergianmu tentu juga harus diberi batas,
Siang Le. Kapan kau akan menyelesaikannya agar aku tidak menunggu-nunggu!"
Siang Le terbelalak. Gak-bonya ini benar-benar terlalu dan dirasa menindas. Tapi ketika sinar matanya
bentrok dan dia kalah kuat, sinar mata gak-bonya itu begitu penuh wibawa dan angker maka Siang Le
menarik napas dalam-dalam dan menjawab,
"Gak-bo tentukan saja berapa lama batas waktu itu. Aku akan menyanggupinya saja.
"Hm, bagaimana kalau enam bulan?"
"Baik, enam bulan, gak-bo. Dan berhasil atau tidak tentu aku akan melapor!"
Bagus, kau anak baik, Siang Le. Kalau begitu biar aku juga tak perlu lama- lama di sini!" dan ketika
Siang Le mengerutkan kening karena gak-bonya itu tertawa aneh, perasaannya tertusuk maka gak-bonya itu
berkelebat dan menuju ke tengah pulau. Siang Le sendiri akhirnya bergerak dan mengikuti sang gak-bo. Dia
tahu bahwa gak-bonya itu akan menemui puterinya dan Beng An. Dan ketika di Istana Hantu mereka
bertemu lagi maka tiga hari wanita itu menginap dan kemudian kembali.
"Ibu hanya sebentar saja? Tidak menemani kami lebih lama?" Soat Eng terbelalak memandang
ibunya, tentu saja kaget karena jauh-jauh ibunya hanya tinggal tiga hari saja. Soat Eng tentu saja tak tahu
bahwa ibunya sebenarnya memiliki keperluan dengan suaminya, pembicaraan rahasia yang sudah dicapai
kata sepakat. Dan ketika wanita itu tertawa dan menepuk pundak puterinya maka dia berkata,
"Hm, aku hanya ingin melihat kalian sehat-sehat saja, Eng-ji (anak Eng). Kalau tak ada apa-apa tentu
saja ibu harus kembali. Bukankah ayahmu sendirian di utara? Aku girang kalian tak ada apa-apa, dan kupikir
cukup tiga hari bersama kalian. Sudahlah, tentunya kalian akan, ganti ke tempat kami dan suamimu pasti
tahu itu!"
Soat Eng masih terbelalak dan tertegun. Dia tak melihat muka suaminya yang sedikit merah oleh katakata itu. Ibunya menyindir Siang Le. Tapi ketika wanita ini tertegun membelalakkan mata sementara Siang
Le sendiri diam-diam mengharap agar gak-bonya itu cepat pergi, karena pemuda ini merasa terganggu maka
Beng An yang terkejut dan terbelalak seperti encinya berseru, tak puas.
"Eh, aku masih kangen dengan enci Eng, ibu. Aku tak mau pulang!"
Sang ibu terkejut. "Apa? Kau mau tinggal di sini?"
"Benar, aku masih kangen mereka, ibu, juga sepasang gorila ini. Aku ingin bermain-main dengan
mereka!"
"Ah, kalau begitu ibu tinggal juga beberapa hari. Aku juga masih kangen!"
"Hm!" sang nyonya mengerutkan kening, ganti tak puas. "Aku sudah menyatakan pulang, Eng-ji, dan
aku tentu pulang. Ayahmu sendirian di sana, aku tak mau lama-lama meninggalkannya!"
"Kalau begitu ibu saja yang pulang sendiri!" Beng An kembali berseru, mengejutkan yang lain-lain.
"Aku masih ingin main-main dan tinggal di sini, ibu. Atau aku akan ngambek di perjalanan kalau ibu
memaksa!"105 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Sang nyonya tertegun. Soat Eng tiba-tiba tersenyum karena mendadak ibunya itu serasa mati kutu.
Beng An memang anak yang bengal selain pemberani. Ibunya yang memanjakannya membuat anak itu tak
takut. Maka ketika sang ibu kelihatan ragu dan bingung, Beng An sudah berlindung dan bersembunyi di
balik punggungnya maka Soat Eng tertawa, berkata,
"Kalau begitu ibu dipaksa memilih, Tinggal di sini beberapa hari lagi atau membiarkan Beng An
bersama kami!"
"Hm, anak itu tukang bikin pusing. Apakah kau tak repot dia ada di sini?"
"Aku tidak nakal, ibu!" Beng An mendahului, setengah berteriak. "Aku akan baik-baik kepada enci
Eng maupun Le-twako. Aku lebih baik bersama mereka dulu dan ibu pulang sendirian!"
Soat Eng terkekeh. "Beng An, kau benar-benar nekat. Kalau ibu membawamu sungguh ibu kejam. Ah,
baiklah kau di sini dan biar ibu pulang sendirian, kalau tak mau beberapa hari lagi. Bagaimana, ibu?"
Sang nyonya gemas. "Baiklah," katanya. "Tapi kalau kau nakal di sini aku yang akan melemparmu ke
laut, Beng An. Jangan keluyuran dan tinggal saja di Sam-liong-to. Kau harus berjanji!"
"Aku berjanji!" sang anak menjawab gagah, girang dan senang bukan main. "Kalau aku nakal biarlah
enci Eng atau Le-twako yang melemparku ke laut, tak usah ibu!"
"Hm, bagaimana, Siang Le?" wanita itu memutar tubuhnya, menghadapi Siang Le. "Kau tak keberatan
si bengal ini ada di sini?"
"Ah, kami tak keberatan. Adik Beng An tentu tak akan mengganggu kami dan justeru dapat menemani
kami di sini. Biarlah dia di sini kalau gak-bo memperbolehkannya!"
"Baiklah, tapi tanggung jawabmu bertambah. Hati-hati dan awasi dia!" dan ketika Beng An bersorak
dan meloncat menubruk ibunya, tak menyembunyikan diri lagi di punggung encinya maka ibunya
menyambar dan mencengkeram bahu puteranya ini, mendesis, "Beng An, kau jangan membuat pusing. Kau
harus baik-baik dan tetap tinggal bersama mereka, jangan jauh-jauh. Kalau kau bandel dan tidak
melaksanakan kata-kata ibu maka aku akan mengurungmu setahun penuh!"
"Ah, jangan begitu," sang anak tertawa. "Aku selamanya baik, ibu. Kalau tidak ada orang
menggangguku tentu aku tak akan ke mana-mana. Sudahlah, ibu pulang dan baik-baik saja di perjalanan,
Aku tentu akan bersikap manis kepada enci Eng!"
Sang ibu tersenyum. Akhirnya mau tak mau dia harus tertawa juga. Beng An adalah anak bungsu dan
sebenarnya dia hanya tak mau berpisah saja. Beng An itulah yang biasanya selalu dekat dengannya sejak
Soat Eng di Sam-liong-to sementara puteranya tertua, Thai Liong, entah ke mana. Maka melihat anaknya
gembira dan di situpun tentu tak usah khawatir, karena Soat Eng dapat diandalkan sementara Siang Le juga
bukan pemuda lemah maka nyonya itu mencium puteranya dan berkelebat keluar.
"Baik, tepatilah omonganmu dan minta antar kalau sudah rindu kepada ayah dan ibu!"
Beng An bertepuk tangan. Ibunya berkelebat dan lenyap di luar. Anak itu bersorak kagum dan
memburu keluar. Dan ketika ibunya tahu-tahu sudah ada di kejauhan dan tiba di pantai, begitu cepat dan luar
biasa maka Siang Le dan Soat Eng yang berkelebat mengejar sudah diganduli anak ini.
"Hei-hei, jangan tinggalkan aku, enci Eng. Aku juga ingin melihat ibu di pantai!"
Soat Eng tertawa. Dia sendiri sudah menyusul dan mengikuti ibunya. Ibunya itu sudah tidak banyak
peradatan lagi dan siap meninggalkan pulau. Beng An melihat ibunya itu mendekati perahu tapi perahu yang
dikira akan dipakai ibunya ini mendadak ditendang, terbalik dan tertelungkup di pasir. Dan ketika anak itu
terkejut dan heran kenapa ibunya berbuat begitu maka sang nyonya sudah berjungkir balik dan.... hinggap di
atas gelombang untuk kemudian meluncur dan pergi dengan caranya yang aneh.
"Selamat tinggal, Beng An. Selamat tinggal semuanya dan hati-hati kalian menjaga diri!"106 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Beng An melongo. Kiranya ibunya meninggalkan perahu itu untuk mereka, atau lebih tepat,
barangkali untuk dirinya. Karena begitu ibunya berjungkir balik dan mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya maka ibunya yang sakti itu sudah "terbang" atau bergerak-gerak di air dengan cepat sekali, kedua
lengan mengembang seperti sayap!
"Ah, Cui-sian Gin-kang. Ah, ibu mempergunakan Cui-sian Gin-kang!"
Soat Eng dan Siang Le mengangguk-angguk. Memang wanita sakti itu mempergunakan Cui-sian Ginkang (Ginkang Pengejar Dewa). Dan karena ilmu meringankan tubuh itu sudah mencapai tingkat sempurna
dan kedua kaki yang bergerak-gerak cepat seolah tak menyentuh permukaan air maka wanita itu seolah
terbang atau meluncur tanpa sayap, Beng An berkali-kali bertepuk tangan dan memuji dengan mata lebarlebar. Enci dan iparnya bersinar-sinar memuji kagum. Apa yang diperlihatkan nyonya itu memang hebat dan
luar biasa. Tapi ketika bayangan nyonya itu lenyap karena sudah jauh di tengah, hanya merupakan titik kecil
yang tak dapat ditangkap mata lagi maka Soat Eng tertawa menepuk pundak adiknya.
"Nah, kau lihat kesaktian ibu. Kau sendiri sampai di mana pelajaranmu, Beng An? Apakah selalu
rajin-rajin belajar?"
"Ah, aku selalu rajin. Tapi kepandaianku rasanya tak bertambah-tambah juga. Lihat, inilah jurus-jurus
Khi-bal-sin-kang, enci. Mari main-main sebentar dan lihat kepandaianku!"
Soat Eng tertawa. Sang adik sudah bergerak dan mulai menerjangnya, gerakan Beng An gesit tapi dia
tentu saja jauh lebih gesit, karena begitu sang adik berseru dan menyerangnya maka dia berkelebat dan
terkekeh, mengelak.
"Bagus, tambah kecepatanmu, Beng An. Ayo tambah lagi dan semakin cepat.... wut-wut!" Soat Eng
berkelebatan, naik ke sana ke mari menghindari pukulan-pukulan adiknya sementara Beng An penasaran tak
dapat menyentuh. Dia membentak dan mempercepat gerakannya lagi namun sang enci juga melakukan hal
yang sama, mempercepat dan menambah keringanan tubuhnya. Dan ketika bayangan encinya seperti walet
menyambar-nyambar dan Beng An tak mampu menyentuh encinya, yang bergerak begitu cepat hingga mirip
bayang-bayang saja maka anak itu gemas di samping marah, berteriak,
"He, kau jangan mengelak saja, enci. Hayo balas dan pukul aku!"
"Hi-hik, kaupun minta dipukul? Tidak takut?"
"Tidak, aku akan memperlihatkan Khi-bal-sin-kang yang kupunyai!"
"Bagus, kalau begitu coba ini.... buk!" dan Soat Eng yang berkelebat dan mendaratkan pukulan ringan
tiba-tiba berseru kagum karena pukulannya membalik. Adiknya itu ternyata mengerahkan Khi-bal-sinkangnya dan ilmu Bola Sakti yang dipertunjukkan itu membuat pukulannya membal. Ternyata, Beng An
sudah mampu menahan pukulan dan sekali lagi Soat Eng mendaratkan serangan, kali ini tamparan dan
tenaganyapun ditambah. Tapi ketika serangan itu masih terpental dan tamparannya tertolak balik maka
wanita itu memuji.
"Bagus, kau hebat, Beng An. Kalau begitu kau sudah maju!"
"Ha-ha, pukul terus, enci. Hayo semakin kuat sampai aku tak tahan. Lagi!"
Sang enci tertawa. Soat Eng gembira dan menambah pukulan-pukulannya lagi. Setiap tambahan
mempergunakan sepersepuluh bagian tenaga. Dan ketika empat kali berturut-turut Beng An masih dapat
menahan dan baru pada pukulan yang ke lima anak itu terpental dan mencelat maka Soat Eng kagum dan
otomatis menghentikan pukulannya.
"Dess!"
Beng An kalah kuat. Baru setelah Soat Eng mengerahkan setengah bagian tenaganya adiknya itu tak
tahan. Beng An mencelat dan terpental ke arah Siang Le. Tapi ketika Siang Le menerima dan tersenyum,
bermaksud menolong tiba-tiba Beng An tertawa dan pukulan encinya yang terbawa itu diteruskan ke arah
sang kakak ipar.107 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Awas!" Beng An terbahak di antara sakitnya. "Aku akan menghantammu, twako. Tahan dan jaga
ini.... bukk!" Siang Le menerima pukulan, tak menyangka dan tiba-tiba mencelat ke tebing. Siang Le
memang tidak melatih lagi Khi-bal-sin-kang atau pukulan-pukulan lain dari Pendekar Rambut Emas. Beng
An juga tak mengira itu karena dulu diketahuinya kakak iparnya ini mendapat pelajaran dari ayahnya. Maka
begitu pukulan encinya "dioper" kepada pemuda ini sementara Siang Le sama sekali tidak siap maka pemuda
itupun terlempar dan mencelat, menumbuk dinding!
"Aihh...!" Soat Eng berkelebat berteriak tertahan. Beng An sendiri terbanting dan terguling-guling di


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudut, melihat Siang Le pucat dan menumbuk tebing. Tapi ketika anak itu terbelalak dan heran serta kaget,
kenapa di tubuh kakaknya itu tidak ada tenaga Khi-bal-sin-kang sebagai perlawanan maka Soat Eng sudah
menubruk dan menyambar suaminya ini.
"Le-ko, kau tak apa-apa?"
Siang Le pucat. Pemuda ini terbatuk tapi segera ditotok oleh sang isteri. Soat Eng melegakan sekaligus
membebaskan bekas pukulannya tadi, yang dioper oleh Beng An. Dan ketika dia memeluk dan pucat
memandang suaminya itu, tahu suaminya tak melatih Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu maka wanita ini
terbelalak memandang suaminya, penuh khawatir. Tapi Siang Le yang rupanya sudah memiliki kekuatan
sendiri, berkat gemblengan See-ong, gurunya itu, tiba-tiba pemuda ini menarik napas dan bangkit terhuyung,
mencoba tertawa, meskipun yang muncul adalah seringai kesakitan.
"Ah, aku tak apa-apa, hanya terkejut sedikit. Ah, sudahlah, Eng-moi. Aku tadi memang salah kenapa
tidak menangkis."
"Dan ini kenakalan Beng An!"
"Tidak... tidak!" sang pemuda cepat mengulapkan lengan, mengingatkan isterinya itu. "Beng An tak
tahu ini, Eng-moi. Dia tidak sengaja. Jangan salahkan dia karena dia memang tidak tahu!"
Soat Eng sadar. Akhirnya dia tahu bahwa adiknya memang tidak tahu. Juga adiknya tadi tidak sengaja.
Soat Eng memang sudah diminta suaminya untuk tidak menceritakan kepada siapapun bahwa Siang Le tidak
melatih atau melanjutkan Khi-bal-sin-kang dan lain-lain itu. Wanita muda ini mendapat alasan karena tak
ada lagi musuh yang mengganggu maka suaminya itu tak serius melatih ilmu-ilmu pemberian ayahnya. Dan
ketika Beng An berdiri dan menyambar suaminya, minta maaf, maka Soat Eng sadar bahwa dia tak perlu
memarahi adiknya.
"Aneh!" Beng An berseru, setelah minta maaf. "Tubuhmu sama sekali tak terisi Khi-bal-sin-kang, Letwako. Kau yang tak mempergunakannya atau memang kau tak melatih lagi?"
"Ah," Siang Le tertawa. "Aku tak siap, An-te. Aku tak menyangka bahwa kau akan mengoper pukulan
encimu."
"Tapi Khi-bal-sin-kang biasanya akan otomatis melindungi tuannya, meskipun tak dikerahkan. Tapi
tubuhmu tadi sama sekali tak ada apa-apa!"
"Hm, kakakmu sedang terkejut, Beng An. Dan dalam keadaan terkejut ilmu apapun bisa hilang
sekejap. Akupun kalau terkejut barangkali Khi-bal-sin-kang di tubuh juga bisa tak bereaksi. Sudahlah, cukup
semuanya ini dan kemajuanmu sudah ada. Kau dapat menerima pukulanku dengan tenaga setengah bagian!"
Beng An mengangguk-angguk. Suara atau kata-kata encinya ini dipercayanya begitu saja, karena
encinya memang lebih tinggi kepandaiannya daripadanya. Maka ketika dia tak bertanya lagi meskipun
keheranan itu masih ada selanjutnya mereka kembali ke tengah pulau karena Soat Eng hendak melanjutkan
pekerjaannya di dapur sementara Siang Le menyiapkan makanan untuk binatang peliharaannya, sepasang
gorila itu.
"Biar aku saja yang mencar buah-buahan untuk mereka. Le-twako istirahat saja!"
"Hm, baiklah, Beng An. Kalau begitu aku membantu encimu mengurus yang lain."108 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Semua lalu kembali, Ibu mereka telah pergi dan Sam-liong-to sekarang terisi tiga orang. Beng An lega
tak kena marah dan anak itu cepat bermain-main dengan sepasang gorila penghuni pulau. Dan ketika dua
minggu kemudian Beng An membantu enci maupun kakak iparnya dan anak itu tampak kerasan maka suatu
hari gorila itu juga menguik-nguik dan berlarian cepat ke pantai.
"Hm, siapa yang datang?" Beng An sudah mengenal gerak-gerik atau tanda-tanda binatang itu. Kalau
sepasang gorila itu berlarian dan menuju pantai pasti seseorang akan bertamu. Beng An masih tak melihat
apa-apa namun sepasang gorila itu sudah duduk dan menunggu. Lucu, binatang itu menguik-nguik dan
menuding ke depan. Beng An berdebar dan menajamkan matanya. Hm, di sana masih belum ada apa-apa.
Laut yang biru luas berdesir dengan halus. Ombaknya membuai lembut dan tak ada siapapun di sana. Tapi
ketika beberapa menit kemudian Beng An melihat sebuah titik hitam di kejauhan, seperti sebuah perahu yang
layarnya mencongak ke atas maka pemuda itu berseru kagum.
"Ah, betul. Ada orang mendatangi ke pulau!"
Dua gorila itu berdiri. Sejenak mereka mendengus-dengus namun tiba-tiba melonjak kegirangan. Beng
An memperhatikan dan segera tahu bahwa yang datang adalah kawan, karena rupanya insting binatang itu
sudah lebih dulu bicara daripada mata lahirnya. Dan ketika titik kecil itu sudah kian dekat dan kini tampak
dua orang duduk di perahu kecil, oleng dikayuh cepat maka Beng An terbelalak melihat itulah dua orang
kakek gagah di mana masing-masing juga sudah melihatnya di pantai, dua kakek bercambang dan berambut
gimbal-gimbal.
"Supek-hu (paman guru)!" Beng An melonjak dan lari berteriak. Sekarang anak ini tahu bahwa
kiranya dua kakek di perahu itu adalah supeknya, kakak seperguruan dari ibunya dan Beng An menghambur
dengan girang. Dua kakek itu juga tertawa bergelak dan ketika perahu belum merapat benar mendadak
mereka berjungkir balik dan sudah melayang turun ke pantai. Geraknya gesit dan ringan, juga cekatan. Dan
ketika perahu berhenti diterpa ombak sementara dua kakek itu sudah turun dan hinggap di pasir yang lunak,
berseri-seri, maka Beng An menubruk dan berseru dengan sikap girang bukan main.
"Ah, twa-supek dan ji-supek yang datang. Haii, selamat bertemu, ji-wi supek (paman berdua). Ini aku
Beng An ada sini!"
"Ha-ha, benar, kau Beng An. Eh, bagaimana kau ada di sini, anak nakal? Bukankah kau bersama
ibumu di utara?" kakek berambut gimbal, yang menyambar dan sudah ditubruk anak ini mengangkat anak itu
tinggi-tinggi dan melontarkannya ke atas. Beng An terbahak-bahak dan berjungkir balik ke bawah, diterima
dan dilempar lagi hingga tiga kali berturut-turut. Kakek itu ingin tahu ilmu meringankan tubuh
keponakannya dan kini terbelalak melihat betapa ringan dan lincahnya Beng An berjungkir balik, tak kalah
dengan dirinya tadi. Dan ketika kakek itu menangkap dan tidak melempar lagi, Beng An tertawa-tawa maka
kakek di sebelah juga terkekeh dan menghadapi sepasang gorila yang menubruk dan menarik-narik bajunya.
"Hei-hei, nanti dulu. Perlahan! Sobek bajuku nanti!"
Beng An tertawa gembira. Anak itu meloncat dan menubruk kakek ini pula langsung nongkrong di
pundaknya. Dan ketika kakek itu terbahak karena Beng An dan gorilanya saling kerubut, masing-masing
menari dan mengajak kakek ini bergembira maka kakek itu tiba-tiba melempar Beng An ke atas.
"Wah, tak sanggup aku dikeroyok bertiga. Hayo kejar aku kalau mampu! sang kakek berkelebat,
mendorong dua gorila itu dan kini mengitari sebongkah batu besar mengajak musuh-musuhnya menangkap.
Beng An sendiri sudah melayang turun dan berjungkir balik mengejar kakek itu, gorila di sampingnya juga
bergerak dan lari dengan lucu mengejar kakek itu, langkahnya lucu. Tapi ketika kakek itu berkelebatan dan
tak dapat disentuh, Beng An penasaran dan tiba-tiba mengerahkan jing-sian-engnya maka si kakek terkejut
ketika ujung bajunya tersambar.
"Kena!" Beng An berteriak kegirangan. Si kakek terbelalak karena Beng An mampu memegang ujung
bajunya, biarpun belum tubuhnya. Tapi ketika dia meloncat dan berusaha melepaskan diri maka Beng An
mencengkeram dan bahkan tertawa-tawa mempererat pegangannya, maju merayap, terbawa oleh si kakek
yang sudah terbang untuk melepaskan diri.109 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ha-ha, ke manapun kau pergi aku tetap mengikutimu, twa-pek (paman tertua). Aku akan coba
memegang tubuhmu dan aku menang!"
"Ha-ha, anak cerdik!" si kakek berseru. "Kau rupanya pandai dan banyak akalmu, Beng An. Baiklah,
coba bagaimana kalau begini aku memperlakukanmu..... des!" dan Beng An yang ditendang seperti kuda
menyepak tiba-tiba terkejut karena tubuhnya mencelat terlempar. Baju yang dicengkeram sobek ujungnya
dan otomatis kakek itu bebas, terbahak dan sudah berlari lagi tanpa menghiraukan Beng An, yang terbelalak
dan memaki karena twa-peknya itu curang. Tapi ketika Beng An turun dan berjungkir balik indah, dipuji
kagum maka anak itu sudah mengejar lagi dan si kakek menendang-nendang kalau Beng An hampir
mendapatkan tubuhnya. Beng An tak merasa bahwa tendangan-tendangan itu kian lama kian berat, si bocah
tak sadar. Tapi ketika kakek kedua mencelat dan memukul pundaknya, Beng An terpental barulah anak itu
terkejut mendapat pujian.
"Wah, bagus. Kiranya kaupun sudah mewarisi Khi-bal-sin-kang!"
Beng An tertegun. Sekarang dia ditangkap dan balik disambar kakek pertama. Kakek itu sudah
menendangnya berkali-kali tapi si anak tak apa-apa. Dua gorila sudah terlempar karena mereka tak kuat
menerima tendangan kakek ini, lain dengan Beng An yang masih tegar dan selalu mengejar lagi. Dan ketika
kakek itu tertawa bergelak dan memuji anak ini, juga kakek kedua yang rambutnya gimbal-gimbal maka
barulah anak itu sadar bahwa sebenarnya dia sedang diuji.
"Ah, twa-pek dan ji-pek menguji aku? Kiranya kalian memukul dan menyerang untuk melihat Khibal-sin-kangku?"
"Ha-ha, benar. Dan kau lihat dua gorilamu itu, Beng An. Mereka sekali saja terlempar dan menguiknguik kesakitan. Tapi kau sudah mendapat delapan tendangan namun tetap tegar dan kuat juga. Ini tentu
berkat Khi-bal-sin-kang!"
"Dan ilmu itu sudah menyatu di tubuhmu. Ah, ayah ibumu sudah menggembleng tak main-main!"
"Hm!" Beng An sadar, berseri-seri. "Tapi aku masih bodoh, supek. Aku belum sepandai atau selihai
enci Eng!"
"Ha-ha, sombong. Mana mungkin menandingi encimu yang sudah lebih dulu berlatih? Kami berdua
saja masih bukan tandingannya, Beng An. Dan kamipun kelak bukan tandinganmu kalau kau sudah besar
dan dewasa nanti!"
"Ah, masa?" tapi ketika Beng An dilepas dan ditendang lagi, mencelat tapi kakek pertama itu
terdorong maka kakek itu berseru,
"Nah, lihat. Khi-bal-sin-kangmu membuat aku terdorong, Beng An. Itu berarti ilmu sakti itu telah
melindungi dirimu dengan baik. Kalau sepuluh tahun lagi kau berlatih salah-salah kakikulah yang patah, tak
kuat!"
Beng An meloncat bangun. Dia melihat twapeknya itu terdorong dan terhuyung. Dia merasa agak sakit
karena tendangan tadi dilakukan keras sekali, hampir dia menjerit. Tapi ketika dia berseri karena pujian itu
betul, Khi-bal-sin-kangnya sedang diuji dan mendapat kekaguman maka kakek kedua yang bergerak dan
mengurut punggung sepasang gorila lalu tertawa melihat berkelebatnya dua bayangan.
"Ha, tuan rumah datang. Lihat!"
Beng An menoleh. Encinya, Soat Eng, datang dan berkelebat bersama suaminya. Siang Le dan
isterinya ini mendengar ribut-ribut di luar dan tentu saja terkejut, datang dan ingin melihat apa yang terjadi.
Tapi begitu mereka melihat dua kakek ini tiba-tiba Soat Eng yang gembira dan menubruk maju sudah
menyambar kakek gimbal-gimbal yang melihat kedatangannya tadi.
"Ah, kiranya Hauw Kam-supek dan Gwan Beng-supek yang datang. Aihh, selamat datang, supek.
Selamat bertemu di Sam-liong-to!"110 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Kakek itu tertawa girang. Soat Eng sudah menyambarnya dan memeluk serta mencium. Itulah tanda
sayang dan kasih dari nyonya muda ini. Dan ketika Siang Le juga tersenyum dan mendekati kakek pertama,
memberi hormat dan merangkul maka dua kakek itu bersert-seri melihat nyonya dan tuan rumah ini.
"Wah, wajahmu makin berseri-seri, Soat Eng. Kau tampak semakin cantik dan gagah saja setelah
bersuami!"
"Dan suamimu ini tambah tampan!" kakek pertama juga memuji. "Kalian sungguh kerasan dan
bahagia sekali, anak-anak. Rupanya kalian betah di Sam-liong-to, meskipun sendiri!"
"Ah, kami memang tak suka tinggal di tempat yang ramail," nyonya rumah menjawab sambil sedikit
tersipu, mukanya kemerah-merahan, sedikit malu tapi juga girang. Maklum, dia dipuji terang-terangan!
"Kami bahagia dengan keadaan kami, supek. Dan kami lebih bahagia lagi setelah kalian datang!"
"Ha-ha, ini sambutan yang manis. Eh, kami datang tak ada keperluan apa-apa, Siang-hujin (nyonya
Siang). Malah barangkali mau minta apa-apa! Ha-ha, bagaimana pendapatmu, suheng?"
"Hm," kakek pertama tersenyum. "Jangan menakut-nakuti nyonya rumah, sute. Siang-hujin mungkin
akan berdebar kalau belum apa-apa kau sudah memberi tahu."
"Ha-ha, aku tak takut. Nyonya rumah pasti tak menolak!" dan ketika benar saja Soat Eng dan
suaminya mengerutkan alis, berdebar, maka kakek gimbal-gimbal itu berkata, "Siang-hujin...."
"Stop, aku kikuk dipanggil begitu, ji-supek. Jangan main-main dan sebut saja aku sebagaimana biasa!"
Soat Eng memprotes.
"Benar," sang suami juga tersenyum. "Jangan berkata begitu, supek. Kami rasa kalian terlalu
menghormat berlebihan. Panggil saja kami seperti biasa dan kami justeru suka itu."
"Ha-ha, aku memang main-main. Sudahlah, aku hanya menggoda saja. Baik, hmm... apa tadi kataku?
Sampai di mana aku tadi bicara?" kakek ini lupa, menggaruk-garuk kepalanya dan Beng An tertawa. Anak
itu merasa lucu karena dua orang supeknya ini jenaka, terutama ji-supeknya atau paman gurunya nomor dua
itu. Tapi ketika Siang Le mengingatkan bahwa katanya mereka akan minta sesuatu, entah apa, maka kakek
itu mengangguk dan tertawa.
"Benar... benar... kami, hmm... kami mau meminta sesuatu dari isterimu ini!"
"Minta apa?"
"Tebak dulu, Soat Eng. Baru nanti kuberi tahu!"
"Aku tak tahu," sang nyonya gemas, "Supek biasanya suka main-main..."
"Ah, aku tak main-main. Aku serius! Jangan bilang aku main-main!" Hauw Kam, kakek itu,
memotong. Rupanya dia marah dikata main-main. Tapi ketika pandang matanya bentrok dengan mata si
nyonya dan kakek itu terkekeh maka dia bilang terus terang.
"Hm, begini. Kami, he-he... kami mau minta makan yang enak. Aku dan twa-supekmu itu sudah lama
ingin menikmati masakan tanganmu, saos tomat kaki burung! Bukankah kau dapat menyajikannya untuk
kami? Aku dan suheng ingin mengenang masa lalu, ketika kau dan suamimu ini kami tawan dan seret-seret
sepanjang jalan, ha-ha!"
Soat Eng terkejut, tapi tiba-tiba tertawa lebar. Teringatlah dia akan kisah dua tahun yang lalu ketika
dia dan suaminya ini, waktu itu mereka masih sama-sama jatuh cinta, ditawan dan ditangkap dua kakek ini.
Waktu itu masing-masing sama tak tahu bahwa mereka sebenarnya masih memiliki hubungan saudara, atau
keluarga dekat. Karena waktu itu dua supeknya ini dalam keadaan tidak waras alias gila. Dua supeknya itu
dulu dicekoki racun oleh dua di antara Enam Iblis Dunia, racun yang membuat ingatan mereka terampas dan
Hauw Kam serta suhengnya itu terkenal sebagai orang-orang aneh yang gila. Namun karena mereka
berkepandaian tinggi karena dua orang itu adalah murid-murid utama Hu Beng Kui, jago pedang yang
akhirnya memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng maka Soat Eng yang merupakan cucu dari mendiang111 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
si jago pedang pernah bentrok dan ditangkap dua orang supeknya ini, yang waktu itu tidak waras. Dan Siang
Le membela, turut tertangkap dan ditawan, diseret dan akhirnya menjadi permainan dua orang itu yang
tertawa-tawa melihat ulah dua muda-mudi ini. Mula-mula Soat Eng menyumpah dan memaki-maki Siang
Le, ketika pemuda itu minta agar dialah yang diseret bukan Soat Eng. Tapi ketika Hauw Kam mengabulkan
dan Siang Le diseret, menggantikan gadis itu agar Soat Eng tidak tersiksa maka si gadis akhirnya menangis
dan cinta di hati yang semula disembunyikan dan dibuat dingin tak dapat menahan dirinya lagi. Soat Eng
menangis dan memaki-maki Hauw Kam, minta agar Siang Le dibebaskan dan biarlah dia yang diseret. Dan
ketika permintaan itu dikabulkan dan Siang Le yang ganti memaki-maki, berteriak-teriak maka Hauw Kam
dan suhengnya gembira mempermainkan dua orang itu. Sampai akhirnya suatu hari Hauw Kam
membebaskan Soat Eng berdua dengan syarat, yakni agar gadis itu membuatkan masakan untuk mereka
seperti masakan istana. Hauw Kam dan suhengnya memang akhirnya menjadi orang-orang yang doyan
makan enak. Semasa gilanya mereka kerap ditipu putera-putera hartawan agar menurunkan ilmunya, dengan
imbalan masakan enak dan anggur yang lezat-lezat. Dan arena Soat Eng mampu memenuhi permintaan itu
dan kebetulan sepasang blekok ditangkap Hauw Kam untuk dijadikan santapan maka kaki burung blekok
itulah yang dimasak Soat Eng dengan nama saos tomat kaki burung. Dan kini Hauw Kam rupanya ngilar!
"Ha-ha, bagaimana, bocah? Kau dapat memberikan kami apa yang kami maui?"
"Hm," Soat Eng tertawa. "Tentu saja, supek. Tapi tak ada kuntul di sini. Yang ada hanya, semacam
elang laut. Maukah kalian?"
"Ah, elang laut atau elang darat kami suka semua. Pokoknya kau buatkan saos tomat kaki burung.
Burung apa terserah kau. Pokoknya jangan burung suamimu, ha-ha!"
"Hush!" sang suheng membentak. "Jangan bicara macam-macam, sute. Ada anak kecil di sini!"
"Eitt, siapa bicara macam-macam? Aku bicara benar, suheng. Yang kumaksud adalah burung
peliharaan Siang Le ini. Seingatku dia dulu pernah menangkap dan merawat seekor burung beo, yang
disumpit orang. Nah, burung itu yang kumaksud dan aku tidak bicara macam-macam. Tanya saja pemuda
ini!"
"Hm, burung itu sudah kulepaskan," Siang Le tersenyum tahu bahwa supeknya nomor dua ini
memang sedikit nakal, suka ceplas-ceplos bicara. "Ingatanmu benar tajam, supek. Tapi burung itu tak ada
lagi di tanganku. Aku tak ingin dia terkurung dan hidup menderita, maka kulepaskan dia agar terbang
merdeka."
"Nah-nah, anak yang satu ini memang welas asih dan berhati emas. Ah, apalagi yang pantas diberikan
kepadanya kalau bukan pujian, suheng? Hm, aku bangga mempunyai keponakan menantu seperti ini, dan
kalau saja Kim-mou-eng mempunyai puteri yang lain maka tentu aku akan girang kalau punya menantu lagi
seperti Siang Le!"
"Sudahlah," Siang Le tersipu, kemerah-merahan. "Aku tak memiliki keistimewan apa-apa, supek. Aku
sama dengan orang-orang lainnya. Ayolah, kalian mau masuk atau ngobrol saja di luar?"
"Ha-ha, tentu saja aku mau masuk. Ah, Sam-liong-to cukup dingin, aku ingin berdiang. Dan tentu
nikmat berdiang sambil menikmati saos tomat kaki burung, ha-ha!"
Soat Eng tersenyum. Supeknya yang nomor dua ini memang doyan bicara di samping doyan makan.
Setelah mereka disembuhkan Bu-beng Sian-su dan tidak gila lagi tentu saja mereka merupakan orang-orang
waras yang sehat jiwa dan lahirnya. Soat Eng mengangguk dan berkelebat ke pandai. Kebetulan saat itu tiga
ekor elang laut terbang menyambar rendah, rupanya akan menyambar ikan yang muncul di permukaan air.
Tapi ketika wanita itu bergerak dan tiga sinar hitam mencuat ke atas, cepat sekali, maka tiga ekor burung itu
roboh dan jatuh ke air.
Namun Soat Eng sudah berjungkir balik melepas ikat pinggangnya. Cepat dan luar biasa nyonya ini
sudah menjeletarkan sabuknya itu, menggubat atau menarik tiga ekor burung yang hampir tercebur di air.
Dan ketika dia berjungkir balik dan melayang turun, indah dan ringan maka tiga ekor burung itu telah berada
di ujung ikat pinggangnya dan sudah tak bernyawa.112 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ha-ha, bagus sekali. Luar biasa. Itu tentu Cui-sian Gin-kang!"
"Hm, mengagumkan!" Gwan Beng, sang supek nomor satu juga memuji, tepuk tangan. "Ilmu
meringankan tubuhmu semakin luar biasa saja, Soat Eng, Hampir sama dengan ibumu!"
"Dan suamimu juga tentu bertambah lihai!" sang supek nomor dua kembali nimbrung, berseru. "Ah,
aku ingin melihat kepandaiannya, Soat Eng. Aku gatal tangan dan ingin main-main!"
"Stop, nanti dulu!" Siang Le berubah, cepat menggoyang lengan. "Tak suka aku bertanding
denganmu, supek. Tak hormat rasanya menyambut tamu dengan bertempur. Tidak, hari ini aku benar-benar
gembira dan tak ada hasrat main-main. Harap supek mengerti dan mari ke rumah!"
Hauw Kam terbahak-bahak. Tentu saja dia tak tahu bahwa Siang Le menolak karena justeru tak ingin
diketahui kepandaiannya. Pemuda itu disangka memiliki Khi-bal-sin-kang dan lain-lain sebagaimana pernah
didengar, karena Siang Le sekarang adalah menantu Pendekar Rambut Emas. Tapi ketika kakek itu tak
memaksa dan Siang Le girang, sudah mengajak tamunya ke pulau maka Hauw Kam dan suhengnya itu
bergerak dan memasuki Istana Hantu. Selanjutnya dua kakek itu menginap dan Soat Eng gembira karena
setelah kepergian ibunya maka datang supek-supeknya ini. Mereka adalah kakak seperguruan ibunya
meskipun ibunya tentu saja jauh lebih lihai, karena ibunya mempelajari Khi-bal-sin-kang dan lain-lain, ilmu
yang diwarisi dari Bu-beng Sian-su dan bukan mendiang ayahnya. Dan ketika hari-hari berikut dipenuhi
canda dan tawa, Sam-liong-to menjadi ramai maka suatu petang di saat mereka duduk-duduk di serambi
depan Hauw Kam bertanya pada Siang Le apakah isterinya itu belum punya "celengan".
"Celengan?" Siang Le terheran, tapi tiba-tiba tertawa. "Ah, kami tak butuh celengan, ji-supek. Harta di
Sam-liong-to ini jauh dari cukup. Kami tak butuh menyisihkan uang!"
"Hm," sang kakek terbelalak. "Kau begitu bodoh? Aku maksudkan bukan harta bendamu, Siang Le.
Melainkan, hmm... bodoh amat kau ini!"
Siang Le terkejut. Dia melihat kakek itu uring-uringan dan Gwan Beng yang duduk di sebelah tertawa.
Sebenarnya yang dimaksudkan Hauw Kam adalah apakah Soat Eng sudah "berisi", hamil. Tapi karena Siang
Le pemuda lugu dan apa yang ditanya tak ditangkap artinya maka pemuda itu mengartikannya secara harfiah
dan Hauw Kam kakek gimbal-gimbal itu tentu saja geregeten!


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang salah?" Siang Le mengerutkan alisnya. "Adakah jawabanku tadi tidak benar? Kami betulbetul tidak punya celengan, ji-supek. Kami tak terlalu banyak memikirkan duniawi!"
"Bodoh, bebal!" si kakek membentak. "Aku maksudkan apakah isterimu belum hamil, Siang Le.
Apakah kau belum punya turunan. Itulah yang kumaksud celengan, goblok!"
Siang Le semburat. Untuk maki-memaki memang kakek ini gudangnya, pemuda itu maklum. Tapi
bahwa yang ditanyakan adalah itu, urusan bibit atau buah keturunan maka pemuda ini jengah dan tersipu.
"Bagaimana?" kakek itu bertanya lagi. "Kau cengar-cengir seperti monyet kelaparan?"
"Ah," pemuda ini tertawa, tahu watak si kakek yang berangasan. "Kalau itu yang kau maksud maka
kujawab belum punya, ji-supek. Kukira tadi celengan uang..."
"Kau memang bebal!" Hauw Kam menggerutu lagi. "Sudah begini besar masih juga tidak mengerti
omongan orang-orang tua. Eh, kenapa sekian bulan kau belum juga punya turunan, Siang Le? Apakah kau
tak tidur bersama isterimu itu?"
Siang Le menahan senyum. Kalau pertanyaan ini dilancarkan orang lain tentu dia akan marah dan
tersinggung. Tapi dia mengenal betul watak supeknya yang satu ini. Hauw Kam memang ceplas-ceplos dan
bicara tanpa tedeng aling-aling. Meskipun kedengarannya kasar tapi sesungguhnya kakek itu memperhatikan
rumah tangganya, kebahagiaannya. Dan karena si kakek justeru menaruh perhatian, tanda kasih sayang maka
pemuda ini menarik napas dalam-dalam dan menggeleng.
"Entahlah," katanya. "Eng-moi memang belum menunjukkan tanda-tanda seperti itu, Aku barangkali
yang goblok, supek. Atau barangkali belum waktunya."113 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Belum waktunya bagaimana?" sang kakek menyemprot lagi. "Cukup lama kau berpengantin baru,
Siang Le. Seharusnya sudah ada. Tahu, aku ingin membopong anak kalian!" dan mengusap air matanya yang
tiba-tiba menitik maka kakek ini menangis, disusul suhengnya karena Gwan Bengpun tiba-tiba juga begitu.
Dan ketika dua kakek itu terisak dan menangis di depan Siang Le maka pemuda ini terkejut.
"Eh, ada apa kalian ini? Kenapa begitu saja menangis?"
"Hm, kamipun sebenarnya adalah juga laki-laki normal, Siang Le. Tapi karena. kami dirundung
malang maka setua kami tak pernah menikah. Kami mengharap dapat menimang anak dari keponakankeponakan kami. Beng An masih kecil, sementara Thai Liong rupanya tak pernah menjalin cinta dengan
wanita. Kalau bukan kau yang kuharap lalu siapa lagi, Siang Le? Kami tua bangka tentu tak dapat memiliki
turunan, tak ada wanita yang mau bersama kami. Karena itu kalau kau dapat mempunyai turunan maka kami
akan bahagia dapat menimang anakmu, seperti anak sendiri!"
Siang Le terharu. Tiba-tiba dia mengerti bahwa dua kakek itu kiranya rindu anak. Mereka
mendambakan keturunan dan hal itu wajar. Tapi karena masa muda mereka sudah dirusak orang-orang jahat
dan akibatnya setua itu mereka tak pernah menikah maka dorongan ingin mempunyai turunan lalu dialihkan
kepadanya. Mereka mengharap dia mempunyai anak dan akan bahagia membopong anaknya. Siang Le
terharu. Dan ketika dua kakek itu menangis dan Hauw Kam bahkan mengguguk, eh... Siang Le mendadak
saja ikut-ikutan menangis dan bercucuran air mata.
"Eh-eh!" Soat Eng tiba-tiba muncul, berkelebat membawa minuman. "Apa-apaan kalian ini, ji-wi
supek? Kenapa semua menangis dan suamikupun bercucuran begitu sedih? Apa yang terjadi?"
Siang Le dan lain-lain terkejut. Tentu saja mereka terkejut karena tanpa sadar sudah menangis di situ.
Tangis rupanya menular dan Siang Le yang melihat mereka menangis tiba-tiba juga ikut-ikutan, Hauw Kam
terbelalak dan tiba-tiba cepat menghapus air matanya. Dan ketika dia melihat suhengnya juga menyusut
dengan ujung baju sementara Siang Le cepat-cepat mengeringkan air mata dengan ditiup, ah... mendadak
saja kakek ini tergelak-gelak!
"Ha-ha, siapa yang gila dan lebih dulu gila? Eh, siapa menyuruhmu menangis, Siang Le? Kenapa kau
seperti orang tidak waras dan membuat isterimu terkejut?"
"Hm," Siang Le gugup, mengerling isterinya yang masih berdiri terbelalak, belum meletakkan
penampan. "Aku menangis karena kau menangis, supek. Aku terharu mendengar ceritamu tadi."
"Cerita apa?" Soat Eng berseru, mendahului. Apakah sedemikian mengharukannya hingga kalian tiga
laki-laki gagah menjadi cengeng?"
"Hm," Gwan Beng bicara, memotong dan mendahului sutenya yang juga sudah mau bicara, mengedip.
"Kami tak bicara apa-apa, Soat Eng. Hanya tentang sesuatu yang kecil tapi cukup menyentuh."
"Apakah itu," sang nyonya ingin tahu. "Beritahukan kepadaku atau minuman ini kubawa kembali!"
"Ah-ah, jangan. Turunkan itu!" Hauw Kam sudah meloncat, menyambar dan mendahului nyonya
rumah. "Arak yang kau bawa begini harum, Soat Eng. Jangan dibawa kembali dan biar kuceritakan!" dan hahah-he-heh tak perduli kedipan kakek ini langsung nerocos, "Kami bertanya kepada Siang Le kenapa dia
begitu goblok. Sudah sekian bulan menikahimu belum juga mempunyai turunan. Nah, itulah yang kutanya!"
Soat Eng terkejut, tiba-tiba merah padam. Dan ketika supeknya terbahak dan menenggak arak maka
dia berseru tertahan dan berkelebat ke belakang. "Ih, kalian orang laki-laki tak tahu malu!" dan lenyap
menghindari pandangan akhirnya Hauw Kam tertawa bergelak menyambar minumannya lagi.
"Wah, kau yang memaksa bicara, Soat Eng. Jangan salahkan supekmu. Ha-ha, arak ini terlampau
nikmat untuk ditukar dengan sebuah keterangan!" dan menenggak serta menenggak araknya lagi kakek itu
tertawa-tawa dan tak menghiraukan sekeliling. Dia tak perduli si pemuda yang semburat tersipu-sipu. Dia
juga tak perduli suhengnya yang menegur dengan pandangan mata. Gwan Beng tak ingin sutenya begitu
blak-blakan. Tapi karena sang sute tak menghiraukan dan Soat Eng juga tak marah akhirnya kakek ini
tersenyum dan menenggak araknya pula.114 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ha-ha, ayo minum, Siang Le. Kami ingin mendoakan agar malam ini terjadi keajaiban!"
Siang Le tersenyum. Akhirnya dapat juga dia tertawa dan menerima cawan araknya. Twa-supeknya
yang lebih pendiam itu sudah mengajaknya minum arak. Petang itu hawa mulai dingin dan laut di pantaipun
bergolak gemuruh. Memang nikmat menikmati arak hangat di saat-saat seperti itu. Dan ketika semua minum
sementara nyonya rumah ada di dapur, menyiapkan makanan untuk malam nanti mendadak terdengar jerit
dan pekik Beng An, yang tidur di kamarnya.
"Tolongg...!"
Siang Le dan dua supeknya melonjak. Mereka kaget bukan main karena teriakan Beng An itu
demikian panjang dan mendirikan bulu roma. Beng An, bocah lelaki yang sudah mereka kenal sebagai anak
atau bocah pemberani itu tiba-tiba melengking dan berteriak minta tolong. Anak itu ada di kamar belakang
dan Siang Le serta dua supeknya mencelat melepas cawan-cawan di tangan. Jerit atau teriakan Beng An itu
seperti ketemu hantu, bulu mereka mengkirik! Dan ketika hampir berbareng mereka meloncat dan berkelebat
ke belakang, gerakan atau loncatan otomatis bagi seorang ahli-ahli silat maka bayangan kecil menabrak dan
bertemu mereka di pintu dalam.
"Bress!"
Siang Le dan dua pamannya terpelanting jungkir balik. Beng An muncul dan menabrak mereka, anak
itu histeris dan tadi masuk tanpa memperhatikan siapa-siapa. Bocah itu tahu-tahu sudah berlari ke dalam
sementara Hauw Kam dan lain-lainnya meloncat keluar. Tak ayal, mereka bertabrakan dan karena Beng An
mempergunakan kaki tangannya untuk menolak atau seperti melakukan serangan maka kakak iparnya dan
dua supeknya sampai terjatuh dan terpelanting di kiri kanan.
"Setan, ada setann....!"
Hauw Kam dan lain-lain terkejut. Mereka meloncat bangun dan terbeliak memandang bocah itu. Beng
An menggigil dan ketakutan. Wajahnya pucat pasi dan kaget serta heran bukan main semua orang
menyaksikan tingkah anak itu. Tak biasanya Beng An bersikap seperti ini kalau tidak ada sesuatu yang luar
biasa, yang betul-betul serius. Dan ketika anak itu jatuh terduduk dan mendeprok di lantai, seluruh mukanya
penuh keringat maka Siang Le yang lebih dulu sadar dan meloncat bangun sudah menyambar adiknya itu.
"An-te, ada apa? Kenapa kau berteriak-teriak? Mimpi buruk?"
"Tit... tidak!" anak itu memburu napasnya, mata meliar ke kiri kanan. "Ak... aku bertemu setan, Le-ko.
Ada setan di kamarku!"
"Hm, di sini tak ada setan," Siang Le tertawa, mencoba menghibur sekaligus menenangkan guncangan
hatinya sendiri. "Kau rupanya terbangun dari mimpi yang buruk, An-te. Di sini tak ada apa-apa. Kau
terpengaruh mimpimu di kamar."
"Tidak... tidak!" anak itu berontak, meloncat bangun. "Aku tidak bermimpi, Le-ko. Aku tidak tidur
dan sedang membaca kitab. Aku didatangi seseorang tapi orang itu tak dapat kusentuh tubuhnya!"
"Seperti roh?" Siang Le terkejut, teringat gurunya karena gurunya juga dapat merubah ujud menjadi
badan halus. "Kau bertemu guruku?"
"Tidak..., bukan!" sang bocah berkata lagi, gigi berketrukan. "Aku tidak bertemu gurumu, Le-ko.
Melainkan manusia sungguh-sungguh yang badannya tak dapat disentuh. Dia bukan roh, dia iblis!"
"Hm!" Siang Le tergetar dan ikut berubah, pucat. "Bagaimana ini, An-te? Kau dapat menerangkannya
lebih jelas? Atau minum dulu, mari tenangkan hatimu dan jangan ketakutan seperti ini. Kau mengejutkan
kami semua!" Siang Le mengambil arak secawan, memberikannya kepada sang adik namun saat itu
berkelebat bayangan Soat Eng yang kembali muncul. Wanita muda itu terbelalak dan kaget memandang
kawan-kawannya. Dan ketika dia berseru dan bertanya apakah Siang Le memasuki dapur maka Siang Le
tertegun dan jadi terkejut.115 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Aku tidak ke mana-mana. Aku sejak tadi ada di sini. Apa maksudmu, Eng-moi? Siapa
mengganggumu di dapur?"
"Aku... aku melihat bayangan seseorang. Pisau di dapur meloncat-loncat seperti bernyawa. Tadinya
kukira kau yang main-main dan hendak mengageti aku!"
"Hm, apa artinya ini?" Gwan Beng, sang supek tertua tiba-tiba menyeruak. Kakek itu sejak tadi
tertegun dan mendengarkan semuanya, diam tak bergerak bagaikan arca batu. Jerit dan teriakan Beng An
dinilai luar biasa dan kini Soat Eng pun muncul dan berkata bahwa bayangan seseorang muncul di dapur,
pisau meloncat-loncat dan seakan hidup bagai benda bernyawa. Tentu saja mengerikan! Tapi ketika kakek
itu bertanya dan Soat Eng belum menjawab tiba-tiba terdengar teriakan dan pekik sepasang gorila.
"Nguilikkk....!"
Gwan Beng dan lain-lain berkelebat. Tanpa menunggu atau menoleh lagi mendadak semuanya
bergerak keluar. Soat Eng paling cepat karena wanita itulah yang lebih dulu di luar, mengerahkan Jing-sianengnya dan tahu-tahu disambut dua bayangan hitam yang menyambar ke arahnya. Dan karena nyonya ini
paling duluan dan bayangan itu tak mungkin dielakkan, karena sudah di depan hidung maka Soat Eng
menggerakkan kakinya dan sekaligus menendang atau menampar.
"Des-bluk!"
Ternyata itu adalah gorila mereka. Dua hewan ini merintih dan terlempar ke dinding, roboh dan
terbanting karena di sambut pukulan atau tendangan Soat Eng tadi, yang tak menyangka. Dan ketika hewan
itu meringkuk dan Soat Eng berseru tertahan, kaget, maka yang lain-lain sudah di situ dan Siang Le berlutut
memeriksa biruangnya.
"Mereka sudah tak bernapas, mati!"
Soat Eng terisak. Tegang dan kaget oleh semuanya itu kiranya wanita ini kelepasan berlebih tenaga.
Tendangan atau pukulannya tadi rupanya membuat biruang jantan dan betina tak kuat, menguik dan tewas
dengan sekali pukul. Tapi ketika Soat Eng meloncat dan berlutut, menangis melihat binatang piaraannya
mati tiba-tiba nyonya ini terkejut karena melihat kepala binatang-binatang itu retak.
"Mereka mati dibunuh orang!" nyonya itu melengking, tiba-tiba meloncat bangun "Ada orang yang
membunuhnya lebih dulu, Le-ko. Bukan oleh tendangan atau pukulanku!"
"Bagaimana kau yakin?" sang suami terbelalak, ragu. Tapi ketika Soat Eng menuding dan menyuruh
dia mengusap kepala binatang itu, yang retak dan bukan oleh tendangan maka Siang Le sadar.
"Tendangan atau pukulanku mengenai dada, bukan kepala. Tapi justeru kepala mereka yang retak atau
pecah! Ah, ada musuh di sini, Le-ko. Awas dan hati-hati...!" dan sang nyonya yang berkelebat dan marah
melengking-lengking, marah mencari musuh yang bersembunyi maka Hauw Kam dan suhengnya terkejut
berlompatan ke kiri kanan. Mereka segera memeriksa dan Beng An menyambar lengan kakak iparnya.
Bocah yang biasa pemberani itu ternyata sekarang agak pucat, takut. Siang Le merasa betapa genggaman
jari-jari anak ini gemetar dan menggigil, tanda keseriusan anak itu tak dibuat-buat. Dan ketika Siang Le
berkelebat dan mencari-cari, membantu teman-temannya yang lain maka Beng An berbisik bahwa yang
dihadapi adalah iblis, setan jejadian.
"Aku yakin dia itu setan. Tubuh atau bentuk tubuhnya benar-benar mirip manusia, tapi tak dapat
disentuh atau dipegang karena seperti asap...!"
"Ah, kau bermimpi buruk, An-te. Kau terbuai alam pikiranmu yang mengada-ada. Tak ada manusia
macam begitu. Kalau bukan suhu tentu orang lain, manusia yang amat luar biasa!"
"Ah, bukan suhumu, Le-ko. Kakek itu berjanggut dan bermisai panjang. Dia seperti siluman putih
dalam dongeng cerita See-yu!"
"Bermisai?" Siang Le tertegun. "Maksudmu berkumis?"116 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ah, kumis tak sepanjang itu, twako. Dia lebih tepat disebut bermisai. Panjangnya hampir ke kaki.
Eh.. itu dia!" dan ketika Siang Le terkejut dan menoleh, Beng An berteriak menuding ke kiri maka pemuda
ini hampir melonjak karena tiba-tiba di sebelah kirinya muncul seorang kakek luar biasa yang misainya
sampai ke kaki. Kakek itu tersenyum simpul dan tahu-tahu sudah ada di sebelah kirinya seperti iblis, begitu
saja, tanpa diketahui! Dan ketika Siang Le membentak dan otomatis melepas pukulan, menghantam, maka
tangannya terus bergerak dan, eh... tahu-tahu menembus tubuh kakek itu sampai keluar punggung.
"Aiiihhhhh....!"
Pekik atau teriakan Siang Le ini mengetarkan Sam-liong-to. Pukulannya yang tembus dan terus
melewati tubuh orang, seperti menghantam atau memukul bayang-bayang membuat Siang Le terpekik dan
kaget sekali. Dia merasakan benarnya kata-kata Beng An bahwa kakek itu berjasad tapi seolah tak berjasad.
Tubuhnya halus dan menyerupai roh, pukulannya otomatis tembus dan tak kena apa-apa. Kakek itu seperti
siluman! Dan ketika ke Siang Le terjelungup dan roboh ke depan, menembus tubuh kakek itu pula maka si
kakek tertawa dan tiba-tiba menghilang.
"Siluman! Iblis...!"
Tiga bayangan bergerak datang. Soat Eng mendengar teriakan suaminya dan cepat mendatangi tempat
itu. Dua supeknya yang lain juga berkelebat dan muncul bersamaan. Tapi karena si kakek sudah menghilang
sementara Siang Le meloncat terhuyung-huyung, roboh dan terjelungup lagi maka Soat Eng kaget dan menyambar suaminya
itu, disusul dua supeknya.
"Ada apa! Apa yang kau lihat!"
"Ib... iblis!" Siang Le gelagapan, tak mampu bicara baik. "Aku melihat kakek itu, Eng-moi. Dia... dia
bukan manusia!"
"Benar!" Beng An berseru, juga pucat dan menggigil. "Kami bertemu siluman, enci. Kakek itu muncul
dan berada di sini!
"Ah, siapa itu. Siapa yang kalian maksud!" Soat Eng melebarkan matanya, marah, tak melihat apa-apa
karena dia memang tak melihat siapa pun. Tadi waktu berkelebat pun ia sudah menjelajah ke seluruh penjuru
dengan matanya. Seekor belalang pun akan dilihat tanpa terlewat. Tapi ketika suaminya berkata bahwa ada
seorang kakek di situ, juga adiknya berkata begitu maka wanita muda ini penasaran dan marah. "Di mana dia
itu, Le-ko. Siapa kakek pengganggu itu. Tunjukkan padaku!"
"Dia... dia bukan manusia. Dia iblis!" Siang Le masih terbata-bata, pucat dan menggigil. "Kita bukan
bertemu lawan biasa, Eng-moi. Melainkan roh halus!"
"Hm, gurumu?"
"Bukan.... bukan guruku, tetapi orang lain. Tapi... tapi, ah... orang itu tak pantas disebut orang. Dia roh
halus, siluman!" dan ketika Siang Le menceritakan sepotong-sepotong dan Beng An juga membenarkan
sambil menggigil, keduanya sama-sama pucat maka Soat Eng yang biasanya tak kenal takut mendadak juga
merinding dan mengkirik!
"Kau bicara melantur, Le-ko. Kau agaknya terkena shock. Tak mungkin ada siluman atau hantu di
sini!"
"Tapi kita tinggal di Sam-liong-to, di sini ada Istana Hantu!" Beng An yang tadi memegang lengan
Siang Le tiba-tiba meloncat dan memegangi tangan encinya. "Aku juga melihatnya begitu, enci Eng. Kakek
itu siluman dan bukan manusia. Tubuhnya tembus tak dapat dipukul!"
"Hm!" Gwan Beng tiba-tiba melangkah maju. "Apakah betul-betul bukan gurumu, Siang Le?
Betulkah orang lain?"117 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Betul, bukan guruku!" pemuda itu berkata tegas. "Kalau guruku tentu Beng An mengenalnya, supek.
Tanya saja anak ini betulkah atau tidak!"
"Memang bukan See-ong!" Beng An terbelalak, menggeleng. "Kalau See-ong aku kenal, supek. Tapi
kakek itu lain. Misainya sepanjang kaki, sampai di bawah!"
"Misai?" Soat Eng tertegun. "Sepanjang kaki?"
"Ya, sepanjang kaki, Eng-moi. Tapi wajahnya putih dan bola matanya seperti api, berpijar-pijar!"
Soat Eng tertegun. Kalau suami dan adiknya sudah bicara begitu maka mau tak mau dia harus percaya.
Jantungnya berdegup dan nadi di pergelangan tangan pun serasa kencang. Dia terbelalak mendengar kakek
itu berwajah putih dengan bola mata berpijar-pijar. Kalau begitu bukan manusia melainkan iblis! Tapi,
adakah iblis memperlihatkan diri kepada manusia? Dan mungkinkah manusia dapat melihat iblis? Dan
karena Soat Eng ragu dan kurang percaya, menganggap bahwa itu tentu manusia yang amat sakti dan luar
biasa maka dia mengajak yang lain-lain masuk ke dalam dan tidak berpencar lagi. Namun tiba-tiba Hauw
Kam, ji-supeknya nomor dua berteriak.
"He, ini kakek itu...!" dan menghantam serta membalik ke kanan tiba-tiba ji-supeknya itu melepas
pukulan dan menyerang seseorang. Soat Eng tertegun karena tak melihat apa-apa. Apa yang dikata sebagai
"kakek itu" ternyata hanyalah sebatang pisang di sebelah kanan ji-supeknya. Maka ketika pukulan itu
menghantam dan pohon pisang itu roboh maka ji-supeknya terjelungup dan terpelanting sendiri.
"Bress!"
Ji-supeknya berteriak-teriak seperti orang gila. Gwan Beng dan lain-lain juga tak bergerak dan tinggal
di tempat masing-masing. Mereka melihat seperti apa yang dilihat Soat Eng, tempat itu tak ada apa-apa. Dan
ketika ji-supeknya berhenti menyerang karena kakek itu lenyap, begitu katanya, maka Soat Eng mengkirik
dan menegur paman gurunya nomor dua itu.
"Apa yang kau lakukan, ji-supek? Mana kakek itu?"
"Wah, kau tak melihat? Kakek sebesar itu tak dapat kau lihat? Wah, tolol dan gila sekali, Soat Eng.
Tanya yang lain-lain ini kalau matamu rabun!"
"Hm, aku tak melihat apa-apa," sang suheng tiba-tiba menjawab, mendahului yang lain. "Yang kau
pukul itu adalah pohon pisang, sute. Coba lihat dan saksikan.
"Benar," Siang Le juga berseru, terheran-heran. "Kami tak melihat apa-apa, supek. Kau memukuli
pohon seperti orang kesurupan!"
"Dan aku juga!" Beng An berkata. "Aku tak melihat apa-apa dan menganggap supek tidak waras!"
"Sial bangkotan!" Hauw Kam mendelik dan memaki-maki. "Aku orang tidak waras? Heh, hati-hati,
Beng An. Kupukul mulutmu nanti. Aku melihat kakek itu di sebelah kananku dan tiba-tiba lenyap!"
"Kalau begitu benar siluman," Beng An menggigil. "Sam-liong-to rupanya sudah tidak aman, supek.
Mari kita tinggalkan saja dan pulang ke tempat ibu!"
"Tidak," Soat Eng tiba-tiba penasaran. "Aku justeru ingin melihat dan mengetahui siapakah kakek itu,
Beng An. Kalau dia hantu maka justeru harus diusir dari sini. Tapi kalau dia manusia, hmm... pasti
kubunuh!" tapi baru nyonya ini berkata demikian mendadak terdengar kekeh dan tawa menyeramkan. Dari
dalam rumah tampak bayangan berkelebatan seolah sinar atau lidah api menyala-nyala. Semua terkejut
karena tak tahu apakah itu. Tapi Soat Eng yang sudah bergerak dan berkelebat ke dalam, melengking, tibatiba masuk dan meluncur lewat jendela.
Namun nyonya itu tersentak. Sinar atau lidah api yang berkelebatan menyambar-nyambar itu
mendadak menabrak lampu di langit-langit ruangan, padam dan pecah! Dan ketika dia berhenti dan
membelalakkan mata, berada di tempat yang gelap gulita maka Hauw Kam dan lain-lain menjerit di luar,
pantat masing-masing ditepuk nyaring. Tadinya Soat Eng mengira bahwa itu adalah pekerjaan mereka118 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
sendiri, dalam usaha memberi tahu yang lain agar tidak menabrak atau menginjak teman sendiri. Tapi ketika
jerit atau teriakan mereka jelas karena dipermainkan seseorang, musuh, maka nyonya ini menjentikkan korek
dan.... tertegun melihat kawan-kawannya itu sudah terikat menjadi satu dan dibelit-belit oleh seutas rotan
yang panjang!


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid IX
"AH!" nyonya ini berkelebat keluar, kaget bukan main. "Apa yang terjadi, Beng An? Apa yang kalian
alami?"
"Aku tak tahu. Kami semua tahu-tahu serasa dipukul orang dan dililit. Pantat kami digebuki, kita
bertemu iblis!"
"Tak mungkin, itu tentu orang luar biasa yang mencoba mempermainkan kita. Keparat!" dan Soat Eng
yang melepas serta mengurai tali rotan itu lalu terbelalak dan marah memandang ke sana ke mari. Suami dan
adik serta supek-supeknya dihajar orang secepat itu, ketika dia memasuki rumah. Dan kaget bahwa kejadian
berlangsung demikian cepat, secepat kilat menyambar maka Soat Eng maklum bahwa seorang sakti yang
kepandaiannya sukar diukur sedang menyatroni rumahnya. Soat Eng bergidik bahwa dia kalah cepat. Dia
memperhitungkan bahwa waktu yang dipergunakan tadi tak lebih dari sepersepuluh detik, dan untuk waktu
yang demikian singkat adik dan yang lain-lainnya ini diikat orang. Betapa luar biasanya! Tapi Soat Eng yang
tentu saja tak takut dan justeru marah oleh semuanya ini lalu mengajak yang lain-lain untuk memeriksa lagi.
Lampu sudah mereka nyalakan dan bayangan yang berkelebatan seperti siluman itu juga sudah tak ada
lagi. Tawa yang aneh dan menyeramkan juga sudah tak terdengar. Beng An dan yang lain-lain diam tak
bersuara, mereka mencari sementara mata melirik gentar, muka pucat. Dan ketika pintu-pintu akhirnya
ditutup dan malam itu Soat Eng mengajak ke dalam, ke ruangan besar di mana tiga kamar berdiri saling
berhadapan maka dia berkata bahwa sebaiknya semua tidur.
"Kita sudah penat mencari, namun siluman itu tak ada. Rupanya kalau bukan atas kehendaknya sendiri
jahanam itu tak muncul. Biarlah, biar kita istirahat di kamar kita masing-masing, supek. Kamar kita
berhadap-hadapan dan kalau ada apa-apa tentu yang lain akan mendengar. Kalian tidurlah, biarkan siluman
itu membangunkan kita!"
"Aku di mana?" Beng An tiba-tiba bertanya. "Apakah sendirian saja?"
"Kau di samping kamarku, Beng An. Pintu dan jendela sudah kututup rapat-rapat. Kalau siluman itu
masuk tentu harus memecahkan kaca atau jendela."
"Tapi kakek itu seperti roh. Dia agaknya dapat menembus dinding atau daun-daun pintu dengan
mudah! Masa aku harus sendirian, enci?"
"Hm, kau tidak sendirian, Beng An. Ada aku dan lain-lain di sini..."
"Sama saja, itu tetap aku sendiri. Aku di kamar sendirian!"
"Kalau begitu aku menemanimu," Siang Le tiba-tiba berkata, juga menggigil dan pucat. "Atau kau
bersama kami di kamar kami, Beng An. Biar bertiga!"
"Hm, tak baik," Gwan Beng, orang tertua di situ berkata. "Kamar suami isteri tak boleh dimasuki
siapapun, Siang Le. Kalau Beng An tak mau sendirian di kamarnya biarlah dia bersama kami!"
"Tapi dia adik isteriku sendiri..."
"Tetap saja tak boleh! Kamar suami isteri harus khusus, Siang Le, tak boleh dimasuki siapapun. Itu
kamar pribadi. Biarlah Beng An bersama kami dan kami akan melindunginya kalau ada apa-apa!"
Siang Le tak dapat berbuat apa-apa. Beng An sendiri akhirnya dapat melihat kebenaran itu dan tak
memaksa, meskipun sebenarnya ia memang berdekatan dengan enci dan kakak iparnya itu. Bagi Beng An,119 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Siang Le selihai encinya karena pemuda itu sudah diberi Khi-bal-sin-kang dan lain-lain oleh ayahnya, tak,
tahu bahwa semua itu sudah "dibuang" oleh Siang Le alias tak dipelajari, gara-gara ibu mertuanya. Dan
ketika Soat Eng mengangguk dan merasa bahwa kamar suami isteri memang tak boleh dimasuki siapapun,
biarpun saudara sendiri maka dia merelakan Beng An bersama supeknya, apalagi kamar itu juga berhadapan.
"Baiklah, kalian semua tidur, atau berjaga-jaga....."
"Aku tak mungkin tidur. Aku pasti berjaga-jaga!" Beng An berseru mengepal tinju, marah, meskipun
takut. "Aku akan memanggilmu begitu kakek siluman itu datang, enci. Aku akan bersama twa-subek di
kamar mereka!"
Soat Eng mengangguk. Memang itu cara terbaik dan sekali lagi dia memeriksa pintu dan jendela.
Mereka sudah di ruangan paling bawah dari Istana Hantu. Ista na itu luas dan memiliki puluhan ruangan.
Kalau tak biasa tidur di tempat ini tentu merasa seram, apalagi sendirian! Tapi karena Soat Eng bukan wanita
lemah dan nyonya muda itu adalah puteri Pendekar Rambut Emas yang gagah maka Soat Eng sudah
menutup pintu kamarnya sendiri ketika adiknya sudah dibawa dan masuk ke kamar supeknya.
Siang Le sang suami tampak termangu dan pucat. Masih terbayang di benak pemuda ini betapa
seseorang seperti iblis telah mempermainkan dan mengikat dia berempat. Pantat mereka ditepuk satu-satu
dan usapan yang dingin membuat bulu tengkuk meremang. Tawa yang aneh dan usapan yang aneh cukup
membayangkan bahwa yang mempermainkan itu adalah iblis. Atau, mungkin, roh penasaran yang ada di
Istana Hantu! Namun karena roh-roh di situ sudah diusir gurunya dan dulu See-ong telah menggebah
mahluk-mahluk halus agar tidak tinggal di istana itu maka Siang Le agak ragu juga bahwa masih ada, sebuah
roh yang tertinggal, mungkin dulu bersembunyi dan tidak konangan gurunya!
Tapi, mungkinkah itu? Siang Le ragu. Urusan roh-roh halus adalah urusan yang sudah menjadi
pekerjaan gurunya. See-ong memiliki ilmu-ilmu hitam yang kuat pengaruhnya untuk mengusir roh-roh jahat,
meskipun kakek itu sendiri adalah orang jahat! Tapi karena mungkin saja ada sebuah roh yang sakti dan luar
biasa yang tak dapat ditangani gurunya maka Siang Le bergidik jangan-jangan roh inilah yang sekarang
mengganggu!
"Kau melamun apa? Takut?"
Siang Le terkejut. Teguran atau seruan isterinya ini membuat ia sadar bahwa mereka masih di luar
kamar. Yang lain-lain sudah masuk sementara dia sendiri masih menjublak di situ, ngeri. Maka begitu
isterinya menegur dan Siang Le ditarik ke dalam maka pemuda ini bergerak dan sudah bersama isterinya
menutup pintu kamar.
-0- Tak ada apa-apa malam itu. Maksudnya, setelah bulan condong ke barat dan malam telah lewat dari
titik pusatnya maka tak ada suara atau apapun yang mencurigakan hati. Siang Le menahan kantuk dan duduk
bersandar meja. Isterinya sendiri bersila di tengah pembaringan sambil mengumpulkan tenaga. Siang Le
diajak bersila namum pemuda ini menggeleng. Dalam saat-saat seperti itu maka tak ada gairah atau
keinginan untuk bersamadhi. Maunya hanya tidur dan melepaskan ketegangan. Namun karena sesuatu
mengganggu mereka dan pemuda ini tak dapat bersiulian (bersamadhi) maka dia duduk di kursi dan
menyandarkan tubuh di situ.
Malam semakin larut dan sunyi. Beberapa jam lagi matahari akan muncul dan nikmat rasanya
membayangkan suasana yang cerah. Malam yang gelap seakan membuat pikiran pepat. Kalau saja tak ada
gangguan itu mungkin tak akan ada perasaan yang lain. Namun karena seseorang atau sesuatu mahluk halus
telah mengganggu mereka, bahkan membunuh dua gorila jantan dan betina maka Siang Le bergidik teringat
betapa dia dan dua supeknya serta Beng An dihajar dan diikat seseorang.
"Tolong....!"120 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Siang Le tersentak dari kursinya. Dia sedang melamun dan tiba-tiba mendengar teriakan itu, dari
kamar Beng An. Tapi ketika dia baru bangkit berdiri dan mau bergerak ternyata isterinya telah mencelat dan
mendahului tubuhnya.
"Brakk!" sang nyonya telah menghantam pintu kamar dan langsung berkelebat ke tempat Beng An.
Sayup-sayup, seperti mimpi, mereka berdua mendengar seruan atau teriakan itu. Beng An menjerit dan minta
tolong. Soat Eng yang bergerak lebih cepat dari suaminya telah mendahului dan melesat ke kamar itu,
mendobrak dan membuka pintunya. Tapi ketika nyonya ini berada di dalam dan siap menyerang tiba-tiba dia
tertegun.
Ternyata Beng An dan dua supeknya ada di dalam, tak apa-apa. Beng An tampak dipapah dan Gwan
Beng serta Hauw Kam mengurut-urut pundak atau tengkuk anak itu. Dan ketika Gwan Beng terkejut oleh
kedatangan Soat Eng, yang mendobrak pintu maka kakek itu menarik napas berkata perlahan,
"Maaf, tak ada apa-apa, Soat Eng. Adikmu bermimpi..."
"Ah, bermimpi? Benarkah, Beng An?" sang nyonya, yang terkejut tapi juga lega segera menangkap
dan mengguncang lengan adiknya ini. Beng An tampak layap-layap dan mengantuk berat. Anak itu rupanya
memang baru saja bermimpi dan mimpinya itu begitu menakutkan, sampai menjerit minta tolong tanpa
sadar. Tapi ketika encinya mengguncang dan menggencet lengannya, si bocah sadar maka Beng An
mengangguk dan tersipu merah.
"Benar, aku bermimpi. Maaf, enci. Aku tak apa-apa." dan saat itu muncullah Siang Le, yang kalah
dulu dengan isterinya.
"Apa yang terjadi? Ada apa?"
"Tak ada apa-apa. Beng An hanya bermimpi."
"Ah, aku sampai terkejut. Hm, dua jam lagi sudah terang tanah, Eng-moi. Kupikir tak ada apa-apa lagi
dan kita aman. Kalau begitu biarkan dia beristirahat dan kita kembali."
"Ya, mari," dan Beng An yang kembali minta maaf dan tersipu malu lalu mengantar encinya dan tidur
lagi. Dia tadi bermimpi didatangi kakek yang menakutkan itu, ditangkap dan dipermainkan si kakek sambil
tertawa-tawa. Dia meronta dan coba melepaskan diri namun tak berhasil. Dan ketika kakek itu hendak
menggigit dan dia menjerit, maka itulah yang terjadi di mana dia minta tolong sampai encinya datang.
Soat Eng lega dan menutup kembali pintu kamarnya. Malam lewat tiga perempat bagian dan beberapa
jam lagi liong-to akan terang tanah. Diam-diam nyonya yang juga tegang ini mengharap pagi. Kalau sampai
pagi musuh tak datang menganggu maka itu adalah baik. Tapi kalau dia datang keesokan harinya, hmm...
tentu juga tak apa-apa. Dia bahkan dapat melihat wajah orang dan mengetahui siapa pengganggu itu. Tapi
baru nyonya ini bersila lagi, Siang Le juga bersandar di kursi tiba-tiba terdengar jerit minta tolong dan duaduanya berkelebat ke pintu.
"Brakk!"
Hauw Kam yang kali ini menjadi biang keladi. Kakek itu yang tidur dengan pulas, rupanya tak dapat
menahan kantuk tiba-tiba menjerit dan minta tolong. Seruan itulah yang membuat Siang Le dan isterinya
berkelebat datang. Mereka tahu-tahu sudah ada di dalam kamar tapi kembali tertegun. Hauw Kam, si kakek,
tampak diguncang dan dibangun-bangunkan oleh Beng An dan Gwan Beng. Entah bagaimana kakek inilah
yang sekarang bermimpi dan menjadi korban dari mimpinya. Dan ketika dia dibangunkan dan terkejut,
melihat Siang Le suami isteri ada di situ pula maka kakek ini meloncat bangun dan memaki-maki.
"Keparat, aku dicekik kakek iblis itu. Dia datang dan menyerangku!"
"Hm, di mana kau menjumpainya, supek? Apakah dalam mimpi?"
"Beb.... benar. Ah, terkutuk. Malu aku!" dan si kakek yang mendusin dan minta maaf, sadar, segera
tahu bahwa kiranya dia bermimpi. Siang Le tersenyum dan Soat Eng lega memandang supeknya. Jisupeknya itulah yang tadi berteriak minta tolong dan disangkanya musuh benar-benar datang, tak tahunya121 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
sang supek bermimpi dan berteriak dalam mimpinya itu, sama seperti Beng An. Dan ketika Hauw Kam
minta maaf dan Soat Eng kembali, hari sudah semakin mendekati pagi maka di kala nyonya ini mau tertidur
diserang kantuk yang berat, lega bahwa sudah tak ada apa-apa lagi mendadak untuk yang ketiga kalinya
terdengar jerit minta tolong.
"Tolong...!"
Siang Le geragapan. Isterinya sendiri sudah mencelat dan berkelebat mendorong pintu. Soat Eng yang
juga layap-layap namun dapat mempertahankan diri sudah bergerak dan bereflek cepat. Nyonya ini memang
termasuk yang paling berkepandaian tinggi dibanding semua. Tapi ketika Soat Eng bergerak dan membentak
ke dalam kamar, mendengar twa-supeknya yang berteriak maka nyonya itu tertegun melihat twa-supeknya
ini diguncang dan dibangun-bangunkan oleh Beng An dan sutenya, Hauw Kam.
"Suheng, bangun.... bangun. Kau mengigau!"
Sang nyonya terguncang. Tiga kali berturut-turut tiga orang berteriak ditakuti mimpi jelas bukanlah
sesuatu yang kebetulan saja. Si kakek siluman, musuh jahanam itu, rupanya memang mengganggu dan
datang lagi dengan caranya yang lain, yakni mengganggu adik dan supek-supeknya dengan menjelmakan diri
dalam ujud mimpi. Dan ketika Gwan Beng tersentak dan meloncat bangun, mengucek-ucek matanya maka
tampak twa-supeknya itu menggigil.
"Ma... mana kakek siluman itu? Mana, dia?"
"Hm," Soat Eng melangkah maju, menangkap lengan supeknya ini. "Apa yang terjadi, supek? Apa
yang dia lakukan kepadamu?"
"Dia... dia menggubat aku dengan misainya yang panjang. Kakek itu menjantur dan membalikkan
tubuhku dengan kaki di atas kepala di bawah!"
"Hm, dalam mimpi?"
"Tidak, eh... ya. Barangkali mimpi, Soat Eng. Tapi aku merasa sungguh-sungguh terjadi! Itu... itu
serasa bukan mimpi. Aku benar-benar digantung dengan misainya!"
"Tapi kau tetap bersama kami," Hauw Kam, sang sute, maju bicara. "Tak ada apa-apa di sini, suheng.
Kau bermimpi. Sama seperti aku tadi!"
"Mungkin karena kalian dibayang-bayangi takut," Siang Le tiba-tiba muncul, berseru. "Orang yang
ketakutan bisa saja mengalami itu, supek. Membawa rasa takutnya ke dalam mimpi!"
"Hm, sudahlah," sang isteri membanting kaki, kesal. "Kakek jahanam itu jelas ingin mengganggu kita,
Le-ko. Kalau dia muncul dan memperlihatkan diri tentu aku akan melabraknya habis-habisan. Sekarang
bagaimana baiknya karena tiga kali berturut-turut dia mempermainkan kita!
"Sebaiknya kau di sini saja." Beng An tiba-tiba berseru. "Kau selama ini belum diganggunya, enci.
Mungkin kakek itu takut!"
"Di sini?" Soat Eng mengerutkan kening. "Bersama kalian?"
"Tak apa," sang suami tiba-tiba setuju, mengangguk. "Apa yang dikata Beng An rupanya betul, Engmoi. Kakek itu belum mengganggu dirimu karena rupanya takut. Jadi, kalau kau di sini barangkali dia tak
akan mengganggu lagi!"
"Hm, kami sebenarnya malu," Gwan Beng tiba-tiba bergumam. "Sungguh kami bukan apa-apa
dibanding kakek siluman itu, Soat Eng. Tapi kalau apa yang dikata suamimu dan Beng An benar maka tak
ada salahnya kau di sini, daripada kami yang harus berkumpul di kamarmu."
Soat Eng merah padam. Tak dapat dibayangkan marahnya terhadap kakek bermisai itu. Berturut-turut
suami dan adik serta supek-supeknya menjadi korban. Dia sendiri memang belum diganggu dan Soat Eng
gemas, tak percaya bahwa kakek itu takut kepadanya dan karena itu tak berani mengganggu. Karena, orang122 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
yang sudah mencapai tingkat kepandaian tinggi biasanya tak pernah takut kepada siapapun. Dia hanya
menduga bahwa kakek itu sengaja akan menjatuhkan gilirannya sebagai yang diganggu terakhir. Dan karena
dia yakin bahwa kakek itu pasti mengganggunya, hal yang memang ditunggu maka wanita ini tak menolak
lagi ketika supek dan suaminya sudah berkata begitu.
"Baiklah, aku akan tinggal di sini. Kita berlima semua berkumpul!"
Beng An dan yang lain lega. Kalau Soat Eng dan Siang Le ada di situ maka mereka merasa aman.
Mereka masih menganggap Siang Le setingkat isterinya karena mendapatkan warisan Pendekar Rambut
Emas, lupa bahwa tadi pemuda itupun diikat dan dirobohkan sang kakek siluman. Dan ketika semua
mengangguk dan berkumpul di kamar itu, tak mau di kamar Soat Eng karena kamar suami isteri harus
dihormati maka Soat Eng tak mau pintu kamar ditutup agar kakek itu dapat datang kalau dia memang ingin
mengganggu.
"Biarkan saja, aku akan menunggunya di sini!"
Yang lain-lain bersinar matanya. Aneh, begitu Soat Eng ada di situ dan percaya wanita ini dapat
melindungi mereka mendadak Beng An dan lain-lain menguap. Tadi berturut-turut Beng An dan Hauw Kam
serta suhengnya tidur bergantian. Mereka sebenarnya sudah diserang kantuk yang hebat karena berjam-jam
menahan mata. Mata yang berat dipaksa melek karena ketegangan serta kegelisahan melanda mereka. Tapi
begitu Soat Eng ada di situ dan pasti melindungi mereka, eh.... tiba-tiba mereka menguap dan tidur
berbareng.
"Heii...!" Soat Eng mengerutkan kening. "Jangan tidur semua, supek. Seorang atau dua di antara
kalian harus menemani aku!"
"Hm, sebentar saja," Hauw Kam menjawab, tak dapat menahan kantuk. "Aku lelah dan ingin sejenak
beristirahat, Soat Eng. Kau dapat membangunkan kami kalau kakek itu muncul."
"Benar," suhengnya juga berkata, menguap sekali lagi. "Aku ingin tidur, Soat Eng, sebentar saja. Aku
rasa terlalu lama menahan kantuk dan lemah. Mataku tak dapat dipaksa lagi."
"Dan aku juga," Siang Le tiba-tiba juga ikut-ikutan. "Aku ingin melepaskan sedikit ketegangan ini,
Eng-moi. Kalau kaupun mengantuk silahkan tidur. Pintu ditutup."
"Gila!" Soat Eng terkejut. "Kalian laki-laki pemalas, supek. Aku seorang diri disuruh berjaga
sementara kalian tidur!"
Namun Gwan Beng sudah ngorok! Cepat sekali laki-laki itu tidur mendengkur. Hawa dingin tiba-tiba
bergerak dan sesuatu yang menyeramkan terasa membangunkan bulu roma. Soat Eng mau membentak tapi
mendadak iapun menguap. Dan ketika ia terkejut dan merasa ngantuk, aneh sekali, maka iapun terhuyung
dan ingin beristirahat di sebelah suaminya. Tapi begitu melihat pintu masih terbuka mendadak, seperti
disengat kalajengking tiba-tiba wanita itu melompat bangun dan berteriak,
"Le-ko, bangun. Jangan tidur semua!"
Namun Siang Le sudah ngorok! Sama seperti Gwan Beng dan lain-lain tiba-tiba saja pemuda itu tak
dapat menahan kantuk. Angin yang semilir dingin dan bertiup aneh sekonyong-konyong membawa pengaruh
mujijat untuk tidur, apalagi berjam-jam mereka ini sudah menahan kantuk dan ketegangan. Maka begitu
angin itu bertiup sejuk dan hawa dingin yang menyeramkan bergerak di dalam kamar itu, hawa yang tidak
wajar maka Soat Eng yang masih tahan dan mencium adanya sesuatu yang tidak beres segera menendang
pintu kamar dan menutupnya. Wanita itupun menguap dan berkali-kali mengeluh terhuyung-huyung, jatuh
terduduk, namun bangkit lagi dan sekuat tenaga melawan kantuk. Malam tinggal satu setengah jam lagi dan
itu sudah cukup untuk mengusir takut. Sam-liong-to akan terang kembali dan musuh tak bakal dapat
menyembunyikan diri. Tapi ketika Soat Eng terhuyung dan jatuh lagi di dekat suaminya, hampir kalah
melawan kantuk maka wanita itu mendengar kekeh yang aneh dan menyeramkan di luar.
"Heh-heh, tidurlah, anak manis... tidurlah. Kau sudah mengantuk dan seharusnya memang tidur.
Tidurlah, dan biar aku berjaga di sini... slap!" seorang kakek tiba-tiba muncul, kakek bermisai panjang dan123 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tahu-tahu berdiri di tengah pintu. Soat Eng terbelalak karena pintu itu masih ditutupnya, jadi seharusnya
kakek itu tak mungkin masuk. Tapi melihat kakek itu dapat masuk dan tubuhnya menembus pintu, seperti
iblis, maka Soat Eng berteriak dan sekuat tenaga dia melengking menggetarkan pulau, sampai empat
temannya terpental dan kaget membuka mata tapi kemudian..... tidur lagi!
"Keparat, iblis jahanam!" Soat Eng membentak, atau melengking menggetarkan pulau. ''Siapa kau,
kakek siluman. Dan mau apa kau ke sini. Haiitttt...!" dan Soat Eng yang berkelebat serta menghantam ke
depan, sudah berhasil mengusir kantuknya dengan bentakan yang menggetarkan pulau itu tiba-tiba mencelat
dan menggerakkan kelima jarinya menusuk si kakek.
Tapi aneh bin ajaib, si kakek tertawa lebar. Dia tenang-tenang saja di situ dan pukulan itupun
menghantam dahsyat. Soat Eng mengerahkan Pek-lui-ciangnya dan pintu itu hancur mengeluarkan suara
keras, hancur berkeping-keping. Tapi ketika kakek tetap tinggal dan tegak di situ, pukulan lewat dan
"menembus" tubuhnya maka Soat Eng ikut meluncur dan.... menembus tubuh kakek ini pula.
"Dess!"
Soat Eng menjerit bagai bertemu hantu. Dia terjungkal dan terbawa oleh tenaga pukulannya sendiri
tapi sudah meloncat berjungkir balik, berteriak dan kini menghadapi kakek yang sekarang membelakanginya
itu. Tapi ketika si kakek menoleh dan memutar tubuhnya pula, menghadapinya, maka Soat Eng merinding
dan seakan bertemu roh halus, bukan manusia!
"Kau... siapa?" nyonya muda ini mengigil, kaget bukan main. "Mau apa datang ke sini? Sengaja
mengganggu dan mempermainkan orang?"
"Ha-ha!" kakek itu tiba-tiba tertawa, bola matanya berpijar dan berkilat bagaikan api, hal yang
membuat Soat Eng lagi-lagi terkejut dan mundur selangkah, bagai disambar langsung! "Aku ke sini mencari
seseorang, bocah. Tapi tak kudapatkan dia di sini. Apakah kau tahu di mana cecunguk yang kucari itu?"
"Siapa.... siapa yang kau cari?" Soat Eng gemetar, di samping marah juga jerih, baru kali itu dirasakan.
"Kau mencari siapa dan kenapa datang ke sini? Apakah orang yang kau cari itu ada di sini?"
"Betul, begitu menurut yang kudengar. Tapi seluruh ruangan sudah kuperiksa tetap saja si busuk itu
tak ada! Hm, kah dia ngacir?"
"Siapa yang kau cari?"
"See-ong!"
"Apa, See-ong?"


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, See-ong, bocah cecunguk itu. Kau tahu?"
Soat Eng tertegun. Tentu saja dia tahu siapa See-ong dan justeru karena kakek itulah dia dapat
bersuamikan Siang Le, murid si kakek iblis. Tapi terkejut dan tertegun kakek itu menyebut See-ong bagai
cecunguk, bocah, maka nyonya ini tak segera menjawab dan membelalakan mata lebar-lebar memandang
kakek itu. Dari pembicaraan ini, tampaknya kakek itu orang yang jauh lebih tua daripada See-ong. Layaknya,
orang yang berumur ratusan tahun karena menyebut See-ong yang sudah kakek-kakek itu sebagai bocah!
Dan kaget serta mundur oleh pertanyaan ini maka Soat Eng tak segera menjawab hingga tiba-tiba si kakek
bergerak maju, tangan diulur dan tahu-tahu sudah menggencet pundaknya!
"Kau tahu?" Soat Eng mencelat dan kaget sekali, langsung membentak dan melepaskan dirinya. "Di
mana bocah itu, anak nakal? Di mana dia bersembunyi?"
"Aah!" Soat Eng marah, melengking dan memaki. "Jangan kau dekat-dekat aku, kakek siluman. Dan
jangan coba-coba menyentuh. Sekali kau melanggar aku tak segan-segan menerbangkan nyawamu ke
neraka!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu tertawa bergelak, suaranya melingkar-lingkar. Sam-liong-to terguncang dan
tergetar hebat. "Kau anak sombong yang congkak sekali, bocah. Kalau kau dapat mengantar aku ke neraka124 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
maka itu sungguh kebetulan. Aku selama ini tak mati-mati, minta mampus tapi belum juga dikabulkan! Haha, lucu mendengar kau akan mengantar aku ke neraka sementara kepandaianmu masih sekuku ibu jari!" dan
si kakek yang kembali bergerak dan mencengkeram Soat Eng tahu-tahu sudah meremas dan memencet
pundak. "Nah, di mana cecunguk itu atau kau yang nanti kuhajar!"
Soat Eng kaget bukan main. Untuk kedua kalinya tiba-tiba dia tak dapat mengelak, atau, sudah
mengelak namun masih juga kalah cepat oleh kakek ini, yang gerakannya seperti hantu. Dan ketika
pundaknya dicengkeram dan dia menjerit, Soat Eng tak dapat melepaskan diri mendadak nyonya muda ini
menendang dan dua jari tangannyapun menusuk.
"Cus-dess!"
Soat Eng merinding. Pukulannya tepat mengena tapi lagi-lagi seperti tadi tubuh kakek itu tak apa-apa.
Jari tangannya yang menusuk bahkan terasa menembus dingin dan lewat sampai ke belakang punggung,
lewat begitu saja seolah menyerang sebuah roh! Dan ketika Soat Eng berteriak karena pundaknya tahu-tahu
diangkat, kakek itu marah maka dia sudah dibanting dan si kakek mengomel panjang pendek.
"Keparat, anak bau kencur!" dan Soat Eng yang bergulingan dibanting si kakek lalu meloncat bangun
dan marah serta ngeri terbelalak dan melengking kuat untuk mencabut pedangnya. Giam-to Kiam-sut (Silat
Pedang Golok Maut) tiba-tiba dikeluarkan dan menerjanglah gadis itu menyerang lawan. Si kakek mendapat
tusukan dan tikaman pedang bertubi-tubi. Jurus-jurus dari silat pedang aneh sudah dikeluarkan wanita ini
untuk merobohkan lawannya itu, pedang yang sebenarnya digunakan hanya sekedar untuk rasa aman dan
terlindung, percaya diri. Tapi ketika babatan pedangnya masuk begitu saja dan semua tikaman atau tusukan
seolah tembus menghadapi bayangan, mengeluarkan suara "crat-crat" tapi tak ada darah memuncrat maka
Soat Eng ngeri dan histeris!
"Setan, kau bukan manusia!" dan si nyonya yang memekik dan mengeluarkan teriakan panjang
akhirnya menyerang bukan untuk merobohkan lawan melainkan semata memberi dorongan semangat kepada
dirinya sendiri. Soat Eng ngeri dan terbelalak karena tusukan-tusukan pedangnya itu tak menghasilkan apaapa. Tubuh si kakek benar-benar seperti roh halus dan dia bukan menyerang manusia biasa, manusia yang
berbadan wadag dan karena itu seharusnya dapat dirobohkan. Dan karena kakek itu hanya tertawa ha-ha-hehe dan Soat Eng ngeri, gentar, maka nyonya itu pucat dan pedang yang berkelebatan gencar sekonyongkonyong ditangkap dan dikeretak patah.
"Kau anak perempuan tak dapat mengalahkan aku. Pergilah!"
Soat Eng menjerit. Si kakek yang berupa badan halus tiba-tiba bergerak dan dapat menangkap
pedangnya. Aneh sekali. Mana mungkin badan halus dapat menangkap badan kasar? Tapi karena dia sudah
diperlakukan seperti itu dan pedang di tangannya dicengkeram patah, si kakek sendiri menggerakkan kaki
dan dia mencelat maka nyonya ini terguling-guling tapi dapat meloncat bangun lagi, berkat Khi-bal-sinkangnya itu.
"Eh," si kakek merasa heran, membelalakkan mata. "Kau tak apa-apa? Kau masih dapat bangun?"
"Bedebah!" Soat Eng melengking. "Biarpun aku bukan tandinganmu tapi kaupun tak dapat
merobohkan aku, kakek siluman. Hayo buktikan kata-kataku ini dan banting aku sekali lagi!"
Si kakek tercengang. Bola matanya yang berpijar bagai bola api sekonyong-konyong tak berkedip.
Soat Eng menerjang tapi kakek itu meniup. Dan ketika serangkum angin dahsyat menahan dan
menyambarnya, Soat Eng melawan dengan menambah tenaganya tiba-tiba dia yang terbanting lagi dan
terpental serta terguling-guling lagi di tanah, tak kuat.
"Ha-ha, kubuktikan kata-katamu, bocah. Dan lihat berapa kali kau kuat bertahan!"
Soat Eng melengking lagi. Dia marah dan meloncat bangun serta menyerang lagi. Kali ini tangan
kirinya ikut bergerak dengan pukulan Lui-ciang-hoat. See-ong sendiri sampai tak kuat dan harus mengakui
kehebatannya, menghindar. Tapi ketika si kakek tertawa dan pukulan itu menembus barang halus, lewat
begitu saja maka lagi-lagi kakek itu meniup dan Soat Eng terbanting.125 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Bres-bress!"
Tiga kali Soat Eng jatuh bangun. Si kakek tertawa-tawa tapi Soat Eng dapat lagi meloncat bangun, ini
berkat Khi-bal-sin-kangnya, tenaga Bola Sakti itu. Dan ketika si kakek tertegun dan mendecak kagum,
terbelalak oleh ilmu ini maka kakek itu berseru dan bola apinya yang berpijar sekonyong-konyong
mengeluarkan suara keras seperti petir menggelegar, disusul lidah api yang menyambar atau membelit tubuh
Soat Eng.
"Aduhh...!"
Soat Eng roboh terjengkang. Si nyonya tak kuat menahan panas dan lidah api yang menyambar dari
mata kakek itu membelit dan melibat-libat tubuhnya. Soat Eng tak dapat menerangkan bagaimana sebuah
lidah api dapat bergerak dan membelit seperti ular. Pengalaman itu baru kali itu dialaminya seumur hidup.
Nyonya ini menjerit dan berteriak. Tubuhnya tahu-tahu roboh dan dia sudah dililit bola api itu, yang terus
bergerak-gerak dan akhirnya membungkus seluruh tubuhnya dari bawah sampai ke atas. Dan ketika Soat Eng
terjengkang dan roboh tak berdaya, seluruh pakaiannya hangus namun tubuhnya tak apa-apa berkat Khi-balsin-kangnya maka kakek itu berseru kagum dan memuji dengan suara aneh.
"Luar biasa. Hanya siluman Bu-beng Sian-su yang dapat menurunkan ilmu seperti ini.... bukk!" dan
Soat Eng yang roboh dan terbelit-belit lidah api, mengeluh dan memejamkan mata lalu mendengar si kakek
berkelebat dan tahu-tahu desir angin yang dingin bertiup di samping tubuhnya.
"Heh!" kakek itu, yang bukan manusia biasa, bicara garang. "Kau memiliki Khi-bal-sin-kang segala,
bocah. Kalau begitu apa hubunganmu dengan Kim-mou-eng!"
"Dia ayahku!" Soat Eng membentak, membuka mata. "Dan siapa kau, kakek jahanam. Beritahukan
namamu dan bunuhlah aku!"
"Ha-ha, aku tak suka membunuh orang-orang biasa. Yang ingin kubunuh adalah Bu-beng Sian-su,
kakek keparat itu. Apakah kau mendapat warisan Khi-bal-sin-kang darinya? Kapan kau bertemu Bu-beng
Sian-su?"
Soat Eng tertegun. "Aku mendapat warisan ini dari ayah ibuku. Dan ayah ibuku dari kakekku!"
"Ha-ha, rupanya sudah turun-temurun. Hm, Bu-beng Sian-su benar-benar kakek keparat, terkutuk. Di
mana dia dan kenapa menurunkan ilmu-ilmunya kepada orang lain? Eh, aku siapa baiklah kujawab, bocah.
Aku adalah Poan-jin-poan-kwi. Aku susiok (paman guru) dari See-ong. Nah aku tak takut memperkenalkan
diri dan boleh kau laporkan kedatanganku pada Sian su!" dan si kakek yang tertawa bergelak dan menampar
pundak Soat Eng tiba-tiba lenyap dan Soat Eng sendiri berteriak terkejut. Wanita itu menjerit karena lidah
api yang masih membelit tubuhnya mendadak menyengat begitu tajam. Soat Eng tak tahan dan langsung
pingsan. Dan di Sam-liong-to terdengar tawa menggetarkan namun kemudian hilang, Istana Hantu berderak
dan beberapa tiangnya roboh maka menjelang pagi barulah nyonya muda itu siuman, merasa hangatnya sinar
matahari yang menyentuh pipinya. Dan begitu wanita ini melompat bangun namun terhuyung, seluruh tubuh
terasa sakit-sakit maka ingatlah Soat Eng akan kejadian yang menimpanya. Dan saat itu terdengar pula rintih
dan erangan seorang.
"Aduh, aku terjepit... tolong...."
Soat Eng membelalakkan mata. Di kamar itu, di depannya, tampak merangkak adiknya Beng An.
Adiknya itu mencoba keluar dari tindihan tubuh tiga teman-temannya tapi tak dapat, rupanya masih lemas
atau kehilangan tenaga. Dan Soat Eng yang cepat menghampiri dan limbung terhuyung lalu melihat
suaminya dan Gwan Beng serta Hauw Kam membuka mata dan merintih pula.
"Aduh, kenapa ini? Bagaimana bisa tumpang-tindih?"
Soat Eng menarik Beng An dari yang lain-lain. Siang Le mengerang dan mereka semua juga
mengeluh. Wanita ini pucat dan menggigil karena iapun merasa kehabisan tenaga. Guncangan dan
pertandingan yang terjadi semalam rupanya benar-benar menguras kekuatan. Tapi ketika semua sudah ditarik
dan tidak bertindihan lagi, Soat Eng jatuh terduduk maka wanita itu menangis dan mengepalkan tinju.126 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Aku dihina seseorang. Aku dipermainkan seseorang!"
"Hm!" Siang Le, suaminya, tiba-tiba gemetar menghampiri, jatuh atau menjatuhkan diri di samping
isterinya. "Apa yang terjadi, Eng-moi? Kenapa kami semua tertidur dan bermimpi buruk? Aku seolah
mendengar angin menderu-deru, merasa ilmu pukulanmu Khi-bal-sin-kang itu. Tapi terakhir seolah kudengar
ledakan bagai petir!"
"Benar, aku mendengar itu, Siang Le. Dan seolah ada kilatan cahaya yang terang benderang
memenuhi tempat ini. Aku kaget dan terpental!"
"Dan itu rupanya yang membuat kita saling tumpang tindih. Ah, aku juga begitu, suheng. Aku seakan
mimpi dan mendengar suara gemuruh dan menggelegarnya petir!"
"Hm, kalian tidak bermimpi," Soat Eng mengepalkan tinjunya, menghentikan tangis. "Aku memang
telah bertempur dengan kakek itu, supek. Tapi aku roboh dan dikalahkan!"
"Kapan?" pertanyaan itu hampir berbareng meluncur dari mulut semua orang. "Dan kenapa kami tidak
tahu?"
"Kalian tidak tahu karena kalian tidur," Soat Eng menjelaskan, berseru marah. "Tapi itu bukan
kesalahan kalian karena rupanya memang perbuatan kakek itu!"
"Dia datang?"
"Ya, dan aku menyerangnya. Tapi semua sia-sia!"
"Maksudmu?"
"Maksudku pukulanku tak ada yang dapat merobohkannya, supek. Karena kakek itu tak dapat dipukul
karena tak berbadan kasar. Pukulanku lewat dan tembus begitu saja, seolah menghantam roh!"
"Ih!" Beng An bergidik. "Jadi kau sudah bertemu dan bertempur dengannya, enci? Tapi kenapa dia tak
mencelakai kita semua? Dan siapa kakek itu?"
"Inilah yang menarik," Soat Eng bangkit berdiri, tiba-tiba matanya berkilat-kilat membara. "Kakek itu
memperkenalkan diri sebagai Poan-jin-poan-kwi, Beng An. Dan mengaku sebagai susiok dari kakek iblis
See-ong!"
"Apa?" semua orang kaget, Siang Le bahkan mencelat dari tempat duduknya. "Poan-jin-poan-kwi?
Kakek itu.... kakek itu bilang begitu?"
"Ya," Soat Eng menjawab, membalikkan tubuhnya. "Barangkali kau kenal, Le-ko. Dan aku sekarang
ingin bertanya kepadamu."
Aneh sekali, Siang Le tiba-tiba mengeluh dan jatuh terduduk. Pemuda ini mengeluarkan suara-suara
tak jelas dan sekonyong-konyong berteriak. Dan ketika dia meloncat bangun dan lari keluar rumah, Soat Eng
dan lain-lain terkejut maka pemuda itu menumbuk pilar dan akhirnya terpelanting pingsan.
"Dukk!"
Soat Eng dan lain-lain memekik. Soat Eng sendiri sudah berkelebat dan mengejar suaminya itu, kaget
melihat suaminya tiba-tiba seperti orang tidak waras. Setelah "ndermimil" alias bicara sendiri sekonyongkonyong meloncat dan berlari seperti gila. Tapi ketika suaminya terbanting dan pingsan menabrak pilar,
rupanya tak melihat atau apa maka wanita ini sudah menyambar dan cepat menotok suaminya itu.
"Ambilkan air dingin, guyur mukanya!"
Hauw Kam sudah menyambar apa yang diminta. Seember air sudah dituang dan disiramkan ke wajah
pemuda ini, Soat Eng terus menotok dan coba menolong suaminya itu. Dan ketika Siang Le membuka mata
dan kaget meloncat bangun, dicengkeram dan ditahan pundaknya oleh sang isteri maka pemuda itu
mengeluh.127 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ooh, celaka... kita sudah berurusan dengan roh-roh orang mati. Aku harus mencari suhu dan
menemukannya. Dialah yang dapat mengatasi ini!" tapi ketika jari lembut isterinya menekan dan tak
memperbolehkan pemuda itu melompat bangun, karena Siang Le rupanya mau lari dan histeris lagi maka
Soat Eng menggigil berbisik di samping telinga suaminya itu.
"Le-ko, kau tak usah berpikiran macam-macam. Aku telah menetapkan bahwa kita pulang ke utara
dan melapor pada ibu. Kita semua ke sana dan meminta perlindungannya. Kakek itu benar-benar luar biasa,
aku sendiri tak yakin apakah dapat mengalahkannya, biarpun kita berempat. Karena itu biarlah kita ke sana
dan menceritakan pada ibu dan juga ayah. Agaknya, hanya ibu dan ayah saja yang sanggup menghadapi
kakek siluman itu!"
"Tak mungkin!" Siang Le berseru. "Ayahmu pun tak mampu menghadapi kakek ini, Eng-moi. Poanjin-poan-kwi adalah mahluk setengah manusia setengah iblis. Dan mereka ada dua orang!"
"Apa?" Soat Eng terkejut. "Dua orang? Jadi masih ada seorang lagi?"
"Benar, dan mereka itu bukan mahluk-mahluk yang hidup di bumi lagi, Eng-moi. Melainkan roh-roh
yang berkeliaran di alam halus. Mereka itu amat luar biasa dan sakti, sedemikian saktinya hingga kadang
kala dapat kembali turun ke bumi lagi dengan mempergunakan badan yang aneh, bukan kasar tapi juga
bukan halus. Itulah sebabnya ia tak dapat dipukul dan semua pukulan akan sia-sia!"
Soat Eng tertegun. "Kau tahu banyak tentang mereka?"
"Tidak banyak, tapi sebagian saja. Tapi mereka sudah bukan manusia karena sudah meninggal seratus
tahun yang lalu!"
Soat Eng dan lain-lain kaget. Kalau sebelumnya tidak membuktikan sendiri bahwa kakek itu memang
bukan sembarang manusia tentu mereka tak percaya. Tapi bahwa Siang Le memberitahukan kakek itu sudah
tiada seratus tahun yang lalu, berarti sudah bukan manusia lagi maka tak urung mereka mengkirik dah
merasa seram juga!
"Coba ceritakan bagaimana sebenarnya. Bagaimana mereka itu dapat datang ke sini dan mencari-cari
gurumu!"
"Mereka mencari-cari suhu?" Siang Le tertegun. "Apakah dua orang yang sudah kau lihat?"
"Hm," Soat Eng kelepasan bicara. "Aku belum bertemu semuanya, Le-ko. Tapi maksudku aku ingin
tahu tentang mereka. Kalau yang seorang saja sudah begini hebat apalagi yang lain itu. Aku ingin tahu
tentang mereka!"
"Aku tak tahu banyak," Siang Le mengeluh. "Tapi kalau mereka datang dan mencari suhu maka pasti
karena suhu melanggar sesuatu."
"Maksudmu?"
"Setiap tahun atau paling lama dua tahun sekali suhu berhubungan secara batin dengan mereka itu,
Eng-moi. Ada semacam sesajian atau korban tertentu untuk melaksanakan adanya hubungan ini. Suhu
mendapat ilmu-ilmu hitam dari mereka, seperti Hek-kwi-sut atau lain-lainnya itu. Tapi karena agaknya suhu
tidak melaksanakan tugasnya lagi maka dua susioknya itu datang untuk mencari tahu. Selebihnya, aku tak
jelas!"
Soat Eng merinding. Bahwa See-ong memang kakek iblis dia sudah tahu. Tapi bahwa kakek itu juga
masih mengadakan hubungan roh dengan orang-orang mati, seperti Poan-jin-poan-kwi itu maka dia merasa
bergidik dan ngeri, seram! Sungguh See-ong bukan manusia baik-baik. Dan kalau See-ong bukan manusia
baik-baik maka tentunya dua paman gurunya itu terlebih tidak baik lagi. Dan dia telah bertemu dengan
seorang di antara mereka!
"Bagaimana?" suaminya bertanya. "Apakah secepatnya kita meninggalkan Sam-liong-to?"128 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tentu!" sang nyonya tak berpikir panjang lagi. "Aku ingin secepatnya menemui ayah dan ibu, Le-ko.
Biarlah mereka yang memberi petunjuk atau menghadapi Poan-jin-poan-kwi ini. Kita sendiri sudah tak
sanggup!"
"Baiklah," Siang Le juga setuju. "Aku sependapat denganmu, Eng-moi. Dan mari kita pergi."
Suami isteri itu bergerak. Beng An dan yang lain-lain tinggal mengikuti. Mereka ini di belakang dan
diam-diam pucat, melangkah mengiringi suami isteri itu tapi ketika melihat tubuh dua gorila besar mendadak
Api Di Bukit Menoreh 18 Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa Kisah Si Pedang Kilat 3

Cari Blog Ini