Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 6

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 6


mereka berhenti, tertegun. Kiranya, karena tegang dan sibuk mengurusi diri sendiri mereka semua sampai
terlupa akan mayat binatang itu. Sepasang gorila jantan dan betina itu telah tewas dibunuh Poan-jin-poankwi. Soat Eng terisak dan berlutut, memeluk serta menciumi hewan kesayangannya itu. Tapi ketika
suaminya memberi tahu bahwa mereka harus cepat-cepat pergi, siapa tahu gangguan ada di depan lagi maka
wanita itu mengangguk dan bersama yang lain membuat lubang untuk mengubur mayat gorila itu.
Selanjutnya mereka bergerak lagi dan menuju pantai. Sebuah perahu telah disiapkan dan mereka akan
secepatnya meninggalkan pulau. Tapi ketika mereka tiba di pantai dan siap menarik perahu, yang
disandarkan di sebuah batu karang mendadak di perahu itu telah ada Poan-jin-poan-kwi.
"Siluman...!"
"Iblis!"
Semua tersentak berseru kaget. Kakek itu, yang riap-riapan dengan misainya yang panjang tampak
berdiri di dalam perahu sambil terkekeh. Matanya berpijar-pijar dan Hauw Kam serta suhengnya kaget bukan
main, mundur dan tak kuat beradu pandang dengan bola mata yang merah membara itu. Mata si kakek
seakan mengeluarkan api dan ganas sekali. Soat Eng sendiri sampai menunduk dan mengeluh terkejut, tak
kuat. Dan ketika Beng An maupun Siang Le juga mundur berlindung di balik kedua tangan mereka,
menutupi pandangan langsung untuk tidak beradu dengan mata si kakek maka Poan-jin-poan-kwi, kakek
iblis itu, berseru terkekeh,
"Heh-heh, siapa di antara kalian yang menjadi cucu muridku? Siapa di antara kalian yang menjadi
murid See-ong?"
Semua tertegun. Serentak mereka memandang Siang Le karena pemuda itulah yang menjadi murid
See-ong. Tapi ketika Soat Eng sadar bahwa suaminya mungkin bisa menerima bencana, kalau mengaku,
maka dia membentak mendahului dan melengking, "Di sini tak ada yang menjadi cucu muridmu. Tak ada
yang menjadi murid See-ong. Enyahlah, kakek siluman. Kami akan pergi dan boleh kau menguasai pulau!"
"Ha-ha, aku akan membawa cucu muridku. Aku sudah mendengar bahwa satu di antara kalian ternyata
adalah murid See-ong. Nah, mengakulah atau kalian nanti kuhajar!"
Soat Eng bergerak. Tanpa menunggu waktu lagi tiba-tiba dia membentak dan menerjang kakek itu.
Khi-bal-sin-kang, pukulannya, langsung dikeluarkan dan menghantam dahsyat. Tapi karena kakek itu bukan
manusia biasa melainkan mahluk halus yang memiliki kesaktian tinggi maka begitu dipukul begitu pula
pukulan itu lewat dan menembus tubuhnya.
"Dess!" batu besar di belakang si kakek terhajar hebat. Batu itu roboh dan hancur berkeping-keping.
Khi-bal-sin-kang telah menunjukkan kemarahannya tapi Soat Eng berkelebat dan menyerang lagi. Tangan si
nyonya bergerak dan menangkap kakek itu. Tapi ketika tangannya mencengkeram sesuatu yang dingin dan
lolos begitu saja, padahal jelas-jelas terlihat pundak si kakek tertangkap maka Soat Eng berteriak ngeri
karena seakan menangkap atau mencengkeram bubur daging yang menjijikkan.
"Aiihhh...!"
Kakek itu tertawa bergelak. Soat Eng yang tak mampu menangkap korbannya tiba-tiba mendapat
tendangan melingkar. Si kakek bergerak dan ganti menyerang nyonya itu. Dan ketika Soat Eng terlempar dan
terbanting roboh, terguling-guling maka kakek itu sudah berkelebat dan menangkap Gwan Beng.
"Heh, kau cucu muridku?"129 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Bukan!" Gwan Beng membentak, langsung menghantam dan menyerang kakek itu, tentu saja terkejut
tapi juga ngeri. Namun ketika si kakek terbahak dan membiarkan pukulan itu, karena tembus dan tidak
berakibat apa-apa maka si kakek mengangkat dan melempar tubuh laki-laki ini.
"Kau kurang ajar, perlu diberi pelajaran..... bress!" dan si kakek yang bergerak dan sekarang
menangkap Hauw Kam, yang coba mengelak namun gagal maka kakek itu berseru apakah ini cucu
muridnya.
"Bukan, aku murid Hu-taihiap yang gagah perkasa. Pergi kau, kakek siluman!" namun ketika si kakek
terkekeh dan membiarkan pukulan itu, yang menembus tubuhnya maka Hauw Kam juga dibanting dan
dilempar.
"Mungkin kau!" serunya menangkap Siang Le. "Hayo mengaku atau semua nanti kubunuh!"
"Bukan dia!" Beng An tiba-tiba berseru, berteriak menerjang kakek ini. "Akulah murid See-ong,
kakek bau. Lihat ini pukulanku dan lepaskan dia.... buk!" dan pukulan Beng An yang mendarat di punggung
si kakek tiba-tiba membuat kakek itu terbelalak karena Beng An berhasil menarik kolor celananya, langsung
menelanjangi dan tampaklah bokong si kakek yang tepos. Si kakek berteriak dan entah bagaimana wadag
halusnya tiba-tiba menjadi wadag kasar. Itulah karena kolor celananya tadi. Beng An secara tak sengaja telah
melampiaskan rasa gregetnya dengan memukul dan kemudian menarik celana si kakek. Dia bermaksud
membuat kakek ini melepaskan Siang Le. Dan karena dia di belakang sementara yang ada ialah kolor celana
itu, si kakek memakainya secara terbalik maka justeru simpul tali celana inilah yang disambar Beng An tapi
justeru kebetulan merupakan kunci untuk membuat kakek itu kembali ke badan wadag, badan kasarnya.
"Heiii.... dess!"
Beng An mencelat. Si kakek mendupaknya seperti gaya dupakan seekor kuda. Anak itu terangkat dan
terlempar tinggi, terbanting dan berdebuk di sana. Dan ke-tika Beng An mengaduh dan terguling-guling,
encinya menangkap dan menolongnya bangun maka terdengarlah aum atau semacam pekik yang membuat
Sam-liong-to berderak, laut tiba-tiba membuih.
"Bocah, kau telah menarikku ke bumi lagi. Keparat, aku harus mengulangi kehidupanku yang dulu
dan sekarang aku dapat disentuh. Aiiiihhhhhh....!" dan pekik atau aum yang membuat pulau bergetar tibatiba disusul oleh gemuruh ombak yang setinggi bukit. Dan bersamaan dengan bergolaknya air laut tiba-tiba
mendung hitam bergerak dari utara menuju selatan.
"Dar-dar!"
Dua kali ledakan petir menyambar tubuh kakek itu. Poan-jin-poan-kwi tiba-tiba roboh dan menjerit.
Kakek yang semula berpijar matanya itu mendadak lenyap, terganti dengan sinar mata biasa yang ganas dan
mencorong. Dan ketika hujan turun bagai dicurahkan, Sam-liong-to tiba-tiba bergerak dan kena gempa bumi
maka terjadilah badai atau prahara yang ribut.
"Menyingkir, semua kembali ke Istana Hantu!"
Siang Le dan lain-lain terkejut. Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa tiba-tiba saja
Sam-liong-to bergolak. Air laut membuih dan ombak setinggi bukit melanda tempat itu. Si kakek tergulung
dan lenyap disapu ombak. Poan-jin-poan-kwi rupanya setengah pingsan, karena tadi mendapat dua kali
sambaran petir berturut-turut. Tapi karena mereka sendiri lalu diserang badai dan ombak setinggi bukit itu
menerjang mereka, daratan tiba-tiba tenggelam oleh laut yang membuih maka Siang Le cepat-cepat
menyelamatkan diri, menyambar dua supeknya yang tadi dibanting si kakek.
"Cepat, menyingkir. Kita sembunyi di istana!"
Gwan Beng dan sutenya terbelalak gentar. Mereka melihat kedahsyatan alam dan bengong. Poan-jinpoan-kwi disapu dan digulung ombak, lenyap dan entah kini ke mana. Tapi ketika mereka diseret dan
disambar Siang Le, yang bergerak dan berlari ke tengah pulau maka mereka mengikuti dan akhirnya
memasuki Istana Hantu.
"Tutup pintunya, cepat. Yang rapat!"130 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Gwan Beng memalang pintu dengan sebongkah besi berkait. Besi itu jarang digunakan dan hanya
untuk saat-,saat terpenting sajalah dipakai. Kini mereka sudah berada di dalam istana dan mendengar
gemuruh atau mengamuknya air laut. Semua rata-rata basah kuyup dan Soat Eng mengajak turun ke bawah,
karena pintu berkali-kali dihantam ombak dan dikhawatirkan pecah. Dan ketika mereka bersembunyi
semakin jauh dan suara-suara itu sudah lemah terdengar, masing-masing merasa lega maka mereka dapat
bercakap-cakap dan heran serta ngeri oleh perobahan alam yang luar biasa ini, yang seolah mengamuk atau
marah-marah terhadap manusia.
"Aku tak mengerti, kenapa bisa begini. Tapi tentu karena kakek iblis itu. Poan-jin-poan-kwi!"
"Hm, benar. Aku juga menduga begitu Siang Le. Tapi kenapa kakek itu tiba-tiba melolong atau
memekik begitu marah. Dia tampaknya mengalami sesuatu yang mengguncang jiwanya."
"Dan Beng An tadi berhasil memukul punggungnya! Eh, apa yang kau lakukan, Beng An? Bagaimana
kakek itu tiba-tiba terpegang olehmu? Bukankah kita semua tak mampu memegangnya? Dan aku tadi serasa
memegang bubur daging yang menjijikkan!" Soat Eng, yang bergidik dan ngeri oleh ini terbelalak
memandang adiknya. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa Poan-jin-poan-kwi memiliki pantangan, yakni
tak boleh diserang anak kecil dari belakang apalagi kalau sampai menarik simpul kolornya itu. Kakek yang
semula berbadan halus itu akan berobah ujud, kembali ke alam kasar dan ini berarti kakek itu "hidup"
kembali, mengalami masa sejarahnya yang lalu dan kematian atau rasa sakit akan menghinggapinya seperti
halnya manusia-manusia lain di bumi, jadi kakek itu ditarik keluar dari alam gaibnya di sana. Dan karena
Beng An telah melakukan itu dan tali kolor si kakek dilepas kuat, bahkan nyaris membuat si kakek telanjang
bulat maka pantangan atau hal yang tak disukai Poan-jin-poan-kwi terjadi di sini. Kakek itu tak akan
berbadan halus lagi. Pukulan-pukulan manusia akan mengenai tubuhnya dan dia dapat berasa sakit atau
pedih. Tubuh halusnya yang semula dibanggakan dan dapat membuat gentar lawan kini tak ada lagi. Dia
sudah tak lagi "dapat ditembus" melainkan benar-benar sudah seperti manusia biasa. Artinya dapat dipukul
atau dihantam, dipegang. Dan karena itu berarti rasa sakit atau siksaan, si kakek tak memiliki lagi
keunggulan bertubuh roh maka kakek ini menjadi manusia biasa dan itu semua ditandai dengan kejadian
alam yang dahsyat, bergolaknya air laut dan datangnya mendung serta petir. Soat Eng tak tahu akan itu
karena memang tidak tahu asal mulanya. Yang lain-lain pun juga tidak tahu dan karena itu terheran-heran
serta ngeri oleh semuanya ini. Tapi ketika Soat Eng bertanya dan Beng An mengingat-ingat maka anak itu
berkata bahwa entah bagaimana tangannya dapat menyentuh punggung si kakek.
"Aku juga tak mengerti. Tapi karena aku ingin menyelamatkan Le-twako karena Le-twako ditangkap
dan akan dicelakai kakek itu maka kuserang dan kupukul dia. Dan agar dia lebih malu maka tali kolornya itu
kutarik hingga bokongnya yang tepos kelihatan!"
"Ha-ha!" Hauw Kam geli melihat ini. "Kau benar, Beng An. Kakek itu tampak terkejut dan tersipusipu membetulkan celananya. Tapi kau didupak sampai mencelat!"
"Hm, bukan aku saja. Supek pun juga!" anak itu geli. "Kau juga ditendang dan mencelat, supek. Dan
kita semua dihajar jatuh bangun!"
"Hm, jangan tertawa saja," Soat Eng tak geli, bahkan jijik melihat pantat si kakek. "Aku muak dan
benci kakek itu, Beng An. Tapi kepandaiannya luar biasa sekali hingga kita tak sanggup melawan. Kita
agaknya harus menyelamatkan diri memutar Sam-liong-to kalau badai sudah reda."
"Tapi kakek itu tertelan ombak!" Gwan Beng tiba-tiba berseru. "Apakah ini bukan berarti kakek itu
sudah binasa? Agaknya kita tak perlu takut lagi, Soat Eng. Kita dapat keluar dan menyelamatkan diri dengan
tenang!"
"Hm, belum tentu," Siang Le yang merasa lebih tahu menolak anggapan itu. "Kakek itu mahluk roh,
supek. Kalau dia tertelan ombak maka dapat saja dia menyelamatkan diri. Apa yang kita lihat belum tentu
benar, karena mata lahir tak dapat dipakai patokan untuk melihat yang batin, yang roh. Karena mahluk roh
dapat berobah ujud dan menjadi apa saja seperti apa yang dia inginkan!"
"Kalau begitu bagaimana? Apakah kita tidak jadi meninggalkan pulau?"131 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tentu jadi, tapi tak usah menentang bahaya. Maksudku, aku menyetujui pendapat isteriku tadi bahwa
sebaiknya kita memutar dan meninggalkan Sam-liong-to lewat belakang!"
"Baiklah, aku setuju. Dan badai rupanya sudah reda!" Gwan Beng tak banyak omong, mengangguk
dan menajamkan telinganya karena tak mendengar suara-suara gemuruh tadi. Badai atau angin topan telah
berhenti, begitu rupanya. Dan karena yang lain juga tak mendengar apa-apa lagi dan Soat Eng mengajak naik
ke atas, mendekati pintu yang dipalang maka benar saja buih ombak atau gelegar petir sudah lenyap.
"Nah, dugaanku benar. Mari kita lihat dan buka pintu."
"Nanti dulu!" Soat Eng berhati-hati. "Biar aku yang membukanya, supek. Kalian mundur!" dan
menyambar palang pintu sambil mendorong supeknya maka nyonya inilah yang membuka pintu. Tapi begitu
pintu dibuka mendadak muncul sebuah kepala dan Poan-jin-poan-kwi ada di situ!
"Hargh, ke mari kalian, tikus-tikus cilik. Dan serahkan bocah itu kepadaku!"
Soat Eng kaget bukan main. Bahwa Poan-jin-poan-kwi tiba-tiba muncul di situ dan masih hidup,
menunggu dan rupanya membiarkan mereka membuka pintu membuat wanita ini mencelat berseru keras.
Palang pintu di tangannya tiba-tiba menyambar ke bawah, langsung menghantam. Dan karena kakek itu
menjulurkan kepalanya untuk melongok, mencari Beng An, maka tepat sekali palang besi itu mendarat telak.
"Pletak!"
Tapi palang besi itu patah menjadi tiga potong. Kepala Poan-jin-poan-kwi rupanya jauh lebih hebat
dan besi itu kalah, Soat Eng kaget dan berjungkir balik melayang turun. Dan karena kakek itu akan
menerobos sementara teman-temannya juga bergerak untuk mencegah maka Soat Eng yang berteriak
melayang turun tiba-tiba menendang atau menjejak pintu besar itu.
"Semua mundur, awas..... bress!" dan si kakek yang tergencet dan terjepit di tengah tiba-tiba memekik
karena kesakitan. Sekarang Soat Eng membelalakkan mata karena dua kali berturut-turut tubuh lawannya ini
dapat dipukul, padahal tadinya kakek itu seperti roh atau siluman jahat. Dan karena dua kali serangannya
dapat dirasakan si kakek, yang berteriak kesakitan maka Soat Eng menjadi girang dan tangan kirinyapun
menyambar dengan Khi-bal-sin-kang.
"Dess!"
Kakek itu terpental. Soat Eng mendengar jerit dan pekik kesakitan. Khi-bal-sin-kangnya rupanya
mendapat sasaran dan dia girang bahwa kakek itu dapat dipukul. Tapi ketika dia mau menerjang keluar dan
menyerang lagi, mendapat harapan sekonyong-konyong suaminya menarik tangannya.
"Jangan diladeni, tak akan menang. Sebaiknya kita pergi dan tutup lagi pintu itu!"
Soat Eng tertegun. Sebenarnya dia ingin mencoba dan tak puas. Tapi karena yang lain-lain juga
berseru begitu dan Gwan Beng maupun Hauw Kam sudah menutup pintu, mempergunakan palang yang lain
maka mereka terbirit-birit mengajak lari.
"Ingat, sudah ditelan ombak masih juga dia dapat hidup. Apakah ini tak menunjukkan dia kakek
siluman, Soat Eng? Ayo pergi, dan biarkan dia menggedor-gedor pintu!"
Soat Eng bingung. Menurutkan kata hatinya, ingin dia melabrak dan menerjang kakek itu. Tiga
pukulannya sudah mengena telak dan si kakek kesakitan, meskipun agaknya juga tak apa-apa, karena dapat
melompat bangun dan kini si kakek marah-marah di luar pintu besi. Pintu itu didobrak-dobrak dan digedorgedor, istana sampai tergetar dan beberapa anak tangga sampai berderak patah. Tapi karena suaminya sudah
menarik dan Gwan Beng serta yang lain-lain tampak ketakutan, jerih, maka apa boleh buat Soat Eng
menahan perasaan tidak puasnya untuk melarikan diri.
"Kita menuju ke samping kanan. Menembus jalan rahasia!"132 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Soat Eng mengangguk geram. Dia membiarkan saja suaminya lari dan menyeret dirinya. Dan ketika
terakhir kali mereka mendengar suara keras di luar, pintu besi itu agaknya jebol, hancur dipukui si kakek
maka mereka berlima sudah muncul dan keluar dari tempat bawah tanah, tepat di atas bukit.
"Mari, semua ke atas. Cepat, naik..... naik....!"
Soat Eng lebih dulu berkelebat keluar. Nyonya ini tak puas melihat sikap suaminya yang begitu
ketakutan, pucat. Tapi karena yang lain-lain juga begitu, dan Poan-jin-poan-kwi itu memang seperti siluman
saja maka nyonya ini dapat mengurangi rasa tidak puasnya dengan mengerti akan itu. Dia sendiri sudah
menarik yang lain-lain agar berlompatan keluar. Suara geraman atau pekik marah si kakek terdengar sampai
ke atas. Benda-benda di dalam istana rupanya dipukuli atau dihajar, karena terdengar ledakan-ledakan atau
semacam suara patung-patung roboh yang berdentum. Di bawah sana memang banyak terdapat patungpatung batu. Dan ketika semua keluar dan lari ke pantai, Soat Eng menyambar adiknya maka suaminya dan
yang lain-lain sudah mengikuti.
"Ah, kita tak memiliki perahu lagi. Perahu kita sudah hancur dihantam ombak!"
Soat Eng tertegun. Terlihat olehnya keping badan perahu yang berserakan. Itulah perahu yang tadinya
hendak mereka pakai namun kini sudah hancur diserang badai. Namun ketika Gwan Beng bergerak dan
melepas gulungan tali, mengikat dan merakit pecahan-pecahan papan itu menjadi sebuah getek maka
terciptalah "perahu" darurat ini dalam keadaan memaksa.
"Ayolah, tak usah bingung. Kita tetap dapat mempergunakannya dan pergi dengan cepat!"
Semua kagum. Hauw Kam terbahak memuji suhengnya ini, sang suheng tak tertawa karena merasa
serius. Dan ketika mereka berlompatan dan naik ke atas getek, siap didorong dan mengarungi lautan bebas
maka mereka bingung karena tak ada dayung.
"Wah, tak ada yang dapat dipakai mendorong. Kita semua mempergunakan tangan. Dayung!"
Namun ketika getek digerakkan dan didorong dengan tangan, semua sudah membungkuk dan
menyibak air laut mendadak getek tertahan sesuatu dan tak mau maju!
"Eh, apa ini? Kenapa tak mau jalan?"
"Seolah tertambat. Seakan ada tali yang menahan!"
"Ah, benar. Itu, lihat. Sisa tali Gwan-suheng nyangkut di kayu!"
"Hm, biar aku yang melepaskan!" dan Soat Eng yang menggerakkan tangan menabas dari jauh tibatiba membuat tali itu putus dan yang lain tertawa memuji kepandaian nyonya ini. Getek bergerak dan Siang
Le serta yang lain-lain mendorong dengan tangan. Itulah dayung darurat yang mereka pakai. Tapi baru saja
getek melaju dan melepaskan diri mendadak tertahan lagi dan sebuah tali lain menjerat kuat.
"Ah, bagaimana ini? Siapa yang mengikat ?" Hauw Kam marah-marah, meraih dan menabas putus tali
itu namun aneh sekali sang tali tak dapat putus. Dibacok dan dipukul miring tali itu hanya tergetar dan
membal saja, seperti karet. Tapi setelah Hauw Kam mencabut pedang pendeknya dan menghantam tali itu
maka putuslah sang tali dan getek melaju lagi.
Namun kejadian lain membuat mereka terkejut. Getek mendadak berhenti lagi dan kini bergerak
mundur. Semula disangka terdorong ombak namun ternyata bukan, karena seseorang terasa menarik getek
itu tanpa suara. Dan ketika mereka heran dan menoleh, hampir serentak, maka terpekiklah mereka oleh
munculnya seorang kakek yang misainya sampai ke kaki sementara bola matanya berpijar-pijar seperti api.
"Poan-jin-poan-kwi!"
Semua sudah hapal. Hampir serentak pula mereka semua berseru. Kakek itu ternyata sudah berdiri di
pantai dan sebelah tangannya bergerak maju mundur menarik getek. Tak ada tali atau benda lain yang
dipakai. Tapi ketika serangkum angin dingin menyedot perahu darurat itu dan dari daya sedot inilah getek133 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tertarik mundur maka semua orang menjadi maklum bahwa tenaga sakti kakek itulah yang membuat
semuanya begini!
"Kau!" si kakek berseru, memandang Beng An. "Ke sinilah, bocah. Tinggalkan teman-temanmu dan
hinggap di pundakku!"
Aneh sekali, Beng An tiba-tiba melesat. Seperti burung atau garuda menyambar anak laki-laki ini
sudah "terbang" ke arah si kakek, duduk atau hinggap di pundaknya seperti orang tidak sadar. Tapi ketika
Soat Eng melengking dan menjerit panjang, kaget melihat adiknya di tangan musuh tiba-tiba nyonya ini
sudah menyambar dan berjungkir balik dengan Jing-sian-engnya, menggerakkan tangan kiri melepas Khibal-sin-kang.
"Dess!"
Kakek itu tak bergoyang. Pukulan si nyonya lewat dan "tembus" begitu saja. Soat Eng tertegun dan
membelalakkan matanya. Tapi begitu sadar dan melengking lagi, heran dan marah bagaimana kakek ini tibatiba seperti semula lagi, padahal tadi dapat dipukul dan disentuh maka wanita itu sudah berkelebatan dan
melepas pukulannya lagi, bertubi-tubi dan cepat dan tiga kali wanita ini coba menyambar adiknya. Tujuan
Soat Eng adalah merampas kembali adiknya di pundak musuh. Tapi ketika semua itu tak berhasil dan
adiknyapun tak dapat disentuh, Beng An seolah barang halus yang tak dapat diraba maka Soat Eng terbelalak
dan semakin kaget saja.
"Beng An, meloncat ke sini. Bebaskan dirimu!"
Namun Beng An diam mematung. Entah bagaimana begitu jatuh dan melekat di pundak si kakek tibatiba saja anak ini seolah arca. Beng An tak bergerak dan juga tak bernapas. Soat Eng tak melihat gerakan
dada adiknya itu hingga menjadi pucat sekali. Maklumlah, itu berarti adiknya tak bernyawa! Dan ketika
nyonya ini membentak dan melengking panjang, berkelebat di betakang si kakek untuk mencengkeram
tengkuknya maka suatu benda dingin disentuh wanita ini.
Jilid X
"CRESSS!" suara seperti es mengejutkan nyonya ini. Soat Eng merasa suatu benda dingin dan
lembut, namun menjijikkan, tersentuh tangannya. Benda itu seperti bubur daging dan Soat Eng tentu saja
kaget bukan main, melengking dan menarik tangannya dengan cepat. Dan ketika serangkum hawa dingin


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar dan balik menamparnya, Soat Eng ngeri, maka nyonya ini sudah melempar tubuh bergulingan
dan berteriak tertahan.
"Aihhh.... bres-bress!" sang nyonya menabrak suami dan paman-pamannya. Soat Eng meloncat
bangun dan pucat, tiga orang temannya sudah meloncat pula ke pantai, meninggalkan getek menyusul
nyonya itu. Dan ketika Siang Le dan yang lain ngeri memandang kakek itu, yang ternyata berdiri
mengambang maka Siang Le pucat berseru tertahan.
"Dia iblis...!"
Yang lain-lain tertegun. Gwan Beng dan sutenya juga melihat itu dan mereka seketika mundur. Kakek
itu ternyata tak berdiri di tanah alias mengambang. Kedua kakinya tak memiliki jari-jari alias papak begitu
saja, bentuknya segi empat dan tumpul seperti layaknya orang yang terpapas jari-jarinya. Kiranya itu adalah
mahluk roh, bukan manusia! Dan ketika Hauw Kam pucat berseru tertahan dan suhengnya juga mundur
semakin terbelalak maka kakek itu membalikkan tubuhnya dan.... melayang pergi ke tengah laut, bergerakgerak seperti layaknya hantu yang berjalan di atas air!
"Heii, cegah kakek itu. Rampas adikku Beng An!"
Semua bergerak serentak. Siang Le sendiri akhirnya sadar dan membentak menggerakkan tangannya.
Pukulan dahsyat menyambar namun kakek itu tak mengelak. Tubuhnya tak bergeming karena pukulan itu
lewat begitu saja menembus tubuhnya, jadi seperti menghantam angin. Dan ketika Hauw Kam maupun134 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
suhengnya juga melakukan serangan yang sama namun kakek itu terus meluncur di atas permukaan air,
seperti roh, maka Soat Eng membentak dan berkelebat mengejar kakek itu, melepas pukulan.
"Kakek siluman, serahkan adikku!"
Namun yang terjadi malah nyonya itu yang berteriak kaget. Pukulannya menghantam laut dan air
muncrat tinggi mengenai mukanya sendiri. Kakek itu meluncur dan terus bergerak ke depan, cepat sekali,
tahu-tahu sudah lenyap di balik gulungan ombak yang besar. Dan ketika Soat Eng harus melempar tubuh ke
atas dan kembali ke pantai, dengan muka pucat dan penuh keringat maka nyonya itu berseru pada temantemannya untuk mengejar dengan getek.
"Kita tak boleh lengah, hayo kejar dan tangkap kakek itu!"
Gwan Beng dan sutenya mengangguk. Mereka ngeri tapi tak boleh berpangku tangan saja, apa boleh
buat harus mengejar kakek itu meskipun dia siluman jejadian. Dan ketika masing-masing sudah meloncat ke
atas getek dan menggerakkan tangan untuk mendorong maka perahu aneh ini meluncur dan membelah
ombak, cepat sekali, mengejar si kakek iblis. Namun belum jauh mereka bergerak tiba-tiba getek itu kembali
tertahan dan.... balik ke tepian.
"Heh-heh, tak boleh kalian lari, anak-anak. Hayo hadapi aku dulu dan setelah itu boleh pergi!"
Bukan main kagetnya empat orang ini. Soat Eng menoleh dan melihat kakek itu tahu-tahu sudah ada
di belakangnya, tertawa dan menggerak-gerakkan tangan hingga perahu mereka tertarik mundur, sebentar
saja sudah terseret dan terbalik. Itulah Poan-jin-poan-kwi, tapi tidak membawa Beng An! Dan ketika getek
terbalik dan Hauw Kam serta suhengnya tercebur di laut, di samping ngeri juga karena kaget, bagaimana
musuh tahu-tahu sudah ada di belakang mereka maka Siang Le dan isterinya yang berjungkir balik
menyelamatkan diri tiba-tiba membentak dan melepaskan pukulan dari udara. Soat Eng merah dan pucat
berganti-ganti merasa dipermainkan.
"Terkutuk, jahanam keparat.... dess!" pukulan nyonya itu mengenai tepat, telak menghantam lambung
si kakek dan di sini sang nyonya merasa heran. Dia tidak merasa pukulannya jatuh di tempat seperti bubur
daging melainkan mendarat di tempat empuk seperti layaknya tubuh manusia normal, tidak dingin melainkan
hangat dan kakek itu terdorong. Aneh, ini sudah seperti kakek yang dipukulnya di pulau tadi, bukan seperti
kakek yang membawa pergi Beng An! Dan ketika Soat Eng memekik karena lawan terhuyung mundur,
pukulannya rupanya membuat kakek itu kesakitan maka suaminya juga mendaratkan pukulan tapi malah
terbanting sendiri.
"Dess!" Siang Le terlempar tiga tombak. Pemuda itu berteriak karena pukulannya menghantam
sesuatu yang keras, yakni tulang paha si kakek. Dan ketika Siang Le berteriak karena diri sendiri merasa
kesakitan, aneh sekali, maka kakek itu terkekeh dan berkelebat ke depan, mendahului Soat Eng.
"Kalian harus dihajar, robohlah!"
Soat Eng terbelalak. Dia bingung dan merasa tak mengerti akan ini. Tadi kakek itu seperti roh tapi kini
seperti manusia biasa lagi. Namun ketika si kakek berkelebat dan dua jarinya menusuk mata, satu serangan
berbahaya maka si nyonya mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan mengelak serta menangkis dua jari kakek itu
dengan amat kerasnya, penuh kemarahan.
"Dukk!"
Soat Eng terpelanting. Sang nyonya berteriak terkejut karena Khi-bal-sin-kangnya tiba-tiba membalik,
padahal biasanya pukulan lawanlah yang akan membunuh tuannya sendiri. Tapi ketika dia bergulingan dan
berteriak meloncat bangun, terbelalak memaki kakek itu ternyata suaminya roboh dan menjadi korban.
"Dess!" Siang Le terlempar dan mengeluh di sana. Suaminya itu tidak bergerak-gerak lagi karena
pingsan. Siang Le tak sempat mengelak dan pukulan kakek itu mengenai pelipisnya, pemuda ini roboh dan
terjengkang. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena tak tahu apakah suaminya masih hidup atau tidak,
melengking dan berkelebat ke depan maka Hauw Kam dan suhengnya juga membentak dan marah
menerjang kakek itu.135 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Keparat, kau mengganggu kami!"
Tiga orang itu susul-menyusul. Soat Eng lebih dulu namun kembali nyonya ini terbanting, Khi-balsin-kangnya tertolak. . Dan ketika dia menjerit dan kaget serta gentar, tapi juga marah maka Hauw Kam dan
suhengnya mendaratkan pukulan mereka di tubuh kakek itu.
"Des-dess!"
Si kakek tertawa melebarkan matanya. Dua orang itu telah memukulnya namun sama seperti Soat Eng
tadi maka Hauw Kam dan suhengnya terbelalak. Mereka merasa pukulan mereka mendarat di tubuh yang
empuk dan hangat, bukan lagi di tempat yang kosong dan tembus sia-sia. Jadi, kakek itu benar-benar
manusia, bukan iblis, atau roh! Tapi ketika mereka tertegun dan tergetar, dari tubuh kakek itu keluar daya
tolak yang besar maka misai si kakek melecut dan.... dua orang itu menjerit berteriak.
"Augh.... bluk-dess!"
Hauw Kam dan suhengnya terguling-guling. Mereka disambar misai itu yang tiba-tiba terangkat
seperti cambuk, kaku dan melecut dan mereka coba menghindar namun kalah cepat. Dan ketika mereka
menjerit dan terguling-guling, kakek itu terkekeh maka Soat Eng sudah mengulangi serangannya dan
memukul bertubi-tubi sambil berkelebatan dengan cepat, melengking dan memekik dan sebentar saja kakek
itu sudah dibuat sibuk mengelak ke sana-sini. Soat Eng menujukan serangan-serangannya ke bagian-bagian
berbahaya, mulut atau hidung dan juga mata. Karena kakek itu sudah berobah seperti manusia lagi maka
Soat Eng menujukan serangan-serangannya ke sini, benar saja si kakek mengelak dan tak berani membiarkan
saja semua pukulan-pukulannya itu. Tapi ketika si kakek mendengus dan berputaran cepat, mengikuti
gerakan tubuhnya maka tiba-tiba misai itu meledak-ledak dan menangis semua serangannya.
"Heh-heh, kau tak dapat mengalahkan aku, bocah. Biarpun itu Khi-bal-sin-kang!"
Soat Eng terkejut. Semua pukulannya tiba-tiba benar saja tak ada gunanya, patah di tengah jalan
karena bertemu misai panjang itu. Dan karena misai adalah segumpal rambut yang pada dasarnya halus dan
luwes, tak bertenaga, maka begitu dipukul tentu saja tak apa-apa dan ketika Soat Eng terkejut mendadak
misai yang tadi lembut dan tak bertenaga itu sekonyong-konyong terangkat naik dan kaku menotok
tubuhnya.
"Aihh.... tar-des!" tanah yang tadi diinjak Soat Eng meledak dan hangus, sang nyonya sendiri sudah
melempar tubuh bergulingan dan tiba-tiba dia balik didesak. Sang kakek mengejar dan terkekeh melecutlecutkan misainya. Benda itu tiba-tiba menjadi kaku dan lemas berganti-ganti, tentu saja Soat Eng sibuk. Dan
ketika nyonya itu lengah dan harus bergulingan ke sana-sini maka pundaknya kena juga. Soat Eng mati
separoh namun saat itu datanglah bantuan dua pamannya. Hauw Kam dan suhengnya membentak dan
menerjang marah. Mereka sebenarnya jerih namun marah melihat keponakannya didesak, terus dirangsek
dan dicecar bertubi-tubi. Dan ketika pukulan mereka mendarat namun si kakek tak apa-apa, sama seperti tadi
maka kakek itu membalik dan tiba-tiba berseru marah,
"Heii, kalian tak dapat diampuni!"
Gwan Beng berteriak pada sutenya untuk loncat menghindar. Misai si kakek bergerak lagi dan seperti
ular hidup tahu-tahu menyambar dahi, bukan main berbahayanya dan juga cepat. Tapi kalau Gwan Beng
melempar diri untuk menyelamatkan tubuh adalah Hauw Kam berteriak dan mencabut pedang untuk
membabat misai yang seperti ular hidup itu.
"Crat!" dan bukan misai yang putus melainkan pedang! Hauw Kam kaget bukan main karena tiba-tiba
saja pedangnya itu putus. Misai selain kaku juga tiba-tiba kiranya tajam, entah dengan tenaga apa kakek itu
mempergunakannya. Tapi ketika laki-laki ini tertegun dan Hauw Kam membelalakkan mata, si kakek
terkekeh maka ujung misai itu terus menyambar dan terdengarlah jeritan ngeri ketika dahi atau jidat Hauw
Kam dicoblos bolong.
"Crott!"136 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Hauw Kam terbanting seperti pohon pisang dibabat. Laki-laki itu seketika tewas dan Gwan Beng
terkejut melihat sutenya binasa. Laki-laki itu tertegun tapi misai tiba-tiba bergerak meledak, mengejar atau
menyerangnya lagi. Namun ketika Soat Eng membentak dan menendang paman gurunya, Gwan Beng
mencelat maka senjata si kakek yang aneh mengenai batu karang di belakang yang seketika hancur
berkeping-keping.
"Dar!"
Gwan Beng ngeri dan pucat. Apa boleh buat dia mencabut pedangnya tapi sementara itu Soat Eng
sudah berkelebatan menyambar-nyambar. Nyonya ini juga mencabut pedang dan ilmu pedang warisan
kakeknya dimainkan, yakni Ilmu Pedang Maut. Dan ketika tenaga yang dipergunakan adalah gabungan Khibal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat sementara kecepatan tubuhnya mengandalkan Jing-sian-eng dan Cui-sian
Gin-kang maka serangan atau tusukan-tusukan si nyonya bukan main hebatnya hingga si kakek mendecak
dan mundur-mundur, terbabat atau terbacok tapi kulit tubuhnya atos melebihi besi. Pedang sering
mengeluarkan suara tang-ting-tang-ting ketika bertemu tubuh kakek itu, hal yang membuat Soat Eng
terbelalak. Dan ketika tak lama kemudian tubuh si kakek malah berpijar setiap dibacok, semakin panas dan
kemerah-merahan akhirnya pedang nyonya ini patah menjadi tiga.
"Ha-ha, cukup sekarang. Dan kau harus roboh!"
Soat Eng mengeluh. Dia terjerumus oleh bacokannya yang bertubi-tubi, bacokan penuh nafsu karena
dia merasa penasaran dan juga marah oleh kehebatan kakek itu. Tapi ketika pedangnya patah dan si kakek
menggerakkan misai panjangnya, menggubat dan melilit maka tubuh si nyonya terbanting dan berdebum.
"Bress!"
Soat Eng kesakitan. Sejenak pandangannya gelap dan nyonya itu tak dapat berbuat apa-apa, dia
mengeluh dan kaget serta pucat. Tapi ketika si kakek tertawa-tawa dan mau menggerakkan misainya lagi,
sorot matanya buas maka saat itu Gwan Beng berteriak dan menerjang dari samping.
"Jangan...!" Soat Eng berteriak lemah. "Harap supek melarikan diri dan jangan menghiraukan kakek
iblis itu....!"
Namun Gwan Beng terlanjur marah. Kakek ini marah karena sutenya tewas begitu mengerikan. Darah
yang mengalir dari jidat atau dahi sutenya itu terlihat jelas, mancur seperti kran air. Maka ketika Soat Eng
berteriak padanya tapi kakek ini nekat, menubruk dan menyerang maka bertubi-tubi dia sudah menusuk atau
menikam tubuh lawan. Tapi Poan-jin-poan-kwi terkekeh-kekeh, berkelit dan membiarkan beberapa tikaman
atau bacokan mengenai tubuhnya, crang-cring-crang-cring dan mengeluarkan bunga api, juga asap. Tapi
ketika kakek itu berseru keras dan membentak ganas, tangan kirinya bergerak mendorong maka pedang
ditangkis patah dan seketika itu juga patahan yang tajam membalik menyambar pemiliknya sendiri.
"Awas!"
Namun terlambat. Gwan Beng berteriak ketika ujung pedang menancap di dadanya, tembus sampai ke
belakang. Dan ketika laki-laki itu terbelalak dan mengeluh, darah mengalir membasahi bajunya maka lakilaki itu roboh dan tengkurap.
"Bluk!"
Soat Eng membelalakkan matanya. Dia memberi peringatan tapi supeknya tak sanggup mengelak.
Memang Poan-jin-poan-kwi ini terlalu sakti, bukan lawan mereka. Dan ketika supeknya roboh dan
terjerembab, pertandingan berhenti maka Soat Eng melihat kakek itu meledakkan misainya dan tiba-tiba dia
mengeluh. Wanita itu tak sadarkan diri lagi ketika misai menghantam tengkuknya. Empat tubuh sudah
malang-melintang tak keruan, dua pingsan dan dua tewas. Dan ketika kakek itu tertawa-tawa dan girang serta
menendang mayat Hauw Kam kakak beradik maka kakek ini berkelebat dan.... meluncur di atas permukaan
air laut, meninggalkan pulau.
"Heh-heh, puas aku, anak-anak. Biarlah dua kuberi hidup dan yang lain mampus!"137 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Soat Eng tak mendengar apa-apa lagi. Wanita itu pingsan dan menderita luka, agak berat. Dan karena
suaminya juga pingsan tapi tak seberat nyonya itu maka suaminya inilah yang nanti lebih dulu siuman.
-0- "Eng-moi, di mana kau?"
Siang Le benar saja tiba-tiba siuman lebih dulu. Pemuda itu membuka mata dan merasa pening,
sejenak tak tahu apa yang terjadi karena pertama kali yang dilihat adalah awan putih berarak. Dia bingung
tapi pikirannya segera bekerja. Dan ketika dia sadar dan bangun gemetar, seluruh persendian serasa remuk
maka dia bertanya di mana isterinya itu, terbelalak dan segera melihat mayat Hauw Kam dan suhengnya,
terkejut dan berteriak tertahan dan segera dilihatnya pula tubuh isterinya itu, meringkuk di sana. Dan ketika
pemuda ini menjerit dan melompat berlari, lupa kepada semua rasa sakit di persendian tiba-tiba pemuda ini
terjatuh namun bangkit lagi, menubruk dan memanggil nama isterinya, yang dikira tewas.
"Eng-moi, ah.... jahanam kakek iblis itu!" Siang Le tersedu, menyambar dan mengangkat tubuh
isterinya tapi segera dilihatnya bahwa isterinya itu masih hidup. Dada isterinya berombak meskipun
perlahan, wajah itu pucat. Dan ketika Siang Le tertegun tetapi girang, isterinya tidak tewas maka cepat
pemuda ini menotok dan memberikan pertolongan.
"Eng-moi, sadarlah. Bangunlah!"
Siang Le merogoh saku bajunya. Di situ ia mengeluarkan beberapa butir obat, gugup menelankan ke
mulut isterinya dan cepat dia mengurut dan menotok sana-sini lagi. Dan ketika isterinya mengeluh dan Soat
Eng membuka mata, sadar, maka Siang Le girang bukan main dan menciumi muka isterinya itu, lupa kepada
mayat Hauw Kam dan Gwan Beng.
"Bangunlah, sadarlah. Kakek itu telah pergi!"
Soat Eng merintih. Dia terluka agak berat karena sebagian dari Khi-bal-sin-kang membalik kepada
dirinya sendiri. Ledakan atau pukulan misai di tengkuknya membuat nyonya itu merasa pening. Dia teringat
apa yang baru terjadi. Maka menggigil mengerotokkan buku-buku jarinya, nyonya ini tiba-tiba mencoba
bangun namun roboh.
"Aduh, aku tak kuat. Kepalaku pening!"
"Sabar, jangan khawatir. Ada aku di sini, Eng-moi. Aku akan menolongmu!" Siang Le mengangkat
isterinya, membopong tapi tiba-tiba Soat Eng melihat dua mayat itu. Wanita ini terpekik dan suaminya
berhenti, melihat pula dua mayat itu, sadar. Dan ketika Soat Eng mengguguk dan minta diturunkan, sang
suami sudah menurunkan maka wanita ini berlari terhuyung ke mayat dua pamannya itu, jatuh bangun.
"Supek.... supek.... kubalaskan kematianmu. Ah, terkutuk Poan-jin-poan-kwi itu...!" dan Soat Eng
yang roboh di mayat supeknya Gwan Beng, mengguguk dan menggerung-gerung di sini akhirnya mencabut
pedang atau patahan pedang di dada supeknya itu, berteriak, memaki lagi, "Poan-jin-poan-kwi, aku
bersumpah untuk menuntut balas. Kalau bukan kau yang mati maka aku!"
"Hm, sudahlah," Siang Le menghampiri, tahu-tahu sudah di dekat isterinya ini pula. "Mereka bukan
manusia, Eng-moi, mereka siluman. Melawan siluman tiada gunanya. Biarlah kukubur mereka itu dan kau
tenanglah!"
"Tidak... tidak. Aku ingin mencari dulu mereka itu, Le-ko. Dan adikku Beng An juga dibawanya. Ah,
jahanam. Keparat!" dan Soat Eng yang meloncat bangun namun roboh lagi, dihantam peningnya itu lalu
terguling dan membuat sibuk sang suami. Siang Le kelabakan melihat sikap isterinya ini. Soat Eng berteriakteriak dan mau mencari kakek itu, padahal sudah tak ada di pulau. Dan ketika pemuda ini kebingungan
namun membujuk isterinya untuk tidak marah-marah, Soat Eng seperti orang kesetanan maka saat itu
terdengar suara tawa yang aneh dan melingkar-lingkar, kecil.
"Heh-heh , biarkan isterimu mengamuk, Siang Le. Biarkan dia gila dan roboh lagi!138 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Siang Le terkejut, celingukan.
"Aku gurumu, datang untuk menghukum murid murtad!"
Siang Le kaget, Sekarang dia merasa yakin bahwa itu memang suara gurunya. Dia tadi segera
mengenal dan terkejut dan muka seketika berubah. Itu memang gurunya tapi dia tak tahu di mana. Siang Le
teringat bahwa gurunya itu memiliki Hek-kwi-sut, ilmu menghilang. Maka ketika suara tawa itu terdengar
lagi namun kecil melingkar-lingkar, Siang Le bingung maka pemuda itu menjatuhkan diri berlutut ke
sembarang tempat, berseru girang meskipun juga cemas.
"Suhu, tak usah kau main-main kepadaku. Kalau kau datang untuk menghukum silahkan, sejak
dulupun tak pernah aku melarikan diri!"
"Heh-heh, kau memang murid yang mengagumkan, meskipun membuat gurumu mendongkol.
Baiklah, aku di sini dan lihat..... aduh!" Siang Le tiba-tiba menjerit, kaget berteriak kesakitan karena mata
kakinya tiba-tiba seakan digigit kelabang, pedih dan sakit bukan main. Namun begitu dia menengok ke
bawah dan memijit mata kakinya itu maka sebuah sinar hitam kecil melejit dan.... itulah See-ong yang sudah
berdiri di depan mukanya yang sedang berlutut, kakek menyeramkan namun yang kini hanya sebesar
telunjuk jari!
"Suhu...!"
Siang Le kaget dan girang bukan main. Seketika pemuda itu mencium gurunya namun karena See-ong
hanya sebesar telunjuk saja maka hidung Siang Le sama besar dengan tubuh gurunya itu. See-ong melejit
dan menghilang lagi. Dan ketika Siang Le merasa bokongnya dicubit atau ditendang, See-ong berpindah
tempat maka kakek kerdil yang amat luar biasa mininya itu sudah meloncat dan beterbangan menghajar
muridnya ini, seperti lalat atau tawon yang "menggigit" seluruh tubuh muridnya hingga Siang Le berteriakteriak. Pemuda itu berjengit sana-sini namun tidak minta ampun. Bahkan, Siang Le mempersilahkan gurunya
untuk membunuh, kalau kakek itu mau. Namun ketika kakek ini hanya beterbangan dan menyakiti tubuh
muridnya dengan tendangan atau pukulan, hal yang sudah membuat tubuh pemuda itu merah biru tak keruan
maka Soat Eng yang melihat kakek itu dan tertegun serta terbelalak tiba-tiba memekik dan menggerakkan
jarinya menerkam, seperti seorang yang hendak menyambar atau menangkap kupu.
"See-ong, lepaskan suamiku. Atau kau mampus!"
Namun terkaman atau sambaran jari-jari nyonya ini luput. See-ong sudah meloncat dan seperti
siluman mini saja dia melejit dan beterbangan ke tempat lain. Kakek itu terkekeh-kekeh. Geraknya luar biasa
cepat, tak dapat diikuti mata. Dan ketika Soat Eng membentak karena suaminya merintih-rintih, kakek itu
masih terus menghajar muridnya maka dia meraup segumpal pasir putih dan menghamburkannya ke tubuh si
kakek, yang tiba-tiba terkepung dari segala penjuru oleh raupan pasir yang berhamburan itu.
"Aihh, keparat!" See-ong menghentikan siksaannya pada sang murid, meloncat tinggi menghantamkan
kedua lengannya ke depan. Dan ketika pasir-pasir itu tertahan dan Soat Eng tertegun, tak melihat bayangan
lawannya di balik pasir tebal maka si kakek menerobos dan seperti meteor jatuh tahu-tahu jari telunjuknya
sudah menotok dahi si nyonya.
"Jangan bunuh isteriku!"
Soat Eng dan si kakek sama-sama terkejut. Siang Le membentak dan menyambar tubuh gurunya itu.
See-ong terbang seperti tawon dan meluncur dari bawa ke atas, menyerang dahi si nyonya. Tapi karena saat
itu Siang Le membentak dan menyerang gurunya, di mana tak mau isterinya dibunuh maka tepat jari itu
mengenai dahi maka tubuh See-ong tertangkap pula dan dibanting!
"Brukk!"
Siang Le tertegun mengeluarkan seruan tertahan. Guru dan isterinya sama-sama berteriak, roboh dan
Soat Eng seketika pingsan. Maklumlah, sebelumnya dia sudah terluka. Dan ketika See-ong bergulingan
meloncat bangun dan memaki muridnya, yang menangkap dan membantingnya di tanah maka sang kakek139 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
melotot dan bertolak pinggang di depan muridnya itu, lucu, seperti anak kerdil berhadapan dengan seorang
raksasa!


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siang Le, kau berani menyerang gurumu? Kau mau melawan dan menantang aku?"
"Maaf," Siang Le menjatuhkan diri berlutut, pucat dan bingung berganti-ganti. "Kalau kau membunuh
isteriku maka bunuh terlebih dahulu diriku ini, suhu. Isteriku sedang terluka dan jangan kau melukainya
lagi!"
"Tapi dia keluarga Pendekar Rambut Emas, musuhku!"
"Kalau begitu akupun juga musuh suhu, aku juga sudah menjadi keluarga Pendekar Rambut Emas!"
"Keparat, kau muridku, Siang Le. Kau tak ada hubungan dengan pendekar itu!"
"Tidak, kau merestui perjodohanku, suhu. Aku telah menjadi mantu Pendekai Rambut Emas, atas
perkenanmu!"
"Tapi, ah...!" kakek ini bingung, juga marah. "Aku tak perduli itu, Siang Le. Pokoknya aku ingin
membunuh wanita itu dan kau jangan menghalangi.... wut!" namun Siang Le yang berkelebat dan
menghadang di depan isterinya, gagah dan bersinar-sinar tiba-tiba membentak, mencengkeram dan siap
menusuk batok kepalanya sendiri.
"Suhu, sekali kau bergerak tentu aku akan bunuh diri di sini. Aku tak dapat melawanmu. Silahkan, kau
boleh membunuhnya tapi aku bunuh diri terlebih dahulu atau kau pergi dan jangan ganggu kami berdua.
Poan-jin-poan-kwi mencarimu!"
"Apa?" si kakek mencelat, kaget dan seketika hilang kemarahannya. "Poan-jin poan-kwi? Mereka
mencari-cariku?"
"Ya, dan justeru karena itu maka aku dan yang lain-lain ini terluka, suhu. Dia datang mencarimu dan
mengobrak-abrik Sam-liong-to!"
"Ha-ha!" kakek itu tertawa bergelak. "Kalau begitu tidak sia-sia isyarat yang kuberikan. Eh, di mana
mereka, Siang Le? Kenapa tak ada di sini?"
"Mereka?" Siang Le terbelalak.
"Kakek itu hanya seorang, tidak lebih!"
"Ha-ha, Poan-jin-poan-kwi ada dua orang. Yang satu adalah supekku (uwa guru) sedang yang lain
adalah susiokku (paman guru). Sebutkan mereka itu dan di mana sekarang!"
"Ah," Siang Le tertegun, tiba-tiba terkejut. "Jadi mereka dua orang? Tidak hanya seorang?"
"Eh," sang guru marah. "Belum menjawab tak usah bertanya, Siang Le. Hayo katakan di mana mereka
itu dan apa katanya!"
"Mereka.... mereka sudah meninggalkan pulau...." Siang Le terbelalak. "Dan Hauw Kam-locianpwe
serta Gwan Beng locianpwe ini dibunuhnya....!"
"Wut!" See-ong berkelebat, menotok muridnya. "Kalau begitu kau ikut aku, Siang Le. Sudah saatnya
membalas dendam dan menemui mereka!"
Siang Le terkejut. Dia tak kuasa menghindari itu dan tahu-tahu lututnya tertekuk roboh. Pemuda ini
berteriak namun gurunya sudah mengangkat tubuhnya, menyambar dan menendangnya tiga kali hingga
tubuh pemuda ini terlempar berturut-turut. Dan ketika See-ong mempergunakan punggungnya untuk
menerima dan melemparnya lagi ke atas maka tubuh pemuda itu sudah jatuh di atas perahu dan See-ong
menggerakkan tangan mendorong.
"Hayo, sekarang kita berangkat!"140 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Siang Le memaki-maki. Dia membentak dan marah-marah kepada gurunya itu, mendamprat dan
mencaci habis-habisan. Tapi ketika See-ong menotok urat gagunya dan pemuda itu tak dapat bicara maka
See-ong meluncur dan meninggalkan pulau, tertawa dan terkekeh-kekeh dan sama sekali tak menghiraukan
tubuh-tubuh di Sam-liong-to itu. Kakek ini bergerak namun kesaktian serta kehebatannya mengagumkan.
Meskipun sebesar jari telunjuk namun tenaga atau sinkang kakek itu luar biasa sekali. Karena begitu dia
mendorong dan air laut muncrat tinggi maka perahu yang ditumpangi itu melesat dan terbang meninggalkan
pulau. Siang Le mengeluh dan tak dapat berbuat apa-apa. Dia teringat isterinya dan dua mayat di sana. Tapi
karena ditotok gurunya dan dia tak dapat menggerakkan tubuh maka pemuda ini akhirnya menggigit bibir
dan pingsan oleh rasa cemas yang hebat.
See-ong sendiri tertawa-tawa dan mendorong perahu dengan tenaga luar biasa. Kakek itu
meninggalkan pulau dan cepat sekali perahunya lenyap di kejauhan. Dan ketika kakek itu pergi sambil
membawa muridnya, Soat Eng masih pingsan di sana maka setengah jam kemudian nyonya ini sadar,
membuka mata.
Mula-mula Soat Eng melihat awan berarak. Itulah yang juga dilihat suaminya pertama kali, ketika
Siang Le tadi siuman. Tapi ketika dia kaget dan teringat See-ong, kaget bahwa kakek itu datang di Samliong-to maka Soat Eng melompat bangun dan merasa dahinya sedikit nyeri.
"Le-ko!"
Tak ada siapa-siapa. Soat Eng tertegun dan teringat suaminya itu. Tadi Siang Le ada di situ tapi kini
entah ke mana. Bergeraklah nyonya ini dan berteriak-teriaklah dia memanggil suaminya itu. Tapi ketika
seluruh pulau dikitari dan Siang Le tetap tak ada, Soat Eng menangis dan memaki-maki See-ong akhirnya
wanita itu tiba kembali di tempat semula dan mengguguk di mayat dua orang supeknya.
"Oh, keparat jahanam. Apa yang kalian lakukan ini, Poan-jin-poan-kwi. Dan apa yang kau lakukan
pula. See-ong, bedebah terkutuk!" dan ketika Soat Eng bangun dan memekik menghantam sebuah batu
karang maka terdengarlah suara ledakan ketika batu itu hancur, disusul oleh batu-batu yang lain karena Soat
Eng segera mengamuk dan menghajar apa saja yang ada di situ. Wanita ini marah dan tak kuat menahan
perasaannya lagi. Adik dan suaminya diculik. Tapi ketika batu-batu karang hancur dan laut bergolak
diterjang angin pukulannya maka Soat Eng roboh terbanting dan jatuh terduduk sendirian.
Di situ nyonya ini menangis dan sesengukan. Apa yang dialami memang hebat sekali. Ketenteraman
rumah tangganya hancur. Itu akibat ulah iblis-iblis yang berdatangan. Dan ketika nyonya itu mengguguk
namun teringat mayat-mayat supeknya, bahwa mereka itu harus dikubur dan dia mencari suami dan adiknya
maka Soat Eng menghentikan tangisnya dan melompat bangun. Wanita ini berapi-api dan beringas. Laut
sekali lagi ditantangnya tapi hanya dijawab debur ombak yang bergemuruh. Bumi diinjaknya namun ternyata
diam membisu. Dan ketika Soat Eng bergerak dan membuat lubang maka jenasah dua orang pamannya
dimakamkan sambil bercucuran air mata.
Wanita ini tak tahu apalagi yang harus dilakukan. Yang jelas, dia harus meninggalkan pulau. Samliong-to sudah terlalu panas baginya. Dia sudah tak kerasan. Ingin cepat-cepat dia mencari suami dan
adiknya itu. Dan ketika rasa nyeri di dahi dan tengkuk terasa lagi, Soat Eng sadar bahwa dia baru sembuh
dari luka maka nyonya itu beristirahat dan duduk bersila. Soat Eng menangis sambil memejamkan mata. Dia
coba menenangkan perasaannya dan memulihkan tenaga namun tak begitu berhasil. Tenaga bisa pulih tapi
otaknya semrawut, kacau. Dan ketika wanita itu meloncat bangun dan beringas memandang pantai, jauh ke
daratan besar sana maka wanita ini mengambil sepotong papan dan berjungkir balik di situ, Lalu begitu dia
menggerakkan tangan dan mengayuh, seperti orang mendorong perahu maka wanita inipun melaju cepat
meninggalkan Sam-liong-to.
Dia telah bersembahyang di makan paman-pamannya. Soat Eng minta doa restu dan akan mengejar.
Kalau bukan Poan-jin-poan-kwi ya See-ong itulah yang akan diajak mengadu jiwa. Dua-duanya iblis
keparat! Dan ketika Soat Eng bergerak dan melaju seperti siluman, kakinya juga sering bergerak naik turun
melawan gelombang maka wanita itu bagai seorang dewi yang meluncur di permukaan air laut. Siapapun tak
menyangka bahwa itu manusia, karena tak ada manusia yang dapat mengarungi lautan, apalagi sedermikian
luas, tanpa perahu. Tapi karena Soat Eng adalah puteri Pendekar Rambut Emas dan apa saja dapat dilakukan141 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
wanita berkepandaian tinggi ini maka begitu dia meluncur dan jauh meninggalkan pulau akhirnya Soat Eng
lenyap di balik gulungan ombak.
* * * "Hm..!" laki-laki yang bersila itu menarik napas panjang. "Akan ada gangguan datang, niocu. Akan
ada badai menimpa kita!"
"Apa yang terjadi? Apa yang kau lihat?"
"Kita akan menghadapi musuh-musuh tangguh. Ah, itu See-ong muncul lagi!" dan ketika laki-laki itu
terkejut dan tertegun, mata masih dipejamkan namun seolah dia melihat sesuatu di kejauhan sana, di alam
batin maka isterinya, wanita yang duduk di sebelahnya itu gelisah dan beringsut.
"Coba alirkan getaran sinkangmu kepadaku. Biar kulihat apa yang terjadi!"
Pendekar Rambut Emas, laki-laki itu segera meletakkan tangannya di pundak sang isteri. Sejak tadi
isterinya memang berada di sampingnya mengikuti pandangan batin suaminya. Pagi itu Pendekar Rambut
Emas mendapat getaran tak enak dan cepat-cepat dia bersamadhi. Dia segera menyatu kepada keheningan
dan alam mayapada dilihatnya. Sekarang Pendekar Rambut Emas telah mencapai satu tingkatan batin di
mana dia dapat menangkap atau melihat sesuatu yang masih jauh-jauh di sana. Kesabaran dan kelembutan
jiwa pendekar ini telah mengantarnya pada satu kesaktian lebih tinggi lagi, yakni memperoleh ilmu yang
disebut Tee-jong-gan (Menembus Dunia), satu ilmu yang lebih bersifat kebatinan daripada lahiriah. Dan
ketika dia mulai melihat apa yang terjadi sementara isterinya tertegun dan memperhatikan semua gerakgeriknya, wanita itu belum memiliki ilmu seperti suaminya maka begitu pundaknya ditempel dan getaran
tenaga sakti mengalir dari tangan suaminya itu mendadak Swat Lan, nyonya ini, terpekik melihat apa yang
terjadi.
"Aihh, itu See-ong. Keparat, dia datang ke Sam-liong-to!"
"Hm, benar. Dan itu, ada pendatang-pendatang lain lagi. Ah, siapa mereka ini? Astaga, yang seorang
tak dapat kulihat jelas!"
Swat Lian berseru tertahan. Dia segera melihat dua orang berada di Sam-liong-to, yakni orang-orang
sebelum See-ong. Tapi ketika yang seorang tak dapat dilihat karena hanya berupa bayang-bayang saja,
seperti roh, maka nyonya itu terpekik dan betapa kagetnya dia ketika melihat justeru orang yang melayanglayang seperti roh ini merampas Beng An.
"Terkutuk, jahanam keparat.... dess!" sang nyonya menghantam pundak suami, kaget dan tidak sadar
dan seketika itu juga penglihatan batin tiba-tiba buyar. Nyonya ini telah menghilangkannya dengan tepukan
kaget tadi, tepukan yang sebenarnya akan dapat menghancurkan sebuah batu karang sebesar bukit. Dan
ketika Pendekar Rambut Emas terkejut dan otomatis melakukan daya tolak, berarti konsentrasinya pecah
maka saat itulah isterinya meloncat bangun dan menggigil, tak perduli pada suami yang sedikit menyeringai
dan membuka mata, bangun berdiri.
"Suamiku, Beng An.... Beng An...."
"Tenang," sang suami menarik napas dalam-dalam. "Ada sebab pasti ada akibat, isteriku. Inilah badai
yang rupanya akan mengganggu kita."
"Tapi aku akan mencari anakku. Ben An dirampas, dia diculik!"
"Benar, dan agaknya aku harus turun tangan sendiri, niocu. Orang itu luar biasa sekali. Dia seperti
bukan manusia!"
"Dan kita harus ke Sam-liong-to, sekarang juga!"142 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Bagaimana dengan Cao Cun? Dia telah lama di sini, isteriku, menunggu dan sabar menantikan
pertolongan kita. Aku tak tega."
"Sudah kubilang kau harus memanggi Thai Liong. Kenapa tidak segera kau panggil dan suruh datang
puteramu itu? Aku lebih mementingkan puteraku di Sam-liong-to, suamiku. Urusan orang lain sekaran
nomor dua!"
"Hm, janji tetaplah janji," Pendekar Rambut Emas menggeleng. "Dan lagi membiarkan Togur di sana
terlalu lama tidak baik, niocu. Kita harus bergerak dan menangkap pemuda itu."
"Tidak!" sang isteri membentak. "Kalau kau ingin ke sana silahkan, suamiku. Tapi aku akan mencari
Beng An!"
"Aku sudah enggan mencampuri urusan dunia, aku sudah tak bersemangat..."
"Kalau begitu panggil Thai Liong dengan cepat, pergunakan ilmumu Tee-jong-gan itu!"
"Hm, baiklah. Tapi jangan sekarang kau berangkat!" dan ketika Pendekar Rambut Emas menarik dan
mencegah isterinya pergi, karena wanita itu sudah bergerak dan akan meloncat maka pendekar ini membujuk
isterinya agar tidak terburu-buru, tenang.
"Kau tak akan dapat berpikir baik kalau tergesa-gesa begini. Turut nasihatku dan biar kupanggil Thai
Liong datang!"
"Tapi aku tak dapat menahan diri. Aku tak mau lama-lama anakku diculik orang. Lepaskan, atau aku
akan menyerangmu.... duk-duk!" dan Swat Lian yang sudah menyerang suaminya untuk melepaskan diri
tiba-tiba mengamuk dan menerjang. Pendekar Rambut Emas mengelak dan menangkis pukulan-pukulan
isterinya. Dia tak membiarkan isterinya pergi karena selalu menghadang ke sana-sini. Dan karena nyonya itu
melengking dan semakin marah, bujukan suaminya tak digubris akhirnya menerjanglah dia dengan seluruh
ilmunya!
"Kim-mou-eng, kau tak dapat menahan aku membela anak. Kalau aku tak dapat mencari penculik itu
biarlah aku mampus di tanganmu!"
Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas terkejut. Dia tak bermaksud membuat isterinya marahmarah seperti ini. Watak Hu-taihiap, mendiang mertuanya tiba-tiba muncul di hati isterinya ini, keras dan
ganas. Dan ketika dia berloncatan namun dikejar dan dihujani pukulan bertubi-tubi akhirnya pendekar ini
mengeluh dan memperingatkan.
"Niocu, aku sudah akan memanggil Thai Liong. Sabarlah, tahanlah pukulan-pukulanmu ini...."
"Aku akan menahan pukulan-pukulan ini kalau kau minggir dan memberi aku jalan. Hayo, kita
bertanding dan kau atau aku yang mampus.... des-dess!" sang nyonya menjawab, tapi bukannya mereda
melainkan justeru semakin gila dan marah-marah. Lui-ciang-hoat meledak dan sebongkah batu sebesar
gunung hancur, ditambah kemudian dengan pepohonan yang tumbang dihajar tamparan-tamparan Khi-balsin-kangnya. Dan ketika lembah seketika bergetar dan tubuh nyonya itu sudah beterbangan seperti walet atau
garuda yang haus darah maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas mengeluh dan mempercepat
gerakannya pula. Kalau begini isterinya sudah tak dapat didamaikan lagi. Kemarahan dan nafsu membunuh
tiba-tiba timbul. Dan ketika pendekar itu sibuk berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan, menghadapi keras
dengan keras atau mengalah membiarkan isterinya pergi maka saat itu berkelebatlah sesosok bayangan dan
puteri mereka, Soat Eng, muncul.
"Ibu...!"
Pendekar Rambut Emas dan isterinya terkejut. Soat Eng sudah berteriak dan melayang di tengahtengah mereka. Pukulan ibunya menyambar dan gadis ini menerima, tentu saja ibunya terpekik dan secepat
kilat Swat Lian membuang pukulannya ke samping. Dan ketika tanah meletup keras seperti ditimpa meriam
maka Swat Lian berjungkir balik dan melayang turun dengan muka pucat.
"Gila, kau... kau gila!"143 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tidak, kau yang gila. Ooh, kau gila, ibu. Kau gila. Daripada membunuh ayah lebih baik kau bunuh
saja diriku!" dan Soat Eng yang menubruk serta mencengkeram ibunya, marah dan bingung akhirnya
menangis tersedu-sedu melerai mereka, menceritakan kemalangannya di Sam-liong-to dan seketika ibunya
tertegun. Pendekar Rambut Emas sendiri berdiri mengusap keringat sambil berkali-kali menarik napas
panjang. Ah, isterinya seperti kesetanan. Tapi ketika Soat Eng mengguguk dan menceritakan peristiwa di
Sam-liong-to, hal yang baru sebagian mereka lihat melalui ilmu batin maka Swat Lian mendorong puterinya
bertanya, berkeretuk.
"Siapa yang menculik adikmu itu. Siapa kakek yang seperti roh itu!"
"Ibu tahu?" Soat Eng tertegun. "Ibu sudah mendengar ceritanya?"
"Belum, tapi... tapi ayahmu tahu. Kami tadi melihatnya dalam Tee-jong-gan!"
"Tee-jong-gan (Melihat Dunia)?"
"Ya, ayahmu sekarang bertambah hebat, Eng-ji. Dia setingkat lebih tinggi ilmu batinnya!"
"Hm," Pendekar Rambut Emas melangkah, mendekati mereka. "Aku mendapat firasat batin, Eng-ji,
firasat tak enak. Karena itu bersama ibumu lalu aku melihat. Dan tampak kejadian di Sam-liong-to itu. Tapi
belum semua selesai tiba-tiba ibumu marah-marah dan memukul aku. "
"Ah, ibu harus minta maaf!" Soat Eng menegur, teringat itu. "Betapapun ayah tak bersalah kepadamu,
ibu. Apa yang ayah lakukan adalah demi kebaikan dirimu juga!"
"Tak apa," sang ayah memeluk isterinya, tak tampak kemarahan atau dendam. "Ibumu marah karena
adikmu diculik, Eng-ji. Aku dapat memaklumi dan tak sakit hati oleh ini."
"Ahh..!" dan sang nyonya yang menubruk dan memeluk suaminya lalu sadar dan minta maaf,
mencium pipi kiri kanan dan Pendekar Rambut Emas tersenyurn bahagia. Itulah yang seharusnya terjadi,
bukan bertengkar! Dan ketika Soat Eng tertegun tapi juga terharu melihat ibunya berbaik kembali maka dia
teringat dan kagum akan ilmu yang dimiliki ayahnya itu, Tee-jong-gan.
"Coba ayah ceritakan apa yang ayah lihat itu. Aku ingin tahu!"
"Hm, aku melihat tiga orang mendatangi pulau, satu di antaranya adalah See-ong!"
"Tiga orang?" Soat Eng menggeleng. "Tidak, hanya dua, ayah. Poan-jin-poan-kwi dan See-ong!"
"Poan-jin-poan-kwi? Siapa dia ini?' sang pendekar malah tertegun, tak pernah mendengar namanya.
"Katanya adalah paman guru See-ong kakek iblis yang seperti siluman!"
"Ahh!" dan Pendekar Rambut Emas yang terkejut serta berobah, kaget, segera mendengar cerita
puterinya tentang kakek itu, kelanjutannya.
"Kami bertanding dan kalah. Kakek itu luar biasa sekali. Sebentar seperti berjasad tapi sebentar
kemudian seperti roh. Pukulan-pukulanku tak mempan, bahkan Khi-bal-sin-kang membalik!"
"Hm, begitukah? Dan kemudian?"
"Kemudian.... kemudian Gwan Beng-supek dan Hauw Kam-supek tewas, ayah. Mereka dibunuh
kakek jahanam itu!"
"Keparat..... dess!" Swat Lian tiba-tiba memekik, kaget dan marah dan tiba-tiba berkelebat ke sebuah
pohon besar. Pohon itu dihantam dan seketika roboh, suaranya hiruk-pikuk. Tapi ketika suaminya menahan
dan mencekal isterinva, Swat Lian merah padam maka Soat Eng mengguguk dan menubruk ibunya lagi.
"Aku.... aku tak berdaya. Poan-jin-poan-kwi sungguh lihai dan tidak seperti manusia!"
"Tapi aku akan mencarinya!" nyonya ini mengepal tinju, mendesis-desis. "Aku tak akan membiarkan
kakek itu, Eng-ji, Biarpun dia siluman aku tidak takut. Akan kucari dan kuhajar dia!144 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Dan Beng An dirampas kakek ini...."
"Ya, aku sudah melihat. Dan suamimu?" sang ibu tiba-tiba tertegun, terbelalak memandang puterinya.
Mana suamimu itu, Eng-ji? Kenapa Siang Le tidak ikut?"
"Dia.... dia tak ada pula. Habis bertengkar dengan gurunya."
"Heh, tak ada? jadi meninggalkan Sam-liong-to?"
"Tidak, kupikir bukan meninggalkan aku, ibu, melainkan dipaksa atau dirobohkan gurunya itu. Siang
Le dibawa gurunya."
"Tapi dia sudah mewarisi Khi-bal-sin-kang dan jing-sian-eng, juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sianginkang!"
"Tidak, Le-ko sudah tak mempelajari ilmu-ilmu itu lagi, ibu. Aku tak tahu kenapa dia begitu. Katanya
ogah-ogahan."
"Apa?"
"Benar, aku sendiri juga heran. Tapi itulah kenyataannya. Dia tak mau mempelajari ilmu-ilmu kita dan
aku tak tahu apa sebabnya!"
Sang nyonya tiba-tiba tertegun. Pendekar Rambut Emas juga terkejut dan tampak mengerutkan
kening. Aneh, diwarisi ilmu tinggi ternyata hanya ditinggalkan begitu saja, sejenak pendekar ini merasa
terpukul dan terhina! Tapi ketika rasa marah ditekan dan Pendekar Rambut Emas merasa sesuatu, entah apa,
maka pendekar yang bijak dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan itu lalu melirik isteri dan puterinya.
Siang Le dikenalnya sebagai pemuda yang baik, wataknya dan Bu-beng Sian-su sendiri memberi jaminan
akan itu. Pemuda itu seolah ikan di laut yang asin. Meskipun kejahatan dan sepak terjang gurunya sehari-hari
mengungkungi hidupnya namun tak pernah pemuda itu terpengaruh. Siang Le memiliki kepribadian sendiri
dan justeru kepribadiannya yang teguh dan tegar seolah batu karang inilah yang sering membuat gurunya
marah-marah dan mendongkol. See-ong acap kali menghajar muridnya itu namun tak pernah Siang Le
membalas. Bahkan, pemuda itu sering menasihati gurunya dengan cinta kasih, tak dendam atau marah atas
perlakuan gurunya kepadanya, bahkan ketika gurunya hendak membunuhnya sekalipun! Dan ketika
pendekar itu melihat bahwa yang memiliki perobahan muka hanya isterinya, puterinya tidak menunjukkan
perobahan apa-apa maka pendekar ini curiga dan mulai menujukan perhatiannya pada sang isteri!
Memang tak aneh. Dulu, ketika puteri mereka ngotot dan ingin menikah dengan Siang Le, hal yang
membuat isterinya gusar maka Swat Lian inilah yang menentang dan menolak mati-matian. Ibu dan anak


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahkan bentrok (baca: Istana Hantu). Tapi karena Swat Lian mengalah dan Soat Eng sendiri rela dibunuh
ibunya cintanya kepada Siang Le sedemikian kuat maka isterinya itu menerima dan Siang Le akhirnya
menjadi menantu mereka.
Pendekar Rambut Emas sendiri percaya bahwa Siang Le adalah pemuda baik-baik. Dia sendiri sudah
melihat watak dasar pemuda itu, pemuda yang mulia dan berbatin bersih. Maka ketika Siang Le didengarnya
tak mau mempelajari ilmu-ilmu dahsyat, empat ilmu warisan yang dimiliki Pendekar Rambut Emas maka
pendekar itu melirik dan mencurigai isterinya. Perasaannya menangkap bahwa ada apa-apa di antara
isterinya dengan menantunya. Tapi karena di situ ada puteri mereka dan tak enak untuk menyelidiki ini,
karena tentu bakal terjadi sesuatu yang tak diingini maka pendekar itu memendam saja perasaannya,
mengerling dan memandang kembali puterinya.
"Coba ceritakan bagaimana semuanya itu terjadi. Bagaimana tiga orang itu datang ke Sam-liong-to."
"Bukan tiga orang, yah, melainkan dua!"
"Hm, aku melihatnya tiga. Kau yang salah lihat, Eng-ji. Ceritakan saja apa yang kau alami dan
bagaimana See-ong tiba-tiba muncul pula!"145 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Aku tak tahu," Soat Eng tergetar, kagum karena ayahnya berkeras ada tiga orang yang datang, hal
yang pasti benar. "Tapi kalau See-ong barangkali secara kebetulan saja, ayah. Mungkin mau menengok Leko!"
"Atau menghukum muridnya itu!" sang ayah menukas, mata bersinar-sinar. "Diceritakan bagaimana
Poan-jin-poan-kwi itu datang, Eng-ji. Bagaimana tiba-tiba dia muncul dan mencari kalian."
"Dia tidak mencari aku, melainkan See-ong!"
"Hm, begitukah? Lalu?"
"Lalu dia marah-marah, dan menggangu kami!"
"Dan kalian tak dapat mengalahkannya...."
"Benar; kakek itu luar biasa, ayah. Dan aku benar-benar meremang bulu kudukku. Sebentar dia seperti
siluman tapi sebentar kemudian seperti manusia biasa!"
"Maksudmu?"
"Maksudku kakek itu mengerikan. Sewaktu dia seperti siluman maka tubuhnya tembus dipukul. Tapi
kalau dia seperti manusia biasa maka pukulan-pukulanku dapat mendarat dan membuatnya kesakitan. Dan,
ah..." nyonya itu mual. "Sewaktu dia seperti siluman maka tubuhnva seperti bubur daging, ayah. Aku jijik
dan hampir muntah-muntah!"
Pendekar Rambut Emas terkejut. "Mahluk apakah dia itu?"
"Entahlah, aku tak tahu, ayah. Yang jelas dia sungguh mengerikan!"
Pendekar ini tertegun. Isterinya juga membelalakkan mata namun Swat Lian yang keras hati dan tak
kenal takut ini mengeluarkan dengus marah. Dia tak gentar dan berkata pada suaminya bahwa mereka harus
mencari kakek-kakek itu, mencari dan merampas Beng An karena hal itu harus dilakukan cepat-cepat. Dan
ketika pendekar ini mengangguk namun menarik napas dalam, teringat sesuatu maka pendekar ini berkata,
"Itu benar, tapi barangkali perlu kuminta petunjuk Sian-su. Sebaiknya kalian berdua di sini dulu,
niocu. Tunggu Thai Liong yang akan kupanggil datang. Kalian jangan bergerak kalau tidak bersama aku.
"Nanti kita membagi tugas!"
"Ayah mau ke mana?"
"Ke Lembah Malaikat."
"Aku ikut!"
"Tidak, kau di sini, Eng-ji. Kau bersama ibumu menjaga bibimu Cao Cun."
"Apa, bibi Cao Cun ada di sini?"
"Ya, dia ditimpa kemalangan. Puteranya, Ituchi, tewas dibunuh Togur!"
"Togur?" Soat Eng mencelat, kaget bukan main. "Bukankah.... bukankah dia sudah dibunuh, ayah?
Bukankah pemuda itu sudah mampus?"
"Hm, banyak ceritanya, dan panjang, Agaknya tak sempat kuceritakan di sini, Biar nanti ibumu yang
bercerita dan bibimu Cao Cun tentu akan lebih melengkapinya. Aku hendak menghadap Sian-su!" dan ketika
puterinya tertegun dan pucat, kaget mendengar Togur masih hidup padahal dulu sudah terbunuh di Samliong-to maka Pendekar Rambut Emas memeluk dan mencium isterinya, berkata bahwa dia akan ke Lembah
Malaikat menemui Sian-su. Guru atau orang yang diaku guru itu akan ditanya tentang beberapa hal, Soat
Eng terbelalak dan menahan napas dalam-dalam. Tapi ketika ayahnya selesai dan pendekar itu berkelebat
lenyap maka tinggallah Soat Eng berdua dengan ibunya, menggigil.
"Ibu, ben.... benarkah Togur masih hidup? Pemuda itu membunuh Ituchi?"146 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, benar," sang ibu mengangguk, acuh. "Ituchi katanya terbunuh pemuda itu Eng-ji. Tapi aku
belum membuktikan."
"Dan bibi Cao Cun meminta pertolongan kita?"
"Begitu kata ayahmu, tapi aku sendiri tak perduli."
"Ibu!" Soat Eng kaget. "Apa maksudmu ini? Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Hm, urusanku sendiri banyak, Eng-ji. Daripada menolong wanita itu agaknya lebih baik kutolong
puteraku sendiri. Kau tahu Beng An diculik orang!"
"Tapi bibi Cao Cun agaknya sudah berhari-hari tinggal di sini!
"Ya, berduaan dengan ayahmu, ketika dulu kutinggal di Sam-liong-to. Sudahlah, aku tak mau pusing
dan kau tanya wanita itu!" dan ketika Soat Eng melengak dan kaget, ibunya tiba-tiba tampak tak senang dan
marah maka nyonya ini terbelalak tapi segera mengerti apa yang kiranya terjadi. Ibunya, ah.... ibunya
cemburu! Sebagai sama-sama wanita tiba-tiba Soat Eng tahu apa ketidaksenangan ibunya itu. Ah, ibunya tak
senang ayahnya berduaan dengan wanita lain, meskipun ayahnya sama sekali tak melakukan apa-apa karena
dia tahu betul siapa ayahnya itu. Tapi karena dulu wanita itu pernah mencintai ayahnya dan siapapun tahu
bahwa Cao Cun memang cantik jelita, calon selir kaisar yang gagal maka Soat Eng tertegun tapi segera sadar
dan tak dapat menerima sikap ibunya itu. Dia juga tahu siapa bibi Cao Cun itu. Dan karena dia sudah
mendengar kisah malang yang dialami berkali-kali oleh wanita ini maka Soat Eng tak beralasan untuk tak
senang pula. Kalau Ituchi terbunuh memang keluarga Pendekar Rambut Emaslah yang dapat dimintai tolong.
Wanita itu adalah wanita baik-baik dan jarang wanita itu berkunjung kalau tidak ada kepentingan besar. Dulu
pernah datang karena Ituchi membenci ibunya, setelah itu hampir tak pernah. Dan ketika sekarang juga
datang karena puteranya terbunuh, dan pembunuhnya adalah Togur maka Soat Eng berdebar dan tiba-tiba
berkelebat ke perkemahan bangsanya. Di sini segera Soat Eng mencari dan begitu diberi tahu bahwa wanita
itu sedang ke ladang, bercocok tanam, maka Soat Eng berkelebat dan mendatangi tempat itu. Dan alangkah
terharunya Soat Eng. Wanita itu, bekas calon selir kaisar yang gagal, isteri mendiang Raja Hu yang gagah
perkasa, tampak membungkuk-bungkuk bertanam padi. Cao Cun tak mau diam di rumah dan berhari-hari dia
membantu wanita-wanita Tar-tar untuk bercocok tanam. Kadang-kadang wanita itu juga ikut menggiring
ternak dan menjahit atau menyulam. Cao Cun tak pernah mau diam di rumah merenung sendiri. Ada-ada saja
yang dilakukan wanita itu hingga banyak orang-orang Tar-tar merasa hormat, juga kagum. Dan ketika pagi
itu Soat Eng melihat wanita ini sendirian bercocok tanam, membungkuk-bungkuk maka Soat Eng tiba-tiba
terisak dan memanggil.
"Bibi...!"
Cao Cun menoleh. Wanita itu tampak terkejut dan segenggam padi di tangannya tiba-tiba terlepas.
Tentu saja dia mengenal Soat Eng dan tiba-tiba Soat Eng menangis dan menubruknya. Cao Cun terkejut
karena tangannya berlepotan lumpur. Tapi ketika Soat Eng tak perduli dan terus menangis menciumi
wajahnya, Soat Eng tak dapat menahan haru akhirnya wanita ini sadar dan melepaskannya, bercucuran air
mata, girang dan bahagia karena ada orang yang mau berbagi duka dengannya!
"Soat Eng, ah..... bukankah ini kau? Kau sudah semakin matang dan dewasa?' Aduh, maafkan bibi,
nak. Dulu bibi tak dapat berkunjung ketika pernikahanmu. Aku.... aku tak boleh ke mana-mana oleh raja
Cucigawa!"
"Tak apa, aku tahu. Tapi, ah... kenapa kau merendahkan diri seperti ini, bibi? Kenapa sampai bercocok
tanam dan mengotori tanganmu yang halus? Ah, tidak, bibi. Kalau ayah tahu tentu kau akan ditegur. Hayo
pulang dan bersihkan dirimu!"
"Hm, terima kasih. Aku membuang kesepianku dengan cara seperti ini, Soat Eng. Aku tak takut
ayahmu marah. Eh, mana suamimu? Bukankah sekarang kau Siang-hujin (nyonya Siang)?"
Soat Eng tiba-tiba meledak, tangisnya pecah lagi. Dan ketika Cao Cun terkejut karena Soat Eng
menubruk dan memeluknya kembali maka wanita ini tertegun dan pucat mendengar jawabannya.147 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Aku.... aku datang sendiri. Suamiku Ah, nasib buruk menimpaku, bibi. Orang-orang jahat
menggangguku di sana. Aku datang karena hendak melapor ayah!"
"Apa yang terjadi? Bagaimana ini?" Cao Cun terkejut, mundur dan terbelalak memandang Soat Eng
dan segera nyonya muda itu bercerita singkat. Dan ketika Cao Cun mengucap nama Tuhan dan berseru
mendekap dada tiba-tiba wanita itu jatuh terduduk, batuk-batuk.
"Ah, orang jahat selalu ada di mana-mana. Ah, keji mereka itu. Maaf.... maafkan bibimu, Soat Eng.
Aku tak tahu...!"
"Tidak, tak apa-apa. Dan kau sendiri, betulkah puteramu dibunuh, bibi? Jahanam Togur hidup lagi?"
Wanita ini menyeringai, menahan perih. "Kedukaanku tak seberat dirimu, tak usah dipikirkan. Nasib
buruk sudah berkali-kali kualami, Soat Eng. Tak usah kau tanyakan itu!"
"Tapi bibi kehilangan anak kandung, anak yang paling bibi harapkan!"
"Tapi kaupun kehilangan suami, Soat Eng. Suami yang kau cinta, apalagi kalian masih termasuk
pengantin baru. Tidak, kupikir justeru kedukaanmu yang lebih berat, Soat Eng, tak sebanding dengan
kedukaanku. Sudahlah, lalu bagaimana dan sekarang apa yang akan kau lakukan?"
Soat Eng tertegun. Wanita di hadapannya ini tiba-tiba lebih memperhatikan kedukaannya daripada
kedukaan diri sendiri. Dipikir-pikir, justeru kedukaan wanita itulah yang lebih besar. Bayangkan, Cao Cun
telah kehilangan putera satu-satunya, bukan seperti dia yang masih dapat dicari atau ditemukan. Dan melihat
wanita itu bertanya tanpa menghiraukan kedukaan sendiri, Cao Cun menahan air mata maka Soat Eng tak
kuat menahan haru, duduk dan memeluk pula wanita ini.
"Bibi, kau sebenarnya lebih berduka. Jangan berpura-pura! Ceritakan padaku bagaimana peristiwa itu
dan bagaimana tanggapan ayah ibuku!"
"Ayah ibumu baik-baik. Mereka... mereka berjanji menolong...!"
"Dan bibi sudah mendesak ayah? Kenapa ayah tak mau mencari Togur?"
"Ayahmu tak bernafsu menghadapi kericuhan dunia, Soat Eng. Dia... dia sudah seperti pendeta!"
"Dan ibu? Kenapa dia juga tidak segera ke bangsa U-min? Kenapa tidak mencari dan menangkap
binatang itu?"
"Oohhh...!" wanita ini tiba-tiba tersedu-sedu. "Ibumu repot, Soat Eng. Katanya hendak menunggu
kakakmu Thai Liong. Aku.... aku sebagai yang minta tolong berani memaksa!"
"Tapi ibu mempunyai banyak waktu!" Soat Eng terkejut, bersinar-sinar, teringat akan kecemburuan
ibunya tadi, "Seharusnya kau mendesak dan meminta mereka, bibi. Bukan hanya menunggu dan menunggu
begini. Kalau begini kapan habisnya. Ibu tidak benar!" dan ketika Cao Cun terkejut karena Soat Eng bangkit
berdiri, mengepal tinju, maka wanita itu berdiri pula melihat Soat Eng mau meninggalkannya.
"Kau mau ke mana...."
"Ke ibu!"
"Untuk apa?"
"Bertanya tentang ini, bibi. Kenapa ibu harus menunggu kakakku Thai Liong!"
"Tidak, jangan...!" Cao Cun terkejut. "Ibumu sedang dilanda duka, Soat Eng. Kalian sedang prihatin
dengan diculiknya Beng An. Jangan menambah-nambah urusan kalau ibumu sedang sibuk. Aku bisa
bersabar!"
"Hm, aku tidak, bibi. Sebelum ada peristiwa ini sebenarnya ibu dapat segera mencari atau menangkap
Togur. Sudahlah, aku akan menemuinya dan kau tunggu di sini!" dan ketika Soat Eng berkelebat dan lenyap,148 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Cao Cun berteriak maka wanita itu pucat melihat Soat Eng tak mau mendengar kata-katanya dan terbang ke
lembah. Soat Eng marah kenapa ibunya tidak segera menolong, padahal ibunya bisa. Dan ketika nyonya itu
tiba di lembah dan menemui ibunya maka Swat Lian tertegun melihat wajah puterinya ini yang merah
padam.
"Ibu, aku ingin bicara denganmu!"
Sang ibu terkejut. Bicara apa? Kenapa kau tampak marah dan habis menangis begini?"
"Hm, tentang bibi Cao Cun. Tak seharusnya kau cemburu dan membiarkannya seperti itu!"
"Apa?" sang ibu terbelalak. "Cemburu.? Kau bilang apa?"
"Ya, cemburu. Aku bilang kau cemburu, ibu. Kau tidak patut mencemburui bibi Cao Cun. Kau tak
patut membiarkannya dilanda duka. Kau seharusnya sudah ke bangsa U-min dan membekuk atau membunuh
Togur!"
"Keparat!" wanita ini tiba-tiba marah. Jaga mulutmu, Eng-ji. Atau kuhajar kau nanti!"
"Ibu boleh menghajarku, tapi aku akan bicara apa adanya!" dan ketika sang ibu melotot namun Soat
Eng tak perduli, tegak dan bersinar-sinar memandang ibunya ini maka gadis atau nyonya muda itu
meneruskan, "Ibu tak bisa beralasan Beng An. Sebelum adikku itu diculik maka bi bi Cao Cun terlebih
dahulu sudah ada sini, menceritakan kemalangannya itu. Kenapa ibu tidak segera menolong dan ke bangsa
U-min? Kenapa ibu membiarkannya dan acuh di rumah? Hm, alasanmu menunggu kakak Thai Liong tak
dapat diterima, ibu. Kau cemburu dan karena itu ogah menolong!"
"Soat Eng!" sang ibu tiba-tiba membentak. "Kalau kau hendak membela wanita itu dan menjelekjelekkan aku maka kau tak akan kuampuni lagi. Siapa bilang aku tak menolong dan membiarkannya saja?
Bukankah ia ada di sini merupakan bukti aku tak apa-apa dengannya? Kalau aku tak senang tentu dia sudah
kuusir, tapi itu tidak kulakukan. Kau menghina dan bicara jelek kepada ibumu!"
"Kalau begitu kenapa ibu tidak segera mencari Togur? Bukankah ibu amat membenci pemuda itu?
Hm, jujur saja, ibu. Kita sama tahu bahwa bibi Cao Cun pernah mencintai ayah tetapi itu adalah dulu.
Sekarang ayah dan bibi Cao Cun sama-sama tua, dan ayah juga bukan seorang laki-laki mata keranjang!
Kenapa ibu menaruh cemburu dan tidak segera mencari Togur? Aku boleh kau hajar, ibu, kalau aku salah.
Tapi kalau ibu jujur dan menghargai diri sendiri maka ibu tak perlu menolak tuduhanku ini. Tadi ibu
bersikap acuh, dan ibu jelas membiarkan penderitaan bibi Cao Cun karena kecemburuan ibu kepadanya!"
Swat Lian menggigil, pucat mukanya. Kalau bukan puterinya yang bicara tentu sudah melengking dan
menghajar orang ini, barangkali membunuh! Tapi karena puterinya bicara berdasarkan alasan-alasan tepat
dan nyonya itu tak dapat menyangkal tiba-tiba dia mengguguk dan berkelebat sambil.... menampar anaknya
ini. "Eng-ji, kau membuat ibumu malu. Kau menelanjangi orang tua. Ah, keparat kau.... plak!" dan Soat
Eng yang terhuyung tapi tidak apa-apa, ibunya tidak mengeluarkan tenaga sakti akhirnya menangis dan
menyusul ibunya itu pula, minta maaf.
"Ibu, maafkan aku. Tapi.... tapi aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Aku hanya menegur untuk
menyadarkanmu saja, Aku sekarang akan ke bangsa U-min dan mencari jahanam Togur itu!"
Sang ibu terkejut. Swat Lian tiba-tiba berhenti dan membalik, Soat Eng ditangkap dan
dicengkeramnya erat-erat. Dan ketika ibu dan anak saling menatap tajam, Swat Lian merah padam maka
nyonya itu menggeleng.
"Tidak, sekarang tak akan kuijinkan, Eng-ji. Ayahmu telah berpesan agar kau dan aku di sini. Aku
tidak bicara berdasar cemburu melainkan semata mengikuti nasihat ayahmu. Jangan pergi, tunggu sampai
ayahmu kembali. Dan kalau dia kembali maka aku yang akan ke sana dan mencari binatang keparat itu!"
"Ibu akan ke bangsa U-min?"149 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ya!"
"Tidak mencari adik Beng An?"
"Hm," wanita itu menggigit bibir. "Biar ayahmu yang mencari, Eng-ji. Kami membagi tugas!"
"Ooh...!" dan Soat Eng yang terharu dan menubruk ibunya lalu melihat ibunya ini sudah tidak dilanda
cemburu lagi. Rupanya ibunya itu terpukul dan sadar. Tapi ketika ibu dan anak berangkulan, Soat Eng
menciumi ibunya ini mendadak terdengar jerit dan teriakan Cao Cun.
"Aduh, tolong....!"
Soat Eng dan ibunya menoleh cepat. Mereka mendengar teriakan itu di lereng gunung, tepat di
samping kanan. Dan ketika Soat Eng menoleh dan terkejut, ibunya juga maka tampaklah dua bayangan
berkelebat dan beriring di balik pinggang gunung, menangkap atau menenteng Cao Cun yang berteriakteriak, persis seperti kelinci meronta-ronta di mulut seekor harimau buas!
"Ha-ha, tunjukkan kepadaku di mana tempat Pendekar Rambut Emas itu, wanita ayu. Atau kau
kulempar dan kubuang ke dalam jurang!"
"Ah, tidak.... oh, tolong.... tolong...!" dan Soat Eng yang berkelebat dan tak dapat menahan diri tibatiba melengking dan terbang ke arah dua bayangan itu, langsung menghantam begitu dekat, yakni ke
bayangan yang menangkap bibinya ini. Tapi begitu pukulannya diterima dan bayangan itu membalik,
menangkis, maka Soat Eng kaget bukan main karena lawannya itu ternyata kakek iblis yang dulu datang di
Sam-liong-to.
"Poan-jin-poan-kwi.... dess!" dan Soat Eng yang terlempar dan roboh bergulingan akhirnya meloncat
bangun dan pucat memandang lawannya itu, yang terkekeh-kekeh dan saat itu ibunya berkelebat datang,
terkejut dan membentak.
Jilid XI
"SIAPA mereka ini. Ada apa!"
"Ini.... ini Poan-jin-poan-kwi. Ah, inilah mereka, ibu. Inilah kakek iblis yang menculik Beng An itu!"
"Apa? Mereka ini?"
"Benar!" dan begitu ucapan itu selesai mendadak Swat Lian mencelat dan melengking menghantam
kakek itu, kakek yang tadi dihantam Soat Eng. Dan ketika sang nyonya berkelebat dan dua sinar putih
menyambar dengan dahsyat maka Poan-jin-poan-kwi, kakek itu, terkekeh dan cepat menangkis.
"Dess!"
Kakek itu terlempar! Lain Soat Eng lain ibunya. Karena begitu Swat Lian melengking dan membentak
maka dua pukul an sekaligus menghantam kakek itu. Bukan pukulan sembarang pukulan melainkan pukulan
Bola Sakti (Khi-bal-sin-kang) dan Lui-ciang-hoat sekaligus, hebatnya bukan ulah-ulah dan kakek yang
dihantamnya itu tak mengetahui kesaktian lawannya ini. Kakek itu memang belum pernah bertemu Kimhujin ini karena selama ini dia baru pernah bertemu atau berhadapan dengan Soat Eng, sang anak. Dan
karena sang ibu memiliki sinkang jauh lebih dahsyat dan Swat Lian bukanlah sembarangan wanita maka
begitu isteri Pendekar Rambut Emas itu melengking dan mengeluarkan dua pukulan sekaligus tiba-tiba,
kakek itu mencelat dan terlempar terguling-guling, Cao Cun yang ada di tangannya seketika terlepas dan
kakek itu kaget bukan main. Lain yang tua lain yang muda. Kim-hujin itu menyerangnya begitu dahsyat dan
mengerikan. Kalau bukan dia tentu sudah hancur tubuhnya. Tapi ketik kakek itu bergulingan dan berteriak
keras, kaget dan marah maka sang nyonya sudah menerjang dan menyerangnya lagi cepat dan bertubi-tubi
dan tandangnya bagai harimau betina kesetanan, atau, harimau betina haus darah. Ganas dan meluap-luap.
Dan ketika kakek itu terkejut sementara sang nyonya sudah mengejar dan menyerang bertubi-tubi, Soat Eng150 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
berkelebat menyambar Cao Cun maka wanita itu menangis sementara Poan-jin-poan-kwi didesak hebat dan
tak mampu bergulingan meloncat bangun.
"Des-dess!"
Poan-jin-poan-kwi kewalahan. Kakek itu berteriak dan menangkis tapi malah mencelat dan terlempar
lagi, bergulingan dan dikejar lagi dan pukulan serta tendangan mengenai tubuhnya, dihajar dan sebentar saja
tubuhnya babak-belur. Kakek itu kesakitan dan Swat Lian mengejar tanpa memberi ampun lagi. Nyonya itu
mengamuk bagai singa kelaparan, lawannya jungkir balik. Tapi ketika kakek itu berteriak-teriak namun Luiciang-hoat maupun Khi-bal-sin-kang tak membuatnya roboh, Swat Lian diam-diam terbelalak maka
berkesiurlah angin dingin di belakangnya disertai geraman pendek.
"Lepaskan suteku!"
Swat Lian terkejut. Dia sendiri sedang mengamuk dan menghajar kakek di depan itu, bertubi-tubi
melepas Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat hingga sebentar saja tanah di situ berlubang-lubang dan
hangus, terbakar. Lui-ciang-hoat memang pukulan panas di mana ledakan-ledakan seperti petir juga
mengiringi pukulan itu, biasanya lawan tak akan tahan dan paling sedikit pingsan. Tapi ketika terdengar
geram di belakang dan kesiur angin dingin juga menyambar punggungnya. Soat Eng berteriak memberi tahu
ibunya maka Swat Lian membalik dan menangkis pukulan dingin itu.


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bless!"
Aneh dan luar biasa. Lui-ciang-hoat yang menyambar tiba-tiba seakan bertemu bongkahan es dingin,
diredam dan lenyap getarannya. Dan ketika Swat Lian terhuyung tapi tak sampai terpental, kakek yang lain
sudah berdiri dengan mata berpijar-pijar maka Swat Lian tersentak dan kaget berseru tertahan.
"Siapa kau!"
"Aku Poan-kwi," kakek itu mendengus, suaranya dingin dan jauh bagai dari liang kubur. "Aku
mencari Pendekar Rambut Emas dan kau siapa."
"Aku isterinya, nyonya Kim. Kaukah yang menculik dan membawa anakku Beng An? Kalian yang
mengacau dan membuat onar di Sam-liong-to? Bedebah, kembalikan anakku, kakek iblis. Atau kau akan
kubunuh dan kucincang menjadi bakso!"
"Hm, kami tak dapat mati, kau tak dapat membunuhku. Mana suamimu dan kenapa tidak keluar."
"Kau tidak menjawab pertanyaanku? Berani bicara dan berkata seperti itu? Haiitttt..... jahanam kau,
kakek iblis. Kalau begitu mampuslah!" dan Swat Lian yang berkelebat dan menerjang kakek ini, Poan-jinpoan-kwi yang lain maka kakek itu mendengus dan tiba-tiba menggerakkan kedua jari tangannya.
"Dess!"
Kakek itu lenyap! Swat Lian terkejut karena pukulannya tiba-tiba menghantam angin kosong,
berteriak karena tiba-tiba terdengar dengus dan ejekan di sebelah kiri, di susul pukulan angin dingin yang
entah kapan tahu-tahu menyambarnya dari situ. Dan ketika dia membalik dan melihat kakek itu, Poan-kwi
(Setengah Siluman) maka nyonya ini menangkis tapi lawan tiba-tiba lenyap kembali dan pukulannya
menghajar tanah.
"Blarrr!"
Swat Lian marah dan kaget bukan main. Untuk selanjutnya dia melihat kakek itu berpindah-pindah,
sebentar lenyap dan muncul lagi di tempat-tempat yang berbeda, menyerang tapi ditangkis dan kakek itu
selalu menghindar. Rupanya Khi-bal-sin-kangnya membuat lawan berhati-hati dan Poan-kwi tak berani
berhadapan keras dengan keras. Dan karena lawan akhirnya seperti mempermainkan dirinya sementara dia
sudah berkelebatan dan memukul atau mencari lawannya itu maka ledakan-ledakan segera terdengar disusul
hancur atau berlubang-lubangnya tanah yang meledak.151 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Keparat, jangan bersikap pengecut, Poan-kwi. Hayo hadapi aku dan jangan berputar-putar seperti
kucing bertemu singa!"
"Hm!" kakek itu menghilang dan muncul lagi. "Aku mencari Pendekar Rambut Emas, hujin, bukan
dirimu. Aku enggan tapi tak apa bermain-main sejenak denganmu. Ini aku, awas...!" dan si kakek yang tahutahu muncul di sebelah kiri dan menyambar nyonya itu tiba-tiba tidak mengelak ketika Swat Lian
menghantam dan menangkisnya.
"Dess!"
Bumi seakan dilanda gempa. Swat Lian terpental tapi kakek itu terhuyung mundur, wajahnya berobah
dan baru sekarang dia menghadapi keras dengan keras. Ternyata kakek ini hebat, tak apa-apa. Dan ketika
Swat Lian memekik dan menerjang lagi, Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat ganti-berganti menyerangnya
maka kakek itu menerima dan hanya tergetar sedikit saja.
"Des-dess!"
Swat Lian akhirnya terbelalak. Lawannya itu tak apa-apa sementara dia sendiri terpental dan
berjungkir balik ke atas, tertolak. Tenaga yang luar biasa kuat menahan atau mementalkan pukulannya itu,
padahal Khi-bal-sin-kang biasanya akan menggempur dan menolak balik pukulan lawan! Dan ketika nyonya
itu terkejut dan melengking-lengking, pertandingan berlangsung cepat karena nyonya itu sudah
mengeluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya, dua ilmu meringankan tubuh yang tiada
bandingannya maka si kakek terkejut dan muncul serta lenyap lagi menghadapi pukulan si nyonya yang
bertubi-tubi. Soat Eng yang menonton membelalakkan matanya dan Cao Cun yang ada di cekalannya
menggigil. Mereka terpaksa menyingkir karena ledakan-ledakan tanah memerciki tubuh mereka, Cao Cun
yang merupakan wanita lemah bahkan menjerit kesakitan ketika sebutir kerikil kecil menghantam kulitnya,
lain dengan Soat Eng yang dapat menahan semuanya itu dengan sinkang. Dan ketika pertandingan berjalan
kian hebat sementara wanita itu tak mampu mendesak lawannya, Poan-kwi sering menghilang dan lenyap
lagi bagai siluman maka Soat Eng mengepal tinju dan mendorong Cao Cun ke pinggir, lebih menjauh.
"Bibi jangan terlalu dekat, aku akan membantu ibu."
"Kau.... kau mau menghadapi kakek iblis itu?"
"Benar, tapi merobohkan dulu yang satu itu, bibi. Lihat, dia akan menyerang dan berbuat curang!"
Cao Cun menoleh. Kakek yang satu memang sudah bersiap-siap dan tertawa serta menyeringai.
Misainya yang panjang menjuntai ke bawah tampak bergerak-gerak seperti ular, kakek itu memang akan
berkelebat dan rupanya ingin membantu temannya. Temannya tak mampu mendesak meskipun juga tak
dapat didesak. Sementara ini masing-masing imbang. Atau, barangkali Poan-kwi justeru sedang mengintai
dan mencari kelemahan nyonya itu, karena matanya tajam berbinar-binar dan sorot matanya yang kemerahan
itu tiba-tiba mencorong lebih menakutkan. Cao Cun tiba-tiba terpekik ketika suatu saat kakek itu menoleh
padanya, memandang dan wanita ini merasakan hawa panas luar biasa pada sorot mata itu, terjengkang dan
roboh! Tapi ketika Soat Eng menyambar dan menolongnya, nyonya muda itu terkejut maka Cao Cun
mengguguk menutupi matanya.
"Aku.... aku.... mataku sakit. Kakek itu menyambarku bagai tusukan api!"
"Jangan pandang matanya!" Soat Eng tahu itu, menotok dan menyembunyikan Cao Cun di balik
sebatang pohon besar. "Kakek itu bermata iblis, bibi. Akupun juga tak kuat tapi aku harus membantu ibu.
Temannya sudah bergerak, kau di sini saja.... wut!" dan Soat Eng yang sudah berkelebat dan meninggalkan
temannya tiba-tiba membentak karena kakek satunya, yang tadi dihantam tapi tidak apa-apa sekonyongkonyong terkekeh dan menyerang ibunya. Wanita muda itu marah dan Soat Eng tentu saja tak membiarkan.
Ibunya sedang bertempur sengit dengan lawan, tak boleh kakek ini mengganggu. Maka begitu dia melesat
dan membentak kakek itu, Soat Eng kini tahu bahwa Poan-jin-poan-kwi memang ada dua orang, seperti kata
ayahnya dulu maka nyonya muda itu menghantam dan melepas pukulan Khi-bal-sin-kang.
"Dess!"152 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Kakek itu membalik dan menangkis. Dia tadi menyerang Swat Lian karena lawan temannya itu
terlampau tangguh, belum ada yang kalah dan menang sementara dia sudah ingin cepat-cepat menyelesaikan
pertandingan. Maka begitu dia bergerak tapi Soat Eng membentak dan menyusulnya, nyonya muda itu marah
melepas pukulan maka kakek ini terpental tapi Soat Eng sendiri juga terlempar dan roboh berjungkir balik,
kalah tenaga!
"Keparat!" Soat Eng melengking dan sudah meloncat bangun. "Kau boleh hadapi aku, kakek siluman.
Dan sebutkan siapa kau agar aku tahu namamu!"
"Heh-heh, aku Poan-jin," kakek ini mengaku, memperkenalkan diri. "Apakah kau juga mau
membunuh dan menghabisi aku, bocah? Wouh, jangan terlalu sombong. Duapuluh tahun belajar lagi tak
mungkin kau dapat mengalahkan aku..... dess!" dan si kakek yang kembali menangkis dan mengejek Soat
Eng akhirnya tertawa-tawa dan kembali tergetar mundur namun lawannya itu mencelat dan terlempar tinggi
ke atas, melayang turun dan menyerang lagi dan segera Soat Eng melepas pukulan-pukulan dahsyat. Kakek
itu berkelebatan dan tidak seperti temannya yang mampu menghilang dan muncul lagi adalah Poan-jin ini
bergerak seperti orang biasa. Sekarang sadarlah Soat Eng kenapa di Sam-liong-to dulu dia dibuat bingung,
sebentar kakek itu dapat menghilang seperti siluman sementara sebentar kemudian tidak. Ternyata, yang
dapat menghilang dan muncul lagi itu adalah Poan-kwi, bukan kakek ini, Poan-jin. Dan karena mereka
memang kembar dan masing-masing sama memelihara misai yang panjang, sehingga kalau kedua-duanya
tidak muncul berbareng tak mungkin dapat dibedakan maka Soat Eng sudah melepas semua kemarahannya
dengan serangan-serangan dahsyat, mempergunakan Khi-bal-sin-kang dan kecepatan Jing-sian-eng namun
sang ibu berteriak agar dia mengeluarkan semua ilmu-ilmu keluarga Pendekar Rambut Emas. Dan ketika
Soat Eng mengangguk karena lawan memang benar-benar lihai, Poan-jin mampu menerima dan menolak
pukulannya maka nyonya muda itu mengeluarkan Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kangnya, digabung
menjadi satu.
"Blar-blarr!"
Kini api dan pijaran cahaya panas menyambar dan meledak. Suaranya memekakkan telinga dan Poanjin sibuk berkelebatan dan menghindar sana-sini. Soat Eng melengking-lengking dan berkelebatan luar biasa
cepatnya hingga tak dapat dilihat tubuhnya lagi. Yang kelihatan hanya bayangan kuning dari bajunya saja,
itupun sudah lenyap lagi karena berpusing amat cepatnya mengelilingi si kakek. Siapa yang memandang
tentu bakal terputar, bola mata salah-salah bisa terbalik, karena begitu cepatnya nyonya ini bergerak. Dan
ketika dua pertandingan pecah di situ namun Poan-jin mampu mengimbangi dan mengikuti lawan, kakek
itupun membentak dan tertawa aneh maka di lain tempat Swat Lian mulai terkejut ketika pukulanpukulannya bertemu dengan bau busuk yang teruar dari tangan lawannya.
Cepat dan tidak terasa, entah kapan terjadinya tahu-tahu kedua lengan Poan-kwi sudah berubah
kemerah-merahan. Bau busuk muncul di situ dan setiap lengan mereka bertemu tiba-tiba Swat Lian hampir
muntah. Lengan itu seperti bubur daging yang jika dihantam akan berhamburan dan berpercikan ke sana ke
mari, baunya menyengat busuk seperti nanah atau borok! Tapi karena lengan itu utuh lagi dan setiap luka
tiba-tiba menutup sendiri, lawan tersenyum dingin maka Swat Lian bergidik karena lawan yang dihadapi itu
betul-betul bukan manusia melainkan sejenis mahluk yang amat menjijikkan, entah apa!
"Kau tak dapat mengalahkan aku, justeru akulah yang nanti dapat merobohkanmu, Heh, menyerahlah,
Kim-hujin, dan panggil suamimu agar dia cepat ke mari!"
"Terkutuk, keparat jahanam!" sang nyonya memaki-maki. "Kau tak perlu sombong, Poan-kwi. Kalau
suamiku ada di sini tentu dia sudah keluar dan tak perlu bersembunyi. Terimalah, aku pasti membunuhmu
karena kaupun tak dapat mengalahkan aku..... dess!" dan sang nyonya yang kembali melengking dan
menghantamkan kedua lengannya tiba-tiba sudah melepas dua pukulan sekaligus, Khi-bal-sin-kang dan Luiciang-hoat dan dua sinar putih dan biru berkeredep menyilaukan mata. Dua sinar itu menyambar Poan-kwi
dan kakek siluman itu mengelak, miringkan tubuh. Tapi ketika sinar tetap mengejar dan dia mendengus
maka dua tangannya juga bergerak sementara misai panjang di dagunya itu melejit dan menyambar mata si
nyonya.
"Aihhhh..... plak-dukk!"153 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Swat Lian terpental. Sang nyonya terpekik karena misai atau rambut panjang itu bukan sembarang
menyambar melainkan menuju matanya, tentu saja berbahaya karena benda lemas itu tiba-tiba berobah kaku
dan menusuk seperti baja. Sekali kena tentu dia buta, karena mata tak dapat dilindungi sinkang. Dan ketika
nyonya itu terkejut dan perhatiannya pecah, lawan menangkis dan menyambut pukulannya maka Swat Lian
terlempar dan nyonya itu berjungkir balik melayang turun, celakanya sudah dikejar dan kini lawan tertawa
melepas pukulan-pukulan dingin. Lui-ciang-hoat diredam dan setiap Swat Lian menangkis maka dia bertemu
bubur daging itu, sang nyonya muntah-muntah dan akhirnya tak tahan! Dan ketika Swat Lian terdesak
sementara lawan terkekeh-kekeh, suaranya dingin bagai keluar dari kubur maka di sana Soat Eng juga
mengalami nasib sama karena Poan-jin, kakek satunya, dapat menindih dan membalas semua pukulanpukulannya.
"Heh-heh, ibu dan anak akan roboh. Ah, kita akan menikmati kemenangan dan tubuh dua wanita ini.
Eitt, jangan bunuh lawanmu itu, suheng. Biarkan roboh dan kita permainkan berdua!"
"Hm, aku hanya mencari dan ingin membunuh Pendekar Rambut Emas. Jangan main-main lagi, sute.
Robohkan lawanmu dan kita obrak-abrik tempat bangsa Tar-tar ini!"
"Wah, tak main-main dulu dengan wanita cantik? Kita melewatkan begitu saja kesempatan bagus ini?"
"Diam, tak perlu banyak omong, sute. Robohkan dan kita cari Pendekar Rambut Emas... blarr!" dan
Poan-kwi yang kembali menangkis dan menerima pukulan lawannya tiba-tiba membuat lawannya mencelat
dan Swat Lian terbanting roboh, ngeri dan pucat karena tiba-tiba ia tak mampu lagi mengerahkan semua
tenaganya karena terlanjur jijik bertemu lengan lawan yang membubur daging, berpercikan dan muncrat ke
sana-sini di mana suatu ketika cuwilan daging busuk itu mengenai hidungnya. Baunya bukan main busuk
dan bacinnya. Sang nyonya muntah-muntah dan inilah yang membuat dia tak kuat lagi bertahan, pengalaman
dan pemandangan itu sungguh baru kali itu dirasakannya seumur hidup. Dan karena wanita memang lebih
mudah tak tahan dibanding laki-laki, bubur daging itu berpercikan dan kian busuk saja maka Swat Lian yang
terhuyung-huyung dan sering menutup hidungnya harus kerap menerima pukulan atau tamparan lawan.
Untung Khi-bal-sin-kang di tubuhnya sudah sedemikian baik bekerja hingga meskipun dia terbanting atau
terlempar berulang kali tetap saja nyonya ini tak apa-apa. Poan-kwi melotot dan kakek iblis itu tampak
marah, di samping kagum. Dan ketika suatu saat sang nyonya mengeluh dan terlempar kembali, Swat Lian
tak mampu menahan jijik oleh tubuh lawan yang kian mengerikan saja maka sepasang sorot mata Poan-kwi
tiba-tiba berkedip dan meluncur mengenai dahi sang nyonya.
"Kim-hujin, robohlah. Kau sudah tak mampu menerima pukulanku lagi!"
Swat Lian terkejut. Dahinya tiba-tiba dibentur sorot cahaya panas di mana tiba-tiba dia merasa pusing.
Nyonya ini muntah-muntah karena bau dan bubur daging itu mengenai sebagian mukanya lagi, itu sungguh
menjijikkan. Dan karena saat itu dia sedang terbanting dan terlempar oleh pukulan lawan, sorot cahaya
merah mengenai dahinya pula maka nyonya ini tiba-tiba seakan kehilangan tenaga dan benar-benar roboh.
Dia menjerit dan mengeluarkan teriakan marah namun ajaib sekali suara yang keluar hanya berupa keluhan
kecil, seolah tenggorokannya tercekik. Dan ketika nyonya itu pucat dan melihat lawan berkelebat lagi,
mengusap mukanya maka Swat Lian tak mampu mengelak ketika kelima jari yang menjijikan menyentuh
wajahnya.
"Robohlah, sudah kubilang kau harus roboh!"
Sang nyonya terbanting kedua kali. Swat Lian tak ingat apa-apa lagi karena kepalanya sudah pening.
Lawan terlampau menjijikkan dan bau busuk itulah yang tak tahan dia rasakan. Semakin dekat dengan lawan
semakin busuk juga bau itu, Swat Lian tak mampu menguasai indera ciumnya. Dan ketika mukanya diucap
sementara misai panjang itu juga bergerak menotok lehernya, sang nyonya terjengkang maka Kim-hujin ini
roboh pingsan dan Poan-kwi menggerakkan lagi misainya untuk menampar batok kepala. Tap ketika kepala
itu tak pecah karena dilindungi Khi-bal-sin-kang, Poan-kwi penasaran dan menghantam lagi tubuh nyonya
itu maka pukulannya membalik dan bahkan hampir mengenai mukanya sendiri!
"Terkutuk, benar-benar hebat!"154 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Poan-kwi kagum. Kakek ini bersinar-sinar dan matanya yang kemerahan itu berpijar lagi dua kali.
Dengan ilmu kesaktian dia tak dapat membunuh lawan biarlah kini dengan ilmu matanya itu. Kakek ini
memiliki apa yang disebut Hwi-gan-san-hui-tok (Mata Api Pembuyar Ingatan), yakni sengatan ilmu mata
yang tadi sudah membuat Kim-hujin itu pening, kehilangan kesadaran. Dan ketika dua sorot cahaya merah
itu kembali menyambar dan menyentuh dahi si nyonya, Swat Lian berjengit namun tetap pingsan maka
hilanglah ingatan si nyonya oleh ilmu sakti ini. Kakek itu tersenyum dingin dan mendengar lengking atau
teriakan panjang, menoleh dan melihat sutenya, Poan-jin, terkekeh menerima hantaman Soat Eng, lawannya
si nyonya muda itu. Tapi ketika nyonya itu terpental dan jatuh menjerit, sutenya berkelebat dan membentak
dengan ilmunya Hwi-gan-san-hui-tok maka Soat Eng kehilangan kesadarannya ketika misai atau rambut si
kakek menotok lehernya, sama seperti ibunya, berdepuk dan pingsan.
"Ha-ha, robohlah. Sekarang tak dapat kau bertingkah lagi!"
Soat Eng tak sadarkan diri. Sama seperti ibunya dia juga gagal melepas pukulan-pukulan Khi-bal-sinkangnya bahkan juga Lui-ciang-hoat, karena kakek itu memiliki tenaga dingin yang mampu meredam
pukulan-pukulannya itu. Dan karena tenaga si kakek ternyata jauh lebih kuat karena rupanya menang
matang, Soat Eng masih muda dan kalah pengalaman dibanding kakek itu maka Poan-jin sudah
memenangkan pertandingan dan nyonya muda ini roboh, terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi namun
tubuh atau kulit lehernya tak apa-apa. Itulah berkat Khi-bal-sin-kang yang melindungi tuannya, Dan ketika
kakek itu tertegun dan kagum, suhengnya berkelebat dan sudah di sampingnya maka Poan-jin menyeringai
dan menyambar tubuh Soat Eng.
"Gadis ini hebat, suheng boleh memilikinya kalau mau!"
"Tidak," suhengnya menampar dan menendang tubuh Soat Eng. "Kita mencari Pendekar Rambut
Emas, sute. Kalau dia tak ada barangkali kita harus pergi. Tapi mungkin dia masih bersembunyi, hayo cari
dan obrak-abrik tempat ini!"
"Suheng tak menikmati daun muda?"
"Tutup mulutmu! Hawa nafsu membuat kita kehilangan banyak kesaktian, sute. Lihat dirimu ini yang
sudah tak mampu berbadan halus lagi!" dan ketika Poan-jin terkejut dan meleletkan lidah, suhengnya marahmarah maka kakek itu lenyap dan tidak berbadan kasar lagi.
"Suheng, tunggu. Kau mau ke mana!"
"Kita mencari Pendekar Rambut Emas! bayangan hitam tiba-tiba meluncur dan keluar dari lembah.
"Kita cari dan bunuh pendekar itu, sute. Dia telah mencelakai murid keponakan kita See-ong!"
"Wah, tapi jangan tinggalkan aku!" dan ketika Poan-jin berkelebat dan mengikuti suhengnya,
meluncur dan keluar dari lembah maka bangsa Tar-tar gempar dan menjerit-jerit. Mereka tak tahu apa yang
terjadi karena kemah tiba-tiba jebol dan ambruk. Tiang-tiang besi diangkat dan dua bayangan bagai siluman
Cakar Maut 1 Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap Isabella 3

Cari Blog Ini