Ceritasilat Novel Online

Sesejuk Belaian Angin Gunung 1

Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono Bagian 1


Maria A.Sardjono
Maria A. Sardjono
Se s e j u k B e l a i a n
A n g i nG u n u n g
Penerbit ALAM BUDAYA JakartaSESEJUK BELAIAN ANGIN GUNUNG
Maria A.Sardjono
Pada perjumpaan pertama kalinya dengan Hari. Wati sudah
membencinya. Cara lelaki itu memandangnya begitu
kurang ajar .Sudah begitu lelalki itu pulalah yang telah
memisahkannya dari pemandangan di luar jendela
kamarnya dengan membangun sebuah rumah bercat putih.
Wati tak pernah lagi dapat memandang gunung biru yang
cantik itu. Rumah Hari telah menghalangi pandang
matanya.
Begitu bencinya Wati kepada Hari sehingga Dono
memberinya ingat bahwa tidak baik membenci seorang
lelaki setampan dan segagah Hari.
"Membenci seorang lelaki berarti memikirkannya, Dan itu
berbahaya sebab salah-salah kebencian bisa menjadi
sebaliknya!" katanya.
Dan ramalan Dono memang benar. Sayang Hari , si
petualang cinta ,seniman yang tak pernah mau terikat itu
tak pernah menginginkan Wati menjadi istrinya. Padahal
mereka berdua saling mencinta dan mereka berdua
mempunyai minat yang serasi pula. Sebagai pengarang
lagu Hari mendapat ilham dari Wati.Sebagai gadis yatim piatu yang tidak mempunya orang tua
maupun saudara kandung Sikap Hari yang hanya ingin
hidup bersama dengannya saja tanpa pernikahan membuat
harga dirinya terluka. Dengan keputusan yang
mengejutkan Wati lebih memilih menikah dengan Dono.
Bahagiakah Wati dengan pilihannya..?? Hanya buku ini
sajalah yang dapat menjawabnya, Bahkan Hari yang
melihat cassette berisi lagu-lagu ciptaannya ada di tempat
sampah rumah Wati pun tak dapat menjawabnya dan
hanya mampu bertanya sendiri mengapa Wati membuang
cassette itu....??SESEJUK BELAIAN ANGIN GUNUNG Sebuah novel karya
Maria A. Sardjono Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit ALAM BUDAYA Jakarta Cetakan pertama tahun
1985 Lukisan cover oleh Tony G.
Dilarang mengutip tanpa seizin penulis Hak cipta
dilindungi undang-undang ALL RIGHTS RESERVEDCredit:
Sumber Buku : Awie Dermawan
Edit OCR : Roni FB : Fauziyyah Nurin Ahmad
First in share Kolektor Ebook
DISCLAIMER
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi
para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi,
berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit
didapatkan dipasaran dari kepunahan, dengan cara
mengalih mediakan dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih
media diklasifikasikan berdasarkan kriteria
kelangkaan, usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh
dari kontribusi para donatur dalam bentuk
imagecitra objek buku yang bersangkutan, yang
selanjutnya dikonversikan kedalam bentuk teks
dan dikompilasi dalam format digital sesua?
kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan
finansial dari buku-buku yang dialih mediakan
dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor EbookSATU
KESADARAN yang pertama kali menyerbuku begitu
kubuka mataku di pagi hari itu adalah ingatan tentang
kejadian kemarin yang kualami. Mulai kemarin, aku
sudah bukan lagi seorang mahasiswi. Aku sudah
menjadi sarjana, sekarang ini.
Sebenarnya, itu bukan sesuatu yang hebat dan
istimewa. Di jaman sekarang yang penuh dengan
kemajuan, di mana-mana ada sarjana. Sarjana wanita
sekali pun. Namun begitu, aku toh tak dapat
menyingkirkan kebanggaan yang masih ber- pesta-pora
di hatiku. Menurut pendapatku, tidak begitu banyak
gadis yatim-piatu seperti diriku yang mampu
menyelesaikan studinya dalam waktu yang tepat meski
pun harus juga mencari nafkah buat hidupnya.
Kawanku yang mempunyai nasib sama seperti diriku,
tak beribu dan tak berbapa, merasa lebih aman dengan
pilihannya untuk menjadi seorang ibu rumah-tangga.
Sekarang, ia sudah menjadi ibu dari dua orang anak
yang manis-manis.
Aku tak tahu manakah yang lebih baik, jalan hidup
yang kutempuh ataukah jalan hidup yang ditempuh
oleh kawanku itu. Tetapi aku tidak ingin tahu. Bahkan
manakah di antara pilihan kami yang membahagiakan,
aku juga tak menghiraukannya. Sejak kecil, aku sudah
belajar untuk tidak memikirkan tentang kebahagiaan.
Sebagai anak yatim-piatu yang dibesarkan oleh seorang
nenek yang sudah terlalu tua untuk mengacuhkan
kehadiran seorang anak kecil, aku hampir tidak
mempersoalkan hal-hal semacam itu. Aku seperti hidup
dalam duniaku sendiri, menuruti dambaan untuk
melepaskan diri dari lingkup pergaulan denganorang-orang yang jauh lebih tua daripada usiaku. Selain
nenek, aku juga tinggal bersama kakak-kakak
almarhumah ibuku.
Kalau ada sesuatu yang dapat dimasukkan ke dalam
kata bahagia, itu adalah pemandangan yang selalu
disuguhkan oleh alam lewat jendela kamarku. Aku
selalu merasa senang setiap jendela kamarku kubuka
pada pagi hari begitu aku bangun tidur Sejak aku masih
sangat kecil, gunung membiru yang puncaknya
dimahkotai awan-awan putih itu selalu mengucapkan
selamat pagi kepadaku. Bahkan tetap demikian kendati
aku selama enam tahun belakangan ini hanya dapat
memandangi alam yang sudah begitu akrab denganku
bila pada masa liburan saja. Gunung itu tetap gunung
yang dulu juga, yang sudah amat kukenal sejak masa
kanakku.
Hal lainnya yang juga membuatku merasa senang
tetapi tak kuketahui apakah itu termasuk kebahagiaan
atau bukan adalah tempat di mana aku banyak
menghabiskan waktu santaiku. Yaitu di bawah pohon
besar di belakang rumah nenekku. Pohon itu terletak
hampir di sisi pagar yang membatasi pekarangan
belakang rumah nenek dan pekarangan belakang rumah
tetangga yang bertolak belakang dengan rumah nenek.
Pagar yang membatasi kedua pekarangan itu sudah
banyak lubang-lubangnya. Sebagian besar boleh dikata
sudah roboh. Tetapi baik dari pihak keluarga nenekku
mau pun pihak keluarga tetangga itu tidak satu pun
yang berniat memperbaikinya. Mungkin karena tidak
merasa perlu untuk memperbaikinya. Desa kami
termasuk desa yang aman. Dan pula, di kiri dan kananpekarangan kedua rumah kami itu sudah berpagar.
Demikian juga bagian depan rumah kami. Mengenai
pohon rindang itu, aku sudah menge nalnya sejak aku
masih amat kecil. Di bawah pohon itulah aku dulu
diasuh oleh pembantu rumah-tangga nenekku. Dan
tatkala aku sudah mulai besar, di bawah pohon itu
pulalah aku bermain, belajar dan mendengarkan
cerita-cerita orang dewasa yang duduk-duduk di bawah
pohon itu. Di bawah pohon itu memang disediakan seperangkat kursi dengan mejanya. Aku sudah melihatnya sejak awal mula, sebagaimana juga aku sudah
mengenal kedua kakak-beradik yang tinggal di
belakang rumah nenekku itu sejak awal pula di dalam
hidupku ini. Keduanya juga menyukai bermain-main di
tempat itu. Pagar setengah roboh yang membatasi
kedua rumah kami menyebabkan dengan mudah sekali
mereka datang ke bawah pohon itu, sama seperti
mudahnya aku bermain ke rumah mereka.
Aku menyukai keduanya. Mereka sangat mengasihiku. Mbak Ning berumur lima atau enam tahun di
atasku dan Mas Dono di atasku sekitar empat tahun.
Tetapi justru karena itulah mereka banyak memberiku
perhatian sebagaimana perhatian yang biasa diberikan
oleh seorang kakak kepada adiknya. Terlebih, kami
mempunyai nasib yang sama. Mereka berdua juga tidak
lagi mempunyai orang tua. Mereka juga hidup bersama
kakek dan neneknya. Bedanya dengan diriku,mereka
masih mempunyai seorang kakek dan keduanya masih
cukup muda sehingga masih mampu memperhatikan
kedua cucupya itu. Belum lagi para paman dan bibi
kedua anak itu. Setiap ada salah seorang dari paman
atau bibi itu datang berkunjung, selalu keduanyamendapat limpahan kasih-sayang dan buah tangan.
Singkat kata, kedua anak itu cukup mendapat segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang anak walau pun
kedua orang tua mereka telah meninggal.
Di bawah pohon rindang itu, aku mempunyai banyak
kenangan yang manis. Mbak Ning dan Mas Dono sering
sekali membagi makanan yang dibawakan oleh paman
atau bibi mereka yang datang berkunjung. Di bawah
pohon itu pula aku diperbolehkan ikut bermain-main
dengan alat- alat permainan yang dihadiahkan para
paman dan bibi mereka. Juga di bawah pohon itu pula
aku diijinkan ikut membaca buku-buku cerita yang
dibeli oleh kakek-nenek mereka. Dan banyak lagi.
Telah hampir enam tahun lamanya kami berpisah
tempat tinggal, sejak aku terpaksa harus merantau
untuk melanjutkan studiku. Hanya setiap liburan saja
kami bisa bertemu kembali. Itu pun jika mbak Ning
kebetulan datang, la sudah menikah dan dibawa oleh
suaminya pindah ke Jakarta. Sedangkan Mas Dono,
sejak ia hanya mampu menyelesaikan sarjana
mudanya, ia tetap menetap di desa kami itu dan
bekerja di kota terdekat yang jaraknya sekitar
tigapuluh lima kilometer jauhnya dari rumah.. Dengan
mobil kecilnya, Mas Dono selalu menempuh jarak perjalanan sepanjang hampirtujuhpuluh kilometer
pulang-pergi.
Kini, masih sambil berbaring di tempat tidur dalam
kamar tempatku menyewa selama menjadi mahasiswi
ini, ingatanku sangat kuat sekali menghadirkan kembali
kenangan-kenangan masa ketika aku masih di kampung
halaman. Tiba-tiba saja aku merasa sangat rindu daningin segera kembali pulang tanpa berniat untuk
menundanya lagi. Baru kemarin aku resmi
mengundurkan diri dari tempat pekerjaanku. Selama
lebih dari lima tahun ini aku telah bekerja di sana
untuk membiayai kehidupanku sendiri. Aku tak ingin
mengurangi pensiun yang diterima oleh nenekku.
Pensiun yang untuk hidupnya sendiri pun belum tentu
cukup. Sekarang, dengan gaji terakhir yang kuterima
ditambah dengan pesangon yang diberikan kepadaku
atas kebijaksanaan pimpinan, aku merasa kaya.
Setidaknya, selama menanti pekerjaan baru di
kampung halaman nanti, aku tidak akan terlalu
memberatkan nenekku. Aku sudah merencanakan sejak
awal mula bahwa begitu aku menyelesaikan sekolahku,
begitu pula aku segera kembali ke kampung halaman.
Aku akan mencari pekerjaan di kota terdekat, kota
tempat Mas Dono juga bekerja. Lelaki itu sering
menawariku untuk ikut mobilnya jika kelak aku berhasil
mendapatkan pekerjaan. Bahkan ia juga akan ikut
mencari- 0
kan pekerjaan yang sesuai untukku.
"Kita nanti bisa berangkat dan pulang kerja
bersama-sama," begitu janjinya kepadaku.
Kerinduan yang menyergapku pagi itu menyebabkan
aku bergegas untuk menyiapkan segala sesuatunya agar
lekas selesai. Hari ini juga aku
akan mencari bis yang menuju ke kampung halamanku,
limaratus kilo meter dari tempatku menuntut ilmu ini.
Di luar gaji terakhir dan pesangon yang masih utuh
kumiliki, aku masih mempunyai sejumlah uang ekstra
dari pamanku. Adik alrhar- hum ayahku sengaja datang
menghadiri saat aku diwisuda, la memberiku hadiahsejumlah uang, sesuai seperti apa yang pernah
dijanjikannya kepadaku jika aku berhasil dalam
studiku. Dengan uang itulah aku bisa membeli karcis bis
dan masih tersisa banyak untuk oleh-oleh buat nenekku
dan tetangga-tetangga nenekku. Bahkan sebagian dari
sisa itu bisa kusimpan.
Menjelang sore, aku sudah tiba kembali di kampung
halamanku. Nenek menyambutku dengan gembira.
Begitu pun Bude Rini, kakak sulung almarhum ibuku.
Sejak ia menjadi janda dan ketiga anaknya sudah
berumah tangga sendiri, Bude Rini tinggal bersama
nenekku di desa. Kelak rumah yang sekarang kami
tempati ini akan menjadi milik Bude Rini. Karenanya,
sambutan Bude yang penuh keakraban membuat hatiku
lega.
Rumah ini tidaklah seramai dulu ketika saudara-saudara almarhum ibuku masih banyak yang
tinggal bersama Nenek. Sekarang, rumah ini hanya
ditinggali Bude Rini dan kedua kakak sepupuku. Kedua
lelaki muda itu, anak dari budeku yang lain. Keduanya
tinggal di sini karena pekerjaan mereka. Keduanya
bekerja di pabrik gula, tak jauh dari desa kami.
Aku sudah sering pergi dan datang dari dan ke
kampung halamanku ini. Tetapi selalu saja kesedihan
dan kegembiraan tetap mewarnai perasaanku. Sedih
jika meninggalkannya dan gembira jika kembali
kemari. Namun sore itu ketika aku meletakkan kopor
besarku di lantai kamar, kamar yang sudah kuhuni
semenjak masa kecilku dulu, hatiku menjadi hampa
dengan tiba-tiba. Ada semacam rasa asing yang


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusupi hatiku. Di luar, melalui jendela kamarku,
aku tidak lagi dapat melihat gunung kesayanganku.Bukan saja karena cuaca yang mulai remang, namun
terlebih 1 lagi karena sesuatu telah menghalangi
pandang mataku ke arah gunung itu. Sekitar enampuluh
a meter jauhnya dari batas pagar samping rumah
nenekku ini, aku melihat sebuah bangunan bercat putih
yang baru kulihat. Ketika setahun yang lalu aku
berlibur kemari, rumah itu belum ada. Tempat di mana
bangunan mewah itu didirikan, masih berujud kebun
buah sebagaimana yang sudah amat kukenal sejak masa
kanakku dulu. Kebun buah dengan berbagai macam
jenis yang ditanam di sana dan menjadi surga bagiku
dan Mas Dono. Pak Hamid penjaga kebun buah yang
tinggalnya di rumah papan yang dibangun di bawah
pohon kecapi itu membolehkan kami memetiki buah
untuk dimakan di situ. Asal tidak dibawa pulang, sebab
buah-buahan itu akan dijual ke kota.
Kadang-kadang kalau buahnya banyak, kami boleh juga
membawa pulang untuk nenekku. Misalnya, rambutan,
mangga, pepaya, belimbing. Nenekku tidak suka jambu
biji mau pun jambu airnya. Padahal, kebun itu banyak
sekali menghasilkan jambu-jambu.
Sekarang, melihat bangunan bercat putih yang
bergaya modern dan tampak mewah berada di desa itu,
hatiku menjadi sedih. Rasanya, aku kehilangan
keakraban dan kedamaian yang biasanya kumiliki.
Masih belum mengganti gaunku yang lusuh akibat
perjalanan panjang tadi, kutatap bangunan baru itu
dengan pikiran tak menentu. Bahkan lama- kelamaan,
disamping rasa sedih itu aku mulai dirayapi perasaan
marah. Marah kepada si pemilik bangunan itu. Marah
kepada si pemilik bangunan yang telah merobekkedamaian dan keakraban yang kumiliki jika aku
berada di dalam kamarku ini.
"Yang sedang kau pandangi itu, baru enam bulan yang
lalu jadi. Bagus ya? Di antara rumah- rumah lama yang
sudah berumur puluhan tahun ini, rumah itu tampak
sangat indah. Bergaya!" Suara Bude Rini yang masuk ke
kamarku menyeretku kepada sesuatu yang lain di luar
sekapan rasa yang berbaur tadi. Aku menoleh.
"Ya ...!" sahutku dengan suara mengambang. Bude
melihat kelesuan dalam suaraku.
"Mungkin bagimu yang sudah mulai terbiasa dengan
kehidupan kota, pemandangan itu tidak
lagi mengejutkanmu. Di sana, ada banyak gedung
yang mewah dan indah," katanya.
"Masalahnya bukan itu, Bude ..."
"Lalu apa?"
"Rumah itu telah mengganggu pemandangan indah
yang biasanya terlihat dari kamar ini. Saya kehilangan
gunung biru saya..." kataku terus- terang.
Bude Rini tertawa.
"Kau ada-ada saja. Pemandangan indah toh tak perlu
harus dilihat lewat jendela kamar. Kau masih dapat
melihat gunungmu itu dari luar,"
katanya.
Aku terpaksa tersenyum juga. Bukan karena
menyetujui kata-katanya itu melainkan untuk
menghentikan pembicaraan mengenai gunung itu lebih
lanjut. Tak ada gunanya. Bude Rini tak akan pemah
mengerti apa arti pemandangan yang sejak semasa
awal masa kanakku, sudah kukenal dan kuakrabi.
Betapa setiap pagi begitu jendela kamarku dibuka, aku
sudah melihat gunung yang pucuk- ya dimahkotaiawan-awan putih itu. Betapa pula kehadiran gunung itu
merupakan ucapan selamat pagi dari dunia yang siap
menyambutku ke luar dari kamar tidurku. Dan
sekarang, aku tak lagi dapat menatap itu semua!
"Lekaslah mandi, Wati. Mbok Mi sudah menyiapkan
air panas untukmu," kata Bude Rini
?sgi.
Aku mengangguk. Tanpa kehadiran anak- anaknya, ia
tampak lebih lembut kepadaku.
"Sejak saya datang tadi, belum saya lihat kehadiran
Mas Wid dan Mas Harun," kataku ketika melihat Bude
Rini hendak ke luar dari kamarku. Kedua nama yang
kusebutkan itu adalah nama kedua kakak sepupuku.
Mas Wid berusia setahun dibawah usiaku namun karena
menurut urutan garis keturunan aku berada di urutan
bawah, aku harus memanggilnya dengan sebutan
kakak. Mas Harun, lima atau enam tahun di atas usiaku.
"Belum pulang. Mungkin terpaksa harus me lembur!"
"Mereka masih naik kereta-api?" tanyaku, Jarak
tempat kami dan pabrik gula itu sekitar limabelas
kilometer. Ada kereta-api yang menghubungkan
kota-kota kecil sekitar desa kami.
"Kadang-kadang. Sekarang ini semakin banyak colt
yang melayani pedagang dan pegawai di sekitar sini.
Kata kedua kakakmu itu, naik colt lebih praktis."
Aku mengangguk dan kubiarkan budeku ke luar.
Rasanya senja itu cepat sekali berlalu. Setelah mandi,
aku mulai membongkar isi koporku. Kumasukkan
satu-persatu pakaianku ke dalam lemari. Lemari
pakaian tempatku menaruh harta milikku dulu. Begitu
asyikku aku dengan pekerjaanku itu sampai-sampai
panggilan nenekku mau pun panggilan Bude Rini yangmengajakku makan malam, kuabaikan.
"Nanti saja," kataku ketika mereka memanggilku
yang ketiga kalinya. "Biar nanti saya makan dengan
MasWid dan Mas Harun."
Mereka sering makan di warung sop kambing di
sebelah pabrik. Jadi makanlah sekarang, Wati. Nanti
masuk angin!"
Tanganku yang sedang melipat kembali sebuah
gaunku, terhenti. Suara itu bukan suara Nenek. Bukan
pula suara Bude Rini. Bergegas aku meletak-kan
kembali gaun itu. Setengah berlari aku ke luar kamar.
Tak kuperdulikan kakiku yang hampir menginjak gaun
tidur yang terjuntai dari tepi kopor yang terbuka di
dekat kakiku itu.
"Mas Dono!" seruku, "Darimana kau tahu aku datang
sore ini?"
Di muka pintu kamarku, lelaki yang kusapa itu berdiri
dengan gagahnya. Senyumnya yang manis dan lembut
itu menghiasi wajahnya, la tampak lebih menarik
daripada ketika aku melihatnya terakhir kali pada
liburanku tahun lalu.
"Aku melihat pengumuman tentang kedatanganmu di
televisi!" sahutnya dengan sinar mata menggoda.
"Ah, sialan!" sungutku.
Mas Dono tertawa. Diseretnya lenganku dengan
gerakan lembut.
"Kalau tidak dipaksa, kau akan lupa makan. Padahal
tubuhku sudah letih. Nah, ayolah makan
bersamaku!" katanya kemudian.
"Aku belum lapar. Pekerjaanku belum selesai,"
sahutku sambil membuka daun pintu kamarku, "Lihat,
barang-barang masih berantak-an."
"Itu bisa kau kerjakan besok. Sekarang, kauharus makan bersamaku!"
"Turuti saja ajakannya itu, Wati ..." sela Bude Rini
dari ruang tengah, "Begitu ia tahu dari Mbok Mi bahwa
kau sudah datang, ia memesan sat? dan soto ayam Pak
Amat!"
"Nah, kau dengar apa kata Bude kan?"
Aku tersenyum demi melihat wajah Mas Donc
memperlihatkan kemenangan dengan mimik mukt lucu.
Timbul keinginan buat menggodanya.
"Kalau hanya sate ayam dan soto, di kotc banyak!"
kataku.
"Tetapi kutanggung, tidak ada yang ayamnya
seempuk dan segurih ayam Pak Amat. Asli ayam
kampung!" senyum Mas Dono.
"Mendengar bicaramu itu Mas, aku bisa menyangka
kau sekarang pindah pekerjaan menjadi tukang
warung!" godaku lagi.
Bude Rini tertawa.
"Selalu saja kalau bertemu, kalian selalu godamenggoda!" katanya. "Sudahlah Wati, turuti ajakannya.
Neneknya tentu juga sudah kangen kepadamu."
Tiba-tiba rasa hangat yang lenyap akibat bangunan
yang menghalangi pemandangan dari
jendela kamarku tadi, timbul kembali. Nenek Mas
Dono!
Aku tak pernah mampu melupakan bagaimana ketika
aku minta diri kepadanya untuk pindah ke kota mencari
ilmu, perempuan tua itu membekaliku dengan sebuah
bungkusan. Bungkusan itu berisi berbagai macam
keperluan vanntiH'kupikirkan sebelumnya. Ada minyak angin, uang logam
kuno untuk mengerik punggung, dan berbagai macam
obat ringan pertolongan pertama. Di- samping itu,
masih ada keperluan jahit-menjahit. Benang dari
berbagai macam warna, jarum, gunting kecil, kancing
jepret, dan semacamnya. Aku telah menitikkan air mata
demi bungkusan itu kupandangi. Sebagai anak
yatim-piatu, bekal yang diberikan oleh nenek Mas Dono
itu merupakan sesuatu yang menyentuh perasaanku.
Pemah di suatu malam ketika aku pulang dari tempat
pekerjaanku dan kehujanan, minyak angin dari nenek
Mas Dono itu telah menghangatkan dada dan
punggungku yang kedinginan. Dan berapa kali pula
benang dan jarumnya telah membantuku pada
malam-malam sebelum tidur ketika aku menyiapkan
rokku yang terlepas jahitannya.
Sekarang, Bude Rini menyinggung nenek Mas Dono.
Aku jadi ingat telah membelikan dua potong bahan
kebaya halus yang sengaja kubeli
untuk oleh-oleh buatnya.
"Tunggu," kataku kepada Mas Dono, "aku akan
mengambil oleh-olehku untuk nenekmu
dulu"
Mas Dono membawaku berjalan lewat belakang.
Pohon rindang yang kusayangi itu masih sama seperti
yang kukenal. Tetapi sudah tidak ada bangku dan kursi
rotan di sana. Sebagai gantinya, ada seperangkat kursi
besi-bercat putih di sana. Dan tanaman liar yang
tumbuh di antara pagar yang membatasi kedua
pekarangan belakang rumah kami itu sudah bersih.
Sebagai gantinya, pagar setengah roboh yang telah
hilang itu berubah menjadi pagar hidup. Tanamankemuning berjajar rapi, membatasi kedua pekarangan
tersebut. Hanya tersisa satu meter saja di dekat pohon
rindang itu yang dibiarkan tidak ditanami. Rupanya,
hubungan di antara kedua keluarga kami masih tetap
baik, masih seerat semula.
"Siapa yang merubah tempat ini?" tanyaku. Kuhirup
wangi kemuning yang menyebar di udara.
"Aku dan DikWiwid. Kalau sedang iseng, kami suka
bermain gitar atau catur di bawah pohon itu.
Kadang-kadang cuma mengobrol saja. Kami juga
memasang lampu di sana. Kalau diperlukan, lampu itu
akan menerangi tempat itu."
"Wah, menyenangkan!" j
"Ya. Apalagi kalau Hari datang. Suaranya bagus."
"Hari?"
"Hari, tetangga baru kita!"
Wah, rupanya sepeninggalku, kita mendapat
tambahan tetangga ya?"
"Heeh."
Mas Dono menggamitku masuk ke rumahnya lewat
pintu belakang demi kami sampsi ke tempat tinggalnya.
Keadaan rumah itu masih tetap sama seperti ketika aku
melihatnya terakhir kali, lebih setahun yang lalu. Cuma
saja, penghuninya telah berkurang lagi seorang. Kakek
Mas Dono telah meninggal dunia delapan bulan yang
lalu. Sayang sekali ketika itu aku berhalangan datang.
Sekarang, kenyataan tentang hilangnya salah seorang
penghuni rumah itu, terasa mengikis perasaanku. Kakek
M?s?Dono juga selalu baik kepadaku.
"Wati, aduh ..., akhirnya kau kembali juga ..."
kudengar suara nenek Mas Dono dari ruang tengah, la
menghampiriku dan memeluk tubuhku dengan hangat,
seolah aku ini juga salah seorang dari cucunya."Apa kabar, Mbah?"
Aku sudah terbiasa menyebutnya dengan panggilan
'Mbah' untuk membedakan panggilanku kepada nenek
kandungku, Eyang.
"Baik ..., baik ..., aku sehat selalu meski sepeninggal
Mbah Kakung, hatiku sering dirobek- robek oleh rasa
sepi. Mudah-mudahan kehadiranmu akan mampu
menyulam perasaan itu ...."
Kata-kata semacam itu menyentuhkan rasa haru ke
hatiku.
"Saya akan sering datang menemani Mbah Putri kalau
tidak sedang repot," janjiku.
"Kau anak baik!" "Bagaimana kalau sebelum kita
teruskan mengobrol, kita makan dulu Mbah ...?" usul Mas
Dono menyela percakapanku dengan neneknya.
"O, itu baik sekali. Sotonya masih hangat Ayo kita
makan sekarang. Mbah sengaja tidak makan lebih dulu.
Ingin makan bersama kalian berdua!" senyum nenek Mas
Dono.
"Apa bukannya menunggu sate dan sotonya?" goda Mas
Dono.
Kami bertiga tertawa mendengar godaan itu.
"Kau ada-ada saja," sungut nenek Mas Dono kemudian.
, 1 Maka kegembiraan menjelang makan malam itu
mewarnai saat-saat selanjutnya. Bahkan setelah kami
selesai makan dan mencicipi buah jeruk pun.
"Jadi kau akan mencari pekerjaan di kota terdekat
dari desa kita ini?" tanya nenek Mas Dono.
"Ya, Mbah."
"Lalu berapa lamanya kau akan bekerja nanti ...?"Aku tak dapat menjawab. Pertanyaannya kuanggap
agak aneh. Dan rupanya perempuan tua itu pun
menyadarinya kemudian tatkala aku belum juga


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawabnya.
"Tentunya, seumur hidupmu kau tidak akan terus
bekerja bukan?" tanyanya mengulang, "Jadi menurut
rencanamu, sampai berapa lamanya kau nanti akan
bekerja?"
"Belum tahu. Mbah. Pokoknya yang oenting sekarang
ini adalah mencari pekerjaan. Saya tidak ingin menjadi
beban Eyang dan Bude Rini," akhirnya aku menjawab
juga pertanyaan tadi.
"Hanya itukah cita-citamu?"
Aku tertegun. Selama ini, aku hampir tak pemah
memikirkan tentang masa depanku. Setelah menjadi
sarjana dan bekerja, apa yang kudambakan, aku juga
tak pemah memikirkannya.
Karena aku belum menjawab pertanyaannya, nenek
Mas Dono bertanya lagi.
"Apa yang kau harapkan setelah kau nanti sukses
dalam pekerjaanmu misalnya?"
"Saya belum tahu, Mbah ..." sahutku setelah menelan
ludah.
"Belum tahu? Berapa umurmu sekarang?"
"Duapuluh empat tahun lebih."
"Aku sudah mempunyai tiga orang anak ketika
seusiamu," kata nenek Mas Dono lagi, "Tetapi tentu saja
itu ketika anak-anak perempuan masih banyak yang
tidak meneruskan ke perguruan tinggi begitu
menyelesaikan sekolah lanjutan atas. Namun begitu,
usia duapuluh empat lebih kurasa
sudah cukup waktunya untuk memikirkan tentang
pernikahan. Ingat, wanita tidak mempunyai terlalubanyak waktu sebagai orang muda jika di-banding kaum
pria!"
Mendengar kata-kata nenek Mas Dono, aku tersipu
sehingga lelaki itu menertawakanku.
"Mbah, biar pun sudah duapuluh empat tahun, Wati
masih hijau." katanya kemudian.
Aku jadi semakin tersipu. Di dalam surat- suratku
kepadanya, aku memang tak pemah menyinggung
tentang hubungan istimewa dengan seorang pria.
Bagaimana tidak? Aku memang belum mempunyai
kekasih.
"Sudahlah ..., sudahlah ..., aku tak akan membicarakan tentang hal peka itu lagi ..." nenek Mas Dono
juga tertawa, "Wati sangat pemalu. Lihat, pipinya
begitu merah!"
Tanpa menanti sahutanku mau pun sahutan Mas Dono,
perempuan itu bangkit dari kursi makan sambil
memanggil pembantu rumah-tangga supaya
membereskan alat-alat makan di atas meja. Dan karena
hari telah malam, aku pun berdiri dan minta diri. Mas
Dono mengantarkanku ke luar.
"Ayo kuantar. Siapa tahu ketemu ular!" katanya.
Aku tersenyum. Tidak ada ular di sekitar tempat kami.
Mas Dono hanya ingin mengantarkanku sampai pintu
belakang, la tentu masih ingat betul bahwa aku ini
seorang penakut. Padahal di sekitar pohon rindang itu,
gelap.
Tetapi ternyata sekitar pohon itu tampak terang
ketika aku lewat di sana. Pohon kemuning yang tadi
hanya samar kulihat, kini tampak kehijauan. Dan harum
bunganya yang tadi hanya bisa kuhirup aromanya, kini
bisa kunikmati keindahannya. Cantik sekali bunganya
yang berwarna putih di antara kerimbunan hijaunyadaun.
Sayang aku tak sempat menikmati keindahannya. Di
bawah pohon itu duduk tiga orang lelaki muda.
Ketiganya langsung menoleh begitu mendengar langkah
kakiku dan langkah kaki Mas Dono. Bahkan dua
diantaranya bangkit dan menyongsong kehadiranku.
"Hallo saudara sepupu tersayang ..." sambut salah
seorang diantara keduanya. Dia adalah MasWiwid.
"Hallo ..." sahutku tersenyum.
"Maafkan kami," kata Mas Wiwid lagi, "Tadi
?c kami terlambat pulang. Padahal kami termasuk panitia
penyambutan tamu. Sudah pula kami siapkan
bunga-bunga untuk ditaburkan di hamparan permadani
merah."
"Panitia penyambutan? Siapa yang datang sih? Ratu
dari negeri Antah Berantah?" sambung
Mas Dono ikut-ikutan menggoda.
"Ya, Ratu itu adalah saudari sepupu kami
yang cantik, dan semakin cantik saja setiap ia datang!"
sahut Mas Harun. Rambutku agak di- kacaukannya
dengan tangannya, la tentu lupa bahwa aku tidak lagi
gadis cilik yang dulu sering dikacau rambutnya hanya
sebagai pernyataan sayang. Tetapi kubiarkan saja
perlakuan itu sebab aku tahu, ia menyayangiku. Bahkan
kata-katanya hanya kusambut dengan senyum saja.
"Kami sudah rindu kepadamu, dik Wati!" sambung Mas
Wiwid pula. "Sebetulnya, aku tadi hampir menyusulmu
ke rumah Mas Dono, tetapi Mas Harun melarangku.
Katanya, kehadiran kami hanya akan mengganggu orang
yang sedang saling melepaskan rasa rindu."
Aku nyengir. Sejak dulu, selalu saja aku 'dijodohkan'
dengan Mas Dono. Bukan hanya mereka saja, tetapi jugateman-teman sekampungku, banyak yang iseng
mengatakan bahwa aku ini kekasih Mas Dono. Namun
baik aku mau pun Mas Dono, tak mengacuhkan hal itu.
"Memang benar aku mengatakan begitu," kata Mas
Harun tertawa. Dipandanginya wajahku secara seksama
dengan sikap yang berlebihan. Aku tahu ia sedang ingin
menggodaku, seperti biasanya. Matanya terlihat penuh
dengan tawa dan canda.
Hei, kau apakan adikku ini, Don?" serunya kemudian,
Sinar matanya berkilauan dan mengandung rahasia!"
Sialan. Apalagi godaan itu menyebabkan Mas Wiwid
bahkan Mas Dono sendiri tertawa gelak- gelak.
Sebenarnya, aku tidak akan mendengarkan godaan itu
dan kuanggap macam angin lalu saja. Tetapi ketika aku
menoleh ke arah kursi, mataku terbentur wajah lelaki
asing yang sejak aku berdiri di bawah pohon itu baru kali
ini kuperhatikan kehadirannya. Lelaki itu sedang
memegang kartu- kartu. Sinar lampu yang menimpa
wajahnya memberi pengetahuan kepadaku bahwa lelaki
itu termasuk lelaki yang ganteng. Menarik, malah. Alis
matanya setebal rambutnya yang agak berombak dan
dipotong melewati telinganya, mencapai leher
belakangnya. Dan di bawah alis itu, kulihat sepasang
mata yang mempesona. Entah telah berapa puluh gadis
yang bertekuk-lutut di- bawah daya pesonanya itu.
Tetapi saat mataku membentur sinar matanya, tiba-tiba
aku jadi jengkel. Mata itu telah menatapku dengan
sangat berani. Belum pernah ada lelaki lain seberani itu
menatapku. "Terlebih dengan keyakinan diri yang
kelewat besar, yang begitu percaya kepada kekuatan
daya tariknya.
Kurang-ajar. Tidak dapatkah ia bersikap lebih sopan?Tidak dapatkah ia menutupi sinar mata yang
mengandung kekaguman itu?
Aku jadi merasa benci sekali. Lebih-lebih karena
lelaki itu telah melihat dan mendengar dengan kepala
sendiri bagaimana aku tadi di-goda oleh kedua
sepupuku. Karenanya dengan gerakan kasar, aku segera
berlalu dari tempat itu.
"Awas kalian berdua," semburku kepada kedua
sepupuku, "keisengan kalian pasti akan kubalas."
Tanpa menanti sahutan, aku segera pergi dengan
berlari-lari kecil. Namun sebelumnya aku masih sempat
meneriakkan ucapan terimakasih kepada Mas Dono atas
makan malamnya yang lezat tadi.
"Hei tunggu dulu ..." kudengar suara Mas Harun, "Kau
belum kami perkenalkan dengan ...."
"Lain kali saja," kataku memotong dengan cepat, "Aku
ngantuk."
Kudengar suara tawa riuh di belakangku. Tanpa
menghiraukannya, aku bergegas menuju ke kamarku.
Aku ingin segera tidur. Namun sayang, ketika lampu
kunyalakan, aku melihat kopor pakaianku yang terbuka
dengan pakaian- pakaian yang masih bertebaran.
Padahal aku ingin segera beristirahat. Karenanya walau
dengan kesal hati, aku meneruskan pekerjaanku yang
tertunda sejak Mas Harun datang tadi.
Semestinya setelah perjalanan selama berjam- jam di
atas bis dan kemudian membereskan isi kopor, aku
sudah tertidur begitu kepalaku menyentuh bantal.
Tetapi tidak. Begitu kepalakukuletakkan, begitu saja wajah ganteng yang kulihat di
belakang rumah tadi, muncul.
Heh, kenapa mata kurang-ajar itu bisa hadir di ingatanku?
Mengapa ingatan tentang wajah dan sikap lelaki itu datang
dengan enaknya? Bukankah seharusnya aku marah?
Jengkel kepada diriku sendiri, wajahku ku- tekan guling
dengan sekuat tenagaku. Kuingin wajah itu lenyap dari
pelupuk mataku. Sungguh memalukan bahwa aku bisa
menjadi resah dan kacau hanya karena dipandang oleh
seorang lelaki muda yang justru tampaknya sangat
kurang-ajar. Yang melalui pandang matanya yang
kurang-ajar itu, aku merasa seperti hendak ditelan hiduphidup.
Kurang-ajar. Sialan. Aku menggerutu panjang pendek
dibawah tindihan guling sebelum akhirnya kantuk
menyeretku ke dalam mimpi.
DUA UDARA sejuk yang segar melimpahi kamarku begitu
kubuka jendelanya lebar-lebar. Kuhirup kemewahan itu
dengan penuh semangat. Baru setelah itu kubuka
lebar-lebar mataku, selebar daun jendela yang kukuakkan
jauh-jauh ke kiri dan ke kanan. Aku ingin memandang alam
sekitar yang kuharapkan juga memberikan kemewahannya
kepadaku.
Tiba-tiba dadaku berdenyut. Bukan saja aku tak
mendapatkan kemewahan dari apa yang bisa kupandang,
tetapi sesuatu telah menyakiti mataku. Aku lebih banyak
melihat tembok sebuah rumah yang berwarna putih
daripada melihat pemandangan lainnya.
Meras, gusar akibat apa yang kupandangi itu, aku segera
masuk kamar mandi. Aku akan melihat siapa pemilik rumah
mewah itu. Aku ingin tahu macam orang yang bagaimana
yang berani membangun rumah semewah itu. Tidak punyaperasankah orang itu sampai-sampai harus melenyapkan
;ebuah surga? Ya, sebuah surga!
Tanah di mana rumah itu berdiri, dulu terdapat sebuah
kebun buah. Kebun buah itu merupakan surga bagiku mau
pun bagi Mbak Ning dan Mas Dono di masa kecil kami dulu.
Pak Hamid penjaga kebun yang tinggalnya juga di dalam
kebun itu, yaitu di sebuah rumah papan yang dibangun di
bawah pohon kecapi, selalu meng- ijinkan kami memanjat
pohon buah jika sedang musimnya.
"Asal jangan dibawa pulang, dan asal jangan memetik
yang masih setengah masak, kalian boleh makan buah
sekenyangnya di sini," begitu ia sering berkata.
Tentu saja kami senang sekali. Buah-buahan hasil kebun
buah itu sungguh segar. Ada rambutan, jambu air, jambu
biji, mangga, pepaya, belimbing, pisang dan durian. Masih
ditambah dua pohon buah kecapi. Kebun itu memang cukup
luas. Sekitar seribu meter persegi luasnya. Selain buahbuahan, Pak Hamid juga menanam sayuran. Singkong,
bayam, kacang panjang, cabai dan sebagainya. Seingatku, kebun itu meski Pak Hamid menjaganya, ada
orang lain yang memilikinya Kata Pak Hamid, seorang
pengusaha. Pak Hamid disuruh mengawasi kebun buaK rtu.
Dari kamarku, aku bisa melihat nangka masak di kebun itu.
Atau melihat pepaya. Atau rambutan, yang kalau sedang
musimnya, daun kehijauan pohon rambutan itu . seperti
dihias dengan warna kemerahan buahnya. Menggiurkan.
Sekarang, jangan lagi pohon yang menggiurkan, yang tak
menggiurkan pun entah masih ada entah tidak. Rumah
besar bercat putih itu sungguh merusak lingkungan hidup.
Usai mandi dan usai sarapan, aku segera pergi
ke tempat rumah bercat putih terletak. Tetapi aku tak mau
melewati jalan depan. Aku lewat samping, menerobos
pagar batas yang terbuat dari bambu-bambu yangkebanyakan sudah setengah doyong. Sayangnya, aku tidak
lagi dapat meneruskan perjalananku menerobos pagar demi
pagar, begitu tiba di dekat rumah bercat putih itu. Pagar
rumah itu tidak terbuat dari bambu atau pun tanaman
hidup sebagaimana banyak dipakai oleh rumah-rumah
kampung. Pagar rumah itu terbuat dari besi yang dicat
hitam.
Kalau saja aku masih kecil, mungkin pagar itu akan
kulompati. Tetapi karena aku sudah seorang
wanita dewasa, terpaksa aku menuju ke jalan, di mana
pagar belakang rumah itu juga diberi pintu. Ada tombol bel
pintu di balik tembok tiang pagar itu. Aku ingin memijit bel
itu, tetapi tak jadi. Suara gonggongan dua ekor anjing
menyambut kehadiranku. Dan sebelum aku sempat berpikir
akan meneruskan niatku berkunjung ke rumah itu atau
tidak, dua sosok tubuh ke luar dari rumah untuk
menentramkan kedua ekor anjing yang masih terus
menggonggong itu. Bukan main senang hatiku demi
kukenali dua orang itu.
"Pak Hamid! Mbok Hamid!" seruku dengan gembira. Sama
sekali aku tak menyangka bahwa Pak Hamid dan istrinya itu
masih tinggal di tempat itu.
"Aduh .... Den Wati ya?" Mbok Hamid juga berseru.
Langkah kakinya bergegas menghampiri tempatku. "Mimpi
apa kita tadi malam ya Pak? Ada tamu dari jauh!"
"Tidak, Mbok. Sudah tidak dari jauh lagi. Saya akan
tinggal di sini kembali seperti dulu," sahutku tertawa.
"Wah, sudah selesai sekolahnya ya Den?" tanya Pak Hamid
menyambutku.
"Begitulah, Pak."
Kutunggu Pak Hamid membukakan pintu pagar untukku.
Kepada Mbok Hamid, aku meminta supaya anjingnya


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diawasi. Perempuan itu
tertawa dan mengambil rantai. Kedua ekor anjing itudiikatnya.
"Mari, silakan masuk!" kata mereka kemudian.
Aku melangkah masuk. Kuedarkan pandang mataku ke
sekeliling. Rumah bercat putih itu tampak indah memang.
Tanaman di sekeliling halamannya terawat dan teratur
rapi. Di halaman belakang yang kumasuki itu, masih tersisa
beberapa macam pohon buah.
"Rasanya aneh ya Pak? Dulu saya sering bermain-main
kemari tetapi keadaan dan suasananya jauh berbeda
daripada yang sekarang kulihat. Tidak ada lagi pohon
kecapi. Tidak ada lagi sayuran ..." kataku.
"Tetapi Den Wati masih bisa mencicipi jambu air," sahut
Pak Hamid tertawa, "Di samping rumah, pohon jambunya
sedang berbuah!"
"Jambu air yang dulu?"
"Ya, jambu air yang dulu ketika Den Wati suka memanjat
pohon mangga disampingnya. Tetapi dulu pohon jambu itu
masih kecil. Pohon jambu yang dulu sering kita petik, sudah
tua. Sudah ditebang."
"Pohon-pohon yang lain, Pak? Pohon belimbing misalnya?"
"Hanya tinggal sebuah-sebuah saja Den, lainnya
ditebang."
I "Sayang sekali
"Memang sayang. Tetapi Den Wati tak usah khawatir. Kalau
pohon itu berbuah, pasti akan m kami kirim ke rumah."
"Ya Den," sela Mbok Hamid, "Malah nangka- nya sudah
mulai berbuah. Nangkanya masih nangka yang dulu. Yang
daging buahnya tebal dan manis rasanya."
"Wah, saya jadi ngiler."
"Eh, biar pun bukan buah, saya punya rujakan. Manggamuda, pepaya muda dan ketimun. Di- 8 tambah jambu
airnya, lengkap sudah. Mau ya Den?" tanya Mbok Hamid
menyela.
Ir "Mau sekali. Saya jadi ingat waktu kita rujakan bersama
Mbak Ning," sahutku tersenyum.
I "Ya gumam Mbok Hamid, "Rasanya be- i lum begitu
lama. Sekarang Den Ning sudah mempunyai beberapa orang
putra. Saya pernah melihat putra sulungnya ketika berlibur
kemari bersama
g- suaminya." ,
"Saya sering rindu kepadanya. Sikapnya ke- p pada saya
seperti sikap seorang kakak."
"Ya, saya ingat itu. Den Ning sangat keibuan 1 ya?"
"Kalau membicarakan masa lalu, jangan ber- diri di sini,
ah!" Pak Hamid menyela sambil tersenyum, "Mari kita
masuk. Biar Mbok Hamid mengobrol sambil menyiapkan
rujak. Saya akan memetik jambu airnya. Yang bebas saja
lho Den. Seperti dulu'
"Ah, ya lain," sahutku, "Saya masih merasa asing dan aneh
berada di sini. Apalagi saya belum kenal yang punya
rumah."
Kesempatan. Percakapan ke arah yang memang ingin
kuketahui, dapat masuk dengan mudah. Kedatanganku
tidak terlalu tampak memperlihatkan rasa ingin tahuku.
"Tetapi Tuan Hari tidak begitu asing dengan keluarga Den
Wati. Dengan Den Harun dan Den Wiwid, mereka berteman
baik. Sepupu Den Wati sering kemari, nonton video. Atau
cuma sekedar mengobrol."
"Tuan Hari ...?" tanyaku mengulang nama itu. Rasanya,
kemarin malam Mas Dono telah pula menyinggung nama itu.
Apakah nama itu nama dari orang yang sama?
"Tuan Hari, pemilik rumah ini. Den Wati belum kenal
tentunya!" kata Mbok Hamid sambil menggamitku masuk ke
dapur. Dapur yang apikdan modern terpampang di hadapanku.
"Dia belum mau berkenalan denganku semalam, Mbok!"
Suara asing!
Aku cepat menoleh ke arah orang yang ikut campur bicara
itu. Di ruang makan yang berhubungan dengan dapur,
berdiri seorang lelaki. Dan lelaki itu lelaki yang telah
menatapku dengan kurang-ajar semalam.
Kesadaranku cepat bereaksi. Jadi, lelaki kurang-ajar itu
bernama Hari, tetangga baru yang dibicarakannya kemarin.
Jadi, lelaki kurang ajar itu pula yang memiliki rumah ini.
Rumah yang justru kubenci kehadirannya. Rumah yang
ingin kuketahui keadaannya!
"Kebetulan Tuan, berkenalan sekarang saja. Den Wati,
kenalkan itu majikan muda saya, Tuan Hari. Tuan Hari, ini
Den Wati cucu tetangga kita, Nyonya Sunardi."
"Saya tahu, Mbok," sahut lelaki bernama Hari itu.
Aku diam saja, tak ingin bergerak. Aku tak mau
berkenalan dengan lelaki itu. Aku sudah tidak menyukainya
dalam pertemuan pertama semalam. Dan sekarang, aku
lebih tak menyukainya demi mengetahui bahwa ia pemilik
rumah ini.
Sikap dinginku mungkin terasa oleh lelaki itu.
Diangkatnya kedua bahunya tinggi-tinggi.
"Nah, betul kan kataku tadi, la belum mau berkenalan
denganku!" katanya kemudian. Dan kemudian tanpa
menunggu reaksiku, ia segera berlalu.
Mbok Hamid menatapku dengan pandangan penuh rasa
sesal.
"Maafkan," katanya, "Mungkin ia agak tersinggung.
Biasanya, gadis-gadis berebut ingin ber-kenalan
dengannya."
"la harus tahu bahwa tidak semua gadis akan terpesona
oleh kegantengannya," sahutku.Mbok Hamid melemparkan kedua belah telapak
tangannya sendiri ke udara.
"Sudahlah ..., sudahlah katanya, "Kita bikin rujakan saja
sekarang ini." 1
Keinginanku makan rujak lenyap tanpa bekas, Tetapi
untuk tidak mengecewakan Mbok Hamid, aku tidak
memperlihatkannya terang-terangan kepadanya.
"Saya tak dapat lama-lama di sini, Mbok. Saya cuma ingin
tahu tentang rumah ini, tadi. Sama sekali saya tidak tahu
kalau Mbok Hamid masih di sini!" f
"Kami tak pemah pindah dari tempat ini, Den."
"Saya masih belum jelas apa hubungan Pak Hamid dengan
tuan rumah tadi. Mengapa Pak Hamid dan Mbok Hamid
masih tinggal di sini?'' tanyaku.
"Ayah tuan Hari adalah majikan kami, Den. Sudah lama
sekali, lama sebelum Pak Hamid me- nikah dengan saya.
Saya menjadi pembantu rumah- tangga dan Pak Hamid
sopir. Tetapi belakangan setelah Pak Hamid menubruk
orang, ia tak pernah lagi mau memegang kemudi. Oleh
Tuan, kami diminta menjaga kebunnya di sini. Sekarang,
Tuan sudah meninggal dunia. Semua hartanya dibariskan
kepada anak-anaknya. Tuan muda Hari mendapat tanah ini.
Oleh beliau, tanah ini dibangunnya menjadi seperti
sekarang dan kami diminta tetap bekerja di sini," jawab
Mbok Hamid, "Begitulah ceritanya."
"Jadi kalian tinggal di sini hanya bertiga saja?"
"Tidak. Ibu Den Hari tinggal di sini juga. Begitu pun
seorang kemenakannya, seorang janda setengah tua yang
diminta untuk menemani Nyonya."
"Ah, kalau begitu saya harus menemui mereka. Sungguh
tidak sopan saya duduk di dapur begini."
"Sudah saya katakan, di sini bebas Den. Mereka sedang ke
kota menengok kakak Tuan Hari yang sedang melahirkan.
Tetapi andaikata pun mereka ada di rumah, mereka justruakan merasa senang mendapat kunjungan dari seorang tetangga."
"Tetapi sebaiknya saya pulang dulu, Mbok. Lain kali kalau
ada ibunya, saya akan datang berkunjung untuk
memperkenalkan diri," kataku sambil bangkit. Aku tidak
ingin menyebut nama 'Hari' di depan orang. Karenanya, aku
tadi hanya mengatakan 'ibunya'.
"Rujaknya belum jadi, Den."
"Lain kali saja, Mbok. Saya pulang dulu Mbok Hamid tak
dapat menahanku. Bahkan Pak Hamid yang masuk ke dapur
dengan membawa buah jambu air ranum yang baru dipetiknya pun tak dapat menahanku lebih lama. Akhirnya
keduanya mengantarkanku sampai ke pintu pagar. I
"Sebetulnya saya ingin memperlihatkan bangunan rumah
ini, Den. Saya ingin membanggakan sedikit andil saya
mengenai pembangunannya," kata Pak Hamid.
"Ah, begitu saja disombongkan, Pak!" sela istrinya. "Itu
lho Den, Pak Hamid itu kan diminta oleh Tuan Hari untuk
ikut merencanakan bentuk-bentuk ruangan yang ada." ;
"Itu kan hebat, Pak. Tak apa sombong sedikit," kataku
tersenyum.
"Ah, hanya ikut mengusulkan supaya kamar mandinya
dibuat lebar atau dapurnya dibuat begini atau begitu saja
misalnya. Bukan sesuatu
yang hebat. Kalau mau dibilang hebat adalah Tuan Hari
yang mau mendengarkan usul saya yang bodoh ini. Itu saja."
' Aku tersenyum lagi.
"Kapan-kapan saya mau juga melihat-lihat rumah ini.
Apalagi Pak Hamid bilang kalau Pak Hamid ikut andil dalam
perencanaannya. Tetapi sekarang ini saya mau pulang dulu,
Pak. Terima
kasih atas penerimaan Pak Hamid dan Mbok Ha- mid ya,"kataku.
"Kapan kemari lagi?" tanya Mbok Hamid.
"Kapan-kapan," jawabku tersenyum.
"Jangan sungkan, Den Wati. Anggaplah keadaan di sini
seperti keadaan dulu semasa Den Wati masih kecil dan suka
memetiki buah."
"Terimakasih, Mbok. Saya tidak akan sungkan," sahutku
untuk menyenangkan.
"Syukurlah. Sampaikan salam hormat saya untuk Bu
Sunardi. Beliau sehat kan?"
"Belakangan ini sering sakit, Mbok. Maklum, sudah tua."
"Mudah-mudahan selalu sehat, ah. Bu Sunardi begitu
baik."
Aku hanya tersenyum saja untuk kemudian berlalu
menuju ke rumah kembali. Tetapi sepan- jang jalan menuju
ke rumah itu aku bertanya- tanya sendiri mengenai Hari.
Mengapa ia memilih bertempat tinggal di sini, di suatu
desa? Memang benar, desa kami terletak tak seberapa jauh
dari kota. Tetapi hampir-hampir tidak ada hiburan di sini.
Gedung bioskopnya hanya satu. Itu pun sangat sederhana.
Mengapa Hari mau tinggal di sini?
Tiba di rumah, Bude Rini menegurku.
"Kau tadi dicari Wiwid dan Harun. Mau diajak sarapan
bersama," katanya, "Dari mana kau?"
. "Dari dari rumah baru bercat putih lho, Bude."
"Lalu, kau menemui siapa di sana?"
"Pak Hamid dan istrinya. Mereka mengajak rujakan."
"Pagi-pagi begini?"
"Perut saya kuat kok Bude. Lagi pula, kami l tak jadi
membuat rujak. Ada urusan l a i n s a h u t I ku, "Kembali
mengenai Mas Wid dan Mas Harun, j Mereka pesan apa?" 1
"Tidak ada. Mereka hanya ingin makan bersamamu saja,"
sahut Bude Rini."Nanti malam kan kita makan bersama-sama." "Itu kalau
kau tidak diajak makan oleh Nak j Dono!" Bude lalu
tersenyum. Matanya mengan i dung godaan. Tetapi aku
pura-pura tak tahu. | "Mudah-mudahan Mas Dono mau
mengerti, jAku juga ingin makan malam bersama keluarga,"
sahutku.
Usai berkata, kakiku melangkah menuju ke kamarku. Aku
merasa capai, ingin tidur-tiduran, j Tetapi begitu mataku
melayang ke luar jendela, hatiku menjadi beku kembali.
Aku telah melihat
rumah itu lagi. Rumah yang menghalangi pan- j dang
mataku ke arah gunung kesayanganku! Ru- jmah Hari!
Aku tak suka kepadanya. Bahkan nyaris rnem- ! bencinya.
Apalagi jika mengingat sikapnya yang
acuh tak acuh kepadaku tadi. Apakah dikiranya 'aku tertarik
kepadanya? Apakah disangkanya aku mengagumi rumahnya?
Apakah disangkanya aku mengagumi kegantengannya?
Apakah ....?
Huh. Aku bukan gadis-gadis semacam gadis yang pernah
dikenalnya, yang mudah tertarik paras ganteng.
Merasa kesal oleh pikiran itu, kuhempaskan tubuhku ke
atas tempat tidur? Tanpa sadar, pandang mataku melayang
ke arah jendela lagi. Maka aku pun melihat lagi tembok
putih itu.
Kesal hatiku bukan main. Kupejamkan rapat- rapat
mataku agar tidak melihat tembok putih itu. Namun entah
karena aku memang masih lelah akibat perjalanan kemarin
atau karena terlarut oleh kejengkelan, aku tertidur tanpa
kusadari.
Entah berapa lama aku tidur itu, tak kuketahui.
Tahu-tahu saja aku sudah terbangun tatkala kakiku
digoyang lembut oleh Mbok Mi.
"Ada tamu mencari Den Wati," kata perempuan itu.
"Siapa?" '"Den Wati ke luar saja sendiri menemuinya, nanti kan
tahu orangnya. Saya dilarang mengatakan siapa tamu itu,"
senyum Mbok Mi.
"Siapa yang melarang?"
"Tamunya!"
Aku bangkit dari tempat tidur. Siapa tamuku? Ani, Fitri
atau Mimin? Ya, tentu Mimin Gadis genit itu pasti sudah
mendengar tentara kepulanganku!
Cepat-cepat aku membereskan letak pakaian, ku,
menyisir sedikit rambutku dan ke luar me. nemui siapa pun
tamuku itu. Tetapi alangkah kesal hatiku demi mataku
membentur mata tamu itu. Bukan Mimin, bukan Ani dan
bukan Fitri, Tamu itu, Hari! 1
"Mencari Mas Wid dan Mas Harun?" tanyaku S dengan suara
kaku. Kenapa tadi Mbok Mi bilang, tamunya khusus
mencariku? |
"Tidak. Mereka tentu sedang bekerja. Aku ?
datang kemari hanya untuk menemui mu. Ada titipan dari
Mbok Hamid. Itu Tangan lelaki itu menunjuk ke arah meja.
Aku baru melihat- nya. Di atas meja terletak sebuah
mangkuk ber- tutup serbet.
"Apa itu?" tanyaku. Masih kaku. Bahkan tanpa senyum
secercah pun. K'


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rujak. Segar dan enak sekali!"
Aku diam saja tak tahu harus mengatakan apa. Bahkan
aku tetap berdiri di tengah ruang tamu, sama seperti Hari
yang tetap tegak di am- bang pintu.
"Kursi-kursi di sini boleh diduduki kan?" tanya Hari
tiba-tiba.
Aku mengangguk. Kurang-ajar betul! Apa- k1
l lagi matanya mengandung tawa ketika ia dengan sikap
santai duduk di salah satu kursi.
"Duduklah. Silakan!" la berkata lagi.Dan sekali lagi pula
aku mengatainya sebagai lelaki kurang-ajar di dalam
hatiku. Mestinya aku yang if mengatakan seperti apa yang
dikatakannya itu! ilUntuk menunjukkan kedongkolanku,
aku tak
mau menuruti kata-katanya. Tetap berdiri dengan , sikap
kaku dan acuh tak acuh.
r "Duduklah." la mengulang lagi.
Kedongkolan hatiku meletup sudah.Ku-I gelengkan
kuat-kuat kepalaku.
"Kalau aku ingin duduk, aku akan duduk sendiri!" sahutku
ketus.
w I "Tentu saja. Aku tidak memintamu untuk duduk
bersamaku atau di pangkuanku!" kata
I : Hari seenaknya.
Letupan kedongkolan, berubah menjadi api.
! Kutentang matanya dengan berani.
"Boleh jadi Anda banyak disukai dalam pergaulan
terutama pergaulan dengan lawan jenis Anda. Tetapi aku
masih cukup mampu berpikir sehat. Jadi jangan bersikap
kurang sopan kepadaku. Paham?" semburku.
"He, rasanya aku cukup bersikap sopan kepadamu. Coba
tunjukkan hal mana yang menyebabkan kau mempunyai
kesan buruk terhadapku?" tanyanya dengan suara
mengejek..Mulutku kubuka. Aku ingin mengatakan bahwa sejak
semalam, ia sudah tidak sopan. Menatap seolah aku ini
hendak ditelannya mentah-mentah. Tetapi andaikata itu
kukatakan, tentu aku akan malu sendiri. Bagaimana jika ia
memang meru, punyai kebiasaan menatap orang semacam
itu? Bibirku yang terbuka, segera kukatupkan lagi,
Hari melihat itu. f
"Tak bisa menjawah eh?" gumamnya. Masih dengan suara
ejekan. p.j
"Maaf," kataku dengan sengit, "Aku tak suka j perdebatan.
Istimewa dengan seorang lelaki yang | belum kukenal
benar. Jadi ijinkanlah aku masuk ke dalam. Kalau kau ingin
bertemu kedua kakak sepupuku, nanti sore saja!"
Usai bicara, aku bergegas masuk. Masa bodoh dikatakan
tidak sopan. Aku tak mau berhandai- j handai dengannya!
Juga tak kuperdulikan apakah ia akan tetap duduk di situ
ataukah pulang ke rumahnya. Bagiku lebih baik meneruskan
pekerja- g
anku kemarin, membereskan pakaiandan milikku yang lain. Masih banyak yang harus kukerja- kan supaya
kamarku tampak lebih rapi dan kopor- ku bisa kusimpan ke
dalam gudang kembali.
Dua jam telah berlalu sejak aku meninggalkan Hari di
ruang tamu. Perutku telah lapar. Aku
terpaksa ke luar dari kamar.
Di ruang makan, meja makan telah rapiatur Mbok Mi. Bude Rini sedang duduk membaca
majalah di kursi malas. Demi melihatku, ia berkata:
Ada rujak. Kata Mbok Mi, rujak untukmu!"
Ya. Mbok Hamid yang mengirim," sahutku.
"Makanlah. Siang-siang begini tentu segar rasanya."
Aku mengangguk. Tetapi nenekku yang baru ke luar
dari kamarnya mengajakku makan siang lebih dulu.
"Sebaiknya makan dulu, Wati. Pagi tadi kau tidak
sarapan kan?" katanya.
Ya, aku memang lupa tidak sarapan. Huh, gara-gara
rumah bercat putih itu! Pantaslah perutku terasa
lapar sebelum waktu makan siang.
Makan siang hari itu terdiri dari oseng-oseng cabai
hijau dengan tempe. Ada sup oyong dan goreng ikan
bandeng. Masih ditambah sambal dan kerupuk. Aku
makan dengan lahap sekali. Masakan Mbok Mi memang
sedap.
"Enak?" tanya Bude.
"Yang mana?" tanyaku, balik bertanya.
"Oseng-oseng dan supnya."
"Enak," jawabku, "Cabai hijaunya terasa
segar."
"Baru dipetik. Kiriman Mbok Hamid. JugaOyongnya."
Mbok Hamid! Berarti yang kumakan ini hasil kebun
dari rumah Hari. Maka sadarlah aku bahwa hubungan
kekeluargaan di antara Hari dan keluar aku ci ku p
baik. Dan itu berarti, aku akan sulit membatasi diri
agar tidak berhubungan dengan lelaki itu. Padahal,
aku membencinya!
? Pikiran itu menyebabkan aku tidak begitu berselr makan ketika pada malam harinya aku makan
bersama Mas Wiwid dan Mas Harun juga. Nenekku
memperhatikanku.
"Tadi siang kau makan lahap sekali! Kenapa
sekarang kelihatan seperti menelan duri?" tanyanya.
"Kenyang, Eyang. Mungkin karena masih terisi
rujak!" sahutku memberi alasan.
Selesai makan, mas Wiwid dan Mas Harun
mengajakku duduk-duduk di belakang, di bawah
pohon kesayanganku.
"Kita main kartu," katanya. "Nanti kita panggil Mas
Don."
Aku mengangguk. Tetapi kami tidak segera bermain
kartu. Mas Dono belum datang. Mungkin sedang
makan.
Mas Harun yang biasanya senang mengganggu, kali
itu tidak tampak berselera untuk menggodaku. Aku
merasa kurang enak. Suasananya tidak sesantai yang
kuharapkan."Kau sakit Mas?" tanyaku.
"Tidak. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Kau sangat diam malam ini. Ya Mas Wid?"
"Heeh."
"Aku hanya sedang berpikir, apakah kau kemarin
malam marah kepadaku sehingga sebagai akibatnya, kau
membenci seseorang?"
"Apa sih maksudmu Mas?" tanyaku heran.
"Tadi malam, aku kan menggodamu di depan orang
lain. Yang kumaksud, Hari. Apakah kau merasa
tersinggung?"
"Tidak. Aku sudah sangat terbiasa dengan godaanmu.
Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Waktu aku pulang kerja tadi, aku dipanggil Hari ketika
lewat di depan rumahnya. Katanya, sikapmu kepadanya
tidak bersahabat. Bahkan tampak membencinya. Benar
begitu, Wati?"
"Heeh. Uh, pengaduan dia!" kataku terus- terang.
"Kenapa kau membencinya, Wati? Dia tetangga kita.
Baik pula orangnya!"
"Aku tidak menyukainya. Begitu saja, tak usah
kukatakan mengapa."
"Aku harus tahu. Masa kau membenci orang tanpa
alasan!"
"Yah, kalau kau mau tahu Mas, ia telah membangun
rumah tanpa memikirkan orang lain!
"Maksudmu?""Rumah itu menghalangi pandang mataku e. tiap aku
bangun pagi hari. Aku tak dapat lagj melihat gunung yang
biasanya mengucapkan se- lamat pagi kepadaku." 1
Mendengar sahutanku, kulihat sudut bibir Mas Harun
terangkat. I
"Kukira alasan apa!" gumamnya kemudian, Tampaknya
ia merasa geli. I
"Remeh ya?" dengusku merasa diremehkan, i "Tetapi
tidak bagiku. Kau harus mengerti bahwa setiap pagi, aku
selalu melihat gunung itu begitu jendela kamarku
terbuka. Itu sudah merupakan sesuatu yang selalu
kulihat demikian sejak masa kanakku. Aku merasa sangat
akrab dengan pemandangan itu. Dan sekarang? Aku
hanya melihat tembok putih! Bagaimana aku tidak
jengkel?!''
"Aku dapat memaklumi perasaanmu," sela Mas Wiwid.
"Tetapi kau toh bukan anak kecil lagi DikWati. Mas Hari
kan membangun rumah itu di atas tanah miliknya
sendiri. Kenapa kau harus marah kepadanya?" I
"Sudahlah, aku tak mau membicarakannya. Pokoknya
aku benci, ya benci saja. Kenapa harus , dipersoalkan?"
sungutku. fi
"Karena dia mengeluhkan hal itu kepadaku." "O, begitu
ya? Rupanya ia merasa bahwa setiap gadis harus bersikap
manis dan ramah kepadanya? Huh, tak sudi. Matanya
begitu ..., hiii
begitu ..." Aku tak dapat meneruskan bicaraku. Rasanya
tidak sopan kalau aku mengatakan mata Hari itu
kurang-ajar. Tetapi Mas Harun tidak mengerti itu. la
malah tertawa.
"Matanya begitu mempesona kan? la memang ganteng!"
Pujian Mas Harun kepada lelaki yang kubenci itumembuatku kesal.
"Aku membencinya!" kataku ketus.
"Gadis-gadis lain jelas tidak sependapat denganmu,
Wati. Hari mempunyai masa depan yang cerah, la
seorang seniman. Berwajah ganteng pula.
Ramah-tamah, pandai bergaul. Tidak som- ' bong dan
...."
"Pokoknya aku tidak menyukainya, biar pun ia
mempunyai sederet kelebihan. Titik!"
"Kau tidak menyukai apa?" Kudengar suara dari balik
perdu. Tak berapa lama kemudian, Mas Dono
menghampiri tempatku duduk-duduk bersama kedua
sepupuku itu.
"Dia membenci Hari. Bahkan pada pandangan pertama
pun!" Mas Wiwid yang menjawab.
Aku bangkit dari tempatku duduk. Mas Dono kuhela
menjauhi kursi.
"Ayo, kita jalan-jalan saja Mas. Aku benci kalau
mendengar pujian yang berlebihan!" gerutuku.
Di belakang, Mas Harun dan Mas Wiwid tertawa.
Mas Dono mengajakku berjalan menyusuri jalan
setapak di muka rumahnya, langsung menuju ke jalan
yang menghubungkan jalan ke arah kota, Kami berdiam
diri sampai sekitar sepuluh menit lamanya.
"Kenapa kau membenci Hari?" tanyanya kemudian.
Kepada Mas Dono, aku bisa lebih berterus- terang.
Memang, hubunganku dengan Mas Dono yang sudah
terjalin sejak masa kanakku bahkan di awal masa
kanakku, lebih erat daripada hubunganku dengan
saudara-saudara sepupuku yang jumlahnya cukup
lumayan. Mereka tidak tinggal di tempat yang sama.
Paling-paling, mereka hanya bertemu denganku jikaliburan atau jika mereka menjenguk Nenek.
"Aku tidak menyukai caranya menatapku. Baru
pertama kali melihatku saja sudah berani memandangku
sekurang-ajar itu!" sahutku terus- terang.
"Kurang-ajar bagaimana?"
"Yah, seperti mau menelanku mentah-mentah. Belum
pemah aku dipandangi seperti itu oleh seorang lelaki!"
"Alasanmu kekanakan," kata Mas Dono dengan suara
geli.
"Justru tidak. Kalau aku masih kekanakan,aku malah tidak akan tersinggung dipandangi i seperti itu.
Sudah begitu, ternyata ia pula yang telah membangun rumah
di kebun tempat kita dulu sering bermain-main," bantahku.
"Kebun itu milik keluarganya dan akhirnya menjadi
miliknya."
"Aku tak perduli. la telah menghalangi pandang mataku ke
arah gunung yang bisa kulihat dari jendela kamarku.
Sekarang, aku hanya dapat I melihat tembok putih dengan
gentengnya yang I berwarna kehijauan itu," sungutku, "Aku
tak , suka!"
I "Kebencianmu terdengar agak berlebihan jika I dibanding
dengan alasan yang kau berikan itu. Kau sudah dewasa, Wati.
Masa tidak dapat mengadakan kompromi dengan keadaan
yang berubah? Seharusnya, kau mau beradaptasi dengan
lingkungan yang baru ini!"
"Kau membelanya!"
"Bukan membela siapa-siapa. Tetapi kau kan harus mengerti
bahwa kemajuan tidak hanya ada f di kota-kota saja. Desa
kita sudah berlistrik selama ? sepuluh tahun, padahal di masa
kecil kita, desa kita ini gelap. Itu kemajuan. Dan selama lima
I tahun terakhir ini, sudah banyak Pak Tani atau Pak Haji
yang mengganti sepedanya dengan sepeda i motor yang lebih
gesit. Dan beberapa di antaranya sudah pula mempunyai colt
untuk disewakan atau pun untuk mengangkut hasil
kebunnya. Kau tidak menyesali tersingkirnya sepeda kan?"
"Itu lain. Hari telah membangun rumah di sebuah kebun
yang subur. Itu kan merusak alam." "la telah menanam
pohon buah yang lain di halaman samping dan belakang
rumahnya. Lebih terawat dan lebih subur sebab ia memberi
pupuk j yang baik dan kalau kena hama penyakit, ia akan I
mengobatinya dengan tepat pula. Wati, jangan- I lah
memperbesar persoalan." 1"Tetapi rumahnya telah menghalangi mata- f ku! Aku tidak
lagi dapat melihat gunungku!" I "Kau masih dapat melihatnya
kalau kau ke luar kamarmu!"
i ' ? p
"Ah, itu tidak berseni. Sudahlah Mas, jangan membelanya.
Tak ada gunanya. Pokoknya, aku membencinya!"
Wati,hati-hatilho. Jangan mengumbar ke
bencian tanpa alasan yang tepat!" I
"Kenapa?"


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Membenci seorang lelaki berarti memikirkannya. Dan
memikirkannya secara mendalam begitu, bisa gawat
akibatnya. Benci bisa jadi yang sebaliknya. Yaitu perasaan
cinta!" sahut Mas Dono sambil tertawa.
Tetapi aku tidak tertawa. Kata-kata itu seperti memukul
perasaanku yang terdalam. Aku pernah mendengar hal yang
sama. Temanku se-kamar, menceritakan tentang kakak
perempuannya yang menikah dengan lelaki yang pernah begitu dibenci!TIGA
SETELAH menulis surat lamaran kerja sebanyak lima kali
kepada perusahaan yang berlainan, baru sekarang aku
dipanggil untuk wawancara. I
Hari itu kukenakan blus lengan panjang berwarna putih
yang manis sekali kukenakan, dan rok kotak-kotak kecil biru
dan putih. Kupakai sepatuku yang juga berwarna putih.
Demikian juga tas tanganku. Rasanya, aku tampak rapi dan
pantas sebagai seorang karyawati. Soal diterima atau
tidaknya, itu soal belakang. Sekarang, aku harus
? memberi kesan yang baik. Sopan, manis dan rapi Mas Dono
bersiul menyambutku tatkala ia membukakan pintu mobil
untukku. ;"Melihatmu secantik ini, sukar orang akan menolak
lamaran kerjamu," katanya.
"Apalagi kalau melihat caraku bekerja,"
sambungku.
"Laut siapa yang menggarami he?"
Aku tertawa. Pagi itu hari terasa sangat cerah
rasanya. Besar harapanku diterima, sebab saingan- ku
yang sama-sama akan diwawancarai, telah bersuami
dengan tiga orang anak. Perusahaan akan menghadapi
resiko harus memberi cuti hamil atau ijin karena salah
seorang anaknya sakit. Ya, siapa tahu kan?
Dan memang, aku diterima bekerja di suatu
perusahaan yang cukup lumayan besarnya itu. Kantor
itu kantor cabang dengan kantor pusatnya di Jakarta.
Pulang dari tempat itu, aku berjalan menyusuri
trotoar yang menghubungkannya dengan kompleks
pertokoan. Kalau aku bekerja, aku tidak lagi perlu
berhemat-hemat. Jadi aku akan sedikit berbelanja.
Entah apa yang nanti akan menarik minatku. Blus
ataukah gaun. Sepatu, ataukah tas. Yang jelas, aku
akan membeli beberapa macam buku dan makanan
kering untuk nenekku dan Bude R ini.
Ada kalau dua jam aku hilir-mudik di kompleks
pertokoan itu. Tanganku penuh dengan bawaan. Aku
ingin segera pulang dan mencari colt yangmenuju ke luar kota. Menunggu pulangnya Mas Dono, terlalu
lama. Masih empat jam lagi baru kantornya bubar.
: Sedang aku mencari-cari colt kosong di tepi jalan arah ke
luar kota, sebuah sedan berwarna putih menghampiriku. Aku
agak terkejut demi
melihat siapa yang duduk di belakang kemudinya. Hari!
Selama dua minggu aku di rumah nenek kembali, beberapa
kali kami berpapasan. Dan hampir selalu aku membuang
pandang ke tempat lain. Kalau ia sedang datang berkunjung
dan duduk ramai-ramai dengan kedua sepupuku mau pun Mas
Don, aku menghindari tempat itu. Bahkan apabila ia datang
dan masuk ke rumah untuk mengantarkan kiriman buah
pepaya, aku memanggil Mbok Mi untuk menerima buah itu.
Aku sendiri masuk ke kamar jadi untuk apa ia sekarang
menghampiriku? Dan kenapa ia dapat melihatku berdiri di
sini? Meski pun kota ini bukan kota besar, bertemu muka
dengan seseorang yang kukenal di sini, justru di hari pertama
aku mengurus soal pekerjaan, terasa agak aneh juga. Ingin
membuang wajahku ke tempat lain, rasanya kurang pantas.
Orang akan menyangka aku sedang digoda lelaki nakal. Jadi,
aku terpaksa menatap' nya juga.
"Mau pulang?" tanya lelaki itu.
Aku mengangguk.
"Aku juga mau pulang," la berkata lagi.
Aku diam saja.
"Ayo, naiklah. Kita toh sama-sama sejalan dan setujuan,"
katanya lagi.
Dan aku pun menggeleng lagi. Juga tanpa bersuara.
"Naiklah. Jangan jual mahal. Aku akan mengatakan hal
yang sama meski pun tetanggaku seorang kakek ompong yang
jelek, adi, kau kuajak bukan karena kau seorang gadis muda
yang cantik. Paham?"
Kukertakkan gerahamku demi mendengar kata- katanya.Tetapi seperti tadi, aku hanya diam saja. Cuma mataku saja
memancarkan perlawanan dan penentangan. Aku tak suka
ikut mobilnya!
"Wati," katanya seolah ia sudah terbiasa memanggil
namaku. "Ajakanku ini berdasarkan segi etik dan segi moral.
Suara hatiku bilang, sangat tidak pantas membiarkan
tetangga dekat menunggu colt di bawah siraman panas
matahari yang terik sementara aku naik mobil yang luas,
hanya seorang diri. Enak-enak sendirian. Jadi, naiklah."
"Tidak."
"Lihat, ada orang yang memperhatikan kita. Aku tak suka
disangka penculik gadis cantik. Naiklah. Kalau tidak, akan
kupaksa dengan menggendongmu. Nah, satu dua ti
Aku terpaksa naik ke dafam mobilnya, duduk di sisinya.
Sialan.Sialan.Sialan.
Rupanya Hari tidak perduli apakah aku mau diam saja
sepanjang perjalanan ataukah akan menggerutu. la lebih
asyik dengan lagu-lagu yang di- jputarnya dan ikut menyanyi
perlahan-lahan. Suaranya lumayan. Tetapi aku tak ingin
men- I dengarkan. Untuk itu, aku berusaha mencurah- I
kan perhatianku kepada pemandangan di sisiku. 1
Entah ada kalau satu jam perjalanan, ketika f
mobilnya mulai mendekati desa kami, Hari baru ?
menoleh kepadaku.
"Diterima?" tanyanya kemudian,
"Apanya?"
"Lamaran kerjamu."
Aku terdiam. Baru setelah beberapa saat lama- , nya aku
bersuara.
"Dari mana kau tahu bahwa aku melamar | pekerjaan?"
tanyaku dengan suara ketus.
"Aku tidak tuli. Dan orang lain tidak bisu!" Aku menyumpahdalam hati. Tetapi Hari tidak perduli bahwa sumpahan hati
itu memberi kesan galak pada air mukaku.
"Kau belum menjawab pertanyaanku!" katanya.
Aku mengangguk. Hari bertanya lagi: I
"Wawancaramu tadi berhasil baik?" "Dari mana kau tahu
bahwa aku datang ke kantor untuk wawancara?"
"Sudah kukatakan tadi, aku tidak tuli dan orang lain tidak
bisu. Pula, Mas Donomu memintaku supaya mengajakmu
pulang kalau aku ke kota hari ini!"
"Jadi kau tadi sengaja mencariku?" tanyaku sengit, "Dan
jangan mengatakan Mas Don itu Mas Donoku."
Hari tertawa ringan. Kurang-ajarnya. Suara tawanya enak
didengar!
"Aku bukan saja mencarimu," katanya kemudian, "Tetapi
juga mengawalmu dengan diam- diam. Sejak ke luar dari
kantor, sampai tanganmu penuh barang belanjaan. Hm,
rupanya setelah tahu diterima, kau jadi boros ya?"
"Itu urusanku!" bentakku, "Dan ingat ya, jangan
sekali-sekali lagi membuntuti orang. Itu sungguh tidak
sopan."
"Tetapi itu bukan kemauanku. Donomu yang menyuruhku."
"Donoku, Donoku! Kau terlalu rendah memandang
hubungan kami!"
"Jadi, sifatnya agung ya?"
"Jangan menghina," bentakku lagi.
Hari mengikik. Alangkah ingin hatiku menampar pipinya.
Kutatap ia dengan penuh kebencian. Apa yang lucu padaku?
Tiba-tiba ia menoleh. Dan matanya agak meredup demi
bertubrukan dengan sinar mataku yang mengandung api
kebencian. 1
"Kau tak bisa diajak main-main rupanya ..." gumamnya
kemudian.
"Aku memang bukan barang permainan!"
"Dan pandai berbicara tajam pula!""Sialan!"
"Ah, juga pandai menyumpahi orang."
Aku menahan nafas. Rasanya, dadaku ingin meledak.
Tetapi untunglah mobil telah masuk batas desa kami. Aku
tak berani gegabah bertengkar di jalan. Khawatir terlihat
orang sebab di desa ini, orang-orang seperti kami yang bukan
penduduk asli desa, merupakan pusat perhatian.
Begitu mobil berhenti, begitu aku turun dan berlari masuk
ke halaman, tanpa mengucapkan terima kasih. Untuk apa?
Aku toh tidak minta diantar.
Malamnya setelah makan, aku pergi ke rumah Mas Dono
lewat belakang seperti biasanya. Aku marah kepadanya.
"Kenapa lelaki itu kau suruh memberi tumpangan
kepadaku?" tanyaku berapi-api, "Bukankah kau sudah tahu
bahwa aku tidak menyukainya?"
"Sabar, jangan marah dulu. Aku memintanya supaya
mengajakmu ikut ke mobilnya karena
aku tahu ia cuma sebentar di kota. Daripada pulang naik
colt, kan lebih aman bersamanya. Kurasa permintaanku itu
wajar!" sahut Mas Dono.
"Memang wajar kalau lelaki itu bukan Hari."
"Ingat Wati, kebencian bisa menjadi yang sebaliknya."
Aku mencibirkan bibirku.
"Tak mungkin. Dia bukan lelaki yang bisa dipercaya,"
dengusku.
| "Lho, kok begitu?" Pokoknya aku berani bertaruh potong
lidah,
I ia pasti termasuk lelaki yang mudah jatuh cinta I dan mudah
pula melupakannya. Caranya bicara dan bersikap,
memperlihatkan bahwa ia bukan . saja tidak canggung
berhadapan dengan wanita , tetapi juga ahli."
"Karena ia tampan?" tawa Mas Dono.
"Itu juga punya andil mengapa ia mempunyai peluang
untuk mendekati gadis-gadis. Apalagi
'via kaya. Gadis-gadis tentu antri. Dan tampaknya, ia bukan
jenis lelaki yang bisa tahan dari godaan."
"Aduh, penilaianmu hebat juga. Apa yang dikatakan Hari
kalau ia mendengar bicaramu itu," ! kata Mas Dono sambil
tertawa lebar.
Tetapi apa pun yang akan dikatakan Hari I andaikata ia
mendengar - penilaianku, aku tetap t merr\percayai apa yang
kukatakan sendiri itu. Lebih-lebih karena aku beberapa kali melihatnya ber. sama
gadis yang berlainan. Dan aku tahu, gadis itu bukan gadis
desa kami sebab gadis-gadis desa kami, aku kenal mereka.
Pula, kebanyakan di an- tara mereka kalau tidak sudah
menikah, tentu masih bersekolah di kota. IH
Dari Mbok Hamid, aku pernah mendengar bahwa Hari juga
sering mengajak teman-teman j wanitanya berkunjung ke
rumah. Lebih-lebih jika ibunya sedang bermalam di rumah
salah seorang anaknya yang lain. Mendengar itu, kebenci- t
anku kepada Hari semakin kuat. Dugaanku bahwa ia
termasuk lelaki hidung belang, mulai terbukti.
Selama ini, aku masih belum berkenalan dengan ibu Hari.
Baru kemudian ketika nenekku r menyuruh mengirim
manisan mangga ke rumah Hari, aku sempat bertemu dengan
beliau. H
Berbeda dengan anaknya, perempuan setengah baya itu
tampak lembut, la masih tampak j cantik meski usianya
sudah di atas limapuluh lima, la juga ramah sekali. Kiriman
nenekku di- timang-timangnya seolah makanan itu makanan
dewa-dewa.
"Manisan mangga adalah kesukaanku, Wati!'1 I katanya
berulang-ulang. Entah benar entah tidak, kerendahan
hatinya telah merebut hatiku.
la tidak mengijinkan aku segera pulang. Di' ajaknya akumelihat-lihat rumahnya."Kedua sepupumu sering mengobrol
dengan Hari di sini," katanya sambil memperlihatkan sebuah
ruangan di mana di dalamnya terletak pesawat televisi dan
video.? Ruangan itu tidak begitu besar, tetapi tampak akrab.
"Dan ini ruangan santai tempat Hari bekerja juga!" katanya
ketika membawaku ke ruangan lain. Ada sebuah piano besar
di situ. Juga ada rak- rak buku yang isinya penuh. Dan di sisi
sebelah sana, terdapat perlengkapan stereo set.
"Mungkin kau pernah terganggu oleh suara pianonya ya
Wati?" tanyanya sambil mengelus muka tutup piano besar
itu. "Tidak. Tidak terdengar sampai ke rumah." "Juga pada
malam hari? la sering bekerja pada malam hari."
"Ibu menanyakan tentang suara piano kan?" "Ya."
Aku tersenyum.
"Tetapi Ibu mengatakan bahwa Hari suka be- ; kerja
malam," kataku, i' Sekarang ibu Hari yang tersenyum.
"Bekerja malam yang kumaksud adalah juga p bermain
piano. Apakah kau belum tahu?" tanya- J nya kemudian.
"Tahu tentang pekerjaannya?" Aku balik ( bertanya.
Samar-samar aku teringat kata-kata Mas Harun. Hari,
seorang seniman. Apakah lelaki itu seorang musikus?
"Ya," jawab ibu Hari.
"Saya hanya tahu bahwa ia seorang seniman." "Benar.
Tepatnya, seorang pengarang lagu. Mula-mula ia memang
mengarang lagu- sebagai j kesenangan saja, tetapi
lama-kelamaan, karangan- jnya mulai dipasarkan. Dan laku!"
1 Laku? Tiba-tiba aku seperti diingatkan kepada I sebuah
nama yang mirip. Aku pernah membaca j tentang pengarang
lagu bernama Hari S. Apa- kah orang itu Hari? I
"Apakah ia pengarang bernama Hari S.?" I tanyaku
kemudian."Ya, memang benar. Dialah orangnya," sahut I yang
kutanya dengan kebanggaan yang masih J kental.
Meski aku tadi sudah mempunyai dugaan tentang
kebenarannya, penjelasan perempuan itu toh telah
menyentuh perasaanku. Ironis rasanya. Aku menyukai
lagu-lagu karangannya. Selalu enak didengar dan pas dengan
isi kata-katanya. Tidak terdengar mengada-ada.
Sungguh sukar mempercayai bahwa pengarang lagu yang
kukagumi itu adalah Hari yang ku- j kenal sebagai lelaki
kurang sopan dan termasuk , hidung belang itu. Lebih-lebih


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika diingat bahwa setiap kami bertemu, setiap itu pula
pandangan | . beku terpancar dari mata kami. Menurut
pendapat'
ku yang mungkin kedengarannya naif, seorang pengarang
lagu adalah orang yang halus dan lem- i but perasaannya.
Dan tidak seperti Hari yang ku kenal.Bakat itu diturunkan
dari ayahnya almarhum, kata ibu Hari meneruskan
kebanggaannya, "Dulu, ayahnya suka sekali mengarang lagu
untuk anak-anak. Pernah juga mengarang lagu-lagu perjuangan."
"Keluarga seniman ...'gumamku.
"Tidak. Hanya Hari saja yang mempunyai bakat itu.
Saudara-saudara lainnya lebih banyak mewarisi bakat
almarhum sebagai usahawan."
"Tetapi toh mempunyai hobby terhadap musik."
"Ya, memang. Nah Wati, kau mau minum apa? Ada
bermacam-macam sirup di sini. Kemenakanku sedang
mencoba membuat bermacam rasa sirup."
"Mana yang enak?" tanyaku tersenyum.
"Sirup asam ya? Rasanya lain dari yang lain. Segar. Mau?"
Aku mengangguk dan ibu Hari menyuruh Mbok Hamid
membuatkan minuman. Kami duduk di teras depan sambil
menunggu minuman ke luar."Setelah beberapa tahun hidup di kota besar, apakah kau
kerasan tinggal di desa lagi? tanyanya."Tentu saja, Bu. Di desa ini saya dilahirkan dan
dibesarkan. Dan di desa ini pula saya mendapatkan
kedamaian. Lagi pula, desa kita ini kan tidak terlalu jauh
dari kota. Memang bukan kota besar seperti kota tempat
saya kuliah waktu itu. Tetapi toh cukup mempunyai
beberapa tempat kebutuhan masyarakat. Rumah sakit,
pertokoan, pasar, sekolahan dari TK sampai SMA. Bahkan
di desa kita ini pun ada SMP ? nya."
"Benar. Desa sekarang memang berbeda dengan desa
pada masa-masa lalu. Lebih-lebih jika letaknya tidak
terlalu jauh dari kota. Jalan beraspal, listrik dan fasilitas
lainnya lebih mudah masuk kemari."
"Ibu sendiri kerasan tinggal di sini?"
"Yah, kadang-kadang merasa kesepian. Di kota,
kenalanku banyak. Lebih-lebih setelah suamiku
meninggal, aku mudah merasa kesepian. Tetapi tinggal di
sini memang terasa lebih tenang. Hari menyukainya.
Tetapi ia masih muda dan bisa pergi ke mana-mana
sendiri. Mondar-mandir ke kota setiap saat tidaklah
menjadi halangan baginya!"
"Kalau Ibu tidak keberatan, disela kesibukan saya, saya
mau menemani Ibu!" kataku begitu saja. Hatiku tergerak
oleh keluhannya tentang rasa sepi yang dideritanya. Aku
pernah mengalaminya ketika bulan-bulan pertama aku
tinggal di kota besar yang asing. Tak punya kawan dan
situasi yang berbeda menimbulkan rasa gentar. Sekarang mendengar keluhan ibu Hari itu, hatiku j( jadi
tersentuh. Dari mulutku, aku meluncurkan ? janji yang
begitu saja kuucapkan.
. "Ah? senang sekali, Wati. Kau baik sekali." Ibu boleh
datang ke rumah kami, kapan saja. Jangan sungkan. Di
desa, rasa kekeluargaan lebih besar dibanding jika tinggal
di kota. Dan pula, tetangga adalah gantinyasanak-pamjli. Tempat i'1 tinggalnya lebih dekat dan
pergaulan lebih sering J terjalin. Sedangkan
sanak-keluarga, rumahnya kan i jauh, Bu."
"Kau benar. Baiklah aku akan sering mengunjungi
rumahmu. Kudengar, belakangan ini nenek- H mu sering
sakit-sakitan ya?" ,
"Maklum sudah tua." Percakapan terhenti. Mbok Hamid meletakkan dua gelas
berisi es sirup dan sepiring kue. Tentu . hasil buatannya.
Cicipilah, Wati!" kata ibu Hari kemudian.
Sirup itu memang segar. Aku sedang menik- I8 mati
rasanya sewaktu kami yang duduk di teras
itu melihat mobil Hari masuk ke halaman. Ah, kalau tahu
ia akan pulang secepat itu, aku tidak mau diajak duduk
mengobrol oleh ibunya. Seka- f rang mau pergi, jelas akan
terlihat tidak sopan. I Jadi terpaksalah aku tetap duduk
dengan gelas
masih di tangan.
Begitu turun, lelaki itu memberi kecupan di pipi ibunya.
Tampaknya, hubungan mereka sangat erat.
"Har, ini Wati disuruh neneknya mengirimkan manisan
mangga. Cicipilah. Kuletakkan di atas meja makan. Kalau
sudah, coba bermainlah piano untuk kami. Wati, baru
tahu bahwa kau seorang pengarang lagu," kata ibunya.
Hari melirikku sekilas. Aku memperlihatkan mimik
muka tak perduli supaya ia tahu bahwa kata-kata ibunya
itu tidak menarik minatku. Tetapi ternyata lelaki itu
mempunyai cara untuk menundukkan diriku.
"Aku tak menyangka bahwa kau mempunyai perhatian di
bidang musik. Baik sekali itu, Wati!" katanya. Ada tawa di
matanya. Kurang-ajarnya! Sayang aku tak bisa berbuat
apa-apa di hadapan ibunya. ? ?
"Lekaslah. Mainkan ciptaanmu yang terakhir itu, Har.Apa namanya?" desak ibunya.
"Belum ada namanya!"
"Tak apa. Yang penting kan lagunya. Soal nama bisa
dibuat belakangan!" ?
"Tetapi kata-katanya pun belum kubuat, Bu," sahut Hari
sambil masuk ke dalam. Ketika ia ke luar lagi, pakaiannya
sudah ganti, la mengenakan kaos oblong berwarna putih
yang tampak
santai. Keringat yang semula bertitik-titik di dahinya
telah lenyap.
Melihat itu, ibunya mengajakku berdiri.
Ayo, kita ke sana," katanya. Dan kepada Hari, ia
memintanya supaya segera bermain piano.
Dengan apa boleh buat, aku terpaksa mengekor di
belakangnya. Hari segera duduk di muka piano dan
membuka tutupnya. Dari laci kursi piano, ia mengambil
buku musik. Dan tak berapa lama kemudian, terdengarlah
sebuah lagu yang manis. Enak sekali didengar sehingga
mau atau pun tidak, aku ikut terhanyut menikmatinya.
"Bagaimana Bu? Sudah lebih bagus daripada kemarin?"
tanyanya begitu lagu itu usai.
"Ya. Bagus sekali," jawab yang ditanya, "Bagaimana
pendapatmu Wati?"
"Wah, saya tidak tahu. Saya bukan ahlinya!" sahutku
gugup.
"Hari lebih suka mendengar pendapat awam sebab
lagu-lagunya lebih banyak dinikmati orang banyak
daripada dinikmati para ahli musik!" senyum ibu Hari.
"Rasanya masih ada yang kurang ..." Hari menggumam
sambil mencoret-coret buku musik. Dari tempatku duduk,
aku melihat ada beberapa coretan lain. Rupanya sebelum
jadi lagu, Hari harus berulang kali merubah pada
bagian-bagian tertentunya."Apakah kau merasakannya, Wati?" tanya ibunya, "Aku
tidak."
"Ya, memang ada yang terasa agak kurang mantap,"
sahutku asal saja. Aku hanya ingjn memperlihatkan bahwa
keahliannya bermain musik itu tidak membuatku kagum. j
Mendengar bicaraku, Hari menoleh. Ada binar- binar di
matanya. . j
"Bagian yang mana?" tanyanya.
Mati aku. Mana aku tahu? Otakku kuputar.
"Coba ulangi supaya telingaku bisa mendengar lebih
baik," sahutku kemudian. Tentu saja itu hanya alasanku
saja.
Ibu Hari tertawa.
"Nah, kalian bisa membicarakan lagu itu bersama-sama.
Kau kutinggal ya Wati. Aku akan mengajari Mbok Hamid
membuat ayam kodok. Kau nanti makan siang di sini ya
...?" J
Aku tergagap.
"Sa saya ...."
"Ayolah, jangan menolak. Kau tadi sudah berjanji untuk
sering menemaniku kan? Minggu- minggu begini aku
memang sengaja memasak agak I istimewa. Cicipilah
masakanku. Tahan dia di sini sampai makan siang, Hari!"
Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Sulit me nolak
ajakan semacam itu. Terpaksalah aku rneng iyakan meski
dengan berat hati. Ibu Hari tersenyum gembira untuk
kemudian masuk ke dapur.
"Rupanya, bisa juga kau bersikap murah kepada orang,"
gumam Hari.
Aku diam saja. Hanya mataku kubuat keras. Bencinya,
dia malah tertawa, tahu bahwa aku tak bisa banyak
berkutik di rumah ini."Nah, kau belum menjawab pertanyaanku tadi kan? Aku
akan memainkan lagi lagu tadi, coba dengarkan, mana
yang menurut pendapat- mu kurang mantap tadi."
katanya kemudian.
Tanpa menunggu sahutanku, Hari mulai memainkan
pianonya. Aku terpaksa mendengarkan lagu itu dengan
lebih cermat. Siapa tahu aku mempunyai kesempatan
untuk menunjukkan kekurangannya? Kan hebat.
"Kedengarannya lagu itu memuja alam ..." kataku
kemudian. Iseng saja sebenarnya sebab lagunya terdengar
agak mendayu-dayu. Tetapi tak kusangka Hari
menghentikan permainan dan menoleh cepat ke arahku.
"Memang begitu. Telingamu tajam rupanya!"
katanya gembira.
"Tambah lagi. Waktu itu kau bilang, mulutku
yang tajam."
Hari terbahak.
"Ada lagi tambahan lainnya. Kau juga pandai
membalikkan kata-kata," katanya.
Aku diam saja. Hari melanjutkan pembicaraan ke arah
pokok persoalan.
"Kembali ke soal tadi, lagu itu memang kubuat untuk
memuja alam," katanya. "Nah, kuulangi ya lalu katakan
mana yang kurang."
Seperti tadi tanpa menanti persetujuanku, ia mulai
memainkan lagunya. Lebih dengan perasaan. Dan
tiba-tiba aku merasa adanya yang kurang. Bukan
mengada-ada seperti kataku semula.
"Stop!" kataku tak sadar, "Ulangi bagian terakhir tadi."
Hari menurut. Dan aku berteriak menyuruhnya berhenti
lagi. "
"Bagaimana kalau bagian akhir dari baris itu, nadanya
ke atas dan bukan mengambang begitu...," kataku, "Eh,
maaf ..., aku tak tahu istilah musik."
"Maksudmu, aku harus menaikkan akhir dari bait tadi
satu oktaf di atasnya?""Ya, cobalah. Tetapi hanya dua atau tiga note saja.
Bukan satu bait. Sudah bagus kok ...."
Hari menurut lagi. Untuk beberapa saat lamanya ia
mencoba-coba mencari bunyi note yang cocok. Setelah
itu mencoretkan di atas bukunya, dan mulai main.
"Bagaimana, lebih bagus kan?" tanyaku begitu ia selesai
memainkannya.
"Ya, kurasa demikian. Lebih lembut kedengarannya."
"Tetapi kalau pendapatku itu kau rasa tidak k benar, biar
saja seperti semula. Jangan dirubah.
Sudah kukatakan, aku tidak begitu tahu tentang j
musik."
"Kau tahu. Kau bisa memainkan musik apa?" "Musik?
Huh, aku tak tahu apa-apa. Aku hanya bisa menikmati
saja. Apalagi di rumah, tak ada
k alat musik satu pun."
"Mau kuajari bermain piano?" tanya Hari, "Aku yakin kau
berbakat."
,rii Tiba-tiba aku lupa kebencianku kepada lelaki itu.
Mataku membesar, i' "Bo boleh ...?" tanyaku,
b "Asal kau mau."
lili Aku belajar piano? Ah, mimpi pun aku tak pernah.
Piano adalah benda mahal yang tak per- ds nah
kupikirkan. Meski di rumah Bude Tiwi, kakak ibuku yang
lain, ada sebuah piano, melirik pun l0iaku tidak. Aku tahu
diri, itu bukan barang permainan anak-anak semacam
diriku.
Sekarang, Hari menawarkan sesuatu yang tak pernah
kupikirkan! Dan secara tak terduga, tiba- 0 tiba saja aku
sudah menjadi 'murid'nya. la mengambil buku musik yang
masih kosong dan menulis lagu kanak-kanak yang mudah.
"Kau tentu tidak bisa membaca note balokya? Atau masih ingat pelajaran di sekolah dulu?"
"Terus-terang, lupa."
Kalau begitu, aku akan membuat note ba|0| dan di
bawahnya kau bisa membaca tulisan ang| notenya. Tetapi
harus dihapalkan di garis mana letak do dan seterusnya.
Itu untuk lagunya, me. lodinya. Tangan kanan yang
memainkannya, Tangan kiri, untuk iringannya. Nanti
kutulis note apa saja yang harus kau tekan dengan tangan
kiri- mu dan apa nama Chord atau accordsnya!" "
Begitulah. Siang itu aku diberi pelajaran dasar bermain
piano. Memang jemariku sudah kaku, tetapi kemauanku
masih cukup luwes untuk menangkap pelajaran.
Mula-mula agak sulit bagiku membagi kedua belah
tanganku dengan gerakan yang tak bersamaan, tetapi
lama-kelamaan mampu juga aku menguasai gerakan
tanganku. Hari itu aku belajar lagu berirama
tigaperempat yang mudah, dengan kunci C.
Maka, ditambah dengan makan siang yang lezat, aku
pulang 'ke rumah dengan gembira. Rasa permusuhanku
terhadap Hari, lenyap begitu saja. Apalagi-ternyata
bahwa ia enak juga diajak berteman. Bagiku yang
penting, aku harus pandai menjaga jarak agar tidak
disamakan dengan teman- teman gadisnya yang lain, yang
antri mendapat kan perhatiannya.
Mula-mula aku merasa agak sungkan W belajar piano
dengannya. Bukan saja karena a terpaksa harus sering
datang ke rumahnya, tetap'\ juga karena ia memberiku kursus secara gratis. Padahal
dari Mbok Hamid, aku pernah mendengar bahwa lelaki itu
mempunyai murid-murid piano di rumahnya ketika masih
di kota.
Tetapi sebabnya ia begitu bersemangat memberiku
pelajaran, karena katanya aku berbakat, rasa sungkan itu
kuhilangkan. Apalagi setiap kedatanganku selalu memberi


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegembiraan kepada ibunya. Perempuan yang hanya
mempunyai seorang anak perempuan di antara keenam
anak lelakinya itu, menyukai diriku rupanya. Aku pun
menyukainya. Kehadirannya telah menolong diriku dari
rasa kurang enak sebab sungguh akan terlihat janggal jika
orang melihat aku sering datang ke rumah seorang lelaki.
Sayangnya, sebulan setelah aku belajar bermain piano,
salah seorang kakak Hari menjemput perempuan itu dan
dibawanya ke rumahnya, di kota lain. Memang hanya satu
atau dua minggu saja. Tetapi aku merasa tak enak.
Sepupu Hari yang sedang berlibur ke sanak keluarganya
juga belum kembali.
"Selama ibumu pergi, pelajaran piano kita hentikan dulu
ya?" usulku.
"Kenapa?"
"Aku merasa kurang enak. Apa nanti orang bilang?"
"Tak ada yang melihat. Dan kalau pun ada
yang melihat, mereka toh lebih banyak men dengar suara
piano. Kita kan tidak berbuat yang bukan-bukan. Pula,
ada Mbok Hamid dan Hamid."
Mereka di belakang!"
Kau takut kepadaku?"
Tidak," sahutku sambil mencoba untuk tidak tersipu, "Aku
takut omongan orang.""Mereka tidak tahu. Sudahlah, kalau kau tidak takut
kepadaku, kita mulai lagi pelajaran pianonya."
Biasanya, aku lebih berkonsentrasi kepada apa yang
sedang kuhadapi, tetapi sore itu aku tak mampu berpikir
tenang. Kesadaran bahwa kami hanya berdua saja
membuatku merasa risih di- samping tak enak. Akibatnya,
aku sering memijit note yang salah. Lama-lama, Hari
merasa kesal. Tanganku diraihnya dan diletakkan di atas
toets piano dengan menaruh satu persatu jariku ke
tempat yang benar. j
"Nah, mulai!" katanya lagi.
J Untuk sebait, aku bisa. Bait selanjutnya salah lagi. Aku
masih merasakan kehangatan pegangan tangannya tadi.
Sepanjang pergaulanku dengan Mas Dono, aku tak pernah
merasakan kehangatan macam itu bila ia membimbingku
atau menyentil tanganku.
"Keliru terus!" keluh Hari, "Ada apa sih?
' Sudah kukatakan, tanpa kehadiran ibumu, aku merasa
tidak enak. Nanti dikira oleh orang yang melihat, ada
apa-apa di antara kita. Aku tak mau!" sahutku.
"Malu?"
"Ya. Lagi pula, di antara kita kan memang tidak ada
apa-apa. Kalau mereka menyangka ada sesuatu, sungguh
tak menyenangkan."
"Bagaimana dengan Dono?"
"Dia lain. Sejak kecil kami sudah terbiasa
bersama-sama. Orang malah akan merasa heran kalau
kami tidak bersama-sama, la sudah macam kakak
kandungku saja."
"Begitu?"
"Ya."
Hari meraih lagi tanganku."Sudahlah, kau sudah terlanjur di sini. Kita teruskan
lagi," katanya, "Ulangi lagi My Bonnie tadi."
"Malas ah."
"Kalau malas, aku tak akan melepaskan tanganmu."
"Biar saja."
"Meski semalaman?"
"Tak mungkin kau lakukan itu. Kau tentu capai."
"Tidak. Memegang tangan sehalus ini, milik seorang
gadis secantik dirimu, aku betah biar pun seminggu
lamanya."
Dadaku berdebar tiba-tiba, ini adalah Hari yang kukenal
di luar dirinya sebagai guru piano, ku. Hari yang kukenal
pada awal mula kehadiran- ku kembali ke desa ini. Tetapi
aku tidak menganggapnya kurang apa lagi. 1
"Tidak tahukah bahwa kau sangat cantik, Wati?" Hari
bertanya dengan suara lembut.
"Entahlah ..." sahutku bingung. Kutarik tanganku dari
genggaman tangannya. Tetapi aku kalah kuat.
Pegangannya macam jepitan besi.
"Lepaskan!" bentakku.
Hari tersenyum. Tangan yang ada dalam genggamannya
ditariknya dengan sekali sentakan sehingga tubuhku
meluncur masuk ke dalam pelukannya. Begitu saja aku
sudah ada di atas pangkuannya. Dan sebelum aku
memprotes, bahkan sebelum aku mampu berpikir,
tiba-tiba saja ia menciumku.
Umurku sudah duapuluh empat. Tetapi aku belum
mempunyai pengalaman dengan kaum pria. Dicium orang,
aku belum pernah. Sekarang, di tempat yang sepi, aku
dicium pertama kalinya oleh seorang lelaki yang
kelihatannya sudah ahli dalam percintaan. Akibatnya, aku
seperti dibawa ke dalam pusaran yang entah apa namanya
tetapi memabukkan. Tubuhku menggigil dan rasa panas
dan dingin menyerangku sehingga akumenjadi sangat lemas.
Hari menjauhkan wajahnya dan menatap kedalaman
mataku.
"Kau belum pernah dicium orang?" tanyanya dengan
suara parau.
Kugelengkan kepalaku. Wajahku terasa panas sekali.
"Pantas ..." gumam Hari, "Aku sungguh- sungguh
beruntung. Wati, kau sangat cantik. Sangat mempesona
...."
Dan ia menciumku lagi. Maka sekali lagi, aku terseret
pusaran yang memabukkan. Begitu mabuknya aku sampai
kubiarkan dia menciumku berkali-kali. Aku baru tersadar
ketika mendengar suaraKkucing berlari-lari di atas
genting. Kurenggut- kan tuDuhku dengan kasar. Tanpa
tahu bagaimana gejolak perasaanku sendiri, aku segera
berlari ke luar rumahnya dan langsung pulang. Tiba di
kamarku, kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
Kepalaku seperti berputar-putar.
Oh Tuhan, mengapa kubiarkan ia menciumku? Mengapa
kubiarkan diriku mencair dalam pelukannya.
Kini, berada dalam keremangan senja di kamarku,
tubuhku gemetar lagi seperti tadi ketika di rumahnya!
EMPAT
- SEPERTI seorang anak keci! yang belum pernah makan
coklat dan kemudian diberi kesempatan mencicipinya,
begitulah yang kuraskan kemudian. Tahu bahwa coklat itu
akan merusak gigi, namun keinginan untuk mengulum
coklat itu sulit untuk ditekan. Sama seperti anak kecil,
aku juga merasakan keinginan semacam itu. Tahu kalau
ciumannya mengandung bisa, aku toh masih mau
mencicipinya lagi.
Untuk beberapa hari lamanya, aku memang tidak berani
bertemu muka dengannya. Namun ketika ia sengajamenghadangku di muka kantor pada suatu sore yang
cerah, aku mau saja duduk di sisinya.
"Kau marah kepadaku?" tanyanya.
Pipiku terasa panas. Kubuang pandang mataku ke luar
jendela. Pohon-pohon yang berpapasan dengan mobil
kami yang melaju, seperti berlari- lari. Pertanyaannya itu
kuabaikan.
"Kau dengar pertanyaanku tadi kan?" tanyanya lagi.
Penuh desakan.
Aku terpaksa mengangguk, la melanjutkan :
"Nah, apakah kau marah ...?"
"Aku marah, memang. Tetapi tidak kepadamu,"
jawabku pada akhirnya.
"Lalu kepada siapa?"
"Kepada diriku sendiri!"
"Kenapa tidak kepadaku ...T' tanyanya. Nada ingin tahu
jelas tersiar dari suaranya.
"Karena seharusnya aku sadar bahwa kau biasa
mencicipi ..., mencicipi sesuatu," sahutku. Pipiku terasa
panas lagi, "Sedangkan saat itu aku ada di dekatmu. Maka
..., akulah yang kau cicipi. Kalau saat itu ada gadis lain,
tentu gadis lain itu yang kau cicipi."
"Begitu menurut pendapatmu?" gumam Hari,
"Terimakasih!"
Aku diam saja. Biarlah dia tersinggung. Itu toh memang
kenyataan. Aku baru mengenalnya beberapa bulan
lamanya, tetapi sudah beberapa kali ia kulihat bersama
gadis-gadis yang berlainan. Dan semuanya merupakan
gadis yang cantik.\
1 "Tetapi di luar penilaianmu kepadaku itu, aku masih
merasakan betapa manisnya dirimu waktu itu. Begitu
diam. Begitu gemetar dan seperti seorang bayi yang tak
tahu apa-apa. Sungguh, di jaman serba kemajuan seperti
sekarang, aku merasa heran bahwa ada gadis seusiamu
masih begitu suci belum tersentuh seorang pria!" katanya
lagi.
"Diam!" bentakku, "Aku tak mau mendengar bicaramu
yang tidak sopan itu!"
"Apakah Dono tak pernah melakukannya ...?"
9 tanyanya tanpa perduli bentakanku.
"Dia seorang lelaki yang amat baik. Tak mung- ? kin ia
melakukan seperti apa yang kau lakukan!" bentakku lagi.
"Begitu? Alim betul dia. Atau ..., jangan- jangan tidak
normal?"
"Kau sungguh kurang-ajar, Hari!" Untuk ke- sekian
kalinya ia kubentak, "la sangat normal, la pernah
berpacaran dengan Mbak Esti. Sayangnya, Mbak Esti
cemburuan. Dikiranya, aku pacar Mas Dono. Dan
kemudian setelah menjadi dewasa, ia juga menjalin
hubungan kasih dengan teman sekantornya. Tetapi
perbedaan agama membuat mereka berpisah. Nah, tidak
normalkah dia?"
"Yang kumaksud tidak normal adalah ..., apakah ia tidak
melihat bunga indah yang tinggal dipetik. Bunga yang
letaknya hanya sejangkauan tangan saja!"
'i Aku mengerti apa yang dimaksud Hari. Mung- i kin
begitulah yang dipikirkan oleh banyak orang.
"Kau tak tahu bagaimana sifat hubungan r, kami,"
kataku kemudian. "Hubungan kami lebih i banyak
mengandung rasa persaudaraan. Dia dan )3 seluruh
keluarganya menyayangiku macam ang- H gauta keluargasaja."
"Tetapi caranya menitipkanmu kalau aku kebetulan ke
kota, kedengaran penuh kasih- sayang."
"la memang menyayangiku. Nah, kututup pembicaraan
itu!"
j. "Baik. Nanti setelah kau mandi, kau kutunggu di rumah.
Kalau belajar piano baru sebentar sudah berhenti,
alamat kau akan lupa. Sayang kan?"
"Ibumu sudah pulang?"
R "Belum. Tetapi sepupuku sudah kembali." 31- Aku
terdiam. Bimbang. Aku memang -ingin 0 mengulangi
pelajaran piano yang diberikannya itu.
"Kutunggu di rumah, ya?" Hari mendesak- j ku lagi. Maka
kebimbanganku pun buyar. Kepalaku begitu saja
mengangguk.
Ketika aku memegang piano lagi dan merasa lega bahwa
aku bisa memainkannya dengan lebih baik, Hari
memujiku.
n Begitu, bagus!" katanya.
Aku menghentikan gerakan tanganku.
"Sepupumu mana?" tanyaku. Sejak tadi aku tidak
melihat siapa-siapa.
"Di kamar."
"Bohong." ,
"Ayo, kuantar ke kamarnya. Buka sendiri ? pintunya
kalau tak percaya!" I
Aku terpaksa terdiam. Kucurahkan kembali perhatianku
kepada permainan piano. Tetapi sulit sekali sekarang.
Betapa tidak? Aku merasakan jemari Hari mengelusi leher
belakangku. Dan ketika aku melakukan kesalahan lagi,
hentikan I
s permainanmu. j j
"Apa-apaan sih tanganmu?" bentakku. I
"Kok apa-apaan. Tidak tahukah itu tadi me- j s rupakangerakan elusan?"
Aduh, kurang-ajarnya. Aku sampai mendelik
menatapnya.
"Jangan mencoba-coba merayuku ya?" kata ku akhirnya.
Tetapi suaraku terdengar bergetar. Aku ingat ketika
berada di dalam pelukannya. I p. Oh Tuhan, ternyata aku
ini mempunyai mental py semacam anak kecil yang belum
pernah makan j5| coklat dan disuruh mencicipinya.
Kemanisan cok- j lat itu jadi mengacaukan kewarasan
pikiran. \\Hari tersenyum, la sudah mendengar suaraku py
yang bergetar tentunya.
"Aku tidak merayumu.
Aku mengelusmu!' katanya.
"Jangan mengelusku!"
"Bagaimana kalau menciummu? Boleh kan?" "Jangan
Kugeser tubuhku menjauh.
"Awas jatuh!"
Aku menoleh. Memang, pinggulku sudah ber ada di tepi
bangku. Maka aku terpaksa kembali H ke tempat semula.
Dengan demikian, tangan J Hari dapat mengelus
punggungku lagi. Aku jadi J marah.
"Kalau begini caranya, aku pulang!" kataku sambil
berdiri. Hari membiarkan aku berdiri. Bahkan ia juga ikut
berdiri.
Dengan langkah lebar, aku menuju ke halaman
samping. Tetapi rupanya lampu taman belakang belum
dinyalakan. Senja telah tua sehingga halam- Je an
belakang itu tampak gelap. Hari memakai kesempatan itu
untuk meraih tubuhku.
|(j "Lewat sini," katanya.
Aku terpaksa menurut. Liku-liku halaman sam- irij ping
itu belum kukenal dengan baik. Aku bisa menubruk


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu kalau mengikuti caraku ber- J jalan dengan
langkah-langkah lebar itu.Baru empat langkah kami berjalan, tiba-tiba
Hari mengetatkan pelukannya. Bahkan dihela nya tubuhku
menghadap kepadanya. Tubuh kami rapat berhadapan.
Seperti ketika ia menciumku pertama kalinya sekarang
pun aku tak mempunyai
kekuatan apa pun untuk menolak ciuman-ciu. annya.
Terlalu manis untuk kukibaskan. Pelukan, nya begitu
hangat dan nyaman. Dan ciumannya terasa manis dan
mesra.
Rupanya, saat itu merupakan awal dari hubungan kami
secara lebih erat. Sejak itu, sikapnya kepadaku menjadi
lebih lembut dan lebih manis. Terlebih karena kami sering
membicarakan karangan-karangan lagunya. Entah
memang aku mempunyai bakat yang semula tidak
tampak, ataukah hanya kebetulan saja, aku mulai
mengerti tentang dunia musik dan bahkan mempunyai
andil untuk menyempurnakan karangan-karangannya.
Memang tidak menyolok, tetapi jelas terasa. Hari sangat
menghargai pendapatku. Apalagi ketika lagunya yang
terakhir menjadi top hit di mana-mana, la mendapat
imbalan yang cukup lumayan.
Melihat itu, aku mengusulkan supaya lagu yang pertama
kali kudengar, diberi judul dan diberi kata-kata sebagai
syairnya. Tetapi dia tidak setuju.
"Aku masih ingin mengubahnya. Aku belum puas.
Rasanya, masih bisa kuubah menjadi lebih indah. Dan aku
yakin, itu akan lebih meledak daripada lagu terakhir itu,"
katanya.
Aku mengangguk mengiyakan. Lagu itu memang indah.
Dan kalau ia masih bisa menyempur-nakannya, tentulah akan lebih indah lagi.
Sementara itu, hubunganku dengan Mas Dono masih
saja tetap akrab dan manis. Bahkan ia sering
menggodaku. Sama seperti godaan Mas Harun.
"Sudah kukatakan bahkan kuperingatkan bahwa
kebencian bisa berbalik menjadi cinta. Benar kan apa
kataku waktu itu?" kata Mas Dono.
Aku diam saja. Bagaimana pun juga, aku memang
telah menjadi kekasih Hari. Dan itu sudah bukan
rahasia lagi bagi Mas Dono.
Kuakui, itu adalah percintaanku yang pertama kali
dengan seorang pria. Karenanya, aku begitu terlarut
di dalamnya. Dunia terasa begitu indah dan memukau.
Aku hanya melihat seluruh isi dunia ini dari pandangan
yang serba manis. Tak kuhiraukan masa lalu Hari yang
banyak diwarnai oleh gadis-gadis jelita dan
gemerlapan. Pokoknya, ia sekarang hanya menjalin
hubungan akrab yang manis bersamaku. Tidak dengan
siapa pun meski ia secantik bidadari sekali pun.
Pada hari-hari libur, aku bersama Hari sering
menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat-tempat tamasya. Aku yang tidak banyak melihat
dunia luar, diajaknya untuk menikmati keindahan
dunia ini. Untuk itu, dengan mudah ia dapat
melakukannya. Uang ada. Kendaraan ada.Tetapi keakraban itu bukan terjalin karena itu semua.
Aku mencintai Hari sebagai dirinya sendiri. Bukan karena
harta miliknya. Bukan ka- rena apa-apanya meski pada
awal hubungan mesra itu aku masih terpukau keahliannya
bermain musik dan mengarang lagu. Bahkan aku juga
mencintai kekurangan-kekurangannya.
Hari sendiri mengatakan bahwa belum pernah
sebelumnya ia mempunyai hubungan seerat ini dengan
seorang gadis. perasaanku terlibat sedalam yang '
kurasakan ini," katanya setiap kami duduk ber- j pelukan
di teras rumahnya, "Kau memberi warna baru dalam
hidupku."
Itu aku memang merasakannya. Bulan demi bulan yang
berlalu menambah pula penggenapan demi penggenapan
kemesraan hubungan kami ber- dua, Nenekku, Bude Rini
dan kedua sepupuku sudah menanyakan sampai seberapa
jauh hubungan kami.
"Kapan kita mengadakan pesta pernikahan 1
nih?" tanya Mas Wiwid.
Aku tertawa saja. Namun pertanyaan itu te- lah
menimbulkan suatu ? pemikiran baru dalam otakku. Aku
memang masih hijau dalam pengalaman bercinta, tetapi
aku sudah cukup tua untuk memikirkan kehidupan
rumah-tangga. Begitu pun
t1 Hari yang berumur empat tahun di atasku. Tetapi sekali
pun, ia tak pernah menyinggung tentang pernikahan.
Tentu saja sebagai gadis yang tahu diri, aku tak mau
mendahuluinya membicarakan masalah itu. Kalau ia ingin
menikah, tentulah hal itu sudah dikatakannya.
Mula-mula, aku menyangka bahwa Hari masih merasa
belum mampu menjadi seorang kepala rumah-tangga
dalam arti pertanggungan-jawab moralnya. Sebagai anak
bungsu, ia terlalu lama dimanja oleh ibunya. Tetapiketika di suatu percakapan antara diriku dan ibunya, aku
mulai mengerti bahwa Hari mempunyai pendapat yang
berbeda denganku mengenai arti sebuah perkawinan.
"Hari tidak suka hidup dalam suatu ikatan yang
mengandung peraturan dan ketentuan-ketentuan.
Termasuk perkawinan. Sejak kecil, ia selalu
memberontak terhadap ikatan-ikatan. Kuliah, hanya
sampai di tingkat tiga. Tetapi ia mempunyai pengetahuan
yang sangat luas. Dengan membaca dan belajar sendiri.
Lihat saja isi rak bukunya. Kalau harus mendengarkan
kuliah, membuat paper atau semacamnya, ia merasa seperti di belenggu, la juga tidak bisa bekerja di balik
meja, dibawah perintah orang dan terikat kepada
peraturan-peraturan, la seniman benar- benar. Jadi
kurasa, memintanya masuk ke dalam rumah-tangga atau
perkawinan hanya akan membuatnya kita sakit hati
s e n d i r i b e g i t u ibu Hari mengeluh tentang anaknya,
"Padahal aku ingin melihatnya segera berumah-tangga.
Hanya dia seorang yang belum menikah."
Keluhan itu termakan oleh hatiku. Aku mulai mengerti
pendirian apa yang dianut oleh Hari mengenai
perkawinan. Pantaslah meski cuma se- patah kata pun, ia
tak pernah menyinggungnya. Hatiku menjadi kacau
karenanya.
Terus-terang saja, aku sudah ingin berumah- tangga.
Waktu Mbak Ning menengok neneknya, ia membawa
bayinya yang berumur sepuluh bulan. Lucu sekali. Aku
langsung mencintainya, sekaligus juga ingin memilikinya
sendiri. Untuk menjadi seorang ibu, umurku sudah lebih
dari cukup. Dan untuk memasuki dunia rumah-tangga
dengan seluruh jiwa-ragaku, aku sudah siap. Aku bukan
tergolong wanita karir. Meski pun aku seorang sarjana,
itu hanyalah suatu kebetulan saja sebab ketike aku
meneruskan sekolahku, aku hanya melakukannya karenaorang lain juga melakukannya. Tak ada pilihan lain.
Namun jauh di relung hatiku, aku mendambakan suatu
rumah-tangga yang utuh, suatu keluarga idaman. Suatu
hal yang timbul karena aku tidak pernah merasakan apa
dan bagaimana hidup dalam satu keluarga utuh. Ada
ayah, ibu, dan anak-anaknya.
Sekarang setelah aku mempunyai seorang
h kekasih, dambaan itu muncul dan minta dipuas- 1 kan.
Tetapi tragisnya, Hari tak pernah membicarakan masalah
yang menyangkut kehidupan ru- mah-tangga. Bahkan
menurut ibunya, ia termasuk j lelaki yang akan merasa
terbelenggu dalam wadah |i perkawinan. Sungguh,
hatiku benar-benar jadi kacau memikirkannya. Apalagi
nenekku ber- ulang-kali menanyakannya.
Ketika di suatu saat Hari mengajakku menghadiri suatu
perkawinan salah seorang kawan baiknya, aku mencoba
mengorek apa yang ada di dalam pikirannya.
"Akhirnya setiap pasangan, masuk juga ke dalam
rumah-tangga," kataku saat itu.
"Karena itulah yang dituntut dari masyarakat. Sebagai
makhluk berbudaya dan sebagai makhluk sosial,
kebanyakan orang merasa perlu saling mengikatkan diri
dengan pasangannya masing-masing. Supaya tidak
menyalahi aturan. Supaya bisa diterima oleh masyarakat
sekitarnya. Supaya aman dari kesulitan!" sahut hari.
"Kedengarannya, suaramu bernada sinis!"
kataku.
"Sebab aku menganggap kebanyakan manusia ini
pengecut. Tidak berani melanggar aturan hanya demi
Walet Emas Perak 8 Sherlock Holmes - Klien Terkenal Pelangi Dilangit Singosari 5

Cari Blog Ini