Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono Bagian 2
mencari rasa aman. Padahal di dalam hatinya, mereka
ingin bebas!" sahut Hari, Bukankah itu munafik?"78
Aku terdiam. Pandanganku dan pandangan Hari
berbeda. Sia-sia saja pabila kukatakan bahwa
memasuki dunia rumah-tangga bukan hanya
karena mencari rasa aman saja. Ada banyak
alasannya. Seperti diriku misalnya, aku ingin
membentuk keluarga yang utuh yang saling
menyayangi. Atau karena aku mencintai kekasihku
dan ingin meng- ikatkan diriku kepadanya sebagai
kawan yang akan bersama-sama menempuh
suka-duka dalam kehidupan ini.
Yah, tak heran kalau ibunya sering mengeluh
kepadaku dan memintaku supaya bisa bersikap
bijaksana dan mampu membawanya masuk ke
dalam rumah-tangga. Tetapi bukan karena kemauanku, melainkan karena kemauannya sendiri.
Tentu itu suatu tugas yang berat sekali. Aku tak
berani menjanjikannya. Untuk sementara ini,
aku masih harus mencari kesempatan baik. Paling
sedikit, menanti adanya perkembangan ke arah
yang lebih dapat diharapkan. Menurut pendapatku, manusia itu tak pemah mempunyai pendapat
yang seratus prosen utuh. Selama dunia berkembang dan manusia berada di dalamnya, ia juga
ikut berproses. Tak pernah selesai dan terbentuk
utuh tanpa adanya perubahan. Maka, aku juga79
berharap bahwa suatu saat nanti Hari dapat
menyadari bahwa kebebasan yang didambakannya
adalah kebebasan yang semu. Tak ada sesuatu pun
yang benar-benar bebas.
Hari terus saja berjalan, menginjak minggu dan
minggu menginjak bulan. Harapan dan penantianku masih tetap sama seperti semula. Hari tak pernah mengatakan apa-apa mengenai hubungan
kami. Padahal sudah ada dua kawan karibnya yang
menikah dan kami berdua menghadirinya. Tampaknya tak setitik pun hatinya tergerak.
Sebenarnya hatiku tak lagi dapat diajak bersabar
seperti semula, Nenekku semakin sering
sakit-sakitan. Rasanya, ingin sekali aku supaya
beliau dapat menyaksikan pernikahanku. Namun
keinginan itu hanyalah keinginan belaka. Tak
pernah terwujud. Nenekku akhirnya meninggal
duna tanpa pernah melihat cucunya ini berumahtangga.
Dengan meninggalnya nenekku, rumah yang
kutempati ini sekarang telah menjadi hak Bude
Rini sepenuhnya. Mas Harun dan Mas Wiwid telah
pindah. Apalagi Mas Harun akan menikah dengan
teman sekantornya dalam waktu setengah tahun
ini. Tidak pesta besar sebab nenek kami belum80
setahun meninggal dunia. Mereka akan membeli
rumah di kota. Dan kemungkinan besar, Mas Wiwid
akan ikut bersamanya.
Kepergian Mas Harun dan Mas Wiwid, disusul
dengan kehadiran sanak lain ke rumah Bude Rini
ini. Mereka, adik-adik ipar Bude Rini. Keduanya
sudah janda.
Memang.Lucu rasanya. Rumah ini jadi seperti
asrama janda Kedua ipar Bude Rini itu termasuk
orang orang yang suka bergunjing. Rasanya, kedamaian yang selama ini kukecap, mulai terkikis
sedikit demi sedikit. Lebih lebih ketika aku pernah memergoki keduanya sedang membicarakan
hubunganku dengan Mas Dono.
"Gadis gadis sekarang memang tidak bisa menjaga
diri," katanya tanpa tahu bahwa aku ikut
mendengarkan di bawah jendela kamar mereka,
"Berpacaran dengan dua orang lelaki sekaligus.
Mestinya, Mbakyu Rini menegurnya. Membuat
malu keluarga saja."
"Maklum, gadis seumur Wati kan seharusnya sudah
menikah. Yah, begitulah kalau gadis gadis
dibiarkan sekolah tinggi tinggi dan kemudian
dapat mencari uang sendiri. Lupa kawin. Tetapi
sebagai akibatnya, jadi lupa rasa malu. Berpacaran
sampai dua orang "
Aku mengelus dadaku, menyabarkan diriku sendiri.
Aku harus lebih berpandangan luas. Maka
begitulah, aku terpaksa membiarkannya. Mungkin81
saja mereka merasa iri kepadaku. Siapa tahu?
Pokoknya aku berusaha untuk tidak mengambil
hati gossip mereka itu. Dan untungnya, aku masih
bisa bersabar.
Kesabaran itu memang masih dapat kuper
tahankan andaikata saja tidak ditambah dengan
peristiwa berikutnya. Mbak Kikin, anak Bude Rini
yang sulung, datang berlibur bersama anak
anaknya. Kemudian juga keluarga Mas Wawan,
anak Bude Rini lainnya. Rumah jadi ramai. Mbok Mi
mengeluh kecapaian. Aku mengeluh kebising an.
Karena kamar tidur tidak mencukupi untuk jumlah
tamu, kamarku diisi oleh beberapa kemenakan.
Tanpa meminta ijinku lebih dulu.
Aku sadar bahwa sekarang aku bukan lagi tinggal di
rumah nenekku, melainkan di rumah Bude Rini.
Memang semestinya aku harus mulai tahu diri
bahwa menempati kamar yang paling terang
cahayanya dan paling enak untuk ditiduri bukanlah
menjadi hakku lagi. Hak itu hanya diberikan oleh
almarhumah nenekku.
Kuakui sejak aku kehilangan gunung biru di muka
jendela, aku merasa sedih dan kehilangan. Tetapi
semenjak aku menjadi kekasih Hari, rasa itu
hilang. Sebagai gantinya, aku bisa memandangi
rumah bercat putih di mana kekasihku tinggal dan
berteduh di dalamnya. Rasa asing telah berganti
dengan rasa kedekatan yang manis. Aku toh bisa
melihat gunung itu dari luar kamarku. Tetapi kini
setelah Hari belum juga mengatakan apa apa82
tentang perkawinan, hatiku tak lagi dapat seakrab
semula setiap piemandangi tembok bercat putih
itu. Lebih lebih sekarang dengan beberapa orang
anak yang tidur di atas tempat tidurku dan di atas
folding bed yang sengaja diletakkan di kamarku
juga. Kurasakan betul betul adanya suatu rasa
kehilangan. Kehilangan rasa damai.
Bude Rini memang masih tetap ramah ? dan sayang
kepadaku. Tetapi tampaknya ia mempunyai
rencana lain dengan kamar yang kutempati ini.
Aku tak dapat menyalahkannya sebab semenjak
rumah ini menjadi miliknya, sanak keluarga
banyak yang datang berkunjung mau pun berlibur
kemari. Dan bukan hanya pihak keluarga Bude yang
berarti juga pihak keluargaku juga, melainkan juga
pihak keluarga almarhum suaminya.
Mbak Kikin bahkan pernah mengatakan terang
terangan bahwa jika kelak aku sudah menikah,
kamarku akan dibongkar dan dijadikan satu dengan
ruang tamu.
"Supaya ruang tamunya lebih luas," begitu ia
berkata.
Bagi orang yang tidak tahu, mengharapkan aku
lekas menikah memang wajar. Aku toh sudah
mempunyai seorang kekasih
Sungguh, disamping persoalan pekerjaan di
kantor, aku masih harus memikirkan juga tentang
masa depanku. Tetap tinggal bersama Bude Rini,
jelas akan tidak enak rasanya. Sekarang Bude Rini
masih baik. Esok atau lusa, siapa yang tahu? Dan83
menikah, masih merupakan angankan kosong.
Ataukah aku harus pindah ke kota meniru Mas
Harun? Pikiran itu kukemukakan kepada Hari
ketika ku mendengar berita bahwa Mbak Kikin dan
keluarganya akan berkunjung lagi. Anak anak ya
merasa senang berlibur di desa. Aku ingin upaya
diriku sudah tidak tinggal di tempat Bude Tini jika
Mbak Kikin tiba. Atau paling sedikit, udah ada
kepastian kapan aku akan pergi. Entah Menikah,
entah pula pindah ke kota.
Meski pun sedikit, aku masih mempunyai harapan
bahwa Hari akan menawarkan sebuah perkawinan
demi mendengar keluhanku itu. Namun yang
sedikit itu akhirnya tumbang ketika ia menyetujui
aku menyewa kamar di kota, seperti yang per nah
kulakukan ketika aku masih kuliah.
Sebenarnya hatiku kecewa mendengar saran itu .
Kota kecil di mana sekarang aku bekerja
itubukanlah seperti kota besar tempatku kuliah
waktu itu. Kota tempatku kuliah, termasuk kota
pelajar, menyewa kamar bagi seorang mahasiswi
merupakan hal yang sangat biasa di sana. Tetapi di
kota kecil, rasanya masih enggan aku
melakukannya. dan hal itu kukatakan terus terang
kepada Hari. Hari mengangguk, memaklumi
pikiranku. Sekali lagi aku dirayapi harapan. Siapa
tahu setelah angukan itu, ia mau memikirkan
kehidupan84
rumah tangga sebagai jalan untuk memecah
masalahku. Namun tidak. Harapan yang rtiulaj
merayap itu pun tumbang. Bahkan hancur luluh la
telah menawarkan sesuatu yang menghancurkan
harga diriku
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau tinggal di
rumahku?" tanyanya.
Kala itu harapan tipis tadi masih merayapi hatiku.
Apakah itu merupakan awal dari tawarannya untuk
memasuki rumah tangga bersamanya?
"Maksudmu ...?" tanyaku dengan harapan yang
mencemaskan itu.
"Kita tinggal bersama. Malahan itu suatu batu ujian
apakah kita berdua memang saling mencinta,
saling mengerti dan mempunyai keselaras an."
"Dalam bidang ...?" tanyaku dengan dada
berdebar.
"Dalam segala hal. Jaman sekarang ini sepasang '
kekasih hidup bersama bukanlah sesuatu yang
janggal."
Mendengar itu dadaku semakin berdebar keras
"Maksudmu ..., kita hidup sebagai suami istri...?"
tanyaku.
"Yah ..., semacam itu ...."
Aku mengangguk. Kaki terasa gemetar. Dadaku
yang berdebar tadi seperti jatuh dan hancur
Berantakan. Kutahan rasa sakit itu kuat kuat.
"Baik, akan kupikirkan ...'sahutku. Diam diam aku85
bersyukur bahwa dari luar, ku masih bisa
mempertahankan diri. Bahkan sampai kami
berpisah di muka pintu halaman,lku masih mampu
tersenyum meski pun hatiku ancur lebur.
Rasanya, aku ingin segera menghambur ke
kamarku dan menangis sepuasnya di sana. Namun
beoegitu kulihat kamar itu tidak lagi menjadi milik
u sendiri, namun ada beberapa barang milik hjnak
Mbah Kikin yang diletakkan orang di sana, einginan
itu hilang lenyap. Lebih lebih tatkala pandang
mataku mengarah ke luar jendela. Ku li hat
tembok bercat putih yang selama bulan bulan
akhir ini mampu mengatasi rasa kehilanganku tas
gunung yang sejak masa keciiku menjadi
sahabatku.
Tiba tiba saja mataku telah penuh air. Aku alah
kehilangan gunung lewat kamarku. Aku sepfelah
kehilangan keakraban yang sudah terjalin itu
emudian dengan tembok bercat putih itu. Aku alah
kehilangan kedamaian yang kudapat dari kamarku
ini. Lalu apa yang masih tertinggal?
Apakah memang sudah menjadi nasib dari seorang
yatim piatu harus mengalami kehilangan
berulangkali dalam hidupnya?
Setengah berlari kuseret kakiku menuju
kebelakang rumah, terus menuju ke rumah Dono.
Tinggal di tempat itulah aku masih bo|eh
mengharapkan uluran tangan.
Saat itu Mas Dono sedang membaca koran Demi
melihatku datang dengan berurai air mata ia86
terkejut. Surat kabar di tangannya, dibuang nya ke
lantai.
"Ada apa Wati?" tanyanya. Ada nada cemas dalam
suaranya. Aku memang tak pernah bersikap seperti
sekarang ini sebelumnya.
Suaranya yang lembut dan sikapnya yang seperti
siap melindungi ku menyebabkan pertahananku
habis sampai di situ. Aku menghambur kepadanya
dan menangis di atas dadanya.
Mas Dono membiarkan aku menghabiskan:
tangisku. Sesekali ia mengelus rambutku. Baru
setelah tangisku mereda, ia bertanya lagi.
"Ada apa Wati...?"
Masih dengan isakan, kuceritakan segalanya
kepada lelaki itu. Semuanya, tanpa ada yang kusembunyikan. Sejak kedatangan tamu tamu yang
datang silih berganti, sampai tawaran Hari untuk
hidup bersama tanpa pernikahan.
Usai mendengar keluhanku, Mas Dono mefl
dudukkan aku ke atas kursi. Matanya bersin ' sinar.
Dan gerahamnya bergerak gerak. Lama berada
dalam keadaan seperti itu sampai akhirnV3 ia
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata lirih namun penuh dengan nada
"Aku tak pernah menyangka bahwa ia berani
pengatakan itu kepadamu "
"Aku ..., aku pun tak menyangka ...."
"Lalu apa katamu kepadanya ...
"Kukatakan bahwa aku akan memikirkannya ebih
dulu sebelum mengambil keputusan tentang Viau87
atau tidaknya aku menerima usulnya itu," ahutku.
Beberapa isakan masih mewarnai suara cu.
"Kau benar benar akan memikirkannya ...
"Tidak," sahutku tegas, "Tentu saja tidak,
alawaban itu hanya sekedar untuk tidak mem
jerpanjang persoalan. Aku aku sudah tidak tahan
lagi waktu itu."
"Berarti kau telah menolaknya saat itu juga neski
di dalam hatimu kan?"
"Ya."
"Bagus. Kau tidak boleh merendahkan diri
"Tidak. Aku memang cukup mempunyai iarga diri,
Mas..." sahutku, "Betapa pun besar iya rasa
cintaku, usulnya itu tak mungkin ku terima sebab
bukan hanya merendahkan percintaan itu sendiri
saja tetapi juga merendahkan diriku."
"Benar, Wati. Meski pun yatim piatu, harga diri
harus dijaga. Meski pun tak mempunyai apa aPa
dan siapa siapa, tak seorang pun boleh merendahkan '
"Ya."
"Kuatkan hatimu. Kau harus tetap pada
pendirianmu. Meski itu berarti kau harus
mengorban kan perasaanmu sendiri."
"Ya. Tetapi apa yang harus kulakukan Mas?"
Mas Dono menarik nafas panjang. Katanya
kemudian :
"Tunggu perkembangannya dalam dua tiga hari
mendatang ini. Kalau ia menanyakan tentang hal
itu lagi, jawablah secara terus terang apa yang88
ada di dalam hatimu. Lihat, apa reaksinya. Boleh
jadi ia akan merubah usulnya. Memintamu menikah dengannya, misalnya."
Aku terdiam. Pendapat Mas Dono ada benarnya
juga. Maka kuturuti. Waktu Hari menjemputku dari
kantor dan dalam perjalanan pulang itu ia
menanyakan tentang apa yang diusulkannya waktu
itu, aku menjawab secara apa adanys.
"Kurasa, aku tak dapat menerima usulmu, Har.
Biarlah orang lain atau dirimu sendiri mengatakan
bahwa hidup bersama tanpa nikah itu biasa, aku
tak dapat menerimanya " kataku dengan suara
sedih.
"Jadi kau tidak mau, Wati? Tidakkah usul itu
mempunyai beberapa kebaikan yang dapat
mengatasi persoalanmu?"
"Dengan mengorbankan ...?" Aku terdiam
Hampir saja terlompat apa yang memang merupa
masalahbatinku.
mengorbankan apa?" Hari bertanya. Aku Memeras
otak.
"Mengorbankan nama baik," jawabku setelah
Mendapatkan alasan lain yang masuk akal. Dan
memang, itu pun merupakan masalah pula.
"Kalau hal itu yang kau beratkan, kan mudah
diselesaikan."
"Maksudmu?"
"Kita tidak tinggal di desa. Kita bisa mengontrak
rumah di kota. Yang dekat dengan tem pat
pekerjaanmu. Bagaimana?" Oh Tuhan, betapa89
murahnya harga diriku.
Tidakkah ia tahu bahwa kata katanya itu telah
Menghancur lumatkan perasaanku. Rasanya, aku
ingin menjerit.
"Bagaimana Wati? Aku mencintaimu. Kurasa itu
sudah cukup sebagai dasar untuk hidup bersama.
Tak pernah sebelum ini aku menginginkan hidup
bersama dengan seorang wanita. Baru denganmu
"
Aku menahan nafas. Hari, Hari Alangkah
besarnya perbedaan pandangan tentang kehidupan
perkawinan di antara diriku dan dirimu. Hidup
bersama meski ada sejuta cinta dan segudang
kasih sayangku itu belumlah cukup. Ada suatu nilai
tersendiri yang luhur, yang sakral sifatnya di dalam
cinta itu. Yaitu ikatan perkawinan yang mendapat,
restu dari Tuhan, restu dari masyarakat. Dan
kemudian anak anak yang lahir akan membentuk
ikatan keluarga yang syah dihadapan Tuhan
manusia. Bukan hanya sekedar hidup bersama
dalam suka dan duka saja. Ada tanggung jawab
moral di dalamnya.
"Wati, kau belum menjawab pertanyaan, ku "
Kudengar lagi suara Hari.
Kuhembuskan nafas yang semula kutahan? tahan.
Sebagai gantinya, aku menahan tangis yang
rasanya mengganjal di leherku. Sakit sekali.
"Wati ...?"
Aku menoleh. Mata kami bertatapan sejenak Tak90
kulihat adanya suatu rasa bersalah atau semacam
itu terbias dari wajahnya.
"Tidak, Hari. Aku tak mau " sahutku kemudian
dengan susah payah.
"Kenapa ...?"
"Pokoknya aku tak mau. Itu menyalahi suara hatiku
sendiri. Norma moralku sendiri."
"Jangan sok idealis."
"Itu bukan idealis, Hari. Kalau aku menuri usulmu,
itu berarti aku telah menghina sendiri. Menghina
pula perasaan cintaku kepada | sehingga jatuh ke
dalam nilai yang ren
"Itu sok suci pula, Wati."
Aku terdiam lama. Dadaku bergolak. Kur aku harus
bersikap tegas sebelum aku berubah pendirian.
Sebelum aku terkapar oleh kepatah an hati. Yah,
kalau bukan diriku sendiri yang menolong harga
diriku, siapa lagi?
"Hari, kurasa hubungan kita ini sudah salah sejak
awal mulanya ...," kataku kemudian, "Seharusnya,
aku tidak boleh belajar bermain piano denganmu.
Seharusnya aku tak boleh sering datang ke
rumahmu. Aku menyesal ...."
"Apa maksud bicaramu?"
"Aku hanya ingin mengatakan bahwa kita berdua
mempunyai cara berpikir yang berbeda dalam hal
hal tertentu. Dan justru, hal hal tertentu itu
adalah hal yang pokok bagiku," sahutku, "Hari,
tidak ada jalan lainkah selain usul yang kau
tawarkan itu?"91
"Misalnya?"
Misalnya, perkawinan. Ah, ingin betul aku
mengatakan itu. Tetapi harga diriku melarangnya.
Jadi aku terpaksa menjawab :
"Yah, apa saja asal bukan hidup bersama."
"Saat ini, aku belum melihat jalan lainnya " kata
Hari, "Aku malah mengharapkan supaya kau mau
berpikir sekali lagi mengenai usulku itu sebab
kurasa, itulah jalan yang terbaik yang bisa
kusarankan."
Aku mengangguk. Namun di dalam hatiku, aku
sudah memutuskan untuk meninjau kembali
hubunganku dengan Hari. Tidak bisa terus begini.
Aku harus memikirkan masa depanku. Masa depan
yang bersih. Yang tidak ternodai. Aku tidak
mempunyai orang tua. Aku tidak mempunyai
saudara kandung. Hanya diriku sajalah yang bisa
mengangkat diriku
Aku akan memikirkan masa depanku. Sendiri
LIMA HAMPIR setiap hari kecuali dijemput oleh Hari, aku
selalu pulang bersama Mas Dono dengan mobil
tuanya yang kecil namun masih mulus itu. Dan92
dengan mantap, Mas Dono membawaku pulang ke
rumah kembali tanpa pernah mampir mampir ke
mana mana, la seorang lelaki yang cermat. Kalau
terpaksa harus mampir ke suatu tempat, ia akan
mengatakannya lebih dulu jauh jauh
sebelumnya.
Tetapi sore itu, ia telah melanggar aturan yang
dibuatnya sendiri, la mengajakku singgah di suatu
rumah makan, di pinggir kota.
"Bukan waktu makan malam kan Mas?"
"Memang bukan. Tetapi aku akan berbicara
kepadamu."
Aku mengangguk, la tentu sudah melihat bekas
bekas tangis di wajahku pagi tadi. Memang hampir
semalaman aku tak dapat tidur. Dan sebagian
besar waktu yang semalam itu kuhabiskan dengan
air mata. Beberapa kawanku sekantor pun ada
yang menanyakannya. Dan baru dengan susah
payah aku menemukan akal yang membuat mereka
tidak lagi bertanya tanya.
Sore itu Mas Dono hanya memesan dua cangkir
cokiat susu dan sepiring lumpia. Aku menolak
tawarannya untuk makan. Tak ada seleraku.
"Nah Wati, mengapa kau semalaman menangis?"
tanyanya setelah kami berdua duduk beberapa
saat lamanya. Jadi benarlah, la sudah melihat
mataku yang bengkak dan wajahku yang pucat.
"la tetap menghendaki hidup bersama. Sedikit pun
tidak menyinggung tentang perkawinan. Bahkan ia93
mengira penolakanku itu disebabkan oleh rasa
malu kepada masyarakat setempat. Dan ia
mengusulkan supaya kami mengontrak rumah di
kota saja ...," sahutku dengan suara pelan. Aku
letih sekali setiap ingatanku terkait kepada Hari.
"la seorang lelaki yang ramah, pandai bergaul, dan
mempunyai hati yang baik. Sayang sekali bahwa ia
tidak mempunyai penghargaan terhadap arti
sebuah perkawinan ..." gumam Mas Dono
demi mendengar keluhanku.
"Ya..." 'sahutku, "Padahal aku yakin bahwa j ia
mengerti aku mengharapkan sebuah perkawinan
..."
"Dan dia pura pura tak tahu hanya karena tidak
suka adanya ikatan. Aku sungguh tak menyangkanya "
"Sudahlah Mas, aku telah memutuskan hubungan
kami. Kemarin "
"Itukah yang menyebabkan kau menangis
semalaman?"
Aku mengangguk. Kuhela nafasku dalam 1 dalam.
"Aku harus mulai lagi dari awal. Maksudku,
aku tak lagi mempunyai masa depan ..."
keluhku kemudian.
"Jangan putus asa, Wati. Kau masih muda,
1 cantik dan berpendidikan tinggi pula. Masa
depanmu cukup cerah kalau kau mau meraihnya."
"Mbak Kikin sudah datang kemarin dulu Mas,"
kataku tak perduli terhadap hiburannya, "la
menanyakan lagi tentang hubunganku dengan94
Hari. Entah apa yang akan dikatakannya andaikata
ia tahu hubungan itu telah putus hanya beberapa
saat setelah pertanyaan itu dilontarkan
kepadaku."
"Aku mengerti kesulitanmu. Wati, ada sesuatu
yang timbul dalam pikiranmu tentang masa
depanmu? Misalnya, apakah kau mempunya
keinginan untuk menyewa kamar sebagaimana
halnya dengan Mas Harun dan Dik Wiwid?" j
"Pikiran itu memang ada padaku. Bagaimana I
menurut pendapatmu?"
"Kalau kau menanyakan pendapatku, aku kurang
setuju. Kota ini bukan kota besar. Dan kenalan
kenalanmu sama tahu bahwa kau mempunyai
keluarga dekat di desa yang tak seberapa jauh dari
kota ini. Mereka akan menyangka bahwa kau gadis
yang menyukai kebebasan. Apalagi kalau sampai
terjadi Hari masih ingin menemui mu," sahut Mas
Dono. Suaranya penuh rasa kekhawatiran.
"Kau mempunyai saran?" tanyaku.
Mas Dono tidak segera menjawab, la memainkan
sendok dengan mengaduk adukannya ke dalam j
cangkir coklatnya.
"Mas, ada yang kau pikirkan?" tanyaku.
"Ada. Tetapi rasanya, aku tak berani mengata
kannya."
"Mengapa?" i
"Kedengarannya, aku seperti mengail di air
keruh."
"Tidak. Aku cukup mengenali liku liku hati mu,95
Mas. Kau menyayangiku sudah sejak masa h
kanakku " bantahku, "Tak mungkin kau mem K
punyai maksud tertentu bagi keuntungan pribadi' I
mu. Aku yakin "
"Terimakasih atas kepercayaanmu. Memang
sebenarnyalah, Wati. Apa yang kupikirkan itu
semata mata hanya karena ingin melindungimu.
Aku berani bersumpah. Aku sangat menyayangi |
mu "
"Aku mengerti, Mas. Lalu apa yang ingin kau
usulkan kepadaku?"
"Aku ingin melamarmu. Sebagai istriku. Maafkan
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku kalau perkataan ini mengejutkan mu. Tak ada
niat buruk di balik permintaanku. Aku hanya ingin
memberimu masa depan yang i mapan, tenang dan
terjamin "
Aku tertegun. Bahkan agak kaget mendengar
usulnya itu. Sedikit pun aku tak menyangkanya, D
Apakah ia mempunyai rasa cinta kepadaku? Apa
kah kasih sayangnya kepadaku selama ini juga
mengandung asmara di dalamnya?
Alangkah tulusnya kasihnya andaikata per
tanyaanku itu mendapat jawaban ya. la pandai
menyembunyikannya sebab selama ini aku telah
bersikap sebagai seorang adik terhadapnya, la juga
membiarkan aku mencari kebahagiaan sendiri
dengan hubunganku bersama Hari. Tak ada rasa 0
iri atau semacamnya. Bahkan ia banyak memberi
? ku nasehat.
"Mas ..., apakah aku ini pantas untukmu ...?"96
Akhirnya aku mampu bicara setelah mengibaskan
rasa kagetku.
"Apakah tidak sebaliknya, apakah aku pantas
untukmu?"
Aku tersenyum.
"Kau sudah pemah menjalin hubungan kasih
dengan gadis lain. Mereka memang lebih pantas
untukmu. Lembut, matang dan mencintaimu
sebagai seorang lelaki. Tetapi mereka bukan
jodohmu. Sekarang, kau memintaku supaya
menikah denganmu. Aku mengerti maksud baikmu.
Tetapi Mas, apakah itu bijaksana? Di sini,
perasaanmu .tentulah tidak sama seperti
andaikata kau melamar bekas kekasihmu," kataku.
"Mungkin memang berbeda. Tetapi masalahnya
bukan pantas atau tidak. Jadi masalah perasaanlah
yang terutama. Dan mengenai hal itu asal kita
berdua tidak terlalu menuntut adanya asmara yang
berkobar kobar, masalahnya akan mudah diatasi.
Aku ingin menikah, Wati. Bukan hanya untuk
ketenangan hidupku saja tetapi juga untuk
ketenangan hati nenekku. Aku me nyayangimu.
Amat sangat. Kurasa itu sudah cukup untuk
landasan sebuah perkawinan. Bukankah kau juga
menyayangiku?"
"Ya, aku memang menyayangimu "
"Kau mempercayaiku?"
"Aku mempercayaimu. Dengan seluruh hati ku."
"Kau mau menikah denganku, Wati?"
"Bijaksanakah itu Mas? Aku aku tak dapat97
membayangkannya. Aneh rasanya."
Begitu pun yang kurasakan. Tetapi percayalah, aku
ingin memberimu kebahagiaan kalau ketenangan,
jaminan masa depan dan rasa aman bisa dikatakan
sebagai kebahagiaan."
"Aku percaya "
"Jadi kau mau kunikahi, Wati?"
Aku terdiam beberapa saat lamanya. Aku tahu ia
menyayangiku. Dan aku pun menyayanginya.
Kurasa, itu akan bisa dipupuk untuk menjadi kasih
sebenarnya antara seorang pria dan wanita.
Bahkan mungkin bisa lebih bertahan terhadap
segala macam goda.
"Ya, aku mau " jawabku kemudian setelah kilasan
pikiran itu datang kepadaku.
"Bagus sekali. Nah, habiskan minummu. Kita
pulang dan mengabarkan berita ini kepada
nenekku "
Aku mengangguk. Pulang Ada semacam keharuan
mendengar kata pulang itu. Tinggal di rumah Mas
Dono yang tenang dan lebih hangat oleh kasih
sayang kekeluargaan sungguh menyenangkan.
Mbak Kikin yang memanggilku untuk makan malam
setelah aku pulang bersama Mas Dono itu merasa
heran ketika kukatakan bahwa aku sudah kenyang
ditraktir lelaki itu.
" Lama lama aku jadi bingung seperti juga
bingungnya keluarga kita ini," katanya terus
terang, "Sebenarnya siapa sih kekasihmu. Hari atau
Dono?"98
Kalau saja aku belum memutuskan untuk menerima lamaran Mas Dono, pertanyaan itu mungkin
akan membuatku gugup. Tetapi karena aku sudah
tahu jawaban apa yang akan kuberikan, pertanyaan itu kusambut dengan senyuman.
"Lalu menurut pendapatmu, yang mana Mbak? Dua
duanya akrab denganku " sahutku berteka teki.
"Wah, sekarang aku bingung. Ibu mengatakan kau
kekasih Hari. Tetapi tampaknya kau lebih akrab
dengan Dono."
"Aku tak mau menjawab sendiri," senyumku lagi,
"Kau harus menjawabnya. Tetapi untuk patokan,
bolehlah kuberitahu bahwa keakraban ku dengan
Hari ada kaitannya dengan permainan piano."
"Kalau begitu, kau kekasih Dono?" kata Mbak Kikin
menebak, "Jadi perkiraan Ibu, keliru "
"Kau yang benar, Mbak. Dan tak lama lagi kami
akan menikah, la akan melamar kemari "
"Ah, pantaslah kalau kau kutanyai tentang kapan
menikah dengan Hari, jawabanmu selalu penuh
elakan. Ibu harus kuberitahu nih."
"Kenapa?"
"Tentu saja akan senang sebab kau toh sudah
cukup umur untuk menikah. Waktu aku seumurmu,
anakku sudah dua orang. Selain itu, kalau kau
sudah menikah, Ibu jadi bisa lebih leluasa
memikirkan rencananya."
"Rencana apa?"
"Merubah beberapa bagian dari rumah ini. Aku
akan membantu biayanya. Rumah ini tampak kuno.99
Harus ada perbaikan perbaikan. Jangan sampai
terlalu besar perbedaannya dengan rumah rumah
baru di sekitar sini. Termasuk rumah Hari tentu
saja."
Aku terdiam. Memang di ujung jalan, sebidang
tanah kebun sudah dibeli orang dan sekarang sedang dibangun rumah yang meski pun baru jadi
setengahnya, sudah tampak akan menjadi rumah
modem. Dan Mbak Kikin ingin rumah ini tidak
terlalu tenggelam dalam kekunoannya. Rupanya,
ia mempunyai andil untuk memperbaharuinya.
Maka tahulah aku sekarang mengapa belakangan
ini ia sering menanyakan tentang rencana masa
depanku, la ingin tahu apakah aku masih lama lagi
tinggal di rumah ini, ataukah sudah akan pergi.
Untuk pertama kalinya, aku mensyukuri ke
putusanku untuk menerima lamaran Mas Dono.
Memang kurasa, menikah dengannya merupakan
jalan terbaik yang bisa kutempuh. Apalagi jika
diingat entah di mana lagi akan menemukan seorang pria seperti dia yang kasihnya tulus kepadaku. Sejak pembicaraan hari itu, rasanya waktu cepat
sekali berlalu. Apalagi Mas Dono tak mau menunda
nunda mengenai pelaksanaannya. Maka begitulah,
akhirnya aku menikah dengan Mas Dono. Suatu
pernikahan sederhana saja namun menyentuh
perasaan. Yah, aku si yatim piatu ini telah
berkeluarga. Aku mempunyai suami, mempunyai
kakak ipar yang sangat menyayangiku dan100
mempunyai seorang nenek yang mengasihi ku.
Bukankah itu sudah merupakan kemewahan
bagiku?
Sejak putusnya hubunganku dengan Haci lelaki itu
jarang berada di desa. Kata Mbok Mi yang
mendengar ceritanya dari Mbok Hamid, Hari sering
mondar mandir ke Jakarta untuk urusan
pekerjaannya sebagai pengarang lagu. Dan ketika
Hari pernikahanku dengan Mas Dono tiba, lelaki itu
tidak dapat datang menghadirinya, la sedang di
Jakarta mendampingi penyanyi, yang akan melagukan lagu lagunya di studio rekaman.
Sehari setelah pernikahan kami, aku langsung
pindah ke rumah Mas Dono. Mbak Ning telah
menghiasi kamar Mas Dono sedemikian rupa sehingga menjadi kamar pengantin yang cantik, la
tak dapat lama lama mendampingi kami. Anak
bungsunya tidak ikut. Sedang kena penyakit
campak. Dengan keinginannya sendiri, ia memilih
pindah ke kamar yang biasa ditempati Mbak Ning.
"Kamar di sebelah kamar kalian hanya sesuai untuk
kamar anak anak," katanya tersenyum je naka,
"Kalau aku tetap di situ, aku khawatir kalian tidak
akan segera memberiku cicit."
Aku tersipu sipu. Dan entah karena gurauan nenek
Mas Dono itu, tiba tiba saja aku jadi merasa malu
kepada Mas Dono. Apalagi lelaki itu agak diam
setelah syah menjadi suamiku.
Malam ini adalah malam pertama kami tinggal
dalam satu kamar. Semalam, ketika di rumah Bude101
Rini, ia tidur beramai ramai dengan sanak
keluargaku, di atas permadani ruang tamu. Termasuk Mas Harun dan MasWiwid. Sedangkan istri
Mas Harun dan beberapa anak anak perempuan,
tidur di kamarku. Aku dan Mas Dono yang memintanya sebab kehadiran sanak keluarga dari
kota kota lain menyebabkan rumah Bude Rini jadi
terasa sempit. Aku tak mau mementingkan diri
sendiri hanya karena sedang jadi pengantin
padahal aku tahu mereka sudah lelah. Lelah karena perjalanan jauh masih ditambah bekerja di
dapur seharian. Belum lagi melayani tamu tamu
masyarakat setempat.
Mas Dono tersenyum manis kepadaku tatkala ia
membalikkan tubuh setelah mengunci pintu
kamar.
"Masih lelah?" tanyanya dengan suara lembut.
"Tidak. Kau...?"
"Juga tidak."
Lelaki itu berjalan menghampiriku. Ada sedikit
binar binar dalam matanya. Setelah menyingkirkan rambutku yang terjuntai ke wajahku,
lelaki itu duduk di tepi tempat tidur, menjajari
dudukku.
"Kau tidak menyesal menjadi istriku kan?"
tanyanya.
Kugelengkan kepalaku.
"Tidak," sahutku lirih.
"Aneh ya rasanya. Kau istriku dan aku suamimu,"
senyum Mas Dono.102
Cara bicaranya yang santai menyebabkan
kerikuhanku menguap. Rasa malu berangsur
angsur pergi dari hatiku.
"Ya. Aneh memang. Aku tak pernah membayangkan akan menjadi istrimu. Kau pernah
membayangkannya?" Aku ganti bertanya.
"Aku juga tak pernah membayangkannya. Sampai
beberapa minggu lalu, aku masih menyangka
bahwa kau akan menjadi istri lelaki lain. Baik itu
Hari atau lelaki lainnya. Kau cantik dan di
kantormu banyak bujangan yang tampan."
"Aku tak pemah tertarik kepada mereka.
Rupanya, aku termasuk wanita yang sekali jatuh
cinta, tak bisa cinta lagi untuk kedua kalinya...."
Kuhentikan kata kataku. Sungguh tidak pantas
aku bicara demikian kepada suamiku justru pada
malam pertama hidup berdua. Lekas lekas aku
membetulkan bicaraku.
"Maaf. Aku tak memaksudkan dirimu. Dengan kasih
sayang kita, kau mungkin merupakan kekecualian."
Mas Dono tersenyum.
"Aku mengerti. Dan jangan takut untuk bicara
terbuka denganku. Sudah kukatakan, aku
menikahimu dengan motivasi ingin memberimu
perlindungan dan kebahagiaan. Aku tidak akan
menuntutmu terlalu banyak asal kau mau memasakkan makananku setiap kau libur." katanya.
"Tentu saja. Sebagai istrimu, aku akan me
layanimu sebaik baiknya. Dengan senang hati."
"Terimakasih."103
Setelah itu, kami terdiam. Kehabisan kata kata.
Aneh memang sebab biasanya, kami tak pernah
kehilangan kata kata. Ada ada saja yang bisa
kami bicarakan. Ada ada saja yang kami
perdebatkan. Dan ada ada saja godaan demi
godaan yang saling kami lontarkan. Oleh karena
itu, kekakuan akibat kediaman kami itu sangat me
risaukanku. Aku jadi gelisah karenanya.
"Mas ..., jangan kau buat kita kehilangan kedekatan hanya karena kita telah menjadi suami
istri kataku akhirnya. Aku tak tahan lagi.
Mas Dono tersenyum.
"Aku baru mau mengatakan hal yang sama. Telah
kurasakan adanya kerikuhan yang merayapi diam
diam di hati kita. Itu tidak boleh terjadi " katanya
kemudian.
Aku mengangguk. Dan Mas Dono merapatkan
duduknya ke arah tubuhku. Tangannya menyingkirkan lagi rambutku yang terjuntai kembali
ke wajahku. Dengan lembut, ia memelukku. Setelah itu dengan sama lembutnya pula, ia mencium
bibirku.
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aneh. Sedikit pun tak ada ledakan dalam batinku
seperti jika aku dicium Hari. Jauh sekali bedanya.
Kelembutannya mengingatkanku kepada
kelembutan perasaan seperti yang pemah kurasakan ketika menimang bayi Mbak Ning.
Mas Dono mengangkat wajahnya dan menatapku
lama. Ada semacam keanehan pula yang kutangkap lewat sinar matanya.104
"Aku menyayangimu, Wati ...," bisiknya.
"Begitu pun aku," kataku membalas bisikannya.
Mas Dono tidak berkata apa apa lagi. Tubuhku
direbahkannya ke atas tempat tidur. Dan ia menyusulku, berbaring di sisi tubuhku. Aku merasa
tubuhku menegang. Bahkan kedua belah telapak
kakiku terasa dingin. Sedangkan perasaanku
seperti mati. Tak tahu apa yang saat itu sedang
kurasakan. Terlebih ketika kurasakan tangan Mas
Dono mulai melingkari tubuhku dan mendekatkannya ke tubuhnya. Bau laki laki yang merupakan campuran tembakau dan minyak wangi atau
entah after shave lotion, menyentuh hidungku.
Aku sudah mengenali bau seperti itu. Hari mempunyai aroma yang mirip. Namun berbeda apa yang
kurasakan berada dalam dekapan Hari, pelukan
Mas Dono tidak mendenyarkan seluruh aliran
darahku. Hatiku menjadi sedih dengan tiba tiba.
Rasanya aku ingin menangis namun ironisnya, aku
tak tahu apa yang akan kutangisi itu. Semuanya
campur aduk.
Mas Dono mengelusi rambutku dengan gerakan
yang kurasakan benar berlandaskan kasih sayang.
Kubiarkan ia dengan elusannya itu sampai tiba
tiba ia mengeluh.
"Wati, aku tak dapat " katanya dengan suara
berat.
"Tak dapat...?"
"Wati, perasaanku begitu bergolak. Sungguh aku
tersiksa," katanya pula. Ada nada getir yang105
meremangkan bulu kudukku.
la menjauhkan dirinya dari tubuhku. Tangan
kirinya mencengkeram rambut bagian depan di
kepalanya sendiri.
'Rasanya sangat tidak pantas. Nuraniku menentangku mati matian. Wati ..., Wati ..., apa
yang harus kulakukan?" keluhnya lagi.
Aku terduduk. Kupandangi lelaki itu dengan
bingung.
"Apa yang menyusahkanmu?" tanyaku.
"Aku baru saja menyadari kesalahanku..." sahut
Mas Dono, "Seharusnya aku tidak menikahi mu.
Aku tak dapat memperlakukan dirimu sebagaimana
layaknya seorang suami kepada istrinya. Tidak.
Kau jangan menyangsikan kesehatan dan
kejantananku. Ini di luar masalah itu. Aku tidak
dapat dan rasanya sangat tidak pantas kalau aku
memesraimu sebagai seorang istri "
"Mas ...?" Aku semakin bingung. Dugaan ber
lintasan di kepalaku.
"Wati, sejak kecil ..., bahkan masa bayimu ..., aku
sudah melihatmu dan menyayangimu. Aku iba
bahwa sekecil itu kau sudah tidak mempunyai
orang tua. Kau dirawat hanya oleh pembantu dan
diawasi nenekmu, bude budemu. Itu aku melihat
dengan mata kepalaku sendiri meski pun saat itu
umurku baru lima tahun. Orang tuamu mengalami
kecelakaan dan meninggalkanmu dalam usia yang
masih sangat muda. Tiga bulan. Masih kuingat106
dengan jelas bagaimana aku dan Mbak Ning sering
menjagamu kalau Mbok Mi terlalu sibuk. Kau manis
sekali. Jarang rewel. Kami berdua sering
mengagumi jemari jemari mu yang kecil kecil.
Kami berdua sering merasa takjub bahwa bayi yang
semula hanya bisa tidur terlentang, tiba tiba
tengkurap. Kepalamu kau angkat tinggi tinggi,
seolah bangga bahwa kau baru saja melakukan
suatu pekerjaan besar. Aku dan Mbak Ning berteriak teriak kegirangan. Yah, kami berdualah
yang pertama kali melihat kemajuanmu. Dan
kemudian setiap kemajuan yang kau capai, kami
ikuti : dengan seksama. Merambat, berjalan dan
kemu : dian mulai bisa mengucapkan sepatah dua
patah | kata. Kami berdua mengajarimu bernyanyi
..." Mas Dono menghentikan bicaranya. Matanya
menerawang jauh, ke arah sesuatu yang tak ter ?
pandang oleh alat indra. Aku tahu ia sedang
membayangkan masa masa kecilku. Ada rasa haru
yang menyentakkan hatiku.
"Lalu bagaimana Mas ...?" tanyaku dengan , suara
lembut.
"Kau tentu ingat bahwa setelah kau bisa meng ,
ingat sesuatu, kita bertiga kan ke mana mana
selalu bertiga. Ke sekolah, kau kami antar. Pulang,
kami jemput dan kita bertiga jalan bersama
sama.
? Setiap hari. Pendek kata, seluruh suka dan duka ,
dan seluruh kegiatan dalam hidup sehari hari ini
telah kita tanggung bertiga. Kau adalah bagian107
dari kami. Nah ..., kau bisa mengerti jalan pikiran
ku,Wati ...?""Jalan pikiran yang mana?" tanyaku tolol.
"Aku tak dapat memperlakukan dirimu sebagai
seorang istri. Rasanya sungguh tidak pantas. Kau
adalah bagian dari diri kami. Kau adalah
adikku. Dan sekarang tiba tiba kau menjadi istriku. Nuraniku membantahku mati matian. Rasa
bersalah mendera batinku. Sangat tidak layak
seorang kakak memperlakukan adiknya sebagai
istri. Itulah yang kurasakan tadi. Meski tidak ada
pertalian darah di antara kita, aku telah menyayangimu sebagai seorang kakak kandung kepada adik kandungnya. Itulah yang menyebabkan
aku tiba tiba seperti dimaki maki oleh suara
batinku sendiri "
Tiba tiba aku juga disirami kesadaran yang
mengguyurkan pengertian dalam pikiranku. Saat
itu aku tidak tahu harus menangiskah atau harus
tertawakah. Yang jelas aku memang tersenyum
namun air mata berderaian membasahi pipiku.
"Mas Don ...," kataku dengan suara tersekat,
"Rupanya itulah yang tadi juga kurasakan. Mula
mula aku tak tahu mengapa hatiku kacau dan perasaanku membeku. Ternyata pengakuanmu tadi
memberiku kesadaran bahwa rupanya aku pun
merasakan hal yang sama seperti perasaanmu.
Rasanya sangat aneh ..., janggal ..., dan terasa
tidak pantas kalau kita berkasih kasihan
sebagaimana seorang suami dan istri memadu
kasih ..."i. Matanya berbinar binar.
"Syukur ..., syukur ..., aku menyadari justruisaat yang masih belum terlambat. Tak bisa
kubayangkan andaikata aku membutakan mata
klan telinga dari teguran nuraniku sendiri itu ..."
kksahut Mas Dono. lah r Aku menarik nafas lega.
Jng "Kehidupan ini sering aneh ..." gumamku,
"Tidak. Yang aneh adalah manusianya. Mula ,
kukira kasih sayangku kepadamu itu bisa merubah
sifat. Tadi, aku sangat mengasihimu.kau begitu
manis dan menawan. Rasa kasihku meluap. Dan
ternyata itu adalah kasih seorang abang kepada
adiknya. Bukan seperti yang kusangka sebagai
kasih seorang lelaki kepada seorang wanita.
Nyatanya, aku tak mampu meneruskan mencumbu
sebagaimana seharusnya. Aku rasanya bisa
memeluk dan mengelus rambutmu...,"
kata Mas Dono, "Wati ..., apa yang harus kita
lakukan sekarang? Kita sudah terlanjur diikat
sebagai suami istri."
Aku tersenyum.
"Kau menikahiku dengan alasan ingin melindungi
ku, ingin memberiku kehidupan yang tenang kan?"
tanyaku kemudian, "Tentu saja itu di luar rasa
kasih sayangmu."
"Memang begitu. Aku bahkan ingin membahagiakanmu. Memberi sesuatu yang tak pernah
kau alami yaitu kehidupan kekeluargaan yang
hangat," membenarkan Mas Dono.
"Kalau demikian, itu bisa diteruskan. Biarlah orang
lain akan menyangka kita ini hidup sebagai suami
istri. Aku tak perduli. Mereka tak akan pernahmengerti perasaan kita ini. Jadi, biarlah kita
begini. Aku merasa berbahagia hidup di rumahmu
sebagai adikmu daripada di rumah Bude Rim,"
kataku.
"Usulmu bagus sekali. Untuk sementara memang
itulah jalan terbaik yang bisa kita tempuh."
"Sementara ...?"
"Ya, sementara. Kau toh harus menikah juga fc
nanti, Wati. Hidup bersamaku sebagai kakak adik
memang membahagiakanmu sekarang ini. Ij Tetapi
belum tentu esok atau lusa. Kau mem butuhkan
kasih sayang lain yang sifatnya me ngandung
asmara. Kita harus melepaskan ikatan
perkawinan kita ini di suatu ketika nanti."
"Itu bisa dipikirkan kemudian Mas "
"Nah itulah mengapa tadi aku mengatakan untuk
sementara ini kita memang harus tetap
meneruskan langkah yang sudah terlanjur di
tempuh l' Tentu nanti akan ada jalan lain sebagai
penyelesain. Aku mengangguk. Keheningan mulai
merayapi suasana kamar. Kami tenggelam dalam
pikiran
masing masing. "Apa nanti kata nenekmu kalau
tahu ...?" tanyaku lama kemudian.
"Tidak, la tidak akan tahu. Paling sedikit Jpntuk
sementara ini. Kau tak usah menceritakan apa pun
kepada orang lain."
"Jadi aku harus bersikap wajar seolah kita ini
nemang benar benar merupakan pasangan suami
istri" ? "ya""Baik. Aku akan menuruti saranmu, Mas." "Bagus."
Aku tersenyum. Memang caranya bicara ke
padaku, Mas Dono seperti sedang bicara kepada
seorang adik, la selalu demikian bahkan sikapnya
yang penuh perlindungan itu pun berdasarkan
kasih semacam itu. Memang akan terasa aneh dan
membuat canggung andaikata sikap itu harus
merubah menjadi sifat yang bernada cinta asmara.
Nah Wati, sekarang tidurlah yang nyenyak, jangan
kau bebani kepalamu yang mungil itu dengan
pikiran macam macam. Pokoknya, kau ada di
dalam perlindunganku. Lahir bathin. Aku menjadi
satu satunya orang sebagai pengganti orang
tuamu. Jadi, kau berada di bawah tanggung
jawabku" kata Mas Dono lagi.
"Terimakasih Mas ..."
''Jangan mengucapkan terimakasih. Itu memang
sudah selayaknya demikian. Satu satunya adik,
hanya kau seorang yang kumiliki"
Aku mengangguk. Kubaringkan tubuhku kembali
setelah mengecup pipi Mas Dono.
"Aku lega sekali Mas. Dan aku sangat berbahagia.
Aku berjanji akan melayanimu sebaik baiknya
sebagai seorang adik yang berbakti dan kasih
kepada abangnya," kataku dengan suara ringan.
Mas Dono tersenyum dan mengelus rambutku
sekilas.
"Aku juga berjanji untuk mengasihimu dan melindungimu sebagai seorang kakak kepada adikyang kukasihi. Nah, sekarang tidurlah. Kita sudahi
sekian dulu pembicaraan ini. Kau sudah lelah ..."
"Ya, aku memang merasa letih sekali."
"Selamat tidur, Wati."
"Selamat tidur Mas Don."
Maka kami pun mencoba menghilangkan beban
pikiran yang masih belum hilang seluruhnya. Tidak
mudah menjalani kehidupan yang penuh sandiwara
dihadapan orang lain. Dan itu sangat kusadari.
Kurasa juga sangat disadari oleh Mas Dono pula.
Apalagi jika diingat, entah sampai kapan tali
perkawinan ini akan mengikat kami berdua. Bilangan bulankah, tahunkah atau malah sepanjang
hidup kami?
Di luar, terdengar olehku gesekan dedaunan yang
tertiup angin malam. Dan dari tempatku, aku juga
mendengar suara tangisan angin di atas atap
rumah. Suaranya mengiris iris perasaan. Namun di
sini, di dalam kamar yang hangat, aku tidur di
bawah selimut dalam kehangatan hati yang mulai
menyebar ke seluruh tubuhku. Betapa pun yang
terjadi dan apa pun yang akan terjadi, mempunyai
seorang abang yang mengasihiku, sungguh
merupakan keberuntungan yang tidak setiap
manusia bisa mendapatkan. Sebab, aku ini
hanyalah seorang gadis yatim piatu saja. Yang tak
mempunyai saudara sekandung barang seorangpun jua
SEPERTI yang pernah dijanjikannya kepadaku, Mas
Dono selalu berusaha untuk memberikan
kehidupan yang tenang kepadaku. Dengan penuh
kesabaran, ia mengalihkan hatiku yang patah
kepada hal hal yang lebih bermanfaat, la tahu
betul bahwa aku masih mempunyai perasaan istimewa kepada Hari.
Setiap malam Minggu, Mas Dono mengajakku
nonton film ke kota. Dan pada hari Minggunya
dibawanya aku ke tempat tempat yang indah.
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Atau kalau tidak, ia mengajakku berenang. Kadang
kadang juga ke tempat kawan kawan sekantornya. Sesekali pula, mengajakku bermain bulutangkis. Di kantornya disediakan beberapa per
lengkapan untuk berolah raga.
Pendek kata, Mas Dono selalu mengusahakan
kesibukan yang bermanfaat bagiku. Diam diam
aku berterimakasih kepada perhatiannya yang luar
biasa itu. la benar benar menyayangiku sebagaimana seorang kakak kandung yang hanya
mempunyai adik seorang saja.
Sepanjang usia perkawinan kami, aku tak pernah
berjumpa dengan Hari. Kata orang, ia lebih banyak
berada di Jakarta. Setelah lagu lagu cipta annya
yang terakhir laris, ia banyak diminta untuk ikut
memilih warna suara penyanyi penyanyi yang
akan membawakan lagunya. Mengenai kebenarannya, aku tak tahu.
Sebenarnya, sebelum aku menikah dengan MasDono pun, aku juga sudah tak pemah lagi rit bersua
dengan Hari. Sejak aku mengirimkan surat i
mengenai keinginanku untuk melepaskan diri dari
hubungan kami, ia tak pernah menemuiku lagi.
Atau lebih tepatnya lagi, ia tak merasa perlu j
berhubungan denganku lagi meski hanya untuk
bicara sebentar. Membicarakan tentang isi surat
ku itu misalnya. Seolah, surat itu seperti merupakan hal yang memang diharapkan dan merupakan
suatu kebetulan yang menguntungkannya, la jadi
tak perlu lagi memikirkan persoalan mengenai
masa depanku. Memang ia tak pernah ingin
menikah denganku.
Di luar keinginannya yang tidak ingin terikat dalam
wadah perkawinan, aku dan dia memang
mempunyai banyak perbedaan, la mempunyai
keluarga yang utuh dan terhormat. Berasal dari
keluarga yang berhasil. Kaya pula, la juga
mempunyai lingkup pergaulan yang luas. Dan
khusus mengenai pergaulan pribadinya, ia sudah
terbiasa bergaul dengan gadis gadis yang selain
cantik juga gemerlapan. Singkat kata, diriku memang tidak sepadan dengan Hari. Dan itu, ia pasti
merasakannya. Dengan begitu, dugaanku bahwa ia
malah merasa lega waktu aku memutuskan hubungan kami, mungkin memang benar.
Tapi jauh di relung hatiku, aku masih sering
menangisinya. Rupanya, cintaku kepadanya yang
bermula dari kebencian, justru lebih kokoh cengkeramannya. Apalagi karena sebelumnya akubelum pernah jatuh cinta. Dan kebencian yang
berubah menjadi cinta itu mempunyai akibat lain.
Secara tak kusadari, semua sifat dan sikap Hari
yang semula kubenci, telah kuterima dengan rela.
Segala kekurangannya tidak lagi merupakan
sesuatu yang mengganggu perasaanku. Akibatnya,
cintaku kepadanya seperti benar benar bulat.
Kucintai ia dengan segala kekurangannya. Dan
itulah mengapa sampai detik ini hatiku masih menyimpan dirinya. Sulit membuangnya, terlalu kuat
akar akamya menembusi hatiku.
Meski pun Mas Dono tak pernah mengatakannya,
ia mengetahui bahwa aku masih suka meneteskan
air mata kerinduan untuk Hari. Dengan matanya
yang awas, ia dapat membaca air muka ku jika
hatiku sedang gundah. Diajaknya aku ke keluar
walau cuma sekedar jalan jalan atau ber
belanja kebutuhan sehari hari. Dan biasanya, un
tuk beberapa saat lamanya, ia berhasil
menghiburku.
Namun sayangnya, suasana seperti itu tak lagi bisa
dipertahankan ketika mas Dono mendapat suatu
tugas dari kantornya, la dikirim ke Surabaya
selama beberapa minggu untuk menyelesaikan
persoalan di sana. Belakangan ini, Mas Dono
memang mendapat kepercayaan untuk menangani
hal hal yang penting, la memang termasuk pekerja yang tekun dan berpotensi.
Sebenarnya kalau aku masih mempunyai cuti,
ingin sekali aku ikut bersamanya. Aku belumpernah pergi ke Surabaya. Pula, kepergian Mas
Dono dari sisiku tentulah akan membuatku ke
ja'sepian. Terus terang aku sudah terbiasa dengan
tr kehadirannya. Tanpa dirinya, entahlah
bagaimana nasibku.
"Hanya tiga minggu paling lama, Wati. Tetapi r
wajahmu tampak cemas seolah aku akan pergi f
tiga tahun lamanya," kata Mas Dono tertawa.
"Itu karena ia sangat mencintaimu, Don "49
sela neneknya tersenyum. "Meski sudah menikah
selama lima bulan, kalian masih bisa dikatakan
sebagai pengantin baru. Berpisah beberapa hari
saja berat rasanya. Apalagi sampai beberapa ming
gu. Tentu saja membuatnya sedih.
Mas Dono tertawa dan mengedipkan sebelah
matanya kepadaku, la tahu bahwa bukan seperti
yang dikatakan oleh neneknya itulah yang menyebabkan kemurunganku.
Tetapi betapa pun aku harus menghadapi hari
hari yang sepi dan murung, Mas Dono harus
menunaikan juga tugas yang dibebankan kepadanya. la berangkat beberapa hari kemudian.
Hari kedua sepeninggalnya, aku tidak segera
pulang begitu kantorku bubar. Aku sudah me
ngatakan kepada nenek Mas Don di rumah, bahwa
aku akan mampir ke kompleks pertokoan.
Iseng iseng aku membeli beberapa kebutuhan
untuk diriku sendiri. Untuk nenek Mas Don, aku
membelikan sebuah selendang rajutan. Belakang
an ini ia sering mengeluh kedinginan. Dan
selendang rajutan yang lebar itu pasti enak untuk
di selimutkan ke bahu.
Setelah barang belanjaanku sudah cukup banyak,
aku berniat pulang. Dengan becak, aku bisa pergi
ke tempat mangkalnya colt colt yang
menghubungkan kota kecil ini dengan desa desa
sekitar. Tetapi baru saja aku akan menawar becak
mataku tertarik ke arah sebuah toko cassette. Di
antara deretan cassette yang dijajakan, aku50
melihat nama Hari S. Tanpa sadar, kakiku melangkah mendekati toko itu. Kubaca tulisan pada
cassette itu : Lagu lagu instrumentalia.
Permainan piano Hari S.
Dadaku bergetar. Rupanya, ia bukan hanya sibuk
mengarang lagu saja, la juga ikut terjun di dalam
dunia musik.
Sulit mengekang diriku sendiri untuk membiarkan
cassette itu begitu saja. Tahu tahu aku sudah
meminta supaya pelayan toko itu mem
bungkuskan sebuah. Tanpa kucoba lebih dulu pula.
Tiba di rumah setelah aku membagi bagikan oleh
olehku kepada nenek Mas Dono dan kepada
pembantu rumah tangga, aku segera
menenggelamkan diri di kamar. Aku dan Mas Dono
memiliki sebuah mini compo yang kami beli secara
patungan. Kebetulan Mas Dono juga suka
mendengarkan lagu lagu. Kadang kadang, selain
lagu lagu Barat atau pun Timur, kami juga
membeli cassette berisi lawakan dari pelawak
pelawak kita y3ng terkenal. Karenanya mini compo
itu kami simpan di kamar. Hanya kadang kadang
saja kalau, neneknya ingin mendengarkan lagu
lagu gending Jawa atau keroncong, Mas Dono
membawa ke luar mini compo itu.
Tanganku agak gemetar ketika memasukkan
cassette yang kubeli tadi ke dalamnya. Berbagai
macam perasaan bergalau di hatiku. Kerinduan,
rasa bersalah telah memutar cassette lelaki yang
pemah mengisi hidupku sebelum perkawinanku51
dengan Mas Dono, dan rasa cemas akan terhanyut
ke dalam kenangan masa lalu. Namun seperti tadi,
aku tak kuasa melawan desakan untuk melanjutkan apa yang sudah terlanjur kukerjakan. Yaitu
memutar cassette itu dan siap mendengarkan lagu
lagu yang akan berkumandang.
Ada beberapa lagu yang bukan ciptaan Hari,
namun cara lelaki itu memainkannya, amat mem
pesonaku. Padahal ketika dibawakan oleh pemusik
lain bahkan dengan permainan sebuah band yang
lengkap sekali pun aku tak begitu terlarut oleh
lagu lagunya.
Aku tidak hanya terpesona saja namun juga
terlarut bahkan tenggelam di dalamnya begitu
cassette itu kubalik. Rasanya, aku seperti hadir di
sisi Hari kala lelaki itu bermain piano. Betapa
tidak? Lagu lagu yang dimainkannya itu adalah W
lagu lagu yang sering diulang ulangnya
bersamaku. i Lagu lagu ciptaannya. Lagu lagu
yang meski pun lj andilku cuma sedikit sekali,
namun aku merasa kan kedekatannya.
Dadaku terasa sesak. Sesak sekali. Aku inga masa
masa manis kami dulu, di awal hubungar kami.
"Ada yang terdengar kurang pas?" tanyanya
ketika itu kepadaku. Dan dengan telingaku yang
awam, aku mencoba untuk mencari bagian mana
dalam lagu itu yang sebaiknya dirubah. Kemudian
setelah aku mengatakannya, ia akan mengulang
permainannya dan merubah pada bagian yang pu
katakan.52
"Bagaimana kalau begini ...?" tanyanya lagi begitu
lagu itu usai.
Begitu seterusnya sampai lagu itu jadi dan Siap
diberi judul dan syair. Sulit melupakan saat saat
seperti itu. Indah sekali. Erat sekali dan tentu aja
mesra sekali.
Selama berbulan bulan aku bergaul dengannya,
aku sudah dapat memainkan lagu lagu sederhana
yang tak banyak variasinya. Dengan kunci C tentu
saja. Namun begitu, toh kerinduan untuk
menyentuh toets piano itu sudah ada. Aku sudah
terlanjur mencintai alat musik itu. Ada sesuatu
yang terjadi setiap aku bermain piano. Seolah,
ada dunia indah yang agak sakral sifatnya. Mendayu dayu dan lembut.
Sekarang, mendengarkan permainan Hari dengan
lagu lagunya yang sudah amat kukenali,
' membuatku terjerat kerinduan yang bukan main
dahsyatnya. Ternyata, aku masih sangat kuat
mencintai Hari
Belum habis lagu itu, aku sudah tidak tahan. Mini
compo kumatikan dan kuhamburkan tubuhku ke
atas tempat tidur. Hatiku pedih sekali. Kalau saja
aku tidak mencintainya, atau kalau saja aku dulu
tidak ingin belajar piano, tentulah tidak akan
begini jadinya. Paling sedikit, mungkin aku masih
membencinya. Seperti pada awal perjumpaan
kami. Ah, kalau saja aku mampu memutar waktu
dan mengembalikan saat saat aku masih belum
mengenal cinta.53
Sejak mendengarkan lagu lagu ciptaan Hari yang
dimainkannya sendiri dalam permainan tunggal
piano itu, aku harus mati matian berjuang
seorang diri melawan kerinduan yang semakin
menghimpit jiwaku. Tidak ada Mas Dono yang
biasanya membantuku ke luar dari situasi yang
tidak menyehatkan itu. Sering dengan sabar ia
memuji keputusanku untuk melepaskan diri dari
hubunganku dengan Hari.
''Memang berat mengalami patah hati, Wati.
Tetapi ingatlah bahwa akan lebih berat lagi jika
cintamu yang suci tidak mendapat penghargaan
yang selayaknya. Seolah cinta itu cuma cinta
picisan. Harga dirimu akan terjatuh. Seolah
perasaanmu tidak layak untuk ditempatkan ke
dalam wadah perkawinan " begitu Mas Dono
sering menghiburku.
Aku membenarkan kata katanya. Juga kata kata
lain yang sering diberikannya kepadaku untuk
mengatasi kesedihanku. Dan karena isinya
mengandung kebenaran, biasanya aku dapat ter
hibur oleh kata katanya itu. Tetapi sekarang, ia
ada di Surabaya. Tak ada yang menghiburku. Tak
ada yang menguatkan hatiku.
Merasa tak mampu mengatasi kemelut itu
seorang diri, aku ingin mencari hiburan dengan
mengunjungi rumah Mas Harun. Sejak istrinya
meingandung tua, aku tak pernah lagi berjumpa
dengan mereka. Keinginanku untuk pergi ke rumah
Mas Harun itu kukatakan kepada nenek Mas Dono.54
la yang menyangka aku merindukan Mas Dono,|
memberiku ijin.
''Memang hari Minggu begini sebaiknya kau isi
dengan jalan jalan," katanya, "Pergilah. Asal .
ingat, jangan terlalu malam pulangnya."
Aku mengiyakan. Hari Minggu pagi itu aku pergi ke
rumah Mas Harun setelah membawakan 0leh oleh
makanan untuk istrinya. Mereka se nang sekali
menerima kedatanganku. Istrinya yang keibuan
itu tampak semakin keibuan setelah akan c
menjadi seorang ibu. la memperlihatkan kepada
ku hasil sulaman sulamannya pada baju baju bayi
yang cantik cantik. Dan aku mengaguminya de
ngan tulus.
"Kau pandai menyulam, Mbak. Kombinasi
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
warnanya cantik cantik " pujiku.
"Ah, kau bisa saja menyenangkan hatiku Dik Wati.
Lihat, aku juga membuat sendiri sarung bantal dan
gulingnya. Kuberi aplikasi macam macam. Aku
mencontoh dari buku buku ini," katanya sambil
memperlihatkan apa apa yang dikatakannya itu.
Kuakui, dengan membicarakan sulaman demi
sulaman dan hal hal lainnya, aku dapat melupakan keresahan pikiranku. Aku bahkan bersyukur
telah menuruti keinginanku sendiri untuk berkunjung ke rumah Mas Harun ini. Membiarkan
keresahan itu menggigiti perasaanku hanya membuang buang waktu yang tak ada gunanya. Hari
toh bukan milikku lagi. Hari toh hanya bagian dari
masa laluku saja.55
"Kapan kira kira kau akan melahirkan, Mbak?" j
tanyaku kemudian.
"Dokter mengatakan awal minggu depan."
"Wah, sebentar lagi ...," gumamku, "Bagai mana
perasaanmu?"
"Macam macam. Ada rasa senang. Ada rasa |
cemas. Ada rasa takut dan seribu satu lagi yang
kurasakan. Rasanya lucu, aku kok akan menjadi
seorang ibu " sahutnya.
Aku tersenyum. Umur Mbakyu Harun ini lebih
muda beberapa bulan dari umurku. Tetapi ia
lebih tampak dewasa dan matang daripadaku.
Tampak nyata bahwa ia telah siap menjadi seorang
ibu bagi anak anaknya.
Tiba tiba aku merasa iri. Seharusnya aku pun
sudah cukup mempunyai kesiapan mental untuk
menjadi seorang ibu. Tetapi ...?
"Kapan Dik Wati menyusulku ...?" tanya i Mbakyu
Harun, seolah mengerti bahwa aku me e mi
kirkan tentang seorang anak.
"Entahlah ...'sahutku asal saja, "Tampaknya ;
Tuhan belum mengijinkan."
Mbakyu Harun menatap ke arah perutku sehingga
aku merasa agak malu. Tetapi tampaknya ia tidak
perduli.
"Banyak banyak makan taoge, Dik. Dan jangan
terlalu tegang memikirkan sesuatu dalam hidup
ini. Yang santai saja." katanya kemudian.
Aku tersenyum mengangguk.
"Akan kucoba," sahutku untuk menyenang kannya.56
Mas Harun tertawa tawa ketika mendengar aku
dinasehati istrinya. Lelaki itu baru saja ke luar dari
kamar mandi.
"Wati biasa melakukan sesuatu yang mengejutkan," katanya kepada istrinya, "Jadi tunggu saja
apa yang terjadi, sebab boleh jadi tahun depan ia
melahirkan kembar tiga."
"Ngawur " gerutuku.
"Kau yang ngawur, Neng. Coba saja, aku dan Wiwid
kena kecoh olehmu. Kami menyangka kau
akan menikah dengan Hari eh, tahu tahu dengan
Dono. Waktu kami mengira kau berpacaran dengan
Dono, tahu tahu kau begitu akrab dan mesra
berduaan dengan Hari " sahut Mas Harun masih
tertawa tawa.
Mendengar itu aku tersipu dan istrinya ikut
tertawa.
"Kau betul Mas. Dik Wati memang ahli dalam soal
membuat kejutan," katanya. Perutnya yang besar
terguncang guncang sehingga aku khawatir
bayinya akan lahir sebelum waktu.
Aku hanya nyengir saja. Biarlah orang mau
mengatakan apa. Mereka toh tak tahu apa yang
ada di balik kisah kehidupan pribadiku.
"Apa kabar Hari sekarang?" tanya Mas Harun
kemudian. Rambutnya yang masih basah dibiarkannya berantakan di atas kepalanya. Sesekali
ditekan tekannya dengan handuk kecil.
"Entahlah. Aku tak pernah bertemu dengannya,"
jawabku, berusaha memperlihatkan sikap yang57
tenang. Seolah apa yang kubicarakan itu bukan
sesuatu yang ada kaitannya dengan diriku. Mas
Harun tak tahu bahwa aku memang benar benar
pernah mencintai lelaki yang sedang ditanyakannya itu.
"Tidak pernah pulang ke rumahnya?"
"Kelihatannya tidak. Kalau pulang, tentu ia akan
mampir ke rumahku," sahutku meyakinkan nya.
Seolah bicaraku itu bukan kuada adakan.
"Kalau begitu, mungkin saja apa yang kudengar c
itu benar..." gumam Mas Harun.
"Apa yang kau dengar?" tanyaku kalem. Tentu
saja ketenangan itu hanya permukaan saja. Pada
ii hal dadaku bergemuruh, ingin sekali mengetahui
berita apa yang didengar oleh Mas Harun itu.
"Siapa yang mengatakan kepadaku, aku lupa, t
Tetapi katanya, Hari sedang tergila gila kepada B
seorang penyanyi," sahut Mas Harun. Dan ia
menyebutkan nama salah seorang penyanyi yang
sudah cukup banyak dikenal oleh masyarakat
banyak. Dadaku semakin berdebur demi men 3
dengar itu. Begitu mudahnya Hari melupakanku,
padahal aku begini menderita
"Penyanyi itu Mas?" sela sang istri.
Mas Harun mengangguk. Handuk kecil yang i
dipegangnya, dilemparkan ke sudut kamar. Dengan
jemarinya, ia mulai menyisir rambutnya.
"Begitulah yang kudengar," sahutnya kemudian.
"Tetapi aku pernah mendengar bahwa penyanyi itu
simpanan seorang pengusaha besar kenamaan,"58
kata sang istri lagi, la menyebut nama seorang
pengusaha.
"Ya, aku juga pernah mendengar mengenai itu.
Tetapi kalau ia senang kepada Hari dan begitu juga
sebaliknya, siapa yang melarang? Perempuan itu
toh tak pemah dinikahi secara syah oleh pengusaha
itu. Sedangkan Hari, yah, siapa yang tidak tertarik
kepadanya. Tampan, muda dan berbakat," kata
Mas Harun.
O, alangkah ingin hatiku tidak mendengar cerita
itu. Sakit hatiku tak terkatakan. Hari ..., Hari
Rasanya ia begitu jauh ..., jauh sekali dari
kehidupanku. Aku benar benar merasa sangat
kehilangan. Bahkan di dalam hatiku pun.
Tetapi suami istri itu mana tahu perasaanku?
Mereka tampak semakin asyik membicarakan
tentang Hari.
"Kurasa, hubungan mereka tidak akan lama," kata
Mas Harun pula, "Hari tak pemah mau terikat
kepada seorang gadis saja, la tak pernah puas
pula. Entah apa yang dicarinya."
Mbakyu Harun menoleh kepadaku.
"Dulu Dik Wati pernah akrab dengannya.
Bagaimana sih sifatnya?" tanyanya tiba tiba.
Dengan susah payah aku mencoba mengukir
senyum di bibirku yang mendadak menjadi kering.
"Kami memang pernah akrab," sahutku setelah
mampu menahan perasaanku, "la mengajariku
bermain piano. Tetapi yah hanya sampai batas59
demikian. Jadi bagaimana sifatnya dalam hal hal
yang pribadi, aku tak tahu."
"Menurut pendapatku, Hari itu orang yang
suka kepada tantangan, la memang mudah sekali
berpacaran dengan gadis gadis, tetapi dengan
mudah pula ia lekas menjadi bosan, la pernah
mengatakan kepadaku bahwa ia paling tidak tahan
menghadapi gadis yang acuh tak actih kepadanya.
Rupanya, ia mempunyai kepercayaan diri yang
kelewat besar bahwa setiap gadis yang ditatapnya
akan segera tertarik kepada kegantengannya," sela
Mas Harun.
Aku menahan nafas, la memang pernah menatapku
secara kurang ajar di awal perjumpaan kami.
Bahkan aku sempat membencinya. Bukan hanya
acuh tak acuh saja. Rupanya, ia merasa penasaran.
Dirayunya aku ketika belajar bermain 1 piano. Dan
ketika akhirnya aku terjatuh juga ke dalam
pelukannya, ia merasa bangga. Bahwa ia bisa
bertahan berpacaran denganku sampai ber i
bulan bulan lamanya tanpa pernah melirik gadis 1
lainnya, itu hanyalah karena kebetulan rumah 1
kami berdekatan dan kedua sepupuku menjadi i
kawan akrabnya.
Sekarang aku tahu mengapa surat yang berisi i
permintaanku supaya hubungan kami putus itu i
tak pernah mendapat jawaban. Surat itu membuat
i nya merasa tak bersalah. Setidaknya, terhadap i
kedua sepupuku, ia tidak mempunyai ganjalan
hati. Aku yang memutuskan hubungan dan bukan60
dia Begitulah mungkin jalan pikirannya. Jadi
untuk apa membalas suratku kalau surat itu justru
merupakan keberuntungan baginya?
Tiba tiba Mas Harun menoleh kepadaku.
"Terus terang saja aku pernah merasa khawatir
melihat perkembangan hubunganmu dengan dia.
la tahu bahwa kau membencinya. Itu pasti
membuatnya penasaran, ingin menaklukanmu.
Karenanya ketika hubungan kalian jadi akrab, f aku
agak khawatir kau hanya akan menjadi bahan f
pemuas rasa penasarannya. Dan kemudian ke f
tika hubungan akrab itu terus berjalan selama i
berbulan bulan, hatiku mulai agak lega. Seorang
jj petualang apa pun, akan ada masanya ingin ber
j henti dan menikmati kehidupan yang tenang, g
Itulah yang kupikirkan saat itu. Kau tak pernah
cerita apa apa kepadaku kecuali hanya tersenyum
senyum saja katanya.
Untuk pertama kalinya aku bersyukur telah tidak
menceritakan tentang percintaanku dengan Hari
dulu kepada saudara saudaraku. Bahkan tidak
juga kepada almarhum nenekku. Kala itu aku 1
masih menantikan kepastian dari hubunganku I itu.
Kutunggu sampai Hari meminta kesediaanku untuk
menjadi istrinya. Suatu penantian yang i kusyukuri
sekarang sebab mereka jadi tak pernah tahu
bahwa penantianku itu hanyalah penantian i yang
sia sia belaka.
Kata kata Mas Harun hanya kusahuti dengan
senyum saja. Aku pura pura sibuk memperhatikan61
hasil sulaman istrinya. Kali ini aku benar benar
tak mau lagi mendengarkan pembicaraan tentang
Hari lagi. Aku sudah tidak tahan lagi. Kata kata
Mas Harun yang terakhir itu telah membukakan ,
mataku. Rupanya, aku hanyalah pemuas dari , rasa
penasarannya belaka. Aku berbeda dari gadis
gadis lain. Aku tidak segera bertekuk lutut oleh
pandangan matanya. Bahkan aku pernah
membencinya, la tidak menyukai itu. la ingin
menaklukkanku. Dan tragis bagiku, ia memang
berhasil. Aku kalah. Aku hancur luluh
Pulang dari rumah Mas Harun, aku bukannya
mendapatkan hiburan tetapi justru sebaliknya,
hatiku yang memang telah terluka menjadi
semakin parah.
Ketika Mas Dono pulang dua minggu kemudian,
berat tubuhku telah berkurang tiga kilo gram
banyaknya. Demi melihatku, lelaki itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia diam saja sampai
kami hanya tinggal berdua saja.
"Kau baru sembuh dari sakit ...?" tanyanya.
Kugelengkan kepalaku.
"Aku sehat," jawabku.
"Kau kurus. Kau kelihatan tidak sehat. Ada apa?"
"Tidak ada apa apa."
"Pasti ada sesuatu. Kau bertemu Hari?"
"Tidak."
"Tetapi ia pulang kemari?"
"Tidak."
Mas Dono tidak bertanya lagi, la mengalihkan62
kesibukannya dengan mengeluarkan barang
barang yang dibawanya dari Surabaya. Aku membantu mengeluarkan pakaian pakaiannya. Yang
kotor, kutaruh di dalam keranjang cucian. Yang
bersih kumasukkan ke dalam lemari pakaian kembali. Tetapi kami tidak berkata apa apa. Sibuk
dengan pikiran masing masing.
Setelah Mas Dono membersihkan diri, ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Aku
duduk di kursi malas yang terletak di bawah jendela kamar.
"Capai?" tanyaku.
"Ya."
"Tidurlah. Masih ada waktu barang sejam dua jam
sebelum sore. Aku tak akan mengganggumu. Aku
akan membaca baca di sini," kataku.
Mas Dono mengangguk. Katanya sambil menguap :
"Tolong putarkan lagu lagu yang berirama tenang,
Wat."
Aku berdiri. Cassette permainan piano tunggal Hari
masih tergolek di atas meja. Tanpa sadar, cassette
itu kupandangi. Pikiranku melayang layang.
Kenanganku menyerbu. Semua yang manis manis
terbayang olehku. Dan secara tiba tiba kenangan
yang pahit pun, terutama cerita dari Mas Harun
tentang Hari, membayangiku pula. Aku mengeluh
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa dapat kucegah. Suara keluhan ku
terdengar berat.
"Ada apa?" tanya Mas Dono. "Kenapa kau V belum
memutarnya?"63
Aku tergagap. Cassette Hari kusingkirkan seacara
kasar tanpa kusadari. Akibatnya, Mas Dono j.
memperhatikannya.
"Apa itu,Wati ...?" tanyanya.
Andaikata aku tidak gugup, mungkin Mas Dono
tidak akan curiga. Tetapi karena aku tak bisa
menjawab dengan cepat dan sikapku agak 1
bimbang, ia jadi disinggahi rasa ingin tahu.
"Coba lihat cassette yang kau singkirkan itu,'
pintanya.
Dengan apa boleh buat, permintaannya ku turuti.
Untuk sesaat lamanya lelaki itu mengetat kan
bibirnya. Kemudian ia menatap wajahku sehingga
aku tertunduk. "Wati ..., jadi inilah sebabnya
mengapa kau kelihatan tidak sehat sepeninggalku
katanya kemudian.
Aku tidak menjawab, pura pura mencari lagu
lagu. Dari sudut mataku, kulihat Mas Dono
menimang nimang cassette berisi permainan
piano Hari tadi. Tetapi kalau hanya karena ini saja
...kau tentulah tidak sampai begini. Kurus, pucat,
tanpa gairah. Hmm Wati, ketika kau kutinggal, apa
saja kegiatanmu kalau aku boleh tahu," kata lelaki
itu pula.
"Jalan jalan di kompleks pertokoan, mengobrol di
rumah Bude Rini, membaca, mendengarkan
pengalaman Mbah ketika masih muda dan
semacamnya," jawabku.
"Tidak mengunjungi rumah Hari?" tanya Mas Dono,
"Maksudku, tidak berkunjung ke ibunya?"64
"Tidak. Meski Mbok Hamid berulang kali mampir
dan mengatakan supaya main main ke sana, aku
tak pernah menurutinya."
"Kau tidak pergi ke mana mana sama sekali
kecuali belanja?" tanya Mas Dono lagi, "Betul?"
"Aku ke rumah Mas Harun."
"Berapa lama?"
"Hampir seharian."
Mas Dono mengangguk. Sinar matanya mengandung kepuasan.
"la banyak menceritakan tentang Hari bukan?"
tanyanya kemudian.
"Ya. Kau tahu dari mana?"
"la pernah menceritakan tentang Hari kepadaku.
Terus terang aku menyesal tidak berpesan kepada
Mas Harun supaya jangan mengatakan tentang Hari
kepadamu, la tak tahu bahwa antara dirimu dan
dia telah terjalin hubungan yang begitu
mendalam."
i "A... aku tak pernah menyangka bahwa Hari
Hakan semudah itu melupakanku ...," gumamku.
"Aku mengerti perasaanmu. Nah, jangan kau cari
lagi cassette ini. Akan kubuang ke tempat
sampah " kata Mas Dono sambil berdiri, j "Mas "
"Ikutilah nasehatku, Wati. la tidak pantas kau
kenang dan kau tangisi " kata Mas Dono. Dan
kemudian tanpa menunggu reaksiku lebih lanjut,
ia cepat cepat ke luar kamar.
Aku tertegun di tempatku berdiri. Tak jadi
memutar cassette. Entah cassette Hari tadi65
dibuang ke tempat sampah mana, aku tak tahu.
Dan aku masih tegak berdiri dalam posisi yang
sama ketika Mas Dono masuk ke dalam kamar
kembali.
"Wati," kata Mas Dono dengan suara lembut, "Apa
gunanya merusak hati dan tubuhmu sendiri bagi
seorang lelaki yang sekarang ini mungkin sedang
bercumbu dengan gadis lain?"
"Aku tahu memang tidak ada gunanya ..." sahutku
perlahan, "Bahkan aku hanya merugikan diriku
sendiri."
"Tepat sekali. Jadi, turutilah nasehatku demi
kebaikanmu sendiri. Sebagai adikku, aku tak rela
kau menderita untuk orang yang tidak pantas.
Mengerti?"
Aku mengangguk. Dan Mas Dono membaringkan
tubuhnya lagi. Sejak kami berdua menyadari
bahwa kasih sayang kami benar benar
merupakan kasih persaudaraan yang erat, baik aku
mau pun Mas Dono tidak lagi mempunyai rasa
sungkan berada di dalam kamar yang sama. Kapan
saja kami ingin tidur, kami langsung
membaringkan tubuh.
Mungkin kedengarannya aneh sebab mustahil dua
orang yang berlainan jenis dan tidak mempunyai
hubungan darah sedikit pun dapat berlaku seperti
diriku dan Mas Dono. Tetapi setelah percobaan
pada malam pertama perkawinan kami itu gagal,
dan kesadaran akan adanya suara batin yang
begitu kuat menentang hubungan selain hubungan66
persaudaraan, mungkin orang akan mengerti
mengapa sampai sekarang tidak pernah terjadi apa
pun di antara kami berdua.
"Wati, akan ada saatnya kau nanti menemukan
seseorang yang sesuai untukmu. Yang akan dapat
membahagiakanmu. Percayalah. Nah, pada saat
itu barulah kita berterus terang kepada umum
bahwa kita berdua ini bukanlah suami istri yang
sebenarnya " kata Mas Dono lagi.
"Aku tak percaya apakah aku akan mampu
mencintai seorang lelaki lagi " sahutku perlahan.
"Kau harus percaya. Setiap manusia bisa jatuh
cinta berkali kali. Dan itu bukan sesuatu yang
buruk jika memang nasib harus dijalani demikian.
Misalnya seorang janda kematian suami yang dicintainya, ia masih akan menemukan cinta yang
lain, la masih dapat mencintai suami keduanya
dengan cinta yang sama sucinya "
"Begitukah halnya dengan Hari?" i "Hari tak pernah
mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya, la
hanya mencintai dirinya sendiri. Dengan jatuh
cinta, ia merasa dirinya hebat. Deli ngan jatuh
cinta, ia dapat mencipta lagu lagu cinta,
mungkin. Jadi jangan kau samakan jatuh cinta j
beberapa kali seperti yang kukatakan tadi. Sifat
nya sangat berbeda."
Aku mengangguk. Mas Dono menguap.
"Sekarang, biarkan aku beristirahat dulu. Tolong
putarkan lagu lagu instrumentalianya Paul
Mauriat," katanya kemudian.67
Kuputar lagu yang dimintanya itu dengan suara
lembut. Aku sendiri membaringkan tubuhku ke
atas kursi malas kembali setelah meraih sebuah
buku. Aku juga ingin beristirahat. Paling sedikit
mengistirahatkan pikiranku yang lelah.
Ternyata sulit sekali. Aku teringat lagi kepada
Hari. Lagu lagu Paul Mauriat mengingatkan daku
kepada Hari. Hari yang mempunyai rasa cinta kepada dunia musik. Ah, andaikata saja cintanya
kepadaku seperti cintanya kepada dunia musik itu,
alangkah bahagianya, la tidak keberatan mengikatkan dirinya kepada dunia yang dicintainya itu.
Tetapi benar apa yang dikatakan oleh Mas Dono,
Hari adalah lelaki yang tak patut kuberi kesetiaan
dan rasa cinta yang seperti kumiliki ini. Tak ada
gunanya. Bahkan hanya membuatku rugi.
Membuatku menderita secara sia sia saja.
Padahal masih banyak hal lain yang bisa kupikirkan. Padahal dunia ini tetap indah tanpa kehadiran
Hari. Apa kata Mas Dono itu benar belaka.
Aku menarik nafas panjang. Kalau seseorang tidak
sadar melakukan sesuatu yang merugikan dirinya
sendiri dan kemudian menjadi sadar, ia akan lebih
mampu membetulkan apa yang keliru itu. Tetapi
dalam hal diriku, aku sadar bahwa aku telah
melakukan sesuatu yang keliru, yang bahkan
merugikan diriku sendiri. Namun untuk memperbaikinya, aku hampir tak mempunyai kemampuan.
Berat sekali. Akan memerlukan waktu dan usaha68
yang cukup lama.
Masih kuingat bagaimana sentimentilnya diriku
tatkala di suatu ketika pada awal masa perkawinanku dengan Mas Dono, Mbok Hamid datang
mengunjungiku, la membawa beberapa ikat
rambutan untuk kami. Memang itu kiriman dari ibu
Hari yang mempunyai kebiasaan membagi
bagikan hasil buah tanaman di halamannya itu
kepada tetangga tetangga terdekat. Namun
bagiku, kiriman yang mengingatkan bahwa tanah
tempat rambutan itu hidup merupakan milik Hari,
telah memandang rambutan kiriman itu sebagai
sesuatu yang mengandung nilai tertentu. Aku
pernah melihat bagaimana Hari menyiram sendiri
tanamannya. Aku juga pemah melihat bagaimana
senangnya ia setiap ada pohonnya yang berbuah.
Bahkan ada sebatang pohon jambu Bangkok yang
buahnya tidak dipetik petik dan dibiarkan tinggal
sampai membusuk hanya karena merasa sayang.
Ingatan itu membuatku jadi sentimentil. Kuambil
beberapa buah rambutan. Kumasukkan ke dalam
sebuah kantong plastik dan kusimpan baik baik.
Itulah yang kulakukan kala itu.
Menggelikan memang, tetapi aku tak mampu
menguasai rasa sentimentil yang begitu kuatnya
itu. Apa saja yang mengingatkan diriku kepada
Hari kusimpan baik baik. Meski pun ia telah
mengecewakanku, bukan dia yang memutuskan
hubungan. Akulah yang memutuskan. Di luar apakah keputusanku itu menyenangkan atau tidak69
bagi Hari, aku toh telah mendahuluinya pergi dari
sisinya sebagai seorang kekasih. Pada perasaanku,
ia masih pantas kucintai dengan diam diam.
Tetapi sekarang setelah kuketahui bagaimana ia
berkasih kasihan dengan seorang penyanyi
gemerlapan yany masih menjadi simpanan seorang
pengusaha besar, kata kata Mas Dono tadi telah
merasuk ke dalam jiwaku. Hari tak pantas ku
ingat ingat lagi
Meski betapa pun sulitnya menguasai perasaanku,
aku masih sanggup juga mengambil kantung plastik
berisi beberapa buah rambutan yang telah kering
itu. Kubuang benda itu ke tempat sampah. Juga
benda benda lain yang dulu pernah ada kaitannya
dengan Hari. Kubuang semua.
Waktu aku kembali ke kursi malas lagi dan
mencoba untuk mencurahkan perhatianku kepada
buku yang sedang kubaca, saat itulah aku sadar
bahwa perbuatan membuang segala kenangan itu
tidak akan berhasil tanpa usaha dari hatiku sendiri.
Percuma saja itu semua kubuang kalau kenangan
terbesar, yang ada di dalam hatiku, tidak ikut
kubuang. Nyatalah bahwa menyadari langkah yang
keliru saja tidak cukup
Pikiran yang bersimpang siur dalam kepalaku itu
semakin menjauhkan perhatianku dari buku yang
terkembang di dadaku. Merasa kesal, buku itu
kulempar ke atas meja. Setelah itu dengan
berbantalkan lenganku sendiri, kupandangi Mas
Dono yang sudah tertidur.70
Nafas lelaki itu bergerak turun naik dengan
teratur. Dalam tidurnya, ia tampak cukup tampan.
Lengan lengannya yang tidak tertutup karena ia
hanya mengenakan kaos singlet saja, tampak
kekar, la gagah dan mempunyai daya tarik yang
cukup besar bagi lawan jenisnya. Ada rasa bangga
3, bahwa lelaki itu boleh kuanggap sebagai
kakakku. . la mengasihiku. Sampai sampai berniat
mengawini ku hanya untuk memberi tempat
bernaung yang aman, yang tenang dan terjamin.
Aku tak tahu. Aku tak dapat berpikir apa apa. Aku
sungguh tolol
Oh Tuhan, betapa sebenarnya aku ini seorang
yang egoistis. Macam kanak kanak yang memusat
kan seluruh kepentingan hidup ini pada dirinya
sendiri. Bukankah dengan mengawiniku, berarti
Mas Dono telah menunda pemikirannya ten tang
masa depannya sendiri. Bagaimana andai k kata
ia jatuh cinta kepada wanita lain? Bagai di mana
andaikata wanita yang dicintainya itu me
lanyangka bahwa aku ini benar benar istrinya? u
Untuk pertama kali di dalam masa perkawinan
mkami, aku merasa benar benar amat menyesal u
telah mengiyakan lamaran Mas Dono. Dengan a;
sedih lelaki itu kupandangi dalam tidurnya. Apa
yang harus kulakukan untuk Mas Dono, demi kebahagiaannya?
TUJUH71
"MBAK Wati, ada telpon untukmu " Suara Nina
kawan sekantorku membuyarkan pikiranku dari
pekerjaan yang tengah kuhadapi.
"Dari Mas Don?" tanyaku, la biasa menelpon ku
kalau terpaksa harus lembur. Biasanya kalau tidak
terlalu lama, ia memintaku supaya menyusul ke
kantornya. Kecuali jika harus menunggu terlalu
lama, ia menyuruhku pulang lebih dahulu.
"Bukan. Dari siapa tadi. Ah, lupa. Jawablah
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri."
Aku tersenyum dan berdiri ke tempat meja telpon
terletak.
"Halo ...?" Paling paling kalau bukan dari Mas Don,
tentu dari temannya. Kalau Mas Dono terlalu sibuk,
ia biasa meminta tolong kepada temannya untuk
menyampaikan pesannya.
"Wati?" tanya suara di seberang sana, "Aku Mas
Harun."
"Ooo, Mas Harun. Kenapa Mas?"
"Mbakyumu sudah melahirkan ...."
"Aduh, syukur Mas. Lelaki atau perempuan ...?"
"Laki laki. Tetapi ..., melalui pembedahan. Aku di
rumah sakit sekarang ini. Maukah kau
menemaniku?"
Dadaku berdebar debar demi mendengar berita
itu. "Bagaimana keadaannya?"
"Bayinya sehat. Mengenai ibunya,, dokter
mengatakan keadaannya juga cukup baik. Tetapi
aku tak tega melihatnya. Kau mau menemaniku72
kan? Telponlah kepada suamimu, mintalah ijin
nya."
"Baik, Mas. Tabahkan hatiku. Kalau Dokter
mengatakan tidak apa apa, itu artinya Mbakyu
akan cepat sembuh kembali. Aku akan berdoa
untuknya "
"Terimakasih, Wati. Kalau bisa, lekaslah datang "
kata Mas Harun lagi. Disebutkannya nama rumah
sakit tempat istrinya dirawat itu.
"Mas Wiwid, Bude Rini, sudah tahu?"
"Wiwid baru saja pulang dari sini, la kusuruh
ke desa mengabari Bude Rini."
"Kalau begitu sekarang juga aku akan ke tempatmu, Mas "
"Jangan lupa mintalah ijin kepada suamimu "
Tentu saja aku tidak lupa. Begitu gagang telpon
kuletakkan, aku langsung mengabari Mas Dono.
"Temanilah mereka, Wati. Sayang sekali aku tak
bisa ikut mendampingimu. Tetapi nanti siang aku
akan menjenguk sebentar sebelum pergi," kata
Mas Dono.
"Pergi? Pergi ke mana?"
"Ke Jakarta, menemani Boss. Tetapi besok sore
sudah kembali. Kami naik pesawat "
"Kok mendadak?"
"Mestinya bukan aku yang mendampingi Boss.
Tetapi Pak Kurnia. Sayangnya beliau sakit. Padahal
kemarin tidak apa apa. Jadi terpaksa aku ditunjuk
untuk menggantikannya. Sebentar lagi aku akan
pulang untuk menyiapkan pakaian lalu langsung73
kembali kemari. Kalau sempat aku akan menengok
istri Mas Harun sebentar sebab kami harus segera
ke lapangan terbang, memburu penerbangan
terakhir."
"Hati hati ya Mas?"
"Heeh. Kebetulan kau menelponku. Aku baru saja
mau menelponmu."
"Tetapi besok sore kau benar benar sudah , pulang
kan?"
"Begitulah rencananya. Kami hanya menemui
seorang penting saja. Besok pagi sekitar jam sembilan. Setelah itu kami akan pulang."
"Baiklah kalau begitu Mas. Mudah mudahan
kau nanti sempat menjenguk Mbakyu Harun biar
pun cuma sebentar." "Akan kuusahakan."
Sejam kemudian aku sudah berada di kamar
Mbakyu Harun. Perempuan itu belum sadar sepenuhnya dari pengaruh bius, la mendapat infus
lewat pergelangan tangannya. Entah cairan apa
yang dimasukkan, aku tak tahu. Tetapi melihatnya
dalam keadaan selemah itu, aku merasa iba. Masih
kuingat bagaimana penuh semangatnya ia jjr
memperlihatkan hasil hasil sulamannya kepada
jk ku waktu aku berkunjung ke rumahnya minggu
lalu Ketika seorang perawat datang untuk meng ukur
suhunya, aku menanyakan tentang keadaan nya.
Perawat itu mengatakan bahwa kalau keada an
tetap seperti sekarang, Mbakyu Harun akan lekas
sehat kembali.74
Aku merasa lega. Berita itu kusampaikan kepada
Mas Harun. Lelaki itu kelihatan sangat letih.
Wajahnya tampak kuyu. Tukang goda dan i lelaki
yang biasanya penuh kegembiraan itu tampak
tanpa gairah sama sekali sehingga beberapa
kali aku harus membesarkan hatinya.
"Aku tak pernah menyangka bahwa seorang wanita
mempunyai tugas yang begitu berat ..." katanya,
"Semalam aku hampir gila menghadapi saat saat
kelahiran anakku. Mbakyumu tampak sangat
menderita. Rupanya, bayinya tak dapat ke luar.
Terhalang ari ari yang letaknya di bawah,
menutupi jalan ke luarnya."
"Hal itu sudah berlalu, Mas. Sekarang Mbakyu
sudah selamat "
"Yah ..., tetapi sulit sekali melupakannya. Ini
sungguh sungguh pengalaman berharga buatku.
Mulai saat ini, aku akan lebih mencintai istri
Aku tersenyum.
"Memang seharusnya demikian, Mas. Tugas seorang
istri memang berat. Mengatur jalan kehidupan
sehari hari di dalam rumah tangga. Sejak bangun
pagi sampai tidur lagi, ada ada saja yang harus
dikerjakan. Tidak kelihatan tetapi tak ada
berhentinya. Belum lagi harus merawat anak
anaknya. Kalau mempunyai bayi, malam malam
harus sering bangun. Menyusuinya, mengganti
popoknya dan menina bobokkan. Jadi, setelah
melahirkan dengan bertaruh nyawa, itu belum75
berakhir sampai di situ saja. Tugas lain masih
menantikan sampai datang bayi berikutnya. Begitu
seterusnya," kataku sok tahu.
Tetapi Mas Harun mendengarkan kata kataku
dengan serius.
"Yah, kurasa kau benar. Setelah aku melihat
sendiri bagaimana beratnya penanggungan seorang
ibu yang melahirkan anaknya, tiba tiba kasihku
kepada ibuku pun bertambah," katanya.
Aku mengangguk. Perhatianku kuelihkan kepada
wajah Mbakyu Harun yang pucat. Kuraba
permukaan kulit di lengannya. Terasa agak hangat.
Tetapi ketika hal itu kutanyakan kepada seorang
perawat yang kebetulan menengok ke dalam
kamar Mbakyu Harun, mengatakan bahwa hal itu
memang biasa terjadi pada pasien yang baru
dioperasi.
"Tidak apa apa," katanya setelah meraba tubuh
Mbakyu Harun, "Hanya hangat saja."
Aku merasa lega. Kulirik arloji tanganku. Jam
setengah empat lewat. Kurasa, Mas Dono tidak
sempat lagi datang menjenguk kemari. Dan rupanya, dugaanku itu memang benar. Ketika Bude R
ini dan Mas Wiwid datang beberapa saat kemudian,
ia mengatakan bahwa Mas Dono titip pesan dan
surat untukku.
"la terburu buru, Wati. Bossnya menunggu di
mobil," katanya sambil menyerahkan secarik surat
tanpa amplop kepadaku. Rupanya surat itu
ditulisnya terburu buru.76
"Aku tak sempat menengok ke rumah sakit. Tak
ada waktu lagi. Mudah mudahan lusa aku bisa
menjenguk istri sepupumu itu. Sampaikan saja
salamku kepada mereka. Aku akan segera
berangkat. Nanti kubawakan oleh oleh. Hati hati
di rumah ya?" begitu isi surat singkat itu.
"Salam dari Mas Don untukmu Mas," kataku kepada
Mas Harun setelah surat itu kubaca, "Lusa ia akan
menjenguk kemari."
"Kalau begitu kau bisa lebih bebas menemaniku di
rumah sakit kan? Aku butuh teman untuk bercakap
cakap. Perawat mengatakan bahwa selama dua
malam ini, si sakit boleh ditunggui oleh
keluarganya."
"Baik akan kutemani, Mas. Jangan khawatir."
"Jadi malam ini kau yang menemaninya Dik Wati?"
sela Mas Wiwid.
"Ya."
"Kalau begitu besok malam giliranku, malam ini
aku tak perlu kan?"
"Sebaiknya memang bergiliran. Jadi tidak
kekurangan tenaga yang segar. Siapa tahu harus ke
sana atau kemari mencari obat misalnya," Bude
Rini memberi usul.
Kami semua mengiyakan. Tetapi aku ingat bahwa
selain belum sempat makan siang, aku juga tidak
mandi. Padahal nanti malam aku harus menemani
Mas Harun menjaga si sakit.
"Kau naik apa Mas Wid?" tanyaku.
"Dari rumah sakit tadi, naik sepeda motor.77
Tetapi waktu kemari dengan Bude, sepeda
motor nya kutinggal. Kenapa?"
"Aku ingin pulang dulu untuk mandi dan sekedar
membawa makanan untuk nanti malam. I Kau mau
mengantarkan aku pulang? Kau dapat mengambil
motormu sekalian. Nanti aku mem boncengmu
kemari "
"Baik kalau begitu. Sebaiknya sekarang saja fa
supaya tidak terlalu gelap kembalinya nanti. Se
karang sudah jam empat lebih."
Karena sudah ada beberapa orang yang menemani
Mas Harun, aku setuju untuk berangkat sekarang.
Tetapi Bude Rini meminta supaya kami ? tinggal
barang setengah jam lagi supaya ia bisa ikut pulang
bersama. Maka terpaksalah kami berangkat ketika
jam sudah menunjuk jam lima. p Sudah
kubayangkan bahwa aku nanti akan kembali ke
rumah sakit dalam cuaca gelap. Aku belum per io
nah naik sepeda motor pada malam hari, di jalan S
luar kota pula. Tetapi apa boleh buat.
Selesai mandi dan makan, aku membawa bekal
sehelai baju hangat dan makanan kecil yang i
mengenyangkan. Juga satu termos berisi teh ma ,
nis. Mas Wiwid menggeleng gelengkan kepala I
nya. "Di sana kan ada juga kantin, DikWati. Bagaimana
membawa bawaanmu itu? Kita naik motor lho "
katanya. "Biar saja nanti kujinjing. Pelan pelan
saja jalannya."78
Nenek Mas Dono yang ikut sibuk membung kuskan
makanan, menoleh demi mendengar kata kataku.
"Ei, jauh lho Wati. Mana sudah senja begini.
Tanganmu bisa pegal. Pula kau harus berpegangan
baik baik," katanya.
"Memang benar, Mbah. Tetapi mau naik apa ke
sana? Mas Wid tidak bisa mengemudi mobil "
sahutku.
"Naik colt saja "
"Malam malam begini sudah tidak ada kendaraan
ke sana, Mbah. Kecuali kalau mau menunggu
nunutan. Tetapi sampai jam berapa?"
Suara langkah langkah kaki tergesa, masuk ke
dalam rumah. Bude Rini muncul di ambang pintu
tak lama kemudian.
"Permisi, Bu ..." katanya kepada nenek Mas Dono,
"Saya mau bicara dengan Wati."
"Silakan. Mau titip pesan rupanya ...."
"Tidak, Bu. Ini kebetulan ada orang yang bisa
dinunuti sampai ke rumah sakit. Saya tidak tega
kalau Wati membonceng Wiwid dalam cuaca yang
semakin gelap begini," kata Bude Rini.
"Kami baru membicarakannya. Bawaannya saja
sebanyak itu " sahut nenek Mas Dono.
Aku merasa lega sehingga tanpa bertanya apa apa
lagi, bawaanku kujinjing dan kubawa ke rumah
Bude R ini setelah berpamit kepada nenek Mas
Dono. Mas Wiwid tidak jadi mengantarkan aku. la
mau berangkat lebih dulu sebab rencananya
memang baru besok sore akan menemani Mas79
Harun semalaman.
Kalau saja aku tahu siapa yang akan pergi ke rumah
sakit itu, tentulah aku lebih suka duduk di
belakang Mas Wiwid daripada naik mobilnya.
Namun terlambat. Di hadapan orang banyak, aku
tak bisa mengumbar kemauanku sendiri. Orang
akan menaruh kecurigaan kalau aku memperlihatkan sikap yang aneh. Yah, bagaimana tidak? Orang
yang dimintai oleh Bude Rini untuk memberi
tumpangan kepadaku itu adalah Hari. Ya, Hari
Siapa yang menyangka ia ada di sini? Biar hanya
setitik debu pun, aku tak mengiranya
Aku tidak tahu bagaimana wajah dan sikapku saat
aku dan Hari hanya tinggal berdua saja di dalam
mobilnya yang mulai melaju meninggalkan rumah.
Hari hanya membisu saja sehingga aku merasa bisa
jadi gila mendadak kalau keheningan itu tidak
kupecahkan.
"Aku tak tahu kalau orang yang dimintai
tumpangan itu, kau " Akhirnya aku mulai bicara
lebih dulu.
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tanpa kau katakan pun aku tahu. Wajahmu mudah
sekali dibaca " sahut Hari dengan sikap acuh tak
acuh.
"Kau tahu Mbakyu Harun sakit?" tanyaku berusaha
tak perduli kepada sikapnya yang acuh tak acuh.
Dan aku harus berusaha terus berbicara apa saja
yang tidak menyinggung masalah pribadi. Hatiku
sangat kacau. Kalau berdiam diri saja, keheningan
itu akan menghancurkan diriku. Aku tak tahan.80
"Tadi aku mendengar dari Mbok Hamid. Baru
beberapa jam aku tiba dari Jakarta. Masih lelah.
Tetapi mendengar apa yang menimpa Mas Harun,
aku tak bisa tinggal diam. Kami pernah akrab
selama hampir dua tahun lamanya."
"Aku tadi juga ditelpon dari rumah sakit. Mas
Harun membutuhkan dukungan moril."
"Ya."
"Mbakyu Harun jauh dari keluarganya. Kasihan
kalau tidak ada yang menemani mereka."
"Ya."
"Tadi waktu kutinggalkan, ia masih belum sadar
sepenuhnya dari pengaruh pembiusan ..." kataku
lagi. Aku bicara asal bicara supaya tidak terjadi
keheningan yang mencekam perasaan seperti tadi.
"Ya."
"Mas Harun tampak sekali terpukul oleh kejadian
ini. Berulang ulang ia mengeluh," kataku
melanjutkan.
"ya"
Jawaban Hari yang hanya 'ya' dan sikapnya .yang
acuh tak acuh, memukul balik usahaku tadi. Aku
jadi terdiam tanpa mauku. Maka apa yang
kutakutkan pun terjadilah. Keheningan itu
'menjeratku dan membuat perasaanku tersiksa.
Kulirik, Hari tampaknya tenang tenang saja.
Seolah aku tidak ada di dekatnya. Lama keheningan itu merobek robek i perasaanku. Di saat aku
memutuskan untuk membuka mulutku, Hari te
Haiah mendahului.81
"Kenapa kau membuang cassette?" tanyanya tiba
tiba.
it "Membuang apa?" Aku ganti bertanya.
"Cassette. Tepatnya cassette yang berisi permainan pianoku. Kemarin dulu Pak Hamid me
nemukannya di tempat sampah dekat rumahmu.
Maka ia mengambilnya dan menyimpannya. Tadi
begitu datang, ia menanyakannya. Dikiranya,
benda itu terbuang tak sengaja. Tetapi aku tidak
mempunyai pikiran seperti itu," sahutnya, "Aku lf1
lebih percaya pada otakku sendiri. Kurasa,
cassette
itu memang sengaja dibuang. Mengapa?"
Aku jadi ingat, cassette yang dikatakannya itu
adalah cassette yang dibuang oleh Mas Dono
beberapa waktu yang lalu.
"Apakah aku membuang atau tidak, aku tak ingat.
Tetapi yang jelas, biasanya aku selalu membuang
semua barang barangku yang sudah tidak terpakai
lagi. Termasuk barang barang yang tak kusukai,"
jawabku.
"Jadi cassette itu termasuk benda yang tak
terpakai, yang tak kau sukai pula " kata Hari
dengan suara sengit.
"Entahlah ..." sahutku agak bingung.
"Entahlah " sungut Hari, "Waktu kau membelinya
tentunya tidak ada kata entahlah dalam kamus
kata katamu "
Aku terdiam. Bingung. Tak tahu harus me '
ngatakan apa.82
"Bahwa kau toh membelinya juga, itu berarti i kau
ingin mendengar juga permainanku. Mengapa?"
"Hanya iseng ..." sahutku sekenanya.
"Iseng " kata Hari mengulangi kataku, "Apa kah
kau menyukai hal hal yang iseng?"
"Jangan ngawur "
"Pernikahanmu dengan Dono sangat mengejut kan.
Begitu cepat. Seolah tanpa rencana.
Kedengarannya hanya iseng saja ...."
"Diam " kataku memotong kata katanya, "Kau
tak berhak mengatakan apa pun mengenai
perkawinan kami. Itu urusan kami berdua."
"Urusanku juga "
"Apa kaitannya? Sejak surat terakhir dariku itu
kutulis, sudah tidak ada kaitan apa pun antara kita
" dengusku.
"Benar. Tetapi pernikahanmu sangat mengejut D
kan. Ketika aku kembali dari Jakarta, kudengar
kau telah menikah dengan Mas Dono. Padahal
selama ini kau sering mengatakan bahwa antara
dirimu dan dia hanya bersifat sebagai kakak dan
adik. Tetapi apa yang sekarang terjadi? Kalian
menikah. Hanya ada jawaban yang kuketahui mengapa kau menikah dengannya. Pertama, kau
hanya iseng. Kau tadi mengatakan, suka iseng kan?
Dan kedua, kau pembohong. Tidak benar ketika
kau mengatakan kepadaku bahwa kau dan k Mas
Dono macam kakak dan adik "
Mendengar tuduhannya, aku hampir kalap. Tetapi
untunglah aku segera sadar bahwa jika aku tidak83
mampu menguasai diri, ia akan tahu bahwa
pernikahan itu terjadi justru karena ia tak ingin
menikah denganku.
Melihatku hanya berdiam diri, Hari menoleh.
"Biasanya kau selalu gigih menentangku dan
mencari pembenaran diri," katanya.
Kuketatkan bibirku. Sahutku dengan suara kering:
"Aku tak perduli kepada apa pun yang kau katakan
tentang diriku. Itu hakmu. Aku hanya akan
mengurusi apa yang jadi urusanku "
Kudengar gumaman tawa Hari, "Aku banyak
bergaul dengan kaum wanita.
Tetapi meski demikian, aku tak pernah dapat fi
mengerti hati mereka. Sulit untuk mengikuti I
jalan pikiran mereka. Apalagi mengetahui jalan f
perasaan mereka. Namun ternyata di antara teka
teki kaum wanita itu, kau menjadi teka teki yang
paling utama," katanya kemudian.
Aku diam saja. Kubiarkan ia dengan pendapat "
nya itu. Dan seperti tadi, ia menoleh lagi ke arah
ku demi tidak mendengar suaraku.
"Kau mau tahu mengapa kau kusebut sebagai teka
teki yang paling utama?" tanyanya tiba tiba.
"Tidak."
Hari tertawa mendengar sahutan ku yang cepat
itu. "Tidak juga ingin mengetahui mengapa teka teki
itu kuanggap paling rumit?" tanyanya lagi.
"Tidak."84
"Baik," sahut Hari dengan suara tak perduli, "Tetapi
aku ingin mengatakannya. Selain pernikahanmu
yang mengejutkan itu, aku juga merasa aneh
bahwa setelah membeli cassette permainan
pianoku, kau kemudian juga membuangnya ke
tempat sampah. Padahal belum lama dibeli,
rupanyat Masih bagus "
Aku tak mau menyahuti kata katanya. Rupanya,
sikapku itu membuatnya kesal hati.
"Aku ingin tahu mengapa cassette yang masih
baru itu bisa dibuang ke tempat sampah. Kenapa?"
"Tak apa apa
"Kalau tidak ada apa apa, tak mungkin cassette
itu kau buang. Maka aku menyimpulkan sesuatu.
Kau mau tahu?"
"Tidak."
"Sejak tadi kau bilang tidak saja. Tetapi aku tak
perduli. Aku akan mengatakan apa yang ada di
dalam pikiranku. Nah, kesimpulanku mengenai
cassette itu adalah kau membuangnya karena tak
tahan mendengar lagu lagu yang pernah kita
dengar bersama waktu itu "
Kesimpulannya memang tidak meleset dari
keadaan yang sebenarnya. Tetapi mana aku mau
mengakuinya? Tidak. Seujung kuku pun aku tak
akan mengakui kenyataan itu. Bukan saja karena
sebagai istri dari lelaki lain aku harus menjaga
nama keluarga, tetapi juga karena aku tak mau ia
bermegah megah di atas runtuhan hatiku.
"Kedengarannya, kau mempunyai keyakinan diri85
yang kelewat besar, seolah di dunia ini satu
satunya kaum pria hanya kau seorang. Dan semua
wanita jadi memusatkan perhatian hanya kepadamu, satu satunya pria di dunia ini. Huh, andaikata
pun benar hanya kau seorang lelaki di dunia ini,
aku tak sudi bergabung bersama para wanita itu
menunggu perhatianmu " bantahku dengan suara
berapi api.
"Bantahanmu perlu kuralat, Wati ..." sahut Hari
dengan suara acuh tak acuh yang kentara,
"Mungkin memang benar kau tak suka bergabung
dengan gadis lainnya itu. Tetapi bagaimana dengan hatimu? Aku tak percaya bahwa akan secepat
itu aku tersingkir dari hatimu "
Dadaku berdebar debar demi mendengar kata
kata yang seterus terang itu.
"Alangkah sombongmu, Hari " kataku kemudian,
"Dan alangkah besar kepalanya kau. Lupakah kau
bahwa aku telah menikah? Tidakkah kenyataan itu
memberi bukti bahwa kau sudah tidak ada lagi di
hatiku?"
"Mungkin aku akan mempercayai kata katamu itu
pabila kau mau berterus terang kepadaku secara
jujur mengenai apa sebabnya kau tiba tiba
memutuskan hubungan kita padahal beberapa saat
sebelumnya aku masih dapat merasakan perasaan
cintamu kepadaku " bantah Hari.
"Waktu aku menulis surat itu, aku sudah sadar
bahwa ternyata kita tidak akan sesuai pabila hubungan kita diteruskan. Dan sekaligus aku juga86
sadar selama ini ternyata bukan cinta yang
kurasakan kepadamu, melainkan hanya sekedar
mengagumimu sebagai pengarang lagu," kataku
mencari dalih.
Padahal itu tidak benar. Apakah ia seorang
pengarang lagu ataukah ia hanya seorang tukangkebun, aku tak perduli. Aku mencintainya sebagai ia
sendiri dan bukan sebagai sesuatu.
"Kau bohong. Kau tidak jujur "
"Jangan menuduhku begitu. Di mana letak ketidak
jujuranku?"
"Aku tak percaya bahwa sebuah perasaan cinta yang
begitu membara pada malam sebelumnya, bisa
menjadi padam dengan mendadak sehingga
menelorkan gagasan untuk memutuskan hubungan
manis yang sudah berjalan berbulan bulan lamanya
"
"Segala sesuatu mungkin saja, Hari. Jangan berteori
macam macam. Nyatanya, aku memang tidak lagi
mencintaimu sehingga kemudian aku memutuskan
untuk menerima pinangan Mas Dono " bantahku lagi.
"Kau bohong lagi."
' Bohong apanya?" bentakku. Padahal dadaku semakin
berdebar. Apa yang kukatakan itu memang bohong.
Sampai detik ini saja pun aku masih mencintainya.
"Pada saat kau menulis surat untuk memutuskan
hubungan kita, hatimu masih menyimpan diriku secara
utuh. Bohong kalau kau mengatakan saat itu sadar
bahwa cintamu tidak terhadap diriku. Mau bukti?"
"Jangan mengada ada, Hari " dengusku. Padahal rasa
ingin tahu begitu menggumpal di dadaku. Sampai
seberapa jauhnyakah ia mengetahui tentang isi hatiku?
"Suratmu penuh bercak bercak air mata. Rupanya,
begitu selesai menulis, surat itu langsung kau lipat dan
kau tutup di dalam amplop. Memberi kesimpulan yang
pasti mendekati kenyataan, bahwa begitu selesai
menulis, kau tidak lagi ingin membacanya lebih dulu.
Kau takut kepada hati mu sendiri. Takut kau akan
merubah keputusan mu itu. Ya kan?"
"Ngawur " bentakku tanpa tahu harus mengatakan
apa yang lebih baik.
"Aku tidak ngawur. Bahkan kenyataan bahwa kau telah
membuang cassetteku, memberi kesimpulan baru lagi
kepadaku. Tadi sudah ku singgung, bahwa akumendapat kesan bahwa cassette itu kau buang karena
kau tidak tahan mendengar permainan pianoku.
Mungkin kenangan manis kita dulu telah
mengganggumu. Dan itu,, karena sedikit atau banyak
aku ini masih ada di hatimu "
"Itu itu saja yang sejak tadi kau katakan. Sungguh
sombong. Dan sungguh ngawur " bentakku.
"Baik, aku akan menerima kata katamu bahwa aku ini
hanya ngawur dan terlalu sombong. Tetapi aku harus
dapat membuktikannya lebih dulu. Benarkah aku
ngawur, atau tidak "
"Membuktikannya?" tanyaku tak tahu apa rasa ingin
tahu yang dikatakannya itu. Tetapi meletup letup di
relung hatiku.
"Ya, membuktikan mana yang benar dan mana yang
salah. Kesimpulanku, atau pengakuanmu itu "
Dan sebelum otakku mampu kuajak berpikir 11 tentang
apa kira kira yang akan dipakainya sebagai bukti, tiba
tiba ia menghentikan mobilnya. Saat itu kami berada
Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di tengah jalan yang menghubungkan desa kami
dengan kota. Di tempat itu r cuaca gelap sebab tidak
ada lampu jalan. Lampu jalan baru dipasang setelah
mendekati kota
Tiba tiba sebelum aku mampu mengatakan apa pun
mengenai kendaraan yang dihentikan ; nya tiba tiba,
Hari telah memelukku. Dan kemu l dian ia
menciumku.
Aku memberontak pada awal mulanya. Tetapi saat
berikutnya, aku mulai lagi mencair seperti dulu jika
berada di dalam pelukannya. Kurasakan lagi getar
getar di dadaku. Kurasakan lagi aliran darah yang
menderas dalam tubuhku. Aku benar benar terhanyut
sebagaimana biasanya jika dicium olehnya.
Lama aku saling memeluk dan mencium. Aku benar
benar tidak sadar. Otakku begitu bebal. Tak mampu
berpikir waras sedikit pun.
"Nah, sekarang aku berani memastikan bahwaaku tidaklah ngawur seperti katamu tadi," bisik Hrri
begitu ia menjauhkan kepalanya dari wajahku.
Ya Tuhan ke manakah harga diriku? Aku gemetar di
sudut dekat pintu mobil dengan badan gemetar.
Rasanya, aku ini seperti dibenamkan ke dalam air
berlumpur yang dingin
"Kau ngawur " Aku masih mencoba untuk
mempertahan diri tanpa perduli bahwa suaraku
terdengar bergetar.
"Kalau toh kau masih menuduhku ngawur, hanya ada
dua jawaban yang bisa kupakai sebagai senjata untuk
menumbangkan tuduhanmu itu. Pertama, kau tidak
pernah mendapat ciuman yang semesra ciumanku dari
Mas Dono. Dan kedua, kau termasuk wanita yang
mudah terbangkitkan gairahmu oleh ciuman seorang
lelaki. Tak perduli siapa pun lelaki itu "
Mendengar itu, aku tak tahan lagi. Ketenanganku
buyar dan emosiku meletup. Tanganku begitu saja
menempeleng pipi Hari untuk kemudian beringsut
semakin ke sudut. Air mataku berderai derai. Hatiku
sangat sakit. Sakit sekali rasanya. Rasanya seperti mau
meledak.
Mendengar isakan yang lolos dari mulutku, Hari tidak
berkata apa apa lagi. Distarternya kunci kontak
mobilnya dan kami segera meninggalkan tempat
terkutuk itu. Sepanjang perjalanan berikutnya, aku
tidak sudi mengeluarkan suara untuknya. Dan rupa
linya ia pun tidak ingin berkata kata lagi. Mungkin ia
Amarah karena aku telah menempeleng pipinya.
Tentulah tidak ada gadis lain yang pernah melakukan
seperti apa yang kulakukan kepadanya. Te
Jrtapi aku tak perduli. la telah menyakitiku habis
habisan.
Tiba di rumah sakit, aku berusaha menggilangkan
bekas bekas tangis itu. Wajahku kutam ba dengan
seulas bedak yang seiaiu kubawa di dalam tasku. Juga
sedikit lipstick di bibirku. Bibir y yang tadi dicium Hari
i Kakiku masih gemetar memikirkan apa yangterjadi tadi, tetapi aku tetap berusaha agar sikapku
menampilkan kewajaran di hadapan umum.
Ketika aku datang, Mbakyu Harun sudah ?siuman
Tetapi wajahnya masih pucat. Bibirnya j kering. Untuk
sementara, aku melupakan urusan pribadiku. Hatiku
tersentuh iba melihat perempuan yang lemah
terbaring dengan pipa pipa yang ter fikat di
pergelangan tangannya itu. Sebuah jarum besar
ditancapkan di urat pergelangan tangannya itu.
"Bagaimana rasanya, Mbak? Lebih enakan?" tanyaku
sambil membelai rambutnya.
Mbakyu Harun tersenyum mengangguk.
"Aku tidak tahan haus ..." bisiknya.
"Sabarlah. Besok kalau perutmu sudah berjalan normal
kembali dan kau bisa membuang angin, tentu boleh
minum," hiburku.
"Alangkah lamanya ..." keluh Mbakyu Harun, "Bibir dan
leherku terasa sangat kering."
Hari ikut mendengarkan keluhan itu. Mas Harun
memanggilnya. Setelah duduk berdekatan, Mas Harun
mulai menceritakan sejak awal mula proses
melahirkan yang berakhir di meja operasi itu. Karena
pengalaman itu terasa sangat menakutkan baginya, ia
menceritakannya dengan sepenuh perasaannya.
"Tetapi bayinya begitu menakjubkan," katanya
mengakhiri ceritanya, "Sungguh, rasanya takjub,
heran, bangga, bahagia dan semacamnya ketika
pertama kalinya kulihat bayi itu. Nanti kau akan kuajak
ke kamar bayi. Perawat akan menggendong bayi itu
dan memperlihatkan lewat kaca jendela "
Hari mengangguk angguk dan tampaknya ikut
terkesan oleh cerita Mas Harun. Terlebih ketika
bersama Mas Harun kembali dari bagian perawatan
bayi, la tersenyum kepada Mbakyu Harun.
"Bayimu, tampan dan lucu sekali " katanya.
"Mirip siapa?" tanya Mbakyu Harun. Rupanya pujian
Hari itu dapat melupakan sejenak penderitaan rasa
hausnya "Campuran. Tetapi wajah Mas Harun lebihjelas tampak pada wajah bayi itu. Lucu ya? Tadi ia
menguap sewaktu kami lihat. Cara menguapnya pun
lucu. Badannya menggeliat manja."
Mbakyu Harun tersenyum bahagia. Matanya berbinar
binar sehingga yang melihat dapat me lihat
keindahan batin yang memancar dari dirinya.
Keindahan yang dilandasi rasa keibuan. Tiba tiba
perempuan itu menoleh kepada
ku. "Pernah kukatakan kepadamu bahwa seorang bayi
adalah makhluk yang tak pernah mem febosankan.
Apalagi jika itu bayi kita. Semua gerakannya tampak
lucu dan menakjubkan. Bahkan menguap atau
menggeliat pun tampak mempe sona," katanya, "Dik
Wati, jangan takut melahirkan. Semua penderitaan itu
tak akan terasa jika kita telah melihat bayi kita.
Percayalah "
Aku mengangguk. Tetapi terasa olehku pipiku menjadi
hangat. Aku merasa bahwa baik Hari a mau pun Mas
Kisah Pedang Bersatu Padu 3 Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik Karunia Mutiara Cinta 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama