Ceritasilat Novel Online

Sesejuk Belaian Angin Gunung 3

Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono Bagian 3


Harun sedang menatapku.
"Mintalah kepada Mas Dono," kata Mbakyu Harun lagi
sehingga pipiku terasa semakin panas. "Kau membuat
Wati menjadi malu. Lihat pipinya. Persis udang rebus
merahnya " sela Mas harun.
Mbakyu Harun tertawa. Tetapi cuma sebentar. Saat
berikutnya, ia meringis. Mungkin gerakan tawa tadi
meremangkan bekas jahitan di perutnya. Aku cepat
cepat melarangnya bergerak.
"Sudahlah, tenang saja, Mbakyu ..." kataku.
Kata kata sama telah dikatakan pula oleh perawat
yang kemudian masuk ke kamar untuk mengukur suhu
tubuh Mbakyu Harun lagi. Memang suhu tubuhnya
belum normal kembali.
"Pasien jangan banyak diajak bercakap cakap dulu ya?
Biarkan ia beristirahat," katanya sambil menurunkan
kelambu dari atap tempat tidur.
Melihat itu kami bertiga yang sehat ini ke luar.
"Tidurlah," kata Mas Harun kepada sang istri, "Kamimenunggu di luar."
"Nanti kalau Mbakyu sudah tidur, aku akan duduk di
sisimu. Jangan khawatir. Kami akan menemanimu,"
kataku membesarkan hati si sakit.
Mbakyu Harun tersenyum. Dan aku bersama kedua
lelaki itu ke luar. Aku segera menghempaskan tubuhku
ke atas bangku panjang di lorong depan kamar si sakit.
Mas Harun menyusul di sampingku.
"Har, kalau kau mau pulang pulanglah. Teri makasi h
kau telah menengok kami dan membawa Wati
sekalian," katanya kepada Hari.
"Tidak. Aku akan menemanimu malam ini " sahut
Hari. Aku terkejut. Kutatap mata lelaki itu. Tak ada
keterpaksaan di dalam mata itu. Padahal tak ada
hubungan darah antara dirinya dan kami berdua.
DELAPAN
KIRAKIRA jam setengah sepuluh, Mas Harun mendekati
tempatku duduk. Untuk perintang waktu, aku
membawa bacaan. Aku merasa beruntung dengan
adanya bacaan itu. Setidaknya, aku tak perlu gugup
dengan adanya Hari di sekitarku. Melihat mas Harun,
buku itu kuletakkan.
"Wat, Mbakyumu panas ..." katanya dengan suara
cemas, "la mengeluh tidak bisa tidur."
Aku tersentak.
"Panas sekali?" tanyaku. Kecemasan Mas Harun
menulariku.
"Rasanya, ya."
"Zuster sudah tahu?"
"Belum."
"Beritahu saja," usulku.
"Nanti kita dianggap cerewet." Mas Harun tampak
bimbang.
"Biar saja. Demi istri yang sakit. Jangan lagi cuma
dianggap cerewet, dibentak pun kita harus mau. Di
sini, kita memerlukan bantuan mereka" sahutku.
Mas Harun mengangguk."Kau benar," gumamnya.
"Ada apa?" Hari melangkah mendekati kami.
"Istriku panas," sahut Mas. Harun sambil beranjak pergi
ke ruang sebelah, tempat perawat jaga malam
berada.
Kulayangkan pandang mataku ke kegelapan malam.
Purapura tak menghiraukan kehadiran Hari di dekatku.
"Wati..." panggilnya.
Apa boleh buat. Aku terpaksa menoleh.
"Kasihan Mas Harun ya ...?" katanya.
"Aku lebih kasihan kepada Mbakyu Harun" sahutku
dengan ketus.
"Ya, tentu saja."
"Tetapi meski pun demikian, sebenarnya kau tidak
perlu ikut menunggu di rumah sakit. Kau dicari ibumu,
nanti" kataku lagi.
"Aku sudah tua. Ibuku tidak akan mencemas kanku."
"Tetapi yang lain ...?"
"Yang lain siapa?"
"Ya, mana aku tahu. Aku tak suka membaca koran
ibukota"
"Tetapi dari bicaramu, kau pasti pernah mendengar
sesuatu tentang diriku"
"Meski pun demikian, aku tidak perduli. Bukan
urusanku," sahutku dengan ketus.
"Tetapi kau tadi mengatakan bahwa ada orang selain
ibuku yang mungkin sedang memikirkan diriku," kata
Hari menuntut.
"Yang kupersoalkan bukan orang itu. Yang
kupersoalkan tadi, kenapa kau harus ikut bergadang di
rumah sakit. Aku tidak melihat apa perlunya"
Bicaraku terhenti. Kulihat Mas Harun datang dengan
seorang perawat di belakangnya. Aku terpaksa
memperhatikan mereka.
"Sejak tadi kita terus berdebat saja," gerutuku,
"Padahal aku sudah tahu bahwa bicara denganmu
hanya membuangbuang angin dari mulutku saja."
"Perempuan galak"Mataku melotot ke arah Hari tetapi lakilaki kurangajar
itu melengos. Aku tak berani menggerutu sebab Mas
Harun tampak dalam keadaan tegang. Aku berdiri dan
mendekatinya. Kulihat, Mbakyu Harun sedang
ditermometer. Kami menanti dengan gelisah.
Lima menit kemudian, perawat itu menoleh kepada
kami.
"Ada yang bisa mencarikan es batu? Rumah
sakit tidak mempunyai persediaan es lagi," katanya,
"Sore tadi banyak yang panas suhunya."
"Dapat. Saya akan mencarinya" sahut Hari yang
tahutahu sudah ada di belakangku.
Aku menyisih memberinya jalan. Tetapi di dekat
telingaku ia berbisik dengan wajah penuh kemenangan
"Aku tinggal di rumah sakit ini bukan tidak ada
gunanya"
Aku melotot. Tetapi dengan tenang, Hari terus berlalu
tanpa perduli mataku akan ke luar semua dari rongga
mataku, atau tidak. Sialan. Tetapi ketika ia kembali
kemudian dengan sebongkas es batu, mau tak mau aku
harus berterimakasih kepadanya. Es yang kemudian
kami pecahpecah kan dan kami masukkan ke dalam
termos yang dibeli oleh Hari secara mengetuk sebuah
toko itu sangat menolong Mbakyu Harun. Aku dan Mas
Harun bergantian mengompres kepala, lipatan ketiak
dan lipatan pahanya. Dalam waktu satu jam, suhu
tubuhnya mulai menurun. Apalagi setelah dokter jaga
menyuruh perawat tadi me nyuntiknya. Tak berapa
lama kemudian, Mbakyu Harun sudah tertidur.
Kulihat, Mas Harun tampak letih sekali. Duduk di sudut
kamar dengan wajah kuyu dan ditumbuhi bulubulu
halus di dagu dan di atas bibirnya, ia tampak
mengharukan.
"Istirahatlah Mas," kataku, "Aku tadi membawa tikar.
Cobalah untuk tidur barang sejenak. Mbakyu sudah
kelihatan lebih baik."
"Kalau nanti dia terbangun ...?""Aku akan menjaganya. Kau tidurlah. Jangan sampai
kau juga jadi sakit. Repot nanti"
Mas Harun mengangguk. Menuruti katakataku, ia
menghamparkan tikar di sudut kamar si sakit dan
mencoba untuk tidur. Kutinggalkan mereka untuk
menghirup udara segar di luar kamar. Setelah itu aku
kembali lagi dan duduk di tepi tempat tidur Mbakyu
Harun. Buku yang kubaca tadi, kubawa masuk.
Sulit sekali membaca pada saat seperti ini. Bau
obatobatan menggangguku. Suara dengkur Mas Harun
dari sudut kamar, ikut membuyarkan ketenanganku.
Dengan apa boleh buat, buku itu akhirnya hanya
kupangku saja. Dan kepalaku yang mulai terasa berat
kusandarkan ke tepi tempat tidur. Aku memang
merasa sangat letih dan mengantuk. Sudah lewat
tengah malam sekarang.
"Kalau kau mengantuk ..., tidurlah, Wati. Biar aku yang
menjaganya," kudengar suara Hari.
la sudah ada di belakangku.
Kutegakkan kepalaku.
? "Tidak" sahutku.
"Kau tampak lelah," kata Hari lagi.
"Biar saja. Itu urusanku"
"Sssh, jangan berisik di sini. Nanti si sakit terbangun"
Peringatan Hari menyadarkan aku bahwa suaraku yang
ketus tadi bisa membangunkan si sakit. Aku terpaksa
membungkam mulutku sen diri. Melihat itu,
sudutsudut bibir Hari agak tera angkat.
"Kalau kau tak mau istirahat ya sudah. Aku i akan
istirahat sendiri," katanya kemudian.
Kulirik, lelaki itu mengeluarkan dua lembaran kertas
koran dan ditebarkannya di atas bangku yang terletak
di luar kamar. Tak berapa lama kemudian, tak
kudengar lagi suaranya. Dari tempatku, aku hanya
dapat melihat nafasnya yang turunnaik dengan teratur
lewat gerakan dada nya.
Aku mengeluh dalam hati. Tak pernah kuli sangka
bahwa aku akan bertemu lagi dengan nya dalamkeadaan begini. Kukira, ia sedang berada di Jakarta.
Apakah hubungannya dengan penyanyi tenar itu telah
putus?
Lama aku merenungrenung sambil kepalaku j
kurebahkan lagi ke tepi tempat tidur. Lama
kelamaan, kantuk yang masih menguasaiku tadi
mampu membuatku tak tersadar selama beberapa
waktu. Aku tertidur tanpa kusadari.
Entah berapa lamanya aku tertidur itu, tak kuketahui.
Tahutahu saja sebuah tangan terasa memegang
bahuku. Aku tersentak bangun. Ku toleh, Mas Harun
berdiri di belakangku.
"Gantian, Wati. Sekarang kau cobalah untuk tidur
barang sejam atau dua jam," katanya, "Aku sudah agak
lumayan, tidak terlalu letih seperti sebelumnya."
"Aku sendiri tadi tertidur, Mas. Biarlah kau saja yang
tidur lagi," bantahku.
"Nanti saja. Sekarang jam tiga lewat. Sebaiknya kau
saja yang istirahat."
"Sudah kukatakan aku tadi tertidur. Aku tidak terlalu
capai" bantahku lagi. Tetapi karena Mas Harun terus
memaksaku, aku terpaksa memberikan kursiku
untuknya. Dan aku sendiri membaringkan tubuhku ke
atas tikar bekas tempat Mas Harun tidur tadi. Tetapi
sukar sekali. Ubin yang terasa keras dan dingin masih
lebih mampu mengalahkan rasa kantukku. Aku
terpaksa berdiri lagi.
"Kurasa lebih baik aku jalanjalan melepaskan rasa
pegalku," kataku kepada Mas Harun.
"Pergilah. Berada di sini terus akan membuatmu
merasa tertekan," kata Mas Harun dengan suara
lembut.
Aku mengangguk. Perlahanlahan dan dengan langkah
kaki santai, aku berjalanjalan melewati lorong demi
lorong rumah sakit yang lengang itu. Sesekali aku
berpapasan dengan perawat yang dinas malam. Atau
dengan salah seorang keluarga pasien penyakit gawat.
"Mau ke mana?" Kudengar suara di belakang "ku. Tanpamenoleh pun aku tahu bahwa Hari sedang menyusulku.
"Iseng jalanjalan. Hanya untuk melemaskan , kakiku
yang pegal," sahutku dengan suara enggan.
"Iseng lagi Apakah kau memang menyukai keisengan?"
"Hari, jangan memulai lagi tentang pembicaraan
semacam itu. Aku lelah dan sedang tak punya
keinginan untuk bercakapcakap. Apalagi ber debat
denganmu," sungutku.
"Maaf. Aku lupa bahwa kau sedang dalam kondisi yang
kurang fit. Kau mau kubelikan ma kanan? Jam begini,
ada warung gudeg di perapat an jalan yang sudah buka"
katanya sambil me lihat arlojinya, "Sudah hampir
setengah empat 3: pagi."
"Tidak. Aku tidak lapar."
"Permen?" la mengulurkan permen pedas yang
diambilnya dari saku kemejanya. Kali itu aku tak
menolaknya. Mulutku terasa pahit.
Kami terus melangkah dan berbelok ke sebelah Utara.
Di sana, keadaan tidak selengang tempat lainnya. Ada
beberapa orang dudukduduk di bangku. Sebagian
besar, berwajah tegang.
Kubaca papan penunjuk di tempat itu. Rupanya, itu
bagian tempat ibuibu melahirkan.
''Mas Harun kemarin tentulah berada di tempat itu,"
kata Hari.
"Ya."
"Bisa kubayangkan bagaimana cemasnya ia ketika
diberitahu bahwa bayinya tidak dapat lahir secara
normal ..." kata Hari lagi.
Suaranya terhenti. Kami mendengar suara teriakan
dari salah sebuah ruangan yang tertutup di dekat kami.
"Aduh Ibuuuu ..., ampun ..." suara teriakan itu, "Sakit,
Bu. Sakit, Bu. Aku tak mau melahirkan lagi"
Mendengar itu, aku tertegun. Bahkan bulu kudukku
berdiri. Di pagi buta yang sepi seperti ini, suara
teriakan itu terdengar jelas sekali.
"Maaf Nyonya, jangan menjeritjerit terus nanti
tenaganya terkuras untuk menjerit dan bukannyauntuk mengedan. Sabarlah, semua wanita juga
mengalami hal yang begini kalau ingin jadi seorang ibu.
Lihat, Ibu yang di sebelah itu dari tadi hanya
meringisringis saja. Tidak berteriak teriak," kudengar
suara teguran dari seorang pe grawat.
M Aku menarik nafas panjang. Memang agak memalukan rasanya kalau seorang wanita berteriakteriak
pada waktu akan melahirkan.
"Zuster tidak merasakan apa yang saya derita. Sakitnya
hampir tak tertahankan. Aduuuh ..., seluruh tubuhku
sakit semua. Aduh Ibuuu ..., ampun. Aku dulu sering


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani kepada Ibu. To loooooong, Buuuuu ...."
Suara keluhan yang terdengar lagi itu membuatku
semakin merinding. Apalagi dari sudut yang gelap,
seorang ibu berusia pertengahan mon darmandir
dengan wajah tegang dan mulutnya tak hentihentinya
berkomatkamit. Tentu dia ibu pasien yang akan
melahirkan itu.
"Lama betul ya ..." keluhnya entah kepada , siapa,
"Sudah sejak jam lima sore kemarin bayinya belum
juga ke luar. Betapa sakitnya ...." j Aku dan Hari
berdiri di dekat tiang, memandangi dan mendengar
apa yang terjadi dihadapan kami. Kakiku terasa
lemah. Baru kali ini aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri suasana di tempat orang akan melahirkan,
Sedang kami mengawasi ibu setengah baya yang
masih terus mondarmandir sambil berdoa itu, pintu di
sebuah ruangan lain dibuka dengan tergesa. Dua orang
perawat berlarilari keluar
''Oksigen yang di ruangan sebelah kiri saja, Mbak" kata
salah seorang di antara keduanya.
"Panggil dokter jaga lekas"
Kedua belah kakiku menjadi semakin lemas. Ada apa?
Segala keributan itu menghentikan gerakan ibu yang
mondarmandir tadi.
"Ada apa?" tanyanya kepada salah seorang ibu lain yang
duduk di bangku.
"Ibu yang baru saja melahirkan tadi mendadak pingsan.Mungkin terkena serangan jantung ..." Seorang lelaki
yang mungkin tahu sedikitsedikit tentang dunia
kedokteran, menjawab pertanyaan ibu tadi.
Rasanya waktu berjalan dengan cepat sekali. Tabung
oksigen yang diambil perawat tadi didorong orang
masuk. Di belakangnya, seorang dokter bergegas
menuju ke tempat si sakit. Kira kira sepuluh menit
yang menegangkan itu, pintu tertutup tadi terbuka
lagi. Pasien yang berada dalam keadaan gawat tadi
didorong ke luar. Seorang lelaki yang mungkin
suaminya, mengekor di belakang tempat tidur dorong
itu. Wajahnya pucat pasi.
"Tentu dibawa ke ICCU," kata lelaki yang menjawab
pertanyaan ibu setengah baya tadi.
Hari menoleh kepadaku. Sejak tadi kami hanya berdiri
mematung melihat seluruh kejadian
yang ada dihadapan kami.
"Kau tampak pucat..." katanya.
Aku diam saja. Setelah keributan mereda,
baru kudengar lagi teriakanteriakan dari arah
kamar satunya tadi.
"Aduh aduh Dokter ..., tolong saya. Saya tidak mau
mati"
Tidak kudengar suara sahutan dokter. Kalau bicara
tanpa berteriak, suara dari dalam ruangan itu tidak
terdengar sampai ke luar.
"Aduh ..., Tuhaaaaan ...."
Tibatiba kami semua mendengar suara tangisan bayi
merobek pagi yang masih sangat dini ini. Keras sekali
suara tangisan itu. Dan jeritan ibu bayi tadi tidak lagi
terdengar.
"Terimakasih Tuhan ..." seru ibu yang mondar mandir
tadi, "Cucuku telah lahir."
Aku ikut lega setelah kedua belah telapak tanganku
tadi sempat berkeringat. Namun ternyata itu tidak
lama. Dari arah kegelapan, sedang wanita dengan
perut besar duduk di kursi dorong. Dari
gerakangerakan bibir dan dahinya, tentulah ia sedangmenahan sakit. Perawat yang mendorong kursi itu
bergumam berkalikali.
"Tahan dulu Ya Bu ..., jangan mengedan dulu ..."
katanya. Di belakang mereka, dua orang ibu setengah
tua berlarilari kecil mengikuti kursi
dorong itu.
"Zuster apakah suaminya perlu dikabari sekarang? Dia
sedang ke luar kota ..." kata salah seorang di antara
keduanya.
"Nanti dulu, Bu. Sabar. Biar saya menolong Ibu yang
akan melahirkan ini. Lain kali janganlah ke rumah sakit
setelah dalam keadaan begini. Bisa melahirkan di
jalan" sahut perawat tadi dengan suara yang jelas
mengandung rasa kesal.
Hari menggamit lenganku.
"Kita kembali ke tempat Mas Harun ..." ajaknya. Entah
aku salah mendengar atau memang sebenarnya, aku
seperti mendengar getaran dalam suaranya.
Kami berdua melangkah bersisian. Tetapi baru empat
langkah berjalan, seorang lelaki datang tergopohgopoh
dengan sebuah botol berisi darah. Seorang perawat
yang baru ke luar dari salah sebuah ruangan,
dihadangnya.
"Zuster, ini darah yang berhasil saya dapatkan dari PMI.
Golongan O juga" katanya sambil mengulurkan botol di
tangannya itu.
"Bapak suami Ibu Herlina?" tanya perawat yang diajak
bicara itu.
"Ya. Yang tadi sehabis melahirkan mengalami
pendarahan."
"Baik kalau begitu. Darah ini bisa untuk mengganti
darah yang kami pinjam dari orang
Lain."
"Bagaimana keadaan istri saya?"
"Baik. Sudah dibawa ke ruang perawatan.Bapak boleh
menengoknya sebentar. Setelah itu biarkan ia
beristirahat""Bayinya bagaimana?" "Sehat. Gemuk sekali. Untuk
kelahiran berikutnya tolong Bapak ikut memberi ingat
kepada istri Bapak supaya jangan terlalu banyak ,
makan yang manismanis. Tulang pinggul istri Bapak
tidak terlalu lebar. Masih untung istri Bapak tadi tidak
dioperasi. Bayinya yang masih bisa ditolong dengan
kelahiran biasa."
"Akan saya ingat, Zuster. Terimakasih."
Di luar bijaksana atau tidaknya perawat itu berkata
seperti itu kepada keluarga pasien, aku baru sadar
bahwa suatu proses kelahiran seorang r f bayi ternyata
mempunyai berbagai macam kemungkinan.
Sepanjang jalan menuju ke tempat istri Mas Harun
dirawat, baik aku mau pun Hari tidak banyak
berkatakata. Peristiwa yang kami lihat baru saja tadi
membawa pengaruh yang cukup besar di hati kami.
"Dari mana?" tanya Mas Harun demi kami berdua
masuk.
"Dari bagian melahirkan," jawabku. Kemudian aku
menceritakan secara singkat apa yang tadi kulihat.
"Kau jadi takut?" tanya Mas Harun kemudian.
Aku mengangguk. Yah, aku memang merasa takut. Aku
seorang wanita. Suatu saat nanti, kalau Tuhan
mengijinkan, aku juga akan melahirkan anakanakku
dan mengalami seperti apa yang dialami oleh ibuibu
muda di ruang bersalin tadi.
"Kau tidak perlu takut. Apa yang kau lihat tadi tidak
selalu terjadi pada setiap kelahiran. Ketika aku
menanti kelahiran anakku, aku melihat ada beberapa
ibu yang melahirkan dengan mudah dan tanpa banyak
keluhan. Begitu masuk ke ruang bersalin, setengah jam
kemudian bayinya lahir. Aku sempat merasa iri.
Mengapa justru istriku yang mengalami kesulitan dan
harus dibawa ke kamar bedah"
Aku terdiam. Mas Harun menepuk lenganku.
"Tetapi penderitaan apa pun juga di saat melahirkan,
dalam ilmu kedokteran yang sudah maju seperti
sekarang ini, kesulitankesulitan yang dihadapi padasaat melahirkan sudah dapat diatasi dengan baik. Oleh
sebab itu perlu adanya pengawasan dokter atau bidan
pada saat mengandung, sehingga kalau ada kelainan
bisa diketahui," katanya lagi.
Kami bercakapcakap dengan suara perlahan. Hari
malahan sempat melontarkan katakata :
"Aku jadi semakin mencintai ibuku"
Sementara itu perlahanlahan hari bergeser memutar.
Kaki langit mulai berwarna jingga dan kesibukan
mulai terdengar. Mulamula hanya se bagian, tetapi
kemudian semua bagian mulai mem perlihatkan
kesibukan. Perawat mondarmandir mendorong kereta
berisi waskom tempat air hangat t untuk memandikan
pasienpasien yang tidak bisa mandi ke kamar mandi.
Termasuk Mbakyu Harun.
, Kami bertiga terpaksa ke luar, membiarkan perem
puan itu diseka oleh perawat.
Tak lama kemudian, beberapa perawat lain berjalan
mondarmandir dengan bayi menangis dalam
gendongannya.
"Bayibayi itu diantarkan kepada ibuibu mereka untuk
disusui," menerangkan Mas Harun.
Aku tersenyum.
"Jadi tangis itu tangisan kelaparan?" tanyaku. "Ya."
"Lucu ya? Kurasa, itulah obat terhebat bagi seorang ibu
yang melahirkan betapa sukarnya pun proses kelahiran
itu. Memeluk dan menyusui bayinya" kataku.
"Memang demikian. Mungkin Mbakyumu baru siang
nanti boleh menyusui. Kata perawat yang menyeka
tadi, pipapipa infus akan dicabut hari ini setelah
diperiksa oleh dokter."
"Tiap jam berapa dokter keliling kepada
pasienpasiennya?"
"Tidak tentu. Tetapi pada umumnya, pada pagi hari."
Aku mengangguk. Kulirik arloji tanganku. Sudah
setengah enam lebih. Kurasa, aku tak akan mampu
pergi ke kantor hari ini. Nanti kirakira jam delapan
lewat, aku akan menelpon dari rumah sakit, minta ijinsehari.
Setelah diseka, bersisir dan memakai pakaian yang
lebih bersih, Mbakyu Harun tampak lebih segar. Tetapi
perempuan itu masih mengeluh tidak enak pada bagian
perutnya. Kembung, katanya.
"Dan leher ini, sakit sekali rasanya. Kering. Kalau saja
aku bisa bangun, aku akan mencari minum sendiri"
katanya.
"Sabar, Mbakyu. Mudahmudahan hari ini Mbakyu sudah
bisa buang angin," hiburku.
Tetapi sampai aku pulang kemudian, yaitu jam
sepuluh, Mbakyu Harun masih juga belum dapat
membuang angin. Aku merasa iba melihat bibirnya
yang kering. Lebih dari duapuluh empat jam ia
berpuasa. Sambil kucium dahinya dan menjanjikan
untuk menjenguknya lagi nanti sore, aku berdoa
diamdiam di dalam hatiku. Semoga kalau aku datang
sore nanti, ia sudah boleh minum.
Seperti kemarin waktu aku datang ke rumah sakit,
pulang itu pun aku numpang mobil Hari, la juga akan
pulang untuk beristirahat. Tetapi
tidak seperti kemarin, kami berdua tidak banyak
bercakapcakap. Bukan saja karena lelah, tetapi juga
masih terbayang apa yang kami saksikan pada dini
hari tadi. Bahkan ketika aku berbaring di kamarku
setelah mandi dan makan, bayangan yang terjadi tadi
masih saja berlintasan di kepalaku. Ternyata, semua
kejadian di bagian kamar bersalin itu cukup
memukauku. Aku baru mengerti , tentang bagian
terpenting dari kehidupan seorang
wanita dalam kehidupan ini.
Sorenya, Bude R ini ikut bersamaku. Karena Hari
memaksa untuk mengantar kami, terpaksakah aku
membiarkan ia membawaku lagi di dalam mobilnya.
Cuma karena ada Bude Rini, suasana di dalam mobil
sepanjang perjalanan ke rumah sakit itu tidaklah
sekaku kemarin dan tadi. Tetapi ketika pulang kembali
ke desa, aku tak dapat mengelakkan rasa canggungyang terpaksa kudalami bersama Hari lagi. Bude Rini
tidak ikut pulang, la ingin menemani Mas Harun,
"Baru sekarang aku merasa lega setelah Mbakyu Harun
diijinkan minum," kataku ketika kami sudah di jalan.
Aku tak tahan berada dalam suasana kaku. Dengan
bicara halhal yang tak ada kaitannya dengan
kehidupan pribadi kami, kekakuan itu berusaha
kucairkan.
"Ya, aku pun demikian. Dan kelihatannya,
kesehatannya akan pulih dengan cepat kalau melihat
kemajuan hari ini. Padahal kalau kuingat bagaimana
tingginya suhu tubuhnya semalam, aku yang bukan
suaminya saja sudah merasa cemas, la tampak gelisah
sekali dan sinar matanya tidak bercahaya," sahut Hari.
"Ya, aku juga berpikir sama denganmu."
"Apa ...?" sahutku berusaha acuh tak acuh. Suara
panggiilan yang menyebut namaku itu terdengar
lembut.
"Aku baru sadar sekarang bahwa menjadi seorang
wanita itu berat. Tak pemah terpikirkan olehku bahwa
seorang calon ibu itu harus menghadapi seribu satu
macam kemungkinan yang membahayakan jiwanya,"
katanya.
Aku diam saja. Arah ke mana yang akan dituju dari
ucapannya itu, aku belum dapat merabanya.
"Selama ini aku sering meremehkan wanita," katanya.
Aku masih diam. Enggan menyahuti kata katanya.
Sungguh tak enak mendengar pengakuan semacam itu.
"Kau tahu tentang petualanganku kan?"
"Tidak." Aku menyahut dengan pendek.
"Bohong kauWati...."
"Aku sungguh tidak tahu," sahutku dengan suara
jengkel yang tak kusembunyikan, "Petualang yang
bagaimana dan dengan siapa, aku tak Cahumenahu"
"Tetapi pernah mendengar kan? Atau membaca dalam
korankoran yang suka menulis gosip?"
"Ya, aku pernah membaca berita semacam itu. Tetapi
aku tidak memikirkan lebih lanjut. Bukan jurusanku""Kau tahu mengapa aku menyukai paras cantikdan
kehidupan gemerlapan?"
Aku menoleh dengan cepat ke arahnya.


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu," kataku dengan suara tegas, Tetapi
aku tidak ingin tahu. Sudah kukatakan,urusanmu
bukanlah urusanku. Tak ada guna ya dibicarakan di
sini"
Hari terdiam. Mungkin ia sedang menyusun strategi
untuk menarik minatku. Tetapi aku tak jdi mendengar
apa pun dari mulutnya.
"Wati, kita mampir warung Pak Amat ya?atau? Kita
makan sate" katanya lama kemudian, tawaran itu
tulus, karena perutnya lapar, atau karena berkaitan
dengan strategi yang kukatakan tadi.Entahlah.
"Aku lelah," kataku, "Ingin segera pulang dan tidur.
Besok aku harus bekerja"
"Sebentar saja. Kan di rumah pun kau harus makan.
Jadi apa bedanya? Toh itu tidak akan mengurangi
waktumu kalau kau ingin lekas masuk tempat tidur."
Aku merasa bimbang. Perutku memang lapar sebab
makan siang tadi masih terlalu pagi. Pu lang dari
rumah sakit, aku makan. Suatu saat , makan yang
tanggung. Disebut makan pagi, sudah siang dan
disebut makan siang, masih pagi. Dan yang jelas,
sekarang pada jam tujuh begini, perut ku sudah
keroncongan.
Hari sudah cukup mengenali sifatsifatku. Be gitu
melihatku dalam keadaan bimbang, ia me makainya
sebagai kesempatan baik. Tanpa bertanya pendapatku
lagi, ia membelokkan mobil nya ke warung makan Pak
Amat begitu sampai di sana. Mau tak mau aku terpaksa
membiarkannya. Aroma sate ayam cukup menerbitkan
se lera makanku.
Setelah memesan makanan, Hari menatapku lama
sehingga aku merasa risih.
"Kenapa kau memandangku?" gerutuku, "Aku tak suka
dipandang""Aku sedang membaca air mukamu," sahutnya dengan
suara kalem.
"Untuk apa? Membuang waktu saja."
"Aku ingin tahu apakah kau berbahagia hidup bersama
Mas Dono. Aku juga ingin tahu bagai L mana warna
kehidupan perkawinan kalian. Harmoniskah?" k
"Aku heran, apa gunanya kau mencampuri 1
apa yang bukan urusanmu" kataku dengan ketus.
"Tak perlu heran. Aku hanya ingin tahu saja. Wajar kan
seorang bekas kekasih ingin mengetahui kehidupan
bekas kekasihnya?"
"Mungkin bagimu atau bagi sebagian orang, itu ' wajar.
Tetapi tidak bagiku. Aku tak pernah ingin mengetahui
apakah kau sekarang lebih berbahagia atau tidak"
"Aku tak percaya."
"Hari, ini kita tidak duduk sendiri saja. Aku tak mau
kehilangan pengontrolan diri dan me nempelengmu di
depan umum," dengusku.
"Apakah kau juga pernah menempeleng Mas Dono?"
"la tidak mempunyai sesuatu yang mem , buatku marah
dan kehilangan pengendalian diri. Kalau pun ada
masalah tempelengmenempeleng, mungkin aku yang
pantas ditempeleng olehnya, la terlalu baik bagiku"
Hari tidak menjawab. Lama kemudian baru ia bicara
lagi. Tetapi katakatanya kali itu tidak ada kaitannya
dengan pembicaraan sebelumnya.
"Apakah kalian masih sering dudukduduk di bawah
pohon di belakang rumahmu dulu?" tanyanya,
"Kadangkadang aku rindu duduk di sana. Sebelum kau
datang kembali ke desa ini, aku bersama kedua
sepupumu dan Mas Dono, sering mengobrol di sana
sampai berjamjam lamanya."
"Sesekali kami masih suka juga duduk di sana.
Kadangkadang Bude Rini ikut menggabung. Kenapa kau
tanyakan itu?"
"Hanya ingin tahu saja. Bagaimana dengan jendela
kamarmu? Kau dapat melihat gunung seperti di
kamarmu ketika aku belum membangun rumah?"Aku tertegun. Sepanjang masa hubungan kami dulu,
sekali pun aku tak pernah menceritakan bahwa
kebencian ku kepadanya pada awal perkenalan kami
dulu ada kaitannya dengan pemandangan lewat
kamarku itu. Siapakah yang mengatakan hal tersebut
kepadanya?
"Kau tahu bahwa dari kamarku aku dapat melihat
gunung?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya
lebih dulu.
"Tentu saja tahu. Aku juga tahu kau membenciku
karena ketika kembali dari rantau dan tinggal di
kamarmu lagi, kau kehilangan pemandangan itu"
"Siapa yang mengatakannya?"
"Mas Harun."
"Mmm jadi karena itulah kau kemudian mengambil
hatiku?"
"Antara lain ya"
Gerahamku mengetat. Aku ingat, ia memang berhasil
dengan usahanya itu. Bahkan dengan
lasil gemilang. Bukan saja perasaan benciku kepadanya
menghilang, tetapi juga berbalik menjadi perasaan
cinta.
"Kau marah?" Hari bertanya demi melihat berubahan
air mukaku.
Kugelengkan kepalaku.
"Tidak. Aku hanya menyesal kenapa hatiku bisa
serapuh itu. Seharusnya aku lebih waspada" sahutku.
Hari tertawa kecil.
"Aku tak mau mengingat lagi masamasa lalu kita. Tadi
aku kan bertanya kepadamu, bagai mana dengan
jendela kamarmu. Apakah kau dapat melihat gunung
tercintamu?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Gunung itu hanya akan terasa sebagai kawan
bila aku seorang diri dan merasa sebatang kara.
Sekarang, aku tak pernah merasa sepi. Apa lagi merasa
sebatang kara. Mas Dono telah mengisi hidupku dan
membuatku merasa hangat""Hm, begitu?"
"Ya."
Keheningan mulai menyebar sebab Hari tidak berkata
apaapa lagi sampai kami kemudian selesai makan.
Setelah membayar kepada Pak Amat, lelaki itu
menggamit lenganku dan kami segera berdiri untuk
melanjutkan perjalanan yang tinggal selangkah itu.
Ketika aku akan turun di muka halaman rumah, baru
Hari berkata lagi:
"Lusa aku akan kembali ke Jakarta untuk rekaman.
Nanti malam, aku akan menyelesaikan salah satu dari
laguku. Kalau rekaman itu jadi, kau mau kuberi
sebuah?"
Karena ia akan kembali ke Jakarta dan bagaimana pun
juga aku harus tahu sopansantun, tawaran itu kujawab
dengan anggukan.
"Bagus. Kali ini lagulagunya tidak kumainkan sendiri"
katanya kemudian sambil menutup pintu mobil. Dan
sebelum ia melarikan mobilnya menuju ke rumahnya,
ia menyebutkan nama seorang penyanyi yang katanya
akan menyanyikan lagulagu karangannya itu.
Untuk beberapa saat lamanya aku tertegun di
tempatku. Penyanyi yang disebutkannya itu adalah
penyanyi yang kata Mas Harun menjadi kekasih Hari
selama di Jakarta.
Untuk pertama kalinya, dadaku begitu terbakar oleh
api cemburu yang bukan main panasnya
SEMBILAN
MBAKYU Harun sudah sembuh dan bayinya sudah
berumur satu bulan sekarang ini. Aku su dah dua kali
menengok ke rumahnya. Mereka, Mas Harun
sekeluarga, tampak hidup berbahagia. Seolah
penderitaan mereka sebulan yang lalu bukanlah
apaapa.
Tetapi tidak demikian dengan diriku. Peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan rumah sakit itu
telah memberi goresan tersendiri di dalam hatiku.Masih segar dalam ingatanku apa yang kusaksikan
bersama Hari waktu itu. Masih kuat pula melekat di
dalam ingatanku tentang apa apa yang dikatakan oleh
lelaki itu kepadaku.
Mas Dono tahu bahwa aku telah berjumpa dengan Hari
kembali, tetapi ia tidak banyak bertanyatanya.
Rupanya, ia ingin supaya aku mampu menyelesaikan
permasalahan batinku sendiri.
Dan memang, aku ingin dapat melepaskan diri dari
pengaruh perasaanku itu. Dalam pertemuanku terakhir
dengan Hari, aku yakin bahwa ia masih ada di dalam
hatiku, seutuh seperti semula. Terlebih kala ia
menciumku, aku semakin yakin bahwa ia tak pernah
hilang dari hatiku. Diamdiam aku merasa khawatir
janganjangan Hari mengetahui isi hatiku itu. la
mempunyai kepekaan yang lebih dibanding orang lain.
Dengan telinganya yang tajam dan perasaannya yang
peka membaca situasi, ia akan tahu bahwa aku masih
mencintainya. Oleh karenanya, sebelum itu terjadi,
aku berjuang untuk tidak membiarkan diriku terbelenggu oleh perasaanku kepada Hari itu. Usaha
pertama yang bisa kulakukan adalah menyibukkan diri
dengan pekerjaan. Untuk itu, aku meminta diberi
pekerjaan lembur yang bisa kubawa pulang.
"Kelihatannya, posisimu di kantor semakin mantap, ya
Wati. Kulihat, kau sudah mulai banyak mendapat
kepercayaan untuk mengerjakan sesuatu," kata Mas
Dono setiap melihatku mengerjakan lemburanku.
"Entahlah. Pokoknya kalau disuruh mengerjakan
sesuatu, aku ya mengerjakannya. Kan harus jitu
menjadi karyawan yang baik" sahutku tersenyum.
Tidak sedikit pun kuberi kesan bahwa Jbekerjaan itu
memang kucari. Belakangan ini ku sadar bahwa diriku
terlalu tergantung kepada Mas Dono. Aku harus
belajar mengatasi persoalanku sendiri. Lamalama aku
akan menjadi seorang yang egoistis kalau kubiarkan
diriku tetap begini, menjadi beban Mas Dono secara
menyeluruh."Asal kau mengerjakannya dengan senang hati saja,
Wati. Keterpaksaan sering mengakibat kan seseorang
mengalami frustrasi"
Aku mengangguk. Mas Dono seialu memikir kan
segalagalanya Aku sering berpikir, andaikata saja kami
berdua saling mencinta, tentulah kehidupan ini terasa
indah. Hidup dengan ke bahagiaan. Tetapi takdir
ternyata berkata lain. Aku tidak mencintai Mas Dono
dan begitu pun hal yang sebaliknya. Cinta yang ada
pada kami adalah cinta persaudaraan yang teramat
kental dan pekat. Tak mungkin dapat dicairkan untuk
diubah menjadi cinta asmara yang membara. "Kau
terhanyut oleh kesibukan dalam peker n jaan," kata
Mas Dono lagi, "Tetapi seharusnya sekalisekali kau
mesti memikirkan juga rekreasi.Hidup ini harus ada
keseimbangan. Bekerja terus juga tidak baik. Apalagi
kalau pekerjaan itu men jemukan. Nah, oleh karena
memikirkan hal itu aku ingin mengajakmu ke luar kota
hari Minggu nanti."
"Kemana?"
Mas Dono menyebutkan nama sebuah kota yang
terletak sekitar dua ratus kilometer jauhnya dari desa
kami. Arah kota yang ditunjukan nya itu terletak di
sebelah Timur. Kota yang cukup besar, lebih besar
daripada kota tempat di mana baik aku mau pun Mas
Dono bekerja.
"Jalanjalan?" tanyaku.
"Ya. Nanti kita makan makanan khas daerah itu"
Aku mengangguk dengan gembira untuk
menyenangkannya. Tetapi ketika hari Minggu itu tiba
dan kami berdua jalanjalan di pertokoan di kota itu,
tibatiba saja kegembiraanku surut. Dari arah toko
cassette, terlingaku mendengar lagu yang pertama
kalinya kudengar dari permainan Hari. Lagu ciptaannya
yang menjadi titik awal hubungan akrab kami, yang
menumbangkan kebencian ku kepadanya. Lagu itu tak
pernah dimainkan lagi oleh Hari sepanjang masa
hubungan manis kami berdua. Ketika hal itukutanyakan, ia menjawab:
"Aku masih ingin lebih menyempurnakannya lagi. Pula,
lagu itu belum ada syairnya."
Sekarang, telingaku mendengar lagu itu lagi. Dengan
syair dan dilagukan oleh seorang penyanyi.
nyanyi yang mempunyai hubungan asmara dengan Hari
akhirakhir ini.
Langkah kakiku tersendatsendat demi mendengar lagu
kenangan yang kedengarannya sudah disempurnakan
di sanasini itu. Perasaanku kacau balau. Pedih, rawan
dan juga dipenuhi psa cemburu kepada penyanyi yang
tampaknya berhasil menjiwai lagu itu.
"Kenapa kau, Wati?" Mas Dono merasa heran melihat
sikapku, la memang belum pernah men engar lagu itu.
Aku menarik nafas panjang. Kutundukkan kepalaku
sesaat lamanya.
"Tidak apaapa," sahutku.
"Tak mungkin. Pasti ada sesuatu. Ada apa,
Wati?" desak Mas Dono.
"Lagu itu," sahutku terpaksa.
Mas Dono memperhatikan sejenak, la segera
mengenali warna suara penyanyinya.
"Dia menyanyikan lagulagu ciptaan Hari?"
tanyanya kemudian.
"Heeh."
"Dan kau merasa terganggu karenanya?" "Heeh." Aku
menyahut dengan terusterang sebab sangatlah tidak
mungkin menyembunyikannya dari Mas Dono.
"Tetapi untuk apa? Tak ada gunanya, Wati.
kau yang akan rugi sendiri. Cobalah belajar mem
perkuat perasaanmu. Buatlah dirimu menjadi kebal
terhadap halhal yang berkaitan dengan dia"
Aku mengangguk. Tibatiba saja Mas Dono menarik
lenganku dan membawaku ke arah asal suara nyanyian


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi dan memasuki toko cassette itu. Dan tanpa
menanti reaksiku lebih dulu, Mas Dono segera meminta
cassette lagu tadi kepada pemilik tokonya.
"Bungkuskan lagu itu, Dik" katanya.Lidahku terasa kelu. Aku tak bisa mengatakan apaapa
ketika kemudian bungkusan cassette tadi dimasukkan
ke dalam tas belanjaan kami. Di luar toko baru ia
berkata :
"Sedikitsedikit kau harus biasa mendengarkan
lagulagunya. Aku ingin supaya lamakelamaan
perasaanmu menjadi kebal. Obat itu memang pahit,
Wati. Tak ada obat yang manis rasanya. Jadi, kau pun
harus mau kuberi obat yang pahit. Kelak, kau akan
berterimakasih kepadaku kalau perasaanmu sudah
menjadi lebih kebal"
Aku terpaksa mengangguk. Setelah itu Mas Dono
berusaha mengalihkan perhatianku dengan berbelanja
lainnya. Dan untuk mengimbanginya, aku purapura
terpikat kepada apa yang ada di hadapanku.
Gaungaun, sepatu dan sejenisnya.
Kami pulang ke desa setelah menjelang sore. Usai
mandi, Mas Dono sengaja memutar cassette yang tadi
dibelinya. Mau tak mau, telingaku me j
nangkap nadanada yang tercipta itu. Sakit sebenar
nya sebab suara penyanyi itu sungguh bagus dan pantas
membawakan lagulagu ciptaan Hari. Lebih lebih lagu
kenanganku, yaitu lagu ciptaan Hari yang pertama
kalinya kudengar namun yang ter
akhir disiarkan untuk masyarakat luas. Kata
katanya sangat menusuk perasaanku. Aku hampir
menangis mendengarnya. Hanya karena merasa
tak enak kepada Mas Dono yang berulang kali melirik
kepadaku sajalah yang menyebabkan aku masih
mampu menahan diri agar air mata tidak ikut bicara.
Bagaimana pun juga, aku harus mem perlihatkan
bahwa diriku tahu berterima kasih. Segala daya upaya
yang dilakukannya supaya aku tidak terkenang lagi
kepada Hari, harus kuhargai dengan baik. Kalau aku
menangis di depannya, Mas Dono akan merasa bahwa
aku tidak menaruhpenghargaan atas usahanya itu.
Seolah kubiarkan diriku dilibat emosi secara mudah
tanpa usaha ke arah perbaikan.Tibatiba Mas Dono mematikan cassette.
Suara lagu pun terhenti.
"Kita makan dulu, Wati ..." ajaknya kemu dian.
Aku hanya menurut saja apa yang dikatakan
nya. Otakku masih belum dapat kuajak berpikir ?
normal. Baru setelah makan malam itu usai, aku J
mampu berpikir lebih tenang. Kubiarkan Mas Dono
memutar lagu tadi lagi. Melihat sikapnya, aku tahu
bahwa ia sedang berusaha agar aku jadi terbiasa
mendengar lagulagu ciptaan Hari tanpa merasa pilu
lagi. Tak seharusnya aku memperlihatkan sikap yang
kurang menyenangkan. Apa pun yang dilakukannya,
Mas Dono berniat baik demi kebaikan juga nantinya.
Kuusahakan untuk mampu menangkap katakata dalam
lagu itu.
Setiap fajar merekah di pagi hari Kubuka jendela
kamarku....
Kupandangi gunung biru nun jauh di sana Kutatap
embun di atas daun kemuning
Ku rangkum udara segar nan melimpah O, angin
gunung....
Belailah diriku dengan mesra Rambutku....
Wajahku....
Dan sampaikanlah salamku Kepada si dia entah di mana
berada Bisikkan kerinduan yang menyesakkan dada ini
Tiupkanlah hasrat hatiku ini di telinganya,
Aku ingin ia kembali di sisiku.
Aku tercekam katakata yang kudengarkan sekalimat
demi kalimat dalam bait lagu itu. Indah sekali lagunya.
Dan kena sekali katakatanya ke hatiku. Apakah Hari
mengarang lagu itu dengan
tujuan tertentu dan untuk gadis tertentu juga, aku
hak tahu. Namun yang pasti, lagu itu sangat me nusuk
perasaanku. Apalagi nama lagunya yang begitu
menyentuhkan suatu kenangan tertentu dalam
batinku. Masih jelas kuingat apa yang kukatakan
waktu ia menanyakan pendapatnya mengenai lagu
ciptaannya itu :"Kedengarannya lagu itu untuk memuja alam
"Memang demikian. Lagu itu kucipta untuk memuja
alam yang begini indah," jawabnya ketika itu.
Bahkan ia juga mengatakan bahwa alam seringkah
lebih mampu diajak bicara. Alam mempunyai
kepekaan untuk ikut merasakan apa yang sedang kita
rasakan.
Waktu itu aku hanya tersenyum saja. Menurut
pendapatku, alam hanyalah bagian dari ciptaan
Tuhan saja. Kalau pun itu ada kaitannya dengan
masalah perasaan, alam hanya memberi tambahan
kepekaan belaka. Kalau hati kita sedang gundah dan
cuaca sedang buruk, hujan dan angin, hati kita
menjadi lebih peka. Seolah alam ikut ber dukacita
bersama kita.
Sekarang demi mendengar katakata lagu itu, aku
seperti diingatkan lagi kepada keakraban yang terjalin
antara diriku dan gunung biru itu. Setiap Pagi tiba, aku
selalu disambut dengan manisnya
oleh gunung itu begitu daun pintu kamar tidurku
kukuakkan lebarlebar. Masih kurasakan betapa belaian
anginnya. Angin gunung yang segar dan mesra itu.
Karena itulah lagu dan katakatanya itu menusuk
perasaanku.
Beberapa hari kemudian setelah Mas Dono membelikan
cassette tersebut untukku, Mbok Hamid datang
berkunjung, la membawa sebuah bungkusan kecil
untukku.
"Kakak perempuan Tuan Muda Hari, datang kemarin
sore. Besok pagi ia berangkat pulang ke Jakarta, ke
tempat tinggalnya. Tuan Muda Hari menitipkan ini
untuk Den Wati," katanya, "Ada surat di dalamnya.
Kakak Tuan menanyakan apakah Den Wati akan
menitipkan sesuatu untuk Tuan Muda Hari di Jakarta
sana."Aku terdiam beberapa saat lamanya.
"Akan kupikirkan dulu," kataku kemudian, "Aku harus
tahu apa isi bungkusan ini. Juga apa isi suratnya.
Setelah itu baru saya putuskan apakah akan membalas
suratnya atau tidak. Nah, untuk mudahnya, aku akan
ke rumahmu Mbok kalau memang ada titipan dariku.
Tetapi kalau tidak, aku tak akan datang ke rumahmu.
Jadi aku tidak disalahkan kalau ada apaapa. Pendek
kata, aku akan datang dengan titipan untuk Hari, kalau
memang kurasa perlu. Kalau aku tidak datang, berarti
aku tidak jadi menitipkan sesuatu. Jelas,
, Mbok?"
"Ya, jelas. Kalau begitu saya permisi dulu,
Den "
Aku mengangguk. Sepeninggal Mbok Hamid,
bungkusan itu kubawa ke kamar dan kubuka. Isinya,
dua buah cassette terbaru dari Hari. Salah sebuah dari
kedua cassette itu, aku sudah me milikinya. Cassette
berjudul lagu 'Angin Gunung' yang dibeli oleh Mas Dono
tempo hari. Yang se buah lainnya berisi lagulagu pop
Indonesia yang isinya campuran dari berbagai macam
lagu cipta an pencipta lagu yang berlainan. Salah
satunya, karya Hari.
Isi suratnya tidak panjang. Hanya seperlunya saja.
"Bersama ini kukirimkan dua buah cassette, seperti
yang pernah kujanjikan kepadamu waktu itu, Khusus
mengenai Angin Gunung, semoga kau dapat
menikmatinya. Sedikitbanyak, kau mempunyai andil di
dalamnya. Coba dengarkan, ada beberapa bagian yang
menuruti apa yang kau sarankan. Untuk itu,
terimakasih, Wati." Begitu antara lain isi surat pendek
itu. Beberapa hari kemudian, aku merasa bersyukur ketika
ternyata lagu Angin gunung menjadi lagu kesayangandi manamana. Dalam sehari, aku bisa beberapa kali
mendengar lagu itu lewat radio.
Dan dari dalam rumah orang bahkan dari siulan seorang
muda yang lewat dengan sepeda, aku mendengar lagu
itu didendangkan.
Kalau saja Mas Dono tidak membeli cassette itu dan
aku tidak dibiasakan olehnya untuk mendengar
lagulagu ciptaan Hari, barangkali meledaknya lagu
Angin Gunung itu akan mengejutkanku. Karenanya,
diamdiam aku bersyukur bahwa Mas Dono telah
melakukan sesuatu yang baik bagiku.
Ledakan lagu Angin Gunung itu berjalan beberapa
minggu lamanya. Sementara itu Mas Dono tidak
memberi komentar apa pun kecuali sebentuk senyum
manis kepadaku. Apalagi belakangan ini, ia sangat
sibuk di kantornya. Sejak ia diangkat menjadi wakil
Pak Bonar, kesibukannya semakin bertambah.
Aku tidak tahu apakah karena kesibukannya itu, atau
ada hal lain yang menyebabkannya, belakangan ini aku
merasakan perubahan sikap darinya. Perhatiannya
kepadaku tidak lagi seutuh semula meski aku tahu
bahwa ia masih menyayangiku. Pulang dari kantor,
sudah malam. Aku sering pulang lebih dulu dengan
kendaraan umum. Setelah makan, ia segera tidur. Atau
bahkan tidak makan dulu sebab katanya, sudah makan
bersama Pak Bonar. Kalau pun ia pulang agak sore, ia
hanya pulang untuk mandi dan ganti pakaian saja.
Setelah itu ia pergi lagi.
"Ada perlu, Wati. Mudahmudahan kau tidak kesepian
tanpa kehadiranku. Kau tidak kecewa kan?" katanya
setiap kali ia harus pergi.
"Tidak. Ada Mbah. Dan aku juga bisa ke belakang, ke
rumah Bude Rini. Pergilah dengan te nang" kataku.
bi Yah, untunglah sebelum Mas Dono terlibat engan
segala kesibukannya itu, aku sudah mempersiapkan
diri untuk menanggulangi persoalanku sendiri. Aku
sudah insyaf bahwa selama ini ku terlalu
menggantungkan diri pada perlindungan Mas Dono.Sekarang ketika Mas, Dono mulai sibuk dengan
urusannya sendiri dan aku tak terlalu terkejut kala
secara tibatiba harus 'hidup sendiri.
Kukatakan secara tibatiba sebab ketika hari
hari terus berlalu dan Mas Dono terlibat dalam kesibukannya, aku melihat lagi perubahan baru. Sekarang, Mas Dono lebih banyak duduk berdiam diri.
kalau tidak diajak bicara, bicara oleh siapa pun, ia
seperti enggan bersuara. Waktunya lebih banyak
dipakai untuk berdiam diri saja tanpa kemauan untuk
berhandaihandai seperti biasanya. Kalau Mas Dono
memang termasuk lelaki pendiam, mungkin perubahan
itu tidak menyolok. Tetapi karena biasanya Mas Dono
suka bercanda, bergurau bahkan cuma sekedar
mengobrol kosong, perubahan itu nyata terasa oleh
orang lain. Kurasa, neneknya pun merasakannya.
Tetapi karena perempuan bijak itu, tidak banyak
mencampuri urusan yang bukan urusannya, ia hanya
diam saja mengenai hal tersebut. Tetapi tidak
demikian halnya dengan Bude Rini. Suatu saat itu
bertanya kepadaku ketika aku sedang belajar
membuat masakan dengan Mbok Mi.
"Wati, aku merasa belakangan ini suamimu tidak lagi
begitu ramah kepadaku. Ada apa?" tanyanya,
"Kadangkadang aku bertanyatanya sendiri, apakah aku
pernah bersalah kepadanya."
Aku menarik nafas panjang. Kalau Bude Rini saja dapat
merasakan perubahan Mas Dono, apalagi orang lain.
Bude Rini tidak begitu banyak berhandaihandai dengan
Mas Dono. Aku harus menegur Mas Dono Sebagai
istrinya, apa pun arti sebenarnya dari istri lelaki itu,
aku memang satu satunya orang yang berhak
menanyakan perubahan sikap itu. Kalau tidak, akan
banyak orang yang bertanyatanya sendiri, menyangka
mempunyai kesalahan kepada Mas Dono. Dan itu bisa
berakibat kurang baik bagi hubungan baik di antara
kenalan. Aku toh tidak bisa terusmenerus memberi
jawaban seperti jawabanku kepada Bude Rini:"la terlalu letih, Bude. Terusterang saya benci kepada
Pak Bonar yang telah membebaninya de
ng an pekerjaan"
Bude Rini dapat mengerti itu. Tetapi orang lain?
Pikiran itu menyebabkan aku memberanikan untuk
bertanya kepada Mas Dono ketika kami berdua sedang
membacabaca di kamar sambil Mendengarkan musik
lembut. Dari sudut mataku ku sering melihat Mas Dono
menarik nafas pan jang. Dan halaman buku yang
terkembang di iadapannya itu tidak dibalikbaliknya. la
tak dapat membaca rupanya. Entah ke mana saja
pikirannya itu. "Mas Don ..." panggilku. Kulihat, ia
tersentak.
"M mm m ...?"
"Bisakah kita malam ini bicara dari hati kehati?"
"Kenapa tidak?" Wajah lelaki itu berubahseius. Kurasa,
ia dapat menduga arah apa yang ngin kutanyakan.
Tetapi meski demikian, ia masih saja ingin
menutupinya dengan lanjutan bicaranya. Mengenai
Hari? Lagu Angin Gunungnya, sukses ya? Dan
mendengar katakata lagunya, sepertinya ada
kaitannya dengan dirimu."
"Mengenai hal itu, aku tak tahu. Dan sekarang, aku tak
ingin membicarakannya" sahutku.
"Bukan mengenai Hari kalau begitu"
"Memang bukan. Tetapi mengenai dirimu.
"Tentang aku? Aku kenapa, Wati?"
"Mas, belakangan ini kau tampak berubah. Sangat
berubah. Kau tidak lagi suka berhandai handai. Kau
juga tidak 'agi banyak tertawa mau pun bercanda
seperti biasanya. Apakah aku boleh tahu mengapa hal
itu terjadi? Ada sesuatu yang kau risaukan?"


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau kesepian, Wati? Apakah aku
menelantarkanmu?" tanya Mas Dono dengan suara
sedih, "Aku minta maaf ...."
"Mas Don, jangan pikirkan mengenai diriku. Apa yang
kau tanyakan itu tak ada kaitannya dengankepentinganku pribadi. Kau sibuk. Aku tidak ingin
mengurangi waktuwaktumu. Aku sadar bahwa selama
ini aku terlalu banyak menuntut waktu dan
perhatianmu. Sekarang yang kupikirkan mengenai
perubahan sikapmu adalah bag dirimu sendiri. Selain
khawatir mengenai kesehat anmu, aku juga khawatir
tentang hubungan baik mu dengan keluarga dan
kenalankenalan kita Beberapa di antara mereka
bahkan telah me nanyakannya kepadaku. Ada yang
bertanya tanya sendiri, apakah ia mempunyai salah
kepada mu sehingga sikapmu berubah begitu," kataku
Mas Dono terdiam lama. Beberapa kali ia me narik
nafas panjang lagi.
"Yah, sebenarnya aku pun merasakan dan me
mahami akibatakibat yang dihasilkan dari perubahan
sikapku. Aku sadar itu tidak baik, tetapi pernyata sulit
sekali menguasai perasaanku. Pikiranku belakangan ini
sangat banyak. Aku sering merasa bingung dan
tertekan," sahutnya kemu dian, "Dan sebagai
akibatnya, sikapku jadi terpengaruh. Tetapi
bagaimana menguasainya? Aku .tidak sadar...."
"Tidak sadar untuk beberapa saat lamanya Kan? Kau
kan tetap sadar bahwa sikapmu itu kurang wajar pada
saatsaat selanjutnya? Nah, dengan begitu, kalau kau
mau, sikap acuh tak acuh, diam, murung dan
semacamnya itu bisa kau hindari. Semua itu bukan
kebiasaanmu. Sikap aslimu tidak demikian" m "Mungkin
kau benar, Wati." "Nah, kalau begitu Mas ..., apakah
tidak le , bih baik kalau kau mencoba untuk menguasai
sikapmu betapa pun isi hatimu begitu kacau balaunya?"
"Memang seharusnya" Suara Mas Dono terdengar pahit.
"Mungkin sulit. Aku dapat mengerti itu. Aku
sendiri pun beberapa kali pernah mengalaminya.
Tetapi apa yang terasa berat itu, akan terasa lebih
ringan jika ada orang lain yang ikut memikulnya meski
pun hanya berupa saransaran saja. Paling sedikit, kita
tidak merasa sendiri dengan beban tersebut," kataku,"Nah oleh karena itulah ayolah Mas, katakan kepadaku
apa yang kau risaukan itu."
"Sulit, Wati "
"Aku akan ikut merasakannya. Jangan ragu"
"Tetapi masalahku benarbenar sulit sebab menyangkut
perasaan orang lain juga ..." keluh Mas Dono.
"Kau biasanya begitu kuat menentang badai kehidupan
ini Mas. Mengapa kali ini kau sudah seperti putusasa
padahal belum sampai berjuang. Ayolah, jangan kau
biarkan dirimu tenggelam dalam masalah yang sedang
kau hadapi itu meski seberat apa pun masalahmu itu.
Begitu kan yang kau nasehatkan untukku? Nah, setelah
kau menghadapi persoalan pribadimu, kenapa kau
seperti melupakan apa yang pernah kau katakan
kepadaku?"
"Aku tidak lupa"
"Jadi kau mau mengatakan tentang kesulitan mu
kepadaku kan? Kuharap permintaanku itu tidak kau
anggap sebagai permintaan seorang nenek nyinyir.
Maksud hatiku hanyalah keinginan supaya beban berat
di punggungmu itu agak berkurang beratnya"
"Aku tahu ..."
Aku terdiam beberapa saat lamanya baru berkata :
"Apakah ada kesulitan di kantor? Ataukah jabatanmu
sebagai kepala bagian itu terasa berat bagimu?"
"Tidak ada kaitannya dengan masalah kan tor."
"Lalu apa, kalau tidak demikian?"
"Sudah kukatakan berulangkali, sulit mengata t
kannya. Persoalanku menyangkut perasaan orang
orang lain. Kau, Mbah, dan beberapa orang lain nya "
"Baik," kataku, "Katakanlah bahwa itu akan mengkait
perasaanku dan beberapa perasaan orang lain. Tetapi
itu akan lebih baik daripada persoalan itu
terkatungkatung begitu. Seperti bisul, bisul itu lebih
baik memecah dengan rasa sakit daripada
terusmenerus merupakan penyakit kronis yang
berdenyutdenyut. Mengganggu ketenangan saja.
Bukan saja hanya ketenangan si penderita saja tetapijuga ketenangan hati orang sekitarnya"
Mas Dono menganggukangguk. Tetapi meski i sudah
sedemikian jauhnya aku ikut campur urusani Mas Dono,
hasilnya belum ada. Aku jadi kehilang an rasa
sabarku.
"Mas, kalau kau masih menyayangiku sebagaimana
seorang kakak menyayangi adiknya, kau tentu tidak
berusaha mengelakkan jawaban. Nah, katakan
kepadaku kesulitanmu itu. Aku tak suka melihatmu
murung terusmenerus. Apalagi jika kuingat kau telah
menghardikku berulangkali agar aku bangkit dari
kesedihan yang siasia ketika aku masih mudah
terhanyut ke dalam persoalan pribadiku waktu itu."
"Baiklah Wati kalau kau memang telah siap
mendengarkan keluhanku" sahut Mas Dono.
"Aku siap" kataku mendesak, "Katakanlah"
"Wati, aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis"
Kukatakan aku siap mendengar keluhannya. Tetapi
tatkala Mas Dono menjawab pertanyaanku tadi, hatiku
tergetar begitu mendengar ia berkata. Bayangkan, Mas
Dono jatuh cinta kepada gadis lain. Hal itu tak pernah
terbayangkan akan terjadi. Pada usia hampir setahun
dalam masa perkawinan kami Apa nanti kata
neneknya? Apa nanti kata tetanggatetangga kami?
Jawaban dari pertanyaanku yang dijawabnya dengan
suara parau itu menimbulkan berbagai macam
perasaan yang berkecamuk.
"Wati, kau marah ... ' Kudengar suara Mas Dono lagi.
"Aku marah?" sahutku, "Itu lucu kalau sampai terjadi.
Aku memang kaget, itu kuakui. Tetapi kekagetanku itu
bukan berlandaskan amarah. Kita berdua kan tidak ada
ikatan cinta asmara.
Yang menyebabkan aku kaget adalah kenapa kau
Jatuh cinta di saat kita ini sudah menjadi suami istri.
Kalau saja itu terjadi sebelumnya, segalanya akan
mudah diatur. Dengan gembira, aku akan
mengantarmu ke gerbang kehidupan yang ber bahagia
bersamanya. Ah Mas Dono, aku menyesal telahmenerima lamaranmu. Seharusnya kita tidak Doleh
menikah"
"Hal itu sudah kita bicarakan waktu itu kan?
Seharusnya kita tidak boleh menikah. Tetapi kesadaran bahwa kasihsayang kita itu ternyata me
rupakan kasih persaudaraan yang mendalam baru kita
ketahui setelah kita terlanjur berumah tangga. Yah,
siapa yang salah? Akukah? Kurasa tidak sebab ketika
aku melamarmu, aku mengira perasaanku kepadamu
yang dekat itu bisa ber kembang menjadi cinta
asmara. Mungkin saja perkawinan kita akan
merupakan titik awal dari hubungan baru di antara kita
berdua. Jadi kurasa . aku tidak bersalah. Dan kau?
Kurasa kau pun tidak bersalah dalam hal ini. Seperti
diriku, kau pun mungkin berpikir hal yang sama.
Perkawinan kita boleh jadi akan merubah hubungan
kita ber dua dalam sifat yang berbeda. Terlebih lagi, di
dalam perkawinan, kau akan mendapatkan ke hidupan
yang mapan dan perlindungan yang hangat dariku. Jadi
kurasa, kau pun tidak ber salah. Nasiblah yang
membawa kita berdua me layari jalan kehidupan
seperti yang telah dan sedang kita tempuh ini.
Semestinya jika aku sadar sebelumnya bahwa kita
tidak mungkin dapat hidup sebagai suamiistri yang
sebenarnya, bisa saja kau tinggal di sini sebagai
adikku. Tidak perlu kita harus menikah"
"Dan bagaimana dengan omongan orang, Mas?"
sahutku, "Jadi kurasa perkawinan kita ini meski
merupakan sesuatu yang memang kita sesali, adalah
memang merupakan jalan terbaik yang dapat kita
tempuh pada waktu itu"
Mas Dono mengangguk. Aku segera melanjutkan
bicaraku :
"Tetapi segala kekeliruan harus dibetulkan selama itu
masih bisa dibetulkan"
"Juga dalam persoalan kita?"
"Juga dalam persoalan kita" sahutku pasti.
"Wati, perkawinan bukan suatu permainan. Bagaimanamembetulkan kekeliruan kalau itu mengenai sebuah
perkawinan"
"Kita bisa bercerai, Mas"
"Bercerai" seru Mas Dono, "Itu adalah hal yang paling
buruk. Tak seorang pun di antara keluargaku ada yang
mengalami perceraian. Aku tak ingin menjadi yang
pertama. Aku harus ingat perasaan Mbah juga. Dan dari
pihakmu, perasaan Bude Rini dan para pamanmu
Perceraian kita akan menimbulkan heboh di antara
keluarga. Baik keluargamu mau pun keluarga kita"
Aku menganggukangguk.
"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanyaku kemudian.
Mas Dono menoleh dan menatapku lama.
"Itulah yang juga menjadi pertanyaan hatiku"
sahutnya.
"Jadi....?"
"Sudah kukatakan, aku tak tahu. Persoalan ini rumit"
"Mas, siapakah gadis itu kalau aku boleh tahu?"
"Pegawai baru di kantor. Baru tiga bulan masuk. la
seorang gadis seusiamu, Wati. Tidak terlalu cantik dia.
Tetapi ia mempunyai daya tarik yang luar biasa. Begitu
saja aku jatuh cinta kepadanya"
"Apakah ia mengetahuinya?"
"Ya, ia mengetahuinya. Bahkan membalas
perasaanku."
"Aduh Mas, aku menyesal sekali ..." seruku sedih,
"Kalau saja kita tidak menikah waktu itu, pastilah kau
akan hidup berbahagia bersamanya ...."
"Jangan salahkan dirimu"
"Mas ..., tahukah ia bahwa kau telah beristri?" tanyaku
lagi.
"Ya, ia tahu."
"Dan tahukah ia bahwa kita berdua ini tidak hidup
sebagai suamiistri yang sebenarnya?"
"Secara mendetail, tidak. Tetapi kukatakan
terusterang bahwa aku tidak mencintaimu sebagaimana cinta seorang pria kepada kekasihnya"
" sayang sekali ya Mas?" kataku kemudian, "Sebenarnyasungguh indah hidup ini kalau kita jatuh cinta kepada
orang yang juga mencintai kita."
Mas Dono terdiam, la merenung ke kejauhan, entah di
mana itu. Aku jadi sedih. Rasanya, diriku ini hanya
penghalang kebahagiaan orang saja.,
"Mas ..." panggilku, mengembalikan per hatiannya
kepada apa yang ada dihadapan kami.
"Hmmm?"
"Janganlah kau terlalu sedih. Siapa tahu nanti ada
jalan untuk mengatasinya. Kata orang, kita harus ke
luar dari pusaran persoalan lebih dulu kalau ingin
menemukan jalan untuk mengatasinya. Tenggelam
dalam persoalan, apalagi me renungrenung saja, tidak
akan menyelesaikan persoalan yang ada," kataku. Dan
aku tersenyum ketika melihat sudutsudut bibir Mas
Dono terangkat, "Kau jangan mencibirku. Kuakui
bahwa bicara itu memang mudah. Tetapi apa salahnya
untuk mencoba mengatasi persoalan yang se
Aku mengangguk dan kubiarkan ia dengan pikirannya.
Ada baiknya juga menunda persoalan yang ada.
Setidaknya, Mas Dono sudah tahu bahwa dalam hal itu
aku tidak mempunyai rasa ersinggung atau pun sedih
bahwa ia jatuh cinta kepada orang lain.
hungguhnya. Ya kan?"
Kulihat Mas Dono menganggukangguk terus. "Kau
benar. Sekarang kita tunda lebih dulu persoalan ini.
Aku tak dapat lagi berpikir terlalu erat. Kepalaku
pusing. Aku ingin istirahat.'
Aku tahu bahwa kalau mau dan tidak memikir kan
perasaan orang lain, kami bisa saja bercerai. Tetapi
bagaimana dengan perasaan Mbah misal nya. la sudah
tidak tahan lagi untuk menyimpan rasa ingin tahunya,
la tahu benar bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Mas
Dono belakangan ini tidak wajar.
"Wati, apakah kau dan Dono bertengkar?" ,tanyanya di
suatu saat, , "Tidak, Mbah."
mempunyai masalah?"
. "Tidak, Mbah.""Lalu apa, Wati? Aku jadi resah dibuatnya" |lMbah mulai
mendesak, la bukan termasuk perempuan nyinyir.
Bahwa ia mendesakkan pertanyaan itu suatu bukti
bahwa perubahan sikap Mas Dono
"Dalam persoalan kantor, apakah suamimu belum
kuketahui," dia nenek Mas Dono lagi, "Jadi tidak ada
niatku mencampuri urusan kalian."
telah merisaukannya.
"Memang ada sesuatu, Mbah. Tetapi saya tak berani
mengatakannya," sahutku dengan suara perlahan.
"Katakan saja kepadaku, Wati. Mbah akan
menyimpannya dalam hati. Aku hanya ingin tahi
apakah hubungan kalianberdua baikbaik saja
Terusterang, aku mencemaskan sesuatu yang
"Saya khawatir Mbah terkejut."
"Tidak. Aku bukan perempuan berhati lemah. Nah,
katakanlah"
"Mas Dono jatuh cinta kepada pegawai baru di
kantornya."
Nenek Mas Dono menarik nafas panjang dengan kedua
bola mata yang membesar demi mendengar
katakataku. Aku jadi menyesal.
"Maaf Mbah ..." bisikku.
"Maaf? Tidak, Wati" sahut nenek Mas Dono, "Donolah
yang harus mengatakan maaf kepadamu. Bayangkan,


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh cinta lagi. Tidak ingatkah bahwa ia sudah
beristri. Istri yang begitu jelita pula. Apa yang kurang
pada dirimu he? Sungguh memalukan"
"Sabar, Mbah ..." kataku menenangkan.
"Siapa wanita yang membuatnya lupa kepadamu itu
ha?"
"Saya belum kenal. Tetapi menurut kata Mas ?ono,
wanita itu seorang wanita yang baik"
"Tentu saja. Kalau seseorang sedang diamukcintayang
kelihatan hanyalah yang baikbaik saja" dengus nenek
Mas Dono.
Aku terdiam. Apa yang dikatakannya itu be nar
belaka. Aku telah mengalaminyaSEPULUH
"WATI, cegahlah suamimu terjerat lebih jauh lagi, la
sungguh tidak punya otak. Istri begini jelita, penuh
kasihsayang, mengerti kewajiban, masih juga
mengharapkan yang lainnya" Nenek Mas Dono
marahmarah. Sepanjang yang kuketahui, perempuan
tua itu tak pemah marah marah. Palingpaling ia akan
menegur jika ada yang melakukan kesalahan.
"Jatuh cinta adalah sesuatu yang tidak disadari lebih
dulu, Mbah. Perasaan itu begitu saja datang menguasai
hati. Tidak perduli bahwa sebelumnya, yang ada itu
hanya perasaan benci," sahutku.
"Wati, aku juga tak dapat mengerti dirimu. Kau itu istri
apa sih? Suami jatuh cinta kepada wanita lain, kau
malah tenangtenang begitu" sungut Nenek Mas Dono. la
tampak jengkel sekali.
"Bukan tenangtenang, Mbah. Tetapi kepala saya tetap
dingin dalam menghadapi persoalan ini" sahutku,
"Tentu akan ada jalan yang dapat kita pakai untuk
mengatasi persoalan ini."
"Kalau Dono sudah semakin terjerat? Begitu?" bentak
nenek Mas Dono.
Aku terpaksa diam. Menjawabnya hanya akan
menambah kekesalan hatinya saja.
"Kalau sore nanti ia datang, katakan bahwa aku ingin
bicara dengannya"
Aku hanya mengiyakannya saja. Entah apa '' yang
dikatakan oleh neneknya malam itu, Mas Dono tidak
mengatakan apaapa kepadaku. Tetapi ' wajahnya
tampak keruh. Aku merasa iba kepada rf nya. Selama
ini ia banyak membantuku. Seka rang, kurasa giliranku
untuk membantunya. Pikiran anku yang ikut tercurah
kepada persoalannya itu ada baiknya juga buatku.
Persoalanku sendiri agak tersisihkan. Beban kerinduan
jadi agak berkurang.
"Mas Don, aku mempunyai usul. Entah kau ? setuju
entah tidak, itu terserah kepadamu," kataku pada hariberikutnya. Semalaman aku me meras otak, mencari
jalan yang kiranya bisa kami tempuh tanpa mengkait
perasaan orang lain.
"Apa?" tanya Mas Dono tanpa minat. Tetapi demi
menyenangkan hatiku, ia purapura menaruh
perhatian. Aku tahu itu
"Kalau benar kau dan gadis itu saling mencintai dan
saling membutuhkan, ceritakan saja terus terang
kepadanya mengenai perkawinan kita yang sebenarnya
ini. Kalau ia mau, menikahlah kalian berdua"
"Kau gila, Wati. Lalu bagaimana dengan dirimu?"
"Aku tetap sebagai istrimu. Dalam status, tentu saja.
Setidaknya, orang tahu bahwa aku ini istrimu."
"Jadi, aku nanti mempunyai dua orang istri. Begitu?"
"Begitulah."
"Itu aku tidak setuju. Aku malu. Bahkan kepada diriku
sendiri pun, aku merasa sangat malu. Tak pernah
terpikirkan olehku untuk mempunyai dua orang istri"
"Aku kan bukan istrimu yang sebenarnya, Mas. Dan
istrimu yang baru itu jangan kau bawa kemari sebelum
kita tahu jalan lain untuk menyelesaikan persoalan di
antara kita berdua ini. Mengontraklah rumah untuk
istrimu itu. Di kota. Jangan di sini. Rahasiakan dari
pandangan orang lain sampai nanti kita mampu
mencari jalan ke luar yang lebih baik"
Mas Dono mulai tertarik kepada saranku itu. wajahnya
tampak memperlihatkan kebimbangan yang
mengandung harapan. Melihat itu, aku segera
mendesaknya.
"Ayolah, Mas. Pikirkanlah kebaikannya. Kau berhak
mencari kebahagiaanmu sendiri. Sebagai adikmu, aku
ingin melihatmu hidup berbahagia bersama seseorang
yang dapat mendampingimu.
Aku menyayangimu dan akan selalu menyayangi mu.
Percayalah" kataku, "Kau rela ... ' tanya Mas Dono.
"Pertanyaanmu aneh. Tentu saja aku bukan hanya rela
saja, tetapi juga ingin mendorong mu mencarikebahagiaan"
Mas Dono tersenyum menatapku dengan mesra.
Kemesraan seorang kakak.
"Usulmu akan kupikirkan. Aku sungguh ber terima
kasih kepadamu, Wati. Tuhan begitu maha
murah memberiku seorang adik sebaik dirimu,"
katanya kemudian.
"Jangan jual kecap nomor satu di sini" sahut
ku merasa senang. Melihat air mukanya yang
lebih cerah, hatiku gembira.
"Aku bukan jual kecap, Wati. Aku jual baterai nomor
satu"
Aku tertawa. Mas Dono sudah bisa bercanda lagi
Harihari yang berlalu kemudian, menambah kecerahan
pada wajah Mas Dono. Secara bertahap namun jelas
terasa, sifat aslinya ke luar lagi. Menggodaku.
Bernyanyinyanyi dan senang bercerita. Neneknya yang
melihat perubahan itu merasa gembira dan setiap kali
mendengar suara gembira Mas Dono, ia mengacungkan
jempolnya kepadaku.
"Rupanya diamdiam kau mempunyai resep hebat yang
dapat mengikat kembali hati suami ya?" bisiknya.
Tentu saja aku hanya tersenyum saja. Rahasia di balik
perubahan sikap Mas Dono itu hanya kusimpan sendiri
saja.
Genap dua bulan setelah pembicaraanku dengan Mas
Dono. lelaki itu mengabari ku bahwa dalam waktu
singkat ini ia akan menikah.
"Usahakan supaya Mbah percaya bahwa aku sedang
dinas ke luar kota," katanya.
Aku mengiyakan. Dan syukur, aku memang berhasil
memberi kesan seolah Mas Dono sedang menjalankan
tugas ke luar kota ketika ia menikah. Sebenarnya aku
ingin menyaksikan hari bahagianya itu, tetapi aku tak
ingin merusak kebahagiaannya. Apa nanti kata orang
kalau ada yang mengenaliku sebagai istri pengantin
prianya bukan?
Kuakui, tatkala harihari pertama Mas Donomeninggalkan diriku untuk menikah, ada suatu rasa
kehilangan yang menguasai perasaanku.Tetapi aku
tahu itu adalah perasaan yang wajar. Selama ini Mas
Dono hanya memikirkan diriku seorang. Selama ini
hanya dirikulah satusatunya orang yang terdekat
dengannya. Kurasa, setiap tadik kandung pun akan
merasakan seperti apa yang kurasakan ini. Seolah,
kakak kandungnya tidak lagi menjadi miliknya
melainkan menjadi .milik orang lain, la akan segera
membentuk keluarga sendiri, lepas dari keluarga
asalnya.
Mungkin Mas Dono tahu itu, entahlah. Tetapi ketika ia
pulang ke rumah dua minggu kemudian, ia banyak
memberiku perhatian. Ada beberapa barang yang
dibawakannya untukku.
"Dari kakakmu Yanti," katanya. Yanti adalah nama
istrinya.
"Alangkah baik hatinya" sahutku dengan tulus hati.
Ada beberapa bahan baju dan sebuah dompet mungil
yang cantik, "la tidak membelinya," kata Mas Dono
mene rangkan, "Semua itu diambilnya dari tumpukan
hadiah perkawinan kami. Masih banyak yang 13 belum
sempat kami buka. Kalau ada yang bagus lagi, ia akan
mengirimkannya untukmu, la sudah berjanji."
"Aku ingin mengenalnya lebih lanjut, Mas.
Kelihatannya, ia seorang wanita yang baik dan
lembut."
"Memang begitu. Kami berterimakasih bahwa kau
memberi kesempatan bagi kami untuk mencari
kebahagiaan."
"Jangan berkata begitu. Mas. Aku malah merasa tak
enak bahwa kau terpaksa meninggalkannya dalam
suasana bulan madumu. Tadi aku berpikirpikir, kalau
kau rindu kepadanya, bawa lah aku ke rumahnya. Aku
akan tahu diri untuk tidak mengganggu kalian.
Kepergianku bersamamu tidak akan menimbulkan
kecurigaan di sini"
"Kau seorang adik yang penuh pengertian, Wati. Yantipasti gembira dan bersyukur men dengar
pengorbananmu" cetus Mas Dono.
"Itu bukan pengorbanan" sungutku.
"Ya ..., ya ..., bukan," senyum Mas Dono, "Itu hanya
tanda kasihsayangmu kepadaku."
"Nah, begitu. Itu baru benar." Aku juga tersenyum.
Kehidupan ini berjalan mulus saja dari hari ke hari,
dari minggu ke minggu dan kemudian dari bulan ke
bulan. Segalanya berjalan menurut rencana sehingga
waktu seperti kilat saja jalannya. Tahutahu, sudah
lima bulan Mas Dono menikah dengan Mbak Yanti. Dan
ia sudah pula mem beri tahukan kepadaku mengenai
berita gembira tentang Mbak Yanti. Perempuan itu
sudah mengandung. Jalan empat bulan.
"Kau akan menjadi seorang bibi, Wati" katanya dengan
gembira. Aku ikut gembira. Tetapi ingatan tentang
apayang kusaksikan di rumah sakit ketika Mbakyu Wun
melahirkan, membuatku agak khawatir. "Bawalah ia
ke dokter, Mas. Dokter ahli kandungan. Jangan dokter
umum. Kesehatannya ha rusdikontrol oleh Dokter
supaya kelak melahirkan dengan normal," kataku, di
"Itu sudah kupikirkan. Apakah kau pernah
mnendengar tentang dokter kandungan yang baik di
sana? Sebagai seorang wanita, kau tentu per
nah mendengar halhal seperti itu. Kawan se
kantormu kan banyak yang sudah menjadi ibu"
Aku ingat dokter kandungan yang pemah diberitakan
oleh Mbakyu Harun sebagai dokter ahli yang bertangan
dingin. Segera saja nama itu kusebutkan. Setitik pun
aku tak menyangka bahwa hal itu menjadi awal dari
kekacauan batinku.
Sebulan setelah kuberitahukan alamat dokter
tersebut kepada Mas Dono, Mas Harun meminta ku
supaya datang ke rumahnya.
"Datanglah nanti seusai kantor bubar. Nanti
pulangnya, akan kuantar kau sampai ke rumah,"
katanya lewat kabel telpon.
Sore itu aku datang langsung ke rumahnya begitukantor bubar. Kepada Mas Dono, aku mengatakan ingin
menengok si kecil. Anak itu hampir sepuluh bulan
umurnya. Lucu sekali. Mas Dono tidak keberatan.
Malah ia merasa itu suatu kebetulan.
"Aku akan menengok Yanti sekalian," katanya, "Nanti
kau kujemput sekitar jam enam. Jangan merepotkan
Mas Harun."
"Kalau begitu, itu lebih baik" kataku. Sedikit pun aku
tidak mengatakan bahwa Mas Harunlah yang
menelponku ke kantor. Aku sendiri tidak tahu mengapa
aku tidak berterusterang saja. Entahlah. Mungkin
karena tak biasanya Mas Harun memintaku datang
menjenguknya, kecuali jika ada hal penting. Seperti
ketika istrinya melahirkan waktu itu.
Mbakyu Harun senang melihat kedatanganku. Tetapi
tidak seperti biasanya, aku melihat ada sesuatu yang
disembunyikannya. Kentara dari sikapnya ketika Mas
Harun memanggilku ke ruang tamu, la tidak ikut
bersamaku. Ada apa sebenarnya?
"Wati, apakah kau sangat mencintai suamimu?" tanya
Mas Harun begitu aku duduk di hadapannya.
"Tentu saja. Kenapa kau menanyakannya?" tanyaku
heran.
"Aku hanya ingin memberitahu kepadamu, janganlah
mempercayai seorang suami seratus
persen betapa pun besarnya cinta seorang istri. Aku
lakilaki. Kalau aku tidak mengalami dengan mata
kepala sendiri betapa beratnya perjuangan seorang
istri di saat memberi anak bagi suaminya, mungkin aku
juga mempunyai keinginan untuk sedikit melirik
kepada wanita lain"
"Apakah kau melihat sesuatu? Atau hanya mendengar
saja?" selidikku.
"Sulit mengatakannya, Wati. Aku tak ingin hatimu
luka. Tetapi percayalah kepadaku demi kebaikanmu
sendiri. Kalau Dono pergi ke luar kota misalnya,
selidikilah. Apakah betulbetul ia sedang pergi dinas.
Jangan percaya begitu saja"Aku mulai menduga sesuatu. Tentu Mas Harun telah
mendengar tentang Mas Dono dengan Mbak Yanti.
Cuma saja aku tak tahu sampai di mana
pendengarannya itu. Seberapa banyak yang di
ketahuinya?
"Aku akan menurut saranmu, Mas. Terima kasih,"
kataku berbasabasi.
Mas Harun menepuk lenganku dengan lem but.
"Aku hanya tak mau melihatmu mengalami patah hati.
Kalau ada apaapa, jangan segansegan meminta
bantuanku," katanya.
Aku mengangguk. Setelah itu, aku pergi lagi ke
tempat Mbakyu Harun yang sedang menyusui ,
anaknya. Perempuan itu purapura tidak tahu tentang
apa yang kubicarakan bersama suami nya. Tetapi aku
yakin, ia tahu.
"Anakmu semakin lucu," kataku mencoba mencairkan
suasana tak enak itu.


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya."
"Senang ya mempunyai anak ..." komentarku lagi.
"Ya. Tetapi untuk sementara ini Dokter melarangku
mengandung dulu. Maklumlah, kelahiran anak ini kan
melalui pembedahan," sahutnya.
"Mungkin khawatir kalau kau mengandung lagi, bekas
jahitan di perutmu itu akan meregang."
"Mungkin ...."
"Tetapi bagaimana caranya supaya kau tidak
mengandung dulu?"
"Aku selalu kontrol ke dokter ahli penyakit kandungan
dan kebidanan yang merawatku waktu melahirkan
anak ini"
Jawaban Mbakyu Harun menimbulkan dugaan kuat
bahwa ia dan Mas Harun tentu pernah memergoki Mas
Dono dan Mbak Yanti di tempat praktek dokter itu. Ya,
kurasa itulah jawaban mengapa Mas Harun
memanggilku
Peristiwa itu berekor panjang juga akhirnya. Benarlah
jika itu kusebut sebagai awal dari kekacauan batinku.Beberapa minggu kemudian tatkala aku sedang
menanti colt lewat, aku melihat mobil Hari yang sudah
amat kukenali itu datang menghampiriku.
"Pulang, Wati?" tegur lelaki itu.
"Ya."
"Aku juga akan pulang. Ayo, ikut bersamaku . Lebih
aman," katanya.
"Kau yakin bahwa bersamamu lebih aman?" Heran,
aku. Berdekatan dengan Hari, aku selalu saja ingin
bersikap sinis kepadanya.
"Kujamin untuk hari ini, kau aman bersamaku. Aku
berjanji"
Aneh. Biasanya, kepedasan bicaraku akan di balasnya
dengan katakata yang sama pedasnya. Sore ini, ia
tampak lebih lembut.
"Ayo, naiklah. Kita kan kenalan lama. Apa yang
menyebabkan kakimu merasa berat untuk naik ke
mobilku?"
Apa boleh buat, seperti yang sudahsudah, akhirnya aku
duduk juga di sampingnya. Kali itu, Hari melarikan
mobilnya dengan santai. Bahakan sangat santai.
"Cepatlah, Hari. Aku harus lekas sampai ke rumah."
"Untuk apa?" sahutku dengan kalem, "Dono kan tidak
di rumah."
.. "Kau tahu kalau ia sedang dinas?"
"Aku hanya tahu ia tidak sedang dinas ke luar ' kota.
Aku melihatnya ada di rumah kakak perem Puan
kawanku," jawab Hari. Masih kalem cara nya bicara
itu, tetapi aku merasa kaget.
"Apa yang kau ketahui?" tanyaku. "Sama seperti yang
sudah kau ketahui"
"Apa? Aku tak tahu apa sih yang kau bicarakan itu"
sungutku.
"Kau tahu. Tetapi purapura tak tahu. Heran aku,
untuk apa menutupi perbuatan buruk suami?"
Darahku seperti membeku. Kutolehkan kepala ku ke
arah wajah Hari.
"Kau kau tahu ...?" tanyaku terbata bata."Aku lebih tahu daripada semua yang kau ketahui. Kau
kan tidak tahu bahwa adik Yanti yang bernama Titik itu
kawan sekolahku? la menceritakan kepadaku bahwa
Dono telah menikah dengan kakaknya. Juga bercerita
bahwa beberapa kali kau pernah menginap di rumah
Yanti bersama suamimu. Aku tak tahu apa yang ada di
balik kehidupanmu itu. Apakah begitu besarnya
cintamu kepada Mas Dono sampai kau korbankan
dirimu dengan membiarkannya menikah lagi? Ataukah
kau ini penganut percintaan yang agak menyimpang?
Bercinta dengan seorang lelaki bersama seorang
wanita lain?"
"Kau kurangajar" bentakku. Wajahku terasa sangat
panas dan dadaku bahkan terasa hangus oleh
penghinaannya. Kupukul lengan Hari kuat kuat untuk
melampiaskan perasaanku itu. Tetapi Hari memegang
kedua belah tanganku setelah mobil dipinggirkan ke
tepi jalan.
"Kok mengamuk?" serunya, "Kau menghinaku. Aku
tidak seperti yang kau sangka. Kau terlalu memandang
rendah diri ku" bentakku lagi.
"Apa buktinya? Nyatanya kau kelihatan biasa biasa
saja melihat suamimu berkasihkasihan dengan wanita
lain"
"Kau boleh menghinaku sebagai perempuan miskin,
bodoh, tak tahu sopansantun atau se macam itu.
Tetapi kau tidak boleh menganggapku semacam
pelacur"
"Aku tidak mengatakan begitu. Aku hanya mengatakan,
apakah kau ini menganut paham ? free sex ...."
Mendengar itu aku tak tahan lagi. Tanganku yang masih
ada dalam genggaman tangannya ku renggutkan
kuatkuat. Kutampar pipinya dengan perasaan yang
amat terluka.
"Kau masih bisa mengatakan begitu ya ...?" kataku
terengahengah, "Padahal ketika kau me nawariku
untuk hidup bersama, aku menolaknya. Aku tak pernah
memandang kehidupan yang berkaitan dengan cintadengan kaca mata se rendah dirimu"
"Nyatanya? Bagaimana dengan perkawinanmu he?"
"Perkawinanku lain. Tak ada cinta di dalamnya"
cetusku. Dan begitu katakata itu tercetus, begitu aku
merasa amat menyesal. Mengapakah aku tak dapat
menahan diriku? Mengapa kubiarkan emosi
menguasaiku?
"Tak ada cinta Tetapi kau mau menikah dengan Dono?"
Tuhan, katakata Hari yang dikeluarkan dengan nada
tajam mengandung penghinaan itu memang
benarbenar membuatku kehilangan kontrol diri. Emosi
lebih bermegahmegah di kepalaku.
"la memberiku kasihsayang dan perlindungan yang
aman, tentram dan terjamin."
"Hm ..., begitu" gumam Hari sambil mengusapusap
pipinya yang kutampar tadi, "Tetapi apakah itu tidak
berarti bahwa kau telah menjual dirimu, tubuhmu ...,
hanya untuk mendapatkan jaminan, rasa aman dan
semacamnya itu?"
"Kau sungguh keterlaluan Hari," jeritku, "Kau
memandang rendah diriku. Aku tak pemah menjual
diriku dan Mas Dono tak pernah membeli diriku, la
berhati tulus, la sangat menyayangiku sebagaimana
seorang kakak kepada adik kandungnya."
"Jangan membodohiku. Seorang kakak tidak
menyetubuhi adiknya"
Cukup sudah penghinaan itu. Air mata mulai
berhamburan ke atas pipiku. Pintu mobil kubuka.
"Aku turun di sini," kataku dengan suara gemetar.
Hari menahan pintu dengan tangannya yang kekar.
"Sudah hampir senja. Kau harus pulang ber samaku"
katanya.
"Aku tak sudi" kataku, masih dengan suara gemetar,
"Dan kau akan sangat menyesali tuduhan mu tadi kalau
kau tahu apa yang sesungguhnya ' ada di balik
perkawinan kami"
"Apa, Wati?"
"Tidak apaapa. Kalau kau memang mengkhawatirkanaku pulang sendiri, lekas paculah mobilmu. Aku ingin
segera sampai ke rumah," kataku sambil menyeka
wajahku yang basah.
Sore itu sungguh merupakan sore yang sangat pahit
bagiku. Aku tak pernah menyangka bahwa Hari
mempunyai penilaian serendah itu terhadap diriku.
Sakitnya begitu kuat menusuki hatiku.
Ketika Mas Dono pulang ke rumah, aku tak mau
merusak kegembiraannya dengan wajah murung.
Sementara itu, aku juga tidak tahu ada di mana Hari
sekarang, la seperti burung saja layaknya. Sebentar
datang sebentar hilang. Dan karena beberapa hari aku
tidak melihatnya lagi, aku menyangka bahwa ia telah
kembali ke Jakarta atau entah ke mana pun tempat
yang ia sukai.
Tetapi ternyata dugaanku keliru. Hari masih di desa
Dan sungguh menyedihkan, hal itu ku ketahui bukan
dari penglihatan, bukan dari pendengaran, tetapi dari
wajah Mas Dono. Wajah lelaki itu memarmemar bekas
pukulan Hari. Ya, pukulan Hari
Kagetku setengah mati ketika melihat wajah Mas Dono
yang memar itu.
"Kau berkelahi, Mas? Dengan siapa?" tanyaku sambil
mengusap wajahnya.
"Dengan Hari."
Tanganku terhenti di udara. Jantungku berdegup keras
dan darahku seperti habis terhisap entah ke mana.
"Hari?" tanyaku terbata.
"Ya, Hari"
"Ya Allah, Mas. Mengapa? Apa yang terjadi?"
"la memakimakiku telah menyianyiakan dirimu. la juga
menghina kita sehingga tanpa sadar, ia kupukul. Tetapi
ia membalas. Baru setelah kami sadar bahwa
perbuatan kami itu macam pemuda belasan tahun yang
masih emosional, perkelahian kami terhenti. Kami lalu
bicara baikbaik dan terbuka"
"Lalu ...?" tanyaku tak sabar.
"Lalu kami pun berpisah dengan baikbaik pula.""Kok begitu mudahnya? Kalau aku kau Mas, kuhajar dia
habishabisan. Lelaki kurangajar begitu, patut dihajar
orang" dengusku.
"Sudahlah, jangan marahmarah begitu. Ambil can air
hangat untuk mengompres pipiku. Setelah itu aku
akan beristirahat. Pukulannya sungguh kuat"
Aku menuruti sarannya. Setelah ia tidur, aku
mondarma ndir di kamar. Tidak boleh keadaan adi
berlarut begini. Seharusnya, Hari tak boleh
nembawabawa Mas Dono. la boleh saja meng hinaku,
tetapi jangan Mas Dono yang telah banyak berkorban
untuk diriku.
Hawa panas yang ditimbulkan oleh amarah itu
menyebabkan aku tak tahan hanya mondar mandir
begini saja. Aku harus menuntut balas.
Dengan perasaan itu, aku datang ke rumah Hari tanpa
perduli apa pun. Untunglah saat itu rumah nya kosong.
Hanya ada Mbok Hamid. Pak Hamid mengantar ibu
Hari ke kota.
"Hari di mana Mbok?" tanyaku.
"Di ruang tengah, Den. Kalau tidak salah tadi, ia
sedang tiduran di kursi malas"
"Sakit?" tanyaku menyelidik. Aku ingin tahu apa yang
diketahui oleh perempuan itu.
"Tidak. Tetapi wajahnya agak bengap. Katanya, baru
saja berkelahi dengan anak berandalan di kota."
Hatiku lega.I "Boleh kutemui?" tanyaku.
"Tentu saja. Bagaimana pun juga, Den Wati kan pernah
akrab dengannya," sahut Mbok Hamid tersenyum,
"Masuklah. Maaf saya tak bisa menemani. Banyak
pekerjaan di dapur."
"Tak apa, Mbok. Biar aku pergi sendiri '
Di ruang tengah, aku melihat Hari sedang berbaring di
kursi malas. Matanya terpejam. Tetapi mendengar
langkahku yang terhenti di ambang pintu, ia berkata:
"Mbok, jangan bilang Ibu kalau aku tadi berkelahi ya?"
Aku tidak menjawab.
"Mbok ...?"Karena aku masih belum bersuara, mata yang
terpejam itu dibuka. Dan demi melihat kehadiranku, ia
terduduk.
"Wati ...."
Aku diam saja. Kusemburkan sinar kebencian dari
mataku.
"Kau apakan Mas Dono?" semburku kemudian.
"la tidak bercerita apaapa kepadamu?" la balik
bertanya.
"la hanya mengatakan bahwa kau dan dia berkelahi.
Setelah mengompresnya dan ia beristirahat, aku
kemari ingin minta penjelasan, la belum sempat
bercerita kepadaku"
"Aku iri kepadanya, la ada yang mengompreskan
wajahnya. Tentu rasa sakitnya berkurang
"Tutup mulut, Hari. Aku datang untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi"
"la memukulku lebih dulu."
"Hal itu tak mungkin terjadi jika kau tidak 111
mengatakan sesuatu yang menyebabkan ia jadi lupa
diri," dengusku.
"Memang begitu. Kurasa, aku pun akan bertindak yang
sama jika aku ini dirinya. Bahkan mungkin lebih hebat
marahku"
"Apa maksudmu?"
"Tak ada maksud apa pun kecuali hendak minta maaf
kepadamu. Wati, benarlah seperti ?katamu waktu di
mobil itu, aku benarbenar sangat menyesal begitu
mengetahui apa yang ada di balik pernikahan kalian."
"Apa ...?" teriakku memotong katakata nya.
"Aku sudah tahu. Mas Dono menceritakannya. la tak
tahan mendengar penghinaanku"
Langkah kakiku tersurut mundur. Mas Dono
keterlepasan bicara?
"Aku ..., aku ..." O, apa yang akan kukatakan? Aku
bingung. Aku tak tahu sampai seberapa 'jauh Mas Dono
telah membuka rahasia kami itu.
"Wati ..., aku menyesal sungguh telah melukai hatimu,harga dirimu. Bukankah sampai detik ini kau masih
tetap perawan ...?" Aku tertegun beberapa saat
lamanya. Tetapi saat berikutnya setelah aku mampu
menguasai diri, aku berbalik dan berlari ke
luar.Melihat itu, Hari melompat mendahuluiku Tetapi
aku membelakanginya.
"Jangan pergi dulu, Wati. Masih banyak yang harus kita
bicarakan," katanya. Suaranya terdengar lembut.
"Kurasa, tidak ada. Kau menaruh penghargaan


Sesejuk Belaian Angin Gunung Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku karena sekarang kau telah tahu mengenai
diriku. Apa gunanya? Kau tidak mengetahui bagaimana
nilai perasaan dan harga diri seorang wanita macam
diriku ini. Baik penghinaan mau pun penghargaanmu,
semuanya tetap melukai harga diriku. Kau menilaiku
tidak berdasarkan penilaian yang benar. Bukan diri
pribadiku yang kau hargai melainkan keadaanku"
"Itu aku tahu. Aku memang keliru. Aku masih harus
banyak belajar mengerti tentang cinta kasih, darimu."
"Aku bukan guru"
"Jangan marahmarah begitu, Wati. Aku ingin supaya
kau tahu betapa besarnya sesal di hatiku ini. Kau tahu,
aku bukan lelaki yang bisa mengungkapkan halhal yang
lembut melalui katakata. Kelak, aku akan
mempersembahkan bagimu lagu berjudul 'Permintaan
maafku darimu, kekasih"
"Aku bukan kekasihmu" dengusku.
Hari memutar bahuku hingga kami berdiri
berhadapan.
"Tetapi aku ingin menjadikanmu kekasih.
Kekasih yang abadi," katanya dengan suara lem but.
Selembut angin gunung yang ada di atas pepohonan
dan di atas kepalaku. "Setelah kuketahui bahwa kau
tidak menjadi suamiistri yang sesungguhnya dengan
Mas Dono. Dan setelah tahu bahwa ia sekarang sudah
mendapat pilihan seorang istri yang benarbenar
dicintainya se bagai seorang istri, aku berani
memintamu lagi. Maukah kau menjadi kekasihku yang
abadi?" . Aku hampir tak percaya bahwa saat ini akusedang di lamar sebagai kekasihnya lagi. Mau , gila
rasanya.
"Wati, kau dengar pertanyaanku kan?" tanya Hari lagi.
"Ya, aku mendengar ...." sahutku kemudian, "Tetapi
maafkanlah, aku tak berminat." "Wati, aku ingin
menjadikanmu sebagai istriku, kekasih abadiku."
Sekarang rasa tak percaya tadi tiba di puncak nya. la
melamarku sebagai istrinya Apakah dunia ini akan
kiamat?
"Jangan anehaneh," bentakku setelah mampu
menguasai diri.
"Kedengarannya mungkin aneh, ya Wati. Te tapi aku
dalam keadaan sehat lahirbatin. Kau harus tahu bahwa
sejak suratmu yang berisi pemutusan hubungan cinta
kita, aku merasa terpukul. Belum pernah ada gadis lain
yang memutuskan hubungannya denganku. Apalagi di
saat masih manismanisnya hubungan itu. Biasanya,
akulah yang memutuskan. Begitu terpukulnya aku
sampaisampai aku berniat membencimu. Aku mencoba
berpacaran dengan gadis lain. Tetapi dirimu tak
hilanghilang dari pikiranku. Dan ketika aku mendengar
bahwa kau menikah dengan Mas Dono, rasa terpukul
itu lengkaplah sudah. Sakit sekali rasanya. Aku lantas
berpacaran dengan penyanyi populer yang sedang
tenartenarnya itu sebagai kompensasinya. Ingin
kuperlihatkan bahwa aku masih mampu menarik minat
seorang gadis penyanyi yang setiap hari menerima
surat lamaran dari berbagai penjuru tanah air. Bahwa
ia memilihku, itu kuanggap sebagai kemenangan. Biar
kau tahu bahwa aku ini mampu menarik minat gadis
gadis yang sehebat penyanyi itu. Tetapi kemudian, aku
sadar bahwa langkahku keliru lagi. Apa pun
kemenangan itu, tak ada artinya. Kau masih saja
mengikutiku ke manamana. Senyummu, tawamu,
godaanmu, kegalakanmu, lalu juga ketika kita
bersamasama membicarakan sebuah lagu. Kemanisan
yang kureguk bersamamu, sangat berbeda daripada
kemanisan semu yang kukecap bersama gadis lain.Kemanisan bersamamu selalu Memberi kesegaran yang
mampu memuaskan dahagaku. Wati, terlambat sudah
kesa aran itu karena kau telah menjadi milik lelaki
lain. Aku menyesal telah menuruti hawa nafsuku yang
tidak ingin terikat dalam sebuah perkawinan. Pi kiran
ku, pandangan hidupku ternyata begitu rendah
dibandingkan pandangan hidupmu. Bahwa kau telah
menolakku meski pun kau masih men cintaiku,
menyadarkan diriku bahwa ada sesuatu lain yang luhur
sifatnya jika dua orang yang berlainan jenis saling
mencinta. Tidak cukup hanya dengan saling
mencumbu dan berpacaran saja. Kesadaran itu
semakin kuat menembusi seluruh hatiku tatkala kita
berdua menemani Mas Harun di rumah sakit. Baru
kuketahui betapa beratnya ? menjadi seorang ibu.
Maka begitulah Wati, aku selalu dibayangi rasa
bersalah kepadamu. Perasa an cintaku kepadamu
terus saja berkembang dan berkembang. Terlebih lagi
ketika lagu Angin Gu nung itu sukses. Aku ingat
andilmu dalam lagunya.
Aku ingat andilmu dalam katakatanya. Kau be gitu
mencintai gunung biru itu sehingga ketika mengarang
syair lagunya, aku membayangkan dirimu yang berdiri
di bingkai jendela ...."
Aku menunduk demi mendengar pengakuan Hari.
Perasaanku bergolak. Antara bahagia dan
bingung.Wati, tataplah mataku ..." kata Hari lagi.
Aku tak mau menatap matanya, bahkan kepalaku
semakin tertunduk. Tetapi Hari tidak kenal putusasa.
Daguku diangkatnya dengan jemarinya sehingga
wajahku tertengadah.
"Wati, maukah kau mendampingi hidupku sebagai
istriku?" tanyanya dengan suara lembut
Aku diam saja. Bukankarena jual mahal, melainkan aku
tak dapat menjawab permintaannya. Bukankah aku ini
masih syah sebagai istri orang?
Rupanya Hari tahu itu.
"Wati, Mas Dono pasti membebaskanmu kalau tahu kauakan berada di tangan lelaki yang mencintaimu dan
masih kau cintai ini," katanya.
"Dari mana kau tahu bahwa aku masih mencintaimu?
Jangan takabur, Hari" dengusku.
"Tidak. Menilik sifatmu yang sudah kukenal, kau tidak
akan mudah terlarut dalam pelukan dan ciuman
seorang lelaki tanpa perasaan cinta ikut bicara. Kau
ingat waktu kau kucium dalam perjalanan ke rumah
sakit waktu akan menjenguk istri Mas Harun?"
Pelanpelan pipiku terasa hangat. Hari mengulurkan
tangannya dan menyentuh kehangatan di pipiku itu.
"Percayalah Wati, aku akan membahagiakanmu. Aku
bukan Hari yang kau kenal waktu itu. Yang belum
mengerti apa sebenarnya cinta itu, apa sebenarnya
kehidupan perkawinan itu. Sekarang, aku tahu itu. Dan
hanya kaulah satusatunya wanita yang akan memberi
isi dalam kehidupan perkawinanku, kehidupan
cintaku," katanya.
Aku masih diam saja. Tetapi elusan tangannya telah
menyebabkan aku teringat masamasa lalu. Hari selalu
mampu membuatku meletupletup oleh gairah cinta.
"Wati ...?" tanya Hari lagi, "Tidak maukah kau memberi
kesempatan kepadaku untuk membuktikan bahwa aku
benarbenar mencintaimu, Dan hanya akan
mencintaimu. Setelah kukenal cinta yang sejati,
kukenal pula cinta yang semu, yang hidupnya cuma
semusim saja. Aku tak mau kehilangan yang sejati itu
dan tetap ingin meng , genggamnya. Wati, jawablah
aku. Maukah kau menjadi istriku?"
Aku masih belum mampu bicara. Tetapi mataku yang
menatap matanya kubiarkan menyiarkan perasaanku
yang berbungabunga. Permintaannya untuk
menjadikan diriku istrinya, sungguh merupakan bukti
bahwa ia sudah berubah. Lelaki semacam dia bukanlah
lelaki yang mau terikat di dalam rumahtangga. Bahwa
ia telah mengucapkan katakata yang menumbangkan
pengertianku tentang pandangan hidupnya sebelum
ini, memberiku pemahaman baru. Hari, sudah sadarbahwa cinta yang benarbenar cinta, memerlukan
wadah untuk memelihara dan menyuburkannya.
Maka ketika untuk ke sekian kalinya ia memintaku
sebagai istrinya, kepalaku mengangguk juga pada
akhirnya.
Melihat itu, ia mengeluh dengan suara dalam. Sinar
matanya begitu kelam. Dan lengannya yang kekar
terasa lembut dan hangat ketika ia meraihku masuk ke
dalam pelukannya. Kubiarkan ia memuaskan perasaan
bahagianya dengan menciumiku sepuas hati.
Ketika lenganku pelanpelan terangkat untuk membalas
pelukannya, dan bibir kami bertaut dengan penuh
kemesraan dan kerinduan yang menggelora, tahulah
kami bahwa cinta kami pun bertaut kembali. Dan di
dalam dekapan yang mesra itu, kubiarkan belaian
angin gunung ikut menyemarakkan perasaan kami yang
bergelora itu.
TAMAT
Misteri Bencana Kiamat 2 Jatuh Cinta Sama Lo! No Way! Karya Rere Nurlie Dibalik Keheningan Salju 10

Cari Blog Ini