Kolektor E-Book
Awie Dermawan
DJVU SYAUQY_ARR
PDF D.A.S 3
Setulus Merpati
Seindah Rembulan
Fredy S.
Penerbit
"SETIAWAN"
Jakarta 4
EPISODE PERTAMA
CINTA MEMBARA DIPIPIMU 5
? SATU ?
Siang hari tanpa mendung. Matahari
memancarkan sinarnya dengan terik. Kendati
demikian penghuni kota Jakarta tidak melupakan
tanggung jawab buat memperbaiki nasib. Mereka
bagaikan dipacu untuk memburu keberuntungan.
Seperti halnya seorang pemuda bernama Herman.
Di bawah terik sinar matahari, dia melangkah gontai
mendekati halte bis kota. Sebentar dia mengeluh
ganjang, sebentar pula dia menghusap jidatnya
yang basah oleh keringat. Di tangan kanannya
memegang map sembari memperhatikan mobil
yang lalu lalang di depannya.
Sebuah oplet berjalan lirih di depannya. Dan
Herman tidak ingin menunggu di bawah halte bis itu
terlalu lama. Maka dia segera menyetop oplet itu
dan naik. Baru saja Herman duduk di dalam oplet,
matanya terbentur ialah seorang gadis yang duduk
di depannya. Rambut gadis itu terurai ditiup angin.
Matanya yang indah berbulu lentik sungguh
menawan hati Herman. Profilnya sedikit lonjong
dengan hidung mancung. Di mata Herman gadis itu
telah menggetarkan kalbunya. 6
Detik selanjutnya tanpa disadari mata gadis
itu tertumbuk mata Herman yang redup. Sepintas
gadis itu menepiskan muka kesamping. Herman
sedikit kecewa. Lantas dia tertunduk sebentar.
Mata Herman memandang orang berlalu lalang.
Tapi sebenarnya, perasaannya hanya tertuju pada
gadis di depannya. Dengan menggerakkan kepala
ke arah gadis itu, duuuuuh... hati Herman jadi sejuk.
Matanya yang indah itu memancarkan harapan
buat mendekati. Atau berkenalan. Apalagi disaat
Herman melihat gadis itu tersipu kala mata mereka
saling bertemu. Pipinya yang merah jambu
membuai angan-angan Herman ingin mencumbu
nya. Dan bibirnya yang senantiasa mengulum basah
menggetarkan jantung Herman. Setiap mata
mereka saling bertemu, senyuman malu gadis itu
menghias di wajahnya.
Mata Herman memandang betis gadis itu
yang ditumbuhi bulu-bulu meremang nan halus.
Sepatu hitam berhak tinggi sungguh serasi dengan
potongan tubuhnya yang indah. Maka yang bisa
diperbuat oleh Herman tak lain duduk termangu
dalam angan-angan kosong. Dan dia menghendaki
oplet itu biar agak lama masuk ke terminal, supaya
dia terus bisa memandang kecantikan gadis itu. 7
Dia berharap oplet itu akan mogok dan tidak ada
oplet-oplet lainnya, sehingga dia dapat bersama
dengan gadis, itu sampai malam. Lantas bisa saling
berbincang-bincang. Ah! Alangkah menyenangkan
sekali bila hal itu bisa, terjadi. Detik itu Herman
tidak lagi merasakan teriknya sinar matahari yang
menyengat oleh karena setiap kali matanya
bertemu dengan mata gadis itu suasana perasaan
nya jadi berubah sejuk.
Herman ingin duduk di sebelah gadis itu
namun perasaan malu membuai hatinya. Pemuda
itu mulai resah tanpa penyebab yang menentu.
Apalagi disaat oplet berhenti dan mengangkut
penumpang seorang lelaki berkumis. Hati Herman
seakan-akan ditindih batu yang beratnya puluhan
kilo. Bagaimana tidak, lelaki yang duduk di sebelah
gadis itu mulai mencari perhatian dengan gadis
yang duduk di sebelahnya. Padahal gadis itu sedang
diinginkan oleh Herman. Maka Herman mulai
nampak gelisah. Mulai nampak resah. Dan gadis itu
sempat bersitatap dengan Herman lagi. Agaknya itu
sedikit tersipu malu. Herman menelan ludahnya
yang mendadak dirasa manis. Dia heran padahal
tidak makan kembang gula. 8
Tapi mendadak kemanisan itu berubah
menjadi kesulitan untuk melepaskan unegunegnya, tatkala melihat tangan lelaki yang duduk
di sebelah gadis melingkar di belakang pundaknya
Herman mendongkol atas sikap lelaki yang duduk di
sebelah gadis itu. Tapi Herman tidak kuasa berbuat
apa-apa. Dia tak punya hak untuk melarang lelaki itu
tidak berlaku demikian. Hanya Herman memberani
kan diri menatap mata gadis itu. Atas sorotan mata
Herman yang menusuk kalbu, gadis itu tak kuasa
untuk bersitatap lebih lama. Dia merasakan ada
sesuatu yang tidak diinginkan dari sorot mata
Herman. Mata pemuda itu setengah cemburu.
Oh!... gadis itu lantas berpura-pura tak nyaman oleh
tangan lelaki yang duduk di sebelahnya.
"Maaf..." Kata gadis itu sambil menutup jendela.
Lelaki itu hanya tersenyum ramah namun ada
sedikit rasa kecewa.
Gadis itu selesai menutup jendela, melempar
pandang ke mata Herman yang sejak tadi
mengawasi hampir tanpa berkedip. Bibir gadis itu
mengambang senyuman yang aduhay. Herman
membalas dengan penuh arti. 9
Lelaki yang duduk di sebelah gadis itu turun
jauh dari Glodok. Meski demikian Herman masih
merasa malu untuk memberanikan diri duduk di
sebelah gadis itu. Lelaki apakah aku ini?... Bukankah
dia telah memberikan kesempatan dan harapan
buatku untuk mendekatinya? Kenapa aku takut?.
Herman ingin bangkit dan berpindah tempat
duduknya di sebelah gadis itu, namun pantatnya
tidak mau jua untuk beranjak. Dia bagai terpaku.
Hanya sorot matanya yang penuh bara pesona
menghiasi makna tatapan Herman. Gadis itu
kembali tersipu sambil mengulum senyum.
Mata Herman yang nakal sempat singgah
pada tonjolan benda lunak yang membusung
tertutup kaos hijau berlengan pendek. Alangkah
menantangnya. Dan rok bawahan yang panjangnya
di bawah lutut berwarna hitam, masih sempat
memperlihatkan kakinya yang ditumbuhi bulu-bulu
halus yang meremang. Membuat dada Herman
bergetar beberapa saat.
Sebelum oplet mendekati rambu lalu lintas
jalan Kunir, gadis itu menyuruh sopir oplet itu
menghentikan mobilnya. Setelah membayar
ongkosnya gadis itu sempat melempar senyum
manis kepada Herman dan berlalu. Herman seperti 10
merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga
dalam hidupnya. Sebab dia merasa pertemuan itu
hanya sekali dan sulit untuk bisa terulang lagi.
Bukankah di Jakarta ini banyak manusia dengan
segala macam kesibukannya. Sulit baginya untuk
mengulangi kenyataan itu kembali. Cuma yang
masih dia ingat profil gadis itu sedikit lonjong
dengan rambut yang dikuncir, sederhana sekali.
Pakaian yang dikenakan kaos hijau dan rok
bawahan berwarna hitam, bersepatu hitam pula.
Tubuhnya ramping dengan betis indah menyimpan
banyak kenikmatan di dalamnya. Dan Herman akan
selalu mengingat bahwa hari Kamis tanggal 4
Februari dia berjumpa dengan seorang gadis yang
sulit untuk dilupakan dalam ingatannya.
Ketika oplet telah memasuki terminal kota.
Herman turun dari oplet dengan bermalasmalasan. Rasa terik sinar matahari kembali dia
rasakan setelah gadis itu hilang dari pandangannya.
Tapi kali ini Herman tidak mau membuang waktu
lagi, bergegas dia naik ke dalam bis kota jurusan
Grogol.
Sepanjang perjalanan menuju ke terminal
Grogol, Herman selalu melamunkan wajah gadis itu. 11
Kapankah lagi perjumpaan itu bisa terjadi?,
demikian harap Herman dalam kebimbangan.
Karena gadis itu telah merobek-robek hati dan
perasaannya.
*** Herman menulis di buku harian mengenai
perjumpaannya dengan seorang gadis yang telah
meninggalkan kesan manis, walau ujud kesan itu
hanya dari sekilas berpandangan dan saling
tersenyum. Bagi Herman kesan manis itu telah
terukir di kalbunya tanpa mau perduli. Sehingga
membuat pemuda ini jadi seorang lelaki yang suka
melamun dan duduk menyendiri. Beberapa
rekannya satu fakultas merasa heran melihat sikap
Herman di belakangnya ini jauh berubah dengan
hari-hari kemarin.
Didik mencoba untuk mendekati Herman dan
menegurnya.
"He!...ngapain melamun terus Man? Apa
semalam celana kolornu disambar maling?" Gurau
Didik.
Herman tersentak dan menoleh ke arah Didik
yang tersenyum mengejek. 12
"Sialan," Gerutu Herman setengah mendongkol.
"Lalu apa yang kau lamunkan?"
"Kemarin aku berjumpa dengan seorang
gadis yang cantiknya selangit."
Didik meletak tawanya.
"Di Jakarta ini banyak gadis-gadis cantik yang
sering bikin kepala pusing, Man. Kalau setiap kau
berjumpa dengan gadis cantik lalu jatuh cinta, bisabisa jadi gila!" Sambil berkata Didik tertawa
terpingkal-pingkal.
"Tapi yang kujumpai kemarin sangat luar biasa Dik."
Tukas Herman.
"Sekarang kau bilang luarbiasa, nanti ketemu
yang lebih cantik berubah lagi. Lalu apa? Super? Kau
lelaki tempe Herman."
"Diam!" Bentak Herman keki.
"Hidup di Jakarta jangan mudah jatuh cinta,
Herman. Aku kasih saran kepadamu. Cinta di sini
mahal harganya." Didik berkata seraya
meninggalkan Herman yang masih termangu di
tempat duduknya. Dia amat mendongkol ditertawa
kan Didik. Dia sangat mendongkol dikatakan Didik 13
sebagai lelaki tempe. Untung saja tidak dikatakan
lelaki kampungan, jadi rasa mendongkolnya tidak
terlalu sakit. Ah!, persetan dengan Didik. Pokoknya
aku telah berkata dengan jujur, bahwa gadis yang
kujumpai di oplet itu benar-benar istimewa. Aku
telah jatuh hati padanya.
Selesai mengikuti kuliah, Herman menunggu
oplet jurusan kota. Kalau dahulu Herman paling
senang naik bis kota, sekarang dia beralih senang
naik oplet. Tak lain dia berharap dapat berjumpa
lagi dengan gadis pujaannya itu. Tapi apa yang mau
dikata, pertemuan yang diharapkan justru sulit
dialami untuk hari ini, dan untuk pertemuan yang
berikutnya sulit dipastikan. Hari-hari yang dilalui
Herman jadi berubah kelabu tanpa semangat untuk
menghiasi dengan bunga-bunga harapan. Setiap
pulang dari kuliah pemuda itu tidak pernah
berjumpa lagi dengan gadis itu. Herman jadi putus
asa untuk selalu mengharap bisa bertemu dengan
gadis yang selalu diimpi-impikannya itu.
Sekarang Herman beranggapan pertemuan
nya dengan gadis itu bagai ibarat impian yang indah
dalam tidurnya. Bagaimana mungkin dia dapat
berjumpa dengan gadis itu kembali jika tak tahu
tempat tinggalnya. Tak tahu di mana dia bekerja. 14
Dan tak tahu pula namanya. Herman jadi
menempelak jidatnya. Kenapa aku ketika itu tidak
berani bertanya di mana alamatnya, dan siapa
namanya? Betapa tololnya aku!. Demikian keluh.
Herman yang disertai dengan penyesalan. Namun
meski demikian Herman tidak pernah lepas untuk
melalui dan menunggu di tempat halte bis itu.
Kali ini kenyataan itu bukan lagi sekedar
angan-angan belaka. Saat Herman menyetop oplet
jurusan kota, di dalam oplet itu nampak seorang
gadis yang selama ini meresahkan hatinya.
Bergegas dia naik dengan jantung yang berdetak
kencang. Herman memberanikan diri untuk
menatap gadis yang duduk di depannya. Hatinya
sedikit kecewa, kenapa tempat duduk yang kosong
tadi bukan di sebelah gadis itu? Kenapa yang musti
kosong di depannya? Aaaah! Keluh Herman dengan
perasaan bimbang yang berada di antara
keberanian.
Gadis yang duduk di depan Herman hanya
tertunduk malu. Namun bibirnya mengulum
senyum yang penuh arti. Mata mereka saling
bentrok untuk beberapa detik dan hati Herman
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar bahagia. Gadis itu sempat tersenyum
pada Herman, aduhaaii... senyumnya yang sedikit 15
tersipu itu sangat mempesona. Giginya yang
berjejer rapi, putih, gigi pepsodent1. Bibirnya yang
merah merekah ibarat kelopak bunga mawar yang
masih segar. Herman membalas senyuman itu
dengan arti ingin bersahabat, ingin dia segera
memulai mengajak bicara gadis itu, namun dirasa
suasananya tidak menguntungkan.
Dengan menahan gejolak perasaan yang tak
sabar, Herman menunggu sampai gadis itu turun di
persimpangan jalan Kunir. Ternyata apa yang
diharapkan oleh Herman meleset. Gadis itu masih
tetap duduk sampai oplet memasuki terminal
Padahal Herman sudah bersiap-siap bila saja gadis
itu turun dan mengikutinya. Dengan gesit Herman
membayar ongkosnya, sebelum gadis itu
mendahului.
"Sudah kubayar." Demikian kata Herman
sambil tersenyum ramah.
Gadis itu tak bisa berbuat apa-apa. Dengan
canggung dia memasukkan kembali uangnya ke
dalam dompet.
"Terimakasih." Sahutnya datar.
1 Merk pasta gigi, ungkapan gigi putih bersih 16
Setelah gadis itu turun dari oplet, Herman
mengikutinya dari belakang Langkah Herman
semakin dipercepat guna menyamai langkah gadis
itu. Ketika langkah mereka sudah bersisian, Herman
memberanikan diri untuk menegurnya.
"Dari pulang kerja zus?" Tegur Herman
sedikit canggung.
Gadis itu menoleh sekilas, lalu menggeleng
kan kepala sambil tersenyum. Rambutnya yang
hitam legam terurai ditiup angin semilir siang itu.
Betapa anggunnya penampilannya. Langkahlangkahnya yang demikian lunak dan semampai
membuat keinginan Herman semakin menggebugebu untuk selalu jalan di sisi gadis itu. Siang itu dia
memakai kaos kuning dengan celana jenis yang
sedikit ketat membalut tubuhnya. Alangkah
indahnya bentuk tubuh gadis itu. Pinggangnya
begitu ramping, pinggul meliuk bagaikan gitar
spanyol dengan bentuk paha ramping yang amat
serasi.
"Apa aku boleh tahu namamu?" Tanya
Herman lunak.
Gadis itu tidak langsung menjawab
melainkan berjalan dengan tertunduk. Dia 17
memandangi ujung sepatunya yang berwarna
hitam berhak tinggi meruncing. Sepatu yang
kemarin dipakai gadis itu, mengingatkan pertama
kali Herman berjumpa dengan gadis itu. Yah dia
masih hafal betul dengan hari dan tanggal
perjumpaan di hari kemarin. Dan dadanya yang
gemuruh akan gejolak perasaan tak menentu, kini
dirasa semakin bergelora.
"Namaku Herman. Dan bolehkah aku tahu
namamu"?" Desak Herman penuh harap. Gadis itu
menoleh lagi sekilas. Dan jantung Herman berdetak
keras. Mata gadis itu alangkah indahnya. Senyum
gadis itu alangkah manisnya. Semua yang terdapat
pada dirinya banyak menimbulkan daya tarik bagi
setiap lelaki. Tetapi kenapa dia agaknya terlalu
berat untuk memberi tahu namanya. Adakah
sesuatu yang disembunyikan di balik kenyataan
yang mempesona itu? Ataukah dia sombong? Ah!
kurasa tidak. Dia nampak wajar-wajar saja.
Demikian imtuk dalam hati Herman yang gelisah.
Meski demikian Herman masih saja mengikuti
langkah gadis itu sampai di jembatan.
"Apakah namamu terlalu mahal untuk
kuketahui zus?" 18
Gadis itu tersenyum dikulum mendengar
pertanyaan Herman.
"Tidak." Jawab gadis itu datar
"Lantas kenapa?"
"Tidak apa-apa."
Herman berdecap resah. Gadis itu meliriknya
sepintas. Lalu mereka berdiri bersisian di
persimpangan jalan Kopi sambil menunggu colt
jurusan Grogol. Herman berdiri tercenung sambil
memegangi dagunya. Terik sinar mata hari yang
menimpa ubun-ubunnya tak dirasakan lagi. Yang
dirasa baginya tak lain hati bimbang dalam
pengharapan.
"Kamu mau ke mana?" Tanya gadis itu hingga
menyentakkan Herman dari lamunannya.
"Nggg... ke Grogol." Jawab Herman tergagap.
Gadis itu berdehem pelan.
"Kenapa"?"
"Kita satu tujuan" Sahut gadis itu tanpa
menoleh Herman. 19
"Apa ruginya sih memberi tahu namamu?
Bukan kali aku telah memberi tahu namaku tanpa
merasa dirugikan?" Celetuk Herman.
"Siapa yang menyuruh kamu memberi tahu
namamu?" ketus gadis itu.
Herman tak dapat menyahut. Matik, dia
merasa terpojok. Sungguh tak disangka bila gadis
itu pintar ngomong. Maka Herman bisa garuk-garuk
kepala yang sebetulnya tidak dirasa gatal. Itu hanya
sekedar improvisasinya belaka.
Mata gadis itu memandang Herman dengan
makna, setengah menyelidik. Yang kemudian dia
merasa bahwa lelaki yang ada di sampingnya ini
kelihatan polos dan jujur. Lantas gadis itu
memandang Herman dengan seulas senyum yang
seramah ibunya. Herman merasa sedikit terhibur
dengan senyum gadis itu. Yang dirasa detik berlalu
penuh kebimbangan berubah seketika dengan
keramahan.
"Apakah benar yang dikatakan temanku,
untuk berkenalan dengan gadis di Jakarta ini harus
mempunyai modal." Gumam Herman setengah
menyindir gadis itu. 20
"Modal apa?"
"Paling rendah mempunyai motor dan paling
tinggi memiliki mobil, baru dapat berkenalan gadis
Jakarta dengan mudah sekali."
"Itu tidak benar." Ketus gadis itu.
"Sudah terbukti kau tidak mau menyebutkan
namamu. Kalau saja aku mempunyai mobil kau
pasti tidak sesulit ini untuk menyebutkan namamu.
Ya kan?"
Gadis itu melengos.
"Sudah terbukti kan" Desak Herman.
"Aku bukan gadis semacam itu."
"Kalau kau merasa bukan gadis semacam itu,
sebutkanlah namamu. Aku baru merasa yakin
dengan apa yang kau ucapkan." Tandas Herman.
Gadis itu lantas mengeluh. Dari mulutnya terkuat
sebutan sebuah nama yang dirasa indah bagi
pendengaran Herman.
"Namaku Anita." 21
"Sungguh indah namamu. Coba ulangi sekali
lagi, aku merasa senang mendengarnya." Gurau
Herman sambil memasang telinganya.
"Barangkali kamu ini orang senewen ya?"
Celetuk Anita keki.
Herman tertawa berderai, sedangkan wajah
Anita merah merona. Dia merasa dipermainkan
oleh Herman. Tapi di. juga merasa senang dengan
sikap Herman yang senang bergurau.
"Kalau aku senewen dari sejak pertama aku
berjumpa denganmu sudah kupeluk habis-habisan.
Sebabnya aku merasa amat tersiksa kala melihat
mu. Matamu, hidungmu dan bibirmu terlalu bermahnit2."
"Eeee, sudah berani kurang ajar ya? Belum
pernah ditempeleng orang?" Sergah Anita marah.
"Duh... galaknya. Begitu saja marah nih?,"
rujuk Herman.
Anita tanpa menghiraukan Herman lagi
melangkah pergi. Buru-buru Herman mengejarnya.
Tapi sial, gadis itu telah naik ke dalam taxi dan
2 Magnet 22
berlalu tanpa meninggalkan kesan lagi. Apa yang
bisa diperbuat Herman tak lain hanya garuk-garuk
kepala. Dia menyesal berlaku demikian terhadap
seorang gadis yang baru saja dikenalnya.
Maksudnya ingin bergurau, tetapi Anita
menganggap dirinya telah melampaui batas. Sambil
menghela nafas berat lelaki itu menyetop bis kota
jurusan Grogol yang kebetulan lewat di depannya.
Bergegas Herman naik dan berlalu dari tempat itu.
Di dalam perjalanan menuju ke tempat kostnya,
lelaki itu menggerutu tanpa ada henti-hentinya.
Kenapa sampai bisa begini? Itu saja yang senantiasa
bercokol di benaknya.
Sesampainya di kamar kost, Hermin
melemparkan map lusuh di atas meja dengan
perasaan kesal. Lantas dibantingnya tubuh lunglai
itu ke pembaringan. Dengan nafasnya masih
memburu seperti sehabis berlari jauh. Bayangan
wajah Anita masih belum mau lenyap di pelupuk
matanya. Niatnya masih tetap membara untuk bisa
mendapatkan gadis itu. Hanya kapan perjumpaan
itu akan terjadi lagi?. Segalanya itu belum dapat
menjadi kepastian, sebab kehadiran Anita masih
merupakan bayangan suram.
*** 23
Hari minggu merupakan hari relax bagi semua
karyawan dan pelajar. Dalam hari libur begini,
Herman selalu menghabiskan di tempat yang ramai.
Dia paling senang duduk pada sebuah bangku kecil
di terminal Banteng. Di sisi kiri dan kanannya
berderet pula orang-orang yang duduk berteduh
untuk menghindarkan sengatan sinar matahari.
Tapi di belahan langit sebelah barat mendung
berarak menuju ke timur. Tak lama lagi hujan akan
turun dari langit. Kalau saja angin masih sering
bertiup, ada kemungkinan hujan bakal urung jatuh
membasahi bumi.
Tapi angin tidak bertiup, sehingga
suasananya nampak begitu lenggang. Semua orang
yang ada di terminal Banteng bagai dikejar-kejar
hantu. Di sana-sini ketakutan bila mendung yang
berarak di langit akan meluruhkan titik-titik air ke
bumi. Layaknya dunia ini sudah mendekati sekarat.
Lain yang dilakukan Herman, dia masih tetap
duduk dengan tenang sambil menikmati kesibukan
orang yang berlalu-lalang. Baginya itu merupakan
tontonan yang mengasyikkan. Dari kesibukan itulah
Herman bisa menciptakan sebuah cerita yang
nyata. Kehidupan anak manusia yang penuh liku- 24
liku dan berdasarkan logika yang matang. Herman
seorang penulis muda yang telah berhasil
menciptakan sebuah karangan tentang "Kehidupan
Kota Jakarta" yang unik dengan segala penstiwa
kehidupan di dalamnya. Buku novel itu telah
berhasil dicetak ulang ketiganya berdasarkan
permintaan penggemarnya. Tapi baginya nama
yang menjulang tinggi, belum tentu setaraf dengan
apa yang dialami sekarang. Boleh orang lain
membanggakan namanya, memuja namanya, tapi
apalah artinya jika hidupnya masih tetap
kekurangan.
Dia baru dapat merasakan, bahwa kehadiran
Anita menuntut banyak segi keberhasilannya dalam
menunjang kehidupan. Kini Herman melalui hariharinya dengan kemurungan, bukan kemurungan
seperti anak-anak muda yang sulit mencari
pekerjaan. Melainkan kemurungan yang berasal
dari ingin memiliki gadis itu. Bayangan wajah gadis
itu dirasa tak mau lepas dari pelupuk matanya.
Inikah yang dinamakan senandung rindu menikam
kalbu? Yah... perumpamaan itu sangatlah tepat Dia
merindukan saat berjumpa kembali dengan gadis
idamannya itu. 25
Mendadak orang-orang saling berlarian guna
mencari tempat untuk berteduh karena hujan mulai
turun dari langit. Semula titik-titik air hujan itu jatuh
rintik-rintik, akan tetapi kemudian bertambah
deras. Mata Herman menangkap sesosok tubuh
indah berlari kearah peron. Dia hafal betul bahwa
gadis itu tiada lain adalah Anita. Ya, Anita.
Jantung Herman bergelepar... ya Tuhan,
gadis yang mengenakan rok hijau dengan kembangkembang putih dan kuning itu Anita. Maka Herman
bergegas bangkit dan menghampiri Anita yarg baru
saja menginjakkan kakinya di ubin peron.
"Anita..." Tegur Herman parau.
Gadis itu terkesima menatap Herman yang sudah
berdiri di sampingnya.
Anita dapat menangkap melalui panca
indranya, bahwa lelaki yang berdiri disampingnya
itu menatap dengan pancaran mata rindu.
"Apa yang kau kerjakan di sini?" Tanya Anita
sambil melirik.
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa saja yang bisa membawa rejeki. Siapa
tahu aku dapat menemukan dompet orang yang
berisi uang jutaan." 26
"Kamu memang benar-benar senewen,"
sergah Anita.
"Barangkali anggapanmu itu benar."
"Hm!." Anita berdehem.
"Lama tak kelihatan kemana saja?" Tanya
Herman lunak.
Gadis itu diam saja. Matanya yang indah
menatap langit mendung yang meluruhkan air
hujan. Anita merasa tidak perlu mengutarakan jalan
hidupnya yang ditempuh selama ini. Mungkin hanya
untuk mereka yang sudah tahu. baginya meiiBa
telah cukup. Sejauh itu langkahnya cukup
membawa tekanan perasaan yang tak bisa
diuraikan dengan kata-kata.
"Lama tak kelihatan," sambung Herman lagi.
"Dua minggu telah berlalu." Tindih Anita
basa-basi.
"Sakit?"
"Yah." Sahut Anita pendek. Dia hanya
mengharap dengan berdusta tidak akan
memperpanjang pertanyaan lelaki itu. 27
"Sekarang masih sakit?"
"Sudah agak mendingan."
"Kalau begitu kuantar kau pulang."
Anita diam.
"Mau kau?"
Anita masih diam.
"Aku sekalian ingin bermain ke rumahmu, tak
apa-apa kan?"
Herman seperti membujuk adiknya yang meminta
kembang gula.
"Enggak keberatan kan?"
Anita baru kemudian menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Kau tak akan mengerti kehidupanku."
"Aku akan berusaha untuk mengerti
kehidupanmu, Anita. Percayalah.
"Jangan." Desah gadis itu.
Herman jadi berubah demikian kecewa.
Curahan air hujan yang turun dan langit menjadi 28
pelampiasa rasa kecewanya. Dia memandangnya
dengan tatapan hampa. Kau tak boleh tahu
rumahku. Siapa pun tak boleh tahu rumanku! Keluh
Anita tak bersuara, mulutnya terkatup rapat-rapat.
Anita menatap mata lelaki yang berdiri di
sampingnya, alangkah hampa dan kecewanya.
Tapi... oooh, semua itu tak boleh terjadi. Mata Anita
bertambah murung, sementara Herman berdiri
dengan bahu yang lesu.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu, jika
kau merasa keberatan."
Anita menatap wajah Herman sekali lagi.
Kecewa, pasti dia amat kecewa atas penolakan itu.
Walau pun sesungguhnya perasaan Anita tidak jauh
berbeda dengan lelaki itu. Selama ini dia menyekap
rasa rindu ingin berjumpa dengan Herman. Samasama menelan makna cinta dan oh... mata gadis itu
mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergerak, tapi ucapan
tak jua keluar dari sela-sela bibir itu. Kandas di
dalam tenggorokan tanpa bisa terucap dengan
sempurna. Ketika Herman menatap mata Anita
yang berkaca-kaca jadi terharu. 29
"Maafkanlah aku Anita. Sungguh mati aku
tidak memaksamu, janganlah kau menangis. Aku
mohon maaf barangkali telah menyakiti hatimu."
Anita hanya tertunduk sambil menggigit bibirnya.
Herman semakin merasa tertekan oleh perasaan
bersalah. Dia jadi bingung tak berketentuan.
"Apa yang bisa kulakukan untuk menebus
kesalahanku Anita? Katakanlah, aku musti berbuat
apa?" Desah Herman dalam keresahan.
"Kau tidak bersalah Herman." Gumam Anita lirih.
"Tapi agaknya kau tersinggung Anita."
Gadis itu menggelengkan kepala, Herman
mengeluh panjang. Untuk beberapa saat mereka
sama-sama bungkam seribu basa. Di antara
keheningan itu hanya terdengar suara hujan yang
jatuh di genteng peron, di mana mereka berdua dan
berpuluh-puluh orang berteduh di bawahnya. Anita
menengadahkan muka dan menatap Herman yang
sedari tadi tertunduk sambil memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku celananya. Dia berdiri lesu
menatap curahan air hujan yang bagaikan tirai
kabut menghalangi tegaknya gedung hotel
Borobudur. Bagai terkena aliran mahnit Herman 30
menoleh ke wajah Anita. Dan mereka saling
bertatapan penuh arti.
"Kau tidak marah dan membenciku bukan
Anita?" Tanya Herman parau. Anita berusaha untuk
tenenyum dan makna dari senyumnya itu penuh
dengan kepolosan. Lantas dia menggelengkan
kepala pelan.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu."
Lanjut Herman ceria.
"Kau mau ke mana Herman?"
"Aku tak mempunyai acara. Kau?"
Anita menggelengkan kepala pelan.
"Kalau begitu kita jalan-jalan ya?"
Anita bungkam, tapi wajahnya tetap teduh
dan tak ada tanda-tanda menolak ajakan Herman.
Meski demikian Herman masih belum mantap.
Jangan-jangan dia dikira memaksa dan gadis itu
menangis lagi. Dia merasa amat terharu bila melihat
Anita menangis, walau wajahnya bertambah sendu
dan cantik. Betapapun dia senang bila melihat Anita
menangis.
"Kau mau kan?," desak Herman dalam keluh. 31
"Masih hujan." Gumam Anita.
"Tapi kau mau kan?"
Gadis itu mengangguk pelan. Jantung
Herman bagai mau meledak ketika Anita bersedia
menuruti ajakannya. Keresahan yang bercokol di
dadanya buyar seketika dan berubah menjadi
berbunga. Girangnya bukan alang kepalang, karena
selama ini Herman merindukan ingin pergi
berduaan dengan gadis itu. Ingin mencurahkan
segenap perasaannya yang selama ini bergelora
dalam kalbunya. Herman jadi tersenyum, lagi-lagi
tersenyum persis apa yang dikatakan Anita, bahwa
lelaki ini senewen.
Herman mengharap hujan yang turun dari
langit akan segera terhenti. Harap-harap cemas di
dada lelaki itu membuat dirinya tak sabar lagi untuk
menunggu hujan itu reda. Terlihat sekali jika lelaki
itu sering berdecap sambil mengeluh, kenapa hujan
ini benar-benar tak tahu diri.
Setelah menunggu sekian lama hujan pun
telah reda. Orang-orang yang sejak tadi ikut
berteduh di bawah atap peron sudah mulai
mondar-mandir mencari bis kota jurusan yang
tengah dinantikan. Kedua insan yang dilanda cinta 32
itu turut meninggalkan peron dan melangkah keluar
dari termiral Banteng. Herman memberanikan diri
untuk menggandeng tangan mulus Anita. Gadis itu
tidak menempiskan tangan Herman kala
memegang jari-jarinya. Bahkan ketika tangan
Herman meremas jari-jari Anita, gadis itu hanya
mengeluh manja. Rambut Anita yang hitam legam
sebatas bahu terurai disapu angin saat berjalan di
sisi Herman.
"Akan kau bawa aku kemana Herman?"
Tanya Anita sambil berlari-lari kecil. Mereka
menghindar bis kota yang akan memasuki terminal.
"Kita ke pantai saja yuk?"
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
Lantas Herman menyetop taxi dan kedua insan
bercinta itu bergegas naik ke dalamnya. Taxi itu
membawa mereka menuju pantai. Di pesisir pantai
yang berpasir halus, langkah-langkah mereka
membekas di situ. Udara pantai yang habis turun
hujan dirasa lebih nyaman bagi kulit kedua insan itu.
Tangan Herman memeluk pundak Anita sembari
sebentar-sebentar menatap wajah gadis yang di
dalam pelukannya itu. Ketika tatapan mereka
terpaut menjadi satu, senyum di antara kedua insan 33
itu saling menghiasi bibirnya masing-masing.
Burung-burung camar yaug beterbangan di langit
turut pula menyaksikan kemesraan kedua insan
yang dilanda bara cinta itu.
Mereka duduk di bawah pohon sambil
menyaksikan ombak yang berderai menjilati pasirpasir di sepanjang pinggiran laut. Angin yang
berhembus semilir menerpa rambut Anita hingga
terurai. Herman menepikan rambut Anita yang
sebagian menutupi wajahnya. Dengan hati-hati
sekali Herman mengelus-elus kening Anita,
bagaikan menyimak anak-anak rambut yang
tumbuh di sekitar kening gadis itu.
"Aku sungguh telah jatuh cinta padamu,
Anita." Kata Herman lembut.
Anita terhenyak dan berusaha mengalihkan
pandangan ke laut yang terbentang luas membiru.
Herman yang masih menunggu jawaban gadis itu
terkesima menikmati cantiknya wajah Anita.
"Kenapa kau diam saja Anita?"
Gadis itu menggeleng, tapi memaksa untuk
tersenyum. Herman jadi termangu heran.
"Kau menolak cintaku. Anita?" Desak Herman. 34
Gadis itu menggeleng lagi. Herman tak habis
mengerti.
"Lantas kau anggap apa aku ini?"
"Aku sendiri tidak tahu apa yang telah
kulakukan ini. Sudah terlalu jauh kutempuh jalan
hidupku tanpa pengertian yang sebenarnya." Sahut
Anita tanpa ujung pangkal yang diketahui Herman.
Jelas saja lelaki itu jadi semakin bodoh dipermain
kan oleh kata-kata Anita.
"Kenapa musti begitu? dan apa yang telah
terjadi atas dirimu."
"Sulit untuk kujelaskan kepadamu, Herman.
Yang jelas aku merasa bahagia bila berada di
dekatmu. Merasa terlindung dalam pelukanmu.
Perasaan yang selama ini menghimpitku dalam
kesepian, kesunyian menuntut banyak untuk
mencari kebahagiaan." Tutur Anita.
"Kalau kau mau membalas cintaku,
percayalah kebahagiaan yang selama ini kau cari
ada pada diriku. Aku ingin membahagiakan dirimu,
Nita. Karena aku mencintaimu dengan tulus dan
suci." Kata Herman sambil menggenggam tangan
Anita dengan hangat dan mesra. 35
Gadis itu diam, namun sepasang matanya
yang bulat indah menatap wajah Herman dengan
penuh kemesraan. Bagi Anita kata-kata lebih dulu
diucapkan, karena banyak persoalan yang tak ingin
diceritakan kepada Herman.
"Ijinkanlah aku menciummu, Nita. Kau tidak
keberatan bukan?"
Anita memejamkan kedua matanya dengan
bibir yang terkuak siap untuk menerima kecupan
hangat lelaki itu. Wajah Herman semakin mendekat
dan hembusan nafas lelaki itu terasa hangat di pipi
Anita. Bibir merah berwarna merah jambu itu telah
diserkap oleh lumatan hangat dan lembut bibir
Herman. Selama bibir merah kenyal itu dihisap
Herman, Anita senantiasa memejamkan matanya.
Meresapi kenikmatan yang diberikan bibir lelaki
pujaannya. Kalau toh mata Anita terbuka, Ini pun
hanya sekejap saja.
Tangan Herman yang mulai meraba-raba.
meremas dan melilit tubuh Anita, membuat mata
Anita jadi melek merem. Dia bagai terbang ke
angkasa luas nan indah. Gadis itu mendesah,
merintih dan berkali-kali mengeluh manja. Sampai
akhirnya Anita mendorong tubuh Herman karena 36
tak kuasa lagi untuk menahan serangan lelaki itu.
Pori-pori tubuhnya telah menguapkan sari-sari
birahi yang semakin memuncak.
"Kamu nakal amat sih?," ketus Anita manja
dengan nafas memburu.
Herman tersenyum, tangannya membelai
halus bulu-bulu yang tumbuh meremang di kening
Anita.
"Aku sungguh mencintaimu. Anita. Kau mau
membalasnya bukan?"
Anita selalu diam bila saja Herman mulai
mengungkapkan isi hatinya. Dan dia selalu
mengatupkan bibir tanpa jawaban yang senantiasa
aiha-rapkan oleh Herman. Lelaki itu selalu
menunggu jawaban yang pasti mengenai ungkapan
perasaannya. Paling-paling yang dinanti tak lain
seraut wajah sendu dalam kesayuan. Sehingga
Herman hanya dapat mengeluh dan menghela
nafas berat, setiap kali gadis itu tidak memberikan
kepastian. Mata Anita menatap mata Herman
dengan sejuta keresahan.
"Kau tak percaya kepadaku. Anita?"
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mata Anita seperti bingung. 37
"Kenapa diam saja Anita?"
"Tak apa-apa."
"Kau telah menyiksaku." Ucap Herman dalam
keluhan.
Mata gadis itu kembali berkaca-kaca,
bibirnya digigit sambil menahan gejola perasaan
yang sulit untuk diuraikan dengan kata-kata.
"Katakanlah, apa karena aku lelaki miskin
yang tak punya apa-apa sehingga kau merasa
keberatan untuk membalas cintaku? Katakanlah
dengan jujur, Anita. Akan kuakui segala kekurangan
yang terdapat dalam diriku. Tapi jangan kau siksa
aku dengan kebisuanmu." Desak Herman setengah
memaksa.
"Jangan bertanya banyak tentang perasaan
ku, Herman. Kau tak akan mampu mengatasinya.
Kurasa kita cukup dengan saling berjumpa disetiap
saat yang kita inginkan." Nafas Anita sesak.
"Bagiku belum cukup Anita. Sebab kepastian
darimu membuatku lebih berani menghadapi
kehidupan yang bagaimanapun peliknya. Kalau kau
mengatakan aku tidak mampu mengatasi
persoalanmu karena aku mungkin belm tahu apa 38
yang terjadi pada dirimu. Maka katakanlah dengan
segenap kejujuranmu, aku akan berusaha
mengatasi segala problem yang menyulitkan
dirimu."
Suara Herman demikian murung, sehingga
dada Anita bertambah sesak untuk bernafas.
Wajahnya demikian sendu, butir air mata jatuh
perlahan di pipi nya tanpa terdengar isak tangisnya,
Justru hal seperti ini sangat menyiksa dan memberi
tekanan perasaan Anita.
"Herman..." Ucapnya terhenti.
"Akan kubuka sekeping hatiku bagi
kehadiranmu. Tapi jangan kau paksa aku buat
mengatakan alasannya. Juga kau tak boleh datang
ke rumahku, kau mengerti?" Sambung Anita sendu.
Lelaki itu diam murung seraya melayangkan
pandangan ke laut biru yang membentang luas di
depannya. Rambutnya yang gondrong teratur rapi
melambai-lambai dihembus angin laut dan gadis itu
membelalainya penuh kasih sayang. Belaiannya tak
jauh berbeda bagai seorang ibu membelai rambut
anaknya yang dalam kedukaan.
"Kau mengerti Herman?," ulangnya lembut. 39
"Alangkah kejamnya kenyataan yang
kualami." Keluh Herman.
"Jangan menyesali dirimu sendiri Herman.
Karena di balik semuanya itu kau belum tahu
kepahitan yang bersembunyi di belakangku. Aku
tidak menghendaki dirimu ikut menelan empedu
itu. Cukup dengan kita bisa bersama selalu untuk
melepaskan kerinduan."
Herman menatap wajah teduh Anita yang
dalam kesenduan. Air mata yang menitik dari
kelopak matanya semakin deras membasahi pipi.
Namun isak tangisnya tak terdengar. Tercekam
perasaan Herman menyaksikan linangan butiran air
mata Anita. Tapi dia ingin berbuat lebih banyak tak
mampu. Bagi Heiman perasaan resah merontaronta dalam dada tanpa mau perduli. Kalau saja dia
seorang gadis, sudah pasti akan menangis.
Meskipun demikian tangis yang disimpan dalam
hatinya akan menjadi batu intan yang abadi.
"Aku akan menerima kenyataan ini dengan
hati sabar Anita. Selama matahari masih tetap
bersinar memanggang bumi, itulah bentuk cintaku
yang membakar jiwa ragaku tanpa mau perduli.
Mungkin saat ini aku belum mampu berbuat apa- 40
apa, tapi suatu ketika kau harus dapat kurebut dari
semua persoalan yang mungkin membelenggu
dirimu. Sekarang aku tidak mempunyai daya Anita.
Aku mengerti. Dan mengakui kelemahanku untuk
bisa menang." Tandas suara Herman penuh
semangat. Sementara Anita tertunduk sambil
mempermainkan ujung jarinya. Dia mengakui
kelebihan Herman Dia dapat merasakan getaran
cinta Herman yang tulus dan suci. Mungkin saja
baginya belum pernah menemukan seoran lelaki
seperti Herman. Yah... Herman mempunyai
kelebihan tentang cinta dan kasih sayang yang
selama ini belum pernah didapatkan oleh Anita.
Tapi dia tidak ingin melihat diri lelaki itu tu.ut
hangus terbakar oleh persoalan pribadinya yang
sulit untuk dipecahkan.
Senja mulai merayap di langit belahan timur,
sedangkan matahari dengan sedikit malu-malu
kembali ke peraduannya di batas cakrawala.
Sinarnya yang merah keemasan sempat membias di
permukaan laut. Camar yang beterbangan
menambah indahnya panorama senja di pantai.
"Kita pulang Herman." Ajak Anita lembut. 41
Herman menoleh ke wajah gadis yang duduk di
sampingnya. Dalam jilatan senja keemasan wajah
Anita yang dalam kesenduan nampak lebih anggun
dan cantik. Gelora cinta Herman masih tertahan di
dadanya tanpa bisa tertuang dengan sempurna,
lantaran gadis itu masih belum mau membalasnya
Maka dengan setengah mengeluh, lelaki itu bangkit.
Tubuhnya lesu tanpa memiliki gairah lagi. Anita
tahu betul perasaan yang bergelora di hati lelaki itu.
Dia pasti kecewa. Untuk mengurangi iasa kecewa
ielaki itu, Anita memeluk tubuh Herman dalam
desah cinta yang terpendam.
Lelaki itu tanpa membuang kesempatan lagi
mengulum bibir Anita dengan lembut dan hangat.
Tangannya yang melingkar di leher jenjang gadis itu
mendekap erat, sehingga Anita merasa begitu sulit
untuk bernafas. Tapi meskipun demikian dia tetap
saja pasrah. Tubuh gadis itu mengeliat manja
tatkala tangan Herman meremas benda lunak yang
membusung di dada. Seperti pohon cemara yang
menggeliat disapu angin laut. Cukup lama ciuman
itu berlangsung dan kala berakhir kedua pipi Anita
merah merona. Kedua insan itu baru meninggalkan
pantai ketika matahari tidak tampak lagi. Berjalan 42
berhimpitan meninggalkan kenangan yang
bergumul dengan keresahan. 43
? DUA ?
MUSIM HUJAN DI BULAN PEBRUARI
membuat bunga flamboyan tumbuh merata di
ranting-ranting pohon yang menaungi kampus.
Begitu-pun dengan bunga-bunga lainnya yang
tumbuh di taman samping induk universitas.
Herman baru meninggalkan kampus sambil
memegang map lusuh. Cuaca senja itu sangat cerah.
Tapi tidak indah baginya, karena dibalik segala yang
teramat mesra Herman ternyata mengalami
perasaan-perasaan aneh didalam batinnya, yaitu
mengenai hubungannya dengan Anita selama ini
masih belum me-nemukan kepastian.
Makanya dia sedikit jengkel dengan gadis itu.
Padahal dia mencintai Anita sepenuh hatinya. Dan
kejengkelan itu rasanya mengganggu bayangan
kemesraan yang dibawanya dari pantai tempo hari.
Mengganggu gemulungnya hati yang sedang
dilanda nikmatnya cinta. Malam pun masih selalu
mengganggu, tidur kurang nyenyak makanpun tak
enak. Bukan itu saja. Segalanya jadi beringsut.
Membuatnya malas membaca dan mengarang.
Membuatnya kepingin marah, serba salah dan 44
segala macam yang aneh-aneh. Cuma sayangnya
tak ada tempat untuk pelariannya, hingga dapat
mengurangi eneg-unegnya.
Herman terus melangkah di bawah jembatan
penyeberangan. Ketika tampak olehnya sebuah
batu di jalan yang akan dilalui, sepatunya
menendang kerikil itu hingga melesat jauh. Untung
saja tidak mengenai penjual buah dingin yang
berjualan di depan toko onderdil mobil danmotor.
Sekalipun batu kerikil itu tidak mengenai, penjual
buah dingin itu sempat melototkan mata kepada
Herman. Rupanya lelaki ini membalas melototkan
mata pula. Herman siap menantang penjual buah
dingin itu. Barangkali inilah jalan satu-satunya
untuk melampiaskan uneg-unegnya. Herman sudah
mata gelap. Agaknya penjual buah dingin keder3
melihat mata Herman yang melotot bagaimana
ulang. Kembali si buah dingin itu menundukkan
muka sambil mengiris pepaya. Herman menghela
nafas panjang sembari meneruskan langkahnya.
Lantas Herman naik bis kota jurusan Senen.
Ada keperluan yang akan dibelinya. Satu pita mesin
ketik dan buku phiskologi. Namun ketika dia sampai
3 Istilah betawi untuk : takut, jerih, segan 45
di proyek Senen, bagai terpaku tatkala melihat
seorana gadis berjalan dengan bandot setengah
baya. Gadis yang berjalan sambil dipeluk bandot
setengah baya itu tak lain adalah Anita. Herman
bagai disambar petir di siang hari bolong ketika
menyaksikan kenyataan itu. Seperti ada getaran
mahnit yang membuat gadis itu menoleh
kearahnya. Maka terhenti sejenak langkah gadis itu
dan memandang Herman dengan kecemasan yang
dentum-dentum di dada. Herman berbuat sama
dan mata mereka saling bentrok beberapa saat.
"Ada apa Nita?" Tegur lelaki di samping Anita.
"Ah!, tidak ada apa-apa."
Tergagap jawaban Anita. Lantas gadis itu
melangkah lagi dengan diiringi bandot setengah
baya yang berada di sisinya.
Herman masih saja mengawasi kedua orang
itu sampai lenyap di antara sekian banyak orang
yang sedang sibuk berbelanja di super market.
Herman baru meneruskan langkahnya sambil
menoleh kea-rah belakang, di mana Anita dan
bandot tua itu menghilang di antara sekian banyak
orang. Tanpa disadari oleh Herman, dia menubruk 46
orang yang sedang berjalan. Jelas saja orang yang
ditubruk Herman marah-marah.
"Jalan tidak lihat ke depan! Dikemanain tuh
mata!." Bentak seorang wanita yang tengah
berjalan sambil menggandeng anaknya.
"Saya taruh di punggung bu." Sahut Herman
sembari nyengir kuda.
"Sialan kau! Biar disambar geledek !"
Wanita itu mengomel macam-macam tapi
Herman tidak ambil pusing lagi. Dia terus nyelonong
pergi seraya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Tahulah sekarang apa yang bersembunyi dibalik
ketidak pastian Anita untuk membalas cintanya.
Alangkah pandainya dia bersilat lidah hanya sebagai
penutup kedoknya belaka. Mulai detik ini aku tidak
mau lagi menjadi boneka permainannya. Tidak mau
lagi menjadi kambing hitamnya. Persetan dengan
segala daya tarik pada dirinya yang telah menyeret
aku ke dalam kencan sandiwara yang tak lucu.
Demikian rutuk hati Herman yang penuh emosi.
Kalau toh Anita hanya sekedar bermain sandiwara,
apa artinya harus banyak dipikirkan. Lebih baik bagi
Herman menghindar sebelum keparahan itu akan
dalam menyiksanya. Dengan hati yang kacau balau 47
lelaki itu membeli keperluannya di sebuah toko
alat-alat tulis.
Dan semenjak itu Herman berusaha untuk
melupakan Anita. Tapi semakin dia berusaha
melupakan Anita, semakin sulit baginya untuk
berbuat itu. Bayangan gadis itu selalu saja
meinenjihj benaknya tanpa mau perduli. Hari-hari
yang dilaluinya gampang sekali mendatangkan
kemurungan, gampang sekali mendatangkan
kesepian yang baginya terasa amat sulit dicerna.
Padahal dia tahu gejala itu datang dari
seorang gadis yang bernama Anita. Hati dan
perasaannya telah terpaut oleh cetusan naluri yang
sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. Itulah salah
satu kalimat CINTA. Hampir setiap manusia pasti
akan mengalaminya, dan akan menjadi budak dari
cinta itu sendiri. Manusia tidak akan mampu
menentang kehendaknya bila cinta itu sudah mulai
bersemi dan membelenggu dirinya. Hal ini telah
terbukti bagi diri Herman. Dia tak kuasa mengelak,
meski dia tetap berusaha membunuh mati
perasaannya yang sedang berbunga cinta. Faktor
phiskologis-nya, perasaan rindu membubuhkan
cinta itu menjadi lebih berat kadarnya. Selama
manusia masih memiliki perasaan rindu, berarti 48
manusia itu masih mempunyai rasa cinta yang
sempurna.
Herman mengaku, memang terasa sulit
untuk melupakan Anita. Gadis itu telah
membuahkan bunga mekar pada kalbunya yang
selama ini mengharapkan kehadiran seorang gadis
seperti Anita. Paling-paling bila rasa jengkelnya
datang lantaran ingat Anita berjalan dengan bandot
tua itu, ia selalu menendang batu kerikil di jalan
yang akan dilaluinya. Gumam yang terlontar dari
mulutnya:
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangsat!."
Seperti siang itu Herman berjalan menuju ke
halte bis yang terpampang iklan pasta gigi
pepsodent. Langkahnya yang gontai membawanya
lebih dekat kearah halte bis itu. Mendadak
jantungnya menggelepar kencang. Mendadak
matanya menanar menatap sesosok tubuh gadis
yang berdiri anggun dibawah naungan halte bis itu.
Ya... Tuhan gadis yang berdiri anggun itu adalah
Anita. Gadis itu menatap Herman dengan pancaran
mata rindu dan gelisah. Lantas gadis itu
menundukkan muka ketika melihat mata Herman
menatapnya dengiin sinis. Dada Anita terasa Sesak 49
untuk bernafas dan sikapnya jadi berubah
canggung.
Herman berdiri di sisinya tanpa mau
menegur. Diam tegak bagai batu cadas yang kokoh.
Sementara Anita hanya berani melirik seperti anak
kecil yang dimarahi ayahnya. Dengan ditekan
berjuta perasaan, Anita memberanikan diri untuk
menegur Herman.
"Baru pulang kuliah Her?" Suara Anita serak.
"Yah." Jawab Herman singkat.
"Kau membenci aku?"
"Yah."
Anita mengeluh panjang. Herman melirik Anita
sinis.
"Seharusnya kau tak boleh membenci aku."
Kata Anita parau.
"Karena kau telah membodohi aku." Hanya
itu sahutan Herman.
"Aku tidak bermaksud demikian Herman."
"Kau terlalu pandai membawakan peranan
mu. Aku tahu, aku orang yang tak mampu 50
memberikan apa-apa kepadamu selain sekeping
hati yang peruh dengan cinta kasih. Kalau mungkin
yang kau cari dalam hidupmu segala bentuk
kemewahan, aku akan mundur teratur. Sekali lagi,
aku orang yang tak mampu membahagiakanmu
dengan berdasarkan kemewahan!" Tutur Herman
beremosi.
"Kenapa jadi begini?...kenapa?" desah Anita
tersiksa.
Herman tercenung selesai mendengar
keluhan Anita yang tersiksa. Dia sendiri tak habis
mengerti kenapa gadis ini demikian tertekan
perasaannya. Tak sanggup melepaskan siksaan yang
jelas dalam sikapnya terlalu dibeienggu oleh ketidak
wajaran. Lalu apa gerangan yang telah terjadi pada
dirinya? Sayang kau tidak mau berterus terang.
"Herman... kalau kau mau mengerti,
segalanya akan berjalan secara wajar. Kita hidup di
atas dunia ini hanya sebagai pelaku yang memperan
kan berbagai macam watak dan pembawaan. Kita
tak ubahnya seperti menjalankan alur kehidupan
yang tak tahu apa yang dikehendaki Tuhan
sebenarnya terhadap takdir. Aku pasrah kepadaNYA. Kalau takdir menghendaki aku harus 51
menerima kenyataan yang sama sekali tak
kuharapkan, aku tak bisa menolaknya." Demikian
ungkapan kata hati Anita yang panjang. Walau
sesungguhnya perasaannya dililit kepedihan dan
Herman melihat kedua mata gadis itu berlinang air
mata.
Kemudian gadis itu melangkah pergi tanpa
mau menoleh lagi kearah Herman yang mas.ih
tegak sendirian di bawah halte bis. Alangkah
sombongnya, alangkah angkuhnya mentangmentang memliki wajah cantik. Pikir Herman
setengah memaki. Sempat mata Herman melihat
saat Anita naik ke dalam Taxi dan taxi itu melaju
pergi. Langkah-langkah Herman gontai dengan
disertai wajah murung meninggalkan halte bis itu.
Hatinya benar-benar sakit. Betapapun demikian
cinta di dadanya masih berjelora bagai nafasnya
yang belum terhenti. Kapan lagi dia bisa bertemu
dengan gadis itu dan mau mengungkapkan problem
pribadinya. Kalau segala latar belakangnya sudah
terungkap jelas, Herman baru bisa mengambil
kesimpulan kenapa Anita seangkuh itu, macam
gunung yang tak bisa tergeser.
*** 52
Anita sadar sepenuhnya dengan apa yang dialami
selama ini. Bayangan wajah Herman yang selalu
melintas di dalam benaknya, menjadikan soie pun
menjadi sepi. Sebab Herman tak pernah muncul
lagi, sejak perjumpaan terakhir di halte bis tempo
hari. Lelaki itu tak pernah nampak berdiri dibawahi
halte bis, setiap pulang kuliah sore. Juga sore ini
kesepian yang dirasakan Anita terlampau
menyekam. Dia mengharapkan kehadiran lelaki itu
kembali. Barangkali dia marah, barangkali dia
membenciku, aaah Anita berdiri dengan keluhan.
Sehingga senja yang begitu indah terasa baginya
amat mencekam dilanda kesepian. Tak tahulah
akan makna apa sepi yang melilit relung hatinya itu.
Yang jelas Anita senang pada lelaki seperti Herman
tampan, jantan dan figur seorang lelaki yang sejak
dulu diimpi-impikan Anita. Dua pulun tahun usianya
telah lebih empat bulan, dari mulai dia mengerti
apa fungsi lelaki bagi kehidupannya,
Hermanlah yang sekaligus menggoncangkan
kalbunya. Berarti cinta yang mulai memutik di
hatinya tumbuh dengan wajar dan merupakan
benih cinta yang pertama. Aaaaah... sepi itu
sekarang mulai dirasakan menghimpit, bahkan lebih
kuat karena Anita ingin berjumpa dengan Herman. 53
Lantas sepi macam apa ini? Aku mengharap dia
hadir di depanku dan sama-sama saling bercumbu,
tapi aku tak boleh menyatakan cinta terhadapnya.
Bukankah itu lebih baik jika dirinya tidak menjadi
korban kenyataan? Lebih baik kecewa awal dari
pada di hari kemudian kekecewaan itu akan
semakin parah dialami. Biar dia menganggapku
tidak mau berterus terang dan polos. Sekalipun dia
mengatakan aku menipunya dengan permainan
yang kujalani, aku akan menerima dengan ikhlas.
Aku tidak akan membencinya. Dia seorang lelaki
yang merupakan cahaya dalam kegelapan hidupku,
merupakan embun yang membungakan kuncup
hatiku untuk mengenal arti cinta yang sebenarnya.
Terus terang aku sangat membutuhkan dia,
membutuhkan kenikmatan bercinta yang secara
wajar dan bukan paksaan. Tercetusnya hati
nuraniku buat mencintainya karena ada sesuatu
yang kuinginkan dalam dirinya. Seandainya aku
harus berterus terang kepadamu, aku takut
menganggapmu remeh. Kau akan menilai dirimu
lebih tak berdaya. Padahal kalau kau tahu
perasaanku, padahal kalau kau tahu problemku,
sungguh...sungguh kau akan menaruh belas kasihan
yang amat besar. Kekecewaan yang mungkin 54
selama ini menekan perasaanmu akan sirna. Lalu
bagaimana ini...? Apa yang musti aku lakukan?
Demikianlah keresahan yang senantiasa
berdentum-dentum dalam dada Anita. Baginya
Herman sungguh berarti.
Dan keesokan harinya Anita mendatangi
universitas. Dimana Herman menempuh bangku
kuliah di situ. Anita tak tahan akan gelora rindu yang
menggelora di hatinya. Dia sendiri bingung saat
berdiri di depan induk universitas, apa sih
sebenarnya kemauannya menemui lelaki itu?
Rindunya, apakah lantaran cinta yang menggebugebu?, aah!... tidak! Lantas apa? Gadis itu belum
mendapatkan jawaban yang tetap pada dirinya
sendiri. Apakah berarti Anita telah kehilangan
kepercayaan terhadap diri sendiri?, yah...sejak
problem itu menekan jiwanya, Anita seperti
kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Dia
merasa telah terombang-ambing oleh nasib yang
tak berketentuan.
Kemudian Anita memberanikan diri untuk
bertanya kepada seorang pemuda yang baru saja
keluar dari fakultas sastra. Ternyata pemuda yang
ditanya oleh Anita itu tak lain adalah Didik. 55
"Kenalkah anda dengan Herman?."
"Ya, saya teman baiknya." Sahut Didik
setengah menyelidik.
"Merasa keberatankah anda bila saya minta
kesediaan anda untuk menyampaikan, bahwa ada
teman yang mencarinya?"
"Oooo, tidak. Tunggu sebentar saya akan raemanggilnya/"
Didik bergegas menuju ke perpustakaan
untuk menemui Herman. Biasanya lelaki itu paling
senang menghabiskan waktunya dengan membaca
buku di perpustakaan. Ternyata dugaan Didik tidak
meleset, lelaki yang tengah dicarinya itu sedang
membaca buku. Didik langsung mencabut buku
yang sedang dibaca oleh Herman.
"Berhenti dulu membacanya!," bentak Didik
mengagetkan Herman.
"Kau tidak mempunyai etiket kesopanan
sebagai mahasiswa Didik!."
Hardik Herman sambil melototkan mata. Dia
benar-benar marah diperlakukan dengan cara
demikian. Herman bergegas bangkit dan siap 56
memukul muka Didik. Tetapi Didik tersenyum
tenang.
"Jadi orang tidak boleh cepat marah." Kata
Didik bergurau.
"Kau keterlaluan!."
"Sabar mek." Didik berkata lunak.
"Nggak usyah pakai mek-mekan. Apa
perlumu sekarang!."
"Duh galaknya persis anjing lagi bunting."
Ledek Didik.
"Apa kau katakan aku anjing lagi bunting?, bisa ku
tonjok mulutmu yang monyong itu!."
"Duuuh begitu aja marah, abang kalau marah
ca?ep deh." Ucap Didik menirukan logat banci yang
slebor. Tangan Didik mencowel kemayu ke dada
Herman. Lelaki yang sedang marah itu jadi tertawa.
"Sialan!" Gerutu Herman memaki.
"Ada orang mencarimu. Herman. Dia
menunggu di depan pintu gerbang." Kata Didik.
"Siapa?"
"Lihat sendiri." 57
"Cewek apa cowok?"
"Banci slebor." Sahut Didik sambil tertawa.
"Kamu jangan ngaco Dik, aku serius nih,"
tandas Herman.
"Ternyata kalau benar yang dulu pernah kau
bicarakan kepadaku mengenai seorang gadis yang
cantiknya selangit, dialah yang kini mencarimu!"
"Kau tidak ngjbul?. baik aku akan segera
menemuinya."
Herman bergegas hendak pergi, namun Didik
menahannya.
"Eiiiit!...tunggu dulu. Ternyata matamu
memang hebat dalam menilai seorang gadis. Dia
begitu cantik dan anggun." Kata Didik jujur.
"Taik kucing!" Sergah Herman sambil
melangkah pergi.
"Kalau dia tak kau butuhkan lagi, serahkan
saja kepadaku. Aku benar-benar telah jatuh hati
padanya!." Teriak Didik sebelum Herman jauh
meninggalkannya. 58
"Biar disambar geledek kalau kau mencintainya!."
Balas Herman memaki. Sementara Didik tertawa
berderai dan hati Herman mendongkol.
Langkah Herman semakin dipercepat agar
cepat sampai ke pintu gerbang. Ketika dia telah
keluar dari induk universitas, matanya menangkap
tubuh seorang gadis berdiri anggun di bawah terik
sinar matahari yang memanggang. Rambutnya yang
hitam legam sebatas bahu disapu angin hingga
lepas terurai. Alangkah cantiknya gadis pujaannya
itu. Apakah Herman sangat mencintai gadis itu.
Setelah langkah Herman mendekati gadis yang
sejak tadi berdiri menunggu, hatinya menjadi gusar.
"Herman...," tegur Anita lunak.
"Ya?" Sahut Herman tergagap.
Mata mereka saling bentrok agak lama dan di
hati masing-masing berdesir perasaan nikmat.
"Kita sudah lama tidak saling jumpa
Herman." Kata Anita parau.
Herman hanya mengangguk sambil
mengulum bibirnya yang kering. 59
Anita tak bisa berbuat banyak di depan
Herman. Kalau sejak dari rumah tadi dia ingin
berkata banyak dan mungkin langsung memeluk
lelaki itu, namun di sini dia hanya bisa berdiri
canggung: Tanpa bisa mencetuskan apa-apa yang
dibawa dari rumah dengan kerinduan.
Di bawah teriknya sinar matahari mereka
sama-sama berdiri mematung. Baru setelah Didik
menegur mereka, kesadaran akan kecanggungan
nya punah seketika.
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di zaman apollo ini kok masih ada orang
pacaran mirip Siti Nurbaya ya?" Sindir Didik
bergurau.
"Hece!, Banci selebor kutonjok mulutmu
baru kapok ya?!." Balas Herman menghardik. Didik
tertawa terbahak-bahak sembari melarikan motor
nya kencang-kencang. Suara knalpot motor itu
cukup membisingkan telinga Herman dan Anita.
Keduanya lantas saling bertatapan mesra sekali.
"Adakah waktumu untuk menemaniku
berjalan-jalan Herman?" 60
"Aku selalu bersedia meluangkan waktuku
untuk menemanimu ke mana saja." Ucap Herman
datar.
Wajah Anita berseri-seri. Kedua insan itu
melangkah pergi meninggalkan pintu gerbang.
Matahari yang bersinar terik membuat kening Anita
dibasahi keringat. Sebetulnya Herman ingin rasanya
menghusap keringat di kening gadis itu. Tapi ada
rasa kecanggungan untuk melakukannya; karena
dia takut ditolaknya. Setelah agak jauh dari induk
universitas, Anita menyetop taxi.
Dia menurut saja ketika tangannya ditarik
oleh Anita masuk ke dalam mobil. Di jok belakang
mereka duduk bersisian. Mobil membewa mereka
ke sebuah pantai, dimana mereka pernah berduaan
di tempat itu. Selesai membayar ongkos taxi,
mereka menelusuri pinggiran pantai. Tapi kali ini
Herman tidak berbuat seperti yang lalu, sambil
berjalan dia memeluk tubuh Anita yang padat
berisi. Melainkan berjejer dengan jarak sekitar dua
puluh senti. Hanya kadang kala kulit mereka sering
bersentuhan. Dan setiap kali kulit mereka
bersentuhan di hati masing-masing berdesir
perasaan nikmat dan bahagia. 61
Anita mengajak Herman duduk jauh dari
keramaian. Tepatnya di bawah pohon mahoni yang
berdaun rindang mereka duduk sambil berteduh.
Angin pantai yang bertiup dengan sedikit campuran
uap garam menjadikan kulit jadi mudah berminyak.
Ombak di laut yang tak pernah berhenti menjilati
pasir-pasir sungguh menyenangkan setiap mata
yang melihat. Termasuk kedua remaja yang tengah
duduk di bawah pohon mahoni ini.
"Kau tidak membenciku bukan, Herman?"
Tanya Anita lembut.
"Aku tak pernah membenci kepada siapa
pun, termasuk engkau."
"Terima kasih Herman."
"Anita..." Panggil Herman lunak.
Gadis itu menoleh ke wajah Herman yang tampan.
"Aku tak habis mengerti tentang kemauan
mu. Katakanlah dengan terus terang apa alasanmu
menyembunyikan segala kemunafikanmu. Kau
tidak akan mengibaratkan diriku sebagai boneka
permainanmu bukan? Karena aku menghendaki
suatu permainan yang berakhir dengan baik. Kalau 62
toh ini hanya merupakan tonil 4 janganlah sampai
terpotong sebelum cerita itu berakhir dengan
sempurna. Aku tahu. baik di dunia pentas ataupun
di arena kehidupan nyata hanya ada dua
kemungkinan. Hidup atau mati, berhasil atau gagal.
Sekarang kuminta kesediaanmu untuk mengungkap
kan apa yang telah terjadi atas dirimu. Aku telah
siap untuk menerima manis atau pahitnya
kenyataan."
Kedua mata gadis itu menjadi hangat, butirbutir air mata bening mengambang di kelopaknya.
Lalu menetes pelan jatuh ke pipinya.
"Aku masih ingin bertemu denganmu, bisa
selalu bersamamu, maka aku merasa berat untuk
mengatakan semua problem yang kualami. Aku
takut kau pergi dariku Herman." Kata Anita
tersendat-sendat.
"Kau terlalu egois Anita. Kau hanya
memikirkan tentang kepuasan diri sendiri tanpa
mau berpaling pada perasaanku yang seperti
terombang-ambing dalam ketidakpastian. Apakah
kau hanya akan mencencang batinku, sementara
4 Belanda : sandiwara 63
tubuhku kau anggap boneka permainanmu?
Ooooooh... alangkah kejamnya." Desah Herman.
Anita menjatuhkan kepalanya di dada
Herman dan menangis tersedu-sedu. Herman tidak
membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
Rambutnya yang hitam legam terurai itu dibelainya
lembut penuh kasih sayang. Meski hati Herman
keras bagaikan baja, dia merasa terharu mendengar
tangis Anita yang dirasa memilukan. Akankah Anita
mengatakan kenyataan yang sebenarnya?, tapi dia
takut kehilangan lelaki ini. Dia terkatup tak berkata
hanya isak tangisnya yang memecah-keheningan di
situ.
Anita merasa terlindung dan aman dalam
pelukan lelaki itu. Bukankah selama ini Anita
memimpikan kenyataan yang seperti sekarang? Ya,
hidup yang dilaluinya terasa jauh dari hamparan
kasih sayang. Sedangkan apa yang dialami selama
ini hanyalah kemunafikan belaka.
"Air matamu belum cukup untuk memberi
jawaban yang pasti Nita. Jika kau malu untuk
mengatakan, bahwa selama ini yang kau cari
kemewahan dengan berkencan bandot-bandot tua,
aku tidak mau perduli. Yang penting bagiku kau mau 64
berterus terang dan membalas cintaku dengan
tulus. Itu saja Nita." Tandas Herman.
Anita mendorong tubuh Herman sehingga
pelukan lelaki itu terlepas. Dengan mata yang berlinang-linang, Anita menatap Herman tajam-tajam.
"Herman, kata-katamu menyakiti hatiku,"
ketus Anita.
Tangis Anita semakin pilu.
"Aku tidak bermaksud demikian Nita. Justru
aku telah berkata dengan kejujuran yang kumiliki.
Buatku sekalipun kau seorang janda beranak lima,
atau mungkin seorang pelacur jalanan, aku tetap
mencintaimu. Tetap ingin mengawinimu, kau
mengerti Nita?"
Anita membuka rousliting5 gaunnya ke
bawah, sehingga tubuhnya dibagian dada
terpampang menantang di mata Herman.
"Akan ku buktikan jika tubuhku masih suci
Herman." Ujar Anita.
5 resleting 65
"Jangan Anita..." Kata Herman sambil
menahan tangan Anita yang semakin menarik
gaunnya ke bawah.
"Aku bersedia membuktikannya Herman !"
Tandas Anita.
"Aku percaya... aku percaya sepenuhnya
terhadapmu sayang. Kenakanlah kembali gaunmu
itu."
Tetapi Anita tidak mengindahkan kata-kata
Herman. Terpaksa Herman membenahi gaun gadis
itu seperti semula. Anita hanya tertunduk dengan
berlinangan air mata.
"Aku tak ingin menodai cintaku yang suci
Nita. Karena cinta itu sebenarnya bukanlah nafsu,
melainkan perasaan yang ingin memiliki, ingin
dibelai dengan kasih sayang dan membahagiakan
orang yang dicintai. Seperti aku yang ingin
memilikimu, ingin membelai dengan kasih sayangku
dan ingin membahagiakanmu Nita. Aku telah
memiliki cinta itu dengan sempurna." Kata Herman
mantap.
Anita menatap mata Herman yang
memancar-kepolosan, jujur dan rendah hati. Maka 66
gadis itu menjatuhkan kembali kepalanya di dada
bidang Herman. Air mata Anita yang membasahi
pipinya dihusap oleh sapu tangan Herman pelan
sekali. Gadis itu memejamkan matanya, meresapi
kelembutan kasih sayang Herman.
"Anita, ijinkanlah aku datang ke rumahmu
untuk membuktikan bahwa aku bersungguhsungguh ingin mempersuntinginu."
"Jangan...," keluh Anita dengan nafas sesak.
"Kenapa jangan Anita?" Desak Herman.
"Kuharap pengertianmu dalam soal ini
Herman. Jangan kau rusak segalanya yang sudah
hampir sama-sama kita rasakan. Aku tak ingin
segalanya akan jadi berantakan." Ucap Anita
dengan mata bingung. Wajahnya berubah cemas
dan tertekan.
"Aku bersungguh-sungguh kepadamu,
namun kau selalu menolak setiap kali kunyatakan
ingin datang ke rumahmu. Katakanlah alasanmu
yang sebenarnya Nita."
"Kau masih juga mengulangi pertanyaan yang
bagiku sulit untuk kujawab Herman. Akan
kuserahkan semua yang kau kehendaki atas diriku, 67
asalkan jangan kau bertanya lebih banyak mengenai
aku."
"Baiklah, kita bermain tonil tanpa cinta.
Sebab kau lebih senang berperan sebagai seorang
gadis yang penuh misteri, Kau lebih mengutamakan
permainan yang mengasyikkan ketimbang makna
dari sebuah cinta yang luhur. Mulai sekarang aku
akan melakukannya, Nita." Ujar Herman setengah
kecewa.
Herman langsung memeluk tubuh gadis itu
dan menghujani dengan ciuman hangat. Anita
pasrah dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Di
dalam hati gadis itu merintih, jangan pisahkan kami
sebelum kenyataan yang tak diharapkan oleh Anita
datang merenggutnya. Pelukan Anita semakin erat
melingkar di leher Herman. Dan untuk beberapa
saat perasaan Anita bagaikan terbang ke langit ke
tujuh.
Ketika mereka mendengar suara tawa orang
di balik semak-semak, baru Herman menghentikan
ciuman itu. Kurang ajar!, rutuk hatinya. Anak-anak
kecil itu sejak tadi mengintipnya di balik semaksemak. Maka berlarian anak-anak kecil itu saat 68
mata Herman melotot. Sementara Anita menahan
senyum.
Senja mulai menyelimuti permukaan langit.
Dan banyak pengunjung di pantai itu telah pergi.
Anita mengajak Herman untuk meninggalkan
tempat itu. Walau sebenarnya hubungan mereka
masih diliputi kabut misteri.
Yah... lebih baik bermain tonil6. Lebih baik
menghilangkan perasaan yang menyiksa karena
cinta. Toh apapun yang sudah dipikirkan masakmasak oleh Herman belum nampak jalan menuju
kepastian. Hubungannya dengan Anita masih
ditutupi kabut misteri yang banyak mendatangkan
tanda tanya.
Di pagi itu Herman telah menunggu Anita di
terminal Banteng sudah cukup lama, dia seperti
dilanda kegelisahan. Pada jam yang telah
ditentukan, ternyata gadis itu belum muncul jua.
Dua jam telah berlalu bagai tertatih-tatih. Dirasa
oleh Herman waktu dua jam menunggu terlalu lama
dan membosankan. Dia rasanya sudah tidak betah
lagi menunggu kedatangan gadis itu lebih lama,
ingin dia meninggalkan tempat itu. Namun
6 drama 69
keresahan di dadanya timbul, bagaimana
seandainya dia datang? Herman seperti tercencang
oleh detik-detik yang berlalu. Setiapkali dia
melontarkan pandangan kearah bis yang berhenti di
terminal itu, tak kunjung nampak jua gadis yang
ditunggunya itu. Alangkah lambatnya waktu
bergerak, alangkah pusingnya kepala Herman
saking bingungnya mengawasi orang-orang yang
berlalu-lalang. Itu dia, kata hati Herman... oooo
bukan. Itu lagi juga bukan. Bentuk yang sama
namun wajah yang berbeda. Alangkah bisingnya
terminal ini. Untuk berkencan saja musti susahsusah seperti ini, bayangkan!.
Haiiii...mata Herman berubah berseri-seri
dan jantungnya berdetak kencang, ketika melihat
gadis yang ditunggunya turun dari bis kota. Herman
buru-buru berlari menghampiri gadis itu.
"Sudah lama menungguku?, maaf jika aku
terlambat memenuhi janji." Kata Anita dengan
wajah merah.
"Tak heran jika di Indonesia jamnya mulur
seperti karet." Gumam Herman tersenyum. Anita
ikut tersenyum pula. Sebuah bis kota nyelonong
memasuki terminal dan hampir saja menyeruduk 70
pantat Herman. Kondektur bis kota berteriak
mendongkol melihat Herman dan Anita berlari ke
pinggir sambil bergandengan.
"Di sini bukan tempatnya pacaran nyung! isabisa mampus ke tubruk bis kauuu!!."
"Sialan!." Gerutu Herman ketika sudah
menepi.
Beberapa orang sempat memperhatikan
Herman dan Anita. Ada yang merasa iri, ada pula
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang merasa senang melihat pasangan remaja yang
ideal itu. Bergegas Herman menarik tangan Anita.
sebab dia tahu mereka sedang menjadi pusat
perhatian semua orang yang ada di sekitarnya.
"Ke mana kita Her?" Tanya Anita bermanja.
"Ke Puncak," sahut Herman sambil
menggandeng tangan Anita menuju bis kota jurusan
Cililitan.
Di dalam bis kota yang melaju Anita banyak
membisu, sebab penumpang bis itu kelewat penuh.
Bukan main manusia yang akan pulang mudik di hari
minggu itu, sehingga bis kota jurusan Cililitan
senantiasa penuh oleh penumpang. Untung saja bis
yang mereka tumpangi menuju ke Bandung yang 71
lewat puncak sekalipun penuh, Herman dan Anita
mendapat tempat duduk. Sepanjang perjalanan
menuju ke Puncak kepala Anita disandarkan ke
bahu Herman. Bis yang mereka tumpangi telah
melewati bukit-bukit Cipanas dan sebentar lagi
akan sampai ke Puncak. Anita melirik Herman.
mereka saling bertatapan mesra sekali, sama-sama
tersenyum, aaah... hidup bercinta memang indah
dan mengasyikkan.
"Kenapa kau diam saja Anita?" tegur Herman.
"Ah, aku lagi malas ngobrol." Balas Anita
manja.
"Kelihatannya kau sedang memikirkan
sesuatu."
"Aaaaah, tidak!"
"Dari sinar matamu aku tahu."
"Aku tidak memikirkan apa-apa."
Anita mengalihkan pandangan, matanya
menatap bukit-bukit yang sebagian puncaknya
tertutup kabut. Dan warna hijau sejuk membias ke
permukaan bukit-bukit itu. Pohon teh di pinggir
jalan yang di-lalui bis itu tumbuh dengan subur. 72
Pemandangan di sini memang teramat
menyenangkan. Indah untuk dinikmati dengan
hawa yang sejuk menyertainya. Tubuh Anita mulai
merasa dingin dan Herman tahu jika gadis yang
duduk di sebelahnya gemetaran badannya. Herman
lantas memeluk tubuh Anita.
"Dingin?" tanya Herman.
"Ee eh" Anita menjawab dengan menganggukkan kepala.
Bis kota yang mereka tumpangi telah sampai
ke Puncak. Herman dan Anita bergegas turun dari
bis itu. Villa-villa berdiri megah di atas perbukitan
hijau. Di sana- sini banyak pohon cemara menjulang
tinggi dan meliuk pelan kala angin meniupnya.
Rumput di sekitar kaki kedua remaja itu menepuk
tumbuh dengan subur dan rapi. Kebanyakan
rumput-rumput itu basah oleh kabut yang
membeku dan berubah menjadi cairan. Sinar
matahari tidak mampu menerobos kabut yang
berarak di angkasa. Kedua remaja itu menelusuri
bukit-bukit yang jauh dari keramaian orang.
Langkah Anita berayun-ayun di dalam
pelukan Herman. Sementara kepala gadis itu
menyandar di dada Herman, tangannya yang kanan 73
membelit pinggang lelaki itu. Meski kedua remaja
itu sudah jauh dari tempat keramaian, masih juga
menjumpai sepasang remaja yang tengah
bercumbu dan saling berciuman di bawah pohon
cemara. Tak jarang hati Anita tergetar disaat
melihat kedua tubuh manusia yang berlainan jenis
saling menindih berdekap erat dan bercumbu.
Sedang bagi Anita semakin pasrah dalam pelukan
Herman. Sehingga dia berjalan hanya dengan
merasakan bahwa gelora cinta membara di
dadanya. Desahan nafasnya sama dengan desahan
nafas Herman, bahkan degupan jantungnya sama
dengan degup jantung Herman.
Keresahan menerjang-nerjang perasaan
Anita. Selama Ini dia sangat mendambakan
kehangatan itu hanya dengan berpura-pura. Tapi
sekarang perasaan itu telah menuntutnya, namun
dia tak tahu bagaimana melampiaskannya. Maka
Anita hanya dapat menghela nafas panjang.
"Kau capai Nita?" Tanya Herman lembut.
Gadis itu menggelengkan kepala dengan
nafas yang tersendat-sendat. Di bawah rerimbunan
pohon mereka menghentikan langkah. Kedua
remaja itu duduk dan melepaskan lelah. Udara 74
sejuk cukup membantu rasa capai yang dialami,
kedua remaja itu. Keringat yang keluar dari poripori tidak sebanyak kala berjalan di sengat
matahari.
Telapak tangan Herman mengalirkan bara
cinta yang tidak lagi tulis seperti sediakala.
Melainkan sudah berbaur dengan gairah nafsu yang
membakar darahnya kala meremas jemari Anita.
Apalagi saat lengan Herman melingkar ke leher
gadis itu, segalanya menimbulkan pijar-pijar yang
memanaskan darahnya. Anita memejamkan mata
dengan bibir yang terkuak siap menerima kecupan
lelaki itu. Hidung Herman mulai menyentuh pipi
Anita dan bibir mereka lantas saling melumat
mesra. Sulit untuk dihitung sudah berapa kali bibir
Herman menerjang-nerjang bibir Anita yang kenyal
bagai kelopak bunga mawar itu. Dekapan Herman
semakin erat, hingga nafas Anita dirasakan sesak.
Tangan Herman menjalar-jalar keseluruh tubuh
gadis itu. Ketika hinggap pada benda lunak vang
membusung di bagian dada. Anita tergial dan
merintih manja. Pelan tapi mantap telapak tangan
Herman meremasnya dan tubuh gadis itu melilit-lilit
sambil menpeluh. Keringat yang keluar dari poripori mereka tidak lagi keringat biasa, melainkan 75
keringat birahi yang mengejangkan seluruh otot
tubuhnya.
Sementara mereka telah lupa dengan alam
sekitarnya yang indah. Kedua tubuh itu bergulingan
di atas rumput hijau penuh gairah nafsu yang tak
bisa-dikendalikan lagi, Eilinan-pihnan, gigitan,
isapan berlangsung terus tanpa mau perduli. Suara
rintihan panjang yang dibarengi isak tangis
memecah keheningan tempat itu. Bukit-bukit yang
menjulang tinggi sempat menjadi saksi kedua anak
manusia melakukan perbuatan dosa. Daun-daun
yang telah kering saling berjatuhan ke bumi. Bunga
pun yang telah lama layu gugur dari tangkainya.
Sementara kuncup bunga yang baru mengembang
telah dihisap madunya oleh si kumbang.
*** Anita melangkah masuk ke dalam rumah dengan
sekujur badan yang letih. Keringat dingin
membasahi sekujur badannya. Rumah yang mewah
dengan segala bentuk perabotan lux7 dirasa terlalu
lenggang dan sepi. Di rumah semewah ini bagi Anita
tak jauh merupakan tempat untuk berteduh saja.
Sebab dirinya sama sekali tidak merasakan bahagia
7 Mewah 76
menempati rumah itu. Bila saja rumah ini milik
Herman dan lelaki itu bisa selalu bersamanya
menempati, alangkah bahagianya. Pagi bersama,
siang bersama, malam bersama dan bila
keinginannya untuk mengulangi perbuatan seperti
tadi siang di Puncak, tidaklah terlampau sulit.
Mungkin sampai letih.
Dan sekarang pun Anita masih merasakan
tubuhnya letih. Kakinya buat melangkah terasa
lunglai dan sedikit nyeri pada bagian pangkal paha.
Mata dia terus merebahkan dirinya di tempat tidur
yang berkasur busa. Sejenak dia membayangkan
kejadian yang baru saja dialami tadi. Begitu
indahnya. Sampai-sampai dia melupakan semua
problem yang selama ini membelenggunya.
Kemudian Anita menatap langit-langit
kamarnya yang terbuat dari eternit kembang
berwarna hijau muda. Bayangan wajah Herman
terlintas. Anita tiba-tiba tersentak, baru sadar jika
lelaki itu telah berhasil mengetahui rumahnya. Di
waktu Herman mengantar sampai di depan rumah,
Anita masih terbawa oleh perasaan pasrah. Seolaholah dia tak ingat kata-katanya sendiri jika Herman
tidak boleh mengetahui tempat tinggalnya. Tapi apa 77
yang mau dikata lagi. semuanya sudah terlanjur.
Dan semuanya bakal ditanggung resikonya.
Cuma yang senantiasa dikawatirkan oleh
Anita. Herman akan meninggalkannya setelah tahu
keadaan dirinya yang sebenarnya. Anita sangat
mengharap agar hal itu tidak akan terjadi pada diri
Herman. Cintanya terhadap lelaki hu sudah tidak
bertepi lagi. Mungkin Anita rela mengorbankan apa
saja asalkan lelaki itu tidak akan meninggalkannya.
Semoga saja Herman seorang lelaki yang mau
mengerti kelemahan diriku. Dan mau mengerti
persoalan yang membelengguku, itu saja yang
kuharap. Katanya tanpa suara
Ali. badan Anita lunglai Jau capai. Rasa kantuk :.an
ai menekan kelopak matanya. Sekarku, yang
dibutuhkan Anita hanya guling dan bantal. Dia tak
mau ambil pusing lagi kejadian esok hari dan harihari mendatang. Seandainya Herman berbaring di
sisinya, ah... barangkah capai ini tidak mungkin
terasa seperti ini.
*** Keesokan harinya Anita bangun tidur kelewat siang.
Jarum jam dinding yang tergantung di tembok
kamarnya sudah menunjukkan pukul dua belas. 78
Tubuhnya yang semalam dirasa lunglai dan capai
sudah hilang semua. Namun ketika dia hendak
melangkah turun dari tempat tidur, pangkal
pahanya dirasa nyeri dan linu. Terpaksa Anita
terhenyak di pinggir pembaringan untuk beberapa
lama. Dengan setengah dipaksakan gadis itu
berjalan ke kamar mandi. Mbok Ginem heran
melihat perubahan tuan putrinya yang nampak
pucat wajahnya. Langkah-langkahnya agak
mengalami kesulitan. Lantas mbok Ginem
tersenyum dikulum.
Setelah tubuh Anita tersiram air. barulah dia
merasa tubuhnya segar kembali. Semua kelesuan
pada tubuhnya hilang seketika. Selesai mandi Anita
mengenakan pakaian T-shirt berwarna kuning
menyala dan celana blue jeans, berjalan ke meja
makan. Dia makan tidak terlalu banyak, sebab dia
tak ingin tubuhnya menjadi gemuk. Dengan
langkah-langkah lunak Anita menuju kearah garasi
mobil. Derit-derit hak sepatunya yang tinggi
terdengar jelas kala menginjak ubin teraso di teras
rumah.
"Aku pergi mbok." Kata Anita kepada
pembantu rumahnya. 79
"Ya non." Sahut mbok Ginem sambil
mengangguk hormat.
Siang itu langit bergumpal-gumpal awan
hitam yang menghalangi sinar matahari menyengat
bumi. Musim hujan di bulan Februari ini hampir
tidak memberikan peluang bagi sang surya untuk
memancarkan sinarnya yang rakus. Mobil Honda
Civic berwarna kuning kontras dengan pengemudi
nya yang mengenakan T-shirt kuning pula, melaju di
antara mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan raya.
Siang itu Anita ingin membeli kosmetik di proyek
Senen. Akan tetapi diwaktu mobilnya melewati
jalan Salemba, mata Anita sempat terbentur
sesosok tubuh yang dikenalnya berdiri dibawah
halte bis. Tangan kanannya memegang map lusuh
dan matanya selalu mengamati bis kota yang lewat
di depannya. Anita cepat-cepat menginjak rem,
mobil pun-segera berhenti.
"Herman!." Panggil Anita sambil menggapaigapaikan tangan.
Lelaki yang berdiri di bawah halte bis itu
menatap penuh tanda tanya. Siapa gerangan yang
memanggilnya itu? Padahal Herman merasa selama
ini dia tidak pernah mempunyai kenalan seorang 80
gadis yang memiliki mobil, kalau toh ada
kebanyakan mereka itu sombong-sombong.
Dengan setengah ragu-ragu Herman berjalan
menghampiri mobil itu. Seorang gadis berkaca mata
coklat duduk di belakang kemudi. Anggun dan
cantik. Siapakah dia? itu saja yang selalu
berkecamuk di benak Herman saat mendekati
mobil. Setelah dekat di pintu mobil barulah Herman
tahu bahwa gadis yang duduk di belakang stir itu
adalah Anita. Duuuh cantiknya. Duuuh anggunnya.
Kata hati Herman penuh kekaguman.
"Ayo naik, kuantar sampai ke tempat tujuan-mu."
Kata Anita tersenyum ramah.
"Tapi..." Sahut Herman terhenti sembari
menatap map lusuh yang dibawanya. Herman
merasa ragu-ragu.
"Jangan banyak alasan Her, naiklah." Desak
Anita sambil membuka pintu mobil untuk Herman.
Lelaki itu terpaksa menurut perintah gadis itu.
Mobil Honda Civic itu melaju lagi sesudah Herman
naik dan duduk di sisi Anita.
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Herman melirik Anita yang memegang stir.
Baru kali ini Herman melihat Anita mengenakan 81
kaca mata dan berdandan menyolok. Detik itu
Herman merasakan dirinya jauh sekali bila
dibandingkan dengan Anita. Ternyata di balik
kesederhanaan gadis itu, kehidupannya begitu
mewah. Maka Herman selama dalam perjalanan
lebih banyak diam dan tertunduk.
"Kau mau kemana, Her?" Tanya Anita lunak.
"Ke penerbit Graniedia." Sahut Herman
datar.
"Apa keperluanmu datang ke sana?"
"Aku akan menjual naskahku"
"Oh! jadi kau seorang pengarang?" Kata Anita
ceria.
Gadis itu menginjak rem karena lampu merah
pada rambu lalu lintas menyala. Mobil-mobil Ininn> a turut berhenti di sisi kiri dan kanannya.
"Benarkah nama pengarang Herman Kusuma
itu adalah kau?"
Herman hanya mengangguk.
"Betapa hebat namamu itu, sehebat hasil
karyamu. Sungguh lho aku kagum dengan hasil 82
karyamu yang pernah kubaca." Lanjut Anita merasa
bangga. Ternyata lelaki yang selama ini mengisi
kalbunya adalah pengarang terkenal. Pengarang
yang sering dipuja-puja banyak penggemar.
"Aku akan tertawa bila mendengai pujianmu,
Anita. Toh nasibku tak jauh berbeda dengan penjual
loak di pasar rumput."
Anite menjalankan mobilnya ketika lampu
hijau menyala, sesungging senyum menghiasi
bibirnya yang dipoles lipstik merah menantang.
"Sebetulnya bicara oal nasib itu sangat
menyenangkan Herman. Siapa tahu di cakrawala
telah menanti perobahan nasib baik. Janganlah kau
meratapi nasibmu sekarang, tapi pandanglah jauh
ke depan, di mana pintu kesuksesan menantimu
dengan terbuka lebar-lebar." Kata Anita
bersemangat.
Herman hanya tersenyum hambar.
"Kan pesimis dengan masa depanmu
Herman?"
"Bukan aku merasa pesimis dengan masa
depan yang gemilang. Aku takut bila tidak tercapai
akan sakit." Tutur Herman. 83
"Kau benar Herman." Sahut Anita.
"Begitu kan?"
Anita mengangguk sambil tersenyum manis.
Mobil yang mereka tumpangi telah memasuki
pekarangan tempat yang dituju. Herman membuka
pintu mobil seraya berkata:
"Tinggalkanlah aku di sini Anita."
"Tidak. Aku akan menunggumu sampai
persoalan, selesai."
"Tapi kemungkinan akan lama jika kau
menungguku sampai selesai."
"Biarlah." Kata Anita dengan disertai
senyumnya yang tulus.
Herman membalas senyum Anita sembari
melangkah pergi. Sementara Anita menunggu
Herman di mobil sambil menikmati lagu-lagu. Dia
tidak merasa jenuh menunggu lelaki itu sampai
berapa lama lagi, karena hatinya begitu bahagia.
Tak berapa lama kemudian nampak Herman
keluar dari gedung tata usaha. Wajahnya cerah
berseri-seri dan tak pernah meninggalkan
senyumnya. Anita menyambut kedatangan Herman 84
dengan membukakan pintu mobil. Lelaki ifj lantas
duduk di sisi Anita. Kunci kontak diputar oleh Anita
dan suara derum knalpot terdengar. Mobil Honda
Civic itu melaju meninggalkan debu dan asap yang
beterbangan.
"Sudah selesaikan persoalanmu Herman?.?
Tanya Anita sembari memegang stir.
"Berkat doamu semua berjalan dengan lancar."
"Syukurlah. Tinggal kau sekarang menemani
aku ke proyek Senen untuk membeli keperluan
kosmetik. Kau tidak ada acara lain kan?"
"Sekalipun ada aku tidak keberatan untuk
membatalkannya."
"Rupanya kau tahu balas jasa juga Her."
Sahut Anita menyindir.
"Jelas dong, aku selalu tahu diri kok. Justru
kau yang tak tahu diri," celetuk Herman.
Anita agak tersentak mendengar ucapan Herman.
"Apa?"
"Jangan pura-pura Anita "
"Iya apa?, aku tak tahu." Desak Anita. 85
"Cintaku tak kau balas dengan cintamu."
Dada Anita mendadak jadi sesak untuk bernafas.
Benarkah aku tak tahu diri selama ini? Padahal di
balik mulutku yang tertutup rapat dan tak pernah
menyinggung soal cinfa, sesungguhnya bara yang
membakar hatiku adalah bara cinta Herman.
Betapa kau tak tahu perasaan yang kuderita."
"Ya kah? akui saja dengan kejujuranmu."
Lanjut Herman.
"Kau selalu tak mau mengerti Herman."
Keluh Anita.
"Aku merasa tersudut bila kau ucapkan katakata tak mau mengerti. Kata-katamu itu seolah-olah
menutup mulutku untuk tidak berkata apa-apa. Yah
inilah mungkin salah satu bentuk harapan yang
kabur dan suram."
Anita menghela nafas panjang, sedangkan
Herman hanya melirik sepintas. Mobil yang
dikemudikan Anita telah memasuki areal parkir
proyek Senen. Di antara mobil-mobil yang berhenti
secara paralel, si tukang parkir memberi aba-aba
agar mobil Anita berhenti menurut tempat yang
sudah disediakan. 86
Lantas Anita mengajak Herman untuk segera
turun dan menemui masuk ke toko membeli alatalat kosmetik. Langkah-langkah Anita yang gemulai
mendatangkan banyak mata memandang bentuk
tubuhnya yang indah. Lekukan tubuhnya begitu
kelihatan jelas karena T-shirt yang dikenakan terlalu
ketat. Begitu pun celana blue jeans yang membalut
dari pinggang sampai pergelangan kaki,
membentuk body Anita amat mempesona.
Pinggulnya yang kini semakin membesar meliuk-liuk
diwaktu berjalan. Herman yang berjalan di sisi gadis
itu merasa darahnya naik ke ubun-ubun.
Selesai Anita membeli semua keperluannya
mengantar Herman sampai ke tempat kostnya.
"Kau tidak ingin mampir dulu Anita?"
"Lain kali aku akan bermain ke tempat kostmu, Herman."
"Kapan kita berkencan lagi?"
"Bila ada kesempatan yang baik Her." Sahut
Anita sembari tersenyum.
"Aku selalu menunggu balasan cintamu
Anita." Kata Herman mantap. 87
Mata Anita menatap sayu ke wajah Herman
yang tampan. Rasanya ada sesuatu yang ingin
dikatakan, namun Anita bergegas menjalankan
mobilnya. Sempat dia melihat lambaian tangan
Herman penuh penantian. 88
? TIGA ?
Rembang petang telah menyelimuti alam.
Bagi remaja yang sedang getol-getolnya bercinta
sibuk berhias diri di depan cermin. Maklum, malam
itu adalah malam minggu. Tak berbeda pula dengan
Herman vang sejak sore nampak sibuk mencoba
baju barunya. Baru tadi sore ketiga baju barunya itu
selesai dari tukang jahit, enggak sombong mek.
Soalnya dua hari yang lalu dia baru terima honor
novel ciptaannya. Langsung beli tiga stel pakaian
dan kepingin wakuncar8.
Sebab sudah satu minggu lebih Anita tak
pernah menemuinya. Rasa rindu Herman sudah tak
bisa dibendung lagi. Berangkatlah Herman
menemui Anita di rumahnya. Di sepanjang
perjalanan Menuju ke rumah Anita, dia sempat
dibebani bermacam-macam pertanyaan.
Mungkinkah Anita jatuh sakit hingga tak
dapat menemuinya? Ataukah Anita menemui
kesulitan, lantas dia tak sempat meluangkan
waktunya untuk menjumpainya
8 Waktu Kunjung Pacar 89
"... Ah! semoga saja tidak terjadi sesuatu
terhadap diri Anita."
Herman masih teringat kata-kata Anita.
bahwa dirinya tak boleh datang ke rumah Anita.
Tapi waktu yang berlalu sudah lebih dari satu
minggu membuatnya tak bisa lagi menahan rasa
rindunya kepada Anita. Dan sekaligus ingin tahu di
balik kenyataan Anita yang sebenarnya.
Bajaj9 yang ditumpangi Herman berhenti di
depan pagar halaman sebuah rumah yang mewah.
Keadaan rumah itu kelihatan sangat sunyi dan sepi.
Pintu rumah yang selalu tertutup rapat, seolah-olah
segan untuk menerima kedatangan tamu. Rumah
mewah itu tak jauh berbeda dengan rumah tua
yang tak dihuni. Dengan langkah gontai Herman
memasuki pekarangan rumah itu. Mata Herman
memandang seputar tempat itu, alangkah sepi,
alangkah sunyi, lalu rumah siapa yang sebenarnya
Namun setelah Herman mendekati pintu
rumah dan menekan beli, keadaan tetap sunyi. Tak
terdenar suara langkah orang yang menghampiri
pintu, tak ada pula sura sahutan dari salah satu
penghuni rumah itu. Sudah berkali-kali beli itu
9 Merk kendaraan angkutan umum buatan India 90
ditekan oleh Herman, tetap saja tiada orang yang
mau membuka pintu rumah. Herman jadi resah.
Akhirnya setelah ditunggu-tunggu pintu rumah itu
tak juga terbuka, Herman berjalan meninggalkan
teras. Baru saja Herman melangkah belum jauh, dia
melihat seorang wanita setengah baya. Wanita itu
adalah pembantu rumah Anita yang bernama mbok
Ginem. Lantas Herman mencoba untuk melempar
senyuman kepada wanita itu dengan ramah. Dan
wanita itu membalas dengan setengah meneliti.
"Saudara mencari siapa?" Tanya mbok Ginem.
"Betulkah di sini rumah Anita, Bi.?" Balas Herman.
"Bukan." Sahut mbok Ginem. Herman jadi
termangu mendengar jawaban wanita itu.
"Jadi di sini bukan rumah Anita, Bi?" ulang
Herman termangu.
Wanita itu menggelengkan kepala. Herman
menghela nafas panjang. Ketika dia hendak
melangkah meninggalkan rumah itu, tiba-tiba
mendengar suara teriakan seorang wanita di dalam
rumah itu. Herman seketika menghentikan langkah
karena mengenal suara wanita itu. Mata Herman
memandang kearah jendela kamar yang 91
mendatangkan suara teriakan wanita itu lewat
celah-celah lobang angin. Mbok Ginem dalam
sekejap berubah pucat dan gemetar sekujur
badannya. Herman bertambah curiga dan tak
percaya keterangan mbok Ginem, bahwa wanita itu
mengatakan rumah ini buka tempat tinggal Anita.
"Tidaaak!" Teriakan nyaring terdengar lagi
dari arah kamar. Bulu kuduk Herman jadi
merinding. Apa gerangan yang lelah terjadi di dalam
kamar itu? Kata hati Herman dengan disertai rM|
ingin tak u. Dia tidak lagi menyangsikan bahwa
suara teriakan itu pasti Anita. Maka Herman segera
mendesak mbok Ginem.
"Bibi tidak usyah membohongi saya.
Ketahuilah Bi, saya adalah teman akrab Anita. Saya
tidak mempunyai maksud buruk."
Mbok Ginem hanya menggelengkan kepala
dengan perasaan cemas. Dari kecemasan itu dapat
diterka oleh Herman jika dibalik kesemuanya ini
terselubung misteri. Dan wanita ini seakan-akan
menyimpan segala rahasia yang terkandung di
dalamnya. 92
"Kalau bibi tidak mau menceritakan kepada
saya secara terus terang, akan saya laporkan
kepada polisi." Ancam Herman.
Wanita itu bertambah ketakutan mendengarkan ancaman Herman.
"Bagaimana bi? Apa perlu saya laporkan polisi?"
"Jangan... se... sebaiknya jangan." Sahut
wanita itu terbata-bata.
"Kalau, demikian bibi harus mengatakan
siapa yang berteriak-teriak di dalam kamar itu."
Tandas Herman.
"Non... non Anita." Gugup sahutan mbok
Ginem.
Herman menghela nafas lega.
"Kenapa dia berteriak-teriak seperti itu bi?"
Wanita itu seakan-akan mulutnya tersumbat
untuk menjelaskan. Tiba-tiba terdengar keras
sebuah benda yang jatuh ke lantai, praaang!.
Herman jadi tak sabar lagi ingin segera tahu apa
yang telah terjadi sebenarnya. Dia bergegas
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendekati jendela kamar dan memukul 93
berulangkali sehingga mengejutkan kedua orang
yang ada didalam kamar tu.
"Siapa berani melakukan itu!!." Terdengar suara
keras seorang lelaki dari dalam kamar.
"Aku! Herman!!." Balas Herman tak kalah kerasnya
pula.
Sementara mbok Ginem semakin dilanda
ketakutan. Keringat dingin membasahi sekujur
tubuhnya. Jendela kamar itu akhirnya terbuka dan
Herman menemukan seraut wajah bandot tua yang
pernah dijumpainya di proyek Senen ketika
bersama Anita dulu. Dengan sepasang mata penuh
bara, bandot tua itu menatap Herman yang berdiri
tegap.
Sedangkan Anita yang saat itu sedang duduk
di pinggir tempat tidur, kelihatan mendekap
gaunnya yang telah terbuka di bagian atas. Herman
juga menemukan wajah Anita yang pucat pias.
"Siapa kau?! dan apa urusanmu ikut campur
persoalan kami!." Bentak si bandot itu.
"Aku teman Anita. Kita bicara di ruang
tamu!." Tantang Herman. 94
"Jangaaan Herman!." Teriak Anita
menimpah.
"Baik!" Sahut si bandot.
Herman berjalan ke teras dan si bandot telah
menyambut dengan membuka pintu rumah lebarlebar.
"Silahkan masuk!." Kata si bandot itu.
Sebelum melangkah masuk dan duduk di kursi yang
telah dipersilakan oleh si bandot, Herman sempat
memandang wajah Anita yang cemas sekali. Kedua
tangan gadis itu mendekat erat lengan si bandot.
Rasanya ada sesuatu yang dikawatirkan. Namun
Herman tetap tenang dan duduk di kursi.
"Sudah lamakah anda mengenal Anita?,"
tanya si bandot serius.
"Baru dua bulan berselang." Jawab Herman
terus terang.
"Kau mencintainya?" Desak si bandot.
"Ya." Kata Herman mantap.
"Bajingan!!" Teriak si bandot sambil merogoh
pistol di dalam saku kimononya. Namun Anita
berusaha sekuat tenaga untuk menahan agar 95
tangan si bandot itu tidak berhasil mengeluarkan
pistol yang ada di sakunya. Dalam sekilas Herman
sempat melihat usaha si bandot untuk mengeluar
kan pistol itu. Debur jantungnya berdetak tak
karuan. Dan keringat dingin membasahi jidatnya.
Namun meski demikian Herman tidak akan
melangkah mundur dan ingin melihat apa yang
dilakukan lelaki itu terhadap dirinya.
"Herman pergilah kau! pulanglah kau!."
Teriak Anita ketakutan.
Akan tetapi Herman masih berdiri tegak
menatap wajah bandot itu, sekalipun perasaannya
sudah tak karuan. Kedua orang yang ditatap
Herman masih saling tarik menarik tangan. Tapi
bagaimanapun juga kekuatan perempuan masih
belum bisa menandingi lelaki. Maka Anita akhirnya
tergelincir jatuh ke lantai dan si bandot berhasil
mengeluarkan pistol dari dalam kantong
kimononya.
"Lariiiiii Hermaaaaaaan!!." Teriak Anita
sembari menarik kaki si bandot hingga sama-sama
jatuh ke lantai. Bertepatan dengan jari si bandot
menekan pelatuk pistol dan terdengar letusan, 96
Herman lari seraya menghindar dari serangan
peluru yang mengancam tubuhnya.
Herman terus berlari tanpa menoleh ke
belakang lagi. Lantas menyetop taxi yang kebetulan
lewat dan buru-buru naik. Dengus nafasnya yang
memburu membuat sopir taxi. mengawasi muka
Herman melalui kaca spion. Herman tidak ambil
pusing sepasang mata si sopir memperhatikan
kecemasannya itu. Yang penting dia telah berhasil
menyelamatkan diri dari kematian.
Selama dalam perjalanan menuju pulang
Herman tak habis mengerti tentang semua yang
dialaminya kini. Siapa sebenarnya lelaki itu, dan apa
hubungannya dengan Anita masih merupakan
tandan tanya besar.
*** Keesokan harinya Herman duduk seorang diri di
ruang paviliun. Bunga-bunga yang tumbuh di taman
kelihatan segar dan indah-indah warnanya. Tapi
keindahan wama bunga yang sejuk dipandang mata
bukan lagi dirasakan oleh Herman. Kalau
sebelumnya dia sangat senang kepada bungabunga itu, tapi sementara ini pikirannya sedang
dibalut keresahan yang belum menemukan duduk 97
persoalan yang sebenarnya. Dia masih diliputi tanda
tanya besar, siapakah sebenarnya lelaki itu.
Belum lama Herman bertanya-tanya dalam hati,
tiba-tiba terdengar klakson mobil. Dan sebuah
mobil Honda civic berwarna kuning berhenti di
depan pintu halaman. Herman bergegas bangkit
karena dia tahu yang ada di dalam mobil itu adalah
Anita.
Gadis yang mengenakan gaun violet muda dengan
hiasan bunga putih dan merah nampak segera
turun dari mobil. Rambutnya yang hitam legam
sebatas bahu kali ini tidak terurai, melainkan
dikuncir dengan pita merah. Di mata Herman Gaui:,
itu nampak lebih keibuan,
He/man tersenyum kepada gadis itu, tapi balasan
Anita cuma tatapan mata yang sendu. Ah, matanya
itu alangkah murungnya. Apa sebenarnya yang
tersimpan di dalam perasaannya, hingga kecerahan
pada pantulan wajahnya yang anggun dan cantik
begitu suram. Herman menghembusi n na-las berat
sampai Anita dekat dengannya.
"Aku ingin berbicara kepadamu, Herman,"
kata Anita lirih. 98
"Ayo masuk dulu." Ajak Herman. Tetapi gadis
itu menolak.
"Kita berbicara jangan di sini Her, kita cari
tempat yang tenang dan cocok."
"Baik" Sahut Herman.
Lantas mereka berdua berjalan ke mobil.
Anita membawa Herman ke tempat biasa mereka
memadu kasih. Selama dalam perjalanan menuju ke
pantai gaJis itu lebih banyak diam. Namun di hati
mereka berbicara masing-masing.
Sampai mobil berhenti di tempat parkk dan mereka
berdua jalan berdampingan di pesisir pantai, masih
juga saling membisu. Seperti angin yang bertiup
membisu. Seperti batu-batu di pinggir pantai yang
dijilat! air laut tetap diam saja. Setelah mereka
duduk di bawah pohon mangga yang berdaun
rindang, Anita menegur Herman lunak.
"Kau tak apa-apa bukan Herman?"
"Seperti apa yang kau lihat, aku sehat-sehat
saja." Gumam Herman.
"Kau tahu apa sebabnya aku melarangmu
untuk datang ke rumah. Hanya demi menjaga 99
hubungan kita dan keselamatan atas dirimu,
Herman." Kata Anita datar.
"Siapakah sebenarnya lelaki itu Anita?"
"Dialah calon suamiku."
"Hah?" Herman termangu.
Anita tersenyum hambar memandang
Herman. Sedangkan lelaki yang dipandang Anita
membuang muka dan memandang jauh ke laut
yang biru.
"Kenapa sejak dulu kau tak mau berterus
terang kepadaku, Anita " Gumam Herman terlalu
kecewa.
"Karena banyak hal yang tak kuinginkan di
dalamnya Herman."
"Maksudmu?"
"Aku tidak mencintai lelaki itu."
"Kenapa masih juga kau jalani, jika kau tak
mencintai? Berarti kau menyiksa, dirimu sendiri.
Kau masih mempunyai harapan buat memperoleh
kebahagiaan dengan orang lain." Tandas Herman
setengah mencibir melihat kelemahan Anita. Sebab 100
dia tahu Anita memiliki kelebihan banyak dari pada
dirinya. Kenapa mesti harus menikah dengan
bandot tua. Banyak pemuda kaya yang akan jatuh
cinta kepadanya.
"Orang tuaku terlalu silau dengan harta yang
akhirnya menjadi gila. Akulah yang menjadi korban
atas permainan nasib." Kata Anita dalam keluh.
"Kau masih bisa menolak. Kau masih bisa
menentang kehendak orang tuamu jika kau tahu
bakal membuat dirimu menderita. Alasan masih
belum dapat kuterima dengan kenyataan Nita."
Gadis itu tertunduk dan matanya dirasa
hangat, Debur ombak di pantai mengusik
ketenangan alam sekeliling pesisir pantai yang
begitu indah membuat hati Anita bertambah sedih,
kenapa keindahan dimasa remaja harus berakhir
dengan penyesalan? Kenapa pula takdir telah
menentukan harus hidup di sisi seorang lelaki yang
tak dicintai? Ooooh, alangkah kejam kehidupan ini.
Alangkah pahit yang disuguhkan realita dari orang
tuanya dimana harus menikah dengan-bandot tua
yang tidak mempunyai perasaan. Tidak mengenal
sama sekali halusnya perasaan seorang wanita.
Begitulah penyesalan yang bertumpuk di dada 101
Anita. Gadis itu sejak tadi masih membisu, cuma
kedua matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Itu terserah pendapatmu Herman. Kalau kau
tetap beranggapan bahwa aku terlalu menyerah
kepada nasib."
"Jadi selama ini kau menganggap diriku
hanya teman pemuas kesepianmu, begitu ya?"
Rutuk Herman.
Gadis itu tidak dapat memberikan jawaban,
diam tertunduk. Herman semakin ditekan perasaan
kecewa.
"Alangkah kejamnya kau... terkutuklah kau
Anita," desah Herman setengah memaki.
"Ucapanmu menyakiti hatiku Herman.
Padahal kau belum tahu kejadian yang sebenarnya.
Aku telah menjadi korban hutang ayahku di meja
judi. Berapa kau tahu hutang ayahku di meja judi?,
tidak sedikit Herman. Hampir lima puluh juta
rupiah. Semua kekalahan yang diderita ayahku
karena permainan curang dari teman-teman
Wibowo, yang sekarang menjadi calon suamiku.
Wibowo adalah kepala orang perkapalan yang
sering berlayar ke luar negeri. Perkenalan dengan 102
ayahku belum lama, tapi sempat menaruh minat
untuk menghancurkan usaha ayahku di bidang
perkapalan. Tak tahunya Wibowo hanya disewa
oleh seorang pengusaha lainnya yang ingin
menjatuhkan ayahku. Setiap hari memaksa ayahku
untuk berjudi di tempat khusus, anehnya ayahku
tak lagi bisa menolak. Wibowo pengaruhnya
dikalangan penjahat-penjahat perkapalan sangat
besar. Karena itulah ayahku menjadi korban
permainan licik. Semua yang menjadi milik kami
telah habis. Usaha ayahku jatuh sampai akhirnya dia
menjadi gila dan aku menjadi korban melunasi
hutang ayah ku. Kau mau mengerti sebab dari diriku
yang terbelenggu ini bukan Herman?"
Kata-kata Anita yang panjang itu cukup
membuat Herman mengetahui duduk persoalan
yang jelas. Sekarang dia tidak lagi menyalahkan
gadis itu. Justru sebaliknya dia merasa amat
kasihan.
"Aku ingin melepaskan belenggu
penderitaanmu Nita." Gumam Herman mantap.
Matanya menatap Anita dengan penuh semangat
yang menyala-nyala. Disamping bara cinta yang
menggelora di dadanya. 103
"Kau tak akan mampu berbuat itu Herman."
Potong Anita.
"Katakanlah kalau aku seorang yang kaya
raya dan bisa membayar luitang ayahmu, baru aku
dapat menang? begitu? Lantas hidupku sebagai
pengarang tak mampu memberi makan kepadamu,
begitu? Kau sendiri hampir lupa dengan apa yang
pernah kau ucapkan tentang nasib. Dan kau merasa
senang jika membicarakan nasib. Tapi kenapa kau
jadi mengelak pernyataanmu sendiri? Betapa
munafiknya kau Anita. Sekali pun setiap detik
pikiran manusia dapat berubah. Tapi yang penting
faktor kepercayaan diri menunjang segala bentuk
ketidak pastian. Bukankah di atas dunia ini segala
sesuatunya bisa terjadi kalau Tuhan
menghendakinya?" Kata Herman hampir
menghentikan denyut jantung Anita. Dia seperti
dihadapkan pada sesuatu tantangan yang sangat
membutuhkan kepercayaan untuk bisa menang.
Dan sebetulnya kemenangan itu sangat mudah
untuk didapat, karena dia tahu siapa sebenarnya
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wibowo itu. Tapi dia takut untuk didapat, karena
dia tahu siapa sebenarnya Wibowo itu. Tapi dia
takut untuk membuka kedok lelaki itu dengan siapa
pun termasuk ayahnya sendiri. Kekayaan yang 104
didapat Wibowo sekarang tidak lain dari hasil
perampokan yang dilakukan terhadap seorang
cukong pedagang mobil di Singapore. Dia tahu
bahwa Wibowo masih dalam pelacakan pihak yang
berwajib. Maka lekaki itu jarang sekali tinggal di
mmah, untuk menghindarkan diri dari ancaman
hukum yang akan mengurungnya di dalam sell. Tapi
kenapa Anita takut untuk membuka kedok lelaki
itu? Dia hanya memikirkan tentang keselamatan
orang tuanya. Maka biarlah dirinya menjadi sandera
kenyataan yang tak dikehendaki. Tapi untuk
dijamah tubuhnya oleh lelaki itu, dia lebih baik mati.
Karena itulah Wibowo seringkah menamparnya. Seringkah menyiksanya, seperti waktu Herman
melihatnya di kamar tempo hari. Anita berkeras
menolak untuk melayani Wibowo di atas ranjang.
Dan setiap hal itu akan dilakukan Wibowo, Anita
menolak sehingga terjadilah pertengkaran seru.
Sampai-sampai mbok Ginem merasa kasihan
melihat nasib Anita.
Tanpa terasa air mata Anita menetes
membasahi pipinya. Betapa pahit dan
menderitanya kenyataan itu. Haruskah masa
remajanya yang indah itu diliputi siksaan hati dan 105
perasaan seperti ini terus menerus?. Keluh Anita
dalam hati.
"Kau selalu menggunakan senjata air matamu untuk
meluluhkan hati dan semangatku Anita. Katakanlah
jika aku lelaki yang tak mampu membahagiakan
hidupmu. Aku akan segera berlalu. Biarlah semua
kenangan yang kau berikan keDada-ku abadi
selamanya di hatiku. Biarlah aku berlalu dengan
membawa duka hati karena cinta yang tak
kesampaian. Tapi aku telah manunjukkan. bahwa
cintaku semurni air sorgawi. Bahwa cintaku ingin
membahagiakan dirimu." Tandas Herman emosi.
"Kalau kau hanya menganggap semua yang terjadi
"sekedar iseng, baiklah akan kuterima dengan hati
gembira. Dan aku akan mundur dengan baik-baik "
Lanjut Herman kesal.
"Aku tidak pernah bilang begitu. Aku tidak ah
berkata begitu. Kuharap kau mau bersabar
merunggu saat yang baik Her.
Aku percaya kitr bakal menang- Kita bakal bisa
mewujudkan mahligai intan." Suara Anita di selasela isak tangisnya yang pilu. 106
"Lalu sampai kapan aku harus bersabar Anita?
Sampai tanggal hari perkawinanmu dengan
Wibowo? begitu?. Alangkah kejamnya kau!" Desah
Herman berat.
Kesedihan yang bercampur kemurungan dengan
himpitan perasaan bingung itulah Anita. Yang dulu
dijumpai Herman ketika pertamakah amat
mempesona dan anggun. Sederhana dan bersahaja,
ternyata mempunyai keir elu t yang membelenggu
dirinya. Herman seperti sadar, bahwa dia tidak
seharusnya lebih menyiksa perasaan gadis itu.
Maka dia lantas memeluk gadis itu penuh kasih
sayang. Meneliti wajah Anita yang cantik dalam
kesedihan. Tangan Herman membelai rambut Anita
yang mulai kusut.
"Biarlah aku tetap Herman, seorang pengarang
yang tak kesampaian cintanya. Seorang pengarang
yang tak berdaya untuk mendapatkan seorang gadis
cantik yang gampang sekali menangis. Yang pernah
hadir di alam sorga dunia untuk menikmati
manisnya madu seorang perawan. Sungguh mati
aku tak dapat melupakan semua kenangan yang
pemah kau berikan." Tutur Herman. 107
"Herman, bagiku kau adalah segala-galanya.
Jangan kau tinggalkan aku Her, aku sangat
membutuhkan dirimu. Bersabarlah untuk mencari
kemenangan Percayalah Her, kita pasti berhasil
mendobrak kemelut ini."
"Apa yang bisa kau harapkan atas diriku yang
tak mampu berbuat sesuatu untukmu Anita?"
Tanya Herman lunak.
"ACau mencintai aku bukan IlerV* Balas Anita.
"Kau masih ragu padaku Anita?/1 Gadis itu menatap
dalam-dalam mata Herman. Kemudian wajahnya
semakin mendekat ke wajah Herman. Bibir Anita
yang mengulum
melainkan terbenam dalan hangatnya cinta dan
nafsu.
*** Anita baru saja menghempaskan pintu mobil. Lalu
berjalan masuk ke rumah. Sore itu dia ingin
menenangkan pikirannya agar bisa memecahkan
persoalan yang tengah membelenggu dirinya. Dia
telah berhasil memberi tahu kepada Herman
mengenai diri Wibowo yang sebenarnya. Dan 108
perasaannya sudah agak lega karena beban yang
menindih di dada sudah agak berkurang. Kalau saja
uneg-unegnya sajak dulu belum pernah diutarakan
kepada siapa pun, kini hanya kepada Hermanlah
semuanya itu terungkap secara gamblang. Kendati
di antara mereka belum menemukan jalan untuk
menyelesaikan problem yang dirasakan amat sulit
ini. Baru saja Anita melangkah masuk di ruang tamu,
Wibowo nampak duduk dengan alis mata yang
mengerut menahan gejolak amarah. Tatapan lelaki
itu begitu menghujam perasaan Anita.
"Dari mana kau Anita!." Tegur Wibowo dengan
suara keras.
Anita agak terkejut menerima teguran sekasar itu.
Kakinya gemetar dan sorot matanya pun gelisah
dicekam kecemasan.
"Dari..." iwab Anita terhenti.
Wibowo bangkit dari tempat duduk dengan cepat.
"Jawab dengan jujur! Kau sehabis menemui
Herman bukan?!" 109
Anita tak bisa menjawab, dia menundukkan muka.
Sementara Wibowo meremas-remas telapak
tangannya yang dirasakan gatal.
"Jawab!! " Bentak Wibowo keras. Sekujur tubuh
Anita bertambah gemetar. Bentakan Wibowo bagai
terasa meruntuhkan jantungnya. Telapak tangan
Wibowo segera mendarat di pipi Anita berulangkah,
sehingga gadis itu menjerit menahan sakit.
"Kau lelaki kejam!." Pekik Anita sambil memegangi
kedua pipinya yang pedih dan sakit akibat tamparan
Wibowo.
"Jangan coba-coba melawan aku Anita!"
Bentak Wibowo.
"Aku tidak takut! Aku tidak takut! Sebab
untuk apa aku harus menempuh hidupku sepahit
ini! Kau bunuh pun aku rela !" Kata Anita yang
nekad.
Wibowo menekan rahang hingga suara
gemelutuk giginya terdengar.
Sedangkan mata lelaki itu seperti mata harimau
yang siap menerkam. 110
Namun Anita tidak lagi merasa takut menghadapi
lelaki itu.
"Aku bukan wanita yang mau menerima
penderitaan dan siksaan seperti ini. Dan kurasa
bukan aku saja yang mau menerima kenyataan ini.
Wanita manapun akan lebih rela mati ketimbang
menjadi kambing hitammu. Kau seorang lelaki
kejam yang tidak mempunyai perasaan! Ayo
bunuhlah aku sekarang!!."
Hardik Anita tanpa perasaan takut sedikitpun juga.
Wibowo tak bisa melakukan apa-apa. disaat
menghadapi Anita yang nekad ini. Tapi masih juga
telapak tangan kanannya mengepal-ngepal gatal.
Kalau saja dia tidak melihat wajah Anita yang cantik
itu, mungkin lelaki sad"s ini sudah membunuhnya.
Wibowo sangat terkenal di kalangan orang-orang
kapal sebagai lelaki pembunuh berdarah dingin.
Namun kali ini lelaki yang terkenal berdarah dingin
tidak bisa berbuat sesuatu terhadap gadis secantik
Anita.
"Detik ini aku akan pergi!." Tandas Anita. 111
tidak segan-segan untuk bertindak terhadap dirimu
dan orrng tuamu. Persoalan keluargamu akan
bertambah keruh!." Ancam Wibowo.
"Jangan sangkutkan lagi persoalan keluargaku.
Bukankah semua persoalan itu sudah menjadi
bebanku? Hanya kita berdua yang menjadi peranan
peming dalam hal ini."
"Jadi kau benar-benar akan pergi?" Sedikit lunak
kata-kata Wibowo. Namun kelunakan ucapan lelaki
itu mengandung ancaman.
"Ya."
Langsung saja Wibowo menarik tangan Anita dan
memaksa Anita masuk ke dalam kamar. Gadis itu
meronta-ronta untuk berusaha melepaskan
pegangan telapak tangan Wibowo yang erat. Pergelangan tangan Anita dalam genggaman telapak
tangan Wibowo dirasa sakit.
"Lepaskan aku bajingan! Lepaskan!." Teriak Anita
dalam isak tangis yang pilu. Namun lelaki itu tidak
mau melepaskan genggamannya bahkan
membanting diri Anita ke tempat tidur. Pintu kamar
dikunci rapat-rapat. Mata Wibowo yang kemasukan
iblis itu meneliti sekujur tubuh Anita yang 112
tertelantang di atas pembaringan. Tubuh Anita
semakin bergidik kala matanya menangkap
pancaran mata lelaki yang melangkah mendekati
dirinya.
"Kali ini jangan mencoba berkeras Anita. Kau
telah tahu siapa aku bukan?" Gumam Wibowo
sengit.
"Aku tak perduli siapa kau!." Gertak Anda
Wibowo berdiri di pinisi rtempat lulur saji bil
tersenyum sinis. Tiba-tiba telapak lyi-ganny
mendarat dengan keras ke pipi Anita. Gadis \t,\
langsun- terpelanting jatuh dari tempat tidur. .Ada
uiatu cairan kental berwarna merah mengalir dari
hidungnya. Dan ketika Anita menghusap cairan itu.
oooool...jantungnya berdesir. Darah!, pekiknya
dalam hati.
"Jangan kau siksa aku seperti ini. bunuhlah
sekalian!." Pekik Anita melengking.
Lelaki itu menyambar gaun yang dikenakan Anita
lalu menariknya kuat-kuat. Gaun itupun koyak dan
di bagian dada gadis itu terpampang halus
membangkitkan nafsu Wibowo. Sementara Anira 113
berusaha menu rapi pada bagian dsda dengan
kedua tangannya.
"Iblis kau!." Rutuk Anita histeris. Lelaki itu semakin
membabi buta. "*edua tangan Anita yang detik itu
menutupi dada direntangkan oleh Wibowo. Gadis
itu menjerit namun tak didengar lagi. karena iblis
telah menguasai jiwa Wibowo. Keluh Anita terputus
karena nafasnya sesak. Dia berusaha melawan tapi
selalu saja gagal Kedua lengan gadis itu dibetot ke
belakang, Anita meringis kesakitan. Kepalanya
digeleng-gele.igkan menahan perih dan sakit. Lelaki
itu semakin buas menyerang tubuh Anita dengan
ciuman berulangkali.
Dengan selengah sadar Anita mencari kelejfeahun lelaki itu. Dan disaat tertentu An."ty
berhasil menendang dada lelaki itu. sehingga
Wibowo terlempar ke sudut ranjang, menghantam
tembok.
Bagai seekor banteng yang terluka lelaki itu
bergegas bangkit dan menyerang Anita yang masih
terengah-engah kecapaian. Tubuh Anita yang lemas
ini diterkamnya. Kedua manusia itu bergulingan di
atas tempat tidur. Meskipun tubuh Anita lemas
kehabisan tenaga, masih tetap berusaha agar lelaki 114
itu tidak menodainya. Jari-jarinya yang berkuku
panjang sempal mencabik muka Wibowo.. Lelaki itu
meringis menahan rata pedih. Dalam kesempatan
ini Anita meraih kipas angin yang ada <. i dekatnya.
Lelaki yang sedang kesakitan karena sebelah
matanya berdarah akibat cabikan kuku Anita, tak
lagi diberi ampun oleh Anita. Kipas angin vang
berhasil diraih langsung di hantamkan ke kepala
Wibowo berulangkah sehingga lelaki itu alirnya
jatuh pinsan.
Tanpa membuang waktu lagi, Anita melepaskan
pakaiannya yang telah kocak itu. Dia mengenakan
pakaian lain yang masih baik dan buru-buru kabur
dari rumah. Sambil berlari-lari An.ta membawa
dirinya yang lemas lunglai itu ke jalan raya. Dia tidak
sempat lagi oerccrmin di depan kaca,
bagaimanakah bentuk wajahnya lagi. Sehingga
Anita tak menyadari kalau rambutnya acak-acakan
dan hidungnya masih tersisa darah. Sebuah taxi
yang kebetulan lewat sempat membawanya ke
rumah Herman. Selama di-dah,.-, perjalanan
menuju
Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
fce rumah Herman kecemasan beruntun menye*
!?iki dadanya Dia takut jika lelaki itu mengejarnya 115
Sesampainya di rumah Herman. dia menyelinap
masuk tanpa ada seorangpun yang tahu Betapa
terkejutnya Herman yang kebetulan pada saat itu
duduk di kursi sambil membaca buku. Kehadiran
Anita ti depannya menuntut banyak perasatm belas
kasihan.
"Anita?!" Pekik Herman tertahan, "Apa yang
telah terjadi Anita?" Lanjut Herman gugup.
"Jangan bertanya lebih banyak Her. Maukah
kau menolongku?" Sahut Anita dengan suara serak
dan hampir kehabisan nafas.
"Apa yang bisa kutolong Anita?" Tanya
Herman segera ingin tahu. Hati dan perasaan
pemuda itu sudah tak karuan.
"Bawalah aku pergi ke mana saja. Bawalah
sekarang juga." Desak Anita terbata-bata. Herman
tercenung beberapa saat.
"Baiklah. Kau akan kubawa ke rumah orang
tuaku di Yogya." Kata Herman kemudian.
"Ayo sekarang kita berangkat Herman. Kalau
kita terlambat sedikit saja, Wibowo akan menyusul
ke mari." 116
Herman bergegas masuk ke dalam kamarnya dan
mengambil bekal ongkos di perjalanan. Tanpa
memberi tahu ibu kost lagi mereka berdua
berangkat. Ta xi yang sejak tadi masih menunggu di
de|nm
HA rumah, sedikit membantu kesulitan mereka untuk
lebih cepat sampai di terminal CiiiKfcin.
Mereka lantas mencari bis jurusan Yogya Alangkah
sialnya. Bis yang mereka cari ternyata belum
nampak. Hati Anita bertambah gelisah. Wajahnya
semakin pucat dan matanya berkeliaran ke sanakemari, barangkali bajingan itu tiba-tiba nongol di
terminal itu.
Di tempat yang agak tersembunyi mereka berdua
duduk di sebuah bangku panjang. Herman menatap
wajah Anita yang pucat dan masih nampak
membiru bekas tamparan Wibowo di kedua
pipinya. Dihusapnya darah di bawah hidung bangir
gadis itu oleh Herman. Husapan lembut yang penuh
dengan kasih sayang. Sebagian rambutnya yang
kusut dirapihkan pemuda itu. Tapi agaknya dia
belum merasa puas. Sebuah sisir diambilnya dari
kantong dan diberikan kepada Anita. 117
"Sisirlah rambutmu dulu A.iita." Kata Herman
lembut.
Gadis itu menurut perintah Herman. Meskipun
tanpa menggunakan kaca gadis itu dapat menyisir
rambutnya dengan baik. Tapi nampaknya dengan
rambut yang terurai, Anita merasa kurang bebas.
Herman tahu apa yang dimaksudkan oleh Anita
walau tanpa berkata. Maka lelaki itu mencari-cari di
tanah barangkali ada sebuah gelang karet yang
terbuang. Namun harapan lelaki itu sia-sia.
Akhirnya Herman meminta kepada penjual majalah.
- . "Ikatlah rambutmu dengan karet ini Anita."
Gadis itu mencoba untuk tersenyum kala mnenma gelang karet itu. Lantas Anita mengikat
rambutnya. Herman menatap Anita penuh bel ikasihan.
"Alangkah malangnya nasibmu Anita." Gi -mam
Herman lirih.
Anita tetap mencoba untuk tersenyum meskipun
hatinya bagai diiris-iris dengan sembilu. Herman
melihat bibir Anita kering dan pecah-pecah.
Padahal bibir itu biasanya selalu mengulum basah 118
dan merah jambu. Tetapi kali ini kelihatan pucat
Herman bangkit dari tempat duduknya. Dia
bermaksud ingin mengambil minum Anita di eate
yang letaknya tidak terlampau jauh. Akan tetapi
Herman begitu terkejut keti"fa melihat seorang
lelaki. Dan lelaki itu sempat melihatnya pula.
Wibowo! kata hati Herman. Bergegas Herman
menghampiri Anita yang masih duduk di bangku
pan jang itu. Melihat kemunculan Herman yang
gugup, dan ketakutan. Anita tambah bingung.
"Kita lari Anita !" Pekik Herman tertahan.
"Ada apa Herman?"
"Wibowo telah menyusul kita."
Anita bertambah bingung. Herman langsum
menarik tangan Anita untuk meninggalkan-tempa"
itu. Wibowo yang sempat melihat Anita dan
Herman menyusup di antara sekian banyak orang,
buru-buru mengejarnya.
Kejar mengerjar tenis berlangsung di terminal
hfei itu. Didamping Wihnwo mencintai Anita, d u tafciM
pula Keadaan dirinya dapat diketahui pihak polisi 119
hanya karena informasi dari gadis itu. Memang
sebalanya hanya Anitalah yang tahu, siapa
sebenarnya di balik nama gemilang dir.ktur
Wibowo. Lelaki itu adalah bajingan ulung.
Pembunuh berdarah dingin.
Maka Wibowo tidak membiarkan mereka berdua
lolos dari incarannya. Saking tidak kuasa mengandali emosi, lelaki itu mengeluarkan pistol dari
dalam kantongnya. Pertama yang selalu diincar
adab"i Anita. Ketika Herman melihat Wibowo sudah
mengeluarkan pistol, kecemasan dan ketakutan
memenuhi dada kedua remaja itu. Letusan suara
pistol mengagetkan orang-orang di terminal itu.
Termasuk petugas keamanan. Untungnya sasaran
pelun. itu tidak mengenai tubuh Anita. Tetapi
mengenai tubuh orang lain yang berada di
belakang. Tanpa ampun lagi tubuh orang yang kena
peluru nyasar itu rubuh, ke bumi. Tembakan demi
tembakan terus dilancarkan kearah Anita dan
Herman. Rupanya Tuhan masih melindungi kedua
umatnya itu. sehingga terhindar dari sasaran
peluru. Semua orang yang ada di terminal mencari
perlindungan guiv menghindari peluru nyasar.
Sebab Wibowc sudah kelihatan membabi buta. 120
Petugas keamanan segera memberikan peringatan
kepada Wibowo dengan menembakkan pistolnya
ke atas. Namun justru Wibowo menyerang IVtunas
itu dengan tembakan ke arahnya. Petugas
keamanan lainnya tersentak kaget diwaktu teman
nya jatuh tersungkur ke tanah. Semua petugas
keamanan mencabut pistolnya guna menghadapi
Benteng Digital 5 Bayangan Darah Karya Pho Pendekar Baja 5