Ceritasilat Novel Online

Setulus Merpati Seindah 2

Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S Bagian 2


pembunuh berdarah dingin ini. Tembak menembak
berlangsung terus. Tapi bagi Wibowo yang lebih
diutamakan harus bisa membunuh Anita. Lelaki itu
bersembunyi di belakang tembok sementara
matanya selalu tak lepas memandangi tong sampah
yang digunakan oleh Herman dan Anita untuk
berlindung. Sedikit demi sedikit Wibowo
merangkak agar dapat melihat Anita. Begitu sudah
nampak Anita di matanya, segera membidikkan
pucuk pistolnya kearah tubuh gadis itu. Untung
Herman sempat melihat saat Wibowo membidik
Anita. Dalam waktu yang sangat kritis, Herman
mendorong tubuh Anita hingga gadis itu jatuh ke
tanah. Peluru yang seharusnya bersarang di tubuh
Anita hanya menerobos udara hampa.
Tiba-tiba dari arah belakang Wibowo terdengar
letusan pistol. Lelaki itu baru sadar kemudian
bahwa dirinya sudah tertembak oleh polisi yang tak 121
diketahui dari mana arah datangnya. Sambil
mendekap dadanya yang sudah tertembus peluru,
lelaki itu berjalan sempoyongan membidikkan
pistolnya kearah tubuh Anita yang jafuh di tanah.
Suara tembakan terdengar berturut-turut dari arah
yang berlainan. Tubuh Wibowo telai, menjadi
mangsa sekian banyak peluru yang dimuntahkan
petugas-petugas keamanan itu. Sambil
sempoyongan jatuh ke tanah, masih sempat pula
dia menekan
,-----~? ?viuiu UUI1
itu dan mengenai lengan Anita. Herman tak berhasil
untuk menolong gadis itu. Anita tak sadarkan diri
setelah peluru itu bersarang di lengannya. Tapi
Wibowo sudah tidak bernafas lagi, terkapar di tanah
dengan darah yang membanjir di sekitar tubuhnya.
Baru setelah tubuh Wibowo tidak berkutik lagi,
orang-orang yang sedari tadi berlindung berani
mendekati bajingan itu.
Tak berapa lama kemudian sebuah ambulance
datang. Tubuh Anita segera diangkut ke rumah sa-it. Dan mobil jenasah mengangkut tubuh Wibowo,
serta, satu petugas keamanan yang telah tewas
tertembak, satu lagi korban peluni nyasar. Kembali 122
kesibukan terminal itu berlangsung seperti
sediakala. Herman mendampingi tubuh Anita
yangping-san di atas mobil ambulance.Dia
menangis meratapi malangnya nasib Anita. Gadis
cantik telah menjadi korban pennainan nasib
pengusaha yang mempunyai sifat murka. Bagi
Herman sekarang, harapannya tak lain mudahmudahan Anita masih bisa tertolong. Setelah
berakhir semua badai ini, Herman akan mencintai
Anita sepenuh hatinya. Akan menyayangi gadis itu
sepenuh jiwa raganya. Semoga Tuhan akan
menolongnya. Demikian doa Herman penuh khusuk
di dalam mobil yang sedang menuju ke rumah sakit.
*** Apa yang dirasakan Anita seperti ingin bangun tapi
tak bisa. Ingin bergerak tapi otot pada jaringan
tubuhnya tidak lagi memiliki kekuatan. Kelopak
matanya terasa begitu berat sekali untuk membuka.
Pada hal dia sudah mendengar isak tangis seorang
wanita. Telinganya sudah dapat menangkap
langkah sepatu suster-suster yang hilir mudik di luar
kamar. Anita mulai menggerakkan sekujur
badannya dan rasa linu di bagian lengannya
menyentakkan urat nadi di bagian mata, sehingga
matanya dapat membuka perlahan-lahan tanpa 123
disadari. Dia mulai melihat remang-remang
bayangan orang. Dan dia mendengar pula namanya
dipanggil lirih. Lama kelamaan Anita dapat melihat
dengan jelas orang-orang yang ada di sekitarnya,
juga dua orang polisi yangberpakaiandinas. Dia
melihat Herman duduk di kursi yang dekat sekali
dengan kepalanya. Lantas ibunya menatap penuh
kesedihan, dan menangis tersedu-sedu. Anita ingin
menggerakkan tangannya, tapi rasa linu dan sakit
menyerangnya. Dia mencoba melihat letak rasa
sakit dan linu di lengan r ?/a, kenapa sakit sekali?
Anita mencoba sekali la.-; untuk mengingat apa
yang telah terjadi. Ooooh, lenganku yang sakit dan
dibalut perban ini telah tertembak. Bajingan itu
telah menembakkan.
Setelah Anita mengetahui apa yang telah terjadi,
barulah menatap wajah Herman dalam-dalam, Bibir
Herman bergetar, sedangkan matanya merah.
"Syukur kalau kau telah siuman Anita." Kata
Herman lirih.
"Herman... kau tidak apa-apa bukan?" Tanya
Anita.
Herman menggangguk sambil mrmbelai
rambut Anita dengan penuh kasih sayang. Di kedua 124
mata Herman mengambang butiran air bening yang
berkilau-kilauar. Begitu pun kedua mata Anita yang
mengalir air bening, pelan-pelan jatuh ke hidung.
Anita ingin mengucap sesuatu tapi hanya bibirnya
saja yang bergerak namun tak m mgeluar-kan
sepatali-katapun. Herman mengangguk-anggukkan
kepala, walaupun dia sendiri tak tahu apa yang
dimaksud Anita. Dia hanya ingin gadis itu xiierasa
terhibur. Dia hanya mengharapkan gadis itu
gembira dan bukan bersedih.
"Ibu..." Ibu panggilnya lirih.
Lelaki setengah baya itu mendekat dan memegangi
tangan Anita.
"Maafkanlah ibumu nak." Suara perempuan
setengah baya itu bergetar. Tekanan nada suaranya
demikian menyedihkan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan ibu. Semua
sudah berlalu." Kata Anita dengan nafas sesak.
Ucapannya yang terpotong-potong karena kondisi
badannya yanglemah.
"Tapi ibu telah membuatmu menderita nak."
Lanjut Anita menatap wajah ibunya yang 125
berlinangan air mata. Wajah tua yang semakin
keriput itu nampak demikian sedih dan menyesal.
"Ibu" Panggil Anha kemudian.
Perempuan yang duduk di pinggiran tempat tidur,
memeluk Anita sambil menangis tttsUffi sedu.
"Sungguh malang nasibmu nak," rintih
perempuan itu.
"Tuhan akan segera mengakhiri siksaan diriku
ibu." Sahut Anita.
Suasana didalam kamar itu penuh dengan
isak tangis. Disamping perasaan bahagia terselip di
setiap hati mereka atas terlepasnya belenggu
siksaan Anita, rasa syukur yang terucap sekalipun
pelan kepada yang Maha Kuasa.
Setelah keadaan berubah tenang dan
diwajah-wajah mereka telah tampak senyum cerah,
Herman mencium kening Anita lembut sekali.
"Lekaslah sembuh Anita. Supaya kita dapat
saling memadu kasih yang tiada rintangan lagi."
Tutur Herman lunak
Anita tersenyum manis sekali. Meskipun wajahnya
masih pucat tidak mengurangi kecantikannya. 126
Justru lebih menarik. Herman memegang tangan
Anita lantas diciumnya penuh kasih sayang.
"Tengoklah keluar melalui jendela Anita. Di atas
pohon flamboya , ,"tu burung-burung bernyanyi
gembira. Seakan-akan turut merasakan perasaan
apa yang tengah kita alami sekarang. Lihatlah
bunganya yang tumbuh subur di rantingrantingnya, alangkah indahnya Anita. Apakah kau
dapat merasakannya juga?"
Anita menoleh kearah jendela dan melayangkan pancUugim ke pohon flamboyan yang berbunga
molek. Bibir Anita tersenyum gembira, dan
matanya berseri-seri ketika menatap bunga-bunga
"amboyan itu. Dua orang polisi dan ibu Anita berlian
keluar meninggalkan kamar itu. Rupanya mereka
merasa tahu diri. jika berada di situ akan dapat
mengganggu keasyikan sepasang remaja itu.
Maklum kedua remaja yang saling mencinta baru
saja lepas dari maut. Jadi kebersamaannya lagi
membangkitkan gelora cinta yang hampir-hampir
lupa diri.
"Alangkah indahnya hari ini Herman." Kata Anita
dengan wajah berseri-seri. Herman mencium 127
kening gadis itu dan Anita memejamkan matanya
meresapi kelembutan lelaki yang sedang
menciumnya. "Sejak dahuluhatiku bimbang dan
ragu Anita". Gumam Herman.
"Apa yang kau ragukan Her?" Suara Anita bermanja.
"Tentang hati dan perasaanmu."
"Kenapa Her?"
"Sejak aku merasakan bermesraan, sejak aku
mengenal kebahagiaan, selama itu pula diriku
dalam keresahan Anita. Sebenarnya keresahanku
berasal dari kata pasti yang tidak bisa teruraikan
dalam bentuk apa pun Anita.
"Aku tidak mengerti yang kau maksudkan Her."
"Kata cintamu Nita. Kalimat itulah yang senantiasa
kutunggu. Sebab aku tahu bahwa gelora cinta
begitu membara di pipimu. Aku melihat dengan
jelas dikala kau tersipu. Aku merasakan diwaktu
mencium pipimu, merah merona oleh gelora
cintamu yang tak mampu kau sembunyikan.
Katakanlah jika kau mencintai aku Anita. Karena
hati dan perasaanku tidak akan bimbang, ragu serta
tidak lagi berhayal bahwa alangkah mudahnya
meraih bintang." 128
Anita tersipu. Kedua pipi gadis itu merah merona.
Bibirnya tersenyum tapi dikulum. Aaah! kenapa aku
jadi malu untuk mengatakan keadaanku yang
sebenarnya? Bukankah aku mencintai Herman?
Cintaku semurni air sorgawi. Tapi rasa malu itu bagi
Anita karena memang belum pernah menyatakan
cintanya kepada lelaki manapun. Sebab memang
baru untuk pertama kali ini Anita jatuh Cinta. Dan
untuk pertamakah ini pula Anita merasakan kasih
sayang dari seorang lelaki yang benar-benar
mencintainya. Maka tak heran apabila kata cinta
begitu sulit keluar dari mulutnya.
"Anita, katakanlah sayang... katakanlah."
Desak Herman lunak.
Gadis itu masih tersipu malu namun
memegang erat telapak tangan Herman. Rasa
hangat dari cinta menyusup melalui darah gadis itu
saat menggenggam telapak tangan pemuda itu.
"Kalau masih jua kau tak mau mengatakan,
aku akan pulang sekarang." Ancam Herman
berpura-pura.
"Jangan..." Desah Anita tertahan. 129
Matanya yang bening menatap wajah Herman
dalam-dalam.
"Habis kamu enggak membalas cintaku sih?,"
gerutu Herman.
"Aku mencintaimu Herman." Kata Anita lirih.
"Benarkah itu Anita?"
"Ya Herman. Aku mencintaimu."
"Oooooh begitu bahagia hatiku. Cintamu
tidak lagi tergadai." kata Herman dengan gembira.
Anita jadi tersenyum geli.
"Kamu kok seperti anak kecil sih?," cela Anita
lembut.
"Perasaan bahagia bisa membuat perobahan sikap
seseorang begitu singkat. Kalau aku kau katakan
seperti anak kecil, boleh dong cium bibirmu." Gurau
Herman sembrono.
"Husli jangan!, nanti dilihat orang." Sergah Anita.
"Anak kecil kan tidak punya malu," sahut Herman.
"Hih kamu ngaco ya?" Gerutu Anita manja. "Boleh
cium kan?"
"Enggak mau," sergah Anita sambil tersipu. 130
"Sebentar saja mumpung tidak ada orang." Desak
Herman.
"Ah, aaah!" Elak Anita ketika bibir Herman sudah
menempel di pipi Anita. Anehnya elakan itu hanya
berpura-pura. Terbukti bibir Anita terkuak, >inp
menerima serangan bibir Herman yang akan
melumatnya. Meskipun sekejap kecupan itu cukup
memberi gairah kehangatan bagi sekujur tubuhnya
yang semula lemah lunglai.
"Sudah ah, nanti dilihat orang."
"Aku benar-benar mencintaimu Anita."
"Masih banyak rintangan buat kita Herman
Mampukah kau menundukkannya? Jika kau
berhasil menaklukkan., kenyataanku, barulah kau
dapat memiliki diriku sepenuhnya." Tutur Anita
lembut dan penuh harap. Mata mereka saling
berta-tatapan lama sekali. Hati mereka telah
terpaut menjadisatu. Namun tidaklah sampai di situ
saja hambatan yang merintangi jalinan cinta
mereka. Tangan Herman meraih jari-jari Anita dan
menggenggamnya erat.
"Cintaku yang suci menuntut banyak
pengorbanan Anita. Sekalipun tegarnya batu cadas, 131
aku akan tetap berusaha untuk meruntuhkannya.
Meskipun harus kuarungi lautan demi cintaku


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadamu, aku tak akan gentar sedikitpun Anita."
"Harapanku semoga kita dapat selamanya
berdua Herman."
"Yah. Milikilah keyakinan itu sayang. Setelah
kita dapat lolos dari belenggu bandot tua, kita pun
harus dapat menaklukkan kenyataan."
Anita tersenyum pasrah kepada Herman. Se-pasrah
hatinya buat menerima cinta Herman yang
menggebu-gebu. Sebaliknya gelora cinta di dada
Anita mengharapkan semua rintangan itu segera
sirna# * * 132
EPISODE KEDUA
SEJUTA HARAPAN TERTANAM 133
? EMPAT ?
Bunga mawar di taman sudah sepekan mulai
menampakkan kuncupnya. Begitupun pohon
flamboyan di halaman samping rumah bunganya
semakin banyak tumbuh di ranting-rantingya.
Sebelumnya apa yang dirasakan oleh Anita tidaklah
seperti sekarang ini. Keindahan begitu terasa
menyusup kedalam kalbunya. Sebab dia telah
merasa terlepas dari belenggu siksaan yang amat
kejam. Baginya sekarang kebebasan itu bukan
berarti kebahagiaan.
Pagi itu Anita baru saja membersihkan
tempat tidurnya. Kemudian merapihkannya. Sinar
matahari pagi menyusup masuk melalui jendela
kamarnya yang terbuka. Bahkan Anita selesai
merapikan tempat tidurnya, berdiri di jendela
sambil menatap sang matahari. Kehangatan
sinarnya menyentuh kulit wajah Anu a yang cantik
dan mulus itu Seulas senyumnya yang manis terukir
menantang sinar matahari. Seolah-olah dia
bercumbu kehangatan seperti ketika Hermai.
membelainya sayang. 134
Benarkah pagi ini bagiku merupakan pagi
yang mulai membuka lembaran baru dalam
hidupku? Benarkah semua penderitaan itu tak akan
datang kembali seperti waktu yang lalu? Kekalkah
jalinan cintaku yang selama ini menggelora dalam
batinku? Ooooh Herman, seandainya kau dapat
memiliki diriku, betapa berartinya sepanjang sisa
hidupku, tetapi mungkinkah kau dapat menunduk
kan dan menyadarkan ayahku yang sekarang
menderita gangguan jiwa. Dia teramat benci jika
melihatku menjalin hubungan dengan lelaki
manapun. Penyebabnya tak lain adalah tekanan
jiwa yang selama ini melihat dan mendengar diriku
selalu disiksa oleh Wibowo. Disamping hancurnya
perusahaan yang dirintis sejak aku masih kanakkanak. Dia jadi beranggapan semua lelaki yang
mencintaiku mempunyai maksud buruk.
Rintihan hati sedikit banyak membangkitkan
keresahan yang mulai muncul lagi dalam dirinya.
Dia merasa takut kehilangan Herman. Jika lelaki itu
mudah putus asa, sudah pasti akan meninggalkan
dirinya. Sambil memandang bunga flamboyan yang
rnsrah menghiasai ranting-ranting, helaan nafas
panjang sayup-sayup terdengar melalui hidungnya..
Langkah-langkah lunak memasuki kamar itu. Dan 135
seorang perempuan setengah baya sudah berdiri di
dekatnya. Perempuan itu tak lain adalah ibunya.
"Apa yang kau lamunkan Nita?" tegur ibunya
lunak.
Anita sedikit tersentak karena tidak melihat
kedatangan ibunya. Maka dia menoleh ke belakang
sambil menyembunyikan keresahannya.
"Nita tidak memikirkan apa-apa bu."
Sahutnya datar.
Perempuan itu mencoba tersenyum meski
hatinya gundah gulana. Sebetulnya yang tersimpan
di dalam hati dan perasaan perempuan itu sangat
menyedihkan. Namun sifatnya yang senantiasa
menunjukkan kesabaran dan ketabahan menunjang
penderitaan tanpa ada orang lain yang tahu.
"Bagaimana kabar ayah di rumah bu?"
"Masih seperti biasa."
"Tidak ada perubahan?"
Perempuan itu menganggukkan kepala.
Sedang Anita menghela nafas panjang. 136
"Aku senantiasa bingung bila memikirkan
keadaan ayah. Bagaimana pun juga aku tak campai
hati untuk memasukkan ayah ke rumah sakit gila.
Dia amat sengsara bila harus bertinggal di sana.
Seperti halnya kita yang melihat keadaan yang
terkurung merasa lebih tertekan perasaan." Tutur
Anita dalam keluhan.
"Sebaiknya kita berkumpul bersama lagi
Nita"
"Maksud ibu serumah lagi?,"
"Yah"
"Itulah kemungkinan yang sedang saya
pikirkan ibu. Tapi saya rasa ayah tidak mau tinggal
di rumah ini."
"Pendapatmu tak bisa disangkal lagi anakku."
Anita tercenung beberapa saat. Dan
perempuan setengah tua itu berbuat yang sama.
Masa lalu telah meninggalkan kenangan buruk yang
menyerupakan bayangan menakutkan bagi
keluarga Anita. Rumah mewah dan mobil
peninggalan Wibowo sedikit banyak melukiskan
kepribadian yang sudah tcrnOL. x hitam. Anita
memegangi kepalanya yang tiba-tiba dirasakan 137
berat. Sebab dia masih ingat sebelum pulang dari
rumah sakit pihak kepolisian sempat mengusut
semua perkara yang tersembunyi di balik
kenyataan.
"Perasaan Nita mengatakan jika kita tinggal di
rumah ini tidak akan lama lagi bu." Gumam Anita
lesu.
"Kenapa demikian nak?"
"Tak lama lagi pihak kepolisian akan
mengusut semua perkara mas Wibowo. Dan pasti
aku akan tersangkut pula. Rumah inipun pasti akan
disita oleh negara."
"Oooooh..." Keluh panjang perempuan itu.
"Mudah-mudahan saja hal itu tidak akan
terjadi bu." Kata Anita menghibur keresahan hati
ibunya.
"Lantas apa usahamu selanjutnya Nita?"
"Hanya mengharap kemurahan Tuhan atas
belas kasihNYA. Kita pasrah kepadaNYA."
Bersamaan dengan selesainya ucapan Anita.
terdengar suara beli rumah berdering. Ada
perasaan cemas yang bercampur dengan bahagia 138
bercokol di dalam dada Anita. Siapa gerangan yang
datang? Demikian pertanyaan ketika Anita berjalan
menuju kepintu. Tentu saja bila Herman yang
datang hatinya bermadu. Tetapi kalau selain dia,
ah... apa yang akan terjadi? Maka Anita sambil
berjalan diiringi pertanyaan yang membingungkan.
Dia sadar sepenuhnya jika penderitaannya belum
berakhir sampai di situ.
Sebelum Anita membuka pintu dia mencoba
untuk melongok melalui jendela kaca siapa
gerangan yang datang. Ah. detak jantungnya
mendadak berubah cepat sekali. Wajahnya dalam
sekejap sudah berubah pucat dan sekujur tubuhnya
gemetar ketakutan. Yang datang ternyata bukanlah
Herman melainkan dua orang polisi berpakaian
dinas.
Anita dengan tangan gemetar membuka
pintu rumah. Dua orang polisi itu menganggukkan
kepala.
"Selamat pagi nyonya." Ucap salah seorang
polisi itu.
"Se...selamat pagi." Sahut Anita bergetar
Salah seorang polisi itu menyerahkan sepucuk surat
kepada Anita. 139
"Dalam waktu seminggu lagi nyonya diharus
kan menghadap ke sidang pengadilan." Kata polisi
itu. "Ba...baik pak " Tergagap jawaban Anita.
"Permisi nyonya."
"Ya...ya."
Anita langsung menutup pintu rumahnya
ketika kedua polisi itu belum jauh meninggalkan
teras rumahnya. Cepat-cepat di sobeknya surat
panggilan itu dan dibacanya. Oooooh Tuhan,
seminggu lagi aku harus menghadap ke meja
sidang. Dan untuk selama ini diriku masih dalam
pengawasan yang berwajib. Lalu apa yang harus aku
lakukan di depan hakim? Apa pula yang harus
kujawab setiap pertanyaannya? Sudah jelas ayah
akan tersangkut dalam perkara ini. Tuhan tolonglah
kami. Rintih Anita dengan setitik air mata yang jatuh
ke pipinya.
Ibu Anita terhenyak ketika melihat anaknya
menangis sambil memegang sepucuk surat.
Perempuan itu lantas berjalan mendekati anaknya.
"Apa yang telah terjadi Nita?" Tanya
perempuan itu sendu. 140
"Dua orang polisi telah datang kemari dan
memberikan surat panggilan. Minggu depan aku
harus menjalani sidang perkara mas Wibowo ibu."
Kata Anita dengan berlinangan air mata.
Perempuan itu langsung memeluk anaknya
dan turut menangis.
"Oooh anakku...apa gerangan yang akan
menimpa dirimu nak. Betapa malangnya nasibmu."
Ucap perempuan itu tersedu-sedu.
Anita membenamkan kepalanya di dalam
pelukan ibunya. Hanya dialah tempat buat
mengadu semua penderitaannya. Dan perempuan
itulah yang senantiasa mau mengerti perasaannya.
"Ibu kalau toh nasib dan penderitaan isi
hanya Nita yang mengelami bukan soal lagi. Tetapi
akan menyangkut juga diri ayah. Sedangkan
keadaan ayah sangat perlu dikasihani."
"Lalu apa yang akan kau lakukan Nita?"
"Hanya satu harapanku ibu. Semoga Herman
bisa menolong kita/"
"Yah... melihat sinar matanya dia sangat
mencintaimu Nita." 141
"Aku percaya bahwa Herman bukanlah lelaki
pengecut ibu."
"Aku akan selalu berdoa agar kau selamat anakku."
Kedua insan yang dirundung malang ini saling
berpelukan erat-erat. Tangan perempuan itu
membelai rambut anaknya dengan penuh kasih
sayang. Kenapa semua penderitaan ini harus menimpadirimu sayang? Seharusnya hal ini tak boleh
terjadi atas dirimu. Rintih perempuan itu sambil
membimbing anaknya yang menangis tersedu-sedu
ke kamar.
*** Sejak Anita menerima surat panggilan dari
kejaksaan, wajahnya jarang terukir senyum
manisnya. Dia lebih sering bertopang dagu dan
termenung seorang diri. Tempat untuk meminta
perlindungan dan pertolongan tak lain adalah
Herman. Maka di senja itu Anita mendatangi rumah
Herman. Selama Anita memegang kemudi mobil
hampir kurang konsentrasi. Dan nyaris dia
menubruk penjual sate. Hanya yang dapat didengar
caci maki si penjual sate itu. Dan di tikungan jalan
yang hampir-hampir di rumah Herman, Anita nyaris
menubruk arak kecil ketika akan menyeberang. 142
Ooooooh kenapa bisa begini? Keluh Anita dengan
detak jantung memburu. Dengan diliputi pula
perasaan cemas. Perasaan ketakutan. Setelah
mobilnya berhan-ti di depan rumah Herman, dia
mencoba untuk melapangkan dadanya yang sesak.
Mencoba antuk memulihkan alam pikirannya
supaya jernih. Sebab tanpa pemikiran yang jernih,
tiada mungkin dia dapat menjelaskan duduk
perkaranya kepada Herman. Untuk beberapa saat
Anita masih duduk terpekur di belakang stir.
Herman ketika melihat mobil Anita berhenti
di depan rumah bergegas menghampirinya. Lelaki
itu merasa heran melihat sikap Anita yang aneh.
Apa yang dilakukan gadis itu? Duduk termenung
dibelakang stir dengan raut muka yang pucat.
Herman menegur Anita sambil bergurau.
"Hai Anita, kenapa tidak langsung turun?
Apakah pantatmu pegal?"
Anita tersentak dan memaksa untuk
tersenyum.
"Oh ya, aku hampir lupa." Anita lalu beranjak
turun dari dalam mobil dan menghempaskan
pintunya. Mereka berdua lantas berjalan bersisian
menuju ke paviliun. 143
Herman mengajak Anita duduk di teras
paviliun. Udara senja yang berhembus dan
membawa aroma segar bunga taman di depannya
cukup menambah romantis suasana.
"Kau nampak murung dan sedih Anita. Kenapa?"
"Terlalu berat bagiku untuk menghadapinya
Herman."


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh aku tahu?"
Anita tertunduk beberapa saat. Kesedihan
tertera jelas melalui kerut keningnya. Dan di mata
gadis itu mengambang butiran air bening yang berkilau-kilauan.
"Kenapa kau diam saja Nita?"
"Maukah kau menolong diriku Herman?"
"Bagaimana aku bisa menolongmu apabila
belum tahu duduk masalahnya. Katakanlah terus
terang Nita. Bukankah di antara kita tidak ada kabut
misteri lagi?"
Anita menganggukkan kepala mantap.
Matanya yang berkaca-kaca menatap wajah
Herman dalam-dalam. 144
"Kau menangis Anita? Katakanlah apa yang
telah menyiksa perasaanmu. Masih ragukah kau
dengan cintaku?"
"Herman... kemelut telah datang lagi.
Sanggupkah kau melepaskan diriku dari kemelut
itu?" Desah Anita menyayat.
"Kau harus mengatakan terlebih dahulu
persoalannya Nita. Percayalah kepadaku, tanpa
dirimu hidupku tak akan berarti lagi."
"Herman... minggu depan aku harus
menghadap sidang pengadilan untuk menyelesai
kan perkara mas Wibowo. Lantas apa yang bisa
kuperbuat Herman? Sedangkan ayahku pasti akan
tersangkut pula dalam perkara ini."
"Tenangkanlah hatimu Anita. Kau harus
percaya dengan keadilan Tuhan. Siapa yang
bersalah pasti akan mendapat imbalan yang pantas.
Bila kau tidak pernah melakukan kesalahan, Tuhan
pun tidak akan menghukummu."
"Tetapi ayahku..."
"Nita, sudah kukatakan kepadamu bukan?
Terimalah kenyataan yang terjadi apabila ayahmu
turut menanggung perkaranya." 145
"Tapi aku tak tega Her."
"Yah apa boleh buat. Semoga saja ada jalan
lain yang bisa menyelesaikan ayahmu. Aku akan
membantumu dengan sepenuhnya Nita.
Percayalah, bila kau tak berbuat salah pasti usahaku
tidak akan sia-sia. Dan kau tak perlu takut-takut
untuk mengutarakan apa yang telah terjadi. Hakim
akan bisa membandingkan perkara. Semoga saja
Tuhan memberikan kemurahan atas dirimu."
Herman berkata sembari membelai rambut Anita
dengan penuh kasih sayang- Dia sangat terharu
melihat permainan nasib Anita yang selalu
terbelenggu oleh siksaan batin.
*** Bus yang ditumpangi Anita dari Jakarta menuju
Bandung, mogok berulangkah karena mesin bus itu
sudah terlalu tua. Tiap kali bus berhenti untuk
diperbaiki, rasa pening di kepala Anita berdenyutdenyut. Dia ingin lekas sampai di terminal Bandung.
Karena dari terminal bus masih harus naik colt
omprengan untuk mencapai kampungnya. Bagi
Anita apapun yang bakal terjadi harus dihadapi
dengan perasaan tabah. Hampir sepanjang
perjalanan menuju ke kampung, ucapan Herman 146
senantiasa berdengung di telinganya. Kau harus
tabah. Harus tabah Anita. Rasa sebal dan ingin
muntah menumpuk di kerongkongannya. Betapa
melelahkan dan menjengkelkan selama di
perjalanan. Kalau saja Herman berada di
sampingnya mungkin saja perjalanan ini berubah
mengasyikkan.
Akhirnya dengan kejenuhan yang melelahkan
sampailah ke tempat tujuan. Anita bergegas turun
dari colt omprengan sambil menjinjing koper kecil.
Lama Anita termangu setelah colt10 omprengan itu
menjauh. Dengan sebuah andong Anita kemudian
menempuh perjalanan ke rumahnya. Sawah yang
membentang di kiri kanan jalan nampak kuning
keemasan. Gunung yang menjulang tinggi berwarna
hijau kebiruan b igaiman monumen alam. Jalanjalan kampung yang sepi membuat perasaan jadi
tak enak. Lebih dirasakan sepi lagi oleh Anita,
selama di perjalananan kusir andong itu kebetulan
sangat pendiam. Atau mungkin merasa takut
mengajak omong-omong lantaran gadis yang naik
andong itu kelewat cantik.
10 Merk mobil angkutan umum buatan Amerika 147
Setelah andong memasuki kampung dimana
Anita lahir dan dibesarkan, satu dua orang
mengangguk pertanda mereka mengenalnya. Rasa
sepi yang sejak tadi dirasakan oleh Anita agak
sedikit terhibur. Namun tidaklah cukup untuk
diresapi. Semakin dekat ke rumah, semakin banyak
mata yang memperhatikan Anita. Dan lebih banyak
mulut yang saling berbisik membicarakan Anita.
Seorang perempuan setengah tua meludah didekat
andong yang melewatinya. Anita memejamkan
mata. Dia berusaha menahan goncangan perasaan
yang menggempur dadanya. Begitupun setelah
Anita mengetuk pintu rumah, kakinya gemetar.
Satu dua kali pintu rumah itu terus diketuknya.
Banyak pula tetangga kiri kanan rumahnya
memperhatikan sambil berbisik-bisik. Entah apa
pula yang mereka perbincangkan. Yang jelas mimik
merekasangat Sinis. Anita ingin cepat-cepat masuk
kedalam rumah. Untunglah pintu rumah itu segera
terbuka dan di hadapan Anita berdiri seorang gadis
berambut di-kelabang kuda.
"Lisa!." panggil Anita dengan mata berseriseri penuh kerinduan. Sesaat gadis itu memandang
Anita, kemudian mereka buru-buru saling
berpelukan erat. 148
"Kak Nita... " Gumam Lisa penuh keharuan.
"Kau baik-baik saja bukan?" Tanya Anita lirih.
"Yah seperti apa yang kakak lihat. Ayo masuk kak."
Anita menuruti ajakan adiknya. Tetapi langkahnya
mendadak terhenti dan sekujur badannya dirasa
dingin ketika melihat seorang lelaki setengah tua
yang wajahnya sudah nampak keriput. Lelaki itu
baru saja keluar dari ruang tengah dengan langkahlangkah mantap. Seolah-olah Anita menghadapi
monster yang menakutkan. Sekilas dia teringat
kepada Wibowo. Mata Anita terbelalak. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya. Nafas dan
denyut jantungnya bagai terenggut, putus rasanya.
Dan lelaki setengah tua berwajah keriput itu berdiri
tegak tak sampai dua meter di depan Anita.
Perasaan yang dialami oleh Anita tak jauh berbeda
dengan perasaan Lisa.
"Ayah..." seru Anita tertahan.
Sepasang matanya yang keriput menyipit
seketika. Tidak seperti apa yang dilihat Anita dua
tahun yang silam. Wajah ayahnya masih kelihatan
segar. Tetapi kini sudah berubah masam dan
menakutkan. Hampir-hampir Anita tidak percaya 149
dengan apa yang dilihatnya sekarang. Cepat Anita
ingin memeluk lelaki itu namun suara lelaki itu
terdengar menakutkan.
"Berhenti di situ..!"
"Ayah," Anita ta?jub.
"Siapa kau?!."
"Ayah... aku Anita." Suara Anita tercekam.
"Aku tak mengenalmu"
Pandangan mata lelaki itu hampa.
"Ayah!." Anita memekik.
"Pergilah jangan injak rumah ini lagi."
"Ayah aku adalah anakmu."
"Aku tidak mempunyai anak seperti kau!."
Anita langsung memeluk Lisa dan menangis
pilu di dalam pelukan adiknya itu. Ingin rasanya dia
menjerit sekuat-kuatnya. Ingin pula rasanya dia
menangis sepuas-puasnya. Betapa kejamnya
kenyataan yang telah berubah ini.
"Kak Nita...tabahkanlah hatimu." tutur Lisa. 150
"Ayah tidak lagi menganggapku sebagai
anaknya." Sahut Anita disela-sela isak tangisnya
yang pilu.
"Kau harus menyadari sepenuhnya jika
penyebabnya adalah kenyataan kak."
Anita melepaskan pelukannya dan menatap
ayahnya yang masih berdiri tegak di belakangnya.
Perlahan-lahan Anita merentangkan tangannya siap
memeluk ayahnya. Namun mata lelaki itu
membelalak lebar, menakutkan. Anita menurunkan
kembali tangannya perlahan-lahan. Bagai tak
mempunyai daya lagi. Dan dia mengerti semua
persoalan. Pengertian yang mengerikan dan
menakutkan.
"Ayah... aku sudah rindu sekali kepadamu."
Kata Anita dalam keluh kesah.
"Kau panggil aku ayah sedangkan aku tidak
pernah merasa mempunyai anak semacam kau!."
Bentak lelaki itu keras.
Bumi yang dipijak oleh Anita dirasa
berguncang. Tetapi Anita belum yakin bila ucapan
itu keluar dari hati sanubarinya yang tulus.
"Jangan ucapkan itu ayah." Rengek Anit* memelas. 151
"Sekali lagi kau berani memanggilku ayah,
aku akan menendangmu keluar!."
Lelaki setengah tua itu membentak dengan
wajah merah padam dan mata berapi-api. Tekad
Anita sudah bulat, bahwa dia rela berkorban demi
kedua orangtuanya. Bukankah sejak dahulu Anita
sudah menempuh kesemuanya itu? Dia lebih
merasa rela dipukul ayahnya dari pada Wibowo.
Maka keberanian Anita semakin bulat dan keras.
"Baiklah kalau kau tidak mau kupanggil ayah.
Dan aku menerima kenyataan bila saja tidak lagi
dianggap seorang anak. Tetapi aku datang kemari
untuk memberi tahu jika perkara Wibowo akan
disidangkan. Dan akulah yang menerima surat
panggilan dari kejaksaan untuk menjawab
persoalan." Kata Anita tegas.
Lelaki setengah tua itu mengkerutkan dahi
Pancaran matanya tidak lagi berapi-api seperti tadi.
Hampa dan kosong.
"Wibowo?.. Wibowo?..." gumamnya lirih.
Lelaki itu sepertinya mengingat sesuatu yang
hampir dilupakannya. Tiba-tiba dia membentak lagi.
"Jangan sebut nama bajingan itu!." 152
Suara hentakkan itu menggetarkan jantung
Anita. Dan hampir pula menghentikan denyut
jantungnya. Suaranya hampir menyerupai geledek.
Anita tetap berusaha untuk menenangkan
perasaannya.
"Wibowo telah mati." Kata Anita datar.
"Apa??" Nada suara lelaki itu meninggi.
"Wibowo telah mati." Ulang Anita mantap.
Seketika meledaklah suara tawa lelaki itu.
Sungguh menakutkan suara tawa lelaki setengah
tua itu. Terbahak-bahdk selama dua menit hingga
sampai nafasnya hampir habis. Setelah terhenti
kelihatan menarik nafas berat. Dadanya di rasakan
sesak. Kemudian terbatuk-batuk.
"Bajingan itu telah mati... lalu apa maumu
datang datang kemari? menuntut aku?" Hardik
lelaki itu.
Anita menggigit bibirnya menahan gejolak
perasaannya yang tak bisa diungkapkan secara
visuil. Sebab dia tahu pula jika ayahnya tidak lagi
manusia normal. Begitupun ayahnya belum bisa
mengendali dirinya yang sesungguhnya. Lantas apa
yang akan dilakukannya? Hanya paling-paling Anita 153
menghela nafas panjang dan memandang ayahnya
dengan hampa.
"Katakan bedebah !" Lelaki itu menggeram
dan tanpa kompromi lagi tendangannya melayang
ke perut Anita. Gadis itu terhuyung-huyung
kebelakang. Lisa berusaha untuk menolong tetapi
keduanya jatuh ke lantai bersamaan. Rupanya tak
puas sampai disitu saja. Lelaki itu menarik tangan
Anita keluar dari rumah dan dilempar ke luar. Gadis
itu jatuh terhenyak di teras.
"Sekali lagi kau berani menginjak lantai
rumah ini, akan kubunuh!."
"Ooooooh kejam!." Rutuk Anita sembari
menangis pilu.
Sesaat kesepian yang mencekik kami. Dan
hanya terdengar suara isak tangis Anita dan Lisa.
Wajah lelaki tua itu penuh dendam dan kecewa
menatap Anita. Tetapi Anita tidak lagi perduli. Matipun dia sudah rela. Namun lelaki itu tidak
melakukan tindakan lag! hanya membanting pintu
dengan keras dan sekaligus menguncinya. Detakdetak anak kunci bagaikan geledek yang
menggelegar memecah bumi dan langit. 154
Segera Anita bangkit dan memukul gaun pintu
rumah itu berkali-kali dengan telapak tangannya
Pekikan histeris terdengar dari mulutnya penuh
penyesalan.
"Kejam! Kejaaam!."
Sebuah tangan memegang bahu Anita
lembut. Tangan itu tak lain adalah tangan Lisa yang


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh keharuan. Tetapi Anita terus meronta seraya
menangis pilu.
"Sudahlah kak... sudahlah. Kau harus
menerima dengan penuh pengertian diri dan
ketabahan hati. Bukankah ayah kita tidak normal
pikirannya?"
Baru kemudian Anita menoleh dan
memandang wajah adiknya yang sendu. Wajah
seorang adik yang penuh kasih sayang dan
pengertian. Anita jadi sadar dan memeluk Lisa
penuh keharuan.
"Lisa... alangkah pahitnya kenyataan ini."
Gumam Anita pilu.
"Kita harus sanggup untuk menerima dengan
ikhlas kak. Mari kita kerurnah nenek. Di sana kau
dapac beristirahat dengan baik. Urung dulu maksud 155
tujuanmu sambil menunggu waktu yang tepat
untuk berbicara dengan ayah."
Anita menganggukkan kepalanya dengan
berat. Seberat hatinya meninggalkan rumah itu.
Kedua gadis itu berjalan menuju ke rumah
neneknya. Banyak mata tetangga yang mengawasi
mereka berlalu. Dan mata-mata mereka itu seakanakan mencibir diri Anita dan terkutuk. Sebetulnya
mereka tidak boleh menganggap diri Anita
demikian. Karena mereka sebetulnya tidak tahu apa
yang sebenarnya telah terjadi di dalam keluarga
Anita yang sebenarnya. Namun anggapan mereka
Anita-lah yang telah membuat ayahnya hingga
menderita gangguan jiwa. Biarlah semua mata
menghukumku dengan arti terkutuk. Asalkan saja di
mat"i Tuhan tidaklah terkutuk.
*** Anita berbaring diatas pembaringan reyot yang
terbuai dari bambu dan hanya beralaskan tikar pada
bagian tengahnya telah robek. Matanya masih
selalu berlinangan butiran air bening yang berkilaukilauan. Lisa duduk di tepi pembaringan juga turut
menangis. Sementara seorang perempuan tua 156
berwajah keriput memandangi Anita dengan penuh
belas kasih.
"Berhentilah menangis Nita." Kata
perempuan tua itu sambil terbatuk-batuk kecil.
"Ooooh nenek... mengapa semua ini harus
terjadi pada diriku?" Tanya Anita penuh keharuan.
"Tuhan telah mengaturnya cucuku. Apapun
yang telah terjadi bukanlah atas kehendak kita.
Terimalah dengan hati tabah." Tutur perempuan
tua itu sambil membelai rambut Anita penuh kasih
sayang. Elusan tangan perempuan tua itu semakin
dirasa oleh Anita menambali kepedihan hatinya.
Tangisnya semakin tersedu-sedu. Jari-jari nenek itu
memegang tanganku lantas ditempelkan di
dadanya. Denyut jantung itu seakan-akan tidak
bekerja lagi. Tetapi bisa dirasakan oleh Anita apa
yang terasa di dada nenek itu. Anita menangis diharibaannya. Dan perempuan itu menyusul ikut
menangis pula.
"Selama ini kehidupan keluarga kita sangat
menderita Nita. Nenek tak bisa berbuat apa-apa
dengan kenyataan yang dialami ayahmu. Kalau saja
semua ini akan segera berakhir sebelum nenek
meninggal, alangkah gembirannya. Kemungkinan 157
mata nenek bisa tertutup rapat disaat
menghembuskan nafas terakhir." Ucap nenek itu
parau, tangannya yang kurus kering sekali lagi
membelai rambut Anita penuh kasih sayang.
"Kurasa semua persoalan kita semakin
memburuk nek." Sahut Anita sedih-sekali. Nenek itu
memandang wajah Anita yang kusut.
"Katakanlah apa yang telah terjadi Nita."
Tanya nenek itu,
"Minggu depan aku akan disidang mengenai
perkara mas Wibowo nek. Sudah pasti perkara ini
aktfn menyangkut juga diri ayah. Sedangkan
keadaan ayah sangat menyedihkan."
"Jadi pihak polisi telah mengetahui jejak
calon suamimu Nita."
"Yah, setelah kematiannya."
"Bagaimana polisi bisa tahu Nita?"
"Mas Wibowo ingin membunuhku disaat aku
akan melarikan diri. Bersama seorang pemuda yang
kucintai. Terjadilah kericuhan itu di terminal Cililitan. Mas Wibowo mengeluarkan pistolnya dan
terjadilah tembak menembak dengan netugas 158
keamanan. Akhirnya dia mati tertembak oleh
beberapa petugas itu. Walaupun dalam keadaan
sekarat, masih sempat menembak lenganku nek.
Dari kemasannya itu telah membongkar kejahatan
yang pernah dilakukan ole mya selama ini. Aku
takut ayah akan tertekan jiwanya semakin parah
bila saja harus tersangkut perkara ini." Tutur Anita.
"Oooooh Tuhan." Keluh perempuan tua itu.
"Maka dari itu aku datang kemari untuk
menemui ayah nek. Mungkin aku dapat berbincangbincang guna mengetahui persoalan yang
sebenarnya. Kalau saja aku tidak lebih dahulu
mendengar penjelasan yang sebenarnya, bisa-bisa
kami akan lebih celaka."
Perempuan tua itu menghela nafas berat. Pancaran
matanya memandang keluar dengan kosong.
"Kurasa ayahmu tidak mungkin lagi berkata
seperti apa yang kau harapkan. Dia susah untuk
berbicara yang dapat ditanggapi oleh pikiran Nita.
Sebab kadang-kadang dia lupa siapa dirinya. Apalagi
harus menceritakan semua kejadian di masa lalu. 159
"Kak Nita, sebaiknya kakak mencari
seseorang yang mampu membela perkara ini." Sela
Lisa yang gelisah.
Anita mengalihkan pandangan kearah Lisa.
"Hal itu bisa saja aku lakukan Lisa. Tetapi
bagaimana mungkin aku bisa menang jika belum
tahu persoalan yang sebenarnya?" Lisa dan
perempuan tua itu tercenung.
"Bagaimana supaya aku dapat berbicara
dengan ayah sebagai dahulu kala nek. Tolonglah
aku nek."
"Yah...yah, aku akan berusaha membujuk
ayahmu dengan cara halus supaya dia bisa
menemukan dirinya yang sebenarnya. Setelah itu
baru kesempatan itu bisa kau peroleh Nita." Kata
perempuan tua itu sambil manggut-manggut.
"Usahakanlah nek. Usahakanlah agar ayah
mau menemuiku dan berbicara soal ini. Tanpa
penjelasan ayah pasti akan kutemui kehancuran.
Kita semua akan lebih disiksa oleh keadaan yang
sebenarnya tidak kita inginkan." 160
"Semoga Tuhan akan memberikan
pertolongan kepada kita Nita." Ucap perempuan
tua itu sembari berdoa.
"Sekarang hentikanlah menangismu Nita.
Tidak cukup hanya dengan air matamu semua
persoalan ini bisa terselesaikan."
Anita menurut perintah neneknya. Air mata
yang membasahi pipinya dihapus pelan. Bagaimana
pedihnya hati ini, biarlah tersembunyi di bilik
jantungku. Asalkan siksaan batin tidak akan datang
lagi menimpa seluruh keluargaku. Cepatlah kabut
suram ini berlalu sebelum kebahagiaan sejati
datang membalut perasaanku. Demikian kata hati
Anita sembari menghapus air matanya.
*** Perasaan tenang yang sesaat sempat menyejukkan
Anita, terenggut seketika diwaktu memasuki rumah
ayahnya. Sepasang mata menyorot tajam dan buas.
Bagaikan copot rasanya jantung Anita ketika dik
sadar yang berdiri tegak itu adalah ayahnya. Nenek
Katijah mencoba menutupi sorotan mata Ayah
Anita dengan seulas senyuman yang pasrah.
Sementara Lisa yang berdiri di sebelah ayahnya
menggigil ketakutan. Sebentar-sebentar tatapan 161
matanya berpindah dari ayahnya beralih ke Anita.
Lisa menangkap dalam penglihatannya jika wajah
Anita pucat pias.
"Rustam, mak datang." Kata nenek itu lunak.
Lelaki setengah tua itu hanya tersenyum
kecut. Pancaran matanya masih hampa menatap
kehadiran seorang perempuan tua yang kurus
kering itu. Kemudian perempuan tua itu meraih
tangan Rustam dan dibimbingnya ke kamar. Anita
dan Lisa mengikuti dari belakang. Nenek Ijah
mengajak Rustam duduk di sisi pembaringan. S&t
dangkan Anita dan Lisa duduk di kursi berhadapan
dengan mereka. Nenek Ijah kemudian
mengeluarkan beberapa lembar foto yang
warnanya sudah kusam. Sengaja nenek Ijab
membawanya dari rumah untuk mengingatkan
kenangan di masa silam.
"Kau masih mengenali foto ini Rus?" Kata
nenek Ijah sembari memperlihatkan foto-foto itu
kepada Rustam.
"Siapakah ini Mak?" Tanya Rustam bengong.
"Anak kecil ini adalah kau Rustam. Dan yang
memangku anak kecil itu adalah mak. Sedangkan 162
yang berdiri disebelah mak itu ayahmu. Apakah kau
masih ingat masa kecilmu yang nakal Rus?"
"Aku nakal mak?" Tanya Rustam seperti anak
kecil yang bodoh.
"Nakalnya bukan main Rus, Sering kau
mencuri mangga di rumah tuan Helm mandor
perkebunan karet itu. Lantas melempar kaca rumah
opsir Belanda sampai ayahmu dituntut untuk
mengganti."
"Ya... aku masih ingat mak. Malah aku pernah
membunuh opsir Belanda."
"Betul...betul...ah, teruskanlah kau
mengingat masa kecilmu Rus. Mak, senang sekali...
senang sekali." Ucap nenek Ijah sambil terbatukbatuk. Senyuman perempuan itu terukir di
wajahnya yang telah keriput. Dia merasa senang
bila Rustam dapat mengenang kembali masa
lalunya. Pasti dia akan menemukan dirinya sendiri
yang selama ini kabur dalam kehampaan. Dalam
kecamuk pikiran yang kacau.
"Coba kau lihat foto yang satunya ini Rus"
Kata nenek Ijah sembari menyodorkan foto yang
bergambar seorang gadis manis. 163
"Siapakah ini Mak?"
"Ini seorang gadis desa yang manis. Di masa
remajanya pernah menjadi kembang di desa ini.
Siapa lagi kalau bukan Yati." Kata nenek Ijah
menjelaskan.
"Oh cantiknya ya mak?" Sahut Rustam sambil
tersenyum.
Anita dan Lisa jadi ikut tersenyum seraya
membuang muka. Mereka takut kalau dikira
menertawakan kelakuan ayahnya yang seperti
remaja masih ingusan.
"Itu kan istrimu Rustam." Nenek Ijah
menimpali.
"Ini istriku mak? Waaah cantiknya..." Kata
Rustam dengan dibarengi tawanya berderai.
Perlakuan lelaki setengah tua itu telah membuat
kedua anaknya jadi ikut tertawa. Namun saja
tertawa Anita dan Lisa di balik sapu tangan yang
menutupi bibirnya masing-masing.
"Di mana dia sekarang mak?"
"Sekarang dia tinggal di Jakarta."
"Di Jakarta?" 164
"Yah... Kota yang terkenal dengan tugu
MONAS nya. Kau masih ingat bukan?"
Rustam manggut-manggut. Nenek Ijah
memperlihatkan lagi foto yang lainnya. Sepasang
pengantin yang duduk di kursi penuh kebahagiaan.
"Siapakah kedua pengantin ini mak?"
"Kau dan Yati."
"Alangkah cantiknya istriku disaat
mengenakan gaun pengantin." Gumam Rustam.
Nenek Ijah tersenyum lagi.
"Kau masih ingat kebahagiaan yang kau
rasakan waktu itu Rustam?"
"Yah... yah... aku benar-benar bahagia waktu itu."
Nenek Ijah menyodorkan lagi sebuah foto
seorang bayi yang tidur tengkurep. Bayi itu cantik
dan lucu sekali.
"Beberapa tahun kemudian setelah
perkawinanmu berlangsung, lahirlah seorang anak
perempuan yang cantik dan lucu. Mak waktu itu
tahu betul jika rumah tanggamu begitu bahagia
setelah lahirnya si kecil ini. Kemudian anakmu yang
pertama kau beri nama Anita Rustam. Sejak 165
lahirnya Anita kemajuan dalam usahamu semakin
meningkat. Lantas kau boyong istri dan anakmu ke
Jakarta demi karier. Dan ini fotomu bersama istri
dan anakmu." Nenek Ijah memperlihatkan lagi foto
lainnya. Rustam memeluk pundak istrinya
sedangkan Anita berdiri di tengah-tengahnya.
Rustam tersenyum melihat foto itu.
"Selang dua tahun kemudian lahiriah seorang
anak perempuan lagi. Lalu kau berikan nama


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada anakmu yang kedua itu Lisa Rustam. Dan ini
fotonya di waktu masih bayi."
Nenek Ijah memberikan foto Lisa kepada
Rustam. Dan lelaki setengah tua itu memperhatikan
dengan teliti. Matanya segera berpindah kearah
Lisa yang seiak tadi duduk memperhatikan ayahnya.
Tatapan mata mereka saling bertemu lantas Lisa
tersenyum kepada ayahnya. Dahi lelaki itu berkerut
seketika. Agaknya selama ini dia hanya mengenal
Lisa bukanlah sebagai anaknya. Nama Lisa sering
didengarnya. Dia pun sering memanggil nama Lisa
namun saja belum tahu siapa sebenarnya Lisa itu.
Maka dengan keterangan yang diberikan nenek Ijah
ini sedikit banyak dapat merobah alam pikiran
Rustam. Secara paksa dia harus bisa menemukan
daya tangkap seperti semula. Dalam keadaan yang 166
masih bimbang dan ragu nenek Ijah
memperlihatkan lagi foto ulang tahun Anita dan
Lisa. Kedua gadis yang sedang berulang tahun itu
kelihatan cantik-cantik. Roti ulang tahun yang
tertera tulisan selamat ulang tahun yang ke empat
belas buat Anita, berdiri megah di atas meja. Waktu
itu Anita baru saja menyelesaikan bangku sekolah
dasar.
"Inilah Anita...bahwa dia adalah anakmu.
Begitu pula Lisa. Kedua gadis ini masih darah
dagingmu, Rustam." Kata nenek Ijah meyakinkan
kenyataan dengan apa yang dilihat oleh Rustam.
"Jadi... Anita dan Lisa... adalah anakku mak?"
"Yah... mereka itu adalah darah dagingmu."
Kedua mata Rustam menatap berganti-ganti
dari Anita berpindah ke Lisa. Pancaran mata lelaki
itu tidak lagi hampa seperti tadi. Tidak pula
sehampa hari-hari yang telah berlalu. Tetapi kini
penuh makna dan jawaban. Hati Anita dan Lisa
bergetar perasaan iba. Lambat-lambat perasaan
kasih sayang mulai dirasakan oleh Rustam.
Begitupun kesedihan menusuk-nusuk kalbunya.
Kedua mata Rustam semakin lama semakin berair. 167
Berkaca-kaca penuh keharuan melihat kedua
anaknya.
"Peluklah kedua anakmu itu Rustam. Mereka
masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian
darimu. Mereka sudah lama tersiksa oleh siksaan
batin yang tak ada tempat untuk mengadu.
Kasihanilah mereka." Ucap nenek Ijah parau.
Rustam mengangkat kedua tangannya peYfahan-lahan hingga terentang. Lelaki itu telah siap
menerima pelukan kedua anaknya yang malarig ini.
Tanpa membuang waktu lagi, Anita dan Lisa samasama memeluk ayahnya.
"Ayah!." Pekik Anita yang hampir berbareng
dengan Lisa.
Kedua anak gadis itu tersimpuh didalam
pelukan seorang ayah yang selama ini telah
melupakannya. Serentak tangis kedua gadis itu tak
dapat lagi dibendung. Bagaikan air bah semua
kesedihan tertumpah dalam tangisnya. Di sinilah
baru mereka dapat melepaskan semua tekanan
batin. Dari belaian seorang ayah sedikit banyak
mengurangi beban derita yang mereka rasakan. 168
"Ayah... tahukah bahwa kami hidup demikian
tersiksa?" Ucap Anita pilu. Wajahnya tengadah
memandang ayahnya yang turut menitikkan airmata.
Suasana kesedihan begitu mencekam hati
mereka semua yang ada di kamar itu. Nenek Ijah
turut menangis namun disertai perasaan gembira.
Sekalipun Rustam belum sepenuhnya pulih seperti
sediakala. Yang pentmg dia sudah mulai dapat
mengenali kedua anaknya. Lambat laun jika dia
telah menemukan dirinya yang sebenarnya, tak ayal
kebahagiaan akan segera datang.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk kalian
anakku. Maafkanlah ayahmu." Kata Rustam dengan
nafas sesak.
"Ayah tolonglah kami yang dalam kesulitan.
Kemelut akan segera merenggut kita semua,
Katakanlah apa yang sebenarnya telah terjadi
antara ayah dan Wibowo."
Lelaki yang masih memeluk kedua anaknya
itu tercenung beberapa saat. Agaknya ada
kegelisahan yang bersembunyi di dadanya. Sorotan
matanya kembali hampa seperti semula. Dengan 169
nafasnya tersendat-sendat bagai berat tertindih
batu puluhan kilo beratnya.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi Nita?"
Tanya lelaki itu sembari membelai rambut Anita
penuh kasih sayang.
"Minggu depan Anita akan menjalani sidang
perkara mas Wibowo ayah. Aku takut bila ayah ikut
terlibat." Jawab Anita dalam keresahan.
"Kenapa dengan Wibowo, Nita?"
"Dia telah mati akan tetapi meninggalkan
serentetan perkara yang harus kuhadapi. Dan dari
pihak pengadilan telah mengirim surat panggilan
kepadaku ayah. Apa yang harus aku lakukan?"
Lelaki itu menggelengkan kepala berat.
Perasaan sedih dan terharu terlukis di wajahnya
yang nampak semakin tua.
"Wibowo telah mati, siapa gerangan yang
riiah membunuhnya Nita?"
Anita dengan terisak-isak menceritakan
semua kejadian yang dialaminya selama ini.
Kematian Wibowo yang tertembus oleh enam buah
peluru telah menghilangkan nyawanya. Rustam jadi 170
merinding bulu kuduknya mendengar ceritera
kematian Wibowo.
"Kalau saja Wibowo tidak mati secara
demikian, pasti tidak akan terbongkar kedoknya."
Gumam Rustam dengan helaan nafas lega.
"Siapakah pemuda bernama Herman itu
Nita?"
"Dia mahasiswa fakultas sastra ayah."
"Kau mencintainya?"
"Yah." Anita mengangguk mantap.
"Kenapa hal ku sampai terjadi Nita?"
Anita tertunduk dan bungkam. Apa yang
musti dikatakan olehnya. Sedangkan perasaannya
tak bisa melukiskan bagaimana besarnya cinta itu.
Dan dia pun tak sanggup untuk memberikan alasan
kenapa bisa mencintai lelaki bernama Herman.
Hanya yang bisa dirasakan tak lain penyebabnya
adalah rasa kesepian dan siksaan dari Wibowo,
sehingga perjumpaannya dengan Herman mudah
sekali membuahkan putik bunga cinta yang tumbuh
dengan subur. Herman seorang lelaki yang mau 171
mengerti segala penderitaannya. Herman seorang
lelaki yang selalu memberi belaian kasih sayang.
Sementara diri Anita yang senantiasa
mendambakan resapan kasih sayang, terkulai layu
dalam pelukan dan bisikan cinta Herman. Maka
yang bisa diperbuat oleh Anita tak lain hanya helaan
nafas. Bukan jawaban yang seharusnya diharapkan
oleh ayahnya. Anita merasa takut menatap mata
ayahnya kembali. Karena dia merasa telah
melanggar ketentuan menjadi isteri Wibowo.
"Jawablah dengan jujur Nita." Desak ayahnya.
"Aku sendiri mulanya tak bisa mengerti ayah.
Kenapa aku bisa jatuh cinta dengan Herman.
Pertemuanku yang pertama dengan pemuda itu
kuanggap biasa saja. Namun tanpa kuduga kami
bertemu lagi. Rupanya pada pertemuan yang kedua
ini dia lebih agresif. Dari sorot matanya aku dapat
menangkap kejujuran hati yang dimiliki pemuda itu.
Pertemuan ketiga yang juga tak diduga telah
melibatkan diriku dalam ikatan janji. Dia memang
seorang pemuda yang selama ini kudambakan.
Tanpa mau perduli dengan kenyataan lagi, cintaku
kepadanya mulai tumbuh. Dan penyebabnya tak
lain karena aku membutuhkan perlindungan dan 172
tempat untuk melepaskan deritaku. Ternyata
Herman seorang kekasih yang setia. Sampai
akhirnya aku tak tahan disiksa mas Wibowo dan
melarikan diri dengannya."
Keterangan yang cukup panjang itu bisa
diterima oleh logika Rustam, meskipun masih
berupa angan-angan. Sebab dalam keadaan yang
belum sepenuhnya normal itu, bagi Rustam
hanyalah jawaban yang suram.
"Kalau hal itu tidak sampai terjadi sudah pasti
aku tidak akan terlibat Anita. Banyak kesalahanku
yang melanggar hukum selama membantu
Wibowo. Dia telah menekanku agar melakukan itu.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, Aku menuruti semua
perintahnya demi kelangsungan hidup kita. Tetapi
kau telah membongkar kesalahan kami walaupun
tanpa kau sengaja."
"Ayah maafkanlah Nita. Sama sekali Nita tak
tahu bila hal ini harus terjadi. Nita lebih rela
menangung kesalahan ini daripada ayah." Ucap
Anita sambil menangis. Hatinya pedih sekali bila
harus melihat keadaan ayahnya menjalani
hukuman di penjara. 173
Mendadak lelaki setengah tua itu tertawa
terbahak-bahak. Anita dan Lisa tersentak. Begitu
pula penek Ijah Pancaran mata Rustam berubah
nanar dan kosong. Maka buru-buru Lisa menarik
tangan Anita untuk mundur. Lisa tahu bila ayahnya
kumat lagi.
"Aku harus berontak! aku harus menang dari
tindakan Wibowo.
Akan kubunuh semua orang yang telah
membuat diriku menderita!
Mendekatlah kemari hai Wibowo! akan kucekek lehermu bangsat."
Suara Rustam bagaikan geledek. Sepasang
matanya bagaikan api yang menyala. Giginya
gemelutuk menahan kegeraman. Air liurnya
menetes dari mulutnya. Sungguh amat mengerikan.
Dia bangkit dari pembaringan laksana raksasa yang
akan mengamuk. Lisa dan Nita cepat-cepat menarik
tangan nenek Ijah untuk bergegas pergi. Serentak
ketiga orang itu lari keluar dari kamar ketika Rustam
mengangkat kursi yang siap dilemparkan kearah
mereka. Sesampainya di luar, Lisa langsung
mengunci pintu dari luar. Tetapi kerapkah dilakukan
oleh Lisa setiap ayahnya kumat penyakit jiwanya. 174
Dan hanya terdengar dari luar amukan Rustam yang
membanting semua barang- barang. Bagi tetangga
yang bernekatan tempat tinggalnya dengan rumah
Rustam sudah tidak merasa heran lagi. Justru
mereka lebih heran jika melihat Anita. Seorang anak
tega membuat ayahnya seperti itu. Semua
sangkaan buruk terarah pada diri Anita yang
sebenarnya bukan pada tempatnya.
"Beginilah jika ayah kumat lagi kak." ucap Lisa
dalam kecewa.
"Alangkah kejamnya kenyataan ini." Sanggah
Anita pedih.
"Mari kita pulang saja" Nenek Ijah
menimpali.
"Tetapi bagaimana dengan ayah nek?" Sahut
Anita resah.
"Biarkan saja sampai dia sadar sendiri. Tak
urung bila kita mengatasi keadaannya yang seperti
itu akan celaka. Ayo kita pulang saja Nita." kata
nenek Ijah sambil menarik tangan Anita. Terpaksa
Anita menuruti ajakan nenek Ijah. Sebentarsebentar Anita menoleh kearah rumah ayahnya
sembari berjalan. Di ulu hatinya masih terdapat 175
kecemasan bila terjadi kemungkinan yang berakibat
fatal pada diri ayahnya. Mungkin saja mati atau
bunuh diri. Air mata Anita terus menetes selama
dalam perjalanan menuju rumah nenek Ijah. Jarak
antara rumah ayahnya dengan nenek Ijah cukup
jauh. Maka di sepanjang jalan itu Anita dan Lisa
menangisi penderitaan ayahnya. Sebab di mata
mereka penyakit yang diderita Rustam menuntut
banyak korban perasaan. 176
? LIMA ?
Anita kembali ke Jakarta dengan di temani
oleh Lisa. Kedua remaja itu seperti telah kehilangan
harapan buat menempuh hari-hari mendatang.
Setibanya di Jakarta Yati menyambut kedatangan
kedua anaknya ini dengan perasaan bahagia. Lebihlebih karena rasa rindunya kepada Lisa, perempuan
setengah tua itu memeluknya dengan erat sekali.
Hampir kurang lebih enam tahun ibu dan anak ini
tidak berjumpa. Maka sekali berjumpa perasaan
mereka benar-benar bahagia. Di kelopak mata
mereka masing-masing bercucuran air bening yang
berkilau-kilauan.
"Lisa anakku." Gumam lirih Yati dengan
sendu.
"Ibu... Lisa rindu sekali kepadamu." Sahut
sak. "Ibu pun demikian nak. Betapa bahagi ati ibu
bila kalian bisa berkumpul lagi."
Yati membimbing masuk kedua anak


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadisnya ke dalam rumah. Koper pakaian Lisa
dibawa masuk Kedalam kamar oleh ibunya. 177
"Rumahmu bagus sekali kak Nita." Kata Lisa polos.
"Kemungkinan kita tak akan lama tinggal di
sini Lisa Sebab rumah ini adalah peninggalan mas
Wibowo. Semoga saja dalam sidang nanti rumah ini
tidak disita oleh yang berwajib. Mas Wibowo
membangun rumah ini dengan uang tak halal Lisa."
"Aduh amat disayangkan bila rumah ini disita kak."
"Yah apa boleh buat kalau musti demikian.
Kalau sampai rumah ini tidak disita akan kujual dan
kita pindah dari sini. Perasaanku tak tenang tinggal
di rumah ini Lisa."
"Itu memang rencana yang baik kak. Lisa akan
turut berdoa semoga rumah ini tidak akan disita."
"Seandainya hal itu musti terjadi, hidup kita
akan menderita Lisa, dimana kita akan tinggal?"
Lisa tertunduk sedih. Demikian juga Anita.
Tak lama kemudian Yati keluar dari kamar dan
menghampiri kedua anaknya yang sedang duduk
termenung.
"Apa yang sedang kau pikirkan anakku?"
Tanya perempuan setengah tua itu. 178
"Kak Nita sedang bingung memikirkan bila
saja rumah ini akan disita. Lalu kita akan tinggal di
mana ibu?."
"Tuhan maha pengasih dan pemurah anakku.
Bagi hambanya yang berniat tulus dan suci selalu
akan mendapat karunianya. Percayalah. Yang
penting bagi kita sekarang bisa terhindar dari
perkara yang menyangkut semua perbuatan
Wibowo. Soal tempat tinggal bisa di manapun kita
inginkan."
"Itulah harapanku itu. Dalam hal ini Herman
pasti akan turut membantu Nita." Anita menimpali
kata-kata ibunya.
"Nah sekarang kita pasrah saja Kepada
Tuhan. DIA lebih kuasa menentukan segalanya. Ayo
sebaiknya kalian bertirahat di kamar. Kalian tentu
sangat lelah menempuh perjalanan tadi."
Anita bangkit dari tempat duduk yang disusul
oleh Lisa. Kedua kakak beradik itu berjalan bersisian menuju ke kamar. Lalu di pembaringan
mereka berdua merebahkan diri. Perjalanan yang
baru saja mereka tempuh cukup melelahkan.
Padahal mereka berangkat dari kampung pagi hari
dan sampai di rumah menjelang tengah malam. 179
Tanpa pergi mandi mereka langsung beranjak tidur.
Agaknya kelelahan yang mereka rasakan
menyebabkan mudah sekali tertidur dengan pulas.
*** Angin senja membelai rambut Anita. Sementara
matahari yang bersembunyi separuh di balik
cakrawala Onarnya merah keamanan. Rambut
Anita menjadi merah tembaga dijilati sinar matahari
senja. Gadis itu melirik pemuda yang duduk di
sebelahnya. Dan pemuda bernama Herman, hanya
membalas, dengan senyuman mesra.
"Kau kelihatan murung sekali Nita?" Anita
tertunduk seraya mempermainkan kancing-kancing
kemejanya. Herman memandang Anita dengan
penuh perhatian. Perasaan ibu terselip di rongga
dadanya.
"Apakah usahamu berhasil Nita ?" Lanjut
Herman.
Anita menggelengkan kepala berat.
"Ayahmu tidak bersedia memberikan keterangan ?"
"Yah." Jawab Anita sembari menghela nafas
panjang. 180
"Lantas apa yang akan kau lakukan?"
"Terpaksa semua perkara kutanggung sendiri."
Herman menatap wajah Anita yang sedih.
Sepasang mata yang dimiliki Anita berkaca-kaca.
Herman tahu benar jika Anita menanggung beban
perasaan yang demikian berat. Bagi Herman apa
yang harus dilakukan? Dirinya tak bisa berbuat apaapa. "Aku kasihan melihatmu Nita."
Anita menatap Herman dengan linangan air
mata. Lantas merebahkan kepalanya di dada bidang
Herman. Telapak tangan Herman membelai rambut
Anita penuh kasih sayang.
"Kenyataan pahit ini harus ku teguk dengan
hati tabah. Demikian juga sebagai anak harus rela
berkorban demi orang tua, apa lagi ayahku tidak
normal lagi." Anita berkata dengan nada suara
tercekam.
"Sebaiknya biarlah aku turut menanggung
perkara ini. Bukankah aku terlibat pula?. Kuharap
kau mau mengerti. Demi cintaku yang suci
kepadamu, akan kupertahankan jiwa dan raga
untuk membelamu." 181
"Jangan, sebaiknya jangan Herman. Biarkan
saja semua persoalan kuseiesaikan seorang diri."
Sergah Anita.
"Itu tak mungkin Nita. Kau akan celaka."
"Apa boleh buat Herman. Aku tak ingin kau
turut menderita."
"Tapi aku telah mengecap kebahagiaan di
sela-sela yang bakal tumbuh penderitaan dan
persoalan ini. Sudah selayaknya bila aku turut
menanggung beban."
Anita menatap dalam-dalam wajah Herman
yang pasrah. "Alangkah mulianya hatimu Herman."
Bisik dalam hati Anita Maka sepasang mata Anita
rsinar-sinar. Telapak tangannya yang halus belai
rambut Herman.
"Herman. aku mengerti perabaanmu. Tapi
saat ini jangan libatkan dirimu. Aku takut kau turut
masuk penjara."
"Itu resiko kita Anita." Sergah Herman
mantap.
"Sudahlah Herman."
"Aku cinta padamu Anita " 182
"Aku tahu." Kata Anita sambil menghusup
pipi Herman lembut.
Wajah mereka saling mendekat dan akhirnya
bibir mereka saling mengulum mesra. Kedua mata
Anita terpejam meresapi kenikmatan dicumbu sang
kekasih. Sementara matahari yang semakin
tenggelam diufuk barat sinarnya tinggal meremang.
Pohon kelapa yang tumbuh di pesisir pantai sedikit
bergoyang ditiup angin kelam. Sepasang remaja itu
bangkit dari tempat duduk dan berjalan
meninggalkan pantai dikala senja terbenam
meremang. Dibelahan perasaan masing-masing
terlilit beban berat.
*** Proses perbal mengenai perkara Wibowo telah
menghadap meja sidang. Seluruh keluarga Anita
hadir dibelai sidang. Ibu Anita selalu menangis di
sebelah Lisa. Sedangkan Herman duduk di samping
perempuan itu. Suasana di dalam ruang sidang
cukup ramai. Banyak yang simpatisan dari kasus
Wibowo ini.
Hakim memukulkan palu di meja sidang.
Berarti secara resmi sidang dibuka. Hakim
membacakan tuduhan kepada almarhum Wibowo 183
yang disampaikan di depan Anita. Di dalam tuduhan
itu menyangkut ayah Anita dan diri Anita sendiri.
Herannya Anita tidak menyangkal semua tuduhanyang dibaca Hakim pada dirinya. Membuat Herman
jadi tersentak dan bangkit dari tempat duduk.
"Tuduhan itu tidak benar!" Teriak Herman.
Hakim dan semua hadirin di dalam ruang
sidang mengalihkan perhatiannya kepada Herman.
Suasana hening namun tegang.
"Siapa kau? dan apa hubungannya dengan
kasus ini." Tanya hakim sambil melototkan mata.
Herman berjalan mendekati hakim. Jarak
antara hakim dan Herman hanya tiga meter.
Pemuda itu berdiri dengan gagah dan penuh
wibawa
Anita yang duduk di bangku seorang diri,
mendadak kedua kakinya gemetaran. Jantungnya
berdetak keras, tatkala melihat Herman berdiri di
depan hakim.
"Namaku Herman. Perlu hakim ketahui jika
semua kasus ini bukanlah Anita yang bersalah.
Melainkan aku." kata Herman mantap. 184
Hakim tersentak. Matanya yang terlindung oleh
kaca mata putih memperhatikan dalam-dalam
wajah Herman.
"Kau termasuk kaki tangan Wibowo ?" Tanya
hakim menghardik.
"Ya, Bahkan aku otak dari semua kejahatan
yang dilakukan Wibowo !" jawab Herman tegas.
"Tidak!... itu tidak benar !" Teriak Anita
"Diam!." Bentak yang mulai menangis.
Sekalipun dia hangat menguatkan hati dan
perasaannya. Herman bagaikan batu cadas yang
kukuh menghadapi kemelut ini karena telah pasrah
dengan apapun yang bakal terjadi, asalkan Anita
terlepas d ari hukuman.
"Saya harap tuduhan yahg dilimpahkan
kepada Anita dihapus. Sebenarnya dia tidak
bersalah di dalam kasus ini." Kata Herman
memecah keheningan beberapa saat.
"Kau harus bisa membuktikan bahwa dia
tidak bersalah. Demikian juga ayahnya." Sahut
hakim tegas.. 185
"Baik pak hakim, akan saya jelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya. Tujuan pokok
perdagangan harus bisa melemahkan musuh
persaingan dagang, sengaja aku berniat
menghancurkan usaha Ayah Anita dengan jalan
mengajak bermain judi. Bila dia menolak ajakan
kami, ancaman selalu terlontar dari mulut kami.
Dan segera secara perlahan-lahan telah ku sabot
relasinya. Praktis usaha ayah Anita semakin
bangkrut hingga akhirnya menanggung hutang
Wibowo telah kutekankan supaya menggaet Anita
sebagai isterinya, supaya kasus kami tidak
terbongkar. Namun kumohon kepada pak hakim
agar membebaskan perkara ini terhadap Anita."
Hakim hanya tersenyum mendengar
penjelasan Herman.
"Tidak semudah itu membebaskan seseorang
tanpa bukti." Sahut hakim.
"Masih belum cukupkah keteranganku pak hakim?"
"Kenapa di dalam kasus ini namamu tidak
tercantum?"
"Karena aku berada di balik layar. Tetapi
mengingat Anita tidak bersalah, barulah aku 186
membuka kedokku sendiri. Aku kasihan
kepadanya."
"Tetapi bukankah Anita sudah mengakui
semua perbuatannya?" tanya hakim itu mendesak
Herman.
"Karena dia hanya ingin menolong ayahnya.
Disinilah aku terharu menyaksikannya. Bebankanlah semua perkara itu kepadaku dan jangan
bawa-bawa Anita."
"Ternyata kau seorang bajingan yang berhati
budiman."
Hakim memandang Anita yang terisak-isak
sambil menutup mukanya dengan telapak tangan.
Dia sangat terharu melihat pengakuan Herman.
Meskipun sebenarnya hal itu tidak dilakukan
olehnya. Dia rela berkorban demi cinta. Alangkah
mu-ianya hatimu Herman, kata hati Anita pilu.
"Bagaimana dengan keterangan saudara
Herman Anita?" Tanya hakim.
Anita mengangkat kepalanya dan
memandang Herman dengan linangan air mata.
Bibirnya bergetar ingin mengucapkan sesuatu
namun tak terucapkan. 187
"Jawab dengan jujur!." Desak hakim itu.
Anita menggelengkan kepala berat.
Wajahnya sedih dan tercekam.
"Aku tidak akan membalas dendam." Kata
Herman menghardik Anita. Walau sebetulnya
perlakuannya bersandiwara cukup meyakinkan.
Sehingga membuat hakim ketua menilai semua
ucapan Herman bisa dipercaya.
"Kalau begitu saudara harus kami tahan."
Kata hakim tegas.
"Itu baru adil." Sahut Herman.
Sementara Anita hanya dapat memekik
sambil termangu di tempat duduknya.
"Hermaaaan!."
Pemuda yang dipanggil oleh Anita tak
menoleh sedikitpun. Semakin dililit kepiluan hati
Anita melihat keteguhan hati Herman menghadapi
semua perkara ini. Walau sebetulnya Herman tidak
melakukan apa yang diucapkan didepan hakim
ketua.
"Baik, sidang kami tunda sampai besok.
Saudara Herman sejak detik ini menjadi tahanan 188
pihak kepolisian guna diusut perkara yang


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya. Tangkap Herman!." Kata hakim sambil
memukulkan palunya di atas meja.
Dua orang polisi menghampiri Herman dan
memborgol kedua tangannya. Anita yang
menyaksikan kejadian itu tak kuasa menahan
tangisnya. Bogitupun ibu Anita. Perempuan itu
demikian terharu melihat pengorbanan Herman
demi kebebasan Anita.
Herman segera dibawa ke kantor polisi.
Wajah pemuda itu tetap cerah dan tegar, seolaholah menerima kenyataan itu dengan pasrah.
Langkah kakinya yang mantap menuju ke mobil
polisi.
Sementara itu Anita memeluk ibunya sambil
menangis pilu. Dia menangisi pengorbanan
Herman.
"Ibuuuuuu... tak kusangka bila Herman
mengorbankan dirinya demi kebebasanku. Aku tak
sampai hati menyaksikannya."
"Dia seorang pemuda yang berhati mulia
anakku. Ibu percaya jika cintanya kepadamu tulus
dan suci." Sahut ibu Anita dengan nada suara sedih. 189
Lisa yang turut menyaksikan kejadian itu hanya
dengan nada suara sedih. Lisa yang turut
menyaksikan kejadian itu hanya bisa menangis.
Anita dibimbing oleh ibunya keluar dari ruang
sidang. Langkah kakinya demikian lesu dan lemas
ketika meninggalkan tempat itu.
*** Udara sejuk yang sedikit lembab masuk ke penjara.
Matahan yang baru saja muncul diufuk timur sedikit
memberi kehangatan. Seorang pemu-duduk
termenung di balik jeruji besi. Pemuda i tak lain
adalah Herman. Dia rela mengorbankan dirinya
demi cinta suci terhadap Anita. Karena Herman
tahu tekanan penderitaan yang selama ini dialami
oleh Anita. Maka untuk selanjutnya Herman rela
memikul kenyataan yang sebenarnya tidak
dilakukan. Apapun yang akan dialami sekarang dia
telah menerima dengan pasrah.
Herman bangkit dari tempat duduk dan
berdiri menatap datangnya sinar matahari pagi. Di
antara celah-celah terali besi kehangatan sinar
matahari cukup membuat kulitnya segar kembali.
Hampir semalaman dia tak dapat memejamkan
matanya. Nyamuk terlalu banyak mengiang-ngiang 190
di telinganya. Hanya saat menjelang subuh Herman
sempat memejamkan matanya sebentar. Itupun
nyamuk-nyamuk mempergunakan kesempatan
untuk menyedot darah Herman. Begitu Herman
bangun, sebagian tubuhnya yang tidak tertutup
oleh pakaian menjadi bintui-bintul merah beKas
gigitan nyamuk.
"Sialan!" Gerutu Herman mendongkol.
Seorang petugas lembaga lewat di depan Herman.
"Selamat pagi pak." Tegur Herman lunak.
"Ada apa?" Tanya petugas itu sambil
melototkan matanya. Duh galaknya, pikir Herman.
"Punya rokok pak? Mulutku asam nih..."
Petugas itu melihat isi kantongnya dan
mengeluarkan sebungkus rokok. Lalu disodorkan
kepada Herman. Diambilnya sebatang oleh
Herman. Petugas itu lalu menyerahkan korek api
dan Herman menyulut rokoknya.
"Terima kasih pak." Kata Herman sambi!
tersenyum.
Petugas itu meneruskan langkahnya dengan
raut wajah tak acuh. Didalam hati Herman hanya 191
dapat menggerutu. Sambil menghisap rokok
pemberian petugas lembaga itu, Herman duduk
kembali di lantai. Begitu nikmatnya sebatang rokok
bagi dirinya dalam saat seperti ini. Dihisapnya rokok
itu dengan hati gembira.
Beberapa saat kemudian petugas lembaga
lainnya menghampiri sel yang dihuni Herman. Di
depan sel itu petugas tersebut mengeluarkan kunci
dari dalam kantongnya. Herman memperhatikan
petugas yang berbadan kekar dan di permukaan
tangannya berbekas benjolan hitam-hitam. Herman
dapat menerka bahwa petugas lembaga ini sebagai
algojo. Maka hati Herman dag-dig-dig ketika
bertemu pandang dengan petugas itu. Setelah pintu
sel terbuka hati Herman semakin ciut.
"Keluar dan pergilah mandi." Kata petugas itu.
Hati Herman berubah lapang dan lega setelah
mendengar ucapan petugas itu. Dia malah
menyangka petugas itu akan menghajarnya. Maka
Herman berjalan menuju ke kamar mandi dengan
dikawal oleh petugas itu. Sesampainya di tempat
untuk mandi, Herman termangu menyaksikan para
narapidana mandi secara beramai-ramai. Mereka
bertelanjang bulat mengguyur air yang ditimba dari 192
sumur, Herman dengan setengah ragu-ragu dan
malu-malu terpaksa membuka pakaiannya. Dengan
terpaksa Herman mandi bersama-sama narapidana
lainnya. Tubuhnya yang semalam dirasa lesu dan
tak bergairah, kini setelah terguyur oleh air kembali
segar.
Tak lama Herman duduk di lantai penjara,
petugas lembaga bagian konsumsi datang dengan
membawa makanan pagi. Herman dengan agak
malas menerimanya. Petugas lembaga itu berlalu
setelah memberikan makanan pagi kepada
Herman. Baru saja Herman akan menyuapkan nasi
ke dalam mulurnya, di luar jeruji besi sudah berdiri
seorang gadis bertubuh indah. Bayangan tubuh
gadis itu masuk kedalam penjara dan menimpa
lantai. Maka Herman perlahan-lahan menyusuri
bayangan itu dan sampailah pada ujung sepatu
hitam yang dikenakan oleh seorang gadis.
Terbelalak mata Herman ketika melihat siapa
gerangan yang berdiri di luar jeruji besi.
"Anita"
Gadis itu berlinangan air mata ketika melihat
Herman duduk dilantai sambil menyendok nasi. 193
"Herman..." Panggil Anita parau.
Herman segera meletakkan sendok yang
dipegangnya. Matanya berseri-seri memandang
Anita.
"Kau Anita...?" Herman berkata sembari
bangkit.
Ketika tangan Anita hendak meraih telapak
tangan Herman, pemuda itu menolak dengan halus.
"Kuharap jangan kau perlihatkan di sini
bahwa kita ada jalinan cinta. Sekalipun aku ingin
memelukmu erat-erat, Anita." Kata Herman lunak.
Anita tertunduk dan tak kuasa membendung
tangisnya.
"Kenapa kau menghendaki hal semacam ini
Herman?" Tanya Anita.
"Semua ini demi cintaku kepadamu Nrita.
Berdoalah semoga Tuhan memberikan jalan keluar
yang baik. Kau tak usah menangis Nita. Aku cinta
padamu."- Kata Herman mantap.
"Bagaimana aku dapat menahan tangisku
Herman? Sedangkan engkau dalam keadaan yang 194
semacam ini. Sebetulnya kau tidak patut menerima
kenyataan yang bukan kesalahanmu."
Anita terisak-isak mengucapkan katakatanya. Meskipun wajahnya tertunduk, namun
jelasnya hati dan perasaannya tercurah atas
keadaan kekasihnya. Sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan bila di antara mereka ada jalinan cinta.
Begitupun kesalahan yang diucapkan oleh Herman
di depan meja sidang tidak benar dengan apa yang
pernah diperbuatnya. Semuanya itu hanya untuk
membela kekasihnya.
"Aku tidak menyesal dan sedih menerima
keadaan yang semacam ini. Karena semua ini sudah
kukehendaki." Sahut Herman.
Anita mengangkat mukanya dan matanya
menatap Herman dalam-lam Butir-butir air mata
membanjir di pipi Anita. Bibir yang berwarna merah
bagaikan kelopak bunga mawar itu kelihatan pucat
tanpa gairah.
"Tabahkanlah hatimu Nita. Kita dituntut
untuk saling menjaga kesetiaan dan pengorbanan."
Ujar Herman, 195
"Aku tahu...aku tahu itu Her." Kata Anii? terbatabata.
"Sebaiknya kau jangan terlalu lama di sim sayang.
Bukan aku bermaksud mengusirmu. Tetapi aku tak
ingin kau akan terlibat lagi."
"Tapi..."
"Sudahlah... kau mencintai aku bukan?"
"Yah..." Sahut Anita sambil menganggukkan
kepala.
"Pulanglah"
"Ooooh Herman." Keluh Anita dalam helaan
nafas berat.
Gadis itu tertunduk beberapa saat, lalu
menatap Herman yang berdiri di balik jeruji besi.
Senyum Herman menghiasi wajahnya yang tenang
dan pasrah. Anita merasakan arti senyuman
Herman bagaikan menunduk jiwa dan perasaannya.
Dengan menghusap air mata di pipi. Anita
berjalan meninggalkan sel yang dihuni oleh
Herman. Kesedihan yang dibawa oleh Anita
menusuk-nusuk kalbunya. 196
? ENAM ?
Anita berusaha sekuat tenaga menahan air
latanya setiap kali menjenguk Herman di penjara.
Dan begitupun setiap kali dia sembahyang selalu
berdoa agar semua kemelut ini segera sirna. Tak
ketinggalan butiran air matanya membanjiri
sejadah. Malam-malam yang dilampauinya
bagaikan mencekam segenap perasaannya, bila
memikirkan beban penderitaan kekasihnya. Hanya
itu yang bisa dilakukan oleh Anita setiap saat.
Rupanya doa Anita diberi rahmat oleh yang
kuasa. Hingga datanglah ayahnya ke rumah yang
disertai nenek Ijah. Semula Anita merasa was-was
ketika pertama kali melihat kedatangan ayahnya.
Muka Anita mendadak berubah pucat dan mundur
berapa langkah. Namun nenek Ijah mengembang
seulas senyum pertanda tidak akan terjadi sesuatu
hal apa pun. Dan mendadak ayahnya memeluk
Anita erat-erat. Setitik air mata jatuh di pipi lelaki
setengah baya.
"Anita anakku... maafkanlah ayahmu nak."
Kata ayahnya lunak dan penuh kasih sayang. 197
Anita tak kuasa membendung kesedihan dan
rasa terharu yang mendesak-desak perasaannya.
Kembali perasaan Anita dibangkitkan rasa rindu
akan belaian seorang ayah. Kasih sayang dari
seorang ayah yang selama ini pudar. Belaian kasih
sayang dan elusan lembut telapak tangan ayahnya
semakin membenamkan kesejukan dan kebahagiaan yang meresap.
"Ooooh...ayah..." Keluh Anita dalam isak
tangis.
"Kau terlalu banyak menanegung beban
derita anakku. Ayah telah membelenggumu selama
ini dengan persoalan yang sebenarnya tidak
selayaknya kau ikut memikulnya."
Anita membenamkan kepalanya di dada
lelaki setergah tua itu.
Bersamaan dengan itu muncullah ibu Anita
dari ruang tengah bersama Lisa. Mereka tersentak
kaget melihat kehadiran ayah Anita. Pelukan ayah
Anita terlepas dan menyambui istrinya dengan
perasaan haru dan bahagia. Ibu Anita ikut menangis
bahagia disaat suaminya memeluk dirinya. 198
"Aku telah sembuh bu. Aku telah berhasil
menemukan diriku yang sebenarnya. Tuhan telah
membuka alam pikiranku kembali." Kata lelaki
Setengah tua itu dengan mantap.
"Ooooh syukurlah pak." Sahut ibu Anita ikut
tersenyum bahagia.
Nenek Ijah tersenyum dengan linangan air
tanda gembira.
Kemudian seisi rumah itu duduk di ruang
tengah dengan suasana gembira namun hening.
Mereka saling berpandangan bergantian. Seolaholah suasana itu demikian terasa asing.
"Rustam telah kembali baik, Nita." Kata
nenek ljah memecah keheningan suasana.
"Alhamdulilah" Keluh ibu Anita. Rustam
tersenyum lega. Begitu pun Anita dan Lisa.
"Aku kembali ke rumah ini untuk menyesali
persoalan masa lalu yang menyangkut rumah
tangga. Apa yang telah terjadi selama ini Nita?"
Tanya Rustam.
Anita tak dapat menjawab. Wajahnya
tertunduk dengan sedih. 199
"Ayah mengharapkan kau mau memberikan
keterangan yang jelas dan jujur anakku." Kata
Rustam lunak.
"Sudah terlalu banyak penderitaan yang
melibatkan orang, ayah. Rupanya masih ada juga


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang mau menggantikan diri ayah."
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud,
Nita?"
"Seorang pemuda bernama Herman telah
dengan rela menanggung semua kesalahan ayah
dan Nita " Gumam Anita dengan mata berkaca-kaca
"Herman, siapa dia?" Tanya Rustam.
"Kekasih Anita," sergah ibu Anita.
"Ooooo" Rustam bengong.
"Bila saja Herman tidak melibatkan diri dan
menyatakan dirinya sebagai otak perencana, sudah
pasti Anita masuk ke dalam penjara." Sambung ibu
Anita.
"Kita telah berhutang budi dengan pemuda
itu." Gumam Rustam. 200
"Apa yang akan kita lakukan sekarang ayah?"
Tanya Anita.
"Aku akan menemui pemuda itu."
Rustam bangkit dari tempat duduk, wajahnya
murung. Lelaki setengah tua itu berjalan mondar
mandir di ruangan hening. Karena penghuni seisi
rumah itu hanya termenung di tempat duduknya.
"Sekarang kita temui Herman." Ajak Rustam.
"Sekarang juga pak?." Tanya ibu Anita
"yah."
"Nenek Ijah dirumah saja ya?" Bujuk ibu
Anita.
Perempuan tua yang sudah berambut putih
itu hanya menganggukkan kepala sembari
tersenyum. Maka buru-buru saja Anita berganti
pakaian ke dalam kamarnya. Selang beberapa lama
kemudian Anita dan kedua orang tuanya
meninggalkan rumah dan menuju ke lembaga
pemasyarakatan.
*** 201
Udara panas menerobos diantara cela-cela
uji besi. Penghuni di dalam kamar tahanan itu
nampak tertidur pulas di lantai. Keringat
membasahi mukanya yang pucat. Agaknya pemuda
ini semalaman tak pernah bisa tidur dengan
nyenyak. Suasana di lembaga pemasyarakatan itu
cukup ramai meskipun demikian tak bisa mengusik
tidurnya Herman yang pulas.
Pengurus lembaga mengantar Anita dan
kedua orang tuanya sampai di depan kamar
tahanan Herman. Ketika Anita melihat kekasihnya
tidur di-lantai hampir-hampir dia ingin berteriak.
Akhirnya yang bisa dilakukannya tak lain memeluk
ibunya. Anita menangis terisak-isak di dalam
pelukan ibunya.
"Ibu... aku tak tega melihat kenyataan ini,"
pekik Anita.
"Tabahkanlah hatimu nak." Tutur ibu Anita.
Sementara Rustam memandang penuh haru.
Alangkah mulianya hati pemuda ini. Lelaki setengah
tua itu menghela nafas panjang.
"Nitabangunkanlah dia." Rustam menyuruh
anaknya. 202
Anita melepaskan pelukan ibunya pelanpelan dan dengan perasaan berat memandang
Herman yang tertelantang di lantai. Anita berusaha
sekuat tenaga untuk membendung perasaannya
yang tak menentu. Begitupun berusaha menahan
air matanya yang semakin deras mengalir. Anita
mendekati jeruji besi nafasnya dirasa sesak.
"Herman..." panggil Anita parau.
Namun panggilan itu masih belum bisa
membangunkan Herman.
"Herman." Ulangnya Anita agak keras. Baru
kemudian Herman mulai menggeliatkan badannya.
Tubuh pemuda itu kelihatan lesu dan lemah.
Dengan setengah bermalas-malasan Herman hanya
membalikkan badan dan tidur kembali.
"Kasihan...agaknya dia terlalu capai." Gumam
Ibu Anita.
"Betapa besar pengorbanannya." Sambung
ayah Anita.
Ketiga insan yang berdiri mengamati tubuh
Herman yang tertelentang di lantai itu dengan
perasaan iba. 203
"Coba bangunkan sekali lagi Nita." Kata Rustam.
"Herman...Herman!." Panggil Anita agak keras.
Bagai disengat kala jengking Herman bangun
dari tidurnya. Dan alangkah kaget tatkala melihat
Anita bersama kedua orang tuanya. Herman buruburu bangkit meskipun sekujur badannya masih
dirasa lesu dan lemas. Sambil menghusap kedua
matanya Herman berdiri di belakang jeruji besi.
"Anita?" Panggil Herman sembari memperhatikan kedua orang tua Anita. Di kedua mata
mereka bergenang butiran air bening
"Herman, ayahku ingin berbicara dengamu."
kata Anita parau
Herman mengangukkan kepala hormat.
Rustam membalas anggukan Herman dengan
senyuman. Lalu Rustam mengulurkan telapak
tangannya untuk mengajak berkenalan dengan
Herman. Herman menyambut uluran tangan
Rustam dengan senyuman cerah.
"Pengorbanan saudara Herman atas keluarga
kami tiada taranya. Tapi saudara tidak sepatutnya
menjadi penghuni kamar ini." 204
Herman hanya tersenyum kecut.
"Saya akan menghadap komandan untuk
menjelaskan persoalan yang sebenarnya, supaya
kau bisa keluar dari penjara ini. Sepatutnya akulah
yang menggantikanmu di sini."
Herman tertunduk memandangi ujung
kakinya yang telanjang. Sementara Anita hanya bisa
memandang Herman penuh iba.
"Semoga setelah aku menghadap komandan
dapat secepatnya kau dibebaskan." Tutur Rustam
penuh harap.
Herman menghela nafas dalam-dalam.
Lantas dia tersenyum kepada Anita. Senyum
berikutnya menghias wajah Anita yang berseri-seri.
Malam harinya seluruh keluarga Rustam
bermpul di ruang tengah. Suasana ruangan itu hemencekam. Anita duduk dengan sepeuap perasaan
gelisah. Sebab dia tak tahu apa yang akan dilakukan
oleh ayahnya Rustam sebelum membuka
pembicaraannya terlebih dahulu mengambil
sebatang rokok gudang garam dari dalam
kantongnya. Rokok gudang garam itu ternyata
masih utuh dan belum terbuka bungkusnya. 205
Dengan wajah kuyu Rustam membuka bungkus
rokok dan diambilnya sebatang. Lantas rokok itu
disunatnya dengan korek api. Asap menghembuskeluar dari mulutnya. Rustam terbatuk-batuk kecil.
"Besok aku akan menghadap komandan
untuk menjelaskan perkara sebenarnya. Aku
mengharap kalian semua menerima kenyataan
apapun yang bakal terjadi." Kata Rustam.
"Apa yang akan ayah lakukan?" Tanya Anita.
Rustam menyedot rokoknya sambil berpikir.
"Aku akan menjelaskan semua persoalan
agar supaya Herman bisa keluar dari tahanan. Dan
aku yang seharusnya menggantikannya."
"Ayah!." Pekik Anita, tertahan.
"Jangan gelisah dan cemas Anita. Semua ini
memang harus kujalani. Apapun akibatnya harus
kutanggung tanpa membuat orang lain menderita."
Sergah Rustam.
"Ayah akan menjadi narapidana?" Tanya Lisa.
"Yah." Jawab Rustam sambil mengangguk.
Lisa langsung memeluk ayahnya sambil menangis
tersedu-sedu. Suasana diruang itu berubah 206
menyedihkan. Sebab tak lain karena selama ini
keluarga Anita mengharapkan terciptanya
keharmonisan rumah tangga.
Antara Anita dan Lisa semenjak Rustam
berkenalan dengan Wibowo, kasih sayang dan
perhatiannya berkurang. Apalagi setelah Rustam
menderita gangguan jiwa. Kedua anaknya seperti
kehilangan kasih sayang yang selalu diharapkan.
Tapi setelah Rustam sembuh kembali, harus
menerima kenyataan menjadi seorang narapidana.
Dengan kesadaran penuh Rustam menerima apaoun yang akan terjadi. Disamping itu dia tidak ingin
merusak kebahagiaan Anita. Rustam mengakui bila
Herman seorang pemuda baik dan bertanggung
jawab. Salah satu bukti telah ditunjukkan kepada
Rustam. Bukti itu tidak lain adalah pengorbanan
yang tak kecil artinya. Dia rela mengorbankan diri
masuk penjara demi keluarganya.
"Ayah akan meninggalkan kami lagi?" Tanya Lisa.
"Ayah bukan berarti meninggalkan kalian
semua, akan tetapi demi rasa tanggung jawabku
terhadap semua perkara. Juga demi kebahagiaan
Anita dan Herman." 207
Lisa memeluk Rustam sembari menangis.
Begitupun ibu Anita tak bisa berbuat apa-apa selain
menangis. Kedua anak gadis itu di dalam pelukan
Rustam tak bisa mengatakan apa-apa. Yang bisa
dirasakan tak lain hanya kesedihan dari tekanan
perasaan.
"Sudahlah anakku. Tak perlu kau tangisi lagi
kejadian ini. Ayah akan memikul semua beban dan
penderitaan."
"Tapi ayah...aku tak tega melihat ayah berada
di dalam penjara. Betapa sedihnya hati kami ayah."
Kata Lisa disela-sela isak tangisnya.
"Ini memang sudah akibat dari semua
perbuatan ayah di masa lalu. Walaupun perbuatan
itu sebenarnya bukan atas kehendak hatiku
sendiri." Kata Rustam memberi ketabahan kepada
anak dan istrinya yang menangis di hadapannya.
"Yang penting sekarang jalan yang terbaik
adalah supaya Herman bisa keluar dari penjara. Dia
tidak sepantasnya menanggung beban itu." Lanjut
Rustam.
Rustam membelai rambut Anita penuh kasih
sayang. Di kelopak matanya mengalir butiran air 208
bening. Lalu perlahan-lahan jatuh di pipi. Nafas
lelaki setengah tua itu menjadi sesak. Dadanya naik
turun menahan sedih yang sukar terlukiskan.
Keesokan harinya Rustam menghadap
komandan untuk memohon grasi supaya Herman
dibebaskan dari tuduhan dan dikeluarkan dari
penjara. Maka Rustam ketika menghadap
komandan menceritakan kejadian yang
sebenarnya. Keterangan yang disampaikan oleh
Rustam benar-benar memusingkan pihak
kepolisian. Bagaimana tidak, mengenai keterangan
yang diberikan Rustam lain dengan Herman.
Sehingga komandan berkata kepada Rustam
marah-marah.
"Saudara jangan main-main dengan pihak
kepolisian!." Bentak komandan itu.
"Saya memberikan keterangan ini
berdasarkan fakta pak komandan." Jawab Rustam
mantap.
"Bagaimanapun juga saya kurang yakin
dengan keterangan saudara. Sebab menurut
keterangan yang kami peroleh, Herman adalah otak
perencanaan kriminil." Sahut komandan itu. 209
"Siapa yang memberikan keterangan itu pak?"
"Herman membuka kedoknya sendiri."
"Itu tidak benar pak." Sanggah Rustam.
"Apa?!" Hardik komandan sambil melototkan
mata lebar-lebar. Rustam tetap tenang dan
menghela nafas berat. Sungguh besar pengorbanan
pemuda itu. Dan terlalu berani menyatakan bila
semua perbuatan kriminil otak perencana adalah
dirinya. Meskipun demikian hati kecil Rustam tetap
dituntut untuk menanggung beban itu.
"Keterangan yang disampaikan oleh Herman
tidak sesuai dengan fakta pak." Sergah Rustam.
"Bagaimana kau bisa mengatakan itu?! Coba
buktikan!."
Rustam diam untuk beberapa saat. Komandan itu
meneliti wajah Rustam yang tenang dan tabah.
"Sebetulnya maksud tujuan Herman
mengatakan semua kesalahan itu tak lain untuk
menyelamatkan keluarga kami pak. Terutama
mengenai diri Anita. Herman ternyata menjalin
hubungan cinta dengan Anita. Dan karena cintanya
begitu besar, sehingga dia rela memikul semua 210
beban ini. Meskipun sebenarnya Herman tidak
bersalah." Tutur Rustam.
"Saya kurang yakin mendengar keterangan
saudara." Bantah Komandan.
"Saya bersedia membuktikan fakta yang
sebenarnya pak."
"Baik, sekarang lakukan," desak komandan.
"Ada ketiga orang yang terlibat didalam kasus
ini. Baru kemudian fakta yang sebenarnya
menemukan penyelesaian. Siapa yang sebenarnya
bersalah."
"Siapa ketiga orang itu?" Tanya komandan.


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka adalah komplotan Wibowo kelas kakap."
Komandan itu menatap wajah Rustam
dengan setengah menyelidik.
"Saudara tahu alamat mereka?"
Rustam mengangguk.
"Coba beri alamatnya supaya anak buahku
menangkapnya."
Rustam menulis alamat mereka di selembar kertas
folio yang diberikan oleh komandan. Setelah aliimat 211
itu diketahui oleh komandan, bergegas komandan
itu memerintahkan anak buahnya untuk
menangkapnya.
Rustam menulis alamat mereka di selembar
kertas folio yang diberikan oleh komandan. Setelah
alamat Itu diketahui oleh komandan, bergegas
komandan itu memerintahkan aink buahnya untuk
menangkap ketiga kawanan Wibowo.
Setelah komandan itu memerintahkan anak
buahnya menangkap ketiga kawanan Wibowo.
mengultimatum Rustam.
"Jangan coba-coba bercanda dengan polisi.
Saudara akan celaka."
"Tidak pak."
Komandan itu manggut-manggut. Lantas
menyuruh Rustam duduk di kursi tunggu. Karena
masih banyak orang yang berkepentingan ingin
mengadukan persoalan lain. Maka Rustam duduk di
kursi tunggu sambil mendengarkan setiap
pengaduan orang-orang yang duduk di depan
komandan. Getaran jantungnya berubah tak
menentu dalam detik-detik yang menegangkan ini.
Bagi Rustam dia harus menghadapi ketiga kawanan 212
Wibowo yang berdarah dingin. Tapi tekad Rustam
sudah demikian bulat.
Daripada yang musti menjadi korban Iler.nan
dan Anita, lebih baik dirinya yang jelas pernah
melakukan tindak pidana itu.
Tiga jam lebih Rustam menunggu. Dan tak
lama kemudian muncullah ketiga orang yamj
gedang ditunggu. Ketiga pergelangan tangan orang
Itu engan kumanaan, i merah.
"Apa kesalahan kami ditangkap pak?!" Tanya
salah satu tawanan itu.
"Benarkah anda bertiga termasuk komplotan
Wibowo?" Komandan itu berbalik bertanya.
"Kami tidak kenal dengan orang yang
bernama Wibowo " Sanggah jawaban itu.
"Jangan berdusta!." Gertak komandan.
"Kami benar-benar tidak mengenal Wibowo pak."
"Kenalkah kalian dengan lelaki itu?" Kata
komandan sambil menunjuk kearah Rustam yang
sedang duduk. 213
Serempak ketiga tawanan itu menoleh kearah
Rustam. Mendadak wajah mereka jadi berubah
pucat. Perubahan itu dapat dilihat oleh komandan.
Yang jelas perubahan itu sudah membuktikan
bahwa keterangan yang diberikan oleh Rustam
tidak meleset.
"Ngg..." Ketiga tawanan itu tak bisa berbuat
apa-apa.
"Saudara Rustam, silahkan duduk di sini."
Kata komandan menyuruh Rustam duduk di
depannya. Rustam mematuhi perintah komandan
itu. Keempat tawanan itu duduk menghadap
komandan.
"Benarkah menurut keterangan saudara
Rustam, bahwa kalian bertiga kawanan Wibowo?"
Tanya komandan mendesak. Ketiga tawanan itu
tidak bisa menjawab.
"Jawab ya atau tidak?!." Hardik komandan.
"Ya...ya pak." Jawab salah satu tawanan itu
dengan gugup.
"Silaukan saudara Rustam menceritakan
kasus ini dengan benar." 214
Rustam sebelum membongkar kasus yang
sebenarnya, melirik kearah ketiga tawanan yang
duduk di sebelahnya. Detak jantungnya tak
menentu disaat bertatap muka. Namun Rustam
ingat bahwa dirinya dituntut untuk menanggung
beban itu. Ingat pula kepada Herman dan Anita
yang telah sama-sama mencinta. Maka perasaan
takut dan cemas seketika itu hilang sirna dan
menjadi berubah tekad berani mati. Dibongkarnya
kasus itu oleh Rustam dengan tanpa tedeng alingaling. Ketiga tawanan itu tidak bisa berkutik lagi.
Tidak bisa menyangkal dengan apa yang dikatakan
oleh Rustam. Barulah komandan itu merasa yakin
bila Herman tidak tersangkut apapun dengan kasus
ini. Latar belakang sebenarnya fianya ingin
membela Anita dan rela mengakui semua
kesalahan. Proses per-bal segera dilakukan oleh
polisi guna membongkar kasus-kasus lainnya. Yang
jelas ketiga tawanan itu meringkuk di kamar
tahanan bersama Rustam.
*** Pagi hari diwaktu Herman baru saja bangun lari
tidur, dia melihat langit sangat cerah. Udara yang
berhembus terasa sejuk di paru-parunya.
Sepertinya hari ini sangat lain dengan hari-hari yang 215
dilaluinya. Perasaan yang bergejolak di rongga
dadanya begitu damai dan tenang, Herman
tersenyum memandang langit melalui celah-celah
jeruji besi. Apa gerangan yang akan terjadi di hari ini
Tuhan? Demikian pertanyaan Herman di dalam
hati. Senyumnya yang mengambang di wajah
Herman seperti cerahnya pagi itu.
Seorang penjaga lembaga pemasyarakatan
berjalan mendekati Herman. Di tangan kanannya
memegang kunci dan langsung membuka pintu
kamar tahanan.
"Bapak komandan memanggilmu untuk
menghadap." Kata petugas itu. Herman hanya
tersenyum seperti tadi. Lalu dia melangkah keluar
dari kamar tahanan dan menuju ke kantor
komandan. Diambang pintu kantor Herman sudah
melihat senyum komandan.
"Waah ada apa gerangan ini? Senyum bapak
komandan seperti senyum pepsodent."
"Silahkan duduk Herman." Kata komandan
dengan ramah.
"Terima kasih pak." 216
Herman duduk di kursi dan berhadapan
dengan komandan.
"Kamu memang seorang pemuda yang baik.
Apakah kamu benar-benar mencintai Anita?" Tanya
komandan.
Herman hanya tersenyum malu.
"Terus terang saja kan tidak apa-apa."
"Ah, bapak komandan ngeledek saya nih?"
Herman berbicara seperti dengan temannya
saja. Sebab nada pembicaraan komandan tidak lagi
formil melainkan seperti dengan seorang sahabat.
Atau dengan anaknya sendiri.
"Selama kau berada di dalam lembaga ini
belum pernah kulihat perlakuanmu yang tercela.
Aku merasa kagum atas pengorbananmu.Yah cinta
yang suci memang harus membutuhkan
pengorbanan. Ini baru namanya kejutan." Kata
komandan sambil tertawa.
"Waaah berabe nih. Disuruh menghadap
bapak untuk diledek."
"Selama hidupku baru ketemukan pemuda
berkorban demi cinta." 217
Herman tersenyum malu.
Komandan itu menepuk bahu Herman berkali-kali.
"Kau kupanggil untuk menghadap sudah tahu
persoalannya?"
"Mana saya tahu pak? Bapak belum memberi tahu."
Komandan itu tersenyum lagi. Herman
bertambah keki.
"Besok kau akan dibebaskan dan boleh
kembali pulang."
"Kok?" Herman bengong.
"Kenapa bengong?" Tanya komandan heran.
"Jadi hukuman saya ringan pak?" Herman
pura-pura bloon.
"Kamu jangan munafik ya?!" Hardik
komandan sambil tertawa.
Herman jadi ikut tertawa. Memang selama ini
Herman telah berlaku munafik untuk pengurbanan
cinta.
"Apakah kau lebih senang tinggal di sini Herman?"
"Mana orang mau tinggal di penjara pak." 218
Keduanya tersenyum lagi.
"Nah kembalilah kau ke tempatmu."
"Saya masih bingung pak. Lantas urusan
selanjutnya bagaimana? Apakah Anita yang
menggantikan aku?"
"Tenang boy... tenang. Kekasihmu itu sudah
bebas dari tuduhan. Semua kasus ini sudah ada di
tangan Rustam dan komplotan Wibowo,"
Komandan itu menjelaskan kepada Herman.
Pemuda itu manggut-manggut.
"Terima kasih pak." Kata Herman sambil
berdiri.
Ketika Herman meninggalkan kantor itu,
komandan menggeleng-gelengkan kepala. Bukan
main anehnya pemuda satu ini. Sementara Herman
sambil berjalan bersiul-siul. Seniman yang satu ini
memang antik.
Anita bersama ibunya setelan mendengar
kabar bahwa siang nanti Herman akan dibebaskan,
hati mereka menjadi bahagia. Tapi ada sedikit
kesedihan yang meliputi kebahagiaan itu tak lain
karena Rustam rela menggantikan Herman menjadi 219
penghuni kamar penjara. Dan sebelumnya memang
sudah dinyatakan oleh Rustam, jika dirinya masuk
ke dalam penjara tidak perlu disesalkan. Kesalahan
yang dilakukan memang harus menerima imbalan
yang pantas. Karena Rustam melanggar hukum,
maka tempat yang pantas adalah di dalam penjara.
Siang hari itu Anita dan ibunya nampak sibuk
mempersiapkan diri untuk menjemput ricrman.
Wajah Anita demikian berseri-seri. Unfcik menuju
ke lembaga itu Anita dan ibunya naik mobil taxi.
Rupanya Anita sudah tidak sabar lagi ingin sampai
di tempat yang dituju.
Mobil taxi berhenti di depan kantor lembaga
pemasyarakatan. Bergegas turun dari mobil taxi
seorang gadis cantik dan seorang perempuan
setengah baya. Mereka berdua langsung menuju ke
kantor dan menemui komandan.
"Selamat siang pak." Sapa Anita kepada
komandan.
"Selamat siang." Balas komandan sambil
tersenyum.
"Benarkah hari ini Herman dibebaskan pak?"
Tanya Anita. 220
"Benar. Andakah yang bernama Anita?"
"Ya."
"Pantas Herman rela berkorban demi
kekasihnya. Memang Herman pemuda yang cerdik.
Pilihannya bagaikan seorang bidadari." Gurau
komandan.
Anita tersipu malu. Sedangkan ibunya
tersenyum ramah.
Komandan memerintahkan kepada anak
buahnya untuk membebaskan Herman siang hari
itu juga.
"Silahkan duduk dan menunggu Herman
nona." Kata komandan.
Anita dan ibunya duduk di kursi tunggu.
Getaran jantung Anita tak menentu. Rasanya
menunggu kemunculan Herman begitu lama. Dia
benar-benar tak sabar lagi. Matanya sebentarsebentar melihat keluar kantor. Lapat-Iapat Anita
mendengar suara langkah sepatu mendekati
kantor. Dia bergegas bangkit dan siap menunggu
kemunculan Herman. Akan tetapi setelah langkah
sepatu itu berada di ambang pintu kantor, Anita jadi
kecewa. Ternyatabukannya Herman. Dengan 221
setengah mengeluh Anita kembali ke tempat
duduknya.
Baru yang kedua kalinya suara langkah
sepatu itu adalah Herman. Pemuda yang berwajah
ganteng berdiri di ambang pintu kantor. Bururbum
Anita berlari memeluknya.
"Herman!." Panggil Anita tertahan.
"Anita " Sahut Herman lirih dan penuh
keharuan.
Menitiklah butiran air mata Anita dari
kelopaknya. Pelukan erat yang meremas kemeja
Herman menahan perasaan bahagia yang
bercampur haru.
"Aku gembira sekali bahwa hari ini kau bebas
Herman." Kuta Anita disela-sela isak tangisnya.
"Ya. akupun bahagia dapat kembali
berkumpul denganmu sayang."
Komandan yang duduk di belakang meja
hanya tersenyum-senyum menyaksikan adegan


Setulus Merpati Seindah Rembulan Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

romantis itu. Tanpa mereka sadari kedua wajah
Anita dan Herman saling mendekat. Ketika bibir 222
mereka hendak saling mengulum, komandan
membentak.
"Eeee...stop !"
Kedua remaja itu baru menyadari keadaan
sekelilingnya.
Dengan perasaan malu Anita tersipu.
Wajahnya merah merona dan mata Anita yang
indah berkedip-kedip.
"Nanti di rumah masih bisa diteruskan."
Ledek komandan sambil senyum-senyuim. Herman
mengulurkan telapak tangannya dan mengajak
komandan berjabatan tangan.
"Sampai berjumpa lagi pak komandan." Kata
Herman.
"Semoga kau berbahagia setelah
meninggalkan tempat ini Herman. Tapi yang jelas
kau memang pemuda yang sangat cerdik. Gadis
pilihanmu memang meyakinkan sekali." Gurau
komandan.
"Mana mungkin akan saya belah mati-matian
pak. kalau tidak seindah rembulan." Balas Herman
sambil senyum-senyum persis orang senewen. 223
Anita jadi keki dibuatnya. Jari-jari Anita mencubit
pinggang Herman. Dan Herman meringis kesakitan.
Setelah itu Herman, Anita dan ibunyii
meninggalkan kantor polisi. Mereka bertiga naik
mobil taxi. Perasaan bahagia terbawa oleh insan
yang berada di dalam mobil taxi dan melaju
meninggalkan asap debu berhamburan di jalan.
*** Pohon flamboyan yang tumbuh disamping rumah
Anita kembali mekar. Bunganya banyak tumbuh
disamping rumah Anita kembali mekar. Bunganya
banyak tumbun di ranting-ranting pepohonan
berwarna coklat susu. Daunnya yang hijau dan
tumbuh di sela-sela bunga, sedikit banyak
memperindah pandangan mata. Begitupun dengan
bunga-bunga lainnya yang tumbuh di taman, mekar
indah dan mewangi baunya.
Sepasang remaja duduk di ruang tamu dalam
aroma cinta yang membara. Mereka berdua
terbenam dalam arus cumbu yang tercekam
kerinduan. Bibir mereka hampir-hampir tak pernah
berhenti untuk saling mengulum. Dekapan erat
bagaikan sulit untuk dipisahkan lagi. Badai dan 224
taufan kini telah sirna dan ditaklukkan oleh cinta
suci mereka.
"Anita aku cinta padamu sayang." Bisik
Herman di telinga Anita lembut. Mata Anita yang
bersinar-sinar membelai lembut perasaan Herman
kala menatapnya. Bibir kenyal merah jambu ini
tersenyum manis disaat jari tangan Herman
mengelus-elusnya.
"Sekarang kita telah terlepas dari belenggu
rintangan Her. Aku bahagia sekali." Gumam Anita.
"Kita akan segera menuju ke jenjang
pernikahan, setelah kuterima kontrak pembuatan
naskah."
"Sungguhkah kau?"
"Kau masih sangsi kepadaku Nita?"
"Bukan aku sangsi kepadamu Her, tetapi aku
sudah tak sabar lagi." Kata Anita sembari mencubit
dada Herman pelan.
Herman mengeliat karena geli.
"Sebaiknya kita menjenguk ayah di penjara
untuk minta doa restu." 225
"Kapan kita akan menengok ayah Her?"
"Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?"
"Aku setuju."
Herman mencium kening Anita. Lantas kedua
remaja itu berjalan ke dalam kamar dan bertukar
pakaian. Hari itu dirasakan oleh Herman dan Anita
begitu indah dan berarti. Karena mereka akan
menjenguk ayah dan meminta doa restu menjelang
hari pernikahan nanti.
Anita duduk di belakang stir, sementara
Herman di sisinya. Maklum karena Herman tidak
bisa menjalankan mobil. Terpaksa Anita yang
pegang stir sampai ke lembaga.
Setelah menemui komandan lembaga
pemasyarakatan Cipinang, Herman dan Anita
diperbolehkan menjenguk ayahnya di balik terali
besi. Seorang petugas lembaga mengantar Herman
dan Anita sampai di kamar penjara yang ditempati
Rustam. Petugas itu kemudian membuka pintu
penjara Anita melihat orang lelaki setengah tua
terduduk termenung.
Saking tak kuasa mengendalikan tekanan
perasaan, Anita langsung berlari memeluk ayahnya. 226
"Ayaaaah!" Pekik Anita.
Anita tak bisa lagi membendung tangisnya.
Dia bersimpuh di paha ayahnya. Belaian kasih
sayang telapak tangan Rustam membenamkan
perasaan sedih bagi Anita.
"Tabahkanlah hatimu Nita." Tutur Rustam
lirih.
"Ayah, bagaimana pun juga kenyataan ini
membuat Nita sedih."
"Yah... semua memang sudah harus kujalani.
yang penting kalian berdua dan ibu serta adikmu
berbahagia. Biarlah penderitaan ini aku yang
memikulnya." Kata Rustam mantap.
Pancaran mata Rustam berpindah ke arah
Herman yang sejak tadi masih berdiri termangu ke
laki setengah tua itu melempar senyumnya kepada
Herman, walau kedua matanya berkaca-kaca.
"Herman... kau baik-baik saja bukan?" sapa
Rustam.
"Begitulah oom." Sahut Herman.
"Herman... duduklah di dekatku." Rustam
menyuruh Herman. 227
Pemuda itu segera menuruti kemauan
Rustam. Dia sudah menduga bahwa akan ada
pembicaraan yang bersilat pribadi. Maka Herman
sebelumnya bersiap-siap mendengarkan apa yang
akan dikatakan Rustam,
"Herman kupercayakan kepadamu mengenai
diri Anita. Sebab oom tahu kau mempunyai rasa
tanggung jawab besar." Tutur Rustam dengan
lunak.
Herman hanya menganggukkan kepala.
"Disamping itu kau perlu memperhatikan
perkembangan keluarga yang mana untuk lima
tahun ini oom tidak bisa lagi mengawasi. Baik dan
buruknya tinggal kau yang mengarahkan."
"Justru kami berdua datang menjenguk oom,
ingin mengetahui keadaan selama di sini. Disamping
itu kami mempunyai tujuan tertentu oom." Sahut
Herman.
"Coba bicarakan saja dengan oom, apa yang
kau maksudkan."
Herman terdiam. Anita yang masih berada dipelukan ayahnya juga diam. Suasana menjadi 228
hening. Rupanya kedua remaja ini masih ragu-ragu
untuk menyampaikan maksud hatinya.
"Katakanlah Herman." Ujar Rustam lunak.
"Begini oom..."
Pembicaraan Herman terputus lagi.
"Ayo jangan ragu-ragu. Katakanlah terus
terang." Desak Rustam.
"Sebetulnya kami berdua datang kemari ingin
meminta doa restu kepada oom, apakah kami
diperbolehkan menempuh hari bahagia bersama
Anita."
Rustam menatap Herman sambil tersenyum
gembira.
"Kalian akan menempuh hidup baru?" Tanya
Rustam.
"Ya oom."
Rustam menepuk-nepuk bahu Herman.
"Oom sangat bahagia sekali bila kalian
secepatnya bisa menempuh hidup baru. Oom
benar-benar merestui." Kata Rustam berseri-seri.
Dipeluknya Herman oleh Rustam. Kedua remaja itu 229
berada di dalam pelukan Rustam yang tersenyum
bahagia. Mata Anita bertemu pandang dengan
mata Herman. Dipancaran mata mereka
mengandung makna sejuta rasa bahagia yang sukar
terlukiskan. Sekalipun detik kebahagiaan ini berada
di dalam pelukan seorang ayah yang menjadi
narapidana. Dan menemukan kebahagiaan di dalam
penjara.
Telapak tangan kedua remaja itu saling
berpegangan erat-erat. Seulas senyum bahagia
menghiasi ketiga insan dirundung duka. Namun
kenyataannya mereka menerima dengan hati
lapang dan tabah.
?TAMAT?
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi
file digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT
? Awie Dermawan
? Ozan
D.A.S
Kolektor E-Books
Perawan Buronan 1 Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus Brondong Lover 3

Cari Blog Ini