Harian Vampir 02 Cinta Bagian 1
1 Cinta Buku #2 dalam Buku Harian Vampir)
Oleh Morgan Rice
Caitlin dan Caleb memulai bersama-sama pencarian mereka
untuk menemukan satu benda yang dapat menghentikan
segera terjadi perang vampir dan manusia: pedang yang
hilang. Sebuah benda dongeng vampir, ada keraguan serius
atas apakah itu bahkan ada..
Jika ada harapan untuk menemukan itu, mereka pertama
kali harus melacak nenek moyang Caitlin. Apakah ia benarbenar Yang Terpilih? Penelusuran mereka dimulai dengan
mencari ayah Caitlin. Siapakah dia? Mengapa dia
mengabaikan dirinya? Ketika pencarian diperluas, mereka
terkejut dengan apa yang mereka temukan tentang siapa ia
sebenarnya.
Tapi mereka bukan satu-satunya mencari yang pedang
legendaris. Coven Blacktide menginginkannya, juga, dan
mereka mengikuti Caitlin dan Caleb. Lebih buruk lagi, adik
Caitlin, Sam, tetap terobsesi untuk menemukan ayahnya.
Tapi Sam segera menemukan dirinya dengan cara di atas
kepalanya, memukul di bagian tengah perang vampir.
Apakah dia membahayakan pencarian mereka?
Perjalanan Caitlin dan Caleb membawa mereka pada lokasi
angin puyuh bersejarah Hudson Valley, ke Salem, ke
jantung bersejarah Boston - persis di tempat penyihir yang
pernah tergantung di bukit Boston Common. Mengapa lokasi
ini sangat penting bagi ras vampir? Dan apa yang harus
mereka lakukan dengan keturunan Caitlin, dan dengan siapa
ia akan menjadi?
Tapi mereka mungkin tidak berhasil. Cinta Caitlin dan Caleb
satu sama lain semakin berkembang. Dan kisah cinta2
terlarang mereka mungkin hanya menghancurkan segala
sesuatu yang telah mereka tetetapkan untuk dicapai.
Buku #3--#11 dalam BUKU HARIAN VAMPIR sekarang juga
tersedia!
"CINTA, buku kedua serial Buku Harian Vampir, sama
hebatnya dengan buku pertama, PENJELMAAN, dan
dikemas dengan baik dengan aksi, romansa, perualangan,
dan ketegangan. Buku ini adalah tambahan yang cantik
pada serial ini dan akan membuat Anda menunggu lebih
banyak lagi dari Morgan Rice. Jika Anda menyukai buku
pertama, dapatkan tangan Anda pada yang satu ini dan
jatuh cinta lagi dan lagi. Buku ini dapat dibaca sebagai
sekuel, tapi Rice menulisnya dalam sebuah cara yang tidak
Anda ketahui di buku pertama untuk membaca menakjubkan
ini."
--Vampirebooksite.com
"Serial BUKU HARIAN VAMPIR memiliki alur yang hebat,
dan CINTA khususnya adalah buku yang akan sulit Anda
tinggalkan di malam hari. Akhirnya sangat menegangkan
yang sangat spektauler sehingga Anda akan segera
menginginkan buku selanjutnya, lihatlah apa yang terjadi.
Seperti yang Anda lihat, buku ini adalah sebuah langkah
besar dalam serial ini dan menerima nilai A penuh."
-The Dallas Examiner
"Dalam CINTA, Morgan Rice membuktikan dirinya lagi untuk
menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta.. Menarik dan
menyenangkan, saya menemukan diri saya jauh lebih
menikmati buku ini daripada yang pertama dan saya sangat
menantikan yang berikutnya. "
--The Romance Reviews3
cinta
(buku #2 dalam Harian Vampir)
morgan rice4
Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris
USA Today dari serial fantasi epik CINCIN BERTUAH, yang
terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 HARIAN
VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus
bertambah); serial terlaris #1 THE SURVIVAL TRILOGY
(TRILOGI KESINTASAN), sebuah thriller pasca-apokaliptik
yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan serial
fantasi epik KINGS AND SORCERERS (PARA RAJA DAN
PENYIHIR), yang terdiri dari dua buku (dan terus
bertambah). Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio
dan cetak, serta terjemahan yang tersedia dalam lebih dari
25 bahasa.
PENJELMAAN (Buku #1 dalam HARIAN VAMPIR), ARENA
SATU (Buku #1 dari Trilogi Kesintasan) dan PERJUANGAN
PARA PAHLAWAN (Buku #1 dalam Cincin Bertuah) dan
KEBANGKITAN PARA NAGA (Raja dan Penyihir?Buku #1)
yang masing-masing tersedia sebagai unduhan gratis!
Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu
untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk
bergabung di daftar e- mail, menerima buku gratis,
menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis,
mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke
Facebook dan
Twitter, dan tetap terhubung!5
Pujian Pilihan untuk Morgan Rice "Sebuah buku rival dari
TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES, dan satu- satunya yang
akan membuat Anda ingin terus membacanya sampai
halaman terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta,
dan vampir, buku inilah yang tepat bagi Anda!" -Vampirebooksite.com {berdasarkan Penjelmaan} "Rice
melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke
dalam kisah ini dari awal, memanfaatkan kualitas deskriptif
yang hebat yang melampaui penggambaran setting
semata Ditulis dengan indah dan sangat cepat
dibacanya." --Black Lagoon Reviews (berdasarkan
Penjelmaan) "Adalah suatu kisah yang ideal bagi para
pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang
bagus dengan memutarbalikkan lika-liku yang
menarik...Menyegarkan dan unik. Serial yang berfokus di
sekitar seorang anak perempuan anak perempuan yang
luar biasa!... PENJELMAAN mudah dibaca tapi bertempo
cepat... Diberi peringkat
PG." --The Romance Reviews (berdasarkan Penjelmaan)
"Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat
lepas.Kisah ini merupakan sebuah petualangan
menakjubkan yang bertempo cepat dan aksi yang dikemas
sejak awal. Tidak ditemukan momen yang membosankan."
--Paranormal Romance Guild (berdasarkan Penjelmaan)
"Kesulitan yang dikemas dengan aksi, romansa,
petualangan, dan ketegangan. Dapatkan buku yang satu ini
dan jatuh cinta lagi dan lagi." --vampirebooksite.com
(berdasarkan Penjelmaan) "Alur yang bagus, dan
khususnya, ini adalah buku yang akan sulit Anda tinggalkan
di malam hari. Bagian akhirnya sangat menegangkan yang
begitu spektakuler sehingga Anda segera ingin membeli
buku selanjutnya, hanya untuk melihat apa yang akan
terjadi." --The Dallas Examiner (berdasarkan Cinta)
"Morgan Rice membuktikan dirinya lagi dengan menjadi
penulis kisah yang sangat bertalenta... Buku ini akan6
menarik berbagai macam audiens, termasuk para
penggemar yang lebih muda dari genre vampir/fantasi.
Buku ini diakhiri dengan ketegangan yang menyisakan
keterkejutan bagi Anda." --The Romance Reviews
(berdasarkan Cinta)7
Buku-buku oleh Morgan Rice
RAJA DAN PENYIHIR
KEBANGKITAN PARA NAGA (Buku #1)
KEBANGKITAN SANG PEMBERANI (Buku #2)
CINCIN BERTUAH
PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)
BARISAN PARA RAJA (Buku #2)
TAKDIR NAGA (Buku #3)
PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)
IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)
PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)
RITUAL PEDANG (Buku #7)
SENJATA PUSAKA (Buku #8)
LANGIT MANTRA (Buku #9)
LAUTAN PERISAI (Buku #10)
TANGAN BESI (Buku #11)
DARATAN API (Buku #12)
SANG RATU (Buku #13)
SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)
IMPIAN FANA (Buku #15)
PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)
HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)
TRILOGI KESINTASAN
ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)
ARENA DUA (Buku #2)
HARIAN VAMPIR
PENJELMAAN (Buku #1)
CINTA (Buku #2)8
KHIANAT (Buku #3)
TAKDIR (Buku #4)
DIDAMBAKAN (Buku #5)
TUNANGAN (Buku #6)
SUMPAH (Buku #7)
DITEMUKAN (Buku #8)
BANGKIT (Buku #9)
RINDU (Buku #10)
NASIB (Buku #11)91011
DAFTAR ISI
SATU DUA TIGA EMPAT
LIMA ENAM TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH DUA
PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
TWENTY EIGHT
DUA PULUH SEMBILAN12
Hak cipta ? 2011 oleh Morgan Rice
Semua hak cipta dilindungi Undang-Undang. Kecuali
diizinkan menurut U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta
tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa
direproduksi, didistribusikan, atau dipindahtangankan dalam
bentuk apa pun atau dengan maksud apa pun, atau
disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin
sebelumnya dari penulis.
eBuku ini terlisensi untuk hiburan pribadi Anda saja. eBuku
ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang
lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain,
silakan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika
Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak
dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silakan
mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri.
Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.
Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis,
organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil
karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap
kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup
atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.13
FAKTA:
Di Salem, pada tahun 1692, selusin remaja wanita, dikenal
sebagai "the afflicted (yang tertindas)," mengalami penyakit
misterius yang membuat mereka menjadi histeris dan
masing-masing berteriak bahwa dukun setempat telah
menyiksa mereka. Peristiwa ini menyebabkan serangkaian
penelitian dukun Salem.
Penyakit misterius yang telah menggerogoti para remaja
wanita ini tidak pernah, hingga saat ini, dapat dijelaskan.
"Malam ini, dia bermimpi melihat patungku, Yang
menyerupai sebuah air mancur dengan ratusan seringai,
Yang mengalirkan darah segar: dan banyak orang Roma
yang bernafsu Datang dengan tersenyum, dan membasuh
tangan mereka di dalamnya:
Dan karena inilah dia menganggapnya sebagai peringatan,
dan pertanda,
Dan kejahatan semakin mendekat..."
--William Shakespeare, Julius Caesar14
SATU Lembah Hudson, New York (Masa Kini) Untuk pertama
kalinya dalam minggu ini, Caitlin Paine merasa tenang.
Caitlin duduk dengan nyaman di lantai lumbung kecil, dia dia
bersandar di atas jerami, dan menghela napas. Api kecil
berkobar di perapian batu sekitar sepuluh kaki jauhnya; dia
baru saja menambahkan sebatang kayu, dan merasa
tenang oleh suara keretakan kayu.
Bulan Maret masih belum berakhir, dan malam ini terasa
paling dingin. Jendela yang ada jauh di dinding
menampakkan sebuah pemandangan langit malam, dan dia
bisa melihat salju masih berjatuhan. lumbung itu tanpa
pemanas, tapi dia duduk cukup dekat dengan perapian
untuk menghangatkan dirinya.
Dia merasa sangat nyaman, dan merasakan matanya
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin berat. Bau dari perapian menyelubungi lumbung itu,
dan ketika dia semakin merebahkan badannya, dia bisa
merasakan ketegangan mulai meninggalkan bahu dan
kakinya.
Tentu saja, alasan sesungguhnya dari rasa damainya, yang
dia sadari, bukanlah dari perapian, atau jerami, atau bahkan
naungan lumbung itu. Itu adalah karena dia. Caleb. Ia
duduk dan memandangi Caleb.
Dia berbaring di hadapannya, sekitar lima belas kaki jauhnya,
masih begitu sempurna. Dia tertidur, dan ia mengambil
kesempatan itu untuk mengamati wajahnya, sosok yang
sempurna, kulitnya yang pucat dan seperti kaca. Ia tidak
pernah melihat sosok yang terpahat begitu sempurna.
Sosoknya nyata, seperti memandangi sebuah patung. Ia
tidak bisa memahami bagaimana dia telah hidup selama15
3.000 tahun. Caitlin, yang berusia 18 tahun, sudah nampak
lebih tua darinya. Tapi semua itu lebih dari sosoknya. Ada
suatu suasananya dirinya, sebuah energi lembut yang dia
pancarkan.
Suatu suasana yang sangat damai. Ketika ia ada di
dekatnya, ia tahu bahwa semua hal akan baik-baik saja. Ia
sangat gembira dia masih ada di sana, masih bersama
dengan dirinya. Dan ia membiarkan dirinya sendiri berharap
bahwa mereka akan tetap bersama. Namun ketika
memikirkannya, ia memaki dirinya sendiri, mengetahui
bahwa ia menempatkan dirinya dalam masalah.
Laki-laki memang seperti itu, ia tahu, jangan menempel
terus. Itu bukanlah seperti sifat mereka. Caleb tidur dengan
nyenyak, dia mengambil napas pendek, yang membuat
Caitlin sulit menyimpulkan apakah dia benar-benar tertidur.
Tadi dia harus pergi, untuk bersantap, katanya. Dia telah
kembali dengan lebih tenang, membawa setumpuk kayu,
dan dia menemukan sebuah cara untuk menutup pintu
lumbung supaya salju tidak masuk.
Dia telah menyalakan api, dan sekarang dia telah tertidur,
sedangkan ia tetap terjaga. Ia mengulurkan tangan dan
meneguk segelas anggur merah, dan merasakan cairan
hangat itu membuatnya tenang secara perlahan. Ia
menemukan botol anggur itu dalam sebuah peti tersembunyi,
di bawah tumpukan jerami; ia ingat ketika adiknya, Sam
menyembunyikannya di sana, beberapa bulan yang lalu,
dan untuk iseng saja. Ia tidak pernah minum, tapi ia tidak
melihat ada bahaya dalam beberapa tegukan, khususnya
setelah apa yang ia lalui. Ia memegang buku hariannya di
atas pangkuan, membuka-buka halaman, sebuah pena di
satu tangan dan gelas di tangan lainnya. Ia telah
memegangnya selama 20 menit. Ia tidak punya gagasan16
dari mana ia harus memulainya. Ia tidak penah mengalami
kesulitan menulis buku harian sebelumnya, tapi kali ini
berbeda.
Peristiwa-peristiwa pada beberapa hari terakhir ini
berlangsung begitu dramatis, terlalu sulit untuk dipahami. Ini
adalah pertama kalinya ia duduk tenang dan santai. Pertama
kalinya ia merasa sangat aman. Ia telah memutuskan
bahwa yang terbaik adalah memulai dari awal.
Apa saja yang telah terjadi. Mengapa ia berada di sini.
Siapakah dirinya. Ia harus memahaminya. Ia bahkan tidak
yakin apakah ia bisa menjawab semua pertanyaan itu.
*****
Sampai minggu kemarin, hidupnya normal. Aku
sesungguhnya mulai menyukai Oakville. Kemudian suatu
hari Ibu tiba-tiba mengumumkan kami akan pindah. Lagi.
Hidup berubah total, seperti yang selalu terjadi dengannya.
Kali ini adalah yang terburuk. Itu bukanlah daerah pinggiran
lainnya. Tempat itu adalah New York. Sebagaimana di
perkotaan. Sekolah umum dan hidup di antara beton. Dan
sebuah lingkungan yang berbahaya. Sam juga merasa
jengkel. Kami berbincang-bincang tentang tidak melanjutkan
hal itu, tentang kepergian. Namun sesungguhnya adalah,
kami tidak punya tempat lagi untuk pergi. Jadi kami pergi
bersama. Kami berdua bersumpah secara diam-diam
bahwa jika kami tidak menyukainya, kami akan pergi.
Mencari suatu tempat. Di mana saja. Mungkin bahkan
mencoba mencari Ayah lagi, meski kami berdua tahu bahwa
hal itu tidak akan terjadi. Dan kemudian semua hal itu terjadi.
Begitu cepat. Tubuhku. Berubah. Menjelma. Aku masih
tidak tahu apa yang terjadi, atau menjadi siapa aku ini. Tapi17
aku tahu, aku bukan orang yang sama lagi. Aku ingat
malam paling menentukan ketika semua hal ini berawal.
Gedung Carnegie. Kencanku dengan Jonah. Dan
kemudian...rehat. Santapan...ku? Membunuh seseorang?
Aku masih tidak bisa mengingatnya. Aku hanya tahu dari
apa yang telah mereka katakan kepadaku. Aku tahu bahwa
aku telah melakukan sesuatu malam itu, tapi itu semua
samar- samar. Apa pun yang telah aku lakukan, itu masih
terasa seperti sebuah lubang dalam perutku. Aku tidak
pernah mau menyakiti siapa pun. Hari berikutnya, aku
merasakan perubahan dalam diriku. Aku memang menjadi
lebih kuat, lebih cepat, lebih sensitif terhadap cahaya. Aku
juga mencium bau-bauan. Hewan-hewan bertingkah aneh di
sekitarku, dan aku merasakan diriku bertingkah aneh di
dekat hewan. Dan kemudian ibu datang. Mengatakan
kepadaku bahwa dia bukanlah ibuku yang sesungguhnya,
dan kemudian terbunuh oleh vampir-vampir itu, vampir yang
mengejarku. Aku tidak pernah menginginkan melihatnya
disakiti seperti itu. Aku masih merasa bahwa itu semua
adalah kesalahanku. Tapi juga dengan hal-hal lain, aku
tidak bisa membiarkan diriku melakukannya. Aku harus
fokus pada apa yang ada di hadapanku, apa yang bisa aku
kendalikan. Aku tadinya tertangkap. Oleh vampir-vampir
mengerikan itu. Dan kemudian, pelarianku. Caleb.
Tanpanya, aku yakin mereka sudah membunuhku. Atau
bisa lebih buruk lagi. Covennya Caleb. Orang-orangnya.
Begitu berbeda. Tapi para vampir, semuanya sama saja.
Teritorial. Cemburu. Curiga. Mereka mengusirku, dan
mereka tidak memberinya pilihan. Tapi dia telah memilih.
Meskipun demikian, dia memilihku. Sekali lagi, dia telah
menyelamatkan aku. Dia mempertaruhkan segalanya
untukku. Aku mencintainya karena itu. Lebih dari yang dia
ketahui. Aku harus membantunya kembali. Dia merasa aku
adalah yang terpilih, sesuatu semacam juru selamat vampir.
Dia percaya aku akan membimbingnya ke semacam18
pedang yang hilang, yang akan menghentikan perang
vampir dan menyelamatkan semua orang. Secara pribadi,
aku tidak memercayainya. Orang-orangnya sendiri tidak
memercayainya. Tapi aku tahu bahwa hanya itu yang dia
miliki, dan itu berarti segalanya bagi dirinya. Dia
mempertaruhkan segalanya untukku, dan setidaknya inilah
yang bisa aku lakukan. Bagiku, ini bahkan bukan tentang
pedang itu. Aku hanya tidak ingin melihatnya pergi. Jadi
aku akan melakukan apa pun yang aku bisa. Lagi pula, aku
selalu ingin mencoba menemukan ayahku. Aku ingin tahu
siapa dia sesungguhnya. Siapa sesungguhnya aku ini.
Apakah aku benar-benar setengah vampir, atau setengah
manusia, atau apa pun itu. Aku membutuhkan jawaban. Jika
tidak ada hal lain, aku ingin tahu aku akan menjadi seperti
apa... * "Caitlin?" Ia bangun dengan terkejut. Ia
mendongak untuk melihat Caleb berdiri di sampingnya,
tangannya diletakkan dengan lembut di bahu Caitlin. Dia
tersenyum.
"Aku rasa kau tertidur," ujarnya. Ia memandang ke sekeliling,
melihat buku hariannya terbuka di pangkuannya dan
menutupnya dengan segera. Ia merasa pipinya merona,
berharap dia tidak membacanya sama sekali. Khususnya,
bagian tentang perasaan Caitlin kepadanya. Ia duduk tegak
dan mengusap matanya. Saat itu masih malam hari, dan api
masih menyala, meskipun apinya semakin mengecil. Dia
pasti baru saja terbangun. Ia bertanya-tanya berapa lama ia
tertidur. "Maaf," kata Caitlin. "Itu adalah pertama kalinya aku
tidur selama beberapa hari ini." Dia tersenyum lagi, dan
melintasi ruangan menuju ke perapian. Dia melemparkan
beberapa kayu lagi, dan kayu itu berkeretak dan mendesis,
sebagaimana api menjadi lebih besar. Ia merasakan
kehangatan mencapai kakinya. Dia duduk di sana,
memandangi api, dan senyumnya perlahan-lahan
menghilang saat dia nampak tenggelam dalam pikirannya.
Ketika dia memandangi api, wajahnya diterangi cahaya19
dengan kilau yang hangat, membuatnya terlihat semakin
menarik, jika itu adalah hal memungkinkan.
Matanya yang besar dan berwarna coklat terbuka lebar, dan
saat Caitlin memandanginya, warnanya berubah menjadi
hijau muda. Caitlin duduk semakin tegak, dan melihat gelas
anggur merahnya masih penuh. Ia meneguknya, dan
anggur itu menghangatkan dirinya. Ia belum makan selama
beberapa waktu, dan anggur itu langsung memengaruhi
kepalanya. Ia melihat gelas plastik lain ada di sana, dan ia
ingat sopan-santunnya. "Bolehkan aku menuangkan
untukmu?" tanyanya, dengan gugup, "itu, maksudku, aku
tidak tahu apakah kau minum?" Dia tertawa. "Ya, vampir
minum anggur juga," ujarnya dengan sebuah senyum, dan
mendekat serta memegang gelas saat ia menuangkan
anggur itu. Ia terkejut. Bukan karena kata-katanya, tapi oleh
tawanya. Tawanya lembut, elegan, dan sepertinya
menghilang dengan perlahan dalam ruangan itu. Seperti
segala sesuatu tentang dirinya, tawanya juga misterius. Ia
memandangi matanya ketika dia mengangkat gelas ke
bibirnya, berharap bahwa dia akan balas menatapnya.
Dia melakukannya. Lalu mereka berdua memalingkan muka
pada saat yang sama. Ia merasakan jantungnya berdegup
lebih kencang. Caleb kembali berjalan ke tempatnya, duduk
di atas jerami, bersandar, dan menatap Caitlin. Sekarang
kelihatannya dia sedang mengamatinya. Ia merasa
canggung. Ia secara tidak sadar meraba-raba pakaiannya,
dan berharap ia mengenakan pakaian yang lebih bagus.
Benaknya berpacu saat ia mencoba mengingat apa yang ia
kenakan. Di suatu tempat sepanjang perjalanan, ia tidak
bisa ingat di mana, mereka berhenti sebentar di sebuah kota,
dan ia pergi ke satu-satunya toko yang ada?Salvation
Army?dan menemukan baju ganti. Ia menunduk dengan
cemas, dan bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Ia
mengenakan jins pudar dan koyak, sepatu kets yang satu20
ukuran terlalu besar untuknya, dan sebuah sweater di atas
kaus oblong. Di atas kaus oblong itu, ia mengenakan jaket
pudar berwarna ungu kacang, satu kancing hilang, yang
juga terlalu besar untuknya. Tapi pakaian itu hangat. Dan
sekarang, itulah yang ia butuhkan.
Ia merasa canggung. Mengapa dia melihatnya seperti ini?
Itu hanyalah keberuntungannya bahwa pertama kalinya ia
menemukan seorang pria yang benar-benar ia sukai, ia
bahkan tidak punya kesempatan untuk membuat dirinya
terlihat cantik. Tidak ada kamar mandi dalam lumbung ini,
dan bahkan jika ada, ia tidak membawa riasan. Ia
memalingkan muka lagi, merasa malu. "Apakah aku tidur
dalam waktu yang lama?" tanyanya. "Aku tidak yakin. Aku
sendiri baru saja bangun." ujarnya, bersandar dan
membelai tangan melalui rambutnya. "Aku bersantap lebih
awal malam ini. Itu membuatku lelah." Ia memandanginya.
"Jelaskan kepadaku," ujarnya. Dia menatapnya. "Minum
darah," tambahnya. "Seperti, bagaimana cara kerjanya?
Apakah kau...membunuh orang?" "Tidak, tidak pernah," ujar
Caleb. Ruangan itu menjadi sunyi saat ia berusaha
memikirkan sesuatu. "Seperti semua hal dalam ras vampir,
minum darah adalah hal yang
rumit," ujarnya. "Itu tergantung pada jenis vampir apa, dan
coven mana kau berasal. Jika aku, aku hanya meminum
darah hewan. Biasanya, rusa. Toh, rusa kelebihan populasi,
dan manusia juga memburunya?dan bahkan tidak untuk
dimakan." Ekspresinya berubah gelap. "Tapi coven lain
tidak sebegitu ramah. Mereka akan menyantap manusia.
Biasanya, orang-orang yang tidak diinginkan." "Orang-orang
yang tidak diinginkan?" "Tuna wisma, gelandangan,
pelacur...mereka yang tidak akan diperhatikan. Itulah yang
selama ini terjadi. Mereka tidak ingin menarik perhatian
terhadap ras mereka. "Itulah mengapa kami menganggap
covenku, jenis vampirku, berdarah murni, dan jenis lain21
tidak murni. Apa yang kau santap...energinya merasukimu."
Caitlin duduk di sana, berpikir. "Bagaimana denganku?"
Tanyanya. Dia menatapnya. "Mengapa aku kadang-kadang
ingin meminum darah, tapi tidak yang lainnya?" Dia
mengernyitkan alisnya. "Aku tidak yakin. Kau berbeda. Kau
setengah keturunan. Itu adalah suatu hal yang sangat
langka...aku tidak tahu karena kau muncul sesuai usia.
Sedangkan yang lain, mereka berubah, dalam semalam.
Untukmu, ini adalah sebuah proses. Mungkin memerlukan
waktu bagimu untuk berubah, untuk menjalani perubahan
apa pun yang kau alami." Caitlin kembali berpkir dan
mengingat sengatan laparnya, bagaimana rasa itu
melandanya secara tiba-tiba. Bagaimana rasa itu
membuatnya tidak dapat berpikir apa pun selain menyantap.
Mengerikan sekali. Ia takut hal itu terjadi lagi. "Tapi
bagaimana aku tahu kapan itu akan terjadi lagi?" Dia
menatapnya. "Kau tidak perlu tahu." "Tapi aku tidak pernah
menginginkan untuk membunuh manusia," ujarnya. "Sama
sekali." "Kau tidak perlu khawatir. Kau bisa minum darah
hewan." "Tapi bagaimanakah jika hal itu terjadi ketika aku
terjebah di suatu tempat?"
"Kau harus belajar untuk mengendalikannya. Itu
memerlukan latihan. Dan tekad. Itu tidak mudah. Tapi
memungkinkan. Kau bisa mengendalikannya. Itu adalah
apa yang dijalani setiap vampir." Caitlin membayangkan
tentang seperti apa rasanya terperangkap dan menyantap
hewan hidup. Ia tahu ia sudah lebih cepat daripada
sebelumnya, tapi ia tidak tahu apakah ia secepat itu. Dan ia
tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan jika ia
benar-benar menangkap seekor rusa. Ia menatapnya.
"Maukah kau mengajariku?" tanyanya, penuh harap. Dia
bertatapan mata dengannya, dan ia bisa merasakan
jantungnya berdegup. "Minum darah adalah suatu hal yang
suci dalam ras kami. Itu selalu dilakukan sendirian," ujarnya,
lembut dan dengan nada meminta maaf. ":Kecuali..." Dia22
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdiam. "Kecuali?" tanyanya. "Dalam upacara pernikahan.
Untuk mengikat suami dan istri. Dia memalingkan muka,
dan ia bisa melihatnya bergerak. Ia merasakan darah
mengalir ke pipinya, dan tiba-tiba ruangan itu menjadi
sangat hangat. Ia memutuskan untuk melupakannya. Ia
tidak mengalami sengatan rasa lapar sekarang, dan ia bisa
menyeberangi jalan itu saat ia mengalaminya. Ia berharap
dia akan ada di sisinya pada saat itu. Selain itu, jauh di
lubuk hatinya, ia tidak sungguh-sungguh peduli tentang
meminum darah, atau vampir, atau pedang, atau apa pun itu.
Yang sangat ingin ia ketahui adalah tentang dia. Atau,
sesungguhnya, bagaimana perasaan Caleb terhadapnya.
Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan
kepadanya. Mengapa kau mempertaruhkan itu semua
untukku? Apakah hanya untuk menemukan pedang itu?
Atau apakah ada hal lain? Setelah kau menemukan
pedangmu, akankah kau masih ada di sampingku?
Meskipun cinta dengan seorang manusia itu terlarang,
akankah kau menyeberangi batas itu untukku? Namun ia
takut. Jadi, sebaliknya, ia hanya berkata: "Aku harap kita
menemukan pedangmu." Pengecut, pikirnya. Itukah hal
terbaik yang bisa kau lakukan? Tidak
bisakah kau mendapatkan keberanian untuk mengatakan
apa yang sedang kau pikirkan? Tapi energinya terlalu
besar, dan kapan pun ia ada di dekatnya, energi itu
membuatnya sulit untuk berpikir jernih. "Aku akan
melakukannya," jawabnya. "Itu bukan senjata biasa. Pedang
itu telah diincar oleh kaum kami selama berabad-abad.
Kabarnya pedang itu menjadi contoh pedang Turki terbaik
yang pernah dibuat, dibuat dari sebuah logam yang bisa
membunuh semua vampir. Dengan pedang itu, kami akan
menjadi tidak terkalahkan. Tanpa pedang itu..." Dia terdiam,
tiba-tiba takut menyuarakan akibatnya. Caitlin berharap
Sam ada di sana, berharap dia bisa membantu
membimbing mereka kepada ayahnya. Ia mengamati23
lumbung itu lagi. Ia tidak melihat ada tanda-tanda baru dari
Sam. Ia berharap, sekali lagi ia tidak menghilangkan
ponselnya dalam perjalanan. Ponsel itu akan membuat
hidupnya lebih mudah. "Sam biasanya selalu pergi ke sini,"
kata Caitlin. "Aku yakin dia akan datang ke sini. Tapi aku
tahu dia kembali kembali ke kota ini?aku yakin sekali. Dia
tidak akan pergi ke tempat lain. Besok kita akan pergi ke
sekolah, dan aku akan bicara dengan teman-temanku. Aku
akan mencari tahu." Caleb mengangguk. "Kau yakin dia
tahu di mana ayahmu berada?" tanyanya. "Aku...tidak
tahu," jawabnya. "Tapi aku tahu bahwa dia mengetahui
lebih banyak tentang ayah dibandingkan aku. Dia telah
mencoba menemukan ayah dari dulu. Jika ada yang
mengetahui apa pun tentang ayah, itu adalah Sam." Caitlin
kembali berpikir dan mengingat saat-saat yang telah ia lalui
dengan Sam, dia selalu mencari, menunjukkan petunjukpetunjuk baru kepadanya, yang selalu mengecewakan.
Semua malam dia pergi ke kamarnya dan duduk di pinggir
ranjangnya. Keinginannya untuk bertemu ayah mereka
sangat luar biasa, seperti sebuah benda hidup di dalam
dirinya. Ia juga merasakannya, tapi tidak sebesar Sam.
Dalam beberapa hal, kekecewaannya semakin sulit untuk
dilihat. Caitlin memikirkan masa kanak-kanak mereka yang
berantakan, dari semua yang telah mereka lewatkan, dan
tiba-tiba merasa dilanda emosi. Air mata terbentuk di sudut
matanya, dan, merasa malu, ia segera
menyekanya, berharap Caleb tidak melihat. Tapi dia sudah
melihatnya. Dia mendongak dan menatapnya, ingin tahu.
Dia berdiri perlahan-lahan dan duduk di sebelahnya. Dia
begitu dekat, ia bisa merasakan energinya. Sangat kuat.
Jantungnya mulai berdegup. Dia membelai rambutnya
dengan lembut, membalikkan wajah Caitlin. Lalu jarinya
membelai sudut matanya, dan kemudian turun ke pipinya. Ia
tetap menundukkan wajahnya, menatap lantai, takut untuk
menatap matanya. Ia bisa merasakan mata Caleb24
mengamatinya. "Jangan khawatir," katanya, suaranya yang
dalam dan lembut membuatnya sangat tenang. "Kita akan
menemukan ayahmu. Kita akan melakukannya bersamasama." Tapi itu bukanlah apa yang ia khawatirkan. Ia
khawatir terhadap dirinya. Caleb. Khawatir saat Caleb akan
meninggalkan dirinya. Jika ia bertatap muka dengannya, ia
bertanya-tanya apakah dia akan menciumnya dirinya. Ia
sangat ingin merasakan sentuhan bibirnya. Tapi dia takut
untuk memalingkan kepalanya. Saat itu terasa seperti
berjam-jam lamanya sampai ia akhirnya mengumpulkan
keberanian untuk mendongak. Tapi dia telah berpaling. Dia
bersandar dengan perlahan di atas rumput kering, matanya
terpejam, tertidur, ada sebuah senyum lembut di wajahnya,
diterangi oleh cahaya perapian. Ia merosot lebih dekat
dengannya dan berbaring, meletakkan kepalanya beberapa
inchi dari bahunya. Mereka hampir bersentuhan. Dan
hampir cukup baginya.
*****25
DUA Caitlin menarik pintu lumbung dan memicingkan mata pada
dunia yang diselimuti salju. Cahaya matahari putih
memantulkan semuanya. Ia mengangkat tangannya ke arah
matanya, merasakan rasa sakit yang tidak pernah ia alami:
matanya sangat terasa sakit. Caleb melangkah keluar di
sampingnya, saat dia telah selesai melapisi tangan dan
lehernya dengan sebuah bahan tembus pandang yang tipis.
Bahan itu hampir seperti pembungkus, tapi nampak menyatu
dengan kulitnya ketika dia memakainya. Ia bahkan hampir
tidak bisa melihatnya. "Apa itu?" "Pelapis kulit," ujarnya,
menunduk saat ia membungkus tangan dan bahunya
dengan hati-hati sebanyak beberapa kali. "Inilah yang
memungkinkan kami pergi keluar dalam cahaya matahari.
Jika tidak, kulit kami akan terbakar." Dia memandanginya.
"Kau belum membutuhkannya." "Bagaimana kau tahu?"
tanya Caitlin. "Percayalah kepadaku," ujarnya, menyeringai.
"Kau akan tahu."
Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan tabung kecil obat
tetes mata, menengadah dan meneteskan beberapa tetes
pada tiap mata. Dia berpaling dan menatapnya. Pasti
terlihat jelas kalau matanya sakit, karena dia meletakkan
tangannya dengan lembut di keningnya. "Tengadahkan
kepalamu," ujarnya. Ia menengadahkan kepalanya. "Buka
matamu," ujarnya. Saat ia melakukannya, Caleb
mengulurkan tangan dan memberikan satu tetesan di tiap
mata. Tetes mata itu sakitnya bukan main, dan ia menutup
mata lalu menunduk. "Aduh," katanya, menyeka matanya.
"Kalau kau marah kepadaku, beritahu saja." Dia tersenyum
lebar. "Maaf. Itu terasa seperti terbakar kali pertama, tapi
kau akan terbiasa. Kepekaanmu akan hilang dalam
beberapa detik." Ia mengerjap dan menggosok matanya.
Akhirnya, ia mendongak, dan matanya terasa lebih baik. Dia
benar: semua rasa sakit itu telah hilang.26
"Sebagian besar dari kita tidak akan berusaha keluar selama
ada sinar matahari bila kami tidak ada keperluan. Kami
semua lebih lemah saat siang hari. Tapi kadang-kadang,
kami harus melakukannya." Dia menatap Caitlin.
"Sekolahnya itu," ujarnya. "Jauhkah?" "Hanya jalan kaki
sebentar," ujarnya, meraih lengannya dan menggiringnya
melintasi rerumputan bersalju. "Oakville high. Itu adalah
sekolahku juga, sampai beberapa minggu yang lalu. Salah
satu temanku pasti tahu di mana Sam berada." * Oakville
High terlihat sama persis seperti yang Caitlin ingat. Terasa
nyata kembali ke sini. Ia mengamati sekolahnya dan merasa
seolah-olah ia hanya pergi liburan sebentar, dan sekarang
telah kembali ke kehidupan normal. Ia bahkan membiarkan
dirinya percaya, selama beberapa detik, bahwa semua
peristiwa beberapa minggu yang lalu hanyalah sebuah
mimpi yang aneh. Ia membiarkan dirinya berfantasi bahwa
semuanya sudah normal lagi, sama seperti sebelumnya.
Rasanya bagus juga. Tapi saat ia berpaling dan melihat
Caleb berdiri di sampingnya, ia tahu
bahwa tidak satu pun yang normal. Jika ada hal apa pun
yang lebih nyata dibandingkan kembali ke sini, itu adalah
kembali dengan Caleb di sisinya. Ia akan memasuki sekolah
lamanya dengan pria tampan di sisinya, setinggi lebih dari
enam kaki, dengan bahu besar yang lebar, berpakaian
hitam-hitam, mantel kulit hitam berkerah tinggi memeluk
lehernya, menyelinap di bawah rambutnya yang agak
panjang. Dia nampak seperti dia baru saja keluar dari
sampul salah satu majalah remaja wanita yang populer.
Caitlin membayangkan seperti apa reaksi gadis-gadis lain
ketika melihatnya bersama dengan Caleb. Ia tersenyum
saat membayangkannya. Ia tidak pernah benar-benar
populer, dan pasti tidak ada pria yang sangat
memerhatikannya. Ia bukannya tidak populer?ia punya
beberapa teman baik?tapi ia hampir ada di pusat kelompok
paling populer. Ia menduga ada di suatu tempat di tengah.27
Meskipun begitu, ia ingat perasaan dicemooh oleh
beberapa gadis yang lebih populer, yang nampaknya selalu
bersama, berjalan di lorong dengan angkuh, mengabaikan
siapa saja yang tidak mereka anggap sama sempurnanya
dengan mereka. Sekarang, mungkin, mereka akan
memerhatikannya.
Caitlin dan Caleb menaiki undakan dan melalui pintu ganda
yang lebar menuju sekolah. Caitlin melirik jam besar itu:
8:30. Sempurna. Kelas pertama baru saja selesai, dan
lorong-lorong akan penuh dengan remaja dalam sekejap. Itu
akan membuat mereka tidak terlalu mencurigakan. Ia tidak
perlu khawatir tentang keamanan, atau kartu pas lorong.
Sekejap kemudian, bel berdering, dan dalam beberapa detik,
lorong- lorong mulai dipenuhi remaja. Hal yang tentang
Oakville yaitu tempat itu adalah sebuah dunia terpisah dari
sekolah menengah New York yang mengerikan itu. Di sini,
bahkan ketika lorong-lorong penuh sesak, masih ada ruang
yang cukup untuk bergerak. Jendela kaca besar berjajar di
dinding, membiarkan cahaya masuk dan pemandangan
langit, dan kau bisa melihat pepohonan di mana pun kau
berada. Itu hampir cukup membuatnya merindukan sekolah
itu. Hampir. Ia sudah muak dengan sekolah.
Sesungguhnya, ia hanya memerlukan beberapa bulan lagi
menuju kelulusan, namun ia merasa seolah-olah ia telah
mempelajari lebih banyak dalam beberapa minggu terakhir
ini dibandingkan ia duduk dalam kelas selama beberapa
bulan lagi dan
mendapatkan ijazah resmi. Ia suka belajar, tapi ia sama
gembiranya untuk tidak pernah kembali sekolah lagi. Ketika
mereka menyusuri lorong, Caitlin mencari-cari wajah yang
familiar. Mereka yang berlalu umumnya siswa kelas sepuluh
dan para adik kelas, dan ia tidak menemukan siapa pun dari
kelas seniornya. Tapi saat mereka melewati anak-anak lain,
ia terkejut melihat reaksi yang nampak di semua wajah para28
gadis: setiap gadis benar-benar menatap Caleb. Tidak
seorang gadis pun berusaha menyembunyikannya, atau
bahkan memalingkan muka. Itu adalah hal yang
menakjubkan. Seolah-olah ia menyusuri lorong bersama
dengan Justin Beiber. Caitlin berpaling dan melihat bahwa
semua gadis berhenti berjalan, masih memandangi Caleb.
Beberapa dari mereka saling berbisik. Ia menatap Caleb,
dan bertanya-tanya apakah dia menyadarinya. Jika dia
menyadarinya, dia tidak menunjukkan tanda-tanda itu, dan
dia pasti tidak peduli. "Caitlin?" muncul sebuah suara yang
mengejutkan. Caitlin berpaling dan melihat Luisa berdiri di
sana, salah satu gadis yang pernah berteman dengannya
sebelum ia pindah.
"Ya Tuhan!" Tambah Luisa dengan riang, merentangkan
lengannya lebar-lebar untuk memeluk. Sebelum Caitlin bisa
bereaksi, Luisa sudah memeluknya. Caitlin balas
memeluknya. Rasanya menyenangkan melihat wajah yang
familiar. "Apa yang terjadi denganmu?" Luisa bertanya,
berbicara dengan cepat dan riang, seperti biasanya, sedikit
aksen Latinnya mengalir keluar, seperti saat dia baru saja
pindah ke sini dari Puerto Rico beberapa tahun sebelumnya.
"Aku bingung sekali! Aku kira kau pindah!? Aku mengirim
SMS dan IM kepadamu, tapi kau tidak pernah membalas ?"
"Aku minta maaf," kata Caitlin. "Aku kehilangan ponselku,
dan aku belum ada di dekat komputer sama sekali, dan?"
Luisa tidak mendengarkan. Dia baru saja menyadari Caleb,
dan dia sedang menatapnya, terpesona. Mulutnya hampirhampir menganga. "Siapa temanmu itu?" akhirnya dia
bertanya, hampir berbisik. Caitlin tersenyum: ia tidak pernah
melihat temannya begitu salah tingkah sebelumnya. "Luisa,
ini Caleb," kata Caitlin. "Senang berjumpa denganmu," ujar
Caleb, balas tersenyum,
mengulurkan tangannya. Luisa hanya tetap menatapnya.
Dia perlahan-lahan mengulurkan tangannya, dengan29
linglung, jelas-jelas terlalu terkejut untuk berbicara. Dia
menatap Caitlin, tidak paham bagaimana Caitlin bisa
membawa pria semacam itu. Dia menatap Caitlin dengan
cara yang berbeda, hampir seolah-olah dia tidak pernah
tahu siapa Caitlin sebelumnya. "Mm..." Luisa memulai,
matanya melebar, "...mm...begini...di mana...
begini...bagaimana kalian bertemu?" Untuk sedetik, Caitlin
bingung bagaimana menjawabnya. Ia membayangkan
menceritakan semuanya kepada Luisa, dan tersenyum atas
gagasan itu. Itu tidak akan berhasil. "Kami bertemu...setelah
sebuah konser," kata Caitlin. Setidaknya sebagiannya benar.
"OMG, konser apa? Di kota? Black Eyed Peas!?" dia
bertanya dengan cepat, "Aku iri sekali! Aku sangat ingin
bertemu mereka!" Caitlin tersenyum karena membayangkan
Caleb di sebuah konser rock. Entah kenapa, ia tidak merasa
dia cocok di sana. "Mm...tidak persis seperti itu," kata Caitlin.
"Luisa, dengar, maaf karena tidak menjawabmu, tapi aku
tidak punya banyak waktu. Aku harus tahu di mana Sam
berada. Apakah kau melihatnya?" "Tentu saja. Semua
orang melihatnya. Dia kembali minggu kemarin. Dia
kelihatan aneh. Aku bertanya padanya di mana kau berada
dan apa urusannya, tapi dia tidak mau memberitahu aku.
Dia mungkin tersingkir ke lumbung kosong yang dia sukai."
"Tidak," jawab Caitlin. "Kami baru saja ke sana." "Sungguh?
Maaf. Aku tidak tahu. Dia kelas sepuluh, kan? Kami jarang
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berselisih jalan. Sudahkah kau mencoba meng-IM dia? Dia
selalu aktif di Facebook." "Aku belum punya ponsel baru?"
Caitlin memulai. "Pakai punyaku," tukas Luisa, dan sebelum
ia bisa menyelesaikan kalimatnya, dia menjejalkan
ponselnya ke tangan Caitlin. "Facebook-nya sudah terbuka.
Masuk saja dan kirimi dia pesan." Tentu saja, pikir Caitlin.
Kenapa aku tidak terpikir ke sana? Caitlin masuk ke
akunnya, mengetikkan nama Sam di kotak pencarian,
menampilkan profilnya, dan mengklik pesan. Ia bimbang,
bertanya-tanya apa persisnya yang harus ia tuliskan. Lalu ia30
mengetikkan; "Sam. Ini aku.
Aku ada lumbung. Datanglah untuk menemui aku.
SEGERA." Ia mengklik kirim dan mengembalikan ponsel itu
kepada Luisa. Caitlin mendengar keributan, dan berbalik.
Sekelompok gadis senior paling populer menuju ke lorong,
tepat ke arah mereka. Mereka berbisik. Dan semuanya
menatap langsung ke arah Caleb. Untuk pertama kalinya,
Caitlin merasakan sebuah emosi baru muncul dalam dirinya.
Cemburu. Ia bisa melihat dalam mata mereka bahwa gadisgadis ini, yang tidak pernah memerhatikan dirinya
sebelumnya, akan dengan senang hati menarik Caleb diamdiam dalam sekejap. Gadis-gadis ini telah memikat semua
laki-laki di sekolah, cowok mana pun yang mereka inginkan.
Tidak peduli apakah mereka punya pacar atau tidak. Kau
hanya berharap mereka tidak menatap cowokmu. Dan
sekarang mereka semua menatap Caleb. Caitlin berharap
dan berdoa, semoga Caleb kebal dengan kekuatan mereka.
Karena dia mungkin masih menyukai Caitlin. Namun
meskipun ia memikirkannya, ia tidak bisa memahami
mengapa dia Caleb harus melakukannya. Ia gadis yang
biasa-biasa saja. Mengapa dia mau tetap tinggal
bersamanya ketika gadis-gadis seperti ini bersedia bersaing
untuk mendapatkan dia? Caitlin berdoa dalam hati bahwa
gadis-gadis itu akan terus berjalan. Kali ini saja. Namun,
tentu saja, mereka berhenti. Jantungnya berdegup saat
kelompok gadis itu berpaling dan berjalan tepat ke arah
mereka. "Hai Caitlin," salah satu gadis berkata kepadanya,
dengan suara manis yang dibuat-buat. Tiffany. Gadis tinggi
dengan rambut pirang lurus, mata biru, dan sekurus tongkat.
Mengenakan pakaian desainer dari kepala sampai kaki.
"Siapa temanmu itu?" Caitlin tidak tahu harus berkata apa.
Tiffany, dan teman-temannya, tidak pernah menganggap
Caitlin sama sekali. Mereka bahkan tidak pernah menoleh
untuk melihatnya seperti saat ini. Ia terkejut karena mereka
menyadari bahwa dirinya ada, dan mengetahui namanya.31
Dan sekarang mereka memulai percakapan. Tentu saja,
Caitlin tahu itu tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Mereka menginginkan Caleb. Sangat menginginkannya
sehingga bisa membuat mereka merendahkan diri
mereka untuk berbicara kepadanya. Ini bukan pertanda
bagus. Caleb pasti telah merasakan ketidaknyamanan
Caitlin, karena dia mengambil satu langkah lebih dekat ke
arahnya dan meletakkan satu tangannya merangkul
bahunya. Caitlin tidak pernah lebih bersyukur untuk setiap
gerakan dalam hidupnya. Dengan keyakinan barunya,
Caitlin menemukan kekuatan untuk berbicara. "Caleb,"
jawabnya. "Jadi, begini, apa yang kalian lakukan di sini?"
tanya gadis lainnya. Bunny. Dia adalah replika dari Tiffany,
kecuali rambut coklatnya. "Aku kira kau, eh, pergi atau
semacamnya." "Yah, aku kembali," jawab Caitlin. "Jadi,
apakah kau...juga orang baru di sini?" Tiffany bertanya
kepada Caleb. "Apakah kau seorang senior?" Caleb
tersenyum. "Ya, aku orang baru di sini," jawabnya penuh
rahasia. Mata Tiffany menyala, karena dia mengira itu
berarti bahwa Caleb adalah siswa baru di sekolah mereka.
"Bagus," ujarnya. "Ada semacam pesta malam ini, jika kau
mau datang. Pestanya ada di rumahku. Hanya untuk
beberapa teman dekat, tapi kami akan gembira jika kau
datang. Dan...mm...sepertinya, kau juga," ujar Tiffany,
menatap Caitlin. Caitlin merasakan kemarahan semakin
besar dalam dirinya. "Aku menghargai undangannya, nonanona," kata Caleb, "tapi maaf karena aku mengatakan
bahwa Caitlin dan aku sudah punya janji penting malam ini."
Caitlin merasakan hatinya menggembung. Aku menang.
Saat ia melihat runtuhnya ekspresi mereka, seperti deretan
domino, ia belum pernah merasa begitu terbukti benar.
Gadis-gadis memalingkan hidung mereka dan menyelinap
pergi. Caitlin, Caleb, dan Luisa berdiri di sana, sendirian.
Caitlin menghela napas. "Ya Tuhan!" kata Luisa. "Cewekcewek itu tidak pernah menganggap siapa pun sebelumnya.32
Apalagi ditambah dengan undangan." "Aku tahu itu," kata
Caitlin, masih terpana.
"Caitlin!" Luisa tiba-tiba berseru, mengulurkan tangan dan
meraih lengannya, "Aku baru saja ingat. Susan. Dia
mengatakan sesuatu tentang Sam. Minggu kemarin.
Katanya, dia nongkrong dengan para Coleman. Aku minta
maaf, hal itu baru saja terlintas dalam pikiranku. Mungkin itu
bisa membantu." Para Coleman. Tentu saja. Di sanalah dia
seharusnya berada. "Oh ya," Luisa meneruskan, dengan
terburu-buru, "kami semua berkumpul malam ini di tempat
Frank. Kau harus datang! Kami sangat merindukanmu. Dan
tentu saja, bawa Caleb. Ini akan menjadi pesta yang
menakjubkan. Setengah kelas akan datang. Kau harus
datang." "Yah... Aku tidak tahu ?" Bel berbunyi. "Aku harus
pergi! Aku sangat senang kau kembali. Aku sayang padamu.
Telepon aku. Dah!" ujar Luisa, melambai kepada Caleb, dan
berbalik lalu berlari menyusuri lorong. Caitlin membuat
dirinya membayangkan ia kembali ke kehidupan normalnya.
Pergi bersama dengan semua temannya, pergi ke pestapesta, ada di sekolah yang normal, dan lulus. Ia menyukai
perasaan itu. Untuk beberapa saat, ia mencoba lebih keras
untuk mendorong semua peristiwa minggu kemarin keluar
dari pikirannya. Ia membayangkan bahwa tidak ada hal
buruk yang telah terjadi. Namun saat ia berpaling dan
melihat Caleb, dan kenyataan mulai membanjir kembali.
Hidupnya telah berubah. Secara permanen. Dan hidupnya
tidak akan pernah berubah kembali. Ia hanya harus
menerimanya. Belum lagi ia telah membunuh seseorang,
dan polisi sedang mencarinya. Atau bahwa hanya masalah
waktu sampai mereka menangkapnya, di suatu tempat.
Atau fakta bahwa seluruh ras vampir sedang mencari untuk
membunuhnya. Atau bahwa pedang yang sedang ia cari
bisa menyelamatkan banyak kehidupan manusia. Hidup
pasti bukan tentang bagaimana kehidupan itu rasanya, dan
tidak akan pernah seperti itu. Dia harus hanya menerima33
kenyataan saat ini. Caitlin meletakkan tangannya ke lengan
Caleb, dan membimbingnya menuju pintu depan. Para
Coleman. Ia tahu di mana mereka tinggal, dan yang bisa
dipahami, Sam mampir ke sana. Jika dia tidak ada di
sekolah,
maka dia mungkin ada di sana sekarang. Itulah ke mana
mereka harus pergi selanjutnya. Saat mereka berjalan
keluar pintu depan dan menuju ke udara segar, ia kagum
pada seberapa baik rasanya untuk berjalan keluar dari
sekolah ini lagi?dan kali ini untuk selamanya. * Caitlin dan
Caleb berjalan melintasi rumah Coleman, salju di
rerumputan berderak di bawah kakinya. Rumah itu sendiri
tidak jauh ? peternakan sederhana diatur di sisi jalan
pedesaan. Namun di jalan belakangnya, di bagian belakang
rumah, ada sebuah lumbung. Caitlin melihat semua truk
pengangkut tua yang diparkir sembarangan di halaman, dan
bisa melihat jejak-jejak kaki di es dan salju, dan ia tahu
banyak lalu-lalang yang mengarah menuju lumbung. Itulah
yang anak-anak lakukan di Oakville ? mereka nongkrong di
lumbung masing-masing. Oakville adalah pedesaan yang
sama seperti daerah pinggir kota, yang memberi mereka
kesempatan untuk berkumpul dalam bangunan yang jauh
dari rumah orang tuamu, sehingga mereka tidak tahu atau
tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Itu jauh lebih
baik daripada nongkrong di ruang bawah tanah. Orang tua
kalian tidak bisa mendengar apa pun. Dan kalian memiliki
pintu masuk sendiri. Serta pintu keluar. Caitlin menarik
napas dalam-dalam saat ia berjalan menuju lumbung dan
mendorong pintu kayu yang berat. Hal pertama yang
menerpanya adalah bau itu. Cerek. Uapnya menggantung
di udara. Uap itu, bercampur dengan bau bir yang apek.
Sangat tidak tertahankan. Kemudian yang melandanya?
lebih dai apa pun?bau seekor hewan. Ia tidak pernah
merasakan rasa setajam itu sebelumnya. Keterkejutan atas
keberadaan hewan itu segera melanda inderanya, seolah-34
olah ia baru saja mencium amonia. Ia melihat ke sebelah
kanannya dan mengamatinya. Di sana, di pojokan, ada
seekor Rottweiler besar. Anjing itu bangkit perlahan-lahan,
menatapnya, dan menggeram. Anjing itu kemudian
menggeram dengan suara parau pelan. Itu adalah Butch. Ia
mengingatnya sekarang. Rottweiler menjijikkan milik
keluarga Coleman. Seolah-olah keluarga Coleman
memerlukan seekor hewan ganas untuk menambahkan
gambaran penganiayaan mereka. Keluarga Coleman selalu
menjadi berita buruk. Tiga bersaudara?17, 15, dan 13?
entah sejak kapan, Sam telah berteman dengan saudara
tengah, Gabe. Masing-masing lebih buruk dibandingkan
saudara selanjutnya. Ayah mereka telah meninggalkan
mereka sejak lama, tidak ada yang tahu ke mana, dan ibu
mereka tidak pernah ada. Pada dasarnya, mereka tumbuh
sendirian. Kendati seusia itu, mereka senantiasa mabuk
atau teler, dan bolos sekolah lebih banyak dibandingkan
masuk sekolah. Caitlin merasa jengkel karena Sam
nongkrong dengan mereka. Itu tidak bisa mengarah ke hal
yang bagus. Musik terlantun di latar belakang. Pink Floyd.
Wish You Were Here. Figur, pikir Caitlin. Ruangan itu gelap,
khususnya dibandingkan hari cerah saat itu, dan membuat
matanya memerlukan beberapa detik agar sepenuhnya
terbiasa. Di sanalah dia berada. Sam. Duduk di tengah sofa
lusuh, dikelilingi oleh selusin remaja pria. Gabe di salah satu
sisi dan Brock di sisi lainnya. Sam mmebungkuk di depan
sebuah bong. Dia baru saja selesai menyedot, lalu
meletakkannya dan bersandar, menghirup udara dan
menahannya agak lama. Dia akhirnya menghembuskannya.
Gabe menepuknya, dan Sam mendongak. Dengan tatapan
membatu, dia menatap Caitlin. Matanya merah. Cautlin
merasakan rasa sakit mencabik perutnya. Ia amat kecewa.
Ia merasa seolah-olah itu semua adalah kesalahannya. Ia
mengingat kali terakhir mereka bertemu, di New York, saat
pertengkaran mereka. Kata- kata kasarnya. "Pergi!"35
bentaknya. Mengapa ia harus menjadi begitu kasar?
Mengapa ia tidak bisa mempunyai kesempatan untuk
menariknya kembali? Sekarang sudah terlambat. Jika ia
memilih kata-kata yang berbeda, mungkin beberapa hal
tidak akan menjadi berbeda sekarang. Ia juga merasakan
gelombang kemarahan. Marah kepada para Coleman,
marah kepada semua laki-laki dalam lumbung ini yang
duduk di sekitar sofa lusuh dan kursi, di atas tumpukan
rumput kering, semua duduk berkeliling, minum, merokok,
tidak berbuat apa-apa dengan kehidupan mereka. Mereka
bebas untuk tidak melakukan apa-apa dengan kehidupan
mereka. Namun mereka tidak bebas untuk menyeret Sam ke
dalamnya. Dia lebih baik dari mereka. Dia hanya tidak
pernah mendapatkan bimbingan. Tidak pernah memiliki
sosok ayah, dan kebaikan dari ibu mereka. Dia adalah anak
yang hebat, dan ia tahu bahwa dia bisa menjadi yang
terbaik dari kelasnya saat ini seandainya dia mempunyai
sebauh rumah yang semi-stabil. Namun dalam beberapa hal,
itu sudah terlambat. Dia hanya berhenti peduli. Ia
mengambil beberapa langkah lebih dekat kepadanya.
"Sam?" tanyanya. Dia hanya balas menatap, tidak
mengatakan sepatah kata pun. Sangat sulit melihat apa
yang ada dalam tatapan itu. Apakah itu obat- obatan?
Apakah dia berpura-pura tidak peduli? Ataukah dia memang
tidak peduli? Tatapan apatisnya menyakiti Caitlin lebih dari
apa pun. Ia telah mengantisipasi dia akan merasa gembira
bertemu dengannya, berdiri dan memberinya sebuah
pelukan. Bukan seperti ini. Dia sama sekali tidak terlihat
peduli. Seolah-olah ia adalah orang asing. Apakah dia hanya
bertingkah keren di depan teman-temannya? Ataukah ia
benar-benar telah mengacaukan segalanya kali ini?
Beberapa detik telah berlalu, dan akhirnya, dia memalingkan
muka, menyerahkan bong ke salah satu temannya. Dia
tetap melihat teman- temannya, mengabaikan Caitin.36
"Sam!" hardiknya, lebih keras, wajahnya merona dengan
rasa marah. "Aku berbicara kepadamu!" Ia mendengar
suara terkekeh dari teman-teman pecundangnya, dan ia
merasakan kemarahan naik dalam gelombang di dalam
tubuhnya. Ia mulai merasakan suatu hal lain. Insting hewan.
Kemarahan dalam dirinya memancar pada suatu titik di
mana itu hampir melampaui kendalinya, dan ia takut bahwa
rasa itu segera akan melewati batas. Rasa itu bukan lagi
manusia. Rasa itu akan menjadi hewan. Para laki-laki itu
bertubuh besar, namun kekuatan yang naik dalam
pembuluhnya memberitahu kepadanya bahwa ia bisa
menangani yang mana pun dari mereka dalam sekejap. Ia
sudah mengalami peristiwa sulit yang berisikan
kemarahannya, dan ia berharap ia menjadi cukup kuat
untuk melakukannya. Pada saat yang sama, Rottweiler itu
mengeluarkan geramannya, ketika anjing itu perlahan-lahan
berjalan ke arahnya. Seolah-olah anjing itu
merasakan sesuatu akan muncul. Ia merasakan sebuah
tangan lembut di bahunya. Caleb. Dia masih ada di sana.
Dia pasti telah merasakan kemarahannya timbul, insting
hewan di antara mereka. Dia mencoba menenangkan
Caitlin, memberitahunya untuk mengendalikan dirinya, tidak
membiarkan dirinya lepas kendali. Keberadaannya
menenangkan Caitlin. Tapi tidak semudah itu. Sam akhirnya
berpaling dan menatapnya. Ada perbedaan dalam
tatapannya. Dia masih marah. Jelas sekali. "Apa maumu?"
bentak Sam. "Kenapa kau tidak ada di sekolah?" adalah hal
pertama yang ia dengarkan dari dirinya sendiri yang
berbicara. Ia tidak begitu yakin mengapa ia mengatakan hal
itu, khususnya dengan semua hal yang ingin ia tanyakan
kepada Sam. Namun insting keibuan dalam dirinya muncul.
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan itulah yang keluar. Suara terkekeh lagi. Kemarahannya
naik. "Apa yang kau pedulikan?" ujarnya. "Kau mengatakan
kepadaku untuk pergi." "Maafkan aku," ujarnya. "Aku tidak
bersungguh-sungguh."37
Ia senang memiliki kesempatan untuk mengatakannya. Tapi
nampaknya kata-kata Caitlin tidak menggoyahkannya. Dia
hanya menatapnya. "Sam, aku harus berbicara kepadamu.
Berdua saja," kata Caitlin. Ia ingin mengeluarkannya dari
lingkungan itu, menuju ke udara segar, berdua, di mana
mereka benar-benar bisa berbicara. Caitlin tidak hanya ingin
tahu tentang Ayah mereka; ia juga benar-benar ingin
berbicara kepadanya, seperti biasanya. Dan untuk
menceritakan kabar tentang Ibu mereka. Dengan hati-hati.
Namun itu tidak akan terjadi. Ia bisa melihatnya sekarang.
Semua hal telah berputar-putar ke bawah. Ia merasakan
bahwa energi dalam lumbung yang penuh sesak itu terlalu
gelap. Terlalu kejam. Ia bisa merasakan dirinya kehilangan
kendali. Meskipun ada tangan Caleb, ia tidak bisa
menghentikan apa pun yang melandanya. "Di sini saja,"
kata Sam. Ia bisa mendengar suara terkekeh lainnya di
antara teman-temannya. "Kenapa kau tidak santai saja?"
salah satu laki-laki berkata kepadanya. "Kau tegang sekali.
Duduklah di sini. Hisaplah."
Dia menawarkan bong itu kepadanya. Ia berpaling dan
menatapnya. "Kenapa kau tidak memasukkan bong itu ke
bokongmu?" ia mendengar dirinya berkata, dengan
mendesis. Suara-suara mengejek datang dari kelompok
remaja laki-laki itu. "Oh, SIALAN!" salah satu dari mereka
berteriak. Laki-laki yang menawarkan Caitlin untuk
menghisap, seorang laki-laki besar dan berotot yang ia tahu
telah dikeluarkan dari tim sepak bola, memerah karena
marah. "Apa yang sudah kau katakan padaku?" katanya,
berdiri. Ia mendongak. Dia sangat lebih tinggi dari yang ia
ingat, setidaknya 6,6 inchi. Ia bisa merasakan genggaman
Caleb di bahunya menjadi lebih keras. Ia tidak tahu apakah
itu karena Caleb mendesaknya untuk tetap tenang, atau
karena dia marah. Ketegangan dalam ruangan itu
meningkat secara dramatis. Rottweiler itu merayap lebih38
dekat. Anjing itu sekarang hanya satu kaki jauhnya. Dan
menggeram dengan ganas. "Jimbo, tenang," ujar Sam
kepada laki-laki besar itu.
Itulah Sam yang selalu protektif. Tidak peduli apa pun, Sam
melindunginya. "Dia menyebalkan, tapi dia tidak
bersungguh-sungguh. Dia masih kakakku. Tenanglah."
"Aku memang bersungguh-sungguh," Caitlin berteriak,
sangat marah. "Kalian kira kalian sangat keren? Membuat
adikku teler? Kalian semua adalah sekelompok pecundang.
Kalian tidak akan ke mana-mana. Kalian ingin
mengacaukan hidup kalian sendiri, silakan, tapi jangan bawa
Sam ke dalamnya!" Jimbo kelihatan semakin marah, jika
memungkinkan. Dia mengambil beberapa langkah
mengancam ke arahnya. "Wah, lihat siapa ini. Nona guru.
Nona ibu. Ada di sini untuk memberitahu kita apa yang
harus dilakukan!" Serangkaian tawa. "Kenapa kau dan
pacar homomu datang ke sini untuk melawanku!" Jimbo
melangkah lebih dekat dan dengan tangan besarnya,
mendorong bahu Caitlin. Kesalahan besar. Kemarahan
meledak dalam diri Caitlin, melampaui apa pun yang bisa
ia kendalikan. Kedua kalinya jari Jimbo menyentuhnya,
Caitlin mengulurkan tangan secepat kilat, menyambar
pergelangan tangannya, dan memelintirnya. Ada suara
gemeretak keras saat pergelangan tangannya patah. Ia
mengangkat pergelangan tangannya tinggi-tinggi di
belakang punggungnya, dan melemparkannya, dengan
wajah lebih dulu, ke tanah. Kurang dari sedetik, Jimbo ada
di tanah, di atas wajahnya, tidak berdaya. Ia melangkah ke
depan dan meletakkan kakinya di belakang lehernya,
menahannya dengan kuat di lantai. Jimbo berteriak
kesakitan. "Tuhan Yesus, pergelangan tanganku,
pergelangan tanganku! Cewek sialan! Dia mematahkan
pergelangan tanganku!" Sam berdiri, begitu juga dengan
yang lain, melihat dengan terkejut. Dia terlihat sangat39
terkejut. Bagaimana kakaknya yang bertubuh kecil
menjatuhkan seorang laki-laki sebesar itu, dan sangat cepat,
Sam punya gagasan. "Maaf," hardik Caitlin kepada Jimbo.
Ia terkejut dengan suaranya sendiri. Suaranya terdengar
parau. Seperti seekor hewan.
"Aku minta maaf. Maaf, maaf!" Jim berteriak, merintih.
Caitlin hanya ingin melepaskannya, membiarkannya pergi,
tapi sebuah bagian dari dirinya tidak bisa melakukannya.
Kemurkaan telah menguasainya sangat tiba-tiba, begitu
kuat. Ia tidak bisa membiarkannya pergi. Kemurkaannya
masih terus bertambah, semakin meningkat. Ia ingin
membunuh laki-laki ini. Itu sudah melampaui nalar, tapi ia
memang melampaui nalar. "Caitlin!?" Sam berteriak. Ia bisa
mendengar ketakutan dalam suaranya. "Tolong!" Namun
Caitlin tidak bisa melepaskan dia. Ia benar-benar ingin
membunuh laki-laki ini. Pada saat itu, ia mendengar sebuah
geraman, dan dari sudut matanya, ia melihat anjing itu.
Anjing itu melompat, giginya mengarah tepat ke leher Caitlin.
Caitlin bereaksi dengan cepat. Ia melepaskan Jimbo dan
dalam satu gerakan, menangkap anjing itu di udara. Ia
berhasil berada di bawahnya, memegang perutnya, dan
melemparkan anjing itu. Anjing itu terbang melewati udara,
sepuluh kaki, dua puluh kaki,
dengan kekuatan sebesar itu, anjing itu melintasi ruangan
dan menabrak dinding kayu lumbung. Dinding itu patah
dengan suara retak, saat anjing itu mendengking dan
melayang keluar lumbung. Semua orang dalam ruangan itu
menatap Caitlin. Mereka tidak bisa memahami apa yang
baru saja mereka saksikan. Jelas sekali itu adalah
perbuatan dengan kekuatan dan kecepatan manusia super,
dan tidak ada penjelasan yang memungkinkan tentang itu.
Mereka semua berdiri di sana, mulut ternganga, terbelalak.
Caitlin merasa dibanjiri dengan emosi. Marah. Sedih. Ia tidak
tahu apa yang ia rasakan, dan ia tidak memercayai dirinya40
sendiri lagi. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia harus keluar dari
sana. Ia tahu Sam tidka akan datang. Sekarang, dia adalah
orang yang berbeda. Dan begitu juga dengannya.
*****41
TIGA Caitlin dan Caleb berjalan perlahan-lahan di sepanjang
tepian sungai. Sisi sungai Hudson ini terlantar, dipenuhi
dengan pabrik-pabrik terbengkalai dan stasiun bahan bakar
yang tidak lagi digunakan. Di sini sangat terpencil, tapi
damai. Ketika ia mendongak, Caitlin melihat potongan es
besar mengambang di sungai, perlahan-lahan terpecah di
hari bulan Maret ini. Suaranya retakan yang tajam
memenuhi udara. Mereka tampak dunia lain, yang
mencerminkan cahaya dalam cara aneh, ketika kabut naik
perlahan. Ia merasa seperti baru saja berjalan keluar ke
salah satu lembaran besar es, duduk, dan membiarkannya
membawanya ke mana pun ia pergi. Mereka berjalan
dalam diam, masing-masing dalam dunia mereka sendiri.
Caitlin merasa malu karena ia telah menunjukkan
kemarahan seperti itu di hadapan Caleb. Malu karena ia
begitu kejam, bahwa ia tidak bisa mengendalikan apa yang
terjadi padanya. Ia juga malu dengan adiknya, karena dia
bertingkah seperti yang ia lakukan, bahwa ia bergaul
dengan pecundang seperti itu. Ia belum pernah melihat dia
bertingkah seperti itu sebelumnya. Ia malu karena telah
melibatkan Caleb di dalamnya. Hampir tidak ada cara
baginya untuk bertemu keluarganya. Dia menganggap
dirinya paling buruk. Yang, lebih dari apa pun, sangat
menyakitinya. Yang paling terburuk, ia takut ke mana
mereka akan pergi dari sini. Sam telah menjadi harapan
terbaiknya dalam menemukan ayahnya. Ia tidak punya
gagasan lain. Jika punya, ia pasti sudah menemukan
ayahnya, sendirian, beberapa tahun yang lalu. Ia tidak tahu
apa yang harus dikatakan kepada Caleb. Akankah ia pergi
sekarang? Tentu saja dia akan pergi. Ia tidak berguna bagi
Caleb, dan dia mempunyai pedang untuk ditemukan.
Mengapa dia mau tinggal bersamanya? Ketika mereka
berjalan dalam diam, ia merasakan kegelisahan timbul, saat42
ia menerka bahwa Caleb hanya menunggu waktu yang tepat
untuk memilih kata-katanya dengan hati-hati, untuk
mengatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Seperti
semua orang dalam hidupnya. "Aku benar-benar minta
maaf," ia akhirnya berkata, dengan lembut, "atas
bagaimana tindakanku tadi. Aku menyesal aku kehilangan
kendali." "Jangan. Kau tidak melakukan hal yang salah. Kau
sedang belajar. Dan kau sangat kuat." "Aku juga minta
maaf karena adikku bertingkah seperti itu." Dia tersenyum.
"Jika ada satu hal yang sudah aku pelajari selama berabadabad, itu adalah kau tidak bisa mengendalikan keluargamu."
Mereka terus berjalan dalam diam. Caleb memandangi
sungai. "Jadi?" ia akhirnya bertanya. "Sekarang, apa?" Dia
berhenti dan menatap Caitlin. "Apakah kau akan pergi?" ia
bertanya dengan was-was. Caleb tampak tenggelam dalam
pikirannya. "Bisakah kau memikirkan tempat lain di mana
ayahmu mungkin berada? Siapa saja yang mengenalnya?
Apa pun?" Ia sudah mencobanya. Tidak ada apa pun.
Sama sekali tidak ada. Caitlin menggelengkan kepalanya.
"Pasti ada sesuatu," dia berkata dengan empatik.
"Berpikirlah lebih keras. Ingatanmu. Tidakkah kau punya
ingatan apa pun?" Caitlin berpikir keras. Ia menutup
matanya dan benar-benar menghendaki dirinya untuk ingat.
Ia telah bertanya kepada dirinya pertanyaan yang sama,
berulang kali. Ia pernah melihat ayahnya, berulang
kali, dalam mimpi, yang tidak ia ketahui lagi apakah itu
adalah mimpi atau apakah itu kenyataan. Ia bisa
menceritakan satu per satu mimpi di mana ia telah
berjumpa dengannya, selalu mimpi yang sama, ia berlarian
di lapangan, ayahnya ada di kejauhan, kemudian dia
semakin menjauh ketika dia mendekat. Tapi itu bukanlah
ayahnya. Itu semua hanya mimpi. Itu adalah kilatan masa
lalu, ingatan ketika ia masih anak kecil, pergi ke suatu
tempat dengan ayahnya. Entah di mana di saat musim
panas, pikirnya. Ia ingat laut. Dan laut itu hangat, sangat43
hangat. Tapi sekali lagi, ia tidak yakin apakah itu kenyataan.
Batasnya semakin lama semakin kabur. Dan Caitlin tidak
bisa mengingat dengan baik di mana pantai itu berada. "Aku
sangat menyesal," kata Caitlin. "Aku harap aku punya
sesuatu. Jika bukan untukmu, untuk diriku. Aku benar-benar
tidak punya. Aku tidak gagasan di mana dia berada. Dan
aku tidak punya gagasan bagaimana cara menemukannya."
Caleb berpaling dan menghadap sungai. Dia menghela
napas dalam- dalam. Dia menatap es, dan matanya
berubah warna sekali lagi, kali ini menjadi abu-abu laut.
Caitlin merasakan waktunya sudah datang. Setiap saat dia
akan berpaling padanya dan menyampaikan berita tersebut.
Dia akan pergi. Ia tidak lagi berguna baginya. Ia hampir
ingin mengarang sesuatu, suatu kebohongan tentang
ayahnya, beberapa petunjuk, hanya supaya dia akan tinggal
bersama dengannya. Namun ia tahu, ia tidak bisa
melakukannya. Ia merasa seperti akan menangis. "Aku
tidak mengerti," kata Caleb dengan lembut, masih
memandangi sungai. "Aku yakin kau adalah yang terpilih."
Dia menatap dalam diam. Itu terasa seperti berjam-jam
lamanya, saat ia menunggu. "Dan ada suatu hal lain yang
tidak aku pahami," dia akhirnya berkata, dan berpaling lalu
menatapnya. Matanya yang besar menghipnotis. "Aku
merasakan sesuatu ketika aku ada di dekatmu. Tidak jelas.
Dengan vampir lain, aku selalu bisa melihat kehidupan yang
kami alami bersama, semua waktu yang telah kami lalui,
dalam jelmaan apa pun. Tapi denganmu... berkabut. Aku
tidak melihat apa-apa. Itu tidak pernah terjadi padaku
sebelumnya. Itu seolah-olah...aku dicegah untuk melihat
sesuatu." "Mungkin kita tidak pernah mengalami apa pun,"
jawab Caitlin.
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku akan bisa melihatnya.
Denganmu, aku tidak melihat apa pun. Aku juga tidak bisa
melihat masa depan kita bersama. Dan itu tidak pernah
terjadi padaku. Tidak pernah?dalam 3.000 tahun. Aku44
merasa seperti... aku mengingatmu entah bagaimana. Aku
merasa aku berada di ambang untuk melihat segalanya. Itu
ada di ujung benakku. Tapi itu tidak bisa aku lihat. Dan itu
membuatku putus asa." "Yah lalu," Caitlin berkata, "mungkin
memang tidak ada apa-apa. Mungkin itu hanya di sini, saat
ini. Mungkin tidak pernah ada apa-apa lagi, dan mungkin
tidak pernah ada apa pun." Segera, ia menyesali katakatanya. Ia melakukannya lagi, menyerocos, mengatakan
hal-hal bodoh yang bahkan tidak ia inginkan. Mengapa ia
harus berkata seperti itu? Itu adalah sama sekali berlawanan
dengan apa yang sedang ia pikirkan, perasaannya. Ia ingin
berkata: Ya. Aku merasakannya juga. Aku merasa aku telah
bersama denganmu selamanya. Dan aku akan bersama
denganmu selamanya. Namun sebaliknya, semua yang ia
ucapkan salah. Itu karena ia gugup. Dan sekarang ia tidak
bisa menariknya kembali.
Namun Caleb tidak tergoyahkan. Sebaliknya, dia melangkah
lebih dekat, mengulurkan satu tangan, dan dengan perlahan
meletakkannya di pipinya, menyibakkan rambutnya. Dia
menatap lekat-lekat ke dalam matanya, dan melihat
matanya berubah lagi, kali ini dari abu-abu menjadi biru.
Mata itu menatapnya matanya dalam-dalam. Hubungan itu
luar biasa. Jantungnya berdegup saat ia merasakan panas
yang luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia merasa
seolah-olah ia sedang tersesat. Apakah dia mencoba untuk
mengingat? Apakah dia akan mengatakan selamat tinggal?
Ataukah dia akan menciumnya?
*****45
EMPAT
Jika ada apa pun yang sangat ia benci ketimbang manusia,
itu adalah politisi. Ia tidak bisa tahan dengan sikap mereka,
kemunafikan mereka, dan kebenaran mutlak mereka. Ia
tidak bisa tahan dengan arogansi mereka. Dan tidak
berdasarkan apa-apa. Sebagian besar dari mereka telah
hidup hampir 100 tahun. Ia telah hidup lebih dari 5.000 tahun.
Ketika mereka membicarakan tentang "pengalaman
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lampau" mereka, itu membuatnya menderita secara fisik.
Sudah menjadi takdir saat Kyle harus bersentuhan bahu
dengan mereka, berjalan melewati politisi ini setiap malam,
ketika ia bangun dari tidurnya dan keluar, melintasi pusat
kegiatan mereka di Balai Kota. Coven Blacktide telah
bercokol di tempat tinggal mereka jauh di bawah Balai Kota
New York berabad-abad yang lalu, dan senantiasa ada
dalam hubungan dekat dengan para politisi. Sesungguhnya,
sebagian besar politisi yang seharusnya mengerumuni
ruangan itu diam-diam merupakan anggota coven-nya,
melaksanakan agenda mereka di seluruh kota, dan di
seluruh negara bagian. Itu adalah kejahatan yang
diperlukan, pergaulan ini, melakukan bisnis dengan manusia.
Namun cukup banyak dari politisi ini merupakan manusia
sungguhan yang membuat kulit Kyle merinding. Dia tidak
bisa membiarkan mereka begitu saja berada dalam
bangunan ini. Mereka sangat mengganggunya saat terlalu
dekat dengannya. Ketika Kyle sedang berjalan, ia
mencondongkan bahunya kepada salah satu dari mereka,
menabraknya dengan keras. "Hei!" pria itu berteriak, tapi
Kyle terus berjalan, menggertakkan rahangnya dan menuju
ke pintu ganda lebar di ujung koridor. Kyle akan membunuh
mereka semua jika dia bisa. Namun dia tidak diperbolehkan.
Coven-nya masih harus menjawab Dewan Tertinggi, dan
atas alasan apa pun, mereka masih menahan diri.
Menunggu waktu bagi mereka untuk menyingkirkan ras46
manusia selamanya. Kyle telah menunggu selama ribuan
tahun hingga saat ini, dan dia tidak tahu berapa lama lagi ia
harus menunggu. Ada sedikit momen indah dalam sejarah
saat mereka telah semakin dekat, saat mereka menerima
lampu hijau. Pada tahun 1350, di Eropa, saat mereka
semua akhirnya mencapai kesepakatan, dan telah
menyebarkan Wabah Hitam bersama-sama. Itu adalah saat
yang menakjubkan. Kyle tersenyum mengingatnya. Ada
juga beberapa saat indah lainnya?seperti Zaman
Kegelapan, saat mereka diperbolehkan untuk melancarkan
perang di seluruh Eropa, membunuh dan memerkosa jutaan
orang. Kyle tersenyum lebar. Saat-saat itu adalah beberapa
abad terhebat dari hidupnya. Namun dalam beberapa ratus
tahun terakhir, Dewan tertinggi telah menjadi sangat lemah,
begitu menyedihkan. Seolah-olah mereka takut terhadap
manusia. Perang Dunia ke-2 adalah saat yang
menyenangkan, tapi sangat terbatas, dan sangat sebentar.
Dia mendambakan lebih banyak. Sudah tidak ada lagi
wabah besar, tidak ada perang sungguhan. Itu nyaris
seolah-olah ras vampir telah lumpuh, takut akan
bertambahnya jumlah dan kekuatan ras manusia. Sekarang,
akhirnya, mereka siap. Saat Kyle berjalan dengan angkuh ke
pintu depan, menuruni anak tangga, keluar dari Balai Kota,
dia berjalan dengan sebuah lompatan dalam langkahnya. Ia
menambah kecepatan langkahnya saat dia memandang ke
depan untuk perjalanannya ke Dermaga South Street. Akan
ada muatan kapal besar yang menunggunya. Sepuluh ribu
peti kayu Wabah Pes sempurna yang dimodifikasi secara
genetik. Mereka telah menyimpannya di Eropa selama
ratusan tahun, disimpan dengan sempurna sejak
penyebaran wabah terakhir. Dan sekarang mereka telah
memodifikasinya agar sepenuhnya kebal terhadap antibiotik.
Dan itu semua akan menjadi milik Kyle. Untuk digunakan
sesuai keinginannya. Untuk melancarkan sebuah perang
baru di benua Amerika. Di wilayahnya. Dia akan diingat47
selama berabad-abad mendatang. Gagasan itu membuat
Kyle tertawa keras, meskipun dengan ekspresi wajahnya,
tawanya lebih terlihat seperti sebuah geraman. Dia harus
melapor kepada Rexius, pimpinan covennya, tentu saja, tapi
itu hanya secara teknis. Sesungguhnya, dia akan menjadi
pemimpinnya. Ribuan vampir dalam covennya sendiri?dan
pada semua coven tetangga?akan tunduk kepadanya. Dia
akan menjadi lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kyle
telah mengetahui bagaimana ia akan melepaskan wabah itu:
dia akan menyebarkan satu muatan kapal di Stasiun Penn,
satu di Grand Central, dan satu lagi di Times Square.
Semuanya pada saat yang sempurna, semuanya pada jam
sibuk. Itu akan bergulir dengan cepat.
Dalam beberapa hari, ia memperkirakan, setengah
penduduk Manhattan akan terinfeksi, dan dalam minggu
berikutnya, semuanya akan terinfeksi. Wabah ini menyebar
dengan cepat, dan bagaimana mereka menyebarkannya,
akan dilakukan melalui udara. Manusia yang menyedihkan
akan membarikade kota itu, pasti. Menutup jembatan dan
terowongan. Menutup lalu lintas udara dan kapal. Dan
memang itulah yang ia inginkan. Mereka akan mengunci diri
mereka sendiri dalam teror yang akan terjadi. Terkunci,
sekarat karena wabah, Kyle dan ribuan kaki tangannya
akan melancarkan sebuah perang vampir yang tidak
menyerupai apa pun yang pernah dilihat ras manusia. Dalam
hitungan hari, mereka akan menyingkirkan semua warga
New York. Dan kemudian kota itu akan menjadi milik
mereka. Tidak hanya di bawah tanah, tapi di permukaan
tanah. Ini akan menjadi permulaan, tanda panggilan untuk
semua coven di semua kota, di semua negara, untuk
berbuat demikian pula. Dalam beberapa minggu, Amerika
akan menjadi milik mereka, jika bukan seluruh dunia. Dan
Kyle akan menjadi seseorang yang memulai itu semua. Dia
akan menjadi satu-satunya yang dikenang. Satu-satunya48
yang menempatkan ras vampir di permukaan tanah untuk
selamanya. Tentu saja, mereka akan senantiasa
menemukan kegunaan untuk manusia yang tersisa. Mereka
bisa memperbudak mereka yang selamat, mengurung
mereka dalam fasilitas pembibitan yang sangat besar. Kyle
akan menikmatinya. Dia akan memastikan untuk membuat
mereka semua montok dan gemuk, dan kemudian, kapan
pun rasnya ingin minum darah, mereka akan mempunyai
berbagai macam pilihan yang tak kunjung habis. Semuanya
sempurna. Ya, manusia akan menjadi budak yang baik. Dan
menjadi makanan yang sangat lezat, jika dikembang-biakkan
dengan benar. Terbit air liur Kyle saat membayangkannya.
Masa yang hebat berada di depannya. Dan tidak ada yang
akan menghalangi langkahnya. Tidak ada, yaitu, kecuali
coven Putih sialan itu, yang bercokol di bawah Biara. Ya,
mereka akan menjadi duri dalam daging. Tapi bukan duri
yang besar. Setelah ia menemukan gadis yang mengerikan,
Caitlin, dan sang pengkhianat yang membangkang itu,
Caleb, mereka akan menuntun dia menuju pedang itu. Dan
kemudian, coven Putih tidak akan berdaya. Tidak akan ada
lagi yang tersisa untuk menghalangi jalannya.
Kyle terbakar dengan kemarahan saat dia memikirkan bocah
perempuan bodoh itu, yang kabur dari genggamannya. Dia
telah memperdayanya. Ia berbelok ke Wall Street, dan
seorang pejalan kaki, seorang pria besar, mendapatkan
kemalangan karena berjalan di jalannya. Ketika mereka
berpapasan, Kyle menabrakkan bahunya kepada pria itu
sekeras mungkin. Pria itu terhuyung ke belakang beberapa
kaki, menabrak sebuah dinding. Pria itu, berpakaian dalam
setelan yang bagus, berteriak, "Hei sobat, apa
masalahmu!?" Namun membalas dengan seringai, dan
ekspresi pria itu berubah. Dengan tinggi sekitar enam kaki,
bahu yang besar, dan sosok yang sangat besar, Kyle
bukanlah seseorang yang bisa ditandingi. Pria itu, kendati49
ukuran tubuhnya besar, segera berbalik dan terus berjalan.
Dia tahu yang lebih baik. Menabrak pria itu membuat dia
merasa sedikit lebih baik, namun kegusaran Kyle masih
menyala. Dia akan menangkap gadis itu. Dan
membunuhnya dengan perlahan.
Tapi sekarang bukanlah saatnya. Ia harus menjernihkan
kepalanya. Ia mempunyai hal yang lebih penting untuk
dilakukan. Muatan kapal itu. Dermaga. Ya, dia menarik
napas dalam-dalam, dan dengan perlahan tersenyum lagi.
Muatan kapal itu hanya beberapa blok lagi. Ini akan menjadi
hari Natalnya.
*****50
LIMA Sam bangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Ia
membuka satu mata, dan menyadari dia telah pingsan di
lantai lumbung, di atas jerami. Dingin. Tidak seorang pun
dari temannya mau bersusah payah menyalakan perapian
pada malam sebelumnya. Mereka semua sudah terlampau
teler. Yang lebih buruk, ruangan itu masih berputar-putar.
Sam mengangkat kepalanya, menarik sepotong jerami dari
mulutnya, dan merasakan rasa sakit yang luar biasa di
pelipisnya. Dia telah tertidur dalam posisi yang aneh, dan
lehernya sakit saat ia memutarnya. Ia menggosok matanya,
mencoba untuk menyingkirkan jaring laba-laba itu, tapi jaring
itu tidak mau lepas begitu saja. Ia merasa terlalu berlebihan
semalam. Ia ingat bong itu. Kemudian bir, lalu Southern
Comfort, kemudian bir lagi. Muntah. Lalu beberapa ganja
lagi, untuk meredakan semuanya. Lalu pingsan, kurang
lebih pada malam hari. Kapan atau di mana, ia tidak benarbenar bisa ingat. Ia lapar tapi mual pada saat yang sama.
Ia merasa seperti ia bisa memakan setumpuk pancake dan
selusin telur, namun ia juga merasa ia akan muntah pada
saat ia makan. Sesungguhnya, ia merasa seperti akan
muntah lagi sekarang. Ia mencoba mengumpulkan semua
peristiwa dari hari sebelumnya. Ia ingat Caitlin. Yang itu, ia
tidak lupa. Itulah yang sangat mengacaukan pikirannya.
Kemunculannya di sini. Dia menjatuhkan Jimbo seperti itu.
Anjing itu. Apa-apaan? Apakah itu semua benar-benar
terjadi? Ia menoleh dan melihat lubang di sisi dinding, di
mana anjing itu tadinya terlempar keluar. Ia merasakan
udara dingin masuk, dan tahu bahwa peristiwa itu memang
terjadi. Ia tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan.
Dan siapakah pria yang bersama dengan Caitlin? Pria itu
terlihat seperti gelandang NFl, tapi luar biasa pucat. Dia
tampak seolah- olah baru saja keluar dari the Matrix. Sam
bahkan tidak bisa menerka berapa usianya. Hal yang aneh51
adalah, Sam agak merasa seperti ia mengenalnya entah di
mana. Sam memandang berkeliling dan melihat semua
temannya, pingsan dalam berbagai posisi, sebagian besar
dari mereka mengorok. Ia meraih jam tangannya di lantai,
melihat bahwa sekarang pukul 11 siang. Mereka masih
akan tidur sebentar lagi. Sam melintasi lumbung dan
menyambar sebotol air. Ia baru saja akan minum, ketika ia
menunduk dan melihat botol itu dipenuhi dengan puntung
rokok. Dengan jijik, ia menaruhnya, dan mencari botol yang
lain. Di sudut matanya, ia melihat setengah teko air di lantai.
Ia meraihnya dan minum, dan tidak berhenti minum sampai
menghabiskan hampir setengahnya. Itu terasa lebih baik.
Kerongkongannya terasa begitu kering. Ia menarik napas
dalam-dalam, dan meletakkan satu tangan di pelipisnya.
Ruangan itu masih berputar-putar. Bau sekali di sini. Ia
harus keluar. Sam melintasi ruangan itu dan mendorong
pintu lumbung supaya terbuka. Udara pagi yang dingin
terasa enak. Syukurlah, hari ini mendung. Meski masih
nampak terang sekali, dan ia menyipitkan mata. Namun
hampir tidak seburuk seperti biasanya. Dan salju masih
turun lagi. Bagus. Salju lagi. Sam selalu menyukai salju.
Khususnya di hari-hari bersalju, ketika ia bisa tinggal di
rumah dan tidak masuk sekolah. Ia ingat pergi bersama
Caitlin ke atas bukit dan naik kereta luncur setengah hari itu.
Tapi sekarang dia lebih sering membolos sekolah, jadi itu
tidak benar- benar terasa perbedaannya. Sekarang, sekolah
hanyalah hal yang memuakkan. Sam merogoh sakunya
dan mengeluarkan sekotak rokok yang penyok. Ia
meletakkan sebatang rokok di bibirnya dan menyalakannya.
Ia tahu ia tidak seharusnya merokok. Tapi semua temantemannya merokok, dan mereka terus mendorongnya
kepadanya. Pada akhirnya, dia berkata kenapa tidak? Jadi
ia mulai merokok beberapa minggu yang lalu. Sekarang, dia
agak menyukainya. Ia batuk lebih banyak lagi, dan dadanya
sudah menyakitinya, namun dia bertanya-tanya, apa-apaan?52
Ia tahu itu akan membunuhnya. Namun ia tidak benar-benar
melihat dirinya hidup sepanjang itu. Dia tidak akan berumur
panjang. Entah di mana, di lubuk hatinya, dia tidak pernah
benar-benar percaya ia akan mencapai umur 20 tahun.
Sekarang karena kepalanya mulai jernih, ia memikirkan
tentang perihal kemarin lagi. Caitlin. Ia merasa bersalah
tentang itu. Sangat bersalah. Ia menyayanginya. Ia sangat
menyayanginya. Ia telah datang jauh-jauh ke sini untuk
bertemu dengannya. Mengapa ia bertanya kepadanya
tentang Ayah?
Apakah ia hanya berkhayal? Ia tidak percaya bahwa dia
juga ada di sana. Ia bertanya-tanya apakah ibu mereka
panik karena dia pergi. Dia pasti panik. Ia bertaruh ibu
mereka panik saat ini. Mungkin mencoba mencari mereka.
Tapi, mungkin ibu tidak panik. Siapa yang peduli? Ibu sudah
terlalu sering berpindah-pindah. Tapi Caitlin. Itu adalah hal
berbeda. Ia tidak seharusnya memperlakukannya seperti itu.
Ia seharusnya bertingkah lebih baik. Ia hanya terlampau
teler pada saat itu. Tetap saja, ia merasa bersalah. Ia
mengira ada sebagian dari diriya yang menginginkan
semuanya kembali normal, apa pun itu. Dan dia adalah hal
yang paling dekat yang ia miliki supaya menjadi normal.
Mengapa dia kembali? Apakah dia pindah kembali ke
Oakville? Kalau iya, keren sekali. Mungkin mereka bisa
menemukan tempat untuk ditinggali bersama-sama. Yah,
semakin Sam memikirkannya, semakin ia menyukai
gagasan itu. Ia ingin berbicara kepadanya. Sam menyeka
ponselnya dan melihat lampu merah berkedip. Ia menekan
ikon itu dan melihat bahwa ia mempunyai satu pesan baru di
Facebook. Dari Caitlin. Dia ada di lumbung tua.
Sempurna. Itulah ke mana ia akan pergi. * Sam memarkir
kendaraan, dan berjalan melintasi properti itu, menuju ke
lumbung tua. "Lumbung tua" sebutan bagi mereka. Mereka
berdua tahu apa itu maksudnya. Itu adalah tempat di mana53
mereka selalu pergi ketika mereka tinggal di Oakville.
Lumbung itu ada di belakang sebuah properti dengan
sebuah rumah kosong yang sudah dijual selama bertahuntahun. Rumah itu hanya berdiri di sana, kosong, terlalu
berlebihan. Tidak seorang pun mau datang untuk melihatnya,
sejauh yang mereka ketahui. Dan di bagian belakang
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah itu, di jalan belakang, ada lumbung yang sangat
keren ini, lumbung itu hanya berdiri di sana, kosong
melompong. Sam telah menemukan lumbung itu pada suatu
hari, dan menunjukkannya kepada Caitlin. Tidak seorang
pun dari mereka yang melihat ada bahaya untuk nongkrong
di dalamnya. Mereka berdua membenci trailer kecil mereka,
terperangkap di sana dengan ibu mereka. Pada suatu
melam mereka tetap terjaga sampai malam di dalam
lumbung itu, mengobrol, membakar marshmallow di
perapiannya yang sangat keren, dan mereka berdua tertidur.
Setelah itu, mereka pergi ke sana lagi dan lagi, khususnya
ketika semuanya menjadi terlalu kacau di rumah.
Setidaknya, mereka menggunakannya. Setelah beberapa
bulan, mereka mulai merasa seolah-olah itu adalah tempat
mereka. Sam berjalan melintasi rumah itu, melompat dalam
langkahnya, saat ia berharap untuk berjumpa Caitlin.
Kepalanya benar-benar jernih sekarang, khususnya setelah
kopi Dunkin' Donuts besar yang ia teguk di mobil dalam
perjalanan. Ia tahu, pada usia 15 tahun, ia tidak seharusnya
menyetir. Namun ia masih beberapa tahun lamanya untuk
mendapatkan SIMnya, dan ia tidak ingin menunggu. Ia
belum pernah menabrak. Dan ia tahu cara menyetir. Jadi
kenapa harus menunggu? Teman-temannya
mengizinkannya untuk meminjam kendaraan pengangkut
mereka, dan kendaraan itu sudah cukup baginya. Setelah
Sam mendekati lumbung, ia tiba-tiba bertanya-tanya apakah
pria besar itu akan ada bersamanya. Ada sesuatu tentang
pria itu... ia tidak bisa benar-benar mengingatnya. Ia tidak
bisa menerka apa yang dia lakukan dengan Caitlin. Apakah54
mereka pacaran? Caitlin biasanya selalu memberitahu
dirinya segalanya. Bagaimana bisa ia tidak pernah
mendengar apa-apa tentang dia sebelumnya? Dan
mengapa Caitlin tiba-tiba bertanya tentang Ayah? Sam
jengkel kepada dirinya sendiri, karena sesungguhnya ada
kabar yang ingin sampaikan kepadanya. Tentang hari
sebelumnya. Ia akhirnya mendapatkan sebuah jawaban di
salah satu permintaan Facebooknya. Itu adalah Ayah
mereka. Itu benar-benar dia. Dia berkata dia merindukan
mereka, dan ingin bertemu mereka. Akhirnya. Setelah
bertahun-tahun lamanya. Sam sudah membalasnya.
Mereka mulai berbicara lagi. Dan Ayah ingin menemuinya.
Bertemu mereka berdua. Mengapa Sam belum
memberitahunya? Yah, setidaknya ia bisa mengatakan
kepada dirinya sekarang. Ketika Sam berjalan, salju
bergemeretak di bawah sepatu bootnya, salju jatuh di
sekelilingnya dengan laju yang meningkat, ia mulai merasa
gembira lagi. Dengan adanya Caitlin, segalanya akan
kembali normal. Mungkin dia muncul di saat yang tepat,
ketika ia sangat kacau, untuk membantu menyentakkan
dirinya keluar dari kekacauan itu. Dia senantiasa
mempunyai cara untuk melakukannya. Mungkin ini adalah
kesempatannya. Ketika ia merogoh sakunya untuk satu
rokok lagi, ia menghentikan dirinya sendiri. Mungkin ia bisa
mengubahnya. Sam meremas bungkus rokok itu dan
melemparkannya di rerumputan. Ia tidak membutuhkannya.
Ia sudah lebih kuat dibandingkan itu. Ia membuka pintu
lumbung, siap untuk mengejutkan Caitlin dan memberinya
sebuah pelukan besar. Ia akan menyampaikan kepadanya
bahwa ia menyesal. Dia akan meminta maaf juga, dan
segalanya akan menjadi luar biasa lagi. Namun lumbung itu
kosong. "Halo?" Sam berseru, ia tahu, bahkan pada saat ia
melakukannya, bahwa tidak seorang pun ada di sana. Ia
melihat bara yang mati dari sebuah api di perapian, perapian
itu pasti telah dipadamkan beberapa jam yang lalu. Namun55
tidak ada tanda- tanda benda apa pun, apa pun yang bisa
menunjukkan bahwa mereka masih ada di sana. Dia sudah
pergi. Mungkin dengan pria itu. Mengapa dia tidak mau
menunggu dirinya? Memberinya sebuah kesempatan?
Bahkan hanya beberapa jam? Sam merasa seolah-olah
seseorang baru saja meninjunya sekeras mungkin di
perutnya. Kakaknya sendiri. Dia tidak lagi peduli kepadanya.
Ia harus duduk. Ia duduk di sebuah tumpukan rumput kering,
dan menyandarkan kepalanya di tangannya. Ia bisa
merasakan sakit kepalanya kembali. Dia benar-benar
melakukannya. Dia pergi. Apakah dia pergi untuk
selamanya? Di lubuk hatinya, ia merasa dia pergi untuk
selamanya. Sam akhirnya menarik napas dalam-dalam.
Baiklah. Ia merasakan dirinya lebih kuat. Ia sendirian
sekarang. Ia tahu bagaimana cara untuk mengatasinya. Ia
tidak membutuhkan siapa pun, apa pun. "Halo di sana," Itu
adalah sebuah suara wanita yang cantik dan lembut. Sam
mendongak, berharap untuk sedetik bahwa itu adalah Caitlin.
Namun ia sudah tahu, pada saat ia mendengarnya, bahwa
itu bukanlah dia. Suara itu adalah suara paling indah yang
pernah ia dengar. Seorang gadis berdiri di jalan masuk
menuju lumbung, bersandar dengan santai di dinding. Wah.
Dia sangat menakjubkan. Dia mempunyai rambut merah
panjang dan mata hijau muda. Tubuh yang sempurna. Dan
dia kelihatan seusianya, mungkin beberapa tahun lebih tua.
Wah. Dia sedang merokok. Sam berdiri. Sam hampir tidak
bisa memercayainya, tapi caranya memandang dirinya,
terlihat seolah-olah dia sedang merayu, seolah-olah dia
naksir kepadanya. Ia tidak pernah melihat seorang gadis
melihatnya seperti itu. Ia tidak bisa memercayai
keberuntungannya. "Aku Samantha," dia berkata dengan
manis, melangkah maju dan mengulurkan satu tangan.
Sam melangkah maju dan menjabat tangannya. Kulitnya
begitu lembut. Apakah ia bermimpi? Apakah yang
dilakukan gadis ini di sana, tidak di mana-mana?56
Bagaimana dia sampai ke sini? Ia tidak mendengar sebuah
mobil menepi, atau bahkan mendengar siapa pun berjalan
ke arah lumbung. Dan ia baru saja sampai di sana. Ia tidak
mengerti. "Aku Sam," ujarnya. Dia tersenyum lebar,
menunjukkan gigi putih yang sempurna. Senyumnya luar
biasa. Sam merasa lututnya lemas, saat dia langsung
menatap ke arahnya. "Sam, Samantha," katanya. "Aku suka
mendengar bunyinya."
Ia balas menatapnya, kehilangan kata-kata. "Aku melihatmu
di luar sana dan mengira kau pasti kedinginan," katanya.
"Maukah kau masuk?" Sam mencoba memahaminya, tapi ia
tidak bisa menerka apa yang maksudkan. "Masuk?" "Ke
rumah," ujarnya, tersenyum semakin lebar, seolah-olah itu
adalah hal yang paling jelas di dunia. "Tahukah kau, itu
punya dinding dan jendela?" Sam mencoba untuk
memahami apa yang dia katakan. Mengundang dirinya
masuk ke rumah? Rumah yang sedang dijual? Mengapa dia
mengundangnya masuk? "Aku baru saja membelinya," dia
berkata, seolah-olah menjawab pikirannya. "Aku belum
punya kesempatan untuk menurunkan tanda Untuk Dijual,"
dia menambahkan. Sam terkejut. "Kau membeli rumah itu?
" Dia mengangkat bahu. "Aku harus tinggal di suatu tempat.
Aku akan sekolah di Oakville High. Harus menyelesaikan
tahun seniorku."
Wah. Jadi, itulah sebabnya. Jadi, dia ada di Oakville. Dan
seorang senior. Mungkin ia juga akan kembali ke sekolah.
Yah. Jika dia ada di sana, kenapa tidak? "Ya, tentu,
entahlah," ujarnya, sebiasa mungkin. "Kenapa tidak?
Senang sekali bisa melihatnya." Mereka berbalik dan
berjalan bersama-sama, kembali menuju rumah. Saat
mereka berjalan, Sam berjalan melewati bungkus rokoknya
yang penyok, mengulurkan tangan dan mengambilnya.
Dengan kepergian Caitlin, siapa yang peduli? "Jadi, apakah
kau, begini, baru pindah ke sini?" Sam bertanya. Ia tahu itu57
adalah pertanyaan yang bodoh. Dia sudah mengatakan
kepada dirinya siapa dia. Tapi ia tidak tahu apa lagi yang
harus dikatakan. Ia tidak pernah bisa bercakap-cakap
dengan baik. Dia hanya tersenyum. "Semacam itulah."
"Kenapa di sini?" tambahnya. "Maksudku, jangan
tersinggung, tapi kota ini menyebalkan." "Ceritanya
panjang," ujarnya dengan misterius. Ada sesuatu yang
mengejutkannya.
"Jadi, begini, tunggu sebentar, apakah kau, begini,
katakanlah kau membeli rumah itu? Kau sendiri yang
membelinya? Bukannya yang kau maksud orang tuamu?"
"Bukan, itu maksudnya aku. Aku sendiri," jawabnya. "Aku
membelinya sendiri." Ia masih tidak bisa mengerti. Ia tidak
ingin terdengar seperti orang bodoh, tapi ia harus mencari
tahu hal ini. "Jadi, begini, rumah itu hanya untukmu? Lalu,
orang tuamu?" "Orang tuaku sudah meninggal," ujarnya.
"Aku membelinya sendiri. Untukku. Aku sudah 18 tahun.
Aku sudah dewasa. Aku bisa melakukan apa pun yang aku
inginkan." "Wah," Sam berkata, sangat terkesan. "Itu keren
sekali. Seluruh rumah untuk dirimu sendiri. Wah. Maksudku,
aku minta maaf tentang orang tuamu, tapi aku... aku hanya
tidak tahu siapa pun bisa seperti itu, yah, bisa memiliki
sebuah rumah di usia kita." Dia menatapnya dan tersenyum.
"Akan ada banyak kejutan yang akan kau ketahui tentang
aku." Dia membuka pintu dan mengamati saat ia berjalan
masuk, memasuki rumah itu dengan antusias. Ia begitu
mudah untuk ditipu. Dia menjilat bibirnya, merasakan rasa
lapar samar-samar yang muncul di depan giginya. Itu akan
menjadi sangat lebih mudah dari yang dia pikirkan.
*****58
ENAM Caleb dan Caitlin berdiri di tepi sungai, saling bertatapan
mata. Ia gemetar karena khawatir apakah dia akan
mengatakan selamat tinggal. Namun, kemudian sesuatu
tertangkap matanya, dan tatapan matanya tiba-tiba berubah.
Dia menatap garis lehernya, dan kelihatan terpaku. Dia
mengulurkan tangan, dan ia merasakan jarinya membelai
lehernya. Ia merasakan logam itu. Kalungnya. Ia lupa kalau
ia mengenakannya. Dia menariknya dan memandangi
kalung itu. "Apa ini?" tanyanya dengan lembut. Ia
mengulurkan tangan dan meletakkan tangannya di atas
tangan Caleb. Itu adalah salibnya, salib perak kecilnya.
"Hanya salib tua," jawabnya. Namun sebelum ia selesai
mengucapkan kata-katanya, ia menyadari: salib itu sangat
tua. Itu sudah ada di dalam keluarganya selama beberapa
generasi. Ia tidak ingat siapa yang memberikan kalung itu
kepadanya, atau kapan, namun ia tahu benda itu kuno. Dan
benda itu adalah milik ayahnya. Ya. Itu adalah sesuatu.
Mungkin ada sebuah petunjuk.
Dia menatapnya dengan saksama, memeriksanya. "Ini
bukanlah salib biasa," ujarnya. "Bagian tepinya melengkung.
Aku belum pernah melihat yang seperti ini selama ribuan
tahun. Itu adalah salib dari Santo Peter," dia menatapnya,
terpukau. "Bagaimana kau mendapatkan benda ini?"
"Aku...selalu memilikinya," ujarnya dengan napas tertahan,
kegembiraannya bertambah. "Ini adalah tanda dari sebuah
coven kuno. Dari Yerusalem. Sebuah coven rahasia, salah
satu kekuatan yang luar biasa. Coven itu dikabarkan tidak
pernah ada. Bagaimana kau memiliki benda ini?" Ia
merasakan jantungnya berdegup. "Aku... tidak tahu. Aku
diberitahu bahwa itu adalah milik ayahku. Aku... tidak
pernah memikirkannya." Dia membaliknya dengan lembut,
melihat bagian belakangnya. Matanya terbelalak. "Ada59
ukiran," Ia mengangguk, tiba-tiba ingat. Ya. Memang ada
ukirannya. Apa? "Tulisan Yunani, menurutku," ujarnya.
"Latin," dia membetulkan. "Spina rosam et congregari
Salem," dia berkata, dan kemudia menatapnya, seolah-olah
mengharapkan dirinya paham. Ia tidak tahu. Ia tidak pernah
tahu. "Artinya: Mawar (rose) dan duri (thorn) bertemu di
Salem." Dia menatapnya, dan Caitlin balas menatap Caleb.
Benaknya berpacu, bertanya-tanya apakah itu artinya.
Matanya bersinar dengan tujuan baru. "Ini adalah milik
ayahmu. Pasti seperti itu. Ukiran itu adalah teka-teki kuno
vampir. Dia mengatakan kepadamu cara untuk menemukan
dirinya. Dia mengatakan kepadamu ke mana untuk pergi
selanjutnya." Ia balas menatapnya. "Salem?" Dia
mengangguk dengan muram. Dia meletakkan sebelah
tangan di bahunya. "Aku sangat peduli terhadapmu. Aku
tidak ingin melihat kau terluka. Ini adalah perangku. Aku
tidak ingin kau terseret di dalamnya. Ini akan menjadi sangat
berbahaya, dan kau bukan vampir sepenuhnya. Kau bisa
terluka. Kau tidak perlu ikut denganku, khususnya sekarang
aku sudah tahu ke mana harus pergi selanjutnya. Kau
sudah menolong aku melebihi ucapan terima kasihku."
Caitlin merasakan hatinya tenggelam. Apakah dia tidak mau
dirinya ikut? Ataukah dia sedang mencoba melindunginya?
Ia merasa seolah-olah itu adalah yang terakhir. "Aku tahu
aku punya sebuah pilihan," ujarnya. "Aku memilih untuk
bersama denganmu." Dia menatap Caitlin dalam waktu
yang lama, lalu akhirnya mengangguk. "Oke," ujarnya.
"Selain itu," ia menambahkan, tersenyum, "aku tidak bisa
membiarkan kau menemui keluargaku sendirian."
*****60
TUJUH
Kyle berjalan dengan gembira di sepanjang jalanan berbatu
bulat dari Dermaga South Street, melipatgandakan
kecepatannya. Ia telah membayangkan saat ini selama
bertahun-tahun. Ia berbelok di pojokan, dan ia sudah bisa
mulai melihatnya. Kapal itu. Kapalnya. Disamarkan sebagai
kapal layar bersejarah yang dipamerkan dari sebuah negara
di Eropa, kapal itu akan berlabuh di Dermaga selama
seminggu. Betapa bodoh para manusia ini. Mereka bisa
memercayai hampir segalanya. Terlalu percaya untuk
berpikiran memeriksa lambung kapal dari bagian sejarah.
Untuk menyadari bahwa itu bisa berarti kematian mereka.
Kuda Troya mereka. Menambahkan kebodohan pada
kebodohan, turis-turis tolol yang berkerumun di sekitar kapal,
dengan gembira melihat kepingan sejarah di bawah hidung
mereka. Seandainya mereka tahu.
Kyle menyikut untuk menerobos kerumunan itu, dan menuju
langsung ke lorong. Empat pria bertubuh besar berdiri
menjaga, namun ketika mereka mendongak dan melihat dia
datang, mereka semua mengangguk mengenalinya dan
segera minggir untuk memberi jalan.
Semua anggota dari rasnya. Semua berpakaian hitam-hitam,
dan sama tingginya dengan dirinya. Kyle bisa merasakan
amarah datang dari mereka, dan itu membuatnya tenang.
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selalu terasa lebih baik dikelilingi oleh kaumnya. Mereka
memberi jalan dengan hormat, dan ketika Kyle sudah
berjalan hingga ke tengah, mereka menutup lorong itu lagi.
Kyle mendekati buritan kapal, tersembunyi dari khalayak
umum. Beberapa lagi dari kaumnya berdiri di sana, dan saat
mereka melihatnya mendekat, mereka segera bekerja.
Mereka menurunkan sebuah jalan besar di sisi lambung
kapal, dan mulai mengerek turun sebuah karton besar,61
dikemas dalam kotak triplek. Sepuluh pria mengerek karton
besar itu turun perlahan-lahan, meletakkannya di trotoar
jalan berbatu bulat. Kyle menghampiri kotak itu. "Tuanku,"
seorang vampir pendek dan botak berkata kepada Kyle,
berlarian ke arahnya dan membungkuk memberi hormat.
Pria ini berkeringat sekali, dan kelihatan sangat gelisah.
Matanya berputar-putar ke segala arah. Dia pasti telah
melihat polisi. Dan dia terlihat seolah-olah sudah menunggu
dalam waktu yang lama. Bagus. Kyle suka membuat orang
menunggu.
"Itu semua ada di sini," pria itu melanjutkan, dengan terburuburu. "Kami sudah memeriksanya beberapa kali. Benda itu
semua aman dan selamat, tuanku."
"Aku ingin melihatnya," kata Kyle. Pria itu menjentikkan
jarinya dan empat pria berlari mendekat. Mereka
mengangkat linggis ke arah karton, dan melepaskan salah
satu papan kayu. Mereka merobek lapisan demi lapisan dari
plastik yang tebal.
Akhirnya, Kyle melangkah maju dan mengulurkan tangan. Ia
merasakan sebuah botol kaca yang dingin, dan
mengeluarkannya. Ia mengangkatnya, memeriksanya di
bawah cahaya lampu jalan. Tepat seperti yang ia ingat.
Mikroba dari wabah pes berkerumun di tangannya, sangat
sempurna. Ia perlahan-lahan tersenyum. Sekarang
perangnya bisa dimulai.
*62 Kyle tidak membuang-buang waktu lagi. Dalam beberapa
jam, dia ada di Stasiun Penn, siap untuk bekerja. Ketika ia
berjalan menyusuri stasiun itu, menerobos kerumunan,
amarahnya berkobar. Ia berjalan tepat menuju gerombolan
orang, pada jam sibuk, semua berlomba-lomba untuk pulang
ke keluarga kecil, rumah, suami dan istri mereka yang
menyedihkan. Ia merasakan kebenciannya muncul.
Jika ada apa pun yang ia benci lebih parah dari manusia, itu
adalah gerombolan dari mereka, berhamburan ke dan dari
segala arah seolah- olah hidup mereka berarti meski hanya
sedikit, seolah-olah keberadaan mereka yang hanya 100
tahun di bumi ini memiliki konsekuensi sama sekali. Kyle
telah hidup lebih lama dari mereka semua, generasi demi
generasi, selama ribuan tahun.
Bahkan manusia yang lebih besar, seperti Caesar dan
Stalin dan?favoritnya, Hitler?telah dilupakan begitu saja
dalam beberapa ratus tahun setelah kehidupan mereka.
Mereka menjadi penting pada suatu waktu, namun segera
tidak berarti setelahnya. Gerakan mereka yang hingarbingar, perasaan mereka terhadap pentingnya diri mereka,
menggetarkannya hingga ke pusatnya.
Dia merasa seperti ingin membunuh setiap satu dari mereka.
Dan dia akan melakukannya. Namun tidak saat ini. Kyle
punya hal yang penting untuk dikerjakan. Pekerjaan yang
sangat penting.
Dia diapit oleh segerombolan kecil yang terdiri dari delapan
vampir jahat, dan mereka semua menerobos melalui
kerumunan itu secepat mungkin. Masing-masing membawa
sebuah ransel. Dan tiap ransel berisi 300 botol kecil wabah.
Mereka akan terpisah menjadi empat tim, dan masingmasing tim, laksana empat Penunggang Kuda, akan63
menyebarkan kematian mereka ke tiap sudut stasiun. Satu
tim akan mencakup stasiun itu sendiri, satu di Jalur menuju
Grand Central, satu ke jalur bawah tanah A, C, atau E, dan
satu lagi pada jalur kereta 1 atau 9.
Kyle menyisakan lokasi terbaik bagi dirinya sendirian saja:
Amtrak. Dia tersenyum memikirkan bahwa ramuan wabah
itu akan tersebar lebih jauh dan lebih luas dibandingkan
yang lainnya. Mungkin saja ia bisa menguasai kota lainnya
juga.
Kyle mempunyai kaki tangan vampir lain yang bekerja keras
juga, di stasiun bawah tanah di seluruh kota, di Grand
Central, dan di Times Square. Kyle mengangguk, dan para
tim segera berpencar. Ia berjalan sendirian menuju jalan
masuk Eighth Avenue. Ia menuruni eskalator, berjalan ke
bagian akhir peron, lalu terus berjalan, melewati titik di mana
tidak seorang pun melihatnya. Ia melompat dengan cepat
ke lintasan.
Saat ia mendarat, tikus-tikus berhamburan. Mereka bisa
merasakan keberadaannya. Betapa ironis, pikir Kyle.
Tikuslah yang sudah menyebarkan wabah itu. Sekarang,
mereka lari dari wabah itu.
Kyle berjalan menuju kegelapan, menuruni terowongan,
yang mencuat ke sisi rel. Ia terus berjalan, dan akhirnya
sampai di persimpangan di mana semua jalur bertemu. Ia
mengulurkan tangan ke dalam ranselnya dan mengeluarkan
sebuah botol kecil, dan memegangnya di bawah lampu
darurat.
Ia hampir dilanda kegembiraan. Ia melepaskan bungkusnya,
mengulurkan kedua tangannya, dan mulai bekerja. Setelah
begitu banyak abad dari penantiannya, sekarang hanya64
tergantung dalam waktu beberapa jam saja.
*****65
DELAPAN
Sam tidak dapat memercayai keberuntungannya. Dia dibawa
berkeliling ke sebuah rumah keren oleh seorang gadis
cantik?kakak kelas, tidak lebih?yang kelihatannya
menyukai dirinya. Dia seksi. Dan sangat keren. Dan dia
memiliki seluruh tempat itu sendirian. Seolah-olah ada
malaikat dari Tuhan yang turun dan jatuh di hadapannya. Ia
masih tidak bisa memercayainya. Persis dengan apa yang
ia butuhkan, dan pada saat yang tepat. Ia khawatir bahwa
setiap saat semua keberuntungannya akan pergi, dan dia
memintanya untuk pergi. Tapi dia tidak terlihat tergesa-gesa
untuk mengusirnya. Kenyataannya, dia terihat seolah-olah
menginginkan teman. Dan dia sama sekali tidak peduli
bahwa dirinya telah masuk ke lumbungnya. Sesungguhnya,
dia terlihat senang menemukan dirinya di sana. Ia tidak
memercayainya. Ia tidak pernah mendapatkan
keberuntungan dalam hidupnya seperti sekarang ini. Saat ia
berjalan berkeliling, ia melihat bahwa rumahnya masih
terbilang kosong. Tidak ada makanan di kulkas, dan bahkan
tidak ada banyak perabotan. Hanya ada kursi yang
bertebaran di sini dan di sana, dan sebuah sofa kecil. Hal itu
membuatnya merasa lebih baik, karena ia bisa membantu
dia. Jika dia mau dibantu. Ia bisa membantu
memperbaikinya, memindahkan barang, membeli makanan,
menyekop, apa pun yang ia butuhkan. Bahkan jika dia
hanya membiarkan dirinya tinggal di lumbungnya, itu sudah
cukup keren. Dan jika dia menginginkannya ada di dalam
rumah, yah, luar biasa sekali. Yang terpenting, ia benarbenar suka padanya. Ia kesepian. Ia menyadarinya
sekarang. Ia benar-benar senang ada bersama dengannya.
"Dan ini adalah ruang tengah," ujarnya, saat dia
mengajaknya ke ruangan terakhir. Ruangan itu benar-benar
kosong, tidak ada foto di dinding, tidak ada karpet di lantai?
hanya sebuah sofa di tengah-tengah ruangan. "Maaf,66
rumah ini masih begitu kosong," ujarnya. "Aku baru saja
sampai di sini. Aku tidak ingin membawa barang-barang
lamaku. Aku rasa aku hanya perlu membuat awal yang
baru." Sam berdiri di sana, mengangguk. Ia sangat ingin
mengajukan setumpuk pertanyaan kepadanya. Seperti: dari
mana kau berasal? Bagaimanakah orang tuamu meninggal?
Mengapa kau datang ke sini?
Namun ia tidak ingin menjadi terlalu memaksa. Jadi ia hanya
berdiri di sana, mengangguk-angguk, seperti seorang idiot.
Ia juga merasa agak gugup. Ia benar-benar tertarik
kepadanya, lebih dari yang pernah ia rasakan terhadap
gadis lain dalam hidupnya, dan ia tidak tahu lagi apa yang
harus diucapkan?dan tidak memercayai dirinya sendiri
untuk berkata apa pun. Ia mempunyai perasaan bahwa jika
ia mengatakan sesuatu, itu akan menjadi kesalahan. "Mau
duduk?" dia bertanya, ketika dia berjalan dan duduk di sofa
itu. Tentu saja. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan
kegembiraannya. Ia mencoba untuk berjalan sebiasa
mungkin, saat ia mendekat dan duduk di sampingnya. Itu
adalah sebuah sofa kecil untuk dua orang, dan kakinya
menyenggol dia saat Sam duduk. Ia bisa mencium
parfumnya, dan merasakan darahnya mengalir deras.
Semakin sulit untuk berpikir dengan jernih. Dia
menyilangkan kakinya, dan berpaling menatapnya. Dia
duduk di sana, tersenyum, menatap matanya, dan ia
bertanya-tanya untuk kesejuta kalinya apakah semua ini
adalah mimpi, apakah salah satu temannya
sedang menggodanya. "Jadi," dia berkata. "Ceritakan
kepadaku tentang dirimu." "Seperti apa?" Sam bertanya.
"Apakah kau berasal dari sini?" Sam berpikir cara untuk
menjawab yang pertanyaan itu. Itu tidak mudah. "Tidak,
tidak tepat seperti itu. Tapi aku kira kau bisa
menganggapnya begitu, karena aku telah tinggal di sini
lebih dari hanya sekedar di tempat lain. Kami banyak67
berpindah. Keluargaku. Itu aku, kakakku, dan ibuku."
"Bagaimana dengan ayahmu?" dia segera bertanya. Sam
mengangkat bahu. "Dia tidak pernah muncul. Mereka bilang
dia pindah ketika aku masih kecil. Aku tidak benar-benar
ingat." "Sudahkah kau coba untuk mencarinya?" Sam
melihat ke dalam matanya, dan bertanya-tanya apakah dia
dapat membaca pikirannya. "Lucu juga ya pertanyaanmu,"
ujarnya, "karena aku sebenarnya sudah mencobanya. Aku
selalu ingin tahu. Tapi aku tidak pernah menemukan apa
pun. Sampai minggu kemarin." Matanya terbelalak karena
terkejut. Sam terkejut oleh betapa senangnya dia. Ia tidak
benar-benar bisa memahaminya. Mengapa dia harus peduli?
"Sungguh?" tanyanya. "Di manakah dia?" "Yah, aku tidak
tahu persisnya, tapi kami telah bercakap-cakap di Facebook.
Dia mengatakan ingin bertemu denganku." "Jadi? Kenapa
kau tidak menemuinya?" "Aku ingin menemuinya. Ada
banyak hal yang berlangsung begitu cepat. Aku rasa aku
hanya perlu membuat sebuah rencana." "Apa yang kau
tunggu?" dia bertanya, tersenyum. Sam berpikir. Dia benar.
Apa yang dia tunggu? "Kenapa kau tidak membalasnya?
Membuat janji untuk bertemu dengannya? Begini, jika kau
tidak membuat rencana, beberapa hal tidak akan pernah
terjadi. Kalau aku, aku akan meng-SMS-nya sekarang juga,"
katanya. Sam menatap matanya, dan saat ia melakukannya,
ia merasa pikirannya berubah. Semua hal yang dia katakan
begitu masuk akal. Aneh
sekali: ia hampir merasa seolah-olah tiap kali dia
mengatakan sesuatu, semua itu ada dalam benaknya. Dia
benar sekali. Ia tidak perlu menunggu. Ia merogoh sakunya,
mengeluarkan ponselnya, dan masuk ke Facebook. Saat ia
melakukannya, Samantha meringkuk di sampingnya,
menyandarkan bahunya pada tubuh Sam, dan melihat
ponselnya bersama- sama. Jantungnya mulai berdegup. Ia
menyukai rasa bahunya yang menyentuh tubuhnya. Terasa
begitu lembut, dan sangat pas. Ia bisa mencium bau68
rambutnya, dan rasanya bukan main. Pikirannya mulai
benar-benar teralihkan. Ia lupa, untuk sesaat, mengapa ia
mengeluarkan ponselnya. Lalu ia melihat pesan baru
bercahaya, dan membukanya. Itu dia. Ada pesan baru lagi
dari ayah. Isinya: Sam, aku akan senang sekali berjumpa
denganmu. Kita memang harus bersama. Aku tahu kalau
kau sibuk di sekolah dan semuanya, tapi apa sajakah
jadwalmu? Sulit bagiku untuk bepergian, karena kakiku yang
sakit, tapi aku berharap apakah kau bisa datang ke sini dan
mengunjungiku? Aku tinggal di Connecticut.
Samantha tersenyum. "Itu dia," ujarnya. "Apa yang harus
aku katakan?" Sam bertanya. "Katakan ya. Besok hari
Sabtu. Itu akhir pekan. Kapan lagi ada waktu yang lebih
baik?" Dia benar. Sabtu adalah hari terbaik. Wah. Gadis ini
tidak hanya sangat seksi, tapi dia juga sangat pintar. Sam
mengetik balasannya: Oke. Kedengarannya bagus.
Bagaimana dengan akhir pekan ini? Apa alamat ayah? Ia
ragu untuk sedetik. Lalu ia mengklik kirim. Ia sudah merasa
lebih baik. "Aku ikut merasa senang sekali," ujar Samantha,
tersenyum. "Wah, keren sekali kalau aku bisa bertemu
denganmu pada waktu yang menyenangkan itu." Sam tibatiba merasa jari-jari lembutnya terulur dan membelai
wajahnya, lalu dengan perlahan membelai rambutnya.
Rasanya hebat. Bukan main. Jantungnya berdentam, dan ia
hampir tidak bisa berpikir. Ia berpaling dan menatapnya,
dan melihat bahwa dia memandangnya, sekarang kedua
tangannya, membelai wajahnya, lehernya, rambutnya. Ia
tidak bisa memalingkan matanya dari mata hijaunya yang
besar dan bercahaya. Ia hampir tidak bisa bernapas. "Aku
sangat menyukaimu," ujarnya. Sam membuka mulutnya
untuk berbicara, tapi mulutnya terlalu kering. Ia harus
berusaha beberapa kali. "Aku sangat menyukaimu juga," Ia
tahu ia harus menunduk untuk mencium, tapi ia terlalu
gugup. Ia merasa lega ketika dia membungkuk, dan69
menekankan bibir Samantha di atas bibirnya. Rasanya luar
biasa. Darahnya mengalir cepat ke otaknya, dan ia
berharap hal itu tidak pernah berakhir.
*****70
SEMBILAN
Ketika Caitlin terbang dengan Caleb, lengannya
merangkulnya, ia menyukai rasa tubuhnya, ia berpikir
betapa beruntung dirinya. Tepat di hari sebelumnya, ia
khawatir bahwa Caleb akan mengucapkan selamat tinggal.
Dan sekarang, dalam sekejap, keberuntungannya telah
berubah. Terima kasih atas kalung itu, Tuhan, batinnya.
Sudah sangat sore ketika mereka tiba di Salem. Dia
mengajak mereka pergi ke lapangan kosong yang tidak
mencurigakan di pinggir kota, jadi tidak seorang pun yang
memerhatikan. Mereka berjalan melewati beberapa gang,
dan tiba tepat di Jalan Utama Salem. Caitlin terkejut. Ia
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah mengharapkan yang lebih dari ini. Ia telah mendengar
tentang Salem sepanjang hidupnya, sebagian besar dari
buku, selalu dihubungkan dengan penyihir. Tapi untuk
melihatnya sebagai kenyataan, tempat tinggal, sebagai kota
sehari-hari, ia merasa kota itu sangat aneh. Ia telah
membayangkan kota itu sangat dilindungi, tempat
bersejarah dalam kepalanya, hampir seperti sebuah
dekorasi panggung.
Dengan melihat orang-orang normal, modern, dan biasa
hidup sehari-hari, menyetir, bersegera pergi dan mondarmandir, membuatnya lengah. Salem hampir terlihat
menyerupai kota kecil, New England. Ada beberapa
jaringan toko, apotek khusus, semuanya modern, dan
hampir tidak ada tanda-tanda bahwa kota ini punya begitu
banyak sejarah. Kota itu juga lebih besar ketimbang yang ia
bayangkan. Ia sama sekali tidak tahu ke mana untuk mulai
mencari Ayahnya. Caleb pasti sudah memikirkan hal yang
sama pada saat yang sama, karena dia memandangnya
dengan sebuah ekspresi: sekarang apa? "Baik," ia memulai,
"aku rasa kita tidak mengharapkan ayah berdiri di Jalan
Utama dan menunggu untuk memberikan sebuah pelukan71
besar kepada kita." Caleb tersenyum. "Tidak, aku tidak
merasa akan semudah itu."
"Jadi? Sekarang, apa?" ia bertanya. Caleb memandangnya.
"Aku tidak tahu," dia akhirnya berkata. Caitlin berdiri di sana,
berpikir. Beberapa orang melewati mereka di jalan itu, dan
beberapa dari mereka memberikan tatapan aneh kepada
Caitlin dan Caleb. Ia menatap mereka dalam cerminan
sebuah jendela toko, dan menyadari bahwa mereka adalah
sebuah pasangan yang mengherankan. Mereka sangat
mencolok. Dia begitu tinggi, dan berpakaian dengan elegan
dalam warna hitam. Dia terlihat seperti seorang bintang film,
terjun ke tengah-tengah jalan. Berdiri di sampingnya, ia
merasa lebih biasa dari sebelumnya. "Mungkin kita harus
memulai dengan hal yang jelas?" ia bertanya. "Nama
belakangku. Paine. Jika Ayahku masih tinggal di sini,
mungkin dia terdaftar." Caleb tersenyum. "Kau merasa dia
akan membuat nomor teleponnya bisa dilihat orang umum?"
"Aku meragukannya. Tapi kadang-kadang jawaban paling
jelas adalah yang terbaik. Ngomong-ngomong, tidak ada
salahnya mencoba. Kau punya gagasan lain?" Caleb
berdiri di sana, menatapnya. Akhirnya, dia menggelengkan
kepalanya. "Mari kita lakukan," ujarnya. Untuk ke sejuta
kalinya, ia berharap ia masih memiliki ponselnya.
Sebagai gantinya, ia memandang berkeliling dan
menemukan sebuah warnet di seberang jalan. * Caitlin
sudah mengetik semua variasi tentang "Paine" yang bisa ia
pikirkan, dan masih saja, tidak ada hasil. Ia merasa jengkel.
Mereka telah mencari setiap daftar tempat tinggal dan bisnis
di Salem. Mereka telah mencoba Paine, Payne, Pain, dan
Paiyne. Tidak ada. Tidak ada seorang pun. Caleb benar: itu
adalah gagasan konyol. Jika ayahnya memang tinggal di
sini, dia tidak akan membuat nomornya bisa dilihat
masyarakat. Dan ia punya suatu perasaan, dengan adanya
petunjuk misterius sejauh ini, ayahnya tidak akan pernah72
membuatnya semudah itu bagi mereka. Menghela napas, ia
berpaling kepada Caleb. "Kau memang benar. Buangbuang waktu." "The rose and the thorn meet in Salem," ujar
Caleb perlahan, berulang- ulang. Ia bisa melihat dia sedang
berpikir. Ia telah mengulangi frasa itu dalam benaknya juga,
dan rasanya menyenangkan mendengarnya keras-keras. Ia
telah mengulangnya berkali- kali, namun masih tidak ada
ide apa maksudnya. Sebuah mawar? Sebuah duri?
"Mungkin ada sebuah kebun mawar di suatu tempat?"
ujarnya, berpikir keras. "Dan mungkin ada semacam
petunjuk tersembunyi di bawahnya?" ujarnya. "Atau
mungkin itu adalah nama suatu tempat?" ia menambahkan.
"Mungkin ada sebuah bar, atau sebuah losmen tua, yang
disebut the Rose dan the Thorn?" Caitlin berpaling kembali
ke arah komputer, dan mencoba beberapa variasi dari
pencarian. Ia mencoba hanya rose. Lalu hanya thorn. Lalu
rose dan thorn. Perusahaan bisnis. Taman. Kebun. Tidak
ada hasil. Jengkel, ia akhirnya mengulurkan tangan dan
mematikan sistem. Mereka berdua duduk dalam
keheningan selama beberapa menit, berpikir. "Mungkin kita
memikirkan tentang hal ini dengan cara yang salah," kata
Caleb tiba-tiba. Ia berpaling ke arahya. "Apa maksudmu?"
"Yah, kita telah mencari orang yang masih hidup," ujarnya,
"di dunia kini. Di abad ini. Namun para vampir hidup selama
ribuan tahun. Ketika satu vampir berkata kepada vampir lain,
kunjungilah aku, dia tidak selalu memaksudkan di abad ini.
Para vampir berpikir dalam hitungan abad, bukan tahun.
"Itu bisa berarti bahwa ayahmu tidak ada di sini sekarang.
Namun dia pernah. Dalam waktu yang sangat lama. Itu bisa
berarti bahwa kita tidak perlu mencari seseorang yang
masih hidup. Tapi orang yang pernah tinggal di sini pada
suatu waktu. Dan mungkin bahkan meninggal di sini."
Caitlin menatapnya, tidak benar-benar paham. "Meninggal?
Apa yang kau katakan? Ayahku sudah meninggal?" "Sulit
bagiku untuk menjelaskan hal ini kepadamu, tapi kau harus73
memikirkan tentang hal ini dengan cara yang berbeda. Para
vampir hidup melalui banyak penjelmaan. Banyak dari kami
yang mempunyai nisan, meskipun kami hidup hingga saat
ini. Aku sendiri, dengan nama yang berbeda, terkubur di
beberapa kuburan di berbagai negara. Sudah pasti aku
tidak sungguh-sungguh mati, atau dikubur. Tapi pada saat
itu, orang setempat harus diyakinkan bahwa aku memang
mati. Kami harus menghentikan bukti itu, memberi
keyakinan bahwa aku tidak kembali hidup. Pemakaman dan
nisan adalah satu-satunya hal yang tidak akan mereka
remehkan. "Ras vampir tidak suka meninggalkan jejak, dan
kami tidak menyukai ketika manusia tahu bahwa kami telah
kembali. Itu mendatangkan terlalu banyak perhatian yang
tidak diinginkan. Jadi, kadang-kadang, saat tidak ada pilihan
lain, kami membiarkan mereka mengubur kami. Dan ketika
kami menyelinap, diam-diam, di tengah malam, dan
bergerak." Dia berpaling dan menatap Caitlin. "Itu bisa
berarti bahwa ayahmu terkubur di sini. Mungkin kita tidak
perlu mencari di atas tanah, tapi di bawahnya. Kita telah
memeriksa Paine yang hidup. Tapi kita belum memeriksa
yang mati." * Caitlin tercengang saat mereka berjalan di
kuburan kecil, benaknya masih terguncang. Ia tidak pernah
ada di sebuah tempat setua ini sebelumnya. Ketika mereka
sudah masuk, sebuah tanda besar bertuliskan "Tempat
Penguburan, 1637." Ia takjub dengan fakta bahwa orang
telah datang ke sini selama hampir 400 tahun.
Lebih dari itu, ia kagum karena ada beberapa turis
mengembara ke kuburan itu sekarang. Ia telah
mengasumsikan mereka akan menjadi satu- satunya yang
ada di sini. Bagaimanapun juga, ini adalah Salem. Dan
kuburan ini adalah sebuah obyek wisata. Orang-orang
kelihatannya datang ke sini dan menganggap kuburan ini
sebagai sebuah museum. Kenyataannya, ia menyadari
bahwa ada sebuah museum sungguhan yang berbatasan
dengan tanah pekuburan. Itu tidak terasa nyaman baginya.74
Ia merasa bahwa tempat ini seharusnya lebih keramat.
Kuburan itu kecil dan rapat, seukuran halaman belakang
rumah. Sebuah jalur berbatu bulat berputar dan berbelok
menuju suatu tempat, dan saat ia berjalan, ia mengagumi
seberapa tua nisan-nisan itu, huruf- hurufnya yang aneh,
semakin pudar karena tua. Nisan itu dalam Bahasa Inggris,
namun begitu tua, dan begitu kuno, hampir terbaca seolaholah bahasa lain. Ia membaca namanya dengan saksama,
khususnya meneliti nama- nama terakhir. Tapi ia tidak bisa
menemukan satu pun "Paine", atau variasi apa pun pada
nama itu. Mereka telah mencapai ujung jalan setapak itu.
Tidak ada apa pun. Ketika Caitlin mencapai ujung jalan,
Caleb ada di sebelahnya, ia berhenti dan membaca sebuah
plakat. Plakat itu menggambarkan beberapa siksaan
mengerikan yang telah dialami para penyihir. Salah satu
dari plakat itu, ia membaca, "ditekan" hingga mati. Ia merasa
ngeri. "Aku tidak bisa memercayai apa yang mereka
lakukan terhadapnya," kata Caitlin. "Kelihatannya seolaholah semua penyihir mengalami kematian yang
mengerikan." "Mereka bukan penyihir," ujar Caleb sungguhsungguh. Caitlin menatapnya, mendengarkan kesedihan
dalam suaranya. "Mereka adalah bangsa kami," ujarnya.
Mata Caitlin terbelalak. "Vampir?" ia bertanya. Caleb
mengangguk, menunduk menatap bebatuan. Kesunyian
terus menghinggapi mereka, saat Caitlin merenungkan hal
itu. "Aku tidak mengerti," ia akhirnya berkata. "Bagaimana
mereka ada di sini?" Caleb menghela napas. "Kaum
Puritan. Mereka tidak dianiaya di
Inggris karena Kekristenan mereka. Mereka dianiaya karena
mereka adalah bangsa kami. Itulah kenapa mereka
meninggalkan Eropa, dan kenapa mereka datang ke sini.
Untuk beraktivitas dengan bebas. Mereka mencoba kabur
dari penindasan dunia lama, para vampir Eropa. Mereka
tahu bahwa jika mereka selamat, mereka harus
menemukan negara baru. Jadi mereka datang ke sini.75
Mereka adalah ras vampir yang penuh kebajikan, dan
mereka tidak ingin berperang dengan vampir lain, atau
dengan manusia. Mereka hanya ingin dibiarkan saja. "Tapi
seiring waktu, ras vampir yang lebih kelam mengikuti mereka
ke sini, dan dalam jumlah yang lebih banyak. Perang
sebelumnya dalam koloni itu bukan antara manusia: mereka
benar-benar berperang antara ras vampir baik dan jahat.
"Dan penyiksaan para penyihir di Salem hanyalah
penindasan awal dari para vampir. Di mana saja ada yang
baik, yang jahat mengikuti. Pertempuran abadi antara
cahaya dan kegelapan. Para penyihir yang disiksa dan
digantung di Salem semuanya adalah ras vampir yang baik.
"Inilah kenapa masuk akal bagi ayahmu untuk dikuburkan di
sini.
Kenapa Salem, secara umum, adalah yang paling masuk
akal. Kenapa kalungmu menjadi hal yang paling masuk akal.
Itu semua mengarah ke hal yang sama: bahwa kau adalah
pewarisnya. Kunci untuk menemukan pedang yang mereka
sembunyikan, yang akan melindungi kami semua." Caitlin
memandang ke sekeliling kuburan itu lagi, pikirannya
berputar- putar karena semua sejarah itu. Ia tidak tahu apa
yang harus ia lakukan. Namun ia tahu satu hal: tidak ada
"Paine" di sini. Itu adalah jalan buntu yang lain. "Tidak ada
apa-apa di sini," akhirnya Caitlin berbicara. Caleb mencaricari di kuburan itu sekali lagi, dan nampak sangat kecewa.
"Aku tahu," ujarnya. Caitlin khawatir pencarian mereka
benar-benar berakhir kali ini. Ia tidak bisa membiarkannya
berakhir di sini. "The rose dan the thorn, mawar dan duri,"
ujarnya, berulang kali, berbisik kepada dirinya sendiri,
menyuruh dirinya untuk menemukan jawaban. Tapi tidak
ada yang muncul.
Caleb mulai berjalan-jalan di jalan setapak itu lagi, dan
Caitlin mulai berjalan juga, berpikir sembari berjalan. Ia
segera sampai ke plakat besar lainnya, yang dipaku pada76
sebuah pohon. Mulanya ia membaca hanya untuk
mengalihkan dirinya, namun ketika ia terus membaca, ia
tiba-tiba menjadi bersemangat. "Caleb!" ia berseru. "Cepat!"
Dia segera datang. "Dengarkan ini: 'Tidak semua penyihir
yang telah disiksa dikuburkan dalam makam ini.
Sebenarnya, hanya sejumlah kecil dari mereka yang ada di
sini. Ada lebih dari 130 penyihir lain yang ada dalam daftar
'tertuduh'. Beberapa kabur, dan beberapa dikuburkan di
tempat lain. Untuk daftar selengkapnya, lihat di catatan
museum." Mereka saling berpandangan, keduanya
memikirkan hal yang sama, dan berbalik lalu memandangi
museum di sisi mereka. * Matahari telah tenggelam, dan
tepat ketika mereka mencapai pintu museum, pintu itu
sungguh-sungguh ditutup di depan wajah mereka. Caleb
melangkah maju dan mengulurkan tangan, menghentikan
pintu itu.
Sebuah wajah wanita tua muncul dalam celah, ketus dan
jengkel. "Maaf, saudara-saudara, tapi kita sudah tutup hari
ini," ujarnya. "Kembalilah besok jika kau mau." "Maafkan
kami," ujar Caleb bersungguh-sungguh, "tapi kami hanya
memerlukan beberapa menit. Saya khawatir kami tidak bisa
kembali besok." "Ini sudah jam lima lebih lima," bentaknya.
"Kami tutup jam lima. Setiap hari. Tidak ada pengecualian.
Itu adalah peraturannya. Aku tidak bisa terus membuka
tempat ini untuk siapa pun yang datang terlambat. Seperti
yang aku katakan, jika kau ingin kembali, kembalilah besok.
Selamat malam." Wanita itu mulai menutup pintu lagi,
namun Caleb menahannya terbuka dengan tangannya. Dia
menjulurkan kepalanya, lebih jengkel dari sebelumnya.
"Dengar, apa kau mau aku memanggil polisi ?" Tiba-tiba,
dia menghentikan kalimatnya, saat matanya tertuju kepada
Caleb. Dia hanya menatapnya, untuk beberapa detik, dan
Caitlin melihat ekspresinya berubah. Wajahnya melembut.
Lalu, secara mengejutkan, ia77
mulai tersenyum. "Wah, halo saudara-saudara," ujarnya,
sangat riang. "Sangat gembira melihatmu di sini. Silakan
masuk," ujarnya, membuka pintu lebar-lebar dan melangkah
mundur dengan sebuah senyum. Caitlin menatap Caleb,
terkejut. Apa yang baru saja dia lakukan? Apa pun itu, ia
ingin mempelajarinya sendiri. Jangan khawatir, kau akan
mempelajarinya. Caitlin menatap Caleb dan lebih terkejut
ketika menyadari bahwa dia baru saja mengirimkan sebuah
pikiran kepadanya, dan pikiran itu sudah ia dengar. *
Mereka memiliki museum itu untuk mereka sendiri saat
mereka berjalan di sepanjang lorongnya yang sempit dan
remang-remang. Foto- foto, plakat, dan perkakas berjejer di
dinding, semua dari para penyihir, hakim, dan gantungan.
Itu adalah sebuah tempat yang keramat. Saat mereka
berjalan terus, mereka sampai ke display besar. Caitlin
mulai membaca, dan sangat terkesan oleh display itu, ia
memutuskan untuk membacakannya keras-keras kepada
Caleb.
"Dengarkan ini," ujarnya. "Di Salem, tahun 1692,
sekelompok besar gadis remaja tiba-tiba sakit. Sebagian
besar dari mereka terjerumus ke dalam luapan histeria, dan
berteriak bahwa mereka telah diserang oleh penyihir.
Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banyak dari gadis ini yang hidup lama untuk menyebutkan
penyihir yang menyerang mereka. "Karena penyakit mereka
begitu misterius, dan karena banyak dari gadis ini yang
meninggal secara tiba-tiba dan tidak ada penjelasan lain
untuk itu, orang-orang kota menjadi hiruk-pikuk. Mereka
memburu orang- orang yang dituduh mempunyai ilmu gaib.
"Itu tidak berarti apa-apa, hingga hari ini, tidak seorang pun
dapat memperkirakan sifat penyakit yang melanda para
gadis ini, atau kenapa mereka semua terjebak oleh histeria
Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara Solmet Karya Restee Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama