Ceritasilat Novel Online

Cinta 2

Harian Vampir 02 Cinta Bagian 2


tersebut." "Itu karena mereka menjelma seiring usia," ujar
Caleb dengan lembut. Caitlin menatapnya. "Sama seperti
dirimu," ujarnya. "Mereka adalah bangsa kami, dan78
sengatan minum darah mulai menguasai mereka. Mereka
tidak sakit. Mereka sedang histeris. Mereka dikuasai oleh
penjelmaan mereka, dan tidak yakin bagaimana cara
menanganinya."
Caitlin berpikir keras. Gadis remaja. 1692. Salem. Menjelma
seiring usia. Mengalami perstiwa yang sama persis dengan
yang sedang ia alami sekarang. Tidak tertahankan. Ia
merasakan sebuah hubungan dengan sejarah itu; ia tidak
lagi merasa sendirian dengan apa yang sedang ia alami.
Namun ia merasa ketakutan di saat yang sama. Hal itu
membuktikan dirinya. Tapi ia tidak menginginkan
pembuktian. Ia ingin seseorang berkata kepadanya bahwa
ini semua tidak benar, semuanya hanyalah sebuah mimpi
buruk khayalan, dan semua hal akan segera kembali normal.
Namun semakin ia mempelajarinya, semakin ia diliputi oleh
perasaan ngeri. Semakin ia menyadari bahwa semua hal
tidak akan pernah kembali menjadi normal baginya. "Ini
dia," kata Caleb, dari sisi lain ruangan itu. Caitlin segera
mendekat. "Daftar itu. 133 tertuduh." Mereka berdua
menelusuri perlahan-lahan daftar panjang orang, ditulis
tangan dengan sebuah tulisan cakar ayam yang antik.
Sangat sulit untuk menafsirkan tulisan tangan itu, dan
mereka membacanya perlahan-lahan. Namun pada suatu
titik, di dekat penghujung daftar itu, Caitlin tiba- tiba
membeku. Ia mengulurkan tangan dan dengan harinya
menunjuk kaca itu. Ada nama belakangnya. Paine. Dieja
tepat seperti namanya. Dalam daftar "Tertuduh." "Elizabeth
Paine. Tertuduh penyihir. 1692." Elizabeth? Seorang wanita?
"Aku mengetahuinya," ujar Caleb. "Aku tahu ada
hubungannya." "Tapi" mulai berbicara Caitlin, sangat
bingung, "Elizabeth. Itu adalah seorang wanita. Aku kira
kita mencari Ayahku?" "Tidak semudah itu. Ingat, kita
berurusan dengan generasi-generasi. Bisa jadi kita mencari
Elizabeth. Atau bisa berati bahwa kita sedang mencari
ayahnya. Atau suaminya. Kita tidak tahu ke mana nenek79
moyangmu bermula atau berakhir. Tapi kita memang tahu
ada hubungannya." "Lihat ini!" kata Caitlin dengan
bersemangat, segera berjalan beberapa kaki, menuju
pameran lainnya.
Mereka berdua berdiri dan bertatapan. Luar biasa. Seluruh
pameran ditujukan kepada Elizabeth Paine.
Caitlin membaca keras-keras:
"Elizabeth Paine adalah orang yang unik di antara daftar
Tertuduh. Ia akan mendapatkan kemasyhuran besar, yang
diabadikan dalam The Scarlet Letter. Karya itu diterima oleh
masyarakat luas karena pahlawan wanitanya yang terkenal,
Hester Prynne, yang sesungguhnya berdasarkan kehidupan
Elizabeth Paine. Dia adalah inti dari karya terhebat dari
warga lama Salem, Nathaniel Hawthorne."
Caitlin tiba-tiba menatap Caleb, matanya melebar karena
gembira.
"Itu dia," ujarnya, terengah-engah. Ia hampir merasa
kewalahan dengan kegembiraannya.
"Apa?" dia bertanya. Dia masih belum melihatnya.
"Tidakkah kau lihat?" ujar Caitlin.
"Teka-teki itu. Itu adalah permainan kata-kata. Hawthorne.
Rose dan thorn. Thorn itu adalah Hawthorne. Dan rose
adalah scarlet Seperti dalam, The Scarlet Letter. Dengan
kata lain, ini adalah tentang Hawthorne. Dan Paine."
Pada saat itu, wanita tua itu memasuki ruangan lagi,
kelihatannya sudah mendapatkan kesadarannya. Ia
memandangi mereka berdua, dan berkata,
"Maafkan saya, tapi saya benar-benar harus tutup
sekarang," Caitlin segera menghampirinya, meraih80
lengannya.
"Di manakah Hawthorne tinggal?"
"Maaf?"
"Nathaniel Hawthorne," ia berkata dengan bersemangat.
"Disebutkan di situ dia pernah tinggal di Salem."
"Nona muda, kami tahu dengan persis di mana beliau tinggal.
Berkat kepercayaan historis kami, rumahnya dipertahankan.
Sesungguhnya, rumah itu masih berdiri di sana, hingga hari
ini. Sangat utuh."
Caitlin dan Caleb saling memandang. Mereka berdua tahu
ke mereka harus pergi selanjutnya.
*****81
SEPULUH
Matahari terbenam ketika Caitlin dan Caleb mendekati
rumah Hawthrone. Rumah sederhana berwarna merah
terhampar sekitar 50 kaki dari trotoar, dengan jalan setapak
dan semak-semaknya, kelihatan seperti rumah pedesaan
yang kecil. Dengan cat berwarna merah tua dan kerai,
rumah itu memiliki nuansa kesederhanaan yang antik.
Rumah itu sangat sederhana. Namun, tetap saja rumah itu
kelihatan berbeda. Rumah itu memancarkan riwayat.
Mereka berdua berdiri di sana, memandangi rumah itu, dan
kesunyian meliputi mereka. "Aku kira rumah itu lebih
besar," kata Caitlin. Caleb berdiri di sana, mengernyitkan
alisnya. "Ada masalah?" "Aku ingat rumah ini," kata Caleb.
"Aku tidak yakin kapan. Tapi aku sepertinya mengingatnya
di suatu tempat." Caitlin menatapnya, sosoknya yang
terpahat sempurna, dan mengagumi seberapa banyak yang
ia ingat. Ia ingin tahu seperti apa rasanya mengingat begitu
banyak hal. Ratusan tahun?ribuan. Dia mengalami
berbagai peristiwa dan pengalaman, yang tidak pernah bisa
ia bayangkan. Ia bertanya-tanya apakah itu adalah
anugerah atau kutukan, dan apakah ia menginginkan hal itu
untuk dirinya. Caitlin mengambil beberapa langkah maju, ke
arah pagar besi yang mengitari rumah itu, dan saat ia
mencoba melepaskan kaitannya, ia terkejut melihatnya
terkunci. Ia melihat tanda itu: 9 pagi hingga 5 sore Hari
Biasa. Ia memeriksa arlojinya. 5:30. Tutup. "Sekarang
apa?" tanyanya. Caleb memandang ke sekeliling dengan
sembunyi-sembunyi, dan ia juga melakukannya. Tidak ada
seorang pun yang terlihat di jalanan pedesaan itu. Ia
memahami apa yang Caleb pikirkan. Dia melihat ke arah
Caitlin, dan ia mengangguk. Dia meraih kaitan logam dan
dengan satu gerakan lembut, mencabut engselnya. Caleb
melihat ke sekeliling lagi, tidak terlihat seorang pun, dan
membuka pagar itu lalu memberi isyarat kepada Caitlin82
untuk segera melewatinya. Dia menutup pagar di belakang
mereka sebaik mungkin, dengan lembut meletakkan kaitan
logam di rerumputan, lalu segera mengejarnya berjalan di
jalan setapak. Caitlin sampai di pintu depan, dan memutar
gagang pintu. Terkunci. Caleb melangkah maju, meraih
gagang pintu, dan bersiap-siap untuk merusaknya.
"Tunggu," kata Caitlin. Caleb berhenti. "Bisakah aku
mencoba yang satu ini?" pintanya, dan menyunggingkan
sebuah senyum nakal. Ia ingin melihat apakah ia punya
kekuatan semacam itu. Ia merasakannya, mengalir melalui
pembuluh darahnya, namun tidak tahu batasannya, kapan
atau di mana kekuatan itu datang. Dia tersenyum
kepadanya dan menyingkir. "Silakan saja." Ia mencoba
memutar gagang pintu itu, tapi tidak bergeming. Ia mencoba
lebih kuat, dan masih saja tidak terjadi apa-apa. Ia merasa
kecewa, dan malu. Ia baru saja akan menyerah, ketika
Caleb berkat, "Konsentrasi. Kau
memutar gagang oitu seperti seorang manusia. Selamilah
lebih dalam. Ubahlah dari suatu tempat yang berbeda
dalam dirimu. Biarkan tubuhmu memutarnya untukmu." Ia
menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia
meletakkan tangannya dengan perlahan pada gagang itu
dan mencoba untuk fokus, mengikuti petunjuknya. Ia
memutarnya lagi, dan kali ini ia terkejut mendengar sebuah
suara berderit. Ia mendongak dan melihat bahwa ia telah
merusak gagang pintu itu. Pintu itu terbuka sedikit. Ia
menatap Caleb, dan dia membalas dengan senyum. "Bagus
sekali," ujarnya dan memberi isyarat kepadanya untuk
masuk. "Ladies first." Rumah itu nyaman, dengan atap-atap
rendah dan enam bingkai jendela. Cahaya dari luar
memudar dengan cepat, dan mereka tidak punya banyak
waktu untuk mencari, kecuali mereka ingin menyalakan
lampu- lampu. Mereka berjalan dengan cepat menyusuri
papan kayu yang berderit, mencoba untuk melakukannya
secepat mungkin. "Tepatnya, apakah yang sedang kita83
cari?" tanyanya.
"Perkiraanmu sama bagusnya denganku," ujarnya. "Tapi aku
setuju bahwa kita ada di tempat yang benar." Di ujung
lorong, ada pameran besar yang dikhususkan untuk
kehidupan Hawthorne. Ia berhenti dan membaca keraskeras: "Nathaniel Hawthorne melebihi penulis lainnya yang
menulis tentang Salem. Beliau tinggal di Salem. Sebagian
besar kisahnya bertempat di Salem. Sebagian besar
bangunan yang beliau gambarkan di Salem serupa dengan
kisahnya, dan banyak dari bangunan itu yang masih berdiri
hingga kini. "Yang paling penting, Hawthorne memiliki
hubungan langsung dengan beberapa peristiwa dan
karakter dalam karyanya. Karyanya yang paling terkenal,
contohnya, The Scarlet Letter, menceritakan kisah seorang
wanita, Hester Prynne, yang dipenjara dan dicemooh oleh
kawan- kawannya kerena perilaku zinanya. Hawthorne
memiliki lebih dari hubungan langsung terhadap peristiwa ini
ketimbang yang bisa dipikirkan orang lain. Kakek
kandungnya, John Hawthorne, adalah salah satu hakim
kepala dalam persidangan penyihir di Salem. John
Hawthorne bertanggung jawab untuk memberikan tuduhan,
memutuskan, dan menghukum para penyihir dengan
kematian. Itu adalah beban berat nenek
moyang Salem yang harus ditanggung Hawthorne." Caitlin
dan Caleb saling berpandangan, mereka berdua menjadi
semakin penasaran. Jelas sekali, ada hubungan kuat di sini,
dan mereka berdua merasa bahwa mereka sedang
menemukan sesuatu. Namun mereka masih belum benarbenar mengetahuinya. Masih ada mata rantai yang hilang.
Mereka melanjutkan menelusuri rumah itu, memeriksa
berbagai benda, mencari-cari sesuatu, apa pun. Namun
saat mereka selesai mencari di lantai pertama, mereka tidak
mendapatkan apa-apa. Mereka berdua berhenti di depan
sebuah tangga kayu sempit. Tangga itu dibatasi oleh84
sebuah tali beludru, yang tergantung sebuah tanda: "Privat:
tangga hanya untuk staf." Caleb memberi isyarat kepada
Caitlin. "Kita sudah datang sejauh ini," ujarnya. Dia
mengulurkan tangan dan melepaskan tali itu. Dengan
bersemangat, ia berjalan lebih dulu, langkah kakinya
bergema di anak tangga kayu yang keras. Rumah itu
berderit dan berkeretak saat mereka berjalan, seolah-olah
menolak pengunjung barunya.
Lantai kedua rumah itu memiliki atap-atap yang lebih rendah,
hampir tidak cukup tinggi bagi Caleb untuk berdiri di
dalamnya, Sekarang sudah hampir gelap, dan tidak cukup
ada cahaya untuk melihat. Mereka berdiri dalam sebuah
ruangan indah dan nyaman, dengan lantai papan kayu,
enam bingkai jendela, dan didekorasi dengan perabotan
antik. Pada bagian tengahnya adalah sebuah perapian batu
bata dengan noda hitam pada bagian tepinya, jelas-jelas
terlihat usang karena sudah digunakan selama bertahuntahun. Menyambut mereka di puncak tangga adalah
pameran lain, yang satu ini dikhususkan untuk Elizabeth
Paine. Caitlin membaca keras-keras: "Hester Prynn,
karakter paling terkenal oleh Hawthorne, tokoh utama
wanita di The Scarlet Letter, wanita yang dianiaya karena
menolak mengungkapkan identitas sesungguhnya dari ayah
anaknya, yang banyak disebutkan oleh para cendekiawan,
berdasarkan kehidupan nyata penduduk Salem: Elizabeth
Paine. Tidak ada cendekiawan yang dapat mengidentifikasi
garis keturunan anak dari Elizabeth, karena ia menolak
untuk mengungkapkan siapa sesungguhnya ayah anak itu
kepada penduduk kota mana pun. Legenda mengatakan
bahwa dia adalah seorang pria misterius, yang datang dari
sebuah kapal dari Eropa, dan bahwa cinta mereka berdua
adalah hal yang terlarang. "Elizabeth diusir dari Salem dan
dipaksa untuk tinggal di dalam sebuah pondok kecil,
sendirian bersama dengan anaknya, di tengah hutan,85
terpencil dari kota. Lokasi pondoknya belum pernah
diketemukan." Caitlin menatap Caleb. Ia tidak bisa berkatakata. "Sebuah cinta terlarang?" tanyanya. "Seperti dalam...."
Caleb mengangguk. "Ya. Itu adalah cinta antara vampir dan
manusia. Kisahnya bukan benar-benar tentang perzinaan.
Itu semua ditutupi, disembunyikan. Itu adalah sebuah
perumpamaan. Itu benar-benar tentang kami. Bangsa kami.
Lebih spesifik: ini adalah tentang dirimu. Anak mereka.
Setengah keturunan." Caitlin merasa dunia berputar di
bawahnya. Konsekuensi yang luar biasa. Ia juga tidak bisa
menahan perasaan bahwa kisah itu terulang, bahwa,
beberapa generasi kemudian, ia terlibat dalam pola yang
sama. Sebuah cinta terlarang. Dua ras. Dirinya dan Caleb.
Mengulang sejarah sekali lagi, mengikuti langkah kaki para
pendahulunya. Itu membuatnya bertanya-tanya apakah
kehidupan hanya berulang-ulang, tanpa akhir. Mereka
perlahan-lahan mengamati ruangan itu. Sangat sulit untuk
melihat dalam remang-remang, dan ia masih tidak tahu
dengan persis apa yang sedang ia cari. Namun sekarang, ia
yakin, tanpa keraguan, menyadari bahwa mereka mencari
di tempat yang tepat. Yang kelihatannya, demikian juga
dengan Caleb. Dia berjalan mengelilingi ruangan itu dengan
rasa ingin tahu, mengamati segalanya. Mereka berdua
merasa yakin bahwa apa pun itu, itulah yang mereka
butuhkan dalam ruangan ini. Bahkan mungkin pedang itu
sendiri? Namun ruangan itu berperapot sedikit, dan setelah
ia mengamati, ia tidak melihat ada apa pun yang mungkin
tersembunyi. "Di sini," Caleb akhirnya berkata. Caitlin
segera mendekat ke arahnya. Dia bediri di sisi sebuah kotak
antik. Ia meraba-raba bagian sampingnya menggunakan
tangannya. "Lihat ini," ujarnya. Ia meraih tangannya, dan
membimbingnya menelusuri bagian samping kotak itu, dan
ia merasakannya. Kotak itu mempunyai sebuah


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lekuk logam yang kecil. Dengan bentuk sebuah salib. "Apa
itu?" tanyanya. "Aku tidak tahu," jawabnya, "tapi aku hanya86
tahu satu hal: itu bukan salah satu bagian dari perabotan ini.
Dan aku curiga dengan suatu hal lain: bentuknya yang tidak
biasa, garis melengkungnya: Aku bertaruh bahwa itu adalah
bentuk yang sama persis dengan kalung salibmu." Ia
menatapnya dengan tatapan kosong, tidak memahami apa
yang sedang dia bicarakan. Lalu ia tiba-tiba menyadarinya
dan mengulurkan tangan. Kalungnya. "Aku rasa itu adalah
sebuah kunci," ujarnya Ia melepaskan kalungnya dengan
cepat, dan bersama-sama, tangannya dan tangan Caleb,
mereka memasukkannya dengan perlahan ke lekuk itu. Ia
senang sekali melihat bahwa salibnya sangat pas. Salibnya
masuk dengan bunyi klik pelan, dan saat mereka
memutarnya ke kanan, sebuah laci vertikal yang kecil
terbuka. Jantungnya berdegup Caitlin merogoh ke dalam
dan dengan perlahan mengeluarkan sebuah gulungan
rapuh yang menguning. Gulungan itu diikat dengan seutas
tali kuno, yang hancur.
Ia menyerahkannya kepada Caleb, dan mereka berdua
membuka gulungan itu bersama-sama. Itu adalah sebuah
peta. Ditulis tangan, berumur ratusan tahun. Pada bagian
atas peta, dalam tulisan tangan itu, bertuliskan: Pondok
Elizabeth. Dia melihat ke arahnya. "Pondoknya," ujarnya,
dengan napas tertahan. "Itu adalah sebuah peta di mana
dia tinggal." Ia menatap gulungan itu, terpesona. "Siapa
pun yang menyimpannya di sini, ingin kau menjadi
seseorang yang menemukannya. Kalungmu adalah
kuncinya. Dan kotak itu tidak pernah dibuka hingga saat ini.
Dia ingin kau menemukan peta ini, untuk menemukan
pondoknya. Di mana pun pondok itu berada, akan ada
sesuatu di dalamnya untukmu." Itu dimaksudkan untuk
dirinya. Bagi Caitlin, dan hanya Caitlin. Gagasan itu
melandanya. Membuatnya merasa untuk pertama kalinya
dalam hidupnya, diinginkan. Dicintai. Penting. Bahwa ia
mempunyai hubungan dengan sesuatu yang lebih besar87
dari dirinya, sesuatu yang
berusia ratusan tahun. Bahwa ia adalah inti dari seluruh
teka-teki ini. Ia hampir tidak bisa menahan emosinya. Lalu,
tiba-tiba, terjadilah hal itu. Rasa sakit yang luar biasa
mencengkeram perutnya. Rasa sakit itu menyentaknya, dan
ia jatuh berlutut, terengah-engah. "Apa kau baik-baik saja?"
Caleb bertanya, saat ia merasa tangannya di bahunya.
Sengatan rasa lapar. Rasa itu kembali. Rasa itu begitu
menyakitkan kali ini, ia hampir tidak dapat bernapas.
Sengatan lain tiba-tiba melanda, dan yang satu ini begitu
menyakitkan, ia berdiri dengan satu sentakan. Ia
mendengar dirinya menggeram, sebuah suara aneh yang
mengerikan, dan ia melihat dirinya berlari melintasi ruangan
itu, mencoba untuk menyingkirkan rasa sakit itu dari
tubuhnya. Ia berlari menuju sebuah pameran besar,
menjatuhkannya, dan mendengar benda itu pecah. Namun
ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia berputar-putar,
hilang kendali, dan ia ingin menghancurkan semua benda
dalam ruangan ini. Caleb muncul di sampingnya, meraihnya
dengan kuat.
"Caitlin," dia berkata dengan tegas, "Caitlin, dengarkan aku!"
Dia menyambar bahunya dengan seluruh kekuatannya,
namun dia hampir tidak dapat menahannya. "Kau akan
baik-baik saja. Itu hanyalah sengatan rasa lapar. Apakah
kau mendengarku? Itu akan baik-baik saja. Kau hanya perlu
mengisap darah. Kita harus mengeluarkan kau dari sini," dia
mengucapkannya dengan perlahan-lahan. "Sekarang!"
Caitlin mendongak, dan dalam pandangannya yang kabur, ia
hampir tidak bisa melihatnya. Pada satu ketika, ia
mendengarnya, tapi di lain waktu, itu terasa sangat
menyakitkan. Rasa itu menguasainya. Hasrat untuk
mengisap darah. Untuk menghancurkan. Untuk memuaskan
dirinya. Sekarang. Caleb pasti telah melihat apa pun yang
telah menguasainya, karena, sebelum ia bisa bereaksi, dia88
meraih lengannya dengan cepat dan kuat, dan
mengajaknya menuruni tangga, lalu keluar dari rumah itu.
Saat itu hampir gelap saat mereka menghambur ke pintu
depan rumah Hawthorne dan menyusuri jalan setapak.
Mereka bergerak begitu cepat, mereka bahkan tidak
memandang ke sekeliling, dan mereka tidak
menyadari bahwa mereka berjalan tepat menuju ke sebuah
jebakan besar. "Berhenti!" teriak sebuah suara. Berdiri di
depan mereka, dengan menodongkan senjata, berdirilah
beberapa polisi Salem. "Angkat tangan! Pelan-pelan!:
Caitlin masih setengah sadar. Sengatan itu menghantamnya
dengan kuat, dan ia tidak bisa menahan gelombang
kemurkaan, kekejaman, yang menguasai dirinya. Sangat
sulit untuk memfokuskan pandangannya, untuk mendengar
dengan saksama apa yang sedang mereka katakan. Ia
melihat polisi, namun ia tidak takut kepada mereka.
Sebaliknya, ia ingin menerjang mereka. Melalui
pandangannya yang kabur, ia merasakan pegangan kuat
Caleb, menggenggam bahunya, dan itulah satu-satunya hal
yang membuatnya tetap bertahan. "Aku ulangi, angkat
tangan!" teriak seorang polisi, sebagaimana dua petugas
lain mendekat. "Tenang, Caitlin, tenang," Caleb berbisik,
saat ia dengan perlahan, masih mengenggam gulungan itu,
mengangkat tangannya tinggi-tinggi di udara, dan
menyuruhnya untuk mengikutinya. "Mereka tidak bisa
melukai kita." Caitlin, bagaimanapun juga, rasakan apa pun
tapi tenanglah. Ia melihat polisi itu, melihat mereka
menodongkan sebuah senjata kepada Caleb, dan
merasakan kemurkaan yang amat sangat. Sebuah sengatan
menghantam lagi, dan ia tidak bisa mengendalikan dirinya
saat ia menyorot seorang polisi, di lehernya, darah yang
mengalir di dalamnya. Ia membutuhkannya. Caitlin
menerjang. Ia melompat tepat ke arah polisi itu, dan
sebelum dia bisa bereaksi, ia sudah ada di dekatnya,
memeganginya, kepalanya mendongak, giginya yang89
memanjang akan ditancapkan tepat ke lehernya. Dan
kemudian: ada sebuah tembakan.
*****90
SEBELAS
Waktu menunjukkan tengah malam ketika Kyle menuruni
anak tangga pualam, didampingi oleh dua lusin pengikutnya.
Itu merupakan sebuah malam yang panjang, dan malam itu
sudah berlalu jauh lebih baik dari yang ia bayangkan. Tetap
saja, ia merasa takut menjumpai tuannya, Rexius, ketua
coven mereka. Mereka telah bersama-sama selama ribuan
tahun, dan ia tahu bahwa Rexius bukan seorang pria yang
bisa menerima begitu saja. Dia punya nol toleransi terhadap
kesalahan, dan Kyle merasa gugup bahkan sejak ia
membiarkan gadis itu, Caitlin, lolos dari genggamannya.
Rexius selalu menghukum bahkan kesalahan terkecil, dan
Kyle telah memberanikan dirinya, ingin tahu kapankah
hukumannya akan tiba. Ia tahu bahwa Rexius hanyalah
menunggu waktu, karena dia tidak pernah lupa. Namun
tetap saja, pekerjaan Kyle telah berjalan begitu spektakuler
malam ini, di setiap sudut kota, bahwa Kyle tidak bisa
membayangkan tuannya akan tetap kecewa terhadapnya.
Seharusnya menjadi lebih dari sekadar perbaikan untuk
sebuah kesalahan kecil itu. Selain itu, mereka ada di tengahtengah momen bersejarah saat itu, dan Kyle adalah jendral
dari perangnya. Bagaimana bisa tuannya memberinya
hukuman sekarang? Sesungguhnya, semakin Kyle
memikirkannya, semakin ia berharap pada pertemuannya.
Ia berharap untuk melaporkan kekuatan wabah itu,
seberapa cepat wabah itu tersebar, seberapa baiknya ia dan
pengikutnya dalam mendistribusikannya. Ia menantikan
persetujuan Rexius, untuk membagikan kesenangannya
bahwa perang yang telah mereka tunggu selama ratusan
tahun akhirnya tiba. Saat Kyle terus turun ke bawah tanah,
jauh di bawah Balai Kota, menuruni koridor pualam lain, dan
melintasi sepasang pintu abad pertengahn yang sangat
besar, ia merasa mabuk kepayang. Ia telah menunggu hari
ini selama bertahun-tahun. Ia menyukai perasaan91
rombongan besar di belakangnya, tentang perang yang
akan datang. Ia belum pernah merasakan kegamangan ini
semenjak ia menyaksikan pemancungan Revolusi Perancis.
Ketika Kyle memasuki ruangan tuannya dan berjalan melalui
pintu ganda, beberapa vampir senior yang melangkah di
belakangnya dan menghalangi rombongannya untuk tidak
mengikuti. Mereka menutup pintu dengan keras,
meninggalkan Kyle sendirian di dalam ruangan. Kyle tidak
senang dengan hal ini. Tapi sekali lagi, ketika berhadapan
dengan Rexius, kau tidak pernah punya pilihan. Dan kau
tidak pernah tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Ruangan berongga besar, dan melihat Kyle ke sekeliling, ia
terkejut melihat ratusan vampir berbaris diam-diam
sepanjang dinding. Jumlahnya sudah meningkat pesat, dan
ada banyak vampir yang tidak dikenal Kyle. Para vampir ini
berdiri dengan diam, siaga, sepanjang sisi ruangan, hampir
tidak terlihat. Hanya pemimpin yang mendominasi ruangan.
Rexius. Dia duduk di tengah, seperti biasa, di atas takhta
pualam besar, dan menatap Kyle. Itu adalah apa yang
selalu diinginkan pemimpin itu. Kyle melangkah maju dan
menundukkan kepalanya. "Tuanku," kata Kyle. Sebuah
keheningan berat menyelimuti ruangan itu. Kyle mendongak.
"Tuanku, Anda akan senang mengetahui bahwa pekerjaan
kami sudah berjalan dengan lancar. Wabah telah menyebar
melalui setiap sudut kota. Dalam beberapa hari, semua
manusia semua akan takluk."
Beberapa detik keheningan yang tidak nyaman mengikuti,
karena Kyle bisa merasakan tuannya melotot ke arahnya.
Mata biru es itu?selalu membuat kulitnya merinding. Kyle
akhirnya melihat ke bawah, menundukkan kepala lagi. Ia
tidak bisa tetap mendongak lagi. "Kau sudah melakukan
dengan baik, Kyle," sang pemimpin berkata dengan
perlahan, dalam suara yang kelam, tenang, dan serak.
"Coven lain sudah melapor. Jumlah kita tumbuh semakin
kuat saat ini." "Perang akan menjadi peristiwa yang luar92
biasa, tuanku," ujar Kyle. "Saya merasa terhormat
memimpinnya untuk Anda." Beberapa detik lagi keheningan
mengikuti. "Tentu saja," akhirnya Rexius berbicara, "perang
ini akan menjadi luar biasa. Dalam beberapa hari, New York
akan menjadi milik kita, dan dalam beberapa minggu, ras
manusia akan diperbudak." Rexius menyungingkan sebuah
senyum, menjilat bibirnya yang tipis. Kyle merasa ngeri
ketika dia melakukan hal itu. Sebuah senyum dari Rexius
hanya berarti satu hal: kabar buruk. "Aku minta maaf karena
melaporkan," lanjut Rexius, "bahwa kau tidak akan ada di
sana untuk membaginya dengan kami." Kyle merasakan
nyeri di dadanya, dan mendongak dengan ketakutan. Ia
tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ke mana dirinya akan
berada? Apakah dia menugaskan dirinya ke tempat lain?
"Tidak ada di sini?" Kyle bertanya, tercengang. Ia bisa
mendengar suaranya sendiri bergetar, dan merasa malu.
"Tuanku, saya rasa saya tidak mengerti. Saya telah
melaksanakan semua hal dengan sempurna." "Aku tahu.
Itulah satu-satunya alasan kau masih bernapas sekarang,"
ujarnya. Kyle menelan ludah. "Masih ada kesalahanmu
yang terdahulu untuk diperhitungkan. Aku tidak pernah lupa,
Kyle." Kyle menelan ludah lagi, dan merasakan
kerongkongannya menjadi kering. Inilah apa selalu ia
takutkan. "Kau membiarkan setengah peranakan itu kabur.
Dia mungkin membimbing seseorang menuju pedang itu.
Jika begitu, perang kita akan terganggu." Ia
membungkukkan badan, sehingga Kyle bisa melihat semua
efek mata biru esnya. "Sangat terganggu."
Kyle tahu lebih baik untuk tidak membela dirinya. Itu hanya
akan membuat permasalahan menjadi lebih buruk. Jadi
sebagai gantinya, ia hanya berlutut di sana, menunggu,
gemetar dalam kemurkaan, dan ketakutan. Ia baru saja
ditipu. Ia telah menjalankan perang mereka dengan
sempurna, dan sekarang ia akan dihukum untuk itu.
Beberapa detik keheningan mengikuti, ketika Kyle bertanya-93
tanya apa yang akan terjadi di masa depannya.
"Kyle dari Coven Blacktide, kau telah gagal dalam tugasmu,
dan melanggar perjanjian suci kami.. Aku dengan ini
menjatuhkan hukuman kepadamu dengan sebagian
penyiraman Asam Ioric, diikuti dengan pengusiran dari
coven kami selamanya. Kau tidak lagi menjadi bagian dari
kami. Kau akan hidup, tapi akan menjadi hidup dalam
kesendirian, dan kami tidak lagi mengenal namamu. Kau
adalah orang buangan. Selamanya."
Mata Kyle terbelalak ketakutan dan takjub, ketika lusinan
pengikutnya tiba-tiba muncul dan menyambar lengannya,
menyeretnya keluar. Itu terlalu ekstrim, hukuman ini. Tidak
adil.
"Tapi tuanku, Anda tidak bisa melakukan hal ini. Saya telah
menjadi prajurit terhebat Anda?selama berabad-abad!"
Kyle memberontak, saat muncul banyak tangan
menyambarnya, menyeretnya mundur.
"Saya bisa menemukan dia!" teriaknya, sembari diseret.
"Saya bisa membawanya kembali! Saya dan hanya saya!
Saya tahu cara menemukan dia. Anda harus memberikan
saya kesempatan ini!"
"Kau sudah mempunyai terlalu banyak kesempatan," kata
sang pemimpin, dengan senyum dingin.
"Aku akan menemukannya sendiri. Aku punya prajurit lain
dalam pasukanku."
Itu adalah hal terakhir yang Kyle dengar ketika ia diseret
keluar dari ruangan itu, keluar menuju pintu ganda.94
"Tuanku!" Kyle mulai menjerit, namun sebelum ia bisa
menyelesaikannya, pintu-pintu telah tertutup di hadapannya.
Kyle merasakan tangan-tangan di tubuhnya, semuanya, dan
sebelum ia menyadarinya, ia membentur batu tepat di
punggungnya. Muncul lebih banyak vampir menekannya,
berada di atasnya. Itu adalah balas dendam yang hirukpikuk. Ia memikirkan ribuan tahunnya, dari semua
pembalasan dendam yang telah ia kumpulkan. Ia telah
menginjak banyak jari-jari kaki untuk sampai ada di
tempatnya sekarang. Sekarang ini adalah waktunya untuk
membalas. Salah satu dari mereka, mencemoohnya,


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah maju dengan sebuah ember, dan Kyle bisa
mencium bau busuk Asam Ioric sebelum ia bisa melihatnya.
"TIDAK!"
Kyle menjerit. Ia telah melihat yang lain mengalaminya, dan
ia sudah bisa menerka rasa sakit mengerikan yang
menunggu. Saat ia mendongak, hal terakhir yang ia lihat
adalah ember itu miring, lalu cairan itu mulai tertuang, tepat
ke wajahnya. Dan kemudian lorong dipenuhi dengan suara
pekikan.
*****95
DUA BELAS
Caleb. Ia tidak akan menginginkan darah polisi itu ada di
kepalanya. Ia sangat berterima kasih bahwa dia telah
menyelamatkan dirinya sebelum ia bisa melakukan sesuatu
yang gegabah. Saat ia melihat darah menetes dari
lengannya, ia sekali lagi merasa bersalah. Dia tertembak
karena dirinya. Ia mengulurkan tangan dan meletakkan
tangannya di lengannya. Dia memandang ke bawah.
"Aku sangat menyesal," ujarnya.
"Apakah kau akan baik-baik saja?"
"Tidak akan ada apa-apa," ujarnya.
"Vampir tidak seperti manusia: kulit kami sembuh dengan
cepat. Dalam beberapa jam, luka itu akan sepenuhnya
sembuh. Itu hanyalah peluru biasa. Jika itu adalah peluru
perak, maka itu akan menjadi sangat berbeda. Tapi itu
bukan peluru perak. Jadi tolong jangan khawatir," ujarnya
dengan lembut. Ketika ia mengamati lengannya, ia melihat
bahwa lukanya telah sembuh dengan cepat.
Menakjubkan. Luka itu hampir-hampir terlihat lebih seperti
bekas luka besar yang hitam dan kebiruan. Luka itu seolaholah sembuh di depan matanya. Ia bertanya-tanya apakah
ia mempunyai kekuatan yang serupa.
Sekali lagi, menjadi hanya setengah keturunan, ia mungkin
tidak memilikinya. Seperti sebagian besar kekuatan vampir,
kekuatan itu mungkin hanya diperuntukkan bagi vampir
sungguhan, sepenuhnya. Sebagian dari dirinya berharap ia
adalah vampir sungguhan. Keabadian. Kekuatan super.
Kekebalan dengan sebagian besar senjata. Ia telah
mengalami sebagian kelebihan itu, tapi yang pasti tidak
semuanya. Ia terjebak di antara dua dunia, dan ia tidak tahu
mana yang harus dipilih. Bukan karena ia diberikan banyak96
pilihan. Satu-satunya cara untuk menjadi vampir sungguhan
dan sepenuhnya berarti harus dirubah oleh seorang vampir.
Dan Caleb tidak menawarkan. Itu terlarang. Dan bahkan jika
tidak terlarang, ia mempunyai perasaan bahwa dia tidak
akan menawarkannya sama sekali. Dia kelihatannya
tertekan dengan menjadi abadi, dan dia kelihatannya iri
dengan ketidak-abadiannya. Ia tidak memiliki perasaan
bahwa dia menginginkan dirinya menjadi seperti dia. Demi
dirinya. "Apakah kau masih menyimpannya?" tanyanya. Ia
menoleh, tidak mengerti. "Petanya," dia menambahkan.
Tentu saja. Alasan kenapa mereka mendarat di sini. Ia
merogoh sakunya, dan lega menemukan peta itu masih ada
di sana. Terima kasih Tuhan atas saku beresleting. Ia
mengangsurkan peta itu kepadanya. Dia membuka
gulungan itu dan melihatnya. "Kita tidak jauh," ujarnya,
menurunkannya dan melihat pepohonan di hadapan
mereka. "Pondok itu sudah dekat." Caitlin melihat ke
sekelilingnya, menyipitkan mata dalam kegelapan. Yang
bisa ia lihat adalah pepohonan. "Aku tidak melihat apa pun,"
katanya. "Itu adalah peta tua," ujarnya. "Peta ini digambar
dengan tangan, dan sangat kasar. Aku yakin itu tidak sama
persis. Tapi tanda-tanda itu menunjukkan area ini." Caleb
melihat ke sekeliling lagi, dan ia juga melakukannya. Namun
tidak satu pun dari mereka yang melihat sesuatu. "Pondok
ini," ujar Caitlin, "ada di sini ratusan tahun yang lalu.
Mungkinkah pondok itu telah dihancurkan?" Caleb
mencermati hutan itu. Dia menuju ke arah tertentu, dan ia
berjalan bersamanya, daun-daun bergemerisik. "Ya,"
katanya, "mungkin begitu. Apalagi jika pondok itu dibangun
dari kayu. Maka kemungkinan besar demikian. Tapi aku
berharap pondok itu dibangun dari batu. Kebanyakan
pondok vampir dibangun dari batu. Jadi pondok itu masih
berdiri. Atau setidaknya sebagian dari pondok itu." "Tapi
bahkan jika demikian, tidakkah kau mengira bahwa saat ini
pondok itu telah diketemukan, atau dirusak?" tanyanya.97
"Mungkin. Kecuali..." Ia menunggu. "Kecuali?" "Kecuali
pondok itu tertutup tanaman lain. Ada sebuah tradisi di
antara para vampir, sebuah cara untuk meneruskan petunjuk
pada beberapa keturunan. Kami mendirikan sebuah pondok
batu, dan kemudian menanam tanaman merambat,
tanaman berduri, dan lapisan semak belukar yang
menyelubunginya. Jika ditinggalkan, tanaman itu tumbuh
dengan liar, cepat, begitu tebal dan dalam, yang dari waktu
ke waktu, jika pondok itu ada di lokasi yang jauh, pondok itu
tetap tidak tersentuh dan secara virtual tidak mungkin bagi
orang awam melihatnya. Dengan cara ini, beberapa abad
kemudian, yang diprakarsai masih bisa Ketika Caitlin
terbang dengan menemukannya." Dia memandang ke
sekeliling. "Satu kelebihan yang kita punya di sini adalah
bahwa hutan ini jauh jaraknya. Itu memberi aku harapan."
"Dengan mengasumsikan bahwa itu adalah peta yang
sesungguhnya," ujar Caitlin, berperan ala film devil's
advocate. "Mungkin tanaman itu ditanaman oleh seseorang.
Mungkin itu adalah pengalih perhatian." Caleb menatapnya
dan tersenyum. "Kau mempunyai pikiran yang sangat
rumit," ujarnya. "Mungkin kau terlalu berlebihan memikirkan
hal ini. Ya, itu bisa saja terjadi. Tapi aku meragukannya.
Gulungan itu asli." Dia meraih tangan Caitlin saat mereka
berjalan semakin dalam menuju ke hutan, satu-satunya
suara adalah daun-daun yang bergemirisik. Ia bisa
merasakan hawa dingin merasuk ke dalam tulang-tulangnya.
Caleb tiba-tiba melepaskan mantel kulitnya yang besar dan
melingkarkan mantelnya di sekitar bahunya. Seperti
biasanya, ia terpesona dengan bagaimana dia bisa
membaca pikirannya, dan tersentuh oleh kebaikan hatinya.
"Tidak," Caitlin berkata, "Aku tidak bisa memakai ? "
"Tolonglah," jawabnya. "Aku tidak kedinginan." Ketika dia
memakaikan mantelnya di sekitar bahunya, Caitlin menyukai
rasanya. Mantel itu ternyata berat, dan bagian dalamnya
masih hangat oleh panas tubuhnya. Ia menyukai bau kulit98
itu. Mantel itu terasa begitu usang, begitu nyaman, seolaholah dia telah mengenakannya selama ratusan tahun.
Mantel itu sangat terlalu besar untuknya, namun entah
kenapa pas sekali. Dengan mengenakannya, ia merasa
seolah-olah ia adalah dia. Seolah-olah mereka adalah
kekasih. Ia menyukai perasaan itu. Caleb menunduk,
memeriksa gulungan itu, dan kembali melihat ke arah hutan.
Masih tidak ada apa-apa. Caitlin juga mencari-cari, ke
semua arah, dan menyipitkan mata dalam kegelapan sebisa
mungkin. Saat matanya terbiasa, ia mengira ia menemukan
sesuatu. "Caleb," ujarnya. Dia berpaling, dan Caitlin
mengangkat telunjuknya. "Kau lihat itu? Di cakrawala. Itu
terlihat seperti cabang semak belukar. Iya, kan?" Caleb di
udara Dia melihatnya dan memicingkan mata. Akhirnya, dia
menarik tangan Caitlin, dan membimbingnya menuju ke
semak-semak itu. "Tidak ada salahnya mencoba," ujarnya.
Saat mereka berjalan ke arah semak-semak itu, daun-daun
bergemeresik, semakin dekat, Caitlin merasa terdorong. Itu
adalah semak belukar besar belitan cabang dan duri yang
tidak dapat dimasuki. Itu hampir kelihatan seperti sebuah
dinding. Mereka mengitarinya, dan itu pasti sedalam 100
kaki dalam semua arah. Tidak tertembus. Jika ada apa pun
yang cocok dengan gambarannya, maka inilah dia. Tidak
seorang pun bisa mendekati tanaman ini, kecuali mereka
mempunyai golok tebal, dan bersedia menghabiskan
beberapa hari menebasnya. Apa pun yang ada di
tengahnya?jika ada?nampaknya tidak tersentuh. Namun
sekali lagi, mungkin ini hanyalah sebuah semak belukar
raksasa yang terdiri dari cabang dan duri, dan yang akan
mereka temukan adalah duri-duri lagi. Caleb mengangguk
perlahan. "Ya," katanya. "Mungkin ini." Dia mempelajarinya
selama beberapa saat, akhirnya dia berkata, "Mundurlah."
Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, bertanyatanya apakah yang akan dia lakukan. Caleb menarik turun
lengan bajunya, menutupi tangannya, melindunginya, lalu99
mengulurkan tangan, dan dengan kekuatannya yang luar
biasa, mengoyak cabang semak belukar itu. Luar biasa
sekali, seperti menyaksikan gergaji memotong tumpukan
kayu. Dalam beberapa detik, dia telah membersihkan jalan,
cukup lebar untuk satu orang berjalan melaluinya. Dia telah
menghilang lebih dalam dalam semak belukar, ketika ia
mendengar suaranya memanggil: "Ke sinilah!" Caitlin
berjalan melalui jalan setapak yang sempit, melalui dinding
cabang, sekitar 30 kaki dalamnya, dan akhirnya menemukan
Caleb. Ia melihat, di belakang bahunya, sebuah dinding
batu kecil. "Kau menemukannya," ujarnya, dan
menyunggingkan sebuah senyum lebar. Dia membersihkan
sejumlah cabang lagi, dan memperlihatkan pintu masuk
melengkung kecil menuju ke pondok batu kecil. Dia masuk,
menarik tangannya, dan ia mengikuti dekat di belakangnya.
yang dingin, merangkulnya dengan erat, sengatan rasa
laparnya mulai hilang, dan kepalanya akhirnya mulai jernih.
Ia memandang ke bawah dan melihat darah di seluruh
badan Caleb, di seluruh badan mereka, dan mencoba
mengingat apa yang telah terjadi. Ia ingat meninggalkan
rumah Hawthorne. Lalu ada polisi, lalu kehilangan kendali.
Lalu ada tembakan. Ya, sekarang ia ingat. Ketika ia
mengarahkan giginya pada leher petugas polisi itu, ia tibatiba ditarik menjauh oleh Caleb. Dengan secepat kilat, dia
merenggutnya, mencegahnya agar tidak menyerang
manusia lagi. Namun dia harus menderita untuk itu. Polisi
itu sudah menembak, dan mengenai Caleb di lengannya.
Darahnya mengenai mereka berdua, namun kelihatannya
itu tidak akan membuatnya menurunkan kecepatan.
Sebaliknya, dia entah bagaimana berhasil mengalahkan
ketiga polisi itu sebelum mereka bisa bereaksi, untuk
mengangkatnya dengan gerakan yang sama, dan terbang
menuju udara. Ia mengagumi pengendalian dirinya, di setiap
situasi. Dia telah berhasil mengeluarkan mereka dari sana
tanpa melukai siapa pun secara serius kecuali dirinya sendiri.100
Ia merasa malu karena ia tidak berubah, tidak
mengendalikan diri, seperti dia, dan merasa bersalah
karena ia sekali lagi menempatkan dia dalam bahaya. Saat
itu sudah gelap ketika Caitlin dan Caleb terbang di atas
pepohonan, di daerah pinggiran Salem. Saat mereka
terbang di udara malam yang dingin, ia perlahan-lahan
merasakan dirinya menjadi tenang. Pegangan Caleb yang
sekokoh es menahannya di udara, dan ia merasakan
ketegangan pada tubuhnya mulai pergi. Rasa lapar itu
mereda. Demikian juga kemarahannya. Pada waktu
mereka mendarat di hutan, ia merasa kembali normal.
Dengan kepalanya yang jernih, kejadian pada beberapa jam
yang lalu nampak agak liar dan gila, dan ia tidak bisa
memahami mengapa ia bereaksi seperti itu. Mengapa ia
begitu dipenuhi dengan kemurkaan, begitu cepat? Mengapa
ia tidak bisa mengendalikan dirinya? Tentu saja, ia tahu
jawabannya tidak intelek: ketika sengatan menghantamnya,
ia hanya lepas kendali. Menjadi orang yang berbeda,
dengan belas kasihan naluri hewannya. Terima kasih Tuhan
atas adanya
Caleb. Ia tidak akan menginginkan darah polisi itu ada di
kepalanya. Ia sangat berterima kasih bahwa dia telah
menyelamatkan dirinya sebelum ia bisa melakukan sesuatu
yang gegabah. Saat ia melihat darah menetes dari
lengannya, ia sekali lagi merasa bersalah. Dia tertembak
karena dirinya. Ia mengulurkan tangan dan meletakkan
tangannya di lengannya. Dia memandang ke bawah. "Aku
sangat menyesal," ujarnya. "Apakah kau akan baik-baik
saja?" "Tidak akan ada apa-apa," ujarnya. "Vampir tidak
seperti manusia: kulit kami sembuh dengan cepat. Dalam
beberapa jam, luka itu akan sepenuhnya sembuh. Itu
hanyalah peluru biasa. Jika itu adalah peluru perak, maka
itu akan menjadi sangat berbeda. Tapi itu bukan peluru
perak. Jadi tolong jangan khawatir," ujarnya dengan lembut.101
Ketika ia mengamati lengannya, ia melihat bahwa lukanya
telah sembuh dengan cepat. Menakjubkan. Luka itu hampirhampir terlihat lebih seperti bekas luka besar yang hitam
dan kebiruan. Luka itu seolah- olah sembuh di depan
matanya. Ia bertanya-tanya apakah ia mempunyai kekuatan
yang serupa. Sekali
lagi, menjadi hanya setengah keturunan, ia mungkin tidak
memilikinya. Seperti sebagian besar kekuatan vampir,
kekuatan itu mungkin hanya diperuntukkan bagi vampir
sungguhan, sepenuhnya. Sebagian dari dirinya berharap ia
adalah vampir sungguhan. Keabadian. Kekuatan super.
Kekebalan dengan sebagian besar senjata. Ia telah
mengalami sebagian kelebihan itu, tapi yang pasti tidak
semuanya. Ia terjebak di antara dua dunia, dan ia tidak tahu
mana yang harus dipilih. Bukan karena ia diberikan banyak
pilihan. Satu-satunya cara untuk menjadi vampir sungguhan
dan sepenuhnya berarti harus dirubah oleh seorang vampir.
Dan Caleb tidak menawarkan. Itu terlarang. Dan bahkan jika
tidak terlarang, ia mempunyai perasaan bahwa dia tidak
akan menawarkannya sama sekali. Dia kelihatannya
tertekan dengan menjadi abadi, dan dia kelihatannya iri
dengan ketidak-abadiannya. Ia tidak memiliki perasaan
bahwa dia menginginkan dirinya menjadi seperti dia. Demi
dirinya. "Apakah kau masih menyimpannya?" tanyanya. Ia
menoleh, tidak mengerti. "Petanya," dia menambahkan.
Tentu saja. Alasan kenapa mereka mendarat di sini. Ia
merogoh sakunya, dan lega menemukan peta itu masih ada
di sana. Terima kasih Tuhan atas saku beresleting. Ia
mengangsurkan peta itu kepadanya. Dia membuka
gulungan itu dan melihatnya. "Kita tidak jauh," ujarnya,
menurunkannya dan melihat pepohonan di hadapan
mereka. "Pondok itu sudah dekat." Caitlin melihat ke
sekelilingnya, menyipitkan mata dalam kegelapan. Yang
bisa ia lihat adalah pepohonan. "Aku tidak melihat apa pun,"102
katanya. "Itu adalah peta tua," ujarnya. "Peta ini digambar


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tangan, dan sangat kasar. Aku yakin itu tidak sama
persis. Tapi tanda-tanda itu menunjukkan area ini." Caleb
melihat ke sekeliling lagi, dan ia juga melakukannya. Namun
tidak satu pun dari mereka yang melihat sesuatu. "Pondok
ini," ujar Caitlin, "ada di sini ratusan tahun yang lalu.
Mungkinkah pondok itu telah dihancurkan?" Caleb
mencermati hutan itu. Dia menuju ke arah tertentu, dan ia
berjalan bersamanya, daun-daun bergemerisik. "Ya,"
katanya, "mungkin begitu. Apalagi jika pondok itu dibangun
dari kayu. Maka kemungkinan besar demikian. Tapi aku
berharap pondok itu dibangun dari batu. Kebanyakan
pondok vampir dibangun dari batu. Jadi pondok itu masih
berdiri. Atau setidaknya sebagian dari pondok itu." "Tapi
bahkan jika demikian, tidakkah kau mengira bahwa saat ini
pondok itu telah diketemukan, atau dirusak?" tanyanya.
"Mungkin. Kecuali..." Ia menunggu. "Kecuali?" "Kecuali
pondok itu tertutup tanaman lain. Ada sebuah tradisi di
antara para vampir, sebuah cara untuk meneruskan petunjuk
pada beberapa keturunan. Kami mendirikan sebuah pondok
batu, dan kemudian menanam tanaman merambat,
tanaman berduri, dan lapisan semak belukar yang
menyelubunginya. Jika ditinggalkan, tanaman itu tumbuh
dengan liar, cepat, begitu tebal dan dalam, yang dari waktu
ke waktu, jika pondok itu ada di lokasi yang jauh, pondok itu
tetap tidak tersentuh dan secara virtual tidak mungkin bagi
orang awam melihatnya. Dengan cara ini, beberapa abad
kemudian, yang diprakarsai masih bisa menemukannya."
Dia memandang ke sekeliling. "Satu kelebihan yang kita
punya di sini adalah bahwa hutan ini jauh jaraknya. Itu
memberi aku harapan." "Dengan mengasumsikan bahwa itu
adalah peta yang sesungguhnya," ujar Caitlin, berperan ala
film devil's advocate. "Mungkin tanaman itu ditanaman oleh
seseorang. Mungkin itu adalah pengalih perhatian." Caleb
menatapnya dan tersenyum. "Kau mempunyai pikiran yang103
sangat rumit," ujarnya. "Mungkin kau terlalu berlebihan
memikirkan hal ini. Ya, itu bisa saja terjadi. Tapi aku
meragukannya. Gulungan itu asli." Dia meraih tangan
Caitlin saat mereka berjalan semakin dalam menuju ke
hutan, satu-satunya suara adalah daun-daun yang
bergemirisik. Ia bisa merasakan hawa dingin merasuk ke
dalam tulang-tulangnya. Caleb tiba-tiba melepaskan mantel
kulitnya yang besar dan melingkarkan mantelnya di sekitar
bahunya. Seperti biasanya, ia terpesona dengan
bagaimana dia bisa membaca pikirannya, dan tersentuh oleh
kebaikan hatinya.
"Tidak," Caitlin berkata, "Aku tidak bisa memakai ? "
"Tolonglah," jawabnya. "Aku tidak kedinginan." Ketika dia
memakaikan mantelnya di sekitar bahunya, Caitlin menyukai
rasanya. Mantel itu ternyata berat, dan bagian dalamnya
masih hangat oleh panas tubuhnya. Ia menyukai bau kulit
itu. Mantel itu terasa begitu usang, begitu nyaman, seolaholah dia telah mengenakannya selama ratusan tahun.
Mantel itu sangat terlalu besar untuknya, namun entah
kenapa pas sekali. Dengan mengenakannya, ia merasa
seolah-olah ia adalah dia. Seolah-olah mereka adalah
kekasih. Ia menyukai perasaan itu. Caleb menunduk,
memeriksa gulungan itu, dan kembali melihat ke arah hutan.
Masih tidak ada apa-apa. Caitlin juga mencari-cari, ke
semua arah, dan menyipitkan mata dalam kegelapan sebisa
mungkin. Saat matanya terbiasa, ia mengira ia menemukan
sesuatu. "Caleb," ujarnya. Dia berpaling, dan Caitlin
mengangkat telunjuknya. "Kau lihat itu? Di cakrawala. Itu
terlihat seperti cabang semak belukar. Iya, kan?"
Dia melihatnya dan memicingkan mata. Akhirnya, dia
menarik tangan Caitlin, dan membimbingnya menuju ke
semak-semak itu. "Tidak ada salahnya mencoba," ujarnya.
Saat mereka berjalan ke arah semak-semak itu, daun-daun
bergemeresik, semakin dekat, Caitlin merasa terdorong. Itu104
adalah semak belukar besar belitan cabang dan duri yang
tidak dapat dimasuki. Itu hampir kelihatan seperti sebuah
dinding. Mereka mengitarinya, dan itu pasti sedalam 100
kaki dalam semua arah. Tidak tertembus. Jika ada apa pun
yang cocok dengan gambarannya, maka inilah dia. Tidak
seorang pun bisa mendekati tanaman ini, kecuali mereka
mempunyai golok tebal, dan bersedia menghabiskan
beberapa hari menebasnya. Apa pun yang ada di
tengahnya?jika ada?nampaknya tidak tersentuh. Namun
sekali lagi, mungkin ini hanyalah sebuah semak belukar
raksasa yang terdiri dari cabang dan duri, dan yang akan
mereka temukan adalah duri-duri lagi. Caleb mengangguk
perlahan. "Ya," katanya. "Mungkin ini." Dia mempelajarinya
selama beberapa saat, akhirnya dia berkata, "Mundurlah."
Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, bertanyatanya apakah yang akan dia lakukan. Caleb menarik turun
lengan bajunya, menutupi tangannya, melindunginya, lalu
mengulurkan tangan, dan dengan kekuatannya yang luar
biasa, mengoyak cabang semak belukar itu. Luar biasa
sekali, seperti menyaksikan gergaji memotong tumpukan
kayu. Dalam beberapa detik, dia telah membersihkan jalan,
cukup lebar untuk satu orang berjalan melaluinya. Dia telah
menghilang lebih dalam dalam semak belukar, ketika ia
mendengar suaranya memanggil: "Ke sinilah!" Caitlin
berjalan melalui jalan setapak yang sempit, melalui dinding
cabang, sekitar 30 kaki dalamnya, dan akhirnya menemukan
Caleb. Ia melihat, di belakang bahunya, sebuah dinding
batu kecil. "Kau menemukannya," ujarnya, dan
menyunggingkan sebuah senyum lebar. Dia membersihkan
sejumlah cabang lagi, dan memperlihatkan pintu masuk
melengkung kecil menuju ke pondok batu kecil. Dia masuk,
menarik tangannya, dan ia mengikuti dekat di belakangnya.
Pondok itu gelap dan pengap, lalu mereka berdua105
mengambil beberapa langkah masuk yang terputus-putus,
sebelum Caleb mendadak berhenti. Mereka mendengar
sesuatu bergulir di bawah kaki mereka, dan Caleb
mengulurkan tangan. Dia mengambilnya. "Apa itu?" tanya
Caitlin. Dia memegangnya tinggi-tinggi, namun ia tidak bisa
benar-benar melihatnya dalam kegelapan. Akhirnya, dia
berkata, "Lilin tua. Aku rasa lilin ini masih utuh. Pegang ini."
Caitlin mengambilnya dan menggosokkan tangannya
bersamaan dengan secepat kilat. Ia tidak pernah melihat hal
seperti itu. Dalam beberapa detik, tangannya bergerak
begitu cepat sehingga ia bisa merasakan hawa panas
terpancar dari tangannya. Lalu dia meletakkan tangannya di
ujung lilin, dan menahannya di sana. Setelah sedetik, dia
menarik tangannya, dan saat dia melakukannya, Caitlin
terkejut, lilin itu menyala. Ia memandanginya dengan takjub.
Ia berharap ia bisa melakukan hal itu juga. "Kau harus
mengajarkan kepadaku yang satu itu," ujarnya, tersenyum.
Dalam cahaya lilin, ia bisa melihat dia tersenyum. Ia
menurunkan lilin
itu di lantai dan menemukan beberapa lilin, semuanya
berserakan. Jadi itu adalah suara bergulir yang mereka
dengar. Dia mengambil satu lilin dan menarik sumbunya,
dan ia mengulurkan tangan lalu menyalakannya. Sekarang
masing-masing dari mereka memiliki lilin yang menyala. Dan
itu cukup untuk menerangi tempat itu. Pondok itu sangat
kecil, cukup tinggi baginya untuk berdiri di dalamnya, dan
cukup rendah bagi Caleb untuk merunduk. Satu ruangan itu
tidaklah besar, mungkin sepuluh kali sepuluh kaki.
Dindingnya terbuat dari batu, dan sementara batu-batu itu
tidak terlalu sejajar, tidak terlihat ada tempat yang kentara
untuk menyembunyikan apapundi dalamnya. Jauh di
dinding adalah sebuah perapian, dipenuhi dengan cabang
yang pasti telah masuk melalui cerobong kecilnya selama
berabad-abad. Ia menunduk dan melihat bahwa lantai
papannya terbuat dari kayu. Luar biasa, lantai itu masih106
utuh. Namun itu masuk akal. Tidak ada jendela dalam
pondok itu, dan selain dari cerobong asap dan pintu, tidak
ada jalan untuk unsur apa pun yang bisa masuk. Dan
melihat seberapa tebal kerimbunan cabang-cabang itu,
tidak ada unsur yang mendekati pondok ini selama ratusan
tahun.
Tapi sebaliknya, tidak benar-benar ada banyak hal untuk
dilihat, dan bukan tempat yang jelas untuk
menyembunyikan apa pun. Pondok itu benar-benar kosong.
Sayangnya, kelihatannya itu adalah jalan buntu lainnya.
Setidaknya pondok itu kering, terlindungi, dan nyaman. Jika
tidak ada hal lain, mereka bisa melewatkan malam itu di sini.
Mungkin menghangatkan badan, beristirahat sebentar.
"Apa kau bisa membuat perapian itu menyala?" tanyanya.
Dia memeriksanya. "Aku tidak melihat kenapa tidak." Dia
memberikan lilin kepadanya, menuju ke perapian itu, dan
dengan segera mengeluarkan semua puing dan cabang.
Caitlin bersin akibat debu. Dia menggapai ke dalam
cerobong asap dan mengeluarkan cabang- cabang lainnya,
dan mengumpulkan semuaya lalu membawanya keluar dari
pondok. Caitlin bisa mendengara panjatan di atap, dan
kemudia mendengar dia mengeluarkan lebih banyak
cabang dari cerobong asap. Ia tiba-tiba merasakan aliran
kecil udara, dan menyadari dia telah membersihkannya.
Beberapa detik kemudian, dia kembali muncul di dalam,
membawa
setumpuk kecil kayu kering yang dapat dibakar. Ia
mengagumi betapa cepatnya dia melakukan segala hal.
Kecepatan ras vampir. Luar biasa sekali. Itu membuat
perasaannya begitu lamban jika dibandingkan dengannya.
Dia meletakkan kayu dalam perapian, mengambil lilin dari
dirinya, dan menyelakannya di beberapa tempat. Dalam
beberapa menit, mereka memiliki sebuah api yang
bergemuruh di dalam pondok kecil yang nyaman. Ia merasa107
bersyukur atas kehangatan itu. Ia menjejalkan lilin-lilin
mereka ke dalam dinding batu, tinggi-tinggi, dan di antara
lilin itu dan perapian, ruangan itu sekarang sangat terang
dan hangat. Dengan tangannya yang bebas, ia mendekat
menuju perapian dan bersandar ke dinding batu. Ia
menggosokkan tangannya di depannya, dan mulai merasa
lebih baik. Caleb mengikutinya, duduk di sisi lain perapian,
punggungnya membelakangi dinding. Mereka saling
berhadapan di dalam ruangan kecil itu, kaki mereka hampir
bersentuhan. Caleb memeriksa ruangan itu, mencari-cari di
lantai, memeriksa dinding, lalu atap. Dia melihat dengan
saksama ke arah batu bata di perapian, memeriksa setiap
detail yang mungkin ada. Caitlin menemukan dirinya ikut
mencari-cari. Mereka berdua mempunyai hal yang sama
dalam benak mereka: apa yang bisa disembunyikan di sini?
Dan di mana? "Ini pasti tempatnya," kata Caleb. "Ini adalah
di mana Elizabeth tinggal. Pertanyaannya adalah: menapa
peta itu mengirim kita ke sini? Aku tidak melihat apa pun,"
ujarnya, pada akhirnya, mengakui kekalahan. "Aku juga
begitu," Caitlin harus mengakuinya. Keheningan yang
nyaman menyelimuti mereka. Setelah badai peristiwa hari
itu, ia merasa lelah. Ia hanya merasa gembira karena
mereka mempunyai perlindungan malam itu, dan terlalu
lelah untuk memikirkan hal lain. Ia menyukai rasa mantelnya
menyelimuti bahunya. Ia merasakan bentuk buku hariannya,
masih di dalam saku jinsnya, dan merasa ingin
mengambilnya dan menulis. Tapi ia terlalu lelah. Ia melihat
ke seberang ruangan itu, dan mengamati Caleb. Ia
mengagumi bagaimana dia begitu kebal terhadap hawa
dingin, terhadap kelelahan, bahkan tidak terlihat lapar.
Sesungguhnya, jika ada, dia nampaknya mendapatkan
energi pada malam hari. Dia masih terlihat dalam kondisi
yang sempurna, meskipun atas semua peristiwa yang telah
mereka lalui. Meskipun tertembak. Ia memandangi lengan
Caleb, dan melihat bahwa lengannya sudah sepenuhnya108
sembuh. Ketika dia memandangi api, tenggelam dalam
pikirannya, matanya bersinar kecoklatan, dan ia merasa
diliputi dengan keinginan mengetahui lebih banyak tentang
dia. "Ceritakan tentang dirimu," kata Caitlin. "Aku mohon."
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanyanya, masih memandangi
perapian. "Semuanya," ujarnya. "Hal-hal yang telah kau
lihat...Aku bahkan tidak bisa memahaminya," katanya. "Apa
yang paling kau ingat?" Keheningan panjang menyelimuti
ruangan sebagaimana Caleb duduk di sana, alisnya
berkerut. "Sulit dikatakan," ia memulai dengan lembut.
"Pada awalnya, dalam masa hidup pertama, aku hanya
diliputi sensasi menjadi hidup, abad demi abad. Aku telah
hidup ketika semua orang yang aku sayangi meninggal.
Awalnya, kau mulai kehilangan teman-teman dan keluarga,
dan siapa pun yang pernah kau cintai. Itulah yang paling
menyakitkan. Itulah waktu tersulit. Kau mulai merasa sangat,
sangat kesepian. "Setelah seratus tahun pertama, kau mulai
membentuk keterikatan dengan tempat bukannya orang.
Kepada desa, kota, bangunan, pegunungan. Itulah apa
yang kau pegang teguh. "Tapi abad demi abad berlangsung,
bahkan tempat-tempat ini menghilang. Kota-kota
menghilang. Kota-kota baru muncul. Negara menyatu
dengan negara lain. Perang menggerus seluruh kebudayaan
yang kau cintai. Bahasa-bahasa menghilang. Jadi kau
belajar untuk tidak berpegang pada tempat juga." Dia
berdeham, berkonsentrasi. "Ketika tempat-tempat yang kau
cintai menghilang, kau berpegang kepada benda. Selama
ratusan tahun, aku mengumpulkan artefak, harta karun tak
ternilai. Aku mendapatkan kesenangan hebat di dalamnya.
Tapi setelah beratus-ratus tahun, hal itu, juga, kehilangan
kilaunya. Benda- benda itu menjadi tidak berarti. "Pada
akhirnya, setelah ribuan tahun, kau melihat kehidupan
secara berbeda. Kau tidak menyandarkan dirimu kepada
orang, tempat, atau benda. Kau tidak menyandarkan dirimu
pada apa pun." "Lalu apa yang tertinggal dalam dirimu?"109
akhirnya Caitlin bertanya. "Apa yang kau pedulikan? Pasti
ada sesuatu."
Caleb menatapnya, berpikir. "Aku rasa," dia berkata,
akhirnya, "apa yang tertinggal dengan dirimu, ketika semua
hal lain menghilang... adalah kesan." "Kesan?" "Kesan
terhadap orang tertentu. Ingatan terhadap waktu yang kau
habiskan bersama. Bagaimana mereka memengaruhi
dirimu." Caitlin ingin memilih kata-kata selanjutnya dengan
hati-hati. "Apa yang kau maksud, seperti...hubungan?
Seperti dalam, katakanlah, percintaan?" Keheningan


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelimuti ruangan itu. Ia bisa merasakan dia memilih
kata-katanya. "Ada semua bentuk hubungan yang
bermakna, namun pada akhirnya, cintalah yang mungkin
paling tertinggal dalam dirimu," dia akhirnya berkata. "Tapi
ada hal yang lebih daripada itu. Pada mulanya, ini tentang
percintaan. Tapi seiring waktu, orang...menempati sebagian
kecil dari dirimu. Aku tidak tahu bagaimana lagi untuk
menjelaskannya. Tapi setelah berabad-abad ini, itulah yang
tersisa.' Caitlin tersentuh oleh kejujurannya. Ia telah
mengharapkan dia untuk berbicara tentang di mana dia lahir,
di mana dia dibesarkan. Namun dia telah melakukan yang
lebih jauh, seperti biasanya. Kata-katanya memberikan
makna bagi dirinya, namun dia tidak yakin bagaimana. Ia
tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Setelah begitu
banyak waktu," dia akhirnya melanjutkan, "ketika kau
bertemu dengan orang-orang, kau segera mencoba untuk
menempatkan bagaimana kau mengenal mereka dalam
masa kehidupan yang lain. Aku mengetahui bahwa semua
orang yang telah aku temui sekarang, aku juga melewatkan
waktu yang istimewa dengan mereka dalam beberapa
perwujudan. Mereka tidak pernah ingat, tapi aku selalu
mengingatnya. Aku menemukan diriku menunggu daat-saat
ketika aku mengenali bagaimana aku telah mengenal
mereka sebelumnya. Dan ketika hal itu datang, maka
semuanya menjadi masuk akal." Caitlin takut untuk110
mengajukan pertanyaan selanjutnya. Ia ragu-ragu.
"Jadi...bagaimana dengan kita?" Alis Caitlin terangkat, saat
dia menatap ke dalam perapian. Dia menunggu dalam
waktu yang lama sebelum dia menjawabnya. "Kaulah satusatunya yang pernah aku temui di mana semua
hal...menjadi kabur. Aku tahu, di suatu tempat, aku pernah
mengenalmu. Tapi aku masih tidak tahu bagaimana.
Sesuatu telah dijauhkan dariku, dan aku tidak paham
mengapa. Aku hanya bisa menganggap bahwa ada sesuatu
tentang dirimu?tentang kita?yang seharusnya tidak aku
ketahui." Caitlin tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia
merasa diliputi emosi terhadapnya, dan ia tidak memercayai
dirinya untuk mengatakan apa pun. Ia tahu bahwa apa pun
yang ia katakan akan menjadi suatu kesalahan. Ia
menegakkan badan dan meraih sebatang kayu, dan dengan
tangan yang gemetar, mengulurkan tangan untuk
melemparkannya ke dalam appi. Namun ia sangat gugup,
sehingga kayu itu tergelincir, mendarat di lantai dengan
bunyi gedebuk. Caitlin dan Caleb bersama-sama berhenti
dan saling berpandangan. Bunyi gedebuk dari kayu: itu
adalah rongga. Lantai papan. Ada sesuatu di bawah
mereka. Pada saat yang sama, mereka berdua segera
menuju titik di lantai di mana kayu itu mendarat, ketika
Caleb menyekanya dengan tangannya. Debu selama
berabad-abad tersapu, menampakkan kayu tanpa alas. Dia
mengetuk keras dengan buku-buku jarinya, dan itulah dia,
lagi, suara dari rongga. "Mundur," katanya, dan ia
bersandar ke dinding. Saat ia melakukannya, dia menarik
lengannya kembali dan menekan papan lantai. Ada kayu
yang retak, ketika ia meninju lubang tepat melewatinya, dan
mengulurkan tangan lalu mengoyak beberapa lantai. Caitlin
meraih lilin, dan memasukkannya ke dalam lubang. Tidak
ada banyak ruang, dan mereka bisa melihat kotoran di
tanah. Caitlin memindahkan lilin. Pada awalnya, tidak
menunjukkan apa-apa. Namun ketika ia memindahkan lilin111
ke sudut, ia tiba-tiba melihat sesuatu. "Di sana." Caitlin
mengulurkan tangan dan mengeluarkannya dengan
perlahan. Ia mengangkatnya, dan menyeka satu inci debu.
Itu adalah sebuah kantung satin merah kecil. Diikat rapatrapat dengan sebuah tali. Ia menyerahkan lilin kepada
Caleb, dan mulai membukanya. Ia bertanya-tanya apa itu.
Sebuah koin? Sepotong perhiasan? Hatinya berdebar
dengan kegembiraan saat akhirnya ia bisa membukanya. Ia
merogohnya dengan lembut, dan merasa sesuatu yang
dingin dan logam. Ia memegangnya tinggi-tinggi dan
mereka berdua mengamatinya. Itu adalah sebuah kunci
kecil. Ia melihat kembali ke dalam kantung itu, untuk
memastikan tidak ada benda lain. Itu saja. Hanya kunci ini.
Ia menyerahkannya kepada Caleb. Dia juga,
mengangkatnya tinggi- tinggi, mendekatkan kunci itu pada
api, memeriksanya di segala arah. "Apa kau
mengenalinya?" Caitlin bertanya. Dia menggelengkan
kepalanya. Caitlin mendekat, semakin mendekatinya,
sebagaimana mereka berdua duduk di depan api dan
menyentuh kunci itu. Ketika ia membaliknya, ia menemukan
sesuatu. Ia menjilat jarinya, dan menggosoknya di seluruh
logam itu. Lapisan akhir debu menguap, dan terlihat sebuah
tulisan kecil, ditulis dalam tulisan yang halus. The Vincent
House. Ia menatap Caleb. "Apa kau mengetahuinya?" Dia
menyandarkan tubuhnya, menggeleng dan menghela nafas.
"Kurasa pencarian kita belum berakhir," akhirnya dia berkata.
Ia bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. Dia jelasjelas berharap menemukan pedang itu di sini. Ia menyesal,
dan merasa entah kenapa harus disalahkan. Ia juga merasa
frustrasi oleh semua petunjuk. Ia menyandarkan tubuhnya
sendiri, berpikir atas apa ia asumsikan mungkin menjadi
pencarian panjang. Setidaknya tempat ini telah
menghasilkan petunjuk. Setidaknya itu bukan jalan buntu.
Sekarang, setidaknya, mereka memiliki kunci. Tapi kunci112
apa? Sebelum ia bisa menyelesaikan pikiran itu, Caitlin tibatiba jatuh berlutut kesakitan. Ia dihantam oleh sengatan rasa
lapar, lebih buruk dari yang pernah ia rasakan. Ia hampir
tidak bisa bernapas. Ia merasakan tangan itu ada di
bahunya. "Caitlin?" Ia tidak menunggu dirinya menjawab. Ia
merasakan tangan yang kuat di bawah lengannya,
kemudian merasa dirinya diangkat, dan dibawa, ketika dia
berlari bersamanya keluar dari pondok, melalui dahan-dahan
semak belukar, dan masuk ke hutan. Sebagaimana rasa
sakit menyerang dirinya, lagi dan lagi, ia merasa dirinya
dibawa melewati hutan, dan melihat pohon-pohon yang
berputar bersamanya dengan kecepatan super.
Ia merasakan kemurkaan terbangun dalam dirinya.
Keinginan untuk mengisap darah. Membunuh. Tubuhnya
berubah dengan cepat, dan saat ia menggeliat dalam
pelukannya, ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa tetap
terkendali. Caleb akhirnya berhenti, menurunkan dirinya,
dan membuatnya berdiri. Dia memegangnya tepat pada
bahunya, dan menatap langsung ke arahnya. "Kau harus
mendengarkan aku. Aku tahu sulit untuk mendengar
sekarang. api kau harus fokus." Ia berusaha sekeras yang
ia bisa untuk memusatkan perhatian pada kata-katanya,
matanya. Dunianya masih tertutup dengan kabut merah, dan
dorongan untuk membunuh menjalari pembuluh darahnya.
"Itu adalah keinginan untuk mengisap darah. Kau
membutuhkan darah. Sekarang. Kita ada di dalam hutan.
Aku bisa mengajarimu. Kita bisa berburu bersama-sama."
Mengajarimu. Mengajarimu. Ia mencoba untuk berpegang
pada kata- katanya. Ia merasa dirinya ditarik, dan sebelum
ia mengetahuinya, mereka pergi ke dalam malam.
*****113
TIGA BELAS
Samantha bangun saat fajar menyingsing, dan melihat ke
sekeliling Di sana, di tempat tidur di sampingnya, ada
seorang remaja laki-laki. Sam. Dia telah begitu mudah
tergoda. Ia hampir merasa bersalah. Ia tahu ia telah
melanggar hukum dengan tidur dengan seorang manusia,
namun yang satu ini begitu muda dan segar, ia telah
memutuskan untuk melanggar aturan itu. Kenapa tidak?
Tidak seorang pun akan bisa mengetahuinya. Tentu saja, ia
takkan pernah tahu, dan ia tidak akan terus Sam
membiarkan hidup cukup lama untuk memberitahu siapa
dirinya. Sekali setiap beberapa ratus tahun, ia harus
memanjakan diri. Itulah setidaknya yang bisa ia izinkan
untuk dirinya. Selain itu, ada suatu hal tentang dia, sesuatu
yang, untuk seorang manusia, membuat dia hampir bisa
ditoleransi. Sesungguhnya, jika ia jujur terhadap dirinya
sendiri, lebih dari dapat ditoleransi. Ia tidak bisa benarbenar melepaskan genggamannya terhadap sesuatu apa
pun itu, dan hal ini, lebih dari apa pun, mengganggunya.
Gelisah dengan perasaannya, ia duduk, masih telanjang,
dan dalam satu gerakan cepat melompat berdiri dan berjalan
diam-diam melintasi ruangan. Ia mengambil pakaiannya dan
berpakaian dengan cepat, melihat keluar pintu kaca geser.
Fajar telah menyingsing. Sungguh ironis, pikirnya. Tidur
pada malam hari, dan bangun di pagi hari. Sama seperti
manusia. Pikiran itu membuatnya muak, tapi pada saat
tertentu ia harus membuat pengecualian. Ia menoleh dan
melihat bocah itu tidur nyenyak. Ia telah membuatnya lelah,
pasti begitu. Ia tahu dia tidak pernah memiliki pengalaman
seperti itu, dan dia tidak akan pernah mengalaminya lagi.
Selain itu, ia memiliki 2.000 tahun pengalaman. Dia
tentunya beruntung. Setidaknya untuk saat ini. Dia akan
sama tidak beruntung dalam beberapa minggu mendatang,
ketika ia sudah memenuhinya, dan telah menemukan semua114
yang dia perlu tahu tentang ayahnya. Kemudian, ia akan
membuangnya. Tapi untuk saat ini, dia adalah mainan yang
menyenangkan. Cukup menyenangkan. Dia tetap tertidur
lelap, karena dia sangat lincah, begitu lentur hingga kakinya.
Seperti kucing. Ia bisa berjingkrak melewati seluruh rumah
dan dia tidak akan pernah mendengarnya, kecuali ia
menginginkannya. Salah satu dari banyak keuntungan
menjadi vampir.
Dia telah begitu mudah tertipu: ia benar-benar percaya
bahwa rumah ini adalah miliknya. Ia sebaiknya khawatir
bagaimana ia akan menjelaskan fakta bahwa tidak ada
selimut atau seprai atau bantal?atau apa pun di rumah
itu?tapi yang mengejutkan dirinya, dia bahkan tidak
bertanya. Dan tempat telah setidaknya sebagian dilengkapi
perabotan. Mungkin semua perbuatan beberapa makelar
putus asa, menggelar rumah untuk pertunjukan hipotetisnya.
Setidaknya ia telah menempatkan semuanya dengan baik.
Ia merasa sengatan panas lagi melalui pembuluh darahnya,
dan menyadari bahwa ia tidak bisa menunggu lebih lama
lagi. Ia harus mengisap darah. Cukup sulit baginya
berpasangan dengannya dan tidak menyelesaikannya,
seperti yang selalu dilakukannya, dengan mengisap darah.
Tapi dia membutuhkannya tetap hidup. Dia adalah kunci,
dan ia harus mengendalikan diri. Tapi itu tidak
menghentikan rasa laparnya, dan saat ia berjalan di sekitar
rumah kosong itu. memandang langit yang merekah, jalan
pedesaan yang kosong, ia bertanya-tanya apakah ada
manusia yang tidak menaruh curiga yang mungkin berjalan
menyusuri jalan setapak itu. Mungkin anak kecil, yang
bangun terlalu pagi. Itu akan
menjadi sempurna. Sebelum ia bisa menyelesaikan pikiran
itu, sebuah BMW mengkilap menyusuri jalan itu, dan
berbelok menuju jalan masuk. Ada suara kerikil, ban mobil
yang mengkilap sedang berjalan perlahan menuju rumah itu.115
Siapa gerangan, ia bertanya-tanya, bisa menyetir menuju ke
jalanan pada waktu-waktu ini? Siapa yang tahu ia berada di
sana? Jantungnya berhenti sejenak, sambil bertanya-tanya
apakah itu mungkin anggota dari covennya. Apakah
seseorang melihat perbuatannya? Apakah beberapa vampir
lawan melaporkan dirinya, dan mereka datang untuk
menghukumnya? Pintu mobil terbuka dan keluarlah
manusia, mengenakan setelan murah dengan buruk,
membawa tanda "dijual" di bawah lengannya. Dia berjalan
menuju pintu depan rumah. Ia sangat lega, sehingga ia
tertawa keras. Itu hanyalah manusia lain yang menyedihkan.
Dan yang satu ini, makelar real estat. Yang terburuk dari
mereka semua. Tentu saja. Sekarang itu masuk akal. Dia
mungkin bersiap-siap untuk memperlihatkan rumah itu,
mungkin memiliki jadwal acara open house, dan berada di
sini dengan cerah dan lebih awal untuk memastikan
semuanya baik-baik saja. Terlalu bersemangat. Dan putus
asa. Saat ia melihat dia mendekat, ia melihat kerut alisnya
yang kebingungan dan kemudian kekhawatiran, karena dia
mulai melihat tanda- tanda bahwa rumah itu sedang
ditinggali. Truk pengangkut Sam ada di jalan masuk. Ada
lampu menyala. Dia tampak benar-benar bingung, seolah
memeras otaknya untuk mengingat apakah ia meninggalkan
lampu menyala, atau kemungkinan mobil siapakah itu.
Kemudian, ketika ia tampaknya menyadari bahwa itu adalah
sesuatu yang lebih, ekspresinya berubah menjadi jengkel.
Samantha tersenyum. Ia menyukai bagaimana kesalnya dia,
dan ia menikmati fakta bahwa hal itu akan menjadi jauh
lebih buruk. Ia tidak bisa menunggu. Ia membuka pintu
depan lebar-lebar, dan berjalan keluar, menuju tepat ke
arahnya. Tatapannya berubah menjadi kemarahan
sekaligus. "Apa yang kau lakukan di rumah ini?" dia
berteriak dari seberang halaman, melangkah tegap tepat ke
arahnya. "Apakah kau menyadari
bahwa ini pendobrakan? Kalian anak-anak muda berpikir itu116
semua lelucon, bahwa kalian dapat mendarat di mana saja
kau inginkan. Aku muak akan hal itu. Kau tidak akan lolos
kali ini. Aku rasa cukup sampai di sini!" dia berteriak
tergesa-gesa, sembari menarik keluar ponselnya, masih
melangkah tegap ke arahnya. Samantha tersenyum
semakin lebar, dan ini benar-benar membuatnya marah.
"Kau pikir ini adalah sebuah lelucon, kan?" katanya, ketika ia
mulai mengangkat ponselnya ke telinga, berjalan ke
arahnya dengan kecepatan dua kali lipat. Saat dia
mencapai Samantha, dia menarik dengan kasar di bawah
lengannya. Dia berbalik, berpikir bahwa dia akan
menyeretnya pergi. Ekspresinya berubah menjadi terkejut,
ketika dia menyadari bahwa ia punya rencana lain. Sebelum
jari-jarinya bisa sepenuhnya menggali ke dalam kulit, ia
telah menyapu lengannya di dalam satu gerakan cepat, dan
kemudian memutar kembali, menyentakkannya dengan
cepat. Wajahnya mengerut kesakitan saat dia mulai menjerit.
Tapi sebelum dia bisa membuat suara apapun, ia meraih
kepalanya dan membawanya turun tepat ke lutut. Ada suara
retakan, dan kemudian tidak terjadi apa- apa, karena
tubuhnya terkulai. Sebelum tubuhnya menyentuh lantai, ia
sudah menerkam, menenggelamkan giginya jauh ke


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lehernya. Matanya berputar-putar di dalam kepalanya saat
ia mengisap darah, lagi. Ia merasakan kenikmatan, ketika
darah pria itu menjalari tubuhnya. Saat ia selesai, ia
mengangkat tubuh tak bernyawa itu, menuju mobilnya,
membuka bagasi dan melemparkan tubuhnya ke dalam.
Sebelum ia menutupnya dengan keras, ia mengulurkan
tangan dan meraih kunci mobil dari saku celananya. Ia
menuju kembali ke rumah itu, menyeka sisa-sisa terakhir
darah dari mulutnya, dan mengagumi langit pagi. Ini akan
menjadi hari yang menyenangkan.
*****117
EMPAT BELAS
Caitlin sedang berlari. Ia sudah kembali di lapangan, berlari
melintasi rumput setinggi lutut. Saat itu fajar, dan ketika ia
berlari, dunia tampak berputar. Ia merasa seolah-olah
sedang berlari tepat ke arah matahari besar yang bersinar.
Di sana, di cakrawala, berdiri ayahnya, siluetnya diterangi
matahari. Lengannya terbuka lebar, menunggu untuk
memeluknya. Ia tidak bisa melihat wajahnya, tapi ia tahu
bahwa ia tersenyum lebar, menunggu untuk memeluknya.
Seandainya saja ia berlari lebih cepat. Caitlin berlari sekuat
tenaga, tapi tidak peduli seberapa cepat ia berlari, dia terus
semain jauh. Ia tidak terkejut. Ini adalah bagaimana mimpi
selalu meninggalkannya. Sebagian dirinya mengetahui hal
ini bahkan saat ia bermimpi. Tapi kali ini, sesuatu terjadi.
Kali ini, tiba-tiba, ia memperoleh kekuatan. Dia benar-benar
semakin dekat. Saat ia berlari mendekatinya 50 yard,
kemudian 20, kemudian 10, untuk pertama kalinya, ia
melihatnya. Dia berdiri di sana, besar, begitu
tinggi dan bangga, dengan segala kemuliaannya, diterangi
oleh matahari. Dia adalah pria yang tampan. Seorang
pejuang. Entah bagaimana, dia mirip Caleb. Ia berlari tepat
ke dalam pelukannya dan memeluknya. Dia memeluk
punggungnya. Rasanya sangat menyenangkan, akhirnya,
berada dalam pelukannya. "Ayah!" serunya. "Anakku,"
katanya, dengan suara dalam, merdu, dan menenangkan.
"Aku sangat merindukan dirimu. Aku telah mencarimu ke
mana-mana. Dan aku sangat bangga padamu," katanya.
Dia meraih bahunya, memegangnya pada lengan
panjangnya, dan menatap matanya. Matanya berwarna
kuning cerah, warna matahari, dan bersinar tepat ke
arahnya. Ia tidak tahan untuk melihat, tapi ia tidak tahan
memalingkan wajahnya juga. Mata itu memancarkan
kehangatan dan cinta. "Apa kau ingat, Caitlin?" ayahnya
bertanya. "Apakah kau ingat, ketika kau masih kecil?118
Tempat kita biasa pergi? Tebing itu. Tebing merah."
Sebuah gambaran berkelebat dalam benaknya, tebing
merah besar, batu raksasa, yang tersebar di seluruh pantai,
di dalam air. Sebuah tempat magis. Ya, ia ingat. Suara itu
datang kembali. "Temukan aku di sana," katanya.
"Lanjutkan pencarianmu. Dan temukan aku di sana." Dia
mulai memudar, dan saat ia mengulurkan tangan untuk
menangkapnya, dia tiba-tiba hilang. Caitlin terbangun
dengan kaget. Ia telentang, menatap puncak pohon. Di
kejauhan, ia bisa melihat langit melintas, melalui pepohonan.
Sebuah gumpalan awan melayang pergi. Ia tidak tahu di
mana dirinya berada, tapi ia masih merasa seolah-olah ia
sedang bermimpi. Ia bisa mendengar angin gemerisik
melalui cabang berdaun lebat, dan rasanya seolah-olah
seluruh dunia masih hidup, berayun-ayun, membuat
kebisingan. Meskipun berada di luar ruangan, ia merasa
nyaman. Ia menunduk dan melihat ia berbaring di tanah
hutan, di tumpukan jarum pinus yang lembut. Beberapa kaki
jauhnya berbaringlah Caleb. Hatinya membengkak.
Rasanya luar biasa untuk tidur begitu dekat dengannya. Ia
berharap dia tidak akan bangun dalam waktu dekat, ia bisa
berbohong seperti ini selamanya. Segala sesuatu di dunia
ini terasa begitu tepat. Ia melihat kembali ke langit, dan
mencoba mengingat bagaimana mereka sampai di sana.
Mencoba untuk mengingat malam sebelumnya. Ia ingat
mengisap darah itu. Ada sebuah keluarga kecil rusa, dan
Caleb telah menenangkannya, telah mengajarinya cara
untuk menunggu. Dia telah mengajarkan cara
mengendalikannya. Ia ingat merasakan kejernihan. Setelah
ia mengejar para rusa, tubuhnya membuatnya terkejut,
mengatakan kepadanya apa yang harus dilakukan, ke mana
harus pergi. Ia menemukan dirinya menyerang dengan
kecepatan kilat melalui hutan, kemudian menerkam. Ia
ingat melilitkan lengannya di leher rusa, dan akan119
menaikinya. Peristiwa itu berlangsung cepat, lebih cepat
daripada yang bisa ia bayangkan. Namun akhirnya, ia telah
menemukan pembuluh darah rusa itu dan membenamkan
giginya. Dan perasaan itu terasa menggetarkan. Ia tidak
pernah merasa begitu hidup karena darah rusa itu menjalari
dirinya. Ia merasa terbakar. Segar kembali.
Perlahan-lahan, rasa sakitnya memudar, demikian halnya
dengan rasa laparnya. Dan ia merasa lebih kuat dari
sebelumnya. Ia merasa seolah-olah dunia itu miliknya. Ia
memandang Caleb. Dia juga mengisap darah, tadi malam.
Mereka bertemu setelah itu, keduanya begitu gembira, dan
kemudian, sangat lelah. Mereka berbaring, di tanah hutan,
saling berdekatan, dan melihat pepohonan berayun-ayun.
Mendengarkan angin. Dan kemudian, dalam beberapa saat,
mereka berdua tertidur. Sekarang, terbaring di sana, ia
seinchi lebih dekat dengannya, ingin menguji perasaan
dirinya dalam lengannya. Ia masih mengenakan mantel
kulitnya, dan saat ia mengulurkan tangan, lengan bajunya
menutupi tangannya, dan membelaikan punggung
tangannya di pipi Caleb. Sangat halus. Ia membayangkan
mereka bersama, berpasangan. Caitlin tiba-tiba mendengar
suara gemerisik, dan ia duduk tegak. Tepat di depannya,
perlahan-lahan mendekat, adalah sekelompok serigala. Ia
belum pernah melihat seekor serigala sebelumnya, dan tidak
tahu bagaimana harus bereaksi. Anehnya, ia tidak takut. Ia
tertarik, terpesona. Bahkan, saat ia melihat mereka, ia
hampir merasakan semacam
kekerabatan yang aneh. Sambil mengamati, ia mengulurkan
tangan dan meletakkan tangannya pada Caleb,
mengguncangnya. Dia tiba-tiba duduk di sampingnya,
waspada. Keduanya saling bertatapan ketika kumpulan itu
datang mendekat, hanya beberapa kaki jauhnya,
mengendus dan berputar-putar. "Jangan takut," kata Caleb120
dengan lembut. "Aku bisa merasakan pikiran mereka.
Mereka hanya ingin tahu. Jangan bergerak." Caitlin duduk
diam, mengamati saat pemimpin mereka datang
mendekatinya, beberapa inci dari wajahnya, menempatkan
hidungnya tepat ke pipinya. Beberapa saat menegangkan
dilanjutkan, sebagaimana Caitlin bertanya-tanya apa yang
harus dilakukan. Jantungnya berdebar, dan ia merasa
seperti mengusirnya pergi. Tapi sebaliknya, ia mengikuti
perintah Caleb dan duduk diam. Tiba-tiba, serigala itu
berbalik dan berjalan pergi. Saat serigala itu pergi,
kumpulannya mengikuti. Kecuali satu serigala. Serigala
kecil, anak serigala, hampir tidak lebih besar dari anjing
kecil, tertinggal. Serigala kecil itu pincang, dan kembali
menatap gerombolannya. Kemudian berbalik dan menatap
Caitlin, dan berjalan ke arahnya. Serigala itu berjalan ke
pangkuannya, duduk, dan menurunkan kepalanya. Jelas
sekali bahwa serigala kecil itu tidak ingin pergi. "Kumpulan
itu tidak lagi menginginkannya," ujar Caleb. "Serigala ini
terluka. Dia cacat. Dan mereka terlalu lapar untuk bersabar.
Mereka sudah mengabaikannya. Caitlin mencoba untuk
memusatkan perhatian, mencoba untuk membaca pikiran
hewan itu seperti yang dilakukan Caleb. Ia tidak bisa
membacanya dengan tepat, namun ia memang merasakan
sebuah energi, perasaan serigala kecil itu. Dia merasa
sangat kesepian. Dan takut. Caitlin mengulurkan tangan,
mengangkatnya dan memeluknya dalam lengannya. Ketika
ia membelai kepala hewan itu, dia mendongak dan menjilat
wajahnya. Ia terenyum. "Kau punya seekor teman," ujar
Caleb. "Bisakah kita membawanya?" pintanya.
Caleb mengangkat alisnya. "Itu tidak akan menjadi gagasan
terbaik," ujarnya. "Aromanya...bisa menarik hal-hal lai."
"Tapi kita tidak bisa meninggalkannya di sini," Caitlin
memohon, tiba- tiba merasa sangat protektif. "Kita tidak
bisa." "Ke mana pun kita pergi, akan ada bahaya besar. Dia
bisa terjebak di tengah-tengahnya." "Tidakkah ada bahaya121
di sini?" Caitlin bertanya. "Hewan ini akan mati, ditinggalkan
sendirian." Caleb berpikir dalam waktu yang lama. "Aku
rasa kita bisa membawanya..." Serigala itu, seolah-olah
mengerti, berlari mendekat dan melompat ke dalam lengan
Caleb dan menjilat wajahnya. Caleb menyunggingkan
sebuah senyum lebar ketika ia membelainya. "Oke, oke,
cukup teman kecil," ujarnya. "Sebaiknya kita beri nama
apa?" Caitlin bertanya. Caleb berpikir. "Aku tidak tahu," dia
akhirnya berkata. Tiba-tiba nama itu muncul dalam
pikirannya. Rose dan Thorn.
"Rose," ujarnya tiba-tiba. "Mari kita panggil dia Rose." Caleb
menatapnya, lalu mengangguk setuju. "Rose," ujarnya. "Ya,
itu sempurna." Seolah-olah menanggapi nama barunya,
Rose berlari kembali ke pangkuan Caitlin, dan meringkuk
dalam dadanya. "Sebuah keluarga serigala adalah tanda
yang sangat kuat," kata Caleb. "Itu berarti bahwa energi
alam bersama dengan kita. Kita tidak sendirian dalam
pencarian kita." "Aku bermimpi semalam," kata Caitlin,
mengingat. "Itu tidak seperti mimpi yang pernah aku alami
sebelumnya. Mimpi itu begitu nyata. Itu seolah-olah
seperti...sebuah kunjungan. Dari ayahku." Caleb berpaling
dan menatapnya. "Dalam mimpi, semua hal itu kembali
kepadaku. Ingatan lama. Sebuah musim panas, aku ingat,
ayah mengajakku pergi. Ke sebuah pulau. Ada batu raksasa
ini di dalam laut, dan tebing curam itu, tebing merah yang
bersinar dalam matahari?" Mata Caleb tiba-tiba bersinar.
"Kau memimpikan Tebing Aquinnah," dia berkata. "Ya. Itu
sangat masuk akal."
"Dalam mimpiku, ayah menyuruhku untuk kembali ke sana.
Ayah berkata untuk...mencari dia di sana." "Itu bukanlah
mimpi," Caleb berkata, duduk lebih tegak. "Vampir
mengunjungi mimpi di pagi hari. Ayahmu menginginkan kita
untuk pergi ke tebing itu." "Tapi bagaimana dengan kunci
yang baru saja kita temukan?" Caitlin bertanya. "Kita tidak122
tahu untuk apa kunci itu," jawabnya. "The Vincent House
bisa ada di mana saja. Itu sama halnya dengan jalan buntu.
Kita tidak punya tempat lain untuk pergi. Caleb berdiri. "Kita
harus pergi ke tebing itu segera."
*****123
LIMA BELAS
Sam terbangun di sebuah kamar tidur yang aneh dan
melihat sekeliling. Ia mencoba mengingat di mana dirinya
berada saat itu. Tapi ia tidak ingat milik siapakah tempat
tidur ini, atau apa yang ia lakukan di sini. Lalu ia ingat.
Samantha. Ia membalikkan tubuh dan mencarinya, tapi
gadis itu tak ada. Apakah ini semua benar-benar terjadi?
Apakah ini hanya mimpi? Sam duduk, menggosok matanya,
sadar bahwa ia telanjang, terbaring di sebuah matras tanpa
tempat tidur. Pakaiannya tercecer di lantai. Ia lelah, tapi
merasa senang. Ia adalah seorang pria yang telah berubah.
Pria adalah kata kuncinya. Ia terbangun dengan perasaan
sebagai seorang pria sejati untuk pertama kalinya. Ia tak
pernah mengalami sesuatu seperti malam itu, dan ia telah
mengira bahwa ia tak akan mengalaminya lagi. Gadis itu
benar-benar hebat. Sam bangkit, berpakaian dan berjalan
mengelilingi rumah yang kosong. Ia melihat ke arah pintu
kaca dan tahu bahwa hari telah pagi. Ini gila. Ia tidak
menyadari bahwa matahari telah terbit dan ia tak tahu sudah
berapa lama. Sesungguhnya, sangat jarang ia terbangun
sebelum jam 12 siang. Ia lapar dan haus, dan sedang
sangat lelah. "Samantha?" panggilnya sambil berjalan di
dalam rumah mencari gadis itu. Ia menuju kamar demi
kamar, tapi tak bisa menemukannya di mana pun. Ia mulai
berpikir bahwa semua yang telah dialaminya hanyalah
khayalan belaka. Ia berjalan ke arah ruang tamu dan
melihat ke luar jendela. Di sana ia melihat truk
pengangkutnya di jalan masuk. Dan di sana, di belakangnya,
ada sebuah BMW berkilauan. Ia bertanya-tanya apakah
mobil itu milik Samantha. Dan mengapa ia tak melihatnya
sebelumnya. Gadis itu penuh dengan kejutan. Tapi ia tak
peduli dengan semua itu. Ia bahkan tak peduli telah
bermalam di rumah siapa saat itu. Ia hanya suka berada di
dekat gadis itu. Bau tubuhnya. Suaranya. Cara ia berjalan.124
Dan tentu saja, tadi malam. Tadi malam benar-benar luar
biasa. Yang paling penting, ia suka punya seseorang untuk
diajak ngobrol.
Seseorang yang mau mendengarkan, yang peduli,
seseorang yang benar- benar perhatian padanya. Ia jatuh
cinta pada gadis itu. Ia tak memercayainya, namun ia
benar-benar merasakannya. Dan sekarang, setelah
semuanya, apakah ia telah pergi? Ia membuka pintu depan,
dan di sanalah gadis itu berdiri. Samantha. Mereka berdua
membuka pintu pada saat yang sama. "Hai," kata Sam,
mencoba terdengar ramah, namun senang melihatnya. Ia
merasa jantungnya berdetak melihat gadis itu lagi. Dia
terlihat lebih cantik di pagi hari daripada malam sebelumnya.
Rambut merahnya yang panjang tergerai menutupi
wajahnya dan matanya yang hijau menatap ke arahnya.
Dan sangat pucat. Sam juga tampak pucat? namun gadis
itu tampak lebih pucat dari siapapun yang pernah ia lihat.
"Hai," ujar gadis itu ramah. Dia tampak sedang tertegun,
seakan-akan Sam telah mengejutkannya, seperti telah
melihatnya sedang melakukan sesuatu. Dia berjalan
melewatinya dan menuju ke dalam rumah. Sam
membalikkan tubuhnya dan berjalan di belakang Samantha,
bingung. Ia bertanya-tanya apakah ia telah melakukan suatu
kesalahan.
Atau mungkin ia tak cukup baik, sehingga gadis itu ingin ia
meninggalkannya. Sam pun merasa tertegun ketika berjalan
mengejarnya. Ia mendengar suara air mengalir. Gadis itu
membungkuk ke arah air, mencuci tangan dan
memercikkan air ke wajahnya. Mungkin Samantha baru saja
bangun tidur, atau keluar untuk berjalan-jalan. "Kau bangun


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pagi sekali," kata Sam sambil tersenyum, ketika ia melihat
Samantha membasuh wajahnya lagi. Gadis itu diam
sebentar, lalu mengambil sebuah handuk dan menyeka
wajahnya. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut dari125
wajahnya, dan menarik nafas panjang. "Ya," kata
Samantha sambil menghembuskan nafas,"lari pagi. Aku
suka bangun pagi." "Tanpa sepatu?" tanya Sam. Samantha
menunduk dan menyadari bahwa ia tak memakai sebuah
alas kaki pun. Wajahnya memerah. Bocah lelaki ini sangat
perhatian. "Itu bagus untuk telapak kaki," kata Samantha
dan berbalik dengan cepat lalu berjalan ke ruangan lain.
Kaget dengan kepergiannya yang mendadak, Sam berpikir
apakah gadis itu mengacuhkannya. Mungkin ia berubah
pikiran. Sam mungkin telah mengacaukannya. Tiap kali ia
menemukan sesuatu yang keren, ia selalu
mengacaukannya. Sam mengikuti gadis itu ke ruang tamu.
Ia pikir ia perlu meluruskan sesuatu, ia perlu berbicara
dengan gadis itu. Ketika Sam masuk, gadis itu sedang
menarik rambut merahnya dari wajahnya, mengikatnya
menjadi seperti ekor kuda. Pipinya merona merah, dan
tampak lebih cerah, tepat di depannya. Ia pasti sudah berlari
cukup jauh, pikir Sam. "Samantha," kata Sam ragu. "Tadi
malam benar-benar luar biasa." Gadis itu berbalik dan
memandang ke arahnya, dan roman wajahnya sedikit
melunak. Gadis itu berjalan pelan ke arahnya, meletakkan
tangan di pipinya dan menciumnya dengan lembut. Sam
merasa lega. Samantha tidak muak terhadapnya. Ia tidak
mengacaukan segalanya. Ia merasa dirinya kembali optimis.
Sam menginginkan Samantha. Namun sebelum ia dapat
meraih Samantha, gadis itu menjauh, pergi
ke arah kursi malas dan mengenakan jaket kulit hitamnya.
"Aku bosan," kata Samantha. "Ayo kita pergi dari sini."
Samantha memandang ke arahnya. "Mau jalan-jalan?"
"Jalan-jalan?" tanya Sam, melihat jam tangannya. "Sepagi
ini?" "Aku tak suka duduk-duduk saja," kata Samantha. "Aku
ingin pergi dari sini. Ayo kita cari udara segar. Mau?"
tanyanya sambil menatap Sam dengan mata hijaunya.126
Ketika matanya menatap Sam, Sam pun berubah pikiran.
Seakan-akan ia tersihir. Dalam sekejap ia mendadak benar
menyukai rencana Samantha : sangat masuk akal.
Samantha benar. Mengapa harus terus di rumah ini
sepanjang hari? Itu membosankan. Ia tiba-tiba ingin pergi ke
suatu tempat, dan tak ingin berada di situ lagi meski
sebentar. "Baiklah," katanya. "tapi ke mana?" "Email
Ayahmu," kata Samantha. "Katakan padanya kita datang
berkunjung." Sam terkejut. "Ayahku? Maksudmu,
sekarang?" "Mengapa tidak? Kalian ingin saling bertemu.
Sekaranglah saatnya. Ia ada di Connecticut kan? Pasti
menyenangkan jalan-jalan ke sana."
Sam berpikir keras. Semuanya terjadi terlalu cepat. "Yah,
aku tak tahu apa ia siap menerima kita, ini mendadak ?
" "Sam," ujar Samantha sungguh-sungguh. "Ayahmu
mengirimmu banyak email. Ia benar-benar ingin berjumpa
denganmu. Kirim saja ia sebuah email dan katakan
padanya. Pokoknya, kita pergi saja ke sana. Jika ia tidak
siap menerima kita, paling tidak jalan-jalan kita
menyenangkan." Saat Sam memikirkan tentang ini, tiba-tiba
pikirannya berubah sekali lagi dan menyadari bahwa
Samantha benar. Tentu saja. Mengapa ia tidak
memikirkannya? Jalan-jalan. Connecticut. Mengemail
Ayahnya. Ya, itu sempurna. Sam menyentuh ponselnya,
masuk ke Facebook dan mulai mengetik : Ayah. Aku akan
datang mengunjungimu sekarang. Aku sudah akan
berangkat. Beberapa jam lagi aku sampai. Tolong beri tahu
aku alamatmu. Aku harap ini tidak mendadak. Salam
sayang, Sam. Sam menjejalkan ponselnya ke dalam saku,
meraih kunci mobil dan berjalan ke pintu. Samantha sudah
menunggu di luar. Ketika mereka berjalan di halaman
menuju BMW, Sam berkata, "Aku suka mobilmu."
Samantha tersenyum ketika ia meraih kunci mobilnya.
"Terima kasih," katanya. "Aku sudah menabung cukup lama127
untuk itu."
*****128
ENAM BELAS
Saat itu, Caitlin dan Caleb berdiri mematung memandang
lautan. Feri menuju Martha?s Vineyard membunyikan tanda
pemberitahuan dan mulai berangkat. Caitlin memandang ke
bawah dan memandang air yang bergerak, sangat gembira.
Ia suka kapal. Ia merasa gembira, dan bebas. Ketika ia
memadang ke arah gelombang di bawahnya, ia menyadari
saat ini mungkin saja ia sedang duduk di sebuah kelas yang
tolol, mendengarkan ceramah guru. Ia merasa seperti orang
dewasa. Independen. Seluruh dunia adalah miliknya. Ia
melihat ke arah Caleb, berharap ia juga merasa gembira.
Caitlin terkejut karena lelaki itu tampak sangat gugup. Ia tak
pernah melihatnya seperti ini. Caleb tampak lebih pucat
dari biasanya. Caitlin mengira Caleb tidak suka kapal, atau
mungkin ia tak tahu bagaimana cara berenang. Caitlin
mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas tangan
Caleb. "Apa kau baik-baik saja?" Caleb mengangguk dan
menelan ludah. Ia berpegangan dan memandang ke arah air,
seolah air adalah musuhnya. "Ada apa?"tanya Caitlin.
Caleb menelan ludah. "Air," jawabnya pendek. Ia
menguatkan pegangannya. "Kaum kami tidak suka air.
Apalagi menyeberanginya. Tidak ada yang berani
mencobanya." Caitlin memeriksa dirinya sendiri dan merasa
baik-baik saja. Ia mengira mungkin itu karena dirinya bukan
vampir sungguhan.
"Mengapa?" tanya Caitlin.
"Air adalah semacam pelindung magis," kata Caleb.
"Ketika kau menyeberangi area perairan yang luas, kau
menyeberangi sebuah medan energi. Medan energi yang
menanggalkan naluri kita. Air melemahkan kemampuan kita.
Sulit bagi kita membaca pikiran orang lain, sulit129
memengaruhi mereka, sulit merasakan banyak hal. Kami
seperti sedang memulai sesuatu yang baru. Kau kehilangan
kekuatan dan perlindungan dari tanah asalmu."
Rose mendadak membenamkan dirinya ke dalam jaket
Caitlin. Caitlin merasa hewan kecil itu menggigil, dan
kelihatannya ia juga ketakutan. Caitlin meraihnya dan
mengusap kepalanya. Caitlin melihat sekeliling dan tahu
bahwa hanya ada beberapa orang di feri yang besar itu.
Orang-orang di dek juga sangat sedikit, hampir-hampir
kosong. Mereka berdua beruntung feri tetap berlayar di
tengah cuaca seperti saat itu. Udara bulan Maret yang dingin,
dikepung kabut yang mengambang di atas gelombang. Sulit
dikatakan perjalanan itu cukup hangat.
"Mau ke dalam?" tanya Caitlin.
Caleb menggegam pegangan di tepi feri dengan lebih erat
dan melihat ke arah air.
"Kalau kau tak keberatan," ujar Caleb kemudian.
"Tentu saja," kata Caitlin. "Lagipula aku kedinginan."
Saat mereka berjalan di sela-sela tempat duduk yang
kosong, mereka menemukan dua tempat duduk dekat
jendela. Ketika Caleb duduk, Rose mengangkat kepalanya
keluar dari jaket Caitlin dan mengeluarkan suara erangan
perlahan.
"Kupikir ia lapar," kata Caitlin.
"Apa makanan untuk bayi serigala?" Caleb tersenyum.
"Aku tak tahu. Permen?"
Caitlin balas tersenyum. "Aku mau pergi ke kedai. Mau
sesuatu?" Caleb menggelengkan kepalanya, masih tampak130
mabuk laut. Caitlin berlalu, dan menelusuri barisan keripik
dan permen. Ia memesan hot dog untuk Rose, permen
Snickers untuknya dan satu untuk Caleb, barangkali ia
berubah pikiran. Ketika Caitlin selesai membayar, bersiap
kembali ke tempat dudknya, mendadak ia berhenti. Sebuah
selebaran ditempelkan di dinding menarik perhatiannya.
Saat membacanya, ia terpaku. Ia tak dapat memercayai apa
yang tertulis di situ. Caitlin merobek selebaran itu dan
bergegas memberikannya pada Caleb.
Caleb memandangnya dan membacanya berulang kali.
Rahangnya terkatup saat memegang selebaran itu. Itu
adalah selebaran iklan untuk datang ke Martha?s Vineyard
dan di situ tercantum The Vincent House.
*****131
TUJUH BELAS
Sam duduk menggunakan sabuk pengamannya ketika BMW
itu meluncur di perempatan. Ia tak dapat memercayainya.
Rasanya seperti mimpi. Di sinilah ia berada, di jok sebuah
BMW baru yang melaju kencang di jalanan, bersandar
santai bersama seorang gadis seksi di sisinya. Dan ini
adalah mobilnya dan dia yang mengemudikannya. Gadis itu
memang cantik, tapi itu semua membuatnya tampak
semakin cantik. Sam merasa seakan berada dalam film
James Bond. Hal-hal semacam ini tak biasanya terjadi
padanya. Para gadis bahkan tak pernah berbicara padanya.
Pernah sesekali Sam mencoba mendekati seorang gadis,
dan hasilnya tak terlalu menyenangkan. Dan apa yang
terjadi sekarang lebih dari yang ia bayangkan. Bukan
karena gadis itu punya rumah dan mobil yang bagus. Tapi ia
sama seperti Sam, sama-sama ingin pergi bersenangsenang. Coldplay terdengar di radio, Sam mengulurkan
tangan dan membesarkan volumenya. Sam mengira
Samantha akan memelankan suaranya, atau mengganti
stasiun radio. Sebaliknya, gadis itu mengulurkan tangan
untuk mengencangkan suaranya. Sam tertegun. Sam
memandang keluar jendela, memandangi pepohonan yang
berkelebatan, dan membayangkan seperti apa
pertemuannya nanti dengan Ayahnya. Ia tak percaya ini
benar-benar terjadi. Sam telah mencari Ayahnya selama
bertahun-tahun, dan sekarang beberapa jam lagi ia akan
menemuinya. Ia hampir tak yakin bahwa setelah selama ini,
Ayahnya begitu dekat. Connecticut. Sebentar lagi. Sam
membayangkan seperti apa wajah Ayahnya. Mungkin ia
seorang lelaki keren, tinggi, brewokan, dengan rambut
panjang dan sepeda motor. Mungkin ia bertato. Mungkin
juga punya tindik. Sam ingin tahu dimana Ayahnya tinggal,
seperti apa rumahnya, tanah milik siapa. Ayahnya mungkin
tinggal di rumah yang bagus, semacam mansion yang besar132
dan kolam. Mungkin ia seorang bintang rock yang telah
pensiun. Sam membayangkan mereka berkendara di
sebuah jalan masuk rumah yang panjang, dikelilingi
pepohonan dan membuka pintu depan. Ia dapat melihat
Ayahnya membuka pintu, bergegas masuk, menyalakan
lampu ketika Sam datang. Ia melihat Ayahnya menyambut
kedatangannya, memeluknya. Dan meminta maaf.
Maafkan aku, nak. Aku mencoba mencarimu selama
bertahun-tahun. Aku tak bisa menemukanmu. Sekarang
akan berbeda. Kau akan tinggal di sini. Sam tersenyum
membayangkannya. Ia hampir tak dapat menyembunyikan
kegembiraannya. Ia berpikir mungkin hari ini adalah sebuah
awal yang baru. Ya, semakin ia memikirkannya, semakin itu
benar- benar akan terjadi. Mungkin ia tak akan pulang ke
Oakville. Mungkin ia akan tinggal di rumah Ayahnya.
Akhirnya ia memperoleh sebuah kemapanan. Seseorang
yang benar-benar memerhatikannya, hari demi hari. Ini pasti
akan jadi luar biasa. Ini akan menjadi hari pertama dalam
hidup barunya. Ia berpaling dan melihat ke arah Samantha
yang sedang mengemudi. Jendelanya terbuka, rambutnya
yang merah dan panjang tertiup angin. Gadis itu sangat
seksi dan keren. Ia heran mengapa gadis itu sangat peduli
padanya, pada Ayahnya, dan membawanya kemari. Ia
mengira gadis itu pastilah bertipe petualang, sama seperti
dirinya. Selalu ingin mencari sesuatu yang baru. Sam
membayangkan pasti terasa aneh menemui Ayahnya
dengan
gadis itu di sampingnya. Namun ia pikir itu pasti keren. Ini
akan membuatnya tampak lebih hebat daripada seharusnya.
Muncul bersama seorang gadis cantik. Ayahnya akan
terkagum-kagum. Mungkin ia akan mengangguk pada Sam
dengan penuh rasa hormat. Ia bertanya-tanya kemana
Samantha akan pergi setelah semua ini, setelah dia
bertemu dengan Ayahnya. Apakah dia akan tinggal juga?133
Apakah dia akan pergi? Tentu saja. Samantha baru saja
membeli rumah di Oakville. Dia harus pulang. Bagaimana
mereka berdua akan bertemu lagi? Sam menggigit bibirnya,
mendadak merasa gugup, bimbang tentang apa yang akan
terjadi, apa yang akan ia lakukan. Jika Ayahnya ingin ia
tinggal bersamanya, ia akan melakukannya. Namun, ia tak
ingin meninggalkan Samantha.
Sam pikir ia akan mengurus semuanya jika tiba saatnya.
Ada terlalu banyak hal yang dipikirkannya sekarang. Ia
hanya ingin menikmati perjalanan itu, menikmati saat itu.
Sam merasakan mobil itu semakin kencang, dan melihat
Samantha pindah ke gigi ke enam, dan ia melihat
spidometer mencapai 110.
Sam bertanya-tanya apakah gadis itu akan membiarkannya
mengemudi. Sam memang belum punya SIM, tapi ia
merasa gadis itu tak peduli. Sam akhirnya memberanikan
diri untuk bertanya.
"Bolehkah aku mengemudikannya?"
Samantha berpaling dan senyumnya mengembang. Giginya
sempurna dan berkilauan.
"Memangnya kamu bisa?"
*****134
DELAPAN BELAS
Kapal feri menurunkan Caitlin dan Caleb di sebuah dermaga
di Edgartown, sebuah desa kecil di sebelah tenggara
Martha?s Vineyard. Ketika mereka berjalan di tanah, Caitlin
memperhatikan bahwa baik Caleb dan Rose tampak samasama lega berada di tanah kering. Rose mengeluarkan
kepalanya dan menengadah, menghirup udara dan melihat
sekeliling dengan rasa ingin tahu. Caitlin memegang
selebaran itu sekali lagi dan menatapnya. Ia tak percaya
nasib baik mereka. Selebaran itu adalah sebuah iklan untuk
menjelajahi "Martha?s Vineyard Yang Bersejarah". Dan
disana, tepat di bawah daftar lokasi kunjungan tertulis: "The
Vincent House. Dibangun tahun 1672." Setelah melihatnya,
mereka memutuskan untuk mengubah rencana dan pergi ke


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vincent House dulu sebelum menuju Tebing Aquinnah.
Vincent House tertera pada kunci, dan itu adalah petunjuk
yang lebih penting daripada Tebing Aquinnah. Mungkin
mereka tak perlu pergi ke tebing lagi. Paling tidak mereka
punya satu tempat khusus untuk dituju.
Dan tentu saja, Caitlin masih menyimpan kunci itu dalam
sakunya, menjaganya baik-baik. Ia menyelipkan satu
tangan ke sakunya, menyentuh kunci perak itu untuk
memastikan keberadaannya. Cailin dan Caleb berjalan di
sepanjang dermaga yang lengang. Seakan-akan pulau itu
milik mereka sendiri. Melihat musim saat itu, cuaca menjadi
hangat ketika perjalanan dengan kapal berakhir. Saat itu
cukup hangat, suhu berkisar 65 derajat. Caitlin ingin
melepaskan pakaian tebalnya. Ia menunduk dan merasa
tak enak karena masih memakai pakaian yang sama
dengan beberapa hari yang lalu di Salvation Army. Ia
sebenarnya ingin membeli beberapa pakaian lagi. Tapi ia tak
punya cukup uang. Dan ia tak mungkin memintanya pada
Caleb. Ia berpaling dan melihat Caleb sedang menurunkan135
kerahnya, tampaknya ia juga kepanasan. Hari itu tampak
seperti akhir musim semi, bukan seperti bulan Maret.
Matahari bersinar sangat cerah dan cahayanya terpantul di
air dan di mana-mana. Caleb tiba-tiba memandang ke
arahnya, seperti sudah membaca pikirannya. "Ayo kita beli
pakaian baru untukmu." Sebelum Caitlin mengatakan
sesuatu Caleb menjawab. "Jangan khawatir. Aku punya
kartu kredit dengan limit tak terbatas." Ia tersenyum. "Salah
satu keuntungan hidup selama beribu tahun adalah kau
dapat menumpuk kekayaan." Caitlin takjub dengan
kemampuan Caleb membaca pikirannya. Ia memang
menyukai hal itu, namun di sisi lain Caitlin khawatir seberapa
banyak hal yang dapat diketahui Caleb. Apakah dia dapat
mengetahui perasaan dan pikirannya yang terdalam? Caitlin
harap tidak. Tapi ia merasa bahwa Caleb dapat
mengendalikan rasa keingintahuannya dan dia tak
membongkar segalanya. "Selama kau yakin itu tak
masalah," kata Caitlin ragu. "Dan kalau kau membiarkanku
membayarnya kembali suatu hari nanti." Caleb
menggandeng tangan Caitlin dan menuntunnya berjalan di
jalan utama sebuah desa yang tua dan unik. Meski cuaca
sedang bagus, tak banyak orang di luar. Ia mengira,
mungkin karena masalah waktu. Desa itu tampaknya
sebuah desa musiman. Ia merasa tempat itu milik mereka
berdua-dan itu adalah tempat terindah yang pernah
dilihatnya. Desa itu tampak bersih, dibangun dengan sangat
sempurna dan penuh dengan rumah kecil dan kuno yang
tampak indah satu sama lain.
Tampaknya waktu sedang mundur, mereka seperti kembali
ke awal tahun 1800-an. Desa itu benar-benar sebuah
mahakarya. Satu-satunya hal yang merusak semua
keindahan itu adalah adanya toko-toko ritel modern. Ia
menduga di musim panas, toko-toko itu buka dan dipenuhi
orang-orang kaya. Tempat-tempat semacam inilah yang
mungkin tak pernah bisa ia datangi. Ia kagum pada136
keberuntungannya sendiri. Ia sangat senang bisa ada di sini
sekarang bersama Caleb, di hari yang indah ini. Ia menutup
matanya dan menghirup udara musim semi. Ia dapat
melihat dirinya sendiri terdampar di sini bersama Caleb,
kembali ke masa lalu. Sebagian dari dirinya ingin agar
mereka berdua berhenti berpetualang dan tinggal di tempat
ini dengan normal. Namun ia tahu mereka tak ditakdirkan
untuk itu. "Bisakah kita mencari Vincent House sekarang?"
tanya Caitlin. "Nanti," kata Caleb. "Kita beli pakaian dulu
buatmu." Ia mengajak Caitlin ke sebuah toko yang masih
buka. Lily Pulitzer. Bel kecil di atas pintu berbunyi ketika
mereka membuka pintu tua, dan wanita penjaga toko
tampak senang ada pelanggan yang datang. Ia meletakkan
korannya dan bergegas menyambut mereka. Caitlin
menyerahkan Rose pada Caleb ketika ia melihat-lihat
pakaian, dan wanita penjaga toko tampak senang
melihatnya. "Wow, anak anjing yang lucu," katanya,
matanya terbelalak lebar. "Apakah itu husky?" Caleb
tersenyum. "Ya semacam itu," katanya. Sepuluh menit
kemudian mereka meninggalkan toko itu dan Caitlin
mengenakan pakaian baru dari kepala hingga ujung kaki. Ia
merasa seperti seseorang yang baru. Ia melihat dirinya
sendiri dan hampir tertawa terbahak-bahak. Ia merasa
seperti bukan dirinya. Pakaiannya telah berubah dari
setelan Salvation Army menjadi serangkaian pakaian
berwarna pastel: celana jins warna hijau muda, t-shirt merah
jambu, sweater warna ungu muda dan jaket Kiera warna
hijau. Ia tak punya banyak pilihan: hanya ini toko yang buka
di tempat itu dan hanya itulah yang sesuai dengan
ukurannya. Jaket itu melekat kuat di tubuhnya dan ada saku
di bagian dalam untuk menyimpan buku catatan yang telah
ia pindahkan dari jaket lainnya. Ia membeli sepasang
sepatu datar berwarna emas. Caitlin bisa saja masuk dalam
katalog Lily Pulitzer.
Yah, jika ia terjebak dalam sebuah pertempuran vampir,137
paling tidak ia telah mengenakan pakaian yang tepat. Dan
mungkin ia akan jadi satu- satunya vampir yang tidak
mengenakan pakaian berwarna hitam. Ia tersenyum ketika
mengingat ekspresi wanita penjaga toko ketika ia
mengatakan padanya untuk membuang semua pakaian
yang dikenakannya sebelumnya. Tidak setiap hari ada
pelanggan yang berkata seperti itu. Sebagian dari dirinya
menyukainya. Ini benar-benar baru untuknya. Sebenarnya
ini bukan pakaian yang ia bayangkan untuk bepergian
bersama Caleb. Caitlin membayangkan dirinya sendiri
memakai pakaian serba hitam, mungkin terbuat dari kulit,
dengan kerah tinggi, sesuatu berbau Gothic. Tapi tidak
masalah. Pakaiannya baru dan ia sangat berterima kasih
untuk itu. "Terima kasih, Caleb," kata Caitlin, ketika mereka
berjalan meninggalkan toko. Ia sungguh-sungguh. Belum
pernah ada seorang lelaki pun yang membelikan pakaian
untuknya, apalagi pakaian sebagus itu. Ia sangat senang
dan bahagia. Ia merasa dirinya diperhatikan dan benarbenar menghargai semua itu lebih dari yang diketahui Caleb.
Caleb tersenyum dan menggandeng tangan Caitlin,
melangkah di jalanan. Ia merasa hangat dalam pakaian
barunya, mungkin terlalu hangat. Ia tahu hari itu sedikit
panas, tapi lebih baik terlalu panas daripada terlalu dingin.
Mereka telah menanyai wanita penjaga toko tentang Vincent
House dan sangat gembira karena penjaga toko itu
mengatakan bahwa tempat itu hanya beberapa blok saja.
Ketika mereka berdua melangkah ke arah Vincent House,
untuk pertama kalinya mereka berjalan tanpa tergesa-gesa.
Mereka berjalan dengan santai, menikmati suasana.
Mereka berdua sama-sama merasa begitu sampai di rumah
itu dan menemukan petunjuk selanjutnya, maka semuanya
akan kembali memanas. Mereka berdua sangat lelah. Tak
seorang pun dari mereka yang ingin buru-buru kembali pada
situasi riuh rendah lagi. Dan tak seorang pun dari mereka
yang terlalu bersemangat untuk menemukan apapun yang138
ada di sana. Mereka memang ingin menemukannya.
Namun begitu sesuatu itu ditemukan, di mana pun, hidup
mereka akan berubah dengan sekejap. Dan itu mungkin
adalah awal dari perpisahan mereka. Caitlin menurunkan
Rose dan membiarkannya berjalan di samping
mereka. Ia senang melihat tingkah lakunya yang baik, tetap
ada bersama mereka dan tak berkeliaran. Dia berlari ke
arah jalur rerumputan untuk bermain-main, namun dia
segera kembali. Caitlin menunduk dan memberinya
sepotong kecil hotdog dan bayi serigala itu memakannya
dengan gembira. Mereka melewati sebuah gereja tua yang
besar, berjalan di samping sebuah pagar pembatas yang
rendah. Mereka berbelok dan berjalan menuju sebuah
halaman yang tampak rapi. Rerumputan tampak hijau dan
segar, bahkan di musim seperti sekarang. Di sisi mereka
adalah Gereja tua yang sangat besar dan di sisinya ada
sebuah rumah besar dari abad 19 dengan beranda luas di
belakangnya. Sebuah papan bertuliskan : "The Daniel
Fisher House". Itulah rumah terindah yang pernah dilihatnya.
Caitlin merasa bisa melihat dirinya sendiri hidup bahagia di
sana. Berjalan- jalan di halaman belakang bersama Caleb
yang menggegam tangannya dan Rose di sisinya. Seakanakan mereka telah tiba di rumah. Mereka terus berjalan
sampai beberapa yard dan sampailah mereka di sebuah
rumah kuno bernuansa masa lalu. Caitlin membaca
plakatnya : The Vincent House. 1672.
Mereka berdua memandang ke arah rumah itu. Tak ada
yang istimewa. Rumah itu kecil dengan langit-langit rendah,
seperti rumah tahun 1600-an pada umumnya. Jendelajendelanya kecil dan gentengnya rendah. Tampaknya
hanya cukup untuk sebuah atau dua kamar tidur dan sebuah
bangunan modern yang menarik. Tak seperti yang Caitlin
harapkan. Mereka berjalan ke pintu depan, dan Caleb
mengulurkan tangan untuk memutar gagang pintu. Terkunci.139
"Halo?"sapa sebuah suara. "Ada yang bisa saya bantu?"
Mereka berbalik dan melihat seorang perempuan berusia
60-an, dengan gaun panjang beraut muka galak. Ia
mendekati mereka dengan gaya berjalan yang resmi seperti
seorang pebisnis. Caleeb memandang Caitlin. "Sekarang
giliranmu," katanya. "Aku ingin kau gunakan kemampuan
mengontrol pikiran. Kau bisa melakukannya. Vampir selalu
bisa menaklukkan manusia. Kemampuanmu belum diasah,
dan mungkin belum terlalu kuat. Tapi kau jelas memiliki
kemampuan itu. Lakukan pada wanita ini. Pengaruhi dia.
Tetap tenang, dan biarkan pikiranmu menjadi pikirannya.
Biarkan dia melakukan apa yang kau mau. Katakan
padanya apa yang sebaiknya kau lakukan. Pastikan dia
melakukannya dengan kehendaknya sendiri. Kau bisa
melakukannya. Biarkan mengalir saja." Wanita itu semakin
dekat dan berkata lantang. "Rumah itu ditutup untuk musim
ini, seperti yang tertulis di papan," ujarnya dengan sangat
ramah. "Saya khawatir Anda harus kembali musim
mendatang. Rumah ini sedang diperbaiki dan tak ada tur
sebelum restorasi selesai." Ia melihat ke arah Rose. "Dan
kami melarang pengunjung membawa anjing." Wanita itu
berdiri beberapa langkah dari mereka dengan tangan
berkacak pinggang dan raut wajah tidak ramah, persis
seperti seorang guru sekolah. Rose mundur selangkah dan
menggeram. Caleb melihat ke arah Caitlin. Caitlin menatap
wanita itu, gugup. Ia belum pernah melakukan ini
sebelumnya, dan tak yakin ia mampu melakukannya.
Baiklah, pikir Caitlin, ini dia. Ia memandang wanita itu,
mencoba mengetahui apa yang sedang dipikirkannya. Ia
merasakan banyak kekakuan, ketegangan. Wanita itu
seseorang yang tak mudah dipengaruhi. Ia merasakan
kemarahan, kejengkelan, kepatuhan terhadap peraturan.
Caitlin mengetahui semuanya. Lalu, Caitlin mencoba
mengirimkan sebuah perintah pada wanita itu. Ia mencoba
mengatakan bahwa tak masalah melanggar peraturan140
sesekali. Ia bisa membiarkan mereka sendiri dan
mengijinkan mereka masuk. Caitlin menatap wanita itu,
khawatir apakah ia berhasil atau tidak. Wanita itu tetap
menatap ke arah mereka dengan marah. Tampaknya Caitlin
telah gagal. "Terima kasih telah mengatakannya kepada
kami," kata Caitlin dengan manis. "Senang berjumpa
dengan Anda. Kami akan sangat berterima kasih jika Anda
bersedia melanggar peraturan demi kami, sekali ini saja, dan
biarkan kami mengelilingi rumah ini sendiri." Wanita itu
melotot. "Aku tidak bilang begitu!" bentaknya. Kemudian
Caitlin menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya,
berusaha untuk fokus. Ia membuka matanya dan menatap
ke arah wanita itu. Setelah dua detik, sorot mata wanita itu
sedikit berubah. Akhirnya ia berkata, "Kau tahu .. Kupikir tak
masalah jika melanggar peraturan
sesekali. Bersenang-senanglah kalian berdua." Wanita itu
berputar dan berjalan meninggalkan mereka, lalu
menghilang dari pandangan. Caitlin menatap Caleb
kegirangan. Ia terkejut pada kekuatannya sendiri, dan
sangat bangga. Caleb tersenyum. "Jangan sembarangan
menggunakan kekuatanmu," kata Caleb. "dan hanya
dengan tujuan yang bukan untuk menyakiti manusia. Sifat
inilah yang membedakan ras vampir dengan iblis." Caitlin
mengeluarkan kunci kecil perak dengan penuh semangat. Ia
mencobanya pada pintu depan, tapi tidak berhasil. "Tidak
cocok," katanya. Caleb mengambil kunci itu dan
mencobanya. Lalu ia mengernyitkan alisnya kebingungan.
"Kau benar." Ia melihat sekeliling. "Mungkin ada pintu
masuk lain." Mereka berjalan ke belakang rumah dan
menemukan sebuah pintu. Caleb mencoba kunci itu, namun
tidak cocok juga. "Mungkin ini bukan untuk pintu," kata
Caitlin. "Mungkin ini kunci untuk sesuatu yang lain. Sesuatu
di dalam rumah."
"Yah, kupikir kita tak punya pilihan lain," katanya kemudian.141
Ia melihat sekeliling dengan waspada dan membobol
gagang pintunya. Ia terpaksa melakukannya. Mereka
masuk ke rumah dengan cepat dan menutup pintu. Rumah
itu remang-remang, hanya diterangi cahaya dari jendela
kecil. Langit-langit rumah itu rendah, dan Caleb hampir
mengenainya saat ia berjalan. Rumah itu seluruhnya terbuat
dari kayu: atap kayu, tonggak kayu, balok kayu dan
lembaran-lembaran lantai kayu. Di bagian tengah ruangan
ada sebuah perapian besar terbuat dari batu bata. Rumah
itu tampak nyaman, persis seperti suasana di tahun 1672.
Mereka berjalan berkeliling, dan lantai kayu berderit. Lalu
memeriksa setiap celah dan sudut. Mereka juga
menggerayangi seluruh perabotan. Namun Caitlin tak
menemukan apa pun yang cocok dengan kuncinya.
Ternyata, ia tak menemukan apapun yang tersembunyi
sama sekali. Mereka mengelilingi rumah dan bertemu di
bagian tengah. "Ada sesuatu?" tanya Caleb. Ia
menggelengkan kepalanya. "Bagaimana denganmu?" Caleb
juga menggelengkan kepalanya.
Kemudian terdengar sesuatu dan mereka berdua
membalikkan badan. Pintu depan rumah terbuka dan
seorang pria kulit hitam besar, mungkin berusia 50 tahunan,
berdiri di sana. Ia melangkah masuk. Ia berhenti di depan


Harian Vampir 02 Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Caleb dan menatapnya. Caleb balas memandangnya.
"Caleb?" tanya pria itu. Ekspresi wajah Caleb pun melebut.
"Roger?"sapa Caleb. Pria itu mengembangkan senyuman,
begitu juga Caleb. Mereka berdua saling berpelukan selama
beberapa detik. Siapa dia? pikir Caitlin. Roger mulai
tertawa ? sebuah tawa yang dalam, hangat dan ramah. Ia
memegang kedua bahu Caleb dan memandangnya. Caleb
sangat tinggi, tapi Roger lebih tinggi lagi. "Sialan," kata
Roger. "Aku tak melihatmu sejak ... mungkin 150 tahun?"
"Tepatnya 200 tahun," kata Caleb. Mereka bertukar
pandangan, terkejut. Siapapun dia, jelas bahwa ida adalah
sosok penting dalam kehidupan Caleb.142
Caleb berbalik dan meraih tangan Caitlin. "Maafkan
ketidaksopananku," katanya. "Roger, perkenalkan ini Caitlin
Paine." Roger sedikit membungkuk. "Senang berjumpa
denganmu, Caitlin." Caitlin tersenyum. "Senang bertemu
denganmu juga. Bagaimana kalian berdua bisa saling
mengenal?" "Oh,"kata Roger, tersenyum. "kami sudah lama
saling mengenal." "Roger adalah salah satu teman baikku,"
kata Caleb. "Dia pernah menyelamatkan nyawaku satu atau
dua kali." "Lebih sepertinya," kata Roger sambil tertawa.
Rose mengeluarkan kepalanya dari jaket Caitlin dan mata
Roger berbinar. "Halo teman kecil," katanya sambil meraih
dan mengusap kepalanya. Rose menjilat telapak
tangannya yang besar. "Bagaimana kau tahu kami ada di
sini?" tanya Caleb. "Ah,Caleb," kata Roger, seakan
jawabannya adalah sesuatu yang mudah. "Ini pulau kecil.
Baumu menyebar kemana-mana. Aku bisa menciumnya
dari jarak bermil-mil." "Jadi kau sudah tahu sejak aku turun
dari kapal," kata Caleb sambil
tersenyum. "Dan kau melihat akan ke mana aku pergi."
"Tentu saja," kata Roger. "Benar, kan? Tapi aku tak
menyangka kalau kau akan ke sini." Caleb melihat ke
sekeliling ruangan. "Mengapa?" "Hanya ada satu alasan
mengapa salah satu dari kita datang ke Vincent House.
Pedang itu, kan? Bukankah itu yang sedang kau cari?"
Caitlin dan Caleb saling berpandangan. "Mungkin," katanya
khawatir. Roger tersenyum. "Kau tahu kan sesuatu tentang
Pedang itu," katanya. "hanya orang yang tepat bisa
menemukannya. Yaitu, Yang Terpilih. Aku tahu kau bukan
Yang Terpilih. Dan sebagai temanmu, dengan segala
hormat .. yah, bukan maksudku berasumsi, tapi dia ?
" Caitlin menyelipkan tangan ke sakunya dan menunjukkan
sebuah kunci perak kecil. Roger memandangnya beberapa
lama tanpa berkata-kata. Mulutnya ternganga. "Ya Tuhan,"
bisiknya.143
Roger memandang ke arah Caleb, dan Caleb pun
menganggukkan kepala. Ia menghembuskan nafas. "Yah,"
katanya dengan nada yang berbeda. "itu memang
mengubah segalanya." Ia memandang Caitlin dan
menggelengkan kepalanya. "Aku tak pernah
menduganya,"katanya. "Jadi .. kau tahu di mana Pedang
itu?" tanya Caleb. Roger mengangguk. "Bukan di sini,"
katanya. Caitlin dan Caleb saling bertukar pandangan.
"Kunci itu," ujarnya. "memang dulunya pernah berguna.
Namun tidak lagi. Itu adalah sebuah petunjuk. Vincent
House bukanlah tempat di mana kau akan menemukannya.
Itu hanyalah tempat yang harus kau tuju." Caitlin tampak
bingung. "Tapi ?" katanya. "Vincent House telah
dipindahkan," kata Roger. "Tahukah kau tentang
sejarahnya?" Caitlin menggeleng.
"Caleb. Aku kecewa denganmu ? kau keliru," cela Roger.
"Vincent House dulu ada di tempat lain. Namun 200 tahun
yang lalu kami memindahkannya ke sini. Dewan khawatir
terhadap keamanannya. Jadi mereka memindahkan
barang-barang yang ada di rumah ini ke suatu tempat yang
lebih aman dan stabil. Lalu mereka menunjuk seseorang
untuk menjaganya. Yaitu, aku." Caleb memperhatikan
temannya. "Aku sudah menunggu seseorang datang
dengan kunci itu selama hampir 200 tahun," katanya. Ia
menggelengkan kepalanya. "Aku tak pernah
membayangkan kalau itu adalah kau." "Maukah kau
menunjukkannya pada kami?" tanya Caleb. Pria itu
memandang Caleb lama dan tajam, kemudian Caitlin.
Kemudian ia mengulurkan telapak tangannya yang besar ke
arah Caitlin. "Bisa kulihat itu?" tanyanya. Caitlin melihat ke
arah Caleb dan Caleb mengangguk. Caitlin menjulurkan
tangan dan meletakkan sebuah kunci perak kecil ke tangan
Roger.144
Roger memandangnya. Ia memegangnya ke arah cahaya. Ia
membaliknya dan membaca tulisan yang ada di
belakangnya. Ia menggelengkan kepalanya. "Ya ampun,"
katanya. "Aku kira ini lebih besar."
*****145
SEMBILAN BELAS
Samantha duduk di jok penumpang, memperhatikan dan
mengagumi bagaimana Sam mengemudikan mobil. Tidak
jelek untuk pria seusianya. Ia tertegun dengan bagaimana
dia menggerakkan persneleng dan ia memaklumi getaran
yang muncul saat Sam memindahkan gigi. Ia sebenarnya
cukup baik ketika ia hendak memindahkan gigi ketiga.
Samantha suka dengan gerakannya, khususnya ketika
spidometer mencapai angka 120. Sam punya semangat
yang bagus, dan Samantha mengakui itu. Ia bersandar,
bersantai dan menikmati perjalanan. Berkendara memang
lebih lambat dibanding terbang, tapi tak buruk untuk
perjalanan ala manusia. Ia teringat pria pemilik mobil ini,
seorang makelar real estat? sarapan paginya?dan
tersenyum. Darah pria itu masih mengalir pada nadinya,
dan terasa lezat. Ia kenyang. Ia sebenarnya tak perlu
menyuruh bocah itu mengemudi, tapi hari- harinya sebentar
lagi akan berakhir. Jadi mengapa tak membiarkannya
bersenang-senang sebelum mati? Beberapa jam lagi
Samantha akan bertemu dengan ayah bocah itu, dan
mencari tahu dimana Pedang itu berada. Sesudah itu, ia
akan membuang mereka berdua. Tapi sesuatu
mengganggu Samantha. Sesungguhnya ia mulai menyukai
bocah itu. Dan itu cukup mengganggunya lebih dari apapun.
Ia tak bisa mengingat kapan ia terakhir menyukai manusia
selama beratus tahun ini. Apalagi seorang remaja tolol
sepertinya. Namun ia harus mengakui, ada sesuatu dalam
diri bocah itu. Sesuatu yang sangat dikenalnya, sesuatu
yang tidak asing. Pada usianya yang muda, bocah itu sudah
sangat memikat hati. Ia nekat, tak peduli dengan dunia,
bahwa hidupnya biasa-biasa saja, dan gemar berpetualang.
Dan Samantha suka itu. Itu mengingatkannya pada suatu
kisah asmara antara dirinya dengan seorang pangeran
muda di Bulgaria, di tahun 1300 .. Mungkin ia tak perlu146
buru-buru membunuhya. Mungkin ia harus membiarkannya
hidup lebih lama. Membawanya pergi jalan-jalan. Bahkan
mungkin sebaiknya dia tetap hidup setelah Samantha
menemukan Pedang itu. Ia dapat menjadikannya budak.
Sesuatu untuk ia mainkan, melakukan apapun yang
diinginkannya. Mungkin .. Gadis itu menghentikan anganangannya, marah dengan dirinya sendiri. Sudah menjadi
berperasaankah dirinya? Ia harus fokus pada tugas berikut.
Ayah Sam. Mereka akan segera sampai di rumahnya dalam
beberapa jam. Jika Ayah Sam memang adalah ras vampir,
dia pasti akan berkelahi dengannya, karena dia pasti akan
mengetahui siapa Samantha dengan segera. Ia harus
waspada setiap saat. Ia akan melakukan apapun, bahkan
bertempur sampai mati. Vampir ini adalah petunjuk tentang
Pedang, kunci menuju kejayaan coven-nya. Ia akan pergi ke
surga atau neraka agar mereka mendapatkannya. * Sam
mengemudikan mobil dan membiarkan sistem navigasi mobil
membawanya ke alamat Ayahnya. Ia bingung. Ia
membayangkan ayahnya tinggal di sebuah kota kelas atas,
di jalan yang mulus dan sebuah tanah luas dan rumah
besar. Akan tetapi GPS memberitahukan bahwa mereka
telah dekat, hanya sekitar satu mil dari tujuan. Dan Sam
merasa ada sesuatu yang salah. Mereka mengemudi
melalui sebuah kota yang berantakan?bahkan tidak tampak
seperti kota. Namun hanya sebuah jalan desa yang kotor
dengan karavan yang tersebar di mana-mana.
Ketika GPS mengumumkan bahwa mereka sebentar lagi
sampai, Sam tak dapat memercayai matanya. Mereka
melewati sebuah papan yang bertuliskan : "Taman Karavan
Homestead." Di sinilah ayahnya tinggal. Di taman karavan.
Ia mengemudi perlahan di jalan yang berdebu, melewati
beberapa karavan lainnya, yang nampak lebih buruk satu
sama lain. Sam mulai merasa mual, semua yang dianganangankannya hancur berantakan. Ia merasa bodoh karena
bermimpi terlalu tinggi. Sungguh bodoh sekali dia. Semakin147
jauh ia mengemudi, semakin berjubelah semua karavan itu.
Dan ketika ia sampai di sebuah gang buntu, ia melihat
sebuah karavan berwarna biru muda berlapis vinyl, dan
menyadari bahwa ia telah menemukannya. Rumah mobil itu
bobrok. Pintunya sudah terlepas dari engselnya, tangganya
sudah rusak dan halamannya dipenuhi tanaman ganja
setinggi lutut. Rumah itu tersembunyi dari yang lainnya di
balik semak belukar. Sangat pribadi. Namun ini bukan
sesuatu yang Sam bayangkan. Sam merasa malu. Ia malu
telah membawa Samantha ke tempat ini, dan
mengenalkannya kepada Ayahnya. Ia berharap bisa segera
pergi, atau meringkuk dan mati. Sam memarkir mobil,
mematikan mesin dan mereka berdua duduk di dalamnya.
Mereka saling berpandangan. Sam memeriksa sistem
navigasi untuk kesekian kalinya untuk memastikan ini
alamat yang benar. Dan memang benar.
"Apa kita tidak keluar?" tanya Samantha.
Sam tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Manusia macam
apa yang bisa tinggal di tempat semacam ini? Ayah macam
apa yang ia punya? Ia hanya ingin menyalakan mesin,
menginjak gas dan pergi. Tapi ia tidak bisa. Sam menelan
ludahnya, membuka pintu dan keluar. Samantha
mengikutinya. Mereka berdua mendekati rumah itu. Mereka
mengambil dua langkah dan tangga kayu yang telah lapuk
pun melengkung. Ia mendorong pintu yang telah reyot.
Sam menarik nafas dalam-dalam, mengulurkan tangan dan
mengetuk pintu. Kemudian terdengar suara berdebam dan
sesuatu di dalam. Beberapa detik kemudian pintu terbuka.
Dan di sana berdirilah ayah Sam.
*****148
DUA PULUH
Roger membimbing mereka kembali menuju jalan masuk
berbatu bata, melintasi pelataran yang terawat, dan
melewati Rumah Daniel Fisher. Mereka keluar kembali ke
jalan, melakukan belokan cepat, dan kemudian, sebelum
mereka mengetahuinya, dia memimpin mereka ke tangga
depan dan masuk ke gereja raksasa bersejarah. Caleb dan
Caitlin saling memandang ingin tahu. Mereka baru saja
melewatinya. Pintu itu terkunci, namun Roger memiliki
kuncinya. Dia membukanya, dan menahannya tetap terbuka
untuk mereka. "Kami tidak memindahkannya jauh-jauh,"
ujarnya, dengan sebuah senyum dan kedipan mata.
Mereka masuk, dan dia menutup lalu mengunci pintu di
belakang mereka. Caitlin terkejut saat mereka memasuki
gereja itu. Gereja itu menakjubkan. Sangat terang dan
lapang, begitu cantik dalam kesederhanaannya, tidak
seperti gereja mana pun yang pernah ia masuki.
Tidak ada salib, tidak ada sosok religius, tidak ada ornamen,
tidak ada balok atau tiang-tiang?hanya sebuah ruangan
terbuka raksasa, berjajar jendela-jendela tua di segala arah.
Ada beberapa baris bangku gereja yang sederhana, cukup
untuk menampung ratusan orang. Itu adalah tempat yang
sangat damai. "Ini adalah ruangan beratap terbuka terbesar
di Amerika," kata Roger. "Tidak ada balok, tidak ada tiang.
Pembuat kapal ulung yang membangun tempat ini. Dan
tempat ini masih berdiri dengan baik hingga saat ini." "Jadi
inilah bagaimana kau melewatkan hari-harimu sekarang,
Roger?" Caleb bertanya, tersenyum. "Merawat sebuah
gereja tua?" Roger tersenyum. "Sulit sekali menjauhkan kau
dari masalah," ujarnya. Kemudian dia menghela napas,
napas lelah yang panjang. "Aku lelah, Caleb. Aku sudah
Badminton Freak Karya Stephanie Zen Instant Crush Karya Rangga Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini