Ceritasilat Novel Online

Cinta Dua Dunia 1

Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh Bagian 1


12 GAJAHMADA REBIRTH CINTA DUA DUNIA
Sebuah novel Fary SJ Oroh
Daftar Isi
Judul
Sebuah novel | Fary SJ Oroh
Mesin Waktu ~ Masa lalu ~ Tiga Cinta
Diterbitkan oleh Daun Ilalang Publishing
Wetan lor kuwu sang Gajahmada patih ring tiktawilwadhita
Sebuah kisah yang tak tercatat dalam sejarah
Beberapa tokoh dalam kisah ini benar-benar pernah ada
1 | Ke Masa Lalu
2 | Majapahit, 1319
3 | Gading Gajah Telah Patah
4 | Selamat datang di Tarik
5 | Sidoarjo Jawa Timur, Masa Kini
6 | Pengembara Jadi Mada
7 | Masa Kini, di Sebuah Van
8 | Angin Jahat Runtuhkan Keraton
9 | Setan Bumi dan Bidadari Kematian
10 | Kemurnian Tak Akan Pernah Padam
11 | Dia Akan Menunggu
12 | Semesta Bekerja Dengan Cara Misterius
13 | Rahasia di Gili Wanadri Wuluh
14 | Perempuan Tercantik di Majapahit
15 | Makan Malam di Hutan
16 | Cinta Tak Bisa Memilih
17 | Bibir yang Menyatu
18 | Sembilan Begal Bukit Tanus
19 | Kembali ke Kotaraja
20 | Menangis Tanpa Suara
21 | Unique/Antique
22 | Senopati Elang Biru
23 | Gemulai yang Sama
24 | Melangkah ke Depan
25 | Bulan Seperti Menangis
26 | Tinggal Dua Hari3
27 | Rencana Menyerbu Keraton
28 | Banjir Darah di Kotaraja
29 | Sampai Ajal Memisahkan
30 | Republic of East Java
30 | Linimasa yang Berbeda
31 | Persamaan Dalam Perbedaan
32 | Deja Vu
33 | Kembali ke Masa Lalu, Lagi
34 | Menyelamatkan Sandera
35 | Rakitan Rahasia
36 | Gempuran Angin Jahat
37 | Seratus Setan Menghancurkan Jasad
38 | Neraka Hitam Kelam
39 | Bunga Langit Luruh Berantakan
40 | Igauan Pembuka Rahasia
41 | Kenapa Kita Menjadi Seperti Ini?
42 | Hidup Dalam Dua Dunia
43 | Rakryan Patih Gajah Mada
44 | Tenaga Sakti Inti Salju
45 | Rembulan Dunia Sembilan Matahari
46 | Darah Melumuri Dunia Fana
47 | Yang Mulia Rani Kahuripan
48 | Barisan Kapal Perang
49 | Back to the Future
50 | Mataram Kingdom, Linimasa yang Lain
51 | Lautan Cinta Tak Bertepi
Tentang Penulis4
Mesin Waktu ~ Masa lalu ~ Tiga Cinta
Diterbitkan oleh Daun Ilalang Publishing Hak Cipta Dilindungi
Undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit www.daunilalangpublishing.com www.faryoroh.com kritik
dan saran: faryoroh@gmail.com
Wetan lor kuwu sang Gajahmada patih ring tiktawilwadhita mantri
wira wicaksaneng naya matenggwan satya bhaktya prabhu wagmi wak
apadu sarjjawopasama dhirotsahatan lalana rajadhyaksa rumaksa ri
sthiti narendran cakrawartting jagat. (Di timur laut rumah patih
Wilwatikta, bernama Gajahmada, Menteri wira, bijaksana, setia
bakti kepada Negara, Fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas,
cerdik lagi jujur, Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda
Negara.) [Nagarakrtagama XII (12) : 4]5
Sebuah kisah yang tak tercatat dalam sejarah
Ketika seorang pemuda dari era modern, Bagas, terdampar ke
Majapahit dan mengetahui kalau Gajah Mada itu berbeda dengan
yang dipaparkan buku sejarah. Bagas pun terpaksa mengarungi
petualangan yang mendebarkan, terjebak pada cinta dua dunia nan
menggetarkan, dan harus menjaga keberlangsungan sejarah demi
eksistensi sebuah negara bernama... Indonesia
Beberapa tokoh dalam kisah ini benar-benar pernah
ada Sejumlah peristiwa dalam cerita ini benar-benar pernah terjadi6
1 Ke Masa Lalu
"KAU yakin ingin melakukannya, Bagas?"
Suara bening itu terdengar senyap, seperti mega putih yang
melintasi waktu. Bagaskara Tirtawangsa menoleh. Dan tersenyum.
Dengan lembut jemari pemuda dengan sorot mata yang tajam
dengan garis wajah yang tegas itu membelai rambut sang gadis.
Gadis bersuara bening itu melengos tersipu dan menghindar.
"Aku akan baik-baik saja, Ciara. Kita telah mempersiapkan segala
sesuatu. Seharusnya tak ada masalah."
"Bagas benar, nduk. Kita sudah pernah mengirimkan ayam, bebek,
kucing dan anjing ke masa lalu. Kini saatnya kita mengirimkan
manusia. Ini akan menjadi tonggak sejarah. Dan Bagas berpotensi
menjadi manusia Indonesia pertama yang kembali ke masa lalu..."
Seorang laki-laki berusia 50-an dengan wajah yang ditutupi kumis
dan jambang berujar.
"Ayahmu, Profesor Dananjaya benar, Ciara. Ini akan menjadi tonggak
sejarah. Aku akan kembali ke masa lalu, mempelajari misteri
kehidupan di era yang telah berlalu. Ini akan menyenangkan..."
"Tapi... bagaimana jika terjadi kesalahan? Bagaimana jika kau tak
kembali?" Suara bening Ciara kembali terdengar. Suaranya
terdengar seperti bunyi lirih hujan yang malu-malu. "Tak akan ada
kesalahan, nduk," tukas Profesor Semmuel Dananjaya. "Bagas telah
mempersiapkan segala sesuatu. Dia kini fasih bicara bahasa Jawa
Kuno. Dia bisa beladiri. Kita juga telah memeriksa semua peralatan.
Semua beres. Semua akan baik-baik saja. Percayalah pada ayah..."
Ciara Dananjaya menarik nafas panjang. Matanya yang bening tak
bisa menyembunyikan kekhawatiran yang terpancar jelas. Dia
mendekatkan tubuhnya ke arah Bagas.
"Pejamkan matamu..."
"Hah? Kenapa?"
"Pejamkan matamu. Jangan banyak bertanya..."
Dengan alis berkerut Bagas memejamkan matanya. Aroma7
semerbak menghampar hidungnya. Aroma yang halus, yang selalu
mampu membuat jantungnya berdebar. Dia dapat merasakan kalau
tubuh Ciara berada dekat. Sangat dekat. Dan kemudian pemuda itu
merasa sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Hanya sesaat.
Hanya sepersekian detik.
Bagas membuka matanya. Di dekatnya, Ciara berdiri tersipu. Wajah
gadis itu memerah namun matanya bersinar.
"Kita akan eh, membicarakan ini, emh, setelah kau kembali," ujar
Ciara lirih. "Berjanjilah bahwa kau akan kembali..."
Bagas mengangguk dan tanpa sadar meraba bibirnya. Walau hanya
sekilas, dia tahu apa yang baru saja terjadi. Ciara, gadis bersuara
bening dengan mata seperti bintang itu baru saja menciumnya.
Hanya sepersekian detik memang, tapi ciuman tetaplah ciuman!
Bagas merasa dadanya bergelora. Ada perasaan aneh yang
menyelinap di sekujur tubuhnya. Gadis bersuara bening itu, yang
wajahnya lembut seperti mentari pagi, yang rambutnya memanjang
hingga ke punggung, baru saja menciumnya!! Dia telah berbulanbulan mengenal Ciara. Dan selama berbulan-bulan itu Ciara tak
pernah menyentuhnya. Mereka kerap bicara, tentu saja. Kerap
saling pandang. Namun hanya sebatas itu. Hingga kini. Perlahan
Bagas menggenggam jemari Ciara. Dia melirik ke arah profesor
yang sibuk (atau pura-pura sibuk) membenahi modulator
transghammanitator yang bakal digunakan sebentar lagi.
"Aku akan kembali. Kau tunggulah, dan kita akan bicara..."
Ciara mengangguk. Dan perlahan menarik jemarinya dari
genggaman Bagas. Wajah gadis itu masih tersipu bercampur rona
bahagia.
"Setelah tiba di masa lalu, kau punya waktu enam jam untuk
melakukan observasi,"
Profesor Dananjaya berujar sambil menggerakkan modulator.
"Setelah enam jam kau bisa kembali. Jika karena sesuatu dan lain
hal kau tak bisa kembali dalam waktu enam jam, modulator ini baru
bisa berfungsi setelah enam minggu."
Bagas mengangguk. Dia tahu hal itu.8
"Ingat Bagas, kau hanya melakukan observasi. Kau hanya
mengamati. Jika tidak mendesak, kau tak perlu berinteraksi dengan
manusia. Sebagaimana yang kita sepakati, kau akan kembali ke
jaman Majapahit, di masa awal pemerintahan Majapahit."
Kembali Bagas mengangguk. Dia juga tahu hal itu. Selang tiga bulan
terakhir dia telah mempelajari segala sesuatu yang terkait dengan
Majapahit. Budaya, kebiasaan, bahasa, kepercayaan, apapun.
"Kau akan kembali ke masa lalu, tepat di tempat ini. Hanya waktu
yang berubah, namun tempatnya sama. Pusat pemukiman Majapahit
berada di sebelah sana. Tempat ini, di masa lalu berupa hutan lebat.
Jadi kau perlu berjalan kaki jika ingin ke Tarik, di pusat pemukiman
dan kotaraja Majapahit."
Lagi, Bagas mengangguk. Mereka kini berada di semacam
perkebunan di Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa
Timur. Di dekat mereka ada mobil van berwarna hitam yang
dijadikan "laboratorium mobile" oleh Profesor Dananjaya. Di dalam
mobil ada peralatan canggih yang telah dimodifikasi. Profesor
Dananjaya mengangsurkan sebuah gelang berwarna keemasan ke
Bagas.
"Ini gelang modulator untukmu. Gelang ini berisi petunjuk waktu
digital. Juga akan berfungsi untuk membuka portal waktu jika
waktunya tiba."
Bagas memasang gelang itu di tangan kanan. Terdengar bunyi ?klik?
samar. Gelang itu terasa pas di lengan.
"Aku sudah mengatur agar gelang itu tak akan pernah terpisah dari
tanganmu, Bagas. Karena gelang itu menjadi kunci bagimu untuk
kembali ke masa kini."
Profesor Dananjaya mengambil sebuah benda kecil berwarna hitam.
Benda itu seukuran biji jagung.
"Ini alat komunikasi kita. Aku tidak tahu apakah akan berfungsi.
Ketika dipasang pada Weaver yang dikirim ke masa lalu, kita bisa
mendengar dia menggongong. Jadi seharusnya ini berfungsi. Kami9
bisa mendengar suaramu dan kau juga bisa mendengar kami."
Tanpa bicara, Bagas mengambil komunikator itu dan memasangnya
di telinga kanan.
"Kau tahu cara kerjanya bukan? Jika ingin mematikan, ketuk dua kali.
Untuk mengaktifkan, ketuk tiga kali."
"Iya aku tahu," kata Bagas.
Sampai sekarang, dia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya
pada Profesor itu. Lelaki tua itu memang jenius. Dan sangat
mementingkan detil. Profesor telah merencanakan semua yang
diperlukan untuk perjalanan ke masa lalu. Semua. Membuat mesin
waktu merupakan obsesi Profesor Dananjaya selama tiga puluh
tahun terakhir. Obsesi yang membuat Profesor Dananjaya dikucilkan
kalangan akademisi dan ilmuwan Indonesia. Profesor Dananjaya
dianggap tidak waras. Idenya membuat mesin waktu dianggap
sebagai lelucon. Ya. Menembus waktu diyakini hanya ada dalam
kisah fiksi. Hanya ada dalam angan sineas Hollywood. Di dunia
nyata, perjalanan menembus waktu itu mustahil, sekalipun dari sudut
teori fisika itu mungkin.
Namun Dananjaya tidak putus asa. Dengan tekun dia berusaha dan
berusaha. Dengan kondisi seadanya, dia merakit peralatan untuk
dijadikan mesin waktu. Di dunia ini, ketika semua orang
menertawakan ide Profesor Dananjaya, ada dua orang yang tidak.
Mereka adalah Bagas dan Ciara. Kedua anak muda ini tahu kalau
Profesor Dananjaya tidak gila. Kini, mereka akan memasuki tahapan
penting dalam penemuan mesin waktu. Mengirim manusia ke masa
lalu.
Dan Bagas mengajukan diri menjadi "kelinci percobaan".
"Kau siap? Sebaiknya kau pergi sekarang supaya bisa kembali
menjelang senja. Bagaimana?" Profesor Dananjaya bertanya.
Bagas dapat merasakan antusiasme yang besar dari suara lelaki itu.
Suara lelaki itu bergetar dipenuhi semangat.
"Aku siap," kata Bagas.
Dia kemudian membuka kemejanya. Sebagaimana yang dipelajari di
sejumlah literatur, di jaman Majapahit para lelaki biasa bertelanjang10
dada. Supaya tidak menarik perhatian, Bagas harus mengikuti pola
berbusana yang sama. Dia kemudian mengenakan kain batik
berwarna biru kemerahan sebagai sarung. Di balik kain sebatas lutut
itu dia mengenakan celana pendek. Sekilas dia melirik ke arah Ciara.
Gadis itu menatapnya. Pandangan mereka beradu.
Jemari Profesor Dananjaya menekan beberapa tombol pada
modulator transghammanitator di depannya.
"Bersiaplah. Portal energi akan terbuka dalam 3... 2... 1..."
Kumparan berwarna kebiruan muncul di depan Bagas. Kumparan
berwarna bulat setinggi manusia. Kumparan itu terlihat berputar.
Perlahan.
"Baik. Aku pergi."
Bagas menatap Profesor Dananjaya. Dan menatap Ciara. Gadis itu
mengangguk. Mencoba tersenyum. Bagas melangkah memasuki
portal energi itu.
BAGAS MERASA DIRINYA seperti disedot energi yang aneh. Dia
merasa seperti memasuki lorong energi yang tak berujung. Di
sekelilingnya terlihat seperti berlari. Awalnya perlahan, dan semakin
lama semakin cepat. Terdengar suara aneh tidak jelas pada
pemandangan yang berlari di sekelilingnya. Bagas merasa seperti
melihat film dalam gerak cepat. Bahkan sangat cepat. Terlalu cepat.
Bagas merasa pusing. Dia memejamkan matanya. Telinganya
mendengar beraneka suara. Bahkan, dia seperti mendengar suara
tembakan. Dan deru pesawat terbang. Apakah yang didengarnya itu
potongan adegan ketika perang kemerdekaan? Suara deru perang
menghilang berganti kesunyian. Tak sepenuhnya sunyi karena
Bagas bisa mendengar suara. Suara yang tidak terlalu jelas.
Kemudian sunyi yang panjang.
Bagas membuka matanya. Pemandangan di sekelilingnya masih
berlari. Berputar. Dalam pendar warna putih kehitaman. Dia kini


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar teriakan. Atau jeritan? Ada derap kuda dan denting
senjata, mungkin pedang. Pertempuran lagi? Pertempuran yang
menggunakan pedang? Dan kemudian sunyi. Lagi. Sunyi yang11
aneh. Sunyi yang menggigit. Bagas merasa seperti terlempar dalam
lautan masa yang membuat dirinya terombang-ambing. Dia
membuka matanya. Pemandangan di sekeliling tidak bergerak
secepat sebelumnya. Bahkan kini semakin perlahan. Semakin
perlahan. Dan akhirnya berhenti.
<>12
2 Majapahit, 1319
BAGAS menatap sekeliling. Pepohonan tinggi menjulang di depan
mata. Bunyi binatang hutan bernyanyi di kejauhan. Aroma hutan
yang basah terhirup, bercampur dengan nuansa dedaunan yang
wangi. Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir rasa pusing
yang seperti mengaduk-aduk gendang telinga.
"Kau... apa-apa... Gas?" Terdengar suara putus-putus di telinga
kanan.
"Aku baik-baik saja, prof. Tapi suaramu gak jelas..."
"... Maja...hit... Ada ... tahun... rusak..." kembali terdengar suara yang
makin samar.
"Suaramu tak jelas prof. Bisa diulangi?"
Bagas menyentuh telinga kanan, tempat komunikator super mini
terpasang. Yang terdengar kini hanya bunyi ?kresek-kresek? yang
tidak jelas. Ah, ada yang tidak beres dengan komunikator ini, pikir
Bagas. Dia kembali menatap sekeliling. Hutan. Sekilas, tak ada
yang luar biasa dari hutan ini. Hutannya lebat, namun semuanya
mirip dengan yang pernah dilihatnya. Pepohonan yang menjulang,
sulur yang membelit, semak belukar, semua sama seperti hutan
yang dikenal Bagas.
Dia melirik ke gelang berwarna kuning di lengan kanan. Dia menekan
titik berwarna merah. Angka digital berwarna merah terlihat. 1319.
Jadi dia kini ada di tahun 1319. Dia kini ada di masa lalu!!
Bagas merasa dadanya bergelegak. Ada perasaan aneh yang
membuat tubuhnya merinding. Dia kini resmi menjadi penjelajah
waktu. Menjadi manusia Indonesia pertama yang melintasi waktu.
Kembali ke masa lalu. Menyusuri masa silam!! Dia memerhatikan
gelangnya. Di sebelah angka 1319 ada barisan angka yang bergerak.
05.59.39. 05.59.38. 05.59.37. Ah, ini penghitung waktu mundur,
berisi informasi berapa waktu yang dibutuhkannya untuk bisa
kembali ke masanya. Dia kini punya waktu sekitar lima jam lima
puluh sembilan menit untuk mengamati kehidupan di Majapahit
tahun 1319.
"Aku tidak tahu apakah kalian mendengar profesor, Ciara, namun aku13
baik-baik saja. Angka pada gelang menunjukkan waktu 1319. Artinya
aku kini ada di tahun 1319 di jaman Majapahit," ujar Bagas. Lirih.
Rasanya aneh berbicara sendiri di tengah hutan lebat seperti ini.
Tiba-tiba dia merasa punggungnya sakit. Juga dadanya. Dan lengan
kiri. Ah, nyamuk. Tubuhnya yang terbuka tanpa pakaian rupanya
mengundang nyamuk.
"Breaking news, nyamuk di jaman Majapahit ternyata sangat ganas,"
kata Bagas, mencoba bercanda.
"Mungkin ini semacam pesta penyambutan untukku..."
Bagas berhenti bicara dan memasang telinga.
Tak ada respon pada komunikator.
"Aku akan mencoba keluar dari hutan ini dan memasuki Tarik. Aku
harap bisa mendengar suara kalian lagi," kata Bagas.
Wajah Ciara tiba-tiba terlintas di matanya. Wajah gadis cantik
dengan mata berbinar. Gadis yang memberikan salam perpisahan
berupa ciuman singkat yang membuat tubuhnya seperti melayang.
Bagas sekali lagi menatap sekeliling. Mencoba mencari petunjuk ke
mana dia harus melangkah. Namun hutan belantara ini membisu.
Tak ada petunjuk. Dengan susah payah Bagas memanjat sebuah
pohon. Entah pohon apa, namun cukup tinggi. Dan lebat. Keringat
membanjiri tubuhnya yang telanjang dan memerah oleh gigitan
nyamuk. Di puncak pohon, dia menatap sekeliling. Ratusan meter di
sebelah utara terlihat pemukiman yang cukup luas. Dada Bagas
berdebar. Apakah itu Majapahit? Pusat pemukiman sekaligus pusat
pemerintahan Kerajaan Majapahit?
Bagas mulai menuruni pohon yang dipanjat ketika matanya melihat
ada gerakan di sebelah timur, sekitar 30 meter dari tempatnya. Dia
memicingkan mata. Ya tak salah lagi. Ada gerakan. Tepatnya orang
berkelahi. Oh bukan. Bukan berkelahi melainkan bertempur!
Ada satu orang yang dikeroyok beberapa orang. Bagas mencoba
menghitung. Ada delapan orang yang mengepung. Yang mengepung
bersenjata tajam. Pedang dan keris. Juga tombak. Yang dikepung
juga bersenjata tajam. Tangan kanan memegang keris dan tangan14
kiri menggenggam pedang. Lelaki yang dikepung terdesak hebat
namun dia berhasil menghabisi dua lawan, sekalipun dia juga
terkena sabetan pedang. Laki-laki yang dikepung melarikan diri. Ke
arah Bagas!!
Di puncak pohon, Bagas berdiri terpaku. Nafasnya terasa sesak.
Dadanya berdebar. Dia termasuk lelaki yang menyukai pertarungan.
Dia tak pernah melewatkan partai tinju dunia yang disiarkan televisi.
Dia juga menyukai tayangan para petarung beladiri campuran di
televisi. Namun yang dilihatnya saat ini berbeda. Sangat berbeda.
Ada beberapa orang bertarung mati-matian dengan senjata tajam.
Luka dan darah yang mengalir itu nyata. Benar-benar nyata!! Lelaki
yang melarikan diri, yang tubuhnya penuh luka akhirnya bisa terkejar,
persis di bawah pohon tempat Bagas memanjat. Terjadi pertarungan
berat sebelah. Enam melawan satu.
Lelaki yang dikepung ternyata lumayan hebat. Dia berhasil
menghabisi dua lawan. Dan dua lawan. Dan akhirnya, pedang dan
kerisnya menghabisi dua lawan terakhir. Bersamaan dengan
tikaman yang dia lakukan, lelaki itu menerima sabetan di dada dan
tikaman di punggung. Dari puncak pohon, Bagas menatap ngeri.
Ada tujuh lelaki terbaring berlumuran darah di bawah. Pedang, keris
dan tombak terhampar di rerumputan. Juga berlumur darah. Bagas
memutuskan untuk menunggu sesaat, sebelum turun dari pohon.
Dia tak tahu apa yang terjadi. Namun bagaimanapun, dia tak mau
terlibat dalam kontak senjata yang melibatkan entah siapa. Dan dia
kemudian melihat ada gerakan. Lelaki yang dikejar-kejar itu bergerak.
Dia masih hidup!! Lelaki yang mampu menghabisi pengeroyoknya
ternyata masih hidup!! Bagas memutuskan untuk turun dari pohon.
Jika lelaki itu masih hidup, dia harus menolongnya. Tak mungkin
Bagas membiarkan ada orang sekarat tepat di depan matanya!!
<>15
3 Gading Gajah Telah Patah
LELAKI yang terbaring berlumuran darah itu bergerak perlahan ketika
Bagas menuruni pohon. Laki-laki itu bertubuh tegap dengan wajah
jantan. Matanya membayangkan rasa heran melihat Bagas turun
dari pohon, tepat di depannya. Lelaki itu mengeluh perlahan.
Namun keris dan pedang digenggam erat.
"Tenang, aku bukan musuh..." Bagas berbicara perlahan. Dia
menggunakan bahasa Jawa kuno. Wajah lelaki yang berlumuran
darah itu masih memperlihatkan rasa heran yang tidak
disembunyikan.
"Kau... siapa?" lelaki itu bertanya.
Sorot matanya tajam. Menusuk.
"Namaku Bagas. Aku, eh, bukan orang Majapahit. Aku, emh,
pengembara..."
Lelaki itu mengangguk.
"Aku tahu... kau... bukan orang Majapahit. Logat bicaramu... aneh.
Kau jelas orang... asing. Oh, namaku... Mada..."
Bagas mengerutkan keningnya. Mada? Dia seperti mengenal nama
itu. Siapa orang Majapahit yang bernama Mada? Bagas mendekat.
Dan terbelalak melihat Mada. Atau tepatnya luka di tubuhnya. Luka
memanjang terlihat di dada yang tidak ditutupi pakaian. Juga perut.
Dan paha kanan. Dan bahu kanan.
"Kau... terluka parah..." Mada mengangguk.
"Hidupku tak akan... lama. Lukaku terlalu parah untuk... untuk
disembuhkan. Ah. Maja pahit...." Mada tersengal.
"Maaf, ini mungkin bukan urusanku, tapi siapa mereka? Kenapa kau
bertarung dengan mereka?"
Mada tidak segera menjawab. Dia menatap Bagas lekat-lekat, seolah
ingin mengorek isi hati pemuda itu.
"Apakah aku... bisa... bisa mempercayaimu?"
"Seperti yang kubilang tadi, aku hanya pengembara. Bukan orang
Majapahit. Namun kau bisa percaya padaku..."
Mada mengangguk. Matanya menatap Bagas dari ujung rambut
hingga ujung kaki.16
"Aku tak tahu kenapa... kau ada di sini, namun mungkin itu... itu...
bagian dari rencana Sang Hyang Maha Pencipta. Ahhh...."
Mada terbatuk.
Bagas menatap ngeri. Perasaannya bercampur aduk. Lelaki yang
mengaku bernama Mada itu jelas sekarat. Namun Bagas tak bisa
berbuat apa-apa. Dia sama sekali tak punya pengetahuan
bagaimana mengobati luka. Apalagi luka separah ini.
"Aku anggota Bhayangkara," ujar Mada..
"Aku pemimpin... tim Gajah. Bulan purnama lalu kami... mendengar...
mendengar kabar adanya rencana untuk... ehhh... menggulingkan
Maharaja Majapahit. Aku dan timku... ditugaskan untuk
menyelidiki..." Mada menghentikan ucapannya dan menarik nafas.
Sementara Bagas menatap dengan perasaan ingin tahu yang tak
bisa disembunyikan. Mada. Bhayangkara. Kudeta. Bagas seperti
tahu plot ini.
"Tiga hari...lalu, kami, timku mendapat petunjuk...kuat. Kabar itu
memang... ahhh...benar. Ada yang mau... mmm... merebut
kekuasaan. Namun kami ketahuan... Anak buahku ter...jebak dan
dibunuh... Aku mencoba lari untuk... untuk... Tapi aku...."
Mada terbatuk lagi. Kali ini ada darah segar yang keluar dari
mulutnya. Mada tiba-tiba menatap Bagas. Sorot matanya aneh.
Bagas melihat ada semacam harapan terpancar dari mata Mada.
"Kau...... Aku tidak tahu... siapa... Tapi kita bertemu bukan...
kebetulan. Kau pasti dituntun oleh Dia Yang Maha... Pengatur...
Ahhh... Maukah kau... menolongku?"
Tanpa berpikir Bagas segera mengangguk. Menolak permintaan
seseorang yang sedang sekarat sama sekali tak pernah terlintas di
benak pemuda itu. Mata Mada terlihat semakin bersinar, terlihat
kontras dengan wajahnya yang kini memucat.
"Terima... kasih... Kau pergi ke arah... u... tara. Ada kios gerabah.
Katakan... Gading gajah telah patah. Gading gajah... telah patah..."
Bagas mengangguk.17
"Mereka akan... membawamu ke markas... Bha...yangkara. Temui
Tumenggung. Anarjaya. Katakan, Gerhana oleh Dharmaputera.
Malam ini. Samarra... berpaling.."
Bagas kembali mengangguk.
"Gading gajah telah patah. Temui Tumenggung Anarjaya, Gerhana
oleh Dharmaputera, malam ini. Samarra berpaling..."
Mada tersenyum. Wajahnya terlihat gembira. Senyum yang membuat
hati Bagas seperti diiris pisau. Mada mengangsurkan keris yang
digenggamnya ke arah Bagas. Keris itu indah, dengan warangka
(sarung) yang kelihatannya terbuat dari kayu licin yang berukir.
Perlahan, dengan jemari gemetar, dia mencopot cincin bermata
zamrud dari jari manisnya, dan memberikan kepada Bagas.
"Perlihatkan ini... kepada Tumenggung. Katakan, Mada melangkah...
menuju senjakala. Angin... bernyanyi, matahari bersedih..."
Bagas kembali mengangguk. Mada melangkah menuju senjakala.
Angin bernyanyi, matahari bersedih... Mada tersenyum. Senyumnya
terputus oleh batuk panjang. Mada tersengal.
"Katakan... pada...Dyah... Utta...ri... Aku mencintai...nyaaaaa...."
Nafas terakhir terhembus. Mada terkulai. Bagas tertegun. Dia
hendak bertanya siapa Dyah Uttari. Namun pertanyaannya tertelan
oleh rasa duka yang dalam. Dia baru bertemu lelaki ini. Namun
entah kenapa dia merasa kehilangan. Ada sesuatu pada lelaki ini
yang membuat Bagas merasa dekat. Entah apa...
<>18
4 Selamat datang di Tarik
BAGAS melirik ke gelang di lengannya. 05.07.11. Dia masih punya
cukup waktu untuk memenuhi janjinya pada Mada, lelaki yang baru
saja dikuburnya di tengah hutan. Sebuah kios gerabah nampak di
depan. Kios itu sederhana, semacam pondok dengan dinding dari
bambu beratap daun sirap. Pada halaman nampak beraneka jenis
gerabah yang dijemur. Juga ada beberapa patung singa berwajah
manusia dan beraneka patung burung. Seorang lelaki bertubuh
kurus yang bertelanjang dada menyambutnya.
"Ingin membeli apa? Silakan melihat-lihat."
Lelaki kurus itu berujar ramah. Nampak dua gigi atasnya telah
tanggal.
"Emh, aku diutus seorang teman," ujar Bagas hati-hati.
"Dia mengatakan, gading gajah telah patah..."
Lelaki kurus di depannya tertegun. Senyumnya hilang berganti wajah
yang serius. Dia memicingkan matanya menatap Bagas dan
kemudian mengangguk.
"Ikut aku..."
Lelaki itu bergegas memasuki pondok. Bagas mengikuti. Di dalam
pondok ada lima pengrajin gerabah yang sedang bekerja.
"Kita tutup. Gading gajah telah patah..." lelaki itu berujar.
Kelima rekannya nampak kaget. Tanpa bicara mereka menghentikan
kegiatannya. Mereka bergegas berjalan ke bagian belakang pondok.
Ada delapan kuda diikat pada istal di belakang pondok. Lelaki kurus
itu menunjuk ke kuda berwarna putih dengan belang hitam yang
diikat paling kanan.
"Kau pakai yang itu. Cepat. Waktu kita tidak banyak..."
Dengan sedikit canggung Bagas menaiki kuda putih itu. Diam-diam
dia gembira karena dulu mengikuti anjuran Profesor Dananjaya
untuk belajar menunggang kuda. Di masanya, di era modern,19
menunggang kuda sama sekali tidak dianjurkan, atau diajarkan.
Namun di masa lalu, menunggang kuda merupakan keahlian yang
harus dikuasai. Menunggang kuda di masa lalu mungkin sama
fungsinya dengan kemampuan mengendarai sepeda motor di era
modern. Ketujuh orang itu, enam pengrajin gerabah.
Bagas kini tidak yakin apakah mereka benar-benar pengrajin
gerabah, bersama Bagas berderap menuju Tarik. Bagas mencoba
meredakan debar di dada dan menganalisa.
Rupanya ada penyelidikan yang dilakukan Mada dan timnya di
Bhayangkara tentang rencana kudeta. Mereka ketahuan dan
terbunuh. Para pengrajin ini rupanya semacam penghubung dengan
Bhayangkara. Atau mungkin mereka juga anggota Bhayangkara?
Bagas mencoba mengingat-ingat apa yang dipelajarinya tentang
Majapahit. Bhayangkara. Seingat Bagas, Bhayangkara merupakan
institusi yang bertugas menjaga dan mengawal Raja Majapahit.
Semacam Paspampres di era modern. Dan Mada. Ah, tentu saja.
Kenapa dia sampai lupa? Mada. Tim Gajah.
GAJAH MADA!! Tapi tidak. Tidak mungkin, pikir Bagas. Jika lelaki
yang ditemuinya tadi di hutan merupakan Mada yang dalam sejarah
menyelamatkan raja Majapahit dari kudeta, kenapa dia tewas?
Bukankah seharusnya Mada yang anggota Bhayangkara kelak akan
menjadi Mahapatih Majapahit? Bagas merinding. Dia teringat pada
film tentang mesin waktu produk Hollywood yang ditontonnya. Pada
film-film itu dipaparkan bahwa perubahan kecil di masa lalu akibat


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

intervensi seseorang dari masa depan akan mengganggu bahkan
merusak, dan mengubah sejarah.
Apakah yang dilakukannya kini, kembali ke masa lalu tidak akan
mengubah sejarah? Tapi tidak, pikirnya. Tidak mungkin. Dia sama
sekali tidak melakukan apa-apa. Dia tak terlibat pada pertarungan
yang melibatkan Mada dengan para pengeroyoknya. Tanpa campur
tangannya, Mada tetap akan mati. Lalu bagaimana dengan yang
dilakukannya kini? Dia kini membawa berita dari Mada. Penyambung
lidah Mada. Apakah ada konsekuensinya di masa depan? Bagas
mendesah. Dia tak tahu. Yang pasti, mereka kini sedang mengarah
ke Tarik. Dia dapat merasakan hentakan dari tubuh kuda putih yang
berderap cepat. Angin bertiup di wajahnya seolah membisikkan20
ungkapan selamat datang. Selamat datang di Tarik!!
PUSAT PEMUKIMAN TARIK yang sekaligus menjadi pusat kerajaan
Majapahit ternyata dikitari semacam kanal yang cukup lebar,
mungkin belasan meter. Kanal yang lebar itu dilintasi jembatan yang
terbuat dari batu. Tepat di ujung jembatan nampak pos yang diisi
belasan orang bersenjata lengkap. Pos penjaga ini nampak
memeriksa para pengunjung ke Tarik. Namun mereka, para penjaga
itu hanya mengangguk ketika Bagas dan rombongannya lewat. Jelas
bahwa rekan seperjalanan Bagas dikenal dengan baik, dan rupanya
dipercaya oleh para penjaga.
Rumah-rumah di Tarik rata-rata terbuat dari kayu dengan dinding
bambu, atau papan, dan biasanya beratap daun sirap. Atau ijuk.
Setiap beberapa rumah dipisahkan oleh areal lapang. Bagas tak bisa
mengamati dengan seksama karena rekan seperjalanannya yang
dipimpin Lelaki Kurus itu melaju dengan cepat. Mereka mengarah ke
bagian belakang kompleks bangunan yang megah yang dikitari
tembok bata berwarna merah. Bagas menatap dengan penuh
perhatian. Apakah ini Keraton Majapahit? Tapi mereka rupanya tidak
mengarah ke keraton, melainkan ke gedung di sebelahnya, yang
terletak di sebelah barat. Gedung itu besar, terbuat dari bata merah
yang tidak diaci.
"Sebenarnya kita menuju ke mana?"
Bagas memberanikan diri bertanya. Lelaki Kurus menatapnya aneh,
seolah merasa heran dengan pertanyaannya.
"Kita kini memasuki Grahasarwa, markas Bhayangkara..."
<>21
5 Sidoarjo Jawa Timur, Masa Kini
CIARA melirik ke jam tangannya. Masih lima jam lagi sebelum Bagas
kembali. Lima jam yang akan terasa seperti lima hari. Atau lima tahun?
Gadis itu tak mengerti kenapa dia merasa tidak enak. Tidak nyaman.
Sejak awal, sejak beberapa bulan lalu dia sudah tahu kalau Bagas
akan menjadi manusia Indonesia pertama yang mencoba mesin
waktu. Untuk menjelajah ke masa lalu. Dia tahu, Bagas merupakan
satu-satunya orang, selain dirinya, yang percaya bahwa ayahnya
bisa membuat mesin waktu. Ciara juga tahu, bahwa sejak beberapa
bulan lalu, dia merasakan keanehan pada tatapan Bagas. Tatapan
Bagas menjadi penuh makna. Tatapan yang menyiratkan pesan
yang tak terkatakan.
Awalnya Ciara tak peduli dengan tatapan itu. Baginya, tatapan Bagas
itu sama seperti yang dilakukan banyak pemuda lain. Yang
menatapnya penuh gairah. Yang ingin mengajaknya menjalin
hubungan yang lebih akrab. Ciara tak peduli. Namun semuanya
berubah sejak beberapa hari terakhir. Perasaannya pada Bagas
berubah. Ciara tak sepenuhnya memahami kapan dan bagaimana.
Namun dia mulai suka memikirkan pemuda itu. Mulai
membayangkan wajahnya. Membayangkan senyumnya.
Membayangkan tatapannya. Dia merasa nyaman berada dekat
Bagas. Merasakan keteduhan yang terpancar dari tatapan pemuda
itu. Merasakan kehangatan yang menyelubungi sanubari.
Merasakan keindahan dalam kebersamaan. Perasaannya menjadi
tidak menentu begitu dia menyadari kalau tak lama lagi Bagas akan
mencoba mesin waktu. Bagas akan ke masa lalu. Entah kenapa,
Ciara merasa tidak enak. Ada rasa takut di dalam hatinya. Takut jika
Bagas tak akan kembali!! Tapi kenapa Bagas tak akan kembali? Dia
hanya akan pergi selama beberapa jam. Dan seperti yang dikatakan
ayahnya, seharusnya tak ada masalah.
Namun, hanya beberapa saat setelah Bagas pergi, terjadi masalah.
Komunikator Bagas rusak. Rupanya, dia tak bisa mendengar apa
yang dikatakan Ciara dan Profesor Dananjaya. "Mereka kini telah
memasuki Tarik, nduk." Ucapan Profesor Dananjaya menyadarkan
Ciara dari lamunannya. Gadis itu mengangguk. Sekalipun tidak
terlalu jelas, mereka bisa mengikuti petualangan Bagas, dengan
mendengar apa yang dibicarakan. Sama halnya dengan Bagas,22
Ciara dan ayahnya juga paham dan fasih berbahasa Jawa kuno.
Ciara dan profesor Dananjaya masih berada di mobil van di area
perkebunan tak jauh dari Tarik di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur.
Mereka memantau melalui komunikator. Mereka tahu kalau Bagas
bertemu dengan seseorang yang terluka parah di hutan. Seseorang
yang mengaku bernama Mada. Seseorang yang kemudian meminta
Bagas untuk menyampaikan informasi tentang rencana kudeta.
Mereka berdua tahu kalau Bagas memasuki kios penjual gerabah,
menunggang kuda dan akhirnya memasuki Tarik.
"Ada satu hal yang tidak kumengerti, ayah," kata Ciara.
"Soal Mada itu. Apakah dia yang kemudian disebut Gajah Mada?
Tapi, jika dia kemudian menjadi Gajah Mada, kenapa dia tewas di
hutan?"
Profesor Dananjaya mengangkat bahunya.
"Jika di Majapahit ada seseorang bernama Mada yang kemudian
menjadi Gajah Mada, dipastikan dia bukan sosok yang tewas di
hutan. Yang akan menjadi Gajah Mada pasti Mada yang lain,
seseorang yang belum ditemui Bagas."
"Tapi ayah," kata Ciara.
"Menurut sejarah, Mada yang kemudian dikenal sebagai Gajah
Mada itu awalnya merupakan bekel, pemimpin pasukan
Bhayangkara. Sementara Mada yang ditemui Bagas di hutan juga
anggota Bhayangkara bukan? Kebetulan yang sungguh aneh."
"Kau benar, nduk. Ada kebetulan yang aneh."
Profesor Dananjaya terdiam dan memasang telinga.
"Kelihatannya Bagas dan rombongan telah memasuki markas
Bhayangkara. Kita dengar apa yang akan terjadi..."
<>23
6 Pengembara Jadi Mada
DUA prajurit yang berjaga di Grahasarwa menyambut. Lelaki Kurus
menghampiri dan berbisik.
"Tumenggung Anarjaya. Penting. Gading gajah telah patah."
Kedua penjaga tertegun, sesuatu yang tak luput dari tatapan Bagas.
Rupanya kalimat gading gajah telah patah itu punya makna khusus.
Dan melihat bagaimana reaksi kedua prajurit, juga reaksi si Lelaki
Kurus dan rekannya di pondok gerabah, pasti makna kalimat itu
tidak bagus. Seorang lelaki berusia 50-an tahun dengan langkah
tegap menemui mereka. Lelaki itu bertubuh sedang dan memiliki
mata yang tajam seperti elang. Rahangnya kokoh dan ada parut
memanjang di pipi sebelah kanan.
Lelaki itu mengenakan pakaian tipis berwarna biru tua yang tidak
dikancing, dengan kain yang juga berwarna biru dengan corak merah
hitam di bagian bawah.
"Ada kabar apa, Kudra?" Lelaki bermata tajam itu bertanya kepada si
Lelaki Kurus yang disebutnya sebagai Kudra.
"Ada seseorang yang ingin bertemu, Tumenggung Anarjaya.
Seseorang yang diutus Mada."
"Gading gajah telah patah?" lelaki yang rupanya bernama Anarjaya
dengan pangkat Tumenggung ini mengulangi sambil menatap Bagas
Bagas mengangguk.
"Jika kau benar telah bertemu Mada, bukankah ada sesuatu yang
perlu kau katakan?"
Anarjaya bertanya sambil menatap Bagas lekat-lekat.
Bagas merasa dadanya berdesir. Tatapan lelaki itu begitu tajam,
seperti hendak menguak kebohongan yang mungkin tersembunyi.
Bagas mengangsurkan keris milik Mada, juga cincin bermata zamrud.
"Mada bilang, dia melangkah menuju senjakala. Angin bernyanyi,24
matahari bersedih..."
Anarjaya menatap Bagas, kemudian menatap keris milik Mada.
Perlahan dia mengelusnya. Lelaki itu kemudian menengadah dan
memejamkan mata.
"Beristirahatlah dengan tenang, saudaraku.." bisik Anarjaya.
Dia menarik nafas panjang berkali-kali
"Kau ikut aku," kata Anarjaya kepada Bagas.
Tanpa menunggu jawaban dia bergegas memasuki pintu sebelah
kanan. Kudra, lelaki kurus yang menemani Bagas sejak di kios
gerabah mengangguk mempersilakan. Bagas membuka pintu,
memasuki sebuah ruangan yang tertutup rapat. Ada dua lelaki yang
menemani Anarjaya. Kedua orang berusia 30-an hingga 40-an tahun
itu mengenakan kain dan sarung yang warnanya senada dengan
Anarjaya. Keduanya mengangguk ramah kepada Bagas.
"Siapa namamu? Perkenalkan, aku Anarjaya, pemimpin
Bhayangkara. Ini Senopati Mapanji Pamattu, pemimpin Dires Kaka
(Tim Gagak), dan itu Senopati Sorta, pemimpin Dires Pragalba (Tim
Macan). Senopati Mada, yang kau temui di hutan itu rekan kami. Dia
pemimpin Dires Gajah."
Bagas mengangguk hormat. Senopati. Seingat Bagas, pemimpin
sebuah tim di Bhayangkara sebagaimana diungkap buku sejarah
berpangkat Bekel. Tapi ternyata informasi di buku sejarah itu keliru.
Pemimpin tim di Bhayangkara berpangkat senopati. Pada struktur
keprajuritan di Majapahit, seingat Bagas, senopati itu pangkat yang
setingkat di atas bekel.
"Namaku Bagas. Aku, eh, pengembara yang datang dari jauh..."
dengan singkat Bagas menceritakan bagaimana perjumpaannya
dengan Mada. Bagaimana jalannya pertempuran dan bagaimana
hingga Mada memintanya menyampaikan informasi untuk
Bhayangkara. Tentu saja, Bagas menyimpan informasi bahwa dia
datang dari masa depan.
"Mada bilang, Gerhana oleh Dharmaputera, malam ini. Samarra
berpaling..."25
Anarjaya, Mapanji Pamattu dan Sorta saling pandang. Wajah mereka
menjadi sangat serius.
"Kau yakin Mada mengatakan itu? Dharmaputera juga Samarra?"
tanya Anarjaya. Suaranya terdengar sedikit bergetar.
"Aku yakin. Sangat yakin. Itu yang dikatakan Mada."
"Ah, Demi Sang Hyang Maha Agung..." Anarjaya mendesah.
"Maafkan aku, tapi apa yang sebenarnya terjadi? Mada mengatakan
sesuatu tentang upaya menggulingkan kekuasaan. Tapi aku sungguh
tidak mengerti..."
"Kita duduk dulu dan bicara," kata Anarjaya.
Ia kemudian bersila di lantai, diikuti Mapanji Pamattu dan Sorta.
Bagas mengikuti.
"Apa yang tidak kau mengerti?"
"Pertama soal gading yang patah...."
"Itu kalimat rahasia. Kalimat sandi. Maknanya ada hal penting yang
menyangkut kelangsungan Majapahit dan tahta kerajaan. Bahwa
Majapahit terancam bahaya besar. Sementara kalimat ?Mada
melangkah menuju senjakala. Angin bernyanyi, matahari bersedih?
itu bermakna kalau Mada telah berpulang. Telah kembali ke
pangkuan Dewata. Kalimat itu kami, aku dan Mada yang buat.
Kalimat itu juga menjadi pertanda bahwa siapapun yang
menyampaikan untaian kata-kata itu kepadaku, merupakan suruhan
Mada yang bisa dipercaya."
"Ohhh"
"Seperti yang telah diceritakan Mada, atau Senopati Mada kepadamu,
kami sedang menyelidiki kebenaran desas-desus adanya upaya
menggulingkan kekuasaan. Dires Gajah yang dipimpin Mada
ditugaskan menyelidiki. Kematian Mada akan sia-sia jika hasil
penyelidikannya tidak sampai kepada kami. Dan berkat saudara,
kami bisa tahu."
"Dan siapa yang akan melakukan kudeta?"
"Kalau menurut pesan Mada, yang akan melakukan kudeta adalah
Dharmaputera. Gerhana oleh Darmaputera itu bermakna bahwa
kudeta akan dilakukan oleh Dharmaputera."26
"Hmmm... Dan tentang Samarra yang berpaling?"
"Begini," lanjut Anarjaya. "Sebelum dilanjutkan, kami ingin bertanya.
Seberapa besar pengetahuan saudara tentang Majapahit? Karena
dari logat dan gaya bicara, saudara pasti bukan warga Majapahit..."
Bagas mengangguk. Tidak percuma orang ini menjadi pimpinan
Bhayangkara. Hanya dalam beberapa kalimat dia sudah tahu kalau
Bagas bukan warga Majapahit. Ah, kalau saja dia tahu dari mana
Bagas berasal...
"Aku memang bukan warga Majapahit. Aku hanya ingin, eh,
bertualang, melihat dari dekat kejayaan Majapahit..."
"Dan saudara bertualang tanpa perbekalan, juga pakaian?" sambung
Anarjaya.
"Iya, itu memang disengaja. Saya ingin merasakan bagaimana
kehidupan di Majapahit. Lagipula, saya yakin, bukan hal yang sukar
bagi saya untuk mendapatkan pakaian atau makanan di Majapahit..."
Anarjaya menatap Bagas dengan tajam. Dan akhirnya mengangguk.
"Begini, di Majapahit, kami memiliki tiga pasukan utama yang
bertugas menjaga keamanan. Tiga pasukan ini disebut Danur
Malagha, Payodha Praharana dan Kundha Samarra."
Bagas mencubit dagunya.
"Hmmm... Kalau begitu, pernyataan Senopati Mada bahwa Samarra
berpaling itu..."
"Artinya pasukan Kundha Samarra berpihak ke pemberontak.
Dengan kata lain, ada satu pasukan di Majapahit yang bekerjasama
dengan pemberontak dan berkhianat..."
"Tapi Tumenggung, jika ada satu pasukan yang berkhianat,
bukankah masih ada dua pasukan yang setia pada Raja? Artinya
dari segi jumlah, yang memihak kerajaan masih lebih banyak
bukan?"
Anarjaya menggeleng. "Mereka yang disebut Dharmaputera itu
bukan orang bodoh. Mereka pasti tak akan berani melakukan
pemberontakan jika tidak merasa kekuatannya cukup. Jadi, bisa saja
selain pasukan Kundha Samarra, ada pihak lain yang membantu..."
"Masih ada satu hal yang tidak kumengerti," potong Bagas.27
"Soal Bhayangkara. Sepanjang yang aku dengar ketika mengembara,
Bhayangkara itu merupakan pasukan pengawal raja bukan? Tapi
kelihatannya yang dilakukan Mada, eh maksudku Senopati Mada dan
timnya itu seperti regu telik sandi..."
"Telik sandi merupakan bagian dari pekerjaan Bhayangkara," jelas
Sorta. "Sejak awal pemerintahan Baginda Jayanagara,
pemberontakan besar telah terjadi. Ronggolawe, Lembu Sora,
Nambi, misalnya. Karena itu dibentuklah Bhayangkara, yang tugas
utamanya sebagai pasukan kawal raja, sekaligus telik sandi, mencari
informasi dan kemudian meniadakan berbagai upaya yang
membahayakan nyawa Baginda. Termasuk mengendus
kemungkinan terjadinya pemberontakan."
"Dan sekarang, menurut Mada, pemberontakan sedang disiapkan
oleh Dharmaputera..." kata Bagas.
"Betul. Kami telah mencium adanya kecurigaaan sejak beberapa
bulan lalu," jelas Mapanji Pamattu.
"Namun kami belum mendapatkan kepastian, siapa yang akan


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberontak, kapan mereka bergerak, dan siapa saja
pendukungnya."
"Dan jika benar Dharmaputra berencana melakukan pemberontakan,
akan sulit menjelaskan ke Baginda Jayanagara. Dharmaputra
merupakan kelompok elit yang dibentuk Raden Wijaya, ayahanda
Baginda Jayanagara. Sejak kecil, hingga sekarang, Baginda
Maharaja sangat mengagumi dan menghormati mereka..."
"Tumenggung benar," kata Sorta.
"Apalagi sosok kunci yang mengetahui bukti keterlibatan
Dharmaputra, yakni Mada telah tewas. Baginda Maharaja pasti tak
akan percaya jika kita menceritakan kalau kabar soal
pemberontakan ini datang dari seorang pengembara yang asalusulnya tidak jelas..."
Mereka terdiam. Suasana sunyi seketika. Apa yang diungkap Sorta
itu benar. Pemberontakan merupakan perkara besar dan serius.
Apalagi melibatkan kelompok yang sangat dihormati dan dikagumi
Raja Majapahit. Dan satu-satunya sumber soal pemberontakan
adalah Bagas. Seorang pengembara yang kebetulan bertemu28
dengan Mada, saksi utama keterlibatan Dharmaputra yang kini telah
tewas dan dikuburkan di hutan.
"Kecuali..." Kata Mapanji Pamattu sambil menatap Bagas. Lama. Dia
kemudian menatap Tumenggung Anarjaya, dan menatap Bagas lagi.
"Kecuali apa, Mapanji Pamattu?"
"Kecuali jika kita bisa menghadirkan Senopati Mada guna
menghadap Baginda Maharaja dan membeberkan ketelibatan para
Dharmaputra pada rencana pemberontakan."
"Tapi Senopati Mada telah tewas," sergah Sorta.
"Baginda tak tahu soal itu," kata Mapanji Pamattu.
"Bahkan kenyataannya, yang tahu soal kematian Senopati Mada
hanya kita bertiga, atau tepatnya kita berempat bukan? Bahkan
anggota kita yang menyamar sebagai penjual gerabah tidak
sepenuhnya tahu."
Tumenggung Anarjaya mengelus jenggotnya. Alisnya berkerut.
"Aku mengerti apa yang kau usulkan, Mapanji Pamattu. Ini rencana
yang berani dan sangat berbahaya. Namun mungkin itu satusatunya jalan..."
"Maaf aku tidak mengerti," Bagas bertanya bingung.
"Mada telah tewas. Bagaimana menghadirkan dia guna menghadap
Baginda Maharaja?"
"Mmm aku mengerti. Kita menghadirkan orang lain dan kepada
Baginda Maharaja kita katakan kalau dia Mada. Dan Mada ini yang
akan menjelaskan tentang pemberontakan," kata Sorta.
"Dan yang akan mengaku sebagai Mada adalah engkau, saudara
Bagas..."
Bagas terpaku. Dia menatap Sorta, Mapanji Pamattu dan
Tumenggung Anarjaya berganti-ganti.
"Ini tidak mungkin. Baginda Maharaja mengenal Mada bukan?
Bagaimana dengan pasukan pengawal? Pasti akan ada yang
mengenali kalau aku bukan Mada. Dan jika ketahuan..."29
"Baginda tidak tahu. Selama ini, untuk urusan pengawalan, Baginda
hanya ingin berhubungan dengan aku, sebagai Kepala
Bhayangkara," kata Anarjaya.
"Mada memang dua atau tiga kali melakukan pengawalan, namun itu
dilakukan dari jauh."
"Tumenggung benar," kata Mapanji Pamattu.
"Yang tahu dan mengenal Mada hanya anggota Tim Gajah, yang
semuanya kini sudah tewas. Anggota tim yang lain tidak begitu
mengenalnya. Apalagi prajurit istana. Sebagai anggota Bhayangkara,
Mada, begitu juga kami, sengaja tidak tampil di depan umum.
Selama ini hanya Tumenggung Lembu yang biasa tampil jika ada
acara di keraton..."
"Selain kami bertiga, yang mengenal Mada adalah Mahisa Kedora,
kepala Dires Sardula (Tim Singa) yang kini sedang bertugas di
keraton. Mahisa Kedora itu bisa dipercaya, dan dia pasti mau
membantu..."
Bagas merasa sekujur tubuhnya meremang. Dia memejamkan mata.
Dia akan menjadi Mada, atau setidaknya mengaku sebagai Mada.
Sementara Mada yang asli telah meninggal!! Dia teringat dengan
yang dibacanya tentang Mada. Menurut sejarah, Mada akan
menyelamatkan Baginda Jayanagara, menjadi patih dan kemudian
mahapatih yang akan mempersatukan Nusantara. Apakah Mada itu,
Gajah Mada yang itu, adalah dirinya? Bagas merinding.
"Bagaimana saudara Bagas?"
"Bagaimana jika aku menolak?"
Tumenggung Anarjaya menarik nafas panjang.
"Tentu merupakan hak saudara Bagas untuk menolak. Jika saudara
menolak, kami akan tetap menghadap Baginda, berharap beliau
akan percaya. Kemungkinan kami akan dihukum mati karena
dianggap memfitnah. Upaya pemberontakan Dharmaputra akan
berhasil. Dan Mada akan mati sia-sia..."
Bagas masih memejamkan mata. Apa yang seharusnya dia lakukan?30
Dalam beberapa jam ke depan dia harus kembali ke masanya. Ke
jaman modern. Tapi jika dia pergi, sejarah akan kehilangan seorang
Mada. Ada Mada yang telah tewas di hutan. Tak akan ada Mada lagi.
Kecuali, jika dia mengaku sebagai Mada di hadapan raja Majapahit!!
Bagas mendesah. Dan membuka matanya. Menatap Tumenggung
Anarjaya, Mapanji Pamattu dan Sorta. Wajah mereka terlihat tegang.
Ada harapan bercampur kekuatiran di mata mereka. Ingatan Bagas
melayang ke sosok Mada yang ditemuinya di hutan. Lelaki perkasa
yang tubuhnya terkoyak oleh luka mematikan. Membayangkan
wajah dan senyumnya. Apakah dia akan membiarkan Mada mati siasia? Bagas mendesah. Lagi. Dan akhirnya mengangguk.
"Baik. Aku akan berpura-pura menjadi Mada. Namun pengetahuanku
tentang keraton sangat minim. Mohon saudara bertiga mau
mengajarkan tata krama keraton kepadaku..."
<>31
7 Masa Kini, di Sebuah Van
CIARA dan Profesor Dananjaya terpaku. Komunikator masih melekat
di telinga. Dan mereka baru saja mendengar kabar yang
mengejutkan. Sangat mengejutkan. "Jadi begitu rupanya," ujar
Profesor Dananjaya. "Mada telah tewas, dan ada satu orang yang
mengaku sebagai Mada..." "Dan orang itu Bagas..." Ciara
meneruskan ucapan ayahnya. Matanya menerawang. "Dan dia akan
menjadi Gajah Mada. Artinya dia tak akan kembali beberapa jam
lagi..." Profesor Dananjaya mengangguk. Matanya memancarkan
rasa iba yang sangat besar.
Sudah sejak lama dia tahu kalau Bagas, pemuda yang kemudian
menjadi semacam asistennya, menaruh hati pada putrinya. Dan baru
akhir-akhir ini dia mendapat kepastian kalau putri tunggalnya juga
menyukai Bagas. Dia senang, tentu saja. Bagas pemuda yang
sangat baik. Sopan, cerdas dan sangat berkomitmen. Dia akan
senang jika Bagas menjadi menantunya. Namun kini semuanya
menjadi rumit. Bagas yang menjalani percobaan menggunakan
mesin waktu, berpotensi akan menetap di Majapahit. Karena dia
ditakdirkan menjadi Mada, sosok yang kemudian akan menjadi
Gajah Mada!!
"Kira-kira apa yang akan terjadi jika Bagas menolak menjadi Mada?
Apakah sejarah akan berubah?" tanya Ciara. Suaranya lirih.
"Sejarah tentu akan berubah, nduk. Dan perubahannya sangat besar.
Jika Bagas tidak mengaku sebagai Mada, pemberontakan
Dharmaputera atau Kuti dan kelompoknya akan berhasil.
Jayanagara mungkin akan tewas. Kuti akan menjadi Raja Majapahit.
Artinya, sejarah tidak akan mengenal Hayam Wuruk. Kerajaan
Majapahit akan menjadi berbeda. Sumpah Palapa tak akan terjadi..."
Profesor Dananjaya menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu persis apa yang akan terjadi, namun perubahan itu
terlalu besar. Bukan tidak mungkin itu akan berpengaruh ke
Indonesia di masa kini..."
Ciara terdiam. Dia mengenal Bagas. Terlalu mengenalnya. Dan dia
tak merasa heran dengan keputusan Bagas untuk melakoni peran32
sebagai Mada. Pemuda itu terlalu baik dan terlalu tulus untuk
menolak. Namun jika Bagas menjadi Mada, menjadi Gajah Mada,
bagaimana dengan dirinya? Bagaimana dengan masa depan
mereka berdua? Bagaimana dengan perasaan mesra di antara
mereka?
"Jika Bagas akan menjadi Mada, atau Gajah Mada, itu menjelaskan
banyak hal," kata profesor Dananjaya.
"Menjelaskan apa?"
"Selama ini, informasi seputar siapa Gajah Mada sangat kurang
bukan? Kau ingat bagaimana susahnya kita ketika bermaksud
mempelajari Majapahit? Kita tak menemukan sumber valid yang
memaparkan asal-usul Gajah Mada. Asal usul Gajah Mada sangat
kabur. Yang ada hanya desas- desus, itupun tidak jelas. Dan kini kita
tahu kenapa asal-usul Gajah Mada tidak pernah terungkap..."
"Karena Gajah Mada berasal dari masa depan," ucap Ciara lirih.
"Tepat sekali. Gajah Mada yang dikenal sejarah ternyata berasal dari
masa depan!!" Ciara terdiam. Para guru sejarah di Indonesia akan
kebingungan menjelaskan kepada para murid tentang fakta ini.
Gajah Mada berasal dari masa depan dan mendatangi Majapahit
menggunakan mesin waktu!!
Gadis itu membayangkan sosok Bagas. Membayangkan senyumnya.
Dia teringat dengan kecupan kilat yang dilakukannya beberapa jam
lalu. Sampai sekarang tubuhnya masih meremang membayangkan
kecupan itu. Kecupan singkat, kecupan sekilas namun membekas
sangat dalam di hati dan sanubarinya. Dia juga teringat dengan
genggaman jemari Bagas. Genggaman yang seakan mengalirkan
listrik yang membuat tubuhnya merinding. Ah. Kalau saja dia tahu,
dia akan membiarkan Bagas menggenggamnya lebih lama.
"Jadi, apakah dia akan kembali?" Ciara bertanya. Lirih.
Profesor Dananjaya tidak menjawab.
<>33
8 Angin Jahat Runtuhkan Keraton
PARA pimpinan Bhayangkara, pasukan kawal raja memasuki lorong
rahasia yang menghubungkan Grahasarwa dengan keraton.
Anarjaya, pemimpin utama Bhayangkara berjalan di depan. Mapanji
Pamattu, pemimpin Tim Gagak, dan Sorta, pemimpin tim Macan
mengikuti. Bagas, yang kini didapuk sebagai Mada, pemimpin Tim
Gajah berjalan paling belakang. Bagas kini mengenakan pakaian
berwarna biru tua tipis yang tidak dikancing dengan kain yang juga
berwarna biru dengan corak merah hitam yang menutupi pinggang
hingga paha. Pakaian berwarna biru tua dengan kain berwarna biru
bercorak merah hitam merupakan busana kebesaran Bhayangkara.
Hanya para pimpinan Bhayangkara yang boleh memakainya.
Bagas berdebar. Dia menatap dinding lorong yang terbuat dari bata
merah dengan gundah. Nasib telah memaksa dia untuk melakoni
peran paling penting dalam hidupnya. Bahkan, mungkin, peran
paling penting dalam sejarah Nusantara. Dia harus menjadi Mada.
Setidaknya, di depan Raja Majapahit, Jayanagara.
Beberapa saat sebelumnya, Bagas mendapat paparan singkat dari
Anarjaya seputar unggah ungguh atau tatakrama di keraton,
terutama jika menghadap raja. Bahwa begitu memasuki ruangan
tempat peraduan sang Raja, mereka harus menghormat,
menyembah dengan berlutut. Anarjaya akan maju dan bicara.
Selama itu, Bagas harus tetap menunduk, tak boleh menengadah.
Jika dipanggil, Bagas harus maju dengan laku dodok, berjalan sambil
berjongkok, dan kemudian menyembah. Jika hendak bicara, harus
mengawali dengan kalimat ?Baginda yang menjadi sesembahan
kawula seluruh negeri? atau ?Mohon beribu ampun Baginda?, atau
yang semacam itu. Jika bicara, harus menyebut diri sendiri dengan
?hamba?. Dan apapun yang terjadi, tak boleh menatap wajah sang
Baginda, kecuali diperintahkan.
Bagas juga mendapat pengarahan khusus seputar logat dan cara
bicara. Tutur dan gaya bicara Bagas dilatih agar terdengar seperti
orang Majapahit. Walau dengan sedikit susah payah, Bagas
akhirnya bisa bertutur layaknya warga Majapahit. Lorong berakhir.
Buntu. Ada dua patung arca di ujung lorong. Patung berbentuk34
Batara Kala yang mengerikan. Tanpa bicara, Anarjaya mendekati
patung di sebelah kanan. Dia mengangguk ke arah Mapanji Pamattu
yang mendekati patung sebelah kiri. Keduanya masing-masing
memegang kepala patung.
"Dengan aba-abaku. Tiga, dua, satu..."
Serempak Anarjaya dan Mapanji Pamattu memutar kepala patung.
Anarjaya memutar ke arah kanan, Mapanji Pamattu ke kiri.
Terdengar bunyi berderit. Dan sebuah pintu terbuka. Pintu itu kecil
namun cukup untuk dilewati. Mereka kini tiba di lorong yang lain.
Lorong itu gelap, dengan penerangan samar entah dari mana.
Sebuah patung, juga berada di lorong itu. Anarjaya menggerakkan
tangan kanan patung, dan pintu yang mereka lewati tertutup.
Tanpa sadar Bagas bersiul kagum. Ini sungguh luar biasa. Mereka
baru saja melalui lorong rahasia, yang dilengkapi pintu yang juga
rahasia, karena hanya bisa dibuka dengan cara khusus. Dia sama
sekali tidak menyangka akan menemui hal seperti ini di Majapahit.
"Ini lorong rahasia yang hanya bisa dilewati jika ada peristiwa dan
kejadian penting. Hanya para kepala regu dan pemimpin
Bhayangkara yang tahu lorong ini, dan bagaimana membuka dan
menutupnya," bisik Sorta.
Bagas mengangguk. Dadanya bergemuruh. Ada rasa bangga di
hatinya. Ketiga orang ini rupanya begitu mempercayainya. Bahkan
sudah menganggapnya sebagai bagian dari kelompok, bagian dari
pimpinan Bhayangkara. Dia kini diijinkan mengetahui rahasia yang
hanya diketahui oleh segelintir orang! Seperti sebelumnya, lorong
yang mereka lalui buntu. Ada tembok bata merah di depan. Kali ini
tak ada patung. Anarjaya berlutut. Tangan kanan menyentuh sebuah
bata.
Bagas menghitung, yang dipegang adalah bata kelima dari bawah
yang letaknya di sebelah kanan. Mapanji Pamattu juga berlutut dan
menyentuh bata kelima dari bawah di sebelah kiri. Anarjaya
mengangguk dan serempak keduanya menekan baru bata yang
disentuh.
Terdengar desisan ringan dan pintu di depan terbuka. Dengan cepat35
mereka melewati pintu itu. Mereka tiba di sebuah ruangan yang sepi.
Di kejauhan samar terdengar orang bicara.
"Di mana kita?" Bisik Bagas.
"Kita kini telah berada di keraton, dekat dapur kerajaan."
Mereka terus berjalan ke sebelah kanan, dan tiba-tiba Anarjaya
menyibak dan memasuki tirai berwarna merah. Mereka tiba di
ruangan yang lain. Dan untuk pertama kali, Bagas melihat ada
manusia. Penjaga. Atau prajurit. Anarjaya, diikuti Mapanji Pamattu,
Sorta dan Bagas terus berjalan. Anarjaya tak bereaksi ketika
sejumlah prajurit melakukan hormat. Anarjaya berbelok ke sebelah
kiri. Penjaga semakin banyak. Seorang lelaki dengan kumis tipis
yang bersenjata lengkap yang mengenakan pakaian kebesaran khas
pimpinan Bhayangkara berwarna biru tua tipis yang tidak dikancing
bergegas menyambut.
"Ada perintah Tumenggung?
Siapa dia?"
"Mahisa Kedora, kita perlu bicara," bisik Anarjaya.
Dengan singkat, sambil berbisik Tumenggung Anarjaya
memaparkan tentang rencana pemberontakan, tewasnya Mada dan
bagaimana mereka harus menghadap Raja Jayanagara. Anarjaya


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga menyebut soal Bagas yang harus berpura- pura menjadi Mada.
Mahisa Kedora memperhatikan dengan serius, sambil sesekali dia
menatap ke arah Bagas. Wajahnya perlahan berubah memucat,
namun sikapnya tetap tenang.
"Ahh, demi Gusti Dewa Batara, ah Mada... Beristirahatlah dengan
tenang, saudaraku..."
Mahisa Kedora mengerjapkan matanya berkali-kali.
Bagas sempat melihat kalau sepasang mata itu berkaca. Bagas
merinding. Jelas kalau di antara para pemimpin Bhayangkara ini
terjalin hubungan persahabatan, bahkan persaudaraan yang sangat
erat. Bagas dapat merasakan kesedihan dan kehilangan yang
sangat menusuk.36
"Kuatkan dirimu, Mahisa, kita punya tugas yang lebih penting..."
Mahisa Kedora mengangguk dan menatap Mada.
"Rencana ini, eh, sangat berbahaya. Tapi itu satu-satunya jalan.
Terima kasih karena saudara berkenan menerima tugas ini..."
Bagas mengangguk ramah.
"Di mana Baginda sekarang?"
"Baginda kini berada di balairung utama, Tumenggung, sedang
melakukan pertemuan dengan Bhatara Sapta Prabu," jawab Mahisa
Kedora.
Tumenggung Anarjaya mengangguk dan segera melangkah menuju
balairung istana. Sebagai Kepala Bhayangkara dan bergelar
Tumenggung, Anarjaya merupakan salah satu dari sangat sedikit
orang yang bisa mendatangi baginda, sekalipun tidak dipanggil.
"Maaf," bisik Bagas ketika mereka sedang berjalan menuju balairung.
"Bhatara Sapta Prabu, siapa dia?"
"Bhatara Sapta Prabu merupakan istilah untuk menyebut sembilan
orang yang diangkat Baginda menjadi penasehat. Mereka rata-rata
merupakan keluarga dekat baginda yang berasal dari Swarnadwipa,"
jawab Mahisa Kedora, juga sambil berbisik.
Bagas mengangguk. Dia tahu kalau ibunda sang baginda, yakni Dara
Petak atau juga disebut Indreswari berasal dari Swarnadwipa, atau
Sumatera menurut lidah orang Indonesia modern, dan dibawa ke
Majapahit oleh Kebo Anabrang. Bahwa kemudian Prabu Jayanagara
menjadikan kerabatnya dari Swarnadwipa menjadi penasehat, itu
merupakan hal yang baru baginya. Setidaknya hal itu tidak tercatat
dalam sejarah.
Seorang lelaki muda muncul dari balairung. Dia mengenakan pakaian
mewah. Dia tersenyum ramah, namun wajahnya terlihat kusut.
"Salam, tuanku Anarjaya dan teman-teman Bhayangkara. Ada angin
apakah sehingga tuan-tuan muncul ke keraton? Apakah angin jahat?"
Lelaki muda itu berujar sambil menghormat.
Anarjaya, diikuti Mapanji Pamattu, Sorta, Mahisa Kedora dan Bagas
balas menghormat.37
"Angin jahat, adinda Adittyawarman. Ada angin jahat yang ingin
meruntuhkan keraton. Bisakah kami menghadap Baginda?"
Lelaki muda yang disapa Adittyawarman ini menggelengkan kepala.
"Duhai, kenapa tuanku Anarjaya terlalu banyak peradatan? Sebagai
Bhayangkara, tuanku bisa datang kapan saja, dan tak perlu meminta
ijin siapa-siapa, termasuk kami para Bhatara Sapta Prabu. Apalagi
jika menyangkut angin jahat. Mari, tuan-tuan..."
Adittyawarnan segera berpaling dan memasuki gerbang, diikuti para
pimpinan Bhayangkara.
"Adittyawarman itu sepupu baginda, putra Dara Jingga, saudara
kandung Dara Petak," bisik Sorta.
"Dia bisa dipercaya?" balas Bagas sambil berbisik.
"Sejauh yang kami tahu, dia bisa dipercaya. Peradatannya juga baik.
Moralnya tinggi. Tidak seperti..." Sorta menghentikan ucapannya,
seolah diingatkan bahwa dia tak pantas berucap seperti itu.
Mereka kini memasuki ruangan luas. Balairung Utama Keraton,
tempat Maharaja Jayanagara menerima tamu. Samar terdengar
bunyi gamelan. Juga tembang yang dinyanyikan perlahan. Hanya
itu yang diketahui Bagas karena dia segera berlutut dan menyembah,
sebagaimana yang juga dilakukan rekan-rekannya.
"Majulah, Tumenggung. Kau ingin mengabarkan tentang angin apa
kepada Ingsun?"
Terdengar suara halus. Suara Baginda Jayanagara. Sebagai raja,
dia menyebut diri sebagai Ingsun. Bagas tahu, Ingsun artinya saya,
namun biasa diucap seseorang yang merasa tingkatannya lebih
tinggi dari lawan bicara.
"Baginda yang menjadi sesembahan kawula seluruh negeri,"
terdengar Anarjaya bicara.
"Hamba memang ingin membicarakan soal angin jahat. Namun
suara hamba tak akan terdengar jika terlalu riuh..."
Sejenak tak ada balasan. Anarjaya berujar secara halus bahwa38
ruangan itu begitu banyak orang yang tidak berkepentingan. Bahwa
ada baiknya jika mereka yang tak berkepentingan keluar dari
ruangan. Baginda rupanya mengerti karena beberapa saat kemudian
terdengar tepuk tangan sekali.
"Kalian semua tinggalkan tempat ini. Juga prajurit penjaga. Hanya
kakanda Adityawarman dan Bhayangkara yang tinggal di sini."
Terdengar bunyi langkah kaki yang menjauh. Dan kemudian sunyi.
"Semoga kini tak lagi riuh, Tumenggung. Majulah, duduk dan
bicaralah..."
Anarjaya menghormat dan bergerak maju, kemudian bersila. Perintah
"duduk" dari Baginda artinya dia boleh bersila. Mapanji Pamattu,
Sorta. Mahisa Kedora juga Bagas melakukan hal yang sama.
Sekalipun bersila, mereka tetap menunduk.
"Kami telah mendapatkan informasi yang pasti tentang angin jahat
yang ingin merobohkan keraton, Yang Mulia Agung."
"Hmm. Siapa? Siapa yang berani ingin merusak keraton?"
Jayanagara berujar. Dia terdengar marah.
"Mohon beribu ampun, Baginda yang menjadi sesembahan kawula
seluruh negeri. Dari yang kami dengar, yang ingin menebar angin
jahat itu para Dharmaputra..."
Sunyi. Untuk sesaat.
"Kau tahu makna dari kalimatmu, Tumenggung? Kalian akan
dihukum mati dengan ucapanmu itu..."
"Mohon beribu ampun, Baginda. Kami siap menyerahkan nyawa kami
kapan pun baginda menghendaki. Namun yang kami sampaikan itu
benar. Mada, pemimpin Tim Gajah telah melakukan penyelidikan..."
"Mana Mada?"
Bagas segera menghormat.39
"Hamba di sini, Baginda yang menjadi sesembahan kawula seluruh
negeri." Bagas berujar dan sedapat mungkin berusaha supaya
pengalimatannya terdengar seperti orang Majapahit.
"Benar kau mengetahui angin jahat yang akan dilakukan
Dharmaputra?"
"Mohon beribu ampun baginda, namun begitulah yang hamba lihat
dan dengar secara langsung. Seluruh anak buah hamba, Tim Gajah
tewas karena berita ini. Kami ketahuan, dikejar-kejar. Untunglah
hamba berhasil selamat..."
"Sebentar. Maaf baginda, namun hamba ingin bertanya kepada
Mada..."
"Silakan bertanya, kakanda Adittyawarman..."
"Saudara Mada, jika seluruh anggota Tim Gajah tewas, kenapa
saudara sama sekali tidak terluka?"
Bagas terkejut. Begitu juga dengan Anarjaya, Mapanji Pamattu dan
Sorta. Mereka sama sekali tidak memikirkan hal ini. Mereka terpaku
pada latihan tata krama, juga gaya bicara Bagas, dan melupakan
detil seputar pertarungan yang dilakoni Mada!!
Pertanyaan Adittyawarman sangat sederhana namun masuk akal.
Jika penyelidikan yang dilakukan Mada dan timnya diketahui, dan
terjadi pertempuran yang menyebabkan tewasnya anggota Tim
Gajah, bagaimana mungkin Mada, sebagai pemimpin Tim Gajah
sama sekali tidak terluka?
Anarjaya menahan nafas, berharap Bagas, yang mereka ?paksa?
menjadi Mada itu tidak salah bicara.
Bagas berpikir keras. Bagaimana dia bisa memberikan jawaban yang
masuk akal? Dia mencoba mengingat-ingat apa yang dulu pernah
dibacanya di cerita silat. Dan tiba-tiba dia mendapat ide.
"Dari luar hamba memang terlihat tidak terluka," kata Bagas perlahan.
"Namun sebenarnya hamba terluka. Terluka dalam. Sangat parah.40
Sampai sekarang tenaga sakti hamba kacau, tak bisa disalurkan.
Jika hamba sedikit saja menyalurkan tenaga sakti, pembuluh nadi
akan pecah dan hamba akan tewas seketika..."
Sunyi.
Sunyi lagi.
Dan akhirnya terdengar suara. Suara Jayanagara.
"Kapan mereka hendak merencanakan angin jahat itu?"
Bagas nyaris bersorak karena girang. Pertanyaan Jayanagara itu
berarti dia tidak mencurigai jawaban Mada soal luka. Ternyata
pernyataannya yang asal bicara soal tenaga sakti itu dipercaya.
Nyaris bersamaan, dia bisa merasakan rasa gembira dari rekanrekannya.
"Ampun Baginda, dari yang hamba dengar, mereka akan beraksi
malam ini."
Sunyi lagi.
"Bagaimana pendapatmu, kakanda Adittyawarman?"
"Pendapat hamba tidak penting, Baginda. Pertanyaannya, apakah
baginda percaya kepada para pimpinan Bhayangkara ini?"
"Maksud kakanda? Tentu saja Ingsun percaya. Jika tak percaya
Ingsun tak akan mengangkat mereka menjadi pasukan kawal
Ingsun."
"Bagus. Jika baginda percaya kepada mereka, tak ada alasan bagi
Baginda untuk meragukan kabar soal angin jahat ini. Para pimpinan
Bhayangkara ini mempertaruhkan nyawanya untuk menyampaikan
kabar ini. Jadi hamba yakin mereka hanya menjalankan tugas. Yakni
menjaga keselamatan baginda..."
Sunyi.
Rupanya Baginda Jayanagara punya kebiasaan berpikir panjang,
bahkan terlalu panjang sebelum bicara.41
"Kakanda Adittyawarman, panggil Patih Arya Tadah. Perintahkan
Tumenggung Pu Tanga menangkap para Dharmaputra. Semua,
tanpa kecuali. Tumenggung Anarjaya, kau mengatur penjagaan di
istana, bersama Tumenggung Jattilan..."
Tumenggung Anarjaya belum menjawab karena tiba-tiba terdengar
bunyi gong bertalu-talu. Semua yang hadir di ruangan itu terkesiap.
Bunyi gong bertalu-talu di keraton artinya hanya satu. Bahaya. Ada
musuh yang menyerang!!
"Ah, para pemberontak rupanya tahu kalau rencana jahat mereka
bocor. Jadi mereka mempercepat rencana jahatnya," ujar
Adittyawarman.
"Tumenggung, kalian semua, majulah, Lupakan peradatan. Katakan,
apa yang harus dilakukan..."
Jayanagara berujar cepat. Suaranya terdengar panik. Dengan cepat
para pimpinan Bhayangkara maju. Masih dengan penuh hormat
tentu saja, namun kini suasananya lebih bebas. Mereka berdiri di
depan Jayanagara.
"Maaf baginda, namun saat ini kita harus menjalankan langkah
pengamanan seperti yang sudah pernah kita bicarakan dan latih
tempo hari," ujar Anarjaya.
Jayanagara megangguk.
"Ingsun menyadari hal ini. Segera laksanakan, Tumenggung."
Anarjaya mendekati patung gajah berukuran kecil yang terletak di
sebelah kanan. Dia kemudian menarik belalai patung gajah itu ke
bawah. Terdengar bunyi derit dan sebuah pintu rahasia tepat di
belakang singgasana Jayanagara, terbuka. Di saat yang sama,
belasan anggota Bhayangkara yang merupakan bagian dari Tim
Macan, anak buah Mahisa Kedora memasuki balairung. Mereka
semua siaga tempur.
"Ayo, ayo..."
Tumenggung Anarjaya mempersilakan Jayanagara dan42
Adittyawarman memasuki pintu rahasia. Para pimpinan Bhayangkara
mengikuti bersama belasan anggota Tim Macan. Mereka memasuki
lorong landai dengan dinding batu merah. Suasana temaram.
"Jadi kita hendak kemana?" Adittyawarman bertanya.
"Sebagaimana langkah keamanan yang disepakati, kita akan
membawa Baginda ke Candi Kebo. Pasukan bersenjata akan
menyertai kita mengawal baginda ke Candi Kebo."
Bagas yang berjalan bersama mereka tiba-tiba teringat. Candi Kebo?
Itu tidak ada dalam sejarah. Sepanjang yang diketahuinya, Baginda
Jayanagara diamankan Mada di sebuah tempat, semacam dusun,
namun pasti bukan candi.
"Maaf Tumenggung, ijinkan hamba bicara," kata Bagas.
"Bicaralah, Mada. Ada apa?"
"Pihak pemberontak telah berani menjalankan aksinya, artinya
mereka telah menyiapkan diri. Jadi, bisa saja para pemberontak
mengetahui apa langkah pengamanan yang bakal dilakukan. Ada
kemungkinan para pemberontak telah menyiapkan pasukan guna
mencegat rombongan Baginda yang akan pergi ke Candi Kebo.
Bahkan bisa jadi di Candi Kebo sudah ada pasukan mereka..."
"Tak masalah jika mereka sudah menyiapkan pasukan. Kita tidak
takut. Kita akan bertempur sampai mati guna melindungi baginda,"
ujar Anarjaya. Suaranya tegas.
"Maaf, Tumenggung, ini bukan soal takut atau berani. Ini soal
keselamatan baginda."
"Kau punya usul lain Senopati Mada? Apakah kita harus membawa
baginda ke tempat lain?"
"Maksudku seperti itu. Jadi begini. Jika pasukan musuh sudah
memperkirakan bahwa Baginda akan ke Candi Kebo, kita jangan
mengubah hal itu, tetap kita kirimkan pasukan untuk mengawal
baginda, atau seseorang yang mereka anggap sebagai baginda, ke
Candi Kebo. Namun Baginda kita bawa ke tempat lain."
"Hmmm. Usulmu bagus, Mada. Jadi kita siapkan orang lain untuk43
berpura-pura menjadi baginda, dan orang lain itu disertai rombongan
pengawal bersenjata lengkap pergi ke Candi Kebo. Sementara itu,
kita ungsikan Baginda ke tempat lain. Begitu?"
Bagas mengangguk.
"Sebentar, sebentar. Jika kita akan mengirimkan seseorang yang
berpura-pura menjadi Baginda ke candi Kebo, lalu Baginda yang asli
akan ke mana?"
Pertanyaan Adityawarman tidak diajukan ke siapa, namun matanya
menatap Mada.
"Emh. Sebaiknya kita bawa beliau ke tempat terpencil. Semacam
dusun kecil, namun penghuninya setia pada keraton."
"Ada tiga dusun yang memenuhi syarat itu. Dusun Paluh, Dusun
Badander dan Dusun Ngalo," ujar Sorta.
"Ke dusun Badander saja," kata Anarjaya. "Aku kenal kepala
dusunnya. Pu Tomang. Dia sangat setia pada Majapahit. Lokasi
dusun itu terpencil, berada di tengah hutan, tersembunyi di lembah.
Jadi cukup aman. Musuh pasti tak akan menyangka kalau baginda
akan mengungsi di tempat terpencil seperti Dusun Badander. Aku,
Senopati Mada, Senopati Mahisa Kedora bersama semua anggota
Tim Macan akan mengawal Baginda ke dusun Badander. Senopati
Mapanji Pamattu dan Senopati Sorta bersama seluruh anggota
Bhayangkara dan pasukan istana mengawal Baginda palsu ke Candi
Kebo."
"Iya, Ingsun setuju. Pasukan ke Candi Kebo harus disertai kereta


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebesaran, juga umbul-umbul kerajaan. Ingsun setuju ke Dusun
Badander bersama Tumenggung, Mada dan Mahisa Kedora. Ada
lagi yang ingin kau sampaikan, Mada?"
Bagas terbatuk. Saat Jayanagara bicara, secara spontan Mada
menatap sang raja. Tatapan spontan yang tidak disengaja. Dia
cepat-cepat memalingkan wajah namun itu cukup bagi baginda.
"Ampun baginda, kita ke Dusun Badander secara diam-diam. Jadi,
mohon ampun, hamba pikir ada baiknya Baginda menanggalkan
semua busana kebesaran, yang bisa memberi petunjuk bahwa44
baginda golongan bangsawan dari keraton. Mohon ampun, baginda."
"Hmmm. Kau benar, Senopati Mada. Ingsun ingin mengungsi. Dan itu
tak ada artinya jika Ingsun tetap dikenali sebagai Raja Majapahit."
Jayanagara segera menanggalkan mahkota emas yang dipakainya.
Juga membuka pakaian berwarna merah tua yang dipakainya.
Membuka kalung kebesaran raja, juga gelang kebesaran yang
berada di lengan dekat bahu dan pergelangan tangan. Dia juga
membuka kain bagian luar bercorak indah yang dipakainya, dan
menyisakan kain di bagian dalam. Dia juga membuka gelang emas
di pergelangan kaki. Semua barang itu diserahkan kepada
Adittyawarman.
"Simpan di tempat yang aman. Akan Ingsun ambil jika sudah
kembali."
Adittyawarman mengangguk, mengambil semua barang itu dan
membuat semacam buntalan dan memeluknya.
"Kami punya tempat yang menyediakan busana yang diperlukan
Baginda," kata Anarjaya.
"Kita berpisah di sini..."
Mereka tiba di persimpangan. Nampak lorong yang ke kiri dan ke
kanan.
"Baik. Hamba yang akan mengatur rombongan ke Candi Kebo," kata
Adittyawarman. "Hamba juga yang akan menyediakan seseorang
yang akan berpura-pura menjadi raja Majapahit, dan duduk di kursi
kencana Kerajaan. Mari, saudara Pamattu, saudara Sorta..."
Adittyawarman beserta Mapanji Pamattu dan Sorta bergerak ke
kanan. Sementara baginda, Tumenggung Anarjaya, Mahisa Kedora,
Bagas dan belasan pasukan Bhayangkara bergerak ke kiri. Mereka
berjalan tanpa bicara. Di kejauhan, samar terdengar teriakan. Ada
denting senjata. Ada jerit kematian.
Bagas merinding. Keraton kini menjadi areal pertempuran. Lorong
yang mereka lalui kini mendaki. Di ujung lorong, ada tangga dari45
tanah setinggi empat undak. Anarjaya menaiki tangga, dan
menyentuh sesuatu di sebelah kanan. Sebuah pintu terbuka di
bagian atas. Mereka semua naik. Pintu itu ternyata merupakan lantai
sebuah rumah yang kosong.
"Jadi kita sekarang berada di rumah singgah?"
"Betul, Baginda. Ini rumah singgah. Letaknya di tepi pemukiman, dan
tidak menyolok. Tak ada warga yang tahu tempat ini."
Bagas mengamati. Rumah itu sederhana, dengan dinding dari papan,
tanpa perabot. Hanya beberapa lemari yang menempel di dinding.
Lemari-lemari itu terbuat dari kayu jati yang kuat dan tidak berukir.
Anarjaya kemudian memberi isyarat kepada Mahisa Kedora sambil
membuka sebuah lemari.
"Kita bawa perbekalan untuk makan malam. Juga pakaian di waktu
malam."
Mahisa Kedora mengangguk dan memerintahkan anak buahnya
mengatur perbekalan dan kemudian mengambil posisi berjaga
melalui barisan pendam di sekitar rumah.
Bagas mengamati. Lemari pertama ternyata berisi berbekalan,
berupa makanan kering. Sebagian besar berupa daging dan kue
yang dikeringkan. Lemari kedua berisi beraneka jenis pakaian.
Bagas juga melihat ada keperluan untuk berhias, atau menyamar.
Ada rambut palsu beraneka jenis, juga kulit wajah. Lemari ketiga
berisi beraneka jenis senjata. Terdiri dari keris berbagai bentuk,
pedang, pisau lontar, gada dan tombak. Di dinding tergantung lima
jenis panah, masing-masing dengan busur berisi anak panah.
"Kita juga harus mengganti pakaian, Mada, Kedora."
Anarjaya mengambil kain berwarna abu-abu yang lusuh dan
memberikan kepada Baginda. Dia juga mengambil kain yang
coraknya sama dan memakainya. Bagas dan Kedora juga
mengenakan pakaian serupa.
"Mohon beribu ampun, baginda, namun ini kain yang sebaiknya46
Baginda kenakan."
Jayanagara tak menjawab. Namun dia mengenakan pakaian dengan
perlahan.
Anarjaya membuka lemari senjata, dan mengambil sebuah keris. Dia
memberi isyarat kepada Bagas untuk melakukan hal yang sama.
Bagas menggeleng.
"Aku sudah punya keris. Aku pakai yang ini saja," kata Bagas sambil
memperlihatkan keris milik Mada yang sejak tadi diletakkan di
pinggang belakang.
Anarjaya mengangguk maklum.
"Tapi kau harus membuka cincin itu. Letakkan di sini, Kau bisa
mengambilnya kelak jika situasi sudah aman."
Di sekeliling, warga mulai berhamburan. Mereka rupanya tertarik
dengan keriuhan yang terjadi di keraton. Jerit tangis anak-anak
membelah sore.
"Kita sebaiknya bergegas. Kita naik kuda," kata Tumenggung
Anarjaya. Di belakang rumah ada istal berisi belasan ekor kuda.
Tanpa dicurigai, rombongan kecil itu meninggalkan Tarik melewati
jembatan rahasia yang membelah kanal. Mereka berkuda hingga ke
sebuah bukit. Anarjaya memberi tanda agar mereka berhenti. Dia
kemudian menunjuk ke arah selatan. Nampak iring-iringan panjang.
Ada pasukan berkuda yang mengawal tiga kereta kerajaan. Umbulumbul kebesaran Majapahit berwarna merah dan putih terlihat. Hati
Bagas terasa bergetar. Melihat umbul-umbul Merah Putih,
ingatannya melayang ke masanya. Ketika Merah Putih juga menjadi
identitas bangsanya. Di langit, Sang Surya mulai merambat ke
sebelah barat. Anarjaya memberi isyarat dan mereka kembali melaju.
Belasan kuda berderap membelah hutan. Anarjaya dan Mahisa
Kedora di depan, diikuti Baginda Jayanagara. Bagas dan pasukan
Bhayangkara di belakang. Bagas memejamkan mata, merasakan
tiupan angin yang menghentak wajahnya. Angin Majapahit. Angin
masa lalu. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu.
Dia melirik ke arah gelang kuning di pergelangan tangan. Samar47
terlihat adanya gerakan. Penunjuk waktu digitalnya masih berjalan!!
Bagas melirik untuk melihat lebih jelas. 01.17.55 01.17.54 01.17.53
Dia punya waktu satu jam tujuh belas menit di tempat ini, sebelum
kembali ke masanya. Perasaan tidak enak tiba-tiba menyelubunyi
dirinya. Apakah dia harus pergi satu jam lagi? Meninggalkan tempat
ini? Meninggalkan Majapahit dengan segala masalah dan
keruwetannya dan kembali ke Indonesia yang lebih nyaman?
Ataukah dia harus bertahan, memperpanjang masa observasinya,
sekaligus melakoni peran sebagai Mada untuk enam pekan
mendatang? Bagas mendesah. Di kejauhan, dia mendengar kicau
burung yang sedang terbang kembali ke sarang.
<>48
9 Setan Bumi dan Bidadari Kematian
ROMBONGAN itu melaju seperti ular raksasa yang merangkak
membelah hutan. Rombongan megah yang tergesa. Puluhan prajurit
menunggang kuda di depan, mengiringi tiga kereta kerajaan.
Puluhan prajurit lain mendampingi kereta dan lainnya di belakang.
Umbul-umbul kerajaan berwarna merah dan putih terlihat semarak.
Pasukan itu sedang bergerak menuju Candi Kebo, lokasi
pengungsian Raja Majapahit jika terjadi sesuatu yang mengancam
keselamatan. Tiga kereta kerajaan itu untuk mengecoh lawan. Pihak
lawan, atau musuh yang akan menyerang tak tahu di mana Baginda
berada. Apakah di kereta terdepan, di tengah atau paling belakang.
Hanya Senopati Mapanji Pamattu, Senopati Sorta serta Tumenggung
Jattilan, pemimpin pasukan Danur Malagha yang tahu kalau Baginda
tak berada di kereta yang dikawal ketat. Sosok yang mengenakan
pakaian serta mahkota kerajaan di dalam kereta itu hanya pengganti.
Sosok yang berpura-pura menjadi raja. Sementara raja yang asli,
Jayanagara diungsikan ke tempat lain.
Di belakang, di Tarik, di Kotaraja, pusat pemerintahan Wilwatikta
(Majapahit), asap hitam mengepul tinggi. Ada kebakaran. Entah di
keraton, atau di tempat lain. Yang pasti, suasana mulai kacau ketika
rombongan kerajaan meninggalkan Kotaraja.
Mapanji Pamattu dan Sorta berkuda di samping kiri dan kanan kereta
yang berada di bagian tengah. Keduanya membisu. Sesekali mereka
saling pandang. Jika harus memilih, keduanya ingin berada dekat
Raja. Raja yang asli, dan bukannya pura-pura mengawal raja palsu.
Namun situasi tidak memungkinkan. Ada pemberontakan. Ada
ancaman serius yang terjadi. Mereka harus berpura-pura mengawal
raja (palsu), guna memastikan keselamatan raja yang asli.
Sudah hampir sepeminum teh mereka bergerak. Kuda yang mereka
pacu terlihat berkeringat. Tubuh kuda-kuda yang perkasa itu mulai
basah. Namun mereka terus berpacu. Tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring di bagian depan. Disusul teriakan lain bersahut-sahutan.
Dan rombongan berhenti.
"Ada apa? Kita tak boleh berhenti," teriak Mapanji Pamattu sambil49
memacu kudanya ke depan, diikuti Sorta. Dan kedua Senopati
Bhayangkara itu tertegun.
Rombongan terhenti karena ada sesuatu. Sesuatu yang memaksa.
Di depan, bongkahan batu sebesar gajah melintang di jalan. Ada
sedikitnya sembilan batu besar yang saling himpit membentuk
penghalang. Tak hanya batu. Tujuh batang pohon sepemelukan
orang dewasa dengan panjang sekitar lima enam tombak juga
tergeletak melintang di jalan, persis di belakang tumpukan batu.
Batu sebesar gajah dan batang pohon sepemelukan orang dewasa
tak mungkin bergerak sendiri. Ada orang yang sengaja menaruhnya
di situ. Untuk merintangi jalan. Untuk menghalangi. Dan siapapun
yang melakukannya, dia atau mereka itu punya tenaga yang luar
biasa!!
"Bagaimana Tumenggung? Kita bisa menyuruh para prajurit untuk
menyingkirkan batu dan batang pohon ini. Tapi..."
Tumenggung Jattilan menggeleng.
"Kita tak punya waktu. Lagipula, untuk menyingkirkan batu dan
pohon ini memerlukan tenaga yang sangat besar. Semua prajurit
harus bekerja keras, dan itu artinya tak ada yang menjaga. Sangat
berbahaya..."
"Kalau begitu, kita menempuh jalan lain? Tapi itu juga berbahaya,"
kata Sorta.
Sekalipun keselamatan Raja merupakan tugas Bhayangkara, namun
sebagai Tumenggung, Jattilan yang menduduki pangkat tertinggi di
pasukan. Artinya, segala sesuatu harus diputuskan oleh
Tumenggung.
"Kita tempuh jalan lain. Tujuan kita tetap sama, Candi Kebo. Kita
hanya perlu sedikit memutar..."
Tumenggung Jattilan memberi isyarat kepada pasukan untuk beralih
ke jalan lain. Mereka kini melalui hutan, dan bukan jalan yang biasa
dilewati manusia.50
"Pamattu, Sorta," bisik Tumenggung.
"Pihak musuh sengaja melakukan ini supaya kita mengambil jalan
lain. Aku menduga, di jalan lain itu kita akan diserang. Hati-hatilah.
Jangan sampai terbunuh!!"
Mapanji Pamattu dan Sorta mengangguk. Mereka paham. Mereka
hanya berpura-pura mengawal raja palsu. Sekalipun harus terlihat
meyakinkan, namun mereka tetap harus berhati-hati. Jangan sampai
mereka menyerahkan nyawa karena mengawal seorang raja palsu.
Rombongan kini memasuki hutan. Perjalanan tak secepat
sebelumnya. Kuda tak bisa berlari secepat biasa di tengah hutan
yang lebat. Hutan semakin lebat. Kuda hanya bisa berjalan perlahan.
Para pajurit kini turun dan menuntun kudanya.
"Tetap waspada," teriak Mapanji Pamattu. Jika ada pihak yang ingin
menyerang, mungkin di sini tempatnya. Dan benar. Dari arah depan
terdengar suara gaduh. Diikuti teriakan dan jerit kesakitan. Pasukan
di bagian depan tengah bertarung, entah melawan siapa.
Tumenggung Jattilan juga sedang bertarung melawan seseorang
bersenjata cambuk. Bunyi cambuk terdengar meledak-ledak
mengerikan. Pasukan di bagian belakang juga nampaknya sedang
bertarung.
Mapanji Pamattu dan Sorta baru saja turun dari kuda ketika mereka
melihat bayangan hitam mendekati mereka. Bayangan hitam yang
dipenuhi aura membunuh yang sangat kental!!
Mapanji Pamattu mendengus. Tanpa bicara dia segera
mengayunkan tinjunya, mengarah ke perut. Sorta juga memekik
nyaring dan mengayunkan keris. Mapanji Pamattu dan Sorta bukan
jagoan sembarangan. Bukan kebetulan jika mereka terpilih menjadi
pemimpin pasukan kawal raja. Pemimpin pasukan Bhayangkara.
Untuk menjadi anggota Bhayangkara, seorang prajurit harus
melewati beragam tahapan seleksi. Dan untuk menjadi kepala
pasukan, persyaratannya lebih berat lagi. Selain kemampuan
memimpin, syarat lain yang harus dipenuhi adalah penguasaan
poncakhara, ilmu bela diri. Mereka bertugas melindungi Raja. Dan
tugas itu hanya bisa dilaksanakan dengan sempurna jika mereka
memiliki ilmu bela diri. Tak sekedar ilmu beladiri, namun harus pada51
tingkatan yang tergolong tinggi.
Sejak remaja, Mapanji Pamattu menekuni ilmu silat yang disebut
Sikara Pracahita (Tinju Geledek), ilmu tangan kosong yang sangat
dahsyat. Dengan Sikara Pracahita, Mapanji Pamattu bisa
menghancurkan batu sebesar kerbau dengan sekali pukul.
Melihat datangnya lawan, tanpa pikir panjang Mapanji Pamattu
segera menyerang. Jemari tangan kanan membentuk tinju, dan
diarahkan lurus sesuai jurus Sikara Pracahita Sumidang Giligilen
(Tinju Geledek Membelah Bukit).
"Blep..." Terdengar suara yang mengejutkan Mapanji Pamattu. Dia
tidak mendengar bunyi benturan keras, atau bunyi tulang yang patah
seperti seharusnya. Namun bunyi ?blep?. Rasa kaget Mapanji
Pamattu belum hilang ketika dia merasa tinjunya seperti membentur
sesuatu yang lunak. Tinjunya terasa seperti membentur kue Ondeonde!! Padahal, jelas kalau tinjunya menyentuh dada lawan.
Sadar kalau lawan punya tenaga sakti yang aneh, Mapanji Pamattu
tidak kehilangan akal. Dengan cepat dia memutar tubuh. Di saat yang
sama jemari tangan kiri yang membentuk tinju digerakkan dari bawah
ke atas. Itulah Sikara Pracahita Magelar Sanggana (Tinju Geledek
Menyibak Awan)!!
Sorta tidak mau kalah. Dengan keris terhunus dia menyerang. Keris
di tangan kanan meliuk mengincar nyawa. Berbeda dengan
rekannya yang menekuni silat tangan kosong, Sorta menekuni
poncakhara menggunakan keris. Dia menguasai ilmu aneh yang
disebut Kalandra Wulung (Mentari Hitam), salah satu ilmu silat hebat
yang diwariskan secara turun temurun dan konon merupakan
peninggalan dari Narottama, Patih terkenal di era Raja Airlangga,
ratusan tahun lalu.
Keris yang digerakkan sesuai jurus Kalandra Wulung Hambrastha
Tirtamarta (Mentari Hitam Menghancurkan Air Kehidupan)
menyerang tenggorokan, dada dan perut sekaligus. Tiga serangan
dalam satu gerakan!!
"Hmh, jurus hebat!!"52
Terdengar suara seperti menggumam. Suara berat seorang laki-laki.


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara itu diikuti gerakan tubuh yang mengeluarkan energi aneh yang
menyambar. Mapanji Pamattu dan Sorta merasa tubuh mereka
limbung. Ada kekuatan aneh yang menghancurkan energi serangan
yang mereka lakukan. Dan tanpa tertahan, keduanya terdorong
hingga beberapa langkah!!
Mapanji Pamattu dan Sorta menatap lelaki yang baru saja membuat
mereka terhuyung. Dan kedua senopati itu terbelalak. Wajah mereka
membayangkan keterkejutan dan rasa gentar yang sangat besar.
Lelaki di hadapan mereka mengenakan pakaian dari kain kasar
berwarna hitam. Yang menyolok adalah wajah lelaki itu. Ada bekas
luka menyilang pada wajahnya. Bekas luka yang rupanya berasal
dari senjata tajam. Bekas luka yang membuat wajah lelaki itu terlihat
menyeramkan.
Sorta menggenggam keris di tangan kanan erat-erat. Begitu juga
Mapanji Pamattu, yang kini mengerahkan tenaga sakti hingga
seratus persen kekuatan. Di dunia persilatan Jawibhumi, hanya satu
tokoh yang wajahnya punya bekas luka menyilang. Lelaki itu
bernama Resi Surasidwa dan dikenal dengan julukan Banas
Mahitala (Setan Bumi). Resi Surasidwa konon merupakan tokoh
golongan hitam nomor satu di Jawibhumi. Resi Surasidwa si Setan
Bumi selama ini tak pernah mencampuri urusan kerajaan. Bahkan di
Jawibhumi bagian tengah, dia diperlakukan sebagai "raja" oleh
kalangan hitam.
Karena itu Mapanji Pamattu dan Sorta terkejut melihat kehadirannya
di tengah hutan.
"Kanda Surasidwa, biar aku hadapi mereka. Kau selesaikan tugas
kita..."
Terdengar suara halus diikuti munculnya seorang prempuan yang
melayang ringan di samping Resi Surasidwa. Perempuan itu
bertubuh tinggi langsing dan mengenakan pakaian putih-putih.
Perempuan itu berwajah cantik, berusia sekitar 50-an tahun.
Mata perempuan itu tajam mengerikan. Wajahnya putih, bahkan
terlalu putih hingga mirip mayat. Mapanji Pamattu dan Sorta53
berdebar ketika mengenali perempuan itu. Tak salah lagi. Dia pasti
yang bernama Dewi Padma, yang berjuluk Hapsari Palastra
(Bidadari Kematian). Dewi Padma merupakan istri Resi Surasidwa
dan memiliki ilmu poncakhara yang hanya sedikit selisihnya dengan
sang suami.
"Hati-hati, Nimas. Mereka senopati Bhayangkara. Jangan
memandang remeh!!"
Resi Surasidwa berujar sambil melompat. Tubuhnya melayang
ringan ke kereta pertama.
Mapanji Pamattu bermaksud menghadang, namun di saat yang sama
dia merasakan sambaran yang sangat dingin. Dewi Padma telah
menyerangnya, atau tepatnya, menyerang mereka berdua sekaligus!!
Serangan Dewi Padma sendiri sangat unik dan tidak lumrah.
Tubuhnya kaku. Gerakan tangan dan kakinya kaku, mirip boneka
atau wayang. Namun dari setiap serangannya terpancar energi
dingin yang mengiris.
Sementara itu, Resi Surasidwa melayang ringan ke kereta kerajaan
terdepan. Dia sama sekali tidak menghiraukan sejumlah prajurit yang
mencoba menghadang. Dia menggerakkan tangan kanannya dan
tujuh prajurit terlempar seperti daun kering ditiup angin.
"Braakkk...."
Tubuh Resi Surasidwa menembus dinding kereta pertama. Kereta
itu kosong. Dia memasuki kereta kedua. Juga kosong. Di kereta
ketiga dia menemukan sosok yang dicari. Seorang laki-laki duduk
meringkuk ketakutan. Dia mengenakan pakaian kebesaran kerajaan,
juga mahkota.
Tanpa bicara Resi Surasidwa mendekati, dan memegang kepala
sang ?raja?.
Di luar, pertarungan antara Dewi Padma dan kedua senopati
berlangsung seru dan berat sebelah. Kedua senopati Bhayangkara
terdesak hebat dan hanya mampu menghindar. Gerakan sang dewi54
sangat mengejutkan. Setiap gerakannya mengandung serangan
ganas dan mematikan.
"Nimas, aku berhasil..."
Terdengar suara. Resi Surasidwa berdiri di atas kereta. Tangan
kanan mengacungkan sebuah ?benda? yang masih meneteskan
darah segar.
Dewi Padma menoleh dan tersenyum. Dia menggerakkan kedua
tangan seperti mengaduk dan kemudian melompat mendekati sang
suami. Senopati Mapanji Pamattu dan Sorta terpaksa melompat
jungkir balik guna memunahkan serangan terakhir Dewi Padma yang
membuat udara seperti bergelombang. Namun mereka masih
sempat melihat ke arah Resi Surasidwa. Melihat benda berdarah
yang diacungkannya. Mapanji Pamattu, Sorta dan seluruh prajurit
yang melakukan pengawalan terkejut bukan main. Benda yang
masih meneteskan darah itu ternyata...
*****55
10 Kemurnian Tak Akan Pernah Padam
SANG Surya baru saja bangkit dari peraduannya, menyebarkan
kehangatan ke seantero alam. Bagas menengadah, merasakan
hangatnya mentari pagi. Dia menarik nafas berkali-kali. Kesegaran
alam seakan masuk dan mengisi segenap pori-pori tubuhnya. Ini
pagi pertama dia berada di Dusun Badander. Mereka tiba di dusun
menjelang tengah malam. Dan dilayani dengan tergopoh-gopoh oleh
kepala dusun, Pu Tomang, begitu mengetahui kalau yang bertamu itu
adalah Raja Majapahit.
Bagas kembali menarik nafas panjang. Salah satu alasan yang
membuat dirinya berada di alam di pagi hari karena merasa suntuk.
Pikirannya tidak tenang. Nuraninya terusik. Bagas tahu, tak
seharusnya nuraninya terusik, karena itu bukan urusannya. Namun
tak bisa. Nuraninya terusik oleh tingkah polah Jayanagara. Begitu
tiba, ketika hendak tidur, permintaan pertama yang diajukan Baginda
adalah perempuan.
"Ingsun tak pernah tidur sendirian. Ingsun ingin tidur ditemani
perempuan. Lebih bagus yang masih gadis. Istri orang pun tak apa.
Yang penting bisa diajak bercinta..."
Kalau tak mendengar dan menyaksikan sendiri, Bagas tak akan
percaya. Bagaimana mungkin seorang maharaja kerajaan sebesar
Majapahit berperilaku seperti itu? Meminta dilayani perempuan,
padahal statusnya adalah tamu? Namun perintah tetap perintah.
Apalagi yang memerintah adalah orang nomor satu di Wilwatikta. Di
Majapahit.
Yang repot adalah Pu Tomang, si kepala dusun. Karena harus
membangunkan warga yang sudah tidur. Apalagi maksudnya tidak
lazim. Setelah beberapa saat, Pu Tomang datang membawa
seorang perempuan muda, berusia sekira 16 atau 17 tahun.
"Tidak cantik, namun lumayan untuk penghangat kasur," begitu ucap
Jayanagara.
"Besok carikan aku yang lebih cantik. Bisa gadis, bisa istri orang.
Yang penting cantik," ujar Sang Baginda sambil menggandeng si56
gadis yang tersipu.
Bagas sepenuhnya maklum, apa yang dilakukan Jayanagara itu
biasa di jaman itu. Seorang dengan kedudukan seperti Jayanagara,
bisa melakukan apa saja, dan bisa mendapatkan apa saja. Atau,
yang paling tepat, harus mendapatkan apa saja yang diinginkan.
Namun, ada sesuatu di dalam diri Bagas yang tidak setuju.
Nuraninya meronta. Dan itu yang membawa dia pagi-pagi di tempat
ini. Di luar dusun. Di puncak sebuah bukit. Dia dapat melihat
pemandangan indah. Sekaligus meredakan kegundahannya.
Kepada Anarjaya, Bagas memberi alasan kalau dia ingin melakukan
perondaan. Untuk alasan keamanan, Anarjaya memang
memerintahkan Pu Tomang untuk melarang penduduk
meninggalkan Dusun Badander. Siapapun yang bermaksud
meninggalkan dusun akan dihukum mati. Ultimatum Anarjaya
diterima warga. Apalagi, karena letaknya terpencil, warga dusun
Badander tak terbiasa pergi jauh. Kehidupan mereka hanya terpusat
pada sawah yang letaknya tak jauh dari pusat pemukiman.
Anarjaya juga telah memerintahkan seluruh anggota Bhayangkara
beserta Mahisa Kedora untuk berjaga di sejumlah titik strategis di
dusun.
Bagas sebenarnya tak benar-benar berniat untuk meronda. Alasan
sebenarnya adalah dia ingin menjauhkan diri. Dia tak tahan berada
dekat Jayanagara. Raja Majapahit itu membuatnya muak. Bagas
mengingat-ingat apa yang dibacanya di Wikipedia tentang
Jayanagara. Dia merupakan putra Raden Wijaya dengan Dara Petak,
dan dilahirkan tahun 1294. Artinya, saat ini sang baginda baru
berumur 25 tahun, lebih muda dua tahun dibanding Bagas.
Jayanagara naik tahta tahun 1309. Artinya lagi, dia baru berusia 15
tahun ketika menjadi raja. Menjadi raja dalam usia remaja rupanya
membuat Jayanagara suka bersikap seenaknya sendiri. Termasuk
urusan perempuan.
Bagas menggelengkan kepala, mencoba mengusir adegan ketika
Jayanagara menggandeng gadis dusun. Dia melirik ke gelang
kuning di pergelangan tangan. Dia telah melewati batas waktu enam
jam untuk kembali ke masanya. Terpaksa, dia harus menghabiskan57
waktu enam minggu, atau 42 hari di tempat ini. Dia kemudian
teringat sesuatu. Perlahan dia mengetuk telinga kanan tempat
komunikator berada.
"Halo?
Profesor?
Ciara?
Kalian bisa mendengar aku?
Kalian sudah bangun bukan?
Seharusnya sekarang sudah pukul enam atau tujuh pagi. Mungkin
lebih. Halo?
Halo?"
Bagas berujar sekenanya. Dia tak tahu apakah profesor Dananjaya
dan Ciara bisa mendengar. Tapi setidaknya dia bisa bicara.
Terdengar suara kresek-kresek, dan kemudian...
"Aku bisa mendengarmu Bagas..." Terdengar suara samar, lirih.
Seperti berbisik. Namun suara itu jelas. Suara Ciara!!
"Hah, Ciara? Kau bisa mendengarku? Ah Terima kasih Tuhan!!!"
Bagas berujar nyaris berteriak. Sunyi sejenak, dan kemudian suara
Ciara terdengar lagi. Suaranya kini nyaring, penuh semangat,
bahkan nyaris berteriak.
"Kau... kau bisa mendengar aku Bagas? Kau bisa dengar aku?"
"Ahhh... Ciara.... Kau tak tahu bagaimana senangnya aku mendengar
suaramu. Apa yang terjadi? Aku pikir komunikatorku rusak..."
"Iya, ada gangguan pada komunikatormu. Namun sudah diperbaiki
ayah..."
"Ciara..."
"Ya Bagas?
"Maaf aku belum bisa kembali. Terjadi sesuatu, dan ehhh... kalian
pasti sudah tahu ya?
Soal Mada?
Soal pemberontakan?"
"Kami sudah tahu, Bagas," terdengar suara Ciara.
"Kami bisa mendengar semua percakapan yang kau lakukan sejak di
hutan. Dan... ah, rasanya sukar dipercaya. Bahkan, jujur saja,58
sampai saat ini pun aku tidak percaya. Kau kini menjadi Mada, dan
mungkin akan menjadi Gajah Mada. Gajah Mada yang itu...."
"Iya. Sampai sekarang aku juga masih bingung, tak tahu bagaimana.
Yang pasti, aku terpaksa berada di tempat ini hingga 42 hari ke
depan. Aku janji, setelah enam minggu aku akan pulang..."
"Aku akan menunggumu, Bagas..."
Bagas belum sempat menjawab ketika dia melihat ada gerakan di
sebelah kanan.
"Sebentar, Ciara, aku melihat sesuatu..."
Dia mendekat. Gerakan yang dilihatnya ternyata dua orang yang
berjalan tergesa. Seorang pemuda berjalan dengan seorang
perempuan muda. Dan mereka berjalan tepat ke arahnya. Bagas
menatap heran. Bagaiamana dua orang itu bisa lolos dari penjagaan
yang dilakukan anggota Bhayangkara?
"Maaf jika kami mengganggu, perwira Mada. Aku Sentanu dan ini
istriku Kartikasari..." Si lelaki muda berujar penuh hormat.
"Ada apa? Siapa kalian dan hendak menuju ke mana?"
Mada berujar sambil menatap kedua orang itu. Masing-masing dari
mereka memanggul buntalan pakaian. Artinya mereka akan
bepergian.
"Kami, eh kami hendak meninggalkan dusun. Dan..."
"Bukankah sudah ada perintah yang melarang warga untuk
meninggalkan dusun?" Potong Bagas.
"Benar, dan itu sebabnya kami kemari. Kami memohon kemurahan
tuan..."
"Kemurahan? Apa yang kalian maksudkan?"
"Kami mohon agar tuan mau memberi kelonggaran, supaya kami
bisa meninggalkan dusun."
"Apa alasan kalian ingin meninggalkan dusun?"
Kedua orang itu nampak jengah dan kikuk.
"Mmm... Begini," ujar Sentanu.
"Pagi tadi, kepala dusun memberi pengumuman. Bahwa Yang Mulia
Baginda menghendaki agar setiap malam dia dilayani perempuan.59
Bisa gadis, bisa istri orang, yang penting cantik. Dan... Dan..."
Sentanu melirik istrinya yang menundukkan kepala.
"Dan istrimu termasuk dalam daftar yang harus melayani baginda?"
"Betul, tuan, dan aku tidak sudi!!"
Kali ini Kartikasari yang bicara. Matanya menyorot tajam, seperti
hendak membakar.
"Sekalipun dia raja, atau dewa sekalipun, aku tak sudi. Tubuh dan
cintaku hanya untuk suamiku. Hanya untuk Sentanu!!"
Bagas menatap Kartikasari, dan harus mengakui kalau perempuan
itu memang cantik. Sangat cantik. Matanya indah, yang berpadu
serasi dengan hidung dan bibir. Pipinya putih dengan rambut
panjang hitam. Tubuhnya juga indah. Di masanya, di era modern,
perempuan secantik Kartikasari pasti akan laris sebagai model iklan,
atau pemain sinetron.
"Kami sudah dalam perjalanan ketika melihat tuan perwira di tempat
ini. Kami pun memutuskan untuk meminta ijin, meminta kemurahan
hati tuan untuk berkenan melepaskan kami," ujar Sentanu.
"Dan jika aku keberatan dan tidak mengijinkan?"
"Jika tuan tak mengijinkan, kami tetap akan pergi," sergah Kartikasari.
"Kami minta ijin semata alasan kesopanan, juga untuk memastikan
kami tidak menjadi buronan. Namun jika tuan tak berkenan, kami
akan tetap pergi".
Bagas menatap sepasang suami istri muda itu berganti-ganti. Diamdiam dia merasa kagum. Semuda ini namun sudah punya pendirian
yang teguh. Tak banyak perempuan di Majapahit, sekalipun sudah
menjadi istri orang, yang tidak terpikat dengan nama besar raja
Majapahit. Namun Kartikasari punya pendirian lain. Dia juga kagum
dengan upaya mereka meminta ijin padanya. Sesuatu yang tidak
perlu sebenarnya, karena mereka bisa menempuh jalan lain yang
tidak terjaga.
"Kalian tentu tahu apa alasan Tumenggung Anarjaya memerintahkan
agar tak seorangpun warga yang meninggalkan dusun bukan?"60
"Kami tahu. Baginda dalam pelarian, dan rahasia bahwa Baginda
berada di Dusun Badander harus dijaga. Namun kami juga warga
Majapahit. Raja kami hanya satu, Prabu Jayanagara. Kami tentu tak


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan pernah membocorkan hal ini kepada siapapun..."
Mada mengangguk. Melihat bagaimana sikap mereka, pemuda itu
yakin kalau sepasang suami istri ini bisa menjaga rahasia.
"Baiklah, sepanjang kalian berjanji untuk tidak akan buka mulut soal
keberadaan baginda, kalian boleh pergi..."
Sentanu dan Kartikasari saling pandang. Senyum mengembang di
wajah mereka. Wajah mereka membayangkan rasa gembira yang
tidak bisa disembunyikan.
"Terimakasih, terimakasih, perwira Mada," ujar Sentanu sambil
menyembah, diikuti Kartikasari yang juga menyembah.
"Kami, Sentanu dan Kartikasari, tak akan pernah melupakan
kemurahan hati tuan. Kelak, jika diberi kesempatan oleh Dewata
Yang Agung, kami akan membalas kemurahan hati tuan..."
Mada mengangguk, merasa jengah karena diberi hormat yang
menurutnya berlebihan. Sekalipun dia dapat merasakan kalau rasa
hormat yang diberikan sepasang suami istri ini adalah wajar, tidak
dibuat-buat dan benar-benar muncul dari hati.
"Kalian pergilah jauh-jauh. Kalian berhasil lolos dari ujian cinta.
Semoga kalian akan selalu mengingat hal ini jika kelak mendapat
masalah dalam rumah tangga..."
Sentanu dan Kartikasari mengangguk.
"Terima kasih, tuan Mada. Kami pergi..." Dan dalam sekelebatan,
mereka lenyap!!
"Wow!!!"
Bagas tak mampu menahan seruan kagum dari bibirnya. Hanya
sepersekian detik, Sentanu dan Kartikasari sudah berada jauh,
sekitar lima puluh meter, seratus meter, dan akhirnya hilang dari
pandangan. Bagas menggelengkan kepala penuh takjub. Sungguh61
pameran ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa. Sejak
kecil Bagas menyukai cerita silat. Dia juga belajar silat semenjak
berusia 10 tahun, kemudian melanjutkan belajar karate hingga Dan II.
Selang dua tahun terakhir, Bagas menekuni mix martial art, ilmu
beladiri campuran, yang memadukan seluruh cabang olahraga
beladiri seperti Muang Thai, tinju, gulat, yudo, karate, Brazilian
jinjutsu, dan banyak lagi.
Namun selama menekuni ilmu beladiri, dia tak pernah belajar tentang
tenaga dalam. Atau tenaga sakti. Termasuk ilmu meringankan tubuh.
Bagas tahu kalau hal semacam itu ada, namun dia tak pernah
mempelajari. Guru yang mengajarinya pencak silat juga tak punya
tenaga dalam. Dan kini, dia melihat sendiri kehebatan tenaga dalam
yang diperlihatkan sepasang suami istri yang masih muda. Tanpa
sadar Bagas bergidik. Untung saja dia bermurah hati melepaskan
mereka. Jika tidak, hmmm. Sentanu atau Kartikasari hanya perlu
menggerakkan tangan dan Bagas akan tewas seketika.
"Ahhh. Ketika dunia penuh dengan kepalsuan, siapa sangka masih
ada kebaikan. Kemurnian memang tak akan pernah padam..."
Bagas terkejut. Dan menoleh. Tak jauh dari tempatnya berdiri,
nampak seorang kakek tua renta. Kakek itu berdiri persis di tempat
Sentanu dan Kartikasari berada sebelum berlalu. Artinya, kakek
renta itu tiba ketika Bagas melayangkan matanya mengikuti gerakan
Sentanu dan Kartikasari. Padahal Bagas menatap mereka hanya
sepersekian detik!!
Bagas memperhatikan kakek itu. Tubuhnya kurus renta dan
mengenakan kain berwarna hitam lusuh yang diikatkan sekenanya di
tubuh. Rambut, kumis dan jenggot si kakek sudah memutih, Dia
memegang tongkat setinggi tubuhnya. Fakta bahwa kakek ini bisa
tiba dalam waktu singkat, hanya ketika Bagas menoleh untuk sesaat,
merupakan bukti bahwa kakek ini pasti berilmu tinggi. Bagas
berdebar. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia berhadapan
dengan seorang yang sakti. Dan ini nyata, bukan dongeng cerita
silat!!
<>62
11 Dia Akan Menunggu
Di masa kini, di rumahnya, Ciara masih memantau setiap percakapan
yang dilakukan Bagas. Setelah batas waktu enam jam terlewati,
Ciara dan Profesor Dananjaya memutuskan untuk kembali ke
rumahnya di Yogyakarta. Mereka menempuh perjalanan darat yang
panjang nyaris tanpa suara. Keduanya terus memantau
perkembangan yang melibatkan Bagas. Mereka tahu kalau Bagas
sudah tiba di Dusun Badander. Sejauh ini, apa yang terjadi sesuai
dengan yang tertulis dalam sejarah. Kecuali satu fakta penting
bahwa Bagas kini berperan sebagai Mada, semuanya sesuai sejarah.
"Ayah harus berupaya agar komunikator yang digunakan Bagas
diperbaiki," ujar Ciara ketika mereka baru tiba di rumah.
Profesor Dananjaya mengangguk. Komunikator yang dibuat dan
diberikan kepada Bagas dibuat dengan sistim singularitas modularian.
Artinya bisa diaktifkan secara remote. Juga bisa diperbaiki dari jauh.
Setelah beristirahat, sekitar pukul 05.30 Profesor sudah mengutakatik modularian transkohesi yang menjadi semacam mesin
pembangkit daya untuk komunikator. Setelah sekitar 40 menit,
Profesor akhirnya menemukan apa penyebab sehingga komunikator
Bagas rusak. Ada induksi pada sistim malagerasis yang tidak linear.
Tak jauh dari tempat Dananjaya, Ciara duduk dengan earphone di
telinga. Dia belum mandi dan tak berniat untuk mandi. Kenapa juga
dia harus mandi? Jika Bagas ada di sini, dia akan melakukan
segalanya supaya terlihat cantik dan menarik. Namun pemuda itu
tak ada di sini. Dia ada di masa yang lain, di masa yang berbeda,
melakoni sebuah peran yang tak terbayangkan.
"Halo?
Profesor?
Ciara?
Kalian bisa mendengar aku?
Kalian sudah bangun bukan? Seharusnya sekarang sudah pukul
enam atau tujuh pagi.63
Mungkin lebih. Halo?
Halo?"
Ah suara itu. Satu-satunya suara yang mampu membuat Ciara
bergetar. Suara yang mendatangkan perasaan aneh di dada.
"Aku bisa mendengarmu Bagas..." bisik Ciara. Dia tahu Bagas tak
bisa mendengarnya namun entah kenapa kalimat itu terucap dari
bibirnya.
"Hah, Ciara?
Kau bisa mendengarku?
Ah... Terima kasih Tuhan!!!"
Suara Bagas terdengar di seberang. Suara berisi antusiasme yang
sangat besar. Ciara terpaku, nyaris tidak percaya dengan apa yang
didengarnya. Ternyata Bagas mendengar suaranya. Bagas bisa
mendengarkan!!
"Kau... kau bisa mendengar aku Bagas? Kau bisa dengar aku?"
Ciara berujar penuh perasaan. Bahkan dia berujar sambil berdiri.
Ada perasaan aneh yang muncul di dada ketika tahu kalau Bagas
bisa mendengar suaranya.
"Ahhh... Ciara.... Kau tak tahu bagaimana senangnya aku mendengar
suaramu. Apa yang terjadi?
Aku pikir komunikatorku rusak..."
Ciara memejamkan mata. Bagas. Ah Bagas. Pemuda itu mengaku
senang mendengar suaranya!!
"Iya, ada gangguan pada komunikatormu. Namun sudah diperbaiki
ayah..."
"Ciara..."
"Ya Bagas?
"Maaf aku belum bisa kembali..."
Percakapan itu mengalir. Setiap kalimat yang terucap mendatangkan
kesan yang mendalam di sanubari. Percakapan yang aneh, karena
melibatkan dua orang yang berbeda linimasa.64
"Aku akan menunggumu, Bagas..."
Ciara mengucapkan kalimat itu dengan penuh perasaan. Dengan
penuh kesungguhan. Dia akan menunggu, tak peduli Bagas menjadi
siapa. Bahkan jika Bagas terpaksa bertindak sebagai Gajah Mada,
menjadi salah satu tokoh paling penting di Nusantara, itu tak menjadi
masalah bagi Ciara.
Dia akan menunggu.
Karena dia percaya pada Bagas.
Dia percaya kalau Bagas akan kembali.
Kelak.
<>65
12 Semesta Bekerja Dengan Cara Misterius
"AKU , Mada dari Bhayangkara, memohon petunjuk dari tetua yang
mulia..." Bagas berujar penuh hormat ke kakek tua.
Kakek itu tersenyum. Mata kakek itu bersinar tajam.
"Siapa yang mulia, siapa yang muda? Itu hanya sebutan kosong. Kau
masih muda, namun akan menjadi mulia. Dan itu bukan kosong..."
"Hamba mohon petunjuk..."
Bagas berujar sambil menghormat.
"Aku melihat aura tubuhmu bercahaya. Kau akan menjadi orang
besar. Bukan, kau tak akan menjadi raja. Namun kau akan menjadi
lebih besar dari raja..."
Kakek itu berujar pelan. Suaranya lirih, nyaris seperti berbisik. Bagas
mendengar dengan hati berdebar. Dia akan menjadi orang besar?
Menjadi lebih besar dari raja? Bagas bergidik. Dia kini sedang
berperan sebagai Mada. Yang kelak akan disebut Gajah Mada.
Sejarah telah mencatat kalau Gajah Mada akan menjadi tokoh besar
di Nusantara. Dan kakek aneh ini, entah bagaimana, sudah bisa
melihat hal itu!!
"Kau, anak muda, telah menolong kedua muridku. Kau telah
melepaskan mereka. Untuk itu aku mengucapkan terima kasih..."
Bagas tertegun. "Jadi sepasang suami istri yang masih muda itu
murid kakek ini? Hmmm... "Tetua tak perlu berterima kasih. Kedua
murid tetua sangat hebat. Mereka tak perlu bantuanku untuk pergi
dari sini. Bahkan, hanya dengan menggerakkan jari tangan saja
mereka bisa membunuhku..."
Kakek itu lagi-lagi tersenyum.
"Duduklah anak muda, kita bicara..."
Kakek itu lalu duduk di sebuah tunggul pohon yang menonjol. Bagas
mengikuti dengan duduk di sebuah batu.
"Siapa namamu tadi? Mada? Begini Mada, kedua muridku, Sentanu66
dan Kartikasari, sejak kecil telah kuajari bagaimana hidup lurus.
Bagaimana hidup sesuai aturan. Itu sebabnya mereka berusaha
untuk meminta ijin darimu untuk meninggalkan tempat ini. Mereka
tidak mau merasa diri sebagai pelarian karena pergi diam-diam..."
Kakek itu berhenti sejenak dan menatap Bagas, seakan ingin melihat
apa reaksi pemuda itu. Melihat Bagas berdiam diri, kakek itu
melanjutkan,
"Mereka juga diajari ilmu poncakhara, ilmu bela diri tingkat tinggi.
Namun ilmu itu hanya untuk melawan kejahatan. Dan kedua muridku
tahu, kau bukan orang jahat..."
Kakek itu menarik nafas panjang.
"Membunuh itu buruk, bahkan sekalipun yang dibunuh itu orang
jahat. Atau jika dilakukan karena terpaksa. Jika kedua muridku
membunuhmu, hal itu akan menghantui mereka seumur hidup.
Karena mereka tahu telah melanggar hukum Kutara Manawa
bagian Astadusta yakni membunuh seseorang yang tidak berbuat
kejahatan. Membunuh itu buruk, dan membunuh seseorang yang
tidak berdosa, itu jauh lebih buruk, dan sesuai hukum dalam kitab
Kutara Manawa, harus dihukum mati..."
Kakek itu menengadah, membiarkan semilir angin bertiup di
kepalanya.
"Kejahatan harus berbalas kejahatan. Sebaliknya kebaikan harus
dibalas dengan kebaikan. Kau telah melakukan hal yang baik, anak
muda. Dan kebaikan hatimu sepantasnya mendapat balasan..."
Bagas menundukkan tubuhnya.
"Aku hanya menjalankan tugas. Dan menjalankan tugas itu bukan
sesuatu yang harus mendapat imbalan..."
"Kau aneh, anak muda. Kau melakukan kebaikan yang memaksa kita
bertemu. Apakah kau pikir ini kebetulan? Tidak. Alam Semesta
bekerja dengan cara yang misterius. Dan pertemuan kita itu bukan
kebetulan. Ini merupakan bagian dari misteri kehidupan yang tak
bisa diduga..."
"Hamba yang muda mohon petunjuk..."67
"Hmmm... Sebagai anggota Bhayangkara kau pasti bisa poncakhara,
ilmu bela diri bukan? Coba perlihatkan padaku poncakhara, ilmu
beladirimu yang paling hebat..."
Bagas menatap kakek itu, melihat keseriusan dalam kalimatnya.
Kakek ini berilmu tinggi, dan ingin memberi petunjuk. Kesempatan
seperti ini tak akan muncul dua kali.
"Hamba hanya mempelajari sedikit ilmu olah tubuh. Mohon tetua
tidak menertawakan," kata Bagas.
Dia kemudian berdiri dan bersilat. Dia pernah mempelajari ilmu silat
aliran Padepokan Rumah Kayu, ilmu beladiri kuno yang cabang
ilmunya masih dipelajari hingga jaman modern. Cabang silat aliran
Padepokan Rumah Kayu bahkan sempat dipertandingkan di PON.
Bagas bersilat sebaik mungkin. Setelah semua jurus silat yang
dipelajarinya dimainkan, Bagas melanjutkan dengan gerakan karate.
Dia belajar karate hingga Dan II. Dia memainkan ?kata? dengan
sepenuh kekuatan. Bagas mengakhiri peragaan jurusnya dengan
memperlihatkan gerakan mix martial art, ilmu beladiri campuran
berupa hantaman tinju dan tendangan.
Kakek itu menatap dengan penuh perhatian. Jemarinya yang keriput
mengelus jenggot. Sesekali mata kakek itu menyipit.
"Ilmu silatmu aneh, itupun jika bisa disebut silat," kata si kakek.
"Namun ada beberapa gerakanmu yang bagus. Sederhana namun
praktis, dan akan ampuh dalam pertarungan tangan kosong. Sayang,
tenaga dalammu hampa. Kau hanya memainkan gerakan kasar,
tanpa tenaga dalam..."
"Hamba mohon petunjuk. Selama ini hamba memang tak pernah
mempelajari tenaga dalam..."
"Hmmm... Kau aneh, atau beruntung. Tanpa tenaga dalam, hanya
mengandalkan gerakan kasar, kau bisa menjadi anggota
Bhayangkara. Ini sungguh luar biasa..."
"Mohon petunjuk..."
"Tenaga dalam, atau prana, atau cakra, atau apapun istilahnya,
sangat penting dalam ilmu beladiri. Tenaga dalam akan membuat68
seranganmu jauh lebih hebat. Kau bisa memberikan kerusakan yang
lebih besar pada lawan jika seranganmu menggunakan tenaga
dalam... "
"Namun tenaga dalam itu sukar dilatih. Perlu latihan pernafasan
selama belasan bahkan puluhan tahun. Tenaga dalam juga bisa
dipicu dengan memakan ramuan atau tanaman tertentu. Atau
dipindahkan dari seseorang. Hmm... anak muda, apakah kau
percaya padaku?"
Bagas menundukkan tubuhnya.
"Hamba percaya sepenuhnya..."
"Bagus. Aku akan membantumu. Aku akan membuka semua nadi
saktimu dan membantu menyalurkan sedikit tenaga sakti. Namun kau
harus berlatih keras siang dan malam untuk menyalurkan dan
menguasai tenaga sakti yang akan kuberikan padamu. Namun
sebelum itu, kau harus menghafal teori ilmu yang disebut Prana
Sasanga Kalacakra (Tenaga Sakti Sembilan Matahari). Kau siap?"
Bagas mengangguk.
"Baik. Hafalkan ini :


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takut kepada Sang Pencipta adalah permulaan pengetahuan.
Satu menjadi banyak, banyak adalah satu.
Semua terpecah menjadi satu.
Ke kiri adalah lantunan lagu, ke kanan adalah tembang
kenangan. Aliran itu seperti sungai yang meluap di kala gersang
dan mengering di waktu hujan.
Banjir adalah kesegaran dan haus adalah kelimpahan..."
Kakek itu berhenti dan meminta Bagas mengulangi kalimatnya.
Setelah Bagas menghafal di luar kepala, kakek itu melanjutkan,
"Ketenangan itu seperti aliran air yang bertiup di kala senja.
Perpindahan adalah semesta dan alam itu abadi.
Tak ada kesenyapan dalam diam..."
Bagas berkonsentrasi dan mencoba menghafal kalimat demi kalimat69
yang diucapkan sang kakek. Kalimat yang aneh, bahkan sebagian
besar tak dipahami. Namun Bagas mengeraskan hati dan mencoba
menghafal. Terik matahari mulai terasa. Bagas memperkirakan
sudah lebih dua jam dia menerima pelajaran teori Prana Sasanga
Kalacakra berikut penjelasannya.
"Prana Sasanga Kalacakra terdiri atas sembilan tingkatan. Setelah
menguasai teorinya, aku akan menyalurkan sedikit tenaga saktiku,
dan dengan latihan pernafasan secara teratur kau akan menguasai
tingkat pertama, yakni Eka Kalacakra (Satu Matahari)..."
Kakek itu kemudian pindah ke belakang Bagas.
"Tubuhmu masih kosong, jadi aku tak bisa memberimu tenaga sakti
yang berlebihan karena organ dalam tubuhmu bisa rusak. Sekarang,
lemaskan tubuhmu..."
Kakek itu menotok punggung Bagas beberapa kali. Pemuda itu
merasa tubuhnya dilanda rasa sakit yang aneh. Dia kemudian
merasa telapak tangan sang kakek berada di punggung.
Sekonyong-konyong, Bagas merasa hawa hangat mengalir dari
telapak tangan sang kakek. Hawa panas itu mengalir di punggung,
berpindah ke dada dan perut. Si kakek menyalurkan tenaga saktinya
sekitar sepeminum teh lamanya.
Setelah selesai, kakek itu pindah ke depan Bagas. Pemuda itu
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Lima Sekawan 02 Menaklukkan Agen Rahasia Cincin Maut Karya Tjan Id

Cari Blog Ini