Ceritasilat Novel Online

Cinta Dua Dunia 2

Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh Bagian 2


melihat wajah si kakek memerah.
"Ada dua cara berlatih pernafasan untuk memperkuat tenaga dalam.
Cara pertama, sangat mudah namun hasilnya lebih lama. Sedangkan
cara kedua, lebih sulit namun hasilnya akan lebih cepat.
Cara pertama, kau bersila dan mengatur nafas.
Cara kedua, kau berdiri dengan kedua tangan dan mengatur nafas.
Mana yang akan kau pilih?"
Bagas menimbang-nimbang. Waktunya tidak banyak. Jika benarbenar ingin melakoni peran sebagai Mada, setidaknya dia harus
menguasai ilmu beladiri yang lumayan. Artinya, dia harus dapat
menguasai tenaga dalam dalam waktu sesingkat mungkin.70
"Hamba memilih cara yang kedua saja..."
"Bagus," kata si kakek.
"Sekarang, letakkan kedua tanganmu ke permukaan tanah.
Kemudian naikkan tubuhmu. Kedua tangan menyangga tubuh
sebagai pengganti kaki..."
Tanpa bertanya Bagas melakukan apa yang dikatakan. Dia
meletakkan kedua tangan ke permukaan tanah dan kemudian
menyangga tubuhnya. Karena lumayan aktif berolahraga, apalagi
menguasai beberapa cabang ilmu beladiri, Bagas tak menemui
kesulitan untuk menyangga tubuhnya. Sekalipun untuk itu dia harus
mengeluarkan tenaga ekstra keras.
"Sekarang, secara perlahan kau tekuk tubuhmu. Bengkokkan
tubuhmu sehingga ujung kedua kaki nyaris menyentuh pundak..."
Perlahan Bagas membengkokkan tubuhnya. Terasa agak sulit
namun akhirnya dia berhasil.
"Tarik nafas melalui hidung kemudian keluarkan melalui mulut.
Lakukan berulang-ulang. Setelah sembilan puluh kali, kau coba
kuasai energi di dalam tubuh dengan mengikuti teori yang kau
hafal..."
Bagas patuh. Dia menarik nafas melalui hidung dan
menghembuskannya melalui mulut. Dia melakukan berulang-ulang.
Karena belum terbiasa, dia merasa kedua tangan yang menyangga
tubuh mulai bergetar. Namun Bagas menguatkan hati. Kepala
Bagas mulai terasa pening. Dan ada energi aneh yang bergejolak di
dada dan perut. Bagas mencoba menguasai energi aneh itu sesuai
teori yang dihafalnya.
Si kakek berdiri di dekat Bagas, mengamati, dan tersenyum. Dia
tetap menunggui Bagas hingga sinar matahari terasa terik di ubunubun.
"Cukup, anak muda. Kau ulangi latihan seperti ini petang nanti.
Setiap hari kau harus berlatih pagi dan sore..."
Bagas melentingkan tubuhnya hingga posisi bersila.71
"Terima kasih atas budi baik guru yang mulia. Bolehkan hamba tahu
siapa nama guru?"
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Tentu saja, setelah menjadi muridku kau boleh tahu siapa aku.
Dunia persilatan mengenalku sebagai Resi Suwung. Kau teruslah
berlatih. Jika ada jodoh, kau bisa meminta petunjuk kepada kedua
saudara seperguruanmu, Sentanu dan Kartikasari. Berlatihlah
dengan giat, jangan jemu. Aku pergi, anak muda..."
Suara kakek itu masih menggema ketika tubuhnya berkelebat.
Lenyap. Bagas menarik nafas panjang. Ah, kehidupan. Sungguh
penuh dengan misteri yang bahkan tak bisa dibayangkan. Dia harus
berperan sebagai Mada, anggota Bhayangkara dan mengawal Raja
Majapahit hingga ke dusun Badander. Dan kini, nasib
mempertemukannya dengan kakek aneh yang mengajarkan ilmu
tenaga dalam. Apakah di era Majapahit ini dia harus menjadi
pendekar?
<>72
13 Rahasia di Gili Wanadri Wuluh
BAGAS memacu kudanya. Dusun Badander jauh di belakang.
Setelah dua pekan mengungsi di Badander, Raja Jayanagara
memintanya untuk mencari informasi tentang apa yang terjadi di
Tarik, kotaraja Majapahit. Bagas merupakan pilihan satu-satunya
karena Tumenggung Anarjaya sebagai pemimpin Bhayangkara tak
bisa meninggalkan sang Raja. Begitu juga Mahisa Kedora yang
harus memimpin anak buahnya melakukan penjagaan di dusun.
"Cari tahu apa yang terjadi di kotaraja. Apakah para pemberontak
berhasil menguasai Tarik, dan siapa yang kini menjadi penguasa,"
begitu pesan Tumenggung Anarjaya.
"Kau juga harus mencari informasi siapa saja pasukan yang masih
setia kepada Raja Jayanagara. Coba hubungi Mapanji Pamattu,
Sorta atau Tumenggung Jattilan, pemimpin pasukan Danur Malagha.
Mereka bisa dipercaya. Jika pemberontak kini menguasai Wilwatikta,
kau harus membantu upaya merebut kembali kekuasaan..."
Bagas terus memacu kudanya. Ada rasa percaya diri yang besar di
dalam diri. Bagas yang sekarang berbeda dengan dua pekan
sebelumnya. Bagas kini menjadi salah satu pewaris Prana Sasanga
Kalacakra. Setiap hari dia melatih pernafasan, mencoba menguasai
dan menyalurkan tenaga sakti yang diberikan oleh sang guru, Resi
Suwung. Selain melatih pernafasan, Bagas juga mencoba
mengombinasikan ilmu tenaga dalam dengan beragam gerakan bela
diri modern yang dipelajarinya. Dan sejak kemarin pagi, dia
memperoleh kemajuan yang cukup signifikan. Ketika dia berlatih di
hutan dan meninju sebuah pohon, batang pohon yang ditinju
berubah warna menjadi hitam. Hangus!! Area yang hangus baru
sebesar kepalan tangan. Namun hangus. Benar-benar hangus.
Bagas ternyata sudah mampu menyalurkan tenaga sakti ke dalam
jurus beladiri. Dan tenaga sakti itu mampu menghanguskan sasaran.
Bagas pun mencari tahu seberapa jauh pukulan tenaga dalamnya
bisa memberi dampak merusak. Dan ternyata, dia tetap mampu
menghanguskan sasaran dalam jarak sekitar dua meter. Apa yang
dicapainya membuat Bagas gembira. Dia kini telah menguasai
tingkat pertama Prana Sasanga Kalacakra, yakni Eka Kalacakra73
(Satu Matahari)!!
Kesadaran bahwa dirinya telah ?berisi? membuat Bagas cukup
percaya diri menjalankan tugas yang dibebankan Tumenggung
Anarjaya dan Raja Jayanagara kepadanya. Bagas sadar,
kepandaian beladirinya memang belum bisa dikategorikan sebagai
?sakti mandraguna?. Namun setidaknya dia telah menjadi sesuatu.
Dia kini bisa menghanguskan batang pohon walau baru dalam skala
kecil. Dan Bagas tahu, rata-rata tubuh manusia tidak sekeras dan
setebal batang pohon.
"Ciara, bagaimana kabarnya?"
Setelah komunikatornya diperbaiki, Bagas selalu berkomunikasi
dengan Ciara, juga profesor Dananjaya. Tentu saja, komunikasi
dilakukan secara diam-diam ketika Bagas sendirian seperti saat ini.
"Kabar kami baik, Bagas. Seperti biasa."
Terdengar suara merdu. Ciara.
"Jadi kau sudah meninggalkan dusun Badander?" terdengar suara
Ciara lagi.
"Benar. Seperti yang mungkin kalian dengar, aku ditugaskan untuk
mencari tahu bagaimana perkembangan situasi pascapemberontakan. Apakah kalian sudah mendapat informasi dari buku
sejarah tentang situasi Majapahit setelah pemberontakan Kuti?"
"Sayang sekali, informasinya tidak banyak, Bagas. Hanya dikatakan,
Gajah Mada secara diam-diam menghadiri sebuah pertemuan, dan di
sana Gajah Mada mengatakan kalau Jayanagara telah tewas.
Peserta pertemuan bersedih yang berarti mereka masih setia pada
raja. Gajah Mada pun mengatakan kalau Jayanagara masih hidup
dan kemudian memimpin upaya merebut kekuasaan..."
"Apakah tidak disebutkan bagaimana Gajah Mada merebut
kekuasaan dari Kuti?"
"Tidak ada informasi soal itu, Bagas. Maaf. Kelihatannya kau harus
siap-siap berimprovisasi. Karena banyak hal yang kelihatannya tidak
tercatat dalam sejarah..."
"Baiklah, terima kasih Ciara. Senang bisa mendengar suaramu lagi..."
Bagas tidak berdusta ketika mengatakan senang mendengar suara
Ciara. Juga tak berbasa-basi. Dia benar-benar senang mendengar74
suara Ciara. Atau Profesor Dananjaya. Suara mereka yang memberi
kekuatan, juga pengingat bahwa apa yang dilakukan dan dilakoni
Bagas benar-benar nyata. Bahwa ini bukan mimpi. Bahwa dia tidak
gila. Bahwa dia benar-benar berada di masa lalu, di era Majapahit.
Dan dia kini dikenal sebagai Mada. Sosok yang dalam sejarah
kemungkinan bakal dikenal sebagai Mahapatih Gajah Mada.
Bagas memacu kudanya menuju areal perbukitan yang didominasi
bambu. Hutan bambu. Menurut Tumenggung Anarjaya, Gili Wanadri
Wuluh (Bukit Hutan Bambu) merupakan lokasi rahasia jika terjadi
sesuatu di luar rencana.
Gili Wanadri Wuluh punya fungsi yang sama dengan Candi Kebo.
Keberadaan Gili Wanadri Wuluh juga hanya diketahui segelintir
orang. Jika para pemberontak berhasil merebut dan menguasai
Tarik, maka kemungkinan besar pasukan yang masih setia pada
Jayanagara akan bersembunyi di Gili Wanadri Wuluh. Perlahan,
kuda yang ditunggangi Bagas memasuki kawasan yang dipenuhi
bambu. Gili Wanadri Wuluh.
Tumenggung Anarjaya telah menjelaskan dengan sangat detil di
mana letak dan juga ciri-ciri lokasi itu sehingga Bagas tak kesulitan
mendapatkannya. Bambu beraneka jenis nampak tumbuh
membentuk alur yang aneh. Batang bambu yang tumbuh
bergerombol membuat perjalanan terpaksa dilakukan secara
perlahan. Bahkan Bagas terpaksa turun dari kudanya. Bagas
menatap sekeliling. Bambu berbagai ukuran nampak di mana- mana.
Suasana sepi. Melihat bagaimana bambu-bambu itu tumbuh, Bagas
bisa mengerti kenapa lokasi ini dijadikan sebagai tempat
persembunyian. Lokasi ini memang tertutup dan sukar dimasuki.
Siapapun yang bermaksud mendatangi tempat ini harus berjalan
perlahan. Bagas juga melihat sejumlah titik yang ideal untuk
melakukan penyergapan.
Dan tiba-tiba, entah dari mana, muncul lima prajurit bersenjata
lengkap. Mereka menodongkan tombak dan pedang ke arah Bagas.
"Kau siapa? Mau apa kau ke sini?" seorang prajurit yang memiliki
kumis melingkar bertanya.
"Namaku Mada. Aku datang ke tempat ini untuk menjumpai teman75
lama, Pamattu dan Korsa..." Bagas menjawab tenang.
Melihat sikap dan lagak mereka, para prajurit ini pasti bagian dari
pasukan Majapahit yang bersembunyi di tempat ini.
"Sikapmu mencurigakan. Kau mungkin mata-mata. Kami harus
menangkapmu..."
Kelima prajurit itu mengambil kuda dan keris milik Bagas, dan
kemudian mengikat lengan pemuda itu. Mereka kemudian
mendorong Bagas memasuki bonggol bambu yang ternyata
merupakan pintu masuk rahasia ke tempat yang lebih dalam.
Bambu yang tumbuh semakin lebat dan Bagas bisa melihat
penjagaan semakin ketat. Ada sejumlah prajurit yang berjaga secara
terang-terangan, dan ada pula yang bersembunyi dalam barisan
pendam. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah pondok
yang dijaga belasan prajurit bersenjata lengkap. Seorang
perempuan keluar dari pondok.
Kelima prajurit yang menangkap Bagas segera berlutut. Mereka
memaksa Bagas untuk ikut berlutut.
"Ada apa? Siapa dia?" terdengar suara perempuan.
"Mohon beribu ampun, kami melihat orang ini memasuki kawasan
terlarang. Kami mengamankannya karena berpikir dia mungkin matamata..."
"Kau, siapa kau? Apa benar kau mata-mata?"
Suara perempuan kembali terdengar.
"Namaku Mada. Aku bukan mata-mata. Aku datang untuk bertemu
dengan Senopati Mapanji Pamattu dan Senopati Sorta..."
"Kau, dan kalian semua berdirilah..."
Dengan patuh kelima prajurit itu bangkit. Juga Bagas. Setelah berdiri
dia melirik sekilas ke perempuan itu. Dia masih muda. Berusia sekitar
18 atau 19 tahun. Dia berwajah cantik. Sangat cantik, dengan sikap
penuh keagungan. Dia bertelanjang dada, dan mengenakan
belasan kalung manik-manik yang menutupi sebagian besar76
dadanya. Dia mengenakan kain panjang berwarna ungu kemerahan.
"Kalian panggil Senopati Pamattu dan Sorta," kata si perempuan.
Namun sebelum para prajurit beranjak, terdengar suara nyaring dari
belakang.
"Maaf, paduka putri. Lelaki ini bukan musuh. Dia teman!!"
Bagas menoleh. Yang datang Mapanji Pamattu, Sorta dan seorang
lelaki kekar berusia lima puluhan tahun.
"Dia Senopati Mada dari Bhayangkara. Dia yang menemani yang
mulia paduka raja mengungsi," kata Pamattu.
Para prajurit terkejut dan segera membuka tali yang mengikat Bagas.
"Hmm... jadi kau senopati yang mengawal Kakanda Jayanagara?
Bagaimana keadaan kakanda?" Tanya perempuan itu.
Mada segera memberi hormat. Perempuan ini sangat dihormati,
bahkan oleh Mapanji Pamattu dan Sorta. Jelas dia bukan perempuan
biasa. Apalagi dia menyebut Raja Jayanagara sebagai kakanda.
"Yang Mulia Baginda baik-baik saja," kata Bagas.
"Hamba diperintahkan Baginda, juga Tumenggung Anarjaya untuk
mencari tahu perkembangan di kotaraja. Secara khusus hamba
diperintahkan Tumenggung Anarjaya untuk mendatangi tempat ini,
yang menurut Tumenggung merupakan tempat persembunyian
rahasia..."
"Tumenggung Anarjaya benar. Tempat ini menjadi pusat
persembunyian kita. Selain pasukan, di sini juga ada Yang Mulia
Dyah Gitarja, adik yang Mulia Raja Jayanagara. Yang Mulia Dyah
Gitarja terpaksa melarikan diri dari Jiwana Kahuripan karena hendak
diculik untuk diperistri oleh Ra Kuti, yang kini menjadi penguasa di
Tarik, Kotaraja," kata Mapanji Pamattu.
Bagas mengangguk penuh terima kasih. Dia merasa kagum atas
kecerdikan Mapanji Pamattu. Mapanji Pamattu tahu bahwa Bagas,
yang berpura-pura menjadi Mada, tidak mengenal sang putri. Dan
secara tidak langsung, Mapanji Pamattu telah memaparkannya.77
"Kita bicara di pondok saja," kata Dyah Gitarja. "Tumenggung Jattilan,
senopati..."
Dyah Gitarja segera memasuki pondok. Dia berjalan sambil
mengangkat dagu. Lagaknya sangat agung. Mapanji Pamattu
memberi isyarat kepada Bagas. Mereka berempat memasuki pondok
dan bersila di depan gadis itu. Bagas bersila tepat di depan Dyah
Gitarja. Pemuda itu bisa melihat dengan jelas. Gadis itu cantik sekali.
Dengan kulit yang bening, mata yang lentik dan wajah yang
membayangkan rasa percaya diri yang tinggi.
"Eh, halo Bagas, soal Dyah Gitarja. Aku barusan dapat informasi dari
Google. Dyah Gitarja itu putri Raden Wijaya dari istri Gayatri. Dyah
Gitarja ini yang kelak menjadi Ratu Majapahit menggantikan
Jayanagara. Dyah Gitarja itu akan menjadi ibu dari Hayam Wuruk.."
Suara Ciara terdengar di komunikator.
Tanpa sadar Bagas mengangguk. Jadi benar, Dyah Gitarja
merupakan adik tiri dari Jayanagara.
"Bagas, kau bisa mendengar aku? Berdehem jika kau mendengar
aku..." Terdengar suara Ciara lagi. Bagas berdehem.
"Bagus. Dari informasi yang kudapat, Dyah Gitarja ini dilarang oleh
Jayanagara untuk menikah. Bahkan Jayanagara sempat berencana
menjadikan dia dan adik perempuannya sebagai istri. Dyah Gitarja
baru menikah setelah Jayanagara wafat..."


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagas berdehem sekali lagi.
"Kau baik-baik saja?"
Terdengar suara Dyah Gitarja. Gadis itu menatap Bagas dengan
tajam.
Bagas melakukan sembah dan mengangguk.
"Hamba baik-baik saja..."
"Ceritakan tentang kakanda Jayanagara..."
Dengan singkat Bagas menceritakan perjalanan mereka sepanjang
siang dan malam menuju Dusun Badander. Bahwa untuk saat ini
Jayanagara aman, dan sudah tak sabar untuk kembali ke kotaraja.78
Dyah Gitarja mengangguk setelah Bagas selesai bercerita.
"Bagaimana pendapat paman tumenggung?"
Tumenggung Jattilan melakukan sembah dan berkata,
"Kita tentu gembira mendengar kabar kalau yang mulia baginda raja
selamat. Sekarang, yang harus kita pikirkan adalah menyelamatkan
paduka putri dari rencana penculikan yang bakal dilakukan tokoh
golongan hitam yang membantu para pemberontak..."
"Tumenggung benar, paduka putri. Sangat penting bagi kita untuk
menjamin keselamatan paduka. Karena begitu paduka jatuh ke
tangan pemberontak, situasi akan semakin berbahaya. Tak hanya
bagi paduka putri pribadi, namun juga bagi Majapahit," kata Senopati
Sorta.
Dyah Gitarja kembali mengangguk. Dia bisa memahami keprihatinan
Tumenggung Jattilan dan kedua senopati itu. Setelah berhasil
menguasai istana, Kuti ingin mengokohkan kedudukannya sebagai
Raja Majapahit. Ra Kuti tahu bahwa dia tak pantas menduduki rahta
Wilwatikta karena tak punya darah biru. Satu-satunya cara agar dia
bisa sah menjadi raja Majapahit adalah dengan menikahi Dyah
Gitarja, putri sulung Raden Wijaya dari istri Gayatri. Memang, Dyah
Gitarja punya adik kandung perempuan, Dyah Wiyat. Namun
sebagai putri sulung, posisi Dyah Gitarja lebih penting dan
menentukan. Jika Ra Kuti menikahi putri sulung Raden Wijaya,
posisinya sebagai penguasa Majapahit tak akan tergoyahkan.
"Kami punya rencana untuk menyembunyikan paduka putri di tempat
yang aman. Lebih aman dari Gili Wanadri Wuluh ini. Dan kedatangan
senopati Mada akan memperlancar rencana kita," kata Tumenggung
Jattilan.
"Ingsun mendengarkan..."
"Begini," kata Tumenggung Jattilan.
"Kami berencana menyembunyikan paduka putri di... kotaraja. Di
Tarik!!"
"Hmmm. Ingsun tidak mengerti. Kenapa di Kotaraja? Bukankah di
sana justru menjadi pusat kekuatan pemberontak?"79
"Justru karena kotaraja menjadi pusat kekuatan pemberontak, maka
tempat itu yang paling tepat untuk dijadikan lokasi persembunyian,"
kata Mapanji Pamattu.
"Karena mereka, para pemberontak pasti tak akan menyangka kalau
putri yang paling mereka cari justru ada di kotaraja. Mereka akan
mencari paduka putri di mana-mana, namun tidak di kotaraja..."
Dyah Gitarja mengelus rambutnya. Alisnya berkerut.
"Baik, katakanlah ingsun akan bersembunyi di kotaraja. Namun
bagaimana caranya? Mustahil para penjaga tidak mengenali ingsun
begitu memasuki kotaraja bukan?"
"Caranya," kali ini Sorta yang bicara, "adalah dengan menyamar.
Kami sudah memikirkan ini selama berhari-hari, dan kedatangan
Senopati Mada memudahkan rencana kita. Begini. Tumenggung
Jattilan, saudara Mada dan paduka putri akan menyamar menjadi
petani. Tumenggung menjadi ayah, dan paduka serta Mada berpurapura menjadi pasangan suami-istri..."
Dyah Gitarja terdiam. Juga Bagas. Untuk sesaat, pondok itu sunyi.
"Menyamar? Ini akan menarik. Namun ingsun tak pernah menyamar.
Ingsun juga tak punya bakat untuk berdusta. Kalian pikir ini akan
berhasil?"
"Ini akan berhasil, paduka putri," kata Tumenggung Jattilan.
"Paduka putri dan saudara Mada tak perlu bicara jika ada penjaga.
Biar hamba yang bicara. Semua akan baik-baik saja karena kita
hanya berpura-pura menjadi petani..."
"Emm, maaf, paduka putri, tumenggung, tapi kenapa harus hamba?"
Bagas tak bisa menahan diri untuk bertanya. Rencana yang disusun
Tumenggung itu kelihatannya bagus, namun sangat beresiko.
Apalagi dia harus berpura-pura menjadi suami dari perempuan yang
tak lain adalah adik tiri raja Mahapahit!! Selama ini, dia telah
berpura-pura menjadi Mada. Dan kini, sebagai Mada, dia harus
berpura-pura menjadi petani yang punya istri yang sangat cantik!!80
"Alasannya sederhana, saudara Mada," kata Sorta.
"Paduka putri masih sangat muda. Jadi suaminya harus berusia tak
jauh di atas paduka. Dan saudara Mada yang paling sesuai. Kami,
saya dan Panji Pamatu tak cocok berperan sebagai suami paduka
putri, karena terlalu tua. Sementara tumenggung lebih cocok
berperan sebagai ayah. Kita tak bisa memberi peran sebagai suami
paduka putri kepada prajurit biasa, karena itu terlalu berbahaya..."
Bagas mengangguk paham. Penjelasan Sorta sangat masuk akal.
Dia melirik ke Dyah Gitarja yang kelihatannya sedang berpikir keras.
"Jadi, ingsun harus berpura-pura menjadi istri dari eh, senopati Mada.
Dan kita akan bersembunyi di Kotaraja. Kemudian apa?"
"Di kotaraja hamba dan saudara Mada akan berhubungan dengan
teman-teman yang masih setia kepada Prabu Jayanagara. Senopati
Mapanji Pamattu dan Senopati Sorta, juga semua pasukan akan
memasuki kotaraja secara diam-diam. Di sana kita akan mencari
jalan bagaimana mengalahkan para pemberontak..."
"Dan selama itu ingsun akan menjadi istri, mmm maksud ingsun,
berpura-pura menjadi istri senopati Mada?"
"Benar, paduka putri. Namun jika paduka putri tak berkenan, kita bisa
mencari jalan lain..."
"Mmm... Ingsun setuju. Kapan kita berangkat?"
Tumenggung Jattilan, Senopati Mapanji Pamattu dan Sorta menarik
nafas lega.
"Kita bisa berangkat besok pagi-pagi. Gerobak sudah siap, juga
perlengkapan..."
"Kalian tentu sudah menyiapkan pakaian yang akan ingsun kenakan
bukan? Karena ingsun tak mungkin menyamar sebagai petani dan
berbusana seperti ini..."
"Benar. Kami sudah menyiapkan pakaian yang akan dipakai paduka.
Juga, kita sudah menyiapkan nama. Paduka akan disebut sebagai81
Ratih, dan saudara Mada akan bernama..."
"Hamba memilih nama Bagas saja..."
"Bagus. Hamba akan menjadi petani Kerto, punya putri bernama
Ratih dan menantu bernama Bagas. Kita ke kotaraja karena Bagas
ingin mendaftar menjadi prajurit Majapahit. Kebetulan saat ini para
pemberontak membuka lowongan menjadi prajurit. Mereka rupanya
ingin membangun kekuatan dengan merekrut prajurit baru..."
Bagas mendesah dan bisa merasakan ironi yang menimpanya. Dia
menjelajah waktu dan tiba di era Majapahit, dan harus berpura-pura
menjadi Mada. Dan kini, sebagai bagian dari penyamaran, dia harus
menjadi petani bernama... Bagas!! Ide untuk memakai nama Bagas
melintas begitu saja di benaknya. Dan syukurlah Tumenggung
Jattilan setuju. Pertemuan di pondok selesai. Bagas baru saja
hendak beranjak ketika dia didekati Sorta dan Mapanji Pamattu.
"Saudara Mada, bisa kita bicara? Ada yang hendak kami
sampaikan..."
Bagas mengangguk dan mengikuti kedua senopati Bhayangkara itu
meninggalkan pondok. Mereka berjalan ke sebelah tenggara yang
sepi.
"Ada hal penting yang ingin kami katakan," kata Sorta.
"Tentang Mada. Dan karena kau kini menjadi Mada, kami pikir kau
harus mengetahuinya....."
"Hal penting apa?"
"Hal penting menyangkut pribadi Mada," kata Sorta sambil melirik
rekannya, Mapanji Pamattu.
"Perlu kau ketahui, Mada itu sudah menikah. Belum lama, baru
sekitar dua tiga bulan lalu. Dia jarang menemui istrinya karena tugas
namun dia punya istri..."
"Apakah istrinya bernama Dyah Uttari?"
"Ah, darimana kau tahu?"
"Sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir, Mada mengatakan
sesuatu tentang Dyah Uttari. Bahwa Mada mencintainya..."
"Ahhh..." Senopati Sorta dan Mapanji Pamattu tercenung.
"Dyah Uttari, istri Mada itu, di mana dia sekarang?"82
"Ini yang hendak kami sampaikan kepadamu. Istri Mada, Dyah Uttari
tinggal di Kotaraja, di Tarik sebelah timur. Kediamannya tidak jauh
dari rumah yang akan kalian tempati," kata Sorta.
"Beberapa saat sebelum datang ke sini, kami sempat menemuinya
dan menceritakan apa yang terjadi pada Mada," lanjut Mapanji
Pamattu.
"Kami juga bercerita tentangmu. Bahwa kau terpaksa berpura-pura
menjadi Mada untuk mendapatkan kepercayaan baginda raja
menyangkut kabar adanya pemberontakan..."
"Jika kau sudah tiba di kotaraja, ada baiknya kau mengunjunginya,
dan menceritakan apa yang terjadi pada Mada, dan apa pesannya
yang terakhir. Kediamannya hanya berjarak lima rumah dengan
yang akan kalian tempati. Depan rumahnya ditanami pohon
Mangga..." kata Sorta
"Baik, aku akan berusaha menemuinya..."
"Terima kasih. Mada dan istrinya, mereka itu seperti keluarga bagi
kami. Dan akan sangat berarti bagi kami jika kau menceritakan pada
Dyah Uttari bahwa almarhum suaminya sangat mencintainya..."
Mereka segera beranjak mendekati pondok. Di saat yang sama,
Dyah Gitarja terlihat keluar dari pondok. Bagas melirik ke arah Dyah
Gitarja yang mulai besok hari bakal menjadi istrinya. Dan dia teringat
apa yang baru saja disampaikan Senopati Sorta dan Mapanji
Pamattu. Bahwa di kotaraja, ada perempuan yang menjadi istri
Mada yang asli. Bagas mendesah, memikirkan kerumitan yang
harus dilaluinya. Karena dia kini berpura-pura menjadi Mada, apakah
istri Mada itu harus menjadi istrinya? Bagas bergidik memikirkan
kemungkinan itu. Dia kembali melirik ke arah sang putri. Dan
kebetulan, sang putri juga sedang meliriknya. Mata mereka berpadu.
Dan Bagas melihat sang putri menundukkan kepala. Bibirnya
menyungging senyum tertahan. Sang putri tersipu.
<>83
14 Perempuan Tercantik di Majapahit
BAGAS merasa tubuhnya terombang ambing dalam irama perlahan.
Di dekatnya duduk Dyah Gitarja, adik tiri raja Majapahit Jayanagara,
putri kandung Raden Wijaya. Dyah Gitarja kini mengenakan kain
kasar yang menutupi tubuh bagian atas, dan kain kusam berwarna
biru di bagian bawah. Mereka berada di dalam gerobak yang melaju
perlahan. Gerobak itu dibuat khusus, dengan bagian atas yang
tertutup melengkung. Luas gerobak ini terbatas namun cukup
nyaman untuk diduduki dua orang. Di depan, Tumenggung Jattilan
menjadi kusir dan sesekali mencambuk kerbau yang berjalan malas.
Sudah hampir setengah hari mereka meninggalkan Gili Wanadri
Wuluh. Awalnya suasana kaku sangat terasa. Puteri Dyah Gitarja
duduk diam. Membeku. Menjaga jarak. Namun perlahan kekakuan
mulai mencair setelah Bagas memulai percakapan.
"Syukurlah paduka puteri selamat dari upaya penculikan," kata Bagas.
"Bagaimana sampai paduka puteri bisa tiba di Gili Wanadri Wuluh?"
Dyah Gitarja melirik sekilas.
"Bukankah kita sekarang sedang menyamar? Lalu bagaimana kita
bisa menyamar jika kau terus memanggilku paduka puteri?"
"Eh maaf paduka, eh maksud hamb... eh..." Bagas gelagapan.
Dyah Gitarja dipenuhi aura keraton yang sangat kuat yang
menimbulkan rasa segan.
"Hik... hik... kau lucu..."
Gadis itu menatap Bagas sambil menutup mulutnya. "Tentang
pertanyaanmu tadi, emmm... begitu terjadi pemberontakan di
kotaraja, telik sandi segera memberi kabar. Dan seperti yang selama
ini sudah dilatih, aku segera melarikan diri dari Kahuripan melalui
jalan rahasia. Dan benar saja. Hanya berselang sesaat, beberapa
tokoh berilmu tinggi sudah tiba di istana Jiwana Kahuripan dan
mencariku Secara diam-diam aku dilarikan ke Gili Wanadri Wuluh
dan akhirnya bertemu dengan Tumenggung Jattilan yang baru saja
diserang ketika membawa baginda palsu menuju Candi Kebo..."
"Pasti berat bagi... eh..." Bagas berhenti dan mencari istilah yang84
tepat untuk memanggil ?istrinya?. "Kakang bisa memanggilku nimas,
atau dinda..." "Oh, pasti berat bagi nimas harus meninggalkan istana
dan kini berada di hutan rimba..." "Kalau dikatakan berat,
sebenarnya tidak juga. Aku menganggap ini semua sebagai
petualangan yang menarik. Aku menghabiskan hari-hari yang
menjemukan di keraton. Bisa berada di alam terbuka sangat
menyenangkan. Tentu jika semuanya aman..." Gadis itu menarik
nafas panjang dan kemudian menatap Bagas. "Kakang sendiri, emm,
aku rasanya tak pernah melihat kakang. Aku beberapa kali
berkunjung ke kotaraja di Tarik dan rasanya tak pernah melihat
kakang..." Bagas menatap gadis itu untuk melihat tanda-tanda
kecurigaan di wajahnya. Namun wajah gadis cantik itu terlihat polos.
"Sebenarnya aku memang baru saja bertugas di Bhayangkara. Dan
sebagai pasukan kawal raja, kami diperintahkan oleh Tumenggung
Anarjaya untuk tidak suka memperlihatkan diri..." "Mmm.... Boleh aku
menanyakan sesuatu kakang?" "Bukankah nimas baru saja
melakukannya?" "Ahhh kakang... Aku serius..." "Tanyalah..."
"Apakah kakang.. mmm... sudah punya kekasih? Sudah menikah?"
Bagas hampir saja menggelengkan kepala, dan dia teringat. Sebagai
Bagas dari masa depan, dia memang belum menikah. Namun
sebagai Mada, senopati Bhayangkara, lain lagi!! "Aku sudah
menikah..." "Ahhh..." Sesaat, Bagas seperti melihat ada yang
meredup di wajah gadis itu. "Istriku itu, berada di Kotaraja. Di
Tarik..." Dyah Gitarja menundukkan kepala. Jemari tangannya
memainkan kukunya yang lentik. "Apakah... dia... istrimu itu...
cantik?"
Bagas menahan senyumnya. Apakah istrinya cantik? Apakah istri
Mada cantik? Pertanyaan bagus. "Semua suami biasanya
menganggap istrinya sebagai perempuan tercantik di dunia," kata
Bagas. "Jadi istriku itu cantik, sekalipun dia tidak secantik... nimas..."
Dyah Gitarja mengangkat wajahnya. Ada kilatan pada sinar matanya.
"Kau... menurut kakang aku cantik?" "Tentu saja. Nimas adalah
perempuan tercantik yang kutemui di Majapahit..." Bagas tak
sepenuhnya menggombal. Gadis ini memang cantik. Dengan
kecantikan khas keraton. Soal tercantik di Majapahit, itu juga tak
sepenuhnya keliru. Sejak terdampar di Majapahit sekitar lima enam
belas hari lalu, dia sudah melihat sejumlah perempuan, semuanya
warga Dusun Badender. Yang tercantik di Badender adalah
Kartikasari, yang kini tergolong kakak seperguruannya. Kartikasari85
memang cantik, namun kecantikannya berbeda dengan Dyah Gitarja.
Pembicaraan soal kecantikan ini melenyapkan semua kekakuan.
Sikap Dyah Gitarja semakin terbuka. Tanpa ditanya, dia bercerita
tentang dirinya, yang sejak diangkat menjadi raja putri penguasa di
Jiwana Kahuripan dengan gelar Bhre, tidak diijinkan oleh sang kakak,
Jayanagara, untuk bergaul dengan laki-laki. "Selama bertahuntahun, kau laki-laki pertama yang duduk di dekat dan bicara
denganku," kata Dyah Gitarja. Pembicaraan berlanjut. Atau tepatnya,
Dyah Gitarja yang bicara. Dia bercerita tentang ayahnya, Raden


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wijaya. Tentang ibunya yang kini menjadi bhiksuni. Tentang adik
perempuannya, Dyah Wiyat yang kini juga sedang bersembunyi di
lokasi yang dirahasiakan.
"Maaf," kata Tumenggung Jattilan tiba-tiba. "Di depan ada
pemeriksaan. Rupanya mereka memeriksa siapapun yang hendak
memasuki Dusun Karuan..." "Oh, apa yang harus kami lakukan?"
"Tak perlu panik. Biasa saja. Mungkin sebaiknya paduka... eh kalian
berdua duduk saja di sini, di sampingku..." Dyah Gitarja segera
berpindah dan duduk di samping Jattilan. Bagas duduk di samping
?istrinya?. Ada delapan orang yang berjaga di pintu masuk dusun.
Enam di antaranya mengenakan busana prajurit keraton, dan dua
lagi mengenakan pakaian seperti rakyat biasa. Bagas menduga, dua
orang terakhir itu pasti tokoh dunia persilatan. Salah seorang prajurit
mengangkat tangan kanannya. "Maaf, kalian siapa dan mau
kemana?" Jattilan menghentikan gerobaknya. "Hamba Kerto, dan ini
anak perempuanku Ratih dan suaminya, Bagas. Kami mau pergi ke
Tarik, Kotaraja..." "Mau apa kalian ke Tarik?" Prajurit itu bertanya
sambil melirik ke bagian dalam kereta. "Kami mendengar kalau
keraton membutuhkan prajurit. Dan menantuku ini ingin melamar.
Siapa tahu diterima..." "Kau bisa poncakhara, ilmu beladiri?" Prajurit
itu bertanya kepada Bagas. "Sedikit-sedikit bisa, denmas..."
"Bagus," kata prajurit itu sambil melirik ke arah Dyah Gitarja yang kini
menyandarkan kepalanya ke pundak Bagas. "Jika bisa poncakhara,
peluang untuk lolos sangat terbuka..." Dia kemudian menoleh ke
rekan-rekannya.
"Mereka petani. Mereka bukan yang kita cari..." Prajurit itu menepuk
punggung kerbau, sebagai pertanda mereka boleh lewat. Jattilan,
yang kini menjadi Kerto, memecut cambuknya sambil mulutnya
berbunyi, memberi perintah agar kerbau segera berjalan. Perlahan,86
gerobak itu memasuki Dusun Karuan. Dusun itu kecil, dan sebentar
saja sudah terlewati. "Mmm... situasi sudah aman, nimas," bisik
Bagas. Pemuda itu merasa risih karena Dyah Gitarja masih
menyandarkan kepalanya di pundaknya "Aku tahu." Gadis itu
menjawab perlahan. Kepalanya masih disandarkan di pundak Bagas.
Hingga gerobak itu kembali memasuki hutan, gadis itu masih
menyandarkan kepalanya di pundak si pemuda!!
<>87
15 Makan Malam di Hutan
KEGELAPAN menyelimuti malam. Bunyi binatang hutan terdengar
bersahutan seolah menyanyikan tembang tentang kesunyian. Samar
tercium aroma ikan yang dibakar. Ikan yang dibakar itu ditangkap
Jattilan di mata air dekat mereka bermalam. Dyah Gitarja bersikeras
untuk membantu. Bahkan dia yang membersihkan, membumbui dan
membakar tiga ekor ikan itu. Kerbau sudah dilepas dan diberi
kesempatan untuk mencicipi rerumputan yang basah oleh embun.
Bagas, yang ditolak mentah-mentah ketika menawarkan diri untuk
membantu membakar ikan, memilih menyepi.
Kesempatan menunggu selesainya hidangan makan malam
dimanfaatkan Bagas untuk melatih ilmu pernafasan. Untuk
memperdalam Prana Sasanga Kalacakra. Sejak meninggalkan
Dusun Badender, Bagas tak punya kesempatan untuk berlatih. Kini,
begitu mendapat kesempatan, Bagas segera memanfaatkan waktu
yang tersedia. Seperti sebelumnya, Bagas berlatih dengan kedua
tangan diletakkan di atas permukaan tanah menopang tubuh, dan
tubuh dibengkokkan hingga kedua kaki nyaris menyentuh pundak.
Bagas dapat merasakan energi di dalam tubuh yang mengalir ke
semua nadi, baik nadi besar maupun nadi kecil. Bagas sudah
mengalirkan energi ke seluruh nadi selama sembilan kali ketika dia
mendengar suara halus. "Makan malam sudah selesai, kakang, ayo
kita makan..." Gadis itu, Dyah Gitarja berdiri tak jauh dari Bagas.
Mata gadis itu memperlihatkan rasa kagum yang besar. Makan
malam ternyata memang sudah tersedia. Sebagai ?meja? berupa
lembaran daun pisang yang diletakkan di pemukaan tanah. Nasi
nampak mengepul. Ikan yang telah dibakar menyebarkan aroma
harum. Sekalipun menyamar sebagai petani, Jattilan melengkapi
gerobaknya dengan peralatan memasak yang cukup lengkap,
beserta beragam bumbu. Dengan cekatan Dyah Gitarja menyendok
nasi yang masih mengepul ke wadah keranjang datar yang dialasi
daun. Wadah keranjang itu dijadikan sebagai piring. Dia kemudian
mengambil ikan yang paling besar dan meletakkan ke atas ?piring?.
"Ini kakang, makanlah..." Mereka makan dengan lahap. Atau
tepatnya Bagas dan Jattilan. Sementara Dyah Gitarja makan dengan
sangat perlahan. Mata gadis itu tak pernah lepas dari wajah Bagas.
Gadis itu terlihat lebih peduli pada Bagas dan bukan pada
makanannya sendiri. Gadis itu menyiapkan wadah berisi air untuk88
mencuci tangan sebelum makan, menyediakan gelas dari bambu
untuk minum, bertanya apakah Bagas ingin ditambahkan nasi,
memberikan ikan yang menjadi bagiannya yang sebagian besar
masih utuh kepada Bagas, dan terakhir mengambil wadah berisi air
bersih tempat Bagas mencuci tangan yang kotor. Berbeda dengana
kebiasaan orang modern yang makan pakai sendok dan garpu,
acara santap malam ala Majapahit, sebagaimana juga yang
dilakukan saat siang hari, menggunakan tangan. Untunglah, Bagas
sudah terbiasa makan dengan tangan. Dengan lincah jemarinya
menyatukan butir nasi, memadukannya dengan ikan dan kemudian
membawa ke mulut. Satu-satunya hal di luar kebiasaan adalah
adanya perhatian yang berlebihan dari seorang gadis. Bagas tak
terbiasa makan sambil diamati dan dilayani seperti ini. Perhatian
berlebihan dari Dyah Gitarja membuat Bagas risih. Namun gadis itu
bersikap tak peduli.
Sementara Jattilan pura-pura tidak melihat. Acara santap malam
berakhir dengan cepat. Bagas merasa perutnya penuh. "Jika nimas
sudah mengantuk, tidur saja di gerobak. Aku dan paman Jattilan
berjaga di sini..." "Kakang... kakang tidak ikut ke gerobak?" "Tidak
nimas. Biar kakang berjaga di sini..." Bagas sama sekali tak
berencana untuk menghabiskan malam bersama gadis itu di dalam
gerobak. Gadis ini begitu cantik. Sangat cantik. Terlalu cantik. Dan
ada sikap gadis ini yang membuat Bagas merasa risih. "Sebaiknya
kau tidur di dalam gerobak bersama nimas, Mada," Jattilan yang
sejak tadi berdiam diri kini angkat bicara. Suaranya pelan, berbisik.
"Kita sedang menyamar, dan kalian berdua menjadi suami istri.
Bukan tidak mungkin pihak musuh diam-diam mengamati kita dari
kejauhan. Jika mereka melihat kau tidur di luar, pasti akan
menimbulkan kecurigaan. Karena tak mungkin seorang suami tidur
di luar sementara istrinya yang cantik sendirian di dalam gerobak."
Bagas terdiam. Dia sama sekali tak memikirkan hal itu. Apa yang
disampaikan Jattilan itu benar. Akan sangat mencurigakan jika dia
tidur di luar sementara ?istrinya? sendirian di dalam gerobak. Jika itu
yang terjadi, musuh bisa menyimpulkan bahwa mereka hanya
berpura-pura menjadi suami istri. Memang, sejauh ini tak ada tandatanda kalau mereka diawasi. Namun di dalam hutan seperti ini,
segala sesuatu bisa saja terjadi. "Aku mengerti. Jika nimas tidak
keberatan, aku akan tidur di gerobak..." "Aku tidak keberatan..."
"Baiklah kalau begitu. Nimas duluan saja, nanti aku menyusul..."89
Mereka bercakap sejenak hingga Dyah Gitarja yang beberapa kali
menguap, minta diri menuju gerobak. Tinggal Jattilan dan Bagas.
"Ada satu hal yang ingin kusampaikan," kata Jattilan. Dia mengambil
potongan kayu dan memasukkan ke api yang tadi digunakan untuk
memasak dan membakar ikan.
"Aku tidak tahu apakah nak Mada menyadarinya atau tidak," kata
Jattilan. "Aku pikir, paduka putri... jatuh cinta padamu..."
<>90
16 Cinta Tak Bisa Memilih
CINTA memang tak bisa diduga. Bahkan terkadang penuh kejutan
yang tak terbayangkan. Keterkejutan itu yang diperlihatkan Bagas
begitu mendengar pernyataan Tumenggung Jattilan. Sang Puteri
Dyah Gitarja, adik tiri raja Majapahit Jayanagara, putri kandung
Raden Wijaya, jatuh cinta padanya? Memang, sejak mereka
melintasi Dusun Karuan, Bagas sudah merasakan kalau sikap sang
puteri terhadapnya mulai berubah. Sang puteri menjadi baik, bahkan
sangat baik. Sikapnya manja dan penuh perhatian. Apa yang
dilakukan sang puteri ketika makan malam memperkuat hal itu. Sang
puteri begitu baik. Bahkan terlalu baik. Namun Bagas tak berpikir
sejauh itu. Tak mau berpikir kalau ada benih cinta di hati sang puteri.
Bagas memang merasakannya. Namun dia memilih untuk
mengabaikan. Bagas memilih untuk berpikir, bahwa kebaikan sang
puteri itu merupakan bagian dari ?peran?nya sebagai istri. Dan
ungkapan Tumenggung Jattilan membuka semuanya.
"Aku telah melihat banyak hal. Mengamati banyak hal. Dan aku tahu
apa yang kulihat. Sang puteri menaruh hati padamu..."
"Ahhh..." kata Bagas, "Aku memang merasakan kalau sang putri
bersikap sangat ramah..."
"Itu bukan sekedar ramah. Mada. Itu perhatian khusus. Dan itu hanya
datang karena cinta..."
"Tapi... tapi..." kata Bagas, "Kami baru saja bertemu..."
"Itulah misteri cinta, nak Mada. Cinta bisa datang kapan saja, bahkan
di waktu yang tak terduga..."
Bagas memejamkan mata. Di lubuk hatinya yang terdalam, ada
perasaan bangga yang muncul. Semua laki-laki akan merasa bangga
jika mengetahui ada perempuan yang tertarik, atau jatuh cinta
padanya.
Apalagi jika yang jatuh cinta itu gadis secantik Dyah Gitarja!!
"Menurut paman Tumenggung, apa yang seharusnya aku lakukan?"
"Perasaanmu sendiri bagaimana?"
"Rasanya tidak bisa. Pertama, aku sudah menikah, dan..."
Bagas menghentikan kalimatnya ketika dia melihat Tumenggung
Jattilan tersenyum penuh arti. "Maksudmu, Mada yang telah91
menikah?"
"Maksud Tumenggung?"
"Senopati Mapanji Pamattu dan Sorta sudah menceritakan semuanya.
Apa yang kalian lakukan, dengan kau mengaku sebagai Mada
sementara Mada yang asli sudah tewas itu sungguh berani, gila dan
sangat berbahaya. Namun itu satu-satunya cara supaya Baginda
raja percaya..."
Bagas tercenung. Dia sama sekali tak menyangka kalau lelaki di
hadapannya tahu kalau dia berpura-pura menjadi Mada!!
"Tak perlu takut, " kata Jattilan. "Kau bisa mempercayaiku.
Rahasiamu aman..." "Aku percaya pada Tumenggung. Di Dusun
Badander, Tumenggung Anarjaya mengatakan, ada tiga orang yang
bisa aku percaya. Yakni Senopati Mapanji Pamattu, Sorta dan
Tumenggung Jattilan..."
Bagas menarik nafas panjang. "Yang membuat aku bingung adalah
istri Mada itu. Mapanji Pamattu dan Sorta mengatakan, mereka
sudah mengabarkan tewasnya Mada kepada Dyah Uttari, istri Mada.
Mereka juga sudah menceritakan tentang aku, yang kini berpurapura menjadi Mada. Jika aku berpura-pura menjadi Mada,
sementara Mada ternyata punya istri, apakah istri Mada itu harus
menjadi istriku?"
Jattilan mengangguk. "Iya, memang rumit. Mungkin akan menjadi
jelas jika kau menemuinya, menemui Dyah Uttari..."
"Jadi, sekalipun aku bukan Mada, tapi karena secara resmi aku
menjadi Mada, maka pada dasarnya aku sudah punya istri..."
"Dan paduka putri sudah tahu bahwa kau sudah memiliki istri bukan?
Aku mendengar percakapan kalian..."
"Iya, benar Tumenggung. Paduka puteri sudah tahu. Namun
sikapnya justru menjadi semakin mesra..."
"Cinta itu memang aneh, kau pasti tahu soal itu. Cinta tak bisa
memilih. Kalau paduka puteri jatuh cinta padamu, itu pasti muncul
dengan sendirinya. Muncul begitu saja tanpa disadari. Dan dengan92
statusnya sebagai adik tiri Raja, dia tak akan peduli kau sudah punya
istri atau tidak. Kau tetap bisa menikah dengan paduka puteri,
sekalipun sudah punya istri..."
Bagas menggelengkan kepala. "Paduka puteri menceritakan soal
larangan baginda raja. Baginda raja tidak mengijinkan paduka puteri,
juga adik perempuannya, bergaul dengan laki-laki. Akan menjadi
masalah jika baginda tahu kalau adik tirinya memiliki hubungan
khusus dengan anggota pasukan kawalnya..."
"Iya. Ada beberapa kebijakan Baginda Raja yang menimbulkan
pertanyaan. Salah satunya soal larangan menikah bagi kedua adik
perempuannya..."
"Kalau begitu, menurut paman Tumenggung, apa yang seharusnya
aku lakukan?"
"Kita sekarang sedang menyamar, dan tak lama lagi akan memasuki
Kotaraja. Sangat penting bagi kita, juga kalian berdua, untuk menjaga
hubungan. Jika hubungan kalian renggang, misalnya karena paduka
puteri merasa dirinya ditolak, akan sangat berbahaya jika kita
bertemu prajurit atau pihak yang mencari paduka puteri.
Penyamaran kita bisa terbongkar..."
"Aku mengerti..."
"Bagus. Sekarang sudah larut. Tidurlah. Dan ingat kataku tadi.
Apapun yang akan kau lakukan, jangan sampai paduka puteri
merasa dirinya ditolak. Itu akan berbahaya pada penyamaran yang
kita lakukan..."
Bagas kembali mengangguk dan mendekati gerobak. Gerobak itu
dalam posisi miring, dengan bagian depan mengarah ke bawah
setelah kerbau dilepas. Samar Bagas melihat Dyah Gitarja tidur
terlentang. Perlahan dia memasuki gerobak dan mengambil posisi di
samping kiri sang puteri. Dia berusaha tidak menimbulkan suara
ketika berbaring. Namun kehadirannya segera disadari.
Sang puteri menggeliat. "Aku tak bisa tidur kakang. Kakang tak
keberatan jika aku tidur di dada kakang bukan?"93
Bagas belum menjawab ketika Dyah Gitarja sudah bergerak. Dengan
manja dia merebahkan kepalanya di dada Bagas. Sebagian tubuh
gadis itu kini berada di atas Bagas. Pemuda itu menahan nafas. Dia
dapat merasakan kehalusan kulit sang puteri yang menyentuh
tubuhnya. Dia dapat merasakan kehangatan tubuh perempuan itu,
mencium aroma harum dari rambutnya.
"Kau baik baik saja kakang?"
"A... aku baik baik saja. Kenapa?"
"Dada kakang berdebar keras. Aku bisa merasakannya..."
<>94
17 Bibir yang Menyatu
"B AGAS..."
"Ah Ciara, aku senang kita akhirnya bisa bertemu..."
"Aku rindu padamu, Bagas..."
"Aku juga Ciara..."
Gadis itu mendekat, dan dengan tersipu dia menyentuh bibir Bagas
dengan bibirnya. Bagas membelai rambut Ciara. Membelai penuh
kasih. Dan kemudian merengkuh tubuhnya, dan menciumi bibir
gadis itu. Ciara sedikit tersentak, tak menduga kalau Bagas akan
menciuminya. Namun gadis itu tidak meronta. Mereka terbenam
dalam kemesraan yang dalam.
Bagas mencurahkan segala kerinduannya pada ciuman itu. Ciuman
yang panas dan membara. Ciuman yang panjang.
"Kakang... ah kakang..."
"Tak apa Ciara..."
"Kakang... kakang..."
Sebersit kesadaran menyelinap di benak Bagas. Kakang? KAKANG?
Ciara tak pernah memanggilnya kakang. Di dunia ini hanya satu
perempuan yang memanggilnya kakang. Dan perempuan itu adalah...


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagas membuka matanya. Dalam keremangan dia melihat ada
perempuan di depannya. Atau tepatnya terbaring tepat di atasnya.
Suasana gelap, namun Bagas mulai mengenali. Gerobak. Mereka di
dalam gerobak. Dan perempuan ini pasti... Oh My God. Perempuan
ini bukan Ciara. Namun Dyah Gitarja. Dia rupanya bermimpi...
"Kau nakal kakang..."
"A...Apa?"
"Tadi secara tidak sengaja, bibirku menyentuh bibirmu. Dan kakang...
Dan kakang tiba-tiba menciumku..."
"Ahhh!!!"
"Tak apa kakang... Aku... Aku menyukainya. Rasanya... Rasanya
menyenangkan..."
"Nimas... Ah... Aku... Maafkan aku... Aku tadi bermmmfhhfhmm..."
Bagas tak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba bibirnya95
tersumbat oleh bibir Dyah Gitarja. Gadis itu tak lagi malu-malu. Dia
menciumi Bagas dengan penuh kemesraan. Bagas awalnya hendak
menolak, dan dia teringat perkataan Tumenggung Jattilan. Untuk
tidak membuat gadis ini merasa ditolak. Dan, dengan sedikit
terpaksa, dia menyambut. Bibir gadis itu terasa hangat. Lunak.
Penuh gairah.
"Ahhh... Kakang..." Gadis itu terengah.
"Ini pertama kali aku... aku... ah..."
Mereka kermbali berpagutan. Berhenti. Dan lagi. Dan lagi. Hingga
gadis itu merintih. Mengerang panjang. Bagas merasa tubuh gadis itu
tersentak. Beberapa kali. Dan akhirnya dia terkulai lemas.
"Ahh... Aku merasa seperti meledak kakang... Rasanya sangat
menyenangkan..."
Dyah Gitarja berbisik manja. Nafasnya masih terengah.
"Aku merasa seperti seluruh tulangku lenyap, aku merasa lemas......"
Perlahan Bagas membelai rambut gadis itu. Pemuda itu tahu apa
yang telah terjadi. Gadis ini, untuk pertama kali dalam hidup,
bermesraan dengan seorang laki-laki. Kemesraan yang dalam
hingga akhirnya dia mencapai puncak. Ya. Tak salah lagi. Dyah
Gitarja mencapai puncak kenikmatan ketika bercumbu dengannya.
Padahal mereka hanya berciuman. Tidak lebih.
"Aku cinta padamu kakang," bisik gadis itu di telinga kanan Bagas.
Pemuda itu menggelinjang kegelian.
"Aku mencintaimu kakang..."
"Aku tahu..."
<>96
17 Bibir yang Menyatu
"BAGAS..." "Ah Ciara, aku senang kita akhirnya bisa bertemu..."
"Aku rindu padamu, Bagas..." "Aku juga Ciara..." Gadis itu mendekat,
dan dengan tersipu dia menyentuh bibir Bagas dengan bibirnya.
Bagas membelai rambut Ciara. Membelai penuh kasih. Dan
kemudian merengkuh tubuhnya, dan menciumi bibir gadis itu. Ciara
sedikit tersentak, tak menduga kalau Bagas akan menciuminya.
Namun gadis itu tidak meronta. Mereka terbenam dalam kemesraan
yang dalam.
Bagas mencurahkan segala kerinduannya pada ciuman itu. Ciuman
yang panas dan membara. Ciuman yang panjang. "Kakang... ah
kakang..." "Tak apa Ciara..." "Kakang... kakang..." Sebersit
kesadaran menyelinap di benak Bagas. Kakang? KAKANG? Ciara
tak pernah memanggilnya kakang. Di dunia ini hanya satu
perempuan yang memanggilnya kakang. Dan perempuan itu adalah...
Bagas membuka matanya. Dalam keremangan dia melihat ada
perempuan di depannya. Atau tepatnya terbaring tepat di atasnya.
Suasana gelap, namun Bagas mulai mengenali. Gerobak. Mereka di
dalam gerobak. Dan perempuan ini pasti... Oh My God. Perempuan
ini bukan Ciara. Namun Dyah Gitarja. Dia rupanya bermimpi... "Kau
nakal kakang..." "A...Apa?"
"Tadi secara tidak sengaja, bibirku menyentuh bibirmu. Dan kakang...
Dan kakang tiba-tiba menciumku..." "Ahhh!!!" "Tak apa kakang...
Aku... Aku menyukainya. Rasanya... Rasanya menyenangkan..."
"Nimas... Ah... Aku... Maafkan aku... Aku tadi bermmmfhhfhmm..."
Bagas tak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba bibirnya
tersumbat oleh bibir Dyah Gitarja. Gadis itu tak lagi malu-malu. Dia
menciumi Bagas dengan penuh kemesraan. Bagas awalnya hendak
menolak, dan dia teringat perkataan Tumenggung Jattilan. Untuk
tidak membuat gadis ini merasa ditolak. Dan, dengan sedikit
terpaksa, dia menyambut. Bibir gadis itu terasa hangat. Lunak.
Penuh gairah. "Ahhh... Kakang..." Gadis itu terengah. "Ini pertama
kali aku... aku... ah..." Mereka kermbali berpagutan. Berhenti. Dan
lagi. Dan lagi. Hingga gadis itu merintih. Mengerang panjang. Bagas
merasa tubuh gadis itu tersentak. Beberapa kali. Dan akhirnya dia
terkulai lemas.97
"Ahh... Aku merasa seperti meledak kakang... Rasanya sangat
menyenangkan..." Dyah Gitarja berbisik manja. Nafasnya masih
terengah. "Aku merasa seperti seluruh tulangku lenyap, aku merasa
lemas......" Perlahan Bagas membelai rambut gadis itu. Pemuda itu
tahu apa yang telah terjadi. Gadis ini, untuk pertama kali dalam
hidup, bermesraan dengan seorang laki-laki. Kemesraan yang dalam
hingga akhirnya dia mencapai puncak. Ya. Tak salah lagi. Dyah
Gitarja mencapai puncak kenikmatan ketika bercumbu dengannya.
Padahal mereka hanya berciuman. Tidak lebih. "Aku cinta padamu
kakang," bisik gadis itu di telinga kanan Bagas. Pemuda itu
menggelinjang kegelian. "Aku mencintaimu kakang..." "Aku tahu..."
<>98
18 Sembilan Begal Bukit Tanus
MATAHARI terik. Gerobak melaju lambat. Gerobak itu terasa panas.
Bukan semata karena pengaruh terik matahari, namun karena
nuansa yang terjadi antara Dyah Gitarja dan Bagas. Sejak ciuman
tanpa sengaja menjelang subuh, kedua anak muda ini memasuki
babak baru dalam hubungan mereka. Terutama dari sisi Dyah
Gitarja, yang merasa dirinya kini menjadi kekasih Bagas.
Ciuman pertama berlanjut ke ciuman kedua, ketiga dan entah ke
berapa. Dyah Gitarja yang selalu mengambil inisiatif. Dan dia kini tak
lagi malu-malu. Gadis itu tak merasa risih mengumbar kemesraan
dengan Bagas sekalipun tak jauh dari mereka, duduk Tumenggung
Jattilan yang menjadi kusir.
Jattilan sendiri bersikap pura-pura tidak tahu, dan tak pernah melirik
ke dalam gerobak. Gerobak yang melaju perlahan tiba-tiba terhenti.
"Ada apa?"
"Kita dihadang. Biar kuhadapi. Kalian diam saja," kata Jattilan.
Penasaran, Dyah Gitarja dan Bagas berpindah ke depan, di samping
Jattilan. Nampak sembilan lelaki berpakaian hitam-hitam
menghadang di jalan. Wajah mereka menyeramkan. Mereka
masing-masing menggenggam senjata: pedang, golok, tombak dan
keris.
"Berhenti!! Serahkan harta kalian dan... hei... siapa ini. Ada bidadari
rupanya di gerobak ini!!"
Seorang laki-laki yang mata kanannya ditutupi kain hitam
menyeringai begitu melihat Dyah Gitarja.
"Serahkan harta kalian, juga bidadari ini. Bidadari ini akan menjadi
tamu kehormatan bagi kami, Sembilan Begal Bukit Tanus..."
Wajah Dyah Gitarja memerah begitu melihat bagaimana sembilan
begal itu menatapnya. Mata mereka menyorot penuh nafsu.
"Mereka... Mereka kurang ajar!!" Dyah Gitarja mendesis.99
"Kalian berdua tunggu di sini. Biar aku hadapi mereka," kata Jattilan.
Dia segera turun dari gerobak.
"Kami bertiga, petani yang ingin ke Kotaraja. Mohon denmas mau
membuka jalan..." Jattilan berujar penuh hormat.
"Heh heh heh. Kami akan membuka jalan jika kau meninggalkan
bidadari cantik ini untuk kami. Kami akan memberikan kepuasan tak
terhingga kepadanya..." Lelaki Mata Satu itu terbahak.
Rekan-rekannya ikut terbahak. Jattilan tetap tenang.
"Baik. Kami akan menyerahkan bidadari itu kepada kalian. Syaratnya
hanya satu. Kalian harus melewati aku dulu..."
Si Mata Satu membelalakkan matanya yang tinggal satu. Dia
kelihatan heran dengan ucapan Jattilan.
"Melewati engkau? Wah. Wah. Kau punya nyali yang besar untuk
seorang petani. Baiklah. Jika itu maumu, biar aku membawamu
menemui Batara Yama, Dewa Kematian!!"
Si Mata Satu mencabut goloknya. Dan dengan cepat dia maju.
Golok disabet ke leher Jattilan. Tumenggung Jattilan melangkah ke
samping. Nyaris bersamaan, dengan gerakan yang sangat cepat
kedua tangannya ?menyambut? tangan lawan.
"Craass..."
Gerakan tangan Jattilan sangat cepat dan sukar diikuti mata. Dan
yang terjadi selanjutnya sungguh luar biasa. Si Mata Satu terhenti.
Entah bagaimana, golok di tangannya telah menggorok lehernya
sendiri!! Kedelapan anggota Sembilan Begal Bukit Tanus terkejut
bukan main.
Hanya dalam satu jurus, rekan sekaligus pemimpin mereka telah
kehilangan nyawa. Nyaris serentak, kedelapan orang itu menerjang
Jattilan. Semua dengan senjata di tangan.
Dyah Gitarja memekik.
Bagas mengepalkan tangan, siap membantu. Serangan delapan100
begal itu datang dari delapan penjuru.
Namun Jattilan bukan prajurit biasa. Dia tak akan disebut
Tumenggung jika poncakhara, beladirinya rendah.
Selang puluhan tahun terakhir, Jattilan mempelajari ilmu yang
disebut Hudrasa Brahmarsi Pantaka (Tangis Dewa Kematian). Ilmu
beladiri yang tangguh dan sangat ditakuti lawan. Karena setiap
jurusnya sangat mematikan. Dengan Hudrasa Brahmarsi Pantaka
tubuh Jattilan menyelinap di antara senjata yang berkilat diterpa
sinar matahari. Dan kemudian terdengar pekik kesakitan. Dan jerit
kematian.
Bagas yang sudah siaga dan siap melompat dari gerobak untuk
membantu, tak dapat menahan diri untuk bersiul kagum. Berturutturut kedelapan penyerang roboh. Hebatnya, mereka terbunuh oleh
senjata mereka sendiri. Yang bersenjata keris terkena senjatanya
sendiri di dada. Yang menggunakan tombak terpanggang tombak
yang menembus tubuh. Yang memakai golok dan pedang terkena
tusukan dan sabetan.
Bagas merasa kagum sekaligus ngeri. Tumenggung Jattilan tidak
bersikap kepalang tanggung.
Ilmu poncakhara Hudrasa Brahmarsi Pantaka memperlihatkan
kehebatannya. Sekali beraksi, kesembilan begal sudah berkalang
tanah dengan tubuh bersimbah darah.
"A... Apakah ini diperlukan, paman?" Bagas tak bisa menahan diri
untuk bertanya.
"Aku juga tak suka melakukannya, namun ini harus dilakukan," kata
Jattilan. "Jika aku hanya melukai, mereka bisa mencari bantuan.
Mereka akan bercerita tentang petani yang bisa beladiri dengan
perempuan cantik dan seorang pemuda di gerobak. Dalam sekejap,
kita akan menjadi buah bibir di dunia persilatan, terutama di
kalangan dunia hitam. Mengingat bahwa di antara pemberontak ada
yang berasal dari golongan hitam, sangat tidak bijaksana jika kita
menarik perhatian mereka..."101
Jattilan segera menarik kaki si Mata Satu.
"Kau bantu aku. Kita buang mereka ke jurang di sebelah sana untuk
menghilangkan jejak. Kita tak punya waktu untuk menguburkan
mereka."
Dalam sekejap, kesembilan begal itu telah menjadi penghuni dasar
jurang yang tak berujung. Gerobak kembali melaju perlahan. Dyah
Gitarja yang masih diliputi kengerian menyandarkan tubuhnya ke
arah Bagas. Tubuh gadis itu gemetar.
<>102
19 Kembali ke Kotaraja
SEMUA perjalanan akan berujung pada akhir. Begitu juga dengan
perjalanan yang dilakoni Tumenggung Jattilan, Dyah Gitarja dan
Bagas. Setelah menempuh perjalanan selama tiga hari dan dua
malam, melalui empat belas dusun, sembilan kuwu, lima watek, dua
naghara dan sembilan pemeriksaan, gerobak yang mereka kendarai
akhirnya tiba di Kotaraja. "Sebentar lagi kita sampai," kata
Tumenggung Jattilan. "Hanya tinggal satu pemeriksaan lagi..."
Bagas mengangguk. Dadanya berdebar. Tegang. Selama melewati
dusun, kuwu, watek dan naghara, mereka praktis tidak menemui
kendala.
Para prajurit yang memeriksa sama sekali tidak menaruh curiga.
Salah satu yang membuat mereka tidak dicurigai adalah sikap Dyah
Gitarja. Dia mencintai Bagas dan tak malu-malu memperlihatkannya.
Bahkan di depan para prajurit yang memeriksa.
Cinta tak pernah berdusta. Dan tidak bisa disembunyikan. Getar cinta
yang dipancarkan Dyah Gitarja pada Bagas bisa dilihat para prajurit.
Dan itu yang membuat mereka sama sekali tidak curiga. Yang dicari
para prajurit adalah putri keraton, Rani (raja putri) di Jiwana
Kahuripan yang selama ini diketahui tak pernah dekat dengan lelaki
manapun.
Tak ada prajurit yang menyangka kalau perempuan petani yang
penuh kemesraan pada ?suaminya? adalah putri yang mereka cari.
Bagas menarik nafas panjang. Kotaraja. Tarik. Pusat kerajaan
Majapahit. Ada empat pintu gerbang yang ada di Tarik. Pintu gerbang
yang akan dilalui mereka saat ini berbeda dengan yang dimasuki
Bagas belasan hari yang lalu.
Namun secara umum, bentuknya sama. Lebar jalannya sama. Ukiran
pada pintu gerbangnya mirip. Petang itu, jalan raya yang memasuki
Kotaraja sangat ramai. Banyak orang yang keluar masuk. Para
prajurit berjaga penuh waspada. Namun mereka hanya memeriksa
orang asing, atau yang tidak dikenal. Gerobak mereka dihentikan
dan diperiksa. Dan ternyata kekhawatiran mereka terlalu berlebihan.
Pemeriksaan berlangsung singkat dan mereka diperkenankan103
memasuki Kotaraja. Gerobak melewati jalan raya utama di Kotaraja.
Bagas mengamati dengan penuh perhatian. Ketika pertama kali tiba,
dia tak sempat melihat dengan seksama karena saat itu dia
mengendarai kuda yang melaju kencang yang segera masuk ke
markas Bhayangkara. Kini, dengan gerobak yang melaju lambat,
pemandangan di sekitar bisa disaksikan dengan leluasa.
Kotaraja Tarik memang ramai, dan pantas disebut sebagai pusat
pemukiman Majapahit. Orang ramai berlalu-lalang di jalan raya
utama yang membelah kota. Sebagian warga berjalan kaki, ada
yang berkuda dan ada yang berjalan sambil diiringi seekor macan!!
Rata-rata warga yang berjalan itu bertelanjang dada. Baik laki-laki
maupun perempuan. Yang perempuan, sebagian membiarkan dada
mereka bebas tanpa ditutupi apapun. Sebagian lagi menutupi dengan
kalung manik-manik, seperti yang dikenakan Dyah Gitarja beberapa
hari lalu.
Sebelum memutuskan menjadi ?kelinci percobaan? untuk mencoba
mesin waktu, Bagas sudah tahu bahwa di jaman Majapahit, rata-rata
warganya memang tidak mengenakan pakaian untuk menutupi tubuh
bagian atas. Namun bagaimanapun, Bagas tetap merasa takjub
dengan pemandangan yang dilihatnya. Melihat puluhan bahkan
ratusan perempuan, baik yang remaja, dewasa hingga yang sudah
sepuh bertelanjang dada, cukup membuat dada Bagas bergetar.
Bagas juga memerhatikan gaya rambut warga Majapahit. Rata-rata
berambut panjang. Yang laki-laki ada yang membiarkan rambutnya
tergerai bebas ke bahu hingga punggung, dan ada yang disanggul.
Yang perempuan rata-rata menyanggul rambutnya, atau mengikat,
atau memilin rambut. Tapa sadar Bagas menyentuh rambutnya.


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah tahu akan dikirim dengan mesin waktu ke era Majapahit,
Bagas sengaja memelihara rambutnya. Rambutnya memanjang
hingga ke pundak. Dulu, Ciara kerap mengolok-oloknya sebagai
"penyanyi rock" karena rambutnya yang panjang. Dan ternyata,
keputusannya memanjangkan rambut sangat tepat. Semua
penduduk di jaman ini berambut panjang. Tak ada yang berambut
pendek. Yang ada hanya rambut panjang atau gundul, seperti yang
dilakukan para pendeta agama Buddha, yang beberapa di antaranya
juga berjalan di jalan raya.104
Warga Kotaraja kelihatannya berjalan dengan nyaman. Namun
Bagas dapat merasakan aroma ketakutan di wajah para penduduk.
Jelas bahwa pemberontakan yang terjadi belasan hari lalu telah
memengaruhi kehidupan masyarakat. Bagas juga merasakan
adanya ketegangan. Prajurit bersenjata lengkap berjaga di manamana. Tak hanya di lokasi strategis namun hampir di semua tempat.
Gerobak yang dikemudikan Jattilan terus berjalan ke arah timur.
Rumah mulai jarang. Bagas menduga, areal sebelah barat awalnya
merupakan pusat pemukiman. Ketika masyarakat mulai berkembang,
penguasa rupanya memutuskan untuk memperluas pemukiman ke
bagian timur.
Berbeda dengan di bagian barat yang rumahnya berdempetan, di
bagian timur setiap rumah dibatasi dengan areal yang ditumbuhi
pepohonan, atau rerumputan. Jika di bagian barat dijaga prajurit,
kompleks pemukiman di bagian timur nyaris tidak dijaga. Setelah
beberapa saat, gerobak berbelok ke kanan, memasuki jalan setapak
berbatu.
Mereka kemudian tiba di sebuah rumah. Rumah itu kecil. Bentuknya
persis seperti rumah yang dilihat Bagas di bagian barat. Rumah itu
terbuat dari kayu dengan atap dari daun pohon sirap. Dinding rumah
terbuat dari kayu. Rumah itu didirikan persis di atas tanah.
Tumenggung Jattilan membawa kerbau dan gerobak ke bagian
belakang, dan Dyah Gitarja bersama Bagas memasuki rumah melalui
pintu depan.
Rumah itu kosong tanpa perabot. Hanya ada satu lemari berukir yang
diletakkan di sudut. Rumah itu hanya memiliki satu kamar. Dapur
kecil dibangun di bagian belakang. Dapur itu memiliki beberapa
lemari berisi peralatan masak, berbagai bumbu dapur, beras dan
daging yang diawetkan. Kamar di rumah itu kecil, tanpa kasur.
Hanya onggokan kain bercorak yang dijadikan sebagai seprei.
Tanpa bantal.
Bagas tak merasa heran dengan "kamar tidur tanpa bantal" karena
dia sudah melihat hal semacam itu di Dusun Badander.
"Ini akan menjadi kamar kita kakang," kata Dyah Gitarja sambil
tersenyum manja. "Paman Tumenggung bisa tidur di luar..."105
Bagas tidak menjawab. Kamar itu kecil dengan tempat tidur yang
kecil. Tempat tidur itu memang lebih besar dibanding bagian dalam
gerobak yang mereka tempati selang tiga hari terakhir, namun tetap
saja terlalu kecil untuk ditempati dua orang.
Bagas membayangkan bagaimana dia harus tidur berdua,
berhimpitan dengan Dyah Gitarja.
"Kenapa kau diam saja kakang? Kau tidak suka tempat ini?"
"Eh, tidak, eh maksudku aku suka, nimas. Hanya..."
"Hanya kenapa?"
"Aku... Aku teringat pada istriku, nimas. Rumah kami tak jauh dari
tempat ini. Dan..."
"Dan kau akan menemuinya? Tidur bersama istrimu dan membiarkan
aku dengan paman Jattilan di sini?"
Dyah Gitarja berujar tajam. Matanya mengkilat. Bagas dapat
merasakan nada cemburu dalam kalimat gadis itu.
"Tidak, nimas. Aku tentu akan kembali ke sini. Kita menyamar
menjadi pasangan suami istri hingga situasi kembali normal. Hingga
pemberontak berhasil dikalahkan dan baginda raja Jayanagara
kembali bertahta..."
"Dan istrimu?"
"Aku akan menemuinya. Dan dia pasti mengerti kalau saat ini aku
menjalankan tugas negara yang sangat penting."
"Kapan kau akan pergi?"
"Aku akan pergi sekarang, nimas, mumpung belum malam. Aku akan
kembali menjelang senja..."
Gadis itu menatap Bagas dengan tajam, seolah ingin menjenguk isi
hatinya.
"Berjanjilah bahwa kau akan kembali, kakang..."
Suara gadis itu terdengar lirih.
"Aku akan kembali..."
"Berjanjilah..."
"Aku berjanji..."106
Gadis itu menatap Bagas.
"Aku tak bisa membayangkan akan kehilangan dirimu, kakang. Aku
tak bisa..."
"Semua akan baik-baik saja, nimas..."
Bagas berujar sambil membelai rambut. Dyah Gitarja menengadah.
Kedua matanya yang jeli nampak berkaca.
<>107
20 Menangis Tanpa Suara
SORE itu sepi. Jalanan sunyi. Hanya beberapa orang yang
menyusuri jalan. Beberapa dari mereka menenteng kayu bakar,
yang lain menggendong ayam jago. Tak ada yang memerhatikan
Bagas yang perlahan menyusuri jalan. Pemuda itu menarik nafas
panjang. Merasakan udara Tarik. Dia kini mengerti kenapa
Tumenggung Jattilan, atau mungkin juga Senopati Mapanji Pamattu
dan Sorta memilih kawasan di tempat ini sebagai lokasi untuk
rumah persembunyian. Karena letaknya sunyi, dan masyarakat di
sekitar terkesan tidak terlalu peduli. Ini yang kedua kali Bagas
menemui rumah persembunyian di Tarik.
Belasan hari lalu, beberapa saat sebelum meninggalkan Tarik untuk
mengungsikan Jayanagara, mereka juga sempat singgah sebentar di
rumah yang dijadikan lokasi persembunyian. Bagas melirik ke
gelang keemasan di pergelangan tangannya. Masih tersisa 22 hari
sebelum dia bisa membuka portal energi untuk kembali ke era
modern tempatnya berasal. Bagas mendesah. 22 hari. Apa yang
bisa terjadi dalam 22 hari ini? Apakah dia bisa membantu rekanrekannya mengalahkan para pemberontak dan memulihkan tahta
Majapahit dalam kurun waktu tiga pekan? Bagaimana jika tenggat
waktunya berakhir, dan Ra Kuti dan gerombolannya belum
dikalahkan? Apa yang akan terjadi jika setelah 22 hari, dia belum
juga kembali ke masa depan? Bagas bergidik. Jika dia tak kembali
pada waktunya, ada kemungkinan bahwa dia harus menghabiskan
sisa hidupnya di sini. Di Majapahit. Sebagai Mada. Gajah Mada.
Wajah Ciara terbayang. Wajah gadis cantik yang telah mencuri
hatinya. Satu-satunya gadis yang dia harapkan akan menjadi istrinya.
Menjadi ibu dari anak-anaknya.
Dan wajah Dyah Gitarja terbayang. Wajah gadis dengan kecantikan
khas keraton. Gadis polos yang jatuh cinta padanya. Gadis dengan
tubuh yang ranum, dengan buah dada yang masih mekar-mekarnya.
Bagas menggelengkan kepala, mengusir jauh-jauh ingatan pada
Dyah Gitarja yang bertelanjang dada. Pemandangan yang terkadang
membuat naluri kelelakiannya terusik. Bagas menatap ke depan.
Mencari halaman yang ditumbuhi pohon mangga. Di sekitar situ
banyak tumbuhan yang tumbuh. Termasuk pepohonan. Namun dia
belum melihat, eh tunggu. Itu dia. Pohon Mangga. Pasti di situ108
tempatnya. Tempat Mada dan istrinya tinggal. Seorang perempuan
nampak sedang menyapu di halaman yang ditumbuhi pohon
mangga yang besar. Perempuan itu menggunakan ranting pohon
sebagai sapu. Perempuan itu memiliki mata bulat indah dengan
hidung mancung, berusia awal 20-an tahun. Dia tak mengenakan
pakaian di bagian atas. Kedua bukit kembar di dadanya nampak
bergoyang pelan ketika dia menggerakkan tangan menyapu.
Apakah perempuan itu yang dicarinya? Istri Mada? Istrinya?
Perempuan itu mengangkat kepalanya begitu Mada mendekat.
Wajahnya menatap tajam.
"Ya?"
"Maaf jika mengganggu. Saya mencari Dyah Uttari..."
Perempuan itu nampak tergetar. Dia menghentikan aksinya menyapu.
"Kau... Kau siapa?"
"Eh, emm... Namaku Bagas. Dan aku...."
Perempuan itu menatap sekeliling, dan berbisik,
"Kita bicara di dalam saja..."
Rumah perempuan itu memiliki rancang bangun yang sama dengan
rumah tempat persembunyian. Memiliki ruang tamu dan satu kamar.
Di ruang tamu ada satu meja kecil yang di atasnya ada vas dari
tanah liat berisi bunga segar. Di dinding rumah nampak perhiasan
dari perak berbentuk gajah. Dan beberapa senjata, pedang, keris
dan panah ditempel di dinding. Di sudut ruang tamu ada jambangan
besar berwarna kecoklatan yang bagian atasnya diisi bunga segar.
Rumah itu nampak asri. Dan hidup. Perempuan itu bersila di lantai
dan mempersilakan Bagas melakukan hal yang sama.
"Aku Dyah Uttari," kata perempuan itu. "Dan kau pasti..." "Aku Bagas,
yang bertemu dengan saudara Mada beberapa saat sebelum dia..."
Bagas menghentikan kalimatnya ketika dia melihat perempuan itu
menundukkan kepala, dan memejamkan mata. "Dia, Mada,
meninggal sebagai kesatria. Dia dikepung dan dikejar delapan orang.
Semua pengejarnya tewas. Namun luka yang didapatnya terlalu
parah. Dan..." "Apakah... Apakah kakang Mada... Menyebut
namaku?" Dyah Uttari berbisik, masih sambil menunduk. "Beberapa
saat sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, saudara Mada
berkata, dia mencintai... Dyah Uttari..." Dyah Uttari menutup
wajahnya dengan kedua tangan. Air mata menetes di antara jemari.109
Pundaknya berguncang. Perempuan itu menangis tanpa suara.
Bagas membiarkan perempuan itu melampiaskan kesedihannya.
"Ah, maaf. Aku.. Aku terbawa suasana. Kakangmas mau minum
apa?"
"Tak usah repot-repot. Air putih saja..."
Dyah Uttari segera berdiri dan berjalan ke belakang. Tak lama
kemudian dia muncul membawa nampan kecil dengan gelas dari
tanah liat berisi air putih. Juga wadah datar, semacam piring berisi
pisang rebus.
"Silakan dimakan ala kadarnya. Pisang ini baru direbus. Masih
hangat..."
Bagas mengucapkan terima kasih dan mengambil pisang, membuka
dan menyantapnya. Pisang rebus itu terasa manis. Dan enak. Di
masanya, di era modern, Bagas jarang atau bahkan tak pernah
makan pisang rebus. Bagas makan dengan lahap dan menyadari
kalau perempuan di depannya menatapnya tak berkedip. Bagas
berusaha mencurahkan perhatiannya pada pisang rebus dan
mencoba untuk tidak menatap bagian dada perempuan ini yang....
"Ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan," kata Bagas. "Mungkin
Senopati Mapanji Pamattu dan Senopati Sorta sudah memberitahu.
Bahwa aku diminta oleh Tumenggung Anarjaya untuk menjadi..."
"Aku tahu. Kakangmas Mapanji Pamattu dan Sorta sudah
memberitahu. Semuanya. Mereka juga mengatakan bahwa
kakangmas akan datang..."
"Aku minta maaf karena terpaksa berpura-pura menjadi Mada.
Karena..."
"Kakangmas tak perlu minta maaf," potong Dyah Uttari.
"Bahkan aku yang harus berterima kasih. Karena jika kabar tentang
rencana pemberontakan itu tidak disampaikan ke baginda raja, atau
jika baginda raja tak bisa diselamatkan, kakang Mada akan mati siasia..."
Bagas mengangguk dan merasa lega. Perempuan di depannya jelas
sangat mencinta suaminya. Dan perempuan ini selain cantik juga110
cerdas.
"Kakangmas Panji dan Sorta bilang bahwa kakang eh, yang
mengaku sebagai Mada akan berkunjung. Namun aku tak
menyangka akan secepat ini. Bukankah kakang seharusnya
mengawal baginda? Apakah Baginda sudah kembali ke kotaraja?"
Bagas tersenyum. Perkiraannya bahwa perempuan ini sangat cerdas
ternyata benar.
"Baginda masih berada di pengungsian. Baginda baik-baik saja..."
Bagas menghentikan kalimatnya dan menimbang-nimbang. Apakah
dia perlu menceritakan segalanya pada perempuan ini? Apakah dia
bisa dipercaya? Tapi sebagai istri seorang Mada, Gajah Mada, Dyah
Uttari seharusnya bisa dipercaya.
"Aku ditugaskan baginda raja untuk datang ke kotaraja, untuk
mencari cara bagaimana supaya para pemberontak bisa dikalahkan
dan tahta Majapahit dikembalikan ke yang berhak. Aku menyamar
untuk sampai ke sini. Dan itu sebabnya aku tak bisa tinggal di sini,
dengan nimas..."
"Aku mengerti, kakang. Dan jika, eh, jika akhirnya tahta Majapahit
berhasil dikembalikan ke Prabu Jayanagara, apakah kakangmas...
akan tinggal di sini?"
Bagas tertegun. Perempuan itu menanyakan pertanyaan yang
selama ini juga menggelayuti benaknya.
"Kalau menurut nimas?"
"Mmm... Entahlah, kakang. Jika kakang sudah mengaku sebagai
Mada di hadapan baginda, untuk selamanya kakang harus menjadi
Mada. Jika tidak, kakang, juga kakangmas Panji dan Sorta, dan
semua yang terlibat bisa dihukum mati karena telah berbohong
kepada Baginda."
Bagas bergidik. Apa yang diungkap Dyah Uttari itu sama sekali tak
pernah terpikirkan olehnya. Bahwa aksi mereka membohongi
baginda punya konsekuensi yang sangat besar. Bukan hanya pada111
dirinya, namun juga mereka yang terlibat. Tumenggung Anarjaya,
ketiga senopati Bhayangkara, dan bisa juga... Dyah Uttari sendiri.
"Jika semuanya sudah berakhir, jika Baginda kembali menduduki
tahta, aku akan menjadi Mada, dan tentu akan tinggal di sini. Kecuali
jika nimas tidak berkenan, aku akan..."
"Kita bicarakan itu nanti saja kakang. Silakan ditambah pisang
rebusnya kakang..."
Bagas mengangguk dan mengambil pisang rebus, pisang yang
keempat. Sambil makan mereka terus berbincang. Selama bicara,
Dyah Uttari lebih banyak menunduk. Hanya sesekali dia menatap
dan beradu pandang dengan Bagas. Setelah pisang di piring datar
habis, Bagas meminta diri.
"Terima kasih suguhan pisang rebusnya, nimas. Pisang rebusnya
enak sekali..."
Dan untuk pertama kali, Bagas melihat perempuan itu tersenyum.
Mata perempuan itu juga berbinar.
"Terima kasih telah mampir, kakang..."
"Aku harus pamit. Terima kasih sekali lagi, nimas..."
Perempuan itu mengantar Bagas sampai ke tepi jalan. Senja
menjelang.
"Kakang..."
"Ya?"
"Apakah... apakah kakang akan... mampir lagi?"
Perempuan itu bertanya sambil menundukkan kepala.
"Aku tak bisa berjanji, nimas. Karena akan menimbulkan kecurigaan
jika aku sering mampir ke sini..."
"Kakang Mada itu, orangnya tertutup. Kami juga baru beberapa bulan
pindah ke sini. Para tetangga tak tahu kalau kakang Mada bekerja di
keraton. Jadi seharusnya tak akan ada yang curiga..."


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan mengusahakan untuk sesekali datang ke sini, nimas.112
Semoga tidak merepotkan..."
"Jika kakang mampir, aku.. aku akan senang sekali, kakang..."
<>113
21 Unique/Antique
MASA kini di Yogyakarta. Seperti biasa, toko Unique/Antique dipadati
pengunjung. Para pengunjung yang sebagian besar merupakan turis
mancanegara mengamati beragam benda yang diatur dengan rapih
di dalam toko. Toko Unique/Antique baru beroperasi sejak dua tahun
lalu. Ide membuka toko justru datang dari Bagas. Saat itu, Bagas
mulai mengunjungi Profesor Dananjaya, dan sudah terlibat dalam
percobaan demi percobaan terkait mesin waktu. Bagas kemudian
melihat bagaimana rumah yang ditempati Profesor dan putrinya,
Ciara, dijubeli beragam benda, kombinasi antara benda yang unik
dan antik, yang mulai tidak terurus. Benda-benda itu merupakan
hasil perburuan Profesor Dananjaya ketika aktif mengunjungi kota
demi kota di Indonesia.
Profesor Semmuel Dananjaya menjadi dosen di lima universitas di
Pulau Jawa, dan empat universitas di luar Jawa. Dia juga kerap
menjadi pembicara seminar atau diskusi yang terkait dengan
teknologi terapan. Selama berkunjung ke sejumlah daerah itu,
Profesor Dananjaya memanfaatkan waktu luang untuk berburu
barang antik. Atau benda yang menurutnya unik. Selain teknologi,
Profesor memang menyukai benda-benda yang bernilai sejarah.
Kombinasi minat yang aneh. Ketika pembuatan mesin waktu mulai
berbuahkan hasil, ketika fisik mesin waktu mulai dirangkai, Profesor
Dananjaya tak lagi begitu peduli pada ratusan, atau bahkan ribuan
koleksi barang antik yang memenuhi rumahnya. Benda-benda itu tak
pernah dibersihkan, dan dibiarkan begitu saja.
"Benda-benda ini bagus. Kenapa tidak dijual saja?" begitu ujar Bagas.
Pernyataan iseng yang membuat Profesor Dananjaya dan putrinya
tertegun. Apa yang dikemukakan Bagas masuk akal. Jika bendabenda ini sudah tidak terurus, kenapa tidak dijual saja? Bendabenda ini bisa menjadi uang. Untuk urusan uang, Profesor
Dananjaya dan putrinya sebenarnya termasuk berkecukupan.
Bahkan berlebih. Menjadi orang tua tunggal semenjak putrinya
berusia sepuluh tahun, Dananjaya bisa menjadi kepala keluarga
sekaligus pengelola keuangan keluarga yang cukup handal. Dia juga
pintar memanfaatkan beragam peluang. Dia punya tiga tanah dan
dua kos-kosan di Yogyakarta, dan perkebunan teh di sekitar Bogor,
Jawa Barat. Dari kos-kosan setiap bulan Profesor Dananjaya114
mendapat pemasukan hampir 30 juta rupiah. Begitu juga dengan
perkebunan teh yang pengelolaannya diserahkan ke kerabatnya
yang tinggal di Bogor.
Profesor Dananjaya segera mendiskusikan ide membuat toko yang
menjual barang antik ke putrinya. Jika toko itu memang akan
didirikan, yang bakal menjadi manager sekaligus pengelola adalah
Ciara. Profesor Dananjaya tak punya waktu untuk mengurus itu.
Ciara setuju. Gadis itu memang sudah lama ingin mempraktekkan
ilmu manajemen yang didapatkan ketika kuliah di Fakultas Ekonomi
Universitas Gajah Mada. Lagipula, dari sisi bisnis, toko barang antik
itu tak akan merugikan. Toh barang yang dijual memang tidak lagi
mereka butuhkan.
Ciara yang merasa sangat antusias dengan ide itu, bertekad untuk
menerapkan manajemen dan penanganan modern pada toko itu.
Mereka mendata semua barang antik dan unik yang ada, kemudian
mengelompokkan dalam beberapa kategori. Ciara juga mencatat halhal menarik terkait latar belakang masing-masing item barang dan
menuliskan informasinya dalam bentuk brosur. Jadi masing-masing
item punya brosur tersendiri, yang dicetak dengan artistik yang
dipaparkan dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Masingmasing barang kemudian difoto dengan resolusi tinggi. Foto-foto itu
diunggah di website resmi toko. Website juga sengaja dibuat dalam
dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Ciara juga aktif mempromosikan
tokonya di media sosial, terutama di Facebook. Ciara bahkan
membuat page tersendiri. Toko didirikan di salah satu tanah milik
Dananjaya di kawasan padat penduduk. Awalnya, operasional toko
berjalan lambat. Bahkan pada tiga bulan pertama, tak ada barang
yang terjual. Pengunjung hanya bisa dihitung dengan jari sebelah
tangan. Ciara nyaris putus asa dan merasa toko ini tak punya masa
depan. Semua berubah ketika mereka mengikuti Pameran Benda
Antik Nusantara yang digelar kesultanan Jogya. Keberadaan toko
mereka diliput secara khusus oleh koran lokal. Beberapa blogger
dari mancanegara yang mengikuti pameran, dan kemudian
berkunjung ke toko, menulis kesan mereka di blog masing-masing.
Pengunjung mulai ramai. Dan semakin ramai sehingga Ciara perlu
menambah satu karyawan. Kemudian satu lagi dan satu lagi. Toko
Unique/Antique kini menjadi salah satu tujuan wajib bagi turis
mancanegara yang ingin membeli cenderamata berupa barang yang115
unik dan antik di Yogyakarta. Ketika stok barang di dalam rumah
mulai berkurang secara signifikan, Ciara membujuk ayahnya agar
mau meluangkan waktu untuk kembali "berburu". Kedua ayah dan
anak ini menghabiskan tiga pekan mengelilingi Indonesia, mencari
barang-barang yang unik dan tidak lagi dipakai pemiliknya, atau
barang antik yang punya kisah di masa lalu. Profesor Dananjaya
memanfaatkan nalurinya sebagai penggemar barang antik kawakan.
Sementara Ciara memanfaatkan pengetahuannya ketika menjadi
manager toko. Ciara tahu barang jenis apa yang disukai turis asal
Amerika, mana yang menarik minat turis Eropa, dan apa saja yang
diincar turis Asia seperti Jepang dan Korea. Perburuan selama tiga
pekan membuat toko punya stok setidaknya dalam satu tahun ke
depan.
SIANG ITU, ADA BELASAN pengunjung yang memadati toko.
Sebagian merupakan pengunjung lama yang ingin menambah
koleksi. Sebagian lagi adalah pengunjung baru yang ingin melihatlihat. Tiga pelayan melayani pengunjung dengan ramah. Dan fasih.
Ciara memang sengaja memilih pelayan yang selain pintar
berbahasa Inggris, juga punya perilaku yang sopan namun menarik.
Berbeda dengan biasa, Ciara tidak ikut melayani pengunjung. Dia
memilih mengurung diri di ruang kerjanya di lantai dua. Sudah dua
hari gadis cantik itu cemberut. Dan dia tahu, wajah yang cemberut
akan merugikan bisnis. Ciara cemberut karena satu hal.
Bagas. Sudah dua pekan lebih dia memantau perjalanan Bagas
yang kembali ke masa lalu. Memantau melalui komunikator yang
memungkinkannya mengetahui apa yang terjadi dan menimpa
Bagas. Awalnya dia memantau dengan hati penuh kekhawatiran.
Penuh takjub. Penuh... rindu. Dan selang beberapa hari terakhir,
ada satu perasaan lain yang menggerogoti sanubarinya. Yang
membuat dadanya terasa panas. Yang membuat kepalanya terasa
panas. Dia dirasuk perasaan cemburu!! Dari komunikator, Ciara tahu
kalau Bagas telah meninggalkan Dusun Badander dan mendatangi
Gili Wanadri Wuluh. Dan Bagas bertemu dengan Dyah Gitarja, adik
tiri raja Majapahit. Dyah Gitarja dan Bagas kemudian melakoni peran
sebagai suami istri sebagai bagian dari upaya menyelamatkan diri
dari kejaran pemberontak. Mulanya tak ada perasaan curiga di hati
Ciara. Hingga naluri perempuannya mengendus satu hal. Dyah
Gitarja, putri Raden Wijaya, menaruh hati pada Bagas!! Dan116
semuanya memuncak sejak kemarin pagi. Ketika melalui
komunikatornya Ciara mengetahui kalau Bagas telah berciuman
dengan gadis itu. Bahwa kemudian ciuman di antara keduanya
menjadi hal yang biasa. Bahwa Bagas tak pernah menolak!! Ciara
sadar sepenuhnya bahwa Bagas memang tak bisa menolak. Mereka
sedang menyamar dan akan sangat berbahaya bagi mereka jika
Dyah Gitarja merajuk. Jika penyamaran terbongkar, nyawa mereka
menjadi taruhan. Namun tetap saja dada Ciara terasa panas.
Apalagi jika dia mengingat percakapan antara Dyah Gitarja dengan
Bagas. "Aku mencintaimu kakang..." "Aku tahu..." Dan... "Aku tak
bisa membayangkan akan kehilangan dirimu, kakang. Aku tak
bisa..." Perasaan Ciara makin campur aduk ketika mengetahui kalau
Bagas telah bertemu istrinya. Atau tepatnya, istri Mada, senopati
Bhayangkara Majapahit yang telah meninggal. Karena Bagas kini
berpura-pura menjadi Mada, dengan kata lain perempuan itu, Dyah
Uttari akan menjadi istrinya.
Menjadi istri Bagas!! Mengetahui kalau pemuda yang diam-diam
dicintainya bermesraaan dengan perempuan lain itu cukup
menyakitkan. Mengetahui kalau lelaki yang disukainya bakal atau
tepatnya sudah punya istri, itu lebih menyakitkan lagi. Ciara tak
pernah, dan tak mau membayangkan kalau Bagas punya istri selain
dirinya. Apalagi, naluri perempuannya mengendus satu hal.
Dyah Uttari yang resminya kini menjadi janda, bisa saja tertarik pada
Bagas. Memang, ungkapan perasaan Dyah Uttari tidak sejelas dan
seterus-terang Dyah Gitarja. Namun ada satu kalimat dari Dyah Uttari
yang membuat Ciara was-was.
"Jika kakang mampir, aku.. aku akan senang sekali, kakang..."
<>117
22 Senopati Elang Biru
LAPANGAN Wanguntur di depan keraton dipenuhi prajurit. Ada yang
berlatih barisan, ada yang berlatih gerakan beladiri, dan sebagian lagi
berdiri menunggu perintah. Bagas larut dalam antrian panjang
pemuda yang akan diseleksi sebagai prajurit. Sambil menunggu
giliran, Bagas mengamati sekeliling. Para pemberontak kelihatannya
memang serius dalam upaya merekrut tenaga baru. Perekrutan
berlangsung singkat dan rata-rata yang mendaftar diterima. Hanya
tingkatan di mana prajurit ini ditempatkan yang berbeda. Perbedaan
ditentukan berdasarkan kepandaian beladiri. Mereka yang
menguasai beladiri diuji secara khusus.
Selain prajurit, Bagas melihat beberapa orang yang kelihatannya
menjadi pemimpin. Dia menduga kalau mereka itu ada yang
berpangkat Bekel, Senopati dan Tumenggung, hirarki kemiliteran di
kerajaan Majapahit. Bagas tak tahu pasti di mana letak
perbedaannya. Dia menduga, perbedaan pangkat itu ditentukan
pada corak kain pinggang yang digunakan, karena mereka semua
bertelanjang dada Bagas yang mendaftar, segera diterima. Kini,
Bagas akan diuji kepandaian beladirinya. Pemuda itu menimbangnimbang apakah perlu memperlihatkan kehebatannya, ataukah dia
berpura-pura tak begitu mahir. Jika dia diketahui menguasai Prana
Sasanga Kalacakra sekalipun baru tahap Eka Kalacakra, dia
mungkin akan menarik perhatian para petinggi pemberontak,
terutama yang berasal dari golongan hitam. Memang, gurunya, Resi
Suwung tak berbicara banyak tentang dirinya, atau ilmu yang
diajarkannya. Namun dari pembicaraan Bagas mengetahui kalau
Resi Suwung, juga kedua muridnya, Sentanu dan Kartikasari
merupakan tokoh golongan lurus. Dari golongan putih. Para
pemberontak dari golongan hitam pasti akan menaruh perhatian jika
ada prajurit yang baru mendaftar dan menguasai ilmu golongan putih.
Bagas mengamati dua lelaki yang menjadi penguji. Seorang lelaki
bertubuh pendek kekar dengan otot yang melingkar-lingkar.
Wajahnya nampak menyeramkan. Yang seorang lagi bertubuh kurus
tinggi dan lincah. Berdasarkan pengumuman yang disampaikan, jika
ada prajurit baru yang bisa bertahan hingga sepuluh jurus, dia akan
diangkat menjadi bekel. Jika bisa mengalahkan para penguji, akan
diangkat menjadi senopati. Seorang senopati akan membawahi118
beberapa bekel. Sekarang pilihan ada di tangan Bagas. Apakah dia
ingin menjadi bekel, atau senopati. Karena posisi untuk menjadi
bekel, apalagi senopati tidak banyak, bisa dipastikan kedua lelaki
yang menjadi penguji itu memiliki kepandaian hebat. Namun Bagas
tidak takut. Dia cukup percaya dengan kemampuannya. Dengan
sabar Bagas menunggu giliran. Tinggal tiga prajurit dan gilirannya
akan tiba. Dua prajurit di depannya dikalahkan dengan mudah, tak
sampai dua jurus. Prajurit yang persis di depannya, bisa bertahan
hingga sepuluh jurus menghadapi si Gemuk. Namun wajah dan
tubuhnya babak belur.
"Giliranmu, anak muda. Kau menghadapi si Bajul. Semoga
berhasil..." Pengawas seleksi berujar kepada Bagas sambil
menunjuk ke arah si Gemuk kekar yang rupanya bernama Bajul. Si
Bajul menyeringai lebar ketika Bagas memasuki lapangan yang
dijadikan sebagai arena seleksi. Di sekeliling, puluhan prajurit
mengelilingi areal sambil bersorak-sorak. Bagas memerhatikan
calon lawannya. Lelaki itu sama sekali tidak mirip buaya besar,
sesuai namanya. Lelaki itu seharusnya bernama Kebo. Namun Bajul
atau Kebo, bisa dipastikan lelaki di depannya ini punya tenaga besar.
"Bajul akan menghadapi anak muda yang bernama Bagas.
Pertarungan berlangsung selama satu sataka. Jika tak ada yang
kalah, pemenang akan ditentukan oleh para penguji," teriak
pengawas, yanag rupanya juga bertugas sebagai "ring announcer".
Saat mendaftar, pemuda itu memang menggunakan nama yang
dipakainya untuk ?menyamar? ketika menjadi suami Ratih. Yakni
Bagas. Terdengar bunyi gong tanda pertarungan dimulai. Para
penonton mulai berteriak memberi semangat. Si Bajul, dengan
perlahan mendekati Bagas.
"Lelaki ini kuat namun lamban," pikir Bagas. Jika ingin mengalahkan
si Bajul ini, dia harus bertindak cerdik. Dia teringat pada pertarungan
tinju, juga mix martial art yang pernah ditontonnya di televisi. Ada
kalanya, seorang petinju atau petarung bisa memenangkan
pertarungan jika bertindak lincah. Dengan cepat kepalan tangan
kanan Bagas melontarkan jab, yang mengena telak di pipi kiri lawan.
Bajul terkejut. Penonton bersorak. Bajul membalas dengan
mengayunkan tangan kiri. Bagas mengelak ke samping. Bajul
penasaran dan mengejar. Bagas melihat peluang. Tangan kiri dan
kanan melakukan pukulan kombinasi ke perut. "Uhhh..." Bagas119
merasa kedua tangannya seperti memukul kayu. Bajul ini rupanya
memiliki tenaga sakti yang mampu menahan pukulan. Diam-diam
Bagas mengerahkan Prana Sasanga Kalacakra ke sekujur tubuh.
Untuk berjaga-jaga. Si Bajul kembali merangsek. Kedua lengannya
melakukan gerakan menyilang. Bagas menghindar namun tiba-tiba
si Bajul menendang. Tendangan Bajul mengenai perut Bagas.
Untung saja Bagas telah menyalurkan tenaga sakti. Jika tidak,
perutnya pasti terguncang. Dugaan Bagas terbukti. Bajul memiliki
ilmu beladiri yang tidak rendah.
Sorakan penonton semakin nyaring. Sebagian memihak si Bajul,
sebagian lagi berharap Bagas bisa menang. Bagas terus
memainkan strategi ?hit and run?. Memukul dan menghindar. Kedua
tangan dengan lincah melontarkan jab, pukulan khas dalam olahraga
tinju ke wajah. Setelah memukul dia segera menghindar. Penonton
makin bersorak ketika melihat hidung Bajul mulai mengeluarkan
darah. Bajul boleh saja memiliki ilmu beladiri yang membuat
tubuhnya kebal. Namun tetap saja ilmu kebalnya tak mampu
melindungi hidung. Hidung merupakan organ pada wajah yang tak
bisa dilindungi tenaga sakti, sama halnya dengan tenggorokan.
Bajul makin beringas.
Sorakan penonton makin liar. Pukulan Bagas terus mengena,
sementara dia relatif aman dari serangan balasan karena terus
bergerak. Bagas merasa tinjunya terasa perih. Namun dia terus
memukul dan memukul.
Dan bunyi gong terdengar. Penonton kembali bersorak. Kali ini
sebagian besar menyebut nama Bagas.
"Pertarungan berlangsung seimbang namun Bagas menjadi
pemenang karena lebih banyak melontarkan pukulan yang
mengena," kata salah satu penguji. "Karena menang, Bagas pantas
menjadi senopati. Bagas akan menjadi Senopati di bagian Elang


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biru. Senopati Bagas akan diantar oleh Bekel Elang Biru Satu..."
Seorang prajurit menyambut Bagas ketika dia meninggalkan area
pertarungan.
"Aku Soma, Bekel Elang Biru Satu," prajurit itu memperkenalkan diri.
"Aku akan menjadi bawahan tuan senopati..."120
Dengan singkat Bekel Soma menceritakan struktur keprajuritan di
Majapahit di era pemerintahan baginda Raja Ra Kuti. Semua yang
lolos seleksi namun tak punya keahlian beladiri menjadi prajurit
rendahan. Setiap lima puluh prajurit rendahan dipimpin seorang
Bekel. Setiap enam bekel dipimpin seorang senopati. Para senopati
dipimpin oleh Tumenggung. Menurut penuturan Bekel Soma, saat
ini ada lima Tumenggung, yang namanya diambil dari nama hewan
yakni Tumenggung Macan, Tumenggung Singa, Tumenggung Elang,
Tumenggung Bangau dan Tumenggung Garuda. Setiap
Tumenggung membawahi senopati yang dibedakan atas warna.
Pada divisi Elang, misalnya, ada Elang Hitam, Elang Putih, Elang
Biru, Elang Coklat dan seterusnya.
Bagas akan menjadi Senopati Elang Biru dan bertanggung awab
pada Tumenggung Elang bernama Pu Badra.
Bagas mengangguk dan dalam hati memuji penataan struktur
keprajuritan ini. Dia juga membandingkan dengan pengaturan di
Bhayangkara, yang setiap bagian juga terinspirasi nama hewan.
Mada, misalnya, memimpin tim Gajah. Sore itu Bagas
diperkenalkan kepada lima bekel yang menjadi anak buahnya, selain
Bekel Soma yang lebih dulu memperkenalkan diri. Dia juga
berkenalan dengan sejumlah senopati yang bakal menjadi
sejawatnya. Dan terakhir, dia berkenalan dengan Tumenggung
Elang Pu Badra. Pu Badra bertubuh kurus dengan wajah kurus dan
hidung yang bentuknya seperti paruh. Dengan mata yang tajam,
sekilas Pu Badra memang mirip elang. Dia hanya mengangguk
ketika Bagas memperkenalkan diri. Pu Badra kemudian
memaparkan apa yang menjadi tugas utama Divisi Elang. "Tugas
utama kita adalah melindungi tahta Majapahit, melindungi Yang
Mulia Baginda Ra Kuti. Sejauh ini kita belum berhasil membunuh
Jayanagara. Pihak yang ditugaskan masih mencari tanpa hasil.
Rupanya Jayanagara bersembunyi di lokasi yang sangat
dirahasiakan. Namun kita harus tetap waspada. Karena para
sentana yang masih setia pada Jayanagara pasti akan berusaha
merebut kekuasaan..." Pu Badra kemudian memaparkan bagaimana
situasi di Majapahit. Bagaimana Dewata Yang Agung membantu
upaya Baginda Ra Kuti mengusir anasir kegelapan yang timbul
karena pemerintahan Jayanagara yang oleh Badra dinilai tidak
becus memerintah. "Hingga pekan depan kita masih menerima121
prajurit baru. Kemudian kita mulai menggembleng para prajurit.
Setiap senopati bertanggungjawab untuk melatih bekel, juga prajurit
rendahan, agar bisa memahami dasar- dasar pertempuran. Juga
menguasai teknik barisan dalam pertempuran," kata Pu Badra.
"Sekarang, kau temui rekan-rekanmu sesama senopati. Kau akan
menjalani proses Kacamana. Disucikan."
"Disucikan?"
Pu Badra tersenyum. Senyum yang membuat wajahnya terlihat
semakin menyeramkan.
"Setiap senopati yang diterima akan menjalani tradisi yang disebut
kacamana. Penyucian diri, atau disucikan. Kau pergilah ke kediaman
Divisi Elang. Kau akan mengerti..."
Bagas diantar ke bagian Divisi Elang, berupa bangunan sederhana
yang terletak persis di sebelah Grahasarwa, yang dulu merupakan
markas Bhayangkara. Kini, menurut penuturan Bekel Soma,
Grahasarwa menjadi kediaman sekaligus tempat pertemuan para
tumenggung, senopati dan tokoh-tokoh dunia persilatan yang
membantu perjuangan. Ada belasan laki-laki di bangunan sederhana
itu. Mereka adalah senopati pada Divisi Elang. Beberapa Bekel juga
nampak hadir. Seorang lelaki gemuk dengan wajah yang selalu
tersenyum memperkenalkan diri sebagai Senopati Elang Hitam
Kunto.
"Di Majapahit ada tradisi yang berlaku di kalangan prajurit. Siapa pun
yang dipercaya menjadi senopati, akan menjalani proses kacamana,
disucikan. Dan saat ini, saudara Bagas, Senopati Elang Biru akan
menjalani upacara penyucian itu," kata Kunto.
"Upacara penyucian sangat sederhana. Senopati Elang Biru bisa
memilih. Apakah dihajar sekuat tenaga di perut atau menenggak satu
gelas tuak!!"
Bagas mengerutkan keningnya. Sungguh tradisi yang aneh. Rupanya,
ini semacam acara "perploncoan" yang juga berlaku di era modern.
Ketika seseorang diplonco sebagai pertanda bahwa dia sah menjadi
bagian dalam kelompok. Dia menatap ke meja dari kayu kasar. Ada122
tiga bambu panjang yang ujungnya ditutupi ijuk. Juga ada semacam
gelas dari bambu. Gelas itu besar.
"Kau tentu boleh memilih untuk dipukul, temanku," kata Senopati
Kunto. "Namun kita menjadi senopati dan bekel bukan kebetulan.
Jadi, ini saran dari teman, pilihlah tuak, dan bukan pukulan..."
Kalimat Kunto diikuti sorakan dari para bekel dan senopati. Senopati
Kunto menuangkan tuak dari bambu panjang ke gelas.
"Perkenalkan, hamba Senopati Kunto dari Elang Hitam. Apakah
temanku Senopati Elang Biru memilih tuak atau pukulan?"
Bagas berpikir keras. Apakah dia harus memilih dipukul atau minum
tuak? Dia memang kini punya tenaga sakti yang mampu menahan
pukulan di perut. Namun Kunto benar. Mereka terpilih sebagai
senopati karena bisa mengalahkan Bajul, dan rekannya. Artinya
kepandaian silat mereka tak bisa diremehkan. Lagipula, itu hanya
tuak. Di era modern, sekalipun bukan sebagai peminum, Bagas
pernah mengecap minuman keras, mulai dari wine hingga brandy.
Dan dia tak pernah mabuk.
"Hamba, Senopati Elang Biru memilih tuak," kata Bagas.
Pilihan Bagas disambut sorak sorai rekan-rekannya. Aroma khas
tuak tercium ketika Bagas memegang gelas dari bambu. Tuak itu
putih seperti susu dan berbusa. Bagas menahan nafas dan mereguk.
Tuak itu rasanya asam bercampur manis. Bahkan terlalu manis.
Rekan-rekannya bertepuk tangan ketika Bagas meletakkan gelas
bambu yang kosong di atas meja. Seorang lelaki yang berkumis
tipis maju dan menuangkan tuak.
"Hamba, Senopati Elang Putih bernama Madira. Apakah rekanku
Senopati Elang Biru memilih pukulan atau tuak?"
"Aku memilih tuak..."
Dan Bagas mereguk tuaknya. Sampai habis. Tanpa terasa, sudah
tujuh senopati yang memperkenalkan diri. Sudah tujuh gelas tuak
yang memasuki perut Bagas. Pandangan pemuda itu mulai terasa
nanar.123
"Oh, kami lupa memberitahu sesuatu," kata Senopati Kunto.
"Dalam upacara penyucian ini, kau tak boleh muntah. Jika muntah,
upacara batal dan kau harus mengurangi dari awal..."
Kunto terkekeh ketika mengucapkan kalimat itu, rekan-rekannya
juga. Bagas satu-satunya yang tidak tertawa. Tak boleh muntah? Ini
lebih sulit dari yang diperkirakannya. Diam-diam dia mengerahkan
tenaga sakti, mencoba mengusir alkohol di dalam tubuh. Namun dia
tak bisa berbuat banyak karena senopati kedelapan kembali
memperkenalkan diri. Dan begitu seterusnya. Hingga gelas kedua
belas memasuki perutnya. Bagas mencoba sekuat tenaga supaya
tidak muntah. Dia sudah berhasil sejauh ini, dan tentu tak mau
mengulangi dari awal. Rekan-rekannya bergantian memuji
kehebatannya.
"Kau hebat, Senopati Bagas. Senopati Kunto yang mengaku jago
minum hanya bertahan sampai gelas kedelapan. Sementara
Senopati Madira bahkan hanya sampai gelas kelima..."
Bagas tak bisa mengingat apa saja yang diucapkan rekan-rekannya.
Rasa pusing melanda kepalanya. Dia bahkan melihat bangunan itu
seperti bergerak, dan rekan-rekannya terlihat seperti sedang menari.
Samar Bagas mendengar bahwa dia akan diantar pulang oleh Bekel
Soma. Sempoyongan, Bagas dinaikkan ke kuda. Tubuhnya
bersandar ke Bekel Soma yang menjadi sais.
"Demi Jagat Dewa Batara, apa yang terjadi?" terdengar suara
perempuan. Dyah Gitarja.
"Senopati Bagas menjalani upacara penyucian," kata Bekel Soma.
"Dia hanya mabuk oleh tuak. Tumenggung Pu Badra bilang, besok
Senopati Bagas tak perlu masuk, namun lusa harus kerja."
"Senopati?"
"Iya. Tuanku Bagas berhasil lolos seleksi dan terpilih menjadi
senopati Kerajaan Majapahit yang jaya..."
Bekel Soma membantu Dyah Gitarja memapah Bagas memasuki dan
merebahkan ke kamar. Bekel Soma minta diri. Di luar, Jattilan
sedang sibuk memberi makan kerbau. Dyah Gitarja melap wajah124
Bagas yang berpeluh.
"Kakang... kau tak apa-apa kakang?"
"Ah... kau... Kau bidadari... Kau cantik sekali...."
"Ah kau mabuk kakang. Aku bukan bidadari. Aku Dyah Gitarja.
Ingat?"
"Kau bidadari cantik... Ah... Kemarilah bidadari cantik..."
"Kakang... Apa yang... Auuu.... Kau nakal kakang..."
"Oh kau cantik. Dan tubuhmu indah. Tubuhmu harum. Kau sangat
bening..."
"Kakang, jangan kakang...."
"Oh.. kau sangat cantik..."
"Kakang. Kau mabuk... Aiihhh...Geli kakang..."
"Oh bidadariku, aku sudah lama menginginkan ini..."
"Kakang ah kakang... Pelan-pelan. Aih sakit kakang..."
<>125
24 Melangkah ke Depan
SUARA nafas yang halus dan teratur menyadarkan Bagas. Dia
menoleh. Dyah Gitarja telah tertidur pulas. Perlahan dia
memindahkan gadis itu ke samping. Dyah Gitarja bergumam tak
jelas namun kali ini dia tetap tertidur. Bagas mengamati gadis itu.
Ada butiran keringat di hidung dan kening. Sebagian rambutnya
yang panjang tergurai di dada. Wajahnya yang cantik terpejam. Ada
sebentuk senyuman di sudut bibirnya.
Diam-diam Bagas harus mengakui kalau gadis ini memang cantik.
Memang usianya masih muda, bahkan terlalu muda untuk ukuran
orang modern. Namun di era Majapahit, usia 18 atau 19 tahun
dianggap sudah cukup dewasa. Apalagi, sejak kecil Dyah Gitarja
telah mendapat perawatan kecantikan ala keraton. Yang membuat
kulitnya halus dan bening. Benar-benar tanpa cacat. Dua bukit
kembar yang mulai mekar membuat gadis ini terlihat seksi. Apalagi,
Dyah Gitarja tidur dengan kaki kanan sedikit dibengkokkan.
Bagas memejamkan mata ketika merasakan naluri kejantanannya
kembali menggelegak. Sebagai pemuda berusia 27 tahun, Bagas tak
asing dengan perempuan tanpa busana. Dia juga tak asing dengan
permainan cinta. Dia mengenal perempuan pertama kali ketika
berusia 18 tahun. Ketika kuliah, dia tergolong populer di mata para
mahasiswi. Pacarnya lumayan banyak. Semasa mahasiswa Bagas
memang tergolong nakal untuk urusan pacaran. Bagi dia, pacaran
tak semata berbincang dan saling pegang tangan. Tidak. Bagas
menginginkan lebih. Dan biasanya gadis yang menjadi pacarnya
tidak keberatan. Memang ada yang awalnya menolak. Namun Bagas
tahu bagaimana caranya melunakkan hati seorang gadis.
Dan semua perilaku nakalnya berubah ketika dia mengenal Ciara.
Ada sesuatu yang berbeda pada gadis itu yang membuat Bagas
enggan untuk bermain-main. Seiring dengan usianya yang semakin
dewasa, Bagas juga mulai memikirkan masa depan. Memikirkan
sebuah keluarga. Sejak pertama kali pacaran, dia tak pernah
membayangkan kalau gadis yang menjadi kekasihnya akan menjadi
istrinya kelak. Tidak. Hingga dia bertemu Ciara. Pada Ciara
angannya melambung. Bahwa kelak gadis itu akan menjadi istri dan
ibu dari anak-anaknya. Angan Bagas sudah melambung bahkan126
ketika dia belum punya keberanian untuk menyatakan cintanya pada
Ciara.
Untuk urusan pacaran Bagas memang punya falsafah unik. Yakni
?don?t hunt what you can?t kill?. Dia tak akan mengejar gadis yang
menurutnya tak bisa ditaklukkan. Dia akan mengejar gadis yang
dipikirnya bisa dijangkau. Atau, yang lebih mudah, adalah mengejar
gadis yang lebih dulu memancarkan sinyal ketertarikan.
Pada Ciara, semuanya berbeda. Bagas tak tahu pasti apakah gadis
itu bisa dijangkaunya atau tidak. Dan itu yang membuat Bagas
berhati-hati. Apalagi, dia pada dasarnya menjadi asisten Profesor
Dananjaya dan sedang mengerjakan sesuatu yang maha penting.
Jika karena cinta ditolak hubungannya dengan Ciara terganggu,
pasti itu akan memengaruhi pekerjaannya dengan Profesor. Dan,
beberapa menit sebelum dia mencoba mesin waktu, pertanyaan
besar yang selama ini menggelayut di benak akhirnya terjawab.
Ternyata Ciara juga punya perasaan yang sama. Bahwa Ciara juga
punya getar asmara. Dan gadis itu berjanji akan menunggunya.
Bagas mendesah dan kembali menatap Dyah Gitarja yang tertidur
lelap. Dia telah melewati batas dengan gadis ini. Dan semua itu dia
lakukan tanpa mematikan komunikatornya, Artinya, nun jauh di masa
depan, Ciara dan Profesor tahu apa yang telah terjadi. Tahu bahwa
dia telah mencumbu gadis yang kelak akan menjadi ratu Majapahit.
Mencumbu dengan mesra, dan melakukan hal yang seharusnya
hanya dilakukan sepasang suami istri.
Bagas merasa punggungnya dingin. Bagaimana kira-kira reaksi
Ciara? Apakah gadis itu akan tetap mencintainya, setelah apa yang
dia lakukan bersama Dyah Gitarja? Bagas menggeleng.
Berdasarkan pengalamannya, dia tak punya harapan. Tak ada gadis
yang rela pria yang dicintainya bermesraan apalagi berhubungan
intim dengan perempuan lain. Bahkan jika itu dilakukan dalam
kondisi setengah sadar. Dalam kondisi mabuk. Itu tak bisa dijadikan
alasan.
Bagas menarik nafas panjang dan memutuskan untuk meninggalkan
kamar. Dia menuju ke bagian belakang rumah. Tumenggung Jattilan
berada di dapur. Gerobak terlihat ?diparkir? tak jauh dari dapur. Di127
kejauhan nampak seekor kerbau sedang menyantap rerumputan.
Bagas mengangguk ke arah Jattilan. Lelaki tua itu sedang
menghancurkan sesuatu dalam ulekan.
"Kau baik-baik saja?"
"Tidak," Bagas menggeleng.
"Aku kacau sekarang. Kemarin aku mabuk..."
"Kau menjalani Kacamana? Penyucian?"
"Iya. Bagaimana Tumenggung tahu?"
"Oh, itu tradisi yang berlaku ketika seseorang diangkat menjadi
senopati. Itu tradisi lama, sudah berlaku di masa pemerintahan Prabu
Kertanegara di Singhasari. Tradisi itu tetap diberlakukan di Majapahit.
Aku juga menjalani Kacamana ketika dipercaya menjadi senopati..."
Bagas menatap Tumenggung Jattilan yang masih sibuk mengulek.
"Dan dulu itu tumenggung bagaimana? Bisa sampai gelas ke
berapa?"
"Waktu itu aku hanya bisa hingga gelas ke sembilan. Dan aku
menyerah."
"Menyerah? Mereka tidak mengatakan kalau bisa menyerah..."
Tumenggung Jattilan tertawa.
"Haha... Tak akan seru jika semua rahasia dibuka bukan? Aku juga
yakin mereka mengatakan, jika muntah harus mengurangi dari awal
bukan?"
Bagas mengangguk.


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya itu bohong. Jika seseorang muntah, penyucian berakhir.
Tidak dimulai dari awal, karena itu akan menjadi lingkaran tanpa
akhir..."
"Ahhh...."
Bagas menggaruk kepalanya. Dia dikerjai. Dan memang benar. Jika
dia muntah dan mulai dari awal, dan muntah lagi, acara penyucian
tak akan pernah selesai.
"Aku... Ketika mabuk, melakukan kesalahan... pada nimas..."128
Tumenggung Jattilan lagi-lagi tersenyum.
"Kesalahan? Kau yakin kalau itu merupakan kesalahan?"
"Maksud paman Tumenggung?"
"Dyah Gitara itu cantik. Kau pernah bilang bahwa dia perempuan
tercantik di Majapahit, dan itu benar. Fakta bahwa kau bisa bertahan
hanya dengan berciuman sekalipun sudah tidur bersama, itu
merupakan pertanda kalau kau punya mental yang kuat. Namun
bagaimanapun, kau tetap laki-laki normal. Tak ada yang
menyalahkan jika kau melakukan itu. Jika lelaki lain, jika itu aku,
misalnya, aku mungkin sudah melakukannya sejak di gerobak..."
"Tapi... Tapi dia... Dia adik tiri raja Majapahit. Dia bahkan punya
peluang menjadi ratu Majapahit..."
"Yang kau lakukan itu sudah terjadi," kata Jattilan.
"Kau tak bisa berbuat apa-apa karena sudah terlanjur. Yang perlu
kau lakukan adalah melangkah ke depan. Menerima konsekuensi
dari apa yang telah terjadi dan mengantisipasi..."
Jattilan kemudian menuangkan bahan yang tadi diuleknya ke gelas
dari tanah liat, memasukkan air dan mengaduknya dengan bambu
mirip sumpit.
"Jika paduka puteri sudah bangun, beri jamu ini kepadanya, untuk
diminum..."
"Jamu? Jamu apa?"
"Seperti yang aku bilang tadi, kau tak perlu menyesali apa yang
sudah terjadi. Yang perlu dilakukan adalah melangkah ke depan,
dan mengantisipasi. Jamu ini akan membuat paduka putri aman dari
kejadian yang tidak diharapkan. Hamil, misalnya..."
Bagas mengangguk paham. Jadi jamu ini semacam ramuan anti
hamil? Dia menatap Jattilan dengan sorot mata penuh kagum. Lelaki
tua ini hebat. Jattilan benar-benar sudah memikirkan hingga jauh ke
depan. Dan mengantisipasi.129
"Tapi... Bagaimana jika nimas menolak dan tak mau meminum jamu
ini?"
"Dia mencintaimu. Bujuk dia. Rayu dia. Katakan ini jamu untuk
kesehatan, untuk kecantikan atau apa. Namun dia harus meminum
ramuan ini. Tiga hari kemudian dia harus minum lagi. Kecuali jika
kalian tak melakukannya lagi, sesuatu yang rasanya tidak
mungkin..."
"Baik, sebentar aku akan meminta nimas untuk meminumnya," kata
Bagas. "Aku akan ke belakang dulu, mau melatih pernafasan...."
Jattilan mengangguk dan menatap Bagas yang memasuki semak
belukar untuk berlatih. Bagas sudah beberapa kali berlatih sejak
mereka bermalam di hutan dalam perjalanan ke kotaraja.
Tumenggung Jattilan belum pernah melihat Bagas bertarung. Namun
dengan pengalamannya yang luas, dia tahu kalau pemuda yang
terpaksa menjadi Mada itu punya kekuatan tersembunyi. Dan itu
terbukti dengan terpilihnya Bagas menjadi senopati Majapahit.
Dengan banyaknya pemuda yang ingin mendaftar menjadi prajurit,
bisa lolos dan terpilih menjadi senopati membuktikan bahwa Bagas
memang berisi.
BAGAS BARU SAJA MENGAKHIRI latihannya ketika dia melihat
Dyah Gitarja sedang berjalan ke arahnya. Rambut gadis itu kusut.
Namun dia tetap terlihat cantik.
"Kita makan kakang, aku sudah lapar..."
Mereka menyantap masakan yang dibuat oleh Jattilan. Selama di
Kotaraja, Jattilan memang memposisikan diri sebagai pembantu.
Sesuatu yang membuat Bagas merasa tidak enak. Jattilan sendiri
berkali-kali menolak ketika Bagas menyatakan ingin membantu.
Menu kali ini ayam bakar, daging rusa panggang dengan sayur
kangkung rebus. Bagas menyantap dengan lahap. Selama berada di
Majapahit, dia mulai terbiasa dengan beras atau nasi yang bentuknya
lebih kecil. Juga dengan bumbu masakan yang sedikit berbeda
dengan di era modern. Namun sejauh ini dia tak punya masalah
dengan makanan. Mereka makan berdua karena Jattilan130
mengatakan akan mencoba memantau perkembangan dari rekanrekannya yang sesuai rencana, mulai memasuki kotaraja.
"Selesai makan, paman Jattilan mengatakan sebaiknya nimas
meminum ini..."
"Apa itu?"
"Oh itu jamu. Jamu untuk kesehatan..."
Dyah Gitarja mengambil gelas berisi jamu itu. Dia kemudian
mengambil bambu yang tadi digunakan Jattilan untuk mengaduk.
"Ah, aku tahu apa ini, kakang?" Dyah Gitarja berujar sambil
tersenyum nakal.
"Kau tahu?"
"Tentu aku tahu. Sejak kecil di keraton aku telah belajar tentang jamu.
Ada beragam bahan dengan bermacam tujuan. Ada yang untuk
pelangsing, untuk menghilangkan jerawat, untuk menghilangkan bau
badan, dan banyak lagi. Kalau yang ini, kalau melihat bahannya, ini
jamu untuk membuat seseorang tidak hamil..."
"Dan kau tahu itu hanya dengan melihat bahannya?"
"Tentu kakang..."
"Dan nimas... Mau meminumnya bukan?"
"Entahlah kakang. Mungkin ya, mungkin tidak,,,"
Dia kemudian menatap Bagas. Matanya meyorot manja.
"Apakah... Kakang tak ingin punya anak denganku? Aku akan
senang jika bisa melahirkan anak dari kakang..."
Bagas menggeleng dan dengan lembut tangan kirinya
menggenggam jemari tangan kiri gadis itu.
"Nimas, ingat, kau adik tiri Raja Majapahit. Dan aku pasukan kawal
raja. Akan terjadi kehebohan yang sangat hebat jika warga
mengetahui, kalau kau, Rani di Kahuripan, hamil. Padahal kau
belum menikah..."
"Kita bisa bersembunyi, pindah ke tempat sunyi dan terpencil..."
"Pindah ke mana nimas? Dan apakah nimas pikir Prabu Jayanagara131
akan membiarkan?"
"Tapi... Tapi itu semua hanya akan terjadi jika kakanda Jayanagara
kembali bertahta bukan? Bagaimana jika tidak?"
"Jika baginda Jayanagara tak kembali bertahta, situasi akan semakin
berbahaya, nimas. Jika nimas hamil, itu tak akan menghalangi niat
Ra Kuti untuk menjadikan nimas sebagai istri..."
Dyah Gitarja terdiam. Dia nampak merenungi apa yang dikatakan
Bagas.
"Baik, aku akan meminumnya, kakang," ujar gadis itu sambil
mengerling penuh arti.
"Namun aku akan meminumnya setelah... Setelah kita melakukan
yang seperti tadi..." Wajah Dyah Gitarja memerah ketika
mengucapkan kalimat itu.
"Baik... Aku setuju..."
"Dan... Aku ingin kakang seperti semalam. Aku ingin kita gantian.
Kakang di atas..."
<>132
25 Bulan Seperti Menangis
KUDA yang ditunggangi Bagas melaju perlahan. Kuda itu dibawa
Bekel Soma menjelang petang, sehari sebelumnya. Sebagai
senopati, Bagas pantas mendapat "kendaraaan dinas" berupa satu
ekor kuda jantan. Bekel Soma juga membawa kain dengan corak
merah hitam, sebagai penanda identitas sebagai senopati. Bagas
sengaja melalui jalan yang berbeda menuju keraton. Dia ingin
mengenal lebih dekat situasi Tarik, Kotaraja Majapahit.
Dia teringat apa yang dibacanya di Google tentang ibukota
Majapahit. Memang, sejarah lebih mengenal Trowulan sebagai
ibukota Majapahit. Namun untuk saat ini, yang menjadi ibukota
adalah Tarik, atau Trik. Trowulan menjadi pusat pemukiman dan
kotaraja nanti. Bagas tak mengingat siapa penguasa Majapahit yang
memerintahkan pemindahan ibukota dari Tarik ke Trowulan.
Mungkin Jayanagara, pikirnya, yang memutuskan memindahkan
ibukota setelah mengatasi pemberontakan Ra Kuti. Pemindahan
ibukota bisa saja karena Tarik dianggap sudah "tercemar". Ataukah
pemindahan dilakukan setelah Dyah Gitarja menjadi ratu Majapahit?
Entahlah.
Mengingat Dyah Gitarja, mau tak mau pikiran Bagas melayang ke
perkembangan terbaru yang mereka lakoni. Sejak kemarin pagi,
mereka praktis bertingkah laku layaknya pengantin baru. Yang
mereka lakukan adalah bercinta dan bercinta. Dyah Gitarja pandai
menyerap pelajaran baru terkait teknik bercinta. Dia juga suka
berimprovisasi dan bereksperimen. Bagas menarik nafas panjang.
Harus diakuinya, apa yang diperbuatnya dengan Dyah Gitarja itu
menyenangkan. Dia tak bisa berbohong. Sebagai pria normal, dia
cukup menikmati permainan cinta yang mereka lakukan. Dan sejak
kemarin siang, usai makan siang, Bagas tak lagi lupa mematikan
komunikatornya.
Bagas menatap sekeliling. Jalanan masih sepi. Jalan yang dipilihnya
memang bukan jalan utama menuju keraton. Dia mengetuk
komunikatornya tiga kali.
"Halo, Ciara? Profesor? Kalian bisa dengar aku?"
Sejenak tak ada balasan. Hingga suara seorang laki-laki terdengar.133
"Halo Bagas, bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik, profesor. Eh, Ciara di mana?"
"Eh, Ciara... dia di sini... Dia sudah bersiap-siap ke toko..."
"Bisa aku bicara dengannya, prof?"
Sejenak tak ada sahutan.
"Halo prof?" "Nak Bagas, mmm... Ciara bilang, eh, untuk saat ini, dia
sibuk. Dia... Dia... Tak bisa berbicara denganmu..."
Bagas merasa tubuhnya seperti diguyur air dingin.
"Apakah... apakah dia marah padaku prof?"
"Mmm... Gimana ya? Marah mungkin tidak. Tapi Ciara jelas kelihatan
tidak senang. Mungkin dia sedikit ngambek. Entahlah Bagas..."
Bagas mengangguk, dan kemudian menyadari kalau di seberang
sana Profesor Dananjaya tak bisa melihat anggukkannya.
"Jadi kau sekarang menuju keraton, Bagas?" Profesor mengalihkan
pembicaraan.
"Iya prof, aku terpilih menjadi senopati Majapahit dan sekarang
merupakan hari pertama aku bertugas..."
"Hati-hati nak, jaga dirimu baik-baik..."
"Iya prof, Tumenggung Jattilan mengatakan aku mungkin akan
dihubungi rekan-rekan prajurit yang masih setia pada Baginda
Jayanagara. Jadi kita lihat saja nanti..."
"Baiklah Bagas... sekali lagi hati-hati. Nanti aku akan bujuk Ciara
supaya mau bicara denganmu lagi..."
Pembicaraan pun berakhir. Bagas kembali menarik nafas panjang.
Dia sudah menduga kalau Ciara akan marah, atau setidaknya
ngambek. Namun tetap saja dia merasa tidak enak. Merasa tidak
nyaman. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong. Dia
mengerti alasan kenapa Ciara ngambek. Bagas juga sudah
menduganya. Namun tetap saja, jauh di lubuk hatinya, dia merasa
sakit.134
Bagas mengelengkan kepala. Urusan Ciara bisa ditangani nanti.
Sekarang dia punya tugas yang lebih penting. Dia kini menjadi
semacam mata-mata. Mata-mata dari pihak Jayanagara. Dia teringat
film modern tentang mata-mata yang pernah ditontonnya. James
Bond. Ethan Hunt dari franchise Mission: Impossible. Dan banyak
lagi. Apakah dia kini sedang menjalani mission impossible? Misi
yang mustahil? Dia teringat percakapannya dengan Jattilan
beberapa saat sebelum berangkat. Bahwa kini pasukan yang loyal
pada Jayanagara mulai memasuki ibukota. Sebagian masuk dengan
Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur

Cari Blog Ini