Ceritasilat Novel Online

Cinta Dua Dunia 3

Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh Bagian 3


menyamar, sebagian lagi melalui jalan rahasia.
"Rekan kita akan menghubungimu, Mada," kata Jattilan.
"Bagaimana mereka menghubungiku?"
"Mereka akan menghubungimu dengan kalimat rahasia," kata Jattilan
lagi. "Mereka akan bilang, ?Matahari bersinar namun bulan seperti
menangis?. Dan kau harus menjawabnya dengan "tawa dan tangis
memang bagian dari hukum alam". Kau kemudian akan diberi kabar
terbaru tentang apa yang sedang dan akan dilakukan..."
Bagas berdebar mengingat percakapannya dengan Jattilan. Ada
rencana rahasia. Dan kalimat rahasia. Sungguh keren!! Jalan yang
dilalui Bagas mulai ramai oleh penduduk. Bagas mengarahkan
kudanya melewati pasar.
Dia ingin melihat dari dekat bagaimana pasar di ibukota Majapahit.
Suara riuh rendah menyambutnya. Para pedagang berteriak
menjajakan dagangannya. Terkadang teriakan pedagang itu
berirama, seperti tembang, yang mau tak mau membuat Bagas
tersenyum. Beberapa pedagang yang baru tiba nampak
menggunakan pikulan, yang di kedua ujungnya berisi semacam
bakul atau keranjang dari rotan berisi beraneka barang.
Karena jalanan kini padat oleh penduduk, kuda yang ditunggangi
Bagas hanya bisa maju perlahan. Hal itu memungkinkannya untuk
mengamati dengan saksama. Dia melihat kios-kios dan juga toko
berjejer di kiri dan kanan. Para pembeli berjubel dan melakukan aksi
tawar menawar. Karena masih pagi, yang diincar pembeli adalah
bahan untuk dimasak siang hari seperti sayur-sayuran, juga ikan.
Dia melihat beraneka jenis sayur yang dijajakan, seperti kacang
hijau, kacang panjang, juga kangkung. Beraneka buah-buahan juga135
dijajakan. Bagas melihat pisang, kelapa, tebu, pepaya, durian,
manggis, langsat dan semangka. Ternyata buah-buahan yang
dimakan penduduk Majapahit tak beda dengan yang dicicipi manusia
Indonesia modern.
Bagas juga mengenali sejumlah komoditi seperti cengkeh, pala dan
merica. Kemudian ada kayu, yang oleh Bagas diduga sebagai kayu
cendana. Ada kapur barus, kapas, garam dan gula.
Bagas juga melihat ada kios yang menjajakan gading gajah dan cula
badak. Di era modern, perdagangan gading gajah dan cula badak
dilarang. Namun di Majapahit, kedua komoditi itu dijual secara
terbuka.
Bagas juga melihat ada kios khusus yang menjual kain. Ada kain
halus, mungkin sutera, juga kain brokat warna-warni. Di pasar itu
ada kios yang khusus menjajakan burung. Bagas melihat ada
burung nuri yang ukurannya sebesar ayam. Burung nuri itu ada yang
berwarna merah dan hijau, Juga ada burung beo yang suka berteriak
mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Jawa kuno. Juga burung
kakak tua dan burung merak. Sementara pada kios yang menjual
beraneka hewan, Bagas melihat ada kera berwarna putih, kijang,
juga babi, kambing, sapi, kuda, keledai dan beraneka unggas seperti
ayam, itik, dan angsa.
Selain tanaman dan hewan, Bagas juga melihat sebuah kios yang
nampaknya menjual... manusia. Enam laki-laki dan dua perempuan
tanpa busana berdiri di depan kios. Tangan mereka diikat. Rupanya,
di era Majapahit ini ada juga yang menjual budak. Sebagai alat
pembayaran, berdasarkan pengamatan Bagas, mereka
menggunakan uang logam. Mungkin itu yang disebut uang gobog,
pikir Bagas, uang yang dibuat dari campuran logam timah, kuningan,
dan perunggu. Walau jarang, Bagas juga melihat keping uang yang
kelihatannya terbuat dari besi, perak bahkan emas.
Apa yang dilihatnya sungguh luar biasa sehingga Bagas berandaiandai, kalau saja dia membawa kamera. Pemandangan pasar di
masa Majapahit tentu akan sangat keren jika diabadikan dalam
kamera. Namun Bagas mengusir jauh-jauh pikiran itu. Kamera digital
di masa Majapahit? Itu tidak mungkin. Secara teoritis memang bisa,136
namun sebaiknya tidak. Seperti yang berkali-kali dikatakan Profesor
Dananjaya, ada baiknya mereka tidak merusak tatanan dan juga
linimasa dengan mengintrodusir peralatan yang baru diciptakan
ribuan tahun kemudian.
Bagas meninggalkan pasar dan mengarah ke selatan. Dari kejauhan
nampak keraton yang menjulang. Suasana mulai berbeda. Prajurit
yang bersiaga terlihat di mana-mana. Bagas membawa kudanya ke
bangunan yang menjadi "kantor" Divisi Elang. Dia melihat sejumlah
senopati yang dua hari sebelumnya mengerjainya dengan acara
penyucian, yang membuatnya mabuk berat.
"Apa kabarmu Senopati Elang Biru?
Tak merasa pusing lagi?"
Senopati Elang Hitam Kunto menyambut ramah. Bagas
menggeleng dan tersenyum. Namun mereka tak bisa bicara banyak
karena Tumenggung Elang, Pu Badra masuk. Wajahnya terlihat
serius.
"Telik sandi mengabarkan kalau pasukan yang setia pada
Jayanagara sudah bergerak mendekati Kotaraja. Jadi kita harus
bersiap-siap. Kita, Divisi Elang mendapat tugas mengamankan areal
sebelah utara keraton. Jadi masing-masing senopati diharapkan
memimpin para bekel dan pasukan. Siapa yang berjaga akan diatur
secara bergantian oleh Senopati Kunto. Selain bersiaga, para
senopati harus melatih pasukannya, melatih barisan dan teknik
pertempuran. Senopati Kunto bisa membantu rekan senopati yanag
belum paham..."
"Kita juga harus mewaspadai kemungkinan adanya pasukan yang
setia pada Jayanagara yang melamar menjadi prajurit dan diterima.
Bahkan bisa saja, ada musuh yang menyamar dan terpilih menjadi
bekel atau bahkan senopati..."
Pu Badra berhenti sejenak dan menatap bawahannya satu demi
satu.
"Aku berharap tak ada di antara kalian yang diam-diam membantu
musuh. Jika itu terjadi, cepat atau lambat akan ketahuan. Dan kalian137
akan mendapat hukuman yang sangat berat, bahkan sangat berat,
sehingga kalian akan berharap tak pernah dilahirkan..."
Diam-diam Bagas bergidik. Apakah Pu Badra sudah mengendus
kalau dia merupakan pengkhianat? Tapi rupanya Pu Badra
berbicara secara umum. Mungkin juga dia hanya memancing.
Seorang lelaki berpakaian serba biru tiba-tiba masuk. Dia langsung
mendekati Pu Badra.
"Badak. Dan semut merah," bisik lelaki itu. "Kayu cendana mulai
harum."
Wajah Pu Bada langsung berubah. Dia segera meninggalkan
ruangan tanpa berkata-kata. Para senopati saling pandang. Mereka
dapat melihat nuansa ketegangan di wajah lelaki berpakaian biru.
Juga Pu Badra. Senopati Kunto segera berdiri.
"Teman-teman, sebagaimana yang disampaikan Tumenggung, kita
akan berjaga bergantian. Kita atur secara bergiliran..."
Para senopati berembuk mengatur jadual. Bagas yang dimintai
usulan menggelengkan kepala dan menyerahkan segalanya kepada
Kunto. Pikiran Bagas melayang ke pembicaraan antara si lelaki
Berbaju Biru dengan Pu Badra.. Badak. Dan semut merah. Kayu
cendana mulai harum. Ini pasti kalimat rahasia. Namun apa
maknanya? Melihat perubahan pada raut wajah Pu Badra
mengindikasikan kalau kalimat itu bermakna jelek. Tapi apa? Para
Senopati meninggalkan ruangan. Yang tersisa tinggal Senopati
Kunto dan Madira. Keduanya mendekati Bagas.
"Cuaca hari ini cerah ya?" kata Senopati Kunto. "Matahari bersinar
namun bulan seperti menangis..."
Bagas terkejut. Kalimat itu!! Dia menatap wajah Kunto dan Madira.
Namun kedua senopati itu terlihat biasa saja.
"Oh iya, cuacanya cerah," jawab Bagas. "Tawa dan tangis memang
bagian dari hukum alam..."
Senopati Kunto tertawa lebar sementara Madira tersenyum.138
Keduanya terlihat girang.
"Ah, akhirnya. Senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda, Senopati
Mada," bisik Kunto. "Sejak awal kami sudah menduga kalau saudara
adalah Mada. Dan syukurlah kita bisa berada di divisi yang sama..."
Bagas mengangguk. Rupanya kedua senopati ini sudah lama
memperhatikannya.
"Oh ya, hampir lupa. Namaku Bhagawan Buriswara. Kunto adalah
nama samaranku. Aku dari pasukan Danur Malagha. Dan ini,
Senopati Nala Radikara, yang menyamar menjadi Madira. Dia dari
pasukan Payodha Praharana.."
"Bhagawan?" Bagas bertanya heran.
"Oh itu namaku, dan bukan gelar. Kedua orang tuaku berharap aku
menjadi bhagawan dan menamaiku itu. Kau bukan orang pertama
yang mengerutkan kening begitu mendengar namaku, hehehe..."
"Saudara Mada," kali ini Madira, atau yang bernama asli Nala
Radikara yang bicara. "Kita harus berhati-hati. Rupanya para
pemberontak sudah bisa mencium kehadiran kita."
"Iya," kata Bagas. "Bagaimana situasi di keraton sekarang?"
"Mahapatih Arya Tadah kabarnya tertangkap. Para pembesar lain
seperti Rakryan Mahamantri i Hino Dyah Sri Rangganata, Rakryan
Mahamantri i Sirikan Dyah Kameswara dan Rakryan Mahamantri i
Halu Dyah Wiswanata kabarnya tewas. Pembesar kerajaan yang
lain juga kabarnya tewas. Sebagian lagi, seperti yang mulia
Adittyawarman menurut informasi berhasil melarikan diri. Begitu juga
dengan Rajapatni Gayatri yang selamat. Paduka puteri Dyah Gitarja
dan Dyah Wiyat juga selamat..."
"Berapa kira-kira jumlah pasukan yang setia pada Baginda
Jayanagara yang telah menyusup ke sini?"
"Jumlah pastinya belum diketahui, karena masih ada yang datang.
Yang pasti, prajurit yang setia pada Baginda Jayanagara punya
semacam identitas, yakni pita hitam atau biru atau kuning yang
diikatkan di pergelangan tangan atau kaki. Jadi jika saudara Mada139
melihat ada prajurit yang mengenakan pita dengan warna hitam, biru
atau kuning, mereka orang kita..."
"Wah cerdik sekali," kata Bagas.
"Tapi apakah pihak musuh tak akan curiga?"
"Semoga tidak," kata Nala.
"Itu sebabnya dipilih beberapa warna supaya tidak terlalu menarik
perhatian..."
Pembicaraan terhenti ketika seorang bekel memasuki ruangan.
"Kita diminta untuk segera berlatih perang-perangan, senopati.."
Senopati Kunto mengangguk dan memberi isyarat kepada Bagas.
Mereka meninggalkan ruangan. Di lapangan, ratusan prajurit
membentuk beberapa barisan. Terdengar aba-aba yang disambut
pekik nyaring. Bagas merinding. Pihak lawan memiliki pasukan yang
sungguh menggetarkan.
<>140
26 Tinggal Dua Hari
WAKTU berlalu seperti berlari. Tanpa terasa, sudah sekitar tiga
pekan Bagas beserta Dyah Gitarja dan Tumenggung Jattilan berada
di rumah persembunyian di Tarik, kotaraja Majapahit. Selang tiga
pekan itu, tak ada peristiwa yang cukup berarti. Bagas dan Dyah
Gitarja masih asyik masyuk layaknya pengantin baru. Tumenggung
Jattilan masih terus melakukan koordinasi dengan pasukan yang
setia pada Jayanagara. Setiap hari Bagas mendatangi keraton
sebagai senopati Majapahit. Tak ada perubahan membuat Bagas
gelisah. Tambahan waktu baginya di Majapahit akan segera berakhir.
Enam pekan tak lama lagi akan habis.
Dan artinya, dia harus kembali ke masanya, ke Indonesia di era
modern. Jika tak kembali, ada kemungkinan dia akan terjebak
selamanya di Majapahit. Namun bagaimana dia bisa kembali ke
masa depan sementara Ra Kuti dan pasukannya belum dikalahkan?
Itu yang membuat Bagas galau. Jika Bagas kembali ke masa
modern sebelum Jayanagara kembali bertahta, ada kemungkinan
dia akan mengubah sejarah. Karena Mada menghilang. Sementara
sesuai catatan sejarah, Mada, atau Gajah Mada punya peran
penting dalam upaya mengembalikan Jayanagara ke tahtanya. Tapi
jika dia tak kembali dan memilih tetap di Majapahit, untuk selamanya
dia tak akan bertemu dengan Ciara. Gadis pujaannya. Gadis yang
masih sanggup membuat dada Bagas bergetar. Gadis yang selama
ini dirindukannya. Kehadiran Dyah Gitarja dengan kasih sayangnya
yang sangat besar belum mampu membuat Bagas melupakan Ciara.
Bahkan, keberadaan Dyah Gitarja kerap membuat Bagas teringat
pada Ciara. Apalagi, praktis selang tiga pekan terakhir Ciara tak
pernah lagi bicara dengannya. Bagas melirik ke gelang kuning.
Tinggal dua hari.
Bagas sudah bersiap-siap menuju keraton ketika Tumenggung
Jattilan muncul. Wajah lelaki setengah tua itu nampak lelah, namun
ada semangat yang terpancar dari matanya.
"Ada hal penting yang ingin kusampaikan, nak Mada," kata Jattilan.
"Tentang rencana penyerangan. Kita akan menyerang besok!!"
"Oh besok?" Bagas terkejut bercampur girang. Akhirnya, rencana
penyerangan pun tiba.141
"Iya besok. Semua sudah siap. Sebelum ke keraton, kau ikut
denganku. Kita akan membicarakan apa yang akan dilakukan
dengan semua unsur pergerakan..."
"Baiklah," kata Bagas.
Selama ini, Jattilan memang kerap melakukan pertemuan dengan
mereka yang setia pada Jayanagara. Terkadang Jattilan
meninggalkan rumah siang hari. Terkadang malam hari. Seperti
semalam. Seingat Bagas, Jattilan meninggalkan mereka sesudah
makan malam, dan kelihatannya dia baru saja kembali.
"Kita berangkat sesudah sarapan. Bersiaplah..."
"Kakang... ayo kakang..."
Terdengar suara Dyah Gitarja. Gadis itu sejak tadi telah berada di
mata air yang letaknya tak jauh dari rumah. Sejak dua pekan lalu,
mereka punya kegiatan rutin sebelum sarapan pagi. Mandi bersama.
Berawal dari peristiwa "tidak disengaja" ketika Bagas mendatangi
mata air di saat Gyah Gitarja sedang mandi. Bagas pun menawari
agar mereka mandi bersama, sesuatu yang disambut sang gadis
dengan gembira.
Tumenggung Jatiilan memberi isyarat dengan menggerakkan kepala
ke arah mata air. Mata air itu jernih dan letaknya tersembunyi di
balik semak belukar dan pepohonan. Bagas mendatangi mata air
dengan kepala dipenuhi beraneka pikiran. Mereka akhirnya akan
melakukan penyerangan, besok hari. Bagaimana rencananya? Pasti
akan terjadi pertempuran hebat. Dyah Gitarja telah berada di mata
air. Mata air yang jernih membuat tubuh gadis itu yang polos
nampak jelas. Kain yang digunakan Dyah Gitarja untuk menutupi
pinggang ke bawah beserta pakaian dalam nampak tergeletak di
batu.
"Kenapa lama sekali kakang?
Ayo!!"
Bagas membuka kainnya, dan tak lupa mengetuk komunikatornya
dua kali. Komunikatornya mati.
Seperti biasa, acara mandi bersama tak hanya diisi dengan mandi,142
namun juga kegiatan lain yang dipenuhi rintihan dan erangan. Dan
tentu saja Bagas tak menginginkan Profesor Dananjaya, atau Ciara
mendengar rintihan dan erangan itu...
<>143
27 Rencana Menyerbu Keraton
TUMENGGUNG Jattilan dan Bagas menyusuri jalanan yang sepi.
Sesekali mereka masuk menerobos semak belukar. Dan tak lama,


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tiba di sebuah rumah terpencil yang sebagian besar
dindingnya terbuat dari batu bata merah. Jattilan menatap sekeliling
sebelum masuk melalui pintu depan.
Rumah itu kosong. Tak berpenghuni. Tanpa bicara, Jattilan
memasuki satu-satunya kamar di rumah itu. Kamar itu juga kosong,
Hanya ada satu tempat tidur dan lemari setinggi sekitar satu meter.
Jattilan membuka lemari itu. Lemari itu juga kosong. Jattilan
membungkuk, membongkar lantai lemari. Ternyata lantai lemari itu
merupakan pintu rahasia.
Jattilan memberi isyarat kepada Bagas untuk mengikutinya. Di
bawah lemari ada tangga yang terbuat dari batu. Tangga menurun
sekitar tiga meter dan berujung pada lorong yang gelap. Jattilan
mengambil sebuah obor yang tergantung di dinding dan
menyalakannya. Dengan bergegas mereka menyusuri lorong.
"Ini salah satu dari belasan jalan rahasia yang ada di Tarik," kata
Jattilan. "Tak banyak yang tahu keberadaan lorong rahasia di bawah
tanah ini. Hanya aku, Tumenggung Anarjaya dan beberapa orang
yang tahu. Dan syukurlah, lorong rahasia ini sangat berguna di saatsaat seperti ini..."
Bagas bersiul kagum. Majapahit tak pernah berhenti membuatnya
takjub. Belasan jalan rahasia di dalam tanah? Ini hal yang baru.
Kelihatannya, lorong rahasia ini tetap menjadi rahasia hingga ribuan
tahun ke depan. Karena Bagas tak pernah membaca ulasannya di
berbagai terbitan dan buku tentang Majapahit. Atau, bisa saja jalan
rahasia ini memang belum ditemukan. Atau sudah runtuh. Mereka
terus berjalan.
Samar Bagas mendengar suara orang di atas sana. Keramaian.
Apakah pasar? Apakah mereka berjalan di jalan rahasia di bawah
pasar? Mereka terus berjalan dan Bagas mendengar suara air. Bunyi
kecipak air yang terkena dayung perahu. Mereka kini di bawah air.
Sungai, mungkin. Atau kanal. Selama dalam perjalanan144
Tumenggung Jattilan tak pernah berbicara sepatahpun. Bagas pun
berdiam diri. Hingga akhirnya lorong rahasia yang mereka telusuri
mulai menanjak.. Di ujung ada tangga yang terbuat dari bambu. Di
ujung bambu terlihat semak belukar. Semak belukar itu ternyata
merupakan bagian dari kawasan hutan yang sangat lebat.
"Kita kini berada di luar kotaraja, di sebelah utara," kata Tumenggung
Jattilan. Dia berjalan ke arah tenggara.
Dari kejauhan terdengar bunyi siulan. Jattilan balas bersiul. Belasan
orang tiba-tiba muncul. Jattilan memperkenalkan Mada dan
kemudian memperkenalkan belasan orang itu pada Bagas. Dari
belasan orang itu ada empat sosok yang dikenalnya. Yakni
Bhagawan Buriswara dan Nala yang dikenalnya ketika melamar
sebagai prajurit, dan dua orang yang membuat senyum Bagas
mengembang lebar. Mapanji Pamattu dan Sorta!! Tumenggung
Jattilan dan seorang lelaki kekar yang usianya sepantaran dengan
Jattilan memimpin pertemuan. Jattilan memperkenalkan lelaki itu
sebagai Tumenggung Pu Tanga.
Dari sejumlah pembicaraan dalam petemuan itu Bagas
menyimpulkan kalau Tumenggung Jattilan adalah pemimpin
pasukan Danur Malagha, sementara Tumenggung Pu Tanga
pemimpin Payodha Praharana. Bagas tak tahu pasti apa perbedaan
kedua pasukan itu. Masih ada satu pasukan lagi di Majapahit yakni
Kundha Samarra, yang menurut penuturan almarhum Mada,
membelot dan memihak pemberontak.
"Prabu Jayanagara telah memerintahkan agar tahta kerajaan
secepatnya direbut kembali. Jadi kita akan menyerang. Kami dari
Payodha Praharana akan menyerang dari luar kotaraja, beserta
pasukan Bhayangkara yang dipimpin Mahisa Kedora dan
Tumenggung Anarjaya. Teman-teman dari pasukan Danur Malagha
dipimpin Tumenggung Jattilan dibantu pasukan Bhayangkara yang
dipimpin Senopati Mapanji Pamattu dan Senopati Sorta akan
menyerang di dalam kotaraja, terutama keraton. Teman-teman lain,
seperti Senopati Bhagawan Buriswara, Nala Radikara dan Mada
membantu," kata Pu Tanga.
"Berdasarkan pengamatan kami, para tokoh dunia persilatan yang145
membantu pemberontak mulai meninggalkan kotaraja sejak dua hari
lalu," kata Nala.
"Kita tak tahu pasti apa penyebabnya namun itu berita bagus. Tokoh
dunia persilatan itu rata-rata berilmu tinggi dan bisa menyulitkan..."
"Pasukan musuh yang selama ini mencari Baginda Maharaja juga
belum terlihat. Kabar terakhir mereka masih berada di bagian timur,
di sekitar desa ?hurabhaya di tepian sungai Brantas," tambah
Senopati Mapanji Pamattu.
Bagas yang menyimak pembicaraan mengerutkan keningnya.
?hurabhaya? Apakah itu desa yang menjadi cikal bakal Surabaya di
masa depan?
"Sekalipun dari jumlah pasukan kita lebih kuat, namun kita jangan
lengah. Kita harus tetap waspada," kata Tumenggung Jattilan.
"Sekarang yang harus dipikirkan, bagaimana caranya pasukan yang
ada di Kotaraja menyerbu keraton, tanpa diketahui. Ada usul?"
Tumenggung Jattilan mengedarkan pandangannya. Bagas ikut
berpikir. Dia mencoba mengingat-ingat strategi perang atau
pertempuran yang pernah ditontonnya di sejumlah film.
"Emmm... Mungkin akan lebih mudah jika ada yang mengalihkan
perhatian para pasukan yang berjaga di keraton," kata Bagas.
"Jadi ketika perhatian para penjaga dialihkan, ada pasukan kecil
yang segera menyerbu keraton..."
"Wah itu usul yang bagus sekali. Ketika ada yang menyerbu keraton,
pasukan lain menyerang musuh yang berjaga di sekitar keraton,"
kata Jattilan.
"Sebaiknya kita atur saja siapa yang akan mengalihkan perhatian,
siapa yang bakal menjadi penyerbu dan siapa yang akan
menghadapi pasukan inti pihak lawan..."
Mereka segera membicarakan detil penyerbuan. Selain di dalam
keraton, mereka juga membahas apa yang akan dilakukan oleh
pasukan yang menyertai Prabu Jayanagara. Diam-diam Bagas146
melirik gelas emas di lengan. Tinggal satu setengah hari. Apakah
waktunya cukup baginya? Dia mendesah. Di langit, awan hitam
berarak.
<>147
28 Banjir Darah di Kotaraja
BAGAS merasa debar di dadanya bertalu-talu. Ini saatnya. Saat
penentuan. Saatnya mengalahkan para pemberontak yang dipimpin
Ra Kuti dan mengembalikan Raja Jayanagara ke tahtanya. Saat
yang memungkinkan baginya untuk kembali ke masanya. Aktivitas
warga Tarik, Kotaraja Majapahit berjalan seperti biasa. Tak ada
warga yang tahu bahwa tak lama lagi akan terjadi pertarungan hebat
yang bakal menentukan masa depan Majapahit.
Pasukan yang setia pada Jayanagara sudah bergerak dan
menempati posisi yang telah ditentukan. Semua sudah siap. Bagas
menatap Mapanji Pamattu dan Sorta. Mereka merupakan bagian
dari tim yang bakal menyerbu keraton dan membunuh para
Dharmaputera yang memberontak, terutama Ra Kuti. Mereka
menunggu.
Dan tiba-tiba, di lapangan sebelah barat terjadi keributan. Keributan
hebat. Terdengar teriakan. Ada gajah mengamuk. Gajah berwarna
abu-abu itu lari menerobos dan menabrak siapa saja. Terjadi
kepanikan di kalangan para prajurit yang berjaga. Apalagi gajah itu
kini mengarah ke keraton. Gajah merupakan binatang yang jinak.
Namun gajah yang mengamuk jauh lebih mengerikan dibanding
banteng atau bahkan macan.
"Kita bergerak," bisik Mapanji Pamattu. Gajah yang mengamuk
adalah pengalih perhatian yang telah disepakati. Ketika semua
penjaga teralihkan perhatian oleh gajah yang belum juga bisa
dijinakkan, Bagas dan rekan-rekannya menyelinap. Mapanji Pamattu
dan Sorta merupakan pimpinan Bhayangkara. Mereka tahu selukbeluk keraton. Mereka tahu lorong dan pintu yang jarang dilalui
siapapun. Tanpa kesulitan mereka kini berada di dalam. Mereka
terus berlari. Tanpa suara. Tim kecil yang berjumlah tujuh orang itu
penuh siaga.
Tanpa halangan, mereka kini telah berada di Balairung Utama
Grahanopama, tempat raja biasa menghabiskan waktu sehari-hari.
Tempat yang juga digunakan Ra Kuti sejak menahbiskan diri
sebagai penguasa Majapahit.148
"Ini jauh lebih mudah dari yang kukira," kata Bagas pelan. Dia
berharap akan terjadi petarungan atau setidaknya mereka dihadang
para prajurit. Namun kali ini tidak.
"Ini terlalu mudah," kata Sorta. "Sepertinya ada yang tidak beres."
Kalimat Sorta belum sepenuhnya selesai ketika mereka mendengar
suara tertawa. Lima lelaki muncul dari depan.
Bagas terkejut. Yang muncul adalah Tumenggung Pu Badra dari
Divisi Elang beserta lelaki yang berpakaian serba biru dan tiga orang
berpakaian serba hitam. Munculnya lima lelaki itu diikuti puluhan
prajurit yang masing-masing memegang busur dengan anak panah
yang siap dilepaskan.
"Wah wah. Apa yang kita lihat di sini. Anggota Bhayangkara yang
mencoba membunuh penguasa Majapahit..."
Lelaki berpakaian serba biru tertawa mengejek.
"Sial," desis Mapanji Pamattu. "Kelihatannya kita djebak..."
Bagas dan rekan-rekannya terkejut bukan main. Yang ada di
Balairung utama bukan Ra Kuti. Namun pasukan bersenjata lengkap
yang kelihatannya sudah menantikan mereka. Bagaimana bisa?
"Ada yang membocorkan rencana kita," ujar Sorta. "Kita terpaksa
membuka jalan darah. Ayo, kita kembali..."
Ketujuh orang itu melompat, mencoba meninggalkan balairung.
Nyaris bersamaan, hujan anak panah menerpa. Bagas memutar
kerisnya mencoba menyampok anak panah yang mendatanginya.
Prana Sasanga Kalacakra dikerahkan ke sekujur tubuh.
"Mada, temui Tumenggung Jattilan. Katakan ada yang
membocorkan..." Mapanji Pamattu tak bisa menyelesaikan
kalimatnya karena dia sudah diserang dengan hebat oleh si Baju
Biru yang dibantu seorang berpakaian hitam.
Sementara Sorta kini berhadapan dengan Pu Badra yang dibantu
dua rekannya.. Bagas sendiri sibuk dengan hujan anak panah.149
Beberapa anak panah mengenainya. Namun dengan Prana
Sasanga Kalacakra yang dikerahkan hingga seratus persen
kekuatan, anak panah itu hanya menimbulkan luka gores.
Terdengar jerit kesakitan. Bagas tak tahu siapa yang menjerit karena
dia sedang bergegas. Namun kemungkinan besar yang menjerit itu
adalah salah satu dari tim kecil mereka. Dengan susah payah
Bagas berhasil keluar dari keraton.
Di pintu gerbang, dia tertegun. Di lapangan Wanguntur terjadi
pertempuran sengit. Juga di sisi kanan dan kiri. Pasukan yang
dipimpin Tumenggung Jattilan terjepit oleh musuh yang datang dari
berbagai arah.
Dengan keris di tangan Bagas segera menerobos pertarungan,
mencoba mendekati Jattilan. Lelaki setengah tua itu mengamuk.
Pedang yang digenggam menebas ke kiri dan kanan, mencari
nyawa.
"Tumenggung... Tumenggung... Kelihatannya kita dijebak..." "Kita
coba keluar dari kepungan. Ayo..."
Bagas mengertakkan gigi. Beraneka perasaan berkecamuk di hatinya.
Dia kini terlibat dalam pertempuran dahsyat. Pertempuran yang
kelihatannya akan berakhir buruk bagi pihaknya. Tapi kenapa?
Bukankah seharusnya, menurut sejarah mereka bisa mengalahkan
para pemberontak? Tapi kenapa sekarang situasinya seperti
berubah total? Pertempuran berlangsung brutal. Jerit kesakitan dan
teriakan kematian terdengar di mana-mana. Desing senjata berpadu
dengan gemercik darah yang terciprat. Darah mengalir di manamana.
Bagas mengayunkan keris sambil bergidik. Beragam perasaan
berkecamuk di benaknya. Ini saatnya, ketika dia diperhadapkan pada
situasi di mana harus memilih: Membunuh atau dibunuh. Bagas tak
tahu apakah dia benar-benar menghabisi nyawa lawan, karena
musuh muncul seperti air bah. Satu dirobohkan, datang dua atau
tiga pengganti!! Dari kalangan prajurit musuh, Bagas melihat ada
beberapa tokoh dunia persilatan yang ikut mengamuk. Tokoh
persilatan ini yang membuat pasukan yang dipimpin Jattilan kocar-150
kacir. Di antara tokoh persilatan itu, Bagas melihat si Bajul dan lelaki
kurus yang menjadi penguji para prajurit yang melamar. Dia melihat
ada jagoan bersenjata cambuk. Dan dia melihat... Pu Badra dan si
Baju Biru!! Bagas merasa dadanya tercekat. Jika Pu Badra dan si
Baju Biru sudah berada di lapangan, itu artinya...
"Ja..ttilan... Celaka..." Seorang lelaki berlumuran darah sempoyongan
mendekati Jattilan. Bagas terkejut bukan main ketika mengenali lelaki
itu. Dia, lelaki yang tubuhnya bersimbah darah itu Tumenggung
Anarjaya!!
"Anarjaya!! Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana Baginda?"
Tumenggung Jattilan berujar kaget.
"Kita... dijebak. Prabu... Jayanagara... ahh.. tewas. Puteri... Paduka
Puteri... Selamatkan... diiiaaa..."
Tumenggung Anarjaya terkulai. Nyawanya melayang. Apa yang
dikemukakan Anarjaya membuat Bagas dan Jattilan seperti
disambar petir. Prabu Jayanagara tewas!! Rupanya, bocornya
rencana penyerangan tak hanya menimpa pasukan yang ada di
Kotaraja. Pasukan di luar kota raja yang mengawal Raja Jayanagara
juga mengalami hal yang sama. Dan... Jayanagara tewas.
Bagas menggelengkan kepalanya. Tidak. Tidak mungkin.
Jayanagara tidak mungkin mati. Jayanagara tak boleh mati. Itu tidak
sesuai dengan apa yang tercatat dalam sejarah!! Namun Anarjaya
tak mungkin berdusta. Dia bertaruh nyawa, memasuki Kotaraja untuk
mengabarkan berita itu. Jayanagara tewas dan mereka harus
menyelamatkan Dyah Gitarja!!
"Kita harus meninggalkan tempat ini," kata Jattilan. "Kita harus
menyelamatkan paduka puteri..."
Mereka pun mencoba mencari celah. Tidak mudah karena kepungan
lawan sangat ketat dan pasukan yang dipimpin Jattilan jumlahnya
semakin berkurang. Perhatian mereka terpecah oleh amukan
seseorang. Di sebelah timur, Tumenggung Pu Tanga pemimpin
Payodha Praharana mengamuk hebat.151
"Kalian!! Kalian harus membayar kebohongan kalian. Kalian harus
membayar!!" Pu Tanga mengamuk sambil berteriak seperti orang
kesurupan.
"Pu Tanga!!" Jattilan mendekati dan membantu karena dia melihat Pu
Tanga mengamuk dan sama sekali tidak menghiraukan keselamatan.
"Jattilan... Ah Jattilan... Aku telah berdosa..."
"Apa maksudmu Pu Tanga?"
"Mereka memaksaku. Mereka menculik istri, anak dan cucuku.
Mereka mengancam akan membunuh keluargaku jika aku tak
membocorkan rencana kita. Dan... Dan..."
Pu Tanga terus mengamuk tak peduli perut dan pahanya terluka.
Jattilan dan Bagas kembali terkejut. Ternyata Pu Tanga!! Bocornya
rencana penyerangan mereka karena Pu Tanga berkhianat!!
"Tadi mereka bilang, aku bisa menemui keluargaku di kaki Bukit
Samir. Dan ketika aku kesana, mereka, keluargaku... semua sudah
mati. Matiiiii!!!"
Pu Tanga memutar pedangnya. Dua prajurit lawan roboh. Namun di
saat yang sama tebasan golok mengenai pinggangnya. Dan tusukan


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak menembus punggung.
"Ja... ttilan... Aku akan bertemu... keluargaku... Maafkannnn..."
Pu Tanga tewas dengan wajah dipenuhi amarah dan sakit hati.
Jattilan menarik nafas panjang, menatap Pu Tanga yang tewas
dengan tubuh terkoyak. Dia sama sekali tidak menduga kalau Pu
Tanga akan berkhianat. Tapi, semua orang mungkin akan
melakukan seperti yang dilakukan Pu Tanga jika keluarganya
terancam bahaya.
"Ayo, kita pergi..." Jattilan membuka jalan darah, dan dengan susah
payah mereka berhasil meninggalkan lapangan.
"Kalian pikir kalian mau kemana?" Pu Badra dan si Baju Biru, kali ini
ditemani si Bajul, Lelaki Kurus dan jagoan bersenjata cambuk sudah
menghadang.152
"Kau selamatkan sang puteri. Biar kuhadapi mereka..."
"Tapi paman...."
"Aku tahu. Mereka bukan lawanku. Aku tak mungkin menang tapi
setidaknya aku bisa memperlambat mereka. Kau pergilah...
Selamatkan sang puteri. Gunakan jalan rahasia..."
Bagas mengangguk dan segera berlari. Sekencang mungkin. Hingga
dia melihat seorang prajurit yang menunggang kuda. Dia menarik
prajurit hingga jatuh ke tanah dan melompat ke pelana. Seperti
orang gila dia memacu kudanya. Di belakangnya, teriakan
pertempuran masih terdengar. Jerit kesakitan samar terdengar.
Bunyi derap kuda membuat Bagas tak mendengar kalau di antara
yang menjerit kesakitan itu adalah Jattilan...
<>153
29 Sampai Ajal Memisahkan
"MINGGIR ... Minggir!!"
Bagas berteriak kalang kabut. Kudanya dipicu sekencang mungkin.
Dia tak menghiraukan warga yang terkejut dan kocar kacir dari
jalanan. Bagas tahu, dia berpacu dengan waktu. Bagas memacu
kudanya dengan hati remuk. Apa yang terjadi sama sekali di luar
perkiraannya. Prabu Jayanagara tewas. Tumenggung Anarjaya
tewas. Sebelumnya, Senopati Mapanji Pamattu dan Sorta juga
kemungkinan sudah tewas. Pu Badra dan si Baju Biru tak mungkin
meninggalkan balairung hidup-hidup jika kedua rekan Bagas masih
hidup. Dan Jattilan. Dia telah bersama lelaki setengah tua itu
sebulan lebih. Dia merasa akrab dengan lelaki yang disebutnya
paman itu. Lelaki berpengalaman dan berwawasan luas. Dia tak
tahu bagaimana nasib lelaki itu. Namun menghadapi kepungan
prajurit, juga orang sakti, kecil kemungkinan bagi Jattilan untuk...
Bagas terus memacu kudanya. Dia kini tiba di kompleks yang sepi.
Dan tak lama, dia melihat rumah yang selama ini dijadikan tempat
persembunyian.
"Nimas... Nimass..."
Bagas melompat dari kudanya dan bergegas memasuki rumah.
"Nimas!!"
Bagas memasuki kamar. Gadis itu sedang berbaring malas-malasan.
"Ada apa kakang? Semua baik-baik saja?"
"Kita harus pergi nimas. Sekarang juga..."
"Pergi ke mana kakang? Di mana paman Tumenggung?"
Bagas tertegun. Tak tahu apa yang harus dia katakan kepada gadis
ini. Banyak yang telah terjadi dan semuanya buruk.
"Nanti aku cerita di jalan. Kita harus cepat..."
Bagas menarik lengan Dyah Gitarja, membuka pintu dan tertegun.
Puluhan prajurit telah mengepung rumah mereka. Beberapa orang
berpangkat senopati dan tumenggung nampak di antara para154
pengepung. Beberapa orang yang kelihatannya merupakan tokoh
dunia persilatan mendampingi. Bagas memperkirakan setidaknya
ada seratus orang yang mengepung mereka!!
"Ah, bagaimana mereka bisa secepat ini sampai di sini?"
"Kakang, ada apa ini kakang? Siapa mereka?"
"Ah bodohnya aku, nimas. Aku justru telah menuntun mereka ke sini.
Mereka pasti membiarkan aku lolos supaya bisa menemukanmu.
Maafkan aku nimas..."
"Apakah... Apakah mereka..."
Bagas mengangguk cepat.
"Mereka musuh, yang diutus Ra Kuti untuk mencarimu..."
"Ahhh..."
"Kalian yang di dalam.." Terdengar teriakan dari luar.
"Menyerahlah, dan serahkan paduka putri kepada kami. Paduka
putri akan menjadi parameswari, permaisuri utama Majapahit.
Menyerahlah dengan damai..."
"Tidak... Tidak..." Dyah Gitarja berbisik ngeri sambil memeluk Bagas.
"Aku.. aku tak mau berpisah denganmu... Aku tak bisa menikah
dengan orang lain selain dirimu kakang...."
Bagas balas memeluk dan membelai rambut gadis itu. Dia berpikir
keras. Ada seratus orang lebih yang mengepung. Sehebat apapun
dia, Bagas tahu dia tak bisa lolos. Apalagi bersama Dyah Gitarja.
Namun dia tentu tak bisa menyerahkan gadis ini begitu saja.
Menyerahkan Dyah Gitarja untuk diperistri Ra Kuti sama artinya
dengan meniadakan semua pengorbanan yang telah mereka
lakukan selama ini. Banyak orang telah tewas hari ini. Dan kematian
mereka akan sia-sia jika Ra Kuti akhirnya bisa menikahi Dyah Gitarja.
"Kalian sungguh cerdik. Menyembunyikan paduka putri di kotaraja itu
sangat cerdik," kembali terdengar suara dari luar.
"Kami telah mencari ke mana-mana tanpa hasil. Siapa sangka
paduka putri yang kami cari ternyata berada tepat di depan hidung
sendiri..."
Sejenak sunyi. Pelukan Dyah Gitarja semakin ketat.
"Menyerahlah dengan damai, Senopati Elang Biru. Kau akan mati155
dengan cepat tanpa siksaan. Paduka putri akan menerima kemuliaan
sebagai Pemaisuri Utama. Keluarlah. Jika tidak, kami akan memaksa
kalian. Kami akan membakar rumah dengan panah api..."
"Tidakkk... "
Dyah Gitarja menggeleng. Dia melepaskan pelukannya. Bagas juga
berpikir, mencoba mencari jalan keluar. Dan dia teringat pada gelang
emas di lengannya. Mungkin ini satu-satunya jalan. Yakni kembali ke
masa depan, dan membawa Dyah Gitarja bersamanya.
Namun... Bagas dilanda keraguan.
Apa yang akan terjadi jika dia membawa Dyah Gitarja, putri
Majapahit ke masa depan?
Apakah gadis ini bisa menyesuaikan diri?
Bagaimana dengan Ciara?
"Kakang..." Dyah Gitarja berbisik.
"Aku tak bisa menikah dengan pemberontak. Aku tak bisa. Maafkan
aku... Aku memilih mati kakang..."
"Nimas..."
"Aku mencintaimu, kakang. Dan cintaku akan kubawa sampai mati.
Semoga... di kehidupan lain, kita bisa bersama..."
Gadis itu menggerakkan tangannya. Tubuhnya tersentak. Bagas
yang sedang memikirkan kemungkinan membawa Dyah Gitarja ke
masa depan terkejut ketika melihat... darah.
"Nimas... apa yang..."
Bagas seperti disengat ular ketika melihat darah mengalir dari ulu
hati gadis itu. Darah mengalir dari luka karena tusukan. Tusukan
pisau kecil yang digenggam Dyah Gitarja!!
"Astaga nimas... Apa yang kau lakukan? Apa yang kau lakukan??"
Bagas berteriak seperti orang gila.
Dyah Gitarja tersenyum. Senyum yang membuat hati Bagas seperti
diiris.
"Ini... pisau yang kusiapkan sejak lama... Kusisipkan di ikat156
pinggang... Aku tak bisa menikah dengan pem...berontak. maafkan
aku kakang...."
"Oh imas... nimas... Tidak... Tidak...."
Dyah Gitarja menggerakkan tangannya yang kini bersimbah darah.
Dia menggenggam sesuatu.
"Ini... gelang emas pemberian... ayahanda. Terimalah... kakang,
tanda cintaku...kepadamu... Cintaku hingga... hingga ajal...
me...misahkan...."
Dan tubuh Dyah Gitarja terkulai.
"Tidak!! Tidak!! Oh Tuhan, tidak nimas... Tidaaaaakkk!!!"
Bagas memeluk dan mengguncang tubuh gadis itu. Namun dia tak
bisa mengembalikan nyawa yang sudah melayang.
"Tidak... Kau tak boleh mati... Tidak..." Bagas memeluk dan
menangis.
Rupanya, Dyah Gitarja sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi
kemungkinan terburuk. Dia melengkapi diri dengan pisau kecil yang
sengaja disembunyikan. Pisau yang selama ini luput dari perhatian
Bagas. Pisau yang akan digunakan jika tak ada jalan keluar. Pisau
untuk mengakhiri nyawa jika dia dipaksa menikah dengan
pemberontak.
Bagas merasa tubuhnya merinding. Apa yang terjadi dengan
Majapahit? Prabu Jayanagara tewas. Dan kini, Dyah Gitarja tewas.
Ini tak mungkin terjadi. Dyah Gitarja akan menjadi ratu Majapahit,
akan mempersatukan Nusantara, dan bakal memiliki putra bernama
Hayam Wuruk yang bakal membawa Majapahit ke masa keemasan.
Dan kini, Dyah Gitarja, calon ratu Majapahit di masa depan terbaring
di depannya. Tak bernyawa. Bagas menangis tersedu. Ini pertama
kali dalam puluhan tahun dia menangis. Hingga dia merasa
nafasnya mulai sesak. Asap. Rumah mulai terbakar oleh panah api
yang dilepaskan para pengepung.157
Tidak, pikir Bagas. Dia tak boleh ikut mati. Tidak di sini. Tidak
sekarang. Dia mengambil gelang emas pemberian Dyah Gitarja.
Gelang yang kini bernoda darah dan memasukkan ke lipatan
kainnya. Dia berdiri, melihat gelang berwarna kuning miliknya.
Modulator mesin waktu. Dia menekan tombol berwarna merah, biru
dan hijau sekaligus. Energi berputar berwarna biru muncul tepat di
depannya. Energi yang mulai membesar. Bagas menarik nafas
panjang, menatap Dyah Gitarja yang terbaring tak bernyawa. Melihat
rumah yang mulai diselimuti nyala api. Perlahan dia melangkah,
memasuki portal energi. Dia kembali. Pulang. Meninggalkan
Majapahit yang penuh luka...
<>158
30 Republic of East Java
DENGUNG terhenti. Bagas membuka matanya. Dia melihat alam,
melihat pepohonan. Deru sepeda motor dan mobil terdengar di
kejauhan. Ah, masa depan. Atau mungkin tepatnya, masa kini. Dia
kembali. Kembali ke masanya.
"Halo profesor?
Aku pulang sekarang. Kalian bisa mendengarku?
Ciara?"
Profesor Dananjaya dan Ciara seharusnya tahu kalau dia pulang.
Apakah mereka dalam perjalanan untuk menjemputnya?
"Profesor? Halo?"
Tak ada jawaban. Tak ada reaksi. Komunikatornya sepertinya rusak.
Bagas menatap sekeliling. Kelihatannya dia berada di semacam
ladang atau perkebunan. Dia menatap dirinya dan tersadar.
Tubuhnya bersimbah darah. Darah Dyah Gitarja!! Dia tak bisa ke
peradaban dengan tubuh penuh darah. Banyak pertanyaan yang
harus dijawabnya dengan tubuh bernoda darah seperti itu. Bagas
berjalan dan mencari-cari. Biasanya di perkebunan seperti ini ada
sungai. Atau mata air. Atau selokan. Apa saja asalkan berisi air untuk
membersihkan diri.
Dan Bagas akhirnya menemukan sebuah sungai. Entah sungai apa,
yang mulai mengering. Namun masih ada air yang mengalir. Airnya
tidak jernih, dipenuhi lumpur dan sampah. Namun setidaknya ini air.
Bagas membersihkan tubuhnya, membersihkan darah yang
menempel. Darah Dyah Gitarja. Bagas masih tidak percaya dengan
apa yang terjadi. Dyah Gitarja tewas. Ada rasa kehilangan yang
besar di hatinya. Selang sebulan terakhir dia merasakan kemesraan
dari gadis itu. Merasakan kehangatan dan curahan cinta kasih yang
tulus. Dan kini, gadis itu telah tiada. Bagas menarik nafas panjang
dan mengambil gelang emas pemberian Dyah Gitarja. Bagas
membersihkan gelang itu, mencuci bersih dari noda darah.
Pemuda itu mendesah. Dia harus ?mencuci? dan melupakan Dyah
Gitarja. Toh, bagaimanapun, apa yang terjadi itu pada hakekatnya
berlangsung lebih dari seribu tahun lalu. Bagas berjalan ke arah159
terdengarnya deru sepeda motor dan mobil. Jalan raya. Dan Bagas
mengerutkan keningnya. Jalan raya yang dilihatnya berbeda.
Sepanjang yang dia ingat, jalan raya di Sidoarjo yang mereka, dia,
profesor Dananjaya dan Ciara lalui sekitar sebulan lalu tidak seperti
ini. Jalan raya ini lebih mirip jalan di kampung. Bagas melihat
pemukiman dan berjalan memasukinya. Bagas kembali tercekat. Ini
pemukiman yang sama sekali berbeda dengan yang diingatnya.
Rumah-rumahnya berbeda. Apakah dia benar-benar kembali ke
masanya? Bagas mengamati gelang berwarna kuning. Ada angka
2017. Jelas, dia kini ada di tahun 2017. Tak mungkin salah. Tapi
kenapa semuanya berbeda?
Bagas melihat papan nama yang ditempelkan pada semacam gapura
di pemukiman. Bagas membaca. Dan tercenung. Dia memicingkan
mata, menggosok mata, namun yang dilihatnya, atau tepatnya yang
dibacanya tidak berubah.
SIDOARJO STATE REPUBLIC OF EAST JAVA
Whaat? Sidoarjo State? Republic of East Java?
Sejak kapan Provinsi Jawa Timur berubah menjadi Republic of East
Java, Republik Jawa Timur?
Dia baru meninggalkan Sidoarjo Jawa Timur sekitar satu bulan. Dan
Provinsi Jawa Timur telah berubah menjadi republik!!
Bagas merinding. Perlahan dia berjalan dan bertemu beberapa
orang. Penduduknya orang Jawa. Bagas bisa memastikan itu.
Sebagian lelaki ada yang bertelanjang dada seperti dirinya. Dan
mereka bicara dalam bahasa Jawa. Sebagian, berbicara dalam
bahasa Inggris!! Bagas memasuki Kota Sidoarjo, atau yang menurut
papan, Sidoarjo State. Kota yang cukup besar. Namun jelas ini
berbeda dengan Sidoarjo yang dikenalnya. Rumahnya berbeda.
Gedungnya berbeda. Jalannya berbeda. Kota itu dipenuhi rumah
makan, kios dan beragam toko.
Bagas mengamati papan nama di masing-masing kios dan toko.
Semuanya dalam bahasa Inggris, atau Jawa, atau campuran
keduanya. Bagas merasa ada sesuatu yang hilang. Apa yang hilang?
Bagas kembali mengamati. Dan dia akhirnya menyadari. Ahhh
Sejak dia memasuki ?Sidoarjo State? dia tak menemukan satupun
kata dalam... Bahasa Indonesia!! Bagas merinding. Apakah benar ia160
kembali ke masanya? Ataukah, jangan-jangan, ini dunia paralel
seperti yang pernah ditontonnya di film fiksi ilmiah? Bahwa ini
semacam "dunia cermin", Sidoarjo di dunia yang lain? Sidoarjo di,
katakanlah, Earth 2? Tapi tidak. Tidak mungkin. Ini bukan dunia
paralel. Bahkan Bagas tidak tahu apakah dunia paralel itu benarbenar ada. Dia kini ada di Sidoarjo tahun 2017. Sidoarjo yang
berbeda.
Bagas terus berjalan dan dia merasa perutnya lapar. Padahal dia tak
punya uang. Dia hanya pemuda bertelanjang dada, mengenakan
kain sarung tanpa uang. Dan Bagas teringat pada gelang emas
yang diberikan Dyah Gitarja. Satu-satunya harta yang dimilikinya.
Emas. Itu gelang tanda mata, mungkin bisa diartikan sebagai tanda
ikatan cinta dari Dyah Gitarja untuk dirinya. Tapi Dyah Gitarja telah
tewas lebih dari seribu tahun lalu. Dan Bagas kini tak punya uang.
Bagas mengambil gelang emas itu. Gelang itu berkilauan diterpa
sinar matahari. Emas. Di dunia manapun, seaneh apapun


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perubahan yang terjadi, emas tetaplah emas. Emas tetap berharga.
Bagas kembali berjalan dan mencari toko emas. Dan dia melihat satu
toko bertuliskan ?Gold and Silver Jewellry?. Bagas memasuki toko itu.
Toko emas itu mirip dengan yang dilihatnya di sejumlah kota. Ada
deretan meja berkaca yang di dalamnya berisi berbagai jenis
perhiasan dari emas.
"Can I help you sir?"
Seorang perempuan muda menyapanya dengan ramah. Wow. Dia
disapa dalam Bahasa Inggris.
"Maaf, aku ingin tahu apakah kalian bisa membeli gelang ini..."
Bagas mengambil gelang emas, dan meletakkan di atas meja.
Bagas sengaja berbicara dalam bahasa Indonesia. Pelayan itu
menatapnya penuh tanya. "I beg your pardon? Oh, you want to sell
this stuff?"
Bagas mengangguk. Lidahnya terasa kelu. Perempuan ini jelas tidak
memahami pertanyaannya. Pertanyaan yang diajukan dalam bahasa
Indonesia!! Perempuan itu mengambil timbangan, menimbang
gelang itu, mengambil kalkulator dan menghitung.161
"Well, We can pay you five thousand dolars for this stuff..."
"Hah? Five thousand dolars? American dolars?"
Bagas bertanya tak percaya. Perempuan itu menahan senyumnya.
"Oh no sir. Not American dolars. Five thousand in Java?s dolars."
Java?s dolar? Sejak kapan Jawa punya dolar?
Perempuan itu mengambil setumpuk uang kertas, menghitungnya
dan kemudian memberikan kepada Bagas. Pemuda itu menerima
tumpukan uang dengan perasaan tidak menentu. Uang yang
diterimanya sekilas mirip dengan uang yang dikenalnya. Namun
berbeda. Orang yang digambar dalam uang itu tidak dikenalnya. Dia
mengamati. Uang yang dia terima sebagian besar dalam pecahan
500 dolar Jawa, dan sebagian kecil pecahan 100 dolar Jawa.
Bagas menyimpan uang itu di lipatan kainnya. Dan memasuki
sebuah toko yang menjual pakaian. Dia membeli tiga t-shirt dan dua
celana jeans, juga pakaian dalam. Dia juga membeli tas pinggang
kecil tempat menaruh uang. Semua transaksi di toko pakaian itu
berlangsung dalam Bahasa Inggris!!
Bagas berjalan dengana perasaan galau. Dia mencoba mencerna
apa yang terjadi, namun tidak bisa. Yang dilihat dan dialaminya
terlalu aneh untuk dijelaskan. Dia melihat sebuah kios yang menjual
koran. Dia mendekati. Dan memilih. Dan debar di dada semakin
bertalu-talu. Dia tidak melihat koran yang sebulan lalu dikenalnya.
Tak ada Kompas. Tak ada Tribun. Atau Republika. Atau Jawa Pos,
yang sangat populer di Jawa Timur. Yang dilihatnya koran dengan
nama aneh. Ada Java Tribune. Ada East Java Globe. Ada
Republican Observer. Ada Java Chronicle. Dan ada beberapa koran
dalam bahasa Jawa. Tak satupun koran berbahasa Indonesia!!
Dia memutuskan membeli beberapa koran, dan berjalan memasuki
rumah makan. Pelayan rumah makan menyambutnya ramah, dalam
bahasa Inggris, dan menyodorkan menu makanan dalam bahasa
Inggris. Rumah makan itu cukup luas. Hampir semua tempat duduk
terisi. Bagas memilih meja yang kosong dan membuka korannya.
Secara umum, untuk berita internasional, dia membaca beberapa
topik yang dikenalnya. Ada berita tentang PBB. Tentang ISIS.
Tentang konflik Israel-Palestina. Tentang Uni Eropa. Tentang Donald162
Trump. Begitu juga dengan berita olahraga. Ada berita tentang
Wayne Rooney, Manchester United, tentang pelatih baru Chelsea,
tentang persaingan antara pemain Real Madrid dengan Barcelona.
Berita semacam itu cukup familiar baginya. Bagas membuka
halaman teknologi. Berita yang dibacanya juga cukup akrab
dengannya. Ada berita tentang pendiri Facebook Mark Zuckerberg
yang berkunjung ke India. Berita tentang inovasi terbaru Google.
Berita tentang Samsung yang mengeluarkan seri Galaxy terbaru.
Namun semua berubah ketika dia membuka halaman nasional dan
regional. Tak ada berita tentang Indonesia. Yang ada berita tentang
kunjungan Presiden East Java Risma ke New Papua. Rupanya, kini
Risma menjadi Presiden Jawa Timur!!
Bagas juga membaca berita tentang demo buruh di Republic of West
Java. Ada pameran di Mataram Kingdom. Tentang gunung meletus
di The Great Kingdom of Bali.
Bagas merinding. Semua wilayah yang dikenalnya sebagai bagian
dari Indonesia kini menjadi negara sendiri. Apa yang terjadi?
Pelayan datang membawa makanan. Bagas memesan masakan
Tiongkok yang menjadi kegemarannya. Nasi Cap Cae Cah. Juga
minuman dingin.
Ketika bersantap, Bagas menajamkan pendengarannya. Rata-rata
pengunjung berbicara dalam bahasa Inggris. Sebagian lagi
kedengarannya seperti Bahasa Belanda. Ada juga bahasa Jawa.
Tak ada bahasa Indonesia!!
Usai makan, Bagas mendatangi sebuah kios yang menjual
smartphone. Dia membeli satu unit smartphone. Pelayan toko
menawarkan apakah dia mau membeli nomor SIM untuk
smartphonenya. Bagas mengangguk. Pelayan itu mengeluarkan
beraneka kartu. Dan kembali Bagas tercenung. Dia tidak melihat
provider telepon yang dikenalnya. Tak ada Telkomsel, Mentari atau
Tri. Yang ada Javacommcell, Four, TheSunCom.
Bagas memilih kartu yang disertai paket internet. Pelayan penjual
kemudian memeragakan berbagai fitur di smartphone. Bagas
mengangguk. Semua fitur dalam smartphone itu dikenalnya. Google163
Play, Whatsapp, Mozilla Mobile, Facebook, bahkan game Clash of
Clan.
Kekenyangan, dengan handphone baru di tangan, dengan tas
pinggang dipenuhi uang, Bagas memutuskan untuk menyewa
sebuah kamar di losmen. Dia sempat ditanyai kartu identitas, namun
setelah menyodorkan beberapa lembar uang dolar Jawa, dia diberi
kunci kamar. Dia memasuki kamarnya. Kamar yang kecil namun
bersih. Ada televisi kecil dengan kamar mandi yang dilengkapi
shower yang juga asri. Bagas mengambil smartphonenya,
mengaktifkan internet. Losmen itu ternyata dilengkapi wifi.
Sekarang, saatnya mencari tahu.
Apa yang terjadi dengan Indonesia?
<>164
30 Linimasa yang Berbeda
BAGAS merebahkan tubuhnya di pembaringan. Dan mulai
mengutak-utik ponselnya. Dia membuka Google, dan mengetikkan
kalimat "Indonesia". Tiga detik kemudian, paman Google
memberikan jawaban: Your search - "Indonesia" - did not match any
documents. Suggestions: Make sure all words are spelled correctly.
Try different keywords. Try more general keywords.
Hmmm. Google ternyata tidak mengenal kata Indonesia. Tak ada
satu tulisan di berbagai web dan blog di seluruh dunia yang memuat
kata Indonesia. Artinya, kata Indonesia tak pernah ada!! Bagas
kemudian mengetikkan kata "President Joko Widodo". Google
menyajikan belasan hasil pencarian. Namun tak ada satupun berita
tentang Presiden Joko Widodo. Yang ada beberapa berita tentang
pengusaha asal Kingdom of Mataram yang bernama Joko Widodo.
Pengusaha mebel Joko Widodo yang berhasil menjadi eksportir.
Ternyata, di dunia yang sekarang, di linimasa ini, tak ada presiden
bernama Joko Widodo. Joko Widodo memang ada, dia juga kerap
disapa Jokowi, namun tidak menjadi presiden. Dia pengusaha mebel
yang cukup berhasil. Bagas mengetikkan kata Susilo Bambang
Yudhoyono. Ada puluhan berita tentang Susilo, atau Bambang.
Namun hanya ada dua berita pendek tentang seorang pensiunan
kolonel bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam berita itu
(yang tertulis dalam bahasa Inggris, sama halnya dengan informasi
tentang Jokowi), seorang Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah
menjadi presiden.
Bagas kemudian mengetikkan kata kunci "Golongan Karya", "PDI
Perjuangan", "PKS", "PAN" dan "PPP". Google menjawab bahwa kata
kunci yang diketiknya "did not match any documents". Artinya, di
linimasa ini, partai politik yang mengharu-biru Indonesia tidak pernah
ada!!
Bagas kemudian mengetikkan "Bagaskara Tirtawangsa" di mesin
pencari. Dia ingin tahu apakah di dunia yang ditemuinya ini, ada
seorang yang juga bernama Bagaskara Tirtawangsa. Apakah dia
akan menemukan dirinya yang lain di dunia ini? Jawaban Google
membuat perasaan Bagas berkecamuk antara lega dan kecewa. Di165
dunia ini, di linimasa ini, tak ada yang bernama Bagaskara
Tirtawangsa!!
Bagas memejamkan mata dan memijit kepalanya. Dia mencoba
mencerna informasi yang diterimanya. Dunia yang kini dilihatnya
berbeda dengan yang dikenalnya. Pertanyaannya, kenapa?
Kenapa Indonesia tiba-tiba menghilang dari sejarah? Kenapa dunia
tidak mengenal Indonesia? Apakah ini terkait dengan peristiwa yang
menimpanya? Di Majapahit? Dan Bagas teringat. Majapahit!!
Dia mengetikkan kata Majapahit. Ada banyak item, termasuk dari
Wikipedia. Bagas membaca. Majapahit didirikan Raden Wijaya. Kata
Majapahit berasal dari buah Maja yang pahit. Informasi tentang
Raden Wijaya itu sama seperti yang diketahuinya.
Bagas kemudian membaca informasi tentang Raja Jayanagara,
pengganti Raden Wijaya. Tentang pemberontakan Nambi,
Ranggalawe, dan akhirnya pemberontakan Ra Kuti. Dan Bagas
merasa dadanya berdebar. Yang dibacanya membuat bulu
kuduknya merinding. Pemberontakan Kuti berhasil membunuh
Jayanagara beserta semua pengikutnya, termasuk Dyah Gitarja,
adik tiri Jayanagara yang tadinya hendak diperistri Ra Kuti. Ra Kuti
menjadi Raja Majapahit selama tiga tahun, dan dia dibunuh oleh Ra
Wedeng yang kemudian menjadi raja. Ra Wedeng lalu dibunuh Ra
Pangsa. Kemudian terjadi perang saudara yang dipimpin Ra Pangsa,
Ra Semi dan Ra Banyak di satu pihak, melawan pasukan dipimpin
Ra Yuyu dan Ra Tanca. Majapahit akhirnya runtuh dan hancur. Jadi,
inikah penyebabnya? Majapahit yang seharusnya menjadi bangsa
yang besar, namun hancur karena pertentangan para pemberontak?
Apakah kehancuran dini Majapahit yang menjadi penyebab hilangnya
Indonesia di masa depan? Bagas mengetikkan kata "Gajah Mada".
Ada banyak info tentang hewan Gajah. Namun tak ada berita
tentang Gajah Mada. Sosok Gajah Mada ternyata tak punya peran di
linimasa ini!!
Bagas kembali memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat
film tentang mesin waktu yang pernah ditontonnya. Dia teringat
trilogi Back to the Future. Bagaimana kehidupan keluarga Marty
Mcfly berubah ketika terjadi perubahan di masa lalu. Bahwa masa166
depan bisa menjadi sangat berbeda ketika ada yang mengubah
masa lalu.
Dia juga geringat salah satu episode serial The Flash. The Flash, film
tentang superhero yang menjadi manusia tercepat di dunia. Ada satu
episode, ketika seorang penjahat menciptakan tsunami yang
akhirnya menghancurkan seisi kota. The Flash berlari cepat untuk
menggagalkan tsunami, namun akhirnya dia kembali ke masa
beberapa hari sebelum terjadinya tsunami. Dia kemudian
menangkap si penjahat sebelum beraksi. The Flash akhirnya
menyelamatkan masa depan.
Jika Bagas ingin menyelamatkan masa depan, jika ingin
menghadirkan kembali Indonesia yang dikenalnya, dia harus
mengubah masa lalu. Atau setidaknya, mempertahankan supaya
apa yang terjadi di masa lalu sebagaimana yang diketahuinya, tidak
berubah. Dia harus berusaha supaya pemberontakan Kuti gagal.
Supaya Jayanagara tetap menjadi raja. Supaya Dyah Gitarja tetap
hidup, menjadi ratu Majapahit yang kemudian menaklukkan
Nusantara dengan bantuan Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah
Palapa.
Dia harus menyelamatkan masa depan dengan kembali ke masa lalu.
Lagi. Tapi bagaimana? Di linimasanya, dia punya seorang Profesor
Dananjaya. Seorang jenius yang mampu menciptakan mesin waktu.
Apakah di linimasa yang sekarang ada seorang Profesor Dananjaya
juga? Bagas merasa dadanya dipenuhi semangat yang meluap. Dia
kembali membuka ponselnya. Dia menuliskan kata "Semmuel
Dananjaya". Ada puluhan informasi tentang Semmuel Dananjaya.
Sebagian besar berisi berita tentang upayanya membuat mesin
waktu. Itu dia!!
Ternyata di linimasa ini, Profesor Dananjaya eksis dan dia juga
membuat mesin waktu!! Bagas memeriksa berita demi berita, namun
tidak disebutkan di mana alamat Profesor Dananjaya. Hanya
disebutkan dia tinggal di Mataram Kingdom, yang oleh Bagas diduga
sebagai Yogyakarta. Bagaimana Bagas mendatangi Profesor
Dananjaya jika tak tahu alamatnya? Dan pemuda itu teringat
sesuatu. Dia mengetikkan kata "Unique/Antique Shop, Mataram
Kingdom". Google menyajikan ratusan informasi tentang toko Unique167
Antique dengan store manajer bernama Ciara Dananjaya. Lengkap
dengan alamatnya. Ini dia. Dia bisa menemui Profesor Dananjaya
dengan mendatangi toko barang antik yang dikelola Ciara. Bagas
merasa degub di dadanya semakin kencang. Dia akan bertemu
Ciara. Ciara di linimasa yang berbeda!!
<>168
31 Persamaan Dalam Perbedaan
SEJARAH ternyata bisa mengubah sesuatu. Bahkan dalam
kenyataannya, bisa mengubah banyak hal. Seperti kota Yogyakarta.
Yang dikenal Bagas adalah kota yang berbeda dengan yang kini
dilihatnya. Yogyakarta di linimasa saat ini masih tetap artistik.
Namun tetap berbeda. Namanya juga berbeda. Di linimasa ini,
Yogyakarta hingga Solo disebut sebagai Mataram Kingdom.
Kerajaan Mataram. Dengan becak?di linimasa ini becak masih
eksis, Bagas mendatangi alamat toko barang antik Unique/Antique.
Bangunan toko ini berbeda dengan yang dikenalnya. Seorang
perempuan menyambutnya. Bagas menahan nafas. Ciara.
Sekalipun menjadi store manager, Ciara memang suka menyapa dan
menyambut para pelanggan. Ciara masih tetap cantik, dengan mata
bersinar seperti bintang. Ciara menyapa dan mempersilakan
melihat-lihat. Dia berujar dalam bahasa Inggris. Bagas pura-pura
melihat-lihat, membaca brosur, bertanya basa-basi. Dan kemudian
dia memutuskan untuk bertanya.
"Maaf, apakah aku bisa bertemu dengan profesor Dananjaya? Ini
penting. Soal mesin waktu." (Bagas bertanya dalam bahasa Inggris,
dan dijawab dalam bahasa Inggris. Untuk kenyamanan pembaca,
semua percakapan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia).
Ciara menatap Bagas dengan seksama.
"Kau wartawan?"
Bagas menggeleng.
"Tidak. Bukan. Tapi aku perlu bicara dengan profesor. Ini penting..."
Ciara kembali menatapnya. Seakan ingin menyelami siapa pemuda
di depannya. Dan akhirnya dia mengangguk.
"Ikut aku..."
Kediaman Profesor Dananjaya ternyata berada tepat di belakang
toko. Profesor mengerutkan keningnya ketika melihat putrinya
datang dengan seorang pemuda.
"Ada yang bisa aku bantu anak muda?"169
"Aku berharap Anda bisa, prof. Ada hal penting yang ingin
kusampaikan. Hal yang sukar dipercaya, hal yang mungkin akan
membuat kalian berpikir aku gila. Namun aku tidak gila.."
"Kami mendengarkan. Silakan duduk dan berceritalah..."
Bagas duduk di kursi di depan Profesor. Ciara, yang rupanya tertarik
dengan apa yang akan disampaikan Bagas, duduk di samping


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya.
"Pertama, apakah Anda mengenali ini?" Bagas membuka gelang
berwarna kuning yang selang sebulan terakhir tak pernah lepas dari
lengannya. Profesor Dananjaya mengambil dan mengamati dengan
penuh antusias.
"Hmmm... Ini menarik. Gelang yang dipenuhi berbagai elemen
berteknologi tinggi. Ada pengatur waktu, ada konsepsi energi makro
dikohesi, ada kompulsor triangular... Wah ini hebat. Siapa yang
membuatnya?"
"Yang membuatnya seseorang yang bernama Profesor Dananjaya..."
"Hmm... Apakah ini lelucon? Karena ini tidak lucu..."
"Tidak prof, aku tidak bercanda. Yang membuatnya adalah Profesor
Dananjaya yang berasal dari linimasaku. Dari linimasa yang berbeda
dengan Anda..."
"Kau mulai membuatku tertarik, anak muda. Ceritakan lebih jauh..."
"Di linimasaku, aku membantu Profesor Dananjaya membuat mesin
waktu. Kami berhasil mengirimkan ayam, bebek, kucing dan anjing.
Dan terakhir, sekitar enam pekan yang lalu, aku menjadi kelinci
percobaan. Aku dikirim dengan mesin waktu ke masa lalu. Ke era
Majapahit..."
Bagas berhenti bercerita untuk melihat reaksi kedua orang itu. Dan
dia tersenyum ketika melihat kedua orang itu menatapnya dengan
rasa ingin tahu yang sangat besar.
"Selain gelang modulator, profesor memberikan ini kepadaku,
komunikator yang memungkinkan kami berkomunikasi..."
Bagas mengambil komunikator dari telinga dan memperlihatkan170
kepada Profesor. Sang profesor mengamati sambil mengangguk.
"Kemarin dulu merupakan batas waktu terakhir dan aku
menggunakan modulator untuk kembali ke masaku. Namun aku
menemukan tempat yang berbeda. Negeri yang berbeda. Dan,
seperti yang kalian lihat, aku bertemu dengan profesor Dananjaya
dan Ciara yang sama sekali tidak mengenalku..."
Profesor mengangguk. Dia memicingkan mata, pertanda dia sedang
berpikir keras.
"Jika kau menemukan hal yang berbeda dibanding enam pekan lalu,
pasti terjadi guncangan dalam alur waktu. Telah terjadi sesuatu yang
mengubah sejarah. Kalau menurut linimasamu, seperti apa negeri
yang kau tempati?"
"Enam pekan lalu aku warga negara Indonesia, salah satu negara
besar di dunia, yang pemerintahannya membentang dari Sabang
hingga Merauke, dan..."
"Tunggu... Tunggu. Maksudmu Sabang yang ada di Aceh? Dan
Merauke? Papua?"
"Benar prof. Apa yang di sini dikenal sebagai Republik Jawa Timur
adalah provinsi di linimasaku. Begitu juga dengan Kerajaan Mataram
di sini, yang di linimasaku merupakan sebuah provinsi bernama
Yogyakarta..."
"Jadi apa yang kau inginkan, anak muda?"
"Jika profesor berkenan, aku minta profesor mengirimkan aku
kembali ke Majapahit. Aku akan mencoba mencegah terjadinya
distorsi sejarah..."
"Aku memang sedang mengembangkan mesin waktu. Namun itu
belum sempurna. Aku belum bisa memecahkan korelasi ganda
tersublimasi pada vektor injeksi. Apakah, eh apakah, Dananjaya di
linimasamu juga menemukan kesulitan seperti ini?"
Bagas mengangguk. "Benar prof, kendala itu menghambat profesor
selama bertahun tahun, hingga dia menemukan solusinya. Yakni
dengan mengurangi level kuadran disuplir pada radian ketujuh..."171
"Ahhhh. Benar. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Ikut aku,
anak muda. Eh, siapa namamu?
"Namaku Bagas..."
Mereka saling berjabat tangan. Bagas melirik ke arah Ciara namun
gadis itu kelihatannya tidak tertarik untuk menjabat tangannya.
Mereka memasuki ruangan yang menjadi laboratorium profesor
Dananjaya. Dia mengutak-utik sebuah alat yang dipenuhi kabel. Dia
membuka sesuatu, dan mengetikkan sesuatu di laptopnya.
"Ah benar. Aku harus mengurangi level kuadran. Ah kenapa tak
terpikirkan olehku ya?"
TAK BERAPA LAMA, MASAKAN tersaji. Ciara dan Profesor
Dananjaya menemani tamunya makan. Bagas, seperti biasa, makan
dengan lahap.
"Jadi, di linimasamu, kau dan ayah adalah rekan kerja?"
"Mmm, bukan rekan, tepatnya aku menjadi semacam asisten
profesor..."
"Dan di linimasamu, kita, eh saling kenal?"
"Tentu saja. Kita tak hanya saling kenal, kita bahkan..."
Bagas menghentikan ucapannya, merasa ragu apakah dia perlu
menceritakan kisah asmara di antara mereka.
"Bahkan apa?"
Ciara bertanya penasaran.
"Kita... eh di linimasaku, kau dan aku, eh,"
Bagas tergagap.
"Kenapa? Ada apa?"
"Di linimasaku, kau dan aku saling mencinta..."
"Ohhh..."
Ciara terdiam, wajahnya kontan memerah. Gadis itu rupanya tak
menyangka dengan jawaban Bagas.
"Eh, tambah nasinya..."172
Gadis itu berujar kikuk, dan kini tak berani menatap mata Bagas.
"Terima kasih, Ciara, profesor. Kalian tak tahu betapa senangnya aku
bisa bertemu kalian. Sekalipun kalian tak mengenalku, tapi aku
mengenal kalian dengan baik..."
"Aku, eh maksudku, kami, aku dan ayah juga senang bisa
mengenalmu..."
Ciara berujar pelan. Wajah gadis itu kembali bersemu merah. Dan
begitulah. Sejak hari itu, Bagas menginap di kediaman Profesor
Dananjaya dan Ciara. Kadang dia membantu sang profesor.
Prototype mesin waktu yang dibuat Profesor Dananjaya berbeda
dengan yang dibuat Dananjaya versi Indonesia. Namun secara
umum metodenya sama. Jika tak sibuk membantu profesor, Bagas
meluangkan waktu bersama Ciara di toko. Barang yang dijajakan di
toko berbeda dengan yang dikenalnya di lini masanya. Dan itu yang
membuat Bagas tertarik. Dia mempelajari banyak hal. Bagas juga
meminta Ciara untuk memandunya pesiar di Kerajaan Mataram versi
linimasa itu. Bagas melihat candi Loro Jongrang yang sama, juga
Borobudur. Dan pantai dengan legenda Nyai Roro Kidul. Ada
persamaan dalam perbedaan. Hubungan Bagas dengan Ciara
semakin dekat. Tak perlu lama bagi keduanya untuk merasa cocok
satu sama lain. Dan Bagas kemudian melihat binar asmara di mata
gadis itu...
<>173
32 Deja Vu
"K AU yakin ingin melakukannya, Bagas?" Suara bening itu seperti
tersekat. Bagas menoleh, dan rasa hangat terasa di dadanya. Enam
tujuh pekan lalu, seorang gadis berujar kalimat yang persis sama.
Gadis yang sama, hanya berbeda linimasa karena ada distorsi pada
sejarah. "Aku akan baik-baik saja, Ciara. Tak ?kan ada masalah."
"Aku tak sepenuhnya yakin dengan hal itu, tapi secara teoritis,
seharusnya memang tak ada masalah," kata Profesor Dananjaya.
"Jika... jika kau berhasil memperbaiki gangguan dalam sejarah, itu...
itu artinya kita tak akan pernah bertemu lagi bukan?"
Bagas merasa dadanya seperti ditikam pisau yang tajam. Ciara
mengucapkan satu hal yang selama beberapa hari terakhir juga
membebani pikirannya. Jika Bagas berhasil memperbaiki gangguan
pada sejarah, dia memang tak akan pernah bertemu dengan Ciara
yang ini. Bahkan, Ciara dan profesor Dananjaya pada linimasa ini
tak akan pernah ada!!
"Apapun yang terjadi dalam sejarah, kita akan bertemu lagi. Tak soal
apakah di linimasa sekarang, atau di linimasa yang lain, kita akan
bertemu, Ciara..."
"Tapi... tapi..." Ciara tak meneruskan kalimatnya. Bagas melihat
sepasang matanya kini berkaca-kaca.
"Bersiaplah, anak muda. Aku akan mengaktifkannya..."
"Sebentar prof," ujar Bagas.
Entah keberanian dari mana yang memicunya. Dia mendekati Ciara,
membelai rambut gadis itu, memegang dagunya dan dengan lembut
dia mencium bibir gadis itu. Ciara tersentak kaget. Namun dia tidak
menolak. Bagas mendengar gadis itu merintih. Dan kemudian,
lengan gadis itu memeluk erat. Keduanya berciuman lama.
Mencurahkan segala rasa dan cinta yang ada di hati. Keduanya tahu,
ini mungkin akan menjadi pertemuan mereka yang terakhir.
Pertemuan terakhir mereka di linimasa ini. Dengan enggan,
keduanya mengakhiri ciuman sepenuh hati itu.
"Aku pernah berjanji kepadamu bahwa aku akan kembali. Dan aku174
akan menepati janjiku. Aku akan kembali padamu, tak soal kita
bertemu di linimasa yang mana..."
Ciara mengangguk. Dan dengan mesra dia membelai pipi Bagas.
"Jaga dirimu, Bagas, dan kembalilah. Akan ada seorang Ciara yang
menunggumu dengan penuh cinta..."
Profesor Dananjaya memberi isyarat. Portal energi terbuka. Perlahan
Bagas masuk. Dia sempat melihat Ciara yang berlinang air mata.
Dan Profesor Dananjaya yang menatap dengan wajah pucat pasi.
Bagas memasuki portal energi dan kembali merasakan sensasi yang
membuat tubuhnya merinding. Dia kembali menembus waktu.
Melintasi waktu. Dia sengaja meminta Profesor Dananjaya agar
mengirimkan pada periode tertentu, tepatnya periode empat belas
hari yang lalu. Untunglah sang profesor bisa mengkalibasi algoritma
pada mesin waktunya. Bahkan Bagas berhasil membujuk Profesor
Dananjaya agar membawanya ke Sidoarjo State, karena di tempat
itu, lebih seribu tahun lalu, merupakan lokasi dia beraktivitas. Bagas
merasa sekujur tubuhnya meremang. Dia kembali. Apakah dia masih
bisa memperbaiki kerusakan yang terjadi? Dia melihat sekeliling
seperti berlari. Dia memejamkan mata.
<>175
33 Kembali ke Masa Lalu, Lagi
BAGAS membuka mata dan mengamati modulatornya. 1319. Dia
kembali di era yang tepat. Di era Majapahit. Dan sepertinya dia
bahkan berada di kotaraja, di dekat rumah persembunyian. Seorang
lelaki tiba-tiba muncul di depannya.
"Ada hal penting yang ingin kusampaikan, nak Mada," kata lelaki itu.
Bagas menahan nafas ketika mengenali. Jattilan. Tumenggung
Jattilan. Dia masih hidup!!
"Ah tumenggung?"
Bagas mendekati. Ya tak salah lagi. Lelaki ini memang Tumenggung
Jattilan.
"Ada apa nak Mada? Seperti yang kubilang tadi, kita perlu
membicarakan rencana penyerangan. Kita akan menyerang para
pemberontak besok!!"
"Maaf, paman Tumenggung, sebentar saja..."
Bagas bergegas memasuki rumah dan memasuki kamar. Dan dia
melihat... Dyah Gitarja. Gadis itu sedang berbaring malas di tempat
tidur. Gadis itu terlihat segar karena baru saja mandi.
"Ah nimas.. Kau..." Bagas hampir saja mengucapkan kata ?masih
hidup? dan mengurungkannya. Tentu saja Dyah Gitarja masih hidup.
Begitu juga dengan Tumenggung Jattilan. Ternyata mesin waktu
Profesor Dananjaya pada linimasa yang berbeda, berhasil
membawanya ke Majapahit. Lagi. Bahkan membawa Bagas ke
periode sebelum mereka melakukan pertemuan guna membicarakan
penyerangan. Dia kembali pada masa sehari sebelum mereka
menyerang para pemberontak!! Satu hari sebelum semuanya tewas
mengenaskan!!
"Ada apa kakang? Aku pikir kakang akan pergi bersama paman
Jattilan..."
"I... Iya sebentar lagi..."
Dia mendekati gadis itu, dan kemudian mendekapnya dengan176
perasaan bercampur aduk. Ah, beberapa hari lalu dia mendekap
gadis ini, yang berlumuran darah dan tak bernyawa. Bagas sama
sekali tidak menyangka kalau bisa mendekap gadis ini dalam
keadaan hidup.
"Ada apa kakang? Kau aneh..."
Bagas membelai wajah gadis itu, menyentuh hidungnya, dan
menciumnya dengan mesra. Ciuman hangat. Ciuman penuh rasa
gembira. Dyah Gitarja masih hidup. Gadis itu masih hidup!! Bagas
merasa sesuatu mengalir di dalam dadanya. Kesadaran yang
membuatnya merinding. Dia mencintai gadis ini!! Dia mencintai Dyah
Gitarja!! Tapi bagaimana dengan Ciara?
"Kakang..." Gadis itu terengah. "Kita baru saja melakukannya ketika
mandi bersama. Kenapa sudah minta lagi? Sekalipun aku juga
menyukai ini, tapi kau harus pergi. Paman Jattilan bilang kalian akan
membicarakan sesuatu yang sangat penting..."
Bagas mengangguk.
"Maafkan aku, nimas, aku terbawa perasaan. Iya, aku harus pergi
bersama paman Jattilan sekarang..."
JATTILAN DAN BAGAS melewati jalan yang sama persis dengan
yang pernah ditempuh belasan hari sebelumnya. Mereka juga
memasuki rumah dari bata merah, memasuki lemari rahasia dan
berjalan di lorong bawah tanah. Selama dalam perjalanan Bagas
berpikir keras. Upaya penyerbuan yang akan dilakukan besok gagal
total karena Pu Tanga berkhianat. Pu Tanga rupanya membocorkan
semua hasil pembicaraan ke pihak musuh. Dan musuh kemudian
mengantisipasi dan bersiaga.
Bagas teringat bagaimana Pu Tanga mengamuk dan tewas
mengenaskan. Pu Tanga berkhianat karena keluarganya diculik dan
diancam akan dibunuh. Dan ternyata Pu Tanga ditipu. Keluarganya
tetap dibunuh sekalipun Pu Tanga sudah membocorkan rencana
penyerangan. Kunci kegagalan penyerbuan ada pada Pu Tanga
yang berkhianat, pikir Bagas, dan satu-satunya cara supaya mereka
berhasil adalah mencegah Pu Tanga berkhianat. Namun bagaimana177
caranya? Tanpa terasa, mereka tiba di ujung lorong. Mereka menaiki
tangga dari bambu dan tiba di hutan.
"Kita kini berada di luar kotaraja, di sebelah utara," kata Tumenggung
Jattilan. Kemudian terdengar bunyi siulan yang dibalas Jattilan
dengan siulan. Dan muncul belasan orang.
Bagas menahan nafas. Mereka yang dilihatnya sekarang, beberapa
hari yang lalu tewas mengenaskan di depannya. Atau setidaknya,
dia pikir telah tewas. Dan kini mereka masih hidup!! Dia melihat
Mapanji Pamattu, Sorta, Bhagawan Buriswara dan Nala Radikara.
Semua masih hidup. Juga Pu Tanga!! Mereka kemudian
membicarakan rencana penyerbuan. Topik pembicaraan sama
persis dengan yang diingat Bagas. Termasuk ketika Bagas
mengusulkan agar ada pengalihan perhatian. Usai pertemuan,
Bagas mendekati Pu Tanga.
"Maaf, apakah tumenggung tahu di mana letaknya Bukit Samir?"
Pu Tanga menatap Bagas penuh curiga.
"Bukit Samir? Aku tahu tempat itu. Letaknya tak jauh dari sini. Ada
apa?"
Bagas mendekat dan berbisik.
"Di kaki bukit Samir itulah mereka menyekap keluargamu..."
Wajah Pu Tanga berubah hebat. Dia menatap sekeliling, ke arah
rekan-rekannya yang masih berbincang.


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau bicara apa?"
"Aku tahu segalanya, tumenggung. Aku tahu musuh menangkap
keluargamu dan memaksamu menjadi pengkhianat. Dan aku tahu
kau terpaksa menjual kami ke pemberontak. Kita bisa mencegah hal
itu, mencegah kau menjadi pengkhianat..."
"Bagaimana... Kau... Kau... Siapa kau? Bagaimana caranya?"
Pu Tanga berbisik dan tanpa sadar dia mencengkeram lengan
Bagas.
Bagas terpaksa mengerahkan tenaga sakti karena cengkeraman Pu
Tanga sangat kuat.
"Kita bisa mencegahmu menjadi penghianat. Caranya, kita harus
membebaskan keluargamu sekarang juga. Jika tidak, semuanya178
akan terlambat. Para pemberontak akan membunuh keluargamu
beberapa saat setelah kau membuka rahasia penyerangan..."
"Kau..."
Wajah Pu Tanga berubah menjadi pucat pasi.
"Dari mana kau tahu?"
"Ada yang memberitahu. Ayo, kita ke kaki bukit Samir. Kita
selamatkan keluargamu...
"Aku panggil pasukan dulu..."
"Jangan tumenggung. Kita harus mendekat secara diam-diam. Jika
kita membawa pasukan, pihak musuh akan waspada. Bukan tidak
mungkin mereka akan langsung menghabisi keluargamu begitu
melihat datangnya pasukan..."
"Baiklah, eh, namamu Mada bukan? Baiklah Mada. Ikut aku. Kita
selamatkan keluargaku..." Keduanya bergegas meninggalkan lokasi
pertemuan. Dan mendatangi Bukit Samir.
<>179
34 Menyelamatkan Sandera
SEMILIR angin berhembus sejuk, membuat beberapa prajurit yang
berjaga di pondok itu berkali-kali menguap. Semilir angin, ditambah
suasana hutan yang sepi membuat godaan untuk memejamkan
mata sangat besar. Salah seorang prajurit akhirnya tidak tahan dan
duduk di bawah pohon yang rindang dan memejamkan mata.
Mereka, para prajurit itu mendapat tugas yang menjemukan. Yakni
menjaga keluarga Pu Tanga yang diculik beberapa hari lalu. Perintah
kepada mereka sangat jelas: Menjaga. Jika hingga besok hari tidak
ada berita dari pimpinan, keluarga yang diculik itu harus dibunuh.
Semua.
Para prajurit yang berjaga ini merupakan rektutmen baru.
Sebelumnya mereka adalah perampok di muara sungai Brantas, dan
tergiur ajakan rekan mereka, Bisseka, pentolan dunia hitam yang
suka mengenakan pakaian serba biru. Di dunia persilatan Jawibhumi,
Bisseka dikenal dengan julukan Sadaka Plamata (si Angin Dingin).
Menjadi prajurit dengan tugas menjaga tawanan memang
menjemukan. Namun tugas itu dijalani dengan gembira. Mereka kini
menjadi prajurit Majapahit. Jabatan yang hingga bulan purnama lalu
dianggap sebagai mimpi yang tak bakal terwujud. Kini, derajat
mereka naik. Mereka prajurit. Dan jika bisa menjalankan tugas
dengan sempurna, bukan tidak mungkin mereka akan naik pangkat
menjadi Bekel, atau Senopati!! Tugas menjaga tawanan ini memang
aman. Kaki bukit Samir tergolong sepi. Bahkan sangat sepi. Sejak
mereka berjaga tiga hari yang lalu, hanya seorang petani pencari
kayu bakar yang melintas. Selain itu tidak ada. Hanya beberapa
binatang hutan yang mengendap curiga, dan kemudian kabur ke
hutan. Selebihnya tidak ada.
"Belanggg... Belang. Di mana kau?"
Kesunyian siang itu dipecahkan oleh teriakan yang bergema.
Teriakan yang kontan mengusir rasa kantuk para prajurit.
"Belang... Kau di mana?" Suara itu semakin dekat. Seorang pemuda
berwajah tolol muncul.
"Hei anak muda, kau tak boleh ke sini..."180
"Ah paman prajurit yang perkasa, apakah kalian melihat si Belang?"
"Belang? Siapa dia?"
"Belang itu kerbau. Kalian tidak mengenalnya?
Semua orang mengenal si Belang..."
Para prajurit saling pandang. Pemuda bodoh ini mencari kerbaunya.
"Di sini tak ada kerbau. Kau pergilah. Ini tempat terlarang. Kau tak
boleh berada di sini..."
"Aku mencium jejaknya yang mengarah ke sini. Belang pasti berada
di sini..."
"Tidak, anak bodoh. Sejak kemarin tak ada kerbau yang datang,
berbelang atau tidak!!"
"Ah, paman prajurit, jangan marah. Belang itu kerbau pintar. Dia
selalu meninggalkan jejak..."
"Di sini tak ada kerbau, dasar anak bodoh!!"
"Si Belang itu warnanya putih dan lehernya hitam. Itu sebabnya
dinamakan Belang. Karena tubuhnya berbelang. Memang belangnya
tidak mirip macan karena belangnya besar, tapi belang tetap
belang..."
Para prajurit saling pandang, Pemuda ini memang bodoh dan sangat
bodoh. Kebodohan pemuda itu menjadi selingan menyenangkan bagi
mereka yang sudah jemu berjaga.
"Namamu siapa, anak muda? Apa kau juga bernama Belang?"
Seorang peajurit bertanya disambung tawa. Rekan-rekannya ikut
tertawa.
Si pemuda tidak tertawa.
"Bukan, paman prajurit. Si Belang itu kerbauku. Aku bernama Kebo
Singha..."
"Hah?
Kau bernama Kebo?
Dan kerbaumu bernama Belang?
Seharusnya orang tuamu menamaimu Belang dan si kerbau
dinamakan Kebo. Itu baru pas, hahaha..."
Para prajurit terbahak. Tawa mereka semakin panjang ketika melihat
tampang pemuda itu yang terlihat semakin bodoh. Pemuda yang181
bertampang bodoh itu Bagas. Dalam upaya membantu Pu Tanga
membebaskan keluarganya, Bagas kembali harus menyamar. Kali
ini dia berpura-pura menjadi pemuda bodoh yang mencari kerbau.
Tampangnya sengaja dibuat bodoh untuk mengelabui. Dan
kelihatannya aktingnya cukup berhasil. Para prajurit terpancing
untuk berbicara dengannya, sambil tertawa-tawa. Saking ramainya,
para prajurit yang berjaga di belakang pondok ikut bergabung untuk
?mengerjai? si pemuda bodoh.
Bagas yang sedang asyik berakting bodoh, tak pernah melepaskan
kewaspadaannya. Dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke
atap pondok. Pu Tanga. Lelaki setengah tua itu terlihat mengintip di
sela-sela atap. Dan kemudian mengacungkan jempolnya.
"Eh apa itu?" Bagas, yang menyamar menjadi pemuda bodoh
menunjuk ke atap pondok.
"Ada apa Kebo?
Apakah kau melihat kerbaumu di atas pondok? Hahaha"
"Ada orang. Di atas pondok..."
Kalimat Bagas menghentikan tawa para prajurit. Serempak mereka
menoleh. Di atas atap memang ada seorang lelaki yang duduk
dengan tenang.
"Heiii. Apa yang..." Para prajurit tak sempat menyelesaikan
kalimatnya karena Bagas sudah beraksi. Kedua lengan berayun.
Tinju yang dikerahkan dengan tenaga sakti Prana Sasanga
Kalacakra membuat siapapun yang terkena hantaman pingsan
seketika.
Pu Tanga tak mau ketinggalan. Dari puncak pondok dia
berjumpalitan. Begitu tiba, tangan yang memegang keris langsung
diayunkan. Setiap ayunan tangan berbuah kematian. Dalam sekejap,
keduabelas prajurit itu sudah berkalang tanah.
"Mereka harus dibunuh. Jika tidak, mereka akan membuka rahasia,"
kata Pu Tanga ketika melihat tatapan Bagas.
Pemuda itu menarik nafas panjang dan mengangguk. Pembunuhan.
Lagi. Dia mengerti sepenuhnya alasan Pu Tanga. Dan pemuda itu182
tahu, di era ini, pembunuhan terkadang menjadi pilihan terbaik.
Pilihan terbaik dan satu-satunya. Namun tetap saja Bagas merasa
hatinya seperti teriris. Sejak terdampar di Mapajahit ia sudah sering
melihat pembunuhan. Melihat melayangnya nyawa. Dan Bagas
sadar, hanya soal waktu baginya untuk menjadi pembunuh. Pada
beberapa hari lalu, dia mungkin pernah membunuh ketika terlibat
dalam pertarungan hebat di depan keraton. Namun peristiwa itu
sudah ?dihapuskan?. Bagaimana dengan besok?
Pu Tanga bergegas dan mendobrak pintu pondok. Dia melihat
keluarganya, istri, kedua anak dan menantu serta lima cucunya
terikat erat dengan mulut disumpal kain. Keluarga Pu Tangan kontan
tersedu begitu melihat Pu Tanga. Dengan cepat lelaki setengah tua
itu membuka ikatan istrinya, dan anak-anaknya.
"Kalian tidak apa-apa? Kalian tidak diganggu?"
"Kami tidak diganggu. Mereka, para penjaga bilang akan menunggu
sampai besok untuk berpesta. Mereka akan menggilir kami sampai
mati," kata salah satu menantunya.
"Syukurlah ayahanda datang menolong..."
Bagas masuk dan membantu membebaskan ikatan. Ada rasa hangat
di dada ketika melihat bagaimana Pu Tanga memeluk cucu-cucunya.
Anak-anak berusia empat hingga tiga belas tahun yang terlihat masih
terkejut. Bagas melihat mata Pu Tanga berkaca-kaca.
"Sekarang sudah aman, berkat bantuan, tuan muda Mada," Pu
Tanga berujar pelan. "Kita semua berhutang nyawa kepada tuan
muda Mada. Kalian ingatlah, nyawa kalian, nyawa kita diselamatkan
oleh tuan muda Mada. Semoga Hyang Maha Kuasa memberi
kesempatan kepada kita untuk membalas budi baiknya..."
Keluarga Pu Tanga kontan memberikan penghormatan kepada
Bagas.
"Ahhh.. Apa ini. Tak usah. Tumenggung Pu Tanga itu rekanku.
Sudah sewajarnya jika aku membantu. Sekarang yang harus
dipikirkan bagaimana supaya kalian bisa bersembunyi di tempat
yang aman..."183
Pu Tanga mengangguk sambil mengusap matanya yang sempat
meneteskan butiran air mata.
"Kalian pergilah ke perdikan Sumonggolo. Tak ada yang tahu tempat
itu kecuali kita. Suaji, kau bawa keluarga kita ke sana. Pakai kudakuda milik prajurit yang diikat di belakang. Aku akan menyusul kalian
secepatnya..."
Istri, anak, menantu dan cucu Pu Tanga kembali memberi hormat
kepada Bagas dan minta diri.
"Kita singkirkan mayat prajurit ini untuk menghilangkan jejak.
Kemudian aku akan menghubungi para pemberontak dan
membocorkan rahasia. Kau hubungi Tumenggung Jattilan, katakan
sebentar malam kita perlu mengadakan pertemuan. Kita harus
mengubah rencana..."
Bagas mengangguk. Pu Tanga akan berpura-pura tetap menjadi
pengkhianat dan membocorkan rencana. Karena sudah bocor,
mereka perlu mengadakan pertemuan guna mengubah rencana
penyerangan.
"Baik. Aku akan ke keraton dulu, dan nanti sore menghubungi paman
Jattilan..."
"Mada," kata Pu Tanga. "Sekali lagi terima kasih. Jika kapan-kapan
kau butuh bantuan, datanglah padaku. Aku bersedia menyerahkan
nyawaku untuk membantumu. Pertolonganmu begitu besar dan tak
akan lunas sekalipun aku mati berkali-kali.."
Pu Tanga berujar dengan suara bergetar.
Bagas menggeleng.
"Kita orang sendiri, paman tumenggung. Aku hanya melakukan apa
yang seharusnya kulakukan..."
Pu Tanga menarik nafas panjang.
"Aku masih tak mengerti bagaimana kau bisa tahu tempat ini, tapi
sudahlah. Aku pergi. Kita bertemu lagi nanti malam...? Keduanya
berpisah, masing-masing menggunakan kuda milik prajurit yang
tersisa. Bagas menempuh jalur yang berbeda dengan yang dilalui
sebelumnya. Dia melewati pegunungan yang ditumbuhi banyak184
pohon cemara. Dan dia mencium sesuatu. Aroma seperti telur busuk.
"Ah belerang," pikir Bagas.
Aroma belerang menusuk hidung. Tak jauh dari situ Bagas melihat
mata air panas yang mengepulkan uap. Bahkan ada mata air yang
mendidih. Dan dia melihat belerang
"Hmm... Belerang..."
Sebersit ide tiba-tiba melintas di benaknya. Dengan belerang ini,
ditambah beberapa unsur yang juga dilihatnya, dia bisa melakukan
perubahan yang cukup besar jika besok mereka menyerang para
pemberontak.
"Bagas... Bagas... Apa kau bisa mendengarku?"
Suara di komunikator mengejutkan Bagas.
<>185
35 Rakitan Rahasia
"PROFESOR?"
"Bagas, bagaimana kabarmu?"
"Oh kabarku baik, profesor. Ah senang sekali bisa mendengar
suaramu Prof. Emm, bagaimana kabar Ciara?"
"Ciara baik, kami baik Bagas. Cuma, ada satu hal yang membuat
kami kuatir. Kami menemukan semacam anomali pada bacaan
modulator transghammanitator. Tapi syukurlah kau baik-baik saja..."
"Sebenarnya, ada banyak hal yang telah terjadi. Hal-hal yang sukar
dipercaya..."
"Tentang apa? Sepanjang yang kami pantau, tidak terjadi hal yang
luar biasa. Cuma, ada satu hal yang membuat kami bingung.
Bagaimana kau tahu lokasi di mana keluarga Pu Tanga ditawan?
Kau bahkan baru sekali bertemu dengan Pu Tanga bukan?"
Bagas menghentikan kuda dan mengikatkan ke pohon. Dia lalu
duduk di sebuah batu besar.
"Sebenarnya, aku pernah bertemu Pu Tanga. Aku bahkan sudah
melihat dia tewas..."
"Hah? Apa maksudmu Bagas?"
Bagas menarik nafas panjang, tak tahu harus mulai dari mana.
"Aku pernah melihat Pu Tanga tewas. Bukan hanya Pu Tanga.
Semua temanku, Tumenggung Jattilan, Tumenggung Anarjaya,
mereka tewas saat penyerbuan. Mereka tewas karena
pengkhianatan Pu Tanga. Juga, eh, Jayanagara tewas. Dan Dyah
Gitarja tewas bunuh diri..."
Bagas menghentikan ucapannya dan menunggu reaksi sang profesor.
Namun tak ada suara.
"Halo prof? Masih monitor?"
"Masih, Bagas. Kami hanya bingung. Bagaimana bisa?"
"Bisa, prof. Aku nyaris tewas dan akhirnya selamat karena
mengaktifkan modulator. Dan aku kembali ke masa depan. Ke tahun
2017..."
"Oh kau kembali?186
Kapan? Dan kenapa kau tak menghubungi kami?"
"Aku mencoba, prof. Tapi komunikatornya tidak berfungsi. Lagipula,
aku rupanya tiba di linimasa yang berbeda..."
"Aku tak mengerti, Bagas..."
"Aku tiba di tahun 2017, di Sidoarjo, tapi bukan Sidoarjo yang kukenal.
Aku tiba di Sidoarjo State, bagian dari Republic of East Java. Semua
yang kulihat berbeda. Negara Indonesia tidak dikenal. Juga bahasa
Indonesia..."
"Ahhh...."


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya prof, aku sempat berpikir aku gila. Tapi syukurlah tidak. Dan
syukur pula aku bisa kembali ke masa ini, untuk membetulkan
distorsi sejarah yang terjadi..."
"Tapi... Tapi bagaimana kau bisa kembali ke Majapahit?"
"Aku ditolong oleh teman baik. Namanya Profesor Dananjaya..."
"Maksudmu?"
"Iya prof, di linimasa itu, aku bertemu denganmu, maksudku bertemu
profesor Dananjaya versi linimasa itu. Aku juga bertemu Ciara..."
Bagas menghentikan ucapannya karena tiba-tiba merasa lehernya
seperti tercekik. Ciara. Dia telah bertemu Ciara, yang sama namun
berbeda.
"Profesor Dananjaya di linimasa itu juga sedang mengembangkan
mesin waktu,. Aku menggunakan mesin waktu miliknya dan kembali
ke hari ini..."
"Ahhh... Aku mengerti sekarang, Bagas..." suara Profesor Dananjaya
terdengar penuh antusias.
"Kau benar. Distorsi sejarah memunculkan linimasa yang baru,
sejarah yang baru. Kau tadi bilang Dyah Gitarja tewas? Padahal
menurut sejarah, Dyah Gitarja seharusnya menjadi ratu Majapahit,
dan dengan bantuan Gajah Mada dia menguasai Nusantara. Tanpa
Dyah Gitarja yang menyatukan Nusantara, tak ada benih persatuan
dan kesamaan masa lalu di antara daerah-daerah. Dan itu sebabnya
di linimasa itu Indonesia tak pernah ada..."
"Hmmm... Jadi begitu rupanya. Linimasa itu tercipta karena Dyah
Gitarja tewas sebelum waktunya..."
"Kelihatannya begitu, Bagas. Dan syukurlah kau kini punya semacam
kesempatan kedua. Kesempatan untuk memperbaiki, atau menjaga
supaya sejarah tidak menyimpang."187
"Betul prof. Aku akan berusaha memastikan bahwa sejarah tidak
menyimpang. Besok pemberontakan harus diakhiri. Kuti dan rekanrekannya harus ditangkap. Jayanagara harus kembali memimpin
Majapahit dan Dyah Gitarja kembali menjadi penguasa daerah di
Kahuripan. Aku sudah punya rencana..."
"Apa rencanamu?"
"Aku akan membuat bahan peledak rakitan. Semacam granat."
"Kau bisa membuatnya?"
"Aku dulu pernah membuatnya prof, semasa mahasiswa. Namun
memang tidak dilanjutkan karena takutnya nanti dikira teroris, hehehe.
Tapi intinya, aku bisa membuat bahan peledak buatan sendiri. Dan
aku melihat di Majapahit ini bahan yang diperlukan tersedia. Seperti
belerang. Juga getah cemara Anvila dan daun tanaman Minamina.."
"Wah aku tidak tahu kalau kau bisa membuat bahan peledak
rakitan..."
"Aku memang sengaja tidak bilang-bilang prof, tapi semasa
mahasiwa, aku bisa buat bom molotov, juga granat tangan. Aku dan
teman-teman berkali-kali pernah melakukan uji coba di lokasi
terpencil, dan memang bisa meledak..."
"Kau tak pernah berhenti membuatku takjub, Bagas. Tapi apakah kau
tidak khawatir kalau menggunakan bahan peledak itu akan
mengganggu sejarah?"
"Aku pikir tidak prof. Toh semua bahan yang dipakai berasal dari era
Majapahit. Tak ada introduksi teknologi canggih. Hanya pemahaman
dasar tentang peledak saja..."
"Dan jika teman-temanmu bertanya, kau bilang dari mana
mempelajari hal itu?"
"Soal itu nanti aku pikirkan lagi prof, hehehe..."
"Oke, baiklah. Kami terus memantau perkembanganmu di sana. Jaga
diri, Bagas..."
"Baik prof. Makasi..."
"Eh hampir lupa. Soal anomali tadi, kami menemukan bahwa kau
masih punya waktu dua belas hari di sana sebelum kembali ke masa
kini. Jadi gunakan dua belas hari ini sebaik-baiknya..."
"Dua belas hari? Dua belas hari rasanya cukup prof. Aku tadi sempat
bingung karena penunjuk waktu di modulator kelihatannya tidak
berfungsi. Aku akan berusaha untuk kembali dua belas hari lagi
prof..."188
"Baiklah Bagas... Jaga dirimu..."
Bagas sempat ingin bertanya soal Ciara, namun membatalkannya.
Profesor tadi berkali-kali mengatakan soal "kami". Itu berarti selain
profesor, Ciara juga masih memantaunya. Sekalipun gadis itu masih
enggan bicara dengannya.
Bagas berjalan ke areal yang dipenuhi belerang, dan memilih
bongkahan sebesar telur. Dia lalu mengeluarkan keris dan
mengambil getah cemara jenis Anvila yang banyak tumbuh di situ.
Dia memetik beberapa tangkai tanaman Minamina dan meremas
daunnya hingga hancur. Dia juga memetik pucuk rerumputan
bernama Latin farymillys orohsativa dan akar rumput Gannemmo
dan menghancurkannya.
Masing-masing tanaman itu tidak berbahaya. Namun jika
digabungkan, kombinasi getah cemara dengan tanaman yang biasa
ditemui di semak belukar itu bisa berakibat fatal. Seingat Bagas,
kombinasi itu ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang petani di
sebuah Kabupaten di Jawa Tengah, beberapa tahun lalu. Petani itu
iseng mencampur sejumlah rerumputan untuk membuat obat luka.
Namun ramuan obat yang dibuatnya justru meledak. Sang petani
melaporkan temuannya ke seorang Petugas Penyuluh Lapangan
yang meneruskan laporannya ke Dinas Pertanian setempat.
Bagas mendapat informasi ini dari teman kuliahnya, anak salah satu
pegawai di Dinas Pertanian itu. Bagas dan temannya kemudian iseng
mencoba dan mempraktekkan. Dan mereka berhasil. Bahkan ketika
mereka mencampur campuran ramuan itu dengan belerang, ternyata
efek ledakannya lebih besar, bahkan bisa menimbulkan kobaran api.
Tentu saja, temuan ?bom alam? itu tidak ditindaklanjuti Dinas
Pertanian di daerah itu. Bagas dan temannya juga sengaja tidak
menggembar-gemborkan temuannya.
Bagas mencampurkan bongkahan belerang dengan getah cemara,
daun, pucuk rerumputan dan akar rumput yang hancur dan
membungkusnya dengan daun talas. Bungkusan yang kini berbentuk
bola itu dilapisi tanah liat yang segera dikeringkan. Dan voila, satu
granat tangan buatan sendiri sudah selesai. Tak berapa lama, tanah189
liat yang membungkus sudah kering. Bagas mengambil dan
melemparkannya. Bummm!!!
<>190
36 Gempuran Angin Jahat
BAGAS merasa dadanya seperti bertalu-talu. Debar di dada begitu
kencang sampai dia berpikir rekan-rekannya bisa mendengar. Bagas
berdebar karena dia kini mengulangi adegan yang pernah dilakoni.
Mengulangi peristiwa yang pernah terjadi. Dia, dan teman-temannya
pernah menyerbu para pemberontak. Dan penyerbuan berakhir
buruk. Semua tewas. Sekarang, dia, dan teman-teman akan
mengulangi. Apakah akhirnya juga akan sama? Bagas menarik
nafas panjang dari hidung dan perlahan mengeluarkan melalui mulut.
Dia melakukan berkali-kali.
Bagas bersama Bhagawan Buriswara dan Nala Radikara sudah
menempati posisi. Di kejauhan telah bersiaga Mapanji Pamattu,
Sorta dan pasukannya. Tumenggung Jattilan dan pasukannya juga
sudah bersiap-siap. Sekarang saatnya.
Bagas mengambil keranjang berisi ?granat tanah liat? yang dibuat
sehari sebelumnya. Setidaknya ada tiga puluhan butir granat tangan
berukuran sebesar bola tennis yang tersedia. Bagas mengambil
sebutir dan memberi isyarat kepada Buriswara dan Nala untuk
melakukan hal yang sama.
"Kalian bisa melempar bukan? Sasaran kita yang pertama adalah
tempat pertemuan para tumenggung, senopati dan bekel. Kita
lemparkan di tiga tempat yang berbeda di bangunan itu. Kalian
siap?"
"Melempar itu mudah. Selanjutnya apa?" tanya Buriswara.
"Kalian lihat saja nanti. Siap? Ayo!!"
Serempak mereka melempar. Dan... Bummm... Bummm... Bummm
Tiga ledakan membahana, mengejutkan semua orang yang berada di
sekitar keraton. Buriswara dan Nala yang melempar juga terkejut.
Mereka bahkan sempat melangkah mundur.
"Wow... I... Itu..." Nala tergagap ketika melihat muncul nyala api dari
ledakan.
"Ayo, kita lempar lagi. Kita lempar ke tempat pertemuan. Sesudah itu
bagian perbekalan..." Tiga granat terlontar. Tiga ledakan terdengar.191
Ledakan yang diikuti nyala api yang dengan cepat membakar
bangunan. Terjadi kehebohan. Terjadi kepanikan. Para prajurit
berlari bingung. Mereka kaget bukan main ketika bangunan yang
biasa dijadikan sebagai tempat pertemuan tiba-tiba meledak dengan
bunyi yang menakutkan.
Kehebohan semakin menjadi ketika beberapa orang berlarian dari
dalam bangunan dalam kondisi terbakar!! Bagas dan kedua
rekannya kembali beraksi. Sasaran berikutnya adalah bagian
perbekalan, tempat para pemberontak menyimpan beras, ikan dan
sayuran untuk para prajurit. Sama seperti sebelumnya, ledakan
bertalu-talu terdengar bersahut-sahutan. Bagas menunjuk ke arah
utara, istal kuda tempat pemberontak ?memarkir? kuda yang
digunakan para petinggi. Ada puluhan kuda yang terikat.
Bunyi ledakan mengejutkan kuda-kuda yang meringkik dan
mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kuda yang panik
membuat ikatan lepas. Terjadi kekacauan luar biasa di seputaran
keraton. Apalagi setelah belasan kuda berlarian tak menentu,
menabrak siapa saja.
"Wah benda ini luar biasa," kata Bhagawan Buriswara.
"Bagaimana kau membuatnya?"
"Mmm... Aku dulu semasa kecil punya kenalan orang Mongol, dan
dia mengajarkan cara membuat benda yang bisa meledak seperti
ini," kata Bagas.
Pemuda itu tahu bahwa teman-temannya pasti akan bertanya
seputar "benda yang bisa meledak" ini. Dan dia sudah menyiapkan
jawaban. Pasukan Mongol punya sejarah kelam dengan Majapahit,
dan sudah lama diketahui punya teknologi perang yang lebih maju.
Mengatakan bahwa benda ini "dipelajari dari orang Mongol" itu
cukup meyakinkan. Karena Bagas tak mungkin bercerita bahwa
teknologi membuat granat rakitan ini dipelajarinya dari temannya di
masa depan.
Ungkapan Bagas ternyata memang dipercaya karena Buriswara tak
lagi berkata apa-apa.
"Benda ini apa namanya? Karena bunyi yang ditimbulkannya adalah192
?booom?, mungkin bagusnya ini dinamakan bom," tambah Nala.
Bagas mengangguk. Di masa depan, benda yang bisa meledak
seperti ini memang akan disebut bom. Dan diam-diam dia tersenyum.
Tak ada manusia modern yang tahu kalau ide soal nama itu sudah
diungkap sejak jaman Majapahit. Diungkap oleh Nala!!
Di seputaran keraton, kepanikan semakin menjadi. Begitu juga di
lapangan Wanguntur di depan keraton. Belum hilang rasa terkejut
para prajurit pemberontak, dari langit turun hujan anak panah yang
dilontarkan pasukan yang dipimpin Tumenggung Jattilan. Teriakan
dan jerit kesakitan terdengar di mana-mana.
"Saatnya kita masuk," bisik Buriswara. Dengan cepat mereka berlari,
menempuh jalur aman yang bebas dari terpaan hujan panah. Tanpa
halangan mereka memasuki Wijil Pisan, gerbang utama keraton.
Ketiga orang itu berlari dan menyelinap di antara pasukan yang
kebingungan. Dalam sekejap, mereka sudah memasuki gerbang
Wijil Ping Tri, melewati Wijil Kaping Rwa dan tiba di Balairung Utama
Grahanopama.
Seperti yang sudah diduga Bagas, muncul Tumenggung Pu Badra
dari Divisi Elang beserta lelaki yang berpakaian serba biru dan tiga
orang berpakaian serba hitam. Munculnya lima lelaki itu diikuti
puluhan prajurit yang masing-masing memegang busur dengan anak
panah yang siap dilepaskan.
"Wah wah. Apa yang kita lihat di sini. Ada yang mencoba membunuh
penguasa Majapahit..."
Lelaki berpakaian serba biru tertawa mengejek. Namun tawanya
kontan hilang karena terdengar jerit kesakitan. Puluhan prajurit
bersenjata panah tumbang satu per satu oleh pasukan yang
dipimpin Mapanji Pamattu dan Sorta!!
Ketika terjadi ledakan, pasukan khusus Bhayangkara, yakni Dires
Kaka (Tim Gagak) dan Dires Pragalba (Tim Macan) yang dipimpin
Pamattu dan Sorta segera bergerak. Menggunakan pintu masuk
rahasia dari Grahasarwa, mereka dengan cepat memasuki keraton
dan tiba di balairung.193
"Apa... Apa ini!!"
Tumenggung Pu Badra terkejut bukan main melihat pasukannya
bertumbangan. Ini sama sekali di luar perkiraan. Bukankah
seharusnya Pu Tanga sudah membocorkan rencana penyerangan?
Kenapa jalannya penyerangan bisa berbeda? Pu Tanga sama sekali
tidak menginformasikan bahwa ada pasukan lain yang muncul
secara diam-diam, entah dari mana!!
Pasukan pemberontak bersenjata panah tak punya kesempatan
untuk membela diri. Mereka menyiapkan diri untuk menyerang
Bagas dan rekan dan sama sekali tidak bersiaga ketika diserang dari
belakang. Apalagi yang menyerang mereka itu Bhayangkara,
pasukan khusus terlatih dan punya kemampuan tempur tingkat tinggi.
"Kalian jalankan rencana kita. Kami punya urusan yang harus
diselesaikan," kata Mapanji Pamattu kepada pasukan Bhayangkara.
Pamattu dan Sorta sendiri langsung berdiri di samping Bagas,
Buriswara dan Nala. Lima melawan lima!! Dada Bagas bergemuruh
oleh semangat. Sejauh ini semua lancar. Perubahan rencana yang
mereka susun malam sebelumnya kini memperlihatkan hasil.
"Aku Bisseka, yang berjuluk Sadaka Plamata (si Angin Dingin). Siapa
di antara tuan pendekar yang mau memberi pelajaran padaku?" Si
Baju Biru berujar sambil melangkah maju.
"Aku Mada, dari Bhayangkara, siap menerima pelajaran dari tuan
Bisseka," kata Bagas.
Lelaki itu berjuluk Angin Dingin, dan Bagas menganggapnya sebagai
lawan yang sepadan dengannya yang menguasai Prana Sasanga
Kalacakra yang merupakan tenaga sakti berkekuatan panas.
Pu Badra sendiri dihadapi Buriswara, sementara tiga jagoan
berpakaian hitam masing-masing dihadapi Nala, Pamattu dan Sorta.
"Bagus. Terimalah ini..."
Bisseka melompat dan mengayunkan kedua tangan. Sesuai dengan
julukannya, poncakhara Bisseka mengandung energi dingin yang
sangat dahsyat. Di Jawibhumi, Bisseka si Sadaka Plamata membuat194
nama besar di sepanjang Sungai Brantas. Dia menjadi semacam
pimpinan golongan hitam yang beroperasi di sekitar sungai Brantas,
hingga ke muara. Karena biasa berkiprah di sungai, tak
mengherankan jika ilmu poncakhara yang dikuasai Bisseka
mengambil sifat air yang dingin.
"Desss..."
Energi dingin yang dilontarkan Bisseka bertemu dengan energi
panas dari telapak tangan Bagas. Pertemuan yang memunculkan
uap tebal!!
Bisseka kembali merangsek. Kedua tangan memainkan Manggada
Sadaka Mayakara (Gempuran Angin Jahat), jurus kedua dari Silat
Shakti Sadaka Plamata. Lengan kanan mengarah ke kepala
sementara tangan kiri mengincar dada.
Sejenak Bagas merasa limbung. Gerakan lawan sangat cepat.
Jurusnya juga aneh. Pemuda itu berusaha bersikap tenang. Sejak


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdampar di Majapahit, ini untuk pertama kali dia harus bertarung
mati-matian melawan musuh. Sebelumnya, dia sempat bertarung
dengan si Bajul. Namun pertarungan melawan si Bajul lebih bersifat
ujian. Beda dengan saat ini.
Dengan Prana Sasanga Kalacakra, Bagas menghadapi gempuran
lawan. Dia sengaja memilih menunggu. Sikapnya juga biasa. Berdiri
dengan kaki kanan di depan, dengan kedua tangan yang terkepal di
depan kepala. Setelah menguasai Eka Kalacakra, kewaspadaan
Bagas meningkat. Juga wawasannya pada perkelahian. Dia bisa
mengikuti gerakan lawan, sekalipun itu dilakukan dengan sangat
cepat. Bagas melangkah ke samping menghindari serangan lawan di
kepala. Serangan di dada ditangkis. Di saat yang sama tangan
kanan melakukan pukulan hook.
"Aiiihhh!!"
Bisseka terkejut ketika tahu-tahu kepalan lawan sudah berada di
kepala. Dengan serabutan dia mundur. Namun Bagas tidak mau
melepaskan peluang. Tangan kiri yang melakukan tangkisan
digerakkan lurus.195
"Duukkk..."
Dada Bisseka terkena hantaman. Lelaki berbaju serba biru itu
merasa dadanya seperti dihantam gunung batu. Rasanya sesak dan
panas. Rasa sakit di dada bercampur rasa penasaran. Gerakan
lawan yang dihadapinya sama sekali tidak mirip poncakhara, ilmu
bela diri yang dikenalnya. Lawannya juga lebih banyak berdiam diri.
Jurusnya tak mengandung kembangan seperti yang biasa ditemui di
Jawibhumi. Namun sekali lawan bergerak dan menyerang,
serangannya sukar diduga dan sulit diantisipasi.
Dalam bertarung, Bagas memang memilih untuk melakukan gerakan
yang praktis namun efektif. Setelah mempelajari ilmu beladiri
campuran, Bagas tahu bahwa salah satu faktor penting dalam
bertarung adalah pemilihan momen. Bagaimana memilih momen
yang tepat untuk melontarkan serangan.
Pemilihan momen juga terkait dengan gerakan lawan. Ketika lawan
maju, bisa jadi dadanya terbuka. Ketika lawan mundur, perut dan
wajahnya terbuka. Dan seterusnya.
Dia juga tahu, pada dasarnya semua gerakan dan serangan dalam
ilmu beladiri di dunia itu sama. Kembangannya mungkin berbeda
namun pukulan inti tetap sama. Yakni memukul lurus, memukul dari
samping, memukul dari atas dan dari bawah. Begitu juga dengan
tendangan. Ada yang dari depan mengarah dada, ada yang dari
samping mengarah pinggang, ada yang mengarah kepala dan
seterusnya.
Yang berbeda pada gerakan beladiri masing-masing golongan dan
aliran adalah kombinasi serangan itu. Ada yang memukul lurus dan
melanjutkan dengan pukulan dari bawah. Ada yang dari samping dan
dilanjutkan dengan tendangan dan seterusnya.
Bisseka yang masih penasaran kembali maju. Setelah mengatur
nafas dan memulihkan dada yang terasa sesak, dia kembali
menyerang. Kali ini kaki kanannya melakukan tiga tendangan
sekaligus. Ke kepala, dada dan perut, sesuai jurus Sadaka Plamata
Marampak Sambartaka (Angin Dingin Menyambar Pelangi), jurus
kelima dari Silat Shakti Sadaka Plamata.196
Bagas tentu tak sudi dirinya ditendang. Dia cepat melangkah mundur.
Tendangan lawan luput. Namun Bisseka ternyata sudah
mengantisipasi. Melihat lawan mundur, dia memutar tubuh. Dengan
tubuh yang berada di udara dia mengayunkan tinju ke arah Bagas.
"Hmmm. Serangan bagus," kata Bagas.
Di era modern, di mix martial art, ilmu bela diri campuran, Bagas
mengenal serangan seperti itu yang biasa disebut sebagai "tinju ala
Superman", karena dilontarkan seolah-olah oleh Superman dari
udara. Namun Bagas tahu kalau di era Majapahit, nama jurusnya
mungkin berbeda.
Perkiraan Bagas benar. Apa yang oleh orang modern disebut "tinju
Superman", oleh Bisseka disebut sebagai Sadaka Plamata
Sumuluh Kanyaka (Angin Dingin Membelah Emas), jurus
kedelapan dari Silat Shakti Sadaka Plamata. Dengan cepat Bagas
menyilangkan kedua tangan ke depan kepala. Menangkis.
"Dukkk..."
Bagas merasa kedua lengannya seperti dihantam palu yang sangat
dingin. Jurus Sadaka Plamata Sumuluh Kanyaka ternyata punya
serangan susulan. Karena tanpa diduga Bisseka menggerakkan kaki
kanannya.
"Dess..." Lutut Bisseka menghantam dada Bagas.
"Ugghh...."
Sekalipun tubuhnya sudah dilindungi Prana Sasanga Kalacakra,
namun hantaman lutut Bisseka membuat Bagas terdorong mundur
hingga lima langkah.
Bagas merasa dadanya sangat sesak. Ada hawa dingin aneh yang
memasuki dadanya. Dia juga merasa ada yang asin di mulutnya.
Darah. Hantaman lawan nyaris membuatnya mengeluarkan darah
segar di mulut, pertanda bagian dalam tubuhnya terguncang. Bagas
cepat mengatur nafas.197
Di pihak lain, Bisseka yang melihat adanya peluang kembali
menyerbu. Dengan serangan ganas yang mengincar nyawa.
Bagas dalam bahaya besar!!
<>198
37 Seratus Setan Menghancurkan Jasad
SERANGAN Bisseka datang bagai angin topan. Serangannya
didahului energi dingin yang menusuk kulit. Tangan kanan dan kiri
diayunkan bergantian. Bisseka mengerahkan jurusnya yang
terhebat, yang disebut Dasawisati Banas Dumasya Ramon
(Seratus Setan Menghancurkan Jasad), jurus ketigabelas dari Silat
Shakti Sadaka Plamata.
Bagas mengenali datangnya ancaman. Dia segera mundur. Dan
mundur. Bisseka merangsek dan mengejar. Bagas mundur sambil
berputar, mengitari balairung. Sambil mundur, dia mengerahkan
seluruh tenaga sakti ke kepalan tangan.
"Bhayangkara Mada, bersiaplah untuk matiii!!!" Masih dengan jurus
yang sama, Bisseka menghantam. Lengan kanan dan kiri mengayun
menyilang.
Bagas menahan nafas dan kali ini dia bergerak maju. Menapaki
serangan lawan.
"Dukkk... Dukkk..."
Hantaman Bisseka mengenai pundak kiri dan pinggang kanan
Bagas.
Sebaliknya hantaman Bagas mengena telak di dada. Terdengar
bunyi tulang yang retak. Bisseka terdorong mundur. Dengan nanar
dia menatap dadanya yang kini berwarna hitam. Hangus. Dia
menoleh ke arah Bagas, mengacungkan tangannya. Namun tak ada
suara yang keluar dari mulutnya karena nyawanya sudah terlanjur
melayang.
Bagas meringis. Pundak kiri dan pinggang kanannya terasa sakit.
Sangat sakit. Namun bagian dalam dirinya yang lebih sakit. Perih. Ini
untuk pertama kali dia menghabisi nyawa orang lain. Dia kini resmi
menjadi pembunuh!!
Bagas menarik nafas panjang dan menatap Bisseka yang terbaring di
lantai dengan mata terbelalak. Dalam pertarungan seperti ini,199
terkadang pilihannya memang sangat terbatas. Dibunuh atau
membunuh. Bagas tentu tak sudi terbunuh. Masih banyak hal yang
harus dia lakukan di Majapahit. Dia juga berencana kembali ke
masanya. Ke era modern. Dia tak ingin mati konyol. Dengan
serangan Bisseka yang sangat dahsyat, pilihannya memang hanya
satu. Menghabisi lawan sebelum dia sendiri dihabisi. Bagas kembali
menarik nafas panjang dan mendekati Bisseka. Perlahan dia
mengatupkan mata mantan lawannya.
Terdengar teriakan kesakitan. Teriakan datang dari mulut Pu Badra
yang dihantam Buriswara. Pu Badra mengikuti jejak rekannya,
Bisseka yang meregang nyawa. Tiga lelaki berpakaian hitam yang
melihat situasi tidak menguntungkan segera melompat tinggi dan
melarikan diri. Nala, Pamattu dan Sorta yang menjadi lawan tidak
mengejar karena di saat yang sama Tim Gagak dari Bhayangkara
tiba-tiba memasuki balairung bersama seorang lelaki tua yang
nampak kuyu dan lelah.
"Ah, Mahapatih, syukurlah kau selamat!!"
Mapanji Pamattu berteriak gembira dan segera membungkuk
memberi hormat.
Sorta, Buriswara, Nala dan Bagas ikut memberi hormat. Mahapatih
Arya Tadah mengangkat tangannya. Tangan itu bergetar.
"Terima kasih, kerja kalian bagus sekali. Tapi masih banyak yang
harus kita lakukan. Kita harus menangkap pimpinan pemberontak,
dan mengembalikan Paduka Jayanagara ke tahta Majapahit..."
Senopati Sorta maju dan memberi hormat," Untuk urusan
menangkap pemimpin pemberontak, pasukan kami dari
Bhayangkara sedang bergerak. Dan hanya... oh itu mereka..."
Dari pintu sebelah timur muncul pasukan Macan dari Bhayangkara
bersama empat lelaki yang diikat erat.
"Ah mereka berhasil menangkap Ra Kuti, Ra Semi, Ra Banyak dan
Ra Yuyu. Bagus sekali. Di mana pemimpin pemberontak yang lain?"
"Ampun Mahapatih," kata salah satu prajurit Bhayangkara, "Ra200
Wedeng dan Ra Banyak tewas ketika mencoba melawan. Sementara
Ra Tanca, seperti yang kita semua sudah tahu, tidak terlibat dalam
pemberontakan. Ra Tanca justru menentang pemberontakan rekanrekannya dan kini melarikan diri karena dijadikan buruan..."
"Bagus. Bagus. Bawa mereka ke tempat tahanan..."
"Mohon ampun, Mahapatih, hamba punya usul..."
"Kau siapa?"
"Ampun Mahapatih, hamba Mada dari Bhayangkara..."
"Mada? Bhayangkara? Aku rasanya tidak pernah melihatmu. Apa
usulmu?"
"Begini. Saat ini di luar keraton sedang terjadi pertempuran hebat
antara prajurit pemberontak melawan pasukan yang setia kepada
Baginda Jayanagara. Jika kita memperlihatkan kepada pasukan
pemberontak bahwa pemimpin mereka telah ditawan, itu akan
menghentikan pertempuran..."
Mahapatih Arya Tadah mengelus jenggotnya yang putih.
"Hmm... Usulmu bagus sekali. Kita bisa mencegah terjadinya korban
jiwa yang lebih banyak. Kenapa hal itu tidak terpikirkan olehku ya?
Baik. Bawa para pemberontak ini ke gerbang Wijil Pisan. Bawa juga
Ki Blerok..."
Ra Kuti dan rekan-rekannya digelandang ke gerbang keraton.
Beberapa prajurit terlihat mendorong gong besar yang ditaruh pada
semacam tempat yang bagian bawahnya diberi roda. Rupanya Ki
Blerok itu gong, pikir Bagas. Mungkin gong kerajaan yang hanya
dibunyikan di saat yang sangat penting.
Bhagawan Buriswara membunyikan Ki Blerok.
Bunyi suara gong menggema, menarik perhatian ratusan prajurit
yang bertarung sengit di halaman keraton, juga di tanah lapang.
"Sudah berakhir. Pemimpin pemberontak telah ditawan. Menyerahlah
untuk diadili!!"
Suara Mahapatih Arya Tadah bergema. Prajurit pemberontak
terkejut melihat pemimpin mereka terikat erat dan ditodong. Nyaris
serempak, para pemberontak segera melemparkan senjata dan201
berlutut. Tumenggung Jattilan segera memerintahkan prajurit
Majapahit untuk menggeledah dan mengikat semua pemberontak.
Dan tiba-tiba, dari arah selatan terdengar suara riuh. Nampak
rombongan besar mendekati keraton. Rombongan besar itu dipimpin
oleh... Raja Jayanagara!!
<>202
38 Neraka Hitam Kelam
RAJA Jayanagara nampak gagah menunggang seekor kuda
berwarna hitam. Di sampingnya, juga menunggang kuda adalah
Adittyawarman, sepupu baginda. Mereka diapit Tumenggung
Anarjaya dan Senopati Mahisa Kedora dari Bhayangkara. Mereka
diiringi pasukan Payodha Praharana yang dipimpin Tumenggung Pu
Tanga. Sejumlah prajurit terlihat membawa kain berwarna Merah
Putih, ciri khas umbu-umbul dan bendera resmi Kerajaan Majapahit.
Ternyata, pasukan yang berada di luar kotaraja juga berhasil
mengalahkan para pemberontak!! Mahapatih Arya Tadah segera
memerintahan pasukan untuk menyambut sang Raja, yang kini
mendekati keraton.
"Raja bebal tak pantas memerintah. Raja bebal sebaiknya mati..."
Terdengar suara yang bergema, entah dari mana. Dan tiba-tiba
melayang dua sosok yang dengan ringan berdiri tepat di depan Raja
Jayanagara. Seorang laki-laki dan perempuan.
"Raja bebal harus mati..."
Sang lelaki melangkah maju. Kedua tangan digerakkan. Energi aneh
yang beraroma amis terpancar dari kedua tangan.
"Dukkk... Dukkk... Plasss..."
Nyaris serempak, Senopati Mahisa Kedora dan Tumenggung
Anarjaya menghadang dengan tangkisan. Dan yang terjadi sama
sekali di luar perkiraan. Senopati Mahisa Kedora terlempar seperti
daun kering tertiup angin, berguling di tanah dan akhirnya diam tak
bergerak. Tewas. Tumenggung Anarjaya juga terlempar dan
terguling. Namun dia masih bisa bangkit sekalipun dengan susah
payah. Darah mengalir dari mulut Anarjaya.
"Lindungi paduka!!"
Mahapatih Arya Tadah berseru sambil berdiri di depan Raja.
Senopati Mapanji Pamattu dan Senopati Sorta, juga Tumenggung
Jattilan dan Pu Tanga berdiri bersiaga. Wajah mereka memucat
ketika mengenali lelaki itu. Di Jawibhumi, tak banyak jagoan yang203
bisa membunuh Senopati Mahisa Kedora, pemimpin Dires Sardola
(Tim Singa) dari Bhayangkara hanya dalam sekali pukul. Juga tak
banyak tokoh yang dalam satu jurus mampu membuat Tumenggung
Anarjaya, pemimpin utama Bhayangkara, terlempar. Kalau ada
jagoan yang bisa melakukan itu, berarti ilmu poncakharanya sudah
setingkat dewa.
Bagas mengamati lelaki itu. Tubuhnya tinggi besar, mengenakan
pakaian dari kain kasar berwarna hitam. Yang membuat Bagas
merinding adalah wajah lelaki itu. Ada bekas luka menyilang pada
wajahnya yang membuat wajah itu sangat menyeramkan. Di
belakang si lelaki, berdiri perempuan bertubuh tinggi langsing dan
mengenakan pakaian putih-putih. Perempuan itu berwajah cantik,
berusia sekitar 50-an tahun. Mata perempuan itu tajam mengerikan.
Wajahnya putih, bahkan terlalu putih hingga mirip mayat.
"Ahhh... Resi Surasidwa..."
"Banas Mahitala (Setan Bumi)..."
"Dan itu pasti istrinya Dewi Padma..."
Terdengar bisikan-bisikan, entah oleh siapa. Namun Bagas dapat
merasakan nada gentar pada bisikan itu.
"Raja Majapahit yang bebal harus mati. Siapa menghadang, pasti
mati!!"
Lelaki itu, Resi Surasidwa kembali maju. Dan melontarkan serangan.
"Tahan!!!" Bagas maju dan menangkis.
"Desss...." Pemuda itu merasa tubuhnya seperti diterpa ribuan
bongkahan es yang menusuk kulit. Bongkahan hujan es yang
menusuk hingga ke tulang sumsum. Eka Kalacakra dari Prana
Sasanga Kalacakra seakan tak berarti.
"Huh, baru menguasai Eka Kalacakra (Satu Matahari) sudah berani
menghadangku? Hahaha. Hari ini Dewata sungguh bermurah hati.
Siapa sangka hari ini aku bisa membunuh murid si Suwung keparat


Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu..."
Resi Surasidwa kembali bersiap. Dan dalam bentakan panjang dia204
menghantam Bagas. Pemuda itu mencoba mengerahkan tenaga
sakti. Dan dia terkejut. Dia tak bisa mengerahkan tenaga saktinya.
Tenaga saktinya seakan terkunci, atau buyar. Bagas terdiam,
melongo melihat datangnya serangan.
"Saudara Mada, awas!!!" Bagas merasa dirinya didorong keras
Raja Gendeng Asmara Pedang Halilintar Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari

Cari Blog Ini