Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh Bagian 4
hingga bergulingan.
"Bukkk!!!" Hantaman Resi Surasidwa mengena. Bukan Bagas yang
terkena, melainkan... Senopati Sorta. Pemimpin Tim Macan itu
terlempar seperti kapas dan bergulingan di tanah berkali-kali.
"Sortaaa..." Bagas menjerit dan dengan tersaruk dia mendekati Sorta.
Pemuda itu merasa nyeri di hatinya. Apa yang barau saja terjadi
sama sekali tidak diduganya. Sorta menolongnya. Senopati itu
mendorong dan membiarkan dirinya terkena pukulan!!
"Duh, kakang Sorta, kenapa?" Bagas merasa dadanya sesak.
Tenggorokannya seperti dicekik. Sorta tersengal. Darah mengalir
dari mulut, hidung dan telinga.
"Kita... Bhayang...kara... ki..ta saudara... "
"Kakang Sorta, ah, kau mengorbankan dirimu demi aku... ah
kakang..." Bagas memejamkan matanya yang kini seperti berpasir.
Selama ini hubungannya dengan Sorta biasa saja, tidak terlalu akrab.
Mereka juga jarang bicara. Namun hal itu ternyata tidak menghalangi
Sorta untuk mengorbankan dirinya sendiri guna menolong Bagas.
"Kau... kau... pan..tas menja..di... ahhh Ma..da... Akkkhhh... Ja..ga
raha..sia itu ba... baik... baikkk... Uhuk uhukk... Bhayang..kara
Jayyyaaaaa..."
Dalam hembusan nafas yang terakhir, Senopati Sorta terkulai.
Nyawanya melayang menuju Nirwana.
Bagas mengertakkan gigi, mencoba menahan air mata yang
perlahan menetes. Sekujur tubuhnya menggigil.
"Pergilah dengan tenang saudaraku..." bisik Bagas sambil
mengatupkan mata rekannya.205
"Kau tunggulah. Tak lama lagi aku akan menyusulmu..."
Perlahan Bagas bangkit. Menatap Resi Surasidwa. Kemarahan
memenuhi hati pemuda itu. Selama hidup dia tak pernah semarah
dan semurka ini. Bagas yang merupakan pemuda sabar, dilanda
amarah yang sangat kental.
Rekannya, Senopati Sorta mengorbankan nyawa guna menolongnya.
Apakah dia harus diam saja? Tidak. Dia harus berusaha membalas,
sekalipun tenaga saktinya kini telah hilang!!
"Hahaha... Nyawamu ternyata sedikit lebih panjang. Kini kita lihat
siapa lagi yang sudi mengorbankan dirinya demi kau. Kau telah
melakukan kesalahan dengan menjadi murid si keparat Suwung. Kini
bersiaplah untuk mampus!!"
Resi Surasidwa memutar kedua tangan. Energi berbau amis
berwarna keunguan nampak di sekitar lengan. Dengan bentakan
panjang dia menerjang.
Bagas menarik nafas panjang. Ini saatnya. Saatnya dia kembali ke
Sang Pencipta. Maafkan aku, Ciara. Maafkan aku, Dyah Gitarja.
Dengan nekat Bagas maju.
"Dukkk... Blaarrr..."
Terjadi benturan hebat yang mengguncang. Semua yang berada di
tempat itu tergetar oleh benturan dua tenaga sakti. Bukan Bagas
yang menangkis pukulan Resi Surasidwa, tapi seorang lelaki muda.
Dia berwajah tampan dengan sorot mata setajam garuda. Dia
bertubuh sedang dan mengenakan pakaian kasar berwarna putih. Di
sampingnya berdiri seorang perempuan muda yang sangat cantik.
Lelaki muda itu segera berpaling dan menatap Bagas.
"Kakak seperguruan Mada, kau terluka. Beristirahatlah. Ijinkan adik
seperguruanmu yang menghadapi dia..."
Bagas sempat pangling dan ahirnya dia mengenali lelaki muda itu.
"Sen... Sentanu?"206
Lelaki muda itu tersenyum dan berbalik. Dia kemudian memberikan
hormat yang mendalam kepada Resi Surasidwa.
"Salam untuk paman Surasidwa. Mohon maaf karena anakda yang
bodoh ikut campur..."
"Huh, semua murid si keparat Suwung memang suka ikut campur.
Kau siapa? Apa yang membuatmu berpikir bisa menghadapiku?"
"Hamba Sentanu, dan hari ini akan memamerkan kebodohan. Mohon
paman yang mulia mau bermurah hati dan tidak menurunkan tangan
keras..."
Resi Surasidwa memicingkan matanya. Lelaki muda itu terlihat begitu
merendah. Padahal jelas bahwa dia hebat. Kepandaiannya jauh lebih
hebat dibanding senopati Bhayangkara yang disebutnya sebagai
"kakak seperguruan" itu.
"Hmh, kau pasti telah menguasai Yamaloka Hanggenggeng
Murngwang (Neraka Hitam Kelam) sehingga berani sesumbar di
depanku. Baik. Bersiaplah..."
Resi Sirasidwa memasang kuda-kuda. Begitu juga dengan Sentanu
Bagas yang tahu akan terjadi pertarungan hebat segera menepi dan
bersila mencoba memulihkan diri. Namun dia tak bisa mengatur
pernafasan karena perhatiannya tertuju pada pertarungan hebat yang
akan terjadi antara Sentanu melawan Surasidwa. Sentanu, dan
Kartikasari, istrinya yang kini berdiri tenang, adalah murid Resi
Suwung yang tanpa sengaja pernah ditolong Bagas semasa berada
di Dusun Badander.
"Demi Jagat Dewa Batara, jadi kau murid Resi Suwung?"
Tumenggung Jattilan mendekati Bagas dan berbisik.
Bagas mengangguk.
"Dan kau telah menguasai Prana Sasanga Kalacakra?"
"Baru tahap awal. Aku baru menguasai Eka Kalacakra, Satu
Matahari.."
"Ah kau beruntung sekali, nak Mada. Kau tentu tahu bahwa Prana207
Sasanga Kalacakra itu merupakan ilmu tenaga dalam nomor satu di
Jawibhumi, bahkan di Dwipantara, Nusantara bukan?"
Bagas menggeleng. Dia tahu kalau Prana Sasanga Kalacakra itu
hebat. Namun terhebat di Jawibhumi dan di Nusantara? Dia sama
sekali tidak tahu.
"Dan lelaki perkasa itu, ah dia menyebutmu kakak seperguruan..."
Bagas kembali menggeleng. "Aku juga tak mengerti kenapa dia
menyebutku kakak seperguruan. Seharusnya mereka berdua itu
kakak seperguruanku karena mereka lebih dulu berguru pada yang
mulia Resi Suwung..."
"Resi Surasidwa itu hebat, dan dia kabarnya hanya sekali kalah,"
kata Jattilan. "Saat itulah wajahnya diberi sayatan menyilang. Ah,
kita lihat apakah Yamaloka Hanggenggeng Murngwang (Neraka
Hitam Kelam) yang dikuasai pemuda itu bisa menandingi Banas
Pamalu Sasanga Susmana (Setan Pembalik Sembilan Arwah),
poncakhora yang membuat nama Resi Surasidwa menjulang
setinggi langit!!"
Bagas menatap para prajurit Majapahit membentuk lingkaran lebar
mengepung lokasi pertarungan. Semua, terutama mereka yang
paham poncakhora, ilmu beladiri, menanti dengan penuh
ketegangan. Tak lama lagi mereka akan menyaksikan pertarungan
tingkat tinggi yang mungkin tak bisa mereka saksikan di masa
mendatang. Antara Resi Surawidwa, tokoh golongan hitam nomor
satu di Jawibhumi melawan Sentanu, pendekar muda murid Resi
Suwung. Tenaga sakti Sasanga Kalacakra (Sembilan Matahari) yang
dipadukan dengan jurus silat Yamaloka Hanggenggeng Murngwang
(Neraka Hitam Kelam) yang dikuasai Sentanu akan diuji oleh Banas
Pamalu Sasanga Susmana (Setan Pembalik Sembilan Arwah) milik
Resi Surasidwa, si Setan Bumi.
Siapa yang menang?
<>208
39 Bunga Langit Luruh Berantakan
SENTANU berdiri kokoh. Kaki kanan ditekuk, kaki kiri lurus di
belakang. Lengan kanan lurus sejajar bahu dengan jemari yang
mengepal. Sementara tangan kiri diletakkan di depan dada dengan
jemari terbuka seperti teratai. Itulah pembukaan dari ilmu hebat
Yamaloka Hanggenggeng Murngwang (Neraka Hitam Kelam). Dari
sekujur tubuhnya terpancar hawa hangat yang menggigit. Uap
berwarna keputihan menyelubungi tubuh pemuda itu. Sentanu kini
mengerahkan Panca Kalacakra (Lima Matahari) dari Prana Sasanga
Kalacakra.
Resi Surasidwa sendiri berdiri dengan kedua kaki terentang.
Perlahan dia mengangkat kedua tangan hingga bertemu di atas
kepala. Kedua tangan yang bertemu itu turun hingga ke depan dada,
dalam posisi seperti menyembah.
Semua yang hadir menahan nafas. Resi Surasidwa sudah
melakukan gerakan pembukaan dari Banas Pamalu Sasanga
Susmana (Setan Pembalik Sembilan Arwah). Dan Resi Surasidwa
yang lebih dulu bergerak. Tubuhnya meloncat, dengan kedua tangan
yang masih menyatu. Kedua tangan itu digerakkan ke atas kepala
dan diayunkan ke arah Sentanu. Energi berwarna ungu berbau amis
terpancar dari telapak tangan Surasidwa yang menyatu, dan dengan
ganas mencecar Sentanu. Itulah Mamadran Kuwara Magelmellan
(Mengetuk Pintu Kegelapan), jurus pertama dari ilmu hebat Banas
Pamalu Sasanga Susmana!!
Sentanu merasa tubuhnya dihimpit energi yang menghujam. Energi
yang mengiris dan seolah "mengetuk" tubuhnya. Namun pemuda itu
tidak menjadi gugup. Dia adalah murid terkasih Resi Suwung, salah
satu tokoh terhebat yang pernah ada di Jawibhumi. Melihat
datangnya serangan, dia memutar kedua tangannya. Energi
berwarna kemerahan tercipta pada putaran tangan. Energi panas
membara yang kemudian diarahkan guna menyambut hantaman
Surasidwa.
"Desss... Blaaar!!!"
Bentrokan dua tenaga sakti mengguncang, juga menimbulkan suara209
yang membuat gendang telinga terasa sakit. Dalam jurus pertama,
Sentanu memperlihatkan kepada lawan bahwa dia tidak gentar. Dia
tidak menghindar dan justru menapaki dengan tenaga sakti. Jurus
Mamadran Kuwara Magelmellan disambut dengan jurus Wahudayan
Hanala Nora Sisimping (Lautan Api Tiada Bertepi). Energi api yang
terpancar dari kedua tangan Sentanu tak hanya mencecar energi
lawan, namun juga meluas dan merembet ke arah Surasidwa.
Sentanu tak hanya menangkis namun balik membalas serangan!!
"Hebat... Kau pantas menjadi lawanku. Tapi pertarungan baru saja
dimulai. Aku tak akan sungkan lagi!!!"
Resi Surasidwa berteriak nyaring dan tubuhnya tiba-tiba berputar
seperti gasing. Tubuh Resi Surasidwa berputar aneh, terkadang lurus
terkadang miring. Namun dari setiap putaran terpancar energi ungu
yang menyambar 16 nadi mematikan dari Sentanu!!
"Uhh. Ganas sekali..."
Sentanu merasa kaget karena semua serangan lawan merupakan
serangan maut. Lengah sedikit saja, nyawanya akan melayang.
Apalagi yang menyerang adalah tokoh sekaliber Resi Surasidwa!!
Namun sekali lagi Sentanu memperlihatkan kematangannya sebagai
pendekar. Diserang dengan hebat, dia tetap tenang. Dia melompat
dan berjumpalitan di udara. Di saat yang sama kedua kakinya
melakukan tendangan beruntun, sesuai jurus Puspita Lokamantala
Drawana Durgana (Bunga Langit Luruh Berantakan).
"Dukkk... Dukkk... Dukkk..."
Tendangan Sentanu beradu dengan lengan Resi Surasidwa yang
menangkis. Pemuda itu merasakan dorongan energi yang sangat
hebat, yang membuat tubuhnya terlontar. Dia meminjam tenaga
dorongan untuk memutar tubuh dan mendarat ke permukaan tanah
dengan indah.
Sementara Resi Surasidwa yang menangkis tetap berdiri kokoh.
Kedua kakinya terbenam ke dalam tanah hingga sebatas betis!!210
"Pendekar muda, maaf jika kami ikut campur. Namun lelaki ini musuh
Majapahit dan harus ditangkap!!"
Yang bicara adalah Tumenggung Jattilan yang bersama
Tumenggung Pu Tanga kini menyerang Resi Surasidwa.
Sentanu sendiri tidak merasa terkejut dengan tampilnya kedua
tumenggung itu. Resi Surasidwa baru saja mengancam keselamatan
Raja Majapahit. Resi Surasidwa adalah ancaman yang nyata bagi
Majapahit. Jadi sangat wajar jika kedua tumenggung yang
merupakan pemimpin pasukan Majapahit, kini ikut menyerang.
Sadar kalau lawannya sangat hebat, Tumenggung Jattilan tak mau
kepalang tanggung. Dia menyerang dengan Sumahap Ramon
Manadhahi Susmana (Memisah Jasad Mengejar Roh), jurus
terhebat dari Silat Shakti Hudrasa Brahmarsi Pantaka (Tangis Dewa
Kematian) yang dikuasainya.
Tumenggung Pu Tanga tak mau kalah. Pedang di tangan berputar
mengincar darah. Di Jawibhumi, Pu Tanga dikenal dengan ilmu
ponchakara yang disebut Brandang Banas Palangga Ludira
(Pedang Iblis Peminum Darah).
Melawan Resi Surasidwa, Pu Tanga menyerang dengan jurus Banas
Wragas Mamadran Kuwara (Setan Ganas Mengetuk Pintu). Jika
bertarung satu lawan satu, kedua tumenggung itu bukan lawan Resi
Surasidwa. Tapi karena keduanya maju bersama, Surasidwa cukup
kerepotan. Apalagi selain kedua tumenggung, ada ratusan prajurit
Majapahit yang mengepung dengan senjata terhunus. Juga ada
Sentanu, yang ikut menyerang.
Sambil melompat tinggi, Sentanu menyerang dengan jurus Rajah
Humara Mapasir Mangaruhi Humara Dirgantara (Murka Pada
Samudera, Meraung Pada Angkasa). Dalam sekejap Resi
Surasidwa terdesak hebat. Di tepi areal pertarungan, Dewi Padma,
si Hapsari Palastra (Bidadari Kematian), istri Resi Surasidwa berdiri
gelisah. Dia ingin membantu. Namun dia tahu, jika membantu,
perempuan cantik yang datang bersama Sentanu akan menghadang
dan menyerangnya. Dewi Padma tidak takut pada perempuan muda
itu. Namun dia bisa membaca situasi. Situasi saat ini tak211
menguntungkan bagi mereka. "Suamiku, angin buruk. Mungkin lain
kali..." Dewi Padma mengirim serangan jarak jauh pada Raja
Jayanagara. Senopati Mapanji Pamattu dan Tumenggung Anarjaya
segera menangkis.
Namun serangan Dewi Padma hanya pengalih perhatian karena dia
tiba-tiba meloncat tinggi dan melarikan diri. Di saat yang sama Resi
Surasidwa mengirimkan tiga serangan dahsyat kepada ketiga lawan.
Serangan dengan jurus Sasmana Gutgutan Durkara Yamaloka
(Arwah Penasaran Mengacau Dunia Kegelapan).
Sentanu, Tumenggung Jattilan dan Tumenggung Pu Tanga
mengenal serangan mematikan. Mereka segera melompat
menghindar.
Kesempatan ini digunakan Resi Surasidwa untuk melarikan diri
menyusul istrinya.
"Hei, kalian mau lari ke mana?" Kartikasari, istri Sentanu segera
mengejar.
"Nimas... Tunggu..." Sentanu berteriak pada istrinya. Dia cepatcepat menoleh ke arah Bagas.
"Maaf, kakang, kita harus berpisah sekarang. Aku harus pergi.
Sangat berbahaya membiarkan istriku mengejar Resi Surasidwa
bersama istrinya. Mohon maaf kakang..."
Sentanu kemudian memberikan sembah kepada Raja Jayanagara.
"Paduka, syukur paduka selamat. Hamba mohon diri..."
Tanpa menanti jawaban Sentanu berkelebat. Untuk sesaat, yang
ada adalah kesunyian. Hingga terdengar suara Raja Jayanagara.
"Mulai sekarang, kalian catat nama sepasang suami istri muda itu.
Mereka telah melindungi Ingsun. Mereka adalah pelindung. Jangan
ganggu mereka, apapun alasannya. Yang mengganggu mereka akan
dihukum mati!!"212
Raja Jayanagara kemudian menatap Mada.
"Senopati Mada, kerjamu bagus. Ingsun menanti kehadiranmu jika
lukamu sudah sembuh."
Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia kemudian memberi isyarat dan segera menuju keraton.
Tumenggung Jattilan dan Tumengung Pu Tanga mendekati Bagas.
"Kau terluka. Ikutlah dengan kami, biar tabib istana
menyembuhkanmu," kata Pu Tanga.
Bagas menggeleng.
"Sebaiknya aku menyembuhkan diri di rumah saja, tumenggung..."
"Baiklah. Kau pakai kuda itu supaya lebih cepat," kata Tumenggung
Jattilan.
"Sebaiknya kau pulang dan temui paduka puteri. Katakan semua
sudah berakhir..."
KUDA YANG DITUNGGANGI Bagas melaju perlahan. Di sekitar,
keriangan terlihat di wajah penduduk Kotaraja. Mereka sudah
mendengar kabar kedatangan Raja Jayanagara dan kekalahan para
pemberontak.
Bagas dapat melihat bahwa penduduk Tarik di Kotaraja ternyata
lebih menyukai Jayanagara dibanding Ra Kuti.
Bagas mencoba menarik nafas panjang dan mengeluh. Dadanya
terasa perih jika dia menarik nafas. Dia juga merasa ada hawa
dingin yang perlahan menyelubungi tubuhnya. Hawa dingin yang kini
membuat dia mulai menggigil.
Bagas mengeraskan hati. Tak lama lagi dia akan sampai. Di rumah,
dia bisa mengatur pernafasan dan menyembuhkan diri. Dia bisa
mengerahkan Eka Kalacakra guna mengusir hawa dingin.
Namun hawa dingin semakin menjadi. Bagas merasa kepalanya
sangat sakit. Pandangannya mulai nanar. Dia melihat seorang
perempuan muda menyambutnya. Dyah Gitarja. Pemuda itu ingin213
menyampaikan sesuatu, namun lidahnya terasa beku. Semua
terlihat berputar. Dan kemudian, dia melihat kegelapan. Kegelapan
yang pekat...
<>214
40 Igauan Pembuka Rahasia
SEPANJANG hari Dyah Gitarja gelisah. Dia tahu Bagas dan
Tumenggung Jattilan memerangi para pemberontak. Dia tahu kalau
pasukan yang setia pada Jayanagara sudah mempersiapkan segala
sesuatu. Namun dia tetap gelisah. Berbagai kemungkinan
bergelayut di benaknya. Apakah pasukan yang setia pada
Jayanagara bisa memenangkan pertempuran? Apakah Mada bisa
selamat? Hingga menjelang petang dia mendengar kabar adanya
keributan di keraton. Terjadi pertempuran sengit, kata sejumlah
orang. Dan kemudian terdengar keriuhan. Ada teriakan gembira.
Apakah itu artinya pasukan Jayanagara menang? Dia melihat
sejumlah masyarakat bergerombol, membicarakan apa yang baru
saja terjadi di keraton. Gadis itu menahan keinginan hatinya untuk
bergabung.
Dan dia kemudian melihat seorang pemuda menunggang kuda.
Mada. Ah, Mada ternyata selamat. Pemuda itu... Kegembiraannya
segera berganti kegundahan. Pemuda kekasihnya seperti tidak
sehat. Wajahnya pucat pasi. Pemuda itu memejamkan mata.
"Kakang, kau kenapakah? Kau baik-baik saja?"
Dia melihat pemuda itu membuka mata seakan ingin mengucap
sesuatu. Namun tidak. Tak ada sepatah katapun dari mulutnya.
Tubuh pemuda itu justru limbung.
"Kakang... ah kakang..." Dyah Gitarja mencoba memapah. Namun
tubuh pemuda itu terlalu berat. Tanpa tertahan mereka jatuh
berhimpitan di atas rerumputan.
"Kakang... Kau kenapa? Kakang, jawab kakang!!" Dengan susah
payah Dyah Gitarja menggeser tubuh pemuda itu dan dengan panik
mencoba membangunkannya. Namun pemuda itu tetap diam.
Membeku. Tubuh pemuda itu terasa dingin. Sangat dingin.
"Ah kakang, sadarlah kakang..." Gadis itu menepuk pipi,
menggoyang kepala, menggoyang pundak, namun pemuda itu tetap
membeku. Pingsan.215
"Oh Jagat Dewa Batara, apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu
memandang nanar. Sekitar mereka sepi. Para tetangga tidak
kelihatan. Dia harus mencari bantuan. Tapi siapa? Dan dia teringat.
Dengan cepat dia menaiki kuda yang tadi ditunggangi Bagas dan
memacu binatang itu secepat mungkin. Yang dituju adalah rumah
yang di depannya tumbuh pohon mangga. Ya. Dia tahu itu rumah
istri Mada. Dia, secara diam-diam mengikuti Mada ketika kekasihnya
itu berkunjung ke rumah istrinya. Dyah Gitarja hanya melihat dari
jauh, namun cukup tahu di mana perempuan itu tinggal. Seorang
perempuan cantik nampak sedang memetik kembang di halaman
ketika Dyah Gitarja tiba.
"Mada... Kau harus menolongnya..."
"Maaf?"
"Eh, maaf. Ini tentang.. eh, suamimu. Dia terluka, tak sadarkan diri.
Aku tak tahu harus ke mana. Jika kaka ayu tidak keberatan, sudilah
untuk ikut denganku..."
Perempuan itu, Dyah Uttari termenung sejenak, melihat wajah gadis
cantik itu yang pucat pasi. Melihat ketakutan dan kekhawatiran yang
terpancar jelas di wajahnya yang jelita. Dan dia kemudian mengenali
siapa gadis ini.
"Ah paduka, mohon maaf jika hamba bersikap tidak sopan,"
Dyah Uttari segera menyembah. Beberapa waktu lalu, dia pernah ke
keraton, dan melihat Dyah Gitarja. Dia tak bisa melupakan wajah
gadis itu yang memang sangat jelita. Memang, saat ini gadis yang
merupakan adik tiri Raja Majapahit mengenakan pakaian seperti
rakyat kebanyakan. Namun Dyah Uttari tetap bisa mengenali.
"Ah, kaka ayu, tak usah begitu," Dyah Gitarja cepat-cepat turun dari
kudanya.
"Ini soal, eh kakang Mada. Dia terluka. Mohon kaka ayu berkenan
menengoknya." Dyah Uttari mengangguk. Perempuan itu cerdas dan
bisa memperkirakan apa yang terjadi. Rupanya gadis ini menyamar
dan mendatangi Kotaraja secara diam-diam. Dan rupanya gadis itu
datang bersama pemuda itu, yang mengaku sebagai Mada. Kedua
perempuan cantik itu berboncengan menunggang kuda. "Ah,216
kelihatannya dia terluka dalam. Tubuhnya dingin sekali...." kata Dyah
Uttari begitu mereka tiba.
Bagas masih terbaring kaku, dengan mata tertutup dan tubuh yang
seperti membeku.
"Apakah... apakah kau kenal tabib di sekitar sini, kaka ayu?"
Dyah Uttari menggeleng.
"Ada tabib kenalan kami, namun dia tinggal di tempat yang jauh. Kita
bisa minta bantuan tabib istana, tapi mungkin juga tidak keburu. Tapi
tunggu, mungkin ada jalan. Aku pinjam sebentar kuda ini, adi ayu..."
Dengan cepat Dyah Uttari berlalu, dan tak lama kemudian kembali
sambil membawa sesuatu. Sebuah benda berwarna kecoklatan
sebesar ibu jari tangan. Potongan akar pohon.
"Suamiku, eh kakang Mada mendapatkan ini dari seseorang.
Katanya ini akar dari tanaman dewa yang sangat langka. Akar ini
konon bisa menyembuhkan semua penyakit, juga bisa meningkatkan
tenaga sakti seseorang. Kita bisa mencoba mengobatinya dengan
akar ini. Tapi sebelumnya kita mungkin perlu membawa kakang
Mada ke kamar..."
Dengan susah payah kedua perempuan itu memapah Bagas yang
masih tidak sadar ke kamar tidur. Dyah Uttari lalu meminjam pisau,
memotong seiris, menghancurkannya dan mencampur dengan air
dan madu.
"Kita harus meminumkan ini ke mulut kakang..."
Mereka meneteskan larutan itu ke mulut, memastikan bahwa pemuda
itu menelannya. Setelah menunggu beberapa saat, Dyah Uttari
kembali mengiris, menghancurkan, mencampur dengan air dan
meminumkannya.
"Kita tunggu saja. Semoga benar bahwa akar ini memang
berkhasiat," kata Dyah Uttari. Kedua perempuan itu saling pandang.
Dan untuk pertama kali keduanya merasa kikuk.
"Kau cantik sekali, kaka ayu. Kakang Mada benar ketika mengatakan217
istrinya itu perempuan tercantik di dunia..."
"Ah, dia mengatakan itu?" Dyah Uttari melirik ke arah Bagas, dan
kemudian ke arah Dyah Gitarja. Apakah gadis ini tidak tahu bahwa
lelaki itu, pemuda itu, sebenarnya bukan suaminya? Bahwa
suaminya yang asli, Mada sudah meninggal?
"Aku tak pernah menyangka kalau akhirnya bisa bertemu denganmu,
kaka ayu. Aku... aku minta maaf karena berani mencintai... eh
suamimu..."
"Tak perlu minta maaf, adi ayu. Dia, mmm... kakang Mada memang
lelaki yang hebat. Kau bukan perempuan pertama yang jatuh cinta
padanya..."
"Tapi... dia telah menikah. Aku mencintai lelaki yang sudah
menikah..." Suara Dyah Gitarja mengambang. Ada butiran air mata
di matanya yang bening.
"Jika suamiku juga mencintaimu, itu bisa dibicarakan. Seharusnya
tidak menjadi masalah..." Dyah Uttari dapat melihat besarnya cinta
kasih gadis itu pada Mada. Dan, seharusnya memang tidak menjadi
masalah karena lelaki itu bukan-apa-apanya.
"Benarkah? Kaka ayu tidak keberatan?"
"Jika kakang Mada setuju, tentu aku setuju..."
"Mmm... Kaka ayu, boleh aku menanyakan sesuatu?"
"Silakan adi ayu..."
"Di mana kalian pertama kali bertemu?"
"Ahh... Ceritanya panjang adi ayu..."
Dyah Uttari berujar bingung. Apa yang harus dia ceritakan?
Perkenalannya dengan pemuda yang terbaring di tempat tidur ini
belum lama. Ataukah dia menceritakan pertemuannya dengan Mada
yang asli? Yang telah tewas?
"Kita punya banyak waktu, kaka ayu. Lagipula..." Ucapan Dyah
Gitarja terhenti ketika dia mendengar suara erangan. Dari Bagas.
Pemuda itu nampak gelisah.
"Ah, tangannya panas sekali," kata Dyah Gitarja yang memegang218
lengan kiri Bagas.
"Tapi tangan yang ini dingin. Sangat dingin..." Kata Dyah Uttari yang
memegang tangan kiri. Keduanya saling pandang. Bingung.
Bagaimana mungkin tangan yang satunya panas membara
sementara yang satunya lagi dingin? Kembali terdengar erangan.
Dan ucapan yang tidak terlalu jelas.
"Dia mengigau..." Mereka mencoba mendengarkan apa yang keluar
dari mulut lelaki itu.
"Ahhh... Ci... Ara. Tunggulah aku... Aku pulang... Ciara... aku cinta
padamu..."
Dyah Gitarja dan Dyah Uttari saling pandang dengan wajah penuh
tanya. Mereka sama sekali tak menduga kalau kata pertama yang
keluar dari mulut pemuda itu adalah nama perempuan. Nama yang
tidak mereka kenal. Siapa Ciara?
<>219
41 Kenapa Kita Menjadi Seperti Ini?
TUBUH dua perempuan itu menegang. Mereka memasang telinga.
Pemuda itu masih berceracau. Terkadang ucapannya jelas,
terkadang tidak.
"Ah Ciara... aku bertemu denganmu... Portal energi... Kau tapi bukan
kau... Linimasa... Ah Indonesia lenyap. Ah aku rindu padamu... Ah
Ciara..."
"Apa yang dia bicarakan?" Dyah Gitarja bertanya penasaran.
"Dan... dia... dia bilang rindu..."
"Dia hanya mengigau, adi ayu..."
"Duh, Dyah Gitarja, kau cantik, secantik bidadari... Ah aku
menginginkanmu dewiku... Tubuhmu indah..."
Bagas terus berceracau Wajah Dyah Gitarja kontan memerah. Lelaki
itu memuji-muji dirinya, padahal istrinya ada di situ!!
"Uttari... Dyah Uttari... Kau istri Mada... Kau istriku... Kau cantik
sekali... Tapi aku takut... Aku bukan dia... Dia bukan aku... Tapi aku
menginginkanmu..."
Kini giliran wajah Dyah Uttari yang memerah. Ternyata diam-diam
lelaki ini menginginkannya, pikir perempuan itu. Tapi dia ragu, karena
merasa bukan miliknya. Dan pemuda ini bilang cantik... Bagas?atau
Mada menurut kedua perempuan ini, terus bicara. Terkadang dia
bicara sambil mengeliat. Dia bicara tentang banyak hal, sebagian tak
mereka pahami. Dia bicara tentang mesin waktu, tentang portal
energi, tentang kerusakan sejarah. Tentang pertempuran. Tentang
Sorta yang tewas. Dan dia kembali menyebut-nyebut tentang Ciara.
Bagaimana dia merindukan gadis itu, merindukan ciumannya.
Bahwa dia tak sabar ingin bertemu. Bahwa dia cinta...
"Ahhh..." Dengan gusar Dyah Gitarja melepaskan lengan Bagas yang
sejak tadi digenggamnya.
"Dia... Dia merindukan gadis itu. Dan dia bilang ingin kembali.
Padahal... Padahal dia telah punya kaka ayu, telah memilikiku. Tapi
dia dia..."
"Kau sabarlah adi ayu," bujuk Dyah Uttari.220
"Kakang Mada sedang sakit. Dia mengigau..."
"Tapi... tapi..."
"Tentang perempuan itu, nanti kita tanyakan jika kakang Mada sudah
sadar. Mungkin, perempuan itu dikenal kakang Mada sebelum
mengenal kita, dia kekasih kakang Mada sebelum menjadi
suamiku..."
"Tapi... dia bilang ingin kembali. Dia... Dia mau meninggalkan kita
kaka ayu..." Dyah Uttari menarik nafas panjang.
Dia teringat pembicaraannya dengan lelaki itu. Bahwa dia adalah
pengembara yang secara kebetulan bertemu dengan Mada, dan
kemudian diminta untuk berpura-pura menjadi Mada. Jika dia
memang pengembara, pasti lelaki itu akan kembali ke tempat
asalnya. Cepat atau lambat. Namun Dyah Uttari memilih untuk tidak
menceritakan hal itu kepada Dyah Gitarja.
"Kita tunggu saja hingga dia sadar, adi ayu. Tidak adil kita
menghakiminya ketika dia sedang seperti ini..."
"Ah... aku.. aku... Ah kau sungguh bijaksana, kaka ayu. Tak heran
kakang Mada memilihmu menjadi istrinya..."
Tapi aku bukan istrinya. Kalimat itu hampir saja meluncur dari mulut
Dyah Uttari, namun diurungkannya. Gadis ini tak mengetahui tentang
Mada palsu yang menyamar. Dan pasti ada alasannya kenapa
pemuda itu tak membuka rahasianya pada gadis ini, dan Dyah Uttari
memutuskan untuk tetap menjaganya sebagai rahasia. Malam itu,
kedua perempuan yang dipertemukan oleh nasib, berbicara dari hati
ke hati. Hingga mereka tertidur pulas.
KICAU BURUNG MEMBANGUNKAN Dyah Uttari. Dia rupanya
tertidur di tepi pembaringan. Dilihatnya Mada masih terlelap. Tubuh
pemuda itu tak lagi panas, atau dingin. Nafasnya juga sudah biasa.
Dia telah sembuh!! Perempuan itu berjalan ke belakang dan melihat
Dyah Gitarja yang sudah segar. Rupanya gadis itu baru saja mandi.
"Ada mata air di bawah sana jika kakak ayu ingin mandi," kata Dyah
Gitarja.
"Aku menyiapkan sarapan jika kakang Mada sudah sadar..." Dyah
Uttari baru saja selesai mandi ketika Mada muncul. Pemuda itu221
masih sedikit pucat. Namun dia tampak sehat. Pemuda itu terheranheran ketika melihat kehadiran Dyah Uttari di dapur. Dan dia
semakin heran ketika melihat dua perempuan itu menatapnya dingin.
Ada kemarahan yang terpancar jelas dari wajah kedua perempuan
cantik itu.
"Terima kasih karena kalian telah merawatku hingga sembuh. Aku
tak begitu ingat apa yang terjadi, namun samar aku tahu ada dua
bidadari yang merawatku. Ternyata dua bidadari itu... hei, ada apa?
Kalian baik-baik saja?"
Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagas bertanya heran melihat respon kedua perempuan itu yang
sama sekali tidak disangkanya.
"Siapa Ciara?"
Pertanyaan, yang lebih tepat berupa desisan itu diungkap Dyah
Gitarja. Pertanyaan pelan namun membuat Bagas seperti disengat
ular. Ciara? Bagaimana sampai Dyah Gitarja tahu soal Ciara?
"Ciara? Apa maksudmu nimas?"
"Huh tak perlu berpura-pura. Dasar buaya!! Kau pura-pura mencintai
kami berdua, namun diam-diam kau merindukannya. Merindukan
perempuan itu. Ciara. Dan kau akan kembali padanya dan
meninggalkan kami berdua!!"
Dyah Gitarja berujar berapi-api, membuat Bagas melongo.
"Mmm, kakang, semalam kau mengigau. Kau berbicara banyak hal
yang sebagian tidak kami pahami. Namun ada satu yang jelas-jelas
kami pahami. Tentang, eh, Ciara. Semalam aku bilang ke adi ayu,
Ciara itu mungkin kekasihmu di tempat asalmu sebelum kau
bertemu aku, bertemu kami..."
Dyah Uttari menjelaskan dengan lembut. Ah itu rupanya, pikir Bagas.
Dia mengigau. Dan dalam igauannya dia menyebut-nyebut soal
Ciara!!
"Eh itu, Ciara itu... nimas ayu Dyah Uttari benar. Dia perempuan yang
dekat denganku sebelum... eh, sebelum kita bertemu..."222
"Dan kau akan kembali padanya dan meninggalkan kami?" Dyah
Gitarja bertanya ketus. Matanya memancarkan api yang seakan mau
membakar Bagas hidup-hidup.
"Adi ayu, bersabarlah. Kakang baru saja sembuh. Kita sarapan dulu
baru bicara..." Dengan lembut Dyah Uttari menyentuh pundak Dyah
Gitarja. Gadis itu, dengan wajah cemberut, duduk.
Mereka makan nyaris tanpa bicara. Dyah Gitarja sama sekali tak sudi
menatap Bagas. Pemuda itu juga makan dengan kikuk. Ini situasi
yang sama sekali tak pernah dibayangkannya. Dia kini makan
semeja dengan perempuan yang menjadi istrinya, dan dengan gadis
yang selama ini juga menjadi istrinya dalam penyamaran. Mereka
baru saja selesai makan ketika terdengar bunyi suara di depan
rumah.
"Kelihatanya ada yang datang," kata Dyah Uttari.
"Eh, ada pasukan. Pasukan Majapahit!!"
Mereka bertiga bergegas ke depan. Dan ternyata benar. Ada
sepasukan bersenjata lengkap di depan. Semuanya menunggang
kuda. Mereka mengiringi sebuah kereta kerajaan. Pasukan ini
dipimpin oleh Tumenggung Jattilan.
"Ah paman Jattilan, kau juga selamat? Syukurlah. Ada apa paman?"
Dyah Gitarja maju dan menyapa dengan gembira. Tumenggung
Jattilan cepat-cepat turun dari kudanya dan... berlutut di depan Dyah
Gitarja, diikuti seluruh pasukan.
"Mohon beribu ampun, paduka puteri. Hamba baik-baik saja. Hamba
diperintahkan Yang Mulia Paduka Raja untuk membawa paduka
puteri ke keraton..."
"Ah paman, kenapa sampai berlutut segala? Itu tak perlu paman..."
"Mohon beribu ampun, paduka puteri," kata Jattilan, masih sambil
menunduk. "Pemberontakan sudah selesai, jadi paduka puteri tak
perlu menyamar. Paduka kini kembali menjadi Rani Kahuripan, Bhre
Kahuripan Dyah Gitarja, adik dari Yang Mulia Raja..."223
"Ahhh... Jadi begitu rupanya. Kalau begitu, aduhhh, kaka ayu, kakang
Mada, kenapa kalian juga ikut berlutut?"
"Mohon beribu ampun jika selama ini kami berlaku tidak hormat
kepada paduka puteri," ujar Dyah Uttari.
"Mohon beribu ampun atas kelancangan hamba selama ini," tambah
Bagas.
Dyah Gitarja memejamkan mata. Lama. Dan akhirnya dia
menengadah. Keagungan khas keraton yang selama ini hilang, kini
muncul kembali. Seorang prajurit, dengan laku dodok, maju sambil
membawa sebuah nampan besar yang terbuat dari rotan..
"Mohon ampun, ini pakaian kebesaran untuk paduka puteri. Harap
dikenakan sebelum kita kembali ke keraton..."
Dyah Gitarja menatap nampan rotan itu. Ada sarung dan kain khas
kerajaan, beraneka kalung, mahkota, gelang dan cincin.
"Bawa ke kamar..." katanya kepada si prajurit. Dia lalu menoleh ke
Dyah Uttari.
"Kaka ayu, tolong bantu aku..."
Kedua perempuan itu memasuki kamar. Tumenggung Jattilan, para
prajurit berserta Bagas masih berlutut. Tak berapa lama, Dyah Uttari
muncul dan mendekati Bagas.
"Kakang, paduka puteri ingin bertemu denganmu..."
Bagas berjalan dengan laku dodok, mengetuk pintu dan masuk,
masih dengan berlutut.
"Astaga kakang, kenapa kau menjadi seperti ini?"
Dyah Gitarja menutup pintu.
"Bangkitlah kakang..." Bagas tetap menyembah.
"Mohon beribu ampun, paduka puteri. Hamba Mada, anggota
Bhayangkara dan paduka puteri adalah Rani Kahuripan, adik Yang
Mulia Raja. Sejak saat ini hamba bukan lagi kakang, dan paduka
bukan lagi nimas. Mohon ampun, paduka puteri..."224
Dyah Gitarja terdiam. Dan dia memejamkan mata. Butir air mata
terlihat di ujung matanya.
"Jadi begitu saja, kakang? Bagimu ini semua sudah berakhir?
Setelah apa yang kita lalui bersama?"
Gadis itu mendesis. Suaranya seperti tercekik.
"Mohon ampun, paduka puteri, pengalaman dengan paduka selama
ini merupakan yang terindah dalam hidup hamba. Seumur hidup
hamba tak akan melupakannya. Namun semua sudah berubah
sekarang, paduka. Apa yang telah terjadi tak boleh terjadi lagi..."
"Kenapa tidak?"
"Mohon beribu ampun paduka puteri..."
"Kakang Mada..."
"Mohon ampun paduka, tak pantas paduka memanggilku kakang..."
Kembali Dyah Gitarja memejamkan mata. Dan kemudian wajahnya
mengeras. Dia menatap Bagas.
"Aku Rani Kahuripan, memerintahkan kau untuk berdiri, Senopati
Mada..."
Dengan patuh Bagas berdiri.
"Tatap aku..."
"Hamba tidak..."
"Tatap aku. Kau berani membantah?"
Bagas menatap gadis itu. Gadis itu terlihat cantik sekali dengan
busana dan ornamen kerajaan. Namun wajah yang cantik itu kini
terlihat seperti kembang yang tak disirami air.
"Kenapa kita menjadi seperti ini kakang?"
Suara gadis itu tersendat, lirih, lebih berupa bisikan yang menyayat.
Bagas merasa hatinya teriris. Dia dapat merasakan kepahitan dan
rasa sakit dari suara gadis itu.225
"Keadaan yang memaksa kita menjadi seperti ini... nimas..."
Mendengar kata "nimas", Dyah Gitarja segera menubruk dan
memeluk Bagas erat-erat.
"Ah kakang... kakang..."
Mereka berpelukan. Erat. Bagas dapat merasakan air mata gadis itu
yang menetes di dadanya. Dia dapat merasakan tubuh gadis itu yang
terisak.
Perlahan Bagas membelai rambut gadis itu. Membelai pipinya,
membersihkan air mata yang menetes.
"Aku mungkin akan dihukum mati karena melakukan ini, tapi..."
Dan dengan lembut dia mencium bibir gadis itu. Bagas merasa
tubuh gadis itu mengejang. Tersentak. Gadis itu balas mencium, di
antara isak dan tangis.
"Cukup nimas, cukup..."
Bagas dapat merasakan gadis itu mulai terengah.
"Tapi kakang..."
"Cukup nimas, kecuali jika kau ingin membahayakan nyawaku,
nyawa nimas Dyah Uttari, juga nyawa paman Jattilan. Kita akan
dihukum mati Paduka Raja jika ada yang tahu soal ini..."
Dengan enggan Dyah Gitarja melepaskan pelukannya.
"Jadi kapan?"
"Kapan apa nimas?"
"Kapan kau akan pergi?"
Ah itu. Selama ini dia tak memikirkan soal itu. Dia akan pergi. Dia
harus pergi. Kembali ke masanya. Dia teringat ucapan Profesor
Dananjaya. Dia punya tambahan waktu dua belas hari di Majapahit
sebelum portal energi bisa dibuka. Sekarang hari ketiga.226
"Mungkin sembilan hari lagi, nimas..."
"Ah secepat itu?" Bagas mengangguk.
"Tapi kau... Kau akan kembali bukan?"
"Tentu aku akan kembali. Aku pasti kembali..." Dan kemudian sunyi.
Dyah Gitarja melirik Bagas. Banyak hal yang ingin diutarakan.
Namun dia tahu, semua kini tak ada artinya.
"Jika sempat, jika memungkinkan, aku akan senang jika kakang
bersedia mampir di keraton Kahuripan sebelum pergi..."
"Aku tak berjanji, namun akan diusahakan, nimas..."
"Selamat tinggal kakang..."
"Selamat jalan nimas..."
<>227
42 Hidup Dalam Dua Dunia
BERAGAM perasaan berkecamuk di dada Ciara. Perasaan gugup,
senang, gembira, gelisah, marah dan cemburu. Sejak kemarin, dia
dan Profesor Dananjaya dilanda kegelisahan hebat ketika
mengetahui kalau Bagas akan bertempur. Memang, karena Bagas
kini menjadi Mada, maka menurut sejarah dia tak akan mati.
Seharusnya dia tak akan mati. Dia tak boleh mati. Namun
pertempuran tetap saja pertempuran. Apalagi pertempuran yang
melibatkan tokoh sakti, dengan kemampuan yang hanya bisa mereka
saksikan di film-film.
Seperti hari-hari sebelumnya, mereka memonitor pergerakan Bagas
melalui komunikator. Mereka merasa seperti sedang mengikuti live
event yang disiarkan melalui radio. Bedanya, dalam ?siaran? yang
mereka pantau, tak ada narasi yang menggambarkan apa yang
terjadi. Jadi mereka hanya bisa mengira-ngira. Apalagi, terkadang
ucapan tidak terlalu jelas, atau diucapkan terlalu cepat sehingga
luput dari pantauan. Mereka tahu bahwa pasukan yang setia pada
Jayanagara berhasil menangkap Ra Kuti dan kawan-kawan yang
merupakan pimpinan pemberontak. Mereka tahu bahwa Bagas
terlibat pertarungan hidup dan mati, dan dia terluka parah. Dengan
hati penuh gelisah, Ciara mendengar bahwa Bagas diobati.
Dan dia kemudian mendengar igauan Bagas.
"Ahhh... Ci... Ara. Tunggulah aku... Aku pulang... Ciara... aku cinta
padamu..."
Kalimat itu membuat Ciara tertegun. Jantungnya berdebar. Ketika
mengigau, kata pertama yang diucapkan pemuda itu adalah
namanya. Bagas bilang akan pulang. Dan dia bilang cinta!!
Perasaan hangat di dada bercampur dengan cemburu yang
membuat kepalanya terasa pening. Ciara cemburu karena
mendengar ada gadis lain yang cemburu ketika namanya disebut.
Ya. Dyah Gitarja, adik Raja Majapahit itu cemburu padanya. Dan
Ciara juga cemburu pada gadis itu. Apalagi ketika Ciara mendengar
bagaimana Bagas memuji-muji Dyah Gitarja. Memuji kecantikannya.
Tak hanya itu. Bagas juga memuji-muji Dyah Uttari. Bahwa Bagas
menginginkan perempuan itu. Apalagi ketika samar dia mendengar
percakapan antara Dyah Gitarja dan Dyah Uttari, bahwa Dyah Uttari228
tak keberatan jika ?suaminya? bersanding dengan Dyah Gitarja!!
"Bagas kini berada di dunia dengan budaya yang berbeda dengan
kita nduk,"
Profesor Dananjaya berujar pelan ketika melihat puterinya gelisah.
Mereka berada di ruang kerja yang disulap Profesor Dananjaya
menjadi laboratorium sekaligus ruang pemantau.
"Di masa itu, wajar seorang lelaki punya istri lebih dari satu. Ada isteri
utama dan ada selir. Apalagi untuk ukuran seorang seperti nak
Bagas yang akan menjadi sosok berpengaruh di Majapahit. Beda
dengan sekarang, di mana yang umum diterima masyarakat adalah
satu istri untuk satu suami..."
Melihat Ciara berdiam diri Profesor Dananjaya melanjutkan," Aku
bisa mengerti jika kau cemburu nduk. Dan itu bagus karena kata
orang, cemburu itu pertanda cinta. Artinya kau memang mencintai
Bagas. Namun kau juga harus memahami posisinya. Apa yang
terjadi itu bukan keinginannya. Situasi yang memungkinkan hal itu
terjadi..." "Aku tak hanya sekedar cemburu, ayah," kata Ciara.
"Namun aku marah. Aku marah membayangkan Bagas bermesraan
dengan perempuan lain. Tak hanya bermesraan, karena mereka
juga telah..." "Aku mengerti nduk," kata Dhananjaya. "Yang dilakoni
Bagas itu sesuatu yang tak bisa ditolak. Dia telah terlanjur setuju
untuk mengaku sebagai Mada. Dan ada konsekuensi yang harus
diterima dengan pengakuan itu. Antara lain, dia kini punya istri. Dyah
Uttari. Dan aku tak akan heran jika Bagas kelak akan bermesraan
dengan perempuan itu, karena sesuai hukum di Majapahit,
perempuan itu memang istrinya..." Dananjaya menekan beberapa
tombol dan mengamati kerlip lampu pada alat di depannya.
"Kau harus menyadari bahwa Bagas kini hidup dalam dua dunia.
Dunia masa lalu di mana dia menjadi Mada, dan masa kini ketika dia
menjadi Bagas. Kita tak bisa mencegah ketika Bagas melakukan
sesuatu di masa lalu. Yang bisa kita lakukan adalah di masa kini.
Jika dia kembali, apa yang akan kita lakukan. Itu yang penting..."
Ciara mengangguk. "Ayah benar. Aku sadar kalau perasaan cemburu
ini kekanak-kanakan. Tapi aku tak bisa menghilangkan perasaan
itu..." "Tak apa nduk. Asalkan kau tidak bertingkah laku kekanak-229
kanakan jika Bagas kembali nanti. Tak lama lagi. Tinggal sembilan
hari dan dia akan kembali...? Ciara mendesah. Sembilan hari. Itu
akan menjadi sembilan hari terpanjang dalam hidupnya.
<>230
43 Rakryan Patih Gajah Mada
BAGAS dan Dyah Uttari melangkah memasuki keraton. Sesaat
setelah menjemput Dyah Gitarja, Tumenggung Jattilan
menyampaikan undangan Raja Majapahit kepada Mada dan istrinya.
Bagas dan Dyah Uttari berjalan bersisian. Awalnya keduanya
nampak kikuk. Dyah Uttari bahkan berkali-kali sengaja memelankan
langkah supaya bisa berjalan di belakang Bagas. Namun pemuda itu
memaksa agar mereka berjalan bersisian.
"Kau istriku, bukan pelayanku. Kita berjalan bersama..."
"Siapa bilang aku istrimu?"
"Oh maaf, maksudku, kau istri Mada. Dan karena aku kini menjadi
Mada, kau, kita harus berpura-pura menjadi suami istri..."
Mereka memasuki bangunan yang disebut Witana, tempat para tamu
duduk menunggu giliran untuk dipanggil. Ada belasan orang di
ruangan itu. Seorang prajurit menyambut ketika Bagas dan Dyah
Uttari masuk.
"Mohon ampun, Senopati Mada. Tadi Paduka Raja berpesan, jika
Senopati Mada sudah tiba, langsung saja ke Grahanopama, tak perlu
menunggu di ruang Witana.."
Prajurit itu kemudian meminta Bagas dan Dyah Uttari mengikutinya.
Dua orang yang berpura-pura menjadi pasangan suami istri itu
terheran-heran. Kedatangan mereka rupanya sudah ditunggu,
sehingga Sang Raja memberi perintah khusus bahwa mereka tak
perlu menunggu giliran di ruang tunggu. Balairung Utama
Grahanopama, tempat Raja Jayanagara bersemayam nampak
Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semarak. Di sebelah kanan ada tarian yang dibawakan tujuh gadis.
Suara gamelan mengalun mengiringi para penari. Bagas tak bisa
melihat lebih jelas karena dia langsung berlutut.
"Ah, Senopati Mada. Senang bisa melihatmu lagi. Dan itu istrimu?
Wah dia cantik sekali..."
Nyaris serempak Bagas dan Dyah Uttari melakukan sembah.
"Jasamu besar sekali, Senopati Mada. Ingsun telah mendengar dan231
melihat apa saja yang kau lakukan guna memastikan Ingsun kembali
menduduki tahta. Kau berjasa, dan semua yang berjasa harus
mendapat imbalan..."
"Mohon ampun, paduka, hamba hanya menjalankan tugas sebagai
kawula Majapahit..."
"Tugas memang tugas, namun jasa tetaplah jasa. Kakanda
Adittyawarman, mohon dibacakan lagi siapa yang berjasa dan apa
imbalan yang akan kita berikan..."
"Daulat, Baginda yang perkasa. Seperti yang telah kita bicarakan,
ada beberapa posisi di kerajaan yang harus diisi.
Rakryan Mahamantri i Hino Dyah Sri Rangganata,
Rakryan Mahamantri i Sirikan Dyah Kameswara dan
Rakryan Mahamantri i Halu Dyah Wiswanata telah tewas. Untuk itu,
Tumenggung Anarjaya yang sebelumnya merupakan pimpinan
Bhayangkara diberi tugas baru menjadi Rakryan Mahamantri i Hino
dan akan disebut Dyah Sri Anarjaya.
Rakryan Mahamantri i Sirikan akan ditempati Tumenggung Jattilan,
dan Rakryan Mahamantri i Halu akan dipegang Tumenggung Pu
Tanga.
Kedua Tumenggung selanjutnya akan disebut Dyah Jattilan dan
Dyah Pu Tanga..."
Bagas yang sedang berlutut girang bukan main. Ternyata sosok yang
dikenalnya kini mendapat promosi. Seingatnya, posisi yang bakal
ditempati Anarjaya, Jattilan dan Pu Tanga itu sangat penting, dan
berada tepat di bawah Raja. Mereka mendapat perintah langsung
dari raja dan kemudian meneruskan kebijakan untuk dilaksanakan
bawahan. Pada sistim pemerintahan modern seperti di Indonesia,
posisi mereka mungkin sama dengan "Menteri Koordinator". "Untuk
menggantikan posisi Tumenggung Jattilan sebagai pemimpin
pasukan Danur Malagha adalah Senopati Bhagawan Buriswara, yang
akan menjadi Tumenggung Bhagawan Buriswara. Senopati Nala
Radikara akan disebut Tumenggung Nala Radikara ditugaskan
memimpin pasukan Payodha Praharana mengganti posisi
Tumenggung Pu Tanga.
Sementara Senopati Ra Kembar menjadi Tumenggung Ra Kembar232
memimpin pasukan Kundha Samarra.
"Senopati Mapanji Pamattu akan menjadi Tumenggung Mapanji
Pamattu, memimpin pasukan kawal raja Bhayangkara.
Senopati Mada ditugaskan menjadi Patih Kahuripan.
Keputusan ini akan ditahbiskan dalam prasasti Dumang..."
Bagas menyembah dan diam-diam dia terkejut. Dia menjadi Patih
Kahuripan!! Dia tahu, patih adalah pelaksana pemerintahan di
naghara, daerah yang menjadi bagian Majapahit. Patih merupakan
pembantu utama penguasa daerah. Dan dia tahu, yang menjadi
penguasa daerah di Kahuripan atau Bhre Kahuripan adalah Dyah
Gitarja. Dia akan menjadi pembantu utama Dyah Gitarja!!
Bagas tidak melihat Dyah Gitarja di ruangan ini. Apakah sang puteri
telah meninggalkan kotaraja dan menuju Kahuripan? Dan apakah
penunjukannya sebagai Patih Kahuripan itu murni putusan Raja
Jayanagara dan para penasehat, atau muncul karena usulan Dyah
Gitarja?
"Rakryan Patih Mada," terdengar suara Jayanagara, "Kau telah
memperlihatkan keberanian yang sangat besar, sebesar gajah. Mulai
saat ini, kau akan disebut Gajah Mada..."
Bagas kembali menghaturkan sembah. Ah, akhirnya. Akhirnya Mada
disapa dengan Gajah Mada!!
"Sebagai Rakryan Patih, kau akan diberi gedung untuk tempat tinggal.
Kediamanmu di Kahuripan akan diatur dan ditentukan oleh Bhre
Kahuripan. Di Kotaraja, kau juga akan diberi kediaman. Letaknya di
sebelah utara. Kau akan diberi sepasukan prajurit untuk berjaga. Kau
juga harus punya selir, eh maksud Ingsun, pelayan..."
Jayanagara kemudian bertepuk dua kali. Dua belas gadis yang
semuanya cantik datang setengah berlari, dan segera menghaturkan
sembah.
"Dua belas gadis ini merupakan penari istana. Mereka masih suci.
Pilihlah empat gadis untuk dijadikan pelayan, juga selirmu, Rakryan
Patih Gajah Mada, berdirilah dan pilihlah..."233
Bagas berdiri bingung. Anugerah yang diterimanya dari sang Raja
sungguh tak terduga. Selain mendapat ?promosi? dan ?rumah dinas?,
dia ternyata mendapat pelayan. Pelayan yang bisa dijadikan selir!!
Dan dia harus memilih empat dari dua belas gadis ini. Dia menatap
kedua belas gadis itu satu demi satu. Mereka masih muda, berusia
pada kisaran enam belas hingga delapan atau sembilan belas tahun.
Mereka semua berwajah cantik, berkulit bening dengan rambut
panjang mencapai pinggang. Mereka mengenakan kain yang sangat
tipis yang menutupi tubuh bagian atas. Kain yang tipis membuat
sepasang bukit kembar yang mekar mengacung membayang cukup
jelas. Bagaimana dia harus memilih?
"Kalian berdirilah supaya Patih Gajah Mada bisa memilih dengan
enak," kata Jayanagara. Sambil sedikit tersipu kedua belas gadis itu
berdiri.
Bagas menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia merasa seperti juri
ratu kecantikan yang harus memilih siapa yang menjadi finalis.
Bedanya, pada "kontes kecantikan" ini, yang terpilih akan menjadi
pelayannya. Bahkan menjadi selirnya!!
Diam-diam Bagas merasa tidak enak pada Dyah Uttari. Bagaimana
perasaan Dyah Uttari ketika mengetahui kalau "suaminya" mendapat
empat selir? Tapi ini kebijakan dan perintah Raja Majapahit.
Kebijakan yang tak boleh dibantah. Dia kembali menatap kedua
belas gadis muda itu. Jika menjadi pelayannya, itu harus dilakukan
dengan kerelaan, pikir Bagas. Tak boleh ada paksaan.
"Emm, jika menjadi pelayanku, kalian terpaksa meninggalkan istana.
Siapa yang sudi meninggalkan keraton, harap maju..."
Ada enam gadis yang maju. Enam sisanya rupanya enggan
meninggalkan keraton.
"Sebagai Patih Kahuripan, aku tak punya emas dan perak. Siapa
yang mau hidup susah denganku, silakan maju."
Ada empat gadis yang maju. Ini dia. Empat gadis yang rela
meninggalkan keraton, rela meninggalkan segala kemewahan, juga
melepaskan peluang menjadi selir Raja, yang tak segan hidup susah234
bersamanya.
"Siapa nama kalian?"
"Hamba bernama Sarunni..."
"Hamba dipangil Mayang..."
"Hamba Sasya..."
"Hamba Wulan..."
"Nama kalian indah. Kalian terpilih menjadi pelayanku. Semoga
kalian tak akan menyesal..."
"Bagus... Bagus," terdengar suara Raja Jayanagara. "Kau pergilah,
atur rumahmu yang baru. Kemudian secepatnya kau beserta istri
dan para pelayan pergi ke Kahuripan. Temui Bhre Kahuripan adinda
Dyah Gitarja. Dia yang akan menjelaskan apa tugasmu. Dia juga
yang akan memberikan rumah untuk kediamanmu..."
Bagas, yang kini resmi menjadi Rakryan Patih Gajah Mada
melakukan sembah yang dalam, dan minta diri.
<>235
44 Tenaga Sakti Inti Salju
RUMAH kediaman Patih Kahuripan di Kotaraja lumayan besar,
terbuat dari batu merah yang tinggi. Rumah itu memiliki enam kamar
yang luas. Di belakang rumah, ada pekarangan luas yang rupanya
dijadikan tempat berlatih poncakhara, ilmu bela diri. Kebetulan, pikir
Bagas. Sejak dirinya sembuh, Bagas merasa ada hawa aneh yang
berputar di dalam tubuhnya. Hawa aneh yang terkadang membuat
tubuhnya terasa dingin. Tempat berlatih itu dilengkapi patok kayu,
juga orang-orangan sebagai sasaran.
Bagas berdiri pada jarak sekitar lima meter dari orang-orangan yang
paling kanan. Dia mengambil nafas dan melakukan pukulan lurus.
Dia mengerahkan Eka Kalacakra. Hawa kemerahan terpancar dari
tangannya yang kontan membakar orang-orangan itu.
"Ahhh..."
Bagas kaget bulan main melihat hawa berapi terpancar dari
tangannya. Dengan gugup dia mengayunkan tangan kiri, mencoba
memadamkan nyala api yang mulai membakar.
"Wuusss...."
Serangkum hawa dingin keluar dari tangan kiri Bagas. Hawa dingin
keputihan yang menutupi nyala api. Terdengar desis diikuti asap
kehitaman. Api yang membakar orang-orangan padam seketika,
diganti butiran bening berwarna putih.
"Uh dingin sekali, apa itu yang warnanya putih?"
Dyah Uttari yang tadi meninjau di dapur ternyata sudah ada di situ.
Bagas mengamati dan terkejut.
"Ah... Itu... Itu es. Salju..."
Dia mengamati tangan kirinya. Tangan kirinya baru saja
memancarkan energi yang menjadi salju. Bagaimana mungkin?
"Apa itu, es? Apa itu salju?"236
Bagas menepuk dahinya. Tentu saja Dyah Uttari tak paham. Tak ada
penduduk Majapahit yang pernah melihat es, atau salju.
"Es itu butiran air yang mengeras karena terlalu dingin, nimas. Aku
tak menyangka kalau pukulanku bisa mengeluarkan hawa dingin
yang bisa membekukan air..."
"Ah, mungkin itu karena Akar Dewa yang digunakan untuk
mengobatimu, kakang. Ketika kau tak sadarkan diri, aku memberimu
irisan Akar Dewa. Akar itu diberikan seorang resi dari Hindustan
yang ditolong oleh kakang Mada. Menurut penuturan resi Hindustan
itu kepada Kakang Mada, Akar Dewa itu selain bisa menyembuhkan
berbagai jenis penyakit karena luka dalam, juga bisa meningkatkan
tenaga sakti setara puluhan tahun berlatih...."
"Oh begitu rupanya..." kata Bagas.
Dia teringat, ketika bertarung dengan Bisseka, lawannya itu
menyerang dengan tenaga sakti berhawa dingin. Pukulan dingin
kembali dia rasakan ketika dihajar Resi Surasidwa. Rupanya hawa
dingin itu mengendap di dalam tubuhnya, dan berkat Akar Dewa,
hawa dingin itu berubah menjadi tenaga sakti!!
"Kakang, aku bersama Sarunni dan Wulan akan ke rumah yang lama,
mengambil beberapa perabotan dan perlengkapan. Aku akan
mengajak beberapa prajurit untuk menemani. Aku sudah
memerintahkan kepada Mayang dan Sasya untuk memasak," kata
Dyah Uttari.
Bagas mengangguk.
"Baik nimas, aku mau berlatih dulu..."
Pemuda itu kembali berlatih. Dia mengayunkan tangan kanan
berhawa panas, dan tangan kiri berhawa dingin. Begitu seterusnya.
Jika dia memikirkan ?panas?, maka yang terpancar hawa panas.
Begitu juga sebaliknya. Dada Bagas berdebar karena girang. Dia
kini menguasai tenaga sakti panas dan juga dingin!! Dia teringat
pada cerita silat yang pernah dibacanya semasa remaja. Ada kisah
silat yang termasuk favoritnya, hasil karya empu cerita silat237
Indonesia, Asmaraman Sukowati Kho Ping Ho. Tentang seorang
pendekar bernama Suma Han dari Pulau Es, yang mewarisi ilmu
hawa dingin dan panas. Kedua ilmu itu, Swat-im Sin-ciang (Tenaga
Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-Ciang (Tenaga Sakti Inti Api)
kemudian menjadi ciri khas para pendekar dari Pulau Es. Kini, tak
disangka, dia menguasai tenaga sakti yang mirip dengan kisah fiksi
yang dibacanya dulu itu. Dia menguasai ilmu seperti yang dikuasai
Suma Han!! Kerennn!!
Dia terus berlatih dan berlatih. Ruangan tempat berlatih berubahubah suhunya. Terkadang panas membakar, terkadang dingin
menggigil. Sesekali muncul uap mendesis hasil pertemuan butir salju
dengan nyala api. Menjelang senja, keempat pelayannya muncul.
"Tuan, kami sudah menyiapkan tempat mandi untuk tuan."
"Oh kalian baik sekali. Terima kasih..."
Keempat gadis itu mengiringi ke tempat permandian. Di dekat dapur,
ada tong besar berukuran sekitar satu kali dua meter. Tong itu berisi
air jernih. Bagas melihat beraneka kembang di permukaan air.
"Jika tuan tak keberatan, kami akan senang sekali memandikan
tuan..."
Tanpa menanti jawaban keempat gadis itu membuka kain, satusatunya kain yang menutupi tubuh mereka.
Bagas terpaku. Di depannya berdiri empat gadis, masih muda, yang
kini tak mengenakan sehelai benangpun. Dia menelan ludah.
Kejantanannya bangkit. Perlahan Bagas membuka kainnya dan
masuk ke dalam ?baik mandi?.
Airnya hangat dan harum. "Kalian beristirahatlah dulu di kamar. Biar
kakang aku yang mandikan..." Terdengar suara bening. Dyah Uttari.
Keempat gadis dengan wajah kecewa segera berlalu. Dyah Uttari
berdiri di dekat pintu, menatap Bagas. Perlahan dia maju. Sambil
melangkah, dia membuka kain luarnya. Kemudian kain di bagian
dalam. Dia melepaskan kainnya sambil terus menatap Bagas. Dan
akhirnya, kain terakhir yang menutupi tubuhnya terlepas. Bagas238
terpana. Dia tahu kalau Dyah Uttari itu cantik. Dan punya tubuh yang
indah. Namun pemuda itu sama sekali tak pernah membayangkan
kalau dia akan melihat keindahan yang lebih mempesona ketika
perempuan itu tak mengenakan sesuatu. Dyah Uttari masih terus
menatap. Perlahan dia memasuki tong.
"Kau kini suamiku. Kau keberatan jika aku memandikanmu?"
Dyah Uttari berbisik.
Bagas menelan ludahnya. Tak sanggup berkata-kata. Dia
menggeleng, dan kemudian mengangguk. Perlahan Dyah Uttari
menyiramkan air ke tubuh Bagas. Menyiramkan air ke kepala
pemuda itu. Kemudian wajahnya. Perempuan itu menyiram sambil
membelai. Menyentuh. Dengan sentuhan yang membuat Bagas
meneggelinjang.
"Ahhh... nimas... tunggu..." Bagas teringat sesuatu. Dia mengetuk
komunikator di telinga kanannya dua kali.
"Kenapa kakang?"
"Ahhh... Tidak apa-apa nimas... uhhh..."
Dyah Uttari terus membelai dan membelai. Belaian yang membuat
dada Bagas berdesir. Belaian dan sentuhan yang membuat nafas
tertahan. Dan dalam satu sentakan, tubuh mereka menyatu. Air di
dalam tong beriak. Sebagian airnya tumpah. Namun Bagas dan
Dyah Uttari tak peduli. Mereka merenda asa, dalam hasrat yang
berujung pada erang penuh nikmat.
"Kakang, ahh, aku sudah lama tidak merasakan ini," Dyah Uttari
berbisik di sela nafas yang masih memburu.
"Kakang Mada dulu, dia jarang di rumah. Kalaupun di rumah, dia
lebih suka berlatih ponchakara..."
"Oh ya? Jadi kalian jarang melakukan itu? Padahal kalian baru saja
menikah bukan?"
"Iya kakang. Kami jarang. Sejak menikah mungkin hanya lima atau
enam kali.."
"Hah? Dengan istri secantik nimas? Ahh sayang sekali..."
"Tak apa, kakang, semuanya sudah berlalu. Sekarang aku sudah239
punya kakang Mada yang baru. Oh ya kakang, jangan lupa, sesudah
Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini, kakang harus menemui mereka..."
"Aku tahu nimas. Kau tak apa-apa?"
"Aku tak apa-apa, kakang. Jangan lupa, seperti kata Baginda
Jayanagara, mereka masih suci. Belum pernah disentuh. Perlakukan
mereka dengan lembut kakang..."
"Aku mengerti, nimas..."
Bagas membayangkan keempat selirnya. Empat gadis cantik yang
masih suci. Empat gadis yang dengan sukarela meninggalkan
kemewahan keraton dan mengikutinya. Dia harus melakukan yang
terbaik supaya mereka tidak kecewa. Ah, ini akan menjadi malam
yang panjang, pikir Bagas. Malam panjang yang sangat
menyenangkan...
<>240
45 Rembulan Dunia Sembilan Matahari
SIANG terik. Sang Surya tanpa malu-mau memancarkan sinarnya.
Kehangatan melingkupi Kotaraja Majapahit. Di salah satu sudut
Kotaraja, di bagian belakang sebuah gedung tinggi, kehangatan
sangat terasa. Kehangatan yang sesekali berganti dengan nuansa
dingin.
Di bagian belakang rumah itu, setiap hari selama tiga hari terakhir,
Bagas menghabiskan waktunya berlatih. Tanpa sengaja, dalam
tubuhnya kini terkandung tenaga sakti dingin, dan juga panas. Dia
berlatih bagaimana mengontrol hawa panas dan dingin itu, dan
bagaimana memadukannya dalam gerakan.
Setiap hari berlatih, Bagas?yang di Majapahit kini resmi bernama
Gajah Mada, sudah bisa menguasai hawa panas dan dingin. Dia kini
bisa mengeluarkan kapan saja diinginkan. Dan berkat Akar Dewa
yang diminumnya ketika terluka, tenaga saktinya kini meningkat
pesat. Dia tak tahu sudah sampai level berapa, namun dia menduga,
tenaga saktinya mungkin sudah pada tahap Tri Kalacakra (Tiga
Matahari) atau bahkan Catur Kalacakra (Empat Matahari).
Dengan tenaga sakti yang meningkat, Bagas juga berusaha
meningkatkan kecepatan gerak. Dia tahu, tenaga sakti jika
dikerahkan dengan tepat akan mampu membuat seseorang
bergerak ringan. Seringan kapas. Karena itu dia mencoba metode
bergerak baru yang disebutnya Hamang Linggana (Meringankan
Tubuh). Saat berlatih, dia berusaha bergerak cepat dari kanan ke kiri,
belakang ke depan, bahkan sesekali dia melompat tinggi. Selain
menekuni Hamang Linggana, Bagas juga berusaha menciptakan
"sejarah", setidaknya bagi dirinya sendiri. Yakni menciptakan ilmu
silat baru!!
Setelah berlatih berhari-hari, Bagas sadar kalau dia tak bisa
menggerakkan tangan dan kaki secara acak. Harus ada gerakan
khusus, yang melingkupi serangan dan pertahanan. Gerakan khusus
ini untuk mempermudah penyaluran tenaga sakti. Sebelum
terdampar di era Majapahit, Bagas pernah belajar silat aliran
Padepokan Rumah Kayu. Dia pernah belajar karate, dan terakhir
menekuni ilmu beladiri campuran. Setelah mempelajari tenaga sakti,241
dan setelah terlibat secara langsung dalam pertarungan hidup mati,
wawasannya terbuka. Dia kini punya pemahaman baru terkait
beladiri.
Karena itu, sejak kemarin dia coba merangkai satu ilmu beladiri baru
yang cocok untuknya, yang sesuai dengan pemahaman, juga tenaga
sakti yang ada di dalam tubuh. Ilmu ponchakara yang baru itu
disebutnya Sasadhara Mancapada Sasanga Kalacakra (Rembulan
Dunia Sembilan Matahari). Kata ?rembulan? merupakan personifikasi
dari tenaga sakti dingin yang ada di dalam tubuhnya, sementara
?Sasanga Kalacakra?, sebagai penghargaan atas Prana Sasanaga
Kalacakra yang disalurkan oleh Resi Suwung beberapa bulan
sebelumnya. Sasadhara Mancapada Sasanga Kalacakra terdiri atas
beragam rangkaian gerakan atau dalam mix martial art disebut
?kombinasi pukulan?.
Untuk memudahkan, dia memberi nama pada masing-masing
gerakan atau jurus itu.
Jurus pertama, disebutnya Sasadhara Manyulnya Kalacakra
Drawana (Rembulan Jatuh Mentari Luruh), berupa kombinasi jab
kanan, uppercut kiri, hook kanan dan tendangan kaki kanan.
Jurus kedua diberi nama Caracah Magelmellan Bayu Hameng
(Hujan Kegelapan Angin Anyir), berupa pukulan lurus kanan dan kiri
berganti- ganti sebanyak masing-masing tiga kali, disusul ayunan
siku tangan kanan dan sodokan tangan kiri.
Jurus ketiga, Pratistha Tiksna Bayu Girsa (Ledakan Panas Angin
Dingin), berupa tamparan dari kiri menggunakan tangan kanan,
pukulan lurus tangan kiri dan tendangan kaki kiri sebanyak dua kali.
Setiap gerakan menggunakan tenaga sakti panas dan dingin
berganti- ganti. Bagas berencana menciptakan sedikitnya dua belas
hingga delapan belas jurus, namun dia tak mau terburu-buru. Dia
mematangkan setiap jurus dan kemudian baru menekuni jurus
selanjutnya.
"Kakang, maaf mengganggu, ada yang ingin kusampaikan
kepadamu," Dyah Uttari tiba-tiba muncul di belakangnya.
Bagas menghentikan gerakannya dan menjemput kain yang
diangsurkan ?istrinya? dan menyeka keringatnya.242
"Ketika beres-beres di rumah, aku menemukan ini di antara pakaian
milik kakang Mada. Kelihatannya ini seperti kitab ilmu beladiri..."
Dyah Uttari mengangsurkan sebuah benda tipis berwarna
kekuningan. Bagas mengambil dan mengamati. Benda itu ternyata
kumpulan daun panjang yang dijahit. Pada masing-masing bagian
atas dari daun itu bertuliskan sesuatu. Daun ini tebal, dan rupanya
sengaja dibuat khusus sebagai wadah untuk menulis. Tulisan pada
daun itu kelihatannya berbahasa Jawa kuno, dengan huruf Pallawa.
"Nimas bisa membacanya?" tanya Bagas. Sekalipun paham bahasa
Jawa kuno namun Bagas sama sekali asing dengan huruf Pallawa.
"Aku bisa kakang. Kalimat ini berbunyi ?Brandang Kasamuna
Malisak Kahala? (Pedang Kesepian Mencari Kekalahan).
Kelihatannya ini semacam kitab ilmu pedang, kakang..."
"Wow hebat. Dan ini milik kakangmas Mada?" "Aku tak pernah
melihat kakang membacanya, tapi karena berada di antara
pakaiannya, pasti itu miliknya. Atau setidaknya dia mendapatkan dari
seseorang. Jika kakang mau, aku bisa menerjemahkan apa yang
tertulis di sini ke dalam bahasa Jawi," kata Dyah Uttari.
"Oh kau bisa? Wah aku akan senang sekali, nimas..."
"Baik, kakang. Ini tidak terlalu banyak. Kelihatannya berupa kidung.
Mungkin pelajaran ilmu pedangnya tersembunyi di antara kidungkidung. Nanti aku terjemahkan, kakang. Rasanya bisa selesai
sebelum kita berangkat menuju Kahuripan..."
Bagas mengangguk. Jika dia sudah menguasai ilmu beladiri tangan
kosong yang diciptakannya, bagus juga jika dia belajar ilmu
ponchakara menggunakan pedang. Sekalipun dia tak suka
membawa senjata, namun ilmu pedang bisa dimodifikasi menjadi
ilmu tongkat. Dia menarik nafas panjang. Kahuripan. Sebagaimana
titah Baginda Jayanagara, dia dan ?keluarganya? harus pindah ke
Kahuripan. Sebagai Patih Kahuripan, dia diharapkan berdomisili di
Kahuripan, menjalankan tugasnya sebagai pembantu utama Bhre
atau Rani Kahuripan, Dyah Gitarja. Kesempatan pindah ke
Kahuripan akan digunakan Bagas untuk... kembali ke era modern.
Waktu tambahan untuknya tinggal tujuh hari.243
"Maaf, kakangmas, tadi ada pengemis yang memberikan ini. Katanya
ini titipan dari seseorang..." Salah satu selirnya, Wulan, datang
membawa sesuatu yang dibungkus kain hitam.
Dyah Uttari mengambil bungkusan itu dan membukanya. Ternyata itu
papan berwarna hitam seukuran satu kali tiga jengkal. Ada tulisan
pada papan itu. Tulisan yang membuat wajah Dyah Uttari berubah
pucat.
"Ada apa nimas?" Bagas bertanya heran melihat perubahan wajah
?istrinya? itu.
Dyah Uttari tidak menjawab. Dia mengangsurkan papan itu ke Bagas.
Lengan perempuan itu bergetar. Bagas mengambil papan itu. Ada
tulisan dengan huruf dan bahasa Jawi. Tulisan itu berbunyi Hamu
Dhudhu Mada Swapa Hamu (Kau Bukan Mada Siapa Kau?)
Dada Bagas bergetar. Dengan cepat dia menoleh ke arah Wulan.
"Nimas Wulan, siapa, siapa yang memberikan ini?"
"Ada pengemis yang datang, kakang. Katanya dia dibayar dua keping
uang emas untuk memberikan bungkusan itu kepada Patih Gajah
Mada..."
Bagas menarik nafas panjang. "Baik, terimakasih, nimas Wulan."
Dia kembali menatap tulisan pada papan itu. Tak salah lagi. Ada
seseorang yang tahu kalau dia bukan Mada!!
"Ah, ada orang lain yang tahu kalau aku bukan Mada," desis Bagas
setelah Wulan pergi.
"Menurutmu siapa? Hanya beberapa orang yang tahu kalau kakang
bukan Mada bukan?"
"Iya nimas. Yang tahu, selain nimas, tinggal paman Anarjaya, paman
Jattilan dan kakang Mapanji Pamattu. Tapi mereka bisa dipercaya
Hmm... Apakah dia?"
"Dia siapa, kakang?"
"Mmm... ketika pertama kali bertemu, Mahapatih Arya Tadah sempat244
memperlihatkan wajah curiga. Tapi... aku yakin pengirim papan ini
bukan Mahapatih..."
"Kenapa kakang berpikiran seperti itu?"
"Karena jika Mahapatih curiga, dia tinggal memanggilku, dan
memanggil paman Anarjaya untuk mendapatkan keterangan.
Lagipula, aku yakin paman Arya Tadah tak punya kepentingan
apakah aku Mada atau bukan..."
"Berarti ada orang lain, kakang. Tapi siapa?"
Bagas menggeleng.
"Kita tak akan mungkin tahu, nimas. Kita tak pernah tahu siapa saja
yang pernah ditemui kakangmas Mada sebelum dia meninggal. Bisa
jadi, dia, atau mereka, itu kenalan kakangmas Mada sebelum dia
menjadi Bhayangkara, entahlah..."
"Siapapun yang mengirim papan ini, dia berilmu tinggi, kakang..."
"Bagaimana kau mengetahuinya nimas?"
"Coba kakang lihat ini. Ukiran huruf ini tidak dibuat oleh pahat.
Melainkan oleh jari tangan"
"Ah!!"
Bagas menatap papan hitam itu sekali lagi dan mengangguk.
"Pengamatanmu cermat sekali, nimas. Benar, ini diukir dengan jari
tangan. Padahal ini papan yang keras. Papan kayu besi!!"
"Benar kakang. Ini pesan bahwa siapapun dia yang tahu tentang
kakang, dia punya ilmu..."
"Iya nimas..."
"Karena itu berhati-hatilah, kakang. Aku pernah kehilangan seorang
Mada. Aku tak ingin kehilangan Mada yang lain..."
Bagas menatap perempuan itu. Wajah yang cantik itu terlihat
khawatir. Perlahan dia mengelus rambut perempuan yang kini
menjadi istrinya itu.
"Aku akan berhati-hati, nimas. Aku akan berlatih keras. Percayalah,
Mada yang sekarang itu berbeda dengan yang menjumpai nimas
beberapa pekan lalu..."245
Dyah Uttari mendekat, dan memberikan ciuman kilat ke bibir Bagas.
"Aku akan secepatnya menyelesaikan terjemahan kitabnya,
kakang...."
Bagas menatap Dyah Uttari yang berlalu. Kemudian menatap papan
hitam. Dia mendesah. Ada seseorang yang tahu rahasianya. Dia
menggeleng. Seharusnya dia tak perlu merasa heran ada orang lain
yang tahu kalau dia bukan Mada. Menggantikan seseorang itu tidak
mudah. Bahkan, secara teoritis, itu mustahil. Bahwa sejauh ini
semuanya cenderung aman, itu merupakan mujizat. Dan seharusnya
dia sudah bisa memperkirakan bahwa kelak akan ada yang
mengetahui kalau dia bukan Mada. Perlahan jari telunjuk Bagas
menelusuri ukiran pada kayu. Ukiran yang dibuat oleh seseorang
dengan jari tangan. Apa yang diinginkan orang itu?
<>246
46 Darah Melumuri Dunia Fana
ENAM orang itu berkuda dengan santai. Seorang lelaki dan lima
perempuan. Di belakang mereka nampak kereta kerajaan yang
diiringi dua belas prajurit. Yang beriringan itu bukan rombongan
biasa. Yang berkuda paling depan, seorang pemuda gagah dan
tampan. Di jaman modern di sebuah negara bernama Indonesia,
pemuda itu memiliki Kartu Tanda Penduduk dengan nama
Bagaskara Tirtawangsa, pekerjaan swasta. Di sebuah kerajaan
bernama Wilwatikta atau Majapahit, pemuda itu punya identitas lain.
Mada. Yang dalam beberapa hari terakhir mendapat jabatan baru,
Patih Kahuripan, juga nama baru. Rakryan Gajah Mada. Karena
Bagas berpura-pura menjadi Mada, yang telah meninggal, pemuda
itu ?terpaksa? punya ?istri?, Dyah Uttari, istri almarhum Mada yang asli.
Bukan hanya itu. Atas anugerah Raja Jayanagara, Bagas mendapat
?bonus? berupa empat selir cantik yang juga berfungsi sebagai
pelayan.
Siang itu, mereka dalam perjalanan menuju Kahuripan. Sebagai
Patih di Kahuripan, mau tak mau Bagas harus mendatangi tempat itu.
Mereka pun memilih melakoni perjalanan sambil menunggang kuda.
Sebuah kereta yang diberikan sebagai ?kendaraan dinas? untuk
Bagas dijadikan tempat menampung sejumlah perlengkapan.
Kahuripan kini di depan mata. Di kejauhan, nampak pemukiman.
Jalan yang tadinya sepi kini mulai ramai dengan penduduk yang
berlalu-lalang. Sejumlah penduduk menatap dengan penuh rasa
ingin tahu ketika Bagas dan rombongannya lewat.
"Kakang, ada seseorang di depan. Kelihatannya dia menghadang
kita," kata Dyah Uttari. Bagas mengangguk. Di depan, pada jarak
sekitar 15 tombak, berdiri seseorang di tengah jalan. Dia
mengenakan sebuah topeng berwarna putih tanpa mulut dan hidung.
Yang terlihat hanya mata. Topeng itu menimbulkan rasa seram pada
siapapun yang melihatnya.
Dua prajurit bergegas memacu kudanya mendekati si penghadang.
"Patih Kahuripan Rakryan Gajah Mada ingin lewat, mohon saudara
tidak menghalangi..." Si Topeng Putih mengangkat tangan kanannya.
"Ini urusan pribadi, sama sekali tak ada hubungannya dengan247
Majapahit, atau Kahuripan..."
Suaranya yang tertutup topeng terdengar aneh. Namun jelas dia
seorang laki-laki.
Bagas memberi isyarat kepada kedua prajurit untuk menyingkir.
"Mohon maaf, ada urusan pribadi apakah tuan dengan kami?"
"Hmh. Mulutmu manis. Apakah kau sudah menerima pesanku?
Pesan dalam kayu hitam?"
Bagas tertegun. Ah ternyata dia. Dia sosok misterius yang
mengirimkan kayu hitam itu. Dia sosok yang tahu kalau Bagas
bukanlah Mada!!
"Aku sudah menerima kayu hitam itu. Siapakah tuan?"
"Huh, jika kau benar-benar dia, kau akan tahu siapa aku. Karena dia
yang memberikan topeng ini. Tapi tentu saja kau tidak tahu, karena
kau bukan dia!!"
Nada bicara orang itu terdengar dingin. Dan sinis.
Di luar dugaan, Bagas maju dua langkah dan melakukan hormat
yang dalam.
"Terima kasih atas kebijaksanaan tuan..."
"Hah? Kau bicara apa?"
"Terima kasih atas kebijaksanaan tuan,"
Bagas berujar sekali lagi. Ungkapan Bagas bukan pernyataan
merendah dan basa-basi, namun muncul dari hati. Penghadangan
Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini terjadi di jalan raya dekat Kahuripan. Sejumlah masyarakat,
bersama keempat selir dan prajurit memandang penuh rasa ingin
tahu. Di kejauhan, nampak sepasukan prajurit yang datang dari
Kahuripan. Si Topeng Putih ini tahu kalau Bagas bukan Mada.
Namun lelaki itu tidak mengumbarnya. Dia bahkan tak pernah
mengucapkan nama Mada. Si Topeng Putih hanya menyebut Mada
sebagai ?dia?.
"Huh, aku menghadangmu bukan untuk bicara soal kebijaksanaan.
Aku datang untuk membunuhmu. Bersiaplah!!"248
Terdengar jerit kaget dari keempat selir. Sejumlah masyarakat juga
terdengar bergumam.
Bagas memberi isyarat kepada semua orang untuk menyingkir jauhjauh. Dia juga memberi isyarat kepada para prajurit untuk tidak ikut
campur.
Si Topeng Putih ini jelas bukan orang sembarangan. Lelaki itu telah
memamerkan kehebatan tenaga dalam melalui ukiran pada kayu
hitam. Dia jelas bukan lawan yang mudah. Namun Bagas tidak takut.
Selama beberapa hari terakhir dia menekuni ilmu beladiri yang
diciptakannya sendiri. Bagas belum tahu bagaimana efektivitas jurus
yang diciptakannya itu. Dan ini saat yang tepat untuk mengujinya. Si
Topeng Putih terlihat menggerakkan kedua tangan menyilang di
depan dada. Dia lalu mengangkat tangan kanan memutar di depan
wajah. Sementara tangan kiri digerakkan menyilang ke samping.
Dari kedua lengan nampak uap putih mengepul tipis. Sambil
membentak si Topeng Putih maju. Kedua lengan melakukan
gerakan meninju ke dada dan perut. Bagas menangkis pukulan
lawan dengan tamparan dari kiri menggunakan tangan kanan.
"Dukkk... Dukkk..."
Adu tenaga sakti terjadi. Tanpa menunggu, Bagas melanjutkan
dengan pukulan lurus tangan kiri dan tendangan kaki kiri sebanyak
dua kali.
Itulah Pratistha Tiksna Bayu Girsa (Ledakan Panas Angin Dingin),
jurus ketiga dari Sasadhara Mancapada Sasanga Kalacakra
(Rembulan Dunia Sembilan Matahari).
"Uhh hebat..."
Si Topeng Putih kaget karena pukulannya ditangkis. Dia bahkan
terpaksa melompat mundur oleh serangan lanjutan yang dilotarkan
Bagas.
"Tak banyak orang yang bisa mengalahkan Pamangga Banas
Mayakara (Siksaan Iblis Jahat) dalam satu jurus. Dan kau juga
menguasai Sasanga Kalacakra? Kau patut jadi lawanku. Sekarang
sambut ini, Banas Marapa Jarahan Nyamikan (Setan Lapar Berebut249
Makanan)!!"
Si Topeng Putih memekik nyaring dan tubuhnya kini berkelebat cepat.
Kedua tangan berayun bergantian, disusul sodokan dan tendangan.
Sungguh serangan yang sangat hebat.
Bagas tetap tenang dan percaya diri. Dia mundur dua langkah. Dia
mengerahkan tenaga dingin dan dia menyilangkan kedua tangan.
Serangkum hawa dingin terpancar dari kedua lengan Bagas.
"Uhh... Ilmu iblis apa itu..."
Topeng Putih terdorong mundur hingga lima langkah. Tubuhnya
menggigil. Dia lebih terkejut ketika melihat keringatnya berubah
menjadi butiran beku!! Dia cepat-cepat mengatur nafas dan
mengusir hawa dingin menusuk yang menyelubungi tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, dia merogoh sesuatu dari punggung.
Pedang.
"Untuk ilmu tangan kosong aku kalah. Mari kita lihat apakah kau bisa
memainkan senjata..." Si Topeng Putih kemudian mengangkat
pedang dengan tangan kanan ke atas kepala, menuding langit,
sementara lengan kiri diangkat lurus ke samping sejajar baru. Dia
kemudian menurunkan pedang, menuding lurus ke depan,
sementara lengan kiri kini diangkat lurus ke atas. Dia lalu membuat
gerakan menyabet pedang ke kanan, sementara lengan kiri
diletakkan di depan dada dalam posisi menyembah.
"Ah kakang..." Terdengar teriakan tertahan dari Dyah Uttari. Bagas
yang menyaksikan gerakan si Topeng Putih juga terkejut. Dia
mengenal gerakan itu. Apa yang dilakukan si Topeng Putih
merupakan gerakan pembukaan dari Brandang Kasamuna Malisak
Kahala (Pedang Kesepian Mencari Kekalahan), ilmu pedang pada
daun tebal yang ditemukan Dyah Uttari di antara pakaian Mada!!
Bagas dan Dyah Uttari mengenali gerakan itu karena itu yang
pertama mereka pahami setelah bersusah payah menafsirkan
kalimat berupa tembang pada daun itu. Dan kini, gerakan yang persis
sama dilakukan oleh si Topeng Putih.250
Bagas mendekati kudanya dan mengambil sebilah tongkat. Tongkat
ini yang dia gunakan sebagai pengganti pedang ketika berlatih.
Panjangnya sama dengan pedang, dan tentu saja tidak tajam.
"Huh, kau mau menghadapi pedangku dengan tongkat? Apa kau
serius?"
"Aku tak punya pedang," jawab Bagas.
"Yang aku bawa hanya keris, dan tentu saja tak cocok untuk
menghadapi pedang. Aku akan coba menghadapi pedang tuan
dengan ini..."
"Baik. Jika itu maumu. Pedangku tak punya mata. Jangan salahkan
jika jurusku, Rudhira Kirminis Pramudita (Darah Melumuri Dunia
Fana) melukaimu..."
Topeng Putih kembali membentak dan dia maju. Pedang digerakkan
memutar, menimbulkan energi aneh yang bergema. Bagas masih
berdiri tenang. Tongkat digenggam erat. Dia kini mengerahkan
Prana Sasanga Kalacakra guna melindungi tubuh. Dan dia menanti.
Dia belum sempat mempelajari ilmu pedang pada kitab dari daun
yang ditemukan Dyah Uttari secara menyeluruh. Dia baru
mempelajari satu dua jurus, itupun sambil mengira-ngira. Dia juga
belum pernah bertarung satu lawan satu dengan jagoan pedang. Ini
saat yang tepat baginya untuk belajar. Terutama mempelajari esensi
dari ilmu Brandang Kasamuna Malisak Kahala. Tentu, sambil
berusaha untuk tidak terbunuh.
Sambaran pedang si Topeng Putih seolah datang dari delapan
penjuru, dengan energi yang mengurung. Bagas mengerahkan
energi dingin dan membuat gerakan menebas. Dia melanjutkan
dengan melakukan gerakan menusuk ke arah tenggorokan lawan.
"Uhh..."
Energi dingin yang dilontarkan Bagas mampu menghancurkan hawa
pukulan lawan, dan di saat yang sama tongkatnya nyaris mengenai
tenggorokan lawan.
Topeng Putih berjumpalitan dan kembali menyerang. Gerakannya
sangat cepat, sesuai jurus Mangasuk Praba Malakya Widyatmaka
(Mengejar Cahaya Memburu Kilat).251
Bagas memilih posisi bertahan. Serangan lawan ditangkis atau
ditebas. Dia memang tak bisa mengikuti kecepatan gerakan pedang
lawan. Namun dengan gerakan menebas dan sesekali menyilang,
dia bisa mematahkan empat lima serangan lawan sekaligus!!
Tanpa terasa, sudah sepuluh jurus yang dilontarkan si Topeng Putih.
Dia mengurung Bagas yang hanya mampu bertahan. Bagas terdesak
hebat. Namun dengan tenaga sakti yang dikerahkan hingga seratus
persen kekuatan, tak satupun serangan lawan yang berhasil
menembus dan melukainya.
"Huh, untuk ilmu pedang kau payah," kata si Topeng Putih sambil
melompat mundur. "Ilmu Pedang Kesepian Mencari Kekalahan
memang tak terkalahkan. Hari ini mataku terbuka," kata Bagas
sambil memberi hormat.
"Huh kau tau soal ilmu itu?" "Kami menemukannya beberapa hari
yang lalu, dan coba mempelajarinya," kata Bagas. "Banyak hal yang
tadinya tidak dipahami, namun mata kami terbuka sekarang. Terima
kasih karena tuan telah berkenan memberi pelajaran..."
Si Topeng Putih terdiam. Dia terlihat menarik nafas beberapa kali.
"Ini belum berakhir. Aku akan kembali, dan kita akan bertarung
mencari kekalahan," katanya. "Namun untuk saat ini, kau pantas
menjadi dia. Kau bahkan jauh lebih hebat darinya..."
Si Topeng Putih segera berbalik dan menoleh ke Dyah Uttari.
"Dia sering berbicara tentangmu, dan dia benar. Kau cantik," kata si
Topeng Putih. "Kau berhak mendapatkan kebahagiaan, nimas. Jaga
yang satu ini baik-baik. Aku mohon diri..."
"Maaf, siapakah tuan? Apakah kau teman dia?"
Dyah Uttari bertanya terbata.
"Aku seseorang dari masa lalu. Aku tidak mengerti kenapa, namun
aku mencoba memahami. Kalian melakukan sesuatu yang sangat
berbahaya. Ingat, yang tahu tentang dia bukan hanya aku. Ada
beberapa lagi. Berhati-hatilah dengan mereka. Aku mohon diri..."
Si Topeng Putih berlalu. Berkelebat. Bagas menatap si Topeng
Putih yang dengan cepat lenyap ditelan hutan. Dia melepaskan
tongkatnya. Jarinya terasa kesemutan karena menggenggam252
tongkat terlalu erat. Dia cepat-cepat mengatur nafasnya yang
terengah.
"Kau tidak apa-apa, kakang?"
"Aku baik-baik saja, nimas. Eh, apakah eh, dia tak pernah, eh bicara
tentang masa lalunya? Karena si Topeng Putih ini mengaku sebagai
seseorang dari masa lalu..."
Bagas memberi penekanan pada kata ?dia?, karena pemuda itu tak
mungkin mengucapkan kata ?Mada? di depan orang banyak. Dyah
Uttari menggeleng.
"Tidak kakang, Dia itu orang yang sangat tertutup. Dan, si Topeng
Hitam mengatakan ada beberapa lagi. Maksudnya apa?"
"Mungkin maksudnya, ada beberapa orang lagi yang tahu kalau aku,
eh bukan dia. Mungkin sebelum datang ke Majapahit, dia terlibat
dengan sesuatu. Atau menjadi anggota dari aliran tertentu, dan si
Topeng Putih salah satu dari temannya..."
"Ah, kau berhati-hatilah kakang..."
Bagas mengangguk dan segera naik ke kudanya. Seorang prajurit
Kahuripan maju dan menyembah.
"Mohon ampun, paduka Patih. Paduka ditunggu yang mulia Bhre
Kahuripan di keraton saat ini juga..."
Bagas mengangguk dan menatap Dyah Uttari. Kedatangan mereka
rupanya sudah diketahui. Dan Dyah Gitarja sudah menunggu!!
<>253
47 Yang Mulia Rani Kahuripan
KERATON Kahuripan nampak megah. Batu bata merah tersusun asri
dan kokoh. Prajurit nampak berjaga di berbagai posisi. Berbagai
ornamen lembut seperti sejumlah kembang berpadu dengan patung
dan perlengkapan perang yang digantung di dinding.
"Paduka berdua ditunggu Yang Mulia Rani Kahuripan di ruang
pribadi," kata seorang prajurit. Rani Kahuripan, Dyah Gitarja
memang telah menunggu. Dia tersenyum melihat kedatangan Bagas
dan Dyah Uttari.
"Patih Gajah Mada dan Dyah Uttari menghadap paduka," ujar Bagas
sambil berlutut dan menyembah.
"Duh kakang, kaka ayu, tak perlu seperti ini," kata Dyah Gitarja
sambil ikut berlutut di depan mereka. Dengan lembut dia memegang
tangan Bagas dan Dyah Uttari dan menarik mereka supaya berdiri.
"Di sini tak ada orang lain, jadi kakang dan kaka ayu tak perlu banyak
peradatan..."
"Terima kasih... pad... eh adi ayu..."
Dyah Gitarja kembali tersenyum dan merangkul Dyah Uttari.
"Aku senang bisa melihat kalian lagi..."
Perlahan dia melepaskan rangkulannya dan memandang Bagas.
Gadis itu rupanya menimbang-nimbang apakah akan memeluk
pemuda itu atau tidak. Dan akhirnya dia memutuskan untuk tidak.
"Aku senang sekali ketika mendengar kalau kakang Mada diangkat
kakanda Jayanagara menjadi Patih di Kahuripan. Ah, Dewata
sungguh bermurah hati..."
"Iya nimas, aku juga tidak menyangka. Tapi... kakang tidak
melihatmu di keraton setelah dijemput dari rumah..."
Wajah Dyah Gitarja seketika meredup.254
"Iya kakang, aku segera meninggalkan kotaraja. Ada perkataan dari
kakanda Jayanagara yang membuat aku tidak nyaman..."
"Oh, baginda mengatakan apa?"
"Kakanda bilang, dia berniat memperistri aku dan adinda Dyah
Wiyat... Dia... Dia pasti sudah gila. Dia kakak tiriku, ayah kami sama,
kami punya darah yang sama..."
Bagas terdiam. Dia tidak terlalu kaget mendengar hal itu. Dulu, di Gili
Wanadri Wuluh, hal itu pernah diungkap Ciara melalui komunikator.
"Apa yang akan nimas lakukan?"
"Aku... Aku tidak tahu kakang... Aku... Kakang tahu, aku tak akan
bisa menikah dengan lelaki lain..."
Gadis itu menghentikan ucapannya dan menatap Dyah Uttari. Dyah
Uttari berdehem.
"Mmm. Maaf adi ayu, tapi di manakah kami akan tinggal? Aku dan
para pelayan perlu beres-beres..."
"Oh, aduh, maaf kaka ayu. Rumah untuk Patih Kahuripan letaknya di
sebelah barat keraton ini. Persis di sebelahnya..."
"Kalau begitu, aku dan pelayan akan ke rumah dulu. Kakang Mada
biar di sini dulu untuk membicarakan, eh, tugas-tugasnya sebagai
patih. Kakang, kami menanti kakang sebelum makan malam..."
Dyah Uttari memberi hormat dan kemudian berjalan ke gerbang.
"Eh kaka ayu, tunggu..." Dyah Gitarja mengejar. "Kaka ayu... Kau...
Kau baik sekali. Terima kasih..."
Gadis itu tahu, Dyah Uttari sengaja pergi. Perempuan itu pergi untuk
memberi kesempatan kepada suaminya melampiaskan rindu dengan
gadis lain. Melampiaskan kerinduan yang selama beberapa hari
terakhir membuat Dyah Gitarja gelisah dan tak bisa tidur.
Dyah Uttari tersenyum dan perlahan membelai pipi gadis itu.
"Aku menganggap adi ayu sebagai adik kandungku sendiri. Adi ayu
tak perlu berterima kasih..."255
Dyah Gitarja menatap hingga Dyah Uttari tak kelihatan. Dia lalu
berbalik dan menatap Bagas.
"Kakang... Aku... Aku rindu..."
<>256
48 Barisan Kapal Perang
TIGA ekor kuda itu berderap mendaki bukit. Pemandangan di
sekeliling bukit sangat indah. Pepohonan menghijau, semak belukar
melambai seolah melagukan tembang selamat datang. Ketiga orang
yang menunggang kuda itu Bagas bersama Dyah Gitarja dan Dyah
Uttari. Mereka meninggalkan keraton Kahuripan dan mendaki
sebuah bukit yang letaknya di sebelah tenggara keraton.
"Sebenanya, apa yang ingin kita lihat, nimas?" Tanya Bagas.
Dyah Gitarja mendatangi kediaman mereka tak lama setelah sarapan.
Wajah gadis itu pucat. Kecemasan terbayang jelas di wajahnya yang
jelita. Gadis itu mengajak mereka berkuda dan mendaki bukit.
Namun tak mengatakan apa alasannya.
"Jika kita sudah sampai di puncak bukit, kakang akan tahu sendiri,"
kata Dyah Gitarja yang berkuda paling depan. Angin bertiup
membuat rambutnya tergerai. Bukit yang mereka datangi tidak
terlalu tinggi, namun cukup melelahkan jika berjalan kaki. Dengan
menunggang kuda, bukit itu terasa dekat. Mereka akhirnya tiba di
puncak bukit. Di kejauhan, nampak pepohonan. Beberapa
pemukiman termasuk Kahuripan juga terlihat. Di sebelah timur
terlihat pantai yang indah dengan air laut yang membiru.
"Tadi malam aku menerima laporan. Ada nelayan yang melihat dan
kemudian menyampaikan ke prajurit penjaga," kata gadis itu. Dia
kemudian mengambil sesuatu dari pelana kudanya. Sebuah benda
Gajahmada Rebirth Cinta Dua Dunia Karya Fary Sj Oroh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lonjong panjang. Dyah Gitarja meletakkan benda lonjong panjang itu
di depan matanya. Dia melihat ke arah laut lepas.
"Di sana, kakang, Coba kakang lihat," kata Dyah Gitarja sambil
memberikan benda lonjong itu.
Bagas mengambil dan mengamati. Sebuah teropong!! Teropong itu
berwarna kuning kehitaman dan kelihatannya masih baru.
"Dari mana nimas mendapatkan ini?"
"Aku membelinya dari saudagar asal Persia. Benda ini bisa
membantu kita melihat dari jauh..." Bagas mengangguk. Tentu saja257
dia tahu apa kegunaan benda ini, teropong ini. Bagas memasang
teropong di mata kanan dan menoleh ke arah yang ditunjuk Dyah
Gitarja. Samar Bagas melihat sederetan kapal laut. Bagas memutar
teropong untuk memperbesar area penglihatan. Deretan kapal laut
itu semakin jelas.
"Ah, ada kapal laut. Banyak sekali. Mungkin belasan?"
"Itu bukan kapal biasa kakang. Itu barisan kapal perang."
"Ah, benar juga. Kapal perang. Siapa mereka?"
"Aku tidak tahu kakang. Namun di dunia ini, hanya satu kerajaan
yang mampu mengirimkan kapal laut dalam jumlah besar!!"
"Pasukan Mongol!!"
Kali ini Dyah Uttari yang berdesis setelah dia melihat melalui
teropong yang diberikan Bagas.
"Di kapal paling depan, samar aku melihat bendera besar," lanjut
Dyah Uttari.
"Ada gambar naga pada bendera itu. Tak salah lagi. Itu kapal perang
kerajaan Mongol!!"
"Ah, aku tak tahu kalau Mongol pernah menyerang Majapahit setelah
serangan mereka gagal," kata Bagas.
"Kalau saja aku bisa mendapatkan informasi soal itu," katanya lagi.
Secara halus dia meminta informasi kepada Profesor Dananjaya
yang memantaunya melalui komunikator.
"Em, Bagas, soal Mongol, aku barusan cari di Google. Ada informasi
yang ditulis oleh seorang Italia bernama Odorico da Pordenone, atau
Odorico Mattiussi. Dia pernah mengunjungi Majapahit di era
pemerintahan Jayanagara dan mengabarkan kalau pasukan Mongol
memang kembali untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul
mundur oleh pihak Majapahit," terdengar suara Profesor Dananjaya.
"Informasi soal penyerangan Mongol memang baru bisa kita dapat
jika mereka sudah kelihatan, kakang. Karena Majapahit tak mungkin
punya telik sandi di Kerajaan Mongol," kata Dyah Gitarja yang
mengira ucapan Bagas ditujukan kepadanya.258
"Jadi Mongol akan menyerang Majapahit. Ini mengejutkan. Padahal
sebentar lagi aku akan pergi..."
"Kapan kau akan pergi kakang?" Dyah Gitarja bertanya pelan.
"Besok, nimas..."
"Tapi jika kau pergi, bagaimana dengan aku? Eh maksudku,
bagaimana jika kakanda Jayanagara memaksa untuk menikah
denganku? Aku lebih baik mati, kakang..."
Bagas terdiam. Dia tahu, kalimat "lebih baik mati" itu bukan ucapan
kosong. Dia pernah menyaksikan sendiri, bagaimana Dyah Gitarja
menghabisi nyawanya karena tidak sudi dinikahi Ra Kuti. Untunglah,
linimasa pada Dyah Gitarja yang tewas itu sudah diperbaiki. Namun
Bagas tahu, jika situasi seperti itu terjadi lagi, jika Jayanagara
memaksakan kehendaknya, Dyah Gitarja tak akan segan-segan
mengakhiri hidupnya.
"Selain soal adi ayu, ada juga masalah pasukan Mongol, kakang,"
kata Dyah Uttari. "Juga soal, eh, rekan si Topeng Putih. Aku bisa
memahami jika kau ingin pulang, kakang. Namun sebaiknya jangan
pergi terlalu lama. Kasihan adi ayu, juga kasihan Majapahit. Jika
Mongol menyerbu, Majapahit membutuhkan semua prajurit
terbaiknya, termasuk kakang..."
Bagas mendesah. Dia menatap laut lepas. Menatap laut biru, dengan
burung camar yang terbang memburu ikan. Dia memang sudah tak
sabar ingin pulang. Dia tak sabar ingin kembali merasakan
kehidupan modern. Namun pemuda itu tahu, dia harus kembali. Dia
harus kembali ke Majapahit, guna menjaga supaya alur sejarah tidak
berubah.
"Aku akan kembali secepatnya. Aku janji.."
<>259
49 Back to the Future
PERPISAHAN . Tak ada perpisahan yang menyenangkan. Yang ada
adalah rasa sakit. Dan air mata. Itu yang dirasakan Dyah Gitarja
dan Dyah Uttari. Mereka harus melepaskan Bagas yang akan
kembali ke tempat asalnya. Kepada kedua perempuan ini Bagas
hanya mengatakan kalau dia datang dari jauh. Dia menolak memberi
jawaban ketika kedua perempuan itu menebak-nebak dari mana
asalnya. "Apakah kakang berasal dari Galuh Pasundan? Tapi bukan.
Jika datang dari Pasundan, akan kelihatan dari logat dan cara bicara.
Kakang pasti bukan dari Galuh Pasundan," kata Dyah Uttari.
"Atau kakang dari Swarnadwipa? Tapi rasanya tidak. Kakang tidak
terlihat seperti orang Swarnadwipa," kata Dyah Gitarja. Mereka
kemudian menyebut sejumlah tempat. Bali? Tidak. Beruni? Tidak
juga. Apakah dari salah satu negara di mancanagara? Tidak juga.
Bagas sengaja tidak mau berterus terang dari mana asalnya, karena
toh penjelasannya tak akan dipahami. Pasti kedua perempuan itu
akan menganggapnya gila jika mengaku kalau dia datang dari masa
depan. Bahwa bagi dia, kedua perempuan itu, juga Majapahit, sudah
menjadi sejarah, yang kisahnya bisa dibaca di Wikipedia. Tidak.
Bagas menyimpan infromasi dari mana asalnya itu rapat-rapat. Dan,
seperti yang sudah diduga, ketika mengatakan kalau akan pulang ke
tempat asalnya, kedua perempuan itu menyikapinya dengan wajah
penuh luka.
"Kalau saja aku bisa pergi denganmu kakang, itu akan sangat
membahagiakan. Tapi aku tahu kakang pasti tidak mengijinkan," kata
Dyah Uttari sambil menundukkan kepala. "Maaf nimas, bukannya
aku tak suka mengajakmu, namun aku tidak bisa..."
"Aku mengerti kakang. Aku tak bisa pergi, karena di sana, ada,,, eh
siapa namanya? Ciara. Ciara. Kekasihmu itu pasti akan mengamuk
jika kau datang membawa seorang istri..."
Bagas terdiam. Sudah cukup lama dia tak mendengar suara gadis itu.
Sejak, ah sejak dia dan Dyah Gitarja ?melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan?, Ciara tak pernah lagi menyapanya.260
"Kakang pergi, nimas berdua yang manis. Kalian tak perlu
mengantarku..."
Tegas Bagas ketika melihat gelagat kalau kedua perempuan itu
berniat mengantarnya hingga ke perbatasan. Dia tak mau kedua
perempuan ini melihat portal energi, dia masuk dan lenyap.
"Berjanjilah kau akan kembali, kakang..."
"Aku berjanji, aku akan kembali..."
"Jangan terlalu lama, kakang. Jika kakang pergi terlalu lama, aku
mungkin sudah mati bunuh diri jika kakang datang lagi..."
"Ah jangan seperti itu nimas. Jangan bertindak bodoh. Kakang akan
kembali dan kita akan memikirkan jalan keluarnya..."
"Selamat jalan kakang..."
"Selamat jalan suamiku..."
"Selamat tinggal, nimas berdua..."
BAGAS MEMACU KUDANYA perlahan. Dia menoleh, Kedua
perempuan itu kini berpelukan sambil mengucurkan air mata. Ahhh...
Ketika dulu pertama kali menginjakkan kaki di Majapahit, Bagas
sama sekali tidak menyangka kalau kepulangannya ke masa depan
akan ditangisi. Ditangisi dua perempuan yang sama-sama cantik.
Ditangisi perempuan yang salah satunya bahkan akan menjadi ratu
Majapahit!! Tapi dia memang harus pergi. Setidaknya untuk
sementara. Dia beberapa kali menoleh ke belakang untuk
memastikan bahwa dia tidak diikuti.
Di hutan, Bagas turun dari kuda dan memutuskan untuk berjalan kaki.
Dia memeriksa gelang berwarna kuning di pergelangan tangan.
Profesor Dananjaya telah memberi koordinat di mana dia sebaiknya
membuka portal energi.
"Koordinat sangat penting supaya tidak menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan," kata Profesor Dananjaya kemarin ketika Bagas
sendirian.
"Bayangkan jika portal energi terbuka dan kau muncul di tengah mall.
Atau di pasar. Atau di tengah jalan raya yang dipadati mobil. Jadi
kami akan memberikan koordinat, dan kau mencocokkan dengan
gelang emas. Koordinat yang kami pilih itu letaknya di perkebunan di261
Sidoarjo..."
Bagas mengamati gelang kuningnya. Tak jauh lagi. Dia berbelok ke
kanan, menerobos semak belukar. Profesor Dananjaya telah berjanji
akan menjemputnya di koordinat yang telah ditentukan. Namun
profesor tidak mengatakan apakah Ciara akan ikut menjemputnya
atau tidak. Bagas juga tidak bertanya. Ah, ini dia. Ini koordinatnya.
Di sini, di masa depan, Profesor Dananjaya menunggunya. Mungkin
bersama Ciara. Bagas merasa jantungnya berdebar. Dia akan
kembali. Dia dulu pernah kembali, namun tidak di linimasanya. Kini
dia akan kembali ke linimasa yang dikenalnya. Dan akan bertemu
Ciara yang dikenalnya. Ciara yang memberi kecupan ringan, namun
sangat membekas beberapa pekan lalu.
Ah, Ciara... Wajah gadis itu terbayang. Senyumnya, matanya,
semua. Bagaimana kira-kira reaksi Ciara ketika melihatnya kembali?
Apakah gadis itu akan tersenyum? Apakah gembira? Ataukah marah?
Apakah gadis itu akan menamparnya? Atau memeluknya? Bagas
merasa degub di dadanya semakin kencang. Perlahan dia menekan
tombol berwarna merah, biru dan hijau sekaligus. Muncul portal
energi berwarna biru yang berputar. Bagas menatap sekeliling dan
masuk. Dia akan kembali ke masa depan. Seperti judul film, Back to
the Future Masa depan, aku datang. Ciara, aku kembali....
<>262
50 Mataram Kingdom, Linimasa yang Lain
"SUDAH ada perkembangan ayah?"
"Maaf Ciara, tapi tetap tak ada perkembangan."
"Tapi Bagas berhasil kembali ke masa lalu bukan? Ke Majapahit?"
"Dia memang kembali, Ciara. Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi..."
"Tapi ayah, jika Bagas berhasil memperbaiki distorsi sejarah, kenapa
kita masih ada? Bukankah seharusnya linimasa kita tak ada lagi
setelah Bagas kembali dan memperbaiki gangguan pada sejarah?"
"Itu yang menjadi pikiran ayah selama beberapa hari terakhir, Ciara.
Fakta bahwa kita masih eksis itu membuat ayah bingung. Juga sedih.
Jika kita masih ada, berarti Bagas gagal..."
"Atau telah terjadi tragedi lain yang tidak diketahui Bagas. Tragedi
yang memicu linimasa kita..." "Secara teoritis itu bisa saja, Ciara."
"Dan, menurut ayah, apakah ada kemungkinan Bagas akan datang
kembali? Datang ke linimasa kita?" Dengan sedih Profesor
Dananjaya menggeleng. "Maaf mengecewakanmu, gadisku. Namun
jika Bagas kembali, dia akan kembali ke linimasanya. Dia akan
kembali ke negara yang bernama Indonesia. Dia tak akan kembali
ke linimasa kita..."
"Tapi dia telah berjanji..."
"Dia berjanji akan kembali ke gadis yang bernama Ciara. Dan kita
berdua tahu, kau bukan satu-satunya gadis bernama Ciara. Ada
gadis lain, yang adalah dirimu, namun bukan dirimu. Ciara di
linimasa yang berbeda..."
"Ah, beruntung sekali Ciara di linimasa itu ayah..."
Profesor Dananajaya mendekat dan perlahan membelai rambut
putrinya.
"Sudah, kita makan dulu ya?"
"Aku tidak lapar, ayah. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu
sampai dia datang. Bukankah ini hari terakhir di mana dia bisa
membuka portal energi? Aku akan menunggu..."
Gadis itu menatap pintu. Berharap ada seseorang yang mengetuk.
Berharap Bagas akan mengetuk. Sekalipun dia tahu, Bagas tak akan263
pernah muncul. Pemuda yang mencuri hatinya mungkin tak akan
pernah datang lagi ke linimasa ini.
Selamanya...
<>264
51 Lautan Cinta Tak Bertepi
APAKAH Bagas akan bertemu dengan Ciara pada linimasanya?
Dan kenapa linimasa Ciara dan Profesor Dananjaya di Mataram
Kingdom masih eksis?
Bagaimana nasib Dyah Gitarja?
Apa yang akan terjadi ketika pasukan Mongol menyerbu Majapahit?
Apakah Dyah Uttari akan tetap menjadi istri Bagas yang berpura-pura
menjadi Mada?
Apa pula yang menimpa Sentanu dan Kartikasari?
Dan siapa si Topeng Putih?
Apakah masa lalu Mada yang asli akan memengaruhi kehidupan
Bagas?
Sampai kapan Bagas bisa menjaga rahasianya bahwa dia
sebenarnya hanya seseorang yang berpura-pura menjadi Mada?
Semua pertanyaan ini memerlukan penjelasan yang panjang.
Jawabannya akan dipaparkan dalam lanjutan kisah ini yang berjudul
"Gajah Mada Rebirth 2: Lautan Cinta Tak Bertepi" yang segera
diterbitkan.
Salam265
Tentang Penulis Penulis adalah pekerja media, blogger, penulis dan
ghostwriter. Kisah "Gajah Mada Rebirth: Cinta Dua Dunia" ini adalah
proyek eksperimental yang dibuat untuk menyalurkan kecintaan
penulis pada genre fiksi ilmiah, cerita silat dan roman sejarah. Kritik,
saran, pertanyaan dan masukan bisa disampaikan ke
writerpreneurind@gmail.com, faryoroh@gmail.com, atau di blog
www.writerpreneurindonesia.com, atau www.faryoroh.com
Konspirasi Langit Karya Unknown Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah Wiro Sableng 035 Telaga Emas Berdarah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama