Ceritasilat Novel Online

Dicabik Benci Dan Cinta 1

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T Bagian 1


Marga T.
DICABIK
BENCI DAN CINTA
Penerbxt PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2003
DICABIK BENCI DAN CINTA ]
Oleh Marga T
GM 401 98 777
26 Pcncrbut PT Gmmedla Pustaka Utama
Jl Palmerah Barat 33?37, Jakarta 10270
Gambar sampul oleh Dawd
Diterbltkan pertama kah oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota [KAP], Jakarta, Januar: 1998
Cetakan kedua Desember 1998
Cetakan ketiga November 1999
Cetakan keempat. Februan 2003
Perpustakaan Nasxonal Katalog Dalam Terbltan (KDT)
MARGA T
dicablk Benc: dan Cinta l/Marga T.? Jakarta'
Gmmcdla Pustaka Utama, 1998
400 hlm , 18 cm
ISBN 979 - 605 - 777 - 8.
1 Judul
813 Dicetak oleh Percetakan CV Duta Prima, Jakarta
151 dl 1uar tanggung jawab percetakan
Kata Pengantar
KISAH ini merupakan jawaban bagi mereka
yang beberapa tahun lalu pernah menanyakan
bagaimana nasib Karmila dan Siska selanjutnya. Ini adalah reuni dari seluruh tokoh yang
pernah muncul selama dua puluh tahun ini,
terjadi kira?kira 11 - 12. tahun setelah Karmila.
Tapi ini bukan buku sejarah, jadi kurun waktu
itu cuma relatif saja.
Karena banyaknya tokoh, dan semuanya
serba cantik serta ganteng, maka untuk sekadar Anda membayangkan mereka, sebagian
dari tokoh-tokoh itu saya katakan mirip
bintang-bintang film. Pernah kan kita melihat
seseorang, lalu kita bilang, "Aduh, mirip betul
dengan bintang film A yang sedang ngetop!"
Kenapa saya ambil bintang film? Sebab bila
saya katakan mirip teman dan sejawat saya,
perCuma saja, Anda kan tidak mengenal mereka.
Buku kesatu ini baru merupakan pemanas
an, pengenalan kembali dengan tokoh?tokoh
lama, jadi ceritanya belum banyak dan temponya masih agak lamban. Beberapa tokoh lama
tidak lagi diberi deskripsi mendetail, sebab
akan terlalu bertele-tele.
Mulai dengan buku kedua, ceritanya pasti
akan lebih seru. Semoga Anda tidak berhenti
di sini, tapi sabar menunggu kelanjutannya.
Terima kasih, sampai jumpa di buku kedua.
Prolog
"ADA apa, Pa?"
"Masuk!"
Pemuda berkemeja denim biru dengan sepatu kanvas putih merek Nike itu berusia permulaan tiga puluh,
bertubuh tegap ukuran L, tinggi sekitar seratus delapan puluh senti, wajahnya mirip salah seorang pengisi
iklan bir terkenal, rautnya tegas hampir persegi, dengan rahang kokoh dan bibir penuh yang mengatup rapat, kulitnya yang coklat bersinar mencerminkan kesehatan Hsik yang sempurna. Rambutnya yang sedikit
terjurai ke dahi disapunya dengan gerakan tak sabar
sementara tubuhnya dibantingnya ke atas kursi keras
di hadapan laki-laki beruban yang berkacamata dan
duduk dengan tangan terlipat di atas meja kerj a dengan
kursinya yang empuk, menunggu dia duduk dengan
tertib. Mata di balik kaca itu mengerut sejenak ketika
melihat pemuda itu menyilangkan kaki dan memegangi sebelah mata kakinya. Seakan rasa kurang senang
sang ayah tersalur padanya, pemuda itu menurunkan
kembali kakinya, mengatupkan kedua tangan meletakkannya di atas pangkuan, lalu menunggu apa yang
akan diucapkan oleh ayahnya
"Kau sudah tahu apa yang akan kukatakan padamu?"
Pemuda itu mengangkat bahu dengan acuh tak
acuh. Laki-laki tua itu menghela napas. "Rob, apa aku
pernah berbuat salah padamu? Kalau ya, tunjukkan di
mana salahku sebagai orangtua. Kau kelihatan begitu
kurang puas, coba bilang apa yang mesti kulakukan
buat menyenangkan hatimu. Kau kan tahu, sejak kau
masih kecil, aku selalu sayang padamu. Kenapa akhir-akhir ini kau kelihatan menj auhi aku, acuh tak acuh,
malah sedikit kurang ajar. Tempo-tempo kuajak bicara, kutanyai sesuatu, enggak kauladeni. Coba bilang,
di mana salahku? Tunjukkan apa salahku supaya bisa
kuperbaiki."
Robert mengangkat bahu sekali lagi, melipat tangannya di dada, lalu menaikkan alisnya. Tiga-lima detik berlalu. Ketika Robert tidak juga membuka mulut,
ayahnya, Pak Ponseka Balam, menarik napas pasrah,
menjulurkan kedua lengannya ke atas mej a, mengatupkan tangan dan memajukan kepalanya lebih ke depan
seakan khawatir suaranya nanti akan kurang terdengar.
"Robby Papa minta, umngkanlah niatmu buat mengawini Vanessa. Teman-ternan kuliahmu kan banyak,
masak enggak ada seorang juga yang bisa menarik hatimu?"
"Papa melarang?"
"Ya!"
"Alasannya?"
"Kalian kan bersaudara."
"Tapi enggak sedarah, kan, Pa?! Betul, kan?"
Pak Balam cuma menghela napas tanpa menyahut.
Robert yang kelihatan penasaran, kini melonjorkan
kedua tungkainya yang panjang dan menyilangkan
kedua kakinya sehingga sol sepatu karetnya yang te
bal itu kelihatan dari depan. Matanya yang hitam dan
bulat menatap ayahnya dengan tajam tanpa berkedip.
"Vanessa kan cuma anak tukang abu gosok, benar kan, Pa? Lantaran Papa menabrak mati bapaknya, Papa jadi kasihan sama dia, lantas membawanya
pulang. Saya masih ingat betul kejadian itu Vanessa
bani dua tahun umurnya. Sore itu Papa menggendongnya pulang. Mama kaget, melit bertanya, lalu masuk
kamar dan nangis. Vanessa ketakutan, juga ikut nangis.
Untung ada pengasuhnya. Papa menyerahkan Vanessa
padanya. Bi Ucih menggendong anak itu, membawanya ke belakang dan membujuknya sampai diam. Jadi
Vanessa sama saya enggak ada ikatan darah apa-apa,
kenapa nggak boleh kawin?"
Pak Balam menghela napas lagi. "Aku ingin tahu
apa alasanmu memilihnya? Jangan bilang lantaran dia
cantik! Korizia juga sama cantiknya! Dan kau juga
tahu, dia bukan adik kandungmu. Lalu teman-temanmu yang segudang itu, yang pernah kemari, Papa lihat
juga enggak ada kekurangannya. Jadi apa alasannya?"
"Apa alasannya papa kawin sama Mama?" balas
Robert tersenyum sumir. Yang ditanya tidak menjawab, bahkan menunduk dengan tangan terlipat seolah tengah berdoa semoga pertemuan ini lekas bubar.
"Saya rasa lantaran cinta, bukan?" Robby menalangi
jawab, masih tersenyum. "Nah, begitu juga saya sama
Vanessa."
"Jadi dia mencintaimu?" Pak Balam mengangkat
wajahnya.
"Kenapa enggak Papa tanyakan orangnya
langsung?" tantang Robby seraya menatap ke dalam
mata tua yang sudah mulai rabun, warnanya kelabu
kekuning-kuningan, kelopaknya sudah menggayut ke
bawah membuat mata itu kelihatan menyempit.
"Enggak ada alasan lain yang tersembunyi?"
"Misalnya?" Robert mengangkat alis, sikapnya
makin menantang, senyumnya sudah hilang. Wajahnya kini agak serius.
Ayahnya tidak segera menjawab, seakan menim?
bang-nimbang apakah akan diteruskannya atau tidak
tanya-jawab ini. Dengan kedua telapak tangan menekan pinggir meja, didorongnya kursi eksekutifnya, namun kemudian kursi beroda itu ditariknya kembali ke
depan. Di tatapnya pemuda itu dengan mantap. Bersamaan dengan helaan napas berat, ujarnya, "Misalnya,
lantaran kau ingin mendapatkan rumah ini, yang akan
diwarisi olehnya."
Robert ketawa gelak, namun kelihatan bukan dari
hati. Kepalanya terlontar sejenak kebelakang, tapi seperti mulainya yang mendadak, dengan mendadak pula
ketawa itu berhenti, diganti raut muka serius.
"Kenapa sih Papa pilih kasih begitu? Sayakan yang
sulung, sepantasnya dong saya yang mendapat rumah
ini?! Kenapa diberikan padanya? Kenapa saya sama
Korizia hampir enggak kebagian apa-apa? Cuma saham. Buat apa saham? Enggak bisa ditinggali, enggak
bisa segera dinikmati. Kalau perusahaannya bangkrut,
saham?saham itu cuma akan berupa kertaskertas tanpa
harga!"
"Jadi, kau mencuri baca surat-suratku!" tegur sang
ayah dengan nada kurang senang.
"Enggak sengaja kok. Kebetulan saj a saya masuk
ke kamar kerja ini. Salah Papa sendiri, kenapa surat
wasiat kok dibiarin ngegeletak, bukannya disimpan
10 dalam lemari besi di tembok sana!" Robert menunjuk ke arah lukisan besar yang tergantung di belakang
ayahnya. Lukisan itu menutupi safe kecil dalam tembok.
"Dan di sana bisa aman dari cengkeramanmu?"
sindir ayahnya membuat Robert sedikit tersipu, diin?
gatkan pada kenakalannya beberapa tahun yang lalu.
Dengan stetoskop milik Vanessa dia coba-coba membuka lemari kecil itu, meniru apa yang dilihatnya di
televisi, tapi sebelum berhasil, ayahnya sudah keburu
masuk dan mengusirnya keluar.
"Sudah, enggak usah mengeritik orangtua! Pen?
deknya, kau enggak boleh kawin dengan Vanessa! Kecuali, kau mau menandatangani surat perjanjian, enggak bakal mengangkangi harta warisannya."
"Aturan dari mana itu, Pa? Masak suami enggak
bisa kebagian harta istri? Kan harta suami juga harta
istri, masak sebaliknya enggak?"
"Jadi memang betul dugaanku! Kau mau kawin
cuma lantaran kepingin mmah ini!"
"Kalau ya, memangnya dosa, Pa? Saya mau tanya, kenapa sih Vanessa dikasi begitu banyak, sedang
saya sendiri cuma dikasi lebihlebihan saja. Selain rumah dan saham, disebutkan dia juga bakal dikasi surat-surat berharga. Kenapa sih Papa pilih kasih begitu?
Begini saja deh, kalau saya enggak boleh kawin sarna
Vanessa, saya minta rumah ini, gimana, Pa?"
Pak Balam tidak menjawab, tapi menatap terus tanpa berkedip sehingga Robert akhirnya sadar, ayahnya
sedang melamun, matanya redup menatap j auh menembus ke belakang kepalanya. Dengan tidaksabaran
Robert merenggutkan laki?laki tua itu dari lamunan?
11 nya dengan suaranya yang lantang, penuh penasaran,
"Kenapa sih Vanessa dikasi begitu banyak???! ! !"
Tersentak kaget, seketika itu Pak Balam kehilangan
kekang atas dirinya. Dia pun menjawab sekenanya,
tanpa dipoles kehalusan lagi. Dengan suara sama lantangnya dia membentak, "Lantaran Vanessa itu anak
KANDUNGKU, tahu! ! !"
Bagaikan didorong oleh angin topan, tubuh Robert
yang tadi agak condong ke depan, kini terhenyak ke
punggung kursi. Bibirnya yang kering tampak pucat.
Apa yang ditakutinya selama ini ternyata benar. Sudah
lama dia curiga bahwa sikap ayahnya yang lebih memperhatikan adik bungsunya itu pasti ada apa-apanya.
Bukan sekedar rasa berdosa karena telah menabrak
mati seorang penjual abu gosok yang sedang menyeberang j alan, seperti teori Korizia.
"Tapi secara hukum, Korizia dan saya juga sarna?sarna berhak atas rumah ini, bukan?"
"Hukum!" dengus Pak Balam dengan wajah kaku.
"Di rumahku, akulah yang menentukan hukumnya,
mengerti? Aku sudah memberimu dan Kori namaku!
Kau tahu, berapa harganya nama keluargaku? Nama
Balam tidak bisa dibeli, tahu! Tidak bisa dinilai!" La?
ki-laki itu tidak lagi bicara santai, semua kata-katanya
sekarang resmi seakan ditujukan pada bawahan yang
telah berbuat salah besar. "Dan itu sudah kuberikan
pada kalian secara cuma?cuma. Kalian harus menganggapnya sebagai anugerah, tahu! Apa jadinya bila
kalian tidak dibawa ke rumahku? Siapa yang akan memelihara dan memberi kalian nama? Nama yang begitu bersejarah! Yang tak dapat dibandingkan dengan
sebuah rumah, bagaimanapun megah dan indahnya ru?
12 mah itu. Apakah anugerah itu saja masih belum cukup
bagimu?
"Dengar, Robby! Balam bukan sembarang nama.
Itu berasal dari van der Vlaam. Dalam abad keenam
belas, Klaus van der Vlaam, anak kedua dari Johan
van der Vlaam di propinsi Brabant, Holland, pergi
berlayar sebab dia tidak senang jadi petani. Di Istanbul dia berhasil menjadi pegawai di istana Sultan Sulaiman. Dialah yang mengajari mereka cara membuat
keju dari susu kambing. Dia juga mengajarkan caracara navigasi di laut yang lebih canggih dari apa yang
diketahui pelaut setempat.
"Namanya jadi termasyhur dan Sultan berkenan
menerimanya dalam audiensi. Diamdiam ternyata
Prinses Yasmin, putri kesayangan Sultan, jatuh cinta
padanya. Dan Klaus juga mencintainya. Dia bersedia
mengubah namanya jadi Balam, tapi Sultan tak mengizinkan mereka menikah. Putri Yasmin nekat. Dia
melarikan diri bersama Klaus yang namanya sudah diganti menjadi Kalid, artinya kekal. Kalid Balam.
"Putri Yasmin membawa banyak harta perhiasan.
Mereka dikejar, tentu saja, tapi berhasil selamat berlayar sampai ke Goa di mana mereka menetap. Keturunan mereka banyak, sebagian tetap tinggal di sana,
sebagian lagi pulang ke Eropa, terpencar ke Holland,
Bulgaria, dan Bosnia.
"Nah, dalam abad kesembilan belas, F rans Balam,
salah seorang keturunan Kalid, menjadi serdadu Kompeni Belanda dan dikirim ke Jawa, akhirnya menetap
di sini. Dia adalah ayah kakekku. Jadi kaulihat, nama
keluarga Balam bukanlah nama sembarangan. Dan
kau serta Kori, diambil dari panti asuhan, diberi nama
13 itu, dimasukkan dalam silsilah keluarga, untuk itu saj a
kalian berdua sudah harus berterima kasih padaku.
Kenapa sekarang mau nuntut yang bukan-bukan?"
"Tapi rumah ini kan kayak istana luasnya, Pa. Kamar
tidurnya di atas ada dua belas. Ruangan di bawah ada
dua puluh lebih. Kalau dibagi dua juga masih lebih besar dari rumahrumah biasa. Kenapa enggak dipenggal
saja, Pa. Buat Vanessa dan buat saya, jadi Papa bisa
tenang, saya enggak akan mengganggu Vanessa."
Pak Balam mendengus. "Huh! Kaukira urusan
bisa dibereskan segampang itu? Lantas Kori mau
dikasi apa? Dia juga pasti nuntut. Selain itu ada pesan turun?temurun dalam keluarga Balam, rumah ini
pamali kalau sampai jatuh ke tangan bukan keturunan
Balam. Aku tidak berani melanggar pesan itu. Pernah
terjadi, kakekku menjual rumah ini. Tak lama kemudian istrinya meninggal, jatuh ke dalam jurang di atas
sana dekat Puncak Pas. Lalu dua anak mereka tenggelam di Zandvoort waktu liburan ke Batavia Satu
lagi anak perempuan yang sekolah indekos di Susteran Ursulin, jatuh dari trap yang paling tinggi waktu
sedang olahraga memanjat tangga di tembok. Otaknya memar, meninggal di rumah sakit. Akhirnya yang
tinggal cuma anak sulung, ayahku. Kakekku akhirnya
insaf, dan membeli kembali rumah ini. Sebagai penebus dosa, dia memperluas bangunannya, menambah
ruangan dan kemudian ayahku membikin loteng.
"Nah, kaukira apa sebabnya aku terus di sini? Kan
lebih praktis kalau aku tinggal di J akarta saj a, dekat ke
kantor dan pabrik. Sebabnya yaitu ayahku sudah pesan wanti-wanti, rumah ini harus selalu ditinggali oleh
anakcucu Balam, tak boleh orang luar."
14 Robert menunduk. Orang luar! Pedih hatiku
mendengarnya. Jadi sudah tinggal di sini tiga puluh
tahun, sudah manggil "Papa 'ribuan kali, masih tetap


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dianggap 'orang luar '! .
"Karena itu bagiku penting sekali punya keturunan, bukan karena semata-mata ego buat menunjukkan
diriku laki-laki tulen, tapi karena pesan itulah. Ibumu?Mama?tidak bisa mengerti. Dikiranya asal ada
anak, hatiku sudah puas. Jadi sonder berunding lagi
denganku, dibawanya kau dan Kori ke sini!" Pak Balam menghela napas lagi.
"Kalau begitu, siapa ayah saya?" Robert penasaran.
"Mana aku tahu! Seharusnya kautanyakan ibumu
sebelum dia mati!" Pak Balam mendecak, membuka
kedua tangannya yang terlipat, mengarahkannya ke
samping dengan sikap tak peduli. "Tapi kurasa dia
juga tidak tahu! Sebab kau toh cuma diambil dari panti
asuhan. Aku malah tidak tahu, panti asuhan mana."
Robert terpukul untuk kedua kalinya. Dadanya
mendadak terasa sesak. Kepalanya berdenyut nyeri
terutama di pelipis. Dia bangkit dari kursi dan berdiri
di depan meja. Kedua tangannya diletakkannya di atas
meja, kepalanya condong ke depan. Ditatapnya ayahnya, seakan mohon orang tua itu menarik kembali apa
yang barusan dikatakannya.
"Apa yang Papa bilang?"
"Buat apa kuulangi? Kau kan punya kuping?"
"Jadi saya enggak salah dengar?"
"Kupingmu masih bagus, bukan?"
"Jadi Papa bukan ayah saya, Mama bukan ibu
saya lantas saya ini anak siapa?"
"Ya, anak orang," ejek Pak Balam. "Cuma sudah
15 dibuang!"
Uh, kupingnya berdenging sakit mendengar kalimat itu, tapi lebih sakit lagi hatinya. Di buang! Tidak!
Itu bohong!
Pikirannya terganggu oleh suara keras ayahnya,
bagaikan senapan mesin yang terus menderedet mau
membunuhnya. "Pendeknya kau tidak boleh kawin
dengan anakku!"
"Lantaran asal-usul saya gelap?"
"Salah satu alasannya, ya!"
"Kan darah kami beda, enggak bakal menyebabkan
penyakit keturunan, Pa. Seandainya salah seorang punya bibitnya."
"Bagi orang luar, kalian itu bersaudara."
"Kenapa sih mesti perhatiin pendapat orang? Peduli apa mereka mau anggap kami apa kek!"
"Kau mau biarkan Vanessa jadi omongan orang
yang bukan-bukan?"
"Siapa yang bilang begitu, Pa?! Masak saya mau
dikin dia celaka? Kan sudah saya bilang, saya mencintainya."
"Padanya atau pada hartanya?! Hm! Ingat, Vanessa itu keturunan prinses dari Kekaisaran Ottoman. Dia
bukan orang sembarangan, tidak bisa kawin asal kaWin!"
"Jadi Vanessa mau dikawinkan sama siapa? Mau
tunggu lamaran dari seorang pangeran Arab dulu, Pa?"
ejek Robert panas.
"Vanessa tidak akan "dikawinkan,! Dia bukannya
kuda atau sapi yang perlu dipacak. Dia harus bebas
memilih sendiri, dan dia cuma akan menikah dengan
laki-laki yang benarbenar dicintainya. Bukan dengan
16 orang yang memaksakan dirinya seperti kau! Bukan
juga dengan pilihanku!"
"Gimana seandainya saya berhasil meyakinkan dia
sampai dia bersedia menikah dengan saya? Apa Papa
tetap keberatan juga?"
Pak Balam tidak menanggapi Ditatapnya pemu?
da itu dengan tenang tanpa berkedip. Robert mengerti, pembicaraan mereka sudah berakhir, tapi dia
masih belum mau beranjak. Hatinya terasa panas dan
mangkel. Dibalasnya tatapan itu dengan sama tegarnya. Tapi laki laki yang kepalanya sudah seputih salju
itu tetap tidak bergeming, mengusir pun tidak, seakan
sayang buang tenaga untuk membuka mulut.
Lama?lama wajah Robert berubah kelabu, bibirnya
terkatup rapat. Dengan rupa penasaran dia melepaskan
tumpuan tangannya di meja, meluruskan punggung,
lalu berjalan mengitari mej a ke belakang kursi ayahnya. Dipegangnya punggung kursi yang tinggi itu, dibungkukkannya badannya, didekatkannya kepalanya
ke telinga kanan ayahnya. Suaranya pelan, halus namun terasa menyengat di hati Pak Balam. "Kalau Papa
nekat melarang, saya akan membeber rahasia Papa
pada Vanessa!"
"Rahasia? Bah! Aku tidak punya rahasia apa-apa!"
"Yang bernama Azula Zafir, juga enggak?" Robert
menarik punggung kursi sehingga benda itu terjengkang sedikit ke arah belakang.
Wajah tua itu mendadak j adi merah padam. Dengan
sekali entak dia mencoba berdiri, tapi mendadak dia
membungkuk, mengerang, menekan dada dan terjatuh
lagi ke atas kursi pas saat Robert kebetulan melepaskan pegangannya. Tak urung lagi kursi itu betul?betul
17 terjengkang membuat Pak Balam menjerit kaget lalu
mengaduh kesakitan. Robert terkejut setengah mati
sesaat tak berkutik. Namun melihat ayahnya terlempar
dari kursi, tergeletak di lantai, bagaikan robot disetrum
lagi dia langsung bergerak, membungkuk di samping?
nya. Dirabanya leher ayahnya, kemudian pergelangn?
nya. "Paaa! ! !" Suaranya melengking sesambat ketika
disadarinya apa yang telah terjadi.
18 Bab 1
Jam 21.08:
SETAHUN lagi dinasku di sini akan selesai. Aku
bisa kembali ke Jakarta. Sebenarnya aku cocok
kerja di lingkungan biarawati begini. RS Fatima
termasuk rumah sakit terbesar di Flores, alatalatnya
cukup lengkap walau enggak secanggih di Jawa.
Penduduknya juga ramah. Mauku sih bisa terus tugas
di sini, tapi keluargaku jauh. Aku rindu sama Bi Ucih
(sayang dia sudah pensiun ke udik), sama Bi Asri yang
pintar masak, sama Pak Kasman yang merawat bungabunga mawarku, sama Korizia walau dia sering ngaj ak
aku berantem, sama Papa, dan sama Robert. Tapi
kalau aku sudah di rumah, aku pasti akan kangen sama
RS Fatima, sama Suster Inigo, Suster Faustina, Suster
Edwarda, Suster Marie yang orang Belgia itu, Suster
Therese yang orang Prancis, lalu Mbak Rin, Mbak
Lulu, Pak Petrus, Pak Damian
Barusan aku melembari buku harianku. Aku jadi
terkenang masa lalu, waktu masih di SD. Aku sekolah
di Bogor, pagi-pagi sekali sudah berangkat bersama
Kori dan Robby, diantar sopir. Di kelas empat aku
masuk Kepanduan. Aku senang sekali berkemah di
19 hutan. Dan kakak Kepanduan yang paling kusayang
adalah Karmila. Ah, aku jadi rindu sama Tasia cilik
yang cantik seperti boneka.
Kori sekamar denganku sampai SMA, kemudian
kami dipisahkan atas desakan Papa. Sebabnya, karena kami berdua sering betul berantem. Biasanya cuma
urusan tetek bengek, tapi rupanya tetek kami sering
betul sih bengek. Dan Mama biasanya, malah selalu,
membelanya atau paling enggak, tak pernah memarahinya. Selalu aku saja yang ketiban makian, enggak
peduli siapa yang mulai cari garagara.
Suatu kali, jurik berambut pendek itu mengobrak?abrik buku?buku di atas rak bagianku. Tempat
buku itu terdiri atas empat rak, dua di atas untuknya
termasuk bagian teratas yang digunakannya sebagai
meja untuk meletakkan barang betrak-betruknya, sedangkan rak ketiga dan keempat bagianku. Karena
dekat ke lantai, sering kali aku harus membungkuk,
malah duduk sekalian di lantai kalau mau mencari
buku pelajaran atau kitab tulis yang agak dalam letaknya.
Nah, kali itu dikeluarkannya semua buku-buku
dari kedua rak terbawah dan menebarkannya di lantai.
Tahu deh, apa yang dicarinya di tempatku. Dia kagak mau nanya, aku juga ogah menolong, peduli amat.
Tapi yang bikin aku sengit, dia enggak mau mengembalikan lagi semua buku yang berserakan itu ke tempatnya. Aku jerit-jerit setinggi langit menyuruhnya
mengembalikan buku-bukuku ke tempat semula, awas
saj a kalau ada yang hilang. Tapi Kori berlagak budek,
j eritanku yang kedengaran sampai ke langit itu enggak
masuk ke kupingnya. Barangkali yang di kiri?kanan
20 kepalanya itu jamur, bukannya kuping. Kalau ke langit saja sampai kedengaran, apalagi ke dalam kamar
Mama yang sedang tidur siang. Tentu saja dia j adi terganggu, keluar dari kamar, menerobos ke kamar kami,
kalang kabut memaki diriku sambil mengangkati buku-buku itu lalu melemparkan mereka dari pinggir
balkon di depan kamar ke bawah, ke ruang keluarga.
Untung enggak sampai memecahkan jambangan di
atas meja. Aku heran setengah mati, kok malah aku
yang dimarahi Mama, bukannya kakakku?! Yang j adi
biang keladi siapa?
Lain kali lagi, kami berdua rebutan kedondong.
Sebenarnya kakakku jarang sekali main ke dapur, tapi
kali itu kebetulan samasama kepingin ngontrol. Habis
sekolah sedang libur, enggak ada kegiatan yang lebih asyik selain memperhatikan Bi Asri dan Bi Ucih
masak. Sering kali aku kebagian sepotong perkedel
atau ayam goreng.
Kami bertabrakan di dapur. Kedondong itu tinggal
satu, sudah agak bonyok. Sebenarnya aku yang melihatnya duluan. Kujulurkan tanganku ke dalam keranj ang buah, tapi Kori yang lebih gesit sudah merampas
buah itu dan menggenggamnya. Tentu saj a aku penasaran. Kucoba merampasnya kembali.
"Aku yang melihatnya duluan!" jeritku.
"Nah, kenapa enggak kaupakai matamu buat
mengambilnya?" ej eknya.
Brengsek! Gimana mata bisa dipakai mengambil
barang? "Bagi aku!"
"Enggak! Buat aku semua!"
Akhirnya kami jadi tarik-menarik, dorongmendorong, jotos-menjotos, saling teriak, sama-sama
21 menjerit, sampai akhirnya Mama muncul, bertolak
pinggang, mengawasi kami dengan bengis. Kori sudah
duluan mengadu tanpa ditanya. "Tuh, dia mau merampas kedondong saya, Ma!"
Aduh, sebal sekali aku melihat kemanjaannya.
Mending kalau Mama memang memanj akannyai Kenyataannya, Mama enggak peduli sama seorang juga
dari ketiga anaknya. Cuma bedanya Kori enggak pernah digampar atau dipukul sama bulu ayam seperti
pipi dan pant... ku.
"Bohong! Itu bukan milikmu. Akuu yang lihat du?
luan!"
"Vanessa, diam!" hardik Mama. "Memangnya kau
kelaparan, apa? Belon cukup kau dikasi makan?"
"Tapi saya minta dibagi, Ma."
"Biar Kori yang makan! Apa kau bakal mati kalau
enggak kebagian?"
Sebenarnya aku juga tahu diriku enggak bakal
kenapa-kenapa kalau enggak makan kedondong, tapi
cara Mama membela Kori membuat hatiku penasaran
dan iri. "Kori, bagi aku! Bagi! Bagiii!" aku melengking.
Tarrr! Tangan Mama melayang. Pedihnya pipi kiriku, tapi lebih pedih lagi hatiku. "Jangan teriak-teriak
begitu! Sakit kepalaku mendengarnya!" Rambutku dijenggut Mama dari belakang lalu kepalaku dibenturkan ke tembok dapur. Dua kali.
"Aduh, sakit, Ma!"
"Biar kau mampus sekalian! Supaya rumah ini jadi
tenteram. Dasar anak enggak ada guna," Mama mengomel.
"Anak tukang abu gosok aja, kok banyak pernik
22 sih, ya!"
"Kori!" hardik Mama. "Tutup bacotmu! Kalau
kedengaran Papa, mampus kau!"
Kori menjulurkan lidah ke arahku sambil mengupas kedondong yang ranum dan harum itu. Buah itu
besar sekali, sebenarnya dimakan berdua masih cukup,
tapi aku terpaksa harus puas hanya dengan menghirup
baunya dan menelan ludah. Esoknya, Bi Ucih membelikan aku kedondong sebuah, kumakan diam-diam di
halaman belakang, tak berani di dapur, takut ketahuan
wanginya oleh Kori atau Mama.
Yah! Mama dan Kori selalu memusuhi aku. Cuma
Robert yang baik. Dan ayahku. Papa selalu sayang
padaku, melebihi pada saudarasaudaraku. Mama serta kakakku rupanya tahu. Mereka enggak berani jahat
padaku kalau ada Papa.
Ah, aku rindu sama ayah dan abangku. Sayang
Mama sudah lama tiada. Rumah jadi sepi. Walaupun
Mama enggak pemah ramah padaku, enggak pernah
memeluk atau mengecup atau mengelus, tapi aku
merasa kehilangan juga ketika dia pergi. Sakit ginjalnya sudah berat. Mukanya sembap seperti bulan, tekanan darahnya setinggi Gunung Semeru akibat cortison
bertahun-tahun.
Masa kanak?kanakku enggak begitu mulus. Gimana bisa disebut indah kalau ibu sendiri enggak sayang?
Bertahun-tahun kuhabiskan waktuku buat bertanya?tanya dalam hati, apa sebab Mama membenciku,
apa salahku. Tentu saja enggak bisa kujawab sendiri.
Mau nanya, sama siapa. Papa? Pasti ketahuan Mama,
berarti cuma akan mengundang lebih banyak caci
makii Nanya Bi Ucih, pengasuhku yang setia dan
23 sayang padaku? Mana dia tahu.
Di SMA, Kori dan aku sekelas. Sebenarnya Kori
dua tahun lebih tua, tapi dia telat masuk SD, jadi cuma
sekelas di atasku. Kemudian di SMP kelas tiga dia pernah mengulang sekali dan sejak itu terus sekelas.
Domi mulai dekat denganku di kelas satu SMA. Di
kelas dua, dia digaet oleh kakakku. Di kelas tiga aku
berusaha menarik kembali perhatiannya dan rupanya
Domi juga kangen sama bekas teman sebangku yang
bisa disontek pe-emya kayak aku ini. Tapi Kori enggak mau melepaskan. Tahu deh, akal bulus apa yang
dicekokkannya ke tenggorok Domi, pendeknya waktu
pesta perpisahan mereka pergi berdua.
Aku enggak mau pergi ke pesta, enggak mau keluar
kamar, nangis terus sampai mata bengkak. Dua hari
aku mogok makan sampai Papa yang biasanya enggak suka campur urusan anak-anak, sekarang jadi turun
tangan menanyakan apa masalahnya. Entah cerita apa
yang dikarang Mama, tapi rupanya Papa percaya saj a.
Mamalah yang naik ke loteng, masuk ke kamarku tan?
pa mengetuk dan langsung menghardik.
"Ayo, cepat turun ke bawah, makan! Semua orang
menunggu. Jangan banyak pernik, ah. Bapakmu cuma
tukang abu gosok, jadi kau mesti bersukur, sudah dipungut dari jalanan sama ayahnya Kori. Kalau enggak
dibawa ke sini, di mana kau sekarang? Ayah-ibumu
sudah modar, siapa yang mau membiayai sekolahmu?
Kaukira uang sekolah itu murah? Sekarang kau mau
ngambek, lantaran bekas pacarmu lebih tertarik sama
Kori?
"Dasar anak enggak tahu diri! Apa kau heran kenapa Kori yang dipilih? Lihat sendiri di kaca! Supaya
24 kau enggak usah heran lagi. Kori kan lebih cakep, lebih supel, lebih anggun. Kau sih, apa? Biar dipakaikan
baju yang sama mahalnya sama Kori, tetap saja kampunganmu kelihatan. Habis bapakmu cuma jualan abu
gosok, lalu enggak tahu diri lagi, nyebrang seenaknya
seperti jalanan punya kakek moyangnya, menyebabkan orang lain jadi ketiban dosa sudah melindasnya!
Nah, bapakmu tukang abu, sedang ibumu juga bukannya tamatan Ul, kan? J adi kau jangan sok bertingkah!"
Barulah saat itu semua pertanyaan terjawab. Apa
sebab perlakuan yang berbeda, apa sebab Mama terlalu gampang mukul dan nampar, apa sebab Papa
kelewat baik, apa sebab Kori terlalu sering menghina.
Yah, karena aku ini cuma anak jalanan yang dipungut


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Pak Balam. Mungkin laki-laki yang simpatik dan
tampan itu merasa amat bersalah sudah menggiling
mati bapakku, bapak kandungku, penjual abu, sehingga tanpa memedulikan keberatan istrinya (aku yakin
Mama semula pasti keberatan dibebani diriku walau
sebenarnya yang merawatku adalah Bi Ucih. Seratus
persen), dibesarkannya aku di dalam rumahnya.
Ah, seandainya ibu kandungku masih hidup, walau
dia tinggal di gubuk karton di pinggir rel kereta api,
aku pasti akan lari pulang kepadanya. Biarlah aku tak
bisa menamatkan sekolah, biarlah aku kerja sebagai
babu, asal bisa mendampingi ibu kandungku. Buat
apa tidur di ranjang putih, di atas seprei sutra berenda,
buat apa makan di meja marmer import dari Itali, buat
apa bisa nyetir mobil, buat apa dijanjikan boleh belajar di luar negeri, buat apa semua ini kalau setiap hari
ada saja yang menyindir, mengingatkan bahwa diriku
hidup dari belas kasihan orang. Tentu saja sindiran itu
25 cuma berkumandang bila Papa enggak di rumah atau
Robby enggak ada. Robert belum pernah menyindirku. Bila ibu serta adiknya sudah keterlaluan, dia suka
mengancam akan mengadukan sama ayahnya. Barulah kedua orang itu bisa menutup mulut. Mungkin lantaran takut? Entah.
Beginilah rasanya jadi anak pungut. Setiap kali aku
mendapat sehelai gaun atau sepasang sepatu atau entah barang apa saja, hadiah maupun kebutuhan, Mama
atau Kori pasti enggak akan lupa mengingatkan bahwa
semua itu anugerah dari mereka bagiku. Walau enggak diucapkan dengan kata-kata, tapi sikap juga bisa
menusuk hati. Terkadang aku ingin membeli sesuatu
tapi apa daya uangku enggak cukup. Sebenarnya Papa
memberi kami bertiga uang saku yang sama, tapi kalau
aku sudah dalam kamar, enggak kelihatan Papa, Mama
selalu meminta kembali sebagian.
"Kau masih kecil, buat apa duit banyak-banyak
seperti abang dan kakakmu. Lebih baik Mama yang
simpan, kelak boleh kauambil lagi. Awas, jangan
ngadu sama Papa!" Ancaman ini membuat aku mengerti bahwa uang itu enggak bakal kulihat lagi.
Yah, walaupun Mama selalu pilih kasih, walau dia
belum pernah berlaku manis padaku, tapi waktu dia
meninggal lima tahun lalu, aku merasa sedih juga. Sedih lantaran kehilangan orang yang selama ini biasa
hidup bersamaku, selalu kulihat setiap hari dan juga
merupakan semacam pegangan atau akar atau j aminan
bahwa aku tetap bisa hidup, tetap bisa makan, tetap
bisa berteduh.
Aku berada di rumah sakit, sendirian di samping
ranjang. Papa, Robby, dan Kori sedang duduk di luar
26 kamar, beristirahat, sebab dalam kamar cuma ada kursi
sebuah.
Kuperhatikan Mama. Dengan mata terkatup, wajahnya kelihatan lebih ramah, bibirnya enggak seganas
kalau sedang ngomel. Kusangka dia sedang tidur, enggak tahunya mendadak matanya terbuka, langsung
menatapku. Beberapa detik kami saling pandang tanpa
bersuara. Akhirnya tangan Mama bergerak menyentuh
tanganku yang terletak di atas selimutnya. Matanya sudah enggak berbinar seperti biasa, bibirnya pucat serta
kering penuh kerut, suaranya lirih dan sember. "Vanes,
maafkan perbuatan Mama pada ibumu." Sebelum aku
sempat bertanya kenapa, Papa sudah masuk ke kamar.
*** Tiba?tiba kupingnya menangkap suara seruling dari
luar kamar. Ah, pasti Meiske sedang kangen sama
rumahnya. Heran, kenapa melodi yang satu ini
menusuk kalbuku seperti duri. Seakan mengingatkan
aku pada sesuatu, tapi sekaligus juga enggak. Sebab
enggak ada "sesuatu" yang kuingat, tapi aku punya
firasat bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang bisa
kuingat. Aneh sekali. Di dalam kepalaku terasa ada
sesuatu yang berkutetan, sebuah kenangan yang ingin
mendobrak ke luar, tapi selalu tak berhasil.
Hatiku merasa tenteram mendengar melodi ini tapi
juga merasa resah. Kenapa? Yang lebih membingungkan, kenapa justru cuma lagu ini, kenapa bukan lagu
27 lagu lain? Pernah kutanya perawat Bagian Bersalin itu,
apa nama melodi kesayangannya itu.
"Kau enggak tahu? Ini Beautiful Dreamer. Ibu?
ku selalu mendendangkannya bila menidurkan aku
sewaktu kecil. Sekarang akujauh dari rumah, lagu ini
serasa mendekatkan aku pada ibuku, serasa masa lalu
yang bahagia terulang kembali dalam kenangan. "
Masa kecil yang bahagia... ah! Didendangkan ibu?
Digendong, dinyanyikan? Ah, rela rasanya umurku
dipotong separuh asal saja bisa kunikmati semua itu,
asal aku bisa mengenal siapa ibuku dan mengenangnya bila sudah jauh
Beautiful Dreamer masih mengisi kekosongan
udara malam. Meiske betah meniup sulingnya berjam-jam. Lagunya cuma satu, tapi belum pernah ada
perawat lain yang mengeritik atau menyuruhnya diam.
Yah, hiburan gratis yang menyentuh kalbu. Siapa tahu
setiap perawat tergugah batinnya dengan berbagai
kenangan karena melodi itu.
Sebaiknya aku tidur sebelum Meiske kecapekan,
jadi bisa kunikmati suguhannya itu di bawah selimut. Selamat malam, Buku Harian-ku yang setia. Kau
hadiah dari Papa yang bisa kubawa ke mana saja aku
pergi, halamanmu bisa kutambah, kuncimu selalu kus?
impan di tempat aman.
*** Esok paginya ketika Vanessa tengah bersiapsiap untuk
28 dinas, pintu kamarnya digedor. "Dokter Vanessa!"
didengarnya suara Suster Inigo dengan aksen Jawa
Timur yang berat. Tergopoh-gopoh dibukanya pintu.
Rambutnya pun masih belum disisir, gulungan rambut
masih ada yang nempel di kepala.
"Ada apa, Suster?"
Biarawati setengah umur itu dengan wajahnya
yang lembut keibuan, menyerahkan sehelai sampul
padanya. "Telegram."
"Untuk saya?" Vanessa mengerutkan kening. Siapa yang akan mengirimi aku telegram? Papa? Ada
apa? Dibaliknya sampul itu. Dari Robert?! Vanessa
merobek sampul kuning itu diawasi oleh Suster Inigo
yang masih berdiri di situ seakan perlu ikut tahu beritanya. Vanessa membaca sekilas. Wajahnya langsung
menjadi putih seperti kertas, bibirnya bergetar keras,
matanya memandang ke depan tapi seolah tidak melihat siapa?siapa.
"Ada berita apa, Vanes?" Suster mengguncang?guncang bahunya, memaksanya untuk mengembalikan
tatapan dan menjawab.
"Suster... oh, Suster, ayah saya!" Vanessa terguguk.
Suster Inigo meraih dan mendekapnya.
29 Bab 2
"KAU enggak bohong?" tanya Vanessa membelalak.
"Dalam urusan begini penting, kautuduh aku bohong?" seru Robert dengan air muka tersinggung.
"Aku bukan menuduh! Aku cuma heran. Papa enggak pernah menyinggung masalah ini, kenapa mendadak pikirannya j adi ke situ?"
"Pada saat-saat terakhir, memang orang sering
mikir yang aneh-aneh."
Vanessa menghela napas dan berpaling ke jendela,
memperhatikan bunga-bunga di luar bercanda dengan
kupu-kupu dan kumbang. Dia harus berterima kasih
pada Pak Kasman yang sudah merawat Apricot dengan telaten sehingga mawar itu selalu berbunga. Untung Papa punya rumah di daerah Puncak begini, jadi
udaranya selalu dingin, cocok buat Apricot dan Kordisla.
Kordista merupakan oleh-oleh Papa yang penghabisan. Dari Amerika, Warnanya yang kuning tua
kelihatan cantik sekali. Kata Papa, mawar itu belum
dilempar ke pasaran, masih belum bisa dihasilkan
besar?besaran karena masih baru, orang belum tahu
bagaimana membuatnya tumbuh dengan gampang.
Karena masih sedikit, tanaman itu pasti mahal sekali.
Tapi Papa sengaja membawakannya untukku karena
30 dia tahu, mawar adalah bunga kesayanganku. Papa
malah berjanji akan memperbesar rumah kaca di
belakang supaya mawarmawarku kebagian tempat.
Selama ini cuma Papa bersama Robert yang asyik di
sana, menanam segala macam bunga dan perdu, bahkan juga menyilang padi?paa'z'an. Ah, sekarang Apricot dan Kordista enggak akan bisa pindah ke dalam
rumah kaca
Robert asyik memperhatikan gadis yang sedang
melamun itu. Buntut kudanya yang tebal dan hitam
berkilat itu diikat dengan karet gelang merah, semerah warna bibirnya yang merekah indah, penuh tapi
tidak tebal, m eliuk manis seperti bibir anak kecil yang
sedang merajuk tapi bukan karena manja; matanya
yang bulat dan hitam penuh binar tampak teduh dan
dalam, kelopaknya, yang berbulu lentik agak merun?
duk, pipinya yang kemerahan sungguh mirip jambu
hal di halaman belakang, telinganya yang mungil kelihatan cantik bagaikan hasil ciptaan seni yang sempurna, dagunya yang runcing membuat wajah ayu itu
terlampau menarik untuk bisa kulupakan
"Robby, aku enggak bisa," keluh Vanessa, menoleh.
Wajah pemuda itu langsung bersemu merah seakan
ketahuan bahwa dia sedang menilai kecantikannya.
Dia berlagak batuk?batuk supaya bisa menunduk serta
menutupi bibirnya yang gemetar.
"Kau kan tahu, aku serius sama Domi," sambung
gadis itu sementara yang diajak bicara lebih memperhatikan lika-liku bibir merah itu daripada mendengarkan. "Papa juga tahu. Rasanya enggak mungkin Papa
sampai punya pikiran begitu."
31 Robert diam saj a tanpa komentar.
"Gimana mau aku kasi tahu Domi? Di SMA Kori
coba-coba merayunya, tapi waktu samasama di Kedokteran, ternyata dia kembali sendiri padaku. Dia
sudah menunggu tiga tahun selama aku dinas di daerah, sekarang masak aku harus membatalkan rencana
kami?"
Robert masih diam. Vanessa ngoceh terus, pelan,
seakan cuma pada diri sendiri, dan pemuda itu tetap
membisu. Akhirnya dia jadi jengkel, suaranya pun
naik dua oktaf. "Robby, jangan gagu terus begitu
dong! Ngomong dong, apa kek!"
"Aku mesti bilang apa?" ujar laki-laki itu dengan
suara pelan, bibirnya saja nyaris tak terbuka. "Aku
cuma menyampaikan kehendak Papa."
"Tapi, aku mencintai Domi!"
"Apa benar?"
"Kaukira aku enggak bisa tahu perasaanku sendiri?
Aku malah tahu perasaan Domi! Dia juga mencintai?
ku! Jadi kami sama-sama cinta, enggak bakal deh bisa
dipisahkan oleh siapa juga!"
"Apa benar...?."
"Segera bisa kubuktikan!"
"Maksudku, apa benar bergajul itu cinta padamu?
Dulu "Namanya Domi! Jangan kasi dia nama yang bukan-bukan! "
"...dia kecantol sama Kori, lantas menclok pada?
siapa itu namanya? ?Eva, terus kembali lagi padamu. Rasanya kalau betul-betul cinta murni pasti tahan
leburan api kayak emas murni, iya, kan? Siapa tahu
setelah kawin berapa tahun, dia bakal bosan, lalu ke
32 cantol cewek lain...."
"Urusan belakangan biarlah enggak usah kita risaukan sekarang!" Vanessa menanggapi sedikit ketus
saking jengkel. "Biarpun mulutmu sampai berbusa
menjelek-jelekkannya, aku enggak bakal bergeming
dari sampingnya."
"Gimana kalau dia sendiri yang kabur dari sampingmu?" ejek Robert dengan tekukan bibir yang khas,
rapat, menantang, membuat gemas Vanessa.
"Kau mau menyogoknya? Jangan harap berhasil!
Dia enggak mata duitan, tahu!"
"Hm. Coba baca." Robert merogoh kantong celananya.
Vanessa tercengang melihat sampul surat yang disodorkan oleh Robert. Sejenak dia ragu untuk menyambuti, seolah khawatir benda berwarna putih itu akan
menggores jarinya dan melukainya. Robert memperpanj ang uluran tangannya.
"Sepulang dari mengirim telegram, aku mampir ke
tempatnya. Dia sangat penuh pengertian kok. Sama sekali enggak keberatan kita berdua kawin."
"Robby! !! Aku enggak mau dengar lagi usul itu!"
"Baca aja dulu suratnya!" usul Robert dengan
tenang, duduk di ujung sofa (Vanessa di ujung yang
lain) dengan sebelah tangan di lengan sofa, sebelah
yang lain sepanj ang punggung sofa, nyaris menyentuh
bahu Vanessa. Air mukanya tak bisa dibaca, matanya
taj am memperhatikan gerak-gerik gadis itu seperti j aguar yang siap menerkam.
Vanessa cuma membuang waktu semenit untuk
menghabiskan surat perpisahan yang singkat itu. Seakan dalam keadaan tersihir, dilipatnya surat itu dan
33 dengan rapi dimasukkannya kembali ke dalam sampul.
Bibirnya mencucut, matanya menatap tanpa kedip.
"Aku enggak tahu apa yang sudah kaukatakan
padanya, aku juga enggak mau tahu. Yang jelas, ini
bukan Domi yang selama ini kukenal. Aku harus bicara dulu dengannya supaya bisa memastikan."
"Percuma. Bakal memperdalam sakit hatimu saja!"
"Sakit hati? Cinta mana kenal sakit hati! Seandainya dia memang bisa lebih bahagia di samping orang
lain, tentunya mesti kurelakan, bukan? Kenapa aku
harus sakit hati Keinginanku yang utama kan supaya
Domi bisa bahagia. Kalau bahagianya enggak bisa
sama aku, ya namanya nasib!"
Robert diam?diam menarik napas kesal, tapi sama
sekali tidak diperlihatkannya. Wajahnya tetap tenang,
menyungging senyum.
"Boleh saja kau ngomong dulu sama dia, tapi percuma deh. Domi memang bukan tipe orang yang setia,
masak kau enggak ngerti juga?"
Vanessa menutup kedua telinganya dengan telapak
tangan. "Aku enggak mau dengar kau menjelek-jelekkan orang yang enggak hadir!"
Robert menarik sebelah tangan gadis itu yang terdekat dengannya dan menurunkannya. Vanessa mengibas, melepaskan cengkeraman di pergelangannya
tapi dibukanya kembali kedua kupingnya. "Percayalah, Robby, Papa pasti salah instruksi. Barangkali
maksudnya, kau disuruhnya memperhatikan diriku supaya enggak terlantar, lantaran dia khawatir nanti aku
diusir dari sini. Papa pasti tahu Kori benci sama aku,
jadi kaulah yang dititipi pesan."
"Enggak, aku enggak salah ngerti. Dengarlah,
34 Vanes, aku bisa maklum kalau kau keberatan. Aku
juga enggak mau merusak kebahagiaanmu. Aku punya
usul, coba dengarkan. Kita kawin di atas kertas aja,
gimana? Supaya kau tetap bisa dapat warisan. Sebab
kalau kau menolak, kau enggak bakal dapat apa-apa."
Vanessa menarik napas kesal. "Aku enggak meng?
harapkan apa?apa, Robby. Papa bukanlah ayah kandungku, sudah semestinya warisan itu dibagi di antara
kalian berdua saja. Aku sih orang luar, enggak berhak
sedikit juga. Paling-paling kalau boleh, aku cuma mau
minta potret Papa yang digantung dalam kamar kerj anya buat kenang-kenangan. Papa udah nyekolahin aku
sampai dapat titel, itu udah lebih dari cukup. Aku udah
lama memaafkan Papa yang enggak sengaj a menabrak
ayah kandungku, jadi Papa udah enggak punya utang
apa-apa lagi sama aku. Selain itu, aku bisa mencari
duit sendiri, enggak perlu kau khawatir. Seandainya
Kori ingin aku pergi dari rumah ini, aku rela. Memang


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini rumahnya, bukan rumahku."
"Vanes, gimana juga aku enggak bakal membiarkan adikku mengangkangi warisan yang menjadi
hakmu. Aku mengerti, kau enggak perlu lagi bantuan
dari Papa. Kau sekarang udah mandiri, namamu udah
ditambahi embel-embel de-er. Dokter Vanessa Balam!
Bukan main merdu kedengarannya. Tapi aku minta,
sebelum kau mengambil keputusan, pikirkan dulu matang?matang. Apa betul kau rela bagianmu dicaplok
sama Kori? Dia tentu aja lagi repot berdoa supaya
kau jangan mau menuruti permintaan terakhir Papa.
Dengan begitu harta warisannya bakal dobel. Apa kau
rela? Sampai detik terakhir mau kaubiarkan setan itu
merajalela mengalahkan dirimu?"
35 Tentu saja aku enggak rela! Bunuh aku dulu, Kori,
sebelum kaurampas apa yang menjadi bagianku!
Tapi kalau harus kawin sama Robby, ah, gimana ya?!
Memang dia selalu baik sama aku, penuh perhatian,
belon pernah marah atau nyindir. Aku juga tahu hatiku selalu tertarik padanya. Malah sewaktu di SMA,
aku pernah membayangkan Robby sebagai pacarku!
Ganteng, jangkung, serius, enggakpernah buka mulut
kalau bukan mau melemparkan kata-kata yang ber?
harga, rambutnya yang berombak ingin sekali kuelus,
dadanya yang lebar ingin kusandari. Tapi kemudian
aku insaf, diriku cuma anak pungut, bapakku cuma
jualan abu gosok, mana mungkin aku nempil buat
Robert Balam yang ayahnya miliuner mapan. Jadi
pelan-pelan aku tekan perasaan itu sampai akhirnya
lenyap tak tahu ke mana, dan sebagai gantinya aku
buka hatiku lebar?lebar menyambut Dami
"Seperti kukatakan tadi, aku usul kita kawin di atas
kertas aja deh. Cuma buat menolong kau supaya enggak kecolongan sama Kori. Kau tahu sendiri tingkahnya. Biarpun dia adikku, enggak berarti aku selalu berada di pihaknya. Gimana, Vanes? Oya, perkawinan ini
cuma buat enam bulan aja kok. Sesudah itu kau bebas
lagi. Enggak berat, kan?"
Aku memang enggak punya duit. Gajiku enggak
seberapa, tabungan hampir enggak ada, kalau masih
harus keluar dari sini, aku mau ngungsi ke mana? Satu?satunya orang yang masih bisa ditumpangi cuma
Bi Ucih, tapi dia tinggaljauh di kampung, mungkin
anaknya juga miskin, mana ada tempat buat aku? Se?
lain itu aku kan perlu keija, masak tinggal di sana?
Tapiii, mesti kawin mendadak begini, mana aku siap?
36 Apalagi, belum tentu si Robby suka sama aku. Siapa
tahu dia cuma mau menuruti perintah ayahnya lan?
taran diancam enggak bakal dibagi warisan... ?!
"Aku mau pikir-pikir dulu deh." Vanessa bergerak mau bangun tapi dengan gesit ditahan oleh Robert
yang menekan tangannya, memaksanya duduk terus.
"Enggak ada waktu, Anes."
Tergetar juga hati Vanessa mendengar panggilan
kesayangan itu. Waktu mereka semua masih kecil,
Robert tak bisa mengucapkan "V". Dia selalu keseleo,
menyebut "Anesa" atau kalau sedang kepingin minta
apa yang sedang dimakan adiknya, dia merayu dengan panggilan sayang, "Anes" atau "Nes". Bagi dong,
Nes. Ah, sudah lama enggak kudengar panggilan itu.
Kukira sudah dilupakannya.
""Sebenarnya bukan masalah besar kok. Cuma buat
enam bulan kau terpaksa berlagak j adi istriku. Apa artinya seratus delapan puluh hari lebih kalau kau bisa
dapat harta karun?"
"Dan kau sendiri? Masak enggak dapat apaapa?"
Robert menghela napas. "Kalau kau menolak, aku
juga bakal kena getahnya. Semua bagianku bakal diserobot sama Kori!"
Astaga! Rupanya Papa betul?betul menyesal sudah
membunuh ayahku sampai dia merasa perlu mengatur hidupku demikian mendetil, jangan sampai nanti
nelangsa tak punya duit. Padahal seandainya ayah
kandungku masih hidup, belum tentu aku bisa dibiayai
sampai punya titel begini.
Tanpa setahu Vanessa, Robert diam-diam tengah
mengawasinya dengan sinar penuh kebencian, tapi
begitu gadis itu menoleh, wajahnya kembali melunak,
37 bibirnya tersenyum. "Aku enggak mau mengatakan ini
sebagai alasan utama, takut nanti kausangka aku yang
lebih perlu kawin supaya enggak sampai kehilangan
warisan," sambung Robert sambil memandang j auh ke
depan, ke seberang ruangan.
"Kenapa enggak bilang dari mula? Kalau begitu,
masalahnya jadi lain. Terang dong aku enggak rela kau
kehilangan warisanmu, apalagi membiarkan semuanya
j atuh ke tangan Kori. Kalau gara-gara aku kau sampai
diusir dari rumah ini, wah di mana rasa terima kasihku
sama ayahmu."
Robert diam, mendengarkan dengan girang. Mujarab betul akalku! Tahu begini, pasti dari tadi sudah
aku katakan! Rupanya dia merasa sangat berutang
budi sama Papa. Kelemahannya ini harus kuingat dan
boleh sering?sering kupergunakan untuk mematahkan
pertahanannya.
"Sebenarnya aku enggak mau terus terang begini,
kalau enggak terpaksa betul. " Uh, kalau dia tahu siapa dirinya sebenarnya! Robert menyeka keringat dingin yang merembes di dahi dan menarik napas dalam
untuk menenangkan jantungnya yang kalang kabut.
"Sudahlah, kita enggak usah berbantahan lagi. Jadi
cuma buat enam bulan, kan?"
Robert mengangguk serius seakan tengah berhadapan dengan guru.
"Dan cuma di atas kertas?"
Robert mengangguk lagi.
"Berarti kita enggak bakal... ngngng... namanya
juga cuma di kertas, kan?"
Robert masih bisa manggut walau dalam hati sudah tidak sabar. "Cuma di kertas. Hidup kita engg
38 ak berubah, kau tetap di kamarmu, aku di kamarku.
Setelah enam bulan, kita pakai lagi nama lama kita."
"Oya, orang luar enggak perlu tahu, kan?"
"Buat apa?"
"Berarti enggak ada pesta?"
"Memangnya kebanyakan duit?"
"Iklan juga enggak?"
"Gila apa? Kau tahu berapa harga iklan? Amit-amit mesti buang duit begitu. Kita kan kawin ini supaya
dapat duit, bukannya keluar duit! Selain itu siapa sih
yang mewajibkan kita mesti ngasi-ngasi tahu orang?
Mau kawin, kek. Mau cerai, kek. Mau mati, kek... eh,
habis cerai masak mati? Enakan kawin lagi dong, ya?"
Vanessa tidak menanggapi guyon itu, sebab otaknya sibuk menganalisa apa akibatnya nanti bila dia
menuruti kehendak ayah Robert yang aneh itu.
"Mendingan kawin sepuluh kali daripada mati,"
Robert ngoceh terus. "Mati kan pasti bakal kita alamin, jadi ngapain dipikirin. Kalau soal duit, nah itu
baru tergantung dari kita sendiri. Kalau kita rajin atau
pintar pakai otak, bisa kaya. Kalau cuma tidur-bangun
sepanjang hari, ya duit juga seret datangnya. Kalau
kita jahat, nah, kemungkinan bisa lebih cepat kaya
daripada kalau jujur terus-terusan. Tapi kalau mati?
Kita rajin atau malas, jahat atau jujur, sama aj a, semua
bakal kena. Iya, kan?"
Vanessa tidak meladeni, masuk kuping pun enggak. "Jadi orang luar enggak seorang juga yang perlu
dikasi tahu? Tante Yas, gimana?"
Robert menggeleng. "Cuma Pak Razak, tok. Anu,
habis surat wasiat itu dipegang olehnya."
"SH yang anaknya teman kuliahmu?"
39 "Memangnya kenapa kalau anaknya temanku?"
Robert agak paranoid, dikit-dikit sudah curiga bahwa
orang mencurigainya, padahal Vanessa cuma menyatakan keheranannya.
"Seingatku, pengacara Papa namanya bukan begitu."
Robert mengangkat bahu. "Udah ganti, kali. Atau
pengacaranya banyak, buat kantor lain buat pribadi
lain."
"Kalau perkawinan ini enggak mau diumumkan,
sebenarnya kau enggak perlu ngasi tahu Domi. Kan
cuma di atas kertas, enggak ada perubahan status
apa?apa dari kita berdua, juga cuma buat enam bulan.
Setelah itu keadaan balik lagi seperti semula. Malah
selama enam bulan itu juga, aku boleh tetap ketemu
Domi, bukan? Toh kami enggak niat berbuat yang bukan-bukan. Boleh, kan?"
Robert menatap Vanessa dengan mata terpicing,
membuat gadis itu merinding sejenak. Iiih, kenapa
akujadi ingat mata kadal yang pernah ditangkap Pak
Kasman di kebun! Dasa); mentangmentang bintangnya Scorpio! Seperti yang kepingin menelan diriku bulat?bulat/
"Aku enggak salah dengar? Kau mau ngibul sama
Domi? Mau pura?pura enggak ada apaapa padahal sudah teken surat kawin, sudah jadi istriku? Kau tahu
apa artinya surat kawin? Seandainya aku mati, semua
hartaku bakal jadi milikmu! Gimana mau kaujelaskan
itu padanya? Mendadak dapat harta sebagai janda ...."
Vanessa bergidik dalam hati. "Amit-amit aku jadi
janda! Jangan ngoceh enggak keruan, ah. Sekarang
yang tegas aja. Kapan, di mana!"
40 "Di sini. Sekarang juga. Tunggu, aku telepon Pak
Razak. Dalam sembilan puluh menit dia pasti udah
sampai di sini."
"Gila kau! Masak mendadak begitu? Aku kan enggak ada persiapan apa-apa."
"Mau siap apa lagi? Enggak perlu ganti baju, engg?
ak perlu nyisir. Makin cepat dilaksanakan, makin cepat
juga enam bulan itu berlalu, dan makin cepat warisan
itu kita terima! Benar, enggak?"
Vanessa tak dapat membantah, jadi bibirnya terkatup saja. Kemudian dia teringat sesuatu. "Kita enggak
ke Catatan Sipil?"
"Pak Razak bakal ngatur semua. Dia akan membawa para petugas ke sini. Kau tenang aja deh."
*** Dan malam harinya ketika telepon berdering, Vanessa
sudah menjadi Nyonya Robert Balam. Dia tengah
berbaring di kamar, mengistirahatkan tubuhnya yang
lelah. Sej ak dia pulang dari Flores, adrenalin (harmon
dari kelenjar anak ginj al) tenis dipompa keluar,
menyebabkan tubuhnya segar terus. Tapi sekarang,
setelah PakPonseka Balam dikremasi, setelahpesannya
yang terakhir dilaksanakan, mendadak adrenalin itu
menunin drastis dalam darahnya, membuat dirinya
merasa lesu dan capek setengah mati.
Ketika terdengar ketukan di pintu, sebenarnya Va?
nessa sudah layap-layap hampir tertidur. Tapi dikag
41 etkan oleh suara Bi Asri, pembantu setia yang sudah
dua puluh lima tahun lebih kerja di Situ. Ibu Bi Asri
dulu kerja pada orangtua Pak Ponseka Balam. Setelah
Kakek dan Nenek Balam meninggal, untuk beberapa
tahun bekas pengasuh Pak Balam itu masih terus berbakti di situ. Sekarang dia sudah pensiun, pulang ke
desanya di Cibadak, tidak jauh dari desa Bi Ucih (ini
menurut Bi Asri yang senang cerita kalau diajak ngobrol oleh Vanessa).
Gadis itu ditugasi ibunya untuk membantu di
dapur setiap sore, Senin sampai Jumat, dan pagi-sore,
Sabtu-Minggu. Karena itu tidak heran dia pintar
memasak. Korizia juga pintar, tapi pintarnya cuma un?
tuk mencicip sesuai dengan perintah ibunya. Bi Asri
lebih menyayangi Vanessa, mungkin karena kasihan
akan nasibnya, tapi tentu saja tak berani diperlihatkannya terang-terangan, terlebih di depan Korizia.
"Non, ada telepon."
"Dari siapa, Bi?"
"Dokter Masada, Non."
Ah, mau apalagi si Domi ini! Udah nulis surat
perpisahan kok masih pakai telepon-teleponan?! Tapi
kenapa enggak mau kuladeni ? Aku juga ingin tahu dia
masih berani ngomong apa lagi, coba!
Vanessa bangun dari telungkupnya dan mencari
sandal, lalu membuka pintu serta melongok ke luar
karitar. "Saya ambil di sini aja, Bi," ujarnya menunjuk pesawat di atas meja berbentuk setengah bulan
yang nempel di tembok depan kamar. Balkon di depan
kamar-kamar itu cukup luas, berisi seperangkat sofa
dan mejanya serta lemari hias, piano orisinil buatan
Stuttgart tahun 1848, warisan dari Nenek Balam (tapi
42 cuma Korizia yang boleh main. Vanessa disuruh belajar juga oleh Pak Balam, tapi ibu Rustiati Balam, istrinya, tak pernah mengizinkan dengan alasan Vanessa
sudah ditesnya, ternyata tak punya bakat musik) dan
pesawat telepon.
"Kalau begitu Bibi tutup deh yang di bawah."
Perempuan itu tergopoh?gopoh turun dari loteng, ke?
bayanya berkibaran. Dekat telepon dalam ruang keluarga sudah menunggu keponakannya, Nini, menengadah dengan mata bertanya. Bi Asri mengangguk.
Nini mengangkat pesawat, menunggu sampai Vanessa
bilang "halo", baru meletakkannya kembali di tempat?
nya. "Halo, Domi, ada apa?"
"Vani! Oh, lega hatiku bisa mendengar suaramu.
Aku sudah takut kau dilarang Robby ngomong sama
aku!"
"Memangnya kenapa dilarang? Aku kan enggak
dipenjara?!"
"Suaramu dingin banget."
"Habis maumu gimana? Ketawa-ketawa? Laa, enggak ada bahan buat ketawa!"
"Kau marah? Aku bisa maklum kalau kau marah,
Vani. Aku menyesal sekarang. Surat itu salah. Aku
cabut lagi deh. Aku enggak setuju kau kawin sama"
"Kau disogok apa sih?" potong Vanessa tenang.
"Vani, anggap aja itu semua enggak pernah terj adi!
Itu kekeliruan. Aku salah, terlalu terburu napsu, engg?
ak pikir panjang. Robby..."
"Kau disogok apa?" ulang Vanessa.
Domi kedengaran melenguh penuh penyesalan.
"Aku butuh sekali kerjaan, Vani. Buka praktek sore,
43 pasien yang datang cuma doremi, aku perlu duit. Robby kelewat pintar ngebujuk, dia janji bisa kasi aku
kerjaan di Klinik Profesor Birka yang tersohor itu,
bayangin! Aku kena kemakan omongannya. Katanya,
Prof. Birka itu teman baik ayahnya."
"Tentu aja kawan baik. Malah anak tunggalnya,
Galga, rencananya mau dij odohin sama Robby, sayang
rupanya mereka enggak nyetrum! Nah, selamat bertugas deh, Dokter Masada! Aku dengar si Galga itu
cakep deh, mana sepantar denganmu, enggak beda
banyak. Kalau dia berhasil kaucantol, orang enggak
akan nuduh kau dapat tante-tante, j adi tenang aja. Kalau bisa diangkat jadi direktur klinik, kan bukan main
tuh. Kudoakan semoga berhasil. Selamat malam!"
"Eh, eh, Vani! Tunggu dulu! Aku justru mau ngasi
tahu, suratku itu mau kubatalkan. Aku enggak mau
terima pertolongan dari Robby. Aku telah melakukan
kesalahan besar. Aku benar?benar mencintaimu, Vani.


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin kau kembali padaku!"
"Udah telat, Domi. Tadi sore aku udah teken surat
kawin! Jadi jangan ganggu aku lagi. Dan, eh, namaku,
Vanes, bukannya Vani." Vanessa meletakkan pesawat,
lalu berbalik dan melangkah ke kamar. Lima detik
kemudian, benda itu berdering lagi. Brengsek!
Vanessa berdiri di depan pintu kamar, memandang
ke mej a dan menimbang-nimbang. Ketika pada dering
kesepuluh pesawat itu masih belum juga capek berbunyi, dia melangkah balik, mengangkat gagang telepon dan meletakkannya di atas meja. Dengan langkah
panj ang dia kembali ke kamar. Dibantingnya tubuhnya
ke ranjang, tapi ngantuknya sudah terbang.
Di halaman belakang, tanpa setahu Vanessa, ada
44 tiga orang tengah mengadakan pertemuan di dalam rumah kaca. Bangunan itu panjangnya hampir delapan
meter, lebarnya lima meter. Di ujung belakang terdapat meja dan kursi tempat Pak Balam biasa duduk bila
sedang menyetek atau menyiapkan tanaman baru yang
mau ditanam.
Nah, saat itu Robert sedang duduk di situ bersama Korizia serta tunangannya, Dokter Nemesio Kuret.
Nemesio sebenarnya bekas teman sekelas Robert di
sekolah menengah, karena itu dulu sering juga main
dan jadi kenal dengan adik?adiknya. Usianya seperti
Robert, tiga puluh dua, namun perawakannya kurus,
tidak seperti Robert yang penuh otot. Tingginya seratus
tujuh puluhan, kurang setengah kepala dari temannya.
itu. Wajahnya yang putih mulus dan sedikit tirus dihiasinya dengan kumis lebat yang memang bisa menambah angka di mata gadis-gadis yang senang cowok
bertampang garang, serta berambut keriting sepanj ang
bahu Korizia bekerja di sebuah kantor notaris, sedangkan Dokter Kuret dinas di Klinik Sabara?Birka.
Ketiga orang itu tampak sangat gembira. Melihat
Robert mengeluarkan sebotol champagne dari kolong
meja, Nemesio nyeletuk geli, "Sudah ada yang mau
dirayakan?"
"Udah berhasil kok!" sahut Korizia ketawa.
"Yah, semoga dia mau menyerahkan rumah ini
padaku!" ujar Robert seraya menarik tutup botol. Busa
putih muncrat, menyemprot ke baju Robert, dan Korizia juga kena sedikit.
"Hai, ati?ati dong!" serunya ketawa.
"Kau jerit-jerit begitu, apa enggak takut kedengaran yang di loteng?" tanya Nemesio.
45 "Enggak usah khawatir, jauh kok Greenhouse ini
juga kedap suara. Eh, Rob, jangan terlalu cepat optimis. Vanessa itu cerdik, tahu. Kurasa enggak gampang-gampang dia mau menyerahkan warisannya padamu, meskipun udah sah jadi suami!" Korizia ketawa
sumir sambil menerima gelas yang disodorkan abangnya.
"Jangan takut, aku masih punya kartu lain! Tuh,
Nemesio kan bisa ngebantu kita!"
"Aku? Apa yang bisa kulakukan?"
"Tunggu aja nanti. Kalau dia keras kepala, akan
kukeluarkan skrip sandiwara simpananku! Tapi yang
penting, Kori, tahap pertama rencana kita udah berj alan mulus! Dia resmi j adi istriku, aku punya hak atas
dirinya dan semua miliknya! Ha... ha... ha... kau harus
memuj i kepintaranku membujuknya!"
"Enggak selamatan, ya udah. Diganti sama champagne ini!" Kori ngikik.
Di dalam kamar, Vanessa gulak?gulik terus di tempat tidur, memeluk bantal, kemudian memindahkan
bantal itu ke kepala sehingga bantalnya tambah tinggi. Tapi dua bantal pun dirasanya masih belum cukup.
Ngantuknya sudah lenyap diusir oleh telepon dari
Domi.
Brengsek anak itu! Ngapain malam-malam nelepon, bikin msuh hati orang saja! Udah putus, ya udah,
enggak usah ngebaikin lagi. Toh buat selamanya aku
kagak bakalan mau balik padanya. Uh! Dasar cowok
belon dewasa, masih plintat?plintut! Baru ditawarin
kerjaan, udah terbirit?birit nyanggupin disuruh apa
juga! Belon ditawarin jadi menteri! Mengkali disuruh
nyebur ke sumur juga mau. Di klinik mewah begitu,
46 dokter tanpa pengalaman kayak dia paling?paling
cuma dikacungin doang sama yang senior?senior. Rasain deh. Uh, gara-gara Dami brengsek, akujadi enggak bisa tidur, padahal tadi capeknya setengah mati.
Uh, mendingan aku ngisi diary aja deh.
47 Bab 3
Jam 22.3 0;
SEBENARNYA aku ingin tidur, tapi hatiku sedang
mangkel, enggak bisa pulas. Aku terkenang sama
Coklatsusu, anjingku yang malang. Semasa kecil
kenyang dirotan oleh Mama, sebab kaki meja sering
digigiti. Setelah besar, terrier kesayanganku itu tewas
dibanting Kori. Waktu itu aku di SMP kelas dua. Aku
nangis seharian. Papa membujuk mau membelikan
gantinya, tapi aku menolak. Sejak itu sampai sekarang
aku tetap ngeri punya anjing. Rasanya aku enggak
bakal bisa tahan sedihnya kalau dia sampai tewas
dicelakakan orang.
Yah, memang sepi enggak punya piaraan yang
bisa diajak main. Apa boleh buat, aku takut kehilan?
gan lagi. Sekarang biarlah aku ngomong aja deh sama
kamu, Catatan Harianku yang setia. Kau adalah tanda
mata dari Papa yang akan selalu kubawa ke mana juga
aku pergi. Semua yang kuceritakan padamu ini harus
kausimpan baik-baik. Awas, j angan biarkan orang lain
tahu! Kuncimu aku umpatkan di bawah tumpukan celana dalamku. Pasti yang namanya suami juga nggak
bakal ngegeratak sampai ke situ, apalagi dedemit yang
48 namanya Kori. Kau satu-satunya temanku yang setia,
pelarianku, tempat aku menumpahkan semua isi hati
tanpa sungkan-sungkan.
Ah, seandainya ibuku masih ada. Bukan Mama,
tapi ibuku, istri ayahku, penjual abu gosok. Waktu aku
sedang main di rumah Sabrina, kebetulan lewat tukang
abu gosok. Orang itu terus menjerit?jerit, "Abu...
abu" aku jadi ingat almarhum ayahku. Seandainya
ibuku masih hidup, barangkali aku enggak usah kawin
kertas begini. Barangkali aku akan kawin sungguhan,
sekali saja. Kawin sama orang yang kucintai, orang
yang mencintai aku. Dia akan minta izin sama ibu?
ku, mau mengajak orangtuanya datang melamar. Ah,
indahnya. Semua dengan upacara khidmat. Yang berlangsung tadi sore itu... dapatkah itu disebut upacara?
Pak Razak datang bersama dua orang pejabat Catatan Sipil. Pasti beliau sudah menjelaskan asal-usulku,
sebab tanpa bertanya apaapa, kedua orang itu langsung
duduk di tempat yang ditunjuk oleh Robert, lalu segera
mengisi formulir akta perkawinan. Mereka cuma
menanyakan nama dan tanggal lahir kami berdua.
"Betulkah nama Nona Vanessa Zafir?"
Robert sudah lebih dulu memberi indoktrinasi
padaku. "Sebaiknya kaupakai nama Zafir aja, Vanes.
Enggak usah pakai Balam." Nama lengkapku adalah
Vanessa ZaHr Balam, biasa ditulis Vanessa Z. Balam.
Jadi ditanya begitu, ya aku manggut membenarkan.
"Usia Nona?"
Aku harus berpikir cepat. Lulus FK, dua puluh empat. Enam bulan buat ngurus suratsurat. Wajib kerja
sudah dua tahun lebih. J adi dua tujuh.
"Dua tujuh."
49 "Tanggal lahir?"
"Tujuh, dua belas." Aku enggak bilang tahunnya,
kan sudah tahu, potong saj a dua tujuh dari sekarang.
Pejabat itu mengerutkan kening dan Robert buru?buru mengulangi, "Tujuh Desember, Pak," lalu
menoleh padaku dan mendesis, "Kalau ngomong yang
jelas!"
"Oh, Sagitarius!" cetus pejabat. "Sama dong sama
anak bungsu saya."
Pej abat yang lain nyengir sambil memandang kami
semua. "Kalau senggang dia suka ngeramal. Kalau
mau cari dia, tanya saja orangorang sekampung, di
mana rumah Pak Saleh yang suka "ngeliatin". Anak
baru bisa j alan juga pasti tahu."
Venessa ketawa kecil, sedangkan Pak Razak
menanggapi dengan guyon, ""Kapan-kapan saya mau
datang, ah. Saya suka ikut pacuan kuda di luar negeri,
buat iseng. Enak juga kalau bisa tahu kuda mana yang
bakal menang." Tapi Robert tetap serius.
Acara itu enggak makan waktu banyak. Begitu
formulir sudah diisi dan dibacakan, mereka langsung
menyodorkan pena pada Robert dan kemudian padaku. Selesai. Dan menjelmalah aku sebagai istri sah
Robert Balam! Tanpa cincin. "Cincinnya biar nanti
saja pada waktu pesta," ujar Robert menjelaskan pada
Pak Razak.
Yah, prosesnya cuma makan waktu setengah jam,
satu jam kalau dihitung sama minum teh. Setelah itu
mereka semua permisi. Tinggallah Robert, Korizia,
dan aku. Akta itu dipegang oleh Robert, aku diberi salinannya. Kugulung kertas itu lalu tanpa sepatah kata
juga (habis, aku enggak merasa perlu ngomong sih)
50 kutinggalkan kedua kakak?beradik itu, masuk ke dalam kamarku. Untung sejak kami di SMA, Kori dan
aku diberi kamar terpisah, jadi aku bisa menyendiri
semauku. Seperti saat ini.
Aku belum turun makan, tapi rasanya enggak lapar. Tadi sore aku makan cukup banyak, menemani tamu?tamu pejabat. Saking keenakan kusikat tiga buah
pastel goreng bikinan Bi Asri. Jadi malam ini perut
enggak keruyukan.
Acara kawin itu enggak mau kuingat-ingat. Sama
sekali enggak berkesan. Yang lebih kuingat adalah
upacara selamat jalan buat Papa dua hari sebelumnya,
sehari setelah aku tiba. Yang datang melayat ke rumah
duka di J akarta Selatan itu amat banyak, terutama rela?
si-relasi Papa, termasuk beberapa staf kedutaan asing.
Teman-temanku rupanya banyak juga yang membaca
iklan di dua koran pagi dan sore. Walau sebenarnya
aku selama kuliah enggak begitu erat dengan siapa
pun. Garang sekali kuundang mereka ke rumah, sebab
Mama kurang menyukai teman?temanku. Tempo?tem?
po suka ngomong yang nyelekit di depan mereka,
bikin aku malu banget), ternyata cukup banyak yang
masih ingat diriku. Aku senang bercampur sedih melihat mereka. Senang bisa reuni setelah tiga tahun, sedih
lantaran ketemunya kok bukan dalam suasana yang
lebih menggembirakan.
Triska Omega* datang sendiri. Dia teman sekolah
dan kuliah yang terhitung paling dekat denganku.
Ayahnya, Oom Justin, adalah internis terkenal, dosenku, juga bekas teman sekelas Papa, merangkap dokter
pribadi.
* Sepagi Itu Kita Berpisah
51 Triska kelihatan kurus. Aku baca di koran, dia cerai
dengan suaminya, Dokter Melnik. Kata koran tabloid,
suaminya ada main dengan peragawati Ratu ASEAN,
Odi Bobadila.
Triska memelukku serta mengecup pipiku tanpa
kata. Aku mengerti sepenuhnya dan merasa berterima
kasih atas rasa simpatinya padaku. Dulu dia pernah
menulis surat ke Fatima, mengabarkan sudah punya
anak. Aku ingin menanyakan sudah bisa apa Marco,
umur berapa sekarang. Tapi sebelum aku sempat buka
mulut, sudah muncul Tante Yasmin bersama Oom
Bukhari Sukhan, diikuti oleh lnge, anak bungsu merekaf
Tante Yasmin adalah adik Papa, satu-satunya saudara kandungnya. Tante Yas termasuk segelintir orang
yang masih menaruh perhatian padaku. Malah rasanya
dia lebih memperhatikan diriku daripada keponakannya sendiri, Kori.
"Mana Sabrina, Tante?" tanyaku. Sabrina adalah
anak sulungnya, temanku juga di FK tapi setingkat
lebih tinggi.
"Masih di Amerika."
"Suaminya ikut?"
"Enggak. Katanya, perlu jaga kandang."
Aku ingin ketawa, tapi rupanya itu bukan lelucon. Tante Yas kelihatan serius. Barangkali ada apaapa yang kurang beres antara Sabrina dan suaminya.
Kami, teman-temannya, memang merasa heran waktu
Rina mendadak kawin dengan Eltor Tumelo, sebab
pacarnya selama itu sebenarnya Agus Toska. Eltor
itu abang Krisanti, kawan baik Sabrina. Krisanti ini
* Sekuntum Nozomi (akan terbit)
52 yang ternyata menjadi Nyonya Toska. Tapi kata Galga
Birkaf mereka sekarang sudah pisah.
Tak lama kemudian Natasia Khuri muncul bersama suami, Dokter Arsyad Bairi, ahli bedah musuhku."
Habis, kerj anya meneror cadok?cadok yang sedang tugas kepaniteraan di Bedah, terutama kalau sedahg jaga
malam.
Pernah dia masuk ke kamar ko-as tengah malam.
Aku sedang pulas, mimpi disuruh memotong usus buntu tapi enggak ketemu-ketemu dan di belakangku Dokter Arsyad yang mulia sedang sibuk membentak?bentak, bikin aku makin senewen. Lalu ada seorang suster
ruang OP yang menggoyang-goyang bahuku sambil
jerit-jerit, "Dokter Vanes, Dokter Vanes..." Aku terbangun kaget. Lebih kaget lagi waktu membuka mata.
Ternyata Dokter Arsyad sedang berdiri di kaki ranj ang
pasien dengan tangan terlipat di dada, sementara Mbak
Nani mengguncang?guncang lenganku, memanggil?
manggil.
"Kenapa tidur di ranjang pasien?" hardik Yang
Mulia.
Aku segera duduk di ranjang, merapikan rambut
dengan jari-jari. "Kamar ko-as ditempati asisten, Dok.
Kamar ini memang kosong, sudah dua hari. Ranjang
ini bersih, sepreinya baru ."
"Sekarang ada pasien yang mau masuk ke sini.
Sana kauurus dulu, bikin diagnosa yang betul!"
"Baik, Dok."
Tengah malam buta, dengan mata pedas setengah
terpicing, aku harus menangani pasien yang sedang
* Dikejar Bayang?bayang
* * Berkerudung Awan Mendung
53 merintih?rintih kesakitan. Aku sudah ngeri j angan?j angan laki-laki tegap setengah umur itu terbelit ususnya.
Berarti harus dibuka sebelum ayam berkokok tiga kali.
Jadi malam-malam aku dikerjai halus gentayangan ke
ruang sinar, bikin foto, ke labor periksa iniitu. Mana
kadar alkali salah kuhitung, kena bentak Dewa Arsyad
yang duduk menunggu di ruang depan OP.
Rupanya itu pasien pribadinya, tempat kediamannya di daerah bintang tujuh (bukan pabrik obat), piyamanya saja ditempeli label "Christian Dior", entah
Dior yang mana, tapi rasanya sih bukan Dior Tanah
Abang. Untung pasien mahal itu masih tahu diri, eng?
gak terlalu menyusahkan, ususnya ternyata masih mulus. Celakanya, sumber nyerinya itu enggak bisa kutemukan. Dasar memang masih megang, belum lulus,
jadi aku usul supaya diobservasi saja, besok pada jam
kantor yang lumrah (bukan j amnya memedi gentayangan begini) supaya dikonsulkan untuk pemeriksaan
yang tuntas.
Wah, dasar aku masih keroco, belum mengerti tingginya harga diri seorang ahli bedah. Lancang betul aku
menancapkan harga diri itu di tanah, padahal biasanya
selalu menclok di puncak Everest! Nah, meledaklah
sang dewa seperti Vesuvius yang menelan kota Pompeii, tahun 79 setelah Masehi. Masak dia mau dianggap kagak becus sampai-sampai pasien pribadinya
harus dikonsul pada sejawat! Selain tersinggung, juga


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada faktor ngantuk dan problem pribadi. Menurut kabar burung (burungnya pasti sudah rusak pita suaranya
setelah menyebarkan berita itu ke segala pelosok Bagian Bedah), Dokter Arsyad baru ketiban pulung.
Bekas pacarnya bunuh diri di Bagian Kebidanan
54 dan menitipkan bayinya yang baru lahir padanya!
Orang-orang tentu saj a berspekulasi, apakah dia ayahnya?! Kalau bukan, masak wanita itu gegabah main
titip? Selain itu, keahlian merayu dokter ganteng itu
kan sudah tersebar dari Sabang sampai Merauke. Pasti
wanita itu adalah
Nah, teringat masa lalu, kebat?kebit juga hatiku dihampiri oleh mereka. Kenapa sih Natasia pakai ngaj ak?ngaj ak satpamnya segala? Kenapa bukan ditinggal
saja di rumah, biar j aga maling. Ternyata chirurg yang
j empolan itu ingatannya enggak sepanjang gaj ah dungkul (kecuali soal anatomi dan teknik OP, tentu saja),
sehingga hatiku tenteram. Kalau bukan dalam suasana
berkabung, pasti kami bisa bersenda gurau sebab aku
juga sudah kangen sama Natasia yang semakin cakep
itu. Cewek yang paling jangkung di kelas ini (cuma
ada satu cowok yang bisa nandingin tingginya, yaitu
Pak Arsyad itu) sekarang sudah punya anak dua! Anak
pertama adalah titipan dari ex pacar Pak Arsyad yang
bunuh diri garagara inseminasi buatan, menyinggung
martabat suami, dicerai, orangtua enggak ngakui lagi,
bla?bla-bla, ujung-ujungnya nelan racun!
Kalau bukan sedang berkabung, pasti kami sudah
cekikikan mengenang masa lalu, misalnya kisah Dokter Arsyad disangka oleh Natali (nama di paspor; Natasia itu?seharusnya Natasha?nama panggilan kesayangan sebab ayahnya senang sama penulis Rusia,
Chekhov, jadi anak tunggalnya diberi nama Rusia, sedangkan anjing-anjing mereka bernama Misha, Sasha,
dan Gorky) telah membunuh teman ex SMA-nya, Lisa
Alba, padahal Lisa senang-senang saja di Amerika sebagai Nyonya Ferguson. Juga akal bulus Arsyad un
55 tuk menj erat Natali dengan pura-pura kena AIDS dari
pasien, sehingga dia rela menikah demi menjaga harta
warisan dari Arsyad untuk Nuri, anak titipan ex pacarnya. Setelah kawin baru ketahuan bahwa itu cuma
tipuan belaka. Tentu saja Natasia mencak-mencak,
kabarnya rumahnya hampir ambruk dilanda "gempa,
sekian Richter.
Tapi dalam suasana duka begini, Natasia nyaris
enggak tersenyum, mungkin teringat kedua orangtuanya sendiri yang sudah tiada. Juga Dokter Arsyad,
mmben sopan sekali. Padahal dalam ruang OP, wah,
perbendaharaan kata?katanya begitu panas, sampai
rasanya telur pun bisa matang kalau disemprot oleh?
nya. Natasia memelukku. Rupanya kebiasaan dari Jerman ketika dia kuliah di sana. Oya, aku lupa cerita,
Natasia adalah bekas teman sekolah di SMP. Seperti sikapku di Kedokteran, selama di sekolah menengah juga aku kurang suka bergaul. Bukannya enggak
senang punya teman, tapi aku segan terlalu repot dengan orang. Kalau cuma berteman di sekolah, ikut kegiatan olahraga, pekan kesenian, membantubantu, aku
pasti mau. Belum pernah aku dicap malas oleh guru
siapa pun. Tapi di luar sekolah, aku ogah main?main
dengan teman, mauku sendirian saj a. Dengan Natasia,
hubunganku agak lain. Ayahnya, Oom Khuri, adalah
teman baik Papa, sedangkan ibunya?ibu tiri (sebenarnya ibu kandung Arsyad) cukup sayang padanya?
sering juga datang menemui Mama, biasanya untuk
arisan atau menawarkan perhiasan. Natasia sering kali
diajak, dan aku disuruh menemaninya. Karena sifatnya yang ceria, terus terang, dan enggak suka men
56 geritik, aku senang padanya. Kori juga menyukainya.
Karena usia kami sepantaran, dia lebih dekat padaku
daripada dengan Kori.
"Vanessa " Natasia memegang kedua bahuku.
Bibirnya digigitnya, rupanya tak sanggup berkata lebih banyak. Matanya yang bulat indah kelihatan ber?
linang, membuat mataku jadi ikut basah. Terpaksa aku
mengejap-ngejap supaya jangan sampai meleleh ke
bawah. Lalu dipeluknya aku erat-erat seakan aku ini
adiknya, membuat diriku makin trenyuh. Tapi kutahan perasaanku. Wajahku kusesapkan di samping lehernya, tercium olehku samar?samar harum parihm di
cuping telinganya. Untuk ukuran Asia sebenarnya aku
enggak termasuk pendek, seratus lima puluh sembilan
koma lima senti, tapi itu cuma sampai di bawah cuping
telinga Natasia.
"Besok-besok kita harus ketemu lagi, jajan berdua,
ya," bisiknya seraya meletakkan dagunya di ptincak
kepalaku. Betul?betul aku diperlakukannya bagaikan
adik. Aku cuma bisa manggut, lalu melepaskan diri
dan langsung disambar oleh Dokter Arsyad yang rupanya sejak tadi menunggu giliran, sabar membiarkan
istrinya menghibur diriku.
"Vanessa, aku turut berduka atas kehilanganmu."
Jabatan tangannya masih seperti dulu, keras dan men?
yakitkan seperti jepitan besi. Kalau dia kebiasaan
menyalami setiap pasien, pasti lama?lama enggak ada
lagi yang mau berobat padanya saking ketakutan tangan nanti remuk!
"Terima kasih, Dok."
"Namaku Arsyad di luar jam dinas! Kausebut "Dok"
sekali lagi, terpaksa aku kirimi kau rekening!" Wajah?
57 nya enggak ketawa (mungkin karena suasana enggak
mengizinkan), walau dalam hati pasti ingin.
Seorang wanita setengah umur mengulurkan tangan dan Natasia mengangguk padaku sambil mengajak
suaminya berlalu. Kemudian muncul Karmila bersama Feisalf Dia langsung menubruk aku dan memeluk
kencangkencang. Tidak sepatah pun yang diucapkannya. Karmila merupakan kekecualian, sebab dengannya
aku cukup erat, beberapa kali aku main ke rumahnya
semasa di SD.
Aku pernah masuk Kepanduan dan di sana aku
mengenalnya. Keanehannya adalah kami bisa akrab
walau dia sebenarnya lebih tua dari aku, entah berapa
tahun, mungkin dia malah lebih tua juga dari kakakku,
Kori. Keanehan atau kebetulan lainnya adalah bahwa
Oom Gurong (ayah Feisal) itu bekas teman sekolah
Papa.
Feisal malah pernah mau dijodohkan sama Kori.
Kelihatannya sih keduanya enggak nolak, lantas tahu?tahu Feisal dituduh memperkosa sampai masuk tahanan polisi. Gadis yang diperkosa menjadi hamil tapi
kabarnya enggak mau nuntut apa-apa. Tahu gimana,
Feisal yang bergajul itu kok akhirnya jadi nekat mau
mengawini korbannya padahal gadis itu sendiri ogah,
ketemu juga enggak sudi. Wah, ramai deh koran?koran
waktu itu memuat kisah tersebut, tentunya lengkap dibumbui Aji?no?moto, terasi, garam, dan gula. Setelah
didesak dan dibujuk, akhirnya gadis itu bersedia kawin
dengan syarat, cuma di atas kertas dan cuma sampai
anak itu lahir, supaya anak itu punya ayah dan punya
nama.
* Karmila
58 Setelah mereka kawin (tanpa pesta), barulah Papa
cerita di meja makan sama Mama (anak-anak cuma
boleh nguping) bahwa anak pertama Oom Gurong sudah kawin sama Karmila. Karmila yang mana, pikirku
waktu itu. Dasar aku enggak suka bergaul, jadi setelah
tamat sekolah, kurang menjalin hubungan, boleh di?
bilang enggak pernah ketemu teman?teman lagi, termasuk Karmila.
Ketika anaknya, Fani, sudah berumur entah berapa
tahun, Karmila betul-betul menikah dengan Feisal,
dan aku dikirimi kartu undangan. Seluruh keluargaku
sebetulnya diundang, tapi Karmila khusus mengun?
dangku terpisah.
"Wah, kau enggak setia! Gimana si Edo di Perth,
masak kaubuang begitu aja? " ujarku menggodanya.
Walau enggak suka bergaul, aku cukup pintar ngomong. Malah kata Mama, mulutku terlalu ceplas?ceplos, salah-salah bisa dimaki atau ditampar orang
(Oleh Mama sih sering, sebab bicaraku jarang berkenan di hatinya).
Karmila menarik napas sambil memilin-milin
Lg'ung kerudung putihnya (gaun pengantinnya putih
dengan kerudung panjang yang dicantelkan ke pergelangan tangan, jadi tak usah terus?terusan diang?
kat Oleh kedua pengiringnya), lalu mendesah pelan,
"Udah nasib kali, ya, Alfredo enggak berjodoh sama
aku. Ternyata hatiku lebih berat sama anak daripada
sama tunangan. Selain itu, ayah Fani juga baik banget
padaku, telaten sekali. Rasanya susah mencari laki?laki sebaik dia. Edo sendiri masih kalah kalau mau diukur kesabaran dan perhatiannya sama aku. " Ternyata Karmila memang enggak salah pilih.
59 "Kau harus main ke rumahku, Nes! Udah lama
enggak kautengok-tengok keponakanmu, si Tasia.
Kalau sedang memeluk boneka yang kauberikan, dia
suka bilang, LMam, kok Tante Nes enggak pernah datang lagi, ya?" Jangan diterlantarkan dong, lama?lama
nanti dia bisa lupa sama engkau, lho."
Aku terharu mendengar ucapannya. Karmila per?
nah bilang, selain jadi adik Kepanduan, aku juga sudah dianggapnya seperti adik sendiri. Rupanya perasaannya terhadapku belum berubah.
"Wah, sori banget, aku bukan lupa, tapi enggak
sempat. Kan selama dua tahun lebih ini aku di daerah,
j adi mana mungkin datang."
"Tapi juga enggak nulis surat!" tuduh Karmila
mengerling tajam, tapi bukannya marah. "Waktu dia
ultah terakhir, setiap hari kerjanya nungguin tukang
pos. Akhirnya kecewa karena Tante Nes enggak kirim
ucapan selamat!"
Wah, aku merasa gerah ditelanjangi begitu, mana
disaksikan oleh Feisal dengan mata tersenyum tanpa
komentar. Memang aku bersalah, kelupaan kirim kartu
dan kado untuk si cilik. Kalau mau lebih jujur, sebenarnya bukan lupa tapi waktu itu aku sedang kesal dan
depresi. Kronik. Beberapa kali setahun, suka kumat
penyesalanku atas nasibku. Kenapa aku sampai enggak kenal orangtua sendiri, kenapa aku dilahirkan dalam keluarga yang begitu miskin, ayahku sampai perlu
jualan abu gosok untuk menghidupi anakistri, sampai
akhirnya ditabrak mati oleh Mercedes. Pak Balam.
Papa biasanya enggak nyetir sendiri, tapi kenapa hari
itu sopir justru mendadak sakit, Papa punya problem di kantor, pagi itu juga sempat ribut dulu dengan
60 Mama (menurut cerita Bi Asri), jadi rupanya sedang
kesal dan konsentrasi kurang. Nabrak, deh. Dan sej ak
itu Papa enggak pernah lagi duduk di belakang setir.
Harus ada sopir atau Mama atau setelah kami dewasa,
salah seorang anak yang bawa mobil.
Nah, kalau penyesalan hidupku sedang kambuh,
aku bisa murung dan uring?uringan berhari?hari seperti pecandu alkohol, ogah mengerjakan apa-apa, dinas di rumah sakit pun bagaikan robot saja, enggak
ada ketawa atau humor, ngomong seperlunya. Setelah
serangan berlalu, biasanya dua kadang tiga hari, aku
pun biasa lagi. Bisa lagi menerima keadaanku yang
harus hidup dari belas kasihan orang lain, dihina dan
dimusuhi, sehingga membuatku minder banget. Karena itu aku lebih menutup diri, jarang bergaul. Bukan
karena aku enggak senang punya teman banyak, juga
bukan karena aku enggak bisa bergaul atau ikut ramai-ramai, tapi karena aku minder dengan keadaanku.
Sering aku berpikir, gimana sih, kok orangtua kand?
ung sendiri saja enggak pernah kukenal? Mereka mati
sebelum aku sempat punya kenangan. Bahkan potret
selembar juga enggak ada. Kayak apa sih mereka itu?
Kok keduanya meninggal begitu muda? Ayahku ditabrak, lantas ibuku... meninggalnya karena apa?
Waktu kecil, aku sering melamun bahwa ayahku
sebenarnya belum mati, dia bahkan orang kaya. Aku
sebenarnya diculik dan ayahku akan datang mengambil aku kembali. Aku akan pulang ke rumah bagus, tidur di ranjang bagus, disayang ibuku sendiri, Kori dan
Mama enggak bisa lagi maki-maki atau nempeleng
"Hei, ngelamunnya udah sampai langit keberapa?"
bisik Karmila mengguncang diriku. Karena suasana
61 yang serius, dia enggak tersenyum tapi nada suaranya enggak urung membuat aku nyengir sedikit. Lebih
malu lagi aku ketika melihat Feisal juga sedang menceng bibirnya, menahan geli menatapku.
"Sorry, " bisikku dengan pipi terasa panas. "Aku
ngaku salah, udah nelantarin Tasia. Nanti aku datang
deh, buat nebus dosa. Hari apa aja kau di rumah?"
"Datang deh Jumat kalau sempat. Biasanya aku
masak?masak setiap Jumat sore, sebab enggak praktek. Jadi kau bisa sekalian ngebantuin di dapur!"
"Geblek! Masak tamu mau dikerjain!" komentar
F eisal, untuk pertama kali buka mulut setelah tadi
mengucap ikut berduka.
"Siapa bilang Vanessa ini tamu? Orang udah biasa
nginap kok. Eh, kenapa kau enggak mau nginap aja?
Nah, kan aku jadi tambah pembantu satu! Kau pasti
enggak enak hati dong ya, tidur?bangun melulu enggak ngebantuin apa?apa."
"Mila!" tegur Feisal pelan seraya menyentuh sikunya.
"Apa, Say?" Yang ditegur berlagak cuek tapi lirikannya manja dan bibirnya miring ke atas separuh seakan tengah mengirim kode rahasia. Aduh, iri juga aku
melihat kemesraan mereka. Kapan ya, Domi sama aku
bisa begitu? (Pikirku saat itu.) Sekarang sih aku tahu,
itu enggak bakal terj adi. Domi sudah masuk museum,
j adi barang antik.
Aku pernah dengar salah seorang teman arisan
Mama bilang, perempuan sebaiknya jangan kelewat
banyak melahirkan, badan jadi lodroh kayak terong
rebus. Tapi kok Karmila ini lain. Sekarang anaknya sudah tiga, dia malah kelihatan lebih ayu, lebih menarik
62 daripada dulu waktu pesta kawin. Kapan-kapan harus
kubongkar apa sih rahasianya
Seseorang mendadak menubruk aku dari belakang,
mengalungkan kedua lengannya sekalian di leherku.
Sedetik aku sempat berharap: "Domi nih! Akhirnya
kau datang juga, walau telat!"
Detik berikutnya aku sadar, lengan-lengan itu terla?
lu halus dan sama sekali enggak berbulu seperti lengan
Domi. Aku bergerak mau menoleh tapi dihalangi oleh
kecupan di pipi dan suaranya yang lembut menerpa
kupingku.
"Vanes, aku ikut kehilangan...."
Siapa lagi yang suaranya selembut itu! Aku berbalik dan langsung tertangkap olehku sepasang matanya
yang bulat, hitam, dan j emih sekali. Rambutnya masih
tetap ala Cleopatra. Cuma pinggangnya melar dua
kali, rupanya sedang hamil lagi.
"Klesiaf trims. Kau gravid lagi, enggak bosanbosan?"
Klesia mencibir ke arah suaminya yang berdiri di
sampingnya, menyalami aku. "Tanya tuh si Ario! Aku
juga enggak tahu, kenapa dia kok enggak bosan-bosan
me"
"Kleo, kalau kupijit urat di lehermu ini, kau bisa
ngompol, tahu enggak?" ancam Ariono sambil merabai leher jenjang istrinya. Rupanya Klesia sudah tahu
bobot suaminya, ancamannya enggak pemah kosong,
jadi dia mencibir saja tanpa daya. Kemudian kukenalkan mereka dengan Karmila dan Feisal.
"Aku tinggal dulu ya, Nes. Sampai Jumat, ya," ujar
Karmila, mengajak F eisal berlalu.
* Rintihan Pilu Kalbuku
63 Dengan Klesia, aku enggak sempat ngobrol lama?lama sebab ada orang lain yang mau menyalami
aku. Tapi kami sempat berj anj i akan ketemu dan ngobrol di telepon. Kemudian muncul Oom dan Tante Gurong, mertua Karmila. Mereka memang sudah kukenal
sejak aku masih kecil, malah mungkin mereka juga
tahu jelas riwayatku. Paling tidak, begitulah kesanku
ketikaTante Gurong bilang, "Jangan terlalu bersedih,
Vanessa. Ayahmu sudah senang di sana. Hidupnya
juga, Tante tahu, cukup bahagia sebab ada kamu. Suatu waktu nanti, Tante Yasmin pasti akan menjelaskan
semua padamu. Seandainya kau perlu sesuatu, jangan
segan?segan datang pada Oom dan Tante. Kami kan
sahabat karib ayahmu."
Aku cuma manggut seperti si bego, saking bingungnya. Papa, bahagia? Ribut terus sama istri, mana
bisa bahagia? Malah kamar tidurnya, seingatku, sejak
dulu sudah lain dari kamar Mama. Dan Tante Yas? Apa


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mau dijelaskan oleh adik Papa ini padaku?
Tapi aku enggak sempat bertanya apa-apa sebab
Robert mendadak muncul di depanku membawa dua
orang temannya, Leo dan Johnnyf Keduanya menyalami aku. Dokter Leo Pandaan" kawin dengan Siska,
adik Johnny Santoso. Robert dan Johnny sama-sama
satu klub yudo. Mereka juga sama?sama sekolah di
SMA Kanisius, cuma kelasnya lain. Kemudian Leo
pindah dari daerah ke kelas Robert pada tahun ketiga.
Ketika itu Robert tinggal di rumah Tante Yas, dan pulang ke Eski Saraya setiap Sabtu sore.
* Badai Pasti Berlalu
** dalam Badai Pasti Berlalu namanya Leonardus Setiabudi,
sekarang diganti menjadi Leo Pandaan
64 Johnny rupanya sudah mapan sebagai arsitek, tapi
heran, dengar-dengar kok masih bujangan. Buj ang
lapuk ini kelihatan awet muda, wajahnya masih tetap
segar seperti dulu, cuma pinggangnya agak melar dan
batas rambutnya di dahi sudah makin naik. Leo juga
enggak banyak berubah, mukanya masih simpatik, dan
rambutnya masih berombak (rupanya memang asli),
cuma cakar ayam di sekitar matanya agaknya sudah
permanen, walau matanya enggak dipicingkan.
"Siska titip salam, Vanessa. Dia minta maaf, enggak bisa datang. Kau maklum kan, hyperemesis,../"*
"Jadi betul dugaanku!" potong Johnny setengah
mendumal. "Dia hamil lagi! "
Sebenarnya aku enggak begitu erat dengan Siska.
Aku baru mengenalnya setelah dia menikah dengan
Leo yang memang sering main ke rumah, dulu. Setelah
kawin, Leo beberapa kali mengajak istrinya bila ada
undangan makan malam di Eski Saraya, yaitu semasa
Mama masih hidup. Mama memang penuh perhatian
terhadap teman-teman Robert dan Kori, sebaliknya
dia acuh tak acuh saja terhadap teman-temanku sampai akhirnya aku malu sendiri mengajak mereka ke
rumah. Aku rasa, Mama pernah berangan-angan mau
menjodohkan Kori dengan salah seorang teman Robert. Tapi rupanya Dewa Cupid sedang malas melempar panah emasnya, jadi usahanya mencoba memikat
mereka dengan makanan serta perhatian sia?sia saja.
"Kasian adik gue, tiap tahun dikerjain olehmu!"
gerutu J ohnny.
Leo mengangkat bahu, bibirnya enggak berani
senyum sebab semua orang sedang serius, tapi matan?
* hyperemeszs gravuiarum : muntah-muntah hebat waktu hamil
65 ya tetap saja berbinar j enaka. "Siapa bilang tiap tahun?
Cuma tiga tahun sekali, kok!" bantahnya. "Abis dia
enggak pernah nolak. Mau terus sih!"
"Mau terus, mata lu! Enggak punya kasian!"
Leo menoleh padaku dan berkata pelan, "Vanessa,
coba dong kaujinakkan kuda binal ini! J angan biarkan
dia keliaran terus di luaran, nanti salah?salah dapat su?
venir AIDS !"
"Mata lu, keliaran!" bantah tertuduh. "Akukan tahan selibatf enggak kayak lu tukang nyiksa adikku!
Tahu begitu, dulu gue veto niat lu kawin sama adikku!" Johnny mendelik, kemudian menoleh padaku,
"Enggak kusangka kau begini cakep sekarang, Nes.
Rasanya dulu seingatku kau selalu ingusan, rambutmu acak-acakan, bajumu kucel, kakimu kurus.... Eh,
kapan-kapan kita nonton film atau berenang ke laut,
yuk?! Tahu enggak, ada karaoke baru di"
Robert langsung menarik keras lengan J ohnny yang
hampir mendarat di bahuku. "Vanessa dilarang keluar
rumah! Orang sedang berkabung kok diajak yang bukan-bukan sih?!" Dengan muka cemberut diseretnya
kedua konconya pergi. Sebelum aku sempat menarik
napas lega, terlepas dari mulut-mulut usilan mereka,
sudah tegak di hadapanku Dokter Kishi" dan Dokter
Ramon. Kishi adalah kakak kelasku di FK, tutor yang
paling banyak membantuku, terutama menghiburku di
kala aku sedang depresi karena keadaan rumah yang
sering kali kurang menunjang studiku. Sebenarnya
Mama enggak setuju aku masuk FK.
"Buat apa sih anak perempuan masuk sekolah begi
* selibat: pantang hubungan seks
* * Kishi
66 tuan. Nanti jadi bertingkah, ngelunjak sama orangtua,
enggak nganggap sama suami, kurang ajar sama mertua, bisa-bisa dicerai dalam setahun! Mendingan sekolah sekretaris saja, cepat klaar enggak buang duit.
Well, zeg, aku sih amit-amit deh, jangan sampai punya
mantu perempuan dokter! Salah-salah nanti aku yang
ketempuhan mesti ngurusin anaknya, cuciin popok,
botol susu..."
"Sudah, jangan dilebih-lebihkan," potong Papa.
""Anak-anakmu sendiri tak pernah kauurus, semua diserahkan pada Asri dan Ucih, jadi kenapa sekarang ketakutan mesti merawat cucu? Jauh-jauh hari kau pasti
sudah menyediakan babu susu, kan? Nah, soal pendidikan, biarlah anak-anak milih sendiri apa kemauan
masing-masing."
Aku jadi serba salah. Aku tahu, bukan main mahalnya pendidikan di Kedokteran. Selain itu juga bakal
makan waktu paling sedikit enam tahun. Kalau aku
sial, dapatnya di swasta, wah, bisa sampai sembilan
tahun. Malah kabarnya ada yang sampai tiga belas tahun, sebab empat tahun nganggur gara-gara Gestok,
sampai keburu tua duluan di kuliah.
"Vanes, bilang terus terang, sebenarnya kau mau ke
mana?"
"Jelas bukan ke Kedokteran!" Mama mendahului
aku menj awab.
"Wong ya motong ayam saja di dapur enggak tega,
gimana mau membedah mayat?"
"Kau yakin akan sanggup jadi dokter?" tanya Papa
lagi tanpa memedulikan omongan Mama.
Aku jadi bingung. Mau dijawab gimana? Laa,
orang yang sudah duduk di FK juga masih belum ten?
67 tu yakin bisa lulus. "Tahu deh, Pa," sahutku pelan,
menunduk. Jantungku yang debar-debur terus, enggak henti-hentinya mengingatkan bahwa aku ini cuma
anak pungut, bapakku tukang jualan abu, aku sama
sekali enggak punya hak buat minta masuk sekolah
yang biayanya selangit. Malah sebelum diterima pun,
kabarnya di swasta sudah mesti sedia oli buat pelicin,
namanya sumbangan.
Mendengar itu, tangan Mama langsung naik ke
pinggang. "Nah, jij dengar tuh! Anak itu sendiri sudah tidak yakin, buat apa lagi cari koneksi supaya bisa
masuk? Lebih baik sekolah yang bisa klaar optijd, ja
of nee? Sekarang gini saja, kalau anak ini bisa diterima di negeri, dia boleh kuliah. Tapi kalau mesti masuk
swasta, kasi sumbangan juta-jutaan, enggak bisa.
Anak kita bukan cuma seorang, tapi tiga. Robby dan
Kori juga perlu biaya."
Untung aku diterima di negeri. Jadi Mama enggak
bisa melarang aku kuliah di FK. Tapi Mama seperti
yang sengaja membikin aku susah. Sering aku disuruhsuruh pada saatsaat aku sibuk mau ujian. Mama pasti
tahu itu, sebab Bi Asri saja tahu dan diam-diam sering
menyelesaikan tugasku di dapur.
Nah, Kishi banyak membantuku baik dalam belajar
maupun dengan dorongan semangat setelah kuceritakan sedikit kesulitanku di rumah. Tempo-tempo aku
diajaknya makan ke rumahnya, tapi aku enggak berani sering-sering ke sana. Bila aku enggak makan
di rumah, Mama pasti mau tahu aku sudah makan di
mana. Dan akibatnya, aku pasti dimarahi mau bikin
malu orangtua, dikira enggak cukup dikasi makan dan
lain?lain.
68 Adik Kishi cuma seorang, Saskia. Katanya dia ingin
punya adik banyak, jadi aku dianggapnya sebagai adik
asuh. Adik asuhnya yang lain adalah Arbaletaf sering
dipanggil Arlet saja oleh teman-teman dekatnya. Arlet
sebenarnya sekelas di bawah Kishi, tapi entah kenapa
dia berhenti selama tiga tahun. Jadi akhirnya setingkat
denganku. Kemudian dia sendiri yang cerita padaku
apa sebabnya dia mogok begitu lama.
"Kish, Ramon, trims, ya."
Keduanya mengangguk. Kishi menggenggam erat
tanganku. Matanya yang hitam berbinar di balik kacamata Giorgio Armani, menatapku dengan ramah serta
penuh perhatian. "Kalau ada sesuatu yang bisa kami
bantu, apa saja, jangan sekali?kali segan ngasi tahu,]ho!"
"Nanti Kishi tersinggung kalau kau berlagak sombong, seperti yang enggak butuh pertolongan," ujar
Ramon menyambung.
"Apa kabar F ibula dan Tarsalus? Aku kangen sama
anak?anakmu." Kishi dan Ramon memberi nama tulang pada anak-anak mereka. Fibula adalah tulang kering, itu tuh yang menonjol di betis, yang bila terhantam kaki mej a, adooow, minta ampun sakitnya! Nama
adiknya diambil dari tulang mata kaki. Banyak orang
menuduh mereka nyentrik, tapi aku sih bilang, mereka
orisinil.
"Makanya ke rumah dong kalau kangen. Mereka
sehat-sehat saja," sahut Kishi disambung oleh Ramon,
"Sudah makin pintar seperti bapak mereka."
"Jangan lupa aku juga punya andil dalam cetakan
DNA mereka!" ujar Kishi sambil menginjak kaki Ra
* Dikejar Bayang-Bayang
69 mon yang kelihatan berusaha keras untuk tidak ketawa
sebab suasana yang tidak mengizinkan.
"Eh, kapan kau selesai wajib dinas di daerah?" tanya Kishi mengalihkan percakapan.
"Setahun lagi."
"Setelah itu mau spesialis apa?" tanya Ramon.
"Barangkali aku mau kerja. Aku perlu cari duit,
sekarang kan enggak ada lagi yang akan ngasi uang
saku."
"Tapi kau masih bisa tinggal terus di rumah
ayahmu, kan?"
"Tahudeh, Kish. Moga-moga sih bisa. Kalau sampai diusir sama Robert atau Kori, ya terpaksa cari kos
atau cari rumah sakit yang menyediakan tempat tinggal."
"Kalau kau sampai diusir, kasi tahu kami! Ramon
pasti bisa mencarikan jalan keluar."
"Nyanyi di nite club mau enggak? Kishi bilang, suaramu bagus. Aku kenal pemiliknya, pasti kau diberi
pondokan," ujar Ramon, nadanya bercanda tapi tanpa
ketawa, rupanya maklum sedang ada di mana.
"Jadi kau cerita-cerita soal diriku, ya?" kataku,
berlagak menegur Kishi. Yang ditegur cuma menggeleng dan mencucut bibir. "Enggak pernah kujelekkan
dirimu, Vanes. Kau tahu sendiri Ramon. Kalau melihat
cewek cakep, dia selalu mau tahu riwayatnya!"
Lalu dia menoleh pada suami yang sedang meringis, rupanya malu. "Jangan usul yang enggak-enggak
dong, Manisku Belang Tiga! Kalau sampai terjadi
apa-apa dengan anak orang, apa kau mau bertanggung jawab?" Kishi mendesis seraya mencubit lengan
suaminya (enggak sakit sih, sebab Ramon sama sekali
70 enggak meringis, mengedip juga enggak), lalu bertanya padaku, "Penguburannya kapan, Nes? Di mana?"
"Ayahku minta dikremasi, Kish. Nanti sore berangkat ke tempat kremasi. Besok subuh dibawa pakai
yacht ke tengah laut dekat Pulau Bidadari. Oom Petrus
yang akan mengatur, pinj am yacht miliknya."
Kishi manggmt-manggut. Entah karena kusebut
nama ayahnya atau cuma kebetulan belaka, tahu-tahu
Erik Sigma* sudah berdiri di hadapanku, membuat j antungku hampir copot. Aduh, gantengnya cowok yang
satu ini! Ramon juga tampan dan gagah, tapi ketika
dokterpenyanyi ini sedang tur ke Manila, nite club-nya
kena bom. Dia terluka bakar hebat, sekarang selalu pakai kacamata berwarna abu-abu untuk menutupi jaringan parut sekitar mata kiri; dahinya juga agak berkerut dan warnanya lain dari sekitarnya, rupanya dia
mendapat transplantasi kulit yang cukup luas. Ramon
masih tetap menonjol dari orang?orang sekitarnya,
tapi kalah dengan Erik Sigma yang kelihatan santai,
bagaikan asap kemenyan yang masuk ke dalam ruangan tanpa ketahuan, tanpa kelihatan, tapi tahu-tahu sudah menyita perhatian segenap hadirin tanpa orangnya
sendiri menyadari apa yang terj adi. Dia kelihatan enggak tahu bahwa penampilannya itu bukan main.
Aku terpaksa tahan napas, takut bahwa ini cuma
mimpi. Ah! Betul-betul mirip Robert Redford sewaktu
muda, cuma kulitnya saja kurang putih, tapi juga enggak setua coklat. Rasanya waktu kami sama-sama di
SMA enggak pernah kulihat dia seganteng sekarang,
karena itu aku enggak pernah ikut?ikutan berlomba
menarik perhatiannya seperti yang dilakukan anak
* Sepagi Itu Kita Berpisah
71 anak lain. Aku juga tahu, Erik cuma tertarik sama Triska. Kusangka mereka pasti akan terus pacaran sampai akhimya kawin. Ternyata Erik pergi ke Amerika.
Triska enggak berani nulis surat sebab tahu kelainan
tubuhnya enggak memungkinkan dia menjadi istri pewaris Sigma Enterprise. "Erik pasti dituntut supaya
punya anak, sedangkan tubuhku enggak berfungsi,"
keluh Triska suatu kali waktu kami berdua sedang
sibuk belaj ar untuk ujian akhir.
"Erik!" Aku terpaksa tengadah sebab cowok cakep
ini jangkung banget.
"Vanessa! Aku ikut merasakan kesedihanmu," katanya lembut seraya mengguncang tanganku, menggenggamnya selama beberapa detik, mungkin lebih
dari dua puluh detik. Aku merasa terharu sekali diberi
perhatian setulus itu, sampai tahu-tahu mataku jadi
basah, setetes air mata bergulir turun. Mungkin saat
itu aku sedang terkenang masa lalu, masa yang enggak bakal kembali lagi, dan kesempatan-kesempatan
yang sudah terlewatkan, enggak dimanfaatkan, juga
masa depan yang jelas enggak menentu lagi. Papa sudah tiada. Satu-satunya orang yang betul-betul terasa
menyayangi diriku. Dia sudah pergi, sekarang yang
berkuasa di rumah adalah kedua kakakku. Bagaimana
nasibku nanti di tangan mereka?
Entah karena melihat aku mencucurkan air mata
atau mungkin terdorong impuls belaka,
Erik mendadak meraih serta mendekapku seraya
berbisik, "Ah, Vanes! Semuda ini hidupmu kok sudah
penuh derita begitu? Gimana kalau kita kapan-kapan
berlayar dengan kapalku? Kita ajak juga Triska dan
keluarganya."
72 Dilonggarkannya pelukannya sehingga kami bisa
saling bertatapan. Ah, Erik yang baik hati. Tentu saja
aku manggut setuju. Itu kan ibarat pucuk dicinta ulam
tiba. Erik tersenyum kecil, matanya berbinar penuh
kehangatan.
"Jangan berduka, Vanes. Aku akan selalu berada
di sisimu, membantumu mengatasi segala kesulitan
hidup yang akan kauhadapi."
Ah, betapa nyaman terasa hatiku. Belum pernah
aku merasa aman tenteram seperti saat itu. Sejenak
terlupa olehku bahwa kami sedang berduka, bahwa
pertemuan kami ini sebenarnya untuk mengucap selamat tinggal pada orang yang sudah membesarkan serta
merawat diriku. Tapi Papa adalah orang yang baik dan
penuh pengertian. Selama hidupnya belum pernah sekali pun aku kena maki olehnya. Semoga saat ini Papa
memaafkan kelancanganku, berani merasa senang
karena kehadiran Erik, padahal seharusnya hatiku
trenyuh sebab kehilangan orangtua.
Namun walau Papa memaafkan, rupanya ada orang
lain yang marah. Robert tahu-tahu sudah muncul di
sampingku. Wajahnya asam dan keruh. Erik juga melihat. Tanpa komando lagi kami sama-sama melepaskan diri. Erik menyalami Robert yang membalasnya
setengah terpaksa, lalu abangku menyeret diriku ke
arah lain sampai aku enggak sempat lagi pamitan sama
Erik dan Kishi. Tapi Erik melambai. "Nanti aku telepon," janj inya.
Robert enggak menegur aku dengan katakata. Dia


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang pelit sekali menggunakan pita suaranya, lebih
sering menyatakan perasaannya dengan tindakan yang
terkadang sudah dirancangnya jauh-jauh hari, secara
73 diam?diam dan bagiku sulit dimengerti. Sekali ini diseretnya aku ke seberang ruangan, ke dekat kelompok
orang tua?tua, semuanya kawan dan relasi Papa. Terpaksa aku menyapa mereka satu per satu serta mengucap terima kasih atas kedatangan mereka.
"Oom tidak tahu, ayahmu punya penyakit janmng," ujar Oom Agus, mertua Triska, teman bermain
golf Papa, sama-sama anggota klub di Sawangan dan
Megamendung.
"Memang sebelumnya tak pernah ada keluhan
Saman Karya Ayu Utami Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Kutukan Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie

Cari Blog Ini