Ceritasilat Novel Online

Dicabik Benci Dan Cinta 2

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T Bagian 2


kok," Oom Justin, ayah Triska, menanggapi. "Apalagi
serangan j antung yang masif seperti itu. Aku kan yang
menangani check-up-nya tiap tahun."
Aku sendiri sebenarnya belum jelas apa sebab Papa
meninggal begitu mendadak. Seandainya memang
sebelumnya sudah sakit, pasti aku dikabari. Kiranya
kena serangan jantung. Dan rupanya sudah diotopsi!
Kenapa?
"Oh, jadi diotopsi toh?" Oom Agus menegaskan.
"Kenapa? Apa ada yang mencurigakan?"
"Ah, rutin. Diminta oleh asuransi. Pak Balamkan
punya asuransi satu juta dolar. Kau tahu kan itu, Vanessa?" Bekas dosenku itu menoleh padaku. Wajahnya
berubah heran, mungkin melihat aku kayak si bego,
celangap sambil menggeleng. Oom Justin Omega pasti sudah tahu sedikit-banyak riwayat hidupku, sebab
dia kan teman baik Papa. Karena itu dia berkata serius,
"Tanyakan Robert! Awas, jangan sampai kau tidak kebagian!"
Ah, bukan uangnya yang penting, tapi perlakuan
mereka terhadapku yang menyakitkan. Aku selalu dikucilkan dari semua urusan keluarga. Sejak dulu. Yah,
74 seharusnya aku mawas diri, enggak usah sakit hati.
Tahu diri dong, kau kan cuma anak pungut, bapakmu
tukang abu, pikirku memarahi diri sendiri. Sudah disekolahkan sampai punya titel begini kan sudah lebih dari
kewajiban biasa. Berapa banyak orangtua yang enggak
mau mati?matian membela anak-anak mereka supaya
bisa sekolah tinggi, berapa banyak yang memang enggak akan mampu, berapa banyak yang lebih senang
menghamburkan duit buat kesenangan pribadi daripada untuk hari depan anak. Kalau bukan Pak Balam,
mungkin setelah menabrak mati orang lain, paling
banter cuma memberi santunan sekian juta, bahkan
mungkin cuma menghaturkan maaf atau ekstremnya,
tancap gas melarikan diri! Siapa sih yang kesudian
mengangkat anak dari sang korban dan memeliharanya seperti anak sendiri?! Enggak heran Mama sering
sewot terhadapku. Mungkin sikapku juga sama bila
berada di tempatnya. Bukan Mama yang jahat, tapi
Papa-lah yang anomali, punya kelainan, sebab orang
biasa enggak bakal sebaik itu.
"Semua sudah diatur untuk besok, Vanessa?" tanya
Oom Agus.
"Rasanya sudah, Oom. Oom Petrus yang akan
meminj amkan yacht?nya."
"Lho, tidak jadi naik jet?" tanyanya lagi.
"Kata Oom Petrus, lebih baik naik kapal, lebih banyak yang bisa ikut."
"Tipe apa, jetnya, Gus?" tanya Oom Justin.
"Dia punya dua. Kalau tidak salah, satu "Learjett
satunya lagi, aku tidak ingat, mungkin "Gulfstream,
yang bisa muat dua belas orang, termasuk awak kapal,
bisa terbang ke Eropa dan Amerika."
75 "Hebat tuh si Petrus!" Dokter Omega mendecah
kagum.
"Bukan hebat lagi! Sudah fenomenal buat ukuran
kita!"
"Berapa tuh kira-kira harganya?"
Oom Agus ber-hm-hm dengan rupa berpikir, mata
terpejam ke arah langit, kemudian turun dan dibuka
lagi. "Learjet aku kurang tahu berapa, tapi Gulfstream
kurasa sekitar tiga puluh juta dolar. Buat dia sih, segitu uang kecil! Kau harus lihat yacht-nya! Sudah mirip
hotel terapung!"
"Ah, jangan terlalu memuji orang lain! Kau sendiri
diam?diam juga taikun kelas berat! Cuma dokter-dokter seperti aku dan Deni yang takkan bisa jadi zillionaire seperti kalian. Heran, kenapa tidak kausuruh Deni
mengurus kerajaanmu? Daripada dia dibiarkan berdiri
seharian di ruang OP! Jadi dokter kan stres, tapi jadi
chiruig apalagi!"
"Anakku tidak suka duit, Justin!"
"Sama dengan Triska. Anakku itu pun paling tidak
suka kemewahan, tidak mau pakai emas-emasan. Ditegur oleh ibunya, eh malah ngasi lihat buku hasil riset
ahli jiwa. Menurut riset, cara dandan seorang wanita
berc erita banyak mengenai dirinya. Yang paling disetujuinya adalah pendapat bahwa makin berkembang
otak seorang wanita, makin sedikit perhias an yang menempel di tubuhnya. Makin kurang pendidikan, makin
banyaklah wanita itu menggantungkan segala macam
emas permata di badan. Begitu meyakinkannya buku
itu sampai-sampai istriku mencopot kalung serta giwang yang dipakainya sehari-hari. Sekarang dia cuma
menyelipkan sekuntum ros putih, kecil, mirip melati
76 di rambutnya. Istri Dokter Sahara, ingat kan, Dokter
Sahara yang menghebohkan itu, tempo?tempo mengiriminya bunga-bunga mawar Nozomi itu. Oleh istriku didinginkan, dipakai sehari satu. ltulah sekarang
perhiasannya."
"Kena berapa tahun dokter itu?"*
"Ada yang bilang, tiga puluh tahun untuk tiga korban, tapi seorang sejawat bilang seumur hidup. Kabarnya dia ditugasi mengelola poliklinik penjara. Poli
itu jadi berkembang di bawah pimpinannya dan malah
sekarang bisa melayani juga masyarakat sekitar. Istrinya kan pindah, ikut tinggal di dekat penjara, malah kerja sukarela di dapur umum. Alasannya, supaya
suaminya bisa selalu makan yang bergizi, murah tapi
sedap. Kan Nyonya Sahara itu lulusan sekolah masak
di Paris."
"Keenakan napi-napi lain itu!" Oom Agus mendecah, rupanya mau ketawa, tidak berani. "Yah, Deni itu
kebalikannya dari Edo Sahara yang membunuh untuk
mendapat uang. Deni tidak suka duit, lebih senang
buang tenaga ngurusin orang sakit. Enggak punya
bakat kaya. Pernah aku kasi proyek beli kuda-kuda
balap untuk dipelihara di luar negeri, suruh dia yang
urus, eh uangnya malah disumbangkannya ke Yayasan
Penyelidikan Penyakit AIDS. Katanya, ada teman baiknya bekas di SMA yang kena penyakit itu, insinyur,
berani kawin lho. Malah dengan dokter." Kalau tidak
salah, istrinya itu kenal juga dengan Triska."
"Dokter itu, kalau tidak bodoh, ya pasti kelewat
cinta sama insinyur itu!" tukas Dokter Omega meng
* Rahasia Dokter Sahara
** Sekuntum Nozomi (akan terbit)
77 geleng. "Apa tidak takut ketularan?"
"Rupanya insinyur itu tidak berterus terang sebab
takut nanti keluarganya jadi malu. Kabarnya mereka
sekarang pisah."
Enak juga sekali-sekali nguping orang-orang tua
ngobrol, sayang aku harus berlalu sebab kulihat Cara
Seneka muncul bersama suaminya, Dokter Hewan
Salman Rais?" Mereka tihggal di Vila Duta, boleh dibilang enggak berapa jauh dari Eski Saraya, rumah
Papa. Cara pernah menawarkan seekor anak anjing,
tapi kutolak. Aku ceritakan traumaku waktu kecil, anjingku Coklatsusu selalu disiksa Mama dan mati dibanting Kori. Sejak itu aku jadi waswas, ingin punya
anjing tapi takut binatang itu nanti dij ahati orang. Kalau sampai mati, gimana? Cara pasti cerita sama suaminya, sebab setelah Mama meninggal, Salman sudah
beberapa kali menganjurkan supaya aku memelihara
anjing lain. Kata Salman, dia bersedia jadi dokter gratis untuk anjingku.
Ternyata Cara bukan datang berdua, tapi ber?empat sama Dona dan Arman. Kami bersalaman dengan
sedikit serius, biasanya sih selalu penuh senda gurau.
Sekali ini Salman pun enggak menawarkan anak anjing. Hatiku senang bercampur sedih melihat kebahagiaan kawan-kawanku. Mungkin malah in'. Kenapa
sih semua orang bisa bahagia kecuali diriku? Sejak
kecil cuma kesengsaraan yang kukenal. Pacaran sama
Domi, namanya pacaran, ayahku meninggal, si Domi
enggak kelihatan batang hidungnya. Melayat kek barang setengah jam, mestinya kan dia maklum saat ini
aku sedang butuh support. Tahu deh, di mana cowok
* Melodi Sebuah Rosetta
78 yang satu itu!
Pikiranku enggak bisa melayang terlalu lama. Belum puas ngomong-ngomong sama Cara dan Dona, tahu-tahu Robert sudah menunjukkan tampangnya lagi,
membawa seorang laki-laki akhir tiga puluhan yang
kelihatannya sudah mapan, yaitu perutnya. Wajahnya
enggak bisa diteliti sebab penuh dihiasi rambut, sepanj ang rahang yang agak persegi, di atas bibir lalu turun
ke bawah kiri?kanan, bersatu di bawah menjadi janggut, pendekruncing. Enggak ketinggalan cambang di
depan kuping. Aku seperti melihat tokoh yang keluar
dari lukisan abad pertengahan. Perawakannya lumayan tinggi, sekitar seratus tujuh puluhan, kira-kira lima
belas senti di bawah Robert, tapi ototnya meyakinkan
sekali. Pasti aerobik dan angkat besi seminggu lima
kali, pikirku. Robert yang kurang suka olahraga jadi
kelihatan kerempeng di sampingnya, padahal sebenarnya dia cukup tegap.
"Vanessa, ini Pak Comodo," Robert mengenalkan.
"Casio saja. Anu, saya turut berduka bla bla
bla."
Aku enggak ingat lagi tepatnya bagaimana ucapannya sebab aku langsung berjengit dalam hati. Casio Comodo? Raja kayu nomor satu di seantero jagat?
Belum lama ini kubaca di koran, C.C. terlibat urusan
dengan suku Dayak di Serawak yang menentang penebangan hutan di daerah mereka serta penggusuran
untuk pembuatan waduk. Memang sering ada berita
mengenai raja kayu dan real estate ini, tapi belum pernah kulihat gambarnya. Orang bilang, dia juga punya
stasiun radio dan TV. Stasiun radionya itu yang sering
* Berkerudung Awan Mendung
79 kutangkap, terlebih pagi hari dengan hidangan musik
pengantar kerja yang meriah buat membuka mata yang
masih ngantuk.
"Terima kasih! Maaf, apa Bapak dari Stasiun Radio
Caco?"
"Betul. Tapiii, jangan panggil saya Bapak! Apa
saya kelihatan sudah begitu tua?" Dia ketawa (orang
pertama yang berani ketawa), mungkin merasa lucu
sendiri. Boleh saja dia mengaku masih muda, di mataku sih sudah mirip oom?oom (aku lupa bilang, kepalanya sudah mulai botak. Menurut dosen Kulit yang
lebih suka diskusi penyakit kelamin, makin kuat syahwat, makin cepat botak).
"Itu kan cuma hobi baginya. Tanya dong usahanya ngebabatin hutan, patungan sama pejabat-pejabat
Serawak!" ujar Robert setengah menyindir. "Atau
jual-beli kondominium di Florida!"
Casio Comodo enggak kelihatan mau membantah,
tapi malah ketawa lebar, penuh kebanggaan. Dasar geer! Herannya, ge?er kok ogah dipotret sama wartawan!
"Saya senang mendengarkan Pengantar Sarapan
dari Radio Caco, suara Mbak Tarana sudah saya kenal
deh. Wow, itu ada kawan saya, wartawan Berita Ibukota. Yuk kita motret sama-sama, saya kan kepingin
sekali-sekali masuk koran dengan orang terkenal."
Wah, Casio Comodo yang miliarder itu kontan
kelabakan seperti cacing kena abu, terbirit?birit permisi sampai Robert cuma bisa angkat bahu dan terpaksa
mengiringinya ngacir ke luar ruangan. Aku pun menar?
ik napas lega, terlepas dari suasana yang menj emukan.
Tapi aku bukan cuma menggertak lho. Memang betul
kulihat Paula mendatangi bersama laki-laki berserag
80 am yang punya kumis khas macam ijuk.
"Hai, Paula!" Aku menggapai. Kami bersalaman
serta berpelukan. Aku mengenalnya secara kebetulan
waktu sedang coschap di Klinik J iwa di J akarta Barat.
Paula datang melacak kasus bunuh diri seorang wanita
muda yang baru sebulan melahirkan anak di situ. Nyonya Turi itu dimasukkan oleh suaminya, Tomo Badra,
ke sana, sebab selalu ngaco, mengaku dirinya bernama
Linda, istri Edif
Paula memperkenalkan laki-laki berkumis itu
padaku. "Masih ingat Pak Anwar? Sekarang beliau sudah j adi inspektur."
Aku mengangguk sambil menjabat tangannya.
Dulu masih sersan dan belum berkumis. Rupanya
meniru atasannya, Pak Razab, yang punya kumis paten seperti itu.
"Katanya, beliau kenal sama ayahmu," sambung
Paula.
"Oya, ayahmu dulu sama-sama sekolah menengah
dengan saya. Ayahmu kemudian jadi akuntan sedangkan saya masuk Kepolisian. Tapi kami masih sering ketemu di tempat kawan, di tempat umum seperti
restoran Padang atau di lapangan golf."
Aku cuma manggut-manggut, enggak tertarik dengan kawan?kawan Papa yang enggak pernah kukenal.
Sebaliknya, aku sangat senang ketemu Paula kembali.
Paula juga kenal dengan Kori. Dia wartawan Krimi,
sedangkan kakakku sebagai mahasiswi FH sering bertugas mengikuti sidang pengadilan. Di sanalah kedua
orang itu berkenalan.
"Mana Bob?" tanyaku. "Anakmu sudah nambah
* Sebuah Ilusi
81 berapa?"
"Bob sedang tugas ke Kalimantan, sudah dua bulan
di sana. Anak kami masih juga, dua, Maya dan Nino.
Cukup deh. Repot ngurusnya, banyak-banyak."
Bob sebenarnya sarjana hukum. Istrinya ditembak
oleh komplotan penyelundup obat bius, mayatnya
dimasukkan ke dalam karung yang diberati batu dan
dibuang ke laut. Waktu itu Maya masih sangat kecil. Bob lalu pindah dari Surabaya ke Jakarta, menjadi
wartawan di harian Ampera (sekarang Berita Ibuko?
ta). Walaupun sering berantem dengan Paula (menurut
cerita Paula), eh, tahu?tahu akhirnya mereka kawin!
Paula sangat mencintai Maya, enggak beda dengan
anaknya sendiri, Nino. Kadang aku iri melihat Maya
bisa begitu bahagia dan manja pada ibu tirinya.
Pak Kumis yang cukup simpatik itu ternyata doyan ngomong. Dia kelihatan tahan ngobrol sepuluh j am
mengisahkan pengalamanpengalaman bersama Papa
serta teman?teman mereka semasa sekolah, tapi aku
bosan dong meladeninya. Aku enggak tertarik dengan
masa lalu Papa. Dia kan bukan ayahku. Memang dia
baik, seumur hidup aku akan merasa berutang budi
padanya. Tapi lebih dari itu, aku enggak punya perasaan apa-apa untuknya. Dia telah terpaksa merawat dan
membesarkan diriku, itu kan akibat kesembronoannya
sendiri, sudah melindas ayahku di jalan. Seandainya
dia lebih hati-hati, ayahku mungkin masih hidup, ibuku juga. Walaupun aku harus hidup miskin bersama
mereka, setidaktidaknya hatiku bisa bahagia, enggak
digalaki oleh Mama dan Kori.
Yah, aku enggak tahu gimana mau membalas budiku terhadap Papa sekarang. Semasa dia masih hidup,
82 aku membalasnya dengan mematuhi setiap perintah
serta keinginannya. Apa saj a yang keluar dari mulutnya, bagiku merupakan undang-undang. Tapi sekarang
setelah Papa tiada, apa yang masih bisa kulakukan?
Apakah aku sekarang harus mematuhi kedua anaknya sebagai penggantinya? Mematuhi Robert sih oke
deh. Orangnya pendiam, enggak banyak bicara, dengan sendirinya keinginannya juga sedikit, perintahnya
hampir enggak ada. Tapi mematuhi Kori! Huh! Untuk
j in dari lampu Aladin pun belum tentu gampang tugas
itu. Perintah Kori sering kali anehaneh seperti misalnya menangkap ikan pakai tangguk.
Rumah Papa letaknya unik dan sangat romantis,
dekat tebing. Karena itu daerah pegunungan, tanahnya
berundak-undak macam tangga. Dari pinggir tebing
terdapat tangga batu menuju ke bawah di mana terdapat sungai jernih, air terjun, dan jembatan batu yang
sudah tua, bentuknya melengkung, kirikanannya dibatasi dinding batu setengah meter. Semua bebatuan
itu merupakan batu gunung yang keras, saling disusun
rapat tanpa semen.
Kira-kira seratus meter dari jembatan, terdapat lagi
tangga batu menuju ke permukaan tanah yang lebih
rendah yang merupakan lapangan luas, sengaja enggak dibangun supaya bisa dipakai sebagai tempat parkir
sado dan mobil, juga kandang untuk dua ekor kuda.
Dari sini terdapat jalan melingkar yang mudun sampai
ke jalan raya.
Nah, di sungai kecil itu memang banyak ikannya.
Tempo-tempo Kori seperti orang ngidam, memaksa aku supaya menangkap ikan baginya di air yang
dingin itu. Aku enggak diizinkan menggunakan kail,
83

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya kejam, lebih baik pakai tangguk. Susahnya
setengah mati. Biasanya kalau Pak Kasman tahu atau
aku sendiri yang memberitahu, dia pasti menolongku.
Pernah sekali, pak kebun sedang pergi, aku terpaksa
berendam di air dingin seharian sampai jari-j ari kakiku
beku-biru, tapi aku cuma berhasil menangguk seekor
ikan kecil. Tentu saja Kori mencak-mencak, ngambek
enggak mau makan dan aku kena maki oleh Mama.
Untunglah enggak lama kemudian Pak Anwar terpaksa mundur teratur mengajak Paula, sebab Krisanti
muncul bersama seorang laki-laki yang segera kukenali. Tubuhnya enggak tinggi, ototnya juga kurang, tapi
wajahnya ganteng seperti bintang film Alec Baldwin
yang bermata sendu. Kurasa persamaan mereka cuma
sampai di wajah, soal mental dan kepribadian enggak
bisa kujamin sama.
Siapa lagi orang ini kalau bukan Kaspar Sukhan,
anak tiri Tante Yasmin! Adik Papa ini menikah dengan
duda yang sudah punya anak satu. Kemudian mereka punya dua anak perempuan, Sabrina serta Inge.
Kaspar ini menurut cerita Tante Yasmin, badung sekali. Mana sekolahnya juga malas, di SMP sekali enggak
naik, begitu juga di SMA. Kemudian dikirim kuliah ke
Amerika, tapi ternyata dia bukan sekolah melainkan
j adi pembalap!
Aku agak heran juga melihat mereka berdua. Krisanti dan Kaspar? Kok rasanya seperti gin dicampur
lempuyang pahit. Krisanti masih tetap seperti dulu, di
bangku kuliah. Cuma rambutnya sekarang pendek, andeng?andeng di dekat bibirnya mirip dengan andeng?
andeng Shirley-apa itu namanya, kakaknya Warren
Beaty. Tapi wajah Krisanti lebih kecil dari Shirley,
84 lonjong, bibirnya tipis dan keras, matanya bisa bemyala seperti api dapur, membakar segala yang disapunya. Untunglah wajahnya enggak sampai tirus, jadi
masih menarik, bahkan bisa dibilang cantik. Semua
kakak dan adiknya memang cakep?cakep. Begitu pula
abangnya, suami Sabrina.
Krisanti mengulurkan tangan, diikuti oleh Kaspar.
Kemudian kami basa-basi sedikit. Aku enggak begitu
suka dengan Krisanti. Walau bicaranya selalu merdu,
aku merasa itu tak pernah keluar dari hati.
"Dinasmu udah beres, Vanessa?"
"Masih setahun lagi."
"Apa rencanamu setelah itu?"
"Tahu deh. Ya, mungkin balik ke sini, cari penempatan."
"Gimana kalau mereka mengusirmu?" bisiknya.
Aku tahu yang dimaksudnya adalah Robert dan Korizia.
Aku mengangkat bahu. "Diusir, ya pergi."
"Ke mana?"
Aku juga enggak tahu ke mana. Pertanyaan itu
membuat hatiku yang sedang pilu jadi makin sedih.
Aku ingat, Krisanti memang senang melontarkan pertanyaan yang memojokkan atau membuat orang jadi
depresi. Pendeknya, negatif.
"Rumah ayahku selalu terbuka bagimu, Vanessa,"
ujar Kaspar nimbrung. "Ibu tiriku kan tantemu sendi&"
Ya, tapi kan cuma tante angkat. Aku sama sekali
enggak termasuk lingkungan keluarga ini! Hm. Mung?
kin yang hams kulakukan adalah mencari di mana
keluarga kandungku! Siapa tahu masih ada bibi atau
85 paman atau sepupu...
"Trims atas tawaranmu," sahutku berbasabasi.
Sedikit pun aku enggak berniat menerima tawaran itu.
Apalagi kalau Kaspar ada di sana! Aku memang dengar di meja makan, Kori memberitahu Robert bahwa
Kaspar sudah balik dari luar negeri, sedang istirahat di
rumahnya sementara menunggu balapan berikutnya,
entah di negara mana.
Krisanti dan Kaspar enggak lama di sampingku
(memang kebetulan) sebab Kori muncul dan mengaj ak keduanya berlalu. Kaspar masih melambaikan tangan padaku tapi Krisanti pergi begitu saja seakan aku
ini cuma gumpalan asap. Yah, aku sudah biasa dengan
perlakuan kayak begitu. Maklum, anak tukang abu
masak mau berdiri sama tinggi dengan noni-noni?!
Aku baru saja beranjak mau mengundurkan diri
ke bagian dalam, beristirahat sejenak, mau sendirian
dengan pikiranku, ketika terasa ada yang menjawil bahuku dari belakang. Aku menoleh. Arbaleta Mirdad!
Rambutnya dinaikkan ke atas sehingga waj ahnya kelihatan lebih serius tapi juga semakin menarik. Matanya
masih tetap sama, sendu namun juga penuh cahaya.
Didekapnya aku erat-erat tanpa sepatah kata pun.
Air mataku tahu-tahu sudah menetes membasahi
punggungnya. Cepat?cepat kulepaskan pelukan itu
sebelum bajunya nanti basah kuyup. Kuseka mataku
dengan punggung tangan. Arbaleta menatapku lama,
tanpa kata. Kami memang merasa sependeritaan. Sama-sama yatim piatu, ibu tirinya galak, ibu angkatku
juga.
"Birin enggak bisa datang, semalam jaga, sampai
tadi pagi belum pulang," katanya menjelaskan. Tapi
86 aku punya perasaan sebenarnya Arlet tak mau ditemani oleh Birin. Mungkin Birin tidak tahu, istrinya da?
tang ke sini.
"Kapan main lagi ke rumah? Nanti aku masak yang
enak deh. Aku sudah makin pintar masak lho. Buku?buku masak Atresia sudah kulalap semua (oya, dia
sekarang sedang ke Paris, kalau enggak, pasti datang
ke sini). Fadian selalu kesenangan kalau aku masak
yang enak-enak untuknya. Yah, itung?itung nebus
dosa, selama tujuh tahun aku menelantarkannya."
"Enggak takut anak itu nanti kelewat manja?"
"Biar aja. Cuma seorang kok."
"Kapan eksemplar yang kedua? Biar dia punya
teman."
"Iiih, Birin aja enggak berani nanya begitu sama
aku."
"Uh, enggak punya nyali. Bodoh. Kalau aku jadi
cowok, punya istri yahud begini, pasti bakal kutelan
kayak cortison, tiap hari selama seminggu, bani tappering Oyf pelan?pelan dosis diturunkan, nah, enggak
lama lagi tentu sudah...."
"Kunyuk, lu! Ngajarin yang bukan-bukan. Aku
belum bisa intim?intiman begitu, Nes. Aku merasa
berkhianat."
"Sama Dokter Takashi Matsuda?"
"Kok ingat namanya?"
"Cowok nomor satu begitu, mana bisa gampang-gampang kulupakan? Jarang deh ada manusia
sempurna kayak dia. Tampangnya cakep, habis campuran timur-barat, sifatnya lembut, penuh perhatian
sama semua orang, apalagi sama orang yang dicintain?
ya, pasti setianya tahu deh kayak apa!"
87 "Nah, kalau kau sendiri enggak bisa lupa, apalagi
aku!" bisik Arleta menarik napas pelan, menggeleng.
"Kalau aku j adi kau"
"Aku tahu, aku tahu, Nes, aku tahu apa yang mau
kau bilang. Aku juga begitu. Kalau bukan lantaran
anakku "
"Eh, jangan menyalahkan dia! Seandainya kau
nanti merana, bisa-bisa akan kaubenci anak itu!"
Arbaleta menggeleng sendu. "Enggak, aku enggak
bakal bisa membenci Fadian. Barangkali itulah kelemahanku. Aku mencintainya melebihi diriku, melebihi
hidup ini sendiri, melebihi Takashi"
"Hei, hei, begitu asyiknya! Kuharap aja bukan lagi
ngomongin aku!"
Mendengar suara itu Arlet dan aku serentak me?
noleh ke samping. Kalau suasananya bukan seperti
saat itu, pasti kami bertiga sudah terkekeh. Tapi Ishtar
Hadiz* dengan air muka serius (walau bicaranya barusan seperti guyon) mengulurkan tangan ke arahku,
kemudian memelukku serta menepuk?nepuk punggungku. Lalu disapanya juga Arleta yang sedang memperhatikan.
"Kau masih tetap langsing kayak anak SMA, Arlet!"
"Kau sendiri kayak puber kesiangan, anak sudah
gede, pinggang masih sejengkal! Apa sih rahasiamu?
Jamu apa sih yang kauminum?"
"Tanya deh sendiri sama Paul apa rahasiaku. Nih,
orangnya! Berhasil parkir di mana?"
Dokter Paul Wibowo dengan matanya yang selalu tersenyum itu enggak segera meladeni pertanyaan
* Seribu Tahun Kumenanti
88 istrinya, tapi langsung mengulurkan tangan padaku.
Uh, kenapa sih semua cowok ganteng serta simpatik
enggak ada yang singgah dalam hidupku? Kenapa
aku baru mengenal mereka setelah semuanya bergandengan sama teman-temanku? Apa aku enggak bakal
kebagian cowok? Aku kan enggak minta banyak, seorang sajaaa!
Setelah menyalami aku, barulah dokter yang tampangnya mirip seorang penyiar berita NBC?New York,
Brian-siapa-itu, berpaling pada istrinya dan menjawabnya. Lalu timbul kejailan Ishtar. Dengan roman
serius seakan sedang membicarakan kasus penyakit
unik, katanya,
"Tuh, mereka ingin tahu apa rahasianya aku awet
muda, jamu apa yang kuminum. Kalau aku yang bilang, aku paling benci sama j amu, pasti mereka enggak
bakal percaya, dikira aku pelit enggak mau bagi-bagi
info, enggak mau melihat mereka juga awet muda ...."
Dokter Wibowo nyaris mau ketawa, rupanya masih
ingat itu tempat apa, tapi matanya sudah menari?nari
kayak gundu berputar?putar di lantai licin, penuh binar, penuh keindahan, ah! Wah, hati-hati kau! pikirku
mengingatkan diri sendiri. Jangan sampai kesengsem
sama suami sahabatmu!
"Well, " ujar Paul sumbil menggosok?gosok
kedua telapak tangannya seperti raksasa yang sedang
menunggu suguhan daging manusia di atas mejanya
(dongeng apa tuh, aku lupa judulnya), "siapa duluan?
Arleta atau Vanessa? Jam dua belas tengah malam,
tahu tempatnya? Motel... nanti kuberitahu namanya
kalau Ishtar enggak hadir! Dan... kurasa, kau perlu
minta pemutihan dulu dari Birin, Let! Aku enggak
89 diasuransi untuk kecelakaan yang disebabkan oleh
suami kekasih!"
"Monyet, kau!" hardik Ishtar dengan suara pelan,
sebab suasananya enggak mengizinkan bicara dalam
desibel biasa. "Jadi kausangka aku awet muda karena
kau? Ge-er banget! Enggak pernah terpikir oleh otakmu yang cemerlang itu, aku mungkin saja punya sim?
panan?"
"Maksudmu, jadi simpanan?" Paul menekankan,
ketawa dengan matanya yang hitam, bulat, indah.
"Kaukira gampang punya simpanan! Buat ngasi makan Isabel saj a kau masih suka minta subsidi dari aku,
apalagi buat manusia yang katamu jadi simpananmu.
Pasti dia enggak akan puas cuma dengan sepiring
nasi sehari tiga kali, pasti dia kepingin mobil, kalung,
anting-anting (laki-laki mutakhir kan perlu juga perhiasan, kalung-gelang-rambut keriting-sepatu hak
tinggi, semua itu sudah bukan lagi monopoli wanita,
kan?), simpanan di bank, rumah ."
Ishtar kelihatan kalah angin, tapi masih berusaha
membantah. Sayang baru saja bibirnya terbuka, Paul
sudah mencekal pergelangannya, meraih bahunya dan
berbisik (kurang halus sebab masih bisa kutangkap),
"Buat apa pura pura, Ish?! Aku tahu di hatimu aku
yang menjadi raja, seperti juga kau adalah ratu hatiku.
Ingat lagu di taman Tuileries di Paris, orang Ameri?
ka yang memetik gitar dan temannya meniup suling?
From a Jack to a King? From loneliness to a wedding
ring... Lalu di akhir lagu, kalimat yang selalu kuingat:
Iplayed an ace and I won a queen... You made me king
of your heart... Ingat? Pulang ke hotel, kau langsung
kepingin main kartu, Jack, raja, as, ratu, skop, intan,
90 wajik, hati... dan aku menang! You made me king of
your heart... "
Aku yakin kalau enggak ada orang lain, mereka pasti akan segera berpelukan dan bercipokan. Mendadak
aku merinding, merasa dingin, bukan cuma di kulit
tapi juga di dalam. Hatiku terasa pedih. Ah, kapan
akan muncul laki-laki yang akan mengucapkan semua
itu padaku? Kenapa cuma orang lain saja yang bisa
bahagia, diriku enggak pernah? Kenapa teman-temanku semuanya begitu gampang menemukan pasangan,
kenapa aku sendirian terus? Apa nasibku memang
ditakdirkan jelek? Waktu kecil enggak kenal kasih
sayang ibu, sudah besar enggak kenal cinta.... Apakah
aku enggak pernah akan mengalami semua yang indah-indah dalam hidup?
Ah, bukuku yang manis, aku enggak boleh cengeng! Di rumah sakit sering kutemui orangorang yang
seratus kali lebih malang dari diriku. Biarpun aku enggak pernah dicintai siapa juga, tapi paling tidak aku
memiliki kesehatan yang sangat baik. Itu saja sudah
suatu karunia dari Tuhan, bukan? Aku enggak usah
kos di rumah sakit atau keluar-masuk kamar OP. Jantungku tokcer, ginjalku enggak pernah ngadat, hati
juga prima....
Nah, mendingan kusambung dengan acara pelepasan abu ke tengah laut itu besokannya. Yang ikut
selain kami bertiga, Robert, Kori dan aku, juga Tante
Yasmin sama suaminya, Oom Bukhari, Inge dan
Kaspar, Oom Gurong dan istri, Oom Franky dan Tante
Meita serta Vashti, putri mereka (Oma Merlin tidak
datang sebab sedang encok), Pak Danu yang gendut,
produser Elm yang kabarnya dietnya cuma steak sama
91 lalap daun muda (entah daun apa, sebab aku sendiri
lebih senang lalap buncis atau labu yang bisa direbus,
dimakan sama sambal pedas; makan daun sih kayak
kambing!), Oom Petrus Sigma dan istri, Tante Agatha,
serta... Erik, tophitku yang mutakhir. Masih banyak
lagi, kalau kusebut semua bisa penuh tiga lembar.
Yacht itu diberi nama Trenyuh isi Kalbuku, sangat
romantis, entah ide siapa itu. Mau kutanyakan sama
Erik, tapi teringat sikonnya, batal. Nanti saja kalau aku
datang lagi ke kapalnya, kan dia pernah mengundangku. Akan kuteruskan undangan ini pada Triska, kan
Erik bilang mau mengundang mereka juga.
Seperti kata Oom Agus, kapal itu memang mirip
betul sama hotel bintang lima atau bahkan lebih dari
itu. Mau mandi, mau nonton TV, mau nyamikan,
semua tersedia dalam kamar. Dapurnya juga luas, serba modern peralatannya. Aku yang sudah biasa kerj a
di dapur, dengan sendirinya kepingin juga menj elajahi
daerah itu. Kokinya satu, anak buahnya enggak tahan,
sampai delapan orang!
"Banyak betul pembantunya, Pak?" tanyaku pada
Pak Roy.
"Iya, saya mengerahkan cadangan sebab ada tamu
banyak. Biasanya sih cuma separuhnya," sahut Koki
dengan bangga.
"Lantas biasanya mereka itu tugas di mana?"
"Di Hotel Sh... (disebutnya nama hotel intemasion?
al yang enggak bisa kutuliskan di sini sebab aku terikat
copyright, ini kan bukannya iklan dan Pak Roy sudah
pesan enggak boleh tersiar bahwa dia suka kerja sambilan di luaran, sebab resep-resep antik dari dapur hotel sebenarnya enggak boleh disebarkannya ke luar).
92 Sebenarnya saya enggak boleh mengajak mereka, jadi
ini rahasia. Habis mereka ingin tambahan uang saku.


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau saya sih, boleh. Sebab saya sudah lama ikut
sama Pak Petrus, sejak Sigma Enterprise itu baru berdiri, jualbeli rumah, lantas hotel dan saya dipekerjakan
di dapur. Mula-mula jadi kacung, lama-lama jadi pem?
bantu koki, diajarin masak dikit-dikit. Memang saya
senang masak, pernah jualan soto, bakso, ketoprak,
sampai sekarang di rumah masih buka warteg. Nah,
setelah usaha Pak Petrus mencelat ke langit, saya juga
ikut diorbitkan. Pernah jadi sopirnya, jadi satpam di
rumahnya, jadi bodigat, diajak-ajak ke Bangkok, Manila, Singapura, malah pernah ke Holland sekali. Tapi
istri saya mengeluh, takut rampok kalau saya enggak di rumah, jadi saya minta kerja lagi sebagai koki,
dimasukkan ke Hotel Sh... ini. Kabarnya Pak Petrus
punya saham, jadi saya gampang masuk. Rupanya
bakat saya di dapur lumayan, kepakai begitu, jadi sekarang sebagai salah satu koki utama, khusus masakan lndonesia. Buat masakan Cina atau Eropa ada lagi
koki lain, orang asing."
Wah, Pak Roy ini senang ngobrol, asal diangkat
sedikit saja, dipuji bakso udangnya atau puding agarnya, sudah meluncur deh resep-resep lain dari mulutnya. Seharusnya semua itu kucatat, gampang kan, sebab
kulihat bloknot sama pinsil tergantung di pintu kulkas
(pakai magnet). Sayang saat itu radar dalam otakku
sedang nyetel ke arah lain, soal rahasia dapur enggak menggugah perhatian. Tapi kunjunganku ke bawah
cukup memberi pengalaman serta membuat perutku
kenyang mencicip ini-itu.
Yang sedang menarik perhatianku adalah Robert
93 Redford (Erik). Buat menghemat waktu sama tinta, baikan kusebut RR saja, lebih diskret lagi. Nah,
RR ini terus-menerus mendampingi aku selama pelayaran itu, selalu memperhatikan apa yang kubutuhkan, apa yang kurang, mengusulkan ini-itu kalau
tampangku kelihatan sedih. Memang aku merasa waj ahku kucel, perasaanku kosong. Hatiku terus?menerus
berkeluh-kesah, hidup kok begini saja! Manusia kok
cuma dilahirkan, dibesarkan, kawin beranak-pinak,
lalu mati! Jadi buat apa sebenarnya kita ini datang ke
bumi? Buat apa hidup kalau cuma buat ngalamin lahir,
besar, nambah penduduk, nambah kericuhan, nambah
beban buat dunia yang sudah penuh sesak, lantas byebye dikremasi, dan lenyap ditelan laut?
Kami berduaan di buritan, berpegangan di terali,
tangan kanannya menyentuh tangan kiriku, saling
membisu untuk sekian menit. Sebenarnya dia telah
berusaha membuka percakapan.
"Lihatlah indahnya aurora! " serunya.
"Mana?"
"Itu." Jarinya menunjuk ke timur. "Fajar. Pancaran sinarnya disebut Aurora, menurut nama dewi fajar
orang Romawi."
Dasar gadis dusun! aku ngomel dalam hati. Masak
segitu saja enggak tahu?! Biarpun enggak tahu, kan
bisa berlagak tahu, apa sih susahnya?!
Untung sekali dia sama sekali enggak kelihatan
mau menertawakan ketololanku. Dianggapnya biasa saja, enggak tahu ya enggak apa-apa. Barangkali
waktu dia kuliah di Amerika, ada juga gadis California
atau New York yang enggak tahu? Mudah-mudahan.
Jadi enggak heran lagi di sini juga ada gadis dungu
94 begini.
"Langit indah sekali ya pada jam?jam segini!"
"He-eh."
"Aurora ini adanya di thermosphere, sebelah atas
stratosphere. Masih ingat pelajaran sekolah? Udara
yang kita hirup ini adanya kan di troposphere, sebelah
bawah stratosphere. Lapisan ozon di stratosphere ini
yang sekarang jadi isu sebab sudah semakin menipis gara-gara banyaknya gas freon yang disemprotkon
dari"
"atmosphere," sambungku sok j ago.
Dia mengangguk. "Ya, memang semua orang
menyebutnya atmosphere, tapi sebenarnya atmosphere
itu terdiri dari dua bagian, atas dan bawah. Atmosphere
bawah itu terdiri dari troposphere dan stratosphere bagian atas terdiri dari thermosphere dan exosphere."
Mukaku terasa panas. Aku, merasa malu juga, kok
segitu saja enggak tahu. Untung enggak ditertawakannya kebodohanku. Kalau enggak tahu, ya lebih baik
diam saja. "Kau tahu banyak," pujiku. "Aku sih enggak tahu apa-apa, mengenai bidangku sendiri juga cuma
tahu kulit luarnya saja."
"Barangkali kurang baca koran," tukasnya seakan
menasihati.
"Memang paling benci. Tangan selalu kotor. Berita-beritanya juga krimi melulu, aku enggak senang
baca yang sedih?sedih."
"Aku juga sama. Kalau lihat koran, bagian kejahatannya kulewati. Tapi majalah ilmiah enggak bikin
tangan kotor, dan infonya juga banyak."
"Tadi kausebut-sebut gas freon, dari mana itu?"
"Oh, dari lemari es, AC, hairspray, dan segala
95 macam obat semprot. Sekarang sudah ada kulkas yang
enggak pakai freon."
Supaya enggak kelihatan terlalu terbelakang, aku
terpaksa nyombong dikit, "Aku cuma tahu, lapisan
ozon itu perlu buat menyaring sinar matahari supaya
ultraviolet enggak terlalu keras menyerbu kita. Lan?
taran lapisan penyaring itu sekarang semakin tipis,
maka kasus kanker kulit juga semakin banyak. Waktu aku masih kecil, rasanya biasa saja main seharian
di bawah matahari, tapi sekarang, percaya enggak,
baru sejam saja kulit sudah terasa panas, gatal, merah
matang. Karena itu aku enggak pernah keluar rumah
tanpa melaburi wajah dan tanganku dengan krem pelindung."
"Dan bila kau kelupaan, di dalam kabin tersedia
beberapa macam krem yang bisa kaupakai. Dunia kita
memang sudah terlalu berat diperkosa oleh manusia.
Akibat ozon yang menipis itu, musim dan cuaca juga
sudah banyak berubah."
Setelah diskusi soal cuaca, kami kehabisan bahan.
Mulutku kembali terkunci, sedangkan dia masih berusaha menimbulkan topik baru, tapi aku enggak bisa
menanggapi karena enggak tahu. Selain itu, pikiranku
memang sudah melayang lagi ke tengah laut. Apa yang
akan terjadi sepulangnya dari pelayaran ini? Apakah
Robert dan Korizia akan mengusir aku? Ke mana aku
akan pergi kalau sampai diusir?
"Tadi berangkat dari Marina jam lima kurang,
kan?" tiba-tiba kudengar suaranya di samping kuping.
Mungkin karena angin sedang mengiung?ngiung, dia
khawatir suaranya nanti enggak kedengaran, jadi mpanya didekatkannya bibirnya ke samping kepalaku.
96 "Iya." Aku mengangguk sedikit dak-dik-duk, belum pernah didekati cowok sedrastis begitu, kecuali
oleh Domi. Tapi Domi kan memang pacarku.
"Kau belum sarapan." Suaranya kedengaran penuh
perhatian, tapi malah membikin jantungku tambah
jumpalitan. Rasanya dadaku enggak enak, jangan?jangan aku punya bakat buat jadi calon transplantasi j antung. Iiih amitamit, jangan!
"Enggak lapar."
"Minum susu hangat saja, gimana?"
"Nanti saja."
"Perut kosong gampang masuk angin, udara cukup
dingin, lho. Nanti kau sakit!"
Aku membisu, mataku ngajak hatiku ngelamun ke
tengah laut.
"Kau tahan sampai dua jam lagi?"
"He-eh."
"Benar enggak mau apa-apa? Aku bisa turun ke
dapur sebentar mengambilkan susu dan telur rebus
atau apa saja maumu."
Akhirnya aku terpaksa ngaku juga. "Tadi aku sudah ke bawah, ketemu Pak Roy, disuruh nyicip segala
macam, perutku sudah cukup kenyang." Aku ketawa
malu, Erik juga ketawa geli.
"Pantas! Kukira kau mau puasa, enggak tahunya
sudah ketemu Pak Roy! Dia memang punya bakat
masak. Kalau ada pesta di rumahku, ibuku selalu minta tolong Pak Roy, enggak mau orang lain."
Kami terdiam lagi beberapa menit. Kemudian dibukanya jaketnya dan ditutupinya bahuku sambil berkata, "Sweater-mu kurang tebal."
Enggak keburu menolak, jadi aku diam saja. Sak
97 ing kagetnya, bilang terima kasih juga enggak. Bukan
main begonya aku. Kalau aku ingat-ingat lagi kejadian itu, mukaku kembali terasa panas, hatiku kembali
menyesali kenapa aku begitu dusun. Aku kurang pengalaman, kurang bergaul, terlebih sama cowok?cowok. Separuh kelasku di SMA terdiri dari anak laki-laki,
tapi yang erat denganku paling cuma Domi seorang.
R adalah seorang laki-laki yang penuh perhatian
dan hangat. Tapi rupanya bukan cuma aku sendiri yang
berpendapat begitu. Korizia muncul dan langsung
mendaulat perhatiannya.
"Uh, anginnya cukup dingin, ya. Jaketku rupanya
enggak cukup tebal," keluhnya seraya melipat lengan?
nya, mendekap dadanya sendiri. Tentu saja aku tahu
ke mana jatuhnya sindiran itu. Kori pasti segera bisa
menduga j aket kulit siapa yang menutupi bahuku. Aku
sudah biasa dengan sikapnya. Semasa di SMA, cowok
mana saj a yang kelihatan mendekati aku, membantu
pe-er atau ngajak ngobrol waktu istirahat, pasti akan
didekati dan direbut perhatiannya olehnya.
RR yang ksatria tentu saja segera maklum, radarnya memang sensitif sekali bila menyangkut kepentingan orang lain, terlebih gadis secantik Korizia.
"Memang dingin. Aku ambilkan kopi, ya?" dia
menawarkan.
"Kopi? Hmmm, sedaaap! Trims
"Kau juga, Vanessa?"
Tadi sudah nolak, malu dong kalau sekarang mau.
Jadi aku menggeleng. RR berlalu tanpa memaksaku.
"Bukan main, ya. Mana kaya, tampan, baik hati
lagi!" Kori mendesah. Enggak kutanggapi. "Masih
bujangan, ya?"
'"
98 "Mana aku tahu! Tanya aja sendiri orangnya."
"Uh, kalau bisa ngegaet cowok kelas wahid begitu!"
Jangan mimpi, pikirku sinis. Begitu dia tahu sifatmu yang galak dan sok ngatur, pasti dia akan emoh.
"Tapi kau enggak usah coba-coba deh, Nes. Dia
sih bukan pasanganmu. Kalau dia sampai tahu siapa
ayahmu, wah, bisa malu besar kau!"
"Memangnya kenapa? Ayahku bukan napi, kenapa
mesti malu?"
"Biarpun misalnya dia sendiri mau nerima, tapi
orangtuanya pasti enggak setuju dia kawin sama cewek yang enggak sederajat! Siapa sih yang mau punya mantu anak tukang abu gosok? Buat orang?orang
tingkatan atas seperti mereka, keturunan itu kan penting sekali. Sebagai salah satu dinasti paling kaya di
dunia, keluarganya pasti sering menj amu menteri atau
tamu-tamu luar negeri. Nah, kalau ada tamu yang
nanya, mantumu itu anak siapa, masak mereka harus
jawab, "Anak penjual abu"? Kalau bisa bilang, "Oh,
mantu kami itu putri Pak Balam, usahawan terkemuka
di sini,, itu lebih keren, bukan? Aku bukan sentimen
sama kamu, Nes, tapi ini sih cuma nasihat aja. Kalau enggak mau patah hati, baikan kaujauhi Erik. Dia
sendiri mungkin oke, tapi keluarganya pasti sangat
mementingkan gengsi. Dan kau sama sekali enggak
punya gengsi secuil pun."
Ucapan Kori sangat menyakitkan, tapi aku tahu dia
benar. Semua itu sudah aku pikirkanjuga. Memang aku
harus tahu diri, asal-usulku tidaklah semulus Robert
dan Korizia yang punya orangtua terhormat dan kaya.
Ayahku cuma orang yang hina papa, ibuku mungkin
99 cuma pembantu di rumah orang. Walau setitik harapan
pernah singgah di hatiku, tapi pikiranku yang masih
waras telah sanggup membunuh harapan itu. Aku enggak berani mimpi yang indah?indah mengenai cowok
mana pun, apalagi dia putra mahkota sebuah dinasti:
Seluruh dunia tahu apa itu Sigma Enterprise. Masakan menantu mereka dipungmt dari jalanan oleh orang
yang menabrak mati bapaknya?!
Lamunanku terganggu oleh sentuhan halus di siku.
Rupanya aku keasyikan sendiri sampai-sampai langkah kakinya enggak kutangkap. Sedikit terkejut, aku
menoleh. RR mengangsurkan segelas susu hangat,
sementara Kori kulihat sedang menyeruput kopi di
cangkir. RR memegang dua gelas susu, yang kanan
diangsurkannya padaku. Terpaksa aku terima dengan
tangan gemetar.
"T?terima k-kasih." Aku benci sekali kenapa aku
harus gagap begitu. RR kan orang juga seperti aku.
Dia pasti enggak bisa membaca pikiranku, j adi kenapa
aku harus setengah semaput disentuh olehnya?!
Kami bersandar di terali menikmati minuman
hangat, aku di tengah, Kori dan RR di kiri-kananku.
Kori ngoceh nonstop mengenai soal-soal tetek bengek,
tapi dilayani terus oleh RR yang sopan dan ramah. Supaya enggak usah ikut ngomong, kutenggak susu itu
dengan cepat, maksudku biar habis sekali teguk.
"Jangan minum begitu rakus, Nes! Seperti orang
kelaparan aja!" tegur Kori cukup keras sampai kurasakan Erik menoleh. Panas rasanya pipiku disebut rakus.
Terpaksa kuturunkan gelas itu lalu menunduk mencari
kertas tisu dalam kantong jeans untuk menyeka bibir
pura-pura bibirku penuh susu. Selang semenit baru
100 aku berani mengangkat kembali gelasku ke bibir. Tapi
seakan mau membelaku, sekarang malah RR yang minum geluguk-geluguk, gelas baru diturunkannya dari
bibirnya setelah isinya habis.
"Cepat habiskan, Vanessa. Nanti keburu dingin!"
Dia mengedipkan sebelah matanya. Aku tersenyum.
Kutim tingkahnya barusan, dan sekali ini Kori bungkam.
Baru saja gelasku kosong, sudah terdengar suara
Tante Yasmin memberitahu Kori, upacara akan segera
dimulai. Erik mengambil gelasku serta cangkir Kori
yang juga sudah kosong, lalu meletakkannya bersama
gelasnya sendiri di atas nampan yang terletak di meja
plastik putih. Seorang pembantu segera mengangkat
nampan itu dan membawanya pergi.
Tante Yasmin mengiringi Robeit yang membawa
sebuah kendi dalam kedua tangannya. Kendi itu tingginya hampir empat puluh senti termasuk lehernya,
lingkaran bagian tengah sekitar dua puluh lima senti.
Aku dekati rombongan orang-orang yang baru
muncul itu sehingga makin jelas terlihat olehku kendi itu. Warna dasarnya putih gading dengan lukisan
orang serta binatang coklat tua. Aku tidak tahu dari
mana benda itu, belum pernah kulihat. Lukisannya
asing, bukan gaya Bali, bukan juga gaya Jawa. Lebih
mirip gaya Yunani atau Arab, terlebih garisgaris yang
melingkari seluruh badan kendi itu dari atas sampai ke
bawah. Tapi aku enggak mungkin bertanya tentu saja.
Tante Yasmin dan Oom Bukhari segera memberi
aba-aba supaya Robeit serta Kori bersiap. "Kaupegang bawahnya, Robby. Dan Kori, kaucekal lehemya,"
ujar Tante sementara suaminya sibuk mengatur alat
101 perekam Video. Aku berdiri di samping Kori, memperhatikan saja sebab Tante Yas enggak menyuruh aku
apa-apa, dan aku juga enggak merasa pantas ikut-ikutan. Inge berdiri di belakangku, sentuhannya di bahuku menghibur hatiku yang kosong. Paling sedikit, aku
masih punya teman dalam keluarga Balam.
Orang-orang lainnya seperti Oom Petrus dan istri,
semua berdiri di belakang serta di samping kami, asyik
memperhatikan dengan khusuk. Aku enggak tahu apa
yang membuat hatiku sedih saat abu Papa perlahan-lahan dituang ke bawah, ke dalam laut yang siap menelan. Papa toh bukan ayahku, kenapa aku begini sedih?!


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa mendadak teringat kembali masa kecilku di
mana cuma ada seorang ayah bagiku, laki-laki tinggi besar, gagah, yang kusebut Papa, yang selalu siap
menggendongku bila aku nangis kesakitan atau kesal,
yang selalu mengecupku sebelum aku tidur dan waktu
aku bangun. Tanpa kukehendaki, lagu yang selalu dinyanyikannya kembali terngiang di telinga. Kata Papa,
itu lagu kenangan dari ayahnya, kakek yang enggak
pernah kukenal sebab sudah meninggal sebelum aku
dibawa ke Eski Saraya.
Oh! Mein Papa war eine wunderbare C lawn
Oh! Mein papa war eine grosser Kunstler.
Hoch aufdem Seil, wie war es herrlich anzuschau 'n
Oh! Mein Papa war eine schone Mann
la, la, la, la, la, la, la, la, la, la
Oh! My Papa, to me he was so wonderful
Oh! My Papa, to me he was so good.
No one could be so gentle and so lovable
102 Oh! My Papa, he always understood.
Cuma dua benda yang disimpan oleh Papa. Kaset
lagu ini dan buku De Drie Musketier karangan Alexander-siapa-itu. Buku itu selalu dibawa Papa ke mana
pun dia pergi, ke luar negeri atau ke daerah. Di rumah,
ditaruhnya buku itu di tempat spesial di atas rak buku,
yang terlihat dari tempat duduknya.
Enggak terasa air mata sudah meleleh sepanjang
pipi. Baru kusadari bahwa lagu itu bukan muncul dari
kenangan belaka, tapi dari kaset yang terletak di atas
meja plastik, dekat dinding buritan. Aku enggak tahu
ide siapa memutar kaset kesayangan Papa itu. Tapi
yang jelas melodi itu memeras kelenjar air mataku,
memutar kembali semua kenangan indah semasa aku
belum menyadari siapa Papa sebenarnya.
Kupandangi air laut yang tenang, abu yang jatuh
sirna tanpa bekas. Hatiku yang merana saat itu megap-megap seperti ikan keluar dari air, enggak tahu
harus meloncat ke mana, enggak tahu harus berpijak
di mana. Ayah kandung, enggak pernah kukenal. Papa
yang menyayangi diriku, kini sudah tiada. Berapa
sayang pun, Papa ternyata cuma ayah angkat. Di mana
akar j iwaku? Dari mana asal-usul diriku?
Pa, walau sekarang aku tahu Papa bukan ayahku,
tapi aku akan tetap mencintaimu, ujarku dalam hati.
Kasih sayangmu semasa aku masih kecil, akan tetap
merupakan kenangan manis bagiku. Terima kasih,
Pa, aku sudah Papa ambil dari jalanan, Papa pelihara
sampai berhasil punya titel. Cuma satu penyesalanku,
kenapa aku enggak punya kesempatan untuk membalas kebaikan Papa.
103 Aku dikejutkan oleh guncangan dari belakang.
"Vanessa!" bisik Inge di kupingku. Seolah baru tersadar dari mimpi, aku menoleh ke belakang. Pandanganku yang buram menangkap gerakan Inge menunjuk ke
samping. Alm menoleh ke samping sambil cepat-cepat menyeka mataku dengan punggung tangan ketika
menyadari bahwa wajahku terasa basah.
Tante Yasmin tengah mengawasi aku, rupanya tadi
ucapannya enggak kutangkap. "Sekarang giliranmu,
Vanes," ujarnya seraya memerintahkan Robert dan
Kori agar menyerahkan kendi itu padaku. Tanpa sempat berpikir lagi kuterima benda itu. Lumayan beratnya, jadi aku gendong supaya enggak sampai jatuh.
Tante Yasmin menyuruh Kori menggeser sehingga
dia kini berdiri di sampingku, membantu memegangi kendi itu. Untunglah. Jadi aku bisa lebih gampang
menuang isinya. Entah kenapa, hatiku pedih sekali.
Mungkin aku teringat nasibku sendiri, teringat ayah
dan ibu yang sudah enggak ada, dan sekarang disusul
oleh Papa....
"Lemparkan kendinya," ujar Tante Yasmin ketika
isinya sudah habis. Kudengar seseorang mendecah,
"Sayang benar! Itu kan dari zamannya Osman II, sudah tiga ratus tahun lebih, berapa tuh harganya!" Ditimpali oleh orang lain, "Kurasa paling sedikit sepuluh
juta dolar! Nah, besok langsung sewa kapal selam,
siapa tahu kau mujur bisa mendapatkannya kembali!"
Kendi yang indah itu terapung-apung bercanda
dengan ombak, kemudian dia menelan air, makin lama
makin banyak dan akhirnya diikuti desahan, "Ah!"
dari orang yang barusan ngomong, benda itu meninggalkan kami, turun ke dasar samudera. Tante Yasmin
104 mendadak terguguk sambil memelukku dan berbisik,
"Ayahmu sudah pergi, Nes."
Bisikannya sangat pelan, aku yakin enggak ada
orang lain yang mendengar. Kenapa justru padaku dia
berbisik begitu, kenapa bukan sama Kori?! Kan Papa
adalah ayah Kori, bukan ayahku?! Ah, barangkali dia
sedih mengingat nasibku sekarang, pasti akan semakin dimusuhi oleh Kori. Tante Yasmin mungkin enggak
mengkhawatirkan Kori, sebab yakin hidup Kori pasti
sudah terjamin. Papa pasti meninggalkan semua hartanya bagi Kori dan Robby.
Tante menangis, aku juga j adi ikut-ikutan mencucurkan air mata lagi padahal tadi sudah hampir kering.
Inge memeluk kami berdua sambil membujuk ibunya
supaya stop. "Mam, udah dong jangan nangis. Lihat
tuh, Vanessa udah merah mukanya, sedari tadi nangis,
bisabisa dia nanti pingsan!"
Tante Yasmin menatapku. Rupanya betul apa yang
dikatakan anaknya, mungkin juga dia malah j adi takut
aku akan semaput, langsung saja tangisnya berhenti,
dicecapny pipiku dengan saputangannya yang harum,
dibersitnya hidungnya sendiri, lalu digandengnya Inge
dan aku di kiri-kanan, diajaknya berlalu.
Tante Agatha, ibunya RR, menghampiri kami.
"Yuk, kita sarapan ke bawah." Semua orang menyambut ajakan itu, mengayun lang kah tanpa banyak komentar.
Tante Agatha kira-kira seumur Tante Yasmin, perawakannya tidak setinggi tanteku, tapi lebih langsing.
Wajahnya bujur telur, kelihatan ramah walau bibirnya j arang bergerak kecuali sesekali tersenyum. Tante
Yasmin berahang kuat, wajahnya agak bulat keibuan,
105 hidungnya mancung hampir seperti orang Barat, tapi
yang istimewa adalah matanya yang berlekuk dalam
dinaungi bulu yang lentik dan indah bukan main.
Kami tiba di ruang salon yang luas, di mana sudah
tersedia meja panj ang dengan sarapan ala Prancis alias prasmanan. Ada nasi goreng, bihun goreng, bubur
ikan, bubur ayam, roti panggang dengan selai, keju,
telur mata sapi, ham, sosis, nasi uduk dengan lauknya,
minuman dingin dan panas, buah-buahan serta enggak
ketinggalan bulgur untuk mereka yang ingin makanan
sehat.
Kami bebas duduk di mana saj a, karena itu enggak
heran aku enggak melihat Kori. Malah rasanya enggak kulihat dia mengambil piring. Juga enggak aneh.
Sebab Kori memang sangat teliti memperhatikan apa
yang masuk ke mulutnya, walau dia enggak begitu
peduli apa yang keluar dari sana, terlebih kalau itu ditujukan terhadap diriku yang hina dina ini. Mungkin
pagi itu dia sedang diet, enggak sarapan. Sebaliknya
Robert, si pemakan daging, tentu saja segera menumpuk roti dan telur dan sosis dan keju dan ham ke atas
piringnya, seakan takut kehabisan.
Selesai sarapan sepiring bihun goreng yang gurih (Aji-no-moto-kah atau kaldu ayam?), aku keluar
ke geladak, jalan mondar?mandir mencari udara segar untuk melapangkan hati yang rawan. Di sebelah
kanan haluan terdapat kursikursi plastik putih tempat
orang duduk-duduk mandi matahari. Di bagian atasnya terdapat cerobong besar yang letaknya mendatar,
kubayangkan pasti masuk dua orang di dalamnya
seandainya mau jadi penumpang gelap.
Aku melangkah pelan-pelan tanpa tujuan. Di ke
106 jauhan sudah tampak pulau yang dituju. Menurut rencana (yang sebenarnya kurang kusetujui, sebab aku sudah ingin lekas-lekas pulang, masuk ke kamar), kami
akan ke Pulau Bidadari, istirahat sej enak di hotel milik
Oom Petrus, lalu makan siang dan kembali ke J akarta
sore hari.
Begitu asyiknya aku dengan pikiranku sendiri,
sampai enggak kusadari bahwa di dekatku ada orang
duduk. Dua orang. Ketika salah seorang menyapaku, barulah dengan kaget aku menoleh. Kiranya RR!
Dan... siapa lagi! Tentu saja Kori. Di mana ada cowok
ganteng, di sana pasti ada Kori. Kakakku itu enggak
pernah bisa membiarkan seorang laki-laki sendirian
tanpa ditemani olehnya.
"Sudah sarapan?" tanya RR.
"Sudah."
"Sini, duduk di sini."
Kulihat Kori melotot seakan melarang. Aku juga
memang enggak mau duduk di situ, sedang ingin
sendirian kok.
"Enggak ah, aku mau j alan-jalan. Kalau duduk sehabis makan, bisa-bisa aku nanti jadi gembrot," sahutku ketawa sambil melirik Kori untuk melihat reaksinya. Benar saja, kulihat dia menyimak betul apa yang
kukatakan. Pasti akan selalu diingatnya, habis makan
enggak boleh duduk, nanti jadi gendut!
Aku permisi, lalu meneruskan olahragaku, mengitari kapal sepuluh kali. Lumayan. Begitulah pengalamanku berpisah dengan Papa. Setelah itu enggak ada
lagi kejadian yang pantas kucatat di sini, aku cuma
menunggu tiba kembali di Marina menjelang magrib. Dalam perjalanan pulang Inge menemani aku, se
107 dangkan Kori dan Robby rupanya ditemani oleh RR
di ruang salon. Mereka main snuker, semacam bola
sodok.
Ketika aku sedang ragu, mau ikut mobil Oom
Bukhari atau mobil Robert, datang RR menghampiri.
"Pulang sama siapa?"
"Tahu deh, Tante Yas pulang ke J akarta, sedangkan
Robert mau ke tempat kawannya dulu, enggak tahu
sampai pagi atau enggak."
"Kenapa bukan ikut aku saj a? Pasti kuantarkan
sampai depan pintu."
"Kau kan pulang ke J akarta, bukan?"
"Ayahku juga punya Vila di Puncak, aku bisa nginap di sana. Sering kok aku ke atas, kalau sedang jemu
dengan udara Jakarta yang pengap."
Sama cewek-cewek? pikirku. Ah, peduli apa, toh
aku enggak mau ke vilanya, cuma ingin diantar sampai
rumah.
"Orangtuamu gimana?"
RR ketawa. "Mereka bisa pulang sendiri, kan ayahku bawa mobil."
Akhirnya kuputuskan untuk menerima tawarann?
ya. Ketika aku sudah duduk di sebelah RR, tahu-tahu
muncul Robert di luar jendela, ngetuk-ngetuk kaca,
memaksa minta bicara. Kuturunkan jendela supaya
bisa kutangkap suaranya.
"Kau mau ke mana?" tanyanya dengan nada sangar.
"Pulang."
"Kenapa enggak sama aku?"
"Katamu kau mau ke tempat Johnny, pasti bakal
terus ke nite club sampai subuh!
108 "Batal, kok. Ayo, ikut mobilku."
"Enggak, ah. Malas aku keluar lagi." Entah kenapa,
tahu-tahu aku ingin membangkang. Mungkin karena
Papa sudah enggak ada, aku merasa bukan lagi jadi
adik kecil yang bisa manja padanya sekaligus harus
menuruti kemauannya.
Robert berusaha mau membuka pintu, tapi RR barusan sudah menguncinya. Enggak berhasil dari luar,
diulumya tangannya mau membuka dari dalam. Dengan gesit kaca kunaikkan lagi, sementara RR ketawa
kecil. "Jangan takut, Rob, adikmu akan kuantar sampai depan pintu. Kebetulan aku memang mau naik ke
atas, nginap di Vila. Enggak apa-apa kan, kuantar Vanessa pulang?"
Rupanya Robert malu juga mendengar suara RR
yang sopan itu. Dia meluruskan kembali tubuhnya
dan mundur setengah langkah, mengawasi mobil kami
meluncur pergi.
Malam itu aku tidur nyenyak sekali sampai besoknya, yaitu tadi pagi, aku bangun kesiangan, semua
orang sudah enggak ada di rumah kecuali Bi Asri,
Nini, Pak Kasman dan Jono, keponakannya, yang tempo-tempo datang membantu-bantu pamannya. Koran
pagi masih tergeletak rapi di meja makan. Sambil sarapan iseng-iseng kuraih. Sebenarnya aku ogah baca koran, terlebih kalau sedang sarapan, sebab tangan jadi
kotor, enggak bisa lagi dipergunakan memegang roti
atau buah. Tapi sekali itu entah kenapa, kubuka juga.
Mungkin karena hatiku terasa enggak begitu kosong
pagi itu, sebab mimpiku penuh dengan RR yang mesra? Tahu, deh.
Yang jelas, rupanya kebiasaan lama memang sebai
109 knya j angan suka dilanggar. Akibatnya, belum apa-apa
mataku sudah terbentur berita yang kembali membuat
hatiku pilu. Enggak kusangka Papa sebenarnya cukup
terkenal di kalangan masyarakat. Memang di antara
para pelayat kulihat ada beberapa orang asing. Kata
Tante Yasmin, staf dari beberapa kedubes. Malah ada
seorang duta besar, aku lupa dari negara Arab mana.
Sekarang ternyata potretnya dalam bingkai hitam
muncul di halaman depan-atas, lengkap dengan cerita
setengah halaman.
Yang menarik perhatianku bukanlah riwayat serta jasa-jasa Papa dalam masyarakat, melainkan soal
kremasi j enazahnya.
"Seperti kejadian dua puluh lima tahun yang lalu
ketika Azula Zafir meninggal karena bunuh diri, jenaz?
ah Pak Ponseka Balam juga dikremasi, dan abunya
dibuang ke laut, tepat di tempat dulu abu Azula ditaburkan olehnya.... "
Azula Zafir?! Siapakah dia? Apa hubungannya
sama Papa? Kenapa selama ini belum pernah sekali
juga kudengar nama itu?! Barangkali bisa kutanyakan pada Tante Yasmin? Tapiii, nanti aku dimarahinya, dianggap lancang mau tahu urusan Papa. Apalagi
Papa kan bukan ayahku, bukan apa?apaku. Mendingan
kutanyakan Kori atau Robby saja, mereka juga pasti
tahu dan rasanya enggak bakal menuduhku lancang.
Kalau mereka heran kenapa aku nanyananya, aku akan
hilang, oh cuma kepingin tahu sebab disebut-sebut di
koran. Sebenarnya mau kutanyakan tadi sore, tapi karena upacara kawin-kawinan itu, aku j adi lupa.
110 Uh, sudah berapa lembar nih aku nulis? Baru terasa
sekarang, mataku sudah berat banget, sudah jam berapa sih? Vanessa menguap, lalu menoleh ke samping
ranjang, di atas meja terletak beker berbentuk ayam
j ago yang bunyinya bukan "kriiing" tapi "kukuruyuki
Wow, sudah hampirjam dua???f Aku harus segera
tidur! Tapi tanggung, satu kalimat lagi!
Di halaman belakang, dalam rumah kaca, tinggal
Robert sendiri, duduk di kursi rotan, melonjorkan kaki
ke atas kursi lain, mata menengadah ke langit, melalui
atap kaca memandangi bintang?bintang.
Korizia dan Nemesio sudah lama berlalu. Dalam
otaknya berdenging kembali ketawa Kori yang tinggi
dan nyaring, sedikit sarkastis.
"Selama ini kukira kita berdua anak kandung,
Vanessa cuma dipungut dari jalanan. Sekarang ternyata dia yang anak Papa, kita yang dipungut! Ironis
banget! Nasibku bakal terbalik seratus delapan puluh
derajat! "
"Enggak perlu jadi ironis asal tahu cara mencegahnya, " diingatnya dirinya menjawab.
"Gimana? "
"Jangan kita kasi tahu dia keadaan yang sebe?
narnya! "
"Maksudmu, anak itu akan dibiarkan terus menyangka ayahnya cuma penjual abu gosok yang ditabrak mati sama Papa? "
Melihat dia mengangguk, Kori langsung terbahak
nyaring, senang bercampur histeris. Dan ketika pamitan bersama Nemesio, Kori kembali mengingatkan,


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan lupa, Vanessa enggak boleh tahu, siapa dia
111 sebenarnya. Awas lho, kalau sampai bocor! Aku bikin
hidupmu jadi neraka! Aku ini kan pengacara, bikin
susah orang bagiku lebih gampang daripada nyusun
balok?balok Lego ! "
"Sama abang sendiri kok galak be?eng/ " ujar
Nemesio.
"Abang dari mana? Ibunya lain, ayahnya lain! "
"Kok tahu? Katamu, kau enggak tahu siapa or?
angtuamu. "
"Pokoknya aku tahu! Aku pernah dengar Mama
ngomong sama Tante Yasmin. Awas lho, Robby!
Awas! "
"ASIAN WOMEN ARE SEXY! " cetus Nemesio ngakak.
"Apa? " Kori melengking.
"AWAS! Kalau di tikungan di Malaysia, diterjemahkanjadi yang aku bilang tadi. "
"Dasar hidung belang! "
Nemesio cuma nyengir menyambut gelar kejanta?
nannya itu. Kori mengentakkan kaki dengan rupa sebal lalu keluar dari rumah kaca itu dengan lenggang
manja, ditanggapi oleh tunangannya dengan pelukan
mesra.
Robert tersenyum, ingat lelucon tadi, lalu menghela napas. Untunglah Kori rupanya enggak terlalu
memusingkan asal?usul dirinya yang gelap. Mungkin
saat ini dia di dalam kamarnya, sedan g asyik masyuk
dengan Nemesio. Enggak seperti diriku yang masih
belum bisa menerima nasibku sebagai anak pungut
yang enggak ketahuan dari mana asalnya. Kori betul.
Memang ironis. Anak yang selalu dihina dan ditekan,
ternyata adalah pemilik Eski Saraya yang sah! Nama
112 di atas genteng merah itu, dalam cat berwarna putih,
sejak puluhan tahun merupakan mercu suar bagiku
untuk menemukanjalan pulang. Begitu mobil belok di
tikungan, mataku langsung naik ke atas. Ketika terbaca olehku kedua kata itu, hatiku langsung terasa
nyaman, sebab berarti aku sudah sampai ke rumah.
Dan sekarang... Eski Saraya akan jatuh ke tangan Vanessa?
Enggak bisa!!! Hal itu enggak boleh terjadi. Selama aku masih bernapas, selama itu juga aku akan
berusaha mati?matian untuk merebut rumah ini dari
tangannya! Eski Saraya bukanlah sekedar rumah
bagiku. Ini adalah sumber nyawaku, pusat kehidupanku. Tanpa rumah ini aku bakal terkatungkatung seperti layangan putus. Cuma di sinilah ada kemungkinan
bagiku untuk merasa tenteram dan malah meraih juga
sedikit kebahagiaan serta bisa menerima nasibku yang
enggak punya asalusul ini. Tanpa rumah ini, hidup
adalah neraka, lebih baik aku mati saja. Yah, semoga
Vanessa bisa dibujuk untuk menghibahkan akta rumah
ini padaku, suaminya!
Robert tersenyum sendiri teringat upacara kecil
tadi sore. Dilipatnya kedua lengannya ke belakang kepala, diawasinya bintang-bintang di langit.
Ternyata ngibulin Vanessa enggak terlalu sulit, ngebodohin Dami lebih gampang lagi. Tawarin saja dia
kerjaan di mana kek, langsung mau dia nulis suratputus buat Vanessa. Huh! Enggak kusangka dokter muda
itu enggak punya haiga diri dan integritas. Boro-boro
disuruh nyebur ke lautan api buat nyelamatin pacar,
ini sih belum apa-apa sudah oke saja disuruh putus
asal imbalannya menguntungkan baginya.
113 Diturunkannya lengan kanannya dan dilihatnya
arloji. Setengah dua! Uuaah! Direntangkannya kedua
lengannya ke atas, diregangkannya paru-parunya. Diturunkannya kedua tungkainya dari kursi, lalu berdiri,
menggeliat dan mengayun langkah ke pintu. Sebelum
keluar, dicetreknya tombol di samping pintu. Lampu
besar pun padam, tinggal lampu kecil remang-remang
di tengah-tengah tanaman, sedangkan kamar tempat
mereka dudukduduk, kini gelap pekat.
Robert keluar ke belakang, mau mengitari halaman
sampai ke depan. Eski Saraya dibangun di atas bukit.
Sebagian dindingnya menempel dengan lereng gunung,
halaman belakang yang luas itu bersatu dengan hutan
yang penuh pohon tinggi serta pinus-pinus yang selalu
hijau sepanjang tahun. Bagian samping yang tak kalah
luasnya, juga dibatasi hutan yang kemudian berakhir di tepi jurang. Halaman depan yang anggun penuh
bunga dahlia, gerbera, aster, anyelir, juga luas, hijau
bagaikan permadani, berkat rawatan Pak Kasman.
Robert melintasi halaman di atas jalan setapak
yang berkerikil, dari samping terus ke tangga yang
menuju ke bawah. Dekat sungai kecil dia berhenti
sejenak memandang ke bawah, memperhatikan ikanikan yang biasanya berseliweran di siang hari. Karena
bulan tidak begitu terang, dia tidak berhasil melihat
gerakan apa-apa. Yah, mungkin mereka sudah tidur!
Dia mendecak geli. Ikan tidur? ? ?
Akhirnya diangkatnya kepala. Terpandang olehnya
jembatan lengkung yang menghubungkan kedua tepi
sungai. Dia bergerak seakan mau naik ke sana, tapi
kemudian menjatuhkan diri di atas tanah di pinggir
kali dekat air terjun kecil, bersandar ke pohon meng?
114 kudu. Dilipatnya sebelah lututnya, dipeluknya dengan
kedua tangan, matanya menengadah memperhatikan
Eski Saraya yang indah, diterangi dua buah lampu
kuning di kiri-kanan balkon.
Sedang apa Vanessa saat ini ? Mimpi ? Betulkah dia
enggak merasa heran kenapa Papa menyuruh kami
berdua kawin? Apa dia sama sekali enggak curiga?
Atau lantaran dia percaya itu kehendak Papa, jadi diturutinya saja dengan membabi buta? Gimana sean?
dainya aku bilang, Papa mau supaya akta rumah diserahkan padaku, apa dia akan percaya?
Enggak, Rasanya dia susah percaya. Selugulugunya Vanessa, dia punya otakjuga. Memang dia
sangat merasa utang budi sama Papa, dan titik lemah
ini mesti aku manfaatkan sesering mungkin, tapi
rasanya dia enggak bakal mau percaya, akta harus
disimpan olehku. Pasti dia akan tanya, kenapa enggak Papa jelaskan itu di surat wasiat, kenapa kalau
memang mmah itu diperuntukkan bagi kami berdua,
enggak disebutkan begitu dalam testamen, lalu kenapa Kori enggak kebagian?
Robert menghela napas. Seandainya Papa enggak
mengubah lagi testamennya, apa yang kubaca dulu itu
jelas mengatakan bahwa rumah ini untuk Vanessa. Titik. Bukan untuk dimiliki bersama.
Robert melamun sambil sebentar?sebentar meng?
hela napas. Kemudian disadarinya bahwa bulan dan
bintang-bintang sudah condong ke barat. Dilihatnya
arloji. Wow, sudah setengah tiga lewat! Dia bangkit,
menepuk-nepuk bagian belakang celananya, lalu melangkah ke tangga. Dia menghindari pintu depan yang
pasti sudah digembok oleh Bi Asri. Karena segan mu?
115 tar ke pintu dapur yang jauh di belakang, diputuskannya untuk masuk dari samping kanan saja. Samping
rumah sebelah kanan ini diisi dengan sepetak kebun
mawar, di tengahnya terdapat kolam air mancur dengan hiasan patung induk angsa memeluk anaknya serta seekor kodok raksasa berwarna hijau, dari mulut
mereka terpancar air. Kebun itu dibatasi oleh tebing
gunung, sebab bagian samping ini berakhir di teras,
ke arah belakang dinding rumah selebihnya menempel
ke gunung.
Ketika berbelok ke samping, matanya tanpa sadar
menengok ke atas, sebab kebiasaan. Keningnya berkerut melihat lampu masih menyala di kamar Vanessa
yang terletak di atas, balkonnya tepat menutupi teras.
Ngapain dia selarut ini belum tidur?
Dibukanya pintu teras yang gampang dicongkel
kuncinya dengan kartu kredit yang diselipkan di antara daun pintu. Dia masuk dan naik ke loteng yang
bercabang dua di lantai pertengahan, satu naik ke kiri,
satu lagi ke kanan, dan kalau terus akan tiba di kamar
tempat menyimpan seprei serta perabot makan yang
halus?halus, yang cuma dipakai bila ada acara istimewa seperti tahun baru atau ulang tahun.
Kamar Robert berada di sebelah kiri. Semua anggota keluarga tidur di bagian kiri dengan jendela terbuka ke arah jurang yang memberi pemandangan menakjubkan. Cuma Vanessa yang diberi Mama kamar di
sebelah kanan yang membuka ke arah tebing gunung.
Karena terletak paling depan, jendela Vanessa masih
lumayan, bisa melihat ke arah sungai yang juga indah.
Tapi para pembantu yang tidur di bagian kanan agak
ke belakang cuma bisa menikmati hutan serta rumah
116 kaca yang memang bagus juga dipandang bila sedang
penuh bunga. Yang paling payah adalah bekas kamar
Pak Kasman yang tak punya jendela, cuma ada celah
di langit-langit untuk memasukkan sekedar cahaya.
Baru sebulan di situ, dia sudah minta pindah ke pon?
dok kecil di sebelah istal kuda. Katanya, mumet engg?
ak punya j endela.
*** Robert berhenti di depan pintu Vanessa. Karena
lorong sudah gelap, berkas cahaya yang keluar dari
celah di bawah pintu terlihat jelas sekali. Tanpa
mengetuk lagi dibukanya pintu yang tidak berderit itu.
Di dalam dilihatnya Vanessa sedang asyik menulis,
duduk membelakanginya. Robert menutup pintu, lalu
melangkah pelanpelan di atas karpet berwarna putih
susu. Di sudut dilihatnya sebuah boneka anjing yang
besar, sedang berbaring seakan menjagai majikannya.
Melihat mukanya yang mirip Coklatsusu, dia meringis
sej enak, merasa risi teringat anjing yang malang itu. Di
atas ranjang single ada lagi seekor anjing lain, pudel.
Dia ingat, boneka pudel itu oleh-oleh ayahnya dari
Paris. Di atas rak buku duduk anjing ketiga, seekor
anak husky, anjing kutub yang bulunya ekstra tebal,
mukanya khas, ramah sekali, warnanya hitam-putih.
Dalam hati dia mengeluh. Kapan kau akan bisa
melupakan trauma itu, Anes? Kapan kau akan punya
keberanian lagi untuk memelihara anjing hidup, bu
117 kan cuma ngumpulin bonekanya?
Dia berhenti di belakang kursi. Tangannya sudah
terjulur untuk menepuk bahu gadis itu, namun dibatalkannya. Jangan, ah. Nanti dia kaget. Dia sengaja berdehem sekedar memberitahukan kehadirannya. Vanessa tidak menoleh, asyik menulis. Dia menunggu lima
detik. Kepala yang hitam tebal itu masih menunduk
terus, buntut kudanya miring ke kiri.
"Anes," panggilnya akhirnya.
"Mmm, "da "pa?"
"Kenapa masih belon tidur? Lagi ngapain sih?"
"Kan bisa lihat sendiri, aku lagi ngapain!"
"Tahu enggak, udah jam berapa sekarang?"
"Tadi sih, hampir jam dua."
"Setengah tiga lewat!"
Vanessa mengangkat kepala, menatap beker untuk
memastikan. "Wow! Kau benar!" Dia menoleh dan
menggerutu, "kenapa sih selalu masuk sonder ngetuk
dulu?"
"Aku kan suamimu!" Robert mencoba guyon, tapi
Vanessa menanggapinya lain. Matanya yang sudah
kuyu mendadak jadi terbuka lebar, diputamya kursinya yang beroda, dipandangnya Robert, dikalungkannya sebelah lengannya di punggung kursi, sebelah yang
lain memegang pena yang digigit-gigitnya.
"Ingat, cuma di atas KERTAS! Juga cuma buat
enam bulan! J angan punya ide yang enggak?enggak!"
Suaranya lesu. Memang sejak dulu, Vanessa tidak segalak Kori, belum pernah membentaknya.
"Kalau aku punya niat j ahat saat ini, kaukira kau
sanggup mencegah? Kau punya tenaga untuk melawanku? Mau ngadu kau diperkosa? Sama siapa? Poli
118 si? Aku bisa tunjukkan surat kawin kita!"
Vanessa yang sudah ngantuk rupanya tidak berniat
meladeni guyonan yang dianggapnya tidak lucu itu.
Dia menarik napas sambil menutup penanya. Robert
mendekati untuk melihat apa yang ditulisnya.
"Kau mau apa sih sebenarnya?"
"Cuma mau ngeliat kenapa kau masih belon tidur.
Eh, nulis buku harian nih? Kayak anak remaja aja!"
"Cuma iseng."
"Ayo, tidurlah! Kau tahu, perempuan kalau kurang
tidur, cepat tua!"
"Ah, mau cepat tua kek, mau cepat ubanan kek,
ngapain kau jadi repot!"
"Tentu aja aku jadi repot! Siapa sih yang mau punya istri cepat tua, cepat ubanan? Malu-maluin!"
"Rob!" Vanessa berdiri dan menunjuk kepintu.
Mendadak rasa kantuknya tak tertahan lagi. Dengan
sebelah mata terpicing dimatikannya lampu di atas
meja, lalu ia melangkah ke ranjang. Sambil duduk di
atas ranj ang membuka sandal, dia berkata pelan seperti orang setengah mimpi, "Keluarlah! Jangan lupa
tutup pintu!"
Vanessa langsung rebah ke kasur, berguling ke
samping, memeluk pudelnya dan pulas. Robert tercengang sejenak melihat adegan itu. Wajahnya yang
juga sudah ngantuk, pelanpelan merekah, tersenyum
kecil melihat gadis itu tidur begitu damai, wajahnya
tenang seakan tanpa kesulitan apa-apa, persis anak kecil. Rupanya dia kelewat capek, lahir?batin. Sejak balik ke rumah enggak sempat tidur cukup, malah waktu upacara pembuangan abu kemarin, sejak sebelum
subuh sudah berangkat ke Jakarta, pulang lagi larut
119 malam, tahu dibawa mutar?mutar ke mana saja sama
si Erik. Dan sekarang, sudah lewat setengah tiga baru
tidur!
Sej ak masih kecil, Robert memang lebih menyukai
Vanessa daripada Korizia. Apalagi ayahnya juga pernah berpesan waktu dia masih di SD, supaya Vanessa
jangan digalakin. Karena itu dia menjadi pelindungnya terhadap Korizia yang sering kali meneror gadis
cilik itu. Walaupun sekarang gadis itu merupakan
penghalang baginya untuk memperoleh apa yang diidamkannya, nalurinya sebagai pelindung menggerak?
kan kakinya ke pinggir ranjang.
Diangkatnya lipatan selimut di kaki ranjang, lalu
diselimutinya Vanessa. Dia berlutut di lantai, disentuhnya bibir yang terkatup rapat itu dengan telunjuk,
dipandangnya waj ah ayu itu dengan ragu. Setelah beberapa detik, pelanpelan dia menunduk, dikecupnya
pipi yang kemerahan itu. Cuma sekejap. Cepat?cepat
dia berdiri lagi seakan takut Vanessa nanti terbangun.
Kemudian dia melangkah ke pintu, dipadamkannya
lampu di langit?langit dan keluar.
120 Bab 4
ESOKNYA Vanessa terjaga dengan mata pedih.
Dilihatnya beker sudah menunjukkan jam sembilan
lewat. Tapi rupanya bukan dia sendiri yang kesiangan,
sebab di meja makan masih lengkap tersedia tiga
piring.
"Belum ada yang bangun, Bi?"
"Belum, Non," sahut Bi Asri.
N ini muncul dari dapur dengan semangkuk bubur
kacang hijau yang masih mengepul. Harum gula j awa
bercampur jahe membuat perutnya lapar.
"Ni, nanti kita ke pasar yuk. Aku kepingin bikin
rujak bua ."
"Pohon kedondong di belakang sedang banyak
buahnya, Non. Sama Bibi belon boleh dipetik, mau
tunggu matang di pohon, tapi kalau buat ngerujak sih,


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asem sedikit enggak apa?apa, kan? Di dapur juga ada
ubi merah, ada nenas satu sisa dari masak ikan bawal
kemarin dulu, terusss... ada apa lagi, ya? Oya, jambu
air juga banyak buahnya, tinggal dipetik. Lantas ada
pepaya mentah, lagi disekap. Avokad juga banyak, sama-sama disekap di beras."
"Biasanya kan dibungkus sama koran aja, Ni. Dua
hari juga matang."
"Dilarang sama Pak Robby. Katanya nanti tintanya
121 luntur, nempel di kulit, ikut kemakan, racun."
"Hm, betul juga. Nah, jadi kita masih perlu ke
pasar, enggak?"
"Terserah, Non. Bumbu sih lengkap, gula, cabe,
terasi, asam, garam."
"Rasanya kalau enggak pakai lobi?lobi mjaknya
kurang sedap, ya. Kita beli lobi?lobi aja deh. Sama
cereme kalau ada."
"Kalau cuma beli segitu, Non enggak usah ikut,
biar Nini aja sendiri," usul Bi Asri nimbrung. "Saya
memang niat nyuruh dia belanja, kok. Non minta
dimasakin apa buat hari ini? Non Kori semalam udah
pesan bikin ayam goreng, Pak Robby minta mangut
ikan gurami, jadi perlu beli belimbing wuluh. Juga
kencur sama temukunci, kebetulan lagi abis di dapur."
"Saya sih kepingin sayur lompong sama ikan j ambal, Bi. Udah lama enggak makan. Juga pepes oncom
yang pedas pakai rawit. Kalau terlalu banyak, ya salah
satu aja deh."
"Enggak banyak, Non. Bikin pepes mah sebentar
juga j adi, enggak repot. Kebetulan memang perlu beli
oncom buat sayur lontong. Ikan j ambal sih ada, dikasi sekilo sama Ibu Yas minggu lalu, katanya asli dari
Bagansiapi-api. Saya goreng hari itu, Bapak suka sekali, sampai nambah dua kali. Enggak nyana ya, Non,
siangnya masih makan biasa, sorenya"
Vanessa melipat kedua tangannya di atas meja,
menghela napas, menatap pembantu tua yang setia itu,
lalu tiba-tiba merasa ingin ngegosip. "J adi Papa enggak sakit sebelumnya, Bi?"
Bi Asri menggeleng seraya mengelus-elus serbet
yang tersampai di bahunya. "Paginya Bapak masih
122 bersiul sama nyanyi?nyanyi lagu kesayangan itu lho,
Non, yang bunyinya "omain papa, 0 main papa, ! sembari jalan ke belakang. Kata Kasman, Bapak udah
ngomong soal mau ngelebarin rumah kaca, supaya
bunga mawar Non Vanessa bisa pindah ke situ. Terus
ngomong juga ada rencana mau nambah sikas sama
pohon palm di halaman depan."
Vanessa manggut-manggut. Ya, Papa memang sudah lama punya rencana buat merombak kebun. Sikas
media sama palm Talipot yang kembangnya panjang
putih-putih itu memang paling disukainya. Papa juga
sudah setuju semua ros kesayanganku boleh masuk ke
greenhause kalau nanti sudah diperluas. Dan sekarang semua rencana itu pasti batal. Siapa yang akan
membiayai ? Robby pasti enggak mau buang duit buat
aku, Kori apalagi. Uh.
"Gimana sih kejadiannya sampai Papa bisa serangan j antung begitu hebat, Bi? Tadinya sehat?sehat saj a,
kan?"
"Bibi juga sama sekali enggak nyangka, Non. Sore
itu Bapak bertengkar sama Pak Robby. Tahu deh, uru?
san apa, abis pintu kamar kerja Bapak tertutup sih,
cuma ketangkap suarasuara saling marah aja."
Hm. Jadi Robert biang keladinya! Ngomong apa
dia sampai Papa begitu marah? Serangan jantung itu
pasti disebabkan karena emosi yang meluap. Barangkali memang sudah ada penyempitan pembuluh darah
ke jantung, siapa tahu keluhan masuk anginnya selama ini sebenarnya lebih serius? Dulu Papa pernah
sakit perut hebat, disangka oleh Oom Justin yang biasa ngobatin, cuma gangguan pencernaan biasa, tapi
serangan jantung kan mungkin juga?! Sayang kemu
123 ngkinan itu enggak diperhatikan. Waktu itu aku baru
tingkat berapa... tiga? Empat ? Mana berani buka
mulut, salah?salah disemprot sama Papa. Masak aku
mau sok ngajarin dosen sendiri, malu dong sama T riska, Juga enggak mungkin internis sekaliber ayah T riska bisa lupa bahwa angina pectoris itu bisa macammacam gejalanya. Barangkali lantaran Papa selama
itu kelihatan segar juga EKG di luar serangan kan biasanya normal, jadi Oom Justin enggak curiga. Wah,
jangan sampai Kori atau Robby tahu, bisabisa mereka nanti mau nuntut Oom Justin atas keteledorannya.
Biar bekas dosenku itu mau dihukum gantung pun, toh
Papa enggak mungkin balik lagi. Jadi, ya tutup mulut
aja deh.
Rupanya Bi Asri bicara terus sementara dia asyik dengan pikiran sendiri. Akhirnya dia tersadar dan
menangkap ujung ceritanya.
"Saya kaget mendengar jeritan Pak Robby. Kasman kebetulan lagi di dapur, minum kopi. Kami ber?
dua langsung lari ke dalam. Pintu kamar udah dibuka
sama Pak Robby yang kelihatan bingung, mukanya
pias banget. Waktu kami masuk, saya lihat Bapak
tergeletak di lantai, rupanya kursinya terjengkang ke
belakang. Terus Pak Robby nelepon ambulans dari
Klinik Es?Be di atas."
Bi Asri tampak masih ingin bicara terus, tapi meli?
hat siapa yang datang, dia langsung menarik serbetnya
dari bahu, menunduk dan berlalu ke belakang. Vanessa menoleh, bertatapan sejenak dengan Robert yang
langsung menarik kursi di hadapannya.
"Bisa tidur?"
"Ya." Vanessa mengangguk sambil menuang susu
124 ke dalam kopi lalu meneguknya. Kemudian diletak?
kannya kembali cangkirnya dan diambilnya sendok
untuk melahap bubur kacang yang manis dan gurih
disiram santan kental.
"Ngobrol apa kalian barusan? Kelihatannya asyik
banget."
"Soal kematian Papa. Rob, sebenarnya apa sih
yang terjadi sore itu? Bi Asri bilang, kau bertengkar
hebat sama Papa. Soal apa, sih?"
"Urusan lelaki! Kau enggak perlu tahu! Itu kan antara aku dan ayahku! Kenapa kau mau usilan?" Rob?
ert kelihatan kurang senang. Vanessa juga mendengar
dia menekankan bahwa itu ayahnya, bahwa dia cuma
orang luar.
"Maaf, aku bukannya usilan. Cuma kepingin tahu
aja."
Robert tidak menanggapi. Si pemakan daging nomor satu dalam keluarga Balam itu sudah sibuk meraih
dendeng, sosis, dan telur mata sapi, semua ditumpuk
ke atas nasi goreng, membuat Vanessa melirik dengan
kening berkerut.
"Kasian banget cewek yang nanti jadi istrimu!" Dia
tak dapat menahan diri untuk tidak berkomentar.
Robert menaikkan alis. "Kenapa?" Dibelahnya
telur mata sapi itu, merahnya meleleh keluar, langsung
ditusuknya dengan garpu dan belahan itu lenyap ke
dalam mulutnya.
"Lantaran dia bakal cepat jadi janda!"
Robert berhenti mengunyah sejenak, rupanya saking bingung mendengar ucapannya. Setelah otaknya
mengerti, dia mengangkat bahu dan meneruskan lagi
serangannya terhadap sosis?sosis.
125 "Untung bukan aku orangnya!" Vanessa menceeer,
kesal melihat omongannya tidak ditanggapi.
Robert terus saja makan seolah dia cuma sendirian di situ. Vanessa juga tidak berhenti menghabiskan
buburnya, tapi hatinya makin terasa digelitik melihat
Robert dengan sengaja malah menambah lagi sosis
yang penuh minyak itu dengan potongan?potongan sa?
lami yang diselipkannya di antara roti panggang.
"Kau kelihatan seperti orang kelaparan aja, Rob!
Nasi goreng! Roti panggang!"
"Memang lapar!" sahutnya singkat, mengangkat
bahu.
"Kalau diajak ngomong, harus angkat mukamu,
pandang orang yang ngajak ngomong, enggak boleh
nunduk begitu, enggak sopan! Apa udah lupa ajaran
Mama?"
Robert berlagak tuli.
"Cara makanmu seperti kuli aja!"
Robert sekarang menaikkan sikunya ke meja, wa?
lau tahu itu terlarang. Dikatupkannya kedua tangan?
nya di udara. Vanessa meletakkan sendok di dalam
mangkuk yang sudah kosong, lalu meraih piring pepaya. Diperasnya sedikit jeruk nipis ke atas potongan
merah segar itu, lalu diambilnya garpu kecil dan ditusuknya sepotong.
Robert memperhatikan tingkah Vanessa dengan
sudut matanya. Seperti ritual saja! Lagaknya kayakputri?putri istana, semua gerakan lemah gemulai.
Makan pepaya saja mesti lengkap semua peralatan,
enggak bisa langsung digigit dari kulitnya. Uh, apala?
gi kalau dia tahu siapa dirinya sebenarnya, tahu deh
kayak apa nanti lagaknya/
126 Ketika Vanessa mengangkat mata ke arahnya, Robert buru-buru menunduk kembali, dan menyikat lagi
makanannya yang kaya kolesterol. Vanessa memperhatikan dengan sedikit geli.
"Lantaran enak! Makanan sonder kolesterol mana
ada yang gurih!"
"Memang ada orang yang dilahirkan cuma buat
makan, tahu enggak!"
"Enggak!" sanggah Robert acuh, tanpa mengangkat muka.
"Bukan piringmu yang ngajak ngomong, tapi aku
"Aku enggak minta diajak ngomong!"
"Tahu enggak, belon pernah kulihat orang serakus
kau!"
"Nah, sekarang kaulihat!"
"Kau mesti belajar dari Erik gimana caranya makan yang benar! Itu baru namanya orang berbudaya!"
Hm, baru sekarang kau menyadari bahwa aku ada
di sini! Vanessa tersenyum melihat Robert mengang?
kat muka dan mendelik menatapnya. "Persetan sama
si Erik. Aku kan enggak berniat jadi pacamya!" de?
sisnya, sengaja dengan mulut gembung, salah satu larangan utama di meja makan.
Vanessa ketawa geli. "Ngomong dengan mulut
penuh? Mau coba bikin aku marah? Ngapain marah,
toh nanti binimu yang bakal malu kalau ngajak kau ke
resepsi, bukannya aku!"
Robert kelihatan cemberut. Argumen itu mungkin
masih akan panjang bila Korizia tidak segera muncul
dengan rambut awutawutan dan gaun tidur lecek. Dia
langsung menj atuhkan anunya yang gempal itu ke atas
kursi di depan piring yang masih kosong, di samping
'"
127 Robert.
Vanessa memperhatikan tingkah kakaknya dengan
geli. Natasia pernah memberitahu, bagian badan yang
suka dibanting ke atas kursi bila duduk, seperti yang
dilakukan Korizia saat itu, dalam bahasa J erman dise?
but popo.
Kata Natali, "Jadi ada pipi di muka, dan popo di
belakang! Pipi dibilang montok, popo disebut gempal.
Aku tahu dari teman Turki, dalam bahasanya, bagian
badan yang sama itu disebut popo juga."
Popo?mu lama-lama bisa bonyokjuga, Kori, kalau
terus-terusan dibanting begitu!
"Pagi semuaaa!" serunya, lalu melotot pada Vanes?
sa. "Belon pernah lihat cewek cakep apa, sampai nga?
wasin aku terus-terusan!" dia mendumal.
Robert tertawa sinis. "Dia bukannya kagum sama
kamu! Itu tuh, kau duduk di meja makan belon mandi,
belon gosok gigi, malah belon cuci muka. Itu kan melanggar larangan! "
Kori mendengus dan memekik, "Ni, mana telur?
ku?" lalu menoleh pada Robert dengan alis terangkat
tinggi. "Larangan siapa? Mama? Orang udah mati
ngapain didengar omongannya?! Ngapain takut, dia
udah enggak bisa lagi ngomel!" Korizia meletakkan
siku kirinya di atas meja dan menumpang dagunya
sambil terus menatap Robert dengan lagak menantang.
Robert berdehem?dehem. "Tunjangjanggut di mej a
makan. Satu lagi larangan yang kaulanggar. Kenapa
sih kau pagi ini? Apa semalam mimpi j elek?"
"Kalau ya, kau mau apa? Bisa kauhibur aku supaya
jadi gembira?"
"Kalau ada imbalannya, kenapa enggak? Aku
128 memang sedang perlu duit."
"Kau enggak mampu bikin dirimu sendiri senang,
mana mungkin bisa menghibur orang lain?" Korizia
menjengek sambil meraih gelas sari buah yang sudah
disediakan untuknya. Saat itu Nini masuk dengan
sebutir telur setengah matang yang diletakkannya di
depan Kori.
"Eh, kenapa bukan kautaruh di dapur aja sekalian,
biar betul-betul jauh dari tanganku!" gerutu Korizia
yang tidak mau mengulurkan lengan. Tangannya tetap
dibiarkannya di pinggiran meja, ditunggunya telur itu
dipindahkan tepat ke samping tangan kanannya. Nini
sudah mau berlalu ketika Korizia memerintahnya,
"Eh, mau ke mana? Telur itu belum kaubuka, gimana
mau kumakan? Kaulihat, tanganku cuma satu."
Tangan kirinya tetap menopang dagu sementara matanya memperhatikan Nini memecahkan bagian atas telur dengan sendok kecil yang kemudian
dimasukkannya ke dalam telur yang sudah terbuka itu.
"Mana ladanya? Garamnya?"
Nini menaburkan lada, tapi dibentak lagi, "Angkat dulu sendoknya! Yang perlu dikasi lada telurnya,
bukan sendok! Kau ini kayak orang baru aja di sini,
enggak ngerti apa-apa. Udah, cukup! Mau kautuang
semua lada sebotol itu? Udah deh sana, pergi! Biar aku
kasi garam sendiri!"
Nini terbirit-birit mengayun langkah sebelum Non
Kori sempat menyemprotkan perintah lagi.
"Jangan terlalu galak sama pembantu, kalau mereka pulang, kita juga yang bakal repot!" ujar Vanessa
dengan suara pelan
"Enggak usah ngajarin, ah! Ini kan rumahku, mere?
129 ka pembantuku. Aku berhak nyuruh nyuruh semauku,
bukan? Atau enggak?"
"Siapa bilang enggak boleh nyuruh? Tapi, jangan
keterlaluan, mereka juga punya perasaan, bukannya
robot."
"Tengik, ah! Sok alim lu ya, sekarang! Mentang-mentang udah jadi dokter! Eh, biarpun kautumpuk titel sampai selosin di belakang sama di depan
namamu, tetap aja bapakmu itu tukang jual abu. Itu
faktor yang enggak bisa dirobah sampai kapan juga!
Jadi enggak usah banyak tingkah di depanku! Sekarang udah enggak ada Papa, kau tahu sendiri siapa
yang berkuasa di sini! Kalau sampai kuusir, kau mau
tinggal di mana, coba?"
Vanessa menunduk sambil menggigit bibir. Rupanya apa yang kutakutkan memang akan terjadi. Mereka


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti keberatan aku tinggal terus di sini, menghabiskan makanan, air, dan udara. Kalau begitu, mendingan aku cepat-cepat balik saja ke F atima.
Robert rupanya sadar bahwa adiknya sudah bicara
keterlaluan. Dia berusaha meredakan suasana dengan
teguran halus, "Kori, kenapa sih pagi-pagi kok sudah
nyapnyap? Kalau kedengaran Nemesio, bisa-bisa dia
nanti merat saking takut."
Kori menyuap sesendok telur, lalu menj ebi ke arah
Robert. "Mau minggat? Sana, minggat! Aku sih enggak bakal mencegah. Gengsi dong. Kalau dia udah
bosan sama aku, silakan merat, minggat, enggak bakal
kutahan."
Vanessa menghabiskan pepayanya, lalu sambil
mengupas jeruk dipandangnya Robert. "Aku mau balik ke rumah sakit minggu depan."
130 Kriiing! Telepon di ruang keluarga berbunyi nyaring membuat Kori kaget, bahunya mengentak ke atas.
"Niii, budek kau? Teleponnn!"
Nini terbirit-birit masuk dari dapur, berlarianjing
ke dalam, lalu muncul lagi dua detik kemudian. Vanessa memandangnya. "Dari siapa, Ni?"
"Dari Dokter Kuret buat Non Kori."
"Biar dia nunggu!" Kori dengan tenang mengha?
biskan telurnya, masih ada tiga kali setengah sendok,
artinya tiga suap, setiap suap cuma separuh sendok
teh. Setelah sendok itu dijilati sampai licin (satu lagi
larangan yang dilanggar, komentar Robert), dia kumur
dengan air dingin dalam gelas (lagi-lagi itu sebuah
larangan. Kumur?kumur di meja makan? Bisa pecah kepala dihantam palu oleh Mama! pikir Vanessa),
setelah itu barulah diangkatnya popo-nya yang berat
itu dan melangkah ke dalam. Suaranya yang nyaring
terdengar sampai ke meja. Ruang keluarga itu memang
terletak di sebelah ruang makan, tapi karena setiap ruangan luas, j adi jaraknya cukup jauh.
"Halooo... oh, sorry deh. Lagi tanggung sih, ngabisin sarapan. Aku kan kelaparan, kemarin bergadang
sampai malam, perut enggak diisi apa-apa lagi. Uuuh
iya, ya, ya."
Vanessa bangun dan menutup pintu kamar makan.
Enggak enak dengerin orang pacaran!
"Kenapa ditutup?" tanya Robert heran.
"Kau mau nguping orang pacaran? Sana deh,
masuk ke dalam!"
"Kukira kau ngaj ak aku pacaran!" Robert terkekeh.
Vanessa berlagak tuli. Dia duduk kembali dan meraih segelas air bening. Sambil minum matanya terus
131 menatap Robert. Setelah gelas diletakkannya kembali,
dia mengulangi ucapannya yang terputus barusan.
"Minggu depan aku mau balik ke daerah."
"Buat berapa lama?" Robert menghentikan serangannya terhadap sosis dan telur di atas piringnya,
menunggu jawaban.
Vanessa mengangkat bahu. "Ya, sampai selesai dinasku."
"Berapa lama lagi itu?"
"Kira-kira setahun."
"Setahun? Kau serius? Enam bulan lagi surat testamen Papa baru boleh dibuka, dan kau mesti hadir!"
"Itu sih bisa diatur, aku bisa minta cuti buat beberapa hari." Robert kelihatan berpikir?pikir, kemudian
katanya, "Aku sih sama sekali enggak keberatan kau
pergi kapan juga, tapi syarat dari Papa, selama enam
bulan ini kita bertiga harus tinggal bersama di sini.
Enggak boleh nginap di tempat lain lebih dari seminggu. Aku juga sebenarnya berniat cari pondokan di Jakarta, supaya lebih gampang pergi kerja. Tapi terpaksa
nunggu sampai enam bulan lagi."
Vanessa tercengang mendengar penjelasan itu.
Kok ruwet benar sih Papa ini ? Ninggalin syarat yang
macam?macam begitu! Gimana kalau aku langgar
saja? Tugas kan enggak bisa ditunda-tunda seenaknya. Ini juga aku sudah dapat dispensasi luar biasa,
boleh pulang lebih dari tiga hari buat urusan keluarga.
"Apa yang bakal terjadi seandainya aku pergi
juga?"
"Bagianmu bakal hilang"
"Biarlah, daripada harus ninggalin tugas terlalu
132 lama."
"...dan jatuh ke tangan Kori."
"Aaah!" Vanessa mengeluh panjang. "Dia lagi!
Masak iya sih, Papa kok bikin aturan begitu aneh? Kau
enggak bo-ong? Beneran?"
Robert mengangkat bahu, lalu meneruskan makan.
Vanessa jadi bimbang. Dia bukan memikirkan soal
warisan, tapi membayangkan betapa jengkelnya dia
kalau bagiannya sampai direbut oleh Korizia. Keenakan betul Kori kalau sampai dapat bagianku plus
bagiannya sendiri! Daripada melihat monyet itu kesenangan, lebih baik aku lakoni tinggal di sini sampai
enam bulan!
"Rupanya enggak ada jalan lain, ya."
"Enggak ada."
"Jadi aku harus tinggal di sini sampai enam bulan.
Setelah itu?"
Robert mengangkat bahu. "Sesukamu, mau ke
mana. Di sini terus apa balik ke sana."
"Tentu aja aku mesti balik. Lewat enam bulan,
boleh, kan?"
Robert mengangguk. Disekanya bibirnya dengan
lap kertas, diteguknya kopi dua cangkir, lalu digesern?
ya kursi. Rupanya sudah cukup kalori yang ditelannya.
"Mau ke kantor?" tanya Vanessa seraya berpikir-pikir apakah tidak sebaiknya ikut saja ke Jakarta,
kan bisa main ke tempat Tante Yas atau ke rumah
teman.
"Enggak." Robert menggeleng sambil berdiri dari
kursi. "Aku masih cuti sampai minggu depan. Tapi ada
urusan yang mesti kubereskan."
Robert sudah bergerak mau melangkah ketika su
133 ara Vanessa membuatnya berhenti lagi. "Eh, Robby,
kalau aku mesti di sini terus enam bulan, kan bosan.
Gimana kalau kita ke Singapura atau ke mana kek, pura-puranya honeymoon, gitu! Seminggu kan boleh?"
Robert tercengang, kemudian mendelik. "Kita kawin cuma di atas kertas, Nes!"
"Aku tahu! Aku kan juga bilangpura-puranya, j adi
enggak sungguhan."
"Huh! Aku enggak mau buang duit buat pura?pura
begitu!"
"Dasar cowok, di mana-mana sama aja!" Vanessa
mendumal. "Kalau enggak ada keuntungannya, pasti enggak mau! Kalau ngajak cewek, yang dipikirin
cuman satu, itu-itu aja...."
Robert berdiri tegak dengan kedua tangan dalam
saku celana. Kepalanya menunduk, matanya dengan
tajam menatap Vanessa tanpa berkedip, romannya
seperti orang sakit hati, tapi tidak sepatah pun keluar
dari bibirnya yang terkancing rapat. Vanessa sempat
dak-dikduk juga dipandang begitu, otaknya langsung
menyesali. Kenapa main ngomong sembarangan, sekarang kan Robert yang berkuasa di rumah ini, kalau
dia sampai marah besar bisa?bisa aku harus jadi gelandangan/
Untunglah ketakutannya untuk sementara tidak
menjadi kenyataan. Setelah puas melotot barang dua
menit, Robert memutar tumit sepatunya dan melangkah ke arah pintu teras samping. Ruang makan ini
menembus ke halaman samping sebelah kiri melalui
pintu teras. Duduk?duduk di teras ini merupakan salah
satu kesenangan Vanessa, terlebih bila cuaca bagus,
sebab dia bisa memandang j auh ke dalam hutan sam
134 pai ke pinggir jurang dan melewati jurang itu tampak
samar?samar kehij auan pepohonan di kej auhan.
Robert sudah menghilang dari pintu teras. Vanessa
membayangkannya berj alan dari samping ke halaman
depan, lalu menuruni tangga batu, menyeberangi sungai dekat air terjun, tumn tangga lagi ke bawah sampai ke lapangan parkir, menaiki mobilnya, berputar ke
arah belakang rumah, lalu turun ke bawah sampai ke
jalan raya. Kalau aku ikut Nini ke pasar jalan kaki,
dari tempat parkir menyusurijalan setapak di pinggir
sampai ke jalan raya, tapi kami bukan jalan di jalan
besar itu.
Korizia muncul dengan muka bersemu merah.
"Mana Robby?"
Ngomong sama siapa sih? Kambing, babi, mana
Robby?
Tapi Vanessa menjawab juga, semata-mata karena tidak mau ribut dengan orang yang punya rumah.
Aku kan cuma numpan g sekarang. Kori terang enggak
bakal merasa bersalah terhadap ayahku, sebab bukan
dia yang menabraknya, jadi dia enggak bakal punya
alasan kuat untuk membiarkan aku tinggal di sini terus, ngasi makan dan tidur. Jadi sebisanya aku tahu
diri sedikit. Dalam keadaan biasa saja, Kori memang
gampang sangar, apalagi sekarang, aku numpang tanpa bisa ngasi balasjasa sedikitpun,
"Udah pergi, katanya ada urusan."
"Huh! Aku justru kepingin ke Jakarta! Ah, begitu
punya duit, aku pasti bakal cari kos di Jakarta. Tinggal di desa begini, bisa bikin aku mati lantaran bosan."
Dibantingnya popo-nya yang gempal ke atas kursi,
lalu disikatnya sepiring buah yang merupakan sara
135 pannya tiap pagi. Korizia sangat memperhatikan apa
yang masuk ke dalam mulutnya, walau dia tak begitu
peduli apa yang keluar dari situ. Sarapannya adalah
buah, paling sedikit terdiri dari tiga macam dan tiga
warna, kuningjingga-merah. Minumannya sari buah
plus sayuran, biasanya wortel dicampur seledri, tomat,
pisang, atau semangka atau mangga (kalau sedang
musim), kadang ditambahi yoghurt kalau kebetulan
dia baru ke supermarket.
Selesai mengisi perut, Korizia bangun, mendorong
kursi, mendumal lagi soal bosan tinggal jauh dari kota
sambil melangkah ke dalam, lalu terdengar suara kakinya keloteng.
Vanessa juga bangun mengangkuti piring ke dapur
sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Suaranya memang bagus. Ketika dia di SMP, malah pernah jadi juara dalam perlombaan menyanyi. Dulu dia suka berdendang
keraskeras di kamar mandi, tapi dihardik dan dilarang
ibunya. Sekarang dia mulai berani lagi berdendang
sambil mandi walau tidak sekeras dulu.
"Udah, Non, biar aj a nanti diberesin sama Bibi," Bi
Asri mencegah.
"Nini mana, Bi? Kapan mau ke pasar?"
"Tadi udah Bibi suruh pergi. Kebetulan ada Jono
bawa susu, jadi biar dia numpang Kij angnya sekalian,
lebih cepat. Buat apa Non ikut, enggak banyak kok
yang dibeli. Mendingan Non ngurusin ros, Pak Kasman udah khawatir tuh, banyak yang daunnya pada
kuning, katanya."
"Wah, masak tanaman saya pada mati?" seru Vanessa khawatir, tapi dia tetap membantu mengangkuti
bekas-bekas sarapan ke dapur dan kemudian mem
136 bersihkan meja. Memang ini biasa dilakukannya sej ak
dulu, tugas yang diberikan oleh ibunya bila dia ada di
rumah. Enak kuliah, kos di Jakarta, cuma pulang seminggu sekali atau bahkan lebih lama dari itu, berarti
bebas dari Mama!
"Udah ya, saya tinggal dulu, Bi. Nanti saya bantuin masak deh, asal dibikinin sambal pedas buat rujak.
Terasinya dibakar sampai matang ya, Bi."
Bi Asri ketawa sayang. "Beres, Non. Sana deh cari
Pak Kasman. Dia udah kebingungan piaraannya enggak mau subur."
Pak Kasman ternyata sedang mencongkelcongkel
tanah di greenhouse. Dari jauh Vanessa sudah melihatnya sebab bangunan itu seluruh dinding dan atapnya dari kaca. Laki-laki itu sudah hampir enam puluh,
rambutnya sudah separuh putih, tapi alisnya masih
hitam dan matanya juga masih bersinar tajam. Wajahnya kurus sehingga nilang pipinya kelihatan lebih
menonjol. Bibirnya selalu kering tapi warnanya cukup
kemerahan, dan kulitnya yang keriput tampak coklat
segar. Raut mukanya yang ramah mirip dengan Jono,
keponakannya, yang kerap datang membantu pamannya atau sekedar bertandang, mungkin menj enguk Nini.
Pak Kasman sudah tinggal bersama mereka entah
berapa belas tahun atau mungkin malah sudah dua puluh tahun lebih, yaitu sejak rumahnya terbakar bersama anak-istrinya.
Vanessa berdiri sej enak di luar dinding kaca, memperhatikan laki-laki itu dari belakang. Dia sedang
jongkok, asyik menggaruk-garuk tanah untuk membuatnya gembur kembali. Berbagai pikiran muncul dalam kepalanya. Kasihan Pak Kasman, sebatang kara.
137 Istri sama anaknya mati terbakar. Kenapa dia enggak
mau kawin lagi ?
Aku masih ingat samar?samar malam itu. Papa
buru?buru keluar rumah, katanya di lembah ada ke?
bakaran. Kami, anak-anak, berdiri di balkon depan
memandang langit yang kemerahan sedangkan asap
hitamnya kelihatan menakutkan dalam sinar bulan.
Aku ingin menunggu Papa pulang, tapi ngantuknya
enggak ketahan, jadi aku nurut saja diajak Bi Ucih tidur. Kori semula masih mau nonton, tapi akhirnya ikut
aku ke kamar setelah dibentak Mama. Robert juga terpaksa masuk ke kamarnya. Besoknya aku ingat, waktu
masuk ke dapur ada seorang laki-laki sedang duduk
ngelamun di lantai, dekat pintu belakang. Aku dengar
Papa menyebutnya Kasman, menyuruhnya makan. Sejak itu Pak Kasman tinggal bersama kami, walaupun
Mama semula enggak setuju. Katanya mau disuruh
kerja apa, masak mau ngasi makan orang nganggur?
Waktu itu aku berpikir, memangnya kenapa sih orang
nganggur enggak boleh dikasi makan? Apa dia enggak lapar? Orang nganggur itu kayak apa sih? Waktu
itu mungkin aku baru kelas satu SD, tapi heran masih
bisa ingat.
Vanessa membukapintu kaca dan menggosok-gosok
sandalnya ke atas kesetan kawat. Semalam rupanya
hujan, tanah agak basah, sandalnya juga membawa
tanah liat.
"Pak Kasman, lagi ngapain? Udah sarapan belum?"
Yang dipanggil, menoleh dan ketawa. "Udah, Non.
Ini, lagi ngegemburin tanah supaya bunganya bisa lebih banyak." Ditunjuknya pohon cempaka bonsai, kesayangan Pak Balam.
138 Vanessa melihat-lihat ke sekeliling bangunan itu.
Setiap tanaman diberi tanda pengenal dari karton yang
dibungkus dengan plastik kedap air. Hampir semuanya
peliharaan ayahnya, cuma sebagian tanaman Robby.
Ayahnya menyukai bunga, terutama kembang azula
yang biru, serta cempaka. Robby sebaliknya, lebih
suka eksperimen sayuran dan biji-bijian.
Hm. Beras memang merupakan tophit nomor satu
dalam hobi riset abangku. Mengawinkan beras indica
sama beras japonica? Pasti ini kiriman terbaru dari
bank beras di Filipina! Betul saja, ini labelnya masih
ada, IRR], Los Banos. * ini beras ajaib yang keberapa?
Seingatku, tahun 1982 keluar IR5 6, 'miracle rice'nomor 56. Tapi setiap macam beras modern itu cuma
bisa bertahan paling lama empat tahun, sebab setelah
itu serangga musuhnya sudah bisa adaptasi terhadap
semua pestisid dan malah bertambah galak.
Jadi harus diciptakan lagi jenis yang lebih baru
dan seterusnya.
Bukankah begitu yang pernah dikatakan Robby?
"Robby sedang bikin percobaan apa lagi nih, Pak
Kasman?"
"Oh, itu, Non, katanya mau ngawinin beras lndia,
beras Jepang sama beras hutan dari Taiwan. Beras India itu tawar, enggak tahan disemprot kimia, tapi padinya bagus panjang. Beras J epang lebih manis, doyan
kimia, tapi bulat, juga lengket seperti ketan. Nah, beras hutan itu katanya lebih tahan serangga, jadi enggak begitu perlu semprotan. Kata Pak Robby, manusia
sekarang di mana-mana makan racun. Makin banyak


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan nasi, bukannya makin sehat, tapi makin banyak
* IRRI International Rice Research Institude di kota Los Banos
139 kemungkinannya kena kanker lantaran semua sawah
semaunya aja disemprotin sampai?sampai pakai helikopter, biar hasilnya banyak. Tapi kata Pak Robby,
akibatnya juga penyakit kanker semakin merajalela."
Hm. Robby memang enggak salah. Kalau ingat begitu, rasanya aku juga enggak ingin makan.
"Ini di dalam botol apa tuh, Pak Kasman?"
"Oh, itu pakis air sama ganggang biru, lagi dibiak, Non. Kata Pak Robby, kedua tanaman itu biasa
dipakai di sawah-sawah di Indo apa begitu, sama di
Tailan. Katanya bisa melarutkan udara jadi makanan
buat padi, jadi hasil panen bisa banyak sonder pakai
pupuk. Pak Robby bilang, beras J epang yang putih itu
disemprot kimia supaya kelihatan mengkilat, tapi bisa
bikin orang sakit kanker, cuma di koran dibilang enggak. Koran sering bohong, kata Pak Robby. Katanya,
kalu enggak mau bohong, pasti dibredel."
Vanessa melihat catatan dalam buku di samping
botol itu. Hm. jadi nitrogen dari udara diubah oleh
simbiose azolla dan anabaena azollae, menjadi ammonia serta nitrat yang bisa larut dengan air sawah,
untuk memacu pertumbuhan padi tanpa bantuan bahan kimia.
Vanessa mendecak. "Ck, ck, hebat juga Pak Robby,
ya, Pak Kasman. Yah! Mudah-mudahan deh risetnya
berguna bagi dunia, siapa tahu kelak bisa diberi Hadiah Nobel!" Gadis itu ketawa geli.
Robert memang resminya insinyur pertanian, tapi
kerjanya di bidang komputer. Katanya, dia menyukai
kedua bidang itu, tapi sebab komputer yang bisa menghasilkan duit, jadi pertanian tersisih sebagai hobi. Dia
menjadi anggota perkumpulan sarjana pertanian se
140 dunia, karena itu bisa memperoleh benih dari bank
Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu Dia Dia Dia Sempurna Karya Deni A.k.a

Cari Blog Ini