Ceritasilat Novel Online

Dicabik Benci Dan Cinta 3

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T Bagian 3


padi Los Banos.
"Hadiah apa, Non?"
"Hadiah Nobel. Itu tuh, Tuan Nobel, yang nemuin
cara bikin dinamit. Tapi ngomongngomong, gimana
mawar?mawar saya, Pak? Apa masih subur semua?"
Pak Kasman kedengaran tarik napas. "Yang Apricot sih masih banyak kembangnya, cuma kecilan dari
biasa. Friesia sama Tifany juga masih lumayan tumbuhnya. Confetti yang bikin saya khawatir. Daunnya
mana j adi kecil, kuning, ada bintik merah tempo-tem?
po, dan sering j atuh sebelon waktunya."
"Barangkali udaranya, Pak. Memang seharusnya
mereka semua dimasukkan ke sini. Gimana rencana
ayah saya dulu mau meluaskan rumah kaca ini, apa
udah ngomong sama Pak Kasman?"
"Udah, Non.Saya malah disuruh nyari tukang, udah
saya hubungin bekas tetangga di udik. Sebenarnya bulan depan udah mau mulai, tapi sekarang, tahu deh,
mau diterusin apa enggak."
"Pak Robby bilang apa?"
"Belon bilang apa-apa. Barangkali kalau Non tanya, dia setuju proyek diterusin..."
"Nanti deh, kalau ada kesempatan." Tapi aku enggak yakin dia bakal setuju. Seandainya dia setuju pun,
gimana dengan Kori? Pasti mesti minta izin dari dia.
Kori yang pelit (atau serakah? Mana yang lebih
tepat?) mana mau gampanggampang keluar duit bukan buat dirinya sendiri, apalagi barusan dia bilang
mau cari kos, butuh biaya...
"Saya ke kebun samping dulu ya, Pak Kasman.
Nanti kalau Pak Kasman udah beres di sini, nyusul
141 99 ya. Mawar yang ditanam Vanessa semuanya berwa
ma kuning aprikot. Sering orang bertanya, mana yang
merah. Sambil guyon, biasanya dij awab, "Nanti deh,
tunggu dikasi dulu sama patse!"
Orang mengira aku cuma bercanda, padahal aku
memang menunggu. Serius menunggu. Orang yang
memberiku setangkai mawar merah misalnya Maria
Callas yang merah hati, aduh, anggunnya adalah
orang yang mencintai diriku! Di bangku kuliah aku
pernah punya ide sinting: aku akan kawin dengan
orang pertama yang memberiku setangkai mawar
merah! Tapi sejauh ini enggak ada tanda-tanda aku
bakal mendapat setangkai mawar merah atau warna apa juga. Jangan bilang lagi ada jenis baru yang
dipersembahkan bagiku dan dinamakan Vanessa Balam, seperti contohnya Maria Callas, Bill Crosby, Nat
King Cole, semua dipersembahkan bagi yang punya
nama. Aku enggak mau nanam yang merah karena aku
beranggapan, mawar merah harus ku dapat, bukannya kutanam sendiri! Kecuali yang merambat ke tembok, itu lain.
Sambil melamun, kakinya diayun menuju ke kebun
di samping kanan, melewati halaman depan. Begitu
tampak olehnya bunga-bunga kesayangannya, hatin?
ya ikut merekah. Sengaj a dipilihnya j enis mawar yang
pendek untuk disesuaikan dengan petak yang tidak terlalu luas. Tapi dia pernah berangan-angan mau menanam mawar yang merambat ke atas dinding, misalnya
si merah lskra atau Nozomi atau Noisette yang pernah
diperlihatkan oleh Ishtar.
Dokter ahli THT ini selain luwes, juga mencintai
142 bunga mawar. Menurut pengakuannya, kisah cinta itu
bersemi sewaktu dia berbulan madu ke Paris, nginap
di hotel di Rue de Rivoli, berseberangan dengan Jar?
din des Tuileries, taman terindah di tengah kota. Di
situlah dilihatnya mawar?mawar yang tercantik di
dunia. Kemudian, setelah bertugas di klinik Dokter
Sabara?Birka, bersama Siska, istri Dokter Leo Pandaan yang juga dinas di sana, dibuatnya rumah kaca,
lalu dibiaknya beberapa jenis mawar. Hasilnya begitu
menakjubkan, sehingga banyak toko bunga di J akarta
menjadi langganan.
Ishtar dan Siska juga secara teratur mengikuti seminar serta pameran mawar di luar negeri. Beberapa tahun yang lalu misalnya, mereka ke Toronto mengikuti
Kongres Bunga Mawar Sedunia yang ketujuh, dan tahun lalu Ishtar bersama suami dan putri mereka pergi
ke Nervi di Genoa, Itali, melihat pameran di taman
terbuka. Dari foto-foto yang diambil oleh Dokter Paul
itulah Vanessa melihat mawar?mawar yang menjalar
begitu menakjubkan.
Seandainya Papa masih ada, pasti impianku bisa
cepat terwujud, sebab Papa sudah bilang setuju, dind?
ing rumah boleh dirambati oleh ros merah dan putih.
Tapi sekarang
Dari keempat macam ros itu, cuma Confetti yang
tidak ada harumnya, tapi jenis ini justru bunganya
unik, warnanya kuning muda dengan pinggiran kemerahan. Dan daunnya memang seperti yang dikatakan
Pak Kasman.
Vanessa membungkuk dan mengelus bungabunga
itu dengan hati khawatir. Friesia dan Tiffany juga enggak sesubur dulu, kenapa ya? Bunga-bunga mereka
143 kenapa jadi lebih kecil, warnanya juga enggak secerah biasa? Pinggiran daun kenapa pada coklat? Tapi
kok enggak kelihatan ada kutu
Vanessa memeriksa termometer yang tergantung
di tembok kebun. Mmm, delapan belas derajat. Sebenarnya sih enggak terlalu panas buat bulan ini, tapi
yang paling baik memang di rumah kaca, temperatur
selalu bisa diatur
Pak Kasman muncul membawa gerobak kecil berisi semua peralatan yang biasa diperlukannya. "Sudah
saya gemburkan tanahnya, Non, sudah saya siram dua
kali sehari, tapi masih juga begini...."
"Nanti deh, saya tanya Dokter Ishtar, dia pasti tahu
apa obatnya. Oya, ingat soal makan beras banyak kimianya, saya mendadak punya ide nih, Pak Kasman. Di
halaman belakang dekat dapur kan ada tanah kosong,
gimana kalo kita tanami sayur-sayuran? Jadi bisa makan sayur tanpa disemprot kimia. Berabe, enggak? Kalau Pak Kasman kelewat repot, ya enggak usah."
"Enggak berabe kok, Non. Saya sih mau bener nanam sayur, memang udah biasa di udik dulu. Pak Robby
juga pernah ngomong mau nanam sayur sendiri, dia
juga ngeri sayur dan buah di pasar. Penuh bahan kimia,
katanya. Tapi Non Kori enggak setuju, dia kepingin
bikin kolam renang di situ...."
Uh, Kori selalu senang melawan keinginan orang
lain. C uma rencananya sendiri yang boleh dilaksanakan. Tapi idenya yang benar saja! Masak dingin-dingin mau berenang di belakang? Kenapa enggak pergi saja ke Megamendung, di sana kan ada kolam air
hangat dalam ruangan?
Sementara Vanessa sibuk mengurus mawar bersa
144 ma pak kebun, Robert juga asyik ngebut ke Jakarta.
*** "Penting sekali, surat itu jangan diberikan padanya,
Pak!" ujar Robert dengan nada tegas. "Surat apa?"
tanya Abdul Razak SH dengan tenang.
"Tak usah pura-pura, Pak. Saya bukan anak kemarin, saya tahu surat itu ada sama Bapak. Saya pernah membacanya waktu kebetulan masuk ke kamar
kerj a ayah saya. Surat itu diberi catatan "pro Razak?"
Pak Razak membuka kacamata dan meng?
gosok-gosok batang hidungnya mengambil lap kuning
kecil dari dalam laci meja untuk membersihkan lensa, mengekernya di depan jendela, bergantian kiri dan
kanan, kemudian memasangnya kembali, di tempat
semula. Dilipatnya kedua tangannya di depan perutnya yang buncit, dan ditatapnya tamunya.
"Bagaimana akan kulakukan itu?"
"Apa sulitnya menahan sepucuk surat, Pak?
Malah lebih baik lagi bila surat itu dimusnahkan
saja!"
Pak Razak menggeleng pelan. Kacamatanya dibukanya kembali, gagangnya digigit-gigitnya selama
beberapa detik sebelum dipakainya lagi. "Aku tidak
mungkin melakukan hal itu, Robert. Ayahmu adalah
langgananku yang paling lama, aku ini selain jadi pengacaranya, juga adalah sahabat dan conhdant-nya."
Robert mengangkat bahu, seraya mendesis, "Tapi,
145 itu tidak mencegah Bapak untuk merampok ayah
saya...." Bibirnya tersenyum melihat mata itu menggelepar sejenak dililit panik. Apa yang diketahui oleh
bocah ingusan ini? Dari mana dia bisa tahu urusan
begituan?
"Pak Razak mau menyangkal?"
"Aku tidak merasa berbuat salah."
"Oya? Barangkali sebaiknya saya minta tolong Linus untuk mengumpulkan bukti?bukti."
"Hei, nanti dulu! J angan ikut sertakan anakku! Dia
tidak pernah mencampuri urusanku, dan tidak tahu
apa?apa."
"Tapi kalau Bapak perlu bukti...."
"Linus adalah temanmu! Kenapa kau mau melibatkan dia?"
"Kenapa Bapak sampai hati merampok ayah dari
teman anak sendiri?"
Pak Razak menarik napas, membuka kembali kacamatanya, meletakkannya sejenak di atas meja, kemudian rupanya dia merasa kurang berwibawa tanpa beling simbol intelektual itu, jadi diraih dan dipakainya
lagi benda itu.
"Aku sebenarnya bukan berniat menipu ayahmu.
Semua uang itu cuma kupinjam sebagai modal. Yah!
(menghela napas sekali lagi) Anakku ada tujuh, dan
aku ingin memberi mereka hari depan yang baik. Li?
nus kurencanakan supaya bisa menggantikan pamannya sebagai hakim, untuk itu perlu biaya. Adiknya lagi,
sebagai notaris, lainnya sebagai dokter, akuntan, dan
sebagainya. Aku perlu banyak uang. Tapi begitu mere?
ka semua sudah lepas landas, aku yakin dalam waktu
singkat uang ayahmu itu akan bisa kukembalikan. Ma
146 lah berikut bunga.
"Nah, pada saat pengembalian itu aku berniat
menjelaskan semua padanya, sekalian minta maaf.
Sayang ayahmu sudah keburu pergi sebelum aku
sempat mengembalikan pinjamanku. Yah! (menghela
napas lagi) Aku yakin, dia pasti bisa mengerti, sebab
uang itu kupergunakan seluruhnya demi anak?anakku.
Baginya, anak adalah nomor satu. Semua usaha dan
kegiatannya dilakukan untuk anak. Karena itu betapa
kecewanya, dia tidak bisa mempunyai anak...."
"Jangan sekali?kali, jangan pernah SEKALIPUN
mengutarakan hal itu lagi, terlebih di depan Vanessa,"
ancam Robert dengan beringas. "Sebab begitu Bapak
membuka mulut, percayalah, esoknya pasti Bapak
sudah akan didatangi oleh polisi! Apa kata-kata saya
cukup jelas?"
Pak Razak melipat tangannya di atas meja dan menatap tamunya tanpa emosi apa pun. Namun sejenak
kemudian, bibirnya tersenyum. Sama sekali tidak keli?
hatan dia marah atau jengkel dikasari begitu.
"Tentu saj a, Rob. Kenapa aku harus membuatmu marah? Kau kan anak (sengaja dia menekankan
kata ini) sahabatku sendiri. Kalau kau perlu sesuatu,
kuharapkan kau akan mau datang padaku dan bukan
mencari orang lain. Baiklah kita bikin terang urusan
ini. Kalau kau ingin aku membantumu, mendapatkan
apa yang kaukehendaki-apa pun itu-maka kau tidak
akan mencampuri urusanku. Setuju? Aku tidak merasa
bersalah sebab aku bukan merampok, tapi cuma pinj am saja."
"Kalau begitu kenapa bukan ke bank?"
Razak mengangkat bahu. "Aku tidak punya jami?
147 nan apa-apa."
"Jadi Pak Razak tetap menyangkal? Silakan. Tapi
saya rasa, tidak bisa. Sekretaris Bapak teledor, semua
berkas rahasia dibiarkan saja dalam komputer, bukannya diamankan."
"Kau kau berani lancang datang ke kantorlou?"
"Saya tidak perlu datang ke sana untuk mendapatkan info tersebut. Cukup saya suruh orang membuat
copy ke dalam disket. J adi Bapak tak perlu repot-repot
lagi membenahi komputer itu, sebab sudah terlambat!
"Sangat meyakinkan, Pak. Setiap tahun perusahaan
ayah saya dipungli belasan juta oleh Bapak melalui
beberapa firma liktif untuk servis dan pesanan barang
yang tak pernah terj adi."
Robert berganti posisi, kaki kiri diturunkan, kaki
kanan yang sekarang ditumpangkan. Dia berdehem
dan memajukan kepalanya ke depan.
"Sebaiknya, saya jelaskan situasi yang sebenam?
ya. Saya kenal betul dengan Vanessa. Dia paling ben?
ci orang-orang yang tiduk punya integritas. Kalau dia
sampai tahu semua ulah Bapak, dia pasti akan memecat
Bapak sebagai... pengacara di kantor dan dalam keluarga, malah mungkin menyeret Bapak ke pengadilan.
Bayangkan akibatnya bagi ketujuh anak Bapak! Yang
pasti, Bapak akan jadi besi tua di matanya, dia takkan
mau melihat Bapak lagi untuk seumur hidupnya!"
Entah apa yang terjadi, mendadak sikap Pak Razak
tidak lagi penuh wibawa seperti tadi. Kedua tangannya di atas meja tampak gemetar seperti pasien Parkinson, lidahnya berkali-kali membasahi bibir, matanya
berkejapkejap. Robert mau ketawa sendiri. Apakah
aku punya bakat buat jadi orator? Masak aku baru
148 ngomong segitu saja dia sudah blingsatan begitu?
Apa dia takut sama ancamanku atau khawatir dimusuhi oleh Vanessa? Huh! Apa sih yang perlu ditakutin
padanya? Dia kan cuma gadis lugu yang gampang
dibohongin?!
"Apa rencanamu sebenarnya?"
"Itu bukan urusan Bapak. Yang penting, Vanessa
tidak boleh membaca surat tersebut. Dia harus tetap
mengira, ayahnya adalah seorang penjual abu yang
ketabrak mati. Dengan begitu dia akan lebih gampang
kita atur sesuai dengan kepentingan kita semua!"
"Maksudmu, kepentinganmu dan Kori!" tukas Pak
Razak, mengejek. "Kaukira Vanessa akan merasa rendah diri karena ayahnya cuma tukang abu gosok?"
"Bukan rendah diri, tapi setidaknya dia akan lebih
penurut, sebab merasa utang budi pada ayah angkatnya. Jadi kalau saya ingin dia melakukan sesuatu, saya
tinggal mengatakan bahwa itu kehendak Papa. Dia
pasti menurut." Robert tak dapat menahan ketawanya
sebab senang.
"Kenapa ketawa? Rupanya kau sedang teringat
sandiwara perkawinanmu kemarin sore? Kau kelihatan seperti orang menang perang!"
"Apa memang bukan begitu?"
"Ingat, aku melakukannya sebagai goodwill, semata-mata karena kau mengaku, kau sangat mencintai
Vanessa, dan juga karena itu cuma untuk enam bulan. Terus terang aku sebenarnya kurang mengerti apa
maksudmu mengawininya, tapi kurasa Vanessa tidak
dalam bahaya. Dia cukup cerdas, pasti bisa membedakan domba dari serigala."
"Saya memang mencintai Vanessa. Dan Bapak be
149 nar, dia tidak dalam bahaya. Bila dalam enam bulan ini
dia ternyata jatuh cinta pada saya, semua orang akan
bahagia. Seandainya saya tak berhasil menaklukkannya, kami akan berpisah baik-baik. Saya takkan memaksanya."
"Jangan bilang, kau mengatur sandiwara kemarin
itu SEMATA-MATA demi cinta!" dengus Pak Razak.
Robert tertawa. "Tentu saja tidak! Sebagai suaminya, saya kan berhak atas Eski Saraya, bukan? J adi saya
berharap dia akan mau menyerahkan akta rumah itu!
Ha... ha... ha dan dia sama sekali takkan curiga!"
"Hm. Kau harus tahu, Eski Saraya cuma sebagian
saja dari harta yang akan diwarisinya. Bila dia membaca pesan Pak Balam yang sebenarnya, dia takkan
menyerahkan rumah itu padamu!"
"Karena itu dia harus dicegah membaca surat tersebut."
"Kau takkan bisa menguasai Vanessa. Dia tetap


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan lebih kuat dari kalian berdua."
"Kenapa begitu?"
Pak Razak menggeleng, tak mau menjawab. Robert mendesak. "Bagaimana sih bunyi testamen itu
seluruhnya? Saya cuma sempat membaca halaman depan, sebab ayah saya keburu masuk."
"Tunggu saja waktunya nanti. Enam bulan kan
tidak lama."
"Saya bisa gila memikirkannya."
"Kalau begitu kunasihatkan supaya jangan kaupikirkan."
"Mana mungkin! Hari depan saya tergantung dari
situ."
"Kukira kau sudah punya kedudukan yang bagus,
150 kenapa masih menggantungkan nasib dari secarik kertas?"
"Bapak tidak mungkin mengerti. Ini bukan soal
harta semata-mata."
"Habis soal apa lagi?" Pak Razak tersenyum agak
sinis. "Robert, aku sudah jadi pengacara lebih dari
tiga puluh tahun, sudah kenyang menghadapi masalah
warisan yang seribu satu macam ragamnya. Pertikaian
dalam keluarga atau bahkan ribut dalam bisnis, semua
itu pangkalnya cuma satu. Uang! Semua tindakan manusia, dari yang berbahaya sampai yang melanggar
hukum, diawali oleh keinginan mendapat uang. Kau
setengah mati mencari akal buat mengelabui adikmu,
karena apa? Karena benci padanya? Kurasa, tidak.
Tapi karena ingin uangnya, bukan?"
Robert menggertakkan geraham, tangannya terkepal erat, matanya bernyala. "Bapak sok tahu. Siapa bilang saya tidak membencinya?"
"Hm. Jadi barusan kau bilang cinta, itu bohong?
Sebenarnya kau benci padanya? Kenapa? Apa salahnya padamu?"
"Saya tidak bilang saya pasti membencinya, tapi
juga tidak bilang saya pasti tidak membencinya. Itu
semua tergantung dari sikapnya nanti."
"Misalnya?"
"Apakah dia mau menyerahkan Eski Saraya atau
tidak."
"Biarpun dia bersedia menyerahkan, kau tetap
takkan mungkin mengalahkannya, bila itu tujuanmu:
mengalahkan dia."
"Pasti ada sesuatu dalam testamen itu yang menjadi alasan. Saya ingin tahu bunyi surat wasiat itu, Pak
151 Razak."
"Selama lebih tiga puluh tahun praktek, aku belum
pernah menyalahi kepercayaan yang diberikan oleh
langganan. Dan aku takkan melakukannya sekarang!"
"Juga bila terancam skandal dalam pers dan tuntutan pengadilan?" Sekali lagi Robert ingin ketawa melihat laki-laki tua itu kembali gemetar, panik terpancar
dari matanya. Lama dia termenung menatap meja tulisnya yang terbuat dari kayu mahogani pilihan.
Robert mengikuti arah pandangannyaDi atas mej a
terdapat sebuah lonceng terbuat dari porselen putih yang halus dengan hiasan rangkaian bunga yang
sangat ruwet dan indah, mancawama. Lonceng itu
disangga oleh empat buah kaki kuda terbuat dari logam kuning, di atas dasar porselen yang dilapisi logam
pula, dengan empat buah penyangga logam berbentuk
bulat gepeng. Kedua kaki kuda di kirikanan berakhir
di atas dengan patung dada mini wanita-wanita cantik
berhiaskan setangkai dedaunan di rambut, sedangkan
di puncak lonceng terdapat rangkaian bunga?bunga
mawar dari logam juga. Di antara bagian bawah lonceng dengan kaki kuda, terdapat untaian rantai yang
digantungi empat buah genta kecil.
Melihat tamunya memperhatikan lonceng yang
tengah berdentang halus itu, Pak Razak tersenyum
dan memberikan info tanpa di minta, "Bagus, ya? Itu
replika lonceng milik Marie Antoinette, lapisannya itu
emas dua puluh empat karat, dan ini semua (tangannya menyapu lingkaran lonceng) enam puluh lebih batu
kristal asli, bukannya gelas. Jarum panjang?pendek,
dari perak asli. Diputar cukup delapan hari sekali."
"Pasti mahal."
152 "Tentu saja! Ribuan dolar. Setiap barang bagus
selalu mahal. Malah yang tidak bagus pun terkadang
mahal!" Laki?laki itu terkekeh.
"Dan uangnya dari mana? Tentu saja dicuri dari
ayah saya! Apa itu termasuk biaya untuk hari depan
anak-anak Bapak?" ejek Robert.
"Kau lupa, dia bukanlah ayahmu!"
"Tapi secara hukum, dia ayah saya! !!"
Pak Abdul Razak tersenyum sinis. "Kita lihat saja
nanti, apa artinya hukum bagimu."
*** "Halo."
"Tante Yas, ini Robby. Saya baru saja dari tempat
Pak Razak. Ada urusan penting yang perlu kita bicarakan, apa Tante ada waktu?"
"Sebenamya Tante baru mau berangkat ke kantor
redaksi. Hari ini kan acara masak?masak seperti biasa,
tiap minggu. Ada apa, Rob? Bisa enggak ditunda sampai lain kali?"
Oya, Tante kan anggota redaksi bagian masak majalah wanita itu, sungguh enggak kebetulan, kenapa
aku telepon hari ini! Tapi sudah kepalang, biar kucoba
juga mengatakannya.
"Ini warisan..."
"Ada kesulitan apa?"
"Apa Tante tahu, Sabrina dan Inge bisa kehilangan
bagian mereka?"
153 Robert mendengar suara ketawa. "Rob, warisan
apa yang kau maksud? Dari ayahmu?"
"Tentu saja! Dari mana lagi, Tan?"
"Rob, anak-anak Tante tidak punya bagian apa-apa
dari ayahmu. Anak-anak ayahmu kan sudah cukup
banyak, tiga."
"Cuma dua, Tante. Sabrina dan Inge bisa mendapat
bagian bila Vanessa tidak kita akui...."
"Hei, kau bilang apa?"
"Vanessa kan mengira dirinya dipungut dari jalanan, nah kita harus membiarkan dia terus menyangka begitu. Jadi dia enggak usah dikasi warisan, cukup
diberi hadiah saja sekedarnya, setelah itu kita suruh
dia pergi, kita enggak perlu lagi berhubungan dengannya. Dia pasti takkan keberatan, sebab sekarang pun
dia sudah merasa bersukur, sudah disekolahkan sampai dapat titel. Nah, bagian Vanessa yang menurut Pak
Razak lebih besar dari bagian Kori dan saya, bisa dialihkan untuk kedua anak Tante."
"Tunggu sebentar, Rob. Tante sedikit bingung.
Kau tidak mau memberitahu Vanessa siapa dirinya
sebenarnya? Tapi begitu testamen dibicarakan, dia
pasti akan tahu. Sebab seingat Tante, ayahmu pernah
bilang, dia sudah meninggalkan surat untuk Vanessa.
Bagaimana akan kaucegah Vanessa mengetahui kebenaran tentang dirinya?"
"Gampang. Kita larang Pak Razak memberikan
surat itu padanya! Saya sudah memintanya, tapi dia
kelihatan masih ragu. Bila Tante yang minta, pasti dia
akan langsung setuju. Gimana, Tante?"
"Coba bilang terus terang, kenapa sih kau begitu
anti sama Vanessa?"
154 "Karena dia tidak pernah diangkat anak secara hukum!"
"Itu kan tidak perlu, karena dia memang anak"
"Mana buktinya, Tan?" potong Robert. "Mana buktinya Papa pernah kawin dengan ibunya?"
"Huu... (menghela napas)"
"Pendeknya, selama tak ada bukti surat kawin, kita
tidak bisa mengakui Vanessa sebagai anak Papa. Sepotong surat saj a tidak cukup. Mungkin saja itu ditulis
karena Papa merasa bersalah terhadap penjual abu itu,
benar tidak, Tante?"
"Rob, kita harus membicarakan ini lebih lanjut.
Dengan tenang. Sekarang Tante harus segera berangkat, tahu sendiri jalanan selalu macet, nanti Tante telat.
Kapan kau bisa kemari?"
"Nnngng..."
"Pikirkan dulu deh kapan kau sempat, lalu telepon
Tante lagi."
*** Seorang wanita berambut putih membukakan pintu
dan berseru riang melihat tamunya. "Hai, Robby!
Tumben ke sini! Aku sudah kangen betul sama kau!"
"Repot, Oma. Bukannya enggak ingat."
"Ayo, duduk di dalam, j angan di ruang tamu."
Mereka duduk berseberangan di atas sofa yang per?
nah mengenal masa yang lebih jaya.
Sekarang warna kainnya sudah pudar dan karet bu
155 sanya agak menipis di tengah. Tapi rumah Oma Merlin
masih menunjukkan tanda-tanda kemakmuran zaman
lalu seperti lemari, meja, bufet, barang-barang pajangan, piano, lukisan-lukisan
Umur berapa sih Oma Merlin? Mungkin sudah
delapan puluh atau lebih, tapi masih senang dandan?!
Robert menatap wajah yang berpupur, alis yang dilukis, anting?anting besar?bulat yang bergelantungan,
kalung manik-manik panjang yang melilit dua kali,
rambut yang disanggul ke atas, gaun kaftan yang tidak
begitu berhasil menyembunyikan ukuran pinggul....
Untungnya wajah Oma cantik berkat darah indonya, sehingga masih kelihatan menarik. Kulihatlihat rautnya kok mirip Vanessa?! Ah, mana mungkin!
Oma kan adik sepupu Kakek Balam, ayahnya saudara
kandung ayah Kakek, dengan Vanessa sudah jauh,
ikatan darahnya sudah tipis....
Merlin Balam tinggal bersama anak-cucunya di
rumah warisan ayahnya. Walaupun suaminya sudah
lama meninggal dan sekarang anaknya yang mengurus
serta membiayai hidupnya, dia tetap menjadi ratu di
rumah itu, sedangkan menantunya terpaksa diam saja,
semua keputusan berada di tangan Oma.
Dari meja kecil di sampingnya Oma mengangkat
sebuah lonceng tembaga berbentuk kura-kura, ukurannya sebesar jambu air. Digoyangnya benda itu dua-tiga kali, sampai kedengaran langkah orang berlari
mendekat.
Seorang pembantu yang masih belasan tahun usianya, muncul di ambang pintu. "Ada apa, Oma?"
"Ini ada tamu, kenapa enggak ada yang menyuguhkan teh?" tanya Oma dengan nada keras.
156 "Oh, saya enggak tahu ada tamu. Baiklah, akan
segera saya antarkan."
"Ya sana, cepat! Nah, coba ceritakan ada apa kau
kemari?"
Kalau tadi Oma kelihatan galak dengan pembantu, sekarang wajahnya berubah penuh senyum ketika menatap Robert. "Kau seharusnya lebih sering ke
sini, menemani Vashti. Masih ingat kan sama cucuku
itu? Dia sekarang sudah menjadi mahasiswi yang cantik, dan aku kurang menyukai pergaulannya.Temantemannya yang datang semuanya jabrik-jabrik, enggak bisa kubedakan mana laki?laki, mana perempuan,
semuanya kelihatan sama, rambutnya panjang, pakai
anting-anting di segala tempat, bukan cuma di kuping,
wah pusing. Eh, tapi kau ke sini bukan mau dengar
tentang Vashti, aku tahu, walaupun aku mengusulkan
supaya kau mendekatinya. Kalian cocok, aku tahu.
"Nah, katakanlah apa urusanmu ke sini. Kalau urusan hukum, sebaiknya kau langsung saja menemui
ayah Vashti, tapi dia enggak ada di rumah sebelum j am
delapan malam. Jangan datang ke kantornya, dia terlalu sibuk, enggak bisa diganggu oleh famili. Selain itu
dia kebanyakan cuma mau menangani perkaraperkara
besar yang honornya jutaan...."
Uh! Masih saja sombong sejak dulu! Dikiranya
aku ke sini mau ngemis/ Dianggapnya Oom Franky
itu advokad nomor satu di seluruh jagat, padahal
aku dengar; kliennya kebanyakan bangsa penipu atau
spekulan yang takut masuk bui!
"Saya bukan perlu Oom Franky, tapi mau ngomong
sama Oma sendiri. Ini soal warisan Papa, Oma." Robert melirik, berdehem. Benar dugaankul Wajahnya
157 langsung berseri. Sudah setua ini masih doyan duit,
aduhhhl
"Ada kesulitan apa? Kau pasti perlu bicara sama
Oom Franky! Weetje wat! Kau cerita saja, nanti Oma
teruskan padanya!" Oma Merlin menumpangkan sebelah kakinya dan memeluk lengannya di dada.
Pembantu tadi muncul lagi membawa nampan dengan cerek kecil, dua buah cangkir, tempat gula, tempat
susu, serta sepiring biskuit spekulas. Diletakkannya
semua itu ke atas meja, lalu kembali ke belakang. Oma
menuang teh panas ke dalam cangkir yang sudah berisi potongan jeruk.
"Gula? Susu? Nah, coba teruskan, ada persoalan
apa dengan warisanmu?"
"Sebutir saja, saya enggak suka manis-manis. Tanpa susu. Anu, warisan ini akan jatuh ke tangan orang
luar, gawat enggak tuh, Oma?"
"Lho! Gimana bisa begitu? Siapa orangnya yang
bakal dapat itu?"
"Vanessa!"
"Lho! Oma dengar, dia itu sebenarnya..."
"Tapi kan enggak ada buktinya, Oma!" potong
Robert seakan tidak sanggup mendengar kata-kata
yang akan diucapkan selanjutnya.
"Hm, jadi?" Oma menyusun j ari-jarinya di depan
bibir.
"Kita harus mencegah supaya bagian Vanessa jangan jatuh padanya."
"Well, bagaimana caranya?"
"Caranya gampang, tapi saya perlu bantuan Oma
dan Tante Yas."
"Well, Oma sih mau saja menolongmu. Kau kan
158 cucu keponakan, kalau bukan kemari, ke mana lagi
kau mau minta bantuan? Apa kau sudah menemui tantemu itu?"
"Tadi sudah saya telepon, tapi Tante sedang buru?buru mau pergi ke kantor redaksi, enggak sempat
ngomong banyak. Disuruhnya saya datang ke rumahnya besok-besok. Jadi kalau Oma bersedia membantu,
pasti Tante Yas juga enggak akan ragu-ragu lagi.
"Coba Oma pikir, adil enggak bila Vanessa dikasi
bagian yang paling besar? Sejak dulu Mama selalu bilang, dia itu anak penjual abu gosok. Kalau memang
betul dia anak Papa, kenapa Mama enggak pernah bilang? Masak Mama enggak tahu? Papa memang merasa sangat berdosa sudah menabrak mati orang, sej ak
itu kan enggak pernah mau pegang setir lagi. Jadi
mungkin saja, saking merasa kelewat menyesal, dia
jadi menganggap Vanessa sebagai anak sungguhan."
"Hm. Kau betul, mungkin saj a Vanessa sebenarnya
bukan anaknya, tapi diakui, sematamata buat menebus
dosa." Oma kelihatan tercenung. Robert mencecer terus dengan sugestinya.
"Dosa ya dosa, tapi Eski Saraya kan enggak boleh
dibiarkan jatuh ke tangan orang luar! Oma kan tahu
sendiri apa akibatnya dulu."
"Well, zeg, itu sudah jelas, enggak bisa ditawar-tawar lagi! Rumah itu enggak boleh jatuh ke tangan siapa pun yang bukan keturunan Balam! Oh, j adi anak itu
mau dikasi rumah? Gegabah betul ayahmu! Tapi kalau
itu sudah disebutkan dalam testamen, kau bisa berbuat
apa untuk mencegahnya?"
"Oma bisa membantu saya mencegah. Begini,
Oma, saya tahu Papa menulis surat buat Vanessa,
159 mengatakan bahwa dia sebetulnya anak kandung. Su?
rat itu ada sama Pak Razak. Sudah saya minta supaya
surat itu ditahan, jangan diberikan pada Vanessa, tapi
Pak Razak belum bilang setuju. Seandainya Oma dan
Tante Yas yang minta, pasti Pak Razak lebih bersedia
menuruti. Malah kalau bisa, sebaiknya surat itu Oma
simpan sendiri saja, kelak baru diserahkan pada Va?


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nessa kalau sudah tiba saatnya. Seandainya Pak Razak
cerewet, ancam saja akan dibawa ke pengadilan. Katakan saj a, selama tak ada bukti surat kawin, Vanessa tak
bisa dianggap sebagai keturunan Papa."
"Oya, itu sudah jelas. Keluarga Balam ini bukan
keturunan orang sembarangan, lho. Kami semua punya darah keraj aan, orang bilang, darah biru. Keturunan
Raja Osman! Kau tahu, walaupun Vanessa itu anak,
tapi kalau lahir di luar nikah, sama saj a dengan bukan
anak! Keluarga kami enggak mengakui anak haram!"
Oma memukul pahanya sendiri dengan telapak tan?
gannya, dan Robert tersenyum dalam hati.
"Ya, justru karena itu, saya kemari minta bantuan.
Saya insaf, Kori dan saya juga enggak punya hak apa?
apa, sebab sama sekali enggak ketetesan darah Balam.
Kami juga enggak berhak atas Eski Saraya. Jadi kalau
tidak ditemukan surat kawin, maka yang berhak atas
rumah itu adalah Tante Yas, bukan? Untuk anak-anak?
nya, tentu saja. Dan bila Tante Yas ragu?ragu, maka
Oma?lah yang akan mendapatnya."
"Mooi, erg mooi/ Kau atur saj a strateginya, bilang
saj a apa yang harus Oma lakukan, pasti akan Oma
turut. Kalau tantemu itu raguragu, biar saja Oma yang
akan ambil rumah itu, buat Vashti! Nah, kalau kau bisa
mengambil hati cucuku, berarti rumah itu akan kem
160 bali ke tanganmu juga kelak! Benar, enggak? Pintar ya
nenekmu ini!"
Masya Allah! Enggak terpikir olehku ke situ. Betul
juga! Kalau Vanessa mempersulit atau sokjual mahal,
aku bisa beralih pada Vashti....
"Kalau begitu, akan saya jelaskan rencana selanjutnya, bagaimana taktik kita menghadapi Tante Yas, Pak
Razak, serta Vanessa"
161 Bab 5
KLINIK SABARA-BIRKA semula merupakan klinik
spesialis untuk penyakit THT dan mata, serta sekolah
luar biasa untuk anak?anak tunanetra dan tunarungu.
Namanya dulu Klinik Dokter Sabara. Setelah menjual
sebagian saham dari kliniknya sendiri kepada
Jepang, Profesor Birka bergabung dengan Sabara.
Dibangunnya sebuah klinik bertingkat tujuh untuk
VIP yang dihubungkan dengan Klinik Sabara melalui
jembatan udara serta terowongan di bawah tanah.
Gedung Sabara yang berlantai tiga itu pun ditambah
dua lantai lagi, lalu kedua bangunan itu diberi nama
baru Klinik SabaraBirka, disebut Klinik Es-Be oleh
penduduk setempat. Dengan halaman luas mengitari
kompleks, ditumbuhi rumput hij au serta pepohonan dan
bunga-bunga mancawarna, terutama lantana kuning di
pinggiran, dengan pagar kawat semeter lebih, klinik
itu lebih mirip hotel mewah tempat istirahat orang?
orang kaya yang sehat, bukan yang sakit.
Lantai ketujuh terdiri dari dua belas buah apartemen yang modern untuk para dokter dan keluarga.
Staf perawat diberi asrama kirakira lima ratus meter
dari kompleks. Gedung itu sebenarnya sebuah rumah
ma bergaya barat, bekas kediaman Ibu Karla, donatur
162 utama Klinik Dokter Sabaraf Wanita yang mening?
gal dalam kamarnya dibunuh oleh Dokter Sabara itu
mewariskan rumahnya untuk dijadikan asrama pera?
wat. Dengan dana yang disumbang oleh segala pihak,
termasuk para bekas pasien, gedung itu ditambah dua
tingkat lagi menjadi empat tingkat.
Setelah bergabung dengan Klinik Birka (cabang
dari klinik di Jakarta), maka gedung berlantai tujuh
itu menerima opname untuk pasien?pasien Kebidanan
serta Penyakit Kandungan, Anak, Bedah, Inteme, dan
Penyakit Jiwa, setiap bagian menempati satu lantai.
Gedung lama yang sekarang berlantai lima itu tetap
untuk THT dan Mata, termasuk sekolah luar biasa, as?
rama, serta ruang Bedah dan ruang perawatan.
Ketika Dokter Leo Pandaan mulai menjabat sebagai direktur, dia mengusulkan agar klinik itu memberi pelayanan juga pada masyarakat sekitar. J adi dibangun sebuah gedung sederhana berlantai satu yang
tidak jauh dari pintu gerbang, sehingga pasien?pasien
tak perlu repot-repot melintasi halaman rumput yang
luas, tapi cukup melalui jalan aspal dua ratus meter
saj a. Walau cuma berlantai satu, poliklinik itu panj ang,
sebab bersatu dengan gedung klinik di belakangnya.
Pelayanan yang diberikan adalah Penyakit Dalam,
Anak, dan Kebidanan. Poli Bedah ditangani oleh Poli
Penyakit Dalam.
Karena banyaknya ibu?ibu yang terpaksa bersalin
di rumah dengan bantuan dukun, sebab tak ada rumah
bersalin yang dekat, maka bagian belakang gedung
akhirnya dijadikan RSB serta ruang gawat darurat
untuk menolong korban-korban kecelakaan lalu lin?
* Rahasia Dokter Sabara
163 tas yang sering terjadi di sekitar situ, terutama selama
musim hujan.
Pasien-pasien yang memerlukan pembedahan
juga merupakan problem yang tidak mudah dipecahkan. Pihak pengurus Klinik S?B berkeberatan bila
orang-orang yang kurang mampu dibawa ke ruang OP
di tingkat VIP. Hal itu pasti akan diprotes oleh para
pasien yang menghendaki perawatan eksklusif. Tapi
Dokter Pandaan sebagai pimpinan juga tidak setuju
bila orang-orang yang kurang mampu itu ditolak dan
disuruh pergi ke Rumah Sakit Umum yang jauh. Bila
mereka memerlukan OP segera, perj alanan yang lama
itu mungkin merupakan vonis yang fatal.
Akhirnya diambil jalan tengah. Gedung Poli itu
akan dipenggal supaya ada tempat untuk sebuah ruang
OP serta ruang perawatan dengan empat ranjang. Salah satu anggota komisaris Yayasan Sabara-Birka, Pak
Daud Gurong, membawakan masalah itu dalam acara
Kampung Kita di stasiun radio milik anaknya, Feisal.
Pak Gurong mengetengahkan kesulitan yang dihadapi
Klinik S?B dalam menampung rakyat kecil yang perlu
pertolongan. Ternyata tanggapan masyarakat luar biasa. Pak Petrus dari Sigma Enterprise serta Pak Agus
Melnik yang memiliki Melnik Condominium di berbagai negara, serentak mengulurkan tangan. Malah Casio Comodo, direktur Radio Caco, saingan berat Radio
Soliter?nya F eisal, juga turut menyumbang. Hasilnya,
rencana semula untuk memenggal Poli dibatalkan, dan
gedung itu dinaikkan ke atas setingkat lagi, khusus untuk bagian opname Bersalin dan Bedah. Lantai bawah
tetap untuk Poli serta P3K.
164 *** Dokter Nemesio Kuret mengepalai Bagian Kebidanan.
Menurut cerita yang didengar Korizia dari sejawat?
sej awat tunangannya, sej ak masih kuliah pun Nemesio
memang paling tertarik pada bidang itu. Dia pernah
riset gelap untuk membuktikan kebenaran teorinya
bahwa dengan melihat warna dari labia minora, yaitu
bagian dalam kelamin wanita, dia dapat menafsirkan
apakah pasien tersebut anemis (kurang darah) atau
tidak. Sayang riset itu keburu ketahuan dosen dan
disuruh stop sebelum rampung sehingga tidak sempat
dikirim ke maj alah Lancet.
Setelah jadi spesialis, lain lagi risetnya. Pasien?
pasiennya diberi kuesioner, misalnya pakai tapal gigi,
lebih senang yang tutupnya diputar atau yang dijeblak
saj a. Menurut risetnya, tutup yang diputar makan wak?
tu dua detik lebih lama. Kuesioner lain: merek deodoran mana yang paling digemari dan apa sebabnya.
Hasil riset itu dikirimkannya ke perusahaan yang ber?
sangkutan, ternyata mendapat perhatian yang lebih
dari layak. Sehingga akhirnya riset yang cuma hobi itu
berubah j adi riset sungguhan dengan imbalan finansial
yang lumayan.
Kori dijemput mobil ambulans yang dikirim oleh
Dokter Kuret, jadi dia masuk dari samping. Walaupun
klinik itu cuma terdiri dari tujuh puluh tempat tidur
(seratus, bila dihitung tiga puluh bed untuk pasienpasien biasa) tapi mobil ambulansnya ada lima. Tugas
mereka kebanyakan untuk menjemput serta mengantar pulang dokter spesialis yang dipanggil dari Jakar
165 ta. Mobil?mobil itu dipul di ruang parkir bawah tanah,
sopir serta paramedis yang sedang dinas diharuskan
tinggal di dalam selama lima hari dalam seminggu.
Dari lantai parkir terdapat lift langsung ke atas sampai lantai tujuh. Untuk pergi ke gedung THT, orang ha?
rus keluar di lantai dua atau lima, lalu masuk j embatan
penghubung ke gedung tersebut. Atau dapat juga me?
lewati jembatan bawah tanah, dari tempat parkir.
Korizia masuk ke dalam lift, langsung kelantai tujuh. Dia selalu takjub melihat kemewahan klinik ini.
Misalnya, lantainya saj a marmer dari Verona yang bi?
asanya cuma dipakai di hotel?hotel mewah atau kasi?
no kelas utama. Nemesio pernah menceritakan gosip
tentang Prof. Birka yang kata orang cuma bisa rileks
di Las Vegas. Rupanya hobinya main bakarat mem?
berinya ide untuk membangun klinik semewah kasino
Moulin Rouge!
Diketuknya pintu apartemen nomor empat, di
sebelah kiri pertengahan dari lorong panjang itu. Pin?
m segera dibuka dan Korizia langsung menerobos
masuk membuat Nemesio Kuret hampir terdorong ke
belakang. Untung pegangannya pada gerendel pintu
cukup kuat.
"Kenapa cuaca mendadak jelek begini? Angin topan menyerbu masuk!"
Korizia membanting diri ke atas sofa putih yang
empuk. Demikian empuknya, dia nyaris tenggelam di
situ. Nemesio menutup pintu dan melangkah ke arahnya lalu menjatuhkan diri di sampingnya. Diraihnya
gadis itu, di lumatnya bibirnya tanpa permisi lagi. Korizia meladeni untuk beberapa detik, namun kemudian
meronta ketika dirasakannya kobaran api mulai mem
166 bakar mereka berdua. Nemesio tidak memaksa. Ditat?
apnya gadis itu, dibiarkannya dia menggeser keujung
sofa.
"Ada apa sih jam segini udah ke sini? Aku enggak
banyak waktu nih. Ada pasien VIP di kamar bersalin,
seharusnya aku menunggui, tapi kukatakan aku harus
ke atas dulu, ada emerjensi. Perawat kusuruh mengawasi pasien dan setiap saat aku bisa dipanggil."
"Nemi, aku bosan tinggal di rumah!"
"Jadi kau mau ke mana?"
"Aku mau cari kos di Jakarta."
"Hmmm, kita akan berpisahan dong."
"Aku akan pulang tiap Sabtu."
"Aku bakal kesepian setiap malam dari Senin sampai Jumat!"
"Suster-suster manis begitu banyak!"
"Kauizinkan? Serius nih?"
Korizia langsung cemberut melihat gairah di mata
laki?laki kurus dengan bibir menantang itu. Dijambak?
nya rambut keriting yang panjang sebahu itu. "Coba
aja kalau berani!" desisnya.
"Kalau takut aku main sama suster, rencanamu itu
harus dibatalkan."
"Tapi aku jenuh di sini, Nem! Terlalu sepi, enggak
ada hiburan."
"Jadi aku ini bukan hiburan? Kalau kesepian, kena?
pa enggak pindah aja ke sini?"
"Hei, kau serius?"
"Ya! Aku kan dokter, udah dididik kalau ngomong
harus selalu serius, apalagi menghadapi perempuan
cantik yang biasanya adalah pasien. Aku kan enggak
mau dituntut sebagai penipu atau pembohong."
167 "Oke, kalau begitu! Aku bisa pindah besok, tapi
enggak bisa nginap lebih dari seminggu. Harus pulang
dulu baru bisa balik lagi. Sebenarnya aku lebih sreg
tinggal di Jakarta, dekat ke tempat kerja. Aku sebal
tiap hari mesti terbirit?birit di kamar mandi supaya
enggak ditinggal sama Robby. Dia paling enggak sa?
baran nunggm cewek dandan. Pasti mulutnya enggak
brenti?brenti nyapnyap atau nyebutin jam. "Sepuluh
menit lagi harus berangkat." berangkat., "Aku bisa telat, nih." "Jalanan kan, selalu
macet kalau udah siang." Seandainya aku bisa punya
mobil, ah! Udah punya SIM percuma aja, enggak ada
mobil."
"Mobil ayahmu ke mana?"
"Di garasi. Enggak boleh dipakai, nunggu pem?
bacaan testamen. Siapa tahu mobil itu bukan buat
aku."
"Gampang, aku punya ide. Kenapa enggak kaupa?
kai aja mobilku?"
"Kabriolet merah manyala? Kau gila! Mana cocok
buat notaris baru yang makan gaji. Nanti kalau aku
udah praktek sendiri, nah dalam tiga tahun aja pasti
aku udah kebeli mobil baru! Tapi kalau sekarang udah
pakai mobil mewah, bisa-bisa aku dikucilin, dikira sok
nampang. Buat apa bikin orang ngiri pakai barang pin?
jaman."
"Begini deh. Kau tinggal di sini, lalu setiap pagi
diantar ambulans turun ke bawah, ke rumahmu. Dari
sana ikut Robby ke Jakarta. Pulang bisa naik bis sampai Bogor, dijemput ambulans balik ke sini. Oke?"
Korizia ketawa senang. Dipeluknya Nemesio dan
dikecupinya. "Biarpun tetap mesti bangun pagi, pal
168 ing sedikit, aku enggak kesepian di sini. Kau memang
pintar! Tapi ini cuma buat sementara, lho. Seandainya
Vanessa nanti enggak mau nyerahin akta rumah sama
Robby, ya kau harus turun tangan ngebantu, dan aku
terpaksa mesti ngungsi dari sini."
"Ngebantuin gimana sih?"
Kriiing. Telepon yang mengganggu itu diangkat
oleh Dokter Kuret. "Oke, aku segera datang." Diletak?
kannya pesawat, lalu menoleh. "Kori, aku harus segera
ke bawah. Kau boleh diam terus di sini semaumu. Tapi
j angan lupa kunci pintu kalau pergi."
Dokter Kuret langsung menyambar mobile phone
serta rencengan kunci dari meja, lalu keluar. Tinggal?
lah Korizia sendirian, bergolekgolek di atas sofa putih,
pikirannya melayang ke mana-mana.
Uh, bukan main senangnya aku kalau bisa menyingkirkan Vanessa dan mengangkangi semua waris?
annya! Kenapa sih nasibku begini aneh? Dulu, aku
yang dimanja, Vanessa selalu disalahkan oleh Mama.
Kukira, aku ini anak kandung, dia cuma dipungut Papa


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari jalanan lantaran Papa merasa berdosa sudah nabrak ayahnya. Tapi sekarang kok ternyata malah dia
yang sebenarnya anak kandung Papa, sedangkan aku
sama Robby cuma anakpungut.
Uh, celaka deh kalau dia sampai tahu keadaan
yang sebenarnya. Bisa?bisa diusirnya aku, enggak
boleh lagi datang ke rumahnya, apalagi tinggal di
sana. Lantas, ke mana aku harus pergi? Aku enggak
tahu siapa ibuku, siapa ayahku, dari mana asalku. Aku
enggak punya famili, enggak punya siapa-siapa, malah Tante Yasmin juga bukan tanteku. Aduh, kok aku
ini mendadakjadi sebatang kara begini ? Mama bukan
169 ibuku, Papa bukan ayahku, Robby juga bukan abangku. Oh, rasanya bisa gila aku memikirkan siapa diriku
ini sebenarnya, kenapa aku sampai dibuang oleh ibu
kandungku, Apakah aku ini anak haram?
Aku enggakpeduli apa aku haram apa enggak, aku
mau memaafkan ibuku yang nekat, aku mau memaafkan ayahku yang enggakpunya tanggungjawab, asal
saja aku bisa tahu di mana mereka sekarang, siapa
nama mereka. Ah, aku penasaran sekali kepingin tahu!
Selain itu, ada hal lain yang mengganggu. Vanes?
sa, Dia sama sekali enggak boleh tahu siapa dirinya
sebenarnya. Aku enggak takut pembalasannya. Kalau
dia berani jahat, aku bisa lebih jahat lagi. Tapi aku
enggak mau turun gengsi di kalangan teman-teman,
enggak boleh ketahuan bahwa aku ini cuma anakpun?
gut. Selain itu aku juga enggak mau kehilangan Eski
Saraya sebagai tempat tinggal atau hak?hak lain yang
selama ini kunikmati sebagai anak Papa dan Mama.
Masak akan kubiarkan Vanessa menganggap dirinya
lebih tinggi dari aku, malah nanti mungkinjadi berani
merintahmerintah aku?
Tapi aku enggak khawatir. Aku tahu Robby juga
sama pikirannya denganku. Kita berdua pasti akan
berhasil menyingkirkan duri itu dari mata!
*** Seperti Robert, Korizia juga masih cuti sampai Senin,
j adi leluasa baginya untuk mengepak sebagian pakaian
170 serta burang?barang kecil keperluan sehari-hari.
Melihat Vanessa memperhatikan dari ambang pintu,
dia mendecah, "Jangan senang dulu, aku bukannya
pindah dari sini, tapi cuma kepingin ganti suasana buat
beberapa minggu. Di tempat Nemesio pasti aku bakal
lebih bebas, bisa makan ciplak, angkat kaki di meja
makan, pokoknya semau gue."
Vanessa tidak memberi komentar. Aku juga sebe?
narnya enggak peduli kau mau bertingkah gimana,
kek. Tapi aku ingat apa yang pernah diajarin Mama.
Kupikir, enggak ada jeleknya nurutin nasihat yang
baik, bukan?
"Kau mau minggat ke mana?" terdengar suara
Robert yang rupanya ingin tahu kenapa Vanessa berdiri-diri terus di depan kamar Korizia. Itu bukan kebiasaannya, jadi pasti ada sebabnya.
Yang ditanya cuma mengangkat kepala sejenak,
lalu menunduk lagi meneruskan kerjanya memasukkan baju-baju ke dalam koper kecil yang pernah dipakai Mama waktu ke Amerika bersama Papa.
"Aku mau nginap di tempat Nemesio."
"Ide siapa itu?" Suara Robert terdengar kurang
senang.
"Ide siapa aja! Kenapa sih usil?"
"Kau kepingin digosipin orang?"
"Biar aja, kalau mereka mau! Kan enggak minjam
mulutku."
"Kenapa sih enggak bisa tunggu sampai kalian
udah resmi kawin?"
"Kami kan udah tunangan."
"Lain dong ama kawin. Tunangan bisa selalu putus, batal kawin."
171 "Apa kawin juga enggak bisa putus?"
"Huh! Udah enggak sabar lagi rupanya!" Suara
Robert mengejek sekali, membuat Korizia mendelik
padanya.
"Udah, deh, jangan sok suci! Orang kayak kau berani coba?coba kasi nasihat? Bisa-bisa matahari jadi
malu, enggak terbit lagi!"
Vanessa keheranan melihat perubahan air muka
Robert. Ucapan itu rupanya ampuh sekali. Bila tadi
dia mengawasi dengan berapiapi, kini matanya kuyu,
bibirnya dikancing rapat. Dia cuma berani memperhatikan dengan mata setengah menunduk.
"Kok dia boleh tinggal di tempat lain lebih dari
seminggu?" tanya Vanessa pada Robert.
Yang ditanya berlagak tuli, tapi Korizia yang malah
mendelik dan membentak, "J angan sok nanya-nanya!"
Robert melemparkan peringatan pada Kori, "Jangan salahkan aku kalau terjadi apa?apa!" Diputarnya
kakinya dan berlalu.
"Naik apa kau ke tempat Nemesio?" tanya Vanessa
kemudian.
"Aku harus nelepon dulu, nanti dia bakal ngirim
ambulans kemari."
"Boleh aku ikut? Aku mau ketemu Ishtar, mau nanya soal tanamanku yang sakit."
Korizia tahu, Vanessa memang sering minta nasi?
hat Dokter THT itu mengenai perawatan bunga?bunga
mawarnya. Dasar kurang kerjaan! Ngurusin kem bang
ros! Kori mendumal dalam hati, tapi dia mengangguk
tanpa mengangkat kepala. "Boleh. Tapi apa enggak
bisa tanya di telepon aja?"
"Udah, semalam. Dia mau lihat daunnya. Sebe
172 narnya, kalau bisa ditanam di rumah kaca seperti di
klinik, pasti enggak bakal banyak masalah."
"Nah, kenapa enggak?"
"Rumah itu sudah penuh sama tanaman Papa dan
tabung-tabung riset Robby. Seharusnya diperluas.
Sebenarnya Papa udah setuju..."
"Tapi aku enggak!" potong Korizia tegas sambil
menutup koper. "Jangan kau mimpi mau meluaskan
bangunan itu! Enggak ada biayanya, tahu. Aku lebih
perlu duit buat beli mobil, buat cari kos. Kembang ros
kan bukannya kebutuhan, cuma buat senang-senang
aja, hobi. Juga cuma kau yang suka, aku sih enggak.
Dan yang setuju itu Papa, tapi yang pegang duitnya
sekarang aku sama Robert. Dia juga enggak setuju!"
Tanpa sepatah kata pun, Vanessa berlalu, turun ke
bawah, terus ke dapur mau membantu Bi Asri sebelum
pergi. Kebetulan ada Robert yang sudah berpakaian,
rupanya mau keluar.
"Aku mau ke Jakarta, ikut enggak?"
"Enggak bisa hari ini. Aku mau ketemu Ishtar. Tapi,
Jumat aku memang janji mau ke tempat Karmila, bisa
ya nebeng mobilmu? Kau ke Jakarta enggak, Jumat?
Masih cuti, kan? Senin baru masuk?"
"Enggak apa-apa, biar lagi cuti, aku tetap perlu
turun ke J akarta tiap hari, ada urusan yang perlu diberesin. Kau bisa ikut aku setiap saat."
Robert kemudian pergi keluar, sedangkan Vanessa
membantu Nini menyiapkan masakan. Kemudian terdengar suara tumit sepatu Korizia?duk, duk, duk, duk?
turun dari atas. Koper kecil dibantingnya di lantai lalu
diputamya telepon yang terletak di ruang keluarga,
minta dikirim ambulans, segera.
173 "Nah, Ni, aku tinggal dulu, ya. Mau ngikut Kori ke
atas, mau ketemu Dokter Ish." Cepatcepat dibasuhnya tangan, lalu keluar memetik beberapa helai daun
mawar yang dimasukkannya ke dalam kantong plastik.
Dari Eski Saraya ke Klinik Sabara?Birka tidak
jauh, dengan ambulans tanpa sirene cuma dua puluh
lima menit. "Sebenarnya sepuluh menit juga sampai,
Non," kata sopir pada Korizia yang duduk di depan.
"Tapi karena nanjak, enggak bisa terlalu cepat. Mobil
ini pake mesin Korea sih, bukan mesin Daimler seperti ambulans yang lebih panjang. Kalau turun sih j auh
lebih cepat."
Ketika sudah tiba di sana, Korizia menanyai Vanessa, "Gimana pulangnya nanti?"
"Gampang. Bisa diantar sama Ishtar, bisa juga sama
Siska, siapa saj a yang sempat. Kalau semua repot, ya
aku bisa jalan kaki, kan mudun, jadi enggak capek."
"Kalau ada ambulans nganggur, pasti bisa diantar,
Non," kata sopir. "Itung-itung sopirnya pulang sebentar, istirahat makan."
"Terima kasih, Pak. Mudah-mudahan sih enggak
perlu. Saya biasa jalan kok ke bawah. Kecuali ya, huj an, baru perlu kendaraan."
Begitu keluar dari mobil, Korizia langsung melangkah ke arah lift, diikuti oleh Vanessa. "Kapan kau
akan pulang lagi?"
"Oh, aku memang mau tinggal sama Nemesio kok.
Bosan di rumah. Paling-paling aku akan pulang kalau
perlu ngambil pakaian atau barang."
Vanessa tidak memberi komentar apa-apa.
"Memangnya Dokter Ishtar enggak praktek saat
ini?"
174 "Sampai jam dua belas, di Poli. Tapi enggak ada
OP, jadi aku bisa nunggu di apartemennya sampai
dia istirahat jam setengah sebelas, empat puluh menit
lagi."
"Heran, kenapa dia enggak mau minta rumah aja
seperti Dokter Leo? Rumah kan lebih enak, ada kebunnya. Flat sih sumpek, cuma ada balkon kecil buat
taruh pot-pot kembang."
"Ish sama Paul memang sudah beli tanah di atas,
mau bangun rumah. Tapi sementara ini mereka di apartemen aj a, sebab tiap Jumat sore kan mereka pulang ke
Jakarta, mereka udah punya rumah besar kok di sana.
Dokter Leo kan terus?menerus tinggal di sini, ya perlu
rumah dong, yang besar. Sesuai sama kedudukannya
sebagai direktur."
"Heran, gimana sih orang-orang itu cari duit? Kok
kayaknya gampang banget, bisa beli rumah satu, rumah dua kayak beli tahu aja."
"Kan tiap orang punya rezeki sendiri?sendiri, kau
dan Nemesio juga nanti pasti dapat..." Lift sudah berhenti, dan Vanessa tidak menyelesaikan ucapannya.
Mereka sama-sama keluar di lantai tujuh, seorang ke
kiri seorang ke kanan.
Pembantu Ishtar yang membukakan pintu. "Mana
Nicole?" tanya Vanessa sambil melangkah masuk dan
mengelus Anabela yang sibuk goyang?buntut.
"Niki sedang main di bawah, Non."
Ishtar lebih tua dari Vanessa, walau tidak terlalu banyak bedanya. Tapi karena dia sudah menikah,
sedangkan Vanessa masih seperti mahasiswi yang
lincah, maka para pembantu teman-temannya seperti Ishtar, Siska, Karmila, Triska, dan lainnya, biasa
175 menyebutnya Non.
"Di tempat Dokter Leo?"
"Iya, Non. Anak-anaknya juga sering main ke sini.
Mereka akrab sekali sama Niki."
Vanessa duduk di depan TV. Melihat tumpukan vid?
eo timbul isengnya, sekedar melewatkan waktn. "Ada
Video apa aja nih, Ti?"
Sitti ketawa. "Cerita anak?anak semua, Non. Pak
Paul ngelarang Ibu nyewa film-hlm dewasa, katanya
takut dilihat Niki."
Vanessa mengambil Video yang paling atas. Film
Peter Pan. Lumayan, cerita kesayangan waktu aku
masih kecil. Aku pernah membayangkan jadi Wendy,
kesengsem sama Peter.
"Bagus juga ceritanya. Sayang, Hlmnya sudah banyak air hujannya."
"Video lama kali ya, Non. Sudah keseringan dipinjam orang," ujar Sitti sambil menghidangkan teh
hangat dengan sepiring kacang rebus yang masih berasap. "Cobain kacangnya, Non. Dari kebun di belakang, baru saya cabut tadi pagi."
"Kebetulan nih, Ti. Saya memang lagi mikirmikir
mau nyuruh Nini beli kacang ke pasar, kepingin ma?
kan kacang rebus."
Tentu saja Sitti kesenangan suguhannya dihargai.
Dia langsung meneruskan dengan, "Tadi Ibu udah
pesan, saya disuruh masak sayur asam istimewa buat
Non."
"Wah, wah! Kalau saya dimanja begini, bisa sering-sering datang lho, Ti! Kan nanti repot jadinya!"
"Biar aja sering, Non. Enggak repot kok. Tiap hari
juga mesti masak, banyak lagi. Sedangkan Pak Paul
176 cuma makan malam, jadi cuma sedikit." Dokter Paul
Wibowo dinas di Cipto, dia juga menjadi dosen.
Hm, rupanya Paul takut betul gendut. Jadi makan
malamnya cuma sedikit, sesuai dengan ajaran Ilmu
Gizi. Rupanya dia masih apal kalori malam hari yang
cuma dibawa tidur, enggak dipakai kegiatan apa-apa,
akan disimpanjadi lemak.
"Ibu juga tempo-tempo ngajak Mbak Santi, kepala
perawat, ke sini, makan siang, supaya ada teman. Atau
Ibu Siska yang datang, atau Ibu Petra. Ibu Siska sih biasa datang begitu aj a, enggak usah pakai diundang-undang. Ibu juga sering ke sana, makan sama-sama. Kalau Ibu Petra cuma sesekali ke sini. Biasanya Ibu yang
ke tempatnya, habis Ibu Petra kan punya dapur istimewa. Ibu bilang, makan sama Ibu Petra semuanya enak,
tapi dijamin enggak bikin gendut."
Vanessa membiarkan Sitti ngoceh terus. Boleh juga
mendengarkan orang lugu sebagai selingan, bosan
mendengar suara Korizia yang marahmarah melulu.
Sedang asyik-asyiknya nonton sambil makan kacang
dan mendengarkan Sitti, tahu?tahu telepon berdering,
langsung diangkat oleh Sitti. "Sudah, Bu." Lalu dis?
erahkannya pesawat pada Vanessa. "Untuk Non, dari
Ibu."
"Hai, Ish, sedang repot, ya?"
"Iya, Sorry, Nes, aku enggak bisa naik ke atas, malah enggak bisa istirahat. Ssst, ada VIP, telinganya kemasukan anak kecoak. Aku harus segera menangani,
sebab asistenku, Dokter Irwan, sudah dipersonanon?
grata oleh pasien. Kenapa kau enggak turun saja ke
sini? Kalau aku enggak berhasil kan bisa kaugantikan?"
177 "Sinting! THT kan mainanmu, kalau kau angkat
tangan, apalagi aku. Tapi, oke deh, aku turun. Toh Videonya buat lima tahun ke bawah, bisa-bisa aku jadi
regresi minta susu pakai dot!" Mereka ketawa gelak,
lalu Vanessa pergi ke luar setelah memesan Sitti, "Kacangnya jangan dihabisin, Ti. "Ntar saya balik lagi."
Sitti ketawa hi, hi, hi, hi mendengar instruksi itu.
Setiba di bawah, Dokter Ishtar pas mau masuk ke
kamar pemeriksaan, melambai pada Vanessa.
"Gawat?"
Ishtar menggeleng sambil berbisik, "Cuma manja. Aku akan masukkan minyak, kecoak yang banyak
tingkah itu pasti akan terendam dan terpaksa berenang
ke luar. Ngelayap kok bukannya ke dapur tapi ke kuping! Katanya lagi tidur tahu-tahu kuping terasa sakit."
"Orang kaya kok kamar tidurnya ada kecoak!" Vanessa balas berbisik.
"Aku juga heran," terdengar ada yang menjawab
dari belakangnya.
Vanessa menoleh. Seorang wanita muda berambut
pendek, mengenakan celana jeans dengan blus longgar
kotak-kotak biru, berdiri di dekat mereka, tangannya


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh dengan buku. Waj ahnya mengingatkan Vanessa
pada bintang Hollywood, Demi Moore.
"Hai, Siska! Tiap kali ketemu, aku selalu kagum
melihatmu. Rasanya heran, kok ada orang secantik
kamu!"
Siska langsung memeriksa semua saku, tapi akh?
irnya mengeluh, "Enggak punya recehan!"
"Memangnya aku minta duit? Aku bukannya muji,
itu memang kenyataan. Apa Leo enggak pernah bilang
kau cakep?"
178 "Iiih, mau tahu aja. Itu kan rahasia jabatan, enggak
boleh disiarkan dalam Lembaran Negara. Kalau berani, nanya dong langsung sama Leo!"
"Ah, nanti dia naksir aku, kasian kamu dong, aku
enggak tega!"
"Matamu, naksir! Dia sih enggak mata keranjang
sekarang, lain dengan dulu. Taruhan?" tantang Siska
ketawa.
"Ah, kau muji-muji orang, apa bukannya mau
mancing pujian untukmu sendiri?" Ishtar menaikkan
alis, menatap Vanessa sambil tersenyum geli.
Yang ditatap jadi kebingungan. "Maksudmu?"
"Kau sendiri mirip... tebakl Elizabeth Taylor,
tahu enggak! Matamu yang hitam dan dalam, rambutmu yang tebal berkilat, dagumu yang runcing. Kalau
aku lihat-lihat, kau mirip putri Arab! Tinggal pakai
blus tunik yang panjang dan celana tembus pandang
yang diikat di mata kaki, nah, jadilah kau penghuni
harem seorang sultan!"
"Jangan ngeledek! Udah sana, urus VIPmu. Nanti dia mengecam, pelayanan kurang memuaskan, bisa
bangkrut klinik ini!"
Ishtar mengangguk.
"Apa belum pernah ada cowok yang bilang kau
cakep?" balas Siska pada Vanessa. Walau wajahnya
serius, Ishtar tahu dia sedang meledek gadis itu. Yang
diledek tentu saja merah padam. Masalah cowok kan
merupakan titik lemahnya. Vanessa sensitif sekali, dalam hati yakin takkan gampang seorang laki-laki mau
mencintai gadis yang tidak jelas asal-usulnya.
Melihat Vanessa salah tingkah, Ishtar langsung
melambai. "Yuk deh. Sis, ajak dia kekelasmu sampai
179 aku selesai, biar enggak ngelamun."
Siska juga tidak meneruskan ledekannya, rupanya
maklum gadis single tentunya masih malu-malu kucing kalau diajak berdiskusi tentang ensiklopedia cinta.
"Aku ada kelas sekarang. Kau boleh ikut kalau mau.
Aku izinkan tidur kalau enggak menarik bagimu." Sis?
ka yang doyan ketawa lagi-lagi memperlihatkan giginya yang sempurna.
Pantas Dokter Leo Pandaan begitu tergila?gila
padanya. Rupanya Siska merupakan besi berani baginya! Aku saja tertarik, padahal bukan lesbi, apalagi
Dokter Leo, pasti kesengsem.
Vanessa mengangguk. "Oke deh, aku ikut, daripada
kedinginan di lorong."
"AC di sini memang selalu diputar pol. Tapi di
dalam kelas cukup hangat, bisa disetel sendiri. Kalau
lorong diatur dari pusat."
Dulu Siska seorang guru TK. Setelah bercerai dari
Helmi, dia menikah dengan Leo, lalu sekolah lagi dan
lulus sebagai guru untuk anak-anak luar biasa. Dia
juga memperdalam di Singapura setahun, khusus untuk mendidik anak-anak tunanetra, dan dua semester
di Universitas Gallaudet di Washington, mempeajari
bahasa tangan untuk anak-anak tunarungu.
"Kau ngajar apa saja?"
"Aku ngajar bahasa tangan dan membaca bibir untuk anak?anak tuli dan membaca Braille untuk anakanak yang kehilanga penglihatan."
"Susah enggak sih hurufBraille itu?"
"Nanti kaulihat sendiri."
Mereka melewati ruang kantor di mana seorang gadis berambut panjang tengah duduk mengetik, mem?
180 belakangi mereka. Siska memberi isyarat, mengajak
Vanessa mampir. Disentuhnya bahu gadis itu, yang
langsung menghentikan gerak jarinya dan menoleh.
Siska meletakkan buku-buku yang digendongnya ke
atas meja, lalu digerak?gerakkannya jari-jari tangan?
nya. Vanessa yang mengawasi dari samping, meli?
hat gadis itu tersenyum, mengangguk, lalu menoleh
padanya seraya mengulurkan tangan.
"Vanessa, ini Katarina Sabara. Kau tahu ayahnya,
kan?"
Vanessa tercengang melihat wajah yang tersenyum
padanya. Tentu saja aku tahu. Waktu itu aku masih mahasiswi. Semua teman kuliahku membicarakan kasus
Dokter Sabara. Tiga kali pembunuhan! Demi membela anak! Enggak kusangka, Katarina Sabara demikian cantiknya. Lesung pipitnya! Matanya! Bibirnya.
Alisnya. Hidungnya. Dahinya. Dagunya. Rambutnya.
Bahkan telinganya. Semua begitu sempurna, begitu cantik, siapa sangka dia enggak bisa menangkap
bunyi apa-apa. Pantas ayahnya begitu kalap, setengah
mati bemsaha mengembalikan pendengaran anaknya.
Kiranya dia memang seorang permata hati yang tak
ternilai!
Vanessa menjabat tangan yang terulur, dia
tersenyum tapi tidak tahu bagaimana berkomunikasi,
jadi terpaksa membisu. Siska rupanya mengerti, sebab
dia menjelaskan, "Katia sudah kuberitahu, kau Dokter Vanessa Balam yang tinggal di Eski Saraya. Eh,
rumahmu itu tophit lho di sini. Banyak yang naksir.
Perawatperawat semuanya kepingin kenalan sama
abangmu, kata mereka supaya bisa tinggal di sana."
Vanessa ketawa geli, tapi dalam hati mengeluh.
181 Kau enggak tahu saja, aku sendiri mungkin enggak
lama lagi sudah harus meninggalkan tempat itu. Kalau kalian saja begitu tergila-gila pada rumah itu, bisa
dibayangkan perasaanku kalau nanti terpaksa harus
meninggalkannya. Di dunia ini, enggak ada tempat
lain yang lebih kucintai daripada Eski Soraya.
"Katia membantuku mengajar anak?anak, tapi dia
juga mencurahkan banyak waktunya di kantor. Tanpa
tambahan honor lho. Yuk, kita biarkan Katia menyelesaikan ketikannya." Siska mengetuk bahu Katia, lalu
mengajak Vanessa berlalu. Katia ketawa dan kembali
lagi pada komputernya.
Mereka berjalan di lorong panjang, kemudian belok lalu belok sekali lagi. Di depan mereka terlihat dua
buah lift. Tapi Siska masih mau belok lagi seraya berkata, "Kita naik tangga saja, ya. Buat membakar kelebihan kalori, biar tetap langsing. Aku enggak pernah
pakai lift."
Keduanya terbahak. "Kalau soal melangsingkan
badan, aku sih pasti setuju," Vanessa menanggapi.
Ruang kelas berada di lantai dua, jadi bisa dicapai tanpa membuang tenaga sama sekali.
"Aku heran banget melihat Katia. Kok air mukanya
bisa begitu cerah padahal dia invalid?" tukas Vanessa
suatu ketika.
Siska menggeleng dengan rupa terharu. "Anak itu
memang luar biasa. Menurut Tante Melita, ibunya,
waktu kecil pun dia hampir enggak pernah mengeluh
walau enggak bisa mendengar. Kasian sekali kalau
kita ingat nasibnya."
"Ayahnya kena berapa tahun?"
"Entahlah. Aku dengar sih, dia mau seumur hidup
182 tinggal di sana. Tante Melita kan ikut menemani, cari
duit sendiri, nanam bunga sama ngurus katering. Dia
kan lulusan Pertamanan, tapi katanya sej ak remaja sudah senang di dapur, dan pernah belaj ar masak di Paris.
Dapur LPK juga diurus olehnya. Katia tinggal sendiri
di sini. Dulu diajak tinggal bersama Mbak Tania yang
menikah dengan wartawan Niko. Dia dianggap seperti adik olehnya dan dipanggil "Tante" oleh anak-anak
mereka. Setelah klinik ini diperluas, dia diberi aparte?
men di lantai tujuh."
"Seingatku, keluarga Sabara itu tinggal di Vila di
sekitar sini, bukan? Aku ingat dari koran, nama Vila itu
eksotik, tahu deh apa, sekarang udah lupa."
"Maksudmu Vila Delta Venus? Bangunan itu sudah
dijual, rupanya uangnya dibelikan rumah di Jakarta
yang ditinggali oleh Tante Melita. Saham Dokter Sabara di klinik ini pun sudah diserahkannya ke tangan
istrinya. Dokter itu sendiri sudah seratus persen putus
hubungan dengan kami. J adi secara hukum kami sudah
enggak terlibat dengannya. Tapi kami tetap menerima
Katia, semua orang memperlakukannya dengan baik.
Habis, anak itu sendiri enggak berdosa, kepribadiannya juga menyenangkan, semua orang menyukainya.
Kami bahkan mau mensponsori dia supaya bisa pergi ke Amerika untuk mendapat telinga bionic. Kalau
suratsuratnya bisa beres, dia akan berangkat permulaan musim semi tahun depan, ya sekitar bulan Maret."
"Ada berapa kelas di sini?"
"Lima kelas dan dua labor untuk latihan. Eh, Nes,
ngomong-ngomong, kau tahu dong, abangku Johrmy?"
Vanessa mengangguk. "Rasanya tempo hari datang
bersama Leo. Kenapa?" Siska memang tidak ikut me
183 layat, tapi sudah minta maaf di telepon, menjelaskan
situasi dirinya. "Eh, kakakmu Nani, udah berapa buntutnya?" sambung Vanessa.
"Sama denganku. Empat."
"Ini yang keempat?" Vanessa menunjuk perut yang
buncit.
Siska menggeleng. "Ini yang bungsu! Aku kelupaan minum pil sekali!"
"Kenapa enggak dij adikan setengah lusin saja!
Tanggung!"
"Ngeledek, ya! Tunggu nanti giliranmu! Kalau sudah punya satu, pasti ketagihan! Anak adalah sumber
kebahagiaan, Nes. Setidaknya bagiku. Walau sudah
punya empat, aku masih suka terkenang pada Cosa,
anakku yang pertama. Tidak ada yang akan bisa menggantikannya. Tapi eh, kenapa aku jadi sentimentil pagi
ini!"
Siska menoleh, menatap Vanessa, kemudian mengedip sebelah, sambil mesem. "Kapankapan aku
kenalkan kalian berdua ya, mau enggak?"
"Berdua sama siapa?"
"Abangku."
"Aku mau disuruh j adi baby Sitter anaknya?"
"Jadi Johnny sitter, itu lebih tepat!" Siska tertawa geli. "Orang belum kawin, dari mana bisa punya
anak!"
"Kok cowok ganteng, punya titel?arsitek, kan,
dia. enggak laku-laku?" ujar Vanessa berlagak curiga. "Pasti ada apa-apanya! Dan kau mau nyodorin barang apkiran? Tega banget!"
Siska ketawa dan memukul Vanessa main-main.
"Kalau sudah kenal, kan kau bisa menilai sendiri, apa
184 ',, dia apkiran apa enggak
"Aku ngeri sama cowok zaman sekarang, Sis. Terus terang aja nih. Cowok sekarang enggak semuanya
nyari cewek, banyak yang gandrung sama jenisnya
sendiri. Barangkali udah kehendak alam, buat mengurangi jumlah penduduk?"
Siska memeluk bahu Vanessa. "Aku jamin J ohnny
sih masih normal seleranya. Cuma dia terlalu workaholic, kalau udah kerja enggak ingat waktu. Kalau
sedang mengerjakan proyek, bisa nginap di kantor
lho. Dia kan kongsian sama teman-temannya, bikin
biro arsitek, kepakai betul sama kontraktor?kontraktor
Jepang, Korea, Itali, dan Spanyol. Nah, jembatan yang
terbaru itu, siapa coba yang bikin?"
"Yang ambruk itu, tiga puluh orang tewas?"
"Terang bukan yang itu!" sahut Siska gemas.
"Masak jembatan ambruk mau aku iklanin, malu-maluin. Seandainya betul itu buatan abangku, j elas enggak
bakal aku gembargemborkan. Enggak, J ohnny sih be?
lum pernah ambruk bikinannya, sebab dia enggak mau
nyabot, korupsi bahan. Makanya banyak real estate
yang minta jasanya, sampai dia terpaksa meluaskan
usahanya."
"Kedengarannya seperti sedang jualan jamu nih,"
Vanessa mencoba guyon, namun hatinya kebat-kebit. Ah, Sis, kau enggak tahu betapa aku merindukan
seseorang. Tapi ketakutanku melebihi kerinduan itu.
Setiap kali berkenalan dengan seorang laki-laki, aku
selalu waswas, apalagi kalau ada tanda?tanda dia
mulai serius. Aku selalu takut setengah mati dia akan
meninggalkan aku begitu tahu riwayatku. Andaikan
ada laki?laki yang mau menerima keadaanku seperti
185 apa adanya, aku toh tetap akan merasa khawatir sebab calon ibu dan ayah mertua belum tentu akan rela
menerimaku.
Yah, aku enggak bisa menyalahkan mereka. Sebab
kalau ditanya orang, mantumu anak siapa, mereka
maujawab apa? Sudah enggak bisa bilang, anakjenderal Anu, masak harus bilang, mantuku anak pungut
Pak Ponseka Balam. Ceritanya, Pak Balam nabrak
mati bapaknya, tukang jualan abu gosok. Jadi Pak
Balam kasian, anak itu baru dua tahun, dirawat oleh
istrinya, disekolahkan sampai dapat tit
"Hei, ngelamun!" Siska mengguncangnya, mem?
buat Vanessa kelabakan. Matanya yang tadi tidak difokus, sekarang baru menangkap, ada orang lain di
dekat mereka. Seorang lakilaki kurus, cukup tinggi,
wajahnya tirus tampan, matanya di balik beling kelihatan seperti mau meledak ketawa, rambutnya berombak dan berkilat, pasti disapu dengan krem (mudah-mudahan bukan minyak sayur, cepat tengik kena
udara) tengah berdiri di gang depan tangga, rupanya
tadi sedang membaca kertas dalam tangannya. Yang
langsung menarik perhatian Vanessa adalah celana
j eansnya yang kekecilan serta kemej a yang ketat mirip
uniform Elvis Presley, dengan sulaman di leher serta
lengan.
"Hai, Sis, kapan ngundang aku makan lagi?"
"Rebes! Nanti kalau sempat deh. Bulan depan
anakku yang kedua mau ultah, kau datang, ya. Biar
enggak masak, paling sedikit ada nasi deh, atau spageti. Leo sedang keranjingan Spageti Napoli. Oya, ini
Dokter Vanessa. Nes, ini Dokter Roy Parega, abangnya Martina."
186 Mereka, bersalaman. "Jadi kau teman adikku?"
"Duduk sebangku di SMA."
"Rapat juga sama Triska?"
"Yang dikej ar-kejar oleh...?"
Siska yang berdiri dempet dengan Vanessa mencubitnya dari belakang. Vanessa langsung tersadar dan
menyetop ucapannya, sehingga kelihatan salah tingkah. Astaga! Inikah cowok yang dibilang nguber?nguber Triska sampai ke ujung langit? Lumayan sih tampangnya. Sayang kenapa gigi tonggosnya enggak mau
dikikir atau dicabut saja, kan merusak pemandangan,
pasti enggak bisa masuk halaman tengah Playgirl!
"Roy ini ahli Kulit Kelamin, dan sering ngirim
pasien VIP ke sini. Tapi sudah kami peringatkan, enggak boleh kirim pasien AIDS sebab kami enggak punya fasilitas buat merawat pasien seperti itu."
"Kebanyakan pasienku sakit kulit yang biasa-biasa
saja kok," Roy menj elaskan pada Vanessa. Dalam hati
dia sudah mulai bernyanyi. Enggak sangka di desa
terpencil kok ada cewek begini cakep, mirip putri kerajaan zaman Seribu Satu Malam! Enggak kalah dari
Triska, malah lebih ayu. Matanya yang hitam begitu
dalam, begitu memikat. Semangatku serasa sudah
tersedot kayak serbuk besi ditarik magnet! Kalau aku
bisa merebut hatinya, bukan main bangganya. Rasain
si Deni, pasti meringis melihat kemenanganku! Dan
Leo, Don Juan dari Cisalak itu, enggak bakal berani
nyombong lagi di depanku. Memang Siska merupakan
piala nomor satu, tapi waktu itu, bukan sekarang. Sekarang sudah muncul bintang Kejora baru, siapa namanya... Vanessa?
"Soalnya kami punya solarium. Dokter Roy sering


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

187 ngirim pasien?namanya pasien, tapi orangnya sih sehat yang mau mandi matahari sekalian istirahat."
"'Orang-orang yang sudah kebanyakan duit
memang seleranya tempo-tempo enggak masuk akal.
Sudah aku peringatkan bahayanya sinar matahari. Ku?
lit lekas keriput, malah bisa kena kanker, tapi mere?
ka enggak peduli. Kata mereka, di Eropa, kulit yang
coklat terjemur matahari itu merupakan simbol status,
tandanya baru pulang liburan dari Bahama atau Hawaii. Nah, rupanya mereka juga kepingin punya gengsi tambahan." Dokter Parega menarik napas sambil
tersenyum kecil.
Astaga, nyentrik juga dokter Kelamin ini! pik?
ir Vanessa. Pasti dia penggemar Elvis yang fanatik.
Nyengirnya saja mirip Elvis, mungkin sudah latihan
berjam?jam di depan cermin. Menarik juga sih, cuma
sayang giginya yang tonggos itu salah tempat. Apa
dia enggak pernah ke dokter gigi? Atau pelit, takut
diporotin sama rekan? Memang dokter gigi di mana
saja, di seluruh dunia, enggak ada yang murah. Kalau kita nawar mereka tersinggung, kita dipersilakan
pulang, disuruh nyabut gigi sendiri pakai tang atau
kakaktua. Tapi ini kan demi keapikan?!
Vanessa melirik ke jari-jari yang menggenggam
kertas itu. Mmm, kosong. Apa Pak Dokter enggak menyadari bahwa gigi durjana itu bisa merusak
acara bila diajak kencan bersama cewek mutakhir? Zaman sekarang, bukan cuma cowok yang punya hak buat memilih cewek yang tercantik baginya,
tapi cewek juga sudah sama haknya, boleh milih-mi?
lih sampai ketemu cowok yang ter... segala-galanya.
Bagaimanapun, cowokpilihan itu kan harus menjadi
188 ayah anak?anaknya. Siapa yang mau gigi tonggos itu
diwariskan, salahsalah nanti dikira punya anak?anak
vampir! Tapi kalau kepribadiannya yahud, yah, boleh
juga dipertimbangkan ..
"Yuk, ah. Kelasku harus segera mulai," Siska menyadarkan Vanessa. "Roy, kau mau ketemu Leo atau
cuma nengok pasien?"
"Aku harus segera kembali ke Jakarta sekarang,
enggak sempat mampir ke atas. Titip pesan saja deh,
bilangin Leo, j angan lupa ultahku nanti. J ohnny, Rudy,
dan Hanifah' juga akan kuundang."
"Oke, nanti kusampaikan. Eh, kau pasti kenal juga
abang Vanessa, Robby?"
"Robby? Bukannya Robby Balam, anggota regu
bola basketku?" Melihat Siska mengangguk, Roy ngakak seriang. "Aaah, jadi kau ini penghuni haremnya
si Robby! Memang pelit dia, enggak pernah mau ngajak?ngajak aku ke rumahnya. Kalau begitu, gampang
kita ketemu lagi, Vanessa!" Laki?laki itu mendekati
Vanessa, menunduk dan berkata pelan, penuh rayuan,
"Kau enggak keberatan kan bila kita ketemu lagi?"
Vanessa cuma sanggup tersenyum, lidahnya kelu,
pipinya terasa panas. Sampai dia duduk dalam kelas
bersama dua puluh anak, wajahnya masih terasa membara, jantungnya masih berdebar. Untung dia duduk
paling belakang dansemua murid memang tak bisa
melihat, jadi dia merasa aman. Siska tentu saja melihat keadaannya, tapi berlagak tak tahu supaya gadis itu
j angan makin grogi.
Siska memberinya beberapa lembar tulisan dalam
hurufBraille dan kebetulan itu memang pelaj aran per
* Badai Pasti Berlalu
189 tama, jadi dia dapat mengikuti tanpa kesulitan.
"Alfabet ini diciptakan oleh Bapak Louis Braille
dalam tahun 1824 ketika dia berumur lima belas tahun. Bapak Braille menjadi buta ketika dia baru tiga
tahun usianya.
"Sistem penulisan memakai titik yang bisa diraba
ini dipergunakan pertama kali dalam tahun 1819 oleh
Kapten Barbier dari Angkatan Darat Prancis. Kapten
ini menggunakan cara itu untuk menulis laporan
malam hari di daerah pertempuran, sehingga tak perlu menggunakan lampu. Dia memakai dua belas titik,
tapi Braille cuma mengambil separuhnya, enam titik
saj a, jadi lebih sederhana.
"Seperti kalian dapat merabanya sendiri, hurufhuruf itu berbentuk titik?titik yang timbul. Dasar dari
alfabet ini adalah enam buah titik yang berjejer duadua dari atas ke bawah. Titik-titik itu kita beri nomor,
mulai dari kiri atas, nomor satu. Lalu kiri di bawahnya,
itu nomor dua, lalu ke bawah, nomor tiga. Kemudian
sebelah kanan atas, nomor empat, di bawahnya, nomor
lima dan yang terakhir, nomor enam. Nah, semua alfabet akan dapat kita apalkan dengan mengingat?ingat
letak keenam titik tersebut.
"Kita mulai dengan huruf A. Huruf A adalah titik
nomor satu, huruf B adalah titik nomor satu dan dua,
C adalah titik nomor satu dan empat, D adalah titik
nomor satu, empat, dan lima, jadi terdiri dari tiga titik,
E terdiri dari dua titik, yaitu nomor satu dan lima, F
terdiri dari tiga titik, yaitu nomor satu, dua, dan empat.
Coba kita ulangi. Dimas, katakan apa itu titik A."
Seorang anak berumur sekitar sepuluh tahun, den?
gan wajah cerah langsung mengangkat kepala, mena?
190 tap ke arah depan. Vanessa tak dapat melihat matanya
sebab dia duduk paling belakang. Karena Dimas tidak
langsung menyahut, Siska membantu dengan, "Huruf
A itu merupakan titik nomor berapa dalam abjad
Braille?"
"Titik nomor satu, Bu."
"Betul! Sekarang kau, Tina, huruf B itu titik nomor
berapa?"
"Nomor..." Tina merabai buku di depannya. "...satu
dan dua?" Suaranya kedengaran ragu, namun disambut hangat oleh Ibu Siska.
"Bagus! Betul sekali. Sekarang hurqu, siapa yang
tahu, ayo..!"
Demikianlah pelajaran berlangsung dengan penuh
gairah. Vanessa juga mendapati dirinya mendengarkan
dengan asyik. Anak-anak itu semuanya berumur sekitar sepuluh sampai lima belas tahun, anak perempuan
ada enam orang, sisanya laki-laki.
"Untuk hari ini, kita akan belajar sepuluh abjad,
yaitu sampai huruf J, yang seperti Ibu katakan tadi,
terdiri dari tiga titik, yaitu titik nomor dua, empat, dan
lima. Siapa yang tahu ada berapa huruf dalam urutan
alfabet?"
Tidak ada yang segera mengangkat tangan. Tapi
setelah dua menit rupanya ada yang menghitung
dulu?seorang anak yang berkepang dua mengangkat
tangan. "Ya, Sara?"
"Dua puluh enam, Bu."
"Betul. Semua tahu huruf apa saja?"
Maka semuanya berdengung kayak lebah,
menyebutkan A sampai Z dan Ibu Siska memuji lagi,
"Betul! Tapi karena Bapak Braille ini orang Prancis,
191 dan dalam bahasa Prancis tidak ada huruf W, jadi
aslinya dalam abjad Braille juga tak ada huruf W.
"Sepuluh huruf berikutnya setelah J, yaitu K sam?
pai dengan T dibuat dengan menambahkan titik nomor
tiga pada kesepuluh huruf yang barusan kita pelajari.
Sebagai contoh: huruf K kita buat dengan menambah?
kan titik nomor tiga pada huruf A, menjadi... siapa
yang tahu? Huruf A itu adalah titik nomor...?"
"Satu!"
"Betul, Lina! Sekarang ditambah dengan titik nomor tiga, menjadi satu dan tiga, kita peroleh huruf K
Huruf L itu setelah huruf K, bukan? Nah, jadi pasangannya adalah huruf setelah A, yaitu B, ditambah titik
nomor tiga. Siapa yang tahu B itu terdiri dari titik apa
saja?"
"Satu dan dua!"
"Benar, Umar! Sekarang kita tambah dengan nomor tiga, menjadi satu, dua, dan tiga, yaitu huruf L!
Begitu seterusnya. Gampang, bukan? Nah, kelima
huruf sisanya, yaitu U, V, X, Y dan Z, kita dapatkan
dengan menambahkan titik keenam, yaitu yang paling
bawah di kanan, pada hurufpasangannya, dari K sampai dengan 0. Jadi U berpasangan dengan K tambah
titik nomor 6, V dengan L tambah nomor 6, X dengan
M, Y dengan N dan 2 dengan 0, semua ditambah titik
yang keenam.
"Kedengarannya cukup rumit, ya. Tapi, kalian tak
usah bingung. Kita akan mempelajarinya perlahan-lahan, tidak sekaligus. Untuk hari ini cukup sepuluh
huruf saja dulu. Ibu berikan pe?er untuk membantu
kalian latihan mengapal. Suster Theresia akan membantu kalian latihan setiap sore. Ada pertanyaan?"
192 Seorang anak berkemeja biru mengacungkan lengan ke atas.
"Ya, Roni?"
"Jadi kita tidak memakai huruf W, Bu?"
Ibu Siska tersenyum senang, memuji anak itu.
"Pertanyaan yang sangat bagus! Ibu lupa memberitahu, kita juga punya huruf W sebab Braille ini dipergunakan juga dalam bahasabahasa lain. Nah, W itu
terdiri dari empat titik, yaitu titik nomor dua, empat,
lima, dan enam. Tapi semua ini belum perlu kalian
perhatikan. Ibu cuma memberitahukan agar kalian
mendapat sedikit gambaran mengenai apa yang disebut abjad Braille. Kita akan mempelajarinya dengan
seksama namun tidak tergesagesa. Kita juga akan
belajar bagaimana membuat huruf besar, bagaimana
membuat koma, titik, dan sebagainya. Bila ada di antara kalian yang menemui kesulitan apa pun, silakan
menemui Ibu atau Ibu Octavia supaya bisa ditolong.
Masih ada pertanyaan?"
Semua diam.
"Baiklah, sekarang kalian boleh kembali ke asrama
untuk makan siang, nanti kembali lagi untuk pelajaran
bernyanyi dengan Ibu Elis."
Seperti lumrahnya bocah-bocah, begitu dibilang
bubar, semuanya berebut keluar bangku. Sekilas tidak
ketahuan bahwa semuanya cacat. Sebentar saja kelas
sudah sepi. Siska membenahi buku?bukunya dan
menghampiri Vanessa yang menunggu dekat pintu.
"Siapa Ibu Octavia?"
"Dulu pernah pacaran sama Johnny, abangku. Tahu
kenapa, mereka putus dan Octavia kawin sama pilot,
punya anak dua. Rupanya Octavia enggak begitu ba
193 hagia, maklum sering ditinggal dan suaminya rupanya
punya simpanan, mungkin salah seorang pramugari.
Sekarang Octavia sudah pisah dua tahun dengan suaminya, tapi belum cerai. Katanya dia bosan di rumah
terus, lalu minta tolong Johnny dicarikan kerjaan.
Kebetulan Octavia bisa bahasa tangan, pernah mem?
bantu dalam siaran berita di TV. Tapi dia enggak mau
kembali ke sana, sebab ingin tinggal di luar Jakarta.
Johnny minta tolong padaku. Aku terima Octavia,
mulamula sebagai pembantu Katarina, tapi kemudian
ia tertarik untuk mempelajari Braille. Kebetulan aku
perlu asisten, sebab anak sudah nambah, aku enggak
bisa lagifull?time. "
"Jadi abangmu masih berteman sama mantan
pacarnya?"
"Mereka enggak musuhan, kok. Mungkin Johrmy
menyesal membiarkannya kawin dengan orang lain.
Waktu itu dia nelepon Octavia setiap hari puluhan kali,
memintanya balik lagi! Rekening telepon langsung
meroket, ayahku sampai nyindir, "Kalau terus-menerus begini, enggak lama lagi biaya telepon itu dengan
tambahan sedikit saja sudah bisa dibelikan Mercedes! "
Aku rasa abangku patah hati berat. Sej ak saat itu enggak pernah mau pacaran lagi." Siska menarik napas,
sedangkan Vanessa manggut-manggut, dalam hati ket?
awa. Pantas! Sekarang aku mengerti kenapa Johnny
belum juga kawin-kawin padahal sukses besar dalam
kerjaan.
"Sekarang kesempatan dong untuk balik lagi!"
usulnya.
"Tahu, deh. Johnny orangnya pegang prinsip, ka?
194 tanya dia enggak mau mengganggu rumah tangga
orang."
"Walaupun dia masih naksir wanita itu?"
"Johnny enggak mau kawin sama orang yang enggak betul-betul mencintainya. Katanya dia enggak yak?
in apa Octavia memang mencintainya. Sebab kalau ya,
dulu dia pasti enggak akan kawin sama orang lain."
"Mungkin Octavia sekarang sudah menginsafi
kekeliruannya, dan kepingin balik."
Siska menghela napas. "Kau enggak tahu abangku!
Baginya, sekali berkhianat, selamanya jadi pengkhi?
anat. Mana dia mau menerimanya kembali."
"Kalau enggak salah, abangmu itu menang tender
membuat istana pualam Sultan Brunei, bukan?" Va?
nessa mengalihkan topik.
Siska mengangguk. "Itu dulu. Bukan untuk Sultan,
tapi Kesultanan, untuk salah seorang anggota keluarga. Dia juga pernah mendapat hadiah kedua dalam
sayembara di New York. Kalau enggak salah, itu ran?
cangan untuk sebuah hotel mewah di Cina."
"Begitu sukses, tapi masih tetap bujangan, karena
itu aku heran. Sekarang aku ngerti."
"Johrmy orangnya lembut, enggak pernah kasar.
Aku rasa dia pasti kesepian, tapi enggak pernah diperlihatkan. Dia masih aja senang guyon, terutama dengan semua keponakannya, anak-anakku dan anakanak Nani, dia populer banget. Orangnya easy-going,
dapat boleh, enggak dapat ya udah. Jadi sampai sekarang enggak punya istri, ya tenang aja. Ibu dan ayahku yang justru kelabakan. Dari bujukan sampai ancaman, semua sudah dicoba, hasilnya nol! Ibuku bilang,
"Mama udah pernah serangan jantung, gimana kalau
195 kena lagi? Mama kepingin melihat kau punya anak,
John, sebelum Mama dipanggil pulang ke atas., Tapi
abangku cuma nyengir, "Sabar, Mam, sabar, belum
ketemu yang cocok." Ayahku sudah bosan memperkenalkannya dengan selusin gadis?gadis yahud, anak
kawan-kawannya."
"Dan sekarang kau mau menjodohkannya denganku!"
Siska tertawa. "Apa salahnya kalau cocok? Zaman
modern sekarang, orang mendapat jodoh dari seribu
satu jalan. Di Jepang dan Korea, mereka sudah pakai
komputer, nanti kalau ketemu yang cocok, agen perkawinan itu lalu mengatur pertemuan mereka. Nah, boleh
dong aku j adi agen baginya? Kalau sukses, kalian enggak usah takut, aku enggak bakal minta imbalan jasa.
Kebahagiaanku melihat kebahagiaan Johnny sudah
lebih dari cukup sebagai imbalan."
"Kau sangat mencintai abangmu."
"Dia telah membantuku mengatasi masamasa yang
paling sulit dalam hidupku. Aku enggak bakal berada
di sini, hidupku enggak bakal begini bahagia kalau bu?
kan karena bantuan dan support dari keluargaku, tapi
terutama dari abangku. Aku ingin dia juga menemukan kebahagiaannya. Dapatkah kau mengerti keinginanku?" Siska menatap Vanessa dengan mata berkaca-kaca.
"Ya, aku bisa mengerti. Rupanya kau sudah kehabisan calon!"
"Aku harap itu bukan tuduhan?" Siska tersenyum.
"Percayalah, bukan berarti kau ini nomor buncit dalam daftarku. Alasannya selama ini aku enggak menghubungi kau adalah lantaran kau susah ditemui, malah
196 selama dua tahun terakhir kau dinas di daerah, hampir
enggak pernah pulang. Aku dengar dari Robby, kau
cuma pulang sekali setahun, selama tiga-empat hari,


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana ada waktu buat ketemu teman-teman."
"Aku segan pulang. Kori selalu mencari salah melulu padaku."
"Aku mengerti. Ngomong-ngomong, kau mau ke
mana nih? Kalau mau nunggu Ishtar, lebih baik di
ruang duduk dokter saja. Aku juga mau minum teh
manis, perutku sudah perih."
"Kau masih perlu disuntik insulin?"
"Sekarang aku sudah ganti dengan tablet. Dulu
aku harus nyuntik tiap hari, tapi sekarang sudah teratur, juga fungsi pankreasku masih ada, jadi masih bisa
bikin insulin sedikit. Tapi aku mesti waspada, jangan
sampai hypoglycemiaf Begitu perut terasa perih, ta?
hulah aku, gula darahku sudah turun, mesti cepatcepat
minum gula."
Ruang duduk para dokter terletak di lantai satu gedung yang baru. Dari lantai dua di gedung lama itu
mereka jalan melalui lorong penghubung yang berjendela banyak di kirikanan, sinar matahari bisa masuk
leluasa, membuat suasana cerah dan daun-daun palm
serta pohon karet dalam pot tumbuh subur. Di ujung
lorong terdapat pintu angin yang menembus ke lantai
dua gedung baru. Dari sini mereka turun setingkat.
Siska membuka pintu dan menyilakan Vanessa
masuk ke dalam ruang ber?AC. "Di sebelah kiri ini
kantin untuk perawat dan umum. Di sebelah kanan,
ruang makan para dokter dan staf tata usaha. Di da
* Hypoglycemia: kadar gula menurun, bisa menyebabkan pingsan
dan gejala lain
197 lam situ juga ada ruang banket untuk upacara istimewa, dapat disewa oleh perorangan atau grup. Laku lho,
booking?nya aku dengar sudah penuh sampai akhir
tahun."
"Di mana dapumya?"
"Di belakang kantin, ke arah sana." Siska menun?
juk ke halaman belakang. "Dekat dari sini, jadi gam?
pang kalau mau pesan apa-apa. Kantin ini enak-enak
makanannya. Orangorang hotel sekitar sini sudah pada
tahu, jadi kalau tamu-tamu mereka ingin mengadakan perjamuan, misalnya ultah, hotel-hotel itu pesan
makanan dari sini."
"Siapa kepala kantinnya?"
"Mbak Tania, keponakan Ibu Karla. Dia belajar
masak pada Ibu Melita Sabara."
Ketika keduanya berjalan masuk ke ruang makan
para dokter, seorang wanita muda tengah mengambil
labjasnya dari gantungan dan mengenakannya. Tingginya mungkin sama dengan Vanessa, sekitar seratus
enam puluhan, prolilnya ayu, dengan kelopak mata
agak menutup dia tampak alim. Tapi ketika dia menoleh ke pintu, terpandang oleh Vanessa sepasang
mata yang berbinar tajam, alis yang hitam tak perlu
pinsil, bibir yang mungil terkunci rapat namun bukan
sedang bersungut, dagu yang melengkung manis.
C ewek ini bukan main menariknya! Kalau ikutperlombaan Ratu Kecantikan Sedunia mungkin dengan
gampang bisa maju kefinal, sebab aku yakin otaknya
pasti cemerlang, bisa menjawab semua pertanyaan
juri. Ya, ini adalah dokter yang sigap dan selalu siap
mengambil keputusan dalam setiap keadaan. Selalu
tahu apa yang mesti dikerjakan.
198 Melihat Siska, dia tertawa dan menyapa, "Hai, Sis,
tumben bisa rileks."
"Hai, Alisha. Kok tumben nyasar ke sini."
"Aku malas naik ke lantai enam. Suka ada genderu?
wo sih, di sana!"
Siska tertawa. "Masih suka membuntuti?"
Alisha menepiskan rambutnya yang lewat sedikit
dari bahu, terurai lepas tanpa jepit, ke belakang kuping, lalu membetulkan letak labjasnya. Bibirnya bersungut setengah mencibir, lucu dilihat oleh Vanessa.
"Kapok dia sekarang. Sejak disemprot oleh Dokter Leo. Tapi kalau kesamprok, mulutnya masih suka
iseng, berkomentar yang bukanbukan. Tadi aku lihat
dia menuju lift, ke mana lagi kalau bukan ke lantai
enam, istirahat makan sambil nyari mangsa buat nanti
malam!" Alisha ketawa geli bercampur sengit.
Siska juga tertawa, lalu mengenalkan kedua orang
itu. Kemudian Alisha pamitan, dan kedua orang yang
baru masuk, mencari tempat duduk.
"Tugas di bagian apa, Alisha, Sis?"
"Di Inteme. Kau tahu, Alisha dulu calon iparku."
"Hm. Siapa yang mau putus? Abangmu atau dia?"
"Abangnya! Abang Alisha."
"Lho!"
Siska mengajaknya duduk di meja dekat jendela.
Cuma ada tiga orang lainnya di situ, di mej a yang jauh,
jadi mereka aman ngobrol sendiri. Melihat Vanessa
celingukan, Siska berkata pelan, "Belum jam satu,
mereka semua masih sibuk tugas. Lewat j am satu pasti
penuh."
Mereka duduk. Siska mengambil kopi yang sudah
tersedia di mesin dan memberikan secangkir pada Va
199 nessa. Dia sendiri menuang air panas lalu mencelup
sebungkus teh, mengeluarkannya lagi selang tiga men?
it, kemudian memasukkan sebutir gula.
"Mau makan apa?"
"Ishtar akan mengajak aku makan. Cukup kopi saj a
deh."
Siska memeluk cangkirnya seakan mau menghangatkan kedua tangannya. Sambil menghirup aroma
teh yang harum itu, dia bergumam, "Yah, Dokter Alisha Koli itu adik Kristofer."
"Kris... Kris... yang... hampir... kau... dengannya..."
Siska mengangguk, tersenyum. "Rupanya kau juga
pernah dengar riwayatku!"
"Aku dengar Robby cerita sama Kori. Katanya,
temannya sedang taruhan untuk mencuri hati ce?
wek. Katanya, cewek itu sudah tunangan, cowoknya
mendapat tugas belajar ke Jerman tiga tahun. Rencananya begitu pulang, mau diresmikan. Eh, tahu-tahu
datang surat, cowok itu sudah kawin!"
Siska manggut-manggut seraya menghela napas. "Aku sudah membuat sendiri gaun pengantinku. Ayahku sudah mencetak undangan. Uh, rasanya
duniaku kiamat waktu itu. Johnny-lah yang berusaha
membangkitkan lagi semangatku, memperkenalkan
kawan-kawannya padaku. Jadi sekarang, aku mau
gantian mengenalkan kawan-kawanku padanya!" Siska tertawa misterius, mengedip sebelah mata pada Vanessa.
"Di mana dia sekarang?"
"Siapa? Kris? Ada di Jakarta. Semula dia enggak berani pulang, sebab takut, Johnny mengancam
akan membunuhnya kalau dia balik. Tapi setelah aku
200 menikah dengan Leo, rupanya ancaman itu jadi kadaluwarsa, dan Kris berani balik. Istrinya?temanku
juga sebenarnya; salahku sendiri, kenapa menulisinya,
memberitahu Kris akan ke sana, minta tolong diajari
cara?cara hidup di sana?sudah menghubungi aku,
minta maaf. Katanya, waktu itu mereka sama-sama
kesepian, enggak sengaja, terlanjur bikin hubungan,
berbuah, terpaksa diresmikan."
"Rupanya kau enggak sakit hati lagi sama Kris?"
"Susah dibilang. Sakit hati sih mungkin sudah reda,
tapi kenangan indah yang pernah dirobek?robek itu belum bisa kulupakan. Karena itu aku berusaha sebisanya enggak mau ketemu mereka, supaya enggak usah
teringat lagi...."
"Tapi kaubiarkan adiknya kerja di sini. Apa tiap
kali melihat Alisha kau enggak diingatkan lagi pada
abangnya?"
Siska tersenyum dan menghirup tehnya. Matanya
yang menatap dari sebelah atas cangkir kelihatan indah bagaikan bola kristal yang belum tergores sedikit
pun. Diletakkannya cangkir yang setengah kosong itu.
"Alisha lulus cum laude dari Pajaj aran, dia seorang
internis yang pandai. Leo enggak punya alasan untuk
menolaknya. Lagi pula gadis itu kan enggak bersalah
apa-apa, enggak adil dong kalau didiskriminasi begitu. Yaa, memang Alisha masih suka mengingatkan aku
pada Kris, tapi bagiku enggak soal. Aku sih enggak
mencintai laki?laki itu, malah benci pun enggak. Di
mana tak ada benci, berarti disitu tak ada cinta, Nes.
Percaya, enggak? Benci kan cuma cinta yang terba?
lik. Sebelum kita bisa membenci seseorang, kita harus
mencintainya dulu."
201 "Wah, enggak kusangka hari ini aku mendapat pelaj aran filsafat!"
""Sebenarnya Alisha itu kasian lho. Nasibnya mirip
denganku dulu. Malah mungkin lebih parah. Sebulan
sebelum upacara, pihak lakilaki membatalkan pemikahan. Alasannya, anak mereka dilamar(!)?bayangkan!
Ada cowok dilamar oleh cewek!?oleh keluarga orang
gedean."
"Tapi Alisha enggak kelihatan depresi. Apa kejadiannya sudah lama?"
"Belum lama sekali. Kira-kira tiga tahun yang lalu.
Memang orang yang enggak tahu, enggak bakal menduga dia pernah patah hati. Alisha enggak seperti aku.
Aku dulu depresi banget, mungkin hampir setahun aku
enggak punya gairah hidup. Tapi Alisha justru sebaliknya. Dia malah makin giat mengikuti seminar di
dalam dan luar negeri, sering tugas hari Minggu dan
akhirnya lulus spesialis dengan penghargaan.
"Aku sih enggak anti dengannya, Alisha sejak dulu
selalu baik terhadapku. Tapi Johnny agak sarkastis.
Pernah disukurinya nasib Alisha. Katanya, "Sukur!
Rasain sekarang bangsat itu (maksudnya si Kris), adiknya dicampakkan orang!, Sejauh ini gadis itu sendiri enggak pernah menunjukkan bahwa dia patah hati,
untunglah."
"Cowok memang sering seenaknya sendiri. Eh,
Sis, jangan tersinggung nih, aku dengar dari para perawat waktu aku coschap di Interne, Leo dulu digelari
Don Juan dari Cisalak, benar enggak?"
Siska tertawa geli. "Memang bukan rahasia lagi
kok. Dan kau jangan bilang-bilang sama Kori, dia juga
termasuk salah satu korbannya!"
202 "Haa?! Ini baru berita!" seru Vanessa ketawa.
"Ah, selama cuma pegangan tangan dan ngomong
soal cuaca aja, enggak apa-apa dong ganti?ganti pacar.
Aku dengar, Kori sekarang serius dengan Dokter
Nemesio?"
"Mereka sudah tukar cincin."
"Eh, kau sebenarnya sedang dinas di daerah, bukan? Berapa lama cuti sekali ini?"
"Seharusnya akhir minggu ini aku balik, tapi Robby
melarang. Katanya, aku harus tinggal di rumah selama
enam bulan. Tahu deh, aku mau ngapain di sini. Bosan
lho, kalau enggak ada yang dikerj ain. Aku sudah biasa
sibuk, enggak betah kalau duduk?duduk melulu dari
pagi sampai sore."
"Naksir enggak kerja di sini? Kami masih membutuhkan dokter?dokter, misalnya untuk trauma center,
bagian kecelakaan."
"Ada bagian apa aj a sih di sini?"
"Kita sekarang di Gedung B, tadi, aku ngajar di Gedung S, di belakang ada sebuah gedung yang akan dibuka, belum ada namanya, jadi disebut Gedung Ketiga
aj a untuk sementara.
"Gedung S?singkatan dari Sabara?itu yang paling lama, Gedung B?dari Birka? dibangun setelah
join dengan Prof. Birka. Di gedung ini ada tujuh lantai, lantai kesatu untuk admin dan kantin umum, lantai kedua Bedah, ketiga Inteme, keempat Kandungan
dan Anak, kelima Psikiatri, keenam rekreasi dan ruang
makan, kantin besar khusus untuk staf dokter dan perawat, lantai terakhir semuanya apartemen buat staf.
"Gedung S cuma lima tingkat, lantai kelima dan
kedua dihubungkan dengan Gedung B oleh jembatan
203 seperti yang tadi kita lalui. Lantai-lantai lainnya tidak
saling berhubungan, tapi bisa dicapai dengan lift dan
jembatanjembatan itu. Ruang di lantai satu, di antara
kedua gedung, dijadikan markas satpam. Mereka tugas
dua puluh empat j am, dibagi tiga kelompok.
"Gedung di belakang itu khusus untuk OP kecantikan, Bagian Kulit, pengobatan orangorang yang kecanduan obat atau alkohol, orang-orang yang ingin
menguruskan badan, juga ada klub olahraga aerobic
dan renang, serta guesthouse untuk keluarga pasien
yang mau nginap, misalnya dari luar kota. Gedung ini
sudah dipakai hampir setengah tahun, tapi baru mau
diresmikan bulan depan. Kau datang ya, nanti aku kirimi undangan. Daripada nganggur kan di rumah? Kori
juga pasti datang, anu... dengan Dokter Nemesio. Kau
bisa mengaj ak Robby."
Daripada Robby, mendingan ngajak Erik! Dia kan
punya vila di dekat sini, jadi pulang malam enggak
masalah. "Aku belum bisa memastikan dari sekarang,
Sis. Siapa tahu aku keburu dapat kerjaan di Jakarta,
mungkin pulang selalu malam, udah capek. Tapi akan
kuusahakan."
"Ah, aku enggak mau terima alasan itu. Sebab
pembukaan ini sengaja diadakan Sabtu malam, supaya
orang-orang dari J akarta bisa hadir. Sekali-sekali tidur
kemalaman, apa salahnya sih?"
Pintu mendadak terbuka dan terdengar suara riang
Ishtar, "Siapa yang tidur kemalaman? Rupanya kalian
harus dengar ceramah Petra dan Salomi!"
"Mereka bilang apa?" tanya Siska. "Tidur malam
merusak kesehatan?"
"Dan terutama kecantikan!"
204 "Siapa mereka?" tanya Vanessa.
"Petra Ubay adalah putri Profesor Ubay almarhumah, ahli atom fisika kita yang nyasar dan ngendon
di Universitas.... aku lupa namanya, di Amerika. Petra sebenarnya lulusan FK, tapi dia juga merupakan
ahli gizi yang j empolan. Kita beruntung mendapat dia,
semua pasien puas dengan hasil yang mereka peroleh
di sini. Pasien kami kan kebanyakan orangorang terkenal yang perlu penampilan sempurna, Nes. Mereka da?
tang ke sini untuk mengurangi berat badan atau cuma
sekedar istirahat, menyegarkan kembali fisik yang
loyo atau kulit yang lusuh.
"Nah, Petra dan Salomi mengatur jadwal yang
cocok untuk setiap individu. Salomi adalah manager
klub gimnastik. Kau boleh ikut senam atau berenang,
Nes. Klub itu terbuka untuk umum asal mau jadi anggota. Untuk para staf, ya gratis," ujar Siska.
"Tadi aku dengar kalian diskusi soal tidur malam,"
sambung Ishtar. "Menurut Petra, tidur yang sehat itu
sekitar jam sepuluh, yang disebutnya siklus Kapha,
saat tubuh memang ingin istirahat. Menjelang tengah
malam, orang akan segar kembali, yaitu waktunya
siklus Pitta, saat tubuh kembali penuh energi. Karena
itu kalau mulai tidur sekitar tengah malam atau lewat,
kita akan susah pulas. Betul lho, sudah pernah aku
coba. Juga kalau bangun terlalu siang, badan akan terasa lesu sebab siklus Kapha sudah mulai lagi."
"Heran aku, si Petra itu rupanya manjur. Berapa
banyak istri-istri orang gedean yang membujuknya
supaya mau bekerja untuk mereka pribadi, ngurus
makanan apa yang boleh apa yang enggak, ngurus j am
tidur, jam bangun. Wah, dia pernah ditawari sepuluh
205 juta sebulan lho!" Siska tertawa.
"Nanti kalau dia mengadakan ceramah lagi, aku
beritahu, kau harus datang, Nes. Nah, ngomong-ngomong aku sih udah lapar, gimana kalau kita sekarang
ke tempatku? Sis, kau ikut? Aku punya sayur asam,
kau pasti boleh makan."


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sih enggak suka nolak rezeki!" Siska langsung
bangun mau membasuh kedua cangkir bekas. "Kebetulan Leo siang ini punya jadwal makan dengan tamu-tamu dari Jepang."
Ketiganya keluar dari ruang itu dan beri alan menuju lift. "Apa Jepang-Jepang itu jadi mau membangun
pusat meditasi Zen di sini?" tanya Ishtar pada Siska
yang mengangkat bahu seraya menjulurkan tangan
menekan tombol lift.
"Entahlah. Mereka memang tertarik pada keadaan
lingkungan, tapi mungkin untuk tahap pertama, mereka lebih menitikberatkan soal mau membeli saham
klinik. Mereka bilang, Klinik Birka di Jakarta memang
mewah dan peralatannya semua serba canggih ya, kebanyakan bikinan negara mereka sendiri tapi udaranya kurang segar. Mereka kurang suka terus-menerus
menghirup udara AC. Leo juga mengakui, AC itu berbahaya bagi kesehatan kalau jarang dibersihkan. Nah,
udara di sini, menurut mereka, j auh lebih segar. Mereka ingin kamar?kamar tanpa AC khusus bagi pasienpasien J epang."
"Uh! Mereka belum tahu sih, Minggu siang, kalau
semua mobil dari Jakarta" sudah naik kesini, itu knalpot-knalpot kuno, menyemprotkan asap hitam enggak kira-kira deh. Makanya Paul selalu mau di J akarta
setiap hari Minggu. Rumah kami di dalam kompleks,
206 j auh dari jalan raya, bunyi mobil maupun asapnya enggak sampai ke dalam. Paul bilang, "Aku udah enggak
ngerokok, masak harus dapat kanker paru dari asap
mobil orang?
Mereka masuk ke dalam lift.
"Leo juga udah lama stop rokok, sejak aku bilang,
aku enggak tahan asapnya, sesak napas."
"Juga buat anak-anak kurang baik, bisa mengganggu pertumbuhan dan kesehatan mereka," Ishtar
menambah.
Semua orang asyik membicarakan suami masingmasing, aku terpaksa cumajadi tempolong yang melongo saja mendengarkan ocehan mereka. Kapan aku
bisa bahagia seperti mereka? Akan pernahkah?
*** Makan siang itu terasa nikmat walau cuma sayur asam
dengan empal daging dan sambal. Niki ikut makan
juga. Rupanya anak itu sudah biasa makan dengan
orang-orang dewasa, makannya rapi, ibunya tak perlu
lagi mengaj ari atau menegur. Vanessa kagum melihat
putri cilik yang cantik itu.
Enggak kusangka Ishtar yang agak tomboy itu bisa
memiliki Nicole yang begini luwes dan manis. Waktu di SMA dulu, temanku ini termasuk pemberontak,
ikut?ikutan grup di bawah tanah, yaitu anak?anak
yang suka bikin susah guru yang pelit atau cerewet.
Sekarang dia sudah jadi ibu yang alim,
207 "Kalian teman dari mana?" tanya Siska di tengah
percakapan ngalor-ngidul. "Kau kuliah di Amerika,
bukan, Ish? Dan kau, di UI, Nes?"
"Ya, aku sekuliah sama Petra. Vanessa temanku
di SMA Bogor. Aku SMP di Jakarta, lalu ada cowok
yang suka ngikutin aku naik sepeda ke sekolah, jadi
aku dipindahkan ayahku masuk asrama, turun setahun,
j adi kami berdua sekelas. Sama Vanessa konco betulan
deh."
"Ya, selama aku sering-sering membawa rujak pedas ke sekolah!"
"Wah, rupanya hobi kita sama! Aku juga paling
senang nyelundupin mangga muda sama cabe rawit!
Dimakannya saat pelaj aran yang bikin ngantuk seperti
bahasa atau aljabar," ujar Siska geli.
Niki mendengarkan mereka ngoceh tapi tak bera?
ni bertanya apa-apa. Selesai makan, mereka pindah
ke ruang tamu, minum kopi dan makan buah. Ishtar
memberi putrinya segelas yoghurt beku yang rasanya
mirip es krim, dan mengizinkannya makan di balkon.
"Aku membiasakannya supaya senang yoghurt. Es
krim itu kan terlalu tinggi kolesterolnya. Awas, Nik,
sendokmu nanti dijilati Isabel!"
"Semua makanan enak memang penuh kolesterol,"
ujar Vanessa ketawa. "Sebab kolesterol itulah yang
bikin makanan terasa gurih! Yaitu lemak!"
"Kau rupanya belum tahu, es krim itu berguna lho
buat menenangkan saraf. Kaupikir, kenapa kebanyakan orang Amerika sepulang kerja langsung duduk
di depan televisi memeluk segalon es krim? Karena
mereka sedang frustrasi, mungkin baru ditegur atasan
atau baru putus dengan pacar."
208 "Obat penenang sih obat penenang, tapi kalau
pinggangku melar gara-gara es krim atau coklat, kan
sayang baju-bajuku yang masih bagus-bagus."
"Kau enggak mau coba bikin es krim dari tahu?
Mintalah resepnya sama Mbak Tania!"
"Hm, boleh juga tuh. Niki memang suka betul es
krim. Sebenarnya aku kasian, dia sering merengek
minta es krim, tapi enggak kuladeni, cuma kubelikan
kalau kami sedang piknik. Habis, kalau beli dari supermarket dibawa pulang, aku pasti bakal ikut makan
juga."
"Aku tadi mengundang Vanessa untuk menghadiri
pembukaan gedung yang baru, mungkin dia bisa dikasi kerjaan membantu persiapan?"
"Aku rasa Vanessa enggak perlu buang tenaga. Sudah enggak ada lagi kok yang perlu dikerjakan, cuma
Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan Fear Street - Cowok Misterius The Knife

Cari Blog Ini