Ceritasilat Novel Online

Dua Kutub Cinta 1

Dua Kutub Cinta Karya Mira W Bagian 1


Mira W.
DUA KUTUB CINTA
&
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
]akarta, 2008
E-Booh by syauqy_arr
DUA KUTUB CINTA
Oleh Mira W
GM 401 08.018
Foto dan desain sampul: Delia Bubblelish
(e mail: designQbubblefishxom.au
website: www.bubblefish.com.:lu)
?) Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 3337, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota TKAPL
Jakarta, Juli 2008
240 hlm; 18 cm
ISBN 10: 979 22 3882 4
ISBN 13: 978 979 22 3882 2
E-Booh by syauqy_arr
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia,]akarta
lsi di luar tanggung jawab percetakan
Setiap orang punya cinta
Setiap cinta punya cerita
BAB I
"HALO HALO Bandung, ibu kota Padangan..." Nyanyian?bukan, jeritan Mariska, menggelegar ke seluruh rumah. Mengguncang meja. Menggoyang gelas. Menggetarkan gendang telinga. Membuat seisi
rumah ikut gila.
"Ma, suruh Riska diam dong!" gerutu Papa Arif
jengkel. Mau menutup telinganya pakai tangan tidak
mungkin. Karena kedua tangannya sedang sibuk
bertugas. Menyuapkan nasi goreng ke mulut. Dan
memadamkan kebakaran di kerongkongan akibat
serbuan cabai. "Teriak teriak gitu kayak di lapangan
bola!"
"Riska!" teriak Mama Dania dengan suaranya
yang tidak kalah rusaknya. "Kecilkan volume suara
'"
mu. "Mana dia bisa dengar, Ma?" dumal Gustian,
abang Mariska yang memilih tidak sarapan daripada
bolak balik ke WC. "Dia kan di kamar mandi.
Lagian kupingnya sudah full house sama daki!"
Mama Dania sudah membuka mulutnya lagi.
Tapi Papa Arif keburu mencegah. Daripada gendang
telinganya pecah.
"Sudah, sudah! Percuma! Heran, gadis remaja
kok nyanyinya Halo Halo Bandung!"
"Papa baru tahu dia gila?" cetus Gustian jemu.
"Hus! Sembarangan ngomong! Riska kan adikmu!"
"Mendingan nggak punya adik! Bikin malu aja!"
Nah, bagaimana tidak malu? Punya adik jadi
bahan tertawaan. Sumber dagelan di sekolah. Mendingan tidak punya adik sekalian!
Padahal Gustian Prasetyo kan aset sekolah. Sudah pintar. Ganteng. Kapten tim basket, lagi. Tidak
heran kalau dia jadi rebutan. Tentu saja rebutan cewek. Kalau rebutan kucing, itu sih ikan asin.
Sementara adiknya, jangankan jadi rebutan. Dia
malah selalu dijauhi seperti sampah. Cuma pemulung yang mengejarmgejar dia. Karena dia selalu
bawa bawa kantong plastik. Isinya semua yang sudah tidak muat dijejalkan di tas.
Tasnya memang sudah kekecilan. Di sana sini
mulai koyak. Maklum umurnya sudah setua ijazah
8 SD nya. Tapi Mariska tidak mau membuangnya.
Katanya baunya khas.
"Ma, bilangin si Riska tuh," sudah bosan Gustian
memohon kepada ibunya. Mama memang keterlaluan! Cuma penampilan sendiri yang diperhatikan.
Punya anak perempuan model gembel tidak diurusi!
"Kalau sekolah, muka dibenahi! Rambut dikeramas!
Kalau malas ngurus rambut, gundulin aja!"
Biar tambah aneh! Mariska yang jerawatnya bertebaran dari Sabang sampai Merauke. Kacamata
putih setebal pantat botol kecap. Satu gigi seri maju
tak gentar seperti pelari mencuri start. Dan kepala
gundul plontos! Hihihi.
Daripada sekarang, rambutnya berkeliaran ditiup
angin. Menghamburkan jutaan ketombe ke udara.
Dan tiap hari dijambak teman sampai tak ada hari
Gustian tidak berkelahi.
Punya adik memang beban bagi Gustian. Sudah
lagaknya aneh. Nyaris sinting. Tampangnya minus
dua. Badannya depan belakang rata. Otaknya titipan
kerbau, lagi. Padahal setiap kali hasil ulangannya
jelek, Gustian yang ditegur Mama.
Mama memang superbawel. Tidak heran kalau
burung beo mereka mati merana karena tidak kebagian ngomong.
"Kenapa tidak mau ngajari adikmu sih? Kamu
kan sudah kelas dua. Pintar. Juara kelas. Masa tidak
9 bisa ngajari anak kelas satu SMA? Daripada melempar lempar bola ke keranjang seperti yang tidak
ada kerjaan saja!"
Kalau Mama sudah ngomel begitu, ingin rasanya
Gustian menukar bolanya dengan kepala adiknya
dan melemparkannya ke keranjang!
"Kenapa nggak disuruh les tambahan aja sih,
Ma?"
"Enak saja kamu ngomong! Memangnya les tidak
bayar?"
Daripada buat Mama ke salon? Ke jitness? Koleksi sepatu sampai dua rak?
Kenapa justru Mama yang sudah punya suami
satu anak dua, yang punya koleksi sepatu? Kenapa
bukan si Riska yang belum laku, yang ke sana kemari pakai sepatu kets butut dan kaus kaki polkadot?
Entah sudah berapa kali dia dihukum jongkok
menghitung debu di lapangan sekolah karena lupa
pakai sepatu hitam. Sama seringnya dengan dihukum lari mengitari lapangan karena terlambat
masuk dan terpaksa memanjat pagar.
Belum terhitung memanjat jendela kelas dan kabut kalau tidak ada guru pada jam pelajaran terakhir. Kalau yang ini dia malah jadi pahlawan. Ka
rena memelopori teman temannya mengosongkan
kelas.
10 Urusan panjat memanjat, Mariska memang jagonya. Jangankan cewek, cowok saja kalah.
Tidak peduli roknya berkibaran ke segala arah,
dia pasti nomor satu mendarat di bumi. Tentu saja
di seberang garis demarkasi.
Bukan seperti Adinda. Yang juga berhasil mendarat dengan selamat. Tapi di dalam pagar. Dan
langsung dicokok guru.
"Kamu tuh cewek apa monyet sih, Ris?" keluh
Gustian kalau dia sudah bosan menegur adiknya.
Tentu saja dia tahu prestasi Mariska. Kalau ada
perlombaan memanjat pagar untuk manusia, dia
pasti juaranya.
"Kelihatannya apa?" sahut Mariska santai.
"Monyet."
"Sama."
"Apanya yang sama? Tampang ancur ancuran kayak jalanan habis banjir gitu!"
Bukannya tersinggung Mariska malah tertawa
gelak gelak. Membuat abangnya makin penasaran.
"Rasanya kamu mesti dibawa ke psikiater, Ris!"
gerutu Gustian kesal. Atau lama lama aku yang jadi
pasien!
Mariska memang tidak pernah berubah. Tidak
peduli biar seluruh dunia menertawakannya. Dia
menerima dirinya seperti apa adanya. Dan tampak
11 nya tidak pernah menyesali diri. Tidak pernah menyalahkan lingkungan.
"Kenapa sih kamu ogah benahi penampilan?
Emang nggak kepingin cantik?"
"Orang ingin cantik kalau bisa cantik," katanya
seenaknya. "Kalau tidak bisa cantik, buat apa berusaha cantik?"
Nah, pusing, kan? Tapi itulah Mariska. Selalu
jujur. Selalu apa adanya. Selalu bikin keluarganya
tujuh keliling.
Sampai suatu saat muncul Dewa Apollo. Saat itu
Mariska baru seminggu duduk di kelas dua.
*** Namanya Rival Braga Dewantoro. Siswa pindahan
dari Bandung. Nama Braga bukan berasal dari jalan
terkenal di Bandung. Tapi diambil dari ibu kota
Provinsi Minho di utara Portugal, tempat kelahiran
ibunya.
Tampangnya Indo. Kulitnya putih. Hidungnya
mancung. Matanya hijau. Bukan karena titisan kucing. Bukan pula karena melihat lembaran uang.
Tapi karena ibunya wanita Portugal. Ayahnya menikah di Dili ketika tengah bertugas di sana.
Banyak cowok keren di sekolah. Tapi tidak ada
12 yang membuat Mariska tergila gila. Kata kakaknya,
karena dia sudah gila beneran.
Tapi Rival beda.
Begitu melihat dia, untuk pertama kalinya
Mariska berusaha menyembunyikan giginya yang
maju ke depan dengan bibirnya. Mencopot kacamatanya meskipun dia harus buru buru memakainya
kembali karena tampang Rival jadi mirip hantu
Casper. Dan menyibakkan rambutnya ke belakang
dengan hati hati supaya ketombe tidak berguguran
ke bahu. Untung blus sekolah selalu berwarna putih.
"Hai," sapanya lantang begitu Rival duduk di sampingnya.
Bu Nasti yang baik menyuruh anak baru itu duduk di sebelahnya meskipun ada dua belas anak
perempuan yang kecewa berat.
"Hhh," Rival cuma bergumam menyambuti
sapaan si Bebek Buruk Rupa.
"Saya Mariska."
"Rival," dengus anak baru itu segan. Kenapa teman sebangkunya ini baunya aneh? Dia keramas
pakai shampoo atau lisol?
"Rival saingan?"
"Hah?"
"Rival yang artinya saingan?"
"Bukan. Nasi bungkus!"
13 Mariska tertawa geli. Sampai Bu Nasti menoleh
dan membeliak jengkel.
"Kenalannya nanti saja di luar. Jam istirahat!"
Dan Mariska mengikuti anjuran gurunya. Dia
mengajak Rival kenalan. Pakai memberi nomor telepon segala.
"Sudah tahu nomor teleponku?" tanyanya tanpa
ragu sedikit pun.
Tentu saja belum. Memangnya Rival petugas telkom. Makanya dia langsung menggeleng.
"Punya bolpen?" Sekali lagi Rival menggeleng.
"Nih bolpenku aja. Ada kertas?"
Untuk ketiga kalinya Rival menggeleng. Sekali
menggeleng lagi, pasti sekrup di lehernya macet. Keseringan diputar putar.
"Di tanganmu aja, ya," tanpa ragu dan bimbang,
Mariska meraih tangan Rival dan menorehkan nomor teleponnya di sana.
Rival melongo bengong melihat coretan di tangannya.
Tapi yang kaget memang bukan hanya Rival.
Ganesa juga. Cewek yang satu ini memang agak
aneh. Tingkahnya yang sinting sudah melegenda di
sekolah.
"Setengah gila," kata Ganesa waktu Mariska mengejar Rival sampai ke pintu gerbang sekolah, mengajak pulang bareng. Mana ada sih cewek ngajak co
14 wok pulang sama sama? Apalagi kalau rumah
mereka berada di kutub yang berbeda! "Ibunya salah makan obat waktu hamil."
Tapi gila penuh atau setengah dosis, Rival tak
dapat melepaskan diri dari gadis yang satu ini. Sejak
hari pertama mereka sudah ditakdirkan duduk sebangku.
Setiap ulangan Mariska menyontek total pekerjaannya. Setiap pagi menyalin habis PR nya.
Bahkan ketika ada "sidak", istilah mereka untuk
razia tas, Mariska sengaja mengambil sebagian buku
komik temannya supaya mereka sama sama dihukum di kantor kepala sekolah.
Ketika Rival keberatan, Mariska cuma tertawa
enteng.
"Solider," bisiknya tanpa rasa takut sedikit pun.
Padahal kalau Pak Danu sudah melotot, jangankan orang, beruang pun kabur. Apalagi kucing.
Dan mata Pak Danu memang membelalak lebar
ketika melihat komik yang dibawa Rival dan Mariska. Karena dalam komik itu bukan cuma Spiderman yang pakai baju ketat. Dalam komik yang lain
malah ada yang tidak pakai baju.
"Dia baca komik porno, Pa!" sergah Mama Dania
seolah olah ada orang yang mencuri emas Monas.
"Itu pertanda bagus, Ma," sahut Papa Arif se
tenang air Danau Batur.
15 "Papa!" Mama Dania setengah menjerit seperti
jam sebelas tadi malam. Bedanya tadi malam matanya terpejam, sekarang terbelalak.
"Artinya kan ada kemajuan."
"Kemajuan apa:> Dulu saya selalu dipanggil karena ulangannya jelek, sekarang karena baca komik
porno! Itu yang Papa sebut kemajuan?"
"Artinya Mariska sudah hampir keluar dari kepompongnya, Ma!"
"Kepompong apa? Memangnya dia kupu kupu!"
"Dulu dia ulat bulu. Tidak memerhatikan penampilan. Itu yang selalu Mama ributkan, kan? Coba
kalau dia sudah jadi kupu kupu. Hati hati saja alatalat make up mul"
Father knows best.
16 BAB II
DALAM dua bulan, Mariska berubah total. Dia minta dipasangi kawat gigi. Pergi ke salon membenahi
rambutnya. Keramas tiap hari sampai ketombeketombenya kehilangan tempat tinggal.
Dia juga berjuang keras menggusur jerawat jerawatnya. Segala macam obat dan dokter spesialis
dicarinya. Yang tua. Yang muda. Yang normal. Yang
sudah setengah pikun. Yang masih murni dokter.
Yang sudah tiga perempat pedagang. Semua didatangi. Dengan satu tekad: Jerawat, no! Aku, yes!
Lho, memangnya pilkada!
Kacamatanya juga ikut dibuang. Diganti lensa
kontak. Supaya tampangnya lebih komersil.
Bukan itu saja. Supaya tubuhnya mancung depanbelakang, dia rajin jtness. Dan karena Rival hobi
17 berenang, Mariska tidak segan segan menemaninya
meskipun dia hampir mati tenggelam.
Jangan kaget. Dia langsung menceburkan diri
begitu Rival terjun ke kolam. Bedanya, kepala Rival
muncul lagi di permukaan air. Mariska tidak.
"Kamu tidak bisa berenang?" dengus Rival terengah engah setelah menyelamatkan Mariska dari
dalam air.
"Belum," sahut Mariska di sela sela batuknya. Air


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncrat dari mulutnya setiap kali dia batuk.
"Kenapa nggak bilang?" sesal Rival jengkel. Dan
kenapa ikut terjun?
"Sudah aku bilang dia gila!" Dan untuk diagnosisnya itu, Ganesa dapat penghargaan dari Gustian.
Dia dihadiahi bogem mentah. Padahal menurut sta?
tistik, Gustian seratus kali lebih sering mendiagnosis
adiknya gila.
"Kenapa sih kamu goblok banget?" gerutu Gustian pada adiknya. "Kalau kamu mati tenggelam,
kamu kira Rival mau pacaran sama hantu?"
Tapi Mariska tidak peduli. Dia terus mengejar
Rival. Mengerahkan seluruh daya dan dana untuk
meraih cowok idolanya.
Sekarang Mama yang kewalahan. Pengeluarannya
membengkak. Make up nya cepat habis. Sepatunya
sering hilang. Bahkan tasnya yang mahal mahal ti
18 dak pulang kandang. Maklum, sekarang putrinya
ganti tas sesering ganti baju.
"Rasain," Gustian menyeringai puas walaupun dia
menjadi lebih sering berkelahi karena makin banyak
saja yang mencemooh adiknya. "Mama baru nyadar
punya anak cewek!"
Memang serbasalah. Waktu Mariska jadi ulat
bulu, dia dihina separuh sekolah. Dicela seluruh
rumah.
Sekarang dia bermetamorfosis jadi kupu kupu,
semua yang pakai rok ke sekolah mencemoohnya
habis habisan. Malah satu satunya orang yang pakai
rok di rumah ikut ikutan mengeluh. Untung Bi
Supi pakai kain. Kalau tidak, bertambah satu orang
lagi yang demo.
"Dia dandan kan buat si Rival!" komentar Adinda
sok tahu. Padahal dia sendiri juga makin sering ke
salon. Makin ketat diet. Makin rajin sikat gigi.
"Nggak tahu diri! Dilirik aja nggak!"
"Mudah mudahan aja kawat giginya nggak kesambar petir!" Gina mengikik geli.
"Lihat, pt nya mulai bengkak nih!" Dengan kurang ajar Puspa menepuk pantat Mariska. "Sayang
t 2 nya tetap mungil!" Ketika tangannya nyelonong
ke kutub rahasia di dada temannya, seekor kepiting
menerkam lengannya dan memelintirnya.
19 Puspa memekik histeris seperti diterkam dinosaurus.
"Jangan kurang ajar!" peringatkan Gustian dengan
suara berwibawa. Dilepaskannya lengan Puspa dengan sekali empas.
Untung Gustian yang menerkam. Coba kalau macan. Karena yang menerkam cowok idola, Puspa
diam saja. Malah kalau bisa, minta diterkam sekali
lagi.
Kerepotan Gustian memang tidak berkurang dengan perubahan bentuk adiknya. Malah nyaris bertambah.
Cowok cowok yang dulu tidak tahu ada siswi
yang bernama Mariska, kini mulai pasang mata. Sebagian malah sudah terjun menggoda. Maklum, barang baru. Tidak bagus bagus amat. Tapi tangan
pertama. Masih mulus.
Sementara gadis gadis cheers yang dulu menjauhinya seperti sampah, sekarang pasang aksi boikot. Ke
mana pun Mariska melangkah, dia diganjal. Apa
pun yang dilakukannya disabotase.
Ketika ada pertandingan basket antar SMA, Mariska ikut nonton. Maklum, kakaknya sedang beraksi. Dan aksinya paling keren. Lebih lebih kalau
dia sedang mendribel bola.
Wah, lapangan heboh. Cewek cewek berteriak
20 teriak histeris. Cowok bersuit suit. Jeruk bergelimdingan. Apalagi jeruk manis macam si Gari.
Para gadis pemandu sorak memperagakan kemahiran mereka dengan bersemangat. Bukan hanya
supaya tim sekolah mereka menang. Terutama untuk menarik perhatian Gustian.
Mariska tidak mau kalah. Ikut bikin gaduh. Bukan untuk menarik perhatian kakaknya. Tapi untuk
menambah semangat.
Selagi seru serunya menyemangati abangnya, bersorak sambil melompat lompat, Adinda mengganjal
kakinya. Mariska ambruk tanpa ampun. Roknya
tersingkap. Cd nya kelihatan.
Jelas saja lapangan jadi tambah gaduh. Separuh
menyoraki Gustian yang baru mencetak gol. Separuh lagi menyoraki Mariska yang jadi tontonan di
lantai.
Adinda memang jahat. Ah, sebenarnya bukan jahat. Dia bukan pembunuh. Cuma dengki. Iri. Cemburu. Kenapa cewek kualitas raskin model Mariska
bisa dapat kesempatan digandeng Rival.
Makanya dia terus menerus meneror Mariska.
Kadang kadang jadi provokator supaya teman teman
putrinya ikut jadi teroris.
Tujuannya hanya satu. Supaya dia jauh dari Rival.
Tidak berani dekat dekat menara gading.
Tetapi Mariska tidak peduli. Dia jalan terus
21 meskipun jalurnya dihambat. Meskipun rambu terpancang di sana sini. Dan dalam beberapa bulan
saja dia mengalami perubahan yang sangat besar.
Giginya masih pakai kawat. Jerawatnya masih sering nongol walaupun digebah dengan kejam.
Tetapi ketombe sudah jarang muncul. Dada dan
pinggulnya tampil lebih menawan meskipun sulit
dipantau mata normal karena tersembunyi di balik
seragam sekolah.
Prestasinya di sekolah pun mengalami banyak
kemajuan. Hampir tiap sore dia datang ke rumah
Rival. Belajar bersama.
Rival termasuk pelajar yang pintar. Otaknya
encer, kata orang tua. Padahal mana ada sih cairan
otak yang kental seperti lumpur Porong?
Tapi Rival malas. Dengan adanya Mariska, mau
tak mau dia terpaksa buka buku. Buku pelajaran
maksudnya. Kalau buku komik, itu sih tidak perlu
disuruh.
Mariska juga mulai rajin minum obat yang dianjurkan dokternya karena dia dianggap hiperaktif
dan tidak mampu berkonsentrasi. Meskipun obat
itu membuatnya sulit tidur.
Tapi sulit tidur karena membayangkan Rival tidak membuatnya merasa rugi. Dia memang perlu
mengkaji strategi setiap malam untuk menggempur
22 pertahanan Rival. Soalnya kan dia masih termasuk
cowok normal. Mana mau dia melayani cewek
gila?
Yang menimbulkan penyesalan justru ketika pada
awal bulan keenam, muncul rival yang sesungguh
nya. *** Ayunda Putri Lestari tidak dapat dibandingkan dengan Mariska. Kecantikannya sudah dari sananya.
Tidak perlu diapa apakan lagi. Cuma perlu sedikit
polesan, dia sudah bersinar seperti berlian.
Daya tariknya sudah muncul sejak lahir. Makanya
keluarganya berebut menimangnya sampai dua kali
dia hampir jatuh dari gendongan. Pipinya jadi bahan cubitan. Untung saja tidak melar seperti permen karet.
Tidak heran ketika orangtuanya bercerai, mereka
berebut hak asuhnya lebih seru daripada memperebutkan harta gono gini.
Dari kecil jadi rebutan, Ayu sudah tidak canggung lagi ketika hampir semua cowok normal di
sekolahnya memperebutkannya. Tetapi dari sekian
banyak bibit unggul, pilihannya jatuh pada Rival
Braga Dewantoro. Cowok blasteran bermata hijau.
Karena cowok yang satu ini memang tidak pernah
23 ikut antre memperebutkannya. Dia sibuk dengan
pasiennya sendiri.
Sadar kaplingnya hampir disambar orang, Mariska tahu sekali ke mana harus mengadu. Memang
saat itu dia belum punya sertifikat hak milik. Lho,
memang kata siapa Rival pacarnya? Mereka cuma
kebetulan tetangga di kelas kok! Kalau semua tetangga dianggap hak milik, bisa marah Pak RT!
Mariska yang selalu mengejarnya ke pintu gerbang. Dia yang selalu datang ke rumah Rival. Dia
yang minta diajari ini itu. Dia yang tidak mau
pulang pulang meskipun Rival sudah resah dan
mengajukan seribu satu macam alasan.
Tapi memang semua alasan tampaknya tidak
mempan. Ke mana pun Rival pergi kecuali ke kamar mandi, Mariska mau ikut. Berenang dia ikut
nyebur walaupun tidak bisa berenang. Nonton dia
ikut meskipun tidak suka film scif. Hiking juga dia
tidak takut biarpun belum pernah manjat gunung
dan hampir jadi es batu di sana.
Jadi sore itu, dia masuk ke kamar tidur abangnya.
Setelah bersin tiga kali dia duduk di tempat tidur
karena tidak mungkin duduk di lantai. Seluruh permukaan lantai dari dinding ke dinding sudah dipenuhi barang. Harta karun dan sampah bercampur
baur seperti di sarang bajak laut Karibia. CD ber
24 tebaran di lantai seperti sedang diobral sepuluh ribu
tiga.
Ketika abangnya masuk hanya berselubung handuk, Mariska sedang bersin untuk keempat kalinya.
"Buat apa sih mandi kalau kandangmu jorok
begini?" gerutunya jengkel. "Buang buang sabun
aja!"
"Kalau nggak suka, keluar!" sahut Gustian santai.
"Uang kembali tuh!"
"Belum kalau Mas Gus belum jawab!"
"Ini ujian atau wawancara?"
"Berapa pacarmu sekarang?"
"Dari kapan kamu berubah jadi Mama?"
"Emang cuma Mama yang boleh tahu!"
"Dua setengah! Puas?"
"Jadi hati Mas Gus ada dua setengah? Satu di
kanan, satu di kiri, yang setengah di anus?"
"Ngapain sih nanya nanya?"
"Kalau masih dua setengah gitu, belum ada yang
serius, kan?"
"Ada yang ketiga. Barang baru. Masih bau
pabrik."
"Apaan? Jok kulit? Bayi baru mandi?"
"Cewek, bego! Heran, muka sudah dipoles, gigi
sudah dibor, keran otak mampet terus!"
"Aku punya calon!"
25 "Sori, udah fully booked sampai tahun depan!"
"Lihat dulu baru ngomong! Yang ini masih garansi pabrik setahun!"
"Mulai kapan kamu jadi sales?"
"Mas mau nolong aku, kan?" Mariska mulai
mengeluarkan jurus saktinya. Jurus yang selalu dapat mencairkan hati abangnya.
Gustian menghela napas panjang.
"Siapa yang harus kurayu? Bu Nasti? Biar nilai
fisikamu bagus terus?"
"Sadis! Bu Nasti anaknya sudah setengah lusin!
Bisa banjir air mata tuh kali di belakang sekolah!"
"Ganesa bilang, anaknya yang sulung lumayan.
Sudah dua kali jadi figuran."
"Tapi yang ini kategorinya lebih dari lumayan!"
"Kenapa nggak dua duanya aja? Beli satu dapat
dua, kan?"
"Emangnya kopi! Ini cewek, Mas! Masih komplet
luar dalam!"
"Kenapa jadi kamu yang repot? Emang dia nggak
bisa cari pacar sendiri? ]idatnya kelebaran, giginya
kayak bajing?"
"Menghina! Dia cakep kok!"
"Lebih cakep lagi kalau hidungnya lebih tajam,
giginya mundur dua langkah, dan mataku buta?"
"Mas Gus!" geram Mariska gemas. "Belum pernah ditabok cewek, ya?"
26 "Sering kalau tabok sayang! Sekarang ngegelinding kamu! Aku mau pakai baju!" Tanpa menunggu
sampai adiknya keluar, Gustian melepas handuk
yang melilit pinggangnya.
Tapi Mariska memang tidak mau keluar. Jangankan keluar. Berpaling saja tidak. Dasar sinting!
Yang rikuh justru Gustian. Bukan adiknya. Cepat cepat dipungutnya lagi handuknya.
Sejak umur enam tahun, dia memang sudah tidak pernah berpose polos lagi di depan adiknya.
Mama melarang keras anak laki lakinya berbugil
tia. "Siapa namanya?" cetus Gustian gemas. "Ada batas waktu untuk menaklukkannya? Kamu lagi taruhan sama siapa sih?"
Dasar sinting! Sudah balik lagi penyakit gilanya!
"Ayunda Putri Gergasi." Cuma gergasi yang suka
makan orang, kan?
Hampir terlepas handuk itu dari cekalan Gustian.
Ditatapnya adiknya dengan bingung.
"Ayunda yang kece?"
"Emang ada berapa butir Ayunda di sekolah kita?
Yang kakinya empat di kantin Bu Titin itu namanya
Adila, bukan Ayunda!"
"Ayunda nyuruh kamu cari cowok?"
"Bukan. Aku yang nyuruh Mas pacaran sama
dia!"
27 "Oh, aku ngerti sekarang!" Tap! Gustian menjentikkan jarinya. Dan handuknya hampir melorot
lagi. Untung dia sigap. Biasa menangkap dan mendtibel bola. "Kamu umpankan aku pada Ayunda
supaya kamu bebas menubruk Rival!"
"Ini bukan acara tubruk tubrukan! Aku naksir
Rival. Naksir berat!"
000 jadi sekarang adiknya yang tidak peduli
penampilan ini mulai naksir cowok? Sudah pindahkah semua isi perutnya ke kepala?
"Berani bayar berapa?" Keluarlah jurus andalan
Gustian.
Bakat turun temurun dari ayahnya. Tidak peduli
saudara. Kalau menguntungkan, mengapa tidak?
Saudara tidak usah dicari. Uang harus. Tentu saja
itu filosofi ayahnya.
"Minta berapa?" tantang Mariska gagah.
Kalau yang ini pasti warisan ibunya. Tidak peduli
berapa banyak saingan yang mengincar suaminya,
dia berjuang terus sampai titik bedak terakhir.
"Kalung Wiracocha mu," sahut Gustian tanpa
berpikir lagi. Seolalrolah kata itu sudah seribu tahun menggelantung di ujung lidahnya.
Wiracocha adalah dewa tertinggi Inca. Pencipta
dunia dan segala isinya. Bandul bulat pipih yang
tergantung di kalung Mariska itu berbentuk wajah
mirip manusia yang dikelilingi sinar matahari.
28 Kedua matanya yang bulat dan besar menitikkan
air mata. Konon air mata itu yang menciptakan Danau Titicaca, tempat lahirnya matahari, bulan, dan
bintang.
Tampang Wiracocha sebenarnya jelek dan menyeramkan. Tapi seperti apa pun penampilannya,
Gustian sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sejak Nenek pulang dari Peru dan membawa kalung itu sebagai oleh oleh untuk Mariska, Gustian
sudah menginginkannya. Sayang, Nenek cuma bawa
satu.
Barangkali Nenek pikir cucu perempuannya cuma
satu. Dan di zaman Nenek muda, anak laki laki tidak pakai kalung. Kecuali kalau mau digantung.


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang percuma mengharapkan lagi oleh oleh
dari Nenek. Karena dia sudah pikun. Tidak bisa
lagi membedakan kalung dari usus sapi. Jadi menodong adalah satu satunya cara kalau menginginkan milik orang lain. Asal tidak ditangkap polisi.
"Oke!" sahut Mariska, juga tanpa berpikir lagi.
Apa yang tidak dapat ditukar dengan Rival? Apa
pun rela diserahkannya. Jangankan cuma seuntai
kalung. Nyawanya saja hampir melayang!
"Betul?" ulang Gustian tidak percaya. Dia tahu
bagaimana sayangnya Mariska pada benda itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, kalung itu tidak
29 pernah meninggalkan lehernya. Tentu saja karena
tidak punya kaki.
Gustian malah sering melihat adiknya bicara sendiri dengan kalungnya. Makanya dia makin yakin
adiknya setengah gila. Cuma orang gila yang ngomong sendiri, kan? Kecuali Nenek. Belum gila tapi
sering bicara sendirian.
"Kamu rela? Nggak nyesal?"
"Nyesal apa?" potong Mama Dania yang tiba tiba
masuk ke kamar. Telinganya memang mirip Bionic
Woman. Makanya sulit dibohongi Papa. Cecak berbisik saja dia bisa dengar. Apalagi suara sekretaris
Papa. "Gus, kenapa kamu belum pakai baju?"
"Telanjang dada begini kan seksi, Ma."
"Seksi apa! Nanti kamu masuk angin!"
"Buktinya Tarzan aja nggak pernah masuk
angin!"
"Angin juga milih, Ma," sela Mariska santai.
"Nggak betah lama lama di badannya. Begitu masuk, langsung keluar lagi dari bawah!"
Gustian menyambar bola basketnya dan menimpuk kepala adiknya. Mariska menangkapnya dengan
gesit. Dan balas menimpuk. Karena terburu buru,
bola mental ke kepala ibunya. Buk! Mama sampai
memekik kesal.
"Sudah! Sudah! Lekas pakai baju! Papa pulang
bawa sate ayam kedoyanan kalian tuh!"
30 nore: Date: teriak uustlan seperti setanun tlaaK
makan.
"Hore hore juga! Teee... yam!" Mariska menirukan jeritan tukang sate yang tiap malam lewat di
depan rumah.
Berlomba Mariska dan Gustian berlari keluar.
Saling tarik, saling dorong. Saling mendahului.
Berebut sampai duluan ke meja makan.
Papa Arif yang sedang meneguk air jeruknya sampai tersedak. Mengira ada maling masuk rumah.
"Heran, kayak anak kecil saja!" gerutu Mama
Dania jengkel. "Apa apa mesti berebut! Padahal kalau dikasih seorang satu malah nggak mau!"
"Kalau dapatnya boleh ngerebut enak sih, Ma,"
sahut Gustian sambil mengambil tiga tusuk sate sekaligus. "Cewek juga gitu."
Mariska tidak jadi merampas sate di tangan
abangnya.
"Betul, Mas?" Matanya membulat seperti bola tenis. Untung Gustian tidak bawa raket. Diambilnya
semua sisa sate di piring. Dijejalkannya ke tangan
abangnya sampai Gustian kewalahan. Tangannya
kan cuma dua. Kalau delapan, namanya Gurita. Bukan Gustian. "Kalau gitu makan semuanya nih! Biar
tambah gizi, tambah energi!"
"Memang ada pertandingan basket lagi?" tanya
Papa setelah air jeruk melompat keluar dari saluran
31 napasnya. Untung lompatnya ke piring. Kalau ke
gelas? _]eruk makan jeruk, kan?
"Bukan, Pa. Pertandingan coker!"
Papa mengerutkan dahi. Membuat wajahnya bertambah tua tiga tahun.
"Olahraga apa itu?"
"Berebut cowok keren!"
"Kamu berebut cowok?" Mama hampir menjerit
lagi. Pita suaranya pasti sudah rusak berat. Harus
ganti onderdil. Untung cuma beo mereka yang mati.
Kalau kutilang tetangga ikut mati? Dikira wabah Hu
burung, kan? "Memang kamu gay? Jangan ikutikutan mode, Gus! Lebih baik kamu pacaran dengan seratus gadis daripada sama satu lelaki!"
"Iya, Ma," sahut Gustian patuh sambil mengulum
senyum menyimpan tawa. "Terima kasih buat izin
Mama. Tapi uang saku Gustian ditambah, ya? Mahal kan pacaran sama seratus cewek?"
"Jangan bercanda, Gus!" bentak ibunya sengit.
"Kamu pacaran sama teman priamu?"
"Bukan, Ma. Si Riska yang naksir cowok paling
keren di sekolah tuh!"
"Riska?" Sekarang tatapan Mama berpindah ke
anak perempuannya. "Kamu sudah mulai pacaran?
Baru juga kebakaran di rapormu padam! Sudah
' mau pacaran? '
32 "Mama," sela Papa sabar. "Katanya mau bikin normal si Riska. Sekarang dia sudah tidak nyanyi HaloHalo Bandung lagi, Ma! Tadi pagi di kamar mandi
dia nyanyi Sepasang Mata Bola!"
"Masa bodo dia nyanyi apa! Pokoknya Riska belum boleh pacaran! Buang ingus saja belum bisa!"
"Riska nggak pilek, Ma!" sahut Mariska sambil
mencopot kalungnya dan menjejalkannya ke tangan
abangnya. "Nih, ambil!"
Sekilas Gustian melirik kalung di tangannya. Kalung itu memang terbuat dari perak. Tapi bukan
kalungnya yang menarik. Bandul yang tergantung di
sana yang keren. Mata dewa itu seolah olah sedang
menatapnya dengan tajam. Hui.
*** Mama Dania hanya punya satu anak kesayangan.
Gustian.
Anak kebanggaannya. Bagaimana tidak. Sudah
ganteng, pintar, calon atlet, lagi. Selalu ranking satu
di kelas. Selalu dipuji guru. Dijadikan contoh. Maksudnya teladan. Bukan sampel baju.
Dikejar gadis gadis seperti mengejar layangan putus. Tidak heran. Kapten tim basket sekolah. Yang
selalu mengharumkan nama sekolah di setiap pertandingan antar SMA.
33 Wajahnya tampan. Bersih. Mulus. Rambutnya
ikal. Hitam. Tebal. Tidak berminyak.
Badannya bagus. Tinggi. Berotot. Atletis. Tidak
ada kurapnya. Tidak korengan.
Dadanya bidang. Perutnya rata. Six pack.
Tungkainya panjang. Tidak bengkok. Tidak 0.
Tidak X. Dan tidak sembarangan menendang. Apalagi menendang barang orang lain.
Jelas saja kalau dia jadi idola. Pelajar SMA model
begini kan langka. Cuma ada di sinetron. Atau di
film remaja.
Bukan cuma teman teman putrinya saja yang mengaguminya. Guru gurunya juga. Mereka berlombalomba memujinya. Membuat Mama Dania semakin
bangga, sampai blusnya yang kekecilan dua nomor
semakin terasa sesak karena dadanya semakin membeludak.
Yang namanya pujian sudah sama banyaknya dengan piala yang dikoleksinya. Sama banyaknya dengan gadis yang pernah jadi pacarnya.]adi satu dua
pujian lagi tidak ada artinya bagi Gustian. Termasuk
pujian dari ibunya.
Lain dengan Mariska. Karena kurang segala galanya, dia tidak pernah kebagian pujian. Ibarat masakan, tidak ada yang menggigit lidah. Tentu saja, karena dia tidak pernah makan piranha hidup hidup.
Dari atas ke bawah, dari luar ke dalam, tidak ada
34 yang pantas dikagumi. Sudah penampilannya minus,
otaknya beku, kelakuannya aneh, lagi.
Dan yang tidak memberinya perhatian bukan hanya guru atau teman temannya saja. Orangtuanya
juga.
Mama lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dan
memanjakan Gustian daripada membenahi penampilan putrinya. Sementara Papa repot dengan pekerjaan dan sekretarisnya di kantor. Jadi tidak heran
kalau Mariska semakin tidak mengacuhkan dirinya.
Sudah jelek dari samanya, sudah bodoh sejak lahir, buat apa mengubah dirinya lagi?
Ibunya sendiri saja sudah tidak peduli. Sudah
pasrah saja putrinya diejek dan disamakan dengan
sampah! Tidak ada yang mau kecuali pemulung juga
tidak apa apa! Dunia tidak selebar daun kelor, kan?
Plastik bekas saja diambil.
Yang penting buat Mama cuma Gustian! Gustian
yang cakep. Gustian yang pinter. Jagoan Mama.
Cup. Cup. Cup. Ah.
Mariska hanya bisa menonton kemesraan ibunya
kepada abangnya. Hanya dapat menyaksikan sorot
kebanggaan yang selalu bersinar di mata Mama.
Tak ada yang tersisa untuk anak perempuannya.
Sejak dulu sampai tahun depan, Mariska hanya pelengkap penderita.
35 Percuma mencoba menarik perhatian Mama. Sejak Mariska kecil, yang memerhatikannya memang
cuma Nenek. Itu juga sebelum Kakek meninggal.
Dan sebelum sel neuron di otak Nenek semakin
berdegenerasi, sampai dia tidak bisa membedakan
lagi cucunya dengan anak tetangga.
Sekarang kalau melihat Mariska, Nenek menyapa
sambil membeliak kaget,
"Aduh, Ning! Kenapa kamu jadi kurus begini?
Mana anakmu?"
Padahal Mariska kawin saja belum! Kalau punya
anak, namanya kecelakaan, kan? Kasihan. Ada anak
lahir kok karena orangtuanya kecelakaan.
Mariska baru tergugah untuk memperbaiki diri
ketika muncul seorang pria yang sangat menarik.
Pria yang mampu menariknya keluar dari dalam
kepompong yang selama ini membungkus dirinya.
Sayang, pria itu masih normal. Matanya maupun
otaknya. Masih dapat membedakan mobil dari
bajaj.
36 BAB III
MULA MULA Rival tidak memandang sebelah mata
pada Mariska. Sudah tampangnya minus, baunya
aneh, lagaknya setengah gila, lagi.
Tapi lama lama dia tidak mampu mengusir daya
tarik yang dipancarkannya. Lebih lebih setelah giginya pakai kawat. Matanya pakai lensa kontak. Sayang kepalanya belum disetrum. Jadi gilanya belum
sembuh.
Cewek yang satu ini memang luar biasa. Lain
dari yang lain. Unik. Spesial. Pakai telor. Hus! Memangnya nasi goreng.
Dia rela tenggelam. Rela tidur di bioskop. Rela
jadi es batu. Asal bisa dekat. Luar biasa, kan? Rasanya mati juga dia rela, asal yang didekati tidak takut
hantu.
37 Yang unik lagi, mukanya makin lama makin bersih. Rambutnya makin bercahaya seperti iklan Shampoo. Badannya juga makin ideal. Dan giginya, biar
masih pakai kawat, pasti tidak menyusahkan lagi
kalau ciuman. Kecuali kalau ciuman dengan kabel
listrik.
Tanpa kacamata nyentrik yang membuat tampangnya mirip psikopat, dia juga semakin menawan.
Matanya semakin bulat. Besar. Bercahaya. Seperti
ikan koi.
Yang paling penting, dia tidak bau lisol lagi. Tidak
mengingatkan Rival pada aroma rumah sakit. Tempat yang paling ditakutinya. Trauma masa kanakkanak ketika dia harus menjalani operasi hernia.
Jadi lama kelamaan, Rival tidak perlu lagi repot
mengusirnya. Mencari cari alasan untuk kabur. Lagi
pula diusir pun tampaknya Mariska tidak mau
pergi.
Dia memang cewek spesial. Mana ada cewek yang
mengejar cowok sampai ke pintu gerbang? Mana
ada cewek yang berani nyebur ke air padahal tidak
bisa berenang? Mana ada cewek yang bilang sama
cowoknya, aku naksir kamu?
Rival sampai tersedak dan terbatuk batuk mendengarnya. Saat itu dia sedang melahap pizza, sementara Mariska cuma mencomot salad. Takut diserbu
jerawat lagi.
38 Memang Rival sudah merasa ganjil waktu habis
belajar bareng, Mariska mengajaknya makan pizza.
"Aku yang traktir," katanya mantap.
Sekejap Rival jadi bingung. Mana ada cowok ditraktir cewek? Emansipasi kali, ya?
Tapi waktu mulutnya sudah mau terbuka kembali, yang keluar dari sana cuma angin dan,
"Berani makan pizza?"
"Siapa takut?"
"Tapi Bokap ada di rumah."
"Mau ngajak ayahmu juga?" Mana ada cowok pacaran bawa bawa pengawal? Memang dia Hayam
Wuruk?
"Papa nggak suka aku keluar malam sama cewek."
"Lebih suka keluar sama wadam?"
"Dia takut kita melakukan yang bukan bukan."
"Melakukan apa? Kita cuma makan pizza! Bukan
ngisap ganja!"
Akhirnya mereka pergi juga. Setelah minta exit
permit pada ayah Rival. Yang menatap Mariska seperti anjing melihat pemulung yang mengorek ngorek sampah di depan rumahnya.
"Jangan macam macam," suara ayah Rival seseram
mukanya. I?leran. Ada gorila punya anak bintang
film. Anak tetangga kali, ya? "Pulang sebelum jam
sembilan. Besok bukan hari libur!"
39 "Kenapa ayahmu jutek banget?" tanya Mariska
ketika mereka sedang makan berdua.
"Bokap pernah ditipu cewek. Katanya dia hamil.
Nyokap percaya. Mereka bercerai. Nyokap balik ke
Lisbon."
"Tragis banget! Pantesan ayahmu alergi cewek."
"Bokap cuma nggak mau sejarah berulang. Makanya aku dilarang pacaran."
"Kamu nggak punya cewek?"
"Ya ada dong. Emang aku gay?"
"Di Bandung?"
"He eh."
"Kamu sayang dia?"
"Baru PDKT. Yang lama udah diroger."
"Di sini ada bibit baru?"
"Kok nanya gitu?"
"Aku naksir kamu."
Dan Rival terbatuk batuk sampai serpihan pizza
berhamburan keluar. Tapi bukannya merasa jijik,
Mariska malah mengambil tisu dan bangkit dari
bangkunya. Membungkuk sampai lekuk dadanya
yang mulai terbentuk terpampang di depan mata
Rival. Sayang dia sedang berjuang supaya tidak mati
kehabisan napas.
Mariska menyeka mulut Rival tanpa ragu sedikit
pun. Seolah olah dia seorang ibu yang menyeka mu
lut bayinya yang muntah kekenyangan minum susu.
40 Justru tindakannya membuat batuk Rival tambah
seru. Untung dia tidak sampai dibawa ke UGD.
"Kalau makan hati hati," kata Mariska lemah lembut. Entah mengapa tiba tiba Rival ingat ibunya.
Dan hatinya tersayat.
Lebih lebih ketika sesudah membayar makanan
mereka, Mariska mengantarkannya pulang. Betul!
Rival diantar pulang. Biarpun dia yang menyetir
mobil.


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku pulang sendiri saja," kata Mariska waktu
mobil mereka sudah sampai di depan pintu gerbang
rumah Rival.
"Kok gitu?" cetus Rival kaget.
Mula mula dikiranya Mariska mau ikut masuk.
Tas sekolahnya masih ketinggalan di ruang tamu.
Itu juga kalau belum jadi mainan si Ruci, chow chow
mungilnya yang bermata sipit berlidah biru.
"Sudah malam. Kamu masuk. Cuci muka. Cuci
mulut. Cuci kaki. Cuci tangan. Cuci darah. Trus
bobok, ya?"
"Mana bisa begitu?" protes Rival tersinggung.
"Aku harus ngantar kamu pulang!"
"Kenapa?"
"Kenapa? Karena aku cowok!"
"Nggak usah!" Mariska sudah turun dari mobil
tanpa bisa ditahan lagi. Dia berkeras mau pulang
sendiri. Memang cuma cowok yang punya kaki?
41 Tapi kali ini Rival juga ngotot. Dia tetap ingin
mengantarkan Mariska pulang. Ketika gadis itu tidak mau juga naik ke mobilnya, diikutinya saja dari
belakang. Jadi mereka seperti sedang mengikuti pawai kendaraan hias.
"Ngapain sih ngikutin terus?" gerutu Mariska gemas. "Sana, pulang! Ntar Bokap nyanyi!"
"Malah tambah keras nyanyinya kalau kamu jalan
kaki," sahut Rival santai. "Besok pagi baru sampai
rumah."
Akhirnya terpaksa Mariska mengalah. Biarpun
gemas, sebenarnya dia gembira. Ternyata Rival tidak
mau membiarkan dia pulang sendiri. Apa itu tandanya dia sayang?
"Kenapa kamu nggak mau aku pulang sendiri?"
tanya Mariska penasaran.
"Karena kamu cewek!" sahut Rival tegas. "Dan
aku tidak mau membaca beritamu di koran besok
pagi!"
"Kenapa aku masuk koran?"
"Nggak tahu. Bisa ditabrak mobil yang sopirnya
teler. Bisa juga diperkosa orang sakit!"
"Bukan karena sayang?" gumam Mariska. Agak
kecewa. Sedikit.
Ya, kecewa memang sudah menjadi bumbu hidupnya. Jadi kalau tidak terlalu gurih tidak apa apa. Paling paling sakit kepala karena kebanyakan vetsin.
42 Rival kaget seperti disambar petir. Kalau orang
yang disambar petir masih sempat kaget. Cewek
yang satu ini benar benar lain dari yang lain. Jangan jangan dia memang punya kelainan!
"Kenapa?" tanya Mariska sambil menikmati hijaunya danau di depan matanya. Sayang, dalam gelap
tidak bersinar. Seperti fosfor. Atau kucing. Atau kelinci. Atau duit. Eh, duit selalu bersinar, ya? Dalam
terang ataupun gelap, duit memang selalu bersinar.
Makanya selalu dikejar kejar.
"Kamu biasa blak blakan kayak begini?"
"Kayak apa?"
"Kayak tadi."
"Nanya sayang? Kenapa? Emang nggak boleh?"
"Kamu kan cewek!"
"Jadi cuma cowok yang boleh nanya duluan?"
"Kamu nggak malu?"
"Kenapa mesti malu? Aku kan pakai baju."
Rival menggeleng gelengkan kepalanya. Dua kali
ke kiri. Dua kali ke kanan. Dia benar benar bingung. Takjub. Kagum. Binatang, eh cewek yang
satu ini, benar benar spesies langka!
Lebih lebih ketika sesampainya di depan rumahnya, Mariska mengecup pipinya dengan lembut.
"Terima kasih. Kamu benar benar baik. Lagakmu
yang tengil tengil sombong itu cuma kamuflase."
43 Lalu Mariska memegang tangannya. Dan tidak
mau melepaskannya lagi.
"Sana, pulang." Suaranya selembut tatapannya.
"Nggak bisa," sahut Rival tersendat. Masih membayangkan kecupan di pipinya. Masih berusaha
menenangkan debar jantungnya.
"Kenapa?"
"Lepaskan dulu tanganku."
"Oh, sori!" Mariska tersenyum lebar. Diremasnya
tangan dalam genggamannya. "Malam ini kita
jadian, ya? Aku sayang kamu, Val. Nggak peduli
matamu ijo atau cokelat."
"Kamu sudah biasa nembak cowok?" sergah Rival
kaget. Punya teman seperti ini memang harus siapsiap sakit jantung.
"Belum pernah. Baru kamu yang aku tembak."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kenapa cuma aku?"
"Karena cuma kamu yang aku sayang. Ada pertanyaan lagi?"
"Cuma satu. Kapan kamu lepaskan tanganku?"
*** Mariska masuk ke rumahnya sambil melompat
lompat. Mama yang sedang menyisir rambutnya
44 sampai heran melihat anaknya tiba tiba berubah
jadi kelinci.
"Dari mana?" bentaknya curiga. Heran. Kenapa
orang tua selalu curiga? Padahal dulu juga mereka
pernah muda, kan?
Mariska tidak menjawab. Biasanya juga Mama
tidak pernah tanya. Tidak peduli dia jadi dewi atau
jin. Yang penting kan cuma Gustian. Cuma dia anak
Mama.
Tetapi kali ini Mama mengejar sampai ke kamar.
Barangkali dia sudah mencium bau tidak sedap.
Padahal Mariska cuma makan salad. Itu juga tidak
pakai bawang bombay.
Mariska melempar tasnya ke lantai. Menyalakan
CD nya. Dan berputar putar mengikuti irama musik yang bertalu talu.
Mama Dania yang sedang mengintai di pintu
sampai mengerutkan dahi saking herannya. Ada
apa? Kenapa anak gadisnya yang aneh ini tiba tiba
menari nari begitu? Dia salah makan apa?
Setelah dua kali memanggil dengan sia sia, Mama
masuk ke kamar. Mematikan CD. Dan menunggu
sampai Mariska siuman.
"Kamu ini kenapa sih?" tegur Mama bingung.
"Pulang pulang menari nari tidak keruan! Kamu
dari mana? Katanya belajar bersama! Belajar apa?
Makan apa? Minum apa?"
45 Mariska memandang ibunya sambil tersenyum.
Dan Mama Dania makin curiga melihat mata putrinya bersinar sinar seperti bintang kejora.
"Riska lagi hepi, Ma!" cetus Mariska sambil menyalakan lagi CD nya. Dan kali ini dia tidak menari
sendirian. Dia mengajak ibunya juga. "Masa nggak
boleh? Kata Papa, Mama dulu pintar dansa! Dansa
yuk, Ma! Dansa!"
Dan Mama Dania tidak keburu kabur. Mariska
sudah memegang tangannya dan mengajaknya menari berputar putar. Akhirnya Mama ikut juga berdansa. Makin lama goyangnya makin panas. Lebih
hebat dari putrinya.
Sampai Papa muncul di pintu. Dan goyangan
Mama berhenti dengan sendirinya ketika matanya
bertemu dengan mata suaminya.
*** Hari hari yang kemudian menjelang, sungguh indah
dan berkesan. Mariska tambah rajin sekolah. Tambah
rajin bikin PR. Tambah rajin belajar di rumah Rival.
Dan tambah sering menghilangkan sepatu ibunya.
Mereka lebih sering lagi nonton bersama, apalagi
kalau karcisnya beli satu dapat dua. Lebih sering
lagi makan pizza. Berenang di laut. Dan mendaki
gunung.
46 Sekarang Mariska sudah bisa berenang. Dia
ambil kursus kilat dengan abangnya. Dan Gustian
kali ini memperoleh jatah uang jajan Mariska.
Gustian mana mau rugi. Bakat ayahnya.
Mariska juga sekarang sudah punya perlengkapan
naik gunung. Rival sudah tidak usah khawatir lagi
bakal pulang dengan hantu es.
Dan untuk hal hal seperti itu, Mariska memang
dapat belajar dengan cepat. Di mana ada kemauan
di situ ada Rival, kan? Jadi dia tidak mengecewakan
sahabatnya. Tidak perlu dipungut lagi dari dasar
kolam. Tidak perlu dipapah lagi turun gunung.
Karena sering joging, hiking, treking, kamping,
ngejar kucing, tubuh Mariska malah tumbuh semakin proporsional. Ototnya terbentuk. Tenaganya
terlatih. Otaknya setengah pulih.
Terang saja Rival tidak kabur lagi. Dia mulai dapat menerima temannya seperti apa adanya. Tidak
mencari cari alasan lagi untuk menolak kalau diajak
rekreasi, makan pizza, atau belajar bersama.
Mama Dania juga sudah tidak heran lagi kalau
sepulangnya belajar bersama, putrinya melompatlompat dan menari nari. Dia juga diizinkan belajar
bersama di rumah temannya sampai malam. Asal
rapornya tetap biru. Dan Mama Dania tidak pernah
lagi dipanggil menghadap kepala sekolah.
Gustian juga sudah tidak usah berkelahi tiap
47 hari. Karena sudah hampir tidak ada yang mengecap
adiknya gila. Dia hanya harus memasang mata karena banyak yang ingin menyabot adiknya. Tapi itu
hanya karena mereka iri. Karena kini Mariska sudah
hampir memperoleh Rival.
Tetapi tidak ada kebahagiaan yang abadi. Apalagi
kalau menyangkut cinta remaja. Namanya saja cinta
monyet. Dan monyet makin terdesak karena habitatnya terganggu. Hutan gundul. Pohon ditebang.
Kayu diselundupkan. Cerita basi. Tapi tidak pernah
happy ending.
*** Dua minggu Mariska tidak sekolah karena sakit.
Demam berdarah. Sampai dirawat di rumah sakit.
Diperiksa darah. Diinfus. Dikompres karena demam
tinggi.
Selama dua minggu, Rival tidak pernah menje?
nguknya. Padahal Mariska sangat mengharapkan
kedatangannya. Dia kan masih di Jakarta. Belum di
surga. Masa Rival tidak bisa menengoknya? Bohong!
Rupanya dia sedang sibuk dengan objek barunya.
Ayunda Putri Lestari. Yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Menempel terus seperti
lintah. Mumpung Rival lagi nganggur.
48 Hampir tiap malam Mariska bermimpi. Rival datang menjenguknya. Membawakan bunga segala.
Mencium dahinya sambil berbisik lembut, lekas sembuh, Ris.
Tapi ketika dia terjaga, yang menyentuh dahinya
cuma seorang perawat gemuk. Yang sedang memantau demamnya.
Beberapa kali dia dibayangi halusinasi. Rival muncul di pintu. Senyumnya begitu lembut. Begitu mesra. Begitu menggoda.
Tapi ketika Mariska merintih mendesahkan namanya, yang muncul lagi lagi suster gemuk. Yang mengira dia meracau karena panas tinggi.
Rival tidak pernah muncul. Setiap kali Gustian
datang, cuma dia yang ditanyakan Mariska.
"Tau," sahut Gustian kesal. "Mati, kali."
"Dia tahu aku dirawat?"
"Kan dia bisa nanya."
"Bilangin dong."
"Bilang apa?" Dahi Gustian berkerut. "Kamu hampir lewat? Hampir dibawa nyamuk?"
"Aku sakit."
"Harus kuseret dia kemari?"
"Nggak usah. Bilangin aja."
Percuma. Rival tidak datang juga.
Gustian ingin sekali menjotosnya sampai sema?
49 put. Biar bisa dibungkus kertas kado. Dan ditaruh
di atas meja di samping tempat tidur adiknya.
Susahnya dia masih berstatus pelajar. Dan kantor
kepala sekolah buka tiap hari kecuali hari Minggu
dan hari libur.
*** Ketika Mariska muncul lagi di sekolah, keadaan sudah berubah.
Rival memilih duduk dengan Ayunda. Dia mengusir Teguh, teman sebangku Ayunda. Atau mungkin
juga Ayunda yang merayu Teguh. Pokoknya mereka
duduk berdua. Tepat di depan Mariska. Seperti ada
pasir di matanya. Pedih. Gatal. Sakit.
Dan Bu Nasti, ini yang membuat Mariska makin
kecewa, diam saja. Barangkali dia tidak dapat membedakan mata hijau dengan mata cokelat. Maklum
sudah tua. Sudah waktunya turun mesin. Untung dia
masih bisa membedakan suaminya dari Pak RT.
Sekarang giliran Ayunda yang menjiplak habis
pekerjaan Rival. Dia kan kamus berjalan. Nilai nilai
rapor Ayunda pasti sebiru Lautan Atlantik.
Waktu jam istirahat, Ayunda juga tidak memberikan kesempatan pada Mariska untuk mengajak
Rival bicara. Dia sudah membawa Rival ke kantin
sebelum Mariska tiba di dekat Rival.
50 Mereka asyik mengobrol sambil melahap bakso.
Membiarkan Mariska menatap cemburu dari sudut
kantin. Berharap ada serpihan bakso yang salah masuk kamar dan Ayunda batuk batuk kehabisan napas. Berharap baksonya berenang ke paru dan dia
digoreng ke UGD.
Uh. Cinta memang manis. Tapi kadang kadang
cinta bisa membuat orang jadi kejam.
Lihat saja bagaimana sedihnya Mariska. Bagaimana suram wajahnya. Bagaimana keruh tatapan
matanya. Bagaimana jahat harapan yang lahir di benaknya.
Dan rupanya yang jadi jahat karena cinta bukan
cuma Mariska. Teman temannya juga.
"Rasam!" Gina lewat di samping mejanya sambil
menyenggol botol tehnya. Botol terguling. Teh tumpah membasahi meja. Untung tidak kena baju.
"Nggak tahu diri sih. Kodok merindukan Menara
Pisa!"
Puspa dan Adinda yang selalu berada bersama
Gina ikut tertawa seperti paduan suara. Dan mereka melenggang pergi setelah menjulurkan lidah
mengejek.
Tentu saja Mariska sakit hati. Tapi tidak jera.
Dia bertekad akan mengejar Rival. Ke mana pun
dia pergi. Siapa pun yang menggandengnya.
51 *** Tetapi ketika Mariska mengejar ke gerbang waktu
pulang sekolah, Ayunda sudah melekat di sisi Rival.
Tak ada kesempatan untuk mengajaknya pulang berdua.
Ayunda minta diantarkan pulang seolah olah
tiba tiba saja kakinya buntung. Dan dia harus digendong ke mobil.


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariska mengejar mereka dengan bus. Tetapi bus
tidak dapat dibandingkan dengan mobil. Apalagi
kalau harus ngetem di sana sini. Biarpun metromininya ngebut sampai miring tiga puluh derajat karena
roda sebelah kirinya naik ke atas kaki lima, mobil
Rival sudah keburu lenyap.
Sia sia dia mengejar ke rumah. Karena Rival sudah keburu masuk. Dan pembantunya bilang dia
sedang tidur siang. Padahal mana ada remaja tidur
siang? Apalagi kalau baru pulang sekolah. Mandi
saja belum. Bisa pingsan kutu busuk di ranjangnya.
Begitu juga saat Mariska datang lagi ke rumahnya
sore harinya. Rival tidak ada di rumah. Pasti sedang
apel ke rumah Ayunda. Padahal bokapnya bilang
dia ada ekskul.
Bohong aja! Ekskul apaan! Eksim di dengkul
Ayunda kali! Minta digaruk biar bernanah! Jijai!
Setelah tidak mampu merebut miliknya kembali,
52 sebetulnya belum jadi milik, Mariska minta tolong
abangnya. Dan Gustian tahu sekali bagaimana menaklukkan hati cewek seperti menaklukkan tim
basket lawan.
Sebenarnya Ayunda sedang bingung memilih.
Dua duanya cowok keren. Favorit. Idola. Ngetop.
Pilihan dunia. Yang satu asli made in Indonesia.
Yang lain nasi campur.
Bedanya, Gustian lebih agresif. Dia menyerang
terus seperti sedang berjuang memasukkan bola ke
keranjang lawan. Dan Ayunda tidak perlu waktu
lama untuk menyerah.
Dalam waktu dua minggu, dia sudah jatuh ke
pelukan kapten tim basket sekolah mereka yang
ganteng itu. Yang handuk bekas lap keringatnya saja
jadi rebutan pemulung.
*** "Ke mana Ayunda?" tanya Mariska pura pura bodoh
ketika dia mengejar ke gerbang dan melihat Rival
sedang berjalan seorang diri.
"Pulang sama Gustian," sahut Rival jengkel. "Mereka kan udah jadian."
"Kecewa berat dong kamu."
"Ah, biasa aja. Sebelum cincin melingkar di jari,
kita kan masih bebas memilih sepuluh kali lagi."
53 Tapi kamu tidak boleh memilih lagi, kata Mariska dalam hati. Karena kamu milikku! Untuk selama lamanya!
"Pulang bareng, yuk?" ajak Mariska berani. Lantang. Gagah. Mariska. Siapa yang tidak kenal. Cewek gila yang tidak tahu malu. Tidak tahu diri. Tidak peduli omongan orang.
"Bareng gimana?" dengus Rival yang sedang suntuk. "Rumahmu ke kiri, aku ke kanan."
"Nggak apa apa. Ke kanan aja dulu."
Dan Mariska benar benar ikut Rival pulang ke
rumahnya. Dari sana dia naik bus lagi ke sekolah.
Di perhentian bus, dia bertemu dengan abangnya,
yang baru pulang mengantar Ayunda.
"Lho, kok belum pulang?" tegur Gustian heran.
"Sendiri juga belum pulang," sahut Mariska acuh
tak acuh.
"Aku kan ngantar Ayunda dulu."
"Sama," jawab Mariska seenaknya. "Aku juga ngantar Rival dulu."
Gustian melongo heran sampai lupa bus yang
ditunggunya sudah berhenti di depan hidungnya.
Untung dia bukan Pinokio. Kalau tidak, hidungnya
pasti nyangkut.
"Mau naik nggak?" teriak Mariska dari tangga
bus. "Mau nunggu yang berikutnya?"
Tergopoh gopoh Gustian melompat ke dalam
54 bus. Begitu dia mendarat di tangga, bus langsung
tancap gas. Untung dia tidak terjerembap ke aspal.
Tim basket sekolah bisa jadi anak yatim.
"Ngapain ngantar Rival?" tanya Gustian penasaran di sela sela kegaduhan suasana dalam bus.
"Pertanyaan yang sama. Ngapain ngantar Ayun
da?"
"Dia cewek!"
"Cuma cewek yang boleh diantar? Kan samasama punya kaki dua!"
"Apa dia nggak malu jadi cowok?"
"Kenapa mesti malu? Perkakasnya komplet kok."
"Nggak malu diantar cewek?"
"Bukannya malah bangga?"
"Sekarang di mana dia? Ngumpet di kolong ranjang?"
"Tidur siang."
"Bohong!" sergah Gustian panas. "Dia cuma
nggak mau ketemu kamu!"
"Mau bantu aku, Mas?"
*** Rival sedang kesal. Pacarnya diambil orang. Enak
saja Gustian merampas Ayunda. Mentang mentang
cakep! Semua cewek mau digarap sendiri! Sera
kah !
55 Makanya dia tidak mau melayani tamu. Siapa
pun. Apalagi tamu model Mariska. Bikin kepalanya
tambah pusing.
Tapi siang itu, dia terpaksa keluar. ]endelanya ditimpuk bola basket. Tidak pecah kacanya saja sudah
bagus.
Begitu dia keluar dengan marah, Gustian tegak
berkacak pinggang di halaman.
Dia menantang Rival main basket. Siapa yang
menang, dapat Ayunda. Tidak usah mahal mahal
beli piala.
"Satu syarat lagi," sambung Gustian mantap. Salah satu modalnya merebut hati cewek. Mantap.
Tegar. Nekat. "Yang kalah, traktir Mariska!"
Tentu saja Rival tahu siapa Gustian. Tapi dia
mana mau menolak tantangan? Siapa tahu kaki
Gustian keseleo waktu loncat. Atau tangannya patah
waktu mendribel bola. Atau ada kuntilanak yang
sakit hati karena pernah dicampakkan cintanya. Kemungkinan selalu ada, kan?
Jadi Rival menerima tantangan Gustian. Tidak
peduli bagaimana jagonya dia main basket.
Mereka bertanding di lapangan sekolah. Untuk
memperebutkan sang putri. Seperti di abad pertengahan. Untung mereka cuma tanding basket.
Bukan adu anggar.
Dan Rival langsung kalah telak. Gustian memang
56 bukan tandingannya. Apalagi untuk keahlian melempar bola ke keranjang. Itu kan spesialisasinya.
Sambil tidur saja dia bisa memasukkan bola. Tentu
saja dalam mimpi.
Jadi Rival menyerah kalah. Menepati janjinya dengan sportif. Menyerahkan Ayunda kepada Gustian.
Dan mentraktir Mariska.
Mariska yang diam diam mengikuti mereka duduk menonton di pinggir lapangan. Dia melompatlompat gembira setiap kali kakaknya mencetak gol.
Bertepuk tangan dengan sangat bersemangat. Bersuit suit. Menari nari. Untung dia masih ingat memakai rok. Jadi dia tidak sampai berjumpalitan di
udara.
Begitu kakaknya menang, Mariska lari memeluknya dan mengecup pipinya. Waktu dia ingin mengecup pipi Rival juga, pemuda itu pura pura berpaling ke tempat lain. Jadi kecupan Mariska
menemui tempat kosong.
*** Malam itu, Rival mentraktir Mariska makan donat.
Meskipun takut jerawatnya datang membalas dendam, Mariska tidak berani membantah. Dia menghabiskan enam donat sekaligus. Dan langsung men
cret.
57 Tetapi sambil duduk di WC pun dia masih bersenandung. Barangkali seandainya malam itu dia
dibawa ke UGD sekalipun Mariska tetap tersenyum.
"Kenapa kamu senyum senyum terus?" gerutu
Rival antara bingung dan gemas. Orang lagi kalah
malah disuguhi senyum terus.
"Lagi seneng aja," sahut Mariska santai.
Dia mencomot dua buah donat lagi karena donat
itu menganggur di piring Rival.
"Karena aku kalah? Kamu di pihak Gustian, kan?
Kamu terang terangan jadi suporternya!"
"Supaya aku bisa memilikimu kembali," sahut
Mariska jujur. Diraihnya cangkir kopi Rival. Dihirupnya dengan nikmat.
"Jadi kamu tahu taruhan kami? Bukan kamu pencetus idenya?"
"Bukan. Tapi antara aku dan Mas Gus tidak ada
rahasia."
"Dia betul betul naksir Ayu?"
"Siapa sih yang nggak naksir dia?"
Rival menghela napas jengkel. Ya, Ayunda memang cantik. Memikat. Menggiurkan. Sayang dia
tidak setia. Gampang berubah saluran. Begitu datang yang lebih menarik, enak saja dia ganti channel!
Cewek apaan tuh! Cewek remote control!
"Kalau aku tahu Ayu nggak setia" dumal Rival
58 mengkal. Air mukanya sepahit kopi di hadapannya.
"Val," Mariska menyentuh tangan Rival yang terkulai di atas meja dengan lembut. "Kalau belum jatuh, kamu nggak tahu rasanya sakit, kan?"
Rival menatap mata gadis yang duduk di depannya. Tatapannya begitu tulus. Begitu mesra. Semesra
senyumnya.
Tak sadar Rival meraih tangan gadis itu dan
menggenggamnya. Mariska merasa dadanya berdebar
hangat. Hatinya mendesah bahagia. Dan perutnya
menjerit nyeri. Minta izin mengeluarkan isinya dengan segera. Kurang ajar! Rupanya sekali tidak cukup!
"Sori, Val," cetus Mariska sambil berdiri. "Time
out dulu, ya."
"Kenapa?" Rival melepaskan tangan gadis itu dengan kesal. Cewek yang satu ini memang aneh! Ada
cowok memegang tangannya dia malah kabur! "Ke
WC lagi?"
Mariska memang tidak sempat lagi menjawab.
Dia terbirit birit setengah berlari ke WC.
Dan celaka! Satu satunya tempat buang hajat ada
penghuninya! Maksudnya ada yang lagi bertugas.
Bukan jadi setan di sana.
Mariska menggedor pintu dengan panik. Tapi
yang di dalam santai saja menjawab.
59 "Nggak bisa tunggu?"
Kurang ajar. Makin digedor tampaknya dia makin
betah di dalam. Seperti sengaja. Padahal Mariska
sudah tidak tahan lagi. Ini benar benar keadaan darurat! Sekarang atau... dia mesti minta tolong Rival
beli... astaga! Kalau tidak, baunya pasti mirip mobil
tinja!
Akhirnya dia menggedor sambil menjerit jerit
panik.
"Kebakaran! Kebakaran!"
Tidak ada sedetik kemudian, pintu terempas terbuka. Gadis yang belum sempat menaikkan celana
panjangnya itu tergopolpgopoh keluar.
"Di mana kebakarannya?" sergahnya sama paniknya.
"Di perutku!" sahut Mariska sambil menerjang ke
dalam dan mengunci pintu.
Menyadari dirinya dibohongi, gadis itu memekik
marah. Dia menendang pintu WC. Maksudnya mau
mendobrak dan mengemplang makhluk kurang ajar
itu. Tapi dia lupa, dia bukan Jacky Chen. Dan lupa
celananya masih separuh di lantai.
Akibatnya bukan pintu WC yang terbuka. Malah
dia yang jatuh terduduk. Dengan sengit dia mengayunkan kakinya untuk menendang pintu sekali lagi.
Tapi saat itu terdengar bunyi yang amat dahsyat
dari dalam. Dan tendangannya berhenti di udara.
60 Sambil menyumpah nyumpah dia bangkit. Menaikkan celananya. Dan keluar dengan menutup hi
dung.
61 BAB IV
TIGA tahun mereka pacaran. Mariska tetap menempel ketat. Mengejar ke mana pun Rival pergi.
Bahkan dia ikut masuk fakultas kedokteran biarpun
dia takut melihat darah dan jijik melihat mayat.
"Betul kamu mau jadi dokter?" gurau Gustian
waktu adiknya mendaftar di FK. Dia sendiri sudah
masuk teknik arsitektur. "Cocoknya sih kamu jadi
dokter jiwa. Bakat sudah ada."
Mariska tidak peduli apa kata abangnya. Tidak
peduli apa kata orang. Pokoknya di mana ada Rival,
di situ dia bertengger.
Rival juga sudah pasrah. Sudah bosan dia berusaha melepaskan diri. Mariska lebih sulit diusir
dari nyamuk. Obat nyamuk merek apa pun tidak
mempan. Pantas saja dia kena demam berdarah.
62 E-Booh by syauqy_arr
Lagi pula sekarang dia sudah lebih normal. Penampilannya lebih oke. Tidak memalukan lagi dijadikan gandengan. Tidak dikelirukan lagi kalau lewat
di depan bangsal psikiatri.
Walaupun sifatnya masih tetap seperti dulu. Selalu jujur. Blak blakan. Tidak tahu malu. Maksudnya
tidak segan buka isi hati. Bukan buka baju. Atau
ngemplang duit rakyat.
Ayah Rival pun sudah tidak melarang anaknya
pacaran. Demikian pula ibu Mariska. Mama Dania
tidak menyuruh putrinya belajar buang ingus dulu.
Mereka sudah boleh pergi berdua sampai larut malam. Walaupun sebelum pergi Mariska selalu dicekoki vitamin oleh ibunya.
"Jaga mahkotamu," katanya seolah olah Mariskalah yang menyimpan mahkota Ratu Inggris. "Jangan
kamu serahkan kepada siapa pun. Kecuali kepada
suamimu nanti."
"Dan tukang cukur," sambung Mariska sambil
menyeringai bosan. "Mahkota wanita kan rambut
ya, Ma?"
"Mama serius, Riska!"
Mama mana pernah main main? Waktu kecil kurang main sih. Sekarang mainannya sepatu dan tas.
Untung bukan bapak bapak.
"Rasain," gurau Gustian separuh berbisik. "Siapa
suruh jadi cewek!"
63 Gustian memang tidak pernah dicekoki vitamin.
Padahal kata siapa cuma perempuan yang harus
menjaga mahkota? Semua pengawal di Tower of
London lelaki, kan?
Dan ternyata memang bukan Mariska yang tidak
dapat menjaga mahkotanya. Dia hanya tidak mam
pu lagi mempertahankan miliknya.
*** "Aku harus bicara, Ris," cetus Rival suatu sore. Wajahnya suram seperti udara di Jakarta yang tak pernah bebas polusi.
"Bicara saja harus minta izin," gerutu Mariska,
agak kesal karena sudah tiga hari Rival tidak muncul. Di kampus maupun di rumahnya.
HP nya dimatikan. Di rumah tidak pernah ada.
Dia seperti sengaja menyembunyikan diri. Seolaholah Mariska datang menagih utang.
"Kamu bisa serius nggak sih?" Rival sama kesalnya.
"Lho, kok jadi kamu yang marah? Bukan mestinya aku yang marah duluan? Tiga hari kamu menghilang dari bumi! Tidak ada kabar cerita, kamu diculik alien atau kingkong!"
"Sudahlah. Percuma ngomong sama kamu."
64 "Tidak usah ngomong. Bilang saja ke mana kamu
tiga hari ini!"


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak perlu! Nanti juga kamu tahu sendiri."
"Tahu apa?"
Rival tidak menjawab. Dia bangkit meninggalkan
Mariska. Percuma Mariska mengejarnya. Memaksanya bicara. Rival menutup mulutnya rapat rapat.
Sama sia sianya dengan mengharapkan kembalinya hubungan mereka. Seperti dulu.
Rival menolak semua ajakan Mariska. Menolak
pulang bersama. Bahkan menolak berada berdua
saja. Seolah olah tiba tiba saja Mariska mengidap
flu burung.
"Ada apa sih?" geram Mariska gemas. "Bilang saja
kalau kamu sudah punya gebetan baru!"
"Aku akan menikah."
Petir itu menyambar kepala Mariska. Menghanguskan seluruh tubuhnya. Membakar hatinya.
"Bokapmu?" desis Mariska sengit.
Ayah Rival memang tidak pernah menyukainya.
Sejak dulu. Mungkin karena Mariska tidak bisa
menjilat. Meskipun dia punya lidah.
Kalau datang, dia cuma bilang, sore, Oom. Pulangnya, malam, Oom. Seolah olah dia cuma memberitahu waktu. Seperti jam.
Tidak pernah berbasa basi. Mencari muka. Beta
mah tamah. Padahal semestinya dia mengambil hati
65 calon mertua. Supaya kalau jadi mertuanya nanti
dia tidak punya hari lagi.
Rival menggeleng muram. Memang kali ini tidak
ada urusan dengan ayahnya. Kenapa selalu orangtua
yang disalahkan? Mentang mentang bayaran mereka
lebih murah kalau main sinetron.
"Jadi kenapa harus menikah sekarang? Takut air
manimu keburu kering?"
"Kamu tidak mengerti...."
"Tentu saja tidak! Kamu tidak diperkosa, kan?
Nah, kenapa harus buru buru menikah? Umurmu
baru dua puluh!"
Rival tidak menjawab. Mariska penasaran sekali.
Dan dia mengajukan pertanyaan yang paling krusial.
"Kamu mau kawin sama siapa? Dobel bravo mu?
Dia hamil?"
Mariska hanya mengejek. Dia tahu itu tidak
mungkin. Tetapi ketika Rival mengangguk, dia disambar petir sekali lagi.
"Dia hamil?" sergah Mariska separuh berteriak.
"Siapa?"
"Ayunda."
Petir menyambar lagi. Kali ini Mariska langsung
jadi arang. Hitam. Kaku. Mati.
*** 66 Mariska tidak percaya Ayunda hamil. Lebih tidak
percaya lagi Rival lah yang menghamilinya.
Sudah tiga tahun Ayunda jadi pacar Gustian.
Dari main main akhirnya jadi sungguhan. Gustian
benar benar jatuh cinta. Bukan hanya karena ingin
menolong adiknya menyingkirkan nasi bungkus. Eh,
saingan.
"Kami udah jadian," Mariska masih ingat bagaimana suatu malam mata abangnya berbinar binar
seperti berlian baru digosok. "Ayunda bukan cuma
cantik di luar, Ris. Dia cantik luar dalam."
Tentu saja Mariska tidak dapat membayangkan
seperti apa usus yang cantik. Karena setiap kali melihat jeroan ayam dia merasa jijik.
Tetapi dua bulan yang lalu tiba tiba mereka putus hubungan.
"Back street," dengus Gustian singkat. Dia tidak
mau bilang, cowok mana yang main belakang. Pokoknya Ayunda ketahuan berkhianat. Dan dia dilempar ke keranjang tanpa ampun.
Gustian juga tidak berlama lama patah hati. Kalau benar hatinya bisa patah. Karena Mariska yakin
hati abangnya terbuat dari baja. Sulit dipatahkan.
Memang begitu harusnya laki laki. Stainless steel.
Antikarat. Antigores. Cicil dua belas bulan, nol persen. Hus! Memangnya panci.
Dalam tempo tiga kali dua puluh empat jam, dia
67 sudah dapat gandengan baru. Alicia Agustini. Ratu
kampus. Gadis sampul. Fotomodel yang sedang naik
daun.
Gampang saja cowok favorit macam Gustian cari
pengganti. Ibarat masuk asuransi. Hilang langsung
diganti.
Seperti waktu di SMA, di kampus juga dia selalu
jadi rebutan. Apalagi sesudah terpilih menjadi kapten tim basket universitas. Tidak heran kalau dia
lebih laku dari tukang batagor di depan kampus.
Setiap kali tim basket universitas mereka bertanding, gadis gadis pemandu sorak berebut memperagakan kebolehan mereka menyemangati sang pahlawan. Sampai ada yang berantem segala.
Bukan berita menghebohkan begitu gugur setangkai bunga, tumbuh seribu kuntum lagi. Dan
Gustian memetik yang paling segar. Paling cantik.
Paling memikat. Iya lah. Kalau yang sudah layu,
buat apa? Dia kan cari pacar. Bukan pupuk.
Kalau Gustian sedang sumringah karena dapat
mainan baru, adiknya justru sedang uring uringan
karena mainannya diambil orang. Mariska tidak mengerti bagaimana Rival bisa menghamili Ayunda.
Masa spermanya dikirim lewat c mail? Atau tengah
malam gadis itu memanjat genteng kamar Rival?
Memangnya dia Cat Woman?
Soalnya hampir tidak ada hari Rival tidak ber
68 sama Mariska. Bagaimana dia bisa kecolongan begini?
"Kamu tahu Ayunda hamil?" desak Mariska begitu bertemu dengan abangnya. Dia panas sekali biarpun hari itu mendung dan kamar Gustian berAC.
"Tau," sahut Gustian santai.
"Kok cuek aja sih cewekmu digilir orang?"
"Dari dulu aku tahu dia sering main belakang."
"Dan kamu cuek aja?"
"Kalau kukirim balik ke alamat pengirim, kamu
nggak marah?"
"Tanpa dikirim pun dia sudah balik sendiri!"
Sekarang Gustian tertegun. Ditatapnya adiknya
dengan bingung.
"Dia balik ke Rival?"
"Ke mana lagi pikirmu? Dari dulu juga dia naksir
Rival!"
"Tapi kenapa Rival mau?"
"Kamu nggak mau?"
"Kamu mau barang bekas?"
"Kamu sendiri nggak pernah beli barang seken?"
"Sering. HP. Motor. Mobil. Tapi cewek? Mesti
selalu tangan pertama! Kalau bisa, yang baru keluar
dari pabrik! Masih garansi!"
"Pacaran aja sama bayi!"
"Kenapa cowokmu idiot begitu?"
69 "Mana aku tahu? Cintanya buta, kali! Sekaligus
tuli, sakit, gila!"
Nah, lu! Tumpahlah semua penyakit yang berjejal
di buku teks Harrison!
*** Kalau mau dicari siapa yang salah, memang harusnya Ayunda yang dihukum paling berat. Dialah
yang selalu menggoda Rival. Padahal dia tahu, saat
itu Rival sudah jadi pacar Mariska. Dan Mariska
adik Gustian, pacarnya. Nah, pusing, kan? Dunia
memang sempit.
Ayunda tidak bosan bosannya merayu Rival. Dia
menggunakan semua anugerah yang diberikan alam
kepadanya untuk menaklukkan laki laki yang digandrunginya.
Hari itu kebetulan mereka pulang bareng. Dan
hujan, ah, mengapa hujan selalu menjadi bumbu
yang romantis? Hujan mengguyur kepala mereka.
Bukan hanya kepala. Sekaligus tubuh. Tangan.
Kaki.
Baju Ayunda basah kuyup. Bukan cuma basah.
Sekaligus melekat di tubuhnya. Melukiskan dengan
sempurna bukit dan lembah di dadanya.
Ketika Rival membuka jaketnya untuk menyelu?
bungi baju Ayunda, gadis itu menolak.
70 "Biar," senyum manja menggoda menggeliat di
bibirnya. "Aku lebih nyaman begini."
Melihat wajah Rival bersemu merah ketika tidak
sengaja matanya menembak lekuk ranum di dadanya, senyum Ayunda melebar.
"Suka?" godanya sambil memegang kedua belah
pipi Rival dan memaksanya melihat sesuatu yang
ingin dilihat tetapi pura pura tidak mau dilihatnya.
"Ah," Rival menurunkan tangan Ayunda dan mencoba membuang mukanya. Maksudnya menoleh ke
tempat lain. Bukan melemparkannya ke tempat sampah.
"Nggak apa apa," bisik Ayunda lembut. Senyumnya semanis wajahnya. Tatapannya semesra suaranya. "Aku malah merasa terhina kalau kamu tidak
mau melihat."
Tentu saja Rival ingin sekali melihatnya. Mana
ada anjing menolak daging? Kecuali anjing vegetarian.
Tetapi pada saat dia hendak mengambil apa yang
disodorkan Ayunda, mendadak dia ingat Mariska.
Dan dia merasa bersalah.
"Maaf," desahnya rikuh. "Bukan salahmu. Aku
yang tidak bisa."
"Mariska, kan?" desis Ayunda kecewa. Masa dia
kalah sama tempe bacem?
71 "Bukan salah siapa siapa," gumam Rival serbasalah.
"Sudah waktunya kamu sadar, Val, dia bukan cewek yang cocok untukmu."
"Dia sangat baik. Aku tidak tega menyakiti hatinya?
"Sampai mengorbankan masa depanmu sendiri?"
"Lebih baik kuantar kamu pulang. Nanti masuk
angin. Bajumu basah."
"Lupakan bajuku!" bentak Ayunda kecewa. Cowok ini menolaknya karena cewek sekaliber Mariska? Yang benar saja! Dia benar benar merasa terhina!
Dan malam itu Ayunda mengerahkan semua kemampuannya untuk menaklukkan Rival. Membiusnya agar melupakan Mariska. Dan mengambil apa
yang diserahkannya dengan sukarela.
Dia baru panik ketika haidnya tidak mengunjunginya lagi selama dua bulan. Dan tes kehamilannya
positif.
*** "Janin di perutmu itu betul betul hasil karya Rival
atau dia cuma kambing hitam?" sindir Gustian ketika dia bertemu dengan Ayunda di lapangan parkir
kampus.
72 Saat itu Ayunda baru hendak naik ke mobilnya.
Gustian tiba tiba saja sudah berada di belakangnya.
Dia nangkring di atas motornya. Tenang dan mantap seperti biasa.
"Bukan urusanmu," sahut Ayunda dingin. Tanpa
menoleh dia masuk ke mobilnya.
"Urusanku juga karena adikku yang jadi korban."
"Rival tidak mencintainya."
"Bagaimana kamu tahu? Dia yang bilang padamu
ketika menitipkan benihnya?"
"Jangan campuri lagi urusanku, Gus," pinta
Ayunda lirih. Suaranya melunak. "Sudah cukup kesulitan yang kualami karena hubungan kita."
"Kalau kesulitannya karena aku, kenapa tanggung
jawabnya kamu timpakan kepada Rival?"
Karena kamu tidak pernah serius, jerit Ayunda
dalam hati. Satu cewek saja tak pernah cukup untukmu! Aku tahu kamu juga main catur dengan
Lida. Dengan Puspa. Dengan Nania. Beda dengan
Rival!
"Buat apa ngejar ngejar cowok bejat begitu?" gerutu Gustian kepada adiknya. "Menebar sperma seperti menyebar bibit di ladang?"
"Apa bedanya dengan Ayunda?" balas Mariska
pedas. "Dia seperti terminal bus! Tempat bus keluar masuk seenaknya!"
Tetapi apa pun pendapat mereka, pendirian Rival
73 tidak goyah. Dia tetap berniat menikahi Ayunda.
Dan celakanya lagi, melanjutkan kuliah. Bertemu
tiap hari dengan Mariska. Mengembuskan virus inHuenza ke paru parunya.
Membuat Mariska sakit. Tersiksa. Terkubur dalam derita. Aduh. Makin banyak saja hlm hantu
penasaran.
Akhirnya Mariska mendatangi rivalnya. Maksudnya, saingannya. Bukan eks nya. Penasaran dia.
Ayunda menyambut kedatangannya dengan perasaan serbasalah, setelah sia sia menghindar. Sia sia
bersembunyi. Sia sia melarikan diri.
Mariska mencarinya ke mana pun dia bersembunyi. Tidak ada lubang yang tidak digali. Bunker
yang tidak dibongkar. Kalau Mariska sudah menghendaki sesuatu, tank pun dilabraknya. Untung dia
tidak berada di Tian An Men.
"Kenapa harus Rival?" bentaknya seperti mertua
memarahi menantu yang hangus menggoreng tempe
untuk anak kesayangannya.
Ayunda tidak bisa menjawab. Dia menunduk sedih. Tetapi Mariska tidak iba melihatnya. Mana bisa
iba. Dia benci setengah mati kok. Begitu banyak
barang yang ditawarkan di pasar, kenapa justru miliknya yang diambil?
"Kamu punya seribu kambing di kandang, kenapa
kamu ambil juga satu satunya kambingku?"
74 Waduh. Untung Rival tidak ada di sana. Masa
dia disamakan dengan kambing? Mana mau dia kalau barangnya dipajang di warung Pak Kumis?
"Maaf, Ris," akhirnya keluar juga suara Ayunda.
Parau. Patah patah. "Sudah... lama aku sayang
Kiwil,..."
"Tapi kamu pacaran sama Gustian, kan? Berani
kamu main dobel?"
"Gustian bukan Rival."
"Ya, terang aja bukan!" Ngomong apaan sih itu?
Mereka berbeda segala galanya! Gustian abangku!
Rival cowokku! Mana bisa disamakan? Bisa ngamuk
Mama kalau tahu anaknya inses!
"Gustian brengsek, Ris." Ayunda tidak dapat
menahan tangisnya lagi.
Air mata buaya itu! Begitu jugakah aktingnya di
depan Rival? Makanya Rival langsung luluh seperti
juri piala Oscar?
"Dia nggak pernah serius."
"Maksudmu tidak pernah serius seperti Rival?
Yang kelewat serius sampai kebablasan?"
Dengan gemas Mariska meninggalkan rumah
Ayunda. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya di
sana. Hanya membuang buang waktu menonton sinetron lima puluh dua episode! Isinya hanya isak
tangis Ayunda dari awal sampai akhir!
Tetapi minta Rival mempertimbangkan lagi ke
75 putusannya sama sia sianya dengan mengharapkan
ada koruptor yang dihukum mati. Apa pun yang
dikatakan Mariska tidak mampu menggoyahkan tekad Rival. Dia tetap akan mengawini Ayunda. juga
setelah ayahnya mengancam akan memutuskan hubungan. Pakai menulis iklan seperempat halaman di
koran segala.
"Kecian deh kamu," ejek Topan Tabir Fajar, ketua
senat yang paling sering melecehkannya, ketika untuk pertama kalinya dia melihat mata gadis itu berkaca kaca. Saat itu Mariska baru keluar dari ruang
anatomi. Rupanya Topan sudah lama di sana. Sengaja menunggunya. "Kukejar sampai ke pinggir


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

comberan, tapi kamu kecemplung juga! Hahaha."
Mariska mengemplangkan atlas anatomi Spalteholz yang sedang dipegangnya ke kepala Topan. Sayangnya tidak kena. Topan lebih tinggi. Dan buku
itu lumayan berat. Padahal kalau telak kena kepala,
pasti dia gegar otak.
Topan memang selalu mengejeknya sejak pertama
kali Mariska menginjakkan kakinya di kampus. Makin kesal Mariska, makin senang dia. Dasar sakit!
Heran, orang sinting dipilih jadi ketua senat!
Sudah mukanya lebar kayak jalan tol, rambutnya
keriting habis seperti kesetrum listrik dua ribu volt.
Kumisnya tebal dan lebat, cambangnya liar menye
mak. Tubuhnya berbulu seperti gorila. Jadi soal
76 tampang, jangan ditanya. Dari rentang nilai satu
sampai sepuluh, paling paling dia dapat angka
empat.
Badannya memang besar. Tinggi. Tegap. Tapi dibandingkan dengan Rival, apalagi Gustian, seperti
membandingkan kerbau dengan kuda.
jadi Mariska tidak pernah tertarik kepadanya.
Tapi justru kerbau sawah ini yang selalu mengejarngejar dia. Bukan untuk merayu. Mana ada kerbau
bisa merayu? Punya susu saja sapi yang punya
nama.
Topan mendekatinya hanya untuk mengejek. Sakit, kan?
Ada orang kok dilahirkan hanya untuk mengejek
orang lain! Belum puas kalau yang diejek belum
marah marah. Tapi kenapa yang diejek cuma Mariska?
Gustian lah yang membuka mata adiknya. Katena mata Mariska hanya terbuka untuk melihat
Rival.
"Dia naksir kamu."
Naksir? Dengan tidak habis habisnya mengejek?
Penyakit keturunan apa pula itu?
"Dia coba menarik perhatianmu."
Dengan mengejek? Menyakiti hatinya? Sadis!
"Pergi!" bentak Mariska setelah bosan diganggu.
Tapi diusir pun Topan tidak menyingkir juga. Dia
77 tetap mendekati Mariska untuk mengejeknya. Mencemooh. Melecehkan.
"Nggak ada cowok yang naksir kamu sampai sampai suami orang pun masih kamu kejar kejar?" sindirnya ketika melihat betapa gigihnya Mariska menempel Rival biarpun dia sudah milik perempuan
lain.
"Ada," dengus Mariska jengkel. "Kerbau gila. Yang
diusir pun tidak mau pergi!"
Bukannya marah Topan malah tertawa gelakgelak. Sakit, kan? Dibilang gila bukannya marah
malah tertawa. Tapi apa bedanya dengan Mariska?
Kalau dipikir, mereka memang setali tiga dolar.
Sama sama mengejar orang yang tidak mau didekati. Sama sama gigih. Sama sama kepala batu.
Sama sama tidak tahu malu.
Dpl, dengan perkataan lain, mereka cocok. Sayangnya, Mariska tidak menyukai Topan. Sejak
pertama kali melihatnya, dia sudah gerah. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah jemu. Lagi pula waktu
itu dia sedang sibuk dengan Rival. Sebenarnya,
kapan dia pernah tidak sibuk dengan pria itu?
"Siapa namamu?" bentak Topan ketika Mariska
minta tanda tangannya dalam masa orientasi mahasiswa.
"Mariska Diana Prasetyo."
78 "Diana?" cibir Topan mencemooh. "Aku Pangeran
Charles!"
Pantas, mukamu antik kayak dia, maki Mariska
dalam hati. Bedanya badanmu berbulu kayak buldognya!
"Besok ubah rambutmu seperti Lady Di!" perintah Topan tegas. Dan karena dia ketua panitia, tanda tangannya lebih mahal dari tanda tangan Picasso.
"Awas kalau tidak mirip!"
Saat itu Mariska harus bolak balik ke salon sepuluh kali karena dilihat dari sudut pandang mana pun,
dia sama sekali tidak mirip dengan Putri Diana.
"Kenapa ada orang gila diterima kuliah di kampusmu?" gerutu Mama Dania jengkel setelah dia
ikut repot membenahi penampilan putrinya.
"Salah Mama juga," dumal Mariska. "Kenapa
nama saya Diana, bukan Gareng!"
"Waktu kamu lahir, Lady Di sedang menikah dengan Pangeran Charles. Orangtua mana yang tidak
ingin anaknya menjadi Cinderella?"
Mendingan jadi genderuwo sekalian daripada jadi
Cinderella kepalang tanggung begini! Tiap hari dipanggil menghadap dan dimarahi habis habisan.
"Kamu main main, ya?" bentak Topan galak.
"Mau mempermainkan saya? Kan saya sudah bilang,
jangan muncul kalau penampilanmu belum mirip
Lady Di!"
79 Teman temannya tertawa geli seolah olah Mariska monyet cilik yang membawa payung dalam
suguhan topeng monyet yang sering pentas di depan
rumahnya.
Dan Topan tidak henti hentinya mengomelinya
karena sampai masa orientasi mahasiswa berakhir,
Mariska tetap belum dapat mengubah penampilannya seperti Putri Diana.
Akibatnya sampai hari terakhir, dia belum juga
memperoleh tanda tangan yang maha berharga itu.
Tanda tangan yang paling mahal. Yang tidak bisa
tidak harus menghiasi buku tanda tangannya kalau
dia ingin lulus.
"Kamu tahu apa hukumanmu?" bentak Topan
ketika Mariska datang minta maaf karena belum
mampu memperoleh tanda tangan sang raja.
Mariska menggeleng sopan walaupun dalam hati
dia sudah seratus kali menyumpahi manusia jahat
ini agar dia berubah jadi batu. Untung dia bukan si
Pahit Lidah. Kalau tidak, Jakarta bukan cuma penuh
sesak dengan mobil, sekaligus sesak oleh patung.
"Cari semua makhluk berkaki empat di kampus
ini. Berlutut di depan mereka dan bilang kamu cinta setengah mati pada Topan Tabir Fajar!" Sambil
menyimpan tawa, Topan melanjutkan dengan bengis, "Awas, kalau ada yang terlewat! Aku punya
mata mata di seantero kampus!"
80 Ternyata yang berkaki empat di kampus bukan
hanya tiga ekor kucing Mbok Zaenab di kantin.
Kambing yang sedang merumput di halaman belakang juga kakinya empat. Dan ternyata itu saja belum cukup.
"Sudah kamu bilang sama semua yang berkaki
empat?" bentak Topan galak.
"Sudah, Kak," sahut Mariska lunak. Sopan. Sama
sekali tidak ada rasa takut dalam suaranya. Dan itu
yang membuat Topan makin tertarik.
"Kamu bilang apa?"
"Saya cinta setengah mati pada Topan Tabir Fajar."
"Sama semua yang kakinya empat?" Topan membeliak ganas. "Lihat si Deri tuh! Kamu sudah bilang
sama dia?"
Mariska menoleh ke arah yang ditunjukkan Topan. Dan dia melihat Deri yang sedang melangkah
tertatih tatih ditopang oleh dua batang tongkat penyangga. Katanya kakinya patah karena ditabrak
metromini.
"Belum," sahut Mariska mual. Rasanya dia ingin
muntah. Tapi ditahannya mati matian.
"Lekas bilang sama dia! Karena kamu melalaikan
Deri, berarti menghina dia, kamu harus bilang dua
belas kali! Cepat!"
Mariska tidak ingin menahan muntahannya lagi.
81 Jadi ditumpahkannya saja seluruh kejengkelan terpendamnya bersama isi perutnya. Tidak tanggungtanggung dia menyemprotkannya ke sepatu Topan
yang putih bersih! Dari dulu dia memang paling
sebal melihat pria yang memakai sepatu putih. Apalagi kalau pria itu bernama Topan Tabir Fajar!
Topan melompat mundur dengan kaget. Terlambat. Sepatunya tersiram muntahan. Percikan cairan
bau itu juga menodai celananya. Dan dia tidak mampu mengomel lagi. Teman temannya yang menghasutnya. Memanas manasi. Menyuruhnya menghu?
kum cewek kurang ajar itu lebih kejam lagi.
Tetapi Topan malah membawa Mariska ke klinik
mahasiswa.
"Periksa maagnya tuh," katanya kepada mahasiswa
kedokteran yang ditugasi jaga klinik. "Bocor, kali.
Kebanyakan minum air raksa."
Ketika Mariska selesai diperiksa dan diberi obat,
dia menemukan buku tanda tangannya di atas tas
karungnya. Tanda tangan Topan Tabir Fajar terpampang keren di halaman terakhir. Di atasnya tertulis
dua baris kalimat.
"Kamu sama sekali tidak mirip Lady Di. Satusatunya persamaan, cowokmu berselingkuh sama
cewek lain."
Waktu itu, Mariska tidak percaya. Rival sangat
setia. Lagi pula Mariska mengawalnya siang malam,
82 kecuali waktu tidur dan buang hajat. Mana ada kesempatan untuk berselingkuh?
Belakangan baru dia sadar, lalat selalu punya cara
untuk mampir di tempat sampah. Dan sampah itu
Ayunda Putri Gergasi. Siapa lagi.
Ayunda ikut masuk di universitas yang sama.
Bedanya dia masuk fakultas kedokteran gigi. Dan
karena acara masa orientasi mahasiswa fakultas mereka sering digabung, Ayunda punya kesempatan
untuk mendekati Rival. Minta tolong ini dan itu.
Justru pada saat Mariska sedang disibukkan oleh
pasien gilanya.
Belakangan Mariska juga tahu, mereka sering
pergi berdua. Diam diam tentu saja. Menyelinap
seperti maling. Cuma maling yang mengambil milik
orang lain, kan?
Hanya Mariska yang tidak tahu. Karena Topan
sudah sering melihat mereka. Dan sudah pernah
memperingatkan Mariska.
Setahun lewat tanpa terdeteksi, tahu tahu lalat
itu sudah mencemari miliknya! Mariska kecolongan.
Gustian juga.
"Dari dulu aku tahu dia sering main belakang."
Jadi Gustian bukan kecolongan. Dia memang sengaja membiarkan barang bekasnya dicuri orang!
Sudah bosan? Ingin yang baru? Begitu banyak
83 bintang bertebaran. Mengapa harus berkutat pada
planet yang sama?
Beda dengan adiknya. Bagi Mariska, Rival adalah
satu satunya mataharinya. Begitu suryanya diambil,
dia merasa alamnya gelap.
Dan kali ini, dia tidak dapat minta tolong pada
abangnya. Karena kali ini, Rival sudah membayar
uang muka.
84 BAB V
MULA MULA Rival memang tampil sebagai suami
yang setia. Bapak yang baik. Contoh keluarga bahagia.
Dia selalu bergegas pulang selesai kuliah dan
praktikum yang jadwalnya sangat padat. Merindukan
anak istri yang sedang menanti di rumah.
"Sekarang aku merasa kehilangan kalau tidak melihat Ririn sehari saja," ungkap Rival dengan mata
bersinar sinar. Pada awal kelahiran anaknya, topik
pembicaraan Rival memang hanya di seputar Ririn.
Tidak peduli Mariska senang atau justru iri setengah mati mendengarnya.
Setiap kali Rival sedang membanggakan putrinya,
diam diam Mariska membayangkan seandainya dia
yang jadi ibu anak itu. Seandainya dia yang berada
85 di posisi Ayunda. Punya suami yang ganteng. Anak
yang lucu. Perkawinan yang bahagia. Ah, betapa
beruntungnya dia!
"Jangan lama lama menyendiri, Ris," cetus Rival
kalau dia tiba tiba menyadari kegalauan Mariska.
Padahal sejak dulu, Mariska memang selalu sendiri.
"Kalau sudah jadi dokter, nanti kamu lupa kodrat
utamamu sebagai wanita. Menjadi istri dan ibu."
Sekarang dia bertindak selaku penasihat perkawinan, keluh Mariska pedih. Menasihati sahabatnya
yang kesepian. Lupa siapa yang menyebabkannya
jadi demikian.
"Kulihat Topan selalu berusaha mendekatimu.
Kenapa tidak menyimpannya untuk tabungan masa
depanmu?"
Sekarang dia menyodorkan orang lain, geram
Mariska dalam hati. Seolah olah aku barang yang
sudah tidak terpakai lagi. Bisa dipindahtangankan
supaya dia tidak merasa bersalah karena membuangku ke tempat sampah!
"Memang cinta tidak bisa dipaksakan, Ris," sambung Rival ketika Mariska diam saja. Suaranya
begitu lembut. Seperti suara seorang sahabat yang
penuh perhatian. "Tapi kamu bisa belajar mencintainya. Seperti aku belajar mencintai Ayu."
Bohong. Kamu sudah mencintainya sejak SMA!
Bahkan sesudah dia jadi milik Gustian! Kamu tetap
86 menunggunya. Dan menerkamnya begitu ada kesempatan!
Seharusnya Mariska dendam. Sakit hati. Tetapi
mengapa tidak ada kebencian di hatinya?
Dia malah selalu merindukan Rival. Ingin selalu
berada di dekatnya. Bersedia mendengarkan curahan
isi hatinya betapapun sakitnya belati itu mengiris
nuraninya.
Mariska rela menunggu Rival makan, meskipun
dia harus menunggu berjam jam kalau Rival sedang
sibuk menyelesaikan praktikumnya. Sementara Mariska yang kebagian praktikum pagi sudah selesai
lebih dulu.
Dia juga rela menyalin kuliah, menggambar buku
praktikum, memfotokopi diktat kalau Rival kebetulan tidak bisa masuk karena anaknya sakit.
Tentu saja Rival menyadari perhatian Mariska.
Dan dia tahu apa alasannya. Mula mula dia memang selalu berusaha menanggapinya dengan wajar.
Memperlakukan Mariska sebagaimana layaknya seorang sahabat.
Dia selalu mengelakkan kedekatan yang ditawarkan Mariska. Berusaha menjauh kalau tampaknya
hubungan mereka sudah menyerempet bahaya. Tapi
bagaimana mau menjauh kalau mereka kuliah bareng? Tiap hari bertemu? Tiap hari bergaul akrab?
Lebih lebih ketika menginjak masa kuliah kerja
87 nyata. Jaga malam di rumah sakit. Pergi ke kam?
pung kampung untuk menerapkan Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Beranjangsana ke pelosok pelosok untuk menunaikan Bakti Sosial.
Dalam masa yang sangat berat itu, Mariska tampil
sebagai pendamping yang sangat dibutuhkan Rival.
Dia bukan hanya memompakan semangat. Dia juga
tampil sebagai pembantu umum di segala bidang.
Mariska bahkan tidak segan segan melayani Rival
setiap kali mereka tugas malam bersama di rumah
sakit. Menyediakan makanan. Membereskan bajunya. Bahkan menyiapkan laporan dan membuat
status yang kadang kadang tidak sempat dibuat kalau Rival sedang kebanjiran pasien.
Tidak jarang mereka harus pergi selama dua
minggu untuk menunaikan Bakti Sosial. Memang
bukan bermalam dalam satu kamar. Tapi begitu banyak kesempatan untuk berdua. Dan perkawinan
Rival yang sudah berlangsung hampir tiga tahun
juga tampaknya tidak berlangsung mulus lagi.
Jadi sedikit demi sedikit, hubungan Mariska dan
Rival semakin mengental. Sebaliknya hubungan


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rival dan Ayunda semakin memanas.
Entah dari mana dia tahu, Ayunda seperti sudah
merasa suaminya mulai tergoda. Kata orang istri
selalu merasa kalau ada rayap yang menggerogori
mahligai perkawinannya. jadi sebelum mahligainya
88 keropos, Ayunda sudah berantisipasi. Memanggil
tukang semprot rayap.
Menggempur rayapnya habis habisan sampai
Rival semakin repot menghindar.
"Mariska lagi, kan?" tuduhnya judes. "Cewek
nggak tahu malu itu masih belum bosan juga mengejar ngejar suami orang?"
Sejak jadi istri yang sah, dia memang berubah
nyinyir. Membuat suaminya makin jemu. Kenapa
wanita selalu menyebalkan kalau sudah menjadi
istri? Padahal mereka begitu menarik sebelum menikah.
Beda dengan Mariska. Dari dulu sampai sekarang
dia tidak berubah. Begitu begitu juga. Agak gila.
Tapi tetap gigih. Blak blakan. Setia. Malah sekarang
sifatnya yang eksentrik itu membuat Rival semakin
mengaguminya. jarang ada gadis seperti dia.
Biasanya perempuan selalu malu malu kalau di
depan pria. Tidak peduli di belakang memalukan.
Lain dengan Mariska. Depan belakang selalu sama.
Maksudnya sifatnya. Bukan bodinya. Memang dia
tembok. Depan belakang sama.
Mariska juga selalu mendorongnya untuk belajar.
Padahal Rival sudah malas. Buat apa capek capek
kuliah dokter? Dokter sudah banyak. Yang sekaligus
jadi pebisnis juga tidak sedikit. Mending dia jadi
bisnismen sekalian. Mengurangi dosa.
89 Buat apa bersaing dengan seniornya? Buangbuang waktu saja. Hidup ini pendek, waktu terus
berlalu, kan? Nah, kenapa tidak dinikmati saja?
Lagi pula ayah Ayunda menyokong kehidupan
anak menantunya. Tidak ada yang kurang. Semua
dipenuhi. Dari susu bayi sampai uang kuliah menantunya.
Melihat kegigihan anaknya, ayah Rival juga merasa iba. Dia ikut membantu biarpun sudah pasang
iklan putus hubungan. Rupanya tidak ada yang dapat memutuskan hubungan darah ayah dengan anaknya. Apalagi kalau anaknya hampir jadi dokter. Dan
penyakit degeneratif mulai menggerogoti tubuhnya.
Jadi apa lagi yang kurang untuk Rival? Buat apa
mati matian kuliah? Tiap hari bergaul dengan orang
sakit, bukan pekerjaan yang enak. Melihat orang
mati, kalau bukan di bioskop, juga tidak menyenangkan.
Apalagi kalau dosennya lebih cerewet dari Doberman. Lebih jahat dari rottweiler. Ada yang jahatnya
tulus memang. Maksudnya bengis karena tuntutan
tugas. Bukan karena takut disaingi bibit baru.
Tapi Mariska selalu mendorongnya untuk belajar.
Terus kuliah. Pantang menyerah.
"Kamu punya otak," katanya hampir seperti man
tra. 90 Tentu saja. Kalau tidak punya otak, apa isi kepalanya? Kalau isinya sagu dan ikan, itu sih otakotak.
Dan karena Mariska lah yang memegang remote
control, Rival tak pernah jauh darinya. Tentu saja
kecuali di rumah. Di sana dia punya remote sendiri.
Dan remote yang ini sudah korslet. Tidak hentihentinya berdenging sampai ingin rasanya Rival
melemparkannya ke dalam bak mandi.
Rasa cemburu Ayunda begitu besar sampai rasanya tidak ada tindakan Rival yang tidak dicemburui.
Apa pun yang dilakukannya selalu serbasalah.
Coba kalau makan sate saja dicemburui. Dituduh
bikinan Mariska. Padahal Mariska mana bisa bikin
sate? Dia juga selalu beli. Yang dipikul, bukan yang
pakai dorongan.
Sampai sekarang Rival tidak tahu bedanya. Tapi
karena Mariska suka yang pakai pikulan, dia juga
jadi ikut ikutan cari sate yang dipikul. Namanya
saja lagi ngambil hati. Dan istrinya marah marah.
Soalnya tiap malam Rival pulang bawa sate ayam.
Padahal dia tahu Ayunda doyan sate kambing.
Bukan cuma sate yang salah. Bukan hanya garagara sate dia dimarahi.
"Sama Mariska lagi, kan?" sergah Ayunda pedas
ketika Rival membenahi pakaiannya untuk mengikuti Bakti Sosial ke Lombok selama dua minggu.
91 "Bukan cuma dia," sahut Rival datar. "Delapan
orang koas, seorang dosen, dan dua orang asisten."
"Sekalian bersantai di Pantai Senggigi, kan?" sambar Ayunda sinis. "Katanya pemandangannya indah.
Romantis buat yang lagi pacaran."
"Iya," sahut Rival jengkel. "Sekalian hiking ke Rinjani."
Tanggung. Toh dimarahi juga.
Dan jambangan bunga di atas meja jadi korban.
Terbang ke lantai. Berserakan di sana.
"Aku sudah tidak tahan, Val!" desis Ayunda
antara kesal dan sedih.
Dia cemburu setengah mati. Padahal Rival cuma
melebih lebihkan. Dia sudah bosan dicemburui.
Kata siapa cemburu tanda cinta? Coba kalau ke
WC saja dicemburui, apa tidak gerah?
"Terus kamu mau apa?" tantang Rival sengit. "Bercerai?"
"Supaya kamu bisa kawin sama Mariska?"
"Seharusnya aku memang memilihnya," dengus
Rival penuh penyesalan.
"Sekarang kamu menyesal mengawiniku?" jerit
Ayunda setengah histeris.
Rival tidak menjawab. Apa lagi yang harus dikatakannya? Dia memang menyesal. Tetapi mau apa
lagi? Mereka sudah menikah. Sudah punya anak.
Dan Rival sangat menyayangi anaknya. Justru Ririn
92 lah satu satunya alasan mereka belum bercerai. Bukankah anak itu pula alasan mereka menikah?
Rival ingat bagaimana sedihnya Mariska ketika
dia memutuskan hubungan mereka. Ketika dia mengatakan akan menikahi Ayunda bulan depan.
Saat itu mereka baru saja selesai praktikum anatomi. Mereka berjalan bersama keluar ruangan. Bau
amisnya mayat masih tercium. Tapi bukan itu yang
membuat hidung Mariska berair. Matanya memerah.
"Maafkan aku, Ris," desah Rival lirih. "Aku tidak
punya pilihan lain. Ayunda mengancam akan membunuh diri."
Untuk pertama kalinya Rival melihat mata gadis
itu berkaca kaca. Dan dia meninggalkan Mariska
secepatnya. Karena dia tidak tahan melihat air matanya.
Tapi gadis itu memang tabah. Dia tidak terpuruk
dalam kesedihan. Dan dia tidak berhenti mencintai
dirinya. Tidak jera mengejarnya. Mariska memang
gadis yang unik. Luar biasa. Spesial. Sekarang baru
Rival mengaguminya.
"Aku mencintaimu, Val," desah Mariska lirih, hanya enam jam sebelum pernikahannya. "Aku rela
melakukan apa saja untuk memilikimu kembali.
Katakan apa yang harus kulakukan untuk membatal
kan pernikahanmu, Val!"
93 "Aku tidak bisa, Ris," gumam Rival sama getirnya.
"Sudah terlambat mengubah keputusanku. Aku mencintai Ayunda. Sejak dulu." Melihat kemarahan yang
bersorot di mata Mariska, Rival buru buru menambahinya. "Maafkan aku. Tapi jika aku tidak berterus
terang kepadamu, aku selalu dikejar perasaan bersalah."
"Tapi kenapa baru sekarang kamu bilang, Val?"
desis Mariska berang.
"Karena kamu tidak mau mendengarnya, Ris!
Kamu terus mengejarku. Tidak peduli aku mencintaimu atau tidak!"
"Jadi kamu tidak mencintaiku?" desak Mariska
panas. Ditatapnya mata teman prianya dengan tajam. "Tatap mataku, Val. Katakan kamu tidak mencintaiku!"
"Ris," Rival menghela napas dengan perasaan serbasalah. Tidak tahu ke mana harus menyembunyikan
tatapannya. "Jangan rusak hari pernikahanku."
"Apa maksudmu?" potong Mariska sengit. "Kamu
takut aku menyerbu dan mengacaukan upacara pernikahanmu? Itu yang kamu takuti karena memacari
cewek gila lalu mencampakkannya begitu saja?"
"Untuk apa saling menyakiti lagi, Ris? Walaupun
aku sudah menjadi suami perempuan lain, aku ingin
kita tetap bersahabat!" Rival meraih tangan Mariska
94 dan menggenggamnya erat erat. "Kumohon, Ris. Jangan rusak persahabatan kita!"
Mariska mengabulkan permintaan sahabatnya.
Dia tidak mengumbar nafsu gilanya. Tidak mengacaukan pesta pernikahan Rival. Dia hanya tegak di
kejauhan. Membiarkan hatinya menangis sementara
wajahnya membeku. Menyaksikan dengan getir
satu satunya lelaki yang pernah dicintainya memadu
janji dengan istrinya.
"Sakit, ya?" bisik Topan yang tahu tahu sudah
berada di dekatnya. Atau dia memang selalu berada
di sisinya? Hanya Mariska yang tidak tahu. Topan
tidak mau pergi jauh. Seakan akan takut Mariska
nekat. Menelan racun tikus di pesta pernikahan
pacarnya.
Tetapi kalau Topan mengira Mariska akan membunuh diri, dia keliru. Topan belum kenal gadis itu.
Dia memang sedih. Patah hati. Hancur. Tapi putus
asa? Tidak pernah! Bunuh diri? Itu bukan jatahnya!
Mariska menumpahkan kemarahannya dengan
mendaki Gunung Rinjani. Bukan mengurung diri di
kamar. Menangis memeluk bantal. Atau mencurahkan kesedihannya dengan membuat puisi. Menulis
buku harian. Mendengarkan lagu lagu cengeng. Itu
bukan formatnya.
Bahkan Gustian yang ingin mengembalikan kalung Wiracocha nya ditolaknya mentah mentah.
95 Saat itu Mariska sedang melempar lempar bola
basket ke keranjang di halaman depan rumahnya.
Gustian menonton sambil membisu.
Ketika bola mencium bibir keranjang dan mental
ke arahnya, Gustian menangkapnya dengan gesit.
Lalu dengan lemparan yang prima, dijebloskannya
bola itu ke keranjang. Bola meluncur mulus ke tanah. Mariska menangkapnya. Tapi Gustian merebutnya. Dan selama setengah jam mereka bertanding.
Tentu saja Gustian lebih banyak mengalah. Tetapi
melihat semangat adiknya, dia sadar, Mariska sedang menumpahkan kemarahannya.
Karena itu dia mulai serius melawan. Dengan
gesit dia memamerkan keahliannya. Memblok. Merebut. Mendribel. Melempar. Mencetak gol. Sampai
Mariska ambruk kecapekan.
Tatkala mereka sedang duduk beristirahat di
lantai teras, Gustian menyodorkan kalungnya. Mariska menatap kalung itu sekilas. Lalu menoleh sengit ke arah abangnya.
"Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan!" cetusnya judes.
"Barangmu sendiri sudah diambil balik, kan?"
"Simpan saja!" Mariska mendorong tangan kakaknya yang menggenggam kalung itu. "Anggap aja jimat!"
"Kamu mau aku menghajar Rival?"
96 "buat apa?"
"Mempermainkanmu."
"Nggak usah. Aku yang tidak tahu diri."
Ketika mendengar adiknya mengucapkan katakata yang terakhir itu, Gustian merasa hatinya trenyuh. Tidak sadar diraihnya adiknya ke dalam pelukannya.
Tetapi bukannya menangis di bahu kakaknya,
Mariska malah mendorong dada Gustian. Dia menolak dipeluk. Menolak dikasihani.
"Aku nggak apa apa," katanya tegas. "Main lagi?"
Ketika melihat betapa buasnya adiknya bermain,
Gustian sadar betapa hancurnya hati Mariska. Dia
hanya tidak ingin memperlihatkannya.
Karena itu selama berminggu minggu sesudahnya,
diam diam Gustian selalu mengawasi adiknya. Tetapi Mariska memang tidak perlu dijaga. Dia dapat
melewati hari harinya yang suram dengan tabah.
Hanya Gustian dan Topan yang tahu betapa seringnya Mariska duduk di bangku batu di depan
ruang anatomi, meskipun sudah tidak ada praktikum. Dia duduk termenung di sana.
Mengharapkan Rival muncul di ambang pintu.
Lari menghambur untuk memeluknya. Dan berbisik
lembut di telinganya.
"Aku sudah kembali."
Tetapi Rival tidak pernah kembali. Dia tidak
97 muncul. Dan Mariska harus pulang seorang diri.
Melangkah gontai walau tetap tabah.
Yang kalut justru Ayunda. Karena dia kebetulan
memergoki adegan itu. Dia melihat calon suaminya
menggenggam tangan bekas pacarnya. Dan memohon sesuatu. Entah apa. Hanya enam jam sebelum
pernikahan mereka.
Sejak itu Ayunda terus dibayangi rasa cemburu.
Curiga. Takut. Khawatir karma akan datang menghu?
kumnya. Bukankah dia mencuri milik orang lain?
Tidak heran kalau dia jadi dibakar cemburu buta.
Dan dia menumpahkan kecemburuannya sedemikian
rupa sampai suaminya merasa jenuh.
Sekarang baru Rival menyesal. Semakin hari dia
melihat istrinya semakin memuakkan. Sementara
sahabat yang selalu berada di sisinya dalam senang
dan susah justru semakin menarik.
"Belum terlambat menata ulang hubungan kita
kan, Ris?" bisik Rival ketika malam itu mereka mendapat kesempatan duduk berdua di belakang puskes?
mas yang menjadi markas mereka selama kegiatan
Bakti Sosial di Ampenan.
Karena puskesmas sudah tutup, halaman belakang tempat mereka duduk sudah sepi. Dan karena
hanya ada satu lampu pijar dua puluh lima watt
yang menyala di sana, suasana di sekitar mereka lu
mayan gelap.
98 Selama kegiatan Bakti Sosial mereka memang
hampir tidak punya kesempatan berada berdua. Pasien datang seperti banjir. Dan kalau pasien sudah
pergi, mereka masih harus mengikuti pengarahan
dari dosen pembimbing.
Belum lagi pengawasan dari dua orang asisten
yang selalu menempel ketat seperti lem tikus. _]angan heran. Salah satu asisten yang memantau kegiatan mereka adalah Topan Tabir Fajar. Dan dia
mengawasi koasistennya dengan ekstra ketat. Terutama koas yang bernama Mariska Diana Prasetyo.
"Apa yang harus ditata ulang?" Mariska tersenyum lembut. Biar letih didera tugas yang bertumpuk tumpuk, dia tidak kelihatan patah semangat. Selalu tampil gigih. Tabah. Segar. Sekarang
justru itu yang menjadi poin ekstra di mata Rival.
Bukan kecantikannya. Yang sudah mentok sampai
di angka enam setengah. "Perhatianku padamu tidak
pernah berubah, kan? Sejak kamu pertama kali duduk di bangku sebelahku waktu kita masih SMA."
"Waktu pertama kali kamu tanya apa arti namaku," Rival ikut tersenyum sambil meraih tangan gadis itu dan meremasnya dengan mesra.
"Kamu bilang nasi bungkus!" Mariska tertawa
cerah. Ketika sedang tertawa, wajahnya berbinar.
Dan Rival makin terangsang untuk meraihnya.
99 Padahal selama bertahun tahun dia tidak pernah
menyadari betapa menariknya gadis ini. Gadis yang
selalu ada di sampingnya. Tapi yang tak pernah dihargainya.
Alangkah bedanya dia dengan Ayunda sekarang!
Ayunda yang cantik kini tampil layu dan rapuh.
Ibarat mawar, masa segarnya telah lewat dengan cepat. Kini dia hanya tinggal menanti luruh.
Tentu saja itu pendapat Rival. Pendapat suami


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah mulai bosan makan di rumah. Begitu
banyak jajanan pasar di luar, kenapa tidak boleh dicicipi?
Menurut pendapat Rival, proses degradasi istrinya
bertambah cepat karena tiap hari dia didera kecemburuan, kemarahan, dan keputusasaan. Sementara
membayangkan suaminya yang sedang bersenang senang dengan bekas pacarnya, dia terkubur mengurus
anak dan rumah tangga yang membosankan.
"Setelah lulus nanti, aku ingin bercerai," Rival
mengembuskan kata kata itu bersama napasnya
yang sempat tertahan.
"Heran," gumam Mariska jujur. "Aku tidak ka
!! get. "Kamu tidak tahu bagaimana pahitnya perkawinan kami."
Tahu. Itu namanya karma. Karena kamu mencuri
milik orang lain.
100 "Ris." Rival merengkuh Mariska ke dalam pelukannya. "Kalau"
Ada bunyi barang jatuh di belakang mereka. Bukan jatuh. Mungkin dibanting. Karena bunyinya
keras sekali. Lalu sorot lampu senter menerangi mereka. Buru buru Rival melepaskan pelukannya.
"Rival! Riska!" Suara itu menggelegar merontokkan dedaunan di atas kepala mereka. "Lagi ngapain
kalian di tempat gelap begini?"
Tanpa menoleh pun Mariska sudah tahu siapa
yang tegak di belakangnya. Menyorotkan lampu senter seperti sedang mencari penyu di pantai.
Dia kesal sekali diperlakukan seperti anak SMA
begini. Mereka kan sudah berumur dua puluh tiga
tahun. Sebentar lagi jadi dokter. Masa duduk berdua di tempat gelap saja dilarang?
"Maaf, Bang," Rival yang sudah buru buru bangkit berdiri gelagapan di depan Topan. "Kami cuma
ngobrol."
Sementara Mariska yang tidak tampak takut
sedikit pun membersihkan debu yang melekat di
celana jinsnya. Apa yang harus ditakuti? Mereka tidak berbuat salah kok! Ngobrol kan bukan dosa!
"Juga dengan suami orang?" dengus Topan sengit
ketika dia sudah berada berdua saja dengan Mariska
di depan kamarnya.
Topan memang memerlukan mengantar sendiri
101 Mariska ke kamar koasisten wanita. Seolah olah dia
ingin meyakinkan dirinya Mariska benar benar masuk ke kamarnya. Tidak menyelinap keluar lagi dengan Rival.
"Apa salahnya ngobrol dengan suami orang?" ser?
gab Mariska sama pedasnya.
Celaka betul jika pria yang sudah menikah dilarang mengobrol!
"Berdua saja? Di tempat gelap?"
"Kami tidak melakukan kesalahan apa apa!"
"Tapi orang bisa menafsirkan yang bukan bukan!"
"Persetan!"
"Ini bukan Jakarta, Ris! Dan kita orangorang
yang dihormati. Jangan rusak nama almamater kita
dengan ulahmu!"
"Ulah apa? Kami cuma ngobrol! Bukan bertukar
saliva!"
"Sambil berpelukan?"
"Kami sudah dewasa!"
"Dan dia suami orang!"
"Rival sudah hampir bercerai!"
Mata Topan bersorot marah. Belum pernah Mariska melihatnya segusar itu.
"Karena kamu?"
"Perlu kutanyakan? Untuk kamu catat di buku
laporanmu?"
102 "Tidak malu jadi perusak rumah tangga temanmu
sendiri?"
"Rival pacarku sebelum Ayunda merampasnya,"
geram Mariska berang.
"Sekarang kamu ingin merampasnya kembali?"
"Sejak kapan itu jadi urusanmu?"
"Aku ditugasi mengawasi tindak tanduk koas, terutama yang binal macam kamu!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Catat saja di buku
laporanmu!"
"Kamu tidak takut aku laporkan pada Dokter
Samsul?"
"Kenapa harus takut? Aku tidak punya salah
kok!"
Gadis yang satu ini memang Charlie's Angels.
Percuma menggertaknya. Dia juga tahu sekali Topan tidak bakal melaporkannya. Mana dia tega.
Mariska juga tahu, Topan bertindak seperti itu
untuk melindunginya. Karena Mariska merasa,
diam diam Topan selalu menjaganya.
Topan tidak percaya pada Rival. Pria yang pernah
menghamili teman gadisnya pasti bukan pria baikbaik. Dan dia bisa berbuat yang sama pada gadis
lain.]adi dia tidak pernah berada jauh dari Mariska.
Kebetulan memang itu tugasnya. Mengawasi dan
membantu dosen membimbing para koasisten.
Saat itu Topan sudah lulus ujian dokter. Tetapi
103 dia masih menunggu penempatan. Karena itu dia
menyempatkan diri ikut waktu fakultasnya mengadakan Baksos. Tentu saja sebagian alasannya karena
Mariska ikut dalam rombongan itu.
Entah mengapa sejak pertama kali bertemu dalam masa perkenalan, dia sudah tertarik kepada gadis itu. Mariska amat berbeda dengan gadis gadis
lain yang pernah dikenalnya.
Dia tidak cantik. Baik wajah maupun tubuhnya
biasa biasa saja. Tapi ada sesuatu dalam dirinya
yang membuat dia istimewa. Sifatnya yang degil, tak
kenal takut, pantang menyerah, malah menambah
daya tariknya.
Sayang sejak dulu sampai sekarang, Mariska tidak
pernah tertarik kepadanya. Juga kepada pria lain.
Dia hanya terpikat pada Rival. Bahkan sesudah dia
menikah.
"Rival sudah hampir bercerai!" Kata kata yang
diucapkan Mariska dengan gemas campur puas itu
tak mau hilang dari telinga Topan. Dan dia percaya
dengan apa yang didengarnya.
Rival sudah hampir bercerai. Pasti benar dia bilang begitu. Tetapi benar tidaknya dia mau bercerai,
hanya Rival yang tahu.
Berapa banyak lelaki yang mengaku hendak bercerai kepada gadis yang diminatinya? Setelah gadis
itu dimilikinya, dia tak kunjung bercerai juga. Cerita
104 lama. Sudah basi. Tapi masih enak disantap. Dan
masih banyak penggemarnya. Terutama gadis bodoh
macam Mariska!
Mengapa dia tidak bosan bosannya mengejarngejar Rival? Apa istimewanya lelaki itu?
Tampan? Oke. Dia memang ganteng. Tubuhnya
atletis. Dadanya bidang. Perutnya sixpack. Tapi dia
sudah menikah! Sudah punya anak! Dan dia pernah
mengkhianati Mariska! Untuk apa dikejar lagi?
Cinta pertama? Mungkin. Tapi cuma orang dungu yang menganggap cinta pertama tak pernah
mati. Tentu saja itu pendapat Topan. Karena cinta
pertamanya sudah lama tenggelam di laut. Karam
waktu baru mulai berlayar. Seperti Titanic.
Tetapi tidak seperti Titanic, Topan sudah lama
melupakannya. Dia bukan pria cengeng yang gemar
menangisi sejarah. Yang sudah lewat tak perlu disesali
lagi. Kalau tidak, bisa basah kuyup buku sejarah.
Satu satunya yang sekarang membuatnya menyesal cuma Mariska. Karena gadis itu tidak menggubris perhatiannya. Dan terus menerus mengejar
Rival biarpun dia sudah punya kandang sendiri.
Kurang ajarnya, sekarang Rival seperti membalas
perhatian Mariska. Pakai menjanjikan akan bercerai
segala!
Tapi justru janji Rival itu yang membuat Mariska
semakin giat belajar.
105 "Aku akan menikah," jawabnya mantap ketika
Gustian memergokinya masih belajar sampai subuh.
"Jadi harus lulus langsung."
"Kamu mau menikah sama siapa?" tanya Gustian
heran. "Topan?"
"Rival." Mariska menelan kejengkelannya. Menga?
pa semua orang seperti menyuruhnya pacaran de?
ngan Topan? Karena dia sudah jadi dokter? Karena
dia sangat memerhatikannya? Karena dia selalu ber?
ada di dekatnya?
"Maksudmu, dia mau poligami? Kamu rela jadi
istri kedua? Dapat jatah suami cuma separuh?"
"Rival mau bercerai."
"Cerai?" belalak Gustian kaget. "Lalu kamu lang?
sung melahap sisanya?"
"Dia masih utuh," sahut Mariska datar. "Makanya
kata Mama, lelaki makhluk yang beruntung. Berapa
kali pun menikah, tidak ada bedanya!"
"Kenapa mereka bercerai?"
"Bukan urusanku. Apa harus kutanyakan?"
"Tentu saja jadi urusanmu kalau kamu yang men?
jadi orang ketiga!"
"Sejak kapan kamu jadi penasihat perkawinan?"
"Aku tidak setuju kamu menikah dengan Rival.
Sekalipun dia sudah bercerai."
"Untung kamu bukan Papa."
106 "Kalau menurut pendapatku, Topan lebih cocok
untukmu."
"Sejak kapan kamu lebih tahu mana yang cocok
untukku?"
"Kamu adikku, Ris," dengus Gustian serius. "Dan
aku kenal Rival. Dari luar dia memang Menara
Eiffel. Dalamnya kamu belum tahu!"
"Iya, kami memang mau bulan madu ke Paris,"
sahut Mariska seenaknya. "Nanti kalau sudah mengunjungi Menara Eiffel, aku telepon kamu. Mau
lihat dalamnya juga? Perlu kirim foto?"
"Kenapa sih kamu tidak tertarik pada Topan?
Dia lebih baik dari Rival. Rajin. Jujur. Bersih ling?
kungan."
"Aku cari suami, bukan karyawan."
"Dan kamu lebih tertarik pada yang seken?"
"Kenapa kamu tertarik pada Alicia Agustini?"
"Kami sudah putus."
"Jadi apa bedanya kamu dengan Rival?"
"Bedanya jelas sekali. Aku belum menikah! Masih
boleh ganti suku cadang sepuluh kali lagi!"
"Siapa sekarang korbanmu?"
"Dinda."
"Adinda Effendi? Teman SMA kita? Anak cheers
yang sok keren itu? Wah, sering?sering aja Mas Gus
kontrol jantung!"
"Sekarang dia sudah berubah."
107 "Kamu yang mengubahnya?" Mariska tertawa geli.
"Susah lho mengobati kelainan bawaan!"
"Lihat saja nanti. Kamu pasti kagum."
Tetapi sebulan kemudian, Adinda pun dikembali?
kan ke alamat pengirim. Rupanya untuk pria se?
sempurna Gustian Prasetyo, mencari istri sama
susahnya dengan mencari pemimpin idaman.
Beda dengan adiknya. Bagi Mariska, sekali Rival
tetap Rival. Apa pun yang terjadi, dia tetap mendambakan pria itu. Tidak peduli dia Menara Eiffel
atau cuma lubang semut.
Sia sia Gustian mendorong?dorong adiknya un?
tuk menerima perhatian Topan. Mariska tidak ter?
tarik.
"Kami sering of road bareng," bujuk Gustian ti?
dak bosanfbosannya. "Aku tahu dia naksir kamu,
Ris. Naksir berat."
"Sebodo amat," dengus Mariska tawar.
"Hatinya sebenarnya baik, Ris. Cuma bercandanya
memang kadang?kadang kelewatan."
"Siapa yang nanya?" potong Mariska judes.
"Kenapa sih kamu masih milih barang bekas?
Ada barang baru yang masih mulus malah ditolak!"
"Mas Gus mana bisa ngerti?" desis Mariska datar.
Karena perasaan yang satu ini tidak pernah ada di
hatimu! Perasaan itu bernama cinta!
108 *** "Aku ingin cepat jadi dokter, Ris," bisik Rival sambil
memeluk Mariska dengan hangat. Saat itu mereka
sedang duduk di pantai. Menyaksikan matahari men?
cium khatulistiwa. Mengagumi tebaran warna jingga
yang menyepuh laut yang kehitaman. "Supaya aku
dapat cepat mengawinimu."
Tentu saja Mariska bahagia mendengarnya. Hatinya berdebar hangat. Sehangat pelukan lelaki yang
dicintainya. Tetapi masih ada segurat keraguan
mengintai di sudut benaknya.
"Bagaimana dengan Ayunda?"
"Kami akan bercerai."
"Dan Ririn?"
"Aku akan membawanya. Dia anak yang manis.
Lucu. Patuh. Kamu pasti menyukainya."
"Kamu pikir Ayunda akan melepaskannya begitu
saja? Sejarah berulang, Val. Dulu ayah-ibunya juga
memperebutkannya di pengadilan."
"Ayu beda. Dia memang melahirkan Ririn. Tapi
bukan ibunya."
"Teka?teki apa itu?"
"Dia tidak pernah mengurus Ririn. Baby Sitter
kami yang selalu menjaganya."
"Berapa banyak ibu ibu modern yang seperti itu?
109 Tapi bukan berarti mereka tidak menyayangi anaknya!"
"Aku yakin tidak sulit mengambil Ririn."
"Dan tidak sulit menceraikan Ayunda?"
"Dia sendiri sebenarnya sudah ingin bercerai.
Cuma takut sama ayahnya."
"Kamu tidak? Selama ini, dia yang menunjang
rumah tanggamu, kan?"
"Kalau sudah jadi dokter, aku bisa cari makan
sendiri." Rival menunduk. Menatap mata Mariska
dengan mesra. Dan mengecup dahinya dengan lembut. "Kamu tidak takut hidup melarat dengan dok?
ter baru yang belum punya pasien, kan?"
"Selama masih ada batu yang bisa dimakan," Ma?
riska tersenyum bahagia. "Aku rela beternak ayam
di kampung."


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Ris," gumam Rival lega. "Kamu
memang ibarat matahari di batas cakrawala. Selalu
menyepuh jingga hidupku yang hitam kelam."
*** Hubungannya yang semakin menghangat dengan
Rival menambah semangat belajar Mariska. Cinta
memang bukan hanya perlu untuk membuat anak.
Tapi juga perlu untuk meraih ijazah. Dan Mariska
telah membuktikannya.
110 Dengan memajang foto Rival yang sedang menatap tajam di meja tulisnya, huruf?huruf di diktat?
nya dapat lebih cepat kabur ke otaknya. Kalau dia
sudah letih, matanya sudah buram, dia mencium
foto Rival. Dan ciuman itu seperti obat perangsang
yang memacu semangatnya.
Siang?malam dia belajar dengan giat. Sampai
Mama Dania kebingungan karena tidak melihat kapan putrinya tidur.
Papa Arif juga bingung karena tagihan listriknya
naik banyak. Tidak heran. Tiap hari Mariska belajar
sampai pagi. Kadang?kadang dia sudah ketiduran
dengan lampu masih menyala terang seperti di sta?
dion kalau ada pertandingan bola.
Dan yang menyala bukan hanya lampu di kamar?
nya. Sekaligus komputer jangkriknya. Yang sudah
berapa kali harus turun mesin karena kecapekan
digenjot habis habisan.
Tetapi semangat Mariska ternyata tidak Sia sia.
Dia berhasil menempuh ujian akhirnya dengan gemi?
lang. Padahal dia bukan mahasiswi yang paling pin,
tar. Prestasinya tidak terlalu menonjol. Dan nilai
akhirnya dari masingfmasing bagian juga biasa biasa
saja.
Tetapi sekali lagi cinta membuktikan, dia adalah
benda ajaib yang sulit diprediksi. Cinta bisa mem?
bunuh orang. Bisa menyembuhkan penyakit. Bisa
111 membuat ribuan novel. Ratusan Elm. Dan bisa mem?
buat mahasiswi dengan kategori rata?rata meraih
prestasi gemilang.
Ibarat pelari yang diiminginningi medali, dia
mampu mencapai garis finish lebih cepat dari yang
ditargetkan. Sayangnya piala yang diimpikannya tak
pernah berhasil diraihnya.
Untuk kesekian kalinya dia dikecewakan Rival.
112 BAB VI
AYUNDA datang menghadiri upacara wisuda suami?
nya. Dan di balik kebanggaannya mengenakan toga
sarjana kedokteran, sekali lagi Mariska harus me?
nelan pil pahit.
Ayunda sedang hamil tua. Dia mengandung seorang anak lagi. Anak Rival! Dan Rival tidak per?
nah mengatakannya.
Dia hanya mengatakan ingin bercerai. Tapi tidak
pernah mengatakan telah menghamili istrinya lagi!
Kecelakaan? Yang benar saja. Bisa penuh rumah
sakit kalau suami yang menghamili istrinya disebut
kecelakaan!
Mariska penasaran sekali. Ingin menggugat Rival.
Ingin menampar mulutnya. Memotong lidahnya.
Menyayat pita suaranya. Lho! Memangnya prak?
tikum anatomi?
113 Hari itu mereka memang tidak punya kesempatan
untuk bicara berdua saja. Pada hari yang amat me?
nyibukkan itu, mereka seolah?olah menjadi bintang
film. Kilat lampu blitz seperti tidak ada habis?habis?
nya. Sama membanjirnya dengan ucapan selamat.
Uluran tangan. Pelukan. Tawa. Canda.
Tak ada waktu untuk berkeluh?kesah. Apalagi
bertanya. Mendesak. Mengeluh.
Rival tak pernah jauh dari keluarganya. Kecuali
ketika sedang berbaris untuk maju menerima ijazah?
nya. Demikian juga Mariska. Hari itu, untuk pertama kalinya dia menerima perhatian penuh dari
orangtuanya.
Ayah?bundanya tidak menyangka anak bungsunya
yang dikira dungu dan aneh itu ternyata bisa me?
nyelesaikan kuliah tepat waktu. Padahal kalau di?
ingat tindak?tanduknya waktu sekolah dulu, siapa
kira dia dapat menjadi dokter, bukan pasien?
"Mama bangga sama kamu, Ris," kata ibunya sam,
bil memeluk Mariska.
Kalau Mariska sedang tidak kesal, seharusnya dia
merasa terharu. Seharusnya dia sadar, inilah pertama kalinya ibunya memeluknya di muka umum.
Inilah pertama kalinya Mama bilang dia merasa
bangga! Padahal sejak dulu, hanya Gustian yang
membuatnya bangga, kan?
Sayang perhatian Mariska sedang tertumpah?ruah
114 pada Rival. Dan pada perut gendut istrinya. Pada
wajahnya yang sumringah. Pada senyumnya yang
diobral ke sana kemari seolah?olah dialah yang diwisuda.
Mariska tidak dapat menghampiri Rival. Men?
dekatinya saja tidak mungkin. Istrinya melekat di
sisinya seperti parasit. Ayah mertuanya juga tidak
mau pergi jauh. Seolahaolah dia takut tidak ke?
bagian jatah. Bukankah dia juga punya andil dalam
mencetak titel dokter menantunya?
Sia sia Mariska menunggu di tempat favorit me?
reka. Di depan ruang anatomi. Rival tidak muncul.
Padahal berapa susahnya dia menyelinap ke sana?
Pura?pura ke WC.
Yang mampir justru Topan. Siapa lagi. Entah dari
lubang batu mana dia muncul. Dia selalu mem?
bayangi Mariska. Seperti hantu. Bedanya dia tidak
keluar dari kuburan. Atau dari gedung bioskop.
Senyum itu terpampang paten di bibirnya. Se?
nyum ejekan yang menyakitkan.
Bibirnya bergerakzgerak. Seperti melafalkan, sakit,
ya? Mariska ingin sekali menamparnya. Sekerasfkeras?
nya. Supaya dia tidak bisa tersenyum lagi. Atau sekalian saja merobek mulutnya. Biar dia jera mengejek. Kapok menyakiti hati orang.
"Belum ada puskesmas yang mau menerima dok?
115 ter sampah macam kamu?" desis Mariska sengit.
"Kok masih di sini juga?"
"Masih nunggu," sahut Topan tanpa meninggalkan
senyumnya.
"Nunggu panggilan dari neraka?"
"Nunggu kamu."
Mariska membelalak antara kaget dan marah.
"Ngapain nunggu aku?"
"Nunggu sampai kamu insaf, tidak boleh menginginkan milik orang lain. Dosa."
"Sejak kapan kamu jadi malaikat?"
"Dari dulu aku selalu jadi malaikat pelindung?
mu."
"Kapan aku boleh memecatmu?"
"Kalau aku sudah menjadi suamimu."
Mariska tertegun sesaat. Dia belum sempat mem?
buka mulutnya ketika Gustian tiba di sisinya.
"Hai," sapanya pada Topan. "Lagi merayu adikku?
Hati?hati saja, sekarang tarifnya mahal."
"Lagi melamar," sahut Topan santai. "Katanya gra?
tis."
Gustian cuma terenyak sesaat. Sebelum tawanya
meledak sedetik kemudian.
"Dari dulu aku sudah bilang sama Mariska, kalian pasangan yang cocok. Pulang dari daerah ma?
suk psikiatri saja."
116 "Bagaimana, Ris? Kapan aku boleh datang ke ru?
mahmu?"
"Ngapain ke rumahku?" sergah Mariska judes.
"Di mana aku harus melamarmu?" Topan tertawa
lebar. "Di kampus?"
Mariska meletakkan jarinya menyilang di dahinya.
Lalu dia meninggalkan Topan dengan jengkel.
"Sabar!" Gustian menepuk bahu Topan. "Dari
pengamatanku, cuma kamu yang cocok jadi suami
adikku! Asal kalian jangan salah masuk bangsal!"
Topan balas menggebuk bahu calon kakak ipar?
nya. Begitu kerasnya sampai Gustian menyeringai
sakit.
"Sialan! Mukul apa mbunuh?"
"Boleh titip obat?"
"Guna?guna maksudmu?"
"Pil antihamil."
"Belum pernah ditampar Mariska?"
"Aku khawatir ada yang ingin meluaskan ekspan?
si."
"Rival maksudmu?"
"Siapa lagi?"
"Tidak lihat sebesar apa perut istrinya?"
"Justru itu yang membuat suaminya menjadi le?
laki paling berbahaya di dunia!"
Gustian menyeringai lebar. Sejak semula dia su?
dah menyukai pria yang satu ini. Entah mengapa
117 adiknya mengejar?ngejar suami orang padahal ada
lelaki nganggur yang begini menarik di samping?
nya! Ah, perempuan memang aneh! Makanya belum
ada yang bisa menjadi pendamping tetap Gustian
Prasetyo sampai saat ini!
"Ada acara malam ini?"
Topan mengerling jenaka.
"Jangan salah sangka. Aku naksir adikmu! Bukan
abangnya!"
"Makanya kamu harus lebih proaktif!"
"Apa yang harus kulakukan? Membius minumannya?" Topan tertawa geli.
"Bisa kurangi jatah candamu? Cewek nggak suka
cowok yang kurang serius!"
"Itu ilmu peletmu selama berabad?abad? Makanya
kamu menjelma jadi cowok paling digemari sepanjang masa?"
"Mau dengar jurus yang lain?"
"Aku harus bayar berapa? Ilmumu tidak diwaris?
kan secara gratis, kan?"
"Cukup bayar minumanku."
*** Mengapa hidupku selalu gersang, keluh Mariska ke!
tika dia sedang ngebut bersama mobilnya di jalan
118 tol Jagorawi malam itu. Mengapa cintaku selalu kan?
das? Mengapa Rival selalu mengkhianatiku? Menga?
pa dia tidak setia?
Tapi benarkah Rival berkhianat? Benarkah dia
tidak setia? Dia menghamili istrinya sendiri! Di
mana letak kesalahannya?
Tetapi apa artinya kata?katanya waktu Baksos
dulu?
"Belum terlambat menata ulang hubungan kita kan,
Ris?"
"Setelah lulus nanti, aku ingin bercerai."
Berdustakah Rival? Untuk apa? Dia tidak perlu
membohongi Mariska untuk merebut hatinya. Ka?
rena sejak dulu, hati Mariska memang sudah milik?
nya! Rival hanya tinggal menjentikkan jarinya. Dan
Mariska akan langsung menghambur ke dalam pe?
lukannya. Tidak peduli dia sudah menjadi suami
semua wanita di dunia!
Mariska tidak pernah menolak ajakannya untuk
menemaninya kalau dia sedang suntuk karena ber?
tengkar dengan istrinya di rumah.
"Temani aku, Ris," dia hanya cukup bilang begitu.
Dan Mariska rela kehilangan waktu belajarnya. Wak?
tu santainya. Waktu tidurnya.
Dia rela menemani Rival ke mana pun. Ke bios
kop. Ke kafe. Ke kolam renang. Ke pantai. Ke gu?
119 nung. Ke kuburan. Untung yang terakhir itu belum
pernah diminta Rival. Pokoknya ke mana pun Rival
mengajaknya, Mariska tidak pernah menolak.
Dan akhinakhir ini, mereka bukan hanya
ngobrol. Rival bukan hanya curhat. Dia sudah be?
rani memeluk. Bahkan mencium. Kalau dibiarkan,
barangkali dia malah meminta lebih. Karena ke!
mesraan yang menyelubungi mereka akhirfakhir ini
memang kian lama kian intens.
Pelukan Rival terasa begitu hangat. Ciumannya
semakin lama juga semakin berani. Semakin mesra.
Semakin sulit ditolak.
Hanya vitamin yang dicekokkan ibunya tiga kali
sehari yang masih mampu melindungi Mariska dari
serbuan virus perselingkuhan. Dia masih sanggup
menjaga baik?baik mahkotanya. Yang kata Mama
hanya boleh diserahkan kepada suaminya.
Tetapi justru keteguhan Mariska menjaga mah?
kotanya yang semakin menambah kekaguman Rival.
Dia semakin respek pada gadis yang dulu tidak dihargainya.
"Aku ingin cepat jadi dokter, Ris," Mariska masih
dapat membayangkan adegan di pantai saat itu. Masih dapat merasakan hangatnya pelukan Rival. Mes!
tanya tatapan matanya. "Supaya aku dapat cepat
mengawinimu."
Saat itu harapan Mariska membubung tinggi.
120 Anganfangannya menggapai awang?awang. Meraih
gumpalan awan di langit.
Dia sudah membayangkan betapa bahagianya hi?
dupnya nanti. Menikah dengan lelaki yang sangat
dicintainya. Yang profilnya selalu diimpikannya se?
tiap malam. Yang kehadirannya selalu dirindukan.


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sekarang semua itu amblas ke liang kubur.
Punah tak berbekas.
Angan?angannya tinggal fatamorgana. Kebaha?
giaannya cuma ilusi!
Rival tetap tak mampu digapainya. Cintanya tak
sanggup diraihnya. Dia sudah kembali kepada pe?
rempuan yang memilikinya. Mariska hanya kebagian
sakitnya.
Seperti yang selama ini selalu menjadi jatahnya.
Dikhianati. Dibohongi. Ditinggal. Dibiarkan sen?
diri.
Sambil menghela napas berat, Mariska menekan
pedal gasnya dalam?dalam.
Ah, enaknya ngebut! Rasanya semua stres lenyap
bersama deru mesin mobilnya. Gelapnya suasana
malah menambah keasyikannya memacu si Troy.
Begitu Mariska menjuluki mobilnya sampai menam?
bah koleksi piagam gilanya.
Dari siapa lagi kalau bukan dari abangnya.
Gustian memang paling sering mengecapnya gila.
121 Nah, yang benar saja. Mobil kok diberi nama! Men?
tang?mentang belum punya anak!
Tetapi Mariska tahu sebenarnya Gustian amat
menyayanginya. Waktu di SMA dulu, entah sudah
berapa belas kali dia berkelahi untuk membela adik?
nya. Gustian juga hampir tidak pernah menolak per?
mintaan Mariska. Setiap kali adiknya minta tolong,
dia selalu turun tangan membantu. Seperti waktu
merebut Rival dulu ah, lagizlagi ingatan Mariska
kembali kepada Rival!
Mengapa selalu ingat dia:> Mengapa hidupnya se?
olah?olah hanya berotasi di seputar lelaki itu? Pada?
hal dia cuma karung dusta!
"Kalau kita sudah menikah, akan kubawa kamu
ke Lisbon menemui Mama," ketika mengucapkan
kata-kata itu, mata Rival menerawang penuh ke?
rinduan.
Dulu Mariska mengira Rival sangat merindukan
saat saat itu. Saat mereka berbulan madu ke Portugal. Sekarang dia ragu, Rival merindukan bulan
madu mereka atau ibunya.
"Aku akan membawamu ke Algarve. Kita akan
melihat Tanjung Sao Vicente, ujung paling barat
daya benua Eropa. Pemandangan dari atas batu karangnya ke Samudra Atlantik indah sekali. Kata
Mama, waktu abad pertengahan dulu, orang me?
122 ngira tempat itu adalah ujung dunia." Rival me?
meluk Mariska dengan mesra. "Kamu mau ikut aku
ke ujung dunia kan, Ris?"
Ke mana pun kamu pergi, aku akan mengikutimu.
Pangkal atau ujung dunia, aku tidak peduli. Aku
akan mengejarmu sampai ke sana, Mariska melahir?
kan tekad di hatinya. Tidak peduli di mana letak?
nya, sejauh apa pun tempat itu, aku akan mencapai?
nya. Sebenarnya Mariska lebih suka berbulan madu
ke Paris. Apalagi dia sudah janji kepada Gustian,
dia akan mendaki Menara Eiffel dan menceritakan
apa yang dilihatnya di dalam.
Tetapi dia tahu, Rival lebih menyukai tempat
yang dekat dengan alam daripada kota besar. Dan
bagi Mariska, berbulan madu ke Kebun Raya Bogor
saja pun tidak apa?apa, asal bersama lelaki yang pa?
ling dicintainya.
Tetapi sekarang tampaknya Bogor pun begitu
mustahil untuk digapai. Begitu jauh untuk direng?
kuh. Mustahil Rival dapat meninggalkan istrinya yang
sedang hamil tua! Sebentar lagi dia akan punya bayi
lagi. Mungkin akan segera disusul bayi yang ketiga.
Keempat. Kelima. Kecelakaan? Mungkin. Kecelakaan
berantai!
Mariska menekan pedal gas lagi. Dan tiba tiba
123 dia sadar. Dia sudah menginjak pedal gas sampai ke
dasar.
Mobilnya bukan berlari lagi. Sudah hampir ter?
bang! Desau angin yang berciut-ciut dari celah?celah
kaca jendelanya seperti senandung Malaikat Maut
di telinganya.
Cepat?cepat dia mengangkat kaki kanannya. Me?
ngurangi kecepatan.
Hhh. Dia memang gila. Patah hati. Tapi dia tidak mau mati. Apalagi bunuh diri!
Mariska menghentikan mobilnya di bahu jalan.
Menenangkan diri sambil meneguk air dalam botol
yang selalu dibawanya. Dia merasa sejuk ketika air
itu mengaliri kerongkongannya.
Tetapi tiba?tiba dadanya sakit seperti dipukul godam. Nyerinya terasa sampai ke lengan.
Keringat dingin mendadak membanjiri tubuhnya.
Padahal dia hanya kaget. Tiba?tiba menyadari be?
tapa dekatnya dia dengan kuburan tadi.
Sebenarnya Mariska tidak gentar. Sama sekali ti?
dak merasa takut. Kalau memang sudah saatnya,
siapa yang dapat membatalkan perjanjian dengan
maut?
Tetapi kalau dia mati dalam kecelakaan mobil,
orang akan mengira dia membunuh diri!
Sekonyong?konyong wajah abangnya terbayang di
depan matanya.
124 "Itu bukan Mariska!" katanya serak. "Kamu tidak
boleh mati karena Rival! Dia tidak berharga untuk
ditukar dengan nyawamu!"
Mariska mengambil tisu untuk menyeka keringat?
nya. Lalu perlahan-lahan dia menjalankan kembali
mobilnya. Pulang ke Jakarta.
Barangkali Gustian benar. Rival tidak berharga
untuk ditukar dengan apa pun. Apalagi dengan nya?
wanya yang cuma sepotong!
Tapi dapatkah cinta dibius dengan sakit hati
dan penyesalan? Karena sesering apa pun Rival me?
ninggalkannya, Mariska tetap mencintainya!
*** Ketika Mariska pulang ke rumah malam itu, lampu
kamarnya menyala. Ada orang yang sedang menung?
gunya di sana.
Mariska melangkah ke kamarnya dengan malas.
Mengira Gustian?lah yang tengah menunggunya.
Paling?paling dia akan menyuruhnya lagi memilih
Topan!
Heran. Kenapa dia begitu ngefans sama cowok
gila yang satu itu! Berapa sih Topan menyogok?
nya? Mariska tahu, Gustian mempan sogokan. Dia
saja sering nyogok. Pasti sekarang abangnya akan
125 membujuknya mati?matian untuk memilih Topan.
Menyanyikan lagu betapa baiknya dia sampai lewat
tengah malam!
Tetapi Mariska keliru.
"Papa bisa merasakannya, Ris."
Untuk pertama kalinya Mariska melihat ayahnya
menumpahkan perhatian pada urusan pribadi putri?
nya. Padahal biasanya dia selalu berada di seberang
laut.
Kapan Papa pernah masuk ke kamarnya? Kapan
dia pernah bertanya ada masalah apa, Sayang?
Mariska menggeleng lirih. Tidak. Papa tidak bisa
merasakannya. Mama tidak bisa merasakannya.
Gustian tidak bisa merasakannya. Karena mereka
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan Goosebumps - Mesin Tik Hantu Dewa Arak 70 Pulau Setan

Cari Blog Ini