Ceritasilat Novel Online

Dua Kutub Cinta 2

Dua Kutub Cinta Karya Mira W Bagian 2


bukan Mariska. Bukan si Bebek Buruk Rupa yang
mengejar?ngejar Pangeran Tampan.
Ayahnya duduk di ranjangnya tanpa diundang.
Padahal Mariska lebih suka kalau dibiarkan sendiri.
Sudah biasa dia ditinggalkan seorang diri, kan? Se?
jak dulu. Tidak ada yang memedulikannya.
"Sebelum menikah dengan ibumu, Papa men?
cintai seorang gadis lain," gumam Papa pahit.
Mariska sampai menyipitkan matanya tidak pet?
caya.
Papa Arif tersenyum lirih.
"Papa mengejarnya sejak SMA. Tapi dia memilih
pemuda lain. Dia baru berpaling pada Papa kalau
126 sedang bertengkar. Belakangan Papa baru sadar, dia
hanya memakai Papa sebagai pelarian. Mungkin
juga pemancing kecemburuan. Karena setiap ada
kesempatan, dia kembali kepada pacarnya."
Mariska tidak mampu membuka mulutnya ka?
rena terkejut dan bingung. Mengapa Papa punya
kisah yang mirip dengan kisah cintanya? Apa kisah
cinta juga diwariskan:>
"Untung Papa akhirnya sadar sebelum terlambat.
Papa tinggalkan dia. Dan memilih Mama. Sekarang
Papa sadar, pilihan Papa tidak keliru."
"Dia bukan sekretaris Papa, kan?" cetus Mariska
tidak sadar.
Sekilas Papa tampak terperanjat. Tidak menyang?
ka putrinya yang aneh ini dapat balas memukul
walau masih setengah pingsan.
"Hubungan kami bukan seperti yang Mama sang?
ka, Ris," desah Papa lirih setelah terdiam sejenak.
"Dia mengingatkan Papa pada masa lalu Papa."
"Sudah Papa coba menjelaskannya pada Mama?"
"Mama tidak percaya."
"Nggak heran."
"Kamu juga tidak percaya?"
"Papa pernah menjelaskannya pada Riska?"
Sekali lagi Papa terdiam. Untuk pertama kalinya
dia sadar, justru anak perempuannya inilah yang
paling mirip dengannya!
127 Mariska bukan hanya mewarisi kisah cintanya.
Dia juga mewarisi sifatnya. Kedegilannya. Keterus?
terangannya. Sifat-sifat yang pernah dimilikinya
waktu muda. Tapi yang tahun?tahun belakangan ini
lenyap ditelan kemunafikan.
Ketika kesuksesan berpacu dengan umur, ke?
jujuran pun bersembunyi entah di mana. Baru ma?
lam ini, anak perempuan yang selama ini tidak per?
nah dihargainya berhasil menemukannya lagi.
"Papa akan berterus terang pada Mama," tukas
Papa mantap. "Kalau kamu janji akan melupakan
Rival."
"Apa hubungannya? ' cetus Mariska datar. Ditaruh?
nya kunci mobil dan tasnya di atas meja tulis. Dijatuhkannya tubuhnya ke atas kursi di depan meja
itu. "Papa?Mama memang sudah punya kontrak.
Riska belum."
"Tapi Rival sudah, kan? Dia sudah punya istri."
"Bukan Riska yang memaksa dia membatalkan
kontrak."
"Papa tahu. Tapi Papa juga tahu, mustahil Rival
meninggalkan istrinya kalau sudah punya anak
dua."
"Yang sudah punya anak selusin juga banyak yang
kabur."
"Tapi Papa tidak mau kamu menghabiskan umur
mu untuk menunggu Rival punya anak selusin!"
128 "Sekretaris Papa mau menunggu Papa sampai
punya anak selusin?"
"Dia tidak usah menunggu. Karena Papa tidak
pernah menjanjikan apa-apa."
"Jadi cuma cash and carry?"
Papa menghela napas panjang. Bicara dengan
anaknya yang satu ini memang harus punya jantung
cadangan.
"Mulai malam ini, kita akan membuka lembaran
baru, Ris. Ucapkan selamat tinggal pada masa lalu?
mu. Jika kamu belum mau menikah, Papa tidak
akan memaksamu. Tapi berhentilah menunggu pria
yang tidak pantas memperoleh masa depanmu."
"Riska tidak akan menikah, Pa," sahut Mariska
sambil menyeringai pahit. "Riska mau tinggal sama
Papa aja sampai tua. Sampai Papa bosan ngasih ma?
kan Riska."
Ayahnya tertawa lebar. Dia tahu betapa sakitnya
hati Mariska. Tetapi bahkan dalam kesakitan dia
masih dapat bergurau. Bukan main hebatnya putri?
nya ini! Bodoh benar pria yang menolaknya!
"Mau temani Papa minum?"
"Kalau segelas susu, nggak deh. Sori aja."
"Bagaimana kalau sampanye? Untuk merayakan
putri Papa yang baru diwisuda jadi dokter?"
Saat itu ponsel Mariska berdering. Ketika dilihat?
nya nama Topan terpampang di layar, lekas?lekas
129 ditolaknya. Benar?benar bukan waktu yang tepat!
Tidak tahu diri! Hhh.
Masa dia mau melamar malam-malam begini?
Melalui ponsel? Benar?benar sakit!
"Kalian betul?betul cocok," berulang?ulang Gustian
mengatakannya. "Lulus dokter masuk psikiatri
saja!"
"Bukan Rival, kan?" tanya ayahnya curiga. Tentu
saja dia sudah melihat perubahan wajah Mariska.
"Bukan."
"Jadi anak Papa sudah punya penggemar baru?"
"Penggemar yang sakit."
Ketika ponselnya berdering lagi, Mariska sudah
hendak mematikan ponselnya. Tetapi ayahnya men?
cegahnya sambil tersenyum.
"Boleh Papa yang bicara?"
"Umur saya sudah dua empat, Pa," sahut Mariska
tegas. "Dan saya seorang dokter. Saya tidak perlu
baby Sitter."
"Tapi kamu perlu perawat, kan?" Senyum Papa
melebar ketika dia mengulurkan tangannya. "Perlu
orang untuk membantumu menjadwal jam kun?
jungan pasienmu."
"Yang ini bukan pasien, Pa."
"Katamu dia orang sakit, kan? Makanya dia perlu
dokter."
Dokter jiwa, gerutu Mariska dalam hati.
130 Mariska menyerahkan ponselnya kepada ayah?
nya. "Bilang saya sudah tidur," katanya judes. "Tidak
peduli dia mau bunuh diri, saya tidak mau di?
ganggu?
Papa menerima ponselnya sambil tersenyum. Dia
menekan tombol hijau. Dan menyapa dengan sa?
bar. "Rumah Dokter Mariska Prasetyo." Papa menge?
dipkan matanya sambil tersenyum.
Dan mendadak senyum lenyap dari bibirnya.
131 BAB VII
"KAMU nggak bakal nyesal punya istri Mariska,"
kata Gustian sambil meneguk minumannya. "Dia
cewek langka!"
"Makanya kukejar terus sampai dapat," sahut
Topan sambil tersenyum. "Susahnya, yang ada di
kepalanya cuma Rival!"
"Satu hari nanti dia pasti dapat membedakan
batu koral dari baru kali."
"Siapa bilang batu koral lebih berharga dari batu
kali? Kamu insinyur apa tukang kebon?"
"Yang bilang kamu koral siapa?" Gustian tertawa
gelak?gelak. "Kamu tuh cuma batu kali, tahu nggak?
Makanya Mariska nggak pernah kesandung!"
Topan menepuk bahu temannya sambil terse;
nyum tipis.
132 http:]lhana-ohi.blogspot.com
"Pulang, yuk. Sebentar lagi kamu pasti teler!"
"Segelas lagi. Ilmu yang kuturunkan untuk me?
naklukkan hati adikku belum tuntas."
"Kalau ilmumu cuma segitu, aku harus menunggu
sampai tua baru dia berpaling!"
"Siapa bilang kamu harus menunggu sampai dia
berpaling? Kamu harus memaksanya, Pan! Jangan
mau disuruh menunggu!"
"Kalau begitu aku harus membaca buku penun?
tun jilid dua besok."
"Kenapa harus besok?"
"Karena sekarang sudah malam dan kamu sudah
setengah mabuk!"
"Segelas lagi."
"Segelas lagi kita bisa terbang sendiri ke tempat
tidur."
Topan membayar minuman mereka dan mengajak
temannya pulang.
Ketika sedang melangkah ke motor mereka, sebenarnya Topan sudah merasa khawatir. Langkah
Gustian sudah gontai. Agak sempoyongan. Dia ter?
lalu banyak minum.
"Bonceng motorku saja, Gus," katanya sambil me?
narik lengan temannya.
Tetapi Gustian mendorongnya dengan kasar.
"Sejak kapan aku jadi cewekmu?" ejeknya sambil
tertawa geli. "Ajak saja Mariska besok!"
133 "Aku khawatir kamu lebih dekat ke rumah sakit
daripada ke rumahmu, Gus!"
"Tahu apa yang paling dibenci Mariska? Cowok
yang bawel dan pengecut!"
Lalu mereka naik ke atas motor mereka masing?
masing. Dan apa yang ditakutkan Topan benarbenar terjadi.
Di suatu tikungan yang agak tajam, motor
Gustian oleng. Dan dia tidak dapat menguasai mo?
tornya lagi. Entah karena motornya terlalu miring.
Entah karena dia tidak mampu menghindari lubang
yang tidak dilihatnya.
Topan yang berada di belakangnya hanya melihat
motor Gustian terbalik. Dan tubuh Gustian terlem?
par jauh.
"Gus!" teriak Topan ngeri ketika melihat tubuh
temannya melayang di udara sebelum jatuh terguling?guling di aspal.
Tanpa menghiraukan motornya sendiri, Topan
berlari secepat?cepatnya memburu Gustian. Diting?
galkannya motornya begitu saja, terhantar di tengah
jalan.
"Gus!" desisnya dengan napas terengah engah ketika dia sudah berhasil membalikkan tubuh teman?
nya yang tertelungkup di atas aspal.
Wajah Gustian berlumuran darah. Matanya ter?
pejam. Tapi dia masih bernapas.
134 "Gus, lihat aku!" seru Topan panik. "Buka mata?
mu!"
Gustian membuka matanya. Dan di dalam mata?
nya Topan membaca kesakitan yang amat sangat.
Tapi dia masih berusaha mengucapkan sesuatu. Wa?
lau napasnya sudah tersengal?sengal.
"Jangan ngomong dulu, Gus," sergah Topan ce?
mas. "Simpan napasmu. Aku akan membawamu ke
rumah sakit."
Seperti tidak mendengar ucapannya, Gustian me?
raba?raba dadanya.
"Dadamu sakit?" gumam Topan sambil berusaha
memeriksa luka temannya. Dikoyakkannya baju
Gusrian.
Ketika Topan sedang memeriksa dadanya, tangan
Gustian meraih kalung yang tergantung di lehernya.
Direnggutnya kalung yang berlumuran darah itu.
Lalu dengan susah payah dijejalkannya ke tangan
Topan.
"Jaga Riska" desah Gustian lemah dengan
suara yang hampir tak terdengar. Topan harus men?
dekatkan telinganya ke mulut temannya supaya da?
pat mendengar lebih jelas.
Gustian masih mencoba bicara tetapi darah ke?
buru menyembur dari hidung dan mulutnya. Lalu
dia kehilangan kesadarannya.
"Bertahanlah, Gus!" Dengan panik Topan ber
135 usaha meresusitasi temannya. "Ayo, jangan menye?
rah! Kamu kuat!"
Tetapi Gustian sudah tidak mendengar apa?apa.
Percuma Topan berusaha keras membangunkannya.
Semua pertolongan pertama yang dilakukannya
tampaknya Sia sia. Dalam ambulans yang membawa?
nya ke rumah sakit, Gustian Prasetyo mengembus?
kan napasnya yang terakhir.
"Bangun, Gus! Bangun!" seru Topan putus asa.
Masih berusaha meresusitasi temannya. "Jangan pergi! Ingat Mariska! Kamu tidak boleh meninggalkan?
nya!"
Pandangannya sudah mulai kabur karena matanya
digenangi air mata. Tapi Topan masih berusaha te?
rus. Sampai paramedis yang membantunya menyen?


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuh bahunya dengan lembut.
"Dia sudah pergi, Dok," gumamnya tersendat.
Sesaat Topan tertegun. Tidak percaya Gustian
sudah pergi. Baru beberapa saat yang lalu mereka
minum bersama. Mengobrol. Berkelakar. Mustahil
sekarang Gustian sudah tiada!
Topan melekatkan stetoskopnya di dada Gustian.
Menyorotkan senter ke pupil matanya. Dan dia sadar, Gustian memang sudah berlalu!
"Selamat jalan, Gus," bisiknya dengan air mata
berlinang. Diturunkannya pelupuk mata temannya.
136 Digenggamnya tangannya. "Jangan khawatir. Akan
kulaksanakan pesanmu yang terakhir."
Dirapatkannya kedua belah tangan Gustian di
atas perutnya. Tangan yang kuat. Tangan yang ahli
mendribel bola dan mencetak gol. Tangan yang mahir membelai gadis?gadis. Kini tangan itu terkulai
lemah tak berdaya.
Lama Topan memandangi wajah temannya. Seraut wajah yang tampan. Yang selalu digandrungi
cewek.
Sekarang dia sudah tiada. Kepopulerannya hanya
tinggal sejarah. Prestasinya cuma tinggal legenda.
Pergilah cowok idola yang menjadi idaman begitu
banyak gadis remaja. Di depan maut, jago basket
yang ganteng itu cuma seorang manusia biasa. Yang
tidak mampu menolak takdir yang telah digariskan
untuknya.
*** Mariska tertegun kaku di depan jenazah abangnya.
Semua tampak seperti mimpi. Mimpi buruk di te?
ngah malam!
Kakaknya yang kuat. Kakaknya yang lincah. Ka?
kaknya yang periang. Yang hidupnya begitu bahagia
seperti tidak mengenal susah.... Kini dia terbujur
kaku. Matanya terpejam rapat. Wajahnya pucat pasi.
137 Senyum tak lagi menghiasi bibirnya. Untuk selamalamanya!
Mariska tak akan pernah lagi mendengar canda?
nya. Umpatannya. Tawanya. Semuanya sudah ting?
gal kenangan!
Pergilah orang yang paling dekat dengannya.
Orang yang selalu menjaganya. Selalu memerhatikan?
nya. Sayang padanya. Walau tak pernah diucapkan?
nya. Ke mana manusia pergi setelah kematian? Benar,
kah ada dunia lain di atas sana? Mungkinkah me?
reka bertemu lagi kelak? Bergurau, mengobrol, dan
bertengkar seperti yang selalu mereka lakukan se?
lama ini?
Mariska menatap wajah abangnya dengan tatapan
nanar. Wajah Gustian masih setampan biasa. Masih
wajah yang digandrungi setiap gadis. Hanya wajah
itu kini seputih tembok. Sekosong kertas yang be?
lum ditulisi. Tak ada lagi tatapan memikat dan senyum menawan yang selalu menghiasi wajahnya.
Kalau saja aku dapat melukis tatapan dan senyum itu di wajah Mas Gus, keluh Mariska pilu.
Kalau saja dapat kuabadikan wajah Mas Gus seperti
yang tiap hari kulihat!
Di depan sana Papa masih membelai paras putra?
nya dengan berlinang air mata. Alangkah kejamnya
perpisahan ini. Alangkah tragisnya kehilangan anak
138 sulungnya. Anak laki lakinya. Harapannya. Masa
depannya.
Tadi pagi mereka masih sarapan bersama. Gus?
tian masih menjaili adiknya. Masih bermanja?manja
pada ibunya. Tidak ada Erasat apa?apa!
Ketika dia meninggalkan rumah sore tadi, tidak
seorang pun menyangka dia tidak akan pernah kembali ke rumah dalam keadaan hidup! Bahkan tatkala
duduk di atas motornya, siapa yang menduga motor
itulah yang akan mengantarkannya ke pintu
akhirat?
Papa menyusut air matanya yang seakan tak pernah kering. Sementara Mama masih memeluk Gustian sambil menangis tersedu?sedu.
Telah pergi anak kebanggaannya! Anak kesa?
yangannya! Anak yang membuat hidupnya terasa
sempurna!
Sampai berumur dua puluh lima tahun Gustian
tidak pernah menyusahkan orangtuanya. Tak pernah
ketinggalan pelajaran. Tak pernah terlibat tawuran.
Tak pernah bergaul dengan narkoba.
Dia memang sering gonta?ganti pacar. Sampai
sekarang belum punya pendamping tetap. Tapi itu
bukan salahnya semata-mata. Salah siapa kalau dia
memiliki semua yang digandrungi gadis?gadis? Salah
siapa kalau dia lahir begitu sempurna?
Jadi mengapa Tuhan menghukumnya? Mengapa
139 hidupnya begitu singkat? Mengapa umurnya begitu
pendek? Mengapa Tuhan harus mengambil anak
kesayangannya, bukan penjahat yang seharusnya su?
dah dihukum mati tapi masih dapat menghirup
udara segar selama bertahun?tahun?
Begitu banyak pertanyaan yang tak pernah terjawab. Karena sampai kapan pun, kematian masih
tetap merupakan misteri.
Tetapi bagi ibu Gustian, kematian putra kesa?
yangannya mengubah hidupnya. Merusak jiwanya.
Tingkahnya jadi seperti orang gila. Tiap malam
memanggil?manggil nama anaknya. Menyediakan
baju ganti di tempat tidur. Menyuguhkan air es di
meja.
Siang hari dia keluar?masuk ke kamar Gustian.
Merapikan tempat tidurnya yang sudah rapi. Mem?
bereskan semua yang sudah beres.
Bahkan bicara sendiri dengan jam beker di meja
kecil di samping tempat tidur anaknya. Seolah olah
dia sedang menelepon Gustian yang belum pulang?
pulang juga.
Lalu Mama akan duduk di teras. Memegangi
bola basket Gustian. Memeluknya sambil menunggu
anaknya pulang.
"Kita harus berjuang bersama-sama, Ris," kata
ayahnya sedih beberapa minggu kemudian, ketika
trauma kematian Gustian ternyata sangat membekas
140 dalam jiwa istrinya. "Kita harus berusaha keras me?
nyembuhkan Mama. Memulihkan jiwanya."
"Bagaimana caranya, Pa?" gumam Mariska lirih.
"Kita sama?sama kehilangan."
"Cuma kamu yang dapat menghibur Mama. Ka?
rena tinggal kamu anaknya, Ris."
Tetapi dapatkah aku menggantikan tempat Mas
Gus di hati Mama, pikir Mariska getir. Karena se?
jak dulu pun, hanya Mas Gus yang menempati tempat yang paling istimewa di hati Mama!
*** Begitu banyak orang yang menghadiri pemakaman
Gustian. Tamu yang menyalami keluarganya seperti
tidak ada habis?habisnya. Sama banyaknya dengan
butirfbutir air mata yang membasahi pusaranya.
Rival berada bersama puluhan teman Gustian
yang menyampaikan belasungkawa. Tetapi istrinya
tidak tampak. Mungkin kehamilannya yang sudah
lanjut mencegah Ayunda datang mengucapkan sa?
lam perpisahan pada Gustian.
Topan harus mengepalkan tinjunya erat?erat me?
lihat Rival. Dia ingin sekali menjotos pria itu kalau
tidak ingat di mana mereka berada.
Topan tidak mau kekhidmatan upacara pelepasan
jenazah Gustian dinodai oleh tindakannya. Karena
141 itu dia hanya dapat mengatupkan rahangnya menahan marah.
Mudah?mudahan suatu hari nanti aku dapat
membayar utangmu, Gus, bisiknya sambil menatap
foto Gustian yang terpampang di atas peti. Gustian
yang sedang tersenyum membalas tatapannya de;
ngan penuh pengertian. Tatapannya tampak begitu
tenang. Begitu sejuk. Begitu damai.
Tak ada lagi kemarahan. Kebencian. Dendam.
Semua sudah punah. Karena di tempatnya yang
baru hanya ada ketenteraman dan kedamaian. Ke;
tenangan yang abadi. Yang tak terusik lagi oleh
emosi.
Sehelai kaus tim basket kampus dihamparkan di
atas peti jenazahnya. Kaus itu seperti selembar buk?
ti tak terbantah betapa Gustian telah mengharum?
kan nama kampusnya dalam olahraga basket.
Mariska ingin menyertakan salah satu pialanya ke
dalam peti. Tetapi Papa melarangnya.
"Piala itu ditinggalkannya untuk kita," gumamnya
patau. "Gustian sudah tidak membutuhkannya lagi.
Kita yang memerlukannya. Karena setiap kali kita
melihatnya, kesedihan kita berbaur dengan kebangf
gaan. Pernah hadir di keluarga kita seorang anak
yang nyaris sempurna. Sekarang dia telah pergi.
Tapi kenangan yang ditinggalkannya tak pernah pu?
dar."
142 Selama upacara pemakaman, Topan selalu berdiri
tidak jauh dari Mariska. Seolah?olah dia ingin me?
nepati janjinya kepada Gustian. Menjaga Mariska.
Tetapi Mariska memang tidak perlu dijaga. Dia
sedih. Dia hancur. Dia kehilangan. Tetapi dia tetap
tegak dengan tegar.
Dia tidak menangis tersedu sedu. Tidak menjerit
memanggil kakaknya. Hanya air matanya yang ber?
linang?linang. Dan mulutnya yang terkatup sedih.
Mama?lah yang justru tak dapat menguasai ke?
sedihannya. Berkali?kali dia pingsan di tepi liang
lahat. Setiap kali siuman, dia kembali menangis sam?
bil memanggil?manggil nama anak kesayangannya.
Kenapa kami harus menyaksikan semua ini, de?
sah Papa pilu. Kenapa bukan kami yang pergi
duluan? Layak jika pohon yang tua layu dan gugur
ke bumi. Tapi mengapa justru tanaman yang muda
yang harus tumbang lebih dulu?
*** Entah sudah berapa jam Mariska tepekur di dalam
kamar Gustian. Tidak ada siapafsiapa di sana. Dia
duduk di lantai. Seorang diri.
Ah, benarkah dia seorang diri? Benarkah Gustian
sudah tidak berada di kamarnya lagi?
Kamar itu sepi. Bersih. Rapi. Alangkah berbeda
143 dengan kamar Gustian yang biasa. Biasanya Mariska
malah tidak bisa duduk di lantai. Karena lantai di?
penuhi harta karun bercampur sampah.
Tetapi itulah kamar Gustian yang dikenalnya.
Kamar yang jorok dan berantakan.
Mariska merindukan baunya yang khas. Yang selalu menimbulkan bersin.
Dia merindukan barang?barang Gustian yang
berantakan di lantai. Buku. Majalah. Kamera. CD.
Game. Bola basket.
Tatapan Mariska melayang ke seluruh kamar.
Tempat tidur. Meja. Lemari. Buku. CD. TV. Bola.
Apa yang paling membangkitkan kesedihan jika
kehilangan seseorang? Benda yang paling disayanginya? Yang paling sering berada di dekatnya? Yang
selalu mengingatkan padanya?
Tatapan Mariska terpaku kepada bola basket
yang kini tergolek diam di atas lemari. Bola itu jadi
fosil di sana karena tidak ada lagi yang memainkan,
nya. Melempatzlemparkannya ke keranjang.
Mariska rindu sekali melihat kakaknya melempar?
lempar bola itu. Rindu melihatnya masuk ke kamar
dengan hanya mengenakan handuk melilit pinggang.
Rambutnya yang basah sebagian menutupi wajahnya
yang tampan.
Kapan dia bisa melihat wajah itu lagi? Kapan dia
bisa menikmati senyumnya yang menawan? Senyum
144 yang digandrungi semua cewek di sekolah dan di
kampus!
Kapan dia bisa melihat Gustian main basket lagi?
Mendribel bola dan melemparkannya dengan gesit
ke keranjang? Mariska serasa masih mendengar so?
rak dan jeritan gadis'gadis yang histeris melihat aksi
kakaknya.
Tak sadar Mariska bangkit. Meraih bola basket
Gustian. Dan melemparkannya ke tembok. Ketika
bola itu terpental kembali, ditangkapnya. Dilempar?
kannya lagi ke dinding. Begitu berulang?ulang. Makin lama makin cepat.
Mariska berharap ada tangan yang tiba?tiba me?
rebut bolanya. Menggiringnya. Melemparkannya ke
keranjang. Seperti dulu. Dulu. Dan dulu.
145 BAB VIII
"SESAAT sebelum kehilangan kesadarannya, Gustian
memberikan ini padaku," Topan menyodorkan ka?
lung Wiracocha yang selalu tergantung di leher
Gustian sampai ajal menjemputnya. Saat itu mereka
bertemu di depan kampus ketika Mariska sedang
melegalisasi ijazahnya, dua bulan sesudah Gustian
tewas. "Dia minta aku memberikannya padamu."
Dan ada yang lain yang dimintanya, sambung
Topan dalam hati. Dia minta aku menjagamu. Tapi
bagaimana aku dapat menjagamu kalau kamu sendiri tidak mau kujaga?
Mariska menoleh. Menatap kalung itu sesaat.
Ada bercak darah kering di patung kecil itu. Darah
Gustian. Darah abangnya. Dan tatapannya berubah
getir.
146 "Aku tidak berani membersihkannya," ujar Topan
lirih.
Sejak mengenal Mariska, inilah pertama kali dia


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bergurau. Tidak mengejek. Tetapi rasanya Ma?
riska tidak menyadarinya. Wajahnya tetap mem?
beku. Dingin. Sedingin kalung perak di tangannya.
"Buang saja," dengus Mariska datar. Dia mem?
buang tatapannya ke tempat lain. "Aku tidak mau
melihatnya lagi."
"Kalung ini sangat berharga untuk Gustian," gumam Topan murung. "Dalam keadaan kesakitan
menjelang ajal, satu?satunya yang dilakukannya ha?
nyalah mengambil kalung ini dan menjejalkannya ke
tanganku...."
"Buang saja!" bentak Mariska kasar.
"Akan kusimpan kalau kamu tidak keberatan,"
sergah Topan jengkel. "Kenang?kenangan dari Gus,
tian. Di kalung ini melekat darahnya...."
Mariska berbalik. Merenggut kalung itu. Dan me?
lemparkannya jauh jauh.
Setelah kagetnya hilang, kemarahan Topan mef
ledak.
"Kamu betulfbetul tidak punya perasaan!" dengus?
nya geram. "Entah terbuat dari apa hatimu!"
Topan berlari ke tempat kalung itu tergolek. Me?
mungutnya. Dan memasukkannya ke saku celana?
nya. 147 Maafkan aku, Gus, keluhnya dalam hati. Aku
bukan menjaga adikmu malah mengumpatnya!
Mengapa Mariska begitu benci kepada kalungmu?
Ada cerita apa di balik kalung itu?
*** Ketika sedang mengemudikan mobilnya pulang, Mariska terkenang kepada saat dia baru kembali dari
puncak Rinjani. Dia sedang melempar?lempar bola
ke dalam keranjang di halaman depan rumah. Sekadar melepas stres. Mengusir gundah.
Gustian datang dan ikut bermain basket. Lalu
mereka duduk berdua di lantai teras. Dan Gustian
menyerahkan kalung itu kembali.
"Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembali?
kan!" Mariska ingat katazkatanya saat itu. Diucapz
kannya dengan judes.
"Barangmu sendiri sudah diambil balik, kan?"
Karena itu Gustian mengembalikan kalungnya.
Itu jugakah maksudnya sekarang? Gustian me)
ngembalikan kalung Wiracochaznya. Karena Rival
sudah diambil kembali oleh pemiliknya. Dia sudah
kembali ke pelukan istrinya. Kembali ke tangan
yang lebih berhak.
Gustian tidak ingin adiknya mengejar?ngejar
Rival lagi. Tetapi memang tidak perlu lagi kece?
148 masan itu. Karena Rival memang sudah tidak ter?
gapai!
Mariska sudah mengejarnya sampai ke gerbang.
Ke tapal batas di mana dia sudah tidak bisa mengejarnya lagi.
Mendadak dia menginjak rem. Tidak dihiraukan?
nya klakson panjang dari mobil'mobil yang terkejut
dan marah di belakangnya. Dia memutar kemudi.
Menikung tajam. Dan kembali ke tempatnya tadi.
Topan baru saja naik ke atas motornya. Ketika
dia melihat mobil Mariska kembali, dimatikannya
kembali mesin motornya. Dan dia menunggu gadis
itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Mana kalungnya?" tanya Mariska kaku. Dia ha?
nya membuka kaca mobilnya. Tidak berniat turun.
Topan merogoh saku celananya. Dan mengeluar?
kan kalung itu. Menyerahkannya kepada Mariska.
Mariska merasa dingin ketika kalung itu menyen?
tuh jari?jarinya. Ada yang bergetar di dadanya. Dan
tiba tiba saja dia merasa nyeri. Seperti bisa merasa?
kan kesakitan yang dirasakan abangnya ketika darahnya melumuri kalung itu.
Topan diam saja. Dia hanya duduk membeku di
atas motornya. Tidak bergurau atau mengejek se?
perti biasa. Dia seperti sudah kehilangan gairahnya
untuk bercanda.
149 "Mas Gus punya pesan terakhir untukku?" tanya
Mariska tersendat.
Dia berusaha meredam kegetiran dalam suaranya.
Tetapi Topan dapat merasakannya juga.
"Tidak." Topan menggeleng mantap. Pesan ter?
akhirnya hanya untukku!
Jadi cuma kalung ini pesan Mas Gus yang ter,
akhir, pikir Mariska sedih. Mungkin dia tidak sempat lagi. Tapi seandainya masih keburu apa yang
ingin disampaikannya?
Saat itu mata Mariska bertemu dengan mata
Topan. Karena Topan memang sedang menatapnya.
Ada yang ganjil di dalam mata itu. Sesuatu yang ti?
dak biasa. Tetapi Topan tidak berniat membuka isi
hatinya.
"Apa katafkata Mas Gus yang terakhir?" desak
Mariska tajam.
"Tidak ada," sahut Topan tegas.
"Bohong!"
"Kenapa aku harus bohong? Gustian tidak punya
pesan apa?apa untukmu."
"Kalau untukmu?"
Topan terdiam sesaat. Lalu dia menggelengkan
kepalanya.
"Mas Gus nggak bilang apa apa?" Suara Mariska
terdengar amat getir.
150 "Tidak sempat." Topan menghela napas berat.
Dia membuang tatapannya ke tempat lain.
Tetapi ketika tidak didengarnya juga deru mesin
mobil Mariska, dia menoleh. Dan melihat Mariska
sedang menelungkup di atas kemudi mobilnya.
Itulah pertama kali Topan melihat Mariska menangis tersedu?sedu. Di depan jenazah abangnya,
bahkan di pemakaman Gustian, Mariska tidak me?
nangis sehebat itu. Hanya air mata yang membanjiri
wajahnya.
Saat itu ada yang luruh di hati Topan. Lambat?
lambat dia turun dari motornya. Membuka pintu
mobil Mariska. Dan merengkuh bahunya.
*** Lama mereka terdiam. Sama?sama kehilangan kata;
kata. Topan meletakkan secangkir cappuccino di de?
pan Mariska. Sementara dia sendiri menghirup
bir. Tetapi sudah hampir setengah jam Mariska tidak
menyentuh cangkirnya. Dia sudah tidak menangis
lagi. Hanya matanya yang masih merah berair.
"Minum sedikit," pinta Topan sambil mendorong
cangkir kopi itu lebih dekat kepada Mariska. "Su?
paya lebih lega. Atau kalau kamu ingin membanting?
nya, lakukan saja. Supaya lepas beban di dadamu."
151 Mariska meraih cangkir kopi itu dan membanting?
nya ke lantai. Semua orang menoleh kaget. Pelayan
tergopoh?gopoh menghampiri. Mengira ada lalat
kecemplung dalam kopi.
Tetapi Topan mengusirnya sambil tersenyum.
"Terapi pengusir stres," katanya kepada pelayan
yang melongo heran itu. "Jangan khawatir. Cangkir?
nya saya ganti."
"Kopi lagi?" sergah pelayan itu bingung.
"Dua cangkir. Jangan terlalu manis."
Ketika pelayan meletakkan dua cangkir kopi de?
ngan sangat hati?hati di atas meja, Topan mengucap?
kan terima kasih. Lalu dia mendorong salah satu
cangkir itu ke arah Mariska.
"Kalau ingin membantingnya lagi, lakukan saja.
Biarkan semua kemarahan dan kesedihanmu keluar.
Seperti tangismu tadi. Bagus untuk meluapkan
emosimu. Jangan ditahan seperti yang selama ini
kamu lakukan. Kamu bisa sakit."
Tanpa ragu'ragu Mariska mengambil cangkir
kopi yang kedua dan membantingnya. Sekarang se?
mua mata bukan hanya menatapnya dengan kaget.
Tapi sekaligus marah. Jelas saja. Mereka merasa ter?
ganggu.
Pelayan buru?buru memanggil supervisor. Mung?
kin juga satpam, melihat besarnya badan Topan.
152 "Maaf," kata Topan begitu mereka datang. "Nona
ini baru kehilangan abangnya."
"Saya juga baru kehilangan suami," dengus super?
visor itu pedas. "Tapi saya tidak membantingi cangkir."
Mariska mengambil cangkir kopi yang ketiga dan
membanti ngnya tanpa ragu?ragu.
*** Topan sudah membayar lunas semua kerugian. Te?
tapi tak urung mereka diusir juga. Satpam meng?
giring mereka sampai keluar dari pintu.
Seharusnya mereka malu. Tetapi aneh. Mereka
malah merasa lega. Untuk pertama kalinya setelah
dua bulan yang kelabu ini, mereka dapat terse?
nyum.
"Heran," gumam Mariska sambil menarik napas
panjang. "Dadaku rasanya lebih lega."
Lebih heran lagi, dia mulai menyukai Topan. Dia
harus membayar denda. Dimarahi supervisor. Diusir
satpam. Tapi dia tidak marah. Tidak kesal. Dia ang?
gap enteng saja. Malah dia masih bisa tersenyum!
"Nggak heran. Dulu Gustian selalu bilang kita
cocok masuk psikiatri," cetus Topan ketika mereka
sedang melangkah ke lapangan parkir. "Baru hari ini
aku sadar, rasanya dia yang betul."
153 "Lamaranmu sudah diterima?"
"Lamaran yang mana?"
"Kamu minta ditempatkan di mana?"
"Bisa kucabut kembali kalau kamu mau masuk
psikiatri."
"Kamu pikir rumah kita tidak terlalu ramai nan?
ti?"
Topan tertegun sejenak. Langkahnya terhenti. Se?
baliknya Mariska melangkah terus. Dan Topan ha;
rus mengejarnya dengan jantung memukul keras.
"Apa maksudmu, Ris?" serunya tegang.
Mariska menoleh dengan tenang. Matanya masih
merah. Tapi Topan menemukan sesuatu yang lain
di mata itu.
"Ada dua orang gila di rumah, apa tidak terlalu
heboh?"
Sekali lagi Topan terenyak. Kali ini dia lupa ha?
rus mengayunkan kaki untuk melangkah.
Kamu ada di sini, Gus, teriaknya dalam hati.
Kamu yang menyetel lidahnya, membius otaknya:>
*** Sejak itu Topan terus?menerus datang ke rumah
Mariska. Setiap kali datang, dia membawa setengah
lusin cangkir. Tapi karena Mariska sudah tidak
membantingi cangkir lagi, dus cangkir bertumpuk?
154 tumpuk di ruang tamu. Rasanya setengah bulan
lagi, dia bisa buka toko kelontong.
Kenapa dia datang membawa cangkir, bukan bunga, pikir Papa Arif bingung. Sejak zaman aku pa?
caran sampai aku jadi bapak, mana ada lelaki yang
menyambangi pacarnya bawa?bawa cangkir?
Tapi Papa Arif diam saja. Karena dia melihat
Mariska juga tidak protes. Dia menerima saja dus
bergambar gelas yang ada tulisannya fragile itu. Dan
meletakkannya di atas tumpukan dus yang sudah
berada di sana lebih dulu.
Mama Dania lain lagi. Setiap kali Topan datang,
Mama Dania menyambutnya dengan terharu.
"Gus," desahnya dengan air mata berlinang. Lalu
dia merangkul Topan dan menciuminya. "Kok baru
datang? Mama kangen, Gus."
Mula?mula Topan mengira dia disambut demi?
kian karena dirinya mengingatkan Mama Dania kepada putranya. Belakangan baru dia sadar, Mama
Dania berilusi. Mengira dia Gustian. Anak kesa?
yangannya.
"Belum perlu ke psikiater, Ris?" tanya Topan per?
lahan ketika Mama Dania sudah diajak masuk oleh
Papa Arif.
Sementara Mariska masih termenung di ambang
pintu ruang tamu. Wajahnya muram.
"Sudah dua kali," sahut Mariska getir. "Dokter
155 Adi bilang masih perlu waktu lama untuk menyem?
buhkan depresi Mama."
"Ya, aku bisa ngerti," desah Topan sedih. "Aku
saja masih sering ingat Gustian. Kamu bagaimana,
Ris?"
"Kehilangan," sahut Mariska singkat. Dia melang?
kah gontai ke kursi. "Apalagi kalau masuk ke kamar?
nya. Aku rindu kamarnya yang bau dan berantakan."
Ketika mengucapkan kata?kata itu, matanya me?
merah.
"Buat apa sih mandi kalau kandangmu jorok begi?
ni?" Mariska ingat candanya di kamar Gustian dulu.
"Buang-buang sabun aja!"
"Kalau nggak suka, keluar!" sahut Gustian santai.
"Uang kembali tuh!"
Dia begitu santai. Begitu kocak. Begitu sayang
padanya.
Meskipun mulutnya kadang kadang jahat?dia
paling sering mengecap adiknya gila?Mariska tahu,
Gustian sayang padanya.
Sekarang kakak yang begitu menyayangi sudah
tidak ada lagi. Tak ada tempat untuk mengadu. Un?


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuk bergurau. Untuk minta tolong.
"Aku ingin melakukan apa saja untuk membantu?
mu mengatasi kehilangan ini, Ris," gumam Topan
ketika melihat mata gadis itu memerah. Kali ini dia
156 tidak bercanda. Suaranya serius. Malah terkesan pa?
hit. Mariska menggeleng muram.
"Tidak ada," sahutnya tawar. "Kalau sedang di
luar, aku masih bisa melupakannya. Tapi begitu sam?
pai ke rumah, semua barang mengingatkanku pada?
nya? "Bagaimana kalau sesudah menikah kita pindah
ke rumah baru?"
"Siapa yang ngomong soal nikah?"
"Katamu rumah terlalu heboh kalau ada dua
orang gila, kan? Kamu nggak lagi ngomong soal rumah kos atau rumah sakit jiwa, kan?"
"Aku belum bisa meninggalkan Mama."
"Siapa yang mau meninggalkannya? Kita ajak
ayah?ibumu tinggal bersama. Supaya kalau kita se?
dang bertengkar, ada yang memisahkan."
"Tahun depan aku baru mau memikirkannya."
"Oke. Nggak masalah. Tahun depan rasanya ram?
butku belum botak. Sekarang kamu mau ke mana?
Ke kafe lagi? Kita cari yang cangkirnya besar dan
bagus."
"Aku mau membuang kalung ini dari atas Machu
Picchu," Mariska melambaikan kalung Wiracocha?
nya dan meletakkannya di atas meja.
Topan tertegun.
157 "Kamu betul?betul mau membuangnya? Kenapa
kamu begitu benci pada kalung Gustian?"
"Akan kuceritakan kalau kita sudah sampai di
sana."
Sekali lagi Topan terenyak.
"Kamu serius mau berbulan madu ke Peru?"
"Keberatan?"
"Kalau itu syarat untuk mengawinimu, apa boleh
buat."
"Jangan kira perjalanan kita menyenangkan seperti turis. Kita akan menempuh Inca Trail sepan?
jang empat puluh kilometer dalam tiga hari. Men?
daki sampai ketinggian empat ribu meter."
Meskipun sebenarnya Machu Picchu hanya ter?
letak 2.300 meter di atas permukaan laut, Inca Trail
atau Camino Inca harus melalui dataran tinggi yang
mencapai ketinggian 4.200 meter.
Jadi siap?siap saja untuk pusing. Mual. Malah
pingsan. Tapi bukankah itu yang dicari Mariska?
Mengingatkannya pada pengalaman pertamanya de?
ngan Rival. Siapa lagi.
"Dengan berjalan kaki maksudmu?" Topan mem?
beliak kaget. Sesaat dia menyesal telah mengejar?
ngejar gadis ini selama bertahun?tahun. Belum jadi
istrinya saja sudah bikin calon suaminya setengah
gila! "Kita mau bulan madu atau bunuh diri?"
158 "Bertualang," sahut Mariska tenang tapi mantap.
"Mengasah keberanianmu."
"Nggak mau! Aku mau naik kereta api saja! Ka'
lau ada ojek juga boleh!"
Sekarang Mariska menatap Topan dengan ta?
tapan melecehkan.
"Kamu tahu kenapa aku tidak bisa menyukai?
mu?"
"Katamu dulu, dibandingkan dengan Rival'mu,
aku seperti banteng keraton dibandingkan keledai
kerdil, kan?"
Dia sudah kembali ke lagu lamanya, dengus Ma?
riska kesal. Tapi bukankah dia memang seperti itu?
Kalau dia tidak bercanda, dia bukan Topan Tabir
Fajar!
"Kamu seperti kerbau sawah dibandingkan kuda
balap."
"Dan kamu lebih suka daging kuda daripada da?
ging kerbau?"
Sekarang tidak lagi, Mariska mengembuskan na?
pas jengkel. Karena kuda balapku sudah terbang
melewati pintu gerbang. Menghambur ke alam be?
bas. Dan tidak mungkin kujetat lagi ke kandang!
"Supaya kamu tahu," sindir Mariska pedas. "Ke?
ledai lebih pintar mendaki daripada banteng!"
159 BAB IX
PERJALANAN bulan madu Mariska dan Topan dimulai dari kota Cusco, 130 kilometer dari Machu
Picchu. Sebuah kota yang cantik dan bersejarah di
ketinggian 3.400 meter di atas permukaan laut. Ter?
letak di lembah antara Sungai Tullumayu dan Hua?
tanay.
Tidak heran mula mula Mariska merasa agak pu?
sing karena hipoksia. Konsentrasi oksigen udara di
tempat itu tiga puluh persen lebih rendah dari per?
mukaan laut. Apalagi mereka langsung terbang dari
Lima. Tubuh tidak sempat lagi beradaptasi.
Cusco dihiasi bangunan'bangunan antik yang masih terawat maupun yang sudah tinggal reruntuhan
tembok seperti Istana Qollqanpata yang dibangun
Manco Capac, nenek moyangnya Inca.
160 Ada pula Katedral Cusco yang megah, yang pada
1560 diubah jenderal Spanyol Francisco Pizarro
dari kuil Inca Wiracocha.
Hatunrumiyoc, bongkah batu Inca yang tersohor,
sampai jalanzjalan kecil dan sempit yang menantang
untuk ditelusuri, seolah masih memelihara aroma
zaman pertengahan.
Perpaduan antara arsitektur Inca dan sentuhan
Spanyol membuat Cusco terasa unik karena me;
nyimpan sejarah masa lalu yang kental.
Topan memesan hotel yang paling mahal di kota
itu, yang tarifnya semalam mencapai empat ratus
dolar lebih. Tentu saja. Kamar bulan madu. Harus
yang istimewa dan tak terlupakan seumur hidup.
Tetapi begitu sampai di lobi saja, Topan sudah
lemas. Bayangannya tentang sebuah lobi hotel bin;
tang lima yang luas, terang, dan nyaman langsung
ambruk.
Hotel yang dibangun pada abad keenam belas itu
bergaya Barok dengan sentuhan Colonial Re?
naissance. Pintu masuknya yang besar dan kokoh
terbuat dari batu, sementara daun pintunya terbuat
dari kayu yang warnanya dibiarkan memudar sesuai
usianya.
Lobinya dipenuhi aneka barang antik sehingga
tampak agak sesak. Kursi kayunya besar dan berat.
Dindingnya dipenuhi lukisan dari abad kedelapan
161 belas dengan pigura yang disepuh emas. Sementara
langitzlangitnya terbuat dari kayu berwarna gelap
sehingga menambah kesan anggun begitu tamu ma?
suk. Bagi seseorang yang menyukai semua yang ber?
nuansa modern, hotel ini benar'benar tidak sesuai
dengan harapan Topan. Mengusir romantisme yang
menyalafnyala di hatinya. Padahal harapannya sudah
membubung tinggi begitu dia menginjakkan kaki di
negeri ini.
Sudah setahun sejak kematian Gustian baru Ma,
riska menerima lamarannya. Mereka menikah de?
ngan sederhana di rumah orangtua Mariska. Bukan
di hotel berbintang dengan perayaan mahal seperti
selebriti.
Topan tidak membantah. Dia menuruti saja ke,
inginan calon istrinya.
"Lebih hemat lebih bagus," katanya berkelakar
seperti biasa. "Ngirit duit."
Topan memang sudah mengurangi porsi candanya
seperti anjuran Gustian. Tapi tidak bisa menghilang]
kannya sama sekali. Sayang ibunya sudah meninggal.
Kalau tidak barangkali Mariska bisa tanya, waktu
lahir Topan tertawa atau menangis.
*** 162 Pernikahan mereka berlangsung sederhana. Dan ma?
sih diliputi suasana sedih. Lebih?lebih kalau Mama
Dania memeluk Topan dan membelai pipinya.
"Akhirnya Mama bisa lihat kamu nikah, Gus,"
gumamnya menahan haru.
Semua orang menunduk menahan air mata. Papa
Arif malah harus menggigit bibirnya menahan ta?
ngis.
Dikuatkannya hatinya. Dirangkulnya bahu istri?
nya dengan penuh haru. Diajaknya menjauh agar
Topan bisa melanjutkan acara pernikahannya. Bukan dipeluk dan diciumi terus seperti boneka
Barbie.
Mariska juga tidak dapat melupakan kakaknya.
Seandainya Gustian ada di sini. Menghadiri per?
nikahannya. Atau... dia memang ada di sini? Me;
nyaksikan pernikahan adiknya?
Sedang tersenyumkah dia di sudut sana?
"Sudah aku bilang, Ris, dia cowok yang paling
cocok untukmu." Barangkali itu kata?kata yang di?
ucapkannya kalau dia masih bisa bicara.
Atau Gustian memang bicara, hanya Mariska
yang tidak dapat mendengarnya? Karena di antara
mereka sudah ada tirai kaca yang tebal. Yang me?
misahkan dunia mereka. Yang mencegah mereka
berkomunikasi lagi.
Mariska juga dibelenggu kesedihan melihat kon;
163 disi ibunya. Pada hari yang seharusnya paling ba?
hagia untuknya, anak perempuannya menikah, dia
malah memanggilfmanggil Gustian terus. Seolah?
olah di sana tidak ada Mariska. Cuma Gustian!
Seolah'olah Gustian-lah yang menikah. Bukan Mae
riska!
Tetapi Mariska tidak mau memperlihatkan air
matanya. Tidak mau mengumbar tangisnya. Dia ha;
rus tampil tegar. Lebihzlebih di hari pernikahan?
nya. Siapa pun yang menjadi suaminya, hari ini me?
rupakan salah satu hari paling istimewa dalam hi?
dup seorang wanita. Mariska tidak ingin menangis
di hari pernikahannya. Apa pun alasannya. Betapa?
pun sakit hatinya.
Topan memang bukan suami yang diidam?idam?
kannya. Bukan laki laki yang memiliki cintanya.
Tetapi sejak hari pernikahan dia sudah memperz
libatkan kelasnya.
Topan tidak rewel. Tidak nyinyir. Tidak menun?
tut banyak.
Dia menurut saja ketika Mariska minta agar me,
reka tidak perlu membeli rumah baru. Cukup ru?
mah peninggalan orangtua Topan. Karena orangtua?
nya sudah meninggal, Topan tinggal seorang diri di
rumah itu. Jadi buat apa rumah baru?
Topan juga tidak membantah ketika Mariska mini
164 ta berbulan madu ke Peru. Meskipun kalau boleh
memilih, Topan lebih suka ke Hongkong saja. Lebih
dekat. Lebih modern. Lebih murah.
Nah, coba lihat apa yang mereka peroleh pada
hari pertama bulan madu mereka. Naik pesawat
selama dua puluh lima jam. Dan masuk ke hotel
yang mirip puri Drakula!
Tampaknya pemilik hotel ini tidak mau meng?
ubah bangunan kuno ini menjadi hotel yang mo?
dern. Mereka sedapat mungkin mempertahankan
keasliannya. Belakangan Topan baru tahu, keaslian
hotel ini memang dilindungi pemerintah. Boleh di!
pugar. Tidak boleh dibongkar. Kecuali oleh gempa.
Kalau itu sih nasib.
*** Ketika masuk ke kamarnya yang terletak di bawah
tanah, Topan sudah ingin pindah ke hotel lain. Tapi
Mariska menolak. Karena dia sangat menyukai ho?
rel ini. Kamarnya yang luas, ranjangnya yang antik,
lampunya yang kuno, sangat memikat hati Mariska.
Belum lagi lukisan?lukisan yang tergantung di din?
ding. Begitu elok memikat mata.
Lagi pula biarpun terletak di bawah tanah, kamar?
nya tidak pengap. Ada pintu menuju ke teras kecil
yang kata Topan lumayan untuk menjemur celana
165 basah. Daripada digantung di atas kap lampu duduk
dan menimbulkan kebakaran? Barangkali itu penga?
laman pribadinya. Atau cuma koleksi candanya yang
segudang. Cuma dia yang tahu.
Jadi biarpun agak segan, akhirnya Topan menga?
lah. Ya, suami memang selalu harus mengalah di
awal perkawinan, kan? Kalau di akhirnya, belum
tentu. Biasanya mereka malah lebih galak. Apalagi
kalau sudah menunggu seorang nona cantik.
Jadi Topan mengalah total. Daripada istrinya
ngambek dan memaklumkan perang? Lebih baik
berbulan madu di gua daripada tidak.
Baru ketika masuk ke kamar mandi, hati Topan
agak terhibur. Kalau ada surga di hotel kuno ini, di
sinilah surganya. Kamar mandinya sangat nyaman.
Dihiasi lilin'lilin bernyala di tepi bathtula yang ber?
gaya antik. Sabun yang luar biasa wangi. Perleng'


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapan yang mewah. Dan karena ini kamar bulan
madu, mereka menyediakan bunga dan sampanye di
sisi bak.
Tetapi begitu Topan keluar dari kamar mandi,
istrinya sudah tidur nyenyak dan tidak bisa dia
bangunkan lagi. Rupanya dua puluh lima jam tet?
bang menguras habis tenaganya.
Percuma Tepan berendam setengah jam dengan
sabun wangi. Mencukur bersih kumis dan cambangz
nya supaya wajah Mariska tidak tergores. Memakai
166 afterskave lotion paling mahal. Bahkan mengenakan
cd yang diiklankan bintang bola terkenal supaya tam?
pak lebih seksi. Padahal Topan tidak biasa memakai
celana sempit begitu. Rasanya tidak nyaman.
Sebenarnya ada lagi yang paling menyakitkan.
Topan sudah membuang semua bulu yang tumbuh
lebat di tubuhnya. Sakitnya jangan ditanya. Tapi
demi Mariska, dia rela melakukannya.
Jadi dengan persiapan yang nyaris sempurna begi?
tu, apa lagi yang kurang untuk memulai pertemz
puran? Dengan penuh percaya diri, Topan maju ke
medan perang.
Tetapi ketika dia merangkul istrinya dari bela?
kang dan mengecup lehernya dengan mesra, Ma?
riska malah menjauhkan tubuhnya sambil mendumal dengan mata terpejam rapat.
"Besok mesti bangun pagizpagi. Subuh kereta api
kita sudah berangkat dari Stasiun San Pedro."
Topan menggulingkan tubuhnya dengan kecewa.
Sebenarnya mana yang lebih penting? Mereka
kemari mau berbulan madu atau jadi titisan Hiram
Bingham?
*** Inca Trail dimulai pada kilometer delapan puluh
delapan pada lintasan kereta api dari Cusco ke
167 Quillabamba. Dengan hanya menyandang ransel di
punggung, mereka menempuh perjalanan sejauh
empat puluh kilometer menuju Machu Picchu.
Wah, ini benar?benar bulan madu yang paling
tragis! Mana ada orang bulan madu bawa-bawa ran,
sel? Mesti bangun pagi?pagi buta, lagi!
Tidak heran kalau Topan langsung terlelap di ke?
reta. Mariska harus mengguncangfguncang tubuh
suaminya untuk membangunkannya ketika kereta
sudah berhenti.
Begitu turun dari kereta, pemandangan alam
yang menantang sudah terpampang di depan mata.
Jalur kereta di sebelah kanan dan alur Sungai Vicanota di sebelah kiri bawah sudah menjanjikan berat?
nya rute yang akan mereka tempuh.
Mulazmula Topan hanya mengikuti langkahzlang'
kah istrinya dengan apatis. Sejak dulu dia tidak
suka pada semua yang namanya treking, hiking,
kamping. Dia lebih suka of road dengan jip four?
wlaeel drive. Rasanya lebih macho. Lebih menan?
tang.
Tetapi begitu memasuki hari kedua, ketika pel
mandangan yang sangat impresif antara keindahan
alam dan keajaiban arsitektur Inca mulai memben?
tang di depan mata, Tapan mulai dapat menikmati
petualangannya.
Terkurung di antara puncakzpuncak bersalju Sal]
168 kantay setinggi enam ribu meter, lembah dan ngarai
yang terjal, hutan-hutan yang misterius, melahirkan
sensasi yang ganjil di hati semua petualang yang se?
dang berjuang menaklukkan alam. Lebih?lebih kea
tika di sana-sini muncul reruntuhan peninggalan
Inca yang begitu menakjubkan ditinjau dari sudut
arkeologis.
Mulafmula mereka memang berjalan sendiri?sendiri. Mana bisa gendong?gendongan. Medannya su?
lit. Tidak terjengkang ke jurang atau tersungkur ke
sungai saja sudah bagus.
Jalan yang licin dibilas kabut yang masih me;
layangflayang. Sempit. Berbatuzbatu. Kadang?kadang
terjal mengerikan. Memaksa setiap petualang harus
waspada kalau tidak mau hanya pulang nama.
Tetapi ketika sedang menyeberangi jembatan sem;
pit yang melintas di atas sungai, Topan mengulurkan
tangannya untuk memegang tangan istrinya. Dan
untuk pertama kalinya Mariska menerima uluran
tangan Topan.
Tentu saja Topan tahu, bukan karena ngeri Maa
riska menerima uluran tangannya. Dan keyakinan
itu menimbulkan secercah perasaan hangat di hati'
nya. Bergandengan tangan mereka menyusuri jembatan. Dan tidak berniat saling melepaskan meski;
pun telah sampai di seberang.
169 Ada segurat perasaan aneh menoreh hati Mariska
ketika merasakan eratnya genggaman tangan Topan.
Tangan itu besar dan kuat. Tangan seorang jantan.
Dan tiba?tiba, sebuah perasaan yang belum pernah
dirasakannya selama ini menyelinap ke hati kecilnya.
Perasaan terlindung. Perasaan diayomi oleh sese?
orang. Perasaan tidak sendirian. Tidak ditinggalkan
lagi.
"Capek?" tanya Topan lembut. Seperti dapat me?
rasakan emosi yang tengah mengaduk nurani istri;
nya. Mariska hanya mengangguk. Dia seperti seko?
nyong?konyong kehilangan kefasihannya bicara.
"Kita istirahat dulu."
Tanpa menunggu persetujuan Mariska, Topan
mengajaknya duduk berjuntai di bibir ngarai di tepi
lintasan. Menikmati pemandangan yang mencekam
jauh di bawah sana.
Lalu Topan menurunkan ranselnya dan mengambil botol air. Diberikannya lebih dulu kepada istri?
nya. Mariska meraih botol itu dan meneguk isinya.
Kebetulan. Dia memang haus. Selesai minum diberikannya kepada Topan yang langsung menghabis?
kannya. Mariska sampai melotot kaget. Dasar kerf
bau. "Jangan khawatir," Topan tersenyum sambil me
170 nyimpan botol kosongnya di dalam ransel. "Kata
guide kita, kalau sudah sampai Intipunku, Machu
Picchu nggak jauh lagi."
Memang. Dari tempat mereka, puncak Machu
Picchu sudah terlihat di kejauhan. Tapi langit juga
terlihat dari bumi, kan?
Topan melingkarkan lengannya di bahu Mariska.
Merengkuhnya melekat di tubuhnya. Dan meman?
dang kagum ke puncak Machu Picchu yang men?
julang gagah.
"Rasanya menyesal kalau aku nggak ikut," cetus?
nya polos. "Pengalaman yang kita peroleh dalam tiga
hari ini benar?benar luar biasa."
Topan tidak berdusta. Pengalaman mereka ber?
tualang ke Machu Picchu memang amat mengesan?
kan. Kecuali dia belum dapat juga menghampiri
istrinya. Karena setiap malam mereka terkapar ke?
lelahan dan langsung jatuh tertidur.
Sama seperti malam pertama mereka di Jakarta.
Mariska sudah meringkuk di ranjang. Menolak buka
warung. Alasannya, capek menyalami seratus tamu.
Sampai berumur seperempat abad, dia belum per?
nah bersalaman dengan begitu banyak orang.
Tentu saja Topan tidak tahu, sebenarnya Mariska
ngeri. Dia belum pernah melihat barang sebesar itu.
Padahal sebagai dokter, itu kan pemandangan se,
hari-hari.
171 *** "Kota Inca yang hilang'; Machu Picchu, terletak di
ngarai bentukan Sungai Urubamba, terhampar di
lereng pegunungan Machu Picchu yang magis. Tersembunyi selama berabad?abad dalam pelukan ka?
but dan lebatnya hutan yang misterius. Sampai
Hiram Bingham menemukannya pada tahun 1911.
Terpaku di teras utama Machu Picchu, menyaksi?
kan arsitektur Inca yang mengagumkan jauh di bawah sana, dengan latar belakang Huayna Picchu
yang menawan, membuat semua insan yang pernah
tegak di tempat itu dijalari perasaan kagum yang
sulit diungkapkan.
Keindahan alam yang berbaur dengan kedamaian
suasana, harmoni antara bukit karang yang menju?
lang megah dan Citadel buatan manusia yang telah
berumur lima abad, rasanya mampu membuat see
mua orang langsung menjadi penyair.
Panorama yang menakjubkan, reruntuhan tembok
purba yang terlindung di perut bukit karang yang
menjulang sepi, mencetuskan aura yang ganjil.
Sementara kabut yang membasuh wajah bukit
meninggalkan kelembapan dan air yang mengalir ke
sungai di balik hutan, seperti mengajarkan kepada
manusia indahnya keseimbangan alam sebelum me
reka datang untuk merusaknya.
172 Tidak keliru jika kini Machu Picchu dinobatkan
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Keindahan alam yang ditemukan di sana, seperti
menyatu dengan kemegahan sebuah kota yang hilang. Berbaur dengan sensasi magis dari sisa sisa
peradaban yang punah.
Tetapi kecuali itu, pasti ada alasan lain mengapa
tempat ini menjadi salah satu situs yang paling me?
ngagumkan di dunia. Dan entah sampai kapan para
arkeolog baru dapat memecahkan misteri yang ter!
sembunyi di balik keanggunan yang disajikannya.
Rasanya lukisan yang paling bagus dan syair yang
paling indah pun tidak mampu melukiskan apa
yang dilihat oleh mata di tempat ini. Karena semua?
nya tampak begitu serasi. Tampil begitu menyatu
antara alam dan karya manusia.
Melangkah ke Kuil Utama dan Istana Berjendela
Tiga, laksana melangkah ke masa lalu. Meninggalkan
kekaguman dan begitu banyak tanda tanya yang be?
lum terjawab. Tetapi justru karena tempat ini diselu?
bungi misteri, dia menjadi abadi.
Seperti pengunjung yang lain, Mariska juga terz
tegun dibuai kekaguman. Dan niatnya semakin
mantap untuk membuang kalung Wiracocha-nya di
sini.
Rasanya tidak ada tempat yang lebih tepat untuk
menguburnya. Selain di sini. Di tanah kelahirannya.
173 Barangkali Gustian juga senang berada di tempat
ini. Tempat yang sunyi. Hening. Damai. Biarlah da?
rahnya melekat di bebatuan di bawah sana. Abadi
seperti Machu Picchu. Disambangi jutaan orang
dari seluruh dunia di segala abad.
Tetapi sesaat sebelum Mariska melemparkan ka?
lung itu, Topan meraih lengannya.
"Kamu janji mau menceritakan kenapa kamu ben?
ci sekali pada kalung Gustian."
"Bukan kalung Mas Gus," sahut Mariska parau.
"Kalungku."
"Mengapa ada di lehernya?"
"Kutukar dengan Rival."
Topan melongo heran.
"Maksudmu, harga cowokmu sama dengan harga
seuntai kalung?"
"Saat itu Rival mengejar Ayunda."
"Dan meninggalkanmu?"
"Aku minta Mas Gus memisahkan mereka. Dia
merebut Ayunda. Dan aku memberikan kalung ini
sebagai upahnya."
Hampir meledak tawa Topan.
"Jahat sekali istriku!" cetusnya geli. "Nggak nyang;
ka aku tidur sama monster busuk dan licik!"
"Ketika Rival menikah, Mas Gus ingin mengem?
balikan kalung ini. Katanya milikku juga sudah
kembali ke pemilik lamanya."
174 Senyum Topan mendadak memudar.
"Karena itu pada saat terakhir Gustian ingin mengembalikan kalung ini padamu. Dia tidak mau
kamu kembali pada Rival."
"Karena itu pula aku ingin membuangnya. Di
tempat aku tidak bisa mengambilnya kembali."
"Kalau begitu aku akan membantumu membuang?
nya," tukas Topan sambil menyembunyikan rasa
barunya.
Dia menggenggam tangan Mariska. Dan bersama?
sama mereka melemparkan kalung itu ke bawah.
Sekejap mereka melihat kalung itu melayang di
udara sebelum mendarat di lapisan teras yang ber?
tingkat?tingkat jauh di bawah sana.
Sepasang suami?istri sebangsa dan setanah air
yang kebetulan berada di sana menatap mereka de?
ngan heran. Padahal sejak tadi mereka sibuk terus
memotret. Meskipun sudah berusia setengah abad,
mereka masih tampak mesra. Suaminya yang menjin?
jing kamera seberat tiga kilo tidak bosan?bosannya
menjepret istrinya yang berpose dilatarbelakangi ke?
megahan Machu Picchu.
Belakangan Topan baru tahu mereka berasal dari
Surabaya. Rupanya mereka juga sedang berbulan
madu. Entah ronde keberapa.
"Apa yang kalian buang?" tanya sang suami pena?
175 saran. Takut teman sebangsanya ini membuang see


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu yang merusak lingkungan.
Maklum. Orang Indonesia terkenal tidak bersih
lingkungan. Sungai saja dijadikan tempat sampah.
"Kalung," sahut Topan spontan.
"Lho, kenapa dibuang? Kasihkan aku saja!"
Kelakarnya membuka awal persahabatan mereka.
Karena sejak itu, Topan dan Mariska menjelma
menjadi selebriti. Mereka tidak henti-hentinya di?
foto.
"Apa kita masih semesra mereka kalau sudah ber?
umur lima puluh tahun?" gumam Mariska ketika
mereka sedang duduk makan di restoran.
Teman baru mereka duduk di meja lain. Suami?
nya masih sibuk memotret istrinya dan makanan
yang terhidang di atas meja. Barangkali sepulangnya
dari sana mereka mau buka restoran Peru.
"Kalau sudah setengah abad, rasanya aku lebih
suka memotret pemandangan alam saja," Topan me?
nyeringai jenaka.
Tentu saja dia hanya bercanda. Tapi untuk guraunya, Mariska menjejalkan sepotong kentang rebus
ke mulutnya. Untung cuma kentang. Kalau kepiting
hidup?
*** 176 Mereka kembali ke Cusco dengan kereta api. Perjalanan dari Stasiun Aguas Calientes menuju San
Pedro hanya membutuhkan waktu tiga setengah
jam. Topan gembira sekali, karena kalau harus pulang
berjalan kaki lagi, berat badannya bisa susut tiga
kilo. Lagi pula kalau tidak terlalu lelah, mungkin
malam ini Mariska tidak punya alasan untuk me?
nolaknya lagi.
Belajar dari pengalamannya pada malam pertama
di Jakarta, Topan tidak buru buru melepaskan se?
muanya. Dia memakai cd seksinya. Dan menutup
tubuhnya dengan jubah mandi.
Tetapi begitu dia naik ke ranjang, Mariska pura?
pura mendengkur. Padahal sudah seminggu mereka
tidur bersama, Topan tidak pernah mendengar istri?
nya mendengkur. Kalau buang angin sering.
Topan merasa jengkel. Merasa tersinggung. Me?
rasa dilecehkan. Dia bertekad tidak mau menunggu
lagi. Sabar ada batasnya, kan?
Dia sudah mencukur habis bulu yang tumbuh
lebat di tubuhnya. Beberapa bagian malah terpaksa
dicabut dengan wax perekat agar benar benar ber?
sih. Sakitnya jangan ditanya.
Supaya Mariska tidak ngeri lagi tidur dengan go?
rila. Tapi apa katanya waktu pertama kali melihat
suaminya tidak berbulu lagi?
177 "Ke mana semua bulu monyetmu?" belalak Mae
riska kaget.
"Ada yang beli buat mantel," sahut Topan jeng?
kel. Sudah menderita setengah mati, eh, istrinya bu?
kan menghargai pengorbanannya malah membeliak
seperti melihat tuyul gundul!
Sama seperti sehari sebelum pernikahan mereka.
Sadar Mariska benci melihat rambut gondrongnya
yang keriting kaget, Topan memotong habis rambut?
nya. Sampai hanya tersisa yang melekat di batok
kepalanya. Apa kata Mariska ketika melihatnya?
"Kenapa kepalamu kayak rambutan rapiah begi?
"
tu? Serbasalah, kan?
Jadi tidak peduli berapa keras dengkur istrinya,
betapa nyenyak tidurnya, Topan bertekad untuk
mengambil alih pimpinan. Dia yang laki?laki. Dia
yang harus menentukan!
Dengan kasar Topan merangkul istrinya dari
belakang. Mencium lehernya sampai Mariska meng?
geliat bukan karena gairah tapi karena geli.
"Aduh!" Mariska memekik kesakitan ketika gigi
Topan menghunjam ke daging lehernya seperti
Drakula sedang mengisap darah. "Apanapaan sih
kamu?"
Tetapi Topan sudah tidak dapat dihentikan lagi.
178 Ibarat mengemudi jip four?wkeel drive, dia pantang
menyerah meskipun bukit terjal dan tikungan cu?
ram menanti di depan mata.
Dibalikkannya tubuh istrinya dengan kasar. Di?
pagutnya bibirnya dengan ganas sampai dari meng?
aduh kesakitan Mariska mendesah nikmat.
Baru ketika dirasakannya tubuh istrinya melunak,
Topan mengganti gigi. Dicumbunya istrinya dengan
lebih lembut. Dikulumnya bibirnya dengan hangat.
Diciumnya lehernya dengan mesra sampai Mariska
melupakan rasa ngerinya.
Ketika Topan memberikan kenikmatan yang be?
lum pernah dirasakannya, untuk pertama kalinya
Mariska bahkan melupakan wajah Rival.
*** Taman itu dikelilingi bangunan batu yang kokoh
bergaya kolonial. Sebatang pohon cedar tua dan ko?
lam air mancur yang sejuk dikelilingi bunga?bunga
yang tengah bermekaran, tampil seronok menyambut
matahari yang mulai menyengat hangat.
Topan sedang menikmati segelas jus seorang diri
ketika istrinya muncul. Dan tangannya yang sedang
memegang gelas langsung mengejang.
Dia hampir tidak mengenali Mariska.
Kalau biasanya dia tampil dengan jaket kulit dan
179 jins lusuh, pagi ini dia muncul mengenakan blus
hitam ketat yang dipadu dengan gaun floaty Skirts
bermotif polkadot. Seuntai kalung dari batu gamet
berwarna cokelat kehitaman yang eksotik menghiasi
lehernya. Entah toko mana yang sudah buka pagi?
pagi begini. Topan tidak sempat menanyakannya.
"Selamat pagi," sapa Topan separuh menggagap
ketika Mariska sudah hampir tiba di sisi mejanya.
Sebuah meja bulat berkaki besi yang ditudungi se?
buah payung lebar.
Karena terlalu bergaya melangkah, Mariska ter?
sandung kaki meja dan hampir jatuh. Untung
Topan sigap menangkapnya.
Bergegas dia menarikkan kursi untuk istrinya.
Surprise juga Topan ketika Mariska tidak menolak
layanan kelas satunya.
Lain dari biasa, pagi ini Mariska bersikap amat
feminin. Cara duduknya sangat menggoda. Kaki
terlipat dengan gaun agak tersingkap. Gerak?gerik?
nya begitu merangsang. Membuat Topan agak menyesal telah mengenakan celana yang terlalu ketat.
"Mau minum?" tanya Topan dengan gaya seolah?
olah dialah yang menyuplai minuman untuk seluruh
Cusco. "Coca tea? Jus? Apel? Jeruk? Guava?"
Tanpa menjawab, Mariska meraih gelas jus To?
pan. Dihirupnya jus guava itu dengan nikmat, se?
olah-olah dia sudah menahan haus selama lima de?
180 kade. Lalu diletakkannya gelas kosongnya di atas
meja. Gayanya begitu mantap dan enak dilihat.
Sampai Topan tertegun bengong. Lupa dia berada
di taman. Bukan di kamar tidur.
*** Sarapan pagi mereka begitu lezat. Bukan karena
suguhan prasmanan yang lengkap. Tetapi karena
mereka sangat lapar.
Rupanya setelah bertempur habis habisan tadi
malam, mereka butuh amunisi baru.
Tetapi selapar apa pun perutnya, Topan tidak
melupakan istrinya. Dia melayani Mariska dengan
telaten. Mengambil tiga macam jus yang tersedia
sampai Mariska khawatir tidak keburu balik ke ka?
mar. Menyuguhkan bermacam?macam roti sampai dua
piring penuh. Dan memesan omelet keju, tidak pe?
duli Mariska agak segan menyantapnya karena kha?
watir disambangi jerawat lagi.
Dia juga membawakan salad. Buah. Yoghurt. Apa
saja yang tersaji di atas meja. Untung patung lilin
yang tegak di atas meja tidak disambarnya juga.
Mariska sudah merasa kenyang melihat makanan
sebanyak itu. Tetapi Topan tenang saja. Apa yang
181 tidak dapat dimakan Mariska, dihabiskannya de;
ngan lahap.
Kerbau, Mariska menyimpan senyumnya. Tetapi
mengapa sekarang diucapkan tidak dalam nada
benci?
Karena kerbau itu sudah menjadi suaminya?
Memang ada yang berubah dalam dirinya. Ketika
melihat TOpan sedang bergurau dengan pelayan ber;
busana tradisional Peru yang melayani mereka, Ma?
riska merasa jengkel.
Cemburu? Tentu saja tidak! Bagaimana bisa cem?
buru kalau tidak cinta?
Mungkin ini cuma manifestasi istri yang tersing?
gung. Istri yang merasa berhak atas suaminya dari
ubun?ubun sampai telapak kaki. Kalau suaminya
mengagumi perempuan lain, istri boleh merasa ter?
hina, kan? Karena itu dia marah.
Tentu saja Topan tahu reaksi istrinya. Diamzdiam
dia merasa senang. Disembunyikannya senyumnya.
"Kenapa senyum?senyum?" bentak Mariska ketika
memergoki senyum simpul suaminya. "Dia nitip
kunci kamar?"
"Belum separah itu," sahut Topan santai. "Tapi
kalau kamu ngorok lagi nanti malam, aku pindah
kamar."
182 BAB X
SEKARANG Topan dapat mencumbu istrinya de?
ngan lebih lembut. Sebaliknya Mariska sudah dapat
menerima suaminya dengan lebih bergairah. Dia ti?
dak merasa ngeri lagi. Tidak perlu memejamkan
matanya lagi.
Malam itu sehabis berjalan?jalan mengelilingi
Cusco dengan berjalan kaki, Topan membelikan
istrinya sebuah cincin platinum bermata jamrud
yang menguras habis kartu kreditnya sampai tidak
bisa dipakai lagi karena limitnya sudah mentok.
Tetapi Topan tidak menyesal. Tidak merasa rugi.
Dia merasa sangat bahagia. Sangat puas. Dan cinta?
nya kepada Mariska semakin bergelora.
Kata ayahnya dulu, lelaki selalu ingin membahagia?
kan wanita yang dicintainya dengan menghadiahkan
barang yang bagus?bagus.
183 E-Booh by syauqy_arr
Tentu saja itu bukan berarti menyamaratakan
semua wanita sebagai cewek matre. Cuma manifes?
tasi penghargaan dan kasih sayang. Buktinya ayah?
nya tidak pernah membelikan Ibu kalung berlian.
Seingat Topan, ibunya cuma punya gelang ketoncong. Padahal simpanan ayahnya di bank cukup
banyak.
Tapi perkawinan mereka tidak pernah kena gosip.
Jelas. Mereka bukan selebriti. Siapa yang mau meng?
gosipkan mereka? Rugi.
Sampai ibunya meninggal, Ayah tetap setia. Ti?
dak pernah tergiur pada wanita lain. Meskipun te?
tangga mereka perempuan semua. Karena rumah
mereka di samping tempat kos mahasiswi.
Ayahnya juga tidak pernah menikah lagi sampai
meninggal. Sebelum meninggal pun Ayah tidak per?
nah menebar benih di mana?mana. Membuat Topan
tidak repot diganggu perempuan tak dikenal yang
datang menuntut warisan untuk anak gelapnya.
Jadi hidup Topan begitu tenang. Begitu damai.
Sampai dia bertemu dengan Mariska. Dan tidurnya
tidak nyenyak sampai tadi malam.
*** Mereka makan malam di sebuah restoran kelas satu
di Plaza de Armas. Dan Topan memasukkan cincin
184 itu ke jari istrinya sampai Mariska tidak mampu
membuka mulutnya karena terkejut.
"Suka?" bisik Topan lembut.
Mariska hanya mampu menganggukkan kepala.
Seumur hidupnya belum pernah ada yang memberi?
kan benda seindah ini. Bahkan cincin kawin Topan
cuma sebentuk cincin emas belah rotan seperti mi?
lik ibunya yang diberikan Papa tiga puluh tahun
yang lalu. Dan Rival ah, mengapa masih selalu
ingat dia? Rival tidak pernah memberikan apa?apa!
Bahkan setangkai mawar pun belum pernah!
"Rasanya aku perlu minum," desah Mariska gugup.
Masih terpesona memandangi cincin di jarinya.
Cincin itu bukan hanya indah karena pesona
batu berwarna hijau gelap berbentuk segi empat
yang ditampilkannya. Tetapi juga karena berlian
kecil?kecil yang menghiasi kedua sisinya tampak
amat serasi dengan lingkar putih berkilau yang me?
lingkarinya.
Lumayan juga selera suamiku, pikir Mariska ka?
gum. Tak sadar dia meraba kalung malacloite di le?
hernya. Hijaunya tampak serasi dengan cincin ber?


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata jamrudnya.
"Ya, rasanya kita perlu minum yang lebih keras
dari jus," sahut Topan sambil tersenyum lebar. Se?
nang melihat kejutannya mampu membuat Mariska
terpesona.
185 bukankah harl ! Mariska juga sudah membuat
kejutan? Dia yang selalu tampil seperti kuli panggul
kini tampak feminin dengan kalung batu yang entah
di toko mana dibelinya.
Jinsnya yang lusuh sudah ditukarnya dengan
gaun. Sementara sepatu ketsnya yang dipakai men,
jelajah Machu Picchu sudah beristirahat dengan
tenang di koper. Dia kini mengenakan sepatu ber?
tumit walaupun tidak tinggi, yang nyaman dipakai
berjalan.
Meskipun Mariska tidak pernah mengatakannya,
Topan tahu untuk siapa Mariska mengubah penam?
pilannya. Dan semua itu membuat Topan merasa
bangga. Makanya dia tidak ragu membeli cincin se?
mahal itu.
Dia juga tidak ragu memanggil pelayan untuk
memesan dua cawan anggur. Tetapi Mariska me?
nolak. Dia minta sampanye. Dari merek yang paling
terkenal. Dan paling mahal. Bukan hanya dua ca?
wan. Dia minta satu botol.
Karena sedang asyik mengagumi cincinnya, dia
tidak sempat melihat perubahan wajah Topan.
Malam itu sungguh manis seperti sampanye yang
mereka cicipi. Sangat indah seperti cincin yang me?
lingkar di jarinya. Sangat sedap seperti kaviar yang
mereka nikmati.
"Aku ingin kembali ke sini lagi," bisik Topan mes?
186 ra sambil meraih tangan istrinya. "Aku malah ingin
malam ini tidak pernah berakhir."
Entah mengapa tiba?tiba Mariska terkenang pada
suatu malam di Jakarta dua tahun yang lalu. Saat
itu Rival juga mengucapkan kata?kata yang hampir
sama bunyinya.
"Aku ingin malam ini tidak cepat berlalu," katanya
lembut.
Rival tidak memberikan cincin bermata jamrud.
Tidak menyuguhkan sampanye yang nikmat. Tapi
kata?katanya meletupkan gairah dan harapan di hati
Mariska. Karena malam itu, Rival melamarnya.
Mariska langsung menerimanya tanpa berpikir
lagi. Dan Rival berjanji akan segera menceraikan
istrinya.
"Aku ingin buru?buru lulus," katanya bukan ha?
nya sekali?dua. Kata?kata itu sudah seperti mantra
baginya. "Supaya bisa cepat mengawinimu."
Dan janjinya tinggal janji kosong belaka. Tak ada
perceraian. Tak ada pernikahan.
Sekarang Mariska duduk di sini. Dengan lelaki
lain. Lelaki yang sudah menjadi suaminya yang sah.
Yang dengan segala cara berusaha membahagiakan?
nya. Aku harus berusaha membalas cintanya dan me?
lupakan Rival, tekad Mariska mantap. Di sini hadir
187 seorang laki laki yang berusaha memberikan sesuatu
yang tak pernah kumiliki seumur hidupku!
"Pulang?" bisik Topan hangat. Matanya menatap
istrinya dengan penuh gairah. Tangannya menggeng?
gam mesra.
"Aku ke toilet dulu," sahut Mariska sambil meraih
gelas airnya. Meneguknya sampai setengah gelas un?
tuk mengusir pusing yang mulai menyergap kepala?
nya. "Tolong pesankan kopi."
"Boleh minta bon? Supaya kita bisa pulang lebih
cepat ke hotel." Ada yang sudah minta dilunasi. Ti?
dak bisa ditawar lagi.
Mariska sudah setengah mabuk ketika kembali
ke kursinya dari toilet. Dan dia hampir tidak me?
mercayai matanya ketika melihat suaminya digiring
polisi.
*** Mariska harus menguras dompetnya untuk mem?
bebaskan Topan. Dia harus berurusan dengan yang
berwajib karena tidak mampu membayar makanan
dan minuman yang mereka nikmati di restoran
itu. Ternyata makanan di sana sangat mahal. Dan
sampanye yang Mariska pesan harganya amat men?
cekik leher.
188 Tentu saja Mariska tidak tahu kartu kredit suami?
nya sudah tidak dapat dipakai lagi. Dan isi dompet?
nya juga sudah cekak.
Topan sudah mencoba menyerahkan jam tangan?
nya. Tetapi dia malah dipanggilkan polisi. Memang
dikiranya dia makan di mana? Di kaki lima? Masa
sebotol sampanye dari merek paling mahal mau di?
bayar dengan jam tangan? Bukan dari merek ter?
kenal, lagi.
Akhirnya Mariska berhasil menyelesaikan ma?
salah suaminya. Dan malam itu mereka pulang ke
hotel mereka yang dua blok jauhnya dengan berjalan
kaki.
"Maafkan aku," desah Topan malu. "Aku merusak
malam kita."
"Kamu hanya ingin membuat kejutan," sahut Ma?
riska dengan kepala pusing dan mata berkunang?
kunang. Dan kamu berhasil!
"Masih kuat jalan?" Samar?samar Mariska men?
dengar gema suara suaminya. Suara bernada cemas
itu terdengar amat jauh seperti dari langit ketujuh.
Mariska mengangguk. Atau rasanya dia sudah
menganggukkan kepalanya. Jalannya memang sudah
limbung.
"Kamu mabuk?" desah Topan khawatir. "Mau ku?
gendong?"
"Nggak usah," Mariska tidak tahu dia sempat
189 mengucapkannya atau tidak. Karena dia sudah ke?
buru terhuyung ke depan.
Topan menangkap tubuh istrinya dengan sigap.
Langsung menggendongnya. Untung badannya se?
besar kerbau.
*** Malam itu menjadi malam yang paling menggairah?
kan untuk mereka berdua. Rasanya sampanye yang
mereka beli dengan pengorbanan menjadi tidak sia?
sia. Tidak ada harga yang terlalu mahal untuk mem?
peroleh malam seindah itu.
Kecuali ketika mereka sudah sampai di puncak.
Dan Mariska mendesahkan nama yang selalu ada di
benaknya. Bersembunyi di lubuk hatinya yang pa?
ling gelap.
Topan kehilangan segenap gairahnya. Ibarat ber?
ada di puncak Machu Picchu, dia tergelincir ke ba?
wah setinggi dua ribu meter. Tubuhnya terbanting
ke batu. Tulangnya seperti diremas hancur. Sakitnya
bukan alang kepalang.
Mariska tengah merengkuh kenikmatan yang luar
biasa tatkala dia sadar Topan tiba?tiba tersentak se?
saat. Irama musik merdu yang sedang dilantunkan?
nya mendadak berhenti. Dan dia langsung meng,
gulingkan tubuhnya menjauh.
190 Meskipun Topan tidak berkata apa?apa, Mariska
dapat merasakan kesakitannya. Dan dia tahu apa
sebabnya.
Mariska sudah tidak terlalu mabuk lagi untuk me?
nyadari dosa apa yang barusan diperbuatnya. Dia
mendesahkan nama pria lain pada saat suaminya se?
dang menggaulinya. Pada saat mereka tengah meng?
gapai kepuasan bersama.
Ingin rasanya Mariska memotong lidahnya supaya
dia tidak dapat menggumamkan nama itu lagi. Tapi
tampaknya apa pun yang dilakukannya tidak dapat
meralat kesalahan yang telah telanjur diperbuat?
nya. Topan langsung menggulingkan tubuhnya men?
jauh. Terkapar dalam kekecewaan yang amat sangat.
Matanya menerawang ke langit?langit kamar. Sorot?
nya begitu nyeri sampai Mariska ikut merasa
kesakitan.
"Maaf," bisik Mariska getir. Bukan pura?pura. Bu?
kan sandiwara. Dia memang tersiksa oleh dosanya.
Dia menelungkup ke atas tubuh suaminya. Mem?
belai dadanya yang masih bermandikan keringat.
"Sudahlah," Topan menyingkirkan tangan istrinya
dengan jijik. "Sekarang aku tahu siapa yang ada di
pelukanmu ketika kita bercumbu."
Sia?sia Mariska berusaha memperbaiki suasana.
191 Malam itu sudah menjadi malam yang paling
rusak.
"Besok kita pulang," cetus Topan dingin setelah
dua jam tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Rasanya percuma saja kita berbulan madu di mana
pun kalau hatimu masih tetap di Jakarta."
192 BAB XI
SEJAK itu selama dua minggu Topan tidak pernah
menyentuhnya. Padahal Mariska sangat mendamba?
kan kenikmatan yang dilimpahkan suaminya.
Ibarat minum kopi, belum ketagihan kalau belum
pernah mencicipinya. Mariska tidak pernah merindukan kehangatan kasih sayang seorang suami sebelum
Topan memberikannya.
Dan Mariska bukan Mariska kalau tidak mengata?
kan dengan terus terang apa yang diinginkannya.
Dia memang bersalah. Tapi dia sudah berusaha
memperbaikinya.
Selama dua minggu dia berusaha melayani suami?
nya dengan baik. Kalau TOpan masih marah dan
menghukumnya dengan menjauhinya, rasanya tidak
adil. Sebagai istri, Mariska berhak menuntut apa
yang menjadi haknya.
193 "Aku cuma belum menginginkannya!" geram Topan kesal. "Belum ada gairah. Masih belum bisa
melupakan siapa yang kamu cumbu di ranjang suami?
mu!"
"Aku kan sudah seribu kali minta maaf!" balas
Mariska sama jengkelnya. "Mestinya kan kamu tahu,
aku tidak bisa melupakannya begitu saja!"
"Sampai mendesahkan namanya ketika sedang
bercumbu dengan suamimu?"
"Kan sudah aku bilang, kelepasan!"
"Tapi kamu sangat menyakiti hatiku!"
"Aku sudah minta maaf! Harus bagaimana lagi?"
"Aku sudah memaafkanmu. Tapi belum bisa me?
lupakannya!"
"Itu namanya munahk!"
"Jadi kamu mau apa?"
"Mau apa? Aku mengajakmu berdamai! Mesti
bagaimana lagi? Masa kita mau musuhan terus?
Kita sudah jadi suami?istri! Tidak bisa saling me?
ninggalkan kalau jengkel!"
"Seharusnya aku sadar, kamu belum dapat me,
lupakannya!" dengus Topan dingin.
"Aku sudah berusaha," gumam Mariska datar.
"Kamu terus mengejarnya biarpun dia sudah jadi
suami perempuan lain."
"Sekarang kan tidak lagi! Aku mengejar suamiku
sendiri! Kamu yang terus menolakku!"
194 "Hatiku masih sakit!"
"Cari saja hepatolog!" Dengan sengit Mariska me?
ninggalkan suaminya.
Hepatolog adalah dokter ahli penyakit hati. Ba?
rangkali cuma mereka yang bisa menyembuhkan
luka di hati Topan!
"Mau ke mana?" sergah Topan uring-uringan.
Sebenarnya dia memang sudah memaafkan istri?
nya. Tapi kenapa dia tetap belum dapat melupakan?
nya? Sampai kapan dia ingin menyimpan trauma itu
di benaknya?
"Cari kenikmatan di luar," tentu saja Mariska ha?
nya melampiaskan kejengkelannya. "Bete di ru?
mah!"
Dua minggu dia mengurung diri di rumah. Ber?
usaha mendekati suaminya. Melayaninya. Mengurus
semua keperluannya. Mencoba mengambil hatinya.
Rupanya usahanya sia?sia saja. Topan masih ke?
sal. Masih marah. Masih penasaran.
Dua minggu dia tidak bercanda. Dan Mariska
kehilangan Topan yang dikenalnya.
*** Sebenarnya semua memang salahku, pikir Mariska
sambil menghela napas ketika dia sedang menge?
mudikan mobilnya.
195 Tidak bisa ngebut di Jakarta. Biarpun sudah malam. Jadi terpaksa dia menjalankan mobilnya per?
lahan?lahan. Padahal kalau sedang jengkel begini,
ngebut paling enak. Kalau tidak masuk bengkel, ma?
suk rumah sakit. Kalau rumah sakit tidak bisa lagi
menampungnya...


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ingatannya tiba?tiba melayang kepada Gustian.
Di mana dia sekarang? Mariska rindu sekali ingin
melihatnya. Ingin ngobrol dengan dia. Ingin minta
bantuannya.... Ah, bantuan apa lagi? Membujuk
Topan? Meredakan amarahnya? Itu bukan tugas
Gustian lagi.
Di mana kamu, Mas, desah Mariska pedih. Aku
ingin sekali melihatmu, biarpun cuma sekejap! Ingin
sekali ngobrol, sebentar saja!
Aku tidak akan menyusahkanmu lagi. Tidak minta bantuanmu lagi. Tidak merepotkan lagi....
Ah, kalau Gustian bisa, benarkah Mariska tidak
perlu minta tolong lagi?
Keadaan Mama tidak berangsur membaik. Sudah
setahun berlalu sejak mereka kehilangan Gustian.
Jiwanya masih tetap terganggu.
"Rasanya Mama tidak bisa pulih seperti dulu lagi,
Ris," gumam Papa dengan mata berkaca kaca setiap
kali melihat istrinya bicara dengan piala Gustian.
"Bisa, Pa," hibur Mariska tegas. "Papa harus sa?
bar."
196 Bicara memang gampang. Bukan Mariska yang
berada selama enam belas jam di samping Mama.
Apalagi setelah dia menikah. Papa?lah yang harus
melayani Mama. Terus-menerus berada di sisinya.
Ikut gila bersamanya.
Nenek juga tidak bisa diharapkan. Bagaimana
bisa menghibur anaknya kalau siapa Gustian saja
dia sudah tidak ingat.
Cucunya sekarang bernama Farid. Kadang?kadang
Tatang. Padahal itu nama tukang kebunnya.
Cucunya bisa meninggal hari ini sampai matanya
bengkak karena menangis. Tapi esoknya, cucunya
sedang pergi ke Semarang mencari istri.
Jadi jangan harapkan Nenek bisa menolong
Mama. Membawanya ke rumah hanya membuat
rumah mereka makin gaduh seperti di rumah sakit
jiwa.
Lagi pula Tante Nila, adik Mama yang diserahi
tugas mengurus Nenek, tidak mau membawa ibunya
ke rumah kakaknya. Mengurusi satu orang sakit
saja sudah repot, apalagi dua!
Lebih baik aku pulang, pikir Mariska tiba-tiba.
Nengok Mama. Kalau perlu nginap di rumah ma?
lam ini. Ngobrol sama Papa. Daripada menemani
patung di rumah.
Mariska menghentikan mobilnya di depan sebuah
toko kue. Dulu Mama suka kue?kue tradisional ma?
197 cam ini. Kalau Papa, apa juga suka. Asal bisa dimakan.
Mariska turun dari mobilnya. Masuk ke toko kue
yang sudah sepi itu. Dan tiba?tiba ingin keluar lagi
dari sana. Tapi terlambat!
"Mariska?" sapa pria itu dengan tatapan tidak
percaya.
Mariska menghela napas berat. Mencoba mengusir bayangan kepedihan dari matanya. Berusaha
mengosongkan tatapannya.
Di sana berdiri laki laki yang suatu waktu dulu
amat dirindukannya. Ah, benarkah hanya suatu waktu dulu? Benarkah sekarang dia tidak merindukannya lagi? Lagu apa yang mendadak melantun di
hatinya ketika matanya berpapasan dengan mata
yang sangat dicintainya itu?
Setahun telah berlalu. Sejak terakhir mereka ber?
temu.
Di mana Mariska terakhir melihatnya? Di pema?
kaman Gustian? Saat itu dia datang seorang diri.
Wajahnya menampilkan kesedihan. Dan tampaknya
dia tidak berpura?pura.
Apa yang membuatnya demikian sedih? Kematian
Gustian:> Atau... kehilangan Mariska?
Saat itu mereka tidak sempat bicara. Rival hanya
sempat mengucapkan ikut berdukacita. Formal. Se?
perti tamu?tamu yang lain.
198 Lalu Mariska tidak pernah melihatnya lagi. Sam?
pai saat ini. Dan dia sama sekali tidak berubah!
Wajahnya tetap setampan dulu. Setampan ketika
pertama kali Mariska melihatnya waktu kelas dua
SMA. Tubuhnya juga tetap segagah dulu. Tinggi.
Atletis. Tidak terlalu besar. Tidak lebat berbulu...
Ahi "Rival," desah Mariska terpaksa.
Mengapa mereka harus bertemu kembali? Justru
pada saat rumah tangganya sedang terguncang?
"Beli kue untuk suami? Kudengar kamu sudah
menikah."
Bahkan suaranya tidak berubah! Suara yang di?
rindukannya itu masih tetap enak didengar seperti
lagu yang membelai hati Mariska.
Mengapa ada pria yang begini sempurna? Dan
mengapa pria seperti ini hanya disediakan untuk
gadis'gadis cantik?
"Buat Mama," sahut Mariska kaku. Lalu matanya
berpapasan dengan mata yang bening itu. Ada yang
memukul dadanya. Sakit. Tapi dia berusaha menyapa
seramah mungkin pada anak perempuan yang mele?
kat rapat di paha Rival. "Halo, Rin. Mau kue apa?"
Ririn menggeleng malu sambil makin menggelayut
di tungkai ayahnya.
"Ayo, Rin, bilang selamat malam sama Tante
Riska."
199 Bukannya memberi salam, Ririn malah bersembunyi di belakang Rival.
Barangkali dikiranya aku setan, pikir Mariska
jengkel. Mungkin ibunya sering memperlihatkan
fotoku padanya. Setiap malam sebelum tidur.
"Ririn memang pemalu," kata Rival seperti minta
maaf. "Mau es krim, Rin?"
Ririn cuma mengangguk seolah olah lidahnya di?
bawa semut.
"Mau menemani kami minum, Ris? Sekalian
ngobrol. Kita sudah lama nggak ketemu."
jangan, Ris!]angan lagi!
"Lain kali deh. Aku buru buru."
"Minggu depan aku ke Lisbon."
"Menemui ibumu?"
"Mungkin menetap di sana."
Mariska tertegun.
"Kalian mau pindah?"
"Cuma aku dan Ririn."
Mata Mariska melebar.
Rival tersenyum pahit. Dia tahu apa yang hendak
ditanyakan Mariska. Dan dia tidak menunggu sampai Mariska menanyakannya.
"Kami sudah bercerai."
*** 200 Ririn melahap es krimnya tanpa malu-malu. Rupa?
nya di depan es krim, rasa malunya hilang.
Rival minum secangkir kopi. Sementara Mariska
hanya minta air putih. Sekadar untuk menurunkan
rasa kaget.
"Anakmu yang bungsu?" desak Mariska penasaran.
Dihirupnya minumannya untuk menutupi perasaannya. "Kamu tinggalkan begitu saja?"
Anak yang memisahkan kita. Membatalkan ren?
cana pernikahan kita.
"Bukan anakku," sahut Rival tawar.
"Bukan9" Mariska tersedak. Batukzbatuk ketika
air salah masuk di tenggorokannya.
"Mula-mula Ayu membantah. Aku terpaksa me?
lakukan tes DNA."
"Karena itu kalian bercerai?"
"Anak itu bukan anakku. Ayu berselingkuh."
"Kamu menceraikan istrimu karena dia berselingkuh?"
"Aku tidak bisa menerima penghinaan seperti
itu."
"Tapi apa bedanya dengan kamu?"
"Kita tidak berselingkuh. Kamu menjaga kehormatanmu dengan teguh. Aku makin kagum padamu, Ris. Sayang kamu tidak sabar menunggu per?
ceraianku."
"Jadi aku yang salah?" desis Mariska berang. "Siapa
201 yang janji mengawiniku setelah lulus, tapi datang ke
wisuda dengan istri yang hamil tua?"
"Bayi itu bukan anakku!"
"Mana aku tahu? Kamu menghilang seperti ditelan bumi! Tidak ada penjelasan, apalagi perminz
taan maaf!"
"Aku menghindarimu karena merasa bersalah.
Kamu pasti tersiksa sekali, lebih-lebih setelah
Gustian pergi."
"Mestinya kamu datang menghibur, bukan malah
menghilang!"
"Semua memang salahku. Tapi kamu tidak mem?
beriku kesempatan lagi. Kamu keburu menikah!"
"Aku baru menikah sebulan! Kamu punya waktu
satu tahun untuk mencariku!"
"Ketika anak itu lahir, aku baru sadar dia mirip
siapa. Aku merasa ditipu. Dikhianati." Suara Rival
begitu geram. Begitu penuh kebencian.
Berapa kali kamu menipuku? Mengkhianatiku?
Tetapi mengapa aku tetap tidak bisa membenci
mu? *** Sejak malam itu, Rival terus-menerus mencarinya.
Sebaliknya Mariska terus?menerus menghindar.
Mencari berbagai kesibukan. Mencari kerja. Mene?
202 mani Mama. Bahkan beberapa kali ikut ke kantor
Papa. Karena dia tidak bisa bersembunyi di balik
tubuh suaminya. Topan masih korslet. Padahal ini
saat yang paling genting.
"Maaf, aku belum bisa," dengus Topan datar ketika malam itu istrinya memeluknya di tempat tidur.
Padahal Mariska sudah membeli gaun tidur baru.
Gaun sutra tipis bertali Spageti yang bisa bikin masuk angin. Tapi kata penjualnya, gaun seperti itu
membuat lelaki tidak bisa menolak. Mungkin mak?
sudnya lelaki di luar pagar. Bukan suami sendiri.
Apalagi yang sedang merasa terhina.
Mariska juga sudah menyemprotkan parfum yang
wanginya bisa membuat orang yang alergi bersin
belasan kali. Untung Topan tidak alergi. Dia cuma
bersin sekali.
Tetapi bahkan parfum yang dapat membangkitkan
gairah kuda seperti itu tidak mampu merangsang
seekor kerbau yang sedang ngambek.
Mariska melepaskan pelukannya dengan kecewa.
Sampai kapan suaminya menolaknya? Padahal Ma?
riska sangat menginginkannya. Lebih lebih dengan
bayangan seseorang di benaknya
Ah, Mariska tersentak kaget.
Benarkah dia menginginkan suaminya? Atau... ma?
lam ini sebenarnya dia menginginkan orang lain?
203 Pikiran yang kalut dan perasaan bersalah mem?
buatnya tidak bisa tidur sekejap pun. Sementara
Topan yang berbaring tenang di sampingnya sudah
lama tertidur.
Mariska meluncur turun dari tempat tidurnya.
Melangkah ke dapur untuk mencari segelas air dan
obat penenang.
Ketika dia sedang menuang air ke gelas, ponsel?
nya berdering. Secepat kilat dia meraih HP?nya.
Seolah?olah sudah tahu siapa yang menelepon tengah malam begini.
"Belum tidur?" Suara Rival selembut sutra.
"Sudah bangun," sahut Mariska pura?pura kesal.
Padahal jantungnya sedang berdegup kencang.
Aduh, kenapa dia jadi seperti remaja lagi?
Rival tertawa perlahan. Bahkan suara tawanya
begitu memikat.
"Cuma kamu yang bangun?"
"Nyamuk di sekitarku juga."
"Di mana suamimu?"
"Di mana pikirmu?"
"Dia tidak tidur di sampingmu? Pindah ke kamar
tamu?"
"Punya hak apa kamu menanyakannya?"
"Dia tidak bangun oleh bunyi Hilmu?"
"Kenapa baru tanya sekarang?"
Sekali lagi tawa renyah Rival membelai telinga
204 Mariska. Menaburkan benih kerinduan yang nyeri
tapi nikmat.
Seandainya dia punya sayap tapi ke mana dia
terbang kalau jadi Superman? Ke rumah Rival? Ke
kamarnya? Menghelanya keluar jendela, membawa?
nya terbang ke angkasa? Atau justru memeluknya di
tempat tidur? Membiarkan kerinduan merambah
malam?
"Boleh mengajakmu makan siang besok?" Tanpa
menunggu jawaban Mariska, Rival menyebutkan
nama restoran favorit mereka. "Masih ingat tempatnya, kan? Kamu pasti tidak mau dijemput."
Dan Mariska tidak mampu menghindar walau
dia ingin.
Daya tarik Rival masih demikian besar. Semen?
tara di sisi Mariska, tidak ada perisai yang melin?
dungi.
"Ikutlah denganku ke Portugal, Ris," pinta Rival
sambil menikmati soto BetaWi?nya. "Akan kukenalkan dengan Mama."
"Ibumu pasti tidak menyukaiku."
"Belum tentu. Mama beda dengan Papa. Dia lebih terbuka. Lebih bisa menerima."
"Menerima perselingkuhan maksudmu?"
"Kita tidak berselingkuh. Aku sudah bercerai!"
"Dan aku sudah menikah! Kenapa kamu selalu
menilai segalanya hanya dari sudutmu, Val? Aku


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

205 perempuan bersuami! Apa kata orang kalau aku
ikut kamu ke Portugal?"
"Sejak kapan Mariska Prasetyo peduli omongan
orang?"
Mariska memang tidak peduli. Pada siapa pun.
Kecuali pada suaminya.
Tetapi pada saat dia amat memerlukan dukungan
suaminya, Topan malah membalikkan badan.
206 BAB XII
CIUDAD de Lisboa, kota Lisbon, sungguh terasa
nyaman di bulan April. Hawanya tidak terlalu pa?
nas. Udaranya bersih. Bunga?bunga yang bermekaran
di musim semi seperti bersaing mengadu cantik dengan gereja-gereja bergaya Barok yang berjejer di
Chiado, area paling elegan di kota itu.
Sementara Biara ]eronimos yang Gotik, tampil
begitu megah dan anggun. Kebesarannya membuat
mata seolah enggan berpaling. Keagungannya tak
luntur oleh waktu.
Di seberangnya Monumen Discovery, Padrao dos
Descobrimentos, menjulang dengan gagah seperti
menggambarkan kejayaan maritim Portugal di masa
lalu. Ketika mereka menjelajah separuh bumi untuk
menemukan koloni?koloni baru.
207 Tetapi bagi Mariska, bangunan yang paling di?
kaguminya adalah Belem Tower, yang menjulang di
tepi Sungai Tejo. Gaya Romantik Gotik yang ber?
baur dengan sentuhan Arab nya membuat menara
yang dibangun pada abad keenam belas itu tampil
anggun tapi beda.
Ketika Rival membawanya ke sana saat senja me?
rangkul bumi, Menara Belem seperti benteng putih
yang menjulang di atas permukaan air yang disepuh
warna jingga. Warna yang juga melumuri cakrawala
dan langit yang melatarbelakanginya. Sementara
arus Sungai Tejo yang menyapa lembut daratan se?
kali?sekali membasuh kaki mereka.
Di sana, ditudungi keabadian Torre de Belem,
dalarn alunan Mozart yang disenandungkan Belem
Festival Music, Rival menciumnya dengan mesra.
Dan sekali lagi melamarnya.
Setelah seharian menelusuri Lisbon bersama?
sama, menikmati kecantikan sebuah kota tua yang
anggun, dibius keagungan Mozart yang abadi dan
dibuai kemesraan cinta yang membara, wanita mana
yang masih mampu menolak lamaran semanis itu?
Ketika hati bicara, di mana nalar bersembunyi?
Mariska tidak ingat apa-apa lagi. Tidak ingat janji?
nya kepada ayahnya. Tidak ingat kepada Gustian
dan kalung yang telah dibuangnya di Machu Picchu.
208 Tidak ingat kepada suaminya yang telah memberi?
kan segala galanya untuk membahagiakannya.
Di sini tegak cinta pertamanya. Cintanya yang
bersemi sejak SMA. Cintanya yang abadi. Cinta
yang tak pernah padam.
Mariska tidak ingat apa yang telah dilakukannya.
Apakah dia telah menganggukkan kepalanya? Membalas tatapan kekasihnya dengan tatapan penuh
baru dan bahagia? Menyunggingkan senyum hangat
dibalut kemesraan?
Dia hanya mampu merasakan kecupan Rival di
bibirnya. Kecupan itu begitu manis. Begitu lembut.
Begitu merangsang. Menenggelamkan pikiran sehatnya ke alam bawah sadar yang tak mungkin digapai
lagi.
Ketika Mariska tersadar kembali, dia telah berada
di atas pembaringan sebuah kamar hotel. Rival tertelungkup di sampingnya. Tertidur pulas setelah
memberikan kenikmatan yang dirindukan Mariska.
Mariska memejamkan matanya tanpa mampu
menggerakkan seujung jarinya pun. Dia merasa letih. Lemas. Tak berdaya.
Semuanya berlangsung dengan sangat indah seperti dalam mimpi. Akhirnya dia berhasil menggapai
kenikmatan yang dirindukannya. Berhasil meraih
cinta lelaki yang didambakannya sejak SMA. Ketika
209 bahkan kenikmatan seperti ini belum pernah di?
bayangkannya.
Topan lah yang pertama kali memberikannya.
Dengan cara yang berbeda. Kenikmatan yang berbeda. Kepuasan yang berbeda.
Dan perasaan bersalah tiba-tiba merayap di hati?
nya ketika dia teringat suaminya.
"Ikut simposium AIDS di Madrid," itu alasannya
kepada Topan.
Padahal dia tidak ke Madrid. Dia langsung ke
Lisbon. Dan langsung ke kamar tidur bersama
Rival.
Dia tidak ikut simposium. Dia berselingkuh.
Cinta yang telah mengembara selama delapan ta,
hun akhirnya menemukan tempat berlabuh. Kerin?
duan yang telah menunggu selama sewindu malam
ini menemukan pelampiasan.
Kenikmatan itu telah digapainya. Cinta Rival te?
lah direngkuhnya. Kekasihnya telah melamarnya.
Sebentar lagi, hanya dalam satu anggukan, lelaki
yang paling didambakannya telah menjadi milik?
nya! Rival Braga Dewantoro, cowok idola Indo Por?
tugis berkulit putih bermata hijau yang dikejar?kejar
cewek sejak SMA itu, akhirnya menjadi milik Ma?
riska Prasetyo, cewek gila bertampang minus yang
tidak tahu diri!
210 Tibaztiba saja dada Mariska membusung. Kepala?
nya membesar. Hidungnya membengkak. Bukan
karena emfisema. Bukan pula karena hidrosefalus.
Bukan rinitis. Tapi karena bangga! Amat sangat
bangga sekali!
Ibarat menggapai citazcita, tujuan akhir telah ter?
capai. Tetapi mengapa yang ada hanya kepuasan
bukan kelegaan? Mengapa segurat perasaan bersalah
mampu meredam segebung kebahagiaan?
Mengapa setelah Rival diperolehnya, yang selalu
tampil di depan mata justru suaminya?
Topan yang telah mencukur rambutnya sampai
kepalanya jadi rambutan rapiah. Mencabuti bulunya
supaya istrinya tidak ngeri lagi melihatnya. Mem?
belikan cincin platinum bertatahkan berlian hancur
bermata jamrud sampai ditangkap polisi....
*** "Rasanya aku harus pulang dulu, Val," gumam Ma?
riska ketika mereka sedang sarapan pagi itu.
Rival tidak menawarkan jus. Tidak mengambilkan
roti. Tidak memesankan omelet. Dia asyik sendiri
menikmati sarapan paginya.
Dan Mariska tidak ingin memakai floaty Skirts?
nya. Malas memakai kalung garnet?nya.
Mengapa setelah memiliki, dia malah tidak ingin
211 memancing gairah Rival lagi? Beda dengan suami;
nya....
Ada yang salah dengan diriku, pikir Mariska resah. Apa sebenarnya yang kuinginkan?
"Tentu," sahut Rival santai. "Bereskan dulu
urusanmu di Jakarta. Lalu kembali kemari."
Lalu kembali kemari.
Di mana Rival ketika Mariska membereskan
urusannya di Jakarta? Di pelukan ibunya?
"Tadinya aku ingin membawamu ke Algarve. Ke
ujung dunia. Ke tempat kamu ingin mengejarku."
Rival tersenyum tanpa maksud mengejek. Tetapi
mengapa Mariska tidak suka melihat senyum itu?
"Tapi sekarang, setelah kamu memilikiku, masih
perlu nggak kita ke sana?"
Mariska tidak ingin ke mana-mana lagi. Dia
ingin pulang ke Jakarta. Secepatnya. Untuk mem]
bereskan urusannya. Urusan apa? Bercerai?
Bercerai. Secepatnya. Supaya dapat secepatnya
pula menikah dengan Rival? Atau supaya tidak
merasa bersalah lagi?
Mariska tidak menunggu lebih lama lagi. Dia puf
lang ke Jakarta. Ingin secepatnya menemui Topan.
Sudah hampir sebulan sejak pertengkaran mee
reka. Mungkinkah kemarahan Topan sudah mereda?
Mungkinkah Topan justru merindukannya karena
perpisahan ini?
212 'ietapi yang ditemuinya di rumah malah kejutan
baru.
*** "Bapak nyusul Ibu," kata pembantunya bingung.
"Nggak ketemu ya, Bu?"
Menyusul ke mana, pikir Mariska lebih bingung
lagi. Ke Madrid?
"Ada surat untuk saya?"
Surat? Surat apa? Masihkah orang zaman seka?
rang main surat?suratan?
Tapi sms pun tidak ada. HP?nya tidak menyahut.
Karena dimatikan, bukan karena tidak punya mulut.
E?mail kosong.
_]adi bagaimana menghubungi suaminya?
Setelah putus asa bertanya ke sana kemari, akhir;
nya Mariska pergi ke rumah orangtuanya.
"Topan mencarimu kemari," kata Papa Arif datar.
Rupanya dia sudah mencium bau busuk yang me?
mancar dari tubuh putrinya. Sekarang dia memang
tidak wangi lisol lagi. Parfumnya beraroma Citrus.
Tapi hari ini baunya busuk. "Dia tidak percaya kamu
ke Madrid. Tidak ada simposium AIDS di sana."
"Papa tahu di mana dia sekarang?"
"Ke mana sebenarnya kamu, Ris? Mengejar Rival
sampai ke rumah ibunya?"
213 "Papa nggak marah kalau saya minta jangan came
puri urusan rumah tangga saya?"
"Papa hanya mengingatkan, Ris," gumam ayahnya
jengkel. "Itu kewajiban Papa. Terserah kamu mau
dengar atau tidak."
"Sekarang saya tidak ingin berdebat, Pa. Saya
ingin mencari Topan."
"Papa ragu apa belum terlambat mengejarnya,"
desah Papa Arif muram. "Papa belum pernah me?
lihat Topan segeram itu. Biasanya dia selalu ceria
dan penuh canda."
"Itu tanggung jawab saya, Pa. Saya yang akan
menjelaskannya."
"Menjelaskan apa? Kamu pergi menyusul Rival
ke Portugal? Atau kamu justru pergi bersama dia?"
"Saya pergi bersamanya," sahut Mariska jujur.
"Rival melamar saya."
Wajah Papa Arif memerah menahan marah.
"Dia berani melamar istri orang?"
"Bukan semua salahnya, Pa. Saya yang memberi
kesempatan padanya."
"Kalau begitu percuma mengejar suamimu. Sama
percumanya seperti Papa menasihatimu. Sama per;
cumanya dengan janjimu. Di depan Papa. Di depan
Tuhan."
"Di mana Tuhan?" sambar Mama Dania yang
baru keluar dari kamar. Mariska trenyuh sekali me
214 lihat ibunya. Tubuhnya bertambah kurus. Pakaian?
nya serabutan seperti gembel. Padahal dulu Mama
selalu rapi. Selalu terlihat cantik. Keren. Chic. Di
mana Mama yang dikenalnya? "Di mana Dia me?
nyembunyikan anakku?"
Mama tidak menegurnya sama sekali. Mungkin
malah tidak tahu siapa yang berdiri di depannya.
Yang dicarinya cuma Gustian! Karena cuma dialah
anaknya!
Mariska kecewa sekali. Perasaan hampa dan ter?
sisih yang dipendamnya sejak masa kanakzkanak,
akhirnya mengapung ke permukaan alam bawah
sadarnya.
Ketika seorang Rival Braga Dewantoro melamar?
nya, Mariska baru menemukan jati dirinya. Dia
wanita yang berharga. Manusia yang setara dengan
siapa pun. Bahkan dengan abangnya yang sempurna.
Dan Mama tidak berhak lagi menyingkirkannya.
Tidak mengacuhkannya.
"Ma," dengus Mariska jengkel. "Kalau Tuhan mau
menjawab, Dia akan bilang Mama punya dua orang
anak! Anak yang mana yang Mama tanyakan? Anak
yang mana yang selalu Mama cari? Mama tidak ta?
kut kehilangan anak yang satu lagi? Anak yang ti?
dak pernah Mama hiraukan! Anak yang tidak per?
nah ada di depan Mama!"
Dengan sengit Mariska meninggalkan rumah
215 orangtuanya. Ketika hendak masuk ke mobilnya, dia
berpaling. Dan melihat ayahnya tegak di ambang
pintu. Matanya berkaca-kaca.
Itulah putrinya. Anak yang tidak pernah me?
nerima perhatian penuh orangtuanya. Sejak kecil dia
hidup dan tumbuh dalam aroma sisa abangnya.
Salahkah jika kepribadiannya terbentuk berbeda?
Salahkah jika dia mengejar bayangan yang keliru?
Salahkah jika dia sulit menerima cinta yang tulus?
Cinta yang tak pernah dikenalnya!
*** Ketika Mariska turun dari mobil di halaman depan
rumahnya, pembantunya bergegas menghampiri.


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan harapan Mariska membeludak.
"Bapak?" sergahnya terengah. Tidak sempat lagi
menarik napas.
"Bapak siapa?" Mata si Wati melebar.
"Bapakmu!" semprot Mariska kesal. "Ya suami
saya! Siapa lagi!" Masa saya nanya bapak kamu!
"Bapak pergi," sahut Wati terbata-bata. Apakah
Ibu sudah pikun? Kan tahu Bapak pergi. Kok mae
lah ditanyakan lagi! "Belum pulang."
Ketika Mariska sedang menutup pintu mobil, tatapannya melayang ke teras rumah. Seorang wanita
tegak di sana.
216 "Ada tamu, Bu," tukas Wati hatizhati. "Katanya
teman Ibu."
"Kalau dia bukan teman saya, kita sudah dirampok!" Dan dia memang bukan teman saya! Tidak
pernah jadi teman saya! Dia mencuri satu?satunya
kambing saya....
"Ris." desah Ayunda lirih.
Dia belum berubah. Bahkan mungkin tidak per?
nah berubah. Ayunda Putri Gergasi yang cantik!
Kecantikan tak pernah meninggalkannya meskipun
penderitaan datang mendera.
Anaknya sudah dua. Mengapa dia masih tetap
ramping? Dia baru diceraikan suami karena dituduh
berselingkuh, mengapa parasnya masih seayu bintang film?
Dia tampak sedih, tapi bahkan dalam kesedihan
dia tampil menawan! Dan kenyataan itu membuat
Mariska tambah iri!
Mengapa ada wanita yang diciptakan begitu sem?
purna? Dan mengapa sekarang dia datang ke rumah?
nya? Untuk apa?
Sekejap Mariska ingin mengusirnya. Ada suatu
saat dalam hidupnya dulu, dia ingin membunuh pe?
rempuan ini. Mencincangnya. Merebusnya. Wah, dia
jadi koki.
Tetapi sesaat sebelum mulutnya menjadi corong
217 iblis?kalau iblis memang perlu corong bukan tani
duk?dia melihat bayi dalam gendongan Ayunda.
Bayi itu sedang tidur lelap. Barangkali dia sedang
memimpikan ayahnya. Atau dia sedang memimpikan
masa depannya? Masa depan yang suram karena ti'
dak seorang pun mau menjadi ayahnya!
Mariska tidak jadi membuka mulutnya. Tidak
menjawab sapaan Ayunda. Dia melewatinya dengan
diam. Melangkah masuk ke rumahnya. Dan Ayunda
mengikutinya tanpa diundang.
"Beri aku waktu untuk bicara, Ris," pinta Ayunda
memelas.
Mariska meletakkan tasnya di meja tamu. Dan
duduk tanpa mengundang Ayunda. Tapi tanpa di?
undang pun Ayunda ikut duduk.
"Aku tahu kenapa kamu bersikap seperti ini," kataf
nya lirih.
"Kalau begitu buat apa lagi datang ke rumahku?"
sahut Mariska judes.
Dia bukan orang suci. Bukan perempuan berhati
malaikat yang sering ditampilkan dalam film mau?
pun sinetron. Dia manusia biasa. Punya hati yang
bisa terluka. Punya kebencian dan dendam!
"Tamunya disuguhi minum, Bu?" tanya Wati
takut?takut.
"Tidak usah!" sahut Mariska jengkel. Lebih cepat
dia pulang lebih bagus! Dia bukan tamu kok!
218 Sesaat Wati tertegun bengong. Tapi melihat
kusutnya wajah majikannya, bergegas dia menying?
kir. Barangkali tamu ini datang menagih utang! Kok
pakai bawa-bawa bayi segala! Tetapi justru karena
melihat bayi itu Wati tidak tega menyuruhnya me?
nunggu di luar. Karena kasihan pada bayinya dia
dipersilakan masuk!
"Rival menceraikanku."
Aku tahu. Tapi itu bukan urusanku!
"Tidak ada hubungannya denganku," sahut Ma?
riska dingin.
"Bayi ini bukan anaknya."
Aku tahu. Tapi itu juga bukan urusanku!
"Aku ingin minta tolong, Ris."
Minta tolong? Padaku? Astaga!
Lupakah kamu siapa yang paling sering mencabut
jantungku, memotong nadiku?
"Aku memang bersalah," Ayunda menunduk getir.
Air matanya berlinang?linang. Ditatapnya bayinya
dengan tatapan pahit. "Akhir?akhir ini Rival sering
pergi. Aku kesepian..."
"Kenapa harus mengadu padaku?" potong Ma?
riska jemu. "Sejak kapan aku jadi penasihat perka?
winan?"
"Aku ingin minta tolong padamu, Ris. Tapi se?
belumnya, tolong lupakan masa lalu kita."
219 Mariska menggeleng muram.
"Masa laluku terlalu pahit untuk dilupakan," katanya datar. "Lagi pula apa kena mengenanya dengan
kamu?"
"Tolong kembalikan Rival padaku."
Mariska membeliak marah.
"Aku bukan kamu! Aku tidak pernah mencuri
Rival mu!"
"Aku tahu. Kami bercerai bukan karena kamu.
Semua salahku. Tapi demi anak-anakku, Ris, tolong
minta dia kembali pada kami."
"Tidak mungkin," sergah Mariska tegas. "Kalian
sudah bercerai. Dan dia sudah melamarku."
Sekarang giliran mata Ayunda yang melebar. Di
dalam mata itu Mariska melihat kecemasan dan ke?
kecewaan.
"Tapi kamu sudah menikah, Ris."
"Itu urusanku," sahut Mariska dingin. "Sekarang
aku yang berhak memilih."
Aku yang berhak memilik.
Bukan salah Mariska kalau dia jadi sombong
begitu. Selama bertahun?tahun, dia figur yang tersisih. Sekarang dia punya kesempatan untuk meme
balas dendam.
"Kalau tidak mau menolongku, lakukanlah untuk
anakku ini, Ris," pinta Ayunda mengiba?iba. "Ka?
sihanilah dia."
220 Tapi mengapa Rival yang harus bertanggung ja?
wab? Mengapa bukan ayah bayimu? Di mana dia
bersembunyi? Di balik gaun istrinya:J
"Sori," katanya sambil bangkit dari kursinya. "Aku
tidak bisa menolong."
Lima tahun yang lalu aku pernah melakukan hal
yang sama. Aku datang ke rumahmu. Menuntutmu
mengembalikan Rival. Tapi kamu menolak. Karena
Rival sudah memberikan uang muka!
Sekarang mengapa aku harus menolongmu? Bukan salahku Rival menceraikanmu! Bukan salahku
pula dia melamarku!
Tetapi menceraikan suamiku, itu baru kesa?
lahan!
Dan itu yang membuat hati Mariska terus?me?
nerus didera perasaan bersalah.
Topan tidak pernah berbuat kesalahan. Dia me?
mang marah. Dan marahnya terlalu lama. Tapi dia
pantas marah!
Istrinya melafaskan nama lelaki lain saat ber?
mesraan. _]elas dia tersinggung. Sakit hati. Terluka.
Terhina.
Kini dia mungkin sudah memaafkan istrinya. Ka?
rena itu dia menyusul Mariska. Mencarinya. Tapi
ke mana::
Topan tahu tidak ada simposium AIDS di
Madrid. Tidak sulit mencari keterangan seperti itu.
221 Mariska saja yang nekat. Berbohong kok yang gam?
pang ketahuan begitu!
Saat itu dia memang tidak bisa berpikir. Otaknya
sudah dititipkan di saku Rival.
Begitu Rival menyodorkan tiket, Mariska seperti
kerbau dicocok hidung. Mau saja dijinjing ke
Lisbon. Fantasinya langsung mengawang tinggi.
Kapan lagi ada kesempatan seperti itu? Rival
mengajaknya pergi berdua! Jangankan ke Lisbon. Ke
Laut Mati pun dia mau!
*** Apa sebenarnya kesalahan Mariska yang tak terampuni? Dia menyebutkan nama Rival ketika se?
dang bermesraan dengan suaminya. Memang ke?
salahan yang fatal. Tapi benarkah sudah tidak ada
maaf baginya?
Sudah dua jam Topan duduk minum seorang
diri. Setahun yang lalu, dia pernah duduk minum
di tempat ini juga. Tapi saat itu dia tidak sendiri.
Ada Gustian di sampingnya.
Ketika itu Topan tidak menyadari, waktunya su?
dah dekat. Sebentar lagi dia akan kehilangan teman?
nya. Mariska kehilangan kakaknya satu satunya
Sahabatnya. Pelindungnya.
Dan aku sudah janji akan menjaganya, keluh
222 Topan sambil menghirup minumannya. Kenapa se?
karang kusia?siakan dia?
Mariska memang menyakiti hatinya. Tapi dia tidak
sengaja. Dan dia sudah berkali?kali minta maaf.
Mengapa tidak dimaafkannya istrinya? Mengapa
selalu ditolaknya permintaannya? Keinginannya.
Gairahnya.
Padahal itu hak seorang istri. Bukan hanya suami
yang berhak meminta.
Setelah beberapa kali ditolak?yang terakhir Ma?
riska malah sudah menyiapkan kejutan, memakai
gaun tidur seksi yang mungkin seumur hidup baru
pertama kali dipakainya?dia marah.
Dia memang pantas marah. Suaminya tidak mau
memaafkannya. Dan Topan mulai menyesali diri.
Menyesali tingkahnya yang seperti anak kecil.
Tetapi kali ini tampaknya giliran Mariska yang
marah. Dia meninggalkan suaminya. Katanya ke
Madrid. Ikut simposium. Sengaja menghindar?
Mungkin ada baiknya juga. Kadang?kadang
suami?istri memang perlu waktu untuk berpisah
sementara. Untuk introspeksi.
Setelah beberapa hari tidak bertemu istrinya,
Topan memang mulai merasa kangen. Mulai merasa
menyesal.
Sebuah dorongan lahir di hatinya. Dorongan
yang timbul dari perasaan rindu.
223 Dia sudah memaafkan istrinya. Dan dia ingin
Mariska tahu, dia juga sudah berusaha melupakan
kesalahannya. Bukankah cinta memang selalu memaafkan? Apa artinya memaafkan kalau tidak dapat
melupakan?
Topan ingin membuat kejutan. Dia memutuskan
untuk menyusul istrinya ke Madrid.
Mariska pasti terkejut sekali ketika melihat suami?
nya. Gembirakah dia:J Atau... dia masih marah?
Barangkali dia masih marah. Tapi pasti tidak ba?
nyak. Lebih banyak perasaan kagetnya. Dan pe?
rasaan gembira? Pasti ada. Mungkin disembunyikan?
nya. Baru diumbar ketika mereka bersatu kembali
di tempat tidur.
Ah, Topan tersenyum pahit. Seks memang perlu.
Tentu saja maksudnya dalam kehidupan suami?istri.
Seks yang menyatukan. Seks juga yang memisahkan.
Makanya perlu. Ibarat bumbu. Kalau kurang, ham?
bar. Kebanyakan, Chinese Restaurant Syndrome.
Dengan bersemangat Topan mencari informasi.
Semangatnya begitu menggebu?gebu untuk segera
terbang ke Madrid.
Tetapi tidak ada simposium AIDS di sana.
Mariska berdusta!
Dia pergi ke tempat lain. Dan Topan punya fi?
rasat, istrinya tidak pergi sendiri. Dia pergi dengan
orang lain.
224 Dan kalau ada orang lain untuk Mariska, orang
itu pasti Rival. Siapa lagi.
Malam itu Topan begitu marahnya. Sampai dia
memutuskan untuk menyingkir sementara. Daripada
dia tidak dapat menahan amarahnya lagi.
Topan akan menyesal sekali kalau kelepasan ber?
tindak kasar. Bukankah dia sudah berjanji kepada
Gustian akan menjaga Mariska:J
225 BAB XIII
MARISKA tidak terperanjat ketika melihat Topan
duduk di sana. Di bangku batu di depan ruang ana?
tomi. Dia sedang membaca buku.
Di mana lagi dia dapat menemukan suaminya,
kalau bukan di tempat Topan paling sering menung?
gunya? Dulu dia selalu duduk di sini. Menonton
Mariska mengejar?ngejar Rival. Menertawakan kese?
dihannya. Mengejek kebodohannya.
Tanpa berkata apa?apa, Mariska duduk di dekat
suaminya.
Tentu saja Topan tahu siapa yang diam?diam du?
duk di sampingnya. Tetapi dia tidak menoleh. Dia
pura?pura membalik halaman bukunya. Padahal haf
laman sebelumnya saja belum habis dibaca.


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariska memegang lengannya. Dan dia tetap ti?
dak menoleh. Walaupun hatinya berdebar?debar.
226 http:]lhana-ohi.blogspot.com
Tetapi ketika Mariska membelai rambut keriting?
nya yang tersisa sedikit seperti hutan yang sudah
dibabat habis, Topan menyingkirkan tangannya.
"Tolong buka jaketku," pinta Mariska enteng.
"Ritsletingnya macet."
Topan terpaksa menoleh. Diletakkannya bukunya
dengan kasar. Lalu dibukanya ritsleting jaket istri?
nya. Mudah sekali. Karena memang tidak macet.
Mariska menyibakkan jaketnya. Dan mata Topan
melebar.
Dia melihat tulisan besar?besar dengan lipstik me?
rah darah di atas kaus putih yang dipakai Mariska.
SAYA CINTA SETENGAH MATI
PADA TOPAN TABIR FAJAR
Dan Topan tidak dapat menahan senyumnya lagi.
Ingat pertemuan pertama mereka waktu masa
orientasi mahasiswa dulu.
Cewek yang satu ini memang gila! Ada?ada saja
tingkahnya! Tapi segila apa pun dia, Topan sudah
telanjur mencintainya.
Mariska merasa lega melihat senyum suaminya.
Akhirnya dia berhasil mengembalikan hati lelaki itu
ke tempatnya. Cuma dia purafpura tenang saja. Ti?
dak mengumbar kegembiraannya.
"Nggak nanya tahu dari mana kamu ada di sini?"
tanya Mariska dalam nada yang diusahakan sebiasa
mungkin.
227 Padahal ketika dari kejauhan dia melihat suami,
nya duduk di sana, ada setitik keharuan menetes ke
hatinya.
"Nggak nanya kenapa aku tahu kamu ke Lisbon?"
balas Topan dingin.
"Feeling."
"Sama."
Sekejap Mariska ingat Gustian. Dia jadi ingin
menangis. Sekaligus ingin tertawa mendengar nada
suara Topan.
Seperti itulah dulu nada suaranya kalau dia se?
dang bercanda dengan saudaranya. Mariska merindu?
kan saat?saat seperti itu. Dan dia merasa pedih.
"Rival mengajakku menemui ibunya. Dia melamar?
ku."
Sekarang Topan memandangnya dengan marah.
Tapi ada sorot lain yang hadir di matanya selain
kemarahan. Dan Mariska ikut merasa sakit ketika
melihat bayangan kenyerian yang bersorot di mata
suaminya.
"Dia lupa sudah punya istri?"
"Mereka sudah bercerai. Ayunda berselingkuh."
Topan tertegun. Dia berusaha menyembunyikan
kesakitan di matanya. Tetapi Mariska sudah melihat?
nya. "Kalau begitu, selamat. Akhirnya keinginanmu
terkabul."
228 "Aku belum lupa sudah punya suami."
"Akan kukirim secepatnya."
"Apa?"
"Apa lagi?" Topan bangkit dengan sengit. "Surat
cerai! Itu hadiah yang paling kamu harapkan,
kan?"
Tanpa menunggu Mariska lagi ditinggalkannya
tempat itu. Dan dia melupakan bukunya. Hatinya
sakit. Sakit sekali. Jadi persetan dengan buku!
"Mau ke mana?" tanya Mariska sambil mengejar
suaminya.
"Apa pedulimu?"
"Kalau ke kantin, aku ikut. Aku belum makan."
Topan tertegun. Langkahnya terhenti sesaat. Suara
Mariska begitu ringan. Seolah?olah tidak ada apa?
apa. Seolah?olah dia bukan hendak menuntut cerai.
Ketika Topan hendak mengayunkan langkahnya
kembali, Mariska meraih tangannya dari belakang.
"Lupa membimbing istrimu?"
Sekarang Topan mengempaskan tangannya. Ber?
balik. Dan menatap Mariska dengan kesal. Dia me?
rasa dipermainkan.
"Apa sebenarnya maumu?"
"Datang kemari? Mencarimu. Karena ketika aku
pulang, suamiku tidak ada di rumah."
"Aku ingin berpisah sementara. Untuk menenang?
kan diri."
229 "Karena itu kamu pindah ke hotel? Supaya tidak
usah bertemu istrimu?"
"Tadinya aku ingin menyusulmu ke Lisbon," setgah Topan sengit. "Ingin kuhajar orang yang berani
membawa istriku!"
"Bukan cuma salah Rival. Aku juga harus di?
hukum. Karena aku mengikutinya dengan suka?
rela."
"Kamu sedang marah. Beberapa kali aku menolak?
mu."
"Kamu pantas menolak. Aku menyebut nama
orang lain saat dalam pelukanmu."
"Kamu sudah seribu kali minta maaf."
"Sekarang kamu mau memaafkanku?"
Sekejap mereka saling pandang. Dan sesaat me?
reka sama?sama menemukan kepedihan di mata
mereka.
"Tahu apa hukumanmu?" Nadanya masih tawar.
Tapi suaranya mulai melunak. Mariska tahu, itu
pertanda baik.
"Mengubah style rambutku seperti Lady Di?"
Topan menyimpan senyumnya. Dan pura?pura
mendengus dingin.
"Di mana kalungmu?"
Mariska tersenyum. Topan sudah hampir kem?
bali.
"Yang mana?"
230 "Memang kamu punya berapa? Biasanya kamu
tidak pernah pakai kalung, kan?"
"Di Cusco aku punya dua. Hijau dan cokelat."
"Aku lebih suka yang hijau."
"Namanya malackite."
"Tidak peduli apa namanya. Lebih cocok dengan
cincinnya. Di mana cincin itu? Sudah kamu buang
di Sungai Tejo?"
"Kusimpan di rumah."
"Supaya Rival tidak melihatnya?"
"Supaya dibelikan lagi."
"Rival tidak membelikanmu cincin?"
"Tidak perlu."
"Karena tanpa cincin pun dia sudah cukup ber?
harga untuk dikejar?"
"Karena dia bukan suamiku."
Sekarang Topan mengawasinya dengan tajam.
"Sebenarnya siapa yang kamu inginkan? Aku atau
dia?"
"Masih bolehkah aku memilih?"
Sesaat Topan memandang istrinya. Mariska memf
balas tatapannya. Dan mereka sama?sama menemu?
kan perasaan itu. Perasaan rindu.
"Aku akan membuat pilihanmu menjadi lebih
gampang!"
"Di mana? Di rumah? Atau di kamar hotelmu?"
231 *** Ketika Topan mendekapnya erat erat setelah kenik?
matan yang mereka rengkuh mencapai titik klimaks?
nya, Mariska merasa aman. Puas. Lega.
Ibarat menempuh seribu undakan ke Machu
Picchu, menembus belasan hutan misterius, mendaki pegunungan yang menjulang sepi, menuruni
ngarai yang terjal untuk menemukan sebuah kota
yang hilang, Mariska telah menemukan kota yang
selama ini dicarinya.
Setelah menempuh begitu banyak rintangan,
akhirnya dia berhasil menemukan jati dirinya. Sekaligus menemukan cinta yang sesungguhnya.
"Cinta yang dewasa," itu istilah Topan ketika Ma?
riska membuka isi hatinya.
"Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu," cetus Mariska tulus.
Ada yang mengganjal di hatinya. Yang membuatnya belum merasa tenang sebelum mengakuinya di
depan suaminya.
Topan berhak mengetahuinya. Istrinya telah berselingkuh.
Mariska tidak mau setelah anak mereka lahir nanti, Topan minta tes DNA.
"Aku tidak mau dengar," potong Topan tegas.
"Cuma satu pertanyaanku. Kamu sudah memilih?"
232 "Masih perlu tanya?"
"Kenapa? Karena aku lebih besar segala gala?
nya?"
"Karena kamu suamiku."
"Cuma karena itu? Nadanya seperti terpaksa."
"Kalau terpaksa, kamu pikir aku ada di sini se?
karang? Ketika aku pulang, suamiku tidak ada di
rumah. Kesempatan baik untuk terbang kembali ke
Lisbon secepatnya."
"Kamu memang harus kembali ke Lisbon."
"Untuk apa? Nonton Fado bersamamu?"
"Temui Rival. Katakan kamu tidak jadi bercerai.
Suruh dia pergi ke neraka. Lamar saja hantu yang
cantik di sana."
"Aku punya nomor HP?nya. Lebih hemat."
"Tidak. Aku ingin kamu menemuinya. Dan me?
mandang wajahnya ketika mengucapkan selamat
tinggal pada masa remajamu."
"Aku mengaguminya sejak umur tujuh belas ta?
hun," gumam Mariska sambil membelai lengan
suaminya yang memeluk tubuhnya. "Cinta pertama?
ku sudah menjadi obsesi bagiku. Aku mengejarnya
ke mana pun dia pergi. Sampai suatu saat aku ber?
hasil memilikinya. Dan mendadak cinta itu hilang
seperti kabut."
"Karena mataharimu telah terbit," Topan men?
dekapkan kepala istrinya ke dadanya dan mencium
233 rambutnya dengan lembut. "Kamu sudah menemw
kan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang dewasa."
*** Topan tetap tidak menghendaki pengakuan istrinya.
Baginya tidak ada masa lalu. Yang ada cuma masa
kini dan masa depan.
Satu hal dia benar. Masa lalu hanya ada di buku
sejarah. Dalam pernikahan, seharusnya hanya ada
sekarang dan esok. Tidak ada kemarin.
Mariska mulai mengagumi suaminya. Dia mee
mang besar segala galanya. Jiwanya juga.
Tetapi ada sesuatu yang membuat Mariska tetap
penasaran. Maklum, orang punya salah. Selalu tidak
tenang dikejar perasaan berdosa.
Jadi ketika haidnya absen lagi, dia langsung melakukan tes kehamilan. Dan hasilnya positif.
Mariska langsung menemui bekas dosennya di
Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Selesai
memeriksa, dia mengucapkan selamat.
"Tujuh minggu," kata Dokter Astuti mantap.
Mariska merasa lega. Itu artinya dua bulan. Sekaz
rang dia yakin siapa ayah bayi yang dikandungnya.
Malam itu dia menunggu Topan pulang sambil
mengenakan baju hamil. Walaupun perutnya masih
serata tembok.
234 Mereka memang sudah berjanji akan mengunjungi
orangtua Mariska. Sudah tiga hari mereka pergi ke
Puncak. Papa Arif menelepon ketika mereka di
sana. Tapi tidak mau bilang ada apa.
Ketika Topan melihat istrinya mengenakan baju
hamil, untuk kedua kalinya Mariska melihat mata
suaminya berkaca?kaca. Yang pertama waktu Gustian
meninggal. Saat dia harus mengatakan kepada gadis
yang dicintainya,
"Maafkan aku, Ris, aku tidak mampu menyelamat?
kannya."
Topan merangkul istrinya sambil menutupi ke?
haruannya.
"Akan kita namai dia Machu."
"Tidak," bantah Mariska tegas. "Machu artinya
tua. Aku pilih Huayna. Karena dia akan muda se?
lamanya seperti Huayna Picchu."
Dan mereka bertengkar terus sampai mobil me?
reka tiba di depan rumah orangtua Mariska.
Ketika Papa Arif melihat putrinya mengenakan
baju hamil, dia tertegun. Parasnya langsung berf
ubah.
"Kalian tetap akan bercerai?" gumamnya sedih.
"Bukan karena anak ini saja, Pa," sahut Mariska
mantap.
"Karena bayi dalam kandunganmu bukan anak
Topan?" desah Papa Arif pahit.
235 "Anak ini fotokopi saya, Pa," Topan membelai pee
rut istrinya dengan lembut. Dia tersenyum lebar.
"Maksud Riska, bukan hanya karena anak ini saja
kami tidak jadi bercerai. Tapi karena dia sudah sadar, Rival cuma obsesi masa remajanya."
Keharuan dan kebahagiaan melumuri wajah ayah
Mariska. Dia memeluk anaknya sambil berbisik pedih,


Dua Kutub Cinta Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih telah memberikan kegembiraan di
tengah kesedihan Papa, Ris."
Mariska melepaskan pelukan ayahnya dan menatap kaget.
"Mama?"
Papa mengangguk lesu. Air mata menggenangi
matanya.
"Kondisinya turun drastis. Sudah dua hari tidak
mau makan sama sekali. Dokter Adi terpaksa mee
masang infusf'
"Di mana Mama?"
Papa menunjuk kamar tidurnya dengan lesu.
"Sejak kamu pergi, Mama tidak mau keluar lagi
dari kamar. Papa tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Menyesal mendengar kata?katamu. Atau malah tie
dak mengerti apa maksudmu."
Mariska mencium pipi ayahnya dengan lembut.
"Jangan khawatir, Pa," bisiknya menahan haru.
236 "Mulai hari ini, Riska dan Topan yang akan me?
rawat Mama. Papa sudah capek menjaganya."
Ketika Mariska hendak masuk ke kamar ibunya,
Topan mendekatinya dan berbisik,
"Bilang apa sih sama Mama? Kita akan bercerai?"
Mariska menggeleng mantap.
"Tidak ada hubungannya dengan perkawinan
kita. Aku hanya menuntut hakku. Minta diperlaku?
kan sama dengan abangku. Anak Mama bukan
cuma Gustian."
"Itu sebabnya kamu berubah," cetus Topan ka?
gum. "Kamu sudah tidak gila lagi." Kalimat terakhir
itu diucapkannya di telinga istrinya supaya tidak
terdengar oleh ayah mertuanya.
"Siapa bilang?" Mariska menyentuh pipi suaminya
sesaat sebelum masuk ke kamar. Cambang tipis mulai tumbuh seperti hutan habis dibabat. Dan heran.
Dia mulai menyukainya. "Tidur di sampingmu tiap
malam pasti ketularan."
*** Ketika Mariska masuk ke kamar, Mama Dania ti?
dak tidur. Dia sedang berbaring di tempat tidurnya
sambil menatap ke langitzlangit kamarnya. Entah
apa yang dilihatnya di sana. Mungkin film Gustian
sedang main basket.
237 Mama tidak menoleh sekalipun mungkin dia mene
dengar bunyi pintu. Mendengar langkah kaki anaknya. Mendengar ada orang yang menghampiri tem?
pat tidurnya.
Mariska duduk di sampingnya. Memegang tanganf
nya. Dan mengecup dahinya dengan hangat.
"Jangan khawatir, Ma," bisiknya mantap. "Sekarang Riska ada di sini. Saya tidak akan meninggal;
kan Mama lagi. Saya dan Topan akan merawat
Mama."
Mama Dania diam saja. Padahal dulu, mana pera
nah suaranya tidak menggonjangzganjingkan rumah
ini? Diam?diam Mariska merindukan saat saat seperti
itu. Ketika suara Mama membuat mati beo mee
reka.
Mariska memeriksa nadi ibunya. Memeriksa infusnya. Lalu dia mencium pipinya. Dan berbisik,
"Istirahat ya, Ma. Nanti Riska kemari lagi."
Ketika dia sedang melangkah ke pintu, ibunya
memanggilnya.
Mariska hampir tidak memercayai pendengaranf
nya. Dia berbalik dengan cepat.
Matanya bertemu dengan mata ibunya yang re;
dup. "Kamu dari mana?"
Ada keharuan membelai hati Mariska. Kata Papa
238 sudah empat hari Mama tidak pernah bersuara. Ke?
cuali mendengkur ketika sedang tidur. Tampaknya
kini ada perbaikan.
Mariska kembali ke sisi pembaringan ibunya.
Membelai lengan Mama dengan lembut.
"Dari rumah, Ma," sahutnya penuh harap. "Sama
Topan."
"Di mana Gustian?"
Harapan Mariska luluh seperti cermin dibanting
ke lantai. Jalan menuju kesembuhan rupanya masih
sejauh jarak ke Machu Picchu.
*** "Kita akan menyembuhkan Mama," hibur Topan
sesampainya mereka di rumah. "Masih banyak wak?
tu. Bukankah kita mau masuk psikiatri? Nah,
Mama contoh kasus yang bagus."
"Kamu mau menjaga Mama selama aku ke
Lisbon?"
"Cuma dua hari."
"Naik pesawatnya saja dua hari."
"Oke. Tiga."
"Kalau Rival tidak mengajakku city tour."
"Bikin saja farewell party."
"Aku sudah memutuskan tidak akan ke sana.
Sms saja."
239 "Kenapa? Takut?"
"Kok malah nantang sih?" gerutu Mariska gemas.
"Nggak takut kami nyambung lagi? Cinta pertama
tidak pernah mati!"
Topan tertawa terbahakfbahak. Gayanya mantap
sekali. PD kata orang.
"Aku sudah bayar DP, kan?"
Mariska hanya tersenyum meskipun agak tersing'
gung.
Mengapa suaminya tidak khawatir? Tidak cemf
buru? Padahal dicemburui itu kadangfkadang perlu!
"Kamu belum tahu kualitas Rival," suara Mariska
mengandung sedikit ancaman.
"Tahu," sahut Topan santai. "Tapi aku juga tahu
kualitas istriku."
Belum juga hidung Mariska mengembang sempurna, sudah disambungnya sambil tersenyum lee
bar. "Kalau cewek lokal banyak yang nilainya sem;
bilan, ngapain impor yang nilainya cuma enam
plus?"
Mariska hendak memukul suaminya dengan gemas. Tapi Topan keburu lari menghindar.
Tamat
Penerbit _
PT-Gramedia Pustaka Utama
789792|l222388
GM 40108018
Sherlock Holmes - Petualangan Sherlock Holmes Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bende Mataram Karya Herman Pratikto

Cari Blog Ini