Ceritasilat Novel Online

Dua Menantu 1

Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 1


2 MENANTU
oleh V. Lestari
GM 401 01 13 0068
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Gedung Kompas Gramedia Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270
Desain sampul dan isi: Iwan Mangopang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Maret 2011
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978 - 979 - 22 - 9855 - 0
507 hlm.; 18 cm.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakanvi
Teruntuk Ikka Vertikavii
? Cerita ini fiktif, tak ada sangkut pautnya dengan siapa pun
serta kejadian mana pun
? Bila ada kesamaan nama orang, tempat, maupun
penggalan cerita, itu hanya kebetulan belaka.1 8
ADITYA WARMAN, yang sering disapa Adit, sudah terbaring
koma selama dua minggu. Selama waktu itu pula rohnya bisa
keluar-masuk raganya dengan leluasa. Ia tak ingin terkungkung
terus-menerus di dalam raganya yang diam dan hanya
menunggu terjadinya satu kemungkinan di antara tiga, yaitu
tetap seperti itu untuk jangka waktu yang tidak diketahui, mati
tidak hidup pun tidak; atau mati benar-benar, sehingga rohnya
bisa bebas pergi untuk seterusnya dari raga yang sudah tak
berguna; atau hidup benar-benar, sehingga rohnya tentu akan
menetap di dalam raga yang bangkit dari ketidakberdayaan,
minimal sadar dari keadaan komanya. Dalam keadaan terakhir
itu roh sudah menyatu dengan raganya. Jiwa-raga menjadi
utuh. Tetapi sebagai roh, ia tidak perlu pusing dengan berbagai
kemungkinan itu.
Ia bisa melihat keadaan sekelilingnya, bahkan memantau
diri atau raganya sendiri yang tengah terbaring, juga orangorang yang mengelilinginya. Tapi ia sadar tak bisa lama-lama
meninggalkan raganya dalam keadaan tanpa roh, karena itu
berarti mati benar-benar. Ia selalu harus kembali.
Dari atas ia mengamati raganya. Sosok lelaki berusia empat
puluh tahun, bertubuh panjang, hingga ujung kakinya
mencapai tepi bawah tempat tidur, padat berisi tapi dipastikan
akan kurus kalau terlalu lama seperti itu. Wajahnya tampan dan
terlihat jantan karena kumis dan berewoknya mulai bertumbuhan sehingga terlihat menghitam. Satu-satunya yang9
mengganggu ketampanannya adalah selang kecil yang masuk
ke hidungnya, mengalirkan oksigen.
Selama berada di rumah sakit ia sudah menjelajah ke manamana, mengelilingi gedung rumah sakit yang luas. Kadangkadang ia bertemu dengan sesama roh seperti dirinya, roh yang
masih memiliki tubuh yang hidup namun sekarat. Pernah juga
ia bertemu dengan roh yang benar-benar sudah lepas dari
tubuhnya karena sudah meninggal. Bahkan ia sempat
mengucapkan selamat jalan, padahal tidak tahu ke mana
nantinya roh itu pergi.
Sebagai roh ia tidak kesepian. Ia masih bisa bercengkerama
dengan sesama roh seperti dirinya. Yang pasti ia tidak bisa
melakukannya dengan mereka yang utuh jiwa-raganya. Bahkan
menyentuh mereka pun tidak bisa. Ia sudah mencoba, tapi
tembus tanpa merasa apa-apa. Sementara mereka tentu tak bisa
melihatnya.
Kelebihan yang dimilikinya adalah ia bisa mendengar
pembicaraan mereka. Jadi kalau sedang tak punya teman karena
roh yang jadi temannya sudah pergi, ia pun menguping ke sana
kemari.
Kadang-kadang ia berhasil menangkap percakapan yang
sebenarnya tergolong rahasia bagi orang lain di luar yang
bersangkutan. Perselingkuhan, misalnya. Atau persekongkolan
yang bisa membahayakan orang lain. Kalau saja ia bisa mencatat
semuanya atau memberi tahu orang lain. Sayangnya ia tidak
bisa berlama-lama dan juga tak bisa mengikuti ke mana
perginya orang-orang itu. Ia harus kembali ke "rumah" sebelum
"rumahnya" itu mendingin. Ia harus memberi kehidupan
kepada tubuhnya. Ia belum ingin mati. Masih banyak yang
ingin dikerjakannya. Ia pun tak ingin meninggalkan Karen,10
istrinya, dan Yuniwati, putrinya semata wayang. Mereka berdua
adalah hartanya yang tak ternilai.
Selama berada dalam kondisi seperti itu ada hikmah
tersendiri baginya. Ia jadi tahu dalamnya cinta Karen
kepadanya. Cinta yang tulus tanpa kepura-puraan, karena
diutarakan Karen tanpa memahami bahwa perkataannya bisa
didengar dan ekspresinya bisa dilihat. Sering Karen bicara
sendiri, seolah ditujukan kepadanya, padahal Karen tentu tidak
menyangka bahwa sesungguhnya ia bisa mendengar. Ia
mendengar doa-doa Karen. Ia melihat tangisan Karen.
Semua itu menguatkan tekadnya. Tidak ingin mati.
Tapi sebagai roh ia tidak bisa apa-apa untuk memberi
kekuatan kepada tubuhnya. Organ-organ di tubuhnyalah yang
harus berjuang mengembalikan kekuatan dan fungsi mereka.
Organ yang paling menentukan itu adalah otaknya.
Ia pernah mendengarkan penjelasan yang diberikan Dokter
Satria kepada Karen.
"Pak Adit koma karena trauma pada kepala, bukan stroke
atau penyakit lain. Dari scan MRI, ada pembengkakan di otak
hingga terjadi penekanan yang membuatnya tak bisa merespons
rangsangan dari sekitarnya. Sementara ini tak ada obat untuk
mengempiskan. Tapi ada harapan bisa kempis sendiri perlahanlahan. Yang bisa kita lakukan hanya menguatkan daya tahan
tubuhnya."
"Sepertinya ada harapan tapi tidak tahu kapan ya, Dok?"
tanya Karen.
"Bersabarlah, Bu. Dan berdoa."
"Ya, Dok," sahut Karen lirih.
Ia merasa kasihan kepada Karen yang kelihatan sangat
capek. Sedang ia sendiri enak-enak "tidur panjang". Selama ini11
Karen bergantian dengan Rika, adiknya, menemani di waktu
malam. Bila malam Minggu Yuni, putrinya, ikut menemani
Karen. Pada siang hari Mira, ibu Karen, yang menemani, karena
Karen bekerja di perusahaan periklanan. Meskipun mereka tidak
dianjurkan untuk menunggui terus-terusan, tapi mereka tetap
ingin karena berharap akan ada yang melihat momen di mana
dirinya tersadar, meskipun tidak tahu kapan terjadinya.
Nyatanya perawat juga tidak sering menjenguk. Apalagi setelah
ada anggota keluarga yang menemani, mereka hanya datang
pada waktu tertentu saja, seperti mengontrol suhu tubuh, tensi,
dan inius serta oksigen. Lalu memberi makan lewat selang yang
masuk ke daiam kerongkongannya, mengecek popok apakah
ada kotoran atau tidak, memasang dan mencabut kateter setiap
enam jam, dan membuang urinnya. Semuanya rutin.
Meskipun ingin membantu, setidaknya meringankan
beban, sebagai roh Aditya merasa tidak berdaya. Alam hidupnya
sebagai roh memang berbeda. Sedang alamnya juga berbeda
dibanding dengan roh yang tubuhnya sudah mati. Tapi sebagai
sesama roh ia bisa berkomunikasi dengan mereka.
Dia sebagai roh yang masih memiliki tubuh, selalu pulang
ke tubuhnya dalam fase penantian. Sedang roh yang tubuhnya
sudah mati pulang ke alam keabadian yang baginya juga masih
merupakan misteri. Kalau diizinkan oleh Yang Di Atas, ia tak
ingin mati, setidaknya pada saat itu. Ia ingin kembali menata
hidup dengan pandangan yang berbeda. Banyak pelajaran yang
sudah diperolehnya dari kondisinya saat ini. Tapi ia tidak tahu
apakah pemahaman yang diperolehnya sebagai roh bisa utuh
disimpan oleh memori otaknya yang rusak itu. Apakah akan
hilang terhapus atau tetap terbawa bila ia sadar nanti?
Ia juga tidak tahu seberapa rusak sebenarnya otaknya itu. Ia
hanya mengetahui dari hasil menguping pembicaraan dokter.12
Lucu juga. Ia tidak bisa melihat ke dalam dirinya sendiri, tapi
bisa melihat segalanya di luar dirinya. Ia tidak tahu seperti apa
otaknya yang bengkak itu. Bahkan ia tidak pernah tahu seperti
apa bentuk otaknya saat normal. Kalau saja ia bisa lahu, ia tentu
bisa memperkirakan kapan situasi koma itu akan berakhir bila
berpegang pada prognosis dokter. Kalau bengkaknya kempis,
katanya. Tapi ia tak bisa melihat.
*** Peristiwa naas itu terjadi ketika ia pulang dari kantor di malam
hari usai kerja lembur. Ia keluar dari lift di basement, lalu ke
tempat parkir yang agak gelap dan sunyi. Petugas satpam pun
tak kelihatan. Tapi ia sudah biasa dengan keadaan itu. Tak ada
rasa waswas sedikit pun. Ia juga tidak merasa perlu untuk
mengamati se-kitarnya sebagai kewaspadaan.
Pada saat akan membuka pintu mobil tiba-tiba ia
merasakan pukulan yang keras sekali di belakang kepalanya.
Entah berapa pukulan yang diperolehnya. Ia segera terkapar tak
sadarkan diri.
Ketika rohnya keluar untuk pcrtama kali dari tubuhnya, ia
melihat tubuhnya yang lunglai sudah berada di ranjang rumah
sakit. Ada Karen dan Yuni di sampingnya. Juga Frans, rekan
kerjanya. Lalu dokter dan perawat. Ia melihat kepalanya
diperban dan bernoda merah. Mungkin darahnya masih
merembes.
Dari perbincangan mereka yang berhasil ia dengar, ia jadi
tahu apa yang telah terjadi. Rupanya Frans yang keluar
belakangan menemukannya terkapar, lalu membawanya ke
rumah sakit dan mengabari Karen. Juga polisi.13
"Tapi tasnya nggak ada lagi, Ren," tutur Frans. "Mungkin
dibawa lari oleh penjahat itu."
"Jadi itu perampokan?" tanya Karen.
"Mungkin saja. Dompetnya juga nggak ada, katanya.
Padahal nggak mungkin dia nggak bawa dompet, kan?"
"Kau yang memeriksa pakaiannya?"
"Nggak. Aku nggak berani menyentuh apa-apa. Polisi
yang memeriksa. Cuma tas kerjanya yang saban hari dia bawa
itu jelas nggak ada. Di dalam mobil juga nggak ada."
"Kok jadi nggak aman di situ, ya? Ke mana satpam?"
"Satpam lagi keliling ke sudut lain. Yang di dalam ruangan
nggak tahu apa-apa."
Ia jadi teringat bahwa saat itu di kantor hanya tinggal
mereka berdua. Dia dan Frans. Tapi karena terbenam dalam
kesibukannya, ia tidak tahu kapan Frans pergi. Seingatnya saat
mau pulang ia tinggal sendirian. Mungkin juga Frans pergi ke
belakang dulu atau ke ruangan lain. Frans memang tidak pamit
kepadanya seperti kebiasaannya kalau pulang duluan. Ada
untungnya Frans pulang belakangan, karena ia bisa cepat ditemukan. Ah, sebenarnya ia tidak tahu juga seberapa cepat ia
ditemukan. Karen tidak menanyakan jam berapa Frans keluar
kantor. Ataukah sudah menanyakan, tapi ia tidak mendengar?
Tentunya ia tidak bisa terus-terusan menguntit.
"Apa ada dokumen penting di dalam tasnya?" tanya Karen.
"Wah, nggak tahu juga. Aku nggak pernah lihat isi tasnya."
Karen tersenyum malu. "Ya, tentu saja. Sori. Maksudku,
sewaktu terakhir di kantor barangkali kau sempat melihat dia
memasukkan surat atau dokumen apa gitu."
"Nggak, Ren. Kami nggak sempat bincang-bincang
sebelum pulang. Nggak ketemuan juga."14
"Yang pasti laptopnya hilang."
"Ya. Sayang sekali. Di situ ada hasil kerjanya."
Saat itu memang ada deadline yang harus dikejar. Ada
proyek pesanan program software yang dikerjakan satu tim, di
mana dia dan Frans termasuk di dalamnya. Tim itu terdiri atas
empat orang. Yang dua lagi adalah Vera dan Hendi.
Aditya jadi teringat pada proyek yang tengah digarapnya
itu. Mereka berempat masing-masing mengerjakan satu bagian
yang kemudian akan digabung menjadi satu. Meskipun mereka
merupakan karyawan perusahaan IT yang cukup besar dan
memperoleh gaji bulanan, tapi untuk proyek besar mereka akan
mendapat bonus yang lumayan, yang nantinya akan dibagi rata.
Hal itu memancing semangat dan ketekunan mereka.
Sekarang bagaimana nasib dari hasil kerjanya yang hilang
itu? Semua tersimpan di dalam laptopnya dan tak ada back-up
yang tersimpan di rumah atau tempat lain. Semua komplet di
dalam tas. Apa pula kepentingan penjahat mengambilnya?
Paiing-paling laptopnya yang bisa dijual dengan harga beberapa
juta rupiah saja. Padahal isinya yang merupakan hasil kerjanya
itu bisa bernilai ratusan juta. Sungguh menyedihkan.
Dirinya dalam keadaan koma. Situasi itu tidak bisa
diperkirakan berakhir sampai kapan. Belum pula bisa diketahui
secara pasti apakah ia bisa bangun dalam keadaan hidup atau
terus tidur, atau kemudian mati. Jadi nasib proyek itu pun
sekarang berada di tangan ketiga temannya. Bisakah mereka
menyelesaikan tepat waktu dengan syarat harus ramai-ramai
mengerjakan bagiannya, padahal bagian mereka sendiri belum
selesai? Tentu saja bonus yang akan diterima mereka bisa menjadi lebih besar karena tidak lagi dibagi empat, melainkan dibagi
tiga. Tapi kecil kemungkinan mereka bisa menyelesaikan tepat
waktu. Paling-paling minta mundur.15
Ia melihat Vera dan Hendi datang menjenguk. Keduanya
sama-sama berwajah suram. Sudah pasti memikirkan proyek,
tapi tidak memikirkan dirinya. Keduanya berbincang bersama
Frans. Ia mendekati, ingin menguping untuk memastikan
prasangkanya. Tapi belum sempat mendengar sesuatu, ketiganya bubar. Mereka pasti tidak nyaman berbincang di dekat
Karen. Semula ia ingin mengikuti, tapi tak jadi.
Pinggul Vera yang besar itu kelihatan bergoyang-goyang
sewaktu berjalan. Dia memang keterlaluan gemuknya. Terlalu
banyak lemak. Sedang Hendi yang kurus seolah tak berpinggul
tampak kontras di sebelahnya. Seharusnya Vera membagi
sebagian lemaknya kepada Hendi. Hanya Frans yang berpostur
sedang. Di antara mereka berempat sudah jelas dirinyalah yang
paling ganteng. Tinggi, atletis, dan tampan. Ia berbangga dan
memuji diri sendiri. Kemudian ia teringat apa pula yang mau
dibanggakan dari tubuh diam tak berfungsi itu, biarpun
seganteng Arjuna.
Yuniwati atau Yuni, putrinya yang berusia ernpat belas
tahun, sebentar-sebentar menangis.
"Papa tidurnya jangan lama-lama, ya?" isaknya.
Tidak, Sayang. Aku pim ingin cepat bcmgirn dan ber-aktivitas


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali. Siapa yang mau seperti ini berlama-lama?
"Jangan kayak Om Lingga, ya?" tambah Yuni.
Ia teringat pada Lingga, kakak Karen, yang juga pernah
mengalami koma hampir sebulan lamanya tapi kemudian
meninggal tanpa pernah sadar. Yuni pernah ikut menjenguk.
Jangan samakan aku dengan Lingga, Sayang. Lingga itu
mengalami koma diabetik. Aku beda.
Tapi tak ada yang menjelaskan hal itu kepada Yuni. Karen
juga tidak. Mungkin ia terlalu sibuk dengan perasaannya16
sendiri. Sebenarnya mereka berdua, ibu dan anak, dekat dan
akrab. Tapi sekarang keduanya seperti menyimpan perasaan
sendiri-sendiri. Mungkin mereka tak mau berbagi
kekhawatiran, karena takut menambah kesedihan yang lain.
Pada hari pertama dan kedua ketiga rekannya datang
menjenguk. Sesudah itu belum datang lagi. Tentu mereka sibuk
mengejar proyek. Untuk mengetahui keadaannya cukup
menelepon Karen. Beberapa kali ia mendengar Karen
menjawab telepon.
"Dia masih sama saja," sahut Karen.
Mungkin nanti kalau dia sudah sadar, baru mereka mau
menjenguk.
Tapi bosnya, yaitu pemimpin perusahaannya, Irawan,
sudah beberapa kali datang. Dia orang yang baik. Kepada
Karen, Irawan meminta supaya tidak usah memikirkan biaya
rumah sakit karena akan ditutup oleh asuransi. Padahal
setahunya, asuransi tidak mau menutup keseluruhan biaya kalau
melampaui maksimal yang disetujui.
Sejak awal bekerja dia sudah tahu bahwa Irawan orang
yang baik. Perhatiannya besar kepada para karyawannya. Dia
sudah bekerja di situ selama lima tahun. Sebagian besar
karyawan merupakan orang lama yang tidak pernah berganti.
Mereka menyatakan cukup betah di situ, kecuali orang-orang
yang tertarik dengan iming-iming gaji besar. Para programmer
senior sering kali jadi sasaran pembajakan perusahaan lain.
Sekarang dia bertekad, kelak kalau berhasil hidup, dia akan
kembali kepada Irawan. Kecuali dirinya tak diinginkan lagi.17
Sebagai roh, sebenarnya dia kesulitan menghitung hari.
Pegangannya hanya ucapan Karen kalau sedang berbicara
sendiri.
"Duh, Dit, ini udah sepuluh hari..."
"...sebelas hari..."
"...dua belas hari..."
"...tiga belas hari..."
"...udah empat belas hari, dua minggu lho. Kapan kau
bangun?"
Jadi sekarang sudah dua minggu. Buat orang-orang yang
hidup dan sedang menunggu-nunggu, itu memang lama sekali.
Tapi buat dirinya sama sekali tidak terasa.
Ah, rupanya tiga rekannya kembali datang menjenguk.
Rupanya tadi mereka pergi berbarengan. Tampak ada keceriaan
di wajah mereka. Apakah itu pertanda bahwa proyeknya sudah
selesai? Kalau memang sudah, maka itu berarti pekerjaan yang
merupakan bagiannya dikerjakan mereka bertiga. Kok bisa
cepat selesai, padahal ia sendiri sewaktu mengerjakannya cukup
bersusah payah? Mungkin karena dikerjakan bertiga. Yah, tidak
apalah kalau bonusnya nanti dibagi antara mereka bertiga saja.
Ia memang tidak berhak lagi.
Wajah Vera yang bulat itu penuh senyum, terus-terusan
tertawa oleh humor yang kerap dilontarkan Hendi. Bahkan
sesekali Karen pun ikut tertawa. Padahal dia sendiri merasa hal
itu tidak patut. Kalau pasien yang dijenguk memang sudah
sembuh, pantaslah kalau pengunjungnya bercanda dan tertawatawa. Tapi yang ini kan mati tidak, hidup pun tidak? Entah
bagaimana pendapat Karen. Dia tentu merasa tak enak hati
kalau bersikap keberatan.18
Ketika mereka pamitan, Karen ikut serta sekalian untuk
pergi ke kantin mencari makan malam. Semula Aditya mau
mengikuti mereka, tapi tak jadi. Ia memutuskan untuk
keluyuran, barangkali bisa memperoleh beberapa teman baru.
Di depan sebuah kamar VIP ia meiihat seorang lelaki tua,
mungkin berusia enam puluhan, dengan rambut putih seperti
perak, berdiri saja sambil memandang ke sekitarnya. Aditya
tertarik memperhatikan karena cara berdiri lelaki itu dirasanya
aneh. Biasanya orang lebih suka duduk-duduk atau berdiri
dengan bersandar, karena berdiri di tengah ruang itu
melelahkan. Ada dugaan tersendiri, tapi belum berani
memastikan. Sampai kemudian matanya bertatapan dengan
mata lelaki itu. Pandang mereka bertautan. Lalu sama-sama
tersenyum. Mereka sadar, yang dihadapi sama seperti diri
sendiri. Sama-sama roh yang keluar dari tubuh.
Mereka berkenalan. Lelaki itu bernama Simon. Dia baru
dirawat beberapa hari. Keadaannya pun koma. Tapi beda
dengan Aditya, dia mengalami kerusakan ginjal yang parah.
"Kok aku baru sekarang melihatmu?" kata Aditya, tanpa
basa-basi. Bila berada dalam situasi hidup, sudah tentu ia akan
memanggilnya 'Bapak' karena perbedaan usia. Sesama roh tak
ada lagi batasan usia. Semuanya sama.
"Ya. Aku biasanya di sini saja. Nggak ke mana-mana."
"Pantas. Aku sih suka keluyuran. Semua pelosok rumah
sakit ini sudah kumasuki. Ke kamar jenazah pun sudah. Tapi di
sana sudah pada kosong. Cuma tubuh-tubuh saja yang
tertinggal."
"Wah, aku nggak berani pergi jauh-jauh. Takut kesasar
nanti nggak bisa pulang," kata Simon sambil menunjuk ke
dalam kamar.19
"Mau jalan-jalan bersamaku?"
"Baik. Tapi kita jenguk tubuhku dulu."
Bersama mereka memasuki kamar. Di situ masih ramai
orang yang menjenguk. Kamar yang luas dan nyaman sesuai
dengan kelasnya tampak penuh. Karangan bunga menumpuk di
sudut ruang. Dari situ bisa diperkirakan status sosial Simon.
Tubuh Simon terbujur di tempat tidur. Kondisinya sama
seperti yang dialami tubuh Aditya. Dia pakai infus dan
mendapat asupan oksigen. Ada pula alat pemantau detak
jantung.
"Bagaimana harapan kesembuhanmu?,, tanya Aditya.
"Wah, aku sih tinggal menunggu mati saja. Ginjal sudah
rusak parah."
"Masih bisa cuci darah atau cangkok?"
Simon tertawa, tanpa beban. "Orang udah koma kayak
gini, apanya yang mau dicuci."
"Sebelumnya kenapa nggak dilakukan?"
"Aku kira sakitku ringan. Tahu-tahu semakin berat lalu
kolaps."
"Mestinya kau melakukan check-up. Kan bisa jaga-jaga
sebelum terlambat."
"Ya, sudahlah. Mau apa lagi? Nyesel pun percuma. Aku
cuma heran. Tadinya segar-bugar, tiba-tiba mendadak bisa sakit
berat begini. Kayaknya mau berobat juga nggak keburu."
"Kok bisa gitu, ya?"
"Aku sudah ikhlas kok. Anak-istri yang kelihatannya
belum. Maklum. Bukan mereka yang mengalami. Aku sendiri
lebih suka mati daripada menderita berkepanjangan."20
Belum lagi mereka keluar dari kamar, masuk dua orang
lelaki muda dengan tergesa-gesa. Keduanya menabrak dan
menembus roh Aditya dan Simon. Sejenak mereka berhenti dan
berpandangan, lalu menggosok-gosokkan lengan pertanda
kedinginan. Tapi mereka tak mengatakan apa-apa, terus
menuju tempat tidur lalu mengamati wajah Simon yang pucat.
"Mereka menantuku," kata Simon. "Anak-anakku duduk
dekat istriku."
"Kenapa mereka baru datang?"
"Datangnya sih sejak tadi, mereka bareng-bareng. Tapi
yang dua tadi itu pergi lagi entah ke mana. Baru balik
sekarang."
Tak lama kemudian, kedua lelaki muda tadi keluar dari
kamar.
"Cari udara segar," kata salah satunya.
Mereka menuju taman di depan kamar. Lalu duduk di
bangku. Istri-istri mereka tak ada yang mengikuti.
"Lihatlah. Anak-anakku lebih suka menemaniku. Mereka
tahu, waktuku tinggal sedikit. Meskipun aku memang tak bisa
apa-apa lagi, tapi kan masih ada kehidupan di dalam diriku,"
kata Simon bangga.
"Kedua menantumu itu tampaknya akrab satu sama lain,
ya."
"Entahlah. Aku nggak tahu banyak tentang hubungan
mereka. Kelihatannya sih memang iya. Sepertinya ada kerja
sama yang lagi dibicarakan. Kalau nggak, mana mungkin bisa
begitu. Ah, jadi pengin tahu juga. Aku mau nguping saja, ya.
Nggak jadi deh jalan-jalannya. Besok saja, ya."21
Simon meluncur ke taman mendekati kedua menantunya.
Aditya terpaksa pulang ke kamarnya. Waktu memang tinggal
sedikit. Ia tak berani jalan terlalu jauh.
Ia akan kembali ke tubuhnya dan memberinya kehangatan.
Ketika masuk ke kamar, Karen belum datang. Ia tidak tahu
kapan Karen kembali. Ketika keluar dari tubuhnya, ia melihat
Karen tertidur pulas di kursi dengan kepala di tempat tidur. Tak
ada niatnya untuk keluar dari kamar karena di malam hari tak
ada yang bisa di-lihat kecuali pasien lain, para perawat yang
tengah bercengkerama, atau perawat yang sedang berpacaran
dengan dokter. Terpikir untuk menemui Simon yang tadi baru
dikenalnya, tapi kemudian ia membatalkan niat itu.
Kamar tempatnya dirawat memiliki dua ranjang, tapi yang
satunya kosong sejak beberapa hari. Belum ada pasien baru
yang masuk. Ia memutuskan menemani Karen saja.
Mendadak ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tatapannya
tertuju ke sudut di mana tabung oksigen berada. Tubuhnya,
tepatnya paru-parunya, mendapat pasokan oksigen dari situ,
yang mengaliri selang yang masuk ke hidungnya. Biasanya isi
tabung regulator berbuih-buih pertanda ada aliran oksigen.
Tapi sekarang tampak kosong. Ia mendekat dan mengamati.
Ternyata regulator berada dalam posisi mengunci! Off ...
Sementara ujung selang masih tetap berada dalam lubang
hidungnya.
Aditya terkejut. Siapa yang melakukan hal itu? Di dalam
kamar cuma ada Karen, tapi Karen tak mungkin melakukannya.
Perawat juga tidak. Itu mustahil. Tapi lebih mustahil lagi kalau
benda itu sampai mengunci sendiri. Sebagai roh ia juga tidak
mungkin bisa melakukannya.22
Sekarang ia pun tidak bisa apa-apa untuk mengembalikan
fungsi tabung oksigen itu. Ia benar-benar tak berdaya.
Membangunkan Karen tak bisa. Memanggil perawat juga tak
bisa. Akhirnya yang bisa dilakukannya hanyalah kembali ke
tubuhnya. Tapi setelah masuk, ia juga tidak bisa merasakan
adanya perubahan tanpa oksigen. Roh memang tak bisa merasa
secara fisik.
Ia tahu oksigen itu penting bukan hanya untuk membantunya bernapas. Dan tanpa oksigen yang mengaliri darahnya, maka selanjutnya semua organ penting seperti jantung dan
otaknya pun tak mendapat pasokan. Maka kematian pun tinggal
menunggu waktu. Tapi ia tidak ikhlas mati dengan cara seperti
itu. Siapa yang melakukan perbuatan itu pastilah
menginginkannya mati. Itu adalah pembunuhan!
Di kamar itu hanya ada Karen. Mungkinkah Karen merasa
bosan dengan keadaannya lalu berpikir lebih baik ia mati saja?
Tapi hal itu sungguh tidak mungkin. Menyangka begitu
sepertinya jahat sekali.
Andai kata benar Karen yang melakukannya, tentulah
sekarang ia tidak tidur pulas seperti tak punya beban. Tentu ia
akan menunggu dengan tegang, atau mengoceh sendiri seperti
yang sering dilakukannya.
Aditya keluar lagi dari tubuhnya. Dengan berada di luar, ia
bisa melihat tubuhnya lebih jelas, juga situasi di sekitarnya.
Karen masih tidur. Ia mendekati tubuhnya dan mengamatinya
dengan saksama. Kulit wajahnya tidak tampak berubah warna.
Dan... ah, dadanya naik-turun periahan. Bukankah itu pertanda
bernapas? Jadi dia bisa bernapas tanpa pasokan oksigen? Berarti
paru-parunya berfungsi normal?
Seorang perawat bernama Nani masuk untuk pemeriksaan
rutin. Karen terbangun dan tersenyum malu.23
"Maaf, mengganggu tidurnya, Bu," kata Nani.
"Nggak apa-apa, Sus. Leher udah pegal kok."
Setelah memeriksa suhu, tensi dan infusnya, Nani menatap
tabung regulator oksigen, lalu memekik pelan. Karen terkejut.
"Ada apa, Sus?"
"Itu..." Nani menunjuk tabung. "Siapa yang matiin itu?"
Karen menggeleng. "Nggak tahu, Sus. Ayo, cepat pasang
lagi," katanya panik.
"Tunggu." Nani mengangkat tangannya. Lalu mendekat
dan membungkukkan tubuh di depan wajah Adit. Ia menarik
ujung selang dari dalam hidung Adit, lalu menaruh jarinya di
depan hidung.
"Bu, dia bisa napas sendiri. Lihat!" seru Nani dengan
gembira.
Karen ikut memeriksa. "Betul, Sus! Lihat, dadanya tetap
naik-turun kayak biasa. Tapi... apakah itu cuma sementara saja,
Sus? Jangan-jangan nanti berhenti. Bukankah lebih aman
dipasang lagi saja?"
Nani berpikir. "Jangan dulu, Bu. Sebentar, saya panggil
senior saya. Saya mau kasih lihat."
Nani berlari keluar, lalu kembali dengan seorang perawat
yang lebih tua. Dina.
"Sudah berapa lama oksigennya mati, Bu?" tanya Dina
kepada Karen.
"Wah, nggak tahu, Sus. Tadi saya tidur. Tahu-tahu
terbangun karena Suster Nani masuk."
"Ini perkembangan yang bagus, Bu. Tapi aneh juga ya...
masa dia bisa ngunci sendiri."
Dina menggeleng-geleng.24
"Sekarang gimana, Sus?" tanya Karen. "Apakah itu
memang pertanda baik atau cuma sementara saja? Bukankah
orang koma perlu dikasih oksigen?"
"Pertanda baik. Tapi saya akan telepon dokter. Mudahmudahan dia masih ada di poli. Biasanya sampai malam kalau
pasiennya banyak."
Dina bergegas pergi. Nani masih di situ, mengamati
Aditya.
"Saya yakin, tadi siang masih on....," kata Nani. "Masa sih


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa bergerak sendiri."
"Saya nggak memperhatikan, Sus."
"Tadi banyak tamu, Bu?"
"Nggak banyak sih. Tapi ada beberapa."
"Nggak ada yang iseng-iseng?"
"Ah, masa sih. Buat apa?"
"Iya sih. Tapi, apa Ibu nggak heran?"
"Tentu saja heran, Sus. Tapi bukan saya yang berbuat lho."
"Ya, ya. Tentu bukan. Tapi kalau nggak kejadian begitu,
nggak ketahuan juga kalau Bapak bisa bernapas sendiri dengan
lancar."
"Jadi ada harapan dia bisa bangun, Sus?" tanya Karen
dengan wajah gembira.
Aditya mengamati ekspresi Karen dan semakin yakin
bahwa Karen memang mengharapkan kepulihannya. Jadi pasti
bukan Karen yang mengunci tabung itu.
Dokter Satria yang datang kemudian pun memastikan
bahwa kondisi Aditya baik-baik saja. Pemberian oksigen masih
diteruskan, tapi alirannya diperkecil.25
"Ini hanya membantu saja, supaya lebih lancar," kata
Dokter Satria.
"Nanti saya akan amati terus, Dok," sahut Karen.
"Bagus," puji Dokter Satria. Dalam hati berkata, "Betapa
bahagia punya istri yang begini setia...."
Ia pamitan karena merasa sangat lelah. Tubuhnya
menuntut istirahat.
"Terima kasih, Dok," kata Karen dengan perasaan
bersyukur. Tidak salah mendapat dokter seperti Dokter Satria.
Setelah Dokter Satria menghilang, tiba-tiba sebuah ide
muncul di benak Karen. Ia segera melompat lalu berlari ke luar
untuk mengejar Dokter Satria.
Aditya keheranan, lalu melayang untuk menyusul Karen.
Dokter Satria masih ada di lorong. Ia berhenti mendengar
panggilan Karen, lalu menoleh.
"Maaf, Dok. Kejadian tadi mengganggu perasaan saya.
Ternyata di rumah sakit ini nggak aman. Orang yang
mengunci oksigen tadi pastilah berniat jahat. Saya ingat tadi
pergi untuk makan. Tak ada orang di kamar, padahal di luar
masih banyak orang yang besuk lalu-lalang. Pintu nggak
dikunci..."
Dokter Satria mengerutkan kening. Sebenarnya ia pun
berpikir begitu, tapi tak mau mengatakan karena khawatir
membuat Karen takut.
"Jadi saya pikir, lebih baik suami saya dibawa pu-lang saja.
Di rumah pasti lebih aman. Apalagi dia juga sudah nggak terlalu
membutuhkan oksigen. Penunjangnya tinggal infus saja. Di
rumah juga bisa. Nanti saya cari perawat pribadi."
Dokter Satria mengangguk setuju. Ia juga khawatir nanti
terjadi apa-apa lagi hingga reputasi rumah sakit bisa tercemar.26
Kalau benar ada orang berniat jahat, bisa jadi ia akan
mengulang perbuatannya. Ia juga ingat bahwa Aditya adalah
korban kejahalan.
"Baik, Bu. Saya setuju dan saya dukung. Nanti saya carikan
perawat yang profesional."
"Terima kasih, Dok. Kapan?"
"Besok juga bisa. Ah, saya perlu hubungi perawatnya dulu.
Mudah-mudahan bisa secepatnya. Persiapan Ibu sendiri
gimana?"
"Besok siang bisa, Dok. Saya hanya tinggal menyiapkan
kamar."
"Baiklah. Besok Ibu urus semuanya."
Karen kembali ke kamar dengan perasaan lega. Aditya
mengiringinya.
Karen mencium dahi Aditya.
"Besok kamu pulang, Dit," kata Karen sambil membelai
kepala Aditya.
Sayang, aku tak bisa merasakan belaian itu, kata Aditya.
Rasanya sudah lama sekali. Padahai baru dua minggu. Wahai,
otakku, cepatlah mengempiskan bengkakmu...
Karena waktunya di rumah sakit tak lama lagi, Aditya
keluar menuju kamar Simon. Ia ingin menyampaikan berita
baik itu kepadanya. Maksudnya bukan untuk membuat Simon
iri, tapi sekadar berbagi kegembiraan. Sejak awal Simon sudah
tahu bahwa penyakit mereka berbeda hingga prospeknya pun
berbeda. Simon pun sudah ikhlas dengan keadaannya.
Di malam yang gelap itu Aditya menemukan Simon duduk
di taman.
"Siapa yang berada di kamarmu, Sim?"27
"Istriku bersama anak sulungku, Eva. Yang kedua, Evi,
pulang. Anakku cuma dua itu, Eva dan Evi. Mereka bergantian
menemani di waktu malam bersama mamanya. Istriku tiap hari
di sini."
"Ya. Kita patut bangga punya istri yang setia, bukan?"
"Benar, Dit. Pada saat seperti inilah kita baru sadar betapa
berharganya keluarga kita. Tadinya kita pikir, apa yang mereka
lakukan itu sudah seharusnya. Sudah kewajiban. Padahal jelas
beda antara kewajiban dan dorongan kasih sayang. Jadi, muncul
banyak penyesalan, yang pada saat sehat tidak kita sadari. Oh
ya, sadar sih sadar, tapi kurang mendalam. Ingin rasanya bisa
memperbaiki kesalahan di masa lalu, tapi jelas tidak mungkin
lagi. Hanya keajaiban yang bisa membuatku sembuh."
"Itukah sebabnya kau kelihatan sedih?"
Simon tak segera menjawab. Ia menunduk memandangi
rerumputan. Adit tak mengulang pertanyaannya.
Ia menunggu karena tampaknya Simon sedang berupaya
mengatasi kesedihannya.
Akhirnya Simon mengangkat kepala. Biarpun cuma
diterangi lampu taman, tapi terlihat ada air mata menggenangi
pelupuk matanya. Aditya merasa terharu.
"Aku sebenarnya curiga bahwa sakitku ini bukan
sembarang sakit, Dit," kata Simon.
Aditya terkejut. "Apa maksudmu?"
"Tadinya aku nggak punya prasangka apa-apa. Baru saja
tahu tadi ketika aku menguping pembicaraan kedua menantuku
yang namanya Dadang dan Kurnia. Mereka ngomong tentang
racun yang diberikan padaku. Yang satu ngomong begini, yang
lain ngomong begitu. Saking kaget, jadi nggak jelas lagi siapa28
yang ngomongnya begini dan siapa yang begitu. Kalau saja aku
punya tubuh, pasti sudah pingsan mendengarnya."
Cerita itu membuat Aditya tertegun beberapa saat lamanya.
Ia tak mampu berbicara sejenak karena sangat terkejut.
Ternyata manusia bisa sekejam itu. Apalagi Simon adalah
mertua orang-orang itu, ayah dari istri mereka. Apa ganjalan
mereka terhadapnya hingga ingin menyingkirkannya?
"Mereka mengincar hartaku, Dit," kata Simon lagi. "Sejak
awal sudah kuduga, dua bajingan itu mengawini putriku
dengan tujuan harta. Mereka pengangguran. Terus terang, aku
sampai menyewa detektif untuk menyelidiki. Tapi kedua
putriku nggak mau percaya."
"Sudah berapa lama mereka menikah?"
"Baru setahun."
"Setahun?" Aditya terperangah.
"Ya, baru sebentar, kan? Tapi mereka sudah nggak sabar."
"Jadi keduanya sudah berkawan baik sebelum mengenal
putrimu?"
"Betul. Pantasnya mereka bersekongkol, siapa mendekati
siapa. Ya, dilihat dari tampang sih, mereka mampu menggoda
perempuan. Apalagi kedua putriku nggak cantik."
"Jadi kenapa kauizinkan juga mereka menikah kalau sudah
tidak suka?"
"Demi anak-anak, Dit. Mereka nangis-nangis, bahkan Evi
mengancam akan bunuh diri kalau tidak diizinkan. Bagaimana
lagi? Istriku yang nggak tahu apa-apa juga memihak mereka."
"Kau punya usaha apa, Sim?"
"Usaha farmasi dan beberapa apotek. Istri dan anak-anak
ikut mengelola. Lalu kedua menantu itu pun kusuruh bantu-29
bantu daripada menganggur, supaya mereka belajar. Jadi aku
juga memberi mereka kesempatan. Tapi mereka nggak tahu
diri."
"Mereka orang-orang berbahaya."
"Betul sekali. Aku takut mereka juga akan menyingkirkan
anak-anakku. Selama ini aku memang bersikap tegas. Aku
nggak mau mereka langsung dapat posisi bagus padahal belum
tahu apa-apa. Mereka kusuruh belajar dulu. Dan rupanya
mereka juga punya feeling bahwa aku nggak suka sama mereka.
Di depan ramah dan hormat, tapi di belakang sebaliknya."
Aditya merasa iba.
"Tapi kalau nanti kau diotopsi, bisa ketahuan pe-nyebab
kematianmu. Selanjutnya bisa diusut..."
"Otopsi? Ha-ha-ha... Nggak mungkin itu terjadi. Nggak
ada yang akan mencurigai bahwa kematianku nggak wajar."
"Tapi kau dengar sendiri, kan?"
"Ah, kau lupa, Dit. Kita ini kan roh. Mana bisa menyampaikan pada orang hidup. Kelak kalau kau sembuh dan
kembali ke dunia, kau juga tak akan bisa cerita tentang
pengalamanku ini. Siapa yang mau percaya?"
"Ya, betul juga," keluh Aditya. Sebagai roh yang sering
keluyuran, sudah berapa banyak rahasia orang yang berhasil
didengarnya?
"Kau beruntung, Dit. Punya prospek kesembuhan dan
punya keluarga yang sayang padamu."
"Sebenarnya masih ada tanda tanya, Sim. Siapa yang
mengunci tabung oksigen? Tentunya dia punya maksud untuk
mencelakai."
"Perlukah itu dipikirkan, Dit? Nyatanya membawa
hikmah."30
"Tapi seandainya memang ada yang bermaksud jelek, dia
tentu tidak suka bila aku sembuh. Di luar sana ada yang tidak
menyukai aku."
"Biarpun memang ada, tapi dalam kondisi sehat kau punya
kekuatan untuk melawannya. Nggak seperti sekarang."
"Kau benar, Sim. Kau benar. Aku jadi semangat. Andaikan
aku berhasil kembali, adakah yang bisa kulakukan untukmu?"
"Oh, pertanyaan itu sudah kutunggu-tunggu. Sebenarnya
pengin minta tolong, tapi malu. Kok nyusahin orang yang
sudah punya problem."
"Ayo katakan saja, Sim. Bila aku bisa membantu tentu
kulakukan."
"Begini. Cobalah berkenalan dengan keluargaku. Lalu kau
bisa memperingatkan mereka akan bahaya kedua orang itu.
Terutama pada kedua putriku. Aku yakin mereka tidak ikut
serta dalam kejahatan ini. Mereka sayang padaku."
"Cuma itu? Apa sebaiknya nggak berusaha mem-bongkar
kejahatan menantumu?"
"Wah, janganlah. Apa yang bisa kaulakukan kalau bukti
nggak ada? Kau dan mereka nggak saling kenal, kok tiba-tiba
kau muncul dan menuduh mereka."
"Baiklah. Aku akan membantu, Sim. Tapi kau harus
memberiku beberapa data yang detail tentang perusahaan dan
dirimu sendiri. Siapa tahu suatu saat diperlukan."
Simon tidak keberatan menceritakan. Termasuk hal-hal
kecil yang hanya diketahui dirinya dan istrinya. Ternyata ada
cukup banyak informasi yang diberikannya sampai Aditya
meragukan apakah semua itu bisa diingatnya kalau sadar kelak.
Mereka lama mengobrol. Simon tidak kelihatan khawatir
akan kondisi tubuhnya. Sedang Aditya ingin menghibur Simon31
dengan menjadi teman curhatnya. Besok-besok takkan ada
waktu lagi. Di samping itu Aditya ingin mendapat informasi
sebanyak mungkin dari Simon. Kalaupun kelak ia melupakannya karena tak bisa disimpan, mustahil tak ada yang tersisa
untuk dijadikan pegangan. Ia sangat ingin membantu Simon.
"Tapi kau tak perlu merasa berkewajiban, Dit. Nanti malah
jadi beban. Atau menyusahkan dirimu," kata Simon, mulai
menyesal. "Bahkan ada kemungkinan kau bisa celaka. Sudah
terbukti kedua orang itu berbahaya. Membunuh pun dilakoni."
"Nggak apa-apa, Sim. Aku senang kalau bisa membantu.
Soalnya aku juga tersentuh dengan nasibmu. Tapi belum pasti
juga aku bisa berbuat sesuatu."
"Sudah. Nggak apa-apa. Punya teman berbagi dan
memberiku simpati saja aku sudah senang."
"Maksudku, aku tidak tahu apakah andai kata aku sadar
nanti aku bisa mengingat semua yang kauceritakan."
"Ya. Lihat nanti saja."
Lalu mereka melihat kesibukan di depan kamar Simon.
Pintunya dibuka. Dua orang perawat masuk mendorong
gerobak peralatan.
"Wah, kondisiku kritis!" seru Simon.
"Tidakkah kau mau kembali ke dalam tubuhmu?"
"Ah, buat apa? Biar saja. Aku sudah keluar kok. Biar tetap
di luar. Daripada sekarang masuk, sebentar keluar lagi."
"Yuk kita lihat."
"Pergi saja lihat sendiri. Aku ingin tetap di sini."
Aditya masuk ke dalam kamar Simon. Dia melihat dua
perawat mencoba merangsang detak jantung Simon. Tapi tak32
ada hasilnya. Layar pemantau menunjukkan garis datar.
Akhirnya mereka berhenti berusaha.
Tampaknya usaha itu hanya kamuflase saja untuk memperlihatkan bahwa mereka sudah berupaya namun gagal.
Aditya merasa lucu. Simon dinyatakan meninggal pada jam
sebeias malam. Padahal rohnya sudah keluar jauh sebelumnya.
Tapi bagi orang yang hidup hal itu tentu tak ada bedanya. Ada
atau tidak adanya roh di dalam tubuh tidak dijadikan penentu
kematian. Yang menentukan adalah organ tubuh itu.
Tangis pun meledak. Istri dan putri Simon menangis keras.
Mereka berpelukan, lalu menciumi wajah Simon.
Kemudian roh Simon masuk, mendampingi Aditya.
Berdua mereka memandangi.
Beberapa orang menghambur masuk. Di antara mereka
terdapat kedua menantu dan salah satu putri Simon. Mereka pun
langsung menangis. Aditya menggunakan kesempatan itu
untuk mengamati kedua menantu. Lama, seperti orang
menghafal. Mudah-mudahan aku tidak lapa akan wajah-wajah
itu. "Ya, ingat-ingatlah muka-muka itu, Dit," kata Simon.
Dadang berwajah oval dengan hidung mancung. Kulitnya
kecokelatan dengan tubuh sedang. Rambutnya lurus pendek.
Sedang Kurnia berahang besar sehingga mukanya tampak
berbentuk persegi, memiliki kumis tipis di atas bibirnya yang
agak tebal. Rambutnya ikal agak gondrong. Sepasang matanya
bulat. Tubuhnya tinggi dan atletis. Dia sekepala lebih tinggi


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada Dadang. Kurnia lebih tampan daripada Dadang.
Aditya mengingat-ingat kedua wajah itu. Kalau saja ia bisa
menyurukkan ingatan itu ke dalam memori otaknya yang
ditinggalkan di kamar.33
"Lihatlah orang-orang munafik itu bersandiwara," kata
Simon.
Mereka melayang kembali ke taman.
"Hei, aku sudah dijemput!" seru Simon.
Di satu titik di kejauhan tampak cahaya putih.
"Aku pergi, ya. Kau hati-hati, Dit."
"Selamat jalan!"
Aditya melambai. Dalam waktu singkat Simon sudah tak
tampak lagi. Aditya pun bergegas kembali ke kamarnya. Di sana
ia melihat Karen tertidur dengan kepala di atas lengannya. Ah,
aku belum ingin pergi seperti Simon. Aku ingin tetap bersama
orang-orang yang kucintai dan mencintaiku selama mungkin.34
2 ADITYA sekarang berbaring di atas ranjangnya sendiri di
rumahnya. Itu adalah ranjang yang sebelumnya ditempatinya
bersama Karen. Sementara Karen pindah ke kamar lain. Ia tak
lagi menunggui Aditya terus-terusan karena sekarang sudah ada
perawat pribadi bernama Siska, yang tidur sekamar dan
menempati dipan di samping ranjang.
Siska direkomendasikan oleh Dokter Satria. Dia wanita
muda berusia menjelang tiga puluh dengan wajah lembut dan
simpatik, bertubuh langsing. Tak ada yang menyangka bahwa
dia memiliki tenaga yang lumayan kuat. Penampilannya cocok
dengan profesinya. Lembut, keibuan, dan kuat.
Pada hari pertama Siska masuk ia segera "membenahi"
wajah Aditya, yaitu dengan mencukur bersih kumis dan
berewoknya. Karen memberikan alat cukur milik Aditya.
Ternyata Siska terampil menggunakannya karena sudah
berpengalaman menggunakannya pada pasien-pasien yang
pernah dirawatnya.
"Sebenarnya saya juga nggak betah melihatnya seperti itu,
tapi masih ngeri mencukumya, Sus," kata Karen. "Takut
kepotong. Apalagi ada selang di hidung."
Siska tertawa. "Ya, saya maklum, Bu."
Beberapa orang menonton acara pencukuran itu. Karena
dikerjakannya sore hari, Karen bisa melihat sepulang kerja. Ia35
sengaja pulang lebih awal karena sudah diberitahu sebelumnya
oleh Siska tentang rencananya. Di samping Karen, ada Yuni
dan Mira, ibu Karen yang tinggal serumah. Tapi tak ada yang
tahu bahwa di samping mereka ada yang lain, yaitu roh Aditya
sendiri. Dia asyik menonton dirinya sendiri dicukur oleh Siska.
Ketika Dokter Satria mengatakan akan mengirimkan
seorang perawat yang sudah berpengalaman dan terampil, roh
Aditya mengira perawat itu pastilah seorang perempuan
setengah baya dan bertubuh besar yang gerak-geriknya serba
tegas dan merasa pintar. Ternyata perkiraannya salah. Yang
datang bertolak belakang dari perkiraannya.
Sekarang roh Aditya mempunyai kegiatan baru yang
disukainya, yaitu menonton dirinya sendiri dirawat oleh Siska.
Ia menyaksikan tubuhnya dimandikan seperti bayi. Pada saat
berada di rumah sakit ia pun diperlakukan sama seperti itu, dua
minggu lamanya, tapi ia tak pernah berminat menyaksikan.
Sebenarnya ia bukan hanya menyaksikan dirinya sendiri,
tapi juga mengamati Siska. la sudah mengenal semua perawat di
bagian tempatnya dirawat di rumah sakit, tapi tak ada yang
seperti Siska. Tentu bukan kemiripan fisik, tapi penampilan
yang merupakan segala yang ada padanya. Wajah yang lembut
dan ekspresinya yang menarik, fisik berikut gerak-geriknya,
sangat menyenangkan untuk dilihat. Kalau diibaratkan, dia
seperti dilahirkan untuk menjadi perawat, terampil dan
berdedikasi, amat menyukai pekerjaannya.
Roh Aditya pernah melihat seorang perawat di rumah sakit,
yang tampak tidak cocok untuk menjadi perawat. Gerakannya
serba lamban dengan raut wajah malas dan sebal menghadapi
pasien. Ekspresinya kaku tanpa keramahan. Dengan bersikap
begitu sepertinya dia ingin agar pasien tidak minta terlalu36
banyak darinya. Jangan minta macam-macam kalau tak mau dijudesi.
Dengan kehadiran Siska, siang dan malam, tidur pun
sekamar, maka Karen tak lagi bisa seperti dulu, ketika
menunggui Aditya sendirian. Setiap hari ia menjenguk dan
duduk sebentar menemani, lalu Siska sengaja keluar untuk
memberinya privasi. Tapi ada perbedaan, karena Karen seolah
kehilangan keleluasaan. Ia masih suka bicara sendiri seperti
waktu di rumah sakit, tapi berbisik-bisik. Mungkin takut
didengarkan atau terdengar oleh Siska, meskipun Siska tak ada
di kamar. Bisa saja Siska tiba-tiba masuk. Sebagai perawat
pribadi tentu ia berhak berbuat seperti itu.
Setelah dicukur sampai kelimis, Aditya kelihatan lebih
tampan dan lebih muda. Rambutnya pun sudah dipotong
pendek. Lalu dikeramas dengan bantuan Mira yang memegangi
kepalanya. Selama berada di rumah sakit rambutnya tak pernah
dikeramas hingga jadi ber-minyak dan lengket.
"Duh, kau tampan sekali, Dit," bisik Karen. Ia mencium
wajah dan kepala Aditya tak bosan-bosan.
Siska yang mau masuk ke kamar, pergi lagi melihat adegan
itu. Ia tahu kalau jadi masuk, Karen akan malu. Sifat Karen
memang seperti itu. Dia tak seperti orang lain yang bisa tak
peduli.
Yuni lebih spontan. Ia langsung berteriak melihat
penampilan ayahnya.
"Hai, bukankah papaku ganteng sekali, Suster Siska?"
"Ya," sahut Siska tersenyum.
Yuni pun menciumi Aditya. Beda dengan ibunya, ia bisa
berlaku bebas.37
Pada hari pertama Aditya di rumah, Yuni minta izin pada
Siska supaya dibolehkan tidur di samping ayahnya. Tempat
tidur ukuran jumbo masih lega.
"Udah bilang sama Mama?"
"Belum."
"Bilang dulu, ya. Saya sih oke aja, Yun. Senang ada kamu
di sini."
Ketika Yuni minta izin kepada ibunya, Karen juga
menyuruh bilang dulu kepada Siska.
"Tadi dia juga nyuruh seperti itu, Ma," kata Yuni, tertawa.
"Oh, jadi kau ngomong sama dia dulu?"
Karen menahan keinginannya untuk memarahi.
Seharusnya kan bicara sama akn dulu.
"Kenapa, Ma?" Yuni mengamati perubahan wajah Karen.
"Nggak apa-apa. Dia setuju, kan?"
"Iya. Apa Mama nggak suka?"
"Suka aja. Nggak masalah. Cuma apa nanti kau nggak
menyepak papamu?"
Yuni tertawa. "Siapa tahu kalau disepak dia malah bangun,
Ma," guraunya.
Tapi Karen tidak tertawa.
"Sebenarnya kita bisa aja tidur bertiga, Ma. Ranjangnya
kan gede." Yuni tidak memerhatikan wajah ibunya.
"Ah, nggak mau. Sudah, kamu saja. Tapi jangan tiap hari,
Yun. Sesekali aja."
"Iya, Ma."
Yuni berlari dengan gembira. Karen menatapnya dengan
iri. Pantasnya menyenangkan bisa tidur bersisian dengan38
Aditya. Bisa memeluknya dan membelainya, biarpun dia tidak
bisa bereaksi. Tapi ada Siska di sana. Bisakah dia sekali waktu
meminta Siska tidur di kamar lain bila dia ingin bersama
Aditya? Tapi ia tidak mungkin melakukannya. Ia merasa malu
meskipun sebagai istri ia berhak untuk itu. Nanti Siska jadi
sungkan kalau tiba saatnya untuk memeriksa Aditya sementara
dirinya masih tidur di samping Aditya. Memang ia tidak berbuat apa-apa, tapi kesannya seperti... ah, seperti orang yang tak
tahan lagi. Padahal sesungguhnya ia sudah sangat merindukan
kemesraan Aditya. Istri mana yang tidak akan merasa seperti
itu? Kecuali, tentunya, kalau ia sudah tak cinta lagi.
Bila Siska akan membersihkan tubuh bagian bawah Aditya,
Karen keluar dari kamar. Ia merasa tidak nyaman melihat
perempuan lain, biarpun itu perawat, bisa melihat bagian tubuh
Aditya yang selama ini tertutup bagi orang lain kecuali dirinya.
Tapi tiap malam sebelum tidur Karen tak pernah lupa
untuk menjenguk Aditya dan menciumnya, lalu mengucapkan
selamat malam kepada Siska. Juga mencium Yuni bila anak itu
sedang ingin tidur bersama ayahnya. Kemudian setibanya di
kamarnya sendiri, Karen tak bisa segera tidur. Ia membutuhkan
waktu lama untuk bisa jatuh tertidur.
Sementara itu roh Aditya yang keluyuran menyaksikan
semuanya.
Di hari-hari awal berada di rumah, roh Aditya mempunyai kegiatan baru. Mengamati Siska berganti pakaian!
Malam menjelang tidur dan pagi sebelum memulai tugas rutin,
Siska mengganti pakaiannya, dari baju seragam putih ke baju
tidur dan sebaliknya. Pada malam hari akan tidur Siska selalu
melepas behanya. Itu sama dengan kebiasaan Karen.
Ternyata Siska memiliki tubuh yang bagus, sangat
proporsional. Payudaranya tidak besar tapi juga tidak kecil.39
Sedang tapi padat dan menggairahkan. Pinggangnya ramping
dengan pinggul yang bulat. Bila mengenakan bikini di tepi
pantai, ia pasti akan membuat mata kaum lelaki melotot. Tapi
biarpun mengamati berlama-lama, tak ada gairah atau
keinginan apa-apa pada roh Aditya. Kondisinya sebagai roh
jelas membedakan.
Ia juga suka mengamati Siska waktu tidur. Dalam posisi
telentang, mulutnya terbuka sedikit lalu ia mendengkur pelan.
Kalau posisinya berubah miring, mulutnya rapat kembali dan
tak lagi terdengar suara dengkur. Yang dikaguminya adalah
bagaimana Siska bisa berdisiplin, bahkan dalam keadaan tidur.
Siska selalu terbangun setiap dua-tiga jam lalu memeriksa
dirinya. Kemudian ia kembali tidur. Begitu seterusnya. Padahal
tidak ada orang yang mengontrol pekerjaannya.
Sekarang Aditya masih memperoleh asupan oksigen. Dan
infus masih terus dilanjutkan meskipun ia diberi makanan
berupa bubur saring encer lewat selang yang masuk ke dalam
kerongkongannya. Bila cairan infus di kantong tinggal sedikit,
Siska tidak tidur melainkan menunggui dulu sampai tiba saatnya
berganti kantong. Ia mengamati dulu apakah tetes demi
tetesnya turun dengan lancar, barulah ia pergi tidur.
Siska menelepon Dokter Satria setiap hari, memberi laporan
mengenai kondisi fisiknya. Selama berada di rumah, dokter itu
baru sekali menjenguknya. Tak ada instruksi baru yang
diberikan. Ia hanya memberikan tambahan vitamin dan obat
pelancar buang air supaya tidak keras teksturnya.
"Kita hanya menunggu," katanya kepada Karen.
"Sampai kapan?" tanya Karen.
"Sabarlah. Terakhir sebelum meninggalkan rumah sakit,
hasil scan MRI memperlihatkan bengkak di otaknya sudah40
mengempis dibanding semula. Artinya ada kemajuan. Lihat saja
bagaimana dia bisa bernapas dengan lancar."
"Jadi dia bisa tiba-tiba bangun begitu, Dok?" tanya Karen
penuh harap.
Dokter Satria hanya tersenyum.
Karen tahu, Dokter Satria tidak berani menjanjikan apaapa. Tentu ia khawatir nanti bisa disalahkan kalau harapan tidak
terwujud.
Siska tidak pernah mengenakan riasan apa-apa di mukanya.
Kesan alami yang terpancar dari wajahnya membuat ia tampak
muda belia, segar, lebih muda dari usianya yang menjelang tiga
puluh. Karena Siska bekerja di dalam rumah, tak pernah keluar,
jadi tak ada gunanya mengenakan riasan. Lagi pula ia mengurus
pasien yang tak bisa melihatnya.
Siska hanya keluar kamar untuk makan pagi, siang, dan
malam, atau melemaskan otot-ototnya dengan berjalan-jalan di
halaman. Ia selalu setia menungguinya. Bila diajak mengobrol
oleh Mira, ibu Karen, ia sepertinya menjaga supaya tidak
keasyikan. Lain halnya bila diajak mengobrol di dalam kamar.
Kalau Yuni tidur menemaninya, Siska punya teman
mengobrol sebelum Yuni jatuh tertidur. Tutur katanya halus
dan menyenangkan. Beberapa kali Yuni curhat padanya soal
teman-temannya. Hanya Karen yang tidak begitu suka
mengobrol. Perbincangan antara Karen dan Siska singkat dan
hanya seputar kondisi Aditya saja. Tidak ada masalah pribadi.
Siska mengisi waktunya dengan membaca. Ia dipinjami
buku oleh Karen, fiksi dan nonfiksi. Saat membaca ia tampak
asyik dan sangat berkonsentrasi. Tapi ia tidak sampai keasyikan
hingga lupa akan tugasnya. Roh Aditya menganggapnya seperti41
robot yang sudah disetel waktunya. Dedikasinya luar biasa.
Tidak mengherankan kalau Dokter Satria memilihnya.
Ada kalanya Siska tidak melakukan apa-apa. Ia hanya
merenung di kursinya memandangi pasiennya. Ia bisa
melakukannya berlama-lama. Entah apa yang ada di benaknya.
Roh Aditya tidak dapat membaca wajahnya. Sayangnya Siska
tidak seperti Karen yang suka bicara sendiri, mengutarakan isi
hatinya. Siska menutup mulutnya rapat-rapat.
**** Pada hari kelima keberadaan Aditya di rumah, dia dikunjung
tiga sekawan teman sekantornya, Frans, Hendi dan Vera.
Mereka datang sore-sore sepulang kantor. Karena Karen belum
pulang, Mira menyambut mereka sebagai nyonya rumah.
Siska berdiri dan mengangguk. Ia merasa kurang nyaman
karena dipandangi dengan kritis oleh ketiga orang itu. Lebihlebih Vera yang memandanginya dari atas ke bawah seolah
menilai. Ketika sedang mempertimbangkan apakah sebaiknya ia
keluar saja, mengingat sudah ada Mira yang menemani, Frans
mengulurkan tangan untuk menyalami. Terpaksa ia
menyambut uluran tangan itu, padahal ia lebih suka kalau tidak
dianggap saja.
"Aku juga mau lho kalau punya perawat pribadi seperti
kamu, Sus," candanya.
Siska hanya tersenyum.
"Emangnya lu sakit apa?" tanya Vera sinis.
"Sakit di sini." Frans menepuk dadanya.42
"Waduh... jangan mau punya pasien kayak gini, Sus,"
Hendi menimpali. "Enakan punya pasien yang nggak bisa apaapa kayak si Adit."
Ketika Siska sedang mencari alasan untuk keluar dari
kamar, Mira malah beranjak pergi.
"Saya mau nyediain minuman buat kalian. Di luar aja ya,"
kata Mira.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udah Bu, nggak usah repot-repot," kata Vera.
"Ah, nggak repot kok."
Mira sudah menghilang. Terpaksa Siska berdiri saja. Ia tak
mengerti kenapa bisa merasa canggung seperti itu. Padahal ia
sudah biasa bekerja di rumah sakit menghadapi berbagai macam
orang. Dia bisa bersikap profesional. Tapi sekarang ia merasa
seperti seorang siswa perawat. Mungkin anggapan mereka
memang seperti itu. Apa susahnya merawat pasien koma?
"Apa kata dokter, Sus? Masih lama atau sudah dekat
sembuhnya?" tanya Frans.
"Wah, saya nggak tahu kalau soal itu, Pak."
"Mungkin saja dia bisa tiba-tiba bangun," kata Vera,
tertawa geli.
Siska tidak mengerti di mana letak lucunya, karena Hendi
pun tertawa.
"Atau dia tiba-tiba loncat, ha-ha-ha..."
"Suster nggak takut kalau nanti ditubruk malam-malam?"
tanya Frans sambil melirik ke dipan tempat Siska tidur.
Siska tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Vera menepuk punggung Frans. "Emangnya dia zombie"
katanya sambil mengikik.
Mereka bertiga tertawa.43
Siska merasa senang ketika melihat Yuni melongok di
ambang pintu yang terbuka. Ia melambaikan tangan. Yuni
masuk. Ia sudah kenal dengan ketiga tamu itu. Lalu menyapa
mereka. Tapi kemudian ia pamit pergi lagi dengan alasan perlu
membuat pekerjaan rumahnya.
"Kalau dicubit pasti dia nggak merasa, ya?" kata Vera.
"Boleh nggak, Sus?"
Siska menggeleng. Ia merasa sebal, tapi sadar tak boleh
memperlihatkan perasaannya. Orang-orang ini adalah tamu,
teman-teman dari pasiennya. Mungkin mereka sudah biasa
bercanda seperti itu. Bagi dirinya itu keterlaluan, tapi bagi
mereka mungkin lucu.
"Nggak boleh, Ver," kata Frans. "Suster melarang."
"Kalau dibelai?" tanya Vera lagi, kembali mengikik.
"Nah, itu baru boleh," kata Hendi.
"Nggak juga dong. Yang boleh membelai hanya istrinya,"
kata Frans.
"Kalau Suster boleh dong. Sambil memandikan, kan bisa,"
Vera melanjutkan gurauannya.
Hilang sudah senyum Siska. Ia tetap berdiri diam di
tempatnya, bertekad tidak akan pergi meninggalkan kamar itu.
Entah kenapa muncul kekhawatiran kalau-kalau pasiennya
dicandai secara keterlaluan.
"Suster jangan ngambek, ya," kata Frans dengan nada
membujuk. "Kita ini teman-teman Adit, biasa bercanda dan
guyon."
Siska hanya menggeleng tanpa senyum. Tatapannya hanya
tertuju ke wajah Aditya.
"Kalau Suster nggak percaya, nanti bisa ditanyakan kalau
dia sudah bangun," sambung Frans.44
"Bangun? Emangnya dia lagi tidur?" kata Vera.
"Sus, siapa tahu dicandain begini dia jadi benar-benar
bangun," kata Hendi, menyadari wajah masam Siska.
"Masa sih dia bisa mendengar," kata Vera.
"Siapa tahu? Aku pernah dengar cerita tentang orang koma
yang bisa mendengar pembicaraan orang. Hanya saja dia nggak
bisa bereaksi," tutur Fendi dengan wajah serius.
"Itu pasti cerita fiksi," bantah Frans.
"Bagaimanapun, ada baiknya hati-hati. Jangan sembarang
ngomong di depannya," kata Hendi.
"Bener juga," sambung Vera. "Siapa tahu dia sebenarnya
sudah bangun, tapi pura-pura masih koma. Mana kita tahu."
"Ah, apa iya begitu, Sus?" tanya Frans. "Apa nggak bisa
dibedakan antara koma beneran sama koma pura-pura?"
"Nggak tahu, ya," jawab Siska.
"Ranjang king size. Pasti ranjang yang biasa dia pakai. Apa
Karen, istrinya, suka tidur di sampingnya, Sus?" tanya Frans.
Siska menggeleng. Ia menahan diri untuk tidak
mengeluarkan kata-kata pedas.
"Ah, lu kok nanya begitu sih," kata Hendi. "Jelas nggak
dong. Buat apa punya perawat pribadi kalau Karen masih
menemani? Buat apa pula menemani kalau si Adit nggak bisa
apa-apa?"
"Nggak apa-apa dong. Waktu di rumah sakit Karen
nemenin terus. Sampai tidur di kursi dan lehernya pegal. Di sini
bisa tidur di ranjang," kata Frans.
Siska berharap orang-orang itu cepat pergi. Harapannya
terkabul oleh kedatangan Karen. Ketiga sekawan itu keluar45
diiringi Karen untuk menikmati sajian minuman dan kue-kue
yang disediakan Mira.
Siska pun bernapas lega.
"Dasar orang gila," gerutunya pelan.
Sementara itu, roh Aditya menyaksikan semuanya. Ia juga
mendengar gerutuan Siska. Kalau saja ia bisa tertawa, pastilah ia
terbahak. Baru pernah ia mendengar Siska bicara sendiri.
Sesudah itu ia melayang keluar untuk melihat ketiga
temannya yang duduk ditemani Karen dan Mira. Ia tahu
pastilah ketiga temannya itu tak mau melewatkan rehat minum
kopi dengan kue-kue lezat. Pastilah sebelum pulang mereka
akan menghabiskan dulu hidangan yang tersedia. Seharusnya
Mira jangan menghidangkan banyak-banyak. Cukup tiga
potong untuk masing-masing satu. Kalau seperti sekarang ini,
dihidangkan dalam piring besar dengan perkiraan masingmasing akan mengambil sepotong, pasti akan meleset. Apalagi
Vera yang berbadan besar itu makannya banyak dan cepat. Pada
saat makan ia akan lupa berbicara.
Benar dugaan Aditya, sepiring besar kue itu licin tandas.
"Enak sekali kuenya, Bu. Bikin sendiri?" Vera baru
berkomentar setelah makan.
"Ya," sahut Mira, merasa takjub karena kuenya habis.
"Ini namanya kue apa, Bu?" tanya Frans.
"Bolu tape."
"Wah, pantas enak," kata Hendi.
"Sayang sekali Adit nggak bisa ikut makan," kata Frans.
"Nanti kan bisa bikin lagi," sahut Mira, tersenyum. Biarpun
kuenya habis, tapi ia senang juga karena dipuji.46
"Katanya, prospek Adit cukup baik ya, Ren?" tanya Frans
kepada Karen.
"Siapa bilang?"
"Suster tadi. Siska namanya, ya? Ah, sebenarnya dia nggak
bilang sih. Aku menyimpulkan sendiri."
"Ya, mudah-mudahan saja begitu."
"Kelihatannya suster itu profesional, ya?" kata Frans.
"Iya. Dia direkomendasikan oleh Dokter Satria."
"Kalau dirawat sama suster secantik itu pasti Adit cepat
bangunnya," komentar Vera.
Tapi kemudian ia cepat menambahkan, "Bercanda aja kok,
Ren."
"Ya. Mudah-mudahan," sahut Karen tanpa ekspresi.
"Kenapa kau setuju saja menerima rekomendasi dokter
itu?" tanya Frans.
Karen tersentak. "Memangnya kenapa?"
"Perawat itu cantik. Tapi kelihatannya agak judes, ya."
"Ah, buatku itu nggak penting, Frans. Yang penting adalah
dedikasinya. Dan rekomendasi dari dokter itu patut dipercaya.
Aku kan nggak tahu mana yang baik. Tapi apa hubungannya
sama cantik dan judes?"
"Nanti Adit..." Frans tidak mclanjutkan ucapannya.
Karen malah tertawa. "Aduh, kaupikir aku bisa cemburu,
gitu? Yang bener aja, Frans. Adit itu dalam keadaan koma.
Mana dia tahu susternya kayak apa?"
"Pada suatu saat dia akan bangun..."
"Kalau saat itu tiba dia tentu tidak lagi perlu perawat. Tapi
aku puas sama Siska, dia bekerja baik sekali. Mungkin47
kauanggap dia judes karena dia nggak banyak omong. Aku
justru suka yang seperti itu. Sedikit omong tapi banyak kerja."
"Kerja apa emangnya? Kan cuma nungguin orang tidur,"
kata Vera.
"Adit nggak tidur, tapi koma. Dia harus terus dipantau,"
Karen memperbaiki.
"Syukurlah kalau kau nggak cemburuan," kata Vera.
Karen tidak menjawab. Ia menganggap ucapan Vera itu
mengandung kesinisan. Ia juga sudah mengenal tabiat Vera.
Sebelum ketiga sekawan itu pamit, mereka kembali ke
kamar Aditya. Bergantian mereka menepuk dan menyentuh
Aditya.
"Cepat sembuh, Dit. Kata Pak Irawan, kalau kau kembali
ke kantor, akan naik pangkat," kata Frans.
"Ya, betul. Tapi harus bangun dulu dong," kata Vera.
Roh Aditya menganggap ucapan Frans itu hanya gurauan
semata. Ketiga orang itu senang sekali bergurau hingga
kadang-kadang sulit dibedakan mana yang serius dan mana
yang gurau.
"Bolehkah aku memanggilmu Siska saja, tanpa embelembel sebutan suster?" tanya Frans.
"Boleh," sahut Siska datar sambil memperlihatkan senyum
profesionalnya.
"Kayaknya besok-besok aku bisa rajin besuk nih, Ren,"
kata Frans kepada Karen sementara matanya melirik ke Siska.
Karen hanya tersenyum. Omongan seperti itu sebaiknya
tidak perlu ditanggapi.
Ketiga sekawan berlalu dan penghuni rumah bernapas lega.48
"Gembul bener yang gendut itu," kata Mira, menunjukkan
piring kosong.
"Tandanya bikinan Mama itu sedap," hibur Karen.
"Emangnya udah habis, Oma?" tanya Yuni khawatir.
"Nggak dong. Masih ada kok. Nanti buat Suster Siska
dibawain ya, Yun?"
Siska keluar dari kamar dan menyodorkan sebuah ponsel
kepada Karen. "Entah punya siapa yang ketinggalan di meja
kamar, Bu."
Karen menerimanya. "Kita lihat saja siapa yang nanti
menelepon. Tapi kayaknya sih ini kepunyaan Frans. Dia pernah
juga ninggalin hape di kamar rumah sakit waktu besuk. Untung
waktu itu kita masih ada di kantin."
"Wah, bisa pada balik lagi nih," kata Mira.
"Iya tuh. Jangan-jangan pas kita lagi makan malam," kata
Yuni.
"Hus, jangan nyangka jelek gitu, Yun."
Siska segera kembali ke kamar, tak ingin ikut serta dalam
percakapan itu. Tapi ia merasa kesal kalau sampai ketiga orang
itu kembali lagi.
Tak lama kemudian Karen menemui Siska di kamar.
"Hape itu memang kepunyaan Frans, Sus. Tapi itu
kutitipkan sama Mama saja. Jadi kalau dia datang besok, Mama
bisa segera menyerahkannya tanpa dia harus masuk ke sini. Eh,
dia menggodamu, ya?"
Siska tersenyum. "Nggak sih. Bu. Bercanda aja. Semua suka
bercanda."
"Begitulah orang-orang itu. Jangan diladeni."
"Nggak, Bu."49
"Ya, saya kira kamu sudah profesional dalam hal itu. Sudah
biasa di rumah sakit."
"Betul, Bu."
Ketika Karen menarik kursi untuk duduk di samping
Aditya, Siska sudah mengerti bahwa itu adalah saat di mana ia
harus keluar dari kamar. Memang tak ada yang mengharuskan,
tapi ia memahaminya sendiri. Saat-saat seperti itu adalah saat
Karen pulang kantor, sebelum tidur, dan sebelum berangkat ke
kantor. Karen ingin ditinggalkan berdua saja. Bila Karen keluar,
maka gilirannya untuk kembali masuk.
Pada saat-saat seperti itu, ketika ditinggalkan berdua saja
dengan Aditya, Karen akan berbicara sendiri tapi ditujukan
kepada Aditya. Ia bercerita tentang pengalaman dan
perasaannya hari itu. Lalu roh Adtya akan menjawab dan
memberi penghiburan meskipun tak bisa didengar.
Mira memanggil Siska ketika melihatnya keluar kamar.
"Apa tadi orang-orang itu mengganggumu, Siska?" tanya
Mira.
Siska menyukai Mira, yang membuatnya teringat kepada
ibunya yang telah meninggal.
"Nggak sih, Bu. Saya sudah biasa. Katanya mereka itu
memang suka bercanda. Cuma saya pikir candaannya kurang
pantas saja."
"Ya, waktu Adit masih sehat mereka memang suka main ke
sini. Jadi saya sudah kenal tabiat masing-masing. Kelihatannya
mereka bertiga akrab seperti tiga sekawan. Tapi sama Adit
kurang begitu. Untunglah. Adit nggak seperti mereka. Coba
kalau sama, pasti deh bisa akrab."
"Jadi Pak Adit nggak suka bercanda?"
"Suka juga sih. Cuma lain candanya."50
Siska mengangguk. Ia menganggap, wajah Aditya
memang tidak cocok dengan karakter yang diperlihatkan
orang-orang tadi.
"Kamu tahu yang namanya Frans? Tadi sudah kenalan,
kan?"
"Ya, Bu. Saya tahu."
"Nah, yang itu menurut Adit suka sama cewek cakep.
Emang sih dia masih single. Tapi nggak berarti boleh merayu
cewek semaunya."
"Oh, jadi mata keranjang gitu, Bu?"
"Entahlah istilahnya gimana. Tapi kelihatannya dia suka
sama kamu. Penglihatanku cuma sebentar, tapi caranya
memandangmu gimana gitu."
Siska tertawa. "Ah, saya kan nggak cakep, Bu."
"Jangan merendah begitu, Sis. Kamu cakep kok."
Siska menggeleng.
"Tapi sikapmu kepadanya bagus lho. Dia bilang kamu
agak judes. Jadi kena batunya."
Siska tertawa. "Wah, saya judes? Saya cuma ingin bersikap
sepantasnya."
"Itu bagus, Sis. Tapi hati-hati aja. Kata Adit, dia perayu
ulung. Suka mempermainkan."
"Terima kasih, Bu. Saya akan hati-hati."
"Saya pikir, ketinggalan hape itu akal-akalan aja.
Maksudnya supaya bisa datang lagi ke sini. Nanti pasti
datangnya sendiri. Nggak mungkin kedua temannya itu mau
diajak besuk lagi besok."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitu ya, Bu?"
"Iya."51
"Tapi kata Bu Karen, dia suka ninggalin hapenya seperti
tempo hari di rumah sakit."
"Tetap saja rasanya nggak masuk akal. Pendeknya, besok
begitu dia datang, saya langsung sodorkan hape-nya. Lihat, dia
mau ngomong apa."
Siska tertawa. "Kalau nanti dia bilang, pengin jenguk Pak
Adit lagi, gimana?"
"Yah, terpaksa deh. Nanti saya temani."
Siska berterima kasih untuk peringatan dan simpati yang
diberikan Mira. Kalau bukan karena perhatian dan sayang,
mana mungkin Mira mau melakukannya?
*** Esoknya, Frans memang datang lagi. Seperti yang sudah
diduga Mira, ia datang sendiri. Datangnya di waktu siang.
"Saya pakai jam istirahat siang, Bu," katanya kepada Mira.
"Oh, jadi nggak bisa lama-lama dong."
Mira menyodorkan ponsel Frans yang segera diterima dan
dimasukkan ke dalam sakunya.
"Tapi saya pengin menjenguk Adit lagi, Bu. Semalam saya
mimpi tentang dia. Dia tersenyum dan menyapa. Ah, jadi
pengin lihat lagi."
Mira tak bisa menolak keinginan itu. Ia mengantarkan
Frans ke kamar Adit.
Siska langsung berdiri dari tempat duduknya. Ia sudah
mempersiapkan diri.
"Selamat siang, Siska," sapa Frans dengan senyum.
"Selamat siang, Pak."52
"Aduh, masa saya dipanggil Pak, Bu Mira," kata Frans
menoleh kepada Mira. "Panggil saja Frans. Saya kan belum
terlalu tua. Paling beda sedikit sama kamu."
Di belakangnya, Mira menjulurkan lidah. Ia membuat Siska
hampir tertawa.
"Tapi saya pengin tetap memanggil Bapak."
"Ah, nggak boleh!"
"Di sini saya kerja, Pak."
"Tapi kamu nggak kerja sama saya. Kalau sama Adit boleh
tuh panggil 'Bapak'. Dia kan sudah punya istri dan anak. Saya
jauh lebih muda dari Adit, masih single juga."
"Terserah deh," sahut Siska.
Saat itu pembantu rumah, Bi Karsih, muncul di ambang
pintu, memberi tanda kepada Mira.
"Wah, saya mesti keluar dulu nih," kata Mira. "Ayo, Frans.
Kamu mau keluar juga nggak? Sekalian."
"Belum, Bu. Silakan Ibu duluan aja. Saya masih pengin
mengamati Adit."
Terpaksa Mira berjalan pergi setelah melempar pandang
penuh arti kepada Siska. Tapi Siska tidak takut kepada Frans.
Meskipun di kamar itu boleh dikata ia hanya berdua dengan
Frans, tapi di rumah itu masih ada Mira dan pembantu. Lagi
pula apa yang mau dilakukan Frans terhadap dirinya?
Sementara Frans berdiri di samping bagian kepala Aditya,
Siska agak menjauh di belakangnya.
Frans menunduk, mengamati wajah Aditya. Lama.
Mulutnya komat-kamit.53
Siska bisa melihat apa yang dilakukannya. Ia mendekat ke
sebelah Frans. Tiba-tiba tangan Frans merangkulnya. Siska
terkejut.
"Sini, Siska. Lihat mukanya dekat-dekat. Selama ini kamu
cuma mengurusnya tapi nggak pernah mengamati mukanya,
kan? Lihat apa yang ada di situ?"
Siska melupakan sejenak kejengkelannya dan membiarkan
rangkulan Frans. Ia juga ikut mengamati wajah Aditya. Tapi ia
tidak melihat apa-apa di wajah yang sudah dikenalnya itu.
Biasa-biasa saja seperti yang selama ini dilihatnya.
"Nggak ada apa-apa, Pak," katanya, lalu menjauhkan diri
sambil melepas rangkulan Frans yang terasa lebih erat.
Frans mencoba menahan pegangannya, tapi Siska berhasil
meloloskan diri.
"Ah, itu artinya kamu nggak cermat. Ayo sini, deketan..."
"Nggak ah. Nanti aja lihatnya. Memangnya ada apa di
mukanya, Pak?"
"Mukanya lebih cerah daripada kemarin."
"Ah, masa." Siska yakin dibohongi. Sebenarnya muka cerah
itu seperti apa?
"Nggak percaya ya sudah. Mukanya itu kayak mimpiku
semalam."
"Mukanya sama saja seperti kemarin, Pak."
"Itu tandanya kamu nggak memperhatikan."
"Terus kenapa Bapak mandangin terus-terusan?"
"Aku berharap matanya terbuka," sahut Frans sambil
menarik kursi lalu duduk di samping kepala Aditya tanpa
mengalihkan tatapannya.54
Siska tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mungkin
mengusir Frans. Tapi membiarkannya di situ sampai entah
kapan, ia juga tak ingin.
"Bapak jangan lupa kembali ke kantor," ia mengingatkan.
Frans tertawa. "Aku sudah minta izin kok. Terima kasih
untuk perhatianmu."
Siska merasa kesal. Meskipun Frans tampaknya tidak akan
mengganggunya, tapi ia merasa tak nyaman.
Sedang Mira tidak kunjung muncul. Tapi ia tidak mau
keluar dari kamar meninggalkan pasiennya.
Lama-kelamaan Siska punya firasat bahwa Frans berencana
melakukan sesuatu terhadapnya. Mungkin menunggu saat yang
baik. Ia pun menjauh, tak lagi berdiri di dekat Frans, melainkan
di ujung ranjang, di mana ia bisa melihat Frans dan Aditya
dengan lebih baik dibanding bila ia berdiri di belakang Frans.
Sesekali Frans mengalihkan perhatiannya dari wajah Aditya
kepada Siska lalu tersenyum. Siska tak membalas melainkan
membuang pandang. Senyum seperti itu adalah senyum yang
paling menyebalkan. Ia melihat kelicikan di situ.
Akhirnya Siska pergi ke kamar mandi yang terletak di
dalam kamar. Karena berada di dalam ruang yang sama, ia tidak
merasa meninggalkan pasiennya. Di belakangnya Frans
menatapnya sambil tersenyum lebar.
Roh Aditya melihat senyum Frans itu. Ia tidak suka
melihatnya.
Frans berdiri dengan gerakan yang sigap, lalu merogoh
sakunya. Ia mengambil sesuatu. Aditya mendekat lalu melihat
dengan jelas. Sebuah alat suntik, yang isi-nya berupa cairan
bening dengan jarum di ujungnya, yang tertutup tabung kecil
sebagai pelindung. Tabung pelindung itu ia angkat, kemudian55
dimasukkan ke dalam sakunya. Lalu ia menegakkan tabung
suntik, mengeluarkan udara dari dalamnya, kemudian merabai
selang infus. Semula jarum akan ia tusukkan ke dalam selang,
tapi kemudian tak jadi. Ia mendongak menatap kantong infus
lalu mengarahkan tabung suntiknya...
Roh Aditya menjadi panik. Ia tahu apa yang mau dilakukan
Frans. Jelas maksudnya jahat. Aduh, ke mana Siska? Ia melayang
ke kamar mandi, menembus dindingnya. Apakah Siska sakit
perut?
Ia melihat Siska tidak sedang duduk di atas kloset. Siska
sedang berdiri bersandar dekat pintu. Rupanya Siska mengungsi
saja ke situ, menunggu Frans pergi. Aduh, Siska! Cepatlah
keluarl Cepaaat...
Siska membuka pintu sedikit untuk mengintip apakah
Frans sudah pergi atau bermaksud akan pergi. Dari tempatnya ia
tak bisa melihat jelas apa yang sedang dilakukan Frans. Ia hanya
melihat Frans sedang berdiri dengan kepala tengadah dan
tangan naik memegang kantong infus. Duh, mau main-main
apakah gerangan? Siska menjadi cemas. Ia mengambil gayung
kamar mandi lalu memukulkannya keras-keras ke pintu. Satusatunya cara untuk membuat Frans menghentikan apa pun yang
mau dilakukannya sebelum ia keburu mencapai tempatnya.
Bunyi gedebukan mengejutkan Frans. Tangannya turun
dengan cepat. Ia menoleh ke kamar mandi. Siska berdiri di
ambang pintu menatap kepadanya. Mereka bertatapan. Tangan
Frans memasukkan tabung suntiknya ke dalam saku, tanpa
sempat menutup jarumnya kembali. Wajahnya suram. Tanpa
berkata-kata ia berjalan ke pintu lalu ke luar.
Siska menghambur ke sisi Aditya.56
Cepatlah lihat infusnya, Siska! Roh Aditya berseru. Cepat
lihat apakah dia keburu menyuntikkan sesuatu ke dalam kantong
selama aku menjengukmu di kamar mandi!
Siska menatap kantong infus sementara roh Aditya berseruseru tanpa peduli bahwa dia tak bisa bersuara. Oh, apakah aku
akan mati di tangan temanku sendiri? Man apa dia menyuntikkan
kantong infus kalau bukan berniat mencelakakan? Aku tidak mau
mati seperti tu. Tolonglah, Siska...
Hanya sejenak tatapan Siska tertuju ke kantong infus.
Tanpa berpikir lama ia mematikan aliran cairan yang menetes.
Lalu ia menurunkan kantong infus kemudian mengamatinya.
Tidak tampak ada lubang atau kebocoran. Selang infus pun
tampak baik-baik saja.
Bukankah tadi ia sempat melihat tangan Frans terangkat ke
arah kantong infus seperti mau melakukan sesuatu kepadanya?
Kalau saja Frans berniat menusukkan jarum untuk
menyemprotkan sesuatu, mestinya ke selang karena tidak akan
terlihat olehnya, lagi pula reaksinya akan lebih cepat dibanding
ke kantong infus yang isinya menetes pelan-pelan. Lagi pula
kantong itu bisa bocor kalau ditusuknya dari bawah.
Tapi isi kantong itu memang tinggal sedikit. Ia tidak perlu
menusuk dari bawah. Cukup dari sisi yang tidak digenangi
cairan. Lalu ia tersentak. Apakah Frans bermaksud
menyemprotkan udara? Itu akan sama berbahayanya dengan
memasukkan racun.
Tapi Siska tidak lagi berpikir. Kantong infus itu ia ganti
dengan yang baru. Demikian pula dengan selang infus. Sesuatu
di benaknya membisikkan, "Jangan ambil risiko!"
Sesudah selesai ia memeriksa Aditya dengan cermat.
Sementara ini keadaannya baik-baik saja, sama seperti57
sebelumnya. Tapi ia masih harus memantau terus karena tidak
tahu perkembangannya nanti.
Ia duduk dengan lemas. Sekarang ia memikirkannya lagi. Ia
memang harus cepat, berbuat untuk Aditya lebih dulu
ketimbang mengejar Frans dan menanyakan apa yang tadi
dilakukannya. Andai kata ia bisa menanyai Frans, belum tentu
lelaki itu mau menjawab yang sebenarnya. Mana mungkin ia
mau mengaku kalau ia memang berniat jahat.
Siska sadar, ia sendiri tidak mempunyai bukti untuk
menuduhnya. Ia pun tidak melihat jelas. Semuanya hanya
berdasarkan insting dan penilaian akan sesuatu yang tidak
semestinya. Bukankah tidak semestinya Frans berdiri dan
memegang-megang kantong infus dengan satu tangan sedang
tangan lain memegang sesuatu yang tidak tampak jelas? Tapi ia
cuma punya perkiraan yang tak bisa dibuktikan. Frans bisa saja
berkilah bahwa ia cuma iseng ingin pegang ini-itu. Wajah
Frans yang muram juga tak bisa dijadikan petunjuk.
Kemudian ia memikirkan apakah sebaiknya menceritakan
peristiwa itu kepada Mira dan Karen. Sebaiknya mereka pun
berjaga-jaga terhadap kemungkinan percobaan kedua kalinya.
Frans dan mungkin kedua kawannya yang lain tak bisa
dipercaya. Tapi setelah emosinya mereda ia bisa berpikir lebih
jernih. Kalau pun ia bercerita, apakah ia akan dipercaya? Dia
cuma seorang perawat yang dibayar, sedang Frans dan temantemannya adalah teman keluarga. Masalahnya, ia tidak bisa
bercerita dengan serbayakin. Serbakira-kira. Serbamungkin.
Dan berdasar insting.
"Aduh, aku mesti apa ya?" keluh Siska.
Roh Aditya mengamatinya. Kalau saja ia bisa menyentuh,
tentu ia sudah memeluknya dan mengucapkan terima kasih
karena telah menolongnya. Terima kasih sekali! Terlambat58
beberapa menit saja maka aku tetap akan jadi roh, selamanya tak
bisa kembali ke tubuhku.
Tapi peristiwa itu menyadarkan dirinya akan hal-hal yang
semula masih gelap. Sudah kedua kalinya Frans meninggalkan
ponselnya. Sekali di rumah sakit dan kedua kali di rumah itu.
Karen yang mengatakan bahwa sewaktu mereka semua berada
di kantin, Frans kembali lagi ke kamar rumah sakit untuk
mengambil ponselnya yang ketinggalan. Bukankah saat itu di
kamarnya tak ada orang, hingga dia leluasa berbuat apa saja?
Tentunya dialah yang telah mengunci tabung oksigen.
Lalu mundurkan waktu lagi ke belakang. Ketika kepalanya
dipukul dari belakang di basement tempat parkir. Pada saat mau
pulang, ia mengira Frans sudah pulang duluan, padahal biasanya
Frans selalu bilang kepadanya kalau bermaksud pulang. Jadi ia
mengira Frans ada di WC meskipun tidak melihatnya pergi ke
sana. Bila benar demikian, maka Frans bisa saja berada di
belakangnya tanpa diketahuinya. Nyatanya belakangan Frans
pula yang menemukan dirinya dan membawanya ke rumah
sakit.
Apa sebenarnya motivasi Frans berbuat seperti itu? Tas
dengan isinya, laptopnya? Hanya satu yang berharga bagi Frans,
yaitu proyek yang tengah dikerjakan waktu itu. Kalau Frans
mengambil alih proyeknya dan mengakui hasil kerjanya sebagai
miliknya, maka tentu Frans-lah yang akan memperoleh bagian
bonus yang seharusnya menjadi bagiannya. Mustahil nyawanya
hanya dihargai sekian saja?
Roh Aditya tidak bisa menerka motivasi lain. Persaingan di
kantor? Sepertinya tak ada persaingan. Mereka rukun-rukun
saja meskipun ia tidak terlalu akrab dengan ketiga temannya.
Irawan sebagai pemimpin perusahaan juga tidak membedabedakan.59
Kelak kalau ia sembuh dan masuk kantor lagi, ia bisa
memeriksa apa saja yang telah terjadi. Ia akan tahu bila hasil
kerjanya dimasukkan sebagai hasil kerja Frans. Mungkin itu
sebabnya Frans berusaha lagi melenyapkannya?
Sangat menyedihkan kalau hanya untuk jumlah uang yang
tidak terlalu besar sampai berniat melenyapkan nyawa teman
sendiri. Tak disangka kalau seorang teman bisa menjadi musuh
dalam selimut.
Ia melihat Siska menangis.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" katanya lirih.
Jadi ia masih merasa bingung. Roh Aditya merasa iba, ingin
sekali menghiburnya.
"Sesungguhnya benarkah ia bermaksud jahat? Kok
sekarang aku jadi meragukan penglihatanku. Tadi begitu takut
dan tegang. Sekarang sepertinya nggak apa-apa. Sepertinya aku


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengada-ada. Aduh, gimana sih? Tanpa keyakinan mana
mungkin aku bisa melapor?" Siska masih bicara sendiri. Sesuatu
yang biasanya tak pernah ia lakukan.
Tapi sekarang dia jadi tahu isi hati Siska.
Kan tidak salah, Siska. Kau berbuat benar. Jangan resah. Aku
melihatnya dengan jelas.
Tapi apa yang dikatakan roh Aditya itu sudah tentu tak bisa
didengar Siska.
"Kalau aku melapor lalu Bu Karen salah terima, nanti aku
bisa dipecat. Lalu orang lain menggantikan. Apakah orang lain
itu bisa menjagamu dengan baik bila nanti Frans berusaha
mencelakaimu lagi?"
Roh Aditya merasa tersentuh. Ternyata Siska sangat
mendalami profesinya sampai berniat membelanya. Padahal dia
bukanlah apa-apanya.60
Siska mengeringkan air matanya. Ia termenung beberapa
saat, lalu bicara lagi, "Baiklah. Aku akan diam. Aku akan
menunggu sampai Pak Adit sadar, lalu melaporkan kepadanya
saja. Mau terima atau tidak, terserah dia. Tapi aku sudah
mengingatkan. Hati-hati kepada teman seperti si Frans itu."
Ya, betul. Bagus. Tunggu saja sampai aku sadar, Nanti aku bisa
jelaskan tentang apa yang kulihat supaya kau tenang. Aku yakin kau
tentu akan percaya kalau aku cerita bahwa aku bisa keluar dari
tubuhku. Bukankah kau berpengalaman di rumah sakit, mendampingi orang sekarat lalu menyaksikannya meninggal?
Roh Aditya buru-buru masuk kembali ke dalam tubuhnya.
Hampir saja ia tak bisa kembali untuk selamanya. Kalau saja
sebagai roh ia bisa berbuat sesuatu untuk memperbaiki
otaknya... Masa sih kau bengkak terus? Kan sudah mengempis?
Begitu kempis dan kembali normal, maka otaknya akan kembali
mampu menerima rangsangan dan memberi reaksi. Artinya, ia
akan sadar.
Ketika Mira masuk dan ribut menjelaskan kenapa ia
berlama-lama tadi, Siska sudah tenang.
"Apa yang dilakukan si Frans tadi?" tanya Mira.
"Dia memelototi wajah Pak Adit. Katanya dalam mimpi dia
melihatnya membuka mata."
"Huuu... alasan aja. Tadi aku tanya, dia nggak ngomong
apa-apa. Katanya mau buru-buru, udah telat."
"Kalau besok dia datang lagi gimana, Bu?"
"Nggak boleh ah. Mau besuk Adit atau mau mengganggumu? Biar aku cari alasan supaya dia nggak bisa masuk."
"Ya, Bu. Terima kasih."
Perasaan Siska sudah lebih tenang. Ketika Karen pulang ia
bisa bersikap seakan tak terjadi apa-apa.61
Malam itu Yuni tidak tidur di samping Aditya. Ada PR
yang mau dikerjakannya di kamar sebelum tidur. Jadi begitu
selesai dan kantuk datang, ia bisa segera melompat ke tempat
tidur.
Setelah Karen menjenguk Aditya sebelum pergi tidur, Siska
kembali sendirian di kamar bersama Aditya. Ia belum
mengantuk dan masih memikirkan lagi peristiwa tadi. Ia
memang tidak melihat jelas apa sebenarnya yang mau dilakukan
Frans, tapi apakah Frans tahu tentang hal itu? Apakah Frans
mengira bahwa ia melihat? Ia ingat telah memukulkan gayung
ke pintu kamar mandi. Tentunya logis kalau Frans menduga ia
telah melihat sesuatu. Juga ekspresi wajahnya ketika keluar dari
kamar mandi. Ekspresinya bukan pura-pura. Ia cemas dan
curiga. Karena itu Frans tidak berkata apa-apa dan langsung
keluar. Kalau tidak, ia tentu akan mencoba bercanda dan
mencari alasan.
Ketika Siska berpikir kcras, ia tidak melihat ke arah Aditya.
Jadi ia tidak tahu bagaimana mata Aditya berkedip-kedip lalu
membuka! Mata itu tertuju kepadanya dengan kening berkerut.
Siska mengangkat kepalanya lalu menopang dagu dengan
tangannya yang bertumpu ke ranjang. Mata Aditya menutup
lagi.
"Kalau si Frans curiga bahwa aku tahu, pastilah ia akan
berbuat sesuatu padaku. Apakah ia juga akan membunuhku?"
kata Siska pelan.
Ia jadi suka bicara sendiri sejak peristiwa itu. Satu-satunya
jalan untuk melegakan beban batin. Tak ada orang yang bisa
diajak bicara. Tak ada orang yang tahu permasalahannya.
"Tapi aku nggak takut padanya. Orang yang sudah tahu
nggak perlu takut. Lain halnya kalau nggak tahu," Siska
menenangkan dirinya.62
*** Sekarang roh Aditya tidak perlu keluar lagi dari tubuhnya. Ia
memang tak lagi bisa keluar lalu keluyuran seperti sebelumnya.
Rohnya sudah menyatu dengan tubuhnya. Jiwa raganya sudah
utuh!
Ia bisa melihat dan mendengar dengan baik. Tapi ia merasa
bingung, tak mengerti dengan situasi di mana ia berada. Kalau
Siska sedang berpaling, ia kembali membuka mata sedikit untuk
melihat berkeliling. Ia mengenali kamar di mana ia berada. Ia
pun tidur di ranjangnya sendiri. Tapi kenapa ada infus melekat
di lengannya? Ah, mungkin ia sakit hingga perlu diberi infus.
Dan selang oksigen yang ujungnya masuk kc hidung terasa
mengganggu dan gatal. Tapi ia berusaha keras untuk tidak
bergerak sebelum bisa mencerna apa yang telah terjadi.
Yang paling membuatnya bingung adalah perempuan
yang mendampinginya itu. Dia bukan Karen. Tentu dia masih
ingat akan rupa istrinya. Yang ini bukan istrinya. Tapi kalau
perawat, kenapa dia mengenakan daster? Ke mana Karen? Apa
yang telah terjadi?
Ketika Siska ke kamar mandi, Aditya mencabut selang
oksigen lalu menggaruk hidungnya. Duh, enaknya bisa
menggaruk. Ia juga menggeser posisi tubuhnya yang pegal.
Ketika mendengar bilasan air kloset, ia buru-buru memperbaiki
posisinya, tapi lupa untuk memasukkan lagi selang oksigen ke
lubang hidungnya. Ia pun memejamkan mata kembali.
Ia ingat apa yang dikatakan perempuan itu. Tentang Frans.
Kenapa Frans mau membunuhnya? Ya, ia tentu mengenal
Frans. Jadi Frans mengenal perempuan ini. Tapi ia tidak
mengenalnya. Kemungkinan besar perempuan ini memang63
seorang perawat. Kalaupun mengenakan daster, tentu karena
hari sudah malam. Suasana sepi, tak ada suara-suara.
Roh Aditya yang pernah melihat dan mendengar banyak
ternyata tak bisa menanamkan pengalamannya itu ke dalam
memori otaknya. Rohnya tak punya hubungan dengan otaknya.
Semua yang pernah dilihat dan didengarnya sebagai roh sudah
sirna ketika ia mendapatkan kembali kesadarannya!64
3 SISKA keluar dari kamar mandi. Ia akan membaca buku saja
menjelang tidur, supaya pikirannya bisa dialihkan. Ia merasa
kesulitan menemukan jalan keluar dari permasalahan itu. Jadi
lihat besok saja bagaimana perkembangannya. Mungkin ia perlu
juga bertemu lagi dengan Frans, lalu bertatapan muka supaya
bisa melihat bagaimana reaksinya.
Beberapa langkah dari ranjang ia berhenti dengan terkejut.
Tatapannya tertuju ke wajah Aditya. Kenapa selangnya bisa
copot begitu?
Ia menghambur ke samping Aditya, lalu memasukkan lagi
ujung selang ke dalam hidungnya. Hampir saja Aditya bersin
karena merasa geli. Siska mengamati wajah Aditya, kemudian
keseluruhan tubuhnya. Sepertinya tak ada yang berubah.
Sesudah itu ia membuka pintu kamar, melongok keluar dan
memandang ke kiri dan kanan. Muncul kekhawatiran kalaukalau ada orang masuk pada saat ia berada di kamar mandi. Tapi
di luar sepi. Semua penghuni sudah berada di kamar masingmasing.
Ia kembali duduk di sisi Aditya. Sudah hilang semangatnya
untuk membaca, apalagi untuk tidur.
"Hari ini kok rasanya aneh amat sih," ia bicara sendiri.
"Banyak kejadian yang membuatku terkejut-kejut. Ah, jangan
ada lagi deh..."65
Aditya ingin sekali tersenyum, tapi menahan diri. Ia juga
tak berani membuka mata walau sedikit. Ia tahu, Siska sedang
duduk di sampingnya dan mengamatinya. Ia tak ingin
membuat Siska terkejut lagi. Ia juga berharap Siska bicara
sendiri lebih banyak lagi supaya ia bisa lebih memahami situasi
dan kondisinya.
Ia bisa memperkirakan dirinya sedang sakit. Tapi ketika ia
serius mencoba merasakan di mana bagian tubuhnya yang sakit,
ia tidak bisa menemukan. Rasanya ia baik-baik saja. Tidak ada
yang nyeri atau perasaan tak nyaman. Sesaat ia mengira dirinya
terserang stroke. Tapi pada perasaannya tak ada bagian
tubuhnya yang lumpuh. Tadi ia sempat menggerakkan semua
anggota tubuhnya.
Apakah ia barusan koma? Kenapa bisa begitu?
"Ah, mungkin tadi selangnya meluncur sendiri karena
lubang hidungnya licin," kata Siska. Lalu ia membungkuk dan
mengamati dari dekat. Napasnya terasa hangat ke muka Aditya.
Yang ini masih bisa ditahan olehnya meskipun ada rasa geli.
Tapi kemudian Siska menyambil sebuah cotton bud. Selang ia
tarik dulu kemudian kapas ia masukkan ke dalam lubang
hidung dengan hati-hati untuk membersihkan dan mengeringkan. Yang ini sulit sekali ditahan Aditya. Susah payah ia
berusaha untuk tidak bersin dan menahan supaya raut mukanya
tidak berubah. Beberapa kali ia ingin sekali menarik tangan
Siska. Tapi ia tahu kalau hal itu sampai dilakukan, mungkin
Siska akan menjerit kaget. Bagaimana kalau jantungnya
terganggu? Untunglah kemudian Siska menghentikan upaya
pembersihannya.
"Iya, kayaknya memang benar. Dia beringus. Wah, jangan
sampai pilek deh..."66
Untuk mencegah supaya selang tidak copot lagi, Siska
melekatkannya dengan plester.
"Nah, jadi memang nggak ada yang aneh. Semua harus ada
logikanya. Kalau nggak copot sendiri, pasti dicopot. Tapi oleh
siapa? Orang lain nggak ada. Apa dia sendiri?" Siska mengoceh.
Lalu tiba-tiba Siska terdiam. Lama tak terdengar suara
ataupun bunyi. Aditya penasaran sekali ingin tahu apa yang
sedang dilakukan Siska. Apakah dia pergi tidur atau ke kamar
mandi? Tapi ia tidak mendengar bunyi kursi digeser atau
langkah kaki. Ia takut kedapatan kalau membuka mata.
Sebenarnya Siska sedang berpikir keras dengan tatapan tak
beralih dari wajah Aditya. Kemudian ia mengambil lampu
senter lalu berdiri dan membungkuk di depan Aditya. Ia
membuka kelopak mata Aditya dan menyorotkan senter, ke
arah kedua mata bergantian. Tak terlalu lama mengamati, ia
pun duduk kembali. Tatapannya masih ke wajah Aditya.
"Kalau orang koma tak bisa bereaksi terhadap apa pun,"
Siska berkata. "Tapi kalau orang sadar bisa. Jadi kalau misalnya
dikitik-kitik urat gelinya, pasti dia ketawa.
Aditya berdebar karena khawatir. Kalau "ancaman" Siska
itu dilaksanakan, ia pasti takkan tahan. Apakah itu pertanda
bahwa Siska mulai curiga? Ia memutuskan untuk menunggu
dan pasrah saja. Tapi satu hal sudah jelas. Ia memang koma, tapi
tidak tahu sudah berapa lama. Dan kenapa ia dirawat di rumah,
bukan di rumah sakit? Apakah komanya sudah lama, mungkin
berbulan-bulan hingga Karen kewalahan?
Tapi tidak ada yang dilakukan Siska. Yang terdengar hanya
bunyi orang menguap.
Ha, dia sudah mengantuk, pikir Aditya girang. Nanti kalau
dia sudah tidur aku bisa menggaruk dan bergerak.67
"Selamat malam, Pak Adit," kata Siska. Lalu terdengar
bunyi kursi digeser.
Tapi Aditya bertahan untuk tidak membuka mata sebelum
yakin benar-benar.
"Baiknya sih kalau Bu Karen yang paling dulu menemukan sadarnya Pak Adit. Mungkin besok pagi pada saat Bu
Karen mendampingi. Pada saat itu dia suka bicara. Lalu Pak
Adit akan tersenyum. Duh, Bu Karen pasti akan melompat
karena gembira. Betapa senangnya. Tentu romantis sekali. Jadi
baiknya jangan sekarang," kata Siska lagi.
Dia bicara seolah sudah tahu, pikir Aditya.
Sesudah itu kedengaran bunyi ranjang berderit. Artinya
Siska sudah naik ke tempat tidurnya.
Tapi Aditya memutuskan untuk menunggu dulu. Selama
waktu itu ia menyimak ucapan terakhir Siska. Tampaknya dia
orang yang baik, pikirnya. Padahal sebagai perawat pastinya ia
akan merasakan kebahagiaan sendiri kalau bisa jadi orang
pertama yang menyampaikan berita gembira kepada seisi
rumah. Wajar tentunya kalau perawat yang menemaninya
seharian menjadi orang pertama yang menemukan.
Bagi dirinya sendiri hal itu tidaklah penting. Yang paling
penting adalah ia sudah kembali ke dunia, bisa melanjutkan
hidupnya. Tapi ia ingin tahu tentang apa saja yang sudah hilang
dari kehidupannya. Kalau tak diberitahu, ia takkan tahu. Tadi
Siska bicara tentang Frans. Sesuatu yang hanya diketahui oleh
Siska sendiri. Jadi ia perlu mengetahuinya dari Siska. Kalau
menunggu sampai besok sepertinya tak bisa lagi karena orang
banyak akan berkumpul mengerumuninya. Apakah besok bisa
ada momen privasi antara dia dan Siska?68
Lalu terdengar suara mendengkur halus. Pelan-pelan
Aditya memiringkan kepalanya, lalu membuka mata sedikit saja.
Cahaya lampu yang tak terlalu terang bisa membuat gerakannya
terlihat samar, tapi ia juga tidak terlalu jelas melihat Siska.
Tampaknya Siska benar-benar tidur, tidak berpura-pura. Ia
tidur telentang dengan selimut tipis menutupi tubuh sampai ke
dada. Mulutnya sedikit terbuka. Wajahnya seperti bayi yang
tidur tanpa beban. Dia cantik, pikir Aditya. Kesimpulan yang
spontan dari seorang lelaki yang tak bisa menahan diri untuk
tidak menilai fisik perempuan.
Terpikir sejenak, apakah Karen yang memilih Siska
menjadi perawatnya?
Tiba-tiba Aditya merasa ingin kencing. Ngebet sekali. Lalu
ia menyadari adanya benda menempel di selangkangannya.
Pelan-pelan tangannya meraba ke situ. Ia bisa melakukannya
dengan mudah karena tidak mengenakan celana. Sebuah sarung
hanya ditutupkan saja di atas tubuhnya. Ada selang masuk ke
alat kelaminnya. Ia sadar dirinya memakai kateter, jadi urinnya
keluar sendiri untuk ditampung ke dalam botol. Pada saat koma
tentu ia tak merasakan keinginan itu, jadi kencingnya spontan
keluar. Sekarang beda. Oh, yang satu itu pun tentunya harus
dicabut. Sama halnya seperti infus dan selang oksigen. Ia sudah
tak tahan lagi memakainya biarpun hanya semalam. Dan... oh,
ia memakai popok!
Lalu dengan semena-mena perutnya berbunyi.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keruyuuuk...! Ia lapar!
Sebenarnya bunyi itu tak seberapa keras. Tapi Siska segera
bangun lalu duduk sambil melempar selimutnya. Tatapannya
tertuju kepada Aditya sejenak. Lalu ia melompat dari
ranjangnya, mendekati Aditya kemudian menempelkan
telinganya ke perut Aditya.69
Saat berikut ia tertawa geli. Mulutnya ditutup dengan
telapak tangan supaya bunyinya tidak keras.
"Ah, Pak Adit lapar! Bagus sekali," katanya dengan mata
tajam ke muka Aditya.
Sekarang Aditya tak bisa tidak membuka matanya.
"Suster, ya...," katanya.
Siska tersenyum bahagia. la menepuk lengan Aditya.
"Selamat, Pak! Apa saya perlu memanggil Bu Karen sekarang?"
"Tunggu, nanti dulu. Pertama-tama lepaskan saya dari
selang-selang ini. Yang di atas dan yang di bawah. Juga popok
itu."
"Baik, Pak."
Siska mematikan aliran oksigen dan mencabut selang yang
masuk ke hidung, kemudian melepaskan jarum infus dengan
hati-hati, dan menaruh kain kasa yang dilekatkan dengan
plester di atas lubang bekas tusukan untuk menyerap tetesan
darah yang masih keluar dari pembuluh darah. Terakhir baru ia
melepaskan kateter dan membuang popok yang untung saja
masih bersih.
"Sudah penuh. Barusan kencing ya, Pak?"
Aditya tersenyum malu.
"Saya buang dulu, ya? Takut tumpah."
Siska bergegas membawa botol berisi urin ke kamar mandi.
Sementara Aditya duduk pelan-pelan karena tubuhnya terasa
kaku.
"Jangan langsung turun dulu, Pak!" seru Siska.
Sesudah mencuci tangannya, Siska menghampiri.
"Mau minum, Pak?"70
"Mau, Sus!" sahut Aditya bersemangat. Mulutnya terasa
kering.
Ketika Siska menyodorkan air putih di gelas, Aditya
meminumnya sampai habis. Nikmat sekali.
"Bisa ambilkan celana, Sus? Yang pendek saja."
Kelika Siska akan membantu memakaikan, Aditya
menolak.
"Saya bisa pakai sendiri, Sus. Malu ah. Kayak anak kecil."
"Sekarang saya bangunkan Bu Karen? Dia sudah pesan,
kapan pun Bapak sadar dia harus segera diberitahu. Kalau
berlama-lama nanti dia pikir..."
"Sebentarlah. Ditunda kan nggak apa-apa. Apalagi
sekarang dia sedang tidur. Bohong sedikit nggak apa-apa. Kita
perlu bicara dulu. Duduklah, Sus."
Terpaksa Siska menarik kursi. Agak jauh sekarang.
"Kita belum kenalan. Namamu siapa?" tanya Aditya.
"Siska."
"Tolong ceritakan dulu apa yang terjadi pada saya dan
berapa lama seperti ini."
Siska bercerita menurut apa yang diketahuinya saja.
"Kurangnya nanti bisa ditambah Bu Karen."
"Ya. Jadi saya dipukul orang di tempat parkir..." Aditya
mencoba mengingat-ingat saat terakhir dari awal komanya.
"Betul, Pak."
"Mau apa dia? Merampok?"
"Mungkin, Pak. Katanya tas Bapak hilang. Tapi orangnya
belum ketangkap."71
Aditya mulai bisa mengingat kembali. Waktu itu dia
pulang agak malam. Tas kerjanya berisi laptopnya. Ada kerja
proyek di situ. Soal itu nanti harus ia tanyakan pada rekanrekan kerjanya.
"Siapa yang mengirimmu ke sini?"
"Dokter Satria. Saya perawat di RS Mulia Bakti tempat
Bapak dirawat semula."
"Oh, begitu. Jadi selama ini saya dirawat olehmu di sini.
Terima kasih ya, Sis."
"Sama-sama, Pak."
"Selama ini saya pasien yang baik, kan?"
Siska tertawa. Ucapan itu tentu hanya gurau. Pasien koma
itu paling tidak cerewet.
"Sekarang yang paling ingin saya ketahui adalah ada apa
dengan Frans? Tadi saya sempat dengar omonganmu."
Siska mengangguk. Memang ia ingin dan perlu
memberitahu Aditya soal itu.
"Jadi Bapak sudah sejak tadi sadarnya, ya. Nggak mungkin
selang itu copot sendiri dari hidung. Tapi ya, nggak apalah."
Siska bercerita tentang kelakuan Frans tadi siang, hati-hati
memilih kata-kata supaya tidak terkesan menuduh.
"Masalahnya saya nggak lihat jelas, Pak. Posisinya agak
menyamping. Tangannya naik ke kantong infus, tapi nggak
kelihatan apa yang dia pegang."
Aditya termangu. Apakah ia juga sempat bermimpi tentang
hal yang sama?
"Bagus sekali tindakanmu, Sis. Saya berutang nyawa
kepadamu. Terima kasih."72
"Jangan dulu, Pak. Itu belum tentu. Saya takut nanti
dituduh memfitnah orang. Makanya sama Bu Karen juga saya
nggak cerita. Saya pikir nanti saja sama Bapak karena Bapak
harus tahu. Jadi andai kata dugaan saya benar, maka Bapak bisa
berjaga-jaga terhadapnya."
"Betul sekali, Sis."
"Tapi saya harap, Bapak jangan konfrontir dia dengan
cerita saya ini. Kalau nanti ketemu berbuatlah seolah nggak tahu
apa-apa. Cuma harus awas saja."
"Ya. Saya pikir sebaiknya memang begitu. Nggak ada
gunanya juga. Kalau saya konfrontir dia, nanti malah marah
sama kamu."
"Yang penting Bapak, karena sekantor. Tiap hari ketemu."
"Ya. Itu akan saya pikirkan nanti."
"Sebenarnya saya nggak enak hati sama Ibu karena nggak
segera memberitahu, tapi saya masih mikir-mikir."
"Oh, biar saya saja yang beritahu. Akan kami diskusikan.
Alasanmu tentu akan saya kasih tahu juga. Masuk akal kok.
Wajar."
"Jadi Bapak yakin dia nggak marah, ya? Harusnya saya
melaporkan apa pun yang terjadi."
"Sudah. Bukankah saya keburu sadar? Kamu nggak punya
waktu untuk melapor."
Siska mengangguk. Ia percaya kepada Aditya.
"Tadi saya dengar perut Bapak berbunyi. Lapar, Pak? Nanti
saya carikan makanan di kulkas. Roti juga ada."
"Oh ya, baru saja mau saya katakan. Yang penting saya
makan dulu saja, ya. Biar bertenaga kalau ketemu Ibu. Ha-haha..."73
Siska segera berdiri. "Maunya apa, Pak?"
"Roti saja dilapis selai stroberi. Biasanya ada tuh."
"Dua potong saja ya, Pak? Jangan banyak-banyak dulu.
Sudah lama perut Bapak nggak masuk makanan padat."
Aditya tertawa. "Ya, saya harap mesin-mesin pencer-naan
saya masih dalam kondisi baik."
Ketika Siska pergi, Aditya perlahan-lahan turun dari
ranjang, mencoba berdiri. Sepasang kakinya terasa kaku dan
lemah. Ia harus berpegangan ke tepi ranjang. Lalu memutuskan
tidak mencoba lagi. Mungkin perlu waktu untuk memulihkan
dirinya. Ia kembali duduk.
Siska kembali dengan membawa setangkup roti tawar
berlapis selai. Sudah dipotong kecil-kecil di atas piring disertai
garpu kecil.
"Tangan Bapak kotor," Siska beralasan.
"Ya, rasanya lengket. Padahal nggak pegang apa-apa."
"Itu keringat yang nggak dibilas. Kalau mandi cuma dilap
aja."
Sambil memakan rotinya, Aditya berpikir tentang mandi.
Jadi Siska memandikan dia tiap hari? Telanjangkah? Tapi
pertanyaan itu tentunya bodoh untuk diucapkan. Seorang
perawat sudah terbiasa melakukan hal itu.
"Ini roti terenak di dunia, Siska," komentar Aditya di sela
mengunyah.
Siska tertawa. Tiba-tiba ia terdiam ketika menyadari bahwa
ia mengenakan daster saat melayani pasien. Hari-hari kemarin
juga seperti ini ketika ia merawat Aditya di malam hari, tapi saat
itu beda. Sekarang Aditya sudah sadar. Bukankah seharusnya ia
mengena-kan seragam? Rasanya lebih profesional. Tapi ia tahu,74
Aditya tidak akan memedulikan hal itu. Bahkan mungkin akan
melarangnya. Bukankah sebentar lagi ia akan pergi tidur?
Roti habis, lalu Aditya ingin sikat gigi. Tapi ia ingin
melakukannya di wastafel.
Siska menarik kursi, meletakkan di depan wastafel. Ia ke
dapur dulu mencari sikat gigi baru. Kalau pasta gigi, bisa
memakai yang biasa ia gunakan.
Siska mengurut kedua kaki Aditya perlahan-lahan supaya
lebih lentur dan peredaran darahnya lebih lancar, kemudian
memapahnya ke kursi yang sudah disediakan di depan wastafel.
Dengan posisi duduk Aditya bisa lebih nyaman menggosok
gigi.
"Tadi sih kedua kaki saya lemes banget, Sis. Sampai rasanya
mau roboh."
"Ya, perlu waktu, Pak," hibur Siska.
Ia menunggui Aditya menggosok gigi. Setelah selesai
Aditya menyatakan ingin berjalan keliling kamar. Mula-mula ia
bertumpu kepada Siska. Karena tubuhnya tinggi, tangannya
memegang pundak Siska. Sesudah merasa lebih kuat, ia
mencoba berdiri sendiri di atas kedua kakinya, lalu berjalan
selangkah demi selangkah. Siska mendampingi dan berjagajaga.
Aditya tertawa. "Saya sudah kuat, Sis. Kalau terus berlatih
begini, pasti pemulihannya lebih cepat, ya?"
"Iya, Pak."
"Menurutmu, apa sebaiknya kita pergi ke kamar Ibu
sekarang, lalu membangunkannya sama-sama?"
Siska tertegun sejenak.
"Ah, jangan, Pak. Nanti dia kaget. Saya... sayajuga
khawatir dia nggak suka. Dia pasti lebih suka kalau dia segera75
dikasih tahu begitu ada tanda Bapak sadar. Jangan seperti
sekarang ini. Dia pasti akan tanya jam berapa sadarnya. Setelah
itu dia akan bertanya kenapa nggak dari tadi dikasih tahu?"
"Wah, sepertinya kamu sudah kenal benar sifatnya."
Siska tersipu.
"Bukan begitu, Pak. Saya cuma pakai logika."
"Nah, karena itulah kita juga pakai logika saja. Kalau
dikasih tahu bahwa saya pengin memberinya surprise dengan
mendatangi kamarnya hingga butuh waktu untuk memulihkan
tenaga, dia bisa mengerti kenapa kamu tidak segera
memberitahu begitu saya membuka mata."
Siska mengangguk. "Ya, betul juga, Pak. Kalau begitu
tunggulah barang sebentar sampai kedua kaki Bapak lebih kuat
lagi. Makan dan minum lagi, Pak?" Siska menawarkan.
Aditya tertawa. "Minum saja, Sis. Roti tadi sudah cukup.
Kalau kamu punya minyak angin atau sesuatu yang panaspanas, bisa digosokkan ke kaki saya."
"Ada, Pak."
Siska mengurut pelan kedua kaki Aditya dengan minyak
angin miliknya. Sesudah itu Aditya meregang-regangkan
kakinya, mengangkatnya silih berganti. Mula-mula ia tak bisa
mengangkat tinggi-tinggi, tapi lama-lama bisa juga. Sesudah
itu ia turun dari ranjang, berdiri menapak lantai, mencoba
keseimbangan badan-nya. Kemudian berjalan pelan-pelan.
Siska mengawasi saja, berjaga-jaga kalau-kalau Aditya tidak
kuat.
"Jangan terlalu diforsir, Pak. Sabar saja. Nanti semua
kekuatan akan kembali."76
"Ya. Sekarang saya mau istirahat dulu. Rasanya sudah lebih
baik dibandingkan tadi. Sekarang mari kita ngobrol saja. Sis.
Berceritalah lebih banyak tentang dirimu."
"Ah, cerita apa, Pak?" Siska merasa segan.
"Apa saja tentang dirimu. Tentunya yang tidak perlu
dirahasiakan. Misalnya kariermu. Sudah berapa tahun jadi
perawat. Sudah berkeluarga, eh... tentunya belum ya. Mana
mungkin bisa siang-malam kerja di sini. Bu-kannya usil pengin
tahu lho, Sis. Tapi ingin kenal lebih jauh. Kamu sudah jadi
bagian dari hidup saya. Setidaknya bagi saya, seperti itu. Kalau
buat kamu, tentunya nggak, ya. Habis pasienmu banyak, bukan
cuma saya saja. Jangan-jangan nanti saya akan terlupakan,
seperti halnya pasien yang lain."
"Ah, nggak juga, Pak. Semua pasien saya ingat kok. Tapi
pengalaman sebagai perawat pribadi baru kali ini. Tadinya saya
nggak suka, tapi Dokter Satria yang minta. Nggak enak
nolaknya."
"Kenapa kamu nggak suka?"
"Habis pasiennya cuma satu. Koma, lagi."
Aditya tertawa. "Membosankan, bukan?"
Siska tidak menjawab, hanya ikut tertawa. Lalu ia
menjelaskan tentang kariernya. Sudah lima tahun bekerja di
Rumah Sakit Mulia Bakti. Sebelumnya studi tentang
keperawatan di sebuah rumah sakit pendidikan yang besar, lalu
bekerja selama dua tahun di situ, menyelesaikan ikatan dinas.
"Wah, kamu memang sudah berpengalaman. Suka, ya?"
"Tentu, Pak," sahut Siska dengan mata berbinar. Jawaban
yang tak meragukan.
"Lalu asal-usul dari mana?" Aditya belum puas.77
"Asal saya dari Jakarta juga, Pak. Saya yatim-piatu. Jadi tak
punya orangtua lagi untuk dikunjungi, tak punya rumah untuk
disambangi. Sanak saudara jauh-jauh."
"Di sini tinggal di mana?"
"Di asrama. Di sana banyak teman."
"Senang di sana?"
"Senang, Pak."
"Memang lebih enak begitu daripada kos."
"Besok pagi saya akan telepon Dokter Satria, Pak. Dia pasti
senang sekali. Selama Bapak dirawat di rumah, dia baru sekali ke
sini. Tapi setiap hari saya telepon memberi laporan. Karena
kondisi Bapak stabil, dia merasa tidak perlu ke sini."
"Kamu berjasa sekali, Sis. Terima kasih ya."
"Ah, nggak juga kok, Pak. Saya kan dibayar untuk itu.
Sudah kewajiban."
"Tapi berkat jasamu, saya selamat dari si Frans."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum tentu juga. Saya takut menuduh orang yang
bukan-bukan."
"Tapi kamu sangat sigap. Tidak mau ambil risiko. Kalau
mikir kelamaan bisa fatal. Berkat didikan sebagai perawat, ya."
"Mungkin juga, Pak."
"Oh ya. Saya mau kasih tahu, Sis. Besok kamu jangan pergi
dulu meskipun saya sudah sembuh. Tinggallah barang sehari
dua hari lagi."
Mata Siska membesar.
"Untuk apa, Pak?"
"Kita akan mengadakan semacam perayaan, Sis. Saya akan
mengusulkannya kepada Karen. Sekadar makan-makan aja."78
"Kalau hanya besok mungkin bisa. Tapi dua hari kelamaan.
Dokter Satria pasti tak suka."
"Ya, besok saja kalau begitu. Saya akan berusaha minta izin
pada dokter."
"Kalau hanya untuk makan-makan, saya bisa minta izin
keluar sebentar. Atau cuti sehari."
"Nah, begitu juga baik. Kalau perayaannya besok saya kira
terlalu cepat. Karen harus cuti juga. Ya, nanti kita atur. Yang
penting kamu setuju, ya? Saya pikir akan mengundang rekanrekan kantor."
"Termasuk Frans?"
"Iya dong. Nanti kita lihat saja lagaknya seperti apa. Kamu
bersikap biasa saja."
Siska mengangguk. Ia memang perlu bertemu lagi dengan
Frans.
"Sekarang saya mau mencoba jalan lagi. Bila sudah kuat
dan lancar, jalan sendiri tanpa dipegangi, maka sekarang juga
kita ke kamar Karen."
Aditya berlatih lagi. Siska mengawasi dengan perasaan
kagum. Alangkah bahagianya bila bisa memiliki seorang suami
seperti ini. Suami yang berusaha keras untuk membahagiakan
istrinya. Padahal jauh lebih gampang bila Aditya tetap saja di
tempat tidur dan membiarkan Karen datang menemuinya.
Apakah itu karena Aditya ingin tampil sehat dan kuat dan tidak
ingin membuat Karen khawatir? Mungkin saja ada kerusakan
lain yang belum terdeteksi sampai saat ini.
"Sudah cukup, Pak. Sudah mantap jalannya," kata Siska.
"Kamu pikir begitu? Apakah jalan saya nggak sempoyongan kayak orang mabuk?"
"Nggak, Pak."79
"Baiklah. Kita ke sana."
"Saya ikut, Pak?"
"Tentu saja. Nanti Karen malah marah karena dikiranya
kamu nggak memperhatikan."
Siska memang merasa perlu menemani. Ia hanya ingin
kepastian kalau-kalau egonya Aditya terlalu tinggi.
Mereka melangkah ke luar. Dalam perjalanan ternyata
Aditya masih memegangi pundak Siska.
"Rasanya kok jadi canggung ya, Sis."
"Ah, kenapa, Pak?" Siska tertawa.
"Ya, lucu memang. Rasanya kayak orang baru pacaran."
"Ah, Bapak bisa aja."
Siska membayangkan betapa romantisnya pertemuan kedua
orang itu nanti.
Di depan pintu kamar keduanya berhenti.
"Biar saya yang ketuk. Bapak di sebelah sana dulu," kata
Siska, menunjuk tempat yang terlindung kalau nanti pintu
dibuka.
Agak lama Siska mengetuk. "Buuu! Bu Karen! lni Siska,
Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir Selagi Hari Terang While The Light Lasts Karya Agatha Christie Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak

Cari Blog Ini