Ceritasilat Novel Online

Dua Menantu 2

Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 2


Bu!" panggilnya.
Pintu terbuka. Wajah Karen yang kusut dan cemas tampak
di ambang pintu. Siska segera tersenyum untuk menenangkan.
"Ada apa, Suster?" tanya Karen. Meskipun wajah Siska
tampak ceria, tapi ia tetap khawatir.
"Ada yang mau ketemu Ibu..."
Aditya tampil di depan Karen. Mulut Karen terbuka,
kemudian mengeluarkan teriakan, "Papaaa...!"80
Aditya mengembangkan kedua tangannya. Karen
menubruk, masuk ke dalam pelukannya.
Pintu karnar Yuni terbuka. Yuni berdiri di ambang pintu
dengan wajah cemas.
"Ada a...?"
Pertanyaan Yuni tak selesai, ia melompat, menghambur
dan ikut memeluk setelah teriakan panjangnya membahana.
Mereka bertiga berpelukan.
Siska tersenyum mengamati. Tapi tidak berlama-lama. Ia
segera mengundurkan diri, sadar dirinya tidak diperlukan lagi.
Dari arah belakang, Siska melihat Mira tergopoh-gopoh
mendatangi.
"Ada apa? Ada apa?" ia bertanya.
"Pak Adit sudah sadar, Bu. Dia di sana." Siska menunjuk.
Mira bersorak, lalu bergegas kearah yang ditunjuk.
Waktu Siska menengok, ketiga orang yang tadi berpelukan sudah tidak tampak. Mereka sudah masuk ke dalam
kamar. Mira pun masuk.
Siska masuk ke kamar yang semula ditempatinya. Ia yakin
Aditya tidak akan kembali untuk tidur di situ. Tiba-tiba ia
merasa lelah sekali. Sekarang sudah dini hari. Ia belum sempat
memicingkan mata. Tadi ketika Aditya mendengarnya
mendengkur, sebenarnya ia ber-pura-pura saja untuk
mengecoh Aditya.
Kamar itu berantakan. Biarlah besok saja ia bereskan.
Ia merebahkan tubuh di atas ranjangnya. Selama beberapa
detik mengenang kembali kejadian tadi. Pengalaman
pertamanya sebagai pera wat pribadi berakhir dengan bahagia.
Senyumnya mengembang saat jatuh terlelap.81
Ketika pintunya terbuka pelan-pelan, Siska tidak
mendengar. Mira yang masuk itu memang berupaya untuk
tidak menimbulkan bunyi. Ia masuk berindap-indap,
memandangi Siska sejenak. Kemudian ia keluar dengan
berindap-indap juga.
Semula Mira bermaksud mengajak Siska membicarakan
kejadian tadi andai kata belum tidur. Tentunya Siska adalah
orang pertama yang mendapatkan Aditya dalam kondisi sadar.
Ia ingin tahu ceritanya. Tapi ia lupa akan waktu. Tentunya
Siska kelelahan, belum tidur sejak semalam karena mengurus
Aditya. Tadi ia sempat mendengar penuturan Aditya soal
bagaimana Siska sebenarnya ingin segera membangunkan
Karen begitu melihatnya sadar, tapi Aditya ingin mernberi
Karen surprise.
"Anak yang baik, anak yang baik," gumam Mira dalam
perjalanan menuju kamarnya.
Setelah Yuni dan Mira kembali ke kamar masing-masing
dan mereka tinggal berdua, Aditya dan Karen saling
merengkuh dengan penuh kerinduan.
"Aku punya banyak cerita selama kau tidur," kata Karen.
"Aku juga."
"Ah, kau juga?" Karen heran. "Apa selama koma rohmu
jalan-jalan, ngintip sana-sini?"
"Enak sekali kalau bisa begitu. Sayangnya, mana ada yang
seperti itu?"
"Jadi nggak ada, ya? Aku pengin sekali bertanya tentang
hal itu. Ke mana saja kau selama tidur panjang itu? Soalnya aku
pernah baca tentang itu."
"Fiksi atau nonfiksi?"
"Nggak ingat."82
"Paling-paling fiksi. Pengarang itu kan daya khayalnya
tinggi. Dia pikir orang belum mati tapi tidur terus, ke mana
sebetulnya dia? Mati dan tidur itu jelas beda."
"Aku bukan pengarang, tapi berpikir begitu juga," kata
Karen serius. "Bahkan aku hampir percaya teori itu. Makanya
aku selalu bicara di sampingmu, biarpun kau diam saja. Aku
pikir, siapa tahu rohmu bisa melihat dan mendengarku. Coba
ingat-ingat lagi. Mungkin ingatanmu masih berceceran. Ayo,
pernahkah kau mendengar aku bicara?"
Sebenarnya Aditya tidak suka membicarakan hal itu di awal
pertemuannya dengan Karen. Masih ada banyak waktu untuk
membicarakannya. Tapi Karen terlihat sangat ingin tahu.
Ia menggeleng dengan tegas. "Sungguh, Ma. Nggak ada
yang teringat olehku. Mana mungkin aku bisa jalan-jalan.
Kalau memang bisa, tentu aku punya banyak cerita."
"Tadi kau bilang punya banyak cerita juga."
"Ah, bercanda aja kok. Ceritaku itu tentang kejadian baru
saja. Waktu aku baru sadar dan Siska nggak segera tahu. Waktu
dia ke kamar mandi, kutarik selang dari hidungku karena
rasanya gatal sekali. Ketika dia keluar dari kamar mandi, aku
pura-pura tidur lagi tapi lupa memasukkan kembali selang itu.
Wah, aku yakin dia kaget sekali. Aku nggak berani buka mata."
Karen tertawa.
"Sebenarnya aku ingin dia segera memberitahuku begitu
kau sadar, jangan tunggu lama-lama."
"Ya, dia juga maunya begitu. Sudah dipesan begitu,
katanya. Tapi aku maunya beda. Ya, tentunya dia harus nurut
sama aku, kan?"
"Tadi aku pikir lagi mimpi. Habis dibangunkan mendadak, tahu-tahu kau ada di depanku."83
"Tapi senang, kan?" Aditya menciumi Karen.
"Ya, ya. Tentu saja senang. Eh, apa kau masih ingat
bagaimana berciuman?"
"Tentu saja masih. Bolehlah kauajari aku. Jangan-jangan
bagaimana bercinta pun aku lupa."
Karen terlawa geli. "Yang itu sih nggak mungkin bisa lupa.
Manusia primitif nggak diajarin juga bisa sendiri kok."
"Mudah-mudahan aku nggak lupa. Tapi itu memang
nggak mungkin. Bodoh sekali kalau sampai lupa. Itu namanya
bebal."
"Yang penting bukan roh orang lain yang kembali ke
dalam tubuhmu."
Aditya terkejut. "Ah, apakah itu mungkin?"
"Nggak tahu. Pernah baca cerita saja."
"Kau kebanyakan baca cerita sih. Yang realistis aja, ah."
Karen tertawa. "Malam ini kau tidur di sini saja, Pa."
"Tentu saja di sini. Di kamar sana ada Siska. Sekarang
tentunya dia juga sudah tidur."
Mereka berpelukan dan berciuman. Hanya itu.
Aditya membisikkan, "Sebenarnya aku rindu ingin bercinta
denganmu. Tapi rasanya masih ngilu, bekas kemasukan
kateter."
"Enakan juga tidur." Karen tertawa.
Sesudah itu hanya sekitar satu jam saja Aditya tertidur.
Mendadak ia terbangun. Rasanya seperti dibangunkan. Ia pun
berkeringat dingin.
Pelan-pelan ia melepaskan pelukan Karen dan menjauh
sampai ke tepi ranjang. Karena ranjang ini bukan ranjang yang
biasa mereka gunakan, maka ukurannya lebih kecil. Ia menjauh84
karena tak ingin membangunkan Karen dan membuatnya
khawatir.
Ia perlu memikirkan penyebab dirinya terbangun dengan
mendadak itu. Apakah ada sakit yang kumat dan karenanya
perlu membangunkan Siska? Ah, bukan. Ia merasa baik-baik
saja, hanya perasaan yang tak nya-man.
Ia teringat, penyebabnya adalah mimpi. Tidur pettama
yang benar-benar tidur dan juga mimpi pertama. Tapi
sepertinya mimpi itu terbawa sampai terjaga. Ataukah mimpi
itu yang membuatnya terjaga?
Dalam mimpi itu ia bertemu dengan seorang lelaki tua,
bertubuh sedang dan berambut putih seperti perak. Wajahnya
ramah dengan senyum kebapakan. Lelaki itu menyalaminya
dengan hangat seperti seorang kenalan lama. Ia sendiri tidak
ingat pernah bertemu di mana.
"Selamat ya, Adit," katanya.
"Selamat apa, Pak?"
"Kamu sudah berhasil kembali ke dunia."
"Oh... terima kasih, Pak. Ya, ya saya sudah sembuh."
"Jadi jagalah kesehatan supaya jangan celaka lagi."
"Betul, Pak. Saya nggak mau kejadian lagi."
"Tapi kamu harus ingat sama janjimu, ya."
"Janji? Janji apa, Pak?"
"Wah..." Lelaki itu mengamatinya berlama-lama,
menggelengkan kepala lalu berkata dengan nada kecewa,
"Yaaah... kamu nggak ingat lagi rupanya. Jadi kamu juga nggak
ingat siapa saya?"85
"Maaf, Pak. Saya memang nggak ingat. Mungkin butuh
waktu. Saya kan baru sembuh. Saya harus pikir-pikir lagi.
Barangkali ada yang terhapus dari memori saya."
Kembali lelaki itu menggeleng. "Kamu memang nggak
ingat. Bukan terhapus, tapi nggak masuk."
"Jadi Bapak ini siapa?"
"Nama saya Simon. Lengkapnya Simon Handoyo. Nah...
ingat?"
Sekarang Aditya yang menggeleng. "Maaf, Pak. Nggak
ingat."
"Wajah saya?"
"Juga nggak, Pak."
"Kalau nama dan wajah saya saja kamu nggak ingat, apalagi
sama janjimu."
Simon tampak sedih. Aditya merasa iba melihatnya.
"Jangan-jangan otak saya masih nggak beres, Pak. Besok
perlu di-scan lagi nih. Sekarang sudah bisa bangun saja sudah
bagus. Begitu saya ingat, pasti saya akan berusaha memenuhi
janji saya."
"Bukan otakmu yang salah, Dit."
Aditya menjadi bingung. Simon tampaknya mendesak dan
putus asa. Apakah dia berutang kepada Simon? Segala utang
akan dia lunasi bila sudah ingat semuanya. Dia bisa memeriksa
dokumen yang tersimpan.
"Lebih baik Bapak saja yang mengingatkan. Saya sungguh
nggak ingat apa-apa."
Tapi bila nanti kuingatkan, apakah kamu akan tetap
berpegang padajanjimu untuk membantu? Kalau nggak mau sih
nggak apa-apa. Kamu nggak berkewajiban kok. Apalagi kamu86
sendiri punya masalah. Ah, sudahlah. Mungkin nggak ada
gunanya. Anggap nggak ada saja, Dit. Maaf sudah
mengganggumu..."
"Tunggu, Pak! Hei, Pak Simon! Jangan begitu. Jangan
biarkan saya penasaran. Setidaknya kasih tahu dulu apa
sebenarnya janji itu. Saya nggak pura-pura. Saya benar-benar
lupa, Pak."
Simon yang sudah berbalik, kembali lagi. Ia menatap
Aditya dengan senyum.
"Saya tahu, kamu orang baik. Ya, kamu berjanji untuk
mencari tahu perihal kematian. saya. Juga mengingatkan anakanak saya akan kemungkinan bahaya."
"Oh," Aditya tertegun. Tidak menyangka kasusnya
demikian berat. Jadi bukan soal utang-piutang.
"Jadi... jadi Bapak sudah mati, eh, meninggal?"
"Ya."
"Kalau Bapak sudah meninggal, kapan kita ketemunya?
Sebelum saya koma?"
"Pada saat kamu koma. Ah, sudahlah. Pasti kamu nggak
akan mengerti. Kalau itu merupakan rahasia alam, pastinya saya
juga nggak boleh bilang."
"Baiklah, Pak. Apa lagi info tentang Bapak? Orang
bernama Simon banyak."
"Saya pemilik Sim Farma, sebuah perusahaan farmasi cukup
besar. Kalau kamu cari di Google pasti dapat info lengkap. Saya
mati diracuni dua menantu saya. Saya takut mereka akan
melakukan hal yang sama pada anak-anak saya, istri mereka.
Kalau bisa, tolonglah supaya itu jangan sampai terjadi. Kalau
memang nggak bisa, mungkin sudah takdir. Saya nggak
nyalahin kamu."87
"Jadi itu janji saya pada Bapak?"
"Ya. Selamat tinggal. Terima kasih, Dit."
"Paaak..."
Simon sudah pergi.
Aditya sudah membuka mata selebar-lebarnya. Sudah
hilang kantuknya sama sekali. Ia bangkit pelan-pelan, lalu
mencari kertas dan bolpoin. Ditulisnya nama Simon Handoyo,
Sim Farmasi, dan kasusnya. Ia takut lupa.
Sesudah itu ia merenung. Bagaimana mungkin ia bisa
bertemu dengan Simon kalau orang itu sudah mati sementara ia
sendiri terbaring koma?
Sebelum mati atau kondisi sekarat, seseorang berada di
antara hidup dan mati. Simon pasti begitu pula. Sama seperti
dirinya. Bedanya, Simon mati sedang ia kembali hidup.
Menurut perhitungan Aditya, kemungkinan besar pertemuan
itu terjadi pada saat ia dan Simon berada dalam kondisi yang
sama.
Tengkuknya meremang. Bukan karena takut, tapi merasa
bahwa janji yang diucapkan pada saat seperti itu sungguh tidak
lazim. Seperti yang dikatakan Simon, ia tidak perlu
merealisasikan janji itu apalagi kalau tidak sanggup. Tidak ada
ikalan apa-apa. Tapi ia ingin.88
4 SISKA HARTATI adalah nama lengkap Siska yang tak banyak
diketahui teman-temannya. Sesungguhnya ia memang tak
punya banyak teman. Banyak yang mengatainya "kuper". Ia
tahu dirinya dijuluki seperti itu, tapi ia tidak merasa tersinggung
karena menyadari bah-wa julukan itu memang benar.
Selama ini ia selalu merasa ada sesuatu yang kurang beres
dengan dirinya. Entah apa. Yang pasti bukan berhubungan
dengan fisiknya atau kejiwaannya. Tapi nasibnya.
Untuk kesekian kalinya kembali ia jatuh hati pada pria
beristri. Kali ini dia adalah Aditya!
Yang terakhir, sebelum dengan Aditya, ia terlibat dengan
seorang pria yang ditemuinya sewaktu berada di poliklinik.
Namanya Bambang. Perkenalan ini berlanjut menjadi
pendekalan. Pada awalnya Bambang mengaku sebagai lajang.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siska percaya saja karena sudah lelah dengan nasibnya selama
ini. Ia juga merasa cocok dengan Bambang.
Kemudian Bambang kena penyakit demam berdarah dan
dirawat di RS Mulia Bakii. Siska rajin menjenguk dan
menemani kapan saja ia sempat dan bebas tugas. Tapi suatu
ketika datanglah penjenguk yang lain, yaitu istri dan anak
Bambang!
Ketika itu ia tidak berpapasan langsung dengan mereka,
tapi secara kebetulan saja melihat kedua orang itu masuk ke89
dalam kamar Bambang. Karena kamar yang dihuni Bambang
berisi dua orang, maka ia berpikir penjenguk itu pastinya
menemui pasien satunya lagi. Tapi ada perasaan tak enak yang
menahannya untuk segera memasuki kamar. Karena tempat
tidur Bambang berada dekat jendela kaca, yang biarpun
tertutup tapi gordennya terbuka, ia bisa melihat ke dalam.
Anak perempuan Bambang berteriak, "Papaaa...!" lalu
menubruk dan memeluk Bambang. Kemudian istrinya ganti
memeluk dan mencium. Jantung Siska serasa mau berhenti. Itu
adalah pemandangan yang jelas. Fakta berbicara lebih dari katakata.
Siska tak jadi masuk ke dalam kamar. Ia berjalan terus,
kembali ke bagiannya sendiri tempat ia bertugas dan merasa
beruntung karena tugasnya tidak di bagian tempat Bambang
dirawat. Meskipun hatinya hancur, tapi ia tabah. Sisa hari itu ia
tidak menemui Bambang. Ketika akhirnya Bambang
meneleponnya, ia mengatakan terus terang apa penyebabnya.
"Kita tak bisa lagi melanjutkan hubungan. Mas."
"Dengarkan dulu penjelaskanku, Sis. Kita harus bertemu
untuk berbicara."
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semua sudah
terpampang dengan jelas. Kau sudah membohongi aku."
"Tapi aku dengan istriku akan berpisah, Sis."
"Kau tidak mengatakan hal itu sebelumnya. Kau tidak
jujur. Kalau sejak awal aku tahu kau sudah berkeluarga, aku
tidak akan berhubungan denganmu. Jadi, sudahlah. Kita putus
saja. Kembalilah ke istri dan anakmu. Kasihani mereka. Jangan
khianati mereka."
"Aku harus menjelaskan."90
"Tidak perlu. Apa lagi yang mau dijelaskan? Apa pun yang
mau kaukatakan, takkan bisa mengubah lagi keputusanku. Aku
tidak mau dibohongi. Sekali berbohong, maka untuk
selanjutnya akan berbohong lagi. Sori, Mas. Aku sudah
kehilangan respek."
Lalu telepon ia putuskan. Ketika berbunyi lagi dan
mendapati nama Bambang di ponselnya, ia matikan. Tapi
Bambang sangat gigih. Sepanjang waktu, esok dan esoknya
lagi, ia terus berusaha menelepon. Sesudah itu mencarinya ke
asrama dan ke tempatnya bertugas. Siska marah dan
mengatakan tidak akan meladeni apa pun yang dilakukannya.
Perlu waktu bagi Siska untuk melepaskan diri dari kejaran
Bambang. Ia merasa lelah dan hancur. Di luar ia kelihatan tegar
dan kuat, tapi di dalam ia menangis.
Kegagalan hubungan seperti itu sudah kesekian kali. Tapi
sebelum dengan Bambang ia tak sampai telanjur jatuh hati.
Kalau ia tahu bahwa pria yang digaulinya itu sudah beristri,
maka ia tak pernah melanjulkan meskipun si pria itu sendiri
mengatakan cinta setengah mati kepadanya. Tapi Bambang
pintar menyembunyikan.
Sekarang dengan Aditya masalahnya lain. Ia sudah tahu
dari awal, dan karenanya menjaga dirinya baik-baik. Keledai
saja tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama untuk
kedua kali atau lebih. Dan ia manusia, bukan keledai.
Lagi pula dengan Aditya ia seperti bertepuk sebelah tangan.
Tidak boleh ada yang tahu karena bisa memalukan dirinya
sendiri. Itulah ekses dari merawat pasien yang itu-itu saja,
apalagi bila dia makhluk tampan.
Setelah Aditya sadar, ia jadi lebih mengenal pribadinya.
Sewaktu koma ia hanya mengenal fisiknya saja. Ternyata91
Aditya orang yang menyenangkan. Tapi ia sudah menyiapkan
benteng untuk menjaga hatinya.
Ia sempat berandai-andai, bila Aditya bertingkah seperti
Bambang misalnya, apakah ia akan runtuh? Ia yakin tidak akan
seperti itu, karena kelakuan yang demikian niscaya menandakan
Aditya bukanlah orang yang patut dihargai. Tentu Karen lebih
cantik dari dirinya. Tapi sering kali lelaki tidak melulu
mementingkan kecantikan bila memang ingin berselingkuh.
Kenyataan itu hanya menambah pesimisme Siska saja.
Mungkin ia ditakdirkan untuk menjomblo. Bila memang
demikian, itu lebih baik daripada hidup di neraka pengkhianatan. Sebuah neraka dengan kamuflase surga.
Siska merasa ringan. Tak ada beban yang menggelayuti.
Pasrah saja. Bila cinta tak bisa menjadi miliknya, tak masalah.
Selama ini bisa mengenal cinta saja rasanya sudah bagus. Cuma
cinta macam apa dulu. Ia bebas dan berhak memilih.
Melihat dan berbincang dengan Aditya, hatinya masih
dipenuhi getaran. Apalagi bila sempat bersinggungan. Tapi ia
bisa menikmati tanpa lupa diri. Setelah Aditya sembuh ia tentu
harus menjauh karena tak ada lagi pekerjaan untuknya. Ada
baiknya, tapi ada juga sedihnya. Satu sisi di hatinya mengatakan,
biarlah tak bisa memiliki asal masih bisa memandangi. Ada
benarnya, tapi lebih banyak salahnya. Untuk apa juga
memandangi kalau tak bisa memiliki? Itu hanya menyiksa diri.
*** Pada hari pertama Aditya pulih, Dokter Satria datang
berkunjung. Ia memberi selamat bukan hanya pada Aditya, tapi
pada semua orang, termasuk Siska. Ia merangkul Aditya dan92
menepuk-nepuk punggungnya. Lalu kejutan dialami Siska
karena ia juga kebagian rangkulan. Sesuatu yang tak
disangkanya.
"Karena kamu yang merawatnya selama ini," jelas Dokter
Satria, menanggapi keheranan Siska.
"Tapi Pak Adit sembuh karena daya tahannya sendiri,
Dok."
"Apa pun itu, kamu punya andil, Sis."
"Benar sekali, Dok," Aditya dan Karen membenarkan.
Siska jadi tersipu. Ia menganggap, orang-orang hanya
sembarang memuji saja untuk menyenangkan hatinya.
"Saya sudah siap kembali ke rumah sakit, Dok. Sebentar
saya bisa ikut," kata Siska.
"Apa tidak periu dipantau sehari lagi, Dok?" tanya Karen.
"Besok di-scan MRI lagi, Bu, untuk memastikan kondisi
otak Pak Adit," jawab Dokter Satria sambil menoleh kepada
Siska. Ia memahami dalam situasi sekarang ketika Aditya tidak
perlu lagi dirawat membuat Siska merasa canggung di rumah
itu. Aditya tidak berbicara. Ia hanya mengamati Siska.
Sebenarnya ia masih ingin berbincang dengan Siska, tapi dalam
situasi sekarang tidak mungkin lagi bicara berdua saja.
Siska hanya memandang sekilas kepada Aditya. Ketika
menyadari pandangan Aditya kepadanya, ia menjadi gugup.
Buru-buru mengalihkan pandang kepada Dokter Satria.
"Bagaimana, Dok?" tanyanya.
"Tadi saya sudah periksa Pak Adit. Kondisinya baik-baik
saja. Dia perlu makan lebih banyak dan bergizi. Dan tentu saja93
istirahat. Apakah Pak Adit sendiri masih ingin ditemani
perawat?"
Aditya terkejut dengan pertanyaan yang tak disangka itu.
Ia tahu bila ia menjawab 'Ya', maka Siska harus tinggal di
rumahnya paling tidak sampai besok pada saat ia di-scan MRI.
Tapi sepertinya Siska sudah ingin pulang.
Aditya tersenyum, lalu mengatakan, "Wah, saya sudah
merasa fit dan segar. Nggak perlulah ditemani Siska lagi. Kepala
ini juga rasanya baik-baik saja."
Aditya pura-pura tidak melihat tanda yang diberikan
Karen.
"Saya sih masih khawatir kalau-kalau nanti dia tidur terus
kelamaan lagi, Dok," Karen rnenyuarakan kerisauannya.
Dokter Satria tertawa. "Saya maklum kekhawatiran Ibu.
Tapi saya yakin tidak akan terjadi."
"Setelah hasil scan MRI keluar baru saya bisa lega, Dok,"
Karen masih berusaha.
Dokter Satria menatap Siska. "Bagaimana, Sis? Terserah
kamulah."
Sebelum Siska menjawab, Karen berkata dengan nada
memohon, "Satu hari lagi saja ya, Sis?"
Sementara Aditya diam saja meskipun ia ingin tahu apa
yang akan dikatakan Siska. Sesungguhnya ia khawatir juga
kalau Siska berkeras menolak. Jangan-jangan ada sesuatu yang
tidak disukai Siska dari dirinya, atau pribadinya.
Tapi Siska tidak lama-lama berpikir. Ia tidak sampai hati
menolak. Permintaan Karen itu karena cinta dan perhatiannya
kepada Aditya. Bila ia menolak terus, akan menimbulkan
macam-macam persangkaan. Maka ia mengangguk.
"Baiklah, Bu," katanya.94
"Terima kasih, Sis," kata Karen.
Mira datang bergabung memeluk Siska. "Sisa hari ini
gunakan untuk beristirahat, Sis. Semalam kamu kan kurang
tidur. Pulang ke rumah sakit berarti di sana kerja dong."
"Mungkin kamarnya pindah saja ya, Sis. Di situ tentu
nggak nyaman. Kegedean dan suasana nggak nyaman," kata
Karen. "Maklum ada tempat tidur besar yang kosong. Nggak
enak dilihatnya. Pindah saja ke kamar tamu. Nanti saya suruh Bi
Karsih membersihkan."
"Ah, kan cuma semalam saja, Bu. Biar di situ lagi juga
nggak apa-apa. Udah biasa juga."
Aditya ingin mengatakan, "Tapi dulu di situ ada aku.
Sekarang kosong..." Cuma gurau saja, tapi ia merasa itu tidak
pantas diucapkan di depan Karen.
Aditya hanya mengatakan, "Terima kasih, Sis. Nanti bila
ada sesuatu yang nggak beres, saya akan kasih tahu."
Siska mengangguk. "Baik."
Sesaat Karen mengamati kcdua orang itu silih berganti.
Tapi hanya sekejap. Tak ada yang memperhatikan.
Ketika Yuni mengetahui perkembangannya, ia menyambut
dengan antusias.
"Saya temenin ya, Suster Siska? Nanti kita bisa ngobrol...."
Siska tak segera menjawab. Ia menyukai Yuni, tapi
sepertinya kurang pantas kalau belum mendapat persetujuan
dari Karen.
"Boleh ya, Ma?" tanya Yuni.
"Boleh aja. Tapi Suster Siska-nya mau nggak?" kata Karen.95
Sebelum Siska menjawab, Aditya berkata, "Tapi
ranjangnya mesti dibersihkan dulu, Ma. Kasurnya dibalik dan
seprai diganti. Kan di situ bekas aku."
"Ya, benar juga. Sebentar kusuruh Bi Karsih membersihkan."
Karen bergegas pergi. Lalu Yuni menatap Siska.
"Suster Siska mau, kan? Ini malam terakhir Suster di sini.
Besok kita nggak ketemu lagi."
"Tentu saja saya mau, Yuni. Masa nggak sih."
Aditya hanya tersenyum. Ia bergegas menyusul Karen. Di
kamarnya, tempat ia semula tergolek, ia mengamati bagian
ranjang tempat tadinya ia berada. Kalau nanti Yuni tidur
bersama Siska, di manakah mereka akan mengambil tempat,
apakah Siska tetap di dipannya sementara Yuni di ranjang besar,
atau kedua-duanya di ranjang besar? Yang paling masuk akal
adalah keduanya seranjang di ranjang besar. Bila itu terjadi, di
bagian manakah masing-masing mengambil posisi? Kalau Yuni
di bagian tempatnya dulu, ia merasa baik-baik saja, tapi
bagaimana kalau Siska di situ karena Yuni lebih dulu
mengambil posisi di bagian sisi satunya lagi? Ia tidak enak
kepada Siska.
Meskipun kasur dibalik dan seprai diganti, siapa tahu kalau
masih ada bau-bau tidak enak. Misalnya bau pesing? Semula di
bawah tubuhnya yang koma dipasangi perlak atau alas karet
supaya tidak ada yang bocor ke kasur, jadi hampir pasti tak
sampai mengotori, tapi tetap saja ia merasa kurang nyaman.
Paling tidak kasur itu harus dijemur atau diangin-anginkan
setelah dibersihkan.
Entah kenapa ia merisaukan hal itu. Kasihan atau perhatian?96
Ia ingin membisiki Yuni tentang hal itu. Ingin membujuknya supaya mengambil tempat di bekas tempatnya tidur
dulu. Tapi ia khawatir Yuni memberitahu Karen bahwa ia
membujuk seperti itu. Memang ia bisa saja memberi penjelasan
kepada Karen. Tapi ia khawatir persangkaan Karen bisa negatif.
Mungkin pikir Karen, apa pula urusannya sampai memberi
perhatian seperti itu? Bisakah Karen mengerti bahwa perhatian
yang diberikannya merupakan wujud dari rasa terima kasihnya
kepada Siska?
Ia belum menceritakan masalah dengan Frans kepada
Karen. Ia khawatir akan reaksi Karen yang tampak tenang tapi
bisa temperamental. Bisa saja Karen langsung mengkonfrontir
Frans dengan membawa nama Siska. Apalagi kalau ia
menyampaikan dugaan perihal siapa yang memukul kepalanya
dan siapa yang mengunci tabung oksigen sewaktu di rumah
sakit. Karen bisa marah sekali. Padahal semua itu masih berupa
dugaan belaka. Tak ada bukti atau saksi.
Ia juga tak ingin membawa-bawa nama Siska. Ia takut itu
membahayakan keselamatan Siska. Seseorang yang sudah
pernah berbuat jahat, tak akan ragu untuk berbuat jahat lagi.
Hati nuraninya sudah tumpul. Jadi tentang masalah Frans itu ia
ingin menunda dulu sampai bisa bertemu dengan Frans dan
melihat bagaimana sikapnya. Juga mengenai proyek program
software itu.
Pada hari itu Karen sengaja cuti supaya bisa bersama Aditya
pada hari pertama ia sadar. Ia mengamati semua gerak-gerik dan
kelakuan Aditya kalau-kalau ada yang menyimpang dari
biasanya. Dokter Satria juga berpesan demikian. Siska pun
meiakukan hal yang sama. Tapi ia tak bisa berlama-lama di
rumah itu. Maka Mira dan Yuni dipesan Karen untuk ikut97
mengamati Aditya tanpa membuat yang bersangkutan sadar
bahwa dirinya diamati.
Sejauh ini Aditya tampak baik-baik saja. Sama seperti dulu
ketika belum sakit. Ia bahkan memutuskan untuk menelepon
bosnya, Irawan, yang akan jadi orang pertama yang diberitahu.
Baru kemudian ia akan memberitahu adiknya, Rika. Tapi ia
tidak akan memberitahu Frans dan kedua temannya. Yang pasti
rekan-rekan di kantornya tentu akan diberitahu oleh Irawan.
Pada mulanya Irawan mengira ia dicandai orang yang
mengaku dirinya Aditya. Tapi setelah Karen ikut bicara dan


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memastikan, baruiah ia yakin. Ketawanya kedengaran keras
hingga Karen harus menjauhkan telepon dari telinganya.
"Ho-ho-ho " serunya seperti Santa Claus. "Anak-anak!
Adit sudah bangun nih!"
Ia berseru kepada para karyawan yang sering disebutnya
"anak-anak", padahal ia belum terlalu tua, belum sampai lima
puluh.
"Waduh, selamat ya, Dit! Selamat! Jadi tidurnya panjang
sekali, ya? Nanti cerita pergi ke mana saja, ya?"
Aditya merasa senang mendengar ocehan Irawan, pertanda
hatinya senang.
Setelah itu, tak lama kemudian, barulah ketiga sekawan
meneleponnya bergantian. Yang pertama Vera, lalu Hendi,
terakhir Frans. Mereka sama-sama mengucapkan selamat.
Manya Frans yang bicara agak panjang.
Suara Frans kedengaran biasa-biasa saja, seolah tak pernah
ada masalah. Entah bagaimana ekspresinya. Sebenarnya Aditya
ingin bertemu mereka secara mendadak tanpa pemberitahuan
iebih dulu. Seperti apakah kagetnya? Tapi ia tak enak kepada
Irawan. Sebagai majikan ia layak diberitahu paling awal.98
"Jadi kapan kau masuk kantor?" tanya Frans.
"Secepatnya."
"Sebaiknya jangan buru-buru. Istirahatlah dulu."
"Ya. Lihat nanti saja."
Dalam hati Aditya berpikir, Frans tentu ingin ia beristirahat selama mungkin. Kalau bisa selamanya.
"Takutnya kau nanti kolaps lagi. Bisa saja itu terjadi," kata
Frans.
"Ya, tentu."
"Siska masih ada atau sudah pulang?"
"Sudah pulang."
"Sayang, ya."
"Kenapa?"
"Pengin ketemu aja. Aku sudah kenal dia waktu
membesukmu."
"Ya. Katanya begitu."
"Dia cerita apa tentang aku?"
"Nggak cerita apa-apa. Apa yang mau diceritain?"
Frans diam sejenak. Aditya juga membiarkan. Ia
menunggu.
"Ya sudah kalau begitu."
"Kalau kau berniat mendekatinya, mendingan jangan. Dia
sudah punya tunangan. Seorang dokter."
"Ah, masa iya. Kok dia nggak bilang?"
"Emangnya dia harus cerita pada semua orang yang baru
dikenalnya?"
"Sama kau juga baru kenal, kan? Hahaha... komanya jangan
dihitung dong."99
"Aku tahu dari Dokter Satria."
Frans diam sejenak, lalu bicara lagi, "Dokter itu kan sudah
tua."
"Bukan sama dia. Dia yang bilang."
"Oh, baiklah. Jadi kapan kau masuk kantor?"
"Belum tahu. Pak Trawan menyuruhku istirahat dulu. Tapi
selama koma kan istirahat juga, ya?" Aditya tertawa.
"Ah, nggak dong. Koma itu sakit."
"Gimana dengan proyek kita bersama tempo hari?"
"Wah, masih ingat sama proyek itu? Sudah beres tuh."
"Siapa yang ngerjain bagianku?"
"Dikeroyok bertiga."
"Sudah dapat bonusnya?"
"Sudah dong. Sayang kau nggak dapat, ya."
"Nggak apa-apa. Bonusku dibawa lari oleh orang yang
merampok tasku."
Frans terdiam. Lalu berkata pelan, "Gimana kalau aku ajak
teman-teman menyisihkan bagian masing-masing untukmu?"
"Ah, nggak usah. Terima kasih. Aku nggak memasalahkan
bonus. Uang nggak masalah, tapi kesembuhan yang penting."
"Ya, tentu saja. Itu benar. Kami senang kau sudah sembuh,
Dit. Selamat kembali, ya."
Setelah pembicaraan berakhir, Aditya termenung.
Pembicaraan lewat telepon tidak menghasilkan apa-apa, karena
tidak bisa melihat ekspresi masing-masing. Tapi ada saat-saat di
mana Frans diam agak lama seolah memikirkan jawaban.
Mungkin itu bisa dijadikan indikasi.100
Tadi si Frans nanyain kamu, Sis," Aditya memberitahu
Siska.
"Oh ya?" Siska sadar untuk tidak bertanya lebih banyak,
karena Karen belum tahu.
"Iya. Saya bilang saja kamu sudah pulang."
"Kau sudah dengar cerita bagaimana dia ninggalin
hapenya, Pa?" tanya Karen.
"Ya. Mama yang cerita." Aditya menunjuk Mira.
"Jangan-jangan kalau dikasih tahu Siska masih di sini, dia
akan segera datang," kata Mira.
"Aku juga bilang, Siska sudah punya tunangan dokter,"
kata Aditya lagi.
"Bagus," komentar Mira.
"Betul kau sudah punya tunangan, Sis?" tanya Karen.
Siska hanya tersenyum tanpa menjawab.
"Pasti dong. Gadis secantik dan sebaik ini masa nggak
punya tunangan," kata Mira.
Siska kembali tersenyum, tapi menyimpan rapat-rapat
perasaan aslinya. Barangkali di depan Karen ada baiknya
mengaku saja bahwa ia sudah punya tunangan. Kadang-kadang
perasaannya tidak nyaman melihat talapan Karen bila Aditya
bicara kepadanya. Apakah Karen cemburu?
Malam itu mereka makan bersama dengan menyantap
makanan yang dipesan dari restoran. Bukan hanya untuk
merayakan kesembuhan Aditya, tapi juga sebagai ungkapan
terima kasih kepada Siska.
"Untuk mantan pasien dan perawatnya!" kata Karen sambil
mengangkat gelas minumnya tinggi-tinggi.101
Siska tersipu tapi mengikuti gaya Karen. Juga yang lain.
Mira dan Yuni terbahak-bahak. Siska tidak berani memandang
Aditya. Ia sangat takut kalau-kalau ada yang terbaca dari
matanya. Bukankah Mira sudah terbukti mempunyai
pengamatan yang awas ketika dia menyatakan bahwa Frans
menyukainya? Ia tidak ingin menyakiti hati siapa-siapa,
termasuk hatinya sendiri.
Keluarga Aditya sangat baik. Ia sudah mendapat tambahan
pengalaman yang berharga, bukan dalam hal merawat pasien,
tapi dalam interaksi dengan sesama, karena ia sangat kurang
dalam hal itu.
Sebelum menyantap hidangan, Aditya angkat bicara.
"Kepada Siska, kami sekeluarga, khususnya saya, ingin
mengucapkan terima kasih atas jasa-jasamu dan dedikasimu
dalam merawat saya. Orang lain mungkin berpikir, apa
susahnya merawat orang koma yang diam saja nggak cerewet
minta ini-itu? Padahal justru itulah yang susah, karena orang
sakit yang bisa bicara itu bisa mengatakan apa yang dikehendaki
dan sakitnya gimana. Jadi penanganannya pun bisa diatur. Tapi
orang yang diam saja tak bisa bergerak sedikit pun itu
menyulitkan. Dia nggak bisa disuruh miring ke kiri atau miring
ke kanan kalau sedang dibersihkan misalnya. Padahal badanku
ini berat..."
Yuni tertawa, memotong ucapan ayahnya, "Papa diganjal
guling kok!"
Semua tertawa, termasuk Siska.
"Kamu suka bantuin Suster Siska nggak?" tanya Aditya.
"Suka dong, Pa!"
"Oh ya? Betul itu, Suster Siska?"102
"Betul sekali. Semua orang membantu saya. Sebenarnya
saya nggak kerja sendiri kok."
"Tapi sekali-sekali aja kok," kata Yuni. "Misalnya waktu
Papa dicukurin dan dikeramasin, Oma juga ikut megangin
kepala Papa. Mama juga ikutan."
"Wah, aku dikeroyok ramai-ramai dong."
"Ya. Papa kayak boneka gede."
Mereka tertawa lagi. Suasana ceria sekali. Siska merasa
senang. Sepertinya ia berada di tengah keluarga sendiri.
Mereka makan diselingi obrolan yang membangkitkan
tawa.
"Nanti aku boleh dong sesekali mengunjungi Suster Siska
di asrama, ya?" tanya Yuni dengan pandang berkeliling kepada
ayahnya, ibunya, dan kepada Siska sendiri.
"Tentu saja boleh," sahut Siska. "Asal janjian dulu. Siapa
tahu saya lagi kerja."
"Oma juga mau ikut," kata Mira.
Aditya dan Karen hanya tersenyum.
"Nanti minta nomor hapenya, Sus Siska," kata Karen. "Biar
gampang dihubungi."
"Ya."
Yuni sendiri sudah memiliki nomor yang dimaksud. Sejak
awal akrab dengan Siska ia sudah memintanya. Zaman sekarang
ponsel sudah menjadi alat penting untuk berhubungan. Yuni
sangat paham akan hal itu.
Sebenarnya Siska ingin sekali bicara juga, bahwa ia pun
berterima kasih karena merasa diperlakukan seperti anggota
keluarga, bukan sebagai pekerja yang berkewajiban melakukan
tugas sebaik-baiknya. Tapi ia malu mengatakannya. Mungkin103
ia dianggap berlebihan karena mereka sendiri menganggapnya
sebagai kewajaran saja.
Setelah itu Aditya mencari kesempatan untuk bicara berdua
dengan Yuni.
"Yuni, nanti kamu tidur sekamar dengan Sus Siska, kan?"
"Iya, Pa. Emangnya kenapa?'
"Kamu tidur di ranjang gede, kan?"
"Iya dong. Masa di dipannya Sus Siska. Mana muat
berdua."
"Oke, nggak apa-apa. Tapi kamu ambil tempat di bagian
Papa tadinya tidur, ya?"
Yuni memicingkan sebelah matanya. "Emangnya kenapa,
Pa?"
Pertanyaan itu sudah diduga oleh Aditya. "Nggak apa-apa
sih. Cuma baiknya kamu aja di situ karena kamu anak Papa."
Tiba-tiba Yuni mengikik.
"Apanya yang lucu?"
"Loh, Papa kan udah nggak ada di situ?"
"Tentu aja nggak, tapi kan ada bekasnya."
"Bekas ompol, Pa?"
"Hus... jangan keras-keras gitu. Papa nggak pernah
ngompol kok."
"Iya deh, Pa. Tapi aku mau lihat dulu, Sus Siska nanti ambil
tempat yang mana. Biar dia duluan yang milih."
"Ah, jangan gitu, Yun. Kamu main-main deh. Papa serius
nih."
"Iya deh, Pa."104
Tak diduga Aditya, Karen sempat melihat perbincangan
itu. Ia menanyakan kepada Yuni. Karena Yuni tidak merasa
dilarang oleh ayahnya, ia tidak keberatan menceritakan.
Aditya terkejut waktu malamnya ditanyai olch Karen
tentang hal itu. Tapi kemudian menenangkan diri. Tidak ada
yang salah untuk disembunyikan. Ia bercerita terus terang
tentang rasa malunya.
"Oh, begitu. Emangnya kau pernah ngompol?"
"Nggak dong. Kan pakai kateter. Entah kalau tumpah isi
botolnya. Yang tahu kan cuma dia."
"Biarpun tumpah nggak apa-apa. Ada karetnya yang
menahan tembus ke kasur. Yang diganti cuma alas kain di atas
karet saja. Tiap hari alas itu diganti."
"Biarpun begitu, rasanya nggak enak saja, Ma. Kasihan
dia."
Dalam hati Karen berkata, "Kalau kepada Yuni apa kau
nggak kasihan?", tapi ia khawatir menyinggung perasaan
Aditya. Tak baik mengajak berdebat orang yang baru sembuh.
Sebagai orang yang selalu mengutamakan logika, Karen
jadi sulit merasa puas untuk penjelasan yang diterimanya. Dia
menganggap masih saja ada pertanyaan, "Kenapa?" di balik
penjelasan itu. Padahal ia sadar sebaiknya diterima saja tanpa
perlu bertanya lagi. Tapi ia tetap saja kesulitan menerimanya.
Kadang-kadang ia merasa jengkel terhadap dirinya sendiri.
Apakah itu berarti ia sulit percaya pada orang lain? Ataukah ia
memiliki sensitivitas yang terlalu tinggi?
Misalnya pertanyaan yang mengganggu perasaan, sejak
kapan Aditya jadi orang perasa, yang meributkan masalah sepele
seperti soal tidur di sisi ranjang tertentu itu? Apakah itu khusus
terhadap Siska saja? Dan kalau perawatnya tidak berpenampilan105
seperti Siska, misalnya tua, jelek, gemuk, apakah ia juga akan
menaruh perhatian seperti itu?
Apakah hal itu disebabkan hanya karena Aditya merasa
terkesan akan perawatan yang diberikan Siska terhadapnya? Bila
benar, bagaimana mungkin, karena selama dalam perawatan ia
tidak tahu dan tidak merasa apa-apa? Perkenalannya dengan
Siska hanya terjadi setelah ia sadar dan itu berlangsung hanya
beberapa jam saja.
Tapi Karen tahu, ketertarikan seseorang terhadap orang
lain bisa terjadi seketika, bahkan dalam hitungan detik. Tidak
perlu menunggu waktu lama. Pemahaman seperti ini menjadi
alasan kenapa di benaknya berputar banyak hal.
Aditya sadar dari koma pada saat sedang berdua dengan
Siska. Tak ada orang lain yang menjadi saksi. Apakah yang
diceritakannya sesuai dengan kejadian saat itu? Benarkah Aditya
sadar pada saat yang dikatakannya dan bukan sebelumnya? Bisa
saja ia sudah sadar lebih dulu lalu berpura-pura masih koma,
kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati
Siska dengan leluasa? Mungkin saja ada persekongkolan di
antara mereka berdua. Di waktu pagi dan siang pura-pura
koma, lalu malamnya bangun. Apa yang mereka lakukan
berdua saja di dalam kamar, tidak ada yang tahu.
Karen sadar bahwa prasangka seperti itu sangat buruk. Tapi
susah untuk menahan pikirannya agar tidak melantur ke manamana meskipun dasarnya adalah logika dan fakta.
Sejak awal Siska muncul, insting Karen sudah bekerja.
Insting dari orang yang merasa terancam akan disaingi. Bahkan
ia sempat merasa tidak tega kalau tubuh Aditya disentuh oleh
Siska. Bayangkan, tubuh Aditya ditelanjangi lalu dimandikan.
Tak ada rahasia dari tubuh Aditya bagi Siska. Tentu dia106
melihatnya dari posisi yang profesional, tapi semestinya
perasaan itu tetap ada. Bukan hanya perawat, dokter juga sama.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya ia ingin minta kepada Dokter Satria agar Siska
diganti dengan perawat lain saja, yang lebih tua dan tentu saja
jelek di segi fisiknya. Tapi ia malu mengatakannya. Ia bisa
ditertawakan dan dianggap cemburu berlebihan. Bukankah
suaminya itu koma, tidak tahu apa-apa? Apa yang harus
dicemburui?
Ia sudah berpesan kepada Siska agar segera memberitahu
bila Aditya sadar, tak peduli kapan waktunya. Ia sangat ingin
jadi orang pertama yang dilihat Aditya bila sadar. Tapi apa yang
terjadi di luar dugaan. Sesungguhnya memang terjadi
kongkalikong. Kata Aditya, ia minta Siska tidak segera
membangunkannya karena ingin memberikan surprise dengan
cara mendatanginya sendiri. Padahal cara itu sama sekali tidak
disukainya. Ia ingin melihat Aditya sadar dalam keadaan masih
lemah dan membutuhkan bantuan. Kalau pun tidak bisa
menjadi orang pertama yang melihat Aditya sadar, biarlah ia
yang mendampingi dan membantunya, memberi penjelasan
dan segala sesuatunya. Siska hanya mendampingi saja.
Tapi hal itu tidak terjadi. Siska melanggar pesannya. Untuk
membela dan melindungi Siska, Aditya pun mengatakan bahwa
hal itu merupakan kehendaknya, meskipun Siska sudah
memberitahu dia. Tentu saja Aditya tidak berterus terang
bahwa ia berkata begitu untuk membela Siska, tapi feeling Karen
berkata begitu.
Dari keadaan itu saja pikiran Karen mengembara lagi.
Menurut Aditya, ia berlatih jalan dulu dengan bantuan Siska.
Nah, apa saja yang dilakukan selain berlatih jalan? Yang pasti
mereka mengobrol, cerita panjang-lebar. Siska menceritakan107
berbagai hal yang ingin diketahui Aditya. Siska telah
mengambil porsinya.
Tapi Karen bisa menahan diri. Kegembiraannya karena
Aditya telah pulih bisa mengalahkan prasangka. Ia khawatir
kalau belum apa-apa sudah meributkan soal itu maka Aditya
bisa ambruk lagi. Lalu semua orang akan menyalahkannya. Dan
Siska kembali merawat Aditya. Itu yang tak diinginkannya.
Setelah berjalan beberapa waktu dan Aditya tampak
semakin pulih tanpa meninggalkan tanda sedikit pun sebagai
mantan pasien koma, kembali pikiran Karen terusik. la
mengamati kedua orang itu dengan saksama. Terutama pada
saat keduanya sedang dalam satu ruangan. Meskipun mereka
tidak hanya berdua, tapi ia ingin tahu bagaimana sorot mata
yang satu terhadap yang lain.
Ia memang tidak menemukan apa-apa. Kedua orang itu
jarang bertatapan. Kalau melihat pun sepintas lalu saja.
Bukankah itu juga termasuk kejanggalan? Sepertinya Siska lebih
suka mengalihkan pandangnya kepada yang lain. Demikian
pula Aditya.
Karen merasa sendiri, jangan-jangan ia sudah jadi paranoid.
Ia memutuskan untuk berbicara dengan Aditya sambil
mengingatkan diri untuk berhati-hati dan menjaga katakatanya. Ia ingin melegakan perasaannya, tapi tak ingin
kehilangan Aditya untuk kedua kalinya.
Malam itu mereka bercinta untuk pertama kalinya setelah
Aditya sadar dari koma. Aditya mengakui, ia tidak lagi merasa
ngilu setelah lama dikateter. Karen menyambut dengan senang.
Setelah itu barulah Karen memulai pembicaraan.
"Kau nggak ngantuk, kan?"
"Nggak. Kenapa?"108
"Apa betul Siska sudah punya tunangan dokter?"
Aditya tak segera menjawab. Pikirannya bekerja lebih dulu.
"Kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu?"
"Soalnya waktu kau ngomong begitu tampaknya dia
tertegun sejenak, baru kemudian membenarkan. Nggak
spontan gitu."
"Hanya karena itu?"
"Aku pikir, kalau benar dia punya tunangan, masa nggak
pernah sekalipun tunangannya itu datang menjenguknya?"
"Bukankah kau bekerja hampir seharian? Mana kau tahu
kalau dia datang di waktu pagi?"
"Mama nggak cerita. Ayolah, benar nggak sih?"
Firasat Aditya mengatakan, bahwa ada sesuatu yang tidak
menyenangkan di balik pertanyaan itu. Kalau nanti Karen
menanyai Siska lalu jawabannya tidak sinkron, maka ia bisa
dicurigai.
"Ya, terus terang aku nggak tahu apakah dia sudah punya
tunangan atau pacar. Itu cuma guyonanku saja. Maksudku
supaya dia jangan diganggu orang. Katanya si Frans pernah
mengganggu."
"Tapi kupikir omonganmu itu bisa menyinggung
perasaannya. Siapa tahu dia baru putus, patah hati misalnya."
"Oh, bisa begitu ya?" Aditya terkejut. "Kalau begitu, besok
aku akan minta maaf."
"Sudahlah. Tak perlu. Tapi boleh aku tahu, Pa. Pada malam
itu kalian berdua tentu sempat ngobrol lama, ya? Apa saja yang
diobrolkan?"109
"Bukankah aku sudah cerita tentang bagaimana aku purapura masih koma padahal sudah sadar, lalu dia mencurigai?
Kemudian perutku berbunyi..."
"Ya, aku masih ingat. Tapi kau tak cerita apa yang
diobrolkan."
Aditya berpikir sejenak. Sesungguhnya cerita tentang
kelakuan Frans itu belum ia sampaikan. Ia sadar sekarang, cerita
yang disembunyikan bisa menjadi bumerang untuknya. Maksud
baik belum tentu bisa menjadi baik. Tapi ia sungguh tak
menyangka bahwa Karen mencemburui Siska. Ya, apa lagi
makna kecerewetan Karen itu kalau bukan rasa cemburu?
"Baiklah. Aku akan bercerita tentang sesuatu. Tapi sesudah
itu kita diskusikan baik-baik. Jangan buru-buru berburuk
sangka."
Karen bersiap untuk menghadapi badai. Apakah
prasangkanya memang memiliki dasar? Tapi ia tidak
menyangka bahwa cerita itu perihal kelakuan Frans yang
tampaknya akan melakukan sesuatu terhadap kantong infus.
"Kenapa dia tidak memberitahu aku tentang hal itu?
Harusnya dia segera beritahu, jangan menunggu lama-lama.
Jadinya kan kita bisa berjaga-jaga," sesal Karen.
"Masalahnya dia belum tahu pasti. Dia hanya menduga.
Jadi dia khawatir tanpa bukti nggak dipercaya. Frans itu teman
kita, sedang dia hanya pekerja yang digaji. Takutnya disangka
mengada-ada. Tapi bukan berarti dia tetap mendiamkan. Dia
menunggu saat yang baik saja. Ketika aku sadar, maka dia yakin
sebaiknya memberitahu aku saja. Lalu selanjutnya aku yang
memberitahukanmu. Tapi aku masih pikir-pikir, karena aku
takut juga kau langsung mengkonfrontir si Frans."110
Sekarang Karen tidak lagi menganggap Aditya membela
Siska. Ia teringat pada kehebohan yang terjadi sewaktu Aditya
masih berada di rumah sakit, ketika perawat mendapati tabung
oksigen terkunci tanpa jelas siapa pelakunya. Tentu Aditya tidak
tahu hal itu. Ia memang tidak berniat menceritakan, setidaknya
untuk sementara, karena takut mengejutkan Aditya. Tapi
sekarang tidak lagi jadi masalah.
Aditya termangu mendengar cerita perihal tabung oksigen
itu. Bukankah rasanya dia seperti bermimpi tentang kejadian
itu? Seperti halusinasi dari pikiran yang membayangkan hal-hal
yang tidak dia alami. Berbeda dengan mimpi tentang Simon
yang benar-benar mimpi.
"Ketika itu pun Frans ketinggalan hapenya di kamar. Dia
baru sadar ketika kami berempat ada di kantin. Lalu dia pergi
sendiri, kembali ke kamar, untuk mengambil hapenya. Pada saat
itu tak ada orang lain di kamar. Kau sendirian. Ranjang sebelah
kosong. Pintu nggak dikunci. Saat itu jam besuk. Tentu saja
aku nggak nyangka dia yang melakukan itu. Bisa saja orang lain
masuk. Tapi siapa yang mau berbuat begitu? Perawat pasti
nggak mungkin. Orang lain nggak mengenalmu..."
"Jadi kau nyangka dia pelakunya?"
"Siapa lagi, Pa? Dua kali modusnya sama. Ketinggalan
hape."
"Tapi itu juga sama seperti apa yang dialami Siska. Nggak
ada bukti dan saksi. Kita hanya curiga saja. Sama seperti
kecurigaanku tentang siapa yang memukulku di tempat parkir."
"Dia jugakah menurutmu?"
"Ya."
"Ah, benar-benar menjengkelkan. Andai kata dia ingin
menyingkirkanmu, motifnya apa?"111
"Data dari proyek yang kubuat."
"Sebegitu berharganyakah dibanding nyawa seseorang?"
"Mungkin berharga buat mereka."
"Mereka? Bukan hanya Frans seorang?"
"Entah. Aku belum pasti juga. Semua kan hanya dugaan
saja. Tapi kalau Frans menampilkan hasil kerjaku untuk diakui
sebagai hasil pekerjaannya, apakah Hendi dan Vera akan
percaya?"
"Wah, sungguh mengerikan kalau itu memang benar.
Lantas bagaimana kau akan bersikap terhadap mereka?"
"Tentu saja pura-pura nggak tahu. Masa aku main tuduh
hanya berdasarkan dugaan saja?"
Karen merenung. Aditya memeluknya.
"Sudah. Jangan risau. Yang penting aku sudah sehat
kembali."
"Tapi kalau dugaan itu benar, bukankah mereka bisa
mencoba lagi?"
"Aku akan berhati-hati."
"Jauhi mereka, Pa. Jangan mau diajak ke mana-mana atau
diberi makanan dan minuman."
"Kaupikir aku akan diracuni?"
"Siapa tahu? Kau harus waspada terhadap orang yang sudah
kita curigai. Biarpun dugaan kita bisa saja salah, tapi lebih baik
jaga-jaga."
"Kau benar."
"Apa kauceritakan soal itu kepada Siska?"
"Tentu saja tidak. Tak sampai sejauh itu."112
"Pikir-pikir dia berjasa ya, Pa. Kalau dia tidak bertindak
sigap dengan cepat mengganti infusmu biarpun nggak yakin,
mungkin saja bisa terlambat. Kalau dia masa bodoh, misalnya,"
Karen mengakui.
"Ya. Jadi karena itulah aku nggak tega kalau dia nanti tidur
di bekas tempatku itu. Kau ngerti sekarang, kan?" kata Aditya
lega.
"Ya. Maaf, aku cerewet."
"Bukan cerewet. Tapi cemburu, kan?"
Karen mencubit Aditya. Mereka bercanda, bergumul, dan
kembali bercinta. Lalu sama-sama jatuh tertidur.
Kembali Aditya bermimpi ketemu Simon. Dia hanya
tersenyum. "Ingat-ingat saya ya, Dit. Nama saya Simon
Handoyo...Simon Handoyo...Simon Handoyo..."
Ketika terbangun bibir Aditya menggumamkan kata-kata
itu. Simon Handoyo...113
5 ESOKNYA, Karen mengantar Aditya ke rumah sakit untuk
melakukan tes MRI. Bersama mereka ikut serta Siska yang akan
kembali ke tempatnya bekerja. Untuk itu Karen memperpanjang cutinya sehari. Semula Aditya berniat pergi dengan
mengendarai mobilnya sendiri bersama Siska, tapi Karen tidak
mengizinkan. Ia melarang Aditya menyetir sebelum yakin akan
kon-disinya. Biarpun ada Siska yang mendampingi, tapi yang
mengemudi tetap Aditya. Kalau terjadi apa-apa pada Aditya saat
mengemudi, sudah pasti Siska tak bisa cepat menolong.
Siska menyetujui pendapat Karen, hingga Aditya tak bisa
berkeras dengan keinginannya meskipun ia menyatakan dirinya
merasa sehat dan ingin mencoba kemampuannya.
"Mencoba bukan dengan cara menempuh risiko yang
berbahaya," kata Karen. "Kita sudah seharusnya bersyukur
dengan kesembuhan ini. Jangan dipertaruhkan lagi. Kelak kalau
kau berniat nyetir harus didampingi dulu lho. Kayak orang baru
belajar."
"Aduh, masa sampai seperti itu?"
"Iya," kata Karen tegas.
"Biarpun hasil tesnya bagus?"
"Lihat saja apa kata dokter."
Meskipun di mulut Aditya protes, tapi sesungguhnya ia
menyadari kebenaran pendapat Karen. Sekarang nyawanya114
sudah kembali. Ia harus lebih berhati-hati menjaga dan
memperlahankan. Kemungkinan bila sampai terjadi lagi, maka
nyawanya benar-benar akan pergi tak lagi kembali.
Di depan gedung asrama perawat, Siska turun duluan. la
harus membawa kopernya dulu ke kamarnya, baru berangkat ke
rumah sakit, ke Bagian Penyakit Dalam. Di sana ia menjabat
wakil kepala bagian, jadi kepergiannya tidak terlalu
memengaruhi suasana kerja.
Ia mengucapkan kata-kata perpisahan kepada Karen dan
Aditya. Kedua orang itu pun kembali menyalaminya meskipun
sudah melakukannya saat mau berangkat dari rumah.
"Saya harap hasil tesnya bagus, Pak Adit."
"Terima kasih, Sis," sahut Aditya. "Selamat bekerja."
"Ya, terima kasih juga, Sis," sambung Karen. "Jangan lupa
sama kami, ya."
"Nggak, Bu. Saya juga terima kasih."
Siska melambai kemudian menyeret kopernya. Karen
melajukan kendaraannya untuk mencari tempat parkir,
sementara Aditya masih saja mengawasi kepergian Siska sampai
tak tampak lagi.
"Berat juga perpisahan itu untukmu, ya?" kata Karen
setelah melirik.
"Aku merasa terharu. Dia perawat yang baik."
"Itu adalah pekerjaannya. Jadi kewajibannya juga."
"Yang kuingat bukan cuma soal pekerjaannya, tapi apa
yang telah dilakukannya untuk menolongku dari perbuatan
Frans. Coba kalau dia masa bodoh..."115
"Ya, ya. Tentu saja. Aku jadi ingat, seharusnya aku
memberi sesuatu untuknya sebagai tanda terima kasih. Kok
lupa, ya?"
"Itu bisa belakangan diberikan. Dia kan nggak ke manamana."
"Menurutmu apa yang pantas kita berikan?"
"Terserah kau saja. Aku nggak punya ide."
"Baiklah. Nanti aku pikirkan. Sekarang kita harus fokus
pada si Frans dan teman-temannya. Apa kau yakin bakal aman
kalau tetap bekerja di situ?"
Aditya terkejut dihadapkan pada pertanyaan itu.
Sebenarnya ia tidak berniat pindah kerja.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita lihat saja nanti. Bagaimana sikap mereka dan
perkembangannya gimana," katanya kemudian.
"Kau harus selalu waspada. Jadinya tegang terus."
"Untuk sementara biarlah begini dulu. Aku yakin mereka
nggak akan berani macam-macam."
Aditya membayangkan, kalau ia sampai pindah kerja,
bagaimana ia harus bersikap terhadap Irawan yang sudah begitu
baik kepadanya? Biaya rumah sakit yang lumayan besar itu
sudah dibayari Irawan, lalu setelah sembuh dia malah angkat
kaki dari perusahaan tanpa memberi alasan yang masuk akal.
Sejak kemarin ia sudah memikirkan, apakah Irawan akan
percaya padanya kalau ia mengungkapkan semua dugaan dan
teorinya? Tanpa bukti yang kuat ia bisa disangka memfitnah.
Irawan tentu tak suka akan tuduhan yang tidak main-main itu.
Mencoba membunuh adalah persangkaan yang teramat buruk,
apalagi terhadap rekan kerja. Irawan adalah orang yang selalu
bersikap baik kepada siapa pun. Bisakah orang seperti ini
memercayainya?116
Satu hal yang juga dikhawatirkan Aditya adalah kalau teori
yang disampaikan itu malah menjadi bumerang untuknya. Bisa
jadi ia disangka paranoid atau menderita kelainan di otak
sebagai efek traumatiknya. Masa orang baru sembuh dari koma
sudah bisa mengarang teori seperti itu?
Tampaknya tak ada jalan lain kecuali menunggu dan
melihat perkembangan. Dengan berbuat demikian ia akan
bersikap seolah tak menyangka apa-apa terhadap Frans dan
kedua teman lainnya. Pendeknya, seperti tak ada apa-apa. Biasabiasa saja. Mungkin cara itu bisa memberinya keuntungan
karena ia tahu atau menduga sesuatu, sementara mereka tidak
tahu bahwa ia tahu.
"Selesai dari sini kauturunkan aku di kantor, Ma."
"Emangnya mau langsung kerja?"
"Bukan. Cuma mau ketemu rekan dan Pak Irawan."
"Nggak lama, kan? Mau kutunggu?"
"Wah, nggak usah. Pulangnya aku bisa naik taksi."
"Nunggu juga nggak apa-apa. Aku kan masih cuti."
"Baiknya jangan, Ma. Kalau ditungguin nanti kesannya
aku belum sehat benar."
Karen tertawa. ''Oh, begitu? Pengin kelihatan gagah dan
mandiri, ya? Baiklah, tapi ingat untuk waspada."
Aditya senang karena Karcn tidak mendesak.
Sebenarnya Karen juga ingin melihat dulu hasil tes MRI
kalau nanti diperoleh. Bila masih ada sesuatu yang kurang baik,
ia akan mempunyai alasan untuk melarang. Sekarang ia
mengiyakan saja untuk menyenangkan Aditya.117
Mereka tak perlu menunggu lama. Keduanya dipanggil
oleh Dokter Satria ke sebuah mangan, lalu diperlihatkan gambar
hasil tes. Ada tiga gambar yang diperlihatkan.
"Ini diurut berdasarkan waktu yang berjalan. Ini gambar
yang pertama ketika baru kejadian. Yang kedua sebelum Pak
Adit meninggalkan rumah sakit untuk dirawat di rumah. Dan
yang ketiga adalah yang baru dibuat tadi. Lihat perbedaannya,
kan?"
Karen dan Aditya mengangguk-angguk meskipun tak
begitu memahami.
"Jadi keterangannya gimana, Dok? Apakah yang terakhir
itu menyatakan saya sudah sembuh benar-benar?" tanya Aditya.
"Oh iya. Saya yakin begitu. Bengkaknya sudah hilang sama
sekali. Otak sudah tak lagi mengalami penekanan. Selamat, Pak
Adit!"
Dokter Satria menyalami Aditya dan Karen.
"Jadi saya bisa bekerja lagi seperti biasa, Dok?" Tanya
Aditya.
"Oh ya, bisa saja. Tapi kerjanya jangan berat-berat dulu.
Kalau ada gejala pusing atau sakit kepala segera periksa."
Mereka keluar dari rumah sakit dengan gembira. Aditya
merasa seperti orang yang baru dilahirkan kembali.
"Kau jadi mau turun di kantor? Kenapa nggak besok saja
sekalian masuk kerja?" tanya Karen.
"Sekarang hanya pertemuan dan bincang-bincang saja.
Terutama dengan bos. Besok baru kerja. Aku perlu tahu juga
bagaimana prospek kerjaku di sana. Sudah terlalu lama aku
absen."
"Pulangnya kujemput saja," Karen menawarkan.118
"Wah, nggak usah. Jalanan macet kan repot. Naik taksi
saja."
"Kau bawa uang, kan? Coba dicek dulu. Jangan-jangan
dompetmu kosong." Karen tertawa.
Aditya mengeluarkan dompetnya lalu memeriksa isinya.
"Masih ada tuh, Ma. Cukup banyak kok. Eh, rasanya seolah
aku habis pergi jauh, tapi bukan ke luar negeri atau ke mana
pun. Jauh sekali..."
Karen menepuknya dengan simpati. "Untunglah kau masih
bisa pulang."
"Ya. Aku beruntung. Tapi..."
"Tapi apa?" Karen khawatir.
"Sebenarnya aku juga sial, karena kena pukul orang. Kalau
tidak, aku tentunya lebih beruntung lagi."
"Benar juga sih. Tapi mana mungkin kau bisa tahu bahwa
kau akan dipukul orang atau tidak? Kalau tidak kena pukul,
hidupmu akan berjalan seperti biasa saja dan kau tidak pernah
berpikir akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi."
"Jadi kesimpulannya apa?"
"Tentu saja beruntung. Tak bisa lain."
Pada saat Karen menjalankan mobilnya dan Aditya
melangkah memasuki kantor, ia masih sempat mendengar suara
orang bersorak di dalam. Ia tersenyum. Mereka menyambut
kedatangan Aditya. Di antara mereka pasti ada orang-orang
yang pura-pura ikut gembira.
Aditya disalami dan dipeluk semua rekannya, termasuk OB
yang menyukainya. Mereka semua sempat merasa pesimis
bahwa orang yang koma sekian lama bisa bangun kembali.
Sudah banyak kasus yang membuktikan hal itu.119
Ketiga temannya, Frans bersama Hendi dan Vera, memeluknya dan mengguncang-guncang tubuhnya. Guncangan
dari Vera membuat Aditya menjadi pusing. Ia cepat-cepat
menghindar.
Meskipun tidak kentara, Aditya berusaha mencermati
reaksi Frans. Tapi ia tidak bisa menemukan kelainan atau
sesuatu yang mencurigakan pada ekspresinya. Reaksinya sama
saja dengan yang lain.
"Bener-bener nggak nyangka, Dit!" seru Frans.
"Ini luar biasa!" seru Hendi.
"Mukjizat!" Vera menambahkan.
"Sebenarnya nggak juga. Hasil tes menyatakan bengkaknya
hilang. Jadi otakku nggak lagi tertekan. Karena itu dia kembali
merespons seperti biasa. Jadi aku pun bangun."
"Toh rasanya aneh. Melihat kau jadi seperti melihat zombie"
kata Vera.
Orang-orang tertawa. Aditya pun memeragakan gaya jalan
seperti vampir Mandarin hingga tawa semakin riuh.
Dalam keriuhan itu Aditya sempat melirik sekilas ke arah
Frans. Untuk pertama kali sejak kedatangannya ke situ ia
melihat sesuatu yang berbeda, sangat berlawanan. Di antara
wajah-wajah riang di sekitarnya, ia terlihat marah.
Biarpun cuma melihat sekilas, tak berani lama-lama, sudah
cukup bagi Aditya untuk merasa yakin. Memang ada yang salah
pada diri Frans. Jelas ia tidak suka akan kesembuhannya. Tapi
hanya ekspresi sekilas tidak bisa membuktikan apa-apa.
Setelah itu Aditya pergi menemui Irawan yang menempati
ruang agak di belakang hingga tidak mendengar keriuhan yang
berlangsung.120
Irawan melompat dari kursinya, memeluk Aditya begitu
ketat, sehingga Aditya hampir kesulitan bernapas. Sesudah itu
Irawan menepuk-nepuk punggung Aditya dengan tangannya
yang besar berulang kali.
"Aduh, Dit! Melihatmu segar-bugar begini rasanya seperti
di awang-awang. Mendengar suaramu di telepon saja kaget dan
tak percaya. Apalagi melihat orangnya!" Irawan terbahak-bahak.
Aditya hanya tersenyum. Luapan kegembiraan yang
diperlihatkan bosnya itu membuat ia terharu. Itu adalah reaksi
yang tulus tanpa kepura-puraan.
"Ini berkat bantuan Bapak..."
"Bantuan apa? Kamu sembuh karena perjuanganmu sendiri
kok. Ayo sini, duduk di sini saja."
Irawan menepuk sofa, mengajak Adilya duduk di
sebelahnya. Baru pernah Aditya duduk di situ kalau berada di
dalam ruang kerja Irawan. Biasanya selalu duduk di kursi yang
berseberangan dengan kursi Irawan. Suasananya tentu berbeda.
Biasanya yang dibicarakan soal pekerjaan. Kali ini beda.
"Apakah saya mengganggu kerja Bapak?" tanya Aditya
sambil melayangkan pandang ke meja kerja Irawan. Laptopnya
terbuka dan kertas menumpuk.
"Itu bisa menunggu. Tapi momen seperti ini jarang
terjadi." Irawan tertawa. Wajahnya yang bulat menjadi semakin
bulat. Ciri khas dari orang yang periang dan terbuka.
"Ayo, ceritakan, Dit. Rasanya seperti apa sekarang? Apa
seperti bangun dari tidur panjang atau seperti dilahirkan
kembali?" tanya Irawan dengan ketertarikan yang tampak
serius.
"Dua-duanya, Pak. Seperti bangun tidur tapi nggak merasa
tidur, dan juga seperti lahir kembali karena dunia yang terlihat121
rasanya lain. Perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Juga
terhadap keluarga."
"Oh ya? Waktu tersadar siapa yang kamu lihat pertama
kali?"
"Perawat yang namanya Siska. Saya heran, siapa dia karena
dia nggak pakai seragam. Sampai terpikir apakah istri saya
berubah atau ingatan saya salah."
"Maukah kamu menceritakan bagaimana momen-momen
awalnya?"
Aditya tidak keberatan, bahkan senang sekali menceritakan semuanya. Bagaimana ia mengibuli Siska dengan
pura-pura belum sadar padahal Siska sudah mencurigai. Lalu
Siska "mengancam" untuk mengkilik-kilik urat gelinya, tapi
untungnya tidak dilakukan. Akhirnya rasa haus dan laparnya
membuka rahasia ketika perutnya berbunyi.
Irawan terbahak-bahak mendengar ceritanya. Jelas ia
senang sekali. Air matanya sampai keluar.
"Aduh, Dit. Saya belum pernah mendengar cerita seperti
itu langsung dari orang yang mengalaminya sendiri. Sangat
berharga," katanya sambil mengeringkan matanya dengan tisu.
"Saya beruntung sekali bisa mendapat perawat seperti
Siska," kata Aditya, sadar tak bisa bercerita perihal Frans, tapi ia
ingin sekali mengungkapkan keberuntungannya itu kepada
seseorang, di luar anggota keluarganya. Kalau bisa
melakukannya kepada orang yang berwibawa seperti Irawan,
baginya terasa membahagiakan karena bisa menyanjung Siska.
"Ya. Saya pernah ketemu perawat itu waktu besuk kamu di
rumah. Orangnya cakep, ya. Dan tampaknya profesional. Tapi
kok kamu bisa ngomong begitu, bukankah waktu dirawat
kamu nggak sadar?"122
Aditya tersipu.
"Memang betul, Pak. Tapi setelah saya sadar, saya sempat
mengenalnya biarpun cuma sebentar. Dia sangal pengertian dan
sabar."
Aditya bercerita tentang saat-saat bersama Siska,
berbincang sambil dilatih berjalan.
"Padahal Siska khawatir telah melanggar pesan Karen,
bahwa Karen harus segera diberitahu begitu saya sadar. Tapi
saya ingin memberi kejutan buat istri saya."
"Aha, yang itu pasti romantis. Itu sih saya nggak mau
tanya-tanya. Itu pribadi. Tapi lucu juga ya kamu tengah malam
berduaan aja dengan perawat cantik. Apakah Karen nggak
cemburu?"
"Tampaknya sih cemburu juga, Pak. Tapi dia bisa diberi
pengertian. Bukankah perawat itu direkomendasikan oleh
Dokter Satria karena keterampilan dan dedikasinya?"
"Sekarang ke mana dia?"
"Siapa, Pak?"
"Siska."
"Oh, dia kembali ke rumah sakit. Kerjanya di situ. Dia
wakil kepala perawat di Bagian Penyakit Dalam."
"Kalau nanti butuh perawat pribadi yang profesional
apakah bisa minta jasanya?"
"Siapa yang sakit, Pak?"
"Ya, siapa tahu kalau perlu." Irawan tertawa.
Aditya tertawa juga. Tapi ia punya persangkaan, janganjangan Irawan tertarik kepada Siska. Tentunya itu wajar saja
karena Irawan seorang duda dan umurnya pun belum mencapai
lima puluh. Sementara Siska adalah perempuan yang menarik123
dengan profesi sebagai perawat, yang kaia sebagian orang
merupakan calon istri yang ideal. Ia menunggu pertanyaan
Irawan lainnya mengenai Siska, tapi tak ada lagi. Barangkali dia
hanya bercanda.
"Sekarang kamu istirahat saja dulu, Dit. Cari bacaan yang
ringan. Misalnya komik Tintin."
"Wah, itu bisa membuat otak saya jadi malas, Pak. Nanti
disuruh mikir soal program malah ogah."
"Kan cuma sementara saja. Selangkah demi selangkah.
Jangan cepat-cepat."
"Besok saya mau masuk saja, Pak."
"Ah, jangan dulu, Dit."
"Di rumah saya malah bingung mau ngapain. Kalau di sini
saya bisa menyegarkan ingatan akan pekerjaan yang saya
tinggalkan. Saya jadi ingat proyek yang dulu saya kerjakan
berempat. Jadi berantakan, Pak."
"Ya, sayang sekali hasil jerih payahmu hilang lenyap. Sudah
capek-capek kerja."
"Katanya dikerjakan mereka bertiga."
"Iya betul. Tiap hari mereka lembur mengerjakannya. Bisa
selesai juga pada waktunya."
"Apa saya bisa lihat kopi CD-nya, Pak?"
"Nanti kamu minta sama Frans saja. Kemarin dia pinjam.
Di sini nggak nyimpan lagi."
Aditya tertegun sejenak. Frans sudah bergerak cepat.
Irawan mengamati wajah Aditya yang tampak kecewa. Ia
merasa iba.124
"Sudah, Dit. Kamu nggak usah menyesali apa yang sudah
terjadi. Nanti kan masih ada proyek lainnya. Sekarang lagi deal


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama klien."
Aditya cepat tersenyum. "Oh, saya nggak menyesali kok,
Pak. Bonus seberapa besar pun nggak ada artinya dibanding
kesembuhan."
"Benar sekali itu, Dit. Duit bisa dicari, tapi nyawa cuma ada
satu," kata Irawan, tampak senang bahwa Aditya bisa merasa
ikhlas.
"Oh ya, tadi dari rumah nyetir sendiri?"
"Diantar Karen, Pak. Tadi ke rumah sakit dulu, sean MRI,
nunggu hasiinya baru ke sini. Nanti pulang saya naik taksi saja.
Tadinya Karen mau nungguin, tapi saya nggak mau ditunggu.
Kayak anak kecil saja."
Irawan geleng-geleng kepala. "Itu dia ego lelaki," katanya
tertawa.
"Soalnya saya yakin sudah sembuh benar. Sudah tahu dari
hasil tes."
"Tapi menurut saya sih, baiknya harus hati-hati menjaga
diri. Otak itu kan vital sekali, Dit."
"Tentu, Pak. Saya sudah merasakannya."
Dalam hati Aditya berkata, dirinya memang harus hati-hati
menjaga diri, terutama terhadap musuh yang berpura-pura
sebagai kawan.
"Begini saja, Dit. Sebentar kalau mau pulang, biar saya
antar."
"Ah, jangan, Pak. Naik taksi lebih gampang. Nanti Bapak
mesti mutar-mutar."125
"Nggak apa-apa, saya sudah biasa kok. Sebenarnya saya
mau ke RS Mulia Bakti sesudah mengantarmu."
"Sakit apa, Pak?"
"Mau ke THT. Telinga saya gatal dan berdengung. Takut
ada yang masuk."
Tiba-tiba muncul ide di kepala Aditya. Dia juga akan
kembali ke sana. Untuk menemui Siska!
"Kalau begitu saya ikut Bapak ke sana saja. Saya mau
ketemu Siska karena ada yang lupa saya sampaikan. Sebenarnya
saya punya nomor hapenya, tapi ngomong di telepon nggak
leluasa."
Sesaat Irawan bermaksud mencandai Aditya, tapi melihat
wajah Aditya yang serius, ia tak jadi mengatakannya.
"Kalau begitu kita pergi sekarang saja," kata Irawan
menengok arlojinya. "Saya mesti ambil nomor dulu."
Mereka keluar kantor. Para karyawan yang bekerja di
dalam cubicle masing-masing menyapa dan melambai. Tak
terkecuali Frans, Hendi, dan Vera. Tapi khusus di wajah
mereka, Aditya melihat pertanyaan dan keingintahuan.
Di tempat parkir Aditya menoleh ke belakang. I sempat
melihat wajah Vera di jendela, memandang ke luar, ke arahnya.
Ia tahu Vera ingin melihat apakah ia pergi bersama Irawan.
Setelah masuk ke mobil bersama Irawan, Vera tak terlihat lagi di
jendela.
Dengan persangkaan yang sudah bersemayam di hati, ia
bisa menyimpulkan apa yang dilihatnya dari orang-orang itu.
Bila mereka berpura-pura, maka ia pun akan melakukan hal
yang sama.
Di mobil, Aditya menghubungi Siska lewat ponselnya
untuk mengecek keberadaannya. Ternyata Siska berada di126
asrama. Ia dianggap cuti hari itu karena masuk kerja tanggung
waktunya. Lalu Aditya membuat janji supaya bisa berbicara
sejenak. Siska berjanji untuk menunggunya di muka pintu
asrama.
"Wah, janjian nih, ya." Irawan tidak betah kalau tidak
bercanda.
Salah satu hal yang menyenangkan dari Irawan bagi Aditya
adalah bosnya itu tidak membuat jarak dengan bawahannya. la
bisa bercanda dengan siapa saja, bahkan dengan OB. Biarpun
demikian wibawanya tetap terasa jadi mereka tak berani
bersikap kurang ajar. Ada saatnya ia bisa juga bersikap tegas.
"Ya. Saya mau minta tolong padanya, Pak. Hanya
kepadanya saya bisa minta tolong. Nggak ada orang lain."
"Masalah kesehatan?"
"Bukan, Pak."
Supaya tidak dicurigai, Aditya memutuskan untuk berterus
terang. la bercerita tentang mimpinya perihal Simon Handoyo,
yang menagih janji yang pernah diucapkannya untuk
menolong menyelidiki kematiannya, bahwa Simon mencurigai
kedua menantunya dan mengkhawatirkan keselamatan kedua
putrinya.
Wajah Irawan tampak takjub, tapi ia tidak menyela cerita
Aditya dan menunggu sampai selesai.
"Padahal saya nggak kenal dia," lanjut Aditya. "Bagaimana
mungkin saya berjanji begitu kalau saya dalam keadaan koma?
Jadi saya ingin minta bantuan Siska untuk mencari tahu dari
data rumah sakit perihal orang bernama Simon Handoyo, kapan
dia dirawat dan kapan meninggalnya. Dalam mimpi dia
mengucapkan selamat bahwa saya sembuh, berarti dia tahu
tentang keadaan saya yang koma. Sayang saya nggak bisa ber-127
tanya banyak dalam mimpi itu. Jadi kepastian mengenai
waktunya bisa saya ketahui dari Siska kalau dia mau menolong."
"Wah, wah. Luar biasa, Dit. Hari ini saya dapat cerita luar
biasa darimu. Tapi kalau sekadar info perihal Simon bisa saya
berikan karena saya kenal dia. Juga istrinya. Dia pemilik Sim
Farmasi dan beberapa apotek. Dia orang kaya dan dermawan.
Waktu dia meninggal, saya sempat melayat ke rumah duka.
Betul dia punya dua putri yang sudah menikah. Saya tidak ingat
nama mereka. Saya juga pernah ketemu dengan kedua menantunya. Dia meninggal pada waktu kamu masih koma di
rumah sakit."
Aditya terlonjak senang karena Irawan mengenal Simon.
Dengan demikian ada pijakan baginya untuk lebih mengenal
keluarga itu. Mungkin Irawan bersedia membantunya.
"Bagaimana kesimpulan Bapak mengenai mimpi saya itu?"
"Sungguh kamu nggak ingat pernah ketemu dia?"
"Sungguh, Pak."
"Nggak ingat wajahnya juga?"
"Nggak, Pak."
"Dia masuk rumah sakit juga dalam keadaan koma, Dit.
Jadi sama denganmu."
Bulu kuduk Aditya berdiri.
"Kemungkinan kalian bertemu waktu sama-sama koma,"
kata Irawan lagi, tapi nadanya tidak bercanda.
Aditya termangu. Bagaimana mungkin ia bisa
mengomentari ucapan itu, kalau ia tidak tahu apa-apa mengenai
saat-saat itu? Tak ada memori sedikit pun di benaknya perihal
saat itu.128
"Jadi dia menganggap dirinya dibunuh menantunya? Wah,
bukan main-main itu."
"Katanya diracun."
"Aduh, jahat sekali. Pasti dia nggak sembarang menuduh.
Jadi dia takut kedua anaknya pun diperlakukan sama.
Motivasinya pastilah harta."
"Iya, Pak. Betul sekali. Apalagi kalau bukan harta."
"Jenazahnya dikremasi. Nggak ada bukti yang tertinggal."
"Sudah saya duga."
"Sekarang kamu diminta membantu, apa kamu akan
melaksanakan permintaan itu?"
"Tentu, Pak. Tapi saya masih belum tahu bagaimana
caranya. Mau mencari data dulu. Tapi setelah mendengar cerita
Bapak tadi, kayaknya saya nggak perlu lagi bertanya pada
Siska."
"Oh, perlu juga, Dit. Kamu bisa minta penyebab
kematiannya."
"Biasanya yang itu adalah rahasia, Pak."
"Tapi Siska orang dalam. Dia bisa berusaha. Lihat saja di
komputer."
"Kayaknya nggak gampang. Saya nggak mau minta dia
melakukan hal yang di luar batas kemampuannya. Saya nggak
berhak."
"Pokoknya minta tolong boleh saja, tapi nggak memaksa
gitu. Terserah dialah."
***129
Irawan memarkir mobilnya di halaman gedung asrama. Padahal
Aditya minta diturunkan saja di situ, sementara Irawan bisa
tenis ke rumah sakit yang bangunannya terpisah.
"Kalau parkir di rumah sakit biasanya penuh," ia beralasan.
"Ayo, saya antar kamu dulu, baru nanti saya jalan ke rumah
sakit. Kalau kamu sudah selesai duluan, kayaknya pasti begitu,
kamu pulang saja duluan. Atau kamu mau bareng saya?
Takutnya saya lama."
"Nggak apa-apa, Pak. Kalau saya duluan selesai, nanti saya
susul ke poliklinik. Saya akan telepon Bapak."
Siska sudah menunggu di depan pintu asrama. Ia kelihatan
heran melihat Aditya datang berdua, apalagi ia belum tahu apa
yang mau diutarakan Aditya kepadanya.
"Sudah kenal?" tanya Aditya sewaktu Irawan mengulurkan tangan untuk menyalami.
Siska hanya tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Irawan adalah
bos dari Aditya sewaktu berkunjung ke rumah Aditya. Beberapa
kali Irawan datang berkunjung.
Kemudian Irawan meninggalkan mereka berdua setelah
berbincang sebentar. Ia berjalan menuju poliklinik, tempat
praktek dokter-dokter ahli.
Siska mengajak Aditya ke ruang tamu.
"Gimana hasil tes MRI tadi, Pak Adit?"
Aditya menyampaikan hasil dan ucapan Dokter Satria.
"Selamat, Pak Adit. Sudah sembuh benar-benar, ya."
"Berkat kamu juga, Sis. Terima kasih saya nggak habishabis."
Siska tersipu. Dia buru-buru mengalihkan, "Ada masalah
apa, Pak?"130
"Cerita saya sangat panjang, Sis. Kamu harus sabar
mendengarkannya."
Siska mengangguk. Ia siap.
Tapi kemudian ia terpesona mendengar cerita Aditya yang
kemudian disambung pembicaraannya dengan Irawan barusan.
"Kemungkinan besar Pak Simon itu pasien di Bagian
Penyakit Dalam. Bagian itu memiliki pasien terbanyak di
rumah sakit ini. Saya nggak berhadapan langsung dengan para
pasien seperti halnya para perawat yang jadi anak buah saya.
Tapi kayaknya saya pernah dengar nama itu. Saya akan
berusaha mencari tahu semua informasi yang bisa saya peroleh,
Pak Adit. Cerita itu sungguh menyentuh. Rasanya jadi pengin
nangis. Kasihan sekali. Sesudah pergi pun masih mengkhawatirkan anak-anaknya."
Aditya menatap Siska dengan senang. Tanggapan Siska
positif sekali. Sama sekali tidak ada keraguan atau keheranan.
"Jadi kamu percaya bahwa hal itu memang terjadi?"
"Tentu saja, Pak. Di sini tempat orang bergulat melawan
kematian. Mereka berjuang untuk hidup. Pilihannya hanya satu
di antara dua meskipun nanti sama-sama pulang."
"Seperti saya, pulang ke rumah. Tapi Pak Simon, pulang ke
alam lain."
"Begitulah, Pak Adit. Besok, begitu masuk kerja, saya akan
mulai mcncari informasi. Nanti kalau sudah dapat cara,
bagaimana saya mengirimkannya? Apa bisa lewat e-mail?"
"Wah, itu bagus sekali. Kamu ada komputer pribadi?"
"Ada, Pak."
Aditya segera mencatat alamat e-mail-nya lalu memberikannya kepada Siska.131
"Tapi terus terang, Sis. Istri saya belum saya ceritakan
tentang Pak Simon. Sekarang dia kira saya masih di kantor.
Tadi kebetulan saja Pak Irawan mau periksa telinga, jadi saya
ikut lagi ke sini."
"Baiknya diceritakan saja, Pak. Kan enak punya teman
diskusi. Kalau nggak diceritakan nanti dia kesal sepertinya itu
rahasia yang tak boleh diketahuinya."
"Nanti di rumah akan saya ceritakan. Saya takut dia
melarang. Padahal saya merasa berkewajiban membantu.
Apalagi sudah berjanji. Meskipun saya sendiri tidak tahu dan
tidak ingat, tapi saya yakin Pak Simon berkata benar."
"Bukankah dia bilang, minta bantuannya sebisa Bapak?
Tentunya jangan memaksa diri. Bapak harus hati-hati. Kalau
orang-orang itu memang pembunuh, pasti kejam."
"Ya. Saya tahu. Ngeri juga. Saya pun bingung gimana
memulainya."
"Bapak bisa minta bantuan Pak Iravvan. Beliau kan kenal
sama keluarga itu."
"Ya. Saya memang berniat begitu. Tadi bincang-bincang
di mobil kelihatannya dia tertarik."
"Itu memang kasus yang menarik, Pak. Saya juga tertarik."
"Kamu sudah lama di sini. Sis. Apa pernah juga mengalami
yang aneh-aneh?"
Siska tertawa. "Ya, nanti ceritanya jadi panjang, Pak."
"Sori, jadi melenceng. Jadi kamu bersedia membantu.
Terima kasih, Sis."
"Oh ya, Pak. Tadi Bapak sudah ketemu sama Pak Frans?"
"Ya, sudah. Sikapnya biasa-biasa saja, samalah seperti yang
lain. Ikut bergembira, menyalami dan memeluk segala. Tapi132
pada suatu kesempatan diam-diam saya melihat ekspresi yang
beda, seolah marah dan kesal."
"Bapak harus hati-hati," kata Siska dengan wajah prihatin.
"Ya, Bu Karen juga berkata begitu. Sebenarnya ia cemas
saya masih kerja di situ. Tapi Pak Irawan baik sekali."
"Apa Pak Irawan dikasih tahu?"
"Ah, nggak. Soalnya Frans itu karyawannya juga. Nggak
etis rasanya, seperti menjelek-jelekkan rekan sendiri."
"Memang benar juga. Nggak ada buktinya sih."
"Itulah susahnya. Frans bisa melawan dan menantang.
Nanti kesannya saya yang memfitnah."
"Kalau begitu, sementara ini harus awas, Pak. Menjauh
saja."
"Betul. Kayaknya saya harus pasang mata juga di belakang
kepala, supaya nggak kena pukul lagi."
"Wah, jangan, Pak."
Mereka tertawa. Pada saat itulah tiba-tiba Irawan muncuL
Ia langsung duduk tanpa menunggu disilakan.
"Lho, Bapak sudah ke dokter?" tanya Aditya heran.
Perasaannya Irawan terlalu cepat datangnya.
"Sudah dong. Saya nomor satu, langsung masuk. Sakit
banget," kata Irawan sambil meringis dan mengusap-usap
telinga kirinya.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Emangnya diapain, Pak?" tanya Aditya.
Sementara Siska senyum-senyum saja. Ketika pandangan
Irawan tertuju kepadanya, Siska buru-buru melengos.
"Katanya telinga saya ada yang menyumbat, lalu ditariklah
kotorannya seperti kapas gitu. Duh, sakitnya alang-kepalang.
Kalau nggak malu sama susternya, aku sudah menjerit-jerit.133
Tapi anehnya, begitu kotorannya dicabut, sakitnya lenyap.
Tinggal sisanya aja. Dan rasanya jadi enak. Nggak berdengung
lagi."
"Syukurlah, Pak. Jadi sakitnya terbayarkan."
"Ah, saya jadi malu. Kenapa kotorannya bisa sebanyak itu,
Sis?" Tanya Irawan.
"Bapak suka membersihkan telinga pakai cotton buds?"
"Iya, memang suka. Tapi nggak pernah ada yang kapasnya
ketinggalan. Masuk dan keluar utuh."
"Kelihatannya saja utuh, Pak. Mungkin sebagian ada yang
copot. Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit."
"Bahaya juga, ya? Kapok deh, nggak berani lagi. Nah,
sekarang kita kemba ke masalah yang tadi dibicarakan.
Gimana, Dit? Sudah beres perbincangannya?"
"Sudah, Pak. Siska bersedia membantu. Nanti infonya akan
dikirim lewat e-mail."
"Itu bagus. Lebih praktis."
Aditya merasa saat itu cocok untuk membicarakannya
bersama-sama.
"Tadi di mobil, Bapak bilang saya dan Pak Simon samasama dalam keadaan koma di rumah sakit."
"Iya. Nanti Siska bisa mencocokkan tanggalnya."
"Ada kesimpulannya, Pak?"
"Ya, ada..."
Sebelum melanjutkan ucapannya, Irawan menatap Siska.
Wajah Siska terlihat tegang.
"Siska mau bicara? Ayolah, jangan malu-malu. Kita kan
diskusi," kata Irawan, membujuk.
Siska tersenyum malu. Ketegangannya mengendur.134
"Ya, saya cuma ingin bilang, mungkin Pak Adit dan Pak
Simon ketemunya di situ karena hanya itulah satu-satunya saat
bersama. Dua-duanya berada di alam yang sama..."
"Maksudmu, saat koma itu?" potong Aditya.
"Iya. Memang fisik berada di tempat tidur masing-masing,
saling berjauhan, tapi siapa yang tahu dengan roh masingmasing?"
"Betul sekali!" seru Trawan. "Saya juga berpendapat sama."
"Tapi saya nggak merasa pernah keluar dari tubuh, apalagi
sampai keluyuran lalu ketemu dengan roh Pak Simon," kata
Aditya dengan kening berkerut. Kenapa dirinya tidak ingat
sedikit pun tentang hal itu?
"Mungkin diaturnya memang begitu, Dit. Jadi nggak usah
risau. Waktu itu olakmu kan sedang sakit, tak bisa menyimpan
pengalamanmu. Atau memang pengalaman sebagai roh nggak
punya hubungan dengan kondisi fisik. Dipikir sampai ubanan
pun nggak menghasilkan jawaban. Terima saja."
Ucapan itu membuat perasaan Aditya lebih lega. Sikap
Irawan itu merupakan dukungan. Dirinya bukanlah orang aneh
yang kejiwaannya mungkin terganggu.
"Kalau kamu serius ingin memenuhi janji pada Pak Simon,
saya akan membantu mencari tahu, Dit," kata Irawan lagi.
"Betul, Pak? Wah, terima kasih."
"Hei, jangan begitu. Soalnya saya juga tertarik sama kasus
itu."
"Saya juga," kata Siska.
"Nah, kita jadi tiga sekawan!" seru Irawan.
Mereka tertawa gembira. Rasanya tak ada lagi sekat-sekat
perbedaan status.135
"Sekarang kita saling bertukar alamat e-mail. Setiap
perkembangan yang diperoleh satu orang dikirim kepada yang
dua lagi. Itu lebih praktis daripada dibicarakan dengan
kemungkinan didengar orang lain. Kadang-kadang dinding
pun punya telinga." Irawan menunjuk dinding di depannya.
Aditya dan Siska tertawa. Aditya merasa tambah ringan dan
Siska merasa hidupnya jadi lebih berisi.
"Sebelum kamu saya antar pulang, kita ke rumah saya dulu,
yuk," Irawan menawarkan.
"Ngapain, Pak?"
"Saya tiba-tiba ingat, kamu bilang belum pernah melihat
wajah Simon sebelum melihatnya dalam mimpi. Untuk
membuktikan kebenaran mengenai wajahnya iiu, kamu akan
saya perlihatkan fotonya. Sebetulnya bukan foto, tapi koran
yang memuat iklan dukacita. Di situ ada fotonya. Saya masih
menyimpan korannya."
Setibanya di rumah, Irawan tidak memerlukan waktu lama
untuk menemukan halaman koran yang dimaksud. Waktunya
belum lama lewat, jadi ia masih menyimpannya.
Seperti kebiasaan orang kaya, iklannya berukuran besar,
hingga fotonya pun jelas. Aditya segera mengenali wajah
Simon. "Benar! Itu dia!" serunya dengan perasaan merinding.
"Bagus. Jadi itu memang bukan sembarang mimpi, Dit,"
kata Irawan puas.
Dalam perjalanan ke rumah Aditya, Irawan menganjurkan
agar Aditya menceritakan masalah itu kepada Karen.
"Jangan sampai dia tahunya dari orang lain, atau
mencurigai sesuatu. Masalah itu bukan sesuatu yang pantas
disembunyikan. Setiap perkembangan yang terjadi, dia patut
diberitahu."136
"Iya, Pak. Saya juga berpikir begitu. Apa nanti kita jadi
empat sekawan, bukan lagi tiga?"
Irawan tertawa. "Ya, sepertinya begitu."
Setibanya di rumah, Aditya tak menunggu lama uttuk
segera mcnceritakan soal itu kepada Karen. Di luar dugaannya,
Karen tidak merasa kesal karena tak segera diceritakan dari awal.
Dia justru antusias walaupun ada kekhawatiran.
"Kalau Pak Irawan membantu, itu bagus sekali, Pa. Kau
jadi punya dukungan yang kuat. Coba kalau sendiri, terus
nggak ada yang percaya, gimana coba?"
"Jadi kau percaya, Ma?"
"Dua orang sudah percaya, masa aku nggak?"
Aditya merasa beruntung karena Karen bukan orang
pertama yang diceritakan. Bila itu dilakukannya, sudah
terbayangkan apa kira-kira yang akan terjadi.
"Dan kalau malam nanti kau mimpi lagi sambil mengigau,
aku tahu apa yang kauimpikan," tambah Karen.
Tapi malam itu Simon Handoyo tidak muncul lagi dalam
mimpi Aditya.137
6 DADANG MULYA mengamati gerak-gerik istrinya, Eva
Handoyo, dengan tatapan melamun. Eva sudah memberitahu,
bahwa dirinya tengah mengandung delapan minggu. Anak
pertama mereka.
Waktu itu reaksi yang diperlihatkannya adalah
kegembiraan. Ia memeluk dan mencium Eva.
"Kenapa kau baru memberitahu sekarang? Seharusnya dari
awal sejak kau merasakan kelainan," ia setengah menyesali.
"Bahkan kau ke dokter pun sendiri."
"Aku juga baru ngeh. Mas. Sengaja aku sendiri ke dokter
supaya hasilnya lebih akurat dan bisa memberi surprise buatmu."
"Lain kali aku yang akan mengantarkanmu ke dokter.
Jangan pergi sendiri, ya Va?"
Panggilan "Va" terhadap Eva itu rasanya memang agak
ganjil, tapi itu untuk membedakan panggilan terhadap Evi, adik
Eva, yang panggilannya adalah "Vi". Kalau dipanggil "Ev" maka
keduanya jadi sama.
Eva tertawa senang. Benarlah dugaannya bahwa kehamilan bisa membuat suami lebih sayang dan perhatian. Tapi
ia salah duga. Dadang berpaling pada saat Eva terlawa karena ia
merasa mual melihatnya. Penyebabnya adalah wajah Eva
menjadi semakin jelek di matanya kalau tertawa.138
Eva memiliki rahang atas yang lebih menjorok ke depan
dan gigi depannya pun besar. Ciri dari orang yang kerap
dijuluki "tonggos". Evi, adiknya, juga memiliki ciri yang sama.
Tapi Dadang berusaha keras untuk tidak memperlihatkan
perasaannya itu di depan Eva. Daya tarik kekayaan yang
dimiliki keluarga itu terlalu besar untuk dipertaruhkan.
Bersama dengan Kurnia Sandi, suami Evi, ia menjalani
hidup bersandiwara untuk tujuan yang sama. Mereka bersahabat
dan awalnya sama-sama pengangguran. Keduanya sarjana
ekonomi tapi tak kunjung mendapat pekerjaan, karena mereka
berdua menginginkan pekerjaan dengan gaji besar, atau
setidaknya kedudukan yang menjanjikan peluang untuk bisa
ngobyek. Korupsi juga tidak apa-apa, asal uangnya banyak. Tapi
yang seperti itu sulit didapat.
"Kalau begini terus, pasti kita nggak ada kemajuan, Dang,"
begitu kata Kurnia.
"Ya, kalau kita maunya kayak begini sih sudah pasti bakal
seperti itu." sahut Dadang.
"Maksudmu?"
"Orang bilang, biar pekerjaan dengan gaji kecil pun, ambil,
untuk jadi batu loncatan."
"Ya, kalau ada batu loncatannya. Kalau nggak ada? Sayang
umur kita dong. Kayaknya hanya ada satu jalan."
"Apa itu?"
"Kita harus cari cewek anak orang kaya, kalau bisa pewaris
orangtuanya."
"Modalnya apa? Pasti cewek gitu banyak yang ngincar."
"Kita punya modal kok. Tampang kita lumayan. Dan
ceweknya nggak perlu yang cantik. Justru kalau cantik139
saingannya banyak. Lebih baik yang jelek, karena sudah pasti
nggak ada saingannya."
"Enak saja kau berandai-andai. Nyari di mana orang seperti
itu?"
"Sudah kutemukan, Dang!"
Lalu Kurnia membisikkan nama Eva dan Evi Handoyo,
berikut paparan kekayaan orangtuanya.
"Wah, jadi seorang satu?" seru Dadang, takjub tapi tak
percaya. Sepertinya cuma lelucon saja.
"Jangan bilang mustahil dulu, Dang. Jadi orang harus
kreatif. Kita harus dekati mereka."
"Ah, anak orang kaya, pasti cantik-cantik. Udah saingan
banyak, orangtuanya pasti nggak suka sama pengangguran
kayak kita."
"Jangan sekali-sekali bilang pengangguran, Dang. Bilang
aja korban PHK. Itu lebih terhormat. Dan satu hal lagi.
Dugaanmu bahwa kedua cewek itu cantik salah. Justru mereka
jelek-jelek."
"Jelek? Nggak mau ah..."
"Jangan begitu. Pakai otakmu dong. Bukankah kau pengin
kaya? Cewek cantik gampang didapat, tapi kekayaan kan sulit."
"Aku benar-benar nggak ngerti, Kur," Dadang bingung. la
selalu merasa dirinya tidak secerdas Kurnia.
"Dengar, Dang. Justru yang jelek itu gampang didekati.
Tapi jangan perlihatkan bahwa kita tahu mereka anak orang
kaya. Pura-pura saja. Aku sudah cukup lama mengamati.
Mereka belum punya cowok."
"Jeleknya kayak apa sih?" Dadang agak ngeri. Sejak remaja
ia sudah berangan-angan punya pacar dan istri yang cantik.140
Beberapa kali ia pernah ganti-ganti pacar. Semuanya cantikcantik. Yang kurang padanya hanyalah isi dompetnya. Ia tidak
mampu mentraktir mereka.
"Aku nggak mau punya istri jelek. Aku ingin yang cantik
biarpun miskin," kata Dadang lagi.
Kurnia tertawa geli. "Kaukira cewek cantik mau sama
cowok miskin biarpun gantengnya kayak Arjuna? Mereka lebih
suka sama cowok kaya biarpun jelek, tua, dan gembrot. Kitakita ini nggak laku, tahu?"
Dadang terpaksa membenarkan ucapan itu karena sudah
mengalaminya sendiri.
"Tapi kita akan terperangkap seumur hidup, Kur."
"Apa kau nggak ingin kaya?"
"Tentu saja ingin."
"Tapi kita nggak mungkin bisa kaya dengan korupsi
misalnya, karena pekerjaan aja nggak punya. Apa kau mau
merampok?"
"Tentu saja nggak."
"Nah, hanya ini satu-satunya jalan. Mereka itu adalah
pewaris kekayaan orangtuanya kalau nanti mati."
"Kalau nggak mati-mati?"
"Gampang. Kita bikin mati saja..."
Ucapan itu keluar dengan ringan. Dadang mengira Kurnia
main-main. Tapi wajah Kurnia terlihat serius.
"Jadi perampok saja nggak mau, apalagi jadi pembunuh,"
kata Dadang.
"Perampok bisa tertangkap."
"Emangnya pembunuh nggak bisa?"
"Caranya dong, Dang. Harus cerdas."141
"Kau ini main-main atau gimana sih, Kur? Kenal sama
cewek itu aja belum, boro-boro jadian, tapi mikirmu sudah
begitu jauh."
Kurnia tersenyum licik.
"Kalau kau nggak mau, nggak apa-apa. Aku akan jalan
sendiri. Cuma sayang saudaranya nanti. Aku pun bingung milih
yang mana," kata Kurnia dengan yakin.
Dadang menganggap Kurnia terlalu percaya diri. Tapi ia
harus mengakui, Kurnia memiliki fisik yang memadai untuk
menjadi seorang pemikat. Tubuhnya tinggi atletis, wajahnya
tampan dengan rambut ikal agak gondrong yang membuatnya
kelihatan jantan. Biarpun mengakui kelebihan Kurnia, tapi
Dadang juga cukup percaya diri dengan penampilannya.
Tubuhnya tidak setinggi Kurnia, tapi wajahnya juga tampan
dengan hidung mancung dan sepasang mata yang ekspresif.
Mengenai matanya itu, ia memang tidak menilai sendiri, tapi
banyak temannya berkata begitu, termasuk para mantan
pacarnya.
"Ya, kau punya tatapan maut," kata Kurnia. "Kalau kau
menatap cewek dengan tatapan memuja seolah dia dewi dari
kahyangan, maka cewek itu akan bertekuk lutut."
"Sampai dia menyadari bahwa kantongku kosong..."
Kurnia tertawa. "Maka itu, lelaki bukan hanya perlu
tampang, tapi juga duit."
"Tapi kau bicara seolah cewek itu begitu gampang diraih.
Perlu usaha juga, kan? Belum tentu dapat."
"Aku sudah kenal sama Evi, si adik. Tapi kakaknya belum.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku akan mengenalkan kau kepadanya sebagai sahabatku.
Nanti dengan sendirinya dia akan mengenalkan kakaknya juga
pada kita."142
"Pastinya nanti kau akan memilih yang cakepan. Aku
dikasih yang paling jelek."
Kurnia tertawa. "Aku sudah melihat Eva, si kakak, biarpun
belum mengenalnya. Dia sama jeleknya kok. Jangan khawatir.
Kita akan mengundi saja supaya adil."
Ketika Dadang melihat kedua kakak-beradik itu, ia hilang
semangat. Kalau hanya berkenalan dan berkencan sesekali tidak
jadi masalah, tapi kalau jadi pasangan seumur hidup?
"Sebenarnya mereka nggak sebegitu jeleknya sampai kayak
monster. Yang jelek cuma mulutnya saja kok. Badannya sih
oke. Kulitnya bagus."
"Kenapa nggak dioperasi plastik aja, ya? Mereka kan
banyak uang."
"Jangan sekali-sekali mengusulkan begitu kepada mereka.
Itu sama saja dengan penghinaan."
Akhirnya setelah merasa kebutuhan akan uang sudah
begitu mendesak, Dadang menerima juga ajakan Kurnia.
Selama ini, baik dirinya maupun Kurnia masih tinggal bersama
orangtua, jadi tidur dan makan gratis. Tetapi untuk kebutuhan
lain tak mungkin minta terus-terusan pada orangtua atau
saudara. Jangankan diberi, mereka malah didamprat atau
dinasihati.
"Sebagai lelaki, kita ini jadi nggak punya harga diri kalau
nggak punya duit," kata Kurnia.
Dadang membenarkan. Setelah umur kian bertambah,
maka semakin sulit pula mencari pekerjaan yang umumnya
mencari orang-orang yang muda dan masih segar. Tambahan
pula yang diminta adalah pengalaman kerja, padahal mereka tak
punya pengalaman apa-apa, karena belum pernah bekerja.143
Kurnia mengajari Dadang bagaimana cara menghadapi Eva
dan Evi. Bahwa mereka di-PHK oleh sebuah perusahaan
percetakan dan penerbitan tempat mereka sama-sama bekerja
karena perusahaan itu bangkrut. Setelah itu kerja serabutan, cari
order cetak atau order apa saja. Tapi hasilnya tidak memadai.
Mereka berlatih bersama dan mencari informasi perihal
perusahaan sejenis itu yang pernah bangkrut supaya bisa
memberi nama kalau nanti ditanyakan.
Seorang adik ipar Kurnia bekerja di perusahaan seperti itu,
jadi Kurnia bisa mendapat berbagai informasi yang sekiranya
dibutuhkan. Ia membaginya dengan Dadang. Setelah merasa
"ilmu" sudah cukup, keduanya mulai mendekati gadis-gadis itu.
Setiap usai pendekatan mereka bertemu untuk membahas.
Apa yang harus dilakukan kalau situasi begini dan apa yang
harus dilakukan kalau situasi begitu.
"Seandainya ada yang bertanya kenapa kita mendekati
mereka padahal mereka jelek, katakan bahwa kecantikan itu di
dalam, bukan di luar. Jangan munafik dengan mengatakan
bahwa kita tidak tahu bahwa mereka kaya. Terus terang saja,
kita sudah tahu. Nama ayah mereka kan sudah terkenal. Tak
mungkinlah kalau kita bilang tidak tahu. Nanti malah jadi
bumerang. Lalu katakan, bahwa kita merasa tersentuh karena
mereka tidak sombong walaupun kaya. Bukankah jarang orang
seperti itu? Omongan seperti itu pasti akan membuat mereka
simpati. "
Tahap pendekatan berlangsung dengan lancar. Dadang
mengikuti saja instruksi yang diberikan Kurnia. Ia menilai Eva
sebagai pribadi yang cukup baik. Sayang dia jelek, sementara
dirinya pun bertopeng. Semua hanya pura-pura. Perasaan
seperti sedang bermain sandiwara.144
"Ya, bukankah dunia ini memang panggung sandiwara?"
kata Kurnia sambil tertawa.
"Kadang-kadang kasihan juga dia dimanfaatkan begitu."
"Wah, jangan pakai kasihan! Orang lain belum tentu
kasihan sama kita. Hidup ini memang saling memanfaatkan.
Makanya jangan bodoh. Jangan terlalu tenggang rasa sama
orang. Bukan begitu caranya kalau mau sukses. Kita harus
kejam, Dang."
"Coba pikir, Kur. Bagaimana kalau suatu waktu kita jatuh
cinta pada seseorang yang benar-benar kita inginkan?"
"Percuma saja, Dang. Selama kita miskin nggak ada cewek
yang mau, apalagi kalau dia cantik. Aku tak pernah lupa
bagaimana seorang cewek bilang padaku, bahwa cinta saja
nggak bisa menghidupi. Mau makan tuh cinta? Apalagi
kebutuhan orang bukan hanya makan, masih banyak yang lain.
Hanya duit yang bisa memenuhi semuanya."
"Tapi kalau kita kawin sama mereka, tetap saja mereka
yang punya duit, bukan? Kita hanya parasit."
Kurnia jengkel. "Jangan sekaii-sekali bilang bahwa kita
parasit. Kita juga membantu mereka."
"Membantu apa?"
Kurnia menatap Dadang seakan lelaki itu dungu.
"Karena kitalah mereka jadi merasakan punya pacar, lalu
kelak punya suami. Mereka terhindar dari sebutan perawan tua."
Dadang merasa perkataan itu ada benarnya. Jadi ia bisa
mengeraskan perasaannya.
"Masih ada satu hal yang belum kumengerti, Kur. Selama
mereka yang punya duit, lalu kita punya apa?"145
Kembali Kurnia terbahak. "Aduh, kau ini kayak anak TK,
Dang. Tentu saja sebagai suami dan menantu orang kaya, masa
kita dibiarkan menganggur dan tetap miskin? Mereka malu
dong. Kita bisa masuk dalam perusahaan mereka dan mungkin
dapat jabatan dengan gaji lumayan. Kita juga bisa korupsi," kata
Kurnia tanpa malu.
Dadang mengangguk. "Ya, ya. Benar. Ah, kok nggak
kepikir. Tapi apa kau yakin orangtua mereka akan mau
menerima kita?"
"Kita lihat saja. Maka berupayalah untuk membuat mereka
benar-benar jatuh hati sama kita sampai berat berpisah. Bisa apa
orangtuanya kalau mereka sudah ingin?"
Kedua lelaki itu mengeluarkan segala jurus pemikat yang
mereka kuasai terhadap Eva dan Evi. Kedua gadis itu pun
mabuk kepayang. Bahkan Ratna, istri Simon, ibu kedua gadis,
juga jatuh sayang pada kedua lelaki yang begitu santun dan
hormat, ringan tangan dan kaki itu.
Hanya Simon Handoyo, sang ayah, yang tidak terpedaya.
Terbiasa menggunakan logika dalam setiap keputusan, ia juga
menilai dengan kritis kedua pemuda itu. Bahkan ia menggunakan detektif untuk menyelidiki sampai ia menemukan
banyak kebohongan dalam riwayat yang dipaparkan keduanya.
Tentu saja apa yang diiakukannya itu tidak sampai diketahui
oleh mereka berdua. Ia tidak memberitahu, baik kepada kedua
putrinya maupun kepada istrinya.
Simon tidak berdaya melawan istri dan kedua putrinya.
Karena sesungguhnya Ratna juga khavvatir kalau nanti takkan
ada lagi lelaki yang mau mendekati putrinya. Ya, biarkan saja
kalau ada orang mau menebeng kekayaan mereka. Yang
penting mereka akan membalas dengan mencintai putri mereka.146
"Orang-orang itu pengangguran, Ma. Tentu harapannya
bisa dapat fasilitas pekerjaan sebagai imbalan," Simon mengadu
kepada istrinya.
"Itu harapan yang wajar dong, Pa. Apa salahnya kita
membantu mereka? Apalagi kalau sudah jadi anggota keluarga
sendiri. Siapa tahu mereka punya keahlian yang bisa dimanfaatkan. Tapi kau ini ngomongnya seolah anak-anak kita dagangan
yang nggak laku aja, sampai ditaksir orang pun dicurigai
macam-macam. Menurutku, mereka baik kok. Sopan dan
sayang sama anak kita."
"Yang mengherankan kok bisa dua sekaligus yang naksir
anak-anak kita? Kayak bagi-bagi aja, seorang satu."
"Itu kan bagus, Pa. Kalau yang dapat cuma satu orang,
kasihan lainnya dong."
Ketika adu argumentasi terjadi antara ayah dan anak, Ratna
tampil membela anak-anaknya.
"Kau nggak lihat bagaimana mereka begitu mencintai
kedua pemuda itu? Bagaimana kalau mereka nekat, bunuh diri
atau kawin lari?"
Biarpun Simon tidak memercayai kemungkinan itu, ia
khawatir juga. Maka dengan terpaksa ia menyerah. Tapi ia
mensyaratkan putri-putrinya untuk membuat surat perjanjian
pranikah. Dengan demikian ada kendala bagi kedua lelaki yang
dibencinya itu untuk menguasai harta anak-anaknya.
Syarat itu tidak jadi keberatan bagi Kurnia dan Dadang.
Yang penting bisa menikah.
Kedua pasangan itu pun dikawinkan berbarengan, dengan
pesta yang boleh dibilang sederhana untuk ukuran mereka
sebagai pengusaha kaya.147
Kurnia dan Dadang mencapai sukses dalam tahap pertama,
yaitu berhasil menjadi suami dan menantu orang kaya dengan
masa depan terjamin.
Bila Dadang merasa cukup puas dari segi ekonomi, bisa
hidup nyaman dengan pekerjaan mantap dan gaji lumayan,
tidak demikian halnya Kurnia. Dia terus mengangankan lebih.
"Kan baru setahun," kata Dadang. "Segini sudah lumayan."
"Kau mau begini terus? Kita ini kayak orang disuapi, tahu?"
"Kalau pada kenyataannya memang begitu, mau apa lagi?"
"Ambisiku masih ada dan tetap kusimpan."
Dadang terkejut. "Apa? Kan ada perjanjian pra-nikah."
"Aku tidak bermaksud meminta harta istriku, tapi ingin
menguasai harta orangtuanya," kata Kurnia dengan mata
berkilat oleh keserakahan.
"Caranya?" tanya Dadang dengan cemas.
"Tentu saja satu-satunya cara adalah dengan melenyapkan
mereka."
"Mereka siapa?"
"Semua."
"Ha, semua?" Dadang membayangkan penjara atau
hukuman tembak mati.
"Ya, tapi itu nanti. Sekarang kita harus belajar dulu, pelajari
semua seluk-beluk perusahaan. Kau jangan asal kerja apa yang
disuruh saja. Dan tentu saja harus tetap pakai topengmu."
"Susah..."
"Biarpun susah harus bisa. Demi masa depan kita, Dang.
Kita akan kaya dan punya istri cantik..."
Tiba-tiba tengkuk Dadang meremang.148
"Apa... apa... Eva dan Evi juga mau dihabisi?"
"Iya dong. Memangnya kau mau punya istri jelek
sepanjang hidupmu? Bukankah kau sendiri sering mengeluh
tidak tahan melihat mulutnya yang tonggos?"
"Kasihan juga, Kur. Orangnya baik. Kalau diamati, yang
jelek cuma rahang atasnya saja. Kalau dia mau dioperasi plastik
pasti cantik."
"Percuma. Dia nggak akan mau."
"Dari mana kau tahu?"
"Aku pernah usul begitu sama Evi. Dia marah sekali dan
langsung menuduhku macam-macam. Dia bilang kalau aku
anggap dia jelek, buat apa dari dulu mau sama dia? Apa karena
dia kaya?"
"Lalu kaujawab apa?"
"Aku sadar harus menahan diri. Aku bilang itu cuma usul.
Kalau nggak mau ya nggak apa-apa. Dia udah cantik kok.
Wah, dia keki lagi. Katanya aku gombal. Dia tahu dirinya jelek,
nggak perlu dibohongin. Aku bilang dia punya kelebihan lain
yang membuatnya cantik. He he he. Kulitnya putih dan mulus,
kan? Itu menyenangkan hatinya."
"Si Evi memang rada judes. Eva nggak."
"Sebaiknya jangan cari gara-gara. Ngapain operasi segala.
Belum tentu hasilnya bagus, kalau malah jadi lebih jelek,
gimana?"
Kemudian Kurnia mengusulkan agar mereka melenyapkan Simon paling dulu, karena ia menilai mertuanya itu
sebagai batu sandungan. Sudah dari awal terlihat bahwa Simon
tidak menyukai mereka berdua, dan selanjutnya jadi semakin
tidak suka. Padahal mereka sudah berupaya dengan segala cara
untuk mengambil hatinya. Pekerjaan yang diberikan di149
perusahaan farmasinya pun cuma pekerjaan ringan yang tidak
penting. Hanya sebagai pengawas bagian sales, Sedang Dadang
masih lebih baik, yaitu membantu istrinya di apotek. Jadi jarang
berhubungan dengan Simon. Eva seorang apoteker, sedang Evi
sarjana farmasi.
"Caranya?" tanya Dadang. Ia juga tidak menyukai Simon,
jadi perasaannya lebih tega.
"Pakai racun," sahut Kurnia ringan.
Dadang tersentak. Meskipun ia membenci Simon, tapi
membunuh itu tetap terasa mengerikan.
"Racun apa?"
"Aku sudah mempelajari ramuan berbagai racun, seperti
arsen, sianida, dan beberapa lagi. Kalau dicampur tidak akan
memperlihatkan gejala keracunan bahan tertentu, tapi seperti
kena penyakit kronis."
"Kronis? Jadi nggak segera mati?"
"Kalau langsung mati pasti mencurigakan."
Melihat wajah Dadang yang terlihat ngeri, Kurnia tertawa.
"Ayo, jangan bilang kau mundur. Kita sudah sepakat dari
awal. Rencana harus terus berjalan."
"Dia kan sudah tua, Kur. Nanti juga bisa mati sendiri."
"Hei, ada orang yang umurnya sampai seratus tahun, tahu?
Nanti malah kau yang mati duluan. Kau mau menunggu
sampai kau sendiri menjadi tua dan loyo? Apa yang mau
kaunikmati kalau sudah kayak gitu? Punya uang juga percuma."
"Lalu siapa yang bisa memberinya racun tanpa ketahuan?"
"Tentu saja kita. Kesempatan bisa dicari kapan saja. Ingat,
setiap akhir pekan kita semua makan bersama. Di kantor aku
sering melihatnya minum teh jahe."150
"Tapi kalau ada yang lihat..."
Dadang tak berani membayangkan akibatnya kalau
tertangkap tangan.
"Sudah kubilang, kesempatan bisa dicari. Kalau saat itu
nggak dapat, masih ada kesempatan berikut. Begitu seterusnya."
"Kau seperti orang nggak tahan saja, Kur."
"Emangnya kau nggak? Pura-pura alim, padahal mata
pengin loncat kalau melihat cewek cakep. Jadi terpaksaiah
membayangkan orang lain kalau sedang bercinta sama istri.
Habis mau gimana lagi?"
Dadang tertawa karena ia pun melakukan hal yang sama.
Bahkan berciuman dengan Eva pun tak terasa nikmatnya karena
gigi Eva terkadang suka mencocok bibirnya.
Mereka membagi dua ramuan racun yang telah dibuat


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurnia. Masing-masing membawa sendiri di dalam saku supaya
bisa digunakan bila siapa saja di antara mereka memiliki
kesempatan. Tapi kesempatan lebih banyak dimiliki Kurnia
dibanding Dadang, karena Kurnia sekantor dengan Simon.
Sedang Dadang sehari-hari di apotek bersama Eva.
Kurnia mengajari Dadang berapa banyak yang mesti
ditaruh dalam makanan atau minuman Simon.
"Sedikit saja cukup membuatnya sakit."
Kurnia seperti seorang ahli saja, karena usahanya terbukti
berhasil. Simon jadi sakit-sakitan sampai akhirnya jatuh koma.
Dan tak ada diagnosa bahwa dia keracunan. Dalam pemeriksaan
darah dan urin memang ditemukan kandungan arsen, tapi kecil,
masih dalam batas normal.
Pada akhirnya mereka sukses dalam tahap kedua. Simon
Handoyo meninggal tanpa diotopsi. Bahkan dikremasi hingga
tubuhnya yang mengandung berbagai zat racun itu tak bisa151
diperiksa. Abunya pun ditabur di laut. Sudah hilang semua
bukti.
Sepeninggal Simon, istrinya Ratna menggantikan
suaminya memimpin perusahaan. Biarpun usianya sudah enam
puluh tahun, tapi ia masih gesit dan cerdas, ia sudah tidak asing
lagi dengan manajemen perusahaan karena terbiasa bekerja
sama dengan suaminya.
Tapi Ratna tidak dianggap sebagai batu sandungan oleh
Kurnia dan Dadang, karena Ratna menyayangi mereka. Tidak
seperti Simon yang terang-terangan tidak suka dan dalam
berbagai kesempatan suka memarahi atau menghardik
keduanya.
Sebenarnya Dadang sudah merasa lega oleh situasi yang
baru ini. Ia mengira Kurnia sudah cukup puas karena berhasil
menyingkirkan Simon. Tapi kemudian ia terkejut ketika Kurnia
mengatakan ingin juga me-nyingkirkan Ratna!
"Hei, kau nggak mikir dia sayang sama kita?" seru Dadang.
"Sayang sih sayang, tapi rencana tetap berjalan."
"Dia itu sudah seperti ibu bagi kita."
Kurnia tertawa sinis. "Ibuku cuma satu. Dia yang
melahirkan aku."
Dadang geleng-geleng kepala. "Aku keberatan, Kur."
Kurnia marah. "Tanganmu sudah kepalang kotor, Dang.
Dicuci pun takkan bisa bersih."
Dadang tertegun. Ia takut kepada Kurnia. Apalagi katakata Kurnia itu ada benarnya. Ia sudah ikut berkomplot
membunuh Simon. Ia pun seorang pembunuh. Dosanya sama
besar dengan Kurnia.
"Setiap rencana bisa ditunda. Tidak terkecuali rencanamu.
Kau harus lihat dulu strateginya di perusahaan."152
"Nah, ngomong begitu masih lebih baik daripada bilang
keberatan."
Kemudian terjadi perkembangan yang memuaskan Kurnia.
Sekarang dalam setiap rapat perusahaan, dia dan Dadang selalu
diikutsertakan. Dulu semasa Simon masih hidup, mereka tak
pernah diajak.
Lalu Kurnia mendapat promosi. Dia jadi manajer
penjualan. Sementara Dadang masih tetap membantu Eva, tapi
dua hari dalam seminggu ia ke kantor pusat dan sehari ke
pabrik. Ratna menyuruhnya belajar dan mengamati prosedur
kerja.
Yang seperti itu merupakan kemajuan besar bagi keduanya.
Jelas bahwa promosi yang mereka peroleh itu merupakan jalan
ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi Kurnia masih belum puas.
"Bagaimanapun kita ini tetap saja karyawan, Dang."
Dadang sulit menerima jalan pikiran Kurnia.
"Lho, dari semula kita memang bukan pemilik. Mana
mungkin bisa merampas milik orang semuanya?"
"Mungkin saja. Asal tahu caranya."
"Ya. Dengan membunuh semuanya. Apa kaupikir kalau
semuanya musnah, hartanya akan jatuh ke tangan kita?"
"Kalau si ibu mati, hartanya jatuh ke tangan anak. Kalau
anaknya mati, siapa lagi kalau bukan suami yang dapat?" kata
Kurnia ringan, seakan nyawa manusia itu mainan belaka.
"Itu kasar sekali, Kur. Sudah pasti akan ada yang curiga,
lalu diselidiki. Maka selanjutnya, boro-boro jadi kaya, kita
malah ikut mati juga karena dihukum tembak."153
"Aku sudah bilang, ada caranya. Dan kita pun harus sabar
kalau mau hasil besar."
"Menurutku, lebih baik jangan membunuh lagi, Kur. Aku
merasa nggak nyaman. Belakangan ini saja aku sering mimpi
buruk tentang Pak Simon. Apa kau nggak?"
"Nggak," sahut Kurnia tanpa beban.
"Kok bisa sih?"
"Bisa saja, asal jangan cengeng. Dan aku pikir kau memang
cengeng. Pendeknya kau harus ikut serta dan mengikuti caraku,
karena apa yang kauperoleh sekarang ini berkat aku juga. Kalau
nggak, kau akan tetap jadi kere."
Dadang cemberut. Ia tidak mau membantah lagi. Biar
sajalah Kurnia berangan-angan dan berencana sen-diri. Ia tidak
mau ikut.
Tapi Kurnia tidak khawatir. Dadang sudah terlibat. Jadi tak
mungkin bisa lepas dari cengkeramannya. Kalau Dadang sampai
menjerumuskannya, maka Dadang sendiri akan ikut terjerumus.
Sebenarnya Dadang masih punya harapan bahwa Kurnia
akan membatalkan rencana jahatnya kepada Ratna. Kalau Ratna
berhasil mengambil hati Kurnia, dengan menyayangi dan
memberinya kedudukan yang lebih baik lagi, mustahil Kurnia
tega kepadanya.
Tapi Dadang belum mengenal Kurnia dengan baik. Ketika
Dadang memberitahu Kurnia soal kehamilan Eva, Kurnia
marah besar.
"Bukankah sudah kubilang jangan dulu punya anak?
Tepatnya, kita nggak boleh punya anak!"
Kemarahan Kurnia membuat Dadang menyesal telah
memberitahu.
"Sudah telanjur, Kur, mau diapain lagi?"154
"Belum terlanjur. Kehamilannya masih dini."
"Jadi mau diapain?" tanya Dadang cenias.
"Gugurkan."
"Apa? Mana mungkin Eva mau melakukannya."
"Bukan dia yang melakukan. Tapi kau."
"Aku? Ah..." Dadang menatap Kurnia seolah lelaki itu
sudah gila.
"Ya, kau beri dia obat yang bisa menggugurkan. Tentu saja
tanpa sepengetahuannya. Bukankah kau sudah berpengalaman
dengan mertuamu?"
Kurnia tertawa sementara Dadang merasa syok. Ia
menyesal telah memberitahu Kurnia. Pelajaran pahit untuknya.
"Bukankah dari dulu sudah kubilang, usahakan jangan
sampai dia hamil? Salahmu sendiri."
"Tapi... tapi kan nggak apa-apa kalau aku punya anak?"
"Gimana kalau nanti anakmu itu juga tonggos seperti
ibunya? Itu kan turun-temurun..."
"Biarin," kata Dadang spontan. "Mau jelek atau apa, dia
anakku."
Kurnia melotot. Wajahnya menampakkan kegusaran yang
membuat Dadang ngeri.
"Enak aja kau ngomong! Kau sudah melanggar
kesepakatan yang kita buat bersama!"
Tiba-tiba Dadang merasa tersulut. Semut diinjak pun akan
menggigit.
"Stop sampai di sini, Kur. Aku tak mau melanjutkan
Fairish Karya Esti Kinasih The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh 03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini