Ceritasilat Novel Online

Dua Menantu 3

Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 3


kesepakatan itu. Bukankah tak ada hitam di atas putih? Itu cuma
sekadar omongan yang tak ada kekuatannya."155
"Jadi kau nggak mau? Kau tak ingat jasa-jasaku sampai kau
hidup senang sekarang ini?"
"Bukan begitu, Kur. Aku nggak mau lagi membunuh. Aku
sudah berdosa, nggak mau nambah lagi."
Kurnia tampak gemetar oleh kemarahan. Sepertinya dia
akan menerjang Dadang untuk menghantamnya. Dadang pun
mundur dengan sikap siaga.
Wajah Kurnia sudah merah padam. Tampak berusaha keras
untuk menekan emosinya. Tiba-tiba sikapnya normal lagi.
Seperti ada sesuatu yang membuat emosinya reda, bagai air
panas mendidih diguyur air dingin.
"Oke, sekarang kau ngomong begitu. Tapi besok lusa
mungkin saja kau berubah pikiran. Kalau itu yang terjadi, aku
selalu siap menunggu."
Setelah berkata begitu Kurnia pergi meninggalkan Dadang
yang merasa syok. Tadinya ia yakin Kurnia akan memukulnya
atau setidaknya mengancamnya.
Tapi Dadang menahan keinginannya untuk berkata, "Aku
tidak akan berubah pikiran!" Ia hanya mengangguk tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Bicara seperti itu hanya akan
membuat emosi Kurnia kembali tersulut. Lalu seperti biasa ia
akan kalah dalam perdebatan, ia pun takut akan akibatnya.
Selama setahun ia memang berhasil menghindarkan Eva
dari kehamilan tanpa sepengetahuan Eva. Hal itu disebabkan
karena ia mengikuti cara Kurnia yaitu dengan mengkonsumsi
pil kontrasepsi khusus pria. Pil itu masih jarang digunakan
masyarakat umum karena kaum pria merasa enggan. Dengan
memakan pil itu jumlah sperma yang dihasilkan dan kualitasnya
berkurang. Kcengganan kaum pria mengkonsumsinya adalah156
ketakutan kalau-kalau mereka akan jadi mandul untuk
seterusnya.
Dadang sendiri juga mengkhawatirkan hal yang sama.
Karena itulah setelah setahun ia menghentikan pemakaiannya.
Selanjutnya Eva pun hamil!
Di satu sisi Dadang merasa senang karena ternyata
kekhawatirannya tidak terbukti. Tapi di sisi lain ia takut akan
reaksi Kurnia. Ternyata benar, Kurnia marah besar. Namun
sudah telanjur. Ia merasa harus menerima risikonya. Bukan
hanya tak ingin menambah dosa, tapi jauh di dalam lubuk
hatinya ia sendiri menginginkan anaknya. Tapi ia juga sadar,
kalau menginginkan anak-nya, maka ia harus mempertahankan
ibu anak itu. Tak bisa lain.
"Betul kau senang, Mas?" tanya Eva, manja. Sebenarnya ia
bukan menanyakan kepastian, hanya ingin bermanja saja.
Dadang memeluk Eva. Dengan memeluk, ia tak perlu
melihat wajahnya. Ia mencium leher, tak perlu melihat wajah
juga. Eva senang sekali. Setelah cukup lama ia punya feeling
bahwa sikap Dadang mendingin dan seolah menjauh, baru
sekarang ia merasakan kehangatan yang ia dambakan.
"Tentu saja aku senang. Mana ada orang yang tak senang
menjadi calon ayah. Bukti bahwa dirinya tidak mandul."
Dadang menyuarakan perasaan hati yang sebenarnya.
"Jadi kau senang hanya karena tidak mandul?"
"Ah, bukan. Itu hanya salah satu. Aku senang karena akan
punya anak. Selamat untuk kita berdua, ya!"
Mungkin itu untuk pertama kalinya Dadang tidak berpurapura. Lalu dengan heran ia merasa betapa lega dan senang bisa
berbuat begitu. Topeng sudah terlalu lama dikenakan.157
Tapi sebenarnya masih ada satu hal yang mengganggu,
yaitu wajah Eva yang menyebalkan. Biarpun demikian ia sudah
belajar bagaimana supaya tidak perlu menatap wajah Eva lamalama tanpa membuat wanita itu menyadarinya dan tersinggung.
Lama berpura-pura dan menahan diri telah membuat ia tidak
lagi merasa sulit. Orang bisa karena terbiasa.
Sudah beberapa kali terniat untuk mengusulkan bedah
plastik kepada Eva, tapi ia membatalkan karena teringat pada
peringatan Kurnia. Eva bisa marah dan kemudian meragukan
cintanya. Maka semua yang dibangun dengan susah payah
menjadi rusak. Apa juga pedulinya kalau wajah Eva buruk
seperti monster? Ia sudah telanjur jauh dengan pemikiran bahwa
pernikahannya dengan Eva hanya sebagai batu loncatan saja,
jadi tidak berlaku selamanya. Kelak ada saatnya pernikahan itu
akan berakhir, meskipun tak terbayangkan bagaimana caranya.
Belakangan niat itu terkadang muncul, saat ia membayangkan betapa senangnya bisa mengamati sebuah wajah
yang manis berlama-Iama, tanpa harus melengos atau
mengalihkan pandang. Tapi kalaupun untuk kesekian kalinya
niat itu batal bukan karena kekhawatiran bahwa Eva akan
mencurigainya, tapi karena kasihan! Apalagi sekarang Eva
sedang mengandung, jelas bedah seperti itu tak mungkin
dilakukan.
Ia rajin dan bersemangat mengantarkan Eva ke dokter
untuk pemeriksaan rutin. Ia juga kerap mengingatkan Eva agar
berhali-hati menjaga kesehatan dan mewaspadai makanan,
terutama obat-obatan. Lalu ia heran sendiri, kenapa bisa
menaruh perhatian seperti itu tanpa kepura-puraan. Sikap
spontan itu terasa gampang saja dilakukan. Tanpa harus dipikirpikir dulu.158
Mungkin pengaruh anak dalam kandungan Eva, pikirnya.
Tentu karena ia menyayanginya. Apa lagi kalau bukan. Ia
meremang mengenang anjuran Kurnia untuk menggugurkan
kandungan Eva atau dengan kata lain membunuh anak itu.
Aneh juga. Sepertinya ia justru tidak tega disuruh membunuh
sebuah janin yang belum berbenluk ketimbang seorang dewasa
seperti Simon. Apa karena yang satu merupakan darah dagingnya, sedang yang lain bukan?
Pikiran itu bukan hanya membuatnya ngeri, tapi juga
merasa harus waspada terhadap apa saja yang mungkin
dilakukan Kurnia terhadap Eva. Selalu ada kemungkinan Kurnia
melakukannya dengan diam-diam, tanpa merasa perlu
mengatakan kepadanya lebih dulu. Lalu bila suatu waktu Eva
benar-benar keguguran, Kurnia bisa saja membantah dirinya
yang melakukan. Ia sudah tahu bahwa Kurnia cerdik dan
banyak akal. Tadi mereka berpisah tanpa kejelasan apa yang
mau dilakukan Kurnia. Tapi ia sadar, Kurnia bukan orang yang
gampang menyerah.
Biarpun menyimpan kekhawatiran, tapi ia juga yakin
Kurnia belum akan berbuat sesuatu dalam waktu dekat. Ia akan
berpikir dulu dan membuat rencana. Kurnia tidak akan
segegabah itu untuk bertindak di luar perhitungan. Apalagi
hanya mengikuti emosinya saja. Jadi untuk saat ini ia masih
punya waktu untuk berbuat atau mempersiapkan diri, meskipun
ia belum tahu apa yang mau dilakukannya.
Hal lain yang menyenangkannya adalah sikap Ratna yang
terasa lebih sayang kepadanya sejak Eva hamil. Ratna memang
terus terang mengatakan kepadanya bahwa ia senang sekali
akan mempunyai cucu. Dan ia berharap Kurnia dan Evi pun
akan segera menyusul.159
Perasaan Dadang jadi geli membayangkan reaksi Kurnia
bila Ratna berkata begitu kepadanya. Atau mungkin Evi yang
ikutan merengek karena merasa iri kepada Eva. Bayangkan
topeng yang harus dikenakan Kurnia pada waktu menanggapi
kata-kata mereka. Pastinya harus ekstra tebal.
Selama rencananya belum terlaksana, Kurnia pasti tidak
berani macam-macam. Bila ia sampai memperlakukan Evi
dengan kasar, lalu Evi mengadu kepada ibunya, maka Ratna
pasti akan bertindak. Dan kalau hal ekstrem terjadi, misalnya
Evi menuntut cerai, maka sudah pasti pula Kurnia akan didepak
dari perusahaan.
Kurnia jelas tidak sebodoh itu.160
7 EVI memang merasa iri kepada Eva, kakak yang selisih usianya
dua tahun.
"Aku pengin juga lho," katanya sedih.
"Sabar saja, Vi. Biar yang lebih tua duluan."
"Tenis gimana reaksi Dadang?"
"Tentu aja senang. Dia jadi lebih hangat dan perhatian.
Tadinya suka cuek dan dingin. Sampai aku sempat curiga sama
dia."
"Curiga gimana?"
"Kalau-kalau ada orang ketiga."
"Coba saja kalau berani. Emangnya siapa yang kasih dia
makan?"
"Wah, jangan gitu, Vi. Kasihan dong kalau sampai
digituin."
"Emangnya dia nggak kasihan sama kau?"
"Hei, kau kok ngomong seperti beneran sih? Aku kan
belum pasti."
"Tapi orang nggak akan curiga tanpa sebab. Ayo, coba
bilang ada petunjuk apa? Nemu SMS mesra dari cewek atau apa
yang lain?"
"Ah, nggak seperti itu. Dia cuma suka melamun. Kadangkadang sampai nggak sadar ada aku di dekatnya."161
"Nah, itu bisa juga jadi petunjuk. Awasi dia, Va. Sesekali
periksa hapenya."
Eva tak menyangka adiknya bisa bersikap demikian.
"Kita harus waspada," Evi menjelaskan. "Aku paling benci
dibohongi. Emang kau nggak?"
"Tentu saja iya. Tapi kita nggak boleh terlalu curiga kayak
orang paranoid."
"Bukan paranoid. Sikap itu justru perlu buat kita."
"Ah, kenapa?"
Evi selalu menganggap dirinya lebih pintar dibanding
kakaknya. "Kita ini kan nggak cakep, Va. Tapi kita kaya.
Jangan sampai kita membiarkan diri dimanfaatkan."
Eva terkejut mendengar kata-kata itu. Kurang-lebih seperti
peringatan ayah mereka dulu, ketika melarang mereka
berhubungan dengan Kurnia dan Dadang. Tapi waktu itu
Simon tidak terus terang mengatakan bahwa mereka tidak
cakep, tapi menonjolkan segi kekayaan saja.
"Jadi kaya itu menyenangkan," begitu kata Simon. "Tapi
itu juga mengundang niat jahat orang. Bisa dimanfaatkan kalau
kita lengah. Mereka bisa aja pura-pura baik, pura-pura cinta..."
"Kenapa baru sekarang kau ngomong begitu, Vi? Dulu
waktu Papa masih ada, justru kau yang paling keras mendesak
supaya mau menerima Kurnia dan Dadang. Bahkan kau sampai
mengancam untuk bunuh diri kalau sampai dilarang."
"Mau tahu sebabnya? Aku bosan menjomblo, aku juga
nggak mau jadi perawan tua. Biarin aja deh dimanfaatin juga.
Yang penting kita bisa merasakan bagaimana bercinta dan
punya suami. Apalagi Kurnia dan Dadang itu cakep. Memang
Papa bilang mereka itu playboy. Biarin. Maunya sama harta kita.
Biarin. Yang penting kita bisa mengendalikan mereka. Mereka162
pasti tahu apa yang akan terjadi kalau sampai mengkhianati kita.
Out!"
Evi berseru sambil memeragakan dengan tangannya, seolah
mengusir.
Eva terkejut lagi. Baru sekarang Evi berterus terang
tentang pemikirannya itu. Ia sendiri tak pernah berpikir begitu.
Banyak orang menganjurkan agar selalu berpikir positif. Maka
itulah yang selalu dilakukannya.
"Setelah lebih dari setahun, bagaimana penilaianmu tentang
Kurnia? Pernahkah kau mencurigainya?" Eva ingin tahu.
"Selama ini dia baik-baik saja. Sikapnya baik dan hangat.
Dia juga begini kalau di tempat tidur..." Evi menunjukkan ibu
jarinya. "Jadi sampai saat ini aku puas. Tapi aku tetap waspada.
Aku selalu memeriksa hapenya, menggeledah dompetnya, saku
baju dan celananya..."
Eva geleng-geleng kepala. Tak menyangka sampai sejauh
itu. Tapi ia tidak berniat meniru. Sesungguhnya, ia juga takut
kalau-kalau menemukan sesuatu yang jelek. Barangkali lebih
baik tidak tahu atau menerima saja seperti apa adanya, biarpun
sesekali Dadang tampak misterius. Apalagi sekarang ia merasa
telah mendapat anugerah berupa kehamilannya. Dadang pun
kelihatan senang. Ia menilai sikap Dadang wajar dan spontan.
Bukan dibuat-buat.
Eva juga merasa lebih beruntung daripada Evi karena dia
sudah hamil sedang Evi masih belum ada perkiraan. Tapi
perasaan ini ia simpan rapat-rapat karena tak ingin membuat
Evi lebih iri lagi. Sejak kecil Evi sangat peka akan perbedaan di
antara mereka berdua.
"Kalau begitu, bagus dong, Vi. Nggak ada yang perlu
kauresahkan."163
"Kau tahu si Ninet, anak buahnya di sales!"
"Nggak tahu. Kenapa?"
"Cewek itu kelihatannya naksir sama Kurnia. Dia memang
cakep sih."
"Wah, kau tahu dari mana? Ada yang membisikkan?"
"Nggak sih. Aku pernah memergoki saat dia lagi
mandangin Kurnia. Matanya kayak orang kelaparan."
Eva menahan ketawanya.
"Terus, gimana sikap Kurnia?"
"Kelihatannya sih dia cuek aja. Itu bukan hasil
pengamatanku saja lho. Aku juga punya mata-mata di bagiannya..."
"Wah, hebat sekali kau."
"Ya, cewek itu memang berupaya memikat Kurnia, tapi
nggak pernah dianggap. Kurnia selalu bersikap profesional.
Terakhir kudengar si Ninet dipindahkan ke bagian pengepakan.
Ha ha ha... aku senang banget."
"Berani-beraninya itu cewek, mau memikat suami bos
sendiri. Masih bagus dia nggak dipecat. Aku salut deh sama
Kurnia. Pantaslah kalau kau makin sayang sama dia."
"Mestinya sih begitu..."
"Mestinya? Memangnya ada apa lagi?"
"Entahlah. Masih ada yang mengganjal. Kadang-kadang
masih kepikiran, kenapa cowok seganteng itu mau sama aku
yang jelek. Nggak heran dong kalau aku suka menyangka jelek
juga."
"Ya sudah, Vi. Terima aja. Daripada kamu jadi paranoid,
mikir jelek terus."
"Aku pernah marah besar sama dia."164
"Kenapa?"
"Dia pernah menganjurkan aku bedah plastik. Ini..." Evi
menunjuk rahang atasnya.
Tanpa sadar Eva pun mengelus mulutnya. Dia memiliki
kesamaan dengan Evi, hingga dalam hal itu Evi tidak perlu iri
kepadanya.
"Aku bilang nggak mau. Kalau dia memang nggak suka
mukaku seperti ini, kenapa dia mau sama aku?"
"Terus?"
"Dia bilang, dia suka sama aku. Itu cuma usul saja supaya
aku jadi lebih cantik. Kumaki dia gombal. Aku bilang, kalau
sudah jelek ya jelek saja. Kenapa mau diubah-ubah. Kenapa pula


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tertarik padaku yang jelek ini? Eh, katanya aku nggak jelek.
Aku punya kelebihan, karena punya kulit yang putih dan halus.
Juga aku ini cantik di dalamnya, bukan luarnya. Kutanyakan,
tahu dari mana? Memangnya dia bisa lihat kedalaman aku?
Katanya, biarpun kaya aku nggak sombong. Sama orang miskin
kayak dia pun aku mau. Wah, hilang deh kemarahanku."
"Eh, yang seperti itu pun pernah dikatakan oleh Dadang.
Kok sama, ya?"
"Bahwa kita memiliki kelebihan kulit yang putih mulus?
Ya, katanya dia dan sahabatnya Dadang punya selera yang sama.
Karena itu dia mengenalkan Dadang juga."
Eva teringat, awalnya dialah yang kenal lebih dulu dengan
Kurnia ketika Kurnia membeli obat di apoteknya. Dia juga
tertarik pada Kurnia karena kegantengannya. Tapi setelah
Kurnia mengenalkan Dadang padanya dan juga Evi, segera saja
Evi mendekat pada Kurnia sementara dia menerima Dadang.
Dari dulu dia sudah biasa mengalah pada Evi.165
"Tapi sekarang aku mulai pikir-pikir tentang bedah plastik
itu, Va," lanjut Evi.
Eva terkejut. "Kau nggak takut kalau nanti gagal? Belum
sakit yang harus ditanggung. Nanti kan mulutmu yang harus
dipotong. Makannya gimana?"
"Namanya bedah, semua juga sakit. Jangankan di situ, di
bagian lain juga sama sakitnya."
"Kau serius?" Eva bertanya dengan wajah ngeri. Ia
membayangkan gigi yang harus dicabut dan rahang atas
dipotong.
Evi tertawa. "Aduh, mukamu itu seperti lihat horor aja.
Aku mau konsultasi dulu."
"Sudahlah, Vi. Jangan macam-macam. Terima saja apa
yang diberikan Tuhan dan puas dengan itu."
"Kita juga diberi akal oleh Tuhan untuk digunakan, Va.
Kita pun punya uang sendiri. Nggak minta-minta atau
korupsi."
"Bukan begitu, Vi. Tapi risikonya bisa saja gagal. Nanti
bukan saja jadi lebih jelek, tapi malah cacat. Sudahlah.
Bukankah Kuraia pun sudah menerimamu seperti ini?"
"Dia pernah menyarankan, berarti sesungguhnya dia punya
angan-angan juga. Kalau berhasil, dia pasti senang sekali."
"Jadi sebenarnya kau cuma ingin menyenangkan hatinya
saja? Jangan, Vi...."
"Tentu saja nggak. Aku juga ingin cantik."
"Sudah kubilang, pikirkan juga risiko buruknya."
"Ya, ya. Konsultasi dulu kan nggak ada salahnya."
"Di mana? Apa dokter di sini ada yang bagus?"
"Aku ke Singapura aja."166
"Tapi jangan sembarang percaya dulu. Tentu saja dia akan
bilang nggak ada risiko atau apalah yang bagus-bagus. Ingat,
yang nanggung akibatnya itu kau sendiri."
"Beres. Aku akan ingat."
"Ngomong dulu sama Kurnia."
"Iya dong. Tapi jangan bilang sama Mama bahwa aku
dapat ide dari Kurnia, ya?"
"Kenapa?"
"Mama pasti nggak suka."
"Mama juga nggak akan setuju, Vi."
"Biarin. Mama kan nggak bisa melarang. Hei, aku belum
pasti kok. Kenapa kau sudah ribut? Aku cuma mau konsultasi
dulu. Apa operasi semacam ini bisa atau nggak, ada risiko atau
nggak. Dokter pasti lebih tahu dari kau."
"Tapi dia pasti akan bilang bisa dan gampang. Ada objekan
masa ditolak sih."
"Sudah, ah. Lihat saja nanti."
Eva termenung sesudahnya. Entah kenapa dia mengkhawatirkan keinginan Evi itu. Kenapa baru saja keinginan itu
muncul, bukan dari dulu sejak Kurnia mengatakannya? Ia
curiga jangan-jangan itu disebabkan karena Evi merasa iri
kepadanya yang telah hamil hingga bisa menyenangkan
Dadang, sementara dia belum.
Ketika ia mengutarakan hal itu, Evi tertawa meremehkan.
"Aku nggak iri sama kamu. Buat apa? Kan seperti kau
bilang sendiri, bahwa masih ada waktu untuk hamil, biar kau
yang lebih tua duluan."
"Kadang-kadang ada orang yang susah hamil, Vi. Bisa dari
pihak istri, bisa juga dari suami."167
"Itu urusan belakangan. Mumpung aku belum hamil, aku
bisa berbuat apa saja. Nggak seperti kau. Jangan-jangan malah
kau yang iri," Evi berkata kesal.
Eva terdiam. Dulu ia memang sempat iri, karena awalnya ia
lebih tertarik kepada Kurnia daripada Dadang. Kurnia memang
lebih ganteng. Tapi karena Evi merengek, maka ia mengalah.
Lagi pula kedua lelaki itu sepertinya tidak memilih, siapa saja di
antara mereka. Yang mana saja jadi. Sepertinya hal itu lucu.
Apakah karena dia dan Evi mirip?
Tapi sekarang ia tidak lagi merasa iri akan hal itu. Dadang
juga lumayan ganteng. Apalagi ia sendiri merasa harus tahu diri.
Kalau nanti berpasangan dengan Kurnia, mungkin perbedaan
mereka berdua terlalu besar.
"Eh, kau jangan cerita dulu sama Dadang, ya," pesan Evi.
"Nantilah kalau sudah pasti dan jadi."
"Tapi sama Kurnia kau harus bilang."
"Tentu saja."
Sesudah itu Eva merasa terganggu juga. Ia sempat berpikir
bila kelak operasi Evi berhasil lalu berubah menjadi cantik,
apakah Dadang tidak akan merasa iri? Bagaimanapun dia dan
Evi akan menampakkan perbedaan yang besar. Si Cantik dan si
Jelek. Memang dia bisa memberikan anak sedang Evi belum,
tapi tidak pasti bahwa Evi tidak mampu hamil. Apakah
sebaiknya ia mengikuti jejak Evi sesudah si bayi lahir nanti?
Di luar dugaan Evi, Kurnia tidak kelihatan bersemangat. Ia
malah terlihat heran.
"Emangnya kenapa?"
"Lho, kan dulu kau sendiri yang menganjurkan? Sekarang
aku mikir-mikir..."
"Mikir-mikir apa?"168
Evi tidak menyukai cara Kurnia menatapnya. Seperti mau
menyelidiki.
"Kenapa kau melihat aku seperti itu?"
"Dulu kau marah sekali. Aku sampai takut. Sekarang kau
ingin sendiri. Tentu aku jadi bingung."
"Nggak usah bingung. Tiap orang kan butuh proses. Nah,
gimana menurut pendapatmu? Tentu saja aku harus konsultasi
dulu. Tanya kemungkinannya, risikonya..."
"Di mana?"
"Di Singapura saja. Nanti kau ikut, ya?"
"Nggak, ah."
"Nggak?" Evi mengerutkan kening. Sudah mau marah.
"Aku nggak setuju."
"Kenapa? Mestinya kau senang dong."
"Aku kasihan sama kau. Apa kaupikir bedah plastik itu
seperti orang bikin boneka, tempel sana-sini, buang sana-sini?
Meskipun dibius, tapi sesudahnya sakit sekali. Butuh waktu
lama untuk pulih. Mungkin operasinya nggak cukup sekali,
harus beberapa tahap. Gimana kalau ada efek samping? Gimana
kalau hasilnya nggak bagus?"
Evi tertegun. Itukah keberatan Kurnia? Semata-mata demi
dirinya?
"Sudahlah, Vi. Aku senang sama dirimu yang asli. Kalau
diubah-ubah aku malah jadi asing sama kamu. Nanti aku
terkejut-kejut lihat kamu, kirain orang lain."
Evi merasa senang. Itu adalah penolakan yang sangat
menyenangkan. Bila Kurnia memang menyukai dirinya yang
sekarang, kenapa pula harus diubah? Ia sendiri pun sebenarnya
takut akan risiko yang harus ditanggung. Ia senang sekaligus169
lega. Ia menganggap pendapat dan pendirian Kurnia itu sudah
merupakan suatu kejelasan baginya. Segala kecurigaan dan
keraguan lenyap sudah.
"Kau tidak menyesal karena telah melarangku, Mas?"
"Lho, kenapa harus menyesal? Aku justru akan menyesal
kalau terjadi apa-apa denganmu," kata Kurnia dengan lancar. Ia
tahu, Evi senang dengan larangannya. Mungkin hal itu juga
yang ia harapkan.
Kurnia tahu, ujian sudah berhasil ia lewatkan dengan baik.
Dengan bangga, Evi menceritakan hal itu kepada Eva.
"Oh, aku ikut senang, Vi," kata Eva, sesuai dengan perasaan
sesungguhnya.
"Ya, aku tahu," Evi sinis.
"Karena aku memang nggak setuju?"
"Bukan. Karena kau nggak perlu lagi iri sama aku."
Sebenarnya Eva ingin membalas bahwa kehamilannya bisa
bikin Evi iri, kalau tak ada kelebihannya yang lain yang bisa
dibanggakan. Tapi ia bisa menahan diri karena menganggap tak
ada untungnya bila nanti jadi pertengkaran yang berkepanjangan. Dari dulu Evi biasa seperti itu.
Biarpun tidak diutarakan Eva, sesungguhnya Evi
menyadari hal itu.
"Pada suatu saat aku akan hamil juga. Biarlah sekarang aku
menikmati dulu masa berduaan. Kalau sudah punya anak, mana
bisa?"
"Ya, benar, Vi. Kenapa kau tak bikin rencana jalan-jalan ke
mana, gitu? Bulan madu lagi. Katanya, suasana seperti itu bisa
mendorong terjadinya kehamilan."
"Oh ya? Ke mana ya kira-kira?"170
"Tanyakan Kurnia saja."
Evi betul-betul menanyakannya kepada Kurnia. Yang
ditanya tampak berpikir dulu. Evi tidak mengerti kenapa kalau
ia menanyakan sesuatu, Kurnia tak pernah menjawab spontan.
Selalu berpikir dulu.
"Wah, boleh juga tuh," jawab Kurnia.
Tampaknya cukup gembira, tapi tak ada spontanitas.
"Punya ide mau ke mana?" tanya Evi.
Kurnia menggeleng. "Kau saja menentukan. Aku ngikut.
Tapi... perginya berdua saja, atau ngajak Eva sama Dadang?"
Sesaat Evi menatap heran. Masa ada orang berbulan madu
mengajak pasangan lain?
"Kan masing-masing punya urusan sendiri," jelas Kurnia,
menjawab keheranan Evi.
"Ah, ya. Kau sama Dadang bersahabat sih. Tapi nggaklah,
kalau mereka mau pergi juga, pergi saja ke tempat lain. Jangan
tempat yang sama."
Kurnia tertawa. "Bukankah Eva kakakmu?"
"Aku cuma ingin privasi saja. Apalagi Eva sedang hamil.
Pasti banyak keluhannya. Nanti kita jadi repot."
"Ah, masa sih? Yang repot kan suaminya, masa kita."
"Tapi bisa aja kita terbawa sialnya."
"Ya, sudah. Kita pergi berdua. Tentunya ibumu juga nggak
diajak."
Evi tahu Kurnia hanya bercanda, tapi ia pura-pura
merengut.
Kurnia tertawa, bukan karena situasi, tapi wajah Evi yang
baginya tampak seperti nenek-nenek mengulum sirih. Ia tidak
seperti Dadang yang memalingkan muka kalau tak suka, tapi ia171
justru tertawa. Dengan tertawa ia menghibur diri sendiri tanpa
membuat Evi tersinggung. Tertawa itu memiliki banyak arti,
sedang melengos dengan ekspresi sebal hanya punya satu arti.
"Ah, kau juga lagi senang rupanya," kata Evi.
"Iya dong. Sebab kau tidak bandel. Padahal bila kau
berkeras hati mau mengikuti kehendakmu sendiri, aku bisa
apa?"
"Kalau aku memang bandel, buat apa minta pendapatmu?"
"Ya, terima kasih, Sayang."
Betapa senang perasaan Evi dipanggil seperti itu.
Sepertinya sudah lama sekali. Apalagi setelah Kurnia
menciumnya. Rasanya seolah di langit ketujuh.
Dengan perasaan yang sangat bangga Evi menceritakannya kepada Ratna, ibunya. Tentu saja Ratna merasa senang
mendengarnya. Jadi ada dua kabar baik yang diperolehnya dari
masing-masing putrinya. Eva hamil, sedang Evi memperoleh
keyakinan bahwa suaminya memang sungguh memperhatikan
dan mencintainya, menerima dia apa adanya.
Meskipun dulu Ratna sangat gigih menentang pendapat
Simon dan membela Kurnia serta Dadang, tapi ada kalanya
terselip juga kekhawatiran kalau-kalau pendapat itu ada
benarnya. Lebih-lebih setelah Simon meninggal. Diam-diam ia
juga memasang mata dan telinga kepada kedua menantunya.
Tapi tidak seperti Simon, ia tidak sampai menyewa detektif
pribadi untuk memata-matai mereka. Ia mcnganggap hal itu
berlebihan. Ia yakin cukup dengan mengandalkan instingnya
saja sebagai perempuan dan ibu. Ia juga tidak ingin menanyai
kedua putrinya mengenai suami masing-masing karena
khawatir tindakan itu akan membuat mereka resah lalu ikutikutan menaruh curiga. Bagaimana kalau sebenarnya tidak ada172
apa-apa? Betapa bodohnya kalau perbuatan itu hanya membuat
rumah tangga anak-anaknya menjadi tidak nyaman.
Benarkah prasangka Simon bahwa kedua menantu itu
menikahi putrinya semata-mata demi harta? Sesungguhnya
menurut pendapatnya sendiri, hal itu mungkin juga benar. Tapi
tak ada salahnya punya keinginan seperti itu. Andai kata mereka
tidak kaya, apakah Kurnia dan Dadang mau mendekati kedua
putrinya? Mereka sama sekali tidak cantik. Tapi kalaupun benar,
ia tidak keberatan. Itu masih dalam batas kewajaran. Setiap
orang mendekati orang lain karena kelebihannya.
Dalam pengamatannya selama ini, kedua lelaki itu baikbaik saja. Tidak terlihat ambisius, misalnya mendesak minta
jabatan yang lebih tinggi. Bahkan diberi pekerjaan apa saja
mereka terima. Ia pernah tersentuh oleh ucapan Kurnia, "Saya
sudah sangat bersyukur diberi pekerjaan..."
Sekarang terbukti Kurnia tidak menginginkan operasi
plastik pada Evi. Kenyataan ini adalah bukti yang tak bisa
digugat. Kurnia menerima Evi apa adanya, cantik atau tidak
cantik. Ratna merasa bahagia karena kebahagiaan Evi. Ia tahu,
sejak awal Evi memang terpengaruh oleh pendapat Simon. Tapi
Evi tidak ingin mundur atau melepaskan Kurnia karena yakin
nanti tak ada lelaki lain yang berminat kepadanya. Sungguh
mengibakan. Setelah Evi merasa lega dan tak perlu lagi dihantui
kecurigaan terus-menerus, maka tibalah waktunya bagi mereka
berdua, Evi dan Kurnia, untuk menjalani kehidupan yang
tenang. Ujian sudah dijalani dengan hasil yang baik. Jadi
pantaslah bagi mereka untuk berbulan madu dalam artian
sebenarnya.
"Ah, kalau saja kau masih ada dan bisa melihat apa yang
terjadi, Pa," Ratna bicara sendiri, ditujukan kepada Simon. "Ya,173
kau akan menyesal karena terlalu berprasangka buruk. Setiap
orang sah-sah saja untuk berprasangka, tapi jangan keterlaluan."
Menurut Ratna, detektif yang disewa itu biasanya akan


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari dan menggali keburukan dari orang yang diselidiki
sebanyak-banyaknya. Semakin banyak yang ditemui maka ia
jadi semakin tampak berjasa. Ia pasti punya dugaan bahwa
orang yang tengah diselidiki itu merupakan orang yang tidak
disukai. Jadi akan lebih bagus kalau laporannya bisa membuat
orang bersang-kutan semakin tidak disukai.
Bila perkaranya cuma soal asmara dan "main perempuan"
saja, di mata Ratna masih layak diterima. Lelaki yang ganteng
macam Kurnia dan Dadang pastilah disukai banyak perempuan.
Jadi itu cukup wajar. Bisa saja keduanya sudah bosan dengan
petualangan asmara mereka, dan bosan juga dengan perempuan
yang cantik. Atau sudah jera dengan perbuatan itu. Mana ada
orang yang suci atau tak pernah salah dalam hidup mereka?
Yang penting mereka bukan penjahat, perampok, apalagi
pembunuh. Juga bukan mantan napi.
Evi tidak begitu suka curhat kepadanya seperti halnya Eva.
Tapi Evi lebih cerdik dan pintar dibanding Eva. Kelihatannya
Evi lebih suka menangani masalahnya sendiri ketimbang minta
saran padanya. Tapi sekarang Evi mau curhat kepadanya,
menandakan kegembiraan dan kebahagiaannya, jadi ingin
berbagi. Tentu saja ia pun ikut berbahagia. Kalau Evi yang
cerdas itu sudah percaya penuh kepada suaminya, ia pun ikut
percaya. Jadi ia tidak perlu menyesali keteguhan pendiriannya
di hadapan Simon dulu. Coba kalau ia ikut-ikutan, akan jadi apa
kedua putrinya itu.
Ratna membantu mencarikan brosur-brosur perjalanan
wisata untuk dipilih Evi dan Kurnia.174
"Bagaimana kalau ikut kapal pesiar, Vi? Aku belum
pernah," kata Kurnia sambil mengamati sebuah brosur kapal
pesiar mewah.
"Aku juga belum pernah, tapi aku nggak berani."
"Kenapa?"
"Aku nggak bisa berenang."
Kurnia tertawa. "Memangnya kapal itu akan tenggelam?
Lagi pula penumpang pakai jaket pelampung kalau ada apa-apa.
Kapal seperti itu pastilah punya standar pengamanan yang
tinggi. Dia juga nggak akan bcrlayar kalau ada gejala cuaca
buruk."
"Titanic yang hebat itu saja bisa tenggelam. Aku nangis
nonton film itu dan berjanji nggak akan mau naik kapal laut."
"Janji sama siapa?"
"Sama diriku sendiri. Sudahlah. Yang itu nggak usah
dilihat-lihat."
"Baik. Terserah pilihanmu. Aku ikut saja. Kalau bepergian
dengan hati waswas tentu nggak menyenangkan."
"Tahu aja kau," kata Evi manja.
"Tentu saja tahu. Aku pun nggak akan merasa senang kalau
kau nggak senang. Jalan-jalan itu kan tujuannya untuk
menyenangkan hati. Karena kita bersama-sama, ya dua-duanya
harus sepakat dong."
Evi tertawa. Kurnia memeluk Evi supaya tak perlu melihat
wajah Evi. Biasanya Evi tertawa sambil menutup mulut dengan
tangan, tapi sekarang tidak lagi. Kurnia tahu itu adalah gejala
bertambahnya kepercayaan diri Evi, terhadap diri sendiri
maupun terhadap dirinya. Hal itu bisa dianggap sebagai
kemenangan.175
Sejak awal Kurnia sudah tahu bahwa Evi lebih sulit
dibanding Eva yang jalan pikirannya sederhana. Tapi ia
bersyukur bahwa dirinyalah yang berpasangan dengan Evi.
Bukan Dadang yang dianggapnya tidak secerdik dirinya. Lebih
dari itu ia pun menganggap Dadang "lembek", hingga harus
sering-sering diingatkan dan diajari. Sekarang ternyata Dadang
sudah membuat situasi jadi blunder karena membiarkan Eva
hamil dan malah senang karenanya.
"Kau tahu alasan utama kenapa aku ingin berbulan madu
lagi. Mas?" tanya Evi.
"Nggak. Kenapa?"
"Aku juga ingin hamil seperti Eva."
Kurnia tertegun sejenak. Sikapnya diamati Evi.
"Apa kau sendiri tak ingin?" Evi merajuk.
"Tentu saja aku ingin," Kurnia buru-buru memperbaiki
kesalahannya, karena tak spontan bereaksi.
"Tapi kau seperti ragu-ragu."
"Bukan begitu. Aku sebenarnya minder sama Dadang. Kok
dia lebih pinter dari aku."
Prasangka Evi lenyap, berganti keharuan.
"Jangan begitu dong, Mas. Kalau mau berperasaan seperti
itu, mestinya aku juga minder dong sama Eva."
"Habis gimana lagi?" Kurnia berpura-pura murung.
Evi membelai Kurnia. "Makanya kita berusaha dengan
berbulan madu. Selama ini mungkin kita terlalu sibuk kerja.
Kita nggak punya waktu untuk berduaan."
"Baiklah. Kita memang harus berusaha. Tapi kalau
memang belum dikasih, ya susah juga."
"Memangnya kau pesimis, Mas?"176
"Pesimis sih nggak. Tapi harus sabar aja. Ada orang yang
sudah sepuluh tahun menikah baru berhasil punya anak."
"Aduh, aku sih nggak mau nunggu sepuluh tahun. Keburu
tua dong."
"Yang penting sabar saja, Vi. Jangan terlalu dipikirkan."
"Ya, Mama juga ngomong seperti itu. Katanya, setahun
dua tahun itu belum terlalu lama. Mungkin kalau pas ketemu,
itu bukan masa subur. Dia malah menganjurkan ke dokter
untuk periksa. Tapi harus dua-duanya, aku dan kau."
"Aku mau diapain?" Kurnia pura-pura bodoh.
"Periksa sperma. Ada kelainan apa nggak."
"Wah, ngeri ah..."
Evi tertawa. "Gitu aja ngeri. Tahu nggak? Perempuan lebih
ribet lagi pemeriksaannya. Aku tahu dari temanku yang
mengalami nasib sama kayak kita. Kawinnya sih sudah lebih
lama. Duh, sampai sakit-sakit segala tuh."
"Makanya sebelum sampai ke situ, sabar saja dulu. Tahutahu malah nggak apa-apa. Rugi, kan?"
Evi termenung. Ada benarnya juga ucapan Kurnia itu.
Teman yang tadi disebutkannya itu sesudah melampaui segala
macam tes ternyata baik-baik saja. Lalu teman itu malah diberi
obat penyubur oleh dokter yang membuatnya semakin gemuk
hingga tambah sepuluh kilo beratnya. Bukannya gemuk karena
hamil, tapi karena lemak! Kalau dia jadi seperti itu mungkin
Kurnia malah lari. Sudah wajah tak cantik, gemuk pula.
Kurnia mengamatinya.
"Apa yang kaupikirkan?"
"Ya, kau benar, Mas. Kita jalan-jalan sajalah. Kau semangat,
kan?"177
"Tentu, tentu. Ayo, pilih mau ke mana? Dalam atau luar
negeri?"
"Memangnya pilihan diserahkan padaku? Kau nggak punya
ide?"
"Nggak, soalnya aku nggak pernah jalan-jalan. Jadi nggak
tahu tempat wisata mana yang bagus."
Evi menatap Kurnia dengan iba. Pasti karena tak punya
uang, maka ia tak bisa ke mana-mana, pikirnya.
"Begini, Vi. Sebenarnya aku punya pemikiran. Bolehlah
disebut sebagai ide. Karena tujuan kita adalah untuk berbulan
madu, maka carilah tempat yang romantis. Jangan yang ramai.
Tapi aku nggak tahu tempat semacam itu ada di mana. Kau
pasti lebih tahu. Tapi baiknya sekalian ke tempat yang belum
pernah kau kunjungi. Aku yakin, kau sudah melanglang ke
mana-mana, bukan?"
"Ya, sudah. Dalam negeri sudah, luar juga sudah. Perginya
sekeluarga."
"Senang sekali, ya."
Kurnia berkata datar, tapi Evi menangkap rasa iri di situ. Ia
semakin iba.
"Kenapa kemarin-kemarin kau nggak suka mengajakku
jalan-jalan?"
"Malu dong. Aku yang ngajak, tapi kamu yang bayar."
"Ah, jangan gitu, Mas. Kita kan sama-sama," hibur Evi.
Sekarang ia jadi merasa bersalah. Kecurigaannya terlalu
besar. Mungkin menurun dari ayahnya. Sebenarnya ia tidak
seperti Eva dan ibunya yang percaya sepenuhnya kepada Kurnia
dan Dadang. Dia masih memiliki kecurigaan seperti ayahnya.
Tapi hal itu tidak dikatakannya karena ia memang
menginginkan Kurnia. Kalaupun tak bisa memiliki hatinya,178
biarlah tubuhnya. Kapan lagi ia bisa memperoleh seorang suami
setampan itu? Kalau memang hanya bisa dibeli dengan uang,
akan ia lakoni. Buat apa uangnya yang banyak kalau tak
dimanfaatkan?
Pernikahan yang dijalaninya bersama Kurnia baru setahun
lebih, tapi selama itu pula ia terus memasang mata, mencari-cari
kesalahan Kurnia, tapi tidak berhasil menemukan. Kurnia selalu
bersikap sempurna. Tapi ia masih belum puas. Ia sadar tak
mungkin mengawasi Kurnia setiap saat. Tapi ia juga tak mau
meniru jejak ayahnya yang menggunakan detektif pribadi. Ia
takut Kurnia mengetahui lalu marah dan meninggalkannya.
Kadang-kadang ia ingin seperti Eva yang menerima
Dadang apa adanya tanpa prasangka. Tapi ia tidak bisa seperti
itu. Logikanya selalu jalan menilai dan memper-timbangkan
setiap situasi. Ibunya selalu mengatakan ia mirip ayahnya.
Mungkin juga benar begitu. Biarpun ada persamaan seperti itu,
tapi ia tidak terlalu menyukai ayahnya. Ia justru suka
berprasangka terhadap ayahnya. Misalnya kenapa ayahnya
sampai begitu ngotot mempertahankan ketidaksukaannya
kepada Dadang dan Kurnia, meskipun dia dan Eva menentang.
Jangan-jangan ayahnya memang tidak ingin anak-anaknya
memiliki pacar. Dan tak peduli kalau dia dan Eva menjadi
perawan tua. Atau prasangka lain, bahwa ayahnya terlalu
merendahkan anak sendiri, seolah tak kan ada lelaki yang
menghendaki diri mereka kecuali uang mereka.
Itu adalah prasangka yang menyakitkan. Ia menyesal
setelah ayahnya meninggal. Penyesalan yang hanya diketahui
dan disimpannya sendiri karena ia memang tidak sampai
mengutarakannya kepada ayahnya.179
Sekarang ia bersyukur bahwa prasangkanya terhadap
Kurnia tidak berdasar. Ia akan memperbaiki kesalahan yang
telah diperbuatnya.
"Kenapa kau nggak tanya Mama saja, siapa tahu dia punya
ide bagus. Aku sih nurut aja," kata Kurnia.
Evi setuju.
"Sebenarnya sih kalau hanya mau suasana romantis nggak
perlu jauh-jauh," kata Ratna.
"Kan sekalian jalan-jalan, Ma. Di dalam negeri ke mana
lagi selain Bali?"
"Bali juga boleh. Apa dia sudah pernah ke sana?"
"Kayaknya sih belum, Ma."
"Nah, boleh juga dong."
"Tapi aku kan sudah sering, Ma."
"Justru itu kau sudah terbiasa, jadi nggak perlu pemandu
lagi. Enak berdua terus, kan? Tapi ada satu hal penting yang
nggak boleh kaulupakan, Vi."
"Apa itu, Ma?"
"Pilih waktunya, yaitu masa suburmu selama di sana. Kalau
bukan masa subur akan percuma saja."
"Malas ngitungnya, Ma."
"Ah, kan sudah ada rumusnya, Vi."
"Di sini juga sudah sering, tapi nggak jadi-jadi..."
"Pokoknya masa subur itu penting."
"Iya, Ma. Tadinya aku punya ide ke Hawai, tapi belum
bilang ke dia."
"Kenapa nggak?"180
"Entar dia terlalu asyik dengan segala yang dilihat dan
kegiatan pun banyak. Lalu dia nggak punya waktu lagi
untukku. Di sana kan banyak rekreasinya."
Ratna mengangguk. Mereka sekeluarga pernah ke Hawai
dulu ketika Eva dan Evi masih remaja. Bila kegiatan di luar
terlalu banyak, maka hasilnya adalah kelelahan, lalu yang
terpikir adalah tidur. Dengan demikian tak ada energi tersisa
untuk bercinta.
Ketika berbulan madu usai pernikahan, Eva dan Evi
bersama suami mereka pergi ke Thailand. Jadi wilayah itu dan
sekitarnya tidak menarik lagi bagi Evi.
Sebelum menyampaikan niatnya itu kepada Kurnia, Evi
mengatakannya kepada Eva.
"Ah, masa ke Bali?" tanya Eva heran. Tempat itu sudah
menjadi terlalu biasa di matanya.
"Emangnya kenapa?"
"Cari yang luar biasa dong."
"Buat apa, Va? Kan tujuannya cuma buat mencari
keromantisan, bukan petualangan. Nanti dia kecapekan di luar.
Pendeknya konsentrasi harus ke situ."
"Hi hi hi." Eva tertawa geli.
"Ah, kau ngetawain aku, ya. Mentang-mentang sudah
jadi." Evi merengut.
"Masalahnya kau itu nggak sabar aja."
"Iya dong. Aku nggak mau ketinggalan sama kau. Aku
harus berusaha."
"Tapi kalau ini nggak berhasil, baiknya periksa aja, Vi.
Jangan kau sendiri, tapi sama Kurnia."
"Iya, aku pikir juga begitu."181
"Selamat jalan, Vi. Semoga berhasil, ya."
Ketika Eva menceritakan keputusan Evi kepada Dadang,
diam-diam Dadang menyembunyikan senyum gelinya. Pergi
ke ujung dunia pun akan percuma selama Kurnia masih
mengkonsumsi obatnya. Tapi ia merasa iba juga kepada Evi,
sekaligus cemas.
"Sepertinya kau harus berhati-hati juga kalau dekat-dekat
Evi, Va."
"Ah, kenapa?"
"Dia begitu sangat ingin hamil. Kalau nanti nggak berhasil
juga, aku takut dia jadi benci padamu, lalu..." Dadang tidak
melanjutkan ucapannya karena sebenarnya yang ia maksud
bukanlah Evi yang perlu dicemaskan, melainkan Kurnia. Bila
Kurnia memberikan sesuatu secara diam-diam kepada Eva
seperti yang telah ia lakukan kepada Simon, maka Eva bisa
kehilangan kandungannya seperti yang diinginkan Kurnia.
"Maksudmu dia bisa mencelakakan aku, gitu?"
Eva tak begitu senang dengan prasangka itu, tapi mau tak
mau khawatir juga.
"Bukan begitu, Va. Orang yang sangat mendambakan
sesuatu tapi tak berhasil bisa saja melakukan hal tak terduga.
Lebih baik berhati-hati saja. Memang harus begitu, kan?"


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau betul juga, Mas. Apa Mas Kurnia mengatakan sesuatu
padamu?"
"Tentang apa?" tanya Dadang dengan sikap was-pada.
"Kalian kan akrab. Barangkali dia menyampaikan sesuatu
perihal kehamilanku. Apakah dia mendambakan hal yang sama
seperti Evi?"182
"Oh..." Dadang merasa lega. "Kalau soal itu sih dia nggak
ngomong. Entah yang ada di hatinya. Biarpun kami akrab, tapi
ada juga hal-hal yang nggak suka diutarakan."
"Aku pikir, sekarang-sekarang ini sih Evi masih optimis.
Jadi dia nggak perlu benci padaku," kata Eva, yakin.
"Ya, tapi nggak ada salahnya berhati-hati. Kau harus
menjaganya dengan baik."
Dadang mengusap perut Eva, membuatnya tertawa
kesenangan dan kegelian. Eva sangat bahagia. Dia semakin
yakin bahwa Dadang menyayanginya sekarang. Benar kata
orang, cinta itu bisa tumbuh belakangan.
Tapi Dadang hanya menyayangi anak yang berada dalam
kandungan Eva. Dia bertekad akan menjaganya dari kekejian
Kurnia.
Ketika Kurnia meneleponnya untuk mengingatkannya
tentang masalah kehamilan Eva, ia jadi merinding. Ia ingin
sekali membentak Kurnia dan menyuruhnya diam, tak lagi
mengganggunya untuk selamanya. Tapi ia tak bisa.183
8 YANG pertama-tama dilakukan Irawan adalah menelepon
Ratna. Dulu yang mula-mula dikenalnya adalah Simon,
kliennya dalam pembuatan program software bagi perusahaan
farmasinya, kemudian perkenalan berlanjut dengan Ratna.
Selanjutnya ia tetap menjaga hubungan baik dengan mereka,
seperti yang ia lakukan terhadap semua kliennya. Tentu saja
bukan semata-mata menjaga hubungan baik, tapi juga berharap
akan ada kerja sama lagi di kemudian hari.
Ia mengawali percakapannya dengan basa-basi lebih dulu.
"Apa kabar, Bu Ratna? Saya harap sekeluarga baik-baik
saja, ya."
"Oh, Pak Irawan... Kabar baik. Semuanya baik-baik."
"Anak-anak?"
"Ya, mereka juga. Bahkan yang sulung sedang hamil, Pak.
Saya akan punya cucu."
"Wah, selamat, Bu. Kapan lahirnya?"
"Masih lama sih. Sekarang baru sekitar dua bulan."
"Ah, waktu nggak akan terasa, Bu. Tahu-tahu lahir, tahutahu gede..."
"Hihihi... Pak Irawan bisa aja. Bapak sendiri gimana nih,
udah ada kabar baik belum?"
"Saya sih baik-baik aja, Bu. Sehat seperti biasa."184
"Bukan itu yang saya maksud."
"Bisnis saya berjalan dengan baik..."
"Pura-pura nggak ngerti aja nih. Itu lho, gandengan..."
Tentu saja Irawan sebenarnya mengerti apa yang dimaksud Ratna. Tapi ia senang karena bercanda itu berarti
keakraban.
"Ah, kalau itu sih nanti saja, Bu. Belum ketemu yang cocok
sih."
"Mudah-mudahan cepat ketemunya, ya."
"Terima kasih, Bu. Doakan aja."
"Oh ya, pasti."
"Kalau Ibu sendiri..."
Belum selesai Irawan bicara, Ratna sudah tertawa ngakak.
Suaranya keras sampai Irawan mendekap ponselnya.
"Duh, jangan gitu, Pak. Saya kan sudah tua. Ngapain cari
gara-gara. Enakan sendirian. Bebas seperti burung. Tapi itu
nggak berlaku untukmu, lho. Bapak masih muda. Orang muda
baiknya berpasangan supaya bisa punya teman yang bisa diajak
berbagi."
"Kalau sudah tua memangnya kenapa, Bu. Kan sama saja."
"Wah, nggak bisa. Tua itu berarti penyakitan. Aku nggak
mau disuruh merawat orang penyakitan. Ngurus diri sendiri
saja susah."
Irawan tertawa juga. Ia baru mengenal sisi yang lain dari
Ratna. Dulu Ratna tampil serius dan semata-mata cuma bicara
soal bisnis.
"Kayaknya Pak Irawan ini bukan tanpa maksud nelepon
saya."185
"Ya, maksudnya say hello gitu, Bu. Dan kalau ada waktu
luang pengin ketemu juga. Barangkali kapan-kapan kalau Ibu
sempat kita bisa makan siang bersama?"
Ratna tertawa lagi. Kedengarannya senang.
"Sebenarnya kebetulan sekali Bapak menelepon. Saya jadi
diingatkan, kami ada rencana bikin proyek software lagi.
Hahaha, kok bisa-bisanya Bapak yang tampil, ya, sebelum saya
nyari orang lain. Barangkali Bapak punya sixth sense, ya?"
Irawan tersenyum. Barangkali sekali tepuk bisa mendapat
dua lalat.
"Kalaupun punya, saya pasti nggak sadar, Bu. Kebetulan
saja."
Mereka lalu membuat janji kapan akan bertemu untuk
makan siang. Bagi Irawan ada kebetulan lain, yaitu ia bisa
mengajak Aditya sebagai salah seorang top programmer-nya.
Ketika Aditya diberitahu ia pun sangat bersemangat.
"Tapi kalau baru berkenalan nanti, jangan langsung cerita
mengenai hal itu, Dit," Irawan mengajari.
"Ya, tentu saja Pak. Nanti dia bisa kaget."
"Kita harus mencari saat yang tepat. Kita pelajari dulu
kehidupan anak-anaknya, dan sebaiknya berkenalan juga
dengan mereka, termasuk kedua menantunya."
"Kalau berlama-lama bisa terlambat, Pak."
"Kita harus ingat, bahwa kita tak punya bukti apa-apa, Dit.
Cuma mimpi dan kemungkinan kau pernah ketemu dengan
Simon di alam roh. Tak semua orang bisa memereayainya. Bisabisa diketawain atau disangka macam-macam."
"Ya, Pak."186
"Dapat kabar dari Siska? Katanya dia juga mengirim e-mail
yang sama padamu."
"Oh ya? Saya belum buka e-mail, Pak. Apa katanya?"
"Menurut data yang diperolehnya, kamu lebih dulu masuk
rumah sakit, baru Simon menyusul belakangan. Setelah Simon
meninggal, kau dipindahkan ke rumah. Jadi ada tiga hari di
mana kau dan Simon berada di sana. Mungkin selama hari-hari
itulah kalian bertemu, ha ha ha..."
Aditya mengangguk. "Cuma itu saja yang dia tulis, Pak?"
"Masih ada cerita menarik tentang pengalamannya dengan
pasien koma."
"Oh ya?" Aditya tertarik. "Ceritain dong, Pak."
"Kan nanti bisa baca sendiri." Irawan tertawa, sengaja
membuat penasaran.
"Kalau nanti lama, Pak. Sekarang aja ceritain dulu biar
cepat."
"Dulu, waktu dia merawat pasien koma seminggu, tibatiba pasien itu sadar, lalu mulutnya mengoceh dan memanggilmanggil sebuah nama. Yang pasti bukan nama Siska. Ketika
ditanyakan siapa yang dipanggil itu, apakah nama anggota
keluarganya? Pasien itu anak muda yang belum berkeluarga.
Nama yang disebutnya itu nama lelaki. Tapi si pasien bilang
nggak tahu itu siapa, dia bingung sendiri. Kemudian Siska
berhasil menemukan pemilik nama yang disebut yaitu pasien di
kamar sebelah yang baru saja meninggal setelah hilang
kesadaran. Mungkin saja itu suatu kesamaan yang kebetulan.
Tapi pasien yang menyebut nama itu belum pernah bertemu
dengan pasien yang meninggal dan ia pun tidak punya teman
atau anggota keluarga yang bernama seperti itu. Menarik
ceritanya, ya?"187
"Oh ya, Pak. Tcrima kasih sudah cerita. Jadi ingin baca
sendiri."
Irawan tertawa. "Ya, saya bilang padanya, kalau punya
cerita lagi jangan ragu untuk ditulis."
"Nanti saya akan bilang begitu juga. Dia akan senang lalu
mengingat lagi pengalamannya. Sayang kan kalau sampai lupa."
"Kapan-kapan kita temui dia, Dit."
"Oke, Pak. Tapi sama dia mesti janjian dulu. Kemungkinan dia sedang dinas."
"Tentu saja. Nantilah sesudah pertemuan kita dengan Bu
Ratna. Jadinya kita punya sesuatu untuk diceritakan padanya."
Aditya melihat semangat dalam diri Irawan ketika
membicarakan Siska. Apakah Irawan tertarik kepada Siska?
Untuk sesaat ia merasa iri. Suatu perasaan yang tak
dipahaminya, kenapa bisa begitu. Tapi kemudian ia merasa
malu sendiri. Tidak sepatutnya dia merasa seperti itu.
Aditya sudah bekerja lagi seperti biasa. Ia merasa tidak ada
masalah yang mengganggu otaknya dalam bekerja. Semuanya
sudah kembali seperti sedia kala. Memorinya masih utuh.
Ia sudah menanyakan perihal CD berisi proyek yang
pernah dikerjakannya sebagian sebelum koma kepada Frans.
Pertama ditanyakan, Frans mengatakan barang itu ada di
rumah. Kedua kali, dia bilang kelupaan membawanya. Ketiga
kali kelupaan lagi. Sesudah itu Aditya tak mau menanyakan lagi.
Ia sudah paham bahwa Frans memang tidak mau memberikan.
Tak perlu mendesaknya lagi. Cukup untuk meyakinkan dirinya
bahwa Frans tidak memiliki itikad baik terhadapnya.
Kecurigaan memang sulit dibuktikan, tapi cukup untuk
membuatnya waspada.188
Setelah itu hubungan mereka jadi mendingin. Bukan hanya
Frans yang menjauh, tapi juga Fendi dan Vera. Kalau mereka
sedang berkumpul bertiga lalu dia mendekati, mereka segera
berhenti berbicara dan berbuat seolah sibuk. Ia merasa harus
tahu diri, jadi ia pun tidak lagi mendekati kecuali memang ada
urusan pekerjaan. Ia menganggap hal itu lebih baik daripada
harus berpura-pura.
Karen bereaksi senang mendengar kabar itu.
"Jadi mereka nggak perlu lagi berkunjung ke rumah kita.
Kau juga nggak perlu berhati-hati menghadapi musang berbulu
domba," komentar Karen.
"Sebenarnya nggak enak juga punya musuh. Apalagi di
kantor di mana seharusnya kita bekerja sama."
"Siapa duluan yang memusuhi? Jahat lagi," kata Karen
geram.
Aditya merasa kedekatannya dengan Irawan belakangan ini
juga menjadi salah satu sebab perubahan sikap ketiga orang itu.
Beberapa kali ia mendengar sindiran Vera, seolah tidak
ditujukan kepadanya, tapi ia merasa sendiri. Ia tidak meladeni.
"Bangun-bangun dia merasa jadi malaikat kayaknya," kata
Vera suatu saat.
Aditya tak bisa tidak mendengar karena cubicle tempat
kerjanya berdekatan.
"Jangan-jangan bukan malaikat, tapi iblis," sahut Fendi dari
tempatnya.
"Hahaha, hati-hati aja. Nanti dia menguasai kita. Lihat,
sekarang dia sudah berhasil menjilat bos," suara Frans terdengar.
Percakapan semacam itulah yang sering didengar Aditya. Ia
berusaha tidak memedulikan, tapi tetap terasa mengganggu
konsentrasinya. Maka hari berikut ia membawa penutup telinga189
dari rumah lalu menutup telinganya. Hal itu menolong untuk
sementara. Tapi mereka segera mengetahui dan tak kehilangan
akal mencari cara lain untuk mengganggunya.
Sekali ia menemukan makanan basi di meja. Baunya tidak
enak. a bisa membuangnya tanpa masalah. Lain kali ada lem
tikus di kursinya. Ia bisa melihatnya dengan mudah karena
warnanya berbeda dengan kursinya. Ia menyuruh OB
membuangnya.
"Kok banyak yang naruh gituan, ya?" kata Vera. Entah
ditujukan kepada siapa karena orangnya berada di dalam cubiclenya. Hanya suaranya saja yang kedengaran.
"Apa kau tahu?" ia bertanya, tak tahan Iagi.
Vera cekikikan. "Hihihi, mana aku tahu. Kalau aku tahu,
pasti aku kasih tahu."
Kedengaran suara Frans tertawa.
Aditya bertanya kepada karyawan lain, tapi tak ada yang
tahu. Entah memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu,
karena Aditya merasa suasana jadi berubah. Mungkin mereka
yang semula tak punya masalah dengannya dan baik-baik saja
sudah termakan hasutan Frans dan teman-temannya. Ia tahu,
hasutan yang paling mudah adalah soal kedekatannya dengan
Irawan. Rasa iri yang ada dalam diri tiap orang mudah sekali
dieksploitasi.
Irawan tidak menyadari bahwa sikap dan perlakuannya
kepada Aditya yang lebih dekat dari sebelumnya bisa menjadi
masalah. Bila waktu makan siang tiba, mereka makan bersama
di ruang kerja Irawan yang satu sisi dindingnya dari kaca
hingga mereka yang lalu-lalang di luar bisa melihat apa yang
terjadi. Aditya membawa bekal makan siang dari rumah yang
dibuatkan oleh Mira. Irawan juga melakukan hal yang sama.190
Bedanya yang masak adalah pembantunya. Lalu pada saat
makan keduanya saling mencicipi bawaan masing-masing.
Kemudian mereka makan sambil mengobrol.
Tentu saja tidak ada yang tahu apa penyebab kedekatan
mereka. Orang-orang yang melihat mengira Aditya pandai
memanfaatkan kondisinya sebagai mantan pasien koma untuk
menarik hati Irawan. Meskipun awalnya bermula dari keadaan
itu, tapi perkembangan kemudianlah yang jadi penyebab Aditya
tidak pernah menceritakan gangguan-gangguan yang
dialaminya kepada Irawan. Ia khawatir kalau Irawan sampai
menegur Frans dan teman-temannya, maka kebencian mereka
akan semakin besar.
"Tapi kau tidak boleh membiarkan saja, Pa," kata Karen.
"Apa yang mereka lakukan sudah menjelaskan bahwa orangorang itu nggak suka padamu. Sekarang baru gangguan kecil,
gimana kalau nanti jadi gangguan besar? Si Frans itu yang
berbahaya. Siapa tahu dia dan komplotannya sedang
memikirkan cara bagaimana untuk menyingkirkanmu."
"Ya. Aku juga takut akan hal itu. Tapi aku nggak mau
meninggalkan kantor karena Pak Irawan sangat baik padaku.
Kalau sampai begitu, artinya aku kalah sama mereka."
"Baiknya kauberitahu Pak Irawan untuk mencari solusinya.
Jangan dibiarkan saja, Pa. Ingatlah pengalamanmu. Satu kali kau
berhasil mengatasinya, lain kali belum tentu. Aku nggak mau
lagi..."
"Ya, ya. Sabarlah, Ma. Kalau mereka mencari cara, aku
juga."
"Apa nggak bisa keluar dari kantor tanpa berhenti kerja
dari situ? Jadinya kau nggak lagi dekat sama mereka. Jauh pula
kemungkinan mendapat gangguan."191
"Aku harus bilang apa sama Pak Irawan?"
"Cerita saja bahwa rekan-rekanmu kelihatannya nggak
senang akan kedekatanmu dengannya, lalu suka mengganggu.
Kau jadi nggak nyaman, nggak bisa konsentrasi, dan
sebagainya. Tapi kau nggak perlu cerita perihal kejadian
sebelumnya, tentang prasangka kita terhadap si Frans."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja. Biarlah itu menjadi rahasia kita."
"Dan Siska."
"Oh ya. Aku jadi ingat, Pak Irawan ngajakin aku kapankapan menemui Siska. Kayaknya dia tertarik."
"Wah, bagus itu. Mereka pasti cocok," kata Karen senang.
Bila Siska sampai berpasangan dengan Irawan, maka itu berarti
aman. Kadang-kadang prasangkanya yang dulu terhadap Aditya
dan Siska masih suka muncul di hatinya.
"Tapi nggak tahu juga apakah Siska mau sama dia."
"Ah, kurang apa Pak Irawan itu? Dia cukup gagah, kaya
lagi. Umurnya nggak banyak lebih tua dari Siska. Paling banyak
juga sepuluh tahun."
Aditya tertawa. "Kalau memang sudah jodoh, pasti nggak
ke mana-mana," katanya dengan ringan, tapi perasaannya tidak
nyaman.
Karen mengamati wajah Aditya, sejenak tapi tak bisa
membaca apa-apa.
"Nanti aku diajak menemui Bu Ratna oleh Pak Irawan.
Mau ngobrol saja sambil makan siang. Aku senang bisa
berkenalan dengan istrinya Simon."
"Apa kau masih suka bermimpi tentang dia?"
"Nggak pernah lagi. Padahal aku masih ingin ketemu. Ada
yang mau kutanyakan."192
"Ah, mana mungkin mimpi bisa direncanakan."
"Siapa tahu. Itu kan andai kata."
"Nanti cerita ya, kalau itu sampai terjadi," kata Karen
dengan nada gurau.
"Pasti."
Untuk sejenak pikiran Aditya melayang kepada Siska.
Tiba-tiba saja ada perasaan rindu ingin melihat wajahnya. Lalu
dia terkejut sesudahnya. Itu perasaan yang berbahaya. Ia sadar
sepenuhnya. Lebih terkejut lagi ketika melihat tatapan Karen
seolah Karen bisa membaca perasaannya. Padahal tentu saja
tidak. Untuk mengalihkan, ia mengajak Karen membaca e-mail
dari Siska.
Mereka membacanya bersama-sama.
"Duh, aku jadi merinding bacanya," kata Karen.
"Ya. Aku sudah dengar ceritanya dari Pak Irawan. Tapi
membaca sendiri efeknya berbeda."
"Kalau ada pengalaman yang seperti itu, pastinya masuk
akal juga kalau kau pernah ketemu sama Simon. Tapi herannya
kenapa kau sama sekali nggak ingat sesudah sadar."
"Mestinya itu nggak mengherankan, Ma. Kalau ingat,
penuh amat di sini." Aditya menunjuk kepalanya.
"Itu adalah rahasia alam. Biar saja. Nggak usah dipikirkan."
"Ya. Aku juga pikir begitu. Coba nanti tanyakan Siska apa
dia masih punya cerita lain yang mirip-mirip."
Aditya tertawa. "Wah, kau suka cerita begitu rupanya."
"Ya. Memang," Karen mengakui. "Apa kau sendiri nggak?"
"Tentu aku suka, karena aku mengalaminya."193
Sebelum tidur, tanpa disadari dan disengaja Aditya
membayangkan Siska kembali seperti saat ketika ia untuk
pertama kali melihatnya setelah terbangun dari koma.
Perempuan yang indah, kesan yang muncul begitu saja.
Spontan. Tanpa dipikir dan dicari-cari.
Lalu terpikir, ketika ia masih koma apakah rohnya bisa
melihat Siska juga? Andai kata bisa, sayang tak bisa direkam. Ia
pun tersenyum sendiri mengenang kelucuan yang terjadi ketika
itu. Kenangan itu menimbulkan perasaan hangat dan nyaman di
hatinya. Barangkali keadaan koma yang dialaminya ada
hikmahnya. Andaikata ia tidak koma, pasti ia tidak akan
mengenal Siska. Jadi, haruskah ia berterima kasih kepada Frans
karena telah mementung kepalanya, andai kata memang Frans
pelakunya? Ah, apa pun dan bagaimanapun ia tidak merasakan
itu sebagai keterlambatan, karena ia sudah terikat dengan Karen.
Bila ia sampai merasa seperti itu, maka ia adalah orang yang
tidak bisa bersyukur.
Ia memandangi Karen yang tidur di sebelahnya. Ia tetap
mencintai Karen tanpa berkurang sedikit pun. Perasaannya
kepada Siska memang sulit digambarkan.
Apakah itu cinta atau hanya suka? Lalu apakah bedanya
antara cinta dan suka?
Akhirnya ia menyimpulkan sendiri bahwa perasaannya
kepada Siska itu ditimbulkan oleh situasi yang unik. Bukan
hanya situasi, tapi Siska sendiri juga unik, sebagai manusia dan
sebagai perempuan. Jarang orang bisa mengalaminya secara
berbarengan.
Ia tertidur dengan pemikiran seperti itu.
***194
Siska membaca e-mail yang dikirimkan Irawan, sebagai balasan
atas e-mail yang ia kirim sebelumnya. Di samping
mengomentari isi e-mail-nya, Irawan juga menyatakan
keinginannya untuk berkunjung lagi bersama Aditya.
"...Kami berdua akan bertemu dengan Bu Ratna untuk
makan siang sambil berbincang-bincang. Itu bisa dianggap
sebagai awal untuk perbincangan yang lebih serius nanti. Kamu
tahu kan maksud saya? Yaitu mengenai permintaan tolong roh
Simon kepada Aditya. Tapi sebelum sampai ke sana, hubungan
kami akan dibuat lebih akrab dulu. Untung saja sebelumnya
saya dan Bu Ratna sudah cukup saling mengenal biarpun belum
sampai akrab. Dia dan Pak Simon pernah memberi order
proyek. Jadi semata-mata urusan bisnis.
"Saya pikir bila nanti tiba saatnya, maukah kamu saya ajak
berkenalan dengan Bu Ratna? Ada benang merah antara kamu
dan pengalaman Adit. Terutama pengalaman yang kamu
ceritakan itu. Bahwa kejadian seperti itu bisa terjadi. Jadi bukan
mengada-ada. Tapi kalau kamu nggak mau karena nggak mau
terlibat, tentu saja nggak apa-apa. Itu hanya ide saja.
Sesungguhnya apa yang mau kita kemukakan kepadanya itu
sesuatu yang mengejutkan. Pembunuhan kan bukan mainmain, apalagi orang yang dituduh itu adalah kedua
menantunya.
"Sebenarnya terus terang saja, saya dan Adit masih belum
tahu bagaimana caranya memberitahu Bu Ratna. Tapi percaya
atau tidak percaya, marah atau menerima, yang penting Adit
sudah menyampaikan pesan Pak Simon. Bagaimana
menurutmu?
"Saya harap permintaan ini tidak sampai mengganggu
kesibukanmu, Sis. Tunggu kabar, ya. Beritahu kapan kamu mau195
menerima kami, kalau bisa sore hari sepulang kerja. Kami akan
segera terbang ke tempatmu..."
Siska tersenyum membacanya. Pengalaman bersama Aditya
dan Irawan ini merupakan sesuatu yang menyegarkan baginya.
Ada yang baru dalam hidupnya yang selama ini serasa monoton
saja. Bagai lagu yang datar dan membosankan.
Irawan mengingatkannya pada sosok ayahnya yang ramah,
periang, dan humoris. la merasa senang bisa mengenalnya.
Kelihatannya lelaki itu bersemangat sekali membantu Aditya,
padahal dia bosnya. Apakah karena dia memang menyukai kasus
seperti ini? Sesuatu yang misterius dan mistis memang
membangkitkan ketegangan dan sensasi, karena itu bukan
kejadian sehari-hari yang bisa dicerna oleh logika.
Kesertaannya dalam kasus ini akan membuatnya sering
bertemu dengan Aditya, tidak putus begitu saja seperti yang
terjadi dengan pasien-pasien lainnya. Tentu saja ia senang. Tapi
ia juga tahu bahwa keseringan bertemu bisa membawa akibat
pada perasaannya. Seperti api kecil yang sudah diupayakan
supaya tetap kecil, tapi setiap kali diperciki bensin.
Ia bertanya-tanya sendiri, sanggupkah ia meredam gejolak
perasaannya? Setiap kali pertanyaan itu ia jawab sendiri dengan
ketegasan akan kesanggupannya. Aku bisa! Aku pasti bisa!
Pikirkan saja bahwa dirinya seperti pungguk merindukan bulan,
hanya bertepuk sebelah tangan saja. Padahal dulu-dulu ketika ia
sudah terlibat cinta dengan suami orang, ia bisa memutuskan
tanpa merasa terlalu berat. Sementara Aditya tidak merasakan
apa-apa terhadap dirinya. Mustahil dirinya yang merayu dan
menggoda? Itu sangat memalukan dan membuat dirinya merasa
hina.
Tapi sesungguhnya kasusnya memang berbeda. Dulu ia
tidak tahu bahwa lelaki yang dicintainya itu sudah beristri, jadi196
ia merasa dibohongi dan ditipu. Kemarahan membuat cintanya
sirna. Sekarang sejak awal ia sudah tahu bahwa Aditya sudah
beristri. Dan ia pun bertepuk sebelah tangan. Sesuatu yang
hanya bisa digapai dalam mimpi tetaplah berupa mimpi. Orang
bilang, mencintai tak harus memiliki. Mungkin seperti itulah.
Jadi kalau nanti bertemu lagi dengan Aditya, ia akan
membawa wajahnya ke dalam mimpi saja.
Ia membalas e-mail dari Irawan. Tidak berpanjangpanjang, cukup menjawab apa yang ditanyakan saja. Ia
menyatakan antusias untuk bertemu lagi. Hampir saja ia
menulis, "Jangan lupa ajak Aditya..." lalu terkejut sendiri.
Bagaimana mungkin ia bisa seperti itu? Sungguh memalukan.
Jangan kata merayu dan menggoda, memperlihatkan rasa cinta
kepada lelaki beristri itu saja sudah direndahkan orang. Apa kata
Irawan, dan yang penting apa kata Aditya? Ia bisa dijauhi
mereka.
Lalu ia menunggu-nunggu e-mail dari Aditya, tapi tak
kunjung ada. Yang muncul kembali e-mail dari Irawan. Ah, dia
lagi. Dia lagi...
Matanya basah. Ia merasa bodoh, tapi tak berdaya.
Beberapa kali ia bermaksud menulis kepada Aditya, tapi setiap
kali tak jadi. Apa yang mau ditulisnya pun ia tak tahu.
Sepertinya sudah cukup banyak yang diutarakan dan
diceritakan Irawan, seolah dia juga mewakili Aditya. Ceritanya
sudah tentu sama jadi Aditya merasa tak perlu lagi menulis. Dan
balasan yang ditulisnya untuk Irawan kemungkinan diceritakan
Irawan kepada Aditya, karena mereka bertemu tiap hari. Jadi ia
tak punya bahan lagi.
Kemudian pikiran Siska teralih dari kasus Simon yang
selalu menjadi topik dari perbincangan e-mail-nya dengan197
Irawan ke peristiwa ketika ia bertemu dengan Frans! Lelaki itu
sampai hampir terlupakan.
Ketika itu ia sedang berada di kantor perawat di Bagian
Penyakit Dalam. Para perawat yang lain sedang berada di kamar
pasien-pasien mengurus mereka. Sebagai wakil kepala perawat,
tugasnya tidak bersentuhan langsung dengan pasien. Tapi ia
bertanggung jawab atas pekerjaan para anak buahnya. Sesekali
ia turun untuk membantu anak buahnya yang kerepotan atau
ada pekerjaan yang sulit. Bersama atasannya, ia bergantian
waktu tugas.
Kebetulan ia tengah sendirian, sedang intens mempelajari
dan mencatat pesan-pesan dokter bagi pasien mereka ke dalam
data di komputer. Tiba-tiba ia merasa seperti sedang diawasi. Ia
menoleh, melihat seorang lelaki di ambang pintu yang selalu
dibiarkan terbuka.
"Ya, ada apa?" ia bertanya, mengira orang itu kerabat
pasien yang sedang menunggui. Tak segera mengenali.
Lalu Frans, lelaki itu, tertawa renyah.
"Wah, nggak ngenalin lagi ya?"
Siska terkejut bagai kena sengatan. Kepalanya sampai
menyentak dan tangannya mencengkeram tepi meja.
Perasaannya tegang.
"Ada apa, Pak Frans?"
"Saya cuma bertandang, Sis. Kangen pengin ketemu."
Siska mengerutkan kening, berupaya menahan emosi.
"Wah, ini jam kerja, Pak."
"Sori, mengganggu ya? Jam berapa selesai kerjanya?"198
"Sampai malam," Siska berbohong. Padahal sejam lagi ia
akan pulang. Sudah membayangkan tempat tidur untuk
beristirahat.
"Ah, masa sih. Tadi saya tanya suster lain, katanya jam
tiga."
"Ya, itu mereka. Saya lain. Saya kepala di sini," Siska
sengaja bersombong sedikit.
"Masa begitu? Saya juga tanya sama mereka, katanya Suster
Siska pulangnya bareng mereka."
"Lantas ada apa, Pak?"
"Nah, ketahuan bohongnya, kan?"
"Ada apa, Pak?"
"Saya pengin berbincang saja sejenak. Nggak lama-lama
kok."
"Urusan apa, ya?"
"Waduh, pake urusan segala. Sebenarnya dibilang penting
sih nggak, tapi dibilang nggak penting juga nggak."
Baru sekarang Siska menatap wajah Frans. Ia melihat wajah
yang lumayan tampan dengan rambut lurus pendek tersisir rapi
dengan sedikit jambul model Tintin. Tapi baginya mengesankan adanya kelicikan, membangkitkan antipati. Mungkin
karena sebelumnya ia sudah tahu kelakuan Frans tempo hari.
Segera saja ia bersikap waspada.
"Oh, kalau begitu katakan saja sekarang. Mumpung nggak
ada orang lain."
"Wah, nggak bisa sekarang. Sebentar lagi pasti ramai. Masa
ngomongnya putus-putus? Entar orang lain ikut mendengarkan."199
Siska berpikir sejenak. Bisa saja Frans berbohong dengan
mengatakan penting, padahal itu cuma akalnya saja. Tapi ia
juga ingin tahu. Kalau memang ada sesuatu yang baru, ia jadi
punya bahan untuk disampaikan kepada Aditya. Berpikir
tentang Aditya membuat ia bersemangat.
"Baiklah. Sebentar lagi. Jam tiga. Tapi jangan nunggu di
sini, Pak. Ini rumah sakit, bukan tempal pertemuan atau
bincang-bincang."
"Ya. Nanti pulangnya ke asrama, kan? Saya nunggu di luar
pintunya saja. Terima kasih untuk kesempatannya, Sis. Sampai
nanti."
Frans mengangkat tangannya dan membungkuk dengan
gaya santun. Siska segera berpaling dengan perasaan muak.
Ketika seorang perawat masuk, Frans tersenyum sambil
mengangguk kepadanya. Perawat itu membalas senyumnya dan
menoleh untuk mengamati lebih lama saat ia berlalu.
"Wah, cakep tuh," katanya kepada Siska yang tak
menyahut. Ia pura-pura menekuni pekerjaannya.
Perawat tadi mengangkat bahu, sadar itu adalah isyarat
bahwa Siska tak ingin diajak bicara mengenai topik tadi.
Siska sengaja mengulur-ulur waktu pulang. Ia tak turut
bersama rombongan rekannya yang lain. Ia membereskan iniitu, lalu pergi ke kamar kecil dan berlama-lama. Betapa
segannya pulang, padahal tadi ia sudah merindukan tempat
tidurnya. Kalau saja asrama memiliki pintu belakang, pasti sudah
digunakannya. Sebenarnya ada pintu samping, tapi selalu
dikunci karena pernah kemasukan penyusup yang berniat
mencuri.
Jadi ia melangkah dengan berat. Dorongan untuk terus
maju hanyalah keingintahuan apa sebenarnya yang mau200
dikatakan Frans meskipun ia tidak begitu percaya kepada Frans.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang seperti itu akan melakukan segala cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya.
Ketika melangkah menuju ke luar rumah sakit, ia
mendengar panggilan di belakangnya.
"Siska!"
Ia berhenti mendadak lalu mcnoleh. Frans ada di
belakangnya. Mungkin sudah mengikutinya sejak tadi.
"Sori, saya nyusul ke sini. Tadi nggak melihatmu di antara
rombongan perawat. Waktu saya tanya, mereka bilang kamu
masih sibuk."
Siska tidak tahu harus bilang apa. Ia tidak berkomentar.
Frans mengiringi langkahnya.
Siska tidak menuju ke asrama. Ia mengarah ke poliklinik di
mana banyak kursi tempat pasien menunggu. Ia mencari tempat
kosong. Belum banyak dokter yang mulai praktek.
"Di sini?" tanya Frans kecewa.
"Ya, di sini saja. Banyak tempat. Kalau di asrama nggak
nyaman."
Mereka duduk. Satu-satunya yang membual Siska tidak
nyaman adalah seragamnya. Sepertinya orang yang tengah
berseragam itu harusnya bekerja bukannya mengobrol. Tapi
saat itu ketidaknyamanan dikalahkan oleh ketidaksukaannya
pada Frans.
"Sebenarnya bicara di tempat seperti ini jadi nggak ada
suasana privasi," kata Frans.
"Justru di sini orang nggak ada yang peduli. Beda sama di
asrama. Ayolah, Pak. Ada masalah apa? Jangan lama-lama, ya?
Soalnya nanti saya ada acara."201
"Waduh, sibuk amat sih kamu ini. Baiklah, saya nggak
akan lama-lama. Saya cuma ingin menjernihkan masalah tempo
hari. Waktu Adit masih koma di rumah dan saya besuk ke sana.
Ingat, nggak?"
"Ya. Kenapa?"
"Ada yang mengganggu pikiran dan perasaan saya. Ketika
itu, kamu masuk kamar mandi dan saya di samping tempat iidur
Adit. Lalu terdengar bunyi keras dari kamar mandi, sepertinya
kamu melempar sesuatu, lalu kamu membuka pintu dan
matamu melotot pada saya. Sepertinya kamu marah sekali. Saya
jadi nggak enak, terus buru-buru saja pergi. Nggak sempat
bertanya ada apa dan kenapa. Tapi karena nggak jelas, jadinya
kepikiran terus. Kalau nggak dijelaskan, saya nggak pernah
akan tenang. Sebenarnya, kenapa sih waktu itu?"
Siska menatap Frans dengan heran. Bukankah seharusnya
dirinyalah yang bertanya seperti itu? Tapi, barangkali ada
baiknya sekarang terbuka saja supaya jelas. Bagi Frans dan
terutama bagi dirinya sendiri.
"Soalnya saya melihat Bapak memegang-megang kantong
infus. Sebenarnya mau diapain?"
"Jadi nggak boleh dipegang-pegang?"
"Emangnya buat apa pula dipegang-pegang? Itu kan bisa
berakibat buruk. Kalau sampai kenapa-kenapa gimana? Apalagi
Bapak pegang pakai dua tangan. Tahu akibatnya kalau udara
masuk ke dalamnya? Pendeknya Bapak ini lancang sekali. Ya,
saya memang marah. Pasien adalah tanggung jawab saya, Pak."
"Maafkan saya, Sis. Maaf yang dobel, karena seharusnya saya
minta maaf tempo hari. Tapi saya takut waktu itu, karena kamu
kelihatan gusar sekali. Jadi saya buru-buru ngacir. Pengecut
memang. Lama-lama saya mikir, jangan-jangan kamu202
berprasangka buruk tentang saya. Kalau kamu mengadu sama
Adit..."
Kalimat itu dibiarkan mengambang. Frans berharap Siska
menyela dengan bantahan, tapi Siska diam saja.
"Ya, saya nggak nyalahin kalau kamu mengadu pada Adit.
Pantaslah itu karena kamu perawatnya."
"Dia bilang apa?" Siska jadi ingin tahu.
"Nggak bilang apa-apa. Hanya sikapnya nggak kayak dulu
lagi. Dia sudah menjauh dari kami bertiga. Ya sudah, nggak
apa-apa. Mungkin sudah jalannya begitu. Tapi suasana kerja di
kantor sudah nggak nyaman lagi. Kalau ada kerjaan lain, kami
pengin pindah."
Siska mengangguk saja. Ia mengingatkan diri untuk
bersikap pasif. Kalau terang-terangan memperlihatkan perasaannya, ia bisa mendapat musuh. Padahal ia takut punya musuh,
apalagi orang seperti Frans.
"Jadi sebenarnya kenapa Bapak pegang-pegang kantong
infusnya?" tanya Siska tanpa emosi.
"Nah, itulah sifat saya yang harus dibenahi. Saya memang
orangnya iseng. Suka pegang ini-itu. Kalau bercanda suka
kelewatan. Tempo hari juga pasti kamu menganggap saya
kurang ajar, ya. Maaf, Sis. Saya harus banyak memperbaiki diri."
"Itu bagus."
"Jadi kamu maafkan saya?"
"Ya, sudahlah. Toh Pak Adit sudah sehat, nggak kurang
suatu apa. Jadi nggak perlu ribut."
"Wah, terima kasih. Sis. Kamu memang berjiwa besar.
Cocok bagi profesimu. Bahagialah orang yang bisa jadi
pasienmu."203
Mau tak mau Siska jadi tertawa. Tapi segera meredam.
Nanti ia disangka memberi hati.
"Ah, nggak ada orang yang mau sakit, Pak."
"Andai kata sakit, saya mau dirawat di sini."
Siska berusaha tidak tertawa. "Lalu koma juga seperti Pak
Adit?"
"Ah, nggak koma dong. Kalau gitu saya nggak tahu apaapa."
"Ya, terserah Bapak deh. Mau sakit apa."
Siska berdiri, diikuti Frans yang tampaknya masih ingin
duduk.
"Saya harus pulang, Pak. Sudah cukup, kan?"
"Sebenarnya senang berbincang denganmu. Bisakah lain
kali kita ketemu lagi, Sis?"
"Waktu saya nggak ada, Pak. Penuh jadwalnya."
"Baiklah. Terima kasih banyak, Sis."
Mereka berpisah. Siska tidak keluar dari pintu poliklinik,
karena Frans pasti akan mengiringi langkahnya. Ia berjalan ke
arah dalam, seakan di sana ada yang mau dilakukannya. Jadi
Frans terpaksa keluar sendiri.
Siska menunggu dulu beberapa saat baru ia keluar, tapi
tidak dari pintu yang tadi, melainkan pintu yang lain meskipun
nanti harus memutar ke asrama. Ia khawatir Frans masih ada di
sana menungguinya. Ketika mendekati pintu gerbang asrama ia
masih juga mengamati ke sekitarnya. Rasanya jadi seperti orang
paranoid.
Sebenarnya Frans memang masih ada di luar pintu
poliklinik. Ia menunggu Siska keluar supaya bisa
mengantarkannya ke asrama sekalian memandanginya berlama-204
lama. Tapi ia tidak tahu ada pintu lain lagi sehingga terus
menunggu dengan sia-sia. Akhirnya ia pergi dengan kecewa.
Tapi masih menyimpan harapan. Dari percakapan tadi ia
menyimpulkan Siska tidak melihat seutuhnya apa yang
sebenarnya mau ia lakukan pada kantong infus Aditya.
Kesimpulan itu ia ambil dari sikap Siska yang tidak tampak
emosional. Ia merasa lega. Dengan kesimpulan itu ia bisa
melangkah lebih jauh, yaitu melakukan pendekatan. Sekarang
ini kelihatannya Siska tidak menyukainya. Tapi baginya hal itu
tidak jadi masalah. Seorang lelaki haruslah gigih untuk
mendapatkan perempuan idaman. Semakin sulit semakin
menantang dan membuatnya bergairah.
Awalnya ia tidak serius terhadap Siska. Hanya bermaksud
main-main saja. Tapi semakin mengamati ia jadi respek, lalu
jatuh hati. Perempuan yang satu ini ternyata berbeda dengan
semua perempuan yang pernah dikenalnya. Padahal ia mengira
semua perempuan sama saja kalau didekati lelaki.
Sementara Siska jadi bersemangat. Ia tak lagi berkeinginan
untuk tidur-tiduran sesudah mandi seperti yang biasa ia
lakukan. Ia segera membuka laptopnya. Pertemuan dengan
Frans tadi membuatnya punya cerita yang bisa dikirimkan
kepada Aditya. Hanya kepada Aditya, tidak kepada Irawan.
Ia berharap balasan yang nanti diterimanya tidak dititipkan Aditya kepada Irawan, melainkan ditulisnya sendiri.
Tulisan yang dibuat sendiri tentu berbeda dibanding dengan
tulisan titipan.205
9 EVI dan Kurnia sama-sama berkeringat meskipun AC di kamar
hotel dingin sekali. Mereka seperti habis berolahraga. Mungkin
seperti itulah kesamaannya dengan bercinta, karena
mengandung banyak gerakan. Tempat tidur saja sampai mau
melompat-lompat. Karena itulah hotel yang mementingkan
pelayanan sangat memerhatikan benda yang satu itu. Boleh
dikata hampir semua tamu dewasa yang berpasangan akan
bercinta bila menginap di hotel. Belum lagi kalau ukuran tubuh
tamu serbabesar. Bila tempat tidur sampai patah sungguh
memalukan, karena pihak hotel bisa dituding memakai tempat
tidur keropos atau reyot.
Kcduanya sama-sama menikmati permainan cinta mereka.
Jelas itu sesuatu yang berbeda sekali dibanding bila dilakukan di
rumah. Lebih-lebih bagi Evi, rasanya seperti di langit ketujuh.
Dia sangat senang karena menganggap hal itu merupakan
pengaruh dari suasana bulan madu dan daya tarik tempat wisata
seperti Bali. Mungkin Kurnia merasakannya juga. Orang jadi
romantis karena terbawa suasana.
Maka harapan Evi melambung. Tambah lagi dia sudah
memperhitungkan bahvva hari itu adalah masa subur baginya.
Sepertinya bukan lagi berupa harapan, melainkan keyakinan.
Dia sendiri memang belum pernah menjalani pemeriksaan
kesuburan, tapi ia yakin dirinya tidak mandul atau punya
kelainan. Demikian pula Kurnia. Dia sosok yang jantan, dan206
punya kemampuan bercinta yang luar biasa. Dia pun tidak terlihat punya kelainan seperti halnya para pria yang mengalami
berbagai kesulitan. Hal seperti itu pernah dibacanya.
Kurnia memang terpengaruh suasana. Tadi mereka berdua
bermain di pantai. Di sana banyak sekali perempuan cantik
berbagai bangsa dengan bikini yang menggairahkan. Dengan
mengenakan kacamata hitam dia jadi leluasa menyembunyikan
matanya dari tatapan Evi. Kalau kedapatan melototi perempuan
lain dia bisa didamprat. Pada saat-saat seperti itu dia
menghindari benar setiap kemungkinan konflik. Apalagi
instingnya mengatakan, Evi sangat memerhatikan gerakgeriknya. Boleh dikata dia hampir tak punya kesempatan untuk
sendirian berlama-lama. Padahal dalam beberapa kesempatan dia
sempat menangkap lirikan perempuan kepadanya. Lirikan yang
cukup ia pahami maknanya. Apalagi kalau ia hanya
mengenakan celana renang, ia sadar mendapat banyak tatapan
kagum kepada tubuhnya yang atletis berotot, bahu lebar, dada
bidang dan perut rata. Sejak dulu tubuh dan wajah adalah
modalnya yang utama. Ia boleh saja tak punya uang, tapi punya
daya tarik fisik. Cuma harga diri saja yang membuat ia tak mau
menjadi gigolo.
Sebenarnya masih ada sebab lain kenapa Kurnia jadi
bergairah. Waktu di pantai Evi pun mengenakan bikini.
Terkejut ia baru menyadari bahwa Evi memiliki lekuk tubuh
yang bagus. Payudara dan pinggulnya padat dengan pinggang
yang kecil. Bukan berarti ia tidak pernah melihat Evi telanjang.
Tapi telanjang saat berbaring di tempat tidur dengan bergerak
dalam bikini itu punya efek berbeda. Apalagi kalau
ketelanjangan itu tertutup selimut. Pada saat bercinta pun
sesungguhnya ketelanjangan tidak lagi menarik perhatian.207
Ia mengungkapkan hal itu terus terang kepada Evi. Ada
kesempatan untuk memuji tanpa kepura-puraan.
"Wow, kau seksi banget pakai bikini, Vi!"
Evi merasa amat tersanjung. Ia tahu, Kurnia mengatakan
yang sesungguhnya. Ekspresi dan suaranya menyatakan hal itu.
Kalau Kurnia sampai mengatakan bahwa dirinya cantik, maka
itu pastilah bohong belaka.
"Ah, emangnya kau belum pernah lihat?" Evi pura-pura
menyanggah.
"Bener, aku baru lihat sekarang."
"Tapi kau kayaknya terpesona banget sih, Mas. Padahal
kau sudah pernah melihatku telanjang."
"Oh, itu beda, sesungguhnya perempuan lebih cantik kalau
ada yang menutup tubuhnya daripada terbuka semuanya."
Evi tertawa senang. Kurnia juga.
Maka malam itu benar-benar menjadi milik mereka
berdua. Untuk pertama kalinya Kurnia bercinta dengan Evi
tanpa kepura-puraan seperti biasanya. Ia tak perlu Iagi
membayangkan para mantan pacarnya. Ia cukup membayangkan tubuh Evi yang berbikini.
Usai bercinta, mereka berendam berdua di dalam bathtub
sambil menggosok badan masing-masing dan bercanda haha
hihi. Bagi keduanya, yang seperti itu merupakan pengalaman
pertama. Bahkan saat berbulan madu di awal pernikahan tak ada
kehangatan yang demikian.
Kurnia memeluk tubuh Evi yang licin oleh sabun.
"Kau senang, Sayang?"
Evi kembali melambung oleh panggilan itu. Belum pernah
Kurnia memanggilnya seperti itu. Rasanya seperti mendapat208
mukjizat atau keajaiban. Pulau ini memberi pesona luar biasa.
Scdikit ketakutan sempat menyelinap. Bila nanti kembali ke
Jakarta, apakah semua ini akan lenyap, berganti dengan
kerutinan yang biasa?
Di balik punggungnya, Kurnia tersenyum puas. Ia yakin
sekarang telah memenangkan hati Evi sepenuhnya. Ke depan
takkan ada lagi kecurigaan membayanginya. Aktingnya
sekarang telah menjadi sempurna. Tapi ia juga menyadari ada
pesona yang dialaminya sehingga apa yang dilakukannya begitu
wajar. Apa yang tadinya sulit kini menjadi gampang. Tapi ia
sempat heran. Sesungguhnya pesona dari luarkah atau sesuatu di
dalam dirinya?
Tapi Kurnia memiliki ambisi yang tidak mudah padam.
Tak terasa waktu seminggu telah terlampaui. Mereka sudah
harus berkemas untuk kembali ke Jakarta.
Ketika Evi membereskan koper, Kurnia pergi ke luar
mencari toko obat untuk membeli obat sakit perut. Biasanya
kalau pergi berwisata Evi tak pernah lupa akan obat-obatan.
Kotaknya memang ada, tapi obat sakit perutnya tak ada.
Ia membuka koper Kurnia untuk dirapikan. Sebenarnya
sudah rapi, tapi ia mau mengecek saja, kalau-kalau ada yang
tertinggal. Ia memeriksa pakaian yang sudah terlipat. Lalu
menemukan benda pipih terbungkus kantong plastik hitam
sehingga tak terlihat isinya. Bunyinya berkeresek kalau
dipencet. Ia membukanya dan melihat satu strip obat yang
masih utuh. Ia mengerutkan kening, heran kenapa Kurnia
menyimpan obat di dalam lipatan pakaian hingga tersembunyi
dari pandangan. Tapi ketika memelototi nama obat serta fungsi
yang tertera ia terkejut sekali.
Sebagai orang farmasi ia tahu obat itu adalah pil KB untuk


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pria. Sebenarnya obat itu masih baru, belum banyak beredar dan209
belum dipromosikan secara luas. Perusahaannya sudah
berencana untuk memproduksi. Jadi hampir pasti Kurnia
mendapatkannya dari luar negeri. Tapi masalahnya bukan itu.
Kenapa Kurnia menyimpan obat itu dan yang penting apakah
dia mengkonsumsinya?
Evi gemetar dan merinding. Obat itu masih utuh, tapi
belum pasti apakah Kurnia masih punya sisa yang lain sehingga
belum perlu mernakainya. Mungkin sisanya tinggal sedikit
hingga bisa dikantonginya ke mana-mana.
Obat itu berfungsi memengaruhi produksi dan kualitas
sperma, hingga tak banyak yang dihasilkan dan tak lagi agresif
bergerak. Jadi bila terjadi hubungan seksual, sperma itu segera
mati sebelum bisa mencapai sel telur hingga tak mungkin bisa
terjadi pembuahan. Tetapi seperti halnya pil KB untuk wanita,
bila konsumsinya dihentikan, maka produksi sperma akan
kembali normal.
Meskipun Evi gemetar oleh kemarahan dan kesedihan, ia
tidak ragu-ragu untuk mengembalikan strip obat itu seperti
keadaan semula ia temukan. Ia memasukkannya kembali ke
dalam kantong plastik, lalu menyusupkannya ke dalam lipatan
pakaian. Pendcknya semua ia rapikan seperti semula, lalu koper
ia tutup dan dikunci dengan kunci menggantung, juga seperti
semula.
Bagaimanapun kagetnya, ia tidak mau mengkonfrontasi
Kurnia dengan temuannya itu, dan bertanya kenapa ia
menyimpannya. Ia sadar emosi tidak akan memecahkan
persoalan. Tidak mungkin Kurnia mau berterus terang. Ia akan
berbohong. Lebih baik bila ia berpura-pura tidak tahu saja.
Dengan demikian dirinyalah yang berada di atas angin. Lalu ia
akan memasang mata lebih teliti.210
Meskipun bisa berpikir rasional, tak urung ia merasa sakit.
la lari ke kamar mandi, lalu muntah di kloset. Sesudah membilas
dan menggelontornya, ia menutup kloset lalu duduk di atasnya.
Ia tak mau segera kembali ke kamar, khawatir Kurnia keburu
pulang dan melihatnya dalam keadaan seperti itu. Di kamar
mandi ia merasa aman dalam kesendirian.
Ia menangis sepuas-puasnya. Pantaslah kalau ia tidak
kunjung hamil selama ini. Jawabannya sudah berhasil ia
temukan. Jadi Kurnia berbohong selama ini. Tapi kenapa
Kurnia tidak menginginkan anak? Apa yang disembunyikannya?
Percuma saja berbulan madu. Tidak mungkin berhasil.
Tapi ia terkenang kepada permainan cintanya yang begitu
mengesankan bersama Kurnia. Sulit menemukan kepura-puraan
di situ. Ataukah ia melihatnya dari sudut dirinya sebagai
perempuan? Konon lelaki akan merasa puas bercinta dengan
siapa pun, walaupun tanpa cinta, karena mereka mementingkan
seks.
Kebahagiaan yang dirasanya pada hari-hari kemarin sima
dalam sekejap. Ia menangis, sulit berhenti. Pada-halia sudah
begitu yakin bahwa permainan cinta itu akan membuahkan
hasil. Andai kata memang tidak berhasil karena sebab yang
nyata, misalnya Kurnia atau dirinya yang mandul, tidak akan
menyakitkan dibandingkan jika ia dibohongi.
Kenapa Kurnia tidak berterus terang saja bila ia tidak atau
belum menginginkan anak? Barangkali Kurnia ingin memperoleh kedudukan atau jabatan yang lebih baik atau masih suka
berduaan dulu, dan itu tak ada salahnya dikatakan. Ibunya pasti
akan mengusahakan agar Kurnia mendapat kedudukan yang
lebih tinggi di perusahaan. Dan kalau Kurnia masih suka
berduaan dulu, katakan untuk berapa lama, setahun atau dua211
tahun? Tapi tidak mungkin untuk seterusnya, karena salah satu
tujuan pernikahan itu adalah untuk menghasilkan keturunan.
Rasanya ia sangat ingin menanyakan hal itu sekarang juga
kepada Kurnia. Tak sabar menunggu jawabannya. Tapi
kekhawatiran dibohongi lebih besar lagi.
Lalu ia teringat kepada Dadang. Kedua orang itu, Kurnia
dan Dadang, dekat dan bersahabat. Dadang sudah jelas tidak
mengikuti jejak Kurnia karena ia berhasil membuat Eva hamil.
Apakah Dadang bisa ditanyai?
Ia mendengar suara pintu kamar dibuka.
"Viiii!" teriak Kurnia. "Kau di mana?"
"Ya! Aku disini!"
Evi berdeham beberapa kali karena suaranya serak. Ia
segera berdiri lalu menatap cermin. Matanya merah & sembap.
Buru-buru ia mencuci muka dan menepuk-nepukkan air ke
matanya.
"Ngapain?" tanya Kurnia di luar pintu kamar mandi.
Pertanyaan itu lucu tapi Evi tidak bisa tertawa. Ia merasa
benci mendengarnya.
"Aku sakit perut!" katanya keras.
"Wah, sama kayak aku dong. Nih, aku bawa obat. Kau
harus makan juga."
"Sebentar ya. Kau tahan dulu..."
'Tenang saja. Aku nggak bermaksud ke situ kok. Perutku
sudah nggak sakit lagi."
Evi jadi punya waktu untuk meredakan bengkak matanya.
Rupanya tadi dia menangis berlebihan. Ia pun mempersiapkan
mentalnya untuk menghadapi Kurnia.212
Ketika keluar wajahnya hanya menyisakan sedikit
kemerahan di sekitar pelupuk mata. la sudah merasa tenang
sepenuhnya. Bila tadi ia merasakan kegeraman dan kebencian
kepada Kurnia, sekarang sisa perasaan itu adalah kewaspadaan.
Aku tidak akan sembarang percaya lagi kepadamu, biarpun kan
perayu dan pecinta ulung! Pikiran ini membuat ia jadi lebih tegar.
Ia tidak akan begitu saja terpuruk karena dibohongi.
Kurnia sedang berbaring. Pengamatannya yang tajam
segera menemukan kelainan.
"Waduh, kau kenapa?" ia bertanya sambil melompat
duduk. Tatapannya mengamati wajah Evi.
Evi buru-buru membaringkan diri di samping Kurnia
sebelum lelaki itu turun dari tempat tidur.
"Perut muias tadi,"katanya sambil rebah miring dan
memejamkan mata.
Kurnia merangkulnya.
"Makan obat dulu, ya? Aku ambilkan..."
"Jangan, Mas. Cuma begitu aja nggak perlu obat. Nanti
malah mampet. Istirahat sebentar saja dulu. Masih ada waktu
sebelum check out."
"Baiklah. Kau tiduran saja dulu. Apa kau perlu sesuatu di
luar? Nanti aku belikan."
"Nggak, ah. Tapi kalau kau mau jalan-jalan dulu di luar,
pergi saja."
Wajah Kurnia kelihatan senang.
"Tapi kau nggak apa-apa sendirian?"
"Nggak apa-apa. Tadi cuma keram perut sesudah mules.
Sekarang sudah hilang. Masih lemes aja."213
"Sudahlah, mendingan aku nemenin kau saja. Tadinya sih
mau foto-foto."
Evi agak heran melihat Kurnia tak jadi pergi, padahal tadi
raut mukanya tampak senang. Apakah itu bagian dari
kebohongan juga?
Tapi ternyata ia merasa senang karena ditemani, lalu
merasakan rangkulan Kurnia yang berbaring di sebelahnya dan
kemudian merasakan semburan napas hangat di tengkuknya.
Ke mana amarahnya yang tadi meletup-letup?
*** Setibanya di rumah Evi sudah memutuskan, ia tidak akan
menceritakan penemuannya itu kepada ibunya maupun Eva. Ia
akan menyimpannya dulu sampai tiba saat yang baik. Selama
waktu itu ia akan terus memantau gerak-gerik Kurnia.
Ia mencari saat yang baik untuk berbicara dengan Dadang.
Tentunya berdua saja, tanpa diketahui Eva maupun Kurnia. Ia
tidak berani menelepon melalui ponsel Dadang, khawatir
didengarkan oleh Eva. Ia pun tidak mau langsung mendatangi
apotek karena Eva selalu berada di sana.
Maka ia menelepon Eva lebih dulu.
"Oh, kau sudah kembali?"
"Iya. Baru kemarin. Gimana keadaanmu, baik-baik saja?"
"Aku baik. Cuma pagi hari suka muntah-muntah. Makanya
aku baru pergi ke apotek setelah rasanya enakan. Siang-siang
aja."
"Di sana ada siapa yang menggantikanmu?"214
"Kan ada Sandra, apoteker wakilku. Juga Mas Dadang.
Belakangan ini apotek lagi ramai. Harus ada yang mengawasi."
"Baguslah kalau begitu. Kau jangan capek-capek, Va. Jaga
kesehatan."
"Ya, terima kasih Vi. Kau sendiri gimana? Bulan madunya
sukses, kan?"
Evi tersenyum pahit. Sewaktu masih di Bali ia sempat
menelepon Eva dan ibunya untuk menceritakan kebahagiaannya di sana. Tentu saja mereka akan terheran-heran kalau
sekarang ia mengungkapkan kekecewaannya. Rasanya jadi
malu sendiri. Seperti orang yang melambung tinggi, lalu jatuh
dengan tiba-tiba.
"Cukup sukses, Va," sahut Evi.
"Kok cukup? Emangnya kurang?" Pertanyaan Eva terasa
menyelidik.
Evi mencibir. Huh, mentang-mentang... Ya, itulah
enaknya berbincang lewat telepon. Di sana tak perlu melihat
ekspresi yang sesungguhnya.
"Bukannya kurang. Tapi kan belum tahu apakah bisa
berhasil atau nggak."
"Oh, maksudmu berhasil hamil?"
"Iya dong. Apa lagi?"
"Ah, mestinya jangan hanya itu, Vi."
"Habis apa?"
"Menurutku, tujuan utama bulan madu itu adalah untuk
mengharmoniskan hubunganmu dengan Kurnia. Kalau nanti
nggak berhasil hamil, jangan kecewa dulu. Yang penting tujuan
utamanya tercapai. Masih banyak waktu ke depan, Vi. Ada215
orang bilang, kadang-kadang kehamilan itu untung-untungan
juga."
Evi tak segera menjawab. Ia merasa ucapan Eva itu ada
benarnya. Tapi ia tak ingin mengakuinya.
"Vi, jangan putus asa, ya. Ada juga orang bilang, lebih baik
jangan terlalu diharap-harap, karena malah susah jadinya.
Alihkan pikiran ke hal lain, nggak usah terlalu dipikirkan."
Huu, sejak kapan kau jadi bijaksana, gerutu Evi dalam hati.
Tentu saja Eva bisa berkata begitu karena ia sudah mendapatkan
apa yang diinginkannya. Sementara Evi tenggelam dalam
kekecewaan yang nyata. Mana mungkin dirinya bisa hamil
kalau Kurnia sendiri yang melakukan pencegahan?
Tapi ia tidak bisa mengatakannya.
"Ya, ya. Kau tidak perlu menasihati aku, Va. Lebih baik kau
konsentrasi saja pada diri sendiri," katanya agak ketus.
"Sori, Vi."
Hubungan putus, tapi Evi jadi tahu bahwa saat itu Eva
berada di rumah. Lalu ia menelepon Dadang ke ponselnya.
"Kok tumben." Dadang kedengaran heran. Tentu saja dia
heran karena tak pernah mendapat telepon dari Evi sebelumnya.
"Iya, ada urusan penting. Mas sama siapa di situ sekarang?
Eh, jangan bilang namanya. Apa sama asisten atau Bu Sandra?"
"Lagi sendiri di ruang kantorku. Periksa kertas-kertas. Ada
urusan penting apa, Va?"
"Aku pengin bicara berdua saja. Mumpung Eva belum
datang. Katanya dia datang siang, ya?"
"Betul. Kalau begitu sekarang saja kita ketemu. Kau mau
datang ke sini?"216
"Ah, nggak. Jangan di situ ngomongnya. Nanti pasti
orang-orang di situ akan memberitahu Eva, bahwa aku datang
dan ngomong denganmu. Lalu Eva akan menanyaimu. Itu
pasti. Padahal aku nggak pengin diketahui Eva maupun Mas
Kurnia."
"Wah..." Terdengar suara Dadang terkejut.
Pantasnya dia ngeri juga, pikir Evi. Atau punya firasat.
"Punya usul, Vi? Aku nurut saja deh."
Evi tidak perlu berpikir. Ia sudah punya rencana.
Akhirnya mereka ketemuan di kafe tak jauh dari apotek.
Dengan demikian Dadang bisa cepat kembali bila pembicaraan
selesai, sedang bagi Evi tidak masalah. Ia tidak perlu
memberitahu Kurnia kapan dan ke mana ia bermaksud pergi,
karena Kurnia berada di pabrik, sementara dirinya di kantor
pusat.
Dadang menyalami Evi sebelum duduk berhadapan. Ia
agak keder menghadapi Evi. Dalam hati ia selalu merasa
beruntung karena mendapatkan Eva, bukan Evi. Sekarang
bukan saja ia merasa keder terhadap sosok Evi, tapi lebih-lebih
kepada topik apa yang mau dibicarakan Evi. Kenapa sampai
harus begitu rahasia, bahkan terhadap Kurnia? Yang
menakutkannya adalah Kurnia.
"Bagaimana jalan-jalannya, Vi? Kata Kurnia, sangat
menyenangkan."
"Oh, kau sudah bicara dengan Mas Kurnia? Ya, memang
betul."
"Kami baru ngomong di telepon, tapi belum ketemu."
"Jadi dia bilang menyenangkan, ya? Sesungguhnya
memang iya, kalau saja nggak ada kejadian mengejutkan."217
Evi tak segera melanjutkan kata-katanya. Ia mengamati
wajah Dadang yang tampak terkejut.
"A...a...ada apa memangnya, Vi?" Dadang berusaha tenang.
Evi memutuskan untuk tidak berlama-lama. Ia khawatir
kalau-kalau Eva datang lebih pagi dari biasanya hingga
pembicaraan menjadi tidak tuntas.
"Waktu berkemas akan pulang, aku menemukan satu strip
obat yang tersembunyi di dalam lipatan baju Kurnia di koper
yang sudah rapi. Bukan sengaja aku mengaduk-aduk, tapi
berniat merapikan kembali saja. Eh, ketemulah obat itu. Bisa
nebak nggak apa namanya?"
Dadang menggeleng dengan cemas. Sebenarnya ia bisa
menduga, tapi masih berharap bukan obat itulah yang
ditemukan Evi. Bagi Evi yang ahli farmasi tentunya ia bisa
mengetahui khasiat suatu obat biarpun nama pabriknya bedabeda.
Evi mengamati wajah Dadang sejenak. Lelaki ini tak bisa
menyembunyikan perasaannya. Kelihatan gelisah. Ia jadi
semakin bersemangat. Lalu ia menyebutkan nama obat seakan
mengejanya. Pelan tapi tegas.
"Kenal obat itu, Mas?"
"Di apotek rasanya nggak ada, Vi. Kenapa?" Dadang
berusaha menjawab diplomatis.
"Ya. Memang belum ada. Ini obat baru. Kita baru
berencana akan memproduksi. Tahu kegunaannya?"


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dadang tak menjawab. Ia takut salah bicara.
Evi tak sabar menunggu jawaban. "Ini pil KB buat lelaki!"
katanya ketus.
"Oh!" Dadang pura-pura terkejut. "Lalu kenapa?"218
"Kau kan temannya Mas Kurnia, barangkali tahu kenapa
dia menyimpan obat ini, padahal kita belum punya?"
"Maksudmu apa sih, Vi? Aku nggak ngerti," Dadang bicara
sambil memutar otak. Ia sadar, tak bisa mengatakan yang
sebenarnya. Kurnia bisa marah besar. Tapi ia bingung
bagaimana memberi jawaban yang tidak akan membuat Evi
maupun Kumia marah kepadanya.
"Ah, masa kau nggak ngerti sih? Orang yang mengkonsumsi obat itu pastinya kan nggak mau punya anak. Kenapa
dia pura-pura sih? Diajak bulan madu pastinya tahu dong
tujuannya apa. Ini kok sambil bawa obat. Terus terang saja
kalau memang nggak mau punya anak dan alasannya apa. Kau
sebagai temannya masa nggak tahu sih? Mestinya dia pernah
ngomong."
"Tunggu dulu, Vi. Waktu kautemukan obat itu, tinggal
berapa butir?"
"Satu strip masih utuh. Ah... aku tahu maksud
pertanyaanmu. Mungkin kau mau bilang, belum tentu dia
makan obat itu, kan?"
"Ya. Belum tentu. Mungkin dia belum tahu kau berencana
memproduksi, jadi dia mau usul..."
"Aku nggak percaya. Kalau memang begitu, kenapa obat
itu seperti disembunyikan? Kenapa nggak dari awal dia
perlihatkan dan bicarakan? Ayolah, Mas Dadang, berterus
terang sajalah. Aku nggak akan memberitahu Kurnia. Ini
penting buat diriku sendiri saja."
Dadang tidak percaya akan kata-kata itu. Evi pasti akan
menyergap Kurnia dan kemudian Kurnia akan menyergap
dirinya.
Maka ia kembali menggeleng. Sejak tadi menggeleng terus.219
"Dalam hal itu sesungguhnya aku nggak tahu pasti, Vi.
Cuma dia pernah ngomong, kalau punya anak, dia penginnya
sudah mapan, nggak disuapi sama istri. Malu sama anak."
Dadang merasa dirinya cerdik ketika melihat tatapan Evi
melembut.
"Tapi kemudian dia nggak bicara soal itu lagi. Waktu aku
cerita bahwa Eva sudah hamil, dia juga nggak komentar apaapa."
"Jadi dia nggak kelihatan pengin juga?"
"Entahlah. Yang pasti nggak ngomong apa-apa. Aku juga
nggak nanya-nanya. Biar teman tapi nggak enak rasanya.
Pribadi, kan?"
Evi berpikir. Ia mempertimbangkan perkataan Dadang.
Cukup logis.
Dadang jadi lebih percaya diri. Ternyata ia bisa juga keluar
dari kesulitan seperti ini. Menghadapi Evi jauh lebih sulit
daripada menghadapi Eva.
"Tapi aku yakin dia makan obat itu, Mas Dadang. Kalau
nggak, kenapa aku tak kunjung hamil padahal Eva sudah?"
Dadang menggaruk-garuk kepalanya. Percuma membantah logika ucapan itu.
"Aku mau minta tolong, Mas."
Dadang tersentak. "Ya, tentu. Kalau aku bisa..."
"Gampang kok. Kau pasti bisa. Tanyakan sama dia,
sebetulnya dia ingin punya anak atau nggak. Dan kalau nggak
apa alasannya. Tapi jangan bilang bahwa pertanyaan itu datang
dariku. Iseng saja, seolah kau yang pengin tahu."
Dadang tahu, sulit menolak permintaan itu, yang sesungguhnya memang gampang tapi baginya sulit. Dia sudah220
tahu jawabannya, tapi tak mungkin mengatakannya kepada Evi.
Yang mungkin adalah membicarakannya dengan Kurnia,
bukan lagi bertanya.
"Ya. Aku akan coba, Vi. Apa perlu cepat-cepat?"
"Kalau bisa..."
"Belakangan kami begitu sibuk sampai jarang bertemu."
"Carilah akal, masa nggak bisa?"
"Ya, Vi. Nanti kuusahakan. Tapi sabar sajalah."
"Terima kasih, Mas Dadang. Nanti kabari lewat SMS saja,
ya. Sesudahnya cepat dihapus. Siapa tahu diintip Eva. Nanti dia
berprasangka tidak-tidak..."
"Baik."
Mereka berpisah. Dadang keluar lebih dulu. Evi masih
menghirup Capuccino-nya.
Setelah lewat beberapa waktu, emosinya yang meledak tak
lama setelah penemuan obat itu sudah jauh menyurut. Apalagi
setelah pembicaraan dengan Dadang barusan. Ia merasa telah
melakukan hal yang benar dengan meminta bantuan Dadang,
daripada langsung mengonfrontasi Kurnia.
Dadang kembali ke apotek dengan pemikiran mendalam
mengenai masalah Evi tadi. Yang jadi pemikirannya adalah apa
yang harus dikatakannya kepada Kurnia. Berterus terang
mengenai apa yang diberitahu Evi tadi? Kalau sampai
diberitahu, apa yang kiranya akan dilakukan Kurnia?
Ia sadar, harus memberitahu Kurnia. Dan tidak boleh
membohonginya. Kalau sampai Kurnia tahu dirinya berbohong, ia bisa dianggap menggunting dalam lipatan. Padahal
Kurnia orang berbahaya. Kalau dulu ia menganggap dirinya tak
akan diganggu karena merupakan partner Kurnia dalam
kejahatan, sekarang tidak lagi. Apalagi setelah Eva hamil, ia tahu221
dirinya dianggap tidak punya komitmen. Entah kalau dianggap
berkhianat. Itu juga sebabnya kenapa mereka sekarang jarang
bertemu. Ia sendiri sengaja menjauh kalau tidak perlu benar. Ia
takut dirinya atau Eva yang diapa-apakan, padahal ia tidak bisa
memperingatkan Eva. Karena itu ia hanya bisa berusaha supaya
kedua orang itu tidak sampai berdekatan atau berduaan dalam
satu ruangan.
Untung saja kesempalan itu jarang ada karena tempat kerja
mereka berjauhan. Satu-satunya kesempatan atau kemungkinan
adalah bila pada akhir minggu mereka, bersama Evi dan Kurnia,
pergi ke rumah Ratna untuk makan malam bersama. Pada saat
itu ia tak mau melepaskan Eva dari pengamatannya.
Tapi rasa keberatannya adalah kasihan kepada Evi. Bila
Kurnia tahu bahwa Evi sudah mengetahui kebohongannya, apa
yang akan dilakukannya terhadap Evi? Apa dia akan mempercepat rencananya yaitu membunuh Evi?
Dadang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya ketika
berhadapan dengan Kurnia. Hampir tak berbeda dengan saat ia
berhadapan dengan Evi. Padahal dulu saat masih lajang, ia
bukan orang yang gampang gelisah. Ia selalu percaya diri. Tapi
setelah dia bersama Kurnia meracuni Simon sampai meninggal,
ia mulai merasakan beban itu. Berhadapan dengan Evi dan
Ratna, apalagi kalau mereka ingin bicara serius, selalu membuat
ia gelisah. Hanya Eva yang membuatnya tenteram, meskipun
sesekali muncul pertanyaan dalam hati, apa kiranya yang akan
dilakukan Eva bila mengetahui perbuatannya dengan Kurnia
terhadap Simon?
"Ada masalah apa, Dang? Kok kau kelihatannya gugup,"
kata Kurnia, mengamati Dadang dengan tajam.
"Ya, aku memang gelisah, Kur," Dadang mengakui. Lalu
tanpa buang waktu ia menceritakan pertemuannya dengan Evi.222
Sepanjang cerita Dadang, Kurnia terus mengerutkan
keningnya. Tidak tampak terkejut atau heran.
"Nah, sekarang dia sudah tahu. Lalu kau mau berbuat apa?"
tanya Dadang.
"Aku heran, kenapa dia cerita padamu. Kenapa dia nggak
tanya langsung saja padaku?"
"Dia takut kau marah. Aku dianggap dekat denganmu, jadi
disuruhnya aku mencari tahu apa alasanmu sampai tak ingin
punya anak."
"Oh, jadi nanti kau akan menghubungi dia lagi kalau sudah
mendapat jawabannya?"
"Iya. Tapi aku diminta berjanji untuk tidak bercerita
padamu. Jadi kau jangan bersikap seolah tahu atau
menanyainya. Aku takut sama dia, Kur. Kaupikirkan saja
bagaimana menghadapinya. Tapi tentunya harus sejalan dengan
informasi yang akan kusampaikan kepadanya. Nah, menurutmu
apa yang mesti kukatakan?"
"Bilang saja aku belum ingin punya anak selama setahun
dua tahun. Dia harus sabar."
"Selama waktu itu, kau mau apain dia?" tanya Dadang
waswas.
Sejenak Kurnia menatap Dadang, lalu tiba-tiba tawanya
meledak seolah pertanyaan itu lucu sekali.
"Kenapa kau tertawa?" Dadang kesal tapi heran.
"Habis kau lucu. Sejak kapan kau jadi perhatian sama Evi?"
"Ah, itu nggak ada hubungannya. Belakangan kau nggak
pernah bilang padaku mengenai rencana apa yang kaupikirkan."
Tawa Kurnia segera lenyap. Wajahnya berubah masam.
"Kau yang membuat rencana berantakan," katanya kesal.223
"Aku pengin punya anak, Kur. Aku senang."
"Ya. Kau senang sendiri. Nggak mikir sama aku. Nggak
punya komitmen."
"Sudah cukuplah kita berdosa, Kur. Jangan bikin lagi."
"Huh, apa artinya lagi sekarang? Kita sudah kepalang basah,
tahu?"
"Ah, nggak. Maaf, Kur. Aku nggak mau ikutan lagi sama
rencanamu dulu itu. Sudahlah, Kur. Kita jangan serakah untuk
menguasai semuanya. Sekarang ini kita sudah senang. Nggak
pernah kekurangan uang lagi seperti dulu. Kita berkeluarga saja
baik-baik."
Kurnia tak menjawab. Wajahnya seperti digelayuti
mendung tebal. Dadang tahu, ekspresi seperti itu menandakan
dia sedang menyimpan kemarahan. Ia merasa ngeri, tapi juga
lebih mantap. Tadi gelisah, tapi setelah berterus terang
menyuarakan keinginannya, ia jadi terdorong untuk lebih
berani.
"Kau nggak perlu nasihati aku macam-macam. Aku bukan
anak kecil. Aku juga nggak butuh nasihat. Aku tahu apa yang
harus kulakukan biarpun tidak bersama-mu. Kau memang
pengkhianat. Setelah merasa sudah cukup, kautinggalkan aku."
"Bukan begitu, Kur. Aku nggak meninggalkanmu. Kita
tetap berteman. Tapi aku nggak mau buat dosa lagi. Kau juga
jangan. Kalau kita baik sama mereka, pasti mereka pun baik
sama kita. Sabar saja. Suatu saat kau bisa jadi orang penting
dalam perusahaan tanpa harus menyingkirkan mereka. Bu
Ratna kan sudah tua. Dan berikanlah anak pada Evi, dia pasti
akan memberikan apa saja yang kaukehendaki..."
"Diam! Tutup bacotmu! Jangan sok bijak!"224
Dadang tidak marah diomeli seperti itu. Dia sudah biasa
menghadapi tabiat Kurnia.
"Aku bukannya sok bijak..."
"Tapi lembek!" bentak Kurnia.
"Terserah kau mau bilang apa, tapi aku sudah memastikan
nggak mau ikut rencanamu. Jangan bujuk atau paksa aku. Tapi
aku mohon, Kur, jangan teruskan... kasihan Evi. Kasihan Bu
Ratna."
"Dan Eva? Dia tidak kausebut," kata Kurnia sinis.
Dadang jadi merinding. Wajahnya berubah.
"Jangan kauapa-apakan dia!" ia berseru.
Kurnia terkejut melihat kegarangan Dadang. Yang seperti
itu baru pernah dilihatnya. Biasanya Dadang menurut saja.
"Waduh, bisa marah rupanya kau," kata Kurnia dengan
nada membujuk.
Dadang cemberut. Tapi sikap Kurnia yang membujuk itu
melegakan perasaannya.
"Jadi apa yang harus kukatakan pada Evi nanti? Bahwa kau
sebenarnya belum mau punya anak untuk setahun dua tahun ke
depan, begitu?"
"Ya, persis."
"Alasannya? Aku bilang padanya, mungkin kau ingin
menunjukkan prestasi dulu, karena malu sama anakmu nanti.
Aku cuma bilang mungkin karena aku nggak tahu pasti.
Soalnya kau nggak pernah ngomong dan nggak pernah nanya."
Tiba-tiba Kurnia melompat berdiri lalu menepuk pundak
Dadang, membuat ia terkejut bukan main.
"Bravo, Dang! Bagus!" seru Kurnia.
"Apanya yang bagus?" tanya Dadang heran.225
"Itu alasan yang bagus. Nggak nyangka kau pinter juga, ya.
Aku akan pakai alasan itu. Tapi kau nggak perlu jadi perantara
lagi, Dang. Terima kasih. Biar kuhadapi dia langsung. Aku mau
terus terang saja bahwa kau cerita padaku soal penemuan obat
itu."
Dadang mengangguk. "Ya, itu lebih baik. Capek juga
kalau harus sembunyi-sembunyi menemui dia. Kalau ketahuan
Eva bisa repot."
Dadang merasa senang. Ia menganggap pertemuan dengan
Kurnia berlangsung dengan sukses. Tapi sempat heran juga
kenapa kali ini Kurnia bisa cepat menerima sarannya. Setelah
dipikirkan lagi rasa lega dan senangnya berkurang. Ada yang
berubah pada diri Kurnia. Yang jelas terasa adalah dia tidak mau
lagi berbagi, padahal tidak mungkin dia tidak punya rencana.
Setahu Dadang, Kurnia selalu membuat rencana ke depan.
Mungkinkah sekarang Kurnia memutuskan untuk menjadi
single fighter saja?
Malam itu, menjelang tidur Evi melihat satu strip obat yang
ditemukannya di dalam koper Kurnia berada di atas meja
kecilnya di samping tempat tidur. Ia berdebar karena segera
tahu bahwa Dadang sudah bicara dengan Kurnia.
Kurnia yang menyusul masuk ke kamar mendapati Evi
sedang menatap ke mejanya ke arah obat yang diletakkannya di
situ. Ia mendekat lalu merangkul pundak Evi.
"Ya, aku tahu apa yang kaupikirkan. Mari, kujelaskan."
Kurnia mengajak Evi bicara di tempat tidur. Kurnia
memang sengaja mencari saat itu, karena usai menjelaskan nanti
ia bisa lebih mudah memengaruhi Evi lewat rayuan mautnya.
"Tadi aku bicara dengan Dadang, Vi. Dia cerita padaku
bahwa kau bertemu dengan dia dan cerita telah menemukan226
obat itu. Ah Vi, kenapa kau nggak tanyakan langsung padaku
waktu itu juga?"
"Aku sangat marah waktu itu. Perlu waktu untuk meredam
amarahku. Kalau aku bertanya saat itu juga, emosiku bisa nggak
terkontrol. Aku takkan percaya apa pun yang kaukatakan. Aku
berpikir dulu..."
"Kau hebat, Vi. Sempat berpikir sebelum bertindak. Jarang
orang seperti itu. Maunya spontan. Langsung ngamuk. Oh, aku
beruntung."
"Baik. Sekarang to the point aja. Kau makan obat itu, kan?
Kenapa kau berbuat begitu? Itu kan sama saja dengan
membohongi aku dan membuatku jadi kayak orang bego."
"Ya, ya. Maafkan aku. Kuterima salahku. Ya, aku makan
obat itu karena aku nggak ingin punya anak dulu. Bukan nggak
mau sama sekali. Menunda saja. Aku kan belum jadi apa-apa,


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih keroco di perusahaanmu. Belum tahu apa-apa juga. Hijau
benar-benar. Lalu kalau kau hamil, terus cuti dan kemungkinan
waktu kerjamu jadi kurang, aku jadi apa? Tanpa kau yang
membimbingku, aku nggak mungkin bisa maju. Sedang orangorang lain suka sinis padaku, mentang-mentang suami pemilik.
Wah, jelaslah jadinya kayak apa. Jadi aku ingin berprestasi dulu.
Ingin punya pengalaman dulu. Jadi nanti aku bisalah berdiri
sendiri. Kalau tetap goblok aku bisa dicemooh orang yang
nggak suka padaku."
Evi berpikir sejenak. Ia merasa bisa menerima alasan itu.
Cukup logis.
"Kenapa nggak sejak awal kau ngomong begitu? Jangan
diam-diam dan sembunyi-sembunyi."
"Aku yakin kau nggak akan setuju. Ayo, coba pikir. Apa
kau akan setuju?"227
Evi terdiam. Lagi-lagi Kurnia benar. Ia tidak akan setuju.
"Nah, pasti nggak, kan?" Kurnia melanjutkan, karena Evi
tetap diam.
"Baiklah. Alasanmu masuk akal," akhirnya Evi berkata, tak
ingin mengatakan ya atau tidak.
"Terima kasih, Vi. Jadi kau mengerti, ya?"
Tangan Kurnia mulai melingkari tubuh Evi. Tapi Evi
menahannya.
"Kita belum selesai, Mas. Apa Dadang tahu perihal
keinginanmu itu?"
"Tentu saja nggak. Kenapa?"
"Soalnya kita sama-sama melewatkan waktu setahun
kosong. Kemudian barulah Eva hamil. Setahun itu cukup lama
bagi orang yang nggak punya masalah. Aku sempat mikir
jangan-jangan kau dan Dadang sama-sama sepakat nggak mau
punya anak dulu, tapi Dadang memutuskan cukup setahun."
"Apa kau nggak tanyakan hal itu kepadanya?"
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa

Cari Blog Ini