Ceritasilat Novel Online

Dua Menantu 4

Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 4


"Dia bilang nggak. Tapi mana mungkin dia mau mengaku.
Kalau dia sudah bilang nggak tahu, tentu nggak mungkin
berkomplot."
Kurnia harus mengakui kecerdikan Evi. Mungkin dia
terlalu meremehkan.
"Ya, dia memang nggak tahu. Soal itu kami nggak pernah
bicarakan."
"Oke. Kenapa Dadang jadi memberitahumu soal penemuan
obat itu? Aku bilang sama dia, jangan kasih tahu dulu, tapi
selidiki tentang keinginanmu soal anak. Ya, pancing-pancing
gitu. Rupanya dia menyalahi kesepakatan."228
Kurnia tertawa. "Jangan salahkan dia, Vi. Dia kan orangnya
rada lugu, jadi gampang didcteksi. Kenapa tiba-tiba nanya soal
anak? Kudesak dia, akhirnya dia ngaku. Jadi jangan dimarahi,
Vi."
Evi membayangkan kegelisahan Dadang sewaktu
berhadapan dengannya. Ia jadi tertawa.
"Kenapa tertawa?"
"Aku ingat dia kelihatan gugup. Sekarang jadi terasa lucu."
"Aku senang kau sudah tertawa. Berarti, nggak marah lagi
kan?"
"Lain kali kalau menyangkut berdua, kita harus sepakat
dulu. Kayak soal anak itu kan urusan berdua. Bikinnya berdua
kok."
"Ya, ya. Aku cuma takut saja kau akan marah."
"Kalau rasional masa marah."
"Baiklah. Maaf aku telah membuatmu marah."
"Tapi kau belum bilang, sampai kapan kau mau menunda
soal anak itu? Kau mikirin statusmu di perusahaan, ya? Nanti
aku bilang Mama..."
"Duh, Mama mau dikasih tahu juga? Aku takut, Vi. Dia
juga akan marah sama aku."
"Tentu saja nggak. Soal obat itu aku nggak kasih tahu.
Cuma aku kan perlu persetujuan dia untuk statusmu."
"Beri aku waktu setahun, Vi. Apa itu terlalu lama?"
"Tapi bila tak sampai setahun kau sudah diberi kenaikan
pangkat, gimana? Jadi pimpinan pabrik?"
Wajah Kurnia menjadi cerah. "Aku akan perlihatkan
bahwa aku pantas mendapat kedudukan itu," katanya dengan
bersemangat.229
"Kau belum jawab pertanyaanku."
"Tentu saja nggak perlu sampai menunggu setahun, Vi."
Sebenarnya Evi ingin mengatakan, bahwa Kurnia tak perlu
menunda bila sudah yakin dan pasti akan mendapat kedudukan
yang diinginkannya. Sekarang pun bisa segera dilaksanakan dan
obat itu tak perlu diminum lagi. Tapi ia tidak mau terlalu
mendesak. Yang penting ia sudah memahami. Kurnia memang
pintar dalam berusaha memperoleh apa yang diinginkannya.
Ada juga perasaan aneh. Sepertinya anak ditukar dengan
pangkat.
Mereka berpelukan. Segera Evi melupakan apa yang tadi
dipikirkannya. Sementara di balik pelukan senyum Kurnia
melebar.230
10 ADITYA tak bisa tidur malam itu. Di sebelahnya Karen sudah
mendengkur sejak tadi tadi. Ada beberapa masalah yang justru
terpikir menjelang tidur. Padahal tadi sudah dipikirkan dan
sepertinya sudah selesai.
Pertama, e-mail dari Siska tentang kelakuan Frans. Ia sudah
membalasnya dan mengingatkan agar waspada menghadapi
Frans karena dia orang yang berbahaya. Lalu dia juga bercerita
tentang pengalamannya di kantor belakangan ini, bagaimana
dia merasa dimusuhi oleh tiga sekawan itu.
Mestinya tanggapan itu sudah cukup, tapi sekarang ia resah
memikirkan keamanan Siska terhadap pendekatan yang
dilakukan Frans. Orang lain kalau cintanya ditolak mungkin
segera menjauh, tapi Frans belum tentu. Mungkin dia gigih, tak
peduli, bahkan meneror.
Untunglah Siska tinggal di asrama, dalam sebuah lingkungan yang aman.
Kedua, masalah Simon. Irawan yang mengemukakannya
dalam percakapan tadi siang di kantor.
"Sewaktu kamu bermimpi didatangi Simon, apakah dia
cerita dengan lengkap, tahu dari mana dia bahwa dirinya
diracun kcdua menantunya? Apakah ada bukti yang bisa dia
tunjukkan di mana disimpannya, misalnya di lemari atau di laci231
yang mana? Soalnya kalau nanti ketemu Bu Ratna, kita bisa
punya kekuatan. Nggak cuma mimpi saja."
Aditya menggeleng dengan kecewa.
"Itulah, Pak. Saya juga memikirkan soal itu. Yang dia
kemukakan cuma soal janjiku padanya untuk membantu. Kalau
memang saya pernah bertemu dia di alam roh, lalu tentunya
berbincang dengan dia sampai keluar janji saya itu, mestinya
ada yang dia ceritakan. Lebih dctail. Tapi saya benar-benar
nggak ingat. Seperti terhapus begitu saja sewaktu sadar.
Sampai-sampai saya berpikir apakah mimpi seperti itu punya
kekuatan untuk dipercaya atau hanya sekadar bunga tidur saja.
Tapi saya belum pernah mimpi dengan kesan begitu riil."
"Kamu bilang belum pernah ketemu Pak Simon Handoyo
dan dengar namanya pun baru saat bermimpi itu, kan?"
"Betul, Pak."
"Nyatanya orang dengan nama itu ada dan wajahnya dalam
mimpimu pun sama dengan yang kamu lihat dalam iklan
dukacita di koran. Jadi pasti ada kaitannya. Itu saja sudah cukup
sebagai alasan untuk disampaikan pada Bu Ratna. Mengenai
bukti, mungkin dia memang nggak punya, jadi nggak dia
katakan."
"Biarpun dia nggak punya bukti, harusnya dia katakan,
tahunya itu dari mana? Bukankah dia lama sakit, lalu koma?"
"Saya setuju denganmu. Seharusnya dia mengatakannya.
Tapi nggak apa-apalah, keanehan yang kamu alami itu cukup
sebagai alasan untuk memberitahu Bu Ratna."
"Bagaimana kalau dia nggak percaya, Pak?"
"Ya sudah, itu risiko. Pokoknya kita sudah memberitahu
dan kamu sudah menepati janjimu. Saya yakin setidaknya dia
akan tersentuh juga."232
Kedua masalah itu belum selesai atau belum terjadi, tapi
justru menjadi beban pemikiran. Akan bagaimana
kelanjutannya? Dia sangat ingin membantu Simon, karena
kesan yang diperolehnya dari mimpi itu begitu mendalam.
Biarpun hanya mimpi tapi ekspresi Simon benar-benar
mengharapkan bantuannya. Sedang Siska adalah orang yang
patut dibela. Dia berutang budi pada Siska. Dan dia... ah, dia
pun sayang padanya!
Kesimpulan akhir itu seperti tarikan napas yang dalam dan
berat lalu diembuskan kuat-kuat bagaikan angin kencang yang
menyemprot keluar hingga dia jadi khawatir kalau-kalau Karen
terkena angin itu lalu ter-bangun.
Aditya menatap Karen. Apakah pikiran seperti itu bisa
dianggap sebagai sikap selingkuh, atau mendua? Ah, tidak! Ia
membantahnya sendiri dengan keras. Ia menyayangi Siska
sebagai adik, karena Siska memang pantas menjadi adiknya.
Ia berupaya menyingkirkan pikiran tentang Siska. Yang
tertinggal hanya Simon.
Bagaimanapun ia tidak mungkin bisa meminta penjelasan
lebih lanjut kepada Simon karena Simon sudah berada di alam
yang berbeda. Kenangannya sendiri tentang pengalaman
sebagai roh tak ada. Andalannya hanya mimpi. Apa sebenarnya
kekuatan dari mimpi dan apakah memang ada kekuatannya?
Sekarang dia intens berpikir tentang mimpinya. Siska sudah
berhasil ia singkirkan.
Tahu-tahu dia tertidur. Otaknya sudah kelelahan.
Ia melihat Simon berjalan pelan ke arahnya. "Pak! Pak
Simon!" ia berseru sambil menggapai.
Simon yang semula terlihat berjalan pelan, tiba-tiba tampak
melayang. Dengan cepat dia sudah berada di depan Aditya.233
"Apa kabar, Dit? Saya nggak bisa lama-lama. Ini terakhir
kali kita ketemu. Apa kamu masih mau membantu?"
"Oh iya, Pak. Tapi sekarang kabarnya belum ada. Saya
sudah dapat orang yang mau membantu. Dia Pak Irawan,
katanya kenal sama Bapak. Kami berdua akan bertemu dengan
Bu Ratna nggak lama lagi. Urusan pekerjaan. Tapi saya mau
kenalan dulu sama Bu Ratna sebelum ngomong soal itu."
"Ya, ya. Senang dengar kamu mau membantu."
"Tentu, Pak. Tentu. Kebetulan sekali sekarang Bapak
datang, ada yang mau saya tanyakan. Bagaimana Bapak bisa
tahu bahwa kedua menantu Bapak iiu telah meracuni Bapak?"
"Oh itu. Saya menguping pembicaraan mereka waktu
mereka menjenguk saya di rumah sakit. Mereka berdua duduk
di taman, saya mendekat lalu mendengarkan. Tadinya kita
berdua sedang mengobrol, tapi melihat mereka berdua di sana
saya tertarik untuk mendekati. Lalu kamu sendiri pulang ke
kamarmu. Ah, kamu tentu nggak ingat."
"Begitu ya, Pak. Apa mereka jelas membicarakan Bapak
waktu itu? Siapa tahu ngomongin sesuatu yang berbeda."
"Ah, nggak. Jelas ngomong tentang diriku yang belum
mati-mati juga. Apa racunnya kurang keras."
"Racun apa yang dipakai, Pak?
"Nggak dibilang."
"Apa ada sisanya yang disimpan?"
"Wah, itu juga nggak tahu. Ya, kamu mau cari bukti
rupanya. Sayang saya nggak punya. Cuma pembicaraan saja.
Biarpun begitu, kasih tahu istriku agar waspada. Walau sudah
takdir memang nggak bisa dielakkan, orang tetap harus
berusaha."234
"Ya, saya akan melakukannya. Tapi bisakah Bapak
memberi suatu tip yang bisa membuktikan bahwa saya pernah
bicara dengan Bapak. Misalnya suatu keunikan dari keluarga
yang hanya diketahui Bu Ratna."
"Ya, ya. Bagus. Terima kasih. Kamu pintar. Bilang
padanya, dia punya tanda lahir bulat sebesar uang logam
berwarna merah di bokongnya. Ha ha ha..."
Ketika Aditya tertegun, Simon bergerak menjauh sambil
melambai lalu lenyap.
Ia tersadar, tapi tak bisa memastikan apakah pengalaman
tadi itu memang sebuah mimpi atau benar terjadi di depan
matanya.
Orang pertama yang diberitahu mengenai mimpinya itu
adalah Karen, segera setelah terbangun.
"Mungkin berkat pikiranmu yang intens itulah dia
muncul," Karen menyimpulkan.
"Ya, mungkin juga. Bila itu benar, apakah itu berarti
pikiran bisa menghubungkan apa yang ada di luar alam kita?"
"Entah. Setahuku, telepati terjadi di antara sesama orang
yang masih hidup. Jadi berada di alam yang sama. Kalau
alamnya beda, nggak tahulah."
"Nyatanya beberapa hari belakangan aku nggak pernah
mimpi dia, karena nggak mikirin seperti semalam. Tapi dia
bilang itu yang terakhir. Baguslah. Nggak nyaman juga kalau
sering-sering mimpi seperti itu."
"Berarti dia nggak akan muncul lagi untuk menanyakan
hasilnya."
"Sepertinya begitu. Tapi ya, lebih baik begitu. Sebenarnya
aku takut juga nggak berhasil membantunya. Pikir-pikir, kalau
Bu Ratna percaya pada peringatanku, lalu dia mau berbuat apa235
kepada menantunya? Akankah dia menyuruh anaknya bercerai
lalu mengusir kedua lelaki itu, padahal nggak ada bukti kuat?
Tentu menantunya bisa balik menuntut bahwa mereka difitnah,
lalu anak-anaknya pun pasti keberatan."
"Paling tidak, dia akan berhati-hati."
"Racun itu paling susah dideteksi, terutama cara, kapan, dan
siapa yang memberikan. Biarpun makanan itu diperoleh dari
orang lain, tapi kalau diam-diam pelaku punya akses dan
kesempatan bisa saja terjadi."
"Kalau begitu, makanlah apa yang dimasak sendiri dan
jangan meninggalkan makanan sebelum habis," kata Karen, lalu
tertawa membayangkan kesulitannya.
Aditya juga tertawa.
"Ya, sulit memang. Tapi sudahlah, aku akan berusaha, lalu
kita lihat apa yang akan terjadi. Pak Simon sendiri bilang, kalau
sudah takdir tak bisa dielakkan."
"Betul sekali. Jadi tentunya dia sudah ikhlas, apa pun yang
akan terjadi dia tidak akan menyalahkan kau. Eh, apakah dia
menitipkan salam kepada istri dan anak-anaknya?"
Aditya tertegun sejenak lalu tertawa.
"Ha ha ha... ada-ada saja kau ini. Kebiasaan itu kan hanya
di antara kita, manusia yang hidup di bumi, bukan di alam sana.
Tak ada lagi artinya salam-salaman."
Karen tertawa juga.
"Ah, kau benar, Pa. Jadi nanti kau akan menyampaikan
kabar dari alam mimpi itu kepada Pak Irawan?"
"Tentu saja. Itu kabar yang bagus."
***236
Irawan menerima kabar itu dengan senang. Hal itu jadi
perbincangan mereka di saat makan siang bersama.
"Saya juga punya kabar baik, Dit. Dapat undangan dari Bu
Ratna untuk berkunjung ke kantornya. Dia punya proyek
untuk kita. Nanti sore kita ke sana."
"Apakah masalah itu akan ditampilkan sekalian, Pak?"
"Baiknya gimana, ya?"
Irawan balik bertanya. Ia tampak bingung menjawab.
Tampaknya masalah yang mau dikemukakan Aditya itu tak
baik kalau terlalu lama ditunda. Itu adalah masalah keselamatan
jiwa, sehingga waktu menjadi penting.
"Saya sudah memikirkannya, Pak. Tentu prioritas
pembicaraan adalah proyek itu. Kalau sudah beres dan sepakat
dan ada peluang untuk bicara santai, baru kita bicarakan.
Sebelumnya Bapak dulu yang ngomong bahwa saya pernah
koma selama tiga minggu lalu sadar kembali. Kita lihat
reaksinya apa,"
"Ya, ya, saya ngerti. Jadi tergantung sama situasi dan
kondisi juga, ya Dit."
"Kira-kira begitu, Pak."
Pada hari itu Aditya tidak bertemu dengan Frans. Ia juga
tidak melihatnya di tempatnya yang biasa, cubicle di sebelahnya.
Ia hanya melihat Fendi dan Vera. Kedua orang itu tidak berkata
sepatah pun, seperti biasa pula.
Ketika akan berangkat bersama Irawan, jam kerja belum
berakhir, mereka melewati tempat kerja para karyawan. Tempat


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Frans masih kosong. Ketika Aditya melirik, ia bertatapan
dengan Vera yang memelototinya. Buru-buru ia beralih
pandang, bersikap tak peduli.237
Di halaman parkir sewaktu akan memasuki mobil Irawan,
Aditya menoleh ke jendela. Ia melihat wajah Vera dan Fendi di
balik tirai yang terkuak. Wajah mereka tak sedap dipandang. Ia
mengangkat bahu lalu masuk ke mobil.
"Oh ya," kata Irawan setelah mobil berjalan. "Frans pengin
resign. Hari ini dia nggak masuk, mau interview di RS Mulya
Bakti."
"Ada apa di sana?" tanya Aditya heran.
"Rumah Sakit itu membutuhkan programmer. Dia mau
melamar di sana. Yah, nggak apa-apa. Bagi saya sudah biasa
karyawan datang dan pergi. Setiap orang berhak mencari yang
terbaik untuk dirinya."
Aditya terkejut. Ia segera sadar, Frans bukan mencari
pekerjaan yang lebih baik, tapi ingin lebih dekat dengan Siska.
Irawan menoleh, mengamati wajah Aditya sejenak.
Berhenti di lampu merah membuatnya berkesempatan
mengamati, karena Aditya tak segera menjawab.
"Kamu kelihatan kaget, Dit. Memangnya dia nggak bilang
sama kamu?"
"Nggak. Baru tahu dari Bapak."
"Lho, kan temenan. Kok nggak bilang, ya."
Sekarang Aditya tidak ragu lagi memberitahu. "Sejak
Bapak dekat dengan saya, mereka jadi memusuhi saya.
Mungkin mereka pikir, saya ini golongan penjilat."
"Oh, begitu. Saya baru tahu. Nggak nyangka sampai
begitu. Jadi yang lain juga?"
"Pastinya Fendi dan Vera juga, karena mereka dekat sama
Frans. Kalau lainnya, saya nggak begitu tahu."
"Jadi kamu kaget karena dia mau berhenti?"238
"Bukan itu, Pak. Saya bisa menebak kenapa dia melamar ke
sana. Dia sedang mendekati Siska."
Sekarang giliran Irawan yang terkejut. Hampir dia ngerem
mendadak.
"Kamu tahu dari mana?"
"Siska yang cerita lewat e-mail."W
Aditya bercerita seperti apa yang dibacanya di e-mail.
"Jadi Siska sendiri nggak suka sama dia," tegas Irawan
dengan lega.
"Sejak awal dia nggak suka. Frans itu sudah berupaya
mendekati Siska sejak saya masih koma di rumah."
"Oh, begitu. Kalau orang nggak suka kok dipaksa-paksa,"
kata Irawan jengkel. "Mudah-mudahan saja dia nggak diterima
di sana."
"Siska pintar kok, Pak. Dia nggak gampang diperdaya.
Biarpun satu gedung, tapi kan nggak dekat."
"Dia akan mendatanginya di asrama."
"Tapi dia nggak bisa sembarang masuk, Pak. Asrama itu
nggak seperti rumah kos. Ada satpamnya."
"Ya, sudah saya lihat. Kalau mau ketemu seseorang kan
harus ngomong dulu sama yang jaga."
"Siska pasti bisa jaga diri," Aditya menghibur dirinya
sendiri. Tapi kalau teringat perbuatan Frans dan kelakuannya
yang menyebalkan, ia merasa khawatir.
"Kamu harus segera memberitahu Siska."
"Tentu, Pak."
Pembicaraan tentang Siska jadi membelokkan konsentrasi
mereka kepada persoalan yang akan mereka hadapi dengan239
Ratna. Tapi tak ada waktu lagi untuk mencari kesepakatan
karena mereka sudah tiba di parkiran kantor PT Sim Farma.
Buat Irawan gedung itu tak asing lagi. Tapi tidak bagi
Aditya. Ia melihat sebuah gedung besar yang megah. Tiangtiangnya seperti pilar bangunan kuno. Ukiran ular naga melilit
tiang-tiangnya. Itulah yang paling menarik perhatiannya.
Begitu masuk mereka diminta menitipkan KTP di meja
penerima tamu. Lalu masuk lagi ke sebelah dalam, disambut
sekretaris yang mengatakan bahwa kedatangan mereka sudah
ditunggu Bu Ratna. Mereka pun berjalan di belakang sekretaris,
melewati deretan cubicle tempat para pekerja duduk. Lalu di
depan sebuah pintu, sekretaris mengetuk.
"Ya!" seru suara di dalam.
Sekretaris membuka pintu, melongokkan kepalanya ke
dalam.
"Sudah datang, Bu," katanya.
"Persilakan masuk!"
Sekretaris membuka pintu lebih lebar. Ia menyilakan
Irawan dan Aditya memasuki ruangan, lalu keluar dan menutup
pintu di belakangnya.
Ratna sudah menghampiri lalu mengulurkan tangan.
Sikapnya hangat.
Aditya melihat seorang perempuan usia enam puluhan
dengan penampilan rapi, setelan rok sepan bermodel klasik,
yang panjangnya selutut dengan blus dari bahan sama warna
keabu-abuan. Jelas jahitannya rapi dan berbahan mahal.
Kelihatan nyaman dipakai dan pas di tubuh. Rambutnya hitam,
tak terlihat uban, sepertinya rajin dicat. Potongannya pendek.
Wajahnya cukup menarik. Tak banyak kerut yang terlihat dan
kantong mata tersamar oleh kacamata mahal dengan frame tebal240
warna hitam. Yang agak mengganggu adalah rahang atasnya
yang agak menjorok ke depan hingga mulutnya suka terbuka,
memperlihatkan sebagian gigi depan. Untunglah giginya tidak
besar-besar.
"Apa kabar, Pak Irawan?"
"Baik, Bu. Gimana Ibu sendiri? Pasti baik juga, ya.
Kelihatan sehat dan fit kok."
Ratna tertawa senang. Ia mengguncang tangan Aditya
dengan jabatan yang erat dan bersahabat. Dia mengajak kedua
tamunya duduk di sofa di pojok ruang kerjanya.
Irawan mengenalkan Aditya sebagai staf programmer-nya
yang paling andal.
"Dia belum sebulan kembali dari bepergian jauh, Bu," kata
Irawan.
Begitu saja dia tiba-tiba mendapat ide untuk memperkenalkan Aditya seperti itu. Spontan tanpa dipikir lebih dulu.
Aditya pun sempat tercengang.
"Kembali dari mana, Mas? Luar negeri?" tanya Ratna
dengan tawa cerah. Kelihatan ia tidak peduli kalau tawanya
membuat rahangnya terlihat lebih menon-jol.
"Bukan luar negeri, Bu," sahut Aditya, agak segan bercerita
mengenai diri sendiri. Tadi dia dan Irawan sepakat untuk bicara
mengenai proyek lebih dulu, yang lain belakangan, ternyata
Irawan mengubah strategi secara mendadak.
"Kembali dari alam yang lain, Bu," jawab Irawan sambil
tertawa. "Maksud saya, dia sadar dari koma selama tiga minggu.
Belum ada sebulan ini dia kembali sehat."
Ratna tampak tertarik. "Wah, koma tiga minggu? Selama
itu bisa sadar tanpa kurang apa-apa? Kok bisa, ya? Suami saya241
juga mengalami koma sebelum meninggal. Tapi... yah, tentu
kondisinya beda."
Karena sikap Ratna itu, Aditya segera menceritakan
kisahnya. Ratna terlihat takjub.
"Kalau begitu, banyak pengalaman yang terbawa dari sana,
Mas. Ceritanya banyak tuh."
"Kalaupun memang ada, saya nggak ingat apa-apa setelah
sadar. Sudah hilang dari ingatan," sahut Aditya.
"Wah, sayang ya. Saya pernah dengar cerita tentang orang
yang mati suri. Katanya dia punya pengalaman sebagai roh
yang melayang keluar dari tubuhnya, lalu bisa melihat tubuhnya
sendiri," kata Ratna.
"Tapi saya bukan mati suri, Bu. Saya masih hidup tapi
koma."
"Ya, beda tentunya. Ah, ngobrol tentang hal itu menarik,
tapi nanti jadi melenceng dari tujuan utama kita. Sekarang kita
bicarain proyek dulu. Sebentar..."
Ratna bangkit lalu menuju meja kerjanya. Di atas meja
sudah tersedia sebuah map. Ia mengambilnya lalu membawanya
ke depan Irawan.
"Ini rencananya, Pak Irawan. Coba dilihat. Proyeknya sih
nggak sebesar yang dulu."
Irawan membuka map dan mengajak Aditya melihatnya.
Irawan sendiri seorang programmer andal, bukan hanya
pengusaha yang menerima order laiu menyuruh karyawannya
bekerja. Berdua mereka membicarakannya sejenak dan
merundingkannya juga dengan Ratna.
"Jadi Bapak pelajari lagi lalu buat proposalnya. Kapan kirakira bisa saya terima?" tanya Ratna.
"Secepatnya, Bu. Dalam minggu ini juga akan saya kabari."242
"Baiklah. Saya akan tunggu."
Ratna melihat arlojinya.
Biasanya tanda seperti itu menunjukkan sudah waktunya
untuk pamitan. Irawan dan Aditya segera berdiri dengan
membawa map tadi.
"Lho, kok buru-buru amat? Tadi bicaranya singkat padat
tapi cukup, ya. Masih banyak waktu. Lagi pula belum dibawain
minuman nih."
Irawan dan Aditya duduk lagi. Saat itu kedengaran ketukan
pintu, lalu sekretaris muncul dengan membawa baki berisi tiga
cangkir teh manis panas. Ia meletakkannya di depan masingmasing. Lalu menyilakan dengan santun dan senyum manis.
Mereka mengucapkan terima kasih.
"Nah, sekarang kita ngomong santai saja," kata Ratna.
"Sambil bicara siapa tahu ada sesuatu yang kelupaan mengenai
proyek tadi, jadi bisa segera dikemukakan."
"Bagaimana dengan anak-anak Ibu, semua baik-baik saja?"
Irawan menggunakan kesempatan.
"Oh, mereka baik. Saya senang, semua pada rukun-rukun.
Eva, yang sulung, sedang hamil. Saya akan punya cucu."
"Bagus, Bu. Sayang Pak Simon nggak bisa ikut merasakan."
"Ya, sayang memang. Tapi kan sudah takdirnya. Kita
nggak bisa apa-apa."
"Benar, Bu."
Lalu tatapan Ratna tertuju pada Aditya.
"Waktu koma dirawat di rumah sakit mana, Mas Adit?"
"Mulia Bakti, Bu. Di sana dirawat dua minggu, di rumah
seminggu."243
"Jadi sadarnya di rumah?"
"Ya, Bu."
"Siapa yang merawat di rumah? Istri?"
"Nggak, Bu. Dia kerja. Kami pakai perawat pribadi dari
rumah sakit itu juga, atas rekomendasi dokter."
"Kapan dirawat di rumah sakitnya? Suami saya juga dirawat
di sana sampai meninggal. Belum lama juga. Sebenarnya kami
sekeluarga masih dalam suasana berkabung."
Aditya menyebut tanggal dia dirawat di rumah sakit. Lalu
Ratna berpikir.
"Kayaknya berbarengan dengan suami saya waktu dirawat
ya, Mas?"
"Benar, Bu. Ada hari-hari yang bersamaan kami di sana.
Sebelum saya dibawa pulang, Pak Simon meninggal."
Ratna terperangah, mengamati Aditya.
"Mas ini ngomongnya seperti kenal sama Pak Simon. Apa
memang pernah kenal sebelum koma?"
"Nggak, Bu."
"Lho, tapi ngomongnya itu..." Ratna menatap Irawan
seolah meminta penjelasan.
"Mereka berdua mungkin ketemu sewaktu koma, Bu," kata
Irawan dengan nada serius.
Ratna bengong sejenak, tidak mengerti. Lalu ia tertawa,
mengira Irawan bercanda.
"Ketemunya di mana?"
"Ya. Tentunya di alam roh. Kan tadi kata Ibu, roh bisa
keluar dari tubuh."
"Tapi itu orang yang mati suri. Bukan koma. Tadi katanya
beda. Yang bener ah, Pak. Gimana sih?"244
"Sebenarnya ada ceritanya, Bu. Menyangkut Pak Simon.
Ada hubungan antara Aditya dan Pak Simon. Itu sebabnya saya
mengajaknya ikut ke sini. Dia juga ingin bertemu dengan Ibu,
sekalian menyampaikan pesan dari Pak Simon."
Hilang ekspresi gurau dari wajah Ratna. Dia jadi serius dan
tertarik.
"Jadi Mas Adit pernah ketemu sama Pak Simon di alam roh
sewaktu koma, gitu?"
"Barangkali begitu, Bu. Saya sendiri nggak ingat lagi.
Semua sudah terhapus dari ingatan setelah saya tersadar. Saya
menyimpulkan begitu setelah bermimpi tentang Pak Simon..."
Lalu Aditya bercerita tentang mimpinya. Sepasang mata
Ratna semakin membesar oleh ketertarikannya.
"Saat itu saya nggak kenal sama dia, Bu. Tapi dia kenal
saya. Dia bahkan memberi selamat bahwa saya berhasil kembali
ke dunia, sedang dia sendiri harus pergi. Dia mengingatkan
bahwa saya telah berjanji untuk membantunya. Tapi saya
sungguh nggak ingat, bahkan saya pikir saya kenal dia sebelum
saya koma, relasi atau pernah ketemu di mana gitu. Akhirnya
dia bilang, yah kamu memang nggak ingat lagi..."
Aditya berhenti. Ia mendadak jadi ragu-ragu untuk
meneruskan. Rasanya tidak tega untuk mengatakan bahwa
kedua menantu Ratna itu pembunuh. Ia juga ngeri akan
akibatnya bagi dirinya dan Irawan. Mungkin mereka dituduh
macam-macam. Ia menatap Irawan untuk mencari dukungan.
"Eh, terusin dong, Mas. Dia minta dibantu apa?" Ratna
penasaran.
Lalu Irawan mengambil alih. "Apa yang akan diceritakan
oleh Adit kedengarannya aneh. Mungkin Ibu nggak percaya
atau bahkan marah padanya. Makanya dia jadi takut. Jadi saya245
mohon Ibu jangan berprasangka. Dia juga terpaksa
menyampaikan karena sudah berjanji pada Pak Simon.
Meskipun janji itu diucapkan di alam roh, tapi tetap harus
dilaksanakan."
"Ya, ya, saya ngerti," Ratna memotong dengan tak sabar.
"Biarkan Mas Adit meneruskan cerita, Pak. Saya janji nggak
akan berprasangka. Yah, masa sih belum tahu apa-apa sudah
berprasangka? Saya malah berterima kasih karena Mas Adit mau
membantu. Ayolah cerita lagi, Mas. Awas kalau nggak
disambung, saya bisa mati penasaran nih."
"Baiklah, Bu. Menurut Pak Simon, dia meninggal karena
diracun oleh kedua menantu Ibu. Jadi dia khawatir mereka akan
melakukan hal yang sama kepada Ibu dan dua anak Ibu. Itu


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja."
Aditya berbicara dengan cepat dalam satu tarikan napas
saja. Takut kalau-kalau kata-katanya akan tertahan atau batal
diucapkan. Sesudah itu ia merasa lega. Lalu dia dan Irawan
mengamati reaksi Ratna dengan tegang.
Kepala Ratna sampai menyentak ke belakang karena
terkejut. Wajahnya memucat. Kedua tangannya mengepal
kuat-kuat. Mulutnya yang memang selalu terbuka sedikit kini
terbuka lebih besar. Tatapan matanya tidak ke arah dua
tamunya, tapi ke ruang kosong di depannya.
"Maaf, Bu. Kami membawa kabar begitu buruk," kata
Irawan pelan. Ia juga takut kalau-kalau Ratna mengalami syok.
Perlahan-lahan Ratna kembali pulih. Kedua tangannya tak
lagi mengepal. Wajahnya sudah mulai berwarna lagi. Ototototnya mengendur. Dia menarik napas dalam, lalu
mengembuskannya pelan-pelan. Tangannya terulur untuk
meraih cangkir tehnya, masih terlihat sedikit gemetar. Lalu ia246
minum pelan-pelan dengan mata terpejam. Setelah itu, ia
membuka mata dan tersenyum sedih.
"Maaf, saya sangat kaget. Hampir tak bisa mengendalikan
diri," katanya.
"Kamilah yang harus dimaafkan, Bu. Datang-datang bawa
kabar buruk."
Ratna menggeleng. "Nggak apa-apa. Mas Adit hanya ingin
menepati janji. Kalau dia tidak peduli, buat apa dia
mengatakannya? Tapi cerita itu memang aneh. Tadi saya kaget
karena langsung percaya. Tak mungkin Mas Adit bohong, kan?
Nggak ada motivasinya, karena Mas nggak punya hubungan
sama kami. Nggak ada keuntungan yang bisa diraih, kan?"
Aditya mengangguk. Reaksi yang dihadapinya ini masih
lebih baik daripada yang dikhawatirkannya.
"Ya. Soalnya saya dua kali bermimpi. Yang terakhir Pak
Simon bilang dia nggak akan kembali lagi. Saat itu saya juga
menegaskan lagi akan menepati janji. Bantuan yang bisa saya
berikan hanyalah memberitahu Ibu. Itu kewajiban saya."
"Baik. Saya berterima kasih padamu. Tapi, sekarang pikiran
saya jernih kembali. Kalau memang benar dia bilang begitu,
berarti dia tahu bahwa dirinya diracun, kenapa membiarkan
saja?"
"Dia baru tahu setelah dirinya koma dan keluar sebagai
roh."
Ratna mengerutkan kening. "Saya nggak ngerti..."
"Pada mimpi yang pertama saya juga seperti Ibu. Nggak
mengerti. Lalu pada mimpi yang kedua kali saya sempat minta
penjelasan padanya. Dia bilang dia mendengar pembicaraan
kedua menantunya pada saat dia keluar dari tubuhnya sebagai
roh. Dan dia ketemu saya juga sebagai sama-sama roh. Tapi247
saya sendiri nggak ikut mendengar karena kami berpisah. Itu
menurut ceritanya. Saya sendiri nggak ingat lagi."
Ratna terperangah lagi. Kemudian berkata pelan, "Aneh.
Kok bisa seperti itu, ya..."
Saat Ratna diam termenung, Irawan dan Raditya saling
berpandangan. Reaksi Ratna seperti itu masih lebih baik
daripada dia langsung mengatakan tak percaya atau menuduh
mereka mengada-ada. Tapi Irawan sendiri sudah bersiap-siap
dan ikhlas bila proyek yang akan diberikan itu sampai
dibatalkan. Sejak awal ia sudah mempersiapkan diri tapi tidak
mengatakannya kepada Aditya. Ia mendukung keinginan
Aditya untuk memenuhi permintaan Simon biarpun
permintaan itu datangnya dari alam baka. Ia tahu bahwa Aditya
akan merasa tersiksa nuraninya bila tidak menepati janji.
"Maaf, Bu. Cerita saya jadi mengganggu perasaan Ibu dan
ketenteraman keluarga Ibu," kata Aditya.
Ratna menatap Aditya lalu tersenyum.
"Sebenarnya, saya bisa saja tidak percaya. Jadi dalam mimpi
itu Pak Simon mengenalkan dirinya karena Mas Adit tidak
ingat lagi padanya. Bagaimana kalau itu sebenarnya bukan Pak
Simon melainkan roh orang lain?"
"Saya memperlihatkan foto di iklan dukacita," kata Irawan.
"Ia segera mengenalinya."
"Tentu saja, karena di iklan itu ada namanya besar-besar."
"Kalau begitu maka artinya saya merekayasa," kata Aditya,
agak jengkel.
"Wah, jangan ngambek dulu, Mas Adit. Saya kan pengin
kejelasan. Coba katakan, bagaimana Pak Simon yang di dalam
mimpi itu bisa benar-benar membuktikan dirinya bahwa dia248
adalah Simon, suami saya? Soalnya tuduhannya itu bukan mainmain. Itu kriminal."
"Baik. Tapi jangan tersinggung, ya Bu. Dia bilang, Ibu
punya tanda lahir warna merah sebesar uang logam di bagian
bokong."
Raut muka Ratna berubah lagi. Ia kaget untuk kedua
kalinya. Ekspresi gurau yang tadinya meronai mukanya
langsung lenyap. Wajahnya muram.
"Maaf, Bu. Saya terpaksa mengatakannya sebagai upaya
terakhir untuk meyakinkan Ibu. Itu yang dikatakan Pak Simon
ketika saya tanyakan, apa yang harus saya katakan bila saya tidak
dipercaya," kata Aditya, pasrah terhadap apa pun reaksi Ratna.
Yang penting ia sudah mengungkapkannya, selanjutnya
terserah kepada Ratna bagaimana menyikapinya.
Beberapa saat lamanya Ratna berdiam diri. Tatapannya
menerawang. Ia seperti melamun.
Irawan dan Aditya tidak berani berbicara. Mereka ikut
diam, memberikan kesempatan kepada Ratna untuk merenung
atau berpikir. Rasanya juga tidak pantas untuk segera
berpamitan karena masalah itu belum selesai dibicarakan. Apa
pun kelanjutannya, mereka harus menerimanya sebagai risiko.
Akhirnya Ratna menatap Aditya. Kejutan yang tadi tampak
di wajahnya sudah berganti menjadi ketegaran.
"Saya percaya sama ceritamu, Mas Adit. Mengejutkan,
aneh, tidak masuk akal, tapi saya percaya. Hidup ini memang
berwarna, tidak selalu hitam-putih."
"Terima kasih untuk kepercayaan itu, Bu. Jadi tidak sia-sia
berita yang saya sampaikan itu."249
"Harusnya sayalah yang berterima kasih. Mas Adit dan Pak
Irawan sudah bersusah-susah menceritakannya dengan risiko
tidak dipercaya."
"Kami sangat prihatin, Bu," kata Irawan. "Semoga Ibu bisa
mengatasinya dengan baik. Tapi seperti yang diharapkan Pak
Simon, berhati-hatilah menjaga diri dan putri-putri Ibu."
"Ya. Terima kasih, Pak Irawan. Sungguh rasanya seperti
disambar petir di siang bolong. Mana mungkin dan bagaimana
mungkin? Tapi roh tentunya nggak bohong. Apalagi
disampaikan lewat pengalaman luar biasa."
"Maaf sekali lagi, Bu. Saya jadi mengganggu ketenteraman dan kenyamanan Ibu," kata Aditya dengan perasaan
bersalah. Ia tahu, sejak pembicaraan ini hidup Ratna tidak akan
sama lagi seperti sebelumnya. Ia seperti menanamkan ranjau di
dalam dirinya.
"Sudah. Tak perlu maaf. Itu sudah kewajibanmu, Mas. Tapi
ada satu permohonan saya yang amat sangat."
"Katakan saja, Bu," kata Irawan dan Aditya hampir
berbarengan.
"Tolong jangan ceritakan kasus itu ke mana-mana. Biarlah
di antara kita saja. Saya tak bisa membayangkan kalau cerita itu
jadi gosip yang menyebar. Padahal tidak ada bukti yang bisa
dipegang, bukan? Semata-mata cuma info dari roh."
"Tentu saja, Bu. Kami berjanji. Kami juga takut kepada
Pak Simon," kata Irawan.
Aditya mengiyakan. "Itu bukan cerita untuk digosipkan,
Bu."
"Baik. Saya percaya pada janji kalian. Mas Adit sudah
membuktikannya dengan keteguhannya menepati janji kepada
Pak Simon."250
Ketika mereka berdiri untuk pamitan, pintu terbuka dan
seorang wanita muda melongokkan kepala. Dia adalah Evi.
"Oh, Mama ada tamu," katanya lalu mau keluar lagi.
"Vi! Sini!" seru Ratna.
Evi melangkah masuk. Dia tampak elegan dengan gaun
yang modelnya seperti yang dikenakan Ratna tapi berwarna
cokelat muda. Tubuhnya langsing, proporsional. Wajahnya
menampakkan kemiripan seperti ibunya, tapi rahang atasnya
lebih menjorok ke depan hingga mulutnya lebih sering terbuka
kalau tidak dikatupkan.
Evi dikenalkan dengan Irawan dan Aditya.
"Ini putriku yang kedua, Evi. Suaminya bernama Kurnia.
Putriku yang pertama, Eva, bersuamikan Dadang. Mereka
mengusahakan apotek."
Kedua tamu bersalaman dengan Evi. Aditya merasa, Ratna
sengaja menyebut nama kedua menantunya sehubungan
dengan kasus yang diceritakannya tadi.
"Pak Irawan dan stafnya, Aditya, ini yang akan
mengerjakan proyek IT kita, Vi. Tapi tentunya ada
pertimbangan proposalnya dulu, ya."
Berbeda dengan Ratna, Evi menyalami kedua tamunya
dengan sentuhan ringan saja seperti salam tempel. Tapi dia
cukup ramah.
"Kok buru-buru pergi? Apa karena ada saya?" tanyanya
dengan tertawa.
"Nggak kok. Kami memang sudah mau pergi karena
urusan sudah selesai."
Lalu mereka pamitan, diiringi oleh Raina sampai ke pintu.
Setelah keluar mereka diantar oleh sekretaris.251
"Hebat ya mentalnya," puji Irawan setelah mereka berada
di dalam mobil.
"Ya, hebat," Aditya membenarkan. "Daya tahannya luar
biasa. Emosinya juga."
"Entah kalau dia sendirian. Pasti nangis," kata Irawan.
"Belum tentu, Pak. Dia akan berpikir dan mencari jalan
keluar. Tapi itu kalau dia benar-benar percaya penuh pada
cerita kita."
"Memangnya kamu masih menyangsikan ucapannya?"
"Entahlah, Pak. Dia adalah orang yang mengutamakan
logika. Kelihatannya begitu. Benar-benar seorang pcrempuan
bisnis."
"Sebagai pengganti suaminya, dia sudah membuktikan
lewat penampilan tadi. Tidak ada kecengengan atau emosi
berlebihan. Setidaknya di depan kita dia tak mau menunjukkan
kelemahan."
"Kalau saya ada di tempatnya, mungkin sudah pingsan,
Pak. Atau saya akan menyangkal habis-habisan. Bayangkan.
Suami diracun menantu dan keluarganya juga dalam bahaya
yang sama."
"Itu kalau dia benar-benar percaya."
"Saya yakin dia percaya, Pak. Terutama waktu saya
ngomong soal tanda lahir di bokongnya, dia kaget sekali. Jauh
lebih kaget dibanding kejutan pertama kali waktu saya cerita
tentang pemberitahuan Pak Simon dalam mimpi."
"Ya. Dia tangguh. Ingat bagaimana dia mengenalkan
putrinya? Sebenarnya dia nggak perlu memberitahu nama
suami dari kedua putrinya. Jelas ada hubungannya."
"Kira-kira apa maknanya, Pak?"252
"Bahwa dia percaya. Dan mungkin juga peringatan supaya
kita memegang janji untuk tidak bercerita pada orang lain."
"Cerita seperti itu terlalu mengerikan untuk dijadikan
bahan gosip."
"Itu menurutmu, Dit. Tapi orang lain belum tentu. Apalagi
orang yang tidak menyukainya. Pelaku bisnis biasanya punya
saingan atau musuh. Saya sendiri juga punya, saya sangat sadar
akan hal itu. Lihat saja, Dit. Bajak-membajak karyawan,
rebutan orden.."
"Benar, Pak. Yang tahu hanya kita, Karen, dan Siska.
Mereka sama seperti kita. Pasti akan terjaga dengan baik."
"Kasihan Bu Ratna. Baru saja kehilangan suami, sekarang
menghadapi musuh dalam selimut."
"Dilematis sekali buat dia. Dua orang itu bukan sembarang
orang. Anggota keluarga sendiri. Apalagi kalau kedua putrinya
mencintai suami mereka. Mana mungkin Eva dan Evi mau
terima bahwa suami mereka adalah pembunuh ayah mereka."
"Ya. Yang sulung kan sedang mengandung."
"Saya jadi ingin mengenal kedua orang itu."
"Kalau saya sih lebih baik nggak kenal. Sudahlah, Dit.
Dunia ini penuh dengan kebusukan. Kita jalani saja apa yang
sudah seharusnya kita jalani."
Di mulut Aditya membenarkan perkataan Irawan, tapi di
hati dia terganggu oleh keingintahuan. Apa gerangan yang
akan dilakukan Ratna? Menuduh terang-terangan atau cukup
waspada saja? Tampaknya dua-duanya sama sulitnya.
Sementara Irawan sudah merasa lega karena berhasil
menyampaikan berita itu kepada Ratna. Apa pun yang akan
dilakukan Ratna bukan urusannya. Ia teringat kepada Siska.253
"Kapan kita akan menemui Siska, Dit? Ceritanya tak cukup
lewat e-mail. Apalagi ada ancaman..."
Aditya terkejut. "Ancaman apa, Pak?"
"Dari si Frans. Siapa lagi?"
Pikiran Aditya pun teralih.254
11 RATNA menyibukkan diri dalam pekerjaannya. Ia berhasil
menyisihkan masalah yang dibawa Aditya tadi. Tapi setelah
semua selesai, masalah itu kembali mendominasi pikirannya.
Lalu Evi masuk menemuinya, saat ia sedang termenung. Ia
terkejut lalu buru-buru mengubah ekspresinya, tapi terlambat.
Evi sudah melihat air mukanya.
"Kenapa Mama kelihatan sedih?"
Evi mendekat, duduk di sebelah ibunya, lalu merangkulnya.
Ratna tersenyum. "Ah, masa sih? Sedih kenapa
memangnya?"
"Barangkali ingat sama Papa?"
"Nggak juga. Cuma capek aja, kali. Kalau istirahat sebentar
juga hilang."
"Sudah, Ma. Jangan capek-capek. Makanya semua jangan
dikerjain sendiri dong. Kan Mama punya anak dan menantu."
Ratna tersenyum. Ia membalas rangkulan Evi lalu mencium
pipinya.
"Memang benar, Vi. Maklum aja, Mama sudah tua. Saatnya
pensiun."255
"Ah, jangan pensiun, Ma. Aku nggak bisa membayangkan
kalau Mama cuma duduk-duduk aja. Mungkin Mama justru
jadi stres. Kurangi aja kerjaan dan jangan banyak mikir."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pikiran itu yang nggak bisa dikurangi, Vi. Nggak
mungkin. Dia datang sendiri. Masalah berdatangan dan kita
nggak mungkin bisa mencegahnya."
"Masalah apa, Ma?"
Evi menatap ibunya dengan prihatin. Dia ingin bicara
perihal promosi bagi Kurnia, tapi dalam situasi ibunya sedang
bermasalah kiranya bukan waktu yang tepat. Sebelumnya dia
tidak pernah melihat ibunya termangu-mangu dengan wajah
murung seperti yang dilihatnya barusan. Tidak tahu juga kalau
memang kebetulan saja ia memergokinya. Tapi raut wajah yang
terlihat itu membuat ia risau.
"Ah, nggak ada masalah. Perusahaan kita kan jalannya
lancar-lancar saja. Kalian juga baik-baik saja, bukan? Sungguh
Mama cuma sedikit capek. Jangan pelototin Mama kayak gitu
dong. Bener. Mungkin Mama perlu dipijit..."
"Apakah dua orang tadi bawa masalah, Ma?"
Ratna terkejut. Pertanyaan itu tepat mengenai sasaran. Evi
memang pengamat yang jeli.
"Kok nanya begitu? Mereka adalah rekanan kerja, Vi. Kan
tadi sudah tahu."
"Soalnya sesudah mereka pergi, Mama jadi murung."
"Itu kebetulan saja kok. Sudahlah. Bener nggak ada apaapa. Sesekali boleh dong berwajah murung. Masa ceria terus.
Kan nggak mungkin."
"Kalau ada apa-apa, cerita ya, Ma."256
"Tentu saja. Kau dan Eva bukan cuma anak-anak Mama,
tapi juga sahabat Mama. Kalau nggak sama kalian, sama siapa
lagi Mama berbagi?"
Evi tidak begitu memercayai ucapan itu. Sejak dia dan Eva
menikah, terasa ada jarak di antara mereka berdua dengan
ibunya. Eva tidak pernah mengemukakan hal itu. Ia sendiri juga
tidak merasakan. Mungkin wajar saja mereka jadi jauh karena
masing-masing sudah berkeluarga, tak lagi tinggal serumah.
Tapi dia dan ibunya tak terlalu jauh karena masih sekantor.
Beda dengan Eva.
Selama ini yang diperbincangkannya dengan ibunya
melulu masalah perusahaan. Sedikit tentang masalah pribadi. Ia
baru sadar, mustahil ibunya tidak punya masalah pribadi? Sama
seperti dirinya, tapi tidak mau menceritakannya. Apakah ibunya
juga punya rahasia?
"Ada orang ngomong, Ma. Kalau masalah pribadi itu
rahasia. Setiap orang patut menyimpannya sendiri. Benar
begitu, Ma?"
Ratna tertawa, sadar omongan itu bersifat memancing.
"Jadi kau punya rahasia ya, Vi?"
Evi tertawa juga. "Mama bisa aja. Dibalikin ke aku."
"Ayo, kau sekarang kan jarang ngajak ngomong kayak
gini. Masa kebetulan aja masuk lalu lihat wajah yang murung?"
"Yah, kebetulan lihat sih iya. Tapi masuknya nggak. Aku
jadi mikir, seberapa sering Mama berwajah murung tanpa
kulihat?"
"Sudahlah. Nanti Mama bisa juga membalikkan. Apa kau
sendiri nggak suka berwajah murung tanpa pernah Mama
ketahui?"
"Iya deh. Mama lebih cerdik dari aku."257
"Cerdik apanya?"
"Ngorek-ngorek." Evi tertawa.
Ratna menatap mulut Evi yang terbuka lebar saat tertawa
itu. Hanya di depan ibunya Evi berani tertawa mengakak tanpa
menutup mulut dengan tangan. Dengan tertawa seperti itu gigi
depannya terlihat, semua berikut gusinya. Ah, memang tidak
sedap dipandang. Perasaan Ratna menjadi sedih, tapi dengan
cepat ia mengalihkan pandangannya sebelum Evi menyadari.
Bukankah yang seperti itu sudah dilihatnya sejak Evi dan Eva
lahir? Ia sudah menyadarinya sejak awal, hal itu tidak bisa
disesali. Tapi kesedihan yang terasa sekarang disebabkan oleh
masalah lain. Masalah yang dibawa oleh kedua tamunya.
Kenapa mereka membawanya sekarang ketika ia menganggap
segala sesuatu telah berlangsung dengan baik dan situasi
nyaman dan tenteram?
"Mama nggak pernah ngorek-ngorek, Vi. Atau iya? Tapi...
mungkin juga dengan cara halus, ya? Kan maksudnya baik, mau
menghibur atau mau membantu. Ah, kok kita ngalor-ngidul
ngomongin yang nggak jelas. Ayolah, kau punya masalah apa?"
Ratna sudah memahami kebiasaan Evi. Jarang-jarang dia
sengaja masuk ke kantornya kalau bukan karena dipanggil. Bila
ada sesuatu yang di luar urusan pekerjaan, dia lebih suka bicara
di telepon atau di rumah. Tadi sewaktu ada Irawan dan Aditya,
Evi sudah bermaksud mau bicara. Sekarang dia kembali.
Tentunya sesuatu yang penting. Bisa soal pekerjaan atau soal
pribadi, atau keduanya.
"Begini, Ma. Ini tentang Kurnia."
Ratna merasa seperti disengat. Tapi hati-hati menjaga
ekspresi.
"Ada apa dengan dia?"258
"Waktu di Bali kan hubungan kami sudah menjadi lebih
mesra. Ya, Mama sudah dengar ceritaku, bukan? Tapi kemudian
Kurnia mengaku terus terang..."
Ratna menjadi tegang. Jantungnya berdebar. Lantas kenapa
wajah Evi biasa-biasa saja?
"Dia bilang, untuk sementara belum menginginkan punya
anak, Ma."
"Oh..."
"Kenapa, Ma? Kok Mama sepertinya menganggap bukan
apa-apa?"
Ratna menenangkan dirinya. Pengamatan Evi tak bisa
dianggap ringan.
"Aku pikir dia ngaku selingkuh," kata Ratna, tertawa.
"Tahunya begitu. Kan nggak apa-apa. Banyak orang yang suka
begitu."
"Tapi aku ingin, Ma. Aku iri sama Eva. Kurnia juga tahu
bahwa ajakanku untuk berbulan madu lagi adalah untuk itu.
Masa baru ngakunya sekarang."
"Untuk berapa lama?"
"Setahun dua tahun."
"Ah, kan nggak lama. Waktu sebegitu nggak terasa
lewatnya, Vi. Jalani saja bersama-sama seperti layaknya masa
pacaran. Kan menyenangkan. Tapi... memangnya kenapa? Apa
dia nggak suka anak? Si Dadang beda. Atau dia takut ada
penyakit keturunan, mungkin dari nenek moyangnya?"
"Bukan, Ma. Dia merasa minder sama aku."
"Minder?"
Evi segera menceritakan alasan yang dikemukakan Kurnia.259
"Maka aku bilang padanya, bagaimana kalau kau jadi
pimpinan pabrik, tapi untuk itu aku tentu harus konsultasi dulu
sama Mama. Dia kelihatan senang, Ma. Tapi dia cukup rendah
hati dengan mengatakan, dia akan bekerja keras untuk
membuktikan bahwa dia pantas mendapat kedudukan itu.
Bagaimana, Ma?"
Ratna termangu. Ia segera menyadari kecerdikan Kurnia.
"Bagaimana, Ma?" desak Evi.
"Mama pikir, kalau dia mau membuktikan kemauan dan
kemampuannya, tak ada salahnya dicoba. Tapi baiknya jangan
langsung dikasih, Vi. Suruh dia jadi asisten Pak Anton dulu, biar
dia belajar dan kalau sanggup, punya inovasi apa untuk
dijalankan. Memang Pak Anton mau pensiun, jadi nggak salah
kalau diganti," kata Ratna, tak tega melihat permohonan di
wajah Evi.
"Baik, Ma. Terima kasih, ya."
Evi mencium pipi ibunya lalu pergi tergesa-gesa. Ratna
tahu, pasti untuk menyampaikan kabar itu kepada Kurnia.
Ditinggalkan sendiri, Ratna punya waktu untuk
memikirkan lagi hal itu. Pasti tak ada lagi yang akan
mengganggunya. Sekretaris sudah pulang, demikian pula
karyawan lain. Evi pasti menyusul Kurnia ke pabrik seperti
biasanya.
Ia menarik laci mejanya lalu mengeluarkan foto berbingkai yang biasanya ia taruh di meja. Foto dirinya berdua
dengan Simon. Sejak Simon meninggal, foto itu ia masukkan ke
dalam laci. Tak nyaman perasaannya bila melihat foto itu.
Di foto itu rambut Simon baru memutih sebagian, belum
sampai semuanya seperti pada saat ia sakit. Wajah Simon masih
terlihat gagah, sangat berbeda dibanding ketika sakit, seolah dia260
bertambah tua puluhan tahun. Padahal foto itu dibuat cuma
sekitar setahun sebelum dia sakit. Tak lama setelah pernikahan
Eva dan Evi.
Di dalam foto itu tangan Simon melingkari pundaknya.
Tapi ia ingat betul, tubuh Simon tidak menyentuhnya. Hanya
tangan itu saja. Itu pun disuruh oleh Eva yang menjepret
dengan kameranya.
"Ayo, buat kenang-kenangan!" seru Eva.
Ternyata memang benar jadi kenang-kenangan karena
kemudian Simon meninggal. Itu adalah foto terakhir mereka.
Padahal ia dan Simon jarang berfoto berdua. Paling-paling
sekeluarga pada saat menikahkan anak-anak mereka.
Ia tahu betapa kakunya postur tubuh Simon ketika difoto.
Sepertinya ia memang segan menyentuhnya. Tangan yang
terletak di atas pundaknya itu pun kaku, asal menempel. Hanya
dirinya dan tentu Simon sendiri yang tahu.
Ia sadar benar akan sebabnya. Simon tak pernah
memaafkannya karena ia telah memihak kedua putrinya dalam
masalah pilihan hati mereka.
Hanya mereka berdua yang tahu betapa seru pertengkaran
yang terjadi ketika itu. Mereka sengaja memilih waktu saat
hanya berdua di rumah sehingga leluasa bila ingin berteriakteriak dan bicara apa saja.
"Aku juga terpaksa setuju karena mereka mengancam akan
bunuh diri!" serunya.
"Hah! Nggak bakal berani! Cuma mulutnya saja besar!"
"Tapi kalau sampai kejadian, apa nggak jadi heboh dan kita
menanggung akibatnya?"
"Nggak mungkin mereka berani mati, kau mau saja
dibohongi. Goblok!"261
"Apa kau bilang? Aku goblok? Bukannya kau yang
goblok?"
"Kalau aku goblok, maka kau lebih goblok lagi!"
"Baik, kita sama-sama goblok. Lalu, gimana kalau mereka
kawin lari?"
"Huah! Kawin lari? Nggak bakal. Sudah kuancam nggak
akan dapat warisan dariku kalau berani. Lalu apa yang akan
dilakukan cowok-cowok itu? Mereka akan minggat karena
yang diincar kan harta! Apa mau hidup miskin? Pengangguran
kayak gitu..."
"Apa katamu? Warisan? Emangnya milik siapa perusahaan
ini? Lupa, ya?"
"Baik. Asalnya memang milikmu. Tapi perusahaan kayak
apa dulu itu? Sudah mau bangkrut, kan? Siapa yang bikin maju?
Siapa yang membesarkan? Kalau kau sendirian pasti hancur
lebur, kau nggak bakal punya apa-apa."
Ucapan itu membuat ia kalah. Ia memang harus mengakui
kebenaran perkataan Simon. Tapi ia belum mau kalah dalam
berdebat masalah itu.
"Kenapa nggak berikan saja kesempatan pada mereka, Pa?
Apa kau nggak sadar anak-anak kita berat jodoh? Mereka
nggak kunjung dapat pasangan. Nggak kasihan?"
"Habis mau gimana lagi kalau mereka memang jelek-jelek?
Pantas aja kalau nggak laku. Eh, sekarang ada cowok ganteng
yang naksir. Siapa yang nggak curiga, coba? Orang dungu aja
tahu maksudnya apa."
"Tega bener ngatain anak sendiri jelek!"
"Lho, kenyataannya memang begitu, mau apa?"262
Ratna menyetop renungannya. Terlalu menyakitkan untuk
dikenang. Tak ada gunanya lagi mengingat-ingat. Ia tak ingin
menyakiti diri sendiri.
Meskipun demikian ia masih saja menatap foto itu,
terutama wajah Simon, seakan ingin melahapnya bulat-bulat.
"Kalau kau bisa muncul di alam mimpi orang lain, kenapa
kau tak pernah muncul di alam mimpiku?" Ratna bicara sendiri.
"Kenapa kau tak pernah memberitahu aku? Orang lain dibawabawa. Ah ya, kau ketemu di alam roh. Tapi nyatanya kau
mengejarnya juga saat dia sudah kembali ke alam hidup. Kau
mengingatkan dia akan janji yang dia ucapkan di alam roh.
Mestinya jangan begitu. Yang sudah jadi roh nggak boleh
mengganggu yang masih hidup. Ah, tujuanmu baik. Pengin
menyelamatkan keluargamu. Jadi kau sayang sama keluargamu?
Yang mana, aku berikut anak-anak? Atau hanya anak-anak
saja?"
Lalu Ratna tersentak kaget. Dia memelototi wajah Simon,
tapi tiba-tiba ia melihat sepasang mata Simon di dalam foto itu
mengedip. Ia begitu kaget sampai menjatuhkan foto itu.
Untung jatuh di karpet hingga kacanya tidak pecah. Ia
memungutnya lagi lalu buru-buru memasukkannya kembali ke
dalam laci.
Tidak mungkin, bantahnya dalam hati. Tadi ia cuma
halusinasi saking intensnya mengamati.
Sekarang ia marah karena merasa ditakut-takuti. Jadi ia
bicara lagi kepada udara di depannya.
"Kau membenci kedua orang itu. Dan kau tak pernah
menutup-nutupi. Sejak berpacaran sampai menikah kautunjukkan kebencianmu. Nggak heran kalau mereka juga
membencimu. Kau dianggap penghalang mereka. Jadi kau
disingkirkan. Ada aksi, ada reaksi. Begitu, kan? Aku cuma mau263
nunjukin logikanya. Tidak selalu harta yang jadi penyebab.
Tapi aku dan anak-anak tidak dibenci mereka. Jadi kami nggak
mungkin disingkirkan juga. Kami pasti akan aman-aman saja.
Ya, ya, pasti..."
"Kau menuduh mereka hanya dari hasil menguping
pembicaraan mereka. Mana mungkin kau bisa tahu semuanya
kalau kau cuma menguping sebagian saja? Siapa tahu mereka
sedang berupaya membasmi tikus? Kau telah membuat susah si
Aditya. Tapi aku lebih susah lagi. Coba pikir. Aku mesti
gimana?"
Ratna bergelung di sofa dengan kedua tangan mendekap
dadanya. Kepalanya menunduk hingga dagunya menyentuh
tangan yang mendekap. Posisi yang selalu dipilihnya bila ia
sedang merasa susah. Ia ingin membuat dirinya kecil, sekecil
mungkin, sehingga bisa lolos dari kesulitan.
Beberapa saat lamanya ia seperti itu. Lalu pelan-pelan ia
meluruskan tubuhnya yang terasa kaku. Kepalanya terasa
pening. Ia harus duduk sejenak sebelum bisa berdiri. Ia


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelamaan bergelung.
Wajahnya tampak kemerahan. Tapi matanya kering. Ia
tidak menangis. Setetes air mata pun tidak keluar.
*** Evi menyampaikan kabar itu kepada Kurnia yang menunggu
kedatangannya di pabrik. Biasanya mereka pulang bersama.
Kurnia tidak diberi mobil sendiri. Jadi saat pergi diantar Evi,
lalu pulangnya dijemput. Itu bila ia sedang berada di pabrik.
Tapi bila berada di kantor, mereka bisa bersama-sama.
Kurnia memang tidak pernah meminta mobil sendiri. Ia
tidak ingin menimbulkan kesan mentang-mentang meskipun264
ada beberapa mobil milik perusahaan yang menganggur.
Baginya mobil bukan masalah penting, meskipun bisa jadi alat
prestise.
Sekarang yang paling penting adalah menjaga dan
memelihara citra. Baik di mata Evi dan ibunya, maupun di mata
rekan sekerjanya. Ia akan mengambil hati semua orang supaya
semua urusan menjadi gampang.
Reaksi Kurnia adalah memeluk Evi dan menciumnya
dengan supermesra. Ia sudah tahu bagaimana cara mencium
bibir Evi supaya tidak sampai kepentok gigi atasnya. Dan
caranya itu disukai Evi meskipun ia tahu bahwa sebenarnya
tujuannya adalah supaya tidak sampai "bertabrakan".
"Terima kasih, Vi."
"Mama ingin kau jadi asisten dulu. Tapi nggak memastikan kapan kau bisa menggantikan Pak Anton."
"Nggak apa-apa. Itu kan sudah bagus sekali buatku. Aku
memang mesti belajar dulu. Mama baik. Kau lebih baik lagi.
Apa lagi yang kuharapkan?"
Setelah Evi merasa semuanya sudah jelas, ia tidak lagi
memasalahkan pil KB milik Kurnia. Ia juga tidak menanyakan
apakah Kurnia masih memakannya. Sikap Evi itu
menyenangkan perasaan Kurnia.
"Aku pikir, Vi, baiknya promosi untukku itu jangan
dikasih tahu dulu ke Eva."
"Mana mungkin, Mas? Biar nggak dikasih tahu, dia akan
tahu juga. Justru itu bisa membuatnya jengkel. Sudahlah.
Nggak apa-apa. Apa kau takut Dadang akan iri?"
"Begitulah."265
"Aku pikir, nggaklah. Dadang sibuk mengelola apotek. Dia
kelihatan menyukai pekerjaannya, apalagi sekarang Eva sedang
hamil, jadi tanggung jawab ada padanya."
"Oh, kau lihat begitu, ya. Nggak enak saja kalau nanti
Dadang merasa iri. Dia kan temanku."
Di dalam hati, Evi semakin menyanjung Kurnia. Sudah
rendah hati, sayang teman pula.
"Apa baiknya kutelepon Mama, Vi?"
"Untuk apa?"
"Untuk bilang terima kasih. Aku malu juga karena kau
yang menyampaikan keinginanku kepadanya."
"Bilang terima kasih tentu saja perlu. Tapi jangan sekarang.
Dia lagi capek. Kayaknya lagi murung. Waktu aku masuk ke
ruangannya, dia nggak menyadari aku buka pintu. Tatapannya
sedih. Melamun gitu. Sampai dia nggak sadar aku sudah
memandanginya sejak beberapa lama."
"Kau pasti nggak mengetuk pintu."
"Sudah. Tapi pelan aja. Biasanya juga gitu. Sesudah
mengetuk langsung buka."
"Memangnya ada masalah di kantor?"
"Setahuku nggak ada. Biasa-biasa saja. Dia juga bilang
nggak ada masalah. Tapi ekspresinya yang kulihat sebelumnya
nggak bisa membohongi aku."
"Lantas kenapa?"
"Aku pikir dia ingat sama Papa."
"Kasihan..."
"Ya. Mama itu perempuan tegar. Tapi kayaknya di depan
kita aja. Di belakang dia sedih sendiri."
"Kasihan..."266
Tapi di dalam hati Kurnia berkata lain. Betulkah Ratna
memikirkan suaminya, dan merasa sedih karena kehilangan? la
pernah melihat keduanya bertengkar meskipun tidak tahu
permasalahannya. Yang mengejutkannya adalah ia pernah
melihat kebencian Ratna kepada Simon di matanya. Sedang
Simon pun kelihatannya dingin-dingin saja.
Tentu saja hal-hal seperti itu dilihatnya secara sembunyi
dan diam-diam tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Dalam
keadaan di mana orang bersangkutan menganggap tak ada yang
memperhatikan, maka saat itulah ia mencopot topengnya.
Kurnia memahaminya sehingga ia selalu berusaha untuk tetap
mengenakan topengnya bila ada orang lain di sekitarnya. Siapa
yang tahu bila ada orang yang mengamatinya secara diam-diam
seperti kesukaannya sendiri melakukan hal yang sama?
Apakah Simon punya affair dengan perempuan lain? Ia
mencoba menyelidiki. Sebenarnya tidak sulit menemukan gejala
seperti itu pada seorang lelaki. Pertama-tama memang ada
hubungan yang mendingin dengan istri, karena bisa merupakan
indikasi. Lalu amati kebiasaannya menggunakan waktu. Apakah
pergi dan pulang selalu tepat waktu, apakah suka ke luar rumah?
Kurnia tidak menemukan gejala itu pada Simon. Sedang
Ratna sendiri pun tidak punya affair dengan lelaki lain.
Seandainya punya dan lolos dari pantauannya, pastilah lelaki itu
akan muncul setelah Simon meninggal. Tapi Ratna selalu
kelihatan sendiri.
Ia menganggap Ratna punya potensi untuk rnemiliki
kekasih karena penampilannya masih punya daya tarik
meskipun sudah berumur. Bahkan wajahnya lebih menarik
dibanding kedua putrinya meskipun sama-sama "tonggos". Tapi
ketonggosan Ratna lebih sedikit dibanding kedua putrinya. Jelas
ciri wajah itu merupakan faktor keturunan yang tidak dapat267
dihindari siapa pun. Tapi kenapa kedua putrinya lebih
menonjol, padahal seharusnya persilangan dengan Simon bisa
mengurangi bahkan menghilangkan ciri itu? Tentu itu adalah
masalah gen yang tidak bisa dipahaminya.
Andai kata Ratna punya kekasih, maka apa yang telah
diperbuatnya bersama Dadang hanya melicinkan jalan bagi
Ratna untuk menyingkirkan Simon, sekaligus menguasai
perusahaannya. Ia sudah mempelajari riwayat perusahaan itu.
Dulu, sebelum menikah dengan Simon, perusahaan itu milik
keluarga Ratna, yang kemudian jatuh ke tangannya karena ia
anak tunggal. Berkat tangan dingin dan keterampilan Simon,
perusahaan itu menjadi besar sampai sekarang.
Berita dari Evi bahwa ibunya kelihatan murung itu
merupakan sesuatu yang dianggap serius oleh Kurnia. Selama
ini Ratna selalu kelihatan gagah dan sehat, punya wibawa yang
membangkitkan keseganan para karyawannya. Ketika Simon
masih ada pun, Ratna sudah seperti itu. Banyak orang
mengatakan, mereka berdua merupakan pasangan serasi dalam
bekerja. Tapi setelah kehilangan Simon, tampaknya Ratna bisa
mandiri. Mungkin karena sebelumnya Ratna sudah cukup
menguasai seluk-beluk perusahaannya, dan ikut berjuang
bersama suaminya untuk membesarkan perusahaan.
Karena itu pula Kurnia bertekad untuk memahami dan
menguasai semua seluk-beluk perusahaan sampai ke detailnya.
Hanya orang yang memahami seperti itulah yang bisa
memimpin. Ambisi Kurnia sangat tinggi. Kalau semula ia hanya
ingin harta saja, sekarang berkembang. Ia menyukai perusahaan
itu. Ia punya angan-angan, kelak akan mengubah namanya.
Dari Sim Farmasi menjadi Kurnia Farmasi...
Karena ambisi itu pula, Kurnia bisa menguasai diri dari
nafsu dan keinginan pribadi lainnya. Kesukaannya pada268
perempuan cantik berhasil dikalahkan oleh ambisinya itu. Ia
tahu harus berhati-hati dalam melangkah. Kepercayaan yang
berhasil diperolehnya dari Ratna dan Evi itu bisa segera lenyap
kalau ia melakukan kesalahan, padahal itu diperoleh dengan
susah payah.
Dulu Simon mengatakan dengan terus terang bahwa ia
menyewa seorang detektif untuk menyelidiki dirinya dan
Dadang, lalu menyimpulkan bahwa mereka berdua sebenarnya
hanyalah petualang. Sangat terus terang. Tapi dengan demikian
ia mengerti bahwa apa pun yang dia bersama Dadang lakukan
tidak bisa lagi memengaruhi pendapat Simon tentang mereka.
Ia juga tahu, berkat pembelaan Ratna dan kegigihan kedua
putri mereka, maka dengan sangat terpaksa Simon menerima
mereka. Tapi setelah Simon tidak ada, ia tidak tahu apakah
Ratna masih tetap memercayai mereka berdua. Di luar kelihatan
sayang dan perhatian, tapi di dalam ia tidak tahu. Karena itu ia
bertekad untuk tetap berhati-hati. Siapa tahu Ratna pun ikutikutan menggunakan detektif.
"Apa kaupikir Mama sudah ketuaan untuk tetap bekerja?"
tanya Kurnia.
"Aku pikir, nggak. Dia masih gagah, kan?"
"Bagaimanapun orang yang sudah berumur itu nggak bisa
disamakan dengan orang muda. Vi. Dia kelihatannya saja
gagah, tapi dalamnya kan nggak. Dia akan cepat capek."
"Lantas Mama mau disuruh pensiun, gitu? Hahaha, aku
nggak bisa membayangkan Mama mau ngapain kalau pensiun.
Duduk-duduk di kursi goyang?"
"Ya, aku ngerti. Orang yang biasa kerja nggak bisa
menganggur. Tapi kerjaannya kan bisa dikurangi. Maksudku,
kenapa kau nggak minta jadi wakil Mama saja atau asistennya,269
supaya kerjaannya lebih ringan. Dan kau pun jadi paham
gimana caranya mengatur perusahaan."
"Ah, selama ini kan boleh dikata aku memang asistennya.
Aku juga tahu gimana mengatur perusahaan."
"Ya, tentu saja. Tapi secara formal kau bukan wakilnya."
Evi malah tertawa. "Maksudmu, diresmikan gitu? Tanpa
diresmikan pun orang sudah tahu kok."
"Aku cuma kasihan sama Mama. Jangan-jangan dia stres
tanpa kausadari."
"Nanti aku coba dekati lagi."
"Dia tinggal sendirian sekarang. Apa nggak kesepian?"
"Mama justru merasa nyaman. Sendirian juga nggak.
Pembantu ada."
"Pembantu kan nggak bisa diajak ngomong.
"Nggak ada salahnya kauberi perhatian lebih kepadanya.
Mungkin ia murung karena merasa kurang diperhatikan?"
Evi menatap Kurnia. Dahinya mengerut.
"Kok tiba-tiba kau jadi perhatian sama Mama?"
"Sebenarnya nggak tiba-tiba sih. Tadi kau bilang melihat
Mama murung, aku jadi ingat pernah melihatnya seperti itu
juga. Tentu kalau dia pikir nggak ada yang lihat."
"Iya nanti aku dekati dia."
"Mungkin Mama perlu check up kesehatan, Vi."
"Ya, aku akan bilang padanya."
"Jangan hanya menyuruh, tapi ajak dan temani."
"Wah, kau benar-benar menantu yang perhatian," Evi
setengah menggoda.270
Kurnia tersenyum. Nanti Evi akan bercerita kepada ibunya
soal perhatiannya itu. Berarti nilai tambah baginya.
"Aku punya utang cerita sama Dadang. Dia sudah
bertanya-tanya bagaimana kelanjutan dari pertemuanmu
dengannya. Besok aku mau ketemu dia sebelum makan siang."
"Oh ya, aku sampai melupakan dia. Soalnya dia nggak
ngabarin aku. Kau akan cerita semuanya?"
"Iyalah. Kau nggak keberatan, kan?"
"Tentu saja. Daripada aku yang menghubungi dia untuk
bercerita."
"Apa aku perlu berpesan padanya supaya jangan bilangbilang pada Eva?"
"Nggak usahlah. Nggak perlu ada rahasia lagi."
"Baik."
Kurnia merasa perlu untuk memberitahu Evi mengenai
kegiatannya kalau-kalau dirinya dikuntit orang. Entah siapa dan
suruhan siapa. Perasaan paranoid ada juga gunanya. Padahal ia
hanya bertemu dan bicara dengan Dadang. Di mata Evi,
keterbukaan dirinya pun bisa memberi citra positif.
Dadang membelalakkan matanya setelah mendengar cerita
Kurnia. Daiam hati ia mengagumi kepintaran dan kecerdikan
Kurnia dalam mengelak dan mencari alasan yang bisa berbalik
menguntungkan dirinya. Tapi sekaligus ia jadi tambah ngeri
menghadapi Kurnia. Ia sadar tak bisa lagi memahami perasaan
Kurnia terhadap dirinya. Apakah ia masih dianggap sebagai
partner in crime ataukah pembelot? Padahal orang yang membelot biasanya tak akan dibiarkan begitu saja.
"Ya, kau pintar, Kur. Jadi sekarang Evi setuju dengan
rencanamu menunda punya anak?"271
"Setuju banget. Malah aku dapat promosi," kata Kurnia
bangga.
"Promosi apa?" Dadang tersentak.
Kurnia tidak berkeberatan untuk menceritakannya sampai
tuntas. Tujuannya disamping membanggakan diri, juga untuk
membuat Dadang iri.
"Mulai dulu dengan meyakinkan anaknya, baru lanjut ke
ibunya," kesimpulan Kurnia mengakhiri ceritanya.
"Kalau kau nanti jadi pimpinan pabrik, apa kau sudah
puas?"
Kurnia tersenyum. Dadang memahami arti senyum itu.
Tiba-tiba saja ia bergidik.
"Selama masih ada kehidupan, mana mungkin orang bisa
merasa puas, Dang? Setiap orang kan melangkah maju, bukan
mundur."
"Maju sih maju, tapi tergantung caranya. Maju secara wajar
saja."
"Apa maksudmu dengan cara wajar? Mana mungkin
sesuatu yang kita inginkan itu bisa diperoleh begitu saja? Semua
harus dengan upaya, kan?"
"Maksudku bukan dengan cara membunuh," kata Dadang
perlahan. Takut juga kalau-kalau dinding memiliki telinga.
Kurnia tidak menyahut.
"Coba kaupikir, Dang. Kalau dulu Simon nggak disingkirkan, sekarang kita jadi apa? Tetap jadi kenek di
perusahaan, bukan? Biarpun kita kerja banting tulang, mana
mungkin ada promosi? Di matanya kita ini seperti penyusup
yang bermaksud merebut perusahaannya."
"Ada benarnya juga sih."272
Kurnia malah tertawa geli. "Baiklah. Kita ini seperti kuda
Troya, masuk dalam sarang musuh lalu meng-ubek-ubek
mereka."
Dadang menggeleng-geleng. Ia tidak suka perumpamaan
seperti itu. Cerita itu mengerikan baginya.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurnia menertawakan. "Nggak nyangka, kau ternyata
lembek."
"Ah, biarin. Jadi maumu apa sih, Kur?"
"Kau seperti nggak tahu saja. Atau pura-pura nggak tahu.
Tentu saja jadi penguasa."
"Penguasa di mana?"
"Di mana lagi? Aku sering membayangkan nama Sim
Farmasi itu menjadi Kurnia Farmasi."
Dadang tertegun.
"Kalau begitu kau mau menyingkirkan semua orang."
"Tapi kau jangan takut, Dang. Wilayah apotek iiu
bagianmu. Aku nggak mau ganggu."
Dadang terperangah lagi. Semuanya ada tiga apotek yang
dikelolanya bersama Eva. Ia mempelajari manajemennya,
sedang Eva yang apoteker lebih banyak ke bagian obat-obatan.
Belakangan ia juga mempelajari obat-obatan karena Eva harus
banyak beristirahat. Ia menyukai pekerjaan itu. Tapi sekarang
ucapan Kurnia menggugah perasaannya. Pernahkah terpikir
olehnya untuk menguasai apotek-apotek itu untuk dijadikan
miliknya? Justru baru sekarang Kurnia memunculkan pikiran
itu. "Lantas bagaimana dengan Mama dan Evi?"
"Gampang," sahut Kurnia dengan senyum lebar.
Dadang melihat kelicikan di senyum itu.273
"Gampang gimana? Jangan kauulangi lagi, Kur. Cukuplah
sekali saja. Mereka sudah baik padamu, pada kita. Mama sudah
tua, Evi istri yang setia. Biarpun jelek, yang penting baik."
"Mama memang sudah tua, tapi tidak kelihatan begitu tua.
Dia belum renta, Dang. Aku menyuruh Evi untuk
mengajaknya check up kesehatan."
Dadang terkejut. "Apa dia punya penyakit?"
Diam-diam ia berharap, lebih baik Ratna punya penyakit
alamiah daripada diracuni Kurnia.
Kurnia terbahak. "Hahaha! Aku tahu pikiranmu. Lihat itu,
terbaca di seluruh wajahmu!"
Spontan tangan Dadang menyapu mukanya. Ia merasa
bodoh, atau diperbodoh.
"Aku tidak berpikir seperti yang kaupikirkan," ia
membantah.
"Memangnya apa yang kaupikirkan?"
Dadang tidak menjawab. Ia tentu tidak sebodoh itu. Kurnia
hanya mempermainkannya.
"Wah, kau serius amat, Dang! Aku cuma bercanda." Kurnia
menepuk tangan Dadang.
Kurnia memesan capuccino lagi. Ia memesan dua gelas, satu
untuk Dadang.
"Kuenya mau lagi?" ia bertanya.
"Nggak. Sudah kenyang."
"Pastelnya enak," kata Kurnia, lalu memesan sebuah.
"Bener nih, nggak mau?"
"Bener. Aku nggak bisa makan siang kalau kekenyangan.
Nanti aku mau makan sama Eva, bawa dari rumah."
Tatapan Kurnia menyipit waktu mengamati Dadang.274
"Wah, asyik amat kalian ya. Sudah cocok rupanya kau sama
dia." Kurnia tersenyum menggoda.
"Dia ibu anakku."
"Mudah-mudahan saja anak itu mirip kau. Nggak begini..."
Kurnia menyeringai menunjukkan gigi atasnya.
Dadang menahan geramnya. Dia ingin sekali menonjok
Kurnia.
"Eh, jangan ngambek. Bercanda kok." Kurnia menepuk
tangan Dadang.
Kemarahan Dadang mereda. "Kalau soal itu, gimana Yang
Di Atas saja. Sudah dikasih juga syukur."
"Hebat kau. Bener-bener jadi bijak sekarang. Belajar dari
mana, Dang?"
"Kau pengin tahu?"
"Iya dong. Siapa tahu suatu saat aku pengin juga jadi orang
bijak."
"Aku pengin menebus dosa," kata Dadang perlahan. Sambil
bicara itu tatapannya terarah ke depannya, kalau-kalau ada yang
mengamati.
Di sudut ruang, arah berhadapan dengan tempat duduk
Dadang, terdapat meja panjang yang di bawahnya terdapat
lemari berkaca tempat memajang kue-kue. Di bagian depan
meja dekat sudut, tertutup dengan kisi-kisi kayu. Di situ
terdapat mesin kasir. Seseorang berada di sana. Tak begitu
kentara dari luar karena dinding di belakangnya dilapis dengan
wallpaper warna biru bermotif bunga.
Si kasir sedang memandang ke arahnya. Tapi bukan
mengamati, melainkan karena posisi duduknya menghadap
kepadanya. Dadang yakin, meskipun ia bicara lebih keras, si
kasir tidak akan memahami.275
"Hah! Dosa! Mana ada orang di dunia ini yang nggak
punya dosa?" Kurnia mencemooh.
Dadang tak mau mengomentari. Ia merasa tak nyaman
ketika tatapan Kurnia terasa menajam.
"Jangan munafik, ahi"
"Kan tadi kau yang tanya, aku cuma jawab. Ya sudah."
Kurnia merengut. Mereka sama-sama diam. Kemudian
Kurnia tersenyum.
"Baiklah. Suka-sukamu. Memangnya aku bisa melarang?
Biarpun kau sudah jadi orang bijak dan aku orang... yah, orang
jahat, tapi kita tetap berteman, kan?"
"Kau nggak jahat, Kur. Kau cuma terlalu ambisius."
"Aku bukan terlalu ambisius, Dang. Aku cuma ingin
maju."
"Tapi..."
"Sudahlah," Kurnia memotong. "Nanti nggak habishabisnya kita berdebat."
Kurnia meneguk minumannya. Dadang juga.
"Tentu saja kita tetap berteman, Kur."
"Dan karena kita berteman, jangan saling mengkhianati."
"Tentu saja."
Tapi untuk sesaat Dadang melihat tatapan Kurnia yang
meragukannya. Ia tak mau mengamati lebih lama. Untuk
mengalihkan ia berdiri.
"Aku mau ke belakang dulu."
"Baiklah. Aku juga mau pulang. Kapan-kapan kita bicara
lagi, Dang. Aku mau habiskan minumanku dulu. Kau punya
juga."276
Sementara Kurnia menghirup minumannya pelan-pelan,
Dadang pergi ke belakang. Sebenarnya ia tak begitu kebelet,
tapi ingin menghindar saja. Untuk pulang duluan ia tak mau,
karena masih berharap ada informasi lain yang mau disampaikan
Kurnia. Tapi sampai di situ tampaknya tak ada lagi.
Ketika Dadang kembali ia tak melihat Kurnia. Ia pergi ke
kasir. Baru sekarang melihatnya dengan jelas. Seorang
perempuan setengah baya.
"Sudah dibayar sama temannya tadi, Pak," kata kasir.
"Oh ya."
Lalu Dadang duduk kembali untuk meneguk minumannya
yang masih banyak. Baru saja meraih gelas, tiba-tiba si kasir
sudah ada di sampingnya.
"Pak, maaf ya. Mendingan jangan diminum," katanya.
"Lho, kenapa?"
"Tadi saya lihat, teman Bapak itu masukin sesuatu ke dalam
minuman ini. Nggak jelas apa, seperti bubuk. Terus diaduk
pakai sedotan."
Dadang terkejut sekali seperti tersengat listrik. Si kasir jadi
ngeri melihat wajahnya. Segera Dadang buru-buru tersenyum.
"Memang dia orangnya jail, Bu. Saya bisa berak-berak
tuh..."
"Wah, jangan diminum dong."
"Tentu. Mau saya buang."
Dadang berdiri lalu membuang minumannya di wastafel.
Kalau tidak dibuang ia takut ada karyawan yang meminumnya.
"Terima kasih banyak ya, Bu. Duh, kalau nggak dikasih
tahu, pasti perut saya bakal sakit."277
Kasir mengangguk sambil tersenyum senang. Ia merasa
berjasa.
Dalam hati Dadang berkata, "Kau telah menyelamatkan
nyawaku!"
Ia kembali ke apotek dengan perasaan mengambang. Kaki
serasa tak berpijak.
Tuhan, terima kasih.
Ia tahu sekarang, Kurnia sudah membencinya dan
menganggapnya sebagai batu sandungan. Kurnia mau
meracuninya. Bahkan sejak dari rumah ia sudah berniat
meracuninya. Jadi bukan tiba-tiba saja karena pembicaraan
mereka tadi. Kalau tidak, mustahil ia membawa racun itu di
sakunya?278
12 SISKA menerima e-mail berturut-turut dari Irawan dan Aditya.
Sebenarnya keduanya mengirim berita yang isinya sama, hanya
berbeda kata-kata saja dan sedikit tambahan di sana-sini.
Materinya mengenai Frans yang berencana bekerja di RS Bakti
Mulya. Itu kalau ia diterima di sana. Jadi mereka
mengingatkannya supaya waspada menghadapi gangguan yang
mungkin dialami-nya.
Tetapi pengalamannya sewaktu merawat Aditya dan kisah
mengenai kecurigaan Aditya kepada Frans membuat isi cerita
Aditya lebih mendalam dibanding kepunyaan Irawan.
"...maka berdasarkan kelakuannya itu, kamu harus ekstra
hati-hati dan menjaga sikap kepadanya. Dia orang yang licik,
maka kamu harus pintar-pintar pula bersiasat. Jangan terangterangan menunjukkan ketidaksukaanmu kepadanya, karena dia
bisa marah dan ber-buat macam-macam. Jadi caramu harus
diplomatis, Sis. Jangan memberi hati, tapi jangan pula
memperlihatkan kcbencian. Saya percaya kamu bisa
menghadapinya dengan baik..."
Siska senang sekali membaca e-mail Aditya. Dibacanya
berulang-ulang. Sementara e-mail kiriman Irawan cukup sekali
saja. Bukan hanya karena materinya sama, tapi kiriman Aditya
baginya terasa mengesankan, karena Aditya memang berbeda.279
Sesudah itu ia melamun. Ia paling senang mengenang
kembali saat-saat ketika berada di samping Aditya waktu Aditya
sadar. Lucu dan mengesankan. Momen yang paling indah bagi
kariernya sebagai perawat.
Lalu ia tersadar dengan sedikit pedih. Betapapun indahnya,
momen itu harus berhenti di situ. Hanya se-penggal dan takkan
ada prospek. Ia tidak boleh cengeng dan sentimentil. Tapi ia
sadar bahwa sekarang ini lebih sulit dibanding dulu ketika
berhubungan dengan Bambang. Meskipun dulu dengan
Bambang mereka saling mencintai sedang dengan Aditya ia
hanya bertepuk sebelah tangan, bahkan Aditya tidak tahu
perasaannya, tapi dulu Bambang membohonginya hingga sakit
hatinya bisa melenyapkan rasa cintanya. Sementara sekarang ia
tahu status Aditya. Dan ia tidak ingin merusak rumah tangga
orang yang ia cintai, misalnya dengan mendekati atau merayu
Aditya. Ia juga sayang kepada Karen dan Yuni. Bagaimana
mungkin ia bisa merasa bahagia di atas penderitaan orang lain?
Kalau pikirannya sudah ke situ, ia jadi malu sendiri.
Bagaimana mungkin ia berpikir begitu kalau Aditya sendiri
tidak punya rasa apa-apa terhadapnya? Sepertinya ia kepanasan
sendiri.
Mungkinkah ia bisa tenis hidup sendiri dengan tenteram
sambil menyimpan rasa cinta yang tak terungkapkan dan tak
terbalaskan? Cinta yang hanya diketahui hatinya sendiri. Cinta
yang terkungkung, tak boleh lepas, tak boleh diekspresikan.
Apakah itu mungkin?
Siska segera kembali pada realitas. Ia beralih membaca
ulang e-mail dari Irawan. Ternyata ada tambahan kata-kata
yang berbeda dari kepunyaan Aditya. Tadi tak disadarinya
karena terlalu cepat membaca.280
"...saya dan Aditya sudah menemui Bu Ratna dan bicara
dengan dia tentang mimpi Aditya mengenai Pak Simon. Kami
ke sana sekalian untuk membicarakan proyek program
komputer. Dan saat melihat ada peluang, saya ngomong saja.
Pendeknya Adit sudah berhasil melaksanakan janjinya. Tapi
cerita lengkapnya nanti saja kalau kita ketemu, ya.
Ngomongnya bisa lebih enak. Saya dan Adit ingin menemuimu
lagi, tapi belum tahu kapan kamu senggang. Sebagai perawat
yang jam dinasnya tidak selalu sama, tentu harus disesuaikan.
Hari libur pun seperti Sabtu dan Minggu belum tentu kamu
libur, bukan? Nanti kamu bilang saja kapan kamu mau
menemui kami, nanti kami bisa ngatur waktunya.
Tentang si Frans itu, saya sih nggak begitu kenal sifatnya.
Adit yang tahu. Kalau menurut Adit, dia itu mata keranjang.
Jadi kamu hati-hati saja. Biasanya lelaki mata keranjang itu
pintar ngomong dan merayu. Gombal begitu. Jangan percaya
semua omongannya. Take care...."
Tentang keinginan bertemu untuk membicarakan
pertemuan dengan Bu Ratna itu tidak diungkapkan Aditya.
Siska jadi kecewa. Apa itu berarti Aditya tidak begitu
bersemangat untuk bertemu dengannya sehingga melupakan
hal itu? Tapi segera sesudah berpikir begitu ia terkejut lagi.
Aduh, ia kembali melenceng. Memangnya seberapa berartinya
dia di mata Aditya sampai merasa bersemangat untuk
menemuinya?
Siska merasa dirinya dalam keadaan darurat.
Sebenarnya ia tahu kalau ingin mengatasi pemikiran yang
menggoda dan menyiksa perasaan, ia harus berupaya
mengalihkan. Jangan membayangkan Aditya. Jangan
memikirkan dia. Kalau hanya selintas tidak jadi masalah, tapi
jangan sampai intens. Jelas sulit, tapi harus bisa.281
Ia membalas e-mail Aditya lebih dulu. Sekalian ingin
melatih diri. Ia menulis dengan singkat saja. Hanya
menyampaikan terima kasih bahwa ia sudah diberitahu
mengenai Frans, sehingga bisa bersiap diri. Karena sudah tahu
mengenai tabiat Frans, maka ia pasti tak akan tergoda, apa pun
yang dilakukan lelaki itu. Ia sama sekali tidak menyinggung
mengenai pertemuan yang diusulkan Irawan. Tidak bertanya
ataupun memberitahu bahwa Irawan menulis begitu.
Sesudah itu ia membalas e-mail Irawan. Ia menulis panjang.
Lebih panjang dibanding tulisannya kepada Aditya.
"Terima kasih atas perhatian Bapak. Menurut Pak Adit,
saya jangan memberi hati kepada Frans. Tentu saya tidak akan
memberi hati kepadanya. Kalau saya tidak mau, saya akan terus
terang. Tapi katanya harus diplomatis juga. Wah, itu gimana


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti saja. Bersikap itu kan spontan, tergantung dari sananya
juga. Ada aksi, ada reaksi, gitu. Tapi saya bersyukur sudah diingatkan, jadi tahu kayak apa dia itu.
"Saya juga senang kalau Bapak dan Pak Adit mau datang
Iagi untuk mengobrol. Di sini saya jarang mendapat tamu.
Kalau libur saya biasa di kamar saja, nonton televisi. Atau
internetan. Jadi kayak orang kuper gitu. Tapi saya lebih suka
begitu daripada jalan-jalan keluar. Di asrama kebanyakan lebih
muda dari saya, jadi rasanya berbeda. Sedang yang seusia saya
atau lebih tua sudah pada berkeluarga, jadi tinggal di rumah
sendiri.
"Wah, saya sungguh nggak sabar mendengar cerita tentang
Bu Ratna. Minggu depan kebetulan saya libur hari Sabtu.
Sering kali bos saya, rekan yang saya wakili, suka minta tukar
karena dia ingin jalan-jalan sama keluarganya. Mungkin dia
pikir, saya toh belum berkeluarga dan pacar pun nggak punya,
jadi nggak perlulah bermalam Minggu. Saya tidak keberatan.282
Buat saya, malam Minggu atau malam Senin atau malammalam lainnya sama saja. Jadi kalau Bapak dan Pak Adit mau ke
sini hari Sabtu nanti oke saja. Saya tinggal nunggu kabar."
Tak lama setelah mengirimkan e-mail ia segera mendapat
balasan. Dari Irawan. Kali ini lebih panjang dari yang pertama.
Sepertinya Irawan mendapat hati karena e-mail-nya lebih
panjang dari biasanya. Ia menangkap nada gembira dalam
untaian kata-kata Irawan. Seolah-olah ia bisa mendengarnya
berbicara dalam suaranya yang agak bariton. Untuk sesaat ia
membayangkan sosoknya. Irawan seorang lelaki yang bertubuh
tinggi agak besar, tapi perutnya tidak buncit. Dibanding dengan Aditya, dia kalah tinggi beberapa sentimeter. Wajahnya
terkesan ramah meskipun tidak tampan. Hidungnya kebesaran
dan bibirnya sedikit tebal, tapi seperti siap tersenyum setiap saat.
"...saya juga sama denganmu, Sis. Saya orang rumahan,
yang lebih nyaman dalam suasana rumah. Sendirian tapi tidak
merasa sendiri. Oh ya, saya ditemani seekor anjing jantan
berjenis golden retriever, sangat friendly kayak pemiliknya,
hehehe... Dia sudah lima tahun bersama saya, tak lama setelah
istri meninggal. Semula masih kecil, bayi tiga bulan. Namanya
Red, karena bulunya berwarna cokelat kemerahan. Mungkin
kita sama-sama kuper ya, kalau memang itu istilahnya. Tapi
tidak apa-apa. Yang penting kan baik, nggak mengganggu
orang lain.
"Saya senang sekali kamu mau cerita pada saya. Seorang
perawat berpengalaman sepertimu pasti menyimpan banyak
sekali cerita menarik yang tak dimiliki sembarang orang. Cerita
tentang manusia dan kemanusiaan. Wah, kalau saja kamu mau
bercerita betapa bahagianya. Seperti ceritamu tempo hari
tentang pasien yang bangun dari koma. Bukan Adit, tapi yang
sebelumnya. Bagaimana dia bangun dengan menyebut nama283
seseorang yang sebetulnya tak dikenalnya, tapi ternyata nama
itu adalah pasien sebelah yang barusan meninggal. Berdiri bulu
kuduk saya mengenangnya lagi. Tapi bukan karena takut,
melainkan takjub akan kcunikan cerita itu. Bagaimana kayanya
kehidupan ini dan misteriusnya alam sana. Pengalaman Adit dan
Pak Simon salah satunya. Ternyata kita ini sangat terbatas
pemahamannya...
"Baiklah. Jadi hari Sabtu nanti kami ke tempatmu, ya. Adit
sudah setuju. Tadi saya telepon. Jadi sampai nanti. Akhirnya
saya bisa membuat janji dengan seorang gadis cantik..."
Siska tersenyum. Ia menganggap Irawan hanya ingin
menyenangkan dirinya saja. Pujian itu tidak terkesan gombal.
Justru dia rendah hati, seakan tak bisa membuat janji dengan
gadis cantik. Seorang lelaki yang gagah dan kaya seperti Irawan
mustahil ditampik perempuan. Bahkan kemungkinan besar
banyak perempuan cantik yang mengharapkan perhatiannya.
Statusnya sebagai duda bukan penghalang.
Ternyata tulisan Irawan sangat menghibur perasaannya.
Tak mendapat balasan dari Aditya tidak lagi terasa
mengganggu. Bukankah memang lebih baik begitu?
Sebenarnya Aditya ingin membalas e-mail dari Siska, tapi
kemudian ia menerima telepon dari Ratna.
"Sori mengganggu malam-malam begini, Pak Adit.
Barusan saya minta nomor Anda dari Pak Irawan. Begini, Pak,
saya ingin sekali ketemu lagi dengan Anda untuk
membicarakan masalah mimpi Anda. Tapi kita bicara berdua
saja supaya bisa lebih fokus. Bukan karena tempo hari belum
jelas. Atau kehadiran Pak Irawan terasa mengganggu.
Bagaimana, bisa nggak, Pak?"
"Tentu saja bisa, Bu. Kapan saja bisa, asal bukan jam kerja."284
"Besok? Tentunya kalau Anda nggak ada janji lain."
"Bisa, Bu. Di mana dan jam berapa?"
"Di Rumah Sakit Bakti Mulia, jam besuk supaya boleh
masuk."
Aditya terkejut. "Lho, kok di rumah sakit, Bu? Apa ada
yang sakit?"
Ia sudah membayangkan ada yang keracunan karena kedua
menantu sudah mulai "bekerja".
"Oh, bukan. Tapi saya ingin suasananya. Siapa tahu suasana
bisa memengaruhi. Tempatnya di taman Bagian Penyakit
Dalam. Taman itu dekat kamar di mana Pak Simon dulu
dirawat. Nanti siapa yang duluan sampai tunggu di situ saja."
Aditya tertegun sejenak. Tempat yang familiar, pikirnya.
Dulu kamarnya juga berada di bagian yang sama, tapi tidak
menghadap taman itu.
"Bagaimana, Pak Adit? Bisa nggak?"
"Bisa, Bu. Bisa. Saya akan berada di sana pada jam besuk."
"Terima kasih banyak ya, Dit. Oh, saya boleh panggil
namanya saja, ya?"
"Boleh, Bu. Enakan dipanggil seperti itu."
Ratna tertawa. "Itu kan panggilan profesi. Sekarang kita
temerian saja, ya. Mungkin nanti sama Irawan juga begitu.
Kalau sama dia rasanya masih sungkan."
"Ah, pasti Pak Irawan juga lebih suka dipanggil nama.
Kalau saya sama dia beda, karena dia bos saya."
"Ya, jadi besok. Terima kasih, Dit."
Aditya menceritakannya kepada Karen.
"Semakin seru saja, Pa," komentar Karen.285
"Iya nih. Tapi nggak tahu juga, apa ada cerita baru yang
muncul di sana nanti. Aku nggak punya cerita lain."
"Siapa tahu bagimu juga muncul sesuatu yang baru, Pa."
"Maksudmu?"
"Inspirasi dari alam sana," kata Karen serius.
"Ah, apa iya itu mungkin? Yang sudah terhapus dari
ingatan dan kenangan apa bisa kembali lagi?"
"Lihat saja besok. Eh, apa nggak sebaiknya minta ditemani
Siska? Bukankah tempat kerjanya di bagian itu?"
Aditya berpikir sejenak. "Lihat besok saja. Aku juga nggak
tahu jam tugasnya."
"Tanyain aja. Kalau dia bisa, kan nggak ada salahnya.
Barangkali dia juga kenal sama Bu Ratna."
"Kayaknya sih nggak, Ma. Kau saja dulu nggak pernah
ketemu dia waktu aku dirawat di sana."
"Katanya dia banyak di belakang meja. Yang berkeliling
dan interaksi sama pasien itu pemimpinnya. Kalau diperlukan,
baru dia turun."
"Ya. Nanti aku tanya dia."
Sebenarnya Aditya merasa antusias atas usul Karen itu, tapi
dia berusaha tidak memperlihatkannya.
Yang pertama-tama dilakukannya adalah menelepon
Irawan untuk memberitahu maksud Ratna. Irawan antusias
sekali meskipun ia sebenarnya ingin juga ikut serta.
"Usul Karen itu bagus. Ajak Siska supaya ia bisa bantu
bicara. Kamu mau saya yang beritahu dia atau mau kamu
sendiri?"
Aditya merasa pertanyaan itu agak aneh. Sewajarnya tentu
lebih efisien bila ia sendiri yang memberitahu Siska, karena286
tidak perlu perantara lagi. Tapi semangat yang tertangkap dari
suara Irawan membuat ia berpikir lain.
"Oke, Pak. Tolong kasih tahu aja, ya. Jangan di-e-mail,
nanti dia nggak sempat baca. Ditelepon saja."
Aditya tidak perlu menunggu lama-lama. Ia segera
mendapat telepon dari Irawan.
"Katanya dia dinas pagi. Jadi sore bisa ke sana. Selamat
pertemuan deh," kata Irawan.
"Terima kasih, Pak."
Aditya tersenyum. Ia semakin yakin bahwa Irawan
memang menaruh hati kepada Siska. Tinggal menunggu waktu
saja sampai menjadi kentara. Ada rasa sedih karena ia harus
"melepaskan" Siska dari kenangan dan angan-angan. Kesedihan
dan keberatan itulah yang jadi penghalang. Tapi ia juga sadar
yang demikian itu adalah egoisme dan keserakahan. Itu adalah
dasar dari kecenderungan lelaki untuk berselingkuh dan
berpoligami, mendua dalam cinta.
Ia merasa bersyukur bahwa sampai saat itu ia mampu
mengendalikan diri, menahan diri dari keinginan
mengekspresikan perasaannya di depan Siska. Ia juga memiliki
kepekaan atau feeling tentang perasaan Siska terhadap dirinya.
Bukan karena terlalu percaya diri atau merasa hebat, tapi sesekali
ia bisa membacanya dari ekspresi dan tatapan Siska terhadapnya.
Ekspresi sayang dan tatapan memuja. Ia yakin tidak berlebihan
dalam menilai. Bila ia dikuasai egoisme, maka hal semacam itu
akan terasa sayang bila tidak dimanfaatkan. Bagaikan makanan
lezat terhampar di depan mata, tinggal mengambil meskipun itu
milik orang. Tentu Siska bukan milik seseorang, karena dia
masih lajang. Tapi dia adalah milik dirinya sendiri. Setiap orang
adalah pemilik dirinya sendiri. Tegakah dia mengambil hanya
karena merasa mudah?287
Biarpun berpikir demikian sebenarnya ia juga meragukan
apakah Siska memang semudah itu untuk "diambir. Melihat
kondisi Siska yang masih saja melajang padahal hampir pasti
banyak lelaki yang menyukainya, maka hampir pasti pula
sesungguhnya dia bukanlah orang yang gampangan, namun
tidak pula jual mahal, menilik pribadinya yang rendah hati. Jadi
menurut pe-nilaiannya, Siska memiliki pengendalian diri yang
hebat karena sadar bahwa dirinya bukanlah lelaki yang bebas.
Andai kata Siska terang-terangan menunjukkan perasaannya, ia
tidak yakin apakah dirinya mampu ber-tahan. Ia bisa hanyut
oleh cinta yang memabukkan dan menyesatkan, walau hanya
sesaat.
Malam itu ia merengkuh dan memeluk Karen erat-erat
seakan takut kehilangan, takut melepaskan, takut ditinggalkan.
Ia tidak ingin membayangkan Siska di dalam diri Karen. Siska
adalah Siska. Karen adalah Karen. Keduanya berbeda. Dan ia
hanya mengambil apa yang menjadi miliknya.
Tengah malam Aditya terbangun. Tidurnya gelisah. Karen
di sebelahnya sudah lelap.
Perlahan-lahan ia bangkit, menggeser tubuhnya sedikitsedikit supaya tidak membangunkan Karen. Lalu ia ke sudut
kamar di mana meja tulisnya berada. Ia membuka laptopnya lalu
menulis e-mail untuk Siska. Rasanya kurang etis menyuruh
Irawan menyampaikan pesannya. Ia harus memberitahu sendiri.
Jadi ia menulis pesan yang disampaikan Ratna dan apa tujuan
ajakan Ratna itu. Tapi di bawahnya ada tambahan yang
sesungguhnya merupakan tujuan utamanya ia mengirim e-mail.
"...maukah kamu menjadi adik saya, Siska, dan menjadi
bagian keluarga kami? Bila kau mau, alangkah bahagianya, saya,
Karen, Yuni, dan ibu mertua saya yang sangat
menyayangimu..."288
Sesudah mengirimkan e-mail, ia merasa dirinya lebih
ringan dari sebelumnya. Ia kembali ke tempat tidur dan seperti
tadi, ia menyusup pelan-pelan di sebelah Karen. Dengan cepat
ia tertidur.
Tetapi Karen sudah terbangun sejak Aditya menulis e-mailnya. Ia tidak bergerak, tapi matanya mengamati dari balik
bantal. Ia berpura-pura masih tidur nyenyak ketika Aditya
kembali ke sampingnya. Lalu menunggu dengan sabar sampai
bunyi dengkur Aditya terdengar.
Bunyi itu menandakan bahwa ia tidur nyenyak. Tidak ada
orang bisa berpura-pura tidur sambil mendengkur terusterusan.
Setelah itu giliran Karen bangun perlahan-lahan,
menirukan Aditya tadi. Ia turun dan menuju ke meja tulis. Lalu
ia membuka laptop, mencari apa yang barusan ditulis Aditya.
Masih terpampang di monitor, belum dimatikan. Ia membaca
cepat lalu menutup kembali laptop. Kemudian kembali ke
tempat tidur, menyusup di sebelah Aditya, dengan posisi
menghadap kepadanya. Tangannya merangkul dan kepalanya
disusupkan ke dada Aditya.
Awan gelap itu sudah lenyap.
Esoknya, jam lima pagi Siska sudah bergegas ke kamar
mandi. Kalau lebih siang dari itu bisa antre lama. Sesudah tubuh
segar, masih ada waktu untuk membuka laptopnya untuk
browsing atau ber-facebook.
Lalu ia menemukan kiriman e-mail dari Aditya. Padahal
tidak menyangka Aditya masih ingat untuk membalas e-mailnya. Sepertinya Aditya membalas demi etika saja. Tapi ia
tertegun membaca kalimat penutup. Matanya menjadi basah.
"Tentu saja aku mau...," katanya lirih.289
Tapi ia tidak membalas e-mail itu. Tidak perlu.
Sepanjang siang itu ia bekerja dengan riang dan bersemangat. Ketika pekerjaannya di balik meja selesai, ia
berkeliling menyapa pasien-pasien. Ia tahu rekan-rekannya
merasa heran, tapi ia tidak peduli. Biasanya ia memang tidak
seperti itu. Kalau tidak perlu benar atau dirinya dibutuhkan, ia
tidak menemui pasien. Para perawat anak buahnya sudah
memiliki tugas masing-masing dalam berhadapan dengan
pasien, dan bila ada kesulitan penanganan, barulah ia turun
tangan. Biarpun demikian, ia cukup mengenal pasien-pasien
lewat status mereka yang dipelajarinya di balik meja. Jadi bila
dokter datang berkunjung dan atasannya tidak ada, dialah yang
mengiringi si dokter dan menerima instruksinya.
Bagian Penyakit Dalam merupakan bagian yang terbesar di
situ. Pasiennya paling banyak. Cukup melelahkan dan
menyulitkan untuk mengenal mereka satu per satu. Hal itu pula
yang membuat ia tidak mengenal Simon maupun Aditya pada
saat keduanya dirawat.
Sekarang ia menyesali masa lalu yang tak bisa kembali.
Kalau dulu ia mengenal Simon dan Aditya, mungkin ada
sesuatu yang beda dibanding sekarang. Memang tak mungkin
juga ia mengenal keduanya dalam artian sebenarnya, karena
keduanya tidak dalam kondisi bisa mengenali siapa pun. Tapi


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situasi yang meliputi mereka bisa lebih dipahaminya.
Ia juga teringat pada kalimat yang ditulis Irawan dalam
e-mail-nya kemarin. Bahwa sebagai perawat ia memiliki banyak
cerita mengenai manusia. Tapi belakangan cerita itu tak begitu
banyak diperolehnya setelah ia lebih banyak berada di kantor. Ia
memperolehnya dulu ketika masih menjadi perawat junior, saat
ia menghabiskan banyak waktunya bersama pasien.290
Siang itu memang terasa istimewa, hari yang berbeda
dibanding hari-hari yang lalu. Bukan hanya soal janji dengan
Aditya, tapi terlebih ucapan Aditya lewat e-mail yang dibacanya
tadi pagi. Oh, sekarang ia tidak lagi sebatang kara, ia punya
kakak, punya keluarga! Luar biasa sekali. Suatu anugerah.
Jauh di dalam hati ia tahu, Aditya pun menyayanginya. Tak
bisa mencintai, biarlah menyayangi. Ia merasa jadi lebih
memahami perbedaan dua kata itu, "cinta" dan "sayang". Cinta
itu hanya tertuju pada satu orang, dan bila berhasil
mendapatkannya, maka lainnya akan tergusur. Tapi sayang
tertuju pada semuanya tanpa mengorbankan siapa-siapa kecuali
rasa egonya.
Usai bertugas sore itu, ia buru-buru pulang ke asrama
untuk mandi dan berganti pakaian dengan seragam putih yang
bersih. Ia tidak mau mengenakan pakaian biasa supaya tidak
disangka sedang berpacaran atau menerima tamu di lingkungan
rumah sakit.
Jam besuk dimulai pukul enam. Maka pada jam sekian, ia
bergcgas menuju taman di depan Bagian Penyakit Dalam. Lalu
tercengang melihat Aditya sudah berada di sana, duduk sambil
membaca koran.
"Pak Adit! Selamat sore!" Siska menyapa pelan, takut
mengejutkan.
Aditya buru-buru menjatuhkan korannya, kemudian
bergeser memberi tempat.
"Sore, Sis! Ayo duduk sini. Bu Ratna belum datang."
Setelah bicara baru Aditya menatap Siska secara penuh.
Keduanya berpandangan, sesaat seperti ada daya tarik magnet,
tapi hanya berlangsung beberapa detik saja. Lalu mereka samasama tersenyum.291
"Sudah lama, Pak?" tanya Siska.
"Sekitar sepuluh menit. Lebih baik kepagian daripada
kesiangan. Wah, kamu kelihatan segar sekali. Masih wangi
sabun mandi."
Siska tersipu. "Ya. Saya mernang habis mandi. Habis dari
rumah sakit, nanti bawa kuman."
Aditya mengangguk. Ia benar-benar mengagumi Siska
yang tampak demikian segar seperti bunga yang tengah mekar.
Terasa benar dorongan ingin memeluk dan membelainya untuk
mencurahkan segala rasa yang tengah menguasainya. Tapi
dorongan itu bersisian dengan rasa malu dan tanggung jawab.
"Kamu sudah membaca e-mail saya? Atau belum sempat?
Maklum saya ngirimnya tengah maiam."
"Sudah saya baca, Pak. Tadi pagi." "
"Lalu jawabanmu apa? Lisan saja sekarang, Sis. Nggak usah
nulis di-e-mail." Aditya tertawa.
"Ya, Pak. Terima kasih."
"Ya apa?"
"Saya mau, Pak. Senang sekali bisa punya keluarga. Bahagia
rasanya." Siska mendekap dadanya.
"Saya juga senang, Sis. Adik saya sekarang tambah satu.
Karena itu kamu nggak boleh lagi panggil saya 'Bapak', karena
saya bukan bapakmu."
"Mas Adit?" Siska tertawa malu.
"Nah, begitu."
Mereka tertawa sambil berpandangan. Memang tak
segampang itu mengikis perasaan-perasaan. Tapi kebahagiaan
karena berhasil mengendalikan diri itu sudah merupakan
imbalan luar biasa besar sehingga itu bukan lagi terasa sebagai292
pengorbanan. Apalagi tak pernah ada pengungkapan, hanya
tersimpan dalam hati. Bagaikan telepati, tahu sama tahu.
Aditya mengulurkan tangan. Siska menyambut. Jabatan
tangan yang hangat, sehangat hati masing-masing.
Kemudian percakapan mengalir lancar. Kasusnya mengenai
maksud pertemuan Ratna.
"Jadi saya diharapkan berperan gimana, Mas?"
"Tentunya kamu akan saya perkenalkan sebagai perawat
yang merawat saya di rumah dan menyaksikan saya sadar untuk
pertama kalinya. Bahwa kamu juga tahu mengenai mimpi saya
tentang Pak Simon. Lalu kamu pun punya pengalaman dengan
orang yang baru sadar dari koma dan menyebut nama pasien di
kamar sebelah yang barusan meninggal padahal dia tidak kenal."
"Ya. Itu sebagai penguatan bahwa kejadian yang dianggap
aneh itu bisa saja terjadi. Jadi tujuan dia ke sini adalah untuk
mendapatkan pencerahan begitu?"
"Kira-kira begitu. Tempat kejadian bisa memiliki daya
magis pada pikiran orang. Di sana kamar Pak Simon, di sini
taman yang indah. Bukan tak mungkin di taman ini terjadi
pertemuan para roh yang berjalan-jalan keluar dari jasadnya."
"Seperti Mas dengan Pak Simon?"
Aditya tertawa. "Ya, begitu. Sayangnya saya sama sekali
nggak ingat."
"Wah, kalau bisa ingat sih luar biasa. Tentunya Mas nggak
cuma ketemu sama roh Pak Simon, tapi banyak yang lainnya
juga. Ini kan rumah sakit."
"Ya, sayang memang. Tapi... nggak jugalah. Nanti malah
jadi beban, Sis. Buktinya sama Pak Simon saja sudah kayak gini.
Pengin bantu nggak bisa, padahal sudah janji. Tapi dulu mana293
tahu kalau janji roh itu beda sama janji orang hidup. Ingat saja
nggak."
Siska mengangguk.
Pada saat berbincang mereka tak menyadari bahwa di
seberang mereka, di antara rerimbunan pepohonan ada
seseorang yang tengah mengamati. Dia Frans. Tangannya
memegang ponsel yang diarahkan kepada Aditya dan Siska. Ia
memotret mereka. Sedikit jauh tapi berhasil mendapatkan foto
keduanya dengan cukup jelas.
Tadi ia ke asrama untuk menemui Siska. Dia diberitahu
bahwa Siska dinas pagi sampai siang, jadi sore-sore mestinya ada
di asrama. Tapi setelah ia tiba di asrama, ia mendapat kabar
bahwa Siska pergi. Ia sempat menanyakan apakah Siska pergi
dengan mengenakan seragam atau tidak. Setelah diberitahu
bahwa Siska memakai seragam, ia kembali ke Bagian Penyakit
Dalam. Tapi di kantor bagian Penyakit Dalam ia kembali
diberitahu bahwa Siska tidak ada di sana karena sudah pulang.
Dengan kesal ia bermaksud pulang, tapi tanpa sengaja ia melihat
Siska bersama Aditya berada di taman. Semula mereka tidak
begitu kentara karena banyak pengunjung yang juga
menikmati taman itu. Tapi putih-putih pakaian Siska menarik
perhatiannya.
Frans sangat geram. Ia menilai pertemuan kedua orang itu
sebagai pertemuan gelap. Kenapa harus di tempat itu, berbaur
dengan orang lain sehingga tidak kentara? Itu pastilah
pertemuan yang disengaja. Entah sudah berapa kali terjadi.
Kalau sekarang di tempat umum dan terbuka, nanti pasti
meningkat ke tempat tertutup dan berduaan saja. Imajinasinya
menjadi liar.
Ia berencana akan mengirimkan hasil jepretannya itu
kepada Karen. Ia akan terang-terangan mengirimkannya tanpa294
bermaksud menuduh, melainkan sekadar memberi info. Oh,
betapa senangnya bisa mengaduk-aduk rumah tangga Aditya.
Sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya
tatapannya terus mengamati. Tampaknya kedua orang itu
bersikap biasa saja. Duduk tidak berdempetan. Tangan pun
tidak bersentuhan. Siska lebih banyak mengarahkan pandangan
ke sekitarnya. Tapi Aditya sering sekali menatap Siska. Hal itu
membuatnya gemas. Dasar tidak tahu diri, makinya. Sudah
punya keluarga masih mengincar cewek lain.
Akhirnya ia memutuskan untuk pulang saja, karena tidak
tahan mengamati lama-lama. Menunggu Aditya pulang lalu
mengambil alih tempatnya di dekat Siska tampaknya tidak
mungkin. Belum tentu Siska mau menerimanya. Ia marah
bukan hanya kepada Aditya, tapi juga kepada Siska.
Ia menoleh sekali lagi sebelum melangkah pergi. Dan
masih sempat terlihat bagaimana asyiknya kedua orang itu
mengobrol. Ia heran, apa gerangan yang diobrolkan, seolah
bahannya tak habis-habis.
Pengunjung masih banyak berdatangan. Lebih banyak
yang datang daripada yang pergi. Maka ia bersamplokan
dengan arus yang datang. Sampai kemudian ia melihat wajah
yang dikenalnya, atau pernah dikenalnya. Ratna, pemilik Sim
Farmasi. Ia mengenalnya sewaktu mengerjakan proyek
manajemen informasi perusahaan itu. Proyek itu dikerjakan
keroyokan bersama Aditya dan kedua temannya yang lain.
Ketika itu hanya sekali ia bertemu dengan Ratna, karena
pemimpin perusahaan itu masih dipegang oleh Simon.
Kemudian ia bertemu lagi sewaktu diajak melayat oleh Irawan
ketika Simon meninggal dunia.
Ia melihat seorang perempuan yang sudah layak disebut
lanjut usia tapi masih gagah dan menarik. Posturnya ramping,295
tidak seperti kebanyakan perempuan lansia yang tubuhnya
sudah melar ke mana-mana. Dandanannya rapi seperti eksekutif
kantoran, cocok dengan statusnya sekarang. Jalannya tergesagesa seolah sudah terlamhat. Mungkin mau menjenguk orang
sakit, pikir Frans.
Waktu berpapasan Frans mengangguk sambil tersenyum.
Reaksi Ratna tidak spontan, tapi membalas senyumnya. Reaksi
dari orang yang tidak begitu mengenal. Frans kecewa, tapi
merasa harus maklum. Perjumpaannya dengan Ratna hanya
sekali dua kali. Sebetulnya ia ingin beramah-tamah karena
Ratna orang kaya dan memiliki perusahaan besar yang bonafid.
Setelah Ratna melewatinya timbul keingintahuan Frans. Ia
berbalik arah dan mengikutinya dari jarak aman. Banyaknya
orang yang lalu-lalang tidak akan membuat dirinya
diperhatikan. Betapa herannya ketika Ratna langsung menuju
ke taman tempat Aditya dan Siska berada. Lalu Aditya dan Siska
segera berdiri dan bersalaman dengan Ratna. Kemudian Ratna
ikut duduk, posisinya di tengah, antara Aditya dan Siska.
Frans tercengang-cengang. Kemarahannya tadi berganti
dengan keheranan dan keingintahuan. Ada apa dengan mereka?
Kenapa kesannya seolah mereka janjian di situ?
Tampaknya ketiga orang itu terlibat pcmbicaraan yang
seru. Mereka bergantian bicara.
Setelah beberapa menit mengawasi akhirnya Frans tersadar,
biarpun ia terus mengawasi sampai ketiga orang itu bubar, ia
tetap tidak akan tahu apa-apa. Maka dengan kesal ia melangkah
pergi. Tapi ada yang terobati. Mungkin kecemburuannya
kepada Aditya tidak berdasar. Sekarang iri hatinya berubah. Ada
hubungan apa antara Aditya dengan Ratna? Apakah itu masalah
bisnis? Kalau memang bisnis, kenapa Irawan tidak ikut serta?296
Dan kenapa pertemuan dilakukan di rumah sakit dengan
mengikutsertakan Siska?
Frans menyimpulkan, hanya ada satu sumber yang bisa
memberinya jawaban, yaitu Siska. Ia akan melanjutkan
perburuannya!
*** "Maaf ya, saya terlambat," begitu kata Ratna saat bertemu
dengan Aditya dan Siska.
Tatapannya mengandung tanya ketika mengarah kepada
Siska. Segera Aditya menjelaskan perihal Siska, bahwa Siska bisa
membantu memberi penguatan kalau Ratna merasa ragu-ragu.
Ratna mengangguk. Ia senang dipertemukan dengan Siska.
Apalagi setelah Siska bercerita perihal pengalamannya dengan
pasien yang baru sadar dari koma.
"Mengesankan sekali. Bikin merinding. Tapi sebenarnya
saya bukan nggak percaya. Saya percaya kok. Cuma rasanya
gimana, gitu."
Ratna memandang berkeliling. Lalu ia menunjuk kamar di
seberang.
"Itu dia kamar Pak Simon," katanya. "Sekarang sudah ada
yang isi, Siska?"
"Sudah, Bu."
"Wah, dia nggak tahu ya, ranjangnya bekas pasien
meninggal."
"Namanya rumah sakit, Bu. Semua juga sama," sahut Siska,
tersenyum.
"Saya jadi takut masuk rumah sakit."297
"Saya dua minggu di sini nggak apa-apa, Bu," kata Aditya,
disambut tawa dua orang di sampingnya.
"Ya, tentu saja. Kamu kan nggak sadar. Mau ada apa juga
nggak tahu," kata Ratna.
"Sebenarnya dia jalan-jalan lalu ketemu Pak Simon," kata
Siska.
"Ya, dunianya beda. Karena itu kamu lupa semuanya.
Ketika Pak Simon tetap sebagai roh, kamu sudah hidup kembali.
Dia hanya muncul dalam mimpi. Katakan, Dit. Dengan berada
di sini apa kamu tetap nggak ingat barang sedikit pertemuanmu
dengan Pak Simon waktu itu?"
Aditya menggeleng. "Saya sudah mengerahkan segenap
ingatan, tetap nggak ada yang kembali. Tadi di sini saya sempat
sendirian, saya merenung-renung membayangkan kira-kira
bagaimana keadaannya waktu itu. Tapi cuma bisa
membayangkan saja. Bahkan tadi sebelum ke sini, saya melihatlihat kamar perawatan saya dulu, itu di sebelah sana..." Aditya
menunjuk. "Tapi tetap sama saja."
"Kamu bilang, Pak Simon mendengarkan percakapan
kedua menantu saya sewaktu duduk-duduk di sini?"
"Benar, Bu. Katanya begitu."
"Apa kamu juga ikut mendengarkan? Ups... sori, saya lupa
kamu nggak ingat lagi. Sayang, ya."
"Ya, tapi ada baiknya juga, Bu. Nanti saya juga ikut
menanggung beban. Padahal saya nggak bisa apa-apa."
"Nggak apa-apa, Dit. Itu memang mustahil. Kalau pun
kamu ingat laiu kamu cerita, apakah ada yang akan percaya?
Dikira orang, kau mengada-ada."
"Tapi cerita saya tentang mimpi itu, ternyata Ibu percaya
juga."298
Ratna tertawa. "Oh, itu karena kamu bilang saya punya
tanda lahir di bokong. Pastinya kamu nggak tahu karena nggak
lihat, kan?"
"Saya memang minta sama Pak Simon dalam mimpi itu
agar saya diberi alasan yang masuk akal supaya dipercaya.
Untung saya sempat minta, kalau tidak pasti Ibu sulit percaya."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu berarti kamu berupaya dengan segala cara supaya bisa
dipercaya. Artinya lagi, kamu memang tulus ingin membantu.
Terima kasih, Dit."
"Ah, itu bukan apa-apa, Bu. Yang penting bagaimana
upaya Ibu menjaga diri. Apakah sebenarnya Ibu memang
mencurigai kedua menantu Ibu?"
"Itulah, Dit. Sama sekali tidak. Mereka kelihatan baik-baik
saja. Keluarganya juga rukun. Atau cuma kamuflase, ya?
Entahlah. Saya jadi bingung bagaimana menilai orang. Dulu
saya mati-matian membela mereka di depan Pak Simon sampai
saya seperti orang musuhan sama dia."
"Yang satu menunggu kelahiran anak ya, Bu?"
"Benar. Makanya terasa mustahil kalau sampai mereka
berniat menyingkirkan saya dan kedua anak saya. Mau
mengambil alih perusahaan? Kan nggak segampang itu.
Sekarang ini mereka sudah diberi kedudukan yang lumayan.
Mengapa harus ambil risiko membunuh orang? Sudah nggak
dapat apa-apa, malah masuk penjara."
"Jadi tindakan Ibu sekarang ini bagaimana? Maaf ya, Bu,
saya seperti orang usil, yang mau tahu saja."
"Oh, nggak apa-apa. Itu pertanyaan yang bagus karena
saya sendiri bertanya-tanya. Tidak mungkin saya langsung
menuduh mereka tanpa bukti. Masa hanya berdasarkan mimpi?
Saya bisa dianggap gila oleh anak-anak saya sendiri. Mereka299
sangat mencintai suami mereka. Jadi sementara ini saya hanya
bisa waspada, tapi jelas saya cuma bisa menjaga diri sendiri.
Kedua anak saya tinggal terpisah. Mana mungkin saya bisa
memantau, bahkan memberi peringatan pun tidak bisa."
Aditya mengangguk. Ia bisa merasakan kesulilan Ratna.
"Apa Ibu suka berkunjung ke rumah mereka atau
sebaliknya?"
"Oh iya. Setiap akhir pekan kami semua berkumpul untuk
makan malam bersama."
"Saya belum pernah melihat kedua menantu Ibu. Ingin
juga bertemu dan berkenalan."
Ucapan Aditya itu membuat Siska menoleh dan
mengamatinya sejenak. Ia baru tahu keinginan Aditya itu. Tapi
ia diam saja menyimak semua kata-kata.
"Wah, saya punya ide, Dit! Bagaimana kalau Sabtu ini,
kalian berdua makan malam di rumah saya? Sama Irawan tentu.
Jadi kalian bisa melihat mereka, berkenalan, lalu nanti membuat
kesimpulan. Benar-benar tak terpikir sebelumnya. Untung
kamu ngomong begitu. Bagus sekali, Dit. Bagaimana, setuju?
Siska bisa minta libur?"
Aditya berpandangan sejenak dengan Siska. Sebenarnya
hari Sabtu nanti mereka punya janji untuk bertemu dan
membicarakan masalah ini.
"Kalau kalian sudah punya janji atau acara, ya nggak usah
Sabtu ini, tapi minggu depannya lagi."
Tampak jelas di wajah Ratna, ia sangat mengharapkan
kesediaan Aditya.
"Baik, Bu. Nanti saya sampaikan ke Pak Irawan. Siska bisa,
kan?" Aditya menoleh kepada Siska.300
"Ya, bisa," jawab Siska. Ia juga senang, karena akan ada
perkembangan baru. Itu lebih baik daripada membicarakan
yang sudah lalu.
"Oh, senang sekali. Terima kasih kalian sudah mau
membantu. Mudah-mudahan Pak Irawan juga bisa, ya."
"Nanti saya tanyakan, Bu. Kalau ada perubahan, saya kabari
Ibu."
"Baik. Senang sekali akhirnya kita bisa maju selangkah,
daripada diam saja," kata Ratna.
"Kalau jadi kita bertemu nanti, kira-kira Ibu mau memberi
alasan apa pada mereka? Masa cuma rekanan saja sampai
diundang makan segala. Mereka akan heran."
Ratna berpikir sejenak.
"Ya, itu pertanyaan yang bagus. Kamu punya usul, Dit?"
"Ada, Bu. Ibu ceritakan saja bahwa saya dan Pak Simon
pernah sama-sama jadi pasien koma pada waktu bersamaan.
Setelah saya sadar dari koma, saya bermimpi ketemu Pak Simon
yang bercerita bahwa ketika kami koma, rohnya dan roh saya
suka bertemu dan mengobrol."
Dahi Ratna berkerut. "Apa perlu diceritakan semuanya?"
"Tentunya jangan, Bu. Bagian di mana Pak Simon
menagih janji saya dan apa janji itu jangan diceritakan."
"Ya, ya." Ratna mengangguk dengan wajah cerah. "Ide
yang bagus. Lalu kita lihat reaksinya, ya."
"Tapi baiknya Ibu jangan cerita dulu sebelum kami datang.
Bilang saja saya dan Pak Irawan rekanan Ibu. Nanti dalam
pertemuan itu cerita bisa mengalir sendiri."
"Asal jangan yang itu..."301
La Tahzan For Teens Love Karya Sabil El Marufie Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak Pendekar Bloon 5 Memburu Manusia Setan

Cari Blog Ini