Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 5
"Ya. Tentu saja. Itu disimpan dulu. Harus ada momen yang
pas untuk itu."
"Tapi Ibu harus tetap berhati-hati meskipun Ibu masih
merasa aman."
"Terima kasih untuk peringatan itu, Dit. Sebenarnya untuk
sementara ini saya memang merasa aman."
Ratna berpikir tentang Kurnia yang menunggu promosi.
Kurnia baru maju selangkah. Dia disiapkan untuk
menggantikan Anton yang masih punya waktu beberapa bulan
sebelum pensiun. Dia juga harus belajar banyak. Kelak bila
Kurnia menggantikan Anton, ia pun tak bisa serta-merta
menjadi pemimpin perusahaan. Ada Evi yang punya potensi
untuk menggantikan dirinya. Lalu siapa yang paling dulu
menjadi incaran Kurnia, dirinya atau Evi? Bukankah keinginan
menunda punya anak itu bisa dianggap sebagai salah satu cara
ke arah sana?
Pada saat itu ia baru teringat pada Dadang. Sepertinya yang
satu itu tenang-tenang saja. Apakah justru tenang-tenang
menghanyutkan?
Aditya mengamati Ratna yang tenggelam dalam pemikirannya. Ia tak mau menegur, khawatir mengganggu. Ia
mengarahkan pandangannya kepada Siska yang lebih banyak
mendengarkan. Keduanya bertukar pandang lalu tersenyum.
Ketika Aditya akan berbicara, Siska meletakkan jarinya di mulut
sambil mengarahkan pandang kepada Ratna. Isyarat untuk tidak
mengganggu konsentrasi Ratna. Aditya mengangguk.
"Masih banyak yang harus saya pikirkan dan saya cermati,
Dit. Maksud saya kedua menantu saya itu. Mereka harus saya
pelajari lagi. Senang mendiskusikannya denganmu. Apakah saya
membuatmu jadi ikut-ikutan resah karena masalah ini?"302
"Sama sekali nggak, Bu. Setiap orang punya masalah."
Ratna menatap arlojinya. Pas saat itu terdengar bunyi bel.
"Jam besuk sudah berakhir," kata Siska.
Ratna bangkit. "Yuk, kita pulang. Sudah cukup untuk hari
ini. Oh ya, tempat ini memang punya daya tersendiri. Nyatanya
kita diberi ide-ide yang bagus."
Aditya dan Siska juga bangkit. Mereka berjalan ke luar,
mengikuti arus pengunjung.
"Nanti saya beri kabar lagi tentang makan malam pada hari
Sabtu," kata Ratna sebelum mereka berpisah.
Aditya mengantarkan Siska ke asrama.
"Saya pikir baiknya kamu saja yang cerita pada Pak Irawan
tentang pertemuan tadi, Sis. Dia tentu sudah tidak sabar
meskipun saya bisa cerita besok di kantor."
Siska mengangguk. "Ya. Saya akan e-mail dia."
"Telepon saja, Sis. Bisa lebih cepat."
"Saya lebih suka nulis, Mas. Senang aja."
"Baik, kalau begitu."
Di depan gerbang asrama, Siska berkata ragu, "Mas... apa
saya boleh cerita kepada Pak Irawan tentang... tentang yang
itu?"
Sesaat Aditya bingung, lalu mengerti. "Oh ya, tentu saja.
Ceritakan saja semuanya. Kan nggak apa-apa. Saya pikir, dia
malah senang."
Siska ingin bertanya kenapa Irawan malah senang, tapi tak
jadi. Kedengaran cerewet.
Mereka berpisah tanpa sentuhan.
Siska bergegas ke ruang makan. Sambil makan dia
memikirkan apa saja yang mau ditulisnya nanti. Apakah benar303
seperti dikatakan Aditya, bahwa Irawan akan senang
mendengarnya? Dari mana Aditya bisa tahu?
Di rumahnya, Irawan berseri-seri. Dia menepuk-nepuk
kepala Red, anjingnya, yang menemani di sebelahnya.
"Waduh, Red! Dia cerita panjang sekali. Kayaknya dia
bercerita dengan senang. Ya, kalau orang nggak suka, pasti
nulisnya pendek-pendek. Itu juga males, kali. Padahal besok si
Adit juga pasti cerita. Dan yang satu itu, Red! Dia diangkat adik
oleh si Adit. Hahaha! Hebat juga si Adit, ya. Tadinya aku pikir
dia naksir, padahal udah punya istri cakep. Ternyata aku salah.
Jadi malu, Red. Ya, Adit merasa berutang budi kepada Siska.
Kelihatannya Siska senang sekali. Kasihan, nggak punya
keluarga..."
Irawan membalas e-mail Siska.
"...Selamat ya, Sis! Kau punya keluarga baru sekarang. Saya
senang sekali. Saya juga antusias mendengar undangan dari Bu
Ratna itu. Hari Sabtu nanti saya sama Adit akan menjemputmu
di asrama..."
Sesudah selesai menulis, Irawan menepuk si Red lagi. Dan
membelainya.
"Apa kamu pengen kenalan sama dia, Red?"
"Guk! Guk!" sahut Red.304
13 DADANG merasa resah sejak pertemuan terakhirnya dengan
Kurnia. Rasanya sulit sekali menyembunyikan keresahannya itu
dari pandangan mata Eva. Ia jadi sering gugup dan cepat kaget.
Ia merasa beruntung karena Eva sedang fokus pada
kehamilannya. Apalagi kondisi fisiknya belum terasa nyaman.
Pada usia kehamilan tiga bulan ia masih sering merasa mual dan
muntah.
Dadang bisa menutup kegelisahannya dengan memberikan perhatian berlebih kepada Eva. Sampai-sampai Eva
menertawakannya. Ia mengira kegelisahan Dadang yang
sesekali tertangkap olehnya itu disebabkan perhatian dan
kekhawatirannya yang berlebihan.
"Eh, yang hamil itu aku atau kau?" katanya.
Dadang tertawa, senang bahwa Eva tidak berprasangka.
"Kalau bukan aku, siapa lagi yang memperhatikanmu?"
kata Dadang sambil memeluk Eva.
Eva menggeliat manja. Ia merasa semakin sayang saja
kepada Dadang. Tapi terkadang muncul kekhawatiran kalaukalau perhatian Dadang itu hanya karena dia sedang hamil saja,
berarti Dadang lebih menyayangi anaknya. Lalu kalau anak itu
sudah lahir, dia tak lagi diperhatikan karena perhatian Dadang
akan beralih kepada anak itu. Tapi ia menepis pikiran itu.305
Kenapa harus mengada-ada kalau itu hanya merupakan prasangka tak berdasar? Prasangka hanya mengurangi kebahagiaan.
Seperti meracuni diri sendiri saja.
Satu hal lain yang membuat ia bukan cuma sayang, tapi
juga respek kepada Dadang, adalah karena suaminya itu tak
pernah menuntut ini-itu seperti halnya Kurnia. Ia sudah
mendengar cerita Dadang tentang promosi yang diperoleh
Kurnia. Ia juga mendengamya dari Evi yang merasa perlu
memberitahu kenapa ia tak kunjung hamil supaya tak disangka
mandul. Jadi Kurnia tak ingin punya anak dulu sebelum ia
memperoleh kedudukan yang tinggi. Bagi Evi hal itu wajar,
tapi baginya itu berlebihan. Bukankah kedudukan itu takkan ke
mana-mana, karena pemiliknya adalah mertua sendiri? Apa
salahnya punya anak dulu? Ia menganggap Kurnia cuma ingin
memanfaatkan saja. Sementara Dadang bersikap apa adanya saja.
Bahkan dia kelihatan rajin, tidak mentang-mentang. Ia pun
banyak belajar mengenai farmasi dari buku-buku dan banyak
bertanya kepadanya. Dari situ sudah kelihatan jelas semangatnya
untuk maju.
Dengan bangga ia menceritakannya kepada ibunya.
Maksudnya bukan hanya untuk membanggakan, tapi juga
uniuk menyeimbangkan penilaian ibunya terhadap kedua
menantunya. Tampaknya Ratna menyukai ceritanya karena
menyimak dengan serius. Kalau tak ada ceritanya, dialah yang
bertanya. Bagaimana Dadang? Kerjanya? Perlakuannya?
Belakangan ini perhatian Ratna kelihatan semakin
meningkat. Eva memperkirakan ada sesuatu di balik perhatian
itu. Mungkin Ratna ingin memberi jabatan tertentu. Ia juga
yakin bukan cuma Dadang yang diberikan perhatian seperti itu,
tapi juga Kurnia. Tapi Kurnia sudah jelas akan diberi
kedudukan sebagai pemimpin pabrik, menggantikan Anton.306
Atau Ratna tak ingin Dadang menjadi iri lalu mencari-cari
jabatan apa lagi yang sesuai untuknya.
Eva menegaskan kepada ibunya bahwa Dadang sama sekali
tidak merasa iri. Dia kelihatan sudah puas dengan pekerjaannya
mengelola apotek.
"Tapi kau kan nggak tahu hatinya," Ratna seolah tak
percaya. "Emangnya dia bilang-bilang kalau dia iri? Malu
dong."
"Aku yakin, Ma," katanya.
"Syukurlah kalau dia tidak iri. Apakah dia sering ketemuan
dengan Kurnia?"
"Nggak tahu, Ma. Aku nggak memantau dia terus-terusan.
Memangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa. Dulu mereka sahabat, apa sekarang masih
dekat?"
"Mungkin saja. Biarpun nggak ketemu, tapi masih bisa
telepon. Ya jelas dong, Ma. Dulu mereka bersahabat dan ke
mana-mana berdua karena saat itu nggak kerja. Sekarang pada
sibuk. Beda, kan?"
Eva memperkirakan, perhatian ibunya itu disebabkan
karena masih ada pengaruh dari sikap ayahnya dulu yang
membenci kedua menantunya. Sementara ibunyalah yang gigih
membcla. Jadi sekarang ibunya masih ingin meyakinkan diri
bahwa penilaiannya adalah benar. Tidak sia-sia sudah membela.
Sementara itu, dalam kesendiriannya, Dadang masih saja
merasa tertekan. Ia ketakutan dan trauma oleh peristiwa di kafe.
Betapa dekat dirinya dengan maut. Kalau saja diminumnya
minuman itu... Betapa ia sulit percaya bahwa Kurnia bisa setega
itu.307
Ia juga bingung bagaimana harus bersikap. Diam saja dan
berpura-pura tidak tahu mengenai hal itu atau terus terang
mengkonfrontir Kurnia? Mendiamkan akan membuat
penasaran seumur hidup, tapi mengkonfrontir Kurnia membuat
ia takut. Ia juga gemetaran membayangkan bahwa Kurnia akan
mencoba lagi. Sekali dua kali gagal, tapi untuk kesekian kalinya
bisa saja berhasil.
Ketika Kurnia meneleponnya lewat ponselnya, Dadang tak
bisa mengatasi kegugupannya.
"Hai, Dang!" seru Kurnia dengan suara ceria. "Kau baikbaik saja?"
Pertanyaan itu terasa seperti sindiran bagi Dadang. Ia perlu
waktu sejenak untuk menenangkan diri supaya tidak
kedengaran aneh.
"Baik. Kenapa?"
"Lho, orang nanya biasa kok ditanya lagi kenapa. Ada apa
sih?"
"Kau pengin tahu apa aku masih hidup atau sudah mati, ya?
Kalau sudah mati pasti nggak menyahut!" tiba-tiba menyembur
kata-kata itu dari mulut Dadang tanpa terpikir lagi. Emosi
sudah menguasainya.
"Eh, kenapa sih kau ini? Tiba-tiba saja nyolot. Lagi marahmarah, ya?"
Dadang masih bergulat dengan emosinya. Ia merasa
beruntung bicara di telepon sehingga wajahnya tak terlihat.
Kulitnya sudah terasa panas, ia berupaya meredakan emosinya.
"Sudahlah," katanya kemudian. "Ada apa menelepon?"
"Nggak ada apa-apa. Cuma pengin dengar suaramu saja.
Tempo hari kau sepertinya marah-marah sama aku."
"Nah, sekarang kau sudah dengar suaraku. Puas?"308
"Wah, sinis banget sih. Jangan begitu dong."
"Ya, sudah. Kau yang aneh. Masa menelepon orang cuma
pengin dengar suaranya saja. Emangnya kau nggak kerja?"
"Tentu saja kerja dong. Aku lagi sibuk. Biarpun sibuk, aku
ingat kau."
Hampir saja Dadang berteriak meluapkan kemarahannya.
Tapi ia terus mengingatkan diri supaya bersabar. Ia harus tahu
apa yang sebenarnya diinginkan Kurnia. Kalau ia
menyambutnya dengan kemarahan, ia takkan mendapat apaapa. "Aku juga sibuk. Cepetan ngomongnya. Ada perlu apa?"
"Eva ada di situ?"
"Nggak ada."
"Aku juga sendiri. Biasanya sama Pak Anton. Tapi hari ini
dia nggak masuk. Katanya sakit."
"Sakit apa?"
"Entah. Habis orang sudah tua. Sakit ini, sakit itu..."
Tiba-tiba menyeruak sesuatu di benak Dadang. Sakit apa
Pak Anton itu? Ia pernah melihatnya beberapa kali sewaktu ikut
menghadiri rapat. Biarpun sudah tergolong lansia, tapi dia
kelihatan sehat dan segar. Tubuhnya kekar dan jalannya pun
gagah.
"Sudah berapa lama kau sama Pak Anton?"
"Kira-kira seminggu..."
"Berapa lama lagi dia pensiun?"
"Katanya sih tiga-empat bulan lagi."
"Nggak lama lagi dong. Sabarlah menunggu..."
"Aku heran kenapa sih dia nggak pensiun aja. Sudah sakitsakit begitu..."309
Mendadak meremang tengkuk Dadang. Ada nada-nada
tertentu dalam suara Kurnia yang diingatnya. Tangannya
gemetar, jari-jarinya yang memegang ponsel jadi mengendur.
Ponselnya lepas dan jatuh ke atas meja. Ia mendengar suara
Kurnia yang berseru-seru.
"Daaang! Daaang..."
Dadang membiarkan saja. Ia tak meraih ponselnya kembali.
Ia meninggalkan mejanya, terhuyung pergi ke kamar kecil. Di
sana ia muntah. Sesudah itu ia perlu berbaring sejenak di sofa.
Lalu ia mendengar ponselnya berbunyi. Ia membiarkan saja
karena berpikir itu pasti Kurnia yang mencoba
menghubunginya lagi. Tak lama setelah itu ponselnya berhenti
berbunyi, lalu ganti telepon apotek yang berbunyi.
Kedengaran suara asisten yang menerima telepon. Lalu ada
ketukan di pintu ruang kerjanya.
"Pak! Pak! Ada telepon dari Ibu di rumah!"
Dadang melompat bangun.
Beberapa menit kemudian ia sudah dalam perjalanan
menuju rumah. Eva menelepon bahwa ia mengeiuarkan vlek
atau perdarahan. Suaranya kedengaran takut. Tentu saja
Dadang lebih takut lagi. Untunglah ia naik motor sehingga bisa
lebih cepat sampai di rumah.
Eva sudah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit.
Dari rumah Dadang menggunakan mobil Eva. Ia menyuruh
Eva memberitahu Ratna karena Ratna bisa lebih menenangkan
dibanding dirinya yang tidak punya pemahaman mengenai
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehamilan.
Ratna mengatakan akan segera menyusul. Dadang menjadi
lebih tenang. Tapi sebenarnya ia panik, terlebih karena teringat
pada percakapannya dengan Kurnia tadi. Prasangka buruknya310
segera mengarah pada Kurnia. Apakah ada hubungannya antara
telepon tadi dengan kondisi Eva sekarang?
"Kau salah makan, Va?"
"Nggak. Kalau salah makan sakit perutnya lain dong, Mas.
Aku akan diare atau mencret. Ini nggak."
"Kemarin-kemarin kau selalu makan di rumah, kan?"
"Iya."
"Nggak ada kirmnan makanan dari siapa pun? Kurnia
misalnya?" Dadang keceplosan.
"Nggak ada. Aku makan biasa di rumah. Nggak ada yang
ngirim makanan. Apalagi Kurnia. Ada hubungan apa sama dia?"
tanya Eva heran.
"Pendeknya jangan pernah makan makanan dari luar, Va!"
sahut Dadang tanpa menjawab pertanyaan Eva.
Eva mengamati wajah Dadang. Ia tahu Dadang panik,
mungkin lcbih panik daripada dirinya. Ia melihat butiran
keringat di dahi Dadang. Di perhentian lampu merah ia
menyeka dahi Dadang dengan tisu, lalu terkejut karena
merasakan dinginnya kulit Dadang.
"Kau kenapa, Mas? Kok berkeringat dingin."
"Aku mencemaskanmu."
"Tenanglah. Kau kan mengemudi. Apa aku saja
menggantikan? Aku lebih tenang darimu."
"Nggak apa-apa. Masa kau?"
"Hati-hatilah."
"Tentu saja. Aku bukan cuma membawamu, tapi juga anak
kita."311
Eva merasa tersentuh. Ia meraih tangan Dadang di kemudi.
Terasa dingin. Dadang meremas tangannya dan merasa hangat
sejenak.
"Berdoalah, Va, supaya anak kita baik-baik saja," kata
Dadang dengan suara bergetar.
"Ya, Mas. Sejak tadi aku berdoa terus."
Dadang merasa malu untuk ikut berdoa. Apakah pantas?
Kepanikan dan keresahan Dadang malah menghibur Eva
dan meringankan rasa takutnya. Itu berarti Dadang memang
sayang dan perhatian. Bukan pura-pura.
Di rumah sakit Eva bisa ditangani dokternya karena
kebetulan sedang praktek. Setelah diperiksa dokter mengatakan
kondisi janin dan rahim baik-baik saja. Darah yang keluar cuma
sedikit, tapi bukan berarti bisa dianggap ringan. Ia disumh
istirahat di rumah dan diberi obat penguat kandungan. Bila
perdarahan tambah banyak, harus segera kembali.
Ratna datang pada saat mereka akan pulang. Wajahnya
menampakkan kecemasan. Eva menjelaskan.
"Tadi di USG transvaginal, Ma. Si kecil baik. Cuma aku
mesti istirahat di tempat tidur. Jalan harus dibatasi."
"Ya, aku ingat dulu sewaktu mengandung Evi juga begitu.
Hati-hati, Va."
"Iya, Ma."
Sewaktu Dadang pergi untuk mengambil mobil yang
diparkir agak jauh, Ratna menemani Eva. Lalu Eva
menceritakan kelakuan Dadang yang panik tadi.
"Dia keringat dingin, Ma. Dia lebih panik daripada aku.
Terus jadi aneh-aneh. Dia tanya apa aku salah makan. Padahal
nggak ada hubungannya sama salah malean. Dia juga nanya apa
ada kiriman makanan dari luar, juga dari Kurnia. Tentu saja312
nggak ada. Aku heran apa hubungannya sama Kurnia, tapi dia
nggak mau jawab. Lalu berpesan jangan sekali-sekali makan
makanan dari luar. Begitulah dia saking paniknya." Eva tertawa
geli. Entah kenapa kepanikan Dadang yang berlebihan itu telah
membuat kepanikannya sendiri jadi berkurang. Apalagi setelah
dokter memberi kepastian.
Tapi Ratna tidak ikut tertawa. Ia tidak merasa geli, tapi
pelan-pelan bulu kuduknya berdiri. Ia mengerti henar apa yang
dimaksud dengan pesan Dadang itu. Seserius itukah?
Lama setelah Dadang dan Eva berlalu ia masih saja duduk
termangu sampai disadarkan oleh telepon sopirnya yang masih
menunggu di tempat parkir. Lalu ia memikirkannya di mobil
dalam perjalanan kembali ke kantornya.
Ketika Evi menemuinya dan menanyakan keadaan Eva,
Ratna tidak memperlihatkan sikap cemas.
"Yang penting tadi sudah diperiksa dan dokter bilang baikbaik saja. Eva perlu istirahat total."
Kurnia juga sempat menanyakan untuk menunjukkan
perhatiannya. Menghadapi Kurnia, sulit sekali bagi Ratna untuk
menyembunyikan perasaannya. Tapi ia sadar harus berupaya.
Kurnia tidak boleh tahu bahwa ia tahu. Demikian pula Dadang.
Ia memutuskan untuk membagi peristiwa tadi dengan
Aditya. Sebenarnya ia sadar hal itu adalah masalah keluarganya,
tapi Aditya sudah telanjur dilibatkan. Lebih dari itu ia
membutuhkan bantuan. Ia tidak bisa sendirian menanganinya.
Rasanya seperti berjalan dalam kegelapan sehingga perlu
dituntun orang yang memahami sekitarnya. Aditya mungkin
juga sama tidak paham dengan dirinya, tapi dia bisa memberi
masukan yang berharga. Masih ada Siska dan Irawan. Ia merasa
lebih kuat.313
Ia berpesan kepada sekretaris bahwa ia bermaksud keluar
sebentar, tanpa mengatakan akan ke mana. Sekretaris juga tidak
rnenanyakan. Yang penting baginya adalah bosnya itu bisa
dihubungi setiap saat. Evi juga tidak diberitahu. Ia pergi diamdiam.
Ia hanya ingin menelepon Aditya, tapi memerlukan tempat
yang aman dari orang yang kemungkinan ikut mendengarkan.
Apalagi Evi adalah orang yang harus dihindari, karena topik
pembicaraan menyangkut Kurnia. Menelepon di ruang
kerjanya akan berisiko terdengar oleh Evi yang suka masuk
begitu saja, biar pun sesekali suka mengetuk lebih dulu.
Ratna pergi ke mal. Di sana ia mencari kursi yang posisinya
aman dari orang lalu-lalang. Pada hari biasa dan siang
menjelang sore suasana sepi.
Aditya segera menjawab teleponnya.
"Ada apa, Bu?" nadanya khawatir.
Ratna merasa terhibur. Aditya yang bukan apa-apanya itu
punya perhatian yang besar terhadapnya.
"Sebelumnya saya minta maaf, Dit. Sudah mengganggu
kesibukanmu. Masih di kantor, kan?"
"Ya, Bu. Tapi sebentar lagi pulang. Nggak apa-apa, Bu.
Sama sekali nggak mengganggu. Ibu baik-baik saja?"
"Ya, saya baik. Tapi ada sesuatu yang ingin saya bagi.
Cuma informasi saja. Selanjutnya mungkin bisa tolong bantu
dipikirkan apakah ada maknanya."
Segera Ratna bercerita tentang peristiwa yang menimpa
Eva tadi pagi.
"Yang aneh sikap Dadang itu. Eva mengira itu adalah
kepanikan. Tapi saya pikir, itu lebih dari sekadar kepanikan."314
"Jadi utamanya adalah pesan kepada Eva untuk tidak makan
sembarangan, terutama kiriman dari siapa pun. Dan dia juga
menyebut Kurnia.
"Padahal Kurnia nggak suka mengirimkan makanan untuk
mereka. Paling Evi atau saya."
"Ya. Itu patut dipertanyakan, Bu. Kalau Dadang sendiri
ngomong begitu berarti dia tahu sesuatu tentang Kurnia."
"Ah, menurutku itu bukan masalah tahu sesuatu, tapi
karena dia sendiri berkomplot."
"Kalau dia memang berkomplot, tentu dia tidak panik
begitu, Bu. Dia akan tenang-tenang saja."
"Maka itu, saya jadi bingung. Dulu kan mereka berkomplot terhadap Pak Simon."
"Tapi itu dulu. Siapa tahu sekarang beda. Dadang sudah
paham perihal Kurnia, jadi takut duluan. Mungkin sekarang dia
tidak sepaham lagi sama Kurnia. Kalau memang begitu, kan
bagus, Bu. Ada seseorang yang melindungi Eva."
"Ya, saya juga sempat berpikir begitu."
"Tenang saja, Bu. Waspada terus."
"Baik, sekian dulu, ya Dit. Terima kasih sudah membantu.
Saya nggak tahu bagaimana kalau cuma sendirian."
"Saya senang bisa membantu, Bu. Nanti saya diskusikan
bersama Pak Irawan."
"Ya, terima kasih, Dit. Salam untuk Pak Irawan."
Pembicaraan berakhir. Ratna merasa lega sudah berbagi.
Tapi kelegaan ini hanya sementara. Ia sadar, kepanikan Dadang
itu menandakan adanya ancaman. Dia tidak akan begitu saja
merasa panik kalau tak ada sesuatu. Tentu kecemasan
kehilangan bayi yang disayangi bisa membuat panik, tapi tidak315
sampai bicara tentang hal-hal yang tak ada hubungannya. Yang
jelas, Eva terlindung oleh Dadang. Dia sendiri terlindung oleh
pemahamannya sehingga terdorong berhati-hati. Tapi siapa
yang akan melindungi Evi?
Aditya menyampaikan informasi itu kepada Irawan.
Mereka leluasa membicarakannya karena semua karyawan
sudah pulang.
Setelah Frans tidak ada lagi, Vera dan Fendi seolah
kehilangan gigi. Mereka tidak lagi mengganggu atau bicara
macam-macam. Suasana jadi biasa lagi. Aditya pun kembali ke
tempatnya yang dulu, di cubicle-nya yang lama. Tidak enak juga
menyendiri di belakang. Karena sikapnya yang tak berubah,
maka karyawan lain pun tidak ada yang berulah. Tapi ia justru
menyukai keadaan sekarang karena Vera dan Fendi tidak lagi
suka bercanda dengannya. Mereka kelihatan kehilangan Frans.
Sebenarnya Aditya kerap bertanya-tanya, tahukah kedua orang
itu akan perbuatan Frans kepadanya sehingga ia koma? Mereka
pasti heran kenapa tiba-tiba Frans bisa menguasai begitu cepat
bagian proyek yang seharusnya ia kerjakan. Atau mereka
bersedia tutup mulut karena mendapat tambaban bonus? Ia
merasa jijik membayangkan hal itu. Cukup untuk membuatnya
menjauh dan tak mau bicara kalau tak perlu benar.
Irawan tampak senang mendapat tambahan informasi itu.
"Dia benar-benar sudah percaya kepada kita, Dit. Tadinya
saya pikir dia masih ragu-ragu."
"Kelihatannya sih percaya bener, Pak. Saya juga kalau
berada di tempatnya pasti takut kalau sendirian. Kemarin di
taman rumah sakit pun dia kelihatan begitu serius. Kasihan
melihatnya."316
"Bayangin, dia mau mengadu ke mana tanpa bukti apa-apa,
padahal merasa terancam. Sekarang ditambah dengan kelakuan
Dadang, pastilah dia tambah takut."
"Apakah sikap Dadang itu menyimpulkan bahwa dia tidak
berkomplot lagi dengan Kurnia? Pecah kongsi gitu?"
"Belum tentu juga. Mana kita tahu hati orang? Istri dan
anaknya sendiri dilindungi, tapi yang lain? Bisa kubayangkan
rasa takut di hati Bu Ratna. Soalnya racun itu bisa ditaruh di
mana-mana, apalagi dia orang dalam lingkungan keluarga.
Tahu tapi nggak bisa berbuat apa-apa."
"Mengerikan sekali orang itu, Pak."
"Hari Sabtu nanti kita bisa bertemu dengan mereka. Oh ya,
Dit, saya tiba-tiba berpikir, bukankah sikap Dadang itu
menunjukkan bahwa temannya si Kurnia itu benar-benar
bertekad mau menghabisi keluarga itu?"
Aditya terkejut. Ia jadi merinding.
"Ya, benar juga, Pak. Kalau nggak kenapa dia mesti
ketakutan? Benar-benar tak habis pikir. Padahal dia sudah
mapan, belum puas juga. Satu nyawa sudah dicabut, dan tak ada
bukti untuk menyeretnya ke pengadilan. Hukum karma akan
menimpanya. Jadi sudah saja. Kenapa harus serakah?"
"Dasar manusia," kata Irawan dengan nada memaki.
"Nggak pernah puas..." Lalu dia tertawa. "Lupa, kita juga
manusia. Tapi beda spesies, ha ha ha..."
"Pak, apa Siska perlu diberitahu juga tentang info baru itu?"
tanya Aditya mengingatkan.
"Oh ya, tentu. Dia kan anggota kita. Nantilah saya beritahu
lewat e-mail saja. Dia lebih suka menulis daripada ditelepon."
Aditya mengangguk. Dengan demikian dua orang itu akan
lebih sering berhubungan, pikirnya. Ia sendiri sudah belajar317
menilai dan melihat Siska dari sudut pandang yang lain. Sudut
seorang kakak. Sepertinya terhadap Rika, adik kandungnya
sendiri, tidak sebegitu rasa sayangnya. Padahal ia mengenal Rika
sejak lahir. Mungkin itu pengaruh dari memutar tombol atau
switch dari cinta menjadi sayang.
"Kalau begitu, saya nggak usah ngabarin dia lagi. Nanti dia
jadi repot, membalas untuk dua orang."
Irawan mengangguk senang. Ia senang karena memiliki
bahan baru untuk dikirim kepada Siska.
"Oh ya, Pak. Saya sudah memberitahu Karen dan mama
mertua saya bahwa saya ingin menjadikan Siska sebagai adik.
Mereka senang sekali. Anak saya, Yuni, tak kepalang girangnya.
Lalu mereka bilang bahwa hal itu harus dirayakan. Yah,
semacam peresmian keluarga begitu, he he he... Tapi kami baru
berencana. Nanti bila itu terjadi, tentunya Bapak juga hadir,
ya."
"Wah, senang sekali. Tapi saya bukan keluarga."
"Bisa sebagai saksi, Pak."
Lalu mereka tertawa berderai. Seandainya para karyawan
masih ada, mereka takkan tertawa sekeras itu.
Begitu sampai di rumahnya yang sunyi tapi tenteram,
Irawan langsung membuka laptopnya dan mulai menulis e-mail
untuk Siska. Ia bercerita tentang perkembangan baru yang
terjadi dalam keluarga Ratna. Lalu sebagai penutup ia
menyampaikan niat Aditya dan keluarganya untuk membuat
perayaan menyambut kehadiran Siska sebagai anggota keluarga
baru.
"...Saya diminta ikut hadir sebagai saksi, he he he. Ah,
bercanda saja. Saya hanya sebagai tamu yang ikut menyaksikan
dan berpesta bersama. Selamat ya, Sis. Sayangnya mereka belum318
menentukan kapan waktunya. Mungkin cari tanggal baik. Dan
jangan lupa hari Sabtu nanti. Kami menunggu konfirmasi lagi
dari Bu Ratna. Kayaknya sih jadi. Kalau misalnya nggak jadi
atau diundur, kami boleh tetap ke sana untuk mengobrol
denganmu? Andai kata Adit nggak bisa, karena ada kemungkinan dia punya acara dengan keluarganya, bolehkah saya
saja yang menemuimu?"
Menjelang malam, Irawan mendapat balasan dari Siska.
"...Saya berharap Eva baik-baik saja. Meskipun tidak kenal,
tapi saya bisa membayangkan perasaannya.
Pastinya Dadang sangat mencintai dia dan anaknya, kalau
tidak masa reaksinya sampai begitu. Bapak ceritanya detail
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali, seolah Bapak melihat sendiri. Saya jadi terhanyut.
Mudah-mudahan hari Sabtu kita jadi ke sana, pengin lihat
orang-orang itu seperli apa sih. Terutama yang namanya
Dadang dan Kurnia itu. Saya sependapat dengan Bapak dan
Mas Adit, bahwa kemungkinan Dadang tidak akan
mencelakakan keluarganya. Lain halnya si Kurnia itu.
"Saya senang bisa ikutan dalam drama itu, kalau saya boleh
bilang begitu, karena begitu menyentuh. Bagaimana rasanya
bila ada seorang (atau dua orang) pembunuh di tengah keluarga
dan kita tidak tahu kapan dia akan beraksi lagi? Seram. Kasihan
Bu Ratna. Dia takut sendiri, tak bisa berbagi dengan anakanaknya.
"Hihihi, jadi geli membayangkan ada perayaan segala. Tapi
saya sungguh merasa seperti di awang-awang. Seumur hidup
baru pernah mengalami seperti ini. Mungkin ini yang namanya
keberuntungan. Kalau jadi, saya senang Bapak bisa hadir di
sana. Ada yang menemani.
"Sabtu nanti harapannya sih kita bisa kumpul di rumah Bu
Ratna untuk melihat para pembunuh. Tapi kalau nggak jadi,319
Bapak silakan datang ke sini untuk mengobrol. Tanpa Mas Adit
pun nggak apa-apa..."
Irawan senang sekali membacanya. Sampai diulang-ulang.
Anjingnya, Red, menemani diam-diam di sebelah kursinya.
Ia menepuknya. Red menggeliat dan menatap dengan mata
sayunya.
"Dia senang ditemani olehku, Red..."
Seperti biasa Red menyahut, "Guk, guk...!"
*** Dadang menjadi lebih tenang setelah mendapat kepastian
dari dokter. Tapi ia sempat bertanya, "Jadi ini tidak ada
hubungannya dengan sesuatu yang termakan, Dok?"
Dokter menggeleng, "Saya kira tidak. Coba tanya Ibu,
makan sesuatu yang aneh apa nggak?"
"Nggak, Dok," sahut Eva. "Makan biasa saja. Justru lagi
kurang nafsu makan."
Dokter tertawa. "Tapi memang ada baiknya, jaga makanan
juga. Apa yang Ibu makan, dimakan juga oleh anak Ibu."
Di rumah Eva sempat menertawakan pertanyaan Dadang
itu. "Ah, sekarang kau sudah bisa tertawa, ya," Dadang berkata
santai.
"Kau juga."
"Tapi ingat, jangan lega dulu. Kau nggak boleh banyak
jalan. Tiduran saja, Va. Kalau ada darah yang keluar lagi, cepat
beritahu."
"Ya, Mas. Aku senang kau perhatian dan sayang sama aku."320
Dadang memeluk Eva, menciumnya dan membelai
perutnya. "Aku sayang dua-duanya," katanya dengan penuh
perasaan. Tapi di dalam hati dia masih menyimpan ketakutan.
Juga rasa bersalah.
Eva memaksanya untuk kembali ke apotek karena dia
merasa baik. Dadang terpaksa memenuhi permintaan itu setelah
berpesan pada pembantu untuk menemani dan melayani Eva.
"Segera telepon kalau ada apa-apa."
"Pasti. Oh ya, bagaimana kalau ada kiriman makanan dari
Evi?"
Dadang terkejut. "Apa? Memangnya dia suka ngirim
makanan?"
"Nggak sih. Nggak pernah. Aku cuma nanya, kalaukalau..."
"Sama sekali jangan dimakan. Dibuang aja di kloset. Tapi
jangan diperlihatkan pada pembantu, nanti dia mengadu."
Eva tertawa. "Bagaimana kalau dari Kurnia?"
Dadang tersentak. Tapi sebelum sempat bertanya, Eva
segera berkata, "Tapi belum pernah tuh..."
"Pendeknya siapa pun yang ngirim, nggak boleh dimakan.
Kecuali dari Mama, tapi harus benar-benar. Cek dulu apa betul
Mama yang ngirim. Siapa tahu cuma mengatasnamakan."
"Waduh, teliti amat sih kau ini. Kok paranoid banget."
"Untuk jaga diri orang harus teliti. Kalau perlu paranoid, ya
nggak apa-apa..."
Setelah Dadang berlalu, Eva menerima telepon dari Ratna,
menanyakan keadaannya. Eva bercerita juga tentang pesan
Dadang tadi.321
"Biarpun kedengarannya nggak masuk akal, jangan kau
cemooh dia, Va. Sebaliknya kau justru harus menghargai. Dan
tentunya juga dipatuhi," kata Ratna.
"Ya, Ma."
"Tapi jangan cerita sama Evi soal pesan Dadang itu. Kan
ada nama Kurnia disebut-sebut. Nanti dia marah."
"Tentu saja nggak, Ma."
Setelah itu Evi menelepon. Ia sudah mendengar peristiwanya dari Ratna. Eva bercerita tentang kepanikan Dadang,
tanpa menyertakan cerita perihal makanan sesuai pesan ibunya.
"Ya, syukurlah kalau kau baik-baik saja. Emangnya kenapa
sih bisa terjadi perdarahan?" suara Evi kedengaran ingin tahu.
"Nggak tahu kenapa. Tiba-tiba saja tuh. Aku kan nggak
banyak gerak."
"Tahukah kamu bahwa kau sama Dadang harus puasa
berhubungan? Apalagi kalau terlalu hot, bisa keluar anakmu."
"Ya. Setelah tahu bahwa aku hamil kami berpuasa."
"Oh ya?" Evi kedengaran terkejut. "Sudah tiga bulan puasa?
Apa dia tahan?"
"Justru dia yang selalu mengingatkan aku."
"Wah, bisa juga ya dia. Tapi hati-hati, jangan-jangan dia..."
"Aku yakin nggak," Eva merasa jengkel. "Kalau dia pengin,
dia bermasturbasi di kamar mandi."
"Ha ha ha!" Evi tertawa sehingga Eva menjauhkan telepon
dari telinganya.
"Lucu, ya?" bentak Eva kesal.
"Sori, Mbak. Aku ketawa karena kau ngomongnya begitu."
"Ya, memang begitu. Tapi aku bangga sama dia."322
Evi terdiam.
Rasakan, pikir Eva. Dia pasti iri.
"Ya, dia hebat," Evi mengakui. "Baiklah. Jaga diri ya,
Mbak."
Sementara itu, Kurnia menelepon Dadang yang sudah
berada di apotek untuk menanyakan kondisi Eva.
"Dia baik-baik saja. Perdarahan sedikit, tapi bayinya baikbaik," sahut Dadang dingin.
"Katanya kau panik, ya."
"Jelas."
"Sekarang tentunya gembira."
"Masih siaga."
"Ha, kayak kondisi banjir saja."
Dadang diam. Ia masih menimbang-nimbang. Akhirnya ia
memberanikan diri berkata, "Kur, kita harus bicara."
"Bicaralah. Aku kan masih di sini."
"Tidak di telepon. Kalau kau bisa, datanglah ke sini. Aku di
apolek sekarang. Kutunggu."
"Kayaknya penting."
"Ya."
"Baik. Aku ke sana sekarang."
Sambil menunggu, Dadang mempersiapkan mentalnya. Ia
sudah tahu, susah mengharapkan ketulusan Kurnia.
Memanfaatkan waktu, ia menelepon Eva untuk menanyakan
keadaannya. Laporan Eva membuat ia tenang dan merasa lebih
siap.323
Ketika Kurnia datang, Dadang mengajaknya bicara di
ruang kantornya. Saat itu di apotek masih banyak pembeli dan
penunggu resep.
Kurnia mengamati wajah Dadang begitu duduk berhadapan.
"Kau mau curhat?" ia bertanya.
"Ya. Kau tahu apa sebab aku tadi sangat panik waktu
mendengar keadaan Eva?"
Kurnia menggeleng sambil mengangkat bahu.
"Aku takut penyebabnya adalah kau!"
"Lho, kok aku? Apa hubungannya?"
"Aku takut kau meracuninya," kata Dadang terus lerang.
Kurnia tertawa. Dadang mengamatinya dengan geram.
"Gila! Kenapa aku harus berbuat begitu?" tanya Kurnia
dengan ekspresi mencemooh.
"Bukankah tempo hari waktu di kafe itu kau berniat
meracuni aku?"
Kurnia menatap Dadang lalu tawanya kembali meledak.
Sepertinya ia menganggap Dadang tengah bercanda.
"Tapi aku tidak meminum isi gelas yang kaububuhi racun
itu. Apakah racunnya sama dengan yang dulu?"
Kurnia mengerutkan kening. Wajahnya serius sekarang.
"Kaukira aku serius? Kalau aku benar-benar mau
meracunimu, kenapa aku melakukannya di depan mata si kasir
gendut itu? Pasti kau dikasih tahu dia, ya? Aku kan nggak
sebodoh itu. Lagi pula yang kumasukkan ke dalam gelasmu itu
cuma gula. Tahu?"324
Dadang tertegun. Sebenarnya ia juga tidak tahu apakah
Kurnia berkata benar atau tidak. Dari pengalaman ia tahu
bahwa Kurnia sangat pandai berbohong dan berkelit.
"Lantas buat apa kau melakukan itu? Cuma bercanda?
Mempermainkan siapa? Kalau mempermainkan aku, nggak
mungkin juga karena ada kemungkinan si kasir nggak melihat,
atau dia nggak mau kasih tahu aku. Jadi kau mau mempermainkan si kasir? Kenapa? Kenal aja nggak."
Kurnia tidak mengubah ekspresinya.
"Kalau begitu, terserah kau saja. Bagaimana
penilaianmulah."
"Nggak bisa begitu, Kur. Aku ingin kepastian. Sebenarnya, kau bermaksud menyingkirkan aku atau tidak? Kalau
iya, alasannya apa? Aku bukan batu sandunganmu. Kalau kau
mau jadi presiden juga terserah, aku nggak akan menghalangi.
Aku sudah puas dengan kehidupanku. Jangan ganggu aku dan
Eva."
"Jadi kau mengancamku?"
"Aku bukan mengancam, tapi aku hanya memberi tahu.
Kalau kau takut aku akan membuka rahasia, maka itu tidak
beralasan. Itu sama saja dengan membuka rahasiaku sendiri. Kau
sendiri bilang begitu."
"Baguslah kalau kau tahu diri."
"Kau sudah punya posisi bagus, apa lagi yang kurang?
Sebentar lagi Pak Anton pensiun, sabarlah. Kepala pabrik itu
kedudukan tinggi. Hanya setingkat di bawah pemimpin
perusahaan."
"Apa? Hanya setingkat? Mana mungkin, Dang. Pemimpin
perusahaan itu pemilik. Aku bukan pemilik."325
Dadang melihat kilatan di mata Kurnia. Perasaannya
bergetar. Ketakutannya muncul lagi. Belum pernah ia menilai
Kurnia sebegitu buruknya seperti sekarang ini. Kurnia seolah
bukan manusia, tapi iblis! Bagaimana mungkin ia menjadi kakitangannya?
"Kasihan Bu Ratna, kasihan Evi. Mereka sudah memberi
kepercayaan besar padamu. Saatnya kau membalas kebaikan
mereka. Kelak kalau kau mujur, kau bisa juga jadi pemilik
dengan cara yang wajar."
Kurnia menatap Dadang dengan sorot geram. "Jangan kau
nasihati aku. Sok pintar saja. Sekarang kau bukan lagi mitraku.
Kita jalan sendiri-sendiri saja. Aku nggak ikut campur
urusanmu, tapi kau juga jangan ikut campur urusanku."
Kurnia berlalu dengan marah. Dadang merasa pertemuan
itu sama sekali tak ada gunanya. Sama seperti pertemuan di kafe
tempo hari. Lagi-lagi ia tidak bisa mendapat jaminan dari
Kurnia bahwa dia dan Eva tidak akan memperoleh gangguan
apa-apa. Ia menduga bahwa Kurnia sengaja berbuat begitu
supaya ia tidak bisa merasa nyaman dan tenteram. Atau dia
memang memiliki rencana yang bisa berubah-ubah tergantung
situasi. Mungkin sebaiknya ia pasrah saja menerima keadaan itu
sebagai hukuman atas dosanya kepada Simon. Apa artinya
sejahtera tanpa ketenangan?326
14 PADA Sabtu sore yang dijanjikan itu, sesuai konfirmasi terakhir
dari Irawan, Siska sudah bersiap-siap. Kali ini ia berdandan rapi,
tak ingin mempermalukan kedua rekannya di mata keluarga Bu
Ratna bila ia berdandan serampangan. Biasanya ke mana-mana
ia selalu mengenakan kaos dengan celana jins karena enak
dipakai. Tapi kali ini suasananya beda.
Ia mengenakan rias wajah tipis dengan lipstick tipis juga,
yang pastinya akan luntur sesudah makan. Rambutnya yang
panjang sebahu dan biasanya disanggul bila mengenakan
seragam dibiarkannya terurai menggelombang. Ia juga
mengenakan gaun selutut dari bahan yang lembut berwarna
dasar kuning gading dengan motif bunga kecil-kecil warna
merah dan daun hijau lumut. Meskipun modelnya agak
longgar, tapi karena bahannya lembut, jatuhnya pas ke
tubuhnya yang langsing. Potongan leher berbentuk bulat,
memperlihatkan lehernya yang jenjang. Lengannya pendek.
Lalu interkom di kamar berbunyi. Dari penjaga asrama.
"Ada tamu, Suster Siska. Mau ditemui?"
"Oh ya, Pak. Sebentar lagi saya turun."
Ia segera menyambar tasnya, lalu keluar dan me-ngunci
pintu. la menebak-nebak siapa kiranya yang menjemputnya.
Apakah Irawan atau Aditya? Tak mungkin dua-duanya. Akan
kelihatan lucu. Salah satu mestinya menunggu di mobil.327
Tapi Siska sangat terkejut ketika yang dilihatnya adalah
Frans. Sementara Frans juga terkejut karena melihat penampilan
Siska yang sangat berbeda dari biasanya, jelas akan pergi ke luar.
Jelas juga ekspresi Siska yang terkejut. Memang bukan dia yang
sedang ditunggu. Ia memendam kekecewaannya.
"Hai, Siska! Mau pergi rupanya, ya?"
Siska agak salah tingkah. Tapi segera mampu
mengendalikan diri.
"Ya."
"Nunggu jemputan rupanya. Pasti bukan saya," Frans
berkata dengan wajah sedih.
Siska merasa iba melihat kekecewaan Frans. Ia tahu
keterkejutan yang diperlihatkannya tadi jelas menambah
kekecewaan Frans sebagai orang yang tidak diharapkan. Terlalu
mendadak dan dia tak bisa berpura-pura.
"Ya. Memang bukan," katanya.
"Terus terang, tadi saya menelepon dulu ke bagianmu.
Mereka bilang, kamu libur hari ini. Jadi saya nekad datang.
Pengin ngobrol saja. Kalau saya datang ke rumah sakit nanti
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengganggu, kan?"
"Ya. Jangan pernah datang ke sana. Di sana tempat saya
kerja."
"Karena itu saya ke sini. Sayang kamu mau pergi. Nunggu
dijemput atau pergi sendiri?"
"Nunggu dijemput."
Mereka berdiri saja di depan pintu masuk. Siska tidak
berniat menyilakan masuk karena waktu sudah sempit. Tapi ia
tidak suka membiarkan Frans menyaksikan kepergiannya
bersama Irawan atau Aditya nanti. Entah bagaimana
perasaannya nanti. Ia berharap Frans segera pergi.328
"Boleh dong saya nemenin sejenak sampai penjemputmu
datang?" Frans malah bertanya.
Siska bingung mau bagaimana menjawab karena ia merasa
tidak enak hati untuk terang-terangan mengusir. Kalau ia
mengatakan akan masuk ke dalam saja, siapa tahu Frans ikut
masuk juga. Tapi kalau ia berdiri saja di muka pintu seperti itu
rasanya tidak nyaman. Mengobrol dengan Frans tidak
diinginkannya.
"Oh ya, tempo hari saya melihatmu bersama Adit dudukduduk di taman depan Bagian Penyakit Dalam. Asyik juga ya
ngobrol di situ? Segar kayaknya," Frans bicara lagi, tanpa
menunggu Siska menjawab pertanyaannya.
Dengan sopan Siska hanya mengangguk. "Ya, tamannya
selalu dirawat," ia menyahut.
"Terus saya ketemu Bu Ratna, pemilik perusahaan farmasi
yang besar itu. Saya kenal dia waktu ngerjain proyek. Rupanya
dia bergabung dengan kalian. Unik juga ya pertemuan di
taman. Biasanya di kantor atau kafe."
"Ya. Memang unik," sahut Siska. Ia terus mengingatkan
diri untuk tidak bersikap ketus. Selama sikap Frans baik-baik
saja, tidak ada alasan untuk mengasarinya.
"Sebenarnya saya pengin sekali ikut bergabung..." Mata
Siska membesar. Tapi ia menunggu ucapan selanjutnya.
"Sayang saya nggak diundang. Malu dong." Siska
tersenyum dan mengangguk. Sikapnya yang manis dan sopan
itu seolah membetot-betot hati Frans. Sudah penampilan
menawan, sikapnya pun menarik. Ia benar-benar terpesona.
Ingin rasanya memandangi berlama-lama, tapi hal itu tentu
tidak sopan. Ia berharap penjemput Siska, siapa pun itu,
mempraktekkan jam karet supaya ia berkesempatan lebih lama329
lagi. Tampaknya si penjemput terlambat karena Siska terlihat
gelisah. Mudah-mudahan saja orang itu tak jadi datang karena
mendapat musibah, mungkin kecelakaan di jalan atau sakit
perut atau...
"Begitulah kalau orang Indonesia janjian. Selalu ngaret."
"Emangnya Mas bukan orang Indonesia?"
"Oh, tentu saja orang Indonesia, tapi nggak suka ngaret.
Bahkan sebelum waktu janjian saya sudah hadir. Mau
buktikan?"
Kembali Siska tersenyum. Ia tidak menyahut.
"Oh ya, hampir lupa," Frans melanjutkan. "Saya sudah
bekerja di sini sekarang. Di bagian IT-nya."
"Kenapa pindah? Di PHK, ya?"
Frans tertawa. "Oh, sekarang ini orang IT banyak
dibutuhkan, Sis. Pada rebutan tuh. Saya nggak mungkin diPHK."
"Gaji lebih besar?"
"Ya, tentu dong. Apalagi di sini banyak perawat yang
cakep-cakep, seperti kamu."
Siska hanya tersenyum.
"Sis, nanti kenalin aku sama yang menjemputmu, ya?"
Siska mengangguk. Itu berarti Frans akan terus menunggu
sampai Irawan atau Aditya datang. Tapi ia sudah pasrah. Biar
saja Frans melihat. Tak ada salahnya.
Beberapa menit kemudian Irawan datang sendiri dengan
langkah tergopoh-gopoh. Dari kejauhan ia sudah melihat Frans,
tapi wajahnya tetap menampilkan senyum. Sementara Frans
terkejut. Ia tak menyangka sama sekali.
"Oh, ada Frans di sini?" sapa Irawan.330
"Sudah kenal?" tanya Siska, pura-pura.
Frans menerima uluran tangan Irawan, tapi sesaat menatap
kesal kepada Siska. Mustahil Siska tidak tahu bahwa Irawan
adalah mantan bosnya? Bukankah ia sudah mengatakan bahwa
dirinya dan Aditya sekantor, jadi mestinya tahu atau bisa
memperkirakan. Kepura-puraan Siska itu menjengkelkannya.
"Ya. Frans tadinya rekan Adit," Irawan yang menyahut.
"Sekarang sudah mulai kerja di sini, Frans?"
"Sudah, Pak."
"Kita berangkat?" tanya Siska.
"Yuk. Jalan dulu, Frans," kata Irawan kepada Frans.
Siska mengangguk kepada Frans. Tapi Frans mengiringi
langkah mereka. Tak ada yang bisa mencegahnya.
"Saya juga mau pulang. Mau ambil motor," kata Frans.
Ia tetap mengiringi, padahal parkir motor tidak sama
dengan parkir mobil. Ia masih berdiri menyaksikan saat Siska
masuk ke mobil, duduk di sebelah Irawan yang mengemudi.
"Selamat bersenang-senang," katanya sambil mengangkat
tangannya.
"Terima kasih, Frans," sahut Irawan.
Siska hanya mengangkat tangan sambil tersenyum.
Begitu berbalik, senyum di wajah Frans segera lenyap.
Kegeramannya tampak dan mulutnya berdesis.
"Tua bangka nggak tahu diri!" ia memaki sendiri.
Ia setengah berlari mengambil motornya. Saat menuju
pintu gerbang ia masih sempat melihat mobil Irawan. Ia
membuntuti karena keingintahuan ke mana tujuan Irawan dan
Siska.331
Tadi ia benar-benar kecele. Dikiranya yang akan
menjemput Siska adalah Aditya atau seseorang lain yang tidak
dikenalnya. Kemunculan Irawan benar-benar di luar
perkiraannya. Ia yakin Siska belum lama mengenal Irawan.
Mungkin perkenalannya lewat Aditya. Tapi secepat itu Siska
mau saja diajak keluar. Padahal dirinya tidak mendapat
sambutan.
** "Kita sekarang menjemput Adit," kata Irawan. "Jadi kita
mampir ke rumahnya dulu. Karen juga ingin ketemu
denganmu."
"Oh. Kita nggak terlambat nanti?"
"Janjiannya jam delapan. Sekarang baru jam enam. Pastinya
juga nggak lama."
"Baik. Saya juga senang ketemu Bu Karen, Yuni, dan Bu
Mira."
"Bagaimana Frans tadi? Apa dia sudah lama?"
"Belum sih. Waktu diberitahu ada tamu, saya kira sudah
dijemput, eh, nggak tahunya dia. Kami berdua sama-sama
terkejut dan kecewa. Dia kelihatan kesal karena saya mau pergi
dan tidak menyangka kedatangannya."
Irawan tertawa.
"Ya. Bisa saya bayangkan reaksinya. Dan reaksi kamu juga.
Sama-sama kecele."
Siska bisa tertawa sekarang.
"Dan tadi itu, sewaktu dia melihat saya apakah kamu
perhatikan reaksinya?" tanya Irawan.332
"Ya. Dia kembali kaget."
"Kagetnya jadi dua kali. Saya pastilah orang yang sama
sekali di luar persangkaannya. Kok bisa-bisanya ngajak kamu
keluar. Pastinya dia nyangka kita mau kencan."
"Kelihatannya begitu, Pak."
"Biar saja, ya?" tanya Irawan prihatin.
"Ya, biar saja, Pak. Habis mau diapain. Masa dia mesti
dijelaskan. Saya kan bukan apa-apanya."
"Saya khawatir dia berbuat macam-macam."
"Nggak mungkin, Pak. Saya dan dia nggak ada apa-apa.
Kalau saya ini pacarnya, baru dia boleh marah."
"Mudah-mudahan sejak saat ini dia nggak lagi mendekatimu."
"Ya, saya harap juga begitu, Pak."
Mereka mengobrol dengan riang, tak menyadari bahwa
Frans membuntuti di belakang. Memang sulit mengenalinya
karena jumlah motor banyak, sementara pengendaranya
mengenakan helm.
Ketika akhirnya mereka tiba di rumah Aditya dan langsung
disambut oleh Aditya sendiri di pintu pagar, Frans terperangah
keheranan. Dia berhenti agak jauh di tempat yang terlindung
tapi bisa melihat dengan jelas.
Lalu Karen keluar, diikuti Yuni dan Mira. Ketiganya
tertawa-tawa sambil menghampiri Siska. Kemudian satu per
satu memeluk Siska dan mencium pipinya. Karen
menggandeng Siska, lalu melangkah masuk ke dalam rumah,
diikuti yang lain. Irawan dan Aditya di belakang sekali.
Setelah pintu ditutup tak ada lagi yang bisa terlihat oleh
Frans. Dia terpaksa pergi dengan membawa rasa herannya. Jadi333
niatnya untuk mengirimkan foto yang dijepretnya sewaktu
Aditya bersama Siska di taman rumah sakit kepada Karen
terpaksa harus dibatalkan. Foto itu memang tidak mengandung
hal tercela. Lain halnya kalau ia menjepretnya di kamar hotel.
Akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang melegakan. Siska
bukan sedang berkencan, baik dengan Irawan maupun dengan
Aditya. Tak ada hubungan yang romantis di antara mereka. Jadi
ia tidak atau belum memiliki saingan. Dengan demikian ia
masih bisa berupaya terus. Kegigihan akan membuahkan hasil,
ia meyakinkan diri.
*** Ratna sudah menunggu. Yang tidak hadir hanya Eva karena
harus beristirahat di tempat tidur.
"Dia sih ingin sekali hadir untuk berkenalan. Tapi saya
bilang, lain kali juga bisa. Nah, kenalkan anggota keluarga
saya."
Mereka saling bersalaman. Evi sudah mengenal Irawan dan
Aditya, tapi Siska belum. Sekilas tatapannya memperlihatkan
rasa iri. Dia melirik sejenak kepada Kurnia saat suaminya
menjabat tangan Siska. Tapi Kurnia tidak memperlihatkan
eksprcsi apa-apa, kecuali rasa ingin tahu di matanya.
Baru kali ini sejak menjadi anggota keluarga Ratna, Kurnia
diajak makan bersama dengan orang lain yang diakui sebagai
relasi oleh Ratna. Biasanya bila Ratna menjamu relasinya, itu
dilakukan di restoran dan ia belum pernah diikutsertakan.
Perbedaan lokasi antara restoran dan rumah sudah jelas
membedakan. Ada kesan kekeluargaan bila dilakukan di rumah.
Ia juga melihat adanya keakraban di antara Ratna dengan para334
tamunya. Tapi ia tidak mengerti apa makna seorang perawat
ikut hadir. Apakah Siska merupakan pacar salah seorang? Tapi
tampaknya tidak ada sikap di antara Siska dengan salah satu dari
kedua tamu lainnya yang bisa dianggap sebagai kemesraan.
Biarpun tidak paham, ia menyukai kehadiran seseorang yang
menarik dan sedap dipandang. Tapi ia mengingatkan diri untuk
tidak berlebihan karena sadar akan pengamatan Evi yang tajam.
Dadang sebenarnya tidak ingin ikut hadir, karena lebih
suka menemani Eva di rumah. Tapi Ratna memintanya, karena
katanya perlu untuk mengenal setiap relasi. Ia tidak merasa
perlu menilai para tamu. Siapa pun mereka, baginya tidak
penting.
Irawan dan Aditya, juga Siska, menggunakan saat bersama
itu untuk mengamati kedua menantu Ratna setiap ada
kesempatan. Tapi tidak berani terang-terangan.
"Apakah Siska pernah merawat Papa waktu di rumah
sakit?" tanya Evi.
Sebelum Siska menjawah, Ratna lebih dulu menjelaskan.
"Siska ini wakil kepala perawat di bagian Papa dulu
dirawat. Jadi dia nggak turun langsung merawat pasien. Tapi
dia perawat pribadi Mas Aditya, yang juga mengalami koma di
bagian yang sama. Dua minggu di rumah sakit, seminggu di
rumah. Iya kan, Sis?"
Siska mengangguk. Ia merasa tidak perlu bicara, karena
kelihatannya Ratna ingin menjelaskan sendiri.
Sekarang tiga pasang mata milik Evi, Kurnia, dan Dadang
mengamati Aditya.
"Waduh, tiga minggu koma? Kenapa bisa begitu. Mas?"
tanya Kurnia.
Giliran Aditya menjelaskan.335
Dadang hanya manggut-manggut. Sementara Evi masih
terheran-heran.
"Untung bisa sadar lagi ya. Mas? Setelah sadar, masih ingat
dengan baik semuanya? Nggak amnesia?"
"Saya masih ingat, Mbak. Saya beruntung."
"Romantis juga, ya. Pasien dengan perawat pribadi. Cocok
sekali," kata Evi sambil tertawa.
"Hus, Vi. Mas Adit sudah punya keluarga bahagia lho," sela
Ratna.
"Oh, sori." Evi menutup mulutnya.
"Nggak apa-apa," sahut Aditya dan Siska hampir
berbarengan.
Sementara Irawan hanya senyum-senyum saja. Beberapa
kali ia beradu pandang dengan Ratna.
Semua pereakapan itu dilakukan sambil makan.
"Papa saya juga koma. Tapi ia tidak pernah sadar lagi," kata
Evi. "Penyebabnya kan beda, Vi," kata Ratna.
"Ya, betul," Irawan ikut bicara. "Siska ini punya
pengalaman menarik dengan pasien koma."
Siska hanya tersenyum.
"Oh ya?" Evi menjelaskan. "Cerita dong, Sis. Pengin
dengar."
"Mending selesaikan makan dulu," kata Ratna. "Ceritanya
panjang. Nanti makannya nggak selesai-selesai."
"Soalnya Papa kan koma. Jadi pengin dengar tuh."
Dadang mengangkat kepalanya yang lebih banyak
menunduk menatap piring. Kurnia pun kelihatan menyimak.336
"Sebenarnya yang punya pengalaman itu Mas Aditya," kata
Siska. "Pada saat dia koma, Pak Simon pun tengah koma."
"Wah..." Mulut Evi terbuka tapi buru-buru menutupnya
lagi ketika dicolek Kurnia yang duduk di sampingnya.
"Jadi bareng-bareng komanya," Kurnia menyimpulkan.
"Betul, Mas," Irawan yang menjawab.
Dadang mulai merasa tak nyaman. Tapi Kurnia justru
bersemangat.
"Apa Mas Adit ingat sewaktu koma itu ngapain aja?"
Pertanyaan Kurnia membuat Evi tertawa. "Gimana sih,
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mas. Koma itu tidur diam, mana bisa ngapa-ngapain."
"Maksudku rohnya...," Kurnia memperbaiki.
"Sebenarnya memang ada, Mas Kurnia," Irawan yang
menjawab. "Rohnya jalan-jalan lalu ketemu roh Pak Simon.
Bincang-bincangnya di taman depan kamar Pak Simon
dirawat..."
Tiba-tiba bunyi berkelontangan terdengar mengejutkan.
Ternyata sendok-garpu di tangan Dadang terlepas lalu jatuh ke
piring.
Semua mata menatap kepadanya. Ia tersipu. Wajahnya
merona sejenak, lalu bcrubah pucat. Ia menyambar gelas lalu
minum. Baru seteguk ia sudah melompat berdiri, mendorong
kursinya lalu berlari ke belakang tanpa berkata apa-apa. Satu
tangan menutup mulutnya.
"Kenapa dia?" tanya Ratna.
"Kayaknya mau muntah," sahut Evi, tertawa. Bukannya
khawatir, ia malah merasa lucu.
"Ha? Apa dia salah makan?"
"Paling juga dia ketularan istrinya."337
"Mungkin karena ngomongin soal roh? Jadi nggak enak,"
kata Irawan.
"Ah, masa sih," sahut Kurnia. "Pak Irawan kan cuma
bercanda."
Irawan beradu pandang sejenak dengan Ratna, lalu tertawa.
Tapi ia tak mengatakan apa-apa.
"Betul kan, Pak?" tegas Kurnia.
"Ada sih ceritanya, tapi mending kita makan dulu saja,"
Ratna menyela. "Nanti makannya jadi nggak enak."
"Ya, ya. Makan dululah," kata Irawan.
"Sebentar ya. Saya mau tengok Dadang dulu," kata Ratna,
menyudahi makannya. "Kalian teruskan saja."
Ratna bergegas ke belakang, untuk menyusul Dadang. Ia
khawatir juga. Bila sesuatu yang buruk terjadi pada diri
Dadang, ia mengkhawatirkan Eva.
Di ruang tengah ia menemukan Dadang tengah melingkar
di sofa. Matanya terpejam. Ratna membungkuk mengamati
wajahnya.
"Kau kenapa, Dang?"
Dadang membuka mata, terkejut melihat Ratna. Ia
setengah tertidur. Badannya terasa lemas setelah muntah tadi.
"Oh, Mama," katanya tersipu lalu buru-buru duduk.
"Nggak apa-apa. Kau tiduran saja. Tadi muntah, ya?"
"Iya, Ma."
"Kenapa? Apa makanannya nggak cocok, kebanyakan
sambal, atau nggak enak badan?"
"Mungkin masuk angin, Ma."
Ratna duduk di sebclah Dadang. Ia mengulurkan tangan,
meletakkan telapak tangannya di dahi Dadang, kalau-kalau dia338
demam. Tapi dengan cepat ia menarik tangannya. Dahi
Dadang itu bukan hangat atau panas, melainkan dingin!
Tiba-tiba wajah Dadang mengerut, tampak sedih berusaha
menahan tangis. Beberapa kali ia terisak.
"Lho, kenapa, Dang?"
"Nggak apa-apa, Ma."
"Nggak apa-apa kok mau nangis. Tadi kelihatannya baikbaik aja tuh."
"Dia memang suka cengeng, Ma," suara Kurnia terdengar.
Dia sudah ada di samping Dadang.
"Kalau sakit kau pulang saja, Dang. Biar kuantar. Jangan
naik motor," kata Kurnia lagi.
Dadang menggeleng.
"Biarlah dia di sini dulu. Ayo, kau tiduran lagi saja, Dang,"
kata Ratna. "Nanti Mama ambilin minyak angin, ya."
Ratna bergegas ke kamarnya untuk mengambil minyak
angin. Ketika keluar lagi ia melihat Kurnia duduk
mendampingi Dadang.
"Kur, baiknya kau menemani tamu kita. Mereka kok
dibiarkan sendiri."
"Ada Evi, Ma."
"Temani Evi."
"Baik, Ma."
Kurnia bergegas pergi.
Ratna mengamati wajah Dadang yang terlihat lega setelah
Kurnia pergi.
"Jangan suruh Kurnia mengantar aku pulang, Ma."339
"Baik. Dia memang harus di sini menemani tamu.
Emangnya kau pengin pulang? Padahal ada cerita menarik lho
yang akan diceritakan oleh tamu kita. Mas Adit itu bermimpi
kedatangan roh Papa Simon. Rupanya waktu mereka samasama koma mereka suka mengobrol bersama. Tapi Mas Adit
tidak ingat lagi setelah sadar. Jadi Papa mendatanginya dalam
mimpi untuk mengingatkan," Ratna terus bicara tanpa memedulikan ekspresi Dadang yang tampak ngeri.
"Dia bisa saja ngarang, Ma."
"Nggak mungkin. Dia mengatakan sesuatu yang hanya
diketahui oleh Papa dan aku. Bagaimana mungkin dia tahu,
padahal bukan siapa-siapa?"
Bukannya tertarik, Dadang malah kelihatan gelisah.
"Sudah, Ma. Aku pulang saja."
"Jangan naik motor. Pakai taksi saja. Biar motornya
dititipkan di sini."
"Baik, Ma. Aku keluar lewat samping saja."
"Eh, Dang, kenapa sih kau nggak mau diantar Kurnia?"
Ratna ingin tahu.
"Nggak apa-apa, Ma. Kan dia harus nemenin tamu."
Dadang buru-buru pergi.
"Hati-hati ya, Dang!"
"Ya, Ma!"
Dadang segera lenyap. Ia keluar dari pintu samping. Ratna
merenung sebentar. Perilaku Dadang baginya cukup menarik.
Mungkin nanti layak didiskusikan bersama Aditya.
Ia kembali ke ruang makan. Mereka sudah selesai makan
dan sedang menikmati makanan penutup berupa puding
mangga buatannya sendiri.340
"Ke mana Mas Dadang, Ma?" tanya Evi.
"Pulang."
"Hah, pulang? Kok nggak pamit sama kita-kita? Emang
kenapa dia?"
"Dia nggak enak badan. Tadi muntah terus tiduran
sebentar. Dia malu, jadi keluar lewat samping."
Kurnia tak berkomentar. Ia nampak menikmati pudingnya.
"Ini enak sekali, Ma," ia memuji.
"Bikin sendiri, Bu?" tanya Siska.
"Ya. Kalau kamu mau resepnya nanti saya kasih."
"Oh, mau, Bu! Terima kasih," sahut Siska senang.
Evi melirik saja. Semakin lama mengamati Siska, ia semakin
kurang senang. Jauh di dalam hati ia khawatir Kurnia akan
membandingkan dia dengan Siska, lalu merasa kecewa akan
dirinya. Tentu di luar ada banyak perempuan cantik. Tapi
mereka di luar, jauh dari pandangan. Sedang Siska di sini,
berkumpul bersama, bersisian pula dengannya. Dengan
demikian, bukankah mau tak mau orang jadi membandingkan?
Ia bersyukur bahwa Kurnia tidak mengajak Siska berbincang
atau berdekatan dengannya.
"Ma, tadi katanya punya cerita panjang," Evi menagih.
"Oh, jadi, ya? Kirain lupa," sahut Ratna.
"Nggak dong. Masa lupa sih."
"Nggak takut, ya? Ini cerita tentang roh..."
"Aku suka yang serem-serem. Film horor misalnya."
'Tapi ini bukan film. Ini kisah nyata. Dialami sendiri oleh
Mas Adit."341
Sekarang Evi mengarahkan pandangnya kepada Aditya.
Dia cakep, pikirnya. Seimbanglah bila dibandingkan dengan
Kurnia.
Aditya bercerita tentang pertemuannya dengan Simon di
dalam mimpi. Tapi ia sendiri tidak merasa pernah mengenal
Simon. Lalu Simon mengingatkannya bahwa mereka pernah
mengobrol sewaktu tubuh mereka sama-sama mengalami
koma. Kemudian Simon meninggal hingga rohnya tak kembali
ke tubuhnya, sementara dia sendiri sadar dari koma.
"Saya merasa nggak pernah mengenal Pak Simon karena
saya tidak ingat lagi akan pengalaman sebagai roh, kalau itu
memang ada. Tapi sepertinya itu memang ada, karena Pak
Simon bilang begitu."
"Tapi kan cuma mimpi," komentar Kurnia.
"Betul. Tapi mimpi itu aneh. Di situ saya baru pernah
meiihat wajahnya, ternyata waktu dicocokkan dengan foto
iklan dukacita di koran, benar, itu wajah Pak Simon," jelas
Aditya.
Berbeda dengan Kurnia yang tampak skeptis, Evi sangat
tertarik.
"Terus Papa ngomong apa aja?"
"Dia mengingatkan saya bahwa saya telah berjanji untuk
membantunya. Dengan kata lain, dia menagih janji saya. Tentu
saja ketika itu saya bilang nggak ingat lagi. Pernah ketemu dia
dan pernah ngomong apa, sungguh saya nggak ingat. Dia bisa
memaklumi, pasti karena sudah beda alam. Jadi dia mau
mengingatkan saja. Wajar juga kalau saya nggak ingat lagi.
Mungkin saya bisa kacau kalau pengalaman sebagai roh dibawa
pulang..."342
Aditya tertawa, diikuti Irawan, Siska, dan Ratna. Tapi
Kurnia dan Evi berwajah serius.
"Jadi ngomong-ngomongnya di mana? Di kamar rumah
sakit?" tanya Evi.
"Terkadang di depan kamar, terkadang di taman..."
"Kalau besuk Papa, Mas sama Dadang kan selalu dudukduduk di situ," Evi berkata kepada Kurnia. "Ingat, Mas? Jadi
sebetulnya, di situ ada Papa juga. Hihihi..."
Kurnia mengerutkan kening. Ia tidak ikut tertawa.
"Emangnya janji apa yang ditagihnya itu?" tanya Kurnia.
Aditya menatap Ratna sejenak. Ia tidak berani mengatakan
masalah yang paling penting itu karena belum ada kesepakatan.
"Aku sudah diceritai, Vi. Itu sesuatu yang pribadi. Kalau
waktunya sudah tepat akan kuceritakan," kata Ratna.
"Jadi Mama percaya saja sama cerita begituan?" tanya
Kurnia dengan tatapan kurang senang kepada Aditya.
"Ya. Aku percaya karena dia mengalakan sesuatu yang
hanya diketahui olehku dan Pak Simon. Bahkan anak-anak saja
nggak tahu."
"Saya tahu akan kemungkinan tidak dipercaya, maka pada
mimpi yang kedua kali saya tanyakan pada Pak Simon, fakta apa
yang harus saya sodorkan supaya bisa dipercaya. Jadi dia
sampaikan hal itu," jelas Aditya.
"Oh, jadi masalah mimpi itulah yang tempo hari Bapak
berdua ceritakan sama Mama waktu saya masuk ke ruang kerja
Mama?" Evi teringat.
"Sebenarnya bukan khusus untuk itu," Irawan ganti bicara.
"Tujuannya untuk membicarakan proyek, lalu jadi bicara soal
itu."343
"Kok bisa ya terjadi seperti itu?" Evi merasa takjub. Karena
ibunya percaya, maka ia pun ikut percaya. Tentu ada alasan
kuat kenapa ibunya percaya.
"Siska juga punya pengalaman sendiri tentang hal itu. Coba
ceritakan, Sis," kata Ratna.
Lalu Siska bercerita. Sambil berbicara ia berusaha
menghindari tatapan Kurnia. Setelah mengetahui bahwa lelaki
ini seorang pembunuh, ia jadi merasa tak nyaman. Kini
sepertinya tatapan itu seakan mau menelannya bulat-bulat,
supaya ia tidak lagi bisa bercerita.
Usai Siska bercerita, Evi menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Ih, serem. Masih ada lagi? Udah, ah. Cukup satu saja."
"Masa begitu aja serem, Vi," Kurnia berkomentar.
"Kadang-kadang hal yang kebetulan bisa saja terjadi."
"Kupikir itu bukan kebetulan," kata Ratna. "Justru kita
yang nggak paham jadi kita bilang aja bahwa itu nggak logis."
"Ya. Memang terserah kepada yang percaya. Tapi nggak
percaya juga nggak apa-apa, kan?" sahut Kurnia.
"Tentu saja," kata Irawan. "Yang penting, ada manfaatnya
atau tidak. Kalau dirasa tidak bermanfaat, ya sudah saja. Percaya
itu nggak bisa dipaksakan."
"Eh, pengin tahu dong," kata Evi. "Tadi kata Mas Adit,
Papa menagih janji. Apa janji itu?"
"Janji bahwa saya akan membantu dia bila saya berhasil
kembali ke kehidupan."
"Membantu apa?" tanya Kurnia.344
"Membantu menjaga keluarganya," sahut Aditya spontan,
tanpa menatap Ratna lagi. Ia merasa sebal terhadap sikap
mencemooh dari Kurnia.
Kurnia terdiam, sementara Evi kelihatan tercengang.
"Ah, kok Papa gitu sih? Kenapa harus minta orang yang
nggak dikenal untuk menjaga kami? Sori ya, Mas Adit. Sebelum
ini kita kan nggak kenal. Apalagi kami semua bisa jaga diri."
"Ya, tentu saja. Saya memangnya bisa apa?"
"Jangan tersinggung lho, Mas," kata Evi buru-buru. "Saya
cuma heran sama Papa aja."
"Tapi jangan salah, Mbak Evi. Pak Simon di situ sebagai
roh, bukan manusia hidup," Irawan menimpali.
"Apa Papa nggak bilang kenapa kami harus dijaga?" tanya
Evi penasaran.
"Supaya semua selamat saja," kata Irawan.
"Oh, begitu. Seperti orang nitip, gitu. Karena Papa mau
pergi dan Mas Adit akan sembuh, maka dia menitipkan kami.
Begitu ya, Mas?" Evi menyimpulkan.
Aditya hanya tersenyum.
"Pantas orang suka mengingatkan, jangan ngomong
sembarangan di samping orang yang lagi koma, karena dia bisa
saja mendengar. Tentu bukan orangnya, tapi rohnya," Evi
menyimpulkan.
Kurnia tidak lagi berkomentar. Tampak bosan.
"Ya. Mudah-mudahan saja kita semua selamat tanpa harus
dilindungi oleh Mas Adit," kata Ratna sambil tertawa.
"Ah, Ibu bisa aja. Saya memang bukan Superman," sahut
Aditya.345
Wajah Kurnia mengernyit. Irawan yang melihatnya
menilai ekspresi itu sebagai cemoohan. Dia sangat penasaran
ingin membeberkan semuanya, tapi khawatir mendahului
Ratna. Tampaknya Ratna belum ingin membukanya.
"Begini aja kamu sudah Superman, Dit," kata Ratna.
"Kamu sudah mau menceritakannya pada saya dengan
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatasi malu dan segan, karena takut dianggap mengadaada."
"Bagaimana kalau kita pulang saja, Vi?" tanya Kurnia
kepada Evi.
"Oke, tapi nanti kita ngobrol lagi soal itu ya, Ma."
"Kami juga harus pulang. Saya bisa kena jam malam," kata
Siska.
"Terima kasih banyak. Bu. Hidangannya lezat sekali," kata
Irawan dan Aditya.
Ratna mengedipkan mata saat Evi dan Kurnia sudah
berjalan ke luar. Ia juga mengacungkan ibu jarinya pada ketiga
tamunya.
Tak ada waktu lagi untuk mendiskusikannya.
*** "Kau percaya nggak sih, Mas?" tanya Evi dalam perjalanan
pulang.
"Nggak. Omong kosong," kata Kurnia tegas.
"Aku sih percaya. Kadang-kadang yang seperti itu ada
benarnya Iho."
"Aku curiga mereka bermaksud mengambil hati supaya
bisa dapat proyek."346
"Eh, proyeknya masuk duluan sebelum mereka cerita soal
itu," Evi mengingatkan.
"Ya, supaya dapat proyek lagi untuk seterusnya."
"Jangan berprasangka. Sepertinya mereka orang baik."
"Terserah kau saja. Mau percaya atau nggak."
"Tapi kelihatannya sih maksudnya baik. Nggak ada
jeleknya untuk dipercaya."
Kurnia tak menjawab. Ia sibuk dengan pemikirannya
sendiri. Tadi ia berupaya keras untuk menahan getaran
perasaannya sewaktu mendengar cerita itu. Ia bukan tidak
percaya. Ia cemas. Ia juga resah melihat reaksi Dadang. Kenapa
Dadang selembek itu?
Ia yakin, Dadang seperti itu bukan karena masuk angin
atau salah makan, tapi karena terkejut mendengar cerita tentang
roh Simon. Dadang ketakutan. Apalagi diceritakan roh Simon
dan Aditya suka ngobrol di taman, tempat ia dan Dadang selalu
duduk-duduk bila menjenguk Simon, lalu memperbincangkan
perihal perbuatan mereka terhadap Simon. Ia tidak ingin
percaya, tapi sulit menepisnya karena fakta yang menunjang
cerita itu. Lagi pula Aditya tidak punya kepentingan dalam
keluarga mereka. Kenal saja tidak.
Ia sendiri waktu itu terkejut dan merasa tegang, tapi bisa
menguasai diri. Yang ditakutkannya adalah kalau-kalau Dadang
membuka rahasia saat berada berdua dengan Ratna di dalam.
Sekarang memang belum, tapi bagaimana nanti? Memang
beberapa kali Dadang berjanji bahwa ia tidak akan membuka
rahasia itu, tapi siapa bisa menjamin?
Menurut Aditya, Simon memintanya untuk melindungi
keluarganya. Melindungi dari apa dan siapa? Memangnya dia
Superman?347
Untung saja di bagian cerita yang terakhir itu Dadang
tidak ikut mendengar. Kalau dia dengar, mungkin dia bisa
pingsan.
Kurnia meraba-raba tujuan Ratna mengadakan jamuan
makan tadi. Dengan mengundang ketiga orang tadi ia memperkirakan tujuan utamanya bukanlah sekadar memperkenalkan, melainkan untuk mengemukakan cerita tadi. Sebagai
orang yang punya salah, ia merasa paranoid. Ia harus lebih
waspada.
Di rumah, Dadang bercerita kepada Eva perihal apa yang
terjadi di rumah Ratna. Ia mengaku tidak enak badan, sehingga
pulang duluan, sementara yang lain masih mengobrol. Eva
memintanya untuk tiduran saja supaya cepat pulih. Tapi
Dadang berkata dia sudah merasa lebih enak. Dia segan tiduran
di samping Eva karena khawatir ekspresinya yang murung bisa
terbaca.
Kondisi Eva sudah membaik. Ia masih mengeluarkan vlek,
tapi hanya sesekali dan sedikit sekali. Untuk berjaga-jaga ia
tetap menjalani istirahat di tempat tidur. Apa pun akan ia lakoni
demi menjaga janinnya.
Sekarang ia khawatir terhadap keadaan Dadang.
"Mas besok ke dokter, ya?"
"Ah, sekarang sudah sehat kok. Kalau masuk angin
memang begini."
"Sering kali masuk angin adalah gejala dari suatu penyakit
yang belum diketahui."
"Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku ke dokter? Dia
akan memberi resep obat yang banyak sekali. Obat yang sama
sekali tidak kubutuhkan. Akhirnya aku malah jadi sakit beneran.
Bukankah obat itu sesungguhnya racun?"348
Sesudah bicara begitu, Dadang terkejut sendiri. Ia telah
mengucapkan kata "racun", padahal kata itu sensitif baginya. Ia
segera mengingatkan diri sendiri bahwa Eva tidak tahu apa-apa.
"Benar sih, Mas. Tapi apa kau yakin nggak apa-apa?
Jangan-jangan kau takut disuntik."
Dadang tertawa. Tapi keresahan masih tetap ada. Ia tahu
sebentar lagi Ratna atau Evi akan menelepon Eva, lalu bercerita
tentang peristiwa tadi. Sebenarnya ia ingin tahu juga apa lagi
yang dibicarakan setelah ia pergi. Tapi ia juga lakut. Kisah
tentang roh itu menakutkan. Ia percaya hal itu benar terjadi.
Benar saja. Tak lama kemudian ponsel Eva berbunyi.
Dadang tak bisa lari. Ia terpaksa menunggu di sisi Eva. Sesekali
ia melihat pandang Eva ke arahnya sambil bertelepon. Ia tahu,
percakapan itu mengenai dirinya.
"Dia baik-baik saja, Ma. Lagi tidur-tiduran. Ya, Ma. Aku
juga baik-baik."
Sesudah percakapan singkat selesai, Eva menghadapi
Dadang. "Tadi kau muntah saat lagi makan-makan ya, Mas?
Kok bisa gitu sih?"
"Nggak tahu. Tiba-tiba saja."
"Mungkin keseringan melihat aku muntah, jadi ketularan
ya? Hi hi hi..."
Dadang ikut tertawa. Dulu ia benci sekali melihat Eva
tertawa, belakangan ini tidak lagi. Ia bisa memandanginya tanpa
merasa sebal atau berpaling. Biasa-biasa saja.
Lalu Evi menelepon. Kali ini Eva mendapat cerita lengkap
perihal perbincangan di meja makan rumah ibunya.
Mengamati wajah Eva saat bertelepon, Dadang menjadi
tegang. Ia takut tapi ingin tahu. Setelah diceritakan, ia merasa
mau pingsan. Jadi roh Simon kerap berada di taman tempat dia349
dan Kurnia membicarakan perbuatan mereka dan bertanyatanya juga kapan Simon akan mati? Apakah roh bisa mendengar
pembicaraan orang hidup? Kalau bukan karena bisa mendengar
dan memahami perbuatan mereka terhadapnya, kenapa ia harus
minta bantuan Aditya untuk menjaga? Jangan-jangan Aditya
sebenarnya diberitahu, tapi tidak mau memberitahu. Ataukah
belum?
Jangan-jangan Ratna tahu. Kurnia yang lebih cerdik dari
dirinya pun tentu bisa menyimpulkan hal itu juga.
"Mas kok pucat sih?" seru Eva.
Dadang benar-benar pingsan.
Siska menghabiskan malam itu di kamar asramanya chatting
dengan Irawan. Diskusi tentang kejadian di rumah Ratna. Cara
itu lebih praktis dibanding lewat e-maily kecuali untuk tulisan
panjang yang tidak membutuhkan jawaban segera.
Lalu Aditya ikut serta. Mereka chatting bertiga. Menyenangkan sekali bagi Siska. Kesimpulan mereka bertiga sama,
yaitu upaya mereka dan Ratna cukup berhasil. Padahal belum
semua diungkapkan. Tapi menurut Irawan, yang kemudian
disepakati juga oleh Adit dan Siska, Kurnia dan Dadang cukup
mampu menyimpulkan apa sebenarnya makna di balik cerita
itu. Apalagi ada permintaan Simon kepada Aditya supaya membantu menjaga keluarganya. Dua orang itu pastilah cukup
cerdik untuk memahaminya. Masalahnya mereka masih punya
kekuatan untuk membela diri. Tak ada bukti. Cuma omongan
roh semata.
"Lihatlah bagaimana reaksi Dadang. Dia kelihatan syok,"
tulis Aditya.
"Sedang Kurnia bermental baja," tulis Irawan.350
"Apakah itu berarti Kurnia lebih kejam daripada Dadang?"
tanya Siska.
Pertanyaan itu memang tidak membutuhkan jawaban.351
15 SEMINGGU setelah acara makan malam di rumah Ratna,
Kurnia masih belum menjumpai adanya perbedaan sikap Ratna
terhadap dirinya. Biasa saja, sama seperti saat-saat sebelum acara
itu. Tapi ia memang jarang bertemu dengan Ratna kecuali bila
ada rapat dan ia diminta hadir.
Sekarang ia berhati-hati dan lebih menjaga sikap. Terhadap
Anton ia jadi lebih perhatian. Ia memberi saran kesehatan,
menganjurkan supaya rajin berobat. Sementara itu ia juga
menghentikan "gangguannya" terhadap Anton. Tadinya ia
memberi racun kepada Anton sedikit-sedikit, supaya akibatnya
tidak terlalu fatal walaupun membuatnya sakit dan lamakelamaan bisa kolaps juga seperti halnya Simon. Dengan demikian Anton selamat tanpa mengetahui apa penyebabnya. Ia
kembali menjadi sehat.
Kurnia sangat sadar, bila terjadi sesuatu atas diri Anton, ia
bisa saja dicurigai. Cerita tentang roh Simon lelah
memengaruhinya, menahan langkahnya yang ambisius.
Sekarang ia harus mengamati situasi dengan cermat tanpa
melakukan sesuatu apa pun yang bisa mengundang kecurigaan.
Ia bekerja dengan rajin dan sebaik-baiknya, mengambil hati
Anton dan semua karyawan, bersikap sayang kepada Evi dan
tetap hormat kepada Ratna setiap kali bertemu.352
Beberapa kali ia menelepon Dadang, minta bertemu untuk
bicara berdua. Tapi Dadang selalu mengelak dengan alasan
sibuk.
"Penting, Dang!"
"Bagi siapa?" tanya Dadang dengan nada sinis.
"Bagi kita berdua tentu saja."
"Buat apa lagi, akhirnya tentu kayak yang dulu."
"Kali ini beda."
Akhirnya, setelah untuk kesekian kalinya, baru Dadang
bersedia. Ia menerima Kurnia di apotek, tempat yang dirasanya
paling aman. Meskipun Eva tidak ada, masih banyak karyawan
lain hingga Kurnia tidak berani macam-macam.
Mereka bicara di ruang kerja Dadang.
"Kau sudah tahu cerita lengkap dari Evi, kan?" Kurnia
mulai tanpa basa-basi.
"Ya."
"Bagaimana pendapatmu? Aku nggak tanya apa kau
percaya atau tidak, karena dari reaksimu di meja makan itu aku
bisa menyimpulkan bahwa kau percaya sampai kau syok, kan?
Padahal kau nggak dengar cerita lengkapnya."
"Aku takut...," sahut Dadang lirih. Matanya menatap ke
luar, lewat dinding kaca. Para karyawan sedang sibuk melayani
pembeli.
"Aku juga merasa terancam. Sepertinya cerita itu ditujukan
untuk kita," Kurnia mengakui.
Dadang menatap tajam. Kewaspadaannya meningkat.
"Apa yang man kaulakukan sekarang?"353
"Aku akan mengikuti anjuranmu. Dan kau juga nggak
usah takut sama aku. Janji, aku nggak akan macam-macam
terhadapmu."
Dadang mengerutkan kening. Bisakah omongan Kurnia
dipercaya? Ia lebih memercayai cerita tentang roh daripada
ucapan Kurnia.
"Jadi kau takut sama roh Papa?"
"Bukan takut sama roh, tapi pada apa yang akan dilakukan
Mama. Dia mengetahui sesuatu yang dia tidak mau katakan.
Dia bersama ketiga orang itu. Pernah kudapati Mama sama
Irawan bertukar pandang penuh arti."
"Apa kaupikir Mama akan membalas dendam dengan
meracuni kita juga?" tanya Dadang cemas.
"Aku nggak berpikir sejauh itu. Tapi kalau dia
mengatakannya pada Eva dan Evi, bisakah kaubayangkan
akibatnya?"
Tentu saja Dadang sudah membayangkannya sejak lama.
Apakah Eva akan tega menceraikannya lalu mendepaknya
pergi? Padahal mereka sedang menantikan kelahiran anak
mereka. Dalam kemarahan Eva bisa saja melakukannya.
"Jadi dalam keadaan seperti ini kita harus kompak, Dang.
Jangan bermusuhan."
"Tapi apa kau serius dengan janjimu nggak akan macammacam lagi?"
"Tentu saja. Sekarang aku hati-hati menjaga tindakan.
Yang penting kita harus satu kata."
"Maksudmu?"
"Aku punya feeling Mama sedang memikirkan tindakan
terhadap kita. Kalaupun sampai saat ini dia belum melakukan
apa-apa, pasti karena dia belum berani atau kita punya354
kekuatan, yaitu istri-istri kita. Buatlah supaya mereka mencintai
dan menyayangi kita sehingga tak ingin melepaskan kita. Jadi
tuduhan Mama tidak akan membuat mereka percaya begitu
saja."
Dadang mengangguk. Dia lebih serius menyimak
sekarang.
"Karena itu aku pikir reaksimu yang kemarin-kemarin itu
seperti orang yang menunjukkan punya dosa. Harusnya kau
lebih mampu menahan diri. Kau tahu, aku begitu ngeri kau
akan keceplosan ngomong. Itulah yang dikehendaki Mama.
Jangan sekali-kali mengakui sesuatu yang buktinya belum
mereka miliki. Pastinya memang nggak ada bukti, kan? Cuma
omongan roh. Mana bisa hal itu dijadikan pegangan?"
"Tapi aku memang merasa berdosa, Kur. Di sini rasanya
nggak enak sekali." Dadang menunjuk dadanya.
"Lebih nggak enak mana sama masuk penjara dan
kehilangan anak-istrimu? Dengan mengaku maka jelas sudah
kesalahan kita biarpun tak ada bukti. Bertahanlah, Dang. Kau
harus kuat."
"Lantas kalau nanti Mama mengemukakan soal itu,
gimana?"
"Soal yang seperti apa maksudmu?"
"Misalnya Mama tahu apa yang kita lakukan dari
pemberitahuan roh Papa. Bukankah orang-orang kemarin itu
seperti sengaja ngomong tentang taman di mana roh Papa suka
berada? Jadi anggaplah Papa mendengar ucapan kita lalu
menyampaikannya pada Aditya, kemudian Aditya menerus
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kannya pada Mama."355
"Ya. Aku juga berpikir begitu. Tapi ingat sekali lagi, cerita
Aditya itu bukan sesuatu yang berupa fakta. Aku punya alasan
kalau nanti ditanya, Dang. Tapi kau harus sepakat denganku."
"Apa?"
"Bantahlah dengan keras. Bahwa kita nggak pernah
berbuat seperti yang dituduhkan itu. Kita bisa berbalik
menuduh Papa sengaja menyudutkan kita karena dia selalu
membenci kita semasa masih hidup. Lalu setelah mati pun masih
membenci dan berusaha menyingkirkan kita dari keluarganya."
"Apa roh bisa berbohong?"
"Aduh, Dang. Kita nggak punya pemahaman tentang roh.
Aku yakin mereka juga sama. Nah, gimana? Cuma itu satusatunya alasan yang masuk akal. Mereka juga tahu bahwa Papa
membenci kita."
Dadang termenung. Ia merasa ucapan Kurnia ada
benarnya. Bagaimanapun, mereka harus punya alasan yang
masuk akal untuk dikatakan.
Akhirnya Dadang mengangguk.
"Ya. Aku setuju."
"Bagus. Jadi nanti kalau Eva ngomong-ngomong tentang
roh papanya, jangan mencemooh atau bersikap nggak percaya.
Berusaha mcngambil hati saja. Bikin dia senang, tapi jangan
sampai merugikan diri sendiri."
"Ya, ya."
"Kau harus tenang, ya Dang. Jangan cepat panik."
Sepeninggal Kurnia, perasaan Dadang memang menjadi
lebih tenang. Mungkin karena ia tidak lagi merasa terancam
oleh Kurnia. Dalam situasi seperti sekarang, Kurnia
membutuhkan dirinya. Tapi alasan yang dikemukakan Kurnia
itu menambah keberaniannya.356
Sekarang ia percaya kepada Kurnia. Tapi ia masih harus
bergulat melawan perasaan berdosa yang tetap menghantui itu.
Ia sadar perasaan itu takkan hilang biarpun ia menjadi lebih
tabah menghadapi keadaan. Ia sadar juga bahwa sebenarnya ia
tidak begitu yakin akan dirinya. Setabah-tabahnya, sampai di
mana batasnya? Tapi ia tidak mau mengakuinya kepada Kurnia
karena takut Kurnia berniat melenyapkannya. Kalau dirinya
sampai dicelakakan, pastilah tak akan ada yang mencurigai
Kurnia dibanding bila korban merupakan anggota keluarga
Ratna atau Ratna sendiri.
Setelah melempar cerita perihal roh Simon kepada anggota
keluarganya, Ratna merasa cukup puas akan hasilnya. Dadang
terlihat syok, tapi Kurnia biasa-biasa saja. Baginya cukuplah satu
di antara dua orang itu saja yang terlihat peka. Tidak perlu duaduanya. Baginya jelas mengindikasikan bahwa Dadang lebih
"lemah" dibanding Kurnia. Apakah hal itu juga menandakan
siapa yang menjadi pelopor atau pemimpin dari keduanya?
Ia membicarakannya lewat telepon dengan Aditya. Lalu
bertanya apakah Aditya punya usul lain sebagai langkah
berikutnya.
"Bu, saya bersama Siska dan Pak Irawan suka mendiskusikannya lewat chatting di malam hari. Saya sendiri lebih
suka bila mereka berdua itu dikonfrontasi saja dengan apa yang
sebenarnya diutarakan Pak Simon. Jangan di hadapan keduanya
bersama-sama, tapi satu-satu. Kalau didiamkan mereka pikir
aman-aman saja karena Ibu sesungguhnya tidak tahu. Tapi
Siska dan Pak Irawan sependapat bahwa kedua putri Ibu harus
dipikirkan reaksinya. Terutama Eva yang sedang hamil. Saya
yakin kedua lelaki itu tentu akan mengadu pada istri mereka
bahwa mereka difitnah. Akibatnya bisa terjadi perang."357
"Ya. Itu juga sudah saya pikirkan. Lantas alasanmu apa
untuk mengkonfrontasi mereka?"
"Bahwa Ibu tahu dan mencurigai mereka, hingga mereka
bisa menjaga sikap dan tindakan. Memang akibatnya hubungan
Ibu dengan mereka jadi buruk. Tapi itu adalah peringatan
supaya mereka tidak berani macam-macam."
"Wah, saya benar-benar jadi pusing, Dit."
"Jangan, Bu. Rileks saja dan perhatikan situasi. Nanti Ibu
jadi stres. Lalu merusak kesehatan sendiri."
"Sulit juga untuk tidak tegang, Dit. Tapi ada perubahan
yang saya lihat pada mereka. Si Kurnia kerjanya tambah rajin
dan dia sangat hormat pada saya. Bukan selama ini dia nggak
hormat. Tapi kayaknya berlebih. Kalau ketemu selalu memberi
laporan ini-itu. Pak Anton juga memberi pujian. Katanya
berkat saran-saran yang diberikan Kurnia, dia sekarang merasa
tambah sehat. Evi memberitahu bahwa mungkin mereka akan
program hamil tahun ini."
"Dadang?"
"Kalau Dadang kelihatan takut-takut, seperti anak kecil
menghadap ibunya yang galak. Kata Eva, Dadang sering
melamun dengan wajah kelihatan sedih. Tapi kalau ditanya
segera berubah biasa lagi. Ngakunya nggak apa-apa. Eva senang
karena Dadang tambah perhatian dan sayang padanya.
Pendeknya bagi kedua putri saya, suami mereka nggak ada
celanya. Itulah susahnya, Dit. Dalam situasi begini mana
mungkin saya menuduh mereka?"
"Ya, mereka cerdik, Bu. Saya harap Ibu bisa memperoleh
solusi yang baik. Pendapat saya dan kedua teman saya jangan
sampai memengaruhi Ibu. Yang paling tahu dan merasakan
tentu Ibu sendiri."358
Ratna meyakini benar ucapan Aditya itu. Ia tahu,
keputusan sepenuhnya berada di tangannya. Dia sendirilah yang
akan menanggung segala akibatnya. Yang terbaik baginya
belum tentu terbaik pula bagi kedua putrinya.
Bila sedang berada di puncak kebingungan harus berbuat
apa, ia suka menyesali Simon. Kenapa Simon tidak pernah
muncul dalam mimpi-mimpinya lalu bercerita langsung
kepadanya tentang hal-hal yang disampaikannya kepada
Aditya? Kenapa hanya kepada Aditya? Bahkan sekarang ia tidak
pernah muncul untuk memberi jalan keluar dari kemelut yang
ditimbulkannya. Ia membiarkannya kebingungan sendiri.
Simon kehilangan nyawa, tapi ia pun kehilangan kenyamanan
meskipun masih memiliki nyawanya. Apakah itu sebagai
balasan karena dulu ia tidak sepakat dengan pendapat Simon
mengenai Kurnia dan Dadang?
Tapi biarpun ia intens berpikir tentang hal itu, tetap saja
Simon tak pernah datang dalam mimpinya. Ataukah Simon
berharap ia juga akan kehilangan nyawa di tangan menantunya
supaya roh mereka bisa bertemu? Tapi kalau memang begitu,
Simon tentu tidak akan meminta Aditya untuk memperingatkan dia, supaya dia dan anak-anak bisa terlindungi.
Tiba-tiba berkelebat suatu pemikiran. Munculnya
mendadak saja. Mungkinkah Simon segan bercerita atau
menyampaikannya dalam mimpi-mimpinya karena khawatir
tidak dipercaya? Dulu ia tidak pernah memercayai pendapat
Simon perihal kedua menantu itu, mungkin sekarang pun akan
sama saja.
Pemikiran yang membuatnya sedih. Sesungguhnya
ketidakpercayaannya jugalah yang membuat Simon kehilangan
nyawa. Ia lebih mementingkan jodoh bagi kedua putrinya
daripada kepercayaan kepada Simon. Betapa terasa lebih mudah359
berpikir mengenai apa yang sudah terjadi dibanding berpikir
mengenai apa yang mungkin akan terjadi.
Ratna memutuskan untuk mengunjungi Dadang di apotek.
Tanpa janji atau pemberitahuan, Dadang sangat terkejut.
Mukanya menjadi pucat dan langsung gugup. Ratna pura-pura
tidak menyadari kepanikan Dadang.
"Tum...tumben, Ma."
"Ya. Kebetulan lewat sini, jadi mampir."
Ratna memandang berkeliling. Sebuah pesawat televisi 20
inci terpasang di sudut dinding. Kesibukan yang tampak
membuat ia senang. Ketika Eva masih mengelolanya sendirian,
Eva sering mengeluh tentang suasana yang sepi. Tapi ia
menghibur dengan mengatakan bahwa suasana seperti itu juga
melanda banyak apotek. Sepi seperti kuburan. Paling yang
datang hanya membeli obat bebas. Sampai terpikir untuk
bekerja sama dengan beberapa dokter spesialis. Tapi belakangan
setelah ditangani Dadang, ada kemajuan. Menurut Eva, Dadang
aktif membuat brosur promosi dengan janji obat yang lengkap,
tentu dengan dukungan pabrik farmasi yang mereka miiiki.
Lalu promosi diskon pada hari-hari tertentu.
"Bagus, Dang!" katanya memuji. "Tambah ramai
suasananya."
Dadang menjadi lebih santai oleh sikap ramah Ratna. Tapi
ketika Ratna menatapnya, ia kembali gelisah.
"Kau sudah sehat, Dang? Kok kelihatannya masih pucat.
Sudah ke dokter, belum?"
"Be...belum, Ma. Aku sehat-sehat aja kok."
"Tapi wajahmu pucat. Mungkin kurang darah, ya."
"Ng...nggak sih, Ma."360
Sebetulnya Dadang ingin Ratna segera pergi, tapi
kelihatannya Ratna belum mau beranjak. Terpaksa ia
mengajaknya ke ruang kerja. Dan ia semakin gelisah. Jarangjarang Ratna berkunjung ke situ. Kunjungan terakhir pada saat
Eva belum hamil dan masih hadir di situ bersamanya.
Perasaannya jadi tegang. Sepertinya bukan tanpa sebab Ratna
tiba-tiba datang berkunjung.
"Aku bukan mau menginspeksi, Dang. Tenang saja. Aku
cuma ingin melihat suasana. Wah, ternyata banyak sekali
kemajuannya. Eva nggak bilang-bilang tuh. Tapi terus terang,
aku memang nggak nanya-nanya. Kan sudah kupercayakan
pada kalian. Boleh dikata milik kalian juga."
Setelah duduk, Ratna kembali mengamati seputar ruang.
Susunannya rapi. Di atas meja tersusun berkas-berkas dan laptop
tengah terbuka menampilkan data-data.
"Mama harap nggak mengganggu kesibukanmu ya,
Dang."
"Nggak, Ma."
Lalu Dadang sibuk membuka kulkas mencari mi-numan
untuk disuguhkan. Ia mengeluarkan dua botol lemon tea,
membukanya lalu memasukkan sedotan.
"Silakan, Ma," katanya sambil menyodorkan salah satu
botol.
"Terima kasih, Dang. Ayo, minum."
Mereka menyeruput minuman masing-masing. Beberapa
kali Dadang hampir keselak.
"Kau minumnya kayak anak kecil aja," komentar Ratna
tertawa.
Dadang merasa semakin tegang. Ia seperti menunggu
kapan bom akan meledak. Ia berupaya menenangkan diri361
dengan mengingat-ingat ajaran Kurnia. Apa yang harus
dikatakan kalau hal itu ditanyakan. Ketegangan bertambah
karena perasaan canggung. Selama ini ia belum pernah
berduaan saja dengan mertuanya. Biasanya selalu ada Eva. Kalau
dulu-dulu, sebelum ada cerita tentang roh itu, mungkin ia tidak
terlalu cemas.
"Baiknya kau pergi ke dokter saja, Dang. Biarpun nggak
merasa sakit, ada baiknya check up. Sekarang banyak orang
muda sudah kena penyakit macam-macam. Apa kau pernah
mengecek tekanan darah dan periksa darah lengkap, kolesterol,
diabetes, dan sebagainya?"
Dadang menggeleng. "Belum pernah, Ma."
"Kau harus, Dang. Nanti kalau Eva kontrol ke rumah sakit,
kau sekalian periksa juga."
"Tapi dokternya kan dokter kandungan, Ma."
Ratna tertawa. "Tentu saja. Kau cari dokter yang lain
dong."
Dadang tersipu. "Ya, Ma."
"Sebagai calon ayah, kau pun harus sehat, Dang."
"Ya, Ma."
"Bagaimana Eva, masih keluar vlek?"
"Kadang-kadang saja, Ma. Itu pun sedikit, seperti noda
saja."
"Jadi dia harus tetap istirahat total sampai nggak ada lagi
yang keluar. Nanti kalau periksa rutin bisa ditanyakan ke
dokter."
"Ya, Ma."
Ratna ingin sekali menertawakan kegugupan Dadang, tapi
menahannya. Tentu hal itu tidak pantas. Tapi sikap Dadang itu362
menambah keyakinannya bahwa Dadang sangat peka. Berbeda
sekali dibanding Kurnia yang dingin dan tenang. Cukup
mengherankan baginya bagaimana kedua orang itu bisa
bersahabat.
"Bener nih, Dang, Mama nggak mengganggu
pekerjaanmu?"
Sebenarnya Dadang ingin menyahut, "Bener, Ma!" supaya
Ratna buru-buru pergi, tapi tentu saja itu tidak sopan. Jadi ia
mengatakan, "Tentu nggak, Ma. Masa mengganggu..."
"Tempo hari kau nggak ikut mendengar seluruh cerita
tentang roh Papa, karena keburu pulang. Apa kau sudah tahu
kelanjutannya?"
Serrrr... darah Dadang serasa tersedot. Kepalanya serasa
ditampar. Duh, topik itu lagi.
Ratna segera menangkap perubahan pada sikap Dadang.
"Wah, kau jadi pucat, Dang. Ayo, cepat tiduran dulu,"
Ratna menunjuk sofa.
Dadang menggeleng sambil berusaha menguatkan dirinya.
"Nanti kau muntah lagi. Ayo, sana," kata Ratna lebih tegas,
seperti perintah.
Dadang menurut. Ia merebahkan tubuhnya di sofa sambil
memejamkan mata. Ada kesempatan untuk menenangkan diri.
Kenapa aku jadi begini lembek, pikirnya menyesali diri. Dulu
tidak seperti ini. Tapi memang dulu ia belum pernah
membunuh...
Ia cepat-cepat membuka mata. Segera bertatapan dengan
Ratna yang tengah mengawasinya dengan wajah cemas dan
prihatin.
"Mau minum, Dang?"363
Ratna meraih botol minuman yang belum habis diminum
Dadang lalu menyodorkannya.
"Terima kasih, Ma."
Dadang segera bangkit lalu menyeruput minumannya
sedikit.
"Ayo kita ke dokter sekarang, Dang?"
Dadang tertegun. "Ah, nggak sekarang, Ma. Rasanya udah
enakan kok."
"Jangan begitu, Dang. Nanti kau mundur-mundur terus."
"Bener, Ma. Kan nanti bareng Eva aja."
"Penyakit kok disuruh menunda. Mama sudah kapok sama
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Papa, Dang. Sekarang nyesel pun percuma. Dulu kalau melihat
Papa sakit-sakitan, Mama suruh ke dokter nggak mau, Mama
juga cuek aja. Kami memang lagi nggak akur waktu itu. Mama
pikir, yang punya badan kan dia sendiri, tentu dia yang paling
tahu. Sesudah parah baru ke dokter, tapi sudah terlambat.
Sekarang Mama bertekad kalau melihat keluarga Mama sakitsakit, nggak boleh buang waktu. Ya, memang kadang-kadang
orang suka salah menilai kondisi tubuh-nya. Kalau dirasanya
enak, dia merasa nggak apa-apa. Padahal di dalam nggak tahu
seperti apa. Paling tidak kalau menjalani pemeriksaan lengkap
bisa ketahuan apa yang salah. Kayak kau, siapa tahu tekanan
darah tinggi atau rendah, atau kurang darah, atau apalah..."
Ratna nyerocos. Sesekali mengamati wajah Dadang.
Tampak wajahnya masih pucat. Matanya tertuju ke depan.
Sikap tubuhnya bersandar ke belakang, seolah lemas tak
bertenaga.
"Sekarang serbamaju, Dang," lanjut Ratna. "Pemeriksaan
medis hebat. Nggak seperti dulu. Tapi penyakit pun tambah
banyak. Seperti mau mengimbangi. Mama sering sekali364
berpikir, kalau Papa dulu cepat berobat, apa kira-kira bisa
disembuhkan nggak, ya?"
Ratna diam sejenak. Dadang tidak berkomentar. Ia melirik,
ia melihat Ratna seperti merenung dengan tatapan
menerawang. Wajahnya terlihat sedih. Buru-buru Dadang
berpaling, tak ingin melihat lama-lama. Ia merasa iba.
"Mama sedih karena di saat akhir hidupnya, hubungan
Mama dengan Papa sangat buruk. Sampai dia pergi, tak ada
maaf-maafan di antara kami. Nggak ada kesempatan untuk itu.
Kau tahu sebabnya kenapa? Sebabnya adalah kau dan Kurnia
berdua...."
Dadang tersentak. Ia menatap Ratna. Keduanya saling
memandang sejenak, lalu Dadang menunduk.
"Kenapa, Ma?" ia bertanya pelan dengan kecemasan
membubung.
"Mama membela kalian karena Papa nggak suka pada
kalian berdua. Dia punya prasangka buruk. Karena satu lawan
tiga orang, Mama, Eva, dan Evi, maka dia terpaksa mengalah.
Tapi sesudah itu tak ada lagi kerukunan di antara kami..."
"Aku menyesal, Ma."
"Penyesalan tak ada gunanya kalau semua sudah terjadi.
Tapi ada satu hal yang tetap kusesali."
Dadang mengangkat kepalanya. Pandangannya bertanya,
tapi ia tak mau menyuarakannya.
"Mama menyesal kenapa Papa sebagai roh tak pernah
muncul dalam mimpi Mama. Tapi malahan muncul dalam
mimpi Aditya, orang yang tak Mama kenal sebelumnya."
Dadang tersentak lagi. Ucapan Ratna yang berpanjangpanjang itu benar-benar terasa seperti tamparan berulang kali.365
Menjadi siksaan baginya. Setiap mendengar kata "roh", ia
merasa tersengat, menimbulkan rasa nyeri di jantungnya.
Ia ingin sekali memohon, "Sudah, Ma. Sudah. Hentikan...
hentikan." Tapi mulutnya kaku. Ia tak bisa mengatakannya.
Mulut Ratna seperti mengeluarkan air bah yang tak kuasa
ditahannya. Terus dan terus saja mulut itu berbicara. Wajah
Dadang semakin pucat dan tubuhnya serasa tak bertulang. Ia
pun lunglai rebah ke sofa dengan mata terpejam.
Sebenarnya Ratna sudah tak lagi berbicara. Ia hanya
mengamati Dadang dengan cemas. Lalu berpikir apakah akan
membawa Dadang ke dokter saat itu juga dengan meminta
bantuan karyawan apotek. Ia menatap ke luar kaca yang
berbatasan dengan ruang kegiatan meracik obat, lalu sebelah
sananya lagi ruang tunggu, yang juga dibatasi dinding kaca. la
bisa melihat ke semua ruang. Semua karyawan tampak sibuk.
Ratna berdiri, lalu menutup tirai yang membatasi dengan
ruang di depannya, sehingga ruang di mana ia berada tertutup
dari pandangan orang lain. Ia tak ingin orang lain menjadi
heboh bila melihat kondisi Dadang. Kemudian ia menarik kursi
lalu duduk di sebelah Dadang.
"Dang...," panggil Ratna sambil menggoyang pelan tangan
Dadang.
Dadang membuka matanya. Ia melihat wajah Ratna yang
cemas dan sepasang mata yang menatapnya penuh perhatian.
"Kau kenapa, Dang? Apa yang kaurasakan?"
Ratna membelai kepala Dadang. Betapa nyaman dan
menyenangkan belaian itu. Kemudian ia tersentak. Ia tidak
berhak mendapatkannya.
Ratna terkejut melihat mata Dadang bersimbah air. Terus
mengalir ke pipinya. Lalu terisak. Spontan ia mengambil tisu.366
Ketika ia akan mengeringkan mata Dadang, cepat-cepat
Dadang meraih tisu lalu menge-ringkannya sendiri. Tapi ia
masih saja terisak, tak bisa menahan.
Ratna diam saja mengamatinya. Kalau orang menangis,
paling baik membiarkannya saja dulu sampai emosinya mereda.
Apalagi bila lelaki menangis, pasti masalahnya tidak sederhana.
Dadang duduk tegak. Matanya merah tapi sudah kering. Ia
sudah menghabiskan berlembar-lembar tisu. Ia tak berani
menatap wajah Ratna.
"Apa ada masalah sama Eva, Dang? Cerita saja, nanti kita
cari penyelesaiannya."
"Jangan bilangin Eva, Ma! Jangan bilang-bilang!" seru
Dadang terkejut.
"Jadi gimana, Dang? Kalau kau sakit, cepat kasih tahu.
Jangan membiarkan penyakit bersarang. Mama sungguh nggak
rela kalau sampai kau jadi seperti Papa karena nggak mendapat
perhatian seperti seharusnya. Mama akan menyeretmu ke
rumah sakit..."
Tiba-tiba pertahanan Dadang runtuh. Dia menggelosor ke
lantai, berlutut di dekat kaki Ratna. Kepalanya menunduk, terus
ke bawah hingga menyentuh kaki.
Ratna terkejut. Spontan ingin menarik kakinya, tapi tidak
tega kalau nanti Dadang jadi terjerembap mencium lantai.
"Maafkan aku, Ma... Ampuuuun..."
Perlahan-lahan senyum Ratna mengembang. Tinggal
selangkah lagi.
***367
Sebelum pergi dari kantor Ratna sudah memberitahu Evi bahwa
dia bermaksud keluar sebentar, tapi tidak memberitahu ke mana
tujuannya. Kepada sekretarisnya pun ia tidak memberitahu.
Merasa kepergian ibunya sudah cukup lama padahal ia
membutuhkan persetujuan ibunya tentang suatu kebijakan, ia
menelepon ke ponsel ibunya, tapi tidak mendapat jawaban
meskipun ada nada sambung. Sampai jam makan siang ibunya
bclum juga kembali dan telepon pun tak ada. Kemudian ia
teringat akan Ucup, sopir ibunya. Sayang ia tak punya nomor
ponsel Ucup. Untung sekretaris punya karena buat dia nomor
Ucup sama penting dengan nomor Ratna. Kalau nomor Ratna
tak menjawab, ia masih punya nomor Ucup dan keberadaan
Ucup bisa dipastikan sama dengan keberadaan Ratna.
Maka Evi menghubungi Ucup.
"Kamu ada di mana, Cup? Kok Mama ditelepon nggak
nyahut dari tadi?"
"Di apotek, Bu. Kayaknya lagi sibuk sama Pak Dadang.
Ada urusan katanya."
"Karnu kayak lagi makan. Ada di mana?"
"Maaf, Bu. Saya lagi makan roti. Ada di mobil. Nunggu,
nggak berani ke mana-mana. Takut Ibu mencari saya."
"Dari jam berapa di situ?"
"Kira-kira jam sepuluh, Bu."
"Oh, dari kantor langsung ke situ, ya."
"Betul, Bu."
"Ya, sudah. Nanti sampaikan saja bahwa saya menelepon."
"Baik, Bu."
Evi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jadi hampir dua
jam ibunya di apotek. Apa saja yang dikerjakannya bersama368
Dadang? Masa cuma mengobrol saja? Apa ibunya ke sana untuk
menginspeksi mengingat selama ini Dadanglah yang mengelola
apotek karena Eva jarang ke sana?
Evi merenung. Apa sekarang giliran Dadang yang
mendapat promosi karena Kurnia sudah dapat? Promosi apa
pula? Hanya apotek usaha yang berbeda dan terpisah. Semula
jumlah apotek ada tiga, tapi karena pengelolaannya jadi
terpecah-pecah, maka yang dua dijual dan uangnya digunakan
untuk memperbesar apotek yang sekarang. Mereka membeli
bangunan di sebelahnya hingga tampak jadi lebih mengesankan
dan lengkap. Kabamya sejak Dadang ikut mengelola, apotek itu
semakin ramai saja.
Kalau memang semuanya sudah berjalan dengan baik, buat
apa ibunya berlama-lama di sana? Mengobrol pepesan kosong
pasti tak mungkin. Apalagi mengobrol dengan Dadang bukan
kegiatan yang menyenangkan buat ibunya. Pada jam kerja pula.
Ketika Kurnia datang menjemput untuk mengajaknya
makan siang bersama, Evi menyampaikan hal itu berikut
keheranannya. Sebenarnya Kurnia sangat terkejut, tapi ia bisa
menyembunyikan dengan cermat.
"Nanti aku akan tanyain ngapain aja sih di sana? Kok
sepertinya lengket nggak ingat pulang?"
"Ah, jangan ditanya-tanyalah. Emangnya kau cemburu?"
"Nggak dong. Cuma aku khawatir Dadang jadi
sainganmu."
"Saingan apa? Dia kan sudah mantap di apotek. Dia senang
di sana."
"Ya. Kudengar juga begitu. Eva bangga, katanya banyak
kemajuan."369
"Pantasnya Mama pengin meninjau sendiri. Dia jarang ke
sana. Jadi buat apa ditanya-tanya. Nanti disangka sirik."
"Ah, aku nggak sirik. Buat apa? Dari dulu aku sama Eva
nggak pernah sirik-sirikan. Kami selalu akur. Eva kan cocoknya
di apotek karena dia apoteker. Cuma aku heran aja, kok Mama
betah amat di sana."
"Mungkin makan siang bersama di sana."
"Kok makannya di apotek. Kalau pergi ke luar si Ucup
pasti ngomong. Dia sendiri cuma makan roti."
Kurnia menyadari Evi adalah jenis orang yang tidak pernah
puas sebelum sesuatu hal menjadi jelas. Tapi ia ingin mencegah
Evi memahami persoalan lebih dulu daripada dirinya. Apalagi
kalau itu menyangkut Dadang. Ia yakin apa sebenarnya tujuan
Ratna mendatangi Dadang. Waktu makan bersama dan Dadang
kelihatan syok mendengar cerita perihal roh Simon, sudah terlihat kelemahan Dadang. Ia memang sudah memberi petunjuk
dan semangat kepada Dadang, tapi ia tidak yakin apakah
Dadang bisa mempraktekkannya.
Kurnia merasa resah tapi berusaha menutupinya.
"Aku hanya tak ingin Mama mengira aku yang sirik."
"Ah, jangan khawatir, Mas. Mama nggak pernah mikir
begitu. Untukmu kan rencana sudah jelas."
"Karena itu, aku tak mau dia menyangka jelek meskipun
kan yakin."
"Baiklah. Aku nggak akan nanya-nanya."
"Nah, begitu. Kalau ada apa-apa pasti dia akan cerita sendiri
padamu."
"Ya, benar juga. Apalagi si Ucup nanti akan menyampaikan pesanku."370
Evi merangkul Kurnia yang segera menariknya hingga
jatuh ke pangkuannya. Biarpun Kurnia sibuk mesra dengan Evi,
sebenarnya pikirannya melayang jauh.
Setelah keluar dari apotek, Ratna diberitahu Ucup,
sopirnya, tentang pesan Evi. Ia segera menelepon dan
menanyakan persoalannya. Ia ke kantor untuk menemui Evi.
Setelah permasalahan selesai, ia memutuskan untuk pulang ke
rumah.
"Kok tumben, Ma? Apa Mama nggak enak badan? Tadi
ngurusin apa di apotek?" Evi tidak tahan untuk tidak bertanya.
Ratna tidak ingin menceritakan apa saja yang
diperbincangkannya dengan Dadang saat ini. Akan ada waktu
yang tepat untuk itu.
"Nggak ngurusin apa-apa. Aku lihat-lihat suasananya dan
ngobrol sebentar sama Dadang, terus aku tiduran di sofa."
"Ha? Kok tiduran? Kenapa, Ma?"
"Rasanya agak kurang enak gitu, Vi. Mungkin juga
ngantuk. Akhirnya ketiduran. Makanya jadi lama. Kasihan si
Ucup."
"Ya, kalau begitu Mama pulang saja deh. Tidur siang.
Istirahat. Ngapain capek-capek. Kan sudah ada aku di sini."
"Tentu saja. Aku juga lagi pengin baca novel."
Evi tertawa. Sejak kapan ibunya suka membaca no-vel?
Tapi itu bagus sebagai persiapan pensiun. Ia sendiri merasa
sudah mampu menangani perusahaan. Ibunya bisa bertindak
sebagai konsultan.
Setelah Ratna pergi, Evi menelepon Kurnia yang sudah
berada di pabrik. Ia memberitahu tentang alasan Ratna berada di
apotek.371
Mendengar itu Kurnia bukannya senang. Ia justru semakin
resah. Ia tidak percaya Ratna hanya mengobrol sebentar dengan
Dadang lalu ketiduran. Karena Ratna berbohong, pastilah ada
yang disembunyikan.
Setibanya di rumah, Ratna menyuruh Ucup pulang
meskipun masih agak siang. Ia benar-benar ingin menikmati
kesendiriannya. Yang pertama dilakukannya adalah menelepon
Aditya.
"Sudah berhasil, Dit! Dia sudah mengaku," katanya girang.
"Siapa, Bu?"
"Dadang. Dia nangis minta ampun. Tapi cerita lengkapnya
nanti ya. Yang penting itu dulu. Sampaikan saja sama Irawan
dan Siska. Sekarang saya mau istirahat dulu. Rasanya capek."
"Betul, Bu. Istirahat saja. Jangan terlalu membebani pikiran.
Selamat ya, Bu."
Sesudah itu Ratna tidur-tiduran di sofa sambil mendengarkan musik kesayangannya. Perasaannya lega, seperti tak
ada lagi beban. Ia juga senang, menikmati keberhasilannya.
Ia sudah berhasil membuat Dadang mengaku tanpa
ancaman dan paksaan. Ia membuatnya menyerah dengan
perlakuan yang lembut dan penuh sayang, penuh sikap keibuan.
Satu sudah berhasil ditaklukkannya. Masih ada satu lagi. Kurnia
pastinya akan sulit. Tapi kalau satu sudah mengaku, Kurnia pasti
tak bisa lagi berkutik.
"Jangan minta ampun sama aku, Dang! Mintalah sama
Tuhan," katanya waktu itu.
"Sudah, Ma. Tapi saya nggak pernah tahu apakah Tuhan
mengampuni saya atau tidak. Saya harus menanggungnya.
Terserah sama Mama saya mau diapain. Mau dilaporkan ke
Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
polisi juga nggak apa-apa. Tapi kalau boleh saya memohon,372
jangan diungkap sekarang. Apa bisa Mama menunggu sampai
Eva melahirkan? Kalau sekarang dia tahu, pasti dia stres berat.
Kasihan, Ma. Untuk dia dan bayinya. Mereka jadi ikut
menanggung dosa saya."
Heran, pikirnya. Dadang jadi lancar berbicara setelah
mengaku dosa. Mungkin sudah merasa plong. Tapi ia tidak
keberatan mengabulkannya karena ia pun memikirkan Eva dan
kehamilannya.
Sekarang ia tinggal mengajak Kurnia bicara dan melihat
apa reaksinya. Ia akan memilih waktu yang baik untuk itu.
Kurnia tak bisa menyangkal karena Dadang sudah mengaku.
Paling-paling Kurnia akan berbuat seperti Dadang, minta
ampun. Bedanya, Dadang lebih tulus dibanding Kurnia. Tetapi
jelas dalam kadar kejahatan keduanya sama saja. Seorang pelaku
utama dan pembantunya berbagi dosa yang sama. Lalu
bagaimana sesudahnya? Ia sudah mengabulkan permohonan
Dadang untuk tidak mengungkap dulu selama kurang-lebih
enam bulan sampai bayi Eva lahir. Sulit juga menangguhkannya
selama itu karena bisa memberi kesempatan kepada Kurnia
untuk melakukan tindakan yang di luar harapan. Tapi ia sudah
siap. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, maka Kurnia
tidak akan bisa lolos begitu saja.
Masalah yang paling berat adalah kedua putrinya. Bagaimana reaksi mereka nanti? Apakah mereka akan mernbantah,
menentang dan tidak mau percaya meskipun ada pengakuan
dari Dadang? Ataukah mereka akan tetap menerima kedua
lelaki itu apa pun yang telah mereka lakukan terhadap ayah
mereka? Maukah mereka tetap hidup bersama dengan suami
yang telah membunuh ayah mereka? Tak mungkin hubungan
mereka bisa seperti dulu lagi.373
Ratna menyadari benar situasi yang dilematis. Tapi ia tidak
mungkin mendiamkan kasus itu atau menyembunyikannya dari
kedua putrinya. Mereka harus tahu betapa pun pahitnya.
Lalu ia berpikir tentang Simon. Jadi perkiraan dan
penilaian Simon tentang kedua menantunya itu benar. Mereka
adalah bajingan pemburu harta. Dia sudah melakukan kesalahan
karena membela mereka. Kesalahannya itu telah mengambil
nyawa Simon. Tapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa
kedua menantu itu bisa menjadi pembunuh. Meskipun ada
kemungkinan kedua orang itu memang cuma mengincar harta
semata, tapi mustahil sampai sejahat itu. Ia cuma ingin berpikir
positif. Berapa banyak orang di dunia ini yang kawin karena
uang, baik lelaki maupun perempuan?
"Maafkan aku, Pa. Aku salah," ia bicara sendiri.
Jadi sebenarnya secara tak langsung ia juga berperan
sebagai pendukung. Ia juga seorang pembunuh. Apakah Simon
mau memaafkannya?
"Kalau nanti kita bertemu, giliran aku yang berlutut di
depanmu, Pa," katanya lagi.
Sekarang, menyesal pun percuma. Yang mesti dipikirkan
adalah bagaimana menyelesaikannya. Tapi ia sadar penyelesaian
sebenarnya bukan terletak pada dirinya, tapi pada anakanaknya. Merekalah yang menjalani hidup bersama pembunuh.
Apalagi Eva sudah mau punya anak. Mereka segera akan dilanda
kesedihan dan kebingungan. Kasihan mereka.
Tapi mereka dulu juga melawan kehendak Simon. Itu
berarti mereka harusnya siap pula menanggung risiko. Mereka
pun punya andil.
"Kau sayang mereka. Aku pun sayang, Pa. Kita melihatnya
dari sisi yang berbeda. Kau ingin melindungi mereka dari orang374
yang haus harta. Dan aku ingin membuat mereka bahagia
karena pasangan hidup. Tujuan kita sama tapi pelaksanaannya
jadi berlawanan.
"Ya, aku salah, tapi sebetulnya nggak mutlak salahku ya.
Mana aku tahu hati manusia? Kau juga awalnya pasti nggak
menyangka bahwa kedua orang itu akan membunuhmu. Kau
cuma berpikir mereka mau jadi parasit, kan? Kau nggak
menyangka, aku juga. Sama-sama jadinya. Karena itu mestinya
kau mau memaafkan aku."
Setelah bicara sendiri seperti itu, perasaan Ratna menjadi
lebih lega. Sepertinya dia bicara dua arah, padahal hanya sendiri.
Tak ada yang menyahut, tak ada yang mengomentari. Ia
menganggap telah menemukan kata-kata yang tepat. Alasan
yang pas.
Dengan kelegaan yang diperoleh itu, Ratna merasa tak lagi
punya beban, ia tak akan membebani dirinya lagi dengan
pikiran-pikiran yang meresahkan.
Ia mulai membaca novelnya sambil duduk berselonjor. Tak
lama kemudian ia larut dalam buku yang dibacanya. Sampai
pembantunya datang untuk menanyakan kapan ia mau makan
malam. Ah, dia sampai melupakan perutnya. Biarpun belum
mandi, ia makan dulu. Lebih nyaman mandi sebelum tidur.
Sesudah berendam di dalam air hangat yang wangi, tidur akan
menjadi lebih nyenyak.
Setelah makan ia menyuruh para pembantunya untuk
beristirahat karena ia pun akan melakukan hal yang sama. Kalau
perlu ia bisa memanggil mereka yang berdiam di kamar
belakang rumah lewat interkom. Ia juga mematikan telepon
karena benar-benar ingin menikmati kesendiriannya tanpa
gangguan.375
Ia melanjutkan bacaannya. Kcmbali larut. Tak terdengar
olehnya bunyi pintu depan terbuka dan menutup lagi. Kadangkadang ia suka lupa mengunci kalau pulang. Tapi bila akan
tidur ia pasti memeriksa dan mengunci semua pintu dan jendela.
Sudah berpuluh tahun ia tinggal di situ dan selalu aman-aman
saja. Rumahnya tidak tergolong rumah mewah, sehingga ia
yakin tidak menarik bagi penjahat.
Ia tidak melihat ada bayang-bayang melintas di
belakangnya. Bayang-bayang itu menyusup ke balik tirai.
Setelah menghabiskan bacaannya, baru ia beranjak ke
kamar mandi untuk mengisi bak mandinya dengan air hangat.
Ia menghidupkan musik yang mengalun keluar dari speaker
kecil yang dipasang di dinding kiri dan kanan, menghasilkan
suara stereo yang basnya dominan. Peralatan CD-nya berada di
kamarnya. Kalau hanya mendengarkan di kamar, speaker yang
di kamar mandi dimatikan. Di kamar ada speaker lain.
Seperti kebiasaannya, ia tak mengunci pintu kamar tidur,
juga kamar mandi, karena tak ada orang lain di rumah. Lain
halnya jika ada tamu.
Maka ia pun tidak melihat dan mendengar bunyi langkah
kaki orang yang memasuki kamarnya, kemudian pelan-pelan
membuka pintu kamar mandi.
Ketika itu ia sedang berendam dengan nyaman sekali.
Kepala bersandar ke belakang, mata terpejam. Sepertinya ia
hampir tertidur ketika merasakan cengkeraman yang sangat
kuat di tubuhnya lalu ia didorong ke bawah. Ia gelagapan
membuka mata, tapi tak sempat melihat karena matanya
terbenam air. Mukanya sudah berada di dalam air. Ia meronta
dan mencengkeram orang yang tak bisa dilihatnya karena
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh Dewi Ular Misteri Gadis Tengah Malam Pembunuhan Abc The A.b.c. Murders Karya Agatha Christie
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama