Ceritasilat Novel Online

Dua Menantu 6

Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 6


berada di belakangnya. Kepalanya ditekan terus. Tubuh orang
itu pun ikut menekan.376
Air di bak berkecipak-kecipak. Gerakan tubuh Ratna
semakin lemah dan akhirnya diam. Seluruh tubuhnya sudah
berada di dalam bak...377
16 YANG pertama menemukan tubuh Ratna di bak mandi adalah
salah satu pembantu. Ia menelepon Eva dan Evi sambil
menangis-nangis, sehingga perlu bergantian dengan kedua
rekannya karena tidak sanggup bicara. Ucup yang biasa datang
pagi-pagi, sudah pula hadir.
Yang pertama tiba adalah Evi bersama Kurnia. Keduanya
belum sempat mandi apalagi sarapan. Evi juga tidak berdandan
lebih dulu. Ia hanya berganti pakaian dan menyisir rambut.
Tapi Dadang mendapat kesulitan untuk berangkat karena
tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas. Eva yang juga terkejut dan
bersedih masih lebih tabah. Akhirnya Eva menelepon Ucup
minta dijemput. Sepanjang jalan ke rumah Ratna mereka berdua
menangis. Sebenarnya Eva tidak mengerti kenapa Dadang
kelihatan lebih terpukul dan bersedih dibanding dirinya, tapi ia
tidak punya waktu untuk menanyai ataupun ingin tahu.
Dibantu dua pembantu perempuan, Evi mengangkat
jenazah Ratna yang telanjang lalu menutupinya dengan
handuk, dan menggotongnya ke tempat tidur. Mereka
mengeringkan tubuh Ratna, lalu memakaikan pakaian. Tubuh
Ratna sudah dingin, tapi belum kaku.
Lalu Evi menanyai kedua pembantu tentang apa saja yang
dikerjakan ibunya malam tadi. Mereka tidak bisa bercerita
banyak. Terakhir bertemu adalah saat Ratna makan malam.378
Sesudah itu mereka tidak melihatnya lagi. Ratna pun tidak lagi
menghubungi lewat interkom seperti biasanya kalau
memerlukan sesuatu.
Meskipun sangat terpukul, Evi bersikap cekatan. Ia
menghubungi dokter keluarga yang berjanji akan segera
datang. Ketika Kurnia bertanya apakah akan memanggil polisi,
Evi terkejut.
"Kita lihat dulu pemeriksaan Dokter Hanafi. Dan apa
sarannya. Yang penting jangan mengubah letak barang."
"Periksa dulu apa ada yang hilang, Vi," saran Kurnia.
"Sebentar saja. Tunggu Eva dulu."
Evi kemudian menangis tersedu-sedu. Setelah melakukan
semua yang harus dilakukannya barulah ia punya kesempatan
untuk melampiaskan emosinya. Kurnia hanya memeluk dan
menghiburnya.
Ketika Eva tiba bersama Dadang, kedua orang itu langsung
menghambur masuk ke dalam kamar. Keduanya sama-sama
berteriak. Dadang jatuh pingsan, lalu ditolong Ucup dan
Kurnia, yang menggotongnya dan membaringkannya di sofa.
Sementara Eva menangis sambil memeluk jenazah ibunya. Evi
menemaninya dan ikut menangis.
"Mama kenapa?" isak Eva. "Mama nggak mau lihat cucu
Mama, ya?"
"Ma! Aku juga kemungkinan hamil! Duh, Maaaa...!" teriak
Evi. Dadang tersadar dari pingsannya, lalu segera teringat akan
kejadian itu, apaiagi setelah mendengar tangisan dari kamar. Ia
bergegas bangkit tapi sempat terhuyung. Ucup segera
menopangnya. Kurnia pun memegangi.379
"Kau duduk saja, Dang," kata Kurnia, setengah memerintah.
Dadang menoleh pada Kurnia. Matanya menatap tajam dan
ekspresinya geram. Kurnia berpaling, tak ingin membalas
tatapan. Dadang tak mengatakan apa-apa. Ia bergegas ke kamar
dipcgangi Ucup. Tapi Ucup melepasnya di pintu kamar. Ia tak
berani masuk. Ia berjongkok saja di luar kamar.
Kurnia buru-buru menyusul Dadang masuk ke kamar.
Dengan heran Kurnia melihat Dadang mencium Ratna, lalu
berbisik di telinganya. Lalu Dadang memeluk Eva dan mereka
bertangisan berdua. Kurnia ikut memeluk Evi dan menghiburnya.
Dokter Hanafi datang. Ia memeriksa tubuh Ratna,
disaksikan Eva dan Evi. Dadang dan Kurnia keluar mangan.
"Jadi dia tenggelam dalam bak mandi saat ditemukan?"
"Betul, Dok," sahut Evi.
"Sebelum berendam dia makan apa?"
"Nggak tahu, Dok. Tapi di atas meja di kamarnya ada satu
strip obat flu yang sudah hilang empat butir. Mungkin Mama
makan itu, karena tadi sebelum pulang dari kantor Mama bilang
nggak enak badan, jadi mau pulang siang-siang. Ingin istirahat
dan baca novel, katanya. Tuh bukunya masih ada di meja."
"Oh, dia nggak enak badan, ya? Cuma itu keluhannya,
nggak ada yang spesifik?"
"Nggak ada, Dok. Apa selama ini ada yang Mama
keluhkan, Dok?"
"Katanya suka cepat lelah. Ada anemia sedikit. Tapi dia
sudah saya beri vitamin. Apa dia rajin memakannya?"
"Nggak tahu juga, Dok. Jadi kesimpulannya gimana,
Dok?"380
"Dari pemeriksaan luar tampaknya nggak ada tanda-tanda
kekerasan..."
"Memangnya harus otopsi, Dok? Jangan, ah," kata Evi,
yang dibenarkan oleh Eva.
"Otopsi itu kalau sudah jadi urusan polisi."
"Nah, itu. Kalau memang nggak ada tanda kekerasan
nggak usahlah panggil polisi, Dok. Tadi pintu juga dalam
keadaan nggak dikunci. Pintu pagar hanya diselot saja, dari luar
bisa dibuka. Waktu datang tadi, kami buka pintu sendiri.
Pembantu bilang belum ada yang keluar dari rumah. Mereka
bisa keluar lewat belakang."
Dokter Hanafi geleng-geleng kepala. Orang kaya kok
teledor, pikirnya.
"Terus ada barang hilang, nggak?"
"Akan kita periksa dulu, Dok."
Evi mengajak Eva memeriksa isi lemari yang tampak rapi.
Semua pada tempatnya. Tidak ada yang diacak-acak. Laci pun
demikian. Meja tulis di sudut kamar juga rapi. Laptop tertutup.
Tampaknya Ratna tidak membukanya semalam. Tas tangan
yang biasa dibawa Ratna ke kantor juga ada di atas meja dan isi
dompetnya berikut kartu-kartunya masih utuh. Bahkan uang
tunainya juga masih ada.
"Jadi?" tanya Dokter Hanafi.
"Kelihatannya nggak ada yang hilang, Dok. Sudahlah.
Nggak perlu polisi. Nanti urusannya jadi panjang, Dok."
"Tapi kalau ada yang berniat jahat tanpa bermaksud
mengambil hartanya kan bisa aja, Bu. Siapa tahu ada yang
dendam."
"Ah, Mama orang baik. Dia nggak punya musuh," kata
Eva.381
"Siapa tahu ada karyawan yang dipecat."
"Urusan memecat itu bagian HRD, Dok. Mama nggak ikut
campur."
"Kalau begitu nanti saya urus suratnya, ambulansnya. Mau
dikirim ke rumah duka mana?"
Mereka merundingkan hal itu.
Sementara itu Dadang duduk jauh-jauh dari Kurnia.
Kurnia pun tidak bermaksud mendekatinya. Bahkan ia tidak
menatap ke arah Dadang.
Kalau saja ada yang memerhatikan, mereka akan melihat
sorot mata benci di mata Dadang yang tertuju kepada Kurnia.
Akhirnya Dadang tidak tahan lagi melihat Kurnia lama-lama, ia
lalu pergi ke luar. Ia mengamati pintu dengan saksama,
memeriksa kuncinya. Lalu ia pergi ke ruang lain, duduk
sendirian di sudut dengan mengangkat kedua kakinya,
menekuknya lalu meletakkan kepalanya di lutut. Kedua tangan
menutup kepala. Sesekali tubuhnya gemetar. Kalau saja ia tidak
kuat menahan, pastilah ia sudah berteriak kuat-kuat.
Maafkan aku, Ma! Kalau saja kemarin aku tidak
mengatakannya, pasti sekarang Mama masih baik-baik saja!
Ia punya alasan untuk berpikir seperti itu. Pasti kedatangan
Ratna ke apotek dan berlama-lama di sana diketahui oleh Evi
dan selanjutnya juga oleh Kurnia. Lalu Kurnia merasakannya
sebagai ancaman. Ia yakin Kurnialah pelakunya. Siapa lagi kalau
bukan perampok atau penjahat yang mengincar harta tapi
ternyata tak ada harta yang hilang?
Ia terkejut. Ada yang memegang pundaknya. Ia membuka
mata dan melihat Kurnia. Spontan ia melompat dari duduknya,
berdiri dengan sikap siaga. Kedua tangannya mengepal kuatkuat. Siap berkelahi.382
Kurnia tertawa pelan. "Apa-apaan kau ini?" katanya
meremehkan.
"Kau! Kau!" seru Dadang tertahan, masih sadar akan situasi.
Mukanya merah, matanya memancarkan api.
"Tenang, Dang. Tenang. Aku cuma mau bilang..." Kurnia
memandang berkeliling dulu, meyakinkan diri tak ada orang
lain, lalu melanjutkan, "Jangan macam-macam kalau kau masih
sayang istri dan anakmu! Ingat itu, ya!"
Suara Kurnia perlahan tapi tegas. Sesudah itu tanpa
menunggu reaksi Dadang, Kurnia berlalu dengan langkah
cepat. Lalu menghilang dari pandangan mata Dadang yang
berdiri terpaku, terlalu kaget dan tercekam. Ia buru-buru duduk
untuk menenangkan diri.
Jadi dugaannya benar. Kurnia tidak akan mengancam
seperti itu kalau bukan dia pelaku pembunuhan terhadap Ratna.
Ancaman itu adalah pengakuan. Tapi karena sebelumnya
Dadang sudah merasa yakin, maka penguatan itu tidak lagi
terlalu mengejutkan. Yang mengejutkan adalah ancaman itu.
Kurnia mengarahkan ancamannya terhadap Eva dan
kandungannya. Kurnia tahu bahwa ia sudah tidak peduli lagi
akan keselamatan dirinya apabila ia bisa melindungi Eva, oleh
karena itu Kurnia beralih kepada orang yang ingin
dilindunginya. Dan ia tidak bisa memperingatkan Eva tanpa
memberitahu. Kejadian terhadap Ratna sudah menunjukkan
bahwa Kurnia punya kemampuan berbuat keji. Padahal Ratna
begitu baik dan bersikap sebagai ibu terhadap mereka.
Pertahanan dirinya sendiri dipatahkan oleh perlakuan keibuan
Ratna.
Semangat Dadang yang semula lumpuh karena kematian
Ratna jadi menguat kembali. Ia punya tanggung jawab lebih
besar lagi sekarang.383
Berita kematian Ratna segera menyebar. Irawan baru
mengetahui pada siang hari setelah ditelepon seorang relasinya.
Ia segera memberitahu Aditya yang masih berada di kantor.
Mereka terkejut dan merasa gempar. Jantung berdenyut lebih
kencang.
"Apa penyebabnya, Pak?" tanya Aditya.
"Katanya tenggelam di dalam bak mandi. Tidak ada tanda
kekerasan pada tubuhnya, tidak ada harta yang hilang, dan tidak
ada kerusakan pada pintu dan jendela."
"Kok bisa tenggelam di bak mandi?" Aditya terheranheran.
"Nantilah kita tanyakan pada anaknya. Kamu mau ikut
melayat ke rumah duka di RS Mulia Bakti? Jadi Siska juga bisa
ke sana."
"Kalau begitu, pastikan waktunya bersamaan dengan waktu
Siska saja, Pak. Jadi kita bisa kumpul dan sekalian
membicarakannya."
"Saya akan telepon saja, ya. Kalau SMS nanti nggak
dibaca."
Irawan yang menelepon. Siska segera menjawab, ia akan ke
rumah duka usai tugas di sore hari. Jadi mereka bertemu di sana
nanti.
"Apa dia kaget, Pak?"
"Iya. Samalah kayak kita."
"Padahal hari sebelumnya Bu Ratna sempat menelepon,
dengan suara girang dia bercerita tentang keberhasilannya
membuat Dadang mengaku tanpa paksaan. Dia berjanji akan
bercerita lengkap kalau sudah ketemu. Ah, ternyata itu tak
terjadi. Dia keburu meninggal. Pastilah itu bukan karena bunuh
diri."384
"Belum pernah saya dengar ada orang bunuh diri dengan
cara menenggelamkan diri di bak mandi. Ada juga tenggelam
di laut. Kamu curiga nggak, Dit?"
"Iya. Kenapa waktunya bersamaan dengan keberhasilannya
itu? Tapi dia juga bilang saat itu sedang capek, pengin istirahat."
"Memang kenapa kalau capek? Apa lantas tidur di bak
mandi?"
"Kecuali kalau dia makan obat yang bikin ngantuk. Apa itu
mungkin, Pak?"
"Entahlah. Pastinya nggak ada laporan ke polisi karena
dokter bilang kematiannya wajar."
"Paling itu permintaan keluarga."
"Saya kira juga begitu."
Aditya menelepon Karen untuk memberitahu bahwa ia tak
segera pulang usai kerja, karena akan melayat dulu. Karen juga
terkejut. Dia tidak mengenal Ratna, tapi selalu mengikuti cerita
Aditya.
"Aku sedih, Ma, karena nggak berhasil memenuhi janjiku
pada Simon. Aku nggak bisa melindungi keluarganya."
"Sudah, jangan sedih. Kau sudah berbuat maksimal, Pa.
Mau gimana lagi? Tapi hati-hatilah, Pa. Jangan terlalu masuk ke
dalam keluarga itu. Di sana ada pembunuh berbahaya. Katanya,
orang kalau sudah sekali membunuh, dia tidak akan berat hati
untuk membunuh lagi. Malah terdorong untuk mengulang."
Aditya tercenung. Ucapan Karen itu ada benarnya.
"Janji sama aku ya, Pa. Hati-hati. Aku sudah nyaris
kehilanganmu. Aku nggak ingin terulang lagi."
"Aku janji, Ma."385
Aditya menyampaikan peringatan Karen itu kepada
Irawan.
"Ya, Karen benar sekali, Dit. Kita harus berhati-hati. Si
pembunuh pasti sedang bersiaga, siapa kira-kira orang yang bisa
membahayakan dirinya."
"Jadi baiknya nanti kita nggak usah tanya ini-itu. Kita
diam-diam saja."
"Kalau terlalu diam juga mencurigakan. Nanti dipikirnya
kita sudah tahu banyak, jadi nggak usah tanya-tanya lagi. Tanya
saja sedikit sebagai basa-basi."
Irawan kembali menelepon Siska untuk mengingatkan hal
itu. Siapa tahu Siska sudah lebih dulu tiba di sana karena mereka


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan menjemputnya. Masing-masing pergi sendirisendiri.
"Saya akan jalan ke sana kalau Bapak sudah mau sampai.
Nggak enak kalau sendirian," kata Siska.
"Kalau begitu, tunggulah sampai kami tiba saja. Nanti kami
telepon, Sis. Biar kami yang duluan sampai."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Siska masih punya waktu untuk beristirahat sebentar setelah
mandi. Sudah jadi keharusan dan kebiasaan untuk segera mandi
begitu pulang dari rumah sakit. Sehari-hari berada di
lingkungan rumah yang "sakit" dan bersentuhan dengan orang
sakit, patut dikhawatirkan jika membawa kuman pulang. Jadi
penting untuk mandi sebersih-bersihnya sebelum naik ke
tempat tidur.
Ia merasa sedih untuk Ratna. Ia membayangkan ketika
dijamu makan di rumahnya. Perempuan yang keibuan dan sama
sekali tidak sombong biarpun kaya raya. Padahal Ratna masih
berutang resep puding mangga padanya. Ia berharap bila386
bertemu lagi bisa memintanya. Sayang ketika itu ia tidak
menyarankan untuk mengirim resep lewat e-mail saja. Ia sangat
yakin bahwa mereka akan bertemu lagi. Siapa sangka kematian
keburu merenggut Ratna. Masalahnya apakah kematian itu
wajar?
Semalam ia chatting dengan Irawan dan Aditya. Aditya
memberitahu bahwa Ratna telah meneleponnya untuk
menyampaikan bahwa Dadang sudah mengaku dan akan
bercerita lebih banyak kalau ketemu. Singkat saja. Tapi itu pun
sudah cukup sebagai kepastian. Jadi Simon sudah
menyampaikan hal yang benar.
Mereka bertiga merasa ikut senang mendengar berita itu.
Tapi siapa sangka esok paginya, tepatnya tadi pagi, Ratna
ditemukan tewas. Tak ada lagi cerita yang bisa mereka peroleh.
Bagi mereka yang paham latar belakang keluarga Ratna, merasa
yakin bahwa itu bukanlah kematian yang wajar.
Apakah pelakunya Kurnia? Tengkuk Siska meremang.
Lalu ponselnya berbunyi. Dia terlonjak, mengira Irawan
dan Aditya sudah berada di rumah duka, padahal dia belum siap.
Tapi ternyata itu dari Frans. Heran, pikirnya. Orang itu selalu
datang menyela.
"Sori mengganggu, Sis. Lagi istirahat, ya. Apa kamu sudah
dengar berita tentang Bu Ratna. Dia meninggal semalam.
Sekarang di rumah duka sini. Dekat. Kamu mau melayat?
Kupikir kamu mengenalnya. Kalau mau, yuk sama-sarna.
Sekarang saya masih di kantor."
"Ya, saya tahu, Mas. Tapi nggak sekarang melayatnya.
Kamu duluan saja."
Ternyata Frans tidak mendesak. "Baiklah. Saya duluan deh.
Selamat beristirahat, ya."387
Sikap pengertian Frans itu membuat perasaannya jadi
kurang enak. Ia berharap Frans lebih dulu datang ke sana, lalu
lebih cepat pula pulangnya dibanding kedatangannya nanti.
Orang melayat tentu tidak perlu berlama-lama.
Tapi harapannya itu tidak terkabul ketika ia melihat Frans
di antara para pelayat, duduk berjauhan dari Irawan dan Aditya.
Ruang rumah duka yang l as itu penuh dengan pelayat, dan
dipenuhi pula oleh karangan bunga.
Frans juga melihat Siska. Ia hanya tersenyum dan
mengangkat tangannya. Siska membalas. Lalu ia duduk di
antara Irawan dan Aditya, setelah berdoa sejenak di depan
jenazah dan menyampaikan dukacitanya kepada Eva dan Evi.
Baru setelah duduk ia bisa melayangkan pandang ke
seluruh penjuru ruangan. Tak ada wajah yang dikenalnya
kecuali Frans dan kedua menantu. Perhatiannya tertuju kepada
kedua menantu. Dadang dan Kurnia duduk berjauhan. Dadang
lebih dekat kepada Eva. Dadang tampak murung dan pendiam,
menyambut dan menyapa para tamu tanpa senyum. Berbeda
dengan Kurnia yang banyak senyum dan ramah. Betapa herannya Siska ketika Kurnia duduk dengan Frans dan tampak
mengobrol akrab.
"Mungkin mereka sudah saling kenal," kata Irawan
perlahan ketika ia menyatakan herannya.
"Tadi sudah bicara apa sama keluarga?" tanya Siska.
"Nggak banyak. Tapi baiknya kita jangan bicara di sini,
perhatikan saja sekitar. Nanti kita diskusi pulang dari sini, ya?"
ajak Irawan.
"Baik."
Karena ruangan penuh, maka keberadaan mereka tidak
menarik perhatian. Mereka bebas mengamati ke sana ke sini.388
Tapi khusus kepada Dadang dan Kurnia, mereka harus
sembunyi-sembunyi, jangan sampai beradu pandang.
Yang tampak paling berduka adalah Eva. Sementara
Dadang selalu siap di sebelahnya. Sedang Evi terlihat tabah dan
energik. Sepertinya Kurnia tidak perlu mendampinginya terusmenerus. Boleh dikata Evi dan Kurnialah yang bertindak
sebagai tuan rumah. Beberapa kerabat yang hadir ikut
membantu, tapi peran mereka tidak sebanyak kedua suami-istri
itu. Siska mengingat-ingat adegan yang dilihatnya. Bagaimana
ekspresi Kurnia dan Dadang. Bagaimana gerak-gerik keduanya.
Penting untuk jadi bahan penilaian, meskipun di dalam hatinya
sendiri saja.
Mereka segera pamitan karena pelayat berdatangan terus.
Siska memeluk Evi yang sudah dikenalnya sewaktu perjamuan
makan di rumah Ratna. Ia juga memeluk Eva yang
diperkenalkan Evi. Di luar dugaan Siska, Eva bersikap hangat
kepadanya, juga kepada Irawan dan Aditya.
"Terima kasih Mas Adit sudah ketemu sama roh Papa,"
katanya perlahan, hanya didengar mereka. "Saya senang bisa
kenalan. Barangkali nanti kita bisa ketemu lagi?"
"Ya, Bu. Mudah-mudahan saja bisa."
"Ah, jangan panggil Bu. Panggil Eva saja."
"Ya, Eva."
Meskipun mereka bicara perlahan dalam kerumunan yang
padat, tapi dari sudut mata Siska bisa menangkap bagaimana
tatapan Kurnia terarah kepada mereka, mengamati dan menilai.
Tak lama-lama karena ia mengalihkan pandangannya kepada
orang lain, tapi bagi Siska cukup jelas.389
Frans mengangkat tangannya. Siska membalas, tapi Irawan
dan Aditya tidak melihat kepadanya. Siska yakin, bila ia
sendirian, pastilah Frans akan mengikutinya. Tapi Frans
kelihatan masih betah berada di situ.
"Bagaimana kalau kita berbincang di mobil saja?" Irawan
mengusulkan. "Kita nggak usah khawatir ada kuping yang
mendengar."
Aditya dan Siska setuju.
"Jadi tadi kami mendengar ceritanya dari Evi. Pagi-pagi dia
ditelepon pembantu Bu Ratna, memberitahu bahwa Bu Ratna
ditemukan tenggelam di bak mandi. Ia menelepon dokter dulu.
Setelah dokter memastikan tidak ada tanda kekerasan di tubuh
Bu Ratna, ia memutuskan tidak melapor polisi. Sebelum itu Bu
Ratna mengaku tidak enak badan, jadi pulang lebih cepat dari
biasanya. Di meja kamar ada obat flu. Mungkin dia makan itu
sebelum mandi," Irawan menjelaskan kepada Siska.
"Ya. Waktu dia menelepon saya pun dia bilang begitu.
Mau istirahat, katanya," kata Aditya.
"Masa istirahatnya di bak mandi," kornentar Siska.
"Mungkin dia asyik nyantai berendam air panas sambil
mendengarkan musik. Begitu kebiasaan ibunya menurut Evi."
"Jadi disimpulkan dia tertidur di bak mandi lalu merosot ke
bawah dan tenggelam. Apa obat flunya bikin ngantuk, ya," kata
Siska. "Tapi menurut saya sih, kalau dia makan obat tidur yang
kuat baru bisa begitu. Aneh juga, masa habis makan obat terus
berendam."
"Aneh memang, tapi Evi sudah puas dengan kesimpulan
dokter tentang tak adanya tanda kekerasan. Bisa saya maklumi
kalau dia tak ingin publikasi, karena ibunya orang terpandang,"
kata Aditya.390
"Bagaimana pintu dan jendela?"
"Katanya nggak rusak. Bahkan kemungkinan memang
tidak dikunci atau belum dikunci. Menurut Evi, ibunya selalu
merasa aman. Nanti kalau mau tidur baru dia mengunci
semuanya."
"Huh, kebiasaan seperti itu tentu diketahui menantunya
dengan baik," kata Aditya gemas.
"Menantu yang mana?" Tanya Siska.
"Tentu saja Kurnia. Mana mungkin Dadang karena dia
yang mengaku. Buat apa dia mengaku kalau akhirnya dia
membunuh?" kesimpulan Irawan.
Aditya termenung sedih. "Padahal Bu Ratna begitu
gembira waktu menelepon saya. Dia merasa sukses karena
berhasil membuat Dadang mengaku tanpa paksaan."
"Lantas kenapa Kurnia membunuhnya? Kan dia belum
tahu mengenai pengakuan Dadang, yang belum lama terjadi?"
tanya Siska.
"Justru itu dia harus cepat bertindak sebelum Bu Ratna
mengambil tindakan. Mungkin dia memang belum tahu atau
tidak tahu, tapi orang bersalah selalu paranoid. Dia tahu ada
pertemuan antara Bu Ratna dan Dadang, lalu menaruh curiga,"
papar Irawan.
"Kasihan Bu Ratna. Dia mengira bisa berhati-hati, tapi
nyatanya tidak. Mungkin yang dipikirkannya hanya racun
seperti yang digunakan terhadap Pak Simon, lalu berhati-hati
terhadap makanan dan minuman. Cuma itu saja. Padahal ada
banyak cara lain yang bisa dilakukan pembunuh," kata Aditya.
"Tadi kelihatan jelas bagaimana kedua menantu itu duduk
berjauhan. Tidak saling memandang apalagi berbicara. Buat
orang lain tidak menarik perhatian. Tapi bagi kita beda, karena391
tahu masalahnya. Waktu Eva mau melepas kita dan bicara, saya
lihat Kurnia mengamati dengan tajam," kata Siska.
"Sekarang kita harus bagaimana? Tadi saya merasa sikap
Kurnia seperti mencemooh. Mau melindungi apaan?" kata
Aditya.
"Kalau kita melepas saja dan tak peduli rasanya kasihan, ya,"
kata Irawan. "Tapi kita bisa apa? Ingat peringatan Karen tadi,
Dit. Kita menghadapi pembunuh berbahaya."
Siska terkejut. Ia baru menyadari kebenaran dari
kekhawatiran Karen. Karena marah, sedih, dan penasaran, jadi
lupa akan rasa takut. Bukankah tadi dia sempat meremang
melihat tatapan Kurnia ke arah mereka? Tatapan yang hanya
dipahami oleh mereka yang tahu.
Irawan melihat perubahan wajah Siska.
"Jangan takut, Sis. Kalaupun misalnya kita memberitahu dia
apa yang kita ketahui dari Bu Ratna, kita kan nggak punya
bukti yang bisa membuat dia merasa terancam. Beda sama
Dadang. Kalau dia sampai menganggap Dadang bisa buka
rahasia, maka Dadang akan terancam. Tapi kita nggak usah
khawatir sama Dadang. Pasti dia juga sudah memperkirakan hal
tersebut. Tadi mereka berdua berjauhan," kata Irawan.
"Kalau begitu sekarang kita nggak punya peran apa-apa
lagi," kata Siska sedih.
"Sepertinya begitu," sahut Irawan.
"Tadi saya berdoa, minta maaf kepada Bu Ratna," kata
Aditya.
"Ah, kenapa? Bukankah kita sudah maksimal membantunya?" tanya Irawan.
"Untuk kegagalan..." Aditya murung.392
"Jangan begitu, Dit. Itu bukan kegagalan. Kita kan nggak
bisa masuk terlalu dalam. Memang kita harus jadi bodyguard?
Nggak mungkin, kan? Dialah yang harus menjaga dirinya."
"Ya, saya juga berpikir begitu. Tapi tetap saja terasa
kesedihan itu."
Siska menatap Aditya dengan iba.
"Mas, kalau misalnya Bu Ratna keburu meninggal sebelum
diceritai, maka patutlah disesali. Tapi kalian sudah berhasil
menyampaikan pesan Pak Simon dan dia pun percaya, maka
beban menjaga terletak pada dirinya," kata Siska, bermaksud
meringankan beban Aditya.
Aditya tersenyum.
"Kamu betul, Sis. Senang ada yang meringankan."
Irawan menepuk pundak Aditya.
"Sobatku, ikhlaskan Bu Ratna pergi. Dia sudah bertemu
dengan Pak Simon."
"Ya."
Tapi wajah Aditya masih menampakkan kesedihan. "Perlu
waktu," katanya sambil tersenyum sendu.
Mereka berpisah. Irawan mengantarkan Siska sampai pintu
asrama, sedang Aditya menunggu di mobil.
"Kasihan Mas Adit.Ila terpukul sekali dengan kematian Bu
Ratna," kata Siska.
"Ya. Kita semua merasa terpukul."
"Tapi dia merasa beda, Pak, karena dialah yang diberi pesan
oleh Pak Simon. Kita hanya membantunya."
"Benar, Sis."
"Jadi saya punya usul, Pak. Gimana kalau nanti Bapak
telepon atau SMS Mbak Karen, minta supaya dia menghibur393
Mas Adit. Saya kira cuma Mbak Karen yang bisa
melakukannya."
"Oh ya, betul sekali, Sis. Ide yang brilian. Nanti akan saya
telepon."
Siska melambaikan tangannya ketika Irawan pergi.
Malamnya, Frans menelepon. Semula Siska malas
menerimanya. Tapi kemudian ia teringat bagaimana saat di
rumah duka Frans kelihatan akrab dengan Kurnia. Barangkali
rasa ingin tahunya bisa terjawab.
"Kok suaramu kedengaran ngantuk sih, Sis?"
"Ya, memang ngantuk. Hari ini capek sekali. Ada apa,
Frans?"
Siska lupa memanggil Mas. Tapi Frans sudah keburu
tertawa.
"Uh, senangnya mendengar namaku disebut. Nah, begitu
aja. Jangan panggil 'Mas' lagi ya."
"Ya, ya, baik. Tapi kau belum bilang, ada keperluan apa?"
"Sebenarnya sih nggak perlu-perlu bener. Tadi aku
ngobrol sama Kurnia..."
"Oh ya, kenal dari mana?"
"Ternyata dia teman sekolah waktu SMP. Sering jalan
bersama lho. Eh, ketemu lagi di situ. Aku baru tahu dia
menantu Bu Ratna. Dulu aku pernah ikut Pak Irawan ke kantor
Bu Ratna untuk mengurus proyek, tapi nggak pernah ketemu si
Kurnia. Rupanya dia bertugas di pabrik."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pantas ngobrolnya asyik."
"Ah, bukan itu yang bikin asyik. Rupanya dia banyak
nanya tentang kau, Pak Irawan, dan Adit. Kayaknya pengin394
tahu banget. Katanya, kalian bertiga itu seperti gerombolan
paranormal..."
"Hah? Paranormal? Ha ha ha..." Siska tertawa geli.
"Nah, kantuknya hilang, kan? Pengin dengar lagi, kan?"
"Ya, teruskan. Apa lagi yang dikatakannya?"
"Wah, sekarang giliranku yang ngantuk. Gimana kalau
dilanjutkan besok saja, Sis?"
Siska tak bisa apa-apa ketika Frans mematikan telepon. Ia
tahu, Frans sedang memanfaatkan topik itu. Ia merasa kesal lalu
mengadu kepada Irawan pada saat chatting.
"Hati-hati, Sis. Dia itu banyak akalnya."
"Saya tahu, Pak. Tapi kan cuma ngomong doang."
"Jangan mau kalau diajak keluar, Sis. Lebih baik nggak
dikasih info daripada nanti kamu diapa-apain."
"Saya nggak bakal mau diajak keluar, Pak."
"Lagi pula mungkin aja infonya ditambahin bumbu. Tapi
istilah paranormal itu lucu."
"Oh ya, apa Bapak sudah telepon Mbak Karen?"
"Sudah, Sis. Dia berterima kasih sekali sudah ditelepon.
Mungkin sekarang lagi banyak bincang-bincang sama Adit.
Makanya dia nggak ikutan ngobrol nih. Line-nya nggak aktif."
"Ya. Mungkin lebih baik begitu untuk sementara. Kasihan.
Bisa saya maklumi kekecewaannya. Tapi dia nggak boleh
menganggap itu sebagai kesalahannya. Bukankah hidup-mati
itu takdir ya, Pak? Biar dilindungi tapi kalau memang
ditakdirkan mati, nggak berhasil juga."
"Kamu benar, Sis. Tapi mati dengan cara begini tetap
membuat penasaran. Apa menurutmu kematiannya itu wajar?"395
"Tidak! Biarpun sebelumnya dia bilang nggak enak badan,
tapi dari kegiatannya semua wajar saja. Dia baca-baca novel.
Dia makan malam seperti biasa. Kalau sakitnya agak parah, pasti
dia cepat tiduran. Berendam pun pasti malas. Ah, kalau saya
membayangkan apa yang mungkin terjadi pada saat dia
berendam, saya jadi merinding. Kasihan sekali."
"Saya juga pengin dia meninggal dengan cara wajar, seperti
yang disimpulkan anak-anaknya. Mana mungkin mereka bisa
membayangkan yang serem-serem seperti kita?"
"Sekarang Bu Ratna sudah nggak ada. Apakah Kurnia
sudah merasa puas, karena nggak ada lagi ancaman?"
"Tapi masih ada Dadang, Sis. Kalau dia buka mulut lagi
sama istrinya gimana?"
"Saya pikir hal itu nggak mungkin, Pak. Dadang kelihatan
sayang sama Eva, apalagi sama calon bayinya. Masa dia mau
ngaku bahwa dia seorang pembunuh?"
"Tapi kepada Bu Ratna, dia mengaku. Kan Bu Ratna juga
bisa menyampaikan hal itu pada Eva."
"Tegakah Bu Ratna menyampaikannya pada Eva? Dia
tentu takut juga akan akibatnya pada Eva dan bayinya. Sayang
sekali kita belum sempat bicara sama Bu Ratna. Tentu ada
sesuatu yang direncanakan."
"Waduh, Sis, kayaknya sampai kapanpun kita ngomongin
hal itu, jawabannya nggak bakal ketemu. Rumit sekali. Paling
baik wait and see sajalah. Lihat perkembangannya. Kalau
sekarang-sekarang ini, pastinya nggak akan ada yang berbuat
apa-apa."
"Betul, Pak. Saya mau lihat saja apa yang akan diceritakan
si Frans besok."
"Tapi hati-hati ya, Sis, saya..."396
Sampai di sini tulisan Irawan berhenti selama beberapa saat.
Ada sekitar lima menit. Siska berpikir, mungkin Irawan ada
keperluan ke belakang atau sesuatu yang lain.
"Pak! Masih di situ? Kok berhenti mendadak?"
"Masih kok. Lagi mikir."
"Oh, saya kira ada gangguan dari Red. Hai, Red! Apa Red
juga ada di situ?"
"Ya, dia di sini."
"Pengin deh dengar gonggongannya. Bisa disuruh bunyi
ditelepon nggak, Pak? He he he, iseng aja."
"Bisa, bisa. Siapin ponselmu ya."
Siska menaruh ponsel di dekatnya. Tak lama kemudian
berbunyi. Ia mengambilnya dan berkata, "Halo?" lalu
menunggu. Ia mendengar dengus napas. Lalu suara Irawan,
"Ayo, Red, say hello!"
Kemudian Siska terkejut ketika suara keras terdengar.
"Guuuk! Guk! Guk! Guuuuuk..."
Siska tertawa, lalu berkata, "Guk-guk juga, Red. Ya,
cukuplah, Pak. Hahaha, pinter sekali si Red ini. Nanti kapankapan kita ketemu ya, Red."
"Dia sudah kembali duduk di lantai, Sis. Eh, mending kita
lanjut teleponan aja, ya. Chat-nya udahan. Rasanya lebih senang
bisa dengar suaramu."
"Oke aja, Pak. Cuma yang tadi belum selesai tuh nulisnya.
Apa terusannya, Pak?"
"Lupa lagi tuh."
"Ah, masa iya lupa. Kan belum lama. Itu lho, lagi
ngomongin Frans."397
"Oh ya, ya. Saya mau bilang, kalau sampai kamu diapaapain si Frans, saya nggak rela."
"Saya pikir, nggak sampai segitu, Pak."
"Bukankah Frans itu orang yang berbahaya, Sis? Lihat apa
yang telah d akukannya kepada Adit. Sudah gitu, nggak ada
buktinya lagi. Mau nuduh juga nggak bisa. Sama seperti yang
dilakukan kedua menantu itu. Eh, kamu tahu kenapa Kurnia
dan Frans bisa kelihatan begitu akrab? Pasti bukan karena
mereka pernah berteman, tapi karena mereka punya bawaan
yang sama, yaitu kejam. Makanya jadi akur dengan cepat."
Siska tertegun sejenak sebelum menjawab. Masih terekam
di dalam memorinya bagaimana pemandangan saat Kurnia dan
Frans duduk berdua di antara orang banyak, lalu keduanya
terlibat pembicaraan yang tampak intens sehingga beberapa kali
Kurnia melupakan tamunya yang lain.
"Mereka akur karena masing-masing punya kepentingan,
Pak. Si Frans pengin tahu ada hubungan apa antara kita sama
keluarga Bu Ratna, sedang Kurnia tentu saja ingin tahu lebih
banyak perihal kita."
"Tapi tetap saja kamu harus berhati-hati. Ingatlah, Sis.
Jangan pernah meremehkan orang walaupun dia kelihatan tidak
berbahaya, apalagi kalau sudah tahu bahwa dia memang
berbahaya."
"Ya, saya masih tetap ingat apa yang d akukannya kepada
Mas Adit. Nggak akan pernah lupa."
"Saya senang kamu bisa jaga diri. Kalau sampai terjadi
sesuatu atas dirimu...."
Siska menunggu, tapi Irawan tak kunjung bicara.
"Kenapa, Pak?"
"Pokoknya saya nggak rela. Kamu sangat berarti bagi saya."398
Sekarang giliran Siska terdiam. Dia senang pembicaraan
berlangsung lewat telepon. Mungkin Irawan pun begitu.
"Terima kasih, Pak," katanya kemudian.
"Kalau kamu mungkin tak menganggapku berarti..."
"Ah, siapa bilang?"
"Jadi?"
Suara itu mengandung harapan. Siska berpikir keras. Ia
tahu harapan yang terkandung dalam diri Irawan. Tapi apakah
menganggap seseorang berarti itu sama dengan cinta? Irawan
sendiri tidak mengatakan itu.
"Ya. Saya juga menganggap Bapak berarti kok. Sama saja."
"Sangat berarti?" tegas Irawan.
"Ya," jawab Siska tanpa ragu.
"Oh, terima kasih, Sis."
Ada kelegaan dalam suara Irawan. Sesungguhnya Siska
tahu makna kelegaan itu. Dan ia tidak ingin mengecewakan
Irawan. Bukan karena ia tidak mencintainya. Irawan orang
yang sangat berharga. Selama ini ia sudah belajar banyak perihal
cinta. Banyak kesalahan yang telah dilakukannya, sering kali
karena salah me-nilai orang. Ia tidak ingin hal itu terulang. Ia
ingin mencintai orang yang benar, yang berharga untuk dicintai, meskipun cinta itu mungkin masih sebesar biji jagung.
Tapi, bukankah cinta akan tumbuh kalau benih sudah ada?
"Kalau begitu, maukah kau berhenti memanggilku 'Bapak'?
Panggil nama saja biarpun aku lebih tua sepuluh tahun. Kalau
dipanggil 'Bapak' jadi risi. Bos bukan, ayah juga bukan. Sama
Adit kan beda. Dia jadi kakakmu. Saya bukan kakak, bukan
ayah, bukan bos."
"Habis panggil apa?"399
"Panggil Wan, atau Awan."
Siska tertawa. "Baiklah, Wan," katanya sambil terkikik.
Irawan juga tertawa. Lalu terdengar suara gong-gongan.
"Wah, Red ikut tertawa?" tanya Siska.
"Ya. Dia kutepuk supaya memberi reaksi."
"Oooh... lucu ya."
"Kapan kau mau kenalan dengannya?"
"Mau, Pak, eh Wan. Sori, masih suka lupa. Kapan-kapanlah
kalau ada kesempatan."
"Kesempatan itu harus diada-adakan. Kalau tidak, tak
mungkin bisa ada."
"Sabtu atau Minggu depan?"
"Minggu, ya? Nanti Red kumandikan pakai shampoo
wangi."
Setelah percakapan berakhir, Irawan memberi Red tepukan
dan elusan ekstra.
*** Karen mengamati Aditya yang tertidur nyenyak. Sementara
yang punya masalah bisa tidur nyenyak, dia masih saja
terbelalak dengan pemikiran. Sepertinya Aditya telah
memindahkan persoalan yang mengganggunya kepada dirinya.
Ia khawatir, perjanjian dengan roh telah membuat Aditya
terbebani. Tapi ia bersyukur bahwa Irawan telah meneleponnya
dan bersyukur juga kepada Siska. Begitulah sahabat yang punya
empati.
Ketika sedang merenung itu ia keheranan melihat
senyuman di wajah Aditya. Masih tidur atau sudah bangunkah?400
Tapi mata Aditya masih terpejam. Jadi ia biarkan saja. Siapa
tahu ada mimpi indah sebagai pengobat keresahannya.
Karen hanya mengamati saja tanpa menyentuh. Lalu ia
terkejut ketika tiba-tiba Aditya menariknya hingga ia rebah di
sisinya, lalu mereka bergulingan sejenak.
"Hei, ada apa? Ada apa?" ia berseru cemas.
"Ma, barusan aku mimpi ketemu lagi sama roh Simon."
"Oh ya? Nggak sama roh Bu Ratna?"
"Nggak. Dia sendiri. Dia bilang terima kasih padaku. Aku
sampaikan penyesalan karena tak berhasil melindungi istrinya.
Tapi dia bilang, aku nggak perlu menyesal. Yang penting Ratna
sudah paham bahwa dirinya di pihak yang benar. Tugasku
sudah cukup, katanya. Biar anak-anak menjaga diri sendiri
karena mereka memang harus menanggung risiko dari perbuatan sendiri. Ini terakhir kali dia muncul karena dia akan
menjemput Ratna. Tapi Ratna tidak kelihatan. Padahal aku
ingin sekali bicara dengannya. Barangkali dia pun bisa
menyampaikan sesuatu padaku. Siapa yang menyebabkan
kematiannya?"
Karen tersenyum, lalu memeluk Aditya.
"Sudahlah. Mungkin Ratna memang nggak bisa
mengatakan, karena dia juga nggak tahu."
"Ah, masa sih nggak tahu?"
"Siapa tahu saat itu dia sedang memejamkan mata. Aku
juga suka begitu kalau sedang berendam. Kalau tiba-tiba dari
belakang ada yang menekan dan membekapmu, lalu
menenggelamkan, pasti nggak akan ada kesempatan untuk
melihat siapa orangnya."401
Aditya mengangguk. "Ya, bisa saja. Tapi ucapan Simon
telah melegakan hatiku. Dia sama sekali tidak menyalahkan
aku."
"Jadi kau puas sekarang, Pa?"
"Ya. Tapi sebenarnya aku sudah senang diberi kekuatan
olehmu, makanya aku bisa tidur nyenyak. Lalu Simon memberi
tambahan..."
Mereka saling memandang lalu tertawa. Kemudian mereka
berpelukan. Masalah boleh datang dan pergi, namun mereka
tetap saling memiliki.402
17 BEGITU keluar dari kantornya, Siska mengamati sekitarnya
kalau-kalau ada Frans di situ. Tapi ia tidak melihatnya. Dia dan
Frans berbeda jam kerja. Frans pulang lebih sore karena
masuknya lebih siang. Jadi memanfaatkan hal itu, ia akan buruburu pulang ke asrama dan tidak keluar-keluar lagi. Bila ada
yang ingin diutarakan Frans, seperti yang ingin diketahuinya
juga, biarlah dilakukan lewat telepon saja.
Tapi harapan Siska tidak terkabul. Baru saja jalan beberapa
langkah, Frans memanggil di belakangnya, Terpaksa ia berhenti
dan menoleh.
"Kok gini hari sudah keluar kantor sih?"
"Keluar sebentar kok. Nanti masuk lagi. Cuma pengin
ngomong sama kau aja."
"Kalau ngomong kan bisa lewat telepon, nanti kerjaanmu
dievaluasi lho."
Frans tertawa. "Sebentar kan nggak apa-apa. Gimana soal
yang kemarin kukatakan itu, pengin tahu nggak?"
"Bukan masalah pengin tahu atau nggak, tapi kau sudah
berjanji untuk memberitahu," sahut Siska diplomatis.
"Oh ya, ya. Baiklah. Kapan dan di mana, Sis?"
Siska tertegun sejenak. "Telepon saja."403
"Wah, nggak mau lewat telepon. Penginnya ngomong
langsung. Lebih enak begitu. Di taman, ya?"
"Ha? Kok di situ? Malu dong. Nanti anak buahku
ngeliatin."
"Kalau jam besuk nggak kentara. Senang sekali dudukduduk di situ. Waktu dulu kulihat kalian, kau sama Adit dan Bu
Ratna ngobrol di situ, kayaknya nyaman sekali."
Siska tak ingin berpanjang-panjang. "Baiklah," katanya.
"Jam besuk kau tunggu aku di situ. Sekarang aku mau pulang
dan mandi dulu."
Frans tertawa senang. "Wah, terima kasih, Sis. Kau sangat
baik. Mungkin nanti kalau ada waktu aku mau ke rumah duka
lagi, ketemu sama Kurnia."
"Pendeknya kalau aku datang kau nggak ada, aku pergi
lho."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya. Beres."
Frans berlari ke arah kantornya. Mau tak mau Siska jadi
tersenyum melihatnya. Frans seperti anak kecil yang lincah
kesenangan karena akan mendapat hadiah. Tapi kemudian
senyumnya lenyap ketika ia teringat pada perbuatan Frans
terhadap Aditya. Ternyata orang kejam pun bisa berlaku seperti
anak kecil. Ia tak boleh terkecoh.
Dengan sangat segan ia harus menyudahi istirahatnya
untuk menjumpai Frans di taman. la menunggu sampai arus
orang yang mau besuk menjadi ramai. Tanpa seragam, ia tidak
tampak mencolok.
Ia berharap Frans tidak ada di sana supaya bisa segera
berbalik arah lalu kembali pulang. Tapi Frans sudah ada, malah
melihatnya lebih dulu.
"Sis!" teriaknya.404
Ia menghampiri. Frans bergeser memberinya tempat
duduk. Tadi ia menguasai tempat untuk berdua.
"Sengaja aku duduk begini, supaya nggak ada orang yang
ngambil tempat. Tadi sudah beberapa orang yang menyuruhku
minggir, tapi aku bilang di sini sudah ada orangnya kok," ia
menjelaskan.
"Nah, sekarang ceritalah. Apa saja yang ditanyakan Kurnia
padamu?" Siska segera mulai.
Frans menatapnya lalu tertawa. "Langsung ke tujuan, ya?
Sabar, sabar. Nanti juga ke sana. Pertama-tama aku mesti tahu
dulu, kalian bertiga sebenarnya punya proyek apa sih? Oh,
bukan proyek IT tentu saja, tapi kata Kurnia itu paranormal,
urusan roh."
"Pertanyaan itu sebenarnya dari Kurnia atau darimu?"
"Tentu saja dari aku."
"Kurnia sendiri nggak nanya?"
"Tentu saja nggak, karena tampaknya dia sudah tahu."
"Lho, kalau begitu tanya aja sama dia."
"Ya, aku sudah tanya. Tapi aku perlu tahu juga dari
pihakmu."
"Ya sama aja dong. Apa bedanya?"
"Jelas beda, Sis. Yang ngomong saja lain."
Siska segera menyadari, bahwa Frans sebenarnya bukan
berniat memberi informasi melainkan justru mencari informasi.
Ia tertawa keras dalam hati.
"Nah, sekarang coba katakan apa yang dikatakannya. Nanti
aku tinggal benerin kalau bener."
Frans lampak mulai jengkel.405
"Baiklah. Dia cuma bilang, si Adit itu sejak bangun dari
koma bisa komunikasi sama roh. Terutama rohnya Pak Simon.
Lalu dia sama Pak Irawan datang menceritakannya kepada Bu
Ratna. Gombal betul si Adit, mau nyari keuntungan dari situ."
Emosi Siska mulai naik. Tapi ketika tatapannya menangkap kilat kepuasan di mata Frans, ia tenang kembali. Ia
mengingatkan diri terhadap apa yang sedang dimainkan Frans.
Sebenarnya Frans tidak tahu banyak. Tidak mungkin Kurnia
mau menceritakan semuanya kepadanya. Karena Frans
membual dan mengatakan kenal dekat sama Irawan dan Aditya,
maka Kurnia berharap bisa mendapat info lebih banyak darinya.
Frans tentunya sedang mengambil hati Kurnia karena sekarang
Kurnia adalah orang kaya. Di samping itu Frans pun berupaya
mengambil hatinya pula. Maksudnya sekali tepuk dapat dua.
Hahaha! Itu tak mungkin.
"Ah, Mas Adit itu cuma mimpi didatangi roh Pak Simon.
Ya, kira-kira sama aja dengan mimpi setiap orang, bisa ketemu
sama siapa pun. Bukan berarti dia bisa komunikasi sama roh.
Wah, itu pemikiran siapa? Kayaknya nggak ada yang ngomong
seperti itu deh."
"Tapi sebelum mimpi kan ada pengalamannya. Kau sebagai
pera wat yang menjaganya mungkin pernah melihat sesuatu?"
"Sesuatu apa?"
"Kata Kurnia kau punya pengalaman yang aneh di rumah
sakit. Cerita dong, Sis."
"Jadi kau ngajak aku ngomong di sini supaya aku cerita
yang aneh-aneh. Kalau gitu, aku ngarang dulu deh."
"Jangan gitu, Sis. Aku serius."
"Kok tiba-tiba jadi tertarik sama cerita begini sih?"406
"Ah, nggak tiba-tiba. Aku suka karena ada si Adit di
dalamnya."
"Kenapa?"
"Ih, kok tanya kenapa? Dia kan temanku."
"Setahuku, dia bukan temanmu."
Wajah Frans berubah masam. "Dia bilang begitu?"
"Ah, aku nggak mau menyampaikan cerita orang. Nggak
enak saja rasanya."
Siska melirik diam-diam, melihat wajah Frans yang masam.
Dalam hati ia tertawa, berharap Frans tidak betah.
Tapi wajah Frans berubah cerah kembali. Ia tahu,
kesempatannya untuk mengobrol di situ bersama Siska bisa jadi
takkan ada lagi. Ia memandang ke sekitamya lalu menghirup
napas dalam-dalam.
"Segar di sini, ya, biarpun di sana banyak kuman," katanya
menunjuk ke deretan kamar-kamar.
"Segar sih segar, tapi ada nggak ada kuman di sini juga
nggak kelihatan."
"Tempo hari kalian bertiga ngobrol di sini, ya. Rupanya
bernostalgia dengan menghidupkan suasana pada saat Pak
Simon masih ada."
"Ya. Waktu itu Pak Simon memang masih ada, tapi dia
dalam keadaan koma. Eh, kau ngajak ke sini mau cerita apa sih
sebenarnya?"
"Ada salam manis dari Kurnia untukmu. Tapi ngomongnya
pelan-pelan, takut kedengaran istrinya. Hahaha..."
"Mau apa ngirim salam segala?"
"Dia senang dengar ceritamu."
"Ceritaku yang mana? Rasanya aku nggak cerita apa-apa."407
"Ah, ada. Yang pengalamanmu sewaktu ngurus pasien
bangun dari koma, terus dia nyebut nama pasien di kamar
sebelah yang sudah mati, eh, meninggal..."
"Oh, itu." Siska baru teringat akan cerita itu, yang tentunya
sudah beredar dari mulut ke mulut.
"Pasti masih banyak lagi ya, Sis. Ceritain dong."
"Nggak ada lagi kok. Sungguh, aku nggak punya lagi. Jadi
yang pengin tahu itu kau atau dia?"
"Ya, dua-duanya. Tapi dia berharap aku mendapat cerita
darimu supaya bisa kuceritakan lagi padanya. Dia nggak
mungkin mengejar cerita darimu langsung, karena sudah pasti
akan didamprat istrinya."
"Emangnya istrinya pencemburu?"
"Maklum saja. Punya suami ganteng abis, sementara istri
kayak... kayak... ah, nggak enaklah ngatain orang."
"Jangan nilai orang dari wajahnya, tapi hatinya. Orang
ganteng juga kalau hatinya jahat bisa menyiksa."
Frans menatap Siska dengan kagum. "Itu pendirian yang
bagus, Sis. Masalahnya kau nggak tahu hatinya kayak apa. Yang
pertama-tama dilihat kan wajahnya."
"Tentu saja. Tapi lama-lama juga kita bisa tahu. Emangnya
enak pakai topeng terus? Pura-pura itu ada batasnya."
"Ck, ck, ck... hebat ya, kau."
"Oke, lantas kaupikir kenapa Kurnia yang ganteng itu
memilih istrinya?"
Frans tidak menjawab. Ia mengamati Siska sejenak lalu
tertawa.
"Ha ha, kita tahu sama tahulah."
"Jadi kau tahu?"408
"Semua orang juga tahu."
"Oh, begitu? Pintar amat semua orang, ya. Apa Kurnia
sendiri bilang-bilang padamu?"
"Tentu saja nggak.... Siiis, cerita tentang roh dong."
"Hah? Kok segitu ingin tahunya sih?"
Saat mempelajari wajah Frans, sebuah pemahaman tiba-tiba
muncul di benak Siska. Frans dan Kurnia sama-sama panasaran
perihal roh karena kejadian itu seperti mengungkapkan
kejahatan mereka. Frans terhadap Aditya dan Kurnia bersama
Dadang terhadap Simon. Sedikit saja diarahkan ke sana, maka
mereka didera rasa penasaran.
"Sebenarnya gampang kalau kau ingin tahu, Frans."
"Apa itu?"
"Kau harus jadi roh dulu."
"Ah, mati dong..."
"Ya, jangan mati. Koma aja," kata Siska, tertawa. "Kayak
Mas Adit gitu. Koma tapi bangun Iagi. Jadi dia membawa hasil
komanya ke dunia."
"Ah, kan katanya dia nggak ingat apa-apa lagi tentang saat
komanya."
"Ya, memang. Tapi pertemuannya dengan roh Pak Simon
jadi berlanjut. Roh Pak Simon yang mengingatkan."
"Jadi cuma yang berhubungan dengan Pak Simon? Kalau
yang lainnya, gimana?"
Siska berpikir sebelum menjawab. Kenapa dia tidak
memanfaatkan keingintahuan Frans itu untuk mendapatkan
informasi biarpun cuma sedikit? Tak apalah berbohong sedikit.
Dengan demikian pertemuan ini jadi bermakna daripada berlalu
begitu saja.409
"Apa maksudmu dengan yang lainnya?"
"Apakah dia sendiri nggak melihat sesuatu yang lain
sebagai roh?"
Siska ingin berkata bahwa Frans sungguh cerewet, tapi dia
menahan mulutnya. Sebaliknya ia memasang wajah serius.
"Sebenarnya bukan dia yang melihat sesuatu, tapi aku yang
mendengar sesuatu waktu menjaganya."
Leher Frans langsung tegak. Matanya membesar.
"Kau mendengar apa?" tanyanya dengan bernafsu.
"Mendengar dia mengigau."
"Oh ya? Kasih tahu dong, Sis," bujuk Frans.
"Wah, orang yang bersangkutan saja nggak tahu, masa kau
diberitahu. Ya, justru kau."
"Justru aku? Kenapa justru aku? Ah, kau membuat orang
penasaran. Lebih baik tidak memberitahu sama sekali daripada
sedikit-sedikit."
"Nggak enak ah, itu sama sekali nggak etis. Kalau mau
mengungkapkan, harusnya kepada dua-duanya. Jangan cuma
salah satu saja."
"Kalau begitu sekarang kau kasih tahu aku, sebentar lagi
kau kasih tahu Adit juga. Beres, kan?"
"Kau akan marah padaku."
"Ah, masa sih. Tapi sebenarnya Adit nggak perlu dikasih
tahu. Toh dia yang mengigau, pasti dia sendiri tahu dong."
"Orang mengigau itu nggak tahu. Apalagi ngigaunya saat
koma."
Dalam hati Siska tertawa. Pernahkah ia mendengar orang
koma mengigau?410
"Ayo dong, Sis. Aku nggak akan pulang sebelum
diberitahu."
"Nanti juga diusir satpam."
"Ayo, Sis. Aku janji nggak marah."
"Bener lho. Aku sudah lupa detail ngomongnya gimana.
Intinya dia bilang, yang ngetok kepalanya waktu di parkiran
mobil itu kau!"
Lalu Siska mengamati wajah Frans dengan asyik. Ia melihat
kejutan yang sulit ditutupi di wajah itu. Lalu ada gerakan
spontan seakan mau lari. Tapi kemudian semua itu tak tampak
lagi. Frans tertawa sumbang.
"Kenapa kau nggak cerita sama Adit soal ngigaunya itu?"
"Kupikir dia tahu sesuatu. Dia menyimpan sendiri. Aku
juga nggak punya bukti rekaman, misalnya."
"Tapi kenapa justru kauberitahu aku?"
"Aduh, bukankah kau sendiri yang memaksa?" seru Siska
kesal.
"Oh, ya, ya. Sori. Aku lupa." Frans tertawa. "Tapi kau
nggak percaya itu, kan? Itu hanya omongan meracau, orang
yang nggak sadar. Mana mungkin dia bisa melihat apa yang
terjadi."
"Kau lupa. Dia sendiri nggak bisa melihat, tapi rohnya
bisa." Siska merasa semakin pandai berbohong.
"Kau sok tahu, ah..."
"Ya sudah, aku juga nggak mau ngomong, tapi kau yang
maksa."
Siska membuat tanda dengan jarinya, mengunci mulutnya.
Sebenarnya ia tegang juga karena sudah nekat bicara seperti itu.
Ia seperti memukul harimau tidur. Tapi ia sebenarnya penasaran411
karena Frans berlagak tak bersalah. Biarpun ia sekarang bicara
tanpa bukti, tapi setidaknya ia sudah mengejutkan Frans dan
membuatnya tidak lagi merasa leluasa.
"Lalu sebenarnya kau yang ngetok kepalanya atau bukan?"
Siska melanjutkan kenekatannya. Ia merasa sudah telanjur.
Frans tertawa sumbang. "Tentu saja nggak dong. Buat apa
aku ngetok kepalanya? Justru aku yang menolong dia waktu
terkapar. Emangnya kau percaya omongan orang meracau?"
"Tapi kenapa juga dia meracau seperti itu?"
"Tanya saja sama dia. Mending dia tahu jawabannya.
Barangkali dia sama sekali nggak ingat pernah meracau seperti
itu."
"Kau nggak punya perkiraan? Bukankah kalian berteman?"
Frans mendengus. Ia tidak menjawab.
"Yuk, pulang saja. Sudah jam makan malam. Nanti aku
nggak kebagian makan."
"Nggak apa-apa. Nanti kita makan di luar saja, Sis. Kulihat
dekat sini ada restoran enak."
"Terima kasih, Frans. Makan di asrama lebih menyenangkan. Ramai suasananya."
Siska berdiri, diikuti Frans. Siska melangkah cepat-cepat
hingga Frans terpaksa mengikuti.
"Kau mau terus pulang atau kembali ke rumah duka?"
"Ah, ngapain aku kembali ke sana?"
"Siapa tahu kau pengin ngobrol lagi sama Kurnia. Laporan
sudah ketemu aku."412
Frans cemberut. Ia merasa tersindir. Kali ini ia tidak
menawarkan diri untuk menemani Siska, melainkan terus
memisahkan diri menuju tempat parkir.
Siska cepat menghilang masuk ke asrama tanpa pernah
menengok ke belakang hingga tidak sempat melihat bagaimana
ekspresi Frans ketika memandanginya. Wajah Frans tampak
gusar sekali. Ia merasa dipermainkan.


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Siska malam itu chatting berdua dengan Irawan, ia
menceritakan perbincangannya dengan Frans. Irawan jelas
terkejut.
"Duh, Sis, kau ini apa-apaan? Nanti dia marah lho."
"Ya, kelihatannya memang begitu. Tapi aku gemes sekali
sama dia. Biarpun dia marah, tapi aku berhasil menemukan
bahwa ucapanku membuat dia terkejut. Kentara sekali di
ekspresinya."
"Biarpun demikian, bukti bahwa memang dia yang mukul
kepala Adit nggak ada, Sis. Aku sangat khawatir akan apa yang
mungkin dilakukannya terhadap dirimu. Sudah, Sis, jauhilah
dia. Mumpung dia marah, kau marah juga. Jadi nggak ada
alasan untuk dekat-dekat."
"Tapi aku nggak nyesel sudah mengatakannya, Wan.
Biarpun nggak ada bukti, rasa penasaran itu sudah terobati.
Memang dialah pelakunya, penyebab Mas Adit sampai koma.
Dan kemudian dia berupaya juga untuk mengulangi
perbuatannya. Aku memang sudah marah kepadanya. Nggak
mungkin mau dekat-dekat. Kalau pun tadi aku mau dekat, itu
karena aku ingin tahu apa yang mau dikatakannya. Dia disuruh
Kurnia untuk mengorek. Tapi kenyataannya dialah yang
dikorek. Haha-ha, lucu kan, Wan?"413
"Wah Sis, nggak lucu ah. Itu bahaya. Orang seperti itu bisa
nggak sekadar marah, tapi bisa berbuat lebih dari itu. Sama Adit
saja dia tega, padahal Adit nggak musuhan sama dia. Sekarang
kau membuat dia dendam karena kau menuduh dia mau
membunuh Adit."
"Ya, aku ngerti kekhawatiranmu, Wan. Tapi aku akan
hati-hati menjaga diri. Di sini aku aman."
"Ah, jangan terlalu percaya diri, Sis. Kau nggak mungkin
berkurung terus di dalam lingkungan rumah sakit."
"Aku juga nggak ingin berkurung terus di sini. Percayalah, Wan. Kalau kita belum saatnya untuk celaka, maka itu
nggak akan terjadi."
""'Ya, ya, baiklah, Sis. Tapi janjilah sesudah ini jangan
dekat-dekat si Frans lagi, ya."
"Baik. Terima kasih untuk perhatianmu, Wan."
"Sis, apa kau sudah memberitahu Adit tentang percakapanmu dengan Frans?"
"Belum."
"Lebih baik jangan. Nanti dia jadi resah."
"Oh ya, nggak kok. Dia sudah cukup bermasalah. Biar
antara kita saja. Tapi jangan marahi aku lagi, ya."
"Katanya mau ketemu sama Red. Jadi?"
"Jadi."
"Sabtu ini, gimana?"
"Baik. Kirim salam tepukan buat Red, ya?"
"Ya. Dia juga kirim cium untukmu. Sudah nggak sabar,
katanya."
"Hahaha... emangnya dia bisa ngomong begitu? Kayaknya
yang ngomong itu majikannya deh."414
"Yaaaa, ketahuan..."
Selesai chatting, senyum di wajah Siska lenyap. Ia merasa
kecewa karena Irawan tidak memujinya untuk kenekatannya
memancing Frans. Irawan malah seperti memarahinya.
Bukankah untuk keberaniannya itu ia patut mendapatkan
komplimen? Ia tahu Frans orang yang berbahaya. Sewaktu
menjaga Aditya, ia sudah mengetahui hal itu. Tetapi kalau tidak
memancingnya, ia takkan pernah tahu. Tentu saja biarpun tahu,
ia tetap tidak bisa berbuat apa-apa misalnya dengan melapor ke
polisi, tapi ia sudah berhasil memuaskan rasa penasaran dan
ingin tahunya. Paling tidak untuk dirinya sendiri. Bahkan juga
bukan untuk Aditya.
Baru saja menutup laptopnya, ponselnya ganti berbunyi.
Dengan heran ia melihat nama Irawan.
"Ada yang kelupaan, Sis. Sori ya yang tadi itu."
"Yang tadi mana?"
"Ceritamu tadi tentang si Frans itu lho."
"Oh, yang itu. Emangnya kenapa, Wan?"
"Kok tadi saya jadi seperti memarahi kamu, seolah kamu
lalai, nggak bisa berhati-hati. Begini dan begitu. Saya
bertingkah seperti kakek cerewet. Sori ya, Sis. Sebenarnya saya
kagum sama keberanianmu. Sesuatu yang pastinya nggak
berani saya tiru. Kau hebat, Sis..."
Siska tertegun. Mukanya jadi memerah. Barusan saja ia
menyesali perlakuan Irawan. Ia jadi malu pada diri sendiri. Ia
salah menilai orang.
"Ah, kau berlebihan saja, Wan. Aku nggak hebat kok.
Cuma nekat saja. Aku justru berterima kasih karena sudah
dinasihati dan diperingatkan. Tinggal di sini mana pernah ada
yang menasihatiku seperti itu."415
"Apa kau menganggapku seperti seorang kakek?"
"Kakek? Hahaha! Duh, masa sih? Nggak dong. Masih
muda masa sudah merasa jadi kakek. Aku juga nggak mau
punya kakek sepertimu. Nggak pantas..."
Irawan kedengaran tertawa senang.
"Pantasnya apa kira-kira?"
"Wah... nggak tahu. Nggak bisa kira-kira..."
"Baiklah. Kau istirahat saja, Sis. Sampai hari Sabtu. Nanti
saya telepon lagi."
Setelah percakapan berakhir, perasaan Siska diliputi
keanehan. Seperti ada yang bergemuruh, seolah lautan di dalam
hatinya yang semula tenang tak berombak tiba-tiba sekarang
bergelora membentuk ombak tinggi, berdebur-debur dengan
ribut...
*** Frans bertemu lagi dengan Kurnia seperti yang sudah
dijanjikan. Tapi mereka tidak bicara di rumah duka yang
suasananya masih ramai dengan pelayat. Besok jenazah Ratna
dimakamkan, jadi hari itu hari terakhir bagi yang mau melayat.
Di sana ada Eva dan Evi bersama Dadang serta beberapa
kerabat lain. Jadi Kurnia merasa tidak dibutuhkan. Ia mengajak
Frans bicara di tempat parkiran. Ada bangku kayu yang bisa
diduduki.
Kurnia melihat Dadang mengamati kepergiannya bersama
Frans, tapi ia tidak peduli.
"Apa kau berhasil mengajaknya mengobrol?" tanya Kurnia.
"Tentu saja."416
"Pintar juga kau. Masih jago merayu cewek seperti dulu
rupanya."
"Ah, nggak juga. Dia mau melayani aku ngobrol karena dia
juga ingin tahu tentang apa yang ingin kuketahui."
Kurnia tertawa. "Ya. Dia memang kelihatannya
cewek cerdas. Bukan tipe yang bisa diajak main-main. Terus
gimana?"
"Dia bilang kalau aku ingin tahu perihal roh, aku harus jadi
roh dulu."
Kurnia tertawa lebih keras. "Hahaha, kau mati kutu dong."
Frans tersenyum masam.
"Ya, dia memang pintar," ia terpaksa mengakui. Tak ingin
membual. "Bahkan dia bisa menebak bahwa aku disuruh kau
nanya-nanya."
Kurnia terkejut. "Kok bisa nyangka begitu, ya?"
"Ya. Bisa aja. Kan ada sebab-akibatnya."
"Maksudmu?"
"Kan mereka bertiga pernah diundang oleh Bu Raina
untuk cerita tentang roh Pak Simon. Kalau kemudian aku
ikutan nanya-nanya sementara dia melihat kita berdua asyik
mengobrol, sudah jelas ke mana dugaannya, kan?"
Kurnia menganggguk. "Ya, ya. Masuk akal. Pinter
memang."
"Jadi sudahlah. Nggak usah deketin dia lagi."
"Katanya kau naksir."
Frans cemberut.
"Keduluan orang, ya? Dia nggak mungkin sama si Aditya,
pasti sama Irawan."
"Ah, sok tahu kau."417
"Kau harus gigih kalau menghadapi cewek, Frans."
"Seperti kau?"
Kurnia tertawa. "Iya dong."
"Nggak semua cewek bisa dihadapi dengan cara yang
sama. Kalau dia memang nggak mau, ya, tetap aja nggak mau."
"Ya, sudah. Kan masih banyak cewek Iainnya. Perawat di
sana juga banyak."
Frans mengangguk, tak bersemangat meneruskan
percakapan itu.
"Ngomong-ngomong, kau sama Dadang kelihatannya
nggak akur, ya?"
"Ah, kok bicara begitu?"
"Kelihatan aja."
"Biasalah itu, persaingan dua menantu."
"Oh ya, ada juga yang seperti itu, ya?"
Sekarang Kurnia yang kehilangan semangat.
Bagaimanapun hubungannya dengan Frans, ia tak sebodoh itu
untuk memercayakan rahasianya.
Semula ia mengira ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari
Frans karena perkenalannya dengan Siska dan kedua temannya.
Kalau kemudian ternyata tak ada apa-apanya, tak ada gunanya
untuk dilanjutkan.
Sama-sama tak lagi bersemangat, sama-sama menyadari tak
ada lagi yang bisa dimanfaatkan satu dari yang lain, keduanya
segera berpisah. Ada janji-janji untuk nanti bertemu lagi, tapi di
dalam hati sama sekali tak berniat.
"Siapa sih dia?" sambut Evi.
"Kan aku sudah bilang, teman lama."
"Kok kayaknya akrab banget."418
"Ya. Dia itu naksir Siska. Tempo hari dia pernah lihat Siska
sama Adit mengobrol dengan Mama di taman. Jadi dia deketin
aku, biasalah, nanya ini-itu. Pengin tahu kenapa Siska kelihatan
akrab sama Mama."
"Terus kau cerita?"
"Tentu saja nggak pada mulanya. Tapi lama-lama aku jadi
pengin tahu, mungkin nggak dia tahu sesuatu. Jadi dia mancing
aku, lalu aku mancing dia. Akhirnya aku nggak dapat apa-apa."
"Jangan cerita soal roh Papa kepadanya. Mas. Nggak enak
kalau jadi sensasi. Biarlah itu urusan keluarga kita."
"Tentu saja. Oh ya, ingatkan aku, Vi. Bukankah kau harus
periksa ke dokter?"
"Ya, nantilah kalau pemakaman Mama selesai."
Suara Evi tidak bersemangat. Kurnia mengamatinya.
Biasanya Evi senang sekali membicarakan kemungkinan
kehamilannya. Sampai saat itu belum ada kepastian dari dokter,
tapi Evi sudah yakin. Hasil test-pack sudah positif, dia sudah
terlambat haid. Tapi yang memastikan tentunya dokter.
"Kau merasa tidak sehat, Vi?"
"Nggak sih. Aku baik-baik aja. Cuma ingat Mama saja. Dia
nggak sempat tahu aku hamil. Yang dia tahu cuma tentang Eva
saja. Terus dia nggak sempat menunggu anak Eva lahir. Baik
Papa maupun Mama nggak sempat ngalamin punya cucu.
Huuu..."
Kurnia memeluknya.
"Sudah, Vi. Jangan sedih-sedih. Kita harus pasrah."
Evi melepas pelukan. "Iya, memang harus begitu. Buat kita
yang masih hidup, jalan masih panjang untuk ditempuh. Mama
tentu nggak ingin kita jadi putus asa. Aku harus membuktikan
kepadanya bahwa aku sanggup melanjutkan pekerjaan Mama."419
Kurnia melihat ketegaran dan semangat di wajah Evi.
Tiba-tiba ia tidak menyukai hal itu.
"Tapi kau nggak boleh capek-capek, Vi. Ingat
kandunganmu."
"Aku justru nggak mau seperti Eva, sampai harus merana di
tempat tidur. Aku ingin tetap kuat. Banyak kan orang yang
sedang hamil tapi bisa tetap bekerja. Yang penting jangan
memaksa diri. Tetap ingat untuk beristirahat. Orang biar capek
kayak apa, tapi kalau sudah beristirahat sebentar, akan segera
pulih."
Kurnia merasa melihat sosok Evi yang baru.
"Tentu saja," kata Kurnia, tak bisa lain. "Kau harus baikbaik menjaga kondisi."
"Dengan dukunganmu, ya?"
"Ya. Itu sudah pasti."
"Waktu Pak Anton datang melayat, dia sudah mengatakan
akan pensiun saja."
"Kenapa? Kan masih ada beberapa bulan lagi?"
"Dia merasa sedih kehilangan Mama. Jadi semangat
kerjanya ikut hilang. Tapi bagus kan, Mas? Setelah dia pergi,
kau menggantikannya."
"Sebenarnya, pikir-pikir setelah kehamilanmu ini,
bukankah sebaiknya aku mendampingimu di kantor pusat?"
Evi tertawa. "Ah, masa aku perlu babysitter! Di sana ada
sekretaris yang sudah lama mendampingi Mama. Dia sangat
terampil. Mungkin pemahaman dia lebih dalam dibanding aku.
Sudah, kau di pabrik aja. Itu pun tempat yang vital lho."420
"Tapi lama-kelamaan, cuma hitung bulanan, hamilmu
tambah besar. Lalu kau harus cuti panjang. Nanti siapa yang
menggantikanmu?"
"Wah, itu sih urusan nanti saja. Masih lama. Nggak perlu
mikirin soal itu. Jadi pengganti Mama saja belum."
Sebenarnya Kurnia merasa kecewa. Ia ingin mendampingi
Evi, berharap Evi ingin pula didampingi olehnya. Menjadi
pimpinan di kantor pusat adalah impiannya. Biarpun belum jadi
pemilik, tapi sudah jadi penguasa. Dengan mendampingi Evi, ia
bisa belajar, baik ilmu maupun orang-orangnya. Setelah terbuka
peluang di situ, maka pabrik tak lagi menarik.
Tapi Evi tidak menyinggung soal itu. Ia diharapkan tetap
di pabrik.
Evi tidak menyadari kegalauan perasaan Kurnia. Ia juga
tidak ingin membicarakan soal itu sementara masih dalam
suasana berkabung. Bahkan ibunya belum dimakamkan.
Tiba-tiba Evi tersentak. Tanpa disengaja tatapannya tertuju
ke kaca lemari di depannya. Kurnia yang posisinya
berdampingan, tampak jelas bayangan wajahnya di situ. Kaca
itu bukan cermin, tapi karena mengilap maka terlihat cukup
jelas bagaimana ekspresi wajah Kurnia. Ia terkejut karena wajah
Kurnia memperlihat-kan kegeraman, matanya melirik ke
arahnya.
Evi buru-buru berpaling, khawatir kalau Kurnia
menemukan arah pandangannya. Tapi saat yang cuma sebentar
itu cukup membuat perasaannya tercekat.
Ia berharap Kurnia akan menjelaskan kegeraman atau apa


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun yang tampak di wajahnya itu, tapi Kurnia berlalu tanpa
berkata apa-apa.
421 18 IRAWAN menjemput Siska seperti yang sudah dijanjikan.
Mereka sama-sama berwajah cerah, gembira sekali. Bagi mereka
ada kesamaan, yaitu pergi berkencan setelah lama sekali tak
melakukannya. Di samping kegembiraan, ada juga kegugupan.
Ketika berjalan bersisian, Irawan ingin sekali memegang
tangan Siska, tapi ia takut membuatnya malu kalau ada
temannya yang melihat mereka, dan juga takut kalau itu
dianggap sebagai sikap yang lancang. Mereka menuju parkiran.
Baru setelah beberapa meter dari mobil, Irawan berani meraih
tangan Siska. Itu pun setelah berkali-kali bersentuhan.
Karena diliputi perasaan yang penuh sensasi, mereka tidak
menyadari bahwa di belakang mereka ada motor yang
dikendarai Frans. Tak terlalu dekat, tapi cukup untuk bisa
melihat dan mengenali mereka. Frans baru keluar dari kantor
setelah lembur hari Sabtu.
Frans tidak dikenali karena mengenakan helm penutup
muka dan kepala. Kemudian ia berhenti untuk mengawasi lebih
lanjut. Setelah Siska dan Irawan masuk ke dalam mobil, lalu
mobil itu bergerak, barulah Frans mengikuti.
Sambil mengawasi napas Frans agak memburu dan
tersengal-sengal karena menahan amarah. Ia benci dan marah
sekali. Tentu ia maklum bahwa Siska bukanlah pacarnya
sehingga ia boleh pergi dengan lelaki lain. Tapi kenapa harus422
dengan Irawan? Berpegangan tangan pula. Kalau tidak ada apaapa, seperti yang pernah dilihatnya sebelum ini, kenapa harus
bersentuhan? Wajah keduanya pun penuh senyum dan tawa.
Frans serasa terbakar oleh cemburu dan kemarahan.
Ia masih berupaya meredakan emosinya. Jangan berpikir
negatif dulu. Siapa tahu mereka bermaksud ke rumah Aditya
untuk berkumpul. Tapi harapan ini menipis dan kemudian
semakin menipis ketika saat me-buntuti ia melihat ke mana arah
mobil Irawan menuju. Ke rumah Irawan!
Ia tidak lagi membuntuti, melainkan berhenti di seberang
jalan. Ia sudah tahu itu rumah Irawan karena pernah ke situ
bersama beberapa karyawan lain. Sesudah berhenti ia turun dari
motornya lalu membuka helmnya dan berjongkok di sisi
motornya. Ada perasaan mabuk yang menyeruak lambungnya,
membuatnya seperti ingin muntah. Tapi ia berhasil
menahannya.
Setelah mualnya hilang ia menuju warung tenda tak jauh
dari tempatnya berada. Ia memesan segelas kopi. Lalu
menghirup kopinya perlahan-lahan. Matanya dilayangkannya
ke seberang, ke arah rumah Irawan. Tapi ia tak bisa melihat
apa-apa karena terhalang pagar dan rimbunan semak. Ia cuma
bisa membayangkan dan hal itu membuatnya merasa semakin
sakit.
Sesekali ia mendengar gonggongan anjing.
Siska disambut hangat oleh Red, golden retriever berbulu
kemerahan. Red menggoyang-goyang ekornya, berdiri dengan
dua kaki, lalu memeluk pinggang Siska dengan kedua kaki
depannya.
"Halo, Red! Aku Siska. Kenalan, ya?" kata Siska sambil
mengusap-usap kepala Red.423
Red menggonggong pelan, lalu menyurukkan kepalanya
ke perut Siska yang tertawa-tawa kegelian.
Sementara Irawan berdiri mengawasi dengan tersenyum.
Perkenalan Siska dengan Red berlangsung sukses.
Siska mencium kepala Red dan membelai-belai bulunya
yang tebal.
"Aduh, kau wangi deh. Pasti habis mandi. Kapan
mandinya?"
"Tadi siang," sahut Irawan.
"Cantik sekali dia. Eh, bukan cantik, tapi cakep. Bulunya
begitu bagus. Jarang ada anjing jenis ini yang berwarna
kemerahan ya, Wan?"
"Betul, Sis. Dia pun kebetulan pula bisa kumiliki. Tadinya
milik seorang kerabat yang mau pindah ke luar negeri. Dia
tidak membawa anjingnya, jadi ditawarkan padaku. Tadinya
aku nggak pernah memiliki hewan peliharaan karena almarhum
istri nggak suka. Karena dia sudah nggak ada aja maka Red
ditawarkan padaku. Begitu melihatnya aku langsung jatuh hati.
Dia menjadi sahabatku satu-satunya."
Siska pun jatuh hati kepada Red. Dia menghabiskan banyak
waktu untuk bermain dengannya. Irawan sampai terlupakan.
Tapi Irawan pun segera ikut serta. Ia tak mau tersisih sendiri.
Red luar biasa senang. Belum pernah ia diajak main sampai
seseru itu.
Mereka bermain dengan Red sambil mengobrol. Masingmasing bercerita tentang diri sendiri dan masa lalu. Irawan tak
punya banyak cerita. Jalan hidupnya tak banyak liku-liku.
Berbeda dengan Siska. Tak ada rasa segan pada Siska untuk
menceritakan masa lalunya, padahal ia tak pernah bercerita
kepada siapa pun, termasuk pada Aditya. Ia memang tak424
mungkin berterus terang kepada Aditya bahwa dia pernah
mencintai Aditya. Tetapi kepada Irawan ia bercerita, meskipun
dengan malu-malu.
Red sudah capek bermain. Ia duduk di karpet di antara
Siska dan Irawan, menikmati kehangatan belaian kedua orang
itu. Sesekali ia menggonggong pelan, seolah ikut memberi
komentar bila di sela percakapan tatapan Siska atau Irawan
tertuju kepadanya.
"Nah, itulah riwayatku yang memalukan, Wan. Selalu
jatuh cinta pada lelaki beristri.,,
"Memalukan apa?" seru Irawan. "Itu justru mengagumkan!
Kau hebat, Sis. Kau tidak seperti kebanyakan perempuan lain
yang suka merebut suami orang. Mentang-mentang suami
orang itu bilang cinta padanya. Padahal cinta tidak bisa jadi
pembenaran kalau itu memang salah."
"Tapi, tetap saja perasaan itu ada."
"Yang salah itu lelakinya, bukan kau."
"Tapi dalam masalah Adit, ada bedanya. Sejak awal aku
sudah tahu, tapi aku biarkan saja perasaanku berkembang.
Harusnya begitu menyadari, aku segera mengundurkan diri dan
mencari pengganti. Alasan bisa dicari."
Irawan menggelengkan kepala. "Ya, Adit memang
berbeda. Tapi dia sendiri kan nggak melakukan pendekatan
padamu?"
"Oh, dia sangat perfek. Tapi sebagai manusia kadangkadang aneh. Justru karena dia perfek dan sangat sopan, aku
malah jadi semakin tertarik. Sampai akhirnya susah sekali
mengatasi. Sangat memalukan, seperti si punguk merindukan
bulan. Mudah-mudahan saja Adit nggak pernah tahu."425
"Mana mungkin dia bisa tahu kalau dia nggak diberitahu."
Irawan tertawa.
"Kau jangan sekali-kali memberitahu, ya Wan. Suatu
perasaan yang pernah ada, tapi sekarang sudah hilang tidak
boleh diungkit lagi."
Irawan mengangguk. "Ya, ya. Tentu saja. Tapi kau
kelihatan senang sekali waktu Adit memintamu menjadi
saudaranya."
"Oh iya," Siska mengakui. "Entah kenapa, tiba-tiba ada
jalan keluar terbaik bagi perasaanku. Berarti aku boleh tetap
menyayanginya, tapi sebagai saudara."
Sebenarnya Irawan memiliki dugaan sendiri kenapa Aditya
ingin mengangkat Siska jadi saudara. Bukan karena merasa
berutang budi, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak ingin
dikemukakannya kepada Siska maupun kepada Aditya. Kadangkadang ada hal-hal yang sebaiknya disimpan sendiri saja.
"Aku bersyukur sekali kau mau menceritakannya padaku,
Sis. Apakah masih ada orang lain yang juga kaupercayai?"
"Nggak ada. Cuma kau saja."
"Kenapa kalau boleh tahu, Sis? Apa karena kau
menganggapku sebagai kakak atau malah sebagai ayah?"
Irawan mengajukan pertanyaan itu dengan was-was.
Masalahnya Siska tampak begitu nyaman bersamanya, seorang
lelaki yang belum lama dikenal. Sedikit pun tidak kelihatan
berprasangka buruk.
Siska malah tertawa geli. "Tentu saja nggak dong."
"Dua-duanya nggak?" Irawan menegaskan.
"Iya. Aku rasanya senang saja bisa curhat denganmu. Kau
orang yang menyenangkan," kata Siska terus terang sambil
membelai kepala Red.426
"Sungguh, Sis? Baru pernah ada orang yang bilang begitu."
"Ah, masa. Apa iya? Jangan bohong, ah."
"Nggak bohong kok. Mungkin saja ada orang yang mikir
begitu juga, tapi dia nggak mengatakannya."
Siska tiba-tiba tertegun. Ah, apakah dia telah bersikap
berlebihan? Wajahnya jadi merona. Ia mengalihkan
kegugupannya kepada Red.
Irawan menyadari sikap Siska yang tampak malu.
"Maafkan aku, Sis. Nggak seharusnya aku ngomong
begitu. Sebenarnya aku senang kau menganggapku sebagai
orang yang menyenangkan. Bahagia sekali. Kau orang yang
tulus. Aku sangat mencintaimu," Irawan mengatakannya
dengan memaksa diri. Red mengawasinya, seolah membantu
memberi dorongan.
Lalu Red menggonggong sambil berdiri, seperti
mengaplaus.
Siska menatap Irawan dengan mata berkaca-kaca.
Tentunya munafik kalau ia menganggap ucapan Irawan itu
sebagai surprise. Ia tahu, cepat atau lambat kata-kata itu akan
keluar. Tapi ia tidak pernah memikirkan apa yang harus
dikatakan atau dilakukannya jika hal itu terjadi.
Red menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Siska. Tapi
Irawan juga tidak mau kalah. Ia beringsut di atas karpet untuk
lebih mendekati Siska. Keduanya bertatapan semakin dekat.
Di antara mereka terdapat Red, agak terjepit. Irawan
mendorong Red supaya pergi, tapi Red bertahan di pangkuan
Siska. Akhirnya dorongan Irawan berhasil juga menjauhkan
Red. Dengan teramat segan Red menjauh sedikit, lalu duduk
mengamati dengan menggoyang-goyangkan ekornya.
"Boleh aku menciummu?" tanya Irawan perlahan.427
Siska tidak menjawab. Ia hanya menatap saja dengan
jawaban di matanya. Irawan tak perlu bertanya lagi. Mereka
berciuman. Red menggonggong pelan dengan ekor tetap
bergoyang ke kanan dan ke kiri. Matanya tetap mengawasi.
Setelah keduanya saling melepaskan diri dan berpandangan
dengan tersenyum, barulah Red menghampiri dengan pelanpelan, seolah takut diusir. Siska merengkuhnya lalu
memeluknya. Irawan juga. Kedua orang sama-sama memeluk
Red. Bukan main kibasan ekor Red dan tingkahnya menjadi
sangat berlebihan.
"Jadi kau mencintaiku juga, Sis?" tegas Irawan.
"Ya. Masih perlu penegasan?"
"Buatku perlu." Irawan tersenyum.
Sesudah itu mereka makan malam yang dimasak oleh
pembantu, merangkap koki Irawan. Siska berkenalan dengan Bi
Asih. Sementara Red juga menikmati makan malamnya.
Mereka menghabiskan waktu tanpa ke luar rumah. Itu pun
waktu terasa cepat. Siska harus pulang.
"Kalau tinggal di asrama, nggak bisa pulang seenaknya.
Sebelum jam sepuluh sudah harus berada di kamar masingmasing. Kalau mau seenaknya cari rumah sendiri," kata Siska.
"Tapi kau betah di sana."
"Iya. Karena bisa menghemat dan tak ada tempat lain unluk
tinggal."
"Nanti, maukah kau tinggal di sini, Sis?"
Siska bengong sejenak.
"Tentunya nanti kalau kau sudah jadi istriku. Eh, kau mau
jadi istriku, kan?"
Siska mengangguk. Irawan memeluknya lagi.428
"Aku sungguh bahagia, Sis."
"Aku juga..."
"Pada akhirnya kita saling menemukan, bukan?"
"Ya."
Dengan teramat segan, mereka harus mengakhiri
kebersamaan itu. Red pun melepas Siska dengan wajah sedih.
"Nanti kita ketemu lagi, Red."
Siska menepuk kepala Red.
"Dia sudah menjadi temanku. Apa semua anjing mudah
berteman, Wan?"
"Nggak tahu juga. Anjing memang teman manusia. Yang
kutahu jenis Red itu friendly. Tapi tentu tergantung pendekatan
kita. Tadi sikapmu sangat memukau dia."
Red tidak diperkenankan mengantar sampai ke mobil. Dia
tetap di balik pintu tertutup.
"Takutnya dia lari ke jalan mengejar mobil," kata Irawan.
Siska melambaikan tangan kepada Red yang mengintip
dari jendela. Ia merasa sebagian hatinya tertinggal di rumah itu.
Tidak heranlah bila Irawan betah hidup hanya bersama seekor
anjing bila anjingnya seperti Red. Cinta dan kasih sayang tidak
harus dari sesama manusia. Apalagi anjing tidak mungkin
berkhianat seperti halnya manusia. Dia akan setia sampai mati.
"Kau jatuh cinta pada Red ya, Sis?" tanya Irawan sambil
tertawa.
"Betul sekali."
"Pasti nggak sama seperti kepadaku?" gurau Irawan.
"Wah, cemburu?"
"Nggak sih. Tapi melihat kalian berdua tadi itu seperti
ditakdirkan untuk bersama. Bertemu untuk saling mencintai.429
Aku malah senang melihatnya. Tadinya aku takut kau tidak
menyukainya."
"Waktu belum melihat pun rasanya aku sudah sayang sama
dia."
"Ah, masa?"
"Iya. Waktu mendengar gonggongannya lewat telepon."
"Wah..." Irawan geleng-geleng kepala. Ia tahu, cinta Siska
kepadanya harus melewati proses lebih dulu. Awalnya tidak ada.
Tapi kepada Red sangat berbeda. Pemikiran ini ia simpan
sendiri. Tidak mungkin mengatakannya kepada Siska.
Di seberang jalan, Frans masih bertahan. Karena perutnya
sudah terisi oleh makanan yang dibelinya di warung, maka ia
cukup merasa bertenaga untuk menunggu. Ia tahu, sebenarnya
ia tidak perlu menunggu karena ia sudah tahu di mana kedua
orang itu berada. Mereka tidak akan ke mana-mana dan Siska
juga terikat oleh waktu. Sebentar lagi Siska harus pulang. Tapi


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ingin diketahuinya adalah berapa lama mereka berdua
menghabiskan waktu di sana.
Sambil menunggu itu ia merasa tersiksa. Ia terus membayangkan apa saja yang dilakukan keduanya di dalam rumah,
berdua saja. Yang pasti tidak dilalui hanya dengan mengobrol.
Tentu ada yang lain. Sesuatu yang dia bayang-bayangkan.
Semakin tidak senonoh pikirannya, semakin membuatnya
berang.
Akhirnya yang ditunggu pun keluar. Pintu gerbang
terbuka. Mobil Irawan muncul. Frans segera menghidupkan
motor setelah mengamati arlojinya. Gila, pikirnya. Hampir
empat jam dihabiskan kedua orang itu di dalam rumah.
Sebenarnya ia tidak lagi perlu membuntuti karena ia sudah
tahu ke mana arah mobil itu. Pasti menuju asrama. Tapi ia tetap430
saja meluncur mengikuti dengan pikiran menggemuruh. Ia
tidak rela. Sangat tidak rela bila Siska dimiliki orang lain, siapa
pun itu. Kalau dia sendiri tidak bisa memiliki, maka orang lain
pun tidak. Keyakinan itu tertanam kian dalam semakin lama ia
mengikuti mereka.
Ketika suatu ketika ia sempat mendekat ke mobil, ia tidak
bisa melihat ke dalam karena kacanya yang gelap. Maka
pikirannya pun membayangkan macam-macam. Apakah kedua
orang itu duduk berdempetan? Apakah Siska meletakkan
kepalanya di pundak Irawan? Apakah keduanya berciuman
setiap berhenti di lampu merah?
Asrama sudah kelihatan. Irawan memarkir mobilnya di luar
gerbang asrama karena pintu sudah tertutup. Lalu Siska keluar
diikuti Irawan yang bermaksud mengantar masuk ke dalam
halaman, terus sampai pintu asrama. Dari pintu gerbang mereka
harus berjalan beberapa puluh meter.
Frans menyaksikan bagaimana kedua orang itu berjalan
berdempetan sambil berpegangan tangan. Darahnya tambah
mendidih. Ia berada pada jarak yang berhadapan. Siska berjalan
di sebelah luar. Di dalam kegelapan malam yang diterangi
lampu jalan temaram, Siska terlihat cantik dengan sosoknya
yang tinggi langsing dan rambut tergerai. Sekarang kecantikan
itu menjadi milik Irawan.
Tanpa pikir panjang lagi, Frans menjalankan motornya
dengan kecepatan tinggi lalu mengarahkannya kepada Siska!
Dia menerjang seperti badai yang menderu.
Karena datangnya dari arah depan, Siska bisa melihatnya.
Dalam hitungan detik ia terpaku dan kehilangan daya refleks.
Tapi Irawan di sebelahnya ber-teriak keras, lalu menariknya ke
tepi sehingga mereka berdua terjatuh di jalan aspal. Irawan tidak
keburu menarik ke trotoar, tapi masih bisa menghindari431
tabrakan itu. Motor sedikit menyerempet tubuhnya sebelum ia
terjatuh bersama Siska.
Frans kehilangan keseimbangan dan kendali atas motornya.
Ia terus nyelonong lalu menabrak pohon besar. Beberapa orang
yang sedang berdiri sempat menyelamatkan diri. Motor jatuh,
tubuh Frans terlempar setelah menabrak pohon, lalu mendarat
dengan kepala menghantam aspal!
Beberapa orang datang menolong. Karena kejadian itu
kebetulan di lingkungan RS Mulia Bakti, maka mereka
mengantar ke Unit Gawat Darurat. Siska bantu memapah
Irawan yang jalannya terpincang-pincang. Kakinya keseleo dan
pinggangnya terasa nyeri. Siska sendiri tidak mengalami cedera.
Di UGD banyak yang mengenal Siska karena merupakan
rekan sejawat. Ke sana pula Frans dibawa. Ia dalam kondisi
pingsan. Irawan dan Siska sangat terkejut ketika mengenali
orang yang menerjang mereka. Tetapi mereka sepakat tak ingin
melaporkan hal itu sebagai kesengajaan meskipun punya
dugaan. Mereka menyatakannya sebagai kecelakaan. Mungkin
pengemudi motor sedang mabuk atau motornya mengalami
rem blong.
Irawan menelepon Aditya, sementara perawat menelepon
rumah Frans yang diperoleh dari kartu identitas di dompetnya.
Ada juga yang mengenali Frans sebagai karyawan di kantor
administrasi.
Aditya datang bersama Karen. Mereka saling berpelukan.
"Untunglah kalian selamat, ya," ucap Aditya dan Karen.
"Ya, kami beruntung. Masih diberi waktu sedikit untuk
melompat ke pinggir," kata Irawan.
"Jadi dia sengaja menabrak?" tegas Aditya.432
"Jelas sekali. Siska begitu terkejut sampai terpaku berdiri.
Dia datang dari arah depan, jadi masih bisa diantisipasi. Coba
kalau dari belakang...," kata Irawan sambil mengelus-elus
pinggangnya yang ngilu.
Irawan dinyatakan baik-baik saja. Kakinya tidak sampai
terkilir. Hanya memar dan lecet karena tergerus aspal.
Celananya pun sobek di bagian tumit. Tapi untuk pemeriksaan
lebih teliti ia diminta datang lagi besok. Tapi ia yakin tidak ada
yang cedera di dalam. Tadi pinggangnya keserempet sedikit,
tidak sampai terjadi ben turan.
Kerabat Frans pun sudah datang untuk mengurus. Mereka
berempat menjenguk Frans di tempat tidurnya sebelum pergi.
Frans masih belum sadar.
Siska pulang ke asrama lebih dulu sesudah berpesan pada
Irawan agar segera beristirahat begitu tiba di rumah. Ia
menyampaikan terima kasih sekali lagi karena tanpa upaya
Irawan, pastilah dirinya sudah terkapar. Ia pun memeluk Karen
dan menyalami Aditya.
"Mau diantar?" tanya Aditya.
"Nggak usah, Mas. Terima kasih."
Siska segera pergi, takut benar-benar ditemani pulang.
Jaraknya tidak jauh, masih dalam lingkungan rumah sakit.
Aditya berpandangan dengan Karen, lalu keduanya
tersenyum.
"Ada apa?" tanya Irawan.
"Kayaknya bukan cuma ada peristiwa menyedihkan hari
ini, tapi juga peristiwa menggembirakan," kata Aditya.
"Ya, memang. Kami sudah jadian."
"Wah, selamat ya, Pak!" seru Aditya433
"Selamat, Pak Irawan!" Karen menambahkan.
"Terima kasih."
Bagi Irawan, kecelakaan seperti itu amatlah ringan bila
dibanding dengan anugerah yang didapatnya. Sakit lebih berat
pun rela ditanggungnya. Yang penting Siska selamat.
Semula Aditya dan Karen berencana untuk mengantar
Irawan pulang. Karen mengemudi mobil sendiri dan mengajak
Irawan, sementara Aditya yang membawa mobil Irawan. Tapi
Irawan mengatakan ia masih bisa mengemudi. Kakinya yang
sakit hanya satu, itu pun tidak terlalu sakit. Jadi Aditya dan
Karen mengawal Irawan dari belakang, sampai Irawan selamat
tiba di rumahnya.
Sementara itu Siska sudah berbaring di tempat tidurnya.
Masih tegang dan berdebar mengenang kejadian yang barusan
dialaminya. Satu peristiwa membahagiakan disusul dengan
peristiwa menakutkan. Alangkah tipis bedanya. Ia jadi belajar
untuk segera mensyukuri karunia yang diperolehnya tanpa
menunggu sampai direnggut kembali.
Jadi itukah balas dendam yang dilakukan Frans kepadanya?
Ia tidak mengerti kenapa Frans harus sekeji itu padahal tidak ada
apa-apa di antara mereka. Ia pun tidak merasa telah
memperlakukan Frans dengan kasar. Jadi memang seperti itulah
tabiatnya yang mengerikan, sama seperti yang telah ia lakukan
pada Aditya.
Ia belum bisa segera tidur, masih memikirkan Irawan dan
berharap tak ada yang serius pada tubuhnya. Ia juga
menunggu-nunggu barangkali akan ada telepon dari Irawan,
tapi ia sendiri tidak mau berinisiatif menelepon duluan.
Harapannya terkabul ketika kantuk sudah mulai
menggelayut.434
"Kau baik-baik saja, Sis?"
"Oh ya, aku baik. Kau gimana? Kakimu, pinggangmu?"
"Kaki masih perih, tapi yang penting nggak keseleo seperti
persangkaan semula. Pinggang masih ngilu seperti keluhan
orang rematik. Tapi selebihnya semua baik."
"Terima kasih ya, Wan. Berkat bantuanmu..."
"Hei, jangan ngomong gitu lagi, ah," Irawan memutus.
"Itu kan kewajibanku. Kalau memang mampu kenapa nggak?
Tapi aku masih saja merasa takjub, Sis. Heran, kok bisa ya sigap
seperti itu. Biasanya aku ini orangnya lamban."
"Kau hebat. Takkan pernah kulupakan kejadian itu."
"Ya, menegangkan sekali, bukan? Nggak sangka si Frans
bisa berlaku begitu. Rupanya tadi dia membuntuti kita."
"Sudah jelas dia mau menabrakku. Apa kita nggak perlu
melaporkannya?"
"Itu terserah kau, Sis. Kalau mau lapor nanti kita samasama..."
"Kupikir, nggak usah saja ya, Wan?"
"Alasannya?"
"Aku sebenarnya marah sekali pada Frans. Niatnya jahat
dan dia memang jahat. Tapi kupikir, kita sudah selamat. Kita
dilindungi. Biarpun berniat membunuh, kalau kita dilindungi,
niatnya nggak akan kesampaian. Seperti Mas Adit juga, kan?
Jadi biarkan dia menerima hukumannya sendiri."
"Kau orang yang pemaaf, Sis. Aku salut."
"Sebenarnya bukan begitu juga, Wan. Dia sudah dihukum."435
"Tapi kalau nanti dia sehat kembali, apa dia nggak akan
mengulangi usahanya? Mentang-mentang kita nggak
menuntut."
"Aku akan bicara dengan dia kalau dia sudah sadar."
"Bicara apa?"
"Memberitahu dia supaya tidak pernah lagi berbuat seperti
itu."
"Kalau begitu kau jangan bicara sendiri dengan dia. Samasama, ya?"
"Ya. Begitu lebih baik. Terima kasih, Wan. Sekarang kita
harus tidur. Istirahatlah. Makan obatmu. Jangan lupa
menggosok pinggangmu."
"Besok kita bicara lagi, ya?"
Mereka saling mengecup di telepon. Siska tersenyum
sesudahnya. Ia tertidur dengan senyum di bibirnya.
Irawan masih mengenang kejadian tadi dengan jantung
berdebar. Hampir saja kebahagiaan yang berhasil diraihnya
lenyap begitu saja. Kalau tadi Siska sampai celaka, ia pasti sulit
memaaikan diri sendiri. Bukankah Siska dijadikan sasaran Frans
karena cemburu? Dialah pembangkit kecemburuan itu.
Tapi ia tetap merasa jadi orang paling beruntung di dunia.
Sudah jelas kepada siapa ia harus bersyukur dan berterima kasih.
Ketika istri tercintanya meninggal, ia merasa jadi orang paling
malang di dunia. Sekarang terbukti tidak demikian. Tuhan telah
mengambil, tapi kemudian memberikan ganti kepadanya.
Pada saat mengelus-elus pinggangnya, Aditya menelepon.
"Sudah tidur, Pak?"
"Belum, Dit. Masih rnengoles obat ke pinggang. Encok
nih," kata Irawan, tertawa.436
"Untung cuma encok." Aditya juga tertawa.
"Ya. Kami berdua masih disayang Tuhan, Dit."
"Tentu saja, Pak. Saya juga pernah merasa begitu."
"Eh, sebelum kita lanjut mengobrol, tiba-tiba terasa
canggung kalau kau terus memanggilku Bapak. Kita sudah jadi
teman. Siska pun kusuruh memanggil namaku saja. Jadi kau
pun harus sama. Nanti Karen juga begitu."
"Tapi Bapak kan bosku."
"Nggak apa-apa. Bos bisa juga jadi teman, bukan?"
"Sudah kebiasaan. Maaf saja kalau kelupaan ya, Pak, eh...
Wan."
"Nah, begitu. Siska juga suka lupa. Nggak apa-apa. Asal
nggak sengaja saja."
"Baik. Kita lanjutkan?"
Mereka membicarakan lagi kejadian tadi. Sewaktu berada
di rumah sakit, tidak ada kesempatan untuk itu.
"Jadi Siska nggak mau menuntut?" tegas Aditya.
"Betul. Alasannya kami berdua sudah selamat, jadi sudah
harus bersyukur."
"Siska memang lembut hati."
"Dia juga mau bicara dengan Frans kalau sudah sadar
nanti."
"Mudah-mudahan saja kali ini Frans benar-benar kapok
dan berubah jadi orang yang lebih baik."
"Kita harap saja begitu. Sebenarnya dia juga beruntung
karena orang yang dijadikan sasarannya nggak ada yang mati,
jadi dia nggak sampai jadi pembunuh."
"Apa bedanya, Wan? Tujuannya adalah membunuh, bukan
sekadar mencederai."437
"Memang, tapi tetap saja ada bedanya. Kita lihat saja nanti.
Kau mau menjenguknya, Dit? Teman-temannya juga harus
diberitahu biar mereka menjenguknya."
"Tapi baiknya kau jangan jalan ke mana-mana dulu
sebelum kakimu dan pinggangmu sembuh."
"Ya, ya. Tentu saja. Toh kita bisa dapat kabar dari Siska."
Malam itu, sebelum tidur, Irawan berdoa. Sesuatu yang
sudah lama tidak dilakukannya.438
19 USAI pemakaman Ratna, Evi kembali ke kantor, sedang Kurnia
ke pabrik. Di sana ia resmi menjadi kepala setelah Anton
mengundurkan diri.
Evi tampil sebagai pimpinan perusahaan dengan dukungan
penuh dari Eva dan para pemegang saham yang tidak terlalu
banyak jumlahnya. Sebagian besar saham dipegang keluarga.
Eva yang tidak ambisius merasa senang karena dia tidak harus
ikut serta dalam manajemen perusahaan. Dia sudah cukup puas
dengan apoteknya dan ingin fokus di situ saja bersama Dadang.
Justru karena ada Dadang maka dia merasa puas dan optimis
dengan masa depan apoteknya.
Pada hari pertama bekerja sendirian, Evi merasa kesepian
tanpa ibunya. Di ruang kerja ibunya yang sekarang menjadi
tempatnya, ia membiarkan semua barang ibunya berada di
tempat semula. Ia bermaksud akan membiarkan semuanya
supaya menjadi kcnangan.
Ketika membuka laci, ia menemukan foto ibu dan ayahnya.
Setelah bimbang sejenak, apakah akan dikembalikannya lagi ke
dalam laci atau meletakkannya di atas meja, akhirnya ia memilih
yang terakhir. Dulu ibunya memasukkannya ke dalam laci
karena ada sebabnya. Sekarang ia mengeluarkannya pun ada
sebabnya. Masing-masing dengan sebab yang berbeda. Dulu439
ibunya punya masalah dengan ayahnya yang membuat


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan keduanya retak dan tak pernah pulih sampai ayahnya
meninggal. Sekarang ibunya sudah menyatu dengan ayahnya,
dan ia ingin menghidupkan kenangan mereka. Foto itu juga
bisa menjadi pemberi semangat.
"Sekarang aku yang menggantikan kalian. Bantu aku, ya
Pa, Ma," ucapnya kepada foto itu.
Pada hari itu Evi tidak terlalu bersemangat bekerja. Ia
hanya menandatangani surat-surat yang disodorkan sekretaris.
Selebihnya ia banyak merenung.
Ketika menerima telepon dari Kurnia, ia justru merasa
terganggu, berbeda dari biasanya.
"Ada apa?"
"Kau kenapa, Vi?" Kurnia balik bertanya karena menyadari
nada suara Evi yang agak judes.
"Oh... nggak apa-apa. Aku... aku sakit kepala."
"Makan obat dong. Atau istirahat. Berbaringlah di sofa."
"Ya, ya."
"Banyak pekerjaan?"
"Biasa aja."
"Di pabrik kerjanya banyak banget. Barangkali aku harus
pakai asisten."
"Terserah kau aja."
"Nanti mau makan siang bersama?"
"Nggak usah saja ya, Mas. Aku mau makan di kantor."
"Kalau begitu sama. Aku juga makan di sini saja. Tapi bila
aku senggang, aku ke sana bawa makanan untukmu. Aku akan
telepon lagi."
"Ah, nggak usah sajalah. Lagi nggak nafsu makan."440
"Oke. Sampai nanti deh, ya. Nanti aku telepon lagi."
"Kalau banyak kerjaan, nggak usah sering-sering telepon."
"Ya, beres."
Setelah menelepon, Evi menyadari bahwa hari itu sikapnya
tidak ramah kepada Kurnia. Mungkin Kurnia pun merasakan
hal itu. Tapi ia tak peduli.
Sesaat terpikir, apa sikapnya itu disebabkan karena
kehamilannya? Biarpun belum ada kepastian dari dokter, tapi ia
sendiri sudah merasakan ada kelainan pada tubuhnya. Mungkin
ada pengaruh hormon. Ia akan mengatakannya kepada Kurnia
bila nanti dipermasalahkan.
Tiba-tiba ia teringat ekspresi marah di wajah Kurnia yang
terpantul di kaca beberapa waktu yang lalu. Sesudah itu tidak
ada penjelasan apa-apa dari Kurnia hingga ia sempat berpikir
apakah penglihatannya itu salah. Apalagi ia sendiri tidak merasa
telah melakukan kesalahan. Tapi kalau dipikir secara mendalam
sepertinya ia memang telah melihatnya seperti itu.
Sekarang ia mulai mencari-cari penyebabnya. Apakah
sesungguhnya Kurnia tidak suka kepadanya? Di depan kelihatan
sayang dan perhatian, tapi di belakang... ah, ia merasa seperti
orang paranoid, berprasangka buruk tanpa alasan.
Tiba-tiba ia kembali merasa dirinya jelek dan tidak
menarik. Bukankah masuk akal kalau Kurnia hanya berlagak
mencintai dan penuh perhatian kepadanya karena ada yang
diincarnya? Sudah lama pikiran semacam itu tak pernah mampir
di benaknya. Ia yakin, dari berbagai pengalaman dan kejadian
sudah cukup membuktikan bahwa Kurnia memang mencintainya. Kenapa justru sekarang ia ragu-ragu? Mustahil hanya
karena penglihatan sekejap di kaca lemari? Bisa saja sesekali441
orang marah karena sebab yang tak mau dikatakannya. Tapi
kenapa ekspresi marah itu di belakang, bukan di depan?
Semula Kurnia ingin jadi kepala pabrik, tapi sekarang ia
ingin mendampinginya di kantor. Evi teringat pada alasan
Kurnia, bahwa kehamilan dan kelak punya bayi bisa membuat
pekerjaannya terganggu, hingga ia membutuhkan wakil. Dulu
ada ibunya, sehingga ide itu tak sampai terlontar. Sekarang
jabatan sebagai kepala pabrik sudah tersedia, tapi Kurnia tidak
gembira karenanya. Bisa dimaklumi kalau menjadi pemimpin di
kantor pusat lebih prestisius.
Pikiran itu terasa mengganggu. Mungkin dipengaruhi
kesedihan oleh kematian ibunya. Lalu tiba-tiba saja muncul ide
untuk pergi menjenguk rumah ibunya. Sejak kematian sampai
pemakaman ibunya, rumah itu hanya dikunci saja. Tidak ada
yang menunggu, karena semua pembantu sudah berhenti kerja
setelah diberi pesangon yang cukup. Biarpun tidak
diberhentikan, mereka tetap tidak mau menetap di rumah itu
dengan alasan tidak nyaman. Bisa dimaklumi karena kematian
ibunya terlalu mengejutkan. Mendadak dan mengerikan.
Evi mencari di laci dan menemukan kunci rumah ibunya.
Ia sendiri yang memasukkannya ke situ. Lalu ia keluar mencari
sekretaris.
"Bu, saya mau keluar dulu, ya."
Sekretaris mengangkat kepala, terkejut melihat wajah Evi
yang memerah. Matanya masih agak bengkak karena air mata.
"Mau ke mana, Bu Evi?"
"Pengin ke mal sebentar," Evi berbohong.
"Pakai sopir aja ya, Bu?"
"Ah, nggak usah. Saya nggak lama kok. Kalau perlu apaapa telepon aja."442
"Baik, Bu."
Sekretaris mengiringi kepergian Evi dengan tatapan iba. Ia
sendiri merasa sesak oleh kesedihan, apalagi Evi.
Setelah berada di jalan, tidak terpikir oleh Evi untuk
memberitahu Kurnia tentang rencananya itu. Ia memang tidak
bermaksud berlama-lama. Sekadar ingin merenungkan kembali.
Tapi diam-diam ia ingin sekali bisa bertemu dengan
"peninggalan" ibunya di sana, kalau hal semacam itu ada.
Mungkin arwahnya masih di sana? Mungkin mereka bisa
berbincang? Ia teringat pada mimpi Aditya yang berjumpa
dengan roh ayah-nya. Apakah ia juga bisa mengalami hal yang
sama?
Begitu tiba di sana, ia jadi berdebar. Kalau saja hal-hal
semacam itu memang ada, lain kali ia akan mengajak Eva untuk
ikut mengalaminya. Untuk pertarna kali ia ingin sendirian
karena lebih menjamin privasinya. Ia akan bebas menyalurkan
emosi tanpa ada yang mcng-halangi.
Setelah pintu rumah terbuka, terasa terjangan udara yang
ingin keluar. Udara pengap yang lebih berat dari-pada udara di
luar menghambur, seolah bergegas ingin berganti tempat
dengan yang di luar. Ia tidak membuka gorden jendela, tapi
menyalakan AC. Perlu waktu untuk menyejukkan udara.
Ia duduk di sofa tempat ibunya biasa duduk. Di atas meja
masih tergeletak novel yang habis dibaca ibunya. Ia membalikbalik lembarannya, tapi tidak tertarik untuk membacanya.
Matanya tertuju ke kamar yang pintunya tertutup. Di sana, di
bak mandi, ibunya ditemukan.
Pada saat itu melintas perasaan akan sesuatu yang tidak
pada tempatnya. Bagaimana kalau para pembantu berniat jahat
terhadap Ratna, lalu beramai-ramai menenggelamkannya?443
Tidak ada bukti bahwa mereka telah melakukan hal itu, tapi
juga tidak ada bukti bahwa mereka tidak melakukannya.
Tapi ia yakin mereka tidak sejahat itu. Ibunya selalu baik
kepada mereka. Tidak ada motivasinya. Biarpun demikian
seharusnya ia meminta polisi menyelidiki. Tapi risikonya adalah
kegemparan dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Perkiraan
pembunuhan hanya menimbulkan dugaan bahwa Ratna adalah
orang yang tidak baik hingga memiliki musuh. Apalagi bila
memang tak ada barang berharga yang hilang.
Kalau saja peristiwa itu bisa diselidiki dengan diam-diam
dan kemudian hasilnya hanya untuk "kalangan sendiri". Tapi
yang semacam itu tentu tidak mungkin.
"Aduh, Ma. Apakah aku telah melakukan kesalahan?
Apakah Mama penasaran? Tolong berikan aku petunjuk, Ma,"
ia berkata keras-keras.
Tapi hanya kesunyian yang menyambutnya. Tidak ada
sesuatu yang aneh-aneh terjadi. Tidak ada angin dingin
melintas. Tidak ada bulu kuduk yang berdiri.
Seharusnya ia berkonsultasi dengan seseorang, bukan
dengan udara, pikirnya. Ia teringat pada Aditya, Irawan, dan
Siska. Merekalah yang paling pantas. Bukankah pada waktu
makan malam itu ada sesuatu yang tidak tuntas diceritakan oleh
Aditya? Kenapa ia dimintai tolong oleh Simon untuk
melindungi keluarganya? Melindungi dari apa dan siapa?
Mustahil cerita yang tidak tuntas itu diterima saja oleh Ratna. Ia
tahu betul ibunya tidak akan tinggal diam menerima saja tanpa
penjelasan.
Ia menyesal karena sesudah itu tidak mendesak penjelasan
dari ibunya. Memang kelihatannya ibunya tidak mau
menjelaskan, tapi ia yakin kalau didesak, pasti ibunya akan
mengalah.444
Jadi sekarang ia sudah tidak bisa lagi meminta penjelasan
dari ibunya. Sudah terlambat. Tapi masih ada orang-orang yang
bisa. Mereka adalah ketiga orang itu.
Evi meraih ponselnya. Ia sudah memiliki nomor ketiga
orang itu. Sudah tukar-tukaran usai makan malam di rumah
ibunya. Ia memilih Aditya, sebagai orang yang punya
hubungan dekat dengan ayahnya. Kepada Adityalah ayahnya
datang dalam mimpinya. Jadi Aditya paling pantas.
Tapi setelah hubungan tersambung, tiba-tiba ia berpikir
lain. Seharusnya ia berpikir jernih dulu sebelum memulai
pembicaraan. Sekarang ia merasa dirinya seperti gunung berapi
yang akan meledak. Ia sedih dan marah kepada dirinya sendiri
karena merasa telah melakukan kesalahan, padahal kesalahan
seperti apa ia tidak memahaminya. Jadi sebelum bicara dengan
orang lain ia harus berdamai dengan dirinya sendiri, tenang dan
yakin.
Maka ia buru-buru memutus hubungan sebelum diangkat.
Tapi tak lama kemudian telepon dari Aditya ganti berbunyi.
Mula-mula ia biarkan saja, tapi tak nyaman juga. Akhirnya
diterimanya.
"Tadi menelepon saya, Bu Evi?"
Sesaat terpikir untuk berbohong dengan mengatakan
bahwa ia telah salah sambung, tapi kemudian tak jadi. "Saya...
saya ingin berbicara dengan Mas tentang Mama. Tapi jangan
sekarang. Nanti saja kalau ada waktu yang tepat untuk itu.
Tadinya saya pengin ngomong sekarang, tapi ada kesibukan."
"Oh, baik, Bu. Saya bersedia bicara dengan Ibu kapan saja.
Apa Ibu sudah di kantor?"
"Sekarang saya di rumah Mama."
"Di rumah Bu Ratna? Sama siapa di sana, Bu?"445
"Sendiri. Lagi tengok sana-sini."
"Oh..." Hening sejenak, sepertinya Aditya tercengang.
"Pembantu sudah nggak ada, Bu?"
"Nggak ada. Berhenti semuanya."
Lalu Evi segera memutuskan pembicaraan. Tadi ia merasa
keceplosan mengatakan sedang berada di rumah ibunya.
Tentunya Aditya akan bertanya-tanya. Maka ia mematikan
ponselnya supaya Aditya tidak menghubunginya lagi.
Tapi setelah mendengar suara Aditya tadi dan kesediaannya
untuk berbicara pada suatu waktu, ia merasa lebih nyaman.
Sesungguhnya ia tidak sendiri dalam masalahnya. Ia masih bisa
bicara dengan orang lain, mengharapkan adanya dukungan.
Sesuatu yang berbeda daripada apa yang bisa diberikan oleh
Kurnia atau Eva, sebagai anggota keluarga. Ia memerlukan
orang yang tak punya ikatan dengan dirinya, orang yang tidak
mencari maniaat atau keuntungan darinya.
Ia sadar telah meragukan ketulusan Kurnia. Baru terpikir
betapa selama ini Kurnia begitu sempurna sebagai seorang
suami. Bukankah seharusnya yang sempurna itu tidak ada?
Entah kenapa baru sekarang keraguan itu muncul. Apa sematamata karena telah melihat ekspresi Kurnia yang berbeda di kaca
lemari? Biasanya Kurnia selalu menatapnya dengan penuh kasih,
matanya memancarkan perhatian dan sayang, tak ada kata
kasar...
Evi masuk ke kamar Ratna. Ketika berada di dalam,
matanya menyapu sekeliling ruangan. Kamar mandi tertutup. Ia
merasa senang karena tak ingin melihat dalamnya. Ia tak ingin
berhalusinasi.
Ia duduk di ternpat tidur yang seprainya sudah dicabut,
demikian pula sarung bantal dan guling. Dulu kamar ini446
ditempati bersama oleh ibu dan ayahnya. Rumah ini memang
rumah masa kecilnya bersama Eva. Tapi setelah dewasa, ia dan
Eva memutuskan untuk tinggal di apartemen, masing-masing
sendiri, untuk belajar mandiri.
Ia tak mau berlama-lama membiarkan pikirannya bernostalgia ke masa lalu. Itu pemborosan waktu saja. Tatapannya
tertuju ke meja tulis ibunya di sudut kamar. Ada laptop di atas
meja. Bangkit keingintahuannya. Apa ada yang dilulis ibunya di
situ?
Ia duduk di belakang meja, membuka laptop. Ibunya tidak
menggunakan kata sandi. Ia bisa membuka dan menjelajahi
semuanya. Ternyata isinya hanya catatan pekerjaan dan backup data dari kantor. Tak ada masalah pribadi atau curhat. E-mail
pun tak banyak. Tampaknya banyak yang sudah dihapus. Isinya
hampir se-mua mengenai dunia farmasi.
Evi menutup laptop. Tak menarik lagi untuknya. Ia jadi
teringat pada ucapan ibunya dulu sekali ketika ia masih remaja.
Saat itu ia suka menulis di catatan harian.
"Hati-hati menyimpannya. Kalau dibaca orang nanti kau
jadi nggak enak sendiri. Kalau punya rahasia, lebih baik jangan
ditulis. Begitu ditulis bukan rahasia lagi namanya, karena besar
kemungkinan bisa dibaca orang lain. Tak selamanya bisa
tersimpan dengan baik, kan?
Makanya Mama juga nggak suka nulis-nulis masalah
pribadi, Mama simpan di sini saja..." Ibunya menunjuk dadanya.
Setelah menyimak dan memikirkan kata-kata itu, akhirnya
ia memusnahkan catatan hariannya dan tak pernah menulis lagi.
Lalu ia membuka-buka laci. Tak banyak isinya. Ia tak
tertarik untuk mengamati barang-barang yang ada di situ. Ah,
mau diapakan nanti barang-barang itu? Ia harus447
merundingkannya dengan Eva. Tapi meja tulis ini ia suka
sekali. Meja itu antik. Sejak tinggal di rumah itu ia sudah
melihatnya digunakan oleh ibunya. Menurut ibunya, meja itu
peninggalan neneknya.
"Nanti jadi milikmu. Mau?" tanya Ratna ketika itu.
"Ya, mau." Sahutnya bersemangat. "Tapi kalau Eva mau
juga, gimana? Masa harus dibagi dua..."
"Eva nggak suka kok. Sudah Mama tanyakan."
Ia sudah mengenal benar meja itu. Ada ukir-ukiran di
kedua kakinya yang melengkung. Sedang bagian satunya lagi
tidak berkaki karena memiliki laci bertingkat dari atas sampai ke
bawah, bersusun empat. Demikian pula papan mejanya


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipenuhi ukiran. Supaya tidak berdebu dialasi dengan kaca. Bila
tidak dialasi, tentu akan susah dipakai menulis.
Tiba-tiba ingatan muncul di kepalanya seperti sebuah
sengatan. Bukankah di bawah meja itu ada sebuah tempat
rahasia? Bagian meja yang bawahnya lowong dan jadi tempat
meletakkan kaki itu agak tebal papannya, tapi bukan merupakan
laci karena tak bisa ditarik ke luar. Pada papan di bawah meja
itu ada sebuah kenop yang kalau ditekan maka terbukalah
sebuah rongga di dalamnya. Rongga itu selebar bagian meja
yang bawahnya lowong. Kenop itu seperti kunci pintu sorong.
Dulu ia suka menyuruk ke kolong meja, lalu memainmainkan kenopnya. Membuka-menutup, membuka-menutupnya. Tidak ada apa-apa di dalamnya.
"Ma, kok nggak nyimpan apa-apa di sini?"
"Ah, nyimpan apa?"
"Bisa surat cinta, misalnya. Atau rahasia yang Papa nggak
boleh tahu."448
Ratna tertawa. "Wah, nggak ada tuh. Kalau rahasia pasti
nggak disimpan di situ. Nanti lupa dan tahu-tahu orang lain
yang menemukan. Entahlah kalau nanti aku memang
menyimpan sesuatu di situ, tentu maksudnya supaya kau yang
menemukan, karena cuma kau yang tahu."
"Jadi Papa nggak tahu?"
"Nggak. Papa memang nggak pengin tahu. Kalau nggak
salah Mama pemah memberitahu, tapi Papa sama sekali nggak
tertarik."
Evi buru-buru berjongkok. Sekarang tubuhnya sudah
terlalu besar untuk menyuruk masuk ke kolong meja. Ia hanya
bisa melongokkan kepala ke dalamnya. Nah, itu dia kenopnya.
Ia menekannya. Pintu sorong terbuka. Ia memanjangkan
tangan untuk meraba-raba ke dalamnya. Di luar dugaannya
tangannya menyentuh sesuatu. Ia menariknya ke luar. Sebuah
alat perekam. Dengan heran ia mengamatinya sejenak. Ibunya
menyimpan perekam. Siapa yang direkamnya?
Keingintahuan menguasainya. Ia segera duduk di lantai dan
mencoba mengotak-atik perekam itu. Hati-hati, jangan sampai
ia malah menghapusnya.
Lalu ia mendengar suara seseorang yang bicara sambil
menangis hingga suaranya menjadi sember. Lho, suara Dadang.
Bulu roma Evi berdiri tegak ketika mendengarkan semuanya.
Sampai tak terdengar suara lagi, ia masih saja mematung.
Matanya membclalak. Itu adalah rekaman dari pengakuan
Dadang kepada ibunya.
Mimpikah ia? Halusinasi? Tapi bukan. Perekam itu bukti
nyata.
Lalu ia berteriak keras sekali. Kemudian menangis dan
menjatuhkan diri ke lantai. Ia tersedu-sedu. Kesedihan serasa449
menghancurkan tubuh dan jiwanya. Hatinya sakit tak kepalang.
Apakah ia akan mati oleh kehancuran itu?
"Tidak! Tidaaaak...!" serunya sambil mengumpulkan semua
tenaganya supaya bisa duduk kembali. Perlu waktu untuk
memulihkan tenaga karena tubuhnya begitu lemas. Ia tidak mau
mati mengikuti keinginan Kurnia. Bukankah itu yang
diinginkan Kurnia? Kalau dia mati maka Kurnia akan
mengambil alih tempatnya. Lalu Dadang menjadi kakitangannya kembali. Ah, ia tidak mau memikirkan Dadang dulu.
Dia akan menjadi urusan belakangan mengingat berkat
Dadanglah rahasia itu terbongkar. Ia harus fokus kepada Kurnia.
Duh, Kurnia. Sejahat itukah kau?
Lalu Evi serasa ditempeleng oleh kesadaran yang
menakutkan. Kematian ibunya! Bila kematian itu tidak wajar,
siapa pelakunya? Kurniakah?
Ia mengingat-ingat lagi pada malam itu, ketika ibunya
mengalami peristiwa itu. Kurnia tidak berada di rumah. Ia
mengatakan ada pertemuan dengan seorang relasi yang
kemudian akan diajaknya makan malam bersama. Jadi malam
itu Kurnia tidak makan di rumah. Kurnia tidak menyebut nama
relasi itu. Sayang sekali ia pun tidak menanyakannya. Kalau ia
tahu, ia bisa mengecek kebenarannya. Kalau nanti hal itu ia
tanya pada Kurnia, pasti dia akan curiga.
Apakah Kurnia melakukannya sendiri atau bersama
Dadang? Sesungguhnya Dadang tak perlu melenyapkan ibunya
karena ia sudah mengakui perbuatannya. Dadang pun sebenarnya tak perlu mengaku karena itu berarti meninggalkan alat
bukti, padahal perbuatannya dulu bersama Kurnia tak ada
buktinya. Bila Dadang sudah mengaku sementara Kurnia tidak,
maka yang merasa terancam adalah Kurnia.450
Evi menatap perekam yang masih dicengkeramnya hingga
telapak tangannya sakit. Ia heran juga. Kenapa Dadang mau
mengaku padahal tidak ada yang menuduhnya? Evi teringat
pada kelakuan Dadang yang aneh pada saat makan malam
bersama Aditya dan dua temannya. Cerita tentang roh
sepertinya membuat ia takut. Sekarang tampaknya menjadi
lebih jelas. Dadang bukan takut, tapi merasa bersalah. Ia minta
ampun kepada ibunya, dan memohon supaya Eva tidak diberitahu lebih dulu sampai bayinya lahir karena takut terjadi sesuatu
pada Eva. Ah, itu sikap yang cukup baik.
Kelihatannya Dadang masih lebih baik daripada Kurnia.
Apakah Kurnia sesungguhnya otak dan Dadang hanya ekor?
Evi mengusap-usap perekam. Ia panik sejenak, ter-pikir
bahwa benda itu sangat berharga dan tak boleh ditemukan oleh
Kurnia. Membawanya pulang ke rumahnya akan berbahaya
sekali. Kurnia akan tahu bahwa ia sudah tahu. Dirinya berada
dalam bahaya.
Jalan satu-satunya adalah mengembalikan benda itu ke
tempatnya semula. Ia merayap kembali ke kolong meja,
memasukkan perekam jauh ke sudut rongga, lalu menutupnya.
Tidak akan ada yang tahu bahwa ada barang penting di dalam
tempat yang juga merupakan rahasia. Karena rumah itu
sekarang menjadi miliknya bersama Eva, maka mereka
berdualah yang berhak menentukan akan diapakan rumah itu
bersama isinya. Untuk sementara sebaiknya dibiarkan dulu. la
akan mengatakannya kepada Eva. Tidak dijual, direnovasi, atau
dikontrakkan. Meja tulis itu harus tetap berada di situ bersama
semua barang peninggalan ibunya. Tidak ada orang lain yang
berhak menentukan selain mereka berdua. Tidak juga Kurnia.
Setelah mengamankan perekam, ia duduk lagi untuk
berpikir sambil menenangkan diri. Usai menangis habis-habisan451
tadi, ia merasa tak ada lagi air mata yang tertinggal. Perasaannya
kosong. Hampa.
Ia teringat pada kejadian di Bali ketika menemukan pil KB
milik Kurnia. Saat itu ia merasa dibohongi dan dipermainkan.
Wiro Sableng 073 Guci Setan Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala

Cari Blog Ini