Ceritasilat Novel Online

Gema Sebuah Hati 2

Gema Sebuah Hati Karya Marga T Bagian 2


aslinya.
"Kau dapat membaca Prancis?"
Alice tertawa.
"Habis. Sastra Prancis. Sedikit?sedikit mesti bisa.
Sudah baca itu?"
"Sudah. Dalam bahasa Inggris."
"Juga sudah: Nana?"
"Sudah. Dan banyak lagi yang lain. Tapi aku selalu
lupa judul maupun ceritanya. Kalau melihat sepintas,
aku ingat kembali."
"Alice, ambilkan temanmu minum," kata ibunya
sambil melirik dari bawah kacamata.
Monik tersenyum mengucapkan terima kasih. Wr
83 nita itu kira?kira seumur dengan ibunya. Rambutnya
masih hitam. Dikeriting. Terpelihara dengan baik. Hidungnya mancung. Bibirnya lembut dan ramah. Mukanya belum berkeriput. Matanya besar dan seakan?akan
selalu tersenyum. Sepasang mata yang amat tenang.
Mirip dengan... ah, tiba?tiba dia ingat Martin. Memang kedua mata itu sama tenangnya dengan mata
temannya. Alice mirip dengan ibunya, cuma matanya
lincah dan jenaka.
Monik melihat Alice menekan sesuatu di bawah
meja. Tidak lama kemudian, muncul seorang pembantu. Bukan yang tadi membukakan pintu.
"Coca-Cola dua, Bi. Mama mau?"
"Tidak. Mama tidak mau."
"Berapakah pembantumu, Alice?" tanya Monik bi
ngung.
"Empat."
"Em... pat?"
"He... eh," kata Alice sambil memilih kaset.
"Habis bagaimana," kata ibunya, "rumah begini
besar. Tidak mungkin diurus oleh satu orang. Mencuci, satu. Membersihkan rumah, satu. Mengurus kebun, satu. Membantu lain?lain, satu. Kadang?kadang
Tante sakit dan tidak dapat ke pasar, terpaksa menyuruh pembantu. Sebetulnya memang berat. Tapi apa
mau dikata. Mereka sudah lama di sini. Tidak sampai
hati mengeluarkan mereka selama mereka masih senang bekerja."
Minuman datang. Diletakkan di lantai yang berkilat
seperti cermin.
84 "Suka?" kata Alice mengacungkan sebuah kaset.
Monik mengangguk.
"Klasik? Strauss? Johann atau Joseph?"
"Aku suka Strauss. Tapi tidak tahu yang mana
Johann, yang mana joseph."
Alice memasang sebuah.
"Joseph enak juga sebenarnya. Tapi kedua kakakku
tergila?gila pada Chopin dan kekasihnya, si George
pengarang itu!"
"Engkau mempunyai kakak? Mana mereka?"
Alice mengisi gelas?gelas mereka sambil tersenyum.
"Satu tidur. Satu di Bandung."
Ibu Alice bangkit dari kursi goyangnya.
"Mama mau tidur?"
"Iya," lalu tambahnya pada Monik, "beginilah jahatnya Tante. Kalau siang tidak tidur, malam nanti semua tulang terasa pegal. Kata dokter, rematik. Sudah
bertahun?tahun. Pergi ke dokter, pergi ke sinshe, hasilnya tidak ada."
"Kata Papa, ada sinshe dari Hong Kong. Baru datang. Coba saja."
"Nantilah, kalau sempat. Nah, Tante tinggal dulu
ya. Jangan cepat-cepat pulang. Kasihan Alice tidak ada
teman di rumah."
Monik mengangguk?angguk sambil tersenyum.
"Engkau anak bungsu, Alice?"
"Tidak. Aku punya adik laki?laki satu."
"Mana?"
"Oh, hari Minggu mana ada di rumah?! Mancing
dengan ayahku. Pagi-pagi buta sudah pergi."
Monik melayangkan pandangannya ke arah altar
85 yang terdapat di kiri. Cuma terdapat sebuah tempat
abu tapi ada dua buah potret terletak di situ. Sebuah
altar lain ditempati oleh Dewi Kwan Im yang terbuat
dari porselen halus.
"Siapa yang Katolik di sini?"
"Cuma aku. Sebenarnya kedua kakakku mau juga
dipermandikan, tapi... oh ya, aku belum cerita: kedua
kakakku itu kembar. Laki-laki. Setengah mati setianya
satu sama lain. Sehidup?semati, kata kakakku di Bandung, yang satu tidak mau hidup, kalau yang lain
mati... gila!!"
Alice terbahak?bahak sampai air matanya keluar.
"Ketika... ketika... mereka kecil, kata ibuku, mereka
sudah saling setia. Kalau satu dipukul, yang lain minta
juga dipukul. Kalau satu nakal lalu bersembunyi dari
rotan Ayah, maka yang lain segera memakai baju si
nakal itu dan keluar untuk mendapat rotan. Setelah
akal ini diketahui Ayah, dia lebih hati?hati dengan
rotannya. Ah ah... ah... lucu sekali anak-anak kembar itu. Ketika keduanya minta izin untuk masuk gereja, ayahku bilang: seorang saja supaya yang lain dapat mengurus tempat abu ayah dan ibuku kelak, tapi
mereka tidak mau. Keduanya! Atau tidak seorang pun.
Nanti satu masuk surga, satu masuk neraka, kata mereka. Lucu, bukan?"
Keduanya tertawa terbahak?bahak tanpa memedulikan Strauss yang sudah berbaik hati mempersembahkan
Imperial?waltz?nya.
"Itu potret nenek dan kakekmu?"
"Ya. Orangtua ayahku. Mereka meninggal di Shanghai, jadi di sini tidak ada tempat abu. Tapi pamanku
86 di sana sudah terlalu repot dengan kerja komune, kau
tahu, pabrik teksrilnya disita oleh pemerintah dan dia
cuma menjadi mandor. Jadi ayahku yang mengambil
alih tugas memperingati arwah-arwah mereka."
Keduanya bercakap?cakap dengan asyik tanpa sekali
pun memperhatikan "m)! gmndflzther? dach" yang terletak di sudut. Mereka bicara segala hal. Dari Dreifus
sampai Nietze. Dari keluarga de Medici sampai Cassanova. Mengasyikkan bicara dengan anak sastra, kata
Monik suatu kali.
"Apalagi sastra Prancis."
"Engkau juga kuliah, bukan? Betul? Di mana?"
"Kedokteran. Res Publica."
"Hai, kakakku juga di situ. Tunggu, ah, sudah hampir jam lima. Sebentar lagi dia bangun. Aku perkenalkan kalian. Atau... kau mau melihat fotonya dulu?"
"Kalau kau mulai sinting, aku pulang!"
Alice tertawa. Disorongkannya tempat buah yang
sejak tadi diturunkannya dari atas meja. Mereka mengunyah buah?buah anggur Peking yang rasanya tidak
kalah dengan buah anggur imperialis.
Dekat pintu ke ruang belakang tergantung sebuah
lukisan modern. Di bawahnya terdapat sebuah jambangan kuno. Juga di sisi pintu yang lain. Kedua jambangan itu kosong.
"Rumahmu besar, Alice. Kamar tidur di belakang?"
"Ya. Di sana masih ada sebuah taman lagi. Mau lihat?"
Monik baru saja bangkit dan memasukkan kakinya
ke dalam sepatu, ketika didengarnya Alice berseru,
"Nah, ini dia si Penidur!"
87 Monik memutar kepalanya. Astaga! Di ambang pintu dekat lukisan, berdiri Martin, dengan celana pendek putih dan pullover putih. Di tangannya: sebuah
raket.
"Ini Monik. Engkau mau main tenis?"
"Tidak jadi. Ada tamu," dan matanya yang tenang
itu tersenyum.
*** Pagi itu Steve menjemput Monik kuliah Kebidanan.
Monik melihat wajahnya kusut dan sebuah rokok tergantung pada sudut bibirnya. Steve menerobos masuk
sambil menarik napas berat lalu melempar topinya ke
atas meja sebelum menjatuhkan diri ke dalam kursi.
Monik memperhatikan setiap gerak?geriknya tanpa
komentar. Steve mengangkat sebelah kakinya dan meletakkannya di atas lutut lalu terus mengepulkan asap
rokoknya. Monik tidak mempunyai asbak, maka dicarinya sehelai kertas koran untuk tempat abu. Kalau
tamu itu bukan Steve, pasti sudah dilarangnya merokok. Untuk Steve, dalam segala hal ada dispensasi.
Belum ada setengah menit, Steve sudah berubah
posisi. Dimatikannya rokoknya lalu dipeluknya lututnya. Tidak lama kemudian, dia mengeluarkan rokok
baru, mengetuk-ngetuk sebentar di atas meja kemudian
membatalkan niatnya semula. Korek api di tangannya
dimasukkannya kembali ke dalam saku. Rokok itu
dipegangnya sambil lengannya bersandar ke belakang
kursi. Lalu untuk pertama kalinya dia menoleh, seakan?akan baru sadar bahwa di situ ada orang.
88 "Sudah selesai?"
Monik mengangguk.
"Sial benar," gumamnya menggelengkan kepala.
"Kenapa, Steve? Apa yang tidak beres?"
"Mana aku tahu!" katanya mengangkat bahu.
Rokok tadi dimasukkannya ke dalam mulut lalu
disulutnya. Setelah mengepulkan asap, dia menoleh
lagi.
"Engkau belum mendengar apa?apa?"
Monik menggeleng. "Kemarin aku tidak kuliah."
"Pantas. Kemarin, sehabis kuliah, mereka mengadakan rapat. Ketua kelas kita dan ketua?ketua kelas lain
semua ikut. Diharuskan. Kau tahu mereka rapat tentang apa? Setan! Mereka bilang di kelas kita dan beberapa kelas lainnya yang tidak disebut, terdapat
oknum?oknum kontra?revolusi. Sui Chien bilang, di
kelas ini ada mahasiswa?mahasiswa yang suka mengganggu suster, ada yang kurang ajar terhadap dosen.
Ada yang tidak tahu tujuh pokok?pokok indoktrinasi.
Ada yang..."
Steve membanting kakinya ke lantai.
"Alasan yang dicari?cari. Kaupikir siapa?siapa yang
mereka curigai, Steve?"
"Tentu anak?anak PMKRI nomor satu. Mereka belum lagi menyebutkan nama?nama. Mereka masih
memberi kesempatan pada oknum-oknum yang bersangkutan untuk merehabilitasi diri dan... yah, kembali ke jalan yang benar, jalan mereka!"
Steve menyumpah demi setan dan neraka. Monik
diam saja. Kalau dia juga dianggap kontra-revolusi,
mungkin dia akan diusir keluar. Cita?citanya untuk
89 menjadi dokter akan berantakan. Ibunya akan menangis. Ayahnya akan sedih. Adik?adiknya mungkin
akan terbawa?bawa pula.
"Bagaimana kalau kita harus menjadi anggota... anggota CG?"
"Ah, nonsense. Mereka tidak dapat memaksakan kehendak mereka begitu saja."
"Tapi kalau kita diancam akan dikeluarkan?"
Steve mengangkat bahu. Disambarnya topinya.
Suaranya kemudian tidak begitu meyakinkan.
"Tidak semudah itu mengeluarkan mahasiswa. Ayolah, kita berangkat. Mereka boleh pergi ke neraka jahanam!!"
Suasana di kelas tambah menyesakkan pernapasan.
Pagi itu sebagian besar anak?anak berkumpul dalam
warung, menanti Gozali selesai memeriksa pasienpasien. Kali ini anak?anak tidak begitu ramai berseloroh. Masing?masing masih mencoba membuat lelucon,
tapi minat sudah berkurang.
Di antara klik Merah dan Non?Merah, terdapat golongan yang tak tentu arah?tujuannya. Biasanya mereka main dengan klik Non?Merah, tapi pagi itu
Monik melihat sudah ada empat anak yang berdiri
bercakap-cakap di muka Akademi Pertamanan bersama
golongan Merah. Monik baru saja mau menggerutu,
ketika tiba?tiba dilihatnya lnge di sana. Masya Allah!!
Apa yang dikerjakan anak itu?
"Steve...! Lihat Inge! Mengapa dia di situ?"
"Setiap orang bebas menentukan pilihannya, bukan?" jawab Steve ketus dan dingin.
Mereka berjalan ke arah warung tanpa melihat ke
90 arah anak?anak itu. Tiba?tiba Liu memanggil Monik.
Mereka berhenti. Monik melihat wajah Steve yang
putih itu sudah merah padam.
"Pergilah dulu, Steve," katanya kuatir akan terjadi
sesuatu.
Steve sendiri tidak yakin bahwa dia akan dapat menguasai diri, maka dia beranjak beberapa langkah namun tetap menanti Monik.
"Ada apa, Liu?"
"Kemarin engkau bolos!" katanya dengan nada memarahi.
Monik diam saja. Ditantangnya laki?laki itu dengan
matanya yang besar dan indah.
"Ini catatanku. Selesaikan besok, bisa?"
"Aku... aku kira kalau seorang anggota sakit, bagiannya boleh dibagi?bagi antara anggota?anggota lain!"
kata Monik tergagap.
"Oh. Itu pikiran kapitalis. Kita tidak bisa berpikir
begitu. Masing?masing sudah ditentukan tugasnya dan
tugas, tetap tugas. Lagi pula..." Liu tersenyum sekarang, "bagianmu sudah aku kurangi. Engkau cuma
dapat Morbilli dan Herpes."
Monik menyambuti catatan itu tanpa komentar.
"Cuma sedikit kok," kata Liu sekali lagi dengan
suara manis. "Aku mengetik bagianmu yang lain."
"Kalau memang itu bagian tugasku, silakan... biarkan aku mengerjakannya." Monik menantang seraya
mengulurkan tangannya. Liu tertawa.
"Ingatlah kata?kataku tempo hari, Monik. Engkau
akan membutuhkan aku. Percayalah. Tapi... asal eng
91 kau... ah, sepatah kata saja dari aku, maka engkau
aman. Mengapa engkau tetap buta?"
Monik asyik membuka?buka buku itu tanpa sedikit
pun mendengarkan Liu.
"Ya. Jadi dari sini sampai sini? Oke. Besok aku
bawa ke kuliah. Ayo, mari."
Steve yang mengawasi mereka terus, segera menyongsongnya.
"Ada apa? Coba tengok! Mengapa dia mengawasi
engkau serupa itu?"
Tapi Monik tidak mau menengok. Dia berjalan terus ke warung. Yang pertama?tama menyambut mereka adalah suara Jerry. Markus menyusul kemudian.
Steve segera diseret masuk.
"Ini bangsatnya!" teriak Steve tertawa sambil mendekati Ketua Kelas yang duduk termenung dengan
sebatang rokok.
"Engkau mengadu, aku pacaran sama suster, ya?"
teriak Steve tertawa sambil menarik leher kemejanya.
"Setan! Aku ini seperti ditarik dua ekor kuda ke
jurusan berlawanan, tahu. Mereka mengancam aku
juga, monyet! Aku masih ingin jadi dokter."
"Tapi menghafal pokok?pokok indoktrinasi, tidak
mau!"
"Habis. Itu kan tidak penting buat dokter," kata
Ketua dengan gagah.
"Nah, ini dia biangnya! Ketahuan!" teriak Markus.
"Pantas anak buahnya semua borjuis. Ayo, kita bawa
ke sana."
Ketua Kelas seolah-olah tidak sadar akan beberapa
pasang tangan yang berusaha memegangnya. Dia me
92 rokok terus dengan setengah linglung. Monik tertawa
melihat mereka sambil berjalan ke arah Anita. Martin
duduk di situ juga, mengawasi anak?anak sambil tertawa. Seperti biasa, dia tidak ikut ambil bagian. Cuma
duduk tenang?tenang sebagai penonton. Tapi anakanak tidak membiarkannya sendirian. Segera Markus
menerkam bahunya.
"Dan ini... cukong paling gede. Kita apakan enaknya?"
"Saya tidak bisa diapa-apakan, Saudara. Saya tahu
Pancasila. Saya setia pada Pemimpin Revolusi. Saya
berdiri di belakang roda revolusi dan... darah saya merah! Anu, maksud saya, saya memang sekeluarga berdarah merah."
Martin tertawa. Markus tertawa terkekeh?kekeh diikuti yang lain.
"Engkau melihat Inge?" tanya Monik.
"Aku melihatnya," kata Anita lalu memandang temannya. "Mau apa? Itu haknya."
"Ya, itu haknya."


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, Monik sok bilang hak segala," kata ]erry yang
mendengarnya. "Nanti kalau kau sudah di depan pengadilan mereka, keluarkan kata?kata itu. Coba, aku
mau lihat! Kau berani?"
"Kuliah," teriak Leo yang diperintahkan duduk dekat pintu untuk mengawasi ruang kuliah.
Pertemuan kontra?revolusi bubar.
*** Tentu saja pasien?pasien bayar, tidak mau dipegang-pegang oleh mahasiswa yang tidak juga mendapatkan
93 diagnosis meskipun sudah pijat sana?sini sepuluh kali.
Untuk demonstrasi di muka kelas, mereka tidak dapat
menolak sebab itu permintaan dokter yang dikultusindividukan oleh pasien?pasien yang dirawatnya.
Manusia, bagaimanapun gagah dan sombongnya,
bagaimanapun berpangkat dan kayanya, kalau sudah
jatuh sakit, apalagi sakit berat, akan menjadi tidak
berdaya seperti anak kucing yang baru dilahirkan. Pernah terdapat seorang pasien mahakaya yang menderita
penyakit ginjal hebat. Penyakitnya itu sudah demikian
parahnya, sehingga cuma transplantasi ginjal saja yang
dapat menolongnya.
"Oh, tidak apa-apa, Dokter. Kalau perlu, saya bersedia terbang ke New York. Dan Dokter ikut serta."
Beberapa mahasiswa yang ada di situ, berpandangan
satu sama lain. Markus keluar dari kamar sebentar diikuti konco-konconya.
"Untuk beli rokok saja, tidak ada uang. Eh, orang
itu menyebut New York seperti tempat itu letaknya
dekat Bogor! 0 ya, Monik, tolong dong dua puluh
lima perak. Untuk beli rokok."
Monik pura?pura tidak mendengar. Dia cepat?cepat
masuk kembali ke dalam kamar diikuti Markus.
Pasien itu luar biasa gemuk. Seimbang dengan kekayaannya. Menurut Dokter, dia mempunyai perkebunan lada, kelapa, cengkeh, pabrik kaleng, kemeja,
toko?toko onderdil, sepeda, dan entah apa lagi.
Kira?kira tiga bulan yang lalu, dia masih sehat, ketika mengantarkan anaknya untuk disunat. Tapi kini,
dia terbaring lemas tidak berdaya. Istri dan ibunya kini
berdiri di sampingnya tanpa mampu berbuat apa?apa.
94 Si sakit amat iritabel. Nyata bahwa dia biasa menjadi
raja dalam rumahnya. Sebentar dihardiknya kedua perempuan itu, menyuruhnya keluar. Sebentar kemudian,
dia mengeluh-mengesah, menyatakan mengapa tidak
ada seorang pun keluarganya di dekatnya.
Para mahasiswa diperbolehkan melihatnya sebentar
secara bergiliran. Memperhatikan tungkai?tungkainya
yang sembap, perutnya yang penuh cairan, dadanya
yang juga mengandung air, mukanya yang bengkak.
"Orang ini sudah dalam keadaan semi?comtzteus,"
kata Dokter dalam ruang kuliah sebelum mereka ke
bangsal. "Ureum darahnya sudah naik sampai tiga ratus lebih. Normal berapa? Kau!"
Inge yang ditunjuk itu, tergagap?gagap. Monik
membisik di belakang.
"Dua puluh sampai empat puluh, Dok."
"Ya. Dalam keadaan ini, sebenarnya kita harus melakukan peritoneal dialiri? atau amfcial 1617617113], untuk
sementara sampai dapat dilakukan transplantasi ginjal.
Sayang, semuanya tidak dapat dilakukan di sini sebab
alat?alat tidak ada. Satu?satunya jalan: ke luar negeri.
Tapi dalam keadaan begini, kondisi pasien sudah jelek
untuk terbang. Sudah terdapat pula anuri. Berapa cc
yang disebut anuri? Kau!"
"Kurang dari seratus cc per dua puluh empat jam,
Dok!" sahut Chien dengan cepat.
"Betul. Kalau oliguri? Kau! Ya, Saudara, dengan kemeja jengki."
"Tujuh ratus cc atau kurang per hari, Dok."
"Bagus. Sekarang kita akan lihat pasien ini. Tidak
boleh omong?omong atau beri komentar atau bersenda
95 gurau atau menertawakan pasien di depannya. Mengerti?"
Keesokan harinya, mereka kembali mengunjungi
pasien itu secara bergilir. Karena rombongan Monik
kemarin sudah masuk lebih dulu, sekarang mereka
masuk terakhir. Pasien itu sudah dalam keadaan delir.
Sebentar?sebentar mengaco. Napasnya berbau ureum.
Istrinya berpeluk tangan di sampingnya sambil mengawasi si sakit. Wanita muda itu cantik dan baju kurungnya amat bagus. Perhiasan?perhiasan serbalengkap
mempercantik dirinya.
Laki?laki itu sebentar?sebentar berteriak, "Dokter,
tolong saya tolong saya... oh, tolong saya." Tapi Dokter tahu, dia sudah berada di luar batas pertolongan.
Monik dan teman?temannya cuma kira?kira lima menit
dalam ruangan itu. Pada menit terakhir, laki?laki itu
mengangkat kepalanya dari timbunan bantal yang menyangganya, membuka matanya, memandang berkeliling dengan rupa heran tanpa mengenali siapa pun lalu
berteriak keras?keras, "Oh, Dokter! Tolong saya."
Kepalanya terjatuh kembali ke atas bantal dan selesai. Istrinya pergi ke luar kamar. Monik memandang
pasien itu dengan tidak percaya. Seumur hidupnya
belum pernah dia melihat orang menarik napasnya
yang terakhir. Merupakan shock baginya melihat lakilaki yang begitu ganas tiba?riba diam tidak berkutik.
Tubuh raksasanya dengan perutnya yang mahagendut,
terempas tidak berdaya. Menyerah. Setelah Dokter selesai memastikan bahwa pasien itu betul telah rneninggal, mereka keluar semua.
Perempuan muda berbaju hijau itu tampak tengah
96 berdiri memandang ke arah kamar. Tidak ada air
mata. Tidak ada pekik tangis. Bahkan ketika Dokter
menyampaikan berita itu padanya, tidak sepatah pun
keluar dari mulutnya.
"Begitulah orang kaya," kata Steve, "banyak istri.
Waktu hidup disanjung?sanjung dan dibelai?belai. Tapi
waktu mati, ditinggalkan semua orang. Tidak ada seorang pun yang merasa kehilangan, sebab hartanya
toh tetap utuh."
"Karena itu, Martin, kau mesti hati-hati dengan
uangmu. Jangan sampai mengalami nasib yang sama,"
kata Kamerad Liu sambil melirik Monik.
Martin cuma tersenyum tanpa membantah.
Ada seorang laki-laki muda pecandu morfin. Kasihan sekali. Berkali?kali dia masuk rumah sakit untuk
rehabilitasi, tapi setiap kali keluar dia kembali lagi
mengulangi kebiasaannya. Paling?paling cuma dua?tiga
hari pantang. Amat kasihan mendengar ceritanya. Dia
mempunyai kekasih. Di sekolah termasuk anak yang
tidak bodoh. Orangtua tidak miskin. Hari depannya
baik. Tapi semua itu musnah karena morfin.
Ketika dia dibawa ke muka kelas, dengan antusias
dia menjawab semua pertanyaan mahasiswa. Monik
mengira umurnya belum lagi dua puluh lima. Badannya kurus. Matanya tidak bercahaya. Bibirnya biru.
Dengan spontan dia mengangkat lengan bajunya untuk memperlihatkan bekas-bekas suntikan. Pada kulitnya yang putih itu tampak bintik?bintik hitam, ratusan banyaknya. Heroin, desis Steve.
"Morfin sudah kurang kuat untuk saya. Sekarang
saya membutuhkan heroin."
97 "Bagaimana asal mula ketemu morfin?" tanya Leo.
"Ya, mula?mula cuma iseng. Terbawa oleh teman.
Pada waktu itu saya diajak pergi ke daerah wanita?wanita P. Sebenarnya saya tidak mau, tapi teman?teman
menertawakan saya. Akhirnya saya ikut. Di situlah
saya mulai mengisapnya untuk pertama kali. Sejak itu,
saya membutuhkannya terus. Kalau tidak mendapatnya
untuk sehari, badan saya terasa tidak enak, lesu, tidak
ada kemauan."
"Orang?orang addict itu sering kali menjadi pelakupelaku kriminal," kata Dokter.
"Itu betul," sambung pasien itu dengan antusias.
"Saya mencuri uang ayah saya. Merampas milik abang
saya...."
Setelah pasien itu kembali ke bangsal, seseorang
bertanya bagaimana prognosisnya.
"Untuk kasus yang sudah kronis begini, prognosis
dubius sekali. Tidak dapat ditentukan sebab membutuhkan terapi yang lama dan teliti. Harus diberikan
juga psikorerapi mungkin secara rekonstruktif. Sebab
banyak di antara mereka adalah psikopat?psikopat atau
orang?orang yang mengalami gangguan tingkah laku
karena terlalu sering mendapat hukuman dari orangtua
mereka waktu kecil."
Di Bagian Wanita, terdapat seorang wanita muda
yang addict terhadap pethicline, sebangsa candu juga.
Wanita itu mengaku sebagai istri kedua, akan tetapi
kemudian ternyata bahwa dia mempunyai banyak kekasih, yang diakuinya sebagai saudara atau kakaknya
atau pamannya dan sebagainya.
98 Suatu ketika dia hamil dan mengalami abortus,
entah sengaja atau tidak. Dokter yang menolongnya
memberinya pethidine untuk menghilangkan rasa sakit.
Ternyata wanita itu merasakan sesuatu yang menyenangkan dengan suntikan tersebut. Dia berhasil mengetahui dati suster, nama obatnya. Keluar dari rumah
sakit, dia menjadi pecandu.
Salah seorang kekasihnya ingin menolongnya dan
membawanya ke rumah sakit. Perempuan itu amat
cantik dan umurnya baru dua puluh dua. Berdarah
campuran Barat, jadi tubuhnya besar. Sebagai tetapi
dia mendapat insulin dan pethidine dengan dosis setengah dari jumlah yang biasa dipergunakannya. Selain
itu, juga obat?obat penenang.
Paling menyenangkan kalau diperbolehkan melihatlihat bangsal anak?anak. Tapi kesalnya bukan main
kalau Monik melihat seorang anak yang mukanya sudah seperti kakek?kakek sedangkan badannya gembung
tidak keruan.
"Kasihan. Anak yang seharusnya begitu lucu. Kalau
orangtuanya tidak mau atau tidak mampu memelihara
anak, sebaiknya mereka stop dengan produksi. Janganlah dengan dalih: banyak anak, banyak rezeki, lalu
mencetak selusin manusia yang kemudian cuma berhasil menamatkan sekolah dasar. "Habis sudah nasib
kita, Nak. Engkau terpaksa berhenti sekolah untuk
membantu Bapak menghidupi adik-adikmu.' Jangan
bicara tentang nasib, sebab nasib berada di tangan
kita. Tuhan memberikan akal budi untuk mengubah
nasib kita dari bangsa barbar yang tidak mengenal so
99 sis sampai menjadi bangsa beradab yang dapat menaklukkan alam."
"Engkau betul, Monik," kata Anita. "Mereka tidak
berhak mengorbankan nasib anak?anak hanya karena
kesenangan masa muda mereka yang tidak dapat dibendung. Aku sengit juga melihat ibu?ibu yang dengan rela memprodusir tiga belas anak, untuk kesenangannya bersama suaminya. Kemudian anak?anak
itu telanjang. Kurang makan. Perut gembung. Atau
mati karena infeksi. Atau lari dari rumah yang menyesakkan dan menjadi bandit."
Ada seorang anak laki?laki berusia empat tahun,
dikirim oleh dokter umum dari Kalimantan. Anak itu
sudah betul?betul rusak ginjalnya. Tapi rupanya masih
segar. Tidak cerewet. Cuma kadang?kadang menanyakan kapan ibunya akan tiba. Sampai saat dia dipindahkan ke rumah sakit lain, anak itu masih tetap kelihatan segar.
Lebih gila lagi ada bayi ditinggalkan oleh ibunya.
Pasien kelas satu. Orang kaya. Sesaat sebelum masuk
rumah sakit, kedua suami?istri itu bertengkar menurut
cerita sang nenek. Suami lari. Anak lahir prematur.
Mesti tinggal lebih lama di rumah sakit. Ibunya pulang dan tidak pernah kembali. Dicari pada alamatnya,
ternyata itu rumah orang lain.
Anak?anak perempuan tertarik dengan kisah yang
diceritakan Suster Sinta itu. Waktu istirahat, mereka
pergi ke kamar bayi. Anak laki?laki itu sudah gemuk
dan lucu.
"Akan diambil oleh dokter," kata penjaganya.
100 "Terkutuklah para ibu yang tidak bertanggung
jawab," seru Inge.
Suster tua itu cuma tersenyum.
101 IV EKARANG betul?betul mereka menyebut nama
nama dengan jelas. Dari tingkat empat: Steve,
Markus, Polok, Jerry. Dari tingkat tiga: dua orang. Dari
tingkat dua: lima orang. Tingkat satu masih suci.
Tidak ada tuduhan yang dilancarkan secara terangterangan. Cuma desas-desus. Mereka begini. Mereka
begitu. Mereka akan dikeluarkan. Mereka akan diskors.
"Mereka akan disate. Mereka akan dipanggang!"
teriak anak?anak.
Yang bersangkutan tidak banyak memberi komentar. Cuma diam?diam mereka menghubungi pihak
pimpinan. Mula?mula didatangi Kepala Tata Usaha.
Tidak ada kemajuan.
"Ini sudah jelas bukan bidang saya. Tapi kalau kalian merasa betul?betul tidak bersalah, saya akan membantu sedapat?dapatnya."
102 E-Booh by syauqy_arr
"Terima kasih, Pak," kata Markus jengkel.
"Bagaimana kami tahu, kami bersalah atau tidak,
kalau kami tidak mengetahui apa yang dituduhkan
terhadap kami?"
"Memang saya sudah banyak mendengar keluhan
tentang mahasiswa-mahasiswa tingkat empat. Selalu
terlambat membayar uang kuliah, uang praktikum,
dan sebagainya. Itu kurang disiplin, namanya. Ayo,
siapa di antara Saudara?saudara yang belum membayar
uang kuliah?"
Markus dan Polok mengangkat tangan.
"Nah, apa saya bilang. Kalian tidak disiplin. Tidak
dapat memberi contoh yang baik pada tingkat?tingkat
bawah. Bukankah sudah ada pengumuman bahwa
uang kuliah harus dibayarkan sebelum tanggal sepuluh? Bagaimana? Karena tidak ada denda, jadi semaunya? Baiklah. Saya bisa saja mengusulkan supaya mereka yang tidak membayar uang kuliah, tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan akademis atau diskors
sekian waktu. Tentu pimpinan akan setuju. Bagaimana? Mau membayar atau mau diskors saja?"
Markus tertawa sumbang, menahan marah.
"Soalnya, waktu itu belum ada uang, Pak."
"Oh oh... itu bukan urusan saya. Saudara menjadi
mahasiswa di sini. Saudara wajib memenuhi syarat?syarat yang berlaku. Mengerti?"
"Ya, Pak."
"Bagus."
Para mahasiswa melihat wawancara sudah berakhir.
"Setan. Malah kena maki."
103 "Antek?anteknya, pasti. Kalau bukan ha?es?i, tentu
pemimpin kader?kader mereka."
"Gimana nih? Tentang uang kuliah itu mesti dibayar. Pinjam uang siapa?"
Mereka mendatangi tokoh lain. Terang?terangan
berada di pihak mereka.
"Saya mengerti kedudukan dan perasaan Saudara.
Saya mengerti sepenuhnya dan saya berjanji akan
membantu Saudara?saudara. Tapi saya harus bertindak
hati-hati. Sebab kedudukan saya di sini amat penting
bagi Saudara?saudara sendiri serta adik?adik dari tingkat bawah. Kalau saya bertindak gegabah, mereka
akan mengeluarkan saya. Dan apa artinya itu? Artinya,
Saudara tidak lagi?sama sekali?mempunyai pembela.
Mengerti? Mengerti, ya? Dus, saya akan membantu
Saudara?saudara. Mereka tidak akan dapat mengeluarkan Saudara?saudara selama saya masih menggunakan
hak veto saya... nah, dus, Saudara?saudara tenang saja.
Jangan membikin onar atau aksi-aksi yang akan memperberat tuduhan?tuduhan terhadap..."
"Tapi tuduhan?tuduhan itu palsu semua, Pak. Terlalu samar?samar," protes seseorang.
"Saya tahu. Saya mengerti. Tapi apa semut bisa bikin terhadap gajah? Apa Saudara bisa perbuat kalau
tiba?tiba saja ditangkap, dimasukkan sel sebab adanya
tuduhan mencuri ayam, misalnya. Saudara protes. Protes sama siapa? Semua klik mereka. Jadi kita harus
bertindak diplomatis. Kalau perlu, memohon dan meminta dalam batas?batas tertentu. Saya akan perjuangkan supaya kalian maksimum cuma dikenai skors. Jangan sampai dikeluarkan."
104 Kemudian, mereka mendatangi dosen?dosen satu
per satu. Menerangkan duduknya perkara dan memohon simpati beliau?beliau dalam rupa tanda tangan


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ataupun secara lisan. Mereka rata?rata memprotes tindakan sewenang?wenang itu, setidak?tidaknya di hadapan para terdakwa. Banyak yang menyatakan akan
mogok memberi kuliah kalau sampai ada beberapa
mahasiswa dikenai skors tanpa kesalahan yang jelas.
Pada hari Senin itu, dosen Neurologi memberikan
kecaman yang pertama. Jam tujuh pagi beliau sudah
duduk dalam ruang kuliah. Dinantinya sampai semua
hadir.
"Sebelum kita mulai kuliah, saya ingin sedikit memberikan pandangan saya mengenai beberapa persoalan
yang menyangkut kita, terutama Saudara-saudara sendiri. Seperti Saudara?saudara maklum, fakultas kedokteran ini baru saja didirikan. Jadi masih serbakacau.
Mendirikan sekolah dokter tidaklah semudah membuka taman kanak-kanak atau mode-wzksc/aool. Sebab
ini sekolah untuk mendidik orang?orang yang di kemudian hari akan bertanggung jawab terhadap keselamatan sesamanya. Untuk menjadi dokter, dibutuhkan
mental yang kuat, perikemanusiaan yang jelas, dan
kebebasan dari rasa diskriminasi, baik secara ras maupun agama. Dapatlah dibayangkan betapa berbahayanya seorang dokter yang mempunyai perasaan anti
sesuatu ras atau agama. Orang?orang demikian sebaiknya keluar saja dari dunia kedokteran. Sebab orangorang begitu, belum lagi menyadari bahwa mereka
dikaruniai Tuhan kesempatan untuk menjadi dokter
adalah untuk menolong sesama manusia dan bukan
105 untuk sombong?sombongan. 'Kalau orang yang beragama itu atau yang kulitnya begitu, gua benci deh.,
Itu bukan mental seorang dokter. Jiwa dokter adalah
jiwa yang bersedia menolong kawan maupun lawan
tanpa memikirkan keuntungan yang akan diperoleh.
jiwa dokter bukanlah jiwa dagang yang selalu berusaha
mendapat keuntungan sebanyak?banyaknya dalam
waktu sesingkat?singkatnya. Seperti Saudara?saudara
ketahui, ini adalah fakultas kedokteran swasta. Segala
sesuatu tergantung dari fakultas kedokteran negeri
yang sudah lebih banyak pengalaman dari kita. Mendidik dokter?dokter adalah amat sulit dan amat mahal.
Diperlukan sekian ratus pasien dan untuk biaya perawatan mereka, fakultas dan rumah sakit harus mengeluarkan jumlah uang yang tidak kecil. Sebab
pasien?pasien kelas sudah tentu tidak dapat diberikan
pada mahasiswa. Nah, andai kata semua itu sudah
tersedia, masih ada lagi pr0blem lain yaitu soal peng.kuan dari pemerintah, dalam hal ini, fakultas negeri.
Ini sulit sekali. Saudara?saudara harus betul?betul dapat meyakinkan mereka, bahwa Saudara-saudara cukup
kompeten untuk diluluskan sebagai dokter yang qualifea'. Saudara-saudara sekalian berada dalam satu perahu yang sama dan mungkin perahu yang terombangambing kena topan. Nah, seharusnya Saudara?saudara
bersatu kompak dan erat dalam menanggulangi kesulitan?kesulitan dari luar. Jangan seperti apa yang saya
dengar: Saudata-saudara baku hantam di dalam. Saling
iri hati. Saling menjatuhkan. Saling menjelekkan. Seharusnya Saudara?saudara sekalian saling membantu.
Siapa yang tahu sesuatu, memberitahu temannya. Yang
106 kurang tahu, banyak bertanya dan jangan malu. Yang
bodoh jangan ditertawakan. Adakan tenteer?club. Belajar sama?sama. Jangan sok jago sendiri. Kedudukan
Saudara belum pasti, seperti perahu itu. Bagaimana
Saudara?saudara akan berhasil, kalau sudah saling hantam begitu? Bukankah bersatu kita teguh? Nah, saya
harap persoalan yang sekarang sedang melanda kalian,
dapat dibereskan secepatnya. Saya memberi kuliah untuk kalian semua, bukan untuk segelintir mahasiswa.
Saya sudah berkorban waktu, jam enam lewat saya
sudah berangkat dari rumah. Dan saya juga?seperti
dosen?dosen Saudara yang lain?tidak menerima honorarium. Untuk apa itu semua? Untuk Saudarasaudara. Untuk masa depan yang baik bagi kalian semua. Dan bukan untuk hanya segelintir saja!!!"
Baaaang!! Dosen itu membanting penghapus ke atas
meja. Butir?butir kapur beterbangan menyebabkan beberapa mahasiswa tergesa?gesa menutup hidung mereka.
"Jadi Saudara?saudara berjanji akan menyelesaikan
soal ini secepat?cepatnya dan sebaik?baiknya?"
"Kami berjanji," kata seisi kelas.
"Baiklah. Sekarang akan kita teruskan dengan kuliah tempo hari: hernia nucleus pulposzlr."
Seluruh kelas sunyi senyap. Bahkan bunyi pena tidak terdengar.
*** Persoalan itu memang diselesaikan secepat?cepatnya,
akan tetapi sama sekali jauh dari harapan dosen?dosen.
107 Suasana bukan mereda tetapi malahan bertambah hangat. Anak-anak borjuis sudah mulai berani terangterangan menyindir dan kaum proletariat memberi
contoh yang baik dengan tidak memedulikan tantangan?tantangan itu.
"Bukan main," ejek Markus terang-terangan. "Tapi
biasa main gelap?gelapan. Jadi terang?terangan tidak
berani."
Mendengar kata?kata itu, jago piano mereka diam
saja. Duduk menekur membaca buku-buku kedokteran
dari Moskow yang banyak sekali dijual waktu itu.
Markus se?es masih tetap gembar?gembor untuk memanaskan hati siapa saja yang terkena. Tapi mereka
malah pergi ke luar kelas, menganggapnya sebagai
orang gila yang tidak patut dilayani. Tinggal si Kutu
Buku terpaksa menerima saja segala ocehan dan sindiran yang didengarnya.
"Mereka punya A.K, kita punya panser... ha.... Mereka main bokong, kita main kayu. Mereka mau apa
saja, kita bersedia layani. Sebut tanggal dan jamnya
dan di mana pibunya. Kita layani. Baru segala kurcaci!
Buat para pendekar telaga hijau, tidak berarti apa?apa.
Kita punya panah emas, kita punya seruling kemala...."
Anak?anak semua tertawa. Rupanya klik Non?Merah itu semuanya ahli?ahli cerita silat. Berlainan dengan rekan?rekan golongan Merah, yang mempergunakan waktu luangnya secara amat efisien, maka agaknya
klik Non?Merah cuma mempergunakannya untuk
cerita?cerita silat, buku?buku Harold Robbins, main
tenis, badminton, berenang, piknik-piknik.
108 "Hati?hati dengan mulutmu. Salah?salah, kau akan
diadukan oleh pacarmu sendiri, kalau kebetulan dia
seorang kader. Apalagi tampang seperti kaul Mana
dompet selalu kosong. Pasti tidak berarti dibandingkan
dengan tugas."
"Kalau aku sampai dikeluarkan... huh! Pokoknya
rata deh Res Publica dengan tanah."
"Mau kauapakan?"
"Belum tahu."
Tina masuk ke dalam kelas.
"Eh," panggil si Kutu Buku, "bagaimana Fiir Elise?
Sudah bisa?"
"Bagian depannya sudah. Bagian tengah-tengah sulit."
"Nanti deh. Sekolah kita kan mau beli piano. Nanti
kita belajar ya."
"Oke. Kau baca apa sih?"
"Ah, iseng. Pato?Hsio. Murah nih. Cuma seratus
perak."
"Tahu. Tapi tidak ada isinya. Untuk pato?fisio sebaiknya baca Sodemann. Lima ribu."
"Aduh! Mana ada uang!"
"Kalau mau pandai, memang perlu uang," kata
Tina, mulai sebal.
"Engkau borjuis sih."
"Hm."
"Aku sih miskin. Tidak punya uang."
"Dan kaupikir, aku punya uang.> Aku menabung,
tahu! Orangtuaku menabung. Saudara?saudaraku menabung. Kami hidup sederhana, berkorban, menghindari kesenangan-kesenangan yang tidak perlu supaya
109 dapat sekolah. Kau tahu itu? Tentu tidak! Karena itu
jangan lekas-lekas menuduh kita semua borjuis segala!
Maksudmu barangkali, bahwa kami selalu berpakaian
pantas, tidak pernah terlihat meminta?minta, mempunyai tas?tas sekolah yang modern dan bolpoin merek Parker! Apakah itu kauanggap borjuis? Memakai
tetoron itu suatu kemewahan? Kalau engkau mau
terus memakai cita dari koperasi, apa salahnya. Tapi
jangan lalu menuduh kami tidak prihatin terhadap
ini?la, itu-la!"
Si Kutu Buku berulang kali melambaikan tangannya
menyuruh Tina berhenti, tapi gadis itu baru berhenti
ketika dia sendiri sudah merasa cukup bicara.
"Aku cuma main-main," kata laki-laki itu dengan
mengiba.
"Kalau begitu, aku harap jangan persoalan ini dijadikan alasan untuk menuduh aku kontra?revolusi, misalnya atau apa kek!" lalu melihat mulut yang menganga
itu, disambungnya, "Ya, siapa tahu, kelak engkau mendapat ilham untuk menuduh aku tentang sesuatu yang
kauciptakan sendiri."
"Aduh, aduh," bisik Anita pada gadis itu, "bukan
main beraninya engkau tadi."
Tina tersenyum dengan senyum seorang perempuan
yang tahu apa yang ada di bawah telapak kakinya.
Steve tidak ikut serta dengan senda gurau itu. Dia
duduk di luar berdua dengan Monik. Mereka sedikit
sekali bercakap-cakap. Bagi Monik, tidak ada yang
perlu dipercakapkan. Dia mengerti dan Steve juga mengerti. 'I'uduhan?tuduhan yang mengerikan itu rupanya
merupakan blessing in disguise bagi Monik. Steve mulai
110 memperhatikan dia lebih dari biasa. Mengerti akan
kehadirannya. Menemukan padanya seorang pendengar
yang setia, kawan sejati, dan mungkin seorang wanita
yang mencintainya. Bila Steve sudah dilanda ketakutan
akan dikeluarkan dari sekolah, maka dia akan mencari
Monik dan duduk berjam-jam dalam ruang tamunya.
Bahkan Ahmad dan adik?adiknya sudah akrab dengan
dia. Kadang?kadang, kalau kebetulan Martin datang
juga, mereka berdua main catur. Monik menutup pintu kamarnya dan melalui pintu lain, dia bebas berbuat
seakan?akan tidak ada tamu: mandi atau makan. Kalau
urusannya sendiri sudah selesai, barulah dia keluar
menemani mereka.
Sudah tentu Martin tidak terkena tuduhan apa-apa.
Mengherankan, bahwa dia merupakan satu?satunya
mahasiswa yang dihormati dan disegani baik oleh
pihak Merah maupun Non-Merah. Betul dia termasuk
Idik Non-Merah, tetapi sesungguhnya dia non-partai.
Adik perempuannya masuk PMKRI. Tapi dia dan saudara kembarnya tidak masuk apa?apa.
Kalau Monik memandangnya, seakan?akan didapatnya kesan bahwa Martin memang tidak pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya. Wajahnya selalu cerah dan bercahaya. Seakan?akan dia berjalan biasa saja
dalam hidup tanpa mengalami rintangan, sebab rintangan-rintangan itu menyingkir bersembunyi bila dia
lewat.
Minggu yang lalu dia datang ketika Steve kebetulan
tidak ada di situ. Mereka belajar Pediatri untuk tentamen keesokan harinya. Steve tahu itu, jadi dia tidak
11] datang. Anak-anak kontra-revolusi tidak diperbolehkan
mengikuti ujian-ujian, selama persoalan mereka belum
beres, mungkin menunggu amnesti atau semacam
itu. "Mengapa cephal?hemrztom pada bayi yang baru lahir sebaiknya dibiarkan saja? Mengapa tidak boleh diaspirasi?" tanya Martin menguji.
"Karena itu akan hilang sendiri sedang pemasukan
jarum berarti memasukkan kuman?kuman juga."
"Bagus. Betul."
"Morro refleks hilang umur berapa?"
"Di sini cuma disebutkan: dalam beberapa bulan.
Entah di mana, aku pernah membaca bahwa itu hilang dalam kurang dari enam bulan."
"Apa bahayanya pemberian zat asam yang terus-menerus pada bayi baru lahir, terutama prematur?"
"Kerusakan mata yang irreversible. Apa namanya...
aku lupa."
"Aku juga lupa. Tunggu."
Martin membalik?balik bukunya.
"Apakah bukan r'etrolentrz/fbroplclsirz?"
"Aku rasa memang itu. Ya... rasanya memang begitu namanya."
Tiba-tiba saja Martin bertanya, "O ya, bagaimana
putusan mau ke Rotterdam?" Monik mula?mula tidak
menangkap dengan betul pertanyaan itu. Dia tergagap
seketika.
"Eh... eh...."
"Ingatlah! Negara ini pasti menjadi komunis. Tidak
ada lagi kebebasan pribadi. Aku tahu itu dari surat?surat pamanku yang diselundupkan dari Shanghai. Kita
112 harus menyingkir. Sekarang: Steve, i'oiok, Jerry,
Markus. Mengapa esok?lusa, tidak mungkin: kita?
Hidup dalam ketakutan. Satu?satunya harapan kita:
koran?koran. Tapi kita semua tahu apa yang terjadi:
pers sudah menjadi alat pemerintah. Atau ngecap atau
diberangus! Alternatif lain tidak ada. Ingatlah itu,
Monik."
Martin memandangnya dengan tenang seperti rupa
kanak?kanak yang ramah. Monik ingin memalingkan
mukanya tapi tidak dapat. Kalau tidak ada laki?laki
lain dalam hatinya. dia pasti akan mencintai Martin.
Kalau laki?laki itu dapat dikeluarkannya dari dalam
hatinya yang paling dalam... mustahil. Kecuali ada
mukjizat. Steve sudah berakar dalam hatinya dan bertakhta di situ. Sekonyong?konyong Monik merasa kasihan pada Martin, seperti yang belum pernah dirasakannya terhadap makhluk apa pun. Dia ingat hidupnya yang begitu indah, begitu aman dan licin, tanpa
susah. Apakah dia yang akan mulai memperkenalkannya dengan kesusahan dunia? Bagaimana akan diterjemahkannya isi hatinya ini pada adik perempuannya
yang lincah itu? Apakah dia harus melukai hati sahabatnya yang periang itu?
Monik memandang Martin sambil tersenyum. Dia
merasa, temannya itu agak kurus sedikit. Mungkin
terlalu gila berolahraga, seperti istilah ibunya. Dengan
penuh belas kasihan, Monik mengulurkan kedua tangannya dan menyentuh jari-jari di hadapannya dengan lembut. Kedua mata yang tenang itu menatapnya
dengan pandangan heran yang manis, penuh tanda
tanya tapi tidak mendesak.
113 "Janganlah pergi, Martin. Tinggallah di sini. Keadaan pasti berubah."
Martin melepaskan bukunya ke lantai dan menggenggam kedua tangan yang halus itu erat-erat.
"Maukah... maukah... engkau... kelak bersediakah
engkau... setujukah... engkau, kalau... kalau kita kelak
menikah?"
Monik terkejut setengah mati. Namun diperlihatkannya terus senyumnya.
"Ou! Mengapa membicarakan itu? Sekarang bukan
saatnya, anak manis. Sekarang waktu belajar. Kita masih terlalu muda untuk itu."
"Aku... aku rasa, engkau... betul. Lupakan itu! Aku
sinting menanyakan hal serupa itu." Lalu dengan suara
keras, Martin bertanya, "Pada patah tulang apa dilakukan mmel?verbzmd dan kapan terjadi bajonet position?"
"Apa artinya water?bzzby? Kapan terjadinya snowmzzn appearance?"
Martin terus-menerus memberondongnya seakanakan dia sendiri sebenarnya yang tidak mau berhenti
untuk berpikir dan berpikir.
Ketika mau pulang, Martin bertanya sambil tertawa,
"Apakah engkau melihat aku bertambah kurus?"
Sekali lagi Monik merasa terkejut setengah mati.
"Tentu saja tidak. Atau... mungkin aku melihatmu
setiap hari, jadi tidak tampak perbedaan itu. Mengapa?"
"Ah, tidak apa-apa. Aku cuma ingin tahu apakah
ibuku betul," dan dia tertawa gelak?gelak. "Kau tahu
sendiri ibu?ibu. Anxietas berlebihan terhadap anakanak dan suami!"
114 "Mungkinkah aku kelak akan begitu juga, sebab..."
Tiba-tiba Monik sadar dan menghentikan ucapannya.
"Ayo, aku pulang dulu," kata Martin seolah?olah
tidak menyadari apa yang terjadi. "Jangan tidur terlalu
malam. Mau dijemput besok?"
"Sudah tentu tidak. Cuma selangkah ke depan."
"Ayo!" serunya melambaikan tangan.
Monik mengangguk. Kemudian berdiri beberapa
menit lamanya di balik pintu tertutup, dengan mata
terpejam, membayangkan skuternya menghilang dalam
kabut malam.
*** Tentamen Pediatri dimulai jam delapan pagi. Monik
datang pagi?pagi supaya mendapat tempat di belakang.
Inge sudah memesan tempat di sebelahnya. Bangkubangku di depan biasanya ditempati oleh Kamerad
Chien dan anak buahnya serta mereka yang datang
terlambat. Duduk di belakang, berarti kesempatan
nyontek banyak. Sebaliknya, kalau duduk di depan.
Pertanyaan-pertanyaan ada sepuluh, semuanya aktif.


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu: dua jam. Dosen datang sebentar, kemudian
menyerahkan penjagaan pada pegawai tata usaha yang
sudah terbukti tidak makan suap, baik rokok maupun
uang.
Beberapa pertanyaan pertama tampaknya mudah.
Suasana masih tenang. Pada menit keempat puluh,
penjaga mulai menangkap adanya gerakan?gerakan
yang mencurigakan di sana-sini, hilang?timbul. Dia
115 lebih waspada. Kalau dapat menangkap basah seorang
mahasiswa yang curang, berarti pujian dari Tuan Kepala. Tapi untuk itu, perlu bukti?bukti. Dan ini yang
sulit, sebab mahasiswa?mahasiswa itu bukan anak kemarin dalam hal seni sontek?menyontek yang sudah
dipelajari mereka sejak di sekolah dasar. Apalagi penjaga biasa tidak merasa mempunyai wewenang untuk
sebentar?sebentar berjalan-jalan di antara bangku?bangku, mencari maling yang kurang tangkas.
Inge juga mulai gelisah. Secara kebetulan, dia lupa
mempelajari tentang makanan bayi dan kenaikan berat
badan ideal. Dan sekarang ada lima pertanyaan mengenai itu. Nomor empat a sampai e. Celaka, pikirnya, padahal soal?soal lain belum tentu betul seratus
persen. Diketuknya meja tiga kali seperti kode yang
disetujui bersama dengan Monik. Gadis itu menoleh.
Untung sekali, masing?masing dapat bersembunyi di
belakang anak?anak laki?laki yang duduk di muka mereka.
Inge menunjukkan empat buah jarinya. Monik mengedipkan matanya lalu asyik lagi menulis tapi bukan
di atas kertas ujian, melainkan di atas kertas pengisap
tinta. Ketika bapak penjaga yang setia itu tengah membelalak ke arah lain, kertas itu berganti tangan. Inge
tersenyum lega.
Tapi pada soal terakhir, keningnya kembali berkerut. Berapa tetes per menit? Dia sudah membaca tentang dehidrasi tapi tidak menyangka akan diberi kasus,
jadi dilupakannya saja rumus Darrow itu. Toh penyakit?penyakit lain masih terlalu banyak yang harus
dimasukkan ke kepala.
116 Aduh, setan! Mengapa aku lupa sama sekali tentang
ini, pikirnya kesal. Diketuknya meja tiga kali.
"Ya, ada apa?" tanya penjaga.
"Brengsek," katanya dalam hati.
"Anu, Pak. Boleh saya minta kertas untuk menghitung?"
"Tentu," kata penjaga menghampirinya.
Ketika dia berjalan kembali ke depan, Inge cepatcepat memperlihatkan kesepuluh jarinya. 'l'ertolonglah
dia untuk kedua kalinya.
Segera setelah ujian selesai, Inge berlari ke luar tempat sopirnya sudah menanti. Monik berdiri tertegun
memandangnya. Ketika membuka pintu, lnge tiba?tiba
melihatnya lalu melambaikan tangannya.
"Mau ke mana?" tanya Monik.
"Pulang."
"Kuliah jantung?"
"Tidak ikut. Ada perlu sih. Ayo. O ya, trims tadi,"
lalu dia menghilang ke dalam mobil.
"Adiknya berulang tahun," kata Martin yang tibatiba sudah berdiri di sampingnya.
"Oh."
Monik heran betul, bagaimana Martin dapat mengetahui urusan Inge, padahal dia tidak.
"Bagaimana tadi?"
"Entahlah. Mungkin ngawur juga."
Ketua Kelas lewat.
"Kuliah jantung, eh. Husada. ]am dua belas."
"Oke. Ikut aku, Monik?"
*** 117 Ketiga anak kos itu tengah duduk-duduk dalam kamar
Monik, membicarakan situasi masing-masing fakultas.
Rupanya di mana-mana sama saja. Selalu ada kambing
hitam yang kontra-revolusi.
"Aku heran," kata Diana, "mengapa anak?anak perempuan itu tidak pernah punya variasi dalam pakaian
mereka. Selalu warna biru atau abu-abu. Polos atau
bergaris?garis. Jarang berbunga?bunga. Tidak pernah
meriah. Seakan?akan mereka bukan perempuan."
"Anak?anak laki-laki sama saja. Selalu kemeja katun
dan celana khaki putih atau biru atau abu-abu. Seakan?akan berpakaian bagus itu merupakan dosa."
"Sudah tentu! Dalam keadaan rakyat prihatin begini!"
"Tapi kata koran, rakyat sudah makmur. Beras tidak usah impor lagi."
"Dan di warung tidak ada. Ssst... aku baru ingat,
tadi Tante bilang, kemungkinan bulan depan akan
naik lagi. Katanya apa-apa makin mahal dan sukar
diperoleh."
"Naik ya naik, mau apa lagi? Pindah tempat? Di
mana?mana sama saja mahalnya. Belum tentu tantenya
sebaik di sini. Di tempat Anita, anak?anaknya begitu
nakal. Buku ditinggal sebentar sudah habis kena coratcoret. Dan si ibu cuma bilang: jangan, Toto, jangan
ya, Sayang, nanti Tante Anita marah, jangan ya, Manis. Huh! Ingin rasanya memukul anak itu. Luar biasa
nakal. Kamar mandi mereka rusak kuncinya. Setiap
kali mandi, Anita selalu berdebar?debar sebab setan
kecil itu gemar mendorong?dorong pintu kamar man
di "
118 "Di tempat temanku lain lagi: ketika mau masuk
ke situ, Tante Kos bilang: di sini ada kulkas, boleh
ambil sendiri apa?apa yang disukai, ada tivi, boleh lihat. Ada telepon, boleh pakai. Listrik tidak dibatasi,
sebab Tante maklum juga. Kalian perlu belajar sampai
jauh malam. Leding juga mengalir terus. Jadi di sini
boleh dibilang, sudah serbaluks untuk kast?huz's. Pasti
yang Tante minta itu tidak terlalu tinggi. Kalian terjamin segala?galanya. Makan pagi, siang, malam. Setiap
jam empat sore, kalian mendapat teh dan kue?kue."
Diana memperbaiki duduknya sebelum meneruskan
ocehannya.
"Nah, apa yang terjadi setelah tiga bulan di sana?
Listrik sering mati tiba-tiba. Bak mandi kerap kali kosong. Telepon boleh dibilang setiap hari digantungi
label karton: rusak. Mengambil pisang dari kulkas harus dengan perantaraan anaknya yang berumur sembilan tahun. Mampus, tidak?"
"Mengapa tidak keluar?"
"Tentu saja mau. Begitu dia mendapat tempat yang
baru."
"Pusing memikirkan kos. Sudah pelajaran kacaubalau, keadaan kelas tidak enak, masih ditambah
dengan tidak cocoknya kos. Huh. Kalau tidak malu
pada sanak keluarga, aku sudah kembali pulang."
"Tapi ada temanku yang beruntung. Tante kosnya
amat baik. Mana cantik dan masih muda. Begitu juga
anaknya."
"Hm. Aku rasa, aku pernah dengar tentang itu.
Yang senang main?main dengan mahasiswa?"
"Iya. Ibu dan anak.."
119 "Suaminya?"
"Sudah tidak ada, tentu saja."
"Dan temanmu tidak keluar dari situ?"
"Mengapa? Temanku laki?laki!"
"] seell " kata Diana terkekeh.
Tok, tok, tok.
"Ssst, ada orang, Monik," kata Ella.
Ketukan kembali berulang.
"Ah, tolonglah. Engkau lebih dekat ke pintu."
Ella bangkit dan membuka pintu.
"Apakah aku mengganggumu?" tanya Steve dengan
cerah.
"Tentu saja tidak," sahut Diana sambil memperbaiki
duduknya. "Mengapa?"
"Sebab umumnya wanita?wanita tidak suka pembicaraannya didengar laki?laki."
"Oh, seperti kaum laki-laki tidak!"
"Pasti tidak. Kami malah lebih bersemangat kalau
ada wanita yang ikut mendengarkan obrolan?obrolan
kami."
"Dia mulai sinting," kata Monik.
Steve tertawa.
"Bagaimana tentamen Pediatri tadi pagi?"
"Sepuluh soal. Aktif. Ngawur deh, pokoknya."
"Bagaimana kalau kita nonton?"
Monik memandang teman?temannya.
"Pergilah. Kita toh tidak dapat ngobrol. Diana besok ada responsi dan aku mau menyalin kuliah."
"Oke deh," kata Steve memutuskan.
Dia membawa mobil tua ayahnya, tapi pada peng
120 lihatan Monik, benda itu sama bagusnya dengan mobil Inge.
Steve membukakan pintu mobil untuknya. Monik
pura?pura membereskan rambutnya yang tidak apaapa, supaya kegairahan pada wajahnya itu tidak tampak. Dia kecewa sedikit sebetulnya, ketika Steve tidak
memuji baju barunya.
"Apa engkau mendengar sesuatu yang baru?" tanya
Steve.
"Ya. Mereka mau mengadakan rapat Senat minggu
depan. Sudah tentu kita semua akan hadir. Kita akan
membela engkau dan semua yang diskors. Martin dan
ketua kita sudah bersedia untuk bicara. Pasti ramai."
"Mengapa aku tidak diberitahu tentang hal ini?"
"Mereka takut, engkau hadir. Nanti bisa ribut. Engkau tambah?tambah lagi menumpuk dosa."
"Apakah kaupikir kita dapat menang?"
Monik menggeser duduknya sedikit.
"Bukankah dosen-dosen kebanyakan berpihak pada
kita?"
"Tapi adakah gunanya? Buktinya, dosen Neuro sudah bilang, jangan sampai ada yang diskors, toh mereka anggap angin."
"Ya, tapi kan ada akibatnya: Neuro mogok kuliah.
Mereka tentu berpikir lagi. Siapa yang mau ikut rugi,
meskipun buat revolusi? Namanya manusia. Dosen
mogok agaknya menakutkan mereka juga, sehingga
mereka bersedia mengajak kita rapat minggu depan."
Monik menggeser lagi duduknya. Steve menoleh
dan menyentuh pipinya.
"Kita harap saja, rapat itu akan berhasil," katanya.
121 Gadis itu memandang profilnya. Apa yang disukainya
pada Steve adalah air mukanya yang senantiasa menunjukkan kepercayaan diri yang besar, bahkan hampirhampir menjurus pada kesombongan dan keangkuhan.
Kedua mata laki?laki itu selalu menunjukkan pada
dunia bahwa dia tahu pengaruhnya terhadap semua
benda di sekelilingnya, tahu apa yang dikehendakinya,
dan tahu juga bahwa dia akan selalu mendapat itu.
Kalau Steve berdarah bangsawan, pastilah sikapnya itu
memamerkan jiwa aristokrat sejati. Dia hidup untuk
hari ini. Karena itu dia tidak perlu banyak berpikir
dan itu amat menyenangkan. Hidup bersama Steve
pasti tidak diliputi kegelisahan dan kekhawatiran. Kita
ada hari ini, esok adalah urusan Tuhan, katanya. Dia
tidak mengenal rasa takut. Seperti juga sekarang, dia
tidak merasa takut dikeluarkan dari almamater, sebab
dia tahu dia tidak akan dikeluarkan.
"Kalau aku sampai dikeluarkan oleh mereka, percayalah, dunia pasti kiamat."
"Oh, tentu aku percaya," kata Monik, menganggapnya lucu sekali.
Mobil diparkir di Pintu Air. Mereka berjalan pelanpelan menyusuri toko-toko di Pasar Baru. Hari belum
lagi jam tujuh. Masih banyak orang berbelanja. Mereka berjalan sambil berbicara berbisik?bisik, tanpa
mengacuhkan apa yang dipamerkan oleh jendela?jendela toko. Langit sudah mulai dibalut permadani biru
keungu?unguan. Rumah?rumah dan lampu?lampu di
kejauhan tampak seperti lukisan di atasnya. Mobil?mobil yang berlari menjauh, masuk ke dalam kabut senja
122 lalu menghilang suaranya, seakan?akan lenyap pada
suatu tempat yang tak bernama.
Di muka Gedung Kesenian yang tidak pernah mementaskan kesenian itu, mengalir sebuah sungai dengan jembatan sisa peninggalan kolonial. Meskipun
lampu?lampu di situ sudah lama tidak menyala, jernbatan itu masih cukup menarik. Rakyat Jakarta tahu
itu dan mereka mempertahankannya, meskipun ada
juga suara-suara yang mengusulkan supaya semua bangunan sisa imperialis dimusnahkan.
Mereka berdiri di jembatan, memandang air cokelat
yang tidak pernah bergerak. Lampu?lampu dipantulkan
samar-samar. Di kejauhan tampak seorang laki?laki
sedang membuang hajat. Monik memalingkan mukanya. Steve melihatnya juga. Mereka tertawa.
"Lebih baik kita kembali," kata Monik yang menjadi hilang semangat melihat ada orang mengotori
jembatannya.
Steve melingkarkan lengannya sekeliling pinggangnya yang ramping dan menghelanya perlahan?lahan.
Seekor kelelawar yang ditinggalkan kawan?kawannya
terbang rendah melintasi mereka.
"Kurang ajar," hardik Steve, tapi Monik malah
menganggapnya lucu dan rasanya ingin menangkapnya
dan membelai kepalanya yang kecil.
Malam itu diputar Hlm India. Penonton berjubel.
Catut banyak. Bukan karena bagus, tapi karena itu
satu?satunya film yang diputar. Seorang laki?laki bikin
ribut di muka loket.
"Koran bilang, film Jepang?! Mana?"
123 "Film Jepang kemarin, Bung. Hari ini film India.
Mau?"
"Tapi kenapa di depan masih dipasang reklamenya?"
Penjual karcis mengangkat bahu.
"Tanyakan pada tauke. Berikut!"
Orang di belakangnya mendesak laki?laki itu ke
pinggir.
"Dua deh," katanya tergesa?gesa sambil menyeka
keringat. "Huh! Katanya Jepang, tapi yang main
India."
Monik sama sekali tidak memperhatikan Hlm. Dia
duduk diam-diam, matanya asyik mengawasi Steve
dan Steve asyik mengawasi para penari, meskipun dia
tahu gadis itu memperhatikannya.
"Cerita yang sedih, bukan?" tanya Steve di luar.
"Ya," kata gadis itu mengeluh.
Mereka menyeberang jalan lalu mencari warung
makan langganan mereka di mana disediakan kerang
laut dengan sambal cuka.
"Mengapa engkau tidak pergi saja ke luar negeri?"
tanya Monik suatu kali.
"Gilakah engkau? Hidup di sini jauh lebih enak.
Di sana, engkau harus bekerja. Kuliah dari jam delapan sampai jam lima sore. Harus mencari uang sendiri. Pasti sengsara. Cuma orang?orang gila yang mau
pergi ke sana. Bekerja setengah mati, padahal di sini
masih ada orangtua yang sanggup memanjakan kita."
Monik memandang orang yang dicintainya itu sambil menghela napas.
124 "Aku tahu satu orang yang ingin pergi ke sana dan
sama sekali tidak gila!" katanya hampir berbisik.
*** Siang itu datang surat dari Paman di Basel. Alice
mengambilnya dari kotak pos dan memberikannya
pada ibunya. Dia menanti, tapi ibunya meletakkan
surat itu di atas meja riasnya tanpa membukanya.
"Untuk Papa," katanya.
"Ou, apa salahnya kalau Mama yang membukanya?"
tanyanya seraya mengulurkan tangan.
"Alice!" bentak ibunya, menangkap tangannya. "ltu
untuk Papa!"
Alice mengangkat bahu. Dia pergi ke kamar kakaknya. Martin tengah menelungkup di lantai membaca
textbook. Sebagian buku?bukunya berserakan di atas


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat tidur saudara kembarnya. Meskipun Robert
berada di Bandung, tempat tidurnya selalu diberi
seprai putih yang diganti setiap minggu. Martin mempergunakannya untuk meletakkan buku?bukunya. Bila
saudaranya datang, bagian ibu dan adik perempuannya
untuk mengembalikan mereka ke dalam lemari bukunya.
"Oui! kata Alice.
"Ada apa, Non?"
Alice melemparkan diri, telungkup di atas tempat
tidur kakaknya lalu memandang ke bawah.
"Apakah engkau sibuk?"
"Tentu. Lihat sendiri."
Alice memandang tempat tidur di seberangnya. Di
125 ulurnya lengannya sepanjang?panjangnya untuk mengait Emily Bronte di situ.
"Kalau begitu sebaiknya aku keluar saja. Pinjam ini
dulu, ya."
Kakaknya diam saja. Di muka pintu dia berbalik
lalu mendekatinya.
"Surat dari Basel itu"
Martin mengait kaki adiknya sehingga gadis itu terjerembap menimpa kakaknya.
"Aku rasa, aku mulai tertarik," katanya.
"Tapi engkau sibuk...."
"Sebenarnya tidak begitu sibuk. Ada apa dengan
Basel?"
Alice berusaha berdiri.
"Aku sendiri tidak tahu."
"Jangan main?main!"
"Ada di dalam kamar Mama. Belum dibuka," bisik
adiknya tertawa lalu menghilang cepat?cepat.
Martin menelentang dengan kepala di atas textbook.
Basel. Penuh harapan. Tapi dia tidak mau pergi tanpa
Monik. Tidak bisa. Apa akal? Memang dia harus pergi, tapi... Dia bangkit, mengambil rokok dan korek
api dari bawah kasur. Ayahnya tidak merokok dan selalu bangga bahwa anak?anaknya juga seperti dia. Namun Ijah yang tiap pagi membersihkan kamar?kamar,
tahu lebih banyak.
Disulutnya rokok sebatang dan dikeluarkannya asbak dari bawah tempat tidur. Sambil duduk di lantai,
Martin memeras otak untuk membayang?bayangkan
apa kiranya yang ditulis pamannya dan bagaimana
mendebatnya nanti malam.
126 Cepat atau lambat dia memang harus pergi. Golongan Merah makin nyata-nyata berkuasa dalam segala bidang. Kalau dia tidak ingin menjadi robot, dia
harus pergi. Meninggalkan orangtua dan adik?adik
adalah berat. Tapi tidak seberat meninggalkan gadis
itu. Dijentriknya abu rokoknya. Dia tengadah memandangi langit?langit. Apa akal? Apa akal?! Gadis itu
harus ditarik pelan?pelan. Beberapa menit setiap hari,
indoktrinasi: mereka harus pergi, di sini tidak ada harapan. Besok atau lusa, agama-agama dinyatakan
terlarang. Masjid dan gereja harus diubah jadi sekolah.
Dan pelajar-pelajar harus memakai baju khaki dengan
dasi merah. Emblem?emblem universitas harus
ditambahi palu-arit. Kuliah harus dengan sepatu karet.
Motor?motor dikenai pajak kemewahan supaya semua
mahasiswa naik sepeda dan tidak ada perbedaan kayamiskin. Mahasiswi?mahasiswi tidak boleh memakai
lipstik dan bedak-bedak Paris tidak lagi diimpor.
Martin mematikan rokoknya. Kalau setiap hari aku
katakan hal itu padanya, mungkin akhirnya dia akan
setuju. Nah, barulah pada saat itu aku mau pergi.
Pergi dari surga hijau ini dan masuk ke dalam neraka
di mana musim berganti empat kali setahun dengan
matahari yang tidak begitu ramah.
Akan tetapi sampai hari itu, ketika dia mengatakan:
mau, maka aku tidak dapat pergi. Aku harus tinggal
di sini untuk menjaga dia dari tangan?tangan kotor
yang selalu meminta korban.
Saya tidak bisa pergi sekarang, Papa, pikirnya membayangkan ayahnya berdiri di mukanya. Mengapa ti
127 dak, ayahnya akan bertanya. Dia akan mengangkat
bahu, mula-mula. Ayahnya tentu tidak puas dan akan
mendesak terus. Dan dia tidak akan membuka rahasianya. Belum saatnya. Dia belum mau membuka rahasia
itu kecuali pada Robert, kalau dia ada di Sini. Menulis
surat adalah berbahaya. Selalu ada kemungkinan orang
ketiga membacanya.
Yah! Dia akan bertindak hati?hati. Ayahnya tidak
boleh tahu. Dia akan bilang: tunggulah sampai kenaikan tingkat, Papa. Jadi ada kemungkinan, di sana
tidak usah mengulang lagi dari tingkat satu. Ayahnya
tentu kurang mengerti soal?soal itu, kecuali pamannya?ahli bedah plastik?sudah menjelaskan semuanya
dengan terperinci. Moga?moga pamannya tidak tnenulis apa-apa dan ayahnya akan membiarkannya menunggu beberapa bulan lebih lama.
Martin mengambil sebatang rokok lagi. Kemudian
mencari?cari koreknya di lantai. Dia merasa tercengang
dan sedikit tidak mengerti ketika dilihatnya benda itu
di atas tempat tidurnya. Dipegangnya korek itu seakan?akan tidak mengenalnya kemudian dilemparnya
kembali. Rokoknya tidak jadi disulut. Ha, katanya
pada diri sendiri, hidup susah mati tak mau. Dikembalikannya rahasianya ke bawah kasur. Textbook dibiarkannya di lantai. He, keluhnya melempar diri ke atas
tempat tidur.
Wanita itu masuk dari dapur ketika diketahuinya
suaminya pulang.
"Mana anak itu?" tanya suaminya berseri?seri.
"Masih tidur."
Ayah Martin memandang surat di tangannya, me
128 mandang istrinya, lalu memandang kembali tangannya.
Wanita itu mengawasi suaminya tanpa bertanya apaapa. Sambil bersiul-siul, laki-laki itu keluar setelah
memasukkan kertas itu ke dalam saku. Pelan?pelan
dibukanya pintu kamar anaknya. Laki?laki itu tersenyum. Anaknya masih tidur menelungkup. Buku?buku
berserakan di mana?mana. Kipas angin terus terpasang.
Berjinjit?jinjit dia masuk dan mematikan kipas itu.
Ditutupnya pintu lalu kembali ke kamar.
"Dia masih tidur," katanya tersenyum. "Biarlah. Di
sana, tentu dia tidak dapat tidur sebanyak itu."
"Maksudmu?" tanya istrinya.
Laki?laki itu menepuk?nepuk sakunya.
Selesai makan malam, Martin membaca koran dalam ruang tengah. Simon masuk ke kamarnya membuat pe?er. Ayah dan ibunya seperti biasa, berjalan?jalan di taman menginspeksi bunga-bunga dan membicarakan kejadian?kejadian penting hari itu. Martin
membaca koran tapi pikirannya mengikuti mereka.
Ayahnya mungkin sedang membicarakan surat itu.
Entah apa isinya. Ibunya tentu akan mengeluh, sebab
dia sama sekali tidak suka anak?anaknya pergi. Ayahnya akan membujuknya dan seperti biasa, Ibu selalu
kalah terhadap bujukan.
Alice masuk dengan tugasnya.
"Kopi," katanya.
Martin mengulurkan lengannya tanpa melepaskan
mata dari koran. Alice meletakkan cangkir itu dalam
telapak tangannya.
"Ssst," bisik Martin dari balik koran, "apa isinya?"
129 "Mana aku tahu."
"Hm, jangan bohong. Tentu kau sudah membujuk
Mama untuk mengatakannya?"
"Mama tidak tahu juga isinya."
"Huh!" keluh Martin lalu meletakkan kopinya di
lantai.
Tidak ampun lagi, anjing hitamnya segera keluar
dari bawah kursi dan menikmati minuman tuannya.
Alice mengawasi tanpa komentar. Martin seakan?akan
tidak peduli apa yang terjadi. Dia asyik merenung dengan kening berkerut.
"Sebenarnya, apakah engkau keberatan pergi?" tanya
adiknya dari balik cangkir.
"Sudah tentu tidak."
"Nah! Apa lagi?"
"Soalnya aaaaah! Engkau tidak mengerti soalnya!"
"0 ya?" Dan mata yang jenaka itu menari?nari dengan lincah.
Beberapa saat keduanya terdiam. Alice pindah duduk ke lantai mencari kutu anjing?anjingnya.
"Di Pintu Air baru dibuka restoran orang Medan.
Kapan-kapan kita ke sana ya."
Tidak ada jawab.
"Mereka menyediakan kwetiau yang istimewa enaknya," katanya sambil mencabut seekor kutu dan memijitnya.
"Di Petak Sembilan, ada warung bakmi yang enak.
Baru kemarin dulu aku ke sana. Lebih enak dari Ga
jah Mada. Pokoknya... hm!"
130 Dicabutnya lagi dua ekor kutu.
"Banyak amat kutumu, Bimbo! Bosan aku mencarinya! 0 ya, di Pejagalan ada warung biawak. Segala
macam dari biawak. Sate, sop, goreng biawak. Aku
ingin mencobanya tapi jangan tahu dulu bahwa itu
biawak. Kata orang-orang, sama enaknya dengan
ayam. Di Pejagalan ini, kata orang lebih enak daripada
yang di Prinsen Park. Kapan?kapan, kau beli. Tapi jangan beritahu dulu bahwa itu biawak. Ya?"
Alice mengangkat kepalanya. Kakaknya sedang memandang dinding di mukanya, entah sedang berjalanjalan dalam surga keberapa.
"Ssst... mereka datang," katanya berdusta.
Martin terkejut. Cepat?cepat disambarnya korannya
lalu menyembunyikan muka di situ. Alice tertawa melihat kakaknya terkecoh.
"Kunyuk!" Diraihnya cangkir kopinya dan didapatinya sudah kosong. Dia tidak bangkit untuk mengambil yang baru.
"Aku berani taruhan, ini tentu soal cewek," kata
adiknya.
Martin mau membantah tetapi didengarnya suarasuara orangtuanya mendekat. Dia terpaksa pura?pura
asyik membaca koran.
"Jangan kuatir," bisik adiknya, "aku tidak akan
membuka rahasiamu."
Martin pura?pura tidak mendengar adiknya.
"Ahem!" kata ayahnya sambil berjalan menuju kursinya diikuti Ibu.
Ibunya mengambil sulaman dari atas meja lalu duduk di dalam kursi goyang. Ayahnya mengawasi koran
131 di mukanya untuk beberapa saat sambil membayangkan wajah anaknya: putih dengan sepasang kening
yang hitam dan bibir yang merah. Sejak kecil, anakanak diberi makan semacam jamu?tamuan dari akarakar yang tumbuh di daerah dingin?untuk membuat
bibir mereka merah cerah.
Laki?laki itu memandang sebentar istrinya. Matanya
yang tenang, gelap, dan jernih itu seperti telaga di pegunungan. Ya, anak laki?lakinya mewarisi mata itu.
Dia tersenyum menggosok?gosok tangannya. Dua anak
laki-laki sekaligus. Sehat. Tegap. Dan seperti pinang
dibelah dua. Cuma Robert mewarisi matanya: lincah
dan jenaka dan di ujung hidungnya terdapat andengandeng yang memberi kesan bahwa hidung itu lebih
panjang dari sesungguhnya. Dia selalu menerangkan
bahwa hidung yang mancung dalam keluarga mereka
itu disebabkan karena orangtuanya berasal dari Tiongkok Utara, di mana udara lebih dingin dan orangorang mempunyai hidung lebih tinggi. Tapi Martin
selalu mengatakan bahwa salah satu anak dari nenek
leluhurnya pasti mempunyai darah Marco Polo dan
itulah sebabnya... lelucon yang tidak pernah basi.
Laki-laki itu tersenyum sendiri, tidak sadar bahwa isrrinya sejak tadi mengawasi dia.
Martin memegang koran erat?erat. Tangannya sedikit gemetar sehingga ditekannya sikunya ke dada lalu
mencengkeram kertas itu lebih keras. Jantungnya melompat?lompat sekeras?kerasnya sehingga dia heran
mengapa Alice yang duduk di dekat kakinya tidak
mengatakan: bunyi apa itu, gedebak, gedebuk seperti
alu menimpa gendang.
132 Mengapa ayahnya belum juga memanggil namanya.>
Martin. Ya, Papa. Tadi siang datang surat dari pamanmu. Oh, dari Shanghai? Apakah dia masih menjadi
mandor dan masih berani pergi ke gereja? Hus. ini
bukan dari sana. Dari Swiss. Oh. Dia akan menanti,
pura-pura masa bodoh dan tidak tertarik. Engkau
ingat bagaimana dengan Leoni, kata ayahnya. Ya,
Papa. Tentu dia ingat. Sepuluh Mei. Sukabumi. Rumah Leoni diobrak-abrik. Dan Leoni segera dikirim
ayahnya ke Negeri Belanda. Robert hampir gila memikirkan kemungkinan tunangannya direbut orang
lain.
Ya, Papa, saya mempunyai usul: bagaimana kalau
Robert disuruh pergi dulu, dia tentu lebih perlu, sebab Leoni selalu menanyakan dalam setiap suratnya:
kapan mereka akan kawin. I-le, tentu kalian akan pergi. Berdua. Ya, Papa. Tapi... bagaimana kalau dia pergi
dulu? Saya harus menanti kenaikan tingkat. Nah, ini
dia. Harap saja Paman Jim belum menerangkan apaapa. Kalau tidak... habislah satu?satunya akal, bila Paman bilang: tingkat satu maupun tingkat empat,
sampai di sana mesti mengulang kembali tingkat
satu.
Moga?moga ayahnya belum tahu apa?apa. Kalau
sudah lulus tingkat empat. Papa, tidak usah lagi mengulang dari mula-mula.
"Martin."
Suara ayahnya begitu lembut, tapi Martin kaget
bukan main. Korannya jatuh.
Ayahnya memasukkan tangannya ke dalam saku
piama lalu mengeluarkan sehelai kertas putih. Made in
133 Swiss. Dilambai?lambaikannya kertas itu dan pada setiap getaran, jantung Martin berdenyut sepuluh kali
lebih cepat. Akhirnya denyut jantung itu dirasakannya
sedemikian cepatnya sehingga dia merasa sesak napas.
Koran di atas pangkuannya turut bergetar. Seakanakan mau menenangkan, adiknya memeluk tungkainya
dan menyandarkan kepalanya di situ.
"Pamanmu sudah mengatur semuanya," kata ayahnya tertawa lebar. "Kalian akan bekerja selama tiga
bulan. Engkau di rumah sakit. Dan Robert di bengkel. Sambil bekerja, kalian mengikuti kursus bahasa.
Pendaftaran juga sudah beres."
"Apakah... apakah... saya mesti mulai dari tingkat
satu?"
"Ah... ah... itu Papa tidak tahu," ditelitinya surat di
tangannya. "Tidak. Di sini tidak dikatakan apa?apa.
Tapi apa artinya beberapa tahun yang hilang kalau
dibandingkan dengan tekanan batin yang akan kita
alami seumur hidup? Papa tidak keberatan kalau kalian harus mulai lagi dari tingkat satu."
"Tapi... itu gila."
"Yaaaa, sudah tentu sebaiknya tidak usah diulang.
Misalnya, langsung tingkat tiga."
Nah, ini dia.
"Kalau di sini sudah lulus tingkat empat, memang
dapat langsung ke tingkat tiga atau minimal tingkat
dua, Pa. Turun setingkat memang harus."
Martin merasa heran mengapa semudah itu berdusta. Dan ayahnya mengangguk?angguk percaya.
Aah, untuk selanjutnya tinggal memperbesar sedikitsedikit dustanya.
134 "Di Kebayoran juga ada seorang teman yang mau
pergi ke Leuven. Dia menunggu kenaikan tingkat."
"Hm. Itu tidak penting. Toh tidak ada ijazah kenaikan tingkat. Di sini ditulis, lebih cepat berangkat
akan lebih baik. Supaya semester musim panas tahun
depan, kalian sudah dapat testing masuk."
Dan ayahnya mulai menghitung: 1966 tingkat satu
atau taruhlah: tingkat dua. 1967: tingkat tiga. 1968:
tingkat empat. 1969: tingkat lima. 1970: lulus. Setelah
itu: kalau Merah masih berkuasa, terpaksa bekerja di
luar negeri. Kalau tidak, kalian boleh kembali kemari.
Kawin dan...
"Papa...."
"Untuk tahun pertama, kalian akan mendapat kiriman uang."
"Tapi, Papa...."
"Apakah tahun-tahun berikutnya engkau akan biarkan mereka mati kelaparan?"
"Oh, sudah tentu tidak, Ma. Tapi mereka akan bekerja pada masa liburan musim panas. Di bengkel.
Atau di rumah sakit. Atau, sambil melihat?lihat negara
lain, misalnya memetik anggur di Prancis. ltu semua
kerja. Dan upahnya lumayan. Jadi kita dapat mengurangi kiriman."


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi jangan sampai mereka kekurangan. Ingatlah,
adikmu sendiri juga mempunyai keluarga. Jangan sampai dia harus menyokong anak?anak."
"Tentu. Tentu," kata ayahnya pada Ibu.
"Papa."
"Engkau tentu masih ingat Leoni"
"Ya, Papa."
135 "Nah, itulah tindakan yang bijaksana."
"Seharusnya dulu Robert disuruh pergi saja," kata
ibunya. "Toh aku tidak sakit berat. Dan dia tentu tidak usah mengalami hal itu. Buku?bukunya dibakar.
Motornya dirusak. Seharusnya dulu dia dibiarkan
pergi. Aku cuma asma sedikit... ah! Entah bagaimana
nasib kalian, anak?anak. Mama-Papa sudah tua. Mati
tidak apa?apa. Tapi kalian... sedikit?sedikit, anti?revolusi, terus ditangkap. Mama Mama... khawatir..." Air
matanya mengalir turun diikuti langsung oleh Alice.
Ayahnya membanting?banting kaki kebingungan.
"Apa?apaan ini? Perempuan... perempuan... ayo,
hentikan itu. Alice! Dan kau! Apa-apaan! Kalau harus
mati, di mana pun mati. Ayo, apa?apaan ini? Alice!"
Martin merasa kaki celananya basah oleh air mata
Alice. Dan ayahnya bangkit dari kursi lalu mondarmandir tanpa tujuan. Dia baru tenang sedikit ketika
ibu dan adiknya sudah berhenti menangis.
"Di mana?mana manusia adalah sama. Ada yang
jahat. Ada yang baik. Kita tidak bisa bilang, kita tidak
mempunyai teman baik di sini. Nah, waktu huru-hara
dulu, Robert kan ditolong oleh anak Jawa, sehingga
dia selamat. Barang-barang dirusak, biarlah. Jamak.
Asal jangan jiwa. Buktinya dia ditolong anak manusia.
Mengapa perlu betul membedakan asli atau tidak?
Kan yang penting, hatinya? Mengapa perlu membuat
kelas warga negara asli dan tidak asli, warga negara
tingkat satu dan tingkat dua? Mengapa tidak: warga
yang baik dan yang jahat? Yah! Tapi sekarang petsoalannya lain. Persoalannya lain sama sekali. Sekarang
kita menghadapi masalah penindasan terhadap hak
136 hak asasi manusia. Bukan lagi soal kuning atau cokelat. Tapi lebih hebat lagi: kita mau dijadikan robotrobot. Tidak boleh berpikir. Tidak boleh hidup. Sebab
hidup adalah berpikir dan berkembang. Kita harus
statis dan apatis. Segala apa diatur oleh beberapa gelintir orang yang mahasuper. Misalnya kita tidak boleh
lagi membuat roti sebab itu makanan imperialis. Apa
yang akan terjadi? Semua toko roti akan berubah menjadi toko mainan anak-anak. Dan terigu?terigu dilempar ke dalam laut. Setiap gadis cantik harus menghadap pemimpin, kata koran. Maka koran itu segera
diberedel sebab ternyata salah satu anggota redaksinya
adalah antek-antek oldefo. Dan koran rakyat bilang:
para pemimpin seminggu tiga kali makan sayur asam,
hemat, prihatin, dan desa-desa A, B, C sudah bebas
dari busung lapar. Dapatkah kita biarkan anak?anak
kita hidup dalam suasana itu?"
"Ya, itulah persoalannya sekarang."
"Dan persoalan yang amat berat."
Ayahnya memandang kedua anaknya.
"'l'entu Papa akan lebih senang kalau anak-anak
dapat terus tinggal bersama Papa?Mama di sini. Tapi
keadaan tidak mengizinkan. Maksud pemerintah memang baik: menghilangkan perbedaan yang mencolok
antara kaya dan miskin. Tapi pelaksanaannya yang
menghebohkan dan menyusahkan. Rakyat makin miskin. Malah satu?satunya milik mereka, kebebasan bersuara, ikut dirampas. Sedangkan pemimpin?pemimpin
makin gendut. Tiap hari berteriak?teriak: berantas korupsi, tembak mati pencoleng, tapi di pintu belakangnya sudah menanti sekarung uang dolar. Nah, karena
137 itu kalian mesti pergi. Meskipun amat berat mengongkosi anak?anak di luar negeri, tapi kalian harus
pergi. Kita masih dapat menjual beberapa jambangan
porselen. Walaupun itu semua tanda mata dari kakekmu, tidak apa. Untuk masa depan yang lebih baik
bagi kalian. Supaya anak?anak Papa tidak menjadi robot?robOt."
Ayahnya berhenti bicara sementara ibunya asyik
menyulam. Martin tidak tahu lagi bagaimana harus
menyambut kuliah ayahnya sebab seumur hidupnya
belum pernah ayahnya bicara seperti itu. Kalau ada
Robert, pasti anak itu tahu apa yang harus diucapkannya.
Ayahnya sudah berhenti bicara. Suasana hening.
Hening yang mendebarkan seakan?akan di bawah jendela tengah menanti segerombolan penjahat yang dapat masuk ke situ setiap saat. Alice tiba-tiba saja kelihatan asyik membelai?belai Bimbo. Ayahnya mondarmandir dengan kedua tangan di belakang.
Martin tiba-tiba teringat simpanannya di bawah
kasur. Sedapnya kalau dapat merokok. Oh, apakah
kuliah ini sudah berakhir? Apakah dia harus berangkat
minggu depan? Apakah dia harus meninggalkan gadis
itu? Atau... membuka rahasia saja?
"Pada hakikatnya, hati manusia adalah baik. Ingatlah itu. Apa pun yang terjadi dan di mana pun engkau berada, ingatlah itu. Ya?"
"Ya, Papa."
"Nah, sudah hampir jam sepuluh."
Martin bangkit tergesa?gesa.
138 "Jadi, kapan engkau bisa berangkat? Papa dapat
mengusahakan paspor dan visa dalam dua minggu."
"Se... se... secepatnya, Papa."
"Bagus."
139 ELESAI kuliah terakhir, kira?kira jam dua belas,
seluruh tingkat empat berkumpul dalam ruang
anatomi. Semua anak diundang, tapi yang hadir cuma
kira-kira setengahnya. Empat tertuduh. Dan sisanya
mempunyai alasan?alasan yang masuk akal: misalnya
Inge harus pergi ke dokter gigi, anak lain kebetulan
ibunya sedang sakit, yang lain karena sudah dijemput
ayahnya dan tidak berani membiarkannya menunggu.
Pokoknya semua ingin lekas pulang dan sebabnya adalah karena takut dikatakan kontra?revolusi, takut ikutikut diskors.
Dari para hadirin, tidak semuanya hadir dengan
rela. Kebanyakan cuma supaya tidak dimusuhi kedua
pihak, setelah nyata?nyata mereka takkan mungkin
mendapat angka bagus di hadapan mata Kamerad Sui
Chien dan kawan-kawan. Takut dikatakan tidak membela teman. 'l'akut kehilangan teman. Takut tidak di
140 http:]lhana-ohi.blogspot.com
bela, bila kemudian hari dia mengalami nasib yang
sama.
Ketua Senat, Kamerad Sui Chien, masuk dengan
para anggota pengurus. Mereka menggunakan tanda
jabatan berupa pita hijau yang dikalungkan pada leher.
Sebuah meja mayat diletakkan di muka dan Kamerad
Ketua duduk di belakang meja itu. Anggota-anggota
pengurus di sampingnya, duduk atau berdiri. Para hadirin sudah duduk kembali.
"Pada hari ini tanggal... jam... akan diadakan rapat
Badan Pengurus Senat dengan mahasiswa?mahasiswa
tingkat empat. Dengan ini rapat kami buka." Tok.
"Kami hadir di sini memenuhi tuntutan Saudarasaudara sekalian perihal beberapa orang mahasiswa
yang telah terkena skors oleh pimpinan fakultas. Seperti Saudara?saudara ketahui, tugas-tugas Senat yang
telah Saudara?saudara pilih sendiri..."
"Siapa yang pilih dia?" bisik seseorang.
"...Pilih sendiri, adalah untuk mewakili suara?suara
Saudara sekalian dan untuk memperjuangkan kepentingan?kepentingan para mahasiswa."
"Tingkat satu yang pilih kau, sebab mereka belum
tahu apa?apa."
"Ssst."
"Kami senantiasa berusaha menjalankan tugas?tugas
kami dengan sebaik?baiknya, meskipun masih belum
sempurna. Itu kami akui. Dengan harapan, Saudarasaudara akan membantu kami menyempurnakannya.
Sekarang, akan kita dengarkan kepala seksi keamanan
memberikan laporannya."
Suasana agak ribut sedikit.
141 "Seram amat. Sampai?sampai seksi keamanan ikutikut!"
"Harap tenang!!!" Tok, tok.
Seorang mahasiswa berdiri lalu membaca apa yang
tertulis dalam kertas laporannya. Anak?anak mendengarkan dengan bibir mencemooh. Berhubung, menimbang, memutuskan... alaa... main sandiwara.
"Ah, kita ini dianggap kambing?kambing melulu."
"Cerdik si lnge. Pulang. Daripada mendengarkan
omong kosong begini."
"Ssst... diam."
"Ada pertanyaan?" hardik Ketua Senat.
Leo tergesa?gesa mengacungkan tangannya.
"Ya."
Leo berdiri.
"Terima kasih, Saudara Ketua. Saya ingin menanyakan sebab?sebab skorsing, berhubung tuduhan?tuduhan
terhadap keempat teman kita itu tidak begitu jelas.
Sudi kiranya Saudara Ketua menjelaskan."
"Saudara Leo, saya kita itu sudah dibacakan tadi
dengan cukup jelas. Ada pertanyaan lain?"
"Tidak."
Monik mengulurkan tangannya. Liu memandangnya
tanpa berkedip.
"Silakan, Saudara Monik."
"Terima kasih, Saudara Ketua. Saya ingin menyambung pertanyaan Saudara Leo. Saya mohon diberi penjelasan secara terperinci mengenai tuduhan?tuduhan
yang sebenarnya. Misalnya apakah mereka: satu, mencuri ayam; dua, mengambil kapur tulis; tiga, tidak ikut
demonstrasi, dan sebagainya. Tadi cuma disebutkan
142 bahwa mereka melakukan kegiatan?kegiatan kontrarevolusi dan menghina suster?suster Husada. Tapi saya
ingin tahu, kegiatan?kegiatan macam apakah atau penghinaan bagaimanakah yang dimaksud?"
"Saudara Monik, kami menyesal sekali tidak dapat
memberikan keterangan mengenai itu. Kami persilakan
Saudara menanyakan pada pimpinan. Sebab kami
cuma diberitahu oleh pimpinan bahwa mereka dituduh kontra-revolusi dan mengganggu suster?suster
dan karenanya dikenakan sanksi akademis berupa
skors."
"Sebenarnya bagaimanakah duduk perkara?" tanya
Monik dengan hati panas. "Saudara diberitahu oleh
pimpinan atau Saudara memberitahu pimpinan?"
Ketua tidak segera menjawab akan tetapi bertukar
pandang dengan seksi keamanan. Monik makin panas.
Mukanya menjadi pucat. Tangan?kakinya terasa dingin. Tina dan Anita yang duduk di sebelahnya memandanginya dengan khawatir, jangan?jangan dia
ngamuk.
"Saya rasa, yang kedua itu lebih masuk akal. Sebab
pimpinan tidak pernah ikut kuliah. Andaikan tuduhan
mengenai suster-suster itu betul, mereka tentu tidak
tahu, kalau tidak diberitahu! Sedangkan dalam hal ini
dapat saya tambahkan bahwa menurut Suster Kepala,
tidak pernah terdapat gangguan terhadap suster?suster."
"Saudara Ketua, izinkan saya menjawab Saudara
Monik," kata Liu.
Kamerad Chien melambaikan tangannya.
"Ada pertanyaan lain, Saudara Monik? Berhubung
143 saya ini agak bebal, maka saya tidak begitu mengingatingat secara detail tuduhan-tuduhan itu."
"Berhubung Saudara Ketua agak bebal, maka saya
khawatir saya sudah ketularan ikut-ikut bebal. Jadi
saya mohon supaya tuduhan tadi dibacakan sekali lagi.
Terima kasih."
Ketua mengabulkan permintaan itu. Tuduhan dibacakan lagi. Kami mendapat laporan dari pimpinan
bahwa... mengingat... menimbang... memutuskan....
Beberapa anak lain mengacungkan tangannya.
Monik duduk dengan hati panas dan jantung berdebar?debar. Suasana amat hangat karena dialog antara
kedua gadis itu disertai hati yang panas dan diramaikan dengan bisik?bisik keras hadirin.
Dari seluruh hadirin, cuma beberapa orang yang
berani bertanya dan berdebat. Lainnya cuma sebagai
tikus?tikus bodoh yang ternganga tidak tahu akal. Menoleh ke kanan kalau ada yang mengacungkan jarinya
di sebelah kanan. Menoleh ke belakang kalau orang
itu duduk di belakang. Mereka inilah golongan?golongan oportunistik. Malah ada anak?anak Non-Merah
yang mengikuti hampir semua kegiatan universiter
dari golongan Merah, hanya supaya mendapat muka
terang di hadapan golongan yang berkuasa.
Di antara mereka yang mengacungkan tangannya
pun, masih ada orang?orang yang cuma show belaka.
Mungkin dia ingin semua mata mengawasi dia. Mungkin juga karena dia ingin mendengar suaranya sendiri
yang memesona hadirin. Ada juga yang cuma asal bertanya, sekadar jangan sampai ditunjuk orang: tidak
peduli teman. Pertanyaannya sama sekali tidak berarti
144 dan meskipun mendapat jawab, dia toh mengangguk,
bilang terima kasih lalu duduk kembali dan untuk
selanjutnya diam membisu.
Monik memandang berkeliling. Jelaslah terlihat bagaimana sikap rekan-rekannya itu sesungguhnya.
Egois. Monik menjadi kecil dan merasa kesepian, duduk di antara mereka. Dibayangkannya bagaimana sikap kaum proletariat andai kata salah satu dari mereka
difitnah oleh borjuis: mereka pasti membelanya matimatian, meskipun temannya itu ternyata salah, sebab
mereka punya tujuan sama. Sedangkan borjuis?borjuis
dalam ruang anatomi itu: lu, lu; gua, gua.
Seorang anak terdengar berkata, "Masih untung bukan gua yang kena skors." Monik ingin rasanya berlari
ke luar dan tidak kembali?kembali lagi. Sejak saat itu,
Monik mulai memandang sebelah mata pada rekanrekannya. Dia selalu mengingat?ingat dalam kepalanya:
kalau engkau mendapat kesulitan, jangan sekali?kali
berharap akan mendapat pertolongan dari teman?temanmu. Mereka cuma menjadi teman, kalau engkau
mempunyai diktat atau soal?soal ujian yang mereka
butuhkan. Atau bila pertolongan yang akan mereka
berikan itu pasti akan membawa keuntungan bagi mereka. Kalau engkau misalnya dekat dengan pimpinanpimpinan, maka pastilah mereka akan selalu mendekati
engkau dan bagimu berlaku keistimewaan: you can do
no wrong.
Monik menggigil mendapati begitu banyak senyumsenyum palsu bertebaran di atas muka berkulit badak.
Golongan Merah pasti menang dan dia tidak menya
145 lahkannya. Golongan Non?Merah sendiri yang meluangkan kesempatan itu.
Martin maju ke depan menyerahkan kertas berisi
tanda tangan?tanda tangan yang dikumpulkannya dari
seluruh kelas minus klik Kamerad Chien.
"Saudara Martin," kata Kamerad Ketua sambil tersenyum lebar, "kami sangat terkesan akan solidaritas
rekan?rekan kami setingkat. Akan tetapi dengan sangat
menyesal harus kami katakan bahwa ini adalah persoalan individu yang harus ditanggung sendiri oleh
yang bersangkutan. Seribu semut takkan dapat memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh seekor gajah."
Sambil tersenyum, Martin meraih kembali kertasnya.
"Bagaimanapun," kata Ketua sambil menahan kertas
itu, "usaha ini kami hargai dan akan kami teruskan
pada pimpinan."
"Terima kasih, Saudara Ketua," kata Martin menarik kertas itu. "Kami akan menyerahkannya sendiri
pada pimpinan, andai kata... Saudara Ketua tidak keberatan."
"Oooh, silakan."
Ketua tersenyum manis seraya mengangkat kedua
tangannya ke udara. Martin membungkuk lalu kembali ke tempatnya.
"Apakah Saudara Martin masih ada pertanyaan?"
"Betul. Terima kasih, Saudara Ketua. Terlepas dari
benar?tidaknya tuduhan?tuduhan yang telah dilancarkan, saya ingin bertanya apakah menurut Saudara
Ketua, hukuman?hukuman yang dijatuhkan tidak ter
146 lalu berat? Mengingat bahwa sekarang justru saatnya
ujian?ujian diadakan dan itu amat merugikan mahasiswa?mahasiswa yang bersangkutan yang telah mengikuti kuliah?kuliah setahun penuh namun tidak mendapat kesempatan untuk menempuh ujian?ujian. Berarti waktu mereka akan terbuang setahun lagi dan itu
tentu menyangkut soal ekonomi juga. Jadi tidak dapatkah putusan itu ditinjau kembali? Dan diperingan?"
"Saudara Martin," kata Chien dengan muka manis,
"saya mengerti perasaan Saudara, sebab saya juga mempunyai perasaan yang sama. Karena itu kami?saya
dan para anggota Badan Pengurus Harian Senat
kita?telah mendatangi bapak?bapak pimpinan untuk


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperoleh keringanan tersebut. Harus Saudara?saudara sekalian ketahui, bahwa keempat mahasiswa tersebut sebenarnya hendak dikeluarkan dari universitas
kita. Namun kami berhasil mengubah putusan itu
menjadi skors enam bulan. Saya rasa, kami tidak dapat mengubahnya lagi. Sanksi itu amat ringan dibandingkan dengan putusan pertama. Harap Saudara puas
dengan jawaban ini."
Monik melihat mata yang tenang itu menjadi gusar,
tapi cuma sekejap dan dia berhasil tersenyum kembali.
Merasa tidak berdaya apa?apa, tubuh setinggi menara
itu membungkuk dan duduk.
Ketua Kelas merupakan pembicara terakhir. Ketua
yang selalu dijadikan target ini mengangkat tangannya
dan berdiri setelah mendapat izin. Tubuhnya atletis,
tapi kalah tinggi dari Martin. Rambutnya selalu kelebihan minyak dan pakaiannya selalu rapi. Borjuis
tulen tapi hatinya baik. Dia betul?betul tidak mem
147 punyai anak emas dan anak tiri. Dimaki: tertawa. Dipuji: tersenyum malu. Terhadap tingkah laku golongan
Merah, dia dapat memaki?maki sepuluh menit tapi
kalau disuruh mentraktir mereka, dikeluarkannya juga
dompetnya. Cuma susahnya, klik itu tidak pernah
mau ditraktir orang.
"Terima kasih, Saudara Chien. Saya ingin menanyakan apakah Saudara?saudara anggota Senat sudah memikirkan sedalam?dalamnya segala akibat yang akan
timbul bila skors terhadap mereka itu tetap dijalankan?
Seperti Saudara Ketua ketahui, Neurologi sudah mogok kuliah sampai persoalan ini dibereskan."
"Apakah soal ini sekarang belum beres? Hukuman
sudah diputuskan. Beres, bukan?"
"Saudara Chien," katanya tanpa menghiraukan penyelaan kata?katanya, "Neuro baru permulaan. Dosendosen lain pasti akan menyusul. Kalau begitu maka
seluruh kelas akan ikut libur. Karena itu saya mohon
supaya putusan itu ditinjau kembali."
"Saudara Ketua Kelas, mengenai kuliah-kuliah dan
para dosen, harap jangan kuatir. Saya yakin pimpinan
akan dapat membereskannya."
Sambil menghela napas, Ketua Kelas mengangguk.
"Ada lagi pertanyaan? Ada lagi?"
Kamerad ketua rapat memandang berkeliling dengan palu di tangannya.
"Baiklah. Dengan ini rapat kami tutup." Tok.
Monik melihat arlojinya: Jam tiga.
*** 148 Dua hari setelah rapat itu, Markus pulang kampung.
Polok langsung ditarik ayahnya ke dalam bengkel
mobilnya. Jerry dipanggil saudara perempuannya di
California. Dan Steve menjadi sopir Monik. Betulbetul merupakan blessing z'n disguz'se baginya. Dengan
setia Steve mengantarkannya kuliah. Pada hari?hari libut, mereka selalu berdua ke mana?mana. Kadang?kadang Steve membawa mobil ayahnya dan Monik seakan?akan merasa naik kabriolet nomor terbaru.
Setiap hari, dia selalu memberi laporan apa?apa
yang terjadi. Kalau mendapat kuliah baru, Monik
akan menjelaskan garis?garis besarnya dan Steve mendengarkan. Kalau keluar diktat, Monik selalu berhasil
membeli dua buah. Untuk itu, dia tidak keberatan
senyum?senyum pada Kamerad Liu, ketua seksi diktat.
"Jadi mereka berhasil membujuk dosen?dosen supaya tetap memberi kuliah?"
Steve kelihatan getir. Mukanya menjadi kurus, lusuh seperti cucian, dan hampir tidak pernah tersenyum. Bahkan dalam piknik-piknik mereka berdua,
dia selalu kelihatan serius.
"Sudahlah, Steve. Bukankah aku selalu menerangkan
kembali kuliah?kuliah itu?"
"Bukan itu soalnya," katanya ketus.
"Lalu apa?"
"Ketidakadilan ini. Aku merasa tidak bersalah dan
yakin betul akan itu. Tapi... setan! Setan alas!"
"Kita sudah tahu, di sini hitam dapat dijadikan putih dan putih dapat dijadikan hitam. Jadi untuk apa
memikirkannya berlarut?larut? ltu merugikan kese
149 hatan. Dan kita membutuhkan orang?orang seperti
engkau. Orang?orang yang tahan uji dan tidak karatan. Kalau engkau merusak dirimu, berarti engkau
menyerah."
Hari itu mereka mengantarkan Jerry ke lapangan
terbang. Dia tampak tersenyum terus walaupun dipaksakan. Martin melihat ibunya sebentar?sebentar
menyusut matanya. Ayah Jerry duduk berdiam diri
bersama anak laki-lakinya yang baru berumur kira-kira
lima belas tahun.
Jerry dan Leo asyik mempercakapkan cewek?cewek
California yang akan dilihatnya dalam waktu singkat.
Jerry mulai membual tentang apa yang akan dilakukannya terhadap mereka.
"Ha ha..." kata Tina tertawa, "jangan?jangan engkau dipiting mereka. Badan kerempeng begitu!"
"Eh, setan lu, jangan urus cewek melulu. Bikin konferensi pers di sana, ceritakan bagaimana keadaan kita
di sini," kata Steve.
"Barangkali saja mereka akan mengirim B?dua sembilan kemari," kata Martin.
"Ya, ya. Presdir Bank Res Publica mengunjungi Los
Angeles dan mengadakan konferensi pers dengan wartawan-wartawan yu-pi?ai, a?ef-pe, reuter, apa lagi?"
"Cuma aku khawatir, bukan engkau yang dibayar
untuk wawancara itu, tapi malah engkau yang harus
membayar. Sebab... engkau terkenal baru sedikit...
cuma dalam kalangan tertentu."
"Aku pasti akan menceritakan semuanya. Jangan
kuatir! Mereka akan mengirimkan pamtroap dan kapal
150 kapal selam. Tanjung Priok bisa dimasuki kapal induk,
tidak?"
Suara ground?hasters menghentikan obrolan mereka.
Ibu Jerry memperbaharui tangisnya. Juga saudarasaudara perempuannya: tiga orang. Ayahnya tampak
gemetar. Anak?anak menghindarkan diri dari perpisahan keluarga itu. Mereka naik ke atas dan dari sana
melihat teman mereka berjalan sendiri di antara para
penumpang yang lain. JAL itu akan membawanya ke
Hong Kong dan dari sana berganti pesawat.
Jerry menaiki tangga kelas ekonomi. Pada bahunya
tergantung sebuah ransel. Tangan kirinya memegang
majalah l/Ezrizz. Anak?anak mengawasi setelan jas biru
itu menaiki tangga pelan?pelan. Di puncak tangga, dia
berdiri sebentar lalu melambaikan tangannya. Tanpa
sebab yang jelas, Monik merasa matanya basah. Seakan?akan mereka mengantar Jerry ke kubur, dari
mana mereka takkan melihatnya lagi.
Steve berdiri di sampingnya, asyik menyumpahnyumpah sambil tertawa melihat lambaian tangan
temannya. Monik memegang tangannya erat?erat tapi
Steve tidak menyadarinya. Dia asyik menyumpahi
temannya yang sebentar lagi sudah akan turun di Kai
Tak. Monik menoleh ke sebelah kiri. Martin di sampingnya. Tidak tersenyum. Tidak melihat sesuatu. Matanya
biru kehitam?hitaman, sejuk, tenang, dan tampak keheran?heranan.
"Ssst, melamun," sentuh Monik dengan jarinya.
Martin terkejut.
151 "Oh. Aku tengah membayangkan diriku berdiri di
situ. Sen dirian."
"Monik! Lihat!" teriak Steve.
Monik menoleh. Seorang penumpang wanita tengah
berlari?lari. Agaknya terlambat. Para pramugari masih
berdiri di kaki tangga sedang mobil sudah datang untuk membawa pergi tangga itu. Angin bertiup kencang. Wanita itu mengenakan baju model payung
yang amat lebar. Angin jail menyentuhnya dan pemandangan sedap bagi penonton. Bahkan Martin tertawa dan lupa akan lamunannya.
Pintu pesawat sudah ditutup. Baling?baling sudah
berputar. Motor sudah menderu. Pesawat berputar mengelilingi lapangan lalu kembali dan take 0]? Anakanak mengawasi burung itu naik, meninggalkan asap.
Kemudian mengecil lalu menghilang, tinggal suaranya
sayup-sayup sampai. Dan asap putih di angkasa. Lalu
suaranya lenyap. Tinggal asap. Asap lama?kelamaan
buyar juga. Cuma langit dan awan-awan. Monik rnenjilat bibirnya. Tidak ada lagi yang tinggal dari Jerry.
kecuali kenangan.
Ketika berjalan ke luar, Martin mendekatinya.
"Bagaimana, Monik? Bukankah kita harus pergi
juga? Berdua?" Suaranya terdengar begitu memohon
dan ketakutan, sehingga kata "tidak" yang sudah lama
disiapkannya itu tidak dapat keluar.
"Jangan sekarang, Martin. Aku masih sedih memikirkan keberangkatan Jerry. Nanti, beberapa hari lagi."
"Tapi engkau sudah memikirkannya?"
"Aku memang memikirkannya, tapi terlalu banyak
Faktor. Sulit mengambil putusan."
152 Martin menimbang?nimbang sebentar kemudian
berkata, "Aku akan menyediakan tiket, jadi engkau
tidak usah pusing?pusing."
"Hei, apa?apaan ini?" teriak Steve sambil duduk di
atas motornya. "Kau mau pulang tidak? Panas kan
terjemur begini?"
"Ya, ya, aku segera datang," seru Monik lalu cepatcepat menyentuh Martin. "Aku pulang dulu."
"Sore ini kau sibuk?"
"Tidak. Datanglah," lalu dia berlari secepat?cepatnya
menghampiri Steve yang sudah mengomel dibiarkannya menunggu.
Martin mengawasi mereka tanpa ekspresi apa?apa,
lalu mengangkat bahu dan menghampiri skuter tuanya.
"Masuklah sebentar, Steve," kata Monik melihat
Steve tidak mematikan kendaraannya, "aku mau minta
tolong."
Steve mematikan motornya tanpa berkata apa-apa
lalu mendorongnya masuk. Ahmad berlari?lari ke luar
memperlihatkan buku gambarnya yang baru.
"Halo, Bob. Bagus amat bukumu. Nanti Tante pinjam ya."
"Ini buku anak-anak, Tante. Bukan buku mahasiswa."
"Oom... Oom..." teriak Laila sambil memutar?mutar
bajunya.
"Hei..." Steve mendekat dan menangkapnya. "Kena!
Mau jeruk atau mau mangga?"
Laila tertawa geli. Ketika diturunkan kembali, dia
mulai bernyanyi.
153 "Slaip dool, slaip dool... dli mal, dli mal on de
dool... de lase wol ngen!" dan ditubruknya Steve.
"Mau jeruk apa mangga?"
"Jeruk."
"Jeluk? Sana."
Steve masuk diikuti si kecil. Dilemparnya kuncinya
ke atas meja.
"Ada apa?" tanyanya bercekak pinggang.
"Duduklah dulu. Mau minum?"
"Boleh juga."
Teh itu dihabiskannya sekali teguk. Laila mengawasi
dengan takjub. Monik mengambil setumpuk kertas
dari atas meja.
"Ini kuliah Pediatri," katanya tersenyum. "Tolong
ditik dong. Tidak keberatan, kan? Aku terlalu sibuk.
Mau ujian gros Public Health. Tolong, ya?"
Steve tidak menyambuti kertas-kertas itu dan membiarkan Monik meletakkannya di atas meja. Dinyalakannya sebatang rokok sebelum menjawab.
"Aku bersedia menolong engkau, tapi tidak untuk
mereka."
"lni memang bagianku," kata gadis itu cepat?cepat.
"Engkau kan dapat mengetik lebih baik dari aku."
"Bukankah mereka akan membeli diktat itu dan
ikut membacanya? Berarti aku ikut menolong mereka.
Tidak!"
Wajah Monik yang putih itu memerah.
"Jangan infantil, Steve," katanya jengkel. "Sudah
tentu engkau tidak menolong mereka. Engkau menolong aku. Lagi pula, engkau toh juga membutuhkan
diktat dan harus membelinya?"
154 Steve mengembuskan asap rokoknya dengan lagak
tidak peduli, mendengus?dengus. Monik mengeluh
dalam hati. Dia sudah lelah dan kepanasan. Sudah
ingin lekas?lekas makan dan tidur.
"Bagaimana kalau mereka melarang aku membelikan
diktat?diktat bagimu? Liu mengetahui hal ini."
Steve memandang gadis itu dengan mencemooh
seakan?akan melihat seorang anak dengan kapal ciptaannya yang ternyata tidak dapat berlayar sebab bocor. Monik mengerut sedikit dipandang serupa itu.
"Apakah engkau tidak bersedia meminjamkan diktat?diktatmu?"
Monik tersenyum tanpa komentar. Diangkatnya
cangkir tehnya. Laila yang sudah menghilang tadi,
muncul kembali bersama Rudi, abangnya.
"Tante, disulu makan."
"Ya, Laila. Katakan pada Ibu, Tante segera datang."
Steve melempar puntung rokoknya ke luar jendela.
Disambarnya kertas?kertas itu dan dimasukkannya ke
dalam kemejanya lalu diambilnya kunci motornya.
Monik sudah mengulurkan tangannya hendak merebut
kembali kertas-kertas itu, tapi dibatalkannya. Steve
bangkit lalu mencubit pipi Laila yang berlari ke luar
diikuti abangnya. Monik bersandar di pintu. Kepalanya terasa berat dan berdenyut?denyut. Tubuhnya pegal?pegal semua. Matanya terasa panas.
"Ayo," seru Steve dengan suara tidak enak. Monik
mengangguk lesu.
Tante Kos masuk ke ruang makan ketika mendengar suara Monik.
155 "Ayo, makanlah, Monik. Tante menggulai daun
singkong. Cobalah. Diana menyukainya."
Monik memaksa diri tersenyum. Kepalanya terasa
berat sekali.
"Mari makan, Tante."
"Makanlah. Mengapa mukamu merah amat?"
"Kepanasan tadi di airport."
Tante duduk menemani Monik makan sambil rnenjahit baju anak-anak.
"Siapa yang berangkat?"
"Teman sekelas, Tante."
"Oh, Tante dengar Diana bilang ada mahasiswamahasiswa yang diskors?"
"Betul, Tante. Yang berangkat tadi, salah satu di
antaranya."
Tante menggeleng?geleng.
"Sesama teman sekelas. Dan sudah bertahun-tahun.
Tingkat empat, kan? Ce ce... ce... dulu waktu Tante
sekolah, kita sekelas betul?betul bersahabat. Tidak ada
yang mau jahat seperti ini... apa itu namanya: menohok kawan seiring. Betul kan istilahnya: menohok
kawan seiring? Nah, tidak ada yang begitu. Semua
akur. Kalau bertengkar, lekas baik kembali. Kita semua
takut pada guru-guru. Oh, bukan main! Kalau sudah
mendapat panggilan untuk pergi ke kantor guru kepala, jantung terasa mau copot. T idak ada yang berani
mencemooh, apalagi memukul guru?guru seperti
murid?murid zaman sekarang. Entahlah, mau jadi apa
mereka."
"Ini enak. Daging apa, Tante?"
Tante tersenyum.
156 "Itu ikan belut. Enak kan? Sepuluh ekor, lima rupiah. Tante beli dua ratus ekor. Oom juga suka asal
tidak melihat belutnya sebelum digoreng. Geli, katanya, seperti ular. Habis. Daripada tidak. Anak?anak
perlu protein. Dan ini kan protein murah yang bermutu."
"Betul-betul gurih, Tante. Boleh sering-sering."
"Ya, kalau kalian menyukainya. O ya, Diana bilang
tidak lama lagi mereka akan mengadakan kongres di
sini?"
Monik memaksa matanya tinggal terbuka. Dihabiskannya suap terakhir cepat?cepat.
"Saya belum mendengar hal itu, Tante. Bolehkah


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya minta aspirin?"
*** Dies Natalis diadakan di Senayan. Semua harus berpakaian putih-putih. Dan harus hadir. Diadakan absensi.
Bapak Presiden Soekarno berkenan memberikan amanat beliau.
Monik membaca pengumuman itu bersama Anita.
Ketika dilihatnya Chien juga ada di Situ, dibukanya
mulutnya mau mengucapkan selamat pagi. Tapi gadis
itu secepat kilat menghindar dari situ. Sejak rapat Senat dulu, Sui Chien tidak pernah lagi tertawa padanya. Kalau melihat dari jauh, dia membuang muka
atau mengambil jalan lain.
"Huh! Senayan lagi. Malas, sebenarnya. Lebih baik
kalau libur saja. Bosan aku diharuskan duduk berjamjam!"
157 "Hei, Ketua!" teriak Anita.
Ketua Kelas menghampiri mereka dengan tersenyum
malu?malu.
"Apa?apaan ini? Lagi?lagi harus kumpul. Lagi?lagi
naik truk."
Ketua membaca cepat-cepat pengumuman itu lalu
menggaruk?garuk kepala.
"Aku sendiri baru tahu hari ini. Memang rencananya sudah lama."
"Bagaimana kalau kita tidak datang?"
"Tanyakan pada yang membuat peraturan."
Martin dipaksa teman?temannya untuk menyediakan
mobil. Sebuah Caravan putih. Dia sendiri terpaksa
jadi sopir supaya masih banyak tempat bagi temantemannya. Monik, Inge, dan Anita ikut. Tina sudah
seminggu pulang sebab ibunya kena serangan darah
tinggi yang gawat.
Semuanya yang ikut delapan orang. Bagasi juga memuat orang. Lantainya ditutup tikar supaya tidak terlalu panas.
"Enaknya, kita langsung saja ke Cijantung, terus ke
Sukabumi."
"Betul. Sekarang baru setengah tujuh. Setengah sebelas sudah sampai di rumah si Gendut."
"Uh. Di rumahku tidak ada apa?apa," kata Gendut
dengan tangkas, ngeri memikirkan teman?temannya
yang serbarakus.
"Tapi ada adiknya yang cantik?mungil. Tidak ada
makanan, kita makan dia."
"Secantik?cantiknya dia, pasti masih kalah dari pacarku."
158 "Ya, bicara dengan orang gila macam kau memang
sulit. Seperti Don Quisote de la Mancha: anak petani
yang juling itu pun masih dianggapnya sebagai Dona
de Tobosso yang kecantikannya tiada bandingnya di
dunia dan akhirat! Dan kalau tidak salah, bukankah
pacarmu itu mempunyai saddle nose yang dijadikan
contoh moulage di bagian Kulit? Bukankah karena itu
engkau mau menjadi spesialis bedah plastik? Aduh,
lumayan pukulannya mek. Aduh!"
"Aku mendapat surat dari Jerry," kata Ketua Kelas,
mengeluarkan sebuah sampul. Anita menyambutinya
dan segera mengeluarkan isinya.
Halo monyet-monyet yang tercinta,
Berpisah sebulan rasanya sudah seabad. Hidup
di sini seperti meriy-go?mund. Setiap orang tergesagesa. Tidak ada yang melangkah semeter tiap menit
seperti di Jalan 'lhamrin. Kota Los Angeles indah
sekali, apalagi malam hari. Banyak neon. Banyak
m'g/atdub. Penari?penari striptease semua memakai
celana drie?hoek. Tahu dong apa itu? Ehem! Leo,
aku sudah mempunyai teman tiga cewek, tapi sebegitu jauh belum ada tindakan?tindakan drastis.
Tunggulah tanggal mainnya. Sekarang aku baru dalam taraf menjadi jongos yang mengantarkan mereka pulang. Sebentar lagi, aku tentu akan naik
pangkat menjadi tuan raja yang diantarkan pulang.
Maklum, di sini surplus wanita. Ketiga cewek itu
pirang?pirang semua. Sebenarnya aku lebih suka
rambut bmnette. Kalau belum tahu apa itu bnmette,
baiklah aku katakan saja: cokelat.
159 "Kurang ajar! Disangkanya aku kampungan. Tidak
tahu brunette," teriak Leo.
"Sudahlah. Toh engkau memang kampungan! Teruskan, An."
Sehabis liburan musim panas, aku akan mulai
masuk college yang mempersiapkan pelajar?pelajarnya untuk meneruskan ke fakultas kedokteran. Di
sini harus berani bekerja keras. Aku sekarang sedang bekerja di sebuah restoran Tionghoa. Karena
belum ada kepandaian apa?apa, terpaksa mencuci
piring saja. Itu pun, sudah dua gelas yang pecah.
Untung tauke itu baik hati dan gaji tidak dipotong. Aku mendapat satu dolar setiap jam. Bekerja
mulai jam delapan pagi tiap hari. Pulang jam lima
sore. Kalau mau terus, boleh. Sampai jam dua belas malam. Gajinya satu setengah dolar tiap jam.
Tapi biasanya aku cuma sampai jam lima saja sebab terlalu capek. Dan malam hari harus mengikuti kursus bahasa supaya dapat bicara tanpa
aksen Jakarta. Siang hari istirahat satu jam. Seminggu sekali secara bergilir, kami diberi libur.
Makanannya masih kalah dengan Cahaya Kota,
tapi langganannya berjubel. Segala bangsa masuk.
Juga Negro. Tapi pegawai semua Tionghoa. Sebelum masuk kuliah, aku berniat mengunjungi
Disneyland dan Grand Canyon. Aku rasa uang gaji
yang akan aku terima nanti, cukup untuk itu. Sudah tentu aku terpaksa sedikit pelit, jadi harap
maklum bila aku tidak dapat sering?sering menulis
pada kalian. Leo, cewek?cewek di sini mahal?mahal
160 lho. Sekali jalan?jalan habis dua puluh lima dolar.
Suka minum. Suka makan. Kita pelit sedikit, dia
tidak mau melihat kita lagi.
Sebenarnya kalau mungkin, aku ingin impor
saja cewek dari sini yang tidak begitu makan ongkos.
Anita, bagaimana kalau engkau pergi kemari?
"Yuhuuuiil"
"Salahnya. Kenapa tidak dulu?dulu bilang mau
ajak?! Tentu aku sudah ada di sampingnya dan uang
dolarnya tidak akan habis?habis," kata Anita dengan
gembira.
Tunggulah beberapa tahun lagi, kalau aku sudah
tamat sekolah. Bila waktu itu aku belum juga mendapat cewek, maka
"Hei, jangan diremuk, Anita!"
Anita melempar kertas itu dengan kesal. Monik meneruskan membaca.
Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah Hidup Abadi Eternally Karya Maureen Child Lembah Nirmala Karya Khu Lung

Cari Blog Ini