Ceritasilat Novel Online

Gema Sebuah Hati 3

Gema Sebuah Hati Karya Marga T Bagian 3


maka aku?apa boleh buat?terpaksa menyuruh
engkau datang. Kalau kita hidup di sini tanpa cewek dan tidak pernah keluar malam, pasti tetangga?tetangga akan melaporkan kita pada polisi,
menyangka kita sudah harus masuk rumah sakit
gila.
Martin, tauke di sini amat suka main mahyong.
Aku menyesal dulu tidak pernah minta belajar dari
engkau....
161 "Gila, babi itu!" gerutu Martin. "Sejak kapan aku
main mahyong?"
Martin, kalau engkau mau kemari, lebih baik
jangan bawa?bawa pacar, sebab...
Monik melirik sopir. Tapi Martin tersenyum saja,
memeluk setir.
sebab bujangan laku keras.
Nah, Monik dan Tina juga Inge, lihatlah beberapa bulan lagi: aku pasti sudah lihai masak.
Baru?baru ini aku masak kaki babi. Hangus. Tetangga marah-marah. Sudah bau bawang putih,
katanya, sekarang bau hangus. 'lhat damned
Chinese, katanya. Aku jawab dia: kunyuk, lu. Dia
bilang: wham yar rayin'? Aku bilang: [ said [ was
sony.
Nah, monyet?monyet semua?yang terlupa disebut namanya, harap memberi maaf. Ketua Kelas
tolong kirim daftar nama anak?anak?sampai di
sini dulu. Aku mesti pergi kursus. Rasa?rasanya bel
berbunyi. Mungkin Peggy yang datang. Peggy itu
cewek, bukan pudel.
Sampai jumpa lagi. () ya, kalau mau menulis ke
alamat sekarang, harus cepat?cepat, sebab aku mau
pindah tempat.
Selamat kuliah dan semoga tidak kena skors.
Di kanan?bawah tertulis: salam hangat untuk semua, salam cinta buat Anita.
162 "Yuhuui. Boleh juga nih. Kau deh yang membalas
surat ini, Anita!"
"Ogah!"
"Kita iuran deh, bayar prangko. Kau balas ya?"
"Ogah!"
Mereka tiba di persimpangan.
"Apakah kita akan terus ke Cijantung?" tanya sopir.
Dari belakang, si Gendut mencekik leher sopir.
"Kurang ajar kau! Jangan lancang ya. Jangan bikin
Tuan Besar jadi marah. Ayo, belok!"
"Baik, Tuan Gendut... eh, Tuan Besar."
Sport?lmll penuh sesak. Di tribune kehormatan disediakan beberapa kursi. Kedokteran mendapat tempat
di sebelah utara. Teknik di sebelahnya. Bendera?bendera fakultas, spanduk?spanduk, dan segala macam
poster meramaikan suasana, sehingga hampir-hampir
membuat orang sesak napas karena terlalu banyak.
Tepat jam sembilan para mahasiswa dan hadirin
dipersilakan berdiri. Lagu kebangsaan berkumandang.
Bapak Presiden masuk.
Suasana gegap gempita. Semua hadirin berdiri dan
berteriak, HIDUP SOEKARNO. HIDUP SOEKARNO. HIDUP SOEKARNO!!!"
Presiden melambai?lambaikan tongkatnya dan menyuruh hadirin duduk. Semua duduk. Untuk para
tamu itu disediakan masing?masing segelas teh. Entah
karena mau prihatin, entah karena produksi limun
macet.
Presiden memakai baju dinas abu-abu. Berkacamata
163 hitam. Ubannya tidak terlihat. Wajah beliau tampak
berseri-seri pagi itu.
Pembawa acara naik ke atas panggung dan mengumumkan acara pertama: sambutan dari Paduka Yang
Mulia Presiden Soekarno. Gegap gempita sorak?sorai
bagaikan mau merubuhkan gedung itu. Inge sama sekali tidak dapat bertepuk tangan, sebab terpaksa terusmenerus menutup telinganya yang menjadi sakit.
"Bertepuk tanganlah," bisik Monik, "mereka ada di
atas kita."
Sambil meringis, Inge melepaskan tangannya dari
samping kepalanya dan ikut bertepuk?tepuk.
T iga kali tongkat digerakkan dan suara?suara tersihir diam. Hening. Amat hening. Panglima Tertinggi
Pemimpin Revolusi telah mengganti kacamata hitamnya dengan kacamata putih. Ketika beliau mengacungkan jari ke arah anak?anak sekolah dasar Baperki,
Monik melihat wajahnya tersenyum. Seperti bapak
melihat anaknya. Benarkah beliau mempunyai koleksi
wanita?wanita cantik seperti didesas-desuskan orang?
Benarkah beliau dikelilingi koruptor?koruptor dan
membiarkannya? Benarkah itu semua? Tapi wajah yang
berseri?seri itu...
Suara Presiden secara khas berubah?ubah: crescendo
disusul dengan decrescendo lalu pelan mendatar kemudian melambung tinggi, berteriak lalu turun kembali.
Pidato kali ini mengenai asimilasi antara asli dan tidak
asli, yaitu keturunan Tionghoa. Juga mengenai persoalan nama yang merupakan adat kebiasaan yang
kuat dalam kalangan Tionghoa. Beliau menganjurkan
164 supaya nama?nama itu dinasionalisasikan seperti perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Pemberian nama tidak dilakukan sembarangan. Ada
ketentuan: anak nomor sekian harus memakai nama
ini atau itu. Kalau anak sakit?sakitan, mungkin namanya tidak cocok, maka orangtua pergi ke kelenteng
atau menjumpai sinshe untuk minta nama yang tepat.
Setiap nama mempunyai arti, misalnya bunga teratai,
jambangan perak, mutiara putih, burung walet terbang, dan sebagainya.
Memang tidak mudah mengganti nama, begitu kata
beberapa tokoh dalam koran. Tapi kalau mau menunjukkan goodwill, gantilah nama Saudara?saudara
beramai-ramai.
Lain lagi pendapat guru sejarah SMA di sebelah
rumah Tante Kos. Bapak guru itu dari Ambon. Sama
sekali tidak setuju perihal ganti?ganti nama itu.
"Itu membuat orang menjadi tidak berkepribadian,"
katanya. "Apa artinya sebuah nama? Nama baru
Ahmad Sulaiman dari Tuan Li A?cong tidak ada gunanya, kalau dia masih tetap menimbun gula pasir. Di
mana gaaa'will itu? Apakah penggantian nama itu lalu
tidak berubah menjadi penjilatan atau keinginan mendapat hak?hak istimewa dengan lebih mudah? Bapak
sama sekali tidak setuju. Nama apa pun, kalau dia
mau berbakti, dia akan dinamakan patriot bangsa."
"Bagaimana dengan asimilasi, Pak?" tanya Monik.
"Oh, itu lain. ltu soal pribadi manusia. Kalau saling cinta, mau apa lagi?"
*** 165 Ketika Monik pulang, dirasanya rumah itu amat sunyi. Dia masuk ke kamar, mengganti pakaian. Diteguknya teh dingin sisa tadi pagi. Sepi betul, pikirnya.
Dibukanya pintu yang menuju ke dapur dan kamar
mandi. Di situ juga sepi. Monik pergi ke samping
dan mengetuk jendela teman-temannya. Tidak ada
yang menyahut. Mungkin mereka belum kembali.
Truk lebih lambat jalannya dari mobil biasa. Monik
kembali ke dalam. Lalu masuk ke kamar makan. Dia
lapar bukan main. Sudah jarn dua. Makanan sudah
tersedia. Dia langsung duduk dan membuka tudung
saji. Dibuatnya tanda salib cepat?cepat lalu mulai makan. Tiba?tiba masuk tuan rumah.
"Oh, mari makan, Oom."
"Silakan," Oom duduk dan bicara pelan?pelan.
"Monik, adik laki?laki Tante gugur di Kalimantan.
Ya, di Kalimantan Utara. Sekarang Oom mau mengantar Tante pulang ke Jawa untuk peringatan menyeratus
hari. Mungkin kira?kira seminggu. Oom titip uang ini
untuk belanja kalian tiap hari. Juga untuk uang becak
Ahmad dan Rudi. Laila dan Toto, Oom bawa. Jangan
biarkan mereka jajan. Suruhlah Iyem membuat kuekue. Bisa, ya. Oom titip. Ini seribu lima ratus."
Monik mengangguk?angguk.
"Kapan berangkat, Oom?"
"Nanti sore. Dengan kereta api."
Monik makan cepat-cepat lalu menyeka mulutnya
dengan saputangan. Iyem muncul. Matanya merah.
Pipinya bengkak. Sambil menunduk dibereskannya
kembali meja untuk Diana dan Ella.
"Di mana Nyonya?" tanya Monik.
166 "Di ruang muka," sahut Iyem dan air matanya meleleh lagi. "Den Yanto. Saya kenal betul dia. Selalu
tertawa dan menggoda saya. Baru saja lulus sekolah.
Mau kawin. Den Yanto..."
Air matanya jatuh ke dalam piring. Monik memegang bahunya dan menepuk-nepuknya.
"Kata Nyonya, dia baru tiga bulan di sana. Oh...
oh... oh... mengapa bukan saya saja, yang sudah tua
ini? Mengapa dia? Ya Olloh, ya Gusti mengapa harus dia? Mengapa? Den Yanto Den Yanto"
Tubuh tua itu terbungkuk?bungkuk tersedu sedan.
Dia menangis pelan?pelan takut terdengar oleh Nyonya. Ahmad, tanpa diketahui siapa pun, telah berdiri
di situ mengawasi Iyem dengan mata terbelalak. Matanya yang bulat jernih itu tampak tidak mengerti untuk apa air mata itu.
"Kenapa Iyem menangis? Kenapa lbu juga menangis?"
Iyem meletakkan kembali piring-piring itu ke atas
meja lalu menubruk Ahmad dan menangis terus tanpa
suara.
"Kenapa harus Paman Yanto, Den? Kenapa bukan
Iyem saja? Kenapa, ya Gusti?"
"Yem," kata Monik, "Tuhan tidak menjawab pertanyaan. Dia memberi dan mengambil."
Ahmad berhasil melepaskan diri dari pelukan
Iyem.
"Tante tadi ke Senayan, ya?"
Monik mengangguk, tidak mampu bicara. Dia sendiri sudah hampir menangis.
Tante Kos duduk di ruang muka. Oom tidak ada,
167 mungkin mencari karcis kereta api. Monik maju selangkah?selangkah. Tante mengenakan daster dari bahan mtatex yang didapat dari koperasi. Monik juga
memilikinya satu. Rambutnya berbaur?baur. Kedua
matanya merah bukan main dan bengkak. Bedaknya
sama sekali sudah hilang. Bekas-bekas air mata berliku?liku dari sudut mata ke bawah. Bibirnya pucat
dan kering.
Tante tidak mendengar langkah-langkah Monik.
Matanya mengawasi jalanan di muka rumah, tidak
berkedip sekali pun.
"Tante," kata Monik perlahan, takut mengejutkannya.
Tante masih diam. Monik maju lagi.
"Tante."
Wanita itu masih belum mendengar. Tante Kos berumur kita?kira tiga puluh lima. Wajahnya oval. Hidungnya kecil dan mancung. Kulitnya cokelat, bersih.
Bibirnya kecil dan manis. Bila dia tertawa, kedua pipinya menggembung seperti buah apel. Ahmad pernah
membuka rahasia: kata Ayah, pipi Ibu seperti apel
Australia! Gigi?giginya putih dan kecil?kecil. Rambutnya sepanjang tulang punggung kesebelas, hitam berkilat dan biasanya disanggul.
Monik berhenti di mukanya. Tante memalingkan
muka kepadanya tanpa memandangnya. Monik melihat wajah kusut seorang wanita yang tampak tua dan
lesu.
"Tante!"
"Monik!"
Tiba-tiba mereka berpelukan seperti kakak?beradik,
168 air mata Tante mengalir turun membasahi baju Monik.
Air mata gadis itu meleleh juga. Untuk beberapa lama,
dibiarkannya wanita itu menangis dalarn pelukannya.
Kemudian pelan?pelan dia melepaskan diri. Dipegangnya tangan yang dingin itu erat-erat tanpa berkata apaapa. Tante menghapus air mata dengan saputangannya
lalu membereskan rambutnya.
"Maafkan Tante."
Monik menggeleng.
"Tante terbawa perasaan. Dia adik bungsu Tante.
Ketika mau pergi, sudah Tante pesan, mampir dulu
kemari. Tapi dia dikonsinyir dan tidak boleh keluar.
Dan sekarang... kita takkan bertemu lagi."
Air matanya meleleh kembali. Cepat-cepat dihapusnya.
"Dia masih muda. Baru dua puluh empat. Dan
baru bertunangan."
Monik merasa kerongkongannya tersekat sesuatu.
Dia berlutut di lantai dan menepuk-nepuk lengan wanita itu.
"Tidurlah, Monik. Engkau tentu lelah. Dan... terima kasih."
Monik mengangguk lalu mengundurkan diri tanpa
berkata?kata.
*** Hari itu Monik datang ke sekolah pagi-pagi. Buku
catatannya tertinggal dan dia lupa di mana: apakah di
kantin atau di aula atau di ruang kuliah.
Hari baru pukul tujuh. Pintu sudah dibuka tapi
169 belum ada motor atau sepeda yang datang. Aula masih
dikunci.
"Aula belum dibuka, Pak?" tanyanya pada penjaga
sekolah.
Aki?aki itu menggeleng dengan rupa mengantuk.
Monik pergi ke belakang. Ah, kantin belum dibuka
tentu saja. Tapi apa salahnya menjenguk dari kaca jendela.
Monik pergi ke sana. Menjenguk dari kaca. Tapi di
dalam gelap. Lampu tidak ada. Jadi tidak jelas terlihat
apakah ada buku catatan di atas meja itu. Kalau toh
ada, boleh jadi sudah disimpan dalam laci. Monik
berbalik lalu naik ke tingkat dua. Mungkin di ruang
kuliah. Suara sepatunya di atas tangga bergema dalam
gedung kosong itu. Monik tersenyum melihat aki?aki
itu duduk mengantuk dekat pintu gerbang dengan
serangkai kunci dalam tangannya. Andai kata dia membawa juga kunci ruang praktikum, aduhai, mudah
betul mengangkut pergi mikroskop?mikroskop.
Ah, Monik tertegun. Apa itu? Sarung pelekat dan
baju kaus serta celana-celana dalam bergantungan di
loteng di muka ruang praktikum. Siapakah orangorang gila yang berani tidur di sini? Monik maju dengan maksud mencari keterangan. Dia melihat pintu
ruang praktikum terbuka. Meja?meja dan bangkubangku tersusun di pinggir. Di tengah-tengah ruangan
berserakan kasur?kasur tanpa seprai. Kotor. Monik mengerutkan keningnya. Tidak habis terpikir olehnya apa
arti semuanya itu. Ruangan itu kosong, meskipun
ransel-ransel di situ menunjukkan bahwa para pemiliknya akan kembali.
170 Monik maju lagi ke ruang sebelah. Keadaan di situ
sama saja. Juga tidak ada orang. Dia pergi lagi ke
ruang sebelah. Sama juga. Tiba-tiba dia merasa takut.
Mesti ada apa-apa. Setengah berlari dia kembali ke
tangga. Tapi di situ, dia berhenti. Mengapa tidak jadi
mencari buku? Mungkin ruang kuliah tidak apa?apa.
Monik berbalik dan pergi ke ruang kuliah. Dua langkah dari pintu dia berhenti. Beberapa laki?laki berada
di dalam, duduk-duduk di atas kasur. Baju-baju kaus,
kain?kain sarung bergantungan pada tali.
Biarpun buku itu ada di situ, aku tidak mau mengambilnya, katanya pada diri sendiri seraya angkat kaki.
Aku terpaksa menyalin semua kuliah itu. Apa boleh
buat. Dia turun ke bawah dan duduk menanti temantemannya di muka pintu gerbang.
Inge datang nomor dua. Monik hampir memeluknya karena gembira.
"Ada apa, Monik.> Kok excited betul?"
"Oh, kau tidak tahu ada apa di atas," katanya dengan napas terengah?cngah. "Kau tahu di sana ada
apa?"
Inge tersenyum sambil duduk.
"Tentu saja aku tidak tahu, tolol. Kan aku baru
tiba?"
"Nah, di sana aku dapati kasur?kasur berserakan,
entah dari mana. Laki-laki buas. Baju-baju bergantungan. Aku ngeri. Mesti ada apa?apa, Inge. Dan
mengapa pula teman-teman kita belum ada yang datang?"


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inge tertawa mencemooh.
"Oh, itu. Kan mereka kongres?!"
171 "Siapa?"
Inge memandangnya seakan?akan dia seorang anak
kecil yang pandir.
"Anak-anak CGMI."
"Ha?! Dan dan... mereka tidur di sini?"
"Itu kenyataannya, bukan?"
Ketika Martin datang, Monik tidak berani menatapnya atau mendekatinya. Masih terngiang dalam telinganya: kita harus pergi, Monik. Negara ini akan menjadi
merah. Kita harus pergi, kalau tidak mau menjadi robot.
Hari itu kuliah berjalan biasa. Dosen tampak sedikit murung, tapi beliau rupanya tidak tahu tentang
kongres itu atau kalaupun tahu, beliau merasa tidak
perlu memberi komentar. Atau boleh jadi beliau tidak
menyangka di ruang sebelah sana ada kasur?kasur dan
baju-baju kaus.
Kepala Tata Usaha mondar?mandir. Wajahnya yang
bulat tampak berminyak dan berseri?seri, menampakkan sikap seperti orang penting yang sibuk betul. Juga
Kamerad Chien dan anak buahnya tampak mondarmandir dengan senyum terkulum. Malah Liu yang
tiap hari menyapa dan memperhatikan kehadirannya,
hari itu menganggapnya sebagai angin lalu. Hm, pikir
Monik, aku akan berpikir dulu seratus kali sebelum
pacaran dengan anak komunis. Kalau aku pergi ke
gereja, jangan?jangan diadukannya aku sebagai kontrarevolusi, supaya pangkatnya dalam partai naik.
Monik mendapati Martin duduk sendiri dalam kantin. Diajaknya Anita duduk di situ. Martin berdiri
dan mengambil sebuah kursi untuk mereka.
172 "Terpaksa satu untuk berdua," katanya tersenyum.
"Tidak ada kursi lagi."
Monik melihat telaga yang tenang itu tampak sedikit sedih dan bimbang, seakan?akan khawatir kalaukalau badai tadi malam akan muncul kembali.
"Tidak ada makanan apa-apa," kata Oom Kantin
tertawa. "Sudah diborong. Tinggal es cendol."
"Bolehlah," teriak Anita, "dua."
Martin juga menghadapi es cendol. Esnya sudah
habis, namun minuman itu belum juga disentuhnya.
Matanya menunduk memperhatikan tanah di pinggir
sumur yang terdapat di muka kantin, namun Monik
tahu pikirannya melayang ke loteng. Dari kantin terlihat sebagian ujung-ujung kain yang berkibaran tertiup angin. Pada sebuah sudut, beberapa anak FKG
duduk memakan bekal masing?masing, dengan kepalakepala tertunduk. Tiada seorang pun yang bicara.
"Sepi hari ini," kata Anita seakan?akan pada diri
sendiri.
Es cendol datang. Masing-masing membagi es ke
dalam gelas Martin dan menyuruhnya supaya lekas
menghabiskannya.
"Ya," kata Oom Kantin yang mendengar mereka,
"gelas?gelasnya mau dipakai." Mereka minum tanpa
banyak mulut.
"Tidak dingin, tidak manis," gerutu Monik. "Baru
hari ini si Oom brengsek jualannya."
Beberapa anak tingkat tiga FK masuk. Mereka melirik ke arah meja Martin, tersenyum sebentar lalu
pergi mendapati Oom Kantin. Tidak ada sepotong
173 pun terdengar orang bicara. Aduh, sudah bisukah
orang? Atau mau kiamatkah dunia?
Ketika melihat gelas teman?tcmannya sudah kosong,
Martin bangkit lalu pergi membayar minuman mereka.
"Oke," katanya mengajak mereka berlalu. Wtjahnya
sedih dan pasrah. Bibirnya terkatup erat?erat seperti
orang kehabisan akal menghadapi kuda betina yang
binal.
*** Sore itu Steve datang sesuai dengan janjinya. Dia memakai jaket baru yang tidak dibukanya sampai Monik
memuji warnanya. Rambutnya tersisir rapi. Baunya
harum. Celananya baru digosok. Kemejanya bersih,
berwarna putih dengan garis-garis biru.
"Mau ke mana? Rapi betul?" tanya Monik tertawa.
"Katanya mau nonton."
"Jam tujuh saja ya. Takut malam?malam."
"Kenapa? Takut ketemu orang?orang yang pulang
kongres?"
"Oh, kau tidak tahu sekolah kita! Penuh kasur!
Baju?baju kotor. Orang?orang yang tidak mandi."
"Ya, aku juga sudah mendengarnya dari anak tetangga. Hebat, bukan?"
"Dan nanti malam mereka akan mengadakan kongres di Senayan. Katanya akan dihadiri juga oleh Presiden."
"Hebat, bukan?"
174 Tapi Monik tidak ikut tertawa. Steve tidak dapat
merasakan betapa takutnya dia pagi itu ketika berada
di loteng sendirian, di tcngah?tengah segala benda
asing yang berserakan, seakan-akan dia tersesat ke
daerah kekuasaan nenek sihir yang akan mengubahnya
juga menjadi kasur atau benda lain. Seakan-akan dia
sendirian terapung?apung di laut lepas, berteriak?teriak
tanpa seorang pun mendengarnya. Oh!
Steve masih tetap tertawa ketika menghampirinya,
kemudian memeluknya. W/ajahnya menjadi serius. Dipandangnya gadis itu.
"Cintakah engkau padaku?" bisiknya.
"Mengapa... mengapa kautanyakan itu?"
Steve membaur?baurkan rambut Monik sambil tersenyum.
"Sebab aku cinta padamu."
"Oh, Steve! Aku se1a1u mencintai engkau... sejak
dulu."
Adegan selanjutnya terhenti oleh datangnya Iyem.
"Non, kata Nyonya, malam ini mau nginap ke
Kota? Jadi?"
"Jadi, Yem. Ini kunci pintu kamar saya. Pintu yang
itu kuncinya ada tergantung di situ."
"Ya, Non. Mau berangkat sekarang?"
Monik mengangguk.
"Engkau mau ke Kota?"
"Bibi berulang tahun. Pulang nonton, kita makan
ke sana. Oke?"
"Oke," seru Steve gembira dan cepat?cepat mencubit pipi Monik ketika iyem tidak melihat.
175 *** Mereka menonton Elm koboi Itali. Tidak bagus. Ceritanya tidak keruan. Sang jagoan mencari kekasihnya
yang dilarikan musuh tapi sampai tamat, tidak diceritakan apakah gadis itu mati atau masih hidup. Alhasil
sang jagoan hampir mati sebab membantu para pemberontak Meksiko yang tertindas tuan tanah. Lokasi
jelas tidak sempurna. Misalnya tiba-tiba saja terdapat
sebuah gubuk di tengah hutan yang merupakan sebuah hotel. Di sekitarnya tidak ada rumah sepotong
pun. Dan selama opname pertempuran, tidak ada sebuah pohon pun yang tubuh atau bergerak-gerak dan
tidak ada seorang pun yang berlindung di balik batang
besar?besar itu. Jadi jelas itu cuma dekor belaka.
"Payah," kata seseorang.
"Lebih baik dari film dokumentasi pemerintah!"
Daiam gelap itu, mereka duduk berpegangan tangan. Monik merasa amat bahagia. Kalau Martin
muncul saat itu dengan tiketnya, pastilah dengan tegas
akan dijawabnya: tidak. Impiannya selama ini telah
menjadi kenyataan. Biarlah langit menjadi merah dan
laut menjadi hitam. Biarlah Mein Kampf disamakan
derajatnya dengan kitab Injil. Biarlah besok dunia
menjadi gepeng. Biarlah kiamat. Selama Steve ada di
sampingnya, segalanya beres.
Di antara desakan manusia?manusia yang meluap
ke luar dari bioskop, Steve memeluknya. Tiada seorang
pun yang berani menyentuhnya, sebab melihat ada
Steve di sampingnya. Monik tersenyum bahagia. Wajahnya yang putih dan cantik itu bercahaya. Dia ter
176 ingat senda gurau ayah Alice ketika suatu kali dia ke
sana: wah, mukamu licin seperti porselen Shanghai
ini, dan ditunjuknya patung Dewi Kwan Im yang halus itu.
Monik bersandar pada bahu Steve dan berusaha
mengingat?ingat apa kata-katanya terhadap pujian
yang tiba?tiba itu. Ah, dia cuma menggerutu sedikit
sambil tertawa. Dia tahu, orang?orang mengatakan dia
cantik, tapi berapa cantik? Dia baru yakin bahwa dia
cantik, pada malam ini, pada sore ini, ketika Steve
mengatakan: aku cinta padamu. Sekarang dia telah
menjadi gadis yang tercantik di dunia. Sebab Steve
mencintainya. Malam itu dilihatnya bintang-bintang
lebih bercahaya dan langit lebih cantik sebab Steve
memeluknya dan menciumnya dan membuatnya bahagia.
"Aku ingin mempunyai baju seperti warna langit
pada malam ini."
"Tentu, Sayang. Kita akan mencarinya bersama.
Toko?toko Bombay itu pasti menyediakannya."
"Ah, tidak. Di sana tidak ada apa-apa. Di manamana tidak ada apa?apa. Kosong. Toko?toko serbakosong."
Motor menderu cepat. Monik melekatkan diri ke
punggung Steve untuk mengurangi rasa dingin. Betulbetul bodoh, tidak membawa mantel. Tapi Jakarta tidak sedingin Malang. Membuat orang tertawa, membawa?bawa mantel jam tujuh tadi.
"Apakah engkau merasa dingin?"
"Apa, Steve? Lebih keras. Suara motor ini membisingkan."
177 "Apakah kau kedinginan?" teriak Steve.
"Tiidaak," sahutnya berdusta dan mempererat pelukannya.
"Apakah kaupikir mereka sudah selesai resepsi?"
"Resepsi? Di mana?"
"Di Senayan."
"Oh, entahlah. Jangan pikirkan itu. Biarkan mereka
pergi ke neraka!!"
Jam sembilan lewat mereka tiba di rumah Bibi.
Peter tengah duduk bersama ayah dan adiknya di
muka televisi. Ibu mereka sebentar?sebentar mondarmandir ke depan sambil berpikir apa yang sudah terjadi dengan Monik. Suatu kali, dia tengah berdiri di
depan, ketika didengarnya suaminya berseru, "Ah, ini
dia. Ikut kongres."
Tergesa-gesa dia masuk, mendapati ketiga orang itu
tertawa-tawa melihatnya.
"Di mana anak ini?" katanya cemas.
"Duduklah. Sebentar lagi tentu dia datang. Kegelisahanmu itu tidak akan membuat dia datang lebih
cepat, bukan? Jadi, duduklah."
"Tapi..."
"Duduklah, Ma!"
Bibi Monik baru saja duduk ketika didengarnya
suara motor berhenti di muka.
"Itu dia!" serunya berlari. Lalu terdengar suaranya
ke dalam, "Mengapa begini malam? Dari mana?"
Nada suaranya pura-pura marah, tapi Monik tahu bibinya cuma khawatir. Bibi amat menyayanginya. Dia
masuk diikuti Steve.
"Selamat maiam, semua!" serunya.
178 Steve dan Paman saling mengangguk.
"Ayo, Nancy dan Peter... beri salam pada Oom,"
kata ayah mereka.
Kedua anak itu mengulurkan tangan mereka.
Monik tertawa gembira. Bibinya melihat bahwa gadis
itu luar biasa gembira malam itu.
"Dari mana?" tanyanya lagi dengan kekhawatiran
yang belum lenyap.
"Dari Seno. Kami belum makan, Bi. O ya," Monik
menutup mulut dengan tangannya, "hampir lupa...
anu... bukan... bukan lupa, tapi... baru hampir... belum lupa... jangan marah, Bi. Selamat ulang tahun."
Diambilnya tangan bibinya dan dijabatnya. Steve
juga mengulurkan tangannya.
"Terima kasih," kata bibinya dengan malu.
Monik membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah
bungkusan yang diletakkannya di dalam kamar Bibi.
"Kami belum makan," teriaknya dari kamar.
"Makanan sudah habis," teriak Peter.
Monik berlari ke belakang, tidak sadar bahwa Bibi
memperhatikannya. Anak ini tidak pernah berlari?lari
sejak dia datang ke Jakarta empat tahun yang lalu.
Apa yang sudah merasukinya?
"Ada makanan apa? Kami belum makan."
"Ya, Bibi tahu. Kalau kalian sudah makan baru kemari, pasti Bibi marah. Sebab makanan begini banyak,
spesial disediakan untukmu."
Ketika Monik masuk ke dalam, didapatinya pamannya tengah asyik berbicara dengan Steve. Monik senang
melihat adegan itu. Untuk beberapa lama, dia berdiri
di muka TV: siaran apa itu! Dari Senayan? Bukan?
179 "Ayo, makanlah dulu. Nanti temanmu kemalaman
pulang," kata Bibi.
"Steve, ayo."
"Mari makan, Oom, Tante."
"Makan. Makanlah. Yang enak?enak itu masakan
Oom. Yang kurang begitu enak, masakan... ehem...
Oom juga. He... he..." Lalu bisiknya keras?ketas, "Kalau dibilang masakan Tante, bisa berabe. He he...
kita laki?laki mesti maklum deh!"
Monik tersenyum melihat bibinya marah tidak bisa,
senyum tidak mau.
180 VI SOK paginya Monik diantar pamannya kuliah ke
Grogol. Paman mempunyai sebuah Volkswagen
tua yang amat berguna. Hari baru jam tujuh. Jalan
Hayam Wuruk masih sepi. Oplet?oplet baru dua?tiga
yang keluar.
"Sepi betul," kata Monik, yang biasanya main di
daerah Grogol saja pada pagi hari.
"Biasa," kata pamannya, "masih pagi. Coba saja sebentar lagi. Pasti antre jalan di sini."
Di muka Hotel Des Galaries yang sudah berubah
nama itu, mobil membelok ke kanan.
"Eh, mengapa banyak tentara di muka istana?" tanya Paman.
Monik memandang ke seberang kanal. Pasukan?pasukan berdiri di sepanjang pagar istana dalam keadaan
siap. Dan di tepi Jembatan Harmoni beberapa orang
berdiri memperhatikan mereka. Selain itu suasana tenang?tenang saja.
1 81 E-Booh by syauqy_arr
"Pasukan apa itu, Paman?"
"Mungkin pasukan kijang. Ada apa ya? Mau ada
tamu agung?"
"Barangkali temannya si Botol Sirop mau datang?!"
"Worosilov?"
Mereka membelok ke Gajah Mada dan pemandangan itu tidak lagi dibicarakan.
"Besok kuliah di mana?"
"Di Husada sebagian, di Grogol sebagian."
"Apakah kaupikir kalian dapat lulus dalam tujuh
tahun?"
"Mereka menjanjikannya begitu."
"Ya, mereka hari ini belum tentu mereka hari
esok!"
Monik kurang mengerti maksud pamannya, tapi


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka telah tiba di muka Res Publica.
"Oke."
"Terima kasih, Paman."
Monik tiba?tiba teringat kembali pemandangan di
Harmoni itu ketika melihat sikap teman?temannya
yang bermuram durja. Ada apa? Mengapa begitu
sunyi? Ada apa? Semuanya cuma mengangkat bahu.
Tidak ada yang tahu. Semua orang tampak aneh dan
berdiam diri. Ada yang duduk. Ada yang berdiri. Ada
yang menggigit?gigit rokok terus?menerus. Dan Kamerad Chien maupun teman?temannya belum ada yang
kelihatan. Ada apa? Ada apa tadi malam?
Monik menjadi ketakutan. Bahkan lnge dan Anita
tidak ada.
"Di mana Martin?" tanyanya pada seseorang.
182 Orang itu mengangkat bahu.
"Di mana Martin?" tanyanya pada orang lain, tapi
orang itu tidak mendengar.
"Di mana Martin? Di mana Anita? Di mana yang
lain?"
Monik membuka pintu aula. Tidak ada. Dia masuk
ke ruang kuliah yang tidak dipergunakan tidur. Kosong. Dia turun ke bawah dan pergi ke kantin. Tidak
ada orang. Ketika dia kembali ke depan, barulah hatinya lega. Anita turun dari becak. Kalau begitu, yang
lain juga belum datang.
"Tanggal berapa hari ini, Monik?" tanya Anita pertama kali.
"Linglung? Hari ini tanggal satu Oktober."
"Hari Nasional RRC, ya?!"
"Entahlah. Mungkin. Kenapa?"
"Oom di tempat kos bilang, tadi malam ada
coup."
"Coup?"
"Coup dhar."
"Alaaaa... macam?macam saja manusia. April mop
atau Oktober mop?"
Anita mengangkat bahu. Monik tersenyum saja
tetapi jauh?jauh di dalam hatinya dia sama sekali tidak
tersenyum. Ingatlah, Monik, negara ini akan menjadi
merah!! Kita harus pergill
Kuliah hari itu seharusnya dimulai jam delapan
pagi. Tapi sampai jam sebelas, dosen tidak muncul.
Kamerad?kamerad Chien, Liu, dan kawan?kawan muncul setengah sembilan. Kekhawatiran Monik makin
menjadi?jadi melihat muka mereka berseri?seri. itu
183 pasti tidak disebabkan karena pidato Presiden yang
bernyala?nyala tadi malam. Malah Liu yang kemarinkemarin menghindarinya, kini menantangnya dengan
pandangan kemenangan yang kasar dan penuh percaya
diri.
"Halo, Monik."
"Liu, ada apa? Apa yang terjadi?"
Laki?laki itu tertawa congkak.
"Mana aku tahu?" Dan ditinggalkannya Monik dengan sikap sombong.
Jam sembilan, Martin datang bersama si Gendut.
Monik belum pernah mendambakan kehadiran Martin
seperti pada saat itu. Hatinya melompat gembira. Mau
rasanya menyongsongnya dan memeluknya karena
gembira. Dilihatnya Martin berjalan tenang dan pasti.
Tungkai?tungkainya yang panjang itu seakan-akan tidak terangkat dari tanah. Dia tampak cuma menggeser?geserkan kakinya dan tanah itulah yang menyingkir, membiarkannya lewat. Langkah?langkah yang
berwibawa.
Tangan kirinya memegang segenggam kertas untuk
catatan kuliah. Tangan yang lain memegang anak
kunci motor. Ketika melihat Monik dan Anita, kedua
laki?laki itu tersenyum. Martin memasukkan kertaskertasnya ke dalam kemeja dan anak kuncinya direbut
oleh Tuan Gendut.
"Supaya dia jangan meninggalkan aku nanti, kalau
terjadi apa?apa," katanya pada kedua gadis itu.
Monik menahan napas.
"Memang akan terjadi apa?" tanya Anita tidak sabar.
184 "0110... jadi kau belum tahu? Tidak dengar radio?
Ada coup!"
Jadi betul, kata Monik dalam hati.
"Betulkah?" tanya Anita.
"Aku tidak tahu," kata Martin, "Tuan Gendut ini
yang tahu dan pagi-pagi datang ke rumah, tidak berani kuliah sendirian. Takut putus leher di jalanan."
Anak?anak lain datang menghampiri. Ada yang bilang: Cakrabirawa mengambil alih kekuasaan. Kunyuk
lain bilang: Presiden tertembak mati. Tidak, tidak
mati, kata seseorang, tapi ditawan.
Akhirnya mereka menjumpai Kepala Tata Usaha di
kantor. Mula?mula, cuma dengan maksud bertanya,
apakah mereka boleh pulang, sebab rasanya dosen tidak akan datang. Pulang tanpa izin beliau adalah berbahaya. Dapat dianggap tidak disiplin.
Di luar kebiasaan, Kepala Tata Usaha hari itu menyambut mereka dengan manis. Bahkan Anita bersiapsiap menerima bonbon atau cokelat dari tangannya
yang gemuk.
"Ada apa?"
"Boleh pulang, Pak? Sudah tunggu tiga jam. Dosen
tidak datang."
"Ya, ya, kalian boleh pulang."
"Terima kasih, Pak."
Mereka sudah mau berbalik, ketika seseorang bertanya, "Ada apa sih, Pak? Kok sepi amat?"
Wajah bulat itu tersenyum ekstra manis dengan sederetan gigi yang putih bagus.
"Pokoknya kalian jangan takut," dan dikedipkannya
matanya, "kita aman di sini!"
185 Tanpa sadar Monik memegang lengan Martin yang
berdiri di sebelahnya dan laki?laki itu menepuk?nepuk
tangannya dengan jari?jari yang makin lama makin
dingin.
*** Monik mendengar berita pasti itu pertama kali dari
Steve. Pukul dua siang, pintu sampingnya diketuk.
Dengan mata mengantuk, dia bangun lalu membuka
pintu. Tanpa permisi, Steve langsung masuk dan memeluknya keras?keras. Monik bingung bukan main.
Tadi pagi semua orang kelihatan sedih dan sekarang
Steve melompat?lompat macam monyet sirkus. Didorongnya laki?laki itu perlahan?lahan lalu dia duduk.
Steve berdiri di depannya kemudian membungkuk sehingga hidungnya nyaris menyentuh rambut Monik.
"Kau tahu? Mereka sudah habis! Habis!" Dan tangannya bergerak seakan?akan mau menyabit rumput.
"Dan kau tahu apa artinya itu? Aku menang. Kita semua menang. Besok aku akan kuliah kembali!"
Monik memeluk tangannya dengan kesal.
"Duduklah!" perintahnya. "Dan ceritakanlah semuanya dengan jelas."
"Engkau tidak tahu apa?apa?"
"Rupanya tidak ada yang tahu apa?apa, selain engkau. Ceritalah!"
Steve menjatuhkan diri ke atas kursi dan menyalakan sebatang rokok. Dikepulkannya asap itu dengan
lagak orang penting.
"Tadi malam menjelang pagi, mereka menangkapi
186 para jenderal dan membunuhnya. Mereka menamakan
diri Dewan Revolusi dan menuduh jenderal?jenderal
itu hendak merebut kekuasaan dengan membentuk
Dewan Jenderal. Tadi pagi, tetanggaku masih mendengar siaran radio dari Dewan Revolusi, cuma dia tidak
begitu memperhatikannya, sebab tidak tahu telah tetjadi coup. Tapi hari ini ho ho... mereka sudah dikalahkan. Kekuasaan cuma sekian jam itu sudah punah kembali."
Steve menjentikkan abu rokoknya ke lantai dan
Monik cepat?cepat meletakkan sehelai kertas di atas
meja. Masih kebingungan, Monik menanyakan jenderal?jenderal mana yang terbunuh. Steve menceritakan
semua yang diketahuinya.
"Apa? Mereka disiksa demikian?" tanyanya terkejut.
"Biadabll Betapa mengerikan. Apa jadinya bila mereka
menang? Tentu engkau dan aku, kita semua..." Monik
menggigil tidak berani melanjutkan pikiran itu.
"Sebenarnya, kalau mereka tidak keburu nafsu, lambat laun negara ini toh akan mereka kuasai. Sekarang... mereka yang ditumpas! Ha... ha... ha...."
Tampaknya Steve lebih memperhatikan kekalahan
musuh?musuhnya daripada musibah yang menimpa
seluruh negara. Tujuh jenderal bukanlah sedikit! Dan
tidak bisa begitu saja dicetak seperti koran atau dituai
seperti padi. Monik menggigil kembali dalam hati.
Seandainya... seandainya saja, mereka yang menang,
seandainya Liu yang menang, apakah yang akan terjadi padanya? Pada Steve? Martin? Markus? Mungkin
mereka akan diciduk lalu hilang lenyap begitu saja.
Hiiiii.
187 "Aku sudah bilang," kata Steve sambil mengembuskan asap, "tidak gampang mengeluarkan aku. Tapi
mereka main skors juga. Sekarang kualat!"
Monik tidak begitu mengacuhkan senyum gembiranya. Dia masih penuh dihantui bayangan?bayangan
lubang buaya dan tujuh jenderal di dalamnya. Seandainya... ah!
"Apakah mereka betul?betul sudah kalah?"
"Sudah tentu mereka masih akan berusaha mempertahankan diri. Tapi harapan tipis."
"Bukankah semboyan mereka: mundur selangkah
lalu maju dua langkah?" kata Monik, tiba?tiba teringat
akan kata?kata Pohon Kebusukan.
"Apakah mereka tadi muncul?" tanya Steve tidak
memperhatikan kekhawatiran Monik.
"Ya, mereka datang. Tapi dosen tidak ada."
"Rasain sekarang! Kualat!" kata Steve dengan sedikit
sombong, lalu bangkit. "Sudahlah. Aku pergi dulu.
Mau ke tempat anak?anak lain."
Monik berdiri di ambang pintu sampai asap motor
yang menyesakkan napas itu hilang bersama derunya
yang membisingkan. Dikuncinya pintu. Di antara kengerian membayangkan pembantaian yang biadab itu,
menyelinap masuk rasa lega. Steve dapat kuliah kembali. Dan... oh, tiba?tiba dia teringat akan Martin: dia
tidak usah lagi melarikan diri.
Sore hari, Diana dan Ella membawakan koran?koran
yang dipinjam mereka dari Tante Kos. Cerita?cerita di
situ kurang?lebih sama dengan kisah Steve, cuma jauh
lebih mengerikan, sebab terbaca dengan mata. Sebuah
tempat yang tidak terkenal, tiba?tiba muncul: Lubang
188 Buaya. Nama yang aneh. Tujuh orang jenderal terbunuh dengan cara yang amat mengerikan. Disayat-sayar. Ditelanjangi. Diejek. Penghinaan yang bukan
main. Beratus?ratus wanita lndonesia yang umumnya
lembut?lembut, ambil bagian dalam penyiksaan itu.
Lagu Genjer?genjer disebut?sebut seratus kali dalam
sebuah koran. Entah bagaimana bunyi lagu ajaib itu.
Mereka menyilet jenderal?jenderal itu kemudian menembak dan menimbunnya dalam sumur. Sampai berita itu dibuat, jenazah?jenazah itu belum dapat diangkat, kata sebuah koran. Seorang putri kecil?mungil
dan cantik telah mengorbankan diri untuk keselamatan ayahnya, kata koran lain. Dan di situ terlihat
gambar nona kecil Ade Irma Suryani Nasution, yang
namanya akan tinggal melekat dalam sejarah dan hati
bangsa Indonesia. Gadis cilik yang tidak berdosa itu
ditembak dua kali.
Monik membaca bagaimana Jenderal Nasution terhindar dari malapetaka. Sebaliknya Pierre Tendean
yang baru bertunangan itu dibawa sebagai gantinya.
"Oh!" keluh Monik seraya menyapu koran?koran
itu ke lantai. "Aku tidak sanggup lagi membacanya.
Terlalu mengerikan dan biadab. Betulkah di dunia ini
ada manusia yang sanggup merencanakan kekejaman
seperti itu? Lalu, di manakah Tuhan? Tidakkah mereka
takut akan pembalasan karma? Atau mereka mempunyai sembilan nyawa seperti kucing?"
Esok harinya, cuma dua orang proletariat yang datang kuliah ke Husada. Si Kutu Buku dan Pohon
Kebusukan. Monik diantar oleh Steve. Steve tidak se
189 gera pulang, akan tetapi menghampiri anak?anak yang
tengah berkumpul di muka pintu gerbang.
"Ini dia bangsatnya! Kuliah kau hari ini?" tanya si
Gendut.
"Tidak. Aku mau kirim telegram pada Markus."
"Bagus. Senang hatimu, kunyuk. Boleh kuliah lagi,"
kata Leo.
Steve tertawa lebar. Monik melihat Martin juga tertawa. Matanya yang tenang itu tampak cerah seperti
matahari pagi.
"Ssst... tidak jadi dong?"
Martin melirik dengan tersenyum lalu pelan?pelan
menggeleng, menyuruhnya diam. Anak?anak masih
asyik mempercakapkan pembunuhan jenderal?jenderal.
Ada juga yang lebih suka memperbincangkan kekalahan komunis, dan kemenangan borjuis.
"Tapi," kata Martin menggeleng dan menghela napas, "ini adalah kemenangan yang amat mahal. Mungkin betul, manusia hanyalah binatang berkaki dua!"
"Ah, kau terlalu sensitifl" tuduh Steve. "Salah?salah,
engkau disangka tidak suka melihat kita menang!"
"Lihat saja nanti," kata Martin tetap tenang, tidak
menanggapi tuduhan temannya. "Pasti akan masih
banyak korban-korban berjatuhan!"
"Apa boleh buat. Ini revolusi!"
"Aku lebih suka revolusi tanpa darah."
Steve mengangkat bahu lalu melihat arlojinya dan
mengatakan, dia mesti segera pergi mengirim telegram.
Anak?anak masuk ke ruang kuliah di belakang. Kuliah
berjalan biasa. Dosen tidak memberi komentar apa
190 apa. Ketika mereka pulang, ternyata Steve tidak datang
menjemput.
"Mungkin masih di kantor telegram," kata Martin.
"Mari aku antar pulang."
"Baiklah. Tiba?tiba aku ingin ke rumah Bibi. Di
rumahmu ada telepon, bukan? Tolong telepon tetangga
Tante, supaya dia dapat memberitahu Tante, aku ke
Kota."
Martin mengangguk dan menghafalkan nomor yang
disebut Monik. Di tengah jalan, tiba-tiba Monik berkata, "Martin, aku setuju sekali pendapatmu."
"Tentang apa?"
"Tentang revolusi tidak berdarah."
"Oh," Martin tertawa pelan, "lebih baik kita coba
melupakan itu. Mungkin dunia sudah hampir kiamat
atau manusia kena wabah penyakit gila!"
"Aku tidak dapat tidur semalam memikirkannya,"
kata Monik, dengan perasaan tidak enak yang belum
juga menghilang tiap kali dia ingat pembantaian itu.
"Apa yang akan kaukerjakan sore ini?" tanyanya
selang sesaat.
"Main piano!" jawab Martin. "Sudah hampir setahun tidak ketemu Chopin."
Di jalan lewat dua buah truk penuh demonstran.
Serombongan lagi masih berdiri di pinggir dengan pemimpin mereka, melambai?lambaikan tangan untuk
menyetop truk ketiga.
"Mau demonstrasi?"
"Tentu. Kalau itu untuk keadilan."
Di rumah Bibi, ada beberapa tetangga berkumpul.
Monik waswas. Siapa yang sakit? Peter dan Nancy
191 tidak kelihatan. Monik mengangguk pada wanita?wanita itu lalu langsung ke dalam.
"Ada apa, Bi?" teriaknya.
Bibi keluar dari dapur dengan mengenakan celemek
dan tersenyum melihatnya.
"Tidak biasanya mereka berkumpul di sini."
"Oh. Mereka tengah mempercakapkan jenderal?jenderal yang dibunuh itu," kata Bibi dengan nada penting. "Untung kau datang sekarang. Paman sudah mau
menengok engkau pagi ini, tapi mendadak tetangga
sebelah harus diantar ke klinik bersalin. Rencananya,


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti sore Paman mau ke Grogol. Di sana... tidak
apa?apa?"
"Tidak apa?apa," kata Monik sambil memasukkan
sebuah bola daging ke dalam mulutnya.
"Bibi khawatir sekali. Semalaman tadi tidak bisa
tidur. Kita kan tahu bagaimana sekolahmu. Apalagi
kau bilang, yang ikut kongres tidur di sana. Mana
tempat kosmu begitu dekat dengan sekolah. Bibi bilang, bagaimana kalau Monik diculik dan Paman juga
ikut ketakutan."
Bibi tertawa manis sambil mengguncang?guncang
bahunya.
"Tukarlah bajumu. Kita makan."
"Ke mana anak?anak?"
"Belum pulang sekolah. Baru jam berapa ini? Setengah satu kurang."
Ah, ya! Mengapa dia lupa bahwa anak?anak itu sekolah siang. Ketika tengah menukar baju di kamar
depan, Monik mendengar suara?suara tetangga.
"Ya, itu sih lewat perikemanusiaan. Sama orang ja
192 hat pun, kita tidak sampai sekejam itu. Mau tembak,
tembaklah. Jangan orang disiksa dulu."
"Kabarnya Baperki itu juga ikut pe?ka?i."
"Masa iya? Ah, apa betul? Laki saya"
"Satna, kita. Laki saya juga anggota Baperki. Tapi
orang goblok begitu mana tahu politik. Tahunya ada
ikan gabus bakar sama nasi putih. Seminggu sekali
duduk nongkrong main mahyong."
"Betul. Laki saya juga sama gobloknya. Temannya
bilang, masuklah Baperki. Dia masuk. Katanya untuk
kepentingan persaudaraan. Bayar iuran, ya dia bayar.
Tapi segala itu apa namanya tadi?"
"Yang mana?"
"Tadi kau bilang... itik... itik... begitu."
"Oh, politik."
"Puguh, saya mah lupa melulu menyebutnya. Laki
saya sih mana peduli segala begituan. Kalau yang minta sokongan ke warung terlalu sering, nah, baru dia
ribut."
Rupanya Bibi keluar dari dalam.
"Ayo, pada makan dulu, yo. Kebetulan saya bikin
sayur asam dan pepes ikan peda."
"Ah, saya juga ada kalau cuma peda sih. Kirain bikin panggang babi."
Terdengar seloroh mereka dan selop?selop bergesetan.
"Ayo, ah. Eh, kalau mau terasi Bangka, suruh si
bibi saja ambil ke rumah."
*** 193 Setiap hari ada demonstrasi. Jaket kuning kontra Asu.
Mereka duduk di tengah jalan. Mereka tidur di depan
istana. Mereka menuntut supaya Presiden turun. Mereka menyetop truk?truk dan bus?bus. Sopir?sopir mengeluh karena tidak ada uang setoran. Lalu lintas macet. Terjadi tembak?menembak. Culik?menculik. Seluruh Indonesia geger. Tapi orang mengira bahwa apa
yang diberitakan koran?koran tidak semuanya benar.
Orang mencari radio Nederland. Di tanah lndonesia,
dua juta rakyat tewas dalam huru?hara baru-baru ini.
Padahal koran sore tadi bilang, diperkirakan tidak lebih
dari seratus ribu orang telah terbunuh. Mereka semua
anggota?anggota pe?ka?i, pemuda rakyat, konsentrasigerakan?mahasiswa?Indonesia, beserta antek?anteknya.
Adik si Gendut menulis surat: tukang minyak langganan kita ditangkap atas tuduhan antek?antek pe?ka?i.
Istrinya dan bayinya ikut?ikut ditahan. Mereka cuma
boleh membawa sepotong kasur dan sebuah kompor.
Tidak diberi makan. Mesti urus sendiri. Keluarganya
tidak ada yang berani menolong atau menengoknya
sebab takut juga. Mama sudah menyuruh Papa menghubungi Kepala Hansip dan mendapat izin mengunjungi mereka. Tukang minyak itu bilang, "Abdi mah
eunteu nya/Jo naon?naon. Abdi mah..."
Monik melihat si Gendut termenung dengan kertas
di tangannya.
"Aku tahu betul aki-aki itu. Sudah hampir lima
puluh. Anaknya yang paling kecil belum lagi setahun.
Kalau ada kerusakan?kerusakan kecil, dia selalu dipanggil. Membetulkan genteng. Mengapur. Mengganti
kaso. Membuat kandang ayam... dia pasti bukan pe
194 ka?i! Dia cuma rakyat kecil yang seumur hidupnya
miskin! Dia cuma rakyat biasa!!!! Dan kita selalu menangkap kodok sama?sama...."
Gendut hampir kalap. Diremuknya kertas di tangannya sampai hancur.
"Sudahlah. Kita tidak dapat berbuat apa-apa," kata
Steve.
"Bisa. Kita harus bisa. Kita demonstrasi. Kita"
"Pergilah pulang dan katakan, engkau berani menjamin bahwa aki?aki itu bukan komunis! Itulah yang
dapat kaukerjakan."
"Dan dengan segera Kepala Hansip itu akan menahan engkau juga. Dalam sepuluh menit dia sudah
akan berhasil mendapat beberapa saksi yang mengatakan bahwa engkau pe?er! Mau apa? Siapa yang akan
menolongmu?" bentak Leo.
Gendut memandang mereka dengan kengerian hebat di dalam matanya. Lalu dia menunduk. Kepalanya
hampir-hampir tidak dapat mencapai dadanya yang
gemuk itu.
"Tapi dia orang baik. Dia orang baik...." gumamnya.
Markus mengirim surat dari Jawa Tengah. Aku tidak berani ke Jakarta dulu. Aku belum berani ke
mana?mana. Bahkan keluar rumah juga tidak. Kalau
mereka tahu bahwa aku sekolah di Baperki, rasanya
surat permandianku takkan ada gunanya. Ngeri sekali
membaca peristiwa Lubang Buaya itu. Terlalu. Aku
baca, bahwa mereka menyilet alat?alat kelamin para
korban. Aku harap saja itu tidak betul. Apakah eng
kau melihat di televisi ketika jenazah?jenazah itu di
195 angkat? Kabarnya sudah rusak sama sekali. Orangorang di sini hidup dalam ketakutan yang bukan
main. Tembak dulu, bicara belakangan, kalau kau masih mampu bicara! Sepatah saja dikatakan orang bahwa engkau antek?antek pe?ka?i, habislah nyawamu.
Ayahmu mau membantu? Berarti jatuh dua korban.
Sebab orang yang menolong antek?antek G?30?S, kalau dia laki?laki pasti anggota pe?ka?i, sedang perempuan, pasti gerwani. Kalau sudah mulai senja, jalan?jalan sepi. Orang?orang mengunci rapat?rapat pintu rumahnya, tidak peduli apakah dia Islam, Kristen,
Hindu, atau Buddha. Semua ketakutan. Bahkan pelacur?pelacur bersembunyi. Sebab disinyalir adanya
pelacur yang menjadi gerwani atau lebih tepat gerwani
yang masuk ke dalam sarang P? Entahlah.
Anyhow, kawan?kawan, kita betul?betul dalam suasana prihatin. Kotaku ini termasuk kota besar. Namun
setiap malam, kita gerendel pintu, kita palang dua
lapis dan kita tindih dengan meja dan kursi. Setiap
malam, aku menghitung?hitung jumlah musuhku yang
sebenarnya, mulai dari sekolah rakyat sampai sekarang.
Aku sudah mengumpulkan sepuluh nama, jadi dapat
dibayangkan bahwa aku hidup seperti cacing kena
abu. Aku ingat, pernah menjotos seorang anak sampai
bengkak matanya. Itu di es?er. Di es?em?pe, lebih
hebat lagi. Sebab aku kepala gangster yang bersamasama dengan kepala gangster musuhku, amat sering
berurusan dengan Pater kepala sekolah. Wah, ngeri.
Kalau engkau mendengar suatu malapetaka tentang
diriku, percayalah, kawan?kawan, aku bukan komunis,
bukan antek?antek pe?ka?i, bukan apa?apa, dan tolong
196 lah berikan semua catatanku pada Tina. Sebagai tanda
mata. Aku bukan pesimis, tapi kita sama sekali tidak
tahu, masih adakah hari esok? Di kota?kota kecil, lebih seru lagi desas?desus: setiap malam terdengar jerit
tangis perempuan dan anak?anak, dan pagi hari terdapat tubuh tanpa nyawa di depan rumah. Malam
hari, seorang laki?laki dibawa dan beberapa hari kemudian kepalanya mengapung di Sungai Serayu. Ada
orang mendapat kiriman besek dan ketika dibuka, isinya kepala...
"Jangan... jangan... step...." kata Monik lemah.
Semua orang menoleh. Gadis itu pucat. Keringat
bertetes?tetes di dahinya. Steve melompat dan memeluknya.
"Kenapa kau?" tanya Anita.
"Jangan teruskan... aku takut... ngeri...."
Steve meraba jari?jarinya. Dingin.
"Ambil sesuatu. Lekas," teriaknya.
Anita berlari ke dalam, menemui Tante Kos. Setengah menit kemudian, keduanya kembali sambil
berlari tergopoh?gopoh. Tante membawa sebotol minyak kayu putih. Monik dibaringkan di dalam kamarnya. Anak?anak laki-laki menanti di luar sementara
Tante dan Anita menggosok?gosok Monik dengan minyak kayu putih. Si Gendut pergi ke dapur dan minta
air teh hangat dari Iyem.
"Biarlah saya yang bawa," kata lyem, mengusir tangan gemuk itu dari hadapannya. Iyem menggigit?gigit ibu jari kaki Monik sambil komat?kamit: bismillah,
irohman, irohim, ya ampun, Gusti....
197 Ketika Monik sudah sadar kembali, barulah Tante
menanyakan duduknya perkara.
"Ini gara?gara si Markus!"
"Orang gila! Tulis surat penuh kepala orang melulu."
Si Gendut menceritakan dengan pendek isi surat
yang telah mereka baca. Sekarang giliran Tante Kos
yang menjadi pucat.
"Ayah saya menjadi lurah di sana. Dan ada orang
yang sudah lama menginginkan kedudukan itu tapi
selalu kalah dalam pemilihan di kampung."
Steve membelalak ke arah si Gendut dan laki?laki
ini ketakutan. Gara?gara lu, kata mata si Steve, apaapaan cerita lagi? Kalau dia pingsan...!
"Tapi, Tante jangan gelisah," kata Gendut memohon amnesti dari Steve. "Itu cuma desas?desus. Kan
koran bilang, keadaan di sana sudah pulih. Tidak ada
pembunuhan. Koran bilang korban cuma seratus
ribu...."
"Tapi Tante tahu sendiri, ada orang tidak bersalah
yang menjadi korban," katanya pelan. "Orang itu pernah utang nyawa waktu revolusi pada seseorang. Dia
memang agak kaya. Jadi sebagai balas jasa, dia mengongkosi anak laki?laki orang itu. Tinggal di rumahnya.
Kuliah di UI. Baru setelah G?30?S, dia tahu, anak itu
CGMI. Ditangkap. Anak itu bilang, dia diberi makan
oleh orang kaya tadi. Kontan dia ditahan. Entah kapan bisa melihat matahari lagi. Mana anaknya enam,
masih kecil?keeil. Istrinya menangis saja tiap hari."
"Itu terlalu!" seru Gendut marah. "Melanggar hakhak asasi manusia! Ditahan tanpa dosa!"
198 "Tapi, bila mereka yang menang?! Bagaimana?" ejek
Steve. "Apakah mereka akan mengenal perikemanusiaan
dan segala hak?hak asasi? Nih, lehermu yang putus
lebih dulu, baru keluargamu boleh melolong?lolong!"
Gendut terdiam mendengar itu. Anita menggosokgosok tangan, kehilangan akal.
"Lihat jenderal?jenderal itu! Bukti paling jelas! Apalagi kita, rakyat yang tidak berkuasa."
"Tapi menahan orang?orang yang tidak bersalah..."
kata Gendut penasaran.
Tante Kos bangkit lalu tersenyum pasrah.
"Itu tidak ada di koran, bukan?"
*** Pada tanggal 7 Oktober 1965, dokter kepala di Rumah Sakit Husada memberi mereka libur. Anak-anak
tingkat empat memang lebih banyak kuliah di Husada
daripada di Grogol. Ke Grogol terutama untuk
ujian.
"Lebih baik kalian libur dulu untuk sementara waktu."
"Sampai kapan, Dok?"
"Yah! Sampai keadaan mereda, mungkin dua-tiga
minggu."
Ternyata dua?tiga minggu itu menjadi satu tahun.
Ketua Kelas bilang, pihak rumah sakit sudah mendapat surat ancaman untuk tidak berurusan lagi dengan mahasiswa?mahasiswa Res Publica. Tentu saja
mereka tidak dapat membiarkan rumah sakit itu di
199 obrak?abrik hanya karena beberapa gelintir manusia
seperti kita. Jadi jalan tengah: kita libur dulu.
Dalam sebuah koran ada surat kiriman, ancaman
untuk membakar gedung universitas komunis itu.
Koran lain menyerukan supaya Res Publica jangan
melindungi lebih lama lagi anggota?anggota CGMI
yang masih berdiam di dalam gedungnya.
Tapi kader?kader CG bukan lagi bersembunyi, mereka malah mempersenjatai diri. Dengan gedung Res
Publica sebagai markas. Sementara itu kamerad?kamerad dari golongan proletariat sudah tidak muncul?muncul lagi.
Monik yang biasanya malas mengunjungi PMKRI,
sekarang rajin datang. Sebab diharuskan. Dan menyenangkan bila orang dapat merasa bahwa dia masih
termasuk suatu golongan. Apalagi golongan yang menang. Mungkin akan kebalikannya perasaan itu andai
kata golongan kita itu kalah. Dalam segala lapangan
bermunculan nama?nama baru.
Monik selalu pergi ke rapat?rapat itu bersama Steve.
Salah satu pembicara yang gigih adalah ketua partai,
Cosmas Batubara.
"Kalau mereka menang, Saudara-saudara," katanya,
"maka leher sayalah yang pertama kali akan putus.
Tapi saya tidak takut. Kita tidak boleh takut. Sebab
kita membela keadilan. Kita membela sesuatu yang
benar. Kita membela perikemanusiaan. Jembatan kita
sudah kita bakar, Saudara?saudara. Karena itu kita tidak dapat mundur. Kita harus maju. Terus maju. Ever
anwam', Saudara?saudara. Never?never retreatll"
Tepuk?tepuk tangan mengakhiri pidato untuk hari
200 itu dan akan disambung esoknya, kalau esok masih
ada atau lusanya, kalau lusa kita masih hidup.
*** Tiap-tiap hari ada demonstrasi. Di mana-mana jaket
kuning. Sekolah dan kuliah berpindah ke jalanan.
Daerah Salemba merupakan daerah yang paling panas.
Bukan lagi cuma demonstrasi, tapi juga tembak?menembak. Sebagian tentara mengeluarkan senjata?senjata
berat mereka dan menghantam mahasiswa. Tank?tank
berlapis baja. A.K. Korban?korban jatuh tak terhitung.
Zakse. Arif Rahman Hakim. Cuma dua di antara yang
banyak.
Muncul Baret Merah membantu mahasiswa. Pembersihan besar?besaran dalam kalangan militer. Sehingga
yang sisa adalah betul?betul seratus persen abdi rakyat
dan seia?sekata dengan mahasiswa.
Lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang
tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ketua untuk ]akarta: seorang calon dokter, Suwarto.
Pelajar?pelajar juga tidak ketinggalan membentuk
kesatuan aksi mereka sendiri. Mengharukan adalah
gugurnya dokter anumerta A. R. Hakim. Pihak musuh
berusaha merebut almamater mereka. Para mahasiswa
mempertahankannya mati-matian. Dalam koran-koran
ditulis bagaimana tembak?menembak itu berlangsung.
Banyak korban juga yang jatuh. Di antaranya seorang
calon dokter yang berani dan rela memberikan jiwanya
demi tegaknya keadilan dan perikemanusiaan yang
mengakui hak?hak asasi manusia di bumi Indonesia.
201 Semua mahasiswa dan rakyat berkabung seminggu.
Tapi ibunya yang sudah tua itu akan berkabung untuk
selama?lamanya. Ketika dia diantar ke tempat istirahatnya, deretan orang?orang yang memberikan penghormatan terakhir sedemikian banyaknya, seakan?akan
setiap rumah di Ibukota mengirimkan wakilnya. Di
muka rumah, orang?orang menyediakan meja dengan
air minum. Rakyat melemparkan ikatan?ikatan rambutan ke atas truk. Mereka betul-betul telah bersatu
padu. Gugur satu tumbuh seribu. Pulang mengubur,
mereka menyingsingkan kembali lengan baju dan siap
turun kembali ke jalan?jalan.
Dibentuk Laskar Arif Rahman Hakim. Nama?nama
ketujuh pahlawan menghiasi barisan?barisan berani
mati mereka. Semua sekolah Tionghoa diambil alih
dan dijadikan markas. Tiap?tiap anggota KAMI termasuk salah satu rayon.
Di koran?koran ada pertentangan mengenai nama:
lebih baik Gerakan tiga puluh September atau Gerakan satu Oktober? Ada yang bilang, yang kedua lebih tepat, sebab terjadi menjelang dini hari, berarti


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tanggal satu. Yang menganggap istilah pertama
lebih baik, tidak mau diam: siapa yang mengatakan
Gerakan satu Oktober adalah antek?antek pe?ka?i, sebab itu Hari Nasional Cina Komunis. Sejak itu pertentangan selesai. Tidak ada seorang pun yang lebih
suka mengatakan: G-l?O tapi G?fSO?S.
202 VII ARI itu tanggal 16 Oktober, dua minggu setelah
kudeta berdarah itu. Sudah dua hari Monik merencanakan mau menulis surat ke rumah, tapi selalu
ditundanya. Dia tidak berani menanyakan apa yang
terjadi di Malang, sebab takut pada jawaban yang
akan diterimanya. Dia teringat teman?temannya. Teman sekolah, teman di rumah. Adakah di antara mereka yang menjadi korban? Dan keluarganya sendiri
bagaimana? Apakah ayahnya masih menyimpan surat
permandiannya? Adakah dia mempunyai seorang musuh yang rela mencelakakannya?
Pertanyaan?pertanyaan serupa itu membuatnya gelisah dan malam hari dia sukar tidur. Akan tetapi hari
itu dipaksanya juga menulis surat. Tadi pagi dia sudah
ke warung, membeli kertas surat sepuluh helai dan
amplop dua.
Sekarang sudah kertas kelima. Namun hasilnya be
203 http:]lhana-ohi.blogspot.com
lum ada. Monik tidak dapat mengingat apakah dia
pernah sesukar itu mencari kata?kata untuk suratnya.
Mama yang tercinta,
Tidak ah. Lebih baik pada Papa. Dia lebih tahan
membaca yang sedih?sedih dan dapat menjawab semua
pertanyaanku tanpa ragu?ragu.
Diambilnya kertas keenam.
Papa yang tercinta,
Monik memandangi tulisannya. Juga tidak sedap
rasanya. Menulis surat pada ayahnya? Dia tidak begitu
mengerti perasaan wanita. Mungkin dianggapnya pertanyaan?pertanyaanku itu kekanak?kanakan dan tidak
perlu dilayani. Lagi pula selama ini dia tidak pernah
menulis surat pada ayahnya kecuali memberi kabar
bahwa kiriman uang sudah diterima.
Monik bersandar ke dinding sambil memandang
kertas putih itu dengan kening berkerut. Mungkin lebih baik, untuk Ros saja. Ros saudara sepupunya. Digigitnya jarinya. Ya, lebih baik menulis pada Ros. Dia
bisa omong sesuka hati. Boleh kasar sedikit. Boleh
cerita semau?maunya. Betapa sedih atau ngeri pun suratnya, pasti anak SMA itu akan menyeringai juga.
Monik baru saja mengulurkan tangannya mau
mengambil kertas baru, ketika didengarnya hirukpikuk itu. Dengan terkejut dia keluar ke jalanan. Sebuah truk berhenti di jembatan Universitas. Isinya
padat dengan gadis?gadis belasan tahun. Mereka me
204 lompat turun sambil bernyanyi dan bersorak-sorai. Di
belakang mereka, berhenti sebuah truk lain. Pemudapemuda berlompatan dari situ. Mereka mencoba masuk, namun dihalangi oleh mahasiswa?mahasiswa yang
menjaga gedung. Mahasiswa?mahasiswa itu berhasil
didesak mundur sampai ke halaman. Dari dalam
keluar beberapa mahasiswa dengan senjata kayu yang
dipergunakan mereka untuk bersilat. Para demonstran
itu tertahan sementara. Kemudian datang tentara. Mereka membentuk batas antara demonstran dan mahasiswa?mahasiswa penjaga. Namun kemudian, agaknya
para demonstran mendesak tentara itu yang tidak berdaya melawan mereka.
Para mahasiswa berlari ke belakang melalui jalan
samping. Lubang?lubang angin di bagian muka gedung didobrak. Pemuda?pemuda itu masuk. Sebentar
kemudian, Monik melihat mereka sudah ada di atas
genteng, menuang sesuatu di situ. lalu mereka turun.
Sekonyong?konyong terdengar beberapa kali tembakan.
Dan tahu?tahu api sudah menjilat?jilat di atas atap.
Monik mula?mula tidak sadar apa yang terjadi. Api
itu mula?mula cuma merupakan lidah?lidah merah
yang menyambar-nyambar, lain tidak. Namun soraksorai di seberang menyadarkannya. Api itu makin
lama makin besar. Bergelora dan menari?nari menutupi gedung bertingkat itu. Awan gelap naik ke angkasa. Truk?truk itu sudah pergi. Monik memandang
dan memandang. Dia tidak dapat percaya. Di sini? Di
mukanya? Dia menyaksikannya sendiri? Sekolahnya
dibakar? Hari depannya? Satu?satunya harapannya?
impiannya? Kakinya dirasakannya panas dan gemetar.
205 Dadanya terasa sesak. Di muka jalan itu diparkir sebuah l'londa. Seorang mahasiswa duduk di atasnya.
Tangannya sebentar?sebentar naik ke muka menghapus
sesuatu di situ. Monik tahu, mahasiswa itu menangis
melihat begitu banyak yang mungkin diperolehnya
dalam hidup ini musnah dimakan api, tanpa dia berkuasa menghalanginya.
Seseorang melingkarkan lengannya pada bahunya.
Dan sebuah tangan yang lembut menghapus air matanya. Ah, menangiskah dia? Seperti anak laki?laki di
depannya?
"Monik," bisik Tante Kos sambil mendorongnya
masuk, "engkau tidak bersandal."
Monik menunduk dan melihat kedua kakinya sudah merah kena matahari jam dua belas siang.
"Marilah."
Monik membiarkan dirinya diseret masuk. Dia lemas dan tidak bertenaga. Di dapur, Iyem terdengar
berteriak?teriak histeris.
"Aduh, kenapa branwir tidak juga datang? Aduh,
kalau dia kena kemari? Aduh, lelatu?lelatu api itu terbang ke mana?mana. Nyonya, kenapa tidak ada yang
panggil branwir? Kenapa dibiarkan saja? Aduh, makin
besar, Nyonya!"
"Diam, kaul"
"Tapi, Nyonya..." Tiba?tiba dia berhenti ketika melihat Monik pucat dan lemas di atas kursi.
"Bukan urusanmu api itu! Ambil teh hangat!"
Pemadam kebakaran dari Jalan Ketapang baru datang tiga jam kemudian. Dan dari gedung itu tinggal
tersisa reruntuk kotor yang tidak berguna.
206 Sore itu Martin datang dari Kota ke tempat Monik.
Mukanya tenang dan keras. Bibirnya terkatup eraterat. Rambutnya kusut dan sebentar?sebentar jatuh ke
dahi. Yang pertama?tama dilakukannya dalam ruang
tamu Monik adalah mengeluarkan rokok dan menyalakannya.
"Maaf, keberatan kalau aku merokok?"
"Sama sekali tidak," kata Monik sambil menyediakan sehelai kertas di mukanya. "Aku tidak tahu bahwa
engkau merokok."
Martin tersenyum sebentar.
"Cuma dalam keadaan terpaksa."
"Apakah sekarang keadaannya memaksa?"
Martin menghindari pandangan gadis itu dan memperhatikan lubang jendela. Lama dia menatap ke luar
tanpa bergerak?gerak sehingga Monik mengira dia tidak mendengarkan kata?katanya.
"Apakah engkau menyaksikannya?"
Suaranya begitu pilu, menyayat seperti penyanyi
opera yang sudah berlatih mati?matian, namun mendapati gedung itu kosong sama sekali. Matanya begitu
tenang tapi penuh permohonan dan seakan-akan tidak
percaya.
"Ya," sahut gadis itu dan air matanya mengalir turun.
Monik menunduk dan cepat?cepar menghapus air
matanya sembunyi-sembunyi. Beberapa saat suasana
sunyi. Betapa terkejutnya gadis itu ketika dia mengangkat kepalanya. Martin tengah memandang ke luar
jendela dan pada tepi telaga yang tenang dan sunyi
itu tergenang air.
207 "Apakah nasib kita tidak akan berubah, Nik?" tanyanya dengan suara parau. "Dulu dikejar?kejar sebab
anti kom. Sekarang dimusuhi, sebab... sebab apa? Sebab kuning?"
"Aku tidak tahu," sahut Monik menunduk, suaranya pelan sekali.
"Kalau begitu, tidak ada gunanya coup ini," Martin
menggertakkan geraham dan mematikan rokoknya.
"Ini namanya keterlaluan!"
Wajah Martin tiba?tiba memerah.
"Tidakkah mereka tahu, tidak semua mahasiswa
Ureca itu komunis? Tidakkah mereka tahu, kita sebenarnya justru dimusuhi anak?anak CG? Temanteman kita diskors. Kalau Civic tidak lulus, diancam
tidak naik. Belum cukup sengsarakah hidup kita dengan masa study yang tidak menentu? Apakah pembakaran ini karena Ureca isinya orang?orang tertentu
melulu???!l!"
Martin menatap Monik dan gadis itu belum pernah
melihat mata yang tenang itu demikian berapi-api.
"Martin!" serunya tanpa sadar, melihat kedua mata
laki?laki itu kembali berlinang.
Kali ini Monik betul?betul menangis. Tersedu
sedan. Bahunya bergoyang?goyang. Martin memandanginya sambil berkali?kali menelan liur dan menggigit bibir. Air matanya sendiri masuk ke dalam hidung dan dibersitnya dengan saputangannya. Perlahan1ahan dikuasainya dirinya lalu bangkit dari kursi dan
berlutut dekat Monik. Ditepuk-tepuknya bahu gadis
itu tanpa berkata?kata. Baru beberapa lama kemudian,
208 tangis itu berhenti. Monik membersit hidungnya dan
membereskan rambutnya dengan jari?jarinya.
"Maafkan aku. Aku malu."
"Tidak. Engkau memang harus menangis. Ini baru
permulaan."
Monik memandang dengan mata penuh kengerian.
Martin menggeleng.
"Sebaiknya untuk sementara, engkau berdiam di
rumah bibimu, itu lebih aman. Mereka mungkin akan
menggeledah semua tempat anak-anak Res Publica.
Dan tidak ada yang tahu, apa yang mungkin terjadi."
"Oh, aku tidak akan diapa?apakan. Aku punya kartu anggota PMKRl. Dan aku mempunyai surat permandian. Aku aman di sini."
"Engkau harus menyingkir!" nada suaranya memerintah.
Monik memaksa diri tertawa sebentar.
"Mengapa cemas? Bukankah Steve dekat rumahnya?
Kalau dia sendiri merasa aman di rumah, mengapa
aku tidak?"
"Apakah dia ada di rumahnya?"
"Martin, manis. Dengarlah. Nanti tentu Steve akan
kemari. Kalau dia juga bilang aku harus ke Kota, aku
akan pergi. Oke?"
Martin berdiri dan bersandar ke jendela, memperhatikan rumah surga di seberang atau mungkin langit
yang indah di atas. Serasa seabad kemudian baru dia
membuka mulutnya.
"Apakah Steve itu orang penting?"
Monik cuma dapat melihat punggungnya, namun
dapat dibayangkannya mata itu.
209 "Cemburu?" tanyanya tertawa.
Martin tidak menjawab. Dia tidak pernah menjawab pertanyaan itu.
"Tidak. Dia tidak lebih penting dari engkau,
Martin."
Sore itu Steve tidak datang. Monik menunggu di
muka jendela. Sudah mandi dan berhias. Tapi tidak
ada sebuah motor pun yang berhenti. Burung-burung
sudah terbang kembali ke sarang. Titik-titik hitam mereka menyerupai motif kain dari koperasi: biru telur
asin dasarnya dengan gambar-gambar hitam yang menyerupai burung terbang. Bulan muda yang pucat sudah muncul, seperti gadis bangun sakit yang muncul
untuk pertama kali. Dia tahu, sebentar lagi kubah raksasa itu akan diliputi selimut hangat yang lembut
warna biru keungu?unguan. Dan setiap rumah akan
memasang lampu. Ke mana Steve?
Dati luar didengarnya suara jip dinas Oom. Sudah
setengah enam. Betulkah dia tidak datang hari ini? Justru pada saat genting ini? Apakah dia melukai perasaan
Martin? Monik menghela napas. Burung?burung sudah
berkurang. Tinggal satu?dua. Berteriak-teriak memanggil temannya. Kalau dia melangkah ke jalan, dia akan
melihatnya lagi: kayu?kayu yang hangus. Genteng?genteng yang hancur. Kursi?kursi yang rusak.
Bagaimana dengan kompleks Barat? Apakah gedung-gedung Teknik juga musnah? Mereka tengah
mengerjakan sendiri gedung mereka. Beton-beton itu
menjulang tinggi. Sungguh menyenangkan untuk memandang besi?besi itu sebab mereka adalah harapan.
Apakah kompleks itu juga rata dengan tanah?
210 Pintu kamar sebelah dalam diketuk orang. Ketukannya kecil-kecil. Mungkin Ahmad. Monik segera membukanya.
"I?lai, Bob," katanya memaksa tersenyum.
Dari dalam terdengar teriakan Oom Kos.
"Mana anak?anak? Mana mereka? Diana mana?
Monik?"
"Ada apa, Bob?"
"Tante dipanggil sama Ayah."
Monik mengikuti anak itu tanpa bertanya apa-apa.
Oom dan Tante tengah asyik berbicara di meja makan. Melihat Monik, Oom bangun sambil memukul
meja.
"Monik, mereka membakarnya. Semua."
"Teknik juga?"
"Teknik juga."
Tante memberikan koran petang itu. Monik melihat
gambar itu dan air matanya kembali mau meleleh.
Cepat-cepat dilawannya dirinya. Cuma sebuah berita
kecil. Koran mengatakan, pembakaran itu dilakukan
oleh para mahasiswa Res Publica sendiri yang merupakan antek?antek G?30-S. ltulah pertama kalinya
Monik membaca dalam koran bahwa suatu perbuatan
teror yang mengganggu keamanan penduduk. pasti
dilakukan antek-antek G-30?S. Koran bilang apa saja.
"oh selembar harganya cuma sepuluh perak, gumam
Oom. "Kau harus menyingkir dari Grogol, Monik. Mereka akan menggeledah daerah ini."
Monik merapikan koran itu seakan?akan gambar
yang dilihatnya masih belum jelas.
211 "Di mana yang lain?"
"Kau linglung.)" tegur Tante. "Kan Ella sudah pulang seminggu yang lalu? Dan Diana kemarin dijemput abangnya?"
"Monik, kau harus pergi ke rumah bibimu. Oom
antarkan sekarang. Lekas!"
"Apakah itu sungguh perlu?"
"Monik! Ini untuk keselamatanmu. Apakah kausangka Oom takut ketumpangan engkau? Monik mengira, Oom mengusir? Oom tahu, Monik setiap Minggu ke gereja. Monik Katolik. Oom Islam. Monik berpuasa, Oom juga. Tapi mereka mana mau mengerti?
Tionghoa? Kuning? Res Publica? Angkut dulu, bicara
belakangan. Dan apa yang akan kaualami dalam tahanan? Engkau! Gadis! Cuma Tuhan yang tahu. Dan
Oom sendiri: melindungi mahasiswa Res Publica? Angkut, kalau membangkang: der... der der... ada perkara, urusan nanti. Mereka takut kaum Merah akan
menyusup dan membangun kembali kekuatan. Siapa
yang dapat menyalahkan mereka? Ayo, turutlah nasihat Oom. Pergilah dari sini."
"Betul, Monik. Pergilah. Buku?bukumu akan Tante
simpan di dalam. Kamarmu akan Tante kosongkan
tapi tidak akan Tante berikan kepada siapa-siapa. Kalau sudah tiba waktunya, engkau boleh kembali lagi.
Diana dan Ella akan Tante terima juga bila mereka
kembali."
Monik memandang kedua orang itu berganti-ganti.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi saya mau ke tempat teman saya dulu. Dekat persimpangan."
"Jangan lama?lama. Mamad, coba temani Tante."
212 Rumah Steve termasuk bangunan modern. Mungil
dengan pekarangan yang cukup luas. Catnya serbaputih. Di halaman terdapat sebuah lampu natrium.
Rumahnya cukup menyenangkan dari luar. Monik belum pernah masuk ke dalam. Pintu pagar dibukanya
dengan hati-hati sebab di situ ada peringatan awas
anjing. Pintu muka terbuka. Di sebelah dalam terdapat pintu kawat nyamuk. Lampu?lampu di dalam
sudah menyala. Ketika Monik menekan bel, berlarianlah dua anak laki?laki sambil berteriak?teriak: siapa?
Siapa? Monik tersenyum. Anak?anak itu serupa dengan
Steve.
"Siapa?"
"Saya teman Steve," kata Monik tersenyum. "Ada
urusan penting. Dia ada?"
"Masuklah, Kak."
"Mamiiii," teriak yang kedua, "ada teman Steve!"
Monik duduk sambil memeluk Ahmad. Ruang itu
seakan-akan dihiasi dengan tergesa-gesa. Di mukanya
bergantungan dua buah kalender. Pada dinding sarnping terdapat dua buah gambar pemandangan yang
digunting dari kalender Jepang. Di ruang tengah terlihat sebuah lukisan pemandangan dengan warna-warna merah menyala. 1%", setiap orang mempunyai cita
rasa sendiri, pikir Monik, meskipun dia lebih suka
kalau kedua gambar pemandangan itu diangkat saja.
Tempatnya di dalam kamar, bukan dalam ruang


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tamu.
Seorang wanita muncul tergesa?gesa. Wajahnya ramah dan murah hati, sesuai dengan kemurahan hati
alam yang telah memberinya badan yang gemuk dan
213 bagus. Monik teringat, dia pernah berdusta pada bibinya, mengatakan ibu Steve kena serangan jantung lagi
dan sebab itu Steve tidak jadi datang. Dia tersenyum
dalam hati. Memang berbakat penyakit jantung.
"Oh, maaf. Tante tengah memasak."
"Merepotkan, Tante?"
"Tidak sama sekali. Sudah selesai," tertawanya cerah
dan menarik.
Wanita itu duduk di mukanya. Monik melihat dasternya kehilangan sebuah kancing.
"Saya teman sekelas Steve."
"Ya," kata nyonya rumah mengangguk?angguk, "ada
berita apa? Nanti Tante sampaikan."
"Dia... dia belum pulang?"
"Tadi pagi dia pergi. Katanya mau menjaga sekolah.
Dibakar, ya? Habis? Aduh. Aduh. Tante ngeri betul.
Seharian tadi anak?anak Tante larang ke luar. Tidak
ada yang ke sekolah. Ah, lantas bagaimana nasib kalian?"
"Entahlah, Tante. Kalau Steve tidak ada, saya permisi saja," kata Monik sambil bangkit cepat-cepat,
khawatir air matanya akan tumpah lagi.
"Ya, dia belum pulang sejak tadi. Sebenarnya ada
apa?"
"Ah, tidak apa?apa. Saya cuma mau memberitahukan supaya dia menyingkir. Mungkin daerah ini akan
digeledah. Buku-bukunya lebih baik disembunyikan."
"Oh," perempuan itu menutup mulutnya dengan
telapak tangan.
"Saya juga akan menyingkir ke rumah Bibi."
"Oh."
214 "Permisi, Tante."
"Ya, ya. I'Iati-hati di jalan. Ini anak siapa?"
"Anak Tante Kos."
*** Dua hari kemudian diadakan pertemuan di aula SD
St. Ursula antara anggota-anggota PMKRI. Dibicarakan situasi masa itu, antara lain persoalan gedung
Universitas yang telah menjadi puing. Para pemimpin
mahasiswa berjanji akan mengurus masalah itu sebaik
mungkin namun dengan cukup hati?hati. Karena dalam hal ini masyarakat amat peka. Diperkirakan, enam
bulan terpaksa lewat sebelum kegiatan universiter hidup kembali.
Untuk para mahasiswa akan diadakan pendaftaran
kembali. Yang tidak termasuk perkumpulan?perkumpulan mahasiswa seperti PMKRI, GMKl, HMl, dan
lain-lain diharuskan memperoleh dua tanda tangan
dari rekan?rekan dengan perkumpulan yang berbeda.
Anggota CG sudah jelas takkan berani ikut mendaftar.
Tapi anggota Perhimi juga tidak boleh masuk sekolah
lagi.
Selain perkumpulan mahasiswa, juga para sarjana
kena. Mereka yang menjadi anggota I-IIS tidak diperbolehkan mengajar lagi. Universitas Kartini pimpinan
Nyonya Subandrio dibubarkan dan sebagian mahasiswanya ditampung oleh FK-UI. Universitas itu khusus
putri.
Para anggota PMKRI diperingatkan betul-betul supaya jangan menjamin orang?orang yang tidak jelas
215 kedudukannya. Sebab bila ternyata orang itu tersangkut G?30-S, maka orang yang memberikan tanda tangannya akan ikut tersangkut. Pokoknya kuliah?kuliah
dan wejangan-wejangan itu cukup membuat hati kecut
dan orang hidup dalam suasana takut, saling mencurigai kiri?kanan.
Di mana?mana terbaca eorat-coret. Di tembok. Di
mobil. Seperti dulu, setiap kali susah beras, para
demonstran muncul di jalan minta beras, minta beras,
dan mobil-mobil penuh dengan kapur dan cat. Sekarang juga mereka mempergunakan arang atau cat.
Ganyang PKI. Gantung Aidit. Tembak JMD. ]MD
adalah Jusuf Muda Dalam, salah seorang menteri zaman Orla. Tangkap Subandrio. Hancurkan Orla. Kadang-kadang tulisan-tulisan itu cukup menyeramkan
juga. Dan berkaleng?kaleng cat disumbangkan oleh
pedagang?pedagang cat.
Seminggu setelah kebakaran itu, Inge datang ke rumah bibi Monik.
"I?Iei, kok tahu kemari?"
"Tanya di tempat kos kemarin sore. Sudah pernah
meninjau ke sana?"
"Belum. Kenapa?"
"Sekarang?"
"Boleh. Belum ketemu anak-anak?"
"Ketemu Steve. Katanya, pemerintah Belanda akan
membantu membangun kembali sekolah kita. Sekarang
sedang dipanggil ahli-ahli untuk menaksir apakah sisasisa tembok masih cukup kuat atau perlu dibongkar
sama sekali."
Monik asyik memikirkan Steve sehingga perkataan
216 temannya tidak diperhatikannya. Kata Inge, "Aku
heran, Steve tampaknya menjadi orang penting sekarang. Tahu segala."
Ada beberapa orang di sana. Seperti mereka, juga
mau melihat-lihat. Entah apa yang menarik perhatiannya: arang hitam melulu.
Mereka berdua masuk. Tembok-tembok hangus terkelupas. Langit?langit bocor dan hitam. Memang beberapa hari yang lalu turun hujan. Berdiri bulu roma
melihat kulit tembok yang pecah-pecah itu, mirip penyakit kulit yang kronis. Tangga sudah kehilangan
pegangannya. Bergetar ketika diinjak sehingga mereka
serentak turun kembali. Seorang mahasiswa Teknik
yang kebetulan tengah meninjau bersama rombongannya, tersenyum meyakinkan.
"Sudah dites. Masih cukup kuat. Naiklah."
Mereka mengucapkan terima kasih dan naik kernbali. Di loteng, sudah tidak ada atap sama sekali. Pada
bangunan samping, masih terlihat sisa-sisa kasur terbakar.
"Entah di mana anak-anak CG dari daerah-daerah
itu."
"Kabarnya, ada satu mahasiswa tewas waktu kebakaran. Dan dua diculik."
"Tata usaha habis terbakar. Bagaimana dengan ijazah SMA-ku?" tanya Inge.
"Engkau tidak mengambilnya ketika mereka membagikannya? Tanggal satu Oktober itu?"
"Tiidaak," bisik Inge hampir menangis. "Habislah
ijazah satu?satunya yang aku miliki."
"Belum tentu. Mungkin dibawa anak?anak."
217 Mereka pergi ke ruang kuliah dan kamar praktikum. Bangku-bangku habis. Terbakar atau rusak, seakan?akan telah terjadi pertempuran dahsyat di mana
kursi-kursi terbang ke sana kemari. Di ruang kimia,
beratus?ratus tabung meleleh di lantai. Beberapa anak
tingkat dua tengah memunguti yang masih utuh.
Monik membungkuk. Terharu hatinya melihat sebuah
tabung Jena yang bertahan terhadap api, seakan?akan
tahu, dia masih sangat dibutuhkan para mahasiswa
yang selain memikirkan tabung?tabung, juga harus
mengumpulkan banyak uang membangun kembali
hari depannya.
Monik memberikan benda itu pada seorang anak
yang segera mendaftarnya. Setiap jenis alat, sekecil apa
pun, adalah amat berharga. Masih ada beberapa Erlenmeyer yang cuma miring sedikit mulutnya, entah
masih berguna atau tidak. Tapi didaftar.
Monik memandangi semua itu dengan sedih.
Mengapa harus dibakar? Mengapa tidak diambil alih
saja? Bukankah alat?alat yang tidak bersalah itu akan
berguna bagi siapa saja yang mau mempergunakannya.
Namun kemudian hari dia tahu, alat-alat yang diambil
alih pun menjadi rusak binasa karena tidak ada kemauan untuk memakai dan memeliharanya.
"Berapa harganya semua ini?"
Anak pendaftar itu menggigit pensilnya lalu menggelengkan kepala. Tiba-tiba Monik ingat sesuatu.
"Di mana mikroskop? Tiga puluh mikroskop bukan
jumlah kecil."
"Semuanya selamat," kata seseorang di sampingnya.
218 Monik menoleh.
"Steve!" serunya kegirangan, kemudian cepat-cepat
mengendalikan diri ketika dilihatnya Martin di belakang mereka, tengah berjongkok, asyik menyortir tabung?tabung dan pipet.
"Betulkah mikroskop-mikroskop itu tidak terbakar?
Oh. Dan... ke mana saja kau?"
"Satu-satu bertanya. ]auh?jauh hari, anak?anak sudah
diperintahkan membawa pulang mikroskop-mikroskop
itu dengan didaftar tentunya. Cuma sayang, buku?buku
perpustakaan."
"Dan ijazah?ijazah?"
"Engkau belum mengambil ijazah SMA?mu?" tanya
Steve kaget.
"Bukan aku. Inge."
"Semuanya... habis."
"Dari mana saja kau? Mengapa hari itu tidak pulang? Sudah jadi orang penting?"
"Bukan begitu. Aku betul-betul sibuk. Anak perempuan, enak. Boleh diam di rumah. Kita kan mesti
kerja. Ke sana kemari. Kau mau dengar ceritaku hari
itu? Kan aku giliran jaga, nah, waktu kita diserbu...
kata Martin, kau menyaksikannya sendiri... jadi tidak
usah aku ceritakan... nah, setelah gedung ini terbakar,
kita semua lari ke belakang. Ke Tawakal. Salah seorang
anak tingkat tiga menyewa sebuah rumah kecil di situ.
Kita bertiga masuk ke bawah ranjang. Fedi yang tidak
pernah sembahyang, tiba?tiba ingat masih ada Tuhan.
Dia bisa menyebut?nyebut Mazmur segala, maklum
ayahnya pendeta. Baru lega sedikit, pintu digedor. Terpaksa dibuka oleh yang punya rumah. Masuk tentara.
219 Menggeledah. Tidak ada tanda?tanda mencurigakan.
Siapa yang punya rumah? Saya, Pak. Rumah ini mau
disegel. Ayo keluar. Yang punya rumah tergesa?gesa
menyambar kemejanya. Dia cuma memakai kaus kutang, sebab tadi udara panas betul. Sampai di luar, dia
rupanya baru sadar. Baju?baju saya masih di dalam,
Pak. Ambil nanti!! Dan pintu disegel. Kita disuruh
pergi lekas?lekas. Bajuku, gumam anak itu. Masih untung tidak ditahan, bentak petugas. Dari situ kami
pergi ke rumah pendeta, juga anak tingkat tiga. Bermalam di sana."
Ketika cerita yang penuh semangat itu selesai,
Martin masih berjongkok. Inge sejak tadi ikut membantu. Melihat mereka, asyik ngomong?ngomong sambil memperlihatkan tabung pilihan masing?masing,
Monik merasa tidak enak hati. Suatu perasaan melanda
dirinya. Meskipun cuma sekejap, perasaan tidak enak
itu menggelisahkannya. Dia tidak tahu mengapa.
Steve bergegas ke pintu setelah melihat arlojinya.
"Eh, mau ke mana?" tanya Monik.
"Sebentar ada orang dari Kedutaan Belanda mau
meninjau. Aku sebagai wakil mahasiswa...."
"Orang penting, ya?" Dan Monik tiba?tiba ingat,
dia pernah mendengar seseorang berkata begitu, entah
di mana. Monik memandang punggung Steve dan
tiba?tiba sadar bahwa Steve tidak sedikit pun tampak
sedih melihat keadaan universitas mereka. Dia sibuk
dengan kedudukannya yang baru.
Martin dan Inge datang mendaftarkan hasil pilihan
mereka.
"Lumayan, bukan?" kata Martin.
220 "Bolehlah. Daripada membeli lagi. Tabung ini di
Franital harganya delapan ratus."
"Kalau mereka cerdik, seharusnya mereka dinamit
gedung ini. Maka Res Publica tidak akan dibangun
lagi. Dan aku boleh melukis, tidak usah jadi dokter."
Semuanya tertawa mendengar tukang pendaftar
itu. "Mengapa waktu diplonco, engkau tidak melukis
aku?" tanya Inge. "Kok lolos?"
"Itu sih... kemauan!"
221 VIII ADA tanggal 19 November, Monik bersama Inge,
Anita, dan Tina pergi mendaftar kembali pada
Caretaker mahasiswa Res Publica yang kini berganti
nama menjadi Trisakti. Universitas Trisakti. Usakti.
Mula?mula Universitas Baperki. Badan Perwakilan Kewarganegaraan Indonesia. Lalu diubah menjadi Universitas Res Publica. Untuk Rakyat. Akhirnya: Usakti.
Semua mengharapkan supaya Usakti hidup selamalamanya dan tidak usah berganti nama lagi. Semoga
dia toh tetap akan menjadi Harvard Indonesia dan
menjadi simbol supremasi di bidang ilmiah yang mampu dicapai bangsa Indonesia.
Segera diadakan sayembara melukis emblem Usakti,
yang dimenangi oleh seorang anak Teknik. Berkaki
tiga: Trisakti, hadiah nama dari Presiden Soekarno.
Berlengan lima: lima fakultas?Hukum, Ekonomi,
Teknik, Kedokteran Gigi, dan Kedokteran. Fakultas
222 E-Booh by syauqy_arr
Sastra Res Publica dihapuskan dan mahasiswanya ditampung oleh Sastra UI atau kawin.
Untuk sementara, belum ada rektor. Tapi dibentuk
Presidium Yayasan Trisakti di mana duduk Drs. Ferry
Sonneville, jago bulutangkis kita yang amat simpatik,
serta Drs. Siswaji dari Kepolisian.
Perbedaan lain dari Res Publica: calon?calon mahasiswa harus membayar tinggi untuk masuk dan uang
kuliah bukan main?main beratnya. Sebab Trisakti adalah self?stmggle, self?mczde. Tidak ada dermawan?dermawan di seluruh Indonesia yang menghidupinya, seperti dulu dengan Res Publica. Perubahan ini terasa
sekali, terutama bagi mahasiswa senior yang dulu biasa
membayar murah dan masuk tanpa sepeser pun uang
sumbangan.
Pendaftaran dilakukan di kompleks Teknik. Martin
harus mendapat dua buah tanda tangan. Bersama si
Gendut, mereka pergi ke rumah Steve untuk meminta
tanda tangan.
"Steve masih tidur. Sebenarnya, baru tidur," kata
ibunya.
"Kalau begitu, permisi saja, Tante."
"Oh, jangan. Nanti Tante bangunkan. Duduklah
sebentar."
Mereka menanti seperti pengemis. Lama, baru tuan
besar itu keluar sambil mengusap?usap rambutnya.
"Setan!" gerutunya. "Aku kira nona manis mana!
Kiranya kalian! Mengganggu aku tidur. Ada apa?"
Si Gendut mengulurkan formulirnya. Martin belum
mengeluarkan kertasnya dari saku.
"Ayo, tanda tangan, Steve!" bentak si Gendut sam
22?) bil tertawa. "Sekarang giliranmu. Dulu aku memberikan tanda tanganku ketika engkau diskors."
"Huh! Tanda tanganmu ternyata tidak laku, bukan?" Steve tertawa tanpa menyambuti kertas itu.
"Aku toh tetap diskors."
"Jangan main?main. Sudah siang. Aku harus lekaslekas mencari anak GMKI. Nanti dia sudah menjamin
orang lain. Kan satu orang cuma boleh menjamin dua
orang? Ayo, cepatlah!"
Steve memeluk tangannya kemudian memasukkannya ke dalam saku piamanya. Dia menghela napas.
"Begini," katanya menghela napas sekali lagi, "jangan salah paham. Bukan aku tidak mau menolong.
Tapi... namaku sudah tercantum sebagai... wakil FK
di Caretaker, dus aku tidak dapat sembarangan menjamin orang. Si Nus, sama?sama wakil FK juga, kena
peraturan serupa. Harus yang betul?betul pasti tidak
tersangkut...."
Muka Gendut tiba?tiba menjadi merah. Betul-betul
merah. Urat?urat lehernya menimbul semua, terlihat
berdenyut. Diawasinya Steve dengan muka tidak percaya. Martin dengan tenang mempelajari lukisan menyala yang ada di mukanya. Kalau toh dia terpengaruh
oleh kata?kara Steve, itu tidak diperlihatkannya. Seakan-akan dia tidak mendengar apa?apa.
"Sori, mek. Engkau mesti mencari anggota biasa


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tidak mempunyai jabatan apa?apa. Misalnya Leo
atau... tunggu... aku dengar Markus sudah ada di ]akarta. Mengapa tidak mencari dia?"
"Jadi engkau cuma dapat menjamin orang?orang
yang jelas tidak tersangkut, eh?"
224 "Betul."
"Seperti... anak?anak... PMKRI, begitu? Anak?anak
GMKI? HMI? Yang jelas?jelas dan sangat jelas tidak
tersangkut, bukan? Dan engkau berharap bahwa aku
TERSANGKUT? Supaya kursi kedokteran menjadi
milikmu semua? Hm. Sayang sekali, aku toh akan duduk juga di situ. Bersiap?siaplah untuk mendapat
saingan."
Martin melihat arloji lalu bangkit dengan malas.
"Belum selesai?" tanyanya pada Gendut, seakanakan dia sendiri cuma mengantar.
Steve masih berusaha tersenyum.
"Harap mengerti, mek. Aku tidak mempunyai maksud apa?apa, kecuali..."
"AW! Tutup mulut penjilatmu itu!"
"Ssst! Malu dengan ibunya," bisik Martin seraya
menariknya cepat?cepat.
Mereka pergi ke Teknik. Si Gendut segera berkeliaran mencari sponsor. Martin diam saja di bawah
sebatang pohon cemara. Pikirnya, dia akan mencari
Monik. Mungkin gadis itu belum menjamin siapasiapa.
"Tunggu di sini. Aku carikan kau tanda tangan."
Martin diam saja memperhatikan si Gendut menghilang di balik tumpukan puing. Waktu itu kira?kira
pukul sebelas. Matahari cukup panas. Tapi di bawah
pohon cemara itu teduh. Martin melipat?lipat kertas
formulirnya seperti murid taman kanak?kanak membuat pekerjaan tangan. Ah, seumur hidup dia tidak
pernah mengemis dan dia tidak akan mengemis. Pas
225 por dan visa sudah ada. Tinggal beli tiket. Sebenarnya
dia sudah senang dengan adanya G-30?S ini. Sebab
dia tidak usah lagi ke luar negeri. Ibunya juga senang,
tidak usah berpisah dengan anaknya. Cuma Robert
harus pergi juga. Sebab Leoni masih menunggunya.
Tapi Robert sedang asyik dengan KAMI-nya di Bandung. Dia belum mau pergi. Malah disuruhnya tunangannya kembali kemari. Keadaan memang akan
berubah. Tapi dia sama sekali tidak berniat mengemis,
meskipun akibatnya akan buruk baginya. Meskipun
karena itu dia tidak dapat diterima lagi di Usakti. Persetan jabatan dan orang?orang penting! Adakah di
dunia ini manusia yang dapat dinamakan teman sejati?
Teman dalam kesusahan?
Martin, ingatlah bahwa manusia itu pada hakikatnya baik hati, di mana pun engkau berada dan apa
pun yang terjadi, ingatlah. Ya, Papa.
"Hei!"
Martin sungguh?sungguh terkejut. Tiba?tiba saja
datangnya orang itu.
""Pagi?pagi melamun. Mana masih muda. Ha ha
ha...."
Rahman mengenakan sepatu tentara, celana khaki
cokelat yang penuh tanah merah, kaus oblong putih
yang masih baru, dan sehelai handuk kecil made in
RRC melengkapi dirinya. Martin ditinjunya untuk
menyadarkannya sama sekali.
"Engkau selalu tampak keheranan kalau melihat
aku. Kenapa? Heran bahwa aku selalu mengenali engkau? Heran? Bagaimana aku bisa lupa. Habis! Kau
begitu putih dan tampan. Jago basket, lagi. Gue jadi
226 suka ame lu. Hi... hi... hi... jadi ngelantur. Nanti kau
harus ikut jaga malam ya. Jaga di sini. Nah, kau dapat
melihat homo-homo sungguhan. Cantik?cantik lho.
Tapi banci... hi... hi... hi... ah, jadi ngobrol yang
enggak?enggak. Eh, omong?omong itu kertas formulir?
Kenapa belum diserahkan?"
Martin tertawa dan meninju Rahman.
"Tolol! Sudah tentu karena belum dapat tanda tangan!"
"Kenapa tidak bilang tadi?tadi? Monyet. Mari
sini."
Rahman merebut kertas itu dan mengeluarkan
bolpoin. Martin memperhatikannya. Tanda tangannya
ruwet dan panjang serta mendapat tekanan keras sehingga kertas itu hampir ditembusnya. Rahman Suryapranata. HMI.
Rahman menyeringai sambil melambai?lambaikan
kertas itu. Giginya yang putih?putih terlihat bagus sekali di atas mukanya yang persegi dan sawo matang.
Rahangnya menunjukkan kemauannya yang keras.
"Ayo, mari... aku punya sobat di PMKRI. Kalau
dia tidak mau tanda tangan, kita permak dia. Ha
ha... ha...."
Tiba-riba Martin tertawa juga sambil memeluk
bahu Rahman dan mereka jalan sambil bernyanyi?nyanyi. Anak?anak yang tengah kerja bakti mengangkat
puing?puing, melihat mandor mereka yang setengah
gila itu lalu berteriak?teriak menambah ramai suasana.
Seseorang menghadangnya dengan pacul.
"Gua laporin lu, enggak kerja!"
227 "Kepala udang! Di Rusia juga, mandor sih tidak
pernah kerja. Goblok!"
Anak PMKRI itu seorang anak Flores. Rambutnya
hitam berombak. Agaknya sudah berhari?hari tidak
mengenal sisir dan minyak sehingga terbaur?baur. Hidungnya mancung. Bibirnya ramah. Dia menyeringai
melihat Rahman lalu memandang Martin.
"Sibuk?"
"Lumayan," katanya sambil menyeka keringat dengan handuk made in RRC yang sudah tidak terlihat
warna asalnya. Dilemparnya sekopnya lalu menghampiri mereka. Rahman memperkenalkan keduanya.
"Rudolf," katanya seraya mencengkeram tangan
Martin.
"Valentino?" tanya Martin.
"Maunye!" ejek Rahman. "Cewek?cewek pada ogah
ame dia. Pelit sih. Potongan emang bagus. Sayang jahitan kurang."
Rudolf meninju perut Rahman. Martin dapat mengira-ngira sakitnya, sebab tangannya sendiri hampir
remuk tadi.
"Oke. Rud, tolonglah temanku ini. Kurang satu
tanda tangannya."
"Tanda tangan yang pertama dari... kau, tentunya?
Aku sudah duga. Bayar berapa, Martin? Dia sudah
menjamin sepuluh orang, masing?masing bayar ceceng.
Ce... ce... ce belon gue laporin, lu."
"Tutup mulutmu. Kaupikir, tanda tanganku begitu
murah? Hm, lu enggak tahu sih. Tadi ada cewek cakep, mohon?mohon tanda tangan. Barangkali gue
minta apa juga, dia berikan asal dapat tanda tangan.
228 Gua bilang, sori, lihat tampangmu saja baru hari ini.
Nein, iri) babe keine Zeit. Waduh. Nangis kali dia.
Ayo, cepatlah. Anak buah gua ude menggerutu terus
lihat mandornya jalan?jalan."
Rudolf memberikan tanda tangannya. Begitu saja.
Begitu mudah.
"Kalau ada apa-apa..." katanya.
"Aku tanggungannya," sambung Rahman cepat?cepat.
"Iya. Aku pegang batang lehermu. Biar sampai ke
ujung langit pun," kemudian dia tertawa lalu meninju
otot biseps Martin.
"Sudah tentu gue percaya lu, makanya gue mau
tanda tangan. Gue lihat tampang lu: ah, cukong tulen.
Pasti borjuis. Enggak mungkin masuk gestapu. Ha...
ha... ha...."
"Nah, gitu dong. Kamsia, mek," kata Rahman.
Rudolf menyeringai pada Martin.
"Eh, lu punya cewek?cewek di rumah, enggak?
Kapan?kapan gua datang, ya?"
"Banyak. Satu hitam. Satu cokelat?putih. Yang kakinya dua cuma satu. Kita lihat saja, Man, apa dia berani datang!"
Rudolf tertawa sambil menyebut?nyebut alamat
Martin.
Mereka berjalan kembali ke tempat tadi. Martin
melihat si Gendut tengah gelisah memandang kian
kemari. Di sebelahnya berdiri seorang mahasiswa Teknik, asyik merokok.
"Ayo, sampai ketemu. Sst, kalau mau jaga malam,
bilang padaku. Nanti aku atur... kita bisa sama?sama."
229 Martin memandang Rahman dan memandangnya.
"Katakanlah, mengapa engkau mau menjamin aku?
Kita baru bertemu dua kali."
"Oho... oho... antara teman, mengapa mesti omong
begitu? Dulu engkau menolong aku. Sekarang giliranku. well... karena... aku percaya padamu. Aku percaya
kejujuran hatimu. Mengapa dulu engkau mau membayar polisi itu untukku?"
Martin tertawa.
"Sebab aku percaya kejujuranmu. Aku percaya, engkau betul?betul harus menempuh ujian dan hampir
terlambat."
"Persoalannya bukanlah uang atau kedudukan atau
warna kulit atau agama. Persoalannya adalah apakah
hatimu baik? Berperikemanusiaankah kita?"
Gendut menyongsong temannya dengan hidung
kembang kempis. Ditariknya Martin menghampiri
mahasiswa Teknik itu dan diperkenalkannya.
"Teman main gundu di Sukabumi," katanya cengarcengir. "Ayo, mana formulirmu? Andreas anak GMKI.
Martin Katolik tapi dia benci PMKRI, sebab anggotaanggotanya sombong?sombong dan tengik?tengik. Ayo,
mana kertasmu?"
Martin pelan?pelan mengeluarkannya dan membuka
lipatannya.
"Aku sudah dapat. Satu dari HMI. Satu dari
PMKRI."
"Astaga! Dan aku sudah berkeliling sampai lutut
hampir putus!" gerutu Gendut.
"Tidak mengapa, bukan? Kau pasti masih dibutuhkan oleh banyak orang," kata Martin pada Andreas.
230 Ya, banyak orang yang tiba-tiba saja ditinggalkan
teman?temannya."
*** Anak?anak tingkat empat kedokteran yang sudah melalui screening, membentuk P3K. Kadang?kadang cuma
lecet sedikit, tapi anak?anak Teknik gemar mengunjungi P3K. Sebab keenakan, para penjaganya cuma
main Scrabble melulu sementara mereka memeras keringat melempar batu bata, mengaduk semen, menggali fondasi. Calon?ealon insinyur itu tengah membangun perumahan para dosen. Sederhana tapi chic.
Waktu tingkat satu, di kelas Monik ada lebih dari
dua ratus anak. Tingkat dua: mulai berkurang. Ada
yang pindah ke UI, yaitu anak?anak emas Dewi
Fortuna. Ada yang ke luar negeri. Ada yang keluar
begitu saja, mungkin kawin atau bekerja. Di tingkat
empat tinggal cuma empat puluhan. Setelah gestapugerakan september tiga puluh?tersisa ampas sebanyak
dua puluh orang.
Suatu ketika, Monik dan Inge pergi ke Pasar Baru.
Hari itu mereka tidak menjaga P3K. Mereka naik becak dari Grogol. Inge tidak mau naik kendaraan
umum. Becak atau mobil.
Di mana-mana ada corat?coret. Sedikit saja ada tembok putih, habislah. Toko. Rumah. Sekolah. Inilah
Ampera. Amanat penderitaan rakyat. Penuhi Tritura.
Tri tuntutan rakyat. Tegakkan Pancasila. junjung tinggi UUD empat lima. Turunkan Soekarno.
Semua sekolah Tionghoa diambil alih dan dijadikan
231 markas?markas peleton laskar Ampera Arif Rahman
Hakim.
Pasar Baru sudah mulai menunjukkan gairah baru,
meskipun belum semua toko penuh. Sinar Matahari
kelihatan kosong melompong dan kain Cina yang ditumpuk di belakang, sama sekali tidak menarik. Beberapa malah sudah kekuning?kuningan dan kotor,
sehingga orang menyangka, itu simpanan tiga tahun
yang lalu.
Inge membeli baby?doll untuk ulang tahun ayahnya.
"Size berapa?" tanya pelayan dengan loyo.
"Large."
"Eh," kata pelayan itu pada temannya, "apa betul
si Netty mau keluar?"
"Rasanya sih pasti. Habis, perutnya makin gendut
begitu. Kan malu."
"Tidak ada yang mau kawin dengan dia? O ya, size
berapa?" tanyanya seakan-akan baru melihat Inge pertama kali.
Inge membelalak padanya lalu keluar dari toko itu
tanpa berkata apa-apa. Mereka masuk toko lain. Di
sini pelayannya lebih ramah dan banyak senyum. Sementara Inge memilih?milih, Monik mengelilingi toko.
Pada sebuah sudut, dia melihat sebuah tutup kepala
yang bagus. Dibelinya untuk adik perempuannya.
Ketika mereka tengah melangkah keluar dari toko,
lewat seorang gadis. Bekas teman sekelas dari golongan
Merah. Mereka tersenyum. Gadis itu tersenyum. Tidak
ada yang membuka mulut. Memang tidak ada yang
perlu dibicarakan.
232 *** Pagi itu giliran Monik di P3K. Malam tadi turun hujan. Jadi tanah merah di kompleks Teknik itu agak
lengket. Anak?anak yang bekerja bakti sudah mulai
operasi. Ada beberapa kenalan baru di Teknik, anakanak yang sering pergi ke P3K untuk obat merah atau
secangkir teh.
"Hei, nanti aku mau pingsan. Kau tolong aku, ya?"
teriak seseorang.
"Tadi aku lecet, mengapa engkau belum datang,
Say? Saaayyy?? Aduh! jadi ingin menyekop pipimu."
Monik tersenyum sambil bergegas jalan. Memang
dia terlambat. Sudah hampir jam sembilan. Mana pemimpin hari ini Steve. Tidak peduli pacar, katanya,
kalau terlambat mesti dilaporkan. Apalagi kalau bolos.
Beberapa kali bolos berarti dapat hukuman dari Caretaker atau malah diskors atau paling ekstrem: dikeluarkan. Namun itu belum pernah terjadi.
Ketika dia tiba di muka pintu P3K yang terletak
jauh di belakang kompleks, sepatunya sudah bertambah dua sentimeter. Monik memandang berkeliling
lalu mengambil sebatang kayu kecil. Berganti-ganti
dibersihkannya tanah merah itu. Dari dalam terdengar
suara orang bersenda gurau. Asyik dan ramai sekali.
Monik tersenyum. Pasti si Gendut dan Anita, pikirnya
tanpa memperhatikan apa yang mereka katakan.
Sepatunya sudah bersih. Dilemparnya kayu itu.
Monik berindap?indap, bermaksud mengejutkan si
Anita, ketika tiba?tiba didengarnya suara lemah lembut, merdu, merayu.
233 "Steve... Steve... ah jangan...."
Suara mereka lenyap. Monik tertegun sejenak, namun segera sadar kembali. Dia undur beberapa langkah dan mengetukkan sepatunya keras?keras pada
batu?batu kerikil di situ. Lalu dia mendehem kuatkuat. Baru melangkah masuk. Di muka pintu dia
berhenti. Tok... tok... rok....
"Ahem... ahem..." Lalu dibukanya pintu sambil berseru riang, "Hai. Sori, aku terlambat. Ahern... ahem...
ah, rasanya aku mau batuk lagi. Asal jangan selesma."
Steve berdiri di pinggir jendela, memandang ke
arah luar. Inge tengah asyik main Serabble sendirian.
Tidak seorang pun menyambutnya. Monik meletakkan
tasnya lalu duduk di hadapan Inge.
"Boleh ikut?"
"Tentu saja," tapi Inge tidak mau memandangnya.
Kira?kira pukul sepuluh, terjadi kecelakaan antara
truk dan bemo. Truk tidak apa-apa. Tapi bemo terbalik dan ringsek. Tiga orang termasuk sopir mengalami cedera. Sopir terlempar dan tulang lengannya
keluar dari sendi. Sudah tentu sakit sekali. Seorang
penumpang pecah kulit kepalanya. Penumpang yang


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain cuma lecet-lecet. Anak-anak P3K dipanggil dari
belakang. Steve dan Monik berlarian setengah mati
sebab jarak yang harus ditempuh cukup panjang.
Steve memeriksa orang?orang itu sementara Monik
membubuhkan obat merah pada lecet?lecet.
"Bawa ke Sumber Waras," perintah Steve.
Seseorang menghentikan bemo yang lewat.
"Monik, kau antar mereka," lalu ditunjuknya seorang anak Teknik, "kau ikut!"
234 Mereka menantikan dokter di poliklinik. Sopir meringis?ringis menahan sakit. Sedang korban kedua
memejamkan matanya diam?diam. Perban di kepalanya
terus melebar merahnya. Harus dijahit.
Di muka sebuah kamar, seorang suster memanggil
nama-nama pasien. Rombongan terakhir.
"Habis," kata Suster sambil melihat kartu penghabisan di tangannya.
Seorang nyonya Tionghoa, berkain kebaya, datang
menghampiri Suster.
"Mengapa saya belum juga dipanggil? Saya datang
jam tujuh."
"Nama Nyonya?"
"Lim Rok Nio."
Suster membaca kartu-kartu itu satu per satu. Tidak
ada. Dia mengerutkan kening dan dibacanya kartu?kartu itu dari belakang ke depan.
"Tidak ada. Tunggu sebentar."
Dia masuk dan keluar dengan setumpuk kartu lagi.
Ditelitinya.
"Siapa?"
"Lim Rok Nio."
"Nyonya Lim Rok Nio?"
"Ya."
"Bagaimana tulisnya?"
"Tulisnya? Tulis nama saya? Kan di situ..."
"Ya. Tapi sepelnya. Huruf?hurufnya. Bagaimana?"
"Oh, tidak tahu. Saya tidak bisa membaca, tidak
bisa menulis."
"Umur?"
"Lima puluh delapan."
235 "Oh, ini tiga puluh. Lim Yok Nio."
"Bukan Yok. Rok."
"Tidak ada, Nyonya."
"Tapi... saya sudah beli karcis!"
"Mana?"
Wanita itu mengeluarkan kareisnya dari dompet.
"Nah, ini pakai nama baru sih."
"O ya, saya lupa. Nama baru...."
"Siapa nama barunya? Dewi apa?"
"Dewi apa ya? Saya lupa."
Wanita itu tersenyum malu.
"Saya lupa, Suster. ltu anak saya yang kasi. Katanya
bagus. Tapi saya lupa. Mestinya tadi saya bawa anak
saya. Dia selalu ingat."
Suster meneliti kembali kartu-kartu itu.
"Nah, ini dia. Dewi Lestari Candrakirana? Panjang
amat."
"Ya. Can itu nama suami saya. Indonesia?nya jadi
Candrakirana saja."
"Nyonya sudah dipanggil tadi-tadi. Nomor lima.
Ayo, masuk deh."
Wanita tua itu tersenyum malu.
"Habis saya belum begitu apal nama baru saya."
Monik tersenyum dalam hati. Dia ingat cerita Steve
tempo hari. Nenek?nenek bungkuk menghadap hakim
dibimbing oleh cucunya dan namanya Linda. Muka
Barat tidak ada. Sejak muda belum pernah pakai
gaun. Rambut selalu disanggul. Tapi namanya Linda.
Umur sudah hampir delapan puluh. Tidak perlu lagi
masuk universitas, tapi ganti nama juga. Nanti ketemu
236 orangtuanya di surga, pasti tidak diakui. Mereka bilang, tidak pernah punya anak namanya Linda!
Nyonya Lim Rok Nio alias Dewi Lestari Candrakirana sudah keluar lagi. Monik memandang nyonya
tua itu dan kembali tersenyum. Memang seharusnya
dia tidak perlu nama baru. Toh sudah hampir pikun
dan takkan teringat olehnya nama pemberian anaknya
itu. Menggelikan. Anak memberi nama pada orangtua.
Kapan anak melahirkan orangtua?
Teringat cerita Steve tentang nenek Linda itu, tibatiba Monik ingat kembali peristiwa tadi pagi. Inge
dan Steve. Mungkinkah? Memandang kain nyonya itu
berkibaran ketika lewat di mukanya, Monik kembali
bertanya?tanya dalam hati: mungkinkah? Mungkinkah?
Inge dan Steve? Steve? Mungkinkah dia begitu? Mengapa? Betulkah tadi? Mungkinkah?
Pintu terbuka. Seorang suster yang cantik mempersilakan mereka masuk.
*** Siang itu datang surat dari Robert. Untuk seisi rumah,
tertulis pada sampulnya. Simon sudah hendak merobek surat itu.
"Hei!" teriak Martin. "Siapa yang kasi permisi?"
"Untuk seisi rumah," kata anak itu membela diri.
"Jadi suruhlah Bimbo membukanya," kata ibunya.
"Berikan pada Martin!"
Anak itu memberikannya dengan segan. Martin
membukanya dan membacakan isinya. Alice dan ayah
237 nya belum pulang. Cuma ibu dan adik laki?lakinya
mendengarkan dia.
Halo semuanya,
Apa kabar Jakarta? Panas, ya? Di sini juga. Kemarin dulu sebuah sedan dibakar lagi di Braga.
Korban manusia sudah tidak terhitung. Ini Bung
Aidit punya gara?gara. Dia yang main golf, kita
jadi tukang angkut bola.
Sekolah?sekolah di sini tutup. Sekolah?sekolah
Tionghoa diambil alih. Menurut saya, yang betulbetul komunis hatinya tidak banyak. Yang lain itu
cuma ikut-ikutan pemimpin. Barangkali dijanjikan
beras murah, hidup lebih baik. Siapa tahu. Pokoknya, Martin, selama masih ada kemiskinan, sulit
memberantas pe?ka-i. Tapi ini bukan urusan kita.
Buka suara terlalu banyak tempo-tempo berbahaya
sekali.
Kabarnya gedung Konsul RRC dijadikan markas
besar KAMI? Bagaimana dengan gedung kedutaannya?
Dalam beberapa hari ini. KAMI Bandung akan
datang ke Jakarta untuk menggulingkan rezim
Soekarno. Saya akan ikut. Harap saja bisa pulang
ke rumah. Kalau begitu, saya akan bawa beberapa
teman. Tolong sediakan makanan tanpa babi. Se
kian dulu ya. Tidak banyak waktu.
"Ah, akhirnya dia pulang juga," gumam ibu Martin
sambil merenung.
238 Martin tersenyum melipat surat itu baik-baik untuk
dibaca ayahnya.
"Simon, bawa ini ke kamar Papa."
"Untunglah dia masih selamat," gumam wanita itu
lagi. "Eh, dia tidak hilang apa?apa tentang Leoni?"
"Tidak, Mama. Tentu dia terlalu sibuk. Kenapa
Mama begitu khawatir?"
"Kasihan Leoni. Mama harap mereka dapat kawin
selekasnya huru-hara ini berakhir."
"I-luru-hara, kata Mama? Tidakkah Mama mengerti?
Kita akan mulai dengan hidup baru. Kemerdekaan
bersuara. Kemerdekaan mengajar. Kemerdekaan hidup.
Ribut-ribut begini tidak lama. Kita pasti menang. Tentara di pihak mahasiswa. Di pihak rakyat. RPKAD...
Mama tahu itu, bukan? Ya, Baret Merah. Mereka mendukung kita. Tentara?tentara yang memeras dan menakut?nakuti rakyat, tidak ada lagi."
"Entahlah. Mama tidak mengerti semua itu. Mama
cuma tahu, anak Mama ikut-ikut bawa senapan. Kalau... kalau... ah, sudahlah."
Wanita itu bangkit lalu berjalan ke dalam taman.
Di sana dia duduk di atas bangku dekat gunung-gunungan yang tidak terkena sinar matahari lalu merenung. Tenang dan dalam. Awan?awan putih seakanakan menyapu atap rumah. Burung?burung bernyanyi
sebentar sebelum terbang kembali. Bunga?bunga yang
harum itu bergoyang?goyang terbuai angin sejuk, seakan?akan bersenda gurau dengan awan yang terus
bergerak sambil tertawa.
Wanita itu tidak melihat semuanya. Dia teringat
masa lalunya. Sebagai gadis tunggal dari seorang harta
239 wan, dia amat dimanjakan. Dua orang pelayan selalu
siap menerima perintahnya. Tapi dia tidak suka memerintah. Dia lebih suka bermain?main dengan mereka
atau pergi berjalan-jalan.
Dia teringat waktu itu: Hari Tahun Baru. Semalam
dia baru tidur setelah lewat jam dua belas. Matanya
sudah mengantuk tapi dia tidak diperbolehkan tidur.
Pukul setengah dua belas, semua lampu dalam rumah
dinyalakan. Kata neneknya, tepat jam dua belas akan
lewat dewa?dewa. Mereka akan memeriksa setiap rumah. Mereka membawa keberuntungan dan cuma
mau masuk ke dalam rumah yang terang dan hangat.
Tidak ke rumah yang sunyi di mana penghuni?penghuninya sudah tidur, tidak menyambut mereka.
Di samping itu ada sembahyang Tuhan Allah, untuk memohon berkat bagi tahun yang akan datang.
Anak gadis meminta jodoh. Menantu baru meminta
anak laki?laki. Juga dilakukan sembahyang terhadap
dewa dapur untuk mengucap terima kasih dan mohon
berkah. Di dapur terdapat sebuah altar kecil dari kayu
tempat memuja dewa dapur.
Tepat jam dua belas, dia menyalami nenek dan
orangtuanya, memberi Selamat Tahun Baru. Dia mendapat hadiah uang yang dibungkus dengan kertas
merah. Ibunya menyediakan amat banyak bungkusanbungkusan semacam itu untuk keponakan?keponakan
yang akan berkunjung dan untuk tukang?tukang barongsai dan trompet yang tidak henti-hentinya lewat.
Ayahnya sengaja mengundang barongsai itu untuk
mengusir para setan.
Suasana Malam Tahun Baru itu amat ramai. Anak
240 anak melempar?lempar kembang api. Biarpun dia sudah delapan belas, dia masih suka dengan kembang
api. Dari loteng, dilempar?lemparnya benda itu dan
pelayannya melompat-lompat kegirangan. Seperti kunang?kunang, katanya. Sayang, pelayannya yang seorang lagi selalu pulang menjelang Tahun Baru untuk
merayakannya di rumahnya sendiri.
Pagi hari itu. Ah, pagi yang indah itu. Tahun Baru.
jam enam dia sudah siap dengan baju baru dan perhiasan?perhiasan yang diberikan orangtuanya pada hari
ulang tahunnya yang lalu. Dia mengatur meja dengan
segala macam kue?kue dalam stoples. Dia menyambut
anak?anak tetangga dan memberi mereka hadiah uang.
Sungguh gembira pagi itu. Bahkan sekarang pun masih dirasakannya senyum manis anak?anak tetangga.
Entah di mana mereka kini.
Kira?kira pukul sepuluh: ah, datanglah dia. Untuk
pertama kali dilihatnya. Untuk pertama kali dalam
hidupnya. Pemuda itu datang bersama kedua orangtuanya. Mereka, orang tua?tua, asyik ngobrol. Dia cuma
diperbolehkan mengucapkan selamat sebentar lalu diharuskan masuk lagi. Dia duduk di atas loteng, menantikan tamu-tamu itu pulang, supaya dapat melihatnya untuk terakhir kali. Ah, dia tidak menengok ke
Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet Dara Getting Married Karya Citra Rizcha Maya Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria

Cari Blog Ini