Ceritasilat Novel Online

Gema Sebuah Hati 4

Gema Sebuah Hati Karya Marga T Bagian 4


atas. Tentu saja dia tidak tahu, di atas ada orang menantikannya. Atau... dia sudah terikat barangkali? Betapa sakitnya pikiran itu terasa olehnya.
Sebulan lewat. Dua bulan. Tiga bulan. Ah, dia
betul?betul putus harapan. Takkan dilihatnya lagi pemuda itu seumur hidupnya. Dia terpaksa harus melupakannya saja, meskipun sulit sekali. Sebentar lagi
241 tentu akan ada orang lain yang melamarnya. Ah, dia
merasa amat sedih. Namun tidak dapat berbuat apaapa.
Beberapa bulan kemudian, betul saja dia dilamar.
Ibunya menanyakan pendapatnya. Tapi bagaimana dia
dapat mengeluarkan pendapat, padahal melihat orang
itu pun belum pernah. Ibunya mengatakan bahwa calon suaminya itu cukup terpelajar, berpendidikan Belanda, dan tahu sopan santun. Pendeknya, gambaran
yang diberikan oleh ibunya itu cukup mengesankan.
Namun dia tidak merasa gembira. Masih selalu terkenang?kenang olehnya wajah pemuda itu. Untuk
menanyakan siapa laki-laki itu, tentu memalukan.
Tiada jalan lain. Menikahlah dia. Ayahnya bahkan tidak menanyakan sama sekali pendapatnya.
Menikahlah dia. Pukul lima pagi, upacara di rumahnya sudah dimulai. Dia memakai jubah merah dengan
sulaman?sulaman. Mukanya dipoles tebal-tebal sehingga menyerupai topeng. Orang-orang mengatakannya
cantik. Dia tidak mau melihat wajah topeng itu dalam
cermin. Dan dia berusaha tidak menangis, supaya tidak merusak dandanan mukanya yang membuatnya
harus duduk berjam-jam. Lalu dia disuruh duduk di
kursi, di atas tampah besar. Seseorang mengucapkan
doa puji?pujian. Lalu makan dua belas mangkuk. Dia
hampir muntah disuapi seperti anak kecil. Lalu hari
terang. Datanglah pengantin laki-laki. Orkes berbunyi.
Payung dikembangkan. Beras ditabur. Dia menunduk
saja. Tidak sudi memandangnya. Kembang goyang di
atas kepalanya terasa amat berat. Kemudian seseorang
menyuruhnya mengangkat muka. Mereka dipotret.
242 Lalu dia minta diri pada orangtuanya untuk pergi ke
rumahnya yang baru dan mengucapkan terima kasih
atas perawatan mereka. Kedua pelayannya menangis.
Dia tidak membawa mereka.
Barulah di dalam mobil, dia menoleh ketika pengantin laki-laki memegang tangannya dan memanggil
namanya. Dia menoleh. Oh, Tuhan memang murah
hati. Itulah dia. Itulah orangnya. Pemuda itu. Di sampingnya untuk selama?lamanya.
Wanita itu menyeka matanya. Betapa bahagianya
dia. Suaminya mencintainya. Sama sekali tidak kolot.
Mengajarnya bahasa Belanda. Mengajaknya ke bioskop
setiap minggu. Dan ketika anak mereka lahir, dua sekaligus! Betapa bahagianya. Dia selalu bahagia. Dan
berharap semoga anak?anaknya semua seperti dia: selalu bahagia.
Bel pintu berdering. Wanita itu menyeka matanya
sekali lagi lalu bangkit, dengan senyum terkulum. Seorang pelayan berlari dari dalam.
"Tuan pulang," katanya.
"Biarlah saya yang membuka pintu."
*** Malam itu Martin sudah berjanji dengan Rahman untuk jaga malam. Gendut diajaknya. Meskipun tinggal
puing melulu, rupanya tangan jail tidak mau diam.
Buku-buku perpustakaan banyak yang kabur ke tukang loak. Sepeda hilang. Semen Asano terbang. Jadi
jaga malam oleh mahasiswa amat perlu.
Seperti anak?anak lain, Martin memakai celana khaki
243 biru, jaket hijau tua, syal ibunya. Di kantongnya
terdapat sebungkus rokok dan sekotak geretan. Rokok
itu pasti tidak cukup, tapi di ujung jembatan ada yang
jual. Pakaian gelap-gelap itu bukan tidak disengaja.
"Kalau mereka mengejar," kata Rahman, "kita mudah bersembunyi dengan baju-baju begini. Dan ingat:
sandal karet supaya tidak berbunyi."
Sandal jepangnya sudah putus minggu lalu. Jadi
Martin memakai sandal baru.
Malam itu gelap. Cuma satu-dua bintang berkelapkelip kesepian. Bintang salib tidak ada. Bulan tidak
ada. Seakan?akan sebuah selimut tebal menutupi seluruh alam semesta.
"Mau hujan," kata seseorang.
"Mana mungkin. Angin cukup kencang."
"Tapi angin ini dingin. Membawa hujan."
Rahman mengecek arlojinya lalu mengatakan: waktu berangkat. Pada teman-temannya dimintanya supaya jangan ke mana?mana, dia mau mencari martabak. Mereka bertiga. Gendut. Rahman. Martin. Dari
kompleks Barat mereka menuju ke kompleks Timur.
"Nanti, lari sedikit kencang," kata Rahman menyikut perut Gendut. "Kalau sandal terlepas, jangan berhenti. Maut namanya kalau tertangkap mereka."
"Oh, aku mengerti. Jangan pandang enteng. Biar
gendut, bisa lari."
"Bagus."
Mereka merokok dan terus mengobrol-obrol sampai
tiba di jembatan kompleks Timur.
"Hai," seru yang menjaganya, "di sana beres?"
"Beres. Mau cari angin sebentar."
244 Terdengar seseorang tertawa, mengerti.
"Jangan lupa: lari kemari. Kami akan pasang penghalang di tengah?tengah. Kalian lewat pinggir."
"Kunyuk, lu," gerutu Rahman. "Rupanya di situ
ahli juga, ya?!"
Mereka berjalan terus. Sampai di Jembatan Sumber
Wiras, di mana cahaya lampu terang benderang, mereka berdiri pasang aksi. Rahman pura-pura mendekati
tukang roti sambil melirik kian kemari. Ada dua
orang. Tinggi dan langsing. Paling sedikit masing?masing enam puluh kilo. Rahman sudah mendehemdehem untuk menarik perhatian. Salah seorang menoleh. Seperti diduga, Martin merupakan sasaran pertama.
"Mas, selamat malam."
Rahman hampir mengikik melihat Martin mengerut
karena ngeri. Rahman mendekati teman-temannya.
Dia jual lagak. Kedua tangan masuk kantong lalu memandang wadam itu dengan sikap menantang. Si jelita
tersenyum.
"Sini dong," rayunya.
"Situ kemari," kata Rahman.
"Sini... sini..." seru Gendut, tiba-tiba berani.
Kedua bidadari itu mendekat pelan, lemah gemulai.
Cahaya lampu membuat wajah mereka terlihat jelas.
Martin menggigil, sementara Rahman mengumpat.
Muka-muka itu amat mirip dengan wajah dara-dara
manis. Hampir tidak dapat dipercaya bahwa keduanya
sama dengan mereka.
Mereka mendekat. Martin menggeser lebih jauh.
Mereka mendekat. Tersenyum. Genitnya bukan main.
245 Mereka lebih mendekat lalu... semuanya terjadi dalam
sekejap mata. Yang seorang menghadapi Martin.
"Oom," seru Rahman dari belakang dan menarik
sanggulnya lalu pergi. Pada saat yang bersamaan, si
Gendut meraba buah dada bidadarinya dan lari. Mereka lari bertiga, dikejar, dimaki-maki, disumpahi.
"Aduh. .. aduh. . . ."
"Bajingan! Awas! Aku bunuh kau. Setan. Sialan.
Awas!"
"Kena kau! jangan lari. Rasai kepalanku!"
"Huh, punya kepalan rupanya," kata Gendut tertawa sambil lari.
Mereka lari sekencang-keneangnya seperti adu maraton. Ketika hampir membelok ke jembatan sekolah,
sandal Martin tertinggal sebelah di jalan raya. Dia
mau membalik tapi teriakan sumpah serapah di belakangnya membatalkan niatnya. Mereka masuk ke dalam gedung yang gelap. Wadam?wadam itu tidak berani ikut. Terlalu gelap. Sebuah mobil lewat dengan
lampu besar. Martin melihat sandalnya.
"Huh," katanya terengah?engah, "sandal baru. Tujuh
ratus perak."
"Sudahlah," kata Rahman tertawa, "kita tunggu sebentar. Baru kita ambil. Huh. Lari sependek itu, habis
napasku."
"Karena kau ketakutan."
"Kau gila! Tahu risikonya kalau tertangkap?"
"Dan aku sudah memijit dadanya. Keras." Ketiganya tertawa diikuti oleh anak?anak yang kebetulan sedang jaga di situ.
246 Mereka menanti satu jam. Betul?betul satu jam, sebelum berani mengambil sandal itu.
Mereka kembali ke Teknik. Tapi Rahman belum
puas. Tidak seru, katanya. Padahal si Gendut sudah
merasa hampir mati ketakutan. Kalau dipikir-pikir betapa mudahnya laki-laki tadi menangkap tangannya
sementara dia meraba, aduh... keluar keringat dinginnya.
"Sekali ini tidak usah lari," kata Rahman. "Tunggu
jam sepuluh."
"Apa itu?"
"Lihat saja nanti. Kau sendiri boleh juga mencobanya."
"Ah, kalau begitu aku tidak ikut," kata Martin.
"Huh! Mau jadi bayi?"
"Kalau ibuku tahu apa yang kita kerjakan tadill"
"Tinggalkan ibumu di rumah. Kita sudah dewasa!
Iaki-laki tidak perlu alim, ah."
"Tapi aku tidak mau ikut campur. Cewek-cewek
begitu banyak penyakitnya."
"Bukan cewek!"
"He?" kini Gendut yang kaget. "Kalau begitu, lebih-lebih lagi aku emoh."
"Engkau mau cewek?" tantang Rahman dan Gendut
malah jadi kelabakan.
Tadi dia pura-pura gemar cewek, padahal memeluk
pun belum pernah. Pengalamannya paling?paling
menggandeng Anita.
"Gini, Man. Aku sudah punya cewek sendiri, jadi
tidak mau yang lain!"
"Buser!" Rahman menggerutu mengatakan keduanya
247 bego. Ketika bujukannya untuk melihat PTS (pria
tuna susila) tidak mendapat tanggapan, terpaksa dibatalkannya rencana itu.
Malam bertambah larut dan gelap. Seseorang menyumpahi Rahman karena martabak yang dijanjikannya itu hanya omong kosong belaka. Dari bagian
belakang terdengar suara gitar: Ich hai) mein Herz in
Heidelberg verloren.
Beberapa suara sumbang segera mengikuti refrein:
[:"/7 hal) mein Herz in Trisakti verlorm
An einer blaum Sommernac/Jt
La... la... la....
"Ah, masa muda," keluh seseorang. "Minggu depan
cewek gua mau kawin. Tapi bukan sama gua. Huh,
sedih jadi mahasiswa. Sekolah dibakar. Pacar direbut."
"Kenapa susah?susah? Memang di dunia cuma dia
sendiri yang cakep? Yuuhuuui! Parle uj) your trouble: in
your old kit bag cmd smile, smile, smile..."
248 IX UKUL enam sore, Monik dikejutkan dengan ke
datangan Steve. Sejak masuk Universitas Trisakti,
dia sudah menjadi orang penting yang harus mondarmandir sehari sepuluh kali dan dia minta supaya
Monik mengerti: tidak ada waktu untuk urusan pribadi! Tentu Monik mengerti.
Sore itu Steve mengenakan celana khaki putih dengan kemeja tangan panjang putih. Seperti mitraliur,
dia mengatakan sebab kedatangannya dan memerintah
Monik supaya lekas mengganti baju. Tanpa bertanya
apa-apa, Monik masuk ke dalam, mengunci pintu lalu
membuka bajunya. Diambilnya baju biru muda polos
dengan tenda putih. Disisirnya rambutnya lalu dibuntut kuda. Dia ingin memanjangkan rambut seperti
Alice, sampai ke punggung. Digapainya sepatu putih
lalu diambilnya tas putih.
Dia keluar dari kamar dan menatap Steve. Pemuda
249 http:]lhana-ohi.blogspot.com
itu tengah berdiri di ambang pintu samping. Mendengar suara sepatu, dia menoleh lalu pergi ke luar tanpa berkata apa?apa. Monik berlari menghampiri Tante
Kos yang tengah menyiram bunga lalu cepat?eepat
kembali mendapati Steve yang sudah siap di atas motor. Tanpa berbicara, mereka berangkat. Sepanjang jalan, mereka tetap membisu. Entah apa yang dipikirkan
Steve. Monik tidak mau mengganggunya.
Di muka rumah Martin banyak mobil; dua pikap
berasal dari Bandung. Di halaman dipasang atap terpal. Banyak orang duduk?duduk di situ. Kursi?kursi
dan meja sewaan berserakan, tidak ada yang mempunyai ingatan untuk mengaturnya. Pintu muka yang
biasanya terkunci rapat itu, kini terbuka lebar?lebar.
Di situ tergantung sebuah tirai dari kain belacu, dibelah di tengah dan diikat dengan tali belacu ke kirikanan pintu. Tirai itu tidak dijahit. Di atas pintu tergantung sepasang lampion dari kain tila putih. Di
dalamnya terdapat lilin yang akan dinyalakan nanti
malam.
Beberapa langkah di sebelah dalam, yaitu dalam
ruang tamu, terdapatlah sebuah meja dengan taplak
putih dari belacu. Di atasnya terdapat rumah?rumahan
kertas dan makanan sajian. Di belakang meja terdapat
sebuah tirai putih. Di belakangnya, merapat ke tembok terdapat sebuah dipan dengan Robert terbaring di
atasnya.
Monik berdiri di muka meja bersama Steve. Sesaat
matanya menatap potret di atas meja itu dan untuk
sekejap, dia seakan?akan merasa Martin yang terbaring
250 di mukanya. Hilangkanlah tahi lalat di atas hidung itu
dan suruhlah senyum itu berhenti, maka Martin menatapnya dari atas meja: tenang, agak melankolis, dan
setia. Perasaan itu cuma sekejap datangnya, lebih cepat
dari kilat, tapi hatinya dak, dik, duk terus. Dia membuat tanda salib dengan tangan gemetar. Lalu menunduk dan berdoa Salam Maria. Sementara itu Martin
berlutut di kaki meja, kepalanya menyentuh lantai tiga
kali. Setelah mereka selesai berdoa, Martin bangkit.
Diangkatnya tangannya tinggi?tinggi lalu menyoja
Monik, kemudian Steve, sambil menggumamkan terima kasih yang tidak nyata.
Monik memandangnya. Mata yang sama yang biasa
menatapnya, cuma mata itu merah dan penuh genangan air. Simon berdiri di sebelah kakaknya, juga
menyoja dan memberikan tanda terima kasih berupa
kertas singkong yang dipilin keeil?keeil dan diikat dengan tali merah.
Martin dan adiknya tidak memakai apa?apa pada
kaki mereka. Keduanya memakai ikat kepala dari
belacu. Celana panjang dari belacu dan kemeja belacu,
semuanya dipakai terbalik. Pada lengan baju kiri tercantum sebuah pita hitam.
Monik ingin sekali menjabat tangan Martin dan
menggenggamnya erat?erat, tapi laki?laki itu seakanakan tidak mengenalinya. Dia tidak mengenali siapasiapa. Monik membiarkan dirinya ditarik oleh Steve.
Datang tamu lain. Orang itu mengambil dua batang hio dari atas meja lalu menyulutnya pada lilin?liIin putih di situ. Martin dan Simon kembali berlutut.
Kepala mereka menyentuh lantai tiga kali. Lalu me
251 reka bangkit. Menyoja tamu. Dan kembali Monik
memandang Martin. Bibirnya masih tetap seperti yang
dikenalnya: ramah dan sabar, tapi sekarang agak pucat
dan gemetar.
Monik mendatangi tuan rumah yang mengenakan
pakaian serbaputih, tanpa ikat kepala. Ayah Martin
menunduk terus, mengucapkan terima kasih tanpa
memandang tamunya. Agaknya dia tidak ingin mem
perlihatkan air matanya.
"Di mana Tante, Oom?" bisik Monik.
"Di dalam."
Monik masuk sendiri ke dalam. Ruang tamu yang
mewah itu kini kosong melompong. Cuma beberapa
kursi dideretkan pada dinding. Jambangan?jambangan
dan lukisan?lukisan semua diangkat. Dalam taman
terdapat banyak orang. Di antaranya, anak?anak sekelas dan anak?anak tingkat tiga. Juga beberapa pemuda, kira?kira sepuluh. Monik tahu, mereka dari
Bandung. Si Gendut melihat Monik tapi dia diam
saja. Monik masuk ke ruang dalam.
Di atas baby?vleugel yang tertutup terletak gambar
Martin bersama saudara kembarnya. Biasanya piano
selalu terbuka. Di situ juga terdapat beberapa kursi
untuk para wanita. Seseorang asyik menjahit pakaian
berkabung. Tidak ada yang bercakap?cakap. Suasana
amat aneh dan memilukan. Monik berdiri di ambang
pintu, memandang berkeliling. Alice bangkit ketika
melihat Monik dan meninggalkan teman?temannya.


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu mengenakan gaun dari belacu yang dipakai
terbalik. Rambutnya diikat dengan pita belacu. Pada
252 lengannya ada pita hitam. Dia memakai sandal yang
sudah tua.
Monik memeluknya dan dia merasa bajunya basah.
"Sudahlah, Alice," bujuknya. "Di mana ibumu?"
Alice menggeleng. "Di kamar. Dilarang dokter menemui orang."
Monik mengangguk lalu duduk bersama teman?teman Alice. Di atas meja terdapat roti manis, kue?kue,
buah apel, jeruk, kacang, dan kuaci. Pelayan?pelayan
dengan kaki telanjang dan mata bengkak, sibuk
mondar?mandir mengantar teh. Monik mengambil
segelas teh, tapi tidak ada keinginannya untuk makan.
Beberapa wanita setengah umur asyik makan kacang
sambil berbisik?bisik.
Dalam ruangan itu banyak bingkisan bunga. Monik
menghitung tidak kurang dari dua belas keranjang. Kebanyakan bunga seruni. Di ruang muka, pasti lebih
banyak lagi. Di sekeliling tembok tergantung kain?kain
beraneka warna: putih, hijau, hitam, biru, biru muda,
hijau muda. Penuh dengan tulisan aksara Tionghoa.
Monik mendengarkan wanita-wanita itu sepintas
lalu. Seorang wanita yang berkain kebaya mengatakan
bahwa nyonya rumah sudah tiga kali pingsan sejak
kemarin. Yang lain mengatakan bahwa anak itu baru
saja mau ke luar negeri, menyusul tunangannya. Kepalanya pecah, dadanya robek, kata yang pertama.
Dari arah kamar tidur, keluar seorang wanita mengenakan gaun hitam. Wajahnya masih kelihatan cantik meskipun kerut?kerut di sudut mata dan bibirnya
253 sudah jelas terlihat. Rambut?rambut perak sudah muncul di sana?sini. Wanita itu menghampiri Alice.
"Alice, kalau nanti Mama mau ke depan, biarkan
saja. Asal kaujagai jangan sampai jatuh. Biarkan dia
melihat Robert buat penghabisan kali."
Alice mengangguk sambil menangis. Wanita itu mengeluarkan saputangan putih untuk menyusut air mata
Alice dan air matanya sendiri.
"Itu mertuanya," bisik seorang wanita.
Jam delapan malam, dilakukan upacara memandikan
jenazah dan memasukkannya ke dalam peti. Semua
orang berkumpul di ruang tamu. Ruangan yang luas
itu tampak menyempit karena tamu?tamu yang berjubel. Monik melihat lebih banyak lagi anak-anak
Bandung.
Alice mengenakan tutup kepala dari belacu terbalik.
Berdiri bersama ibu dan adiknya.
Seorang laki?laki setengah umur, bercelana panjang
hitam kuno dengan kemeja potongan Cina, memimpin upacara. Berdua dengan Martin dia memandikan
jenazah di balik tirai. Setelah selesai, tirai itu dibuka
dan sekali lagi jantung Monik berdebar?debar. Dilihatnya Martin terbaring di situ. Bibirnya putih. Mukanya
seperti lilin. Rambutnya melekat di dahi dan masih
tampak darah kering di situ. Dia mengenakan jas dan
celana wol abu?abu muda dengan dasi merah anggur.
Tangannya terkatup di dada. Pada pergelangan kiri
ada arloji. Kaus kakinya terlihat sedikit: merah anggur.
Sepatunya hitam. Pada kantong jas menyembul sebuah
saputangan putih.
Kering mulut Monik memandang jenazah itu.
254 Betul?betul mirip dengan Martin. Tanpa titik cokelat
di atas hidungnya, pasti dia takkan mungkin membedakan keduanya.
Nyonya rumah menjerit dan berusaha mau menghampirinya tapi cepat dicegah oleh orang?orang. Kemudian dia menangis dengan tidak berdaya. Martin
berdiri dengan kepala tunduk mengawasi saudaranya.
Pemimpin upacara memeriksa sekali lagi peti jenazah
yang sudah tersedia di tengah ruangan, tepat di muka
pintu.
"Bagus. Siap," teriaknya nyaring tanpa perasaan
apa?apa, seakan?akan itu suatu kejadian yang amat
biasa.
Ayah Robert dan dua kawannya maju. Berempat
dengan Martin, mereka dengan amat hati?hati memasukkan Robert ke dalam tempat tidurnya yang terakhir. Pemimpin upacara sibuk mengukur dari kepala
dan kaki, melihat apakah betul?betul sudah beres letaknya.
"Kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri. Ya, sudah.
Dagunya diangkat. Ya. Kakinya lebih dirapatkan.
Ya."
Di dalam peti tidak terdapat barang apa?apa, kecuali butir?butir mutiara di mulut, lubang hidung,
dan lubang telinga. Pakaian?pakaian tidak dibawa.
Alice memintanya untuk orang?orang yang kurang
mampu. Martin mau memasukkan gambar Leoni ke
situ, tapi ayahnya keberatan. Nanti dia teringat terus
pada Leoni dan menghantui gadis itu. Namun Martin
diam?diam sudah memasukkan gambarnya sendiri ke
dalam saku jas saudaranya dan sebuah album prangko
255 milik bersama. Sebuah boneka beruang yang sudah
tua akhirnya diizinkan menemani Robert.
Berbotol?botol parfum dan air kolonye dipercikkan
oleh para hadirin. Kemudian Martin meletakkan sebuah cadar dari tila putih ke atas muka Robert. Dirapikannya letak renda-renda sutra itu sekeliling rambut adik kembarnya. Ibunya sekali lagi menjerit menyayat hati lalu tersedu sedan, diikuti oleh ibu Leoni.
Dari balik cadar itu, Monik masih dapat melihat
Martin yang dingin, dengan bibir pucat, mata terkatup, dan hidungnya yang mancung itu membiru.
Seakan?akan temannya yang ditutupi cadar dan bukan
seorang asing yang belum pernah dilihatnya. Wajah
Robert tenang. Tidak menunjukkan kesakitan yang
dideritanya dari luka?lukanya. Tidak menunjukkan
dendam atau penasaran. Tidak menunjukkan rasa kurang sabar. Tapi tenang. Kalau dia terbaring di kamarnya, orang percaya bahwa dia sedang tidur nyenyak.
Suara laki?laki bercelana hitam itu mengejutkan.
Para hadirin disuruh menjauh sedikit dari peti. Cuma
anggota keluarga boleh mendekat. Robert ditutupi
uang emas dan uang perak. Seluruh tubuhnya tertutup
uang. Laki?laki itu bersuara lantang dalam bahasa
Tionghoa. Monik tidak mengerti maksudnya. Kertas
singkong berbentuk empat segi, kira?kira sepuluh kali
lima belas sentimeter, di bagian tengahnya diberi cat
perak. Kertas itu digulung menjadi uang, berbentuk
perahu.
Robert sudah tidak tampak. Pemimpin upacara menyuruh tiap?tiap anggota keluarga menghapus muka
masing?masing dengan uang?uang kertas itu supaya
256 tidak teringat selalu pada almarhum. Ibunya menangis
tersedu?sedu dan ayahnya menjaga supaya air mata itu
tidak jatuh ke dalam peti. Itu akan menyusahkan yang
pergi. Dengan tangan gemetar, Martin mengambil beberapa gulungan kertas dan menyapukannya ke
muka.
"Hati?hati. Jangan kena air mata," teriak laki?laki
setengah tua itu. Kemudian dia bertanya masih adakah
sesuatu yang mau dimasukkan atau pesan?pesan yang
lupa diucapkan. Tidak ada, teriaknya. Lalu kertas?kertas
ditutup. Minyak wangi dipercikkan lagi. Lalu diletakkan penutup kaleng atau timah putih, Monik kurang
tahu. Lalu Martin dengan ayah dan teman?teman
saudaranya mengangkat tutup peti dan menutupnya.
Alice berdiri di sampingnya tidak bergerak?gerak.
Ketika Monik melirik, didapatinya dua buah sungai
kecil mengalir tidak henti?hentinya sepanjang pipinya.
Peti itu amat indah. Peliturnya cokelat muda. Di
bagian samping dilihatnya ukiran bunga mawar. Kayunya bagus dan peliturnya berkilat.
Lalu diadakan upacara sembahyang malam. Setelah
itu Monik pulang.
"Aku bermalam di tempat Bibi, Steve. Besok kau
datang, bukan?"
"Aku harus menghadap pemimpin?pemimpin kita.
Urusan kuliah. Mungkin tidak bisa ke kuburan."
"Steve! Kuliah?kuliah itu dapat menanti. Besok engkau harus datang. Temanmu sedang kesusahan! Dan
engkau juga harus menelepon anak?anak lain. Inge.
Anita. Polok. Markus. Semuall"
257 Suara Monik begitu tegas, sehingga Steve kehilangan akal bagaimana harus menjawab. Akhirnya dia
mengangkat bahu.
"Oke. Aku datang besok dan telepon anak?anak."
*** Hari itu Martin pergi lagi kerja bakti. Markus meneleponnya, mengatakan hari itu akan diadakan upacara peresmian mahasiswa?mahasiswa Trisakti dan
calon?calon mahasiswa yang sudah diterima sebelum
kebakaran tapi belum sempat diplonco.
"Ada kemungkinan akan banyak cewek?cewek pingsan kepanasan, sebab upacara dimulai jam sepuluh.
Tentu engkau diperlukan," teriak Markus.
Martin memarkir skuternya di depan dan berjalan
ke belakang. Dalam sepuluh hari, banyak kemajuan
pesat yang dilihatnya. Puing?puing sudah tidak ada.
Tumpukan semen Asano yang tidak kena api sudah
dipergunakan sebagian. Namun sisanya masih banyak.
Pasti sudah membatu kena hujan angin.
Martin memandang ke arah pekerja dan dilihatnya
mandor Rahman melambai?lambaikan tangannya. Dia
berhenti. Rahman lari menghampirinya dan memeluknya.
"Gila, mek. Kok rasanya lama amat enggak kelihatan? Nanti kita jaga lagi. Sekarang... enggak usah
pergi jauh?jauh. Mereka mau putar... ehem... beres
deh. Nanti aku beri kabar kalau tanggalnya sudah ix.
jangan kasih tahu Mami dong, seperti anak ayam saja.
Eh, omong?omong lu sakit, ya?"
258 "Enggak. Kenapa?"
"Kok pada penglihatan gua, rasanya kurusan."
"Siapa yang tidak kurus, kalau sekolahnya jadi
puing?!" katanya tersenyum lalu berjalan pergi. "Eh,
jangan lupa ya tanggalnya. Jadi penasaran."
Di PSK ada si Gendut dan Tina. Yang lain belum
datang. Gendut menggaruk?garuk lehernya melihat
Martin.
"Begini," katanya, "aku sudah coba menolongmu,
tapi peraturan bilang, engkau harus mengirim surat
sendiri, menyatakan alasan tidak hadirmu selama ini."
Gendut memandang temannya dengan senyum ramah.
"Aku sudah coba mau mengisi saja daftar absensimu, tapi anak?anak bilang, nanti dimarahi Ketua Kelas. Aku tanya Ketua, dia takut dimarahi Caretaker.
Dan kau tahu siapa Caretaker?"
"Ya, Steve."
"Sebaiknya engkau buat surat itu sekarang. Tina,
minta kertas."
"Aku tidak akan membuat surat apa?apa," kata
Martin tiba?tiba. "Bukankah yang harus menghukum
aku sudah tahu alasanku? Di mana mereka?"
"Di loteng. Mungkin mereka masih ada di kamar
itu."
Gendut menunjuk sebuah bangunan di tengah yang
tidak runtuh. Dua buah tangga terdapat di bagian
luar gedung, terkena hujan angin dan objek bagi
mata?mata iseng. Sebab tangga batu yang jelek itu
akan menjadi luar biasa menarik kalau di situ lewat
sepasang betis telanjang.
259 Mereka masih ada. Duduk di belakang meja kayu
yang kotor. Ketua dengan dua orang wakil ketua.
Steve: wakil ketua II. Baik Martin maupun Steve tidak
saling melihat. Martin duduk dan memperhatikan formulir pendaftarannya yang sudah disahkan. Ketua
meminta daftar absensi dari wakil l. Dibukanya lembaran?lembaran kacau-balau itu sampai dia menemukan sesuatu.
"Ya, di sini tercatat bahwa Saudara tidak masuk selama sepuluh hari. Ada surat atau keterangan lain?"
Ketua memandang Martin. Matanya dingin, tidak
mengandung perasaan apa?apa dan tenang. Martin
membalas tatapannya, seperti biasa: tenang.
"Tidak ada surat atau keterangan," jawabnya.
Ketua mengeluarkan suara lucu dari tenggorokannya
dan meletakkan kedua tinjunya di bawah dagu.
"Saudara tahu bahwa itu berarti indisipliner?"
"Mungkin."
"Saudara tahu bahwa Saudara akan dikenakan
sanksi?" suaranya makin bertambah keras.
"Ya."
"Dan tahu bahwa Trisakti tidak mau menolerir mereka yang tidak disiplin?"
"Ya."
Ketua menyalakan sebatang rokok. ]ari?jarinya gemetar dan tiba?tiba Martin merasa jatuh kasihan padanya. Anak itu tidak galak sebenarnya tapi dia terpaksa
membangun kewibawaannya dengan pelbagai cara.
Bukan soal, siapa namanya. Sebab siapa pun yang berpangkat ketua, akan menghardiknya sekeras itu, di
260 luar kemauan orang itu sendiri. Dia mengerti dan menerima bentakan itu.
"1%", katakanlah apa alasan Saudara. Harus ada
alasan. Sekurang?kurangnya yang masuk akal."
"Saya menjemput saudara saya."
Mereka meledak tertawa. Steve diam saja.
"Ha... ha ha... dia menjemput saudaranya?! I-Iei!
Dengar! jangan main?main. Saudara dapat dikeluarkan
karena ini, tahu! Bicara yang benar!"
"Saya tidak berdusta."
"Oke. Kau jemput saudaramu. Di mana?"
"Di Bandung."
"Saudaramu itu raja, ha?" bentak Ketua. "Saudara
harus datang apel tiap siang kemari. Jam tiga siang.
Mulai hari ini. Mengerti?!"
"Mengapa tidak kaukatakan adikmu tewas oleh peka?i?" kata Steve akhirnya.
Martin tidak menoleh. Dia menatap Ketua tanpa
mengubah air mukanya, menantikan kertas formulirnya diberi catatan: harus apel... sekian... sekian.... Ketua meletakkan bolpoinnya kembali.
"Adiknya dari Teknik Elektro. Tewas di Braga waktu kles?Hsik tempo hari."
"Sori," kata Ketua, "seharusnya saya mendapat laporan lebih dulu tentang ini."
Diulurnya tangannya tapi Martin seakan?akan tidak
melihatnya. Dia langsung mengambil formulirnya lalu
bangkit.
"Tidak apa?apa. Selamat siang."
Tidak sekali pun dia menoleh ke samping. Belum
pernah dia membenci Steve seperti pada saat ini, ke
261 tika dia membiarkan orang?orang melihat luka di
hatinya. Kalau dia ingin manusia?manusia itu tahu
bahwa adiknya terbunuh, dia dapat memproklamirkannya sendiri dalam kertas satu folio penuh dan tidak
membutuhkan penjilat?penjilat mana pun. Kalau Steve
mau, dia dapat saja langsung memberi acc pada daftar
absensi dan tidak perlu membeber kesusahan orang.
*** Para mahasiswa berdiri dengan rapi, merupakan barisan putih?putih. Satu per satu para pemimpin berpidato dengan harapan dan janji yang membesarkan
semangat. Seperti sudah diduga, beberapa gadis pingsan tidak tahan sinar matahari. Ketua Kelas segan disuruh menemani gadis?gadis manis itu sendirian. Terpaksa ditemani Anita. T iga orang di antaranya calon
anggota FK yang belum diplonco.
"Ah, lebih baik saya kasih tahu," kata Anita, "berdiri?diri begitu masih belum apa?apa dibandingkan
dengan diplonco. jadi sebelum terlambat, lebih baik
jangan jadi masuk. Mana nanti mesti bayar sumbangan
tinggi. Sepuluh tahun belum tentu lulus. Senior?senior
FK galak?galak, tahu. Salah satunya, ini."
Ketua Kelas berusaha sekuat tenaga supaya kelihatan
angker, tapi tidak banyak berhasil. Untuk menjadi
orang?orangan di tengah sawah pun tidak memenuhi


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syarat. Gadis itu mengetahui ini dan dia juga tahu,
bahwa dia cantik dan bahwa senior?senior segalak apa
pun tidak pernah membentak plonci yang cantik. Jadi
dia tersenyum menghinakan jerih payah Ketua.
262 Tukang?tukang sudah mulai bekerja menyerut kayu,
menyusun batu?batu. Dari sesuatu yang tampaknya
cuma sampah?sampah, sisa dari sebuah mimpi yang
sarat dengan keputusasaan, tampaknya akan bangkit
juga kenyataan yang cukup menggembirakan.
FK mendapat dekan baru: Profesor Biran. Dalam
suatu pertemuan di kelas, seseorang bertanya kapan
mereka akan menjadi dokter.
"Empat tahun lagi."
"Empat tahun lagi, Prof?" tanya seorang gadis.
"Ya, kalau Nona naik terus. Saya berjanji: empat
tahun lagi."
Mungkin janji itu akan terpenuhi andai kata beliau
tidak lebih dahulu pergi karena serangan jantung.
263 ALAM bulan Mei, mereka mengadakan de
monstrasi tertib, berbaris bergerak di jalan?jalan.
Monik juga ikut. Semua anggota Kesatuan Aksi. Sudah diadakan pelarangan menyetop semau?maunya
truk?truk atau bus-bus dan mempergunakannya tanpa
mengenai waktu. Sebab, begitu larangan itu mengatakan, sopir?sopir itu juga anak rakyat, yang perlu mencari nafkah untuk kesejahteraan keluarganya. Kita
berjuang untuk kepentingan rakyat, tapi kalau truktruk itu dicarter seharian tanpa dibayar, anak?anak
sopir itu tidak akan dapat nasi.
Jadi mereka menyewa bus murah atau mempergunakannya hanya dalam waktu terbatas saja. Namun begitu tindakan?tindakan penyetopan yang bikin sopir
pusing kepala masih tetap terjadi.
Gerak jalan mulai dari Lapangan Banteng dan berakhir di Salemba. Rezim Orla harus turun juga. Ter
264 E-Booh by syauqy_arr
lalu banyak surat?surat kiriman pada koran?koran,
yang menyuruh mereka bubar. Presiden Soekarno
digantikan dengan Pejabat Presiden Soeharto yang
berkedudukan di Jalan Cendana. Cuma pada upacaraupacara kenegaraan, beliau berada di Istana Negara.
Bekas Presiden Soekarno mengasingkan diri ke
Wisma Yasso di Jalan Gatot Subroto, kemudian ke
Batu Tulis di Bogor, di mana terdapat rumah pribadi.
Sementara itu tempat kediaman Nyonya Hartini
tidak luput dari sasaran para mahasiswa. Dalam demonstrasi di Bogor, beberapa orang luka?luka. Hampir
dalam tiap majalah atau koran, dapat kita baca pernbongkaran?pembongkaran segala macam kecurangan
rezim Orde Lama. Salah satu menteri yang paling
digemari pers adalah Jusuf Muda Dalam. Subandrio
ditahan. Kemudian banyak gambar?gambarnya disiarkan, memperlihatkan bagaimana kehidupannya sekarang: bercocok tanam dalam tahanan, dan suka membaca Quran. Chairul Saleh juga dipenjarakan dan
meninggal dalam kamar kecil. Katanya, karena serangan jantung. juga petualangan cinta pemimpin
menjadi objek tersendiri bagi publikasi.
Hampir tiap minggu, Tante Kos akan memperlihatkan pada anak?anak kos sebuah kisah cinta baru dari
bekas pemimpin?pemimpin Orla.
"Lihatlah," katanya pada suatu hari, "wanita itu sudah hampir menikah, tapi direbut juga. Dan calon
suaminya dipenjarakan."
Dan pengakuan si "korban" disertai dengan gambargambar lengkap. Aduhai, menaikkan oplah bukan
main nikmatnya.
265 "Tante, mengapa Tante tidak mau menulis surat
pada redaksi, mengatakan Tante juga seorang di antara
kekasih?kekasih itu? Katakan, Tante mendapat julukan
Madame de Pompadour dan Tante minta seratus ribu
untuk sebuah wawancara, lengkap dengan gambar?gambar pelbagai pose," kata Diana.
"Kalau Oom tidak sedia tali gantungan, iris kuping
Tante."
Poster?poster anti kapbir, kontrev, imperialis, dan
sebagainya tidak ada lagi. Konfrontasi dengan Malaysia
dihentikan. Papan tanda bebas buta huruf dicabut.
Beras diimpor kembali. Kuliah?kuliah belum lagi dimulai. Rumah Sakit Husada tidak bersedia lagi menerima mahasiswa?mahasiswa asal Res Publica. Selamat
tinggal suster?suster yang manis, yang semula akan
mendiami asrama baru dari Res Publica. Entah bagaimana kelanjutan gagasan asrama dan bangsal bagi
penderita-penderita kurang mampu yang diperuntukkan bagi mahasiswa.
Kerja bakti mahasiswa sudah hampir berakhir. Dan
dilanjutkan dengan kerja tukang?tukang ahli batu.
Monik mulai gelisah, sebab di tempat kos terus tanpa
berbuat apa?apa. Mau menyingkat textbook, kata Steve
tidak ada gunanya. Sebab untuk selanjutnya mereka
akan pakai textbook?textbook keluaran kapbir. Jadi ditumpuknya saja buku?buku buatan Moscow itu di atas
lemari. Dan mulailah dia mencari textbook-textbook
kapitalis?birokrat yang kebanyakan tidak ada dalam
toko.
Pada suatu hari, dia pergi ke Kwitang. Masuk sebuah toko buku.
266 "Ada surgwy dari Christopher, Pak?"
"Oh, ada. Tunggu sebentar."
Monik dan Anita melayangkan pandangan ke
bagian buku?buku kedokteran yang tadi sudah mereka
jelajahi. Kok di sana tidak ada, tapi pelayan bilang:
ada? Pelayan segera berlari mengambil buku itu, tidak
ke dalam toko akan tetapi ke luar.
"Ini," katanya beberapa menit kemudian.
"Berapa?"
"Lima belas."
"Oho. Lima ribu."
Monik jelas tidak bersedia membeli buku seharga
lima belas ribu, sebab uangnya tidak ada. Mereka keluar dan pergi mendekati sebuah kios. Pura?pura mencari buku?buku lain, kemudian secara sambil lalu menanyakan buku yang diinginkan.
"Ada," seru orang itu kaget, seakan?akan disengat
lebah. Segera dia lari dan kembali dengan sebuah
buku.
"Ini."
Monik membuka?buka buku itu. Hm, ada bercak
cokelat di sini. Ada nama bekas pemiliknya yang dulu.
jadi ini buku yang tadi?tadi juga.
"Berapa?"
"Dua belas," lalu tergesa?gesa ditambahkan. "Tentu
boleh ditawar."
Hm. Dalam jarak beberapa meter saja sudah turun
tiga ribu.
"Bukunya bekas."
"Ya. lni titipan orang pada toko Lie Tay San."
"Hm. Kalau beli langsung di sana, berapa ya?"
267 "Sama. Pasti sama."
"Terlalu tinggi sih. Tidak berani tawar."
"Oh, tawar saja. Berapa? Tawar saja."
Monik mengerti, orang?orang Padang itu akan marah kalau dagangannya tidak mau ditawar. Dia pernah
mengalaminya satu kali.
"Lima. Lima ribu."
"Oh, sori, adik sayang. He... he..." dia tertawa, "tidak ada Christopher lima ribu."
Monik bergerak, dikejar oleh orang itu.
"Biarlah: sepuluh!"
Monik menggeleng dan mengajak Anita berjalan
terus. Ada beberapa kios di sebelah barat. Berita ada
yang cari Christopher sudah sampai ke sana dan
Monik beserta Anita langsung disambut dengan: di
sini ada Christopher. Lima ribu saja. Tanggung baru.
Meskipun Monik sudah bersorak dalam hati, masih
dikatakannya itu kemahalan.
"Empat."
"Ah, 'ndak bisa. Lima itu harga mati. Kita cuma
pulang pokok saja!" kata si penjual dengan aksen seberang.
"Empat setengah?"
Lelaki itu tertawa.
"Terima kasih saja. Murah. Percayalah awak. Di
mana pun takkan basuo buku ini kurang dari limo.
Masih baru, Encik."
Sambil menghela napas, dikeluarkanlah lima ribu.
*** 268 Tiga malam berturut?turut Monik pergi bersama Steve
melihat perploncoan PMKRI. Tajin, levertraan, dan
brotowali yang pada zaman jaya?jayanya CG dilarang,
kini muncul kembali. Dulu, mereka cuma akan bekerja bakti. Boleh minum limun, antre bersama
senior-senior. Bahkan senior tidak kebagian es sebab
diserobot oleh ealon?calon mahasiswa yang menyikut
mereka. Itu zaman Orla. Sekarang: kepala kembali harus botak. Kumis harus hilang kecuali ada surat dokter
yang menyatakan kumis itu perlu untuk menakutnakuti tikus. Baju tidak boleh sama dengan senior.
Bila senior memakai celana panjang yang bagus, maka
mereka harus memendekkan sebelah kaki celananya.
"Gua enggak mau tahu, lu apain. Pokoknya sebelah
kiri mesti lebih pendek. Digunting, kek. Dirobek, kek.
Apa, kek. Lu mau pake baju bagus juga boleh, tapi
jangan harap akan dapat dispensasi dari mencuci got
di depan rumah gua!"
Anak?anak perempuan kembali harus memakai
cacing?caeing di rambutnya, yang pada zaman lekra
tidak boleh. Slack harus ditambal. Baju harus jelek.
Sepeda harus dihias. Pokoknya, mereka harus memberi
kesan bahwa mereka sedikit miring otak. Karung dijahit, dijadikan blus atau kantong tempat segala harta
benda. Kaleng susu diisi batu?batu kerikil dan digantungkan di leher. Untuk perhiasan: kalung petai,
anting?anting jengkol, gelang wortel.
Berlainan dengan tahun?tahun dulu, kini mereka
tidak lagi mendapat hak istimewa untuk semaunya
memandang raka dan yunda. Pada zaman emas bagi
plonco?plonco, mereka bahkan boleh meneriaki se
269 orang senior atau mengadukan siapa saja yang dianggap kontrev, yaitu misalnya berani memakj-maki:
plonco kepala batu dan sebagainya.
"Tunduk, lu. Ayo, tunduk semua. Lu kira, lu di
mana? Di istana nenek moyang lu, ha? Siapa yang
suruh lu kemari? Siapa yang suruh lu masuk PMKRI,
ha? Ayo, keluar."
Teriakan nyaring itu mendapat sambutan riuh rendah dari para "aristokrat", sementara ratusan budak
bermandi keringat merangkak?rangkak di bawah bangku pendek mengumpulkan semut.
"Tolol, lu. Disuruh keluar, mengapa diam saja? Angkat bahu itu berontak. Ayo."
"Huh! Melempem," teriak seorang gadis. "Eh, kok
loyo amat kamu? Mau obat kuat?"
"Ayo, jawab. Kalau ditanya, harus jawab. Mau, tidak?" teriak Steve.
Sebenarnya obat kuat itu oke saja bagi yang menyukainya. Tapi bagi yang alergis, bau minyak ikan
dapat membuatnya muntah-muntah.
Seorang plonci disuruh melihat seekor cacing ascaris
yang sudah mati, lalu matanya ditutup.
"Buka mulutmu. Makan cacing itu!"
Entah karena amat jijik atau karena sudah senewen,
gadis itu meronta?ronta tidak mau. Dipaksa. Masuk
juga. Tapi segera keluar kembali dengan sekalian isi
perut. Seniorita yang manis itu cepat?cepat berdiri dan
pacarnya segera membersihkan bajunya dari bakmibakmi yang melekat di situ.
Seorang senior merasa terlalu pendek sedang dia
harus memimpin nyanyi.
270 "Eh, lu! Berbaringl"
Dan dengan tenang sang dirigen naik ke atas punggung si plonco yang dipergunakan sebagai podium.
Waktu pulang: jam dua belas malam. Mereka berbaris menurut rayon?rayon.
"Tutup kuping!" teriak seseorang. "Bapakmu mau
bicara dengan para raka dan yunda."
"Tutup kuping," sambung senior?senior pada pelbagai pojok.
"Tutup kuping, tuli! Tutup kuping! Tutup kuping!"
"Buka kuping!"
Mereka mengangkat kembali tangan mereka dari
telinga.
"Monyet lu semua! Mana mungkin dengar katakata saya, kalau telingamu ditutup? Mau sabotase, ya?
Coba?coba berontak, ya? Ayo, tutup kupingll"
Mereka menutup kembali telinga mereka.
"Buka!"
Tidak ada yang membuka.
"Dot di mulut!"
Tidak ada yang pasang dot.
"Eh, eh... mereka menyabot! Mereka menyabot
kita," teriak seseorang dengan corong sambil menarinari kegirangan. "Mereka berontak!"
"Ganyang saja."
"Ganyang!"
"Sekali lagi dot di mulut!!"
Semua mengisap dot. Habislah senior?senior terkekeh?kekeh.
"Aduh, aduh, goblokll" seru Steve. "Eh, otak udang
271 lu ketinggalan di mana? Orang sudah tutup kuping,
kok masih bisa dengar suara?"
Mereka dihukum. Melompat-lompat seperti kodok.
Seratus kali. Steve bertepuk?tepuk tangan. Masa jaya
mahasiswa adalah di tengah?tengah budak?budak
belian ini yang dengan sukarela mendaftarkan diri
minta digojlok. Seakan?akan tidak dapat bergerak badan sendiri. Lupalah Steve seketika liburnya setahun.
Lenyaplah bayangan sekian kotak mikroskop yang diamankan dan tidak kembali lagi, betul-betul aman di
tempat pengaman. Hilanglah penasaran melihat rekanrekan dari FK negeri sebentar lagi sudah akan hilir
mudik dengan merek i?d?i di kaca mobil mereka.
Setelah hukuman selesai, mereka disuruh menutup
telinga untuk penghabisan kali. Bapak plonco angkat
bicara.
"Saya harap supaya jangan seorang pun di antara
Saudara-saudara melakukan kekerasan fisik terhadap
mereka. Misalnya seperti tadi, ada sepatu melayang ke
kepala. Buku tanda tangan mereka tidak boleh ditahan
dan dibawa pulang oleh Saudara?saudara, sebab harus
dikumpulkan pada panitia, setiap malam. Sekian. Terima kasih."
"Buka telinga!"
Tapi sekarang para plonco yang mempermainkan
senior?senior. Mereka tidak mau membuka telinganya.
Tiga kali mikrofon berteriak?teriak. Hasilnya nihil.
Mereka makin keras melekatkan telapak tangan mereka pada daun telinga.
"Tidak lucu ya," bentak seorang gadis sambil meng
272 angkat sendiri tangan plonci. "Ayo, suruh temanmu
juga membuka kupingnya yang congek!"
Jam setengah dua, baru Monik sampai di tempat
kosnya. Lelah tapi ia tidak mengantuk. Steve kembali
lagi sebab malam itu acara di kuburan semalam suntuk untuk plonco?plonco. Monik tersenyum sambil
membuka baju. Dia bersenandung pelan-pelan:
Es is! 50 5617072 Student zu sein, Rose Marie
Nicht jeden Yizg ist Sonneschein, Rose Marie
Dach du, du bist mein Talisman, Rose Marie
Du gehst (m allen mir vomn, Rose Marie
Tidak setiap hari matahari bersinar, gumamnya sambil meraih baju tidurnya. Seperti juga, tidak setiap
hari hujan turun.


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Pada hari Minggu itu Steve bangun terlambat. Ketinggalan misa ketiga. Dengan benci, disepaknya selimut
ke lantai lalu dia bangun. Sengaja dengan suara keras
ditariknya laci?laci, membuat Lisa membuka pintu dan
memperlihatkan kepalanya. Steve melihatnya dari cermin.
"Kenapa tidak kaubangunkan aku?" hardiknya.
Lisa baru berumur delapan tahun. Mukanya manis.
Steve juga manis kalau tidak sedang marah. Lisa tidak
menjawab pertanyaan kakaknya tapi berdiri terus di
pintu memperhatikannya.
"Keluar!" Dengan mendongkol, dibaur?baurkannya
273 rambutnya. Untung Monik ada di Kota, sehingga
tidak usah dijemput di gereja. Kalau tidak? Tentu dia
marah. Setan semuanya di rumah ini.
Lisa yang ketakutan mendengar hentakan Steve, segera berlari ke dapur memberitahu ibunya. Steve baru
saja memasang kuda?kuda untuk mulai bersenam, ketika pintu dibuka dan ibunya tampak di situ. Steve
menarik napas panjang?pendek.
"Sudah bangun, Steve?"
Nada suara ibunya membuat dia merasa seakanakan baru berumur lima tahun. Dia tidak menjawab,
diam memperhatikan ibunya dari cermin. Wanita itu
segera memungut selimut dari lantai.
"Ah, lagi?lagi selimut ini kaulempar," kata ibunya
tanpa marah lalu melipat selimut itu.
Steve sudah kehilangan akal bagaimana membuat
ibunya marah padanya. Dia sudah mencoba semuanya.
Pulang tengah malam. Pulang pagi hari. Mengambil
uang tanpa bilang-bilang. Merobekkan kemeja baru.
Membakar celana mahal dengan rokok, tidak sengaja
sebenarnya. Menghilangkan saputangan. Membentak
adik-adiknya. Tidak mau ke gereja. Semua sudah dicobanya. Tinggal lagi: memaki ibunya dengan katakata kotor. Itu belum dicoba. Dan dia berpikir, barangkali ibunya kontan akan minum racun, tapi untuk
memarahinya: jangan harap. Dia sudah dianggap: can
do no wrong. Entah sejak umur berapa dia mendapat
hak istimewa itu, dia tidak ingat lagi. Mungkin sejak
kakeknya mengangkat dia jadi ahli warisnya.
Bagaimanapun, Steve sudah jemu dan berhenti dengan provokasi?provokasinya yang baru. Bahkan ayah
274 nya sedikit takut padanya. Hidup yang menjemukan.
Bila ayahnya tidak mau mengabulkan permintaannya,
dia tinggal mengatakan tidak mau sekolah lagi dan
ayahnya bertekuk lutut. Itu terjadi sejak dia kelas lima
sekolah dasar.
Ibunya merapikan tempat tidurnya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Bantal dipukul. Seprai diregang.
Dan nyanyi itu tidak juga berhenti. Ibunya mengeluarkan sandalnya dari bawah tempat tidur dan mendorongnya ke hadapan Steve.
"Mengapa tidak ada yang membangunkan saya?"
tanya anak laki?laki itu dengan keras, padahal biarpun
bangun pagi belum tentu dia mau menghadiri misa.
Ibunya tersenyum memandangnya. Steve muak melihat sinar kebanggaan yang terpancar pada wajah yang
bulat itu.
"Kata Alex, engkau kelihatan begitu lelah dan tidur
begitu nyenyak. Mama bilang, biarlah tidak usah dibangunkan."
"I?Im. Untunglah saya tidak ada urusan penting di
sekolah."
"Oh. Untunglah. Lain kali sebaiknya engkau memberitahu kalau mau bangun pagi?pagi. Sekarang mandilah. Mama sudah menyediakan nasi goreng. Lekaslah
makan. Nanti dihabiskan adik?adikmu. Mereka selalu
lapar."
Ibunya tersenyum. Dibukanya lemari dan dikeluarkannya baju-baju bersih. Diletakkannya di atas tempat
tidur, lalu keluar. Steve membanting diri sehingga
seprai kembali kalang kabut. Diambilnya album porno
dari tempat yang amat tersembunyi lalu satu per satu
275 gambar?gambar itu dihafalnya. Dia sudah sering kali
melihat gambar-gambar semacam itu, tukar-menukar
dengan kawan?kawan tertentu. Album di tangannya
itu baru didapatnya kemarin. Kadang?kadang dia membayangkan bagaimana kira?kira reaksi ibunya bila melihat adegan-adegan seperti itu terletak di atas meja
anak emasnya. Steve amat ingin membiarkan ibunya
menemukannya, tapi dia khawatir adik?adiknya akan
ikut melihat. Alex memang sudah besar: SMA. Tapi
Miki, Paul, dan Lisa masih di bawah umur. Kasihan
kalau mereka harus melihat gambar?gambar semacam
itu. Dan ayahnya? Steve menyeringai sendiri. Munafik
tua itu. Menyuruh anak?anak membantu Ibu, tapi dia
sendiri cuma pandai memaki-makinya. Masakan kurang asinlah atau terlalu pedaslah atau tidak enaklah.
Menyuruh anak?anak jangan mendendam, tapi dia
sendiri sepuluh hari tidak bicara dengan Ibu karena
botol minyak rambutnya dibuang, padahal masih ada
isinya sedikit. Mengajar anak?anak supaya rendah hari,
tapi dia sendiri menentukan dengan teliti, siapa?siapa
yang akan menjadi sahabatnya, tetangga mana yang
cukup sederajat untuk mendapat selamat pagi dari bibirnya. Dia mengatakan, mencuri itu tidak halal, tapi
uang kantor dibungakannya sebelum disetor. Munafik.
Kalau bicara pada teman?temannya: anak harus diajar, harus dihukum, harus disiplin. Tapi di dalam
rumahnya, dia takut pada anak?anaknya. Cuma Lisa
yang belum berani melawan ayah?ibunya. Steve berharap itu akan berlangsung terus. Dia pasti tidak suka
276 melihat wajah manis itu menjadi kurang ajar serta
binal.
Dan blue fim? Oho, pada malam?malam tertentu,
ketika Ayah harus bekerja lembur, beberapa temannya
yang sama?sama munafik menikmati film?film itu bersama. Steve tahu itu sebab sopir mereka suatu kali
sempat mengintip. Film diputar dalam garasi pada
waktu anak?anak kecil sudah mimpi. Dan setiap orang
membayar hampir sepuluh kali karcis bioskop. Steve
percaya sopirnya, sebab dia pernah menemukan selusin
gambar porno dalam piama ayahnya ketika dia masih
di SMP.
Pintu diketuk dari luar. Terdengar suara Lisa menyuruhnya mandi. Steve tersenyum. Satu?satunya makhluk
yang betul?betul dikasihinya dalam rumah ini. Lisa.
Cuma sering kali keadaan rumah membuatnya jengkel
dan Lisa kena marah kalau kebetulan ada di dekatnya.
Aku terlalu banyak membentaknya, pikirnya. Pada
hari ulang tahunnya nanti, aku akan beri dia hadiah
yang bagus. Belum lagi diketahuinya apa.
"Steeeeveeee...l" teriak Lisa sekali lagi, tanpa berani
mendekati pintu.
"Yaaa, aku sedang mencari handuk."
Lekas?lekas disimpannya albumnya. Ibunya keturunan Indo Belanda dan Lisa cantik seperti popi. Ah,
aku harus ingat hari ulang tahunnya.
Steve menyeret sandalnya ke kamar mandi. Di halaman belakang, ayahnya tengah asyik membersihkan
kandang burung parkir. Di dapur, ibunya sudah sibuk
menyiapkan makan siang, dibantu si bibi. jemuran
277 sudah hampir kering. Steve mengerutkan kening. jam
berapa?
"Lisa!" teriaknya.
"Ya."
"Coba lihat jam berapa?"
Lisa berlari ke ruang tengah dan memperhatikan
lonceng di atas orgel. Jarum pendek di antara sepuluh
dan sebelas. jarum panjang di tujuh. Dia berlari lagi
ke belakang dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Steve, jarum pendek di antara sepuluh dan sebelas.
Jarum panjang di tujuh."
Mengikuti pendidikan ibunya, anak-anak memanggil
kakak?kakak mereka begitu saja, tanpa embel?embel
"kakak".
"Jadi jam berapa itu?" tanya Steve.
Lisa menggigit bibirnya.
"Jam? jam... setengah sebelas? Setengah sebelas,
Steve? Betul?"
"Betul!" teriak Steve dari dalam. "Setengah sebelas.
Lewat lima menit. Pandai ya."
Sambil melompat?lompat kegirangan, Lisa masuk
ke dapur di mana ibunya menyambutnya dengan senyum manis. Kalau Steve memujinya, pasti Ibu akan
senang. Kalau Steve membentaknya, Ibu akan ikutikut memarahi dia tanpa peduli siapa yang salah. Sebab Lisa tahu, Steve tidak pernah berbuat salah.
Steve makan pagi sambil membaca koran hari Sabtu
yang belum sempat diraihnya. Kemarin malam, inaugurasi PMKRI di yacht club. Dansa?dansi yang dulu
adalah kontrev karena berbau imperialis dan kolonialis,
kini diperbolehkan lagi. Band?band yang dulu disebut
278 ngak-ngik?ngok, sekarang ternyata merdu juga suaranya. Mereka melantai sepuas hari sampai jam satu.
Setelah semua cewek diantar pulang, beberapa laki?laki
yang menamakan diri realis berkumpul di tempat rahasia mereka dan menikmati hlm?Hlm biru sampai
jam empat pagi. Steve termasuk salah satu di antara
realis?realis itu. Apa salahnya menikmati hidup seperti
yang kaukehendaki?
"Tadi malam ramai, Steve?" tanya ibunya yang sengaja menyediakan makan pagi itu di dapur, supaya
dapat bercakap-cakap dengan anaknya.
"Mm, ramai. Ada anak Oom Piet."
"O ya? Dia melihat engkau? Menyapamu?"
"Iya. Kami berdansa beberapa kali."
"Oh."
Ibu Steve tidak dapat menyembunyikan kegembiraan hatinya. Sudah menjadi angan?angannya sejak
Steve duduk di kedokteran, untuk mendapat menantu
yang kaya serta cantik. Setiap pagi dan malam dia
berdoa untuk itu. Dan diam?diam dibuatnya daftar
kenalan?kenalannya yang representatif. Di antara mereka: Piet, orangtua Hanneke. Hanneke fasih berbahasa Belanda sebab selalu mempergunakannya di
rumah. Saudara perempuan neneknya mempunyai dua
orang anak di luar negeri. Saudara sepupu yang lain
dari ayahnya menjadi ahli hukum yang terkenal. l) koknya kalau Hanneke tertarik. pada Steve... wanita
itu tersenyum sendiri. Dia tahu anaknya tampan. Gagah. Mudah sekali memikat hati gadis?gadis. Apalagi,
sebentar lagi! Ah, titel itu. Steve tidak dapat?tentu
saja dibiarkannya kawin dengan perempuan?perem
279 puan kebanyakan, yang tidak begitu jelas silsilahnya.
Sebab dia luar biasa dan istimewa. Tiga tahun lagi,
paling lama?sebab dia sekarang sudah tingkat empatl?dia akan mendapat gelar dokter. Selain itu warisan dari kakeknya cukup banyak. Dan dia tampan,
meskipun matanya agak keeil, satu-satunya tanda mata
dari ayahnya. Ya, dia harus kawin dengan gadis yang
istimewa: ada kehormatan, ada kepandaian, dan ada
kekayaan. Jangan teman sekelasnya yang tempo hari
kemari mencarinya! Bah! Disangkanya dia secantik apa
sih, mengejar?ngejar Steve!
Ibunya menoleh dan tersenyum.
"Engkau tidak menanyakan tentang kesehatan orangtuanya?"
"Tentu saja tidak. Mama pikir, laki?laki harus mengurus soal tetek bengek begitu? Salah?salah disangkanya
saya menyukainya."
"Ya. Ya. Engkau betul, engkau betul. Salah-salah
disangkanya kita menghendakinya. Seperti teman sekelasmu yang dulu kemari! Siapa namanya? Mama
lupa lagi. Jangan terlalu pedulikan dia. Salah?salah disangkanya engkau terpikat padanya."
Steve bengong mendengarkan ibunya. Temannya
yang mana?
"Mama bicara tentang siapa sih?" tanyanya mengerutkan kening.
"Aaah, gadis yang kos di situ itu! Yang kaubilang
anak Malang atau Magelang, Mama lupa. Siapa namanya?"
"Oooh, Monik! Dia banyak diincar orang lho,
Mam!" kata Steve dengan bangga. "Senang kan kalau
280 kita berhasil merebut hadiah pertama?! Mana cantik,
lagi!"
"Cantik sih cantik," kata ibunya dengan sedikit
asam, "tapi kalau kekayaan tidak ada dan kehormatan
cuma sampai ayahnya, yah! Mama kurang begitu suka.
Pamannya saja cuma pedagang tekstil. Tidak ada titel
satu pun dalam keluarganya. Bagaimana engkau dapat
mengangkat derajat keluargamu dengan perkawinan
seperti itu? Lihatlah orang-orang lain. Sudah ayahnya
bertitel serta kaya, juga paman dan bibi semua serba
terkenal. Dengan sendirinya, gadis?gadis yang tidak
seimbang takkan berani mendekat. Engkau terlalu baik
hati, Steve. Itu tidak boleh. Engkau tahu kekuatan
dan kesempatanmu. Pergunakanlah sebaik-baiknya.
Biarpun bukan Hanneke, setidak?tidaknya yang kirakira sama dengan dia. Ingat tiga?K itu!"
Steve tersenyum sambil mengingat-ingat dalam hati
ketiga-K ibunya: kehormatan, kepandaian, kekayaan.
Ya, Monik cukup pandai dan terhormat. Tapi tentu
saja bukan itu maksud ibunya. Apakah Monik anak
seorang dokter? Bukan. Ayahnya klerk biasa di kantor
dagang. Kalau begitu, barangkali pamannya ada yang
menjadi dokter??tanya ibunya dulu itu, seminggu
setelah Monik datang. Dokter manusia? Tidak ada.
Kalau begitu, dokter hewan? lanjut ibunya berharap.
Setahu saya, juga tidak. Dokter gigi? Tidak. Ahli hukum? Harapan ibunya masih ada sedikit. Rasanya, tidak. Steve mulai merasa sedikit bersalah melihat ibunya agak kecewa. Ekonom? Tidak ada. Apoteker? Tidak ada. Kecewa lbu makin jelas. Rasa bersalah makin
naik, dari jantung ke atas. Oh, katanya teringat se
281 suatu, pamannya pernah masuk fakultas ekonomi,
sampai tingkat dua. I'Iuh, itu tidak masuk hitungan.
Tidak menghasilkan titel. Itu menunjukkan bahwa
pamannya tidak mempunyai cukup kepandaian untuk
menyelesaikan study?nya atau bisa saja, dia cuma bohong. Setiap orang bisa bohong pernah masuk fakultas
ini?itu untuk menaikkan gengsinya, padahal sesungguhnya menertawakan. Rasa bersalah itu sudah sampai di
leher. Ibunya tiba-tiba menoleh dan tersenyum. Mungkin pamannya itu tidak selesai study karena dia terlalu
dimanja. Anak orang kaya memang biasanya begitu.
Untuk apa susah?susah belajar, kalau harta bapak banyak. Mereka kaya, ya? Kaya sekali? Mata ibunya bersinar?sinar dan Steve sudah merasakan rasa bersalahnya
naik ke ubun?ubun, bahkan sebelum dia menjawab.
Dan ketika bicara, suaranya kecil sekali. Tidak, Mama.
Keluarga Monik tidak kaya sekali. Mereka biasa saja.
Pamannya berhenti kuliah justru untuk bekerja bagi
keluarganya ketika ayahnya meninggal. Ibunya kecewa
bukan main dan Steve cuma menunduk saja. Tentu
ibunya bilang seperti dulu?dulu cuma kali ini dalam
hari: sudah Papa tidak becus apa?apa, masakan engkau
juga tidak dapat menaikkan derajat keluargamu?! Bukankah engkau laki?laki? Ya, dia memang laki?laki.
Apalagi bila Inge ada di sebelahnya. Inge yang kelihatan alim, tapi penuh gairah. Inge bilang di P3K
itu: dia adalah laki-laki paling menarik yang pernah
dikenalnya, tapi apakah hatinya penuh keberanian
atau pengecut saja? Berani bagaimana, tantangnya, dan
Inge cuma senyum. Melompat dari bus yang tengah
berjalan? Oh, itu sih biasa. Ngebut.> Biasa. Habis?
282 Steve memandang inge dengan tajam lalu tiba?tiba
saja, dia tahu maksud gadis itu. Tanpa membuang
waktu, dia langsung... bibir Inge hangat sekali. Sayang
Monik terlalu cepat mengetuk pintu. Inge hampir kelabakan. Ingell Nama itu menyentak-nyentak di hatinya. Kalau tidak salah, ada pamannya di Buenos
Aires? Dan mereka kaya sekali, bukan? Bagaimana kalau...
"Anu, pakai baju apa dia?"
Steve gelagapan mendengar suara ibunya. Sejenak
dia bengong dengan sendok di tangan.
"I?lanneke, maksud Mama?"


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Steve meletakkan sendoknya dan menggaruk-garuk
lehernya.
"Entahlah. Lupa. O ya, dia kirim salam ke rumah."
Ah, betul-betul, pikir nyonya itu bersukacita. Steve
mengelap mulutnya, lalu tiba?tiba teringat pada sebuah
gaun hijau. Inge! Lagi?lagi dia. Datang bersama seseorang yang tidak dikenalnya. Mungkin anggota yang
jarang datang. Inge sendiri bukan anak PMKRI. Oh,
cantiknya dia. Dan caranya meliukkan pinggulnya...
pasti ahli dansa sebelum itu dilarang. Dan juga ahli...
aah, hangatnya bibirnya dan cerahnya P3K di pagi
itu! Masakan engkau tidak mampu menaikkan derajat
keluargamu? Bukankah engkau laki-laki? Masakan terhadap ibunya saja, dia tidak dapat membuktikan bahwa dia laki?laki? Bahwa dia dapat memperoleh gadis
seistimewa apa pun? Seistimewa yang dikehendaki ibunya? Kalau Monik kurang istimewa, well... tapi Monik
ini piala pertama, soalnya. Martin juga mengincarnya.
283 Kalau dia kalah, huh, akan makin sombong saja cukong Kota itu! Tapi, bila Monik ternyata menyukai
Martin?kadang?kadang mereka pergi?pulang kuliah
bersama?kebetulan! Dan persetan! Akan ditunjukkannya bahwa dia dapat memperoleh yang lebih?jauh
lebih?dari gadis itu! Kemarin malam misalnya, begitu
banyak gadis cantik di pesta, sehingga Monik kelihatannya menjadi biasa saja, walaupun kulitnya memang putih seperti susu dan wajahnya ayu. Tapi di
tengah-tengah mereka, dia tampak terlalu sederhana.
Bahkan sedikit kikuk dan mungkin kampungan. Lebih
menarik yang pakai anting?anting besar atau yang kalung manik?maniknya semeter panjangnya. Steve menghela napas puas. Sesaat itu, rasa bersalahnya terlupakan. Begitulah cara hidup modern: penuh kegembiraan
dan dinamika, juga di lantai pesta.
Ayahnya masuk dengan sebuah botol dan alat suntik. Langsung didudukinya kursi kosong di hadapan
Steve. Diturunkannya kacamatanya sedikit lalu dipandangnya anaknya.
"Kau bilang dulu, berapa cc?" tanyanya mengacungkan botol itu.
"Kan dulu dia sudah mengatakannya," tegur istrinya.
"Ya, aku tahu. Aku tahu. Aku tidak bertanya padamu!"
"Obat apa itu? B kompleks?"
"Tentu saja. Bukankah dulu kau sendiri yang bilang: B kompleks buat parkir? Berapa cc?"
"Eh, tadi malam dia ketemu anak si Piet. Kirim
salam buat kita," kata ibunya.
284 "Anaknya yang agak juling itu?" dengus ayahnya
sedikit terhina. "Mau apa dia kirim?kirim salam? Kita
belum ingin pilih menantu, bukan?"
"Tentu saja bukan yang itu. Ini adiknya, Hanneke."
"Aku tidak ingat siapa dia. Pokoknya, jangan cobacoba merayu anakku, kalau dia merasa kurang memenuhi syarat. I?luh, perempuan. Kalau melihat lakilaki tampan, calon dokter dan kaya?mungkin dia
tahu tentang warisan itu, Martha matanya menjadi
hijau. Boleh jadi engkau pernah mengatakannya pada
ibunya, bahwa Steve akan menerima warisan kalau dia
kawin. Pasti kau sudah kelebihan mulut."
"Mana bisa! Aku tidak pernah membuka rahasia
semacam itu."
"I?labis kalau tidak?"
"Mana aku tahu!"
"Pasti kau sudah lupa. Cobalah ingat?ingat, kau
tentu kelepasan omong dan..."
"Kau menuduh aku?" suara ibunya mulai melengking dan Steve mengubur mukanya dalam koran.
"Aku tidak menuduh engkau, setan!" bentak ayahnya, mulai naik darah. "Aku cuma bilang..."
"Papa, ada tamu," kata Lisa.
"Oh... oh... oh Papa segera datang... suruhlah duduk dulu. Jadi, berapa cc katamu?"
Steve menurunkan korannya dan mengangkat
bahu.
"Setengah setrip, Papa," dan dalam benaknya sudah
terbayang?bayang fantasi ayahnya terhadap tamu itu
mengenai kehebatan anaknya yang "sebentar lagi" sudah akan membuka praktek.
285 "Saya mau pergi dulu, Mam."
"Ke mana?" tanya ibunya menoleh.
"Ke rumah Inge," kata Steve melipat koran, lalu
menjawab tanda tanya dalam mata ibunya, "teman
kuliah. Cewek paling kaya di kelas!"
Ibunya tersenyum lebar dan Steve tiba?tiba merasa
ubun?ubunnya lega kembali.
286 XI IANG itu Alice dan ibunya membereskan barang
barang Robert di dalam kamar kedua saudara kembar itu. Ketika baru saja masuk, ibunya tertegun di
ambang pintu, seprai yang satu itu masih licin dan
bersih. Dan untuk selama?lamanya akan tinggal seperti
itu. Tidak ada lagi anak laki?laki yang akan tidur di
situ, dengan muka kepayahan terlalu banyak berenang.
Tidak ada lagi yang akan mengusutkan tempat tidur
itu. Dan perang bantal di kamar ini sudah berhenti.
Bantal Robert sudah dilempar ke atas genteng dan
dibiarkan di situ selama seminggu sebelum akhirnya
diberikan pada salah satu pelayan.
Alice melihat ibunya berdiri di ambang pintu. Dia
berhenti di belakangnya. Menahan napas. Kembali
ibunya menangis. Ibu selalu menangis bila dikiranya
tidak ada orang.
Entah siapa yang paling berduka dalam rumah ini.
287 http:!lhana-ohi.blogspot.com
Mama atau Martin. Mama menangis kalau sendirian.
Martin semalam?malaman tidak tidur dan bantalnya
penuh bercak?bereak air mata. Kadang?kadang dia menyelinap ke dalam taman ketika orang-orang lain tidur. Alice mengetahui ini, sebab kamar mereka bersebelahan. Kakaknya belum pernah berlaku serupa itu.
Malah dia mendapat julukan si Penidur. Dulu. Sekarang? Martin agak lain. Makin tenang dan melankolis.
Dan bila tidak ada orang di ruang tengah, berjamjam dia akan duduk di seberang altar, dengan muka
penuh tanda tanya dan keheranan, memandang potret
saudaranya yang baginya merupakan potret dirinya
juga. Martin merasa sebagian dari jiwanya sudah tidak
ada. Antara dia dan Robert terdapat sebuah ikatan
yang aneh, yang sukar diterangkan. Bahkan ibunya
mungkin tidak mengerti hal itu. Sebagian jiwa
masing?masing terdapat dalam diri yang lain. Ketika
Martin berjalan di muka pada pagi itu, menggendong
sebuah tempat abu, dirasanya sebagian dari dirinya
terpaku dalam peti indah yang berjalan di belakangnya.
Alice membiarkan ibunya sendirian. Tanpa bersuara,
dia pergi ke kamarnya dan menyusut air matanya. Dia
duduk sebentar di muka meja tulisnya, berbuat seakan?akan ada surat penting yang harus segera dibalas.
Ditenangkannya pikirannya. Diputarnya lagu lembutlembut. Sejak kejadian itu, tidak ada yang mau mendengarkan musik. Piano terkunci. Mungkin untuk
waktu yang lama.
Alice membiarkan pintunya terbuka dan mendengar
288 kan suara?suara dari kamar sebelah. Beberapa lama
keadaan sunyi. Ibunya tidak pernah bersuara kalau
menangis. Alice bangkit dan berbaring di tempat tidurnya. Dicobanya tidak berpikir apa-apa. Dipejamkannya
matanya. Entah berapa lama kemudian, baru didengarnya langkah?langkah ibunya. Alice mematikan radio
dan pergi ke kamar sebelah.
Mereka membongkar lemari Robert. Surat?surat
dari Leoni dikumpulkan dalam sebuah kotak. Masih
ada tentunya dalam koper, yang belum sempat dibongkar. Surat?surat itu langsung dialamatkan ke Bandung. Alice menimbang?nimbang: mungkin ada dua
kilo lebih. Ratusan. Tanpa menyentuh apa?apa, suratsurat itu disingkirkannya. Akan dikembalikan pada
Leoni. Juga cincin pertunangan itu. Alice mencobanya.
Kebesaran untuk jari manis. Tangan Robert besar dan
panjang.
Kemeja dan baju-baju lain dikeluarkan. Akan diberikan untuk anak?anak para pembantu dan orang?orang
kurang mampu di paroki.
Ibunya hanya duduk di lantai. Di mukanya setumpuk kemeja. Satu per satu lipatan-lipatan itu dibuka
dan dirabainya. Dielusnya lalu dilipatnya lagi. Kemudian diletakkannya dalam keranjang. Satu per satu dibukanya. Antara sebentar dia berhenti, seakan?akan
teringat sesuatu, namun kemudian cepat-cepat meneruskan pemeriksaannya.
Alice membuka koper yang dibawa dari Bandung.
Satu koper cuma buku?buku saja. Dikeluarkannya textbaak?text/aoa/e dan buku?buku catatan itu. Hampir setiap buku diberi sampul nona manis. Tulisan kakaknya
289 rapi dan terang. Berdiri tegak, menunjukkan penulisnya mempunyai pendirian tegas. Dan sama sekali tidak kekanak?kanakan. Banyak titik yang tidak ada,
memang. Sebab Robert sedikit masa bodoh seperti
Martin. Mengapa mesti pakai titik, katanya, bila engkau sudah tahu bahwa itu adalah i. Huruf?huruf besarnya yang tidak melingkar?lingkar menunjukkan bahwa
dia banyak berhasil dalam pergaulan. Dan cerdas.
Serta ramah. Huruf?huruf hidup yang banyak terbuka
menunjukkan kemurahan hati serta gemar mengobrol.
Itulah sedikit yang telah dipelajari Alice dari Abbe
Munchon, seorang rahib yang hidup dalam abad yang
lalu, dan seorang grafolog yang pandai.
"Alice," tegur ibunya ketika untuk beberapa lama
tidak didengarnya apa?apa, "kau tidur?"
"Tidak, Mama."
Ditutupnya buku itu dan disusunnya di lantai. Setelah berpikir sesaat, didorongnya mereka ke bawah
tempat tidur.
"Mama, apakah buku?buku ini mau dijual?"
Ibunya menunduk saja, membuka-buka lipatan kemeja dan mengelusnya sehingga gadis itu menyangka
ibunya tidak mendengar dia.
"Mama...."
"Biarkan saja dulu. Mengapa harus dijual?"
Ibunya tetap menunduk. Alice mengawasinya dengan diam?diam. Tiba?tiba dilihatnya sesuatu jatuh
menimpa kemeja di pangkuan ibunya. Alice lekaslekas membuang muka. Dia tidak ingin mereka berdua menangis. Martin tidak akan menyukai itu. Kalau
290 mau menangis, tentu setiap orang diharapkan akan
mengasingkan diri ke dalam kamar masing?masing.
Dompet Robert masih berisi uang. Selain itu ada
foto Leoni, kartu SIM golongan C, kartu kontrol
PTT, beberapa prangko baru, dan resi-resi pengiriman
surat tercatat pada Leoni. Alice meletakkan dompet
itu di atas tempat tidur. Beberapa majalah almamater
disingkirkannya tanpa dibaca.
Lonceng di luar berdentang satu kali. Setengah
satu. Mereka tidak dapat bekerja bila Martin sudah
pulang. Karena itu dengan cepat dikeluarkannya semua buku dan didorongnya ke bawah ranjang. Ibunya
masih tetap tenang?tenang membuka dan mengelus
dan melipat.
"Mama, sudah setengah satu. Sebentar lagi Martin
pulang."
Koper kedua dibuka. Sebagian dari pakaian?pakaian
yang dapat dibawa. Sisanya oleh Martin diserahkan
pada kebijaksanaan ternan-teman adiknya. Sebuah
mantel. Beberapa buah pet dan syal. Dengan cepat
diperiksanya kantong?kantong baju itu. Sebagian tampaknya kotor. Mungkin belum sempat dibawa ke binatu.
"Mama, ini rupa?rupanya pakaian kotor. Mau dicuci?"
"Hm?!"
Ibunya menoleh seakan-akan heran mendapati dia
di situ. Alice menunjuk setumpuk pakaian lusuh.
"Mengapa tidak dilipat rapi?rapi?"
"Pakaian kotor, Mama. Dicuci dulu, ya?"
)) "Iya.
291 Sisa koper itu tidak penting. Baterai. Mainan anak
kunci. Beberapa bolpoin. Satu kotak alat?alat menggambar mistar. Harmonika. Papan catur. Kartu?kartu
dan buku pedoman bridge. Suling bambu. Alat?alat
kecil seperti dasi, saputangan, ikat pinggang. Kacamata
hitam. Tustel kecil. Dan setumpuk surat serta gambargambar pemandangan dari Leoni. Yang terakhir ini
ikut masuk ke dalam kotak.
"Mama."
Alice menoleh. Adiknya berdiri di ambang pintu
dengan tasnya masih di bahu.
"Pulang?" tanya ibunya. "Sebentar lagi kita makan
ya. Letakkan dulu tas itu."
Simon mengangguk dan berjalan pergi.
"Sudah selesai, Alice?"
"Sebagian besar sudah. Kita hentikan dulu, Mama.
Besok disambung."
"Tunggulah sebentar. Mama hampir selesai."
"Tapi Martin hampir pulang."
Dia sudah pulang. Tanpa menimbulkan suara,
Martin tiba?tiba saja sudah berada di dalam kamarnya.
Dipandangnya mereka. Mula-mula keheranan, seolaholah minta keterangan mengapa barang-barangnya diobrak?abrik. Kemudian, ingatannya pulih dan matanya
kembali sedih.
"Sudah pulang, Martin?" tanya Alice.
Ibunya terkejut melihat anaknya sudah ada di situ.
Lekas?lekas dikembalikannya baju?baju yang belum
diperiksanya ke dalam lemari. Alice mendorong koperkoper itu ke luar kamar. Martin menghampirinya dan
mengangkat koper?koper itu.
292 "Lekas, Mama," kata Alice.
"Sudah."
Alice menjinjing keranjang berisi baju?baju yang
akan dibawanya ke pastoran.
*** Malam itu Martin masuk ke kamar setelah makan
malam. Dia ingin mengetik. Bersama dengan beberapa
teman, dia menyingkatkan textboak?textbook. Kuliahkuliah sebentar lagi akan dimulai dan tingkat empat
lama diharapkan akan dapat masuk ke klinik. Mereka
mendapat Rumah Sakit Persahabatan dari Depkes.
"Dari mulut harimau, masuk ke dalam lubang
buaya," kata seseorang berkelakar.
Seperti diketahui, rumah sakit itu hadiah dari
Rusia. Sebagai imbangannya, di daerah Jakarta Selatan
terdapat rumah sakit, hadiah dari Amerika dengan kapal HOPE mereka yang terkenal. Rumah Sakit Fatmawati.
Martin mengambil rokok dan korek api dari bawah
kasur. Dinyalakannya sebatang lalu diletakkannya mereka di atas meja. Tidak peduli siapa yang akan melihatnya. Dia merokok sebentar untuk meringankan
beban hatinya. Dia tidak dapat lupa jerit tangis Leoni
ketika gadis itu berdoa di depan altar adiknya. Betulkah di dunia ini ada gadis?gadis yang begitu besar
cintanya? Betulkah Leoni tidak akan melupakan kekasihnya seperti pengakuannya? Betulkah air mata itu
atau cuma kesedihan semata yang akan hilang terbawa
293 waktu? Betulkah Leoni untuk selama?lamanya takkan
mencintai siapa-siapa lagi?
Gadis itu datang pada suatu malam yang dingin.
Langsung dari airport. Ayah dan Ibu menjemputnya.
Martin masih belum tidur, meskipun jam sudah berdentang dua kali. Dia menjaga pintu, sebab ayahnya
tidak membawa kunci. Jam dua lewat, Alice mengetuk
pintunya.
"Bukankah pintu depan diketuk? Aku mendengar
seakan-akan bel berbunyi. Sekali."
"Aku tidak mendengar apa?apa. Mengapa tidak kaulihat sendiri?"
Martin tersenyum melihat adiknya membelalak.
Alice tentu saja takkan berani ke depan sendiri.
"Lihatlah sebentar."
"Oke."
Mereka berdiri di situ. Orangtuanya. Leoni. Dan
orangtua gadis itu. Dia mengangguk dan tiba?tiba sadar bahwa dia cuma memakai piama. Gadis itu memandangnya seketika, seakan?akan mau memeluknya,
tapi kemudian membatalkannya. Dia linglung, pikirnya dengan pahit.
"Biarkanlah kami masuk," kata ayahnya.
"Oh, maafkan saya," katanya tergesa?gesa kembali
ke kamar untuk menukar baju. Ketika dia mau keluar,
didengarnya jerit tangis itu. Sambil menggertakkan
gigi, dia duduk di kursi. Alice masuk dan duduk di


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas tempat tidur, memandangnya dengan penuh tanda tanya. Dinyalakannya sebatang rokok. Adiknya seakan-akan sudah biasa melihat hal itu. Mungkin juga
sudah lama dia tahu simpanan di bawah kasurnya.
294 Martin mengepulkan asapnya tanpa bergerak-gerak.
Tangis yang memilukan itu masih terdengar. Tiba?tiba
ada jeritan dari kamar Simon. Alice melompat ke luar
dan kembali dengan adiknya yang terisak?isak.
"Eh, kenapa?"
"Kak Robert datang... Kak Robert datang... Simon
takut...."
"Oh, engkau cuma mimpi. Janganlah menangis.
Engkau boleh tidur di sini."
Tapi anak itu tidak mau tidur di ranjang Robert.
Martin meletakkan rokoknya dan mendekati adiknya.
Kasihan. Anak itu betul?betul gemetar. Alice dengan
setia menyusuri air matanya.
"Oke, tidurlah di tempatku," dinaikkannya anak itu
ke atas ranjang dan menyelimutinya. Simon menutup
matanya sebentar lalu membukanya lagi.
"Jangan tinggalkan Simon."
"Tentu saja tidak," kata Alice sambil menyeret kursi
ke samping adiknya.
Jerit tangis itu masih keras. Sekarang terdengar
hiruk?pikuk mereka yang berusaha menghiburnya.
Jelas terdengar kata?katanya. Dia akan setia. Dia tidak
akan mencintai yang lain, dan sebagainya, yang semua
menunjukkan cinta seorang gadis. Betulkah?
Alice tertidur di atas kursi. Simon sudah lelap. Perlahan?lahan Martin bangkit dan tanpa bersuara membuka pintu kamarnya lalu keluar. Beberapa langkah
dari situ terdapat pintu yang menembus ke ruang tengah. Martin berdiri di ambang pintu, ragu?ragu apakah dia akan masuk.
295 "Robert!" dan sebelum dia sadar, gadis itu sudah
menubruknya.
Dengan gugup dia mencoba melepaskan diri dibantu oleh ayah Leoni. Orang tua itu membelai-belai
rambut putrinya dan membimbingnya ke sofa. Leoni
masih tersedu sedan.
"Biarkanlah dia bermalam di sini. Nanti masuk
angin di jalan. Martin, ambilkan obat penenang di
kamar Papa."
Leoni dibaringkan di kamar Alice, sementara ibu
dan bekas calon mertuanya menjaganya dengan mata
basah. Malam itu hampir?hampir dia tidak tidur.
Orangtua Leoni pulang jam empat pagi. Mereka segera pergi tidur. Tapi jam setengah tujuh, dia sudah
terbangun lagi. Gendut sudah menjemputnya.
Leoni diam di rumah itu tiga hari. Kerjanya merenung clan merenung. Akhirnya semua orang sependapat, bahwa sebaiknya dia dijauhkan dari segala sesuatu yang termasuk masa silam. Dia harus pergi dari
rumah itu dan tidak boleh melihat foto-foto tunangannya lagi. Perlahan?lahan dia harus dibujuk supaya mau kembali ke luar negeri, meskipun sekarang
dia masih menolak.
Martin meletakkan rokoknya dan mulai membuka
textbook di depannya. Dia menyingkatkan isinya ke
atas kertas coretan lalu mau ditik bila telah selesai.
Dia bekerja beberapa lama tanpa berpikir apa?apa.
Ingin cepat-eepat menyelesaikan tugasnya sehingga
akan mempunyai seluruh waktu untuk dirinya sendiri.
Tidur atau melamun. Sama saja. Melamun mengenang
296 kan saudara kembarnya. Dalam tidur pun, dia teringat
juga padanya.
Pada suatu malam, dia bermimpi diajak Robert
main layang-layang. Gembira hatinya bukan main.
Dan dia bertanya, "He, bukankah engkau sudah
mati?" Adiknya cuma tersenyum saja. Dan dia sama
sekali tidak merasa takut. Kata orang, arwah-arwah
tidak pernah berbicara dalam mimpi.
"Kak Martin, dipanggil."
Martin terkejut mendengar suara Simon yang tibatiba itu. Diputarnya tubuhnya.
"Dipanggil siapa?"
"Papa. Lekas," dan anak itu berlari kembali.
Dimatikannya rokok dan dibereskannya buku-bukunya, lalu keluar. Sejak kepergian Robert, ayahnya belum pernah berbicara banyak dengan dia. Bahkan dirasakannya dia dihindari ayahnya. Pernah sekali, didapatinya ayahnya tengah menatapnya dengan pandangan aneh.
Ayahnya sedang duduk. Merokok! Martin hampir
tidak memercayai penglihatannya. Sejenak dia berdiri
diam.
"Duduklah. Kau heran melihat aku merokok? Oh,
aku suka merokok. Setelah kalian lahir perlahan?lahan
aku mencoba menghilangkan kebiasaan itu. Sebab,"
ayahnya tersenyum, "ibumu tidak mengizinkan aku
mencium anak?anak dengan mulut bau rokok."
Ibunya duduk di samping Ayah, tidak ikut tersenyum. Alice dan Simon juga diam saja. Senyum ayahnya secepat kilat lenyap.
297 "Baik juga engkau mencobanya, Martin. Andai kata
engkau memerlukannya. Penenang saraf, asal tidak
berlebihan."
Dalam keadaan biasa, tentu dia sudah terbahakbahak menyatakan dia sudah merokok sejak zaman
dahulu. Tapi sekarang dia cuma mengangguk dan duduk diam menantikan kata-kata selanjutnya.
Ayahnya merokok terus. Seakan?akan berjam?jam
lamanya dibiarkannya ruangan itu sunyi senyap. Alice
asyik dengan bukunya. Simon dengan pekerjaan rumahnya. Dia tidak mau lagi menulis dalam kamarnya,
bahkan kadang?kadang maSih tidur bersama Martin.
Ibunya duduk diam tidak berbuat apa-apa. Suatu
kali, tengah memandang ibunya serupa itu, dia tibatiba dicekam perasaan takut jangan-jangan ibunya
menjadi gila. Tapi ibunya sehat dan seisi rumah mulai
menyesuaikan diri dengan sifatnya yang baru: duduk
termenung sendiri, kadang?kadang tidak mendengar
pertanyaan orang, dan pelupa.
"Martin, bagaimana dengan Basel?"
Martin tidak segera menjawab, kurang mengerti.
Basel? Ya, seabad yang lalu mereka pernah membicarakan hal itu. Dia mencoba mengulur waktu, berharap
Monik akan mau ikut. Ah, Monik. Lebih cantik dari
Leoni. Apakah dia akan menangis bila aku mati, pikirnya.
"Kemarin aku menerima surat dari bibimu."
Martin memasang telinga lebih tajam. Tapi, biarpun
Bibi akan memberinya warisan, dia toh tetap tak mau
pergi tanpa Monik. Apakah Monik mau mencintainya?
Akan berhasilkah dia.> Setiakah gadis itu?
298 "Dia bilang, begitu engkau tiba di tempat Paman,
engkau harus mengunjunginya."
Kalau dia mati, adakah yang akan menangisinya?
Seorang gadis seperti Leoni? Monik? Atau barangkali
betul kata teman?temannya: Monik dengan Steve?!
"Martin tidak boleh pergi."
Semuanya menoleh. Ibunya memandang mereka
berganti?ganti dan berhenti pada anak sulungnya.
Mukanya agak pucat sebab kurang istirahat. Dan
bibir?bibirnya seakan-akan tidak bergerak ketika dia
mengulang kalimatnya. Ayahnya menggeser lebih dekat dan menggosok?gosok pahanya sendiri.
"Ma, sadarkah engkau?"
"Lalu, kaupikir aku pingsan?"
Ayah mengalungkan lengannya pada bahu Ibu dan
menariknya dengan lembut.
"Ma, tentu engkau tidak sungguh-sungguh dengan
ucapanmu. Tentu engkau mengerti, bahwa Martin harus pergi. Untuk kebaikannya sendiri."
Ibunya menggeleng?geleng dan air matanya mengalir ke luar. Kepala yang cantik itu bergoyang?goyang.
Martin ingin melintasi ruangan itu dan memeluknya.
Ibunya tersedu sedan. Ayah membelai-belai rambutnya.
Aneh menyaksikan orangtua sendiri berkasih-kasihan
seperti pada layar film. Ayah meletakkan kepala lbu
di atas dadanya dan semua mengira, wawancara sudah
berakhir.
"Sudahlah, Ma," bisik ayahnya, "tidak baik menangis di depan anak?anak."
lbu menuruti nasihat itu dan membiarkan ayahnya
menyusuti kedua matanya.
299 "Dengarlah. Aku bukan mau membicarakan sesuatu
yang menyedihkan. Yang lalu, kita biarkan lalu. Sekarang kita memikirkan masa depan. Dunia tidak berhenti berputar ketika orang yang kita cintai pergi
meninggalkan kita. Waktu terus berjalan. Dia akan
menjadi kejam, bila kita tidak dapat mempergunakannya dengan baik. Jadi, harap kalian semua mengerti.
ini untuk kebaikan kalian."
Ibu melepaskan diri dari pelukan Ayah dan menyandarkan diri ke kursi. Martin melihat ayahnya
berganti?ganti menatap mereka bertiga.
"Kalau engkau pergi, Martin, dan berhasil di sana,
maka untuk Simon tidak ada persoalan lagi. Mungkin
Alice boleh pergi juga. Kalau begitu, mungkin Papa
dan Mama juga akan menyusul."
"Oh, tidak. Aku tidak mau pergi. Biarkan aku di
sini. Aku tidak mau meninggalkan dia."
Martin belum pernah melihat ayahnya begitu sabar
dan tenang. Kata?kata itu sama sekali tidak membuatnya bingung. Diulurkannya tangannya dan dipeluknya
kembali Ibu. Seperti anak kecil, Ibu ditepuk?tepuknya.
"Aku mengerti perasaanmu. Ah, aku mengerti."
"Papa, apakah saya harus pergi juga?" tanya Martin
akhirnya.
Ayahnya mengangkat muka dan memandangnya
dengan heran. Tangannya seketika berhenti bergerakgerak di punggung Ibu. Mukanya membeku.
"Mengapa: juga? Mengapa?" Dan sekonyong?konyong senyumnya berkembang ramah, "Untuk sesaat
300 aku berpikir bahwa engkau tidak mau pergi. Anakku
yang baik..."
"Tapi saya memang tidak mau pergi, Papa."
Ayahnya ternganga seakan-akan tidak segera mencernakan maksud anaknya. Senyumnya tinggal membeku dengan keramahan abadi. Ibulah yang lebih dulu
bereaksi.
"Betulkah itu, Martin?" bisiknya kurang percaya.
Martin mengangguk.
"Oh."
"Tapi... mengapa?" tanya ayahnya tiba?tiba sadar.
"Mengapa, Martin?"
"Sebab saya mau meneruskan apa yang ditinggalkan
oleh... Robert. Saya harus menyelesaikan pekerjaannya.
Dia ingin dibangunnya sebuah hari depan yang gemilang di sini, di tanah ini. Dia tidak mau pergi ke
mana?mana. Sekarang pekerjaan itu belum selesai.
Saya ingin meneruskannya."
Martin tidak memperhatikan keheranan orangorang di sekitarnya. Dia bicara terus. Dia bicara dan
bicara. Dan pada akhirnya dia merasa heran, bagaimana dia dapat berpidato sebanyak itu. Seakan-akan
bukan dia yang bicara. Sesuatu, jauh di dalam dirinya,
mendobrak ke luar. Suaranya, suara dia. Tapi kata?kata
itu: begitu meyakinkan, begitu bersemangat. Dia tidak
tahu dari mana datangnya. Dia tidak tahu apa yang
membuat ayahnya memujinya.
"Aku rasa, engkau betul," kata Ayah pada akhir pidatonya. "Aku harap, engkau betul. Kalian semua
akan membentuk generaSi muda yang penuh impian
gemilang?! Semoga impian itu dapat menjadi ke
301 nyataan. Jika engkau yakin bahwa itu adalah apa yang
kaukehendaki, seperti juga apa yang dikehendaki
Robert, maka Papa setuju saja."
Laki-laki itu melintasi ruangan dan berdiri di muka
anaknya.
"Sesukamu, anakku. Yang terbaik menurut pikiranmu. Aku di sampingmu."
Mereka berjabatan tangan, kuat dan erat.
Martin sudah naik ke atas tempat tidur ketika Alice
mengetuk pintunya yang tidak pernah dikunci dan
berdiri di ambang pintu dalam gaun tidurnya yang
kuning. Rambutnya terurai lepas. Cantik sekali.
Martin tercengang sehingga tidak segera membuka
mulut.
"Martin, aku malu sekali!" kata adiknya pelan.
"Bahkan Papa begitu senang, hampir?hampir memujamu. Aku malu. Engkau menjual nama saudaramu
untuk menutupi rahasiamu! Engkau mau tinggal di
sini karena perjuangan, katamu? Bukan karena gadis
itu? Bukan karena Monik?"
"Alice!" serunya agak keras.
"Tidak perlu membangunkan Simon!"
"Engkau salah paham. Siapakah yang tahu jiwa
Robert lebih dari aku?"
Tapi Alice sudah pergi dan menolak penjelasannya.
Martin mendengar suara napasnya sendiri, halus dan
teratur seperti gesekan daun?daun willow.
"Engkau salah paham," gumamnya seakan?akan
adiknya masih berdiri di situ. "Monik dapat dibujuk
pergi. Ah, engkau salah paham."
302 *** Pagi itu Miki dan Paul tidak mau pergi ke sekolah.
Ketika Ibu masuk ke kamar mereka, dilihatnya kedua
anak itu masih tidur. Sebenarnya sudah bangun, tapi
memejamkan mata lagi ketika mendengar langkah?langkah Ibu. Lisa duduk di atas tempat tidurnya dan berusaha membongkar bonekanya. Sambil bernyanyi?nyanyi kecil, dia tidak tahu bahwa kakaknya sudah berbaring kembali. Lisa baru duduk di kelas tiga dan sekolahnya mulai jam sebelas. Michael kelas enam sedangkan Paul kelas empat.
Sejak G?30?S sekolah?sekolah sering bolos, sebab
anak?anak sekolah menengah pergi demonstrasi sedang
adik?adiknya dari SD terpaksa tinggal di rumah. Suatu
ketika, pernah terjadi tembak?menembak dekat sekolah
dan anak?anak itu tidak dapat pulang. Karena itu setiap kali ada demonstrasi, para ibu menahan anakanak kecil mereka di rumah.
Ibu Steve dengan kain celemek di pinggangnya berdiri di pintu kamar. Dilihatnya boneka yang begitu
bagus sudah hampir berantakan.
"Aduh, Lisa," serunya berlari, "apa?apaan ini? Engkau perusak betul? Sudah berapa popi yang masuk
keranjang sampah? Kaurusakkan itu, Mama tidak mau
membelikan yang baru."
Lisa tersenyum saja. Sama sekali tidak terpengaruh
oleh ucapan ibunya.
"Lisa!" bentak ibunya. "Turun! Serahkan popi
itu!"
Anak itu terkejut juga mendengar bentakan ibunya.
303 Dia turun dan dengan segan menyerahkan bonekanya
yang diletakkan Ibu di atas lemari yang tinggi. Aduh,
susah sekali mengambilnya nanti, pikirnya.
"Keluar! Mandi! Ayo, cepat!"
Setelah Lisa keluar, wanita itu menghampiri kedua
anak laki-lakinya.
"Miki, mengapa belum bangun? Tidak sekolah?"
Anak itu diam saja. Selimutnya diangkat.
"Miki."
"Ya, Mam."
"Sekolah cep, cepat."
"Uh, sakit... sakit kepala, Mam."
Hampir saja dia mau mengatakan sakit gigi padahal
itu akan buruk akibatnya: berakhir di kursi dokter
yang menakutkan itu.
"Sakit kepala?" tanya ibunya sambil meraba dahinya
lalu meninggalkan dia tanpa berkata apa?apa.
"Dan kau, Paul? Mengapa belum bangun? Paul?
Paul? Bangun. Paul, sudah siang."
Paul pura?pura kaget dan menggeliat.


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekolah."
"Aduh... aduh... aduh...."
"Kenapa lagi?"
"Sakit perut, Mam."
"11%", cukup. Bangun, kalian berdua. Dan lekas
mandi. Sekolah."
"Mam, hari ini ada demonstrasi."
"Alasan apa lagi, pemalas? Lekas bangun! Atau aku
panggil Papa!"
Tapi anak?anak itu tidak mau bangun, menyebabkan
ibu mereka berteriak?teriak memanggil Ayah. Steve
304 dan Alex yang tidur di kamar sebelah terbangun karenanya.
"Huh, sudah setengah tujuh. Demonstrasi hari ini,"
kata Alex melompat bangun.
"Kabarnya mau ke Kedutaan RRC di Gajah
Mada?"
"Memang. Kau ikut?"
"Oh, aku selalu combat ready. Kalau ada demonstrasi,
tentu ada gunanya P3K. Siapa tahu, yah! Siapa tahu,"
kata Steve mengangkat bahu.
"Aduh, ada apa lagi dengan mereka. Ada apa,
Maru?"
"Lihatlah adik?adikmu," teriak ibunya. "Tidak mau
sekolah."
Steve masuk ke dalam kamar sebelah.
"Hari ini demonstrasi," kata Miki melihat kakaknya.
Steve menggosok?gosok hidungnya.
"Itu betul. Hari ini ada demonstrasi."
Sebelum berangkat ke kantor, ayah Steve selalu
memberikan jewawut dulu bagi kelima ekor parkitnya.
Dia bersiul?siul dan merayu mereka supaya mau makan. Kadang?kadang istrinya marah, sebab dia lebih
memperhatikan burung?burung itu daripada anakanak.
Laki?laki itu akan menurunkan letak kacamatanya
dan bilang, "Habis. Kalau aku tidak memperhatikan
mereka, tidak ada yang memelihara makhluk?makhluk
cantik ini."
"Cantik, he. Burung?burung jorok itu kaukatakan
cantik?"
305 "Temperamen Belanda," gumamnya.
"Bagaimana dengan anak?anak?"
"Untuk mereka, kan ada engkau? Apa yang harus
aku lakukan untuk mereka? Aku sudah menyediakan
uang, tinggal engkau yang harus mendidik semuanya."
"Bagus. Engkau terima senangnya. Kalau sekolah
tinggi, engkau gembar-gembor ke kiri ke kanan. Seluruh dunia harus tahu. Hm."
Pertengkaran semacam itu sudah biasa bagi telinga
anak?anak. Mereka tidak ambil pusing. Paling?paling
Ibu akan menangis atau Ayah membanting piring.
Pagi itu Steve melihat ayahnya sudah membungkukbungkuk di depan kandang kelima burung celaka itu.
Mulutnya mencucut?cucut dan dari tenggorokannya
keluar suara?suara aneh yang bagi parkit?parkit itu
mungkin merupakan pernyataan cinta yang mesra.
"Lihatlah Papa," kata ibunya menggeleng?geleng,
"aku menjerit?jerit memanggilnya tapi dia tidak peduli. Melihat anak?anak belum mandi, dia cuma tanya: kenapa tidak sekolah, dan tidak pula memperhatikan jawaban Paul. Terlalu."
"Biarkan saja, Mam," kata Steve tertawa. "O ya,
hari ini masak bistik, ya?"
"Dengar, Siti. Tuan Muda mau biqfstu/e. Lekas ke
pasar. Kau cari daging haas yang bagus. Beli daun selada, tomat, wortel, boonces, kentang. Kau mau kentang goreng atau puree, Steve?"
"Puree juga boleh," sahut Steve dari kamar mandi.
"Apa? Bistik? Bukankah minggu lalu baru bistik?"
seru Alex.
306 "Biarlah kalau dia menyukainya."
"Tapi saya tidak suka!"
"Kau mau apa?"
"Lebih baik bikin fu?yonghay."
"Sekarang terang bulan, mana ada kepiting. Lainnya
saja."
"Sudahlah. Tidak usah apa?apa. Barangkali juga hari
ini tidak usah makan," kata Alex marah lalu menambahkan, "Siapa tahu pergi demonstrasi hari ini, tidak
kembali lagi!"
"Alexll"
Ayah berdiri di muka dapur dengan wajah puas sebab anak?anak angkatnya sehat?sehat.
"Ada apa?" tanyanya ramah melihat istrinya naik
pitam.
Wanita itu membelalak melihatnya lalu mendengus
dan membalikkan tubuh. Suaminya mengangkat bahu
lalu duduk di tneja dapur. Dihirupnya kopinya.
"Kurang manis."
"Gula habis, Tuan," kata babu.
"Mengapa tidak beli?"
"Di warung tidak ada."
"Mengapa tidak pergi ke Glodok?"
"Ke Glodok? Ya, ke Glodok. Sedangkan untuk
ngobrol dengan nyonya sebelah, aku tidak ada waktu.
Anak?anak begitu nakal."
"Oho, kan anak?anakmu juga?!"
"Tertawa kau, ya. Coba kaurasakan diam di rumah!"
"Dan coba kaurasakan mencari uang! Susahnya! Zaman sepi. Perdagangan lesu. Luar negeri masih bim
307 bang-bimbang terus. Kata seorang asing: lain waktu
Tuan membakar gedung Kedutaan Inggris, lain waktu
lagi Tuan musuhi Sovyet Rusia. Lain waktu lagi, bagaimana kalau perusahaan saya dinasionalisasi? Cobalah
kau cari uang, kalau tidak kontan menjadi langsing."
"Jadi aku sekarang tidak langsing?"
"Entahlah. Kalau delapan puluh senti masih termasuk langsing!"
"Siapa bilang delapan puluh? Cuma tujuh puluh
tujuh. Baru kemarin aku ukur. Sekarang kau bilang
aku tidak langsing, ya? Tempo dulu, hm. Kau sembah
aku. Barangkali menjilat kaki pun, engkau tidak keberatan."
Steve keluar dari kamar mandi dan ibunya menyetop bicaranya.
"Eh, Steve, ada orang bilang, parkit yang tidak mau
makan boleh diberi wiski. Berapa cc?"
"Entahlah. Belum pernah dengar, Pap."
"Ada teman Papa, parkitnya puluhan. Untuk
jual."
"Ya. Lebih baik begitu," kata ibunya, "untuk jual.
Jadi ongkos makannya bisa kembali."
"Burung?burungnya itu getnuk?gemuk. Papa tanya
makan apa. Katanya, sakit sedikit diberi wiski. Lupa
tanya, berapa cc. Papa pikir, engkau pasti tahu."
Ya, ini yang membuatnya jengkel. Setiap orang mengira dia tahu setnua. Duduk di kedokteran dengan
kuliah?kuliah yang masih kacau dan gedung yang setengah hangus dan semua orang mengira dia dukun
ajaib.
"Tidak tahu."
308 "Barangkali setengah setrip juga, ya. Ada satu yang
kelihatannya kuyu. Nanti malam, Papa mau kasih
wiski. Setengah setrip."
"Apa? Disuntik wiski?"
"Tentu. Kalau tidak, bagaimana? Teman Papa tidak
mengatakan bahwa peliharaannya minum sekian
sloki."
Steve mengangkat bahu sambil berjalan ke kamarnya.
Ayahnya memperhatikannya dengan rasa bangga.
"Kalau anak kita sudah praktek, pasti aku boleh
pensiun."
*** Setelah selesai masak, kira?kira jam sebelas, nyonya
rumah duduk bermain orgel. Benda itu warisan dan
sudah agak tua, tapi suaranya masih lumayan. Satusatunya orang yang menyukai orgel itu di samping
ibunya adalah Lisa. Kadang?kadang dia berdiri di samping Ibu sampai permainan selesai.
"Main Stille Nadal, Mam."
"Ah, kan belum Kerstmis. Renya Rasmi, ya?"
Lisa mengangguk. Apa saja, asal untuk dia. Lagulagu Maria tentu saja bagus?bagus. Seisi rumah itu
Katolik. Pada bulan Mei dan Oktober, anak?anak yang
masih kecil mau juga sembahyang rosario bersama
Ibu. Steve dan Alex sudah latna menolak. Kekanakkanakan, kata mereka, dan tidak modern. Ibu tidak
bisa bilang apa?apa, sebab mereka mencontoh Ayah
yang sepanjang tahun membiarkan rosarionya tergantung tidak disentuh.
309 Lisa mendengarkan ibunya main beberapa lagu. Makin lama terasa makin merdu. Sebentar dia berdiri di
atas kaki kirinya. Sebentar lagi pindah ke kaki kanan.
Tapi dia tidak mau bilang capek, sebab lagu?lagu itu
mengasyikkan. lbu main sampai jam satu, yaitu sampai pintu depan didobrak dan kedua berandal itu
masuk minta makan. Lisa kesal betul, sebab setelah
makan, tentu lbu akan menjahit dan tidak ada waktu
lagi untuk orgel.
Alex pulang lebih dulu. Setengah jam kemudian
masuk Steve. Dia tertawa gembira sambil mengosongkan isi kantongnya ke atas meja. Adik?adiknya mengelilinginya dan berteriak-teriak kegirangan. Pensil, karet
penghapus, bolpoin.
"Dan lihatlah apa yang aku peroleh!"
Alex tersenyum ke kiri ke kanan seperti tukang sulap sebelum pertunjukan dimulai. Dituangnya isi ranselnya. Auuuuu, teriak anak-anak lalu berebut mengambil gula?gula yang terserak di situ. Selain itu ada
berpuluh?puluh batang rokok 555. Ibunya menghentikan mesin jahitnya dan tercengang memandang ke
atas meja. Berpuluh?puluh pensil dan bolpoinll Di
mana lagi anak?anak itu telah merampok? Atau ada
Sinterklaas dan Zwarte Piet yang ikut demonstrasi?
Demonstrasi! Kata itu menghantam kepalanya seperti palu. Oh, janganlah anak?anaknya seperti itu.
Mereka bukan perampok! Bukan! Mereka punya rumah dan orangtua.
"Lihatlah, Mami," teriak Lisa sambil membuka sebuah bonbon. "Enak, Mam. Mau?"
310 Alex memandang ibunya sambil tertawa. Ibunya
mengelakkan pandangan itu.
"Dari mana itu semua?"
"Dari mana lagi? Kedubes RRC."
"Apa itu?"
"Kedutaan Besar Tiongkok, Mam. Dekat Glodok.
Uh, rame deh. Banyak juga yang luka?luka. Ya, Steve?"
"Kalian tidak merampok, bukan?" tanya ibunya terkejut.
"Oho... tentu saja tidak. Dibagiin," kata Steve tertawa dan melirik adiknya.
"Betul. Dibagiin."
"Jangan bohong!"
Alex memandang ibunya dan sekonyong?konyong
dia tertawa terbahak?bahak. Badannya bergoyang?goyang seakan?akan ada sesuatu yang amat lucu. Ketiga
adiknya memandangnya dengan rupa aneh. Ibunya
membuat tanda salib dalam hati, karena melihat tingkah laku anaknya macam bandit jalanan. Mengapa
tadi pagi dilihatnya rambut itu rapi tapi sekarang gondrong seperti playboy? Mengapa biasanya ketawa mereka manis tapi saat itu seperti begal?
"Mami oho... ho... ho... seharusnya Mami ada di
situ tadi! Kita mau masuk. Mula?mula secara damai.
Untuk mengajukan protes terhadap siaran?siaran radio
Peking. Tapi mereka tidak mau tahu. Kita tidak boleh
masuk. Siapa yang salah, ya, Steve?"
Alex melirik kakaknya sementara ibunya memandang mereka dengan mata terbuka lebar-lebar. Steve
tidak mengacuhkan adiknya. Dia terlalu asyik dengan
air esnya, hampir mati kehausan.
311 "Kita mau masuk, mereka bertahan. Tidak tahu lagi
siapa yang mulai menembak. Pokoknya terjadi tembak?menembak. Untung tentara lekas datang. Kalau
tidak... hm... pulang nama saja mereka ke tanah leluhur. Ha... ha... ha...."
"Alex!" jerit ibunya dan itu menghentikan tertawanya. "Jangan bilang bahwa engkau juga sudah mulai
membunuh orang?"
"Jangan khawatir. Tadi, saya tidak kebagian pistol.
Kalau tidak..."
"Alex!"
Alex menjulurkan lidahnya dan menjilat bibirnya
yang panas kekeringan.
"Mereka juga membunuh kita, Mam. Mereka rnembunuh jenderal?jenderal itu."
"Alex, umur berapakah engkau? Tahukah engkau
apa artinya politik? Mengertikah engkau bahwa itu
adalah permainan kotor, di mana pun terjadinya dan
dari mana pun asalnya?! Politik itu bersedia membunuh, baik dari Timur maupun dari Barat. Mama
harap, engkau cuma akan memusatkan perhatianmu
pada bangku sekolah. Titik. Waktu untuk politik?politikan itu belum tiba bagimu. Mengerti?"
"Oh, jadi Mami tidak setuju kita demonstrasi,
Steve."
"Mama setuju, kalau itu hanya berupa protes yang
akan membawa perbaikan pada kita semua. Tapi tidak
dengan senjata api. Tidak dengan membunuh. Perkara
itu bagian dari tugas?tugas penjaga keamanan."
Alex mengangkat bahu.
"W/ell, bagaimanapun, mereka juga memegang sen
312 jata. Jadi untuk keselamatan diri, kita terpaksa ikut
menembak. Kita dobrak pintu naga mereka. Aduh,
Mam, banyaknya barang?barang di sana ini sih tidak
ada artinya."
Senyum Alex mengapung di udara, ketika dia memandang ibunya. Wanita itu menelungkup di atas
mesin jahit dan menangis.
"Mami... kenapa?" tanya Lisa siap juga mau menangis.
"Lisa, pergi!" bentak Steve. "Yang lain juga pergi!
Pergi!"
Ketiga adiknya lari ke samping rumah, ketakutan.
Steve memandang adiknya lalu mengangkat bahu. Mereka masuk ke kamar, meninggalkan lbu menangis
sepuas hati.
"Dia tidak mengerti, Steve," kata Alex melempar
sepatunya ke bawah ranjang.
"Ya, dia tidak mengerti. Dia tidak mengerti kesenangan yang kita peroleh tadi."
"Ha... ha ha bagaimana dengan Papa?"
"Papa? Ha... ha ha...."
313 XII ONIK sudah selesai bersolek, ketika Steve datang siang itu.
"Yuhuui," siulnya, mencium bau harum yang dibawa angin.
Monik tersenyum gembira mendengar pujiannya.
"Ayo, masuklah. Jangan berdiri di pintu."
"Mau ke mana?" tanya Steve sambil melemparkan
diri ke atas kursi dan melipat kakinya. "Mau les?"
Karena iseng, Monik mengambil les Jerman bersama Anita, dua kali seminggu.
"Bukan," sahutnya menggeleng, "aku mau ke rumah Bibi. Besok kan libur?"
Hampir dikatakannya bahwa dia perlu meminjam
uang untuk bayar kos sebab kiriman belum datang,
namun dibatalkannya. Monik ingat Steve selalu menertawakan orang?orang yang tidak punya atau suka berutang.
3 l 4
E-Booh by syauqy_arr
"Sekalian main ke rumah Martin!" suara Steve sedikit sinis.
"Aku kan teman baik adiknya," tukas Monik.
"Huh!"
"Cemburu?"


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, tidak. Tidak. Zaman sekarang segala apa cepat
berubah. Janganlah mimpi terlalu manis. Siapa tahu
aku akan terbujur juga seperti adik si Martin. Siapa
tahu, esok-lusa kita tidak berjumpa lagi. Ha... ha...
ha... Dan siapa tahu, kelak engkau pun tidak akan
mencintai aku lagi!"
Suara Steve yang sinis itu teringat kembali oleh
Monik ketika esoknya dia main ke rumah Alice dan
mendengar Martin terbahak-bahak. Alice baru saja
menceritakan pengalamannya ketemu setan di Puncak.
"Aku tidak melihatnya sendiri, sebenarnya," katanya. "Tapi Ijah, yang mengurus Vila, melihatnya. Aku
jadi menggigil lho. Mana saudara sepupuku penakut
bukan main!"
"Mereka tidak tidur semalaman!" seru Martin lalu
terbahak?bahak, menceritakan bagaimana tengah malam pintu kamarnya diketuk oleh tiga orang gadis
yang hampir beku ketakutan. "Aku buka pintu penghubung. Mereka tidur lagi. Lalu suatu ketika terdengar
suara benda jatuh ke lantai. Serentak ketiganya menjerit, 'Maaartiiiin...' Ha... ha... ha...."
"Ya, engkau sengaja menjatuhkan koper itu ke
lantai!" kata Alice merengut, dan Monik pura?pura tidak melihat lucunya perbuatan Martin itu.
"Hei, bagaimana kalau kita weekend ke vila?" tanya
315 Martin mau mengambil hati adiknya. "Nanti aku ajak
juga Gendut. Anita pasti mau kalau engkau ikut.
Nik."
"Kasihan Mama sendirian di rumah," kata Alice,
hilang kekinya mendengar usul iru.
"Oh, kita ajak juga. Mama, Papa, dan Simon dapat
nginap di Cipanas. Bagaimana?"
*** Mereka tiba di vila Jumat sore. Ibu Alice memeriksa
sebentar keadaan ruangan dan kamar-kamar serta semua keperluan tidur. Lalu dia omong?omong sedikit
dengan suami-istri Jaya yang memelihara vila.
"Nah, Tante tinggal dulu ya. Alice, untuk makan
malam sudah ada dalam tantang. Makan pagi akan
diurus oleh Ijah. Untuk makan siang, ajak kawan?kawanmu ke Cipanas. Mama mau nginap di Hotel
Maras, kalau ada tempat. Kalau Mama tidak ada di
sana. Oom Johny tentu akan tahu di mana kita."
Alice mengangguk. Pengurus hotel itu adalah kenalan baik ayahnya. Begitu Pigeot putih itu menghilang, Martin segera memasukkan Caravan putihnya ke
dalam garasi di samping vila. Alice segera berlari masuk sambil menyeret temannya, Jane. Hari sudah setengah enam lewat. Air menjadi dingin bukan alang
kepalang, tapi mereka terpaksa mandi, sebab keringat
sudah bercampur dengan debu jalanan.
Selesai makan malam, mereka berjalan?jalan di luar.
Tiga orang membawa senter. Alice, Gendut, dan
Martin. Gendut segera menarik tangan Anita dan ja
316 lan di depan. Monik melompat ke samping Alice tapi
Jane lebih cepat lagi. Mereka bergandengan, jalan di
tengah. Terpaksa Monik menunggu Martin dan berjalan di sampingnya. Martin mengulurkan tangannya,
tapi Monik pura?pura tidak melihat. Hatinya sedikit
tidak enak, entah mengapa.
Mereka berjalan sambil bernyanyi?nyanyi. Martin
selalu berusaha menggembirakan orang-orang di sekelilingnya dengan humornya, tertawanya, namun dalam
hati siapa tahu. Monik yakin, luka hatinya karena kehilangan saudaranya masih belum sembuh.
Malam betul?betul gelap pekat. Tanpa senter, pastilah kaki terantuk batu. Bulan yang diramalkan tadi
sore oleh Martin, ternyata tidak muncul. Mungkin
salah ramal atau ditutupi awan.
"'Hari?hati, lubang," teriak Gendut.
Semuanya menunduk mengamat-amati jalanan. Tapi
lubang itu rupanya cuma ciptaan Gendut belaka.
"Mana?" teriak Monik pura?pura marah, sementara
Martin bersiul perlahan?lahan mengikuti nyanyian ketiga gadis yang lain. Red River Valley.
Udara dingin. Angin mengiris muka seperti benangbenang gelasan. Masing?masing merapatkan mantelnya.
Alice dan Jane berjalan berpelukan. Anita juga lebih
dekat lagi dengan pengawalnya. Monik dan Martin
berjalan sendiri-sendiri. Martin mengarahkan sinar
lampu ke kaki Monik. Beberapa mobil yang lewat
mendapat salam dari mereka. Ada yang membalas.
Seorang Barat. Tapi kebanyakan sudah menutup jendela dan tidak mengacuhkan mereka. Mungkin juga
317 mobil?mobil itu mengira, itu prosesi gila?gilaan dari
anak zaman sekarang.
Tidak berapa lama, ketika mereka mendekati tikungan, Gendut berseru lagi, memperingatkan ada
batu besar. Dengan tidak peduli, Monik asyik menyanyi dan tidak mau terkecoh lagi. Tidak sedap mendengar tertawa Gendut di tengah gunung: mengikik
seperti setan.
"Awas batu," seru Jane, tapi sudah terlambat.
Monik berjalan tepat di belakangnya dan tidak ada
waktu untuk menghindarkan diri. Monik terperosok
ke depan sambil berseru kaget. Sebelum dia mencium
tanah, Martin dengan tangkas menangkapnya dan memeluk bahunya. Semua orang menoleh sebentar lalu
terus lagi berjalan tanpa menghentikan nyanyian mereka. Monik menyandarkan diri pada bahu temannya.
Kagetnya belum hilang. Dan alangkah lembutnya pelukan Martin. Dia teringat pelukan lain: ketat dan
penuh tuntutan. Sentuhan Martin halus seperti kapas.
"Kaget?" bisiknya.
"Sedikit."
Rambut Monik yang mulai panjang itu jatuh menimpa lengan Martin, halus dan harum.
Sampai di dekat Happy Valley, mereka kembali ke
vila. Angin sudah makin dingin. Tanpa malu?malu
Monik merapatkan diri sebab dinginnya hampir tidak
tertahan. Juga Anita dan Gendut sudah berangkulan.
"Bagaimana kalau di Basel?" kata Monik perlahan
sambil tersenyum menengadah, menatap wajah tampan
di atasnya.
31,8 "Aku tidak jadi pergi."
Martin tersenyum amat manis. Monik tidak mengerti, mengapa dia tiba?tiba merasa gembira mendengar hal itu. Mengapa?
"He, borjuis ikut nyanyi dong," teriak si Gendut
dengan suara setengah serak. "Kaupikir aku ini tukang
ngamen di Pasar Baru? Sedang menyanyi untuk tuan
besar?"
"Oke. Oke."
Lampu di depan vila cukup terang. Anita tetap berpelukan dengan kekasihnya sampai ke dalam rumah.
Tapi Monik melepaskan diri dan lari ke dalam. Dia
langsung masuk ke kamar tidur dan menyelimuti diri.
Alice mengikutinya keheranan.
"Tidak enak badan?"
"Monyet! Dinginnya! Aku lupa pakai kaus kaki.
Aduh, kakiku beku."
"Aku panggil Martin? Dia suka memijit kakiku kalau dingin."
"Jangan, setan. Aku tidak apa?apa."
"Kalau begitu, lekaslah keluar sebelum dia datang
sendiri menearimu," kata gadis itu tertawa sambil menutup pintu.
Monik berdiam agak lama di bawah selimut. Mungkin lima menit atau lebih. Seluruh tubuh dirasakannya
menggigil. Mungkin dia sudah tidak biasa dengan
udara dingin. Sejak datang di Jakarta, belum sekali
pun dia pulang ke Malang. Selalu bergantian ibu atau
ayahnya yang datang, kadang?kadang disertai salah seorang adiknya.
Ketika dia akhirnya keluar kamar, setiap orang te
319 ngah menikmati segelas kopi panas. Yang pertamatama membuatnya sadar adalah seseorang yang berdiri
dalam gelap dekat relung jendela.
"Sori, aku betul?betul kedinginan."
Gendut melontarkan pandangan mencela ke arah
jendela.
"Bagaimana sih kau ini? Apa saja yang kaukerjakan
di jalan tadi? Sampai dia kedinginan begitu? Lihat,
lututnya menggigil. Engkau asyik dengan dirimu sendiri, he?"
Terdengar suara tertawa yang tenang dan Martin
keluar dari gelap. Diambilnya segelas kopi dan dihampirinya Monik.
"Untuk menebus dosa."
Monik berdiri diam dengan kedua tangan terlipat.
"Ayo, ambillah. Tidak diberi racun."
"Belum," teriak Gendut.
"Belum diberi racun," ulang Martin, "tapi ada sabun bubuk kalau mau."
"Boleh aku duduk dulu?"
Gendut lekas?lekas bangkit dan membawa sebuah
kursi sambil menginjak kaki Martin.
"Silakan, Tuan Putri. Dan ini untuk menghangatkan
badan."
Sebelum Martin sadar, gelas kopi di tangannya sudah direbut si Gendut. Dia tersenyum memperhatikan
sandiwara di mukanya.
"Mana bulan itu?" tanya Jane tidak pada siapasiapa.
"Dia tidak keluar, Nona Manis. Lihat. Banyak
awan, kan?"
320 "Ah, betapa dinginnya kalau malam nanti turun
hujan."
"Justru tidak. Sebab angin biasanya mati kalau ada
hujan."
"Siapa yang perlu selimut dua? Nanti boleh menyewa."
"Mengapa tidak main sesuatu? Atau kita pergi tidur
saja?"
"Baiklah. Kita main Zwarte Piet. Ada arang?"
"Tidak ada. Pakai bolpoin saja."
Martin bangkit dan menutup semua jendela. Kunci
pintu diputarnya lalu gorden ditarik. Nah, begitu,
teriak seseorang, kan lebih hangat.
Si Gendut tiba?tiba melihat ada Johnny XWalker dalam kaca bufet.
"Mengapa kausembunyikan, monyet?"
"Aku kira kau tidak suka. Itu punya kenalan ayahku yang sering kemari."
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark 06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini