Ceritasilat Novel Online

Gema Sebuah Hati 5

Gema Sebuah Hati Karya Marga T Bagian 5


"Tidak peduli siapa punya. Ada yang mau?"
"Boleh coba. Tidak berbahaya."
lsi yang cuma setengah itu sekarang tinggal seperempat. Masing?masing merasa siap untuk mulai main.
Korban pertama: Jane. Pada ronde kedua: Gendut.
Ketiga: Monik. Keempat: Monik. Ketika kelima kalinya dia juga yang kena coret, Monik berteriak mengatakan semuanya main curang. Buktinya, tanya
mereka. Monik terpaksa memberikan pipinya untuk
dicoret si Gendut.
Sebelum tidur, Monik mengambil cream untuk
membersihkan coretan?coretan itu. Dia tersenyum
dongkol melihat ke dalam cermin. Tiga buah coretan
321 telah membentuk sebuah hati tertembus panah di pipi
kanannya. Mereka telah berkomplot!
*** Inge yang pertama kali menyambutnya di ruang
kuliah. Dia mengenakan baju baru dari bahan yang
mahal. Sudah tentu hadiah dari klien ayahnya. Monik
memujinya dalam hati: merah bata dengan tenda
pleats putih. Tapi dia tidak memberi komentar apaapa, pura?pura tidak memperhatikan baju itu. Inge
amat suka dipuji dan itu tidak disukai Monik. Untuk
memancing pujian, Inge mengobral pujian. Hampir
setiap kali bertemu dia akan bilang: aduh, bajumu
bagus atau rambutmu menarik atau tas yang kaupakai
itu keren, beli di mana?! Padahal sesungguhnya tidak
sedikit pun dia menaruh perhatian pada orang lain.
Melulu dirinya sendiri.
Gadis?gadis lain, berdasarkan sopan santun, akan
mengembalikan bumerang itu dengan: bajumu juga
bagus, Ing. Tentu dari luar negeri, bukan?! Atau mukamu halus, pakai make?up apa, arau engkau pantas sekali menyisir rambutmu seperti ini. Tapi Monik tidak
pernah menghargai pujian Inge. Pujian yang terlalu
sering, merupakan penghinaan! Suatu kali Inge memuji bajunya yang sudah agak hilang warnanya.
"Bajumu ini bagus lho. Aku baru kali ini melihatnya. Baru, ya?"
Ini sudah keterlaluan. Monik tidak peduli apakah
orang?orang di dekatnya akan mendengarnya.
"Tapi aku sudah memakainya ratusan kali. Waktu
322 tentamen Pediatri. Waktu ikut demonstrasi. Sama sekali tidak baru. Dan juga jelek. Bule. Memuji atau
menghina nih?!"
Inge merah padam dan sejak itu dia tidak lagi memusingkan Monik dengan segala puji?pujian palsunya.
Dia memindahkan sasaran pada Tina dan Lani.
Monik melihat Inge tersenyum dari jauh. Mesti ada
apa?apa, pikir Monik, sambil bersiap?siap.
"Halo, Monik, kau kelihatan segar pagi ini."
Mulai lagi, pikir Monik dengan jemu.
"Betulkah?"
"Betul. Dan mukamu merah. Pergi ke mana, weekend?"
"Tidak ke mana?mana."
"Oh. Aku dengar kalian pergi ke Puncak."
"Oh ya, aku lupa. Sudah pikun. Dosen sudah datang?"
"Belum. Mungkin tidak datang. Tapi aku sudah
menyediakan tempat untukmu di barisan depan."
"Wah, terima kasih."
"Enak ya, jalan?jalan. Lain kali ajak?ajak dong."
"Ah, capek, lnge. Lain kali aku tidak mau lagi.
Mana tempatku?"
"Mari aku antarkan."
Demi setan, pikir Monik. Pasti anak ini sudah
menghafalkan buku Dale Carnegie sepuluh kali: bagaimana memikat hati orang. Begitu manis permukaannya, tapi begitu pahit dalamnya. Monik lupa: semut
menjilat di permukaan, mereka tidak punya urusan
dengan bagian di dalam.
323 *** Dua hari setelah itu, Ahmad berulang tahun. Steve
mengajaknya melihat bioskop setelah kuliah, tapi
Monik menolak. Dia sudah berjanji akan membantu
menghiasi kue ulang tahun. Steve memilin?milin cambangnya sambil tersenyum dingin tapi dia tidak berkata apa?apa.
Seperti biasa, pulang kuliah Steve mengantarkannya
sampai pintu samping. Siang itu Monik tergesa?gesa
berlari ke dalam sebab Bibob sudah tampak menanti.
"Selamat siang!" teriak Steve dengan dongkol.
"O ya. Selamat siang, Steve," balas Monik sambil
menoleh secepat kilat.
"Mana kue itu, Bob?" tanyanya terengah?engah.
"Di meja makan. lbu sudah membuat macam?macam mentega. Putih, merah, hijau, dan cokelat."
"Ibu sedang menghias?"
Ahmad mengangguk dengan bangga. Monik melempar tasnya lalu masuk ke dalam. Diana tengah menghias piring selada. Ella menggunting?gunting kertas
dibantu anak?anak. Seorang gadis hitam manis tengah
mengeringkan piring?piring.
"Terlambat saya, Tante?"
""Tentu saja tidak. Tante baru mulai. O ya, kenalkan
dulu, ini Yanti dari Yogya."
Monik mengulurkan tangannya disambut oleh gadis
manis itu dengan spontan.
"Kapan datang?"
"Baru tadi pagi."
324 Wajahnya bujur telur. Matanya hitam bersinar?sinar.
Bulu matanya panjang dan lentik. Alisnya bagus. Bibirnya kecil. Hidungnya mancung. Kulitnya cokelat dan
bersih sekali.
"Makanlah dulu. Yang lain sudah. Ambil saja di
lemari ya. Mejanya sudah penuh."
Monik mengambil sepiring nasi dan duduk dekat
Tante. Yanti telah selesai dengan piring?piringnya dan
mulai dengan sendok?garpu.
"Ti, Ti, tolong ambilkan Mbak kesumba merah di
dalam. Di bufet. Lala, antar Tante."
Ketika Yanti tidak kelihatan, Tante berbisik, "Tunangan Suryanto, adik Tante. Dia mau ke Kalimantan,
menengok kuburnya. Dia..." Tante berhenti sebab gadis itu sudah kembali dengan barang yang diminta.
Monik makan cepat?cepat lalu membawa piringnya
ke dapur.
"Sedikit amat, Monik."
"Kan perut harus kosong untuk nanti sore, Tante."
Jam empat baru kue itu selesai dihias. Semuanya
menyatakan bagus, tapi rupanya Ahmad yang paling
gembira. Dia melompat?lompat dan mengganggu adikadiknya. Terpaksa keempat anak itu disuruh tidur dengan ancaman: tidak boleh ikut pesta nanti sore.
Ella dan Yanti memasang kertas?kertas beraneka
warna pada dinding dan lampu. Diana meniup balonbalon.
"Nah, selesai," kata Tante melihat semuanya. "Pergilah tidur dulu. Nanti pusing kepala."
Jam lima Steve datang. Monik baru saja bangun.
"Duduklah dulu. Aku mandi lima menit."
325 Steve mengeluarkan rokoknya dan menyalakannya
sementara menunggu. Dinaikkannya kakinya ke atas
meja. Dengan lagak tuan besar, dia merokok sambil
memperhatikan anak?anak bermain di jalan. Mereka
main tok kadal. Karena jalan di situ jarang dilalui mobil, jadi tidak begitu berbahaya. Aspalnya cukup licin
dan bersih. Steve teringat, waktu kecil dia jago tok
kadal. Kalau sudah kalah berat, lawannya akan menjerit?jerit, "Lu bule. Mama lu bule," dan ibu anak itu
akan tergesa?gesa keluar rumah menyeret anaknya pulang. Sebab kalau tidak, pasti anak itu akan biru lagi
matanya kena tinju Steve.
"XX/ah, triple 151/e nih," seru Monik.
Steve cepat?cepat menurunkan kakinya. Monik
mengambil kursi di hadapannya dan menyorongkan
sehelai kertas.
"Iyem suka jengkel kalau ada abu di lantai," katanya seakan minta maaf.
Steve menjentikkan abu rokok ke atas kertas lalu
memasukkan tangannya ke saku celana.
"Ini untukmu," katanya mengeluarkan lima buah
pulpen merek Hero.
Monik tercengang tidak mengerti. Merah. Hijau.
Biru. Hitam. Kuning.
"'Apa?apaan?"
Steve tertawa.
"Mengapa. Tidak suka? Untukmu."
Monik mengambil satu. Dibukanya. Masih baru.
Belum berisi tinta.
"Ha... ha... ha... kaupikir aku memberikan barang
326 bekas? Masih baru, Manis. Masih dalam kotak tadinya."
"Lantas? Apa yang terjadi dengan kotaknya?"
Steve tertawa gelak?gelak. Bukan main senang hatinya sore itu.
"Ha... ha ha... aku tidak tahu, engkau suka kotak?kotak pulpen. Kalau tahu, tentu aku tidak akan
menembakinya. Aku bawa pulang."
Monik mengecilkan matanya tapi dia tidak berkata
apa?apa. Diletakkannya kembali benda di tangannya.
"well, kenapa?"
Tok, tok, tok. Monik bangkit dan membuka pintu
sebelah dalam.
"Dari Nyonya," kata Iyem membawa dua piring
kue dan dua gelas sirop.
"Oh, terima kasih. Bibob ulang tahun," sambungnya
pada Steve.
"Mana dia?"
"Di dalam, Tuan."
"Suruh kemari, Yem. Bilang, Oom Steve mau ketemu."
Iyem mengiakan lalu pergi. Monik memandang
Steve dengan penuh pertanyaan. Dari mana itu? Dia
ingin sekali tahu, dari mana. Tapi untuk menanyakannya, tidak. Terima kasih. Dia tidak berani mendengar
apa yang mungkin terjadi dengan pemilik pulpen?pulpen itu. Oh, semua orang sudah mendengar seribu
satu desas?desus. Tapi: Steve! Salah satu di antaranya?
Mereka tidur di sekolah?sekolah yang dijadikan markas. Mereka memanggil pelacur?pelacur. Mereka menyiksa orang?orang: gerpol maupun maling. Mereka
327 meminta sumbangan ke rumah?rumah. Mereka menginjak-injak cita-cita mereka sendiri. Tapi: Steve?! Dia
merampok toko kelontong? Atau minta sumbangan
dari pemilik warung?
Steve? Steve juga? Steve juga? Steve jugaaall
Steeeveee???
Ahmad muncul di pintu dengan celana cokelat dan
kemeja berdasi kupu?kupu.
"Aduh, Bob, manisnya," seru Monik tertawa dan
mengacungkan tangannya. "Selamat ulang tahun ya."
Steve meraih tangan kecil itu dan menjabatnya eraterat. Ahmad tertawa berseri?seri. Steve mengambil sebuah pulpen merah dan memberikannya pada anak
itu. "Untuk Bibob. Mesti rajin?rajin di sekolah ya," kata
Steve.
"Biar pandai seperti Oom Steve," sambung Monik
menyindir.
"Terima kasih, Oom," kata anak itu kegirangan dan
sudah mau berlari pergi.
"Tunggu dulu, Bob. Mau kado dari Tante, kan?"
Monik masuk ke kamarnya dan keluar dengan sebuah bungkusan besar berpita merah.
"Jangan dibuka sebelum meniup lilin nanti malam
ya? Janji?"
Ahmad mengangguk dengan serius. Sungguh menyenangkan melihat wajah anak?anak: gembira polos
dan tanpa prasangka.
"Terima kasih, Tante Monik," lalu dia berlari ke
dalam.
"Kau beri dia apa?"
"Pokoknya bukan barang curian," sahut Monik ketus.
"Ha ha ha... kausangka aku mencuri? Juga triple
fue ini? Jangan salah sangka, Manis. Ini semua dari
Kedutaan Besar RR ."
"Oh."
"Begitu banyak barang. Dan tidak ada pemiliknya.
Menolong diri sendiri sedikit, apa salahnya? Benda itu
beratus?ratus jumlahnya. Aku cuma ambil segenggam.
Belum kaulihat anak?anak lain. Ambil kain Cina. Mesin tik. Mesin hitung."
"Oh."
"Mengapa engkau tampak ketakutan amat? ltu hal
yang biasa, bukan? Yang menang boleh merampas
yang kalah, kan?"
"Jadi engkau... merampas?"
"Ayo, jangan sentimental. Di mana?mana akhir peperangan selalu begitu."
"Oh," Monik menantang Steve dengan mata berapiapi, membuat Steve berpikir betapa cantiknya dia.
Dicobanya tertawa.
"Dengarlah, Monik. Semua orang melakukannya.
Mengapa kita tidak?"
"Bukankah engkau bagian P3K?"
Steve rupanya teringat sesuatu dan tiba?tiba menjadi
marah.
"Tentu! Tapi aku bukan banci seperti si Martin
yang diam terus di mobil. Padahal semuanya cuma
luka?luka ringan. Satu orang menunggu kan cukup."
"Jangan menjelekkan orang lain."
"Apakah dia tidak menjelekkan aku? Hm!"
329 "Maksudmu?"
"Engkau tentu tahu maksudku."
"Tidak."
"Bila engkau mau melindungi banci itu dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah menjelek?jelekkan
aku, sesukamu."
"Tapi dia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang
engkau," kata Monik tidak mengerti seraya mengerutkan kening.
"Juga si Gendut, tidak?" ejek Steve.
"Sama sekali tidak."
"Bohong! Dusta!"
"Steve!"
"Tidak mungkin engkau mau pergi ke Puncak bersama mereka, bila mereka tidak mengatakan apa?apa
tentang diriku. Dan engkau sama sekali tidak memberitahu, engkau mau pergi Jumat lalu!"
Steve betul?betul marah. Tapi Monik juga penasaran.
"Bagaimana aku harus memberitahu? Engkau jarang
kuliah. Rabu, Kamis engkau bolos. Jumat pagi engkau
pura?pura tidak mendengar ketika aku memanggil.
Apakah engkau berharap, aku akan berlari-lari mengejarmu?"
Steve diam. Diambilnya sebatang triple fue dan disulutnya. Dia merokok beberapa lama tanpa menghiraukan nona rumah. Monik melihat kue di atas
meja. Tidak sopan kalau tidak dimakan. Diambilnya
piring Steve dan disorongkannya.
"Makanlah."
Steve mengambilnya dan meletakkannya kembali.
330 Monik mengambil piringnya dan makan. Lalu tneletakkan kembali piringnya yang kosong. Diangkatnya
gelasnya.
"Makanlah kue itu. Nanti Tante marah," kata Monik
akhirnya, melihat Steve diam.
Steve melempar puntung rokoknya ke luar jendela
lalu meneguk gelasnya. Dibungkukkannya badannya
ke muka dan dipotongnya kue itu dengan garpu.
"Kalau engkau tidak mencintai aku lagi, katakanlah," katanya sambil menyuap kuenya. Monik ternganga seketika sehingga tidak menjawab. Steve memandangnya dengan sinis.
"Aku maklum," katanya, menelan kue, "dia lebih


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari aku. Segala?galanya. Lebih tampan. Lebih kaya.
Lebih baik. Aku tahu hati perempuan."
"Tidak! Engkau tidak tahu!" teriak Monik. "Engkau
berprasangka yang bukan-bukan. Mereka baik?baik
semua."
"Itulah apa yang kukatakan tadi. Mereka terutama
Martin?lebih baik dari aku. Dan... lebih kaya!"
Monik ingin rasanya berlari ke dalam dan tidak
mendengar suara Steve lagi, tapi ditahannya dirinya.
"Sebenarnya, ada apa antara kau dan mereka? Apa
yang dapat mereka katakan untuk menjelekkan engkau?"
Steve membuang muka dan menggeleng.
"Bukan urusanmu. Atau... kautanyakan sendiri pada
mereka! Ya, kautanyakan sendiri pada mereka. Dan
setelah itu, aku takkan datang lagi kemari, sebab engkau pasti..."
"Steve! Mengapa bicara yang bukan-bukan?"
331 "Pasti saat itu engkau takkan menghendaki aku
lagi."
"Aku akan selalu menghendaki engkau, Steve."
"Oho! Segala apa memang cepat berubah sekarang
ini. Engkau sudah mempunyai pengganti, bukan?"
"Steve!"
"Apa yang kauceritakan pada Inge tentang weekend
yang romantis itu? Dengarlah! Aku takkan mampu
menyediakan sebuah vila bagimu. Jadi berlakulah dewasa dan katakan selamat tinggal tanpa air mata!"
Monik menghapus air matanya dengan marah. Marah pada diri sendiri.
"Steve, aku minta maaf kalau aku menyakiti hatimu. Aku takkan pergi lagi. Bagaimanapun, itu ide
Alice, adiknya. Dan aku temannya. Martin dan Gendut cuma mengawal kami."
Steve bangkit dan berdiri di mukanya sambil menggoyang?goyangkan anak kunci. Monik menengadah
dan mencoba membaca pikirannya. Nihil. Mata yang
hitam itu cuma membayangkan kemarahan dan dendam.
"Oke. Aku mau pulang."
"Steve."
Steve menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Apakah engkau bertengkar dengan mereka?"
"Tidak, Nona Manis. Tidak. Tidak ada yang dapat
bertengkar dengan temanmu yang baik itu dan kacungnya."
"Oh."
Dia mengatakan si Gendut kacung? Steve? Mengapa
begitu? Monik melihat bayangan Steve menghilang,
332 lalu didengarnya suara pintunya diempaskan kemudian
suara motor didorong ke luar dan akhirnya bunyinya:
makin lama makin jauh dan kemudian lenyap. Keadaan terasa sunyi. Monik duduk terus di kursinya.
Dia tidak peduli lampu?lampu belum dinyalakan. Pikirannya pusing. Steve! Dulu begitu baik. Ketika dia
melihat namanya di papan bersama ketiga yang lain,
dia begitu gemetar dan rendah hati. Dia betul?betul
khawatir waktu kena skors dan pergi memohon?mohon tanda tangan simpati dari para dosen. Dan
Martin sudah mengumpulkan semua tanda tangan
anak?anak yang mungkin akan menolongnya. Tapi
kini? Betulkah dia sudah menjadi orang penting?
Berapa penting? Mengapa dia sampai jadi pemarah
begitu? Apakah kekuasaan serta pengaruhnya terhadap
pemimpin? Dapatkah... dapatkah... dia mengeluarkan
musuh?musuhnya dari sekolah? Oh, betapa berbahaya.
Ada urusan apa antara mereka? Apa kesalahan Martin
dan Gendut?
Monik menatap empat buah benda itu dengan pandangan kosong. Yang merah, sudah untuk Ahmad.
Yang kuning untuk Lala. Biru untuk Toto. Hijau untuk Rudi. Hitam untuk Peter. Akan dibelinya satu
lagi, untuk Nancy.
*** Hari itu mereka kuliah penyakit mata di Rumah Sakit
Persahabatan. Rumah sakit itu cukup baik sebenarnya.
Monik terutama menyukai tanah?tanah luas yang sengaja dijadikan taman. Sayang tidak terurus. Bila rum
333 put sudah panjang, mereka tidak memotongnya tapi
membakarnya atau mendatangkan kambing?kambing.
Satu?satunya macam bunga yang tumbuh segar adalah
bunga serdadu merah dan putih. Menurut suster tertua, tanaman itu sudah ada sejak dulu.
"Kalau kita lihat dari udara, maka jalan semen itu
akan tampak seperti palu arit," katanya.
"Mungkin untuk memudahkan dropping parasut,"
tambah seseorang tertawa.
Entah benar atau tidak, tapi Monik memang heran
juga melihat jalan melalui taman itu yang tidak
keruan sambungannya.
Sesuai dengan gaya Rusia, sebuah pintu dari tiaptiap bagian menembus ke dalam taman. Pintu?pintu
itu waktu zaman dokter-dokter Rusia mungkin dipergunakan dan tamannya tentu cantik. Tapi sekarang,
mereka terkunci sebab taman itu telah berubah menjadi prairi yang tandus. Tidak menarik lagi.
Rumah sakit itu terdiri atas tiga bagian yang menyerupai kotak geretan. Masing?masing bertingkat satu
kecuali bangunan pertama yang bertingkat dua. Di
tingkat ketiga: Bagian Kebidanan yang merupakan bagian paling bersih di situ. Di tingkat kedua bagian
pertama ini terdapat Bagian Bedah dan kamar operasi.
Untuk mengangkut pasien?pasien terdapat sebuah lift
yang sering kali mogok atau berhenti di tengah
udara.
Bangunan pertama menyambung ke poliklinik yang
sempit dan selalu penuh sesak dengan pengunjung.
Bangunan kedua merupakan bagian penyakit paruparu, tempat orang?orang yang tampaknya sehat du
334 duk berjemur dari hari ke hari, sambil menantikan
vonis dokter: pulang atau mati.
Di antara bangunan pertama dan kedua, terdapat
dapur rumah sakit. Karena letak bangunan?bangunan
yang saling berjauhan itu, letak dapur di situ tidak
menimbulkan keberatan apa-apa. Kuman-kuman TBC
sudah akan mati di tengah lapangan botak, sebelum
masuk jendela dapur.
Bangunan ketiga untuk penyakit tropis seperti
berak-berak, sakit tifus, dan merupakan bagian yang
paling banyak mengisi kamar mayat. Dalam bangunan
ini juga terdapat tempat tinggal seorang dokter yang
terdiri atas dua buah kamar, dan ruang?ruang kuliah
para suster. Nah, mahasiswa Trisakti meminjam ruangruang kuliah ini.
Karena jumlah suster?suster lebih sedikit dibandingkan dengan mahasiswa, sering kali mereka mesti pindah ke ruangan yang lebih sempit. Dan calon?ealon
suster itu dengan senyum manis memeluk buku masing?masing lalu pindah tanpa protes. Mereka serbaramah dan baik hati.
Ruang kuliah kecil itu sebetulnya kamar lab. Ada
wastafel. Dindingnya dari porselen putih. Tidak ada
jendela dan kipas angin tidak jalan. Ruang yang lebih
besar juga tidak mempunyai jendela, tapi kipas angin
sering kali masih mau berputar.
Sejak Trisakti masuk, sebagian dari ruang penyakit
dalam itu diubah menjadi Bagian Anak?anak. Para
mahasiswa mengurus sendiri semuanya: membeli alatalat, menjahit selimut, seprai, sarung bantal. Dan
alat-alat itu cukup rumit: piring, gelas, waskom,
335 nierbe/e/ean, bedpan, dan sebagainya. Pengalaman jadi
mahasiswa swasta, gerutu Markus.
Pada setiap kantor atau bagian, terdapat telepon?telepon lokal yang semuanya sekarang mengaso di pojok,
sebab rusak. Entah apanya yang rusak. Pada setiap 10rong terdapat sebuah jam besar. Bagus. Tapi setiap
hari selalu menunjukkan waktu yang sama: di lorong
pertama dekat lab dan apotek: pukul delapan, di 10rong dekat hidroterapi lain lagi waktu yang ditunjuk,
di lorong ketiga: jam empat, di loteng: jam enam, di
loteng lain: jam dua, dan begitu seterusnya. Rusak.
Sayang. Tapi rusak. Amat sayang. Barang?barang itu
amat berharga.
Pada dapur lokal, di setiap bagian, terdapat ketel
pemasak nasi yang besar. Tidak pernah dipergunakan.
Mungkin tidak praktis. Tapi menurut seorang suster:
rusak. Tiap bagian mempunyai lemari es buatan Rusia.
Juga rusak. Yang masih jalan mungkin di Bagian Kebidanan dan Bedah. Sebab suster?suster Bagian Anak
selalu kalang kabut kalau perlu es kompres. Kalau
yang empunya lemari es itu kebetulan tidak di tempat,
orangtua terpaksa membeli es di jalan.
"Rusaknya telepon itu menyulitkan," kata seorang
suster. "Bayangkan. Kita dari sini mesti pergi ke bangunan pertama untuk menghadap dokter jaga. Kalau
malam sudah larut, hujan deras dan kita sendirian
tanpa senter, aduh! Bukan apa?apa. Tapi lorong?lorong
penghubung itu kan terbuka semuanya. Basah kalau
hujan. Licin setengah mati. Mana lampu?lampu di
situ tidak ada yang menyala. Kalau jatuh, siapa yang
akan tahu? Jauh dari mana?mana?!"
336 "Tapi nanti kan akan diberi telepon baru," hibur
Polok yang cepat mendapat tempat di hati para suster.
Hari itu mereka duduk-duduk dekat dapur umum
sambil menanti dosen. Martin mengeluarkan sepucuk
surat dari bukunya dan memberikannya pada Ketua
Kelas.
"Dari mana?"
"Dari Jerry. Kemarin datangnya."
Anak?anak segera duduk lebih mendekat. Juga Steve
ada di situ. Monik selalu memperhatikan ketiga orang
itu, tapi mereka tampak biasa saja. Kalau Steve mengatakan sesuatu, Gendut akan tertawa paling keras,
menggantikan tempat Jerry, si tukang ketawa. Bila
Martin membuat lelucon, Steve ikut terbahak-bahak.
Mungkin salah paham itu sudah hilang, pikir Monik,
sebab Steve juga sudah bersikap biasa padanya. Dia
tidak pernah menyinggung weekend itu dan Monik
tidak pernah membicarakan pulpen-pulpennya.
"Ayo, cepat baca!"
"Tunggu! Prangkonya bagus amat. Buat aku ya,
Martin?"
"Ambil. Tidak usah bayar."
Kalau Robert masih ada, pasti sudah diguntingnya
prangko itu. Tapi sekarang albumnya sudah tidak ada:
disimpan di bawah tanah buat selama?lamanya.
Ketua Kelas membaca surat itu.
Halo Jakarta,
Di sini Los Angeles. Apa kabar di sana? Tidak
ada yang kena bayonet atau hilang kepala, aku ha
337 rap? Sebenarnya sudah lama aku mau menulis surat, tapi aku takut kena sensor dan menyusahkan
kalian. Bahkan keluargaku baru kira?kira sebulan
yang lalu aku kirimi surat. Kami di sini sungguhsungguh tidak tahu, apa yang telah terjadi di Indonesia. Koran?koran bilang Dewan Jenderal golongan kanan yang di?coup oleh Dewan Revolusi
PKI. Lalu jenderal?jenderal dibunuh. Dewan Revolusi berhasil digulingkan kembali dan mereka membalas dendam dengan menyapu bersih semua anggota PKI dan orang?orang yang dicurigai. Terutama
di tempat?tempat dengan indikasi banyak simpatisan PKI, kata koran?koran di sini, terjadi pembantaian hantam kromo. Apakah lebih baik kebanyakan membunuh daripada takut ketinggalan
satu benih yang kemudian dapat berkembang biak?
ltu pertanyaan orang?orang di sini.
Aku pusing sekali. Setiap orang bertanya: apa
yang tengah berlangsung di negaramu dan selalu
terpaksa menjawab: aku sama butanya dengan engkau sendiri.
Karena itulah, beri aku keterangan yang jelas.
Apa yang telah terjadi.) Mereka bilang, mahasiswa
dan mahasiswi sama-sama jaga malam dan hidup
bebas. Betulkah? Oh, betapa kuharap, aku juga ada
di sana dan ikut jaga malam! Mereka bilang, beberapa gadis menjadi hamil. Di sini hal itu jarang
terjadi sebab prevensi sudah baik (jangan tuduh
aku yang bukan?bukan lho, sebab belum ada cewek yang tertarik padaku berkat doa Anita yang
mujarabl).
"Wah, Gendut, bagianmu menjawab surat ini dan
menghajar dia. Maki seenakmu."
"Biar saja dia ngecap," kata Gendut tenang?tenang.
"Toh dia tidak dapat berbuat seperti aku di sini terhadap... ahem. Biarlah dia mimpi dan melamun terus."
"Hei, apa yang telah kauperbuat terhadap Anita?"
tanya Martin keheranan.
Anita bukan main merahnya. Seperti kepiting rebus.
"Setan! Jangan omong yang bukan?bukan. Beltim
tentu aku tidak akan menyusul si Jerry kalau dia kirim tiket!" tantang Anita.
"Satu?nol."
Gendut cuma dapat menghela napas dan menggaruk?garuk kepala.
Aku turut berdukacita dengan wafatnya Res
Publica dan di?get-nut?nya pendiri?pendirinya. Bagaimanapun, maksud mereka luhur sekali dan seumur hidup kita akan berterima kasih pada mereka. Setuju? Kita tidak usah peduli politik deh,
pokoknya waktu itu kita butuh sekolah dan mereka bersusah payah membangunnya. Salut! Kabarnya sekolah kalian sekarang ini?tentunya bukan
sekolahku lagi?mendapat bantuan dari Nederland?
Semoga lekas kuliah lagi deh.
Selama satu bulan, aku tinggal bersama kakakku. Malu deh dengan teman?teman. Sebab mereka
semua umumnya berdikari kecuali kalau kaya sekali. Karena itu aku lekas?lekas cari apartemen
baru. Kalau sudah masuk universitas, tentu saja
aku akan tinggal dalam kampus. Mungkin masuk
339 FK akan terlalu sulit dan mahal. Jadi aku barangkali akan masuk sekolah analis saja.
Hidup di sini teratur meskipun harus kerja
keras. Masa depan lebih pasti asal tidak malas.
Dan cewek?ceweknya, aduh, aduh. Aku tidak mau
cerita banyak?banyak tentang mereka, khawatir ada
yang iri.
"Kalau kau masih cinta pada Jerry, bilang-bilang
ah," tiba?riba kata Gendut uring?uringan. "Supaya aku
tidak usah traktir?traktir nonton segala. Kan aku jadi
dapat kesempatan untuk melihat-lihat gantinya."
Bukan main si Gendut! Anita tidak berkutik dibuatnya. Semua orang menertawakannya.
"Seharusnya engkau ikut Bing Slamet, Dut," kata
Tina.
"Huss... dosen
"Sedikit lagi."
"Sambil jalan deh."
'"
Nah, aku rasa cukup sekian dulu. Aku belum
berani tulis banyak?banyak, takut di sana ada sensor. Tapi kalau semua oke, aku akan tulis segerobak
penuh. Jangan lupa, ceritakan sejelas?jelasnya apa
yang sebenarnya terjadi. Terutama mengenai nasib
mereka yang sama?sama diskors dengan aku. Halo,
Markus, Steve, dan Polok: sudah jadi tuan besar
sekarang?
Semua orang sepakat, Steve yang harus membalas
surat itu dan memenuhi permintaan Jerry. Steve me
340 nolak dengan berbagai alasan. Monik tidak ikut?ikut.
Dia cuma memandang kekasihnya dan tiba-tiba berpikir: Steve tidak pernah peduli akan orang lain. Dia
tidak pernah menghargai atau memperhatikan temantemannya. Entah dari mana datangnya pikiran itu dan
itu amat mengganggu.
Gendut merebut surat itu dari Ketua Kelas dan
memberikannya pada Steve.
"Sebaiknya engkau jawab surat ini, Steve. Sekali-sekali berbuat jasa untuk teman, boleh, kan? Lagi pula,
kau tahu sendiri kalau aku yang membalasnya, takkan
beres jadinya. Pasti geger. Dan kau tidak menghendaki
hal itu, bukan??!"
Monik kaget sekali mendengar kata-kata Gendut.


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu sebuah ancaman. Dan Steve begitu pucat, tidak
berdaya membantah. Bibirnya terkatup erat-erat. Kalau
begitu memang ada apa?apa antara mereka. Dicarinya
Martin dengan matanya. Pemuda itu dengan tenang
tengah berjalan paling belakang, kedua tangannya dalam saku dan matanya asyik menatap bunga?bunga
serdadu sepanjang lorong. Dia berlalu seakan-akan tidak mendengar kata-kata temannya. Anak?anak lain
tentu saja lain lagi tafsirannya. Menurut mereka, kalau
Gendut yang membalas pasti Jerry akan dimaki-maki
sebab membawa-bawa Anita, sang kekasih, dan itu
akan membuat geger. Tapi Monik tahu pasti, ada sesuatu yang tidak beres. Apakah itu?
Dilihatnya Gendut membelalak dan memasukkan
surat itu ke dalam saku kemeja Steve. Mereka berjalan
terus dengan hati lega.
341 XIII ARI itu Monik dengan Anita dan Tina pergi ke
department store Sarinah, sehabis kuliah. Inge
diajak juga, tapi tidak mau. Meskipun Monik sekarang
tidak lagi rapat dengan dia, mereka tetap berteman.
Monik tidak pernah menanyakan, apa yang telah dikarangnya di hadapan Steve tentang weekend mereka
tempo hari. Inge rupanya merasa sendiri bahwa dia
dijauhi oleh teman?temannya yang dulu. Tidak ada
yang peduli padanya.
Sarinah lebih tepat dijadikan tempat windows/Joppz'ng daripada shopping sungguh?sungguh. Sebab
harga-harga di situ cuma terjangkau oleh nyonya
Merci atau Opel Kapitan. Beberapa jenis cita ada juga
yang murah, tapi kasar dan motifnya tidak membangkitkan selera.
Mereka menaiki eskalator ke bagian buku-buku.
Cari textbook dan buku?buku cerita. Zaman Orla,
342 http:]lhana-ohi.blogspot.com
sukar betul cari buku pengarang?pengarang Barat. Tapi
sekarang berlimpah. Malah pengarang-pengarang
Belanda sudah turut menghias stan?stan buku itu.
Cuma harganya yang... dibilang mahal sih tidak untuk
yang berduit, tapi... mahal juga.
"Mestinya untuk barang-barang kebudayaan dan
pengetahuan, pemerintah memberi subsidi kek," gerutu Tina, "supaya kurs dolarnya jangan setinggi ini.
Kan buku itu penting untuk kemajuan generasi muda?
Kalau generasi muda tolol-tolol semua, melempem,
nanti pemerintah mati, siapa yang gantikan?"
"Sudah, sudah. Punya uang, beli. Tidak punya, boleh lihat?lihat saja. Tutup mulut."
Seorang anak laki-laki menoleh sebentar ke arah
mereka lalu menekur lagi. Membaca komik. Anak itu
manis. Mungkin baru sepuluh tahun. Rambutnya berombak. Datang sendiri ke situ untuk membaca. Tina
menunjuk anak tadi.
"Coba dibuatkan perpustakaan rakyat seperti di
Moscow, kan dia tidak usah berdiri?diri begitu! Siangsiang begini spesial kemari mau baca. Kasihan, kan.
Sedangkan di Rusia ada perpustakaan..."
"Ssst, bicara hati?hati. Kau mau dituduh antek?antek
PKI? Kau tidak akan pulang lagi. Jangan sok ngatur ah.
Sekarang masih hidup, sudah bagus," kata Anita.
Tina menjulurkan lidahnya.
"Tapi aku setuju dengan Tina," kata Monik tibatiba. "Perpustakaan sekolah itu perlu. Perpustakaan
rakyat juga."
Mereka meninggalkan daerah yang panas itu dan
mencari-cari buku kedokteran.
343 "Eh, ini British Smgeij/ lengkap. Harganya? Tunggu.
Ajubillah!"
"Berapa?"
"Lihatlah sendiri."
"Ini Cunningham. Siapa yang cari dulu?"
"Aku. Sudah beli di tukang catut."
"Berapa? Di sini lima ribu."
"Aku beli tiga ribu. Mungkin itu cetakan baru."
"Kita perlu Eastman lho. Ini ada. Tiga belas."
"Edisi ketiga belas?"
"Tiga belas ribu, goblok."
"Aduh."
"Sudahlah. Besok pulang saja ke kampung, bikin
kue serabi. Jual di alun-alun. Jadi dokter terlalu mewah. Rakyat sakit biar sembuh sendiri. Kalau tidak
sembuh, paling-paling mati."
"Ah, jangan skeptis ah. Kan sekolah mau mengadakan perpustakaan. Tunggu saja."
"Sampai kiamat? Kalau ada buku, dibawa pulang
dan dilanglap. Tidak kembali. Atau disobeki halamanhalaman yang penting! Gitu sih mental anak?anak."
Memang, ada French? Index, sebuah buku yang bagus betul. Tapi beberapa halamannya sudah dirobek
anak?anak, ketika baru saja setahun di tangan mereka.
Siapa yang melakukannya, cuma Tuhan yang tahu.
Ada lagi Current Diagnosis, dipinjam-pinjam akhirnya:
lho, hilang. Bukan gua ya. Gua sudah kembaliin, ada
saksi. Bukan gua. Bukan saya. Bukan aku. Bukan ].
bukan ik Mental tukang nyolong. Mental maling.
Adakah maling yang bilang: o ya, saya yang ambil?!
Setelah berkeluh kesah setengah jam di depan
344 buku-buku bisu itu, mereka pergi ke basement. Di sini
masih lumayan. Yang mahal cuma barang-barang mewah yang tidak perlu. Seribu satu macam liquor. Tidak menarik. Makanan kaleng masih lebih tinggi sedikit dari di luar.
Kelaparan, mereka membeli beberapa macam makanan kecil dan es loli. Sambil berkeliling mereka
makan. Setelah itu keluar lagi. Mau naik lift, semua
rusak kecuali satu. Dan di depan yang satu ini, orangorang yang menanti sudah seperti mau nonton Sophia
Loren telanjang. Sampai besok pun belum tentu bisa
masuk. Jadi terpaksa naik tangga, sebab dari basement
tidak ada eskalator.
Mereka melihat?lihat mode pakaian. Mana yang
lumayan bagusnya?sebab kebanyakan konfeksi itu asal
jadi saja jahitannya dan potongannya?mereka suruh
Anita mengingat?ingat. Perkara baju, Anita boleh diketengahkan. Baju dan nonton. Lekas hafal, dia.
"Aku mau beli zwempa/e baru," kata Monik lalu
menghampiri sebuah lemari.
Keadaan di Sitti sepi. Tidak ada seorang pembeli
pun. Pelayan pergi ke bagian yang berdekatan dan
duduk ngobrol-ngobrol. Monik berusaha menarik perhatiannya dengan sebentar?sebentar menggerakkan
jarinya ketika disangkanya ada yang menoleh ke arah
dia. Tapi tidak seorang pun di antara kedua gadis itu
mengetahui calon pembeli menantikan mereka. Monik
melihat?lihat ke dalam kaca. Mungkin yang biru tua
itu bagus juga. Tapi dia harus melihat modelnya. Dan
ukurannya. Serta harganya. Kebiasaan toko-toko besar
di Jakarta, tidak pernah memasang harga.
345 Monik melangkah pelan-pelan memperhatikan warna-warna. Ah, yang kuning itu tampaknya menarik
juga. Tapi mana pelayan? Eh, merah itu amat menarik.
Masakan mau dibeli semuanya? Merek apa, ya. Tampaknya tebal juga kausnya. Aduh, belum selesaikah dia
ngobrol? Monik mengangkat kembali mukanya dan
mendapati kedua gadis itu tengah asyik tertawa. Digerak?gerakkannya jari telunjuknya. Seorang penjaga
di tempat yang agak jauh melihatnya dan meneriakkan
sesuatu kepada temannya. Tapi mana ada yang peduli.
Mungkin pikirnya: pembeli.> Biar saja. Toh barang?barang itu bukan milikku. Tidak laku?laku, peduli apa?
Anita dan Tina datang mendekat. Masih asyik memperbincangkan sebuah model. Di dalam kepala Anita
sudah tersimpan tiga model baru.
"Kalau kancing?kancing emas itu dihilangkan,
mungkin akan lebih charming. Kancing yang terlalu
banyak dan mencolok begitu warnanya, memberi kesan
murahan. Seakan?akan mau dipakai main sirkus."
"Tapi belahan di samping itu menarik lho. Membuat kita tampak lebih langsing."
"Iya. Betul. Kantongnya juga boleh. Aku cuma keberatan kancing-kancingnya."
"Ei, bagaimana? Sudah?"
"Tidak ada pelayan."
Kedua gadis yang baru datang itu menengok ke kiri
ke kanan.
"Itu barangkali yang sedang ngobrol. Panggil saja."
"Panggillah olehmu. Jam delapan nanti, baru dia
kembali kemari untuk menutup bagiannya. Kita pulang saja."
346 "Tapi zwempzz/e ini? Yang biru ini bagus."
"Ya, aku juga sebenarnya naksir yang biru," kata
Monik sedih, "tapi biarlah."
"Tunggu saja. Atau kita hampiri dia?"
"Oho, kau gila. Apa di Jakarta sudah tidak ada
toko lain yang menjual zwempzzk bagus?"
Monik pulang dengan agak sedih. Dia betul?betul
jatuh cinta pada baju renang biru itu. Dan dia amat
memerlukannya. Waktu zaman Orla, orang-orang tidak dianjurkan berenang. Cuma sekali-sekali dia pergi
ke Mangga Besar bersama Peter dan Nancy. Tapi yang
datang ke Situ terlalu banyak. Air lekas kotor. Dan dia
segan mencari penyakit di kolam renang. Jadi hampir
tidak pernah latihan.
Sekarang, bertiup angin baru. Pemerintah DKI
menganjurkan supaya olahraga ditingkatkan. Untuk
jagoan-jagoan olahraga, disediakan hadiah-hadiah yang
bikin air liur meleleh sepanjang hari. Kolam-kolam
renang dibuka lagi. Yang sudah dibuka, di?upgmde.
Yang dulu tertutup untuk umum, sekarang terbuka
untuk anggota-anggOta, siapa saja boleh asal jadi anggota.
Baju renangnya sudah tua. Dia perlu yang baru.
Kalau pelayan itu tidak ngobrol melulu, tentu sudah
ada benda itu di dalam tasnya.
"Nanti sore kita ke Pasar Baru, yo. Aku mau beli
baju renang."
"Kontan, nih."
"Habis. Aku janji mau ajak anak-anak Bibi ke Cikini hari Minggu ini. Milikku yang dulu, sudah tua.
Malu memakainya."
347 "Aku sih oke saja. Toh besok tidak ada kuliah.
Tina, mau ikut?"
"Mau tapi tidak bisa," katanya dengan nada sedih.
"Kenapa?" tanya Anita dengan nada serupa. "Sebab
pacarku mau datang!"
Anita mengelak, tapi kena juga dicubit Tina.
Ketika tiba di tempat kos, Monik mendapati sehelai
surat menantinya di meja makan, tempat pool suratsurat yang datang. Dengan amat gembira disambarnya
surat itu dan dikantonginya.
"Dari rumah, Monik?"
"Iya, Tante," katanya sambil menyuap cepat?cepat.
"Jangan tergesa?gesa. Bukankah itu belut kesukaanmu? Makanlah lebih banyak. Supaya engkau sedikit
gemuk. Kalau ibumu datang, disangkanya anaknya
tidak diberi makan, sekurus ini."
Monik menelan eepat?cepat makanannya lalu tertawa sebentar lalu menyuap lagi. Sudah lama dia tidak
mendapat surat. Ini tentu dari ibunya. Tulisannya miring dan halus. Tulisan adiknya, tegak lurus, dan bulat
kekanak?kanakan.
Tante pergi ke dalam karena terdengar suara Lala
dan Toto bertengkar. Monik menyuap sebanyak-banyaknya dan secepat?cepatnya. Lalu diteguknya isi gelasnya sekali habis. Disekanya bibirnya dan dibawanya
piringnya ke dapur.
"Kok sebentar amat," tegur Iyem yang tengah menggosok pakaian.
"Sudah makan tadi. Di Sarinah."
Dikuncinya pintu kamarnya lalu naik ke atas tempat tidur. Dikeluarkannya surat itu dengan tangan
348 gemetar dan jantung dak?dik?duk, harap-harap cemas.
Kabar apa dari rumah?
Anakku yang tercinta,
Sudah lama kita semua menantikan suratmu.
Mengapa tidak datang?datang juga? Sakitkah engkau.> Mama harap, engkau sehat?sehat saja. Repotkah engkau? Seisi rumah di sini sehat?sehat semua.
Ana selalu menanyakan engkau. Pada libur kenaikan tingkat ini, pulanglah. Kita semua kangen.
Juga teman?temanmu.
Mama baca di surat kabar ada huru?hara di
Glodok (Glodok?!). Di koran berita ini kurang jelas. Ada apa sebenarnya? (Bahkan di sini juga kurang jelas, Mama. Mama kan tahu, hal?hal semacam itu tidak akan pernah terang untuk selamalamanya.) Ada di mana engkau waktu itu? Apakah
paman dan bibimu seisi rumah tidak apa?apa?
Mama khawatir, sebab rumah Bibi di daerah situ.
Mama harap kalian semua tidak kurang suatu apa.
Mama tidak bisa tidur memikirkannya. Papa sudah
mau pergi ke Jakarta, tapi Jos mendadak sakit panas. Sekarang untung sudah baik.
Tulislah surat kalau ada waktu. Biar singkat tidak apa?apa, asal Mama tahu, engkau sehat. Jagalah diri baik?baik. Nanti Mama kirim makanan
kalau ada orang ke Jakarta.
Monik tersenyum membolak?balik kertas itu. Selalu
Mama. Tidak pandai menulis surat. Pendek. Tapi hangat. Ah, ternyata segalanya beres di rumah.
349 Dilihatnya lonceng. Setengah empat. Baiklah dia
tidur sejam supaya tidak merem-melek di Pasar Baru
nanti. Digantinya bajunya lalu tidur. Tapi baru saja
dia merebahkan diri, terdengar ketukan di pintu depan. Ada orang. Dengan malas dia turun dari ranjang
dan membuka pintu. Oh. Martin berdiri di situ.
Mukanya tampak serius. Pasti ada hal yang amat penting. Kalau tidak, dia takkan datang jam empat.
Mereka duduk berhadapan dan bercakap?cakap sejenak ke barat ke timur. Monik menunggu dengan
sabar apa yang mau dikatakan Martin. Dan itu keluar
juga akhirnya, walaupun dengan susah payah.
"Aku harus pergi ke Swiss. Ayahku sudah menyiapkan segalanya kecuali tiket."
"Oh."
"Sejak dulu memang sudah siap, tapi aku membatalkannya. Sekarang tampaknya tak terhindarkan lagi.
Ayahku menghendaki aku study di luar negeri."
Malam hari kemarin, Martin dipanggil ayahnya.
"Tidak dapat tidak, engkau harus pergi, Martin,"
kata ayahnya. "Peristiwa seperti itu mungkin saja terulang lagi, terulang lagi. Entah sampai kapan bisul ini
dapat disembuhkan. Sedikit saja tersentuh, dia akan
meradang dan menjalar. Salah atau tidak, kita akan
selalu menjadi kambing hitam, rupanya."
"Kita terlalu kaya sih dan kadang?kadang serakah,"
kata Martin mengajukan sebab.
"Kaya? Mungkin. Tapi kita toh tidak merampok
orang lain? Kita kaya dengan jerih payah sendiri! Memang, ada yang sok mewah, sok menekan orang?orang
keeil. Memang, itu ada. Tapi sekarang Papa lihat, ka
350 lau ada peristiwa serupa ini, kaya-miskin disamaratakan. Dibabat semua. Tidakkah mengerikan?"
Martin tidak dapat menjawab itu. Alice dan ibunya
juga membisu.
"Nah, engkau mesti pergi juga kali ini. Harus! Tidak dapat ditawar lagi!"
"Ya, Papa," kata Martin dan dalam hati teringat
olehnya Monik. Monik. Monik.
"Apakah engkau kurang senang dengan putusan
Papa?" tanya ayahnya tiba?tiba.
"Apa? Kurang senang?" gumam Martin dengan geraham terkancing. "Saya justru sedang berpikir?pikir
untuk mengatakan hal ini pada Papa. Saya rasa, saya
tidak mempunyai tempat lagi di sini. Selama kemakmuran belum merata, yah, mungkin seratus tahun
lagi..."
Suara Martin melenyap dalam desiran daun?daun
willow di pinggir jendela. Cuma pada Alice diperlihatkannya kemarahannya atas peristiwa itu. Di depan
ayahnya, dia tidak banyak bicara, takut melukai hati
orangtua yang melihat pengorbanan anaknya yang siasia. Robert. Robert. Kalau engkau tahu apa yang terjadi...!
"Apakah... karena Glodok itu, Martin?" tanya Monik
mengulang.


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Janganlah membicarakan itu. Aku tidak mau lagi
memikirkannya."
"Engkau tidak peduli hal?hal semacam itu? Engkau
tidak mau tahu? Tidakkah engkau mempunyai perikemanusiaan? Orang?orang yang tidak bersalah di"
Martin tersenyum melihat Monik agak jengkel dan
351 mengatupkan kedua telapak tangannya lalu membungkuk.
"Tentu saja aku peduli. Malah seorang temanku
dan ayahnya kena cedera. Matanya mengalami subtanjunctz'wl haemorr/Jage. Untung tidak berbahaya. Tapi
ayahnya harus diopname di Sumber Wiras. Tentu aku
peduli, Nik. Dan memang aku mau pergi karena hal
ini. Tapi apa gunanya membicarakannya? Yang sudah
terjadi, tak dapat diperbaiki lagi. Tinggal pencegahannya. Terserah goodwill kedua pihak. Dan aku tidak
mau lagi terlibat, walaupun aku masih percaya, manusia itu hakikatnya baik hati. Cuma, semangat hidupku sudah luntur sebagian. Hiduplah untuk hari ini.
Itu rupanya semboyan yang tepat. Dan hari esok akan
datang dengan berkat Tuhan. Monik. maukah engkau
pergi bersama?"
Monik bersandar pada kursinya, memandang ke
depan tanpa melihat Martin. Bibirnya gemetar dan
laki?laki itu melihat wajah yang cantik itu makin lama
makin pucat, seakan-akan tidak ada lagi darah di dalamnya. Dia tidak dapat menanti lagi. Diulurkannya
kedua lengannya dan digenggamnya tangan Monik
erat?erat.
"Aku cinta padamu. Aku cinta padamu," gumamnya. "Marilah kita pergi bersama."
Gadis itu menunduk dan menatap genggamannya
dengan pandangan bodoh dan kurang mengerti. Pemuda itu membelai?belai jarinya satu per satu dan semua yang telah lalu, terbayang kembali. Andai kata
dia pergi... Martin selalu baik dan ramah, murah hati,
tenang dan setia. Dia sudah begitu sabar menanti se
352 kian lama. Ah, seandainya dia belum memberikan
janjinya pada Steve, segalanya akan beres.
Tapi kini! Dia sudah berjanji dan dia akan menepatinya. Steve pemarah dan lekas cemburu, namun
sampai saat itu, dia setia juga.
Tiba-tiba Monik merasa dagunya dibelai begitu lembut, sehingga napasnya tertahan. Ingin dia menangis.
"Pandanglah aku, Sayang, dan katakanlah, engkau
cinta padaku," pintanya.
Perlahan-lahan?seakan?akan amat sakit?diangkatnya mukanya dan dipandanginya laki?laki itu. Sesuatu
dalam matanya yang indah dan tenang itu membuatnya tidak berdaya. Dia sama sekali hilang dan tenggelam sampai ke dasarnya. Sebuah telaga kelam dan
sejuk yang takkan pernah akan membuatnya haus.
Monik tidak berdaya menjawab lain daripada: ya, ya.
"Engkau cinta padaku, kalau begitu."
"Ya, ya."
"Jadi aku tangguhkan tiket itu."
Monik memandangnya dengan tanda tanya. Martin
menepuk?nepuk tangan dalam genggamannya.
"Aku sebenarnya harus ke 'lhamrin membeli tiket
dan lusa berangkat. Tapi kini" Dia tertawa. Bibirbibirnya merah segar. Giginya putih berkilat.
"Aku tangguhkan sampai engkau siap. Aku akan
beli dua tiket."
Monik merasa terperangkap.
"Engkau sendiri mau pergi? Tanpa perintah ayahmu?"
"Aku mau pergi bersama engkau, Sayang."
353 "Kalau aku tidak pergi?"
"Aku akan pergi ke Peking!" ancam Martin, matanya menyempit dan senyum mesra terkembang pada
wajahnya yang tampan.
"Ah," dan tahulah Monik betapa Martin mencintainya.
Ketika dia melihat arloji, hari sudah jam setengah
enam. Dia lupa akan janjinya dengan Anita. Dia bahkan lupa menanyakan, ada apa antara Martin dan
Steve.
*** Selasa sore itu Monik baru saja selesai mandi ketika
Steve datang.
"Pinjam diktat lagi?" tegur Monik.
"Yah! Bedah. Dan Mata juga," katanya sambil membanting diri.
"Seharusnya engkau lebih sering kuliah, Steve. Aku
kadang?kadang tidak dapat mencatat dengan baik.
Apalagi Mata: kuliahnya cepat banget. Engkau kan
bisa steno?"
"Wow, jangan mulai jadi nenek-nenek. Aku tidak
perlu nasihatmu."
Steve merasa omongnya terlalu kasar dan cepat?cepat disambungnya.
"Engkau tahu sendiri tugasku. Mana ada waktu kuliah."
Monik tidak menjawab. Diambilnya buku?bukunya
dari meja tulis dan diberikannya pada Steve.
"Terima kasih, Manis. Lain kali tulisanmu lebih
354 baik jelas sedikit ah," katanya membalik?balik catatan
itu. "Eh, tampaknya engkau mau pergi. Pakai baju
baru."
"Mau ke Kota. Alice berulang tahun."
"Adik Martin?"
"Ya. Diundang mendadak kemarin. Steve, tidak
apa?apa bila aku pergi, bukan?"
Steve memandangnya sekejap dengan tajam.
"Anita juga diundang," kata Monik menambah,
"tapi Gendut tidak. Alice tidak mau ada laki?laki di
pestanya. Engkau tidak marah, bukan? Kalau engkau
keberatan, tentu saja aku tidak akan pergi. Aku bisa
bilang, sakit kepala atau..."
"Oh, silakan pergi," potong Steve tanpa memandang
Monik. "Sori, tidak dapat aku antar, sebab ada janji
dengan Dokter Lie jam lima, sebelum dia praktek."
"Tidak apa-apa. Aku memang mau pergi dengan
Anita," kata Monik dan berpikir, mengapa mereka jadi
sopan banget?
"Ayo deh. Nanti aku terlambat. Kebayoran kan
jauh?!" Steve masih mencoba tersenyum sedikit tapi
hambar sekali. Dalam otaknya, dia sudah dapat membayangkan pesta nanti dengan Monik dan... Martin,
tentunya. Martin tentu diizinkan hadir oleh Alice, pikirnya sengit. Kalau dia bertingkah begini terus, lebih
baik ambil Inge. Dia sudah pasti mempunyai paman
di Buenos Aires. Mama tentu akan senang setengah
mati. Dan kayanya juga lumayan.
Steve memandang Monik. Tapi gadis itu kelihatan
sungguh?sungguh mencintai aku. Setan betul. Dia tidak tampak merencanakan suatu pengkhianatan. Ah,
355 pusing, pikir Steve sambil mendorong motornya ke
luar.
Monik bersandar di ambang pintu, memperhatikan
Steve dengan kening berkerut. Dalam hati dia bertanya?tanya: masih ingatkah Steve akan janji setia
mereka atau tidak berhargakah lagi untuk dipertahankan?
Monik naik becak ke tempat Anita. Sebenarnya
Martin mau menjemput mereka, tapi Monik keberatan. Cukup kalau mereka diantarkan pulang. Terlalu
banyak berutang budi akan membuatnya terjerat lebih
hebat sehingga akhirnya dia takkan mungkin melepaskan diri lagi. Itu dosa. Kalau tidak takut akan mengecewakan Alice yang selalu baik padanya, Monik tidak
ingin pergi. Tapi dia tidak menemukan alasan untuk
menolak. Sebaliknya, dia tidak mau memberikan harapan palsu pada Martin. Monik tidak mau menghancurkan hati orang, siapa pun dia, bahkan dirinya sendiri. Sebab itu dosa.
Pulang pesta sudah jam sembilan. Anita turun di
Jalan Kemakmuran. Tinggal Monik berdua dengan
Martin.
"Hati?hati, Pit," kata Anita, "jangan sampai hilang.
Berat tanggungannya."
"Jangan kuatir. Aku antarkan sampai di dalam kamar!"
"Kunyuk! Selamat malam, Nyonya Gendut."
Anita mengacungkan tinjunya dengan berang, sebab
dia sama sekali tidak gendut. Monik dan Martin tertawa gelak?gelak dan suara riang itu seakan-akan ma
356 sih terdengar oleh Anita sampai mobil menghilang
ditelan malam.
"Mengapa dia belum juga pindah dari situ?" tanya
Martin. "Bukankah tantenya galak? Katanya, nama si
tante Nyonya Gorila. Tapi kok betah?"
"Habis dia sudah telanjur kontrak kamar. Sayang
kalau keluar. Menurut perjanjian, uang itu akan bilang
kalau dia pindah. Kalau kontraknya sudah habis, pasti
dia minggat. Radio transistor, tape, semua tidak boleh
pakai listrik. Mesti pakai baterai. Tapi mereka nekat.
Selalu pakai listrik. Kalau terdengar langkah?langkah
Tante, lekas?lekas diganti dengan baterai. Mana bisa
mengontrol anak-anak dewasa."
"Lucu juga ya. Aku ingin sekali?sekali tinggal jauh
dari rumah. Mencoba bagaimana rasanya hidup sendiri, jauh dari orangtua dan adik?adik."
"Tidak enak, Martin. Pasti tidak enak."
"Kalau ada motivasi yang kuat, aku rasa enak
juga."
"Ah, bicaramu sudah seperti psikiater. Bosan ah."
Mereka diam sejenak sampai Martin kembali membuka mulut.
"Engkau bisa main piano, Monik?"
"Tidak. Anita bisa. Aku sih cuma berbakat jadi pendengar."
"Itu bakat yang bagus. Banyak orang tidak memilikinya. Mereka cuma senang mendengar suara sendiri."
Keduanya kembali diam. Monik memandangi jalan
lurus cli mukanya. Mereka telah memasuki Jalan Tanggerang yang merupakan kelanjutan dari Jalan Kemak
357 muran. Sebuah pelita terpasang di atas meja tua di
pinggir jalan, yang merupakan bagian dari perabot?perabot bekas yang dipamerkan. Ada sebuah wastafel
yang patah pinggirnya dan sudah bertahun?tahun ada
di situ. Tidak ada seorang pun yang berminat membelinya. Entah apa yang dilakukan orang bila hujan
turun. Mungkin dibiarkan saja. Sebab menutupi
lemari?lemari dan ranjang susun serta kursi?meja itu
tidak mudah. Diperlukan paling sedikit sepuluh meter
terpal dan seorang pembantu.
Mereka tiba di Roxy. Ramainya seperti pasar malam. Jalan simpang empat di situ selalu macet. Monik
teringat keluh kesah teman?temannya bila pulang
praktikum parasitologi pukul tujuh malam. Bisa antre
di Roxy satu jam lebih. Dari arah Jembatan Lima juga
macet. Itu dulu. Waktu mereka duduk di tingkat tiga.
Dan Kamerad Chien serta kawan?kawannya masih
ada. Zaman Orla. Sekarang sudah zaman Orba. Chien
entah ke mana. Tapi Roxy masih tetap riang seperti
dulu. Macet. Macet. Macet.
"Seharusnya ada wanita in party yang melahirkan
di sini sebab mobilnya tidak bisa maju. Jadi kita tidak
membuang waktu percuma," kata Jerry suatu kali, menurut cerita Anita. "Tidak bisa menolong, sedikitnya
bisa nonton!"
Jerry! Monik teringat kartu pos bergambar yang
diperlihatkan Anita kemarin. Jerry mengirimkan bukti
bahwa dia sudah melihat Grand Canyon dengan uang
gajinya. Membikin panas hati Tuan Gendut.
"Bukti sih bukti," katanya membanting?banting
kaki, "tapi kenapa mesti dikirim pada Anita? Pada
358 orang lain kek. Pada gua juga boleh. Tapi jangan pada
meisje gua dong. Itu namanya tidak tahu the rule of
the game."
Anita dengan berpura?puta tuli, amat asyik mengagumi gambar yang jelek itu.
"Seperti kau sendiri, tahu," ejek Markus. "Kau juga
kan namanya merebut pacar orang. Dititip pergi ke
Losang?eles, kok malah direbut!"
"Siapa yang rebut! Lucu. Dia sendiri yang suka!"
"Siapa yang suka?" tanya Anita pura?pura marah,
mungkin mau menguji.
Gendut memandang wajah bidadarinya dan mengunci mulutnya. Semua orang tertawa.
""Belum-belum, sudah jadi pahlawan bakiak," kata
seseorang.
"Oh, sekarang aku perlu mengalah. Tapi nanti...
hmmm!"
Mereka tiba di muka Sumber Waras. Monik melirik
sopir dan memutuskan akan menanyakan hal itu.
Martin tidak segera menjawabnya. Monik mengulanginya.
"Ada apa antara kau dan Steve, sebenarnya?"
"Mengapa engkau tanyakan itu?" katanya tanpa
mengalihkan pandangannya dari jalan di mukanya.
"Aku ingin tahu. Ada persoalan apa?"
"Tidak ada persoalan apa-apa."
"Tapi Steve bilang, ada sesuatu."
"Kalau begitu, engkau harus menanyakannya padanya. Bagiku sendiri, tidak ada persoalan lagi."
"Lagi?"
"11%", mungkin dulu memang ada persoalan. Tapi
359 kini tidak lagi. Sungguh. Setidak?tidaknya, bagiku.
Sebab aku lebih suka melupakannya. Persoalan tidak
penting kok."
"Sungguh?"
"Sungguh!"
Mereka membelok di muka kompleks Teknik. Lalu
berhenti di muka pintu samping Monik. Gadis itu
memegang kunci pintu mobil, tapi Martin menahannya dan menggenggam tangannya. Monik menoleh,
terkejut. Sepasang mutiara hitam yang indah, berkilaukilauan di atas dasar seputih susu.
"Bagaimana jawabanmu? Ayahku sudah amat mendesak. Aku harus memberi jawab malam ini. Apakah
engkau sudah mengatakannya pada orangtuamu? Engkau mau pergi, bukan? Kapan engkau dapat siap? Sebulan lagi?"
Monik ingin mati saja saat itu atau terbang ke langit.
"Katakanlah: ya," pintanya dengan suara lembut,
"dan aku akan menceritakan segala?galanya. Orangtuaku pasti akan senang. Mereka menyukai engkau. Alice
juga."
Monik terisak. Dia menunduk. Bahunya bergoyanggoyang naik?turun. Dan air matanya bertetes-tetes
menimpa tangan yang menggenggam jari?jarinya.
"Aku... aku... maafkan aku... aku... aku tidak...
dapat pergi. Lupakan aku!"
Martin melingkarkan lengannya dengan lembut
pada bahunya, seperti yang dilakukannya malam itu,
seabad yang lalu, waktu mereka berjalan?jalan di Puncak. Direbahkannya kepala yang cantik itu ke bahunya
360 dan dibiarkannya kemejanya basah dengan air mata.
Dengan tangan yang lain, dibelai-belainya ekor kuda
yang hitam berkilat itu sampai sedu sedan itu berakhir. Monik mengangkat wajahnya.
"Engkau mau memaafkan dan melupakan aku, bukan?"
"Aku mau memaafkan engkau, tapi tidak melupakanmu," bisiknya lalu dilepasnya pelukannya dan dibukanya pintu mobil.
Martin menanti sampai didengarnya Monik membuka pintu dan menutupnya lagi. Ketika menyalakan
mesin, dia merasa heran bahwa sesuatu yang asing
masuk ke dalam mulutnya. Tidak sepatutnya aku menangis, ketika dia bahagia bersama Steve, pikirnya dan
menghapus matanya dengan kasar.
361 XIV USIM hujan. Grogol banjir. Tanggul dekat pa
sar bobol. Kuliah-kuliah terpaksa dihentikan.
Mula?mula ketika halaman cuma tergenang air semata
kaki, dosen?dosen masih dijemput. Anak?anak memasang bangku?bangku sepanjang halaman, untuk jalan.
Kemudian hujan datang lebih hebat lagi selama beberapa malam dan jembatan darurat di muka sekolah
hanyut. Jembatan itu terbuat dari balok?balok kayu
yang tidak diserut, dipaku satu sama lain. Got besar


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di muka Universitas lebarnya kira?kira semeter dan
dalamnya dua meter. Air kali yang kuning berbuih
masuk ke situ dan melimpah ruah menyapu apa saja
di sekitarnya.
Pasar terpaksa pindah tempat ke bagian yang lebih
tinggi. Jalanan becek bukan main. Penyakit perut dan
koreng?koreng bersimaharajalela di antara penduduk,
terutama anak?anak. Mahasiswa?mahasiswa tingkat
362 E-Booh by syauqy_arr
empat segera dikerahkan untuk membentuk regu P3K.
Sisa obat?obatan dari kerja bakti dikumpulkan. Ketua
Kelas dipilih lagi untuk mengepalai tim ini. Mahasiswa?mahasiswa yang tergabung dalam resimen Mahajaya, terlebih dahulu mengadakan peninjauan untuk
mengetahui mana?mana daerah yang tertimpa bencana
paling hebat dan untuk mengadakan pembicaraan dengan para ketua RT mengenai bantuan kesehatan
itu. Mereka dibagi dalam dua rombongan. Masing?masing lima orang, tidak termasuk Ketua. Anak?anak lain
pulang kampung, menunggu banjir mereda dan kuliahkuliah diteruskan.
Hari itu giliran rombongan kedua, terdiri atas
Anita, Monik, Gendut, Polok, dan Martin. Rombongan pertama yang bertugas kemarin terdiri atas
Inge, Tina, Markus, Leo, dan Lani. Ketua Kelas dan
Steve hadir setiap hari. Steve sebenarnya tidak jadi
apa-apa, sebab tugasnya menghubungi dosen-dosen
serta pimpinan sudah cukup berat. Meskipun begitu,
melihat tingkah lakunya, seakan?akan dia lebih berkuasa dari Ketua.
Mereka berkumpul di muka pasar. Lalu dari sana
berjalan kaki masuk lumpur sampai tempat pangkalan
perahu. Lumpur itu lumayan tingginya, masuk ke dalam sepatu.
"Tahu begitu, tadi aku copot sepatu ini dan tidak
jadi rusak," keluh Anita.
"Salah sendiri. Mengapa bukan minta digendong
sama si Gendut? Dua puluh lima perak masa dia tidak
mau?" kata Martin yang jalan paling belakang.
363 "Ah, digendong sama dia! Tidak ada tenaga begitu!
Salah?salah kau jatuh, An, dan mukamu habis korengan kena lumpur," kata Polok yang jalan di sebelah
Gendut, paling depan.
"Tutup mulutmu. Ntar aku piring juga kau!"
Sepatu Monik juga sudah penuh lumpur. Lebih hebat lagi, tanah di situ liat. Kadang?kadang amat sukar
mengangkat kaki sehingga harus berjalan setapak-setapak.
Ketika mereka tiba di pangkalan, perahu tidak ada.
Anak?anak kecil yang berdiri di situ memberitahukan
bahwa perahu itu tengah mengangkut dua orang dokter. Mereka berdiri menanti, jadi tontonan anak?anak
yang tentu saja mengira, ini dokter?dokter juga seperti
yang duluan. Masing?masing orang membawa sesuatu.
Gendut menggendong ransel berisi gaas, perban, boorwater. Polok membawa instrumen?instrumen. Obatobatan dibawa para gadis. Martin membawa dua botol
lisol dan minyak tanah.
Perahu yang mengangkut Ketua dan Steve akhirnya
tampak kembali. Pengemudinya seorang anak laki?laki
berumur kira?kira sepuluh tahun.
"Apa dia kuat?" tanya Anita ragu-ragu.
"Kuat, Dokter!" teriak anak?anak kecil yang mendengarnya.
Mereka semua menoleh dan tersenyum. Selama beberapa menit berdiri di situ, mereka sudah dikelilingi
beberapa kali. Anak?anak kecil itu memperhatikan
wajah?wajah mereka, kotak?kotak yang mereka bawa,
dan kotak insrrumen yang berkilat itu.
Perahu itu amat kecil. Cuma memuat empat orang.
364 Terpaksa gadis?gadis berangkat lebih dulu ditemani
Gendut. Martin dan Polok menunggu lagi.
"Sebenarnya ada dua. Tapi yang satu sedang diperbaiki," kata tukang perahu.
Banjir ini hebat juga. Sebuah rumah terendam sampai di bawah atap. Sebuah sekolah terendam setengah
tembok. Pasti rusak bangku?bangkunya. Dan lebih
menyedihkan lagi, murid?murid tidak dapat masuk
sekolah.
"Itu sekolah saya," kata tukang perahu.
"Oh, kelas berapa?"
"Kelas tiga."
Tukang perahu itu adalah anak sulung dari enam
bersaudara. Setiap musim banjir, waktu sekolah ditutup, dia menjadi tukang perahu. Sudah tiga musim.
Perahu itu milik orang terkaya di kampungnya. Tarifnya lima belas rupiah, pulang?pergi tiga puluh. Dia
bekerja sampai jam satu atau dua siang. Mulai dari
jam lima pagi, tergantung kebutuhan orang yang mau
menyeberang. Untuk sore hari, ada orang lain yang
menggantikan.
"Berapa hasilnya?"
"Ah, tidak tentu," sahut anak itu mengelak.
"Separuh untuk yang empunya perahu?"
"Iya."
Perahu itu laju meskipun kadang?kadang takut terbentur batu?batu jalanan. Genangan air itu mirip betul dengan telaga. Cuma yang kurang, terang bulan,
kata Gendut.
"Yang tergenang ini jalanan atau lapangan?"
"Lapangan."
365 Mereka sampai pada sebuah jembatan kayu yang
dihubungkan dengan tanah kering. Perahu berhenti.
"Oh, sudah sampai," seru Gendut sambil melompat
dan kemudian mengulurkan tangannya membantu
gadis?gadis itu naik ke jembatan. Tukang perahu tidak
mau dibayar, tapi Gendut menyisipkan lima puluhan
ke dalam kantong celananya.
Mereka bertanya pada seorang wanita, di mana rumah ketua RT.
"Lurus saja," katanya menunjuk dengan jempolnya.
Mereka berjalan sepanjang jalan kecil yang agak kering sebab letaknya lebih tinggi dari tanah lapang
yang sudah menjadi danau. Lewat beberapa rumah,
sudah tampak papan pengenal ketua RT. Beberapa
calon pasien sudah menanti. Ketika mereka tiba, Steve
keluar dan menyambut mereka dengan: bawa penicillin? Monik dan Anita segera meletakkan kotaknya
di atas meja dan memeriksanya.
"Tidak ada obat suntik. Cuma tablet-tablet dan vitamin."
"Mungkin dibawa Polok."
Steve tampak kesal lalu keluar dan mengatakan sesuatu pada seorang ibu muda yang mengangguk-angguk.
"Pertama?tama aku mau cuci kaki," kata Anita dan
berjalan ke belakang, mencari lbu RT.
"Aku juga. Gatal kaki ini."
Nyonya rumah dengan ramah tamah menyilakan
mereka ke sumur dan menimba air, tapi Anita dengan
cepat mencegahnya dan bersikeras mau menimba sen
diri.
366 "Baiklah," kata nyonya rumah tersipu?sipu.
Selesai mencuci kaki serta sepatu, mereka masuk
kembali dan di atas sebuah meja sudah tersedia teh
manis. Bapak RT muncul memperkenalkan diri.
"Mulailah!" seru Steve membentak.
"Sabar dong," sahut Monik sementara Gendut sudah mengerutkan keningnya.
Di situ tersedia beberapa kursi untuk memeriksa
penyakit?penyakit kulit, yang terutama terdiri atas kudis dan panu. Sebuah kamar diperuntukkan bagi pemeriksaan fisik. ""Dokter?dokter" yang baru datang itu
segera mulai bekerja sementara Ketua dan Bapak RT
duduk bereakap-cakap. Steve mondar-mandir dengan
gelisah menantikan rombongan terakhir.
Monik merasa lucu dipanggil dokter begitu khidmat. Karena belum masuk klinik, dengan sendirinya
dia belum pernah berhadapan dengan pasien atau juru
rawat dan tidak ada orang yang pernah menyebutnya
dokter. Mereka diperkenalkan sebagai dokter muda.
Maksudnyz, dokter yang belum jadi. Embel?embel
"dokter" itu perlu supaya para penderita menaruh kepercayaan pada mereka. Tapi rupanya, Bapak RT dan
orang?orang kampung itu mengartikan mereka sebagai
dokter?dokter yang masih muda!
Polok serta Martin muncul di depan dan menyalami Bapak RT. Bapak RT mempersilakan keduanya
masuk lalu mohon diri ke luar rumah.
"Bawa penicillin?" tanya Steve.
Kedua orang yang baru datang itu mengosongkan
saku?saku mereka: enam botol streptomycin.
367 "'Apa?apaan ini? Buat apa? Yang perlu: penicillin,"
seru Steve membanting kaki.
Pasien memandang dengan mata terbelalak.
"Aku cuma diberi ini," sahut Polok, sedangkan
Martin tanpa banyak bicara segera minta air di ember
untuk mencairkan lisol.
"Sudahlah," kata Ketua. "Beri saja apa adanya. Besok suruh dia kembali. Baru kita suntik."
"Sudahlah! Sudahlah! Goblok."
"Siapa?" tanya Ketua.
"Kau! Tidak becus mengatur. Masakan tidak ada
penicillin."
"Lha, ini kan memang tidak lengkap! Antibiotika
lain kan boleh. Itu banyak kapsul. Lagi pula, kita tidak berani sembarangan pakai pen. Kalau terjadi apaapa, kau berani tanggung? Kita tidak ada adrenalin!"
"Ce... ah! Shock begitu kan jarang!" kata Steve dengan sengit lalu keluar, menyuruh pasiennya pulang,
untuk kembali besok.
Minyak tanah sebentar saja sudah habis. Hampir
semua pasien menderita kudis. Seorang anak perempuan kecil dengan menggendong adiknya, menyorongkan botolnya.
"Habis." kata Martin memperlihatkan botol kosong.
Gadis cilik itu tampak kecewa.
"Di rumah ada minyak tanah? Nah, sela?sela kakimu yang kena kutu air itu kauberi minyak tanah.
Untuk adikmu, saya akan berikan salep kuning. Dipakai setelah mandi lalu setelah itu, dia tidak boleh
mandi satu hari. Mengerti?"
368 Gadis itu mengangguk dan Martin menepuk?nepuk
bahunya seraya tersenyum.
"Datanglah kembali lusa," katanya lalu melambai
pada pasien berikut.
Kebanyakan pasien menderita malrzutrz'tz'on. Muka
pucat. Bibir biru. Kasihan melihat anak-anak begitu:
maunya digendong terus dan menjadi cengeng.
"Makannya apa, Bu?" tanya Anita.
"Biasa, Dokter. Nasi dan sayur."
"Tidak diberi ikan? Tidak.> Beri ikan yang banyak.
Ikan asin. Jarang?jarang belikan daging, tempe,
tahu."
"Katanya kalau makan ikan jadi cacingan, Dokter."
"Ah, siapa bilang? Itu tidak betul. Seperti juga larangan makan pepaya atau nanas atau mentimun untuk gadis?gadis, itu salah. Justru buah?buahan itu
penting sekali. Nanti siang diberi ikan, ya?"
Ibu muda itu mengangguk-angguk sambil tertawa,
menutupi mulutnya dengan selendang.
Akhirnya Steve berhasil juga mendapat pasien yang
perlu disuntik. Dibawanya pasien itu masuk ke kamar
dan diambilnya sebuah jgzzcon.
Monik sudah kehabisan pasien. Dia mencuci tangan
dengan lisol berkali?kali sampai dirasanya cukup bersih. Lalu dia menghampiri Anita untuk membantunya.
Anita rupanya mendapat bagian Stabia. Main salep
terus. Steve keluar dari kamar dengan wajah puas.
"Sakit apa, Steve?" tanya Monik.
"KP."
"Oh."
369 Monik mengerutkan keningnya. Apa maksud Steve
memberikan suntikan itu? Bukankah mereka tidak selamanya akan datang kemari? Paling?paling dua atau
tiga kali. Apa gunanya suntikan streptomycin dua kali
untuk TBC? Apakah dia cuma mau belajar menyuntik?
"Ini obatnya. Tiga kali satu," kata Steve dengan
gaya seorang dokter ahli dan pasien itu membungkukbungkuk dengan penuh percaya. Tiba-tiba Monik
merasa terhina melihat sikap Steve. Mengapa dia tidak
dapat berlaku rendah hati? Di mana salahnya?
Steve memandang berkeliling. Pasien tinggal lima
orang. Polok sudah menganggur.
"Lok, ada wanita hamil sakit panas. Kita kunjungi,
mau?"
"Oke."
"Boleh aku ikut?" tanya Monik.
Steve memandangnya dan tertawa. Monik tertawa
juga melihat wajahnya yang tampan kembali berseri
dan riang.
"Jalannya sulit dan becek. Aku sudah mengunjunginya kemarin. Jangan ikut."
Dan pada Ketua, Steve bilang, "Pulanglah kalian
lebih dulu kalau sudah selesai. Tidak perlu menunggu
kami."
"Memangnya kaupikir aku akan sudi menantikan
engkau?" sembur Ketua.
Monik menghampiri Martin dan bertanya mengapa
dia belum pergi.
"Engkau begitu ingin aku cepat pergi?" tanya
370 Martin tersenyum manis. "Bagaimana kalau aku tetap
di sini?"
"Aku akan senang sekali."
*** Hari itu panas sekali. Ketika Monik keluar dari ruang
kuliah, didapatinya Steve tengah menantikannya.
"Kita minum es avokad, yo."
"Ayo."
Mereka berjalan bergandengan tangan ke tempat
parkir. Monik merasa ada orang mengawasinya. Ketika
dia menoleh ke kiri, dilihatnya di situ cuma ada satu
manusia. Martin, dan dia tengah asyik membetulkan
motornya, membelakangi mereka. Tapi Monik hampir
yakin, Martin tadi tengah mengawasinya.
"Motornya rusak, Steve," kata Monik.
"Hei, kenapa? Perlu bantuan?" teriak Steve. Martin
menoleh. Monik berpeluk tangan memandangnya.
"No, thanks. Tidak apa-apa," dan diberinya mereka
salam prajurit.
"Kita dulu ya," kata Monik berusaha seakan?akan
tidak peduli. Martin mengangguk tersenyum.
Mereka pergi ke tempat Pak Mahmud. Ada tiga
orang minum di sana, semuanya bukan mahasiswa
Trisakti. Steve membersihkan debu dari bangku dengan saputangannya lalu mempersilakan Monik duduk. Gadis itu memandang arlojinya. Jam dua.
"Engkau tidak ditunggu makan, Steve?"
"Oh, tidak. Mereka biasa makan kalau adik?adikku
371 pulang sekolah. Setengah satu. Tapi ibuku tidak akan
tidur sebelum aku pulang."
"Anak kesayangan, rupanya?!"
"Semua ibu sayang sama anaknya, aku kira?"
Minuman datang. Untuk sesaat mereka asyik sendiri. Lalu Monik meletakkan sendoknya dan tertawa.
"Kau tahu, Steve, waktu kau tidak datang ke rumah
Bibi tempo hari? Mereka tanya, kenapa engkau tidak
jadi datang. Aku tidak tahu mengapa engkau tidak
datang, maka aku asal bilang: oh, mungkin ibunya
dapat serangan jantung lagi. Pamanku... Paman..."


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Monik tergelak?gelak.
"Paman mulai ngeri. Dia paling ngeri dengan sakit
jantung, sebab ayahnya meninggal karena itu. Menurut hrasatnya, penyakit jantung itu turunan. Aduh!
Tidak tahunya, ketika aku ke rumahmu, ternyata ibumu memang gemuk. Ada bakat!"
"Ha... ha ha tunggulah sampai ibuku mendengarnya," kata Steve terbahak?bahak. "Dia divonis sakit jantung?! Oh... ho ho... ho."
Mereka tertawa sampai hampir keluar air mata.
"Ibumu pasti tidak pernah marah."
"Betul. Jarang sekali."
Steve memandangnya tersenyum.
"Tentu engkau mendongkol sekali hari itu, sebab
tidak jadi ke Situ Gintung? Aku juga penasaran. Motor baik?baik, tiba-tiba mogok. Mana ada janji dengan
gadis paling cantik. Lalu, apa yang kaukerjakan? Tidur?"
"Eh... eh... ya. Ya, aku tidur," kata Monik gugup
sebab dalam otaknya terbayang kembali rumah Alice,
372 yang dikunjunginya untuk pertama kali dan terbayang
juga di depan matanya: Martin dengan celana pendek
putih dan pullover putih, mengatakan tidak jadi main
tenis sebab ada tamu. Martin mengantarnya pulang.
Mereka berjalan kaki pelan?pelan. Dan sepanjang jalan
yang mereka lalui, ada saja orang yang menyapa
Martin. Wanita yang sedang menjemur sawi, laki?laki
tua penjual tembakau, pemilik toko terigu, pedagang
tekStil, dan pemuda?pemuda serta gadis?gadis manis.
Monik ingat, bahwa pada saat itu dia merasa bangga
berjalan di sampingnya. Dia menengok ke dalam mata
gadis?gadis itu dan dia merasa bangga. Mereka semua
tampak iri hati dan kagum padanya. Ah, tidak seharusnya dia memikirkan itu. Mengapa dia selalu teringat
padanya bila tengah berdua dengan Steve? Apa yang
salah? Bukankah dia telah memilih Steve dan Steve
memilih dia? Martin memang baik hati, itulah saja
yang menyebabkannya kadang?kadang teringat padanya. Tapi, semua manusia baik hati. Tidak adil membanding?bandingkan Steve dengan dia. Setiap orang
mempunyai kelemahan. Dan bagi Steve, semua sudah
dimaafkannya. Sebab dia mencintai laki?laki itu, meskipun kadang?kadang Steve agak kasar terhadap orang
lain dan lekas marah.
Steve sudah menghabiskan isi gelasnya. Monik tergesa?gesa melanjutkan minumnya. Steve mengeluarkan
rokok.
"Jangan tergesa?gesa," katanya. "Nanti tertelan
avokad itu bulat?bulat."
"Ya, tapi aku harus pergi nanti sore. Dan aku mau
tidur dulu."
373 "Mau lihat 77Je Ewing cf the Shrew lagi?" tanyanya
sambil mengepulkan asap.
Monik tertawa. Kemarin mereka pergi menonton.
Liz Taylor dan Richard Burton.
"Tidak," katanya sambil mengunyah potongan es,
"aku mau ke Matraman. Les Jerman."
"Dengan siapa? Anita?"
"Seharusnya, ya. Tapi dia tidak pergi hari ini. Baru
dapat murid les piano, dua orang, kakak?beradik. Tiga
ribu kan lumayan? Seminggu sekali."
"Tentu saja lumayan. Aku juga mau memberi les
kalau ada waktu. Tapi waktu itu rupanya tidak pernah
menjadi milikku," katanya sambil menggertakkan geraham.
"Steve, bagaimana kalau kautemani aku ke sana?"
"Ke Matraman? Tentu saja aku mau, kalau tidak
ada tugas ini. Jadi wakil ketua Senat memang tidak
enak. Nanti sore ada rapat dengan pimpinan untuk
melaporkan situasi kita sekarang. Juga untuk mendesak
pimpinan supaya kita boleh membeli ranjang-ranjang
Pediatri yang sudah tidak terpakai dari RSTM. Nah,
itu harus direalisir secepatnya. Tidak enak, Monik,
jadi wakil ketua Senat."
"Ya. Enaknya jadi ketua Senat, bukan?"
Steve tertawa sambil melempar rokoknya ke tanah
lalu menginjaknya. Dipanggilnya Pak Mahmud dan
dibayarnya harga minuman mereka.
"Mari. Tapi... engkau tidak takut pergi sendiri ke
sana? Mungkin aku masih dapat mengantarmu."
"Ah, omong kosong. Tentu saja aku tidak takut. Di
jalanan begitu banyak orang!"
374 "Aku akan menjemputmu kalau rapat sudah selesai.
Jam berapa engkau pulang?"
"OW! Jangan gelisah. Aku dapat pulang sendiri.
Oplet kan banyak? Aku cuma perlu menyeberang,
mengacungkan jari, dan sopir akan berhenti. Semudah
itu. Di Harmoni aku turun lalu naik bus ke Grogol.
Apa sulitnya? Bus sekarang banyak. Dan aman."
"Baiklah. Tapi engkau mengerti tugasku? Engkau
mengerti, bukan?"
"Tentu. Tentu."
Steve menggandengnya dengan mesra dan rasa terima kasih.
*** Monik merasa pusing ketika bangun sorenya. Dia
cuma tidur tiga perempat jam. Sudah hampir tidak
jadi pergi, tapi untunglah setelah mandi dia merasa
segar kembali. Dipakainya baju kuning dan rambutnya
diikat dengan pita kuning muda. Dipandangnya wajahnya sebentar dalam cermin: tidak begitu jelek. Monik
tidak suka berdiri lama?lama di muka cermin, kebalikannya dari Diana. Betul-betul seorang narcz'ssz'cz.
Untung Diana cantik, kalau tidak, bisa dihancurkannya
setiap cermin dalam jangkauannya.
Monik membawa tas putih yang serasi dengan sepatu putihnya. Mula?mula dia naik becak ke Jalan
Ketapang. Dari sana menyeberang ke Sawah Besar
tempat terdapat banyak oplet untuk jurusan Jatinegara.
Oplet?oplet itu kebanyakan sudah tua, sisa?sisa zaman
lama, dan tarifnya juga tidak pasti. Ada yang minta
375 dua puluh lima, tapi ada juga yang ngotot harus tiga
puluh. Apalagi kalau sopir mau mengisi sebanyakbanyaknya tanpa memedulikan kesenangan penumpang, mereka terpaksa duduk melekat satu sama lain.
Herannya, ada saja orang yang mau naik oplet penuh,
padahal yang kosong masih ada di belakang. Kesal
sekali naik oplet seperti itu. Baju bersih menjadi kotor
karena yang duduk di kiri?kanan kita penuh keringar.
Untunglah ada juga sopir yang baik dan tidak serakah. Monik mendapat dia sore itu. Cuma enam penumpang di belakang dan satu di depan. Pak sopir
juga ramah dan suka ngobrol, dari harga bensin sampai anak?anak yang masih belum sekolah dengan betul. Sejak demonstrasi?demonsttasi itu beratus?ratus
murid belum kembali ke sekolah, meskipun sudah dianjurkan oleh pihak berwenang. Sopir asyik bicara
dengan penumpang di sebelahnya dan yang lain mendengarkan.
"Anak Saudara juga ikut-ikut demonstrasi?" tanya
penumpang.
"Ah, anak saya masih kecil?kecil. Yang paling besar
baru kelas dua. Anak Saudara?"
"Saya belum kawin."
"Oh."
"Katanya ada murid?murid yang memaksa minta
dinaikkan dengan alasan, waktu mereka banyak terbuang di jalanan untuk memperjuangkan nasib rakyat,
dus tidak ada waktu untuk belajar. Apa betul?" kata
penumpang di seberang Monik.
"Ah ya, orang omong begitu."
376 "Di koran juga ditulis tentang itu."
Mereka melewati bioskop Krekot. Sedang main film
silat. Seorang penumpang menengok ke luar jendela
dan berkata bahwa film?film sekarang lebih ramai, dibandingkan dengan zaman Orla.
"Iya, kabarnya film-film Amerika akan masuk lagi
setelah persoalan dulu diselesaikan."
"Ah, yang menyita dan membakar film?film itu
orang lain, lain kita yang diharuskan mengganti?
Mana bisa? Kita baru saja bangun, masih banyak
urusan dan uang kurang. Mana mungkin pemerintah
mau ganti."
"Tapi di Globe sudah diputar film Amerika."
Monik tersenyum dalam hati. Dia sudah melihat
film itu kemarin. Liz Taylor.
"Sudah melihat film itu?"
Yang ditanya menggeleng dan bilang, "Belum. Tapi
kabarnya, bagus."
"Oh, bagus! Orang berjubel antre."
Monik tersenyum. Kemarin mereka tidak antre, sebab Steve membeli catutan. Di bagian wanita memang
tidak begitu hebat antrenya, tapi Steve tidak mau dia
antre meskipun Monik sama sekali tidak keberatan
melakukannya untuk mereka berdua.
Betul saja. Penonton penuh sesak. Pertunjukan jam
lima. Monik merasa bangga sudah menontonnya pada
hari pertama. Dari jendela oplet, dilihatnya seorang
gadis cantik berkacamata hitam tengah bersenda gurau
dengan kekasihnya. Agaknya mereka sudah mempunyai
karcis, sebab berdiri jauh dari barisan. Pintu belum
lagi dibuka. Ketika oplet lewat tepat di muka bioskop,
377 gadis itu kebetulan tengah menoleh. Ah, Inge rupanya!
Monik tersenyum dalam hati. Si alim itu ternyata tidak alim. Selalu pura?pura tidak mempunyai pacar,
tapi ketahuan ada simpanannya. Rahasianya terbongkar. Monik tersenyum membayangkan bagaimana esok
hari akan diserangnya temannya itu sampai dia mengaku dan... tinggal mengetahui siapa namanya! Supaya
Inge tidak dapat mungkir, Monik memperhatikan
laki?laki itu dengan teliti untuk bukti?bukti autentik.
Untung baginya, oplet berhenti. Seorang wanita mau
naik. Monik menggeser sedikit ke tengah. Matanya
tetap tidak lepas dari seberang. lnge tampak begitu
gembira dan cantik. Sesaat sebelum oplet bergerak,
laki?laki itu menoleh ke arah jalan dan!
Jantungnya melompat ke leher. ltu Steve! Bagaimana mungkin, pikirnya. Aku salah. Ditelitinya lagi.
Oplet sudah jalan. Dia menoleh ke belakang. Tidak.
Dia tidak salah. Dia mengenali betul Steve. Oplet makin jauh. Dia masih menoleh. Akhirnya orang?orang
itu cuma berupa bayang?bayang hitam.
Oplet membelok ke Gunung Sahari. Monik memutar kembali kepalanya dengan tenang. Jadi sebenarnya tidak ada rapat. Dan dia sudah bicara begitu meyakinkan. Berapa kali dia sudah bicara dengan meyakinkan, padahal dia bohong? Berapa kali? Berapa
kalikah? Aneh bahwa aku tidak merasa marah atau
cemburu, pikir Monik. Aku cuma merasa heran. Juga
tidak merasa sedih. Aneh. Dengan mata kepalanya
sendiri, dia telah melihat kekasihnya bersama gadis
lain, begitu gembira. Tapi dia tidak merasakan apa
378 apa, kecuali heran. Heran. Heran, mengapa Steve
berdusta. Dia juga heran mengapa dia tidak merasa
sedih. Aneh.
Dalam perjalanan pulang, barulah dia tahu jawabnya. Dalam oplet yang gelap itu, dia duduk di sudut.
Seorang diri. Kesepian seperti kesepiannya orang dalam sebuah kota besar. Berganti?ganti penumpang
keluar?masuk, tidak satu pun dikenalnya. Dia sendirian seperti juga mereka masing-masing sendirian.
Malam menebarkan jala hitamnya, melingkupi setiap
orang. Malah bintang?bintang kelihatan sendirian dan
kesepian. Tidak saling menegur. Sepanjang masa berkelap?kelip tanpa teman. Jauh di dalam benaknya,
Monik merasa berterima kasih pada Steve yang sudah
membebaskannya dari janji yang mengikat mereka.
Dia tahu kini, dia sudah lama tidak lagi mencintai
laki?laki itu dan cuma terikat padanya oleh sebuah
janji yang rupanya tidak berharga. Sekarang dia bebas.
Betapa bahagianya. Dia bebas seperti setiap penduduk
kota besar adalah bebas. Bebas. Bebas.
Di sudut yang gelap itu Monik tersenyum.
*** Martin tidak muncul-muncul di kuliah. Gendut yang
pertama?tama menanyakannya. Kemudian Anita. Inge.
Markus. Leo. Bahkan Steve. Barulah Monik sadar,
bahwa orang?orang tahu lebih dari yang mereka perlihatkan. Mereka tahu perasaan Martin padanya.
Mungkin juga mereka tahu, perasaannya pada Martin.
379 Pada Steve. Steve juga pasti tahu. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Tidak tampak heran. Seperti juga
Monik tidak lagi heran bila kadang?kadang melihat
Steve berdua dengan Inge, mungkin dalam ruang kuliah atau di kantin atau di atas motor. Monik tidak
menegurnya. Steve tidak memberi penjelasan. Mereka
begitu saja berpisah. Tidak ada yang terasa menyakitkan. Bila Steve marah?marah, Monik tidak lagi mengerutkan kening atau tergesa?gesa menyabarkannya,
tapi sekarang dengan tenang dia dapat memperhatikannya dan berpikir, alangkah lega hatinya, tidak lagi
ada hubungan dengan semua orang pemarah di dunia.
Setiap pagi Monik menantikan Martin. Tapi dia tidak pernah datang. Monik mencatat kuliah dengan
lebih baik dan lebih teliti. Di rumah dibacanya kembali, seperti yang belum pernah dilakukannya, lalu
mana?mana yang kurang ditambahnya, tulisan yang
jelek diubahnya. Dan disimpannya setiap lembaran
kertas kuliah itu dengan rapi. Suatu ketika Martin
mungkin hendak menyalinnya.
Pada hari Minggu dinantinya Alice di Gereja
Toasebio, tapi gadis itu tidak pernah kelihatan. Monik
berdiri dekat pintu masuk ditemani Peter dan Kiu,
lalu memperhatikan setiap orang yang keluar dari misa
pertama. Sampai orang terakhir, tidak dilihatnya temannya. Dia pulang dan membelai kepala salah satu
singa di pintu gerbang, dengan kecewa.
Pada Minggu kedua, dia pergi ke misa kedua. Berdiri di pintu sampai orang terakhir keluar. Waktu pulang, dia kembali berdiri di pintu dan menunggu
380 sampai semua orang sudah dilihatnya. Kembali dia
kecewa. Alice tidak ada.
Beberapa kali dia sudah ingin ke rumah Alice tapi
pada pemikiran lebih lanjut, selalu dibatalkannya.
Mungkin Martin tidak mau menjumpainya dan untuk
itu dia pasti mempunyai alasan. Jadi dia memutuskan
untuk menunggu saja.
Sampai Minggu keempat, kesabarannya tetap diuji.
Alice tidak muncul. Mungkinkah dia sakit? Kalau begitu dia harus menjenguknya. Tapi setelah dipikir?pikir,
tampaknya itu mustahil. Secara kebetulan keduanya
jatuh sakit? Martin dan Alice? Rasanya tidak mungkin.
Mereka selalu sehat.
Paman menggodanya, tapi itu cuma menambah
gelisah hatinya. Baik Steve maupun Martin, sudah
pernah menemui Paman. Malah Paman kenal dengan
ayah Martin. Sambil bersiul?siul, Paman menemui
Bibi dan mengatakan sesuatu tentang anak gadis yang
duduk termenung di pagi hari.
"Nionik, kemari!" teriak Bibi. "Niasih memikirkan
khotbah tadi? Bantulah Bibi." Seperti biasa, hari Minggu giliran Paman di dapur. Bibi cuma memasak beberapa makanan tambahan. Ketika Monik masuk ke
dapur, Paman meliriknya dengan jenaka.
"Bibi mau membuat bakpao. Tolong cincang babi
itu."
"Aku mau bikin opor kaki babi. Tunggu saja," kata
Paman.
"Jangan lupa buang minyak?minyaknya. Anak?anak
tidak suka."
"Oho, si tolol! Justru minyaknya yang enak. Mereka
381 tidak suka, aku yang makan. Jangan karena engkau
tidak suka, lalu membawa?bawa anak?anakl"
"Minyak babi dapat menyebabkan penyakit jantung,


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman," kata Monik berusaha ikut gembira. Mata Paman membelalak.
"Ah, kalau sedikit kan tidak apa-apa. Orang hidup
perlu minyak juga. Lagi pula penyakit jantung itu timbul kalau kita terlalu gemuk dan sudah berumur. Betul, kan? Aha, biar tidak sekolah kedokteran, aku tahu
juga hal itu."
"Iya, sebab engkau takut kena penyakit jantung,"
kata Bibi.
Hari itu Anita tidak pergi les Jerman, sebab mata
kakinya masih sakit. Terkilir ketika turun dari tangga.
"Nik, tolong katakan aku sakit ya. Kalau tidak, nanti aku tidak boleh ujian."
"Oke, jangan kuatir. Frau Madelein kan baik."
Lewat Inge dan Steve. Mereka saling menyapa seperti biasa. Inge tidak pernah tampak malu terhadap
Nionik dan gadis itu apalagi. Dia tidak pernah tampak
marah pada lnge, untuk menunjukkan bahwa Steve
tidak berarti apa-apa baginya. Malah kadang?kadang
dia merasa kasihan pada Inge: mengapa dipilihnya
Steve, setelah diketahuinya sifatnya. Monik memilih
Steve ketika pemuda itu masih jinak dan belum pemarah, sebab belum memegang kekuasaan. Tapi sejak
G-30?S...! Sejak naik pangkat...!
"Huh! Dasar sifatnya sama! Perempuan memang
selalu memilih laki?laki dengan sifat?sifat yang dikaguminya. Kalau sifat?sifat Steve dikagumi oleh lnge,
382 kita dapat menduga macam apa sebenarnya gadis itu,
bukan?" desis Anita.
Monik tidak memberi komentar. Dipandangnya
Steve dari belakang. Mesra betul dia menggandeng
Inge. Ah, cepatnya dunia berubah, katanya dalam hati.
Tapi aneh, dia sama sekali tidak merasa sedih atau
kehilangan. Mereka memang bertengkar. Hebat. Masing?masing menuduh pihak lain tidak setia. Steve
mengemukakan puluhan bukti tentang keakraban
lVIonik dan Martin. Monik menyangkal, sebab selama
ini dia tidak merasa akrab dengannya. Malah terakhir
kali bicara berdua, pulang pesta Alice, dengan jelas
ditolaknya tiket dari Martin. Tapi Monik tidak mau
menceritakan ini. Sebaliknya, dia juga menyerang
Steve dengan buktinya: di depan bioskop Gelora. Dan
di luar dugaan, Steve tidak menyangkal. Mereka berpisah. Tapi aneh, tidak bermusuhan.
Gendut datang untuk mengantar Anita pulang. Dengan kaki begitu, jelas dia tidak dapat naik bus.
Monik menyeberang dan berjalan pulang sendirian.
Dia tidak tidur siang itu, sebab banyak Ubung
yang belum dibuatnya. Jam empat, dia mandi. Dibukanya lemari dan dipilihnya baju sutra putih?hitam dengan korsase merah.
"Seember saja. Non," kata Iyem.
"Tapi saya perlu dua ember," kata Monik lalu membisikkan sesuatu ke telinga Iyem.
"Iya deh," kata perempuan itu tanpa rewel. "Tapi
cuma dua ember, ya, Non?"
"Ya, Yem."
383 Selesai berhias, Monik membereskan buku-bukunya.
Lalu diambilnya ras dan sepatu hitamnya.
Tok... tok... rok....
"Ya," serunya berlari meskipun dia tidak mengharapkan kedatangan siapa?siapa. Dibukanya pintu.
"Oh. Masuklah."
Niartin tidak bergerak masuk. Dia memandang
Monik dan tersenyum dengan matanya.
"Mau pergi?"
"Ya, mau les Jerman."
"Di Goethe?"
"Ya. Masuklah dulu. Engkau sudah hampir sebulan
tidak kuliah! Harus menyalin banyak. Mau pinjam
catatan?"
Martin tampak tertegun sejenak, kemudian menggeleng.
"Sori, aku tidak sempat memberitahu, kami pergi ke
Bandung. Saudara perempuan ayahku sakit keras.
Suaminya sudah meninggal. Anaknya enam, kecil?kecil.
Dan ayahku merupakan saudara satu?satunya di sini."
"Oh. Sudah sembuh?"
"Sudah. Dioperasi kandung empedunya."
"Tapi, masuklah. Ada urusan apa?"
Niartin tetap berdiri tidak bergerak. Dipandangnya
Monik seakan?akan mau mengatakan sesuatu yang tidak dapat keluar.
"Ah, urusan tidak penting," katanya akhirnya. "Dengan siapa engkau pergi?"
"Sendiri," dan lVIonik ingin sekali mengatakan bahwa dia tidak lagi terikat pada Steve atau laki?laki
mana pun di dunia yang bernama Steve.
384 "Kalau begitu, aku antarkan engkau."
Diperhatikannya Martin mengeluarkan Vespa?nya
dan keinginan itu timbul kembali. Tapi dia tidak tahu
bagaimana mengatakannya. Kalau saja engkau tidak
bolos?bolos, tentu engkau sudah tahu hal itu, pikirnya.
Ketika melalui bioskop Gelora, Monik memeluknya
lebih erat. Di situ tidak lagi diputar 7796 721771ng ofthe
Shrew, tapi adegan bulan yang lalu masih jelas terbayang di depan matanya. Inge memakai baju ungu
dengan rantai?rantai di pinggangnya. Tidak disangkanya sebulan kemudian dia akan lewat lagi di situ, tapi
dengan perasaan yang jauh berbeda. Dulu dia heran.
Kini dia bahagia. Biarlah Inge mendapat sepatu seharga empat puluh dolar dari klien ayahnya, biarlah
tas yang dipakainya bulan lalu itu tidak dijual di Pasar
Baru, biarlah dia mendapat Steve, itu takkan memengaruhinya. Sedikit pun tidak. Baginya, ada Martin dan
cintanya, dan dia tidak menghendaki apa-apa yang
lain.
Aneh, pikirnya tiba?tiba, mereka belum pernah menonton berdua.
"Engkau tidak suka bioskop, Martin?"
"Suka sekali. Cuma, kalau film silat terus, lamalama bosan juga."
"Sekarang kan sudah main Hollywood lagi."
"Iya," tapi Martin tidak mengundangnya.
Monik mengira Martin cuma mengantar saja. Tapi
ternyata dia memarkir skuternya dan menyatakan mau
menunggu. Oh, betapa bahagianya Monik. Selama les,
perhatiannya setengah meluap keluar ke arah Martin.
385 Mungkin dia sedang duduk di perpustakaan, membaca.
"Apa yang kaukerjakan tadi?" tanyanya ketika mau
pulang.
"Aku memikirkan engkau."
"Apakah engkau selalu memikirkan aku?"
"Ya. Aku selalu memikir-mikir bahagiakah engkau?"
"Mengapa?"
Tapi Martin sudah menstarter skuternya dan agaknya tidak mendengar, sebab dia diam saja. Ketika tiba
di tempat kos, hari sudah gelap.
"Tidak masuk?"
"Tidak usahlah. Sudah malam dan aku belum
mandi."
Nionik tiba?tiba ingat sesuatu.
"Urusan apa itu yang mau kaukatakan tadi sore?"
Martin menoleh dan tampak oleh Monik, gemuruhnya cinta dalam telaga yang biasanya begitu tenang.
Ombak tinggi?tinggi mengempas ke bawah, lalu naik
lagi, berbuih?buih ke tepian tapi tidak pernah mencapai tujuannya.
"Peking. Besok aku berangkat ke Peking."
386 UKUL setengah tujuh pagi, Monik sudah berada
di rumah bibinya. Pintu depan masih dikunci.
Tidak ada bel. lVienggoyang?goyang pintu besi itu takkan menghasilkan bunyi apa?apa dan rumah Bibi cukup panjang. Untunglah pembantu di rumah sebelah
kebetulan keluar membawa sapu dan bulu ayam.
"Oh, Neng Monik. Pagi-pagi amat. Tunggu, Bibi
ketok pintu dapur."
Pintu kaca dibuka dan Bibi tergopoh?gopoh keluar
membukakan pintu pagar.
"Ada apa, Monik?" tanyanya kaget sebab gadis itu
tampak pucat.
Monik masuk ke dalam dan langsung menanyakan
pamannya.
"Oho... oho... hari baik... hari baik... pagi?pagi sudah
ada gadis cantik menanyakan aku," seru Paman dari
meja makan, tempat dia tengah menikmati kopi panas.
387 http:]lhanu-ohi.blogspot.com
"Paman!" katanya terengah-engah.
"Duduklah dulu. Ada urusan apa?"
Bibi mendorongnya ke kursi dan menuangkan secangkir kopi.
"Ada apa?" tanya pamannya sekali lagi.
"Pa, pergi. Ma, pergi. Kak, pergi," teriak Peter sambil menyambar tasnya.
"Ya, hati?hati. Jangan berlari, Nancy masih tidur."
Monik dipaksa meneguk kopinya dulu sebelum menerangkan maksudnya.
"Nah, katakanlah sekarang: ada apa?"
"Saya mau ke Pelabuhan, Paman. Tolong carikan
saya pas masuk."
"Mau ke Priok? Ada apa?"
"Teman saya mau berangkat ke Peking!" suara
Monik gemetar seperti mau menangis.
"Teman?temanmu yang lain juga mengantar?"
"Tidak ada yang tahu."
"Oh! Dia CGMI?"
Monik tidak sabar melihat sikap pamannya. Seakanakan kepergian Martin tidak penting. Mengapa orang
lain tidak dapat melihat bahwa urusannya amat penting?
"Paman, dia bukan CG, bukan apa?apa. Tapi dia
mau ke Peking dan saya ingin melihatnya berangkat.
Tolonglah saya. Pas masuk."
"Dengarlah, Monik. Tidak ada kapal yang berangkat ke sana. Engkau toh tahu hubungan sudah putus?
Dia membuat lelucon apa?"
"Saya tahu, Paman. Tidak langsung ke Peking. Via
Hong Kong. Tolonglah."
388 Paman meletakkan gelasnya. Dia bersungguh?sungguh sekarang. Bibi juga duduk dan memandang mereka berganti?ganti seakan?akan kurang memahami
duduknya perkara.
"Jam berapa dia berangkat?"
"Kira-kira jam dua belas."
"Pelabuhan berapa?"
"Tidak tahu. Saya tidak mengerti. Saya cuma tahu,
ada kapal yang akan berangkat ke Hong Kong nanti
siang."
lVIonik menunduk menggores-gores taplak meja dengan kukunya. Paman hendak membuka mulut lagi,
tapi Bibi mengedipkan matanya.
"Baiklah. Paman akan usahakan. Kau tunggu di
sini. Jangan gelisah. Paman banyak kenalan. Mana
kartu pendudukmu?"
Monik diantar oleh pamannya dan seorang kenalannya dari Pelabuhan. Kedua laki?laki itu bercakap?cakap
dengan asyik, tapi Monik tidak mendengar sedikit
pun apa yang dipercakapkan. Kegiatan dan kesibukan
di sekitarnya tidak juga menarik hatinya. Ketika tiba
pada suatu tempat, kenalan Paman berhenti dan menunjuk ke depan.
"Kalau Nona berjalan terus, tentu akan tiba di
ruang tunggu. Kapal ISABELLA akan berangkat setengah jam lagi. Mau diantar?"
Monik tersenyum mengulurkan tangannya menjabat
tangan kenalan pamannya.
"Terima kasih, Oom. Tidak usah diantar."
"Paman akan menanti dalam kantor Oom Abbas.
Engkau tahu yang mana, bukan?"
389 Monik mengangguk dan berjalan pergi. Seakanakan mengantar kekasih ke tiang gantungan, pikirnya
berulang?ulang. Lain sekali perasaannya dulu waktu
mengantar Jerry. Sebab dia akan pergi ke tempat yang
nyata. Ke tempat bebas. Ke tempat cerah. Tapi
Martin! Dia memilih tirai bambu, gelap, remang?remang, dan penuh belenggu. Mengapa Peking, Martin?
Engkau membunuh dirimu sendiri! Mengapa Peking,
Martin? Bukankah tujuanmu Basel.> Mengapa Peking?
Aku tidak tahu, Monik. Aku tidak tahu.
Tapi Monik tahu. Dia teringat tiba-tiba, dulu sekali, Martin pernah bilang: cuma orang?orang yang
putus asa mau pergi ke Peking. Orang dari dunia bebas seperti kita, takkan bisa bahagia di negara itu. Di
sana, orang cuma hidup untuk mengabdi pada negara,
sambil menunggu ajal tiba.
Martin putus asa! Oh! Pedih hatinya teringat itu.
Martin putus asa! Dia telah melihatnya bergandengan
tangan dengan Steve. Oh!
Monik berjalan terus dengan mata berkaca?kaca dan
kabur. Apakah aku yang akan membunuhnya? Atau
kematian Robert? Atau keduanya.> Sehidup?semati mereka, kata Alice. Yang satu tidak mau hidup, kalau
yang lain mati.
Monik memasuki sebuah ruangan yang besar dan
agak kotor. Dia mencari tempat duduk, tapi sia?sia.
Juga keluarga Martin tidak ada. Dengan agak gugup,
dia bertanya pada seseorang, betulkah di sini tempat
menunggu kapal ISABELLA berangkat? Ya. Betulkah
kapal itu akan berangkat ke Hong Kong? Ya, tapi ka
390 lau Nona seorang penumpang, harus masuk dari sana.
Monik menggeleng dengan lesu.
"Tidak. Saya cuma mengantar." Mengapa Alice
tidak kelihatan? Apakah ada dua kapal yang ke Hong
Kong? Monik mau bertanya lagi, tapi orang itu sudah
pergi.
Petugas mengumumkan bahwa ISABELLA akan
segera berangkat. Para penumpang diharap bersiapsiap. Orang?orang dalam ruangan itu setengah berlari
ke luar. Ada yang menyeret anak-anak yang menangis
sebab sepatu mereka tertinggal. Monik berjalan ke luar
dengan tenang. Sebentar lagi. Dan kemudian dia takkan merasakan apa?apa lagi. Sejenak saja. Dan dia
akan mati. Martin akan pergi menuju kematiannya
dan dia ditinggalkan di sini, juga dengan kematian.
Ketika tiba di luar, barulah Monik melihat Alice.
Bersama ibunya, dia berdiri dekat pagar kawat yang
membatasi penumpang dan pengantar. Sebentar lagi
Martin akan lewat di situ untuk dilihatnya buat terakhir kali.
Monik berdiri di belakang, tidak ingin terlihat oleh
siapa-siapa. Simon sebentar-sebentar menoleh, rupanya
menantikan kakaknya. Ayahnya berdiri di sampingnya.
berbuat serupa. Monik menyusup di belakang tapi
masih dapat melihat ke depan dengan jelas. Tiga
orang pemuda berjalan tenang, masing?masing memegang ransel. Tidak ada yang menoleh dan tidak ada
yang mengantar. Mungkin dari luar kota. Monik mengira, tujuan akhir mereka bukan Hong Kong.
Orang yang berdiri di mukanya berjalan pergi dan
Monik menggeser hingga ke pagar. Dia tidak khawatir
391 lagi akan terlihat oleh Alice atau siapa pun, sebab banyak orang di antara mereka.
Dua orang gadis lewat. Seorang wanita berteriak
dan salah seorang di antaranya berhenti, menoleh lalu
menggerakkan tangannya seakan melambai.
Ketika Martin lewat beberapa meter di mukanya,
Monik ingin sekali memanggil namun suaranya tidak
keluar. Tangannya terangkat tapi cuma mampu menggapai pagar kawat dua meter yang membatasi mereka.
Martin tidak menoleh, meskipun seharusnya dia tahu,
ibu, ayah, dan saudara?saudaranya ada di balik pagar.
Monik memandanginya terus, tanpa mampu berpikir
apa-apa dan tanpa menyadari bahwa air matanya sudah mengalir turun. Dia seakan?akan tengah bermimpi


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan itu mengenai sesuatu yang tidak dimengertinya,
yang membuatnya heran. Hatinya, jantungnya, otaknya, semuanya tidak berada di tempat. Dia merasa
seakan?akan cuma rangka belaka. Kosong. Kosong melompong.
"Martin!"
Seruan itu mengejutkannya. Dia tersentak. Martin
menghentikan langkahnya. Tangan kirinya turun dari
bahu dan jaketnya menyentuh tanah. Dia berpaling
dan tersenyum ketika melihat keluarganya. Dilambailambaikannya tangannya.
"Mama," katanya lalu dia berjalan terus dan tidak
menoleh. Wanita setengah umur itu menangis.
Akhirnya Monik melihatnya. Seperti biasa dia selalu
tenang. Langkah?langkahnya tetap dan berirama.
Martin mengenakan celana abu?abu dan kemeja sport
392 batik. Warna cokelat kehitaman itu kontras sekali dengan kulitnya yang putih. Tangan kirinya menyandang
jaket abu?abu. Dia tidak membawa apa?apa. Rambutnya tertutup oleh topi pet merah tua. Di lehernya
melilit syal yang biasa dipergunakannya waktu di Puncak, milik ibunya.
"Mama," katanya lembut, seperti anak kecil yang
minta dikasihani dan diampuni. Lalu dia berjalan kembali dan masuk lewat pintu besi, menuju ke kapal.
Ibu Martin menangis tersedu sedan. Monik juga
menangis sendirian. Tidak lagi ingat akan orang?orang
di sekitarnya. Tanpa malu?malu sebentar?sebentar disekanya matanya.
Martin merupakan rombongan penghabisan. Setelah
dia, cuma tinggal empat?lima orang lagi. Monik menengadah ke jurusan lain, ke tempat orang?orang kini
mengarahkan mata mereka untuk memandang kapal
itu. Kapal pertama yang pernah dilihatnya dari dekat.
Di Tanjung Perak, pernah juga dia melihat kapal?kapal, tapi cuma dari jauh. Kapal ini besar dan bagus.
Bercat putih. Pada lambungnya terdapat namanya.
Di geladak, berdiri semua penumpang, untuk menyampaikan selamat tinggal mereka. Monik memandangi orang?orang itu. Tanpa pet merah itu pun, dia
masih dapat mengenalnya dengan baik. Wajahnya terlihat jelas. Tidak lagi tersenyum seperti tadi, tapi seakan?akan meringis. Ah, semoga dia melihat gaun
merahku, pikir Monik. Martin melambai?lambaikan
saputangan putih. Mungkin dia telah melihat keluarganya. Atau mungkin juga dia telah melihat aku!
393 Monik melambaikan saputangannya, seakan sudah
pasti Martin telah melihatnya. Biarpun dia tidak melihat, tidak mengapa. Aku akan berbuat seolah?olah
dia melihat aku. Suatu ketika, dia merasa Martin melihatnya. Sekarang dia mengangkat petnya dan melambai?lambai dengan kedua tangannya. Saputangan
dan topi. Tanpa itu semua, dia masih tetap akan mengenalnya. Bahkan ketika kapal sudah mulai bergerak?Martin lebih tinggi dari orang?orang di sampingnya. Monik akan selalu membayangkannya seperti
itu untuk selama?lamanya?berdiri pada terali kapal,
tangan kanan melambaikan saputangan dan tangan
kiri, topi merah. Bercelana abu?abu, berjaket abu?abu,
berkemeja batik cokelat model sport. Rambutnya terjurai?jurai kena angin. Dan tangan kanannya sebentarsebentar pergi ke matanya. Dia menangis. Dia yang
akan membunuh diri dan dia menangis.
Monik terus?menerus tengadah. Sampai wajah
Martin menjadi buram dan samar?samar. Sampai dia
sebentar tampak, sebentar hilang, seakan?akan sebuah
angka di antara sederetan nomor?nomor. Sampai
ISABELLA sulit dibaca. Sampai akhirnya yang tersisa
untuk kenangan cuma sebuah titik merah di angkasa.
Dan ini pun lambat laun meredup lalu hilang ditelan
kabut asing yang jauh.
Monik bergegas pergi sebelum orang?orang bergerak. Dia ingin menghindari semua orang terutama
Alice. Sambil berjalan dibersitnya hidungnya dan disekanya matanya. Dipakainya kacamata hitam. Dengan
begitu, dia berharap tidak ada yang melihat bahwa
matanya merah.
394 *** Malam harinya dia tidak dapat tidur. Matanya tinggal
terbuka dan telinganya terus mendengarkan bunyi lonceng di kamar makan. Dia tidak ingin menghitung,
tapi itu terjadi dengan sendirinya. Otaknya seakanakan tidak lagi mau diperintah. Dia selalu menghitung. Dua belas. Satu. Dua. Tiga. Empat. Setengah
lima. Lalu suara sandal lyem yang diseret dengan amat
hati?hati. Lima. Setengah enam. Lalu suara pintu dalam dibuka dan langkah?langkah Tante ke dapur. Lalu
jam enam. Dia turun dari tempat tidur. Tidak memicingkan mata sekejap pun.
Sepanjang malam dia terus?menerus membayangkan
dan memikirkan Martin. Dan percakapan mereka
yang terakhir.
"Urusan apa itu yang mau kaukatakan tadi sore?"
"Peking. Besok aku berangkat ke Peking."
"Oh."
"Dengan ISABELLA, via Hong Kong. Dari sana
akan naik kereta api ke Canton. Lalu ke Shanghai
dulu menemui pamanku. Baru ke Peking."
""Oh. Mengapa Peking? Mengapa bukan Basel?"
Martin menggeleng dan tidak mau menatapnya.
"Jangan tanyakan itu," suaranya begitu memohon.
Keduanya terdiam. Monik merasakan kaki?tangannya perlahan?lahan menjadi dingin. Martin asyik
memutar?mutar kaca spionnya yang lepas sekrupnya.
Dalam kaca itu seakan?akan dilihatnya kembali apa
yang terjadi sebulan yang lalu. Siang itu amat panas.
Dia tengah berdiri di samping skuternya, ketika tiba
395 tiba dilihatnya Monik bergandengan tangan dengan
Steve. Betapa mesranya dan betapa pedih hatinya.
Monik tertawa?tawa dengan gembira dan mengayunayun lengan Steve. Oh, sakit hatinya melihat itu.
Tahulah dia bagaimanapun, dia takkan pernah berhasil
merebut Monik dari Steve. Saat itu rasanya dunia
hampa sekali dan tiada gunanya hidup, rasanya. Heran
dia, bagaimana dia dapat tiba di rumah dengan selamat. Pikirannya sama sekali tidak ada padanya. Tidak
dilihatnya semua kendaraan yang lalu di sampingnya.
Pancaindranya beku sama sekali. Yang diingatnya
cuma: betapa hancur hidupnya kini. Tiada harapan.
Tiada masa depan. Ketika Monik menolak untuk
pergi, dia juga bermaksud menunda kepergiannya dengan harapan masih akan dapat memikat hatinya.
Tapi siang itu, ketika dilihatnya gadis itu berdua dengan Steve, tahulah dia bahwa takkan ada kesempatan
sama sekali baginya. Betapa pahit rasanya hidup saat
itu dan seterusnya. Untuk selamanya, sampai dia mati,
dia akan terus terkenang padanya dan merindukannya
tapi tidak berdaya apa?apa. Berhari?hari dia memikirkan itu dan rasanya sulit sekali memercayai kenyataan
yang begitu parah. Dia tidak mengerti mengapa nasibnya tiba?tiba menjadi buruk sekali. Mula?mula Robert.
Kini Monik. Bila tidak ada yang membutuhkan dia,
maka...
"Papa," katanya malam itu, "saya memutuskan mau
pergi ke Peking saja."
"Mengapa?" seru ibunya kaget seakan melihat kalajengking.
Ayahnya juga tampak tercengang. Adik?adiknya ke
396 betulan tidak ada. Dia sengaja menghindari Alice, sebab si cerdik itu mungkin saja memutar otaknya dan
sampai pada kausa yang sebenarnya dari putusannya.
"Ya, mengapa? Bukankah engkau mau ke Swiss?"
tanya ayahnya.
"Ya, Martin," sambung ibunya, "ke Swiss, bukan?"
"Swiss tidak memerlukan saya," kata Martin menggeleng. "Seluruh dunia tidak perlu saya, kecuali Indonesia dan Peking. lndonesia tampaknya tidak menyukai saya juga, seperti halnya negara?negata lain.
Saya akan selalu jadi kambing hitam. Jadi tinggal
Peking."
"Tapi engkau tidak boleh pergi ke sana!" setu ibunya tegas.
"Cuma di sana saya dapat mengabdikan tenaga
saya, sehingga sisa hidup ini tidak sia?sia."
"Engkau tidak boleh ke sana!"
"Rakyat di sana barangkali akan berterima kasih
menerima saya. Setidak?tidaknya, saya dapat menjadi
dokter dan..."
"Tidak! Engkau tidak akan ke sana!!!" kini ibunya
sudah bangkit dari kursi menghampirinya. Ayah menahannya dengan lembut dan mengembalikannya ke
tempatnya.
"Kenapa tidak boleh, Ma?" tanyanya sabar. "Di
sana kan sama saja dengan kota?kota lain di dunia?"
"Di sana... di sana... dia akan sengsara... hu... hu...
hu..." ibunya menangis. "Dia akan mati seperti
Robert. Dan kita tidak boleh menengoknya...."
"Itu tidak benar, Ma. ltu omong kosong. Kalau
cuma begitu kekhawatiranmu, jangan takut. Percayalah
397 padaku, semuanya takkan terjadi. Kita dapat menengoknya. Mungkin sekarang belum boleh, tapi beberapa tahun lagi..."
"Tentu saja saya tidak akan kenapa?kenapa di sana,"
kata Martin tanpa kegembiraan sedikit pun, sebab di
dalam hati dia juga menangis. Menangisi Monik. Dan
kini, di hadapan gadis itu, ketika dia harus mengucapkan selamat tinggal, dia juga menangis. Hatinya sudah
sembap dan pedih sebab terus?menerus menangis.
Monik tiba?tiba ketakutan melihat Martin memandangi kaca spionnya tanpa berkedip, bermenit?menit
lamanya. Dengan lembut disentuhnya lengannya dan
diguncang?guncangnya. Martin menggoyang kepalanya
lalu menoleh seakan?akan baru tersadar.
"Jangan pergi, Martin. Jangan pergi," Monik juga
memohon, seperti Martin tadi.
"Aku harus. Namaku sudah tidak ada di sini. Lagi
pula, aku sudah mengubah kewarganegaraanku. Bila
aku tidak pergi, aku menjadi orang gelap. Engkau
tahu apa artinya itu?"
Monik menatapnya dengan mata terbuka lebar, penuh kengerian, lalu lambat?lambat dia mengangguk.
Ya, dia mengerti. Dikejar?kejar seperti penjahat. Lebih
dari penjahat. Seperti antek?antek PKI. Mungkin dituduh agen subversif asing. Oh, mengapa harus ada
permusuhan? Mengapa ada peperangan? Untuk apa?
Untuk apa sih? Untuk apa, Martin?
Monik tidak mengucapkan semua pertanyaan itu.
Dia cuma menatap Martin dengan hati tersayat. Dan
Martin memandangnya dengan sedikit senyum. Monik
yang tercinta, katanya dengan matanya sementara ke
398 dua bibirnya terkatup erat. Tidak. Dia tidak mau
Martin dikejar?kejar seperti binatang yang berbahaya.
Dia baru saja tahu, bahwa dia mencintainya. Karena itu harus diberikannya segala yang terbaik bagi
kekasihnya. Martin tidak boleh mengenal lagi kesusahan yang datang dari padanya. Dia harus menjadi
segala?galanya bagi Martin kecuali pendatang bencana
dan penyebab kesulitan. Dia akan mendengarkan katakatanya, memahaminya dan menurutinya, juga bila
dia kurang paham.
"Seandainya ada sesuatu yang akan mengikatmu di
sini, sesuatu... maukah engkau tinggal?"
"Apakah itu?" Kelip di matanya seperti pelita kehabisan minyak, segera padam mendengar jawabnya.
"Tidak apa?apa. Tidak apa-apa. Lupakan itu."
Sekarang dia menyesal. Di tengah malam pekat itu,
dia amat ingin memberitahu Martin, betapa besar hasratnya saat itu untuk mengatakan "sesuatu" itu. Tapi
tiba-tiba bayangan "menjadi orang gelap" melemahkan
dirinya dan sesuatu itu tinggal terpendam dalam lubuk
hatinya.
Kini dia menyesal. Amat menyesal. Terbayang olehnya kepiluan wanita itu, untuk kedua kali mengantar
anaknya ke kubur.
Dia menyesal. Untuk dirinya sendiri. Untuk wanita
itu. Dan terutama untuk Martin.
Akan terpatri buat selamanya dalam hatinya sebuah
gambar: ISABELLA yang putih dan agung, dengan
cerobongnya, ban?ban penyelamat, dan di geladaknya
menyemut para penumpang. Di antara mereka, yang
lebih tinggi dari orang?orang lain: dia. Seperti sebuah
399 menara kuil yang sudah ditinggalkan orang atau seperti sebuah pohon cemara di tengah hutan: meliukliuk berantah tamah dengan sekitarnya, tapi tidak
Pendekar Slebor 68 Rantai Naga Siluman Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader Pendekar Rajawali Sakti 153 Pemuas Nafsu Iblis

Cari Blog Ini