Ceritasilat Novel Online

Gema Sebuah Hati 6

Gema Sebuah Hati Karya Marga T Bagian 6


tumbang kena badai. Sebuah cemara abu?abu yang
selalu sendirian.
Monik seakan?akan masih melihatnya dengan jelas:
melambai?lambaikan topi merahnya, mukanya tenang,
rambutnya berkibaran, tapi ketika kapal sudah makin
menjauh, tampak saputangan putih itu sebentat?sebentar diusap ke mata.
Selamat tinggal dan selamat jalan. Monik menyusut
air matanya.
400 ARI itu Monik tengah duduk sendiri di lorong
yang melintasi halaman, menghubungkan bagian
pertama rumah sakit dengan bagian kedua. Anak?anak
lain belum datang atau mungkin juga sebagian sudah
ke ruang kuliah, di bangunan ketiga. Lorong itu merupakan tempat perjanjian antara Monik dan Anita.
Bila Anita belum kelihatan, dia akan menunggu di
situ dan sebaliknya.
Martin sudah seminggu pergi. Rasanya baru kematin. Hari Minggu yang lalu dia berjumpa dengan
Alice di gereja, dan terpaksa pura?pura terkejut mendengar keberangkatan Martin.
"Jadi engkau tidak diberitahu olehnya? Aneh. Aku
kira, dia mengatakan sesuatu tentang engkau dan mengabarkan kepergiannya," kata Alice tanpa menyangka
apa?apa.
"Sebenarnya apakah alasannya pergi ke sana?"
401 E-Booh by syauqy_arr
Alice menggeleng.
"Kami tidak tahu persis alasannya. Dia amat marah
ketika terjadi peristiwa Glodok. Waktu itu ayahku menyuruhnya pergi dan dia sudah setuju. Ke Swiss. Tapi
kemudian, dia berubah pikiran dan memutuskan untuk pergi ke Peking. Dia bilang, orang?orang Swiss tidak memerlukan dia. Di dunia ini, katanya, tidak ada
yang memerlukannya kecuali mungkin di Peking. Di
sana, katanya, dia akan dapat menyumbangkan tenaganya, sehingga sisa hidupnya takkan sia?sia."
"Apakah kalian tidak mencegahnya?" tanya Monik,
nyaris gemeletuk giginya sebab menyesal dan sedih.
"Engkau toh tahu, bagaimana hidup di sana?"
"Bagi ayahku, Peking sama baiknya dengan Basel
atau New York, meskipun dia bukan komunis. Pamanku sendiri yang disita pabrik tekstilnya, masih lebih
suka dijadikan mandor di situ daripada pergi ke luar
negeri. Kadang?kadang kita tidak dapat mengerti jalan
pikiran orangtua. Tapi jangan tanya aku. Biarpun seluruh keluargaku pergi ke sana, selama belum ada kebebasan pribadi, aku tidak mau ikut. Bagiku, mutlak
perlu kemerdekaan."
"Aku mencintai kemerdekaan juga. Tapi aku selalu
bersedia mengikuti kekasihku, sampai ke neraka mana
pun."
Alice memandangnya dengan penuh tanda tanya
dan Monik amat ingin menceritakan isi hatinya, namun dia tidak berani.
"Ayo, ke rumahku. Aku kesepian," kata Alice.
"Lain kali. Aku harus membantu Bibi sekarang,"
kata Monik dan dia tahu, dia takkan pernah ke ru
402 mah Alice lagi. Dia takkan sanggup memandang
potret di atas piano itu di mana Martin tersenyum
bersama saudara kembarnya.
"Hai," setu seseorang tiba?tiba. "Pagi?pagi sudah
melamun!"
Monik menoleh terkejut. Gendut menyeringai dan
duduk di sampingnya.
"Dari ujung gang ini aku sudah memperhatikan
engkau: asyik amat melamun. O ya, kemarin aku ke
rumah Martin. Dia pergi ke Peking. Engkau sudah
tahu?!"
"Ya, aku tahu," kata Monik sambil memandang
rumput?rumput gundul yang baru saja dibakar.
"Mengapa engkau tidak mencegahnya?"
Suara Gendut tetap ramah tapi penuh celaan dan
tuduhan. Monik menunduk dan memetik bunga serdadu dekat kakinya. Satu per satu dilepasnya daundaun bunga itu. Jadi semua orang akan tahu dan menuduh dia. Dibelai?belainya daun bunga terakhir.
"Bagaimana aku dapat mencegahnya? Aku tidak
tahu dia mau pergi."
Gendut mengepal?ngepal tinjunya dan menggertakkan geraham berkali?kali.
"Dia akan mati di sana. Kedinginan dan kesepian.
Engkau harus menolongnya!"
"Bagaimana?" tanyanya seperti anak?anak yang tidak
tahu apa?apa.
Gendut memandangnya dengan rupa heran.
"Tentu saja dengan menyuruhnya keluar dari sana.
Paksa dia keluar. Kalau engkau masih mempunyai rasa
perikemanusiaan, tolonglah dia. Katakanlah apa saja
403 sesukamu, tapi suruhlah dia keluar dari tirai bambu
itu. Jangan biarkan dia bunuh diri. Oh, Tuhan, jangan
biarkan dia celaka. Dia belum pernah menyakiti hati
orang."
Monik menjadi pucat dan dingin.
"Dia akan menjadi orang gelap!"
"Tidak. Dia dapat tinggal di Hong Kong."
Ya, itu betul. Dia mendapat harapan baru. Ingin
rasanya lekas?lekas pulang dan menulis surat. Dia tidak tahu alamatnya. Harus melalui Alice. Akhirnya
gadis itu akan tahu. Cepat atau lambat semuanya akan
tahu. Kalau terjadi apa?apa, cuma dia seorang yang
berdosa. Saya bersalah. Saya bersalah. Saya amat bersalah.
Pada saat itu tiba?tiba saja Monik ingat persoalan
antara Steve dengan Martin dan Gendut.
"Aku cuma ingin tahu. Mengapa Steve mengatakan,
engkau dan Martin akan menjelekkan dia? Persoalan
apa itu?"
"Hm. Jadi dia kita kita sama rendahnya dengan
dia?! Bah! Aku tidak punya waktu untuk menjelekjelekkan orang macam dia, yang memang sudah terkenal kebusukannya. Pikir sendiri olehmu: perlukah
menyinggung nama seseorang yang sudah tidak mempunyai nama baik? Bukankah orang yang dijelek?jelekkan orang lain itu biasanya adalah orang yang terkenal
dan karena itu jadi bahan iri hati teman-temannya?
Steve! Huh! Menjadi kacung di rumahku belum tentu
terpakai!"
"Mengapa dia sebenarnya?" tanya Monik mende
sak. 404 "Tidak apa?apa. Cuma ketika kita membutuhkan
dia, kita ditolaknya. Itu saja. Engkau heran? Kita perlu
tanda tangannya untuk jaminan, kita tidak terlibat
G?30?S. Dia bilang: sori, sebab dia sekarang punya
jabatan penting, jadi tidak dapat memberi jaminan
semaunya. Kita dipersilakan mencari anak?anak lain
yang tidak mempunyai pangkat. Dia cuma mau menjamin orang-orang yang betul?betul, nyata?nyata, sama
sekali tidak terlibat. Jadi dianggapnya kita ini entah
terlibat atau patut dicurigai. Persetan! Dikiranya aku
sudah kehabisan teman? Oh, pergilah dia ke neraka!
Dalam waktu lima menit, formulir kita berdua sudah
beres. Martin dijamin oleh anak?anak Teknik, yang
betul?betul berhati manusia. Tidak seperti kebanyakan
manusia yang sebenarnya binatang berkaki dua dan
karenanya juga berhati binatang. Aku ketemu temanku
dari Sukabumi. Belum lagi membuka mulut, dia sudah memberondong lebih dulu. "Aku cari?cari kau tidak juga ketemu. Sudah dapat tanda tangan?" Dalam
waktu lima menit, aku dapat: satu dari GMKI, satu
dari PMKRI. Steve masih terlalu muda untuk membangun ilusi yang begitu indah tentang dirinya. Kalau
dia insaf bahwa dia cuma seekor semut di tengah
lautan pasir, pasti kecewa hatinya."
Monik mendengarkan tanpa komentar. Bibirnya
terasa kering dan tenggorokannya sakit. Kaki?tangannya dingin semua. Jantungnya dak, dik, duk tidak
teratur. Untuk kedua kalinya dia bersyukur, telah terlepas dari janji setia yang konyol itu.
Ketika pulang dari kuliah, Inge menghampirinya.
405 "Di mana Martin, Nik?" tanyanya dengan sedikit
mengejek.
Monik cuma dapat menggeleng, lekas?lekas mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan air matanya. Di manakah engkau, Martin? Di manakah engkau, Sayang?
*** Pada hari Minggu itu Monik datang ke misa pertama,
pagi?pagi sekali. Belum banyak orang. Dengan leluasa
dia memilih tempat yang disukainya, di baris pertama,
tengah. Tidak lama kemudian datang Alice ke sebelahnya. Mereka saling tersenyum. Alice mengenakan baju
hijau sutra dengan bunga?bunga yang manis. Di lengannya tercantum sebuah pita hitam. Dia mau berkabung tiga tahun untuk kakaknya. Dan Leoni: untuk
selamanya. Monik sudah berjumpa dengan gadis itu.
Tinggi, langsing, dan ayu. Rambutnya pendek, disasak
dengan manis. Kulitnya halus dengan bercak?bercak
matahari Eropa pada tulang?tulang pipinya.
Dia selalu datang ke rumah Alice setiap kali ada
upacara sembahyang unruk tunangannya. Dia membantu di dapur dan mengatur meja sembahyang, seakan?akan itu meja pesta untuk seorang suami yang
tengah dinantikan pulang. Cuma, Robert takkan pernah menjadi suaminya.
Misa dan khotbah hari itu dipersembahkan oleh
Pastor Albertus yang fasih berbahasa Tionghoa. Beliau
kelahiran Austria, bekerja lima tahun di Shanghai, sebelum akhirnya dipenjarakan. Bicaranya lucu. Kata
406 orang, itu disebabkan karena lidahnya telah dikerat
dalam penjara.
Pastor Albertus selalu cepat?cepat saja mempersembahkan misa dan itu menyenangkan para mudamudi. Toh, berkat Tuhan sama banyaknya, kata
mereka. Tuhan mahamurah, sehingga tidak mungkin
Dia akan bilang: di sana ada seorang pastor yang
mempersembahkan misa lima menit lebih cepat, jadi
berkat-Ku harus dikurangi juga lima persen! Itu takkan terjadi, kata Alice, kecuali yang jadi Tuhan adalah
mamon?mamon yang duduk di belakang meja tulis,
menjual formulir dan tanda tangan.
Deo gmlz'rzs. Amin, amin. Domz'niscm vobiscum.
Amin, amin. Cum spiritu tuo. Amin. Amin. Orangorang tergesa?gesa keluar. Dan Yesus dengan sedih
cuma dapat mengusap?usap dada: Aku beri engkau
tujuh hari seminggu "a dua puluh empat jam, tapi
engkau kembalikan pada?Ku cuma satu jam kurang.
Monik keluar bersama Alice. Mereka berjalan pelanpelan. Monik hampir tidak sabar hendak menanyakan
kabar mengenai Martin. Untung Alice sudah lebih
dulu membuka pembicaraan.
"Kami sudah menerima suratnya, Monik. Dari
Hong Kong."
"Dia cerita apa?"
"Cuma cerita tentang Hong Kong. Dia selesma sedikit, kena angin di kapal. Kirim salam katanya, untukmu dan kawan?kawannya yang lain. Disuruhnya
engkau menulis surat kalau ada waktu."
"Alamatnya?" tanya Monik menahan napas.
"Summer Palace, Peking," kata temannya tertawa.
407 "Kita belum tahu alamatnya di Peking. Tunggu saja
surat berikutnya."
Mereka makan bakmi yang direkomendasikan oleh
Alice. Ternyata enak.
"Lebih enak dari Bakmi Gajah Mada, kan?"
"Masing?masing enaknya berlainan."
"Hm, bilang saja kalau tidak mau mengakui keunggulan lidahku! O ya, hati ini ulang tahun Leoni.
Aku mau ke tempatnya. Temani aku, yo? Aku cuma
sendirian. Berdua dengan sopir. Ikut, ya?"
"Kalau tidak mau?"
"Kau pasti mau, Monik. Kita harus melihat biaranya. Kata ibuku, tenang dan indah."
"Biara?"
"Engkau tidak tahu? Kalau begitu aku lupa menceritakannya. Beberapa hari setelah kakakku berangkat,
Leoni masuk biara. Menjadi novis tiga tahun."
Alice tertawa.
"Mula?mula orangtuanya dan orangtuaku mau menjodohkan dia dengan Martin. Supaya hubungan tidak
putus. Tapi kedua orang itu tidak mau. Ketika keduanya tengah bercakap?cakap di taman, aku kebetulan
berada di belakang gunung?gunungan. Jangan bilang
pada Leoni, aku mengintip! Awas!"
Monik tertawa geli sambil menyumpit bakminya.
"Aku toh tidak sengaja ada di situ! Aku dengar kakakku bilang: aku bukan mau menghinamu, Leoni,
dan tidak pula berarti bahwa engkau kurang menarik,
tapi aku sungguh?sungguh tidak mungkin kawin dengan engkau. Pertama, aku pasti akan selalu ingat
Robert dan selama ini aku selalu memandangmu se
408 bagai miliknya. Kedua?kakakku berdehem?kedua,
karena... karena... aku sudah mencintai gadis lain. Sudah lama. Sejak aku berjumpa dengan dia waktu perploncoan."
Alice batuk?batuk karena menirukan deheman kakaknya. Dia merasa ceritanya begitu mengasyikkan
sehingga tidak diperhatikannya Monik memucat.
"Dan apa kata Leoni, kau tahu? Ehem... ehem...
Leoni bilangz?awas, jangan kausampaikan padanya!
Tahu sendiril?aku berterima kasih sebab engkau sudah lebih dulu mengatakannya. Aku sedang kebingungan bagaimana harus menolak, andai kata engkau
setuju. Aku... aku sudah berjanji di depan altatnya
bahwa... bahwa aku tidak akan menikah...! Engkau
tahu kan, Nik, sebenarnya Robert tidak boleh dipelihara abunya, sebab belum menikah. Tapi Martin
berjanji akan mengurusnya, jadi dia dibuatkan altar.
Nah, kata kakakku pada Leoni, itu tidak baik, engkau
harus menikah. Pasti akan datang seorang lain yang
dapat menggantikan Robert. Leoni terdengar mengisak. Tidak, katanya, aku mau bekerja untuk yatimpiatu saja. Tenagaku masih berguna sebagai suster.
Itulah semuanya. Dan kau tidak boleh mengatakannya
pada siapa pun! Awas!"
"Di biara mana?"
"Pacet."
Biara itu betul?betul tenang dan indah. Rumputnya
hijau. Kebun bunganya terpelihara. Alice membawa
sekeranjang sirop, empat kaleng biskuit, dan sebuah
karangan bunga anggrek.
Monik asyik mengagumi awan-awan putih di langit
409 yang cerah itu, sementara Alice membunyikan bel dan
menanti pintu dibuka.
Sejauh mata memandang, tidak tampak makhluk
lain kecuali burung?burung di atas pohon. Mereka
bercengkerama mengisahkan segala macam hidup di
dalam kehidupan ini. Sebentar-sebentar terbang ke
sana kemari, tertawa dengan matahari, bernyanyi dengan awan.
Pintu terbuka. Monik menoleh. Seorang suster berpakaian abu?abu dengan kerudung abu?abu, tersenyum
pada mereka.
"Boleh kami berjumpa dengan Suster Egidia, Suster?" tanya Alice.
"Tentu saja. Silakan masuk."
Mereka masuk ke dalam ruang tunggu. Di situ terdapat dua buah lemari kaca. Yang satu berisi alat-alat
beribadat, lengkap dengan harganya. Rosario, buku
misa, kitab Injil, gambar?gambar Yesus, Maria, orangorang kudus, patung?patung. Lemari kedua berisi
barang?barang kerajinan tangan, juga disertai harga.
Sebuah tutup teko yang indah harganya seribu dua
ratus rupiah. Sebuah bajing kecil harganya tujuh puluh lima rupiah. Sebuah boneka kuda: empat ratus
rupiah. Sebuah topi bayi: dua ratus lima puluh. Sebuah sarung tangan dari benang wol: delapan ratus
rupiah. Monik memandangi sarung tangan itu. Rajutannya rapi dan bunganya menarik. Dia mengirangita berapa besar tangan Martin. Cukupkah? Dia tidak dapat mengatakannya. Tidak mungkin membayangkan besarnya tangan seseorang. Dia cuma ingat, jarijarinya panjang dan langsing, tapi tidak kurus.
410 "Bagus bukan, kuda itu?" tanya Alice dari balik
punggungnya.
"Aku lebih suka bajing itu."
"Belilah."
"Aku mau. Hm... bagaimana pendapatmu mengenai
sarung tangan itu? Hm... kaupikir... anu cukup besar
untuk Martin?"
"Maksudmu, engkau mau mengirimkan benda itu


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke Peking?" tanya Alice kaget.
"Ya. Mengapa tidak?"
Alice memegang lehernya seakan?akan tercekik.
"Ya Allah, Nik. Kita tidak dapat mengirim apa?apa
ke sana. Surat?surat pun entah sampai, entah tidak.
Harus via Hong Kong, via kenalan ayahku. Lalu melalui keranjang sayur mungkin, andai kata tidak dapat
melalui pos."
Monik tiba-tiba merasa amat sedih. Hubungan
betul?betul terputus. Bahkan untuk surat?surat yang
merupakan urusan pribadi, mereka tergantung pada
ribuan orang, di samping pegawai pos. Politik putus.
Pos putus. Untuk pertama kalinya dia mulai berpikir,
apakah tidak lebih baik bila dibiarkannya Martin menjadi orang gelap dulu. Lalu menyembunyikannya setiap hari.
Suster Egidia muncul. Memakai tok pendek abu?abu
dan kerudung. Monik melihatnya ketika membuka
pintu besi yang menghubungkan ruang tamu dengan
gang panjang. Dia memutuskan untuk sesedikit mungkin tersenyum, sebab pada hematnya gadis?gadis yang
masuk biara pastilah dipenuhi kesedihan melulu. Jadi
dia mau ikut berduka dengan Suster Egidia.
411 "Leoni," teriak Alice dan mereka berpelukan.
Kemudian Suster Egidia menoleh padanya.
"Selamat siang, Suster," angguk Monik dengan hormat.
Suster Egidia tertawa gelak?gelak.
"Wow! Apa?apaan ini! Sok resmi?resmian. Bukankah
engkau Monik? Saya masih ingat padamu, bagaimana
mungkin engkau semudah itu melupakan saya!" Dan
Leoni mengulurkan tangannya, membuat Monik tersipu?sipu tidak berkutik.
Hampir?hampir dia tidak dapat percaya bahwa suster ini telah kematian tunangannya yang dicintainya.
Sama sekali tidak ada kesedihan atau perkabungan.
Matanya yang jernih dan kekanak?kanakan itu amat
cerah. Selalu tertawa dan lesung pipinya melekuk manis pada pipi kanannya.
Gila, pikir Monik, aku sudah bersiap?siap untuk
menghadapi air mata macam apa pun. Tidak tahunya,
dia begitu penuh bahagia.
Mereka bercakap?cakap seperti tiga anak gadis dalam asrama setelah pesta dansa mereka yang pertama.
Monik tidak henti?hentinya melirik ke kiri ke kanan, setiap kali disangkanya Leoni tidak melihat. Di
balik terali besi, terdapat sebuah kapel yang besar.
Bagi para suster, disediakan ruangan khusus yang terpisah dari umat dengan sebuah pintu gerbang yang
terbuat dari batang?batang besi. Masih ada sedikit
pengaruh gotik. Altar terdapat di bagian umat, namun
susrer?suster dapat mengikuti upacara tanpa halangan
apa?apa.
412 Pintu gerbang dalam kapel itu rupanya merupakan
lambang pemisah antara mereka dan umat. Sustersuster itu, kata Alice, mempunyai kaul: tidak akan
bercakap?cakap dengan dunia luar maupun di antara
mereka sendiri, kecuali pada waktu?waktu tertentu.
Bangku?bangku dalarn kapel itu luar biasa mengilap, Seakan?akan kita dapat bercermin bila berlutut di
situ. Lantai juga berkilat. Pasti licin sekali. Baik untuk
dansa waltz. Patung?patung Bunda Maria dan Yesus
serta Santa Pelindung, tampak lebih cantik karena suasana yang tenang itu adalah bagian dari surga.
Suster Egidia tampak terlibat dalam percakapan
yang seru dengan Alice. Meskipun sudah berkerudung,
agaknya berdebat itu masih diperbolehkan.
"Tapi dengarlah, Leoni," bantah Alice, "dia akan
kehilangan kebebasannya di sana."
"Barangsiapa menghendaki sesuatu, dengan sendirinya dia kehilangan kebebasannya. Sebab kebebasan itu
telah diberikannya pada keputusan untuk mendapat
sesuatu itu," Suster Egidia tertawa manis.
"Ah, aku tidak tahu," kata Alice mengangkat bahu.
"Mungkin engkau benar. Mungkin semua orang benar.
Kecuali aku. Aku tetap menganggap, dia tidak seharusnya pergi ke sana."
"Engkau tidak sendirian, Alice," sela Monik. "Saya
pun sependapat dengan dia, Sus... Leoni... maaf, Suster maksud saya."
"Engkau boleh memanggil saya Leoni. Saya masih
novis."
Susrer Egidia tiba?tiba meletakkan kedua tangannya,
413 masing?masing di atas pangkuan kedua tamunya.
Matanya penuh pengertian dan simpati.
"Saya sendiri mengerti isi hatimu. Saya mengerti.
Sebab saya sendiri pernah mengalami air bah dan topan, ketika saya sendirian di samudra yang mahaluas.
Tapi percayalah, semua akan berlalu. Tidak ada yang
akan terjadi tanpa kehendak?Nya. Waktu akan pergi
dan menyembuhkan semuanya. Maksud saya, kesusahan hatimu akan lenyap. Kenang-kenangan dari
orang yang sudah pergi tentu takkan mungkin terhapus, namun kepedihan hati yang menyertainya akan
musnah bersama waktu. Waktu itu amat baik bagi
orang-orang yang sabar serta percaya. Tapi bila kalian
melawannya, dia akan menjadi ganas sekali. Waktu
adalah juga seorang musuh yang tangguh yang harus
dapat kita kuasai dengan baik."
"Tidak, Leoni. Tidak. Aku takkan pernah lagi mengalami hidup seperti ketika kakakku masih di sini."
Suster Egidia tidak mengatakan apa?apa. Dia, yang
telah memperoleh kebijaksanaan dari berlalunya waktu, harus penuh kesabaran menghadapi jiwa-jiwa yang
berontak. Ditatapnya Alice dengan senyum tetkulum.
Monik juga meneriakkan kata?kata yang persis sama,
namun cuma dalam hati.
Sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, nenek,
dan dua anak kecil, datang mengetuk pintu. Suster
Egidia minta dimaafkan lalu bangkit. Setelah berbicara
sebentar dengan sang ayah, dia masuk ke dalam melalui lorong. Sebentar kemudian sudah kembali.
"Silakan masuk," katanya pada para tamu, yang tanpa segan?segan segera menerobos masuk.
414 Suster Egidia kembali menemani tamu?tamunya.
Waktu yang diberikan: setengah jam. Hampir habis.
Alice mengatakan dia mau membeli suvenir?suvenir
dalam lemari itu. Suster Egidia mengatakan, akan memanggil suster yang bertugas di bagian penjualan.
"Waktu saya sudah habis," kata Suster Egidia tertawa. "Di sini saja saya mengucapkan selamat jalan
dan terima kasih banyak untuk bingkisanmu. Saya
senang sekali kedatangan kalian. Selalu senang. Meskipun kelak, saya cuma akan dapat memandang kalian
saja."
Suster Egidia memperlihatkan tertawanya yang memikat itu.
"Kelak, kita takkan dapat bercakap?cakap. Nah,
akan saya panggil Suster Eduarda." Dijabatnya tangan
keduanya, diguncang?guncangnya beberapa kali, lalu
dia menghilang ke lorong.
Monik berdiri dan berpura?pura tertarik pada lukisan?lukisan yang tergantung di ruangan sebelah. Di
situ terdapat sebuah meja batu, di atas mana terdapat
pagar kawat yang berpintu kecil?kecil, cukup untuk
memasukkan tangan. Sebuah pemandangan yang lazimnya terdapat di kantor?kantor pos.
Seorang suster muncul di belakang salah satu lubang itu. Senyumnya cerah. Tapi bibirnya terkatup
erat?erat. Satu per satu pengunjungnya mengulurkan
tangan. Tapi suasana tetap hening. Bahkan kedua
anak?anak itu, yang harus didukung ayahnya supaya
dapat mencapai lubang itu, tidak mengatakan salam
apa?apa. Mereka memberikan dua buah karangan bunga, yang dimasukkan lewat bagian atas pagar.
415 Suster Eduarda muncul. Monik memutar kakinya
dengan segan dan menyambut salamnya. Alice membeli rosario yang berisi air dari Lourdes. Monik membeli bajing. Kemudian dia teringat pada Laila dan dibelinya juga satu set baju bayi yang indah, untuk boneka Lala. Ketika Suster tengah menghitung?hitung
uang kembali, Monik melihat keluarga itu berjalan ke
luar. Singkatnya pertemuan mereka. Hatinya menggigil
sedih. Dilangkahkannya kakinya kembali ke dalam. Di
kapel, terlihat suster tadi tengah meletakkan kedua
karangan bunganya pada kaki Maria dan Yesus. Punggung yang lurus itu baginya memberitakan kesepian
dan kesunyian. Hatinya tiba-tiba takut dan gelisah.
Diputarnya kakinya ke luar. Pergi. Pergi jauh. Dan
takkan pernah mau dia kembali.
*** Minggu berikutnya, Monik berjumpa dengan Alice.
Gadis itu tengah melangkah ke luar dengan buku
misa dalam tangannya. Monik mencubitnya.
"Hai, aku sedang berpikir?pikir mengapa engkau
tidak kelihatan. Misa kedua?"
"Iya. Semalam tidur laat. Sst, sudah ada kabar
lagi?"
Alice mengerling dengan matanya yang jelita dan
tersenyum penuh arti.
"Kalau sudah ada kabar, engkau berani bayar berapa?"
"Kunyuk! Mereka kan selalu menanyai aku, sebab
tahu aku temanmu. Bukan apa?apa."
416 "Tahu. Tahu," kata Alice sedemikian, sehingga merah padam Monik bukan mereda, malah meningkat.
Monik pura?pura marah dan melangkahkan kakinya
ke dalam gereja. Alice cepat menyambarnya.
"Monik, belum ada kabar lagi," bisiknya. "Nanti
siang main ke rumah, ya?"
Monik mengangguk namun kemudian menggeleng.
"Tidak dapat, Alice. Sori, aku harus masuk sekarang."
Monik berjalan di antara bangku?bangku menuju
tempatnya di muka. Dia berlutut, dan membuat tanda
salib. Oh, Yesus, dia belum mengirim surat lagi.
417 XVII ARTIN telah menulis suratnya yang pertama
dari Peking. Alice tersenyum sedih ketika menceritakan isi suratnya.
"Dia bilang, di sana amat dingin. Semua baju, kaus
kaki, kaus tangan, topi, dan syal yang dirajut ibuku
amat berguna. Tiap hari pakai baju berkilo?kilo beratnya. Dia sudah melihat Summer Palace, Forbidden
City...."
"Dia bahagia," gumam Monik dengan perasaan tertusuk.
Alice menggeleng dengan mata sayu. Dia amat mencintai kakaknya.
"Dia sama sekali tidak bahagia. Sama sekali tidak,
Monik."
"Apakah dia mengatakan begitu?"
"Dia tidak mengatakan apa?apa. Tapi aku tahu,"
kata Alice menunduk.
418 http:]lhana-ohi.blogspot.com
Monik menyesal telah menanyakan hal itu. Percakapan mereka menjadi makin buram. Setelah beberapa saat terdiam, Alice mengeluarkan sebuah foto dari
tasnya. Monik menyambutinya dengan tangan gemetar. Martin berdiri di depan sebuah danau yang sunyi,
dengan sebuah jembatan lengkung yang menuju ke
rumah minum teh di tengah-tengahnya. Martin memakai topi wol, bajunya tampak tebal berlapis?lapis,
sepatunya dari kulit binatang. Ah, betapa menarik
parasnya yang humoris itu. Mengapa dia masih sanggup tersenyum walaupun dia sama sekali tidak bahagia?
"Dia bilang dalam surat itu: Mama, lihat semangka,
saya jadi ingin sekali, tapi sayang tidak ada uang. lbuku hampir menangis membacanya. Kakakku bilang,
dia tinggal dalam asrama. Selain pelajaran biasa, juga
mendapat pelajaran dari buku?buku Mao. Makanan
mereka terdiri atas bubur nasi dan sayur sawi putih.
Setiap hari tidak berubah. Cuma kadang?kadang diberi
ikan sepotong. Kalau mempunyai kartu makan, diperbolehkan menukarkannya dengan makanan di restoran. Ayahku mau mengiriminya kartu?kartu makan.
Via Hongkong tentu saja. Martin bilang, doktet?dokter di sini tidak dapat jadi tuan raja seperti di negaranegara lain, di negara kita, misalnya. Sebab mereka di
sana harus menyeberangi sungai yang lebih deras dari
Ciliwung, harus bekerja dalam poliklinik berlantai tanah, harus pergi ke desa?desa, dengan berjalan kaki.
Kalau mendapat sepeda, sudah boleh berpesta. Mahasiswa?mahasiswa lebih cepat diajar berpraktek. Martin
sudah menolong orang?orang bersalin lho, Monik."
419 Monik mengangguk, tersenyum dengan muka merah. Alice memandangi temannya beberapa lama, lalu
tiba-tiba meluncur ke luar begitu saja kata?katanya.
"Monik, engkau tahu mengapa dia pergi!"
"Dia mengatakannya padamu?" tanya Monik, terkejut seperti disengat lebah.
"T idak. Tapi aku tahu."
Engkau banyak tahu, pikir Monik. Tapi dia tidak
mengatakan apa?apa, melihat mata temannya sudah
berkaca?kaca.
"Tolonglah dial"
"Kalau saja aku tahu bagaimana caranya!"
Alice tiba-tiba mengguncang?guncang tangan temannya dan tertawa gembira.
"Oh! Aku tahu, engkau pasti mau menolongnya.
Tulislah sesuatu, katakan apa saja, asal dapat membuatnya mau keluar dari sana. Ke Hong Kong, barangkali.
Betul, Monik?! Engkau berjanji? Katakan apa saja, asal
dia mau keluar."
Sekarang Monik tengah memenuhi janjinya. Seisi
rumah Bibi sudah tidur. Nancy sudah nyenyak, bergelung dengan selimutnya. Monik duduk menulis dengan lampu keeil sebab takut menyilaukan Nancy dan
membuatnya terbangun. Tapi anak itu tidur dengan
lelap. Seharian tadi dia tidak pernah diam. Banyak
saudata?saudara sepupu Paman yang datang untuk merayakan ulang tahunnya. Mereka membawa serta anakanak mereka. Jumlah total: enam anak?anak. Jadi dapat dibayangkan ramainya mereka bermain dan berlari.
Nancy sekarang kecapekan. Siang tidak tidur. Monik
420 tersenyum memandangnya. Wajahnya cantik seperti
buah pir yang belum masak. Kecil dan halus.
Sekali lagi dibacanya kalimat yang telah ditulisnya.
Lalu dilipatnya kertas kecil itu dan dimasukkannya ke
dalam amplop. Besok pagi, sebelum pergi kuliah, akan
diantarkannya ke rumah Alice supaya dapat dikirim
bersama?sama surat mereka dan sebulan kemudian...
Martin akan membacanya. Moga?moga saja pikiran
sehatnya masih utuh dan dia mau keluar.
Kata Alice, para pelajar diperbolehkan menghabiskan
libur musim panas mereka di Hong Kong dan boleh
menetap di sana, bila ada sanak keluarga yang menjamin hidup mereka. Nah, asal Martin mau keluar,
perkara lain tampaknya akan beres dengan sendirinya.
Dia akan naik kereta api ke Canton dan pergi ke
Hong Kong. Di sana seorang kenalan ayahnya akan
menjamin hidupnya dan memberinya pekerjaan atau
bahkan mengusahakan supaya dia dapat kuliah lagi di
Universitas Hong Kong. Kenalan ayahnya pasti mempunyai koneksi di mana?mana.
Dan Martin akan bebas. Dunia sekali lagi akan
menjadi miliknya dan dia dapat membeli apa saja
yang diingininya, juga buah semangka. Setelah tamat
di Hong Kong, dia dapat melanjutkan pelajarannya ke
London untuk menjadi spesialis.
Oh, hidup terasa lebih indah dengan tiba?tiba.
Monik tersenyum sendiri. Persoalannya kini adalah:
apakah dia mau keluar atau tidak. Kalau mau, maka
segalanya beres. Kalau tidak mau?
Monik memejamkan matanya, berusaha mengusir
bayang?bayang gelap yang menghantui pikirannya dan
421 mimpi?mimpinya. Kalau dia tidak tnau keluar, mereka
takkan berjumpa lagi. Tapi... Monik mengeluarkan
kembali suratnya dan membacanya.
Dia cuma menulis sebaris kalimat, satu?satunya
yang ada di otaknya. Dan nasibnya serta nasib Martin
tergantung pada kertas itu.
"Keluar dari Peking, Martin, aku cinta padamu."
Dia bahkan tidak peduli untuk menuliskan namanya di bawahnya. Dia tahu, dari mana pun datangnya,
Martin akan mengerti siapa pengirimnya.
***

Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petploncoan di Trisakti dimulai. Pada hari pertama,
ternyata para cama?cami itu belum ada yang mandi
seorang pun. Sehingga demi kesehatan, terpaksa dipanggil sebuah mobil pemadam kebakaran. Dengan
tangki penuh air Ciliwung, mobil itu mengaum-aum
memasuki halaman. Tidak ada seorang pun dari caloncalon rekan itu yang selamat, meskipun pacarnya adalah bapak plonco.
Agripinus dan pacarnya, Popea (keduanya nama
yang diberikan anak?anak, bukan asli) berkeliling meneror cama?cami yang sudah menggigil kedinginan.
"Ada bahaya udara... tiarap! Uuuuung... uuuuung...
uuuuung... bahaya... tiaraapll"
Semua tiatap di tanah yang basah. Kemudian disuruh bergulingan. Dalam sekejap mata semuanya menjadi bruine Piet. Yang mukanya masih bersih, dipoles
422 dengan tanah oleh yundasakti yang kemudian membersihkan tangannya pada rambut si cami.
Sudah menjadi kenyataan, para yunda lebih galak
terhadap cami?cami. Mungkin karena "cemburu" tak
sadar, sebab cami-cami itu lebih cantik, lebih muda,
lebih menarik, dan lebih mungkin memikat hati raka
daripada yunda?yundanya sendiri.
Gendut mengajak kawan?kawannya melihat adik
Steve yang tengah asyik membersihkan got, mencari
emas. Monik melihat cama itu. Meskipun mukanya
kotor, terlihat juga kulitnya yang putih. Matanya besar, berlainan dengan Steve yang sipit. Rambutnya
agak berombak. Tubuhnya tidak setinggi kakaknya
tapi tegap.
"Satu turunan Belanda, satu turunan Tongsan," kata
Gendut tertawa.
"Apakah ibunya Belanda?"
"Indo."
Alex mendengar kata?kata mereka agaknya, sebab
dia mengerling dengan berani. Polok melihatnya.
"Mana dia adik si Steve?" teriaknya tiba-tiba, purapura tidak mengenal Alex. "Mana dia adik si bangsat?
Mana dia? Gua mau gecek biar nyaho! Mana dia? Kasih tunjuk!"
Alex diam saja, tidak berkutik. Dia asyik betul mencari emas. Semua penonton menertawakannya.
"Itu dia!" tunjuk si Gendut.
"Hei," setu Polok, "sudah dapat emas berapa kilo?
Awas! Cari yang betul. Kemarin cincinku jatuh ke
situ. Cincin kawin. Kalau ketemu?dan mesti ke
423 temu?lekas lapor pada Tuan Besar ini," dan ditepuknya dadanya.
Alex diam saja, tidak bereaksi. Polok sengit. Dia
jongkok dan menarik rambut anak itu lalu ditengadahkannya mukanya.
"Hei, kalau diberi perintah oleh Tuan Besar, apa
jawabmu? Ayo! Eh, jangan kita kakakmu ketua Senat,
berarti engkau lalu jadi bebas? Ayo!"
Mendengar ancaman itu dan melihat wajah?wajah
yang mengancam di sekitarnya, Alex mengerut juga.
Dia mengangguk disertai ucapan: Ya, Raka.
Steve selalu ada di bagian perempuan, menghindari
adiknya. Dia tahu "musuh-musuhnya" tentu akan
menggojlok adiknya. Jadi lebih baik dia jauh?jauh dari
sana. Steve tengah mengajarkan nyanyian dari buku
PMKRI?nya, sebab dalam buku cama?cami hampir
tidak ada lagu apa-apa kecuali Gelang?sz'pa/eu?gflang.
Malah Gaudfamus lgitur tidak ada, jangan lagi persoalkan arti dan kata?katanya. Buta nyanyian semua.
Monik melihat tangan Steve bergetak?gerak turunnaik. Dia memandangnya tanpa perasaan apa?apa.
Tadi sore Inge datang, tapi jam delapan sudah dijemput ayahnya. Untuk mengatakan Steve mencintai
Inge, agaknya terlalu jauh. Mereka jarang bersamasama seperti dulu, entah kalau di luar sekolah. Tapi
itu bukan urusanku, kata Monik dalam hati.
Ketika eama-eami yang sudah loyo?loyo itu berbaris
untuk pulang, Anita menanyai Monik, akan pulang
dengan siapa.
"Rumahku cuma beberapa ratus meter di seberang
jalan, takut apa?" sahutnya keras kepala.
424 Monik terkenal pantang meminta pertolongan dari
orang-orang, lebih-lebih dari teman laki-lakinya. Dan
keras kepalanya boleh juga.
"Itu tidak baik," kata Gendut. "Kita antar dia dulu,
An."
Anita tiba-tiba tertawa.
"Aku baru ingat! Tadi siang dapat surat dari Jerry.
Eh, tunggu dulu... kalau engkau mau marah padaku,
bilang sekarang... aku dapat mencari Markus atau
siapa saja untuk mengantar pulang."
Gendut membelalak dengan muka masam.
"Pokoknya, engkau percaya padaku atau tidak. Beresl"
Gendut mengepal tinjunya keras-keras, tapi jelas
bahwa dia percaya pada Anita.
Plonco?plonci sudah bubar, setelah bernyanyi:
margm komm ich wieder. Monik berkeras mau pulang
sendiri. Steve mendengarnya.
"Aku antarkan engkau, Monik."
"Oho, aku mau jalan kaki saja, Steve. Terima kasih."
Steve memandangnya dan berbisik, "Aku menyesal
atas apa yang terjadi." Monik berlalu tanpa berkata
apa?apa. Steve mengulangi bisikannya.
"Langit cerah. Aku mau jalan saja," dan Monik
mempercepat jalannya.
Steve mengawasinya sejenak sebelum mengejarnya
setengah berlari. Monik dipegangnya dan diguncangguncangnya.
"Aku bilang, aku menyesal," desisnya. "Dan kini
aku akan mengantarkan engkau pulang!"
425 Monik memandangnya dengan mata berapi?api,
tapi memutuskan untuk tidak bertengkar di muka
umum. Mereka jalan pelan-pelan, menikmati setiap
langkah. Langit cerah. Tidak ada awan. Malah dingin
sedikit. Bintang?bintang bertaburan seperti batu?batu
permata di atas beludru kerajaan. Toko-toko sudah
sepi. Cuma tinggal penjual bensin yang masih memasang pelitanya. Kesenyapan jalan terasa seakan membawa damai. Mungkin karena itu, orang?otang yang
banyak pikiran acap kali berjalan-jalan pada malam
hari.
Ketika tiba di muka pintu Monik, Steve tidak segera berlalu.
"Terima kasih, Steve. Selamat malam," kata Monik
membuka pintu, tanpa mengacuhkan pandangannya.
Steve menyambar lengannya.
"Aku sudah lama ingin bicara dengan engkau, tapi
aku tahu engkau takkan mau mendengarkannya. Aku
menyesal. Aku sungguh menyesal. Batu sekarang aku
menyadari, cuma engkau yang aku cintai. Bila suatu
ketika engkau menghendaki aku kembali, katakanlah.
Percayalah, tidak ada gadis lain yang lebih berarti dari
engkau."
Monik berbalik dan menatap Steve dengan senyumnya yang paling manis.
"Janganlah mengikat diri, Steve. Engkau akan heran, betapa cepatnya segala sesuatu berubah zaman ini.
Tidak ada gunanya mengatakan aku milikmu, mungkin besok aku sudah akan mati," dan dengan senyumnya yang paling manis diusirnya Steve tanpa katakata.
426 Gendut berjumpa dengan Rahman ketika diadakan
acara bersama dari semua fakultas. Api unggun.
"Aku dengat Martin pergi ke Peking?! Betul?"
"Betul. Siapa yang bilang?"
"Steve. Wah, kalau aku punya kapal perang, pasti
aku eiduk dia dan bawa kembali ke sini. Orang-orang
lain mau keluar, dia malah masuk ke neraka itu. Ce
ce... ce... kabarnya lantaran cewek. Duilah, enggak
ngarti-ngarti juga, gua udah kasih tahu: jangan pikirin
cewek. Kita banyak duit, pasti mereka muncul semua,
menyembah kita. Untuk apa... Ya Allah, yang mana
sih ceweknya? Gua ingin tampar dia! Sok pilih?pilih
tebu. Enggak mau sama Martin, mau cari yang kayak
apa? Coba, mana sih orangnya?"
Rahman tidak berusaha memperkecil suaranya dan
Gendut sibuk mendiamkannya, sebab Monik berdiri
tidak jauh dari mereka, asyik menonton yang bakar
jagung. Monik sebenarnya mendengar kata?kata
Rahman, tapi dia berbuat seakan-akan asyik mengawasi para cama?cami.
"Sst... pelan sedikit. Orangnya di situ," bisik Gendut.
"Biarin. Mana dia? Sengit gua jadinya! Pengen liat,
secantik apa sih?!"
"Man, lu enggak tahu apa?apa, datang?datang nyapnyap begitu. Dengar dulu, Martin pergi bukan karena
salah cewek itu. Kalau lu liat dia, pasti kasihan. Dia
sudah jadi kurus, suka melamun. Dia juga cinta sama
Martin, cuma rupanya ada salah paham. Entah apa.
Kita orang luar jangan sok gegabah tahu semua."
"Gua sukurin kalu tuh cewek jadi metana!" teriak
427 Rahman, sehingga Monik merasa heran mengapa
orang-orang lain tidak ada yang mendengarnya kecuali
dia. "An, aku tiba?tiba merasa pusing. Kita duduk di
P3K, yo," kata Monik pelan.
*** Seperti biasa hampir setiap tahun, penyakit perut tifus
dan disentri merajalela di Jakarta. Begitu juga tahun
itu. Diketahkan regu mahasiswa sukarela untuk menyuntik dan mencacat penduduk. Meskipun tidak ada
wabah, pencacaran biasanya dilakukan setiap tahun,
bersama?sama dengan suntikan TCD, sebab Ibukota
belum lagi dapat dikatakan bebas dari bahaya variola.
Steve mengepalai anak?anak tingkat tiga untuk menyuntik daerah Grogol. Sebenarnya Monik juga mendapat daerah Grogol, tapi karena Inge dari Mangga
Besar sudah minta pindah ke Grogol, maka Monik
mengajukan diri untuk mengisi tempat Inge. Jadi
Monik bersama Anita lagi.
Sebuah kelenteng di Mangga Besar menyediakan
tempat di halamannya untuk tempat kerja mereka.
Seorang dokter dari Jawatan Kesehatan Kota memimpin mereka, sekaligus menyediakan jarum, piston, dan
vaksin. Pungutan biaya telah dilakukan oleh para ketua RT. Pokoknya tugas mereka cuma nyuntik. Titik.
Mereka semua bertujuh. Repot juga sebab yang datang
amat banyak. Antre seperti di toko sandang pangan.
Mereka belum juga masuk klinik dan tidak ada la
tihan menyuntik kecuali banjir di Tomang, ada satu
428 dua pasien yang betul-betul perlu disuntik. Itu pun
sudah diborong oleh Steve, sebab cuma dia yang membawa jarum suntik.
Mereka juga pernah menyuntik kawan sendiri, yaitu
waktu praktikum clin?path, kira-kira dua tahun yang
lalu. Biarpun begitu, masing?masing berusaha memperlihatkan sikap sudah ahli.
Tapi anak?anak perempuan kurang pandai bersikap
serupa itu. Mereka tersenyum pada pasien, sementara
rekan laki-laki mengatupkan bibir rapat-tapat dan menyebabkan wanita-wanita yang disuntik membungkukkan badan, mengatakan: terima kasih, Dokter, dengan
hormat sekali. Anak?anak perempuan cuma dipanggil
suster. Kalau diberi terima kasih, sudah bagus. Terpaksa dokter JKK itu sebentar-sebentat menyebut
mereka sebagai dokter.
Anita tersenyum sebab bayi dalam gendongan itu
amat manis. Dan itu menyebabkan jarumnya tertinggal ketika dicabut. Sungguh-sungguh sebuah senyum
yang berbahaya. Untung ibu itu tidak berani mengawasi lengan anaknya, sehingga tidak ada yang tahu
terjadinya "kecelakaan" itu.
Monik mengambil vaksin TCD dari botol lalu mencabut pistonnya. Tapi tangannya terdorong ke depan
dan vaksin itu menyemprot membasahi mukanya. Masuk ke mata, ke mulut, ke hidung.
"Aduh, kalau saya tidak kena Cholera!" desisnya.
Dokter JKK menghiburnya dan mengelap wajahnya.
"Terima kasih, Dok. Biar saya seka sendiri," katanya
malu.
429 "Rasain," desis Gendut ketika tidak ada orang di
dekat mereka, "kalau kerja sambil melamun!"
Monik memandangnya dan tersenyum. Gendut memicingkan matanya. Anak ini tampak gembira hari
ini. Ada apa?
"Kemarin hari Minggu, bukan?"
"Sudah tahu, mengapa tanya?"
Bapak RT datang memotong percakapan mereka.
"Dokter?dokter yang sudah selesai dipersilakan masuk ke dalam kelenteng untuk makan siang ala kadarnya."
Tidak ada yang berniat menolak rezeki itu. Anakanak perempuan malah segera angkat kaki menuju ke
dalam. Tinggal Gendut dan Ketua Kelas membereskan
pasien-pasien yang masih ada.
Monik pernah masuk ke kelenteng ketika dia masih
kecil. Tapi apa yang dilihatnya dulu, sudah terlupakan
olehnya. Jadi dengan penuh minat, dia pergi melihatlihat. Seorang biksu wanita dengan muka manis dan
kaki telanjang mempersilakan mereka masuk. Monik
tidak menyukai pandangan wanita itu, seakan?akan
senyumnya itu cuma vernis belaka.
Selain dia?agaknya merupakan kepala di situ?terdapat beberapa orang gadis yang memakai gaun biasa,
berambut panjang sampai ke lutut, dan dua orang gadis cilik, mungkin berumur lima dan tujuh tahun.
Tiga orang wanita mengenakan celana panjang dari
sutra hitam. Rambut mereka dijalin panjang atau dililit ke kepala. Ada juga yang mengenakan celana katun biru. Mungkin itu menunjukkan derajat kedudukan, Monik tidak tahu. Maksudnya mau bertanya
430 tanya hilang lenyap melihat sikap wanita pemimpin
itu. Tanpa menghiraukan kehadiran mereka, dia sebentat?sebentar memaki dengan suaranya yang nyaring
melengking. Anita tidak mengerti apa yang dikatakannya, yang membuat seorang gadis tampak ketakutan
dan berlari ke dalam.
"Apa yang dikatakannya, Monik?"
"Mana aku tahu?"
"Aku kita engkau mengerti bahasa Tionghoa!" kata
Anita kecewa, sebab ekspresi biksu itu betul?betul menarik hatinya.
"Aku besar di sekolah sustetan dan orangtuaku keduanya sekolah Belanda. Dari mana mau belajar Mandarin? Paling?paling aku tahu wo zzz' nz', tapi itu pun
diketahui olehmu, jadi tidak perlu ditanyakan."
Anita menjulurkan lidahnya, siap dengan protes,
namun kedatangan tamu laki?laki itu membuatnya
diam. Seorang biksu yang tengah berdiri di luar, segera berlari masuk memberitahukan ada tamu. Wanita
pemimpin itu menyahut dengan nyaring dan segera
muncul. Sekarang dia sudah memakai sandal dan senyum di wajahnya ramai betul. Monik serta?merta
teringat pada cerita-cerita silat. Apalagi suasana di dalam ruangan-ruangan itu serbasuram. Mungkin disengaja.
Laki?laki itu datang bersama ibunya. Mereka berdoa
sebentar di muka sebuah altar dengan tiga buah patung porselen yang menggambarkan tiga laki-laki tengah duduk. Setelah berdoa, wanita itu mengocok sebuah tabung bambu berisi kertas?kertas, lalu dijatuhkannya sehelai ke lantai. Laki?laki itu memungutnya
431 dan segera membukanya. Ibunya bertanya, mungkin
menanyakan apa isinya. Tentu saja tidak ada yang mengerti bahasa mereka. Laki?laki itu menyerahkan kembali kertas itu pada sang wanita yang segera membacanya dengan muka berseri?seri. Nyonya tua itu juga
ikut tertawa lebar sedang laki-laki muda itu mengangguk?angguk dengan muka malu.
"Berani taruhan, pasti soal jodoh," bisik Tina seraya
menarik teman?temannya ke ruang dalam.
Di situ juga terdapat banyak altar. Ada yang rupanya kurang mendapat pengunjung, sebab patungnya
penuh debu. Ada sebuah patung Dewi Kwan Im seperti yang dipasang di rumah bibi Monik dan Martin.
Dewi ini dianggap sebagai pembawa kebahagiaan dan
rezeki dalam keluarga.
Melihat?lihat patung yang tidak diketahui namanya,
dalam suasana suram, tidak menyenangkan sama sekali.
Maka mereka cepat?cepat beralih ke ruangan berikut.
Mereka masuk ke sebuah lorong pendek lalu tiba di
kamar makan yang terang benderang sebab membuka
ke arah halaman belakang. Jadi sesungguhnya kamar
makan itu merupakan beranda belakang yang diberi
berpintu. Di atas meja besar telah tersedia makanan


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan piring-piring. Seorang wanita menyilakan mereka
makan. Tidak ada yang mengerti kata?katanya tapi kelima gadis itu tahu, mereka disilakan makan.
"Terima kasih. Kami mau melihat-lihat dulu. Boleh,
kan?"
"Oh, boleh," kata seorang gadis yang tidak memakai celana panjang.
Meskipun mereka ramah?ramah, namun jelas tet
432 lihat keheranan mereka mendapati kelima gadis itu
tidak dapat berbahasa Mandarin.
Dari kamar makan, mereka melalui sebuah lorong
yang menuju ke dapur dan kamar mandi. Sepanjang
lorong itu terdapat beberapa kamar tidur. Mungkin
empat atau lima. Tengah mereka melihat-lihat bungabunga di halaman dalam itu, tiba?tiba wanita pemimpin itu masuk sambil berteriak?teriak. Gadis cilik yang
baru berumur kira?kira lima tahun itu diseretnya dan
dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Segera terdengar
suara tangis si anak disertai caci maki yang tidak di
mengerti artinya. Juga suara tongkat beradu dengan
daging dan tulang. Eh, apa?apaan ini? Mahasiswi?mahasiswi itu saling berpandangan. Lucia, anak tingkat
tiga, tampak ketakutan.
"Keluar, yo," bisiknya.
Pintu di belakang mereka terbuka. Monik memutar
kepalanya. Sang pemimpin berdiri di muka pintu dan
dengan senyum manis menunjuk ke arah meja makan.
"Silakan makan," katanya dalam bahasa Indonesia.
"Maaf, saya tidak dapat menemani."
Monik mengucapkan terima kasih dan segera setelah wanita itu melangkah, dia bermaksud melihat
anak itu. Tapi seorang gadis dari dapur sudah mendahuluinya. Dia membawa keluar anak itu yang masih
terisak?isak. Gadis tadi membujuknya dan membelaibelai kepalanya.
"Salah apa?" tanya Monik ingin tahu.
"Dia nakal sekali," sahut seorang wanita yang mengenakan celana hitam.
433 Monik memandang wanita itu dan tiba?tiba dia
bergidik. Suasana di situ sama sekali tidak menyenangkan. Beberapa wanita berkuasa! Gadis?gadis dan anakanak itu tampak takut terhadap mereka.
Inge pernah cerita mengenai kelenteng di sebelah
rumah neneknya: anak?anak yatim dibawa ibu mereka
ke sana untuk diasuh dan kemudian menjadi pendeta
wanita. Kata nenek Inge, hampir setiap malam terdengar suara anak?anak itu menangis dipukuli, entah
salah apa.
Monik melihat ke dalam mata gadis cilik itu: mungkin dia juga anak yatim yang dijual ibunya. Apakah
dia juga dipukuli sering kali? Bagaimana nasibnya kalau sudah dewasa? Tidak boleh mengenal cinta? Tidak
boleh makan daging?
"Oh, kami memang tidak makan daging," sahut
wanita yang ditanya. "Tapi kalau mau makan bakmi
atau makanan lain yang berdaging, harus memakannya
di luar kelenteng ini. Misalnya di depan."
Makan siang itu enak juga, meskipun Monik harnpir muntah sebab bau dupa wangi yang menusuk hidung. Monik alergi terhadap wangi?wangian yang
merangsang. Parfumnya cuma terbatas pada bunga-bunga yang baunya tidak terlalu keras dan kolonye
buah?buahan. Bunga melati, misalnya, terlalu keras
baginya sebagai ekstrak.
Gendut dan Ketua Kelas sudah selesai bertugas dan
tanpa segan-segan mengambil piring. Mereka diberi
gado?gado, oncom goreng, semur telur, dan kerupuk
kembang tahu.
"Semua dibuat sendiri," kata wanita bercelana ka
434 tun, satu?satunya yang berwajah simpatik di situ, "kecuali kembang tahu kering ini."
"Oncom ini dibikin sendiri?"
"Ya, kami juga membuat tempe. Datanglah lagi kemari. Kalau kebetulan sedang membuatnya, tentu boleh mencicipi."
Datang lagi, pikir Monik. Takkan pernah!
Selesai makan, mereka mengucapkan terima kasih
dan tergesa?gesa keluar dari gedung suram itu. Setelah
tiba di halaman luar, barulah masing-masing mengambil napas lega. Gendut dan Ketua menertawakan
gadis?gadis itu. Semua tampak pucat seakan?akan baru
melihat hantu.
Dokter JKK tengah makan dalam kamar kerja mereka, ditemani ketua RT. Anak?anak duduk di bangku
yang ada di situ. Monik berdiri di sudut bersama Gendut dan Anita.
"Aku tidak suka pandangan wanita itu. Kejam kelihatannya."
"Aku juga. Maksudmu yang itu kan, yang tadi melayani orang cabut ciam?si?"
"Cabut apa?" tanya Gendut.
"Itu namanya cabut ciam-si. Orang?orang mau tahu
nasibnya: kapan dapat jodoh, apakah perkawinan yang
akan datang boleh dilangsungkan atau tidak, apakah
banyak rezeki nantinya atau anak?anak akan sakit?sakit
terus."
"Ah, sok tahu. Takhayul tuh! Kalau bangsanya pengobatan?pengobatan kuno, kita boleh percaya sebab ada
unsur logisnya. Jamu?jamu atau ramuan?ramuan itu
kan berkhasiat obat. Itu betul! Tapi kocok?kocok lalu
435 cabut kertas dan bila dia bilang aku tidak boleh kawin, padahal aku cinta gadis itu, bagaimana? Aku
akan disambar petir atau tidak akan mempunyai anak?
Omong kosong. Percaya pada Tuhan. Titik. Itu sudah
cukup."
Gendut menarik napas panjang setelah pidatonya.
Kemudian dipandangnya Monik tiba?tiba, seakan teringat sesuatu.
"Jangan pandang aku begitu. Sangka orang, aku
mempunyai utang padamu!"
"Bukankah kemarin hari Minggu?"
"Tanya lagi. Ada apa?"
"Aku justru mau tanya itu: ada apa. Ada kabar apa.
Engkau tentu ketemu adik Martin? Nah, dia bilang
ada kabar apa?"
Monik tersenyum. Wajahnya tiba?tiba menjadi gembira dan matanya bercahaya.
"Martin mau keluar dari sana!"
"I?Iaa? Betulkah?"
"Betul. Dia mau minta izin untuk berlibur ke
Hong Kong musim panas ini. Mula-mula dia mau ke
Shanghai untuk menemui pamannya dan minta tolong
mendapatkan izin itu. Dari sana dia akan naik kereta
api ke Canton lalu menyeberang ke Hong Kong."
Monik gembira betul seolah?olah semuanya itu sudah terjadi dan bukan cuma rencana melulu.
"Ya, asal jangan dibuang ke Kunming saja."
"Kenapa Kunming?"
"Dari sana kemungkinan lebih besar untuk dikirim
ke Vietnam."
436 "Vietnam? Oh, tidak. Dia takkan dikirim ke sana.
Dia takkan disuruh berperang."
Betulkah? tanya Gendut, tapi pertanyaan itu tidak
diucapkannya. Monik tampak gembira hari itu.
Mengapa harus memusingkan kepalanya dengan seribu
satu kemungkinan yang aneh-aneh dan mengerikan?
Gadis itu sudah cukup menderita dan membayar patah hatinya setiap hari.
Gendut memandang wajah Monik. Ah, biarlah dia
bergembira selama itu masih mungkin. Siapa yang
tahu kapan mereka akan berjumpa pula?
*** Pengawal Merah, Red Banner. Revolusi Kebudayaan.
Presiden diturunkan dari takhta. Istri kedua Mao menyokong revolusi ini.
Monik membaca semuanya dengan amat gelisah.
Tiongkok tengah menghancurkan diri sendiri. Seperti
penderita psikopat yang keinginannya tidak dituruti
orangtuanya, lalu melakukan sebedestmction berupa
bunuh diri blitzkrieg, tanpa rencana. Tidak dapat dicegah. Gedung-gedung bersejarah dihancurkan. Museum-museum. Tokoh?tokoh yang dulu disanjung?sanjung kini dimajukan ke depan pengadilan rakyat.
Ajaran?ajaran Ketua Mao berdengung?dengung di segala penjuru angin dan di pelosok mana pun. Di sekolah, di rumah sakit, di kamar mayat, di kakus, di
mana?mana. Pertandingan pingpong dimulai dan diakhiri dengan mengutip buku merah itu.
Dan apa yang terjadi dengan Martin? Tidak ada
437 surat. Tidak ada desas?desus. Betul?betul sebuah negara
yang mengasingkan diri. Utopis? Tidak peduli. Yang
penting baginya, bagaimana dengan Martin! Sudah
hampir tiga bulan. Dan selama itu Alice cuma menggeleng, matanya gelisah serta khawatir.
"Tidak ada kabar apa-apa, Monik. Pengawal Merah
itu! Engkau tentu mengerti. Perhubungan putus. Banyak orang kena sapu"
Kalimat itu terputus begitu saja, sebab tiba?tiba keduanya mempunyai pikiran yang sama: apakah Martin
kena sapu? Siapa pun tahu, dia anti komunis. Aku
akan buktikan, bahwa tidak semua penduduk RRC
itu komunis, katanya dulu, sebelum pergi. Setidaktidaknya ada satu orang, yaitu aku!
Hari Minggu yang lalu, Alice memberikan padanya
sebuah sampul yang amat lusuh, tapi belum dibuka.
"Dari Martin, Nik."
Sedetik itu?sesaat sebelum dibukanya surat itu,
sebelum dibacanya isinya?Monik merasa amat bahagia, seperti yang belum pernah dirasakannya.
Sampul itu tidak keruan rupanya. Mungkin berharihari berada di bawah tumpukan sayur?mayur, mungkin juga berada dalam tangan bandit?bandit yang
bersedia mati untuk menjadi pengantar surat, mungkin juga berada dalam keranjang ikan. Dibalik?baliknya sampul itu. Tidak ada alamatnya.
"Surat ini dimasukkan lagi ke dalam sampul lain
yang dialamatkan pada ayahku. Karena itu kami sudah
membukanya, tapi ketika kami melihat bahwa ini untukmu, maka kami tidak jadi menyobeknya. Ibuku
amat ingin tahu isinya."
438 Monik merabai kertas itu. Martin sudah menyentuh
ini dan menulis namanya di situ. Disobeknya lalu dikeluarkannya sehelai kertas. Monik membacanya dengan mata bersinar?sinar. Bukan main gembiranya.
Dilemparnya surat itu pada Alice.
"Bacalah! Dia bilang, dia pasti akan berada di
Hong Kong pada musim panas tahun depan. Kita
akan dapat berjumpa lagi dan aku tidak akan berlaku
setolol dulu! Aku akan mengumpulkan uang untuk
membeli tiket ke sana."
Alice memandangnya dengan tersenyum.
"Kalau dia sudah di Hong Kong, pasti engkau akan
diberi tiket oleh ibuku. Dia menggantungkan harapannya padamu untuk mengeluarkan kakakku."
"Oh," Monik terkejut setengah mati. Jadi persoalan
ini sudah sampai ke tangan orangtua?! Tapi dia tidak
khawatir. Martin akan segera bebas kembali. Itu yang
penting. Dan mereka dapat bersama-sama lagi.
Tiba-tiba Alice mengangkat mukanya dari surat itu
dan memandang Monik.
"Ada apa?"
"Surat ini ditulis pada tanggal yang sama dengan
surat terakhir tempo hari. Sebelum terjadi Revolusi
Kebudayaan."
"Oh."
"Aku toh sudah mengatakannya padamu? Isinya
sama: kakakku mau izin libur ke Hong Kong. Mulamula ke Shanghai, lalu ke Canton, lalu..."
"Oh."
Jadi Pengawal Merah itu belum juga tertembus oleh
suratnya.
439 Atau... sudah terjadi sesuatu dengan dia? Sehingga
tangannya yang beku itu takkan pernah lagi menulis
surat? Tidak! Oh, tidak! Monik menangis tetsedu-sedu,
kemudian terbangun. Dia cuma bermimpi. Beker menunjukkan jam setengah tiga pagi. Dia berusaha tidur
kembali, namun tidak dapat.
Terbayang?bayang olehnya mimpi tadi: Martin terbaring tidak bergerak. Memakai topi wol, sarung tangan
yang dirajut ibunya. Sepatu lars. Dan dia cuma mengawasi saja dari jauh. Dia ingin bergerak, tapi tidak
dapat. Dia ingin berteriak, tapi suaranya tidak keluar.
Di antara mereka terbentang sebuah sungai yang amat
luas. Monik belum pernah melihat sungai seluas itu.
Mungkin lebih lebar dari Bengawan Solo. Dalam mimpi itu, dia merasa amat takut akan nasib Martin. Dia
merasa kesal karena tidak dapat bergerak dan menyentuhnya di seberang sungai itu. Monik menangis tersedu?sedu sementara Martin terbaring tidak bergerak.
Ketika terjaga, didapatinya dia betul?betul menangis
Anak?anak di kuliah tidak lagi memperbincangkan
Martin bila Monik hadir. Gendut tidak pernah lagi
bilang: gara?gara lu, Nik, jadi dia pergi. Anita tidak
pernah lagi menyesalinya. Bahkan Steve makin bertambah baik juga padanya dan berusaha menunjukkan
bahwa dia betul?betul menyesal atas segala perbuatannya dan bahwa masih ada laki?laki yang menantikan
Monik: dia, Steve.
Tapi tampaknya semua itu tidak lagi mempunyai
arti bagi Monik. Tingkah lakunya kini seperti robot.
Senyumnya, percakapannya, seakan?akan tidak dihayatinya. Bila dia seorang diri, dia selalu melamun. Tapi
440 bila didengarnya langkah?langkah kaki orang, lekas?lekas dia membuka buku di pangkuannya atau berbuat
apa saja yang menunjukkan bahwa dia sibuk. Kalau
teman?temannya membuat lelucon, dia tertawa tapi
tidak sepenuh hati.
Mereka naik tingkat dan masuk Kebidanan untuk
melihat dan menolong petsalinan-persalinan yang notmal. Kadang?kadang seharian tidak ada pasien. Kebanyakan melahirkan pada malam hari, jadi bagian
anak laki?laki. Anak?anak perempuan cuma menjaga
sampai jam lima sore. Anak?anak laki?laki, atas prakarsa sendiri, mau menjaga semalaman penuh. Sebab
tidak ada kamar tidur khusus untuk mahasiswa. Anakanak laki?laki dapat tidur di mana saja. Dapat tukar
baju di mana?mana. Anak?anak perempuan tentu tidak
mungkin.
Bila tidak ada calon dalam kamar bersalin, mereka
duduk?duduk saja. Mereka berjaga dua orang tiap kali.
Monik dengan Anita. Anita tidak dapat duduk diamdiam tanpa berbuat apa?apa. Jadi dia pergi ngobrolngobrol dengan bidan. Monik kadang?kadang ikut sebentar tapi segera kembali lagi ke kamar duduk mereka, dengan alasan mengantuk atau mau menyalin
kuliah.
Suatu ketika Anita ingin tahu, apakah temannya itu
betul?betul tengah menyalin. Siang itu cerah dan tidak
begitu panas. Banyak awan putih berarak di langit
biru yang tampak cantik dan menyenangkan. Bangsal
Kebidanan sunyi senyap sebab semua pasien tengah
tidur. Anita berindap?indap dari kamar bidan ke ka
mar mereka.
441 Pintu terbuka. Dari dalam mengalun lagu Somewhere My Love dari radio transistor milik Monik.
Anita tiba di pinggir pintu dan menjulurkan leher ke
dalam. Monik tengah duduk membelakanginya. Kepalanya bertumpu pada lengannya di atas meja. Rambutnya yang panjang itu terjurai sebagian ke atas meja
dan menutupi buku di bawah kepalanya. Bahunya
bergerak turun?naik, tersentak?sentak. Monik menangis
tanpa suara. Anita ingin sekali masuk dan menghiburnya, tapi kemudian diputuskannya untuk membiarkan
temannya itu sendiri. Monik pasti tidak ingin diketahui orang tengah menangis. Dan air mata itu baik
juga untuk melepaskan sedikit beban di hatinya.
Anita berindap?indap kembali ke kamar bidan yang
masih kosong, sebab bidan pengganti?untuk dinas
sore?belum datang dari asrama. Apa yang dilihatnya
tadi itu tidak pernah diceritakannya pada siapa pun,
juga tidak pada Gendut.
Monik masih pergi les Jerman. Bila Anita berhalangan, dia pergi sendiri. Suatu kali, Sabtu sore, Steve
datang ke tempat kos ketika Monik mau berangkat ke
Kota. Dia bersikeras mau mengantarkannya, meskipun
gadis itu menolak. Akhirnya Monik mengangkat bahu
dan acuh tak acuh membiarkan Steve mengantarnya.
Mula?mula, Steve sebenarnya mau mengajaknya nonton film. Tapi Monik bilang, matanya sedang sakit. Di
tengah jalan, Steve menanyakan apakah dia sudah
pergi ke dokter. Monik sekejap heran, kemudian ingat
dustanya, lalu bilang: belum. Steve ingin mengantarnya
ke dokter mata hari Senin. Monik memandang punggung Steve dengan senyum mengejek dalam hatinya.
442 Tiba?tiba saja begitu banyak perhatianmu, Steve?! Kaupikir aku ini bola pingpong yang dapat dilempar ke
sana kemari?
Ada becak menyalip mereka. Biasanya, Steve tentu


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menekan gas dan memaki kalang kabut. Tapi kali ini
dia berhenti dan bilang: silakan, Pak. Monik purapura tidak peduli apa yang terjadi. Kalau Steve berusaha memperbaiki kekasarannya, itu baik sekali. Tapi
bila dia berbuat demikian untuk mengambil hatinya,
sayang betul. Mereka takkan pernah dapat bersatu
lagi. Bukan karena sakit hati, tapi karena Monik tidak
mencintainya. Itu saja. Titik.
Monik tidak mau bersusah payah memikirkan apa
sebabnya Steve kini berubah. Karena dia? Atau karena
kekuasaannya sudah lenyap? Pada pemilihan Senat
baru, Steve tidak terpilih lagi. Dia sama sekali tidak
mempunyai jabatan apa-apa. Apakah itu membuatnya
rendah hati? Atau rendah diri?
Ketika melalui sebuah toko makanan, tiba?tiba
Monik melihat Alice tengah belanja. Dimintanya Steve
menghentikan sebentar motornya.
"Tunggu di sini ya. Aku mau beli cokelat untuk
Nancy," katanya berdusta, lalu lari ke dalam toko, beberapa meter dari situ.
Alice segera melihatnya.
"Hei! Engkau mencari aku?"
"Ya. Kebetulan lewat dengan... saudara pamanku
dan aku melihatmu."
"Ada apa?"
"Belum... belum ada kabar lagi?"
443 Alice menggeleng lambat?lambat. Monik mengangguk lalu melangkah ke luar, ke dalam senja.
"Besok engkau pergi misa pertama?" didengarnya
suara Alice dan dijawabnya tanpa menoleh: "Ya."
Steve masih duduk di atas motornya, dan bertanya
mana cokelat itu.
"Habis. Tinggal bonbon. Nancy tidak suka itu, jadi
aku tidak beli."
Steve memandangnya dan merasa heran, mengapa
Monik kelihatan seperti mau menangis. Sedih karena
harus mengecewakan Nancy?
"Di depan tentu ada toko lagi," katanya seakanakan menghibur.
*** Mereka mengadakan piknik ke Cibodas. Monik ikut.
Hampir semua anak ikut. Mereka bergembira ria melupakan dosen-dosen pelit, membubarkan istilah?istilah
Latin yang masih menumpuk di kepala setelah tentamen anatomi. Monik juga tampak bergembira seperti
anak-anak lain, tapi dia tidak berusaha melupakan apaapa. Malah dibayangkannya Martin ada di dekatnya
dan itu membuatnya mampu tertawa. Tanpa delusi itu,
dia sudah menjadi orang gila. Dia harus membayangkan Martin di depannya: tersenyum atau berbaring di
rumput atau main harmonika atau gitar.
Markus memperhatikan gadis itu dengan saksama.
"Dasar cewek, cewek juga!" katanya suatu kali.
"Dulu patah hati, sekarang sudah begitu gembira. Pokoknya kalau aku mati, istriku harus minum racun.
444 Kalau tidak, aku akan datangi dia setiap malam, sampai dia mati. Ha... ha... ha...."
Tertawanya berkumandang seperti suara monyet
putih. Tidak ada yang memberi komentar atas katakata itu. Anita berbaring di rerumputan dan memandang langit dari balik kacamata hitamnya. Pucuk-pucuk cemara itu seakan-akan menyentuh awan. Daundaunnya tetbuai-buai kena angin. Mereka ada dan selalu ada. Manusia datang dan pergi, tapi cemara?cemata itu tetap di tempatnya. Dari tahun ke tahun.
"Lebih baik kalau dia dapat melupakan orang yang
sudah pergi," kata Gendut akhirnya. "Aku malah khawatir, cintanya akan menjadi obsesi baginya."
Anita menggigit?gigit batang cemara. Terbayang olehnya siang itu ketika didapatinya Monik menangis.
*** Seminggu sebelum Hari Natal, Alice datang ke rumah
bibi Monik. Monik kebetulan ada di situ. Kuliah libur
seminggu. Ayah-ibunya menyuruhnya pulang, tapi dia
mau tetap di Jakarta dengan alasan harus belajar untuk tentamen permulaan tahun. Sebenarnya dia menantikan kabar dari Martin. Dia takkan dapat hidup
di Malang, yang dulu amat dicintainya.
Monik membelikan boneka untuk adiknya. Nancy
tidak dapat tidur siang setelah melihat boneka cantik
itu. Dia langsung jatuh cinta dan dengan suara halus
memilukan, dimintanya ibunya supaya membelikan
popi serupa itu. Tengah Nancy mengiba-iba begitu,
tiba?tiba pintu depan diketuk orang.
445 "Nancy, coba lihat."
Gadis itu melompat dari atas kursi dan menghambur ke depan.
"Kak Monik, ada teman!" teriaknya sesaat kemudian.
Siapa? pikir Monik. Yang tahu rumahnya cuma
Steve, Martin, Alice, dan lnge. Steve! Mau apa dia!
"Kak... cepat!"
"Ya, sebentar. Suruhlah duduk dulu."
Monik melempar pita merah yang tengah diikatnya
sekeliling kado. Persetan! Biar dia bawakan hadiah
Natal satu truk penuh, aku takkan sudi padanya. Cintaku bukan barang dagangan. Tergesa?gesa dia keluar,
supaya dapat lekas bertemu dengan Steve dan lekas
pula menyuruhnya menggelinding pergi.
Tapi yang duduk di ruang tamu itu bukan Steve.
Monik tertegun sejenak. Bermacam?macam pikiran
melintas di benaknya. Sesuatu telah terjadi pada
Martin. Kalau tidak, tentu adiknya takkan tergesa?gesa
begitu mencarinya. Tiga hari lagi mereka dapat bettemu di gereja.
"Hai."
Alice memutar kepalanya dan tersenyum.
"Ada surat," katanya tetgesa?gesa dan membuka tasnya.
Monik dak, dik, duk keheranan. Surat untuknya
lagi? Atau...? Alice belum pernah memperlihatkan
sutat?surat yang ditulis Martin untuk keluarganya. Dia
cuma menceritakan isinya.
"Ini."
Surat itu tidak bersampul. Lebih lusuh dari surat
446 terakhir. Baunya tidak pula menentu. Bukan parfum,
bukan ikan. Tapi campuran keduanya. Monik membukanya dengan tangan gemetar. Martin menulis dengan pensil. Apakah dia tidak mempunyai tinta lagi?
Atau pabrik?pabrik tinta tutup karena Revolusi Kebudayaan?
Monik membelalakkan matanya supaya dapat membaca dengan jelas. Tulisan itu amat kabut.
Papa dan Mama yang tercinta,
Saya sudah tiba di Shanghai, tapi tidak berhasil
menjumpai Paman. Pabrik tekstilnya tutup. Semua
buruh ikut Pengawal Merah dan tidak ada yang
tahu ke mana perginya mandor-mandor. Saya sudah tiga hari di sini. Semuanya kalang kabut.
Toko?toko banyak yang tutup. Pasar sepi. Makanan
kurang. Sekarang saya tengah bekerja di jalanan
kereta api. Memperbaiki rel?tel yang rusak. Mereka
masih memberi makan buruh?buruh kasar dan
montit?montit. Dingin sekali. Kemarin turun hujan
salju sehari penuh. Tadi pagi kami harus memacul
salju satu jam lamanya. Kami masih mendapat tempat tidur di gudang stasiun. Tapi harus selalu siap
untuk setiap saat meninggalkannya, yaitu kalau
para Pengawal Merah menghendaki gudang ini.
Di sini segalanya terjadi dengan cepat dan hebat. Mengerikan. Hari ini masih bekerja. Besok
sudah digantung di tengah?tengah kota. Tapi saya
tidak mungkin menuliskan semuanya itu. Berbahaya. Nanti saja kalau kita sudah berjumpa atau
dari Hong Kong, saya akan cerita panjang?lebar.
447 O ya, jangan kirim lagi kartu?kartu makanan.
Tidak ada gunanya. Semua koki ikut berbaris di
jalanan dan restoran?restoran tutup. Lagi pula siapa
yang kedapatan makan enak, akan dicap borjuis
oleh Revolusi Kebudayaan.
Saya masih menunggu kesempatan untuk rnencuri-curi ikut kereta api barang. Dari Canton, harapan lebih besar untuk menyeberang atau pergi ke
Macao dulu. Cuma susahnya, belakangan ini kereta
api tidak tentu datangnya. Kadang?kadang berhatihari tidak jalan. Mogok. Atau rel-rel dirusak oleh
para pemuda. Mengerikan, Papa. Saya cuma hidup
untuk keluar dari sini. Mungkin setelah ini, saya
tidak dapat lagi mengirim surat sampai saya masuk
ke Hong Kong. Jangan kuatir. Saya pasti berhasil.
Kalau tidak dapat ke Canton, saya akan pergi ke
Hainan. Dari sana ikut perahu nelayan atau berenang. Kalau juga tidak berhasil, masih ada saluran
air yang menuju ke Hong Kong. Ada orang bilang,
kita dapat mencoba lewat pipa itu ketika air sedang disrop. Jadi jangan kuatir.
Saya rasa semuanya di rumah baik?baik saja,
bukan?
O ya, Alice, tolong kasih kabar pada Monik,
bahwa aku baik?baik saja. Akan segera tiba di
Hong Kong dan nanti menulis lagi dari sana. Harap dia menjaga diri baik?baik dan jangan memikirkan aku.
Sekian dulu. Mandor datang.
Martin
448 Monik mengangkat mukanya dari surat itu dan memandang Alice. Alice juga tengah memandangnya.
Beberapa kuna keduanya sahng pandang.'Iidak ada
yang berkata?kata. Kemudian Monik mengembalikan
surat itu dan Alice memasukkannya kembali ke dalam
tasnya. Monik menatap wajah di mukanya. Mirip dengan Martin. Hidungnya, bibirnya, dahinya, semua
kecuali matanya. Mata Martin renang dan tidak petnah gelisah. Mata adiknya jenaka dan tidak sabar.
"Monik, kami mau pergi ke vila untuk merayakan
Natal dan Tahun Baru di sana. Ibuku meminta engkau ikut"
Monik tersentak dari renungannya. Bayangan Martin
yang tadi berdiri di mukanya, lenyap kembali.
"Aaapa? Ke Puncak? Aku... aku... tidak dapat
pergL"
"Jangan begitu, Nik. Harus ada saat di mana kita
dapat melupakan kesusahan?kesusahan kita. Aku justru
baru saja membujuk ibuku supaya istirahat. Dia sama
sMa dengan engkau:sekdu.rnenenggekunkan dni dalam semua kenangan manis. Itu tidak boleh. Suatu
saat engkau akan bend?betultenggekun dan ndak dapat keluar lagi. Marilah kita pergi. Ibuku mau pergi
seudah aku buang engkau akan ikut hdungknijuga
akan menengok Leoni. Pergilah. Ya? Cuma seminggu.
Oke? Pergi, ya?"
DAonikrnenggekng.
"Aku sudah berjanji akan menemani anak?anak Bibi
betharilqataL" katanya betdtwta.
"Ou! Ajaklah mereka juga. Mereka tidak rewel, bu
kan?"
449 "Ibu mereka takkan mengizinkan mereka pergi.
Begini saja, Alice. Lain kali aku ikut. Jangan sekarang."
"Tapi engkau tidak boleh melamun saja!! Janji?!"
"Oh, jangan kuatir. Aku akan selalu sibuk. Bibi
menerima pesanan kue-kue menjelang Natal dan
Tahun Baru. Pasti aku tidak akan dibiarkannya duduk?duduk bertopang dagu."
Monik memang tidak melamun, tapi dia menangis.
Dia menangis diam-diam setiap malam. Bila Nancy
sudah terlelap, dikeluarkannya surat lusuh itu dan dibacanya dan air matanya menetes turun.
450 XVIII
ARI itu tanggal 1 Januari. Jam tiga pagi. Monik
masih belum tidur. Tahun yang lalu, mereka masih merayakan Old and New bersama?sama. Dia mengenakan baju ros yang belum pernah dipakainya lagi
sejak itu. Mungkin tidak akan dipakainya untuk selama-lamanya dan akan disimpannya sebagai kenangan. Orang harus mempunyai kenang?kenangan
dalam hidupnya, supaya tidak terombang?ambing.
Akan tetapi terlalu banyak kenangan akan membawa
kita ke rumah sakit jiwa.
Monik membayangkan malam itu. Di rumah seorang teman Alice dan Martin yang tinggal tidak jauh
dari rumah mereka. Martin dan Alice menjemputnya.
Ah, pesta yang indah dan riang. Monik memandang
ke kiri dan ke kanan dan mendapati, semua gadis
memperhatikannya dengan penuh perhatian dan... ka
451 gum? Dia segera tahu, Martin menjadi intaian banyak
gadis. Ah, bangga dan bahagianya dia saat itu!
Tapi keesokan harinya Steve datang dan mereka
bertengkar. Steve merasa amat tidak senang sebab kekasihnya pergi ke pesta dengan orang lain. Monik
merasa bersalah juga, tapi dia mendongkol dimarahi
serupa itu di rumah bibinya.
"Habis! Mereka mengajak aku pergi ke Old and
New. Dan aku ingin. Masakan aku harus duduk?duduk semalaman di rumah? Salahmu! Mengapa tidak
mengajak aku?"
"Sebab aku tidak mau pergi ke pesta!" hardik
Steve.
"Dan bila aku ingin?"
"Bila aku tidak ingin? Engkau toh tahu, KotaGrogol cukup jauh?! Dan pestanya paling tidak di
Menteng, Marga l?! Pulang?pulang pagi, badan setengah mati kecapekan."
Monik terdiam, mengepal?ngepal tinjunya. Waktu
itu Inge belum lagi muncul di antara mereka. Dan
Monik tidak mau dianggap dirinya tidak setia. Dengan
lembut dipegangnya tangan Steve dan dibujuknya.
"Aku toh tidak pergi khusus berdua dengan Martin,
Steve. Lagi pula yang mengundang aku adalah Alice,
adiknya yang sudah aku kenal sejak piknik paroki
dulu itu. Martin cuma mengawal adiknya."
"Dan engkau!" dengus Steve penasaran.
Monik diam saja. Dia betul?betul merasa menyesal
saat itu telah menyakiti hati Steve. Tapi kini, dia malah bersyukur telah pergi ke pesta itu dengan Martin.
Dengan begitu dia memiliki lebih banyak kenangan
452 dari orang yang dicintainya. Dulu, dia tidak mengerti
mengapa dia merasa bahagia setiap kali duduk di sebelah Martin. Seperti pada Malam Tahun Baru itu.
Martin duduk di sebelahnya. Memakai kemeja batik.
Tiba-tiba Monik merasa terkejut. Kemeja batik! Bukankah itu yang dikenakannya ketika pergi dengan
kapal ISABELLA? Betulkah dia juga telah menyimpan
kemejanya seperti dia menyimpan baju ros itu?
Mengapa? Mengapa dia telah berlaku setolol itu dan
membutakan mata sendiri? Kalau dia tidak sebebal
itu. pasti segala kesusahan yang timbul dalam keluarga
Alice tidak akan terjadi.
Perasaan bahagia itu! Sukar dilukiskan. Untuk selamanya akan menjadi miliknya. Sebuah kenangan
manis yang menyedihkan. Martin memberinya sebuah
kipas dengan gambar pemandangan alam dan di baliknya ada coret?coretan huruf Tionghoa. Kipas itu memang bagus. Terbuat dari sutra halus. Tapi Monik
cuma tertarik pada lukisan pemandangan alam itu
saja. Huruf?huruf di baliknya tidak menarik hatinya,
sebab dia tidak dapat membacanya. Kipas itu disimpannya dan tidak pernah dipergunakannya.
Setelah Martin pergi, baru teringat olehnya hendak
melihatnya kembali. Dan rasa ingin tahu menyelimuti
hatinya. Mengapa sebuah kipas ditulisi begitu banyak
huruf? Pada pesta?pesta kawin, memang tamu?tamu
kadang-kadang diberi kipas kertas sebagai ucapan
terima kasih atas kedatangan mereka. Tapi ini! Di atas
sebuah kipas sutra!
Hanya untuk iseng, Monik membawanya pada pamannya. Paman bersiul melihat benda itu dan me
453 ngatakan: bagus sekali. Lalu dibaliknya dan dibacanya
huruf-huruf kanji itu. Mula-mula dia seakan-akan mau
meledak tertawa, tapi kemudian keningnya berkerut
dan akhirnya dia menatap Monik beberapa detik dengan tajam.
"Baca, Paman," kata Monik dak, dik, duk. "Apa
artinya?"
"Ini sebuah syair."
"Hm. Syair pujangga mana? Dinasti Han? Atau
Ming?"


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Monik mencoba tertawa namun Paman yang biasanya periang itu tampak serius, sehingga Monik menghentikan gelaknya. Paman menatap kipas itu dan seakan?akan masih didengarnya suaranya yang berat
menerjemahkan syair tersebut:
Suatu ketika ada sebuah cinta,
Lebih dalam dari laut,
Lebih tinggi dari gunung.
Tapi hatiku hlm hancurkan,
Dan engkau sama sekali tidah peduli.
Monik menghapus air matanya dengan ujung selimut. Takkan buram ingatannya mengenai peristiwa
itu. Bibinya duduk menjahit lubang kancing. Paman
menatapnya dengan kipas itu dalam tangannya.
"Dari siapa ini, Monik?"
,, ' 7)
Dari teman.
"Perempuan? Laki?laki?"
"Tentu saja perempuan," kata Monik berdusta dan
tertawa.
454 Paman mengerutkan keningnya.
"Tapi syair ini!"
"Sudah tentu itu sudah ada ketika dibeli. Teman
saya itu tidak mengerti Mandarin!"
Pada hari Minggu berikutnya, Monik berjumpa dengan Alice. Ditanyakannya sepintas lalu apakah
Martin gemar melukis dan dapat menulis huruf?huruf
kanji?!
"Oho," seru gadis itu tertawa, "kakakku keduanya
gemar melukis. Dan Martin senang menulis sajak?sajak
dengan tinta bak, bakat yang cuma dapat dimengerti
oleh ayahku. Dan karena itu dibanggakannya."
Alice masih tetap tertawa tapi Monik meringis dalam hati. ltulah dia. Kipas itu telah dilukis dan diberi
sajak olehnya.
Pukul setengah lima baru Monik tertidur. Dia bermimpi, Martin tengah memperbaiki rel?rel kereta api.
Kemudian ada kereta datang. Monik mau berteriak,
tapi kerongkongannya serasa tercekik. Kereta datang
dengan laju. Martin tidak juga menyingkir.
Martin, jeritnya, tapi dia tahu suaranya tidak keluar. Kereta melindas segalanya. Ketika dia sudah berlalu, tidak ada apa-apa lagi yang sisa. Tidak ada
Martin. Tidak ada apa?apa. Monik merasa takut dan
cemas sekali dan terjaga. Peter berdiri di sampingnya,
mengguncang?guncangnya.
"Kak, hampir setengah enam," bisiknya.
"Uh. Mandilah dulu, Piet."
Semua orang bergembira pada Hari Tahun Baru.
Pastor Albertus masuk diiringi Peter dan Kiu. Monik
memandang wajahnya yang ramah dan penuh kerut
455 kerut serta rambut-rambut perak di kepalanya. Suatu
ketika aku akan bicara dengan dia, pikirnya pasti.
Siapa tahu, aku harus pergi ke sana. Bila dia tidak
dapat keluar, biarlah aku yang masuk. Aku bersedia
hidup di mana pun!
Tapi di negara di mana hak pribadi diremehkan?!
Di mana setiap pagi orang berharap akan terjadi gempa dahsyat yang dapat mengubah nasib mereka?! Bersediakah dia? Bersediakah? Sejenak Monik merasa
ragu-ragu, tapi bayangan Martin semalam tercetak lagi
dalam otaknya: kereta api itu! Mungkin dia kedinginan, jatuh sakit, dan tidak ada seorang pun yang
mengurusnya. Dan itu semua karena salahku. Apakah
aku betul?betul tidak peduli seperti katanya?
Monik membersit hidungnya diam-diam. Peter, di
samping altar, tersenyum padanya. Aku pasti akan pergi mendapatkan engkau. Di mana pun engkau berada.
Kalau engkau harus hidup sengsara, mengapa aku
tidak?
Orang?orang kembali berlutut. Monik juga. Dia
sama sekali tidak tahu, apa khotbah hari itu. Pikirannya penuh dengan Peking dan Shanghai dan sebuah
pipa air yang mengerikan.
*** Pengawal Merah sudah selesai membuat sejarah.
Mutid-murid harus kembali lagi ke bangku sekolah.
Buruh?buruh ke pabrik. Koki?koki ke restoran. Tapi
dari Martin belum ada kabar apa?apa.
Seorang wartawan Inggris dikenai tahanan rumah.
456 Tapi tentang Martin, koran-koran bungkam. Dunia
berjalan terus seperti biasa. Seakan-akan Martin tidak
ada artinya.
Januari, Februari, Maret. Semua berjalan terus. Tidak ada yang peduli apa yang telah terjadi pada seorang manusia bernama Martin. Tidak ada yang peduli. Dan tidak ada alasan mengapa dunia harus peduli. lngin rasanya Monik berteriak di mana saja,
mengabarkan nasib kekasihnya yang hilang. Menceritakan kisah malang mereka. Tidak adakah yang dapat
mencarikan jejaknya? Atau setidak-tidaknya, menaruh
sedikit perhatian?
Bila dia berdiri di muka jendela kos, ditanyanya
dirinya sendiri, mengapa muda?mudi di seberang jalan
itu masih tetap bersukaria tertawa?tawa?! Tidakkah
mereka tahu...?! Oh, mereka tidak tahu. Tidak seorang
pun tahu. Tapi sungguh?sungguh di dunia ini ada seorang manusia bernama Martin dan dia sungguh?sungguh malang. Aku tidak berdusta, kata Monik pada
burung?burung di muka jendela, Martin betul?betul
malang. Dia mau keluar dari Peking tapi sekarang
tidak ada kabar berita lagi. Apakah yang telah terjadi?
Orba sudah memasang persneling dan unjuk gigi.
Contoh nyata terlihat di Jakarta. Pembangunan laju
seperti motor ngebut. Di mana-mana terlihat orangorang sibuk bekerja. Proyek?proyek yang terbengkalai
dilanjutkan. Bukan setingkat atau dua tingkat, tapi
berpuluh?puluh tingkat. Tiga puluh tingkat: gedung
Wisma Nusantara. Sekolah?sekolah diperbanyak.
Rumah?rumah sakit di-upgmde. Gedung?gedung me
457 wah muncul di sana-sini. Jalan?jalan dicoba dilicinkan,
meskipun luka lagi kena hujan dan banjir.
Angin segar mulai bertiup. Rule of law. Semua bebas bersuara. Orang tidak takut lagi kena penjara karena mengutarakan suatu pendapat, baik kritik langsung maupun tidak langsung. Kebebasan pers terjamin. Betapa senangnya Martin, bila dapat melihat
semua ini. Tapi dia tidak ada di Jakarta. Entah di
mana. Di Shanghai? Atau Canton? Atau Macao?
Hainan? Kunming?
Monik menghitung, sudah menolong partus sepuluh kali bersama Anita. Mereka cukup membuat laporan empat buah. Mengenai yang sungsang dan yang
lintang, tentu saja tidak dilaporkan sebab itu tidak
termasuk persalinan normal. Jadi bagian bidan dan
dokter. Mereka cuma boleh melihat saja.
Mereka sudah bersiap?siap untuk masuk klinik.
Cuma persoalannya, mahasiswa harus bekerja sendiri.
Punya inisiatif untuk membuka sendiri tiap-tiap bagian dengan menghubungi tiap kepala bagian dan
mendesak serta merengek pada pimpinan.
"Maklum swasta," kata Markus menyeringai.
Hampir setiap mahasiswa ditugaskan untuk menghubungi suatu bagian. Para mahasiswi mengerjakan
urusan intern. Misalnya ketika mereka mau membuka
Bagian Anak, beberapa mahasiswi pergi membeli alatalat keperluan bangsal serta membuat seprai dan selimut kecil, waslap, sarung bantal, dan lain-lain lagi.
Yang masuk lebih dulu ke Bagian Interne, harus
menyikat lantai dan membersihkan spoelho/e yang
kemudian akan menjadi laboratorium mereka. Kamar
458 mandi Rusia berupa sebuah bak panjang yang cuma
ditutupi tirai plastik itu, diubah. Untuk kamar co-ass
dibuat kamar mandi berpintu. Pada hari pertama, mereka harus menyikat kamar mandi itu. Pokoknya kerja
keras memeras keringat. Monik suka sekali menyibukkan diri seperti itu, sebab itu berarti mengistirahatkan
otaknya yang selalu mau memikirkan Martin terus.
Teman-temannya tidak lagi menanyakan tentang
Martin, kecuali Gendut dan Anita. Steve masih tetap
sendirian. Monik tidak memedulikannya dan Inge tetnyata bertunangan dengan anak klien ayahnya.
Dunia berjalan biasa. Pembangunan di Jakarta maju
pesat, tapi ada sesuatu dalam diri Monik yang tinggal
statis. Waktu berjalan. Hari menjadi minggu. Minggu
menjadi bulan. Dan bulan menjadi tahun. Kipas sutra
itu sudah mulai menguning. Alice masih dijumpainya
di gereja, tapi Monik tidak lagi bertanya apa?apa. Dia
cuma memandang temannya dan temannya mengembalikan pandang itu tanpa berkata-kata. Tidak ada
berita. Mereka kemudian berjalan pelan?pelan menuju
warung nasi tim. Kadang?kadang mereka makan bakmi.
Keduanya bertambah erat karena sepenanggungan.
Kadang-kadang Alice menyuruhnya datang ke rumahnya. Tapi Monik tidak pernah memenuhi undangan itu. Dia tidak sanggup menatap wajah kedua
saudara kembar itu di atas hahy?vleugel mereka. Seakan?akan dia ikut berdosa atas kesusahan yang menimpa keluarga itu. Monik ingin sekali tahu apakah
Alice masih memainkan pianonya, tapi dia tidak
berani bertanya. Takut merobek hati temannya lebih
lebar. Mereka jarang bercakap?cakap.
459 Monik juga jarang bicara. Isi hatinya terpendam di
dalam. Tidak untuk siapa?siapa. Niatnya semula untuk
bercakap?cakap dengan Pastor Albertus dibatalkannya.
Toh mereka takkan dapat menolongnya. Tidak seorang
pun yang dapat. Bahkan tidak Mao atau Chou. Tidak
seorang pun.
April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober,
November. Berlalu dengan tenang. Kembali datang
akhir tahun. Monik belum juga mau pulang libur ke
Malang. Sehingga orangtuanya memutuskan untuk
mengunjungi Jakarta menengoknya.
Monik menghela napas. Semua orang dilihatnya
mempunyai masa depan yang cerah dan gemilang. Tapi
baginya: April, Mei berlalu. Juga Juni, Juli, Agustus.
September dan teman?temannya tidak juga membawa
harapan. Kipasnya sudah mulai menguning tua di sudut-sudut lipatan. Tapi tulisan tinta bak itu masih tetap
seperti semula. Kata Paman, itu sebuah tulisan yang
bagus dari jari?jari yang terlatih. Tapi Monik tidak peduli apakah itu bagus atau tidak. Dia tidak mengerti di
mana bagusnya! Dia cuma tahu, itu hasil karya seorang
manusia yang mencintainya.
Dan dicintainya.
Dia sedikit terhibur bila teringat bahwa Martin sudah membaca suratnya yang pendek itu. Sebaris kalimat: keluar dari Peking, Martin, aku cinta padamu.
Martin pasti tersenyum melihat itu, pikir Monik, dan
senyumnya pun terkembang.
Tibalah akhir tahun. Rumah Bibi penuh sesak.
Orangtua dan kedua adiknya datang. Monik amat
senang bertemu dengan mereka.
460 Yang pertama?tama dikatakan Ana adalah: hei,
boneka ini persis dengan boneka saya, dan diraihnya
boneka Nancy yang memang serupa miliknya, hadiah
Natal tahun lalu.
Jos sudah besar dan segera bersahabat dengan Peter
dan kawan?kawannya. Monik senang bukan main.
Ibunya tampak sedikit kurus, tapi ayahnya malah makin gendut.
Tentu saja mereka harus tidur beramai?ramai. Untung kamat-kamar tidur itu cukup luas. Paman menurunkan kasur?kasur dari loteng dan mereka tidur di
lantai. Di loteng terdapat sebuah kamar tidur. Ayah
dan ibu Monik tidur di situ. Ana tidak mau tidur di
ranjang. Kepanasan. Dia lebih suka kasur di lantai
dengan kipas angin menderu sekencang?kencangnya.
Monik menunggui adiknya tidur. Begitu dia terlelap,
dimatikannya kipas itu. Jos juga kepanasan. Pada malam pertama dia sudah menangis karena tidak dapat
tidur.
"Jakarta tidak enak," isaknya. "Besok pulang, Papa.
Di sini panas."
Semua orang membujuknya. Ketika jendela kamarnya sudah dibuka, barulah dia menjadi tenang. Meskipun begitu, dia tidak mau memakai piama. Selalu tidur dengan baju kaus saja.
Bibi mengadakan pesta kecil, sekalian menyambut
tamu-tamu agungnya dari Malang yang cuma seabad
sekali menginjak Jakarta, katanya. Sanak saudara banyak yang datang. Monik meminta Alice dan Simon
datang.
Peter, yang terkenal anti cewek, segera membawa
461 Simon dan Jos ke rumah Kiu, yang terletak tiga rumah dari situ, di mana tidak ada cewek.
Mereka makan dan bercakap?cakap tak tentu arah.
Monik dan Alice masing-masing berusaha membuat
suasana menjadi gembira. Mereka duduk berdua di
beranda depan. Dari salah satu rumah tetangga, mengalun Nocturne?nya Chopin di atas piano yang murni
suaranya. Kedua gadis itu sejenak terdiam dengan
sedikit terkejut. Alice, terutama, ingat betul, kakaknya
suka lagu itu.
"Mau puding lagi?" tanya Monik, sengaja mau
menghalau kenangan mereka.
Alice sedikit tersentak, menoleh.
"Oh, tidak. Sudah cukup."
"Tapi kau bilang enak?!"
"Ya, memang. Satu porsi, enak. Dua porsi, bolehlah. 'l'api jangan tiga porsi!" Keduanya tertawa.
"Aku mau kue ini saja. Apa namanya?"
"Entahlah. Jangan tanya soal dapur padaku. Pokoknya enak. Enak, kan?"
Alice mengangguk.
"Ibuku yang membuatnya."
Alice tersenyum dan mengangguk sekali lagi. Sedetik Monik mengira Martin ada di hadapannya.
Anggukan itu begitu mirip.
"Alice," katanya, dan dia berhenti.
Alice mengangkat wajahnya dari kue di tangannya
dan memandangnya. Monik merasa lehernya tercekik.
Sukar sekali mengeluarkan kata?kata itu. Tapi dia harus menanyakannya dan mesti tahu jawabannya.
"Alice...."
462 "Hm...."
"Apakah... apakah... dia gagal?!"
Alice tampak terkejut sesaat, namun cepat tersenyum kembali.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan."
"Tapi... tidak ada kabar!"
"Dulu, selama hampir setahun tidak ada kabar dari
pamanku. Kami semua sudah putus asa. Ayahku sudah mau menambah sebuah altar lagi baginya. Eh,
tahu-tahu datang suratnya. Pabriknya disita dan dia
dijadikan mandor."
Alice tersenyum, mungkin untuk meyakinkan
Monik atau dirinya sendiri bahwa mereka betul-betul
belum kehilangan harapan.
"Bagaimana sekarang? Ada kabar dari pamanmu?"
"Belum ada. Sabarlah. Mungkin tahun ini, ayahku
dapat pergi ke sana, via Hong Kong. Dia tentu akan
bertemu dengan Martin."
Monik diam saja. Memandang ke muka tapi tidak
melihat Alice.
"Engkau mendengarkan aku, Nik?"
"Ya."
"Mungkin tahun ini, Monik."
"Mungkin."
"Percayalah, dia tidak apa-apa."
"Ya."
Tapi Monik tahu, dia tidak percaya, seperti juga
Alice tahu, dia berdusta. Tidak ada kata "ya" dalam
hati mereka. Yang ada cuma kegelisahan dan keraguan.
Monik tahu dan Alice tahu bahwa semua itu harapan
kosong belaka.
463 Pukul empat pesta berakhir. Semua pergi tidur.
Monik masuk ke kamar. Ana tidur tanpa selimut di
lantai dekat tempat tidurnya. Perlahan?lahan Monik
membungkuk dan mengangkatnya kembali ke atas


Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasur. Berat betul engkau, katanya dalam hati. Aku
hampir?hampir tidak kuat mengangkatmu. Ana tidak
terbangun. Monik memperbaiki selimutnya dan membelai rambutnya. Lalu dia berdiri dan mulai membuka
pakaian. Dalam gelap dirabanya gantungan baju, mencari baju tidur.
Dengan hati?hati diinjaknya kasur adiknya lalu naik
ke atas ranjangnya. Dia berusaha memejamkan mata,
tapi tidak berhasil. Pikiran itu kembali-kembali terus.
Di manakah dia? Di manakah dia? Tidak ada surat
dari Peking. Tidak ada dari Shanghai. Tidak juga dari
Canton. Tidak juga dari Hong Kong.
Di manakah engkau? Di manakah engkau, Martin?
Di manakah engkau, Sayang? Di manakah engkau?
Setetes air mata jatuh ke atas bantalnya. Aku cinta
&
padamu .
Bersambung ke
Setangkai Edelweiss
464 Dalam kekalutan perebutan kekuasaan menjelang 0305?1965,
Monik dengan teman?temannya di Fakultas Kedokteran Res
Publica ikut pula merasakan tekanan serta ketegangan di kampus
yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh golongan mahasiswa yang
condong ke kiri.
Dalam gejolak masa tersebut. Monik masih harus menghadapi
gejolak dirinya sendiri. Dia harus menetapkan masa depannya
ke mana....
Membaca buku ini mengembalikan kita ke suasana pascarevolusi.
Salah satu masa paling gelap dalam sejarah republik ini. ?Benar?benar
membuat bulu kuduk merinding dan juga memicu ketegangan di hati
pembacanya.
Sandra Gouw, http://tokokue.rnultiply.com
...Seja'rah pergantian rezim yang berlunmr darah bangsa ini dilihat
dari kacamata seorang korban: keturunan Cina. yang tidak diterima
di golongan apa pun. Partisan berarti selamat, dan netralitas menjadi
musuh diri sendiri. Golongan yang menang menjadi pahlawan, tapi
pahlawan kemudian menjelma menjadi perampok. Gema Sebuah
Hati bukan sekadar buku pop, tapi kilasan balik suatu masa kelabu,
yang bisa aplikatif pada tahun berapa pun.
ebook by syauqy_arr
Dirty Little Secret Karya Aliazalea Jentara Bianglala Karya Ahmad Tohari Kemenangan Pasti Datang Karya Ono Musfilar

Cari Blog Ini