Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse Bagian 2
pelampiasan rasa frustasi.
Carly suka pada Paul. Monique menyukai Boone.
Kyle dan Suzanne lengket terus seperti kembar siam.
]adi cewek mana yang tersisa buat Albert.
Tidak ada satu pun. Dia begitu tertekan, hingga
rasanya dia ingin berlari ke luar dan berteriak keras
pada bulan.
Tapi kenyataannya dia justru merasa mengantuk
kembali. Dia menutup matanya dan segera tertidur
tanpa menyadarinya.
Dan kemudian
Seekor cacing putih yang gemuk menyerang
keningnya dan meneruskan acara makannya dan
setelah itu meluncur pergi.
Carly mau menarik tangannya dari pegangan Paul.
Tapi keinginan itu cuma sejenak. Sebenarnya dia
belum pernah merasakan kenikmatan yang seperti ini
selama hidupnya. Meskipun cuma tangan mereka
yang saling bersentuhan, tapi rasanya seperti sekujur
tubuh terasa saling melekat, begitu menyenangkan.
Mereka berdua membawa senter, yang membantu
mereka mencari jalan setapak terdekat menuju danau.
Mereka tak banyak bicara, dan hal itu justru
meningkatkan ketegangan dan kenikmatan di antara
mereka. Berjalan di tempat gelap dan sunyi
menjadikan mereka begitu dekat, terutama karena
tangan mereka saling bergandengan.
97 E ric Morse
Setelah beberapa menit, jalan semakin lebar. Lalu
mereka memutar ke salah satu pojokan dan di sana
ada dermaga tua tempat merapatnya perahu. Air
danau Kristal yang kelam terbentang di hadapan
mereka, bersinar dan beriak dalam cahaya bulan.
"Danau Kristal ini betul?betul cantik," gumam
Carly.
"Persis seperti dirimu," kata Paul lembut.
Nah ini dia ? Carly merasa perasaan tak karuan
menyelimuti dirinya. Sekujur tubuh terasa bergetar.
Dia tak kuasa. Dia serasa sudah dikuasai Paul.
"Kamu nggak bisa melihat sinar bintang sebagus
ini kalau nggak di pedesaan," kata Paul sambil
mendongak ke atas.
ltu betul. Langit sangat jernih, melingkar di atas?
kepala mereka seperti kubah kaca berwarna gelap.
"Besok hari pasti cerah," ramal Paul.
"Emm," Carly cuma bisa menjawab begitu.
Sekarang ini, dia tak bisa memikirkan soal besok, ta
bisa memikirkan apa pun kecuali saat ini, ya saat in'
saja!
"Hei," kata Paul lembut. Dia menunggu sampai
Carly melihat kepadanya. Paul menunduk dan
menatapnya sambil tersenyum lembut dan menawan.
Paul begitu keren, susah bagi Carly untuk menata
matanya. Sorot matanya seperti sinar lampu yan
menyilaukan sehingga kamu harus melindungi
matamu bila ingin melihatnya. Rasanya Carly ingi '
pingsan. Sulit baginya untuk mempercayai kalau hal
ini benar?benar terjadi.
98 Hari Ibu
Tapi ini memang terjadi. _ .
Lalu Paul mulai bergerak mendekatl. D1a
meletakkan tangannya yang kuat di pundak Carly,
sambil terus menerus menatap mata Carly seperti
orang yang lagi menghipnotis.
Dan kemudian bibirnya menempel di bibir Carly.
Tak pernah ada ciuman senikmat ini sebelumnya;
tubuh Carly terasa lebur dengan tubuh Paul.
Carly mendesah, seakan merasa lega karena
akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Tangan kekar Paul sekarang memeluknya. Lalu ketika
dia menciumnya lebih jauh, tiba-tiba dia men?
doyongkan tubuh Carly ke belakang, seperti adegan
penari balet. Hal itu membuat Carly terpaksa
merangkulkan tangannya pada leher berotot Paul
agar tidak jatuh. Carly sama sekali tidak berkebera?
tan untuk melakukannya.
Dan kemudian Paul lebih mendoyongkan lagi
tubuhnya, sehingga tubuhnya kini betul-betul rebah
di tanah.
Tanah itu ternyata lebih keras dari yang Carly kira.
Biarpun dia merasa tubuhnya luluh, tapi bukan
berarti tanah yang keras dan berbatu tidak terasa lagi.
! )an Pa ul kini ada di atas tubuhnya, tubuh Paul yang
berat sangat menekan, menindihnya.
"Paul," katanya. Tapi Paul tetap menekan bibirnya
ku bibir Carly, membuat Carly sulit untuk bicara. Dan
ckarang tangannya mulai mengerayangi tubuhnya,
ndak lagi lembut tapi meremas?remas dan -? akhirnya
mencoba untuk membuka kancing blusnya. Rasa
99 E ric Morse
panik seketika mengalahkan rasa nikmat. Untuk
sesaat, dia merasakan sensasi yang aneh karena
merasa dijadikan mangsa.
"Paul!" katanya ketus.
Paul mengangkat kepalanya, terlihat tanpa dosa
dan terkejut. "Ada apa?" tanyanya ramah.
Apakah dia telah melakukan kesalahan dengan
menghentikan Paul? Kepalanya pening. Pa ul
melihatnya dengan mesra, penuh kasih. "Ada batu
keras, nih," katanya lemah. *
"Oh! Sori! Pasti rasanya nyaman!" Goda Paul.
"Enggnklnh, ya!"
Carly duduk dan berusaha untuk tersenyum. Paul
duduk di sampingnya saat Carly menutup kancing
baju yang tadi dibuka Paul. "Selain itu," katanya
sambil menundukkan kepalanya karena malu, "Aku
belum begitu mengenalmu."
Saat dia mengatakan hal itu, dia merasa diliputi
rasa malu luar biasa. Pada saat seperti ini
keperawanannya terasa seperti batu karang besar
yang harus digantung di leher dan dibawa ke mana
pun dia pergi. Tiba-tiba, dan untuk pertama kali
dalam hidupnya, dia berharap dia adalah orang lain.
"Itu benar," kata Paul. "Aku juga belum begitu
mengenalmu." Dia menekuk kepalanya dan melirik
ke mata Carly. "Tapi bagaimanapun juga aku merasa
seperti telah mengenalmu seumur hidupku, kamu
tahu maksudku?"
Carly mengangguk. Dia tahu hal itu. Paul meraih
sepatu ketsnya dan menggoyang?goyangkannya.
100 Hari Ibu
"Kamu nggak harus melakukan sesuatu yang nggak
kamu inginkan," kata Paul menjamin.
Lalu Paul mulai memainkanjarinya di betis Carly
yang terbuka.
"Terima kasih atas ucapanmu itu," kata Carly
sambil menangkap jari?jari Paul dengan tangannya.
Sekarang tangan lainnya mulai meraba kakinya
yang lain. "Aku nggak mau memaksamu," katanya
dengan nada tetap menjamin. _
Dia menekuk lututnya. "Trim's," katanya lagl.
Carly merasa sangat bodoh karena tidak yakin. Paul
Sexton mungkin sepanjang hidupnya belum pernah
berduaan dengan cewek yang begitu lugu atau begitu
tidak berpengalaman atau juga begitu pemalu,
katanya pada diri sendiri. Di balik wajahnya yang
serius, dia pasti mentertawai dirinya. Bukan cuma itu,
Carly merasa Paul juga agak marah. _ .
Tapi senyumnya tidak lenyap. Barangkali, dia
berjiwa besar. "Eh," katanya sambil berdiri, "aku
punya ide bagus."
Meskipun begitu bukan berarti Carly akan
menganggap ide Paul itu bagus. "Apaan?" Tanyanya
dengan suara berbisik.
Dia menggerakkan kepalanya ke arah hamparan
danau yang gelap.
Carly tak mengerti apa yang dimaksudnya.
"Apaan?" tanyanya kembali dengan perasaan
tertekan karena tidak bisa mengerti, seakan dia gagal
dalam suatu tes.
"Berenang tengah malam."
101 E ric Morse
Mulu tnya terbuka dan membentuk huruf () kecil.
"Gimana?" tanyanya.
"Aku nggak bisa berenang," katanya cepat.
"Kamu bercanda, ah."
"Nggak."
_Perasaan kesal akhirnya mulai muncul di
wajahnya. "Ah, ayolah. Semua orang tahu bagaimana
caranya berenang."
"Nggak juga. Nggak bakal tahu caranya kalau
kamu punya ibu yang begitu takut anaknya
tenggelam, sehingga nggak mengijinkan anaknya
untuk les berenang," kata Carly. Dia lalu tertawa
dengan agak gugup.
Paul meletakkan tan ann a di in ul Ca
sambil berpikir. "Aku akagn mehgajarlmusg dy,
. "Oh, jangan," katanya cepat.
"Ayolah, Carly. Kamu nggak bisa menyia-nyiakan
hidupmu." '
.Itu menyakitkan. "Aku nggak menyia?
nyiakannya," kata Carly. "Lagian, ibuku tidak salah,
dia cuma ingin aku selamat."
"Aku punya sedikit rahasia untukmu. Satusatunya saat kamu selamat ? benar-benar selamat
? adalah saat kamu sudah mati." Paul menjulurkan
tangannya. Carly memegangnya dan Paul
menariknya hingga dia berdiri. "Sebentar saja,"
katanya. "Kamu pasti suka. Oke?"
girl? menggigit bibirnya. "Aku nggak punya baju
un erenan " itu adalah satuesatu
bisa dia katakgi. "Ya alasanyang
102 Hari Ibu
"Itu bagian terbagus dari rencanaku," kata Paul
sambil nyengir.
Carly merasa wajahnya merah padam. "Apa sih,
maksud kamu?"
"Di sekitar sini nggak ada orang, Carly. Nggak
ada orang sampai sejauh satu kilo. Ini tengah malam.
Nah, mengerti kan apa yang aku katakan? Kita nggak
butuh baju renang."
Kulit Carly terasa seperti ditusuki duri. "Maksud
kamu kita akan berenang tanpa baju?"
Paul mengangguk. Lalu memperhatikan Carly,
menunggu, sebuah seringaian kecil menghias
wajahnya. Meskipun begitu, dia tidak bergerak.
Sangat cerdikl sebab kalau Paul melangkah
mendekatinya, maka Carly nggak akan mau
membuka bajunya satu kancing pun. Dia pikir aku
pasti tidak akan melakukannya, pikir Carly.
Dan kemudian, dia merasa ngeri dengan apa yang
dirasakannya. Carly tiba?tiba saja merasa ingin
melakukan hal itu. Buka baju, lari dan meloncat ke
air. Dia meraba kancing bagian atas blusnya.
"Takut?" tanya Paul. Ada kesan menghina pada
suaranya.
Carly membuka kancing blusnya yang pertama.
Jari?jarinya gemetar.
"Nah, begitu, dong," katanya.
Sulit untuk melihat ekspresi wajah Paul di
kegelapan, tapi nyaris terlihat kalau dia sedang
menyeringai.
Carly membuka kancing ke dua.
103 Eric Morse
Kancing ke tiga.
Kemudian dia menutupnya lagi.
"Aku rasa ini nggak benar," katanya.
Paul mendengus. "Carly," katanya, "Kamu ini
benar?benar pengecut."
"Terima kasih banyak," katanya dengan perasaan
sakit hati berbaur marah dalam dirinya. "A-aku cuma
nggak mau terburu-buru dalam segala hal."
"Ooooh. ]adi kapan kamu akan siap untuk
melakukannya, hah? Dua ribu tahun lagi?"
"Nggak juga," katanya. Kenapa sih, Paul jadi
begitu kasar? "Barangkali lain kali."
"Oh, baiklah," Kata Paul. " Maksudku, kapan lagi
kita akan punya kesempatan seperti ini?"
Dan kemudian dia menarik dan melepaskan kaos
seragam rugby melalui kepalanya dan membiarkan
kaos itu jatuh ke tanah. "Ayolah, sekarang atau nggak
selamanya," katanya.
Carly berkedip?kedip. Dia belum pernah melihat
tubuh seperti milik Paul, paling tidak, tak pernah
melihat begitu dekat seperti saat ini. Dia memiliki otot
di seluruh tubuhnya, tampak beralur?alur sampai ke
daerah perutnya.
Caranya membelai?belai dadanya sendiri,
menandakan kalau Paul mengagumi tubuhnya
sendiri seperti kekaguman Carly. Lalu tangannya
turun dan melepas gesper sabuk celananya.
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paul," kata Carly, "jangan."
Paul sedang berdiri di antara dirinya dan jalan
setapak menuju area kemah, tersenyum padanya.
104 Hari Ibu
Sekarang senyumannya terlihat sadis. Tiba-tiba dia
merasa tak dapat berpikir dan menderita sekali. Satusatunya yang ingin dia lakukan adalah segera pergi
dari tempat itu.
Dia mau melangkah, tapi Paul menghalangi
jalannya sambil mengikuti arah langkahnya saat
Carly mencoba melewatinya dengan cara berputar.
Dia tertawa, sinis, dengan nada ejekan. "Aku nggak
akan membiarkanmu pergi," katanya mengancam.
"Paul," katanya tegas. "Aku nggak mau mandi
tanpa baju denganmu. Paham? Sekarang biarkan aku
lewat."
Senyuman Paul sekarang dingin. "Kamu masih
ingusan," katanya. Kamu tahu itu, nggak? Aku
rasanya nggak percaya. Heran."
"Biarkan aku pergi."
"Kamu lebih buruk dari Albert," katanya kasar.
"Aku nggak bisa percaya sudah menghabiskan waktu
denganmu. Padahal aku bisa bersenang-senang
dengan Monique!"
Kuping Carly terasa panas, rasanya suhu tubuhnya
tiba?tiba naik ke kepalanya. "Maaf kalau aku telah
menyia?nyiakan sedikit waktumu yang sangat
berharga itu," katanya sambil menahan diri agar tidak
menangis.
"Ingat saja, kamu nggak bakal mendapatkan
kesempatan kedua."
Carly tak ingin menjawab. Cuma menunggu
sampai akhirnya Paul minggir dan membiarkannya
lewat. Dia membungkuk dan memberi hormat seolah
105 E ric Morse
mengatakan, silakan.
Carly mulai melangkah di jalan setapak, berjalan
secepat mungkin. Dia baru saja pergi beberapa meter,
ketika dia mendengar bunyi risleting. Paul sudah
selesai melepas 'celananya.
Yang terakhir didengarnya saat dia terus
melangkah di jalan setapak adalah teriakan gembira
Paul dan bunyi cipratan air saat dia ten'un ke dalam
danau. Carly sempat ragu, tapi dia menahan diri
untuk tidak melihat ke belakang.
Dengan perasaan marah dan terluka, dia berjalan
cepat. Tak lama kemudian Carly sudah berada di
tengah hutan. Dan kemudian dia mulai merasa tak
enak -? ada perasaan kalau dia tidak sendirian.
Ayolah Carly, katanya pada dirinya sendiri. Jangan
ketakutan dulu.
Carly menyorotkan lampu senternya ke kiri dan
ke kanan. Sinar senter yang putih terlihat sangat
mengerikan, saat menyinari semak dan pepohonan
di tengah kegelapan.
Dan kemudian ?
Dia mendengar injakan sepatu but yang berat di
atas dedaunan yang basah.
Dia memperlambat langkahnya. Tidak terdengar
apa?apa. ]alan terus. Lihat dirimu, Carly mencaci
dirinya sendiri. Paul memang benar, dia adalah
kucing yang penakut.
Terang bulan atau tidak, hari sangat gelap.
Pepohonan yang lebat nyaris menghalangi sinar
bulan. Tapi sebenarnya cuma butuh waktu lima menit
106 Flari l'bu
untuk sampai di pondoknya. Carly mengatakan pada
dirinya sendiri bahwa dia bisa menyelesaikan
perjalanan lima menit itu, tanpa jatuh pingsan ?
Sebatang ranting patah.
Apakah karena angin? Bukan, sekarang tak salah
lagi. Ada orang yang membututinya.
Carly berhenti mendadak, memasang kuping baik?
baik, nafasnya terdengar tersengal-sengal.
Tapi meskipun suara nafasnya sendiri cukup keras,
dia sekarang bisa mendengar sebuah suara. Dengusan
nafas yang perlahan ?
"Paul?"
Tak ada jawaban.
"Aku sumpah, Paul," katanya. "Kalau kamu
mencoba menaku t?nakuti aku, akan kubunuh kamu.
Kamu dengar? Dalam satu malam kamu sudah cukup
banyak membuat masalah padaku. Paul?"
Masih tak ada jawaban.
Dan kemudian, sesuatu bergerak mendekatinya.
Otaknya mengatakan kalau yang berbunyi tadi
akan memperlihatkan diri, Carly sangat ketakutan.
Sesuatu atau seseorang, sedang bergerak di hutan,
berusaha ke luar sambil lari tepat menuju ke arahnya!
Carly berbalik dan segera berlari sekencangnya.
Ranting?ranting menggoresnya di mana-mana.
Sebuah tumbuhan merambat menyangkut di
wajahnya. Tapi dia tidak berhenti, sebab siapa pun
yang sedang mengejarnya bisa dengan Cepat
menyusulnya.
Carly berlari makin cepat, tangannya diayun
EBUKULAVVASBLOG SPOT.COD'I
1 07 Eric Morse
sekuat tenaga dan ?
Dia menabrak pohon lalu terjatuh, terbanting ke
tanah. Lampu sentemya telempar dan jatuh dengan
keras di dekat sebongkah batu karang. Sinarnya tak
sengaja mengarah ke atas, ke arah Wajah pucat seekor
burung hantu.
Sekarang Carly mulai menangis, dia begitu
ketakutan. Seluruh tubuhnya terasa kelu. Dia
mengatur kakinya dan mencoba berlari lagi. Kedua
tangannya bergerak serabutan.
Tapi Carly telah berlari ke arah yang salah.
Sebab, dia berlari tepat ke arah cengkeraman
seorang pembunuh.
108 12 A ACARA MEDITASI
"Tolooong! Tolooong!"
Carly berteriak sekuat-kuatnya. Dia panik luar
biasa. Teriakan itu menyembur otomatis dari
mulutnya.
Mata hitam sang pembunuh berkilat penuh
kebencian dari balik topeng hoki berwarna putih,
tanpa rasa kasihan. Dengan satu tangannya yang
kuat, dia meraih baju Carly. Dan tangan yang lainnya
mengangkat pisau pemburu yang sangat besar,
tinggi-tinggi ke udara di atas kepala Carly. Sekalipun
malam gelap gulita, dia bisa melihat kilatan tajam
pisau yang panjang itu. 4
Lalu pembunuh itu menghujamkan pisaunya
secepat kilat ke tubuhnya.
Pembunuh itu berhenti mengayunkan pisaunya
kira-kira satu sentimenter dari dada Carly. Lalu dia
membuka topengnya.
"Kamu tahu," kata Boone. "Kamu ternyata
ketakutan, kan?" Lalu dia berteriak seperti orang gila.
Untuk sesaat, Carly diam kaku. Lalu rasa marah
Eric Morse
bergejolak dan dia mendorong Boone sekuat?kuatnya.
Boone terhempas ke pohon, kepalanya membentur
kulit pohon dengan keras. Tapi hal itu tidak
menghentikan tawanya. Air matanya tampak
membasahi pipinya. "Tolong! Tolong!" godanya,
dengan suara nyaris hilang. Boone melirik topeng
yang ada di tangannya. "Aku tahu benda ini akan
sangat membantu."
Sekujur tubuh Carly gemetar, karena rasa takut,
rasa lega dan rasa marah. Dia menujuk ke muka
Boone, "Dewasa sedikit dong, dungu," katanya
sambil mendesis. "Dewasa sedikit dan bersikap
waras, kenapa, sih?"
Dia mengatakan hal itu sebelum meledak
tangisnya. Sambil mengusap air matanya, dia
melangkah ke kegelapan tanpa menengok ke
belakang.
"Hei, kamu lupa lampu sentermu," seru Boone.
Carly tidak menjawab. Tidak juga berhenti.
Sabtu pagi di danau Kristal, matahari bersinar di
udara yang jernih. Ramalan Paul Sexton benar. Hari
ini akan menjadi hari yang indah dan cerah. Hutan
di sekeliling danau, tampak tenang.
Terlalu tenang, bahkan.
Dan kemudian, ketika jam delapan lebih beberapa
menit, kegaduhan memecah ketenangan yang ada.
Suara musik heavy metal berkumandang keras dari
pohon dekat area perkemahan tua ini. Pertama, musik
dari grup Motorhead, lalu grup Chainsaw Kittens ?
110 Hari Ibu
suara keras seperti itu betul-betul tidak cocok dengan
latar belakang hutan.
Setelah sepuluh menit konser gila-gilaan itu
berlangsung, kelompok anak remaja yang ada di area
perkemahan ini secara perlahan mendekati danau
untuk melihat-lihat. Mereka menemukan Boone
sedang nangkring di atas pohon, cuma pakai celana
pendek ketat yang penuh dengan olesan getah pohon.
Dia baru saja selesai memasang pengeras suara yang
terakhir. "Sekarang bagaimana kalau kita bangunkan
orang-orang?" tanyanya kepada mereka dengan
bangga. Dia meraung dan berteriak "Acara akan
dimulai!"
John Starr amat sangat kaya dan amat sangat
ganteng. Dan ketika Rosalyn memeluk John untuk
pertama kalinya, dia menyadari bahwa John juga
sangat hangat, sangat baik hati dan sangat
menyenangkan. Sangat begini, sangat begitu. Carly
meletakkan novel romannya dalam posisi
:ertelungkup di atas dermaga. Hal seperti itu cuma
ada di buku, katanya dalam hati dengan rasa getir.
Saat dia mengangkat kepalanya, Carly melihat
Paul dan Boone sedang mengganggu dan menciprati
Monique sambil berlari?lari di tepi danau. Dalam
kehidupan nyata, orang yang secakep Paul ingin
selalu diperhatikan. Mereka tak pernah belajar
bagaimana menghargai orang lain.
Sejauh ini, hari terasa berjalan sangat lambat,
semua orang bermain di dermaga dan di air, main
111 Eric Morse
basah?basahan. Namun Carly tidak terlalu merasa
gembira.
"Hei, Car" panggil Suzanne dari ujung dermaga.
"Ada apa?"
"Kamu mau ikut bermeditasi dengan kami?"
Carly melihat dengan mata setengah terpejam ke
arah sinar matahari. Jelas sekali, Kyle sudah berada
di posisi bunga teratai, kakinya dilipat di bawah
tubuhnya, tangannya tergeletak di pahanya dengan
posisi jari jempol mengacung, seperti tanda "oke".
Suzanne duduk di sebelahnya, memakai baju motif
celupan. Bagaimana mereka asyik bermeditasi
dengan suara musik heavy metal Boone yang
berkumandang begitu keras?
"Nanti, deh," jawabnya.
Sesungguhnya, Carly tidak berselera untuk
bermeditasi ? kecuali merenung tentang kejadian
antara dia dan Paul semalam. Dia berharap bisa pergi
dengan Suzanne ke suatu tempat sebentar dan
membicarakan masalah ini. Tapi tak mungkin
Suzanne mau berpisah dari sang pujaannya, Kyle,
biarpun cuma semenit. Carly bertekad kalau dia
punya pacar nanti dia tak akan mengabaikan
sahabatnya seperti yang telah dilakukan Suzanne.
Sudah dua puluh menit Albert berenang?renang
perlahan sendirian di dekat dermaga. Dia bilang itu
latihan, tapi sebetulnya yang dia lakukan cuma
gerakan seperti beruang ku tub lagi bermalas?malasan
di kebun binatang. Sekarang dia naik ke dermaga
dan melangkah mendekati Carly. Begitu dia selesai 1
112 Hari Ibu
handukan, dia langsung memolesi tubuhnya dengan
krim tabir surya.
Albert memakai celana renang warna biru terang.
Hal itu membuat kulit Albert tampak sangat putih
? hampir seputih cacing aneh yang ditunjukkan
Kyle di sepanjang dermaga ini, tadi pagi. Kasihan si
Albert. Carly tahu pesan ibunya bahwa jangan
melihat orang dari luarnya saja. Tapi tak akan
mungkin dia akan berkencan dengan orang seperti
Albert. Biarpun dia yakin Albert ini orangnya baik
? bahkan penuh kasih sayang.
"Gimana kamu, Albert?" seru Kyle. "Kamu mau
meditasi, nggak?"
"Nggak, ah, O, swami," jawab Albert. "Aku takut
bermeditasi."
Kyle tertawa. "Oh, ya? Memangnya kenapa?"
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harus tetap terjaga jangan sampai ada orang
yang mencelakaiku."
Carly mengangkat tangannya untuk melindungi
matanya dari sinar matahari, dan menatap ke arah
Albert. "Kayaknya sudah ada tuh, yang
mencelakaimu," katanya lembut. "Apaan itu yang ada
di keningmu?"
"Aku tahu, kamu percaya nggak, sih?" dengan
gugup Albert meraba lubang merah di keningnya.
"Kayaknya ini bukan jerawat. Kurasa ini semacam
gigitan dari binatang kecil biasanya ada di tempat
seperti ini."
"Kamu jadi penakut sekali," kata Kyle.
"Aku tahu," aku Albert. "Tapi dengar dulu, deh.
113 Eric Morse
Hanya karena aku penakut bukan berarti di luar sana
nggak ada musuh yang bersembunyi di balik pohon,
kan." Albert mengintai ke pepohonan cemara yang
lebat yang memenuhi tepian danau di seberang
mereka. "Ngomong?ngomong soal musuh yang
mengintai, apakah kalian nggak merasa sedang
diawasi?"
Ada teriakan dari dalam danau. Carly menengok
untuk melihat Boone. Dia berada di sekitar beberapa
ratus meter jauhnya dan tampak sedang menarik
sesuatu yang besar berwarna kecoklatan, keluar dari
alang?alang di tepi danau. "Sebuah perahu!" teriak
Boone.
"Asyik," sahut Paul.
Carly membetulkan letak bikini hijaunya dan
membuang muka. Bagi Carly, Boone dan Paul boleh
pergi ke mana pun sampai kapan pun.
"Ada dayungnya, lagi," teriak Boone kembali.
"Lihat, nih! Kalian tadi mengeluh terus kalau di sini
nggak ada peralatanapa pun. Ayo, Monique. Kamu
dan aku berperahu dulu seputaran, lalu nanti gantian
sama yang lain."
Dengan tak sengaja, Carly menengok untuk
melihat apa yang terjadi. Monique telah berenang
dengan Paul selama hampir sepagian, tapi sekarang
dia ragu?ragu, berdiri di tempat yang dangkal, sambil
melihat ke depan dan ke belakang pada Paul dan pada
Boone. Pilih yang mana, pilih yang mana. Akhirnya
dia nyebur kembali ke dalam air dan mulai berenang
cepat ke arah Boone dan perahunya.
114 Hari Ibu
Carly bahagia karena merasa menang. Semarahmarahnya dia pada Boone, Carly merasa lebih marah
pada Paul. Dan Monique lebih memilih Boone
daripada Paul.
Carly melihat Boone menolong Monique naik ke
perahu, dan terus memperhatikannya sampai Boone
mendayung jauh sekali.
Sekarang tinggal lima remaja yang nongkrong di
dermaga danau Kristal.
Paul berenang ke tepi dengan ayunan tangan yang
panjang dan bagus. Dia naik ke dermaga. Kulitnya
coklat semua, seperti orang yang habis berjemur diri.
Pertama?tama dia menghadap ke arah hutan.
Suzanne tampak terperangah melihatnya. Lalu,
sedetik kemudian, Paul menjulurkan tangannya
untuk menahan tubuhnya. Dia lalu melakukan push?
up dengan satu tangan. Ototnya yang kuat tampak
berkilat karena air, kemudian berkilat karena keringat.
Carly membuka kembali bukunya dan bermaksud
untuk meneruskan bacaannya. Namun dia
menyadari bahwa dia membaca baris yang sama
herulang?ulang.
Albert sedang kepayahan menjulurkan tangan ke
punggungnya. "Hei, Carly," panggilnya. Dia sedang
memegang tube krim tabir surya. "Tolong dong,
oleskan. Aku nggak sampai, nih."
Paul melompat berdiri dan mulai melenturkan
langannya ke belakang ke arah punggungnya
ehingga sendi-sendinya bergemeretak. "Yang benar
saja, Harris," cemoohnya. "Nggak ada orang yang
115 Eric Morse
mau memoles punggung seperti itu."
Carly menutup bukunya lagi. Dia menatap Paul,
kemudian tersenyum pada Albert. "Aku mau, ke ."
"Wauw, trim's," kata Albert agak kaget. Dengan
dua jari, hati-hati Carly mengambil tube gendut dari
tangan yang gendut juga. Dia mulai memoleskan
benda putih yang lengket itu ke seluruh punggung
Albert dengan lembut. Albert berteriak gembira.
"Wauw," katanya lagi. "Serasa di surga. Kamu
percaya, nggak? Baru sekali ini aku dipijat."
"Kita percaya, kok," ka ta Paul
Lewat sudut matanya, Carly bisa melihat Paul
seperti marah karena melihat adegan ini. Carly tetap
menggosokkan krim itu. Akhirnya Paul bertepuk
tangan sangat keras sampai Carly terlonjak kaget.
"Oke," katanya . "Siapa yang mau jogging
mengitari danau?"
Tak ada yang menjawab.
"Ayo, dong, kita harus membuat tulang?tulang kita
jadi kuat. Bagaimana, Albert? Mau menurunkan berat
lima sampai tiga puluh lima kilo?"
"Tapi cuma berat kepalamu."
Paul tertawa, tetapi tawanya terdengar tidak lucu.
"Kyle atau Suzanne?" tanyanya.
Kyle menggelengkan kepalanya. "Aku suka jogging, bos, tapi kami sudah kapok. Suzanne baca di
salah satu jurnal tentang kesehatan, jogging nggak
baik untuk persendian dan gerakannya membuat
anggota tubuh bagian dalam terguncang?guncang."
Paul tidak terlihat begitu kecewa. "Carly?"
116 Hari Ibu
tanyanya dengan malas dan tanpa melihatnya.
"Apa?" Carly juga tidak menengok pada Paul.
"Aku janji akan berlari sangat pelan," kata Paul,
"jadi kamu nggak akan ketinggalan."
Carly mendengus. "Percaya, deh" ? dia
mengangkat kepalanya ? "Aku nggak bakalan
ketinggalan."
"Carly belakangan ini cukup kencang larinya,"
kata Suzanne. "Hati-hati, aja!"
"Aduuuh, aku benar?benar takut," kata Paul
sambil menutup muka dengan kedua belah
tangannya seakan-akan gemetar ketakutan.
Carly menggigit bibir dan memerintahkan dirinya
untuk tetap tenang. Tapi pada saat dia
memerintahkan hal itu, dia berbalik dan menyerang
Paul. "Kamu seharusnya memang takut. Aku bisa
mengalahkanmu kapan saja."
Paul cuma tertawa. "Carly, kayaknya kita harus
balapan berdua saja."
Carly berdiri. Albert cepat?cepat berkata, "Carly,
jangan biarkan dia memaksamu melakukan apa yang
nggak ingin kamu lakukan. Maksudku ?"
"Nggak apa?apa, kok, Albert," katanya. Dia
mengenakan kaos merahnya, lalu membungkuk dan
mengangkat bukunya.
"Jangan lupa melenturkan otot dulu," kata Paul
sambil mengibas-ngibaskan tangannya dengan
maksud menggoda.
"Terima kasih atas nasihatnya. Aku harus pergi
mengambil sepatu ketsku dulu," katanya saat dia
117 Eric Marse
menginggalkan Paul. Dia berjalan ke ujung dermaga
dan naik ke jalan setapak, tanpa menengok ke bela?
kang.
Paul berbalik dan melihat ke arah Albert. "Ada
yang belum dielesi," katanya sambil menunjuk ke
arah perut Albert. Ketika Albert menunduk untuk
melihatnya, Paul mengarahkan jari telunjuknya ke
wajah Albert. "Kena kamu," katanya. Lalu dia mulai
jogging mengikuti Carly.
Sekarang tinggal tiga anak remaja di dermaga
danau Kristal ini.
"Bagus," keluh Albert. "Aku sendirian lagi seperti
biasa."
"Hei, kami masih ada di sini," protes Kyle.
"Maaf, aku nggak akan pernah ikut bergabung
dengan kalian, tahu nggak?"
Kyle berkata, "Ini saranku sobat, meditasi adalah
jalan keluar untuk masalahmu itu."
"Yah," kata Albert, "tapi jalan keluar untuk
masalah apa dulu? Eh, tapi trim's lho, buat
tawarannya. Cuma kupikir sebaiknya aku pergi ke
kota saja."
Kyle dan Suzanne tampak tercengang. "Kota?"
tanya mereka bersamaan. Lalu keduanya saling
berpandangan dan tertawa.
"Iya, kalian tahu, kan. Kota. Tempat di mana orang
hidup. Aku nggak tahu bagaimana perasaan kalian.
Tapi kalau aku sih, benar?benar merasa kehilangan
kontak dengan kehidupan. Jadi, aku mau nelepon
dulu," Albert lalu mengenakan T-shirt putih
118 Hari Ibu
bertuliskan Computer Club, kepalanya lenyap saat
dia mencoba memasukkannya ke lubang leher Tshirtnya. "Menurut kamu jaraknya nggak jauh, kan?"
tanyanya dari balik T?shirtnya. "Maksudku, nggak
bakal sampai terbakar kulitku kan, atau semacam
itulah?"
"Yah, kecuali kalau kamu selalu kuatir kayak
begitu," Suzanne memberi saran tak langsung sambil
tersenyum.
"Kamu betul," dukung Albert. "Aku juga kuatir
kenapa aku ini terlalu kuatir." Sambil terkekeh pada
candaannya sendiri, dia lalu melangkah
meninggalkan dermaga.
Dan sekarang, tinggal dua remaja yang berada di
dermaga danau Kristal.
"Yah, SIL'Z, sepertinya mereka telah meninggalkan
kita," kata Kyle setelah Albert lenyap dari pandangan.
Suzanne menyenderkan kepalanya di pundak Kyle
dan Kyle meletakkan kepalanya di atas kepala
Suzanne. "Aku lebih suka seperti ini," gumamnya.
"Aku juga."
Kyle mencium rambut panjang Suzanne dan dia
tersenyum. Kyle lalu membalas senyumannya.
Mereka adalah pasangan yang serasi sekali, pikir Kyle.
Kayaknya apa yang dirasakan Suzanne, juga
dirasakannya.
"Oke," kata Suzanne, "yuk, kita mulai." Suzanne
menegakkan kepalanya kembali ke posisi duduk dan
mengatur tubuhnya dalam posisi bunga teratai
dengan punggung menempel persis pada punggung
119 Eric Morse
Kyle. Suzanne merasakan tekanan punggungnya
pada punggung Kyle. Kyle menutup salah satu
lubang hidungnya dengan jempol tangan kanannya.
Begitu juga Suzanne. "Tarik nafas," kata Kyle.
Mereka berdua menarik nafas. "Tahan," katanya
memberi instruksi, sambil menutup kedua lubang
hidungnya.
Mereka berdua menahan nafas, lalu
melepaskannya setelah hitungan ke-lima. Cara
meditasi ini dipelajari Kyle berdasarkan buku Yoganya. Mereka berdua menutup mata dan berkonsentrasi
penuh pada pernafasan mereka. Beberapa saat
kemudian, mereka sudah mampu menahan lebih ,
lama dan dalam hitungan yang lebih banyak.
Melepaskan nafas pun, kini bisa mereka lakukan
lebih lambat. Setelah beberapa menit, Kyle dengan
perlahan sekali membaca 'mantra dengan berkata
"Om" setiap kali dia menghembuskan nafasnya.
Ommmm. Ommmm. Ommnun.
Kyle menarik nafas sangat pelan sampai dia sendiri
nyaris tak bisa membedakan kapan dia menarik nafas
dan kapan saat membuangnya.
Awalnya dia terganggu ketika mendengar suara
cipratan air di danau.
"Pasti ikan," pikirnya.
Atau Boone dan Monique.
Di dalam buku Yoga, dikatakan bahwa saat
bermeditasi, pikiran kita sering melanglang buana.
Bila kita menyadari hal ini, kita harus segera
120 Hari Ibu
memperingatkan diri kita untuk kembali
memfokuskan diri pada mantra.
Kyle segera mengembalikan pikirannya pada
mantranya. Ommmm, pikirnya pada diri sendiri.
Ommmm. Ommmm.
Kyle memang hebat dalam urusan meditasi..Dia
bisa melakukannya lama sekali tanpa memikirkan hal
lain kecuali mantranya. Ommmm. Ommmm.
Omm....
Ada suara percikan lagi, kali ini lebih dekat, terasa
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat mengganggu.
"Pasti ikannya gede!"
Tapi itu cuma gangguan yang lain terhadap
pikirannya.
Dengan segera dia mengingatkan dirinya sendiri
bahwa dia harus mengembalikan pikirannya pada ??
Ommmm. Ommmm. Ommmm.
Satu menit kemudian, Kyle telah memasuki batas
yang biasa disebut batas mistik oleh Kyle dan
Suzanne. Di tahap ini kita seakan lebur dengan diri
sendiri. Semuanya terasa sirna _ seluruh indera
tubuh, seluruh rangsangan jasmani, dan segala
gangguan dari luar. Kyle merasa tak berbobot, ringan.
Merasa dirinya mengambang dan melayang terbang
ke awan biru yang cerah. Dia pikir dia bisa duduk
terus di sini untuk bermeditasi selamanya.
Mungkin saja dia bisa. Sebab dia tak akan
kehilangan konsentrasi lagi. Tak akan pernah. Paling
tidak, sampai si pemburu berhasil memotong
tenggorokannya dari kiri ke kanan.
121 13 A TELEPON TERAKHIR ALBERT
"Ayolah, Carly kamu tahu pepatah bersakit?sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian, kan!"
Paul jogging di tempat, sekitar dua puluh meter
di depan Carly. Dia nyengir usil, memamerkan
senyum mengejek khas miliknya. Lalu dia pun senam
sambil jogging dengan cara mengangkat dengkulnya
tinggi?tinggi. Biasa, pamer kalau tenaganya masih
banyak.
Carly berdiri dengan tangan berjuntai loyo, dan
nafas tersengal?sengal. Carly dapat merasakan tetesan
keringatnya mengalir di sekujur tubuhnya. Dia ingin
sekali memperlihatkan kebolehannya pada Paul.
Akibatnya, dia terlalu memaksakan diri.
"Ayolah," teriak Paul kembali. " Paling tidak kamu
masih harus lari sampai aku berkeringat, dong."
Huh, coba ada pistol. Kalau ada, aku bakal
langsung menembaknya. "Aku ? nyerah," akhirnya
Carly menjawab. "Kamu menang. Kondisi kamu ??
memang hebat."
Hari Ibu
"Cuma ada satu cara untuk bisa begini. Terus berjogging!" Paul menggenjot kakinya ke atas dan ke
bawah dalam kecepatan luar biasa.
Carly tak peduli. Dia berbalik dan mulai terseokseok kembali ke arah perkemahan.
"Kamu perlu diantar?" teriaknya.
"Nggak, trims," jawabnya sambil terus mencoba
berjalan kesakitan. Perlahan tapi pasti, nafasnya mulai
normal kembali; rasa sakit yang menusuk-nusuk
sekujur tubuhnya berubah menjadi debaran yang
lamban. Rasa sakit yang tadi ada di hatinya, juga
sudah berkurang.
Bagaimana dari hari ke hari bisa sangat berbeda,
pikirnya. Kemarin dia masih sangat mendambakan
Boone. Sekarang dia sebal betul padanya. Kemarin
dia tergila-gila setengah mati sama Paul. Hari ini dia .
heran kenapa dia bisa naksir cowok seperti itu. Apa
sih, yang dia lihat pada mahluk cowok yang satu itu?
Yah, jawabnya mudah ditebak. Paul memiliki
tubuh seperti dewa Yunani. Cuma masalahnya, tak
seorang pun begitu memuja Paul kecuali dirinya
sendiri.
Memangnya kenapa kalau keadaannya seperti itu,
Carly sewot sendiri. Toh, hal itu tak menyakiti siapa
pun. ]adi, Carly menganggap dirinyalah yang telah
nekat melakukan petualangan kecil itu. Nekat
mengejar?ngejar Paul! Sekarang dia harus kembali ke
perkemahan, membaca buku novelnya, santai sedikit,
dan tingal di dalam pondok sampai saat sinar
matahari yang membahayakan kulit, berlalu.
123 Eric Morse
Dia tersenyum sambil berjalan. Dengan santai dia
mendorong semak-semak yang menutupi jalan
setapak. Dia merasa tenteram. Kamu lihat, Bu,
katanya perlahan, sama sekali tidak ada yang perlu
dikuatirkan.
Ini pasti kesalahan besar lain yang aku lakukan,
pikir Albert saat dia berjalan tertatih?tatih sepanjang
jalan tanah di hutan. Pen'alanan dari tempat pompa
bensin ke perkemahan sepertinya tak seberapa jauh
ketika mereka naik mobil. Tapi dengan jalan kaki,
tanjakan itu terasa tak ada ujungnya.
Albert basah kuyup karena keringat, di bawah
ketiak, di punggung, di sekeliling lehernya ? yah,
pokoknya di mana?mana. Pahanya yang gemuk
saling bergesekan saat dia berjalan dan sekarang
mulai terasa perih. Kakinya terasa nyeri di dalam
sepatu kets tua yang "menggigit".
Dan yang paling bikin Albert sebel ? nyamuk
yang besar sekali ?yang mendengung di kupingnya
dan bolak?balik menggigit wajahnya.
Dia sangat lelah, dan ingin sekali rasanya untuk
tidur di tengah jalan. Tapi setelah membayangkan
mahluk aneh tiba?tiba muncul dari dalam hutan dan
menggerogoti tubuhnya saat dia tidur, dia menjadi
ketakutan. jadi, dia memaksa dirinya untuk terus
berjalan.
Kemudian dia berbelok di sudut berikutnya dan
dia melihat ujung jalan yang rata. Panas membuat
jalan yang diaspal menjadi abu?abu terang. Albert
124 Hari Ibu
merasa melihat fatamorgana. Dia mengangkat tangannya yang besar dan bersorak. Tempat pompa
bensin itu sekarang tidak jauh lagi jaraknya. Gubuk
Ned yang beratap warna abu?abu, pompa bensin
yang kuno, telepon umum ?? Albert menemukan
semuanya seperti kemarin sore. Benar-benar sepi,
benar?benar seperti tak berpenghuni.
lngat?ingat, jangan sekali-sekali pindah ke desa,
cowok gembrot itu mengatakan pada dirinya sendiri.
Kehidupan di sini seperti kuburan.
Dia melangkah dengan lunglai menuju ke telepon
umum. Dia sangat lelah, tapi juga sangat bangga. Dia
berhasil melakukannya!
Lalu muncullah pikiran yang membuatnya sangat
tertekan. Setelah dia menelepon, dia harus berjalan
kembali ke perkemahan. Yah, barangkali nanti dia
bisa membonceng kendaraan yang lewat. Albert
membuka pintu ke bilik telepon. Pintu masuk yang
terbuat dari kaca menderit.
Lalu dia menjerit kaget.
Rupanya dia cuma memakai celana ketat untuk
berenang. Dan itu berarti dia terpaksa harus kembali
ke pondoknya! Untuk sesaat, Albert berdiri kaku.
Kemudian dengan lemas dia meraba ke dua kantung
celana ketatnya.
Oh, leganya! Oh, senangnya! ? di kantongnya
ternyata ada beberapa uang receh. Dia meraup uang
logam itu, memasukkan ke dalam lubang koin di
kotak telepon, memutar nomor, dan menunggu.
Ibunya menjawab setelah deringan pertama,
125 Eric Murse
seperti dugaannya. Pikiran tentan ibun a an
duduk di samping telepon dengar? perul' mililigt
karena tegang ? cukup untuk membuat perut Albert
1kut-1kutan melilit.
"Selamat hari Ibu," Albert berusaha bemyany'
.dengan suara gembira. "Sehari lebih awal."
Tak ada suara apa-apa.
"Bu?" panggilnya.
"Halo?" terden ar suara i
penuh rasa kuatir. g bunya yang bergeta
"Ini aku, Bu! Ini Albert! Aku baik-baik saja, jangan
kuatir. Ibu betul. Seharusnya aku nggak usah ikut.
Tapi dengar, aku ingin mengucapkan selamat hari ?"
"Halo?" tanyanya lagi. Suara ibunya terdengar
leb1h kuatir dari sebelumnya. "Nggak ada siapasiapa," katanya.
"Tutup saja," Albert mendengar suara ayahnya
yang juga tampak kuatir di dekat ibunya.
"Im pasti salah sambung," kata Bu Harris denga
sangat tegang.
"Sudah, tutup saja!" ulang ayahnya.
Albert berteriak. "Bu! Ini aku! Ada gangguan. Ibu
bisa dengar Suaraku? Bu! Aku menelepon untuk
mengucapkan selamat hari ?"
Ada bunyi klik saat hubungan terputus.
Albert membanting gagang telepon ke tempat
s.angkutannya dengan sekuat tenaga. Namun hal itu
tidak membuat rasa kecewanya sirna. Maka diraihnya
gagang telepon itu dan dibantingnya beberapa kali.
Kacau ? seluruh perjal anan ini berubah jadi kacau
126 Hari Ibu
sekali.
Albert sedikit kesulitan sewaktu mau keluar dari
bilik telepon, dan itu membuatnya semakin marah.
Dia meraung marah, saat dia berhasil terlepas dari
bilik telepon itu.
Lalu dia melihat sesuatu.
Di atas bukit, di rumah Vamer, cerobong asap yang
mencuat di antara pohon-pohon mengeluarkan
gumpalan abu-abu. Gumpalan asap itu membentuk
jari yang dibengkokkan, seakan memberi isyarat
padanya untuk datang ke sana.
Vamer ada di rumah.
Orang itu rupanya cuma kadang-kadang
mengurus pompa bensinnya, pikir Albert kesal. Kalau
Varner ada di sini, Albert tentunya bisa pinjam
telepon yang ada di dalam toko. Sekarang dia harus
merayap ke atas bukit itu.
Naik bukit? Membayangkannya saja membuat
kaki Albert lemas. Tapi kembali berjalan ke
perkemahan tanpa berhasil menelepon ibunya ??
menurutnya lebih buruk. Tujuannya berjalan jauh ke
sini cuma untuk memastikan agar ibunya tak perlu
kuatir. Tapi setelah teleponnya yang gagal tadi,
1bunya mimgkin sekarang semakin kuatir.
Ternyata cukup mudah mencari jalan setapak ke
belakang pondok Ned. Meskipun ternyata memang
cukup menanjak juga. Pada saat Albert kembali
berhasil ke luar dari hutan dan tiba di puncak bukit,
Albert menarik nafas dalam?dalam lewat mulutnya.
I ega.
127 E n'c Morse
Dia berdiri di depan rumah bercat putih denga
teras yang ditutupi kaca di tiga sisi. Di teras depa
ada dua kursi, ada ayunan dan ada kursi goyang.
Saat dia mendekat, dia bisa melihat tumpukan alat
rajut tergeletak di dasar kursi goyang. Hal it '
membangkitkan ingatannya. Sekilas dia ingat Vamer
pernah bilang tentang ibunya.
"Halo?" sapa Albert. Tiba?tiba dia merasa kuatir:
Sekalipun asap keluar dari cerobong, rumah in'
terlihat sangat menyeramkan. Tanpa penghuni.
]endelanya gelap seperti ron a mata koso
tengkorak. 88 ng Pada
"Halo?"
Hal yang terakhir kali ingin dilakukan Albert
adalah mengejutkan Vamer. Tapi mungkin saja
keblasaan gila orang?orang di sini adalah seharian
penuh menjaga tanahnya_dengan senapan besar di
sampingnya.
Dengan susah payah, Albert memaksa kakinya
yang gemuk untuk melangkah, dan dia mulai
melewati lapangan rumput. Albert yakin ada yan
nggak beres dengan tempat ini. Tapi apa?
Cuma bayangannya sendiri yang berlebihan,
katanya pada dirinya sendiri.
"Halo?"
Dia meletakkan salah satu sepatu ketsnya di tangga
pertama menuju ke serambi. Bagaimana kalau orang
1tu memiliki ajing penjaga jenis Doberman atau?
bmatang buas yang lain? Dan, orang itu tak pernah
memberi makan binatang penjaga itu?
128 Hari Ibu
"Saya Albert Harris, Pak Varner. Halo? Anda tahu,
saya adalah salah satu anak?anak yang kemarin sore
mampir? Kalau boleh, saya ingin meminjam telepon
Anda."
Tak ada jawaban. Rumah itu terasa menatapnya
lekat?lekat; seakan?akan mengancam dirinya agar
tidak mendekatinya, biar satu langkah sekalipun ?
Albert mengetuk pintu berlapis kawat nyamuk di
depan teras. Sekarang dia bisa melihat ada sebuah
bel pintu, tapi letaknya di pintu kayu di dalam teras.
Dia segan memasuki rumah orang tanpa ijin. Dia
berharap ?? dan berdoa ? semoga Pak Vamer bisa
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar ketukannya.
Albert menunggu. Dan menunggu. Tak ada orang
yang keluar. Akhirnya dia membuka pintu teras.
Pintu itu berderik keras seperti suara monster. Dia
berjalan selangkah demi selangkah melewati teras
yang berlantai kayu yang tampaknya baru saja dipel.
Ada tirai berenda putih tergantung di pintu depan
yang membuatnya sulit untuk melihat ke dalam.
Albert yakin ini semua berkat sentuhan ibunya
Varner. Vamer sendiri jelas bukan tampang orang
yang suka memasang tirai. Albert menekan bel pintu.
Tak ada reaksi ? tak ada suara, tak ada apa?apa.
Albert mengetuk lagi dan mencoba mengintip
melalui tirai ke dalam rumah. Lalu, setelah dia
mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia bukanlah
pengecut, dia mencoba membuka pintu.
Pintunya terbuka. "Halo? Pak Vamer?"
Rumah itu terlihat bersih dan nyaman. Tak mewah,
129 Eric Marse
tapi terpelihara baik. Betul-betul tak ada debu setitik
pun. Dari tempat Albert berdiri dia dapat melihat
ruang tamu dengan jelas. Tapi dia tak melihat telepon.
Dia juga bisa melihat gang terbuka menuju dapur.
Barangkali teleponnya ada di sana.
"Pak Varner?"
Albert kembali basah kuyup karena keringat, tapi
kali ini keringatnya lain dengan keringat saat dia
mendaki ke atas sini. Yang ini ? keringat dingin.
Barangkali Vamer pergi mancing atau urusan lain.
Lalu Albert bisa memakai telepon dan pergi sebelum
Varner pulang. Ingat, kalau dia tidak menelepon kali
ini, katanya mengingatkan dirinya'sendin', ibunya
akan sakit karena kuatir.
Dengan membiarkan pintu depan terbuka, Albert
mulai menuju ke dapur. Dia melewati tangga kayu
yang lebar. Kayaknya tak ada orang di ruang atas.
Dia melewati gang menuju dapur. Semakin masuk
ke dalam semakin jelas terlihat ruangan yang ada di
dalam. Pertama dia melihat kompor putih kuno,
kompor berkaki, lalu sebuah lemari es besar, model
tahun lima puluhan yang pernah dia lihat di film?
film lama. Lalu terlihat hiasan rajutan yang menempel
di dinding bertuliskan: Rumah yang bersih adalah rumah
yang membanggakan.
Dan kemudian, saat dia maju satu langkah ke
dalam, dia dapat melihat meja dapur yang terbuat
dari kayu.
Dia melangkah lagi.
Sekarang dia melihat kursi kayu reyot, yang
130 Hari Ibu
kosong.
Kursi ke dua. Kosong. .
Lalu dia pun sudah tiba di dapur, dan d1a
berhadapan dengan kursi ketiga yang merupakan
kursi terakhir.
Tiba-tiba dia nyaris terlompat ke belakang..
Sebab yang duduk di kursi itu adalah ? 1bunya
Varner yang tua dan baik hati itu. Wajahnyonya
Varner bengkak dan tubuhnya tampak d1balsem.
Tubuh itu mengenakan baju hitam model kuno
lengkap dengan celemek putih. Matanya yang kosong
menatap lekat langsung ke arah Albert.
Albert merasa seperti kena setrum listrik. Seluruh
tubuhnya bergetar kuat. Lidahnya kaku. Matanya
mendelik. Dengan gugup, dia mulai mundur ke arah
pintu.
Ketika itulah dia mendengar ?
Ned Vamer berteriak dari salah satu bagian di
dalam rumah. "Yah, kamu betul, Ibu. Kamu memang
harus menyimpan resep kue Tool House. Bagaimana
menurutmu? Akan kukatakan apa yang akan kulaku?
kan. Akan kugunting resep itu dari koran dan nanti
kamu bisa menempelkannya di buku kumpulan
resep." _
Albert berbalik dan berlari kencang ke luar dari
dapur. Inilah lari tercepat yang pernah dilakukannya
sepanjang hidupnya.
Dia tidak bisa pergi jauh.
Ned Vamer berdiri menghalangi di depan pintu.
Orang itu memakai baju kerja yang sama sepert1
131 Eru: Murse
kemarin, dengan ekspresi bego yang terpancar di
wajahnya yang berbentuk persegi. Salah satu tangannya memegang koran. Tangannya yang lain,
memegang gunting rumput besar dengan posisi
terbuka seperti siap menggunting.
"Emm, A...a...aku tidak melihat apa-apa!" teriak
Albert. "M...m...maksudku...aku melihat... tapi aku
nggak peduli sama apa yang kulihat. Apa yang kamu
lakukan, adalah urusarunu "
Ned Varner menghentakkan bilah gunting itu
sampai tertutup. Pada saat yang sama, Albert
menutup mulutnya juga. Dia mengamati ? dengan
seksama ? saat Vamer meletakkan koran, dengan
sangat berhati?hati pada meja kayu kecil yang ada di
dekat pintu. Lalu Varner mengusap rambut
pendeknya dua kali dengan tangan yang tidak sedang
memegang gunting.
Lalu dia mengangkat guntingnya dan ?
menyerang.
Sambil berteriak, Albert berbalik dan lari. Dia
berlari ke jalan satu-satunya yang dapat dia temui.
Kembali ke gang menuju ke dapur. Dia menatap
sekeliling ruangan dengan nanar. Dapur itu tidak
memiliki pintu ? tempat ini buntu!
Vamer menguntitnya melalui gang menuju dapur,
guntingnya diangkat tinggi di atas kepalanya. Albert
menghindar mengitari meja. Tapi Vamer dengan
kasar menyingkirkan meja itu ke samping.
Maka tinggalah Albert dengan satu?satunya alat
pelindung yang ada. Dia pun nekat menarik tubuh
132 Hari Ibu
ibu Varner yang membusuk. Dan saat Varner
menghujamkan gunting itu, Albert mengangkat
tubuh ibunya. Gunting itu menghujam tepat d1
kening ibu Vamer.
Vamer menjerit, tangisan pilu terdengar sangat
menyayat hati. Albert juga menjerit, karena alasan
lain.
Vamer kalap, dan menatap gunting yang ada di
tangannya, kaget dengan apa yang baru sa|a
dilakukannya. ' .
Lalu, tanpa pikir panjang, Albert berlarl maju, tepat
ke arah Vamer. Karena terkejut, Vamer hanya punya
waktu untuk mengangkat tangannya ke arah benda
yang menerjangnya. Sambil menutup matanya,
Albert menubruk lelaki itu sekuat tenaga. Mereka
berdua terjatuh, dan gunting di tangan Varner
terlempar . _
Tak ada gunanya Albert berdiam terus di sana atau
mencoba mengambil gunting itu sebelum dlambll
Vamer. Maka dia segera mengangkat kakinya dan
berusaha untuk kabur.
Dia menabrak pintu depan, pintu teras dan
melompati tangga yang ada. Dia tidak berhent1
berlari, tidak untuk sesaat pun, menuju ke bawah
bukit. Dia sempat berguling?g'uling, karena tergelincir
dua kali. .
Dia tidak menengok ke belakang untuk mellhat
apakah Vamer mengejarnya atau tidak. Dia merasa
itu tak perlu. Dia sudah bisa mendengar suara
teriakan Vamer di belakangnya.
133 Eric Morse
Ya, Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan? itulah yang ada
di pikiran Albert saat dia berlari. Tapi kemudian ?
Telepon umum! Dia tiba?tiba ingat saat dia sudah
di kaki bukit. Telepon itu tidak bekerja saat dia
menelepon ibun'ya. Tapi mungkin sekarang sudah
bekerja dan dia bisa menelepon 911, telepon untuk
keadaan darurat.
Sepanjang hidupnya, Albert sudah meyakinkan
dirinya sendiri bahwa bila dalam keadaaan darurat,
dia harus segera menelepon 911. Yah, akhirnya
keadaan darurat sekarang ini terjadi. Tapi saat dia
berada di antara pondok Vamer dan pompa bensin,
Albert menyadari kalau telepon 911 itu tak bisa
membantunya saat ini.
Alasan pertama, hal itu hanya akan memperlambat
larinya dan itu berarti membiarkan Varner
menyusulnya. Alasan lain, pos polisi mungkin sangat
jauh dari tempat dia berada sekarang.
Tidak. Kalau dia menelepon 911, itu mungkin
telepon terakhirnya.
Albert sampai di atas jalan bersemen, berbelok ke
kanan dan terus berlari.
Satu?satunya harapan Albert, katanya pada dirinya
sendiri, adalah segera sampai ke perkemahan di mana
teman?temanhya sedang menunggu. Paling tidak,
kalau ada banyak orang kita bisa merasa lebih aman.
134 14 A BERSAKI T -SAKI T DAHUL U
BERSENAN G-SENAN G
KEMUDIAN
Masih berlari kencang, Paul Sexton mengangkat
pergelangan tangannya yang berkeringat dan meliuk .
sekilas pada jam merah digital merek Iron Man: lm _
adalah jam khusus untuk para olahragawan. _Sejauh
ini dia sedang berusaha berlari dengan target jarak 5
kilometer. Sekarang dia telah menyelesaikan jaraktiga
kilo. Otot?otot tubuhnya terasa menjerit m1nta
berhenti. _
Tetapi Paul tidak mau berhenti, 1tu bukan gaya
Paul Sexton. Tubuhnya boleh mengeluh sesukanya:
Tapi dialah yang menentukan berhenti atau berlan
terus. _
Kemauannya yang keras seperti itulah yang
membuatnya hebat seperti keadaannya sekarang ini.
Itu sebabnya setiap pelatih yang pernah d1ternumya
selalu mengatakan bahwa dia berpoten51 untuk
menjadi pelari profesional. Masa depan akan
Eric Marse
tergambar jelas baginya dengan sederetan gelar
seperti Juara Amerika, juara Pro, Juara...
Di tali celana pendek khusus olah raga bermerek
E_verlast, tersangkut speedometer kecil berwarna
h1tam yang mengukur jarak tempuh larinya. Saat
angka ke tiga dari speedometernya mulai berputar,
dlgantikan dengan angka empat. Paul mulai
menyelesaikan jarak lari terakhir. Dia segera
mengayuhkan kakinya sehingga membuat debu di
jalan tanah beterbangan. Dia mengerang saat berlari.
Tap1 meskipun begitu, dia berupaya untuk lari
semakin cepat dan semakin cepat.
Di dalam pikirannya, dia membayangkan sedang
bertarung lari dengan Carly untuk memperebutkan
medali emas. Lalu meninggalkannya dalam selubung
gumpalan debu. Rasakanlah, Carly!
Dia belum pernah ditolak oleh seoran ad'
Belum pernah. 1% g IS.
Dia berlari sekuat tenaga.. '
Sok primadona sekali si Carly ini. Paul telah
menghabiskan semalaman untuk Carly, semalaman
yang sebetulnya bisa dia lalui dengan cewek Perancis
keell yang menarik, Monique. Yah, untunglah dia
punya waktu untuk melakukannya dengan Monique
nanti malam. Bakal asyiklah.
Erangan Paul berubah menjadi pekikan saat dia
mengangkat kedua tangannya dengan penuh
kemenangan dan melewati garis finis dalam
unajlnasinya. Lengkap dengan gaya seakan sedang
menerima sorakan meriah dari penonton yang juga
136 Hari Ibu
hanya ada dalam imajinasinya.
Dia berlari-lari kecil sebelum berhenti, nyaris
ambruk ke tanah. Dia mencoba memaksa dirinya
untuk tetap berjalan, tapi setiap tarikan nafasnya
terasa begitu sakit di dada. Seperti ada yang
menusuk?nusuk.
Wah, kali ini dia benar?benar telah terlalu
memaksa dirinya. Dia tersenyum bangga ? sekalipun
yang telihat lebih mirip orang menyeringai. Dia
terkena perasaan ge?er, karena menganggap dirinya
telah berlatih dengan sempurna sekali. Tak ada lagi
kekuatan sedikit pun tersisa dalam tubuhnya. Seakan
dia telah menguras habis tenaganya.
Dia menemukan jalan setapak menuju
perkemahan kembali dan dia berbelok, sambil agak
terhuyung. Semak belukar, dedaunan yang lembab
dan pohon?pohon merambat di. sepanjang jalan terasa
menyentuhnya, menamparnya, dan mencakarnya
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti para fans yang marah, yang ingin mencabikcabik dirinya.
Dia berjalan terus dengan terhuyung?huyung. Ada
suara gaduh menakutkan dan penuh kedengkian
berkumandang di udara. Cuma suara binatang,
katanya pada dirinya sendiri.
Dia baru saja pergi beberapa meter, berbelok-belok
di hutan yang lebat, saat dia mendengar suara jejak
kaki bergemerisik menginjak semak di belakangnya.
Dia berhenti, bersandar di pohon, masih lorongahengah setengah mati. "Siapa di situ?" Dia berusaha
untuk memanggil. "Boone, ya?"
1.17 Eric Morse
Tak ada jawaban.
Suara langkah kaki terus mendekatinya.
Paul merasa tegang. Sekarang dia telah benar?
benar berhenti melangkah, beristirahat seperti ini
terasa begitu nikmat. Setiap detik berlalu, tubuhnya
terasa semakin lemah. "Halllooo," katanya berteriak,
tapi tidak sekeras yang diinginkannya. ]antungnya
terasa berhenti berdetak.
Dan kemudian, seseorang menyibak semak hijau
yang tebal dan muncul di hadapannya. Orang itu
bertubuh tinggi, memakai baju samaran dan
memakai sepatu but yang berat. Wajahnya ditutupi
sebuah topeng hoki. Hanya mata hitam yang
mengerikan yang terlihat. Orang itu membawa kotak
kardus. Dia juga mengarahkan senapan dua laras
tepat ke'arah Paul.
Meskipun letih setengah mati, Paul masih bisa
merasakan kengerian yang luar biasa. Sambil
berteriak, dia segera menghentakkan dirinya dari
pohon dan berlari.
Tubuh Paul terasa sakit, rasa kram di otot?ototnya,
rasa perih seperti tertusuk?tusuk di kakinya, rasa
nyeri karena kelelahan di jantungnya, semuanya
muncul seketika. Rasanya dua kali lebih menyiksa
daripada yang dia rasakan sehabis berolah raga. Dia
jatuh. Dia berusaha berdiri dan berlari lagi. Tapi dia
kembali jatuh.
Di belakangnya, orang yang bertopeng itu sama
sekali tidak ikut-ikutan berlari. Dia tak pernah
terburu?buru, tapi juga tak pernah memperlambat
138 Hari Ibu
langkahnya. Irama langkahnya tetap dan pasti
langsung ke arahnya.
Saat Paul terjatuh untuk ketiga kalinya, dia sangat
yakin usahanya bakalan sia-sia. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Paul Sexton bakal kalah dalam
pertandingan lari.
Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan ? kata-kata itu
diucapkan Albert berulang?ulang seperti mantera?
mantera yang diucapkan Kyle.
Dia masih berlari. Dia belum berhenti sedetik pun
sejak dia meninggalkan tempat pompa bensin. Yah,
dia telah berlari terus-menerus. Tetapi setiap kali dia
mengurangi kecepatan larinya, dia mendengar Vamer
di kejauhan, mengikutinya. Akibatnya dia
memaksakan diri untuk berlari lebih cepat.
Albert telah meninggalkan jalan tanah, dia sempat
berpikir tentang kemungkinan dia tersesat di hutan.
Tapi itu kemungkinan yang paling buruk, katanya
pada dirinya sendiri. Penduduk desa itu mungkin
tahu setiap jalan setapak, setiap batu karang, setiap
bagian hu tan yang lebat ini. Albert akhimya tak yakin
lagi ke arah mana dia menuju. ]angan?jangan dia
menuju ke rumah Vamer lagi! _ _
Dia tak sanggup menanggung pikiran seperti 1tu.
Dia berteriak pada dirinya sendiri untuk berlari lebih
cepat, lebih cepat! Selama ini telah banyak pelatih
yang berteriak padanya. Ayo, gendut, jangan lamban!
Goyang dong, buntalan lemakmu itu, Harris! I).
teriakan sejenisnya. Dia benar-bvnar lu-Iinn pernah
! ' Eric Morse
bertemu guru olah raga yang tidak dibencinya. Tapi
sekarang dia menemukan guru olah raga yang betulbetul mengerikan. Pelatih dengan sebuah gunting
rumput sepanjang lima belas senti. Pelatih yang mau
menghukumnya 'karena berbadan gendut ? dengan
hukuman mati.
Dia terus berlari, sampai tiba di hutan yang agak
lapang.
Ya Tuhan ya Tuhan ? ibunya benar. Dia mengatakan
pada Albert untuk tidak pergi ke tempat seperti ini.
Dia mengatakan padanya, dia telah mengatakan
padanya, dia benar?benar telah mengatakan padanya.
Nah, Albert, kamu tak mau mendengar, bukan? Ya,
kamu memang tidak pernah mau mendengar. Dan
sekarang kamu akan mati untuk ?
Kaki Albert yang kiri terperosok ke dalam lubang,
mata kakinya terputar dan terkilir. Anak laki?laki ini
tersandung dan tersungkur, kepalanya terbentur
pohon sampai menimbulkan suara keras.
Pandangannya berbintang?bintang. Dia tak yakin
apakah dia pingsan atau tidak. Tapi dia kemudian
ingat sedang berada di mana. Dan apa yang akan
terjadi padanya bila dia tetap diam di sana. Dia
menggelengkan kepalanya dan dengan putus asa dia
mencoba untuk berdiri, seperti seorang petinju yang
jatuh KO. dan berusaha berdiri sebelum hitungan ke
sepuluh.
Ketika berdiri, dia melihat sepintas bayangan apa
yang telah membuatnya tersandung. Beberapa
langkah darinya, sebuah batu nisan putih mencuat
140 Hari Ibu
dari dalam tanah. Di depan batu itu ada sebuah
lubang yang telah digali. Dia tak punya waktu untuk
memikirkan tentang apa arti dari semua itu. Di antara
pepohonan, dia dapat melihat baju kerja Vamer yang
berwarna biru sekilas memasuki daerah tempat dia
terjatuh.
Albert mulai berjalan lagi dengan kaki timpang.
Mata kakinya terasa patah. Dia tak bisa lagi berlari.
Tak ada gunanya. Sekarang dia mulai terisak-isak,
pasti dia akan mati. Albert berlutut untuk meraih
beberapa batu. Dia menunggu sampai Vamer berjarak
sekitar sepuluh meter. Lalu dia melemparkan batu
yang pertama sekeraSvkerasnya.
Ba tu itu tidak mengenai Vamer. Batu itu mengenai
pohon cemara kira?kira lima meter di sebelah kanan
Vamer. Tapi Vamer tampak terkejut. Dan dia berhenti
mendekati Albert. Dia tetap berdiri di sana, tampak
jelas sedang mengira-ngira situasi.
"Sudah kubilang! " teriak Albert. "Sudah kubilang,
aku tidak peduli dengan apa yang kamu"? dia melempar
batu yang lain, dan tak kena ? "apa yang kamu lakukan
di rumahmu. Tolonglah! ]rmgnn ganggu aku! Aku janji
tak akan mengatakan sepatah kata pun! "
Saat dia melempar lebih banyak batu, yang
semuanya jatuh jauh dari sasarannya, mulut Vamer
temganga lebar. Sepertinya dia tidak dapat percaya
kalau Albert punya keberanian untuk melawannya.
Dan kemudian, dan tak lama kemudian, sadarlah
Albert kalau Vamer bukan melihat pada dirinya. Dia
melihat kepada sesuatu yang ada di belakang dirinya.
141 E ric Morse
Dan itu berarti apapun yang membuat Vamer
temganga seperti itu, datangnya dari belakang
Albert.
Albert menengok perlahan-lahan, menduga kalau
hal ini cuma sejenis tipuan.
Ternyata dia melihat seseorang yang mengenakan
topeng hoki berwarna putih.
Pada saat yang sama ?
Orang yang bertopeng itu terlihat meninju Albert
tepat di perutnya. Itulah yang dirasakan olehnya.
Sebuah bunyi "buk", seperti saat anak bandel meninju
Albert di perutnya sewaktu di sekolah.
Hanya saja, kali ini orang bertopeng itu menarik
kembali tangannya. Dan Albert melihat apa yang
sedang dipegang orang itu. Sebuah pisau berburu
yang panjang, basah dan berlumur warna merah.
Darah Albert.
Dan kemudian orang bertopeng itu sekali lagi
meninjunya, lebih tepat ? menusuknya!
142 15 A KEGEMBIRAAN DI BAWAH
SINAR AIATAHARI
Laki-laki bertopeng itu mengelap tangannya yang
penuh darah dengan celana samarannya yang
berwarna hijau.
"Kerja bagus," suara itu tertuju padanya. "Tapi
masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
Lelaki itu mengangguk. Dia melihat ke sekeliling
tempat yang lapang itu, lalu dengan hati-hati
mengangkat kotak kardus abu-abu dan meletakannya
di dalam lubang sebatang pohon yang ada di
dekatnya. Dia harus menyimpannya dulu. Nanti, dia
akan kembali lagi untuk mengambilnya. Saat ini,
tangannya harus bisa bergerak bebas.
"Asyik, kan?" tanya Boone saat dia mengayuh
perahu.
Monique menjawabnya dengan memonyongkan
bibirnya, sehingga lesung pipitnya tampak jelas.
Sepanjang akhir pekan ini Monique menbuat Boone
tergila-gila padanya karena monyongan bibirnya dan
Eric Morse
lesung pipitnya.
"Jangan bilang kalau mau berkeluh?kesah lagi,
Monique. Toh, akulah yang repot mengayuh. Kamu
tinggal enak?enakan saja."
"Aku bosan," keluh Monique sambil melipat
tangannya di dada. "Kita sudah berperahu berjamjam. Tuh, lihat. Kayaknya hari udah mau gelap."
"iya," kata Boone meniru gaya bicara Monique.
"Kayaknya hari udah mau gelap."
"Nggak lucu."
"Maaf, deh."
Boone terus mendayung. Di danau itu ada
keheningan yang dalam dan mempesona. Untuk
beberapa saat, Boone menguatirkan apa yang sedang
dilakukan teman?temannya yang lain. Dia sempat
mendengar teriakan dan jeritan dari hutan sekitar
empat jam yang lalu, tetapi setelah itu tak terdengar
apa-apa lagi. Sesungguhnya, dia tak begitu peduli
dengan apa yang sedang mereka lakukan, atau
bagaimana mereka menghibur dirinya masing?
masing. Sebab dia sendiri sudah tahu betul
bagaimana cara dia menghibur dirinya sendiri
beberapa saat lagi. Dia tersenyum pada Monique.
"Aku bosan, nih," ulang Monique.
Dia bosan, kata Boone pada dirinya sendiri sambil
mendesah. Nah, dia tahu persis apa yang dapat
membangkitkan gairah. Dia menjatuhkan dayungnya
ke dasar perahu dan mulai menggoyang-goyangkan
perahu ke depan dan ke belakang dengan kedua
tangannya.
144 Hari Ibu
"Berhenti!" Monique menjerit ketakutan. Boone
berhenti, tapi dia tak dapat berhenti tersenyum.
Monique memang cewek yang manja, dia mudah
sekali ngambek.
"Aku bosan sama danau ini dan aku juga bosan
naik perahu ini," tutur Monique. "Aku mau mandi
berendam dengan air hangat, membersihkan kuku,
kerams dan dipijat."
Dengan berhati?hati karena harus menjaga
keseimbangan perahu, Boone merayap mendekati
Monique yang ada di ujung. "Pijat?" tanyanya.
Dengan meniru suara Groucho Marx, penyanyi yang
bersuara serak-serak basah. Lalu dia menambahkan,
"Kamu telah mengucapkan sandi rahasia."
Dia terus mendekatinya sampai dia berlutut di
sebelah kanan perahu, pas di depan Monique duduk.
Dan kemudian dia memiringkan tubuhnya ke depan
sampai wajahnya tinggal beberapa senti dari muka
Monique. Wajah Monique yang bengong masih mem?
perlihatkan ekspresi bosan. Lalu dia menggoyangkan
kembali perahu itu? dengan keras. Tangan Monique
otomatis menjulur dan memeluk leher Boone, untuk
menahan dirinya.
Dan kemudian Boone telah menciumnya, dan ya
ampun, nikmat rasanya. Bibirnya terasa lebih berisi
dan lembut dari yang dia bayangkan. Setidaknya
mereka merasakan lembutnya berciuman itu sampai
ketika perahu itu bergoncang dan mulut mereka
berbenturan keras. Boone merasa bibirnya lvrgigil
oleh giginya sendiri.
145 E ric Morse
Boone menarik kembali kepalanya dan tertawa.
"Wauw," katanya. "Kamu suka yang agak kasar, ya?"
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boone menjilat bibirnya yang terluka dan merasakan
cairan darahnya sendiri. "Kamu ini apa, sih?"
Drakula, ya?" .
Monique meringis. "Kamu pantas kena gigit
seperti itu. Kamu sih, main paksa aja."
Boone tertawa keras. "Aku tukang paksa?"
"Kamu tahu maksudku, kan."
"Betul. Kayaknya kamu memang nggak mau
dicium."
Monique memejamkan matanya yang berbulu
panjang. "Aku nggak bilang begitu."
"Bagus." Boone menciumnya lagi, dan kali ini
perahunya seperti mau diajak kerja sama. Jadi,
ciuman mereka berlangsung lama dan mesra.
"Kenapa kita nggak tiduran saja di dasar perahu?"
tanya Boone dengan suara serak.
Monique melihat ke dasar perahu. Kayu tua,
berlumut danbasah karena genangan air. "Tempatnya
kotor," kata Monique sambil mendengus.
"Jadi?" Boone mengerling. "Aku juga kotor."
Monique terus mengerutkan dahi. "Aku nggak
ingin mengotori baju renangku."
"Pikiran yang bagus," kata Boone. "Kita buka saja
semua bajumu."
"Jangan."
"Ayolah." Boone mencoba menariknya perlahan
ke arahnya. "Rasanya bakal asyik, deh. Ayolah."
Boone tak mau memelas dan memohon, tapi Monique
146 Hari Ibu
telah membuatnya penasaran. "Ini bakalan hebat. Kita
akan terapung-apung terbawa arus sementara kita
melakukannya."
Monique mengangkat salah satu alisnya.
"Melakukan apa?"
"Coba aja tebak."
"0, aku nggak mau melakukan hal seperti itu."
"Betul?" tanya Boone dengan senyum dipaksakan.
"Aku nggak mau."
"Kita lihat saja nanti."
"Lihat saja."
"Kita buang-buang waktu," kata Boone, suaranya
terdengar mulai kesal.
"Memangnya siapa yang lagi terburu?buru?"
"Aku," Boone mengaku sambil tertawa ringan.
"Seluruh tubuhku mulai sakit."
"Aku menyukaimu, Boone," kata Monique dengan
nada menyerah. "Aku nggak perduli apakah kamu
seganteng Tom Cruise atau nggak. Tapi yang pasti,
aku nggak mau tiduran di tempat berlendir dan kotor
itu." Dia mengibaskan salah satu jarinya di depan
wajah Boone. "Sudah kubilang, kamu seharusnya
membawaku ke tempat yang terkenal kalau kamu
ingin menaklukkan aku."
Tempat terkenal, pikir Boone tersinggung.
Memangnya dia sanggup menanggung ongkos pergi
ke tempat seperti itu. "Monique," katanya, "ini tuu || mt
yang paling indah yang bisa kudapatkan."
Tiba?tiba dia berdiri. Dia merangkul Mnniqlu: : Inn
menariknya ke atas. Perahu itu lwmnyang !. n'." t..l
H? E ric Morse
Boone mencoba menarik Monique ke bawah, ke dasar
perahu.
Boone tahu, banyak gadis menyukainya bila dia
menjatuhkan diri bersamaan seperti itu. Dengan
begitu, mereka bisa mengatakan pada diri mereka
masing-masing, bahwa semua itu tak sengaja terjadi.
Tapi Monique meronta dan niat Boone yang tadinya
cuma untuk membujuk berubah menjadi adu gulat.
Dan perahu itu tampaknya akan terbalik.
"Aku bilang nggak mau!" teriak Monique.
"Monique ? perahunya!"
Terlambat sudah. Sekarang Boone memegangi
Monique bukan karena gairah tapi karena mencoba
menahan keseimbangan dirinya.
Dan sesaat kemudian perahu itu oleng dengan
dahsyat, dan Boone terlempar ke luar.
Monique duduk sambil berpegangan pada
pinggiran kayu. Dia tertawa'dengan gembira. Boone
menyiprati Monique dengan gencar. Air
membasahinya, tapi dia terus tertawa dan makin
keras; Untuk pertama kalinya setelah berjam-jam dia
merasa tidak bosan. Perahu itu tenang kembali. Dia
menunggu Boone muncul ke permukaan air.
Boone tidak muncul?muncul.
"Boone?" Dia mulai agak cemas, tapi dia yakin
Boone baik-baik saja. Dia tahu Boone mau
mempermainkan dirinya. Boone memang kayak anak
kecil. Dia cowok paling besar di sini, tapi itu jika
dilihat dari umurnya saja. Kalau dari kedewasaan,
Boone kayaknya lebih pantas jadi anak umur enam
148 Hari Ibu
tahunan.
"Boone?"
Sekalipun dia tahu Boone mau mempermainkannya, namun apa yang dilakukan Boone sudah
kelewatan. Ngomong-n'gomong, berapa lama sih, dia
bisa menahan nafas di dalam air? Oh, dia benci
diganggu seperti ini. Benci, benci, benci sekali! Dia
memiringkan tubuhnya sejauh mungkin dari perahu,
untuk mengamati permukaan danau Kristal yang
gelap.
"Boone! " jerit'nya.
Dan kemudian, dengan tiba?tiba, dia muncul
dengan cepat dari bawah air di bawah Monique. Dia
meraih leher Monique dan mencoba menariknya
keluar dari perahu.
Monique mencoba untuk melepaskan tangan
Boone. Tapi sekarang tangannya yang lain
menjambak rambut berombaknya yang panjang dan
menarik kepalanya ke bawah. Apakah dia sudah gila?
Kenapa dia begitu kasar?
Kepalanya dibenturkan dengan keras ke lambung
perahu. Dibenturkan lagi. Dan dalam kebingungan
atas kekejaman yang dialaminya itu, Monique untuk
pertama kalinya melihat bahwa orang itu sama sekali
bukan Boone. Orang itu lebih besar dan memakai
topeng hoki berwarna putih yang menutupi
wajahnya. Dan sekarang tangan orang itu terangkat
ke atas. Lalu tangan itu turun ? turun dan turun
terus.
Sesaat kemudian ?
149 *_t?U?v?m
- .. ___,?
- E ric Morse
Boone muncul di sisi lain dari perahu itu sambil
berteriak, "Kejutan!"
Dia berharap Monique akan menjerit. Dia berharap
perahu itu akan oleng akibat berat badannya. Tapi
tak ada satupun yang terjadi. Memang perahunya
agak oleng, tapi tidak sampai terbalik, sebab perahu
itu dengan segera bisa kembali ke posisinya.
Cewek Perancis yang cantik itu tampak sedang
membungkuk di ujung perahu di seberangnya.
Dayung ada di dekat kakinya. "Monique?"
Dia tidak menjawab. Mau membalas, pikirnya. Dia
menyukai hal itu ? dia suka sama cewek yang juga
suka mengganggu orang.
Dia mulai berjalan dengan merayap ke arah ujung
perahu itu. "Monique?"
Saat itulah dia melihat darah menetes ke air dan
ke dasar perahu.
Warna merah dengan cepat menyebar ke arahnya,
seakan darah itu mau menangkapnya.
"Monique!" Dia melangkah maju secepatnya.
Boone hampir berada di atasnya ketika dia terdiam
kaku. Baju Monique sobek dan basah oleh darah.
Boone tak punya bayangan siapa yang telah
melakukan hal ini. Tapi dalam waktu sepersekian
detik, secara naluriah dia menyadari bahwa dia akan
menjadi korban selanjutnya.
Dia mengambil dayung dari dasar perahu dan
berdiri tegak. Dia melakukan hal itu tepat pada
waktunya. Sebab saat itu juga si pemburu
menyerang kembali.
150 Hari Ibu
Boone mengayunkan dayung itu dengan sekuat
tenaga.
Di lapangan olah raga, ini adalah ayunan yang
dapat menghasilkan home run atau strikeout. Kali ini
dayung itu mengenai si pemburu tepat di bawah
topengnya ?? dan tepat di lehernya.
151 16 SENJA MENCEKAM
Hari sudah terlalu gelap untuk bisa membaca.
Carly menandai halaman terakhir yang dibacanya
dengan pembatas buku dari kulit yang dibeli ibunya
saat membeli buku novel itu. Dari Perpustakaan Carly
McDonnell yang Sangat Istimewa, begitu tertulis di atas
pembatas buku itu dengan tinta emas.
Ibu terlalu kuno, tapi Carly tidak keberatan.
Memang aneh. Sekarang, saat berjarak ratusan kilo?
meter dari ibunya, dia justru merasa lebih dekat
dengan ibunya. Jelas, ibunya terlalu melindunginya.
Tapi hal itu cuma karena cintanya pada Carly yang
begitu besar. Bagaimanapun, untuk mengatasi hal
ini tergantung sepenuhnya pada Carly sendiri.
Carly berjalan ke luar dengan membiarkan pintu
kawat terbanting saat menutup di belakangnya.
Pondok?pondok terlihat kosong. Ngomong?
ngomong, pada di mana sih, semuanya? Dia biasanya
tak suka kalau anak?anak lain pergi atau melakukan
Hari Ibu
sesuatu ? waktu di kota ? tanpa menyisihkan waktu
untuk menengoknya. Ah, sudahlah. Ini adalah
salahnya sendiri karena dia pergi ke sini dan
membaca buku.
Dia mulai melangkah di jalan setapak menuju
danau. Suara musik Boone tidak lagi berkumandang.
Hanya ada suara berisik dari pengeras suara yang
ada di atas pohon. Tampakjelas kasetnya sudah lama
habis.
Carly merasa yakin akan bertemu dengan
seseorang di sana. Di mana pun selalu ada tempat
berkumpul anak?anak muda. Kalau di rumah,
biasanya di dapur. Dan dalam perjalanan ini,
dermagalah tempatnya.
Keyakinannya terbukti, saat dia ke luar dari jalan
setapak. Dia melihat Kyle dan Suzanne, masih duduk
bersenderan punggung di ujung dermaga. Kedua
orang itu betul?betul tak bisa dipahami. Sampai
berapa lama sih, mereka bisa bersemedi?
Senja berlalu sangat cepat, sinar matahari
berwarna oranye memantul di air danau Kristal yang
gelap. Carly harus berjalan sampai ke ujung dermaga
sebelum dia melihat leher ke dua remaja itu terpotong.
Carly terkejut, merasa seperti ada sebuah pisau
yang juga telah disayatkan ke lehernya sendiri. Tapi
yang ke luar dari lehernya bukan darah, melainkan
suara ? jeritan ngeri yang terdengar seperti keluar
dari pita yang pecah.
Dia berhenti menjerit untuk sejenak, kedua
tangannya menutupi wajahnya. Lalu dia menjerit
153 Eric Morse
sekuat tenaga kembali. "Tidaaannnak!"
Dia menjulurkan tangannya ke pundak Suzanne
yang penuh darah, menggoyangkannya, berharap
Suzanne bisa bangun dari kematiannya. Cewek
jangkung itu terjatuh ke samping ke atas dermaga
yang keras, kepalanya mental dan jatuh dan
menimbulkan bunyi "gedebuk", seperti buah labu
yang jatuh dari atas rumah tingkat.
Carly kembali menjerit keras. Sebab saat Suzanne
bergerak, keseimbangan duduknya dengan Kyle
rusak. Tubuh Kyle punjatuh menimpa sepatu putih
Reeboks milik Carly, matanya yang terbuka
menatapnya hampa. Di bawah kepalanya, kaos mo?
tif celupan yang dipakainya kini seperti dicelup
darah.
Carly mundur karena kaget sampai hampir
terjatuh di pinggiran dermaga. Lalu, dia mengitari
mayat itu dengan kalut, dan mulai berlari kembali ke
perkemahan. Sepatu kedsnya menghentak bergema
saat beradu dengan kayu alas dermaga. Dia berhenti
sebelum melangkah ke jalan setapak yang sekarang
sudah gelap. "Tulunong!" jeritnya sekuat tenaga.
"Boone! Boooooonne! "
Dia menjerit selama beberapa menit, berteriak
memanggil Boone, memanggil Paul, memanggil siapa
saja. Tak ada jawaban dari danau. Tak ada, kecuali
bunyi gaung suaranya sendiri.
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski tak satu pun teman?teman kelompoknya
mendengar, dia berdoa semoga ada orang lain yang
tinggal di dekat danau, seseorang yang bisa datang
154 Hari Ibu
dan menolongnya.
Dan sesaat kemudian, kata-kata Boone terngiang
kembali.
Nggak ada yang bisa keluar dari tempat ini. Nggak
pernah ada..
Ini berarti dia sekarang sendirian di dalam sebuah
hutan yang gelap ? dengan seorang pembunuh gila
? dan tak ada seorang pun yang akan menolongnya
kecuali dirinya sendiri.
Dia mulai berlari dan tidak berhenti sedetik pun.
Dia berlari ke arah ?
Mobil. Ya, mobil! ltulah satu?satunya tempat yang
sekarang muncul di kepalanya, satu?satunya
harapannya. Dia bisa mengendarai mobil ke mana
pun untuk mencari pertolongan.
Menyupir selalu membuatnya ngeri. Tapi saat ini,
mengamankan diri dalam mobil yang terkunci
sepertinya ide yang sangat bagus yang pernah ada.
Pertam?tama dia mencoba membuka mobil VW
kombi. Pintunya terkunci. Dia menarik pintu mobil
sekuat tenaga, seakan?akan bakal terbuka sendiri bila
seluruh tenaga dan seluruh kemauan dikerahkan
untuk itu. Bagaimana mungkin mereka mengunci
mobil kombi ini?! Kyle dan Suzanne sama?sama sangat
sembrono, mereka ini mana pernah ingat untuk
mengunci pintu. Mereka selalu menginggalkan _
Carly berhenti sejenak. Kunci mobil dengan
gantungan kaki kelinci pembawa keberuntungan
tampak tergantung di lubang kunci. Kyle telah
mengunci pintu mobil sementara kunci mobilnya ada
155 Eric Morse
di dalam.
Carly memukul keras jendela mobil dengan kedua
tangannya. Dan kemudian dia lari kembali, melalui
rumput yang tinggi, ke arah mobil kap terbuka yang
berwarna merah Paul telah menutup kap mobilnya.
Tapi dia membiarkan pintu mobilnya terbuka.
Syukurlah.
Tapi, kunci mobilnya tak ada.
Carly menimbang?nimbang apakah akan
mengunci dirinya dalam mobil sambil menunggu
teman yang lain kembali atau tidak. Tidak.
Membayangkan terkunci sendirian di dalam mobil
dan menunggu membuatnya sangat takut. Dia harus
melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya ??
sekalipun dia tak tahu harus berbuat apa.
Terlihat motor besar milik Boone diparkir di dekat
sebuah pohon. Dia tidak peduli untuk mengecek
kunci motor itu ada atau tidak. Dia yakin tak mungkin
dia bisa mengendarai benda seperti itu. Naik motor
Kawasaki sama saja dengan bunuh diri.
Dia berlari melewati pondoknya dan menuju ke
arah jalan setapak menuju hutan. Paul telah mencoba
memancingnya untuk datang ke pondoknya tadi pagi
sebelum mereka berjogging. Yang mana, ya? Pondok
dua puluh satu? Atau dua puluh dua?
Dia akhirnya menemukan pondok itu setelah
melihatnya. Dia melompat menerjang pintu masuk.
Dia menemukan celana Paul di lantai dan
meraupnya lalu merogoh kantung?kantung celana itu.
Tak ada kunci. Dia menoleh, memandang pondok
156 Hari Ibu
yang luar biasa acak?acakan. Di mana sih, dia
menaruh kuncinya? Dia tak mungkin membawabawa kunci sambil ber?jogging, bukan? Dia
membongkar koper Paul, sekalipun dia merasa tak
mungkin kunci itu ada di sana. Lalu dia melihat blus
seragam rugby yang dipakai Paul kemarin,
tergantung di paku di dekat pintu.
Dia menarik blus itu dari dinding dan memeriksa
kantongnya. Kaca mata, permen karet dan ? kunci.
Dia berlari lagi, pintu di belakangnya terhempas
menutup. Di luar hari semakin gelap. Satu?satunya
sinar yang ada sekarang adalah sinar termaram dari
bulan purnama. Untuk pertama kalinya dia
menyadari kalau wajahnya basah dengan air mata,dia tak ingat kapan dia menangis.
Ketika dia kembali ke mobil Paul, tangannya
begitu gemetar sehingga dia tidak bisa memasukkan
kunci mobil ke lubangnya. "Ayo, dong. Ayo, dong.
Ayo, dong!" katanya memaksa dirinya sendiri.
Akhirnya, kunci itu masuk ke lubangnya. Tiba?tiba
dia ingat untuk mengunci pintunya, dan pintu masuk
di sebelahnya.
Dia berhasil menghidupkan mobil, lampunya
dinyalakan. Lalu dia melihat ke tongkat pengatur gigi
dan merasa perutnya melilit. Dia sama sekali tidak
tahu bagaimana mengendarai mobil dengan sistim
transmisi otomatis. Sekarang bagaimana dia bisa
pergi dari sini?
Dia harus mencoba. Cobalah untuk mengingatingat. Dia telah sering melihat urang mr-nyupir
157 Eric Morse
dengan tongkat pemindah gigi. Ada yang harus
digenggam atau semacam itulah. Dia merundukkan
kepalanya dan mengintip ke lantai. Tiba-tiba dia
berhenti karena ketakutan setengah mati akibat bulu
kuduknya berdiri. '
Saat dia masuk ke mobil, dia tidak mengunci pintu
belakang. Perasaannya mengingatkan bahwa dirinya
bakal diserang.
Dia memutar tubuhnya.
Kursi belakang kosong.
Braaakkk!
Kaca depan mobil retak. Kacanya tetap di tempat,
tapi retak-retaknya membentuk garis-garis putih
seperti sarang laba?laba. Di saat yang genting seperti
itu, dia justru kesulitan untuk melihat keluar melalui
kaca mobil yang memutih dan retak?retak. Di luar
tampak seorang lelaki kurus tinggi dengan topeng
hoki putih dan sepucuk senapan. Gagang senapan
dipakainya sebagai tongkat pemukul.
Dia menghantam kaca depan mobil sekali lagi, dan
kali ini senapannya menembus kaca, dan berhenti
hanya beberapa senti dari dagu Carly.
Carly memiringkan tubuhnya ke kanan, dengan
kalut dia mencoba meraih pegangan pintu. Pintunya
tidak terbuka. Lalu dia ingat. Dia tadi menguncinya.
Dia mulai menarik-narik tombol kunci pintu yang
kecil. Terangkat. Lalu dia menghantamkan bahunya
ke pintu.
Dia baru mengeluarkan separuh badan dari mobil.
Pada saat yang sama, tangan si pembunuh terjulur
158 Hari Ibu
darijendela depan. _Empat jari kasar merenggutleher
baju Carly. Dia berusaha untuk melepaskan dm, tapi
tangan si pembunuh yang kuat menariknya kembah.
Dan sekarang pembunuh itu menariknya keluar
dari mobil, ke arahnya. Dia tertarik keluar melalui
pecahan kaca depan yang tertinggal. Pembunuh itu
menghempaskan kepalanya ke kap mobil. Mata hitam
si pembunuh menatapnya lekat melalui topengnya.
Lalu dia mundur selangkah.
Carly merasakan besi dingin ketika si pembunuh
itu meletakkan laras senapan tepat di keningnya.
Dan kemudian dia menarik pelatuknya.
159 17 SEBUAH LETUSAN
Letusan senapan itu memekakkan telinga.
Beberapa saat kemudian baru Carly sadar bahwa dia
masih hidup. Dia terbaring di atas kap mobil, pecahan
kaca berkilat meyebar di rambutnya bak hiasan
permata. ' .
Di depan mobil, diterangi sinar remang?remang
dari lampu senter, terjadi pergulatan dahsyat.
Ternyata Boone yang telah menyelamatkan dirinya.
Dia pasti telah memukul orang itu tepat pada saat
senapan itu meletus, sehingga meleset dari sasaran.
Sekarang dia duduk di atas si pembunuh seperti
seorang koboi duduk di atas kuda liar. Dia tampak
seperti memukul?mukul orang itu, mengangkat dan
menurunkan tangan kanannya ke arah punggung
pembunuh itu berkali?kali.
Lalu Carly melihat pisau di tangan Boone, pisau
berburu milik Boone, yang dia pakai saat menakutHari Ibu
nakuti dirinya kemarin malam! Darah muncrat dari
sekujur tubuh si pembunuh, menciprat ke manamana. Pembunuh itu menjatuhkan senapannya dan
dengan kalap dia menjulurkan tangannya ke arah
Boone, berupaya menyingkirkan Boone dari atas
punggungnya. Tapi Boone terus menghujamkan
pisaunya. Lalu dia tersungkur dengan satu kaki.
Boone masih tetap berada di punggungnya, sehingga
pembunuh itu jatuh dengan wajah terjerembab ke
tanah.
Boone terus menghujamkan pisaunya. Sampai
akhirnya dia menyadari kalau lelaki itu telah mati.
Perlahan-lahan dia berdiri. Carly turun dari mobil dan
menghampirinya. Dia berdarah. Tapi dia tidak
merasakan apa?apa. Tubuh maupun pikirannya
seakan mati rasa.
"Monique," ? Boone tergagap, sambil menarik
nafas dalam lewat mulutnya yang terbuka ? "sudah
mati."
"Kyle dan Su7anne juga mati," sahut Carly pelan.
"Aku tahu," kata Boone. "Aku melihat mereka
sewaktu aku ke sini." Dia berbalik dan melihat ke
arah tubuh si pembunuh. "Kukira dia tenggelam ?
kukira dia sudah mati. Aku ?" Tak ada kata-kata
lagi yang terucap. Dia menatap Carly dengan hampa.
Carly menatapnya kembali untuk beberapa saat.
Dan kemudian mulai menangis tersedu-sedu,
membuat tubuhnya berguncang?guncang.
Boone merangkul dan mendekapnya di dada. "Ya,
Tuhan," rintihnya, "semua ini salahku. Aku
161 Eric Morse
seharusnya nggak mengajak kalian semua ke mari."
Carly sedang menangis keras sehingga tak bereaksi.
"Tapi aku berani sumpah, Carly, aku nggak tahu
kalau cerita?cerita tentang tempat ini adalah benar!
Aku nggak tahu ?"
Carly tiba-tiba menarik tubuhnya dengan gusar.
Dia mendorong Boone menjauh _ dengan kasar. "Di
mana Paul? Di mana Albert?"
"Aku nggak tahu," katanya. Dia juga tampak
menangis.
Carly melangkah ke arah tubuh yang tersungkur
itu. "Periksa apa dia benar-benar sudah mati,"
perintahnya pada Boone.
"Carly," kata Boone lembut. "Dia sudah mati,
percayalah. Aku rasanya telah menikam dia enam
ratus kali."
"'Iikam lagi!"
Boone tidak bergerak. Carly melihat ke arah
senapan yang tergeletak beberapa senti dari tangan
si pembunuh yang terlentang. Di tangan itu ada
empat jari yang kasar. Carly menendang senapan itu
agar jauh dari tangan orang itu.
"Carly, semua sudah selesai," kata Boone. "Nih,
lihat." Dia membalikkan badan mayat yang jangkung
itu. Lalu dia menempelkan ujung sepatunya ke bagian
tepi topeng hoki putih untuk menyingkapkannya.
"Jangan," kata Carly sambil menarik tangan
Boone. "Aku nggak mau melihat wajahnya." Dia
mendorong Boone agar menjauh. "Ayolah, Boone!
Mau apa sih, kamu? Kita harus cepat?cepat cari
162 Hari Ibu
pertolongan. Sekarang juga, Boone! Paul dan Albert
mungkin terluka!"
"Kamu benar," kata Boone, tapi dia merasa bahwa
Paul dan Albert pasti sudah mati.
Tanpa terlihat oleh Boone maupun Carly, keempat
jari kanan si pembunuh itu mulai menyentaknyentak.
Boone memegang tangan Carly, menuntunnya ke
arah motornya. Dia naik dan menekan kunci ke
lubang kuncinya dan menekan tombol starter. Mo?
tor Kawasaki besar itu meraung seperti setan besi
yang mengeram.
Carly dapat merasakan udara panas dari knalpot
menerpa kakinya yang telanjang dan berlumuran
darah. Boone tidak memakai helm?nya, tak ada waktu
untuk memikirkannya sekarang. Sambil berpegangan
pada punggung Boone untuk menahan diri, Carly
menaiki motor itu. Lalu dia merangkul perut Boone
keras-keras sampai dia sendiri ragu apakah Boone
bisa bernafas atau tidak. Boone sendiri tidak
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluh.
Boone menjalankan motornya meniku ng mengikuti
bentuk deretan pondokan yang melengkung. Lalu dia
mengarahkan motornya ke jalan.
Dia sedang melewati mobil kap terbuka warna
merah ketika letusan ke dua terdengar meledak di
keheningan malam.
163 .4 18 A KUBURAN YANG T ERBUKA
"Boone!" Carly menjerit.
Tak ada gunanya. Dia tak bisa lagi mendengar.
Carly masih berpegangan pada tubuh Boone di atas
motor. Tapi letusan senapan tadi telah melepaskan
kepala Boone dan menjatuhkannya.
Untuk sesaat, motor itu terus meluncur cepat.
Dengan panik Carly meraih stang motor, tangannya
di atas tangan Boone, mencoba untuk mengendalikan.
Tetapi motor itu langsung melambat. Akhirnya motor itu terguling ke samping menjepit tubuh Carly
dan Boone. Ketika Carly menarik tubuhnya agar
terlepas dari motor, dia merasakan kulitnya tersayat
besi panas di dekat knalpot. Kakinya terasa terbakar.
Tapi dia tak ambil peduli, dia segera berdiri dan
berlari.
Dia menengok ke belakang. Namun si pembunuh
tak nampak. Dia begitu takut hingga tak berani
berpikir apa?apa. Dia hanya berdoa semoga
pembunuh itu tidak punya kekuatan lagi untuk
Hari Ibu
meletuskan senapannya. Dan semoga sekarang ini
dia telah betul?betul mati.
Letusan lain memecah di kegelapan. Carly berlari
terus, takut untuk melihat dan menemukan apakah
salah satu bagian tubuhnya terkena tembakan atau
tidak.
Untunglah, katanya pada dirinya sendiri,
tembakan itu meleset. Sebab dia masih bisa terus
berlari.
Dia berlari masuk hutan yang sangat gelap
sehingga dia nyaris tak bisa melihat ke arah mana.
Biarpun begitu dia mencoba untuk tidak menabrak
pohon. Lalu dia berlari dan berlari sampai dia ?
menabrak Paul Sexton.
Tubuh atletisnya terpancang di pohon dengan
sebuah pisau besar.
Carly tak sanggup lagi untuk menjerit, tak kuasa
untuk menangis. Dengan menggertakkan giginya, dia
menarik tangkai pisau yang besar itu sehingga
terlepas dari batang pohon dan terlepas pula dari
tubuh Paul. Paul terjatuh di kakinya, tertelungkup
seakan dia sedang meminta maaf pada Carly.
Carly mundur, berbalik dan mulai berlari lagi.
Paling tidak sekarang dia bersenjata.
Dia tak tahu mau lari ke mana. Ketika akhirnya
dia menginjak jalan tanah, dia berbelok ke kiri. Dia
memutuskan untuk tetap berlari di pinggir jalan. Pa?
ling tidak di tempat seperti ini dia punya kesem?
patan ? biarpun kecil kemungkinannya ? untuk
menghentikan kendaraan yang bakal lewat.
165 Eric Morse
Namun dia tak melihat satu kendaraanpun.'1idak
satu pun. Tapi setelah dua puluh menit berlari, dia
melihat bagian belakang rumah tua bertingkat dua.
Rumah itu terletak_di seberang lapangan rumput
yang luas. Barangkali ada seseorang di rumah itu ??
atau setidaknya ada telepon yang bisa dia gunakan.
Dia mulai melintasi lapangan rumput itu.
Di lapangan terbuka, cahaya bulan cukup terang
menyinari bumi hingga Carly bisa melihat ke mana
dia berlari. Jauh di depannya, ada gundukan tanah
yang tinggi. Juga ada bau busuk di udara, bau yang
tajam dan menyengat hidung.
Saat dia terus berlari, segumpal kabut kuning
menyelimuti mata kakinya. Di atas sana ada batu
nisan tersembul ke luar dari kegelapan bumi.
Sepertinya, kuburan keluarga.
Dia sampai di kuburan pertama.
Kuburan itu terbuka di bawah kakinya, kerangka
yang membusuk di dalamnya dikerumuni cacing dan
lalat.
Tanpa disadarinya dia menjerit lagi.
Di sekitarnya, tanah yang gelap tiba?tiba dipenuhi
kuburan yang terbuka. Masih sambil menjerit, dia
berbalik dan berlari kembali ke arah jalan.
Dia belum berlari cukup jauh. Dia baru saja
mengambil beberapa langkah ketika si pembunuh
berjalan terhuyung?huyung ke luar dari hutan. Dia
menjinjing senapannya. Pembunuh itu berhenti
begitu melihat Carly. Tapi hanya sejenak. Lalu dia
mulai melintasi lapangan rumput itu.
166 MEMINJAM TANGAN UNTUK
MEMBUNUH
Dia berbalik dan kembali melintasi lapangan,
berlari dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Kuburan
yang terbuka itu kini tampaknya ada di mana?mana.
Dia melangkah di atas satu kuburan, merasakan ada
tulang yang patah di bawah kakinya.
Beberapa bagian tubuh mayat itu tampak sangat
busuk. Kuburan ke dua kini dia langkahi, dia
merasakan sesuatu yang lembek dan lengket.
Kuburan ketiga bisa dia hindari.
Tapi ketika dia berlari, kerangka tangan mencuat
dari tanah dan menarik ma'ta kakinya.
Sekarang dia menjerit ? atau mungkin tidak
menjerit, dia tak tahu. Dia menarik mata kakinya
sekuat tenaga, tapi tangan itu sangat kuat
mencengkeram kakinya.
Pada saat yang sama, di seberang halaman rumput,
dia melihat si pembunuh semakin dekat. Dia tampak
berusaha untuk tetap tegak. Padahal dari jarak sejauh
Eric Morse
ini, Carly dapat melihat betapa orang itu penuh
dengan lumuran darah. Tapi dia tetap bergerak
mendekati. Berapa banyak tenaga yang dibutuhkan
orang itu untuk datang dan membunuh Carly?
Dia menghentakkan kaki sekuatnya dan akhirnya
berhasil menariknya. Terdengar suara yang keras.
Untuk pertama kalinya Carly menyadari apa yang
sebenarnya terjadi. Kakinya terperangkap akar
pohon. Tak ada kerangka manusia, tak ada tangan.
Dia nyaris gila.
Dia berlari lagi tanpa melihat ke belakang.
Itu sebabnya dia tak melihat tulang kerangka
tangan tertarik kembali ke dalam tanah.
Carly berlari zig?zag di halaman rumput itu, menghindari kuburan-kuburan yang lainnya. Saat dia
mendekati gundukan tanah yang tinggi, tercium bau
sesuatu yang terbakar. Ada suara seram di udara,
seperti jeritan di kejauhan. Dan tanahnya bergerak
seperti hidup karena dipenuhi ribuan cacing putih.
Apakah dia ada di neraka? Sambil berteriak karena
panik, ngeri dan ketakutan, dia berlari terus. Sepatu
ketsnya melumatkan cacing-cacing itu. Ketika dia
sampai di rumah tua itu, dia menggebrak pintu
belakang rumah dengan pegangan pisau.
Tapi itu tak ada gunanya, dan dia tahu itu. Dia
telah menjerit sekuat?kuatnya selama di lapangan
tadi. Kalau di rumah ini ada seseorang, mungkinkah
tidak ada yang mendengar?
Dia menggoyangkan tombol pintunya. Terkunci.
Dan si pembunuh itu tampak sudah berhasil
168 Hari Ibu
melewati setengah lapangan. .
Dia berlari lagi. Dia harus berada di luar jarak
tembaknya. Dia tiba di jalan tanah yang lain. Berlari
lurus menyeberanginya. Satuvsatunya harapan,
simpulnya, adalah hutan yang lebat dan gelap.
Dia berlari melewati semak belukar secepatnya.
Pepohonan seperti menghalang-halangi jalannya,
seakan mau membunuh dengan cara menghancurkan
kepalanya.
Setiap dia berhenti dan memasang telinga, dia tak
mendengar apa?apa. Tak terdengar langkah kaki yang
mendekat. Keheningan seperti ini justru lebih
menakutkan daripada ketika ada suara-suara. Setelah
dia sadar bahwa tanahnya basah, dia menarik nafas
dalam-dalam: bagaimana mungkin dia bisa
mendengarnya? Tapi dia tetap yakin pembunuh itu
ada di sana ? di suatu tempat ? di luar sana ?- masih
terus mengejar dirinya.
Dia terus berlari. Lalu sampailah dia di jalan
buntu, di pinggir danau Kristal yangberwarna gelap.
Dia hampir saja terjun ke danau dan berenang
menyeberanginya, tetapi dia ingat sesuatu.
Dia tak bisa berenang. Dan tetap tak akan bisa
sekalipun seorang pembunuh gila sedang memburu
dan mengancam dirinya. Dia pasti akan tenggelam.
Rasanya dia ingin duduk di tanah dan menangis.
Tapi pikirnya, nggak mungkin orang bertopeng itu
cuma sekedar ingin menangkapnya.
]adi sekarang bagaimana? Dia tak bisa kembali ke
jalan yang dilaluinya tadi.
169 Eric Morse
Atau mungkin bisa?
Dia melihat ke jejak kakinya yang tampak jelas di
atas lumpur yang basah yang mengarah ke batas air.
Semua orang tahu bagaimana caranya berenang,
Paul pernah bilang begitu.
Dan seketika itu juga, dia punya rencana.
Dia mulai melangkah masuk ke air, menyusuri
tepian sebelah kiri. Ketika dia sudah berjalan sekitar
tiga puluh meter, dia naik lagi dan kembali ke hutan.
Dia menemukan pohon yang bisa dipanjat, dan naik
ke sana. Dia terus memanjat sampai dia menemui
bagian yang daunnya sangat rimbun.
Lalu dia sembunyi di situ dan menunggu. Dia tahu
dia tak bisa berenang. Tapi si pembunuh itu kan, tidak.
'Iiba?tiba saja, dia mulai menyesali diri karena tidak
pergi lebih jauh saat dia berada di air. Dari tempat
persembunyiannya sekarang, dia bisa melihat bekas
jejaknya. Dan itu berarti, si pembunuh itu juga bisa
melihat dirinya.
Baru sesaat saja rasanya ketika si pembunuh itu
tampak keluar dari hutan gelap. Dia mengikuti jejak
Carly tepat ke arah tepian danau. Lalu dia melihat
ke arah air danau, sambil berpikir.
Berenang! Carly memohon agar itulah yang
dilakukan si pembunuh itu, tanpa suara.
Pembunuh itu tidak berenang. Kepalanya yang
tertutup topeng menengok seakan dia melihat
kembali ke arah jejak Carly.
Jantung Carly, yang sudah berdetak keras,
sekarang berdetak dua kali lebih-keras.
1 70 Hari Ibu
Dan kemudian si pembunuh itu mengangkat
kepalanya yang bertopeng dan menatap ke arah
pepohonan.
Dia menengok ke sana ke mari.
Lalu dia berhenti menengok.
Dia menatap langsung ke arah tempat Carly.
171 20 A REUNI DI HUTAN
Pembunuh itu melihat ke arah lain. Oh, Tuhan. Dia
tidak betul?betul melihatnya! ]antung Carly, yang
seakan sempat berhenti berdetak, sekarang mulai
berdetak lagi. Iya! Iya! Lelaki bertopeng itu melangkah
mundur dan kembali ke hutan, kembali ke arah
pertama kali dia datang.
Carly menunggu beberapa saat. Lalu dia turun dari
pohon. Dia sama sekali tak peduli ketika kayu pohon
yang mencuat tajam melukai lengan maupun
kakinya.
Sejak kejadian mengerikan ini, baru kali ini dia
mampu berpikir kembali. Pikirannya tidak menye?
nangkan.
Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Manusia biasa
tidak mungkin mempunyai daya tahan yang luar
biasa seperti orang bertopeng itu.
Kata ?kata Boone segera terngiang sekali lagi.
Iason selalu bangkit kembali dari kematiannya.
Bangkit dari kuburnya!
Hari Ibu
Yah, setan atau manusia, tak ada bedanya bagi
Carly. Apapun mahluk itu, dia telah mencoba
membunuhnya. Apapun mahluk itu, dia pasti
bangkit kembali.
Sambil meringkuk di bawah pohon, Carly melihat
ke bawah ke arah tangannya. Tangan itu kosong.
Pisaunya?!
Dia sudah menyelipkan pisau itu di kantongnya
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat memanjat pohon. Setelah beberapa saat meraba?
raba dengan panik di kegelapan, dia menemukan
senjata itu di dekat dahan yang melengkung ke tanah.
Pasti tadi terjatuh ke sana.
Dia berdiri di kegelapan, pundaknya terasa berat
saat dia bernafas terengah?engah karena ngeri.
Pikiran untuk tetap menunggu di situ terlalu berat
untuk ditanggungnya. Kalau dia tetap tinggal di situ,
si pembunuh justru lebih leluasa. Cepat atau lambat
si pembunuh itu pasti akan menemukannya. Satu?
satunya harapan adalah keluar dari hutan.
Sekarang dia tidak berlari. Dia berjalan perlahan?
lahan, selangkah demi selangkah. Cara itu,
menurutnya, ditambah tanah yang basah, dapat
membantunya berjalan melalui hutan dengan tak ber?
suara.
Dia berjalan lebih dari satu jam. Kupingnya
menegang setiap kali ada suara bahaya. Hal ini betul?
bet'ul menghabiskan tenaga dan membuat tekanan
darah meningkat. Bau pohon cemara di hutan berbaur
dengan bau keringat yang membasahi tubuhnya.
Tangannya, lengannya, dan wajahnya penuh dengan
173 Eric Morse
getah dan kotoran; kakinya melepuh dan mulai berair
di tempat yang terkena knalpot motor. Dia tetap
berjalan.
Dan kemudian dia sampai di tempat yang sedikit
terbuka. Ada batu putih mencuat dari tanah seperti
batu nisan. Ada sebuah lubang di depan batu itu.
Dan di dekat batu itu ada sesuatu berbentuk hitam
membujur. Benda itu adalah tubuh manusia,
berbaring di atas dedaunan.
Dia bergerak mendekat, teror mencekam dirinya
seperti saat kakinya terjerat akar pohon sewaktu di
kuburan tadi.
Dia tidak mau melihat wajah mayat itu Dia tahu
siapa itu. Itu adalah Albert.
Carly telah melalui banyak peristiwa mengerikan
? telah pula berjuang cukup lama. Tapi melihat
tubuh Albert terbaring di situ seperti itu, pupuslah
sudah harapannya yang terakhir.
Albert yang malang telah mati, tergeletak di hutan
seperti sampah.
Dia termenung sejenak ? pikirannya sangat
tegang. Dia tak dapat membayangkannya. Semua
temannya sudah mati, semua anak muda ini baru saja
mau belajar hidup di dunia ini. Seluruh hidup mereka
telah dirampas. Mereka tidak melakukan sesuatu
yang salah sehingga patut menerima kengerian dan
kebrutalan seperti ini.
Dia tidak punya waktu untuk menangis. Sebab
sesaat kemudian dia menyadari ada hal lain yang
mengerikan dengan ditemukannya tubuh Albert ini.
1 74 Hari Ibu
Itu berarti bahwa setelah perjalanan sejauh ini, dia
tidak pergi ke mana-mana. Dia mungkin cuma
berputar?putar, seperti sasaran yang maju dan
mundur di tempat latihan menembak.
Sesaat kemudian dia sadar. Sadar bahwa dia tak
mungkin bisa melewati malam ini atau keluar dari
hutan ini hidup?hidup. Dia terhuyung-huyung
beberapa meter sebelum dia melihat tubuh yang lain.
Kali ini dia tidak langsung mengenali wajah mayat
itu. Lalu dia menyadari di mana dia pernah melihat
orang ini sebelumnya. Ini adalah Ned Vamer, orang
aneh pemilik pompa bensin. Dia juga mati seperti
yang lain.
Carly merasa kalau dia hampir pingsan. Lalu dia
merasa seperti mau muntah. Ibunya selalu mengajarkan berbagai cara untuk menjaga keselamatan.
Carly tak pernah membutuhkan satu pun sebelumnya, sepanjang hidupnya. Sekarang salah satu
cara itu terasa bisa menolongnya. Dia membungkuk
dan menggantungkan kepalanya sehingga darah bisa
mengalir cepat kembali ke otaknya. Dan setelah
beberapa saat, rasa mual dan rasa mau pingsan pun
hilang.
Dia berdiri tegak kembali perlahan?lahan. Dia
masih merasa lemah, dan dia menjulurkan tangannya
untuk menahan tubuhnya ke sebuah pohon.
Tangannya merasakan sesuatu yang basah dan
lembek.
Dia menarik tangannya dengan tiba?tiba.
Benda itu ternyata hanya sebuah kotak, kotak
175 ___ Eric Morse
kardus berwarna abu-abu yang tergeletak di lubang
pohon.
Dia menyingkirkan kotak itu, yang ternyata sangat
berat, dan meletakkannya di tanah. Lalu dia
mengangkat tutupnya.
Dia menjerit.
Demikian juga penggalan kepala yang ada di
dalam kotak itu.
176 21 PEMBUNUHAN T ERAKHIR
Carly menjatuhkan kotak itu. Kepala yang berat
itu terus menjerit-jerit di dalam kotak. Suaranya keras
luar biasa, tinggi dan melengking, seperti deritan roda
gigi penggilingan. Kotak itu bergoyang?goyang saat
kepala di dalamnya bergerak?gerak. "Diu ada di sini!
Dia ada di sini! Diu ada di sini! "
Dari tempatnya berdiri, Carly hanya dapat melihat
samar?samar ke dalam kotak itu. Dia hanya dapat
melihat rambut keriting berwarna abu-abu di atas
kepala seorang ibu?ibu. Dia lalu mencoba melihat
lebih jelas ke arah daging tua yang membusuk itu,
mata wanita itu memancarkan rasa marah. Ya,
ampun, pikirnya, baru melihat sedikit rambutnya saja
sudah ngeri.
Carly mundur beberapa langkah. Tapi rasanya
seluruh tubuhnya ngilu seperti habis dihajar palu
bertubi?t'ubi. Dia merasa betullbetul tak bertema ga, tak
mampu bergerak.
Eric Morse
Sekarang dia mendengar di belakangnya ada
suara keras tanda seseorang sedang menyibak hutan
menuju ke tempat terbuka ini. Carly melangkah
mundur menjauhi suara itu.
"Dia di sini, tolol!" kepala itu berteriak. Kotak itu
bergoyang saat kepala itu berusaha untuk berteriak
lebih keras. "Bunuh dia! Bunuh dia!"
Pembunuh itu bergegas muncul dari kegelapan,
menggenggam senapannya. Topeng putihnya
menangkap dan memantulkan sinar temaram bulan
yang bersinar pepohonan.
Carly mundur beberapa langkah lagi, dia
menabrak batu dan hilang keseimbangan. Dia pasti
jatuh, seandainya tidak bersender pada dahan pohon.
Dia berdiri di sana, menggigil.
"Bunuh dia! Bunuh dia!"
Orang bertopeng itu menatap tajam ke arahnya.
Sekarang dia mulai mendekatinya. Saat dia melewati
kotak kardus itu, kepala yang ada di situ menjerit,
"Angkat aku! Angkut uku! "
Dengan patuh, si pembunuh yang bersimbah
darah itu membungkuk di atas kotak kardus dan
mengangkat kepala wanita yang penuh uban itu.
Mata bengis dari kepala itu menatap seperti
menghipnotis Carly. Sekarang si pembunuh itu
mendekatinya, sambil menenteng penggalan kepala
itu dengan cara seperti menenteng lampu gantung.
Carly menempel ke pohon. Kepala wanita itu
melotot kepadanya. Mulutnya yang busuk tampak
mengejek sinis. "Lihatlah dia, pelacur kecil yang hina
1 78 Hari Ibu
ini terlalu takut untuk lari." .
Pembunuh itu berdiri tepat di depan Carly,
menunggu perintah. "Dekatkan aku padanya,"
perintah kepala itu.
Pembunuh itu membawa kepala itu ke depan
Carly. Carly menunduk ketakutan. Kepala itu
menggeliat saat meludah dengan sekuat tenaga ke
arah Carly.
Carly tidak bergerak untuk mengelap wajahnya.
Dia tak mampu. Tangannya tergantung kaku. Dia juga
tak dapat berkata?kata. Mulutnya terasa kelu.
"Itulah yang layak kamu terima," kata kepala itu,
"atas perbuatanmu pada anakku. Semua rencana
kotormu telah gagal, gelandangan kecil!"
Mata dari ibunya ]ason Voorhees menatapnya
untuk beberapa saat, lalu melirik ke atas ke arah si
pemburu.
"Bunuh dia," perintah kepala itu.
Pada saat itulah Carly menyadari apa yang
dirasakannya. Salah satu tangannya, karena menekan
begitu kuat di samping tubuhnya, tertusuk ujung
pisau.
Pembunuh itu meletakkan kepala itu dengan hatihati atas sebuah batu. Pada saat itulah Carly
mengambil kesempatan.
Dengan kedua tangan yang menggenggam pisau,
dia menghujam punggung pembunuh itu, begitu
keras sampai yang tertinggal hanya pangkal
pegangan pisaunya saja. Pembunuh itu menggerang
dan jatuh tersungkur dengan keras. Carly menarik
179 E ric Morse
pisau yang panjang itu sampai lepas, mengangkatnya
dan menghujamkannya lagi.
Baju samaran berwarna hijau sudah penuh dengan
lumuran darah merah. Darah segar kini mulai
mengalir dari bekas luka?lukanya. Dia terus menikam
dan menikam saat pembunuh dan penggalan kepala
itu menjerit?jerit.
Tiba-tiba lelaki tinggi itu berguling, bersama
dengan tubuh Carly. Sekarang dia ada di atas tubuh
Carly. Dia menikamkan pisaunya ke pembunuh itu,
tapi meleset dan hanya mengenai lengannya.
Darahnya muncrat mengenai wajah Carly. Lalu
pembunuh itu meraih batu besar, mengangkatnya ke
atas kepala Carly.
Dia mengayunkan batu itu ke bawah.
Carly menggeser kepalanya ke samping pada saat
yang tepat. Dia merasa batu itu memutuskan
telinganya saat menghujam ke bawah.
Dia mengangkat batu itu kembali. Tapi sekarang
Carly menusuk lengan lelaki itu dengan sekuat
tenaga, sambil menggenggam pisau itu dengan kedua
tangannya. Kali ini pisau itu menusuk sampai ke
tulang lengannya.
Lelaki itu melolong dan menjatuhkan batunya.
Carly memutar kepalanya, tapi kali ini dia kurang
beruntung. Batu itu mengenai pelipis kirinya dengan
keras hingga terasa sampai ke tengkorak kepalanya.
Benturan itu membuatnya linglung sejenak. Dia
menjatuhkan pisaunya. Dan sekarang pembunuh itu
mencekik lehernya dengan keempat jarinya yang
180 Hari Ibu
kasar. Dia menekannya, mencekiknya.
Carly terengah-engah. Tak bisa bernafas, dia
menggeliat keras, berupaya untuk melepaskan
cengkeraman orang itu. Tangan dan kakinya merontaronta tak berdaya. Di belakang mereka, dia bisa
mendengar kepala itu berteriak, meminta darahnya.
Dia tak bisa lagi melihat, hanya bisa merasa kalau
saat itu tangannya menyentuh topeng si pembunuh.
Jarinya meraup topeng itu dan menariknya agar
terlepas.
Dan sekaran g penggalan kepala itu mulai menjerit
luar biasa keras. "Tidak! Tidak! Topeng itu!
Kekuatannya!"
Carly cuma mendengar suara itu samar?samar dan
kemudia'h ??
Topeng itu terlepas dan ada di tangannya dan ?
Tiba?tiba ? dia bisa bernafas lagi.
Dia sedang menatap lekat ke wajah si pembunuh.
Janggut hitamnya menutupi hampir seluruh
wajahnya, seperti topeng asli. Tapi dia bisa melihat
mata hitamnya yang penuh kebencian, kini
menatapnya dengan ekspresi kaget? dan ketakutan.
Keempat jarinya masih melingkar di tenggorokan
Carly, tapi sudah melemah.
Si pembunuh itu mulai terbatuk. Dia meludahkan
darah yang ada di mulutnya. Saat Carly mendorongnya, dia terjengkang seperti boneka dari kain.
Dia melepaskan diri dari tindihan tubuh orang
yang beratnya luar biasa itu. Orang itu menatapnya,
dengan mata berkaca-kaca. Lalu dia menjatuhkan
181 E ric Morse
kepalanya perlahan ke tanah.
Dia tak perlu memeriksanya. Dia tahu lelaki itu
akhirnya mati juga.
Hari Ibu Kisah Seri Misteri Friday The 13th Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mata kepala wanita itu tampak berkilat di
kegelapan, melihat Carly dengan buas. Carly berjalan
memutari kepala itu, sambil terus menatap ke arah
matanya. Perlahan-lahan dia membungkuk dan
mengambil senapan si pembunuh. Kepala itu
mengeram, matanya bersinar marah. Carly bergerak
mendekati, sambil meletakkan ujung senapan besar
itu di pundaknya. Dia mengarahkan senapan itu. Dan
menembak.
Mulut senapan itu hanya beberapa senti dari
sasaran. Tak ada yang tertinggal dari kepala itu
setelah letusan berbunyi. Carly sendiri terjengkang
ke tanah karena getaran senapan itu. Pundaknya
terasa patah saat senapan yang ditaruhnya itu
menghentak. .
Untunglah, sekarang semuanya telah berakhir.
Yah, tidak juga. Ada satu hal yang harus
dikerjakannya. Topeng itu, kepala wanita itu berteriak.
Topeng itu, kekuatannya.
Carly mengangkat topeng hoki berwarna putih
tersebut. Tanpa melihat ke belakang ke arah tubuh
yang bergelimpangan di tempat terbuka itu, dia
melangkah menuju ke hutan.
Dia berjalan mendaki sepanjang jalan kembali ke
tempat perkemahan. Selama dia berjalan, rasanya
kepalanya kosong. Tak ada yang bisa dipikirkan.
Kecuali satu hal ? hal yang harus dilakukannya ?
182 Hari Ibu
rencananya.
Untunglah dia terus saja berjalan. Sebab begitu dia
berhenti, mungkin pikirannya akan terpukul.
Membayangkan kengerian yang telah terjadi di
tempat ini mungkin akan lebih berat baginya
daripada mengalaminya sendiri.
Dia menemukan perahu Boone di dekat dermaga.
Boone telah medorongnya ke tepi danau yang
berlumpur. Salah satu ujung perahu itu berlumuran
darah Monique. Tubuh Monique masih terbaring di
situ. Tangannya menyilang di dadanya seperti sikap
mumi.
Carly mencari batu besar di sekitar tepi danau. Dia
mengangkatnya dari lumpur. Ada bunyi keras saat
batu itu terlepas dari tempatnya. Ternyata batu itu
memang terlalu besar untuk dia angkat. Dia harus
benar?benar membungkuk saat dia membawanya ke
perahu. _
Pikiran panik berkecamuk di kepalanya.
Mengangkat barang berat. Ibunya selalu berteriak
padanya mengenai hal itu. Beliau mengatakan bahwa
hal itu dapat membuat punggungnya cedera. Yah,
semua ketakutan ibunya, semua peraturannya ?
telah dilanggarnya. Pengalaman yang mengerikan!
Tapi sekarang, di tengah malam yang mengerikan
ini, Carly merasa bebas dari kengerian itu, dia merasa
ada kekuatan pada dirinya.
Dia membungkuk lebih dalam supaya tidak
menjatuhkan batu itu ke dasar perahu dan
mernbocorkannya. Lalu dia juga menaruh topeng itu.
183 Eric Morse
Dia menempelkan pundaknya yang tidak sakit ke
dinding luar perahu, menjejakkan sepatu ketsnya ke
lumpur, dan mendorongnya sekuat tenaga. Perlahan?
lahan dia memaksa perahu itu menuju ke air.
Ketika perahu itu sudah mengambang, dia naik.
Perahu itu bergoyang keras, dan dia sempat merasa
yakin sebentar lagi perahu itu akan terbalik. Wah, bisa
benar?benar ironis, pikirnya. Seorang gadis terlepas
dari pembunuh gila, tetapi tenggelam di air sedalam
satu meter.
Tetapi perahu itu ternyata tidak terbalik. Dia
mendayungnya ke tengah danau, sampai dermaga di
perkemahan danau Kristal terlihat kecil. Lalu dia
meletakkan dayung di dasar perahu.
Dia mengangkat topeng itu. Ehm, selama memakai
topeng ini, si pembunuh itu berhasil bertahan dari
setiap serangan. Tapi tanpa ini, dia cuma seorang
manusia biasa. Kunci dari semua pertumpahan darah
yang terjadi di sini tadi malam, sekarang ada di
tangannya.
Dengan menggunakan tali plastik, Carly mengikat
topeng itu di atas batu. Lalu dia mengangkat batu
sekaligus topeng itu. Dia berusaha keras untuk
mengangkat batu itu ke tepi perahu, lalu
mendorongnya agar jatuh ke dalam air yang kelam.
Dia memperhatikan dengan seksama saat batu itu
tenggelam. Danau itu menelan dan menarik cindera
mata terakhir dari kutukan kematian di danau Kristal.
Carly terhenyak di dasar perahu. Dia membiarkan
perahu itu meluncur sendiri.
184 Hari Ibu
Dia belum pernah merasa selelah ini. Bahkan
untuk membuka matanya saja sepertinya dia tak
sanggup.
Dia melirik jam tangannya. Sekarang sudah lewat
tengah malam. Berarti sekarang ?
"Selamat hari l'bu," kata Carly keras.
Sesaat kemudian, dia jatuh tertidur.
Ini adalah tidurnya yang ternyenyak. Tanpa
mimpi, apalagi mimpi yang menakutkan. Dan ketika
dia terbangun satu jam kemudian, dia merasa tidak
takut apa?apa lagi.
Dia merasa yakin ? seyakin?yakinnya ? kalau
kisah danau Kristal yang menakutkan itu, sekarang
sudah berakhir.
Dan dia benar.
Paling tidak ? untuk saat ini.
0000000
185 "WAH MISTBN
PERKEMAI?IAN DANAU KRIQTAL
Ini adalah kisah yang bisa bikin kamu merinding
ketakutan. Kisah tentang anak Iaki-Iaki bernama Jason
Voorhees. yang tenggelam di danau dekat perkemahan
musim panas. Pertama-tama. Ibu Voorhees menuntut balas
kepada para penjaga yang dianggapnya lengah. Lalu Jason
bangkit dari kuburnya dan berkeliaran mencari mangsa.
. Yang jelas, kita tak akan mampu "membunuh" kisah seram
ini...tapi sebaliknya kita mungkin bisa mati ketakutan
karena kisah ini.
HADIAH MAYAT DI
HARI IBU
Billy Boone dan teman-temannya sama sekali tak kenal
rasa takut. Buktinya, mereka masih berani berkemah di
tepi danau Kristal. Padahal, mereka sudah mendengar
desas-desus tentang kisah si Jason. Dan mereka tahu
persis kenapa Jason memakai topeng hoki. Tapi rupanya
masih ada beberapa hal tentang Jason yang tidak
diketahui oleh Boone dan teman-temannya ini. Misalnya.
sebenarnya apa yang terjadl dengan penggalan kepala
ibunya? Bagaimana topeng hoki Jason Ini bisa jatuh ke
tangan pemburu lokal? Dan mengapa si pemburu itu ingin
membunuh setiap remaja dl perkemahan itu? Karena
menjelang hari ibu, rupanya ibu sl Jason
tidak mau diberi hadiah bunga atau permen . . .
Dia hanya ingin . . . mayat.
Tamat
Mahesa Kelud - Serigala Berbulu Domba Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis Merivale Mall 08 Antara Dua Hati
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama