Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 10

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 10


Mengapa "dewa" laki-laki itu pergi?
Kesempatan ini mereka pergunakan untuk mendekati Martini. Mereka kemudian berlutut di sisi ranjang. Mereka silih berganti mohon belas kasihan agar peristiwa ini tak dilaporkan kepada ndara menggung. Namun Martini tidak menjawab, hanya matanya mendelik marah. Para selir itu makin ketakutan. Mereka meratap-ratap dan menangis, supaya perbuatan mereka bisa diampuni.
Tentu saja Martini hanya mendelik dan tidak menjawab. Perempuan ini dalam keadaan penasaran. Ia tak bisa membuka mulut dan tak bisa melawan perbuatan laki-laki jahat itu. Ia amat malu sekali. Apa yang dialami sekarang ini, benar-benar menghina dan memalukan. Diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti guna melawan pengaruh mujijad yang membuat tubuhnya lemas dan mulutnya terkancing.
Timbullah tekadnya, ia akan melawan sampai mati kalau laki laki jahat itu akan berbuat kurang ajar.
Tetapi ternyata tenaga saktinya seperti macet. Malah membuat perutnya mual dan dadanya sakit.
Beberapa saat kemudian muncullah kembali "dewa" laki laki itu. Begitu "dewa" laki laki ini muncul. para selir yang ketakutan itu meratap ratap. Mereka mohon agar sudi membebaskan Martini. Mendengar itu, tiba tiba saja Sungsang ketawa terkekeh. Matanya berkilat. Kemudian ia menyeringai seperti iblis. Sungsang merasa tidak senang dan marah.
"Bagus! Kalian segera akan kubebaskan. Tetapi berlututlah kalian di depanku !"
Betapa gembira para selir itu tak bisa dibayangkan. Seperti berebut mereka segera berlutut di depan Sungsang. Karena mereka belum berpakaian. saking tergesa selimut yang membungkus tubuhnya lepas. Lima orang selir itu berlutut di depan Sungsang dengan telanjang.
"Cis-cus-cus-cus-cus.......!"
Dengan kecepatan tak terbayangkan jari tangan Sungsang bergerak. Para selir itu roboh di atas lantai tak bergerak lagi. Mereka semua telah mati. Ternyata pada ubun-ubun kepala selir itu terdapat lubang sebesar jari. Memang Sungsang tadi menusuk ubun-ubun dengan jari tangan yang kuat.
Martini yang terlentang di atas pembaringan terbelalak.
Ngeri di samping kaget!
Meskipun demikian dari sinar matanya. Selir ini marah dan penasaran. Pembunuhan keji berlangsung di depan hidungnya. tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Sungsang ketawa terkekeh setelah membunuh lima orang selir itu. Kemudian ia mengamati Martini dengan senyum menyeringai. Dada yang tak tertutup apa-apa itu menimbulkan gelora nafsunya. Ia menghampiri. Mengurut di bawah telinga Martini. Dan tiba-tiba saja selir ini dapat membuka mulut dan mencaci maki.
"Biadab! Iblis! Mengapa kau membunuh orang-orang yang tak berdosa?"
'Heh-heh-heh, siapa bisa melarang?" ejek Sungsang sambil terkekeh.
"Aku ingin berbuat dan aku lakukan. Kenapa kau ribut? Eh.. . manis, marilah kita sekarang bersenang-senang. Engkau cantik jelita bagai dewi kahyangan. Dan aku jatuh cinta kepadamu."
"Iblis! Siapa sudi mendengar bujuk rayumu?" bentak Martini dengan mata melotot.
"Aihh....!" Martini menjerit kaget ketika laki-laki ini menjamah dada.
"Bangsat busuk! Biadab! Kubunuh kau!"
'Bagus, bunuhlah jika bisa!" tantang Sungsang sambil mengejek. Kemudian jari tangannya bergerak mengurut punggung. Martini merasakan bahwa jalan darahnya lancar kembali dan bisa bergerak. Tiba-tiba saja perempuan ini meloncat dari pembaringan.
"Aihh....!"
Martini kaget dan malu ketika menyadari baju dan kain penutup dadanya sudah hancur, dan dadanya telanjang. Cepat disambarnya selimut untuk menutup dadanya. Lalu sambil menuding ia mencaci maki lagi,
"Iblis! Kau telah mengacau rumah ini. Jika aku menjerit, para penjaga akan segera datang dan membunuhmu!"
"Heh-heh-hah, menjeritlah sesuka hatimu. Siapa takut? Heh-heh, semua penjaga itu telah mampus lebih dahulu."
"Apa?!"
Martini terbelalak kaget. Namun diam-diam ia dapat menduga, bahwa mungkin benar apa yang diucapkan penjahat ini. Kalau penjahat ini sanggup melakukan pembunuhan kepada para selir yang tak bersalah ini, penjaga itupun tentunya lebih lagi. Tetapi apapun yang telah terjadi. Martini adalah seorang bekas murid Tuban. Semenjak muda ia telah digembleng tentang ilmu kesaktian dan pengertian tentang membela kebenaran dan keadilan. Dalam membela kebenaran. nyawa tak sayang dipertaruhkan.
Mendadak saja Martini melengking nyaring dan menyerang dengan dua belah tangan dan kaki. Sungsang hanya mengejek sambil menghindar ke kiri, dan tangannya bergerak menyambar selimut yang membelit tubuh Martini.
"Aihh....."
Martini menjerit kaget. Tetapi sudah tidak perduli lagi keadaannya. Sejak tadi laki-laki itu sudah melihat dadanya seperti ini.
Apa perlunya lagi disembunyikan?
Toh sama saja. Tangan dan kakinya bergerak lagi dan menyerang. Namun walaupun serangannya itu cepat, ia hanya seperti menyerang bayangan. Kemudian pada suatu ketika, Sungsang memancing dengan membuka bagian dadanya, menjadi. kosong tanpa penjagaan. Melihat kesempatan itu Martini gembira. Teriaknya,
"Mampuslah !'
Serangan Martini itu cepat sekali mengarah dada. Tetapi kegembiraannya itu kemudian berubah menjadi kekagetan. Lalu terdengar pula jerit Martini.
Apa yang terjadi?
Begitu tangan Martini menyerang dadanya, Sungsang terkekeh. Tangan Martini ditangkapnya tak dapat lepas lagi dengan tangan kiri. Berbareng itu, tangan kanannya telah mencengkeram pakaian Martini bagian bawah.
"Hayo, menyerah atau tidak?" hardik Sungsang dengan mulut menyeringai.
Martini kaget dan kebingungan, mendadak menjatuhkan diri berusaha menyembunyikan bagian tubuhnya yang terlarang. Sedang Sungsang senang sekali, dapat membuat Martini kebingungan.
Dalam keadaan demikian ini Martini sadar, dirinya terancam oleh kehinaan. Ia juga mengerti maksud penjahat melakukan perbuatan seperti ini. Dalam keadaan tak berdaya ini. Ia menjadi nekad. Tiba-tiba Martini roboh di atas lantai, dan dari mulutnya mengalir darah.
sungsang kaget. Tetapi telah terlambat dan tak bisa menolong lagi. Martini telah membunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri.
Tentu saja Sungsang menjadi penasaran dan marah. Ditendangnya tubuh Martini yang sedang meregang itu, terpental jauh dan menabrak tembok kamar. Martini telah mati tanpa banyak mengalami penderitaan. Sebaliknya Sungsang kecewa. Maksudnya mengulang permainan seperti kemarin malam di rumah Sri Rukmi tidak terujud.
Itulah yang telah terjadi di rumah Tumenggung Kebo Pamekas yang telah dilakukan oleh Sungsang. Sekarang. setelah tiga malam berhasil mengacau Tuban, ia berhadapan dengan Sawungrana.
Sungguh merupakan peristiwa yang tak pernah ia duga, dan mimpipun tidak. Mengapa pengawal rahasia Mataram ini berkeliaran di kota Tuban?
Namun Sungsang bukanlah seorang tolol. Ia cepat bisa menduga kehadiran tokoh ini. Kiranya sedang melakukan tugas untuk mengacau Tuban pula. Kalau dugaannya benar, berarti mempunyai tujuan yang sama. Dan apa yang dilakukan ini justeru menguntungkan Mataram pula. Sebab berarti ia telah memberi bantuan.
Memperoleh dugaan demikian Sungsang tertawa. Sahutnya kemudian,
"Ah paman, sungguh kebetulan sekali. Tanpa berjanji, kita telah bertemu dalam kota musuh. Paman, aku memang sengaja melakukan perbuatan pengacauan yang nggegirisi. Maksudku di samping untuk membuat rakyat ketakutan. agar Tuban hancur semangatnya.'
"Jadi. pelaku di rumah Tumenggung Kebo Bangah, Kebo Pamekas dan Wirontono itu. kau semua?"
"Paman tahu?"
Sungsang terbelalak kaget.
"hemm."
Sawungrana hanya mendengus. Tetapi Sungsang malah bangga.
"Begitulah paman, , semuanya aku yang melakukan. Bukankah hebat? Rakyat Tuban sekarang giris dan miris. Aku berjasa besar bagi kejayaan Mataram."
"Dan para murid Tuban itupun. engkau pula yang membunuh ?" pancing Sawungrana.
"Mengapa tidak? Mereka merupakan aparat musuh!" sahut Sungsang sambil tersenyum.
"Aku masih ingat betapapun membandel ketua Perguruan Tuban atas perintah Gusti Wandansari. Perguruan Tuban itu menimbulkan kesulitan bagi Mataram, dalam usaha kita merebut Tuban. Buktinya mereka langsung membantu Tuban. Bukankah murid-murid Tuban yang terang-terangan membantu musuh itu, sudah sepatutnya pula kita hancurkan? Hah-heh paman, dan malam ini aku bermaksud membuat peristiwa nggegirisi di rumah ini." .
'Hemm..... Sungsang. Mengapa engkau menjadi rusak semacam ini?"
Sawungrana tampak menyesal. Sejak dahulu ketika masih di Mataram ia memuji akan bakat bocah ini. Hanya sayang oleh pendidikan Patra Jaya yang salah. Dan di samping itu pula Patra Jaya sendiri yang selalu memberi contoh, akibatnya bocah ini menjadi bejat.
"Hah-hah-ha, apanya yang rusak, paman?" Sungsang tertawa.
"Sudah wajar apabila laki-laki selalu mengubar perempuan. Sebaliknya pula, apabila tidak malu. perempuan pun menguber laki-laki. Sebab saling membutuhkan."
"Hem, baiklah jika kau berpendapat begitu. Tetapi Sungsang, hentikan perbuatanmu di kota ini."
"Ahhh,."
Sungsang kaget.
"Apa sebabnya? Bukankah perbuatanku ini menguntungkan Mataram? Dan berarti pula aku berjasa? Aku tak hanya sekadar berbuat. Tetapi aku memilih sasaran yang tepat. Rumah para tumenggung. Dan kemarin, aku berusaha menghancurkan hati Adipati Tuban dengan membunuh calon selirnya yang baru."
Sawungrana mulai jengkel menghadapi Sungsang yang selalu mengemukakan dalih demi keuntungan Mataram itu. Ia tak ingin mengulur waktu. Apabila dapat, ia memang merasa tak tega kepada murid Patra Jaya ini. Asal sudah pergi dan tak mengganggu penduduk Tuban lagi, sudah cukup. Katanya dengan tegas,
"Sungsang, dengarlah! Jangan kau berusaha menutupi keburukanmu, dengan kedok memberikan jasa kepada Mataram. Engkau bukan membantu Mataram. Tetapi malah memusuhi!"
"Aihh... mengapa bisa terjadi?"
Sungsang kaget. Ia memang tidak membohong. Ia memang benarbenar tidak tahu apa yang telah terjadi. Tidak tahu pula bahwa Perguruan Tuban yang sekarang adalah lain. Tidak tahu bahwa perguruan itu sudah merupakan aparat Mataram.
"Hemmm, dengarlah baik-baik! Engkau telah melakukan beberapa kesalahan dan kedosaan bagi Kerajaan Mataram dan bagi Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung, maupun. terhadap Gusti Kangjeng Ratu Wandansari. Pertama, Perguruan Tuban sekarang bukanlah musuh. Perguruan Tuban adalah alat Mataram yang menguntungkan. Sesudah Ketua Perguruan Tuban diganti oleh Gusti' Kangjeng Ratu Wandansari.' .
"Ahh......"
Sungsang berseru kaget.
"Jadi Perguruan Tuban bukan musuh. Dosamu yang kedua, engkau telah merugikan Mataram dengan pengacauanmu ini. Sebab sebenarnya kota Tuban ini sudah jatuh ke dalam kekuasaan Mataram. Dan para murid Tubanlah yang bertugas menguati dan mengamankan Tuban. Maka dengan perbuatanmu ini, berarti' engkau memusuhi Mataram. Kemudian dosamu yang ketiga. Engkau telah melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang murid Tuban dan penduduk Tuban. Terhadap perbuatanmu kepada para bangsawan Tuban itu masih bisa dimengerti karena engkau menganggap mereka musuh. Tetapi pembunuhan yang kaulakukan terhadap para murid Tuban, berarti engkau membunuh aparat Mataram. Engkau memusuhi. Hemm..... kalau saja yang melakukan perbuatan biadab dan terkutuk ini bukan engkau. Bukan murid kakang Patra Jaya. sahabatku. Hemm, manakah mungkin aku bisa memberi ampun? Karena itu, hemm."
Sawungrana berhenti dan menghela napas.
"sudahlah, secepatnya engkau pergi dari Tuban. Pergilah dan jangan kauulang lagi perbuatanmu di sini."
Wajah Sungsang sebentar merah sebentar pucat saking marahnya.
Mengapa orang bicara seenaknya sendiri menyalahkan dan menganggap dirinya berdosa tiga macam?
Dirinya bukanlah anak kecil yang bisa digertak. Dan dia bukan pula seorang penakut. Jangan lagi ia berhadapan dengan Sawungrana. Sekalipun ia berhadapan sendiri dengan Ratu Wandansari maupun Sultan Agung, ia tidak usah takut. Ia bukan hamba Mataram. Dirinya manusia bebas yang bisa berbuat apapun tanpa ikatan orang lain.
Mengapa sekarang dianggap bersalah dan berdosa?
Dalam pada itu Sungsang pun mengandalkan akan kesaktiannya sendiri. Ia masih ingat kala gurunya ketika itu.
"Sungsang engkau sekarang telah berhasil menguras semua ilmuku. Jika engkau rajin berlatih diri. dalam lima tahun mendatang aku sendiri takkan _bisa menang melawan engkau. Engkau sekarang telah dapat berdiri sendiri, mengandalkan kekuatanmu sendiri."
Demikian antara lain kata Patra Jaya ketika itu. Dan Sungsang menjadi bangga dan berbesar hati. Ia menjadi seorang sombong yang tak pernah takut berhadapan dengan siapapun, akibat kata-kata Patra Jaya itu.
Patra Jaya memang selalu beranggapan bahwa dirinyalah paling sakti tiada lawan. ,.Memang di Mataram, ia merupakan orang pilih tanding. Dalam barisan pengawal rahasia Mataram, hanya beberapa gelintir orang saja yang sejajar tingkatnya. Terdorong oleh wataknya yang sombong maka dalam berkata kepada muridnyapun, setengah sombong. Mestinya kepada muridnya itu, ia harus memberi nasihat, supaya dalam hidupnya Sungsang harus berhati-hati. Sebab di dunia ini tidak terhitung jumlahnya manusia sakti. Tidak seorangpun 'bisa menyombongkan diri paling pandai dan paling sakti.
Pengaruh kata-kata gurunya itu. sekarang menguasai perasaan Sungsang. Walaupun ia berhadapan dengan salah seorang tokoh pengawal rahasia Mataram, sedikitpun tidak gentar. Sahutnya.
"Paman! Engkau dan aku tiada hubungan apa-apa. Engkau bebas berbuat, dan akupun begitu juga. Kalau engkau mempunyai kepentingan, aku pun mempunyai kepentingan pula. Engkau beralasan demi Mataram. Sebaliknya aku beralasan demi kebutuhanku. heh-heh. Di Tuban ini banyak wanita cantik, dan aku kerasan di sini. Apakah hakmu melarang dan mengusir aku ?"
Sawungrana mengerutkan alisnya mendengar kata-kata Sungsang yang nadanya ketus itu. Diam-diam ia menyesal, mengapa bocah sehebat ini terlanjur sesat jalan. dan menjadi seorang sombong. Kalau ia tadi bersikap lunak memberi kesempatan kepada Sungsang supaya pergi tidak diganggu, bukan lain adalah mengingat hubungan baiknya dengan Patra Jaya. Namun ternyata sekarang sikapnya yang lunak itu malah dibalas dengan sikap yang ketus.
Sombong!
Diam-diam timbullah keputusannya. bahwa orang ini harus diberi hajaran yang setimpal. Agar bocah ini tahu betapa dalamnya lautan dan tingginya langit. Berpikir demikian tiba-tiba saja sikap Sawungrana berubah. Bentaknya.
"Sungsang, hemm, aku bersikap baik, namun ternyata engkau keras kepala dan tak tahu kebaikan orang. Baiklah, Sungsang! Antara engkau dan aku memang tak ada sesuatu ikatan. Engkau dapat berbuat sesukamu! Tetapi hemm, di depan Sawungrana engkau tak dapat berbuat sesuka hati. Jika engkau keras kepala, hemmm. Jangan salahkan aku, jika terpaksa turun tangan kepadamu!"
Sungsang terkekeh. Namun jelas bahwa orang ini marah sekali. Katanya lagi tak kurang ketusnya,
"Hem. engkau bisa menggertak orang lain. tetapi Sungsang tidak. Jangan salahkan aku jika aku yang muda terpaksa menghajar orang tua. Engkau sendiri orang tua yang tak tahu diri dan minta dihajar!"
Seperti meledak dada Sawungrana mendengar katakata Sungsang yang amat sombong dan ketus itu. Namun ia merasa dirinya orang tua. Ia masih bisa menekan kemarahannya. Ia masih mencoba sekali lagi untuk membujuk,
"Sungsang, apakah engkau benar-benar tak mau mendengar nasihatku ? "
Tetapi justeru maksud baik SaWungrana ini diterima salah oleh Sungsang. Ia mengira, bahwa Sawungrana takut.!
Ia mengira bahwa dirinya memang sudah tanpa tanding lagi. Maka ia tertawa terkekeh mengejek.
'heh-hen-heh, tidak seorangpun manusia di dunia ini yang kudengar kata dan naSihatnya, kecuali guruku!"
Sawungrana terkesiap mendengar itu.
Ah. benar, pikirnya.
Sikap sombong Sungsang ini tentu ada sebabnya.
Hem, kiranya Sungsang dilindungi oleh gurunya, Patra Jaya. Walaupun dalam melaksanakan tugas ini tak gentar menghadapi maut, namun Patra Jaya memang perlu diperhitungkan. Ia sudah kenal baik watak tabiat Patra Jaya. Orang yang suka menurutkan kemauan sendiri dan tak ingat lagi persahabatan.
"Hemm," dengus Sawungrana.
"Engkau menjadi sombong karena mengandalkan gurumu!"
"Siapa yang mengandalkan guru?" sahut Sungsang ketus.
"Tanpa gurupun, siapa yang takut? Kalau memang kau ingin mencoba, nih makanlah!"
Tak terduga cepatnya, Sungsang sudah menerjang maju mengirimkan serangan bertenaga dahsyat. Angin pukulannya menyambar menerbitkan hawa dingin. Jangan dianggap ringan hawa dingin yang keluar dari telapak tangan itu. Sebab mengandung racun yang amat berbahaya, dari Aji "Wisa Naga". Orang yang terkena pukulan Aji 'Wisa Naga" ini. salah-salah melayanglah jiwanya keracunan.
Seperti telah diceritakan dalam cerita "Jaka Pekik" dan "Ratu Wandansari", bahwa baik Petra Jaya maupun adik seperguruannya yang bernama Gupala. merupakan dua tokoh sakti yang memiliki Aji "Wisa Naga".
Dahulu, akibat Jaka Pekik terkena pukulan Aji "Wisa Naga" dan keracunan hebat. menjadi hidup terlunta-lunta. Kalau saja tidak memperoleh perlindungan Tuhan, tentu sudah mati. Namun justeru karena hidupnya terlunta-lunta itu, kemudian Jaka Pekik menjelma sebagai manusia sakti mandraguna, sesudah ia mengalami penderitaan dan peristiwa-peristiwa yang hampir merenggut jiwanya.
Justeru mengandalkan kepada Aji "Wise Naga" yang ditakut orang ini, maka Sungsang menjadi manusia sombong. Berhadapan dengan Sawungrana tanpa gentar sedikitpun. Dan kenyataannya, Sawungrana sendiri memang tak berani sembrono terhadap pukulan yang mengandung racun dingin ini. Ia meloncat ke belakang. Ke halaman depan pendapa, mencari tempat yang lebih luas.
Sungsang terus mengejar dan terus melancarkan serangannya bertubi-tubi. Serangannya ganas sekali, Diam-diam Sawungrana terkejut. Dari serangan-serangan ini. insyaflah bahwa Sungsang bukan sekadar melawan. Tetapi justeru berusaha membunuhnya. Karena lawan berusaha membunuhnya, Sawungrana tidak ragu-ragu lagi. Kalau memang terpaksa iapun harus tak segan-segan pula membunuh murid sahabatnya ini. Sesungguhnya, dalam hal kematangan dan tingkat tenaga saktinya ia tak perlu merasa kalah. Tetapi yang membuat ia kesulitan adalah aji "Wisa Naga" itu. Dengan benturan tangan, racun dingin itu bisa merembes masuk ke dalam tubuhnya dan meracuni darahnya. Mengingat bahaya itu, Sawungrana tak berani bersentuhan. Ia mengandalkan kematangan ilmu dan kegesitannya, sambil melancarkan serangan balasan, dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Pertempuran itu berlangsung cepat sekali dan angin menyambar-nyambar dahsyat ke sekitarnya. Sambaran angin pukulan yang dahsyat, dan kadang-kadang disertai hentakan-hentakan nyaring dari mulut Sungsang, terdengar pula oleh para penghuni rumah itu. Mereka menjadi amat ketakutan. Mereka telah mengira. penjahat telah datang ke rumah ini. Dan sekarang telah terjadi pertempuran.
Dalam takut dan bingungnya, mereka kemudian saling berusaha mencari tempat sembunyi dengan tubuh gemetaran. Tetapi kalau masih bersembunyi di dalam rumah, tak urung penjahat itu akan tahu. Persembunyian yang paling aman hanyalah di luar rumah. Beberapa orang meloncat ke dalam lubang tempat membuang sampah. Lalu mereka mendekam tak berani bergerak dan membuka mulut lagi.
Saking takutnya walaupun digigit nyamuk dan rasa gatal mengamuk, dibiarkan melulu.
Nyamuk-nyamuk berpesta pora jadinya. !
Di samping ada yang bersembunyi dalam lubang pembuangan sampah, terdapat pula wanita-wanita cantik yang tanpa ragu-ragu lagi masuk kedalam WC .Pada mulanya mereka terpaksa harus menahan napas dan memitas hidung. Tetapi untuk tidak bernapas mereka tak tahan. Akibatnya walaupun bau menyengat hidung, pening dan hampir memabukkan, terpaksa ditahankan.
Sesungguhnya hal itu merupakan siksaan. Tetapi masih lebih untung daripada tertangkap oleh penjahat cabul itu. Dan oleh perasaan mereka ini, kemudian mengurangi penderitaan mereka. Bau yang semula terasa memabukkan itu, akhirnya malah merupakan bau yang sedap....
Sementara itu pertempuran antara Sungsang melawan Sawungrana berlangsung makin sengit. Angin pukulan makin dahsyat menyambar ke sekitarnya. Dan karena tempat yang dijadikan ajang perkelahian ini tak jauh dari para murid Tuban menggeletak tak bernyawa, maka mayat itu tertendang atau tersepak jatuh berdebukan di tempat yang cukup jauh. Pohon di sekitarnya rontok daun-daunnya, berikut ranting dan dahannya.
Diam-diam Sungsang amat penasaran sekali. Selama ini, setiap ia menghadapi lawan, dalam segebrakan saja telah dapat merobohkan lawan. Kalau tidak tewas seketika, tentu roboh kena racun dingin Aji Wisa Naga. Akan tetapi sekarang ini pertempuran sudah berlangsung ratusan jurus. Namun lawan dapat mengimbangi baik sekali. dan tak pernah mau berbenturan tangan. Sungsang lupa bahwa yang dihadapi sekarang ini sahabat gurunya, yang tahu akan ampuhnya Aji Wisa Naga ini. Maka Sawungrana tak mau berbenturan tangan.
Tetapi sebaliknya, Sawungranapun diam-diam kagum.
Benar-benar berbakat Sungsang ini. Masih dalam usia tigapuluh tahun lebih, telah sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya. Setelah matang dalam ilmunya, kemudian Sungsang bakal menjadi manusia sakti pilih tanding. Sayang, Sungsang telah rusak dan jahat. Tak urung kemudian hari muncul seorang penjahat kejam yang amat berbahaya bagi keselamatan manusia. Membayangkan kemungkinan yang bakal terjadi kemudian hari ini, tiba-tiba saja ia melengking nyaring. Lengkingan yang dilambari tenaga sakti ini dapat mengguncangkan jantung. Sungsang terkejut ketika merasakan persendiannya lemah dan jantungnya berdegup cepat. Ia mengumpulkan semangat melawan pengaruh lawan.
"Aiih.....!"
Pekik Sungsang tertahan sambil melesat jauh menghindarkan diri. Hampir saja ia menjadi korban sambaran bola baja berduri senjata "bandil eri" Sawungrana. Maka begitu ia menginjakkan kaki ke tanah, pada tangannya telah tergenggam pula senjatanya. Senjata cambuk panjang pemberian gurunya. Cambuk yang tak pernah dipergunakan, apabila tidak menghadapi lawan tangguh.
Ternyata lengking nyaring Sawungrana tadi untuk mempengaruhi lawan. Dan berbareng itu, dengan gerakan yang amat cepat telah mengambil senjatanya.
"Sungsang!" katanya.
"Sekali lagi aku peringatkan kepadamu. Enyahlah sebelum terlanjur aku marah. Pergilah dari Tuban malam ini juga, dan aku tak mau mengganggu lagi."
Tetapi manakah mungkin Sungsang mau mendengar kata-kata Sawungrana ini?
Ia berbesar hati dan bangga. Buktinya ia dapat melawan salah seorang tokoh pengawal rahasia Mataram sampai ratusan jurus. Dengan demikian terbukti bahwa drinya sudah bisa menyebut seorang sakti. Malah dirinya tak perlu merasa kalah dengan Sawungrana ini. Oleh sebab itu ia terkekeh mengejek.
"Heh-heh-heh, marahpun siapa yang takut? Aku bukan seorang pengecut. Aku berbuat berani bertanggung jawab. Hayo, apa abamu! Cambukku akan langsung mengantarkan nyawamu ke akhirat!"
Sikap ketus ini membuat wajah Sawungrana merah padam. Tiba-tiba ia membentak nyaring dan bandil erinya berkelebat.
"Trang-trang-tring.....cring.....!" benturan senjata terjadi berulang-ulang, dan pijar api beterbangan.
Sungsang terhuyung mundur dua langkah. Dan ia kaget ketika merasakan telapak tangannya panas. Sadarlah Sungsang bahwa dalam hal tenaga sakti maSih kalah dengan Sawungrana.
Takut?
Tiada istilah takut dalam hati Sungsang. Sambil menggeram marah ia menggerakkan cambuknya. Meledak-ledak di udara dan gerakannya amat capat sekali. Ilmu cambuk ajaran gurunya adalah ilmu cambuk tingkat tinggi. Ilmu yang sengaja diciptakan oleh Patra Jaya, disesuaikan dengan bakat Sungsang sendiri. Dahulu ketika masih hidup di desanya. setiap hari ia berkewajiban menggembala kerbau orang tuanya. Ia menggunakan cambuk bukan saja untuk menghalau kerbau. tetapi kadang pula bisa melecut buah di atas pohon, maupun ikan yang mengambang di bawah permukaan air. Ia seorang yang mahir menggunakan cambuk sekalipun tiada orang yang membimbing. Maka Patra Jaya memupuk bakat tersebut dengan ilmu khusus yang diciptakannya.
Ilmu cambuk ajaran Patra Jaya ini cukup aneh dan banyak gerak perubahannya yang tak terduga. Gerak pancingan maupun tipu selalu berkembang setiap gerakan. Maka lawan yang kurang hati-hati, nyawanya akan melayang.
Akan tetapi Sungsang lupa bahwa yang dihadapi sekarang ini salah seorang sahabat gurunya. Dahulu ketika di Karta. Sawungrana sering sekali bertandang ke rumah Patra Jaya. Karena hubungannya terlalu baik, maka Patra Jaya tidak merahasiakan ilmu cambuk itu. Malah sering kali setiap melatih Sungsang, Patra Jaya minta pendapat Sawungrana mana yang perlu dirubah dan disempurnakan. Maka Sawungrana banyak mengetahui gerak dan tipu ilmu cambuk itu, walaupun tidak seluruhnya.
Di samping ia telah mengetahui secara baik dasar ilmu cambuk yang digunakan Sungsang sekarang, iapun sekarang bukan Sawungrana empat tahun yang lalu. Setelah ia memperoleh tambahan pengetahuan ilmu tata kelahi dari beberapa perguruan. Ia menjadi seorang yang luas pengetahuannya dalam hal ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktian. Maka dalam melayani sambaran cambuk Sungsang, bisa menduga sebelumnya. Malah sambil menghindarkan diri, ia langsung membalas menyerang.
Sambaran bandil eri yang tajam itu dahsyat sekali. Mengarah leher, dada dan bawah pusar. Tentu saja Sungsang amat terkejut sekali dan cepat membuang diri berjungkir balik ke belakang, sambil melindungi tubuhnya dengan sambaran cambuk. Sungsang sungguh heran sekali.
Mengapa lawan bisa menduga ke mana arah sambaran cambuknya?
Ia lupa sama sekali kedudukan Sawungrana sebagai sahabat gurunya. '
Tetapi dasar Sungsang merupakan seorang yang amat membanggakan diri sendiri. Menganggap bahwa hanya gurunyalah orang yang paling sakti. Dan dirinya merupakan orang kedua yang tiada lawan pula. Maka ia tak mau menyadari keadaannya. Ia malah menjadi marah dan penasaran bahwa serangannya selalu tak memberi hasil. Ia membentak keras sambil memutarkan cambuknya, meledak-ledak di udara seperti halilintar. Kemudian menukik turun menyambar ke arah kepala dan dada lawan sekaligus. Kalau saja yang diserang dengan dahsyat ini bukan Sawungrana, mungkin sekali sulit menghindarkan diri, dan mungkin pula melayang jiwanya.
Sayang Sawungrana tahu rahasianya. Walaupun hanya dasar, namun sebagai seorang ahli mudah bisa menduga perkembangan serangan itu. Serangan yang tampaknya menyambar pusar dibiarkan begitu saja, karena ia tahu bahwa serangan tersebut hanyalah pancingan. Ia meloncat ke kiri disusul cengkeraman tangan kiri ke pergelangan tangan lawan. Sungsang kaget. Cepat-cepat menarik tangannya, menolong diri dengan tendangan kaki kiri.
Demikianlah, makin lama keadaan Sungsang bukan semakin menjadi baik, tetapi malah menjadi payah dan terdesak hebat. Sambaran cambuk yang selalu dibanggakan itu malam ini ketanggor batu. Ia malah selalu diancam oleh bandul eri lawan yang amat berbahaya. Bukan saja bola baja itu berduri tajam. Tetapi baru sambaran anginnya saja sudah dapat merontokkan jantung.
Sungguh, selama ia diperbolehkan berkelana oleh gurunya. baru malam ini saja Ia kesulitan. diancam bahaya tanpa bisa membalas. Akan tetapi dasar ia sudah terlanjur menganggap dirinya paling sakti. Ia bukan mau menyadari keadaan menyelamatkan diri sebelum terlambat, malah menjadi semakin penasaran. Tiba-tiba ia melengking nyaring dan
wut wut.. ...
Sinar putih berkelebat lepas dari tangan kiri Sungsang. Sembilan batang pisau kecil seperti kilat cepatnya menyambar kesembilan bagian tubuh Sawungrana yang berbahaya.
Kaget juga Sawungrana oleh sambaran senjata rahasa itu. karena sama sekali tidak diduganya. Sedang di samping itu jaraknyapun amat dekat. Masih untung ia tidak lengah. Ia mencelat tinggi di udara. Senjatanya diputar seperti baling-baling melindungi tubuh. Beberapa batang pisau menyambar di bawah kakinya, dan semuanya gemerincing jatuh di tempat jauh terbentur bandil eri.
Namun Sungsang tak hanya berdiri.
Ia menyusuli serangan cambuk guna menghalangi Sawungrana mendarat kembali. Sudah tentu Sawungrana yang tak bersayap tak mungkin dapat bertahan diudara. Sawungrana membenturkan bola berdurinya ke cambuk lawan sambil meminjam tenaga. Tubuhnya kembali membal di udara agak tinggi, lalu berjungkir-balik tiga kali diudara, meluncur turun beberapa meter jauhnya. Tetapi
wut---wut......!
Belum juga Sawungrana menginjakkan kaki ke tanah. Sungsang telah menyambitkan sembilan batang pisau lagi. Sambaran senjata rahasia ini membuat Sawungrana terpaksa sibuk.Sungsang dapat membalas dengan serangan serangan berbahaya.
Diam-diam Sawungrana menjadi marah. Sungguh jahat murid Patra Jaya ini. pikirnya. Bukan saja jahat, tetapi juga ganas, kejam dan licik. Manusia sejahat ini sungguh berbahaya dibiarkan hidup terus.
Sebaliknya Sungsang menjadi berbesar hati. Ternyata ia dapat menolong kesulitannya dengan menyebarkan senjata rahasia. Maka setiap ia terdesak, tangan kirinya segera menyebarkan pisau-pisau terbangnya. Walaupun Sawungrana beberapa kali dapat menghindari dan menghalau pisau-pisau yang beterbangan itu, pada suatu ketika sedikit terlambat. Akibatnya, sebatang pisau terbang dapat melukai pahanya.
Tidak berat!
Hanya menyerempet saja. Namun darah merah segera mengucur dari luka. Dan Sawungrana merasa sakit dan nyeri. Untung sekali bahwa pisau yang disambitkan oleh Sungsang itu hanya pisau biasa. Tidak mengandung racun sama sekali.
Tetapi sekalipun begitu, Sawungrana menjadi marah dan penasaran. Ia membentak nyaring. Bandil erinya berkelebat dengan menerbitkan angin yang dahayat. Gempuran Sawungrana yang dilanda kemarahan ini, membuat Sungsang kembali terdesak secara hebat sekali maka Sungsang tidak sempat untuk menyebarkan pisau terbang nya lagi.
"Wut-wut... plak dees.....!"
Sungsang terbuyung ke belakang seperti layang-layang putus, beberapa meter jauhnya. Kemudian ia roboh di atas tanah setelah muntah darah segar. Di pihak lain, Sawungrana pun terbuyung beberapa langkah ke belakang. Kemudian ia jatuh terduduk, memejamkan mata dan mengatur napas.
Apa yang terjadi berlangsung hanya dalam waktu beberapa detik saja. Sawungrana yang marah dan telah terluka itu. mendesak Sungsang hebat sekali. Pada suatu saat 'bandil eri" Sawungrana dapat membuat cambuk Sungsang tak dapat ditarik kembali.
Tangan kiri bergerak secepat tatit. Dada Sungsang terpukul secara telak. Namun sebaliknya tangan kiri Sungsangpun berhasil memukul pundak Sawungrana. Sesungguhnya pukulan Sungsang itu kurang mengenakan secara tepat. Pundak Sawungrana tidak mengalami cedera, hanya terasa agak nyeri saja. Akan tetapi pukulan Sungsang itu bukanlah pukulan biasa. Pukulan itu mengandung racun dingin dari Aji "Wisa Naga".
Maka begitu terpukul pundaknya, Sawungrana merasa ada hawa yang sangat dingin menyelundup masuk ke dalam tubuhnya. Sawungrana menyadari bahwa racun dingin itu amat berbahaya. Maka Sawungrana segera duduk bersila mengatur pernapasan, guna melawan masuknya racun dingin tersebut, agar terusir dan tidak membahayakan keselamatannya.
Pengaruh racun dingin dari Aji "Wisa Naga" itu memang hebat sekali. Walaupun. Sawungrana merupakan seorang tokoh sakti, yang tenaga saktinya telah mencapai tataran cukup tinggi, pengaruhnya amat terasa. Saat itu juga Sawungrana merasa kedinginan, seperti duduk di bawah hujan salju. Ia terus mendesak racun yang mengandung hawa dingin tersebut agar tidak menjalar ke dalam dada dan jantung. Namun demikian, hasilnya lambat.
Kalau pukulan yang mengandung Aji "Wisa Naga" itu sangat berbahaya, tak seorangpun yang dapat mengungkiri.
Dalam cerita "Ratu Wandansari" pernah diceritakan, betapa tokoh Gagak Rimang yang sakti mandraguna, Lawa Ijo dan Kebo Jalu menjadi kedinginan, dipukul oleh Patra Jaya dan Gupala. ketika berhadapan di depan rumah Perguruan Kemuning. Kemudian Rara Intenpun pernah merasakan hebatnya pukulan tersebut. Untung mereka tertolong berkat pertolongan Jaka Pekik.
Pada aaat Sungsang roboh dan Sawungrana duduk berdiam diri mengatur pernapasan ini, mendadak terdengar suara ketawa orang terkekeh. Belum lenyap suara
ketawanya, berkelebatlah bayangan yang amat gesit. Melayang turun dari sebatang pohon yang cukup benar, seperti seekor burung raksasa. Bayangan tersebut melayang ke arah Sawungrana sambil menyerang dengan pukulan jarak jauh. Jangan diremehkan pukulan jarak jauh bayangan ini. Angin yang ke luar dari telapak tangannya bercuitan menyambar dahsyat ke arah Sawungrana yang masih duduk berdiam diri.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar seruan nyaring.
Menyusul berkelebat dua bayangan orang yang gesit pula, melayang dari atas tembok. Dua orang itu hampir berbareng menggerakkan tangan mereka. Melancarkan pukulan jarak jauh pula guna menangkis pukulan bayangan yang pertama. Pertemuan dua tenaga yang tak tampak itu hebat sekali. Mereka tidak bersentuhan tangan. Namun tubuh mereka seperti diserang badai. Mereka terhuyung huyung mundur. Kalau bayangan yang pertama terhuyung mundur sampai empat langkah ke belakang, sebaliknya dua orang itu hanya terbuyung dua langkah ke belakang. Memang taklah mengherankan, jika terjadi demikian. Sebab pukulan bayangan yang pertama tadi, d sambut oleh dua orang secara berbareng.
"Heh-heh-heh. bagus! Tuban amat jauh dengan Karta. Tetapi anehnya, mengapa kalian seperti demit telah muncul di kota ini dan mengganggu muridku?" terdengar bayangan pertama berkata. suaranya serak.
Mudah diduga, siapakah tiga bayangan yang baru datang ini?
Bukan lain adalah Patra Jaya, Hesti Wiro dan Reksogati. Tiga orang ini muncul pada saat yang hampir bersamaan. Patra Jaya yang melihat muridnya roboh tak berkutik di atas tanah menjadi marah sekali. Sebab ia mengira bahwa muridnya yang muntah darah itu sudah tewas. Maka begitu muncul ia telah melancarkan serangannya ke arah Sawungrana yang sedang duduk bersamadhi. Melihat bahaya yang mengancam itu, Hesti Wiro dan Reksogati cepat pula bertindak. Dengan berbareng dan menggunakan tenaga gabungan menangkis serangan Patra Jaya.
Kaget juga Patra Jaya melihat munculnya bekas rekan sekerja itu. Maka ia segera tertawa dan berkata mengejek.
"Heran..." dengus Reksogati dingin.
"Bertambah usiamu, tetapi tetap juga engkau seorang kasar dan berangasan. Coba jawablah pertanyaanku. Apa sebabnya secara curang engkau melancarkan pukulan maut kepada adikku ?"
"Heh heh-heh heh. engkau boleh membela adikmu. Sangkamu Patra Jaya takut?" jawab Patra Jaya penuh kesombongan.
"Tetapi coba kaulihat. Siapakah yang membuat muridku roboh ini? Hemm.. kalau muridku mati, Sawungrana harus menebus pula dengan nyawanya."
Hesti Wiro yang tahu penderitaan Sawungrana akibat racun dingin "Aji Wina Naga". sesungguhnya sudah ingin sekali membantu mengusir racun dingin dari dalam tubuh Sawungrana. Namun kehendak itu terpaksa ditahan dan ditunda. mengingat kehadiran Patra Jaya. Ia percaya bahwa Reksogati akan dapat menandingi Patra Jaya. Mengingat dua orang itu tingkatnya seimbang. Namun Ia sadar pula bahwa Patra Jaya seorang yang licin. Salah-salah Reksogati celaka di tangan Patra Jaya. Sebaliknya apabila sekarang pihak mereka ada dua orang, walaupun Patra Jaya seorang yang selalu membanggakan kepandaiannya sendiri, masih akan memperhitungkan pula untung dan ruginya. Dengan kekuatan yang tak seimbang itu, kiranya Patra Jaya sedia mengalah, sehingga keributan bisa dihindarkan.
Dalam pada itu Reksogati mendelik ke arah Patra Jaya. Jawabnya,
"Benarkah muridmu itu mampus? Periksa dulu baik-baik."
Patra Jaya mendengus. Tetapi kakek ini segera membungkuk pula untuk memeriksa muridnya. Hatinya gembira juga setelah tahu bahwa Sungsang tidak tewas. Muridnya itu hanyalah pingsan saja akibat terluka dalam. ia kembali berdiri tegak. Katanya dingin,
"Benar. Muridku hanya pingsan saja. Tetapi haruskah orang yang mencelakakan muridku itu, aku biarkan begitu aja?"
"Memang hakmu membela murid. Tetapi, hendaknya engkau teliti dulu akan sebab-musababnya. Apakah muridmu tidak melakukan kesalahan?" kata Reksogati bersemangat.
"Hemm... Patra Jaya! Tahukah engkau bahwa muridmu ini seorang yang amat jahat, kejam dan ganas? Telah tiga malam berturut-turut muridmu membunuh orang-orang tak berdosa. Haruskah dibiarkan merajalela perbuatan muridmu yang tak kenal perikemanusiaan itu?"
"Heh-heh-heh," Patra Jaya ketawa terkekeh mengejek.
"Bagus sekali bahwa engkau sekarang pandai mencari kambing hitam dan alasan. Tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, apakah engkau sudah berbalik kiblatmu? "
"Kurang ajar! Apa maksudmu!" bentak Hesti Wiro yang sejak tadi berdiam diri.
"Engkau hamba Mataram. Tetapi mengapa sebabnya engkau sekarang menjual lagak dan jamu di kota musuh? Bukankah muridku ini malah memberikan jasa untuk Mataram? Dengan pengacauan ini yang untung Mataram."
"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Reksogati.
"Kalau memang tidak tahu, sebaiknya engkau tak usah membuka mulut. Agar tidak menjadi buah tertawaan anak kecil. Siapa bilang kota Tuban ini sekarang wilayah musuh? Huh-huh, buka mata dan telingamu lebar lebar. Kota Tuban telah dikuasai Mataram. Dan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, kami bertiga ditugaskan untuk menjaga keamanan. Katakanlah, sebagai penjaga keamanan, kami harus membiarkan saja muridmu merajalela melakukan kejahatan?"
Kaget juga Patra Jaya mendengar jawaban itu. Ia memang tidak tahu terjadinya perubahan. Sebab baru malam ini saja ia menginjakkan kakinya di bumi Tuban. Sejak ia pergi dari Mataram, kemudian ia bertemu dengan Ratu Wandansari di Bligo, ia memang terpisah dengan muridnya. Ia tidak tahu kepergian muridnya. Sedang dirinyapun setelah bentrok dengan adik seperguruannya. Gupala, berpisah dan mencari jalan hidup sendiri. Dalam perantauannya ini akhirnya pada malam ini menginjak bumi kota Tuban. Pada saat ia melangkah perlahan lahan ini, ia kaget mendengar lengking nyaring. Dua macam lengking nyaring yang sama tajam, tetapi mempunyai nada yang berbeda. Tetapi ia tidak akan lupa suara lengking muridnya. Dari lengking itu. Patra Jaya tahu bahwa suara lengking tajam tersebut keluar dari mulut muridnya yang marah. Namun di samping itu iapun terkejut juga mendengar lengking yang lain. Dari lengking tersebut ia dapat menduga, bahwa lengking itu keluar dari mulut seorang sakti.
Ketika ia tiba di tempat, ternyata ia sudah terlambat. muridnya terhuyung ke belakang kemudian roboh. Dan lawan yang dihadapi muridnya jatuh terduduk. Karena gelap ia belum tahu siapakah lawan muridnya. Maka begitu datang ia segera melancarkan serangannya. Baru sesudah Hesti Wiro dan Reksogati muncul, tahulah ia bahwa yang melawan muridnya bekas rekannya, Sawungrana.
Bagi Patra Jaya, sebenarnya tidak perlu takut kepada orang lain. Maka walaupun harus berhadapan dengan Hesti Wiro bersama Reksogati, iapun tidak perlu gentar. Ia bangga akan ampuhnya Aji 'Wisa Naga". Tetapi setelah mendengar bahwa tiga orang bekas rekannya ini sebagai petugas-petugas keamanan. ia perlu berpikir dulu sebelum berbuat. Sebagai bekas hamba Mataram yang tahu betapa kuatnya Mataram, dan betapa banyaknya tokoh sakti yang membantu Mataram. Ia harus menperhitungkan kemungkinan yang terjadi. kalau harus menanam permusuhan dengan Mataram itu. Sebab untuk seterusnya, ia takkan bisa hidup tenang. Ia menjadi musuh negara dan orang buruan, apakah enaknya?
Sadar akan keadaan dan kemungkinan yang terjadi, maka timbullah keputusan Patra Jaya untuk lebih baik sedikit mengalah tetapi selamat. Tentang urusannya dengan tiga orang tokoh pengawal rahasia Mataram ini, lain waktu belum terlambat untuk diperhitungkan.
Patra Jaya menyambar tubuh muridnya sambil terkekeh mengejek.
"Heh-heh-heh. baiklah! Malam ini aku mengalah. Jangan kira aku takut kepadamu. Sama sekali tidak. Dan jangan kamu salah sangka pula, bahwa aku takut kepada Gusti Wandansari. Kalau aku sekarang mengalah, tak lain mengingat budi baik dan kebijaksanaan Ingkang Sinuhun Sultan Agung, selama aku sebagai orang Mataram. Huh-huh, sewaktu-waktu aku dan kamu tentu ada kesempatan bertemu. Dan kapan saja ketemu, janganlah kamu menggunakan kedudukanmu sebagai orang Mataram."
Tanpa menunggu jawaban Patra Jaya menjenjakkan kakinya ke tanah, kemudian melesat pergi sambil mengempit tubuh muridnya yang pingsan. Gerakan kakek itu sungguh cepat. Dalam waktu hanya sekejap sudah tak tampak lagi bayangannya.
Hesti Wiro dan Reksogati menghela napas. Hati mereka merasa lega. Walaupun begitu Reksogati masih menggerutu pula.
"Hem.....kalau saja aku tak ingin lekas-lekas menolong Sawungrana. mana sudi aku melepas lari bangsat itu begitu saja? Masih begitu muda, sudah sejahat itu murid Patra Jaya. Kalau kesaktiannya makin menjulang tinggi. tentu akan semakin ganas dan berbabaya. Tunas yang jahat, jika dibiarkan tumbuh, tak urung hanya merusak tunas yang lain saja."
Hesti Wiro mengerti juga penasaran kawannya itu. Namun ia cepat menyentuh lengannya.
"Sudahlah adi, mengapa membuang waktu memikirkan mereka? Seyogyanya kita lekas membantu mengusir pengaruh racun dingin itu."
Hesti Wiro mendahului duduk bersila di belakang Sawungrana. Ia menempelkan telapak tangannya ke punggung Sawungrana sambil memejamkan mata dan mengerahkan hawa sakti, disalurkan ke dalam tubuh Sawungrana. Melihat itu Reksogati tak mau tinggal diam. Iapun kemudian berbuat yang sama.
Saat itu juga Sawungrana merasakan mengalirnya hawa sakti yang hangat ke dalam tubuhnya. Hawa hangat itu membanjir terus memasuki tubuhnya. Sawungrana cepat menampung bantuan tenaga itu, kemudian didorong ke arah pundak guna mengusir racun dingin akibat pukulan Aji "Wisa Naga". Berkat bantuan dua orang sakti ini usahanya lebih cepat berhasil. Hanya dalam waktu seperempat jam saja, racun dingin tersebut telah berhasil dihalau bersih. Ia sudah sehat kembali. Lalu ia membuka mata sambil berkata,
"Cukup! Terima kasih, kakang."
Hesti Wiro dan Reksogati cepat pula menarik tangan masing-masing. Dua orang ini gembira bahwa bantuan tenaganya dalam waktu singkat dapat menolong Sawungrana. Kemudian mereka menanyakan tentang sebabnya bertempur melawan Sungsang. Dan Sawungranapun cepat menceritakan, bahwa kedatangannya belum begitu terlambat._Sekalipun Sungsang telah berhasil membunuh murid murid Tuban yang berjaga. tetapi belum berhasil mengganggu penghuni rumah.
( Bersambung jilid 10 )
RALAT
Pada buku "Kisah Si Pedang Buntung" jilid 8, nama Titisari harap dibaca:
Titiek Sariningsih
Dengan ini kesalahan tersebut sudah kami ralat. Harap para pembaca maklum. Terimakasih,
PENERBIT.
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 10
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
MEREKA menjadi gembira sekarang. Jelas bahwa terJadinya pembunuhan itu. Sungsang pelakunya. Sekarang setelah dapat diusir pergi, dapat diharapkan Tuban aman. Tentu saja masih timbul gangguan-gangguan kecil dari para perampok. Namun tidak perlu dikhawatirkan, lebih mudah dihalau dan ditumpas.
Mereka kemudian meninggalkan tempat tersebut tanpa mau mengganggu para penghuni rumah. Akan tetapi maksud yang baik itu. sesungguhnya malah berbuah sebaliknya. Karena mereka tak mau memberitahukan kepada penghuni rumah bahwa gangguan telah lewat. Maka mereka yang bersembunyi di dalam lubang sampah dan kakus, tak berani keluar sekalipun hampir mabuk oleh bau yang tak sedap. Semalam suntuk mereka harus menderita. Baru pada keesokan paginya, ketika tak terdengar sesuatu yang mencurigakan, mereka baru berani meninggalkan persembunyian itu. Wajah mereka pucat dan mengantuk. Tetapi sekalipun demikian mereka menjadi lega dan gembira, setelah benar-benar penjahat itu tak datang dan mengganggu.
Akan tetapi pada pagi hari itu, di alun alun Kadipaten Tuban terjadi kesibukan. Sebaliknya para penduduk ketakutan dan menutup pintu rumah masing-maling.
Apa yang terjadi?
Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Adipati Mandurorejo telah tiba. Karena itu pasukan Mataram maka para penduduk Tuban ketakutan. Yang menjadi gembira adalah Subinem dan seluruh murid Tuban. Datangnya pasukan Mataram ini berarti meringankan beban para murid Tuban, dalam mengamankan kota Tuban. Di samping itu merekapun tak perlu khawatir lagi. apabila pasukan Tuban yang mundur itu akan merebut kembali kota Tuban.
Biarlah kita tinggalkan dahulu keadaan Tuban yang telah dibanjiri pasukan Mataram. Marilah kita sekarang melayangkan pandang sejenak ke Surabaya. Dimana pasukan Mataram yang lebih besar, dipimpin oleh Sultan Agung sendiri, menyerbu kesana. Akan tetapi keadaan pasukan Mataram di sana berlainan dengan yang menyerbu Tuban. Pasukan itu tak dapat mendesak maju.
Memang sungguh beruntung letak Kadipaten Surabaya. Kota itu mempunyai pelindung alam yang kuat, ialah Sungai Mas dan Porong. Pasukan Mataram terhalang oleh sungai tersebut. Beberapa kali telah dicoba untuk menyeberang. Baik dengan pasukan selam maupun perahu. Akan tetapi pasukan Mataram itu tidak pernah berhasil menerobos penjagaan Surabaya yang kuat, yang dijaga oleh anak buah Gagak Rimang yang amat setia kepada Jaka Pekik, dipelopori oleh tokoh sakti Yoga Swara, Madu Bala dan yang lain lagi. Memang pernah terjadi sekelompok pasukan Mataram berhasil menginjakkan kaki setelah berhasil mendarat. Namun ternyata mereka seperti sekelompok anai-anai(laron) yang menerjang api, Menerjang untuk mengantarkan nyawa. Sebab begitu berhasil mendarat, pasukan itu segera digempur musuh. Karena terhalang oleh sungai, maka akibatnya seluruh pasukan itu hancur.
Sultan Agung benar-benar mendongkol dan penasaran sekali. Baru kali inilah pasukan Mataram, malah di bawah pimpinannya sendiri. mengalami kesulitan menggempur musuh. Padahal biasanya, setiap kota yang diserbu, hanya dalam waktu beberapa hari saja telah berhasil direbut dan ditundukkan.
"Sudahkah engkau memperoleh khabar tentang gerakan pasukan kita ke Tuban?"
Demikian tanya Sultan Agung kepada Suro Agul-Agul. seorang panglima digdaya sakti yang telah amat banyak jasanya bagi Mataram.
Ketika itu Sultan Agung sedang duduk dihadapi oleh sekalian panglima dan Tumenggung .Semacam rapat, karena Raja Mataram itu membutuhkan laporan yang amat diperlukan. _
"Gusti, keadaan di sana memang jauh berlainan dengan tempat ini." sahut panglima Suro Agul-agul sambil membentuk sembah di depan hidungnya.
"Menurut laporan yang telah hamba terima, pasukan paduka memperoleh kemajuan amat menggembirakan. Rayi dalem Gusti Kangjeng Ratu Wandansari memang pantas dipuji, tentang kecerdikan siasatnya."
Sultan Agung tersenyum bangga. Ia amat tertarik dan bertanya,
"Apa saja yang telah dilakukan oleh bocah bandel itu? Semestinya sebagai seorang puteri. dia harus tetap di dalam keraton. Namun Wandansari tidak! Dia tak mau kalah dengan Kajoran. Dia tak mau kalah dengan aku. Sungguh, dia seorang Srikandi jaman ini."
Suro Agul-agul segera memberikan laporannya. Ia, dengan siasat yang jitu menaklukkan Perguruan Tuban lebih dahulu. Kemudian dengan bantuan Perguruan Tuban, ibu kota Tuban dapat direbut. Dalam pada itu diceritakan pula tentang siasat Ratu Wandansari yang membagi pasukan. sehingga dapat memukul hancur musuh. Demikian antara lain laporan Suro Agul agul. Dan mendengar laporan itu, Sultan Agung amat senang sekali.
"Sungguh membuat aku penasaran, jika usaha kita memukul Surabaya tak pernah berhasil. Malah kita telah mengorbankan banyak nyawa prajurit yang gugur. Hem... ...."
Sultan Agung menghela napas panjang.
".....lalu bagaimana usaha kita? Meriam kita tiada artinya apabila harus menembak dari seberang sungai."
Semua panglima dan tumenggung yang hadir tidak seorangpun membuka mulut. Namun kening mereka berkerut. Tanda bahwa semua ikut memperhatikan dan memutar otak guna mencari jalan. ,
Beberapa saat kemudian barulah Sura Agul-agul membuka mulut,
"Gusti, hambapun sesungguhnya amat penasaran menghadapi kesulitan seperti ini. Namun apa harus dikata? Kita sudah mencoba menyerang. baik dengan pasukan selam maupun perahu. Namun kenyataannya, pasukan kita menyerbu untuk mengantarkan nyawa Gusti, apabila paduka berkenan, menurut pendapat hamba dalam saat sekarang ini, kiranya yang dapat dilakukan hanyalah memutuskan hubungan Surabaya dengan wilayah lain. Kita kurung seperti sekarang ini, sambil menunggu kesempatan."
Sultan Agung mengangguk-angguk.
Kalau usaha telah dicoba tetapi tak berhasil, apa yang akan diperbuat?
Memang yang paling tepat hanya tetap bertahan di seberang sungai ini, memutuskan hubungan Surabaya dengan pihak lain. Dengan cara demikian. Surabaya akan menjadi kekurangan bahan makan maupun keperluan lain. Sudah tentu usaha ini harus dibarengi pula dengan


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemutusan hubungan Surabaya lewat laut. Pasukan laut Mataram harus menggunakan perahu-perahu besar. mengurung di samudera.
Apabila pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung sendiri ini. dalam menghadapi Surabaya memperoleh kesulitan. memang tidak mengherankan. Pasukan Surabaya sekarang memang amat kuat, setelah semua pasukan Gagak Rimang bersatu dengan pasukan Surabaya. Tetapi sekalipun kuat apabila hubungannya dengan luar terputus, juga menimbulkan kerugian bagi Surabaya. Penduduk Surabaya akan menderita kekurangan makan. Harga akan melonjak tinggi sekali. Sebab kebutuhan bahan makanan pokok bagi penduduk Surabaya, harus mengambil dari lain daerah. Lebih-lebih sekarang. Jumlah penduduk Surabaya bertambah amat banyak sekali, dengan adanya pasukan Gagak Rimang.
Sesungguhnya, kalau tidak secara tiba-tiba pasukan Mataram datang menyerbu, sedianya di Surabaya akan dilangsungkan pesta yang cukup meriah, dengan mengundang para tokoh-tokoh sakti dan sahabat-sahabat Jaka Pekik. Maksud pesta tersebut, pertama sebagai pernyataan syukur Adipati Surabaya, dengan pulangnya Jaka Pekik ke pangkuan ayah bunda. Yang'kedua, justeru sudah sejak lama sekali, Adipati Surabaya ingin menikmati hari tuanya tanpa diganggu persoalan-persoalan yang menyangkut dengan Kadipaten Surabaya. Oleh sebab itu, kedudukan sebagai Raja Surabaya akan diserahkan kepada Jaka Pekik. Maksud Adipati Surabaya itu mendapat dukungan sepenuhnya dari para tokoh Gagak Rimang. Pengaruhnya akan lebih baik bagi Surabaya sendiri. Dengan demikian anak buah Gagak Rimang yang amat setia kepada Jaka Pekik itu tidak merasa ragu-ragu dalam membela Surabaya. Soalnya yang mempunyai kedudukan sebagai Raja Gagak Rimang adalah Jaka Pekik. Bukan Adipati Surabaya.
Tetapi tentu saja Jaka Pekik yang selalu sederhana dan tak mau menonjolkan diri itu, semula menolak kemauan ayahnya. Ia merasa masih terlalu muda dan tak menguasai ketataprajaan. Dan baru setelah ibunya ikut campur tangan, membujuk,
Jika Pekik sedia menggantikan kedudukan ayahnya. Akan tetapi masih dengan janji ayahnya harus tetap mendampinginya.
Namun karena keadaan memaksa, maka upacara penyerahan kedudukan tersebut berlangsung amat sederhana. Yang hadir hanyalah terbatas para hamba sahaya Surabaya sendiri maupun para tokoh Gagak Rimang dan seluruh anak buah. Malah untuk menghubungi kakek gurunya di Kemuning, untuk mohon pangestu dan agar para paman perguruannya hadir, terpaksa dibatalkan. Keadaan tidak memungkinkan melakukan penyeberangan
Tetapi justeru kedudukannya sebagai Raja Surabaya ini. membuat Jaka Pekik tidak bebas lagi. Gerak-geriknya dibatasi. dan walaupun Jaka Pekik sendiri seoran sakti mandraguna, setiap pergi ke manapun harus diikut oleh para pengawal. Diam-diam ia'menjadi jemu dan menyesal. Mengapa sekarang dirinya selalu diatur dan disibuki beberapa macam persoalan, yang sebelumnya tidak pernah terpikir. Sama-sama berkedudukan sebagai raja, namun menjadi Raja Gagak Rimang tidak diikat macam-macam peraturan. Ia masih bebas bergerak kemanapun ia suka. Berkelana dan tiap kali berhadapan dengan bahaya. Namun semua itu membuat hatinya riang dan dadanya terasa lapang. Tidak seperti sekarang ia selalu berhadapan dengan hamba sahaya dan rumah
mentereng. tetapi tak pernah bisa menyaksikan keindahan alam pegunungan.
Yang lebih membuat hatinya serasa tersiksa dan menimbulkan rindu, adalah puteri Mataram yang cantik jelita di samping cerdik, Ratu Wandansari. Ia terlanjur gandrung kepada puteri bangsawan itu. Walaupun iapun sadar bahwa Ratu Wandansari seorang musuh, tetapi rasa cintanya tak juga mau reda. Dan walaupun ia belum tahu bagaimana tanggapan Ratu Wandansari, ia tak mau perduli. Ia Cinta. Titik. Tanpa komentar apaapa. Diam -diam ia agak menyesal juga, mengapa ketika bergaul dengan Ratu Wandansari, selalu timbul rasa takut-takut dan mulutnya seperti terkunci, tak pernah bicara tentang hati dan cinta. Akibatnya. sekalipun hatinya cinta seribu prosen kepada Ratu Wardansari, rasa itu selalu dipendam dalam hati dan tak pernah diucapkan didepan Ratu Wandansari .Sesungguhnya inginlah ia mendengar pernyataan Ratu Wandansari, seperti yang pernah diucapkan Rara Inten. Namun ternyata harapannya itu tak pernah terujut. Ratu Wandansari lain dengan Rara Inten yang dapat berterus-terang. Dan malah, iapun heran terhadap mulutnya sendiri. Mengapa ia membuka rasa hatinya di depan Rara Inten?
Tetapi di depan Ratu Wandansari tetap membisu. Sebagai akibat tak pernah bicara aoal Cinta ini, maka sampai sekarangpun ia tak tahu, bagaimana sesungguhnya Sikap Ratu Wandansari terhadap dirinya.
Teringat akan hubungannya dengan beberapa orang wanita cantik itu, teringatlah kemudian ia akan Sawitri. Gadis lincah yang terus terang mengaku cinta dan telah banyak sekali jasanya bagi dia. Akan tetapi Sawitri terpaksa mengorbankan segalanya guna menolong ibu kandungnya yang diancam malapetaka.
Ah, bagaimana sekarang gadis itu sesudah menjadi ' Ratu Surasaji diBanten?
Teringat akan Sawitri, sering pula timbul maksudnya menghubungi gadis itu, untuk minta bantuan tenaga orang orang sakti guna melawan Mataram. Namun setiap ia mengemukakan hal tersebut, baik ayahnya maupun Yoga Swara dan Madu Bala tidak sependapat. Mereka khawatir apabila tidak memperoleh tanggapan baik dari pihak Surasaji. Kalau dapat bertemu langsung dengan Sawitri, mungkin masih bisa dipertimbangkan. Akan tetapi guna bertemu dengan "Ratu Surasaji" itu, tentu tidak gampang.
Kemudian teringatlah ia akan Salindri. Gadis yang hidup sebatang kara, terlunta-lunta, karena diancam akan dibunuh oleh ayah kandungnya sendiri.
Ah, bagaimanakah gadis itu sekarang?
Agak khawatir juga jika memikirkan gadis yang dulu pernah dikira sudah mati itu. Sebab pada pertemuannya yang terakhir di Gunung Bligo, Salindri menunjukkan tanda tanda seperti bukan orang waras lagi.
Begitu teringat kepada Ratu Wandansari, Sawitri dan Salindri, mau tak mau teringatlah pula ia akan Rara Inten. Gadis Cantik, yang semula merupakan pujaan hatinya, dan yang pernah diselenggarakan pesta kawinnya.Tetapi ternyata sampai hati berkhianat baik kepada dirinya maupun kepada Kreti Windu, ayah angkatnya.
Ke manakah sekarang Rara Inten, setelah menyerahkan kekuasaan sebagai Ketua Perguruan Tuban?
Diam-diam ia merasa kasihan juga kepada gadis itu. Pada dasarnya ia bukanlah perempuan jahat. Kalau toh sampai hati berkhianat terhadap dirinya maupun Kreti Windu, bukan lain terpengaruh oleh pesan terakhir gurunya.
Terpengaruh oleh sumpah janji yang dipaksakan.Kalau saja ia tahu tempat tinggal Rara Inten Ingin sekali ia mengutus orang untuk menghubungi. Orang seperti Rara Inten, amat besar sekali kegunaannya dalam mengahadapi penyerbuan Mataram sekarang ini.
"Inten....., di manakah engkau sekarang?" demikian Jaka Pekik mengeluh perlahan. sambil menjatuhkan pantatnya di atas kursi batu dalam taman.
Malam ini ia memang gelisah dan tak bisa tidur begitu teringat kepada Salindri. Ratu Wandansari, SaWitri dan Rara Inten. Kalau saja dirinya tidak amat patuh kepada ayah bundanya, kiranya ia sudah melompati tembok taman, kemudian pergi kemanapun ia suka dan kembali berkelana seorang diri.
Pada saat itu, tiba-tiba datanglah perajurit penjaga taman. Begitu tiba di depan Jaka Pekik, perajurit itu menjatuhkan diri duduk bersila sambil memberikan sembahnya. Jaka Pekik mengerutkan alisnya agak heran.
Mengapa malam begini prajurit itu datang?
Apalagi yang akan dilaporkan, dan persoalan apa lagi yang harus masuk dalam benaknya?
Sungguh menyebalkan. Bukan saja waktu siang ia selalu berhadapan dengan tetek bengek Kerajaan Surabaya. Malampun masih diganggu persoalan pula.
'Apa maksudmu datang menghadap?" tanya Jaka Pekik keren.
'Gusti, ampunilah hamba yang datang mengganggu," sahut perajurit itu agak takut takut.
"Kalau saja hamba tidak dipaksa untuk melapor, hamba takkan berani menghadap paduka."
"Siapakah yang memaksa engkau ?"
"Ndara Panglima Yoga Swara dan Madu Bala," parajurit itu menjelaskan.
'Oh, di mana mereka sekarang?"
Jaka Pekik berubah sikapnya dan matanya bersinar.
"Menunggu perkenan paduka di luar tembok."
"Suruh lekas masuk kemari."
Madu Bala dan Yoga Swara sekarang memang sebagai panglima Surabaya, dengan pangkat tumenggung. Pengangkatan itu berdasar perintah ayahnya, sebab dua orang sakti itu besar kegunaannya bagi Surabaya. Dan kalau begitu mendengar nama dua orang itu disebut. Jaka Pekik gembira, karena dua orang panglima tersebut, taklah mungkin sedia mengganggu dirinya, tanpa sesuatu yang amat penting dan mendesak. Itulah sebabnya Jaka Pekik segera memerintahkan agar dua orang itu masuk menghadap.
Sesungguhnya kalau tidak terikat oleh peraturan dan kesopanan, apakah sulitnya dua orang sakti itu melompati tembok dan masuk ke taman ini?
Tetapi karena tahu peraturan, maka mereka harus lewat penjaga.
Yoga Swara dan Madu Bala cepat pula masuk ke dalam taman. Dua orang ini mau menjatuhkan diri duduk bersila di atas tanah, seperti layaknya hamba yang menghadap rajanya. Tetapi cepat-cepat ditarik Jaka Pekik. Kemudian katanya sambil tersenyum,
"Aihh, paman. apakah kalian lupa kepada pesanku? Kalian boleh mematuhi tata peraturan yang berlaku di sini, apabila ada orang lain yang hadir. Ya, sekadar memenuhi kelaziman yang berlaku. Akan tetapi sekarang tiada orang lain yang hadir. Mengapa kalian mau berlaku begitu? Jaka Pekik sekarang sama saja dengan dahulu. Kalian merupakan orang-orang tua yang perlu aku hargai dan hormati. Merupakan pembantu-pembantu yang rutin. Oh ya, apa saja khabar yang kalian bawa?"
Yoga Swara dan Madu Bala segera duduk di atas kursi batu di depan Jaka Pekik. Untuk sesaat mereka saling pandang. Kemudian saling mengangguk. Madu Bala membuka mulut,
"Gusti .."
"Paman!" potong Jaka Pekik tiba-tiba.
"Saat demikian hilangkan sebutan itu. Kembalilah engkau seperti biasanya, dengan panggilan "anak Pekik". Hemm, lebih sedap kudengar sebutan itu, daripada sebutan yang lain. Hayolah, paman Bala, katakanlah."
Madu Bala tertawa. Sedang Yoga Swara tersenyum. Diam-diam dua orang tokoh Gagak Rimang ini memuji sikap junjungannya yang bijaksana dan sederhana ini. Tidak mabuk oleh kedudukan dan jabatan. Tidak merubah kebiasaan yang telah lalu, sebelum menjadi Raja Surabaya. Sulit mencari orang yang mempunyai watak seperti Jaka Pekik ini. Pada biasanya, orang lekas menjadi mabok kemuliaan dan kedudukan. Biasanya orang menjadi lupa bahwa bagaimanapun tingginya kedudukan, masih tetap merupakan pula manusia biasa. Merupakan kumpulan dari daging dan tulang. Dalam mabok kekuasaan dan kemuliaan itu, kemudian orang akan berubah menjadi sombong dan congkak. Menganggap orang lain sebagai binatang semut. Sekalipun dahulu merupakan sahabat, akan dianggap orang yang belum dikenal. Malah pada biasanya, begitu orang datang, sudah curiga dan menuduh, tentu orang itu datang untuk minta sesuatu. Diperintahkan kemudian isterinya, anak atau abdi memberitahukan bahwa dirinya tak ada di rumah. Tamu yang tak akan memberi keuntungan, dianggap bukan manusia lagi.
Berbeda apabila tamu tersebut seorang kaya, atau berkedudukan lebih tinggi. Ia akan segera menyambut dengan senyum manis di bibir dan wajah riang. Penuh hormat mempersilahkan tamu tersebut duduk. Kemudian mulutnya ringan sekali mengucapkan ini dan itu. Apabila yang datang itu orang kaya. akan ditanyakan maksud kedatangannya.
Apakah minta pertolongan supaya urutannya diselesaikan?
Beres!
Yang penting ada imbalan jasa. Dan apabila orang yang kedudukannya lebih tinggi, sikap dan bicaranya akan menjilat-jilat. Dengan harapan pangkatnya cepat memperoleh kenaikan.
Inilah manusia.
Apabila "sang aku" selalu ditempatkan di depan. karena tak menyadari bahwa musuh yang berbahaya itu di dalam dirinya sendiri, akan mudah sekali dijadikan alat dan diperkuda oleh nafsu.
Ini yang biasa!
Ini yang umum. Manusia menggunakan pola lama. pola yang usang serta yang lapuk, dan sesungguhnya pola itu membahayakan dirinya sendiri.
Walaupun muda, tetapi Jaka Pekik telah dapat mengendalikan dan menguasai akunya. Ia tidak terpengaruh oleh keadaan dan kedudukannya. Maka ia tak mau hidup berpura -pura.
Tidak wajar!
Kalau di depan orang hamba sahayanya, guna memenuhi tata-santun, ia terpaksa tak berani melawan kebiasaan.
Akan tetapi begitu meninggalkan singgasana dalam kedudukan sebagai raja, ia kembali dalam kebiasaan lama baik cara hidup maupun pergaulannya.
Madu Bala tertawa terkekeh, sedang Yoga Swara tersenyum. Sesudah mengangguk anggukkan kepalanya saking kagum akan sikap Jaka Pekik, jawabnya,
"Baiklah anak Pekik, saat ini aku kembali kepada kebiasan lama, ha-ha-ha-ha. Tetapi anak Pekik harus sedia mem beri ampun.....'
"Mengapa minta ampun? Tiada yang bersalah. Aku memang lebih suka dalam keadaan seperti ini, paman. " potong Jaka Pekik.
'Hayolah,sekarang katakan apa maksudmu malam begini mencari aku ?"
Yoga Swara yang sejak tadi berdiam diri, mendahului bicara.
"Begini anak Pekik, menurut khabar yang sampai kepada kita, sekarang Tuban telah jatuh ke tangan Mataram........."
"Ahhh!" seru Jaka Pekik tertahan.
"Tuban telah jatuh? Mengapa bisa terjadi begitu? Bukankah Kebo Jalu dan Gumbreg malah aku tugaskan memperkuat pertahanan Tuban. Di samping itu, paman Lawa Ijo dan paman Jalatunda pun sudah kita kirim ke sana. Lalu apakah kerja pasukan Berani Mati itu?"
"Sesungguhnya pasukan Berani Mati itu melakukan tugasnya dengan amat baik. Demikian pula Lawa Ijo dan yang lain...... Akan tetapi, hmm....."
Madu Bala menghela napas tetapi juga tampak penasaran dan geram.
"Anak Pekik, sejarah telah terulang kembali. Puteri Mataram yang cantik itu kembali menunjukkan gigi. Racun dipergunakan lagi guna mencelakakan pasukan kita. Malah bukan hanya itu. Tetapi sekarang. Perguruan Tuban telah jatuh ke tangan Mataram. Perguruan itu dijadikan alat untuk menghancurkan Tuban sendiri." _
"Ah," Jaka Pekik berseru tertahan, terbelalak heran
"Jadi......bagaimana arti semua ini? '
Jaka Pekik memang kurang bisa menangkap arti dari laporan Madu Bala itu, karena tidak jelas. Yoga Swara tahu sebabnya. Maka ia cepat memberi laporannya. Sekalipun ia sama seperti Madu Bala, hanya menerima laporan saja. namun dalam hal menyusun kalimat ia lebih pandai. Yoga Swara memulai laporannya itu, dari usaha perebutan Perguruan Tuban yang didalangi Ratu Wandansari. Dalam pertempuran yang terjadi, Lawa Ijo, Jalatunda dan Telasih gugur. Sedang Sarni ditawan. Sebagai Ketua Perguruan Tuban, Subinem yang memperoleh kepercayaan Ratu Wandansari. Seterusnya menggunakan murid-murid Perguruan Tuban ini, dicampurkan racun dalam makanan dan minuman. Akibatnya semua pasukan Berani Mati itu mati, termasuk Gumbreg dan Jalatunda. Berkat bantuan Perguruan Tuban sendiri itu, gerak maju pasukan Mataram berlangsung cepat. Kemudian Tuban dapat direbut dan diduduki.
Laporan itu hampir sama dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Yang berbeda hanyalah Kebo Jalu yang mestinya baru tewas setelah bertempur melawan Sawungrana, kemudian berhadapan dengan Adipati Mandurorejo.
Mendengar laporan itu Jaka Pekik kaget sekali. Wajahnya berubah menjadi merah. Tetapi sesaat kemudian wajah itu kembali biasa, lalu menghela napas panjang.
"Hemm...... lagi-lagi Wandansari menimbulkan korban dan merugikan Gagak Rimang. Sungguh merupakan seorang perempuan yang amat berbahaya."
Jaka Pekik kembali menghela napas panjang. Tetapi dua orang tokoh Gagak Rimang ini hanya berdiam diri dan tidak memberikan pendapatnya. Mereka tahu benar bahwa junjungannya ini mencintai Ratu Wandansari. Karena itu mereka tak berani mencela maupun memaki maki.
"Lalu. bagaimanakah menurut pendapatmu?" tanya Madu Bala sambil menyelidik.
"Hemm."
Jaka Pekik kembali menghela napas.
"Tentang jatuhnya Tuban, mau diapakan lagi justeru sudah terlanjur? Hanyalah kawan kita sekarang berkurang satu lagi. Kita telah berusaha membantu. tetapi apa dikata kalau bala bantuan kita itu malah tewas? Hem..... sesudah Tuban jatuh, tentu Gresik dan Jaratannya mengalami nasib yang sama. Sebab dua bupati itu ringkih. dibanding Tuban. Padahal kita sendiri telah dikurung oleh pasukan Mataram, sehingga hubungan kita putus. Hubungan yang masih bebas melalui laut. Namun melalui lautpun amat berbahaya, mengingat pasukan laut Mataram begitu kuat."
Diam-diam dua orang tokoh Gagak Rimang inipun menjadi sedih. Kenyataannya memang kedudukan Surabaya sekarang sulit setelah terputus hubungannya dengan wilayah lain. Bahan makanan menjadi amat mahal, sehingga banyak penduduk Surabaya menderita kurang makan dan banyak pula yang menganggur.
"Tetapi justeru terhalang sungai, kitapun sebaliknya memperoleh keuntungan,
" kata Yoga Swara.
"Walaupun pasukan Mataram berusaha menyerbu. usaha mereka selalu gagal. Dengan demikian kita kurang perlu mengkhawatirkan keadaan. Dan kita tidak boleh berkecil hati dalam menghadapi kekuatan Mataram."
"Paman memang benar. Kita memang tidak boleh berkecil hati, dan harus percaya kepada kekuatan kita sendiri. Namun demikian. paman, sejak sekarang kita harus memikirkan kepentingan penduduk, dalam persoalan makan.Penduduk yang lapar akibat kurang makan bisa menimbulkan hal -hal yang tidak kita harapkan."
Jaka Pekik mengerutkan alisnya dan berpikir keras.
"Tindakan yang penting bagi kita sekarang ini, tiga hal yang harus kita lakukan bersama sama. Pertama, memperkuat pertahanan guna mencegah merembesnya musuh ke wilayah kita. Pendeknya tiap musuh yang menyeberang harus kita tumpas dengan jalan apapun juga. Hal yang ke dua. perintahkanlah kepada paman Mandaraka agar berusaha sekuat tenaga mengumpulkan bahan makan sebanyak-banyaknya. Terserah dengan jalan apa saja, asal tidak merampas dan merampok. Suruhlah membawa uang dan emas permata, dengan pasukan yang cukup jumlahnya. membeli bahan makan ke Wilayah lain. Sedang yang ketiga, paman berdua harus mengikuti aku pergi malam ini juga."
"Ahh......!" ' seru dua orang ini tertahan. kaget, heran dan tak mengerti.
Tanya Yoga Swara cepat,
'Kau . . . . . kau hendak pergi ke manakah?"
Tentu saja dua orang ini kaget dan heran. Surabaya sedang diancam oleh musuh. Sebagai raja mestinya Jaka Pekik harus memimpin langsung segala kegiatan. Tetapi mengapa sekarang malah mempunyai maksud akan pergi?
Lalu persoalan apa saja yang mendorong Jaka Pekik pergi meninggalkan Surabaya?
"Aku harus mengembalikan Perguruan Tuban dalam kedudukannya seperti ketika Nenek Anjani masih hidup."
Sahut Jaka Pekik mantap.
"Perguruan Tuban itu harus berdiri di atas kaki sendiri dan bebas dari pengaruh siapapun. Kalau sekarang perguruan itu menjadi kaki tangan Mataram, harus kita cegah dan kita luruskan."
'Tetapi...... harus kaupikirkan masak-masak dahulu sebelum bertindak. Engkau adalah Raja Surabaya. Engkau merupakan junjungan sekalian rakyat Surabaya. Bagaimanakah mungkin engkau bisa meninggalkan Surabaya dalam keadaan seperti sekarang ini? Dalam pada itu, tak akan dibenarkan pula apabila seorang raja harus pergi ke tempat lain begitu saja."
Madu Bala tidak setuju.
'Kedudukanmu sebagai Raja Surabaya, adalah jauh berlainan dengan Raja Gagak Rimang, anak Pekik. Manakah mungkin Gusti Adipati Surabaya bisa mengijinkan"! Kalau hanya persoalan Perguruan Tuban itu saja, mengapa harus merepotkan engkau? Hemm, aku seorang diripun sanggup membereskannya. Bagiku mati melakukan perintahmu, amatlah menyenangkan."
"Anak Pekik. kakang Madu Bala memang benar. Dan apabila seorang diri kau tidak menyetujui, biarlah aku berdua dengan kakang Madu Bala membereskan urusan Perguruan Tuban itu."
Sambut Yoga Swara dengan mantap.
"Sebab memang kurang pada tempatnya apabila anak Pekik meninggalkan Surabaya yang diancam musuh. malah mengurusi masalah lain."
"Paman Swara dan paman Bala,"
Jaka Pekik menghela napas panjang.
"Hem, terima kasih atas pembelaanmu dan kesetiaanmu kepadaku. Akan tetapi paman, engkau jangan salah duga. Menurut pendapatku, antara keselamatan Surabaya dan keselamatan Perguruan Tuban adalah sama pentingnya. Akan tetapi sekalipun demikian, dalam keadaan sekarang Surabaya masih belum perlu dikhawatirkan. Sebab sulitlah pasukan Mataram mengatasi rintangan Kali Mas dan Porong, benteng alam kita. Berbeda dengan Perguruan Tuban itu. Yang benar-benar langsung dalam bahaya."
Jaka Pekik berhenti dan menatap dua orang pembantunya ini seperti mencari kesan. Sesaat kemudian barulah ia membuka mulut lagi.
"Paman berdua harus ingat bahwa Rara Inten menyerahkan Perguruan Tuban ke tanganku, dengan kepercayaan penuh bahwa aku bisa melindunginya. Dia percaya penuh aku dapat membawa keharuman nama Perguruan Tuban. Dan bukan hanya dia melulu, tetapi kakek guru Wisnu Murtipun mengharapkan begitu. Nah, jelas bahwa jatuh bangunnya Perguruan Tuban, akulah yang bertanggung jawab. Kalau sekarang Perguruan Tuban jatuh ke tangan orang lain. tiada orang lain yang bisa dipersalahkan kecuali aku seorang. Dan orang juga tidak terlalu salah apabila menuduh aku seorang yang sembrono. Paman, kemana aku menyembunyikan mukaku apabila bertemu baik dengan Rara Inten maupun kakek guru Wisnu Murti?"
Jaka Pekik menghela napas lagi. Kemudian lanjutnya lebih sungguh-sungguh lagi,
"Paman Swara dan paman Bala. bukan berarti aku tak percaya kepada kalian. Dan bukan berarti pula aku meremehkan kemampuan kalian dalam menghadapi masalah Perguruan Tuban ini. Tidak! Sama sekali tidak, paman. Namun aku memang akan selalu gelisah dan takkan tenteram, tanpa menangani secara langsung masalah ini. Sebagai bukti pertanggungan jawabku kepada Rara Inten. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk pergi malam ini juga dengan paman berdua."
"Paduka raja. jangan!" cegah Madu Bala cepat.
"Menurut pendapatku, kiranya belum terlambat mengurusi Perguruan Tuban itu, menunggu sesudah Mataram bisa dipukul mundur." ,
"Hemm, kapan kita bisa meramalkan waktu Itu? Kita hanya saling berhadapan terhalang sungai. Kalau sepuluh tahun mereka tak mau mundur, sedang kita tak juga dapat memukul mundur. apakah kita juga menunggu sepuluh tahun lagi dalam menangani urusan Perguruan Tuban itu? Tidak! Tidaklah benar kita mengulur waktu. Aku akan malu apabila bertemu dengan Rara Inten. Dia bisa menuduh aku pengecut dan lari dari tanggungjawab!"
"Tetapi rama paduka tentu tidak mengijinkan," sambung Yoga Swara, yang ingin membujuk pula agar Jaka Pekik sedia mengurungkan maksudnya.
"Maka kiranya lebih tepat jika aku dan kakang Madu Bala yang pergi melaksanakan tugas ini. Kalau paduka kurang percaya, bisa didampingi oleh beberapa orang yang lain."
"Ah, paman, bukannya aku tak percaya. Titik berat kehendakku ini adalah pertanggungan jawabku pribadi dengan Rara Inten."
Jaka Pekik tetap pada pendiriannya.
"Paman, tanggung jawab pribadi tak bisa dikaitkan dengan negara. Maka bersiaplah kalian. Perintahkan kepada paman Mandaraka untuk memilih pembantu. memperbanyak simpanan bahan makan bagi penduduk Surabaya. Malam ini juga kita berangkat setelah aku minta diri kepada rama dan ibu."
Tanpa menunggu jawaban Yoga Swara dan Madu Bala, pemuda ini telah berkelebat pergi dan lenyap. Dua orang tokoh Gagak Rimang itu saling pandang. Kemudian masing-masing menggelengkan kepalanya. Mereka selalu kagum kepada junjungannya itu. Tetapi saat ini mereka merasa heran.
Mengapa sebabnya Jaka Pekik kukuh pada pendiriannya?
Tidak seperti biasanya, banyak kali mau mendengar pendapat dan saran mereka.
Mereka memang tidak tahu isi hati Jaka Pekik saat sekarang ini yang sedang gelisah teringat akan pengalaman masa lalu. Teringat betapa gembira dan bahagianya, hidup bebas bagai burung terbang kemana suka.Dapat menikmati membirunya gunung dan hijaunya daundaun pohon yang memenuhi hutan. Dapat menikmati pemandangan alam yang membuat baik mata maupun hatinya sejuk. Juga ia sekarang merasa rindu sekali kepada gadis yang dicintai. Puteri Mataram.
Ratu Wandansari!
Akan tetapi sudah tentu Jaka Pekik menyembunyikan perasaan ini. Ia malu kepada Yoga Swara maupun Madu Bala. Maka Perguruan Tuban dijadikan alasan guna pergi meninggalkan Surabaya.
Saat itu Adipati Surabaya bersama garwa padmi sedang duduk di ruang tengah sambil asyik bicara.
Mereka mempersoalkan pasukan Mataram yang bertahan di seberang sungai. Ketika melihat masuknya Jaka Pekik orang tua ini gembira.
"Pekik, duduklah dekat ibumu sini," kata ibu sambil menggapai, menyambut kedatangan puteranya.
Jaka Pekik tidak membantah. Setelah mengangguk memberi hormatnya, ia duduk berjajar dengan ibunda.
"Kau belum tidur, anakku?" tanya ibunya denga nada yang amat sayang.
"Mengapa? Bukankah engkau lelah melaksanakan tugasmu sepanjang hari?"
"Sungguh kebetulan sekali engkau datang, Pekik," kata pula Adipati Surabaya.
"Tadi, baru saja aku dan ibumu bicara soal datangnya musuh. Namun di samping bicara soal musuh itu. aku dan ibumupun bicara pula tentang keadaanmu. Terus terang aku katakan kepadamu bahwa engkau sudah cukup dewasa. Usiamu sudah duapuluh lebih. Maka baik aku maupun ibumu. sudah mengharapkan hadirnya seorang menantu, kemudian datangnya cucu, ha-ha-ha."
Adipati Surabaya tertawa, sedang ibunyapun tertawa .Sebaliknya Jaka Pekik tersenyum pahit. Selalu ayah bundanya bicara soal menantu, apabila berhadapan. Sesungguhnya memang, dirinyapun telah berkeinginan sekali beristeri. Namun tidak seorangpun wanita dapat menarik hatinya, kecuali Ratu Wandansari. Akan tetapi kalau ia membuka rahasia hatinya ini, tentu ayah bundanya takkan setuju dan bisa marah-marah. Sebab Ratu Wandansari adalah adik Sultan Agung.
Musuh Surabaya!
Mengingat itu maka Jaka Pekik tersenyum. Sahutnya.
"Sudilah rama da ibu memberi ampun. Manakah mungkin ananda dapat memikirkan soal itu, dalam keadaan seperti ini? Surabaya terancam oleh musuh. Rakyat hidup dalam ketakutan dan para perajurit mencurahkan seluruh perhatian guna membela Surabaya. Sungguh tidaklah pada tempatnya, apabila ananda malah memikirkan kepentingan diri sendiri."
"Tetapi soal itu tiada hubungannya dengan peperangan, anakku," kata ibunya lagi.
"Andaikata perang ini belum juga selesai dalam waktu duapuluh lima tahun. apakah engkau akan membiarkan dirimu menjadi jejaka tua? Ingatlah anakku, bahwa dalam kedudukkanmu sebagai Raja Surabaya ini. memerlukan keturunan sebagai penerus sejarahmu. Siapa yang harus menggantikanmu, jika engkau tiada keturunan?"
Jaka Pekik tertawa.
"Ibu, mengapa ibu mengkhawatirkan soal ini? Bukankah putera rama bukan ananda seorang? Merekapun bisa menggantikan kedudukan itu.'
"Ah, Pekik. .-. . . . . mengapa begitu pendirianmu ?"
Adipati Surabaya kaget.
"Sesuai dengan kebiasaan dan silsilah keturunan. engkaulah yang berhak sepenuhnya atas Kerajaan Surabaya. Maka janganlah engkau menganggap sepele urusan ini, anakku."
"Ananda tidak menganggap sepele. rama." sahut Jaka Pekik.
"Akan tetapi ampunilah ananda, bahwa saat demikian gawat, tak mungkin ananda dapat memikirkan soal isteri. Ananda ingin menunggu setelah perang selesai dan keadaan aman."
Adipati Surabaya dan Isterinya menghela napas panjang mendengar jawaban yang kukuh. Suami isteri Ini memang telah kenal akan watak tabiat anaknya. Selalu kukuh pada pendirian dan pendapatnya. Akhirnya Adipati Surabaya menanyakan apa maksud kehadirannya malam ini.
Jaka Pekik segera mengabarkan tentang jatuhnya Tuban ke dalam kekuasaan Mataram. Ayah bundanya kaget mendengar laporan tersebut.
"Bukankah engkau telah mengirimkan pasukan ke sana untuk membantu? Dan di samping itu, bukankah Perguruan Tuban merupakan kekuatan yang tak bisa dpandang ringan pula ? Tetapi mengapa secepat itu Tuban runtuh ?"
Jaka Pekik segera menerangkan apa yang terjadi. Ia memberi laporan dari awal sampai akhir, meniru laporan Yoga Swara. Mendengar itu Adipati Surabaya tampak mengerutkan kening, berulang-ulang menghela napas dan tampak menyesal sekali. Sementara itu ibunya tampak amat sedih. Menjadi khawatir kalau Surabaya sampai mengalami nasib sama dengan Tuban. Namun Jaka Pekik cepat menghibur dan setengah menjamin keselamatan Surabaya. Keadaan Surabaya dengan Tuban jauh berlainan. baik keadaan alamnya maupun kekuatan pasukannya. Bantuan Gagak Rimang bagi Surabaya sungguh menguntungkan Surabaya. Mendengar jaminan anaknya itu. hati ibunda agak menjadi sejuk sekalipun belum percaya sepenuhnya, mengingat kekuatan Mataram tak dapat dipandang rendah.
Setelah bicara panjang lebar mengenai pertahanan maupun keadaan kawula Surabaya, sampailah pada maksudnya semula, yaitu minta ijin meninggalkan Surabaya. Tentu saja ayah bundanya kaget. Mengingat kedudukan Jaka Pekik mereka tak sedia memberi ijin. Akan tetapi sebaliknya Jaka Pekik mendesak terus, dengan mengemukakan berbagai alasan dan tanggungjawabnya terhadap Perguruan Tuban itu. Justeru kebetulan bahwa ketika Rara Inten menyerahkan kekuasaan atas Perguruan Tuban, ketika itu Adipati Surabaya sendiri hadir dan turut menyaksikan.
"Apakah rama menghendaki ananda menjadi seorang pengecut yang lari dari tanggungjawab ?" tanya Jaka Pekik dalam usaha mendesak dan menyudutkan ayahnya.
"Ananda telah menerima penyerahan Rara Inten, sebagai ketua Perguruan Tuban. Tetapi karena ananda tak dapat berdiam di sana. maka ananda mempercayakan Perguruan Tuban itu kepada Telasih dan Sarni. Sekarang Perguruan Tuban direbut orang lain. Perguruan Tuban dijadikan alat Mataram guna kepentingannya. Benarkah dalam keadaan demikian ananda harus berpangku tangan dan membiarkan perguruan itu dirampas orang lain ?"
Adipati Surabaya yang mengenal kegagahan dan kesatriaan itu tidak dapat menjawab. Tak bisa dibantah alasan Jaka Pekik. Sebagai seorang gagah, dan sebagai ketua pula, memang sudah pada tempatnya Jaka Pekik membela Perguruan Tuban itu. Tetapi sebagai seorang ibu, tentu saja ibunya mempunyai pendirian lain. Ia tidak perduli kepada persoalan lain. Yang terpikir olehnya hanyalah kasih kepada puteranya. Sebagai seorang ibu akan selalu was-was bilamana puteranya pergi dan berkelahi. Khawatir kalau tewas. Maka katanya sambil menahan menitiknya air mata, sedang tangannya memegang lengan anaknya kuat-kuat,
"Pekik, janganlah engkau pergi. Jangan! Banyak pembantu-pembantumu yang terpercaya. Mengapa tak kauserahkan persoalan ini kepada mereka? Jangan.......... Pekik, jangan engkau pergi. Aku amat khawatir sekali..........."
Jaka Pekik menghela napas. Ia sadar pula akan sikap ibunya. Namun sebaliknya iapun sadar akan tanggungjawabnya pula. Ia tak boleh lari dari keadaan.
"Ibu, mengapa? Ananda bukan anak kecil lagi. Ananda pandai menjaga diri. Ibu ......e. tentang hidup dan mati manusia,sepenuhnya di tangan Tuhan. Lupakah ibu akan pengalaman ananda selama belasan tahun, terpisah dari rama dan ibu? Ananda selalu berhadapan dengan bahaya dari ancaman maut. Namun karena Tuhan belum menghendaki, ananda selalu selamat, malah secara tak terduga, ananda memperoleh sesuatu yang tak dapat dimiliki orang lain. Ibu... perkenankanlah ananda pergi malam ini juga. Dan ananda percaya, bahwa Tuhan akan selalu melindungi setiap orang yang bermaksud baik. Ibu ....... tak seharusnya ananda lari dari tanggung jawab."
"Tanggung jawab memang selayaknya dipertahankan .... anakku..... Tetapi bukankah banyak pembantumu yang sakti mandraguna ?" sahut ibunya mulai menitikkan air mata. terisak menangis.
Inilah senjata perempuan. Senjata pemungkas seorang ibu, dalam mempertahankan pendapatnya. Tangis merupakan senjata ampuh. Sebab langsung menyentuh perasaan dan hati. Dan oleh tangis ibunya ini pula, Jaka Pekik terharu. Dipeluknya ibunya yang amat dikasihi ini. Kemudian katanya,
"Tetapi ibu... persoalan lain bisa ananda lepaskan dan percayakan kepada orang lain. Tetapi, persoalan yang ananda hadapi sekarang ini mempunyai hubungan langsung dengan kedudukan ananda sebagai ketua Perguruan Tuban. Kalau ananda mewakilkan orang lain, bagaimana mungkin murid-murid Tuban mempunyai kepercayaan lagi kepada ananda? Dan bagaimana mungkin murid-murid Tuban menaruh harga kepada ananda?"
"Pekik.... mengapa engkau memberatkan soal itu ......? Dihargai atau tidak...... dipercayai atau tidak...... mengapa kaurepotkan?" bantah ibunya sambil terisak.
"Kedudukanmu sebagai Raja Surabaya jauh lebih mulia , tinggi dibanding dengan kedudukan ketua Perguruan Tuban."
"Benar," sambung ayahnya,
"engkau harus lebih memberatkan kedudukaumu sekarang ini, sebagai Raja Surabaya. Biarkan kedudukan ketua Perguruan Tuban dipegang orang lain."
"Tidak! Rama . ibu " bantah Jaka Pekik cepat dan sungguh-sungguh.
"Pertimbangan ananda, bukanlah tinggi rendahnya kedudukan itu. Pertimbangan ananda adalah janji. Kesanggupan yang pernah ananda ucapkan tak boleh dipungkiri. Dan orang yang masih mempertimbangkan akan tinggi rendahnya kedudukan yang dijabat, berarti orang itu tidak bisa dipercaya. Orang itu bukan mengabdi secara tulus, tetapi mencari kemuliaan hidup. Yang tinggi dan yang rendah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab yang sama. Dan janji sama dengan sumpah! Kalau ananda mengingkari janji, ananda adalah manusia terkutuk. Manusia pengecut! Lari dari tanggungajwab. Tidak.... . ...... tidak! Ananda bukan orang macam itu. Sebagai orang macam itu. Sebagai orang yang telah menerima kedudukan sebagai ketua Perguruan Tuban, apapun yang terjadi ananda harus menangani sendiri, menyelesaikan urusan penting ini."
Ibunya dengan menangis masih mencoba membujuk Jaka Pekik agar mengurungkan maksudnya. Dan Adipati Surabayapun tak kurang-kurang alasannya dalam usaha mencegah kepergian Jaka Pekik. Akan tetapi Jaka Pekik sudah kukuh pada pendiriannya. Tak lagi bisa dirubah kehendaknya. Maka suami isteri ini kemudian terpaksa mengalah. mengijinkan Jaka Pekik, sekalipun hati terasa berat sekali.
Betapa gembira Jaka Pekik, setelah setengah memaksa memperoleh ijin meninggalkan Surabaya. Ia cepat masuk ke dalam kamar, berkemas. membawa bakal uang dan pakaian beberapa potong guna ganti dalam perjalanan. Namun guna mengurangi resiko dalam perjalanan, ia memilih pakaian yang paling sederhana dan dari bahan kasar.
Demikianlah akhirnya, malam itu juga bersama Yoga Swara dan Madu Bala, ia meninggalkan kota Surabaya dengan diam -diam. Yang tahu hanya terbatas beberapa orang yang tinggi kedudukannya dan terpercaya. Pendeknya kepergian Jaka Pekik ini perlu dirahasiakan.
Akan tetapi tidak gampang pula tiga orang ini meninggalkan wllayah Surabaya. Mereka harus menyeberang sungai. Padahal sepanjang seberang sungai, dijaga secara ketat para perajurit Mataram yang bersenjata lengkap. Baik anak panah, meriam, senjata api maupun senjata lain. Benar mereka merupakan orang-orang sakti jaman ini. Meskipun demikian tak bisa sembarangan bergerak dan menyeberang. Bagi mereka daerah yang paling aman. adalah menyeberang Sungai Mas yang berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Gresik. Namun mengingat keadaan amat gawat, sepanjang tepi sungai itupun dijaga secara ketat oleh pasukan Gresik, guna menghalau merembesnya pasukan Mataram.
"Ohoiii!" teriak Madu Bala dari seberang.
Suaranya nyaring sekali, karena suara itu dilambari tenaga sakti tingkat tinggi.
"Kami tiga orang, adalah orang-orang Surabaya mau menyeberang. Janganlah kalian ganggu!"
-Teriakan Madu Bala itu tentu saja dapat didengar secara jelas dari seberang. Maksud teriakan itu bukan lain guna memberitahukan kepada para prajurit Gresik yang berjaga di seberang sungai. Mereka menunggu, akan tetapi tiada jawaban yang terdengar dari seberang.
Namun ada jawaban atau tidak, bagi tiga orang ini bukanlah menjadi soal. Yoga Swara telah menurunkan perahu kecil ke sungai. Madu Bala cepat menyambar dayung. Tiga orang sakti ini dengan loncatan ringan telah naik ke atas perahu tanpa menimbulkan suara dan goncangan pada perahu. Madu Bala yang memegang dayung segara menggerakkan dayungnya, Perahu kecil jtu meluncur seperti anak panah lepas dari busur, oleh dorongan tenaga Madu Bala yang kuat.
Tak lama kemudian tibalah perahu itu di tengah sungai. Tetapi mendadak terdengar suara
"sing,
sing, sing..."
Dan menyambarlah beberapa batang anak panah maupun batu yang dilepaskan oleh bandil. Meskipun demikian para penumpang perahu ini tidak gugup. Jaka Pekik dan Yoga Swara menggerakkan kedua tangannya. Angin yang danayat menyambut anak panah dan batu yang seperti hujan turun tersebut, kemudian saling berjatuhan dalam sungai.
Di antara tiga orang itu, yang berangasan dan suka bertindak menurutkan kemauan hati, adalah Madu Bala. Ia menjadi marah dan penasaran sekali oleh serangan orang dari seberang sungai. Tadi sebelum menyeberang telah berteriak dan memberitahukan dan memperkenalkan diri. Tetapi orang di seberang tidak menyahut. mengapa sekarang malah menyerang orang di saat sedang menyeberang?
Karena marah ia hanya mendayung perahu dengan taagan kanan. Sedang tangan yang kiri telah menyambar beberapa batang anak panah yang menyerang dirinya. Anak panah itu dikumpulkan. Setelah diperkirakan bahwa jarak perahu dengan orang di seberang tak jauh lagi, Madu Bala melepaskan anak panah itu dengan pengerahan tenaga. Jangan diremehkan lemparan anah panah tanpa busur ini. Tenaga lemparan maupun cepatnya anak panah yang meluncur, tak kalah dengan anak panah yang lepas dari busur. Memang bagi orang yang sudah memiliki tingkat setinggi Madu Bala. Jaka Pekik dan Yoga Swara, luncuran anak panah yang disambitkan cukup berbahaya.
Belasan anak panah segera menyebar dan meluncur cepat sekali ke pinggir kali, di mana tadi anak panah itu dilepaskan orang. Suaranya mencicit keras. Melihat itu baik Jaka Pekik maupun Yoga Swara kaget. Tegur jaka Pekik,
"Mengapa paman menyerang orang ?"
"Mereka kurang ajar. Maka harus dibalas kekurang ajaran itu. dengan mengembalikan arak panah kepada mereka. Ha-haaha, senjata makan tuan !" sahut Madu Bala sambil tertawa, akan tetapi tangannya tetap bekerja mendayung perahu.
"Antara Surabaya dan Gresik merupakan sahabat. Sebelum menyeberang, lebih dahulu kita telah memperkenalkan diri. Akan tetapi mengapa mereka malah menyerang?"
Sebenarnya Jaka Pekik kurang setuju dengan sikap dan cara Madu Bala ini. Namun ia tak sampai hati kalau harus mencelanya. Katanya setengah memberi nasihat,
"paman. biarlah kalau memang orang menanggapi kita tidak baik. Yang penting kita tidak mempunyai maksud jahat. Terserah tanggapan orang. Sebab yang bisa menilai kita ini, bukanlah kita sendiri, melainkan pihak lain. Kita harus menyadari keadaan, mengapa mereka tak lekas mau percaya. Mereka sedang melakukan tugas. Mereka bertanggungjawab atas keselamatan wilayah mereka."
"Tetapi mengapa sebabnya begitu saja telah menyerang dengan anak panah dan batu ?"
Madu Bala membela diri.
"Hal ini memang bisa dimengerti, paman."
Sahut Jaka Pekik.
"Kita harus mau mawas diri. Sekarang ini telah larut malam dan gelap pula. Tentu saja mereka menjadi curiga. Kalau benar orang Surabaya mengapa menyeberang sungai di waktu malam dan tanpa penerangan? Sudahlah. yang penting serangan itu tidak membahayakan kita........"
Kata-kata Jaka Pekik terputus oleh suara jeritan nyaring yang saling susul di tepi sungai, akibat terpanggang anak panah yang tadi disambitkan Madu Bala. Mendengar jerit jerit ngeri menghadapi maut itu, Jaka Pekik terharu. Namun pada saat itu kembali hujan anak panah dan batu menyerang mereka. Sambil menangkis dan mengebut anak panah dan batu yang seperti hujan itu, Jaka Pekik berteriak nyaring,
"Hai! Hentikan serangan kalian. Kami bukan musuh, dan benar benar orang Surabaya!" .
Teriakan yang dilambari tenaga sakti tataran tinggi itu nyaring sekali, berpengaruh dan kuasa mengguncangkan jantung orang yang menjaga di seberang sungai. Tangan mereka seperti lumpuh, sehingga mereka tak lagi kuasa menyambitkan batu maupun menarik busur. Dan mereka menjadi amat terkejut. Mereka sadar bahwa orang yang menyeberang ini, merupakan orang-orang sakti mandraguna. Kalau tidak tentu telah tewas terpanggang oleh anak panah yang mereka lepaskan seperti hujan.
Di saat mereka tidak menyerang lagi ini, perahu telah merapat pada tebing. Kemudian dengan loncatan yang ringan mereka telah mendarat. Akan tetapi begitu mendarat. mereka telah dikurung oleh puluhan orang yang bersenjata pedang dan tombak. Sikap mereka amat garang Bentak salah seorang dari mereka.
"Siapakah kalian ini?"
Madu Bala cepat menjawab tak kalah garangnya.
"Bukankah aku tadi sudah memberitahukan sebelum menyeberang? Kami orang Surabaya. Sebaliknya, kalian tentu pasukan Gresik, bukan ?"
'Engkau benar. Kami adalah pasukan Gresik !' kata orang yang tadi menegur.
"Tetapi apabila benar kalian ini orang Surabaya, tunjukkan kepada kami tanda pengenalnya!"
Tentu saja baik Jaka Pekik, Yoga Swara maupun Madu Bala tak bisa memberikan tanda pengenal itu. Karena mereka memang tidak mempunyai tanda pengenal apa-apa. Mereka merupakan orang-orang yang amat terkenal bagi Surabaya. Hingga tiap hidung akan sudah mengenalnya. Namun dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, walaupun andaikata memiliki tanda pengenal, tak mungkin mereka mau berterus terang. Sebagai Raja Surabaya, Jaka Pekik tidak bisa sembarang memperkenalkan diri. Karena hal itu bisa menimbulkan bahaya. Karena tak berani sembarangan bicara soal ini, maka Madu Bala menatap Jaka Pekik.
"Sahabat yang baik, ketahuilah bahwa kami benar benar orang Surabaya," sahut Jaka Pekik.
"Akan tetapi menyesal sekali kami tak dapat menunjukkan tanda pengenal itu, karena memang tidak punya. Hanya pintaku. hendaknya kalian mau percaya bahwa kami benar-benar orang Surabaya." _
"Kami memamg percaya, bahwa kalian orang Surabaya. Namun, bagaimana kami dapat memastikan kebenaran dari pengakuan saudara-saudara, kalau kalian tak dapat menunjukkan bukti sebagai tanda pengenal? Keadaan amat gawat. Maka kami harap kalian sedia mengikuti kami menghadap pemimpin kami." ,
Yoga Swara menyentuh lengan Jaka Pekik. Sekalipun hanya sentuhan, Jaka Pekik telah tahu apakah maksud Yoga Swara. Akan tetapi sebelum Jaka Pekik membuka mulut, Madu Bala yang sudah penasaran atas sikap perajurit Gesik yang kurang menghormati junjungannya itu, ia telah menjadi amat penasaran. bentaknya tiba tiba,
"Kami tak dapat menunjukkan bukti pengenalan diri. Hemm, tetapi kalian mau apa? Kami tak sudi kalian bawa menghadap pimpinanmu. Huh-huh, sangkamu kami takut?"
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya itu, tiba tiba saja terdengar suara teriakan beberapa orang prajurit Gresik. Karena tahu-tahu senjata mereka telah lepas dari tangan, pindah ke tangan orang jelek itu tanpa diketahui bagaimanakah caranya bergerak.
Jaka Pekik dan Yoga Swara kaget. Tetapi semuanya telah terjadi. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu perkembangan keadaan. Tiba-tiba terdengar suara
"krak. krak, krak....".
Ternyata dengan jari tangannya, Madu Bala telah mematahkan semua senjata yang dapat dirampas itu. Para perajurit terbelalak dan kaget melihat itu. Jelas bahwa sekalipun wajahnya jelek, orang ini bukanlah orang sembarangan.
Lurah perajurit yang tadi bicara itupun sadar, bahwa ia dan prajuritnya sekarang ini, berhadapan dengan manusia-manusia sakti mandraguna. Walaupun harus mengeroyok, tentu tak akan dapat melawan. Namun ia seorang lurah perajurit yang gagah perkara. Seorang lurah perajurit yang setia kepada tugas dan tanggungjawabnya. Ia lebih suka mati daripada harus mengingkari tugas. Maka katanya dingin,
"Hemm... sangkamu dengan kaupamer kedigdayanmu itu, kami cepat menjadi takut? Kami
adalah perajurit yang menunaikan tugas menyelamatkan Gresik. Kami tak takut mati. Perajurit Serbuuuu !"
Perajurit yang jumlahnya puluhan orang itu dengan senjata masing-masing segera menyerbu dan mengeroyok tanpa takut sedikitpun. Melihat serbuan itu, Jaka Pekik menjadi khawatir. Ia tahu watak Madu Bala yang suka membawa kemauan sendiri. Ia khawatir kalau Madu Bala menimbulkan korban para perajurit yang menunaikan tugas ini. Maka sambil bergerak menghindarkan diri dan menangkis senjata lawan, ia berteriak,
"Paman Bala! Kurang perlu kita melayani mereka. Mari, kita segera pergi."
Dengan kebutan tangan, dorongan dan tendangan, beberapa senjata lawan terpental terbang. Lalu dengan gerakannya yang ringan, Jaka Pekik dan Yoga Swara telah meloncat tinggi di atas kepala para perajurit yang mengeroyok. Akan tetapi Madu Bala tak mau berlalu begitu saja tanpa memberi hadiah kepada para perajurit yang dianggap kurang ajar ini. Lebih lebih lurah perajurit yang dianggap sombong dan keras kepala itu.
"Wut...... prak-klak-krek...... aduhh.... !"
Beberapa macam senjata yang menyerang Madu Bala patah dan terbang, disusul oleh terpentalnya tubuh si penyerang sambil berteriak kesakitan. Namun mereka tidak terluka, hanya perut mulas tercium tendangan. Berbeda dengan lurah perajurit tadi. Bukan saja pedangnya terpental terbang, akan tetapi sambungan pundaknya telah lepas, lengannya menjadi lumpuh mendadak. Ia amat kesakitan, meringis dan merintih-rintih.
"Ha-ha-ha, itulah upahmu !" ejek Madu Bala sambil terkekeh, dan tahu-tahu tubuhnya melesat seperti terbang.
Dalam waktu singkat mereka telah menghilang. Para perajurit Gresik itu kagum, tetapi juga penasaran.
Mengapa hanya berhadapan dengan tiga orang, puluhan perajurit yang bertugas ini tak mampu melawan?
Mereka kemudian bergerak cepat tanpa membuka mulut. Yang penting agar cepat sampai ke tempat tujuan.
Perguruan Tuban!
Biarlah Jaka Pekik, Madu Bala dan Yoga Swara bergerak cepat seperti terbang, sebaliknya kita tinggalkan dahulu mereka ini. dan marilah kita sekarang menjenguk kembali dua orang murid Tuban yang telah lama kita tinggalkan. Murid Tuban yang perlu kita jenguk dan kita ikuti perjalanannya, adalah Minah dan Kedasih. Seperti telah kita ketahui. dua orang murid perempuan ini meninggalkan Perguruan Tuban membawa serta pedang Jati Sari. Maksudnya tak ada lain, kecuali mencari Rara Inten dan akan melaporkan apa yang telah terjadi. Tetapi ternyata kemudian pedang Jati Sari yang diselamatkan itu, dirampas oleh Sindu.
Untuk beberapa saat mereka bertangisan dan menyesal sekali. Namun kemudian mereka sadar, sesal tiada guna. Lalu mencari desa. bermaksud mencari tukang pandai besi supaya sudi membuatkan pedang.
Mereka pergi tanpa tujuan. Sebab baik Minah maupun Kedasih. tak tahu di manakah Rara Inten sekarang tinggal. Karena pergi hanya menurutkan langkah kaki dan tanpa tujuan ini, maka mereka menderita.
Hari itu. matahari menyinarkan cahaya panasnya yang amat terik. Kedasih dan Minah kelelahan dan kegerahan. Mereka melepaskan lelah di bawah pohon rindang, di tengah hutan lebat, di wilayah Pegunungan Kendeng. Tempat itu jauh dari desa. Dan sesungguhnya
mereka merasa lapar. Amat sayang sekali bahwa di Pegunungan Kendeng ini yang banyak tumbuh hanyalah pohon Jati, jambu klutuk (jambu berisi) dan pisang. Guna menahan rasa lapar. mereka terpaksa hanya makan pisang yang belum masak dan jambu klutuk. Tetapi mereka tak berani makan jambu terlalu banyak. Jambu klutuk tersebut dapat menyebabkan perut sakit.
"Mbakyu. ke mana kita harus pergi?" tanya Minah sambil menatap mbakyu perguruannya itu.
Sesungguhnya sudah timbul rasa bosannya harus berkelana tanpa tujuan seperti sekarang ini. Telah lebih dua bulan lamanya mereka menjelajah. Namun Rara Inten yang mereka cari belum juga ditemukan tanda-tandanya.
"Hem, entahlah!" sahut Kedasih sambil menghela napas panjang.
Iapun menyesal. mengapa usahanya menemukan Rara Inten belum juga terkabul. Dan yang lebih membuat ia menyesal, adalah pedang pusaka Jati Sari yang dirampas orang.
"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja? Kalau kita pulang ke desa tempat asal kita, agaknya tenaga kita masih banyak dibutuhkan penduduk."
Minah mencoba membujuk Kedasih. '
"Hem, apakah kau ingin mampus?"
Kedasih mendellk.
"Semua murid Tuban tahu bahwa kita berasal dari desa Jatirogo. Padahal sundal Subinem itu, kejam dan licik. Dia tentu berusaha mencari kita. Sebab dia tahu, kita dianggap berbahaya dan berkhianat."
Minahpun sadar keadaan itu. Apabila sampai tertangkap oleh murid-murid Tuban yang setia kepada Subinem, mereka tentu celaka.
Mereka bisa disiksa kejam lebih dulu sebelum dibunuh!
Bergidik ngeri perempuan ini jika memikirkan akibat perbuatannya melarikan pedang pusaka Jati Sari. Minah menghela napas panjang lagi. Kemudian bertanya,
"Tetapi sebaliknya aku menjadi kecil hati, mbakyu. Engkau tak dapat memberi keterangan tegas. Engkau menjawab entahlah! Apakah kita harus hidup cara begini? Berkeluyuran tanpa tujuan seperti burung tanpa sarang? Mbakyu, kita adalah perempuan. Apakah kata orang terhadap kita ini? Apakah kita tidak dituduh sebagai wanita-wanita jalang?"
Kedasih terkekeh mendengar kata-kata Minah ini. Ia memang merasa geli. Jawabnya masih sambil tertawa,
"Mengapa engkau mempunyai pikiran seperti itu? Dan mengapa pula engkau khawatir akan pendapat dan kata orang lain? Itu sudah lumrah. Biasa! Orang tak bisa menilai diri sendiri, dan yang dapat menilai orang lain. Mengapa engkau menjadi khawatir akan pendapat dan penilaian orang? Biarlah orang menilai menurut kemauan dan kehendaknya. Biarlah orang menuduh kita sebagai wanita jalang. Mengapa repot? Yang penting, kita ini wanita jalang atau bukan?"
"Terang bukan!"
"Nah, kalau merasa diri bersih, mengapa khawatir dan repot? Janganlah engkau ketakutan akan bayangan sendiri. Pendeknya kita harus berjalan lewat jalan kita sendiri. Jalan yang menurut hatimu sudah benar."
Kedasih menatap wajah adik seperguruannya itu dengan pandang mata sungguh-sungguh. Kemudian lanjutnya,
"Minah. kita telah memulai langkah. Setiap kita telah memulai, janganlah kita mundur oleh kesulitan dan perintang. Memang menciptakan sesuatu taklah mungkin datang sendiri tanpa dicari dan diusahakan dengan hati mantap. Dan perintang maupun derita hanyalah khayal
pikiran kita sendiri. Baik derita maupun sesuatu yang menyenangkan. apabila kita terima secara wajar, apa adanya, tanpa penilaian, akan sama saja."
Minah mengangkat muka memandang Kedasih dengan heran.
"Apakah maksud mbakyu menerima apa adanya tanpa penilaian? Eh, manakah mungkin dapat melakukan?"
"Mengapa tidak?" sahut Kedasih,
"Hidup adalah hidup. Jangan kauberi embel-embel yang lain. Dan kalau tahu kita ini hidup, sudah tentu ada yang memberi hidup. Dan hidup ini tentu telah sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh Yang Memberi Hdup. Rasa susah, gembira dan yang lain, bukan lain pengaruh dari pikiran kita ini sendiri. Pikiran ini memang banyak kali merupakan musuh kita. Karena pikiran ini yang membuat hati merasa menderita, timbul benci, derita, senang dan lain sebagainya. Sebaliknya kalau kita ini menerima hidup sewajarnya, tanpa menggunakan pikiran dan penilaian, kita akan bisa menikmati hidup ini. Sebab baik menderita, baik senang dan sebagainya itu, adalah hasil pikiran dan penilaian itu sendiri. Orang tua kita sering memberi nasihat. Bersukalah dalam menderita, dan barsusahlah dalam senang. Sesungguhnya nasihat itu amat bagus. Tetapi karena kurang tegas, membuat orang yang mendengar menjadi ragu-ragu. Berbeda kalau terus-terang. terimalah segala sesuatu dengan wajar,'tanpa penilaian, orang akan bisa menikmati hidup ini. Karena kita akan bisa terlepas dari apa yang disebut 'menderita" dan apa yang disebut pula "menggembirakan." Kita akan menjadi biasa saja, tidak terkejut dalam menghadapi apa saja. Baik itu apa yang disebut "derita" maupun "suka", lama-lama diterima sewajarnya. Tidak menyebabkan pengaruh apa-apa. Lalu kita tak mengenal lagi derita maupun gembira."
Mendengar kata-kata Kedasih itu. Minah terbelalak. Tak pernah diduganya, bahwa mbakyu perguruannya ini bisa memberi nasihat seperti itu. Kemudian Minah bertanya,


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, bagaimanakah menurut pendapat mbakyu? Apakah yang harus kita lakukan selanjutnya?"
"Bagaimanapun jadinya, kita harus tetap berusaha mencari adi Inten,"
Kedasih menjawab mantap.
"Dia harus menolong perguruan kita sebelum terlanjur hancur di tangan sundal Subinem. Bagiku. walaupun harus mengorbankan nyawa, takkan menyesal,"
"Ah, sesungguhnya akupun mempunyai pendapat seperti itu, mbakyu," kata Minah.
"Kalau aku merasa kecil hati dan khawatir, adalah karena sama sekali tiada petunjuk di manakah sebenarnya adi Inten berdiam sekarang ini. Dengan tiadanya petunjuk ini, sama artinya pula kita mencari jarum dalam tumpukan ijuk."
"Tak perlu kau kecil hati menghadapi soal ini," hibur Kedasih.
"Pendeknya kita terus berusaha dan mencari. Aku percaya bahwa pada saatnya nanti kita akan dapat bertemu dengan dia. O..ya, mengapa aku sebodoh ini?"
"Ada apa?"
Minah terbelalak dan menatap Kedasih.
"Mengapa aku tidak membuat tanda-tanda rahasia perguruan kita? Dengan tanda itu. adi Inten tentu mengenal. Kemudian dia akan menurutkan tanda-tanda yang kita buat itu."
"Mbakyu, maksud itu baik. Tetapi ada bahayanya juga."
Minah kurang setuju.
'Bahaya apakah maksudmu?"
"Apakah mbakyu lupa bahwa kita ini bisa dikatakan pelarian dari orang buruan Perguruan Tuban? Bukankah dengan tanda-tanda itu. berarti kita sendiri mengundang bahaya-bahaya? Saudara-saudara perguruan kita mengenal. Untung kalau adi Inten. Tetapi kalau orang yang ditugaskan Subinem?"
"Ah, aku sampai lupa."
Kedasih menghela napas dan menyesalkan pula pikirannya sendiri itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Mereka sama-sama menundukkan muka dan termenung. Akan tetapi beberapa saat kemudian mereka kaget dan mengangkat kepala. Telinga mereka yang peka dapat menangkap gerakan kaki orang yang hati-hati dan perlahan. Ketika mereka mengangkat kepala. mereka terbelalak. Ternyata mereka sekarang telah dikurung oleh belasan orang laki-laki yang sikapnya galak dan kasar.
Kedasih dan Minah meloncat berdiri dan siaga. Kakak-beradik seperguruan ini sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang yang tak bermaksud baik. Pakaian orang-orang yang mengurung ini beraneka macam. Namun mengingat bahwa tempat ini tak jauh dari markas Gerombolan Kendeng, maka mereka menduga bahwa orang-orang ini adalah orang-orang Gerombolan Kendeng.
"Hemm,"
Kedasih mendengus dingin,
"bukankah kamu ini bangsat-bangsat dari gerombolan penjahat Kendeng?"
Orang kurus yang pucat, dan agaknya yang menjadi pemimpin orang-orang itu terkekeh.
"Hah-hah-heh, ternyata engkau mempunyai mata yang awas juga. Tetapi sebaliknya, bukankah kau ini murid Perguruan Tuban?"
"Bagaimana kau tahu?"
Minah heran.
'Hahheh-heh .hen, mudah saja."
Orang kurus pucat itu mengejek.
"Dua orang perempuan berkeliaran dalam hutan. Tentu murid murid Perguruan Tuban yang membanggakan kepandaiannya." '
"Jika kamu tahu, bahwa sekalipun perempuan. kami bukan orang sembarangan. mengapa kamu tidak lekas enyah dari sini dan mengganggu ketenangan kami?" bentak Kedasih dengan angkuh.
"Heh heh-heh, orang lain boleh takut kepada macan macan betina Tuban. Akan tetapi orang Kendeng takkan takut. Hayo, cepatlah berlutut dan menyerah. Janganlah kamu berusaha melawan. Tak ada untungnya kalian bercapai lelah melawan kami yang banyak jumlahnya."
"Bangsat. Pengecut! Kamu mengandalkan jumlah banyak untuk menghina perempuan?" lengking Minah marah sekali.
"Heh-heh-heh, antara Kendeng dengan Tuban tak pernah rukun. Mengapa harus memperhitungkan antara sebutan pengecut dan bukan pengecut? Pendeknya, menyerah atau melawan? Tapi melawanpun takkan ada gunanya."
The End Of The Dream Karya Angelia Putri Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes Pasukan Mau Tahu 11 Misteri Di Holly Lane

Cari Blog Ini