Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 2

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 2


Walaupun sudah di ketahui bahwa sikap Rara Inten terhadap dirinya sudah berubah, malah berusaha membunuh Kreti Windu, namun Jaka Pekik tidak tega membiarkan orang orang Tuban itu terancam bahaya. Lebih lebih ketika dari tempat tinggi ini Jaka Pekik melihat. bahwa Rara Inten dibantu beberapa tokoh Tuban berusaha menerjang puluhan orang perajurit Mataram yang sedang mengurung sebuah tandu yang digotong oleh empat orang murid pria Tuban, sedang belasan orang yang lain melindungi memberikan perlawanan. Tetapi ternyata pasukan Mataram ini kuat sekali. Walaupun harus melawan dari depan dan dari belakang, Rara Inten belum juga bisa menolong murid murid Tuban yang terkepung itu. Sebab jumlah pasukan Mataram yang amat besar itu, Ia akan menggunakan Aji Candabirawa atau Bala Srewu. Sepuluh orang roboh, telah diganti oleh duapuluh orang perajurit yang baru. Duapuluh roboh. datanglah empat puluh orang prajurit yang menggantikan. Pasukan Mataram tidak takut mati. Tempat itu dalam waktu singkat sudah banjir darah. sedang mayat manusia tumpang tindih tak keruan. Bercampur antara mayat prajurit Mataram dan murid-murid Tuban.
Tiba-tiba saja Jaka Pekik seperti disadarkan dan berseru tertahan,
"Ah celaka! Bukankah yang berada di dalam tanda itu kakang Iskandar?" Lalu teriaknya kepada Lawa Ijo dan Madu Bala, yang sejak tadi berdiri dibelakangnya mengawal keselamatan rajanya,
"Paman Lawa Ijo Paman Madu Bala! Tolong perintahkan kepada pasukan Tatit untuk menerjang pasukan musuh dari timur ini. Sesudah itu, kalian harus membantu aku."
Dua orang tokoh Gagak Rimang itu membungkuk memberikan hormatnya, sambil mengiakan. Sesaat kemudian dua orang itu sudah melesat pergi.
Siapakah orang yang disebut namanya Iskandar oleh Jaka Pekik tadi? Iskandar Adalah putera Banjaran Sari murid pertama Perguruan Kemuning, Jadi Iskandar adalah sama kedudukannya dengan Jaka Pekik, sebagai cucu murid Wisnu Murti. Akan tetapi ternyata Iskandar tersesat jalan. terbujuk oleh orang, kemudian melakukan pengkhianatan dengan membunuh paman perguruannya sendiri, ialah murid Kemuning yang bungsu, bernama Fajar Prana. Karena pengkhianatanyn ini. Iskandar dikutuk oleh ayah kandungnya sendiri dan sekalian orang Perguruan Kemuning. Tetapi karena Iskandar licin seperti belut, usaha Kemuning untuk menghukum belum terkabul. Kemudian secara tak terduga, Iskandar muncul di Pondok Bligo ini, dan memperkenalkan diri sebagai suami Rara Inten. Sikap Iskandar terlalu sombong. sehingga ia berani menantang murid ke dua Perguruan Kemuning ang bernama Parang Kusuma. Sebagai akibat kesombongannya itu, akhirnya Iskandar dikalahkan oleh Parang Kusuma. dengan menderita luka yang amat berat. Dua lengannya patah sebatas pundak, dua telinganya remuk di samping terluka dalam yang parah. Melihat derita Iskandar itu Jaka Pekik tidak tega dan menolong. Ia Justeru seorang ahli pengobatan, maka tulang-tulang yang patah itu disambungnya dengan harapan bila sembuh kembali. (Baca, "Ratu Wandansari" oleh pengarang yang sama).
Demikianlah, melihat Iskandar yang belum bisa bergerak itu terancam bahaya, sedang Rara Inten dan pembantu pembantunya tidak mampu menggebah prajurit perajurit Mataram itu, Jaka Pekik tidak sabar lagi. Setelah memberi perintah kepada Madu Bala dan Lawa Ijo, ia sudah melesat ke pinggang bukit menerjang bahaya. Empat orang perajurit Mataram menyambut dengan senjata tombak dan pedang. Dengan sikap yang tenang, Jaka Pekik menangkap dua batang tombak itu, sedang tangan yang lain menyentil batang pedang musuh. Dua orang prajurit yang bersenjata pedang itu menjerit nyaring kemudian roboh mati, karena tertikam oleh pedang sendiri yang membalik disentil jari tangan Jaka Pekik. Kemudian pemuda ini menyentakkan tombak itu, sehingga dua orang perajurit inipun roboh dan tubuhnya menggelundung kebawah.
Kemudian dengan menggunakan dua batang tombak rampasan ini. Jaka Pekik mengamuk menerjang lawan. Di belakangnya melesat pula tiga bayangan manusia yang cepat, ialah Yoga Swara, Madu Bala dan LuWih Wadi. Tiga tokoh Gagak Rimang ini tidak tega membiarkan rajanya seorang diri melawan musuh. Maka mereka ini bertindak sebagai pengawal.
Tiga orang ini juga mengamuk hebat sekali. Madu Bala kemudian berhadapan dengan seorang Tumenggung yang sudah ia kenal ketika ia menyamar di Mataram. Tumenggung itu bernama DarmOyudo. Hanya dua gebrakan saja tokoh Gagak Rimang ini berhasil membunuh Tumenggung itu. Ia dikeroyok ratusan perajurit. Namun tidak gentar dan tetap mengamuk. Hebat sekali tandangnya. membuat perajurit Mataram giris! Tak lama kemudian Madu Bala berhasil merampas tandu. yang di dalamnya terdapat orang terluka parah. Ia cepat membawa tandu itu menyingkir. . '
( Bersambung Jilid 2)
buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 2
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
NAMUN ternyata Rara Inten masih mengamuk terus bersama pembantunya, Melihat itu Jaka Pekik khawatir. Teriaknya,
"Inten! Mundur! Kakang Iskandar sudah bisa ditolong paman Madu Bala."
Tetapi Rara intan tidak menggubris. Perempuan sakti ini dengan senjata cambuknya terus mengamuk. Hebat sekali tandang ketua Perguruan Tuban ini. Cambuknya bergerak cepat sekali seperti ular hidup. Setiap ujung cambuk itu menyambar lawan, terdengar jerit ngeri dan robohlah perajurit Mataram itu dalam keadaan tak bernyawa. Cambuk itu sudah berubah menjadi merah oleh darah. Entah sudah berapa puluh perajurit Mataram tewas oleh cambuk ini. Namun perajurit itu tidak mengenal takut. Mereka terus menyerbu, seakan laron menyerbu api untuk mati. Menyedihkan sekali. Dalam perang campuh di bukit ini, nyawa manusia seperti tiada harganya. Mayat bergelimpangan makin bertambah jumlahnya. Darah membanjir membasahi tanah dan rumput. Jaka Pekik yang wataknya welas asih ini, diam-diam bergidik dan menyesal sekali, mengapa ia terpaksa harus membunuh manusa-manusia tidak berdosa? Perajurit penjuru Mataram ini mengorbankan nyawanya demi kepentingan seorang saja. Kepentingan Sultan Agung yang ingin berkuasa.
Ia memandang amukan Rara Inten sambil menghela napas panjang. Tiba-tiba ia melihat dua murid Tuban yang menggotong tandu, dan dikeroyok oleh puluhan perajurit Mataram. Seperti ada sesuatu yang gaib menggerakkan hati Jaka Pekik. Seperti tatit cepatnya ia melesat ke arah murid Tuban itu untuk menolong . Dengan sepasang tombak rampasan ia mengamuk, setiap perajurit yang menyambut segera roboh terpukul, tetapi tidak mati, hanya menderita luka, namun sudah tidak lagi bisa bertempur. Ketika ia masih terpisah kira-kira dua tombak jauhnya dengan dua orang murid Tuban itu, menyambarlah sebatang golok dan beberapa anak panah. Sungguh celaka! Dua orang itu tidak sempat menghindari, termakan oleh golok dan anak panah, roboh mati!
Tandu yang dibawanya jatuh ke tanah, kemudian menggelundung ke bawah. Jaka Pekik kaget sekali. Untung sekali ia tangkas. Ia melemparkan tombak itu dan ambles hampir separo ke tanah, sehingga bisa menahan tandu yang manggelundung ke bawah. Sungguh tidak terduga, bahwa orang di dalam tandu itu bukan lain Iskandar yang dicari. Iskandar yang terluka parah itu masih pingsan. dan seluruh tubuhnya dibungkus oleh kain putih. Dengan bergegas disambarnya tubuh Iskandar, lalu didukungnya. Tetapi begitu mendukung, pemuda ini heran. Tubuh Iskandar terasa amat berat sekali, seakan mengangkat tubuh tiga orang. Ketika jari tangannya meraba bagian punggung. jari tangannya menyentuh benda keras. Benda apakah? Jaka Pekik tidak sempat untuk berpikir. Karena kuatir membuat tulang tulang Iskandar yang patah itu lepas sambungannya, juga kepala yang hampir remuk. maka ia tidak berani meneruskan bertempur. dan menggunakan kecepatan gerakannya. ia melarikan diri membawa Iskandar. Tetapi Jaka Pekik merasa sibuk juga, karena peraiurit-perajurit Mataram itu seperti semut api. nekad menyerbu tak takut mati. Untunglah bahwa ia bertemu dengan Suwondo Gani dan Jaka Lambang, dua orang paman perguruan Jaka Pekik. Dua orang ini kemudian melindungi kemenakannya yang menyelamatkan Iskandar.
Sesungguhnya sejak tadi pasukan Tatit telah bersiap diri menggempur malah. Namun karena di tengah musuh masih terdapat Jaka Pekik, maka pasukan ini tidak berani berbuat sesuatu. Akan tetapi sekarang, sesudah Jaka Pekik mundur, maka pasukan Tatit dari Gagak Rimang itu sekarang menunjukkan gigi. Anak panah beracun segera berhamburan bagai hujan, dibarengi pula dengan menggelundungnya batu-batu yang cukup besar ke bawah. Akibatnya menjadi hebat sekali. Jumlah pasukan Mataram yang roboh tak terhitung, tumpang tindih tidak karuan. Mau tak mau. pasukan Mataram itu terpaksa mundur untuk mengumpulkan sisa sisa kekuatan sambil mengatur siasat perlawanan baru.
Kalau pasukan Mataram yang menyerbu dari bagian timur terpukul berantakan oleh Jaka Pekik dan pasukan Tatit, maka pasukan Mataram yang bergerak dari arah baratpun mengalami hal yang sama. Pasukan itu hancur berantakan berhadapan dengan pasuhan Gludug dan Kilat dari Gagak Rimang. Hanya pasukan Mataram yang bergerak dari arah utara, dan bertemu dengan prajurit Surabaya serta pasukan tamu-tamu sakti yang dipimpin Adipati Surabaya, tidak begitu banyak menderita. Mengapa sebabnya? Bukan lain pasukan dari arah utara ini merupakan pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Pangeran Kajoran, yang dibantu oleh tokoh-tokoh sakti Mataram. Ialah Tumenggung Suro Agul-Agul, Ki Juru Kiting, Tumenggung Surodipo, dan masih banyak lagi. Malah Bupati Ponorogo, Bupati Madiun, Bupati Kediri dan Bupati Pajang ikut pula di dalam pasukan induk itu.
Pertempuran berlangsung amat seru.
Dilain kesempatan ini, Adipati Surabaya yang mengenakan pakaian sebagai pedagang ini, berhadapan dengan Pangeran Kajoran. Mereka bertempur seorang lawan seorang. Parang Kusumo murid ke dua Perguruan Kemuning bertempur melawan Ki Juru Kiting. Sedang Buntoro tokoh Perguruan Lodaya bertempur melawan Tumenggung Suro Agul-Agul. Dalam pada itu beberapa tokoh yang lain terlibat dalam perkelahian perorangan melawan para Bupati maupun tokoh-tokoh perajurit Mataram. Terjadinya perkelahian perorangan ini. membuat para perajurit berhenti bertempur. Masing-masing pihak kemudian menonton dan menjagoi tokohnya.
Pangeran Kajoran pada mulanya memandang rendah kepada Adipati Surabaya yang mengenakan pakaian sebagai pedagang. Akan tetapi setelah beberapa jurus bertempur, Pangeran Kajoran kaget dan terpaksa berhatihati. Adipati Surabaya memang tidak berani membuka kedok penyamarannya. Ia tahu akibatnya bagi Pondok Bligo apabila penyamarannya bocor. Dengan kehadirannya disini, Mataram makin kuat alasan tuduhannya bubwa Pondok B ligo memberontak. Terbukti Adipati Surubaya menghadiri. Karena itu Pangeran Kajoran tidak sadar bahwa lawan yang dihadapi ini musuh bebuyutan Mataram.
Pertempuran antara Pangeran Kajoran dengan Adipati Surabaya ini berlangsung sengit sekali dan menegangkan bagi mereka yang menonton. Pangeran Kajoran bersenjata pedang panjang pada tangan kanan dan keris pada tangan kiri. Sedang Adipati Surabaya bersenjata tombak pendek. Dengan senjata pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri Pangeran Kajoran bisa melakukan perkelahian rapat maupun tidak. pedangnya menyambar nyambar dahsyat menyinarkan cahaya biru. Membuktikan bahwa pedang itu merupakan pedang pusaka. Sedang kerisnya yang pendek dan kecil itu, merupakan keris pusaka pula. Setiap bergerak menyinarkan cahaya merah. Walaupun kecil dan pendek, keris itu sanggup menangkis tombak Adipati Surabaya. Dan setiap kali terjadi benturan senjata, terdengarlah suara nyaring disertai cahaya yang menyala merah. Pertempuran perorangan yang benar benar seru!
Parang Kusumo yang berhadapan dengan panglima Ki Juru Kiting pun berlangsung seru sekali. Ki Juru Kiting yang bersenjata tombak panjang itu merupakan seorang ahli. Bagi Mataram ia merupakan panglima ulung yang telah banyak jasanya. Tombak itu menyambar nyambar penuh tenaga, dibantu oleh tangan kirinya yang lincah menggerakkan perisai menangkis sambaran pedang Parang Kusumo, disusul oleh sambaran tombaknya membalas. Kadangkala perisai dan baja itu berguna pula sebagai senjata jarak pendek. Guna memukul pergelangan tangan lawan atau bagian tubuh lain yang berbahaya. Diam-diam panglima Mataram yang namanya amat tenar ini mendongkol berbareng kagum, bahwa lawannya bisa bergerak gesit bagai bayangan. sehingga tombaknya tak pernah berhasil menyentuh pakaian lawan. Dalam penasarannya Ki Juru Kiting melengking nyaring, dan tiba-tiba saja permainan tombaknya sudah berubah. Di samping makin cepat juga mengandung tenaga kuat sekali.
Angin pukulan yang dahsyat menyambar-nyambar sehingga pakaian Parang Kusumo makin berkibaran tertiup angin. Namun ternyata tombak Ki Juru Kiting sama sekali tidak dapat menyentuh lawan. Pertempuran dua orang tokoh sakti ini makin lama semakin menjadi cepat dan sengit. Apa lagi dalam hati Parang Kusumo sudah timbul rasa muak dan benci kepada orang-orang Mataram. Rasa muak dan benci itu sebagai akibat dirinya bersama saudara-saudara seperguruannya tertawan secara curang di Mataram. Entah apa saja yang akan diderita bersama saudara perguruannya, apabila tidak datang Jaka Pekik yang kemudian berhasil menolong dan membebaskannya. Maka di dalam bertempur ini, timbul pula keinginannya untuk membunuh senopati Mataram ini.
Dalam pada itu seorang senopati (panglima perang) Mataram yang lain, yang terkenal pula namanya, ialah Ki Suro Agul-Agul telah pula terlibat dalam pertempuran yang sengit, melawan Kyai Abubakar. Perlu diketahui bahwa Kyai Abubakar ini, merupakan orang yang paling berangasan apabila dibanding dengan saudaranya yang lain bagi Pondok Bligo. Ketika dirinya merupakan pula salah seorang tawanan di Mataram. iapun amat menderita dan penasaran sekali. Namun rasa penasaran itu selama ini dipendamnya dan dikuasai. Akan tetapi sekarang, begitu berhadapan dengan salah seorang tokoh perajurit Mataram. penasarannya itu meledak. Ia harus dapat membalas sakit hatinya terhadap hinaan ketika di Mataram, di samping pula penasarannya atas penyerbuan Mataram ke Pondok Bligo ini. Pondok Bligo selama ini selalu menahan diri, untuk tidak memihak kepada yang manapun. Baik kepada Mataram maupun kepada para ' Bupati dan Adipati yang memberontak. Pondok Bligo selama ini lebih mengarahkan perhatian atas tugasnya, sebagai tempat mendidik manusia menjadi penganut Agama Islam yang baik guna kepentingan seluruh umat.
Maka dengan terjadinya penyerbuan ini, sudah tentu memaksa kepada Pondok Bligo untuk berdiri berseberangan dengan Mataram. Dan untung pula bagi Pondok Bligo, bahwa pada saat terJadinya penyerbuan ini, tamu-tamu belum pulang. Bantuan para tamu ini sudah tentu amat besar sekali artinya bagi Pondok Bligo. Sebab dengan meLihat besarnya pasukan yang menyerbu. dan terdapat pula banyak orang sakti, mungkin sukarlah bagi Pondok Bligo untuk bertahan dan menyelamatkan Pondok Bligo dari kehancuran.
Sebagai akibat rasa benci dan penasaran ini maka tandang Kyai Abubakar hebat sekali. Dan karena lawan tidak menggunakan senjata, maka iapun hanya bertangan kosong. Tetapi walaupun hanya bertangan kosong, apabila dua orang sakti telah bertempur, bahayanya sulit dibayangkan. Sekalipun hanya pukulan, nyawa manusia bisa direnggut maut. Angin yang bergelombang dahsyat menyambar di sekitar mereka. Dan sambaran angin pukulan dua orang ini membuat pohon-pohon yang berdekatan, daun-daunnya rontok dan ranting rantingnya patah. Para perajurit kedua belah fihak, mononton pertempuran seru itu dengan mata melotot penuh rasa kagum. Akan tetapi kemudian sesudah dua orang sakti itu makin cepat gerakannya, perajurit-perajurit yang menonton itu menjadi pening. tak lagi bisa melihat secara jelas, dan mereka hanya bisa melihat berkelebatnya warna pakaian berpindah-pindah. seakan dua orang itu berubah dua gulung asap saja.
Tumenggung Surodipo juga memperoleh tanding yang seimbang yaitu seorang tokoh dari Lodaya, bernama Buntoro. Buntoro yang tubuhnya agak kurus dan tampaknya lemah itu,sesungguhnya amat berbahaya. Sebab Perguruan Lodaya inilah yang terkenal mempunyai ilmu pukulan amat ampuh dan berbahaya. bernama "Sapta Kanin." Orang yang kena pukulan ini, sekalipun tidak terluka bagian luar. akan sulitlah orang bisa mempertahankan nyawanya. Karena pukulan "Sapta Kanin' itu akan merusak bagian tubuh dalam sebanyak tujuh tempat, dan juga penting sekali kedudukannya bagi manusia hidup. Bagian tubuh dalam tersebut, Ialah: jantung, paru paru, limpa, hati, usus, otak dan syaraf mata.
Akan tetapi guna menutupi pukulannya yang amat berbahaya itu, tokoh Lodaya ini menggunakan senjata klewang panjang. Dengan demikian, lawan akan terpengaruh lebih memperhatikan senjatanya, dibanding dengan tangan kiri yang sewaktu-waktu bisa melancarkan pukulan maut.
Pertempuran antara Tumenggung Surodipo dengan Buntoro inipun tidak kurang menariknya. Tumenggung Suro dipo yang bersenjata pedang dan perisai ini, merupakan seorang yang telah luas pengalaman dan kenyang berhadapan musuh berat. Setiap kali pedangnya digunakan sebagai serangan pancingan, maka perisai itu cepat menyambar lengan atau bagian tubuh lawan. Sebaliknya apabila perisai itu menangkis serangan lawan, pedangnya akan segera menyambar ke bagian tubuh yang berbahaya.
Tokoh-tokoh Mataram yang lainpun telah terlibat dalam pertempuran perorangan. Perajurit kedua belah fihak menganggur dan menonton dengan harapan fihaknya memperoleh kemenangan. Mengapa perang campuh ini kemudian berubah menjadi pertempuran perorangan? Ini kepandaian bersiasat Adipati Surabaya yang luas pengalaman itu. Tokoh Timur yang luas pengalaman ini sadar. bahwa jumlah pasukan Mataram amat banyak, di samping pula lengkap dengan meriamnya. Banyaknya pasukan masih bisa ditahan apabila cara perlawanannya tertib dan terpimpin. Akan tetapi meriam itu? Sekali meledak akan bisa menimbulkan korban yang sulit dibayangkan. Pondok Bligo bisa hancur dihujani oleh peluru meriam. Mengingat akan kemungkinan-kemungkinan yang merugikan itu. maka Adipati Surabaya memancing dengan tantangan bertempur antara tokoh. Sebagai alasan, pasukan masing-masing merupakan orang-orang yang hanya sebagai alat. Adalah kasihan apabila perajurit-perajurit yang tentu berkeluarga itu, menjadi korban sia-sia dalam pertempuran ini.
Pancingan Adipati Surabaya itu dapat memancing kelemahan Pangeran Kajoran. Seorang Pangeran yang wataknya welas asih dan gagah perwira. Maka tanpa memikir panjang lagi, diterimalah tantangan itu.
Adalah pada saat semua perhatian orang tertuju kepada pertempuran perorangan yang sengit ini. berkelebatlah bayangan yang cepat sekali seperti setan, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata. Tahu tahu orang yang dijadikan sasaran roboh tanpa bisa berteriak. Kemudian dengan kecepatan luar biasa. tangan orang ini sudah merusak meriam-meriam Mataram yang besar itu. Siapakah bayangan orang yang gerakannya cepat bagai setan itu? Hanya seorang saja sebagai anak buah Jaka Pekik bisa bergerak secepat itu. ialah Lawa Ijo. Orang ini begitu melihat pasukan Mataram dalam keadaan lengah, segera menggunakan kesempatan baik itu. Ia sadar bahwa meriam -meriam itu amat berbahaya. Maka menggunakan kecepatannya ia menyerang pasukan meriam itu. Karena ia menggunakan siasat dan tipu muslihat licin. maka pasukan meriam itu tidak menduga. Mereka lengah dan dengan gampang bisa dipedaya oleh Lawa Ijo. Semua meriam meriam itu daLam waktu yang singkat, tidak bisa digunakan lagi. Mereka menjadi gempar setelah semuanya terjadi. Mereka berusaha mengeroyok, namun menghadapi Lawa Ijo yang bisa bergerak secepat itu, manakah mungkin? Mereka seperti mengeroyok bayangan setan, malah di antara mereka roboh menjadi korban.
Namun kegemparan pasukan meriam ini tidak mengganggu mereka yang sedang bertempur sengit. Masing masing mengerahkan kepandaiannya berkelahi. dan berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan lawan. Di antara tokoh-tokoh yang sedang bertempur berebut menang itu, yang paling menderita adalah Tumenggung Surodipo. Ia berhadapan dengan tokoh Lodaya yang mempunyai ilmu pukulan sakti 'Sapta Kanin". Pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Buntoro justeru mengandung pukulan "Sapta Kanin". Karena itu setelah limapuluh jurus lewat, Tumenggung Surodipo hampir tidak berdaya lagi. Ia terdesak. karena merasakan dadanya sesak, jantungnya berdenyutan serta beberapa bagian tubuh terasa sakit-sakit seperti ditusuk jarum. Makin lama Tumenggung Surodipo tak dapat bertahan lagi. Kemudian pada suatu saat yang tak terduga, pukulan Buntoro yang telah membuat Tumenggung Surodipo roboh. Kemudian disusul klewang Buntoro, dadanya berlubang tembus sampai punggung. Saat itu juga nyawanya melayang, entah pergi ke mana, tiada yang tahu.
Robohnya Tumenggung Surodipo itu disambut sorak sorai kegembiraan semua orang yang membela PondOk Bligo.
Justeru tepat pada saat itu tokoh tokoh lain yang semula melawan musuh di bagian lain. berdatangan ketempat itu. Jaka Pekik, Madu Bala telah hadir di tempat itu mengamati dengan seksama ke arah mereka yang sedang bertempur sengit. Kalau bagi para tokoh lain yang belum mencapai tataran sempurna ilmunya mereka tak bisa mengikuti dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Akan tetapi bagi Jaka Pekik yang tataran ilmu kepandaiannya sudah mencapai kesempurnaan. ia dapat melihat dengan jelas gerakan setiap orang yang sedang bertempur sengit itu. Bagi pemuda perkasa ini. sesungguhnya gerakan mereka itu masih kurang cepet. Masih terlalu sederhana, sehingga pemuda ini dapat menduga apa yang akan terjadi.
Ia melihat bahwa ketika itu Adipati Surabaya sedang melancarkan serangan dengan tombaknya kearah lambung. Namun serangan itu hanyalah pancingan belaka. Dan Jaka Pekik yang melihat sikap Pangeran Kajoran, sudah dapat menduga, bahwa pangeran itu akan tertikam dadanya. Tetapi agaknya rayi dalem Sultan Agung itu tak dapat menduga maksud lawan. Ia menyabatkan pedangnya ke bawah guna menangkis senjata lawan, dalam bertarung itu tangan kirinya bergerak membalas dengan tikaman kerisnya pada lengan lawan.
"Crakkk...... aihh.....!" Jaka Pekik terbelalak kaget disamping heran. Apa yang diduganya benar-benar terjadi. Dada Pangeran Kajoran tertikam tombak Adipati Surabaya. Namun yang menjerit kaget bukan Pangeran itu. malah Adipati Surabaya sendiri sambil melompat mundur. Kurang cepat sedikit gerakannya. lengan Adipati Surabaya tentu sudah terluka. Namun sekalipun demikian, lengan baju Adipati Surabaya robek. Bagi eeorang sakti seperti Adipati Surabaya robeknya lengan baju ini tentu saja membuat malu dan penasaran. Mengapa serangannya mengenakan tepat. tetapi malah dirinya sendiri yang hampr celaka di tangan lawan?
Maka dengan melengking nyaring Adipati Surabaya telah melancarkan lagi serangannya lebih dahsyat.
Apa yang terjadi sesungguhnya terhadap Pangeran Kajoran. bukanlah karena pangeran Mataram ini kebal akan senjata. Akan tetapi dada itu memang dilindungi oleh perisai baja, sehingga tak mempan tusukan senjata tajam. Setiap senopati dan tokoh Mataram memang dilindungi oleh perisai baja ini pada bagian-bagian tubuh yang berbahaya, dan berkat lindungan perisai baja ini, maka senopati-senopati Mataram amat berani di medan perang menghadapi lawan. Malah sebaliknya lawan yang kurang hati-hati akan roboh tewas dalam tangan mereka. Akan tetapi sebaliknya orang yang menggunakan perisai baja ini, juga mempunyai kelemahan. Gerakannya akan terganggu, karena perisai baja itu, sehingga mengurangi kegesitan gerakannya.
Adipati Surabaya yang tahu bahwa lawan menggunakan perisai baja. merubah cara berkelahinya. Sebab akan tak ada gunanya apabila ia harus menyerang bagian tubuh yang tertutup oleh perisai baja itu. Sementara itu yang lain tetap berkelahi dengan sengit. Dan para perajurit kedua belah fihak masih tetap di tempat sambil menonton penuh ketegangan. Melihat itu Madu Bala tangannya merasa gatal. Ia memalingkan mukanya kepada Jaka Pekik, dengan isyarat matanya ia minta ijin untuk menerjunkan diri ke dalam gelanggang pertempuran. Akan tetapi Jaka Pekik menggelengkan kepalanya tidak setuju.
Sambil berkelahi terus ini, Pangeran Kajoran sempat melihat keadaan sekeliling. Ia kaget berbareng heran ketika melihat munculnya Jaka Pekik, Madu Bala dan beberapa tokoh Gagak Rimang yang lain. yang menonton di tempat itu, di samping pula serombongan pasukan yang cukup besar. Maka timbullah pertanyaan dalam hatinya, bagaimanakah dengan pasukan Mataram yang bergerak dari bagian lain?
Sedang di samping itu, juga timbul pula kekhawatirannya, pihaknya akan celaka kalau tokoh-tokoh Gagak Rimang yang sudah Ia ketahui kesaktiannya itu, terjun pula ke gelanggang.
Melihat Tumenggung Suro Agul-agul dan yang lain, hatinya terasa makin kecil. Kawan kawannya itu keadaannya tak berbeda jauh dengan dirinya..Belum berhasil menguasai lawan. Apabila perkelahian perorangan ini diteruskan tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagi Mataram. Diam-diam timbul rasa penyesalannya, mengapa ia tadi sampai bisa terpancing lawan, bertempur perorangan. Jumlah pasukan Mataram jauh lebih besar dan lebih lengkap pula persenjataannya. Mengapa tidak memerintahkan saja kepada pasukan Meriam menggempur Pondok Bligo dengan peluru-peluru meriam?
Tiba-tiba saja Pangeran Kajoran melengking nyaring sekali. Ia menggunakan pedangnya menyerang ganas sedang keris pada tangan kiri menangkis senjata lawan. Kemudian ia meloncat jauh ke belakang. Dan seterusnya ia memberikan aba-aba kepada perajurit penyutra untuk melepaskan anak panah, kepada perajurit Sarageni untuk menyemburkan api, kepada pasukan Meriam untuk memuntahken peluru-pelurunya, dan kepada pasukan yang lain untuk memberondong dengan senjata api.
Pasukan Mataram yang telah terlatih di dalam perang besar dan kaya akan pengalaman itu. di manapun dan dalam keadaan yang bagaimanapun, selalu dalam keadaan siap siaga sepenuhnya. Maka pasukan Mataram itu dapat melaksanakan perintah secepatnya. dan dalam waktu yang singkat sekali di tempat itu sudah hujan anak panah, peluru senjata api dan api yang menyembur. Serangan mendadak yang teratur rapi itu, sudah tentu mengagetkan dan membuat pihak lawan yang tidak terlatih menjadi ribut dan kacau. Mereka lari berserabutan takut menjadi makanan api, peluru dan anak panah. Hanya pasukan Surabaya yang jumlahnya tidak lebih duaratus orang itu. yang dapat mengataSi keadaan dengan teratur.
Terjadilah hiruk pikuk dan keributan di sana sini. Hanya terbatas kepada beberapa tokoh sakti atas serangan serangan itu menghadapi dengan tenang, sehingga baik peluru api maupun anak panah tidak menimbulkan kerugian terhadap dirinya. Oleh karena itu yang menjadi korban pada terjadinya keributan ini, hanyalah orang-orang yang rendah tingkat ilmu kepandaiannya. Namun bagaimanapun pula dengan terjadinya peristiwa ini, mereka yang sedang bertempur seorang lawan seorang itu terpaksa berhenti sebelum salah seorang kalah.
Masih untung bagi Pondok Bligo dan semua yang membantu, bahwa meriam Mataram telah dilumpuhkan oleh Lawa Ijo. Meriam-meriam itu sekarang tidak bisa memuntahkan pelurunya, dan tinggal merupakan besi yang berat, tiada kegunaannya. Pangeran Kajoran menjadi sibuk dan masygul sekali mendengar laporan tentang rusaknya meriam-meriam itu. di samping hilangnya sejumlah peluru dan bubuk mesiu, dan sebuah meriam yang paling besar. Ia ingin marah dengan terjadinya peristiwa ini. Tetapi marah kepada siapa?
Pasukan meriam itu semuanya diketemukan telah mati kejang tanpa luka. Dan kalau toh dicari siapa yang salah, sesungguhnya malah dirinya sendiri yang harus bertanggung jawab.
Sebab pasukan Mataram ini bergerak dibawah pimpinannya sendiri.
Mengingat bahwa senjata meriam yang dibanggakan untuk menggempur Pondok Bligo telah tiada guna lagi, maka diperintahkannya kemudian agar pasukan Mataram mengundurkan diri. Para perwira pasukan segera meneruskan perintah itu kepada bawahan masing-masing. Lalu perintah mundur itu dilaksanakan oleh Mataram dengan baik dan teratur. Gerakan mereka mengagumkan hati setiap orang yang menyaksikan, dan Adipati Surabaya, mengangguk-anggukan kepalanya dan memuji.
Gerakan mundur pasukan Mataram itu tidak tergesa. Mula-mula pasukan bagian belakang bergerak menuruni bukit. Lalu diikuti oleh pasukan yang semula merupakan pasukan depan, yang sekarang menjadi belakang. Untuk menjaga serangan lawan yang tak diharapkan, pasukan Penyutra, Sarageni dan pasukan senjata api belum bergerak dari tempatnya, melindungi keselamatan kawan kawannya yang bergerak mundur.
Bagaimanapun pula mundurnya pasukan Mataram itu membuat semua orang menjadi lega. Lebih-lebih para pemimpin Pondok Bligo. Dan diam-diam pula para Kyai Pondok Bligo ini amat berterima kasih atas pembelaan sekalian tamu. Sebab kalau harus melawan musuh ini tanpa bantuan pihak lain, kiranya Pondok Bligo tak akan sanggup untuk bertahan.
Jaka Pekik, Adipati Surabaya dan beberapa orang tokoh Gagak Rimang yang lain mengamati gerakan mundur pasukan Mataram itu penuh perhatian. Hanya Kebo Jalu yang berangasan itu sajalah yang menggerutu tidak puas, atas sikap Kyai Abubakar. Ia tadi sebenarnya sudah akan memerintahkan pasukan Gagak Rimang supaya mengejar gerak mundur pasukan Mataram itu, yang tentu akan dapat menyelenggarakan penjagalan manusia besar-besaran. Akan tetapi maksudnya itu gagal. karena Kyai Abubakar tidak setuju. Pondok Bligo memang mempunyai pendapat dan perhitungan sendiri. Dengan tindakan itu berarti Pondok Bligo memberikan bukti bahwa sesungguhnya tidak melibatkan diri di dalam peperangan antara Mataram dengan para Adipati dan Bupati. Dan berarti pula Pondok Bligo tidak bermaksud menyelenggarakan pemberontakan, seperti yang dituduhkan oleh Mataram. Pondok Bligo justeru merupakan perguruan yang mengutamakan kepada pendidikan Agama Islam. Untuk membentuk Ulama-Ulama Islam yang kemudian hari bertugas menyebarluaskan Agama Islam. Menuntun kepada ummat manusia melaksanakan perintah-perintah Allah.
Demikianlah, pasukan Mataram itu setelah mengundurkan diri tidak segera pergi. Pasukan itu masih tetap pacak baris dalam keadaan siaga menghadapi segala kemungkinan sambil memberi kesempatan istirahat.
Melihat keadaan musuh itu. Jaka Pekik segera memerintahkan kepada pasukan Gagak Rimang, supaya menebang pohon-pohon besar guna membuat pagar yang kokoh. guna mencegah pasukan musuh datang menyerbu lagi. Bukan hanya pohon-pohon besar yang ditebang untuk pagar, tetapi juga batu-batu besar disusun sebagai benteng pertahanan di samping pula sewaktu-waktu batu itu bisa dipergunakan sebagai senjata.
Pertempuran yang baru saja terjadi itu menimbulkan korban yang amat banyak, baik bagi pihak sendiri maupun pihak Mataram. Oleh karena itu di samping sibuk membuat benteng pertahanan.Juga sibuk mengubur jenazah-jenazah yang gugur dalam pertempuran. Semua dikubur sebagaimana mestinya, tidak membedakan kawan dan musuh.
Namun terjadinya perang campuh yang baru saja berlangsung itu memberi pengalaman dan membuka mata setiap tokoh yang hadir di Pondok Bligo ini, dan yang semula hanya membanggakan kesaktian sendiri. Kesaktian dan kepandaian berkelahi tidak begitu banyak artinya di dalam perang campuh. Sebab di medan perang ribuan orang bertempur tanpa aturan lagi, dan masing masing berlomba untuk membunuh lawan. Oleh karena itu terbuka mata dan hati mereka, bahwa apa yang baru terjadi, Gagak Rimanglah yang mempunyai jasa besar. Tanpa bantuan pasukan Gagak Rimang itu mungkin Pondok Bligo hancur dan mereka gugur.
Setelah pasukan Mataram mengundurkan diri, barulah Jaka Pekik teringat kepada Iskandar yang telah ditolongnya. Ia meraba dada Iskandar yang rebah tak bergerak di atas rumput. Ia menjadi gembira setelah tahu bahwa pemuda ini masih hidup dan masih bernafas. Ia mengangkat mukanya memandang sekeliling, guna mencari Rara Inten, yang sudah memaklumkan diri sebagai isteri Iskandar. Akan tetapi Rara Inten yang kedudukannya sebagai ketua Perguruan Tuban itu tidak tampak batang hidungnya. Maka kemudian ia memandang kepada murid-murid Perguruan Tuban yang ketika itu tampak menunggu Iskandar. Tanya pemuda ini,
"Terangkanlah saudara saudari, di manakah Rara Inten !'
Akan tetapi murid-murid Tuban itu menggelengkan kepalanya. Dalam repotnya menghadapi lawan tadi, mereka terpisah dengan sang ketua. dan sampai sekarang belum bertemu kembali. Demikian pula para tokoh yang lain. tidak pula dapat menjawab pertanyaan Jaka Pekik ini, karena tidak tahu.
Sesungguhnya Jaka Pekik tidak ingin lancang tangan tanpa seijin Rara Inten sebagai isterinya. Akan tetapi karena Jaka Pekik khawatir akan keselamatan Iskandar, ia tidak ingin membuang waktu lagi. Ia harus memberikan pertolongan sekarang juga, agar nyawa pemuda yang terluka parah ini tidak terancam maut.
Benar Iskandar merupakan murid Perguruan Kemuning yang sudah murtad dan berkhianat. Benar bahwa Iskandar telah membunuh paman perguruannya sendiri, ialah Fajar Prana. Benar bahwa derita Iskandar sekarang ini akibat hajaran Parang Kusumo sebagai hukuman atas pengkhianatannya. dan benar pula ayah Iskandar sendiri, talah Banjaran Sari telah mengutuk dan tidak mau mengakui sebagai anaknya. Namun sebagai seorang pemuda yang hatinya welas asih, dan sebagai seorang tabib ahli, ia tidak bisa berpangku tangan membiarkan orang yang menderita. Maka setelah jelas bahwa Rara Inten tidak ada, tangan pemuda ini dengan cekatan segera membuka pembalut di sekujur tubuh Iskandar. Akan tetapi begitu tangannya berhasil membuka pembalut pada lapisan yang ketiga, Jaka Pekik kaget mendengar suara benda yang runtuh dari dalam pembalut dengan suara nyaring. Untuk sesaat pemuda ini terbelalak memandang benda itu. Kemudian teriaknya,
"Ahhh..... pedang Jati Ngarang dan Jati Sari......!"
Orang-orang yang mendengar teriakan Jaka Pekik itu kaget dan cepat menghampiri. Kemudian mereka melihat bahwa di atas rumput telah menggeletak empat potong pedang Jati Ngarang dan Jati Sari, yang sudah patah di tengahnya. Sudah tentu patahnya dua batang pedang yang selama ini diperebutkan orang, yang selama puluhan tahun lamanya menimbulkan kegemparan itu, membuat semua orang heran dan saling pandang.
Tangan Jaka Pekik cepat menyambar bagian pedang Jati Ngarang yang terpotong di tengahnya. Kemudian ia berdiri seperti patung, tidak bergerak sama sekali, sedang sinar matanya memancarkan kedukaan. Bagi pemuda ini, tidak mungkin terlupakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang terjadi belasan tahun yang lalu. Bahwa sebabnya orang tua dan sekaligus gurunya, Wijaya dan Sitaresmi, meninggal dunia bersama karena membunuh diri, bukan lain adalah gara-.gara pedang pusaka Jati Ngarang ini. Di samping itu tidak terbilang pula banyaknya orang yang tewas menjadi korban, karena saling memperebutkan pedang ini. Puluhan tahun lamanya pedang pusaka Jati Ngarang ini membuat kegemparan, manusia saling bunuh dan dunia tidak tenteram. Dan bukan hanya .apa yang telah terjadi. Malah sesungguhnya, hadirnya banyak tokoh sakti ke Pondok Bligo inipun, terpengaruh pula oleh Pedang Jati Ngarang. Sebab semua orang menduga, bahwa di mana Kreti Windu berada, di situ pulalah orang bertemu dengan pedang pusaka itu. Namun sekarang pedang pusaka yang banyak diinginkan orang itu, telah patah menjadi dua. Sekarang telah merupakan benda yang tiada gunanya lagi.
Sambil menghela napas panjang, Jaka Pekik mengangkat potongan pedang ini, dan terbelalaklah pemuda ini setelah melihat bahwa batang pedang tersebut. di tengahnya berlubang. Ia merasa heran. Ia membungkuk dan memungut potongan pedang Jati Sari. Untuk kedua kalinya pemuda ini terbelalak. Sebab keadaan pedang Jati Sari inipun serupa dengan pedang Jati Ngarang, tengahnya berlubang.
Untuk apakah pedang diberi lubang di tengahnya seperti ini?
Tiba-tiba Yoga Swara yang berdiri di samping Jaka Pekik menghela napas, lalu berkata lirih.
"Ah... paduka Raja..." sesungguhnya sudah amat lama sekali saya mencoba untuk memecahkan teka-teki, tentang mengapa sebabnya dalam waktu yang amat singkat, Rara Inten telah berubah. Kecuali ilmu kepandaiannya berkelahi maju pesat, juga dari wanita yang lemah lembut berubah menjadi ganas dan kejam. Ah... sekarang yang terjadi, bersumber kepada pedang ini."
Sebenarnya Jaka Pekik bukanlah seorang pemuda tolol. Sebelum Yoga Swara menyatakan pendapatnya, sesungguhnya telah mencoba untuk menghubungkan pedang pusaka yang patah ini, dengan perisitiwa yang terjadi di Pulau Bawean beberapa bulan yang lalu. Masih terbayang jelas sekali apa yang terjadi ketika itu. Ia bersama Wandansari berlayar dari Semarang. dalam usahanya menolong Rara Inten yang ditawan oleh Nenek Ratih. Sebagai hasil kecerdikan Ratu Wandansari. di pelabuhan Semarang tiada sebuahpun perahu, sehingga Nenek Ratih terpaksa harus menyewa perahu milik Kerajaan Mataram, di sana di dalam perahu itu Jaka Pekik dan Ratu Wandansari menyamar sebagai awak perahu. _
Ternyata Nenek Ratih yang diikuti oleh muridnya bernama Salindri itu menuju Pulau Sapudi, Setibanya di pulau itu, terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah diduga Jaka Pekik. Ayah angkatnya. Kreti Windu, ternyata berdiam di pulau tempat kediaman Nenek Ratih. Namun kemudian diketahui oleh Jaka Pekik. bahwa keselamatan Kreti Windu terancam oleh tipu muslihat Nenek Ratih, yang berusaha merebut pedang pusaka Jati Ngarang. Namun semua usaha Nenek Ratih itu dapat digagalkan, berkat kecerdikan Ratu Wandansari dan keperkasaan Jaka Pekik. Akan tetapi Salindri harus menderita luka parah oleh tangan ganas Nenek Ratih sendiri. karena gadis ini berpihak dan ingin membela Kreti Windu. Dalam perjalanan pulang, karena derita Salindri singgahlah mereka ke pulau Bawean. Sebab Jaka Pekik ingin mencari daun-daun dan akar obat di pulau ini guna menolong Salindri. Tetapi kemudian terjadi peristiwa menyusul, perahu yang ditumpangi bersama Ratu Wandansari dan pedang Jati Ngarang serta pedang Jati Sari lenyap. Semula Jaka Pekik menduga, bahwa lenyapnya Ratu Wandansari bersama dua batang pedang itu, adalah sesuai dengan rencana puteri Mataram itu, yang ingin menguasai pedang Jati Ngarang dan Jati Sari.
Kalau benar dua pedang pusaka ini dicuri Ratu Wandansari, mengapa sekarang dua pedang pusaka ini disimpan di dalam pembalut Iskandar? Teka teki itu sekarang telah terpecahkan, Jelas semua itu yang melakukan Rara Inten. Lebih dahulu Rara Inten menyingkirkan Ratu Wandansari. mencuri padang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari, dan kemudian membunuh Salindri. Setelah itu Rara Inten saling membacokkan pedang tersebut. sehingga baik pedang Jati Ngarang maupun pedang Jati Sari patah menjadi dua potong.Kemudian yang terakhir Rara Inten mengambil catatan ilmu kesaktian dan ilmu tata kelahi tingkat tinggi, yang tersimpan di dalam pedang itu dan melatihnya secara diam-diam. (Peristiwa ini selengkapnya dapat anda ikuti di dalam cerita "Ratu Wandansari" oleh pengarang yang sama).
Menghadapi peristiwa yang tidak terduga sekarang ini memaksa kepada Jaka Pekik untuk berpikir. Makin dipikir otaknya makin terang, dan dapat mengetahui apa yang telah terjadi secara gamblang. Tak salah lagi bahwa Rara Inten-lah yang telah melakukan kecurangan dan tipu muslihat ini. Tetapi karena Rara Inten menghendaki dalam waktu singkat dapat merubah dirinya menjadi seorang sakti mandraguna, maka Rara Inten tersesat Jalan. Perempuan itu memilih ilmu sesat dan beracun, yang dapat dilatihnya dalam waktu singkat dan berhasil.
Diam diam pemuda ini merasa sayang sekali, bahwa ketua Perguruan Tuban yang dikenal sebagai golongan bersih itu, sekarang menjadi tokoh jahat yang amat berbahaya.
Hanya yang membuat Jaka Pekik heran dan tak mengerti, mengapa Rara Inten sanggup melakukan semua ini?
Sama sekali di luar dugaan Jaka Pekik, bahwa semua yang dilakukan oleh Rara Inten, telah sesuai dengan pesan terakhir Nenek Anjani ketika akan menghembuskan napasnya yang terakhir. Karena ingin melaksanakan pesan gurunya ketika menghadapi maut itu, maka sekalipun dengan hati berat, dilakukannya juga. Ia tidak perduli pendapat lain orang. Yang terpikir hanyalah agar Perguruan Tuban menjadi suatu perguruan yang disegani kawan dan ditakuti oleh lawan. Perguruan Tuban harus merupakan golongan yang menduduki tempat paling tinggi.
Di saat Jaka Pekik berdiri seperti patung dan termenung-menung ini. tiba-tiba datanglah seorang anggota Gagak Rimang bernama Kalintung. Setelah ia memberikan hormatnya dengan membungkuk dalam. laki-laki yang usianya setengah abad ini berkata,
"Paduka Raja, di antara sejumlah banyak senjata yang kita pergunakan, adalah hasil jerih payah saya sebagai seorang pandai beli. Berdasar kepada pengalaman saya, maka kiranya pedang itu masih dapat saya sambung kembali. Adakah paduka ijinkan, jika saya mencobanya?"
Sebelum Jaka Pekik sempat membuka mulut, Yoga Swara mendahului berkata,
"Paduka Raja, saudara Kalintung merupakan ahli pembuat pedang, tombak dan senjata tajam dalam Gagak Rimang. Maka saya mohon agar paduka mengabulkan maksud saudara Kalintung. Sebab adalah sayang sekali. apabila pedang pusaka itu tak dapat digunakan lagi setelah patah menjadi dua potong."
Jaka Pekik mengangguk, kemudian sahutnya,
"Baiklah. Sayang juga apabila pedang yang pernah diperebutkan orang, dan membuat kegemparan selama puluhan tahun ini, akhirnya harus menjadi senjata yang tak berguna lagi. Mari, cobalah engkau sambung!"
Pedang pusaka Jati Ngaraag yang telah menjadi dua potong itu, kemudian diserahkan kepada Kalintung. Dengan wajah berseri Kalintung menerima pedang itu. Lalu ia berpaling ke arah Gumbreg. Katanya,
"Adi Gumbreg. Kiranya engkaupun tahu bahwa seorang pandai besi tak akan dapat bekerja tanpa api. Ha-ha-ha...... maka dalam percobaan memulihkan pedang Jati Ngarang ini, aku ingin memperoleh bantuanmu. Hayolah kita mulai."
"Ha-ha-ha, bagus!" sahut Gambreg sambil tertawa girang.
"Dengan kerja sama antara aku dan engkau, kiranya akan terujut harapanmu!"
Setelah ada kata sepakat. maka dua orang itu kemudian mengadakan persiapan-persiapan. Mereka membuat lubang tempat perapian, dan membuat pula tempat landasan untuk menempa. Di tempat itu Justeru terdapat banyak bahan bakar. Maka guna menyelenggarakan penyambungan pedang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari yang telah patah itu tidak akan memperoleh kesukaran.
Gumbreg dengan penuh semangat dan kemauan yang menyala nyala segera membuat api. Dia memang seorang ahli. Maka hanya dalam waktu yang Singkat. Api diperapian pun cepat manjadi besar. Kalintung yang bertindak sebagai pandai besi mengawasi api yang berkobar itu penuh perhatian. Tak jauh dari tempatnya berdiri, berjajarlah pedang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari yang telah patah menjadi dua, di samping pula dua batang penjepit baja yang cukup panjang dan besar. Kalintung belum berbuat apa-apa. Ia hanya mengawasi api yang berkobar itu yang makin lama makin besar, dipompa oleh Gumbreg yang penuh semangat. Api yang semula menyala merah ini kemudian berubah menjadi bersemu biru. Namun Kalintung belum memulai pekerjaannya.
Ia masih menunggu sesudah api itu sinarnya berubah menjadi agak putih.
Tak lama kemudian api itupun berubah menjadi agak putih. Kalintung dengan wajahnya yang berseri dan penuh harapan, cepat memungut penjepit baja. Pedang yang telah patah itu disambungkan dengan pcnjepit baju yang besar dan panjang itu, kemudian dimasukkan ke dalam dapur yang apinya berkobar-kohar besar sekali.
Hawa yang amat panas sekali menyambar sekitarnya. Orang yang berdekatan dan kurang kuat, terpaksa mundur. Namun Kalintung dan Gumbreg seperti tidak merasakan apa-apa. Dua orang itu tetap di tempatnya. Malah Kalintung yang tidak mengenakan baju itu, berdiri tidak jauh dari dapur yang berkobar. Seakan ia tidak merasakan menyambarnya hawa panas api tersebut. Perubahan yang tampak bagi Kalintung, hanyalah sekujur tubuh orang ini sekarang telah penuh oleh keringat.
Gumbreg terus bekerja memompa api tersebut, sehingga api yang berkobar itu makin bertambah besar lagi, dan hawa panas makin melanda di sekitarnya. Orang orang menyaksikan sepak terjang Kalintung itu menjadi kagum. Bunga api oleh hembusan pompa yang terus-menerus dipompa oleh Gumbreg, menyebar ke sekitarnya. dan berjatuhan pula ke tubuh yang tak berbaju itu. Namun tampaknya bunga-bunga api itu tidak dirasakan oleh Kalintung. dan ia tetap berdiri sambil mengamati perapian tidak berkedip. Tangannya tidak bergerak sama sekali, masing-masing memegang jepitan baja yang sedang menyambung pedang itu. Kalintung seperti berubah menjadi patung. Matanya tidak berkedip perhatiannya dipusatkan kepada dua potong pedang yang sedang disambung.
Gumbreg yang terus-menerus memompa api itu, seluruh tubuhnya sudah mandi keringat pula. Ia merasa tidak tahan lagi oleh panasnya api yang menyala makin besar. Maka dipanggillah dua orang pembantunya, supaya menggantikan pekerjaannya sebagai tukang pompa. Dua orang itupun cepat menggantikan pekerjaan Gumbreg dan terus memompa api. Sedang di pihak lain Kalintung masih tetap berdiri bagai patung, matanya tak berkedip. tangannya tidak bergerak memegang jepitan baja. Bunga api yang berloncatan dari perapian dan menjatuhi tubuhnya tetap tidak dirasakan. Seakan bunga api itu tidak menimbulkan rasa panas.
Tetapi ternyata kemudian bahwa dua orang tukang pompa yang menggantikan Gumbreg, tidak kuasa menahan panasnya api yang menyebar di sekitarnya. Belum cukup seperempat jam dua orang itu menggantikan Gumbreg sebagai tukang pompa api. mereka ini telah roboh pingsan. Menyaksikan itu Gumbreg dan wakilnya cepat melompat dan menggotong dua orang yang pingsan itu, lalu diterima oeh kawannya. Dengan tangkas kemudian Gumbreg dan wakilnya menggantikan sebagai tukang pompa. Begitu Gumbreg dan wakilnya memompa perapian. api berkobar lebih besar lagi.
Bunga apipun makin berpijaran dan berjatuhan ke tubuh bagian atas Kalintung yang telanjang tidak berbaju. Akan tetapi orang itu sama sekali tidak bergerak. Matanya tak berkedip dan seluruh perhatiannya tertuju kepada pedang Jati Ngurang yang sedang disambung.
Tak lama kemudian terdengarlah suara seruan Kalintung yang kecewa,
"Gagal!"
Ternyatalah dua jepitan baja yang dipegangnya itu telah meleleh oleh besarnya api. Akan tetapi sebaliknya pedang Jati Ngarang yang akan disambungnya itu. masih tetap tidak terbakar dan tidak menjadi merah. Kemudian sesudah menghela napas panjang, dengan hati yang kecewa dan kesal. Kalintung mendekati Jaka Pekik. Setelah memberikan hormatnya, ia berkata,
'Paduka raja, maafkanlah orang bawahan Paduka ini, yang ternyata seorang tolol dan bodoh. Pedang Jati Ngarang itu ternyata bukanlah pedang sembarangan. Sekalipun penjepit sudah lumer. dia tidak apa-apa!"
Gumbreg dan wakilnya telah menghentikan pompanya. Dua orang ini pakaiannya telah basah oleh keringat yang membanjir seperti mandi. Dua orang inipun tampak menyesal dan kecewa sekali dengan kegagalan Kalintung yang berusaha menyambung pedang itu.
Melihat keadaan ini, tiba tiba Ratu Wandansari berbisik kepada Jaka Pekik,
"Pekik! Engkau jangan cepat putus asa dan hilang harapan. Bukankah engkau mempunyai benda puaaka yang ampuh? Engkau bisa menggunakan Tombak Kyai Wilah dan Nyai Wilah sebagai penjepit besi."
Mendengar saran puteri yang cerdik ini, Jaka Pekik seperti disadarkan.
"Benar, engkau benar! Ya, hampir saja aku lupa kepada benda pusaka itu. Dengan Tombak Kyai Wilah dan Nyai Wilah itu. Kalintung akan bisa meneruskan pekerjaannya, menyambung padang yang patah itu."
Setelah berkata demikian, Jaka Pekik cepat mengambil sepasang tombak pusaka warisan Sunan Kudus itu, yang disimpan di dalam bajunya. Kemudian Tombak Kyai Wilah dan Nyai Wilah itu diberikan kepada Kalintung. Pesannya,
"Pakailah tombak pusaka ini sebagai penjepit pedang itu. Tetapi, janganlah engkau memaksa diri. Kalau memang tak mungkin engkau sambung, biarlah pedang itu patah menjadi dua seperti sekarang. Sebab perlu engkau sadari, bahwa nilai Tombak Kyai Wilah dan Nyai Wilah ini. jauh lebih berharga dari Pedang Jati Ngarang. Bukankah tombak ini merupakan pusaka kita ?'
Kalintung menerima tombak itu sambil membungkuk dalam. Lalu katanya,
"Tombak ini merupakan tombak pusaka yang tahan api. Saya kira tombak ini tak akan rusak, dan akan menolong kita."
Demikianlah, dengan Tombak Kyai Wilah dan Nyai Wilah itu, Kalintung mulai bekerja lagi. Gumbreg dan wakilnya kembali memompa api. Api dalam perapian itu kembali berkobar-kohar membakar Pedang Jati Ngarang yang patah itu. Selang kira-kira satu jam lagi. Gumbreg dan wakilnya sudah tampak payah. Melihat itu Kalintung memberikan isyarat kepada Sambito. Orang yang bernama Sambito ini tubuhnya tinggi besar. Ia mengajak seorang temannya, kemudian melompat dan menggantikan Gumbreg dan wakilnya yang sudah tampak payah. Datangnya tenaga baru ini. membuat api dalam perapian makin berkobar besar sekali.
Kemudian sinar putih dari api perapian itu makin lama makin menjadi membubung tinggi.
Tiba-tiba Kalintung yang mandi peluh oleh panas api dan dadanya telanjang tanpa baju itu berteriak,
"Adi Sambito! Sudah waktunya sekarang engkau melakukannya!"
Atas teriakan Kalintung itu. mendadak Sambito meninggalkan pompa apinya. dan menghunus kelewang, lalu......digoreslah dada Kalintung yang basah oleh keringat itu. Tentu saja semua orang terkesiap dan mengeluarkan teriakan tertahan. Malah Jaka Pekik yang tak tahu maksudnya sudah melompat ke depan sambil bertanya nyaring,
"Hai! Apakah yang kalian perbuat?"
Namun kemudian Jaka Pekik terbelalak, ketika melihat bahwa darah yang mengucur keluar dari dada Kalintung yang telanjang itu, menetes tepat ke pedang Jati Ngarang yang merah menjadi api, tepat pada bagian yang patah.
"Ces ces-ces......." darah yang menetes ke pedang itu bersuara dan kemudian mengepulkan uap yang putih ke atas.
"Berhasil !" teriak Kalintung lantang. Tetapi sesudah berteriak, orang itu terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang, lalu duduk di atas tanah.
Sekarang semua mata tertuju kepada pedang Jati Ngarang yang menggeletak di atas alat menempa itu, dengan terbelalak. Sekarang barulah orang tahu mengapa sebabnya Kalintung mengorbankan dadanya untuk digores oleh kelewang Sambito. Ternyata darah manusia itu sangat diperlukan guna menyambung kembali pedang pusaka Jati Ngarang yang telah menjadi dua itu.
Memang antara Kalintung. Gumbreg dan Sambito telah diselenggarakan persetujuan. Mereka yang merupakan orang-orang ahli dalam bidang membuat senjata ini telah bersepakat, apabila menggunakan cara biasa menemukan kegagalan, akan menggunakan cara lain. Dalam tekadnya untuk bisa memulihkan kembali pedang pusaka Jati Ngarang itu, mereka telah bersepakat untuk menggunakan darah manusia sebagai alat penyambung pedang pusaka.
Konon memang ada suatu cerita, bahwa pada jaman nenek moyang, apabila berhadapan dengan logam yang tidak mau lumer oleh api. maka darah manusialah yang akan berjasa dalam bidang itu.
Dengan hatinya yang sangat terharu Jaka Pekik melompat kemudian memeluk orang bawahannya yang telah mengorbankan dadanya sendiri itu!
Ia cepat melakukan pemeriksaan pada luka di dada Kalintung. Pemuda ini kemudian menjadi lega setelah mengetahui bahwa luka di dada Kalintung Itu tidak berat. dan tidak berbahaya pula. Cepat cepat ia mengeluarkan obat, lalu diobatinya dada Kalintung yang terluka itu, sambil katanya lirih penuh rasa haru,
"Paman Kalintung. mengapa engkau melakukan sesuatu yang amat berbahaya Itu?! Aku tidak menginginkan engkau menyakiti diri dan membahayakan jiwa dalam usaha menyambung kembali pedang itu. Baik pedang itu dapat disambung lagi maupun tidak. bagiku bukanlah soal penting! Tanpa pedang itupun. Gagak Rimang akan tetap bisa melakukan perlawanan kepada Mataram maupun musuh yang sengaja memusuhi kita"
Suara Jaka Pekik itu keluar dari lubuk hatinya, dan diucapkan secara tulus. Maka suara yang terdengar itu agak gemetar, dan sudah tentu membuat Kalintung menjadi amat terharu dan lupa akan sakit pada dadanya. Semua ini merupakan suatu bukti lagi, bahwa Jaka Pekik amat memperhatikan kepada sekalian anak buahnya, tidak memperdulikan pangkat dan jabatan dalam Gagak Rimang. Dan sudah tentu pula Kalintung amat berterima kasih kepada sang pemimpin ini, bahwa yang menjadi perhatian utama bukanlah pedang pusaka Jati Ngarang yang sudah bersambung kembali itu, melainkan lebih dahulu memperhatikan lukanya.
"Luka di dada saya ini hanya terbatas pada kulit saja," kata Kalintung dengan nada yang terharu.
"Karena itu saya berharap. agar paduka raja tidak menjadi sibuk ....,'
Guna membuktikan ucapannya bahwa ia tidak menderita oleh luka itu, Kalintung sudah meloncat bangun. Kemudian dengan sigapnya ia telah memungut pedang pusaka Jati Ngarang yang menggeletak itu. Hati orang ini bangga berbareng terharu, ketika melihat bahwa pedang itu telah bersambung kembali secara sempurna. Pedang itu tidak mempunyai cacat sedikit jua, dan yang tampak pada bekas yang patah itu hanyalah bekas bekas darahnya sendiri yang menjadi semacam perekat. Kemudian dengan wajahnya yang berseri gembira dan bangga, Kalintung menyerahkan pedang pusaka Jati Ngarang, berikut tombak Kyai Wilah dan Nyai Wilah yang tadi dipergunakan sebagai alat menjepit.
Ternyata sepasang tombak peninggalan Sunan Kudus itu tidak mengalami cedera apa-apa. Membuktikan bahwa tombak tersebut merupakan tombak yang terbikin dari logam yang amat kuat dan tahan api.
setelah mengamati Pedang Jati Ngarang itu beberapa lama. Kemudian tangan pemuda ini bergerak dan menyabat dua batang pedang yang ditancapkan di atas tanah.
"Takk!" sekali sabet dua batang pedang itu telah patah menjadi dua potong. Disambut oleh tepuk tangan dan sorak sekalian orang yang hadir di tempat itu.
Sementara itu Kalintung yang sudah pulih kembali tenaganya, telah memungut dua potong pedang Jati Sari yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi mendadak wajah orang itu berubah pucat dan sepasang mata itu mengamati pedang tersebut dengan sinar yang amat perih.
DI depan matanya kemudian terbayang peristiwa yang telah lalu. Dengan pedang ini, dulu Nenek Anjani, ketua Perguruan Tuban yang sekarang sudah meninggal, telah banyak membunuh dan menimbulkan korban bagi orang-orang Gagak Rimang. Dahulu. Nenek Anjani yang terkenal mempunyai watak yang keras dan kejam itu, dan yang amat benci kepada Gagak Rimang, telah menggunakan pedang yang terkenal amat tajam ini, membunuh puluhan dan mungkin malah ratusan orang anggauta Gagak Rimang yang tak berdosa. Bagaimanakah mungkin sekarang ia bisa mengerjakan penyambungan kembali pedang yang berbau darah saudara-saudaranya sendiri itu?
Karena teringat akan korban-korban yang jatuh oleh keganasan Nenek Anjani yang menggunakan pedang punaka Jati Sari itu, tanpa tercegah menitiklah air mata Kalintung dari sepasang matanya; Kemudian katanya lirih,
"Paduka raja. pedang Jati Sari yang pernah dikuasai 0leh Nenek Iblis Anjani ini telah membunuh banyak sekali. saudara-saudaraku. Dan akibatnya, saya sangat membenci kepada pedang ini. Hemm..... mengingat apa yang telah terjadi. dan mengingat akan semua itu, dengan amat menyesal saya tak dapat menyambung pedang ini.... dan.. dan.. saya rela menerima hukuman apapun. karena saya berani membantah perintah paduka.' Kata-katanya disusul oleh tangisnya yang mengguguk.
Amat terharu sekali hati Jaka Pekik melihat orang bawahannya menangis itu. Kemudian sambil menepuk nepuk pundak Kalintung. katanya lemah lembut,
'Jangan engkau merasa bersalah. Tak apa engkau tak sanggup menyambung kembali pedang yang bukan milik kita itu. Malah. .. sikapmu ini membuat hatiku amat bangga. Karena membuktikan rasa cintamu kepada saudara-saudara kita yang telah mengorbankan nyawa dalam perjuangan. Sudahlah... ... paman, tidak perlu engkau menyesal , . . .. ."
Setelah itu ia memungut dua potong pedang Jati Sari dan dengan membawa potongan pedang itu, Jaka Pekik menghampiri orang-orang Tuban yang menggerombol tak Jauh dari situ. Kemudian ia menyerahkan pedang buntung itu kepada salah seorang murid perempuan sambil berkata,
"Pedang ini sudah puluhan tahun lamanya merupakan hak milik Tuban. Karena itu aku minta pertolonganmu, agar engkau suka menyerahkan pedang ini kepada diajeng In. . . . eh. . eh mbakyu Iskandar. . ..!"
Murid perempuan Tuban itu menerima pedang buntung tanpa membuka mulut, malah bibirnya tersenyum mengejek. Tetapi Jaka Pekik tidak perduli. Biarlah orang orang Tuban benci kepada Gagak Rimang. Maka kemudian Jaka Pekik melangkah lebar menghampiri Kyai Makhmud Sesudah ia membungkuk memberikan hormatnya katanya perlahan,
"Bapa Kyai, pedang Jati Ngarang ini telah puluhan tahun lamanya menjadi milik ayah angkatku Kreti Windu. Karena sekarang ayah angkatku itu telah menjadi salah seorang murid Pondok Bligo, maka kiranya lebih tepat dan pantas apabila pedang inipun di simpan di Pondok Bligo."
Kyai Makhmud menggoyang goyangkan kepala dan kedua tangannya. Lalu jawabnya halus,
"Anakmas, siapapun tahu bahwa pedang pusaka Jati Ngarang itu sudah banyak membuat pemiliknya lelah dalam menyelamatkannya. Malah bukan hanya itu. Dalam usaha anakmas merebut kembali pedang itu. fihak Gagak Rimang terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan dan mengorbankan jiwa yang banyak pula. Tidak seorangpun yang akan dapat membantah kenyataan ini. Tetapi ternyata kemudian pedang itu telah patah menjadi dua. Mestinya pedang yang telah patah itu sudah tidak berguna lagi. Akan tetapi salah seorang dari Gagak Rimang telah berhasil menyambung kembali pedang itu dan dengan mengorbankan darahnya pula sebagai perekat! Kiranya tanpa jasa Kalintung, pedang itu akan tetap patah menjadi dua."
Kyai Makhmud berhenti. Sesudah menghela napas pendek terusnya,
"Di samping itu, sekalian orang telah bersepakat untuk mengangkat anakmas Pekik sebagai Panglima dalam menghadapi keserakahan Mataram. Anak mas memikul tugas yang amat berat dan amat penting sekali. Maka menurut pendapatku, apabila pedang Jati Ngarang ini menjadi milik anakmas Pekik, sudah wajar dan adil! Sudah tepat! Dan dalam pada itu, setelah pedang yang telah menjadi rebutan itu. sesudah berada di tangan anakmas Pekik, kiranya pedang itu akan aman. dan tidak seorangpun berani berusaha merampasnya!"
semua orang yang menyaksikan adegan itu, dan mendengar pula pembicaraan mereka, kemudian mendukung sikap dan pendapat Kyai Makhmud. Bahwa memang telah tepat dan sepantasnya, pedang Jati Ngarang itu menjadi milik Jaka Pekik yang telah banyak jasanya bagi perjuangan menentang Mataram.
Dalam pada itu, Adipati Surabaya yang selalu mengikuti gerak gerik puteranya. menjadi amat terharu dan sangat bangga akan keagungan jiwa pemuda itu. Tidak. rugilah dahulu menyerahkan puteranya itu kepada Wijaya. Tidak rugilah ia harus berpisah puluhan tahun lamanya dengan puteranya itu, justeru sekarang puteranya itu telah menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna, gemblengan lahir batin, tidak tamak, berjiwa agung dan dapat menempatkan dirinya sebagai orang muda. Diam diam Adipati Surabaya menilai, bahwa puteranya ini merupakan seorang pemuda yang amat komplit. sulitlah orang mencari seorang muda yang komplit seperti Jaka Pekik ini. Maka diam-diam ia mohon kepada Pangeran Yang Maha Agung, agar selalu melimpahkan berkah dan lindunganNya. Kemudian setelah ia menyerahkan kedudukan sebagai Adipati Surabaya. mudah-mudahan akan membawa Surabaya menjadi kadipaten atau mungkin sebuah kerajaan yang besar dan tentu saja yang dapat mengalahkan Mataram.
Sebaliknya Jaka Pekik yang merasa tak dapat menolak dan membantah lagi maksud orang. menyarungkan pedang itu sambil berpikir.
"Hemm..... biarlah pedang Jati Ngarang ini dalam tanganku. Siapa tahu dengan pedang pusaka ini, aku dapat memimpin semua orang mengalahkan Mataram, dan Gagak Rimang menjadi sentosa dan ditakuti oleh lawan maupun kawan."
Kemudian pedang yang telah disarungkan itu digantungkan pada pinggangnya. tertutup oleh jubah putih. Jubah pakaian resmi bagi Gagak Rimang.
Kalau para tokoh sibuk memperhatikan dan membicarakan tentang pedang pusaka Jati Ngarang yang telah berhasil disambung itu. maka pasukan Gagak Rimang diam diam melaksanakan tugas guna menghadapi pasukan Mataram yang masih mengurung Pondok Bligo. Perapian yang berkobar apinya itu tidak dimatikan. tetapi malah dipergunakan merebus air dan minyak kelapa. Air panas dan minyak kelapa itu amat berguna sekali dalam perang campuh. Sebab dengan alat semprot dari bambu, akan bisa menyerang musuh dari jarak jauh, dan orang yang terserang akan terluka.
Ketika hari telah hampir sore, dan matahari telah condong ke barat. Oleh seorang petugas Pondok Bligo, semua tokoh dipersilahkan untuk bersantap. Merekapun kemudian menuju ke bangsal. Yang masih tinggal di tempat, hanyalah pasukan Gagak Rimang, pasukan Surabaya dan puluhan orang anak murid Pondok Bligo, yang mempunyai tugas untuk berjaga dan mengamati gerak gerik lawan.
Pihak Pondok Bigo amat ingin bisa menyenangkan semua tamu yang telah ikut serta mempertahankan tempat ini. Maka hari ini simpanan makanan banyak dibongkar guna menjamin kepentingan tamu-tamu.
Ketika senja tiba. Jaka Pekik mengajak Yoga Swara mengamati keadaan musuh. Pemuda ini kemudian memanjat pohon yang tinggi. Dari tempat yang tinggi ini, kemudian ia dapat melihat dengan nyata. keadaan pasukan lawan. Dari tempat pengintaiannya itu, ia tidak melihat gerakan apa apa. Yang tampak hanyalah asap yang mengepul memenuhi udara. merupakan penanda bahwa pasukan Mataram itu sedang sibuk untuk memasak makanan. Namun demikian kemudian Jaka Pekik kagum juga akan disiplin pasukan Mataram itu. Walaupun dalam keadaan menunggu, namun pasukan itu tetap teratur rapi, dan semua berlangsung dengan tertib.
Setelah mengamati keadaan musuh ini cukup lama, Jaka Pekik meloncat turun dari pohon.
"Paman Swara. kiranya malam nanti kita perlu menyelenggarakan penyalidikan. Siapa tahu, pihak musuh akan membokong, menyerang kita pada waktu malam."
"Pendapat paduka memang tepat," sahut Yoga Swara.
"Namun mengingat bahwa siang tadi mereka telah dapat kita hajar habis-habis. kiranya mereka tak akan berani menyerang kita secara terang terangan. Mengingat itu maka yang perlu kita ingat adalah, serangan musuh yang curang dan mencari kelengahan kita. Maka kiranya yang lebih perlu kita perhatikan, adalah. gerakan dari belakang gunung."
'Engkau benar paman. marilah kita pergi mengadakan pengamatan di sana," katanya sambil mengajak Yoga Swara, Madu Bala dan Gumbreg.
"Aku ikut!" teriak Wandansari dan terus pula melangkah mengikuti.
Sesungguhnya Yoga Swara dan Madu Bala ingin mencegah puteri Mataram itu ikut. Sebab bagaimanapun pula dua orang, ini curiga., apabila secara diam-diam puteri ini memberikan isyarat yang menguntungkan pihak Mataram. Namun dua orang ini tidak berani membuka mulut, apalagi ketika melihat bahwa Jaka Pekik tampak gembira .dengan ikutnya Ratu Wandansari itu. mereka menjadi makin tidak berani berkutik dan membuka mulut.Mereka kemudian bergerak perlahan. menuju ke belakang Pondok Bligo.
Dari puncak bukit itu mereka dapat melihat ke bawah dengan nyata. Mereka melihat bahwa keadaan pasukan Mataram itu tenang-tenang saja, tidak menunjukkan kesibukan apa-apa. Keadaan yang tenang itu, tidaklah mungkin pasukan musuh akan melakukan gerakan penyerangan malam nanti.
Dengan hatinya yang lega, kemudian Jaka Pekik menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Mendadak berkelebatlah ingatan dalam benaknya,
"Ah... aku hampir lupa! Ayah pernah berpesan kepadaku. supaya memeriksa keadaan di dalam lubang yang dipergunakan memenjarakan ayah. Hem, apa. sajakah yang menyebabkan ayah berpesan seperti itu?"
Ingat akan pesan ayahnya ketika itu. ia cepat melompat dan menghampiri lubang yang menjadi penjara itu. Dilihatnya bahwa batu penutup lubang yang dibukanya beberapa hari yang lalu, masih di tempatnya semula, tiada seorangpun yang berusaha menutupkannya kembali. Dengan agak bergegas pemuda ini kemudian melompat ke dalam lubang. Ternyata lubang itu tidak begitu dalam. dan bergaris tengah kira-kira satu tombak. Cuaca di dalam lubang ini sudah gelap. Ia tak akan dapat melihat apa-apa di dalam lubang itu tanpa suluh. Karena itu ia cepat mengeluarkan bibit api, dan kemudian dinyalakan. Dengan suluh ini kemudian ia dapat melihat dengan nyata lukisan-lukisan yang memenuhi dinding lubang. Lukisan itu diciptakan bukan dengan menggunakan alat melukis, melainkan menggunakan batu tajam. sehingga dinding lubang itu tergores gores, dan merupakan lukisan seperti relief yang tak mudah dihapus. Ukiran itu sederhana namun cukup terang dan gampang ditangkap maksudnya.
Jaka Pekik dihadapkan kepada lukisan dua orang wanita yang terdapat pada dinding lubang sebelah timur. Wanita itu yang seorang tiduran di atas tanah, sedang yang seorang berjongkok sambil menggunakan jari tangan kanan untuk membuat orang tidak berdaya. Kemudian tangan kiri wanita yang berjongkok itu, masuk ke dalam baju mengambil sesuatu. Apabila lukisan itu tanpa komentar, kiranya Jaka Pekik tak akan tahu apa yang dimaksudkan ayah angkatnya. Akan tetapi karena. di bawahnya ditulis,
"Merobohkan dan mengambil obat." Maka Jaka Pekik mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian pemuda ini memutarkan badannya, manghadap ke selatan. Tampak pada dinding bagian selatan itu, sebuah lukisan perahu yang cukup besar. Seorang wanita yang bentuk tubuhnya sama dengan yang mengambil obat tadi, melemparkan seorang wanita ke perahu. Kemudian di bawah lukisan tersebut tertulis.
"Mengusir orang!"
Begitu melihat dua lukisan ini. tiba-tiba saja keringat dingin mengucur ke luar dari lubang-lubang pada tubuh nya,
"Ahh...beginikah kejadian yang sebenarnya? Hem... Inten merobohkan dan membuat Ratu Wandansari tidak berdaya. Kemudian mengambil racun "Raga Lumpuh' guna meracuni aku dan ayah. Setelah itu, guna menutupi perbuatannya, Inten mengusir Ratu Wandansari dengan melemparkannya ke perahu. Perahu itu kemudian disuruhnya pergi cepat-cepat oleh Inten. Hemm..... tetapi mengapa !? Mengapa....... Inten tidak membunuhnya saja? Tidak membunuh Gusti Ratu Wandansari agar puteri itu tak lagi dapat membuka rahasia" Ah.....hemm, cerdik benar perawan itu! Licin! Aku tahu sekarang..... ya, aku tahu. Tidak dibunuhnya Gusti Ratu Wandansari, adalah dengan maksud agar yang aku tuduh melakukan semua itu, Gusti Ratu Wandansari! Curang ah curang! Aku tidak pernah menyangka sejauh itu kepada Inten. Aku terlalu percaya kepada perawan itu. sehingga..,.. dengan mudah aku tampil... Ahh..... ahh..... kalau demikian.. jadinya Salindri... dibunuh pula oleh Inten?"
Mendadak saja kepala Jaka Pekik berdenyut-denyut seperti mau pecah. sesudah ia dihadapkan dengan kenyataan yang lain dengan dugaannya. Dengan demikian. kecurigaannya selama ini kepada Ratu Wandansari tidak beralasan. Ternyata puteri Mataram itu benar. Tidak melakukan kecurangan dan tidak pula mencelakakan siapapun juga. Intenlah yang menjadi gara gara semuanya ini.
Kemudian ia mengamati lukisan lain yang terdapat pada dinding lubang sebelah selatan itu pula. Lukisan dua orang laki-laki. Yang seorang tidur pulas, sedang seorang laki-laki yang lain. yang tua dan berambut panjang tidur sambil memasang telinga memperhatikan sekeliling. Jaka Pekik kaget seperti disambar petir! Nyatalah sekarang. bahwa sesungguhnya semua perbuatan dan gerak-gerik Rara Inten Itu, semuanya diikuti dan diperhatikan oleh ayahnya secara seksama.
"Ah..." sama sekali di luar dugaanku bahwa ayah sangat sabar dan kuat menahan segalanya yang terjadi di Pulau Bawean itu. Dengan pandainya ayah bersikap seolah olah tidak tahu apa yang telah terjadi di pulau itu! Seakan tidak mengetahui pengkhianatan Rara Inten." katanya dalam hati. Akan tetapi kemudian sesudah ia berpikir sesaat, ia mengangguk-angguk,
"Benar! Ayah benar! Memang seharusnya ayah bersikap demikian. Soalnya ketika itu baik aku maupun ayah sendiri telah teracuni oleh racun "Raga Lumpuh". Dengan demikian keselamatanku dan keselamatan ayah di dalam tangan Rara Inten. Ya, ya.... taklah mengherankan apabila ketika itu ayah dengan serta merta menuduh Gusti Ratu Wandansari tampak bersungguh-sungguh! Ayah kenal akan Watakku. Apabila rahasia itu sampai bocor, nyawa ku dan nyawa ayah dalam bahaya."
Apa yang tertera di dalam dua lukisan pada dinding lubang sebelah timur dan sebelah selatan itu. merupakan pengabadian peristiwa yang telah terjadi kira-kira satu tahun yang lalu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, bahwa Jaka Pekik dan yang lain menuju pulang, sesudah berhasil menyelamatkan Rara Inten yang ditawan Nenek Ratih dan ayah angkatnya yang "ditawan" pula. Tetapi dalam perjalanan pulang ini, Salindri (murid Nenek Ratih) yang menderita luka parah, menderita demam panas dan selalu mengigau saja. Jaka Pekik amat menguatirkan keselamatan perawan ini. Maka kemudian mendarat di Pulau Bawean dengan maksud untuk mencari daun-daun dan akar obat yang bisa dipergunakan mengobati Salindri. Tetapi perintiwa yang menyedihkan menyusul. Secara tiba-tiba Ratu Wandansari bersama Pedang Jati Ngarang dan Pedang Jati Sari lenyap. Salindri menderita luka parah pada pipi dan dahinya, yang menyebabkan mati. Sudah tentu dengan terjadinya peristiwa ini, tuduhan yang amat dekat dialamatkan kepada Ratu Wandansari yang pergi bersama perahu itu. Tetapi ternyata sekarang, bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada Ratu Wandansari itu salah. Yang telah berbuat curang dan khianat adalah Rara Inten! (Untuk dapat mengikuti peristiwa itu secara gamblang. kami persilahkan anda membaca "Ratu Wandansari' oleh pengarang dan penerbit yang sama).
Jaka Pekik menghela napas dan amat menyesal, bahwa ia telah mencurigai dan menuduh Ratu Wandansari yang tidak bersalah. Kemudian ia amat berterima kasih kepada puteri Mataram ini, setelah ia teringat apa yang terjadi di Pasuruhan ketika itu.
DI sana, atas dukungan para tokoh Gagak Rimang, ia kawin dengan Rara Inten. Akan tetapi baru saja ia bersanding dengan Rara Inten di atas pelaminan, datanglah Ratu Wandansari, yang menunjukkan sesuatu benda yang membuat Jaka Pekik kaget. Tak ingat apa-apa lagi. kemudian Jaka Pekik pergi mengikuti Ratu Wandansari dan menggagalkan perkawinannya dengan Rara Inten.
Ternyatalah sekarang bahwa tindakan Ratu Wandansari itu benar dan besar sekali jasanya. Kalau sampai dirinya terlanjur menjadi suami Rara Inten. apa yang akan terjadi dengan kenyataan ini?
Karena ternyata bahwa perawan yang sekarang menduduki Jabatan ketua Perguruan Tuban itu, tidak mencintai dirinya secara jujur. Ada sesuatu maksud yang tersembunyi di belakangnya.
Jaka Pekik merasa sedih hatinya, dihadapkan oleh kenyataan yang tidak pernah diduganya ini. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya ke dinding bagian barat. Pada dinding itu tampak olehnya, seorang laki-laki berambut panjang yang sedang duduk. Ia tahu bahwa lukisan laki-laki tersebut bukan lain ayahnya. Laki-laki yang sedang duduk itu diserang oleh Rara Inten dari belakang. Tepat pada saat itu, bermunculanlah orang laki-laki dalam jumlah banyak menerobos masuk, Ia tahu siapakah rombongan laki-laki yang menerobos masuk itu. adalah orang-orang dari Gerombolan Gunung Kendeng.
"Ahh, lukisan ini sama persis dengan apa yang pernah kulihat di kota raja. Ketika di sana diadakan ulang tahun."
Dengan gambar yang dilihatnya itu, Jaka Pekik tahu tentang terjadinya peristiwa pengkhianatan Rara Inten ini, dan yang membuat ayah angkatnya sampai tertawan. dan kemudian sampai ditawan oleh Pondok Bligo ini. Terjadinya pengkhianatan yang dilakukan oleh Rara Inten ini, ketika belum lama mereka bertiga, ialah dirinya, ayah angkatnya dan Rara Inten, berhasil mendarat di Pulau Jawa.
Ketika itu Jaka Pekik sedang pergi untuk sesuatu keperluan. Akan tetapi ketika ia pulang kembali ke tempat penginapan, ternyata baik Rara Inten maupun ayah angkatnya telah tak ada lagi.
Sesudah itu ia mengalihkan perhatiannya untuk memeriksa dinding di sebelah utara. Namun belum Juga ia dapat melihat lukisan apakah yang terdapat pada dinding lebelah utara itu, mendadak api suluhnya padam.
'Gusti Wandansari !' teriaknya.
"Masuklah kemari, dan aku ingin pinjam bahan api!"
Tanpa menjawab, Ratu Wandansari telah meloncat turun ke dalam lubang.
Dengan suluh yang baru itu. kemudian Jaka Pekik dan Ratu Wandansari dapat melihat lukisan pada dinding sebelah utara. Pada dinding itu dilukiskannya tentang ayah angkatnya yang ditawan dan digiring oleh beberapa orang laki-laki. Tetapi tidak jauh dari tempat itu, tampak seorang perempuan muda yang bersembunyi dan mengintip di balik pohon.
Dibandingkan dengan yang lain. lukisan pada dinding sebelah utara itu lebih baik. Hanya sayang nya, wajah yang dilukiskannya itu tidak cocok dengan keadaan orang yang dilukiskannya. Jaka Pekik tahu mengapa sebabnya. Bukan lain oleh kebutaan ayah angkatnya yang telah lebih sepuluh tahun. Pada hal sesudah matanya buta itu, dia belum pernah mengenal dan melihat orang-orang yang dimaksud dan dilukiskannya itu. ,
Sambil menunjuk kepada perempuan muda yang di lukiskan oleh Kreti Windu, dia bersembunyi di balik pohon itu, Jaka Pekik bertanya,
"Siapakah orang ini? Engkau ataukah Rara Inten?"
"Aku!" sahut Ratu Wandansari cepat.
"'Cinde Amoh alias Kasim merampas ayah angkatmu dari tangan orangorang Kendeng. Kemudian mengirimkannya ke Pondok Bligo ini. lalu ditawan di tempat ini."
Ratu Wandansari mengamati Jaka Pekik. Kemudian lanjutnya.
"Kemudian untuk membuat engkau tersesat, Cinde Amoh sengaja membuat tanda-tanda Gagak Rimang. Akibatnya, karena engkau menurutkan tanda tanda tersebut, engkau harus berpayah-payah menguber dalam lingkaran yang cukup luas. Hemm...... ketahuilah bahwa sesungguhnya beberapa kali aku telah berusaha untuk merebut ayah angkatmu. Akan tetapi usahaku itu selalu menemui kegagalan. dan membuat aku masygul dan sedih sekali. Kemudian pada suatu ketika, dengan nekad aku berusaha merebut kembali paman Kreti Windu. Namun kembali gagal, dan aku hanya berhasil merebut sedikit rambut ayah angkatmu. Ternyata kemudian rambut yang hanya sedikit itu, dapat aku Jadikan bukti kepadamu. Dapat aku jadikan tanda untuk mencegah berlangsungnya perkawinan dengan Rara Inten. Pekik...... sesungguhnya dalam usahaku menggagalkan perkawinanmu dengan gadis yang sudah berkhianat terhadap engkau sendiri itu, hatiku terasa tidak enak. Karena.,..... aku kuatir jika engkau malah salah faham..." .
Jaka Pekik mengamati adik Sultan Agung Raja Mataram itu, dengan perasaannya yang amat terharu. di samping merasa kasihan juga. Ternyata setelah beberapa bulan lamanya puteri ini mengikuti gerak-geriknya, meninggalkan Keraton Mataram, keadaannya jauh sekali berubah. Puteri yang semula cantik jelita,dan wajahnya menyinarkan cahaya yang gemilang itu, kini tampak pucat dan agak kurus. Sebab puteri ini, dalam beberapa bulan tidak memperoleh kesempatan untuk berhias diri seperti biasanya di keraton.
Melihat keadaan Ratu Wandansari yang demikian itu. betapa ingin hatinya untuk memeluk erat-erat dan menghibur. Akan tetapi keinginan dan harapannya itu, ibarat 'si pungguk merindukan bulan'. Walaupun benar dalam beberapa bulan ini hubungannya amat dekat dengan puteri ini, namun ia selalu sadar, bahwa puteri ini adalah "rayi dalem Ingkang Sinuhun Raja Mataram."
Betapa tidak mungkin apabila dirinya mengharapkan puteri itu. Sedang di samping itu. iapun sadar akan keadaan. Baik Gagak Rimang maupun para tokoh di timur ini semuanya menentang Mataram. Manakah mungkin ia berani mengharapkan untuk bisa mempersunting Puteri Mataram ini?
"Ahh..." maafkan aku, gusti," kata Jaka Pekik agak gemetar.
"Aku..... merasa bersalah kepadamu. Ohh... . kalau saja engkau kurang cerdik dalam menghadapi diriku yang tolol ini, mungkin mungkin aku sudah salah tangan membunuhmu...... Membunuh orang yang tidak bersalah, dan sebaliknya malah selalu berusaha membela. Ahh"... kalau sampai terjadi begitu-......"
Jaka Pekik menghentikan kata-katanya sendiri yang belum selesai. Sebaliknya Ratu Wandansari tertawa lirih. sahutnya.
"Benarkah ini? Mungkinkah engkau tega untuk membunuhku? Hemm....... bukankah banyak kesempatan jika engkau ingin membunuhku? Tetapi mengapa engkau tidak menggunakan kesempatan itu untuk membunuhku ?'
Ingin sekali sesungguhnya Jaka Pekik membuka rahasia hatinya, ingin menyatakan cintanya. Akan tetapi ia tak bisa mengucapkannya, dan hanya di dalam hati,
"Hemm, kalau saja engkau tahu betapa cintaku kepadamu. engkau akan tahu mengapa sebabnya aku tak dapat membunuhmu."
Ia kemudian menatap wajah ayu itu, katanya,
"Ya, aku memang tidak tega untuk membunuhmu. Akan tetapi apabila benar engkau telah membunuh Salindri, telah membunuh adik sepupuku itu, kamu...... aku tak tahu lagi... apa yang akan aku lakukan terhadapmu. Tetapi tetapi segalanya sekarang telah menjadi terang, berkat ayahku yang melukiskan semua peristiwa yang terjadi, di dalam lubang ini. Apa yang akan terjadi kemudian hari, hanya Tuhan sajalah Yang Maha Tahu"
Bagaimanapun pula, sebagai seorang gadis yang telah dewasa, sesungguhnya puteri Mataram ini timbul pula rasa kasih dan cintanya terhadap pemuda gagah perkasa ini. Namun sebagai seorang puteri bangsawan, sebagai seorang wanita yang sejak kecil telah memperoleh pendidikan dalam hal susila, ia selalu dapat mengekang diri. Sebagai seorang gadis tidaklah mungkin ia berani mendahului mengaku cinta di depan pemuda. Sedang di samping itu, ada pula soal lain yang menjadi penghalang. Soal kedudukannya sebagai puteri Mataram, dan kedudukan Jaka Pekik sebagai musuh Mataram. Kiranya akan sulit bagi Sultan Agung sedia mengijinkan perkaWinannya dengan Jaka Pekik.
Akan tetapi sebaliknya, iapun telah memperoleh tugas khusus dari saudara tuanya, ialah Sultan Agung. Tugas khusus untuk mendekati dan mempengaruhi pemuda perkasa ini. Kalau mengingat tugas yang dibebankan di atas pundaknya, kiranya hanya dengan jalan mengikat hati pemuda ini dengan kasih sayang, pemuda ini akan benar-benar mau tunduk kepada Mataram. Namun sebagai seorang puteri yang dapat menempatkan diri, ia tidak ingin mendahului kehendak Sultan Agung. Ia harus memperoleh ijin dahulu sebelum melakukannya.
Untuk beberapa saat lamanya dua insan ini berdiam diri tak membuka mulut. Masing-masing dibuai oleh perasaan. Tahu-tahu api penerangan padam, dan dalam lubang itu gelap gulita. Tetapi sebagai pemuda dan pemudi kenyang gemblengan, dua orang itu tetap berdiri di tempatnya tidak bersentuhan.
Manusia di dunia ini sama saja. Semua manusia yang telah dewasa, tentu saling mempunyai daya tarik dan lama-lama ingin bertukar Cinta. Cinta dan kasih sayang tidak akan memilih bulu. Baik manusia itu bangsawan, baik manusia itu fakir miskin, baik manusia itu berpangkat gede, baik manusia itu disebut gelandangan, semuanya mengenal apa yang dikatakan cinta. Sebab cinta dan kasih sayang bersemayam di setiap hati dan dada manusia. Hanya perbedaannya. terletak kepada masing masing manusiasendiri. Ada kalanya manusia menyalah gunakan kasih sayang itu, untuk memuaskan nafsu berahinya, sehingga kasih sayang itu bukanlah kasih sayang yang sebenarnya, tetapi hanya nafsu dan terbatas pada kulit daging.
Manusia yang tahu akan kedudukannya. yang berbudaya dan merupakan mahluk yang tertinggi itu, tentu tidak akan sudi berbuat menurutkan nafsu seperti hewan. Tidak akan hanya menurutkan nafsu. Tentu akan selalu berusaha menjaga kebersihan dan kemurnian kasih sayangnya itu. Sebab hanyalah manusia manusia yang pandai mengekang dan mengendalikan nafsu ini sajalah, yang akan hidup bahagia. Bahagia bagi dua insan sendiri maupun untuk keluarganya kelak kemudian hari. Sebaliknya manusia yang hanya mengumbar nafsu, terlebih-lebih menjadi budak daripada nafsu, hidupnya hanya akan sengsara dan akan menyesal pula hidupnya di dunia ini.
Ratu Wandansari dan Jaka Pekik merupakan muda mudi kenyang gemblengan lahir maupun batin. Maka walau pun mereka, berduaan di dalam lubang, dan keadaannya gelap pula, masing masing tetap dapat menguasai diri. Masing masing tidak ingin mengotori cinta kasih yang tumbuh subur di dalam dada, dan yang belum terucapkan lewat mulut. Tak tahu kapan terjadi!
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara bentakan bentakan keras merupakan pertanda terjadinya suatu pertempuran. Mereka kaget. Kata Jaka Pekik,
"Mari kita lihat!"
Lengan Ratu Wandansari disambarnya, kemudian berbareng mereka meloncat ke luar dari lubang. Begitu mereka berdiri di luar lubang, muda mudi ini melihat bayangan tiga orang yang bergerak cepat sekali menuju ke timur. Melihat gerakan tiga orang yang amat cepat itu, jelas sekali bahwa mereka itu merupakan orang-orang sakti mandraguna.
Ketika itu muncullah Yoga Swara. Ia menghampiri Jaka Pekik yang berdiri berdampingan dengan Ratu Wandansari. Katanya,
"Paduka raja, mereka bukanlah orang kita. "
"Paman Swara," kata Jaka Pekik agak gelisah.
"Engkau bersama paman Bala, hendaknya tetap di tempat ini. Entah mengapa, tetapi aku kuatir apabila mereka menggunakan taktik memancing harimau keluar kandang. Oleh sebab itu aku ingin mengadakan penyelidikan ke sana."
Yoga Swara dan Madu Bala mengiakan perintah itu sambil membungkukkan tubuhnya. Kemudian sambil memegang lengan Ratu Wandansari, pemuda perkasa ini telah berkelebat meninggalkan tempat itu. Gerakan Jaka Pekik sangat gesit sekali. Diam-diam Ratu Wandansari kagum.
Ratu Wandansari merasa dirinya seperti dibawa terbang. Tetapi di sudut hatinya, Juga terdapat perasaan yang amat bahagia dan bangga. Kalau saja ia dapat menaklukkan pemuda ini, bukankah Mataram akan memperoleh bantuan tenaga yang sulit dicari tandingannya? Satu daerah demi satu daerah pada akhirnya semua akan jatuh dan bertekuk lutut menghamba kepada Mataram.
Ketika itu, bulan muda menyinarkan cahaya yang tidak begitu cemerlang di angkasa raya. Tetapi sekalipun demikian cahaya bulan itu dapat memberikan penerangan di muka bumi, dan kemudian dari Jauh dapat mengenal dua di antara tiga orang yang sedang kejar-mengejar itu. Ratu Wandansari tidak lupa, bahwa dua orang itu adalah Patra Jaya dan Gupala, sedang melakukan pengejaran kepada seorang yang gerakannya cepat sekali.
Tiba tiba saja Gupala menyambitkan senjatanya. Senjata Gupala ini bentuknya mirip dengan tongkat kecil, akan tetapi pada ujungnya terdapat hiasan yang mirip dengan kepala burung. Sambaran senjata itu cepat sekali di samping menerbitkan angin yang cukup kuat. Yang dikejar melompat ke samping menghindari, sambil menggerakkan pedangnya untuk menangkis. Sebagai akibat gerakannya untuk menghindar dan menangkis itu, gerakannya tertunda. sehingga Patra Jaya sudah berhasil mengejar dan langsung menusukkan tongkatnya. Walaupun tongkat tetapi senjata Patra Jaya ini amat berbahaya. karena ujungnya bercabang dua dan tajam.
Bagi Ratu Wandansari. sudah cukup kenal akan kesaktian dua orang kakak beradik ini. Sebab dua orang ini merupakan jago Mataram, dan mempunyai Aji "Wisa Naga". Bagi Mataram. dua orang kakek ini sudah amat besar sekali jasanya. Ketika Ratu Wandansari memimpin pasukan Mataram untuk menaklukkan beberapa wilayah, dua orang kakek ini merupakan pengawal tepercaya dan sebagai pelindung yang patut diandalkan. Sayang sekali bahwa Patra Jaya seorang kakek yang masih suka mengumbar nafsunya, dan tidak tahan apabila melihat wajah cantik. Pada suatu ketika, Patra Jaya dituduh telah menculik salah seorang selir Sultan Agung.
Kesalahan itu cukup besar, dan tak mungkin memperoleh ampun lagi dari raja. Saking takutnya kemudian kakak beradik ini melarikan diri. Walaupun sesungguhnya yang bersalah hanyalah Patra Jaya, namun Gupala yang amat mencintai kakaknya itu ikut pula pergi.
Demikianlah. atas serangan tongkat Patra Jaya itu. orang yang diserang berkelit ke samping sambil balas memukul. Jaka Pekik dan Ratu Wandansari berseru tertahan. Muda dan mudi ini cepat dapat mengenal siapa orang yang sedang dikejar dan dikeroyok oeh Patra Jaya dan Gupala itu. Bukan lain adalah Rara Inten.
Perempuan itu wajahnya pucat pasi bagai kertas, rambutnya yang panjang terurai menutupi pundak dan punggungnya. Karena khawatir kehadirannya diketahui oleh Rara Inten, Jaka Pekik cepat cepat menarik lengan Ratu Wandansari dan diajak menyembunyikan diri.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Patra Jaya menyerang Rara Inten, maka Gupala memungut tongkatnya yang menggeletak di atas tanah. Kemudian kakek ini dengan menggeram sudah melompat maju, menerjang Rara Inten membantu kakaknya.
'Setan laknat!" bentak Rara Inten nyaring.
"Apakah maksudmu menguber aku ?!"
"Heh heh heh. aku tadi melihat dan mengetahui sendiri bahwa Jaka Pekik telah berhasil menguasai pedang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari!" sahut Patra Jaya.
' Kemudian dengan mata kepalaku sendiri, aku tadi melihat bahwa pedang itu telah patah menjadi dua. dan isi di dalamnya telah tak ada. Karena itu aku menduga pasti, bahwa catatan penting yang terdapat di dalam pedang itu sudah jatuh ke tanganmu. Heh-heh-heh, serahkanlah kepadaku!"
Mendengar kata-kata Patra Jaya itu, Jaka Pekik kaget. Sekarang barulah ia sadar dan tahu. mengapa sebabnya pedang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari itu tengahnya berlubang. Kiranya di dalam pedang itu terdapat semacam catatan yang amat penting.
Rara Inten mendelik. kemudian tertawa mengejek,
"Hi-hik. catatan itu benar aku yang mengambil. Akan tetapi setelah aku berhasil menyelesaikan latihan-latihan itu mengenai ilmu kesaktian, catatan itu tidak aku perlukan lagi, dan sudah kubakar habis!"
Patra Jaya mendengus, katanya dingin,
"Huh -huh siapa percaya kepadamu? Pedang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari dikenal oleh setiap orang merupakan dua batang pedang pusaka Jempolan. Itulah sebabnya maka setiap orang di kolong langit ini selalu memperebutkannya dan berusaha untuk memiliki. Ha-ha-ha, manakah mungkin catatan ilmu di dalam dua batang senjata itu dapat dipelajari dalam waktu singkat? Tidak aku sangkal bahwa ilmu kepandaianmu memang tinggi dan hebat. Namun bagaimanapun pula belum Juga dapat mencapai puncak yang cukup tinggi. Apabila engkau benar telah berhasil melatih dan meyakini ilmu kepandaian yang terdapat di dalamnya, aku percaya bahwa dalam waktu yang sangat singkat, engkau tentu dapat mengambil jiwa kami yang tua ini. Ha-ha-ha. kalau benar engkau sakti mandraguna, mengapa engkau berusaha lari?'
"Persetan dengan kamu. Engkau boleh percaya dan boleh tidak !' lengking Rara Inten.
"Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani kamu bicara."
Begitu selesai berkata, Rara Inten telah melompat untuk melarikan diri lagi.
"Tahan!" bentak Patra Jaya. Berbareng itu. dua orang kakek tersebut menyerang dari kiri dan kanan.
Rara Inten memutarkan pedangnya seperti baling baling dalam usahanya membentengi tubuhnya. dan menyambut serangan serangan lawan.
Beberapa hari yang lalu. Jaka Pekik pernah menyaksikan Rara Inten menggunakan cambuk mengalahkan lawan-lawannya. Tetapi sekarang, perempuan itu tidak menggunakan cambuk, dan menggunakan pedang.
Jaka Pekik menonton penuh rasa kagum, karena baik gerakan pedang maupun gerakan Rara Inten itu amat indah gemulai seperti menari-nari. Namun walaupun nampaknya lemah gemulai dan seperti orang menari, penjagaan dirinya amat rapat dan setiap membalas amat berbahaya. Pertempuran satu lawan dua itu amat sengit sekali, dan sekalipun telah berlangsung puluhan jurus, namun Rara Inten yang dikeroyok dua itu, tidak jatuh di bawah angin. Malah kalau saja dua orang kakek itu tidak memiliki kesaktian yang cukup tinggi, kiranya dua orang kakek itu sudah roboh di tangan Ketua Perguruan Tuban yang masih muda belia ini.
"Sayang!" Jaka Pekik mengeluh dalam hati.
"Kalau lain saat ini Rara Inten bersenjata pedang Jati Sari, kiranya dua kakek itu tak akan sanggup berbuat banyak. Hemm . dengan pedang biasa, Rara Inten kalah pengalaman, kalah ulet, dan disamping itu tentang tenaga sakti masih agak jauh di bawah kakek itu. Hemm...... dia tak akan sanggup mengatasi dua kakek ini. dan paling banter dalam duaratus jurus tak akan dapat bertahan lagi."
Demikianlah, makin lama pertempuran satu lawan dua itu. makin menjadi cepat dan sengit. Kemudian setelah lewat beberapa puluh Jurus lagi, Rara Inten menambah serangan-serangannya dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang gerakannya aneh dan anginnya menyambar kuat. Melihat cara Rara Inten membela diri itu, Jaka Pekik cepat dapat menduga. bahwa gerakan Rare Inten itu dimaksudkan untuk persiapan melarikan diri. Akan tetapi sebagai seorang ahli, Jaka Pekik menjadi kuatir juga melihat cara menyerang dan membela diri yeng nekad-nekadan itu.
Sebab dengan perbuatan yang nekad itu, kalau badan untung memang bagus. Rara Inten tentu akan berhasil. Sebaliknya, dengan tindakan ini salah sedikit saja, akan bisa celaka. Melihat keadaan itu, bagaimanapun juga Jaka Pekik merasa tidak tega. Maka dengan gerakannya yang amat perlahan, pemuda ini keluar dari tempat persembunyiannya, dan lalu mendekati gelanggang perkelahian. Ia sudah mempunyai keputusan, akan turun tangan menolong Rara Inten kalau diperlukan. Mendadak, terdengar suara Rara Inten yang membentak keras sekali. Bentakan itu disusul oleh menyambarnya pedang Rara Inten yang mengirimkan tiga tikaman berantai ke arah Patra Jaya.
Patra Jaya terkesiap dan berusaha menghindarkan diri. Akan tetapi gerakan kakek ini sedikit lambat, sehingga tikaman Rara Inten yang ke tiga berhasil merobek baju dan pundak kakek itu.
Sehingga pundak itu terluka dan mengucurkan darah. Untung Juga pada saat itu Gupala waspada. Dengan sebatnya kakek ini menyambitkan tongkatnya kearah punggung Rara Inten. Dua batang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk sebagai paruh burung dan tajam itu, dengan kecepatan kilat menyambar punggung Rara Inten.
Sesungguhnya kakek Gupala ini merupakan seorang kakek sakti mandraguna, dan selama ini jarang bertemu tanding. Ia terlalu sayang kepada sepasang tongkatnya itu. maka apabila tidak amat terpaksa, tidaklah mungkin Gupala mau melepaskan tongkatnya itu untuk menyambit. Akan tetapi sekarang, keadaannya memang lain. Saat ini kakek itu amat kuatir apabila lawan memperoleh bantuan, sehingga dapat menggagalkan usaha mereka untuk merebut catatan yang tersimpan dalam pedang yang sekarang dikuasai Rara Inten.
Sambitan sepasang tongkat itu amat kuat sekali. Begitu tongkat tersebut lepas dari tangan dan melesat, sepasang tongkat pendek itu berbenturan di tengah udara dan mengeluarkan suara yang amat nyaring. Sebagai akibat benturan antara dua batang tongkat itu, kemudian sebatang tongkat menukik turun ke bawah menyambar pinggang Rara Inten, sedang sebatang yang lain langsung menyambar ke arah kepala perempuan itu.
Di lain pihak, begitu merasa adanya sambaran angin serangan yang mengarah punggungnya, Rara Inten berkelit. Tetapi di luar dugaan. begitu dua tongkat tersebut berbenturan di udara, dan batang tongkat tersebut telah berubah arah serangannya. Ialah mengarah kepala dan pinggangnya. Rara Inten yang menghindarkan diri itu memang berhaSil untuk menghindari serangan tongkat yang menyambar kepalanya. Akan tetapi ia tidak keburu lagi mengelakkan tongkat yang menyambar pinggangnya. Rara Inten dalam bahaya!
Untung sekali bahwa Jaka Pekik sudah bersiap diri sejak tadi untuk menolong Rara Inten. Pada detik yang amat berbahaya itu. Jaka Pekik telah melompat dan menyambar tongkat itu, sambil tangannya yang kiri untuk menangkis pukulan Gupala.
Sesungguhnya pada saat itu Rara Inten sudah mengeluh, sudah pasrah diri kepada Tuhan karena tak mungkin dapat membela diri. Oleh karena itu perempuan ini telah memejamkan matanya menanti datangnya maut!
Ia hanya berdiri mematung, tanpa bergerak sedikit Juga. Karena sudah merasa tak dapat menghindar dari maut itu ia menjadi lengah. Pukulan dan serangan Gupala dapat ditangkis oleh Jaka Pekik. Akan tetapi serangan Patra Jaya yang mendadak tak dapat dihindarkan lagi. Maka tak ampun lagi. pukulan Patra Jaya mengenakan tepat pada kempungannya. Padahal pukulan kakek ini Bukanlah pukulan biasa. Pukulan ini mengandung bahaya maut, karena menggunakan Aji "Wisa Naga". Orang yang terpukul akan segera keracunan, dan apabila tidak tertolong bakal mati. Aji "Wisa Naga" yang dimiliki oleh dua orang kakek ini amat ditakuti oleh semua orang. Maka begitu terpukul, napas Rara Inten menjadi sesak dan kemudian perempuan ini roboh.
Semua peristiwa itu terjadi dalam waktu sekejap mata, sehingga Jaka Pekik tak sempat berbuat dan menolong. Saking kaget dan gugupnya. Jaka Pekik melemparkan tongkat Gupala yang tadi dapat ditangkapnya. Kemudian tubuh Rara Inten itu disambarnya, didukung dan dibawa melompat agak jauh.
"Tua bangka hampir mampus!" bentak Jaka Pekik marah.
"Kamu tanpa mengenal malu mengeroyok seorang muda!"
Tetapi Patra Jaya menyambut dengan ketawanya yang bekakakan. Setelah puas tertawa, kakek ini berkata dingin dan mengejek,
"hah-ahh, sangkaku siapa, tidak tahunya Paduka Raja Gagak Rimang! Huh-huh, engkau harus mengaku. Katakan lekas, di mana Gusti Ratu Wandansari!"
Ketika itu justeru Ratu Wandansari telah muncul dari tempat persembunyiannya. Puteri ini menghampiri Jaka Pekik, kemudian ia menerima Rara Inten dan di dukungnya. Puteri Mataram yang jelita ini memandang Patra Jaya dengan matanya yang bening, kemudian tertawa merdu. Katanya,
"Patra Jaya, bagus sekali, ,engkau belum juga melupakan aku sebagai junjunganmu. Tetapi apakah engkau tidak takut kepada Kangmas Sultan Agung? "
"Perempuan iblis. Perempuan siluman! " teriak Patra Jaya marah sekali.
"Huh-huh......jangan engkau ulangi usahamu memecah kerukunanku dengan Gupala, dan berusaha mengadu domba pula. Dan persetan dengan Sultan Agung. Aku dan Gupala sudah tidak mempunyai hubungan apapun dengan Mataram. Karena itu kami sudah tidak perduli lagi Sultan Agung marah atau tidak kepada kami, justeru sudah tidak ada hubungan apaapa lagi."
Mendengar caci maki yang ditujukan kepada Ratu Wandansari dan pukulan Wisa Naga terhadap Rara Inten. darah pemuda ini meluap dan kemarahannya menggelegak. Ia segera teringat akan penderitaannya ketika masih kecil, ia hampir mati sebagai akibat pukulan Aji "Wisa Naga" dari Gupala.Kalau saja ia bukan seorang bocah yang beruntung, kiranya dirinya sudah mampus!
Pukulan Aji "Wisa Naga" yang ampuh itu. menyebabkan ia menderita racun dingin yang sangat menyiksa.
"Gusti Wandansari," katanya perlahan.
"sudilah engkau mundur menjauhkan diri. Biarlah hari ini aku akan menghajar dua orang kakek yang tak tahu diri ini!"
Bagaimanapun pula, Patra Jaya seorang kakek sakti yang angkuh, dan selalu percaya akan kesaktiannya. Maka begitu melihat Jaka Pekik tidak bersenjata, iapun cepat pula menyimpan senjatanya. Ia akan mengimbangi pemuda ini bertempur dengan tangan kosong.
Jaka Pekik mengamati dua orang kakek itu bergantian. Kemudian sesudah melangkah maju selangkah ke depan, ia membentak.
"Sambutlah!"
Jaka Pekik menggerakkan kedua tangannya, dengan gerakan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Pukulan Jaka Pekik ini gerakannya perlahan saja, menggunakan Ilmu Samodra Rob ajaran kakek gurunya. yaitu Wisnu Murti. Tetapi Jangan dikira pukulan itu ringan. Sebab pukulan tersebut menyembunyikan tenaga dahsyat dari ilmu warisan Sunan Kudus, ialah Bajra Sayuto. Pemuda ini sadar bahwa dua orang kakek ini mempunyai Aji Wisa Naga yang sifatnya dingin. Oleh sebab itu ia sudah memutuskan untuk melawan dengan tenaga yang berlawanan. ialah tenaga panas.
Seperti diketahui, bahwa Ilmu Tata Kelahi Samodra Rob ciptaan Wisnu Murti itu, merupakan ilmu tata kelahi tataran tinggi, yang mempergunakan prinsip "yang kosong lebih kuat daripada yang isi". Gerakannya lambat namun di dalamnya terkandung kekuatan yang maha dahsyat.Gerakan tangan yang menggunakan Ilmu Samodra Rob ini, banyak membuat lingkaran besar dan kecil. Tetapi dari gerakan tangan yang membuat lingkaran lingkaran itu, keluarlah tenaga mujijat yang dapat menyebabkan lawan tertarik dan terkuasai oleh tenaga putaran yang dahsyat sekali.
Patra Jaya cukup menyadari akan bahayanya serangan yang tampaknya lambat itu. Maka kakek ini tidak berani menyambut dengan kekerasan, malah kemudian melompat kesamping. Jaka Pekik cepat memutarkan tubuhnya, seraya mengirimkan pukulan lanjutan kepada Gupala. !
Walaupun masih muda, tetapi Jaka Pekik sudah beberapa kali bertempur melawan dua orang kakek ini. Dari tingkat ketinggian ilmu tata kelahi maupun kesaktian. dirinya masih di atas tataran dua orang kakak ini. Namun sekalipun demikian, Jaka Pekik sadar dan tahu bahwa dua orang kakek ini merupakan tokoh sakti mandraguna pilih tanding. Apabila ia memandang enteng dan sembrono, akan bisa berakibat dirinya sendiri yang menderita kerugian. Dan sekalipun hanya merupakan kesalahan yang amat kecil akan bisa menimbulkan akibat yang amat berbahaya dan merugikan. Mengingat ini Jaka Pekik menyerang dengan penuh kewaspadaan. Ia menyerang dengan Ilmu Samudra Rob yang tangannya melancarkan pukulan pukulan dalam bentuk lingkaran lingkaran. Dengan sikap dan kedudukannya sekarang ini, ia berada di dalam garis pembelaan yang sulit bisa di tembus oleh lawan.
Perlu diketahui juga, bahwa Ilmu Samodra Rob ini merupakan ilmu membela diri yang mengerahkan hawa tetapi tidak mengerahkan tenaga. Itulah sebabnya disebut yang kosong melawan yang isi. Dari lingkaran-lingkaran gerak serangannya itu, Jaka Pekik menyelipkan tenaga Bajra Sayuto yang ampuh. yang panasnya melebihi panasnya lahar gunung berapi, guna menekan hawa dingin dari Aji Wisa Naga dua orang kakek ini.
Makin bergerak, dua tangan Jaka Pekik makin menjadi lancar. Sebaliknya dua orang kakek itu masing masing mengerahkan tenaga dan kepandaiannya guna melawan dan membela diri. Dalam waktu hanya singkat, mereka bertempur sengit sekali. Kalau orang yang menyaksikan pertempuran sengit itu menjadi tegang hatinya, sebaliknya Jaka Pekik yang bertempur malah semakin menjadi gembira, bahwa ia berhadapan dengan dua orang sakti mandraguna pilih tanding Jaman ini. Apabila berhasil mengalahkan dua orang kakek ini, kiranya seterusnya ia akan sulit dapat berhadapan dengan lawan yang mempunyai kelakuan seperti dua orang kakek ini. Memang orang yang memiliki kesaktian tataran tinggi. banyak dihinggapi oleh penyakit yang aneh. Jaka Pekikpun tidak dapat melepaskan diri dari penyakit yang aneh ini. Begitu berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh, pemuda ini menjadi gembira sekali. Kemudian malah timbul rasa sayang apabila ia cepat dapat merobohkan dua orang kakek ini. Sebab apabila dua kakek ini roboh di tangannya. kemudian hari ia akan kesulitan untuk mencari lawan' tangguh yang tingkatnya sejajar dengan Patra Jaya dan Gupala ini. Teringat akan itu, maka kemudian timbullah pikirannya untuk tidak perlu tergesa dan cepat-cepat mengalahkan dua orang kakek ini.
Ia memerlukan kawan berlatih dalam ilmu tata kelahi tataran tinggi.
Demikianlah. Jaka Pekik menganggap pertempuran yang berbahaya ini sebagai latihan. Kemudian seratus Jurus telah lewat. Secara kebetulan, ketika itu ia memalingkan mukanya ke arah Wandansari yang mendukung Rara Inten. Akan tetapi tubuh gadis itu sekarang tampak gemetaran dan menggigil seperti orang yang menderita kedinginan sangat, sehingga tampak hampir tidak kuat lagi mendukung Rara Inten yang terluka. Melihat itu Jaka Pekik terkesiap. Tanpa terasa ia mengeluh,
"Celaka! Rara Inten terpukul oleh Ali Wisa Naga. Pada hal tenaga sakti yang dilatih oleh Rara Inten sendiri sifatnya juga dingin. Tenaga dingin ditambah lagi dengan tenaga dingin yang beracun. Ahh...... Gusti Wandansari juga terkena akibat dari racun dingin itu, dan agaknya hampir tidak tahan lagi"
Mengingat bahaya yang mengancam Ratu Wandansari itu, Jaka Pekik gelisah dan kuatir sekali. Maka apabila tadi ia main lambat-lambatan untuk tidak cepat merobohkan dua' orang lawan ini, sekarang tidak. Ia mengerahkan kepandaiannya dan melancarkan pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Dengan tambahan tenaga ini ia bermaksud untuk menindih tenaga Patra Jaya. Akan tetapi kakek ini justeru telah amat luas pengalaman, merupakan Jago tua yang sudah bergelimang dengan pertempuran-pertempuran berat. Melihat perubahan serangan Jaka Pekik, ia cepat dapat menangkap akan maksudnya, maka serunya,
' Gupala! Mari sekarang kita berkelahi dengan siasat bergerilya. Ha-ha-ha, perempuan muda. ketua Perguruan Tuban itu sudah hampir mampus! Jangan kita beri kesempatan untuk memberikan pertolongan!"
'Bagus! Hah-heh-heh!" sahut Gupala sambil tertawa terkekeh. Kakek ini cepat melompat keluar gelanggang. Dengan sebatnya ia menyambar sepasang tongkat pendek yang menggeletak di atas tanah. Kemudian ia menyerang menggunakan sepasang senjata yang amat di banggakannya itu. Sudah tentu Jaka Pekik menjadi amat mendongkol sekali.
Ia mendesak maju sambil mengirimkun pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sakti tingkat tinggi, menggunakan tenaga sakti dari Bajra Sayuto. Sebagai akibat serangan ini, dada Gupala terasa sesak, sulit untuk bernapas.
Sebaliknya Patra Jaya tak mau perduli akan keselamatan Gupala yang didesak lawan. Kakek ini cepat menghunus kembali senjatanya. dan secepat kilat ia sudah menikam pinggang Jaka Pekik.
Akan tetapi walaupun dua orang kakek ini telah menggunakan senjata andalan masing-masing. tidaklah mungkin dapat mengalahkan Jaka Pekik yang tataran ilmu kesaktiannya jauh di atas tingkat dua orang kakek itu. Meskipun demikian, karena dua orang ini menggunakan senjata, untuk sementara dua orang kakek ini dapat mempertahankan diri dari kekalahan.
Atas serangan -serangan senjata itu, Jaka Pekik menukar siasat menggunakan ilmu tata kelahi yang lain.
Jaka Pekik menggunakan ilmu tata kelahi yang banyak menggunakan jari tangan terbuka, untuk mencengkeram tubuh lawan maupun untuk merebut senjata lawan.
"Bagus, ha-ha-ha-ha !' seru Patra Jaya sambil ter-tawa bekakakan.
"Ilmu cakar ayam itu, sebentar lagi akan dapat engkau pergunakan menggali lubang!"
"Apa? Menggali lubang?" Gupala bertanya, tetapi sepasang tongkatnya tidak berhenti dan terus menghujani serangan kepada Jaka Pekik.
"Ha ha-ha ha, betul!" sahut Patra Jaya masih sambil tertawa, sedang tangannya terus bergerak menggunakan tongkatnya untuk menyerang Jaka Pekik.
"Betul! Untuk menggali lubang. guna mengubur mayat Rara Inten!"
Karena dua orang kakek itu saling bicara dengan nada mengejek. maka pemusatan semangatnya terganggu dan terpecah. Tiba-tiba kaki Jaka Pekik bergerak seperti kilat cepatnya, menendang lutut kiri Patra Jaya. Akibatnya kakek itu terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian meledak kemarahannya dan menyerang lebih dahsyat lagi.
Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Samurai Karya Takashi Matsuoka Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci

Cari Blog Ini