Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 3

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 3


Hati Jaka Pekik amat gelisah memikirkan Rara Inten dan Ratu Wandansari. Karena gelisah. maka sambil bertempur, beberapa kali pemuda ini berpaling. Setiap ia melihat ke arah dua gadis itu, ia melihat bahwa tubuh Rara Inten maupun Ratu Wandansari makin gemetaran hebat sekali. Tak tahan lagi ia berteriak kepada Ratu Wandansari,
"Gusti Wandansari, bagaimana keadaanmu?"
'Di..... dingin luar biasa." sahut gadis itu sambil terus tubuhnya gemetaran.
Jaka Pekik terkesiap kaget!
Sesudah berpikir sejenak. tahulah pemuda ini akan sebab-sebabnya. Tak salah lagi. Peristiwa itu terjadi karena kurang hati hati Ratu Wandansari. Karena pengaruh hatinya yang ingin meringankan derita orang, tentunya Ratu Wandansari sangat ingin memberikan pertolongannya. Puteri Mataram ini dalam usahanya untuk membantu meringankan derita Rara Inten, telah mengerahkan hawa saktinya sendiri, dengan maksud untuk membantu Rara Inten mengusir racun dingin dalam tubuh Rara Inten. Akan tetapi justeru karena tenaga saktinya sendiri masih belum begitu tinggi, maka usahanya itu bukannya memberikan hasil, sebaliknya Ratu Wandansari malah terserang pula oleh racun dingin dari Aji Wisa Naga.
Mengingat bahaya yang mengancam dua orang gadis itu sekaligus, maka Jaka Pekik menekan lawannya secara hebat, dengan maksud untuk dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat. Akan tetapi celakanya dua orang kakek ini di samping sakti mandraguna juga licin dan cerdik. Mereka kemudian berpencaran, benar-benar menggunakan Siasat gerilya. dan setiap melihat Jaka Pekik akan mendekati Ratu Wandansari, dua orang kakek itu segera menyerang hebat sekali.
Karena siasat gerilya dari lawan ini, Jaka Pekik makin menjadi gelisah dan bingung. Tak tahan lagi berteriak,
"Gusti Wandansari! Lepaskanlah Rara Inten!"
"Aku..... aku... tak bisa ......." sahut Ratu Wandansari tidak lancar.
"Mengapa?"
"Punggungnya seperti melekat, tidak mau lepas dari telapak tanganku!" Dalam memberikan jawabannya itu. agaknya Ratu Wandanaari makin menderita. Sebab puteri itu terpaksa menahan rasa dingin dengan gigi yang berbunyi gemeretuk, sedang tubuhnya makin bergoyang goyang keras.
sudah tentu jawaban itu menambah kegelisahan dan kebingungan Jaka Pekik. Ia ingin menolong. akan tetapi dua orang kakek itu tidak pernah mau memberi kesempatan dan selalu menghalanginya.
'Ha-ha-ha, Paduka Raja Gagak Rimang," kata Patra Jaya.
"Nyatalah bahwa gadis yang bernama Rara Inten itu berhati kejam! Gusti Wandansari yang baik hati itu bukannya dibalas kebaikannya, malah perempuan itu mengirimkan racun dingin ke dalam tubuh Gusti Wandansari. Ahh........Gusti Wandansari dalam bahaya! Maka sebaiknya kita mengadakan perdamaian saja. Bukankah ini merupakan jalan yang paling baik dan saling menguntungkan ?"
"Bagaimanakah maksudmu ?"
"Marilah kita hentikan pertempuran antara kita ini. Kami akan mengambil catatan ilmu kesaktian dari dalam pedang itu. dan sebaliknya engkau memperoleh kebebasan untuk menolong dan menyelamatkan Gusti Wandansari." '
Jaka Pekik mendengus dingin. Tidaklah mungkin ia dapat menerima usul yang hanya mencari enaknya sendiri itu. Pemuda ini sadar bahwa Patra Jaya maupun Gupala bukanlah tokoh sakti yang baik budi. Di samping wataknya yang tidak terpuji itu, tataran ilmunya pun sudah tinggi. Apabila dua orang kakek Ini sampai memperoleh tambahan ilmu sakti yang semula tersimpan di dalam pedang itu, niscaya dua orang kakek ini menjilma sebagai manusia sakti tanpa lawan lagi. Dalam kedudukannya sebagai orang sakti tanpa tanding itu, kemudian dua orang kakek ini tentu akan berubah menjadi iblis-iblis yang amat membahayakan kesejahteraan umat manusia di dunia ini.
Jaka Pekik menengok lagi dan tampaklah bahwa wajah puteri Mataram yang ayu itu sekarang berubah menjadi hijau, sedang dari kerut-kerut wajahnya menunjukkan bahwa puteri itu sekarang sedang menderita amat hebat sekali. Ia mengerti dan sadar, bahwa ia tidak boleh berbuat lambat!
Kalau terlambat, gadis itu tak mungkin bisa ditolongnya lagi. Secepat berpikir. Jaka Pekik telah melompat mundur. Tahu -tahu tangan kiri pemuda ini sudah menyambar telapak tangan kanan Ratu Wandansari. Kemudian ia sudah mengerahkan hawa sakti dari pusarnya, disalurkan lewat telapak tangan gadis itu untuk memberikan pertolongan.
Melihat itu, Patra Jaya cepat berteriak,
"Serang!" Dan kemudian tiga batang tongkat telah menyambar dan menyerang Jaka Pekik bertubi tubi. Namun sekalipun demikian Jaka Pekik tidak menjadi gugup, menggunakan sebelah tangan dan kakinya untuk memberi perlawanan.
Dalam pada itu, begitu memperoleh aliran hawa sakti yang panas dari tubuh Jaka Pekik yang menyalur lewat telapak tangannya maka darah Ratu Wandansari yang semula udah hampir membeku itu, kembali mencair dan agak menghangat. Beberapa saat kemudian malah Ratu Wandansari sudah merasa agak nyaman.
Jaka Pekik yang harus menyalurkan hawa sakti ketubuh Ratu Wandansari itu, harus pula mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk melawan serangan orang. Ia melawan mati-matian dengan tangan kanan. Akan tetapi hanya dalam waktu yang tidak lama, ia hampir tidak tahan lagi. Soalnya saat sekarang ini ia harus membagi tugas. sedang dua-duanya sama pentingnya. Sebagian perhatian Ia harus mengerahkan hawa sakti untuk mengusir racun dingn dalam tubuh Ratu Wandansari yang disalurkan oleh Rara Inten. sedang di samping itu ia harus menggunakan tenaga sakti pula untuk memberikan perlawanan terhadap sambaran senjata Patra Jaya dan Gupala. Ia hanya dapat menggunakan sebelah tangan saja. Maka bertempur belum cukup lama, pahanya telah robek oleh tusukan tongkat Gupala, dan darah merah mengucur dari luka.
Ia yang harus membagi perhatian dan hanya melawan dengan tangan kanan itu. menghadapi bencana hebat. Salah-salah ia bisa mampus dalam tangan dua orang kakek sakti ini. Mengingat bahaya yang mengancam itu, maka tiba-tiba saja Jaka Pekik berteriak nyaring melengking. Teriakan itu terdengar dari tempat yang cukup jauh. Maksudnya adalah guna memanggil Yoga Swara dan Madu Bala. Namun ketika Jaka Pekik mempertajam pendengarannya, di dengarlah suara bentakan-bentakan nyaring dan suara senjata beradu nyaring. Maka pemuda ini segera sadar, bahwa orang yang dipanggilnya itu tengah menghadapi pertempuran dengan musuh pula.
Sebaliknya begitu mendengar teriakan Jaka Pekik yang nyaring, dua orang kakek sakti ini menjadi kuatir akan datangnya bala bantuan. Maka dua orang kakek itu makin memperhebat serangan-serangan mereka. Sambil menggeram keras, Patra Jaya mengirimkan tiga serangan berantai ke arah mata, leher dan dada. Namun semua serangan itu dapat ditangkis oleh Jaka Pekik dengan baik. Akan tetapi pada saat itu, mendadak saja Gupala menggulingkan diri ke atas tanah dan menikam pinggangnya. Serangan itu justeru amat mendadak sekali, sehingga tak mungkin lagi Jaka Pekik berkelit. Yang bisa dilakukannya, hanyalah mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya guna melindungi bagian tubuh yang diserang orang. Tetapi sekalipun demikian, ia masih merasa sangki, apakah usahanya melindungi tubuh yang terserang itu dapat berhasil, mengingat bahwa Gupala seorang sakti mandraguna.
"Tak!" pinggangnya tergetar hebat. Tetapi ia sendiri menjadi heran sekali. Mengapakah sebabnya tikaman yang keras dan yang membuat pinggangnya tergetar itu. tidak menimbulkan rasa sakit sedikitpun?
Tetapi setelah ia mengingat-ingat, mengertilah ia akan sebabnya pinggangnya tidak merasa sakit. Kiranya tikaman tongkat itu mengenakan tepat pada pedang Jati Ngarang yang tertutup oleh jubah. Dalam setiap pertempuran, tidak biasa bersenjata. Apa yang telah terjadi. ia hanya menggunakan tombak Kyai Wilah yang tumpul. Karena ia hampir tidak pernah menggunakan senjata itu, maka ia lupa apabila saat sekarang ini membawa senjata. Sungguh merupakan suatu hal yang amat kebetulan. bahwa pedang Jati Ngarang itu ditikam oleh tongkat Gupala. Hal itu mengingatkan kepada pemuda ini. bahwa ia membawa pedang pusaka yang amat tajam.
Begitu ingat akan pedang Jati Ngarang, ia menjadi gembira dan semangatnya bangkit kembali. Sambil membentak keras ia menendang Gupala, sehingga kakek ini terpaksa melompat mundur. Pada saat itu justeru tongkat di tangan Patra Jaya menyambar dadanya. Tetapi
"sratt!.. " pedang pusaka Jati Ngarang berkelebat, dan tongkat itu sudah terbabat patah menjadi dua.
"Ah......, pedang Jati Ngarang!" teriak Patra Jaya.
Sepasang tongkat Gupala menyambar datang dengan kecepatan luar biasa. Namun dengan tenang pemuda ini menggerakkan pedangnya, dan sekali sabet dua batang tongkat itu telah menjadi empat potong. Dua orang kakek itu mukanya berubah pucat.
Sebaliknya semangat Jaka Pekik makin terbangun, ia memutarkan pedangnya seperti baling-baling. sehingga dua orang kakek itu tiduk berani mendekati.
Dengan perlindungan pedang Jati Ngarang yang tajam itu. sekarang Jaka Pekik dapat mencurahkan perhatian untuk menolong Ratu Wandansari dan menekan hawa dingin yang mengganggu gadis itu. Kini ia dapat mencurahkan seluruh perhatian. dan penyaluran hawa sakti itu tanpa terganggu lagi. maka dalam waktu yang tidak lama. hawa beracun dingin yang mengeram di dalam tubuh Ratu Wandansari dan Rara Inten telah dapat diusir bersih. Tetapi sesudah racun dingin dari Aji Wisa Naga itu terusir, tanpa disadari oleh Jaka Pekik, telah terjadi perkembangan baru di dalam tubuh Rara Inten. Seperti diketahui, bahwa Rara Inten meyakinkan tenaga sakti yang sifatnya dingin. Akibatnya hawa sakti yang panas dari saluran Jaka Pekik itu. di dalam tubuh Rara Inten bertempur. Mana yang lebih kuat tentu saja menang, sedang yang lemah akan kalah. Karena tenaga sakti Jaka Pekik jauh di atas tingkat Rara Inten. maka setelah racun terusir bersih, tenaga sakti yang dimiliki Rara Inten tertekan oleh hawa sakti baru.
Memang kenyataannya bagi Rara Inten demikian. Setelah secara licin dan cerdik ia berhasil mengambil catatan ilmu sakti, yang terdapat di dalam Pedang Jati Sari. Karena tidak ingin rahasianya bocor dan diketahui oleh Jaka Pekik dan Kreti Windu, maka Rara Inten melatih diri secara diam-diam dan tergesa. Di Pulau Bewean itu, ia menyembunyikan Pedang Jati Ngarang dan Pedang Jati Sari yang sudah dipatahkan, di dalam sebuah gua. Setiap malam, setelah Jaka Pekik dan Kreti Windu tidur, secara hati-hati ia pergi menyingkir, kemudian melatih ilmu sakti yang didapat di dalam Pedang Jati Sari. Akan tetapi karena tergesa, maka tidaklah mungkin Rara Inten melatih sendiri ilmu yang tinggi nilainya. Karena ilmu kesaktian yang bertingkat tinggi, takkan dapat dilatih dalam waktu singkat. Rara Inten melatih diri hanya memilih yang gampang sehingga tanpa disadarinya. ia telah melatih ilmu sesat dan keji.
Ialah yang disebut Ilmu "Gruwak Setan". Sasaran terutama setiap menyerang, adalah tengkuk dan ubun-ubun, dengan cara digruwak atau dicengkeram.
Setiap ilmu kesaktian, taklah mungkin dapat dilatih secara sempurna dalam waktu singkat. Kenyataannya memang Rara Inten baru dapat menguasai kulit dari Ilmu 'Gruwak Setan" itu. tetapi belum betul betul menguasai isinya. Ilmu yang disebut kulit adalah gerakan-gerakan jasmani dalam ilmu tata kelahi. Sedang Isinya adalah melatih hawa dan tenaga sakti di dalam tubuh, yang menuntut waktu cukup lama. Karena tergesa-gesa dan belum memiliki dasar hawa dan tenaga sakti yang kuat inilah, maka begitu Rara Inten berhadapan dengan lawan tangguh. tenaga saktinya yang belum kuat itu tertindih oleh tenaga orang. Oleh sebab itu, setelah ia terkena oleh racun dingin dari Aji "Wisa Naga", perempuan ini menderita. Kebetulan bahwa pada saat Rara Inten menderita kedinginan yang sangat ini, Ratu Wandansari yang merasa kasihan berusaha menolong. Akan tetapi Ratu Wandansari tak berhasil menolong, malah dirinya sendiri hampir menjadi korban. Untung sekali Jaka Pekik-cepat bisa menolong. Saluran hawa sakit itu, membuat tubuhnya yang semula dingin terasa nyaman.
(Bersambung Jilid ke 3 )
Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 3
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
KALAU semula Rara inten yang curang berusaha mencelakakan Ratu Wandansari, sehingga tubuhnya seperti terlekat pada telapak tangan Ratu Wandansari. sekarang ternyata keadaan itu berbalik. Rara Inten berusaha melepaskan diri, akan tetapi ia tak bisa. Dari telapak tangan Ratu Wandansari terdapat tenaga yang menyedot kuat sekali dan tak terlawan
Jaka Pekik terus mengirimkan hawa sakti ke telapak tangan Ratu Wandansari, karena ia merasa masih ada tenaga perlawanan tenaga dingin yang keluar dari telapak tangan gadis itu. Jaka Pekik menduga, bahwa hawa dingin yang beracun itu belum terusir bersih. Pemuda Ini tidak pernah mimpi bahwa hawa dingin yang keluar itu, merupakan tenaga dingin dari Rara Inten, sebagai hasil latihannya dengan susah payah, melatih diri dalam tenaga sakti dari Ilmu "Gruwak Setan."
Sungguh menyedihkan, bahwa Rara Inten yang berusaha .melatih diri dengan susah payah, saat ini harus terusir sedikit demi sedikit oleh hawa sakti yang bersifat panas dari Jaka Pekik. Rara Inten mengeluh!
Namun bagaimanapun pula, Rara Inten_tidak berani bersuara dan membuka mulut. Karena sekali ia membuka mulut, akan segera muntah darah segar.
Masih untung bagi Rara Inten. bahwa sebelum tenaga sakti dingin yang dilatihnya dengan susah payah itu terusir habis, Ratu Wandansari sudah merasakan kesehatanrya pulih. Puteri Mataram ini tertawa merdu. katanya,
'Pekik. aku telah sembuh sekarang. Engkau tidak perlu sibuk memikirkan aku, dan bisa melayani dua orang itu dengan tenang."
Sudah tentu Jaka Pekik gembira sekali. Ia cepat menarik kembali hawa saktinya.
"Baiklah! Memang dua orang tua yang tak tahu diri itu harus dihajar!"
Begitu Jaka Pekik menghentikan aliran tenaga saktinya yang panas, Rara Inten merasa seperti bangkit dari lubang kubur. Setelah ia merasa bahwa tenaga yang menyedot lenyap, ia merasa pula bahwa racun dingin dari AJI Wisa Naga sudah terusir bersih dari tubuhnya. Akan tetapi yang membuat ia amat menyesal dan penasaran, tenaga sakti hasil latihannya selama ini dalam Ilmu 'Gruwak Setan" hampir habis. Perempuan ketua Perguruan Tuban ini mengamati Jaka Pekik yang tampan dan gagah perkasa itu, yang sekarang sedang memutarkan pedang Jati Ngarang melawan Patra Jaya dan Gupala. Menyaksikan pemuda Itu yang telah mencurahkan seluruh perhatian terhadap lawan. ia tersenyum dingin.
Mendadak saja, seperti kilat cepatnya, Rara Inten menggerakkan tangan kanannya. Lima jari tangan yang di renggangkan itu, secara tiba-tiba telah ditancapkan ke kepala Ratu Wandansari,
"Aduhhh...... krakkk! "
Suara mengaduh itu keluar dari mulut Ratu Wandansari yang kaget dan ketakutan. Sedang suara "krakkk" tadi adalah suara tulang yang patah. Tulang siapakah yang patah?
Kiranya tulang Jari-jari Rara Inten yang patah. Sambil melengking nyaring telah melompat kabur seperti terbang.
Ah, dasar perempuan yang curang. Rara Inten tidak pernah mengucapkan terima kasihnya atas pertolongan yang diberikan oleh Ratu Wandansari dan Jaka Pekik, malah sekarang membalas kebaikan itu dengan kejahatan. Maksudnya telah jelas. Rara Inten ingin membunuh Ratu Wandansari, dengan menggunakan Ilmu 'Gruwak Setan". Dari gerakannya tadi jelas sekali jari tangannya menancap ke batok kepala Ratu Wandansari, puteri Mataram ini tentu tewas saat itu juga.
Jaka Pekik yang sedang melawan Patra Jaya dan Gupala terkesiap. Ia memalingkan mukanya sambil bertanya.
"Gusti.....apa yang terjadi?"
Ratu Wandansari tidak menjawab. Gadis itu dengan tangannya yang gemetaran, sedang meraba-raba kepalanya sendiri.
Jaka Pekik amat kuatir. Ia cepat melompat mundur. sambil memutarkan pedangnya untuk mendekati dan Kemudian dengan menggunakan tangan kirinya. telah meraba-raba batok kepala Ratu Wandansari yang tertutup oleh rambut hitam dan panjang itu. Pemuda gagah itu merasa lega. Sebab walaupun jari tangannya menyentuh cairan yang bukan lain darah itu, namun Ia memperoleh kenyataan bahwa kepala gadis itu masih utuh dan tidak berlubang. Dengan lega pemuda ini menghibur,
'Gusti, tak perlu gelisah. Engkau hanya menderita luka di kulit. tetapi tidak menyebabkan apa-apa!"
Gagalnya serangan yang menggunakan Ilmu "Gruwak Setan" yang dilakukan Rara Inten itu adalah diluar dugaan Rara Inten sendiri. Bukannya jari tangannya bisa menancap ke batok kepala Ratu Wandansari tetapi tulang jari tangannya sendiri malah menjadi patah. Peristiwa itu bisa terjadi, karena tenaga sakti dalam tubuh Rara Inten sudah banyak berkurang Sedang di balik itu dalam tubuh Ratu Wandansari masih beredar hawa sakti dari Sabda Jati Ngesti Rahayu yang tadi disalurkan oleh Jaka Pekik. Hawa sakti dari Sabda Jati Ngesti Rahayu ini melakukan perlawanan, sehingga menyebabkan jari tangan Rara Inten patah.
Karena hatinya lega bahwa Puteri Mataram itu tidak menderita sesuatu, maka ia dapat melawan Patra Jaya dan Gupala dengan tenang. Namun bagaimanapun pula Jaka Pekik merasa, bahwa dengan bersenjata pedang pusaka ini sekalipun bisa menang, hatinya sendiri merasa tidak puas. Mendadak ia mendengar lagi suara beradunya senjata dari jarak yang tidak jauh, dan terdengar pula suara bentakan bentakan nyaring .Ia teringat bahwa Yoga Swara dan Madu Bala sedang Sibuk melawan musuh pula. Dan tiba tiba saja timbullah keinginannya untuk bertanya kepada Madu Bala dan Yoga Swara yang masih menghadapi lawan.
"Paman Swara dan paman Bala! Bagaimanakah keadaan kalian?"
Tampaknya Jaka Pekik hanya bicara perlahan saja, seperti sedang bicara dengan orang dalam jarak dekat. Akan tetapi karena di dalam bicara itu ia menggunakan seluruh tenaga sakti tingkat tinggi, maka suaranya itu dapat dikirimkan ke tempat yang cukup jauh. Maka baik Yoga Swara maupun Madu Bala yang sedang bertempur di tempat lain dapat mendengar dengan jelas.
Dari tempat yang tak begitu jauh. terdengar suara jawaban Madu Bala yang nyaring.
"Paduka raja tak perlu kuatir akan kami. Yang tiga sudah roboh, dan sekarang tinggal tujuh."
Mendengar jawaban Madu Bala yang disaluri tenaga Sakti kuat, Jaka Pekik menjadi lega.jelas sekali bahwa dua orang tokoh Gagak Rimang itu memang tidak perlu dikuatirkan keadaannya.
Karena Jaka Pekik merasa tidak enak hati harus melawan dua orang kakek itu, yang sekarang sudah tidak bersenjata lagi, ia segera menyerahkan pedang Jati Ngarang ke tangan Ratu Wandansari. Kalau ia tadi belum mau menyerahkan pedang itu kepada Wandansari, ada dua macam alasannya. Pertama, ia kuatir apabila pedang itu direbut oleh Rara Inten. Akan tetapi karena Rara Inten sekarang telah kabur. hal itu tidak perlu dikuatirkan lagi. Sedang yang ke dua, ia tadi menguatirkan keselamatan Madu Bala dan Yoga Swara. Apabila benar dua orang pembantunya itu dalam bahaya, ia akan menggunakan pedang Jati Ngarang itu untuk menghajar lawan. Lalu ia akan mengajak Ratu Wandansari untuk pergi menolong. Akan tetapi karena dua orang pembantunya itu tidak memerlukan bantuan, maka ia sekarang ingin melawan dua orang kakek ini dengan tangan kosong pula.
Bagi dirinya yang merasa bahwa kesaktiannya masih jauh di atas dua kakek itu, merasa percaya akan bisa melawan Patra Jaya dan Gupala tanpa kesulitan.
Dengan bertangan kosong ini, kemudian Jaka Pekik mulai menggunakan Ilmu Bajra Sayuto, ilmu sakti warisan Sunan Kudus. Ia langsung menggunakan ilmu tersebut tataran yang ketujuh. Perlu diketahui bahwa Ilmu Bajra Sayuto tataran yang ke tujuh ini, adalah yang paling sulit dan tidak boleh sembarangan digunakan. Sebab apabila sampai salah dalam menggunakan ilmu ini, akibatnya bisa mencelakakan orang itu sendiri, dapat membakar diri yang menggunakannya. Oleh sebab itu ketika ia menolong Ratu Wandansari maupun Rara Intan dengan bantuan hawa sakti, ia tidak berani menggunakan tenaga sakti dari Bajra Sayuta, tetapi menggunakan tenaga lain dari ilmu 'Sabda Jati Ngesti Rahayu", ilmu warisan dari Sunan Kalijaga. Tenaga sakti dari ilmu ini, sekalipun panas. tetapi tidak berbahaya.
Sekarang ia merasa berhadapan dengan dua orang kakek yang sakti mandraguna. sedang di samping itu mempunyai Aji Wisa Naga yang amat berbahaya. Mengingat itu ia tidak berani sembrono. Ia menggunakan Ilmu Bajra Sayuta tataran yang ke tujuh. Maksudnya jelas, bahwa dengan tenaga yang panas dari ilmu tersebut. ia dapat menekan hawa dingin dari dua orang kakek itu. Malah dengan ilmu tersebut, Jaka Pekik seperti bisa main sulap. Setiap pukulan lawan menyambar, ia dapat menggunakan tenaga ilmu tersebut. untuk memindahkan pukulan orang ke lain sasaran.
Ketika itu justeru Gupala sedang memukul ke arah dirinya dengan angin yang menyambar dahsyat. Jaka Pekik dengan tenang mengendalikan tenaga Ilmu Bajra Sayuta, sehingga secara tak terduga pukulan Gupala itu menyeleweng ke arah lain, memukul pundak Patra Jaya,
"Plakk !"
Sudah tentu Patra Jaya terkejut setengah mati,
"Pala ! Mengapa engkau memukul aku? !"
Celakanya Gupala seorang yang wataknya jujur, tetapi otaknya bebal. Maka kakek ini selalu tidak dapat berpikir secara cepat, apabila berhadapan dengan sesuatu yang menggunakan akal dan otak. Setiap berhadapan dengan sesuatu, ia harus berpikir cukup lama. Dalam menghadapi peristiwa yang baru terjadi inipun ia tak capat bisa menangkap apa artinya, malah ia menjadi bingung sendiri. Sesungguhnya ia memang bisa menduga apa yang telah terjadi, bahwa lawan telah membuat pukulannya mengenakan Patra Jaya. Akan tetapi untuk memberikan penjelasan, ia merasa kesulitan. Menurut pendapatnya, biarlah ia tidak perlu memberi penjelasan. hanya segera menggunakan segenap kepandaiannya untuk menyerang lawan secara hebat. Ia bermaksud, bahwa dengan perbuatannya ini, kakaknya akan bisa memberikan maaf atas pukulannya tadi.
Berpikir demikian. ia cepat berbuat. Kakinya bergerak, menggunakan seluruh kekuatan dan tenaganya untuk menendang pemuda perkasa itu. Akan tetapi tendangannya itu, disambut oleh kibasan tangan kirinya. Akibatnya tendangan Gupala itu menyeleweng dan menyambar ke arah bawah pusar Patra Jaya. Tendangan itu membuat Patra Jaya kaget sekali. Sebab bagi tubuh manusia, pusar merupakan anggauta tubuh yang amat penting kedudukannya. Dari pusar inilah manusia bisa mengerahkan hawa sakti dan hawa murninya, sehingga dapat diri seseorang menjadi sakti mandraguna. Untung sekali Patra Jaya cepat dapat menghindarkan diri sambil membentak,
"Pala! Benarkah engkau sudah menjadi gila?!"
Sebelum Gupala yang otaknya bebal itu sempat menyahut. Ratu Wandansari yang cerdik itu sudah dapat menangkap apa yang terjadi saat sekarang ini. Bahwa Jaka Pekik telah menggunakan ilmunya memindahkan pukulan ke sasaran lain. Berkat kecerdikannya ini, maka Ratu Wandansari segera membantu Jaka Pekik. Ia menggunakan kesempatan ini, untuk mengadu domba dan memecah kerukunan kakak beradik itu.
"Bagus, kakek Gupala! Engkau memang seribu kali lebih jujur dari kakakmu! Hayo bekuklah kakek Patra Jaya, kakek yang tak tahu malu, berdaya besar dan cabul itu! Hi-hik, kakek mata keranjang itu harus engkau bekuk dan engkau ha jar. Untuk jasamu. akan aku sampaikan kepada kangmas Sultan Agung. Beliau tentu akan memberi hadiah yang besar kepadamu!"
Mendengar kata-kata Ratu Wandansari itu, diam diam Jaka Pekik geli sendiri. Semula ia tidak ingin menggunakan Ilmu Bajra Sayuta ini untuk mengadu domba dan memecah kerukunan dua kakek itu. Ia memang seorang pemuda jujur, maka ia tadi sudah bersiap diri untuk menuntun pukulan Patra Jaya, yang akan diselewengkan ke arah Gupala. Akan tetapi setelah ia mendengar kata-kata Ratu Wandansari dan mengerti akan maksudnya, ia cepat membatalkan niatnya. Sekarang ia hanya akan menuntun pukulan Gupala ke arah Patra Jaya, sebaliknya setiap pukulan Patra Jaya menyambar, segera ia tangkis dengan kibasan tangan.
Diam-diam ia amat memuji kecerdikan Puteri Mataram ini, yang dengan cepat selalu dapat menangkap sesuatu persoalan yang dihadapi, di samping pula selalu pandai memecahkan sesuatu permainan yang masih gelap. Ia merasa telah puluhan kali Puteri Mataram ini membantu dirinya memecahkan persoalan yang dihadapi, disamping meluruskan menjadi jelas dan gamblang. Oleh sebab itu teriaknya membantu,
"Paman Gupala, engkau tidak perlu kuatir! Kita bisa kerjasama, dan pasti berhasil membekuk manusia jahat Patra Jaya ini. yang telah berani kurang ajar kepada Ingkang Sinuhun Sultan Agung. Kemudian apabila engkau dapat menunjukkan jasamu, aku percaya bahwa Ingkang Sinuhun Sultan Agung, akan mengangkatmu sebagai....."
"Benar. Engkau bakal menduduki jabatan yang cukup tinggi di Mataram!" sahut Ratu Wandansari, sambil mengeluarkan segulung sutera putih dari dalam bajunya. Kemudian ia mengibas ngibaskan benda tersebut. supaya dapat dilihat oleh dua orang kakek itu secara jelas.
"Lihatlah benda yang kupegang ini! Inilah firman Raja Mataram, kangmas Sultan Agung. Engkau telah diangkat sebagai Senopati dengan sebutan Raden Mas 'Tumenggung. Tetapi semua itu baru akan dilaksanakan, setelah engkau berhasil membekuk kakek cabul Patra Jaya itu, yang telah berani kurang ajar, menculik seorang selir Raja Mataram! "
Tepat pada saat itu. Jaka Pekik menolak pukulan Patra Jaya, yang membuat kakek itu terhuyung. Berbareng dengan itu, Gupala justeru menyerang, yang cepat diselewengkan Jaka Pekik ke arah Patra Jaya. Akibatnya kakek Patra Jaya sekarang, tergencet oleh dua pukulan yang menyambar dari kiri dan kanan.
Sungguh-sungguh Patra Jaya menjadi amat marah dan penasaran sekali atas tingkah laku Gupala yang tiba tiba memusuhi dirinya. pada saat ia sedang berhadapan dengan Jaka Pekik yang sakti mandraguna. Mimpipun tidak bahwa adik angkatnya ini, yang selama puluhan tahun selalu rukun dan sehidup semati, melebihi cinta kasih saudara kandung, sekarang berani berkhianat. Namun karena kasihnya kepada Gupala ini, ia tadi tidak mau cepat percaya. Tadi ia hanya menduga bahwa Gupala memukul dirinya secara tidak sadar. Akan tetapi setelah ia menerima pukulan Gupala lima kali berturut turut, sulitlah bagi dirinya untuk tidak percaya akan pengkhianatan Gupala. Sebab pukulan-pukulan Gupala itu bukanlah pukulan biasa, melainkan pukulan-pukulan yang bisa membahayakan keselamatannya. Akibatnya, sekarang. meledaklah kemarahan Patra Jaya. Teriaknya nyaring,
"Kurang ajar engkau, Gupala! Engkau binatang! Karena silau akan pangkat dan kemuliaan. engkau mabuk dan lupa kepada kakakmu sendiri! Huh-huh....!"
"Aku...... aku......" Gupala yang bingung menjadi gugup. ia tidak bisa mengucapkan pembelaannya.
Ratu Wandaniari yang cerdik itu cepat membakar hati Patra Jaya,
"Tak perlu engkau perduli, kakek Gupala. Katakan saja, bahwa engkau bosan hidup bertualang. Engkau lebih suka disebut Raden Mas Tumenggung hidup mulia di Mataram. Sesudah engkau sebagai Senopati Mataram engkau bakal memperoleh hadiah puteri cantik jelita. Siapakah yang tidak ingin hidup mulia dan di sampingnya seorang puteri cantik jelita, dan kemudian hari memperoleh putera yang tampan serta puteri yang cantik jelita !? '
Ketika Ratu Wandansari masih bicara membakar kemarahan Patra Jaya itu, diam-diam Jaka Pekik telah mengerahkan sepuluh bagian tenaga saktinya. Begitu pukulan Gupala itu datang menyambar, ia menuntun pukulan Gupala itu ke arah Patra Jaya.
"Plakk!" Tak ampun lagi pundak Patra Jaja terpukul secara tepat. Pukulan itu keras sekali, sehingga Patra Jaya merasakan kesakitan cukup hebat. Karena telah enam kali secara terang terangan Gupala memukul dirinya, dan ternyata Gupala lebih memberatkan jabatan sebagai Senopati dari pada meneruskan kerja sama dengan dirinya, maka kakek Patra Jaya ini menjadi kalap. Mengarahkan tenaga saktinya, ia membalas memukul Gupala.
"Plakk!" pukulan Patra Jaya itu diterima oleh rahang Gupala. Akibatnya hebat. Rahang itu seketika membengkak besar sekali, sedang gigi yang tinggal beberapa biji itu, rontok semuanya bersama dengan darah merah yang keluar dari mulutnya. Gupala merasakan kesakitan hebat, di samping merasa menyesal sekali, bahwa giginya telah rontok semuanya. Sebagai seorang kakek, gigi yang tinggal beberapa biji itu amat disayang. Sebab tanpa gigi akan memperoleh kesulitan setiap makan. Karena merasa sakit dan rasa sesal giginya rontok, Gupala menjadi marah dan penasaran.
"Kakang! Engkau sanggup berbuat sekejam ini kepadaku? Uh-uh, semua pukulanku tadi tidak aku sengaja !" Gupala membela diri. Akan tetapi karena bibirnya membengkak, suaranya tidak begitu jelas, dan dari mulutnya masih tetap menetes darah merah.
"Huh-huh, omong kosong!" bentak Patra Jaya mendelik marah sekali.
Perlu kiranya diketahui, bahwa sekalipun dua orang kakek ini merupakan orang orang sakti mandraguna yang luas pengalaman, tetapi tidak mengenal Ilmu Bajra Sayuta yang dapat memindahkan pukulan itu. Memang sesungguhnya, dalam bidang tata kelahi, Orang mengenal akan Ilmu "Meminjam Tenaga Untuk Memukul Balik" dan "Yang Kosong Melawan Yang Isi". Namun sebagai orang yang sudah mencapai tataran tinggi seperti Patra Jaya dan Gupala, tidaklah mungkin bisa terpengaruh oleh ilmu semacam itu. Maka tidaklah mengherankan, apabila Patra Jaya tidak pernah mimpi, berhadapan dengan lawan yang bisa mengalihkan pukulan. Ia hanya mempunyai satu anggapan, bahwa Gupala telah memukul dirinya secara sengaja. karena silau oleh pangkat yang di janjikan oleh Raja Mataram. Padahal, apa yang dikatakan Ratu Wandansari tadi hanyalah kosong belaka. Ia tidak membawa firman Raja Mataram, dan Gupala tidak pernah memperoleh perhatian khusus dari Sultan Agung.
Kalau kakek Patra Jaya maupun Gupala tidak mengenal Ilmu Bajra Sayuta ini, memang tidaklah mengherankan. Ilmu ini merupakan warisan dari Sunan Kudus. Dan ilmu ini merupakan ilmu rahasia, yang hanya diketahui dan dipelajari oleh seorang yang menjabat Raja Gagak Rimang. sebagai penerus api perjuangan Raden Harya Penangsang, yang dengan gigih melawan Mataram, Karena ilmu ini hanya khusus untuk Raja. Maka sekalipun Yoga Swara dan Madu Bala sebagai tokoh Gagak Rimang, mereka tidak memperoleh kesempatan belajar ilmu ini secara penuh. Pada umumnya tokoh-tokoh Gagak Rimang hanya memperoleh pelajaran ilmu ini sampai pada tingkat tiga, dan pelajaran itupun tidak langsung, melainkan atas kebaikan orang yang menjabat sebagai raja.
Ilmu Bajra Sayuta, bukanlah ilmu yang umum dipelajari orang. Pada hal, sebelum Jaka Pekik diangkat sebagai Raja Gagak Rimang, orang yang lebih dahulu menjabat sebagai Raja Gagak Rimang tidak pernah pergi meninggalkan markasnya di Arjuna, dan tidak pernah berkelahi. Maka tidaklah mengherankan apabila Ilmu Bajra Sayuta ini tidak pernah dikenal orang. Dan lebih dari itu, Jaka Pekik sekarang ini menggunakan Ilmu Bajra Sayuta tataran yang ke tujuh. Maka hebatnya tidak terkira, tetapi lawan makin tak bisa mengenal gerakan gerakannya. Akan tetapi sekalipun demikian, diam-diam Gupala bisa menduga apa yang terjadi. Bahwa kiranya pukulan-pukulannya yang menyeleweng dan mengenakan Patra Jaya, adalah oleh perbuatan Jaka Pekik ini. Begitu menduga. kakek ini segera mencaci maki, ditujukan kepada Jaka Pekik,
"Setan kecil! Engkau memang bangsat kurang ajar"
Di luar tahu Gupala bahwa makiannya ini merupakan perangkap bagi dirinya. Sebab Ratu Wandansari yang sangat cemerlang otaknya itu, dengan cepat sudah dapat mengalihkan maksud orang. Teriaknya,
"Hi -hik benar! Dia memang setan. Maka tidak perlu lagi engkau mengakui sebagai saudara tua, dan memanggil kakang ! "
Pada saat Ratu Wandansari memutarbalikkan memaki Gupala, ketika itu Jaka Pekik justeru menuntun pukulan Gupala ke arah pipi Patra Jaya.
'Plakk !" pukulan itu cukup keras, sehingga dengan mendadak, pipi tua yang terpukul itu bengkak mendadak.
Sudah tentu Patra Jaya makin meledak kemarahannya. Ia beranggapan, bahwa Gupala telah membalas pukulannya tadi. yang membuat semua gigi Gupala rontok. Karena merasa bahwa sekarang ini Gupala telah memusuhi dirinya terang-terangan, maka kakek ini sekarang mengalihkan perhatian dan pukulannya kepada Gupala.
Melihat kekalapan Patra Jaya ini. Ratu Wandansari berkata kepada Jaka Pekik.
"Pekik. Biarlah mereka menyelesaikan urusannya sendiri. marilah kita sekarang menuju ke sana, membantu paman Yoga Swara dan Madu Bala. Kiranya mereka sibuk melawan musuh."
Untuk sesaat Jaka Pekik memperhatikan dua orang yang kini berkelahi sendiri. Melihat bahwa sekarang Patra Jaya telah kalap, ia cepat berkata,
"Kakek Gupala! Kuserahkan kepadamu kakek cabul itu untuk kaubekuk. Setelah berhasil, serahkanlah kepada Gusti Wandansari, untuk memperoleh pengadilan di Mataram."
Begitu seleeai berkata, Jaka Pekik telah melompat ke luar dari gelanggang pertempuran. Kemudian bersama Ratu Wandansari pergi membantu Yoga Swara.
Dua orang kakek itu tidak perduli Jaka Pekik dan Ratu Wandansari pergi. Mereka terus bertempur sengit dan mengerahkan kepandaian dan tenaga. Karena dua kakek itu masing-masing berkelahi dengan kalap. maka tidak lama kemudian, dua-duanya terhuyung roboh dengan menderita luka cukup parah. Pada kesempatan ini Gupala bermaksud membela diri dan memberikan keterangan mengapa sebabnya pukulannya tadi mengenakan kakaknya. Katanya,
"Kakang, mengapa engkau jadi begini? Aku tidak sengaja memukul engkau. Semua yang terjadi. adalah akibat perbuatan licik bocah itu......!"
' Apa?" bentak Patra Jaya mendelik.
'Engkau mencoba membersihkan diri dan mencari kambing hitam? Engkau akan menggunakan alasan bocah itu menggunakan ilmu meminjam tenaga! Menggelikan. Bocah itu tak mungkin bisa mempermainkan kita dengan segala macam ilmu itu. Huh-huh, engkau memang manusia tamak. Begitu memperoleh sebutan Tumenggung dan memperoleh jabatan Senopati, engkau menjadi mabuk dan lupa kepada saudara sendiri." .
"Tidak kakang . aku tidak mempunyai maksud jahat kepadamu. Tidak aku tidak begitu "
"Tak usah banyak mulut. Engkau memang manusia jahat dan lebih jahat daripada binatang. Engkau tak pandai membalas budi. Nih, terimalah pukulanku!"
Patra Jaya mengerahkan sisa-sisa tenaganya, melompat dan memukul. Gupala tidak mau begitu aja menyerah untuk dipukul. Ia merasa dirinya tidak bersalah, maka sedapat bisa harus menangkis.
Plakk........ dan dua orang kakek itu masing-masing roboh sambil muntah darah segar. Mereka terluka parah.
Karena pukulan Patra Jaya ini membuat dirinya menderita luka parah. Gupala meledak kemarahannya. Ia merasa tak bersalah, akan tetapi Patra Jaya telah menyiksa dirinya sedemikian rupa. Apalagi teringat akan rontoknya gigi yang disayang itu ia menjadi sangat menyesal. Maka kedua kakek ini setelah masing-masing beristirahat memulihkan tenaganya. kemudian bertempur lagi. Kemudian sesudah masing-masing menjadi payah dan tak dapat bertempur lagi, dua orang kakek itu pergi sambil merangkak-rangkak. Dari dua orang yang semula selalu rukun itu, kemudian merupakan musuh bebuyutan.
Biarlah Patra Jaya dan Gapala menempuh jalannya masing-masing. Marilah kita ikuti Jaka Pekik dan Ratu Wandansari yang akan membantu Yoga Swara dan kawan-kawannya. Bagi dua orang ini tidaklah sulit untuk mencari di mana Yoga Swara dan kawan-kawannya bertempur. Dengan memperhatikan suara senjata yang berada dan bentakan-bentakan nyaring itu Jaka Pekik dan Ratu Wandansari dituntun ke tempat pertempuran yang berlangsung.
Di atas tanah sudah menggeletak lima mayat. Ketika itu Yoga Swara sedang bertempur melayani tiga orang, sedang Madu Bala dan Gumbreg masing masing melawan seorang lawan. Di antara lima orang lawan itu, yang paling sakti mandraguna adalah musuh yang dihadapi oleh Madu Bala. Buktinya sekalipun Madu Bala itu merupakan tokoh Gagak Rimang yang sakti mandraguna, luas pengalaman dan memiliki ilmu kepandaian tata kelahi yang aneka macam, nyatanya ia hanya lebih unggul sedikit dan tak dapat berbuat lebih banyak. Meskipun demikian Jaka Pekik tidak cepat turun tangan dan terjun ke dalam gelanggang, melainkan ia bersama Ratu Wandansari berdiri menonton penuh perhatian dengan hati yang tertarik.
Pertempuran itu cukup sengit. dan bagi Jaka Pekik pertempuran itu merupakan tontonan yang amat menarik. Setelah beberapa lama mereka bertempur dengan sengit.
Yoga Swara telah berhasil merobohkan lagi seorang lawan, sehingga musuh yang dihadapinya sekarang ini tinggal dua orang saja. Dua orang yang masih hidup agaknya menjadi jeri dan ketakutan. Maka dua orang tersebut kemudian melarikan diri secepat terbang. Gerakan dua orang ini ditiru oleh orang yang bertempur melawan Gumbreg. Akan tetapi Gumbreg tidak mau begitu saja melepaskan lawan itu. Dengan gerak yang cepat, tangan Gumbreg mengambil senjata rahasianya yang berujut paku beracun. Hanya terdengar teriakan ngeri satu kali ke luar dari mulut orang itu, lalu orang tersebut roboh dan tewas saat itu juga.
Sekarang yang masih bertempur tinggal Madu Bala dengan seorang lawan yang sakti mandraguna itu. Orang tersebut dengan mengerahkan seluruh kepandaian terus melayani serangan-serangan Madu Bala.
"Menurut penilaianku, engkau seorang gagah yang menakyubkan," kata Madu Bala sungguh-sungguh.
'Aku anjurkan kepadamu, agar lebih baik engkau bersama kami, sebagai pejuang-pejuang yang gagah perkasa,"
"Hemm," orang itu mendengus dingin.
"dengan ucapanmu tadi, bukankah sama dengan aku bertekuk lutut menakluk? Dan kalau takluk, benarkah dapat disebut seorang gagah ?" '
"Hebat! Engkau memang patut dipuji!" sahut Jaka Pekik seraya maju ke depan dan menyabetkan pedang Jati Ngarang beberapa kali. Berbareng dengan sabetan sabetan itu, di udara telah beterbangan robekan kain ikat kepala dan rambut yang sudah bercampur uban.
"Paman Bala, bebaskan dia!" Jaka Pekik berkata sambil tersenyum, dan telah menyimpan pedangnya kembali.
orang itu secara mendadak merasakan sesuatu yang dingin mengusap kepalanya, dan mukanya. Mendadak saja. ia berdiri terpaku seperti patung dengan mulut ternganga. Tanpa terasa dan disadari, sekarang jenggotnya telah habis, sedang ikat kepala dan sebagian rambutnya sudah tiada lagi. Ia menjadi sadar, apabila lawan menghendaki. nyawanya tak mungkin bisa dipertahankan. Sebab tentunya lebih gampang memancung lehernya daripada mencukur jenggot dan rambutnya. Sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti tetapi berhati emas. ia cepat membungkuk memberikan hormatnya ke arah Jaka Pekik. Katanya perlahan.
'Karena terbukti aku tak bisa apa-apa berhadapan dengan kisanak, maka aku mohon agar suka membunuh nyawaku yang tak berharga ini!"
Dengan kata-katanya ini membuktikan, bahwa ia seorang yang gagah tak takut mati. disamping tidak sudi takluk kepada orang. Kalau ia seorang prajurit, maka orang ini merupakan perajurit teladan yang pantas menjadi suri tauladan bagi perajurit yang lain, bahwa dalam menjalankan tugasnya tidak sudi merendahkan diri kepada lawan. Ia tidak mau meratap dan menyatakan takluk, melainkan malah minta supaya dibunuh saja.
Sudah tentu Jaka Pekik tertarik dan dalam hatinya memuji akan kegagahan dan kejantanan orang ini. Maka pemuda ini tertawa. kemudian katanya,
"Bagus. engkau memang terpuji. Sekarang silahkan engkau pergi !'
Orang itu memandang Jaka Pekik sementara saat. Kemudian ia membungkukkan tubuhnya lagi sebagai penghormatan, tetapi tidak membuka mulut. Sesudah itu ia membalikkan tubuhnya, dan pergi meninggalkan tempat itu dengan gerakannya yang Cepat.
"Gusti," tanya Jaka Pekik kepada Ratu Wandansari.
"Tahukah engkau siapakah mereka tadi?'
'Mereka itu adalah perajurit-perajurit pilihan, perajurit Tamtama Mataram." Ratu Wandansari menerangkan,
' Mereka tadi merupakan perajurit perajurit gagah perkasa bagi Mataram."
"Mengapa aku belum pernah kenal?" Madu Bala merasa heran, mendengar keterangan Ratu Wandansari.
"Tidak aneh, guru !" sahut Ratu Wandansari. Puteri ini sudah terlalu biasa memanggil Madu Bala "guru". Kenyataannya memang demikian. Ketika Madu Bala masih menyamar dan mengabdikan diri di Mataram dengan menggunakan nama Dukut, memang kedudukannya sebagai guru Ratu Wandansari dalam hal ilmu tata kelahi. Madu Bala dipilih oleh Ratu Wandansari sebagai guru. karena di samping amat cerdik, Juga luas pengalaman dan pengetahuannya. Madu Bala hampir menguasai seluruh ilmu tata kelahi dari beberapa macam aliran. Berkat bimbingan Madu Bala ini, maka sekalipun puteri bangsawan Mataram, Ratu Wandansari yang masih muda itu termasuk wanita muda yang telah menguasai berbagai macam ilmu tata kelahi dari berbagai macam perguruan. Karena telah terlalu biasa kepada Madu Bala memanggil guru itu, maka sekalipun Madu Bala sudah bukan hamba Mataram, Ratu Wandansari masih tetap memanggil guru.
'Orang-orang tadi tidak pernah muncul, karena hampir seluruh waktu dihabiskan dimedan perang. Orang yang dicukur jenggotnya oleh Pekik tadi, adalah Ki Bahureksa!"
'Ahhh!" semua berseru tertahan mendengar nama itu. Nama Ki Bahureksa justeru amat terkenal bagi para prajurit yang melawan Mataram. Karena Bahureksa ini yang banyak bergerak menaklukkan para Bupati dan Adipati. Telah agak lama nama itu tidak didengar orang, karena Ki Bahureksa bertugas di Wilayah barat.
Setelah semua musuh pergi, Jaka Pekik teringat kepada Ratu Wandansari yang tadi hampir menjadi korban keganasan Rara Inten. Maka ia segera mengajak semua orang untuk kembali ke Pondok Bligo. Begitu tiba di kemah Gagak Rimang, pemuda ini segera memeriksa kepala Ratu Wandansari. Untung sekali bahwa luka itu tidak berbahaya, maka Jaka Pekik menjadi gembira. Cepat-ccpat kepala yang terluka itu dibubuhi obat.
Tetapi tiba-tiba Jaka Pekik teringat akan benda putih yang tadi dipergunakan untuk mengadu-domba antara Gupala dan Patra Jaya.
"Gusti, aku sampai tidak mengerti, mengapa secara tiba-tiba engkau dapat menunjukkan firman Ingkang Sinuhun Sultan Agung pada sutera putih itu?"
Ratu Wandansari' tertawa merdu. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. kemudian mengeluarkan gulungan sutera putih. yang kemudian dikibas-kibaskan di depan muka pemuda itu sambil berteka-teki,
" Hayo tebaklah. Apakah ini sebenarnya?"
Jaka Pekik tertawa. Sahutnya,
"Dalam hal kecerdikan. engkau lebih, cerdik seribu kali dibanding aku. Ha-haha, manakah mungkin' aku bisa menebak setiap engkau mengajukan teka-teki?"
Puteri Mataram itu hanya tersenyum manis sekali. Kemudian dua gulung sutera putih itu dipecah menjadi dua dan diletakkan' di atas telapak tangan kanan dan kiri. Jaka Pekik mengamati penuh perhatian. Kain sutera itu putih bersih dan amat tipis. Tetapi di tiap lembaran kain sutera itu. terdapat huruf-huruf yang tertulis rapi sekali di samping juga amat indah. Karena tertarik, tak tercegah lagi tangannya bergerak memungut_ benda tersebut dari telapak tangan Ratu Wandansari. Kemudian mata pemuda ini terbelalak hampir tidak percaya. Apa yang dilihat oleh pemuda ini?
Ternyata sutera putih itu, tertulis -SANDI YUDA-, pada lembaran sutera yang paling luar. Ketika ia mengambil gulungan sutera yang lain dari tangan Ratu Wandansari. di bagian paling luar tertulis, SAKTI MANDRAGUNA.
Lembaran sutera putih yang bagian luarnya tertulis huruf kecil indah, SANDI YUDA itu, ternyata berisi taktik dan ilmu perang terbuka. Diuraikan secara teliti bagi seorang Panglima yang memimpin pasukan apabila berhadapan dengan musuh. Baik Panglima itu dengan pasukan yang kuat dan jumlahnya banyak, maupun dengan pasukan yang kecil harus melawan musuh yang jumlahnya besar dan kuat. Taktik dan ilmu perang terbuka ini, merupakan peninggalan Raden Wijaya (Raja Majapahit yang pertama) berdasar pada pengalamannya, semenjak ia masih sebagai Panglima Kediri, sampai kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama. Di dalam catatan itu diceritakan pula pengalaman Raden Wijaya ketika menjebak utusan Kaisar Khubilai Khan, sehingga pasukan yang besar itu dapat dihancurkan olah pasukan Majapahit yang kecil jumlahnya.
Sedang sutera putih yang berisi ilmu kesaktian. dan di bagian luarnya tertulis SAKTI MANDRAGUNA, isinya ilmu kesaktian, dari bermacam-macam aliran ilmu tata kelahi tingkat tinggi, baik yang sifatnya bersih maupun sesat. Ilmu ini ditulis oleh Ki Ageng Selokaton. guru Ronggolawe. Ki Ageng Selokaton inilah yang menciptakan pedang kembar Jati Ngarang dan Jati Sari yang menyimpan dua macam catatan penting itu di dalamnya. Karena Perguruan Tuban sekarang ini merupakan penerus Ronggolawe sebagai pendiri perguruan, maka yang tahu jelas tentang rahasia itu, hanyalah terbatas kepada seorang. ialah yang menjabat sebagai ketua. Rahasia ini dibisikkan turun temurun dari masing-masing ketua kepada penggantinya. Dan Rara Inten menerima bisikan rahasia ini dari Nenek Anjani, ketika ketua Perguruan Tuban yang tua ini menghadapi akhir hayatnya.
Demikianlah, begitu memperhatikan catatan yang terdapat pada gulungan sutera ini, berdebarlah jantung Jaka Pekik. Tanyanya agak gugup,
"Dari...... dari manakah Gusti Wandansari memperoleh catatan ini....?"
Ratu Wandansari tersenyum manis sekali. Kemudian ia menerangkan,
"Tadi ketika aku memondong Rara Inten dan tidak bisa melepaskan diri, aku menggunakan kesempatan baik, untuk mengambil catatan-catatan ini dari dalam saku Rara Inten. Tetapi .. ahh, tetapi.. ... ilmu kesaktian ini amat jahat dan sesat, serta amat berbahaya."... Maka kiranya lebih tepat apabila ilmu kesaktian ini dimusnahkan, agar dunia ini tidak dikacaukan oleh ilmu kesaktian iblis yang mengganggu kesejahteraan umat manusia . . . . .. "
Jaka Pekik mengangguk-angguk sambil membalikbalik lembaran sutera yang berisi ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktian tingkat tinggi itu. Begitu membaca dan meneliti, ia segera memperoleh kenyataan, bahwa isi catatan itu memang amat dalam dan tinggi, sehingga bagi seseorang tidaklah mungkin dapat mempelajari dan melatih dalam waktu singkat. Ilmu itu menurut penilaian Jaka Pekik termasuk ilmu yang amat tinggi nilainya. Sejajar dengan ilmu warisan Sunan Kudus yang bernama Bajra Sayuta, dan ilmu warisan Sunan Kalijaga yang bernama Sabda Jati Ngesti Rahayu. Di mana dua macam Ilmu ini telah dikuasai oleh Jaka Pekik. Hanya pada Catatan yang paling belakang saja terdapat ilmu yang nilainya rendah, sesat dan beracun. Setelah ia meneliti penuh perhatian, katanya,
"Gusti, engkau salah ,menilai."
Ratu Wandansari mengangkat mukanya yang cantik itu dan memandang Jaka Pekik.
"Tetapi, bukti sudah ada. Rara Inten yang mempelajari ilmu dari catatan ini, telah berubah menjadi seorang perempuan yang ganas dan berbahaya. Pukulan-pukulannya mengandung racun......."
"Hemm, itu memang ada sebabnya." Jaka Pekik berusaha memberi penjelasan.
"Ketahuilah. bahwa setiap ilmu yang nilainya amat tinggi, tidak gampang dipelajari dan dilatih seseorang. Ilmu yang tinggi nilainya ini, kalau dipelajari dan dilatih menurut peraturan, orang membutuhkan waktu. sedikitnya sepuluh tahun. Akan tetapi apabila seseorang dapat melatih ilmu ini sampai matang dan mendarah daging di dalam tubuhnya, orang itu akan menjelma sebagai manusia sakti pilih tanding. Tetapi sebaliknya apabila orang mempelajari secara tergesa-gesa dan ingin memperoleh hasil secara cepat, hal itu akan menyebabkan orang tersebut hanya memperoleh kulitnya. Sedang isinya belum berhaSil disentuh sedikitpun. orang akan menjadi tersesat, karena ilmunya itu sifatnya menjadi jahat. Hemm. mengingat bahwa ilmu-ilmu yang tinggi nilainya ini memerlukan waktu yang amat lama, maka Rara Inten memilih ilmu yang gampang dipelajari dan menghasilkan di waktu singkat. Itulah sebabnya hasil yang diperoleh Rara Inten ganas dan beracun. Ilmu yang demikian memang berbahaya."
Ratu Wandansari mengangguk-angguk. Dan sambil memegang sutera catatan ini, Jaka Pekik menjadi lebih jelas lagi. Mengapa sebabnya pedang Jati Sari maupun Jati Ngarang yang patah itu tengahnya berlubang, sedang pedang itu tebal dan berat. Dengan kenyataan ini makin jelas bagi pemuda ini, mengapa telah puluhan tahun lamanya, dua batang pedang itu telah menjadi rebutan orang-orang sakti mandraguna. Malah sebabnya Kreti Windu ayah angkatnya itu, harus menderita buta kedua matanya, kemudian bersembunyi di Pulau Sawu, bukan lain dalam usahanya mempertahankan pedang Jati Ngarang. Agar orang tidak bisa merebut dari tangannya, ayah angkatnya itu selama bersembunyi selalu berusaha memecahkan rahasia pedang Jati Ngarang. Akan tetapi sekalipun cerdik, Kreti Windu tak Juga bisa menemukan kuncinya. Tetapi sebaliknya, Rara Inten yang sudah tahu rahasianya itu, dengan gampang bisa memecahkan rahasianya. Begitu dua batang pedang itu saling dibacokkan, pedang itu menjadi patah, dan isi di dalamnya bisa diambil.
Demikianlah, karena waktu sudah larut malam, dan menurut hasil dari penyelidik musuh tiada tanda-tanda bergerak diwaktu malam. maka mereka kemudian masuk tidur melepaskan lelah.
Keesokan paginya, masih pagi pagi benar Jaka Pekik telah memanjat pohon tinggi. Dari tempat yang tinggi itu, kemudian Jaka Pekik dapat melihat keadaan musuh. Ia agak terkejut menyaksikan keadaan musuh itu. Dari kaadaan lawan maupun gerak-geriknya, ia bisa menduga bahwa musuh telah memperoleh bala bantuan. Hari ini jelas akan melakukan penyerbuan lagi. Melihat itu mau tidak mau Jaka Pekik kuatir Juga. Mereka semua terkurung sedang jumlahnya juga tidak banyak. Apabila terjadi pertempuran, tentu menuntut sikap yang teliti, hati. hati dan pengerahan tenaga.
"Gusti Wandansari......" panggil Jaka Pekik perlahan, ketika melihat Puteri Mataram itu berdiri di bawah pohon, seakan menunggunya.
"Hemmm. ada apa panggil-panggil? " sahut gadis itu sambil tersenyum manis.
"Ohh . lupa lagi yang akan aku tanyakan ' kata Jaka Pekik agak tersipu. Ia tadi memang ingin minta pendapat dan pikiran gadis yang cerdik ini, bagaimanakah caranya melawan dan memukul musuh yang akan menyerbu. Tetapi untung, bahwa sebelum bertanya, ia teringat siapakah Ratu Wandansari itu. Dia seorang puteri Mataram, yang sesungguhnya seorang musuh pula. Mengapa harus diminta pikiran dan pendapatnya untuk memukul dan mengundurkannya? Siapa tahu gadis cantik ini malah memberi nasehat yang merugikan perjuangan.
Tetapi Ratu Wandansari memang seorang yang amat cerdik, dan bisa menduga pikiran orang dengan keadaan wajah maupun gerak-geriknya. Jaka Pekik tadi baru saja turun mengadakan penyelidikan dari atas pohon yang tinggi. Sudah tentu Ratu Wandansari tahu apa yang terkandung di dalam dada pemuda ini. Ia bisa membaca maksud orang. Sesungguhnya dalam hati ia ingin tertawa, mentertawakan pemuda ini, dan seluruh pejuang di Pondok Bligo ini. Karena mereka terlalu Jujur dan percaya kepada Jaka Pekik maka kehadirannya di tempat ini, tidak seorangpun menaruh curiga. Padahal kenyataannya. kehadirannya di samping Jaka Pekik ini, memikul tugas demi kejayaan Mataram. Dan sebagai petugas rahasia sudah tentu Ratu Wandansari selalu bertindak hati -hati dan tertib, agar kepercayaan orang tidak berkurang. Kepada Jaka Pekik ia menyatakan, bahwa dirinya telah diusir dari Mataram oleh Sultan Agung. Dan sebabnya bukan lain hubungannya yang terlalu rapat dengan pemuda itu. Karena diusir, maka puteri ini tidak berani pulang dan mengembara.
Sadar akan tugas sebagai "mata-mata" yang berdiam di tengah musuh ini, maka Ratu Wandansari menunjukkan wajah sedih dan penuh sesal, berkata lirih.
"Terima kasih, bahwa engkau selalu dapat mengerti perasaanku. Kau tahu bahwa aku adik Sultan Agung, seorang puteri Mataram. Akan tetapi aku tidak berani pulang lagi ke Mataram karena diusir oleh kangmas Sultan Agung. Semua sebagai akibat kepergianku dengan engkau berlayar beberapa bulan itu. Aku dianggap sebagai seorang puteri raja yang menurunkan derajat dan keagungan Mataram. Hmm..... biarlah, semuanya telah terjadi...... dan sudah takdir aku harus hidup begini macam. Sudahlah. .. Pekik, sudilah engkau memberikan maaf sebesarnya kepadaku. Dalam hal ini, janganlah engkau bicarakan dengan aku. Bagaimanapun pula. sulit juga bagiku harus memusuhi kangmas Sultan Agung secara terang terangan......"
Jaka Pekik mmghela napas panjang. Ia dapat mengerti kesulitan puteri ini. Maka ia tidak membicarakan soal itu lagi, lalu kembali menuju ke kemah Gagak Rimang. Pemuda ini memeras otak dan berpikir, bagaimana caranya untuk dapat menyelamatkan Pondok Bligo dari kehancur-n?
Dalam banyak hal, biasanya ia selalu minta bantuan Ratu Wandansari guna memecahkan sesuatu persoalan yang dihadapi. Akan tetapi dalam persoalan ini, tidaklah mungkin ia bisa bicara dengan puteri itu yang sekalipun telah diusir dari Mataram. tetapi masih tidak sedia memusuhi Mataram.
Dalam keadaan hatinya gelisah, pikirannya pepat melihat besarnya pasukan musuh itu, berkali-kali Jaka Pekik menghela napas panjang. Ia telah memperoleh kepercayaan dari sekalian orang sebagai panglima. Berarti keselamatan semua orang dan keselamatan Pondok Bligo di dalam tangannya. Semua orang menunggu perintahnya untuk melawan musuh. Dan menang kalahnya Pondok Bligo tergantung kepandaiannya memimpin dan menggerakkan pasukan di bawah tanggung jawabnya.Diam-diam pemuda ini mengeluh dan menyesal, mengapa semua orang memilih dirinya, seorang muda yang masih cetek pengalaman dan buta akan siasat perang. Dalam hal ini Adipati Surabayalah yang lebih berpengalaman. Akan tatapi untuk minta nasihat kepada Adipati Surabaya itu, ia merasa tidak enak hati. Ia bertekad untuk dapat menggunakan akalnya seberapa bisa. Kalau toh akal dan daya pikirnya buntu dan tidak bisa mengatasi keadaan lagi, barulah ia akan mengumpulkan sekalian orang-orang yang tahu siasat perang, untuk diminta pendapatnya.
Melihat keadaan Jaka Pekik itu, Yoga Swara dapat menduga apa yang terjadi. Ia memberanikan diri menghampiri. kemudian katanya,
"Paduka raja, mengapa paduka melupakan catatan "SANDI YUDA" yang diperoleh dari dalam pedang pusaka Jati Ngarang itu? Mungkin sekali dengan catatan itu, paduka akan memperoleh jalan!"
Jaka Pekik berjingkrak,
"Ahhh........paman. aku sampai lupa......."
Cepat disambarnya sutera catatan ilmu pedang yang diberi tanda dengan judul "Sandi Yuda". Ia membaca bahwa Raden Wijaya, Raja Majapahit yang pertama itu, mencatat semua pengalamannya sejak menjadi perajurit Singasari dengan amat telitinya. Dalam catatan itu diterangkan, bahwa Jayakatwang yang memerintah di Kediri. pada tahun 1292 telah menyerbu Singasari. Raden Wijaya (menantu Raja Kartanegara) bersama Ardaraja (putera Jayakatwang), diperintahkan untuk melawan dan menghalau penyerbuan itu. Tetapi ternyata Ardaraja sebagai putera Jayakatwang lari dari medan pertempuran bersama perajuritnya. Bisa dimengerti, sebab dia putera Jayakatwang, adalah mustahil mau melawan ayahnya sendiri. Sebagai akibat berkhianatnya Ardaraja ini, Raden Wijaya dan pasukannya harus menghadapi lawan yang jumlahnya besar sekali, dan melawan penyerbuan pasukan Kediri dengan susah payah.
Korban para perajurit Raden Wijaya yang gugur di medan perang ini tidak terhitung jumlahnya. Makin lama Jumlah pasukan Raden Wijaya makin berkurang. Pasukan itu makin payah menahan penyerbuan perajurit Jayakatwang. Pada saat terjadi pertempuran hebat di utara ibu kota Singasari ini, maka secara diam-diam pasukan Kediri yang lain, dalam jumlah besar telah berhasil menduduki Singasari. Malah Raja Kertanegara sudah gugur pula di koraton bersama Patih Aragani dan beberapa pendeta, sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan oleh para prajurit Kediri.
Mendengar berita yang tidak menyenangkan itu. Raden Wjaya merasa sudah tiada gunanya lagi bertempur terus. Singasari yang dibelanya telah runtuh. Dan di samping itu, apabila terus melawan seluruh prajuritnya akan menjadi korban dalam pertempuran secara sia-aia belaka. Oleh sebab itu kemudian dengan sisa pasukannya,
Raden Wijaya mengundurkan diri. menuju ke Gunung Kelud. Namun sebaliknya pasukan Kediri tidak mau melepaskan musuh yang hanya kecil itu, dalam keadaan hidup. Raden Wijaya dan pasukannya itu dikejar. Dan akhirnya pasukan yang tinggal beberapa puluh orang itu, terkurung pada suatu bukit di Wilayah Kelud. Menantu Raja Kertanegara ini amat sedih sekali dengan runtuhnya Singasari. Untung sekali bahwa Raden Wijaya mempunyai tiga orang pembantu yang bisa menghibur dan membesarkan hatinya. Tiga orang itu adalah Ronggolawe. Sora dan Nambi. Maka kemudian ia berunding dengan tga orang pembantunya ini. cara bagaimana bisa lolos dari kepungan perajurit Kediri yang ketat itu.
Sesudah berunding cukup lama, maka kemudian terjadi kata sepakat. bahwa pasukan yang tinggal kecil itu harus dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian dipimpin oleh Sora dan Ronggolawe, memancing lawan, dengan Sikap seperti pasukan yang ketakutan dan akan melarikan diri. Kemudian Raden Wijaya dibantu oleh Nambi. menggunakan kesempatan itu untuk memukul musuh dari belakang. Dengan demikian, sekalipun musuh dalam jumlah jauh lebih kuat dan besar, akan bisa dibikin kacau berantakan.
Demikianlah dengan semangat yang menyala-nyala, sisa pasukan itu berjuang antara hidup dan mati. Pada akhirnya siasat ini ternyata berhasil dengan baik. Raden Wijaya bersama pembantu dan sisa pasukannya dapat menyelamatkan diri dari bukit tersebut, dan akhirnya bersama pasukan kecil itu lari ke pesisir Rembang (wilayah Pasuruan) Karena Nambi adalah anak Wiraraja. yang berkuasa di Madura, maka mereka kemudian mengungsi ke sana dan memperoleh perlindungan Wiraraja .
Setelah membaca pengalaman Raden Wijaya pada bagian ini. Jaka Pekik menepuk pahanya sendiri dengan hati yang gembira. Katanya,
"Paman Swara........ bagus! Tuhan menolong kita."
"Apa maksud paduka?" tanya Yoga Swara.
"Bacalah catatan Raden Wijaya pada bagian ini. Engkau akan segera tahu bagaimana kita harus berbuat'
Yoga Swara menerima catatan itu dan dibacanya. Tetapi setelah selesai membaca, keningnya berkerut. Katan ya,
"Benar, catatan ini memang berhasil membuat Raden Wijaya dan pasukannya selamat. Tetapi, keadaan di Kelud dan di sini berlainan. Raden Wijaya dan pasukannya hanya bermaksud menerobos kepungan lawan. Tetapi kita sekarang ini, di samping harus menghancurkan musuh, juga harus mempertahankan keselamatan Pondok Bligo."
Mendengar alasan Yoga Swara itu, barulah Jaka Pekik sadar akan perbedaan tempat dan keadaan. Karena ia sendiri menjadi bingung, maka bertanyalah ia,
'Paman..... aku menjadi bingung. Lalu bagaimana kita harus menghadapi pasukan Mataram ini? Aku telah memperoleh kepercayaan sekalian orang disini sebagai panglima. Tetapi kenyataannya aku memang seorang muda yang bodoh, kurang pengalaman dan buta akan siasat perang. Bagaimanakah kita bisa menyelamatkan dan mempertahankan Pondok Bligo yang terancam bahaya ini !'
Yoga Swara tidak cepat menyahut dan memberikan pendapatnya. Diam-diam ia merasa sayang, bahwa dalam soal ini tidak bisa minta bantuan Ratu Wandansari yang cerdik itu. Namun demikian, ia merupakan orang Yang terpandai di dalam Gagak Rmang, disamping merupakan penasehat utama pula. Maka setelah berpikir beberapa saat lamanya, Yoga Swara berkata,
"Paduka raja, contoh yang diberikan oleh Raden Wijaya ini sekalipun tidak mutlak, memang bisa diterapkan pula pada saat sekarang ini. Siasat itu bisa kita gunakan, namun paduka harus membagi tugas kepada sekalian orang secara tepat. Tetapi kalau toh usaha dan siasat kita ini gagal. taklah perlu paduka menyesal. Katakan saja sudah kehendak Tuhan yang tak dapat dibantah oleh manusia."
Jaka Pekik mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana?"
Yoga Swara mengajak Jaka Pekik ke luar dari kemah. Mereka kemudian menuju ke suatu lembah yang terkurung oleh tebing-tebing tinggi. Kata Yoga Swara,
"Paduka dapat memilih diantara semua tokoh-tokoh sakti yang hadir disini sebagai pasukan berani mati, yang memancing lawan."
Yoga Swara berhenti dan menatap Jaka Pekik. Terusnya,
"Di antara tokoh-tokoh itu, titik beratnya adalah mereka yang dapat bergerak gesit dan ringan. Mereka diperlengkapi dengan alat-alat tambang kuat, yang telah kita pasang dulu pada tebing-tebing bukit ini. Tugas mereka hanya berlarian memancing pasukan lawan, tanpa memberikan perlawanan. Seakan mereka mau lari menyelamatkan diri. Dengan pancingan itu, musuh tentu menduga kita ketakutan dan berusaha lari. Pasukan yang kita tugaskan memancing Itu, setelah tiba ditempat ini lalu menggunakan kegesitan dan kecepatannya untuk mendaki tebing dengan tambang tambang yang telah kita pasang. Sementara itu diatas tebing telah kita persiapkan pasukan Gagak Rimang. Begitu musuh terjebak di tempat ini, pasukan Gagak Rimang menghujani lawan dengan batu. anak panah, semprotan air panas, semprotan minyak panas dan api. Dengan siasat ini, saya percaya akan dapat menghancurkan sebagian musuh dengan mudah. Pengaruhnya akan besar sekali terhadap semangat bertempur bagi musuh. Di samping kita menggunakan siasat untuk menjebak lawan di tempat ini, di bagian lainpun kita melawan mati-matian. Dengan cara ini, kita percaya bahwa di samping dapat memukul mundur lawan, Juga dapat menyelamatkan Pondok Bligo dan kita semua. Tetapi hem........"
"Mengapa paman?"
"Saya merasa sedih dan menyesal juga mengapa begini yang terjadi." Yoga Swara menghela napas panjang.
'Bagaimanapun pula. sekalipun Pondok Bligo dapat diselamatkan, pondok ini harus cepat cepat berpindah tempat. Raja Mataram Sultan Agung tentu marah. Pondok Bligo tentu dianggap sudah memberontak. Mataram akan menyerbu kesini dan menghancurkan Pondok Bligo, apabila para Kyai kukuh pendapat tak mau pindah.'
Jaka Pekik mengangguk-angguk.
"Benar! Terima kasih atas segala nasihat dan pendapatmu, paman. Aku setuju dengan siasat ini, dan aku percaya kita akan menang. Tentang hal selanjutnya, sehubungan dengan Pondok Bligo dapat kita bicarakan nanti."
Demikianlah akhirnya, Jaka Pekik setuju dengan siasat Yoga Swara. Kemudian Jaka Pekik memerintahkan kepada Yoga Swara. untuk melangsungkan perintah yang diperlukan bagi pasukan Gagak Rimang. Atas perintah Itupun Yoga Swara cepat melaksanakan.
Jaka Pekik langsung menuju ke bangsal di depan Pondok Bligo. Ia langsung menemui Kyai Makhmud. Ia minta kesediaan dan pengaruhnya. untuk segera mengundang dan mengumpulkan sekalian tokoh sakti, guna mengatur' siasat perlawanan. Tak lama kemudian semua orang yang dibutuhkan Jaka Pekik telah berdatangan dan berkumpul di bangsal ini! Jaka Pekik menunggu sekalian orang duduk dan mengatur diri. Dan setelah semua orang duduk dengan tenang, Kyai Makhmud berdiri dan bicara.
"Tuan-tuan sekalian, saat sekarang ini kita terkurung oleh musuh. Dan hari ini menurut laporan para penyelidik, jumlah pasukan Mataram jauh lebih besar daripada kemarin, karena memperoleh bala bantuan baru. Untuk itu kita harus melawan. Harus berdaya untuk menghancurkannya. Dan guna kepentingan itu, anakmas Pekik, yang telah kita pilih sebagai panglima, akan bicara tentang bagaimana kita harus melawan dan menghancurkan musuh."
Kyai Makhmud kembali duduk, sedang Jaka Pekik berdiri dan menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Semua yang hadir, berdiam diri menunggu apa yang akan diperintahkan oleh panglima muda yang gagah perkasa ini. Tak lama kemudian, terdengarlah Jaka Pekik berkata nyaring,
"Kita semua tahu, bahwa kita telah terkurung oleh pasukan lawan dalam jumlah besar. Bagi kita tidaklah mungkin hanya bersikap diam dan menunggu. Kita akan menjadi ringkih dan kehabisan bahan makan. Maka kita harus berdaya menghancurkan lawan. Tuan-tuan sekalian, benar kita kemarin telah berhasil memukul mundur musuh. Tetapi hari kemarin dengan sekarang lain. Apabila musuh menyerbu ke mari, kita sulit bisa bertahan dengan jumlah pasukan yang kecil ini. Namun, walaupun jumlah kita hanya kecil, dapatkah kita berdiam diri diterjang musuh dan dibunuh?"
"Kita lawan sampai titik darah penghabisan!"
"Aku tak takut mati !"
"bersama kita serbu!"
"Hancurkan musuh dengan kekuatan kita yang ada!"
Orang-orang berteriak teriak lantang, sehingga suasana gaduh. Melihat sikap orang-orang dan mendengar teriakan mereka yang penuh semangat itu, diam diam Adipati Surabaya bangga. Dari sikap sekalian orang ini. jelas bahwa sekalipun masih muda, puteranya itu mempunyai pengaruh dan Wibawa yang besar sekali. Nyata bahwa sekalian orang mengakui bahwa puteranya itu merupakan orang yang tertinggi kedudukannya Sekarang ini, sebagai Panglima perang. Ia melirik kepada Parang Kusumo. Suwondo Geni dan Jaka Lambang yang duduk di dekatnya. Tiga orang murid Perguruan Kemuning, yang kedudukannya sebagai paman-paman perguruan Jaka Pekik ini. wajahnya berseri dan tampak bangga pula.
Jaka Pekik menunggu sesudah teriakan-teriakan itu mereda. Begitu pemuda ini mengangkat tangannya, semua orang berdiam diri dengan hati berdebar. dan tidak seorangpun bersuara. Setelah suasana tenang kembali, ia bicara lagi,
"Benar! Kita harus melawan sampai titik darah penghabisan. Musuh harus kita pukul dan kita hancurkan. Tetapi untuk maksud itu, kita harus mengatur diri, dan tidak boleh melawan secara serampangan. Kita harus bersatu-padu di bawah satu komando. Tuan-tuan sekalian telah mempercayakan ke pundakku yang bodoh dan picik pengalaman ini, sebagai Panglima. Tetapi kepercayaan yang tuan berikan kepadaku itu, adalah hari kemarin. Adakah di antara kalian berpendapat, bahwa hari ini harus diadakan pemilihan baru sebagai Panglima ?"
"Tidak! Tidak !' "
"Tuan Pekik tetap sebagai Panglima!"
"Raja Gagak Rimang sudah tepat sebagai Panglima!"
"Kita kemarin telah menang. Di bawah pimpinannya, hari ini kita akan menang pula!"
Teriakan yang terdengar di sana-sini, semuanya satu nada, masih tetap mengakui Jaka Pekik sebagai Panglima. Mendengar suara bulat dari sekalian yang hadir itu Jaka Pekik tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Terima kasih, terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku."
Kemudian ia berpaling ke arah Yoga Swara. Katanya nyaring,
"Kita dalam keadaan perang. Kita sekalian ini, semuanya merupakan anggota pasukan. Tidak pandang bulu, baik yang kedudukannya sebagai tokoh utama perguruan, maupun sebagai murid. Semuanya harus tunduk kepada peraturan keperajuritan. Hari ini aku mempercayakan kepadamu, sebagai pemegang komando di bidang hukum keperajuritan. Barang siapa yang berani melanggar perintah dan tidak memenuhi perintah komando, harus dihukum mati! Sebab tidak patuh kepada perintah, sama artinya dengan berkhianat! Mengerti ?"
"Perintah paduka kami Junjung tinggi!" sahut Yoga Swara sambil membungkuk memberi hormat. Kemudian Yoga Swara mengambil sebuah bendera kecil dari saku jubahnya. Bendera itu warnanya putih. Melihat bendera putih terpegang oleh Yoga Swara itu, sekalian orang segera teringat akan apa arti dari bendera itu. Bahwa siapapun yang disambit oleh bendera putih itu, akan diserang oleh ratusan anak panah, ratusan kapak pendek, sehingga betapapun tinggi ilmu kepandaian orang. tidaklah mungkin dapat menyelamatkan diri.
Mereka semua tahu akan pentingnya arti bendera yang dipegang oleh Yoga Swara itu, sebab baru berlangsung beberapa hari yang lalu. Ialah ketika pasukan Gagak Rimang mempertunjukkan kekuatannya, dalam usahanya merebut Kreti Windu yang ditawan di Pondok Bligo ini, dan di ancam maut oleh maksud orang yang membalas dendam. Pameran kekuatan ini, beberapa hari yang lalu berlangsung di suatu tanah lapang. Begitu Yoga Swara melemparkan bendera putih, dan menancap di tengah lapangan, di sekitar bendera itu kemudian menancap ratusan anak panah dan kapak pendek. Sekarang Yoga Swara telah memperoleh kepercayaan dari Panglima, sebagai pemegang komando hukum perajurt dalam medan perang .Maka siapapun yang dianggap berkhianat, sekali disambit bendera putih oleh Yoga Swara, tubuhnya akan hancur menjadi mangsa anak panah dan kapak pendek dari pasukan Gagak Rimang yang bertindak sebagai pelaksana penegak hukum.
Bukan tanpa alasan Jaka Pekik menugaskan Yoga Swara sebagai penegak hukum itu. Ia baru saja membaca catatan SANDI YUDA yang ditulis oleh Raden Wijaya. Bahwa dalam perang dan memimpin pasukan, harus dicetuskan peraturan yang keras dan setengah paksa. Agar semua perajurit tunduk dan penuh disiplin melaksanakan perintah atasannya. Tanpa adanya peraturan yang keras, pasukan itu akan mudah dihancurkan oleh lawan, karena masing-masing peraJurit liar dan bertindak sendiri-sendiri. Maka hal ini harus dicegah! Terlebih-lebih Jaka Pekik sadar bahwa pasukan yang dipimpinnya sekarang ini, kebanyakan terdiri dari orang-orang sakti yang tidak dididik sebagai perajurit. Tokoh-tokoh sakti ini biasanya menurutkan kemauan sendiri, berwatak aneh, dan liar. Kalau tokoh-tokoh sakti yang telah terbiasa oleh keliaran ini dibiarkan berlarut, akan hancur! Maka harus dipupuk rasa setia, disiplin dan tunduk kepada atasannya.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang bagaimanapun kuat dan besarnya pasukan, dalam menghadapi musuh tak akan berguna, tanpa rasa setia, rasa disiplin dan tunduk ini. Salah-salah pasukan itu bertindak liar, dan malah bisa menohok kawan seiring maupun secara curang membunuh pimpinannya sendiri. Diatur dengan keraspun masih sering terjadi pemberontakan pasukan. Apa lagi tanpa peraturan keras, peristiwa yang demikian akan makin banyak terjadi. Maka Jaka Pekik sekarang Ini akan menegakkan rasa disiplin itu.
Setelah Yoga Swara menyanggupkan diri sebagai pemegang hukum yang keras itu, Jaka Pekik berseri wajahnya. Ia kemudian menuding sebuah tembok batu tak jauh dari masjid. Tembok itu cukup tinggi, sehingga tidak sembarang orang dapat melompatinya. Ia sengaja memilih tembok itu sebagai ujian. Sebab keringanan tubuh dan kegesitan bergerak menjadi syarat utama bagi tindakan Jaka Pekik selanjutnya. Katanya penuh hormat,
"Tuan-tuan dan para paman sekalian, dengarlah! Aku mohon kesediaan tuan-tuan sekalian yang merasa mampu. untuk mencoba keringanan tubuh, dengan melompati tembok itu!"
Mendengar permintaan Jaka Pekik tersebut, di antara sekian banyak yang hadir, menjadi mendongkol dan tidak puas. Di antara mereka itu cepat menuduh bahwa Jaka Pekik yang masih muda itu, begitu dipercaya sebagai Panglima, berubah menjadi sombong dan tak bisa menempatkan diri sebagai orang muda. Di antara tokoh sakti itu cepat menjadi tersinggung dan merasa terhina. Tetapi sekalipun demikian, mereka tidak membuka mulut dan hanya saling pandang dengan perasaan kurang senang.
Kalau diantara sekian banyak tokoh itu merasa tidak puas dan terhina, Suwondo Geni telah berdiri sambil berkata nyaring,
"Aku bisa !" Kemudian ia sudah menjejak bumi. dan tubuhnya melayang ringan. dengan gampang berhasil melompati tembok itu. Begitu Suwondo Geni memelopori melompat tembok itu, Parang Kusumo, Jaka Lambang, Adipati Surabaya. Lawa Ijo, Madu Bala dan beberapa tokoh yang lain. berturut-turut telah melompati tembok itu. Dalam waktu tidak lama, sebanyak limaratus orang telah melompati tembok. Mereka yang merasa tak mungkin dapat melompati tembok itu, merasa malu dan tidak mencoba ikut-ikutan. Tetapi sekalipun banyak tokoh sakti yang tidak mau ikut mencoba, dalam hal kesaktian belum tentu kalah dengan mereka yang berhasil melompati tembok itu. Sebab, masing-masing perguruan. dan masing-masing ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktian, mempunyai corak yang berbeda-beda. Ada kalanya ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktian yang diyakinkan itu, menuntut keringanan dan kegesitan tubuh. Tetapi ada pula ilmu kesaktian mementingkan tenaga sakti dan keampuhan pukulan pukulannya. Orang yang tidak meyakini gerak gesit dan keringanan tubuh ini, pada biasanya menitikberatkan kepada latihan-latihan jari tangan atau tangannya, sehingga kemudian dengan tangan itu bisa merobohkan pohon besar, memukul dan memecah batu besar, dan dengan jari tangan bisa menusuk batu keras menjadi berlubang. Maka orang bisa bergerak genit seperti terbang, ada kalanya pula roboh di tangan seorang yang gerakannya lambat, akan tetapi pukulan-pukulannya amat berbahaya.
Jadi jelas bahwa tinggi dan rendahnya sesuatu ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktian, bukanlah terletak kepada kegesitan. Malah sesungguhnya semua ini bukan rahasia dan semua orang mengetahui. Oleh sebab itu walaupun diantara sekian banyak orang ada yang mendongkol dan kurang puas, tetapi mereka tidak merasa rendah diri dan merasa malu.
Jaka Pekik mengamati limaratus orang yang telah berhasil melompati tembok sebagai ujian itu. Dari orang sebanyak itu ia merasa gembira juga, bahwa sebanyak seratus duapuluh tiga orang, adalah murid-murid Pondok Bligo. Diam-diam ia memuji. Nyatalah bahwa selain Pondok Bligo merupakan perguruan yang menggembleng pemeluk Agama Islam sebagai Ulama yang saleh, yang dapat menuntun manusia ke jalan benar, juga merupakan perguruan yang berhasil menciptakan manusia-manusia sakti mandraguna. Maka tidaklah mengherankan pula apabila Pondok Bligo amat terkenal dan disegani tiap orang.
Kemudian Jaka Pekik melambaikan tangannya kepada Parang Kusumo, Suwondo Geni, Jaka Lambang dan Adipati Surabaya. Katanya,
"Gusti Adipati Surabaya. paman Kusumo, paman Suwondo dan paman Lambang, saya mohon agar kalian sedia menerima pilihanku, untuk bertindak sebagai pemimpin sekalian saudara yang telah mencoba melompati tembok itu."
Ia memalingkan mukanya kepada orang-orang yang bergerombol, dari tadi telah melompati tembok. Terusnya,
"Sebagai penjelasan, perlu kalian ketahui tentang tugas kalian menghadapi musuh. Saya memang membutuhkan saudara-saudara yang dapat bergerak gesit. larinya cepat dan tubuhnya ringan. Seluruh tugas saudara saudara yang penting bukannya menghadapi musuh, dan bertempur secara langsung. Tugas yang penting adalah, berpura-pura sebagai rombongan yang ketakutan kepada musuh dan berusaha melarikan diri dari sini. Apabila usaha kalian ini telah berhasil menarik perhatian lawan. usahakanlah musuh mengejar kalian. Sebab dengan pengejaran itu. kita akan memperoleh keuntungan besar. Larilah kalian menuju ke Lembah Ledok. Seperti kalian ketahui. Lembah Ledok merupakan lembah yang buntu. dipagari oleh tebing-tebing tinggi yang curam..."
Pemuda ini menghentikan kata-katanya yang belum selesai. kemudian hanya setengah berbisik memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh empat orang pemimpin yang telah ditunjuk itu. Sedang empat orang ini setelah memperoleh bisikan, mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
Sekarang para tokoh sakti yang tadi tidak ikut melompati tembok, begitu mendengar penjelasan Jaka Pekik menjadi lega dan lenyaplah rasa mendongkolnya.Ternyata bahwa Panglima yang masih muda itu mempunyai maksud tertentu. Mereka yang terpilih bukan untuk bertempur, melainkan untuk bersikap ketakutan dan melarikan diri untuk memancing musuh. Mereka sekarang menyadari maksud Jaka Pekik. Bahwa untuk tugas itu memang yang tepat adalah orang-orang yang bisa bergerak ringan dan gesit.
Kemudian Panglima Muda ini memandang kepada seorang laki-laki kurus tinggi, berkumis tidak berjenggot. Laki-laki ini bernama Indrajit. Dia termasuk tokoh Gagak Rimang pula. Dia adik kandung Sita Resmi, isteri Wijaya guru Jaka Pekik sekaligus ayah angkat. Akan tetapi sikap Jaka Pekik terhadap Wijaya maupun Sita Resmi tiada bedanya orang tuanya sendiri. Malah terhadap orang tuanya sendiri, Jaka Pekik sudah lupa. Indrajit inilah ayah Salindri, gadis malang yang dibunuh oleh Rara Inten di Pulau Bawean. Katanya kemudian.
' Uwa Indrajit. aku minta agar uwa bersama paman Madu Bala. paman Lawa Ijo dan paman Yoga Swara membantu aku di pasukan induk. Kita harus mengamati masing masing pasukan yang melawan musuh. Dan apabila perlu kita memberikan bantuan kepada mereka yang memerlukan."
Kemudian Panglima yang masih muda ini, mengeluarkan berbagai perintah lagi bagaimana pasukan-pasukan harus bergerak, melindungi kawan dan menghancurkan musuh dengan kekuatan kecil kepada lawan yang jumlahnya besar. Dan semua orang yang memperoleh perintah dari Panglima yang masih muda ini, tidak seorangpun berani membantah, dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh. '
Kemudian ia menghampiri Kyai Machmud dan Kyai Abubakar. Katanya,
'Bapa Kyai, saya mohon agar Bapa Kyai berdua suka memimpin para anak murid Tuban, dengan tugas menolong mereka yang terluka di medan perang maupun yang gugur."
Kalau Jaka Pekik menyerahkan orang-orang Tuban kepada pemimpin Pondok Bligo ini, memang ada sebabnya. Saat sekarang ini anak murid Tuban tiada pimpinan. karena Rara Inten tidak muncul kembali 'setelah terjadi peristiwa semalam. Dan sebaliknya kalau orangorang Tuban membenci Gagak Rimang! maka Jaka Pekik merasa tidak enak hati kalau harus memimpin orangorang Tuban itu. Orang-orang Tuban ini memang sudah terlanjur diracuni oleh pendapat ketuanya, mendiang Nenek Anjani, yang membenci Gagak Rimang tanpa alasan. sedang di samping itu memang terkenal sebagai orang-orang yang angkuh. Untuk mengatasi keangkuhan mereka itu, maka pemimpin Pondok Bligolah yang tepat memimpin mereka.
Dua orang Kyai itu saling pandang untuk beberapa saat lamanya. Kemudian masing-masing mengangguk. Lalu terdengarlah jawaban Kyai Makhmud,
"Anakmas Pekik, Aku yang tua renta ini amat kagum kepada kepandaianmu mengatur siasat dan memimpin sekalian orang. Dan sebagai orang sebawahanmu pada saat sekarang ini. bagaimanapun aku harus tunduk dan taat akan segala perintahmu. Akan tetapi anakmas., ada sesuatu yang membuat aku dan adi Abubakar merasa berat. Dapatkah anakmas menerima alasanku?"
Jaka Pekik sadar bahwa saat sekarang ini, sekalipun dirinya dipilih sebagai Panglima, namun dua orang Kyai ini merupakan tuan rumah. Orang harus pandai menghargai tuan rumah. Apabila alasan itu kuat, ia harus bisa memberikan kebijaksanaan dengan memberi keistimewaan kepada dua orang ini. Oleh sebab itu maka ia mengangguk, sahutnya,
"Taklah perlu Bapa Kyai ragu-ragu. Saya akan mempertimbangkan dengan keadilan dan kebijaksanaan."
"Terima kasih, engkau memang seorang muda yang bijaksana." kata Kyai Machmud.
"Kami mohon kebijaksanaanmu, agar kami diperbolehkan secara khusus menjaga dan membela keselamatan Pondok Bligo ini. Sebab bagaimanapun pula, kami bertanggung jawab atas keselamatannya."
Jaka Pekik mengerutkan alisnya. Namun sesaat kemudian ia segera ingat akan apa yang tadi sudah dikatakan oleh Yoga Swara. Bahwa dalam melawan musuh ini, di samping menghancurkan musuh, harus pandai pula menjaga keselamatan Pondok Bligo. Apakah yang akan terjadi dengan pondok ini kalau ditinggalkan kosong begitu saja? Tentu akan menjadi sasaran musuh untuk dirusak. Ingat bahwa Pondok Bligo ini perlu diselamatkan. maka Jaka Pekik mengangguk-angguk, kemudian katanya,
"Ah... Bapa Kyai berdua benar. Pondok ini memang tidak boleh dibiarkan kosong tak terjaga. Oleh karena itu, memang amat tepat apabila Bapa Kyai. berdua tetap di pondok ini membela keselamatannya. "
Mendengar keputusan Jaka Pekik itu, semua anak murid Pondok Bligo heran. Semula mereka menduga bahWa permintaan itu akan ditolak. Tetapi ternyata oleh Jaka Pekik diluluskan. Karena dua orang Kyai itu diperbolehkan tetap tinggal di pondok, sudah tentu para anak murid Bligo-pun lebih suka memilih tetap di Pondok dan membela keselamatannya. Melihat ini Kyai Makhmud merasa tidak enak hati. Hal ini bisa merusak rasa disiplin pasukan yang sedang menghadapi musuh. Dan apabila terjadi demikian, akan hancur di tangan musuh. Untuk menjaga segala sesuatunya, maka Kyai Makhmud cepat berkata dengan lantang dan tegas,
"Hai, semua anak murid Bligo. dengarlah! Semua orang telah sepakat mengangkat anakmas Pekik sebagai Panglima yang berkuasa penuh. Panglima berhak menghukum setiap orang yang tidak tunduk kepada perintah dan disiplin sesuai dengan peraturan yang ada. Camkanlah semua itu, agar kamu dapat melaksanakan tugas dengan baik, dan ingatlah pula bahwa sekalian saudara berjuang demi keselamatan Pondok Bligo! Lain tidak! Mengapa kamu sebagai anak murid Bigo malah tidak bisa memberikan contoh dan teladan? Karena itu barang siapa murid Bligo yang berani melawan perintah dan tidak tunduk kepada Panglima, akan dipecat dan tidak diakui sebagai murid Bligo. dan harus pula diseret ke dalam pengadilan perang!"
mendengar kata-kata Kyai Makhmud yang tegas itu, semua orang diam-diam memuji, malah Jaka Pekik sendiri mengangguk angguk. Sebaliknya semua murid Bligo tidak seorangpun berani membuka mulut lagi.
Kemudian sambil menebarkan pandang matanya kepada sekalian orang, Jaka Pekik berkata,
"Sekarang sudah tiba saatnya kita memulai perlawanan.Gumbreg!. Siapkan pasukanmu, dan laksanakan tugasmu! Paman Kusumo dan Gusti Adipati Surabaya, pimpinlah orang orang yang mengadakan siasat memancing lawan.Kemudian kepada Bapa Kyai Machmud, saya mohon agar petugas dan anak murid Bligo, melaksanakan tugas masing masing!"
Perintah Panglima itu dilaksanakan oleh sekalian orang dengan tertib dan sungguh-sungguh. Sesaat kemudian tampaklah api berkobar dan suara bambu yang meletus. Api itu membakar rumah-rumah darurat yang semula dipergunakan semua tamu menginap dan istirahat. Hampir berbareng dengan berkobarnya api membakar rumah rumah darurat itu. Adipati Surabaya, Parang Kusumo, Suwondo Geni dan Jaka Lambang berlari diikuti oleh ratusan orang anggota pasukan yang akan memancing lawan ke Lembah Ledok. Pasukan ini dipecah menjadi empat bagian. Masing-masing bagian sebanyak seratus limapuluh orang, dipimpin oleh seorang di antara empat pemimpin yang sudah ditetapkan.
Parang Kusumo memimpin pasukan itu berlarian ke bawah. Ketika tiba dilereng bukit, pasukan Mataram yang melihat segera menyerang dan menyerbu. Pancingan itu berhasil. Sebab pasukan Mataram menduga bahwa orang-orang yang sedang berlarian itu benar-benar ketakutan. Pasukan Mataram menyerbu dan mendesak akan tetapi karena pasukan yang dipimpin Parang Kusumo gerakannya gesit dan berpencaran, 'maka pasukan Mataram itu tidak bisa menggunakan anak panah untuk menyerang.
Setelah pasukan Parang Kusumo berhasil memancing perhatian musuh, muncullah kemudian rombongan Suwondo Geni, Jaka Lambang dan Adipati Surabaya. Orang orang yang terbagi menjadi tiga rombongan ini, masing masing menggendong sesuatu yang besar, sehingga bagi pasukan Mataram merupakan orang-orang yang menyelamatkan benda-benda mereka, dan ingin menyelamatkan diri. Sama sekali tidak mereka duga, bahwa sesungguhnya benda yang digendong itu, merupakan perisai pelindung tubuh, kalau diserang dengan senjata dari belakang. '
Melihat larinya banyak orang yang ketakutan itu.Pangeran Kajoran memerintahkan limaribu pasukan untuk mengejar. Pasukan yang diperintahkan itu adalah tenaga-tenaga baru yang datang semalam. Dengan demikian tenaga baru itu akan lebih berhasil karena belum lelah. Pasukan itu dipimpin oleh dua orang Tumenggung, bernama Tumenggung Sumoyudo dan Kertoyudo.
Dari jauh Jaka Pekik dapat melihat apa yang terjadi. Pemuda ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji,
"Hebat! Pangeran Kajoran itu tak kalah cerdiknya dengan adiknya, Ratu Wandansari. Dia bukannya mengerahkan semua pasukan untuk mengejar, tetapi hanya sebagian."
Yoga Swara yang berdiri di samping Jaka Pekik menyahut,
'Itulah sebabnya maka beberapa Bupati dalam waktu singkat dapat ditundukkan. Oeh karena itu. kita harus lebih waspada dan hati-hati. Mereka jauh lebih berpengalaman dalam perang, dibanding dengan kita."
"Ya. sekali gagal kita hancur! Tetapi bukankah pasukan Gagak Rimang sudah siap di tempatnya masing masing? Sewaktu-waktu melaksanakan tugas yang sudah ditentukan? Bagaimana dengan paman Kebo Jalu dan yang lain?" '
"Semua telah melaksanakan tugas sebagaimana paduka perintahkan," sahut Madu Bala.
"Bagus! Aku percaya akan semangat pasukan kita!" Jaka Pekik tersenyum sambil mengamati ke bawah bukit.
Mereka melihat kesibukan yang terjadi pada pasukan musuh. Sesungguhnya, besarnya pasukan Mataram tidak membuat mereka gentar. Tetapi yang menggelisahkan mereka, adalah meriam-meriam yang sewaktu-waktu memuntahkan pelurunya. Benar. kemarin berkat kesigapan Lawa Ijo berhasil merusak meriam-meriam itu, tetapi dengan datangnya bala bantuan, meriam-meriam baru tentu tersedia pula. Sekarang ini tidaklah mungkin Lawa Ijo dan yang lain bisa menggunakan siasat seperti kemarin. Sebab pasukan Mataram tentu menjaga keselamatan meriam itu dengan penuh kewaspadaan, dan dengan pasukan yang besar.
Demikianlah, Jaka Pekik dan pembantu-pembantunya mengamati gerak pasukan musuh itu penuh perhatian. Kemudian terlihatlah oleh mereka, pasukan berkuda sudah bergerak ke depan dengan gagah dan gerakan cepat. Kuda-kuda pasukan Mataram itu merupakan kuda kuda pilihan dan telah terlatih. Maka walaupun harus mendaki bukit dan jalan sempit berliku-liku, mereka bisa bergerak maju tanpa kesukaran. Pasukan berkuda itu bergerak maju tanpa bertemu dengan musuh. Maka pasukan Mataram itu menduga, benarlah bahwa orangorang yang terkurung di Bligo ini benar-benar semuanya telah lari ketakutan dan mengungsi.
Sama sekali tidak mereka sadari. bahwa mereka di intai maut setiap saat. Pasukan Gagak Rimang yang telah bersiap diri dengan senjata minyak panas, air panas dan anak panah api itu, bersembunyi di balik rumput rumput tinggi. Apabila Jaka Pekik menggerakkan tangan pasukan Itu akan segera menyerang dengan senjatanya yang berbahaya. Mereka akan segera berantakan, dan sulit bagi pasukan Mataram untuk membalas, karena pasukan Gagak Rimang itu bersembunyi.
Jaka Pekik memang menunggu sesudah pasukan itu lewat. sehingga akan terjepit dari depan dan belakang. Maka itu sesudah kuda paling belakang lewat batas yang sudah ditentukan, tangan kanan Jaka Pekik bergerak mengibas. Kalintung meneruskan tanda dari rajanya itu dengan berteriak nyaring,
"Serang!"
Dan minyak panas, air panas dan anak panah api menyemprot dan menyambar pasukan kuda Mataram itu. Kuda-kuda itu meringkik nyaring. meloncat dan lari serabutan disusul pula oleh suara teriakan gaduh pasukan Mataram yang kesakitan. Pasukan berkuda itu tidak sempat untuk membela diri maupun melawan. Semuanya roboh terluka melepuh oleh minyak panas dan air panas. atau terbakar oleh api anak panah. Kasihan mereka. Manusia-manusia yang tidak berdosa dan hanya sebagai alat dari Raja Mataram itu. harus gugur di medan perang. Keluarga keluarga mereka akan kehilangan. Tak terhitung jumlahnya anak -anak yang tidak berayah lagi. Tdak terhitung jumlahnya perempuan-perempuan muda yang menjadi janda. Sungguh menyedihkan. Setiap terjadi peperangan. mereka yang dijadikan alat oleh penguasa yang akan menjadi korban. Mereka yang akan gugur di medan perang. Tetapi sebaliknya apabila mereka menang, merekapun tidak mengenyam hasil kemenangan itu. Yang mengenyam dan merasakan hasil kemenangan, hanyalah beberapa gelintir orang yang berkuasa dan mencetuskan perang. Sungguh patut dikasihani mereka itu. Mereka menjadi korban hasutan Raja Mataram yang ingin menjadi penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Melihat apa yang terjadi itu. membuat kaget para panglima pasukan Mataram. Sama sekali tidak menduga bahwa pasukan berkuda. pasukan pelopor Mataram itu mendaki bukit untuk mati. Akan tetapi pasukan Mataram masih puluhan ribu banyaknya. Maka begitu pasukan berkuda terpukul hancur, pasukan di belakangnya bergerak mendaki bukit. Mereka bergerak dengan rapi, berjalan kaki dengan senjata masing-masing siap di tangan. Pasukan yang kedua ini banyaknya lebih besar. Ketika tiba di tempat kawan-kawannya menemui ajal, pasukan itu berpencar. Semprotan minyak panas, air panas dan anak panah api hanya berhasil merobohkan beberapa puluh orang. Yang lain membalas dengan senjata api, anak panah dan senjata jarak jauh yang lain. Akan tetapi karena pasukan Gagak Rimang itu bersembunyi dengan tertib, maka terang. balasan itu sia-sia. Mereka hanya membuang tenaga dan senjata.
Namun demikian memang patut dipuji semangat bertempur pasukan Mataram itu. Walaupun di antara mereka telah ratusan orang yang roboh mati. tetapi mereka terus mendesak maju dan melawan. Seakan mereka merupakan semut api yang tak takut mati. Melihat nekadnya pasukan Mataram yang menyerbu terus itu. Jaka Pekik segera memerintahkan Lawa Ijo, supaya memberi perintah ke pada Sambito menggerakkan pasukan untuk membantu. Perintah itu cepat dilaksanakan. Pasukan Mataram yang nekad dan tak takut mati itu, akibatnya terkurung. Pasukan Mataram itu dihujani oleh air panas, minyak panas, panah api, batu, paser dan senjata senjata lain. Akibatnya dalam waktu yang tidak lama pasukan Mataram yang kedua ini mengalami nasib yang sama dengan pasukan berkuda. Mereka hancur, semuanya gugur di lereng bukit.
Pangeran Kajoran menjadi marah sekali, melihat hancurnya pasukan Mataram yang menyerbu itu. Pasukan yang ketiga, berjumlah limaribu orang segera bergerak menyerbu. Pasukan ini persenjataannya lebih lengkap. Mereka dilengkapi oleh perisai-perisai yang lebar untuk melindungi tubuh. Pasukan itu bergerak dengan bentuk kipas. Gerakan mereka rapi, hati hati dan teratur. Pasukan Gagak Rimang yang bersembunyi segera menyerang dengan senjata -senjata yang tadi dua kali menghancurkan lawan. Akan tetapi kali ini serangan pasukan Gagak Rimang itu tidak banyak memberi hasil. Air panas, minyak panas, panah api, paser, batu dan yang lain dapat ditangkis oleh perisai-perisai itu.
Akan tetapi pasukan Gagak Rimang memang sudah bersiap siaga sejak pagi. Begitu serangan-serangannya gagal, segera melontarkan balok-balok kayu dan batubatu besar untuk menyerang musuh. Namun ternyata serangan balok dan batu itu tidak menghasilkan banyak. Baberapa orang roboh tewas, tetapi tewasnya beberapa orang itu tidak mempengaruhi semangat pasukan Mataram. Mereka dengan rapi terus mendesak maju, dan jarak mereka makin lama sudah makin dekat dengan Pondok Bligo yang masih berdiri dengan megah.
Melihat keadaan itu, dengan bergegas Kyai Makhmud menghampiri Jaka Pekik. Katanya.
"Anakmas Pekik. lekaslah engkau dan yang lain meninggalkan tempat berbahaya ini. Biarkanlah aku dan Adi Abubakar 'mempertahankan Pondok ini sampai titik darah penghabisan. Tetapi kalian harus selamat. Kalau hari Ini kalian kalah, kemudian hari akan dapat menuntut balas"
Jaka Pekik tidak menyahut. Ia tengah tertarik perhatiannya kepada seorang laki-laki, berpakaian indah dan berkuda, ditengah pasukan yang sedang menyerang dan laki -laki itu tampak angker. Disekitar lakilaki yang berkuda. berpakaian indah dan angker itu, bergerak dengan teratur rapi, puluhan laki-laki bersenjata tombak dan perisai. Melihat keadaan laki-laki itu Jaka Pekik cepat bisa menduga bahwa orang itulah panglima pasukan. Dan setelah jaraknya makin agak menjadi dekat, Jaka Pekik tidak lupa lagi, bahwa panglima inilah Pangeran Kajoran. '
Melihat pasukan yang besar ini dipimpin oleh Pangeran Kajoran sendiri. Jaka Pekik cepat berpaling ke arah Yoga Swara sambil berkata,
"Paman Swara! Seranglah pengawal yang melindungi Pangeran Kajoran itu!"
"Perintah paduka saya junjung tinggi," sahut Yoga Swara sambil menyambitkan bendera putih ke arah para pengawal Pangeran Kajoran.
"Paman Swara dan paman Bala!" kata Jaka Pekik lagi.
"Lindungi aku! Dan engkau paman Lawa Ijo, membantu aku membekuk Pangeran Kajoran !'
Tiga orang tokoh Gagak Rimang itu mengiakan, dan dalam hati mereka gembira sekali. Sebab mereka menganggap tindakan raja mereka itu tepat sekali, berani dan patut dipuji.
Di dalam Gagak Rimang, sesudah Jaka Pekik, hanyalah Lawa Ijo seorang yang dapat bergerak gesit. dan larinya amat cepat sekali bagai terbang. Kegesitan Lawa Ijo ini, kecuali Jaka Pekik. tidak seorangpun tokoh sakti yang hadir di Pondok Bligo sanggup menandingi. Maka tidak aneh pula Jaka Pekik memilih Lawa Ijo sebagai teman untuk menyerang Pangeran KaJoran yang memimpin pasukan penyerbu ini. Dengan berbareng Jaka Pekik dan Lawa Ijo bergerak. Gerakan mereka yang amat cepat itu, membuat orang hanya melihat berkelebatnya bayangan yang seperti burung raksasa, dan tahu-tahu dua orang ini telah berdiri di depan pengawal-pengawal yang telah ribut dan geger oleh serangan pasukan Gagak Rimang yang melaksanakan perintah Yoga Swara. Namun karena jumlah pasukan dan pengawal itu amat banyak, maka sekalipun sudah puluhan yang roboh menjadi korban anak panah pasukan Gagak Rimang, jumlah pengawal dan prajurit Mataram itu seakan tidak berkurang.
Pasukan Mataram itu menghujani anak panah kepada Jaka Pekik dan Lawa Ijo. Namun dengan gampangnya semua anak panah itu dapat dipukul runtuh, dan kemudian dengan gerakan yang amat gesit seperti bisa terbang, tahu-tahu dua orang itu telah meloncat tinggi, lewat di atas perisai-perisai yang mengurung dan membentengi Pangeran Kajoran. Tentu saja pasukan Mataram yang jumlahnya besar itu menjadi kaget, geger ribut. berteriak-teriak tidak keruan sambil berusaha mengurung dan menyerang dua orang itu. Akan tetapi celakanya mereka sekarang ini berhadapan dengan Jaka Pekik dan Lawa Ijo. Dua orang sakti yang dapat bergerak gesit sekali seperti terbang. Rimba pedang, tombak dan hujan anak panah itu tiada artinya bagi dua orang ini. Tahu tahu mereka sudah berada di depan kuda Pangeran Kajoran yang gagah.
Pangeran Kajoran tidak pernah mimpi bahwa musuh berani menyerang dirinya secara nekat seperti ini. Untung ia tidak menjadi gugup. Dengan kecepatan kilat tangannya telah menghunus pedang dan menyerang Jaka Pekik. Gerakan pedangnya itu cepat bukan main dan bertenaga. Biasanya setiap kali Pangeran Kajoran menghunus pedang, tidaklah gampang orang dapat menghindarkan diri. Akan tetapi sayangnya, yang dihadapinya sekarang ini Raja Gagak Rimang yang sakti mandraguna, yang telah menguasai ilmu-ilmu tinggi dan dapat bergerak gesit seperti bayangan. Dengan gampangnya Jaka Pekik menghindar ke samping, berbareng tangannya bergerak seperti kilat cepatnya, menjepit punggung padang dengan dua jarinya.
Bersamaan dengan Jaka Pekik berhasil menjepit podang itu, Lawa Ijo bergerak secepat kilat. Tahu-tahu telah berada di belakang Pangeran Kajoran. Tangannya sudah mencengkeram tengkuk. Untung sekali Pangeran Kajoran juga merupakan seorang sakti mandraguna. Begitu pedangnya dijepit lawan dan tak bisa ditarik. tangan kirinya menghunus keris dan menikam dada. Sinar biru berkelebat dan hawa yang dingin menyambar. Kalau bukan Jaka Pekik, baru diserang oleh hawa dari keris itupun sudah bisa lumpuh. Akan tetapi tubuh Jaka Pekik telah dilindungi oleh hawa sakti dari Ilmu Bajra Sayuta. Maka sambaran hawa dari keris itu tidak mempengaruhinya. Jaka Pekik memiringkan tubuhnya menghindari tikaman, dan berbareng dengan itu tangan kirinya bergerak menyambar pergelangan tangan, kemudian diseret turun dari kuda. '
Pengawal pengawal itu berteriak kaget dan membela tuannya dengan serangan tombak yang seperti hujan,
Tetapi saat itu Yoga Swara dan Madu Bala telah datang menolong, mengamuk dan membendung mengamuknya para pengawal. Tandang Yoga Swara dan Madu Bala hebat sekali. Tombak-tombak yang menyerang Itu ditangkis dipukul. dan ditarik, sehingga para pengawal itu berteriak teriak kesakitan. Dalam waktu singkat telah puluhan banyaknya pengawal yang roboh mati di tangan dua orang tokoh sakti Gagak Rimang ini. Mereka seperti melawan manusia besi. Tak dapat berbuat apa apa, malah roboh sendiri. Namun karena jumlah perajurit Mataram itu ribuan banyaknya, mereka terus mendesak tanpa takut mati.
"Mari kita kembali !" perintah Jaka Pekik. Dan Lawa Ijo cepat menggendong tawanannya, gerakannya gesit berlarian mendaki bukit. Tetapi taklah mungkin pasukan dan para pengawal itu membiarkan Pangeran Kajoran ditawan. Dengan berteriak-teriak gaduh mereka berusaha mengejar. Tetapi usaha mereka tentu saja sia sia, tak mungkin bisa menandingi gerakan Lawa Ijo yang amat gesit. Malah di antara mereka tak terhitung jumlahnya yang roboh, diserang oleh senjata pasukan Gagak Rmang yang berbaris pendem (bersembunyi).
Jaka Pekik. Yoga Swara dan Madu Balapun telah berlarian mendaki bukit. Mereka tidak perlu lagi melawan perajurit itu karena pasukan Gagak Rimang sudah cukup mampu menahan mereka.
Lawa Ijo di samping seorang jago lari, juga merupakan seorang yang suka berkelakar. Sambil berlarian , ia sengaja melemparkan tubuh Pangeran Kajoran yang sudah tidak berdaya. Para prajurit Mataram yang melihatnya, sudah tentu berteriak-teriak kuatir, kalau tubuh Pangeran Kajoran yang dilemparkan itu hancur diterima oleh batu. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Kajoran sendiri sedikitpun tidak merasa kuatir dan gentar. Seorang perajurit mati di medan perang bukanlah peristiwa yang aneh. Maka kalau dirinya sekarang ini harus mati, mengapa dirisaukan?
Akan tetapi Lawa Ijo memang tdak ingin membuat Pangeran Kajoran celaka. Sebelum tubuh Pangeran Kajoran hancur lebur diterima oleh batu, ia dengan gesitnya telah menyambar dan digendong lagi. Tetapi sedetik lagi tubuh Pangeran Kajoran dilemparkan lagi lebih tinggi. Dan ketika tubuh itu hampir menyentuh tanah, disambarnya lagi. Berkali-kali tubuh Pangeran Kajoran itu dibuat permainan dan dilemparkan tinggi. Namun Pangeran Kajoran hanya berdiam diri, dan tidak satu kalipun terdengar keluhan dan rintihannya.
Ketika Yoga Swara dan yang lain sudah dapat dalang dekat, Lawa Ijo berteriak,
"Adi Swara! Terimalah!' Tanpa menunggu jawaban, Pangeran Kajoran telah dilemparkan ke arah Yoga Swara, dan diterima dengan gerakan yang amat indah. Begitu menerima tubuh Pangeran itu, tangannya cepat menyambar topi perangnya.
"Kangmas Kajoran !" teriak Ratu Wandansari sambil menubruk dan memeluk Pangeran Kajoran.
Tetapi Pangeran Kajoran tidak membuka mulut. dan hanya mengamati Ratu Wandansari dengan dingin. Seakan benar-benar Pangeran Kajoran sudah tidak sudi lagi kepada saudaranya yang "menyeberang" dan "berkhianat" itu. Akan tetapi benarkah demikian? Tidak! Sikap Pangeran Kajoran ini memang dibuat-buat. Sebab sesungguhnya betapa perasaan Pangeran Kajoran itu saat sekarang ini. Ia melihat bahwa Ratu Wandansari sekarang agak pucat. kurus, dan pakaiannya agak kalut. Ia mengerti akan keadaan Ratu Wandansari yang menyelundup ke dalam lawan ini terpaksa tidak dapat mencurahkan perhatian untuk berhias diri.
Ratu Wandansari memandang Jaka Pekik. Katanya dengan suara gemetar dan nadanya minta dikasihani,
'Pekik. apakah engkau tega akan mencelakakan kangmas Kajoran?"
'Oh. maaf.."... ohh tidak!" sahut Jaka Pekik agak gugup. Tetapi kenyataannya memang tidak bermaksud demikian. Ia tadi sengaja menangkap dan menawan Pangeran Kajoran, adalah termasuk dalam rangka siasat perang. Dengan menangkap dan menawan Pangeran Kajoran yang bertindak sebagai Panglima ini. berarti akan dapat mencegah penyerbuan musuh dan dapat memaksa musuh mundur. Pangeran Kajoran dijadikan jaminan, sehingga lawan bisa dipengaruhi.
Akan tetapi sebaliknya Ratu Wandansari memang seorang puteri yang cerdik. Walaupun Jaka Pekik tidak memberikan jawabannya, namun ia telah tahu kandungan maksud pemuda ini. Maka ia tidak menjadi kuatir akan keselamatan kangmasnya ini.
Jaka Pekik segera menyerahkan tawanan itu kepada Kyai Makhmud dan Kyai Abubakar. Katanya,
"Bapa Kyai, mudah-mudahan dengan pengaruh ditawannya Pangeran Kajoran Ini, dapat mempengaruhi suasana. Aku percaya bahwa dengan tanggungan Pangeran ini, Pondok Bligo bisa diselamatkan. Hanya...... hanya saya mohon janganlah dia celaka. Sebab....mengingat... Ratu Wandansari......"
Jaka Pekik berpaling dan mengamati Ratu Wandansari. Tetapi Ratu Wandansari pura-pura tidak tahu, dan memandang tempat lain. Bagaimanapun pula puteri ini merasa malu bertatap pandang dengan pemuda itu, di depan orang lain.
Kyai Makhmud dan Kyai Abubakar gembira sekali. menerima Pangeran Kajoran dengan wajah berseri. Kyai Abubakar yang mendukung Pangeran Kajoran, sedang Kyai Makhmud mengancam leher dengan pedang. Yoga Swara cepat berteriak,
"Hai pasukan Mataram! Dengarlah dan lihatlah tuanmu ini! Pangeran Kajoran telah dapat kami tangkap dan kami tawan. Apabila kamu tidak menghendaki tuanmu celaka, kamu selekasnya harus mengundurkan diri"
Apa yang terjadi diluar dugaan semua orang. Para perajurit Mataram yang ribuan banyaknya itu menjadi bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang, menghadapi ancaman atas diri rayi dalem Ingkang Sinuhun Sultan Agung itu?
Senopati Tumenggung Suro Agul-agul sadar akan bahaya itu. Apabila Pangeran Kajoran sampai mati terbunuh lawan, dirinya, panglima yang lain dan semua perajurit bisa memperoleh marah Sultan Agung. Diam-diam ia menyesal juga, mengapa Pangeran Kajoran tadi tidak mau mendengar nasehatnya. Tadi begitu melihat api berkobar-kobar di atas bukit, dan melihat banyaknya orang yang berlarian menuruni bukit, ia masih tidak percaya. Sebagai seorang yang sudah banyak pengalamannya berhadapan dengan musuh, ia menduga bahwa musuh menggunakan siasat yang amat cerdik. Maka ia tadi memperingatkan kepada Pangeran Kajoran. agar jangan tergesa bergerak maju, dan harus melihat keadaan dahulu secara teliti.
Tetapi celakanya Pangeran Kajoran malah salah-faham dan marah. Ia malah menuduh bahwa Tumenggung Suro Agul-agul seorang panglima yang penakut, pengecut dan takut mati. Lalu tanpa memperdulikan nasehat dan pikiran Tumenggung Suro Agul-agul, Pangeran Kajoran telah bergerak mendahului dengan mengerahkan pasukan yang cukup kuat, dipelopori oleh pasukan berkuda. Ternyata belum Jauh bergerak, pasukan berkuda itu telah diserang musuh dan hancur lebur. Melihat itu, bukannya Pangeran Kajoran sadar akan bahaya, sebaliknya malah menjadi marah dan penasaran. Ia terus memerintahkan pasukannya menyerbu maju. Dan akibatnya ia berhadapan dengan Jaka Pekik dan pembantu pembantunya, lalu tertawan tanpa kesulitan. Sekarang sesudah ia ditawan musuh, ia baru mau mengakui benarnya pendapat dan perhitungan Tumenggung Suro Agul-agul, Akan tetapi semuanya sudah terlanjur. menyesal tiada guna.
Dan Tumenggung Suro Agul-agul yang harus bertanggung jawab atas keselamatan Pangeran Kajoran dan seluruh pasukan Itu, tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali harus memerintahkan pasukan mundur.
Mundurnya pasukan musuh itu, membuat Jaka Pekik dan yang lain lega. Berkat siasat yang tepat, tanpa banyak menimbulkan korban, pasukan musuh sudah dapat dipaksa mundur. Sungguh merupakan kemenangan yang gilang-gemilang, sehingga mundurnya pasukan Mataram itu diiring oleh suara sorak sorai pasukan Gagak Rimang yang gembira. Belum juga reda suara sorak sorai pasukan Gagak Rimang itu, mendadak Jaka Pekik dan yang lain melihat menyambarnya panah-panah api di udara.
"Paduka raja," kata Yoga Swara dengan nadanya yang gembira.
"Pasukan Gagak Rimang dalam jumlah besar telah tiba!"
"Bagus, pasukan kita yang besar telah datang !" sambut Jaka Pekik sambil berteriak.
"Terjang! Serbu!"
Perintah itu disambut oleh semua orang dengan genbira. Mereka dengan penuh semangat mencabut senjata masing masing. Lalu mengikuti jejak Jaka Pekik dan tokoh-tokoh Gagak Rimang, berlarian menerjang musuh yang sedang bergerak mengundurkan diri.
Sungguh kasihan pasukan Mataram ini. Baru saja melaksanakan perintah untuk mengundurkan diri. sekarang telah diterjang oleh musuh, dari depan dan belakang. Mereka terjepit di tengah. Mereka melawan mati matian, namun tidak urung juga jadi kalang kabut.
Pada medan perang yang lain, sesuai dengan siasat Jaka Pekik, pasukan yang dipimpin oleh Adipati Surabaya, Parang Kusumo, Suwondo Geni dari Jaka Lambang bergerak dengan gesit dengan lagak ketakutan, menuju ke Lembah Ledok. dan dikejar oleh pasukan Mataram yang amat besar. Sama sekali pasukan Mataram ini tidak menyadari, telah dijebak oleh lawan untuk masuk ke perangkap maut. Mereka hanya mengira, bahwa mereka akan bisa menjagal orang orang yang lari ketakutan itu.
Animorphs - 33 Ilusi The Illusion Cinta Itu Asyik Namun Jangan Asyik Bercinta Karya Saumiman Saud Aji Mlati Serial Tujuh Manusia Harimau 6 Karya Motinggo Busye

Cari Blog Ini