Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 4
Seperti diketahui, sejak pagi pasukan Gagak Rimang sudah sibuk mempersiapkan tambang tambang kuat di tebing yang mengurung Lembah Ledok itu, untuk dipergunakan memanjat bagi pasukan orang sakti itu menyelamatkan diri. Di samping mempersiapkan tambang, pasukan Gagak Rimang itupun sudah berbaris pendem. Setiap perintah menyerang dikeluarkan. mereka akan segera menghujani pasukan musuh itu dengan bermacam senjata dari atas tebing.
Demikianlah, apa yang terjadi sesuai dengan rencana yang telah ditentukan oleh Jaka Pekik. Begitu tiba di Lembah Ledok, pasukan yang dipimpin Parang kusumo dan yang lain itu dengan cekatan telah menyambar tambang-tambang yang telah tersedia guna memanjat tebing. Sesungguhnya memanjat tebing yang tinggi dan terjal Itu tidak gampang. Akan tetapi karena mereka terdiri dari orang-orang pilihan yang dapat bergerak ringan, maka mereka dapat memanjat tebing tersebut tanpa kesulitan.
Begitu semua pasukan telah berhasil memanjat tebing dengan tambang, pasukan Mataram datang. Mereka yang membawa perlengkapan perang itu. menemui kesulitan melakukan pengejaran lewat tambang. Melihat keadaan itu, dua orang Tumenggung yang memimpin pasukan ini kaget. dan baru insyaf dijebak lawan. Mereka cepat memerintahkan pasukan untuk segera mundur.
Tetapi..... ... terlambat! Belum juga mereka dapat bergerak, telah disambar oleh anak panah seperti hujan, di samping minyak panas dan air mendidih, serta api!
Hampir berbareng pasukan Gagak Rimang yang lain telah melontarkan balok-balok kayu, batu-batu besar yang menutup jalan untuk keluar. Sungguh menyedihkan keadaan pasukan Mataram yang terjebak ini. Mereka berteriak-teriak ketakutan ngeri dan kebingungan, namun semua teriakan itu tidak menolong. Akhirnya semua perajurit Mataram itu berikut panglima-panglimanya gugur semuanya. Mayat tumpang tindih tidak keruan.
Demikianlah akhirnya, pasukan Mataram yang jumlahnya besar, diperkuat dengan meriam dan senjata-senjata api itu. akhirnya menderita kekalahan. Lebih dari separo pasukan Mataram yang memperoleh bantuan dari Madiun, Ponorogo dan yang lain itu, gugur di dalam perang. Sungguh menyedihkan, dan baru sekali ini saja pasukan Mataram harus menderita kekalahan hebat, selama bergerak menaklukkan Bupati dan Adipati di Wiliyah timur.
Setelah pasukan Mataram berhasil dipukul mundur, sedang Pondok Bligo dapat diselamatkan dari kehancuran. Semua orang menjadi amat gembira sekali, dan semua orang memuji atas kecerdikan dan kepintaran Jaka Pekik yang bertindak sebagai panglima. Tentang Pangeran Kajoran yang ditahan dan dijadikan jaminan, setelah pasukan Mataram benar-benar mundur, segera dibebaskan. Pembebasan Pangeran Kajoran ini diantar oeh pasukan Gagak Rimang di bawah pimpinan Gumbreg, dan diantar sampai cukup jauh dari Bligo.
Sulit dibayangkan betapa perasaan Pangeran Kajoran saat ini. Sesungguhnya ia amat marah dan penasaran sekali, telah ditawan dan dipergunakan memaksa pasukan Mataram mundur. Akan tetapi apa harus dikata, semua sudah terjadi. Maka yang bisa dilakukan hanyalah menyesal dan berulang kali ia menghela napas panjang. Sungguh pengalaman yang tak enak!
Malam harinya di Pondok Bligo ini diselenggarakan pesta menyambut kemenangan. Mereka bersenang senang, dan terutama sekali para murid dan penghuni Pondok Bligo, yang merasa diselamatkan dari kehancuran. Namun kalau yang lain bersenang-senang sebaliknya rombongan murid Tuban menyendiri dan tidak mau ikut berpesta pora. Entah mengapa sebabnya, tetapi yang jelas sampai sekarang Rara Inten belum tampak muncul. Murid Tuban itu kehilangan pimpinan.
Melihat keadaan para murid Tuban yang demikian itu mau tidak mau hati Jika Pekik tidak tega. Apalagi pemuda ini selalu ingat, bahwa suami Rara Inten yang bernama Iskandar itu adalah putera Banjaran Sari, murid tertua Perguruan Kemuning, atau uwa gurunya. Begitu Ingat akan keadaan Iskandar yang menderita luka parah oleh hajaran Parang Kusumo beberapa hari yang lalu, timbullah keinginan Jaka Pekik untuk melihat keadaannya. Ia menghampiri, kemudian katanya kepada Telasih dengan ramah,
"Mbakyu Telasih. bolehkah aku menjenguk keadaan kakang Iskandar?"
"Engkau tak perlu berlagak sebagai orang yang baik hati!" sahut perempuan itu dengan dingin dan ketus. Sungguh merupakan jawaban yang tak terduga-duga oleh siapapun.
Mendengar jawaban yang dingin, ketus dan tidak bisa menghargai kepada rajanya itu, sudah tentu Kebo Jalu yang berangasan, menjadi tidak senang. Bagi para tokoh Gagak Rimang, memang Kebo Jalu merupakan seorang yang paling berangasan, paling sembrono, akan tetapi juga seorang yang jujur. Bentaknya,
"Kurang ajar kau! Raja kami bersikap baik terhadap suami ketuamu tetapi engkau malah tidak dapat menghormati. Huh huh, apabila tidak mengingat ketuamu, sesungguhnya manusia yang berkhianat kepada orang tuanya seperti Iskandar itu. sudahlah tepat apabila dibiarkan mati penasaran dan menderita!"
Sebenarnya Telasih tidak senang mendengar kata-kata Kebo Jalu itu dan ingin membalas. Akan tetapi karena kuatir dihajar, maka sedapat mungkin ia menahan hati dan hanya mencibirkan bibirnya mengejek,
"Huh-huh. sejak dahulu sampai sekarang peraturan Perguruan Tuban belum pernah berubah. Siapapun yang menjabat sebagai ketua perguruan, haruslah seorang gadis yang masih suci bersih, dan tdak pernah kawin! Huh-huh. jangan membuka mulut sembarangan!.Jika adi Inten yang menjadi ketua kami seorang gadis suci, bagaimanalah mungkin ketua kami Itu mempunyai suami? Hmmm..... tahukah engkau bahwa dengan adanya manusia Iskandar dalam rombongan kami ini, sesungguhnya tiada memberi keuntungan apa-apa, malah menodai kesucian dan nama baik adi Inten! Huh-huh..... tahukah engkau sekarang? " Perempuan itu menoleh kepada dua orang murid laki laki Tuban yang sejak tadi menggotong Iskandar. Terusnya
"Slamet dan Sugeng! Lebih baik engkau serahkan saja manusia Iskandar itu kepada orang yang mempunyai tanggung Jawab!"
Slamet dan Sugeng ini merupakan murid Tuban tingkat muda. Mereka merupakan kemenakan perguruan Telasih. Atas perintah bibi perguruan itu, dua orang lakilaki ini mengiakan. Kemudian menggotong Iskandar kedekat Parang Kusumo. Kemudian terus menyingkir.
"Apa??"Parang Kusumo terbelalak kaget. Demikian pula Jaka Lambang, Suwanda Geni, Jaka Pekik dan yang lain.
"Bukankah iskandar ini suami ketua perguruanmu, suami Rara Inten?"
Memang tidak bisa disalahkan, apabila paman-paman perguruan Iskandar ini, yaitu Parang Kusumo. Suwondo Geni dan Jaka Lambang menjadi kaget memperoleh penyerahan Iskandar itu. Bukankah beberapa hari yang lalu, sebelum Parang Kusumo terpaksa menghajar Iskandar hingga hampir mati, di depan ribuan orang Rara Inten telah mengumumkan bahwa Iskandar ini suami Rara Inten? Tetapi mengapa sebabnya secara mendadak, Telasih berani menyangkal soal ini, dan pada saat Rara Inten tidak ada?
Karena merasa heran dan bingung. maka tiga orang murid Perguruan Kemuning ini mengerutkan alis. Dalam pada itu Jaka Pekik terbelalak heran.
"Kamu jangan mengacau tak keruan!" bentak Telasih dengan lagaknya yang angkuh.
"Sangkamu, manusia macam Iskandar ini berharga bagi ketua perguruan kami?? Huh-huh.......kalau adi Rara Inten sampai mengumumkan sebagai suaminya, bukan lain gara-gara manusia tak kenal budi yang bernama Pekik itu! Tetapi huh huh........tidak terduga........apa yang terjadi justeru lain. Kalau tahu bakal terjadi begini. manakah mungkin ketua kami Rara Inten sedia menodai nama baiknya sendiri, sebagai gadis suci dan sebagai ketua Perguruan Tuban pula ? Huh -huh....... !"
Mendengar kata-kata Telasih itu, Jaka Pekik menjadi bingung. Apakah artinya semua ini? Maka katanya setengah bertanya.
"Jadi......jadi......kakang Iskandar bukan suami Rara Inten?" .
Telasih memalingkan mukanya. kemudian membentak.
"Aku tidak bicara dengan engkau!"
Pada saat itu. tiba-tiba saja Iskandar yang rebah di dalam tandu bergerak dan berkata tidak lancar,
"Apa ......:. apakah bocah Pekik sudah...... dibunuh mati.....?'
"Hi-hik! Janganlah kau mimpi dan mengigau!" Telasih mengejek.
"Maut sudah hampir merenggut nyawamu, engkau masih Juga mengharapkan wanita ayu..."
Melihat sikap Telasih yang angkuh, ketus dan selalu mengejek itu, Jaka Lambang yang halus budi dan halus perasaannya itu, mendekati murid perempuan Tuban yang lain. Murid perempuan ini, dahulu merupakan sahabat baik Endang Bratajaya. Tanyanya,
"Diajeng Sarni, sudilah engkau memberi keterangan kepada kami sejelasnya. Apa yang sudah aku dengar dari mbakyu Telasih tidak jelas dan kami menjadi bingung."
Murid perempuan Tuban yang bernama Sarni ini adalah merupakan sahabat baik sekali bagi Endang Bratajaya. juga murid perempuan Tuban pula. Dikatakan sahabat baik, karena sekalipun muridmurid perempuan Tuban Itu merupakan saudara seperguruan. tetapi di antara mereka selalu tidak rukun dan saling bersaing. Mengapa murid perempuan yang bersaing? Soalnya ialah sudah bukan merupakan rahasia lagi, bahwa murid yang berhak menduduki jabatan sebagai ketua Perguruan Tuban itu, hanyalah wanita-wanita yang "suci". Artinya wanita yang tidak pernah kawin, dan tidak pernah berhubungan dengan laki-laki. Oleh sebab itu, sudah merupakan tradisi bagi setiap murid perempuan, pada lengannya selalu diisi dengan semacam benda, yang disebut "Mustikaning Wanodya". Benda ini merupakan pertanda suci dan tidaknya seorang murid. Apabila benda yang dipasang di lengan itu masih tetap warnanya merah dan tidak hilang, berarti murid itu tetap suci. Akan tetapi sebaliknya apabila benda itu lenyap, berarti murid itu sudah tidak suci lagi. Entahlah dari bahan apa benda tanda kesucian itu dibuat oleh Perguruan Tuban. Namun kenyataannya memang demikian. 0leh sebab itu, bagi Perguruan Tuban, kedudukan murid wanita lebih tinggi dibanding murid laki-laki. Dan dalam memberikan pelajaran ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktianpun, diadakan perbedaan. Murid wanita selalu lebih tinggi tingkat kepandaiannya dibanding murid laki-laki.
Dalam Perguruan Tuban, murid wanita yang tertua bernama Subinem. Perempuan ini, karena merasa sebagai murid tertua. amat menginginkan dan menghendaki kedudukan sebagai ketua. Tetapi harapannya itu menjadi pudar, ketika Nenek Anjani mencalonkan Endang Bratajaya sebagai ketua. Sudah tentu perempuan ini menjadi iri hati, dan selalu berusaha mencelakakan Endang Bratajaya. Kemudian "pucuk dicinta ulam tiba". Endang Brutajaya yang telah ditunangkan dengan Jaka Lambang murid Perguruan Kemuning ini, ketika melaksanakan tugas, ditawan oleh seorang tokoh Gagak Rimang yang bernama Yoga Swara. Selama di dalam tawanan ini, Endang Bratajaya tak dapat mempertahankan kesuciannya lagi, akibat rayuan dan bujuk halus Yoga Swara. Tetapi kemudian Endang Bratajaya menyesal, dan ketika memperoleh kesempatan ia melarikan diri dari tawanan.
Akan tetapi ahhh.. di luar dugaan Endang Bratajaya. Ia telah hamil! Ia menjadi malu dan takut! Maka kemudian ia menyembunyikan diri, dan achirnya melahirkan anak perempuan, bernama Pangastuti. Namun rahasianya ini kemudian terbongkar juga oleh perempuan Subinem, dan akibatnya Endang Bratajaya mati dipukul oleh tangan Nenek Anjani. Ketika terjadi pembunuhan atas diri Endang Bratajaya itu, Pangastuti baru berusia kira-kira tujuh tahun, sedang Jaka Pekik berusia tigabelas tahun. Pemuda kecil Jaka Pekik itu berhasil menyelamatkan Pangastuti dari maut. Yang pada akhirnya berhasil menyerahkan kepada ayah Pangastuti, ialah Yoga Swara, salah seorang tokoh Gagak Rimang. Agaknya memang sudah digariskan oleh Tuhan. Jaka Lambang gagal kawin dengan Endang Bratajaya, tetapi kemudian malah mempersunting puterinya, ialah Pangastuti. Jadi Jaka Lambang sekarang. kedudukannya sebagai menantu Yoga Swara. (Lebih jelas baca "Jaka Pekik").
Tetapi walaupun Endang Bratajaya telah tewas, sebagai calon ketua Perguruan Tuban. bukan Subinem yang dipilih, melainkan Rara Inten. Tentu saja hal ini membuat Subinem penasaran dan amat marah. Hanya sayang. ia tak dapat berbuat apa-apa, karena dalam hal kesaktian maupun ilmu tata kelahi, ia tidak menang melawan Rara Inten.
Atas pertanyaan Jaka Lambang itu, Sarni tidak cepat menyahut. akan tetapi memandang Telasih.
'Mbakyu, saudara Lambang adalah bekas tunangan mbakyu Endang, berarti dia bukan orang luar. Bolehkah aku memceritakan yang terjadi sejelas-jelasnya?"
"Hemm........ soal ini tidaklah perlu membedakan mana orang luar dan mana tidak," sahut Telasih.
"Sudah tiba saatnya kita harus membeberkan apa yang terJadi sebenarnya, agar tidak mengurangi keagungan Perguruan Tuban. dan tidak pula menodai nama baik adi Inten. Ya, yang lebih penting harus dijelaskan kepada semua orang, bahwa sampai saat sekarang ini, adi Inten masih merupakan seorang gadis suci. Berarti tidak pernah melakukan hubungan apapun dengan manusia pengkhianat macam Iskandar itu! Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa tanda kesucian "Mustikaning Wanodya" itu, masih tetap di lengan ketua kita. Kenyataan ini harus dibuka secara lebar, agar semua orang tahu bahwa ketua kami Rara Inten, bukanlah isteri manusia busuk Iskandar. Huh-huh..... menyebalkan......"
Mendengar kata-kata Telasih yang seenaknya sendiri itu, Jaka Lambang makin tidak sabar. Desaknya,
"Adi Sarni! Sudilah engkau memberikan keterangan sebenarnya. Dan juga terangkanlah mengapa sebabnya iskandar bisa diakui sebagai murid Tuban. Lalu. apakah hubungan yang sebenarnya terjadi antara Iskandar dengan Rara Inten? Semuanya harus jelas, perlunya aku dapat memberi laporan kepada guruku. Antara Kemuning dan Tuban merupakan sahabat yang sudah puluhan tahun lamanya berlangsung. Maka persahabatan itu wajib kita jaga. demi kepentingan keturunan-keturunan kita."
Sarni menghela napas panjang. Agaknya perempuan ini amat menyesal juga, dengan terjadinya peristiwa ruwet ini. Setelah ia menebarkan pandang matanya mengamati orang-orang yang hadir, ia berkata,
'Menurut penilaianku, adi Iskandar merupakan seorang pemuda yang sulit dicari lainnya di dunia ini. Hem... hanya sayang, gara-gara wajah ayu dan mabuk Cinta, akhirnya dia jatuh ke dalam jurang derita dan kehinaan. Hem.... mungkin juga bahwa ketua kami adi Rara Inten telah pernah menjanjikan, bahwa setelah Jaka Pekik dapat dibunuh mati, akan sedia menjadi isterinya. Usaha membunuh Jaka Pekik ini, bukan lain sebagai pembalasan dendam dan hinaan yang telah dilakukan Jaka Pekik. Ketika itu, waktu dilangsungkan upacara pernikahan antara adi Inten dengan Jaka Pekik, ternyata bocah itu minggat tanpa alasan. Sudah tentu adi Inten menjadi marah dan merasa terhina sekali. Oleh janji itulah kiranya. maka Iskandar sedia masuk sebagai orang Perguruan Tuban, dan memperoleh pula pelajaran ilmu tata kelahi yang hebatnya tidak terkira dari ketua kami Rara Inten. Ilmu tersebut dimaksudkan untuk mengatasi Jaka Pekik, apabila mendesak dan diperlukan."
Sarni berhenti dan menelan ludah. Sesaat kemudian ia meneruskan,
"Tetapi kemudian, terjadilah sesuatu peristiwa baru. Ketika semua orang berkumpul di sini untuk mengadili dosa Kreti Windu, mendadak ketua kami Rara Inten memaklumkan dirinya sebagai istri Iskandar. Tentu saja kami murid Perguruan Tuban kaget di samping merasa heran sekali. Tetapi suatu hal yang membuat kami bangga. adalah tidak seorangpun dapat menandingi ketua kami yang sakti mandraguna. Hi-hik......"
'Jangan sombong!" bentak Kebo Jalu sambil mendelik.
"Kalau raja kami tidak mengalah, apakah ketuamu itu bila hidup sampai sekarang?"
Tetapi Sarni tidak memperdulikan Kebo Jalu. Ia meneruskan penjelasannya,
'Ketahuilah bahwa kemenangan yang diperoleh ketua kami itu, sudah tentu membuat kami gembira dan bangga sekali. Namun di samping rasa gembira dan bangga, dalam hati timbul rasa tidak puas. Kami semua masih tergoda oleh ucapan ketua sendiri. _yang mengaku sebagai isteri Iskandar. Akhirnya kami berunding dan bersepakat. Kami tanyakan arti ucapan ketua itu. Benarkah sudah menjadi isteri Iskandar? Atas pertanyaan itu, ketua kami tersenyum. Kemudian ia menyingkap lengan baju yang kiri. sambil berteriak, -Semua majulah kemari dan lihatlah !Suara itu terdengar oleh kami amat menyeramkan. Agaknya ketua kami marah. Akan tetapi demi nama baik Perguruan Tuban kami tidak gentar. kemudian berduyun duyun kami maju mendekati adi Rara Inten."
ia berhenti lagi mengambil napas, lalu terusnya,
"Dan apa yang dapat kami lihat pada lengan kiri ketua kami itu? Dengan mata kepala sendiri, aku dapat melihat bahwa "Mustikaning Wanodya' yang merah warnanya itu, masih tetap di tempatnya seperti semula. Itulah merupakan bukti tak terbantah, bahwa ketua'kami Rara Inten masih merupakan gadis suci! Lalu terdengar ia berkata. -Hemm.... .,kalau aku mengumumkan di depan ribuan orang sebagai isteri Iskandar. adalah merupakan rangka rencana melaksanakan tipu dari siasatku. Ketahuilah bahwa aku akan membangkitkan kemarahan bocah setan yang namanya Pekik itu. Jika dia terganggu oleh rasa marah dan mendongkol, sudah tentu ia tak lagi dapat memusatkan pikiran dan semangatnya, sehingga dengan gampang aku akan dapat mangalahkannya. Kamu semua tahu, bahwa bocah setan itu sakti mandraguna, dan tanpa menggunakan tipu dan siasat. tidaklah mungkin aku dapet menang. Hem.......demi kebesaran nama Perguruan Tuban. namaku sendiri tidak ada artinya. Itulah antara lain kata-kata yang diucapkan oeh ketua kami Rara Inten."
Ia berhenti lagi, dan menebarkan pandang matanya kepada sekalian orang yang hadir. Dari cara mengucapkannya yang lantang tanpa ragu-ragu dan juga sikapnya, jelas sekali bahwa Sarni ini amat bangga, bahwa ketuanya masih tetap sebagai gadis suci. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi,
'murid-murid dari perguruan kami. baik laki-laki maupun wanita tidak dilarang untuk kawin. kalau memang dikehendaki .Namun demikian di antara kami murid perempuan, banyak yang memilih tetap dalam keadaan suci tidak menikah. Namun perlu kalian ketahui, bahwa bagi perguruan kami. kedudukan yang paling tinggi dan bisa menduduki jabatan ketua, hanya bisa diberikan kepada wanita suci. Itulah sebabnya maka setiap murid perempuan, pada lengannya tentu dipasang tanda kesucian murid wanita, bernama "Mutikaning Wanodya". Setiap setahun sekali, oleh guru atau ketua perguruan kami, selalu diadakan pemeriksaan terhadap tanda kesucian pada lengan itu. Waktu itu.... ah, lengan mbakyu Endang Bratajaya juga diperiksa...." Ia menghentikan kata-katanya sendiri yang belum selesai. dan tiba tiba saja pipi yang sudah mulai keriput itu bersemu merah. Ia memang sudah tua, usianya lebih kurang limapuluh tahun. Akan tetapi ia masih sebagai gadis suci, maka ia merasa malu untuk menceritakan peristiwa yang telah terjadi antara Endang Brajajaya dengan Yoga Swara, yang mengakibatkan hilangnya tanda kesucian itu. Namun orang juga tidak ada yang mendesak untuk menanyakan. Sedikit banyak semua orang yang hadir ini, telah mendengar pula peristiwa itu.
"Demikianlah saudara Lambang, apa yang terjadi," kata Sarni lagi sesudah berhenti beberapa saat.
"Ketua kami mengumumkan sebagai isteri Iskandar,dengan maksud untuk membakar hati bocah setan Jaka Pekik. Sebaliknya Iskandar yang tergila-gila tidak menyadari telah tertipu mentah-mentah. dan akhirnya amat menderita sebagai akibat kegilaannya sendiri. Sekarang aku hanya berharap, agar kesehatan Iskandar dapat pulih kembali seperti sedia kala. Kemudian dapat diampuni dosa-dosa bocah itu, serta persahabatan antara Tuban dan Kemuning dapat lebih erat dibanding yang telah lalu."
"Jangan kuatir, akupun akan berusaha," sahut Jaka Lambang.
"Akan tetapi tentang Iskandar, hemm.... dosanya amat berat sekali, dan pantas pula dihukum mati. Apa yang telah dilakukan, bukannya membawa keharuman nama Kemuning, tetapi sebaliknya malah menodai dan mencemarkan. Maka apabila bocah itu lekas mati, adalah merupakan jalan paling baik!"
( Bersambung jilid 4)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 4
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
MENDADAK mereka dikejutkan oleh teriakan ngeri ketakutan, amat nyaring dan terdengar dari tempat agak jauh. Mereka semua mengenal bahwa suara itu adalah suara Rara Inten yang sejak tadi siang tidak tampak. Semua orang saling pandang dengan wajah heran. apakah yang terjadi atas diri ketua Perguruan Tuban itu?
Mengapa agaknya Rara Inten ketakutan dan berteriak seperti itu?
Karena kuatir, maka seperti mendapatkan aba, Jaka Pekik, Sarni. Telasih dan beberapa orang yang lain sudah melompat dan berlarian menuju ke asal suara teriakan. Jaka Pekik yang merasa tidak tega kepada perempuan itu menduga, bahwa perempuan itu berhadapan dengan musuh yang amat tangguh. Oleh sebab itu Jaka Pekik mengerahkan kepandaiannya lari, dan dalam waktu singkat ia telah mendahului yang lain. Tak lama kemudian Jaka Pekik telah menerobos hutan di sebelah belakang Pondok Bligo. Kemudian dari jarak yang tak begitu jauh. ia melihat bayangan orang yang berlarian. Tak salah lagi orang itu adalah Rara Inten. Ia cepat menyambut dan bertanya,
"Inten! Apa yang terjadi?"
"Setan aku diuber setan.......!" sahut perempuan itu, dan serta merta Rara Inten sudah menubruk dan memeluk pinggang Jaka Pekik.
Jaka Pekik menepuk-nepuk pundak Rara Inten sambil menghibur,
"Jangan takut! Di manakah setan itu engkau lihat? Biarlah aku yang akan menandingi!"
Keadaan Rara Inten memang menyedihkan. Wajah yang ayu itu sekarang berlepotan darah oleh luka, karena membiarkan tergores oleh duri-duri dan ranting pohon. Mungkin saking takutnya, Rara Inten lari sejadinya, sehingga menerobos semak belukar. Pakaiannya robek di sana sini, dan malah lengan bajunya sebelah kiri hampir putus. Membuat lengan wanita yang kuning halus itu tampak nyata. Jaka Pekik melihat titik merah pada lengan di dekat lipatan lengan. Itulah tanda keperawanan bagi seorang murid perempuan Perguruan Tuban. Melihat itu. pemuda ini memperoleh bukti bahwa Rara Inten masih merupakan gadis suci, dan apa yang dikatakan Sarni tadi bukanlah isapan jempol.
Melihat tanda keperawanan pada lengan Rara Inten ini, tiba-tiba saja berkelebatlah dalam benaknya macam macam peristiwa yang telah dilalui. Ia teringat pula akan pernyataan Rara Inten waktu itu. Bahwa Rara Inten ditawan oleh orang-orang Gerombolan Kendeng, dan dalam tawanan ini telah diperkosa oleh Iskandar, menyebabkan kehamilan. Namun ketika itu iapun ingat, bahwa ketika memeriksa nadi perempuan ini. ia tidak menemukan tanda-tanda kehamilan. Pikir pemuda 'ini.
"Ahh..." ternyata Inten menipuku mentah-mentah! Ia masih gadis suci namun menyatakan telah diperkosa Iskandar dan hamil."
Karena pikirannya yang melayang Itu, tanpa sadarnya, ia telah memeluk Rara Inten lebih erat. Namun hanya sebentar, dan ia sadar kembali. Kemudian pemuda ini mencaci maki dirinya sendiri.
"Huh-huh.... Pekik. kau mata keranjang! Lupakah engkau bahwa perempuan inilah yang sudah mengkhianati engkau. Yang menyebabkan ayah angkatmu Kreti Windu ditawan orang. Yang telah membunuh adik sepupumu sendiri, Salindri! Dia musuhmu, dia selalu mengintaimu untuk dibunuh! Mengapa engkau tidak sadar? Perawan suci atau sudah menikah, engkau toh tidak mempunyai hak apa-apa atas dirinya."
Tetapi karena tubuh Rara Inten menggigil ketakutan, Jaka Pekik tidak tega untuk menolakkan dan melepaskan pelukan wanita ini.
Di pihak lain, setelah memeluk pemuda ini erat-erat, Rara Inten merasa aman. Perempuan ini mengangkat mukanya, memandang Jaka Pekik, lalu terdengar suaranya yang lirih,
"Kakang kakang, benarkah engkau... kakang Pekik?" '
Jaka Pekik tertawa, jawabnya.
"Siapa lagi kalau bukan aku? Mengapa engkau seperti orang ketakutan? Apa yang telah terjadi atas dirimu?"
Rara Inten tidak menyahut, tetapi tiba-tiba perempuan ini malah menangis dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu yang bidang dan kokoh.
Ketika itu, Lawa Ijo, Yoga Swara, Jaka Lambang, Sarni, Telasih, dan beberapa orang yang lain telah tiba di tempat itu. Tetapi ketika mereka melihat Rara Inten sedang menangis dan menyembunyikan muka didada Jaka Pekik, mereka saling memberikan isyarat untuk tidak mengganggu, malah kemudian dengan gerakan hati-hati bersembunyi. Memang bagi orang-orang Perguruan Kemuning, Tuban maupun Gagak Rimang, diam -diam amat mengharapkan, agar pemuda pemudi ini bila kembali rukun. dan akhirnya muda-mudi ini menjadi suami isteri. Sebaliknya terhadap Ratu Wandansari, semua orang ini tidak senang. Karena puteri itu adalah puteri Mataram, berarti musuh pula. Hanya karena mereka semua ini tidak berani untuk mengganggu, maka sekalipun Ratu Wandansari hampir setiap waktu berdekatan dengan Jaka Pekik, tidak seorangpun berani melarang.
Sesudah puas menangis dan tinggal terisak isak, Rara Inten yang masih menyembunyikan mukanya didada itu bertanya.
"Kakang Pekik! Adakah yang menguber aku?"
"Tak ada." sahut Jaka Pekik cepat.
"Siapa yang membuat engkau ketakutan? Apakah Patra Jaya dan Gupala? "
"Bukan...." bukan.....! Cobalah engkau lihat baik-baik. Apakah tiada seseorang....... menguber kemari? Oh bukan... bukan manusia... Ohh..... katakan siapa yang menguber aku kemari?"
Jaka Pekik tak dapat menahan ketawanya.
"Ha-haha,...... manakah mungkin aku tidak melihat? Sudahlah Inten, tenangkanlah hatimu! Mungkin karena engkau terlalu letih, sehingga membuat mata kabur, merasa melihat sesuatu yang menakutkan."
"Tak mungkin! Tiga kali aku melihatnya,"
"Apa yang engkau lihat?"
Rara Inten tidak menyahut. Perempuan ini sambil memegang lengan Jaka Pekik erat-erat, perlahan-lahan menengok ke belakang dengan takut-takut. Tetapi hanya sesaat ia memandang ke belakang, kemudian kembali menyembunyikan wajahnya di dada Jaka Pekik. Tak lama kemudian mengangkat mukanya menatap wajah tampan pemuda itu. Ia melihat bahwa wajah pemuda tampan ini membayangkan kekuatiran. Mendadak saja hati perempuan ini terharu, dan tulang maupun ototnya lemas tiada tenaga, lalu perempuan ini jatuh duduk di atas tanah. Ratapnya.
'Kakang....... kakang Pekik....... aku....... aku sekarang ingin membuka rahasia. Kakang .. ohh, akulah .. . perempuan tak tahu malu, yang sudah menipu engkau habis-habis. Hukhuk-huk . . . . . . . akulah yang telah . telah mencuri pedang Jati Sari dan Jati Ngarang....... Dan....... dan....... Salindri....... Salindri. akulah yang membunuhnya.... Kemudian aku....... aku yang menyebabkan ayah angkatmu tertawan dan menderita..... Kakang, ohh....... aku bukan isteri Iskandar... .... dan tidak menikah juga....... ohh kakang....... kakang..... kakang...hanyalah engkau seorang......"
"Hmm..... aku sudah tahu semua itu !"
"Apa? Sudah tahu ?"
Jaka Pekik mengangguk.
Rara Inten terbelalak, dan wajahnya yang sudah pucat itu makin tambah pucat lagi.
Jaka Pekik yang masih berdiri itu, memandang Rara Inten yang duduk bersimpuh di atas tanah. Tanyanya,
"Tetapi apakah sebabnya engkau melakukan semua itu?"
"Kakang, ohh...... huk-huk-huk....."
Rara Inten menangis lagi sesenggukan, sambil berkata tidak lancar,
"Kakang Pekik. ohh...... semua ini akibat pesan guru..... ketika menjadi tawanan di Mataram. Ketika itu, sesudah guru memilih aku sebagai calon pengganti ketua Perguruan Tuban...... lalu memberitahukan tentang rahasia pedang Jati Sari dan pedang Jati Ngarang. Sesudah membeberkan semua rahasia itu, kemudian.... kemudian... ohh........ kakang, guru memaksa kepadaku agar bersumpah! Kakang Pekik. ohh... aku harus bersumpah bahwa sesudah berhasil mencuri dua pedang kembar itu, aku harus lebih mengutamakan mengangkat derajat dan nama besar Perguruan Tuban . Guru . guru memaksa aku agar tetap bersikap baik seperti sediakala kepadamu, tetapi... tetapi tidak boleh jatuh cinta......."
Karena ia memang sudah tahu akan semua itu, maka Jaka Pekik tidak kaget dan malah merasa kasihan. Hatinya terharu sekali, maka pemuda ini mengusap usap tangan gadis ini. Mendadak.... ya mendadak saja Jaka Pekik ingat akan segala pengalaman yang telah dilalui. Terbayang di depan matanya, sikap dan keganasan guru Rara Inten ini yang sudah meninggal. Ketika itu Nenek Anjani sudah pernah mengucapkan sumpahnya, yang ingin menumpas Gagak Rimang sacindile abang. Kemudian dengan menggunakan pedang Jati Sari. Nenek Anjani telah membunuh ratusan orang perajurit Gagak Rimang yang tak berdosa. Sekarang, gadis di depannya ini adalah ahli waris Nenek Anjani, dan yang menduduki ketua Perguruan Tuban. Pengganti ketua. dan Rara Inten melakukan semua itu, atas dasar pesan terakhir Nenek Anja ni. Kalau toh gadis ini tidak setengah dipaksa oleh Anjani, kiranya tidak akan sampai hati berbuat seperti itu. Jadi apabila bicara tentang dosa dan kesalahan, Nenek Anjani yang sudah mati itulah yang masih menumpuk kesalahan dan dosa.
Pada dasarnya Jaka Pekik memang seorang pemuda berjiwa agung, berhati emas, welas asih dan tidak bisa menanam bibit dendam. Oleh karena itu walaupun sesungguhnya Rara Inten telah melakukan perbuatan yang jahat dan telah menipu dirinya, Ia masih memberikan maaf dan semua itu tak akan diganggu-gugat lagi. Kemudian dengan halus, Ia berkata,
"Inten, katakanlah terus terang, apa yang sudah engkau lihat? Dan mengapakah sebabnya engkau ketakutan setengah mati?"
Tiba tiba Rara Inten meloncat berdiri sambil berteriak,
"Tidak! Aku tak akan memberitahukan kepadamu, dan kepada siapapun! Ohh......aku......aku dikejar oleh setan......setan penasaran! Ohh...aku memang berdosa besar...... dan pantas disiksa begini macam... Kakang.... kakang Pekik......ohh......hari ini aku sudah membukakan suatu rahasia didepanmu. Aku...... aku sekarang sudah agak ringan bebanku......aku......ingin mati......!"
Rara Inten melompat jauh kemudian berlari secepat terbang menuju ke arah Pondok Bligo.
Jaka Pekik hanya dapat mengamati bayangan Rara Inten dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Apakah yang dimaksud oleh Rara Inten?
Setan penasaran?
Apakah ada orang yang menyamar sebagai setan, untuk membalas dendam kepada, Rara Inten?
Sungguh ia merasa heran dan bingung sendiri.
Kemudian Jaka Pekik'_ inipun kembali ke Pondok Bligo. Setiba di tempat itu, ia melihat bahwa murid murid perempuan Tuban sedang sibuk melayani kebutuhan Rara Inten untuk berganti pakaian. Akan tetapi karena tempat itu merupakan tempat terbuka, maka Rara Inten tidak melepaskan bajunya yang robek-robek itu, ditutup begitu saja dengan baju yang utuh.
Jaka Pekik melihat bahwa Rara Inten bicara dengan beberapa orang murid perempuan Tuban. Murid-murid yang diajak bicara itu mengangguk anggukkan kepalanya. Namun apa yang sedang mereka bicarakan. Jaka Pekik tidak tahu. Sesaat kemudian perhatian pemuda ini tertarik oleh sikap Rara Inten yang dianggapnya aneh. Biasanya, Rara Inten ini bersikap angkuh dan galak kepada para penghuni Pondok Bligo. Akan tetapi mengapa sekarang ini ia malah menghampiri, kemudian bicara berbisik-bisik dengan Kyai Makhmud?
Entah apa yang di bicarakan. namun Kyai itu wajahnya tampak berubah, tampak kaget, lalu menggeleng-gelangkan kepalanya, seperti seorang yang tidak percaya akan sesuatu. Tiba-tiba saja perempuan yang biasanya angkuh itu, menjatuhkan diri berlutut di depan Kyai Makhmud dan bibirnya bergerak'gerak mengucapkan sesuatu. Kyai Makhmud mengangguk-angguk, dan jawabannya pun lirih sekali tidak didengar orang lain.
Tiba-tiba saja Jaka Pekik seperti ingat sesuatu, dan menebarkan pandang matanya ke sekeliling, seperti sedang mencari-cari sesuatu. Namun karena yang dicarinya tidak nampak, pada akhirnya ia bertanya agak gugup,
"Di mana Gusti Wandansari?"
Para tokoh Gagak Rimang-pun kaget, dan semua mata mencari-cari. Namun mereka semua tidak melihat bayangan Ratu Wandansari. Jaka Pekik amat kuatir sekali. Maka cepat diperintahkan kepada Yoga Swara dan Madu Bala, supaya menyebar orang mencarinya. Diam-diam ia menduga, mungkinkah puteri itu diam-diam pergi, karena melihat dirinya tadi berpelukan dengan Rara Inten?
Ah...... kalau dia cemburu, mungkinkah puteri Mataram itu benar-benar mencintai dirinya?
Pada saat orang-orang Gagak Rimang menjadi sibuk mencari Ratu Wandansari itu, mendadak Kalintung datang menghadap. Sesudah memberikan hormatnya, kemudian melapor,
"Melaporkan kepada paduka raja, bahwa kami tadi melihat Gusti Wandansari lari menuruni bukit !'
Mendengar itu Jaka Pekik amat berduka. Katanya perlahan,
"Kita harus mengakui akan jasa-jasa puteri itu, yang telah banyak membantu aku memecahkan soal-soal rumit yang aku hadapi. Tidak! Aku tidak bisa membiarkan puteri itu celaka!" Pemuda ini mengangkat mukanya menatap Yoga Swara yang berdiri tidak jauh. Kemudian katanya berwibawa,
"Paman Swara! Untuk sementara waktu, segala sesuatu yang menyangkut Gagak Rimang aku serahkan kepadamu. Aku harus pergi mencari dia!"
Tanpa menunggu jawaban dan menyia-nyiakan waktu lagi, pemuda ini sudah berlarian pergi. Dalam waktu amat singkat sudah tidak tampak bayangannya lagi. Pemuda ini menjelajah seluruh wilayah Pondok Bligo, dan malah sudah ke utara hampir tiba di Madiun. Namun ia belum memperoleh tanda tanda tentang Ratu Wandansari. Semalam suntuk Jaka Pekik mencari, tetapi yang dicari seperti lenyap ditelan bumi. Ia tidak tidur sekejappun, dan tanpa mengenal lelah dan letih. ia terus mencari ke sana ke mari. Ketika pagi tiba, iapun masih terus berusaha menemukan puteri Mataram itu. Mendadak ia menduga, bahwa Ratu Wundansari menyusul Pangeran Kajoran yang baru dilepaskan. Ia kembali berlarian ke utara. Ia menyelidik di Madiun. Namun walaupun ia sudah berusaha mati-matian, tanpa mengenal lelah, usahanya tetap sia-sia. Dan akhirnya ia berpendapat, bahwa tidak mungkin Ratu Wandansari menyusul saudaranya.
Ia kembali ke selatan menuju Gunung Bligo. Kadang kadang ia memanjat pohon tinggi menyelidik. Kadang kadang ia mendaki bukit untuk memandang sekeliling. Namun Ratu Wandansari tak juga tampak batang hidungnya.
Karena hati gelisah, lelah dan kurang tidur, tenaganya seperti habis. Maka setelah ia tiba kembali di Pondok Bligo, tanpa diketahui oleh seorangpun, ia memanjat pohon yang besar dan tinggi yang letaknya di belakang Pondok Bligo. Ia merebahkan diri di atas dahan pohon besar. Saking lelah, ia tertidur.
Tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang peka menangkap suara langkah kaki seseorang yang amat ringan, tak jauh dari pohon dimana ia tidur. Ia terjaga dan membuka matanya. Dilihatnya bulan tua telah terbit di timur, memancarkan cahaya yang tidak begitu gemilang. dan cahaya itu tak dapat menembus lebatnya daun pohon hutan itu. Akan tetapi sekalipun demikian. matanya yang awas dapat melihat seseorang yang sedang melangkah ringan menuju ke arah Pondok Bhgo. Ternyata orang itu perempuan, tubuhnya sama benar dengan Ratu Wandansari. Pemuda ini gembira bukan main, dan hampir saja ia berteriak memanggil.
Namun sesaat kemudian pemuda ini mengerutkan alisnya yang hitam tebal. Setelah diperhatikan, jelas sekali perbedaan Ratu Wandansari dengan perempuan yang lewat ini. Walaupun bentuk tubuhnya sama rampingnya, akan tetapi perempuan ini lebih tinggi lagi. Ia mengamati perempuan itu penuh perhatian, dan dalam hati bertanya,
"Siapakah dia? Perempuan, seorang diri diwaktu malam. Apakah maksud perempuan ini?"
Tiba tiba saja timbullah rasa kecurigaannya. Siapa tahu perempuan ini akan melakukan sesuatu yang tidak baik bagi Pondok Bligo?
Karena curiga, dengan hati hati ia segera turun dari pohon. Kemudian dengan langkahnya Yang ringan ia mengikuti perempuan itu dari jarak agak jauh. Ia memperhatikan sekeliling, siapa tahu perempuan ini datang tidak sendirian. Namun karena tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan, maka Ia dapat memastikan bahwa perempuan ini datang seorang diri. Yang membuat ia heran. mengapa perempuan ini melangkah dengan amat tenang, dan tidak pernah memalingkan mukanya ke belakang?
Perempuan itu bentuk tubuhnya seperti sudah Ia kenal. Hanya ia tidak bisa ingat lagi, siapakah wanita ini?
Perempuan yang dibayangi itu menuju Pondok Bligo tanpa ragu-ragu. Dan ketika jaraknya tidak jauh lagi dengan pondok, ia kaget berbareng heran. Dari pondok itu terdengar suara riuh para santri sedang mengaji. Hatinya bertanya tanya, apa sebabnya murid-murid Pondok Bligo itu malam larut begini masih membenamkan diri dengan Al Qur'an?
Wanita yang dibayangi itu terus mendekati pondok. Namun sekarang langkah kaki wanita itu makin perlahan dan hati-hati. Jaka Pekik terus mengikuti. Tiba tiba telinga Jaka Pekik mendengar suara langkah kaki ringan dan cepat-cepat Jaka Pekik bersembunyi pada rumpun rumput tinggi. ia menjadi lega ketika melihat empat orang murid Bligo meronda. Setelah mereka pergi, ia mengangkat kepala, dan melihat wanita tersebut melompat ke luar dari tempat persembunyiannya.
Perempuan itu, setelah keluar dari tempat persembunyiannya, kemudian mendekati jendela. Dari lompatan maupun gerakannya. ia cukup tahu bahwa perempuan itu bukanlah sembarangan orang.
"Tetapi....... perempuan ini tidak membekal senjata," kata Jaka Pekik dalam hati.
"Kiranya ia memang tidak mengandung maksud jelek."
Namun Jaka Pekik ini merasa penasaran juga. mengapa tidak bisa memandang mukanya. Ia mengenal bentuk tubuh perempuan ini, akan tetapi kapan dan di mana?
Ia sudah tidak ingat lagi. Karena ingin sekali bisa mengenal wajah perempuan ini. maka dengan diam-diam ia telah mengambil jalan memutar. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati sendiri, dengan apa yang dilakukannya sekarang ini. Kalau hanya wanita ini yang tahu, tidaklah mengapa. justeru apa yang dilakukan sekarang ini untuk mengawasi gerak-geriknya. Akan tetapi kalau apa yang dilakukannya ini diketahui oleh para penghuni Bligo, dirinya bisa dianggap melakukan pengintaian. Mengingat akan ini, maka apa yang dilakukan makin berhatihati.
Dari celah-celah jendela ini, Jaka Pekik mengintai ke dalam. Dalam ruangan itu tampaklah lebih sepuluh orang murid Bligo bersila di atas tikar, sedang tenggelam dalam ayat-ayat suci Al-Qur'an. Di antara murid murid Bligo ini tampak pula Kyai Makhmud dan Rara Inten. Melihat hadirnya Rara Inten di dalam Pondok Bligo mi, Jaka Pekik menjadi sadar. Ahh. kiranya Rara Inten telah minta pertolongan kepada Kyai Makhmud, agar mengusir "setan" yang selalu mengejar-ngejar dan mengganggunya. Agaknya ketika malam itu Rara Inten berlutut di depan Kyai Makhmud, bukan lain untuk maksud ini.
Ia melihat bahwa Kyai Makhmud sedang berkemak kemik membaca do'a. Sebaliknya Rara Inten yang gelisah itu, tanpa sesadarnya mengucapkan kata-kata agak keras.
"Salindri...... mengapa engkau mengejar-ngejar aku? Engkau....... telah mati....... rohmu.... jangan menggoda dan mengganggu.......!"
Mendengar kata-kata Rara Inten yang nadanya meratap itu, mendadak saja jantung Jaka Pekik berdebar. Pikirnya,
"Ahhh....... Indri....... kau memang bernasib malang. Aku....... aku tak pernah menduga bahwa Inten tega kepadamu....... !" Jaka Pekik menghela napas panjang. Akan tetapi sesaat kemudian ia berkata lagi dalam hati,
"Tetapi Indri telah pulang, dan kalau toh sekarang rohnya penasaran... hemm, Intenlah yang lebih menderita. Hidupnya selalu tidak tenang."... dan sekarang merasa dikejar-kejar oleh Indri......."
Jaka Pekik mengintai terus ke dalam ruangan itu.Agaknya sudah terlalu lama Rara Inten duduk, dan merasa tidak betah lagi. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan memandang ke arah jendela, dan....... menjerit nyaring,
"Kau....... kau datang lagi?"
Jaka Pekik kaget!
Ia mengintai ke arah jendela di mana Rara Inten tadi memandang.
Ahh....... dilihatnya wajah seorang perempuan yang menyeramkan, karena wajah itu penuh bekas luka. Wajah perempuan itu, penuh oleh goresan-goresan senjata tajam. Jaka Pekik berjingkrak. Ia belum lupa akan bentuk wajah itu. Walaupun sekarang ini wajah itu penuh bekas luka goresan senjata tajam dan menyeramkan, tetapi itulah wajah Salindri. Wajah puteri pamannya Indrajit. Wajah adik sepupunya, yang telah dikubur di Pulau Bawean ketika itu. Gadis malang, yang dikejar-kejar oleh ayahnya sendiri untuk dibunuh, kemudian menjadi murid Nenek Ratih. Ia dapat menolong dan menyelamatkan dari tangan Nenek Ratih yang bermaksud mencelakakannya, akan tetapi harus mati di Pulau Bawean.
Timbullah keinginan Jaka Pekik untuk mendekatinya.Tetapi lututnya lemas dan tak mau digerakkan. Jaka Pekik sempat melihat Rara Inten roboh terguling dan pingsan. Sedang wajah Salindri yang tadi tampak di sela-sela jendela itu sekarang telah hilang lagi.
Namun sesaat kemudian pemuda ini seperti disadarkan. Ia tidak percaya bahwa wajah yang dilihatnya tadi. merupakan penjelmaan rohnya Salindri yang penasaran. Ia merasa pasti bahwa adik sepupunya itu masih hidup. Sebab kalau bukan orang hidup, taklah mungkin bisa diikuti gerakannya sejak tadi. Hanya yang membuat ia setengah tidak percaya. ketika itu raga Salindri diketemukan telah mati dan tidak bernapas. Kemudian Salindri dikuburkan di Pulau Bawean. Mengapa sekarang secara mendadak Salindri muncul?
Mungkinkah orang yang sudah mati bisa hidup kembali?
Namun kenyataannya memang demikian. Ia melihat wajah Salindri yang penuh bekas luka goresan senjata tajam. Walaupun manusia mati tidak mungkin bisa hidup kembali. tetapi kalau Tuhan menghendaki siapa yang bisa membantah?
Tuhan agaknya menghidupkan kembali Salindri. guna melaksanakan hukuman yang harus diderita oleh Rara Inten yang sudah banyak dosanya.
Tiba-tiba saja Jaka Pekik melompat. Teriaknya nyaring,
"Indri! Indri! Tunggulah aku! "
Teriakan Jaka Pekik itu memecah malam larut, menggema sampai ke tempat yang cukup jauh. Pemuda ini mengejar ke arah perempuan tadi pergi. Namun, hati pemuda ini jadi berdebaran dan jantungnya berdegup cepat. Wanita itu telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya, dan bulu kuduknya berdiri. Sesungguhnya ia tidak takut kepada segala macam hantu dan setan. Tetapi apa yang baru dilihatnya amat mempengaruhi pikirannya saat sekarang ini. Kalau toh benar Salindri itu sekarang hidup kembali, sudah tentu ia senang sekali. Tetapi kalau benar wanita tadi bukan Salindri yang masih hidup, ahh.....
Sementara itu para murid Bligo bermunculan keluar karena kaget mendengar teriakan orang yang nyaring. Mereka dengan suluh berpencaran mengadakan panyelidikan. Ketika mereka melihat Jaka Pekik, mereka kaget di samping merasa heran. Salah seorang murid Bligo yang berusia kira-kira empatpuluh tahun, memberikan hormatnya sambil berkata,
"Ahh...... sudilah tuan memaafkan kami. Karena kami tidak tahu bahwa tuan datang berkunjung, maka kami tidak menyambut......"
"Aku tidak sengaja datang kemari," sahut Jaka Pekik dengan wajah agak tersipu malu, sambil memberi hormat sebagai balasan. Kemudian Jaka Pekik dipersilahkan masuk ke dalam ruangan di mana para murid Bligo sedang sibuk membaca ayat suci Al Qur'an. Begitu masuk ke dalam, perhatiannya yang pertama kepada Rara Inten yang masih pingsan. Ia cepat memberikan pertolongan supaya wanita itu cepat menjadi sadar. Beberapa saat kemudian Rara Inten membuka matanya dan sadar. Akan tetapi begitu sadar wanita ini sudah menubruk dan memeluk Jaka Pekik sambil berteriak,
"Setan.......!"
Jaka Pekik menghela napas dan amat terharu.
"Aku sendiripun heran," kata Jaka Pekik pada akhirnya.
"Tetapi Inten..... engkau tidak perlu takut! Bukankah di sini terdapat banyak para Ulama yang bisa melawan dan menyingkirkan setan-setan penasaran itu ?"
Tadi saking takutnya, Rara Inten tidak ingat apa-apa lagi. tanpa malu-malu telah menubruk dan memeluk Jaka Pekik. Akan tetapi sekarang setelah mendengar Jaka Pekik bicara, dan ingat pula bahwa di situ hadir banyak orang. wajah perempuan ini bertemu merah, agaknya merasa malu sekali. Maka cepat-cepat dilepaskannya pelukannya. Namun demikian tubuhnya masih Juga gemetaran, sedang dua belah tangannya masih belum mau melepaskan tangan Jaka Pekik. Bagaimanapun pula, Rara Inten masih amat takut.
Jaka Pekik membungkukkan badannya memberi hormatnya kepada Kyai Makhmud. Kepada Kyai pemimpin Pondok Bligo ini ia menceritakan tentang seorang yang wajahnya penuh bekas luka benda tajam. Namun Kyai Makhmud menggeleng kepala dan mengatakan tidak melihatnya. .
Sementara itu setelah pulih kembali kesadarannya, Rara Inten berkata tidak lancar,
"Kakang....... kakang Pekik..... aku tadi...... melihat dia......."
Agak lama Jaka Pekik baru memberikan jawabannya,
"Memang..... akupun tadi melihat dia....."
"Apa??" Rara Inten membelalakkan matanya yang bening.
"Engkau... engkau juga melihat dia......?'
Jaka Pekik mengangguk.
"Siapa........ yang engkau lihat ?" Rara Inten minta ketegasan.
"Dia......... Indri...... Salindri, adik sepupuku, puteri paman Indrajit !"
Akan tetapi sungguh di luar dugaan. Begitu mendengar jawaban Jaka Pekik itu, mendadak saja tubuh Rara Inten bergoyang-goyang. matanya tiba-tiba terpejam....... lalu pingsan... lagi. Untung sekali bahwa Jaka Pekik tangkas dan menyambar pinggang perempuan itu. Hingga Rara Inten tidak roboh terguling. Jaka Pekik dan Kyai Makhmud menjadi sibuk. Untung sekali bahwa tidak lama kemudian Rara Inten telah sadar kembali.
Begitu Rara Inten sadar, karena hatinya terharu dan kuatir, maka Jaka Pekik cepat menghibur,
"Inten......,. yang kulihat tadi bukan setan.."! Dia manusia biasa.... dia adalah Salindri. puteri paman Indrajit."
"Tetapi..... tetapi mungkinkah itu? Benarkah...... tadi yang kulihat bukan setan.....?' Rara Inten masih kurang percaya.
"Benar ! Dia bukan setan ! Aku sejak tadi "membayangi..." dan menurut apa yang kulihat, dia adalah manusia biasa..... adik sepupuku Salindri..... tenanglah, Inten . !" Namun sekalipun ia berkata demikian, dalam hatinya berkata lain. Kalau ia berkata demikian bukan lain untuk menghibur perempuan ini. Sebab ia sendiri merasa tidak yakin, bahwa apa yang tadi dilihatnya benar-benar Salindri. Memang kalau melihat bentuk tubuhnya, bentuk wajahnya, ia merasa pasti bahwa itu Salindri, sekalipun sekarang wajahnya tampak mengerikan penuh bekas luka senjata tajam. Akan tetapi, dahulu ia sendiri yang menemukan Salindri sudah menggeletak tak bernyawa. Detak jantung maupun ketuk nadinya telah berhenti. Karena ia menemukan Salindri telah mati menderita luka-luka itu, maka dengan hati yang amat sedih ia menguburkan Salindri di pulau itu. Pulau Bawean yang beriwayat!
Di mana di pulau itu Rara Inten berkhianat. Mencuri pedang Jati Sari dan pedang Jati Ngarang, mengusir Wandansari, membunuh Salindri, dan merobohkan dirinya maupun Kreti Windu dengan racun. Semua itu jelas telah terjadi. Salindri mati dibunuh oleh Rara Inten, kemudian ia kuburkan di sana. Mungkinkah seorang yang telah mati dan dikuburkan bisa hidup lagi?
Bisa keluar dari lubang kuburan?
Mengingat akan semua ini Jaka Pekik menjadi ragu-ragu. Benarkah apa yang tadi dilihatnya Salindri, dan bukan arwahnya yang menjadi setan penasaran, menguber Rara Inten yang telah membunuhnya?
Jaka Pekik menjadi bingung memikirkannya.
Pada saat Jaka Pekik merenung ini, Rara Inten bertanya.
"Benarkah tadi.....bukan setan? Kakang..ohh. engkau jangan menipu....."
Karena sesungguhnya Jaka Pekik sendiri merasa tidak yakin dan ragu-ragu, maka ia memalingkan mukanya Ke arah Kyai Machmud,
"Bapa Kyai, sungguh...aku menjadi amat bingung menghadapi peristiwa ini. Sudilah bapa memberi keterangan. mungkinkah seseorang yang telah mati, arwahnya bisa menjelma menjadi setan yang menggoda manusia? "
Kyai Makhmud mengerutkan dahinya. Sesaat kemudian, sahutnya,
"Hal-hal yang bersangkut-paut dengan akhirat, adalah tidak mudah dijelaskan. Namun memang bisa terjadi roh itu melakukan gangguan kepada manusia. Roh demikian ini merupakan roh yang tidak ikhlas, roh seseorang yapg mati sebagai akibat pembunuhan, bunuh diri maupun yang lain. yang tidak lumrah! Atau pula roh seseorang yang terlalu banyak dosanya ketika masih hidup didunia ini, atau pula seseorang yang mati tetapi masih terus ingat akan harta bendanya yang ditinggalkannya..... Semua itu memang bisa terjadi, tetapi semua itu adaah rahasia Tuhan... "
"Ahhb....." Rara Inten menjerit tertahan. Sekarang makin menjadi yakin, bahwa apa yang dilihatnya adalah roh Salindri yang penasaran. Demikian pula Jaka Pekik, keraguannya makin menjadi-jadi.
"Semua tadi adalah merupakan roh-roh yang tersesat." Kyai Makhmud meneruskan.
"Maka kami berkewajiban untuk memohonkan ampun atas dosa-dosanya itu kepada Tuhan. Agar roh tersebut dapat diterima oleh Tuhan, memperoleh tempat yang layak, sehingga tidak mengganggu manusia lagi."
Mendengar keterangan itu Jaka Pekik mengangguk angguk puas. Kemudian, ia baru menyadari bahwa kedatangannya yang tiba-tiba di tempat ini adalah mengganggu.
"Maafkan saya, Bapa, telah mengganggu."
"Ahh, tidak apa! Anakmas Pekik bagi kami adalah perantara Tuhan menolong dan menyelamatkan Pondok Bligo. Untuk itu tak mungkinlah kami dapat membalasnya."
"Ahhh... tidak! Bukan saya tetapi sekalian saudara yang telah bersama-sama melawan dan menghalau musuh ..." '
Akan tetapi Jaka Pekik merasa, tidak kerasan lagi mengganggu para santri yang sedang mengaji. Ia kemudian minta diri. Entah mengapa sebabnya, walaupun ia sudah memperoleh keterangan dari Kyai Makhmud. dan merasa yakin pula bahwa Salindri telah mati, akan tetapi hatinya tidak puas bahwa apa yang tadi dilihatrya manusia biasa. Buktinya ketika murid Bligo meronda.Salindri menyembunyikan diri. Kalau benar bukan manusia, dan merupakan roh yang penasaran, kiranya taklah perlu bersembunyi, sebab tak akan terlihat oleh manusia. Ia merasa penasaran sebelum dapat memecahkan rahasia ini. Ia merasa belum puas sebelum yakin bahwa apa yang tadi dibayangi itu, bukan Salindri yang masih hidup seperti dirinya.
Tetapi Rara Inten telah menyambar lengan Jaka Pekik sambil berkata.
"Aku ikut ......!"
Jaka Pekik merasa tak enak hati kalau menolak. Maka ia mengangguk, kemudian mereka melangkah ke luar dari tempat itu.
"Kau berani?" tanya Jaka Pekik setelah berjalan agak jauh.
Rara Inten tidak cepat menyahut. Ia menatap wajah Jaka Pekik dengan wajahnya yang masih pucat. Memang hati perempuan ini masih ngeri dan takut sekali. Namun karena ia bersama Jaka Pekik, ia kemudian tersenyum,
"Dengan kau.... aku tidak takut."
Jaka Pekik tersenyum. Ia tidak membuka mulut. kemudian bersama ketua Perguruan Tuban ini,Jaka Pekik berlarian menerobos hutan. Berlarian berdampingan dengan Rara Inten ini, dan menghirup bau harum dari rambut perempuan ini. hati pemuda ini tidak keruan. Dari lukisan ayahnya pada dinding lubang tempat tahanan ayah angkatnya, Kreti Windu, ia sadar bahwa Rara Inten ini telah berkhianat. Malah lewat mulut murid Tuban ia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rara Inten ini telah merencanakan untuk membunuh dirinya. Akan tetapi hati dan perasaannya adalah lain. Ia merasa tidak tega. Entah mengapa sebabnya. Karena perasaannya itu, Jaka Pekik tidak membuka mulut. Sedang Rara Inten yang masih takut-takut dan ngeri, juga berdiam diri.
Akan tetapi setelah agak jauh mereka berlarian, Rara Inten merasa tidak betah lagi berdiam diri,
"Kakang Pekik....... masih ingatkah engkau ketika kita sama sama kecil? Aku telah diselamatkan oleh kakek gurumu, kakek Wisnu Murti. Hemm, kalau saja aku tahu, bakal banyak menderita begini, sesungguhnya aku menyesal. .. . . mengapa ketika itu aku tidak mati....."
Apa yang dimaksud oleh Rara Inten ini. adalah peristiwa sembilan tahun yang lalu. Ketika itu Jaka Pekik yang menderita keracunan akibat pukulan AJI Wisa Naga dari perajurit Mataram, berusaha memperoleh pertolongan dari Pondok Bligo. Akan tetapi kedatangan Wisnu Murti dan Jaka Pekik di Pondok Bligo, tidak memperoleh sambutan manis. Hal itu disebabkan karena antara Kemuning dan Pordok Bligo terjadi ketegangan, sebagai akibat, tuntutan Pondok Bligo tidak dipenuhi oleh Wijaya dan Sitaresmi, ialah guru dan orang tua angkat Jaka Pekik, tentang di manakah sekarang Kreti Windu yang berdosa besar kepada Pondok Bligo bersembunyi? Kukuhnya pendirian Wijaya dan Sitaresmi yang ingin melindungi Kreti Windu. mengakibatkan suami istri ini memilih jalan membunuh diri.
Karena Pondok Bligo kecewa oleh sikap murid Kemuning itu, maka kedatangan Wisnu Murti dan Jaka Pekik ke Pondok Bligo tidak memperoleh sambutan manis. Kyai Makhmud menyerahkan pengobatan Jaka Pekik ke pada murid Bligo yang bernama Kasim. Tetapi Kasim tidak memberi pertolongan, malah membuat Jaka Pekik celaka!
Begitu pulang dari Bligo, derita Jaka Pekik makin parah dan beberapa kali pingsan. Peristiwa ini membuat Wisnu Murti sedih dan khawatir sekali akan kesehatan Jaka Pekik. Dalam perjalanan pulang ini, di tengah jalan Wisnu Murti melihat seorang laki laki yang telah menderita luka dikejar-kejar perajurit Mataram, sambil mendukung dua orang anak kecil. Melihat itu Wisnu Murti tidak tega dan memberikan pertolongan. Tetapi sebagai akibat luka-lukanya, anak laki-laki itu (kakak Rara Inten) tewas. Yang selamat Rara Inten dan laki-laki itu, bernama Sarkara.
Sarkara menceritakan, bahwa dirinya seorang hamba Bupati Ponorogo. sedang Rara Inten adalah cucu Bupati Ponorogo .Karena tidak mau menyerahkan cucu-cucu Bupati Ponorogo itu. dirinya dikejar kejar. Maka Sarkara mengucapkan terimakasihnya atas pertolongan Wisnu Murti yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Dan karena Sarkara menderita luka cukup parah, maka kemudan mereka istirahat di desa Parang. Di desa ini Sarkara memperoleh pertolongan Wisnu Murti. Sedang Jaka Pekik yang menderita dan bergerakpun tak bisa. ditunggui oleh Rara Inten. malah ketika makanpun Rara Inten yang menyuapkannya. Pada akhirnya kemudian, Sarkara menawarkan jasa baiknya untuk membawa Jaka Pekik kepada tabib Wesi Aji di kaki Gunung Lamongan. Sedang Rara Inten diserahkan kepada Wisnu Murti. Kemudian ternyata Rara Inten oleh Wisnu Murti diserahkan kepada Perguruan Tuban untuk dididik. (Untuk mengikuti cerita ini lebih jelas, bacalah "Jaka Pekik")
Diingatkan kepada peristiwa yang telah lama berlalu itu, Jaka Pekik terharu. Pemuda ini ingat ketika Rara Inten menyuapkan nasi ke mulutnya sambil menghibur, sehingga ia mau makan. Diingatkan akan peristiwa itu, Jaka Pekik makin merasa tidak tega kepada perempuan ini. sekalipun sudah mengkhianatinya. Ia tersenyum, kemudian mengangguk.
"Aku tahu, bahwa maksud kakek gurumu yang menyerahkan diriku kepada Perguruan Tuban. mempunyai iktikad baik....." Rara Inten meneruskan.
"Tetapi.....tetapi andaikata kakek gurumu mau mendidikku sebagai muridnya, aku sebagai murid Kemuning, keadaannya akan menjadi lain! Ahh..memang aku tidak bisa mengingkari, ibu Anjani sebagai guruku, amat kasih dan amat sayang kepadaku. Namun.....akibatnya kemudian, aku.....aku dipaksa oleh guruku bersumpah.....bersumpah yang amat berat sekali. Aku.....aku dipaksa harus membenci Gagak Rimang....membenci engkau.... akan tetapi hatiku....ohh.."
Jaka Pekik makin menjadi terharu hatinya. Ia tahu bahwa segala yang terjadi dan segala yang dilakukan Rara Inten, bertentangan dengan kehendak hati perempuan ini sendiri. Rara Inten dipaksa oleh gurunya, di paksa oleh mendiang Nenek Anjani yang membabi buta membenci dirinya dan Gagak Rimang. Walaupun perguruan yang lain telah merobah sikap setelah Jaka Pekik dan Gagak Rimang menunjukkan iktikad baik dan telah memberikan pertolongan, namun Nenek Anjani tetap saja tidak senang dan tetap menganggap musuh.
Rara Inten menatap wajah tampan Jaka Pekik yang terkena sinar bulan secuwil. Kemudian lanjutnya,
"Kakang....... kakang Pekik! Masih ingatkah engkau ketika kita melangsungkan perkawinan?"
"Ingat!" sahut Jaka Pekik.
"Aku sungguh heran sekali, kakang....... mengapa begitu Wandansari datang, mendadak saja engkau pergi meninggalkan upacara yang tengah berlangsung? Sesungguhnya .. . . . sesungguhnya bagaimanakah perasaan hatimu. . . . . . .? Kau. . .. kau mencintai perempuan itu?"
'Hemm, peristiwa inilah yang selalu mengganggu hati dan pikiranku. Telah amat lama sekali aku ingin memberi penjelasan kepadamu! Marilah kita duduk yang enak, agar engkau dapat mendengarkan secara gamblang. .. ..."
Ketika itu, justeru tanpa terasa, perjalanan mereka berpindah arah. Kalau semula mereka bermaksud akan mencari Salindri yang membuat Rara Inten ketakutan setengah mati, ternyata sekarang mereka telah dekat sekali dengan tempat Gagak Rimang beristirahat. Ia mengajak Rara Inten duduk berjajar di atas sebuah batu yang cukup besar.
"Inten, bukan karena aku bermaksud mengkhianati engkau," Jaka Pekik mulai menerangkan.
"Ketika itu begitu Gusti Wandansari datang, ia menunjukkan rambut merah. Tentunya engkau tahu juga bahwa rambut merah merupakan ciri khusus rambut ayah angkatku Kreti Windu. Melihat rambut itu sudah tentu aku menjadi kaget di samping tertarik. Ketika itu engkaupun tahu, bahwa aku telah mencari ayah Kreti Windu sejak lama. Namun usahaku sia-sia belaka, dan aku tak tahu di mana dia. Aku menjadi amat mengkhawatirkan ayahku itu.Maka tanpa pikir panjang lagi. aku segera pergi mengikuti Gusti Wandansari. Hmm. Inten! Bagiku, tiada suatu perkara yang lebih penting dan harus aku perhatikan kecuali ayah Kreti Windu. Dia telah tua, dan telah buta pula, maka bagaimanapun pula aku harus bila menolong dan menyelamatkannya."
Jaka Pekik berhenti dan menatap wajah Rara Inten. Setelah menelan ludah, ia melanjutkan,
"Inten,akan tetapi kemudian ternyata semua usahuku gagal. Ayah Kreti Windu telah ditawan oleh Pondok Bligo. Dan peristiwa itu, seperti diketahui banyak orang, persoalan ayah Kreti Windu baru beberapa hari saja selesai dalam suasana menggembirakan. Ternyata walaupun ayah Kreti Windu dianggap banyak orang melakukan pembunuhan-pembunuhan dan perbuatan-perbuatan lain yang menggemparkan, akan tetapi memang ada sebabnya. Semua itu usaha Cinde Amoh alias Kasim, yang kedudukannya sebagai guru ayah sendiri, Siasat licik licin dan busuk Cinde Amoh untuk menjerumuskan ayah Kreti Windu ke jurang kehinaan. dan Cinde Amoh bercita'cita untuk merebut dan menguasai Pondok Bligo, Ayah Kreti Windu telah menjadi korban siasat busuk Cinde Amoh hingga dikutuk oleh banyak orang. Namun, hm.... Tuhan selalu adil. Pada akhirnya mata semua orang terbuka. Cinde Amoh yang berdosa memperoleh hukuman setimpal, mati di tangan ayah Kreti Windu ketika bertempur seorang lawan seorang. Sebaliknya ayah yang semula dituduh berdosa, memperoleh pengampunan, malah kemudian diterima sebagai salah seorang murid Bligo."
Rara Inten mendengarkan tanpa membuka mulut. Melihat Rara Inten hanya berdiam diri itu. Jaka Pekik mengira perempuan ini marah,
"Inten! Apakah engkau marah kepadaku?"
Tetapi tiba-tiba saja Rara Inten menangis terisakisak.
"Kakang.,ohh.....kakang Pekik, akulah sesungguhnya yang banyak berbuat salah dan berdosa kepadamu. Karena itu aku tidak bisa menyalahkan engkau, dan aku hanya bisa..... menyalahkan diriku sendiri, huk-huk.... Maka tak ada alasan aku marah kepadamu....."
Mendengar dan melihat Rara Inten menangis terisak isak itu, hati Jaka Pekik makin merasa terharu. Dan tiba-tiba Rara Inten mengangkat mukanya, menatap Jaka Pekik,
'Kakang.....sediakah engkau menjawab pertanyaanku ini dengan setulus hati?"
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka Pekik mengangguk.
"Ya, setulus hati!"
"Kakang.....ohh. kakang Pekik.....aku tahu. bahwa di dunia ini terdapat empat orang gadis yang mencintai engkau....Kakang Pekik..... maafkanlah aku jika dalam kesempatan ini aku akan mengemukakan isi hatiku. Kakang, bukannya aku bermaksud mengganggu ketenangan hati dan perasaanmu..." Rara Inten berhenti dan menatap wajah tampan itu. Lanjutnya,
"Kakang, empat gadis yang mencintai engkau dengan segenap jiwanya itu, yang pertama adalah Sawitri. Akan tetapi Sawitri sekarang sudah berada di Banten. Telah menjadi Ratu Surasaji."
Surasaji adalah sebuah perkumpulan pejuang yang gigih. tiada bedanya dengan Gagak Rimang. Kalau Surasaji melawan Raja Banten yang dianggapnya tidak syah, maka Gagak Rimang melawan Mataram, yang dianggapnya tidak syah, karena bukan keturunan Demak.
"Yang kedua adalah....... Gusti Wandansari....... dan yang ketiga...... dia...." Rara Inten ingin menyebutkan nama salindri, akan tetapi kata-kata itu tak mau keluar dari mulutnya. Namun setelah menghela napas panjang, Rara Inten meneruskan,
"Kakang..... kecuali Sawitri, kami bertiga merupakan perawan-perawan telah pernah melakukan perbuatan yang kurang baik untukmu. Akan tetapi..... akan tetapi andaikata sekarang, aku. Sawitri. Gusti Wandansari dan Salindri berkumpul di sini. Katakanlah blaka suta, siapakah yang engkau pilih dan engkau cintai setulus hati?"
Mendengar pertanyaan yang tak pernah diduga-duganya ini. tentu saja Jaka Pekik kaget dan tertegun. Baru beberapa saat kemudian pemuda ini bisa membuka mulut, tetapi hanya,
"Aku... aku......."
Saat itu, pikiran Jaka Pekik kembali melayang kepada pengalamannya lebih setahun yang lalu, ketika berlayar bersama-sama dengan Rara Inten, Sawitri, Salindri dan Wandansari. Ketika itu dalam otaknya muncul suatu pertanyaan yang aneh, pertanyaan yang sulit untuk dijawab sendiri. Pertanyaan itu, siapakah di antara empat orang gadis ini yang harus dipilih dan dicintai?
Sebab apabila harus rakus empat orang sekaligus dipilih, adalah tidak mungkin!
Karena hati mudanya diam diam memang tertarik, maka setelah kembali ke Jawa, ia melangsungkan perkawinannya dengan Rara Intan. Namun untung sekali bahwa perkawinan itu gagal!
Digagalkan oleh munculnya Ratu Wandansari yang membawa rambut warna merah.
Tetapi ketika itu, sebabnya ia sedia kawin dengan Rara Inten, karena Jaka Pekik menduga bahwa yang telah berkhianat dan membunuh Salindri. adalah Ratu Wandansari. Karena tiada wanita lain yang berdekatan maka pilihan jatuh kepada Rara Inten. Namun ternyata kemudian kenyataan membuktikan bahwa Ratu Wandansari tidak bersalah, malah Rara Intenlah yang telah berbuat khianat dan akan mencelakakan dirinya. Pemuda manakah yang tidak akan pikir-pikir dulu sesudah mengetahui kecurangan Rara Inten ini?
Rara Inten menjadi tidak sabar menunggu jaWaban yang tak kunjung keluar itu. Katanya.
"Kakang, pertanyaanku tadi hanyalah perumpamaan saja. Kenyataannya sekarang engkau tidak menghadapi empat orang gadis lagi. Salindri..,.... ohh. kakang. aku....... aku yang mencelakakan dia! Sedang Sawitri, sekarang sudah hidup tenang, bahagia dan tenteram di Banten. Dari itu, maka merupakan hal yang wajar pula apabila pilihanmu sekarang tak lain jatuh kepada... Guti Wandansari. Kakang....... tetapi sesungguhnya bukan itu yang kumaksud dalam pertanyaanku. Maksudku, andaikata kami berempat itu berada di sampingmu sekarang ini. dan andaikata kami semua tidak seorangpun yang berbuat kesalahan kepadamu....... siapakah kiranya yang akan kau pilih? "
"Hemmm.......", Jaka Pekik menghela napas panjang.
"Memang, pertanyaan demikian itu sudah amat lama sekali mengganggu pikiranku ini. Inten. Namun sekarang aku sudah dapat menetapkan hatiku...... "
"Siapakah kakang? Apakah..... . Gusti Wandansari'!"
Jaka Pekik mengangguk mantap.
"Engkau benar. Inten! Aku tidak perlu berdusta dan menipu hatiku sendiri. Ketika itu....... ya ketika itu begitu aku berpisah dengan Gusti Wandansari, dan aku mencari-cari tak juga bertemu. ada pikiran yang sempat ingin membunuh diri dan mati saja....... Memang, ketika Sawitri dibawa pergi ke Banten oleh orang-orang Surasaji. aku memang bersedih. Namun tidak menjadi putus harapan dan ingin mati. Demikian pula ketika Salindri meninggal dunia, akupun menjadi sedih dan berduka sekali. Namun perasaanku tidak berbeda ketika berpisah dengan Sawitri. Kemudian apa yang sudah engkau lakukan, juga amat mem buat hatiku sedih. Aku heran, mengapa engkau sampai hati melakukan semua itu? Inten.....ohh..... hanya kepadamu seorang aku berterus terang, blaka suta tanpa tedeng aling-aling."
Akan tetapi setelah mendengar jawaban Jaka Pekik yang blaka suta ini, tiba-tiba saja Rara Inten seperti melamun,
"Hemm.....dahulu pada waktu kita datang ke Karta dan aku melihat bahwa engkau mengadakan pertemuan dengan Gusti Wandansari, aku sudah bisa menduga bahwa.. kepada dialah cintamu kauserahkan! Namun, ahh...,.aku masih raja mimpi! Mimpi mengharapkan matahari timbul pada waktu malam. Itulah sebabnya dahulu aku mendesak engkau, untuk kawin. Maksudku..... setelah kawin, pikiranmu akan berubah, cintamu kaualihkan kepadaku. Tetapi ahh.....ternyata harapanku tak mungkin terkabul....."
"Inten," Jaka Pekik menjadi terharu sekali.
"Ketahuilah bahwa terhadap engkau. aku selalu menghormati, menghargai dan menempatkan dirimu sebagai seorang wanita terhormat. Terhadap adik sepupuku Salindri, perasaan yang ada di dalam hatiku, tiada lain bergema rasa terima kasih. Sebab Salindri memang banyak jasanya bagiku, Dialah sebagai perantara diriku bisa menjabat sebagai Raja Gagak Rimang. Lalu terhadap Sawitri, peranan yang bergema dalam rongga dadaku, adalah rasa sayang dan iba. Kemudian terhadap Gusti Wandansari, entah mengapa......dalam hatiku tumbuh tunas 'cinta" yang makin lama tumbuh semakin subur. Cinta yang tulus! Cinta suci! Sebab cinta seorang laki laki terhadap seorang perempuan tidak pernah pandang bulu! Walaupun aku sadar bahwa dia...... puteri Mataram, tetapi rasa cintaku tak dapat kupatahkan......... Cinta yang tertulis dengan tinta emas di hati dan terukir indah di tulang..........."
"Hemmm...... cinta yang tertulis dengan tinta emas di hati dan terukir indah di tulang... ahh..... cinta yang tertulis dengan tinta eman di hati dan terukir indah di tulang....." Seperti tidak sadar, Rara Inten mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang dengan suara perlahan mirip dengan bergumam. Namun agaknya sesaat kemudian ia sadar akan keadaannya.
"Tetapi.... tetapi, kakang Pekik, cintaku kepadamu juga cinta yang tertulis dengan tinta emas di hati dan terukir indah di tulang... Apakah engkau tidak sadar........?"
Jaka Pekik terharu berbareng iba mendengar pernyataan Rara Inten ini. Tangannya memegang lengan halus itu, katanya perlahan,
"Inten....... aku dapat pula merasakan perasaan hatimu..... Dan membuat pula aku tak tahu, bagaimanakah caraku untuk bisa membalas cinta kasihmu itu. Aku..... ohh. aku....... telah berbuat yang tidak pantas terhadap engkau........"
"Tidak! Engkau keliru! Akulah sesungguhnya yang selalu berbuat salah kepadamu. Sebaliknya, engkau selalu bersikap baik terhadap aku! Sudahlah...... kakang. sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan sebuah lagi. dan jawablah secara blak-blakan. Kakang...... andaikata engkau tak bisa menemukan Gusti Wandansari, kalau dia terbunuh oleh orang....... atau andaikata dia berubah pikiran dan berkhianat........... apakah yang akan engkau lakukan ?"
'Hemm..... aku tak tahu! Namun ahh..... bagaimanapun pula, aku tak takut menghadapi bahaya dan ancaman maut. Kemanapun aku akan mencari dia sampai ketemu !'
Mendengar jawaban itu, mendadak saja Rara Inten menghela napas panjang dan tampak amat sedih sekali. Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Kemudian perempuan ini berkata, nadanya sungguh-sungguh,
"Kakang Pekik, setahuku dia memang tidak berubah pikiran. Hatinya tetap diserahkan bulat-bulat kepadamu..... Maka kalau benar engkau amat ingin bisa bertemu dengan dia, hemm....... hal itu sebenarnya amat mudah sekali..."
Pernyataan Rara Inten ini amat mengejutkan hatinya. Ia telah berusaha mencari dan memeras tenaga selama dua hari. namun tak juga dapat bertemu. Mengapa sekarang Rara Inten mengatakan mudah sekali?
Tanpa sesadarnya Jaka Pekik menggenggam lengan Rara Inten keras.
"Inten! Lekas........ lekas katakan di manakah dia sekarang ?"
Melihat sikap Jaka Pekik itu, mendadak saja Rara Inten memandang Jaka Pekik dan tersenyum dingin. Kemudian terdengar katanya yang penuh penyesalan.
'Hemmm, engkau seorang pemuda kejam. Aku setengah mati. engkau tidak perduli. Huh-huh, dapat bertemu dan tidaknya engkau dengan perempuan itu, tergantung kepada engkau sendiri. Aku hanya sedia menunjukkan dia...... asal engkau sedia pula mengabulkan .sebuah permintaanku!"
"Apakah yang akan kauminta ?"
"Permintaan itu belum terpikir olehku sekarang ini. Aku baru bisa mengajukan permintaan itu setelah terpikir olehku apa yang akan aku minta. Namun perlu kau ketahui, bahwa apa yang bakal kuminta itu, merupakan permintaan yang tak akan melanggar kesopanan. merugikan perjuangan, dan ingkar akan sifat ksatriya. Tidak akan menodai nama baik Gagak Rimang, dan tak akan mencemarkan nama baikmu. Hanya mungkin, apa yang terkandung dalam permintaanku itu, tidaklah gampang engkau kerjakan, kakang Pekik!"
Mendengar itu Jaka Pekik tercengang. Nyatalah sekarang Rara Inten meniru sikap dan apa yang sudah dilakukan oleh Ratu Wandansari, Dahulu Wandansari pernah menuntut tiga macam permintaan yang harus di penuhi oleh Jaka Pekik. Sekarang Rara Inten mengajukan tuntutan sebuah permintaan. Membuat pemuda ini tak lekas dapat membuka mulut dan menjawab.
Rara Inten tersenyum dingin dan tampak mengejek. Kemudian mengancam,
"Hi-hik, aku bukannya seorang yang suka memaksa dan menekan. Semua ini terserah kepada engkau sendiri. Tetapi asal saja engkau mengiakan permintaanku itu, dan akan sanggup meluluskan, engkau segera akan bisa bertemu dengan orang yang kaucari.'
"Tetapi.....tetapi, engkau benar-benarkah memegang janji, tidak akan melanggar kesopanan, jiwa satria, tidak menodai nama baikku, tidak mencemarkan Gagak Rimang. dan tidak merugikan perjuangan pula? Benarkah?"
"Jangan kawatir. Aku juga pegang janji!"
"Baiklah jika demikian. Aku tentu meluluskan permintaan yang belum kauajukan itu."
"Aku hanya percaya apabila kau sedia bersumpah!"
Jaka Pekik tak bisa mundur lagi. Ia sadar bahwa dengan sumpah ini, ia sudah terikat. Dan ia sadar pula bahwa sekalipun Rara Inten tampaknya halus dan lemah lembut, akan tetapi dapat melakukan kekejaman tiada taranya.
"Begitu engkau selesai bersumpah, engkau akan segera bertemu dengan jantung hatimu.....!" sindir Rara Inten sambil tersenyum dingin.
Jaka Pekik segera melakukan sumpah yang diminta Rara Inten. Perempuan muda ketua Perguruan Tuban ini kemudian tertawa merdu, lalu tangannya bergerak dan menyingkap daun-daun pohon dari semak di belakang batu. Kemudian tampak oleh Jaka Pekik bahwa di dalam semak yang terlindung oleh daun rindang itu. seorang perempuan muda yang duduk. wajahnya pucat dan tubuhnya agak gemetaran. Mulut perempuan itu disumbat oleh robekan kain, sedang kaki dan tangannya ditelikung dengan tambang. Melihat itu Jaka Pekik terkesiap. Tak salah lagi, perempuan itu adalah....... Wandansari.
'Gusti....... ohhh!" seru Jaka Pekik tertahan sambil melompat. .
Pada saat itu, tiba-tiba dari tempat yang tak begitu jauh terdengar suara seruan orang tertahan,
"Ihhh!" Sekalipun demikian, suara itu bisa ditangkap oleh telinga Jaka Pekik yang peka. Mendengar suara itu Jaka Pekik kaget berbareng heran, dan berkelebatanlah ingatan macam-macam dalam benaknya. Sekalipun demikian ia tidak sempat memikirkan lebih jauh. Perhatiannya lebih dicurahkan kepada Ratu Wandansari. Ia cepat menolong dan membebaskan! Kemudian Ratu Wandansari ditarik dari dalam semak.
Ratu Wandansari mengeluh perlahan. Kaki tangan maupun tubuhnya terasa kaku, mulutnya kering, sedang perutnya kosong. Tidak mengherankan apabila puteri ini amat menderita. Selama dua hari ia ditelikung seperti ayam dan tak bisa bicara. bernapaspun sulit. Ia ditangkap oleh Rara Inten secara curang. Kemudian ditelikung dan disembunyikan di tempat ini. Namun walaupun ia menderita, hati gadis ini bersorak kegirangan dan merasa bahagia pula. Ia tadi telah mendengar pernyataan Jaka Pekik, yang tanpa tedeng aling-aling membuka rahasia hatinya, bahwa pemuda tampan ini mencintai dirinya secara tulus. Betapa rasa bahagia puteri Mataram ini, sulit sekali untuk dilukiskan. Hanya karena kedudukannya sebagai perempuan, sedapat mungkin Ratu Wandansari menahan gejolak hatinya.
Setelah Ratu Wandansari ditolong dan bebas, Rara Inten membungkuk, kemudian bicara bisik-biSik di dekat telinga Jaka Pekik, sedang pemuda itupun menjawab bisik-bisik pula. Begitu selesai saling berbisik, mendadak saja terjadi perubahan. Terdengarlah bentakan Rara Inten. nyaring penuh rasa marah,
"Jaka Pekik! Ternyata engkau eeorang yang pandai membalas budi! Lihatlah baikbaik, apakah Wandansari yang sudah kena racun itu bisa hidup lagi?" '
Jaka Pekik kaget setengah mati,
"Apa...... dia kena racun? Kaukah yang meracun dia?"
Karena khawatir pemuda ini membungkuk untuk memeriksa Ratu Wandansari. Tetapi secara tak terduga, pada saat itu secara curang Rara Inten telah menyerang Jaka Pekik dengan memukul pinggang._
"Aduhhh!" Jaka Pekik mengeluh dan tubuhnya bergoyang-goyang. Sesungguhnya Jaka Pekik seorang muda sakti mandraguna, dan tubuhnya dilindungi oleh tenaga sakti. Namun karena ia tidak pernah menduga akan serangan Rara Inten yang curang dan mendadak itu, mau tidak mau Jaka Pekik roboh di atas tanah. Ratu Wandansari yang melihat itu terbelalak. tubuhnya gemetaran. Wajahnya makin pucat. Apa yang terjadi berlangsung didepan matanya. tetapi dalam keadaan tangan dan kakinya yang masih kejang itu. ia tidak dapat memberikan pertolongan.
Rara Inten tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Tiba tiba sinar hijau berkelebat, dan sebatang pedang telah mengancam dada Jaka Pekik sambil berteriak,
"Huh-huh! Pamitlah kepada bapa angkasa dan ibu pertiwi, Jaka Pekik! Hari ini juga kubunuh kau! Huh-huh, persetan dengan setannya Indri yang mengejar-ngejar dan mengganggu aku. Kenyataannya aku memang tak akan bisa hidup lama lagi. Aku tak ingin mati seorang diri. Maka marilah kita mati bersama-sama!" Sambil berkata demikian itu Rara Inten telah menggerakkan pedangnya guna menikam tenggorokan Jaka Pekik.
"Tahan !' terdengar suara teriakan perempuan yang amat nyaring.
"Siapa bilang aku Sudah mati!?"
Rara Inten menunda tikamannya sambil menoleh. Ia melihat berkelebatnya seorang perempuan berpakaian hitam melompat ke luar dari semak, yang langsung menyerang ke arah punggungnya. Dengan gesitnya Rara Inten berkelit, dan secepat kilat pula ia telah membalikkan tubuh.
Berkat bantuan sinar bulan wajah perempuan yang baru muncul itu tampak nyata. Perempuan ini masih muda, tubuhnya ramping tetapi padat berisi, sedang wajahnya amat cantik. Sayang sekali bahwa wajah yang sesungguhnya cantik jelita itu dihias oleh bekas bekas luka goresan senjata tajam. Melihat itu jantung Jaka Pekik berdebar kencang. Wajah ini tak akan dilupakan selama hidupnya. Wajah adik sepupunya, Salindri yang bernasib malang. Tetapi ia masih belum mau percaya sepenuhnya bahwa perempuan ini Salindri. Ia belum lupa, bahwa lebih setahun yang lalu, ia telah mengubur salindri yang telah mati di Pulau Bawean.
Sementara itu setelah berkelit, Rara Inten dengan kecepatan luar biasa sudah mengancam dada Jaka Pekik dengan pedang. Hardiknya,
"Jika engkau maju selangkah lagi, dia akan kuambil jiwanya "
Perempuan itu menjadi takut dan tak-berani bergerak. Namun sekalipun tak berani bergerak, mulutnya bicara,
"Belum cukupkah semua perbuatanmu yang jahat itu?"
Rara Inten menatap wajah yang penuh bekas luka itu dengan hatinya yang masih berdebaran,
"Kau....... kau manusia ataukah.. setan ?" '
"Tentu saja aku manusia! Kalau bukan manusia, mungkinkah aku dapat berbicara begini? Hi-hik! "
Mendadak saja Jaka Pekik melompat, teriaknya agak parau penuh rasa haru,
"Indri...... engkau Salindri?!" Tanpa memberi kesempatan kepada orang untuk mengelak, pemuda ini telah memeluk erat sekali.
"Indri.....ohh, kau..... kau masih hidup? Ahh....,aku selalu sedih memikirkan engkau, adikku....."
Pelukan Jaka Pekik itu justeru tidak pernah diduga duganya. Dan akibatnya perempuan ini tidak dapat berkutik sama sekali. Sebaliknya, Ratu Wandansari yang baru bebas dari tawanan Rara Inten, berdiri terpaku dengan perasaannya yang tidak keruan. Ia hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Benarkah Salindri yang dikabarkan sudah mati itu, sekarang hidup kembali?
Lain halnya dengan Rara Inten. Perempuan yang jadi ketakutan sekali itu, sekarang tertawa terkekeh hatinya penuh rasa lega. Pedang yang tadi dipergunakan mengancam Jaka Pekik disarungkan. Kemudian katanya,
"Huh-Huh! Engkau menyamar sebagai setan..... untuk membuat aku takut! Hi-hik, jika aku tidak menggunakun tipu mengancam Pekik, apakah engkau mau keluar menampakkan dirimu? Hi-hi-hik....."
Sementara itu Salindri ingat akan keadaannya. Teriaknya sambil memberontak,
"Lepaskan aku! Apakah engkau tidak malu memeluk aku didepan orang lain? "
Jaka Pekik tertawa lebar. Hatinya gembira sekali dapat bertemu kembali dengan adik sepupunya, yang dulu sudah mati dan dikuburkan di Pulau Bawean,
"Indri! Siapa yang takkan gembira dan siapa yang tidak menjadi bahagia melihat engkau.....hidap kembali? Tetapi eh... mengapa bisa terjadi demikian.....? "
Salindri menarik lengan Jaka Pekik. sehingga muka pemuda ini terkena oleh sinar bulan. Salindri mengamati wajah pemuda ini penuh perhatian, dan tiba-tiba saja ia telah menjewer telinga orang.
"Aduh! " teriak Jaka Pekik tertahan.
"Mengapa engkau menjewer telingaku?"
"Engkau memang manusia tidak kenal budi!" hardik Salindri sambil mendelik.
"Huh-huh, sepantasnya manusia macam engkau ini dimasukkan ke kandang singa. agar dikoyak-koyak kulit dan dagingmu. Engkau mamang pemuda kurangajar! Engkau menipu aku, menyuruh aku membuka rahasia hatiku di depan orang banyak. sehingga aku menderita malu! Kemudian. tak tahu malu....... kau..... kau telah mengubur aku hidup-hidup. Ah...... engkau ini manusia atau binatang? Engkau memang benar-benar si Tolol yang membuat aku amat menderita!" Sehabis berkata. Salindri mengayunkan tinjunya, lulu memukul Jaka Pekik tiga kali berturut-turut.
Dada Jaka Pekik terpukul sampai tiga kali. Namun pemuda ini tidak berani menggunakan tenaga saktinya. sebab apabila terjadi demikian, adik sepupunya ini bisa celaka. Pukulan itu membuat dadanya sakit, namun tidak dirasakannya dan ia malah tertawa bekakakan,
"Haha-ha-ha, Indri! Sungguh mati aku tak tahu engkau masih hidup. Aku menyangka engkau sudah benar-benar mati. Ahh. . . . . .. kalau saja aku tahu engkau belum mati, tentu saja aku tidak bersedih hati dan membuang banyak air mata ketika itu. Indri....... apa yang terjadi sungguh-sungguh membuat aku heran sekali. Apakah aku ini mimpi......?"
"Siapa yang mimpi? Huh-huh, engkau memang manusia yang paling tolol di dunia ini! " Salindri bersungut sungut.
"Tetapi sekalipun tidak mimpi, matamu sudah seperti buta, hingga tidak tahu dan bisa membedakan orang hidup dan orang mati. Manakah mungkin! Engkau seorang tabib jempolan. Engkau murid Tabib Wesi Aji. Manakah bisa salah melihat orang yang mati dan belum mati? Huh-huh..... aku tak mau percaya omonganmu! Aku tahu.... aku tahu engkau memang sengaja mengubur aku sebelum aku mati! Engkau jijik melihat mukaku yang bengkak-bengkak dan jelek. Katakanlah, bukankah engkau memang bermakaud begitu? Aku kaukubur hidup hidup, dan maksudmu agar aku mampus sebelum mati. Gila.." kau gila...... sebagai akibat perbuatanmu yang tak kenal kemanusiaan itu. aku jadi menderita.'Euh huh. karena deritaku, aku menjadi seorang iblis. Aku menjadi kejam....... dan orang menyebut aku Wanita iblis...... Wanita Iblis."... kau tahu?"
Baik Jaka Pekik, Wandansari maupun Rara Inten agak kaget. Mereka memang pernah mendengar orang menyebut-nyebut sepak terjang Wanita Iblis. Namun selama ini mereka hanya mendengar, dan belum pernah bertemu muka. Tidak tahunya bahwa orang yang disebut Wanita Iblis itu bukan lain Salindri.
Terhadap Salindri, puteri pamannya ini, Jaka Pekik selalu iba dan merasa kasihan. Gadis ini harus hidup merana dan menderita, karena diancam akan dibunuh oleh ayahnya sendiri. Maka menghadapi kemarahan dan caci maki Salindri ini, Jaka Pekik tidak bisa apa-apa. Ia hanya menyeringai. dan kemudian katanya perlahan penuh penyesalan,
"Indri, engkau boleh mencaci maki aku sepuas hatimu, Indri...... ohh, waktu itu agaknya aku memang sudah gila. Gila karena melihat keadaanmu yang mengenaskan. Ketika itu karena aku melihat mukamu berlumuran darah yang sudah mulai mengering, pcrnapasanmu berhenti dan jantungmu tidak berdetak lagi. aku lalu mengartikan bahwa engkau sudah mati......"
Salindri melompat ke depan dan mencoba untuk menjewer telinga Jaka Pekik lagi. Akan tetapi Jaka Pekik sudah menghindarkan diri, sehingga jeweran itu luput,
"Indri.... ooh. ampunilah aku.......!"
"Tidak! Tidak" aku tak sudi. mengampuni engkau lagi, Tolol!" teriak Salindri.
"Huh-huh, ketika itu aku tersadar. Apa yang terasa olehku pertama kali, adalah rasa yang dingin menyentuh tubuhku. Ketika aku membuka mata. terlihatlah olehku batu bata yang berserakan, bertumpuk di sekitar tubuhku yang terbujur. Tolol........ Tolol, huh-huh! Jika engkau memang ingin mengubur aku hidup-hidup, apakah perlumu menimbuni ragaku ini dengan batu-batu di dalam lubang? Tidakkah lebih baik ketika itu engkau menimbuni dengan tanah, agar aku tak bisa bernapas dan mati benar-benar.......? Huhhuh..... "
"Ya Tuhan, terimakasih....." Jaka Pekik menggumam.
"Sungguh amat kebetulan bahwa ketika itu aku menutup lubang hanya dengan batu."
Jaka Pekik berpaling ke arah Rara Inten. Tetapi Salindri cepat menghardik,
"Jangan kaulihat dia!"
"Mengapa?' Jaka Pekik heran.
"Dialah yang sudah membunuh aku! Dia....... wanita keji itulah.... sebagai pembunuh!" teriak Salindri penuh nada kemarahan. _
Wandansari yang semula hanya berdiam diri, membuka mulut,
"Tetapi kenyataannya sampai sekarang engkau masih hidup, mbakyu Salindri. Maka tidak bisa dikatakan mbakyu Inten sudah membunuhmu."
Salindri mendelik dan kemudian membanting banting kakinya dengan perasaan gemas.
"Siapa bilang dia bukan pembunuh? Siapa bilang aku belum mati? Aku sudah mati satu kali! Aku merasa seperti berjalan ke suatu tempat yang amat indah sekali, cuaca remang remang, sehingga udara nyaman sekali. Tetapi kemudian aku bertemu dengan seorang laki-laki tinggi besar bersenjata penggada berduri yang amat menyeramkan. Aku setengah takut-takut, namun kakiku kupaksa untuk melangkah terus. Orang tinggi besar itu menghadang di depanku sambil bertanya, kau mau pergi ke mana? Sudah tentu aku sendiri bingung. Aku tak tahu aku akan pergi ke mana. Kedatanganku di tempat itu seperti orang mimpi, tahu tahu aku sudah tiba di tempat itu. Karena aku sendiri tak tahu akan tujuan kepergianku. maka aku menjawab terus terang tidak tahu. Mendengar jawabanku itu, orang tinggi besar tersebut melarang aku meneruskan perjalanan. Aku disuruh kembali 'lewat jalan yang tadi sudah aku lalui. Namun aku menolak. karena aku sudah terlanjur kerasan dan senang di tempat yang udaranya sejuk dan nyaman itu. Orang laki-laki tinggi besar itu mendengus marah. Tahutahu aku didorongnya dan terlempar. Kemudian tahutahu aku merasakan tangan dan kakiku menyentuh benda dingin. Ketika aku membuka mata, ternyata bendabenda dingin itu adalah batu yang menimbuni tubuhku. Dan sekarang aku tahu pula, bahwa orang yang sudah menimbuni aku dengan batu di dalam lubang itu, bukan lain Si Tolol ini! Hik-hik"
Jaka Pekik menjadi lebih iba dan kasihan lagi kepada perawan malang ini,
'Indri.. ohh, betapa rasa gembira kami bahwa engkau ternyata belum mati, sulit sekali aku lukiskan. Sungguh, kemunculanmu sekarang ini, merupakan anugerah Tuhan yang tiada taranya. Indri. marilah kita sekarang duduk yang enak, dan sudilah engkau menceritakan segalanya kepada kami."
"Kami? Apakah maksudmu dengan istilah kami itu?" Salindri menghardik sambil mendelik.
"Terangkan dahulu siapakah yang kau maksudkan dengan kami itu?"
Jaka Pekik tertawa perlahan, jawabnya,
"Di sini hanya terdapat empat orang saja. Maka sudah tentu yang kumaksudkan kami, termasuk diajeng Inten dan Gusti Wandansari. Sebab yang ingin mendengar ceritamu bukan hanya aku, tetapi juga mereka ini."
"Hemm," dengus Salindri tidak tenang,
"engkau tentu saja suka mendengar apa yang kuceritakan. Tetapi sebaliknya dia dan Gusti Wandansari, manakah mungkin tertarik dengan ceritaku?"
Yang dimaksud oleh Salindri dengan sebutan dia bukan lain adalah Rara Inten. Karena Salindri merasa bahwa yang sudah mencelakakan dirinya itu Rara Inten. maka terhadap ketua Perguruan Tuban ini. Salindri tidak senang. Oleh perasaannya yang tidak senang itulah maka ia tidak mau memanggil nama Rara Inten.
Untung bahwa Rara Inten bisa mengenal gelagat dan sikap orang. Maka bagaimanapun pula hatinya terasa tidak enak. Akan tetapi diam-diam perempuan ini mamang sudah menyadari kesalahan dan segala sesuatu yang sudah dilakukan. Pada kesempatan ini, timbullah keinginan Rara Inten untuk minta maaf akan semua yang telah dilakukan. Katanya tidak lancar,
'Indri........ tak dapat aku pungkiri bahwa ketika itu aku telah berbuat jahat, dan membuat engkau celaka. Akan tetapi tahukah engkau akan penderitaanku sesudah terjadinya peristiwa itu........? Aku selalu menyesal dan amat gelisah. Saking menyesal, aku tidak enak makan dan tidak enak tidur. Aku selalu merasa bersalah dan tidak aman -.. maka ketika aku melihat engkau .. aku ketakutan setengah mati.....Ohhh.... tetapi sekarang betapa gembira dan bersyukurku kepada Tuhan Yang Maha Agung, bahwa ternyata engkau masih hidup. Rasa dosa dan salah yang menghimpitku selama ini, terasa sedikit ringan. Sungguh Indri........ aku amat menyesal sekali........."
Mendengar katakata Rara Inten itu, untuk beberapa saat lamanya Salindri berdiam diri seperti patung. Akan tetapi setelah menghela napas, terdengarlah Salindri berkata.
"Hemm....... bagaimanapun yang telah lalu biarlah berlalu. Aku merasa benyukur bahwa engkau mau berterus terang mengakui kesalahanmu dan penyesalanmu. Deritamu selama ini, bagaimanapun pula sudah termasuk hukuman dari Tuhan atas kesalahan kesalahanmu . . ... . Hemm, dengarlah aku berterus terang. Bahwa sebenarnya, aku sengaja mencari engkau buat menuntut balas. Tetapi...... tetapi sekarang..... aku tak bisa membencimu. Biarlah...... semuanya saat ini juga kuanggap telah lunas....."
Pernyataan Salindri ini di luar dugaan Rara Inten. Sebenarnya watak dari tabiat Rara Inten termasuk watak perempuan yang keras pula. Namun begitu Salindri menganggap segala persoalan selesai, tak tahan lagi Rara Inten menjatuhkan diri berlutut di depan Salindri sambil mengucurkan air mata,
"Indri. .. ohh. aku memang seorang yang tamak dan amat jahat......"
Di lain pihak, Indri menjadi terharu melihat Rara Inten yang biasanya angkuh itu. mau berlutut di depannya. Sesungguhnya Salindri wataknya keras pula, terlalu kukuh, dan membenci setengah mati kepada orang yang berbuat salah kepada dirinya. Namun apabila orang telah mau berterus-terang mengakui kesalahannya, ia mau mempertimbangkan. Sekarang. karena hatinya terharu, ia cepat membangunkan Rara Inten sambil berkata,
"Sudahlah mbakyu, bukankah aku tadi sudah mengatakan, bahwa yang telah lalu biarlah berlalu? Yang jelas aku masih hidup dan tidak mati. Itu sudah cukup, dan tak perlu soal ini diperpanjang lagi!"
Kemudian tanpa diminta, Rara Inten dan Salindri duduk di atas akar pohon. Jaka Pekik' duduk pada batu hitam di depannya, sedang Ratu Wandansari duduk pula di akar pohon sambil bersandar batang pohon.
Salindri memandang tiga orang itu bergantian. Sesudah ia menggelung rambutnya yang tadi lepas, ia memulai.
"Mbakyu Inten..... apa yang engkau lakukan terhadapku memang ada faedahnya juga. Dahulu, karena aku meyakinkan Ilmu "Tuding Iblis," yang bercita-cita agar bisa mempunyai jari yang amat ampuh, mukaku menjadi bengkak oleh racun, sehingga jelek sekali. sebagai akibat darah beracun dari laba-laba. Tetapi sesudah mukaku engkau gores dengan pedang Jati Sari, darah beracun yang semula membuat mukaku _ bengkak itu mengalir keluar. Dan akibatnya pula, mukaku yang semula bengkak itu kembali kempis seperti sebelum aku meyakinkan ilmu itu. Akan tetapi hem... dengan terjadinya peristiwa itu, maka Ilmu "Tuding Iblis" yang sudah aku yakinkan bertahun-tahun itu hilang musnah. Tetapi hemm, sudahlah agaknya memang sudah kehendak Tuhan, bahwa aku tidak berjodoh dengan ilmu sesat itu. Dan lebih lagi, tanpa terjadinya peristiwa itu, selama hidupku akan mempunyai muka yang bengkak menyeramkan....... hii-hik, secara tidak langsung engkau malah menolong dan membebaskan aku dari pengaruh Ilmu "Tuding iblis" yang jahat itu......"
Rara Inten menundukkan mukanya dan tak dapat membuka mulut. Walau Salindri telah menghapus apa yang sudah terjadi, namun perempuan ini masih merasa menyesal juga.
"Tetapi aku merasa heran juga, Indri....." kata Jaka Pekik tiba-tiba.
"Waktu itu, sesudah terjadinya peristiwa engkau kusangka mati, aku, ayah angkatku dan Inten masih tinggal di Pulau Bawean itu beberapa bulan lamanya. Mengapa sebabnya engkau yang keluar dari tempat aku mengubur itu, tak mau bertemu dengan kami? Apakah engkau tidak melihat kami?! Kalau saja ketika itu kau mau menemuiku, kiranya semua persoalan tidak akan berlarut-larut seperti sekarang ini, dan membebaskan penderitaanku dengan kematianmu..... "
"Apa katamu?!" bentak Salindri tiba-tiba.
'Sangkamu aku sudah buta dan tidak bisa melihat kamu semua? Sudah tentu aku tahu, akan tetapi aku sengaja tidak ingin bertemu dengan kamu. Hai, Tolol. ingatkah kau ketika di Pulau Bawean itu? Nah..... betapa romantis dan betapa mesranya, duduk berdampingan sambil saling berbisik.....hi-hik, dan.....dan terus terang apa yang aku saksikan itu membuat hatiku panas dan penuh cemburu! Hmmm..... ingatkah kau akan kata-kata ini? -Tentu saja aku lebih cinta kepadamu. dan sayangku aku tumpahkan pula kepadamu, manis! Tidak, aku tak akan membiarkan engkau menderita-.... huh huh! Tak tahu malu!"
Wajah Jaka Pekik menjadi merah dan terasa panas pula. Pemuda ini merasa malu. tetapi tidak bisa membela diri, dan yang dapat dilakukan hanyalah menghela napas. Sebab apa yang telah diucapkan Salindri tadi, sama persis dengan apa yang pernah diucapkan terhadap Rara Inten. Jaka Pekik tidak pernah menduga sama sekali, bahwa gerak-geriknya ketika di Pulau Bawean itu, diikuti secara seksama oleh Salindri.
Setelah Salindri sengaja menirukan kata-kata Jaka Pekik yang mencurahkan cinta kasihnya kepada Rara Inten. kemudian ia beralih sasaran, menirukan kain-kata Rara Inten yang terbuai oleh cinta dan impian muluk,
"Tetapi kakang.. apabila aku khilap dan melakukan sesuatu kesalahan, mungkinkah engkau sampai hati menghajar kepadaku? Sanggup menyia-nyiakan dan membunuhku? Ohh, kakang, engkau tahu bahwa semenjak kecil aku sudah kehilangan orang tuaku. Aku dibimbing dan dibesarkan oleh orang lain. Lalu siapakah yang bisa menjamin, bahwa selama hidupku tidak melakukan perbuatan . . .., khilaf?"
Salindri mendehem, kemudian batuk-batuk kecil agaknya memang sengaja untuk mengejek Rara Inten
Sesaat kemudian Salindri merubah suaranya menjadi agak besar, menirukan apa yang pernah diucapkan Jaka Pekik.
"Inten ohh Inten. sayangku! Mengapa engkau masih ragu-ragu dan kuatir! Apakah masih kurang percaya kepadaku? Engkaulah wanita satu-satunya di dunia ini yang aku cinta dan aku kasihi. Engkaulah isteriku yang tercinta. Karena itu apabila ternyata engkau berbuat khilaf dan salah, manakah mungkin aku tega membunuhmu dan menghukummu? Sudahlah Inten, tenangkan hatimu. Biarlah bulan di angkasa itu sebagai saksi sumpahku ini!"
'Hi-hi hik, alangkah mesra suasana itu," Salindri tertawa cekikikan, agaknya amat geli.
Sudah tentu baik Rara Inten maupun Iaka Pekik menjadi amat malu sekali, mendengar ucapan Salindri itu. Kalau saja bisa menghentikan, sudah tentu ingin sekali Salindri jangan menirukan kata-kata itu. Akan tetapi karena kuatir Salindri marah, maka mereka tak bisa apa-apa kecuali menyembunyikan wajahnya yang malu dengan menundukkan kepala.
Dan bagi Wandansari yang diam-diam amat mencintai Jaka Pekik. sudah tentu apa yang diucapkan oleh Salindri itu merupakan tamparan keras. Wajah gadis ini sebentar pucat dan sebentar merah, tampak amat marah. Namun apa yang akan dilakukan? Salindri justeru ingin membuktikan keadaannya ketika itu, sehingga bisa menirukan kata kata itu secara tepat dan benar.
Tiba-tiba Salindri mengambil sepotong kayu dari balik bajunya. Kayu sepotong itu disodorkan di depan hidung Jaka Pekik sambil berkata,
"Lihatlah baik baik, apakah ini? Tentunya engkau belum lupa kepada hasil tulisan sendiri. Tolol!"
Jaka Pekik mengamati sepotong kayu itu penuh perhatian. Tiba-tiba wajah Jaka Pekik pucat. Sebab papan kayu yang kasar itu berisi tulisannya sendiri yang berbunyi,
"Kuburan isteriku yang tercinta SALINDRI. Diabadikan oleh suaminya, Jaka Pekik."
Sesudah menunjukkan sepotong papan yang berisi tulisan Jaka Pekik sendiri itu, dengan nadanya yang gemas dan penasaran Salindri berkata.
"Huh-huh, dengarlah ceritaku, Tolol! Ketika itu, ketika aku sadar, dengan susah payah aku menyingkirkan batu-batu yang menimbun tubuhku dengan hati-hati. Ketika itu tubuhku lemah, ,maka apabila sedikit saja kurang hatihati, aku tentu celaka! Tetapi huh, begitu aku merangkak keluar dari liang kubur....... pertama kali yang tampak olehku, adalah sepotong papan kayu ini. Untuk beberapa saat lamanya aku terheran heran di samping bingung sendiri. Aku merasa heran sekali mengapa pada papan kayu yang menandai tempat kuburanku, terdapat nama Jaka Pekik? Semula aku heran, bingung dan ragu! Akan tetapi setelah aku mendengar percakapanmu antara mbakyu Inten maupun paman Kreti Windu, kemudian aku menjadi jelas. Ternyata si Tolol dengan Jaka Pekik itu hanya satu saja orangnya! Setan alas... ternyata aku sampai tidak sadar engkau tipu mentah-mentah......."
Begitu selesai berkata, tiba-tiba saja Salindri mengangkat papan kayu tersebut. kemudian dipukulkan ke kepala Jaka Pekik.
Brakkk....... papan kayu itu hancur berkeping keping.
"Hai !" teriak Wandansari dengan nada tidak senang.
"Mengapa engkau main pukul kepala orang?" .
"Hi-hi-hik," Salindri tertawa terkekeh.
"Yang kupukul dia, tetapi engkau yang sakit ?"
wandansari merah padam wajahnya karena malu dan penasaran.
"Apakah engkau tidak tahu bahwa dia selalu mengalah kepadamu? Engkau Jangan hanya membawa kematianmu sendiri saja!"
"Hi-hik, aku memang seorang yang suka membawa kematianku sendiri. Itulah sebabnya maka engkau tak perlu khawatir tentang diriku ini, hi-hik. Tak mungkin aku sudi memperebutkan Si Tolol ini."
Salindri berhenti, kemudian katanya perlahan seperti ditujukan kepada diri sendiri,
"Dalam hatiku hanya seorang saja yang terukir dan takkan pernah hilang dari lubuk hatiku. Ialah Si Pekik cilik, yang dulu pernah menggigit tanganku ditempat Tabib West Aji. Hi-hik.... tahukah engkau. bahwa sekalipun pemuda ini mengaku bernama Jaka Pekik atau Si Tolol, hi-hik..... aku tak sudi.....tak perduli! Aku tak akan mau ingkar janji kepada Pekik cilik yang dulu itu !" ,
DI tengah Jaka Pekik dan yang lain keheranan mendengar kata-kata gadis itu, Salindri menatap Jaka Pekik sambil berkata lemah lembut,
"Tolol, aku mengakui dan merasa sejak aku kenal pertama kali denganmu. engkau memang selalu bersikap baik kepadaku, dan untuk itu aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Mudah mudahan segala kebaikanmu yang tak dapat kubalas 'itu, memperoleh balasan Tuhan yang setimpal. Hanya tentang urusan hati, maafkan aku hi-hik..:.. jangan kau mengharapkan yang tidak-tidak. Hatiku sudah terlanjur aku serahkan dan aku berikan kepada Pekik cilik yang angkuh dan bandel itu. Yang menggigit tanganku di rumah Tabib Wesi Aji! Hi-hi-hik....hanya dia..... "
Jaka Pekik heran.
'Indri,...kau.... mengapa begitu? Yang kaumaksudkan itu bukan lain aku orangnya. Mengapa.... mengapa engkau menganggap lain'!"
Salindri menatap Jaka Pekik dengan pandang matanya tak berkedip. Untuk beberapa saat lamanya dua pasang mata itu bertemu. Mendadak saja Jaka Pekik yang merupakan seorang tabib ahli itu kaget! Pandang mata Salindri itu. Ya, pandang mata gadia ini sudah berubah. Sinar matanya aneh. Sinar matanya sedemikian rupa. Bukan pandang mata yang normal lagi. Saking kaget dan khawatir, pemuda ini tak kuasa menahan perasaannya dan berkata,
"Indri... kau kenapa.......?"
Salindri menggelengkan kepalanya.
"Pekik, aku tidak apa-apa. Hanya engkaulah yang tidak tahu akan isi hatiku sebenarnya. Hanya engkau tidak menyadari akan keadaanku sejak dulu. Seperti pernah aku katakan ketika menuju Arjuna dahulu. Ketika itu, engkau pernah menyatakan ingin sehidup semati dengan aku. Terimakasih, engkau memang seorang pemuda baik.... Hanya sayang sekali bahwa telah amat lama sekali hatiku aku serahkan kepada Pekik cilik itu. Pekik cilik yang pernah menggigit lenganku. hii-hik sekarang dia akan kucari ke mana aja...." Setelah berkata, perlahan-lahan Salindri melangkahkan kaki untuk pergi.
'indri.....!" teriak Jaka Pekik sambil bangkit untuk mencegah kepergiannya. Akan tetapi tangan Wandansari cepat bergerak memegang bajunya untuk menahan. Jaka Pekik mengamati Wandansari,
"Mengapa engkau mencegah?"
Wandansari menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menghela napas,
"Pekik.... takkan ada artinya engkau mencegah dia! Apakah engkau tidak melihat perubahan pandang mata dan sinarnya yang telah berubah aneh itu."
"Tetapi aku ingin mengobati dan menyembuhkannya!"
"Kiranya tidak mungkin !' Wandansari membantah.
"Dia menjadi begitu karena perubahan yang terjadi dalam jiwanya .Adakah engkau mempunyai kemampuan me nyembuhkan tentang yang jiwanya sakit?!"
Jaka Pekik menghela napas panjang. Sebagai seorang yang ahli dalam bidang ketabiban, ia tahu bagaimana harus berbuat terhadap seorang yang jiwanya terganggu seperti Salindri itu. Namun demikian ia sendiri memang kurang yakin. Dapatkah ia menyembuhkannya?
Dan dalam pada itu iapun merasa tidak tega terhadap Wandansari. Puteri Mataram yang amat dicintanya itu. Ia khawatir juga kalau puteri ini menjadi marah dan cemburu.
Mungkin, terjadinya perubahan yang aneh dalam jiwa Salindri itu, sebagai akibat perbuatannya, mengubur hidup hidup gadis itu di Pulau Bawean. Ia merasa amat berdosa terhadap gadis itu. Jelas, apabila terjadi perubahan karena perbuatannya. dirinyalah sebagai penyebabnya. Dirinyalah yang berdosa.Ia amat menyesal sekali, dahulu telah berbuat kurang teliti.
Jaka Pekik mengamati kepergian Salindri dengan perasaannya yang tak karuan. Makin lama bayangan Salindri itu makin menjauh dan samar-samar, dan beberapa saat kemudian telah menghilang ditelan gelap malam.
Tiba-tiba Rara Inten menghela napas dan berkata penuh sesal.
"Hemmmm. semua ini akulah yang bersalah. Akulah yang berdosa, dan membuat dia sakit jiwa "
"Tidak! Akulah yang bersalah dan menyebabkan dia demikian," bantah Jaka Pekik.
"Kalau aku tidak mengubur dia hidup-hidup, kiranya Salindri tidak menderita demikian. Ahhh... kasihan paman Indrajit!"
Namun Rara Inten seperti tidak mendengar apa yang dinyatakan oleh Jaka Pekik. Perempuan ini tergoda oleh perasaannya yang bermacam-macam. Tergoda oleh tingkah laku dan perbuatannya yang telah lalu. Perbuatan yang menimbulkan akibat terlalu jauh. Sebagai akibat usahanya untuk memenuhi perintah gurunya pada saat saat menjelang akhir hayatnya, di Pulau BaWean dulu, ia mencuri pedang Jati Ngarang dan pedang Jati Sari. Berusaha membunuh Salindri dengan jalan merusak mukanya. Berusaha melumpuhken Jaka Pekik dan Kreti Windu menggunakan Racun ' Raga Lumpuh" yang ,dicuri dari simpanan Wandansari. Kemudian ia merobohkan Wandansari dan melemparkannya ke perahu. Maksudnya tiada lain agar Wandansarilah yang dituduh telah melakukan semua pengkhianatan itu.
Setelah berhasil melatih diri dan kepandaiannya menanjak, dan setelah pula berhasil meninggalkan Pulau Bawean, iapun masih berusaha mencelakakan Kreti Windu. Ketika itu ia memang amat khawatir sekali apabila apa yang telah dilakukan, diketahui oleh Kreti Windu. Maka jalan yang terbaik, harus 'melenyapkan orang tua itu. Untuk dapat melenyapkan orang tua ini secara tertib, jalan yang paling baik kalau menyerahkan Kreti Windu kepada lawan. Usahanya inipun kemudian berhasil, Kreti Windu ditawan di Pondok Bligo. Tetapi masih ada seorang yang amat berbahaya bagi dirinya. Ialah Jaka Pekik. '
Semula ia ingin mengikat Jaka Pekik dengan perkawinan. Namun ternyata perkawinan itupun gagal. Karana gagal, maka ia mempengaruhi Iskandar yang tergila-gila kepada dirinya. supaya membunuh Fajar Prana (murid bungsu Kemuning). Pembunuhan yang dilakukan secara tertib oleh Iskandar itu, dimaksudkan untuk memancing supaya Jaka Pekik yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap Fajar Prana. Namun kemudian ternyata pencingannya ini gagal lagi. Pembunuhan ini terbongkar juga oleh ketangkasan Jaka Pekik dan Wandansari. Namun sekalipun semua usahanya gagal, Rara Inten belum putus asa. Masih ada dua Jalan yang bisa ditempuh. Ialah membunuh Kreti Windu dan Jaka Pekik sendiri. Apabila berhasil membunuh dua orang ini, niscaya semua rahasia perbuatannya akan tertutup rapat, di samping pula bisa membalas sakit hatinya kepada Jaka Pekik yang telah meninggalkannya pada saat perkawinan berlangsung. Namun ternyata Juga usaha terakhir ini gagal total. Malah sebagai akibatnya iskandar menderita luka parah dihajar oleh Parang Kusumo. Teringat akan segala jalan yang telah ditempuh, yang semuanya bermaksud tidak baik itu, perempuan ini amat menyesal sekali dan merasa tak akan bisa menebus dengan jalan apapun.
"Mari kita berangkat!" ajaknya tiba-tiba sambil mendahului bangkit berdiri.
"Ke mana?" Wandansari dan Jaka Pekik heran.
"Ke Kemuningl" sahut Rara Inten.
'Ada apa di sana ?" Jaka Pekik makin keheranan.
'Lihat saja di sana nanti. Aku ingin menyelesaikan semua persoalan dengan Kakek Wisnu Murti. Aku merasa telah berbuat tak baik terhadap Perguruan Kemuning."
"Mengapa engkau merasa bersalah? Apa saja yang telah kaulakukan? Adakah hubungannya dengan Iskandar? Tidak ! Bicara soal kesalahan, semua manusia yang hidup di dunia ini, hampir seluruhnya berdosa dan melakukan perbuatan salah." Jaka Pekik membantah.
Rara Inten menghela napas panjang. Kemudian katanya perlahan.
"Engkau tidak perlu bersoal jawab dengan aku, sebelum kita tiba di Kemuning. Pendeknya aku beranggapan dan berpendapat. bahwa semua persoalan ini baru terselesaikan, apabila aku sudah berhadapan dengan Kakek Wisnu Murti."
"Baiklah apabila engkau berpendapat demikian," Jaka Pekik akhirnya setuju, lalu bersama-sama mereka melangkah menuju kembali ke Pondok Bligo.
Begitu tiba di Pondok Bligo, lebih dahulu Jaka Pekik langsung menemui dan bicara dengan Kyai Makhmud. Pemuda ini amat mengkhawatirkan keselamatan Pondok Bligo dan seluruh penghuninya. Sebab Mataram tentu menganggap Bligo telah memberontak.dengan perlawanannya yang membuat pasukan Mataram terpukul mundur. Oleh sebab itu Jaka Pekik menyarankan, agar demi keselamatan bagi Pondok Bligo dan seluruh penghuninya, suka mengungsi ke Arjuna atau ke Surabaya. Atas saran dan pendapat Jaka Pekik ini, Kyai Makhmud dan Kyai Abubakar belum dapat menentukan. Sebab masih akan bicara dengan orang-orang yang lebih tua, ialah dengan Kyai Abu Jali, dan orang-orang tua yang lain.
"Tetapi akan lebih menyenangkan, apabila Kyai sudi pindah ke Surabaya," kata Adipati Surabaya.
"Kedatangan Kyai ke sana akan kami terima dengan senang hati, dan Kyai kami persilahkan memilih tempat manapun yang dikehendaki."
Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah Trio Detektif 11 Misteri Tengkorak Berbicara Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama