Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 7
"Bohong! Dusta!" lengking Subinem mulai marah lagi.
"Kamar pusaka sudah kuperiksa. Tetapi pedang itu tidak ada. Hayo, jangan engkau plintat-plintut. Aku sudah tidak sabar lagi!"
"Benarkah itu ?" Sarni terbelalak tampak heran.
"Apakah engkau sudah memeriksa di sana?"
"Kalau di sana kutemukan, apakah perlunya lagi aku bertanya padamu? Lekas katakan, jangan berputar-putar keteranganmu."
'Hemm........ bagaimana aku bisa tahu kalau di dalam kamar tidak ada?"
"Bangsat busuk!" Subinem mulai memaki lagi.
"Jangan kau berulah membuat aku hilang sabar. Aku bukan seorang tolol yang mudah engkau tipu. Kalau benar pedang itu di dalam kamar pusaka, mengapa engkau keras kepala dan berusaha merahasiakan? Lekas! Kalau tidak, kupanggil murid laki-laki."
Kembali Sarni menghela napas berat. Sejak tadi ia mengulur waktu. dengan maksud agar memperoleh kesempatan untuk dapat membebaskan diri dari ikatan yang membelenggu tangannya. Namun ternyata bahwa ikatan itu kuat sekali, dan sekalipun ia sudah mengerahkan hawa sakti untuk memutuskannya, tak juga berhasil.
"Apakah engkau sudah memanggil murid yang berkewajiban mengurus kamar pusaka itu?"
"Siapakah yang kau percaya mengurus kamar pusaka itu?" tanya Subinem.
"Kedasih dan Minah."
Subinem yang tak sabar lagi itu bertepuk tangan tiga kali. Masuklah dua orang murid perempuan, berlutut sambil bertanya,
"Perintah apakah yang harus murid lakukan ? " .
"Cepat panggil Kedasih dan Minah. Lekas!" perintah Subinem galak.
"Murid laksanakan," sahut murid perempuan itu, dan setelah memberikan hormatnya, mereka ke luar dari kamar.
Sekalipun pedang Jati Sari itu telah patah menjadi dua, namun setiap murid Tuban tetap menghargai seperti ketika sebelum patah. Sebab setiap murid Tuban tak bisa menyangkal, bahwa pedang itu telah amat besar sekali jasanya. Dan mengingat arti dan pentingnya pedang Jati Sari itu, maka ketika Rara Inten menyerahkan kekuasaan Perguruan Tuban kepada Jaka Pekik, pedang yang sudah patah menjadi dua itu diserahkan pula. Kemudian Rara Inten pergi, dan tidak seorangpun tahu di manakah gadis itu pergi. Memang kasihan juga Rara Inten ini. Ia terpaksa harus hidup menderita, menderita patah hati karena cinta. Bukan hanya itu saja yang membuat Rara Inten habis harapan. Ia merasa, bahwa pesan terakhir gurunya untuk membunuh Jaka Pekikpun, ternyata gagal!
Jaka Pekik yang memperoleh penyerahan Perguruan Tuban dari Rara Inten, merasa tak mungkin dapat melakukan tugasnya sebagai ketua perguruan dengan baik. Ia sendiri mempunyai tugas dan kewajiban yang jauh lebih berat. Karena sekarang telah diketahui, bahwa dirinya putera Adipati Surabaya. Ia memikul kewajiban sebagai putera penguasa di Surabaya, yang harus mempertahankan kekuasaannya dari penyerbuan Mataram. Itulah sebabnya, atas nasehat Adipati Surabaya, Jaka Pekik menunjuk Telasih dan Sarni, untuk mewakili dirinya memimpin Perguruan Tuban. Berbareng dengan penyerahan itu, ia menyerahkan pedang pusaka Jati Sari yang telah patah, di samping pula menurunkan ilmu tata kelahi tingkat tinggi, guna bekal penjagaan diri Telasih dan Sarni. Akan tetapi amat sayang sekali, bahwa sebelum Telasih dan Sarni berhasil meyakinkan ilmu tersebut, Subinem telah datang menyerbu.
Di dalam kamar itu. Sabinem dan Sarni cukup lama menunggu kembalinya murid yang diperintahkan memanggil Kedasih. Namun baik yang memanggil maupun dipanggil. belum juga kunjung datang. Akhirnya Subinem tak sabar lagi menunggu. Ia bertepuk tangan tiga kali, dan masuklah dua orang murid perempuan.
'Manakah saudaramu yang memanggil Kedasih dan Minah?"
"Mereka belum kembali," sahut salah seorang dengan agak takut.
"Huh-huh, murid goblok!" Subinem geram.
"Hanya melaksanakan perintah begitu saja tidak becus! Kembalikan perempuan buruk itu ke dalam kamar tahanannya! Jaga yang tertib, jangan sampai minggat!"
Dua orang murid itu mengiakan sambil mengangguk anggukkan kepalanya beberapa kali.
' "Perintahkan kepada penjaga, Jika tahanan ini sampai lolos. harus diganti dengan nyawa semua murid yang bertanggung jawab menjaga. Mengerti?"
Dua orang murid itu tampak menggigil ketakutan mendengar kata-kata Subinem yang nadanya amat galak itu. Namun seperti dua ekor burung kecil. dua orang murid itu mengangguk-anggukkan kepala, sambil menjawab mengerti.
"Cepat bawa ke kamarnya. Aku muak melihat wajah perempuan busuk itu!"
Seperti dua ekor anjing digebuk, dua orang murid perempuan itu cepat-cepat melaksanakan perintah "sang ketua' baru yang galak itu. Begitu dua orang murid itu pergi, Subinempun segera ke luar dari kamar. Pandang matanya yang pertama tertumbuk kepada sepuluh orang murid laki-laki tingkat rendah, yang berdiri dengan rapi di pinggir tembok .para murid itu, begitu melihat "sang ketua" cepat berlutut memberi hormatnya. Sedang murid-murid perempuan yang bertugas sebagai pengawal, segera. menempatkan diri di belakang Subinem.
"Apakah kerjamu di sini?" Hardik Subinem kepada murid laki-laki itu.
Tentu saja para murid laki-laki itu melengak heran. Akan tetapi mereka takut, dan wajah mereka berubah pucat. Tadi mereka datang bersama memenuhi panggilan ketua. Celakanya sekarang, begitu berhadapan malah dibentak. Mereka gelagapan dan bingung. Untung seorang murid yang paling tua cepat dapat menenangkan hatinya, lalu menjawab,
"Tadi murid diperintahkan menghadap Ibu guru. Perintah apakah yang harus murid kerjakan ?"
"Sekarang aku tidak butuh lagi. Kembalilah kamu ke tempat pekerjaanmu semula!" Setelah itu, dengan sikapnya yang angkuh, Subinem melangkah menuju pendapa.
Murid-murid itu saling pandang. Mereka bingung menghadapi sikap "ketua baru" yang demikian galak itu. Diam-diam mereka membandingkan sikap ketua baru ini dengan Telasih maupun Sarni. Mereka menganggap seperti bumi dan langit. Walaupun baik Telasih maupun Sami keras dalam memimpin perguruan, namun tidak segalak ketua baru ini. _
Di pendapa Subinem menunggu murid yang diperintah dengan uring-uringan. Dua orang murid perempuan diperintahkan lagi pergi menyusul.
Setelah hampir habis sabar, barulah empat orang murid perempuan itu muncul. Dengan agak takut-takut, murid yang mewakili saudara-saudaranya menerangkan, bahwa baik Kedasih maupun Minah tidak diketemukan. Murid-murid yang lain ikut membantu. Namun ternyata usaha mereka sia-sia belaka.
Mendengar laporan itu. Subinem membanting-bantingkan kakinya ke lantai. Membuat semua murid makin ketakutan.
"Goblok! Goblok! Mengapa kamu menjadi goblok! Hanya melakukan tugas segampang ini tidak seorangpun yang berhasil?. Hayo cepat perintahkan kcpada semua murid. Cari sampai ketemu. dan bawa mereka menghadap kemari selekasnya. Mengerti?"
"Mengerti, guru," sahut mereka. Dan setelah memberikan hormat, mereka melangkah cepat meninggalkan pendapa.
Akan tetapi walaupun seluruh murid Perguruan Tuban yang jumlahnya banyak itu mencari kemanapun, Kedasih dan Minah tidak diketemukan. Murid-murid Tuban itu kemudian saling bertanya, ke manakah Kedasih dan Minah? Mereka menemukan kamar dua anak murid itu kosong, tetapi tidak nampak terjadinya perubahan. Beberapa helai baju dan kain panjang tampak tersampir pada tali di dalam kamar. Membuktikan bahwa dua orang murid itu pergi tetapi tidak jauh. Namun dugaan itu kemudian mereka bantah sendiri. Tidak seorangpun murid Tuban pergi meninggalkan rumah perguruan tanpa seijin dan tanpa diketahui oleh penjaga pintu gerbang. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Kedasih dan Minah diam-diam telah melarikan diri dengan membawa pedang Jati Sari itu, meninggalkan rumah dan masing-masing membawa sepotong. Kedasih maupun Minah memang cukup cerdik. Tadi, ketika terjadi pertempuran dan melihat bahwa Lawa Ijo dan kawannya telah roboh, mereka menjadi amat khawatir sekali. Kedasih dan Minah sudah bisa menduga, bahwa akhirnya pihak penyerbu akan menang. Setelah menduga demikian, terpikirlah oleh Kedasih dan Minah, untuk menyelamatkan pedang Jati Sari. Di samping menyelamatkan pedang Jati Sari yang telah patah dan mempunyai arti penting bagi Perguruan Tuban. terpikir oleh mereka pergi ke Surabaya. ia akan menemui Jaka Pekik dan akan melaporkan malapetaka yang menimpa Perguruan Tuban itu.Mereka ke luar dari pintu gerbang. menggunakan kesempatan selagi para murid yang bertugas jaga lengah. Dan usaha mereka itu ternyata berhasil tanpa halangan. Namun mereka tidak cepat pergi. Setelah mereka menyembunyikan dua potong pedang Jati Sari itu di tempat yang mereka perkirakan aman, mereka kemudian memanjat pohon yang cukup tinggi di luar tembok pekarangan. Mereka dapat melihat keadaan di dalam dengan jelas. Kemudian mereka saksikan pula roboh dan tewasnya Sarni di tangan Subinem. Dengan hati yang amat sedih, Kedasih dan Minah cepat-cepat pergi, sebelum orang tahu kepergiannya. Itulah sebabnya, sekalipun semua murid berusaha mencari, Kedasih maupun Minah tak berhasil diketemukan. , '
*****
"Diajeng Wandan,_kapankah keadaan ini akan berakhir?' tanya Pangeran Kajoran pada suatu pagi kepada Ratu Wandansari.
"Kita telah berhenti di sini lebih sepekan lamanya. Namun di seberang belum nampak terjadinya perubahan. Kalau keadaan demikian ini terlalu lama berlangsung, amat berbahaya. Perajurit kita bisa kehabisan persediaan bahan makanan. Di samping itu, Kangmas Sultan Agung bisa marah."
Pangeran Kajoran menatap adik perempuannya itu. Sebelum Ratu Wandansari sempat menjawab, pangeran itu telah berkata lagi,
"Kita harus dapat bergerak cepat. Kita harus melaksanakan rencanaku yang semula. Sebagian pasukan menyeberang di tempat lain. Setelah berhasil menyeberang, pasukan itu dapat memukul pertahanan musuh dari arah sana."
Ratu Wandansari menatap saudara tuanya dengan bibir tersenyum manis dan sepasang mata bening.
"Apa sih yang menyebabkan kangmas sekarang berubah menjadi tidak sabaran? Apakah kangmas sudah lupa, bahwa kesabaran, perhitungan teliti dan matang, merupakan syarat utama dalam peperangan? Dan lupakah kangmas akan pengalaman penyerbuan yang gagal diBligo? Jumlah kekuatan Mataram berlipat ganda jumlahnya jika dibandingkan dengan lawan. Namun buktinya kangmas menderita kalah."
"Ahm.... kau jangan membongkar peristiwa yang telah lewat, dan yang hanya akan membuat aku malu......" Pangeran Kajoran agak tersipu malu, teringat kegagalannya menyerbu Bligo.
"Aku tidak akan menyesali pengalaman yang telah lalu, kangmas. Tetapi aku hanya ingin mengingatkan pengalaman itu, agar bisa dijadikan guru dan pelajaran. Dan yang lebih penting lagi, pengalaman demikian janganlah sampai terulang kembali." Ratu Wandansari membasahi bibirnya yang indah merah merekah itu dengan ujung lidahnya yang runcing dan merah.
"Dan itulah sebabnya mengapa aku agak heran atas sikap kangmas yang tidak sabaran menghadapi lawan sekarang ini. Kita jangan bertindak terburu nafsu, yang akibatnya akan merugikan kita sendiri, membuang tenaga di samping waktu."
"Eh, apakah maksudmu? Engkau bisa berkata membuang tenaga dan waktu, tetapi engkau membiarkan pasukan tetap di tempat ini sepekan lebih"!
"Hem, bukan begitu. kangmas, kita menunggu di tempat ini bukan membuang tenaga dan waktu, melainkan malah sebaliknya. Kita menghemat tenaga dan waktu!"
bantah Ratu Wandansari.
"Kangmas harus mau mengerti, bahwa jarak yang harus ditempuh oleh orang yang kutugaskan cukup jauh. Malah sudah dapat dipastikan pula harus bertempur menyabung nyawa. Namun demikian aku percaya akan kegagahan Sindu, Sawungrana dan Reksogati. Mereka akan cukup mampu menghadapi musuh berat. Di samping itu, bukankah kangmas sudah setuju, ketika aku minta waktu barang satu minggu? Sekarang baru sepekan, jadi masih dua hari lagi. Kalau habis waktu yang telah ditetapkan mereka belum juga berhasil, terserahlah kehendak kangmas."
Tiba tiba Ratu Wandansari mengangkat kepala dan memalingkan mukanya ke arah sungai. Terdengar bisikan halus masuk ke telinganya. Dan ia cepat dapat menduga bahwa bisikan halus ini dikirimkan oleh Reksogati lewat Aji Pameling. _
"Gusti Wandansari. berkat restu paduka, hamba bertiga melaksanakan tugas dengan selamat dan berhasil menurut rencana. Subinem berhasil merebut kedudukan ketua Perguruan Tuban, sesudah ketua itu mati terbunuh oleh Subinem. Sekarang ini hamba bertiga sedang melindungi keselamatan murid-murid Tuban yang melaksanakan tugas seperti yang paduka rencanakan. Ialah melumpuhkan musuh dengan racun. Gusti, hamba mohon agar pasukan Mataram tidak melakukan gerakan apaapa, yang bisa menimbulkan kecurigaan. Sebagai tanda aman, sudilah Gusti menunggu setelah hamba mengibarkan bendera putih." .
Bibir Gusti Wandansari yang indah itu menyungging senyum manis. sehingga makin menambah keindahan bibir merah itu sendiri. Diam-diam ia memuji. Selama ini Reksogati memang tidak pernah gagal setiap melaksanakan tugasnya. Ia harus merasa bangga memiliki pengawal yang patuh, setia dan sakti mandraguna itu.
"Engkau tersenyum dengan siapa?" tegur Pangeran Kajoran curiga. Sebab ia tidak melihat seorangpun. Maka ia menduga, adiknya ini mengejek dirinya.
"Aku tersenyum karena senang. Sekarang kangmas tidak perlu lagi gelisah memikirkan pasukan Mataram yang tertunda gerakannya. Percayalah, bahwa pada hari ini juga. kita akan dapat menyeberang sungai ini dengan aman. Keruntuhan Tuban tinggal menunggu saat saja."
"Ahhh, engkau jangan sembrono diajeng Wandan. Apakah alasanmu berkata begitu ?"
"Hi-hik," Ratu Wandansari tertawa merdu,
"barusaja ki Reksogati mengirimkan laporan lewat Aji Pameling."
"Ahh..... mengapa aku tidak mendengar ?'
"Tentu saja! Bukankah Aji Pameling itu hanya khusus didengar orang yang dihubungi?"
Tiba-tiba Pangeran Kajoran tampak berdiam diri dan memusatkan perhatian. Ia mendengar bisikan halus,
"Gusti Pangeran. hamba Reksogati, abdi paduka. Hamba sedang melaksanakan tugas semata dengan perintah rayi delem Gusti Ratu Wandansari. Mudah-mudahan segala jerih payah hamba bersama adi Sindu dan Sawungrana segera terbukti. Hamba berharap agar hari ini juga, paduka bersama pasukan telah berhasil menyeberang sungai. Sebagai tanda keadaan aman, harap paduka sudi menunggu setelah hamba mengibarkan bendera putih."
"Apakah kangmas juga mendapat bisikan Reksogati?" tanya Ratu Wandansari sambil menatap saudaranya.
"Ehhh, bagaimana engkau tahu?" Pangeran Kajoran terbelalak.
"Apakah engkau mendengar pula bisikan itu?"
"Tidak!" Ratu Wandansari menggeleng sambil tersenyum.
"Tetapi aku menduga demikian, karena aku melihat kangmas memusatkan perhatian, seperti sedang mendengarkan sesuatu."
"Ha-ha-ha, ternyata engkau memang puteri yang cerdik sekali adikku. Bahagialah pemuda yang kelak kemudian hari menjadi suamimu."
"Ahhh....... kangmas, aku menjadi malu! Aku belum memikirkan tentang kawin. Sebab sekalipun aku seorang perempuan, merasa pula memikul tugas yang sama dengan pria dalam mengabdikan diri kepada kejayaan Mataram."
"Bagus!" Pangeran Kajoran memuji dan bertepuk tangan.
"Dan tidak seorangpun kiranya yang dapat membantah, bahwa jasamu terhadap Mataram amat besar sekali."
"Sudahlah, engkau jangan terlalu memuji. Aku bisa besar kepala dan congkak. Pujian membuat manusia lupa daratan, dan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Sebaiknya, marilah kita sekarang meninjau mereka yang bertugas membuat rakit."
Dua orang bangsawan saudara muda Sultan Agung itu kemudian melangkah pergi menuju ke tengah hutan.
Memang, guna menghindarkan kecurigaan pihak musuh, pembuatan rakit-rakit yang dipersiapkan untuk menyeberang itu dilakukan ditempat yang cukup jauh, di tengah hutan. Pekerjaan ini dipimpin oleh Tumenggung Wreksokartiko.
Mereka yang bekerja itu menjadi gembira sekali, di tinjau junjungan mereka. Gembira, karena di tengah hutan ini mereka tidak pernah melihat perempuan yang jelek wajahnya sekalipun. Padahal Ratu Wandansari adalah seorang, puteri yang cantik jelita, bijaksana dan terkenal selalu ramah kepada para kawula. Akan tetapi mengingat batas-batas perbedaan derajat, dan di samping itu merupakan junjungan pula, maka para perajurit itu menikmati wajah ayu dan bentuk tubuh yang padat berisi itu, tidak berani terang-terangan. Mereka terpaksa harus mencuri-curi pada saat Ratu Wandansari memandang ke arah lain atau sedang memperhatikan sesuatu.
Akan tetapi sebagai seorang puteri perajurit dan berilmu tinggi pula, ia tahu belaka akan pandang mata para perajurit itu. yang seperti seekor kucing melihat seekor tikus. Dan kalau saja perajurit itu memandang dengan terang-teranganpun. ia tidak akan marah. Ia sudah terlalu biasa dalam perantauannya diperhatikan oleh pandang mata laki-laki kurang ajar. Namun ia tidak akan menjadi marah, apabila laki-laki itu puas dengan memandang, tanpa berbuat lebih jauh. Ia tahu bahwa kegunaan mata untuk memandang dan menikmati sesuatu yang menarik hatinya. Jadi kalau para perajurit itu memandang dirinya, para prajurit itu tidak bersalah. Dan bagi Wandansari. malah sekedar untuk menghibur para perajurit yang telah lama terpisah dengan keluarga, dan terpisah pula dengan masyarakat ramai. Dengan terhibur, berarti pula semangat perajurit itu terjamin.
Ternyata Tumenggung Wreksokartiko dan anak buahnya bekerja baik sekali. Dalam waktu yang hanya singkat, mereka hampir menyelesaikan tiga buah rakit yang besar di samping kokoh. Setiap rakit tersebut, sekali angkut bisa diisi lebih kurang seratus orang dengan perlengkapannya.
"Mungkin sore nanti, kita telah mulai menyeberang. Maka rakit ini harus cepat kalian laksanakan!"kata Pangeran Kajoran kepada Tumenggung Wraksokartiko.
"Nanti sore?" Tumenggung Wreksokartiko terkejut
'Mungkinkah keadaan telah aman, Gusti ?"
"Tentu saja." sahut Ratu Wendansari sambil tersenyum manis.
"Percayakanlah kepada kami tentang penyeberangan itu. Kita telah mempunyai orang-orang tepercaya di seberang."
Tumenggung Wreksokartiko mengangguk. Semua orang memang sudah tahu akan kecerdikan puteri ini. Maka apabila berkata demikian, tentu sudah mempunyai pegangan yang kuat. Tiada alasan lagi untuk dikhawatirkan.
Para perajurit itupun kemudian bekerja lebih giat lagi agar pekerjaan cepat selesai. Semua perajurit memang telah bosan harus berada di dalam hutan besar ini. Mereka ingin menginjakkan kaki di pedesaan. Ingin makan makanan segar, dan ingin pula memperoleh hiburan yang mereka butuhkan. .
Pangeran Kajoran dan Ratu Wandansari puas melihat hasil kerja mereka. Lalu dua orang bangsawan ini menuju ke kemah komando. Didalam kemah ini, Pangeran Kajoran segera memanggil para senopati. Sedang Ratu Wandansari menuju ke tepi Bengawan Solo, guna mengamati seberang. Diam-diam Ia amat mengharapkan. agar bendera putih segera berkibar. Kemudian pasukan Mataram dapat menyeberang dengan gampang.
Akan tetapi tentu saja, tanda aman itu belum juga tampak. Sebab di seberang terjadi sesuatu hambatan yang tak terduga. Memang Mirah dan para murid Tuban telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Malah Reksogati, Sindu dan Sawungrana yang menyamar sebagai murid Tuban itu membantu secara langsung. Namun ternyata kalau yang lain telah menjadi korban racun. Kebo Jalu tidak. Tokoh Gagak Rimang ini menjadi kaget melihat para perajurit Tuban dan murid-murid Perguruan Tuban menjadi lumpuh, sedang anak buah Gagak Rimang semua mati secara mendadak.
Kebo Jalu justeru seorang yang wataknya berangasan tetapi jujur. Begitu melihat apa yang terjadi. ia 'segera tahu, bahwa murid-murid Tuban yang baru tiba itu telah berkhianat. Sengaja menyebar racun untuk mencelakakan pasukan di bawah pimpinannya. Ia menjadi amat marah sekali. Dengan gerakannya yang gesit, seorang murid Tuban telah dibekuk tanpa bisa berkutik. Sambil mengancam dengan tinjunya. ia mendelik dan membentak,
"Bangsat kamu! Pengecut busuk! Hayo katakan terus terang apa yang telah kamu lakukan kepada kami? Kamu telah menyebarkan racun lewat minuman dan makanan."
Dibentak demikian dan dalam keadaan yang tak berdaya itu, murid Tuban tersebut wajahnya pucat dan menggigil ketakutan.
"Ti.... tidak... aku tidak! Aku..... hanya melaksanakan tugas......" !"
' Prakk!" sekali tinju itu melayang, pecahlah kepala murid Tuban itu. dan tewas seketika.
Mengapa Kebo Jalu tidak menjadi korban racun?
Peristiwa ini memang terjadi di luar perhitungan Mirah maupun yang lain. Hari itu bertepatan dengan hari lahir Kebo Jalu. Telah menjadi kebiasaan bagi tokoh Gagak Rimang ini, bahwa setiap menjelang hari kelahirannya, selalu berpuasa sehari semalam. Tetapi justeru karena tidak makan dan minum ini, ia selamat dari pengaruh racun yang dicampurkan dalam minuman dan makanan. Dan sekarang, sesuai dengan wataknya yang berangasan, ia amat marah sekali dan mencaci-maki kalang-kabut,
"Bangsat busuk! Bedebah pengecut tak tahu malu! Murid murid Tuban melakukan penghianatan terhadap kami. Huh-huh. tentu kubunuh semua tanpa kecuali."
Sambil berteriak mencaci maki kalang kabut ini, ia terus mengerjakan kaki dan tangannya. Akibatnya murid murid Tuban anak buah Mirah yang melakukan tugas ini, tidak sedikit yang jatuh menjadi korban. Sebab mereka tidak menduga sama sekali, ada orang yang selamat dari racun. Yang sempat lari cepat menyelamatkan diri. Tetapi yang tak sempat, segera roboh dan nyawa melayang.
Tentu saja Sindu, Sawungrana dan Reksogati yang melindungi keselamatan murid Tuban yang bertugas ini kaget sekali. Namun untuk menghilangkan kecurigaan Kebo Jalu, dan karena mereka menyamar sebagai murid murid Perguruan Tuban, mereka tidak berani bergerak. Namun mereka juga tidak melarikan diri seperti murid murid Tuban. Mereka hanya menunggu Kebo Jalu yang sedang mengamuk itu, penuh perhatian.
Karena semua murid Tuban sudah melarikan diri ketakutan. tentu saja Kebo Jalu cepat tiba di tempat itu. Begitu' tiba, Kebo Jalu sudah mencaci maki sambil menggerakkan tangannya memukul.
"Bangsat! Jahanam! Setan alas! Apakah kerjamu di sini? Kamu semua telah berkhianat. Inilah pembalasanku."
Pukulan Kebo Jalu yang amat bertenaga itu menyambar dahayat sekali ke arah Sewungrana.
Ketika itu, justeru tiga orang saudara seperguruan yang sakti ini pura-pura ketakutan dan tubuhnya dibuat menggigil. Maka orang yang berangasan dan selalu bertindak kurang teliti ini. menganggap bahwa tiga orang ini sama pula dengan murid Tuban yang lain tidak begitu tinggi kepandaiannya. Maka begitu tinjunya menyambar, mulutnya berteriak,
"Mampuslah!"
"Plakk !' tinju Kebo Jalu yang menyambar dahsyat itu bertemu dengan tangan kiri Sawungrana, dari mulut Kebo Jalu keluar suara teriakan kaget. Tubuh Kebo Jalu terlempar sejauh lima meter. Sedang Sawungrana sekarang setelah berdiri tegak siap siaga menjaga segala kemungkinan. .
Kebo Jalu terbelalak. Ia hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Bagaimanakah mungkin tubuhnya sampai terlempar begitu bertemu dengan tangan murid Tuban itu?
Padahal tadi, setiap tinju atau kakinya bergerak menyambar, tanpa mengulang kembali, tentu nyawa murid Tuban akan melayang. Dan untung juga orang berangasan tokoh Gagak Rimang ini. ketika memukul tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Hingga sekalipun tubuhnya terlempar cukup Jauh, ia tidak menderita sesuatu. Kalau saja ia tadi mengerahkan seluruh tenaganya tentu dirinya telah mampus atau terluka berat, terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Di pihak lain Sawungranapun untung sekali, _ketika akan bertugas telah memperoleh bekal pengetahuan dari Ratu Wandansari tentang setiap tokoh Gagak Rimang yang mungkin dihadapi. Dengan demikian Sawungrana segera bisa mengukur kekuatan setiap tokoh Gagak Rimang.
Pengetahuan Ratu Wandansari tentang semua tokoh Gagak Rimang ini. bukan lain adalah hasil dari keberaniannya hidup di tengah-tengah musuh, dan selalu berdekatan dengan Jaka Pekik. Puteri Mataram ini justeru terkenal cerdik dan tabah. Maka penyelundupannya ke dalam Gagak Rimang itu, tidak seorangpun yang menaruh rasa curiga. Apa lagi ia selalu pandai membawa diri. dapat mengambil hati dan perhatian Jaka Pekik. Maka walaupun "puteri musuh", sikap semua tokoh Gagak Rimang selalu baik, dan amat menghormatinya. Tetapi Rasa hormat dan keseganan semua tokoh Gagak Rimang itu, memang ada pula sebabnya. Puteri Wandansari yang cerdik ini selalu menggunakan akal dan kecerdikannya, guna keuntungan Gagak Rimang. Oleh sebab itu, Ratu Wandansari banyak kali pula hadir. setiap membicarakan persoalan penting yang dihadapi Gagak Rimang. (Baca cerita "Jaka Pekik" dan "Ratu Wandansari'").
Demikianlah, Kebo Jalu menjadi sadar bahwa musuh yang dihadapi sekarang ini bukan lawan sembarangan. Setelah ia berdiri tegak dan menatap Sawungrana, tokoh Gagak Rimang ini ketawa bekakakan dan mulai mencaci maki.
"Ha-ha-ha, bagus! Aku memang sudah menduga, tentu ada manusia curang dan bangsat pengecut yang menyelundup dalam Perguruan Tuban. Huh-huh, sebelum engkau mampus, katakanlah terus terang siapa kau dan siapa pula yang menyuruh engkau !"
Sawungrana tertawa mengejek.
'Heh-heh-heh, apakah artinya nama? Kalau toh aku mati, juga tidak bisa membawa namaku ke alam baka. Yang kubawa hanyalah ragaku yang kemudian akan membusuk di dalam tanah."
"Bangsat! Setan alas! Kalau begitu engkau harus mampus di tanganku tanpa nama!" Kebo Jalu telah melonpat maju sambil mengayunkan tinjunya. Angin yang kuat menyambar dahsyat sekali. Sekarang Kebo Jalu mengerahkan tenaganya memukul. Karena ia sadar, bahwa lawannya ini tak dapat dianggap sepele.
Sawungranapun tidak berani sembrono. Ia cepat menggeser kaki menghindarkan pukulan, dan langsung membalas. Akibatnya dua orang sakti itu sekarang saling serang dengan gerakan yang amat cepat. dan angin yang dahsyat menyambar sekeliling tempat bertempur. Kebo Jalu sekalipun seorang yang kasar dan berangasan, adalah seorang tokoh yang namanya cukup terkenal dalam Gagak Rimang.
Maka iapun seorang ahli dalam ilmu tata kelahi dan luas pengalaman pula.
Akan tetapi berhadapan dengan Sawungrana ini, diam-diam Kebo Jalu terkejut. Ia telah menggunakan kepandaian dan keahliannya, tetapi ternyata musuh dapat mengimbangi Pukulan dan tendangannya yang menyamhar dahsyat itu, tak pernah berhasil mengenakan tubuh lawan. Sebaliknya, Kebo Jalupun juga belum menderita kerugian apa-apa.
Reksogati dan Sindu hanya berdiri menonton di pinggir gelanggang. Reksogati mengangguk-anggukkan kepala nya. Diam-diam orang tua ini kagum kepada Kebo Jalu. Sebab walaupun sikapnya kasar, tetapi tokoh Gagah Rimang ini jujur. Setalah mengamati jalannya pertempuran, ia mengerti bahwa kekuatannya agak berimbang. Meskipun demikian Sawungrana lebih ulet, dan ia merasa pasti bahwa lambat laun adik seperguruannya itu akan dapat menguasai gelanggang. Akan tetapi sekalipun begitu, ia tidak tega kalau harus membiarkan Sawungrana terlalu sibuk. Waktu amat berharga bagi pasukan Mataram. Maka penghalang satu-satunya ini harus segera dimusnakan. '
"Sindu!" kata Reksogati.
"Walaupun hanya sedetik, Waktu ini amat berharga sekali bagi kita dan gerakan pasukan Mataram. Kita harus berusaha, agar penyeberangan itu lekas terlaksana. Bantulah kakangmu Sawungrana, supaya cepat beres. Bunuhlah dia, habis perkara!"
"Tapi kakang........ mengapa harus begitu? Kakang Sawungrana tidak kesulitan. Bukankah bantuanku akan menyinggung perasaan kakang Sawungrana, dan bisa membuat dia malu pula? Mengapa terhadap musuh begitu saja kita harus mengeroyok? Bukankah itu pengecut?'
Raksogati ketawa terkekeh,
"Heh-heh-heh, manakah ada istilah pengecut dan turun derajat di medan perang? Dalam perang berbeda dengan pertempuran secara pribadi. Dalam perang orang tidak saling kenal, tidak mempunyai urusan pribadi. tidak ada rasa benci, dendam dan segala macam persoalan pribadi. Dan di dalam perang itu, yang berlaku setiap pihak selalu -berusaha memperoleh kemenangan. baik dengan jalan lurus. dengan sia-sat licik, maupun tipu muslihat. Pendeknya dalam perang segala macam cara dihalalkan. Pembunuhan besarbesaran terlepas dari tuntutan hukum. dan setiap perajurit yang banyak menewaskan orang di pihak lain. akan dipuji tinggi-tinggi dan diberi pula anugerah kenaikan pangkat maupun benda-benda berharga. Bukankah itu aneh? Tetapi memang begitulah yang berlaku dan terjadi setiap dua pihak berhadapan' dalam peperangan. Kamus pengecut dan istilah curang tidak berlaku. Nah, begitulah adi, mengapa engkau ragu-ragu?"
Sindu mengangguk-angguk tanda bisa menerima alesan kakang seperguruannya itu. Kenyataannya di dalam peperangan. orang bisa berbuat apa saja demi mencari kemenangan. Namun demikian, Sindu khawatir kalau Sawungrana tidak menghendaki.
"Kakang, tetapi bagaimana dengan kakang Sawungrana? Dia bisa marah kepada diriku. Tentu dia menganggap aku meremehkan. Dia tidak terdesak dan tidak membutuhkan bantuanku. Maka menurut pendapatku, biarlah kakang Sawungrana puas dengan melawan seorang diri. Aku menonton saja di sini, sambil melihat perkembangan. Apabila diperlukan, barulah aku turun tangan membantu. Sementara aku tetap di sini, engkau mengabarkan dan melaporkan kepada Gusti Ratu Wandansari, telah tiba saatnya mulai penyeberangan. Apa sih sulitnya menghadapi seorang saja?"
"Baiklah jika begitu.' Reksogati mengangguk.
"Bantulah kakangmu Sawungrana jika perlu. Aku ke pinggir bengawan melaporkan keadaan."
Demikianlah akhirnya, Reksogati cepat-cepat menuju ke tepi Bengawan Sala sambil membawa sepotong kain putih, selebar satu meter. Ia yang mempunyai mata awas dapat melihat keadaan di seberang sana. Ia melihat bahwa agaknya Ratu Wandansari telah menunggu kabar dengan gelisah. Untuk itu, ia cepat menggunakan Aji Pameling. ditujukan kepada Ratu Wandansari, berkata lirih.
"Gusti. segala rencana telah beres. Keadaan telah mengijinkan menyeberang. Hamba akan segera mengibarkan bendera putih."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Reksogati segera meloncat ke atas dahan pohon, dan seperti seekor kera raksasa. ia memanjat dengan amat cepat sekali. Setelah cukup tinggi ia memanjat pohon itu, ia cepat mematahkan sebatang ranting yang cukup panjang. Kain putih sepotong itu dikibarkan pada ranting. Lalu dipasang di puncak pohon tersebut, berkibar-kibar tertiup angin, dan dari seberang tampak dengan nyata sekali.
"Hore! Hore! Hore!"
"Bendera putih sudah berkibar. Hayo cepat laporkan kepada Gusti Pangeran Kajoran dan Gusti Wandansari!"
"Hore! Kita bisa menyeberang sekarang !"
Terdengar sorak sorai di seberang, begitu melihat berkibarnya bendera putih diseberang. Mereka menyambut tanda aman itu dengan gembira sekali. Seperti kanak-kanak kecil, mereka berjingkrak-jingkrak, ada pula yang melemparkan topi. ada pula yang saling rangkul dan berciuman, dan ada pula yang jungkir balik. Tingkah mereka presis seperti kanak-kanak yang sedang kegirangan walaupun lebih dahulu Ratu Wandansari sudah tahu. namun ada seorang perajurit yang berlarian menghadap. Setelah menjatuhkan diri duduk bersila sambil memberikan sembahnya di depan hidung, perajurit itu melaporkan keadaan. Ratu Wandansaripun cepat memerintahkan agar memberi tahu kepada Tumenggung Wreksokartiko, supaya rakit-rakit di turunkan di Bengawan Sala.
Perajurit Mataram yang berhari-hari hanya tenang tenang saja, tiada pekerjaan apa-apa, saat ini menjadi sibuk sekali. Untuk penyeberangan yang pertama kali, adalah perajurit pelopor, dipimpin oleh Adipati Mandurorejo. Tiga buah rakit yang amat kuat telah terapung di atas air Bengawan Sala. Dan para perajurit pelopor di bawah pimpinan Adipati Mandurorejo, telah siap di atas rakit. Perajurit itu jumlahnya tigaratus orang lebih sedikit .Dan tak lama kemudian, meluncurlah rakit-rakit sebanyak tiga buah, menyeberang bengawan.
Sementara Gusti Wandansari dan Pangeran Kajoran menyaksikan penyeberangan itu, pengawal sakti Hesti Wiro melakukan tugasnya menjaga keamanan junjungannya. Sedang Adipati Uposonto, sibuk mengatur pemberangkatan para perajurit tersebut, agar tidak saling berebut dahulu. .
Di seberang sana, Reksogati telah menunggu para perajurit Mataram itu dengan wajah berseri. Setelah rakit-rakit itu merapat di pinggir, berloncatanlah para perajurit itu mendarat di seberang. Kemudian perajurit yang bertugas sebagai tukang perahu itu, mengemudikan rakit rakit kembali ke sana.
Ketika mereka sudah mendaki tebing, Adipati Mandurorejo maupun para perajurit Mataram itu terbelalak. Mereka melihat tubuh manusia yang mengeletak tak bergerak, tersebar di sana-sini. Di dekat tubuh orang orang Itu, masih terdapat sisa makanan yang berserakan. Nyatalah bahwa mereka itu telah mati terkena racun sebelum makan sampai habis. '
Adipati Mandurorejo mengangguk angguk. Diamdiam senopati Mataram ini memuji kecerdikan dan kepandaian siasat Ratu Wandansari. Dan melihat banyaknya mayat yang berserakan itu, mengertilah ia sekarang, sebabnya penyeberangan tertunda lebih sepekan. Ternyata pasukan yang menjaga di seberang jumlahnya amat banyak sekali.
Sebagai _senopati pasukan 'pelopor, Adipati Mandurarejo segera mengatur pengamanan keadaan. Dan ketika ia melihat perkelahian yang masih berlangsung antara Sawungrana dengan seorang musuh, Adipati Mandurorejo melengak heran.
"Ahhhh.... kakang Reksogati. Siapakah orang yang sedang bertempur melawan kakang Sawungrana Itu? Agaknya orang itu seorang jago alot juga. Buktinya sampai tidak mempan oleh racun."
Reksogati tertawa,
"Ya, dia satu-satunya orang yang selamat dari racun, Gusti Adipati. Semula hamba merasa heran juga, mengapa bila terjadi demikian. Akan tetapi kemudian ternyata, bahwa tokoh Gagak Rimang yang bernama Kebo Jalu itu. tidak makan dan selamatlah dia dari racun."
"Sebaiknya orang itu kita keroyok saja, biar lekas mampus. Dan mengapa Sindu hanya menonton ?"
( Bersambung jilid 7)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 7
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
"SEMULA hamba memang berpikir sama dengan Gusti Adipati. Dan Sindu hamba perintahkan untuk mengeroyok, agar orang itu cepat mampus. Akan tetapi Sindu keberatan. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Sawungrana, sebab Sawungrana tidak terancam bahaya. Mengingat itu kemudian hamba mengalah, dan biarlah Sawungrana puas."
Adipati Mandurorejo mengangguk-angguk. Kemudian sang senopati ini mendekati tempat pertempuran, Sambil memperhatikan. Begitu melihat jalannya perkelahian, ia segera membenarkan pendapat Reksogati. Ternyata Sawungrana tidak terdesak. Malahan Sawungrana pada pihak yang unggul.
Pertempuran antara Sawungrana dan Kebo Jalu itu memang terjadi amat sengit sekali. Lebih lebih setelah Kebo Jalu melihat mendaratnya pasukan Mataram yang makin lama makin bertambah jumlahnya. Ia menjadi nekad sekali. Ia tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup. Tetapi walaupun harusmati,, ia harus mendapatkan teman.
Tiba-tiba ia membentak nyaring sambil mencabut senjata andalannya, sebatang golok besar yang putih mengkilap tajam. Ia memang seorang 'yang bertenaga besar. Maka senjata yang berat itu. amat tepat dan ia malah tampak menjadi amat garang sekali. Dengan goloknya yang amat besar itu, ia melancarkan serangannya yang amat dahsyat sekali. Namun serangan yang berbahaya. yang mengincar empat bagian tubuh sekaligus itu, dapat dihindari oleh Sawungrana dengan gerakannya yang cukup gesit. Kemudian entah bagaimana caranya bergerak tahu-tahu dalam tangan Sawungrana telah tergenggam senjata yang aneh bentuknya. Senjata ini dapat disimpan melingkar pada pinggangnya. Ialah rantai baja yang pada ujungnya terdapat baja bundar bergigi tajam sekali. Senjata itu bernama "bandil eri". Senjata tersebut hebat sekali dan mempunyai "dwiguna". Dalam jarak dekat senjata itu dapat dijadikan senjata yang berbahaya, sedang apabila musuh jauh. senjata itu bisa diulur memanjang. sepanjang rantainya. Namun di samping itu, kalau perlu senjata itu dapat dilepaskan untuk mengejar lawan pada jarak jauh-_
"Wut-wut..trang-trang.......!" pertemuan senjata golok Kebo Jalu dan bandil eri milik Sawungrana terdengar nyaring sekali, dan pijar api beterbangan di sekitarnya. Kebo Jalu menggeram keras menghindarkan diri, ketika melihat senjata Sawungrana menyambar dahsyat.
Dalam pertemuan senjata tadi, Kebo Jalu kaget ketika telapak tangannya terasa panas, galoknya terpental ke samping dan tubuhnya terdorong terhuyung mundur. Sama sekali di luar dugaannya, bahwa lawan yang tampaknya bertubuh kurus ini, mempunyai tenaga yang kuat luar biasa. Sebaliknya Sawungranapun agak kaget juga, ketika golok lawan tidak bisa lepas dari tangan. Malah ia merasakan tangannya terpental hebat. Akan tetapi Sawungrana memang seorang tokoh pengawal keraton Mataram yang boleh diandalkan. Begitu bandil erinya terpental ke samping, ia meneruskan gerakan tersebut untuk meneruskan serangannya. Hingga akibatnya Kebo Jalu kaget setengah mati, dan hampir saja celaka.
Mendadak terdengar teriakan nyaring tetapi merdu.
"Tahan!"
Kebo Jalu dan Sawungrana yang sudah mulai saling gempur dengan hebatnya itu. cepat melompat mundur dan menahan senjata masing-masing. Ketika melihat Ratu Wandansari menghampiri, Sawungrana mengerutkan alis merasa heran dan bertanya dalam hati. Namun sebagai seorang hamba, ia cepat memberikan hormatnya kepada Puteri Mataram itu, tanpa berani membuka mulut. Ia ingin menunggu, apakah maksud Ratu Wandansari.
Berbeda dengan Kebo Jalu. Begitu melihat munculnya puteri ayu tersebut, ia telah tertawa bekakakan.
"Ha--ha-ha--ha! Bagus, _bagus sekali, engkau muncul. Aku semula bingung dan merasa heran, melihat orang orangku mati mendadak setelah makan dan minum. Tetapi dengan kehadiranmu sekarang ini, tahulah aku bahwa semua ini merupakan hasil pekerjaanmu. Aha.....engkau telah bekerja baik sekali. Dahulu engkau melumpuhkan semua. tokoh sakti dan kemudian engkau tawan di Karta. Dan sekarang engkau mencelakakan kami.....Huh huh...... kau......"
"Tutup mulutmu bangsat busuk. Engkau berhadapan dengan siapa berani kurang ajar?" bentak Adipati Mandurorejo tiba-tiba sambil melompat kedepan siap untuk menyerang Kebo Jalu.
Akan tetapi Ratu Wandansari cepat mengangkat tangan yang kecil itu, memberi isyarat mencegah. Katanya halus,
"Paman Mandurorejo, biarkanlah dia memuaskan hatinya. Apa sih salahnya membiarkan dia membuka mulut. justeru semua itu memang benar? Tetapi aKu berbuat untuk kejayaan Mataram."
"Ha-ha-ha, engkau memang lebih jujur daripada orang-orangmu." Kebo Jalu yang kasar itu memuji.
"Tetapi sebaliknya aku harus mengakui, bahwa engkau seorang perempuan yang lebih berbahaya dibanding dengan laki-laki yang bertenaga kuat. Seorang diri engkau dahulu dapat menawan semua tokoh perguruan yang menyerbu markas Gagak Rimang di Arjuna. Kemudian engkau memfitnah Gagak Rimang. agar dimusuhi oleh semua orang. Ahhh......engkau_seperti ular yang "berkepala dua. Engkau memusuhi Gagak Rimang. Huh-huh-huh, jika aku ingat akan perbuatanmu yang merugikan Gagak Rimang, sebenarnya aku amat benci sekali. Namun kemudian engkau bersahabat dengan Paduka Raja Pekik. Dan selama itu, sepak terjangmu dan pikiranmu selalu menguntungkan Gagak Rimang. Ahh, aku sampai tidak bisa mengikuti jalan pikiranmu. Kadang engkau membela Gagak Rimang, tetapi kemudian engkau memusuhi Gagak Rimang. Apakah maksudmu yang sebenarnya?"
Setelah puas membongkar semua ganjalan hatinya, Kebo Jalu menatap Ratu Wandansari. Semua panglima Mataram, pengawal sakti dan Pangeran Kajoran sendiri matanya menjadi merah dan amat marah sekali, mendengar kata kata Kebo Jalu itu. Tangan mereka terasa gatal sekali dan ingin meremas mulut itu biar hancur. Akan tetapi yang mengherankan, Ratu Wandansari sama sekali tidak marah. Malah bibirnya yang indah merekah itu menyungging senyum yang amat manis sekali. Katanya kemudian,
'Kebo Jalu! Apakah engkau lupa bahwa aku ini puteri Mataram? Tentu saja semua tindakanku. aku tujukan untuk kepentingan Mataram pula. Dahulu, terus terang saja, aku memberanikan diri di dalam pergaulan dengan Gagak Rimang. karena aku kagum atas sepak-terjangnya. Namun di samping itu, tentu saja juga untuk kepentingan kerajaanku. Akan tetapi hmm......apakah engkau menutup mata dengan terjadinya perubahan? Ternyata bahwa rajamu yang bernama Pekik itu, anak Adipati Surabaya. Merupakan musuh utama Mataram. Kalau Pekik sekarang merupakan pemimpin Kadipaten Surabaya. tentu raja Gagak Rimang termasuk di dalamnya. Berarti pula Gagak Rimang merupakan musuh langsung Mataram pula. Hal ini terbukti pula dengan perbuatanmu sekarang ini. Engkau bertahan disini, guna membela Tuban."
"Kalau Gagak Rimang sekarang engkau anggap sebagai musuh Mataram, apakah yang akan kaulakukan?" tanya Kebo Jalu penasaran.
"Tentu saja harus dihancurkan !'
"Ha-ha-ha. dengan jalan curang meracun?"
"Apa? Curang? Di dalam perang menggunakan siasat untuk memperoleh kemenangan, tiada adalah curang dan tidak. Yang penting harus menang. Jalan apapun bisa dilakukan. Kebo Jalu! Sekarang engkau tinggal seorang diri. Sekalipun engkau mengerahkan seluruh tenagamu melawan, engkau takkan menang......-"
"Ha-ha-ha! Engkau menginginkan agar aku berkhianat dan membantu Mataram ?"
"Apakah salahnya? Mataram kerajaan besar yang jaya. Beberapa bupati dan adipati telah bertekuk lutut dibawah Mataram. Dan sebentar lagi. Surabayapun akan menyusul runtuh. Apakah engkau tidak berpikir mencari selamat sebelum kiamat?"
"Ha-ha-ha, engkau bisa membujuk orang lain, tetapi Kebo Jalu tidaklah mungkin. Aku lebih baik mati dari pada menjadi budak Mataram." '
' Bangsat busuk. Tutup mulutmu!"
Adipati Mandurarejo tak kuasa lagi menahan kemarahannya. Ia sudah melompat dan langsung menyerang Kebo Jalu dengan pedangnya yang panjang. Kata-kata Kebo Jalu yang kurang menghormat Ratu Wandansari dan sikapnya terhadap Mataram itu dianggap terlalu menghina. Dan karena kemarahannya ini Adipati Mundurorejo tak sempat lagi minta ijin kepada Ratu Wandansari.
Sesungguhnya Ratu Wandansari ini ingin membujuk Kabo Jalu, agar mau tunduk dan membantu Mataram. Puteri Mataram ini tahu, bahwa Kebo Jalu seorang tokoh Gagak Rimang yang Sikapnya kasar. Namun baiknya, merupakan seorang yang selalu jujur dan berterus terang, di samping pula seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi ternyata orang yang kasar tetapi jujur ini, terlalu setia kepada Gagak Rimang dan Jaka Pekik. Maka tepat pula apabila sekarang Adipati Mandurorejo maju menandingi tokoh Gagak Rimang itu. Ratu Wandansari telah tahu kesaktian Adipati Mandurorejo. Maka ia tidak mengkhawatirkan "senopati" Mataram ini sampai kalah.
Sebaliknya Kebo Jalu yang tinggal seorang diri di tengah lawan ini, sudah bertekad mati. Pedang musuh yang menyambar itu ditangkis.
Trang.....masing-masing terhuyung satu langkah ke belakang. Diam-diam Adipati Mandurorejo kaget. Ternyata orang kasar ini bukan orang sembarangan.
Dalam keadaan biasa sesungguhnya tenaga Kebo Jalu tidak sekuat itu. Sebab sesungguhnya tingkat Adipati Mandurorejo ini, sedikit lebih tinggi kepandaiannya di banding dengan Sawungrana. Namun keadaan Kebo Jalu sekarang adalah lain. Ia sudah tidak mengharapkan hidup lagi. Tanpa disadari, kekuatannya bertambah berlipat-ganda. Kalau tadi bertempur cukup lama ia tidak bisa merobohkan Sawungrana, sekarang ini ia harus dapat membunuh musuh baru ini.
Pertempuran seorang lawan seorang antara Kebo Jalu dan Adipati Mandurorejo ini berlangsung amat cepatnya. angin senjata menyambar-nyambar dahsyat dan amat berbahaya. Sebab pertempuran ini bukan hanya mengadu kesaktian, tetapi dalam usahanya saling membunuh.
Para tokoh Mataram menonton di pinggir gelanggang. mengikuti perkelahian itu penuh perhatian. Sedang para perajurit Matarampun, menonton penuh perhatian dengan hati yang berdebar tegang. Akan tetapi pertempuran itu makin lama berlangsung makin cepat. Pandang mata para perajurit itu makin lama menjadi makin kabur, dan malah kepalanya terasa pusing.
Hanya tinggal terbatas para tokoh sakti Mataram yang masih dapat mengikuti pertempuran itu secara seksama. Namun ternyata kemudian, bahwa bagaimanapun Kebo Jalu bukanlah tanding Adipati Mandurorejo yang seimbang. Makin lama terbuktilah keunggulan senopati Mataram ini. Kabu Jalu sekalipun sudah mengerahkan segenap tenaga dan kesaktiannya, makin lama di bawah angin, tidak dapat membalas, dan tinggal bisa membela diri.
Kebo Jalu menjadi amat penasaran sekali. Tiba tiba ia menggereng keras sekali, melompat ke depan sambil membabatkan goloknya.
"Trang-trang..., plak-dess...!"
Kebo Jalu terlempar ke belakang cukup jauh, kemudian roboh muntahkan darah segar. Tetapi Adipati Mandurorejo pun terhuyung huyung ke belakang, dadanya dirasakan sesak sukar bernapas, dan darah dalam tubuhnya bergolak.
Apa yang terjadi?
Dalam kenekadannya yang sudah tidak mengharapkan hidup lagi, ketika Kebo Jalu menggereng keras tadi, sengaja membenturkan senjatanya. Tetapi. begitu senjatanya berbenturan, ia menggunakan tangan kiri untuk memukul dada lawan. Maksudnya pasti, pukulannya akan bisa merobohkan lawan. Sayang sekali orang yang kasar dan berangasan ini, perhitungannya kurang teliti. Ia kurang menyadari, bahwa Adipati Mandurorejo ini seorang "senopati" perang. Sebagai seorang senopati, tentu saja Adipati Mandurorejo mengenakan pakaian perang. Bajunya dilindungi oleh tirai baja pada bagiang tubuh yang berbahaya. Apalagi bagian dada merupakan bagian tubuh yang amat lemah. Tentu saja pada bagian itu dilindungi perisai yang cukup kuat. Oleh sebab itu. pukulan Kebo Jalu tadi sekalipun keras, terhalang oleh perisai baja. Adipati Mandurorejo hanya merasa dadanya sesak, tetapi tidak membahayakan jiwanya. Sebaliknya Kebo Jalu sebagai seorang biasa, pakaian perang itu tidak pernah ia kenal. Lebih-lebih pakaian perang itu berat, sehingga akibatnya akan menghalangi kegesitannya bergerak. Maka ia lebih suka berpakaian biasa.
Tetapi sekarang, kesembronoan dan kekasarannya itu menimbulkan akibat yang merugikan dirinya sendiri. Pukulan Adipati Mandurorejo yang berat itu, membuat ia menderita luka dalam yang cukup berat, dan muntah darah segar. Namun tokoh Gagak Rimang yang terluka berat ini seperti tidak merasakan deritanya. Begitu roboh dan muntah darah, Kebo Jalu telah mengerahkan sisa tenaganya, meloncat bangun. Dadanya terasa amat sakit. tetapi dipaksanya. Bibirnya yang berlepotan darah itu dibiarkan begitu saja, lalu ia bergerak menyerang lawannya.
Walaupun Adipati Mandurorejo seorang senopati sakti mandraguna. seorang yang banyak sekali menghadapi lawan yang mandi darah dan sekarat, ia bergidik juga menyaksikan keadaan Kebo Jalu ini. Ia merasa ngeri, maka ketika golok Kebo Jalu itu menyambar, ia mengelak ke samping. Kebo Jalu cepat membalikkan diri sambil kembali membacokkan goloknya.
"Tranggg..........!"
Golok Kebo Jalu bertemu dengan pedang Adipati Mandurorejo. Akan tetapi karena Kebo Jalu sudah menderita luka dalam yang parah, begitu goloknya bertemu dengan pedang lawan, golok itu terpental terbang. disulul tubuhnya sendiri terbanting ke tanah. Adipati Mandurorejo yang marah itu, cepat melompat, menikamkan pedangnya ke tenggorokan untuk mengantarkan nyawa lawan.
Crakk! Adipati Mandurorejo kaget. Tikamannya ternyata luput, menikam tanah. Tahu-tahu senopati ini memekik nyaring, kemudian roboh muntahkan darah segar.
Ternyata Kebo Jalu yang bertekad mati bersama dengan lawan itu, nyawanya cukup ulet. Walaupun ia sudah menderita luka yang amat parah, ia masih mengerahkan tenaganya yang terakhir. Ketika pedang lawan menyambar, Kebo Jalu menggulingkan tubuhnya dan berhasil menghindari tikaman lawan. Sesudah itu, menggunakan sepasang tinjunya, ia memukul lambung Adipati Mandurorejo.
Terjadinya peristiwa itu, justeru di luar dugaan semua orang. Hingga walaupun pada saat itu banyak hadir tokoh sakti, tak bisa mencegah jalannya perisitiwa. Tetapi masih untung bagi Adipati Mandurorejo. Pukulan itu dilakukan oleh seorang yang sudah hampir kehabisan tenaga dan sekarat. Maka walaupun cukup keras dan membuat Adipati Mandurorejo muntah darah tegar, namun tidak membahayakan jiwanya. Sebaliknya sebabis memukul. Kebo Jalu segera roboh terlentang di tanah dengan nyawa terputus.
Adipati Uposonto, Reksogati. Hesti Wiro dan yang lain cepat menolong Adipati Mandurorejo, Sedang Ratu Wandansari dan Pangeran Kajoran menyaksikan peristiwa itu dengan menghela napas panjang. Kakak beradik ini diam-diam memuji keperkasaan Kebo Jalu yang berangasan itu. Walaupun keadaannya sudah hampir sekarat, masih pula dapat melukai lawannya. Sungguh merupakan seorang sakti yang hebat, patut dijadikan contoh bagi setiap perajurit. _ __
Adipati Mandurorejo dalam waktu yang singkat telah dapat meloncat bangun, sekalipun wajahnya masih pucat. Semua itu berkat kerjasama Adipati Uposonto, Reksogati dan Hesti Wiro yang memberikan bantuan penyaluran tenaga sakti secara gabungan.
Ketika melihat Kebo Jalu menggeletak tak bergerak di atas tanah, sang senopati ini melompat dengan maksud untuk menebas leher lawan itu agar putus. Untung Pangeran Kajoran waspada.
Trang!
Pedang Adipati Mandurorejo terpental ditangkis oleh Pangeran Kajoran.
"Paman, sudahlah! Dia sudah mati, mengapa paman masih menurutkan kemarahan"?
Adipati Mandurorejo tidak berani membantah maupun menatap pandang mata Pangeran Kajoran. Kemudian senopati ini melangkah pergi. menghampiri pembantunya untuk minum.
Demikianlah, hari ini pertahanan Tuban hancur. Semua orang yang tewas sebagai korban racun segera dikubur. sedang para murid Tuban segera diberi obat pemunah racun. Tak lama kemudian mereka telah sadar. Dan setelah mengerti duduk perkaranya, semua menyerah tanpa rewel lagi. Mereka semua menyadari, bahwa melawanpun tak ada gunanya.
Seluruh pasukan Mataram itu kemudian bergerak meninggalkan hutan ini. Ketika senja datang, mereka sudah tiba di luar hutan. Semua perajurit istirahat di tempat itu, dan tidak seorangpun perajurit diijinkan pergi dan masuk ke dalam dusun. Pertama, kehadiran pasukan Mataram itu agar tidak diketahui oleh lawan, dan yang ke dua untuk mencegah perajurit itu mengganggu para penduduk itu ketakutan.
Akan tetapi, bagaimanapun Pangeran Kajoran yang kedudukannya sebagai panglima penting itu ingin merahasiakan kehadirannya di Wilayah Tuban ini, tak urung diketahui pula oleh pihak lawan. Jumlah perajurit yang ribuan banyaknya itu. dan asap api yang dipergunakan memasak, cukup menarik perhatian penduduk dusun yang berdekatan dengan tempat itu. Penduduk dusun itu kaget dan amat khawatir sekali. Mereka dengan ketakutan mengabarkan kepada penduduk yang lain. Akibatnya penduduk yang ketakutan itu mengangkuti harta benda mereka lalu berduyun-duyun mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman. Tentu saja mengungsinya penduduk desa ini, secara cepat tersiar luas. Dan akhirnya didengar pula oleh Adipati Tuban. Berita itu amat mengejutkan Adipati Tuban, malam itu juga Adipati Tuban mengumpulkan seluruh panglima .
Seluruh kekuatan di kerahkan untuk mempertahankan kedaulatan Tuban. dan malah akan dipimpin sendiri oleh Adipati Tuban. Utusan segera dikirim juga ke Perguruan Tuban untuk memberitahukan datangnya musuh, di samping pula untuk bantuan tenaga. Adipati Tuban percaya, bahwa dengan bantuan para murid Tuban yang terkenal itu akan bisa menghalau musuh.
Akan tetapi utusan Adipati Tuban itu pulang dengan tangan hampa. Utusan itu memberi laporan, bahwa baik ketua Telasih maupun wakilnya sedang pergi ke Surabaya. Pengurus yang ada. tidak berani memutuskan tanpa ijin ketua.
Laporan itu membuat Adipati Tuban agak menyesal di samping kecewa. Mengapa datangnya musuh justeru pimpinan Perguruan Tuban sedang pergi?
Namun dengan bantuan perguruan itu atau tidak, musuh sudah datang. Tuban harus melawan dan mempertahankan kedaulatannya. Oeh sebab itu pada keesokan pagi buta, Adipati Tuhan telah berangkat memimpin pasukan Tuban yang jumlahnya lebih kurang sebelas ribu orang. Dengan demikian pasukan Tuban dikerahkan seluruhnya, dan yang menjaga keamanan kota tinggal dalam jumlah yang amat kecil saja.
Pasukan itu dibagi menjadi tiga bagian. Pasukan pertama, yang bergerak terlebih dahulu, dipimpin oleh seorang panglima gagah perkasa. Tumenggung Kebo Panengah. Pasukan ini harus menempuh perjalanan jauh dengan gerak cepat, lewat bagian timur. Dan kemudian pasukan tersebut akan menyusuri tepi Bengawan Sala, untuk memukul musuh dari belakang. Pasukan yang kedua, dipimpin oleh seorang panglima, bernama Tumenggung Kebo Pamekas. Mereka bergerak lewat barat. Kemudian pasukan ini akan menurutkan aliran Sungai Geneng, dengan tugas untuk mengacau lawan dengan serangan dari
arah tengah. Baik pasukan yang pertama dan kedua, berkekuatan masing-masing duaribu orang. Sedang pasukan yang langsung menghadapi musuh mempertahankan Tuban, dipimpin sendiri oleh Adipati Tuban, dibantu oleh seorang panglima gagah perkasa bernama Tumenggung Kebo Pembayun. Pasukan ini berkekuatan tujuh ribu orang.
Dengan siasat yang demikian ini, Adipati Tuban mengira, akan berhasil menumpas musuh. Sebab pasukan yang dipecah menjadi tiga ini, tentu tidak diduga-duga oleh musuh. Oleh kepercayaannya akan kekuatan Tuban ini, maka pasukan itu sekalipun akan menyabung nyawa di medan pertempuran, wajahnya berseri dan gembira penuh semangat. .
Akan tetapi benarkah gerakan pasukan Tuban ini tidak diketahui pihak Mataram?
Sama sekali tidak!
Adipati Tuban yang kurang memperhitungkan tokoh-tokoh sakti dalam pasukan Mataram itu, tidak pernah menduga bahwa semua rencana dan siasat sudah diketahui oleh Ratu Wandansari maupun Pangeran Kajoran. Semua ini adalah jasa Hesti Wiro maupun Reksogati, yang telah mendengar semua pembicaraan, mengintip dari atas genteng seperti dua ekor tikus.
Ratu Wandansari justeru seorang cerdik dan ahli sianat perang yang sulit dicari duanya. Sekalipun dia seorang puteri, namun dalam menentukan siasat lebih jitu dibanding dengan Pangeran Kajoran. Begitu memperoleh laporan, Ratu Wandansari segera menentukan siasatnya. Ia cepat membentuk pasukan kecil yang gemblengan di bawah pimpinan Sindu dan Tumenggung Jayenglogo. Pasukan ini jumlahnya hanya duaratus orang saja. Tugasnya bukan menghadapi musuh secara langsung, tetapi
merupakan pasukan siluman, mengacau dan menimbulkan kekacauan kepada musuh, agar pasukan Tuban itu hancur semangat bertempurnya.
Satu kelompok pasukan kecil yang kedua, berkekuatan duaratus orang pula, diperintahkan bergerak ke barat. Pasukan ini dipimpin oleh Sawungrana dan Tumenggung Suroyudo. Sedang pasukan jumlah besar, kemudian bergerak langsung untuk memukul kekuatan Tuban.
Kasihan para penduduk Tuban. Mereka hanya kawula cilik yang tak tahu apa-apa. Akan tetapi mereka menjadi ketakutan setengah mati, berlarian mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman, hanya membawa harta yang sempat dibawanya. Mereka yang telah tua. memaksa diri berlarian dengan tubuh gemetaran, napasnya sesak. Namun tidak berani berhenti, takut dibunuh perajurit musuh. Anak-anak yang masih kecil, menangis sepanjang jalan setengah diseret oleh ibunya. Tersaruksaruk dan beberapa kali jatuh terguling. Namun karena ibunya amat ketakutan. anak yang telah kepayahan itu terus diseret tanpa kenal kasihan lagi.
Ahh.. beginilah nasib kawula cilik. Mereka tak berdosa. dan mereka tidak bersalah apa-apa. Tetapi mereka-lah yang banyak menderita oleh terjadinya peperangan. Pada hal, timbulnya peperangan itu bukan lain hanyalah keserakahan manusia saja. Serakah adalah dorongan nafsu manusia yang ingin berkuasa, ingin hidup mulia dan ingin pula hidup lebh tinggi dari manusia lain. Mataram merasa berhak memerangi dan menaklukkan para bupati dan adipati. Karena Mataram beranggapan bahwa para bupati dan adipati itu, dahulu merupakan wilayah Pajang. Karena Kerajaan Pajang sudah runtuh dengan wafatnya Sultan Hadiwijoyo, dan Panembahan Senopati Raja Mataram yang muncul sesudah Pajang, maka seharusnya pula para Bupati dan Adipati yang semula tunduk kepada Pajang, harus tunduk pula kepada Mataram.
Akan tetapi sebaliknya para Bupati dan Adipati mempunyai pendapat lain. Menurut ketentuan yang berlaku dalam tata kerajaan sejak WaliSanga, setiap raja yang dianggap syah, apabila memperoleh pengakuan dari Sunun Giri. Padahal sejak Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram. sampai pula dengan Sultan Agung menggantikan tahta kerajaan dari Panembahan Seda Krapyak (Mas Jolang), Kerajaan Mataram belum pernah memperoleh pengakuan dan ijin dari Sunan Giri. Dengan kenyataan ini, maka para Bupati dan Adipati beranggapan tiada ikatan lagi dengan kerajaan yang manapun, setelah Kerajaan Pajang runtuh.
Perselisihan pendapat inilah sesungguhnya yang mendorong terjadinya peperangan itu. Dan masing-masing, baik Raja Mataram maupun para Bupati dan Adipati, tidak memperdulikan akibat yang harus diderita oleh para kawula cilik, lalu memaklumkan perang. Sungguh celaka nasib kawula cilik. Yang menjadi perajurit dan yang selalu dijadikan ayam sabungan di medan perang, dan maupun yang harus menderita akibat peperangan, semua itu kawula ciliklah yang tak bisa menghindarkan diri.
Tentu saja kawula cilik itu menjadi ketakutan kepada perajurit musuh. Mereka telah banyak mendengar cerita maupun bukti-bukti setiap terjadi peperangan, perajurit musuh itu berubah menjadi "buas". Baik terhadap harta-benda kawula cilik. maupun terhadap perempuan. itulah sebabnya mereka amat ketakutan.
Ketika itu, pasukan yang dipimpin Sindu, telah menyusuri aliran Bengawan Sala dengan gerak cepat. Ketika malam tiba. mereka menginap di dusun Tegal Kemangi. Semula para penduduk desa itu kaget melihat kedatangan mereka. Maklum desa itu terpencil. sehingga para penduduk mengira Sindu dan anak buahnya merupakan gerombolan perampok. Sebab pasukan Sindu ini tidak mengenakan pakaian perajurit Mataram lagi, dan mengenakan pakaian yang aneka macam dalam penyamaran mereka agar tidak diketahui musuh. Akan tetapi setelah Sindu menerangkan, bahwa mereka merupakan para pedagang yang sama tujuannya. penduduk dusun itu menjadi lega. ' .
Bagi jaman itu, di mana baik hubungan darat maupun air masih sulit, di sana sini masih merupakan hutan belantara. dan banyak penjahat yang mengganas, gabungan pedagang sampai ratusan jumlahnya mengadakan perjalanan bersama, adalah sudah lumrah. Sebab dengan jumlah mereka. keamanan lebih terjamin. Para perempokpun tidak sembarangan berani mengganggu.
Dan untuk mempertebal kepercayaan penduduk desa ini, Tumenggung Jayenglogo memberikan uang kepada pemimpin desa, supaya menyediakan hidangan makan malam untuk mereka semua. Menyediakan makan malam untuk dua ratus orang, tidaklah sedikit beras dan lauk yang dibutuhkan, di samping membutuhkan tenaga pula. Maka kemudian penduduk desa itu bergotong royong. seakan penduduk Tegal Kemangi ini mempunyai hajad secara mendadak. Beberapa ekor ayam segera disembelih. Sedang untuk keperluan sayur, penduduk dusun ini tinggal memetik dari ladang.
Ketika semua rombongan sudah tidur sedang para pendudukpun sudah mendengkur di rumah masing-masing, melesatlah sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali keluar dari desa Tegal Kemangi. Bayangan ini adalah Sindu. Ia sebagai seorang yang merasa bertanggungjawab terhadap tugas yang dibebankan kepada dirinya, merasa wajib untuk mengadakan penyelidikan. di manakah kedudukan pasukan Tuban itu sekarang?
Gerakan Sindu yang cepat itu, di malam gelap seperti sekarang ini, tak ubahnya sesosok bayangan setan yang sedang berkeliaran mencari mangsa.
Setelah cukup jauh ia bergerak menerobos gelap malam, terlihatlah penerangan dari api unggun di tepi hutan, tak jauh dari desa Sudimoro dan tak jauh pula dari Bengawan Sala. Ternyata api unggun tersebut dinyalakan oleh pasukan Tuban, yang ketika itu hampir semua sudah tidur lelap. Tinggal beberapa orang yang bertugas jaga saja.
Namun Sindu memang tidak ingin mengganggu mereka. Hanya ingin tahu jarak antara pasukannya dengan pasukan musuh. Perlunya ia akan bisa mempersiapkan cara. bagaimanakah harus memukul pasukan besar ini dengan pasukannya yang kecil, hanya sekali pukul.
Masih pagi benar, pasukan Sindu yang menyamar sebagai pedagang itu, telah membikin keranda. Penduduk desa Tegal Kemangi heran sekali melihat yang mereka lakukan. Karena tertarik, salah seorang penduduk bertanya,
"Kalian membikin keranda untuk apa? Siapakah yang meninggal?"
"Ohh.......... tak ada orang yang meninggal!' sahut Tumenggung Jayenglogo.
"Lalu.......... untuk apakah usungan mayat ini kalian bikin ?" desak orang itu.
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ohh.. ini merupakan siasat bagi pedagang seperti kami, guna menghindarkan gangguan penjahat di jalan. Kalau kami menyamar sebagai rombongan orang pengantar mayat, penjahat tidak akan mengganggu kami."
"Ohh..ahhh......wahhhh.....!" beberapa orang peududuk desa itu heran dan melongo.
"Siasat kalian amat bagus dan patut dicontoh," puji pemimpin desa itu.
"Benar. Dengan menyamar aebagai rombongan pengantar mayat, penjahat takkan mengira bahwa sesungguhuya kalian rombongan pedagang yang membawa banyak uang."
"Apakah kalian telah biasa lewat hutan Jatiduwur, sehingga kalian mengenal bahwa hutan itu sarang perampok?" tanya seorang tua renta, yang tubuhnya kurus kering dan rambutnya sudah putih seluruhnya.
Tumenggung Jayenglogo mengangguk.
"Tentu saja. Setiap sebulan atau dua bulan sekali, kami hilir mudik antara Bojonegoro dengan Surabaya. Jadi kami sudah mengenal tempat-tempat berbahaya. Padahal kami memperkirakan, bahwa lewat tengah hari nanti, kami tentu lewat di hutan itu. Dengan penyamaran kami, perampok tidak akan mengganggu."
"Tetapi sungguh berbahaya apabila cara kalian ini sudah pernah kalian lakukan." Kakek itu memperingatkan.
"0, tidak! Baru kali ini kami menggunakan akal sebagai pengantar mayat."
"Syukurlah jika begitu. Sebab kami akan bersedih dan ikut prihatin, apabila kalian mendapat halangan."
"Terima kasih! Mudah-mudahan Tuhan telalu menyertai kami, pedagang yang hanya mempertahankan sepiring nasi ini."
Demikianlah, dalam waktu yang cepat, keranda itu telah selesai. Keranda itu seperti layaknya berisi mayat, ditutup pula dengan kain putih dan asap kemenyan yang mengepul sepanjang jalan tak pernah putus. iring-iringan itu tampak seperti benar-benar mengiringkan mayat menuju pekuburan. Hingga para penduduk desa yang mengantar mereka sampai di pinggir desa menggeleng-gelengkan kepala.
Tetapi setelah jauh dari desa, gerakan mereka menjadi cepat. Bagi perajurit pilihan ini, tidak kesulitan memikul keranda sambil berlarian cepat. Hal itu dilakukan, agar dapat bertemu dengan pasukan musuh di tempat yang sulit, dan menguntungkan pihaknya. Sindu merencanakan, agar dapat berhadapan dengan musuh di pinggir hutan yang disebut dengan nama Alas Roban, sebelum tengah hari.
Perhitungan Sindu ternyata tepat sekali. Dari jauh mereka telah melihat gerakan pasukan Tuban itu berbondong-bondong, dengan segala perbekalan perangnya. Jalan di situ justeru hanya merupakan jalan setapak saja, sehingga paling banyak hanya bisa dilalui oleh empat orang yang berjalan berjajar. iring-iringan jenazah ini maju terus, sedang pasukan Tuban itupun terus maju. Akhirnya jarak mereka tinggal kira-kira dua tombak lagi.
Melihat orang yang mengiringkan jenazah itu tak mau berhenti, pasukan paling depan membentak marah,
"Hai Apakah matamu sudah buta dan tidak melihat barisan perajurit ini? Hayo cepat minggir!" '
Yang berjalan paling depan justeru Tumenggung Jayenglogo. Dengan tubuh yang pura-pura menggigil jawabnya.
"Tetapi..... kami harus membawa jenazah ini ke tempat yang masih jauh. Kami takut kemalaman di jalan,ndara..."
"Tidak perduli! Orang yang sudah mampus mengapa harus susah payah membawa ke tempat jauh? Kamu lempar ke sungai toh sudah cukup. Hayo, cepatlah minggir. Jika tidak, kubunuh mampus semuanya."
Semua orang tubuhnya gemetaran tampak amat ketakutan. Dan Tumenggung Jayenglogo membantah.
"Ndara, ini bukan bangkai anjing yang bisa dibuang ke sungai. Maka hamba mohon....berilah kami jalan...."
"Tidak bisa! Kami perajurit yang akan melawan musuh tak boleh terganggu gerakannya. Hayo. minggir atau tidak ?" hardik pemimpin perajurit itu sambil mendelik.
Tetapi rombongan pengantar mayat itu tak juga minggir. Mereka tetap di tempat. sedang keranda tetap di atas pundak empat orang pemikul.
"Tidak ndara! Kami tak dapat menunda perjalanan......"
"Bangsat! Kamu berani melawan? Mampuslah!" tiba-tiba pemimpin perajurit itu memukul dengan penggada. Dengan gerakan yang dibuat kaku, Tumenggung Jayenglogo menghindar ke samping. Tetapi pemikul yang pura-pura gugup itu, saling tarik ke sana ke mari, sehingga akhinya keranda jatuh dan berantakan. Namun tiba-tiba terdengar pekik yang saling sahut. dan hiruk pikuklah semua perajurit Tuban. Pemimpin perajurit yang tadi garang itupun lari terbirit-birit ketakutan. Mereka saling tabrak dan roboh, ada pula yang tergelincir ke dalam jurang.
Apa yang terjadi?
Begitu keranda berantakan, mayat yang membujur kaku di dalam keranda. yang dibungkus kain putih itu bergerak meloncat loncat ke sana ke mari. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan setengah mati. sekalipun di siang bolong, menyaksikan sesosok mayat dapat bergerak berloncatan itu.
"Setan.....!"
"Mayat hidup.....!"
Hiruk pikuk dan teriakan-teriakan ketakutan semakin menjadi, ketika 'mayat hidup" itu menghampiri pasukan Tuban. Pada waktu siang saja, peristiwa ini membuat orang ketakutan setengah mati. Apa pula kalau mayat hidup ini muncul di malam hari yang gelap-gulita. Mereka yang sempat lari, melarikan diri terbirit-birit tanpa arah lagi. Dan mereka yang penakut kaki menjadi gemetaran tak bisa lari, jatuh terduduk dan terkencing kencing. Namun mulutnya masih sempat untuk bergerak, membaca mantra penolak bala dan setan.
Tumenggung Kebo Panengah, panglima pasukan Tuban serta pembantu -pembantunya marah bukan main. Ia yang belum melihat "mayat hidup" itu, dan berada pada barisan bagian tengah, membanting-bantingkan kaki sambil berteriak,
"Haiiii ...., haiii...... berhenti! Berhenti! Mengapa kamu bubar dan ribut sendiri?' "
Namun teriakan Tumenggung Kebo Panengah itu tenggelam dalam hiruk-pikuk dan keributan yang makin menjadi-jadi. Pasukan yang bubar melarikan diri tidak makin berkurang, malah makin bertambah banyak.
"Berhenti! Haiii..... berhenti......" teriakan Tumanggung Kebo Panengah itu nyaring dan berulang -ulang. Malah kemudian beberapa orang perwira perajuritpun membantu berteriak.
Seorang perajurit yang lari ketakutan tertangkap. Lalu didorong roboh dan dibentak oleh seorang Lurah perajurit.
"Mengapa kamu lari? Apakah mau memberontak?"
"Tii..... tidak ndara....." sahut perajarit itu dengan wajah pucat, tubuh menggigil dan tidak lancar.
"Di depan... mayat...... mayat...... hidup......"
Parajurit Itu menggulingkan diri, meloncat bangun kemudian melarikan diri lagi.
"Apa? Mengapa perajurit tadi....?' tanya Tumenggung Kebo Panengah agak gugup.
"Kudengar didepan ada mayat hidup.......!" sahut lurah perajurit itu.
"Omong kosong! Pengecut semua! Mana ada orang mati bisa hidup lagi?" Tumenggung Kebo Panengah tak percaya dan mencaci maki.
"Mari kita lihat!"
Tumenggung Kebo Panengah dikawal oleh empatorang lurah perajurit, berlarian ke depan. Namun kemudian mereka terbelalak. Laporan itu ternyata benar. Ada mayat hidup yang meloncat ke sana ke mari, dengan kain kafan dan tujuh tali yang masih lengkap.
Seorang lurah prajurit seperti lumpuh mendadak dan terkencing-kencing. Hanya Tumenggung Kebo Panengah dan seorang lurah perajurit, yang berdiri terpaku terbelalak dan mengawasi mayat itu tak berkedip. Mereka keheranan. Akan tetapi tidak cepat menjadi takut. Dan setelah mereka mengamati dengan seksama beberapa saat, dan melihat gerak "mayat hidup" itu yang amat ringan sekali, tumenggung dan lurah perajurit ini sadar dan curiga.
"Selan alas! Dia bukan mayat hidup. Tetapi manusia hidup!" kata Tumenggung Kebo Panengah dengan amat geram.
"Benarkah, ndara Menggung?" lurah perajurit itu masih ragu-ragu dan kurang percaya. Yang dihadapi benar benar "pocongan' yang meloncat-loncat. mengapa dikatakan bukan "mayat hidup"?
"Huh, goblok. Kau tolol seperti yang lain." hardik Tumenggung Kebo Panengah.
"Perhatikanlah gerakannya yang meloncat itu. Bukankah ringan sekali? Terang dia seorang berilmu yang sengaja mengacau kita dengan menyamar sebagai "mayat hidup"!
"Ah... benar." lurah perajurit itu menepuk pahanya sendiri, setelah memperhatikan dengan seksama. ia berpaling ke arah dua orang lurah perajurit yang masih duduk gemetaran. Katanya,
"Tolol kamu! Perhatikan gerakan pocongan itu. Dia bukan mayat hidup, tetapi manusia yang hidup."
Setelah berkata demikian, lurah perajurit ini sudah meloncat ke depan. Gerakannya hampir berbareng dengan gerakan Tumenggung Kebo Panengah. Panglima ini marah bukan main, melihat akibat bubarnya pasukan Tuban, maka begitu meloncat ia sudah memutarkan golok besarnya. Sedang lurah perajurit itupun telah menggenggam sebatang tombak pendek.
Begitu melihat bergeraknya Tumenggung Kebo Panengah yang tak takut itu, dua orang lurah perajurit itu pun menjadi malu. Kemudian dengan senjata masing masing, mereka sudah ikut menyerbu mayat hidup yang masih terus berloncatan mengejar perajurit perajurit yang cerai-berai itu.
Majunya empat orang itu, justeru telah ditunggu lama oleh Tumenggung Jayenglogo dan yang lain. Empat orang segera maju menyambut, termasuk Tumenggung Jayenglogo. Sedang yang lain segera menggunakan senjata masing-masing, menyerbu kepada pasukan Tuban yang sudah cerai-berai tak keruan itu. Akibatnya sungguh menyedihkan dan mengerikan. Pasukan pilihan Mataram ini seperti algojo yang sedang menyembelih ayam. Dalam waktu yang tak lama, perajurit perajurit yang dalam ketakutan itu, tak terhitung banyaknya yang roboh tak bernyawa lagi. Bukan hanya perajurit itu yang menyebar maut. Akan tetapi mayat hidup itu sendiri, sekarang bukan hanya membuat orang ketakutan, tetapi sekarang setiap orang yang terkejar akan segera roboh tak bernyawa terpukul tendangan kuat.
Pasukan Tuban yang ketakutan dan ngeri oleh hidupnya mayat itu, bertambah ngeri dan ketakutan lagi, ketika tiba-tiba tangan mayat itu keluar dari dalam kain kafan. Lengan itu Justeru kurus seperti tulang dibalut oleh kulit. Sedang jari-jari tangan mayat itupun runcing panjang mengerikan. Tentu saja perajurit Tuban itu makin gundam-gundam dan bubar mawut. Dalam ketakutan, manakah mungkin perajarit itu dapat melawan dengan baik?
Maka hari ini pasukan Mataram berpesta pora, melakukan penjagalan manusia besar-besaran.
Melihat itu Tumenggung Kebo Panengah geram, penasaran dan amat marah sekali. Ternyata pasukan Mataram menggunakan akal kancil, sehingga pasukannya yang besar itu berantakan dan kocar kacir. Akan tetapi untuk mencegah paniknya pasukan itu, ia tidak mempunyai kesempatan. Saat ini dirinya sedang menghadapi lawan yang cukup tangguh. Apabila perhatiannya terpecah, bisa membahayakan dirinya sendiri. Lebih lagi para lurah perajurit pembantunya itu. Mereka terpaksa mencurahkan seluruh perhatian kepada lawan masing-masing.
Oleh amukan Sindu dan pasukan Mataram itu, dalam waktu yang tidak lama, bergelimpangan dan tumpang tindihlah mayat perajurit-perajurit Tuban itu. Darah membanjir membasahi tanah sekitarnya.Diantara mereka masih terdapat pula yang belum mati, dan mengerang kesakitan. Namun walaupun orang-orang itu mengerang kesakitan, tidak seorangpun yang memperhatikan dan menolong. Masing-masing menyelamatkan nyawa sendiri.
Perajurit Tuban hancur. Sisanya telah terbirit-birit menyelamatkan diri. Sindu menghela napas juga melihat akibat perbuatannya. Ia menyesal juga harus melakukan penjagalan kepada perajurit-perajurit Tuban yang tak berdosa ini. Kalau saja ia bukan seorang panglima, kiranya tak akan sanggup berbuat seperti ini. Perajurit perajurit itu sama pula dengan dirinya. Sebagai manusia dan hanya sebagai alat. Kalau dirinya alat "Penguasa Mataram", sebaliknya perajurit-perajurit yang mati ini alat "penguasa Tuban". Segala macam alat. mengenal pula apa yang dikatakan rusak dan tak terpakai lagi.
"Alat" itu semasa masih bisa digunakan dan diperlukan. akan dipelihara dan disayang. Namun sebaliknya bilamana sudah tidak dibutuhkan lagi, alat itu akan dibuang dan disia-siakan.
Inilah seni dari pada hidup. Dan teringatlah ia kemudian akan nasehat gurunya almarhum, Ki Gede Wastu Kencana.
"Hidup ini juga merupakan seni. Apabila mengerti dan bisa menikmati, akan merasakan tentang nikmatnya hidup ini. Sebaliknya apabila tidak mengerti, bagaimana dapat menikmatinya? Walaupun hanya suara angin meniup, apabila bisa menikmatinya, akan bisa merasakan tentang merdunya suara angin itu. Dan bicara soal angin, taklah ada yang mempunyai kejujuran seperti angin itu. Dia tak pernah berdusta dan membohOng. Kalau dia lewat di taman yang penuh bunga indah dan semerbak harum, ia pasti menyebarkan pula bau yang harum dari bunga" itu. Sebaliknya bilamana dia lewat pada kotoran manusia atau bangkai binatang yang berbau tak enak, diapun membawa bau itu. tanpa sedikitpun berusaha mengurangi dan menambah. Ahhh.....,.... apabila manusia yang hidup di dunia ini dapat memiliki pribadi, jiwa dan watak seperti angin itu, tak dapat aku bayangkan bagaimanakah dunia ini. Tentu selalu tenteram dan semua orang merasa bahagia? "
Ketika itu Sindu bertanya.
"Adakah di dunia ini apa yang disebut kebahagian itu? Murid pernah mendengar bahwa bahagia itu sulit dicapai oleh manusia hidup ini. Bahagia berarti sudah sampai pada puncaknya. Bahagia berani langgeng. Berarti abadi. Mungkinkah dunia ini terdapat kebahagiaan atau kelanggengan itu ?"
"Sindu, tentu saja kebahagiaan dan kelanggengan itu ada. Kalau tidak. manakah mungkin disebut sebut dan setiap orang mencarinya? Tetapi perlu kau ketahui, bahwa siapa yang mau mencari berarti belum memperoleh. Kemudian orang mencari kebahagiaan dalam kekuasaan, nama besar, kekayaan dan lain sebagainya. Semua orang mencari dan mengejarnya untuk memenuhi kehendaknya itu. Hemm... bagaimana orang dapat mencari sesuatu yang belum pernah dikenal? Kebahagiaan ini tak bisa dibayangkan dan dipikir. Dan apabila dibayangkan dan dipikir hanyalah merupakan khayal. Kebahagiaan hanya bisa dirasakan. Dirasakan! Sebab kebahagiaan tidak kenal kepada kedudukan, harta benda, kekuasaan dan lain sebagainya. Tetapi tergantung, bagaimanakah cara kita menerima hidup ini. Kalau orang bisa menerima hidup ini apa adanya, dan merasa hidup ini ada yang Memberi Hidup. Mengapa menjadi kelabakan sendiri mencaricari? Kebahagiaan akan datang sendiri tanpa dikejar dan dicari. Apabila dapat menerima hidup ini tanpa prasangka dan apa adanya."
"Akan tetapi Sindu, orang pada umumnya lebih mendekatkan diri kepada "dorongan". Dorongan untuk ini atau itu. yang dikhayalkan atau dibayangkan, betapa senang dan betapa nikmatnya. Padahal setiap senang dan nikmat tentu akan disusul dengan sebaliknya. Kalau demikian tentu saja makin menjauhkan diri dari ,,hidup" apa adanya itu, tanpa prasangka. Tuhan tak akan memberi kehidupan yang lebih baik, kalau orang tidak bijaksana. Tetapi sebaliknya, takkan ada kebijaksanaan kalau ada sesuatu kepercayaan. Karena setelah percaya sesuatu, akan selalu percaya dan mempertahankan mati-matian. Akibatnya terjadilah perpecahan, bentrokan, peperangan dan lain sebagainya. Karena masing-masing akan mempertahankan kepercayaannya kepada sesuatu itu. Dan apabila telah terjadi peperangan, terjadi pula penghancuran, pengrusakan, pembunuhan, dan selanjutnya hanya akan menyebarkan kesengsaraan di dunia ini. Memang boleh jadi mendatangkan sekadar hiburan kepada beberapa gelintir manusia. Tetapi pada hakekatnya mendatangkan kesengsaraan, bahaya kelaparan dan lain sebagainya."
Teringat akan petuah gurunya itu, Sindu menghela napas panjang. Sekarang terbuktilah apa yang telah dikatakan gurunya almarhum. Terjadinya perpecahan dan peperangan antara Mataram dengan pihak lain, karena masing masing mempertahankan kepercayaan. Tiba-tiba saja hancurlah kegairahannya untuk bertempur dan membunuh musuh.
Musuh?
Musuh siapa?
Sindu tidak merasa mempunyai musuh. Perajurit Tuban itu bukanlah musuhnya. Hanya kebetulan dirinya sekarang merupakan "Alat kekuasaan " Mataram. Andai kata dirinya menjadi alat kekuasaan Tuban, bukankah akan terjadi sebaliknya?
Sindu kemudian menghentikan gerakannya merobohkan musuh. Akan tetapi celakanya dirinya sekarang ini seorang "panglima". Dan lebih lagi dua orang kakak seperguruannya menjadi alat Mataram pula. Kalau dirinya sekarang terang-terangan memerintahkan menghentikan pertempuran, di saat lawan sudah morat marit, dirinya tentu dituduh sebagai pengkhianat. Kalau hanya berhadapan dengan penguasa Mataram. ia masih tak perduli. Tetapi berhadapan dengan kakak-kakak seperguruannya, tidaklah mungkin.
Akhirnya ia menemukan cara yang tidak merugikan dua belah pihak. Teriaknya.
"HOOOIII.... hentikan pembunuhan. Tawan hidup-hidup mereka yang menyerah."
Tetapi justeru dengan teriakannya itu, terbongkarlah rahasianya. Pihak Tuban menjadi tahu, bahwa apa yang tadi disangka "mayat hidup" itu sesungguhnya malah pemimpin pasukan Mataram. Oleh kesaktiannya, walaupun dibungkus kain kafan dan diikat pada tujuh tempat, masih bisa bergerak leluasa.
Setelah perajurit Tuban tahu, bahwa mayat hidup itu sesungguhnya manusia hidup, mereka yang tadi ketakutan timbul kembali semangatnya. Dengan senjata masing-masing, mereka melawan. Akan tetapi sayang sekali jumlah nya tinggal sedikit sekali. Dari jumlah duaribu orang itu, kira-kira tinggal seperlimanya saja. Betapapun juga menghadapi pasukan pilihan Mataram ini, keberaniannya itu, hanya untuk mengantarkan nyawa. Banjir darah itu bertambah lagi, dan mereka yang roboh makin bertambah banyak.
Melihat akibat itu, barulah Sindu sadar akan kesalahannya. Dan apa yang dimaksudkannya, justru malah sebaliknya. Untung sekali bahwa Sindu telah memperoleh kesadaran menghadapi hidup itu. Manusia bisa berusaha, tetapi ketentuan di tangan Tuhan.
Apa yang harus disesalkan?
Dan karena penyamarannya sebagai mayat hidup sudah diketahui musuh, maka tiada perlunya lagi dirinya bersembunyi dalam balutan kain kafan. Begitu mengerahkan tenaganya,
"brett-brett-brett", kain kafan itu segera hancur bercabik cabik. Akan tetapi Sindu tidak bergerak. Ia berdiri mematung, memperhatikan perajuritnya yang menghancurkan pasukan Tuban.
Ketika itu lima orang lurah perajurit Tuban dan Tumenggung Kebo Panengah telah terdesak hebat sekali. Tiga orang lurah perajurit Tuban telah roboh tewas. Tetapi salah seorang lurah perajurit Mataram menderita luka yang agak parah bagian pundaknya. Namun tak lama kemudian dua orang lurah perajurit Tuban itu roboh menyusul kawan-kawannya, karena dua orang itu dikeroyok empat orang lurah perajurit Mataram. Yang masih bertempur seorang lawan seorang, tinggal Tumenggung Kebo Panengah melawan Tumenggung Jayenglogo.
Namun bagaimanapun pula, hati dan pikiran Tumenggung Kebo Panengah saat sekarang ini terpengaruh oleh hancurnya pasukan Tuban. Ia mengerti, akibat apakah yang harus diterima oleh seorang panglima. apabila pasukannya hancur melawan musuh. Apa pula, hanya menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih kecil jumlahnya seperti ini. Walaupun hidup, dirinya bakal menerima hukuman mati. Dan mati sebagai seorang yang dianggap bersalah, seluruh keluarganya akan menderita semuanya.
Tidak!
Ia tak akan membiarkan seluruh keluarganya menderita oleh perbuatannya.
Mengingat akan akibat yang bisa terjadi atas hancurnya pasukan Tuban sekarang ini. Tiba-tiba saja Tumenggung Kebo Panengah menggeram keras sekali, sambil membabatkan golok besarnya. Menyambarnya golok besar yang didorong oleh kegelisahan dan kemarahannya ini dahayat sekali.
Trang!
Golok besar yang menyambar dahsyat itu diterima oleh tameng (perisai ). Tumenggung Jayenglogo terhuyung huyung ke belakang, sehinggan tombak yang ditikamkan meleset, tangan kirinya terasa tergetar hebat sekali. Di pihak lain Tumenggung Kebo Panengahpun kaget sekali. Perisai lawan tidak pecah, dan tangannya yang membalik membuat dadanya agak sesak.
Tetapi Tumenggung Kebo Panengah tidak memberi waktu lagi. Ia meloncat ke depan sambil mengelebatkan goloknya membabat lambung.
Trang ... !
golok diterima oleh perisai lawan. Akan tetapi Tumenggung Kebo Panengah sekarang mempertontonkan kecepatannya bergerak. Golok yang terpental itu, gerakannya diteruskan menyerempang bagian bawah. Tumenggung Jayenglogo meloncat tinggi ke atas. Tangan kirinya menggunakan perisai menyambar kepala lawan, disusul oleh tombak di tangan kanan. Kembali terdengar suara senjata beradu nyaring sekali., Mereka kemudian terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan gerakan mereka yang amat cepat. _ _ .
Sindu menonton perkelahian itu dengan mengangguk anggukkan kepalanya. Diam-diam ia memuji kegagahan panglima Tuban ini, di samping kesetiaannya kepada tugas. Kegagahan dan kesetiaannya itu dibuktikan oleh perlawanannya yang gigih tak kenal menyerah. Padahal saat sekarang panglima Tuban. ini tinggal seorang diri. Pasukannya telah hancur berantakan. Yang tewas tak terhitung Jumlahnya, Sisanya sudah melarikan diri atau ditawan hidup-hidup.
Kagum akan kegagahan panglima Tuban ini, kemudian timbullah rasa sayangnya. Biarlah panglima itu diberi kesempatan untuk hidup dan melaporkan kepada Adipati Tuban. Terpikir demikian. ia cepat bertindak dan melompat ke depan. Sindu hanya menggerakkan dua belah tangannya. Tetapi tahu-tahu dua orang yang sedang terlibat dalam perkelahian sengit itu sudah terhuyung beberapa langkah kebelakang. Masing-masing terbelalak. Tumenggung Kebo Panengah diam diam kaget sekali. Dorongan tenaga itu amat kuat sekali, dan membuat dadanya agak sesak. Pada hal orang yang sekarang berdiri di antara mereka tubuhnya kurus.
Mengapa sekuat itu tenaganya?
Kalau orang kurus ini yang maju, jelas bukan tandingnya. Ia tentu akan segera roboh tewas. Namun demikian ia sudah nekad. Ia tidak takut mati!
Maka Tumenggung Kebo Panengah tidak nampak takut, malah ia mendelik marah.
Sebaliknya, oleh tindakan Sindu ini, Tumenggung Jayanglogo heran. Apakah maksud "panglima" ini menghentikan perkelahiannya?
Pada hal ia merasa bahwa dirinya tidak terdesak. Karena heran, ia dapat bertanya.
"Apakah maksudmu menghentikan pertempuran? Aku belum kalah. Dan aku tidak akan kalah."
Sindu tersenyum.
"Sabarlah. Aku memang tahu saudara tidak kalah. Tetapi berilah Waktu, aku akan bicara dengan dia!" .
"Engkau akan bicara apa ?"' Tumenggung Kebo Panengah mendelik tidak senang.
'Jangan engkau mencoba mempengaruhi aku dengan rusaknya pasukanku. Dan... huh-huh, kalau pihakmu tidak menggunakan siasat curang, manakah mungkin pasukanku terpukul dengan gampang? Hemm........ dengan tingkah laku kalian ini, aku menjadi heran dan tak mengerti. Sesungguhnya siapakah kalian ini? Melihat pakaian kalian, jelas bahwa kalian hanya pedagang-pedagang.Apakah kalian ini sesungguhnya para perampok yang......"
"Bangsat! Tutup mulutmu yang busuk.!" bentak Tumenggung Jayenglogo memotong kata kata lawan yang belum selesai.
"Jangan engkau sembarangan membuka mulut, menuduh kami perampok. Huh huh, tak perlu kami bersembunyi di depanmu. Dengarlah baik-baik. Kami semua ini pasukan Mataram yang sengaja datang untuk menghancurkan pasukanmu !"
"Bagus, Ha-ha-ha!" Tumenggung Kebo Panengah tertawa bekakakan.
"Aku sudah menduga, ha-ha-ha. Kalau pedagang, tak mungkin dapat bergerak teratur dan penuh disiplin. Dan kalau perampok, mengapa harus merampok pasukan Tuban? Bagus, ha-ha-ha.. sekarang aku memperolah bukti. Bahwa kemenangan Mataram di mana-mana meninggalkan kegagahan, ternyata kemenangan itu dicapai dengan tipu muslihat dan akal busuk!"
"Setan alas! Keparat!" Tumenggung Jayenglogo mendelik.
"Siapa yang menggunakan akal busuk? Dalam perang tidak ada istilah akal busuk dan tipu muslihat. Dalam perang, orang akan mati konyol apabila membanggakan ketangguhan dan kegagahannya. Perang. dua pihak saling berusaha memperoleh kemenangan. Maka harus menggunakan akal dan pikiran, bagaimanakah cara yang tepat untuk mengalahkan musuh."
Sindu mengangkat tangannya untuk menghentikan mereka yang saling berbantah itu.
"Sudahlah, jangan kalian berbantah tentang akal dan siasat perang. Perkenankanlah aku bertanya, siapa engkau dan apakah kedudukanmu dalam pasukan Tuban ini?"
"Apakah maksudmu yang sebenarnya?" Tumenggung Kebo Panengah curiga.
"Jika ki sanak tak keberatan. Akan tetapi aku tidak akan memaksa."
"Memaksapun boleh!" sahut Tumenggung Kebo Panengah ketus.Ia memang malah tidak mempunyai harapan hidup lagi. Ia menyadari. apabila orang kurus ini yang maju menghadapi dirinya, dirinya tak mungkin menang. Namun untuk menyerah tak mungkin!
"Pendeknya tak ada perlunya lagi bicara, setelah pasukanku terlanjur hancur. Tetapi walaupun pasukanku hancur, aku masih hidup. Kamu tak mungkin dapat meneruskan perjalanan tanpa lebih dahulu melangkahi mayatku."
"Keparat! Mampuslah! " teriak Tumenggung Jayenglogo sambil meloncat ke depan dan menikamkan tombaknya. '
' Trang-trang...... !" Golok, perisai den tombak itu berbenturan berturut-turut, dan terdengar suara nyaring. Sindu terpaksa melompat ke pinggir. dan diam-diam ia menghela napas dalam. Ia kagum akan sikap panglima Tuban ini. Akan tetapi ia Juga sedih. Sesungguhnya ingin sekali ia membujuk panglima Tuban itu supaya menyerah saja. Namun ternyata panglima Tuban ini terlalu setia dan mempertahankan kegagahannya. Ia tahu bahwa panglima Tuban ini amat malu. Dan lebih suka mati menyusul para perajuritnya, daripada harus takluk kepada lawan.
Sekalipun hatinya tidak setuju. ia tak dapat berbuat apa-apa. Apabila ia mencegah Tumenggung Jayenglogo, Salah-salah dirinya dituduh berkhianat. Akan tetapi, dalam dadanya sekarang ini, terjadi peperangan yang hebat. Peperangan antara kewajibannya sebagai orang yang mengabdi kepada Mataram, dan kesadarannya tentang hidup. Kapankah manusia ini dapat hidup rukun, apabila selalu terjadi persaingan, pertentangan, keganasan dan saling berkelahi?
Dan bukankah semua itu terjadi sebagai akibat masing-masing manusia terlalu mementingkan dan memikirkan kepentingan pribadi?
Karena prasangka, karena cita-cita, membela kepentingan diri, maka terjadilah perpecahan dan peperangan yang tak pernah berhenti sejak dahulu kala.
"Tidak!" teriaknya dalam hati.
"Aku tak lagi sudi menjadi alat nafsu. Tak lagi sudi bermusuhan dan saling membunuh. Hmm... aku harus melepaskan diri dari segala ikatan. Apapun-yang terjadi, tidak perduli! Hidup adalah saat ini.Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok pagi atas diriku. Yang telah lalu biarlah lewat. Dan aku takkan perduli kemudian hari. Biarlah aku hidup sesuai dengan garis yang telah ditentukan Tuhan."
Terpikir demikian, ia menjadi tak acuh kepada semua perajurit yang dipimpinnya, dan tidak perduli kepada Tumenggung Jayenglogo yang sedang berebut kemenangan melawan Tumenggung Kebo Panengah. Pendeknya, keputusannya telah bulat. Ia harus pergi menempuh hidup baru sesuai dengan panggilan hatinya. Menggunakan kegemparan selagi semua orang tidak memperhatikan. ia melangkah lebar dan sebentar kemudian lenyap di dalam hutan.
"Trangg...... plakk...... des......!" Tubuh Tumenggung Kebo Panengah terpental lebih setombak. kemudian roboh muntahkan darah tak bergerak lagi. Pada lehernya tampak luka yang cukup lebar seperti disembelih. Sebaliknya tubuh Tumenggung Jayenglogo juga terpental setombak lebih, lalu roboh muntah darah segar.
Apa yang terjadi berlangsung amat cepat. Tadi Tumenggung Jayenglogo melancarkan serangannya dengan tombak. Serangan itu ditangkis dengan golok lawan. Tombak menyeleweng lalu lepas dari tangan. Akan tetapi lepasnya tombak ini justeru disengaja. Secepat tatit, Tumenggung Jayenglogo menggunakan perisai itu untuk mengunci golok lawan. Kemudian secara tak terduga, perisai itu diungkit ke atas untuk menyerang kepala. Tumenggung Kebo Panengah tak mau menyerah. Ia mengerahkan tenaganya, menekan golok. sedang tangan kirinya bergerak memukul lawan. Hampir bersamaan waktunya Tumenggung Jayenglogo pun memukul. Dada masing-masing terpukul amat keras. Akan tetapi pukulan Tumenggung Jayenglogo lebih tepat dan jitu, dan masih ditambah lagi tepi perisai baja yang tajam itu menyerang leher. Akibatnya panglima Tuban ini, begitu roboh nyawanya sudah melayang. Sedang Tumenggung Jayenglogo tidak begitu menderita. Walaupun ia muntah darah, luka dalamnya tidak begitu berat. Setelah ia duduk bersila mengatur pernapasan, darahnya yang bergolak berhenti. Sesak napasnya hilang, dalam waktu singkat ia sudah meloncat berdiri sekalipun wajahnya masih agak pucat.
Dengan robohnya Tumenggung Kebo Panengah ini, sekaligus pertempuran selesai. Mayat bergelimpangan tumpang tindih di sana sini, sedang darah yang menggenang di sana sini, sudah mulai mengering. Sulit dihitung berapa jumlah perajurit Tuban yang mati, terluka dan melarikan diri. Yang bisa dihitung hanyalah perajurit Tuban yang menyerah hidup-hidup, sebanyak duaratus empat puluh satu orang.
Tumenggung Jayenglogo menebarkan pandang matanya ke sekitar daerah pertempuran. Ia merasa heran sekali, mengapa Sindu yang kedudukannya sebagai panglima itu tidak tampak?
Ke mana orang itu pergi?
Ia cepat bertanya kepada beberapa orang penewu, mantri dan lurah perajurit. Akan tetapi semua orang itu tidak bisa memberi keterangan. Mereka semua tidak melihat ke mana Sindu pergi.
"Hemm heran." Tumenggung Jayenglogo menggumam dan kemudian ia menghela napas panjang.
'Dia panglima dan aku hanyalah wakilnya, Jika aku bertindak sendiri berarti melanggar atasan, tetapi jika menunggu. bagaimanakah bisa menunggu di tempat yang begini menyeramkan ?"
Ia menebarkan pandangannya ke sekelilingnya, dan melihat mayat yang bergelimpangan. Mayat yang ratusan banyaknya itu, bagaimana harus merawat dan menguburkan?
Akhirnya ditemukannya akal. Ia segera memerintahkan agar tawanan itu tenaganya digunakan. Perajurit perajurit Tuban itu dipaksa untuk menggali lubang yang besar. Mereka harus menguburkan teman-teman mereka sendiri yang tewas dalam pertempuran.
Akan tetapi karena tanah di situ merupakan tanah cadas, maka tanah itu keras. Walaupun mereka yang bekerja membuat lubang itu ratusan banyaknya. tidak bisa cepat selesai. Ketika matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, lubang untuk kuburan masal itu belum begitu dalam. Maka perajurit tawanan itu terus dipaksa bekerja membuat lubang kubur. Tetapi tentu saja para perajurit Tuban itu makin menjadi turun tenaganya. Sebab di samping sudah kepayahan hampir habis tenaganya, para perajurit itupun kelaparan.
Yang lebih menyedihkan keadaan para perajurit yang kesakitan dan terluka. Walaupun mereka mengerang ngerang kesakitan, menyebut ayah bunda, nenek moyang dari keluarga mereka, tidak seorangpun sempat memperhatikan dan merawat. Perajurit Mataram tidak mau perduli, sedang perajurit Tuban tidak berani menolong. Sebab tadi sudah terjadi. Seorang perajurit, seorang kakak si korban yang berusaha menolong adiknya, telah dibentak dan dilarang. Ketika perajurit Tuban itu membantah, perajurit itu segera disiksa sampai mati. Maksudnya menolong adiknya tak tercapai, malah dirinya sendiri mengorbankan nyawa. Tentu saja peristiwa ini membuat perajurit Tuban yang lain tidak berani mencobanya.
Itulah perang!
Manusia yang seharusnya hidup berdampingan dan saling menolong itu, sekarang tidak bedanya dengan binatang-binatang buas. Saling terkam. saling bunuh tak kenal ampun lagi.
Parikemanusiaan?
Tentu saja istilah ini terhapus dari kamus hati para perajurit.
Perang !
Dengan alasan apapun juga, perang adalah salah satu bentuk dari keserakahan hati manusia yang ingin berkuasa dan menindas yang lain. Dengan alasan apapun juga, perang tetap jahat. Perang berarti membiarkan manusia saling bunuh. Manusia ganas, yang kuat menindas yang lemah, yang memperoleh kesempatan menggunakan keadaan untuk merubah!
dendam dan mencelakakan orang lain. Terjadi saling fitnah, dan nyawa manuna sama dengan nyawa ayam.
Nasib para tawanan ini amat kasihan. Mereka telah lelah dan lapar. Tetapi tak berani berhenti bekerja, takut memperoleh siksaan. Guna penerangan di tempat itu, dinyalakanlah obor kayu.
Para tawanan itu dapat menyelesaikan pekerjaan berat ini sudah agak malam. Tetapi tidak semua tawanan yang dapat menyelesaikan tugas itu masih dalam keadaan segar. Sebab mereka lelah. lapar dan kehausan. Dari jumlah duaratus empatpuluh satu orang itu, yang utuh tidak terluka dan kena pukulan, hanya seratus empatpuluh orang saja. Sebanyak empatpuluh satu orang terpaksa harus menutup mata menyusul kawan-kawannya. yang tewas lebih dahulu. Karena tak sanggup menerima siksaan selama membuat lubang. Sedang yang enampuluh orang sekalipun masih hidup menderita luka ringan,berat maupun setengah mati itu, dibiarkannya saja tanpa pertolongan. Tidak dirawat dan dipindahkan ke tempat yang patut.
Dengan tambahan mereka yang luka-luka ini, korban itu makin tak terhitung lagi. Di waktu malam, suara suara rintihan dan erangan itu, tentu saja terdengar lebih jelas. Dan para perajurit Mataram yang payah dan ingin mengaso itu, menjadi marah. Apabila mendengar korban yang sesambat, merintih dan mengerang, tak ampun lagi senjata bekerja, menghabisi nyawa orang yang dianggap mengganggu ketenangan itu.
Beginilah kenyataannya, manusia-manusia yang membanggakan diri sebagai makhluk tertinggi dan berkebudayaan itu, ternyata tingkah lakunya dan keganasan maupun kekejamannya, melebihi binatang yang paling buas.
Tumenggung Jayenglogo menjadi gelisah sekali, ketika pagi harinya Sindu tak juga muncul. Untuk tetap menunggu di tempat ini, adalah tidak mungkin. Bagaimanapun, orang hidup berdekatan dengan kuburan masal dan bau darah yang mulai membusuk, membuat semua orang tidak tahan lagi. Akhirnya Tumenggung Jayenglogo memutuskan sendiri. Pasukan itu harus meneruskan perjalanan menuju tempat yang telah ditentukan. Akan tetapi sebelum pasukan itu dperintahkan bergerak, terpikir oleh Tumenggung Jayenglogo bahwa para tawanan ini hanyalah menambah beban melulu dan kurang pula kegunaannya. Hadirnya pasukan Tuban dalam pasukannya, hanya menambah jumlah kebutuhan tentang makan.
Kemudian dipanggillah seorang lurah perajurit, dan seorang penewu.
"Kita telah menunggu semalam di sini, namun adi Sindu tak juga muncul. Aku menduga dia sudah pergi mendahului, melapor Gusti Wandansari. Untuk itu, terpaksalah aku mengoper tanggungjawab ini. Kita harus meneruskan gerakan kita."
"Benar. Hamba sendiripun tak tahan lagi di tempat sebusuk ini,
" jawab lurah perajurit itu.
"Akan tetapi. kita direpoti oleh sejumlah tawanan itu. Maka sebelum kita bergerak, lenyapkanlah dahulu mereka semua."
Penewu dan lurah perajurit itu terbelalak memandang Tumenggung Jayenglogo. Kata penewu itu.
'Ndara menggung, mengapa harus dilenyapkan? Mereka telah menyerah dan sepatutnya pula......."
"Apa? Kau berani membantah!" bentak Tumenggung Jayenglogo sambil mendelik. Kumisnya yang tebal itu bergerak-gerak membuat lurah dan penewu itu takut.
"Akulah sekarang yang bertindak sebagai panglima. Pendeknya aku perintahkan, semua tawanan itu dibunuh mati! Tahu?!"
"Mengerti," sahut lurah dan penewu itu ketakutan.
"Kerjakanlah sekarang juga. Setelah semua terbunuh mati, biarkanlah mayat-mayat itu menjadi mangsa burung gagak. Kemudian secepatnya kita menuju tempat yang telah ditentukan Gusti Wandansari."
Karena perintah itu tak terbantah lagi, maka walaupun dengan hati berat, penewu dan lurah ini segera meneruskan perintah itu kepada algojo.
Ahhh....... pagi ini terulang kembali penjagalan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia. Seratus empatpuluh orang tawanan itu, satu demi satu roboh tewas dengan leher hampir putus maupun dada berlubang lebar oleh tikaman pedang dan tombak. tembus sampai ke punggung.
Puas Tumenggung Jayenglogo melihat hasil perintahnya. Puas ia dapat melihat membanjirnya darah di pagi ini, dan melayangnya nyawa manusia seratus empatpuluh orang. Setelah selesai semuanya, barulah pasukan Mataram ini bergerak meneruskan gerakannya . .
Ketika hampir tengah hari. tibalah pasukan kecil Mataram ini di sebuah dusun, bernama desa Jatisulur. Mendadak Tumenggung Jayenglogo melihat seorang perempuan muda yang cantik, keluar dari dusun. Perempuan itu tampak kaget melihat banyak orang dan cepat menyembunyikan diri di balik semak.
Akan tetapi walaupun perempuan itu cepat bersembunyi, gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan mata Tumenggung ini yang awas. Ia tertawa meloncat dari punggung kuda. Lalu dengan gerakannya yang gesit "panglima" itu berlarian ke balik semak. Terdengar jerit tertahan. Hanya sekali, kemudian tak terdengar lagi. Semula para perajurit Mataram int heran. Namun ketika Tumenggung Jayenglogo tampak memondong seorang perempuan, meledaklah ketawa para perajurit ini. Mereka menyambut gembira.
Tentu saja!
Mereka sudah cukup lama pergi menyabung nyawa di medan perang. Selama ini mereka terpaksa berlaku alim dan menahan hati, karena baik Pangeran Kajoran maupun Ratu Wandansari melarang keras mereka mengganggu penduduk. Dan sikap dua orang 'rayi dalem" Sultan Agung itu memang mengandung maksud bagi keuntungan Mataram. Ingin bisa menunjukkan bahwa Mataram dan pasukannya bukanlah "penindas', tetapi pembela kawula untuk membebaskan penindasan para bupati maupun adipati yang memberontak kepada Mataram.
Akan tetapi sekarang Pangeran Kajoran dan Ratu Wandansari tidak ada. Malah Sindu yang kedudukannya sebagai "panglima" juga meninggalkan pasukan tanpa memberi kabar. Kalau saja Sindu ada, kiranya pasukan Mataram ini tidak akan berani sebuas ini. Mereka tentu takut akan kesaktian dan pengaruh pengawal sakti ini.
Namun, tindakan keras yang demikian itu tentu hanya ditaati oleh pasukan, selama di bawah pengawasan ketat. Apabila memperoleh kesempatan sedikit saja akan mereka gunakan sebaikbaiknya. Sebab mereka bukan benar-benar taat hanya terdorong olah rasa takut. Takut akan akibat "hukuman" yang akan diputuskan oleh atasan.
Manusia yang belum menyadari akan arti hidupnya, memang akan sesat jalan. Dia mengaku percaya dan mengakui Tuhan, akan tetapi semua perbuatannya tidak takut akan hukuman dan bebendu Tuhan. Dia lebih takut hukuman manusia lain .Orang yang demikian ini munafik. Tidak patut dijadikan teladan. Kalau orang benar-benar takut kepada Tuhan, semua perbuatan dan semua tindakan akan selalu sejalan dengan garis dan petunjuk Tuhan. Bukan takut kepada orang lain.
Dan sekarang. orang yang paling tinggi kedudukannya telah memulai. Tentu saja mereka bersorak gembira. Lalu seperti beberapa ekor ayam yang dibebaskan dari kandang. melihat tumpukan padi. Mereka saling mendahului menyerbu desa Jatisulur yang subur dan semula tenang dan tenteram itu.
Desa Jatisulur memang merupakan desa yang cukup subur. Para penduduk hidup dari hasil bercocok tanam pada sawah maupun ladangnya. Hasil yang selalu berlimpah itu selalu dihemat, dan kemudian mereka bisa bidup serba cukup. Ketenangan hidup itulah syarat bagi setiap manusia yang hidup. Di samping merupakan desa yang cukup subur, desa ini terkenal sebagai gudangnya wanita cantik. Hal ini terbukti, salah seorang selir Adipati Tuban. berasal dari desa ini.
Tetapi sekarang, desa Jatisulur yang tenteram dan damai itu, diserbu oleh sekelompok manusia buas!
Penduduk desa ini sudah tentu amat terkejut. Para penduduk mengira, bahwa penyerbu itu terdiri dari perampok perampok membabi buta. Sebab perampok itu biasanya hanya berani bergerak pada waktu malam saja. Mengapa pada siang bolong begini, desa mereka diserbu perampok?
Tentu saja mereka memberi perlawanan sedapat bisa. Mereka menggunakan senjata yang ada, dan bergerak tanpa pimpinan. Namun, apakah arti perlawanan para penduduk desa yang biasanya bergulat dengan cangkul di sawah dan ladang ini, menghadapi perajurit yang terlatih?
Para penduduk itu seperti laron menyerbu api. Menyerbu untuk mati.
Hiruk-pikuk terjadi. Desa Jatisulur geger!
Jerit dan tangis terdengar memenuhi desa. Namun jerit dan tangis itu, dalam waktu tidak lama menjadi sirap. Mayat bergelimpangan di-sana sini. Darah membasahi tanah di desa Jatisulur yang subur. Mayat-mayat itu bukan hanya terdiri dari para laki--laki tua dan muda. Tetapi tidak terhitung jumlahnya pula mayat anak kecil yang tidak berdosa. Anak-anak kecil tersebut dipukul, dipancung lehernya atau ditikam dengan tombak. Karena kanak-kanak yang tak berdosa ini mengganggu dan menghalangi para perajurit yang menangkap ibu atau kakak perempuannya.
Desa itu sekarang dilanda malapetaka. Berubah menjadi neraka yang mengerikan. Setan dan iblis berkeliling, berjingkrak dan ketawa bekakakan melihat dan menyaksikan tingkah manusia terhadap manusia yang lain. Setan dan iblis gembira sekali, bahwa telah berhasil membuat manusia buas dan biadab!
Setan dan iblis?
Benarkah apa yang terjadi dan dilakukan oleh para perajurit'Mataram ini, oleh bujukan setan dan iblis?
Ahh. .. . . .kasihan setan dan iblis. Selalu dijadikan kambing hitam oleh manusia-manusia yang lupa diri, kemudian melemparkan keburukan tindakan itu ke alamat setan dan iblu. Setan dan iblis tak mungkin dapat menggoda manusia. Dan apa yang terjadi di dunia, bukan lain oleh nafsu-nafsu manusia itu sendiri, yang diumbar begitu rupa. Perajurit-perajurit itu sendirilah sekarang yang menjadi setan dan iblis.
Jelas, bahwa orang-orang macam ini. menantang Tuhan. Mereka tidak takut akan hukuman Tuhan. Maka bahagialah manusia yang selalu sadar akan hidupnya ini. Yang selalu dapat. mawas diri, selalu secara teliti setiap mengikuti gerakan dan dorongan dari nafsu. Nafsu dalam bentuk apapun, Justeru manusia hidup ini tidak dapat memisahkan diri dari nafsu. Baik nafsu yang menuju ke arah kebaikan maupun nafsu yang menuju ke arah kehancuran.
Ya, menyedihkan sekali.
Penduduk desa Jatisulur yang tak berdosa ini harus dilanda malapetaka. Sungguh buas sekali apa yang dilakukan parajurit Mataram ini.
Ahh.... bukan melulu perajurit Mataram ini sajalah yang telah menggunakan kesempatan seperti ini. Perajurit kerajaan yang lainpun tentu akan berbuat yang sama, apabila masuk ke wilayah lawan. Sejak jaman Tumapel, Singosari dan Majapahit, keadaan ini selalu berlangsung dalam setiap keributan. Setiap terjadi peperangan, dan mereka yang kebetulan sedang mempunyai kekuasaan dan Wewenang, akan selalu menggunakan kesempatan memenuhi kebutuhan pribadi.
Ketika malam tiba, desa Jatisulur gelap dan amat sepi. Perajurit Mataram belum meninggalkan desa ini. Namun semua perajurit termasuk Tumenggung Jayenglogo sedang sibuk dan menenggelamkan diri mengumbar nafsu kebinatangannya. kepada perempuan-perempuan desa ini yang terpaksa harus menyerah tak berdaya.
Di tengah malam yang gelap itu, berkelebatlah bayangan manusia yang gesit dan ringan. Bayangan tubuh kurus, yang menjenguk ke dalam setiap rumah penduduk. Bayangan kurus itu adalah Sindu. Ia menghela napas dan menyesal sekali melihat akibat kesalahannya meninggalkan pasukan. Apabila dirinya tidak meninggalkan pasukan. kiranya Tumenggung Jayenglogo dan para perajurit tak akan berani berbuat semacam ini. Rasa sesalnya itu membuat dirinya merasa amat berdosa kepada penduduk desa Jatisulur ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Apakah harus bertindak menghukum Tumenggung Jayenglogo dan semua pasukan Mataram?
Dengan membunuh mereka semua itu, untuk menebus apa yang sudah mereka lakukan?
"Tidak!" bantahnya sendiri sambil menggelengkan kepalanya.
"Sekalipun mereka semua aku bunuh mati, apa yang telah terjadi tetap terjadi. Malah sebaliknya akan menambah beratnya dosaku. membunuh ratusan orang dan tentu dituduh pula sebagai pengkhianat oleh Ingkang Sinuhun Sultan Agung."
Pendekar Rajawali Sakti 150 Orang Orang Atas Angin Sembilan Pembawa Cincin The Lord Of The Rings Buku Satu Karya J.r Tolkien Olga 01 Sepatu Roda
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama